TESIS
SENI LUKIS MANDALA OLEH I DEWA NYOMAN BATUAN DI DESA PENGOSEKAN UBUD – GIANYAR
I MADE RUTA
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastyastu Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rakhmat dan karunia-Nya tesis ini dapat terselesaikan. Tesis ini berjudul “Seni Lukis Mandala Gaya I Dewa Nyoman Batuan di Desa Pengosekan, Ubud, Gianyar”. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar megister pada Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana dalam studi pengkhususan
estestika. Dalam mewujudkan tesis ini banyak hambatan yang
penulis hadapi, terutama karena keterbatasan pengetahuan, baik dibidang teori, kemampuan meneliti, dan kemampuan penguasaan teknologi. Berkat bantuan, dorongan, bimbingan, dukungan, dan pengarahan berbagai pihak, akhirnya hambatan dan kesulitan tersebut dapat diatasi. Atas jasa semua pihak yang sangat berharga itu, penulis menghaturkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: -
Bapak Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., M.A., selaku pembimbing I, dan penguji yang telah banyak mengorbankan waktu dan pikirannya
untuk
memberikan bimbingan, petunjuk-petunjuk, motivasi, serta saran dengan sabar, penuh rasa kekeluargaan dalam proses penyusunan tesis ini. -
Bapak Prof. Dr. I Made Suastika, S.U, selaku pembimbing II, dan penguji yang telah memberikan bimbingan, masukan dan tuntunan dengan penuh kesabaran serta penuh rasa kekeluargaan dalam proses penyusunan tesis ini.
ii
-
Bapak dan Ibu Dosen penguji pada sidang Tugas Akhir, Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana yang telah memberikan pengujian, penilaian, serta mengoreksi dengan cermat dan teliti terhadap tesis ini, yakni: Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M. Si, Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S, dan Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum
-
Bapak Ketua Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana, Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M. Si yang telah melayani segala kebutuhan administrasi yang diperlukan serta saran dan msukannya dalam proses penyempurnaan tesis ini.
-
Direktur Progran Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr.dr. A.A. Sudewi, Sp, S (K) yang memberikan fasilitas dan perhatian penuh sampai penulisan tesis ini.
-
Rektor Universitas Udayana yang telah menyediakan segala fasilitas selama proses pendidikan di Program Magister (S2) Kajian Budaya.
-
Rektor ISI Denpasar atas ijin yang telah diberikan untuk melanjutkan studi ke tingkat magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana.
-
Semua dosen dan pegawai di lingkungan Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya, Universitas Udayana, yang telah membantu kelancaran studi pada masa perkuliahan berlangsung sampai penulisan tesis ini.
-
Kepala Desa Mas, Ubud, beserta stap yang telah dengan senang hati dapat menerima kehadiran penulis dan memberikan data-data desa yang sangat berguna dalam penulisan tesis sampai selesai.
-
Bapak I Dewa Nyoman Batuan (almarhum) beserta keluarga, yang telah dengan tekun, sabar, tulus, serta dengan rasa kekeluargaan yang sangat baik membantu kelancaran penulisan tesis ini. iii
-
Para informan yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi yang sangat bermanfaat sebagai bahan dalam penyusunan tesis ini.
-
Keluarga, isteri, dan anak-anak yang setia mendapingi dengan segala pengorbanan, motivasi, serta doanya secara ikhlas, sehingga tesis ini terwujud.
-
Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Progaram Studi Kajian Budaya Universitas Udayana, angkatan 2008/2009, atas dorongan dan motivasinya selama perkuliahan dan penyusunan tesis ini.
-
Sahabat dan semua pihak, yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan baik moril maupun materiil hingga tesis ini terwujud. Semoga amal dan budi baik yang telah diberikan kepada penulis mendapat
pahala yang setimpal dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya dengan segala keterbatasan, dan kekurangan serta dengan kerendahan hati penulis persembahkan kepada para pembaca yang budiman dengan harapan semoga ada manfaatnya terutama bagi kazanah ilmu pengetahuan dibidang budaya.
Denpasar, 24 Pebruari 2015
Penulis
iv
ABSTRAK Seni lukis adalah salah satu cabang seni rupa yang mengalami kehidupan sangat dinamis di Bali. Seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan merupakan karya seni (lukis) yang unik dan memiliki ciri khas tersendiri. Ide dan kreativitas I Dewa Nyoman Batuan terinspirasi oleh situasi dan kondisi lingkungan alam beserta isinya, serta merupakan hasil kotemplasi atau renungan terhadap hidup dan kehidupan yang berlandaskan agama Hindu yang diyakini selama hidupnya. Penelitian seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan dikaji dengan fokus tiga rumusan masalah yakni (1) bentuk seni lukis mandala, (2) faktor-faktor yang mendorong penciptaan seni lukis mandala, (3) makna seni lukis mandala. Adapun penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Data yang berkaitan dengan masalah tersebut di atas dikumpulkan dengan teknik wawancara, observasi, studi kepustakaan, studi dokumentasi. Analisis data dipertajam dengan teori estetika, teori struktural, teori perubahan, dan teori semiotika. Keempat teori ini dijadikan pisau analisis dengan masing-masing penggunaannya dalam menjawab permasalahan tersebut.Hasil penelitian ditemukan bahwa bentuk seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan murni merupakan ungkapan ide, gagasan, serta pengalaman pribadinya yang digubah secara bebas dengan mengkombinasikan gaya tradisional dan gaya modern. Hasil perpaduan kedua gaya tersebut (tradisional-modern) melahirkan kreasi baru yang sangat khas dalam pola-pola abstrak-simbolik. Bentuk seni lukis mandala meliputi garis, bidang, ruang, warna, dan tekstur. Struktur seni lukis, terdiri atas komposisi, proporsi, kesatuan (unity), keseimbangan (balance), irama (ritme), pusat perhatian, penonjolan dan kontras. Wawasan yang luas dan progresif dibarengi dengan bakat, kreatif, dan kebebasan berkarya merupakan faktor internal yang paling dominan mendorong lahirnya kreasi-kreasi baru dari I Dewa Nyoman Batuan. Religiusitas merupakan hal yang membantu proses pematangan diri dalam menjalani hidup yang tercermin dalam karya-karyanya yang bersifat agamais. Hal-hal lain, seperti lingkungan, apresiasi masyarakat, pariwisata, galeri dan kolektor merupakan faktor eksternal yang sangat kuat pula yang memacu IDewa Nyoman Batuan antuk selalu berkreasi. Karya hasil dari kedua dorongan, internal dan eksternal tersebut di atas benar-benar melahirkan kreasi baru, yang unik, mempunyai ciri khas tersendiri, individulistis dan modern. Berkenaan dengan makna seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan meliputi makna simbolis, makna religi, makna pembaharuan, dan makna sosial budaya. Semua makna tersebut di atas dapat dipahami dengan jelas. Secara visual seni lukis mandala menampilkan bentuk-bentuk simbol tentang nilai-nilai adat, budaya dan ajaran agama. Mengenai makna pembaharuan, seni lukis mandala adalah karya seni tradisional yang mampu mengadakan terobosan, keluar dari polapola yang mengikat dalam penciptaan dengan tidak meninggalkan ciri khas dari seni lukis tradisional itu sendiri, sehingga seni lukis mandala merupakan corak atau gaya seni lukis tradisional baru yang ikut menambah khasanah seni lukis Bali khususnya, dan seni lukis Indonesia pada umumnya. Kata kunci: Seni lukis, Mandala, I Dewa Nyoman Batuan. v
ABSTRACT The art of painting is one of fine arts that has dynamic development in Bali. The art of Mandala painting by I Dewa Nyoman Batuan is a unique creation and it has characteristics. The idea and creativity of I Dewa Nyoman Batuan was inspired by the situation and condition of the environment, and it was the result of the contemplation or meditation about a life which base on Hinduism that believed during his life. The art of Mandala painting research by I Dewa Nyoman Batuan was investigated by focusing on thre problem, those are (1) the form of the art of Mandala painting, (2) the factors that encourage the creation of the art of Mandala painting, (3) the meaning of the art of Mandala painting. The research was done by using qualitative method, the data was collected using interview, observation, literature study, and documentation study. The data analysis was spported by aesthetics theory, structural theory, alteration theory, and semiotic theory. Those four theories were used to do the analysis base on its usage in answering the problem. The result of research found that the form of the art of Mandala painting was purely the expression of the idea, concept and his experience which composed by using the combination of traditional style and modern style. The result of both merger of style (traditional-modern) created a new creation which was very exclusive in abstact-symbolic pattern. The form of the art of Mandala painting covered border, area, space, color, and teksture. The structure of the art of painting includes compostion, proportion, unity, ritme, main attention, conspicuouness, and contrast. Wide concept and progressive coinded with trace, creativity, and freedom for creating were the dominant internal factor that encounreged the new extrinsic creation from I Dewa Nyoman Batuan. Religious helped the process of maturity in enduring the life which based on the creations related to the religion. The other things, like environment, the appreciation of society, tourism, gallery, and collector were the external factors that give powerful role to I Dewa Nyoman Batuan in creating the arts. The result of the two encouragement of internal and external factor truly created the new creation, unique, had its own characteristics, individualistic and modern. In relation with the meaning of the art of Mandala painting by I Dewa Nyoman Batuan includes symbolic meaning, religion meaning, reconditional meaning, and social culture meaning. All of those meaning can be understood clearly because visually the art of Mandala painting showed symbolic form about the value of the tradtion, culture, and religion. From the reconditional meaning, the art of Mandala painting is traditional creation of art which are able to give penetration, out from the form that tied it in the creation without losing the traditional characteristic of painting itself, therefore the art of Mandala painting is the new pattern or style of the art of painting which increases the treasure of the art of painting especially in Bali and generally Indonesia. Key words : The art of painting, Mandala, I Dewa Nyoman Batuan.
vi
RINGKASAN
Penelitian ini mengkaji tentang seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan dengan permasalahan pokok mengenai bentuk, faktor, dan maknanya. Topik ini dipilih bertujuan untuk lebih memahami dan mendalami seni lukis sebagai sebuah pengalaman estetis seorang seniman yang bernama I Dewa Nyoman Batuan. Selain itu karya seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan merupakan karya seni lukis yang memiliki ciri khas tersendiri berkat kemampuan dan keberanian pelukisnya melakukan inovasi-inovasi baik dari segi tema, bentuk, warna, komposisi dan lain-lain sesuai dengan konsep yang diusungnya. Adapun permasalahan yang diambil adalah sebagai berikut : (1) bagaimana bentuk seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan ? (2) faktor-faktor apa yang mendorong penciptaan seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan ? (3) apakah makna seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan ?. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan cara pengumpulan data melalui teknik wawancara, observasi, studi kepustakaan, dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif dan interpretatif agar dapat menggambarkan tindakan sosial budaya sebagai teks, untuk memahami makna-makna atau apa yang ada di balik tindakan itu. Selanjutnya penyajian hasil merupakan penyusunan hasil penelitian berdasarkan analisis yang telah dilakukan, disusun ke dalam bentuk tulisan dengan sistematika mengacu pada ketentuan kajian budaya. Laporan hasil penelitian dalam hal ini disajikan dengan metode informal dan formal yakni secara naratif dan berupa simbol-simbol dan yang lainnya sesuai kaidah-kaidah yang ada. vii
Untuk menjawab permasalahan atau mendekatkan masalah dengan hasilnya digunakan teori estetika, teori struktural, teori perubahan, dan teori semiotika. Teori estetika dan struktural digunakan untuk mengkaji dan mempertajam analisis masalah pertama, yakni masalah bentuk dan kreasi I Dewa Nyoman Batuan dalam mewujudkan keindahan pada karya-karyanya, sehingga melahirkan inovasi-inovasi baru baik dalam hal penataan (komposisi), varian bentuk, tema maupun varian warna sesuai keinginan dan konsep dalam berkarya. Teori perubahan digunakan terkait dengan perilaku Dewa Batuan sebagai seniman (pelukis) kerap kali melakukan eksprimen untuk memperoleh sesuatu yang baru dalam melahirkan karya-karyanya. Karena perilakunya ini pula serta perubahan zaman sebagai faktor yang mendorong untuk melakukan penciptaan sesuai permasalahan kedua. Selanjutnya, teori semiotika dipakai untuk membedah makna bentuk-bentuk simbol dan bentuk-bentuk lainnya yang banyak ditampilkan pada seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan. Faktor-faktor yang mempengaruhi karya seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan dapat diklasifikasikan ke dalam faktor internal dan faktor eksternal. Dalam Faktor internal meliputi pendidikan, bakat, kreatif, kebebasan berkarya, aktualisasi diri, dan religiusitas. Sedangkan faktor eksternal meliputi, lingkungan alam, apresiasi masyarakat, pariwisata, galeri dan kolektor. I Dewa Nyoman Batuan menciptakan seni lukis memiliki tujuan selain sebagai ekspresi kreatif, sekaligus juga untuk dikomersialkan/dijual, yakni diperjual belikan bagi yang betul-betul berminat untuk memiliki. Hasil penjualannya ia
viii
gunakan untuk penghidupannya sekaligus untuk mendukung kreatifitas seninya. Lukisan-lukisan I Dewa Nyoman Batuan merupakan salah satu produk kreatif yang dapat
memberikan
variasi
produk
alternatif
dilihat
dari
perkembangan
kepariwisataan. Tidak bisa dipungkiri, pasar dalam hal ini pariwisata tetap mengilhami karya I Dewa Nyoman Batuan. Ini berarti dalam proses mencipta tetap saja bagi Dewa Batuan tidak terhindar dari kenyataan bahwa seorang seniman tetap ada keinginan untuk dapat bertahan hidup melalui pemanfaatan hasil karya yang diciptakannya. Karya seni lukis yang diciptakan memiliki ciri khas tersendiri dan ciri khas senimannya. Seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan tampak memiliki motif dan variannya tersendiri. Setiap karya/lukisan Dewa Batuan mengandung filsafat sesuai dengan konsep yang diangkat. Berkaitan dengan makna, seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan lebih banyak menyampaikan makna tentang nilai-nilai tradisi, adat dan budaya yang didasari oleh ajaran agama (Hindu) yang dianutnya. Dari hasil renungan yang dilakukan selama hidupnya menghasilkan kesimpulan, bahwa segala sesuatu yang ada dan terjadi di muka bumi ini adalah mandala. Maka setiap bentuk yang hadir dalam lukisannya itu merupakan bentuk simbol bentukannya sendiri yang bersifat pribadi dan simbol-simbol umum yang sudah dikenal oleh khalayak seperti simbolsimbol sosial, budaya, politik, religi dan lain-lain. Bentuk-bentuk simbol yang ditampilkan tentu mengandung makna yang bermanfaat untuk diketahui oleh masyarakat terutama masyarakat penikmat seni.
ix
Dengan demikian, untuk memahami lukisan karya I Dewa Nyoman Batuan sangat dibutuhkan keseriusan untuk mengetahui makna-makna yang tersirat di balik entuk-bentuk simbol yang ditampilkan, di samping secara visual lukisan I Dewa Nyoman Batuan sangat unik juga memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak ada pada lukisan tradisional lainnya yang perlu diketahui oleh para penikmat seni. Beranjak dari “mandala” sebagai subject matter dalam berkarya yang digubah secara bebas dengan mengkombinasikan gaya tradisional dan gaya modern, sehingga melahirkan karya tradisional baru dengan pola-pola abstrak-simbolik.. Berkat hasil dari kreasinya ini, dalam hal tertentu, Dewa Batuan terlihat memiliki kemampuan lebih dari pelukis tradisional lainnya. Karya-karya yang dihasilkan mencerminkan jati diri seorang seniman, tidak menjenuhkan, serta dapat meramaikan dan menambah perbendaharaan dunia seni lukis Bali khususnya dan seni lukis Indonesia pada umumnya.
x
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL …………………………………………………….. i UCAPAN TERIMA KASIH …………………………………………….
ii
ABSTRAK ………………………………………………………………..
v
ABSTRACT ………………………………………………………………
vi
RINGKASAN ……………………………………………………………
vii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………..
xi
DAFTAR TABEL ……………………………………………………….
xii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….
xiii
GLOSARIUM ……………………………………………………………
xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang …………………………………………………………
1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………...
6
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………………….
6
1.3.1 Tujuan Umum ………………………………………………………...
6
1.3.2 Tujuan Khusus ………………………………………………………..
7
1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………………………
7
1.4.1 Manfaat Teoritis ……………………………………………………....
7
1.4.2 Manfaat Praktis ……………………………………………………….
7
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka …………………………………………………………
9
2.2 Konsep …………………………………………………………………
14
2.2.1 Seni Lukis Mandala ………………………………………………….
14
xi
2.2.2 Oleh I Dewa Nyoman Batuan ………………………………………
17
2.2.3 Seni Lukis Mandala Oleh I Dewa Nyoman Batuan ………………...
17
2.3 Landasan Teori …………………………………………………………
18
2.3.1 Teori Estetika ………………………………………………………..
18
2.3.2 Teori Perubahan ……………………………………………………..
22
2.3.3 Teori Struktural ………………………………………………………
23
2.3.4 Teori Semiotika ……………………………………………………..
24
2.4 Model Penelitian ……………………………………………………….
26
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian …………………………………………………..
29
3.2 Lokasi Penelitian ……………………………………………………….
29
3.3 Jenis dan Sumber Data …………………………………………………
30
3.4 Teknik Penentuan Informan ……………………………………………
30
3.5 Instrumen Penelitian ……………………………………………………
31
3.6 Teknik Pengumpulan Data …………………………………………….
31
3.7 Teknik Analisis Data …………………………………………………..
32
3.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian ……………………………………..
33
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis ………………………………………………………..
34
4.2 Sejarah Singkat Desa Mas ……………………………………………..
36
4.3 Keadaan Penduduk …………………………………………………….
38
4.4 Pendidikan Masyarakat ………………………………………………..
38
4.4.1 Taman Kanak-Kanak …………………………………………………
39
4.4.2 Sekolah Dasar ………………………………………………………..
39
4.4.3 Sekolah Menengah Pertama (SMP) ………………………………….
40
xii
4.4.4 Sekolah Menengah Atas/sederajat/SMA/SMK ………………………
40
4.5 Mata Pencaharian Penduduk …………………………………………..
41
4.6 Agama dan Kepercayaan ……………………………………………....
42
4.7 Kesenian ………………………………………………………………..
43
4.7.1 Seni Rupa …………………………………………………………….
44
4.8 Riwayat Hidup I Dewa Nyomanan Batuan ……………………………
48
4.8.1 Penghargaan ………………………………………………………….
52
4.8.2 Pengalaman Sosial Bermasyarakat …………………………………..
52
4.9 Proses Penciptaan Seni Lukis Karya I Dewa Nyoman Batuan ………..
53
4.9.1 Bahan dan Alat ………………………………………………………
58
BAB V BENTUK SENI LUKIS MANDALA OLEH I DEWA NYOMAN BATUAN 5.1 Seni Lukis Mandala Karya I Dewa Nyoman Batuan ………………….
60
5.1.1 Tema Lukisan I Dewa Nyoman Batuan ……………………………..
63
5.2 Unsur-Unsur Seni Lukis Mandala Oleh I Dewa Nyoman Batuan …….
81
5.2.1 Garis ………………………………………………………………….
81
5.2.2 Warna ………………………………………………………………...
84
5.2.3 Bidang ………………………………………………………………..
89
5.2.4 Ruang …………………………………………………………………
93
5.2.5 Tekstur ………………………………………………………………..
94
5.3 Struktur Seni Lukis I Dewa Nyoman Batuan ………………………….
95
5.3.1 Komposisi ……………………………………………………………
96
5.3.2 Proporsi ………………………………………………………………
97
5.3.3 Irama (Ritme) …………………………………………………………
98
5.3.4 Keseimbangan (Balance) …………………………………………….
99
xiii
5.3.5 Pusat Perhatian ……………………………………………………….
101
5.3.6 Kontras ……………………………………………………………….
102
5.3.7 Kesatuan (Unity) ……………………………………………………..
104
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG PENCIPTAAN SENI LUKIS MANDALA GAYA I DEWA NOMAN BATUAN 6.1 Faktor Internal ………………………………………………………….
106
6.1.1 Pendidikan …………………………………………………………...
109
6.1.2 Bakat …………………………………………………………………
111
6.1.3 Kreatif ………………………………………………………………..
112
6.1.4 Kebebasan Berkarya…………………………………………………..
113
6.1.5 Akualisiasi Diri ………………………………………………………
115
6.1.6 Religiusitas …………………………………………………………..
117
6.2 Faktor Eksternal ………………………………………………………..
118
6.2.1 Lingkungan Alam …………………………………………………….
119
6.2.2 Apresiasi Masyarakat ………………………………………………...
121
6.2.3 Pariwisata …………………………………………………………….
122
6.2.4 Galeri dan Kolektor …………………………………………………..
126
BAB VII MAKNA SENI LUKIS MANDALA OLEH I DEWA NYOMAN BATUAN 7.1 Makna Estetika …………………………………………………………
130
7.2 Makna Simbolis ……………………………………………………….
133
7.3 Makna Religi …………………………………………………………..
137
7.4 Makna Pembaharuan …………………………………………………..
140
7.5 Makna Sosial Budaya ………………………………………………….
142
xiv
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan ………………………………………………………………..
145
8.2 Saran …………………………………………………………………...
148
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………
149
LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Daftar Informan …………………………………………………………
153
2. Pedoman Wawancara ……………………………………………………
155
3. Piagam Penghargaan ……………………………………………………
159
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk desa Pengosekan berdasarkan umur Dan jenis kelamin, tahun 2012 …………………………………
38
Tabel 4.2 Penduduk desa Pengosekan berdasarkan Pendidikan, Tahun 2012 …………………………………………………….
40
Tabel 4.3 Penduduk desa Pengosekan menurut mata pencaharian ………
42
Tabel 4.4 Sarana Prasarana dan jenis kesenian yang ada di desa Pengosekan …………………………………………………….
xvi
44
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1 Wilmana …………………………………………………….
4
Gambar 1.2 Burung Kakatua …………………………………………….
4
Gambar 1.3 Sapi …………………………………………………………
5
Gambar 4.1 Peta wilayah desa Mas ……………………………………..
35
Gambar 4.2 Potret diri I Dewa Nyoman Batuan ………………………...
48
Gambar 4.3 Alat-alat melukis ……………………………………………
59
Gambar 4.4 Cat akrelik, bahan melukis …………………………………
59
Gambar 5.1 Mandala Bulat ……………………………………………...
66
Gambar 5.2 Mandala Lingga Yoni ………………………………………
67
Gambar 5.3 Mandala Tat Twam Asi …………………………………….
70
Gambar 5.4 Mandala Rwa Bhineda ……………………………………..
71
Gambar 5.5 Mandala Merenung …………………………………………
73
Gambar 5.6 Mandala Aku Murid ………………………………………..
74
Gambar 5.7 Mandala Aku Guru …………………………………………
76
Gambar 5.8 Mandala Aku Dagang ………………………………………
77
Gambar 5.9 Mandala Tiga Garis Sakti …………………………………..
79
Gambar 5.10 Mandala Tiga Bentuk Garis ……………………………….
80
Gambar 5.11 Mandala Bunga ……………………………………………
89
Ganbar 5.12 Mandala Indah ……………………………………………..
103
xvii
GLOSARIUM Acintyarupa
:
Tidak berwujud, tidak terjangkau oleh akal dan indriya manusia.
Art Shop
:
Toko yang menjual benda-benda seni; patung, lukisan, seni kerajinan, dan lain-lain.
Banjar
:
Dusun di Bali
Bendesa
:
Pemimpin desa adat di Bali
Close up
:
Obyek lukisan yang dibuat dengan cara dibesarkan, sederhana, menarik, dan fokus (teknik close up)
Catur guru
:
Ajaran dalam agama Hindu, bahwa dalam kehidupan ini ada empat guru (catur guru) yang harus dihormati : Tuhan Yang Maha Esa, orang tua yang melahirkan kita, bapak/ibu guru yang mendidik kita di sekolah, dan pemerintah.
Deformasi
:
Perubahan susunan bentuk yang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan seni, yang sering terkesan sangat kuat/besar sehingga kadang-kadang tidak lagi berwujud figure semula atau sebenarnya. Sehingga hal ini dapat memunculkan figure/karakter baru yang lain dari sebelumnya.
Desa Pekraman
:
Desa adat
Dewata Nawa Sanga
:
Sembilan dewa yang menjaga dan berkuasa di masingmasing penjuru mata angin untuk memelihara kedamaian kehidupan di dunia ini.
Dimensi
:
Ukuran (panjang, lebar, tinggi, luas, dan sebagainya); matra : dwimatra, dan trimatra.
Distorsi
:
Perubahan bentuk, pembiasan.
Dwijati
:
Suatu bentuk upacara yang dilakukan oleh orang yang meningkatkan statusnya dari orang biasa menjadi orang suci. Dalam prosesi ritual ini, secara simbolis orang bersangkutan mengalami proses kematian (dianggap mati). Kemudian lahir kembali (kelahiran yang kedua kalinya). Selanjutnya dilakukan upacara penyucian diri (medwijati), karena akan menjalani hidup sebagai orang suci.
xviii
Gallery
:
Serambi; mimbar, ruangan panjang. Istilah gallery juga muncul sebagai tempat para seniman berpameran dan berjualan karya-karya seni rupa.
Galungan
:
Hari raya agama Hindu yang dirayakan setiap enam bulan (Bali) sekali, sama dengan tuju bulan kalender (nasional) atau 210 hari sebagai peringatan kemenangan dharma melawan adharma atau kebenaran melawan kebatilan.
Griya
:
Sebutan untuk tempat tinggal/rumah seorang brahmana.
Griya asta
:
Pase kehidupan berumah tangga (salah satu dari empat tingkatan hidup dalam agama Hindu yang disebut catur asrama).
Guru rupaka
:
Orang tua yang melahirkan kita
Guru pengajian
:
Orang tua atau bapak/ibu guru yang mendidik kita di sekolah.
Guru wisesa
:
Orang tua yang mengatur kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara, dalam hal ini adalah pemerintah.
Guru swadiaya
:
Maha guru yang menciptakan alam beserta isinya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Idiolek
:
Keseluruhan ciri perseorangan dalam berbahasa.
Image
: Gambaran. Imaginable, dapat dikhayalkan. Imagnary, hanya dalam khayal saja.
Inovatif
:
Bersifat memperkenalkan sesuatu yang baru; bersifat pembaharuan ( kreasi baru).
Jaba tengah
:
Halaman tengah, sebutan untuk halaman di Pura, tempat suci agama Hindu yang pada umumnya terdiri dari tiga halaman:utama mandala (tempat bangunan-bangunan suci), madya mandala/jaba tengah (halaman tengah), dan nista mandala (halalaman paling luar).
Karma phala
:
Karma:perbuatan, dan Phala: hasil. Jadi “karma phala” adalah hasil dari perbuatan; perbuatan baik akan menghasilkan sesuatu yang baik; perbuatan buruk akan menghasilkan sesuatu yang buruk pula.
Ketok
:
(Bahasa Jawa), sesuatu yang kelihatan, dapat dilihat.
Klian
:
Kepala dusun.
xix
Kolektor
:
Orang yang suka mengumpulkan suatu benda, biasanya benda-benda seni atau benda-benda lainnya, karena kesenangan dan hobi untuk dijadikan koleksi.
Komposisi
:
Susunan; tata susun; seni integrasi warna, garis, bidang utuk memperoleh kesatuan yang harmonis.
Kontras
:
Memperlihatkan perbedaan yang nyata (dalam hal warna, rupa, ukuran dan sebagainya).
Kontur
:
Garis bentuk atau garis tepi pada suatu bentuk atau bidang dalam dunia seni rupa.
Kreatif
:
Memiliki daya cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan; bersifat (mengandung) daya cipta: pekerjaan…menghendaki kecerdasan dan imajnasi.
Kuningan
:
Hari raya yang dirayakan sepuluh hari setelah hari raya Galungan, tepatnya hari Sabtu, uku kuningan (pawukon, perhitungan Bali). Umat Hindu pada hari raya Kuningan pagi-pagi, sebelum jam 12.00 upacara dan persembahyangan harus sudah selesai, karena diyakini bahwa para dewa yang turun ke dunia pada hari raya Galungan setelah jam 12.00 sudah kembali ke stananya masing-masing (ngeluhur).
Lingga-yoni
:
Representasi simbol dewa tertinggi Siwa. Lingga, berarti kemaluan laki-laki (phallus) yang khas yang dipresentasikan dengan batu-batu tegak dari masa prasejarah. Sering dipasangkan dengan tanda lainnya yaitu yoni, bagian kemaluan wanita, versi yang lebih indah dari batu-batu horizontal dari tahta leluhur. Yoni berfungsi sebagai alas lingga itu sendiri.
Mandala
:
Lingkaran dalam bujur sangkar. Lingkaran adalah lambang waktu dan bujur sangkar lambang ruang.
Mangsi
:
Jelaga, merupakan bahan untuk warna hitam dalam seni lukis klasik dan seni lukis tradisional Bali.
Meru
:
Bangunan suci dengan atap ijuk bertingkat-tingkat sebagai lambang gunung, tempat tertinggi sebagai stana Sanghyang Widhi (Tuhan Yng Maha Esa).
Mood
:
(Bahasa Inggris), suasana hati, keadaan hati. Hal ini sering diucapkan oleh seniman terutama terkait dengan ada-tidaknya dorongan dalam dirinya untuk berkarya. Berkaryanya seorang seniman tergantung mood.
xx
Ngabur
:
Merupakan proses, tahapan memberikan warna gelap dan terang pada obyek-obyek lukisan tradisional Bali untuk menimbulkan kesan volume dan pencahayaan.
Ngacung
:
Berjualan keliling (pedagang acung) menjajakan bendabenda seni dengan cara mengacung-acungkan barang dagangannya pada turis di tempat-tempat wisata.
Ngewarnen
:
Proses atau tahapan mewarnai dalam seni lukis tradisional Bali.
Ngorten
:
Tahapan membuat sket awal dengan pensil dalam seni lukis tradisional Bali.
Nguap
:
Proses memberikan satu jenis warna dasar pada keseluruhan obyek lukisan tradisonal Bali.
Nyastra
:
Orang yang taat melaksanakan dan melakukan segala sesuatu (upacara dan yadnya) berdasarkan sastra/aturan yang tertulis; Orang yang senang menekuni sesuatu berdasarkan sastra (biasanya terkait dengan ajaran agama dan mistik).
Nyawi
:
Proses mempertegas sket yang dibuat dari pensil dengan tinta hitam dalam seni lukis tradisional Bali.
Padma
:
Lambang dari bunga teratai yang terdiri dari delapan helai sebagai alas tempat duduk dewa Siwa saat beryoga menciptakan kedamaian dunia.
Painting
:
(Bahasa Inggris), Lukisan.
Pakem
:
Aturan yang harus ditaati dalam seni pertunjukan, seni rupa, dan juga seni arsitektur tradisional Bali.
Pedanda Sakti Bawu Rauh : Sebutan untuk seorang brahmana sakti (Dangyang Dwi Jendra) yang baru datang dari Jawa ke Bali. Lama kelamaan menjadi nama brahmana tersebut di atas “Pendanda Sakti Bawu Rauh” (nama di Bali). Pediksaan
:
Upacara penyucian diri seseorang yang akan menjadi orang suci.
Pengider-ngider
:
Sembilan penjuru mata angin, “pengider-ider bhuana” yaitu timur, selatan, barat, utara, tenggara, barat daya, barat laut, timur laut, dan di tengah.
Pengosekan
:
Salah satu dusun di kecamatan Ubud yang dikenal dengan seni lukis flora-fauna (seni lukis Pengosekan). xxi
Pengosekan Community Of Artist : Komunitas pelukis dusun Pengosekan. Pere
:
Satu jenis batu berwarna kuning kecoklat-coklatan (oker) yang hanya ada di pulau Serangan, Denpasar sebagai bahan pewarna seni lukis klasik dan tradisional Bali.
Pesantian
:
Kelompok penyanyi yang menyanyikan lagu-lagu pujian Tuhan (kekawin) saat ada upacara di Pura dan di rumah-rumah penduduk (Hindu).
Pesraman
:
Tempat belajar, biasanya materi pelajarannya adalah hal-hal yang berhubungan dengan tradisi, adat, agama, dan budaya.
Petajuk
:
Wakil ketua adat.
Pewayangan
:
Yang berhubungan dengan cerita wayang.
Piodalan
:
Upacara di pura yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali berdasarkan hitungan kalender Bali yang sama dengan tujuh bulan kalender nasional atau setiap 210 hari.
Pita Maha
:
“Pita” artinya jiwa seni danmaha artinya besar. Pita Maha artinya jiwa seni yang besar. Pita Maha ini dipakai nama perkumpulan pelukis yang didirikan di Campuan, Ubud, Bali 1936
Purnama
:
Bulan terang, pul.
Punarbhawa
:
Terdiri dari dua kata Sansekerta yaitu Punar (lagi) dan Bhawa (menjelma). Jadi Punarbhawa ialah kelahiran yang berulang-ulang yang disebut juga penitisan atau samsara.
Relaxing
:
(Bahasa Inggris), rilek, membuat suasana rilek atau sedang rilek.
Rwa bhineda
:
Konsep keseimbangan di dunia.
