Laporan Penelitian
PERKEMBANGAN SENI PATUNG BETON DI DESA PELIATAN, KECAMATAN UBUD, KABUPATEN GIANYAR
Oleh : Drs. I Nyoman Ngidep Wiyasa, M.Si NIP. 132006572
Dibiayai dari Dana DIPA ISI Denpasar Nomor : 0230.0/ 023-04.0/XX/2007 Tanggal 31 Desember 2006 Institut Seni Indonesia Denpasar
1
HALAMAN PENGESAHAN PENELITIAN 1. Judul Penelitian
Perkembangan Seni Patung Beton di Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar
2. Ketua Peneliti a. Nama lengkap dengan gelar b. Pangkat/Golongan/NIP c. Jabatan Sekarang d. Fakultas e. Universitas f. Alamat Kantor g. Telepon/Faks/E-mail 3. Jumlah Peneliti 4. Lokasi Penelitian 5. Kerja sama 6. Jangka Waktu Penelitian 7. Biaya Penelitian
Drs. I Nyoman Ngidep Wiyasa, M.Si Penata III/c/132006572 Lektor Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar Jalan Nusa Indah Denpasar (0361) 227316/ (0361) 236100/ isidenpasar @ yahoo.com 2 orang, 1 orang peneliti dan 1 orang tenaga lapangan Kabupaten Gianyar 6 bulan Rp. 6.000.000,(enam juta rupiah)
Mengetahui Dekan FSRD ISI Denpasar
Drs. I Wayan Karja, MFA. NIP. 132053476
Denpasar, 10 Januari 2007 Ketua Peneliti
Drs. I Nyoman Ngidep Wiyasa, M.Si NIP. 132006572
Menyetujui Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat ISI Denpasar
Prof. Drs. A.A. Rai Kalam NIP. 130346026
2ii
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian yang berjudul “Perkembangan Seni Patung Beton di Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar”. Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Drs. I Wayan Karja, MFA.,Dekan Fakultas Seni Rupa Dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar. 2. Bapak Prof. Drs. A.A. Rai Kalam, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Seni Indonesia Denpasar. 3. Bapak Ida Bagus Sugata selaku seniman dan mantan Bendesa Adat/ Pakraman Peliatan yang telah memberikan informasi mengenai historis Desa Peliatan dan perkembangan seni patung beton di desa tertsebut. 4. Rekan-rekan dosen di Fakultas Seni Rupa Dan Desain Institut Seni Indonesia Denpasar yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, yang telah memberikan refrensi dan informasi yang sangat dibutuhkan dalam penelitian ini. 5. Bapak I Wayan Winten dan pematung beton lainnya yang telah banyak memberikan informasi mengenai perkembangan seni patung
3iii
beton di Desa Peliatan dan proses penciptaannya dari pembuatan maket (miniatur) sampai terwujud karya seni patung. Sebagai akhir kata, penelitian ini masih banyak kekurangannya, mengingat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis, oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran dari berbagai fihak, demi lebih lengkapnya penelitian ini. Semoga penelitian ini ada manfaatnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang seni patung. Om Santi, Santi, Santi Om. Denpasar, 25 Nopember 2007 Penulis
4iv
RINGKASAN
Pada mulanya seni patung Bali berfungsi sebagai sarana ritual pemujaan dalam bentuk simbol perwujudan roh leluhur, dewa, Tuhan, dengan segala manifestasinya yang bersifat sakral. Jenis-jenis patung perwujudan tersebut di Bali sering disebut pratima, arca, petapakan dan pralingga. Pembaharuan yang sangat gemilang dalam seni patung Bali terjadi setelah adanya kontak langsung seniman lokal dengan seniman asing ( Barat), sehingga melahirkan bentuk-bentuk baru yang cendrung realis, naturalis dan surealis. Patung realis, naturalis dan surealis yang menggunakan material kayu kemudian berkembang pesat di Desa Mas, Kemenuh dan Desa Peliatan, dengan tokoh-tokoh pematungnya antara lain Ida Bagus Nyana, Ida Bagus Tilem, I Ketut Tulak, I Wayan Ayun, Pande Wayan Neka, I Nyoman Togog dan I Wayan Winten. Seni patung dengan material beton yang berkembang dewasa ini di Desa Peliatan keberadaannya tidak terlepas dari seni patung kayu yang sudah ada sebelumnya, karena para pematung yang menekuni seni patung beton tersebut rata-rata sudah berpengalaman dalam bidang seni patung kayu, seperti halnya I Wayan Winten. Sebagai pematung yang hidup dalam lingkungan masyarakat dengan nilai-nilai budaya serta potensi seni yang menonjol, dan didukung oleh latar belakang pendidikan seni secara akademis yakni SMSR
Denpasar dan PPGK Yogyakarta, menjadikannya sebagai
seniman yang kreatif dan memiliki wawasan yang luas tentang kesenian khususnya seni patung. Hal ini sangat menarik dikaji dengan menerapkan berbagai metode pendekatan antara lain : metode observasi, yaitu melalui pengamatan langsung ke lapangan untuk mengetahui perkembangan seni patung beton di Desa Peliatan baik dilihat dari segi kuantitas pematung, bentuk karya, fungsi maupun maknanya bagi masyarakat. Selain itu juga dilakukan pengamatan mengenai proses penciptaan seni patung beton mulai dari membuat maket (miniatur) sampai terwujudnya karya seni patung itu sendiri. Metode wawancara dilakukan mulai dari I Wayan Winten sebagai
5v
informan kunci, dan pelopor pematung beton yang ada di Desa Peliatan, kemudian baru para pematung beton lainnya yang dianggap bisa memberikan informasi yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Metode kepustakaan, dilakukan dengan menelaah sejumlah pustaka yang ada kaitannya dengan keberadaan seni patung Bali, yang terkait dengan perkembangan seni patung beton di Desa Peliatan. Sementara itu, metode dokumentasi,
yaitu
pengumpulan data melalui bukti-bukti tertulis yakni berupa buku monografi Desa Peliatan, katalog pameran dan foto-foto karya seni patung. Berdasarkan data yang telah diperoleh sesuai dengan kebutuhan penelitian ini maka dapatlah dijelaskan bahwa proses penciptaan seni patung beton yang ada di Desa Peliatan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : (1) pembuatan gambar sketsa, (2) pembuatan maket (miniatur), (3) pembentukan konstruksi rangka patung, (4) pengecoran rangka patung, (5) tahap pembentukan, (6) penyelesaian bentuk dan detail hiasan. Perkembangan seni patung beton yang ada di Desa Peliatan tidak terlepas dari pengaruh sosok I Wayan Winten yang sudah menkuni seni patung dengan material beton dimulai sejak tahun 1992 yakni membuat patung penari, yang menghiasi pertigaan Br Teges Desa Peliatan. Tahun 1994 membuat patung Satria Gatot Kaca yang ada di Kuta. Tahun 1995 membuat patung Dewa Wisnu, Garuda, Kalarau dan Dewi Ratih yang menghiasi Taman Ciung Wanara Kota Gianyar. Tahun 1995 membuat patung Dewa Indra di pertigaan Tegal Tugu Gianyar. Tahun 1995 membuat patung Dewi Natha yang menghiasi pertigaan Semabaung Gianyar. Tahun 1996 membuat patung Kapten Mudita di Kota Bangli. Tahun 1996 membuat patung Dewa Ruci di Simpang Siur Kuta. Tahun 2002 membuat patung Betara Tiga di pertigaan Manguntur Batubulan. Tahun 2003 membuat patung Sutasoma di pertigaan Ubud, dan sejumlah karya patung beton lainnya tidak hanya di Bali, akan tetapi juga di luar Bali. Ketenaran sosok pematung I Wayan Winten membuat generasi muda banyak yang tertarik untuk belajar seni patung dengannya, baik lewat pendidikan non formal maupun formal, karena Wayan Winten disamping sebagai seniman, juga sebagai seorang guru di SMSR, yang kini adalah SMK
6vi
N I Sukawati. Mantan murid-muridnya yang sampai kini menekuni seni patung beton antara lain: Komang Labda, asal Karangasem yang saat ini menempati studionya di Jalan Dewi Candra Batubulan. I Ketut Suardana asal Banjar Tengah Peliatan, membuka studio patung di rumahnya sendiri, di Jalan Raya Peliatan, I Wayan Sedan Suputra, asal Banjar Kalah Peliatan, kini membuka studio di Jalan Raya Kengetan Singakerta Ubud. I Wayan Winarta, asal Desa Batuan, membuat studio patung di Jalan Raya Penida Batuan. I Nyoman Purna, asal Banjar Tengah Peliatan saat ini membuat studio patung di Jalan Raya Pengosekan Ubud.
Sedangkan Kadek Artika, asal Banjar
Tengah Peliatan kini membuka studio patung di Jalan Kengetan Singakerta Ubud. Perkembangan seni patung beton di Desa Peliatan tidak hanya bisa dilihat dari kuantitas pematungnya, akan tetapi juga perkembangan bentuk karya, fungsi maupun maknanya bagi masyarakat. Dilihat dari segi bentuk yang merupakan hasil aktivitas baik individu maupun kelompok, dan entitas yang dihasilkan bersifat kongkret, terwujud lewat karya-karya patung beton yang bergaya realis, naturalis dan abstrak. Sementara itu, tema yang dingkat tidak hanya tema-tema pewayangan seperti Ramayana, Mahabharata, mitologi Hindu dan tantri, akan tetapi juga kehidupan sehari-hari (kehidupan sosial), sehingga hadir karya patung beton yang sangat variatif. Dilihat dari segi fungsi, kehadiran seni patung beton di Desa Peliatan tidak hanya untuk kepentingan ritual pemujaan yang terwujud dalam bentuk simbol-simbol keagamaan, melainkan juga berkembang ke fungsi estetis dekoratif yakni sebagai elemen penghias taman kota, tempat rekreasi, kantor pemerintahan, hotel, museum, rumah hunian dan sebagainya. Sedangkan kalau dilihat dari segi makna telah mengalamai perkembangan tidak hanya makna keindahan akan tetapi juga makna pembaharuan dan kesejahteraan. Oleh karena karya yang terwujud memiliki nilai keindahan, nilai inovasi (pembaharuan), yakni memiliki perbedaan dengan karya-karya patung yang sudah ada sebelumnya, dan kehadiran karya tersebut mampu meningkatkan
taraf
kesejahteraan
senimannya
pendukungnya.
7 vii
dan
juga
masyarakat
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL.................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. ii KATA PENGANTAR...............................................................................iii RINGKASAN ......................................................................................... v DAFTAR ISI...........................................................................................viii DAFTAR GAMBAR .............................................................................. x BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ............................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 5 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 5 1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka .......................................................................... 6 2.2 Konsep........................................................................................ 10 2.2.1 Seni .................................................................................... 10 2.2.2 Patung ................................................................................ 11 2.2.3 Beton ................................................................................. 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ................................................................... 13 3.2 Lokasi Penelitian.......................................................................... 13 3.3 Sumber Data ................................................................................ 13 3.4 Tehnik Pengumpulan Data ............................................................ 13 3.4.1 Metode Observasi ................................................................ 13 1.4.2 Wawancara .......................................................................... 14 1.4.3 Studi Kepustakaan ............................................................... 14 1.4.4 Dokumentasi ....................................................................... 14 1.5 Instrumen Penelitian .................................................................... 14
8 viii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................ 15 4.1.1 Sejarah Desa Peliatan ........................................................ 15 4.1.2 Kondisi Geografis Desa Peliatan ....................................... 17 4.1.3 Mata Pencaharian ............................................................. 18 4.2 Sekilas Tentang Perkembangan Seni Patung Bali ........................ 20 4.2.1 Seni Patung Gaya Sederhana (Primitif) .............................. 21 4.2.2 Seni Patung Gaya Klasik/Tradisional ................................. 23 4.2.3 Seni Patung Gaya Bali Modern .......................................... 25 4.3 Proses Penciptaan Seni Patung Dengan Material Beton ............... 27 4.3.1 Pembuatan Gambar Sketsa ................................................ 27 4.3.2 Pembuatan Maket (Miniatur).............................................. 27 4.3.3 Pembuatan Konstruksi Rangka Patung ............................... 28 4.3.4 Pengecoran Rangka Patung ................................................ 29 4.3.5 Tahap Pembentukan ........................................................... 29 4.3.6 Penyelesaian Bentuk dan Detail Hiasan .............................. 29 4.4 Perkembangan Seni Patung Beton di Desa Peliatan ..................... 30 BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan .................................................................................... 40 5.2 Saran .......................................................................................... 44 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 45
ix 9
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1 Patung Kalarau, dan Wisnu di atas Garuda .............................. 31 Gambar 2 Patung Dewi Ratih .................................................................. 31 Gambar 3 Patung Garuda Wisnu .............................................................. 33 Gambar 4 Patung Prajurit ........................................................................ 34 Gambar 5 Patung Gajah .......................................................................... 35 Gambar 6 Patung Putri Duyung ............................................................... 36 Gambar 7 Patung Gajah .......................................................................... 37
10 x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sebagai cipta rasa dan karsa manusia, tidak ada kebudayaan yang kekal dan terbebas dari perubahan. Kebudayaan adalah suatu yang dinamis, selalu mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi daerah maupun masyarakatnya. Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan, merupakan ekspresi pengalaman keindahan atau pengalaman estetik manusia. Manusia merasakan pengalaman estetik dalam memandang alam, karena alam dihayati sebagai penjelmaan dari ide keindahan sehingga alam menjadi simbol keindahan itu sendiri. Kesenian selalu berhubungan dengan nilai-nilai estetis yang tidak semata-mata dititikberatkan pada hal-hal yang bersifat visual semata, tetapi merupakan pengertian yang lebih luas sehingga mencakup segala sesuatu yang menimbulkan rasa keindahan. Karena keindahan merupakan salah satu kebutuhan dan budaya manusia. Seni patung sebagai bagian dari kesenian lahir lewat kreativitas seniman. Seni patung diekspresikan dalam bentuk tiga dimensional, perwujudannya didasarkan atas ukuran panjang, lebar, dan tinggi serta bisa dilihat dari berbagai arah, yakni arah depan, samping dan belakang. Seni patung Bali sudah ada sejak masa prasejarah yang memiliki bentuk sangat sederhana (primitif), berupa kedok atau muka sebagai simbol nenek moyang yang diyakini memberikan perlindungan (Sutaba, 1980 : 20). Seni patung
1
prasejarah berorientasi pada hal-hal yang gaib, sehingga melahirkan karya patung gaya sederhana (primitif) yang lebih menonjolkan simbol magisnya (Kempers, 1977 : 9). Hasil pahatan ini menunjukan bahwa masyarakat Bali pada masa itu sudah menguasai seni pahat, walaupun tekniknya sangat sederhana. Karya seni yang dihasilkan tidak hanya mengandung nilai-nilai keindahan, tetapi juga memancarkan nilai-nilai religius yang bersumber pada kepercayaan masyarakat pada masa itu (Anonim, 1986 : 19). Perkembangan selanjutnya pada masa pengaruh Hindu terjadi perubahan besar terhadap kebudayaan dan kesenian Bali, khususnya dalam seni patung, sehingga menghasilkan karya seni yang berorientasi keagamaan. Bentuk bentuk patung dewa dalam berbagai manifestasinya bermunculan sebagai media menghubungkan diri dengan Tuhan. Patung-patung tersebut dibuat dalam berbagai manifestasinya, seperti patung Dewa Brahma, Dewa Wisnu, Dewa Siwa, dan tema-tema mitologis dengan wujud pahlawan-pahlawan wiracarita,
serta
figur-figur
legendaris
lainnya
yang
bernuasa
klasik/tradisional (Anonim, 1979 : 5). Di Bali, seni patung bisa dibedakan seperti arca, pratima, bedogol dan togog. Arca dan pratima keduanya merupakan penggambaran dewa dalam bentuk patung yang digunakan sebagai media untuk memudahkan konsentrasi pikiran yang ditujukan kepada Tuhan dengan segala manifestasinya. Perbedaan antara arca dan pratima hanya dalam segi ukuran dan bahan yang digunakan. Arca biasanya dalam ukuran yang lebih besar, terbuat dari kayu
2
pilihan seperti kayu cendana, cempaka dan ketewel. Sementara itu, pratima umumnya lebih kecil, biasanya terbuat dari emas, perak dan uang kepeng. Baik arca maupun pratima ditempatkan pada tempat suci yang berfungsi sakral (Titib, 2001 : 64). Seni patung Bali mengalami perkembangan yang sangat pesat setelah mendapat pengaruh seni modern. Pembaharuan seni patung Bali terjadi karena adanya kontak langsung seniman lokal dengan seniman asing yang menetap di Bali seperti R. Bonnet dan Walter Spies, yang kemudian bersama Tjokorda Gede Agung Sukawati pada tahun 1935 mendirikan organisasi pelukis dan pematung
di Ubud dengan nama Pita Maha. Organisasi ini
bertujuan meningkatkan mutu dan standar artistik karya-karya seniman Bali. Organisasi Pita Maha mampu merubah konsepsi dan fungsi seni religius kemudian melangkah ke ruang profan dengan perluasan tema pada objek kehidupan sehari-hari dan mulai meninggalkan semangat kolektif menjadi individual (Mulyadi, 2001 : 37). Adanya
pengaruh
Barat
yang
berdampak
terhadap
semakin
berkembangnya industri pariwisata Bali, produk karya seni khususnya seni patung memperlihatkan bentuk-bentuk baru yang khas meskipun tidak terlepas dari akar budaya Bali. Produk kesenian Bali yang sebelumnya hanya ditujukan untuk kepentingan keagamaan, tetapi pada tahun 1930-an sudah tersaji karya seni patung yang sifatnya skuler untuk sajian pariwisata ( Bandem, 1991 : 15). Sejak saat itu seni patung Bali memperlihatkan pencarian artistik yang luar biasa dan mulai menemukan bentuk-bentuk baru
3
yang cendrung menambah unsur-unsur realis, surealis, dan naturalis (Sudarta, 1975 : 19). Perkembangan seni patung Bali tidak hanya bisa dilihat dari segi bentuk, fungsi, maupun maknanya bagi masyarakat, akan tetapi juga dari segi material yang digunakan. Dilihat dari segi bentuk sudah mulai menampilkan bentuk-bentuk baru seperti penari, kodok, gajah, kuda, garuda, putri duyung, singa bersayap walaupun masih terinspirasi dari cerita Mahabaharata, mitologi Hindu serta kehidupan sehari-hari. Dari segi fungsi sudah mengalami perubahan tidak semata-mata
untuk
kepentingan
ritual,
tetapi
sudah
memperhatikan
kebutuhan estetika dan keharmonisan tata ruang yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari semakin semaraknya bentukbentuk patung dengan medium beton yang berfungsi sebagai elemen dekoratif untuk menghias taman kota/ taman mendian, taman wisata, hotel, rumah hunian dan kantor pemerintahan. Sementara itu, kalau dilihat dari segi makna atau dampak dari semakin berkembangnya seni patung beton di Desa Peliatan telah mampu meningkatkan tarap kesejahteraan para pematung beton yang ada di desa tersebut. Penggunaan material semen (beton)
sebagai medium alternatif dalam
pembuatan seni patung dilakukan, mengingat ketersediaan material alami seperti kayu, batu padas makin lama semakin berkurang. Menurut Sukawati dalam Suardi, 2004 : 17) ada cara-cara atau teknik baru dalam membuat patung besar yang indah dan mempunyai daya tahan tinggi dengan material semen ( beton) yang dikembangkan oleh seniman patung Bali dengan garapan
4
yang halus, indah dan mempersonakan. Hal inilah yang dilakukan oleh para pematung beton
dari Desa Peliatan, dalam berkarya seni patung mereka
memanfatkan material semen (beton) sehingga mampu menghasilkan karyakarya patung dalam ukuran yang lebih besar dan monumental yang kebanyakan berfungsi dekoratif sebagai elemen penghias taman kota/taman mendian. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapatlah dirumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana proses penciptaan seni patung dengan material beton yang ada di Desa Peliatan ? 2. Bagaimana perkembangan bentuk, fungsi dan makna seni patung beton yang ada di Desa Peliatan ? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan seni patung beton di Desa Peliatan, baik dari segi bentuk, fungsi, serta material yang digunakan, maupun maknanya bagi kehidupan masyarakat Desa Peliatan. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil
penelitian
ini
bisa
digunakan
sebagai
acuan
dalam
mengembangkan kreativitas seni, sehingga tercipta karya-karya baru dengan material semen (beton)
sebagai material alternatif yang tidak kalah
kualitasnya bila dibandingkan dengan material yang alami.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam mengkaji perkembangan seni patung beton di Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, diperlukan beberapa referensi atau acuan untuk memecahkan masalah sesuai kebutuhan penelitian. Adapun pustaka-pustaka yang dijadikan acuan berupa buku-buku, jurnal, laporan hasil penelitian, dan artikel. 2.1
Tinjauan Pustaka Secara diakronis perkembangan seni di Indonesia merefleksikan
kebinekaan yang sangat besar. Seni di Indonesia ditata seperti masuk dalam tiga lingkungan yang tumpang tindih diatur secara kronologis sebagai berikut: 2. “Warisan”, yang meliputi ciptaan-ciptaan seni dari masa prasejarah Indonesia dan sejarah kuno yang masih dilestarikan, yang dibuat dari bahan-bahan yang tahan lama seperti batu, logam dan tanah liat. 3. “Tradisi-tradisi yang hidup”, meliputi seni rupa (plastik art) yang ada di wilayah Indonesia terutama Bali yang konsepsi-konsepsi bentuk dan isinya diabadikan, walaupun kerap diterapkan pada medium yang baru. 4. “Seni Modern”, sebuah fenomena urban yang telah berkembang di Indonesia, manifestasinya hadir bersama dengan bentuk-bentuk tradisi yang vital tampil sangat kuat pada seni lukis dan patung (Claire Holt, Pengantar dan Alih Bahasa Soedarsono, 2000 : 13).