Sang Hyang Widhi Wasa :
Tuhan Yang Maha Esa.
xxii
Saraswati
:
Ilmu pengetahuan, disebut juga dengan Sang Hyang Aji Sarawati. Dalam wujud visualnya digambarkan dalam bentuk dewi (dewi Saraswati) yang sangat cantik, putih, lembut, gemah gemulai lengkap dengan atributnya. Dewi Saraswati adalah sebagai manifestasi Tuhan yang menganugrahkan ilmu kepada umat manusia. Oleh umat Hindu di Bali diperingati setiap enam bulan sekali atau setiap 210 hari sekali sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan ke dunia.
Seni lukis Pengosekan
:
Seni lukis Ubud
:
Seni lukis yang tumbuh dan berkembang di dusun Pengosekan, Ubud, yang mengetengahkan kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan (flora-fauna). Seni lukis tradisional yang tumbuh dan berkembang di Ubud sejak pertiga abad 20 serta memperoleh perkembangan khusus setelah mendapat sentuhan dari Rudolf Bonnet dan Walter Spies lewat organisasi Pita Maha yang didirikan oleh raja Ubud, Tjokorda Agung Raka Sukawati. Tokoh pendiri lainnya yang juga sebagai pelukis yang menonjol saat itu adalah Ida Bagus Made Poleng, A.A,Gd. Sobrat dan lain-lain. Seni lukis ini kemudian berkembang bercabang-cabang sejalan dengan ketokohan masing-masing pelukis. Tema-tema lukisannya lebih banyak mengangkat tentang kehidupan masyarakat sehari-hari atau di luar tema religi.
Seni lukis mandala
:
Seni lukis yang obyek-obyeknya dikemas dalam pola lingkaran, sesuai dengan arti “mandala” itu sendiri yaitu lingkaran. Seni lukis ini dicetuskan oleh I Dewa Nyoman Batuan.
Sigar mangsi
:
Teknik membuat gradasi warna (susunan warna yang berlapis-lapis dari muda ke tua atau dari warna terang ke gelap) dalam seni lukis tradisional Bali.
Souvenir
:
Tanda mata; kenang-kenangan.
Stilistik
:
Bersifat pengayaan. Mengkombinasi berbagai corak yang ada (dalam dunia seni rupa) menjadi ciri khas pribadi atau corak individu.
Subjeck matter
:
Hal pokok. Hal yang dijadikan tema dalam karya seni rupa dan seni pertunjukan. xxiii
Swastika
:
Simbol dari keberuntungan atau keselamatan (svasti, keberuntungan). Swastika digunakan sebagai lambang matahari atau wisnu. Swastika juga menggambarkan roda dunia, dunia yang terus menerus (abadi) berubah, mengelilingi pusat yang tidak berubah dan tidak bergerak yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Tantri
:
Cerita rakyat yang menceritakan tentang kehidupan dunia binatang. Makna yang terkandung dibalik cerita ini sesungguhnya adalah merupakan gambaran watak dan perilaku kehidupan manusia.
Tat Twam Asi
:
Terdiri dari kata Tat artinya itu (ia), Twam artinya kamu, dan Asi artinya adalah. Jadi Tat Twam Asi artinya “kamu adalah aku” dan “aku adalah kamu”; menyakiti orang lain sama dengan menyakiti diri sendiri; membantu orang lain berarti membantu diri sendiri; dan menghormati oran lain berarti menghormati diri sendiri.
Tekstur
:
Nilai raba dari permukaan suatu benda; halus, kasar, nyata, dan semu.
Tilem
:
Bulan mati, gelap.
Tri Sakti
:
Tiga dewa sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsinya adalah sebagai berikut : Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pelebur.
Undagi
:
Orang yang hali dibidang arsitektur tradisional Bali.
Usada
:
Ilmu tentang pengobatan tradisional.
Young Artist
:
Gaya lukisan yang tumbuh di dusun Penestanan, Ubud tahun 1960. Dirintis oleh pelukis keturunan Belanda yang bernama Arie Smit. Pada awalnya perkumpulan ini beranggotakan 15 orang. Adapun ciri-ciri lukisannya adalah warna-warnanya ceria, dan naïf.
xxiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Wacana tentang kemajuan seni, sering terdengar bahwa yang tradisi selalu dikaitkan dengan masa lalu, terbelakang, beku, selesai, dan kalau toh masih berubah selalu di dalam proses sekarat. Sebutan “tradisional” pada seniman sudah dengan sendirinya termuati oleh konotasi kolot dan tidak terkait dengan kehidupan masa kini. Konotasi seperti ini tampaknya tidak berlaku bagi I Dewa Nyoman Batuan. I Dewa Nyoman Batuan, perupa berlatarbelakang seni lukis tradisi ini memiliki sikap dan cara pandang yang sangat progresif. Sikap dan cara pandang seperti ini terlihat dari karya lukisannya yang diberi nama Mandala. Karyakaryanya segar,aktual, dan merupakan representasi dari seseorang yang terus menerus melakukan pencarian
maknasesuatu yang sangat dituntut di dalam
pergaulan seni baru, masa kini, atau “kontemporer” (Mulyadi, 2010: 1). Sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Mulyadi diatas, Dewa Batuan adalah sosok pelukis yang tidak pernah mau menyerah, pasrah begitu saja mengikuti pola-pola yang sudah baku atau mapan yang diterapkan dalam seni lukis tradisional pada umumnya, yakni selalu menyajikan obyek-obyek yang terkait dengan seni dan budaya Bali secara nyata, indah, mudah dipahami, serta dengan corak dan aliran yang sama.Karena itulah seni lukis tradisional Bali terkesan mandeg, beku, tidak berkembang dan bersifat monoton. 1
2
Tidak demikian halnya dengan seni lukis mandala gaya I Dewa Nyoman Batuan yang dijadikan obyek dalam penulisan tesis ini. Seni lukis mandala sebagai hasil kreasi dari I Dewa Nyoman Batuan mampu menampilkan nilai-nilai pembaharuan dengan tidak menghilangkan ciri khas seni lukis tradisi itu sendiri.Pembaharuan-pebaharuan yang dilakukan oleh Dewa Batuanantara lain, dari segi tema, tidak lagi mengangkat tema-tema yang sudah lazim diangkat oleh pelukis tradisi pada umumnya, seperti cerita pewayanganyang diambil dari kitab Ramayana dan Maha Bharata, cerita tantri,cerita rakyat, kehidupan sehari-hari masyarakat Bali dengan corak realis-dekoratif, serta bersifat komunal. Sebaliknya, Dewa Batuan sudah mengarah pada hal-hal yang bersifat abstrak dengan mengangkat filsafat ajaran agama, adat, tradisi, dan budaya Balidalam bentuk-bentuk simbol yang digubah dengan cara bebas layaknya seni lukis modrn.Ia merintis dan mencari jalan baru, dengan penampilan visual yang berbeda, yang tidak mudah untuk ditelisik kaitannya dengan karya-karya pendahulunya. I Dewa Nyoman Batuan nampak sangat piawai dalam memadukan dua dialek kedalam karyanya hingga melahirkan corak atau gaya yang sangat unik. Dua dialek yang dimaksud adalah disatu sisi Dewa Batuan masih tetap memakai dialek seni lukis tradisional, disisi lain tak jarang pula ia memakai dialek seni lukis modern (Hardiman, 2010 : 5). Keunikan yang terciptadari gabungan kedua dialek tersebut di atas secara tidak langsung menepis anggapan negatif yang diarahkan kepada seni-seni yang berbau “tradisi”, bahwa tradidisi itu sipatnya kaku, tidak bisa berkembang atau
3
stagnan. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Rinu (2004: 137), pada awalnya I Dewa Nyoman Batuan melukis wayang, kemudian dikembangkan dengan lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang ada hubungannya dengan simbol-simbol agama Hindu yang dikemas dalam konsep mandala. Perkembangan berikutnya ia memadukan unsur-unsur tradisi dengan gaya modern. Dengan demikian, unsurunsur tradisi tersebut tidak statis, tetapi berkembang melalui kreativitas kearah positif sehingga melahirkan lukisan dalam bentuk baru yang mempunyai kepribadian sendiri dan bersifat individualitis. Nilai-nilai pembahruan dan keunikan yang ada pada seni lukis mandala tidak terlepas dari usaha keras I Dewa Nyoman Batuandalam rangka menemukan jati diri, makna hidup dan kehidupan di dunia ini. Melalui media seni lukis I Dewa Nyoman Batuan mengekspresikan diri dengan menuangkan ide, gagasan secara bebas untuk mengkomunikasikan pengalaman, dan pandangannya terhadap hal-hal yang ada dan terjadi di muka bumi ini berdasarkan adat, budaya serta ajaran agama (Hindu) yang bersifat universal pada masyarakat. Berkat keberaniannya melakukan terbosan-terobosan untuk melakukan pembaharuan dalam karya-karyanya merupakan andil yang sangat berarti untuk penciteraan seni lukis tradisi itu sendiri juga terhadap dirinya sendiri sebagai pelukis dianggap mampu menemukan hal-hal baru yang memang menjadi tuntutan dan tanggung jawab seorang seniman. Lukisan hasil kreasi I Dewa Nyoman Batuan benar-benar menunjukan hal yang sangat berbeda dengan seni lukis tradisional Bali pada umumnya. Perbedaan-perbedaan tersebut terlihat
4
hampir pada semua hal, seperti cara penataan obyek, tema-tema yang diangkat, pengolahan bentuk, isi dan kebebasan dalam penerapan warna. Seperti apa yang termuat dalam katalog yang diterbitkan oleh Museum Neka, Ubud, Gianyar, Bali dikatakan, karya-karya Dewa Batuan digolongkan sebagai lukisan tradisional yang unik. Ini karena komposisi dan bentuk-bentuk yang disampaikan cenderung dalam pola abstrak. Walaupun yang digambarkan dalam detil tetap mudah dibaca sebagai simbol-simbol yang umum. Dewa Batuan memang meninggalkan ciri umum yang ada dalam lukisan tradisional gaya Ubud. (Dermawan T, 2006 : 53). Di bawah ini adalah karya pelukis Pengosekan lainnya untuk mengetahui perbedaannya dengan karya-karya I Dewa Nyoman Batuan.
Gambar 1.1. Wilmana Dok: Bali Bravo, tahun 1998
Gambar 1.2 Burung Kakaktua Dok: Bali Bravo, tahun 1990
5
Gambar 1.3.Sapi Dok: Bali Bravo, tahun 2000
Melalui tiga foto lukisan(Gambar 1.1Wilmana) adalah karya I Gusti Ketut Kobot, yang notabena adalah guru dari Dewa Batuan,(Gambar: 1.2 Burung Kakaktua) adalah karya I Dewa Putu Sena, dan(Gambar 1.3 Sapi) adalah karya I Ketut Kebut. Secara visual, tampak jelas, bahwa lukisan karya I Dewa Nyoman Batuan memperlihatkan perbedaan yang sangat menjolok dalam segala hal, baik ide, tema, komposisi, dan juga bobot atau isinya. Tiga karya dari pelukis Pengosekantersebut di atas, baik karya gurunya maupun karya pelukis seangkatannya,
tidak
memerlukan
pemikiran
yang
serius
untuk
memahaminya.Cukup dengan membaca judul dan kesesuaian dengan visualnya saja sudah dapat dimengerti. Berbeda dengan lukisan karya I Dewa Nyoman Batuan (lihat pada bab-bab berikutnya) untuk memahaminya perlu perenungan yang mendalam dan penjelasan tambahan baik lewat teks maupun penjelasan secara lisan dari orang lain atau dari pelukisnya. Penilaian, dan penghargaan terhadaplukisan karya I Dewa Nyoman Batuandalam hal ini yang disebut dengan “seni lukis mandala oleh I Dewa
6
Nyoman Batuan”benar-benar merupakan bentuk apresiai yang sangat positif atas kreativitasnya yang menghasilkan karya seni lukis tradisional yang sangat unik.Keunikan-keunikan yang ada pada lukisan karya I Dewa Nyoman Batuan menjadi sesuatu hal yang sangat menarik untuk didalami.
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah bentuk seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan ? 2. Faktor-faktor apakah yang mendorongpenciptaan seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan ? 3. Apakah makna seni lukis mandala oleh I DewaNyoman Batuan ?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Untuk memberikan wawasan kepada masyarakat Bali mengenai seni lukis khususnya seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan sebagai hasil proses kreativitas dalam berkesenian. Disamping itu penelitian ini sebagai wacana, bagaimana kegelisahan seorang seniman, ditengah-tengah gemerlapnya pengaruh pariwisata tetap bisa berkonsentrasi mencari makna hidup lewat karya karyanya. Diharapkan bahan hasil penelitian ini juga dapat menambah pustaka tentang seni lukis yang dilatarbelakangi oleh perspektif kajian budaya.
7
1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk memahami bentuk seni lukis mandalaoleh I Dewa Nyoman Batuan. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong penciptaan seni lukis mandalaoleh I Dewa Nyoman Batuan. 3. Untuk memahami makna seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para seniman di Bali
sebagai
bahan
referensi
untuk
memperdalam
pemahaman,
pemaknaan seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan. 2. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu kajian budaya di Bali. 3. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai referensi dalam upaya pengembangan ilmu seni rupa di Bali.
1.4.2 Manfaat Praktis 1. Bagi masyarakat Bali umumnya dan para pecinta seni khususnya hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang kekayaan dan keanekaragaman budaya terkait dengan seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan.
8
2. Bagi masyarakat akademik hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang seni mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan. 3. Bagi para seniman, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mendalam tentang motivasi I Dewa Nyoman Batuan untuk menciptakan seni lukis mandala.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL 2.1Kajian Pustaka Penelitian mengenai seni lukis mandalaoleh I Dewa Nyoman Batuan, secara khusus, masih sangat terbatas. Bahkan dapat dikatakan belum ada.Namun, ditengah-tengah keterbatasan ini ada beberapa buku, majalah, katalog tentang seni lukis Bali, walaupun sepintas, ada yang menyinggung tentang seni lukis Pengosekan secara umum dan seni lukis mandala karya I Dewa Nyoman Batuan secara khusus.Buku-buku tersebut adalah sebagai berikut : Puspanjali Persembahan Untuk Ida Bagus Mantra (1988) oleh Jiwa Atmaja. Dalam buku ini dikatakan bahwa seni lukis Pengosekanyang dipelopori oleh I Dewa Nyoman Batuanmenerapkan warna yang teduh, perpaduan yang harmonis, nyaman dan sedap dalam penglihatan, hingga sifat lukisannya adalah meredakan kegoncangan pikiran, “relaxing”. Para pelukisselalu menciptakan suasana aman, tenang dan seimbang. Para pelukis kelompok inimenamakan dirinya“Community Artist”. Berkat kehalusan tangan senimannya, menampilkan keindahan alam yangdijadikan lebih indah daripada keadaan alam aslinya. Seperti aliran-aliran yang muncul sebelumnya dengan cepat mendapat banyak peniru, dimana-mana, dan lukisan gaya baru ini membanjiri pasaran(Jiwa Atmaja, 1988: 35). Paradigma dan Pasar Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia(2002) yang di terbitkan oleh Yayasan Seni Cemeti. Dalam buku ini,Jean Couteau, menulis, bahwa dua kecenderungan dapat dibaca: yang pertama dan umum ialah 9
10
pembakuan dan bahkan pembekuan dari tatanan seni rupa Pita Maha di aliranaliran pedesaan; dan yang kedua, yang berkembang di sela-sela aliran itu, adalah individualisasi ekspresi pada seniman lokal tertentu yang jumlahnya terbatas. Kecenderungan pertama adalah akibat dari pariwisata dan eksotisasi terkait yang melahirkan suatu kristalisasi nilai kolektif masyarakat yang membekukan evolusi kulturalnya pada produk-produk yang dianggap layak serta laku dijual. Teknik-teknik temuan Pita Maha, seperti sigar mangsi (pelapisan tinta cina) dicanggihkan berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku pada masingmasing aliran. Secara stilistik, unsur bawaan Walter Spies dan Rudolf Bonnet (chiarroscuro dan anatomi) merebak dalam versi yang direinterpretasi. Dari sudut tematis penampilan Bali surgawi dan eksotis itu kian merajalela. Pendeknya, kesenian spontan yang “kaget” dari Pita Maha awal, bergeser menjadi kesenian repetitif yang semakin bercorak kerajinan. Dalam batasan gejala umum di atas, sejumlah perkembangan seni rupa juga terjadi. Pada akhir tahun 1950-an muncul aliran Young Artist di desa Penestanan. Sepuluh tahun kemudian di Batuan muncul suatu gaya miniaturis lokal yang menghaluskan ciri-ciri formal dan tematis turunan aliran Batuan zaman Pita Maha. Di desa Pengosekan berkembang apa yang disebut Community of Artistyang dipimpin oleh I Dewa Nyoman Batuan.Didalam batasan formal dan teknis sistem Pita Maha aliran Ubud, komunitas itu merupakan pendekatan “close up” terhadap elemen-elemen alam (burung, kehijauan) yang dijadikan tema gambar; selain itu, perhatian khusus diberikan kepada unsur warna, yang lebih cerah dan hidup daripada aliran Ubud sebelumnya.
11
Kecenderungan kedua dicirikan oleh kesadaran dari beberapa seniman atas proses kesenimanan yang dilakoninya, termasuk “pressure” eksotisasi dari lingkungan pariwisata. Lalu dikembangkan ciri-ciri stilistik dan tematis tertentu meski tetap berdasarkan teknis warisan Pita Maha yang memperlihatkan gejala ekspresi yang kian individual, bahkan kadang-kadang memperlihatkan ciri tematis identiter serupa dengan yang ditemukan pada seniman “modernis”. Evolusi kearah individual pada kelompok Pita Maha, secara singkat dapat dilihat, antara lain, pada tiga seniman, yaitu, Anak Agung Sobrat, I Wayan Bendi, dan I Dewa Nyoman Batuan. Anak Agung Sobrat (1917-1992) dan Ida Bagus Made Nadera (1905-1998), yang dapat dikatakan dua pelukis yang memiliki aliran realisme Ubud, lalu merebak ke beberapa perupa lainnya dan terutama Dewa Putu Bedil (1921-1999) pada tahun 1960-an, dan Made Sukada (19451982) pada tahun 1970-an.Karya-karya Wayan Bendi (1950) menampilkan kontradiksi kultural inheren pada masyarakat Bali modern antara segi agraris tradisional dan segi modern pariwisata; dia mengacu secara stilistik pada varian primitif kasar dari Batuan. Orang “bule” hadir di mana-mana; di tengah-tengah masyarakat Bali, dipantai berselancar mereka asyik memotret upacara adat, atau sedang duduk di dalam bis. Mereka tampil sebagai bagian intrinsik dari dunia Bali, dan tidak dipertanyakan keberadaannya, sama absahnya seperti sabung ayam, petani bekerja di sawah, atau upacara di pura. Suatu realisme sosial tanpa keberpihakan. Hal yang paling lebih menjanjikan adalah terobosan kreatif yang dirintis oleh I Dewa Nyoman Batuan (1939) di Pengosekan, yang menjadikan seni lukis
12
sebagai ajang rekonseptualisasi agama. Peranan agama di dalam seni rupa Balimemangbukanlah hal yang baru. Peranan agama di dalam
zaman pra-
kolonial, agama bahkan merupakan raison d’etre dariseluruh tatanan seni rupa, dan lukisan bersifat didaktis: di dalamnya terkandung ajaran tentang agama dan mitologi. Lalu pada zaman Pita Maha, agama kehilangan peranan pokok dan ditampilkan dalam lukisan sebagai “pertunjukan” eksotis dan bagian dari kehidupan sehari-hari; dengan kata lain ia disekularisasikan melalui obyektivasi. Kini, roda telah berputar dan seniman yang menyadari resiko obyektivasi sekuler diatas bereaksi dengan menawarkan gambar yang merupakan visualisasi konseptual dan perenungan makna agama Hindu. Konsep-konsep komplek seperti punarbhawa, pengider-ngider, rwabhineda, dan sebagainya, yang tidak mungkin menjadi konsumsi umum wisatawan, dijadikan topik utama, suatu pernyataan identiter yang sejajar dengan yang ditemukan pada lukisan “modernis”. Dewa Nyoman Batuan terpengaruh oleh tradisi Tibet dan atas dasar pengider-ider klasik Bali mengontruksikan lukisannya disekitar “mandala” sebagai simbol dunia dan isinya. Manusia digambarkan diatas peta mandala di dalam posisi yang sesuai dengan fase kehidupan yang dilaluinya, sedangkan keberadaan dan dinamika dunia disimbolkan melalui dewa dan figur mistis yang ditempatkan diseputar mandala. Pada majalah seni rupa, Visual Arts, “Investasi Seni” (Vol.5, No.25, 2008),Hardiman, menyinggung adanyadua dialek seni rupa Bali,sepintas disinggung, Dewa Nyoman Batuan bersama dengan beberapa pelukis senior
13
pendahulunya, I Gusti Nyoman Lempad,yang termasukjajaran pelukis gaya Ubud yang memiliki idiolek atau ciri khas tersendiri. KatalogPameran Lukisan I Dewa Nyoman Batuan “Mandala”(2010), yang diterbitkan oleh Bentara BudayaBali. Dalam katalog ini, Mulyadi, direktur Bentara Budaya, mengatakan, kita sering kurang hati-hati menulis didalam menggunakan istilah “tradisi”. Utamanya di dalam pembicaraan tentang kemajuan seni, sering terdengar bahwa yang tradisi selalu dikaitkan dengan masa lalu, terbelakang, beku, selesai, dan kalau toh masih berubah selalu dalam proses sekarat. Sebutan
tradisi masih dikonotasikan kolot dan tidak terkait dengan
kehidupan masa kini. Meski demikian, berhadapan dengan sosok I Dewa Nyoman Batuan semua konotasi tersebut menjadi tidak relevan. Karya-karyanya segar dan aktual, dan merupakan representasi dari seorang yang terus menerus melakukan pencarian makna-sesuatu yang sangat dituntut di dalam pergaulan seni baru, masa kini, atau “kontemporer”. Apa yang dilakukan oleh seniman kontemporer dimanapun, di dalam ukuran masing-masing juga ia lakukan: riset, pendalaman masalah, perenungan, dan eksekusi.Menurut kurator pameran ini, Hardiman, pencariannya bahkan eksistensial. Siapa I Dewa Nyoman Batuan? Lelaki kelahiran 1939 ini belajar pada salah satu tokoh seni lukis tradisional Bali yaitu I Gusti Ketut Kobot. Melihat beberapa lukisannya di masa muda, yang digarap dengan “gaya tradisional” tampakbahwa ia menguasai permasalahan maupun teknik yang diperlukan.
14
Iakemudian merintis jalan baru, dengan penampilan visual yang berbeda, yang tidak mudah untuk ditelisik kaitannya dengan karya-karya terdahulu. Beberapa komentar dari pemilik museum tentang I Dewa Nyoman Batuan sebagai berikut : “Saya sangat mengenal Dewa Aji Batuan sebagai pelukis yang sangat kreatif dan penuh dengan inovasi, kesederhanaan dan wawasan yang luas tentang filsafat orang Bali, telah menjadikan karya-karyanya luar biasa” (Suteja Neka, Museum Neka, Ubud, 2006) “Untaian kata yang menyertai setiap lukisan yang dibuat Dewa Batuan, merupakan ekspresi jiwa dari seorang pelukis Bali yang memahami sastra dan agama. Beliau tiada duanya dalam menghasilkan karya yang spesifik dan unik”(I NyomanRudana, Museum Rudana, Ubud, 2007) 2.2 Konsep Proses kreatif seniman dalam mewujudkan sebuah karya seni tidak lepas dari hal yang mendasar yang disebut dengan konsep. Dengan konsep diharapkan dapat memberikan petunjuk dan batasan tentang penelitian yang penulis lakukan. Dalam penelitian ini konsep yang penulis tampilkan adalah sebagai berikut :
2.2.1 Seni lukis Mandala Seni lukis merupakan cabang seni rupa yang sangat tua usianya, ini dapat diketahui dari peninggalan masa prasejarah berupa lukisan-lukisan di dinding gua-gua. Pada waktu itu seni lukis dibuat sebagai tindakan magis sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Seni lukis ditinjau dari asal katanya dalam bahasa inggris disebut painting, akar dari to paint yang artinya mengecat. Seni lukis adalah penggunaan garis, warna, tekstur, ruang dan bentuk pada suatu permukaan yang bertujuan menciptakan image. Image tersebut merupakan pengekspresian
15
dari ide-ide, emosi, pengalaman yang dibentuk sedemikian rupa sehingga mencapai harmonis. Pada dasarnya seni lukis merupakan bahasa ungkapan dari pengalaman artistik maupun ideologis yang menggunakan warna dan garis, guna mengungkapkan perasaan, mengekspresikan emosi,gerak, ilusi maupun ilustrasi dari kondisi subyektif seseorang. Berikut beberapa rujukannya penggambaran pada bidang dua dimensi berupa hasil pencampuran warna yang mengandung maksud. Penggunaan atau pengucapan pengalaman artistik yang ditampilkan dalam duadimensional dengan menggunakan garis dan warna. Secara teknis seni lukis merupakan tebaran warna cair pada permukaan bidang datar kanvas untuk menghasilkan sensasi atau keruangan, gerakan, bentuk sama baiknya dengan tekanan yang dihasilkan kombinasi unsur-unsur tersebut dapat mengekspresikan emosi, ekspresi, simbol keragaman dan nilai-nilai lain yang bersifat subyektif(Susanto,2002 : 71) Mandala, diejaman.da.la,
dalam
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesiakata
mandala,
yang diartikan dengan : 1. wilayah kekuasaan lembaga
keagamaan, 2. bulatan; lingkungan (daerah); mandalawisata,tempat yang disediakan untuk kunjungan kepariwisataan;mandala yuda, daerah (medan) pertempuran. Mandala juga diartikan sebagai alat yang digunakan untuk melakukan konsentrasi selama bermeditasi, berbentuk lukisan diatas kain atau lukisan diatas tanah yang dihiasi dengan taburan beras berwarna (Tim Penyusun, 2002 : 709).
16
Terkait dengan ini, Susanto (2011: 248) ada menyebutkan bahwa mandala berarti “obyek yang berputar”, merupakan simbol mistik dalam Hinduyang berupa bentuk geometris bersendikan bujur sangkar dan lingkaran konsentris, berputar sambil terus meningkat ke satu pusat yang tertinggi. Mandala dianggap sebagai suatu mikrokosmos, suatu replika kecil dari alam semesta. Dalam buku Bali A Traveller’s Companion (Archipelago Press, 1999: 83), dijelaskan, bahwa: Mandala, The cardinal points are associated with various Hindu deities and corresponnding numbers, colors, magical syllables, andothermystical attributtes. The Mandala, whichmaybeexpressed in three, five,nine, or eleven points, in referred to in ritual as well as architecture. Terjemahan secara bebas adalah: Mandala, titik-titik kardinal diasosiasikan dengan berbagai dewadewaHindu dan angka-angka, warna-warna, silabel-silabel magis dan atribut-atribut mistik lainnya yang dikaitkan dengan para dewa tersebut.Mandala, yang dapat dinyatakan dalam tiga, lima, sembilan, atau sebelastitik, dipakai/di acu dalam kegiatan ritual maupundalam arsitektur. Sesuai dengan pengertian diatas, yang dimaksud dengan seni lukis mandala dalam penelitian ini adalah : karya seni dua dimensional pada bidang datar (kertas, kanvas, papan) yang merupakan ungkapan dari ide, emosi dan pengalaman pribadi senimannya yang diekspresikan lewat garis, warna dan bentuk yang ditata sedemikian rupa dalam ruang atau dikomposisikan secara melingkar; bulat dalam satu titik sentral ditengah. Bentuk-bentuk yang dilukis adalah berupa simbol-simbol terkait dengan agama (Hindu). Secara kasat mata, seni lukis mandala karya-karya I Dewa Nyoman Batuanyang sekaligus merupakan corak, gaya pribadinya, menampilkan obyek-obyek yang ada di alam,
17
seperti binatang, tumbuh-tumbuhan, dan pengalaman hidupnya; masa kecil, masa sekolah, masa percintaan dan simbol-simbol yang terkait dengan keyakinan yang dianutnya yakni agama Hindu. Semua jenis-jenis obyek diatas ditata dalam satu lingkaran yang menurutnya, bahwa dalam hidup ini kita berada dalam suatu ruang terbatas yang tak terbatas.
2.2.2 Oleh I Dewa Nyoman Batuan Pengertian “oleh” pada konsep oleh I Dewa Nyoman Batuan di atas adalah
merupakan
kata
penghubung.
Dalam
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia(2002: 796), “oleh” adalah kata penghubung untuk menandai pelaku. Misalnya: rumah ini dibeli oleh ayahnya bulan lalu. Jadi dalam hal ini I Dewa Nyoman Batuan sebagai pelukis adalah subjek (pelaku) yang menghasilkan lukisan yang dinamakan seni lukis mandala.
2.2.3 Seni lukis Mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan Seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan memberikan nuansa yang berbeda pada seni lukis tradisonal Bali pada umumnya. Dewa Batuan telah melakukan perubahan dan pembaharuan terhadap seni lukis tradiosional Bali ke arah yang lebih universal baik dalam bentuk estetika maupun isi, dan maknamakna yang disampaikan. Namun demikian, Dewa Batuan tidak serta merta meninggalkan ciri khas dari seni lukis tradisi itu sendiri, melainkan tetap mempertahankan dan bahkan mengembangkan ke dalam pola modern.
18
Secara visual, lukisan Dewa Batuan tidak lagi menampilkan obyak-obyek yang nyata, indah, dan mudah dimengerti, melainkan sudah mengarah pada nilainilai filosofi budaya Bali berdasarkan atas ajaran-ajaran agama (Hindu) yang disampaikan dalam bentuk-bentuk simbolik yang penuh makna. Adapun perwujudannya diwujudkan dengan memadukan teknik dan gaya seni lukis tradisional dengan seni lukis modern, sehingga seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan merupakan karya seni lukis yang unik, memiliki ciri khas tersendiri, serta telah mampu memberikan warna tersendiri terhadap eksistensi seni lukis tradisional Bali.
2.3 Landasan Teori Ada beberapa teori sebagai landasan dalam mengkaji permasalahan yang dihadapi. Adapun teori-teori yang dimaksud adalah :
2.3.1 Teori Estetika Becker (1982 : 131) dalambuku Art Word menyatakan bahwa estetika adalah suatu studi mengenai premis dan alasan atau argument yang digunakan untuk membenarkan atau memberikan penilaian terhadap aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan masalah keindahan, artistik, seni yang baik atau seni yang buruk, dan sebagainya. Philipus Tule (1995: 5) dalam buku Kamus Filsafat menjelaskan aesthetics/esthetics (dalam bahasa Yunani, aesthetikos), yakni seseorang yang mempersepsikan sesuatu melalui sarana indera, perasaan, dan intuisinya.
19
Aesthesis berarti sensasi elementer primer. Pertama kajian tentang keindahan dan konsep-konsep yang berkaitan, seperti sublim, tragis, jelek, humoris, dan menjemukan. Kedua, tentang analisis nilai, cita rasa, sikap, dan standar yang terlibat dalam pengalaman serta penilaian tentang segala sesuatu yang dibuat oleh manusia atau ditemukan dalam alam yang indah. Secara ringkas hal-hal yang indah dapat digolongkan menjadi dua, yaitu (1) keindahan alami yang tidak dibuat oleh manusia, dan (2) keindahan yang dibuat oleh manusia, yakni secara umum disebut sebagai barang kesenian. Pada umumnya apa yang disebut indah di dalam jiwa yang dapat menimbulkan rasa senang, rasa puas, rasa nyaman, dan bahagia.Bila perasaan itu sangat kuat, maka seseorang akan merasa terpaku, terharu, terpesona, serta menimbulkan keinginan untuk mengalami kembali perasaan itu walaupun sudah dinikmati berkali-kali, yakni dalam bahasa Bali disebut kelangen (Djelantik, 1999: 34). Dalam teori umum tentang nilai, pengertian keindahan dianggap sebagai salah satu nilai untuk membedakan dengan jenis-jenis nilai lainnya seperti nilai moral, nilai ekonomis, dan nilai pendidikan. Dengan demikian, maka nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetis pada umumnya. Apabila suatu benda disebut indah, sebutan itu tidak menunjukan pada suatu ciri seperti umpamanya keseimbangan sebagai penilaian subjektif saja, tetapi menyangkut ukuran nilai-nilai yang bersangkutan. Ukuran nilai tidak mesti harus sama untuk masing-masing hal atau karya seni. Orang meletakan nilai pada berbagai hal karena bermacam-macam alasan, misalnya karena kemanfaatannya, sifat yang langka, atau karena coraknya yang
20
tersendiri (Gie,1976: 37). Dalam hal ini pengertian nilai estetika dalam seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan lebih ditekankan pada sifat-sifat khas dan keunikan coraknya. Teori umum tentang seni dalam buku Filsafat Seni : Sebuah Pengantar terdiri atas teori metafisis, teori psikologis, teori kontekstual, teori bentuk, teori pengungkapan, dan teori organis (Gie, 1996 : 10-11). Dalam teori seni, hanya digunakan teori kotekstual, teori bentuk, dan teori pengungkapan guna mengungkap permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Pertama, teori kontekstual. Teori ini merupakan teori seni yang membahas hubungan erat antara seni dengan lingkungan hidup, yakni tempat seni itu tumbuh sebagai reaksi terhadap ajaran otonomi seni yang berdiri sendiri dan memiliki tujuan seni. Teori Dewey tentang seni disebut teori kontekstualis (lingkungan sekeliling). Dalam pemikirannya, seni terpadukan demikian erat dengan lingkungan kehidupan sehingga dari situ seni timbul dan di dalam lingkungan itu seni dinikmati. Seni hanya dapat dipahami dalam rangkaian makna sosial yang terkandung di dalamnya (Gie,1996 : 38). Kedua, adalah teori bentuk. Teori ini merupakan teori yang menganggap seni sebagai suatu bentuk seni untuk seni, terlepas dar isinya berupa apa pun. Teori bentuk yang dianut Clive Bell dan Roger Fry menjelaskan bahwa seni adalah bentuk penting atau istilah aslinya significant form. Bentuk ini adalah suatu ciri objektif suatu karya seni. Dalam seni lukis bentuk adalah pegabunganberbagai garis, ruang, bidang, tekstur, gelap terang, kecuali pokok persoalan yang dilukis, akanmembangkitkan suatu tanggapan khas berupa
21
perasaan estetis. Perasaan estetis adalah perasaan seseorang yang tergugah oleh bentuk yang dapat menarik seseorang (Gie, 1996 : 31). Ketiga, adalah teori pengungkapan. Teori ini menganggap bahwa seni adalah ungkapan perasaan manusia sebagai sanggahan terhadapteori bentuk. Pada dasarnya teori pengungkapan seni merupakan teori tentang apa yang dialami dan dijalani ketika menciptakan sebuah karya seni. Tokoh teori pengungkapan, yakni Leo Tolstoi menyebutkan bahwa seni adalah kegiatan orang dengan perantaraan lahiriah menyampaikan perasaan kepada orang lain agar ia mengalami perasaan yang sama (Gie, 1996 : 36). Seorang tokoh teori pengungkapan lainnya adalah filsuf Italia Beredette Croce (1866-1952). Ia menyatakan bahwa seni adalah pengungkapan kesan-kesan (art is expression of impressions). Pengungkapan itu berwujud berbagai gambaran angan-angan, seperti: warna, garis, bentuk, dan tekstur. Proses pengungkapan tersebut berlangsung sepenuhnya dalam budi pikiran seniman. Oleh karena itu karya seni dihasilkan hanya semacam memorandum, salinan, atau, reproduksi dari suatu yang dialami seniman dalam dirinya (Gie, 1996: 33). Berdasarkan uraian tersebut di atas maka seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan merupakan ungkapan perasaannya yang dipengaruhi oleh lingkungan, tradisi, adat, budaya, dan ajaran agama (Hindu) sebagai pijakan yang kuat dalam mengekspresikan ide dan gagasan-gagasanya. Bentuk seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan merupakan susunan dari garis, warna, bidang, tekstur, dan unsur-unsur yang lainnya.
22
2.3.2 Teori Perubahan Dalam buku Sosiologi karangan Abdulsyani (2002: 163-164), disebutkan ada beberapa pendapat ahli yang memberikan definisi perubahan sosial sebagai berikut: Gillin menyatakan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara geografis, kebudayaan, material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi atau pun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut. Menurut Fairchild dalam Poerwanto, (2000: 157) perubahan sosial adalah sebagai akibat dari sesuatu yang direncanakan atau dapat pula terjadi sebagai akibat dari sesuatu yang tidak direncanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, perubahan dapat terjadi dengan lambat atau evolusi atau dapat pula terjadi secara cepat atau revolusi; ada yang bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri maupun yang datang dari luar (Poerwanto, 2000: 176). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya suatu perubahan sosial antara lain, karena anggota masyarakat pada waktu tertentu merasa tidak puas lagi terhadap keadaan hidup yang lama sehingga dianggap tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang baru. Ada tiga faktor sebagai penyebab utama perubahan sosial, yaitu penimbunan (akumuilasi) kebudayaan, perubahan penduduk, dan penemuan-penemuan baru. Menurut Koentjaraningrat (2002: 258) faktor-faktor yang mendorong individu untuk mencari penemuan baru atau inovasi sebagai berikut: (1) kesadaran dari individu akan kekurangan dalam kebudayaan; (2) mutu dari
23
kehalian dalam suatu kebudayaan; (3) sistem perangsang bagi aktivitas mencipta dalam masyarakat; (4) adanya krisis dalam masyarakat.
2.3.3 Teori Struktural Untuk mengkaji bentuk seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan, digunakan teori struktural. Pendekatan yang lazim digunakan dalam penelitian kesenian akan lebih tepat untuk memandang kesenian dari segi bentuk atau wujud. Teori struktural A.R. Redelife Brown yang memberi tekanan pada kesejajaran pengertian organisasi dari suatu makhluk menyebutkan bahwa dalam organisme adalah kumpulan sel dan ruang-ruang cairan yang diatur hubungan dengan lainnya, tidak merupakan suatu kumpulan, bahkan merupakan suatu sistem integrasi molekul-molekul yang kompleks. Sistem hubungan itu dinamakan unit-unit. Hubungan unit-unit dinamakan struktur organik. Jadi, organism bukanlah struktur sendiri, tetapi merupakan kumpulan dari unit sel atau molekul yang diatur dalam satu bentuk (Koentjaraningrat, 1987 : 172-183). Secara singkat arti struktur dalam ilmu sosial dapat dikemukakan dalam suatu pola hubungan di dalam setiap satuan sosial yang mapan sehingga memiliki identitas tersendiri. Struktur memandang seni lukis sebagai penggabungan dari berbagai unsur garis, warna, bidang, ruang, tekstur, dan gelap-terang (unsur-unsur seni rupa). Dengan demikian, karya itu dapat membangkitkan suatu tanggapan khas berupa perasaan estetis (Gie, 1996: 33-34). Kutipan di atas dapat memberikan pengertian
24
bahwa seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan jika dilihat dari segi bentuknya dapat membangkitkan tanggapan khas berupa perasaan estetis. 2.3.4 Teori Semiotika Kata semiotika digunakan oleh filsuf berkebangsaan Jerman, J. H. Lebart (Zoest,1993 : 1) yang kemudian digunakan pula oleh seorang ahli strukturalis yakni Ferdinan de Saussure (1857 – 1913) dan Charles Sanders Peirce) (1814) yang keduanya tidak saling mengenal (Zoest, 1993: 1; Ratna, 2006: 98). Ferdinand de Saussure adalah ahli bahasa, sedangkan Peirce adalah ahli filsafat. Saussure menggunakan istilah sosiologi (sebagai mazhab Amerika, mazhab AngloSakson). Dalam perkembangan selanjutnya istilah semiotika Peirce yang lebih populer. Semiotika dapat diterapkan dalam bidang ilmu apa saja dimana tanda digunakan dan mencakup baik suatu representasi dan interpretasi, suatu denotatum dan suatu interpretant. Dalam masa selanjutnya semiotika pasca Saussure dan Peirce banyak dikembangkan oleh beberapa tokoh salah satudi antaranyaadalah Uberto Eco. Uberto Eco tokoh semiotika mutakhir asal Italia yang bertolak dari pandangan Peirce, mendorong penelitian semiotika dalam berbagai bidang seni (Zoest, 1993: 5). Definisi semiotika “...pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie)” (Eco dalam Piliang, 2003: 44). Dalam perkembangannya semiotika mutakhir pemikiran Eco diidentikan dengan hipersemiotika. Istilah hipersemiotika bermakna melampaui memperlihatkan bahwa hipersemiotika tidak sekedar teori kedustaan, akan tetapi teori yang berkaitan dengan relasi-relasi
25
lainnya yang lebih kompleks antara tanda, makna, khususnya relasi simolasi (Piliang, 2003: 46). Rumusan teori diatas dapat dijadikan pisau analisis pada permasalahan ke tiga tentang makna seni lukis mandala. Hal ini berkaitan dengan penafsiran baru mengungkap makna-makna yang terkandung dalam hasil penciptaan kreativitas seorang Dewa Batuan. Hal tersebut dapat diidentifikasi dari (1) Tanda-tanda yang dilihat dari varian bentuk seni lukis mandala, (2) Penandaan yang diberikan pada bentuk-bentuk seni lukis mandala dan (3) Penafsiran terhadap yang dipertunjukan dalam penandaan dari seni lukis mandala.
26
2.4. Model Penelitian
Seni lukis Tradisional
Seni lukis Modern
Seni lukis Tradisional
Seni lukis tradisional Pengosekan/gaya Ubud (Pita Maha)
Internal
Seni lukis mandala gaya I Dewa Nyoman Batuan
Bentuk seni lukis mandala gaya I Dewa Nyoman Batuan
Faktor-faktor yang mendorong penciptaan
Keterangan :
: Interaksi : Memunculkan
Eksternal
Makna seni lukis mandala gaya I Dewa Nyoman Batuan
27
Penjelasan Model Model adalah suatu penyederhanaan bentuk kerangka analitik yang berisi elemen-elemen pokok yang ingin dianalisis agar mudah dipahami. Kerangka berpikirdalam penelitian ini adalah untuk menganalisis kajian bentuk, faktorfaktor yang mendorong penciptaan, dan makna seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan. Seni lukis, salah satu cabang seni rupa di Bali, sebagaimana bentukbentuk seni yang lain pada awalnya diciptakan untuk pengabdian dan persembahan yang dikaitkan dengan kepentingan upacara keagamaan. Pada dasarnya seni lukis Bali adalah seni lukis wayang, sarat dengan pakem yang sangat ketat. Tema-tema lukisannya pada umumnya mengangkat cerita yang bersumber padaeposramayana dan mahabharata, tantri dan cerita rakyat. Seni lukis Bali dengan genre wayang ini hanya bertahan dan berkembangsubur di desa Kamasan, Klungkung, sehingga kemudian disebut seni lukis wayang Kamasan. Seiring dengan dibukanya Bali sebagai daerah pariwisata pada tahun 1920 an, sebagai akibat dari masuknya pengaruh Barat sangat dirasakan adanya perubahan pada tatanankehidupan sosial, politik dan ekonomi masyarakat Bali. Hal ini berpengaruh pula pada tatanan kehidupan kesenian, khususnya seni rupa. Pada akhir dasawarsa ‟20-an, serta seluruh dasawarsa ‟30-an ditengarai terjadi suatu fenomena unik, yaitu terjadi interaksi seniman Barat dengan seniman Bali, yang kemudian melahirkan gerakan Pita Maha yang berpusat di Ubud. Gerakan Pita Maha ini kemudian melahirkan seni lukis gaya Ubud. Berawal dari gaya seni
28
lukis Ubud, estetika seni lukis Bali tidak lagi hanya berorientasi pada fungsi religius, melainkan sudah mengarah pada fungsi komersial sekular. Pada era ini banyak bermunculan corak dan gaya seni lukis di desa-desa disekitar Ubud. Seiring dengan perkembangan pariwisata, para seniman (pelukis) pun selalu terpacu untuk melahirkan kreasi-kreasiinovatif yang mengarah pada identitas diri senimannya. Beberapa seniman (pelukis) senior bentukan Pita Maha angkatan pertama yang memiliki ciri khas tersendiri antara lain : I Gusti Nyoman Lempad (maestro), Ida Bagus Made Poleng, Anak Agung Gede Sobrat, dan I Gusti Ketut Kobot. Berikutnya di era 1970-an muncul I Dewa Nyoman Batuan di Pengosekan, termasuk pelukis yang meneruskan warisan turunan Pita Maha. I Dewa Nyoman Batuan dikenal sebagai pelukis, sangat taat dengan ajaran-ajaran agama (Hindu) yang dianutnya. Lewat karya-karyanya secara kreatif dia mengungkap nilai-nilai filosofi keagamaan dengan olahan visual yang khas berdasarkan konsep mandala. Dengan demikian, seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan, dianalisis dari aspek bentuk, faktor-faktor yang mendorong penciptaannya dan makna.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai penelitian kualitatif. Menurut Taylor (1975: 5), bahwa metode kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pengamatan ini diarahkan pada latar dan individu secara holistik (utuh). Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miler (1986:9) menyatakan bahwa penelitian dengan metode kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dan kawasannya sendiri serta berhubungan dengan orang tersebut dalam bahasa dan peristilahannya (Moleong,2002:3). Secara umum tujuan metode kualitatif adalah untuk memahami dunia makna yang disimbolkan dalam perilaku masyarakat menurut perspektif masyarakat itu sendiri.
3.2 Lokasi Penelitian Desa Pengosekan dipilih sebagai lokasi penelitian, karena beberapa alasan sebagai berikut : 1. Desa Pengosekan tempat kelahiran I Dewa Nyoman Batuan(dalam berkreasi dan menciptakan karyanya), masih eksis sampai saat ini. 2. Desa Pengosekan adalah lokasi studio tempat memajang koleksi karyakaryanya yang telah menjadi daya tarik wisatawan yang datang ke Pengosekan. 29
30
3.3 Jenis dan sumber Data Sesuai dengan jenis penelitian ini sebagai penelitian kualitatif, jenis data yang dibutuhkan berupa teks (lukisan) dan ungkapan kata-kata atau kalimat dari informan yang mempunyai pengetahuan tentang seni lukis mandala. Dalam buku Metode Research dijelaskan, data yang dapat diperoleh langsung dari lapangan disebut sumber primer. Data yang didapat dari bahan bacaan disebut sumber sekunder.(Nasution, 2003: 143). Adapun sumber data yang digunakan adalahsumber data primer berupa informan, yakni Dewa Batuan sebagai informan kunci dan informan lain sertaseluruh karyanyasebagai obyek, dalam hal ini dipilih sepuluh lukisan yang ditampilkan semata-mata hanya untuk contoh wujud visual dari seni lukis mandala. Selain data primer juga digunakan data skunder sebagai data penunjang yakni berupa dokumen, dan data yang diperoleh dari studi kepustakaan, berupa referensi buku-buku, laporan penelitian, majalah, katalog pameran,dan artikel yang berhubungan dengan penelitian seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan.
3.4 Teknik Penentuan Informan Teknik penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan carapurposif,yaitu memilih orangyang diketahui memiliki pengetahuan dan pengalaman dibidang seni, serta layak untuk dijadikan informan, terutama yang berada di sekitar lingkungan Pengosekan, Mas, Ubud. Subjek yang menjadi informan tersebut memiliki kriteria sebagai berikut :
31
1. Orang yang mempunyai pemahaman dan wawasan secara umum mengenai permasalahan seni rupa. 2. Orang yang bergelut dalam seni yakni I Dewa Nyoman Batuan sebagai informan kunci. 3. Masyarakat sekitar yang berdekatan dengan sosok seniman I Dewa Nyoman Batuan di Pengosekan, Ubud, Gianyar.
3.5 Instrumen Penelitian Peneliti sendiri merupakan alat pengumpul data utama. Karena dialah yang akan memahami secara mendalam tentang objek. Selama di lokasi, peneliti dibantu dengan alat pedoman wawancara dan didukung instrumen lainnya seperti buku catatan,tape recorder, dan kamera (Mantra, 2004 : 27). Tape recorder akan digunakan merekam informasi yang diberikan oleh informan, sedangkan kamera digunakan untuk memotret lukisan karya-karya I Dewa Nyoman Batuan sesuai kebutuhan.
3.6 Teknik Pengumpulan Data Agar mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini ada beberapa teknik yang akan digunakan : 1. Teknik Observasi, yakni pengamatan; dalam hal ini peneliti langsung terjun ke lokasi untuk mengamati objek penelitian, yaitu lukisan karya-karya I Dewa Nyoman Batuan.
32
2. Teknik wawancara, dalam hal ini akan diterapkan wawancara secara langsung, terbuka, yang tidak hanya sekali dua kali, tetapi akan dilakukan berulang-ulang. 3. Studi Kepustakaan, adalah cara pengumpulan data-data tertulis dari bukubuku, katalog, mas media maupun literatur lainnya yang terkait dengan objek penelitian. 4. Studi dokumentasi, dilakukan dengan cara pengumpulan data berdasarkan penggunaan dokumen baik tertulis maupun tidak tertulis.
3.7 TeknikAnalisisData Analisis data dilakukan cara deskriptif kualitatif dan interpretatif. Dengan ini penulis berusaha menggambarkan tindakan sosial dan fenomena sosial budaya “teks”, untuk memahami makna-makna atau apa yang ada dibalik tindakan itu (Geertz, 1973). Analisis data dilakukan secara terus menerus mulai awal sampai penelitian berakhir. Analisis kualitatif dilakukan selama pengumpulan data di lapangan. Dilanjutkan dengan seleksi dan diorganisir sedemikian rupa kemudian dilakukan suatu penafsiran dalam tingkat kepentingan pada nilai-nilai yang terkandung dari data tersebut. Dalam deskriptif juga dilakukan interpretasi terhadap fakta-fakta yang diperoleh atas dasar pengetahuan ide-ide, konsepkonsep yang ada dalam kebudayaan masyarakat bersangkutan (Geertz, 1992). Dalam penelitian ini tentunya yang berkenaan dengan data yang ada kaitannya dengan permasalahan seni rupa khususnya seni lukis dan data lainnya yang dirasa perlu.
33
3.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian Laporan penelitian ini disajikan secara formal dan informal. Secara formal disajikan dengan menggunakan bagan dan bentuk lainnya sesuai dengan kaidah penyajian formal.Sedangkan penyajian informal dilakukan melalui narasi dan deskripsi. Pada tahap selanjutnya, hasil penelitian ini dituangkan ke dalam delapan bab dengan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam pedoman yang ada.
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN SENI LUKIS MANDALA
4.1 Letak Geografis Desa Mas adalah salah satu Desa Dinas yang mewilayahi empat Desa Pekraman, yakni Desa Pekraman Mas, Desa Pekraman Abianseka, Desa Pekraman Nyuhkuning, dan Desa Pekraman Pengosekan. Secara administratif, Desa Mas dengan luas 7, 04 km2, terletak pada 8 36‟30” LS dan 115 21‟05” BT, merupakan wilayah Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Pusat pemerintahan Desa Mas berjarak 5 Km dari Kecamatan Ubud, kemudian dengan pusat pemerintahan Kabupaten Gianyar berjarak 10 Km, dan dari pusat pemerintahan Provinsi berjarak 21 Km. Letak wilayah Desa Mas sangat strategis dan sangat mudah untuk menjangkaunya, yakni berada pada jalur utama Gianyar - Denpasar sebagai kota Provinsi, serta merupakan jalur wisata Bali ke timur.Di samping itu Desa Mas terkenal dengan berbagai hasil seni keranjinan, di antaranya kerajinan ukiran kayu, seni patung, mosaik, kerajinan merangkai uang kepeng, dan kerajinan membuat topeng, sehingga banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara yang datang ke Bali. Desa Mas terdiri dari 11 banjar, antara lain Banjar Dinas Batanancak, Banjar Dinas Tegalbingin, Banjar Dinas Juga, Banjar DinasTarukan, Banjar Dinas Kawan, Banjar Dinas Bangkilesan, Banjar Dinas Abianseka, Banjar Dinas Satria, Banjar Dinas Kumbuh, Banjar Dinas Nyuhkuning, dan Banjar Dinas 34
35
Pengosekan. Adapun batas – batas wilayahnya adalah di sebelah Utara Desa Peliatan dan Kelurahan Ubud, di sebelah Barat Desa Lodtunduh dan Desa Singakerta, di sebelah Selatan Desa Batuan Kaler, dan di sebelah Timur Desa Kemenuh . Secara topografis sumber daya alam Desa Mas berupa hamparan lahan dataran dengan komposisi dan luas sawah 246 (ha), tegalan 194,99 (ha) pekarangan 220, 03 (ha), kolam 3, 26 (ha), kuburan 3, 26 (ha) dan lainnya 32,86 (ha). Untuk lebih jelasnya ditampilkan peta wilayah Desa Mas, seperti gambar 4.1 dibawah ini.
Gambar 4.1. Peta Desa Mas Dok : Desa Mas, tahun 2012
36
4.2Sejarah singkat Desa Mas Pada umumnya suatu daerahkhususnya di Bali memiliki sejarah tersendiri dan sering nama daerah tersebut dihubungkan dengan sejarah yang tertulis dalam Babad, Lontar, Prasasti dan lain sebagainya. Desa pada mulanya adalah kumpulan kelompok manusia yang tinggal disuatu tempat, lalu kelompok–kelompok manusia tersebut membentuk banjaratau dusun dan akhirnya banjar/dusun membentuk suatu desa. Menurut beberapa sumber dari
Sulinggih, Pemangku, dan tokoh-tokoh masyarakat
desaMas belum ditemukan bukti yang pasti tentang terbentuknya desa Mas. Diperkirakan, desa Mas mulai berkembang berkisar antara abad ke 13 dan 14.Pada jaman kerajaan Bedahulu sekitar abad ke-13 yang dipimpin oleh seorang raja yang bernama Sri Aji Asta Sura Bumi Banten yang bergelar Sri Tapolung atau Sri Gajah Waktra. Berkat kesaktian dan materi yang dimilikinya serta didampingi oleh para pepatih yang handal seperti Pasung Grigis, Basur dan lain sebagainya, Sri Tapolung atau Sri Gajah Waktra menjadi seorang raja yang sangat angkuh, dan terkenal dengan kezalimannya. Mendengar kerajaanBedahulu di Bali demikian keadaannya, maka Sri Aji Gemet, Raja Majapahit II alias Sri Jaya Negara putra dari Sri Arsa Wijaya (Prabu Kertha Rajasa Jaya Wardana) mengutus Gajah Mada untuk menyerang Bali yang didampingi oleh panglima perang Arya Damar dan beberapa Arya lainnya. Dalam pertempuran yang sangat sengit akhirnya Kerajaan Bedahulu kalah. Tersebutlah diantara sekian banyak para arya yang datang dari Majapahit ada beberapa yang menetap di Bali, untuk membenahi situasi yang kacau balau
37
dan porak poranda setelah dikalahkan oleh Majapahit diantaranya adalah : 1) Mas Wilis (nama di Bali) alias Tan Kober, 2) Mas Sempur (nama di Bali) alias Tan Kaur, 3) Mas Mega (nama di Bali) alias Tan Mundur. Setelah sekian lama mereka tinggal di Bali, jatuhlah kerajaan Majapahit yang disebabkan oleh situasi dalam negeri dan desakan perkembangan agama Islam. Beberapa lama kemudian terdengarlah seorang brahmana dari Majapahit datang ke Bali, yang tidak betah lagi tinggal di Jawa karena masih kuatkeinginannya untuk mempertahankan agama Hindu yang terdesak oleh agama Islam. Beliau tersebut adalah Dang Hyang Nirata atau Dang Hyang Dwi Jendra, di Bali dikenal dengan Pedanda Sakti Bawu Rauh. Setelah Beliau sampai di Bali bersama rombongannya dengan aneka ragam pengalaman, maka sampailah beliau di Desa Mas (Tegal Tajun) atas undangan MasWilis. Selama Pedanda Sakti Bawu Rauh berada di Desa Mas, beliau banyak memberikan pengetahuan di bidang agama, sosial, seni budaya dan lain sebagainya kepada Mas Wilis. Setelah Mas Wilis menguasai semua ilmu yang diberikan, maka Pedanda Sakti Bawu Rauh melaksanakan proses pediksaan/dwijati terhadap Mas Wilisyang diberi gelar Pangeran Manik Mas. Sebagai bukti untuk menghormati jasa beliau, Pangeran Manik Mas membuat Pesraman / Geria dengan segala perlengkapannya untuk Pedanda Sakti Bawu Rauh. Demikian pula Pedanda Sakti Bawu Rauh, untuk memperingati kesungguhan kejadian ini beliau membuktikan dengan menamcapkanTongkat Tangi / Pohon Tangi yang masih hidup sampai sekarang terletak di Jaba Tengah Pura Taman Pule. Sejak itu beliau memberikan nama desa ini dengan Desa Mas.
38
4.3 Keadaan Penduduk Berdasarkan hasil registrasi tahun tahun 2012 jumlah penduduk di Desa Mas berjumlah 11.387 orang yang terdiri atas laki-laki 5705 orang, dan perempuan 5682 orang. Dari jumlah penduduk Desa Mas 11.387 orang tersebut, 1392 orang menjadi penduduk Desa/Banjar dinas Pengosekan. Sesuai statistik tahun 2012 jumlah penduduk Desa/Banjar dinas Pengosekan tersebut berjumlah 1392 orang, yang terdiri atas laki - laki 713 orang dan perempuan 679 orang. Berikut disajikan jumlah penduduk Desa /Banjar Dinas Pengosekan berdasarkan umur dan jenis kelamin, seperti pada tabel 1 di bawah ini. Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Desa/ Br. DinasPengosekan berdasarkan umur dan jenis kelamin No Gol Umur Jenis Kelamin Jumlah Laki-Laki Perempuan 1 0 – 4 Tahun 37 33 70 2 5 – 6 Tahun 19 20 39 3 7 – 12 Tahun 67 71 138 4 13 – 15 Tahun 30 33 66 5 16 – 18 Tahun 30 36 66 6 19 – 25 Tahun 75 89 164 7 26 – 55 Tahun 294 224 518 8 56 – 60 Tahun 80 88 168 9 61 Tahun keatas 81 85 166 Jumlah 713 679 1392 Sumber Data : Statistik Penduduk Desa/ Br. Dinas Pengosekan, Tahun 2012
4.4 Pendidikan Masyarakat Penduduk desa Pengosekan, selain dapat diketahui berdasarkan umur dan jenis kelamin, juga dapat diketahui dari tingkat pendidikannya. Dalam rangka memberikan kesempatan seluas–luasnya kepada masyarakat untuk menuntut ilmu melalui proses pendidikan formal, secara umun di Desa Mas telah terdapat sarana dan prasarana pendidikan formal (sekolah) yang tersebar di berbagai tempat atau
39
banjar yang ada di wilayah Desa Mas. Beberapa sarana dan prasarana pendidikan yang ada di Desa Mas adalah sebagai berikut : 4.4.1 Taman Kanak-Kanak. Terdapat beberapa Taman Kanak-Kanak di Desa Mas yaitu 1) TK. Kencana Kumara dilaksanakan oleh desa melalui yayasan Kencana Kertha Budaya Mas berada di jaba pura Taman Pule Mas. 2) TK. Bali Hati dikelola oleh Yayasan Bali Hati berlokasi di Banjar Tegalbingin. 3) TK. Cahaya Pelangi dikelola oleh yayasan Cahaya Pelangi yang berlokasi di Banjar Kumbuh. 4) TK. Widya Saputra dikelola oleh yayasan Suambara yang berlokasi di Banjar Nyuh Kuning. 5) TK. Sarin Rare dikelola oleh yayasan I Ketut Alon yang berlokasi di jalan Raya Mas. Dan 6) TK. Pengosekan dikelola oleh Desa Pengosekan. 4.4.2 Sekolah Dasar (SD) Di Desa Mas terdapat delapan Sekolah Dasar negeri dansatu Sekolah Dasar Swasta yang tersebar di banjar-banjar sebagai berikut : SD Negeri 1 Mas, terletak di Banjar Tarukan SD Negeri 2 Mas, terletak di Banjar Kawan SD Negeri 3 Mas, terletak di Banjar Batanancak SD Negeri 4 Mas, terletak di Banjar Pengosekan SD Negeri 5 Mas, terletak di Banjar Kawan SD Negeri 6 Mas, terletak di Banjar Batanancak SD Negeri 7 Mas, terletak di Banjar Nyuh Kuning SD Negeri 8 Mas, terletak di Banjar Abianseka; dan SD Bali Hati, terletak di Banjar Tegalbingin
40
4.4.3Sekolah Menengah Pertama (SMP) Di desa Mas hanya memiliki satu Sekolah Menengah Pertama Suasta, SMP Kertha Budaya yang dikelola oleh desa Mas melalui yayasan Kencana Kertha Budaya Mas terletak di jalan Ambarawati (jalan Mas-Lodtunduh).
4.4.4Sekolah Menengah Atas / Sederajat (SMA/SMK) Di Desa Mas telah berdiri satu SMK Negeri tahun 2004/2005 dengan membuka dua jurusan, jurusan Multimedia dan jurusan Seni Ukir. Dalam perkembangannya saat ini SMK ini membuka tiga bidang kehalian, yakni : bidang kehalian Teknologi dan Komunikasi, bidang kehalian Bisnis dan Manajemen, bidang kehalian Seni, Kerajinan dan Pariwisata. Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di jalan Ambarawati (jalan jurusan Mas-Lodtunduh). Khusus di Desa Pengosekan sarana dan prasarana pendidikan yang ada, yaitu : 1 pendidikan anak usia dini (PAUD), 1 Taman Kanak Kanak (TK) dan 1 Sekolah Dasar (SD Negeri 4 Mas). Berikut disajikan tingkat pendidikan penduduk Desa Pengosekan sesuai tabel di bawah ini.
Tabel 4. 2 Penduduk Desa/Br. Dinas Pengosekan Berdasarkan Pendidikan No Tingkat Pendidikan 1
Buta Hurup
SD
SMTP
SMTA
Sarjana (S1)
Jumlah
2
14
55
66
647
82
217
Sumber Data : Statistik Penduduk Desa/Br. Dinas Pengosekan,Tahun 2012
41
4.5Mata Pencaharian Penduduk Sebagaimana penduduk Bali umumnya adalah masyarakat agraris. Demikian pula masyarakat desa Pengosekan kebanyakan masih berprofesi sebagai petani yang merupakan sumber pendapatan utama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejalan dengan perkembangan zaman, sampai saat ini, sudah banyak masyarakat desa Pengosekan menekuni profesi lain diluar profesi sebagai petani, seperti pedagang, pengerajin, buruh, tukang, pegawai negeri, pegawai suasta, pelukis dan lain sebagainya. Upaya untuk menopang dan memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama dalam bidang sandang, pangan dan papan sudah bisa didapatkan dari berbagai profesi yang ditekuni sebagai sumber mata pencaharian. Adapun mata pencaharian masyarakat desa Pengosekan dapat dikelompokan dalam beberapa bidang seperti sebagai petani 181 orang, peternak 153 orang, pengerajin / pelukis 93 orang, tukang bangunan 13 orang, buruh 35 orang, industri 5 orang, pedagang 25 orang, bengkel 1 orang, penjahit 6 orang,
PNS/TNI-ABRI 21 orang,
pensiunan 5 orang, dan pegawai suasta 24 orang. Berikut mata pencaharian masyarakat desa Pengosekan disajikan dalam bentuk tabel seperti di bawah ini.
42
Tabel 4.3 Penduduk Desa/Br. Dinas Pengosekan menurut Mata Pencaharian No Mata Pencaharian Jumlah 1 2 3 4 5 6 7
Petani Peternak Pengerajin/Pelukis Industri Tukang bangunan Pedagang Penjahit
181 153 93 5 13 25 6
8
PNS / TNI-ABRI
21
9
Pegawai Swasta
24
10
Pensiunan
5
11
Bengkel
1
12
Buruh
35
13 Jumlah 562 Sumber Data : Statistik Penduduk Desa/ Br. Dinas Pengosekan,Tahun 2012
4.6Agama dan Kepercayaan Menurut Yulius (1980 : 4), agama adalahkepercayaan kepada Tuhan. Selanjutnya dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Tim Penyusun, 1976: 18), menegaskan, bahwa segenap kepercayaan (kepada Tuhan, dewa dan sebagainya) serta dengan ajaran dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu; misalnya agama Islam, agama Budha, agama Kristen, dan agama Hindu. Pengertian agama dalam hal ini adalah segenap kepercayaan itu, umumnya bagi masyarakat Bali,khususnya bagi masyarakat desa Pengosekan.Pembangunan dalam bidang agama sangat penting dan mutlak diperlukan, karena peranan agama sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian yang baik yakni takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta sesama, gemar melakukan perbuatanperbuatan kemanusiaan, rukun dalam hidup bermasyarakat, dan lainnya.