6
Djelaskan pula bahwa Bali adalah daerah yang berbeda bila dibandingkan dengan Jawa atau daerah lainnya yang kepercayaan Hindunya praktis lenyap dengan penyebaran Islam. Kehidupan ritual Hindu di Bali masih tetap bertahan hingga kini, meskipun menyerap pengaruh seni ritual Hindu-Budha melalui ekspansi dari kerajaan Majapahit, namun keseniannya memiliki perbedaan dengan Jawa. Dengan mengutip Stutterheim, bahwa yang ideal dari orang Jawa adalah mencari yang halus, bahkan yang lembut dan yang rohani, sehingga karya seninya ditandai dengan kehati-hatian dan kecekatan. Sebaliknya orang Bali menyukai yang lebih ekspresif, meledak ledak penuh semangat dengan warna emas dan terang dengan keinginan menghias yang sangat berlebihan (baroque). Ciri-ciri baroque yang karakteristik akhirnya menuju seni Bali kontemporer yang khas (Claire Holt, Pengantar dan Alih Bahasa Soedarsono, 2000 : 15). Di Bali ada beberapa pengertian tentang seni patung seperti arca, pretima , bedogol dan togog. Arca dan pretima keduanya perwujudan dewa dan bahtara dalam bentuk patung yang digunakan sebagai sarana konsentrasi di dalam persembahyangan Hindu. Arca dan pretima dibedakan dari segi ukuran dan bahan yang digunakannya. Arca ukurannya lebih besar bahannya dari kayu pilihan seperti cendana, cempaka, dan nangka. Pretima umumnya lebih kecil dan dibuat dari perak, emas, dan uang kepeng. Namun masih terdapat sebutan pralingga dan petapakan yang dianggap pula sebagai linggih atau sthana dewa, biasanya berupa batu indah. Sementara itu, bedogol adalah patung yang dibuat dari batu padas atau kayu, biasanya dibuat dalam ukuran yang agak besar. Bedogol biasanya ditempatkan di depan gedong, candi bentar, paduraksa sebuah pura sebagai dwarapala (penjaga pintu masuk) maka bedogol itu akan berfungsi magis
7
dekoratif. Togog adalah patung yang memiliki ukuran yang lebih kecil bila dibandingkan dengan bedogol. Biasanya togog tidak bernilai magis, tetapi hanya sebagai dekorasi belaka (Linus,1985 : 34). Seni patung yang berkembang saat ini di Bali merupakan kelanjutan seni patung masa prasejarah, dan kemudian berkembang pesat pada masa pengaruh Hindu. Perkembangan selanjutnya memperlihatkan kreativitasnya dengan menampilkan bentuk-bentuk baru karena adanya kontak dengan dunia luar, sedangkan inspirasinya tetap bersumber pada alam dan kebudayaan Bali. Dilihat
dari segi
bentuk dan gaya seni patung Bali dapat
diklasifikasikan menjadi empat kelompok. 1. Seni patung Gaya Sederhana (primitif) Seni patung sederhana ini sudah ada pada masa prasejarah merupakan simbol penghormatan arwak nenek moyang. Adapun bahan yang digunakan membuat patung sederhana ini adalah tanah lihat dengan teknik pijitan dan kepalan tangan sehingga menghasilkan bentuk patung sederhana (Budiastra, 1982 : 7). 2. Seni Patung Gaya Tradisional Seni patung tradisional berkembang hampir di seluruh Bali dan merupakan
kelanjutan
seni
patung
sebelumnya
yang
merupakan
perwujudan para dewa-dewi dan roh leluhur. Seni patung gaya tradisional ini terbuat dari batu padas dan kayu, adapun tema yang ditampilkan kebanyakan berasal dari cerita Mahabharata, Ramayana, seperti Wisnu di atas Burung Garuda, dan Sang Hyang Siwa.
8
3. Seni Patung Gaya Realis Seni patung realis berkembang akibat terjadinya kontak langsung dengan dunia Barat sekitar abad ke-19 Masehi. Kenyataan ini dibuktikan dengan ditemukan beberapa buah patung realis di Kerthagosa Klungkung yang menggambarkan orang Eropa dan Cina. Bentuk patung gaya realis ini memperlihatkan ekspresi badani seperti bentuk anatomi tubuh manusia dengan sejelas mungkin, sedangkan tema yang ditampilkan adalah kehidupan sehari-hari yaitu kehidupan petani, nelayan, binatang, penari dan sebagainya (Bidiastra, 1982 : 8). 4. Seni Patung Gaya Surealis Seni patung gaya surealis terinspirasi dari bentuk cili yang merupakan salah satu hiasan pada lamak yang menggambarkan bentuk serba kepanjang-panjangan keluar dari bentuk yang ideal. Adapun bentuk serta gaya yang tercermin pada patung surealis ini adalah proporsi yang berlebih-lebihan, atau kebulat-bulatan serta penyelesaiannya yang tidak mendetail dan sering kali mengikuti bentuk bahan yang alami (Budiastra, 1982 : 9). Dewasa ini seni patung Bali telah mengalami perkembangan baik dilihat dari segi bentuk karya, fungsi, material, maupun maknanya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kreativitas seniman, mengingat material alami seperti kayu, batu padas, keberadaanya
semakin berkurang. Dalam
mengembangkan kreativitas seninya para pematung menggali teknik dan cara-cara baru dalam membuat patung besar yang indah dan mempunyai daya
9
tahan tinggi dengan material semen (beton), sebagai bahan alternatif yang berfungsi dekoratif sebagai elemen penghias taman kota/taman mendian, seperti patung Dewa Ruci di Persimpangan Jl. Arteri Nusa Dua - Tanah Lot. Karya seni patung beton lainnya yang bertemakan Pemutaran Mandara Giri juga berfungsi dekoratif sebagai elemen penghias Taman Ciung Wanara Kota Gianyar, hasil karya pematung I Wayan Winten dari Desa Peliatan Ubud. Seni patung beton dengan fungsi dekoratif, yang terinspirasi dari tematema Ramayana, Mahabharata, mahluk-mahluk mitologis, dan kehidupan sehari-hari, saat ini sedang berkembang Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. 2.2
Konsep Untuk memberikan pemahaman yang jelas atas permasalahan yang
dikaji, konsep merupakan suatu hal yang penting dalam penelitian. Adapun konsep-konsep tersebut adalah konsep seni, patung dan beton. 2.2.1 Seni Seni adalah segala yang berkaitan dengan karya cipta yang dihasilkan oleh unsur rasa (Partanto, 1994 : 701). Seni adalah hasil karya manusia yang mengkomunikasikan pengalaman batinnya, pengalaman batin tersebut disajikan secara indah dan menarik sehingga merangsang timbulnya pengalaman batin pada manusia lain yang menghayati, Soedarso Sp dalam Mikke Susanto (2002 : 101). Terlalu banyak ahli yang mengartikan persoalan seni. Belum ada kesepakatan yang jelas mengenainya, karena
10
tinjauan yang dipakai juga berbeda-beda. Dari berbagai pernyataan tentang seni seperti yang telah diungkapkan di atas mengarah pada persoalan kesanggupan akal manusia, baik kegiatan rohani maupun fisik untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai artistik yang mampu menggugah perasaan orang lain. 2.2.2 Patung Dalam ensiklopedi Umum (1973 : 1193), patung adalah seni rupa yang merupakan pernyataan pengalaman artistik lewat bentuk-bentuk tiga dimensional. Walaupun ada pula bersifat seni pakai, tapi pada galibnya seni patung adalah tiga dimensional sehingga benar-benar di dalam ruang. Dalam seni patung tidak ada problem perspektif seperti halnya dengan seni lukis yang kadang kala ingin membuat kesan kedalaman (dimensi ketiga) dalam karya yang datar saja. Berbagai macam media dan jenis teknik dapat dipakai dalam membuat patung, seperti memahat, menatah, mengecor, dan mencetak ( Susanto, 2002 : 101). Dalam buku yang berjudul The Art Their Interrelations (Thomas, 1992 : 452), patung dijelaskan sebagai seni perencanaan dan pengkonstruksian bentuk-bentuk tri matra, umumnya harus dilihat dari aspek luar, mempunyai sifat-sifat (a) menggambarkan objek sebenarnya atau khayal, (b) menyajikan sebuah rancangan bentuk tri matra, (c) mensugestikan berjenis-jenis gagasan perasaan dan pengalaman-pengalaman. Berdasarkan penjelasan di atas maka perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan patung dalam penelitian ini adalah seni rupa yang
11
diungkapkan secara artistik melalui bentuk-bentuk tri matra yang memiliki ukuran panjang, lebar, dan tinggi, sehingga benar-benar berada di dalam ruang. Perwujudannya
memperlihatkan
aspek luar dengan sifat-sifat
menggambarkan objek sebenarnya atau khayal, yang mensugestikan berjenis jenis gagasan perasaan serta pengalaman-pengalaman. Dewasa ini berbagai media dan jenis teknik bisa diterapkan dalam membuat patung, seperti memahat terutama patung yang terbuat dari kayu dan batu, mencetak yaitu patung yang terbuat dari beton dan fiberglass, serta cor/tuang dan las yaitu patung yang terbuat dari bahan-bahan sejenis logam. 2.2.3 Beton Menurut Frick, (1999 : 100-115), beton
terbuat dari campuran pasir,
koral, dan semen yang dicampur air sebagai pengencer sehingga terjadi proses pengerasan. Perbandingan campuran beton yang baik adalah 1 : 2 : 3, yang artinya adalah suatu campuran dengan perbandingan satu semen, dua koral, dan tiga pasir. Menurut Poerwadarminta, 1985 : 133), beton adalah campuran dari koral, pasir dan semen (untuk tiang rumah, dinding dsb); beton bertulang, adalah beton yang di dalamnya berangka-rangka besi. Berdasarkan uraian tersebut diatas yang dimaksud dengan beton dalam penelitian ini adalah adukan/campuran yang terdiri dari pasir, koral, dan semen dengan konstruksi besi yang dicor sebagai rangkanya. Dalam membuat patung dari beton diawali dengan membuat konstruksi dengan kerangka kawat yang dibentuk menyerupai figur patung, kemudian baru dicor beton, setelah itu baru dibentuk secara bertahap dengan alat seperti cetok, palet, pahat, dan butsir.