43
Sehubungan dengan agama(Profil desa Mas, tahun2012), tercatat bahwa penduduk desa/banjardinas Pengosekan hampir seluruhnya beragama Hindu, maka kehidupan masyarakat dalam bidang keagamaan ditentukan oleh ajaran agama Hindu melalui tiga kerangka dasar yaitu filsafat (tatwa), etika (susila), dan ritual (upacara). Ketiga kerangka dasar agama tersebut di desa Pengosekan dilaksanakan secara seimbang sesuai dengan desa kala patra, dan sebagai lembaga pelaksana di tingkat desa dilakukan oleh lembaga desa adatdan di tingkat banjar dilakukan oleh banjar adat. Untuk mencapai kemantapan dan kesemarakan kehidupan beragama dan kerukunan masyarakat di desa Pengosekan telah dilaksanakan kegiatan-kegiatan seperti penyuluhan-penyuluhan agama, pemeliharaan bangunan-bangunan suci (pura), melakukan upacara-upacara agama secara rutin dan berkala, dan membentuk kelompok-kelompok pesantian. 4.7Kesenian Kesenian merupakan salah satu unsur budaya yang terus berkembang sesuai dengan kemajuan dan perubahan zaman. Mengingat kesenian memiliki peran penting dalam pembangunan, terutama dalam hal pembentukan karakter dan kepribadian
bangsa,
maka
pembangunan dibidang kesenian
terus
mendapatkan perhatian. Seperti dikatakan oleh Koentjaraningrat (1981: 133), bahwa proses perubahan dalam masyarakat dan kebudayaan Bali itu sudah mulai sejak zaman kolonial bahkan sejak zaman sebelumnya, hal itu dapat diketahui dengan adanya sistem pendidikan sekolah-sekolah. Lebih-lebih pada waktu
44
Negara Indonesia menginjak zaman kemerdekaan, masyarakat dan kebudayaan Bali semakin tampak dan amat cepat perubahannya. Terkait dengan pembangunan dan pengembangan dalam bidang kesenian khususnya di desa Pengosekan, dalam statistik desa Pengosekan, tahun 2012 tercatat memiliki beberapa sarana dan prasarana kesenian baik yang dikelola oleh perorangan maupun kelompok. Berikut sarana dan prasarana kesenian yang ada di desa Pengosekan disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini : Tabel 4.4 Sarana Prasarana dan Jenis Kesenian yang ada di Desa/Br. Dinas Pengosekan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sarana prasarana dan jenis kesenian Jumlah Gong Kebyar 1 Gong Semar Pegulingan 1 Gong Semarandana 3 Angklung 1 Sanggar Tari 3 Dalang 1 Wayang Wong 1 Joged Pingitan 1 Sekaa Topeng 2 Sekaa Pesantian 2 Jumlah 16 Sumber Data : Statistik Penduduk Desa/Br. Dinas Pengosekan, Tahun 2012
4.7.1Seni Rupa Selain kesenian; seni pertunjukan seperti yang tersebut di atas, desa Pengosekan juga terkenal dengan seni rupa terutama seni lukisnya. Beberapa pelukis ternama dari desa Pengosekan yang masuk dalam angkatan Pita Maha antara lain : I Gusti Ketut Kobot, I Gusti Made Baret, I Dewa Made Sena, I Made Mokoh dan Jero Mangku Lier. Pita Maha adalah suatu wadah atau peguyuban
45
seniman; seni patung, seni lukis yang didirikan tahun 1935 di Ubud. Angkatan ini mengalami masa jayanya sampai tahun 1980-an. Pada tahun 1970 di desa Pengosekan berdiri paguyuban pelukis yang dinamakan Community Of Artist yang dipelopori oleh I Dewa Nyoman Batuan. Para pelukis yang masuk di dalamnya adalah generasi kedua dari pelukis sebelumnya. Karya-karya dari kelompok ini (Community Of Artist) dinamakan seni lukis Flora-Fauna, karena bentuk dan motif yang ditampilkan adalah bentukbentuk binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai tema sentralnya. Dalam percaturan seni lukis Bali, seni lukis flora fauna ini merupakan suatu masab yang ikut menambah kasanah seni rupa khususnya seni lukis di Bali, yang selanjutnya seni lukis ini dikenal pula dengan seni lukis gaya pengosekan atau seni lukis pengosekan. Pada masa jayanya banyak bermunculan pelukis-pelukis muda, sehingga desa Pengosekan dikenal pula sebagai gudangnya pelukis, karena hampir enam puluh persen (60%) dari jumlah penduduknya menjadi pelukis. Sejalan dengan perkembangan zaman, di era globalisasi yang didukung dengan teknologi dan informasi yang sangat canggih, sehingga memunculkan persaingan yang sangat ketat di segala lini kehidupan. Situasi dan kondisi seperti ini berdampak pula terhadap kehidupan dan keberadaan para pelukis di desa Pengosekan. Berawal dengan adanya musibah besar, yakni meledaknya bom di Kuta (bom Bali I) tahun 2002 membuat perekonomian Bali sangat terpuruk. Kemudian disusul meledaknya bom kedua (bom Bali II) di seputaran daerah Renon-Sanur, tahun 2006, tambah membuat Bali tidak berdaya lagi. Para pelaku pariwisata dan komponen-komponen pendukungnya, seperti pengerajin, terutama
46
para pelukis di desa Pengosekan banyak yang menaruh kuasnya lantaran dunia pariwisata Bali sangat anjlok.Banyak pelukis beralih ke profesi lain yang lebih mudah dan gampang untuk mendatangkan hasil demi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Carut marut kondisi pariwisata Bali kala itu tidak berlangsung lama, karena oleh pemerintah khususnya pemerintah daerah telah menanggulangi dengan berbagai cara serta besarnya perhatian pihak luar terhadap situasi ini. Hal ini terbukti tidak beberapa lama dunia pariwisata Bali menggeliat lagi. Di desa Pengosekan kembali bermunculan pelukis-pelukis muda kreatif, bahkan belakangan pada tahun 2007 didirikan sebuah wadah untuk menyatukan kembali para pelukis Pengosekan yang dinamakan Eka Cita Budaya. Selanjutnya pada tahun 2008 Eka Cita Budaya ini di lebur menjadi Komunitas Seniman Pengosekan (KSP). Menurut I Dewa Putu Adnyana, ketua Komunitas Seniman Pengosekan (KSP), sampai sekarang cukup aktif dan sering mengadakan pameran pada event-event tertentu baik terkait dengan kepentingan paguyuban itu sendiri, desa Pengosekan, maupun partisipasinya di tingkat kecamatan (Ubud) serta untuk memperingati hari-hari penting nasional dan internasional (Wawancara, 08Nopember 2012). Keberadaan pelukis Desa Pengosekan sampai saat ini (saat penelitian ini dilaksanakan, 2012) yang masih aktif dan terdaftar sebagai anggota Komunitas Seniman Pengosekan sebanyak 93 orang terdiri dari 68 orang digolongkan pelukis muda(25-50 tahun), dan 25 orang pelukis tua (50 tahun ke atas). Beberapa nama nama pelukis tua antara lain : I Gusti Putu Sana, I Dewa Made Kawan,
47
Dewa Made Oka Wiri, I Wayan Muka, I Ketut Lier, I Dewa Nyoman Laba,Nyoman Latra, I Wayan Wijil, I Gusti Kompyang Miasa, I Dewa Ketut Sudiana, Dewa Putu Anom, I Dewa Ketut Sudiana, I Dewa Made Sentana, termasuk didalamnya I Dewa Nyoman Batuan. Nama-nama pelukis muda, antara lain : I Ketut Astawa, Made Suta, I Dewa Nyoman Sumertayadnya, I Dewa Putu Sudiantara,I Dewa Putu Kartama, I Ketut Astawa, I Nyoman Surawan, I Dewa Putu Warjaya, I Wayan Suadnyana, Made Mawa, I Kadek Pele, I Made Rauh, I Wayan Midep, I Gusti Ngurah Denik,I Wayan Jeblos(Wawancara dengan I Dewa Putu Adnyana, 08 Nopember 2012). Dikalangan pelukis tua yang masih aktif melukis sampai saat ini adalah I Dewa Nyoma Batuan. Menurut I Dewa Putu Adnyana (ketua perkumpulan pelukis Pengosekan) periode 2010 – 2015, menyatakan : “Dewa Aji Batuan adalah sosok panutan masyarakat Pengosekan, beliau pernah menjabat sebagai pemimpin desa adat (Bendesa adat)selama dua periode. Beliau sangat memahami tradisi, adat, budaya dan ajaran-ajaran agama (Hindu). Dikalangan seniman, beliau dikenal sebagai sosok yang sangat peduli dengan sesama pelukis. Terhadap pelukis muda Pengosekan sering memberikan semangat dan dorongan dalam berkarya. Yang tyang (saya) ingat saran beliau, „jangan sampai berhenti melukis, cari sampai ketemu yang namanya jati diri‟ sebagai manusia dan seniman” (Wawancara, 08 Nopember 2013). Sesuai pernyataan Dewa Adnyana di atas, terbukti bahwa Dewa Batuan tidak sekedar memberikan saran dan dorongan kepada orang lain, tetapi iabuktikan pada dirinya sebagai pelukis yang produktif, sehingga karya-karyanya sangat banyak dan tertata rapi terpajang di studionya.
48
4.8 Riwayat Hidup I Dewa Nyoman Batuan
Gambar 4.2 I Dewa Nyoman Batuan Dok : I Dewa Nyoman Batuan, tahun 2008
I Dewa Nyoman Batuan lahir tahun 1939 di desa/banjar dinasPengosekan, tanggal 14 Februari 2014.Sejak umur delapan tahun Dewa Batuan sudah terbiasa membantu orang tuanya bekerja di sawah dan ladang. Seperti anak-anak di desa umumnya, Dewa Batuan juga memelihara itik dan sapi untuk membantu menambah penghasilan keluarga. Dari telor itik itu Dewa Batuan bisa membiayai dirinya untuk sekolah dan menambah uang untuk lauk pauk keluarga. Di waktu senggang, Dewa Batuan menyempatkan diri belajar melukis pada pamannya, I Gusti Ketut Kobot, seorang pelukis tradisional angkatan Pita Maha yang namanya cukup dikenal dalam kancah seni lukis tradisional Bali. Jadi, kegiatan rutin Dewa Batuan kecil selalu di isi dengan belajar, membantu orang tua dan belajar melukis. Pagi hari, Dewa Batuan belajar di Sekolah Rakyat (SR) tepatnya di Sekolah Rakyat desa Mas dan sorenya belajar
49
melukis pada pamannya, I Gusti Ketut Kobot.Dewa Batuan masih ingat betul karya yang dibuat pertama kali bertemakan Suta Soma. Sejak kecil Dewa Batuan menyukai cerita-cerita yang berhubungan dengan kehidupan orang Bali, khusunya cerita tentang ketaatannya dalam menjalankan pengabdian pada Sang Pencipta (Hyang Widhi). Tahun 1954 Dewa Batuan tamat pendidikan dasar, Sekolah Rakyat di desa Mas. Karena sejak kecil bercita-cita menjadi guru, makakemudian Dewa Batuan melanjutkan ke Sekolah Guru Bawah Negeri (SGBN) di Gianyar, dengan ikatan dinas. Setamat dari SGBN tahun 1959, ia sempat beristirahat sebentar,sambil menunggu pengangkatannya menjadi guru. Pada masa penungguannya ini, waktunya banyak di isi dengan aktivitas melukis. Setahun kemudian, tepatnya tahun 1960 Dewa Batuan diangkat menjadi guru Sekolah Dasar di Sayan, Desa Kedewatan, Ubud. Merasa diri sudah siap untuk menempuh tingkatan hidup ke jenjang Griya asta (berumah tangga), ditambah dengan sudah memiliki pekerjaan tetap, menjadi guru, maka Dewa Batuan mengambil keputusan untuk menikah dengan wanita idamannya, Desak Nyoman Cana, yang juga seorang guru Sekolah Dasar di Desa Kemenuh, Gianyar. Tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 1963 Dewa Batuan dipindahkan dan mendapat tugas mengajar di Sekolah Dasar Lodtunduh, masih di sekitar wilayah Ubud. Bertepatan dengan kepindahannya itu terjadi bencana alam, meletusnya gunung Agung yang terletak di daerah Karangasem, wilayah timur pulau Bali.
50
Kesedihan sangat mendalam, penderitaan, kelaparan serta kemiskin melanda masyarakat pulau Bali saat itu. Tidak terasa empat tahun telah berlalu sejak melangsungkan upacara pernikahannya, Dewa Batuan sudah dikaruniai tiga orang anak. Kesulitan hidup mulai dirasakan, gaji yang diperolehnya sebagai guru tidak mencukupi untuk menanggung tiga orang anaknya. Pada tahun 1964 Dewa Batuan mencoba mulai menjual lukisan ke derah-daerah yang banyak turisnya, seperti Denpasar, Kuta dan Sanur. Tahun 1970, tepatnya tanggal 12 Juli Dewa Batuan bersama dengan teman-teman pelukis di Pengosekan mendirikan perkumpulan seniman lukis dengan nama Pengosekan Community Of Artists dengan 20 orang anggota. Dewa Batuan bersama 20 orang pelukis lainnya
mulai berkumpul dan berkarya
bersama-sama sambil mencari jalan keluar untuk memasarkan karya-karya yang dihasilkan. Biasanya para pelukis tersebut datang ke satu tempat, berkumpul, berkarya sambil mengajak anak-anaknya yang rata-rata masih kecil. Secara tidak langsung, anak-anak tersebut mulai mengenal dan tertarik dengan seni lukis, bahkan ikut melakukannya, melukis bersama-sama sesama anak sambil bermain. Pada saat berkumpul bersama anak-anak tersebut mulai diperkenalkan teknik melukis tradisional yang benar. Pada mereka ditanamkan, bahwa melukis tradisional itu memerlukan daya khayal yang tinggi, kemampuan berimajinasi, kemampuan skil dan kesabaran. Dengan demikian, anak-anak tadi mulai
51
menuangkan khayalannya ke bidang gambar. Pada umumnya hasil khayalan dari anak-anak yang dituangkan ke dalam bidang gambar adalah tokoh tokoh yang menjadi idolanya dalam dunia pewayangan. Pada tahun 1975 Dewa Batuan dan kawan-kawan mulai mengadakan pameran pameran. Pameran pertama diadakan di rumahnya sendiri di Pengosekan. Pamera-pameran berikutnya diadakan di museum, hotel-hotel besar yang ada di Bali, juga di luar negeri seperti Eropa, Australia, Amerika dan di negara-negara Asia. Di tengah-tengah aktivitas pameran yang diadakan di berbagai tempat baik di dalam maupun di luar negeri, di benak Dewa Batuan dan kawan-kawan terbersit ide untuk melukis bentuk-bentuk binatang dan tumbuh-tumbuhan secara realis, tujuannya adalah agar masyarakat mudah memahami lukisan-lukisan yang dihasilkan. Selanjutnya realisasi dari ide tersebut di atas menghasilkan karya yang dikenal dengan seni lukis Flora dan Fauna. Dewa Batuan sangat bersyukur, dengan menekuni profesi sebagai pelukis disamping menjadi guru dapat mengenal tempat-tempat lain di dunia melalui pameran-pameran. Karya-karya lukisan mandalanya mulai diperkenalkan melalui pameran- pameran yang diadakan di luar negeri, antara lain : 1. Art Exibelfition, Museum Nusantara di Delf, Holland, 25 April 1985 2. Asian Art Show, Fokuoka Art Museum, Jepang, 2 Nopember 1985 3. Specuial Exibition of Balinese Art, Amerika Line, Holland,16 Nopember1993 4. Asian Art Forum,The International House of Japan, 16 Nopember 1995
52
5. Teaches of Balinese Art, La Trobe University Museum ,Victoria, Autralia, 22 Februari 1999 Pameran-pameran di dalam negeri tidak terhitung jumlahnya, salah satu di ataranya adalah pameran tunggal di Museum Neka, Ubud, Bali tahun 2002, dan terakhir di Bentara Budaya Bali, Tahun 2010 4.8.1 Penghargaan Beberapa penghargaan telah diperoleh oleh Dewa Batuan dalam perjalanan karirnya sebagai pelukis, antara lain : 1. Piagam “Dharma Kusuma”penghargaan bidang seni lukis dari pemerintah Daerah Bali, tahun 1994. 2. Piagam “Wijaya Kusuma”penghargaan bidang seni lukis dari Daerah Kabupaten Gianyar, tahun 1995. 3. Penghargaan dari Menteri Kebudayan dan Pariwisata Republik Indonesia, tahun 2008, atas jasanya menciptakan seni lukis flora dan fauna. 4.8.2 Pengalaman Sosial Bermasyarakat Dalam perjalanan hidupnya, sebagai makhluk sosial baik sebagai guru maupun sebagai pelukis, Dewa Batuan tidak bisa lepas dari kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam kehidupan bermasyarakat. Sudah menjadi rahasia umum, di Bali biasanya kalau seseorang dipandang memiliki kelebihan dalam bidang apapun dapat dipastikan sekali waktu pasti dijadikan pemimpin oleh warganya.
53
Begitu pula dengan Dewa Batuan beberapa kali diberikan kepercayaan oleh warganya untuk menjadi petajuk, klian, sampai pada bendesa. Beberapa jenis jabatan yang pernah diembannya sebagai bentuk pengabdian dalam kehidupan bermasyarakat, antara lain : 1. Pernah menjabat Petajuk ( wakil kepala dusun ) dari tahun 1972 – 1977 2. Pada tahun 1977 – 1987 menjabat sebagai Klian Banjar(Kepala Dusun). 3. Tahun 1987 – 2000, menjadi Bendesa Adat ( Ketua Adat ) Desa Pekraman Pengosekan. 4.9 Proses penciptaan seni lukis karya I Dewa Nyoman Batuan Dalam rangka mewujudkan keinginan dan cita-cita untuk menjadikan sesuatu memiliki nilai, apapun itu, lebih-lebih dalam dunia seni rupa, tentu memerlukan proses. Seniman; penari, penyanyi, pemusik, pematung, pelukis, dan lain sebagainya dalam rangka melahirkan karya-karyanya memerlukan proses. Proses, process (Inggris), yang artinya : 1 jalannya, bekerjanya, dan 2 cara mengerjakannya (Wojowasito, 1985: 159). Dalam buku Diksi Rupa Kumpulan Istilah dan Gerakan Seni Rupa oleh Mikke Susanto (2011: 320) ditulis proses kreatif proses perubahan, proses evolusi maupun proses mencipta dalam organisasi dari kehidupan subjektif manusia. Penciptaan dimulai dengan kegairahan yang bersifat samar, bahkan membingungkan semacam firasatatau isyaratyang
masih
terpendam
dalam
batin
yang
menandakan
adanya/
tersimpannya penyelesaian. Proses kreatif tersebut memiliki unsur-unsur
54
pendorong seperti sarana, keterampilan, orisinalitas, karya, apresiasi, lingkungan, identitas, dan seniman itu sendiri. Mereka berpadu saling mempengaruhi dan saling bergantung untuk menjalankan proses-proses/fase-fase dalam membentuk karya seni, antara lain fase persiapan ke fase pengeraman, selanjutnya fase inspirasi dan fase pengelolaan serta penyelesaian. Dalam buku Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa oleh R M. Sudarsono (2001 : 207) disebutkan bahwa dalam proses penciptaan lukisan, metode yang digunakan adalah metode penciptaan yang mengacu pada pendapat Alna Hawkins dalam bukunya Creating Through Dance dan bisa diterapkan dalam penciptaan seni lukis. Hawkins mendasarkan bahwa penciptaan seni tari yang baik selalu melewati tiga tahapan , yaitu (1) exploration (eksplorasi), (2) improvisation (improvisasi), dan (3) forming (pembentukan atau komposisi). Lebih lanjut R M. Soedarsono berpendapat bahwa rumusan Hawkins perlu dimodifikasi agar bisa digunakan untuk seni rupa. Kegiatan improvisasi dalam tari perlu diganti dengan eksperimentasi dalam seni rupa. Pergantian ini menurutnya, walaupun namanya berbeda tetapi arah kenyataannya sama, yaitu untuk mendapatkan rancangan yang dianggap sesuai dengan yang diinginkan. Dengan demikian, metode yang dipergunakan dalam pennciptaan karya seni lukis adalah eksplorasi, eksperimentasi, dan pembentukan. Proses penciptaan lukisan karya Dewa Batuan sesungguhnya secara esensial juga telah melalui ketiga tahapan tersebut, yaitu eksplorasi, eksperimentasi dan pembentukan. Namun, oleh karena karya Dewa Batuan tergolong seni lukis tradisional, maka ada hal-hal,
55
terutama dalam proses pengerjaannya harus melewati tahapan-tahapan sesuai ketentuan yang ada. Secara garis besar, tiga proses tersebut diatas selalu ditempuh oleh Dewa Batuan ketika ia menciptakan karyanya antara lain :
1. Eksplorasi Tahapan eksplorasi merupakan tahapan awal dalam proses penciptaan seni lukis. Pada tahap ini Dewa Batuan sudah siap dengan kanvas dihadapannya, namun ia tidak serta merta melukis, karena apa yang akan dituangkan dalam kanvas sifatnya masih mencari atau mengumpulkan ide serta mengingat-ingat kembali hal-hal apa yang pernah dialami baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengalaman-pengalaman tersebut diatas sudah terakumulasi, kemudian terseleksi secara alami dan selanjutnya siap untuk dituangkan kedalam kanvas dengan membuat berbagai sketsa bentuk (ngorten) sesuai imajinasinya..
2. Eksperimentasi Tahapan kedua disebut dengan eksperimentasi, yakni merupakan proses percobaan
dengan mengintensipkan pembuatan
sketsa bentuk yang sudah
ditempuh pada tahap awal (eksplorasi). Jika bentuk-bentuk dan penataannya secara keseluruhan sudah dianggap pas, kemudian dilanjutkan dengan mempertebal atau mempertegas garis-garis sketsa bentuk dari pensil dengan tinta hitam yang pada proses seni lukis tradisional Ubud/Pengosekan disebut dengan nyawi.
56
3. Pembentukan Pada proses ketiga, yakni pembentukan, dalam seni lukis tradisional Ubud atau Pengosekan mencakup tiga tahapan sekaligus yakningabur, nguap, danngewarnen. Ngabur adalah tahapan pembentukan dengan memberikan gelap terang guna memunculkan kesan volume dan elastisitas pada bentuk serta memberikan kesan perspektif pada ruang dan bidang yang sudah ditata sedemikian rupa dalam bidang kanvas. Nguap adalah proses pewarnaan dengan satu jenis warna sebagai warna dasar objek lukisan secara keseluruhan. Dan Ngewarnen adalah proses mewarnai dengan berbagai macam warna sesuai keinginan. Sesungguhnya apa yang disampaikan oleh R M. Soedarsono dalam buku MetodologiPenelitian seni Pertunjukan dan Seni Rupa mengenai proses penciptaan tidak ada perbedaan yang prinsip terhadap proses penciptaan seni yang lainnya. Proses penciptaan seni lukis karya I Dewa Nyoman Batuan misalnya, walaupun ada perbedaan, itu pun sifatnya hanya sebagai tambahan yang memang sudah merupakan proses yang baku dalam penciptaan seni lukis tradisional. Menurut Dewa Batuan, umumnya, pelukis radisional Bali gaya Ubud dan Pengosekan dalam melukis melalui beberapa tahapan atau fase sebagai suatu proses yang sudah baku yang harus ditempuh dalam menciptakan karyakaryanya. Demikian pula Dewa Batuan sendiri, sebagai salah satu anggota
57
(senior) dari komunitas pelukis pengosekan juga menempuh hal yang sama dalam berkarya. Adapun tahapan-tahapan tersebut antara lain : 1. Ngorten, tahapan membuat sket dengan pensil. Menurut Dewa Batuan, tahapan ini diartikan sebagai tahapan bebas, santai, sesuai kata ngortenberarti ngorta (ngobrol). Berkarya membuat sket sambil ngobrol bebas untuk mendapatkan ide-ide yang akan dituangkandalam karyanya. 2. Nyawi, adalah tahapan mempertegas garis sket yang dibuat dari pensil dengantinta hitam. Menurut Dewa Batuan tahapan ini merupakan tahapan memperjelas garis dan memberi batasan-batasan yang tegas terhadap bentuk yang dibuat dengan pensil di atas (tahap 1). Hal ini oleh Dewa Batuan dimaknai bahwa kebebasan pada tahap membuat sket, ngorten di atas adalah kebebasan yang ada batasnyaatau bebas terbatas. Menurutnya, dari sinilah kita akan memberikan batasanyang
jelasagar sesuai
dengandaya pikir dan kemampuan kita. 3. Ngabur, memisahkan bagian-bagian menjadi gelap dan terang dengan warna hitam, yang bermaknabahwa kita harus menyadari dan dapat menerima perbedaan dalam hidup.Terang dan gelap akan selalu mewarnai kehidupan dalam dunia ini. 4. Ngewarnen, memberikan bermacam-macam warna, yang maknanya bahwa dalam hidup kita harus menjaga keharmonisan untuk mencapai kedamaian hidup (Wawancara dengan Dewa Batuan, 13 Januari 2013).
58
Sebagai seorang pelukis, Dewa Batuan adalah sosok yang sangat disiplin, taat dalam menjalankan ajaran-ajaran sebagai tuntunan hidup sesuai tradisi, budaya, dan agama yang dianutnya. Didukung pengalamannya sebagai pemimpin dalam organisasi kemasyarakatan membuat dirinya semakin matang serta pemahaman dan penhayatannya terhadap nilai dan esensi kehidupan semakin mendalam. Mandala adalah hasil dari proses renungannya sampai sekarang menjadi konsep dan tema dalam karyanya. Baginya, hidup dan kehidupan, serta apa saja yang ada di dunia ini adalah mandala, sehingga tema-tema lukisannya tidak terbatas pada apa yang ada dan apa yang diwarisi, melainkan sangat luas sesuai apa yang menjadi perhatiannya saat ia melukis.
4.9.1 Bahan dan alat Pada setiap proses penciptaan karya seni, bahan dan alat merupakan faktor utama untuk mewujudkannya. Karya seni lukis misalnya, bidang datar; bidang dua dimensi berupa kertas, kain kanvas, papan, dan bidang datar lainnya sangat dibutuhkan sebagai tempat untuk mengekspresikan ide-ide pelukisnya menjadi suatu karya seni lukis.Namun, pada perkembangan selanjutnya seni lukis tidak hanya terbatas pada bidang dua dimensi saja, melainkan sudah berkembang pada media tiga dimensi, bahkan juga multi dimensi. Adapun bahan yang biasa dipakai Dewa Batuan untuk melukis antara lain kertas dan kain kanvas (media dua dimensi), pensil, tinta dan cat akrilik berbagai macam warna, air atau oli sebagai bahan pencair cat. Sedangkan alat-alatnya antara lain kuas tradisional berbagai ukuran dari bambu, pena juga dari bambu,
59
Palet mes,(tempat mencampur cat), air, minyak tanah, bensindan kain lap untuk pembersih kuas. Di bawah ini beberapa foto bahan dan alat yang digunakan melukis :
Gambar 4.3 Alat-alat melukis I Dewa Nyoman Batuan Dok : Aprillia
Gambar 4.4 Bahan melukis I Dewa Nyoman Batuan Dok : Aprillia
BAB V BENTUK SENI LUKIS MANDALA OLEH I DEWA NYOMAN BATUAN
5.1 Seni Lukis Mandala Karya I Dewa Nyoman Batuan Definisi bentuk dalam buku Diksirupa Kumpulan Istilah danGerakanSeni Rupa, adalah: 1. Bangun, gambaran; 2. Rupa, wujud; 3. Sistem, susunan. Dalam karya seni rupa biasanya dikaitkan dengan matra yang ada, seperti dwimatra atau trimatra (Susanto, 2011: 54) Sedangkan menurut Djelantik (1999 : 20), bentuk yang paling sederhana adalah titik. Kumpulan dari beberapa titik yang ditempatkan di area tertentu akan mempunyai arti. Kalau titik-titik berkumpul dekat sekali dalam suatu lintasan titik itu akan membentuk garis. Beberapa garis bersama bisa membentuk bidang. Beberapa bidang bersama bisa membentuk ruang. Titik, garis, bidang dan ruang merupakan bentuk yang mendasar bagi seni rupa. Bell yang mengarang buku berjudul Art (1914) berpendapat bahwa segenap seni penglihatan dan musik sepanjang masa memiliki bentuk penting sehingga seni itu dihargai orang. Intisari dari seni adalah bentuk penting atau istilah aslinya dari Bell ialah significant form. Bentuk ini adalah suatu ciri obyektif dari suatu karya seni. Adanya bentuk penting dalam suatu karya seni adalah sepenuhnya penting bagi penilaianterhadap karya itu. Dalam seni lukis bentuk penting adalah penggabungan-penggabungan dari berbagai garis, warna, bidang dan semua unsur lainnya, yang membangkitkan perasaan khas berupa perasaan estetis. Bentuk ini merupakan suatu ciri obyektif 60
61
imajinasi alam ataupun pikiran manusia yang dibangun oleh struktur maupun unsur-unsur visual seperti garis, bidang, warna, tekstur dan komposisi yang membentuk suatu wujud sehingga dapat ditangkap secara konkrit. Sesuai penjelasan diatas, bahwa yang disebut bentuk dalam karya seni rupa adalah suatu wujud atau rupa atau pula gambaran yang tersusun dari unsurunsur visual seperti garis, bidang, warna, tekstur dan komposisi yang biasanya dikaitkan dengan matra yang ada, seperti dwimatra atau trimatra sehingga dapat ditangkap secara konkrit serta dapat membangkitkan perasaan yang khas berupa perasaan estetis. Bahkan Bell mengatakan bahwa intisari dari seni adalah bentuk penting yang istilah aslinya adalah significant form. Selanjutnya, bentuk seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan merupakan akumulasi dari renungan dan pengalaman hidup yang didasari oleh tradisisi, adat, budaya dan agama(Hindu) yang diekspresikan lewat garis, bidang, warna, ruang tekstur dan unsur-unsur lainnya. Menurut Dewa Batuan, hasil dari pengamatan, pemikiran dan renungan tentang hidup dan kehidupan serta ha-hal yang terjadi baik secara teratur maupun tidak, kenyataan-kenyataan yang ada, pemaknaan simbol dan segala macam bentuk ilmu pengetahuan adalah mendala. Berdasrarkan keyakinannya pula, bahwa semua isi alam baik yang nyata maupun yang tak nyata berasal dari bulatan-bulatan kecil. Mereka ada pada ruang tanpa batas. Atas dasar itulah Dewa Batuan membuat lukisan bulat sebagai ciri khasnya dengan tidak meninggalkan kaidah-kaidah seni rupa, seperti bentuk (rupa), keindahan (rasa), dan nilai (bobot).
62
Untuk lebih mudah dikenal oleh umum, maka setiap lukisannya diberi nama mandala, yang bermakna untuk membatasi hidup yang nyata dan yang tak nyata di dalam ruang dan waktu yang tak terbatas (Wawancara, 10 Nopember 2013). Secara visual, segala macam bentuk yang terekspresikan dalam lukisan Dewa Batuan selalu berada dalam pola lingkaran yang bergerak mengerucut pada satu titik pusaran. Sebagaimana bentuk mandala, disamping merupakan simbol dalam Hindu, pada dasarnya adalah merupakan bentuk geometris bersendikan bujur sangkar dan lingkaran konsentris, berputar sambil terus meningkat ke satu pusat tertinggi. Mandala dianggap sebagai suatu mikrokosmos, suatu replika kecil dari alam semesta (Susanto, 2011 : 248). Sebagai subjeck matter dari seni lukis Dewa Batuan tidak lain adalah halhal yang menjadi perhatian dan pertanyaan-pertanyaan mengenai hidup dan kehidupan yang dilandasi adat, budaya, dan ajaran-ajaran agama yang dianutnya (Hindu). Sehubungan dengan hal tersebut, maka keseluruhan tampilan dari karyakaryanya mengetengahkan bentuk-bentuk simbolik penuh makna, filsafat hidup yang digarap secara dekoratif sebagaimana seni lukis Bali umumnya. Bentuk seni lukis Dewa Batuan dapat dilihat dari segi tema, unsur-unsur yang dipergunakan, dan struktur penyusunannya. Tema lukisan yang diungkap lewat elemen-elemen melalui struktur penyusunan tertentu akan memberikan gambaran tentang identifikasi bentuk lukisannya.
63
5.1.1 Tema Lukisan I Dewa Nyoman Batuan Tema secara umum adalah ide yang mendasari suatu ciptaan, atau merupakan elemen seni rupa dalam arti luas yakni mencakup apa yang diungkapkan dalam wujud fisik maupun non fisik. Secara fisik dapat diketahui berdasarkan wujud nyata seperti garis, bidang, ruang, warna, dan tekstur. Tema merupakan hal penting dalam menampilkan sebuah karya seni lukis. Selain itu tema dapat mendukung mengenai keberadaan seniman di luar ketrampilannya, dan diabadikan melalui bentuk, corak atau gaya tersendiri secara visual. Dewa Batuan adalah sosok pelukis yang kreatif dan sangat idealis. Sehingga apa yang dikemukakan dalam karyanya tentu merupakan sesuatu yang ideal, sesuai dengan keinginannya. Pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam benaknya terkait dengan hidup dan kehidupan di dunia ini, selalu diamati, direnungi, dianalisa, hingga akhirnya ia dapatkansuatu jawaban yang kemudian dijadikan sebuah kesimpulan.Kesimpulan dimaksud, bahwa segala macam bentuk,benda (benda hidup dan benda mati), kejadian-kejadian dan pengalaman, baik yang dialami secara langsung maupun tidakyang terjadi dan ada di duniaini adalah mandala. Mandala inilah kemudian dijadikan konsep dan tema pada setiap karya (seni lukis) yang diciptakannya. Seperti apa yang disampaikan Dewa Batuan dalam penuturannya berikut di bawah ini : “...Saya percaya bahwa semua isi alambaik yang nyata maupun yangtidak nyata berasal dari bulatan-bulatankecil, merekaadapada ruangantanpa batas. Darikeyakinan itulah saya membuatlukisan bulatdengan ciri khas pada setiap lukisan selalu ada bentuk(rupa), keindahan (rasa), nilai (bobot).Agar mudah dikenal umum, maka setiap lukisan yang saya buat, saya namakan mandala”(Wawancara,18 Nopember 2013).
64
Sesuai dengan pernyataan Dewa Batuan diatas, tema-tema yang diangkat dalam lukisannya merupakan ungkapan perasaan, pengalaman, hasil dari pemikiran, renungan serta kajiannya tentang eksistensi, keberadaan diri, serta hal-hal yang ada dan yang terjadi di muka bumi ini. Susanne Langer dalam Djelantik (2008: 138), Art is the creation of form symbolic of human feeling(Kesenian adalah penciptaan wujud-wujud yang merupakan simbol dari perasaan manusia). Dalam kata lain: yang dituangkan seniman dalam karyanya adalah simbol dari perasaannya, sesuatu yang mewakili perasaannya. Hasil dari pemahaman dan perpaduan dari beberapa teori seni yang ada,(Gie, 1996: 41-45) menyimpulkan ada lima ciri yang sebagai kebulatan merupakan sifat dasar seni, yaitu: 1) kreatif, 2) individualitas, 3) ekspresif atau perasaan, 4) keabadian, dan 5) semesta. Terkait dengan sifat dasar seni yang ketiga, yakni menyangkut tentang perasaan adalah berhubungan dengan emosi seniman yang dituangkan ke dalam karyanya yang diperoleh dari pengalaman hidupnya. Dengan demikian, sesuai dengan definisi kesenian dari Susanne Langer, dan sifat-sifat dasar seni yang disampaikan oleh Gie tersebut di atas, bahwa apa yang dijadikan tema dalam lukisan Dewa Batuan merupakan ungkapan perasaan yang diperoleh dari pengalaman selama hidupnya. Mandala yang dijadikan pijakan untuk memahami tentang hidup dan kehidupan serta makna ber-ada divisualkan
melaui
karya-karyanya
dengan
bentuk-bentuk
abstrak-
65
simbolik.Berkaitan dengan bentuk seni lukis mandala, I Gusti Putu Sena, seorang pelukis tradisional Pengosekan menuturkan, seperti di bawah ini : “Gambaran De Aji Batuan gobane anak sing karuan, polos. Kewala yen ragane nyatuang luung pesan dingeh. Ragane anak ngambar isin agama, budaya, lan adat Bali” (Wawancara dengan I Gusti Putu Sena, 20 Nopember 2013). Terjemahan secara bebes adalah sebagai berikut: “Lukisan Dewa Batuan rupanya atau bentuknya abstrak, sederhana. Tetapi kalau diceritakan olehnya sangat baik kedengarannya. Beliau melukis tentang agama, adat, dan budaya Bali dalam bentuk-bentuk simbol. Untuk lebih mudah dikenal oleh khalayak, dan mempertegas konsep dan tema yang diangkat, dibuatlah lukisan bulat. Pada setiap tema dan judul lukisannya diawali dengan “mandala”.Seperti, Mandala Bulat, Mandala Lingga Yoni, Mandala Tat Twam Asi, Mandala Rwa Bhineda, Mandala Merenung, Mandala Aku Murid, Mandala Aku Guru, Mandala Aku Dagang, Mandala Tiga Garis Sakti, Mandala Tiga Bentuk Garis dan lain sebagainya. Tema-tema yang diangkat oleh Dewa Batuan dalam karya-karyanya dapat dikatagorikan sebagai berikut : Pertama, tema-tema yang terkait dengan ajaran filsafat agama (Hindu) sebagai tuntunan hidup yang bersifat simbolik, serta keyakinannya terhadap keberadaan Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa) sebagai pencipta alam beserta segala isinya. Kedua,filsafat tentang tradisi adat dan budaya Bali, dan ketiga, adalah tentang pengalaman hidupnya dari kecil hingga dewasa (masa berumah tangga). Di bawah ini disajikan karya-karya Dewa Batuan sehubungan dengan tema atau judul yang telah disebutkan di atas.
66
Gambar 5.1. Mandala Bulat Dok : I Dewa Nyoman Batuan, tahun 2003
Gambar 5.1 berupa foto lukisan karya I Dewa Nyoman Batuan dengan judul “Mandala Bulat”,secara visual menampilkan pola-pola lingkaran besarkecil, ditata sedemikian rupa saling bertumpukan dengan warna-warna magis; hitam, putih, merah, dan kuning. Di tengah-tengah ada bulatan berukuran sedang disusun secara vertikal. Bulatan paling bawah dipenuhi titik-titik kecil sebagai pusat perhatian. Terakhir, pada permukaan dibuat lingkaran kecil semakin keluar semakin membesar dengan warna putih sebagai pengunci bulatan atau lingkaran di bawahnya. Lukisan berjudul “Mandala Bulat” tersebut diatas menunjukan betapa kuatnya
keyakinanDewa
Batuanterhadap
analisa-analisanya
berdasarkan
renungan yang mendalam, bahwa semua yang ada di jagat raya ini berasal dari bulatan-bulatan kecil yang bermakna tiada awal tiada akhir, tiada ujung tiada pangkal. Disampaikan pula, bulatan-bulatan yang disusun sedemikian rupa juga bermakna bahwa segala sesuatu yang terjadi, dan ada di dunia ini tidak akan
67
pernah berhenti, berputar terus sampai yang punya, Sang Pencipta menginginkan berakhir (Wawancara, 26 Nopember 2013).
Gambar 5.2. Mandala Lingga Yoni Dok : I Dewa Nyoman Batuan, tahun 2003
Gambar 5.2 berupa foto lukisan Dewa Batuan dengan judul “Mandala Lingga Yoni”. Dalam agama Hindu lingga yoni merupakan bentuk simbolik dari purusa-predana, laki-perempuan sebagai lambang kesuburan. Menurut Gosta Liebertlingga diartikan sebagai tanda jenis kelamin atau seks, phallus, sebuah simbol asas kelaki-lakian (Liebert, 1976: 152). Selain itu linggadikatakan pula simbol dewa Siwa dan biasanya ditempatkan diatas sebuah vulva ( yoni ). Yoni disini berarti simbol alat kelamin wanita, sebagai simbol dari unsur wanita (Ayatrohaedi dkk, 1981: 51). Terhadap karyalukisannya “Mandala Lingga Yoni”oleh Dewa Batuan disertai pula dengan puisi dan pejelasanya, sebagai berikut :
68
“MANDALALINGGA YONI” Dari kenyataan mencoba percaya, Berkembang, beranak, bertelur, Terjadi karena kasih sayang yang mesra, Keluar dari dirinya, Tuhan, Purusa atau laki disebut Lingga, Predana atau perempuan disebut Yoni, Terciptalah alam dan isinya. “...Setelah saya amati dan saya renungkan secara mendalam, betapa pentingnya makna persetubuhan bagi kelestarian alam dan isinya. Persetubuhan badan yang dilandasi atas cinta kasih yang suci, pertemuan antara lingga dan yoni, jantan betina, antara laki-laki dan perempuan menghadirkan generasi selanjutnya.Persetubuhan antara langit (hujan) dan pertiwi (tanah)menyuburkan benih padi. Karena lewat pertemuan itulah, Tuhan hadir dan menciptakanalam dan isinya yang hingga kini tetap ada dan akan tetap ada sepanjang terjadi penyatuan lingga dan yoni(Batuan, 2003). Menyimak puisi dan penjelasan diatas, betapa Dewa Batuan sangat menghormati keberadaan lawan jenis laki - perempuan, dalam dunia agamis (Hindu ) dipandang sebagai sesuatu yang sangat suci. Segala sesuatu yang ada di muka bumi ini tercipta dan terlahir melalui hubungan sucilingga-yoni sebagai lambang kesuburan. Pada karya Dewa Batuan “Mandala Lingga Yoni”terlihat bentuk alat kelamin laki-perempuan yang telah diolah ke dalam bentuk abstrak, walaupun sesungguhnya, secara samar-samar, tanda tersebut masih bisa ditangkap dengan jelas. Bentuk lingga - yoni ditempatkan pada titik pusaranlingkaran sebagai pusat perhatian, diikat dengan untaian tali berbentuk swastika. Kemudian lingkaranlingkaran yang mengitari bentuk lingga-yoni mengembang makin membesar dansetiap lingkaran dipenuhi dengan bentuk-bentuk pepohonan, binatang, dan
69
manusia sebagai wujud isi alam yang tercipta dan terlahir dari pertemuan antara lingga dan yonitersebut. Pada lingkaran terakhir deformasi bentuk bunga teratai yang disebut padma yang terdiri dari delapan helai yang notabene dalam agama (Hindu) merupakan lambang suci (S.Pendit, 1993 : 106). Bentuk bedawangnalahadir sebagai dasar obyek lingga-yoni secara keseluruhan. Dalam filosofi Hindu bedawangnala adalah bentukseekor kura-kura raksasa yang dibelit oleh dua ekor naga merupakan simbol dasar, pondasi untuk menjaga keseimbangan dan kesetabilan bhuana agung, makrokosmos (Wawancara, 30 Nopember, 2012). Berikut apresiasi dan pandangan Pande Wayan Suteja Neka tentang bentuk dan tema karya I Dewa Nyoman Batuan : “Pak…, seangkatan dan sebaya dengan dia (Dewa Batuan), sama-sama pernah menjadi guru. Dia senang nyastera, orang yang senang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan usada (pengobatan tradisional), mendalami filosofi budaya Balidan ajaran-ajaran agama (Hindu), undagi, hali bangunan tradsional. Karya-karyanya mengangkat tentang nilai-nilai filsafat yang sarat dengan makna keagamaan. Dewa Batuan dikenal dengan seni lukis mandalanya, yang bulat…, yang lingkaran itu” (Wawancara, 20 Januari 2015). Sebagaimana diketahui, karya-karya Dewa Batuan merupakan refleksi perjuangannya untuk mengerti, dan memahami esensi dan makna hidup dan kehidupan di dunia ini, sehingga apa yang divisualkan dalam karyanya adalah bentuk-bentuk simbolik dengan pemaknaan sesuai ikon-ikon yang ditampilkan. Lukisan “mandala lingga yoni” di atas merupakan abstraksi kebebasan Dewa Batuan dalam menpigurasikan obyek-obyeknya dalam bentuk-bentuk simbol baik yang ikonik maupun non ikonik.
70
Gambar 5.3. Mandala Tat Twam Asi Dok : I Dewa Nyoman Batua, tahun 2003
Gambar 5.3 foto karya seni lukis Dewa Batuan “Mandala Tat Twam Asi” adalah merupakan ungkapan filosofi dalam agama (Hindu) yang mempunyai makna agar kita bisa saling menghormati, menghargai antar sesama untuk menuju kehidupan yang harmonis, damai dan sejahtera. “Aku adalah kamu, kamu adalah aku”, itulah arti dari Tat Twam Asi yang terkenal dikalangan umat sedharma (Hindu), suatu ajaran atau norma-norma kehidupan yang menuntun perilaku kita dalam pergaulan sehari-hari agar bisa saling menghormati antar sesama.Tat Twam Asibermakna menyakiti orang lain sama dengan menyakiti diri sendiri, membahagiakan orang lain sama dengan membahagiakan diri sendiri. Hal ini mencermikan bahwa Dewa Batuan sebagai pelukis sangat menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian tanpa memandang latarbelakang; suku, ras dan agama. Sesuai penuturannya terkait dengan Tat Twam Asi, seperti di bawah ini :
71
“Apapun yang kita ucapkan dan lakukan kepada orang lain, itu pulalah yang akan kita dapatkan kembali. Bila kita menginginkan cinta kasih, maka berikanlah cinta kasih kita kepada orang lain terlebih dahulu. Niscaya kita pun nantinya akan dicintai dan dikasihi. Jika kita mau orang lain bertutur sapa lembut terhadap kita, maka kitalah memulai bertutur kata lembut kepada mereka terlebih dahulu. Jika ingin orang lain menhargai diri kita, mulailahmenghargai orang lain terlebih dahulu. Itulah Tat Twam Asi, Kamu adalah aku, aku adalah kamu” (Wawancara,26 Nopember 2013)
Gambar 5.4. Mandala Rwa Bhineda Dok : I Dewa Nyoman Batuan, tahun 2003
Karya seni lukis Dewa Batuan dengan tema “Mandala Rwa Bhineda”. Secara visual, di tengah-tengah bulatan sebagai titik sentral dari lapisan bulatan yang membentuk lingkaran besar disajikan bentuk alat kelamin laki-laki dan perempuan sebagai obyek utama. Di atas bentuk kelamin laki-laki diberi tanda plus (+) dan tanda minus(-) sekaligus sebagai tanda kelamin wanita. Pada lingkaran yang mengelilingi obyek utama dipenuhi dengan kumpulan titik-titik kecil. Berikut pada lingkaran paling luar dan latarbelakangnya dihiasi dengan bergelombang dan menyudut.
72
Tanda plus-mines, (+ - ) yang disajikan pada obyek utama adalah bentuk simbolik dari konsep rwabhineda.Dalam ajaran agama Hindu,rwa bhineda merupakan dua hal yang berbeda (dualisme) yang selalu menyertai hidup dan kehidupan dimuka bumi ini, seperti pagi-sore, siang-malam, baik-buruk, gembirasedih, susah-senang, laki-perempuan,hitam-putih, gelap-terang dan sebagainya. Dualisme, dua hal yang berbeda tersebut di atas merupakan kenyataan hidup yang mewarnai kehidupan di muka bumi ini.Namun, kalau kita bisa mengendalikan, memadukan dan mensinergikan akan memunculkan suatu kehidupan yang indah, harmonis, penuh kedamaian. Menurut Dewa Batuan, hukum abadi yang diciptakan oleh Tuhan dalam hidup ini adalah rwa bhineda. Dua hal yang berlawananan, baik-buruk, siangmalam, gelap-terang, hitam-putih dan sebagainya, kalau disikapi secara arip adalah merupakan suatu keindahan. Coba bayangkan, bagaimana kalau isi alam ini dibuat sama, maksudnya kalau semua manusia di dunia kulitnya hitam, kemudian karakter dan sifatnya jelek, jahat, serta keyakinannya dibuat sama, sama agamanya. Maka dari itu, Tuhan sengaja menciptakan perbedaan-perbedaan untuk membuat kehidupan ini menjadi indah (Wawancara, 28 Nopember 2013).
73
Gambar 5.5. Mandala Merenung Dok : I Dewa Nyoman Batua, 2004
Selanjutnya, karya Dewa Batuan berjudul “Mandala Merenung”, adalah salah satu lukisan Dewa Batuan yang menggambarkan tentang kejadian atau pengalaman hidup yang pernah dialami dan dilakoni oleh Dewa Batuan sendiri. Dengan berbagai pengalaman, sebagai murid, sebagai guru, pernah menjadi pemimpin; kelian banjar, bendesa adat, sebagai anggota masyarakat biasa, setelah direnungi kembali, menurutnya, pada prinsipnya adalah keikhlasan, ketulusan dan kejujuran. Dengan memegang teguh prinsip-prinsip di atas, sedikit tidaknya ia berusaha menghindari berbuat dosa atau berusaha hidup tanpa berbuat dosa. Berdasarkan keyakinan, bahwa apa yang kita perbuat apakah itu baik apakah itu buruk, kita pasti akan menerima pahala atau hasilnya, dalam ajaran agama Hindu disebut hukumkarmaphala.
74
Selain tema-tema yang terkait dengan hal-hal yang menjadi bahan renungan Dewa Batuan sendiri, seperti keberadaan alam beserta isinya, ajaran dan filosofi tentang kehidupan sesuai dengan agama (Hindu) juga ada beberapa tema yang diangkat mengenai pengalaman hidupnya sejak kecil sampai dewasa. Perjalanan dan pengalaman hidupnya sebagai gembala itik dan sapi, sebagai murid, guru, dagang, sebagai pemimpin adat dan sebagainya juga menjadi sumber inspirasi dijadikan tema karyanya yang disajikan dalam bentuk mandala. Dibawah ini adalah beberapa karya seni lukis Dewa Batuan yang mengangkat tema terkait dengan pengalamannya sendiri.
Gambar 5.6. Mandala Aku Murid Dok : I Dewa Nyoman Batuan, tahun 2004
Gaambar 5.6 adalah foto lukisan karya Dewa Batuanyang bercerita tentang pengalaman, kenangannya waktu menempuh pendidikan dasar. Dewa Batuan sangat mensyukuri dirinya bisa bersekolah, karena banyak teman-teman sebayanya tidak mengenyam pendidikan karena alasan biaya. Pendidikan, baginya sangat penting untuk masa depan walaupun ditempuhnya dengan sangat
75
berat.Pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah, terlebih dahulu ia harus mengantar itiknya ke sawah. Kenangan yang tak terlupakan, suatu hari sebelum berangkat ke sekolah, hujan turun sangat deras sekali. Baju satu-satunya yang ia miliki basah. Karena keinginannya sangat kuat untuk bisa sekolah, ia pinjam baju singlet kakaknya untuk dipakai. Mengingat hal itu, Dewa Batuan tertawa geli, karena yang dipakai baju kakaknya, jelas lebih besar, kedodoran, sesuai dengan apa yang divisualkan dalam lukisan “Madala Aku Murid” (Gambar 5.6) di atas. Pada lukisan tersebut, di tengah-tengah lingkaran lapisan pertama nampak tiga sosok anak bersaudara berjejer. Yang di tengah memakai baju singlet kedodaran adalah Dewa Batuan sendiri diapit oleh dua saudara laki-laki (kakak dan adik kandungnya). Kenangan-kenangan masa lalu bagi Dewa Batuan merupakan sesuatu yang sangat berharga dalam perjalanan hidupnya sebagai sarana untuk introsfeksi diri guna memperbaiki kehidupannya di masa depan. Oleh karenanya, belajarlah pada kejadian-kejadian masa lampau, hargai dan pelajari warisan-warisan leluhur kita yang telah mewarisi sesuatu yang sangat berharga demi kelestarian dan keajegan kehidupan seni dan budaya Bali yang didasari atas keyakinan dan ajaran agama Hindu. Himbuan ini disampaikan saat wawancara (30 Nopember 2013).
76
Gambar 5.7. Mandala Aku Guru Dok : I Dewa Nyoman Batuan, tahun 2004
Kenangan masa silam, apa lagi kenangan masa anak-anak(masa menempuh pendidikan dasar), kalau diingat kembali, sambil duduk, merenung dan membayangkan, bisa membuat kita tersenyum. Pengalaman-pengalaman yang membuat diri kita terasa berguna, seperti apa yang dialami oleh Dewa Batuan saat menjadi guru. Profesi sebagai guru dijalaninya dengan tulus, ikhlas, jujur, dan menyenangkan, sehingga merupakan kepuasan tersendiri yang nilainya tak terhingga yang pernah dirasakan oleh Dewa Batuan. Pengalaman menjadi guru diungkap kembali pada karyanya yang berjudul “Mandala Aku Guru” (Gambar 5.7) di atas. Pada karya tersebut dilukiskan wajah anak-anak dengan ekspresi serius menatap gurunya sedang memberikan materi pelajaran. Bagi Dewa Batuan, menjadi guru merupakan pengalaman dan pengabdian yang sangat mulia, karena Dewa Batuan merasa mempunyai tanggung jawab besar, tugas yang berat sebagai peletak dasar utama pembentukan karakter generasi bangsa untuk mencapai dan menentukan arah kehidupan yang
77
layak dalam berbangsa dan bernegara. Dalam ajaran agama Hindu, sebagai pendidik tergolong guru pengajian dari empat jenis guru yang disebut dengan “catur guru”,antara lain : guru swadiaya (Hyang Widhi) Tuhan Yang Maha Esa, guru rupaka (orang tua yang melahirkan kita), dan guru wisesa (pemerintah), yang mengatur kehidupanberbangsa dan bernegara.
Gambar 5.8. Mandala Aku Dagang Dok : I Dewa Nyoman Batuan, tahun 2002
Pada umumnya, seorang pelukis akan merasa bangga jika karyanya terjual dengan harga sesuai dengan keinginanya. Bangga, karena karyanya diminati,juga tuntutan akan kebutuhan, secara ekonomi terpenuhi. Yang paling penting adalah karyanyasecara tidak langsung jugamendapat pengakuan. Sesuai penuturannya, untuk memenuhi kebutuhan hidup disamping dari gajinya sebagai guru juga ditopang dari hasil penjualan lukisan. Pada jamanya gaji seorang guru terasa sangat minim sekali, sehingga untuk menambah
78
penghasilan Dewa Batuan harus keliling menjual lukisan ke tempat-tempat obyek wisata seperti daerah Kuta, Sanur dan Denpasar. Sejalan dengan perkembangan zaman, dunia pariwisata pun berkembang dan memberikan angin segar terhadap bisnis benda-benda seni; seni kerajinan sebagai souvenirtermasuk didalamnya seni lukis untuk wisatawan yang datang keBali. Kondisi pariwisata yang sangat baik ini direspon oleh Dewa Batuan dengan mendirikan studio sekaligus berfungsi sebagai tempat untuk menjual karya-karyanya. Pengalaman sebagai dagang “menjual lukisan” merupakan pengalaman yang sangat berharga, karena dengan pengalaman itu ia tahu, bahwa sebagai pedagang harus bisa melayani orang lain (pembeli) dengan baik. Pengalaman tersebut diatas, sebagai pedagang “menjual lukisan”, tentu, berhadapan dengan beragam karakter pembeli, sehingga menuntut ia harus sabar. Hal ini ia lakoni sebaik mungkin dengan rasa ikhlas, jujur, ramah termasuk mengerahkan berbagai upaya untuk menimbulkan rasa simpati pembeli. Lukisan “Mandala Aku Dagang” (Gambar 5.8) di atas, menggambarkan saat-saat Dewa Batuan meladeni wisatawan yang tertarik dengan karyanya. Ia jelaskan secara detil terkait dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh calon pembeli yang berhubugan dengan karyanya. Adalah suatu kepuasan tersendiri kalau bisa membuat wisatawan (calon pembeli) memahami karyanya. Jadi, tidak sekedar membeli untuk sovenir, tetapi karena senang, tertarik serta memahami isi dan makna yang ada di dalam lukisan tersebut, kemudian dibelinya. Saya senang dan puas kalau ada pembeli semacam itu (Wawancara, 30 Nopember 2013).
79
Gambar 5.9. Mandala Tiga Garis Sakti Dok : I Dewa Nyoman Batuan, tahun 1998
Berikut pandangan Dewa Batuan terhadap unsur-unsur seni rupa, seperti titik, garis, bentuk merupakan hal utama. Baginya, terutama unsur seni rupa berupa titik, secara ilmiah dan pendekatan filosofis dianggap sebagai asal segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Dalam dunia seni rupa, titik merupan unsur dasar, kalau dikembangkan bisa menjadi garis, ruang, bidang, bentuk dan sebagainya. Dari titik-titik disambung akan menjadi garis; garis lurus; garis lengkung dan garis menyudut. Tiga garis itulah yang selalu dipakai, diterapkan pada setiap karyanya. Untuk ke tiga garis tersebut di atas; garis lurus, garis lengkung, dan garis menyudut oleh Dewa Batuan disebut “tiga garis sakti”. Mengapa garis sakti ?. Berikut penjelasannya : “ Lihatlah di sekitar lingkungan kita, manusia dan makhluk hidup lainnya, lihat pula bangunan-bangunan yang ada; rumah, hotel, toko, balai banjar, tempat suci; Pura, Masjid, Gereja dan lain-lain, ketiga garis itu,garis lurus, lengkung, dan menyudut selalu ada di dalamnya. Saya melukis juga memakai ketiga garis itu. Maka itu, saya namakan “tiga garis sakti”(wawancara, 30 Nopember 2013).
80
Untuk penghargaannya terhadap garis, diekspresikan secara khusus lewat karyanya berjudul “Mandala Tiga Garis Sakti” (Gambar 5.9) di atas.
Gambar 5.10. Mandala Tiga Bentuk Garis Dok : I Dewa Nyoman Batuan, tahun 1998
Gambar 5.10 adalah foto lukisan Dewa Batuan yang berjudul “Mandala Tiga Bentuk Garis”. Dalam karya ini, Dewa Batuan hanya menampilkan tiga bentuk garis secara murni, tidak mempresentasikan suatu persoalan, bentuk atau yang lainnya.Tiga garis tersebut, antara lain; garis lurus, garis lengkung, dan garis menyudut. Masing-masing bentuk garis disusun dan menempati ruang
yang
berbeda dalam satu lingkaran besar. Di tengah-tengah lingkaran besar dibagi tiga ruangan kecil-kecil sebagai titik sentral yang juga merupakan tempat tiga jenis bentuk garis tersebut di atas. Kembali ke ruangan besar tempat masing-masing bentuk garis disajikan pola-pola geometris antara lain, pola lingkaran atau bulatan kecil pada ruang bentuk garis lengkung, pola segi empat pada ruang bentuk garis
81
lurus, pola segi tiga pada ruang bentuk garis menyudut. Hal ini dibuat untuk menjelaskan fungsi ke tiga bentuk garis tersebut (gambar 5.10).
5.2 Unsur-Unsur Seni Lukis Mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan Pengamatan terhadap sebuah karya seni rupa (seni lukis) sebaiknyatidak hanya tertuju pada beberapa bagian saja namun juga dilihat pada keseluruhan sebagai suatu kesatuan atau totalitas. Sebuah karya seni lukis diamati sebagai suatu kesatuan yang utuh yang mengandung suatu maksud tertentu. Seni lukis merupakan ciptaan manusia, memiliki struktur yang disusun berdasarkan kaidah kaidah yang ada. Struktur tersebut akan menjadi sempurna, indah, dan menarik bila disusun dengan kaidah-kaidah dalam penciptaan karya seni. Kaidah-kaidah karya seni tersebut seperti, proporsi, kesatuan, keseimbangan, irama, pusat perhatian, kontras,dan lain sebagainya. Sedangkan unsur-unsurnya, adalah garis, bidang, ruang, warna, dan tekstur. Demikianlah dalam penyusunan tersebut, dipandang perlu menggunakan kaidah-kaidah seni rupa, seperti apa yang diciptakan dalam karya seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan.
5.2.1 Garis Pada dunia seni rupa, garis merupakan beberapa titik yang dihubungkan. Kehadiran garis bukan saja hanya sebagai garis tetapi kadang sebagai simbol emosi yang diungkapkan lewat garis atau goresan. Goresan atau garis yang dibuat oleh seorang seniman akan memberikan kesan psikologis yang berbeda pada setiap garis yang dihasilkan. Dari kesan yang berbeda tersebut maka garis
82
mempunyai karakter yang berbeda pada setiap goresan yang lahir dari seniman (Kartika, 2004: 40). Sidik dan Prayitno (1981: 13) menyebutkan bahwa garis adalah suatu goresan yang menjadi batas limit suatu benda, masa, ruang dan warna. Garis merupakan abstraksi pada bentuk benda atau wujud yang digunakan untuk menyarankan suatu bentuk, gerak dan bisa mewakili sifat dan karakter seseorang berdasarkan coretan garis yang dihasilkan. Disebut pula bahwa garis pada umumnya dapat berarti tujuan, orientasi bentuk, gerak dan tenaga (Supono, 1983 : 31). Kartika dan perwira (2004: 101) menegaskan bahwa garis sebagai medium seni rupa mempunyai peranan yang sangat penting, antara lain untuk memberi tanda bentuk logis, sebagai lambang, informasi yang merupakan pola baku dari kehidupan sehari-hari. Selain itu, garis juga berperan untuk menggambarkan sesuatu secara representatif. Ditegaskan pula bahwa garis merupakan simbol ekspresi ungkapan seniman. Soegeng dalam Kartika (2004: 41) juga menyebutkan bahwa garis disamping memiliki peranan, juga memiliki sifat formal dan non formal, misalnya garis-garis geometrik yang bersifat formal, dan resmi. Garis-garis non formal bersifat tak resmi dan cukup lues lemah gemulai, lembut, acak-acakan yang semuanya tergantung pada intensitas pembuat garis. Ditinjau dari arti garis ada dua macam pengertian, yaitu (a) garis vertikal (tegak) yang artinya diperluas berdasarkan isi, yakni kemungkinan melawan perubahan, kestabilan, kemegahan, kekuatan dan tanpa mengenal waktu dan (b) garis orizontal (datar) diartikan sebagai ketenangan dan kedamaian. Selain itu, garis juga memiliki sifat, yakni
83
garis nyata dan garis khayal. Garis nyata adalah garis yang mudah untuk diamati dan dapat terlihat kehadirannya seperti garis lurus, garis lengkung, garis patahpatah, dan garis bergelombang. Garis khayal adalah garis yang tidak jelas terlihat, tetapi dapat dirasakan kehadirannya seperti garis yang hadir dengan sendirinya sebagai batas bidang, batas warna, batas benda dan horison.Garis ini memiliki fungsi menguatkan kesan ruang dan memberi batasan antara satu bidang dengan bidang lainnya (Sidik dan Prayitno, 1981: 4 – 9). Murtihadi dan Gunarto (1982: 31) menjelaskan bahwa garis memiliki karakter
berdasarkan
simbol-simbol
ekspresi,
seperti:garis
tegak
yang
membengkok; memberi kesan sedih, lesu, dan duka. Garis olak-olakan ke atas memberi kesan kekuatan spiritual yang menyala, bersemangat, hasrat yang keras dan berkobar-kobar. Garis pancaran ke atas memberi kesan pertumbuhan, idealisme dan spontanitas. Garis lurus mendatar memberi kesan tenang, tak bergerak. Garis lurus tegak; memberi kesan stabil, kuat, megah, dan sederhana. Garis kubah yang membulat memberi kesan kuat, kokoh, sedangkan garis miring memberi kesan tidak stabil, goyah, dan bergerak. Garis pada seni lukis merupakan unsur pokok, dalam seni rupa tidak hanya terdiri atas bongkahan massa, melainkan massa dan kontur, garis sebagai awal dari ekspresi dan idea dalam berkarya. Begitu mendasarnya garis, Herbert Read, (2000: 20) mengungkapkan bahwa pedoman yang penting ampuh bagi seni juga buat kehidupan ini, adalah bahwa makin nyata, tajam, dan kuat garis batasnya, makin sempurna karya seni, dan kurangjelasnya atau kurang tajamnya garis, merupakan kelemahan imajinasi, peniruan, dan kecerobohan.
84
Garis yang merupakan hasil goresan seorang pelukis mencerminkan kekuatan imajinasi dan keterampilan yang dimiliki. Pada seni lukismandala gayaI Dewa Nyoman Batuan, keberadaan garis sangat jelas tampak, disamping mempertegas bentuk atau bidang juga memberikan eksentuasi, penekananpenekanan pada obyek yang ditonjolkan. Dengan demikian, garis pada seni lukis mandala gaya I Dewa Nyoman Batuan memilik peran utama untuk mengekspresikan emosinya ssuai pengalaman yang pernah dialami. Sifat dan karakter garis pada karyanya menyesuaikan dengan tempat. Maksudnya adalah di tempat-tempat mana, dan pada bentukbentuk apa diperlukan garis yang kuat, lembut, tegas dan sebagainya. Sehingga semua bentuk, sifat dan karakter garis bisa hadir di dalamkaryanya.
5.2.2 Warna Unsur rupa yang paling mudah tertanggkap mata adalah warna. Unsur ini juga paling mudah menimbulkan kesan pada perasaan, sehingga merupakan hal yang paling akrab dikenal manusia. Dalam hal ini warna sebagai unsur buatan, yakni dapat dicampur atau pun dipadukan antara satu dengan yang lainnya secara berpasangan. Percampuran warna dan pedoman-pedoman pemanfaatannya dapat menimbulkan kesan yang bermacam-macam tehadap perasaan sehingga memberikan rangsangan keberanian untuk menerapkannya kedalam berbagai bidang kehidupan sehari-hari. Warna merupakan salah satu keindahan yang sangat penting dalam setiap karya seni, khususnya seni lukis. Warna dapatmemberi makna simbolik dan nilai
85
estetik yang menyatu dalam sebuah lukisan sebagai ekspresi kepribadian senimannya. Sejak ditemukan warna pelangi oleh ahli ilmu fisika, Sir Isaac Newton, terungkap bahwa warna merupakan salah satu fenomena alam yang dapat diteliti dan dikembangkan lebih jauh dan mendalam. Warna bukan sekedar unsur visual yang biasa dipergunakan oleh seniman-seniman lukis dari zaman purba sampai sekarang. Oleh karena melalui penemuan yang sangat bersejarah tersebut dampaknya sangat meluas, yakni melampaui ilmu disiplin yang lain. Warna menurut teori Isaac Newton, yakni disebut dengan spektrum warna. Dalam hal ini akan tampak sederet warna yang terdiri atas tujuh warna pelangi, yaitu merah, jingga, kuning, hijau, biru, indigo, dan ungu. Selanjutnya warna putih merupakan cahaya yang bersumber dari matahari, sedangkan warna hitam berarti tidak kena sinar matahari atau gelap, (Sulasmi, 2002 : 18-19). Warna yang dipergunakan oleh I Dewa Nyoman Batuan adalah warna pigmen, warna yang bisa larut dalam cairan pelarut. Bahan pelarutnya bisa berupa air atau minyak. Dalam hal ini jenis pigmen dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: pigmen yang terbuat dari bahan alami, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, serangga, dan kerang yang disebut dengan pigmen organik. Selanjutnya pigmen yang berasal dari bahan buatan berupa bahan mentah atau bahan tambang yang diproses secara kimiawi disebut pigmen artifisial anorganik. Seniman lukis tempo dulu biasanya lebih menyukai pigmen alami daripada pigmen artifisial. Pada tahun 1912 Albert Munsell dari Boston Massachusset menemukan sistem pengorganisasian warna. Teori lingkaran warna Munsell mengambil tiga
86
warna utama sebagai dasar yang disebut dengan warna primer, yaitu merah dengan kode M, kuning dengan kode K, dan biru dengan kode B. Apabila dua warna primer dicampur akan menghasilkan warna kedua yang disebut dengan warna sekunder. Bila warna primer dicampur dengan warna sekunder akan menghasilkan warna ketiga disebut warna tersier. Lebih lanjut, apabila antara warna tersier dicampur dengan warna primer dan sekunder akan menghasilkan warna netral (Sulasmi, 2002 : 56). Di sisi lain, Deman W. Ross (2002) mengatakan bahwa nilai warna atau value, adalah tingkatan atau kecerahan suatu warna. Nilai tersebut akan membedakan kualitas tingkat kecerahan warna. Warna putih mempunyai nilai tertinggi, sedangkan warna hitam mempunyai nilai terendah, tidak ada warna lain yang mempunyai nilai segelap warna hitam. Nilai itu memberi efek yang berlainan tarhadap warna. Bila warna ingin dibuat lebih terang tinggal menambahkan warna putih, sebaliknya bila warna ingin dibuat gelap tinggal menambahkan hitam. Disamping itu, penggunaan nilai cerahkan menambah luas ukuran suatu objek. Misalnya, ruangan sempit yang dindingnya dicat dengan warna merah akan terasa lebih luas dibandingkan dengan ukuran yang sebenarnya. Warna putih atau yang mengandung nilai cerah lainnya akan memantulkankesan cerah atau cerah, sedangkan warna hitam menyerap warna serta menciutkan ukuran. Namun, nilai kontras yang kuat mempunyai kekuatan untuk menarik perhatian, tetapi apa bila tidak dipergunakan secara bijak akan menimbulkan efek yang membingungkan. Nilai yang berdekatan akan mempunyai sifat yang damai.