12
BAB III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif, yakni berupa uraian mengenai perkembangan seni patung beton di Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabuapaten Gianyar. 3.1 Rancangan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Taylor (1975 : 5) pendekatan kualitatif menghasilkan deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Teknik analisis dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif. 3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Dasar pertimbangan memilih lokasi di desa bersangkutan, karena desa tersebut memiliki potensi seni khususnya seni patung beton yang cukup menonjol. 3.3 Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yang dipeoleh dari informan sebagai data primer. Selain data primer juga digunakan data skunder sebagai data penunjang yakni data yang diperoleh dari studi kepustakaan (library research). 3.4 Teknik Pengumpulan Data Ada beberapa metode atau teknik dalam pengumpulan data. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.4.1 Metode Observasi Pengumpulan data dengan observasi dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang lengkap berkenaan dengan keadaan yang sesungguhnya di lapangan.
13
3.4.2 Wawancara Metode ini digunakan untuk memperoleh data atau informasi yang lengkap dari beberapa orang pematung beton yang ada di Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan membuat catatan tentang pokok-pokok permasalahan yang akan ditanyakan sesuai dengan tujuan penelitian. 3.4.3 Studi Kepustakaan Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data melalui sejumlah pustaka, dalam hal ini peneliti akan menelaah beberapa literatur baik berupa buku, jurnal, majalah maupun surat kabar, yang ada relevansinya terhadap penelitian. 3.4.4 Dokumentasi Dokumentasi adalah bukti-bukti tertulis atau benda-benda peninggalan yang berkaitan dengan peristiwa penting. Banyak peristiwa yang terjadi di masa lampau bisa dipelajari melalui dokumen. Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa buku monografi desa, katalog pameran, foto-foto karya, dan hasil karya para pematung beton yang ada di Desa Peliatan. 3.5 Instrumen Penelitian Selama di lapangan data dikumpulkan dengan menggunakan pedoman wawancara yang dilengkapi dengan buku catatan, tape recorder, dan kamera fotografi. Alat-alat ini digunakan untuk mencatat dan merekam berbagai informasi yang dibutuhkan dari informan. Sementara itu, kamera fotografi digunakan untuk memotret karya seni patung beton yang dijadikan objek penelitian.
14
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Peliatan termasuk wilayah Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Propinsi Bali. Desa Peliatan terletak di sebelah barat kota Gianyar, dengan orbitasi jarak ke ibu kota kecamatan 2 km, jarak ke ibu kota kabupaten 12 km, dan jarak ke ibu kota propinsi 25 km (Profil Desa Peliatan 2001/2002 : 3). Desa Peliatan yang berlokasi sangat berdekatan dengan Ubud yang menjadi sentral perkembangan seni lukis Pita Maha, dan Desa Mas yang menjadi sentral perkembangan seni patung Bali Modern, secara tidak langsung berpengaruh terhadap keberadaan seni lukis dan seni patung di Desa Peliatan. Desa Peliatan yang memiliki potensi seni cukup menonjol terutama seni patung, telah melahirkan sejumlah nama seniman patung yang memanfaatkan material beton sebagai medium utamanya. 4.1.1 Sejarah Desa Peliatan Sebelum menguraikan lebih jauh tentang kondisi geografis Desa Peliatan, maka perlu juga diketahui latar belakang historisnya. Konon nama Peliatan berasal dari kata “liat” yang artinya pandang atau melihat keindahan di sekitarnya. Pemberian nama “Peliatan” tersebut ada kaitannya dengan perjalanan Resi Budha dari “Jawa Keling” dalam melakukan tirtayatranya ke Bali, karena Bali digambarkan sebagai tempatnya para dewata. Dalam perjalanannya dari arah selatan menelusuri hutan cukup lebat yang dihuni banyak binatang buas, yaitu di
15
sekitar Desa Buruan sekarang, beliau bersemedi dan membuat tempat pemujaan yang bernama Pura Gunung Sari. Sampai saat ini penduduk setempat selalu nunas tirta pengentas di pura tersebut ketika ada upacara atiwa-tiwa (ngaben) (Wawancara dengan I. B. Sugata, mantan Bendesa Adat/Pakraman Peliatan, 9 Oktober 2007). Pendeta Budha tersebut terus melanjutkan perjalanannya menuju arah barat laut dan tiba di alas jati, menemui pekubon-pekubon cerik (gubuk-gubuk kecil) dengan nama “teges” yang artinya “jati” yaitu wilayah Banjar Teges, Desa Peliatan sekarang. Dari “teges” beliau terus melanjutkan perjalanan ke utara pada suatu tempat yang tinggi yang disebutnya “gunung sari”. Beliau kagum dengan keindahan alam dan tumbuhnya beraneka ragam bunga yang menebarkan bau harum. Sekarang di sekitar tempat itu ada subak yang namanya
“subak
sekembang”. Dalam perjalanannya ke utara menelusuri “alas andong” di sekitar Banjar Ambengan sekarang, beliau menemukan mata air yang mampu menyembuhkan segala penyakit yang disebut “tirta tawar”, yang oleh masyarakat setempat sungai itu sekarang disebut Tukad Tawe. Konon masyarakat Peliatan sampai sekarang masih banyak yang mandi di sungai tersebut untuk mohon kesembuhan dari berbagai penyakit. Karena mengagumi alamnya yang indah dengan aneka ragam bunga-bunga yang harum, dan tirta tawarnya, sangat cocok dihuni oleh penduduk di sekitarnya, kemudian pondok-pondok itu diberi nama Desa Peliatan, yang artinya melihat atau memandang di sekitarnya karena penuh keindahan dan kedamaian (Wawancara dengan I. B. Sugata, mantan Bendesa Adat /Pakraman Peliatan, 9 Oktober 2007).
16
Dari segi pemeritahan, Peliatan di masa lampau dipimpin oleh dalem yang masih keturunan “Dalem Waturenggong”, yang bermula dari Kerajaan Sukawati kemudian membangun istana di Desa Peliatan, tertulis dalam Surya Sangkala Pura Dalem Puri bergambar padma dengan angka tahun 1840 Masehi. Pada masa tersebut menunjukkan adanya pelapisan sosial dalam masyarakat sesuai dengan peran dan kekuasaan, yang dikenal dengan kasta antara lain brahmana, kesatria, waisya dan sudra. Brahmana, kesatria, dan waisya disebut dengan istilah tri wangsa, sementara itu sudra dikenal dengan sebutan jaba (Soelaeman, 2001 : 135). Sebagai bukti dari masa pemerintahan Dalem Sukawati, dengan mendirikan Pura Dalem Puri yang bertempat di Banjar Tebesaya Desa Peliatan. (Wawancara dengan I. B. Sugata, mantan Bendesa Adat/Pakraman Peliatan, 9 Oktober 2007). 4.1.2 Kondisi Geografis Desa Peliatan Secara geografis Desa Peliatan terletak pada 8° 36,30” LS dan 115° 21,05” BT. Wilayah Peliatan tergolong daerah dataran dengan ketinggian antara 350-500 meter di atas permukaan laut. Keadaan iklimnya tergolong beriklim tropis agak lembab sehingga temperatur pada musim hujan tidak jauh berbeda dengan musim kemarau. Ditinjau dari jenis tanah, wilayah Desa Peliatan tergolong jenis tanah lempung berpasir dan secara hidrografi termasuk daerah basah. Kondisi ini menyebabkan kelembaban uadara cukup tinggi, sehingga keadaan cuaca sedang, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin (Profil Pembangunan Desa Peliatan, 2001/2002 : 1). Desa Peliatan memiliki batas-batas wilayah antara lain, di sebelah utara Desa Petulu, sebelah barat Desa Ubud, sebelah selatan Desa Mas, dan di sebelah
17
timur Desa Pejeng. Desa Peliatan terdiri dari 10 dusun/banjar membentang dari arah utara ke selatan yakni, Banjar Tebesaya, Banjar Ambengan, Banjar Pande, Banjar Taruna, Banjar Tengah Kangin, Banjar Tengah Kauh, Banjar Kalah, Banjar Teges Kawan, Banjar Yangloni dan Banjar Teges Kangin. Dalam konteks desa pakraman, Desa Peliatan terdiri dari dua desa pakraman yakni Desa Pakraman Peliatan dan Desa Pakraman Teges Kangin (Profil Pembangunan Desa Peliatan, 2001/2002 : 2). 4.1.3 Mata Pencaharian Desa Peliatan memiliki sumberdaya alam yang sangat potensial bila dikembangkan dan dijadikan sumber mata pencaharian penduduk. Mata pencaharian penduduk Desa Peliatan ada di beberapa sektor antara lain sebagai berikut. Sektor pertanian, dalam hal ini pertanian lahan basah tetap menjadi mata pencaharian sebagian penduduk desa, meskipun telah terjadi perubahan fungsi lahan di beberapa wilayah subak menjadi tempat hunian, toko seni, museum, restauran, dan penginapan. Areal persawahan di Desa Peliatan kini masih cukup luas, dengan menerapkan pola pergiliran tanaman padi dan palawija yang bertujuan untuk tetap menjaga kesuburan tanah. Pertanian lahan kering terutama tegalan dan pekarangan tersedia cukup luas, ditanami berbagai jenis buah-buahan lokal seperti pisang, kelapa, mangga, dan pepaya, sangat menunjang pendapatan penduduk Desa Peliatan. Industri kerajinan/seni pahat menjadi mata pencaharian andalan masyarakat Peliatan karena sebagian besar penduduk menekuni bidang ini, dan menunjukkan
18
perkembangan cukup signifikan dari tahun ke tahun. Hal ini bisa dilihat dari adanya peningkatan jumlah pemilik usaha kerajinan baik bersekala besar maupun kecil. Pemilik kerajinan bersekala besar pada tahun 2001 bejumlah 611 buah kemudian pada tahun 2002 menjadi 617 buah, dan pemilik usaha industri kecil juga mengalami peningkatan cukup signifikan yakni dari 10 buah menjadi 21 buah. Meningkatnya minat generasi muda yang berkecimpung dalam bidang seni pahat dan kerajinan, bisa mengurangi jumlah penggangguran. Dalam bidang seni pahat Desa Peliatan memiliki sejumlah pematung ternama seperti
Wayan Ayun,
Pande Wayan Neka, I Nyoman Togog, Mangku Nyoman Sadu, dan I Wayan Winten. Dari sejumlah seniman patung tersebut, I Wayan Togog dan Mangku Nyoman Sadu bahkan sudah pernah menerima penghargaan Upakerti, sedangkan I Wayan Winten pernah menerima penghargaan Wija Kesuma dari Pemerintah Kabupaten Gianyar. Sektor pariwisata menjadi pendapatan utama masyarakat Desa Peliatan dengan segala potensi keunikannya, terutama dalam kreativitas seni yang cukup menonjol dan sudah dikenal secara global. Di desa ini banyak terlahir senimanseniman besar antara lain, dalam bidang seni tari seperti A.A. Gde Mandra, Gusti Biyang Sengong, dan A.A. Oka Dalem. Dalam bidang seni kerawitan memiliki seniman kondang seperti I Made Lebah, I Nyoman Regog, dan I Wayan Gandra. Sementara itu, dalam bidang seni lukis dan seni patung, Desa Peliatan memiliki seniman besar seperti Ida Bagus Made, I Wayan Turun, I Wayan Ayun, Pande Wayan Neka, I Nyoman Togog, Mangku Nyoman Sadu, dan I Wayan Winten. Adanya sarana dan prasarana yang sangat memadai seperti museum dan gallery
19
sebagai tempat ajang pameran karya seni rupa, dan stage sebagai tempat pementasan seni pertunjukan yang bertempat di depan Kori Agung Puri Peliatan, sangat menunjang tumbuh dan berkembangnya kreativitas seni para seniman di Desa Peliatan, sekaligus sebagai daya tarik wisata. Adanya berbagai atraksi kesenian dan budaya meyebabkan banyak wisatawan mancanegara maupun domistik berkunjung ke Desa Peliatan, sehingga banyak masyarakat Desa Peliatan bekerja di sektor pariwisata sebagi pemandu wisata, penyediaan barang souvenir, bekerja di museum, gallery dan restouran, yang kemudian menjadi sumber penghasilannya. (Profil Pembangunan Desa Peliatan, 2001/2002 : 3). Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa Desa Peliatan telah mencapai tingkat kesejahteran yang cukup baik. Hal ini bisa dilihat melalui keadaan wilayah dan kondisi lingkungan pemukiman penduduk dan tingkat pendapatan masyarakatnya. Indikator yang mendukung tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Peliatan dikaitkan dengan adanya sarana dan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, jalan aspal, pasar desa, transportasi, hiburan, dan akomodasi yakni home stay, bongalow, art shop, gallery, dan museum. 4.2 Sekilas Tentang Perkembangan Seni Patung Bali Kebudayaan dan kesenian Bali hidup dan berkembang terus sejalan dengan sejarah Bali itu sendiri. Berbagai pengaruh budaya luar yang berakulturasi dengan kebudayaan Bali terus berlanjut, tetapi kebudayaan dan kesenian Bali tidak kehilangan jati dirinya, melainkan tetap
tumbuh dan berkembang
dengan
menunjukkan ciri-cirinya yang khas. Kesenian terutama seni patung adalah
20
sebuah sejarah yang tidak hanya tumbuh di Bali, melainkan juga di tempat-tempat lain yang kehadirannya menunjukkan suatu masa tertentu, baik pada masa prasejarah dengan gaya sederhana (primitif), masa klasik, maupun modern (Anonim, 1979 : 22). Dengan demikian keberadaan dan perkembangan seni patung Bali bisa dibedakan sebagai berikut: 4.2.1 Seni Patung Gaya Sederhana (primitif) Ciri gaya statis monumental yang kaku adalah ciri dasar seni patung prasejarah. Pada masa ini diyakini adanya kehidupan setelah kematian, sehingga mereka membuat patung perwujudan sebagai penghubung dua dunia tersebut. Ciri dasar ini diwariskan pada generasi selanjutnya yang masih membekas pada karyakarya patung gaya sederhana seperti mbis atau korwar dari Irian Jaya, boneka sigale-gale dari Samosir, tau-tau dari Tana Toraja, dan lembu dalam tradisi ngaben di Bali (Yudoseputro dalam Parta, 2004 : 2-3). Seni patung sederhana di Bali berkembang pada masa prasejarah terutama, masa bercocok tanam, dimana masyarakat telah mempunyai tempat tinggal yang tetap, serta kebutuhan sehariharinya sudah terpenuhi (Widia, 1991 : 2). Adanya desakan inspirasi untuk mewujudkan karya seni yang bersumber pada penghormatan roh leluhur, sehingga terciptalah patung sederhana berupa kedok pada sarkopagus yang diyakini memberikan perlindungan (Sutaba dalam Widia, 1990 : 2). Beberapa patung sederhana tersebut ditemukan antara lain di Desa Poh Asem Kecamatan Seririt, Desa Depaha Kecamatan Kubutambahan, dan di Desa Trunyan Kabupaten Bangli ditemukan sebuah patung besar dan tinggi yang disebut Bhatara Da Tonta atau Ratu Gede Pancering Jagat.
21
Di Bali peninggalan patung-patung gaya sederhana dari masa megalitik banyak ditemukan pada tempat-tempat suci (pura), hal ini mengingatkan kembali terhadap pemujaan nenek moyang pada masa itu adalah sesuatu yang sangat dominan. Patung masa prasejarah terbuat dari batu padas yang dipahat sangat kasar dengan bentuk yang sangat sederhana, lahir atas dorongan rasa, akal, dan kehendak dari manusia/seniman yang masih sederhana alam pikirannya (Widia, 1991 : 10). Selain batu padas bahan lain yang digunakan dalam pembuatan patung sederhana adalah tanah liat dengan teknik calcalan yaitu suatu proses yang dilakukan melalui pijitan dan kepalan tangan, sehingga menghasilkan bentuk patung sederhana yang memiliki ciri-ciri bentuk bulat, mata bundar, dalam posisi duduk, telanjang bulat dengan kemaluan yang menonjol. Seni patung dengan medium tanah lihat ini terdapat di Desa Pejaten Kabupaten Tabanan, di Desa Ubung Kabupaten Badung, dan di Desa Jasi Kabupaten Karangasem. Sementara itu, patung gaya sederhana (primitif) yang terbuat dari material kayu terdapat di Kintamani Kabupaten Bangli, yang menggambarkan empat buah bentuk patung sederhana yaitu dua orang laki-laki dan dua orang perempuan berpegangan yang menghadap ke empat penjuru, sebagai sendi atau tugeh bale (tiang penyangga bagian atap bangunan) (Widia, 1991 : 16). Seni patung gaya sederhana yang terbuat dari kayu kemudian berkembang di Desa Sebatu, Kabupaten Gianyar yang lebih dikenal dengan patung primitif gaya “Cokot”. Patung jenis gaya sederhana ini memiliki karakter yang khas, yang terinspirasi dari bentuk rerajahan yang terdapat pada lontar-lontar Bali, dan tema-tema mitologis Hindu dengan ciri-ciri bentuknya polos (primitif), ekspresi
22
spontan, pahatannya kasar, dengan karakter yang menakutkan (Kusnadi dalam Suradi, 1984 : 27). Akar-akaran kayu dimanfaatkan dalam mewujudkan suatu bentuk patung sederhana dengan tema-tema mitologis yang mengandung arti magis seperti bentuk kadal, unen-unen dalem, yang bernuansa lokal. Senimanseniman yang menonjol sebagai penerus seni patung primitif gaya “Cokot “adalah anak-anak dari Nyoman Tjokot seperti Ketut Nongos, I Wayan Dini, dan Wayan Sawat, dari Banjar Jati, serta I Nyoman Jumu dan Ketut Lodin dari Banjar Jasan Tegallalang (Anonim, 1982 : 8). 4.2.2 Seni Patung Gaya Klasik Tradisional Seni patung klasik tradisional merupakan kelanjutan dari seni patung masa prasejarah yang berbentuk arca perwujudan dari roh leluhur yang bersifat religius magis. Masuknya pengaruh Hindu dan Buddha ke Indonesia merupakan asimilasi kebudayaan India yang dibawa oleh pedagang dan pendeta Hindu-Buddha dari India. Kedua sistem keagamaan ini mengalami akulturasi dengan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya di Indonesia yaitu penyembahan terhadap arwah nenek moyang/leluhur. Sehingga keberadaannya kerap tumpang tindih bahkan terpadu ke dalam pemujaan-pemujaan sinkretisme Hindu-Buddha (Claire Holt dalam Soedarsono, 2000 : 15). Seni patung pada masa sebelumnya berlandaskan pada pemujaan arwah nenek moyang/leluhur, yang diwujudkan dalam bentuk polos (primitif) dengan teknik pahat yang kasar, mengalami transformasi mengikuti seni patung India yang berladaskan “tradisi” yang bersumber pada kitab Silpasatra. Sehingga terjadilah pembaharuan dalam seni patung yang disesuaikan dengan tradisi Silpasatra tersebut.