87
Selanjutnya, intensitas menyatakan kekuatan dan kelemahan warna, daya pancar warna, serta kemurnian warna. Intensitas adalah kualitas warna yang menyebabkan warna itu berbicara, berteriak, atau berbisik dalam nada yang lembut. Dua warna yang mempunyai nama dan nilainya sama mungkin akan memiliki intensitas yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh bahan dan kemurnian pigmen yang dikandungnya. Semakin kuat pigmen warnanya, maka semakin menarik dan menonjol sehingga memberikan penampilan yang lebih cemerlang. Pada zaman klasik romantik, Eugene Delacroix merekam hasil observasi warna yang terjadi di alam. Analisisnya digunakan pada lukisan-lukisan karya utamanya.
Iajatuh
cinta
pada
wanita
tetapi
masih
mempertahankan
objektivitasnya. Disamping itu, ia melihat warna sebagai syarat fundamental suatu karya lukisan yang baik, sebagaimana halnya terang gelapnya (nilai), proporsi dan perspektif. Namun, Vincen Van Gogh, pencinta warna yang luar biasa dari negeri Belanda mempergunakan warna untuk kekuatan dirinya dalam berekspresi. Warna-warna yang ditampilkan dalam lukisannya seolah-olah merekam segala perasaaannya yang paling mendalam dengan warna yang menyala dan sapuan-sapuan kuas yang kasar (Sulasmi, Darmaprawira, 2002: 7). Dalam hal ini warna Bali juga sebagian besar diambil dari bahan alam, seperti dari pere (batu berwarna). Warna merah dan kuning diambil dari batu berwarna merah dan kuning biasanya didapatkan di Serangan - Bali. Warna putih diperoleh dari tulang yang dibakar, warna hitam dari jelaga (mangsi), dan biru diperoleh dari dedaunan, kemudian perekatnya dipergunakan “ancur”.
88
Lebih lanjut, konsep warna di Bali disebut dengan rwa bhineda, merupakan simbolis dari gelap dan terang. Dalam hal penerapan warna gelap dipakai warna hitam, sedangkan untuk penerapan warna terang dipakai warna putih. Warna hitam merupakan simbolis keburukan dan warna putih simbolis kebaikan. Di samping itu, ada warna-warna yang diterapkan sebagai pengiderider yang diambil dari simbolis sembilan warna para dewa (Dewata Nawa Sanga) sebagai penjaga segala penjuru mata angin, seperti yang sering kita lihat dalam upacara bhuta yadnya. Selain itu, pewarnaan yang diuraikan di atas mempunyai arti sangat kompleks dan banyak mengandung nilai estetis didalamnya (Ngurah T.Y., 2006: 123). Kemudian, L. David dalam bukunya Visual Desain in Dress (1987 : 119) mengggolongkan warna menjadi dua, yaitu warna internal dan eksternal. Warna internal adalah warna sebagai persepsi manusia, cara manusia melihat warna, kemudian mengekspresikannya, mengolahnya di otak,sedangkan warna eksternal adalah warna yang bersifat fisika dan faal (Sulasmi, 2002: 30). Lebih lanjut, warna internal dalam karya Dewa Batuan merupakan hasil olahannya secara pribadi yang bersifat pribadi pula. Hal ini sangat terkait dengan konsep dan tema yang diangkat lebih banyak bermain dalam alam imajnasi yang bersifat simbolis. Warna eksternal pada karya Dewa Batuan sangat minim, kalau pun ada, itu pun terbatas pada bentuk-bentuk bunga dan dedaunan yang sudah disetilir, warnanya pun sedikit disesuaikan dengan warna aslinya seperti yang terlihat pada karyanya yang berjudul “MandalaBunga” dibawah ini.
89
Gambar 5.11. Mandala Bunga Dok : I Dewa Nyoman Batuan, tahun 2004
5.2.3 Unsur Bidang Bentuk suatu bidang memiliki karakter beraneka ragam, yakni tergantung pada (a) posisi, (b) arah garis, (c) dimensi, dan (d) irama. Beberapa bidang dapat direkayasa bentuknya menjadi satu susunan yang bisa memberi kesan berbedabeda bahkan dapat mempesona. Pada hakikatnya bidang memiliki dua dimensi yaitu panjang dan lebar. Apabila disusun saling berpotongan melalui suatu titik atau garis, maka wujud baru terbentuk akan memiliki tiga dimensi yaitu panjang, lebar dan tinggi, dan bisa menimbulkan kesadaran rasa ruang. Keindahan bidang bisa didekati melalui unsur proporsi, warna, tekstur dan bentuk ruang yang melatarbelakanginya, sedangkan untuk menikmati keindahan bidang bisa dicapai melalui pengamatan visual. Pertama-tama yang dilihat adalah obyek secara keseluruhan, kemudian dipadu dengan rasa, yang ditimbulkan oleh penglihatan, akhirnya sampai pada apresiasi bagian per bagian.
90
Menurut Kartika dan Prawira (2004: 12) suatu bidang terjadi karena dibatasi oleh sebuah kontur (garis) atau dibatasi oleh adanya warna yang berbeda atau oleh gelap terang cahaya atau karena adanya tekstur. Di dalam karya seni, bidang digunakan sebagai simbol perasaan seniman di dalam menggambarkan objek hasil subject matter,maka tidaklah mengherankan apabila seorang kurang dapat menangkap atau mengetahui secara pasti tentang objekhasil pengolahannya. Bidang dalam penampilannya kadang-kadang mengalami beberapa perubahan sesuai dengan cara pengungkapan secara pribadi senimannya. Bahkan kadang-kadang perwujudan yang terjadi sangat jauh berbeda dengan objek yang sebenarnya. Di dalam mencipta karya seni bukan sekedar mengungkap apa yang dilihat atau bukan sekedar terjemahan dari pengalaman tertentu, melainkan karena adanya suatu proses yang terjadi. Bidang terjadi bisa berupa (1) menyerupai wujud alam, dan (2) sama sekali tidak menyerupai wujud alam. Keduanya akan terjadi sangat ditentukan oleh kemampuan senimannya, sedangkan dalam perubahan wujud akan terjadi sesuai dengan selera dan latar belakangnya. Perubahan wujud yang dihasilkan bisa berupa stilisasi, distorsi, transformasi, dan disformasi, (Kartika dan Prawira, 2004 : 103). Stilisai adalah cara penggambaran untuk mencapai bentuk keindahan dengan cara menggayakan objek, yakni dengan cara menggayakan setiap garisnya (kontur). Misalnya pada lukisan dan patung tradisional Bali (lukisan wayang Kamasan, lukisan gaya Ubud, dan patung tradisional Silakarang). Distorsi adalah penggambaran bentuk yang menekankan pada pencapaian karakter, dengan cara memberikan penekanan atau menyangatkan pada bagian-
91
bagian tertentu dari suatu objek yang digambarkan. Misalnya dapat dilihat pada tokoh wayang atau topeng Bali yang menggambarkan karakter keras dengan bentuk mata melotot/mendelik, gigi dan taring menggambarkan karakter galak. Transformasi adalah penggambaran bentuk yang menekankan pada pencapaian karakter, dengan cara memindahkan wujud atau figur dari objek lain ke objek yang digambarkan. Misalnya penggambaran manusia berkepala binatang atau penggambaran manusia setengah dewa yang memiliki tujuan untuk penggambaran wujud karakter ganda. Deformasi merupakan penggambaran bentuk yang menekankan pada interpretasi karakter, dengan cara merubah bentuk objek melalui penggambaran unsur tertentu dari objek yang dapat mewakili karakter hasil interpretasi yang sifatnya sangat hakiki. Perubahan bentuk semacam ini dapat dijumpai pada karyakarya seni lukis Ubud yang menampilkan bentuk-bentuk yang imajnatif. Agar unsur bidang menjadi lebih bermakna, maka diberi bentuk atau rupa yang memberi kesan indahnya suatu objek yang hakikatnya didapat dari bidangbidang yang menyelubunginya. Rupa dasar bidang-bidang yang tersusun dengan baik akan memberikan kesan keindahan pada objek. Keindahan rupa dasar ditentukan oleh besaran proporsi, sifat pembukaan dan bentuk-bentuk bidang yang mengelilinginya. Selain itu rupa dasar suatu objek menjadi indah karena bisa menggambarkan isi yang dikandungnya, padat, menggeliat dan menyembul ke permukaan. Di samping itu rupa dasar untuk objek pada hakikatnya komunikasi yang bisa berbicara atau menunjukan makna dari suatu bentuk.
92
Rupa dasar memiliki sifat dua dimensional, tiga dimensional, bahkan bisa empat dimensional. Dimensional ke empat adalah waktu yang dibutuhkan oleh pengamat dalam mengamati suatu rupa. Rupa dengan dua dimensional berupa permukaan yang bersifat datar, hanya berukuran panjang dan lebar dengan kata lain disebut bidang. Bidang bisa terjadi dari pertemuan garis dalam berbagai kondisi, bisa berbentuk geometris, organis, bersudut teratur atau tidak teratur dan berbentuk bebas atau berbentuk alami. Apabila rupa dasar suatubidang diberi warna, akan tampil lebih hidup, disamping akan menimbulkan aneka ragam sensasi pada orang yang memperhatikannya. Apabila bidang atau rupa dasar dari dua dimensional dipertemukan dengan bidang lain akan terwujud rupa tiga dimensional yang disebut bentuk, memiliki ukuran panjang, lebar, dan tinggi. Keindahan suatu rupa dasar dapat diperkuat oleh unsur-unsur titik, garis, tekstur, warna, dan komposisi sehingga
dapat
memberi
nilai
tambah
pada
kesan
berat,
seimbang,
berirama,mengarahkan atau mempesonakan, yakni tergatung dari proporsi dan warna rupa dasar yang akan membentuk rupa baru pada bidang yang mendasarinya, Kusniati dalam (Budiarta, 2008 : 112). Keindahan bidang di dalam seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan dapat dinikmati dari penggambaran wujudnya yang menekankan pada interpretasi karakter yakni pengambilan unsur tertentu yang mewakili karakter interpretasi yang sifatnya hakiki.
93
5.2.4 Ruang Menurut Djelantik (1999: 23), kumpulan dari beberapa bidang akan membentuk ruang. Ruang mempunyai tiga dimensi : panjang, lebar dan tinggi. Selanjutnya Mikke Susanto (2011: 338) menyatakan, ruang merupakan istilah yang dikaitkan dengan bidang dan keluasan, yang kemudian muncul istilah dwimatra dan trimatra. Dalam seni rupa orang sering mengaitkan ruang adalah bidang yang memiliki batas atau limit, walaupun kadang-kadang ruang bersifat tidak terbatas dan tidak terjamah. Ruang dan volume merupakan unsur pokok dalam seni tiga dimensi seperti patung dan arsitektur. Dalam arsitektur yang tujuan utamanya memang menciptakan ruang, otomatis unsur keruangan sangat dominan. Namun semenjak kaum konstruktivisme lahir, seperti Alexander Rodchenco, Henry Moore dan lain-lain, ruang dalam seni patung menjadi pemegang peranan paling besar. Patung-patung non objektif atau non figuratif boleh dikatakan kekuatannya terletak pada susunan-susunan ruang dan volume disamping penguasaan tekstur secara artistik. Dalam seni lukis ruang dan volume dimanfaatkan secara ilusif karena teknik penggarisan yang perspektifis atau adanya tone
(nada) dalam
pewarnaan yang bertingkat dan berbeda-beda. Pada lukisan Piet Mondrian yang neo plastisis tidak ditemukan ruang, kecuali bidang-bidang datar. Berbeda dengan karya kubisme Fernand Leger yang volumetrik dan monomental (Bahari, 2008: 102).
94
Ruang dalam lukisan Dewa Batuan muncul karena adanya kumpulan beberapa bidang yang volumetrik serta dibantu dengan adanya pewarnaan yang bertingkat dan berbeda-beda.
5.2.5 Tekstur Tekstur adalah kesan halus dan kasarnya suatu permukaan lukisan atau gambar, atau perbedaan tinggi rendahnya permukaan suatu lukisan atau gambar. Tekstur juga merupakan rona visual yang menegaskan karakter suatu benda yang dilukis atau digambar. Ada dua macam jenis tekstur atau barik. Pertama adalah tekstur nyata, yaitu nilai permukaannya nyata atau cocok antara tampak dengan nilai rabanya. Misalnya sebuah lukisan menampakan tekstur yang kasar, ketika lukisan tersebut diraba, maka yang dirasakan adalah rasa kasar sesuai tekstur lukisan tersebut. Kedua, tekstur semu memberikan kesan kasar karena penguasaan teknik gelap terang pelukisnya, ketika diraba maka rasa kasarnya tidak kelihatan, atau justru sangat halus (Nooryan Bahari, 2008: 101). Dari pelbagai tekstur ada yang bersifat teraba, disebut tekstur raba. Ada yang bersifat visual disebut tekstur lihat. Tekstur raba adalah tekstur yang dapat dirasakan lewat indera peraba (ujung jari). Tekstur raba ini sifatnya nyata, artinya dilihat tampak kasar, diraba pun nyata kasar. Ujung jari tak dapat ditipu. Termasuk tekstur raba adalah tekstur kasar, halus, licin-kasar dan keras-lunak. Tekstur lihat adalah tekstur yang dirasakan lewat panca indra penglihatan. Tekstur lihat ini lebih bersifat semu. Artinya tekstur yang terlihat kasar jika diraba ternyata bisa halus. Jadi, mata dapat ditipu. Termasuk tekstur lihat/semu adalah
95
tekstur bermotif, bercorak atau bergambar. Namun tekstur lihat dapat pula bersifat nyata dimana dilihat kasar diraba pun kasar (Sanyoto, 2010: 120). Secara kesluruhan, tekstur yang tampak pada lukisan Dewa Batuan adalah tekstur semu. Hal ini disebabkan karena seni lukis Dewa Batuan merupakan seni lukis konvensional gaya Ubud dilukis diatas kanvas dengan penerapan teknik dan pewarnaan secara halus. Kesan timbul dan kasar seperti adanya kesan bintikbintik/kasar, sesungguhnya kalau diraba terasa halus.
5.3 Struktur Seni Lukis I Dewa Nyoman Batuan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000: 1092) dikatakan, struktur adalah: (1) cara sesuatu disusun atau dibangun; susunan; bangunan; (2) yang disusun dengan pola tertentu; (3) Pengaturan unsur atau bagian suatu benda; (4) Ketentuan unsur-unsur dari suatu benda. Struktur atau susunan mengacu pada bagaimana cara unsur-unsur dasar masing-masing keseniantersusun hingga terwujud. Cara penyusunannya beraneka macam. Penyusunan itu meliputi juga pengaturan yang khas, sehingga terjalin hubungan-hubungan berarti diantara bagian-bagian dari keseluruhan perwujudan itu (Djelantik, 2008: 21). Sesuai dengan pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwastruktur adalah cara menyusun sesuatu, bagian-bagian atau unsur-unsur dasar sesuatu hingga terwujud. Dalam hal ini, tentu, terkait dengan karya seni lukis Dewa Batuan, bagaimana proses dan cara penyusunannya hingga terwujud.
96
Dalam dunia seni rupa, khususnya seni lukis juga memiliki struktur yang merupakan hasil penerapan prinsip-prisip atau kaidah-kaidah dalam mewujudkan sebuah karya (seni lukis). Prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah tersebut, disadari atau tidak, karena “tidak harus ditaati”, masing-masing seniman mempunyai caracara tersendiri sebagai ciri khas dalam mewujudkan karyanya. Adapun prinsipprinsip atau kaidah-kaidah dalam mewujudkan sebuah karya seni adalah sebagamana tertera dibawah ini.
5.3.1 Komposisi Penyusunan atau pengorganisasian dari unsur-unsur seni sering juga disebut kompoposisi. Dalam penyusunan unsur-unsur seni ini, seniman mengikuti prinsip-prinsip tertentu, kadang-kadang sangat patuh, tetapi kerap kali juga hanya sekedar sebagai petunjuk saja, karena yang utama adalah tunduk sesuai rasa dan keinginan seniman. Menrut Poerwadarminta, komposisi merupakan suatu cara untuk menyusun suatu bagian-bagian keseluruhannya di dalam mendapatkan suatu wujud (Poerwadarminta, 1976: 17). Istilah komposisi tidak saja terdapat dalam seni lukis, tetapi juga dalam bidang seni lainnya. Komposisi berarti cara penyusunan elemen-elemen yang memancarkan kesatupaduan, irama, dan keseimbangan dalam suatu karya sehingga karya itu terasa utuh, jelas, dan memikat. Demikian pula halnya komposisi dalam seni lukis, maka yang disusun adalah unsur-unsur rupa. Paduan unsur-unsur yang berdampingan akan
97
menimbulkan kesan berdampingan atau bertentangan. Apabila kita perhatikan paduan unsur yang berdampingan antara satu dengan yang lainnya, maka kesan selaras dan bertentangan silih berganti dan bervariasi sehingga terasa adanya rangkaian gerak. Keselarasan unsur-unsur yang berdampingan disebut harmoni, sedangkan kesan bertentangan dalam paduan itu disebut kontras. Rangkaian harmoni
dan
kontras
dalam
komposisi
disebut
irama
atau
ritme
(Petrussumadi,1991:73). Komposisi lukisan I Dewa Nyoman Batuan didapat melalui pengolahan dan penataan objek yang diatur sedemikian rupa sesuai konsep mandala. Secara umum, objek utama, sebagai subjectmatter-nya diletakan ditengah-tengah dikelilingi oleh bentuk-bentuk objek pendukungnya sesuai pola lingkaran yang telah direncanakan. Sebagai pusat perhatian dalam karyanya disamping ditempatkan ditengah-tengah juga diperkuat dengan pewarnaan yang menjolok, lebih terang, sehingga menimbulkan kesan kontras.
5.3.2 Proporsi E. Pino dalam Sadjiman Ebdi Sanyoto (2010: 249) menyatakan bahwa proporsi berasal dari kata inggris proportion yang artinya perbandingan, proporsional artinya setimbang, sebanding. Dengan demikian proporsi dapat diartikan perbandingan atau kesebandingan yakni dalam suatu objek antara bagian satu dengan bagian lainnya sebanding. Bostomi (1992:73)menegaskan bahwa masalah-masalah yang dibicarakan dalam proporsi adalah yang berhubungan dengan ukuran atau dimensi antara
98
bagian yang satu dengan bagian yang lain dalam suatu hasil karya seni. Hubungan proporsional ini dapat mengenai, daerah cahaya dan gelap, bentukatau jumlah elemen desain lainnya, yang dapat diukur, misalnya proporsi tubuh manusia dan proporsi jumlah penari. Proporsi dalam karya seni lukis Dewa Batuan tidak saja terlihat pada bentuk-bentuk objek itu sendiri, tetapi juga terhadap pengisian ruang. Pengisian ruang dimaksud adalah perbandingan anatara objek yang dibuat dengan ukuran bidang (kanvas) yang tersedia. Rupanya Dewa Batuan memahami betul betapa pentingnya ruang, sehingga karya-karyanya walaupun digarap dengan corak atau gaya dekoratif, namun kesan keruangannya nampak sangat jelas.
5.3.3 Irama (Ritme) Dalam suatu karya seni, irama atau ritme merupakan kondisi yang menunjukan kehadiran sesuatu yang terjadi berulang-ulang secara teratur. Keteraturan ini bisa mengenai jaraknya yang sama; seperti dalam seni rupa, atau jangka waktu yang sama; seperti dalam seni kerawitan, alam semesta telah memberi banyak contoh-contoh yang nyata mengandung warna, yang bersifat ritmis. Terbitnya matahari setiap 24 jam, munculnya bulan purnama dan tilem, pasang surutnya air laut dan sebagainya. Dalam kehidupan biologis makhluk di dunia juga banyak yang bersifat ritmis: pernapasan, denyut jantung, datangnya haid pada wanita, musim berbunga dan berbuah pada tumbuh-tumbuhan, terjadi secara teratur. (Djelantik, 2008 : 42).
99
Selanjutnya, Sadjiman Ebdi Sanyoto (2010: 161) menyatakan irama/ritme adalah gerak perulangan atau gerak mengalir/aliran yang ajeg, runtut, teratur terus menerus. Pengertian ajeg dalam irama artinya bisa keajegan pengulangan dengan kesamaan-kesamaan, bisa keajegan pengulangan dengan perubahan-perubahan, atau bisa keajegan pengulangan dengan kekontrasan-kekontrasan/pertentanganpertentangan, yang kesemuanya dilakukan secara runtut, teratur, terus menerus, seperti sebuah aliran yang tanpa henti.Dengan demikian, irama itu adalah suatu keteraturan dan sekaligus kerapian, sehingga seni lebih luas lagi adalah bahwa seni itu harus teratur dan rapi. Seni yang awut-awutan tidak teratur barangkali hanya “nyeni” saja. Jika suatu bentuk (titik, garis, bidang, gempal/volume) yang sama digunakan lebih dari satu kali dalam susunan, dikatakan bentuk tersebut berulang. Pengulangan merupakan cara penyusunan yang paling sederhana. Sesuatu yang diulang menunjukan bentuk yang laras atau selaras, jadi, dengan begitu irama sama dengan keselarasan. Irama dalam seni lukis Dewa Batuan kerap kali muncul dengan bentuk dan motif yang berulang-ulang. Hal ini dapat dilihat pada beberapa karyanya yang berjudul : Mandala Mata, Mandala Padma, Mandala Sri Sedana, Mandala Warna Biru dan beberapa yang lainnya.
5.3.4 Keseimbangan (Balance) Keseimbangan atau balance (Inggris) merupakan salah satu prinsip dasar seni rupa. Karya seni/desain harus memiliki keseimbangan, agar enak dilihat,
100
tenang, tidak berat sebelah, tidak menggelisahkan, tidak nggelimpang (jomplang, jw). Seperti halnya jika kita dekat pohon atau bangunan yang doyong akan roboh yang berarti dalam keadaan kurang seimbang, perasaan kita tidak enak, tidak tenang, gelisah, takut kejatuhan. Demikian pula pada karya seni/desain yang tidak seimbang akan tidak enak dilihat dan menggelisahkan (Sanyoto, 2010: 237). Menurut Kartika (2004: 60), keseimbangan (balance) adalah keadaan atau kesamaan antara kekuatan yang saling berhadapan dan menimbulkan adanya kesan seimbang secara visual ataupun secara intensitas kekaryaan. Bobot visual ditentukan oleh ukuran, wujud, warna, tekstur, dan kehadiran semua unsur-unsur tersebut menjadi perhatian untuk mendapatkan keseimbangann. Ada dua macam keseimbangan yang perlu diperhatikan dalam penyusunan bentuk-bentuk, yaitu keseimbangan formal (simetris), dan keseimbangan informal (yang tidak simetris). Keseimbangan formal adalah keseimbangan pada dua pihak yang berlawanan dari satu titik pusat. Segala sesuatu yang diatur dalam suatu bidang disusun atau dikomposisikan secara simetris. Komposisi seperti ini selalu terjadi pada karya-karya tradisi, khususnya karya tradisi Bali. Keseimbangan formal bersifat statis dan tenang. Keseimbangan informal adalah penyusunan unsurunsur seni yang pada prinsipnya dikombinasikan secara tidak seimbang atau kontras. Komposisi informal adalah merupakan ciri khas karya-karya modern maupun posmodern. Keseimbangan seperti ini biasanya sebagai abstraksi, bahwa konsep tersebut meliputi keseimbangan masa, pada karya seni, seperti patung, lukisan, arsitektur dan lain sebagainya (Kartika, 2004: 118).
101
Karya-karya seni lukis Dewa Batuan sebagian besar menampilkan keseimbangan formal. Hal ini disebabkan karena bentuk dan motif objek yang menjadi pijakannya dalam berkarya.
5.3.5 Pusat Perhatian Pusat perhatian disebut pula penonjolan. Penonjolan mempunyai maksud untuk mengarahkan perhatian orang yang menikmati suatu karya seni. Supono dalam Astiti (2004: 99) pusat perhatian disebut pula dominan yang merupakan fokus suatu susunan, suatu pusat disekitar unsur-unsur estetik lainnya. Hal ini tidak dapat diabaikan karena justru pusat perhatian ini akan mengarahkan pandangan kearah yang paling penting dari suatu susunan. Pusat perhatian dimaksudkan dalam buku dasar-dasar desain merupakan tujuan prinsip desain untuk menciptakan kesatuan dalam gejala visual yang bermacam-macam itu. Pusat perhatian atau penonjolan dapat dicapai dengan beberapa cara yaitu (a) dengan ukuran, bentuk yang paling besar akan terlebih dahulu kelihatan; (b) dengan kekuatan warna atau warna kontras, dalam bidang dengan warna terang akan menjadi pusat perhatian pada bidang yang berwarna gelap; (c) melalui tempat, pengamatan mula-mula akan terarah pada pusat daerah penglihatan; (d) dengan cara konvergensi, memusat ke arah satu titik atau sinar; (e) dengan perkecualian, tekstur yang kasar sangat menonjol pada bidang yang halus. Melalui cara-cara tersebut di atas dapat menghindari kejenuhan atau pandangan monoton terhadap karya seni.
102
Pada karya seni lukis Dewa Batuanpusat perhatian kebanyakan ditempatkan di tengah-tengah dengan cara membuat warna lebih terang, gelap, dan kontrasdari warna objek sekelilingnya. Sesekali, pusat perhatian dibuat dengan bentuk dan motif yang sangat detil, ornamentik serta dengan penempatan objek secara bergerombol, namun tetap di tengah-tengah sekaligus sebagai titik sentral lingkaran (mandala).
5.3.6 Kontras Kontras merupakan sesuatu yang bertentangan, berlawanan atau yang disebut pula kontras ekstrem, seperti keberadaan waktu; siang dan malam, ukuran; besar dan kecil, panjang-pendek, tinggi-rendah; jarak; perspektif jauhdekat, tekstur kasar dan halus (Sanyoto, 2010: 227). Demikian pula dalam penyusunan unsur-unsur atau prinsip desain, kontras adalah penggunaan unsur-unsur yang saling menunjukan perlawanan. Apabila unsur tersebut berupa warna, maka yang dipakai berupa warna gelap dan terang. Apabila unsur tersebut berupa bentuk, misalnya bentuk yang berukuran besar dan kecil. Demikian pula unsur-unsur yang lain menunjukan perlawanan (Murtihadi dan Gunarto, 1982: 68). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa penerapan unsurunsur kontras akan kelihatan dinamis dan banyak variasi. Dengan banyak variasi, suatu desain lebih mudah disesuaikan dengan kegunaan atau fungsinya. Atas dasar penjelasan di atas, kontras adalah untuk menghasilkan vitalitas. Hal ini timbul diakibatkan oleh adanya unsur-unsur estetik yang saling berlawanan. Apabila tidak ada kontras akan terjadi monoton.
103
Kehadiran nilai kontras dalam perwujudan suatu karya seni sangatlah penting, karena kehadirannya akan memberikan kesan tersendiri terhadap karya bersangkutan. Atas pertimbangan itu pula nilai kontras sealalu hadir pada karyakarya I Dewa Nyoman Batuan. Nilai kontras yang ada pada lukisan Dewa Batuan dibuat dengan berbagai cara, antara lain melalui varian bentuk, motif maupun variasi warna, dan lain-lain. Seperti apa yang terlihat pada karyanya yang berjudul “Mandala Indah” . Lihat (gambar 5.12) dibawah ini.
Gambar 5.12. Mandala Indah Dok: I Dewa Nyoman Batuan, tahun 1998
Gambar di atas adalah lukisan Dewa Batuan dengan judul “Mandala Indah” dengan sangat jelas menunjukan bahwa nilai kekontrasannya dibuat dengan perbedaan bentuk objek dan perbedaan warna. Secara keseluruhan lukisan Mandala Indah di atas merupakan deformasi dari bentuk daun yang disusun sedemikian rupa dengan warna-warna yang selaras sehingga memunculkan kesan harmoni. Namun, di tengah-tengah dari keseluruhan karya tersebut dibuat sketsa bentuk manusia dalam posisi duduk, merenung, dengan latarbelakang warna
104
cerah. Menurut Dewa Batuan, sketsa sosok bentuk manusia yang ditempatkan di tengah-tengah itu, disamping sebagai pusat perhatian juga merupakan gambaran seorang seniman yang tidak henti-hentinya mengagumi keindahan sebagai ciptaan Tuhan yang selalu mengilhami dan memberikan inspirasi bagi manusia (seniman) untuk berkarya.
5.3.7 Kesatuan (Unity) Kesatuan (unity) merupakan salah satu prinsip dasar tata rupa. Unity juga bisa disebut keutuhan. Kesatuan adalah kemanunggalan menjadi satu unit utuh. Karya seni/desain harus tampak menyatu menjadi satu keutuhan. Seluruh bagianbagian atau dari semua unsur/elemen yang disusun harus saling mendukung, tidak ada bagian-bagian yang mengganggu, terasa keluar dari susunan atau dapat dipisahkan. Tanpa adanya kesatuan, suatu karya seni/desain akan terlihat ceraiberai, kacau-balau, kalang-kabut, berserakan, buyar seperti sapu tanpa ikatan. Akibatnya karya tersebut tidak enak. Prinsip kesatuan sesungguhnya ialah “adanya saling hubungan” antara unsur yang disusun. Jika satu atau beberapa unsur dalam susunan terdapat saling hubungan maka kesatuan telah dapat dicapai (Sanyoto, 2010 :213). Selanjutnya Noorryan Bahari (2008:97) menegaskan bahwa kesatuan merupakan hubungan timbal balik yang saling membutuhkan antara unsur atau elemen-elemen untuk menimbulkan kesan harmonis dalam suatukarya seni. Kesatuan (unity) pada karya seni lukis Dewa Batuan dicapai dengan cara memadukan unsur-unsur seni; garis, bidang, warna, tekstur dan ruang secara
105
merata dengan komposisi simetris. Ada pun nilai kontras dalam prinsip penyusunan dicapai dengan warna menjolok serta bentuk dan motif yang rumit dan juga sederhana, namun, tidak mengganggu unsur-unsur yang lainnya, hanya semata-mata untuk membuat pusat perhatian.
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG PENCIPTAAN SENI LUKIS MANDALA OLEH I DEWA NYOMAN BATUAN Penciptaan karya seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan didorong oleh berbagai faktor baik yang datang dari dalam (internal) maupun dari luar dirinya (eksternal). Hal ini dapat dilihat pada karya-karya Dewa Batuan yang sangat kaya akan varian bentuk, motif,tema,dan unsur-unsur lain yang bertitik tolak dari konsep mandala. 6.1 Faktor Internal Yang dimaksud dengan faktor internal dalam penciptaan karya seni adalah hal-hal yang muncul dari dalam diri seorang seniman yang kemudian diekspresikan lewat media tertentu menjadi sebuah karya seni. Faktor internal ini meliputi ide, gagasan, perasaan, pikiran, intuisi, emosi, inspirasi dan ekspresi yang melekat di lubuk hati seorang seniman. Apa yang diciptakannya betul-butul murni keluar dari hati yang terdalam untuk mengekspresikan rasa estetik menjadi sebuah karya seni tanpa dipengaruhi oleh hal-hal lain. Seorang seniman akan mengekspresikan emosional dirinya dalam menciptakan karya seni. Emosi dalam seni tidak dipahami sebagai perasaan yang meluap-luap tanpa kendali seperti marah, jengkel, kecewa, dan sejenisnya. Emosi dalam seni adalah perasaan yang tertata dan terungkap melalui pengorganisasian unsur-unsurdan prinsip-prinsip seni,untuk dikomunikasikan secara elegan pada 106
107
masyarakat penikmatnya. Bagaimanapun liarnya emosi seorang seniman dalam aktualisasinya harus dikendalikan dengan inteleksi (Sudana, 2009: 160). Dewa Batuan adalah sosok seniman yang sangat kreatif, waktunya selalu dimanfaatkan untuk beraktivitas. Melukis dan menulis merupakan media berekspresi, mengaktualisasikan diri, menumpahkan segala perasaannya yang terwujud dalam sebuah karya. Sesuai dengan pernyataannya: “Ida Sang Hyang Widhi Wasa,Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan yang memelihara alam beserta isinya tidak pernah berhenti berkarya demi terjaganya kelangsungan hidup di dunia ini. Beliau adalah maha karya, maka kita sebagai ciptaan-Nya tidak boleh berhenti berkarya baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, masyarakat, bangsa dan negara sesuai swadarma masing-masing” (Wawancara, 30 Nopember 2013). Rupanya prinsip atau sifat maha karya dari Tuhan diatas yang menginspirarsi seorangDewa Batuan untuk selalu beraktivitas dan berkreasi untuk melahirkan nili-nilai baru dalam karya-karyanya. Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Giemengenai lima sifat dasar seni, salah satu di antaranya adalah kreatif. Seni yang sesungguhnya senantiasa kreatif,selalu menghasilkan sesuatu yang baru (Gie, 1996: 41). Disamping sebagai media untuk menuangkan segala bentuk perasaan,emosionalnya, juga merupakan tuntutan nurani Dewa Batuan
untuk
menjaga
eksistensinya
sebagai
seniman.