23
Berkembangnya kreativitas seni para pematung Indonesia, menunjukan tidak terjadinya peniruan semata. Kaidah-kaidah seni patung India yang bersumber dari Silpasastra mengalami penafsiran baru, sehingga muncul bentukbentuk patung klasik yang lebih dekoratif, hal ini dapat dilihat pada seni patung ataupun seni relief yang ada pada dinding candi Hindu-Buddha baik yang ada di Jawa maupun Bali(Yudoseputro dalam Parta, 2004 :5). Adanya pengaruh agama Hindu di Bali, maka seni arca Bali mencerminkan perwujudan dewa-dewa Hindu, baik Siwaisme maupun Buddhisme. Pengaruh ini memperkaya seni patung Bali yang sebelumnya memang telah ada sejak masa prasejarah. Akibat dari pengaruh Hindu ini munculah arca-arca perwujudan dewa sebagai media menghubungkan diri dengan Tuhan. Arca-arca perwujudan dewa dibuat dalam berbagai manifestasinya,
seperti Dewa Brahma, Wisnu, Siwa,
Ganesa, dan Buddhis, disamping arca perwujudan roh leluhur yang telah disucikan (Anonim, 1991 : 4). Di Bali, seni patung bisa dibedakan menjadi arca, pratima, bedogol dan togog. Arca dan pratima keduanya merupakan penggambaran dewa/dewi dan bhatara dalam bentuk patung miniatur yang digunakan sebagai sarana konsentrasi pikiran yang ditujukan kepada Tuhan dengan segala manifestasinya. Perbedaan antara arca dan pratima hanya dalam segi ukuran dan bahan yang digunakan. Arca biasanya dalam ukuran yang lebih besar, umumnya terbuat dari kayu pilihan seperti cendana, cempaka, dan kayu nangka. Sementara itu pratima umumnya lebih kecil terbuat dari emas, perak, dan uang kepeng. Namun masih terdapat sebutan lain seperti pralingga, petapakan yang dianggap sebagai linggih (sthana)
24
dewa/dewi berupa batu indah. Baik arca, pratima, pralingga maupun petapakan ditempatkan pada tempat suci (pura) yang berfungsi sakral (Linus, 1985 : 5, Titib, 2001 : 64). Bedogol adalah patung yang terbuat dari batu padas atau kayu, dan biasanya dibuat dalam ukuran besar. Dilihat dari segi penempatannya, nampaknya bedogol memiliki fungsi magis dan juga dekoratif. Sedangkan togog adalah adalah patung yang memiliki ukuran lebih kecil bila dibandingkan dengan bedogol, togog tidak berfungsi magis, tetapi lebih pada fungsi dekoraif (Linus,1985 : 5, Anonim, tt : 5). Dalam perkembangan selanjutnya patung ini digolongkan ke dalam patung klasik atau tradisional, dengan ciri proporsi dan anatomi yang ideal, pahatan yang halus dan penuh ornamen (hiasan). Perwujudannya terinspirasi dari figur dewa-dewa Hindu, dan figur-figur legendaris lainnya yang bersumber pada kepercayaan masyarakat. 4.2.3 Seni Patung Gaya Bali Modern Seni patung Bali modern merupakan pengaruh Barat, sebagai akibat adanya kontak langsung dengan dunia Barat sekitar abad ke- 18 Masehi. Hal ini bisa dilihat pada beberapa temuan patung realis seperti di Kerthagosa Klungkung, Karangasem, Gianyar, dan Badung, yang mengambarkan orang Eropa, orang Cina, dan seorang ibu sedang menyusui anak yang dipahat secara realis (Anonim, 1982 : 9). Seni patung Bali modern secara melembaga muncul ketika terbentuknya organisasi pelukis dan pematung Bali. Rudolf Bonnet seorang pelukis Belanda yang telah menetap di Bali sejak tahun 1928 bersama Walter Spies seorang
25
pelukis kelahiran Jerman dan Tjokorda Gede Agung Sukawati, seorang bangsawan pencinta seni pada tahun 1935 mendirikan perkumpulan pelukis dan pematung Bali yang bertempat di Ubud dengan nama Pita Maha. Sejak saat itu seni seni lukis dan seni patung Bali mulai menemukan bentuknya yang baru (Sudarta, 1975 : 21). Pita Maha bertujuan untuk memajukan kesenian Bali dengan memanfaatkan seniman asing seperti Rudolf Bonnet dan Walter Spies, untuk membina seniman Bali dalam teknik memahat, melukis dengan penerapan unsur-unsur baru baik dari segi komposisi, anatomi, perspektif dan pewarnaan yang memperlihatkan pengaruh akademis Barat dalam seni lukis maupun seni patung Bali yang sebelumnya secara historis belum pernah ada. Selain hal tersebut juga terjadi perluasan tema tidak hanya tema-tema pewayangan seperti terdapat dalam Mahabharata, akan tetapi sudah mulai mengungkapan tema-tema mengenai kehidupan sehari-hari (Kate, 2004 : 82). Secara otomatis seniman luar dijadikan patron atau guru oleh seniman lokal ( Couteu, 2004 : 5). Seniman Bali yang terkenal kreatif, adaptif, fleksibel, dengan cepat bisa mengelaborasikan nilai-nilai modern dengan muatan nilai-nilai tradisional sehingga menghadirkan bentuk-bentuk baru seperti realis, naturalis, dan surealis, yang memperlihatkan identitas kelokalannya, yang sering disebut seni patung Bali modern (Suryadi, 2004 : 18). Sementara itu seniman-seniman lokal yang potensial ketika itu adalah I Gusti Nyoman Lempad, Ida Bagus Gelodog, Ida Bagus Nyana, dan I Nyoman Tjokot. Karya-karya seniman tersebut menjadi tonggak penting dalam perkembangan seni patung Bali modern yang hingga kini masih tetap ditekuni para seniman Bali.
26
4.3 Proses Penciptaan Seni Patung Dengan Material Beton Dalam mewujudkan seni patung beton melewati tahapan-tahapan sebagai berikut. : 4.3.1 Pembuatan Gambar Sketsa Dalam pembuatan sketsa beorientasi pada tema dan narasi yang disajikan, sehingga mewakili karakter tokoh yang akan diwujudkan seperti misalnya dalam bentuk patung kelompok. Proses penggambaran tersebut telah mempertimbangkan bentuk dan wujud, gerak, proporsi, komposisi, dan fungsi dengan skala 1 : 50. Gambar sketsa dan skala dalam membuat patung yang bersifat monumental sangat diperlukan, untuk menghidari kesalahan dalam penentuan proporsi ukuran, komposisi, dan penerapan elemen-elemen dekoratifnya, sehingga terwujud karya yang harmonis antara bagian-bagian secara keseluruhan (Wawancara dengan Winten, 9 oktober 2005). 4.3.2 Pembuatan Maket (Miniatur) Dalam mewujudkan patung yang utuh dan proporsional, diperlukan maket (miniatur) dengan skala 1 : 50. Dalam membuat maket melalui beberapa tahapan, yaitu (1) membuat kontruksi rangka dengan besi dan kawat jaring yang dibentuk mendekati figur-figur patung yang diwujudkan, (2) kerangka kawat dicor beton campuran halus, kemudian dibentuk dengan menambah campuran pasir halus dan semen secara terus menerus dengan alat cetok, palet, pahat dan butsir sehingga terbentuk karakter dan wujud patung yang diinginkan, (3) patung yang sudah terbentuk setengah jadi disempurnakan lagi dengan tumpukan campuran semen dan mil, sampai menemukan bentuknya yang sempurna lengkap dengan detail
27
hiasannya, (4) setelah kering, maket (patung miniatur) diberi warna biasanya menggunakan warna putih, abu-abu tua dan warna kuning emas. Maket (patung miniatur) ini nantinya dijadikan acuan dalam menyelesaikan karya patung yang sesungguhnya (Wawancara dengan Sedan Suputra, 9 Oktober 2007). 4.3.3 Pembuatan Konstruksi Rangka Patung Dalam membuat patung yang berukuran besar diperlukan konstruksi yang kuat untuk menopang getaran, di samping menjamin kekuatan dari patung tersebut, menggunakan konstruksi dengan sistem beton bertulang memakai kombinasi besi ukuran 16 mm, 13 mm, 10 mm, dan 6 mm, dengan kedalaman pondasi disesuaikan dengan ukuran besar patung dan keadaan tanah pada tempat patung diabadikan. Pondasi dicor beton bertulang, kemudian setelah kering dilanjutkan dengan pembuatan kerangka patung dengan konsruksi besi dan kawat jaring untuk memudahkan dalam pembentukan figur dari masing-masing tokoh. Pada bagianbagian kerangka konstruksi yang diperhitungkan memegang peranan penting sebagai penyangga patung, dibungkus dengan kawat jaring dan dicor penuh dengan beton, seperti penyangga badan, kaki, lutut, pergelangan tangan, bahu, dan lain-lain. Kerangka yang dikombinasikan dengan kawat jaring dibentuk sesuai figur dengan memperhatikan gerak, proporsi, komposisi, dan anatomi dan mengacu pada maket. Hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah areal tempat, fungsi, jarak pandang sehingga terjalin keharmonisan dengan lingkungan (Wawancara dengan Winten, 9 Oktobor 2007).
28
4.3.4 Pengecoran Rangka Patung Pengecoran beton diterapkan pada bagian pondasi dan rangka dengan memperhitungkan kekuatan konstruksi patung melalui cor beton penuh. Kemudian pengercoran tidak penuh diterapkan pada bagian yang tidak memegang konstruksi atau kekuatan penting. Campuran beton yang dipergunakan sudah dipertimbangkan baik kualitas maupun ketahanannya. Diperlukan kehati-hatian dalam proses pengecoran kerangka karena sudah dibentuk sesuai figur untuk mendapatkan bentuk, anatomi, proporsi yang sesuai dengan wujud yang divisualisasikan (Wawancara dengan Winten, 9 Oktober 2007). 4.3.5 Tahap Pembentukan Pada tahap pembentukan patung menggunakan campuran pasir halus dan semen, 4 : 1 dilakukan dengan menambah adonan pasir semen secara bertahap menggunakan alat cetok kecil atau palet pada bagian bentuk rangka yang sudah dicor untuk mendapatkan bentuk/wujud yang diinginkan. Dalam pembentukan selalu mempertimbangkan gerak, anatomi, proporsi, komposisi, tekstur dan hiasannya. Apabila terjadi kesalahan dalam pembentukan bisa diatasi dengan mengurangi bagian tertentu yang tidak sesuai dengan memperbaiki atau membentuknya kembali sehingga tercapai bentuk yang dikehendaki sesuai dengan karakter tokoh yang diwujudkan (Wawancara dengan Purna, 9 Oktober 2007). 4.3.6 Penyelesaian Bentuk dan Detail Hiasan Penyelesaian bentuk patung dengan menerapkan bahan campuran mil, semen, dan batu teraso dengan perbandingan 3 : 1 : 2 diterapkan secara transparan pada permukaan patung yang sudah terbentuk. Penerapan campuran ini dilakukan
29
secara cermat, telaten, sehingga bisa melapisi semua permukaan secara merata dengan tetap memperhitungkan bentuk, anatomi, proporsi, komposisi, dan penerapan tekstur yang tepat, dalam membentuk karakter figur yang sesuai dengan ide penciptaan. Tahapan terakhir membuat tekstur dan aksen pada bagianbagian tertentu seperti bulu pada dada, kumis, alis, rambut, draperi kain, dan membuat detail hiasannya. 4.4 Perkembangan Seni Patung Beton Di Desa Peliatan Perkembangan seni patung beton yang ada di Desa Peliatan tidak terlepas dari pengaruh sosok I Wayan Winten yang sudah menkuni seni patung dengan material beton dimulai sejak tahun 1992 yakni membuat patung penari, yang menghiasi pertigaan Br Teges Desa Peliatan. Tahun 1994 membuat patung Satria Gatot Kaca yang ada di Kuta. Tahun 1995 membuat patung Dewa Wisnu, Garuda, Kalarau dan Dewi Ratih yang menghiasi Taman Ciung Wanara Kota Gianyar. Tahun 1995 membuat patung Dewa Indra di pertigaan Tegal Tugu Gianyar. Tahun 1995 membuat patung Dewi Natha yang menghiasi pertigaan Semabaung Gianyar. Tahun 1996 membuat patung Kapten Mudita di Kota Bangli. Tahun 1996 membuat patung Dewa Ruci di Simpang Siur Kuta. Tahun 2002 membuat patung Betara Tiga di pertigaan Manguntur Batubulan. Tahun 2003 membuat patung Sutasoma di pertigaan Ubud, dan sejumlah karya patung beton lainnya, baik patung tunggal maupun kelompok, tidak hanya di Bali akan tetapi juga di luar Bali.
30
Gambar 1. Patung Kalarau, dan Wisnu di atas Garuda Karya : I Wayan Winten Material : Beton Lokasi : Taman Ciung Wanara Kota Gianyar
Gambar 2. Patung Dewi Ratih Karya : I Wayan Winten Material : Beton Lokasi : Taman Ciung Wanara Kota Gianyar
31
Ketenaran sosok pematung Wayan Winten membuat generasi muda tertarik untuk belajar seni patung dengannya, baik lewat pendidikan non formal maupun formal, karena I Wayan Winten disamping sebagai seniman, juga sebagai seorang guru di SMSR, yang kini adalah SMK N I Sukawati. Mantan murid-muridnya yang sampai kini menekuni seni patung beton antara lain: 1. Komang Labda kelahiran Karangasem tahun 1969, sejak mahasiswa PSSRD Universitas Udayana yaitu pada tahun 1992 sudah bekerja dan belajar membuat patung beton pada Wayan Winten. Sebelum belajar membuat patung beton, Komang Labda adalah sebagai pelukis. Banyak pengalaman berkarya diperolehnya selama bekerja dan belajar, mulai dari membuat maket, membuat konstruksi, membentuk rangka patung, teknik pengecoran beton, dan sampai pada perwujudan patung secara utuh. Selama bekerja dan belajar dengan I Wayan Winten ia telah membantu menyelesaikan patung Satria Gatot Kaca di pertigaan Tuban pada tahun 1994. Patung Dewa Wisnu, Garuda, Kalarau, dan Dewi Ratih, tahun 1995 di taman Ciung Wanara Kota Gianyar. Setelah tamat PSSRD UNUD tahun 1997 Komang Labda berkeinginan untuk bekerja mandiri, dan pada tahun 1998 menempati studio di Jalan Candra Dewi Batubulan. Medium beton memberikan kebebasan kreatif karena mudah dibentuk dengan menambah adonan pasir dan semen tahap demi tahap, menggunakan cetok, palet, dalam proses pembentukannya, pahat dan butsir dalam pembuatan detail hiasannya yang dikerjakan sangat teliti. Dengan medium
32
beton lebih memungkinkan
membuat
karya yang berukuran besar dan
bersifat monumental. Karya patung Komang Labda bertemakan Ramayana, Mahabharata, mitologi Hindu dan kehidupan sehari-hari, kebanyakan berfungsi dekoratif, seperti patung Arjuna dan Kresna sebagai elemen penghias taman hotel Komala di Kuta. Patung Garuda Wisnu sebagai elemen penghias halaman depan Bank Pembangunan Daerah Bali di Renon Denpasar. Patung Ganesa sebagai elemen penghias halaman depan SMP TP. 45 Denpasar. Patung gajah sebagai elemen penghias taman hotel Komala di Kuta.
Gambar 3. Patung Garuda Wisnu Karya : I Komang Labda Material : Beton Lokasi : Taman Depan BPD Bali Renon Denpasar.
33
2. I Ketut Suardana kelahiran Banjar Tengah Peliatan tahun 1977, sejak kecil sudah menekuni seni patung kayu pasilan (parasit). Tamatan SMSR di Batubulan, Jurusan Seni Patung, tahun 1996. Di samping belajar secara formal, Suardana juga belajar secara nonformal, yakni belajar langsung pada pematung I Wayan Winten. Tahun 1998 I Ketut Suardana mulai bekerja secara mandiri membuka studio patung di rumahnya yang berlokasi di Jalan Raya Peliatan. Karya patung I Ketut Suardana kebanyakan bertemakan kehidupan sehari-hari memperlihatkan suatu bentuk yang realis yaitu apa adanya seperti Patih Agung, Prajurit, Pemain Seruling, Gajah, Singa dan Monyet. Tema-tema tersebut diwujudkan sangat proporsional menggunakan material beton, sehingga memperlihatkan bentuk yang realis. Karya patung I Ketut Suardana kebanyakan berfungsi dekoratif seperti patih Agung dan Prajurit, sebagai elemen penghias pintu masuk rumah tinggalnya di Jalan Raya Peliatan. Patung singa bersayap mulutnya dilengkapi selang air, sebagai elemen penghias kolam hotel, dan tupai sedang makan kelapa, sebagai logo art shop Gender Mas di Jalan Raya Mas Ubud.
Gambar 4. Patung Prajurit Karya : I Ketut Suardana Material : Beton Lokasi : Depan Pintu Masuk Rumah Tinggal Ketut Suardana
34
3. I Wayan Sedan Suputra kelahiran Banjar Kalah Peliatan tahun 1976. Setelah tamat SMSR tahun 1997 Jurusan Seni Patung, kemudian bekerja dan belajar membuat patung beton di studio patung I Wayan Winten. Banyak pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya selama bekerja dan belajar, terutama proses penciptaan seni patung yang dimulai dari pembuatan sketsa, maket, konstruksi, proporsi, pembentukan kawat jaring, pengecoran, sampai terwujud karya patung secara utuh. Tahun 2003 Sedan Suputra membuka studio patung di Jalan Raya Kengetan Singakerta. Karya-karya patung Sedan Suputra bertemakan mitologi dan kehidupan sehari-hari seperti putri duyung, dan tema-tema binatang seperti gajah, rusa, dan singa. Beton menjadi medium utama dalam perwujudan karya-karya patung Wayan Sedan Suputra, karena beton mudah dibentuk dengan teknik palet, untuk menyusun terapan adonan semen sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Karya patung I Wayan Sedan Suputra juga berfungsi dekoratif sebagai elemen penghias taman, hotel, kantor pemerintahan museum dan rumah hunian.
Gambar 5 Patung Gajah Karya : I Wayan Sedan Suputra Material : Beton Lokasi : Studio Patung Sedan Suputra
35
4. I Wayan Winarta kelahiran Banjar Penataran Batuan Sukawati tahun 1974, sejak kecil sudah menekuni seni lukis, dan seni patung batu padas. Setelah tamat SMSR di Batubulan tertarik mempelajari seni patung beton, dan belajar secara langsung pada pematung I Wayan Winten di Desa Peliatan. Banyak hal yang bisa dipelajari dari sosok pematung I Wayan Winten mulai dari tahapan membuat konstruksi, membentuk kerangka, proses pengecoran, pembentukan, sampai terwujud karya patung secara utuh. Selama bekerja dan belajar dengan pematung
Wayan Winten, Winarta telah membantu mengerjakan patung
Dewa Ruci di Simpang Siur Kuta, dan pembuatan patung gajah di depan pintu masuk Perumahan Bumi Sekembang di Jalan Goa Gajah Peliatan. Pada tahun 2001 Wayan Winarta bekerja mandiri dan membuat studio patung di Jalan Raya Penida Batuan. Karya-karya patung I Wayan Winarta kebanyakan berfungsi dekoratif seperti patung Saraswati, sebagai elemen penghias taman SMP Negeri II Tianyar Karangasem. Patung putri duyung sebagai elemen penghias taman hotel dan gallery.
Gambar 6 Patung Putri Duyung Karya : I Wayan Winarta Material : Beton Lokasi : Studio Patung I Wayan Winarta
36
5. I Nyoman Purna lahir tahun 1977 di Banjar Tengah Peliatan, pada awalnya Nyoman Purna adalah pemahat kayu pasilan (parasit) yang dibentuk menyerupai kadal, kodok, dan buaya, sebagai souvenir bagi wisatawan. Sejak duduk di kelas II SMSR Nyoman Purna juga belajar secara nonformal pada pematung I Wayan Winten, yang masih satu desa dengannya. I Nyoman Purna yang sangat menguasai teknik pembuatan bentuk-bentuk binatang dengan medium beton dan penerapan teknik palet, pahat, butsir, memperlihatkan anatomi yang menggambarkan objek realis sesuai apa adanya. Ketertarikannya terhadap dunia binatang tercermin pada karya-karya patung ciptaannya seperti gajah, singa, angsa yang diwujudkan secara realis. Pada tahun 2003 Nyoman Purna ingin berkarya secara mandiri dan membuat studio patung di Jalan Raya Pengosekan Ubud. Karya-karya patung Nyoman Purna berfungsi dekoratif seperti Patung angsa sebagai elemen penghias tower Art shop Cahaya Gong di Jalan Raya Sakah Gianyar. Sedangkan patung gajah, sebagai elemen penghias kolam dan taman.
Gambar 7 Patung Gajah Karya : I Nyoman Purna Material : Beton Lokasi : Studio Patung I Nyoman Purna
37
6. Kadek Artika kelahiran Banjar Tengah Peliatan tahun1979, tamat SMSR tahun 1998. Sejak SMSR ia aktif belajar patung beton di studio I Wayan Winten yang tempatnya tidak begitu jauh dari rumahnya. Artika pada awalnya adalah sebagai pematung realis/naturalis dengan medium kayu. Setelah belajar secara akademis di SMSR baru mendapatkan teori dan teknik pembuatan patung dengan material beton. Beton adalah medium patung yang cukup bagus, karena mudah diolah atau dibentuk sesuai yang dikehendaki senimannya. Sangat berbeda dengan kayu ataupun batu padas yang dibatasi oleh ukuran, dan sangat susah memperoleh kayu dalam ukuran yang besar. Tahun 2005 Artika memilih untuk berkarya mandiri dan membuat studio di Jalan Kengetan Singekerta Ubud. Karya patung Kadek Artika kebanyakan bertemakan Saraswati dan kehidupan binatang seperti singa, harimau, dan rusa, diwujudkan secara realis yakni apa adanya sesuai objek. Karya patung Kadek Artika berfungsi dekoratif seperti patung Saraswati sebagai elemen penghias taman SMP Negeri I Ubud, dan patung rusa sebagai logo art shop Budiarsa di Jalan Goa Gajah Peliatan. Perkembangan seni patung beton di Desa Peliatan tidak hanya bisa dilihat dari kuantitas pematungnya, akan tetapi juga perkembangan bentuk, fungsi maupun maknanya bagi masyarakat. Dilihat dari segi bentuk yang merupakan hasil aktivitas baik individu maupun kelompok, dan entitas yang dihasilkan bersifat kongkret, terwujud lewat karya-karya patung beton yang bergaya realis, naturalis dan abstrak. Sementara itu, tema yang dingkat tidak hanya tema-tema pewayangan seperti Ramayana, Mahabharata, mitologi Hindu dan tantri, akan tetapi juga kehidupan sehari-hari (kehidupan sosial), sehingga
38
hadir karya patung beton yang sangat variatif. Dilihat dari segi fungsi, kehadiran seni patung beton di Desa Peliatan tidak hanya untuk kepentingan ritual pemujaan yang terwujud dalam bentuk simbol-simbol keagamaan, melainkan juga berkembang ke fungsi estetis dekoratif yakni sebagai elemen penghias taman kota, tempat rekreasi, kantor pemerintahan, hotel, museum, rumah hunian dan sebagainya. Sedangkan kalau dilihat dari segi makna telah mengalamai perkembangan tidak hanya makna keindahan akan tetapi juga makna pembaharuan dan kesejahteraan. Oleh karena karya yang terwujud memiliki nilai keindahan, nilai inovasi (pembaharuan), yakni memiliki perbedaan dengan karya-karya patung yang sudah ada sebelumnya, dan kehadiran karya tersebut mampu meningkatkan taraf kesejahteraan para pematung dan juga masyarakat pendukungnya.