Karya
adalah
pengejawantahan emosional yang dapat dirasakan dan dapat dinikmati secara visual. Proses kreatif seorang seniman satu dengan yang lainnya tidaklah sama. Diantaranya, ada yang sifatnya menunggu datangnya ilham, ada yang sengaja bepergian untuk mencari inspirasi, ada kalanya seorang seniman berkarya secara
108
tiba-tiba, secara spontanitas tergantung dorongan, keinginan atau mood dalam dirinya.Tidak demikian dengan apa yang terjadi pada proses kreasi I Dewa Nyoman Batuan. Sebagaimana telah diketahui bahwa Dewa Batuan adalah sosok seniman yang sangat disiplin, melukis merupakan aktivitasnya sehari-hari. Setiap ada waktu dan kesempatan ia manfaatkan dengan baik untuk berkarya. Dengan berpegang teguh pada prinsip dalam dirinya bahwa hidupakan lebih indah dengan mengabdi dan berkarya pada seni (Wawancara, 30 Nopember 2013).Hal ini terbukti dengan begitu banyakkarya-karyanya terpajang di studionya, pertanda bahwa ia adalah seorang seniman dengan produktivitas yang sangat tinggi. Dalam perjalanannya sebagai pelukis, Dewa Batuan telah mengabdikan diri di desanya dengan beberapa kali menjadi pemimpin; klian dinas, klian adat dan terakhir sebagai bendesa (pemimpin adat). Kembali kepada proses kreasi Dewa Batuan dalam berkarya, melukis sebagai rutinitasnya sehari-hari merupakan sarana berekspresi, berdialog, merenung mengenai hal-hal yang terjadi dalam hidup dan kehidupan di dunia ini. Semuanya itu ditumpahkan menjadi sebuah karya seni, seni lukis sebagai hasil dari renungan dengan tema besarnya yaitu tentang mandala. Melalui konsep mandala yang diangkat sebagai tema besar dalam berkarya menjadikan Dewa Batuan sebagai pelukis yang memiliki ciri khas tersendiri dengan hasil karyanya dikenal dengan seni lukis mandala. Melalui seni lukis mandala identitas dan jati diri Dewa Batuan tampak sangat kuat. Sujoyono mengatakan, bahwa seni itu adalah jiwa ketok. Selanjutnya Soedarso (1990: 41) menyatakan seni adalah ekspresi
atau
ungkapan
jiwa
seniman.Seniman
akan
mengekspresikan
109
jiwanyadalam sebuah karya seni,karena karya seni adalah tumpahan terakhir dari jiwa seninya. 6.1.1 Pendidikan Pendidikan
mempunyai
peranan
yang
sangat
penting
dalam
pengembangan dan proses kreatif seorang seniman, karena seniman tersebut dilahirkan dan bukan dibikin (Sumardjo, 2000: 1). Dalam perspektif pendidikan, seni dipandang sebagai salah satu media untuk memberikan keseimbangan antara intelektualitas dengan sensibilitas, rasionalitas dengan irrasionalitas dan akal pikiran dengan kepekaan emosi. Pendidikan seni juga sebagai sarana dalam mempertajam moral dan watak manusia (Rohidi, 2000 : 55). Proses kreatif I Dewa Nyoman Batuan banyak didapat dari proses pendidikan formal daninformal. Pada jalur formal ditempuh melalui mengikuti pendidikan Sekolah Rakyat (SR) di Mas mulai tahun 1945.Salah satu pelajaran yang disukainya adalah pelajaran menggambar. Pelajaran menggambar adalah merupakan pengetahuan dasar dalam melukis. Kesukaannya pada pelajaran menggambar ini dilanjutkan dengan belajar melukis pada pamannya, I Gusti Ketut Kobot, seorang pelukis tradisional ternama di desanya. Selanjutnya, kegiatan belajar melukis selalu dilakukannya sore hari sepulang sekolah di rumah pamannya. Pada tahun 1955, Dewa Batuan menamatkan pendidikan dasar, Sekolah Rakyat di Mas. Menjadi guru adalah cita-citanya sejak kecil, sehingga kemudiania melanjutkan ke Sekolah Guru Bawah Negeri (SGBN) di Gianyar.
110
Setamat dari SGBN, tahun 1959, ia beristirahat dan kembali menekuni dan memperdalam seni lukis. Setahun kemudian, tahun 1960 Dewa Batuan diangkat menjadi guru Sekolah Dasar di desa Sayan, Kedewatan, Ubud.Sejalan dengan kesibukannya menjadi guru aktivitas melukismenjadi berkurang.Namun karena keinginannya sangat kuat untuk menjadi seorang pelukis, maka ia selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk berkarya dengan cara tetap menjalin komunikasi sama pamannya terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan seni lukis. Selama menjalankan tugas sebagai guru ia telah beberapa kali mengalami perpindahan tempat mengajar, seperti dari SD Sayan pindah ke SD Mawang dan terakhir ke SD Lodtunduh masih sekitaran wilayah kecamatan Ubud.Bagi Dewa Batuan, pekerjaan menjadi guru merupakan tugas yang sangat mulia sekaligus berat, karena guru merupakan peletak dasar untuk mencetak dan membentuk karakter dan mental generasi pemenerus bangsa. Di tengah-tengah tugas berat ini keinginan untuk menjadi pelukis selalu menghantui pikirannya, sementara kewajibannya sebagai guru tidak boleh diabaikan begitu saja yang sudah jelasjelas menghambat aktivitas melukisnya. Pada tahun 1970 dengan pertimbangan yang matang Dewa Batuan memutuskan untuk berhenti dengan hormat dari tugasnya menjadi guru. Sejak itu Dewa
Batuan
total
menekuni
seni
lukis
secara
professional.
Untuk
membangkitkan gairah berkarya serta untuk menyemarakan suasana seni lukis iamenggalang teman-teman sebayanya untuk melukis bersama di rumahnya
111
sendiri. Pada akhirnya tahun 1973 Dewa Batuan berhasil mendirikan sebuah perkumpulan seniman Pengosekan yang dinamakan Pengosekan Community Of Artists. Melalui perkumpulan inilah Dewa Batuan terus mengasah dirinya dengan mengadakan pameran-pameran yang mengantarkan dirinya dikenal sebagai pelukis yang aktif, inovatif, produktif, dan progresif. 6.1.2 Bakat Dewa Nyoman Batuan terlahir dari keluarga petani, namun lingkungan dimana ia dilahirkan adalah merupakan lingkungan yang sebagian besar penduduknya menekuni profesi sebagai pelukis. Rupanya bakat yang dimiliki oleh Dewa Batuan dominan karena didukung oleh faktor lingkungan, apa lagi kakak kandungnya, I Dewa Putu Mokoh juga seorang pelukis. Sejak umur delapan tahun ia sudah melukis.Bakatnya ini terpelihara dengan baik, terbukti pada masa-masamenempuh pendidikan baik waktu di Sekolah Rakyat (SR) maupun di Sekolah Guru Bawah Negeri (SGBN) dan sampai akhirnya menjadi guru ia masih tetap bisa meluangkan waktunya untuk melukis. Seiring dengan perjalanan waktu, keinginan Dewa Batuan untuk menjadiseorang pelukis tak terbendungkan.Sehingga pada akhirnya ia berani mengambil keputusan yang terberat, berhenti menjadi guru demi sebuah keinginan untuk menjadi pelukis. Hal ini membuktikan bahwa Dewa Batuan adalah sosok yang teguh pada pendirian, dorongan dari dalam dirinya sangat kuat sehingga akhirnya ia benar-benar bisa mengembangkan bakat dan mewujudkan keinginannya menjadi seorang pelukis yang professional.
112
6.1.3 Kreatif Proses kreatif merupakan kegiatan berpikir yang melibatkan emosi, bawah sadar dan logika. Selama terjadinya proses kreatif, logika tidak banyak berperan, namun berinteraksi dengan emosi, intuisi dan bawah sadar (Suryahadi, 1994 : 3). Proses
kreatif
dewa
Batuan
berjalan
sebagaimana
mestinya,
orisinal,mengalir begitu saja tanpa adanya pretensi apa-apa, kecuali hanya berkarya dan terus berkarya membuat lukisan yang baik dan menarik untuk dapat dengan mudah dipahami oleh masyarakat penikmatnya. Hal ini terbukti saat ia mencetuskan idenya untuk melukis alam, tumbuh-tumbuhan dan binatang dibuat secara realis, dengan warna-warna lembut, cerah apa adanya sesuai keadaan dan bentuk aslinya. Ide Dewa Batuan tersebut diatas lebih banyak diterapkan oleh pelukispelukis lainnya yang tergabung dalam Perkumpulan Seniman Pengosekan, “Pengosekan Community Of Artst” yang dipimpinnya. Karya-karya seni lukis yang mengangkat obyek dan tema tumbuh-tumbuhan serta binatang dikenal dengan seni lukis flora-fauna, atau seni lukis Pengosekan, karena saat itu semua pelukis Pengosekan melukis gaya dan corak yang sama, yaitu seni lukis flora dan fauna. Sejalan dengan semakin populernya seni lukis flora-fauna tersebut, Dewa Batuan justru sibuk memikirkan bagaimana agar bisa menampilkan jiwa dan diri sendiri dalam karyanya.Kalau di dunia seni rupa disebut dengan ciri khas ataujati
113
diri seorang seniman terlihat akan nampak pada karyanya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Sujoyono, bahwa seni itu adalah jiwa ketok (Sachari, 2002 : 55). Dewa Batuan tidak mau larut dengan seni lukis flora-fauna yang sudah menjadi milik bersama masyarakat Pengosekan. Dewa Batuan ingin tampil beda dengan tidak henti-hentinya mencari jati dirinya sebagai seorang pelukis sambil terus berpikir dan merenung tentang hidup dan kehidupan.Dari hasil renungannya inilah kemudian menghasilkan pandangan, bahwa hidup dan kehidupan serta segala macam makhluk yang ada di dunia ini adalah mandala. 6.1.4 Kebebasan Berkarya Menekuni profesi sebagai seniman, seniman apa pun, merupakan sesuatu yang sangat berat bagi orang yang bersangkutan. Terlebih di Bali, dalam dunia seni pertunjukan “tradisional” adalah identik dengan ngayah, mengabdi untuk kepentingan masyarakat, adat dan agama. Begitu pula dalam dunia seni rupa tidak jauh berbeda. Keahlian yang dimiliki oleh seorang perupa adalah untuk kepentingan masyarakat, adat, budaya dan agama pula. Seiring dengan perubahan jaman, tuntutan hidup semakin kompleks, seniman pun dalam menciptakan karya cenderung berorientasi pada kepentingan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Rupanya di era globalisasi sekarang ini, apa lagi Bali sebagai daerah tujuan wisata sangat berpeluang untuk memunculkan perubahan-parubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi pada karya-karya Dewa
114
Batuan betul-betul merupankan dorongan yang sangat kuat dari dalam dirinya sendiri, di samping pengaruh dari perubahan-peruban sosial yang sedang terjadi. Perubahan atau evolusi yang berasal dari bahasa Latin evolution, artinya perkembangan yang terbuka atau perkembangan potensial sesuatu ke arah hasil, tujuan, atau akhir yang lebih lanjut (Tule, 1995: 106). Dalam buku sejarah teori antropologi I oleh Koentjaraningrat (1987: 13) disebutkan bahwa proses evolusi sosial universal, adalah perkembangan masyarakat dengan lambat (berevolusi), dari tingkatan-tingkatan yang terendah dan sederhana, ke tingkat-tingkat yang makin lama makin tinggi dan komplek. Proses evolusi seperti itu akan dialami oleh semua masyarakat manusia di muka bumi ini walaupun dengan kecepatan yang berbeda-beda. Pendapat tersebut di atas dipertegas oleh Spencer dengan mengenalkan teorievolusi sosial yang membahas dinamika sosial universal, seperti dikemukakan bahwa Spencer melihat perkembangan masyarakat dan kebudayaan tiap-tiap bangsa telah atau akan melalui tingkat-tingkat evolusi yang sama. Namun, tidak diabaikannya fakta bahwa secara khusus tiap-tiap bagian masyrakat atau sub-sub kebudayaan bisa mengalami proses evolusi melalui tingkatan-tingkatan yang berbeda. Dalam dunia seni rupa khususnya seni lukis, sudah banyak mengalami perubahan-perubahan baik dari segi tema, bentuk, teknik dan juga dari segi material. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara pelukis Barat dengan pelukis lokal delapan puluh tahun silam di Ubud.
115
Pada perkembangan berikutnya pengetahuan dan wawasan para pelukis semakin luas, maka mulailah menyadari bahwa betapa pentingnya arti kemandirian dalam sebuah karya. Karena kemandirian, “mandiri” berarti tidak terikat dengan hal-hal di luar diri.Dengan demikian, seniman akan dapat secara bebas mengekspresikan dirinya ke dalam karya-karyanya. Sehingga munculah karya-karya yang menonjolkan individu penciptanya. Akibat dari kesadaran ini para pelukis mulai mencantumkan nama pada setiap hasil karyanya, bereksperimen dan mengembangkan imajinasinya secara bebas. Hal ini menunjukan telah terjadi perubahan mendasar, para pelukis sudah berani menunjukan kebebasannya dalam berkreasi sesuai nuraninya. Rupanya prinsip untuk menemukan jati diri sebagai seniman melalui karya-karyanya terpatri pada jiwa seorang Dewa Batuan. Karya-karya yang dihasilkan menunjukan kepribadian yang sangat kuat, walaupun nilai komunal estetika seni lukis Bali umumnya masih nampak jelas, setidaknya Dewa Batuan merupakan generasi yang mampu melakukan terobosan lepas dari kebiasaan dan aturan melukis ala tradisi Bali. Karya-karyanya betul-betul mencerminkan cetusan seorang individu yang kuat serta kebebasan seorang seniman dalam mengekspresikan jiwa dan pengalamannya. 6.1.5 Aktualisasi Diri Manusia sebagai makhluk individu dan sosial keberadaannya perlu mendapatkan pengakuan minimal dilingkungan dimana dia berada. Untuk hal
116
tersebut banyak cara yang ditempuh, antara lain melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan, bakat, kemampuan serta kelebihan-kelebihan yang dimiliki. Seniman sebagai individu mengaktualisasikan dirinya lewat karya-karya yang dihasilkan. Karya seni buah karya seorang seniman merupakan hasil pengejawantahan jati diri yang diekspresikan lewat media dengan teknik dan keterampilan yang khusus sehingga melahirkan nilai seni nan agung dan memiliki nilai estetika yang tinggi. Dewa Batuan menyadari, hidup sebagai manusia akanselalu mengalami berbagai peristiwa yang kadang-kadang menyenangkan, menyedihan dan bahkan bisa sangat menyakitkan.Tidak jarang pula kejadian-kejadian yang dialami justru mengundang pertanyaan yang memacu dirinya untuk merenungi apa yang telah dialaminya. Hal-hal yang dialami oleh manusia itu kemudian menjadi kenangan dan secara naluriah selalu ingin dikomunikasikanlewat
bahasa, baik visual,
audio, atau yang lainnya (Feldman, 1967: 4). Sebagai seorang perupa Dewa Batuan selalu mengkomunikasikan dan mengekspresikan jiwa pribadinya lewat karya seni lukis dalam kemasan mandala. Mengamati karya-karya Dewa Batuan yang disajikan dalam kemasan mandala sebagai subject matter-nya adalah merupakan aktualisasi seorang seniman dalam mengekspresikan dirinya sesuai nurani lewat media rupa yang lahir menjadi sebuah karya seni. Emosi dan ekspresi seorang Dewa Batuan terlihat jelas dalam karya-karyanya adalah merupakan tumpahan setumpuk
117
pengalamannya yang dituangkan secara bebas dengan bingkai mandala baik yang terkait dengan tradisi, sosial, budaya, agama dan juga politik. Disisi lain, dibalik kelihainnya meramu pengalaman dan pandangannya terhadap apa yang ada dan apa yang terjadi dalam hidup dan kehidupan di muka bumi ini lewat media visual, pun terlihat jelas pula bahwa Dewa Batuan adalah sosok yang agamais. Hal ini dibuktikan, betapa tinggi keyakinannya terhadap keberadaan Tuhan, Sang Hyang Widhi Wasa yang selalu diwujudkan pada setiap karyanya baik melalui bentuk dan simbol-simbol umum sebagai personifikasi Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa maupun dalam bentuk dan simbol lain yang bersifat pribadi. 6.1.6 Religiusitas Dewa Batuan lahir dilingkungan dimana masyarakatnya sangat kuat dalam menjaga tradisi, adat serta taat terhadap ajaran agama. Sejak kecil, disamping membantu orang tua di sawah ia juga diberikan tugas untuk menghaturkan yadnya sesa. Tugas ini dilakukannya setiap hari bergiliran dengan saudaranya sesuai waktu yang dimiliki. Kegiatan lain
yang terkait dengan aktivitas keagamaan adalah
sembahyang. Sembahyang dilakukan pada hari-hari tertentu; purnama-tilem, piodalandi Pura-Pura, hari raya dan hari-hari penting lainnya. Semua aktivitas yang ada kaitannya dengan keagamaan yang pernah ia jalani waktu kecil, walaupun belum dipahami apa makna dan tujuannya, dirasakan sangat berperan dalam membentuk karakter dan mental dalam perjalanan hidupnya.
118
Pengalaman menjadi pemimpin; klian adat dan bendesa di desanya membuat Dewa Batuan mau tidak mau harus menguasai petunjuk dan aturanaturan sesuai dengan tradisi, adat dan agama, karena seorang klian, pemimpin tradisional dituntut harus mumpuni. Pengalaman-pengalaman tersebut diatas membentuk diri seorang Dewa Batuan menjadi orang yang sangat religius. Hal ini dibuktikan dengan penampilan beberapa karyanya yang selalu menyuguhkan sesuatu yang berkaitan dengan nilai-nilai dan makna ajaran agama sebagai tuntunan dan penyadaran diri dalam kehidupan ini. 6.2. Faktor Eksternal Yang dimaksud dengan faktor
eksternal adalah sesuatu yang berada
diluar diri seorang seniman yang dapat mempengaruhi proses penciptaannya dalam melahirkan karya seni.Pada umumnya seniman bisa terangsang dan ternggugah dirinya untuk melakukan aktivitas seni setelah melihat sesuatu, demikian pula inspirasinya akan keluar setelah melihat atau melakukan aktivitas tertentu. Ada banyak hal yang datangnya dari luar mempengaruhi seniman dalam menciptakan karya seni, antara lain berupa benda atau obyek, kejadian, aktivitas dan momen-momen penting yang unik dan menarik untuk diungkapkan dalam karya seni. Dalam proses penciptaan karya seni faktor eksternal sangat mempengaruhi seniman baik yang berkaitan dengan ide, gagasan serta teknik dan gaya yang dimunculkan. Paktor eksternal lainnya yang juga berpengaruh besar terhadap proses penciptaan karya seni seorang seniman adalahlingkungan alam, apresiasi
119
masyarakat, pariwisata dan komponen-komponen pendukung lainnya seperti kolektor, galeri dan tempat pemasaran lainnya. Motivasi seorang seniman dalam berkarya banyak pula didorong oleh faktor-faktor eksternal yang ada disekitarnya. Inspirasi seorang seniman akan keluar setelah mereka secara langsung bergesekan dengan atmosfir apa yang ada disekelilingnya. Dorongan tersebut tidak hanya lahir dari obyek visual saja, tetapi juga gejala apa yang dirasakan seniman dalam melakukan aktivitas. Disamping itu gejala-gejala global yang melanda dunia juga kerap kali mendorong kreativitas seniman untuk berkarya. 6.2.1 Lingkungan Alam Lingkungan alam dan masyarakat sekitarnya sangat berperan terhadap seniman dalam berkarya. Waktu kecilnya, Dewa Batuan masih bisa melihat dan merasakan betapa asri dan indahnya alam tempat ia dilahirkan. Hubungan antar warga yang satu dengan yang lain, rasa menyama braya dan rasa kebersamaannya masih kental sekali.Bangunan-bangunan; hotel, villa, kios, art shop, galeri dan bangunan lainnyamasih sangat jarang.Yang ada hanya hamparan sawah nan luas dengan berbagai jenis burung berterbangan bebas, ada pula yang asyik mengintip mangsanya di tengah tengah sawah dengan gerak geriknya yang khas. Sehingga lukisan-lukisan saat itu lebih banyak menampilkan tema tentang keindahan alam dan gambaran masyarakat yang sangat menjunjung tinggi asas kebersamaan dalam bentuk upacara adat, upacara keagamaan, suasana menjelang hari raya (Galungan dan Kuningan), panen padi di sawah, dan bentuk-bentuk kebersamaan
120
lainnya. Di samping keadaan lingkungan dan masyarakatnya masih sangat alami, juga akibat adanya interaksi antara pelukis lokal dengan pelukis asing saat itu yakni Wallter Spies dan Rudolp Bonnet yang banyak memberikan arahan untuk mengembangkan tema-tema lukisan dari melukis wayang ke tema tentang alam dan kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebagaimana tersebut dalam teori perubahan, beberapa ahli filsafat sejarah dan para sosiolog telah mencoba untuk merumuskan prinsip-prinsip atau hukumhukum mengenai perubahan-perubahan sosial. Banyak yang berpendapat bahwakecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejalagejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia. Yang lain berpendapat bahwa perubahan-perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti misalnya perubahan dalam unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis atau kebudayaan. Kemudian ada pula yang berpendapat bahwa perubahan-perubahan sosial yang bersifat periodik dan non-periodik. Pokoknya, pendapat-pendapat tersebut pada umumnya menyatakan bahwa perubahanperubahan tersebut merupakan lingkaran daripada kejadian-kejadian (Sukanto, 1977: 237). Sesuai dengan penjelasan teori perubahan tersebut di atas, sejalan pula dengan perkembangan jaman, banyak perubahan-perubahan yang terjadi baik perubahan keadaan lingkungan maupun perubahan sikap manusianya. Dewa Batuan sebagai individu dan makhluk sosial yang juga berinteraksi dengan
121
sesama warga masyarakat lainnya tidak bisa lepas dari pengaruh perubahanperubahan sosial yang terjadi. Sebagai pelukis juga mengalami hal tersebut, dari melukis wayang, kemudian melukis keindahan alam (flora-fauna) sampai ahkirnya menghasilkan karya yang mengarah ke abstrak-individualstis. Pesatnya perkembangan pariwisata dan teknologi berdampak besar terhadap pola dan sikap hidup manusia itu sendiri sehingga banyak haldirasakan oleh Dewa Batuan sudah hilang. Hidup dan kehidupan serta perubahan-perubahan yang terjadi, sesuatu yang saling bertentangan, rotasi kehidupan merupakan hal yang tak dapat dipungkiri. Hal tersebut menjadi bahan renungan bagi Dewa Batuan yang ditelusuri secara terus menerus, sehingga mengantarkan Dewa Batuan sampai pada kesimpulan bahwa hidup dan kahidupan itu adalah “mandala”. Konsep mandala inilah yang kemudian diusung oleh Dewa Batuan sebagai tema sentral karya-karyanya sampai akhir hayatnya yang dikenal dengan seni lukis mandala. 6.2.2 Apresiasi Masyarakat Secara visual, karya-karya Dewa Batuan terkesan masih sama dengan karya-karya tradisional lainnya yang ada di Ubud, sehingga masyarakat umum selaku penikmat karya seni mengapresiasinya secara datar-datar saja. Hal ini sangatlah wajar, karena masyarakat awam melihat tidak ada sesuatu yang ganjil dan sudah sesuai dengan apa yang selama ini mereka lihat dan dianggap baik.Protes mayarakat itu akan muncul ketika mereka melihat sesuatu yang
122
melenceng termasuk dalam dunia seni terutama yang menyangkut seni tradisional. Berbeda dengan mayarakat pecinta, pengamat, dan kolektor karya seni, mereka melihat sesuatu yang lain yang tidak ada pada karya seni lukis tradisional pada umumnya dalam karya Dewa Batuan. Walaupun sekilas kelihatan sama, namun kekuatan pribadi seorang Dewa Batuan, prinsip serta konsepnya dalam memandang, menyikapi hidup dengan didasari ajaran agama yang sangat kuat terlihat jelas dalam karya-karyanya yang semuanya dikemas dalam bentuk mandala. Dibalik bentuk-bentuk visual baik nyata maupun abstrak tersimpan nilai-nilai filosofi kehidupan yang perlu pendalaman dan penghayatan secara khusus untuk mengetahuinya. Upaya Dewa Batuan melalui karya seni lukisnya menyampaikan pandangan dan konsepnya terhadap segala sesuatu yang ada dan terjadi di dunia ini yang disebutnya “mandala” cukup mendapat apresiasi dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini merupakan kepuasan tersendiri bagi Dewa Batuan, karena disamping kreasi,juga pandangan-pandangan yang tertuang dalam karyanya bisa tersampaikan.Sebuah karya seni merupakan media komunikasi senimannya kepada penikmatnya (Soedarso, 2006:45). 6.2.3 Pariwisata Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa pariwisata mempunyai pengaruh yang besar terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di Bali. Perubahan-perubahan yang terjadi termasuk didalamnya adalah orientasi
123
berkesenian masyarakat Bali dari yang sebelumnya bersifat religius untuk kepentingan upacara keagamaan, kini berkembang menjadi seni untuk kepentingan komersial. Perubahan-perubahan tersebut diatas terjadi sebagai akibat dari datangnya wisatawan ke Bali,disamping menikmati keindahan alam, seni danbudayanya juga memburu dan membeli benda-benda seni rupa khas Balisebagai souveniruntukdibawa pulang ke negaranya.Peluang-peluang yang tersedia berkat perkembangan pariwisata di Bali direspon oleh para perajin dan seniman sebagai pemicu gairahnya untuk menciptakan hal-hal baru dalam berkarya. Hal ini berdampak positif terhadap peningkatan perekonomian dan tarap hidup para perajin dan seniman di Bali, sehingga banyakgenerasi belakangan ini terjun dan menekuni dunia inisecara professional, bahkan ada yang menjadikannya sebagai sumber penghasilan utama. Demikian pula seni lukis, tak dapat dipungkiri, berkat pengaruh pariwisata perkembangannya sangat pesat. Di Bali khususnya di Daerah Ubud dan sekitarnya, sejak 33 tahun silam, tepatnya di tahun 1980-an banyak bermunculan pelukis-pelukis muda potensial yang meramaikan jagat seni rupa, khususnya seni lukis Bali saat itu. Namun dibalik hingar-bingar kehidupan dan perkembangan seni lukis Bali berkat pariwisata, banyak pula produk-produk senitermasuk didalamnya seni lukis terseret arus pariwisata kearah yang negatif, seperti terjadinya jiplak menjiplak terhadap karya-karya pelukis terkenal, peniruan tanda tangan, dan persaingan harga yang sangat merugikan seniman itu sendiri.
124
Kejadian-kejadian tersebut diatas memunculkan rasa prihatin berbagai kalangan masyarakat, terutama masyarakat penikmat, pemerhati dan pengamat seni di Bali. Di tengah-tengah merosotnya nilai dan kualitas karya seni Bali karena pariwisata, masih ada beberapa seniman yang memegang teguh prinsipprinsip kesenimanannya dalam menciptakan karya, bahkan membuat dirinya merasa tertantang untuk menghadapifenomena yang terjadi serta membuat dirinya semakin kreatif. Dewa Batuan adalah salah satu seniman yang memiliki kepekaan dan sensitifitas yang tinggi untuk mengantisifasi dan merespon fenomena yang terjadi akibat pariwisata. Dari membaca fenomena yang ada, Dewa Batuan mampu merespon dengan baik selera wisatawan yang datang ke daerahnya, di Ubud.Pada tahun 1970-an Dewa Batuan melahirkan seni lukis flora-fauna yang dikembangkan oleh komunitasnya yang tergabung dalam sanggar yang didirikanya. Seni lukis ini menjadi primadona wisatawan di tahun 1980-an. Di mana-mana para pelukis di sekitaran daerah Ubud saat itu membuat lukisan yang sama, seni lukis flora-fauna, akhirnya terjadilah produk masal sekaligus sebagai penyebad runtuhnya nilai dan kualitas seni lukis tersebut. Terhadap kejadian inilah Dewa Batuan tak berhenti sampai disitu, ia kembali pada pitrahnya. Jauh sebelum lahirnya seni lukis flora-fauna sudah terbesit di benaknya untuk mengangkat “mandala” sebagai konsep dan tema sentraldalam berkarya. Dampak positif dan negatif yang ditimbulkan akibat adanya pariwisata merupakan kenyataan yang harus diterima baik oleh masyarakat itu sendiri
125
sebagai obyek maupun masyarakat yang terlibat didalamnya; para perajin, seniman dan pelaku-pelaku pariwisata lainnya.Dan yang paling penting adalah sikap dan kebijakan pemerintah selaku pemegang kebijakan untuk menentukan arah pariwisata itu sendiri. Pariwisata telah memberikan manfaat banyak terhadap kemajuan pembangunan di Indonesia khususnya Bali, namun tidak sedikit pula memunculkan hal-hal negatif yang perlu pemikiran, tindakan bersama untuk menanggulangi dan mengantisipasinyademi kemajuan pembangunan Bali ke depan. Keberadaan seni dan budaya Bali salah satu ranah yang bersentuhan langsung tidak bisa lepas dari dampak pariwisata itu sendiri. Banyak seni-seni langka bangkit olehnya, para seniman dibuat lebih bergairah, semangat, kreatif dan sangat produktif dalam melahirkan karya-karya barunya.I Dewa Nyoman Batuan adalah salah satu diantara pelukis terbukti mampu mengantisipasi dan merespon keadaan dengan baik. Di tengah-tengah maraknya pariwisata ia mampu berdiri sebagai seniman lukis sejati dengan karya-karyanya yang memiliki ciri khas tersendiri serta mampu menunjukan jati diri seorang pelukisnya. I Dewa Batuan merasa beruntung dengan berkembang pariwisata di daerahnya. Konsep dan pandangannya ia sampaikan lewat karya-karyanya sebagai sarana komunikasi dengan masyarakat penikmatnya. Dengan coraknya yang khas dan unik,Dewa Batuan mampu menyampaikan gagasan, ide dan pandangannya tentang mandala yang memiliki nilai filosofi kehidupan yang
126
universal kepada manusia lain di dalam dan di luar lingkungannya, bahkan sampaike seluruh dunia. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Soedarso Sp, bahwa seni merupakan media komunikasi seniman terhadap lingkungan dan masyarakat. 6.2.4 Galeri dan Kolektor Dalam dunia seni rupa keberadaan galeri dan kolektor merupakan dua komponen penting sebagai sarana untuk menjembatani hasil karya seni dengan masyarakat konsumennya. Di Bali keberadaannya mulai dengan munculnya beberapa toko seni, art shopyang khusus menjual hasil karya seni untuk kepentingan wisatawan. Seiring dengan perjalanan waktu, keberadaan priwisata Bali semakin baik, kunjungan wisatwan pun meningkatdibarengi dengan maraknyaart shop ataugaleribermunculan di kantong-kantong pariwisata yang ada di Bali. Ubud sebagai destinasi wisata memiliki daya tarik tersendiri dibanding tempat-tempat wisata lain yang ada di Bali. Disamping seni budaya dan keindahan alamnya, Ubud juga dikenal sebagai perkampungan seniman.Di Ubud banyak bercokol para pelukis berkaliber nasional, internasional disamping memang sebagian besar penduduknya menekuni profesi sebagai pelukis,“seni lukis tradisional Ubud”. Kondisi ini dilirik oleh sebagian warga Ubud sebagai peluang bisnis yang sangat menjanjikan, maka muncul banyak toko seni, art shop, dan galeri sebagai tempat untuk pemasaran hasil karya para pelukis di Ubud. Situasi seperti ini berdampak positif
bagi para pelaku seni untuk
127
meningkatkan kreativitasnya dalam berkarya juga berdampak pula terhadap peningkatan perekonomian masyarakat dan seniman itu sendiri. Para pecandu seni yang dikenal dengan sebutan kolektor, baik untuk kebutuhan pribadi maupun untuk kepentingan yang lebih luas juga mempunyai andil besar dalam pertumbuhan dan perkembangan seni lukis di Bali. Adanya museum-museum seni lukis di Bali adalah bukti kepedulian para kolektor untuk menyelamatkan karya-karya terbaik para pelukis Bali yang sebelumnya banyak diborong oleh kolektor asing. Dengan adanya museum-museum seni khususnya seni lukis, paling tidak rekam jejak perjalanan seni lukis Bali bisa terbaca oleh generasi berikutnya sebagai sarana pendidikan dan penghormatan terhadap para pelukis berprestasi pada jamanya. Disisi lain ada juga kolektor yang berorientasi pada investasi, dengan tujuan pada saatnya nanti karya seni yang dikoleksinya bisa terjual jauh lebih mahal dari harga sebelumnya. Dalam dunia bisnis hal seperti itu merupakan hal yang wajar, membeli dengan harga semurah-murahnya, menjual dengan harga semahal-mahalnya. Namun yang paling membahayakan adalah kolektor yang mampu mengarahkan para pelukis membuat lukisan sesuai kebutuhan pasar. Hal inilah umumnya membuat para pelukis tidak memiliki jati diri, melukis sesuai kebutuhan pasar , sesuai pesanan, akhirnya berdampak pada merosotnya kualitas seni lukis itu sendiri. Biasanya, disadari atau tidak, akan terjadi seleksi alam. Pelukis yang berkarya musiman sesuai kebutuhan pasar dengan sendirinya akan
128
cepat tenggelam dibandingkan dengan pelukis yang memang benar-benar dedikatif. Dewa Batuan adalah salah satu diantara pelukis yang memiliki dedikasi yang tinggi terhadap profesinya. Hal ini dibuktikan dengan sikap dan ketetapan hatinya untuk melukis sesuai kata hati yang memiliki visi dan misi sebagai sebuah perjuangan untuk mencapai kesejahteran hidup lahir dan batin. Dewa Batuan juga tidak monafik dengan keberadaan galeri dan peran kolektor. Diakuinya, keberadaan galeri dan kolektor sangat beperan untuk memberikan motivasi, semangat kerja untuk meningkatkan kreativitas dan kualitas, namun beliau tidak mau terikat olehnya (Wawancara, 01 Desember 2013). Berkat sikap dan dedikasinya sebagai pelukis, karya-karya Dewa Batuan banyak dikoleksi oleh kolektor dan dipajang di museum- museum dalam dan luar negeri, antara lain : Museum Neka, Agung Rai Museum, Museum Rudana, Museum Ratna Warta, Museum Bali dan Art Centre, Taman Budaya Bali.Di luar negeri, karya-karyanya dikoleksi oleh Fukuoka Art Museum-Fukuoka, Jepang dan Tropen Museum, Amsterdam.