39
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan Pada mulanya seni patung Bali berfungsi sebagai sarana ritual pemujaan dalam bentuk simbol perwujudan roh leluhur, dewa, Tuhan, dengan segala manifestasinya yang bersifat sakral. Jenis-jenis patung perwujudan tersebut di Bali sering disebut pratima, arca, petapakan dan pralingga. Pembaharuan yang sangat gemilang dalam seni patung Bali terjadi setelah adanya kontak langsung seniman lokal dengan seniman asing ( Barat), sehingga melahirkan bentuk-bentuk baru yang cendrung realis, naturalis dan surealis. Patung realis, naturalis dan surealis yang menggunakan material kayu kemudian berkembang pesat di Desa Mas, Kemenuh dan Desa Peliatan, dengan tokoh-tokoh pematungnya antara lain Ida Bagus Nyana, Ida Bagus Tilem, I Ketut Tulak, I Wayan Ayun, Pande Wayan Neka, I Nyoman Togog dan I Wayan Winten. Seni patung dengan material beton yang berkembang dewasa ini di Desa Peliatan keberadaannya tidak terlepas dari seni patung kayu yang sudah ada sebelumnya, karena para pematung yang menekuni seni patung beton tersebut rata-rata sudah berpengalaman dalam bidang seni patung kayu, seperti halnya Wayan Winten. Sebagai pematung yang hidup dalam lingkungan masyarakat dengan nilai-nilai budaya serta potensi seni yang menonjol, dan didukung oleh latar belakang pendidikan seni secara akademis
40
yakni SMSR
Denpasar dan PPGK Yogyakarta, menjadikannya sebagai
seniman yang kreatif dan memiliki wawasan yang luas tentang kesenian khususnya seni patung. Penelitian tentang “Perkembangan Seni Patung Beton di Desa Peliatan”, menggunakan berbagai metode
antara lain : metode
observasi, yaitu melalui pengamatan langsung ke lapangan untuk mengetahui perkembangan seni patung beton di Desa Peliatan baik dilihat dari segi kuantitas
pematung,
bentuk
karya,
fungsi
maupun
maknanya
bagi
masyarakat. Selain itu juga dilakukan pengamatan mengenai proses penciptaan seni patung beton mulai dari membuat maket (miniatur) sampai terwujudnya karya seni patung itu sendiri. Metode wawancara dilakukan mulai dari I Wayan Winten sebagai informan kunci, dan pelopor pematung beton yang ada di Desa Peliatan, kemudian baru para pematung beton lainnya yang dianggap bisa memberikan informasi berkaitan dengan masalah yang diteliti. Metode kepustakaan, dilakukan dengan menelaah sejumlah pustaka yang ada kaitannya dengan keberadaan seni patung Bali dan perkembangan seni patung beton di Desa Peliatan. Sementara itu, metode dokumentasi, yaitu pengumpulan data melalui bukti-bukti tertulis yakni berupa buku monografi Desa Peliatan, katalog pameran dan foto-foto karya seni patung. Berdasarkan data yang telah diperoleh sesuai dengan kebutuhan penelitian, maka dapatlah dijelaskan bahwa perkembangan seni patung beton yang ada di Desa Peliatan tidak terlepas dari pengaruh sosok I Wayan Winten yang sudah menekuni seni patung beton sejak tahun 1992 yakni membuat patung penari, yang menghiasi pertigaan Br Teges Desa Peliatan. Tahun 1994
41
membuat patung Satria Gatot Kaca yang ada di Kuta. Tahun 1995 membuat patung Dewa Wisnu, Garuda, Kalarau dan Dewi Ratih yang menghiasi Taman Ciung Wanara Kota Gianyar. Tahun 1995 membuat patung Dewa Indra di pertigaan Tegal Tugu Gianyar. Tahun 1995 membuat patung Dewi Natha yang menghiasi pertigaan Semabaung Gianyar. Tahun 1996 membuat patung Kapten Mudita di Kota Bangli. Tahun 1996 membuat patung Dewa Ruci di Simpang Siur Kuta. Tahun 2002 membuat patung Betara Tiga di pertigaan Manguntur Batubulan. Tahun 2003 membuat patung Sutasoma di pertigaan Ubud, dan sejumlah karya patung beton lainnya tidak hanya di Bali akan tetapi juga di luar Bali. Ketenaran sosok pematung I Wayan Winten membuat generasi muda tertarik untuk belajar seni patung dengannya, baik lewat pendidikan non formal maupun formal, karena I Wayan Winten disamping sebagai seniman, juga sebagai tenaga pengajar di SMSR, yang kini adalah SMK N I Sukawati. Mantan murid-muridnya yang sampai kini menekuni seni patung beton antara lain: Komang Labda, asal Karangasem yang saat ini menempati studionya di Jalan Dewi Candra Batubulan. I Ketut Suardana asal Banjar Tengah Peliatan, membuka studio patung di rumahnya sendiri, di Jalan Raya Peliatan, I Wayan Sedan Suputra, asal Banjar Kalah Peliatan, kini membuka studio di Jalan Raya Kengetan Singakerta Ubud. Wayan Winarta, asal Desa Batuan, membuat studio patung di Jalan Raya Penida Batuan. I Nyoman Purna, asal Banjar Tengah Peliatan saat ini membuat studio patung di Jalan Raya
42
Pengosekan Ubud. Sedangkan Kadek Artika, asal Banjar Tengah Peliatan kini membuka studio patung di Jalan Kengetan Singakerta Ubud. Perkembangan seni patung beton di Desa Peliatan tidak hanya bisa dilihat dari kuantitas pematungnya, akan tetapi juga perkembangan bentuk karya, fungsi maupun maknanya bagi masyarakat. Dilihat dari segi bentuk yang merupakan hasil aktivitas baik individu maupun kelompok, dan entitas yang dihasilkan bersifat kongkret, terwujud lewat karya-karya patung beton yang bergaya realis, naturalis dan abstrak. Sementara itu, tema yang dingkat tidak hanya tema-tema pewayangan seperti Ramayana, Mahabharata, mitologi Hindu dan tantri, akan tetapi juga kehidupan sehari-hari (kehidupan sosial), sehingga melahirkan karya patung beton yang sangat variatif. Dilihat dari segi fungsi, kehadiran seni patung beton di Desa Peliatan tidak hanya untuk kepentingan ritual pemujaan yang terwujud dalam bentuk simbol simbol keagamaan, melainkan juga berkembang ke fungsi estetis dekoratif yakni sebagai elemen penghias taman kota, tempat rekreasi, kantor pemerintahan, hotel, museum, rumah hunian dan sebagainya. Sedangkan kalau dilihat dari segi makna telah mengalamai perkembangan tidak hanya makna keindahan akan tetapi juga makna pembaharuan dan kesejahteraan. Oleh
karena
karya
yang terwujud memiliki
nilai
keindahan, nilai
pembaharuan, yakni memiliki inovasi baru yang membedakannya dengan karya-karya sebelumnya, dan pada akhirnya kehadiran karya tersebut mampu meningkatkan taraf kesejahteraan senimannya dan juga masyarakat.
43
5.2 Saran Bagi para pematung beton yang ada di Desa Peliatan diharapkan dalam berkarya seni tidak hanya mengedepankan kebebasan individual semata dalam pencapaian bentuk-bentuk baru yang berorientasi pasar, baik lokal, nasional, maupun global, tanpa memperhatikan norma-norma yang sudah ada dalam budaya Bali. Nilai-nilai budaya Bali tersebut harus tetap hidup dan menjadi spirit dalam berkarya seni, sehingga tercipta karya seni patung yang memiliki identitas lokal (jati diri), dan keberadaanya bisa diapresiasi masyarakat.
44
DAFTAR PUSTAKA Alit Suryadi, Ida Bagus. 2004. “Semua Kecendrungan Seni Patung Berpeluang di “Bali”. Denpasar : Suardi Art Activities. Budarsana, I Wayan. 2004. Harmonisasi Patung dan Taman Kota Tegaskan Jati Diri Gianyar Sebagai Daerah Seni. Bali Post. Terbitan 15 Pebruari. Budiastra, Putu. 1982. “Pameran Seni Rupa Bali Dari Masa Ke Masa” Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Covarrubias, Miguel. 1974. Island Of Bali. Kualalumpur, Oxford University Press, Jakarta, Singapore, Melbourne. Couteu, Jean. 2003. “Wacana Seni Rupa Bali Modern” Paradigma dan Pasar. Yogyakarta : Yayasan Seni Cemeti. Djelantik, AA M. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Geriya, I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XX. Denpasar : Unit Percetakan Bali. Kaplan, David dan Albert A. Manners. 1999. Teori Budaya. Penterjemah Landung Simatupang. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Linus, I Ketut. 1985. “Beberapa Patung Dalam Agama Hindu” : Sebuah Pendekatan Dari Segi Arkeologi”. Moerdowo, R.M. 1967. Seni Budaya Bali (Balinese Art and Culture). Surabaya : Fadjar Bhakti. Ngidep Wiyasa, I Nyoman. 2006. Pengaruh Gaya Patung I Wayan Winten Terhadap Seni Patung Beton di Kabupaten Gianyar : Perspektif Kajian Budaya. Tesis Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana. Poerwadarminta, 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Redig I Wayan, 1997. Ciri-ciri Ikonografi Beberapa Arca Hindu di Bali (Studi Banding Dahulu dan Sekarang). Dinamika Kebudayaan Bali, Denpasar : Upada Sastra.
45
Soedarso, Sp. 1990. Tinjauan Seni Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni. Yogyakarta : Saku Dayar Sana. Soedarsono, RM. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni Di Indonesia, Sebuah terjemahan buku Claire Holt (Art In Indonesia : Continuities and Change) Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Sardar, Ziauddin dan Borin Van Loon. 2001 Mengenal Cultural Studies for Beginner. Penterjemah : Aifathri Aldin, Bandung : Mizan. Sedyawati, Edi. (ed). 1983. “Seni Dalam Masyarakat Indonesia”. Bunga Rampai. Jakarta : Gramedia. Susanto, Mikke. 2002. Diksi Rupa. Yogyakarta : Kanisius Sachari, Agus. 2004. Estetika Makna Simbol dan Daya. Bandung : ITB. Sriyoga Parta. 2004. Pameran Patung Konstruksi # 1 Diantara Jejak Masa Lalu dan Hari ini. Denpasar : Suardi Art Activities. Sukawati, Tjokorda Raka. 2004. “Patung Pematung dan Masa Depannya di Bali” Denpasar : Suardi Art Activities.
46