BAB VII MAKNA SENI LUKIS MANDALA OLEH I DEWA NYOMAN BATUAN Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 703), makna diartikan „arti‟ atau „maksud‟. Begitu pula dalam bahasa Sanskerta ada kata “pratika“ untuk simbol yang mengandung arti yang datang kedepan, yang mendekati. Dengan demikian kata “pratika” mengandung makna menunjukan, menampilkan atau menarik kembali sesuatu dengan analogi kualitas kepemilikan atau dengan mengasosiasikan kedalam fakta atau pikiran (Titib, 2003 : 63). Dalam pandangan Saussurean, ‟makna‟ adalah apa-apa yang ditandakan (petanda), yakni kandungan isi (Piliang, 1999 : 115). Sehubungan dengan seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan merupakan sebuah karya seni rupa; seni lukis, yang dihasilkan untuk tujuan-tujuan tertentu baik untuk pribadi maupun untuk kepentingan yang lebih luas sebagai suatu misi yang diemban oleh Dewa Batuan sebagai seorang pelukis. Melalui karyanya yang diwujudkan dengan berbagai bentuk dan beragam simbol adalah teks visual yang mengandung arti dan makna tertentu untuk eksistensi karya seninya dan keberadaan dirinya sebagai seniman dan makhluk sosial. Untuk mengungkap dan mengetahui lebih jauh tentang makna seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan memerlukan pengamatan secara langsung dari wujud visual yang ditampilkan. Adapun makna seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan dapat disimak melalui uraian berikut ini.
129
130
7.1 Makna Estetika Istilah estetika baru ditemukan sekitar abad ke-18. Sebelumnya, menurut Shipley dalam Kutha Ratna, (2007: 30) istilah yang digunakan adalah keindahan, beauty (Inngris), beaute (Perancis). Beauty dan beaute itu sendiri berasal dari bahasa Latin yang berarti sesuatu yang baik, yaitu bellus yang juga diturunkan melalui bonus, bonum, yang berarti sesuatu yang baik, sifat yang baik, keutamaan, dan kebajikan. Perlu diketahui bahwa secara etimologis beautiful berhubungan denganbenefit, yang berarti bermanfaat dan berguna. Dalam bahasa Indonesia, kata indah selain memiliki makna beauty seperti diatas, khusunya sesudah menjadi kata turunan, yaitu mengindahkan, juga berarti peduli (akan), menaruh perhatian (terhadap). Jadi, baik makna pertama maupun yang kedua mengaplikasikan adanya perhatian subjek terhadap objek. Makna yang dimaksudkan
sangat dekat dengan proposisi Plato yang mengatakan bahwa
langkah pertama untuk memperoleh pemahaman mengenai keindahan adalah mencintai atau memperhatikan. Sesuai dengan pernyataan diatas, maka untuk mengetahui lebih jauh tentang sesuatu yang dikatakan baik, mengandung kebaikan, bermanfaat, berguna serta bersifat indah, harus ada langkah dan tindakan mengindahkan, rasa peduli dan yang paling penting adalah rasa mencintai yang kemudian memunculkan perhatian subjek terhadap obyek. Seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan merupakan obyek yang dijadikan sasaran dalam penulisan tesis ini untuk diketahui secara mendalam sejauh mana muatan estetis yang ada dan manfaatnya
131
terhadap subjek terutama terhadap penulis sebagai pihak yang peduli terhadap keberadaannya. Menurut Aristoteles, keindahan adalah sesuatu yang tidak saja baik tetapi juga menyenangkan (Gie,1986: 13). Sedangkan ciri-ciri keindahan yang lengkap pada karya seni adalah; (1) adanya kesatuan atau keutuhan yang dapat menggambarkan kesempurnaan bentuk; (2) harmoni atau keseimbangan antara unsur-unsur yang proporsional; (3) kejernihan, bahwa segalanya memberikan suatu kejelasan, tanpa ada keraguan (Aristoteles dalam Sumardjo, 2000: 275). Hal senada juga diungkapkan Aquinas, bahwa keindahan sebagai sesuatu yang menyenangkan, memiliki syarat-syarat seperti : (1) adanya kesempurnaan bentuk dan kesatuan antara unsur-unsurnya, (2) proporsi atau keselarasan, (3) kecemerlangan (Aquinas dalam Sumardjo, 2000: 279). Hal tersebut diatas senada dengan ungkapan Plato, seorang filsup Yunani muridnya Sokrates, yang menyebutkan keindahan dapat diperoleh dari “cinta”. Cinta membangun keyakinan adanya keindahan yang ideal, manusia harus menjauhkan diri dari sikap yang “salah” dan berupaya mengosongkan pikiran dan mengembalikan kesucian jiwa. Upaya-upaya kontemplatif harus dilakukan untuk memperoleh kebenaran sejati, yaitu keindahan yang abadi (Schari, 2002: 5). Pendapat tersebut menunjukan bahwa peranan subjek dalam proses perwujudan karya seni. Pengetahuan dan pengalaman sangat menentukan terjadinya pengalaman akan proses keindahan dalam diri manusia.
132
Sesuai dengan pandangan beberapa filsuf diatas terkait dengan syarat yang dikenakan terhadap karya seni untuk dapat dikatakan indah, nampaknya karyakarya I Dewa Nyoman Batuan yang disebut seni lukis mandala telah memenuhi unsur-unsur tersebut. Unsur-unsur seni rupa seperti garis, bidang, ruang, dan warna disusun sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu kesatuan yang membuat suatu bentuk yang utuh serta harmonis.Seni lukis mandala menyuguhkan nilai keindahan tersendiri ala Dewa Batuan yang membuat karyakaryanya secara visual memiliki ciri khas tersendiri, unik, secara inplisit dan eksplisit nampak adanya novelty. Dari segi isi atau bobot yang disuguhkan seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuanmerupakan hasil renungan tentang hidup dan kehidupan yang didasari dengan ajaranfilsafat agama (Hindu) sebagai upaya Dewa Batuan mencari jati diri, kebenaran sejati, yaitu keindahan yang abadi. Hal ini terlihat pada setiap tampilan elemen-elemen dalam karyanya disesuaikan dengan tema yang diangkat, ditata secara apik, tegas, jelas dengan paduan dan olahan warnaterkesan lembut, sehingga secara keseluruhan nampak sangat harmonis. Menelisik secara detail karya-karya Dewa Batuan, secara samar-samar namun jelas tampilan estetikanya menunjukan hal yang berbeda dengan nilai estetika seni lukis tradisional umumnya. Latarbelakang, wawasan, dan karakter individu seorang seniman ditambah dengan penghayatan dan keteguhan hati dalam memegang prinsip sesuai ideologinya akan tercermin dalam karya-karya
133
yang dihasilkan. Dewa Batuan sosok seniman yang sangat ulet dan teguh dengan pendirian, sehingga jati dirinya sebagai pelukis tercermin dalam karyanya. 7.2 Makna Simbolis Ernst Cassirer (1874-1945) adalah seorang filsup kebudayaan yang terkenal dengan karyanya “ phylosophy of simbolyc form”. Cassirer berpendapat bahwa dengan adanya simbol, manusia dapat menciptakan dunia kultural yang didalamnya terdapat bahasa, mitos, agama, kesenian, dan ilmu pengetahuan. Manusia tidak dapat diartikan sebagai substansi, tetapi harus dimengerti melalui gagasan-gagasan yang amat fungsional (Sachari,2002: 14). Pada dasarnya gagasan-gagasan Cassirer tentang bentuk simbolis adalah karya estetis, bukanlah semata-mata reproduksi dari realitas yang selesai. Seni merupakan salah satu jalan kearah pandangan objektif atas benda-benda kehidupan manusia. Seni bukannya imitasi realitas, melainkan penyingkapan realita. Cassirer menyebutnya sebagai makhluk bersimbol, manusia tidak pernah melihat, menemukan, dan mengenal dunia secara langsung, tetapi dengan perantara simbol. Senimengajarkan manusia untuk menjadikan benda itu berwujud rupa, bukan sekedar konseptualisasi atau pemanfaatan. Seni menyajikan realitas yang lebih kaya, lebih hidup dan penuh warna-warni sehingga wawasan estetis menjadi lebih menukik kedalam struktur formal realitas. Sesuatu yang khas pada kodrat manusia bukan terpaku pada suatu cara tertentu untuk mendekati realitas, melainkan mampu memilih sudut pandangnya, sehingga mengembara dari satu dimensi ke dimensi lain (Shcari, 2002: 17). Selanjutnya Sahman mengungkapkan pendapat K.Kuypers, bahwa karya seni boleh dipandang sebagai
134
tanda yang wajar sehingga dengan sendirinya merupakan lambang atau simbol (Susanto, 2006 : 110). Selanjutnya, Levi Strauss mengatakan bahwa budaya pada hakikatnya adalah suatu sistem simbolik. Orang harus lebih dahulu melihatnya dalam kaitannya dengan sistem keseluruhan tempat sistem perlambang itu menjadi bagian (Kaplan, 2000 : 239)., Demikian juga dengan seni lukis madala buah karya I Dewa Nyoman Batuan banyak menampilkan simbol-simbol lewat media lukis berupa garis, warna, bentuk dan unsur-unsur lainnya serta objek-objek realis yang diolah sesuai dengan kehendak pelukisnya. Pada karya-karya pelukis Dewa Batuan tersirat makna dan pesan tertentu yang hendak disampaikan, baik makna agama, budaya, sosial, estetika dan yang lainnya. Untuk memahami makna simbolis lukisan Dewa Batuan, secara umum dapat kita lihat pada karya-karyanya. Oleh karena makna dalam karya itu tersirat melalui tema yang ditampilkan, yang dalam hal ini keseluruhan tema atau judul lukisan Dewa Batuan diawali dengan kata mandala. Tema atau judul karya seni lukis Dewa Batuan antara lain : “Mandala Acintya”,adalah salah satu judul karya Dewa Batuan yang mencerminkan pengakuan dan keyakinanya terhadap keberadaan Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi, sebagai pencipta alam beserta isinya. Dalam karya ini Dewa Batuan melukiskan simbol Tuhan, simbol yang sudah dikenal (ikonik) dan sudah dipahami oleh umat Hindu (Bali). “Acintya” dalam bahasa Sanskerta disebut Acintyarupayang artinya : tidak berwujud dalam pikiran manusia, dan dalam
135
bahasa Jawa Kuno dinyatakan: Tan kagrahita dening manah mwang indriya yang artinya tidak terjangkau oleh akal dan indriya manusia (Titib, 2003 : 10) Sesuai dengan penjelasan diatas, sesungguhnya Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa tak terbayangkan baik dalam alam pikiran maupun dalam indriya manusia. Namun dimata seniman maupun umat-Nya dibuat dalam bentuk yang sudah disepakati. Dalam hal ini oleh Dewa Batuan melukiskan dengan wujud sosok
manusia
telanjangdengan
sikap
berdiri,
tidak
laki-laki
tidak
jugaperempuan. Pada telinga kiri dan kanan, diatas kepala, begitu pula pada setiap persendiannya juga dihias dengan bentuk motip bagian tajam dari senjata cakra sebagai lambang sinar. Bentuk atau simbol Acintya yang melambangkan wujud Tuhan ( Sng Hyang Widhi) tersebut di atas adalah ikon yang sudah disepakati dan dipahami oleh umat Hindu (Bali). Demikianlah Acintya dibuat, dilukis dalam wujud dan bentuk manusia lengkap dengan atributnya sebagai simbol Tuhan, tiada lain tujuannya untuk memudahkan manusia (umat Hindu) membayangkan wujud Tuhan yang tidak berwujud. Disamping itu juga sebagai media konsentrasi untuk memudahkan manusia (umat Hindu) lebih cepat sampai dalam usahanya mendekatkan diri pada Nya. Kecenderungan ingin melukiskan Tuhan atau dewa dalam bentuk lukisan atau patung adalah suatu cetusan rasa bhakti(cinta) umat kepada-Nya (Wiana, 1993: 25). Selanjutnya lukisan dengan judul “Mandala Meru”. Menurut Dewa Batuan, bahwa meru merupakan simbol dari pada gunung, tempat yang tinggi, diyakini sebagai stana IdaSang Hyang Widhi Wasa. Maka merudalam bentuk
136
bangunan dibuat paling tinggi diantara bangunan suci yang ada diPura (tempat suci agama Hindu) dengan atapyang bertingkat-tingkat. Sesuai dengan penjelasan yang termuat dalam buku “Teologi & SimbolSimbol Dalam Agma Hindu” katameruadalah nama sebuah gunung di India (Mahameru) dan diyakini sebagai tempat suci (Sang Hyang Widhi). Meru yang sebenarnya
tempatnya
di
svargaloka.
Seperti
halnya
prasada,
maka
merumempunyai fungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi atau manifestasi-Nya (Titib, 2003 : 104-105). Karya-karya Dewa Batuan yang lain juga lebih banyak menampilkan simbol-simbol Tuhan,Sang Hyang Widhi Wasayang sudah umum diketahui dan dipahami oleh umat Hindu (Bali), baik secara wujud visual maupun makna, filosofi dan fungsinya. Adapun karya-karya tersebut, antara lain : lukisan dengan judul Mandala Tri Sakti, Mandala Saraswati, Mandala Padma, dan sebagainnya. Sesuai dengan penjelasan tersebut di atas, Anak Agung Gde Rai, pemilik museum dan juga seorang kolektor lukisan menyatakan : “Saya dengan almarhum Ajik Batuan „ngacung‟(berjualan keliling) menjual lukisan, Lama, dari tahun 1970-an. Saya paham betul lukisan dan karakternya. Pekerja keras, ulet, tegas, dan progresif. Lukisan mandalanya manampilkan makna-makna simbolik dan abstrak. Nilainilai agama, adat dan budaya Bali diangkat dijadikan tema-tema unggulan karya-karyanya” (Wawancara, 20 Januari 2015). Sesuai dengan pernyataan Anak Agung Gde Rai di atas, bahwa Dewa Batuan adalah sosok yang ulet, pekerja keras, serta memiliki wawasan ke depan, termasuk bagaimana ia berpikir, merenung untuk menemukan jati dirinya sebagai seniman. Atas perjuangannya itu ia berhasil melahirkan karya-karya baru
137
dalam bentuk mandala dengan corak abstrak simbolik yang mengangkat nilainilai adat, budaya dan agama sebagai tema-tema karyanya. Apa yang telah dilakukan oleh Dewa Batuan sebagai seorang seniman merupakan tindakan yang menghasilkan perubahan-perubahan yang mendasar dalam dunia seni lukis tradisional Bali. Seperti apa yang terungkap dalam teori perubahan, bahwa “tidak ada kebudayaan yang bersifat statis. Setiap individu, dan setiap generasi melakukan penyesuaian dengan semua desain kehidupan sesuai dengan kepribadian mereka dan sesuai dengan tuntutan zamannya” (Maran, 2007: 50). Dengan demikian, perubahan-perubahan yang terjadi dalam karya-karya Dewa Batuan adalah murni tuntutan nuraninya sebagai cerminan pribadi yang kreatif, inovatif, dan progresif, sehingga mampu melahirkan karya-karya baru yang berlandaskan nilai-nilai lokal yang bersifat universal.
7.3 Makna Religi Di Bali hampir semua kesenian berbenih dalam rahim tradisi keagamaan. Seni lukis, tari, patung, musik lokal, seni merangkai buah, merangkai bunga, dan lain-lain adalah bentuk-bentuk seni yang pada awalnya dikerjakan orang untuk kepentingan dan kelangsungan tradisi keagamaan (Tilem, 1994: 77). Agama Hindu merupakan unsur paling dominan sekaligus roh budaya Bali. Agama Hindu adalah sumber utama dari nialai-nilai yang menjiwai kebudayaan Bali. Setiap hasil kreativitas budaya Bali, termasuk kesenian, tidak akan bisa lepas dengan ikatan nilai-nilai luhur budaya Bali, terutama nilai-nilai
138
estetika yang bersumber dari agama Hindu (Dibia, 2003 : 91).Sesuai dengan penuturan I Ketut Kebut, seorang pelukis tradisional Pengosekan tentang karya Dewa Batuan seperti di bawah ini. “Lukisan De Aji Batuan nika anak lukisan pribadi, artinne nenten sekadi lukisan timpal-timpal sane tiosan. Satuanne indik daging agama, adat, lan budaya krama Bali sane kedasarin antuk tatwa agamaHindu. Nika mawinan ipun ngambar lambang sane wenten paiketannyane ring agama, mikadi Swatika, Padma, Acintya, filsafat Catus Pata. Nanging sami punika wenten ring wentuk bunter (lingkaran)” (Wawancara, 20 Januari, 2015). Terjemahan secara bebas adalah sebagai berikut: “Lukisan I Dewa Nyoman Batuan adalah lukisan yang becorak pribadi, individulistis, tidak sama dengan karya-karya pelukis lainnya. Tematema lukisannya adalah tentang filsafat agama, adat, dan budaya orang Bali dalam bentuk lambang atau simbol yang dibungkus dengan bentuk lingkaran”. Dengan penjelasan diatas, nampaknya “seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan” benar-benar merupakan karya yang sangat individualistis, namun, tidak terlepas pula dari ikatan nilai-nilai luhur budaya Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai agama (Hindu). Hal ini dibuktikan dengan beberapa karyanya, bahkan dominan terinspirasi oleh nilai-nilai tradisi dan ajaran agama (Hindu) yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Bali. Ajaran-ajaran agama tentang filsafat hidup dan kehidupan kerap dijadikan tema-tema karyanya sebagai media untuk menyampaikan kepada umat, tidak saja kepada umat Hindu, tetapi juga pada umat lainnya diluar Hindu, terutama ajaran yang mempunyai nilai universal tentang hidup dan kehidupan manusia dimuka bumi ni. Salah satu contohnya adalah karyanya yang berjudul “Mandala Rwa Bhineda”.
139
“Rwa Bhineda”,adalah ajaran tentang filsafat hidup yang mengakui adanya dua hal yang berbeda yang mewarnai kehidupan di dunia ini. Istilah ini merupakan paham dualisme yang berlawanan, namun eksistensinya tak bisa dipisahkan, karena itu sudah merupakan hukum alam yang abadi. Melalui karya ini Dewa Batuan ingin menyampaikan bahwa perbedaan itu sangat penting, karena sesuatu yang berbeda, “Rwa Bhineda” merupakan variasi kehidupan yang akan melahirkan keindahan dan kesejahteraan, seperti adanya siang-malam, gelap-terang, laki-perempuan, timur-barat, utara-selatan, baik-buruk, kayamiskin, dan sebagainya. Dengan judul lukisan tersebut diatas, Dewa Batuan berkeyakinan bahwa dengan sifat Tuhan yang maha pencipta, dunia beserta isinya sengaja diciptakan berbeda-beda, karena perbedaan-perbedaan tersebut akanmelahirkan keindahan dan keserasian. Intinya, dalam kehidupan ini manusia diharapkan dengan perbedaan-perbedaan yang ada bisa saling menghargai, tidak ada yang mendominasi.
Jika
manusia
menyadari,
perbedaan-perbedaan
itu
bisa
disinergikan diyakini kehidupan ini akan sangat indah sekali. Selanjutnya, lukisan dengan judul “Mandala Tat Twam Asi” adalah suatu ajaran filsafat dalam agama Hindu yang memandang bahwa semua makhluk dimuka bumi ini adalah sama. Tat Twam Asiterdiri dari kata Tat artinya itu (ia), Twam artinya kamu dan Asi artinya adalah. Jadi Tat Twam Asi artinya aku adalah kamu,dan kamu adalah aku, yang mengandung makna bahwa manusia yang satu dengan yang lain sesungguhnya adalah sama. Yakni sama-sama memiliki nilai dan berasal dari sumber yang sama, yaitu sama-sama makhluk ciptaan
140
Tuhan.Menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri, membantu orang lain berarti membantu diri sendiri, menghormati dan menghargai orang lain berarti menghormati dan menghargai diri sendiri(Panitia, 1991 : 51). Melalui karya dengan judul “Tat Twam Asi”Dewa Batuan menyadarkan semua makhluk dimuka bumi ini, terutama kepada manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna agar hidup berdampingan, selaras dan harmonis antar sesama, terhadap lingkungan dan yang paling utama adalah selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam beserta isinya. Dilihat dari segi judul yang diangkat dalam lukisan-lukisan Dewa Batuan, memang sarat dengan makna religius yang disajikan lewat wujud visual yang bersifat simbolik juga melalui ajaran filsafat agama dan filsafat kehidupan.
7.4Makna Pembaharuan Salah satu tuntutan seorang seniman adalah kreatif. Kreatif adalah kata sifat, berarti memiliki daya cipta atau kreativitas kata benda abstrak yang berarti “daya cipta” : berasal dari create (Inggris) atau mencipta/membuat adalah kata kerja intransitif. Kreativitas adalah kesanggupan seseorang untuk menghasilkan karya-karya atau gagasan-gagasan tentang sesuatu yang pada hakikatnya baru atau baru sama sekali dalam arti tidak diketahui atau belum pernah diciptakan sebelumnya (Susanto, 2011 : 229). Apa yang dihasilkan oleh Dewa Batuan lewat karya-karyanya, sebagai pelukis tergolong mampu membuat sesuatu yang baru, paling tidak karya-karya hasil ciptaannya memiliki ciri khas tersendiri yang sangat berbeda dengan karya-
141
karya pelukis tradisional lain yang pada umumnya memiliki kesan yang sama. Dalam hal ini, berarti Dewa Batuan telah banyak melakukan perubahanperubahan, sehingga terlihat adanya nilai pembaharuanpada karyanya baik dari segi wujud visual maupun cara penuangan konsep atau ide-idenya yang selalu dikemas dalam bentuk mandala. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 435) disebutkan bahwa pembaharuan adalah suatu proses perubahan bentuk maupun gaya, perubahan tanda dan juga penanda.Suatu pembaharuan merupakan proses sosial yang panjang, melalui dua tahapan khusus, yaitu discoveri dan invention. Discoveri adalah penemuan suatu unsur kebudayaan yang baru, baik berupa suatu alat baru, suatu ide baru, yang diciptakan oleh seorang individu atau masyarakat (Koentjaraningrat, 1990 : 256). Pada karya-karya seni lukis Dewa Batuan nilai pembaharuan atau penemuan baru secara individu tampak jelas. Dari segi ide dan konsep yang tertuang lewat karya-karyanya memperlihatkan adanya sesuatu yang berbeda dengan seni lukis tradisional pada umumnya. Karya-karya Dewa Batuan nampak segar dan aktual, dan merupakan representasi dari seseorang yang terus menerus melakukan pencarian makna – sesuatu yang sangat dituntut didalam dunia pergaulan seni rupa baru, masa kini, atau “kontemporer”(Mulyadi, 2010: 1).Perubahan dan pembaharuan-pembaharuan dalam karya Dewa Batuan sesungguhnya telah direncanakan jauh sebelum ia memperkenalkan seni lukis flora dan fauna pada tahun 1970. Pemikiran tentang konsep mandala sudah terlintas di benaknyasejak tahun 1967.Justru pada saat seni lukis flora-fauna
142
mengalami puncak keemasannya pada tahun 1980, Dewa Batuan malah meninggalkannya serta mulai melukis dengan konsep mandala.
7.5 Makna Sosial Budaya Koentjaraningrat menjelaskan, masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang saling berinteraksi sesuai dengan sistem dalam suatu adat istiadat tertentu yang bergerak secara kontinyu dan terikat oleh aturan dalam melakukan kegiatan bersama. Kegiatan atau aktivitas yang dilakukan bersama-sama oleh manusia yang satu dengan yang lain untuk mencapai cita-cita individu dan sosial (1990 : 144). Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian, tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya (Soerjono Soekanto, 1969 : 54). I Dewa Nyoman Batuan secara individu memiliki potensi untuk dikembangkan guna menopang eksitensinya. Namun, untuk mengembangkan potensinya ia harus berinteraksi, mensosialisasikan dirinya, belajar menyerap sesuatu yang telah menjadi kesepakatan masyarakat lingkungannya sebagai pedoman dalam mejalani kehidupan bersama. Desa Pengosekan, tempatkelahiran I Dewa Nyoman Batuan adalah desa dengan kehidupan masyarakat yang sarat dengan norma-norma; norma adat, budaya, dan norma agama sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Segala sesuatu yang dibuat baik untuk kebutuhan jasmani maupun rohani, secara tidak langsung mencerminkan dan
143
diikat oleh nilai-nilai yang telah disepakati, dan hidup mentradisi dalam masyarakat, termasuk didalamnya produk karya seni. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Sumardjo (2000 : 233), bahwa setiap karya seni, sedikit banyak mencerminkan seting masyarakat tempat seni itu diciptakan. Sebuah karya seni itu ada karena seorang seniman menciptakannya. Seniman itu selalu berasal dan hidup dari masyarakat tertentu. Kehidupan dalam masyarakat itu merupakan kenyataan yang langsung dihadapi sebagai rangsangan atau pemicu kreativitas kesenimanannya. Sejak kecil I Dewa Nyoman Batuansudah akrab dengan kehidupan masyarakat agraris, suatu kehidupan masyarakat yang bertumpu pada penghasilan di sawah sebagai masyarakat petani. Sebagaimana anak di pedesaan umumnya di Bali, pada jamannya, sangat taat dengan petunjuk-petunjuk orang tua dalam berperilaku, bergaul, dan bagaimana hidup berdampingan dengan tetangga dan anggota masyarakat lain di lingkungan desanya. Ajaran-ajaran tentang tradisi, adat, budaya juga ajaran tentang spiritual merupakan dasar yang kuat ssebagai pegangan hidup Dewa Batuan sampai akhir hayatnya. Sehingga apa yang diperbuat pada masa hidupnya tidak pernah lepas dari nilai dan norma-norma yang berlaku serta merupakan cerminan pribadi yang kuat baik terhadap prinsipprinsip hidup maupun terhadap ajaran spiritual yang melatarbelakanginya. Sebagai seniman, Dewa Batuan adalah seorang pelukis sangat idealis dengan profesinya. Karya-karya atau gaya lukisannya, kalau ditelusuri tidak ada benang merah dengan pelukis pendahulunya maupun sesudahnya. Namun
144
demikian, bukan berarti karya-karyanya lepas begitu saja dari pakem-pakem yang berlaku atau sama sekali tidak menceminkan ke-Bali-annya. Justru Dewa Batuan sebagai pelukis tradisional mampu mengungkap esensi kehidupan dan karakter orang Bali sesuai dengan budaya dan agama yang melatarbelakanginya, yang notabena kemampuan ini tidak dimiliki oleh pelukis tradisional pada umumnya. Karena pendirian, skil dan kreativitas yang dimiliki, membuat Dewa Batuan mampu melahirkan karya-karya inovatif, sehingga dapat memperkaya kasanah seni rupa Bali khususnya dibidang seni lukis. Karya-karya seni lukis Dewa Batuan dapat diterima oleh berbagai kalangan masyarakat, karena mampu mengangkat tradisi (local genius) yang memiliki nilai universal dengan tema lebih banyak menuntun dan mengarahkan manusia pada penyadaran tentang keterbatasan, penyadaran dan pemahaman terhadap keyakinan tentang keberadaan Tuhan, Sang Hyang Widhi Wasasebagai pencipta alam beserta isinya.
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan Berdasarkan uraian dan kajian dari tulisan yang tertuang pada masingmasing bab, dapat disimpulkan, bahwa I Dewa Nyoman Batuan adalah seorang pelukis tradisionaldengan karya yang sangat unik serta memiliki ciri khas tersendiri yang disebut dengan seni lukis mandala. Bentuk seni lukis mandala merupakan hasil dari proses kontemplasi dalam rentang waktu yang panjang oleh I Dewa Nyoman Batuan mengenai hal keberaadaan tentang hidup dan kehidupan, yang dalam perwujudan visualnya dibentuk dengan memadukan unsur-unsur seni rupa, sepertititik, garis, bidang, warna, tekstur, dan ruang yang disusun sedemikian rupa berdasarkan kaidahkaidah penyusunan dalam seni rupa, seperti proporsi, komposisi, keseimbangan, kontras, penonjolan dan sebagainya. Dalam tataran bentuk dijelaskan melalui teori strutural dan teori estetika. Faktor-faktor yang mendorong penciptaan seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Dorongan dari dalam dirinya sangat kuat, karena keinginannya untuk mengetahui hal keberadaan tentang hidup dan kehidupan di dunia ini. Usahanya dalam rangka menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya mengenai hidup dan kehidupan yang didasari atas nilai-nilai adat, budaya dan ajaran agama
145
146
(Hindu),maka ditemuilah istilah mandala. Pada proses kreatif berikut dan seterunya mandala dijadikan subject matterdengan mengangkat nilai-nilai dan filsafat budaya Bali yang didasari atas ajaran agama Hindu. Sebagai makhluk sosial, Dewa Batuan jugabersosialisasi, berinteraksi dengan berbagai kalangan di masyarakat yang dapat mempengaruhi pikiran dan kejiwaannya, sehingga berpengaruh pula pada hasil ciptaannya. Pengaruh dari luar (faktor eksternal) akibat dari interaksinya inilah juga membawa perubahanperubahan dalam karyanya yang menghasilkan corak baru, yaitu corak abstraksimbolik. Perubahan-perubahan yang terjadi pada karya-karya Dewa Batuan dijelaskan dengan teori perubahan. Seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan mengandung makna estetis, makna simbolis, makna religi, makna pembaharuan, dan makna sosial budaya. Nilai estetik merupakan suatu keniscayaan. Keniscayaan akan kandungan nilai estetis pada karya seni rupa, karena pada proses perwujudannya (oleh senimannya) didasari atas rasa senang, ikhlas, tanpa pretensi apa-apa, murni hanya untuk menyenangkan rasa pribadi senimannya sendiri dan orang lain diluar dirinya. Demikian pula seni lukis mandala, di samping untuk kepuasan dan membangkitkan rasa senang senimannya, juga untuk membangkitkan rasa senang orang lain atau penikmatnya. Makna simbolis pada seni lukis mandala sangat kental, karena obyekobyekya secara visual sebagian besar diwujudkan dalam bentuk simbol. Bentukbentuk simbol yang ditampilkandominan simbol-simbol keagamaan beserta
147
ajarannya. Dengan demikian, seni lukis mandala mengandung makna simbolis dan makna religi. Dewa Batuan adalah satu diantara sekian banyak pelukis tradisonal yang mampu melahirkan nilai-nilai baru, setidaknya, sebagai seorang kreator, Dewa Batuan mampu memperbalisasikan ide dan gagasan kedalam karyanyadengan pola yang sangat berbeda dengan pola seni lukis tradisional umumnya. Karyakaryanya benar-benar baru, tidak ada sebelumnya, namun tidak meninggalkan ciri khas tradisi itu sendiri. Dengan demikian, karya-karya yang dilahirkan oleh Dewa Batuan mengandung makna pembaharuan. Kandungan nilai sosial budaya dalam karya Dewa Batuan sangatlah kental.Tanpa disadari, langsung maupun tidak langsung,lingkungan sosial dan budaya dimana seniman itu tinggal memiliki peran penting dalam mengarahkan dan menentukan kiblat karya yang dihasilkan, baik ide, konsep maupun wujud visualnya. Dewa Batuan dari lahir sampai akhir hayatnya tinggal dalam lingkungan sosial dan budaya masyarakat berdasarkan tradisi dan keyakinan yang sama, yakni tradisi kehidupan orang Bali yang didasari dengan ajaran agama Hindu. Karya-karya dapat dipastikan tidak terlepas dari nilai-nlai sosial budaya Bali itu sendiri. Masalah makna yang terkandung dalam seni lukis mandala oleh Dewa Batuan dapat dijelaskan dengan teori semiotik.
148
8.2 Saran Penelitian tentang seni lukis mandala oleh I Dewa Nyoman Batuan dengan kajian bentuk, faktor, dan makna lebih banyak terfokus pada wujud visual dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Namun demikian, penulis menyadari penelitian ini masih sangat jauh dari harapan. Karenanya, dengan segala kerendahan hati penulis mohon saran dan masukan dari berbagai pihak untuk dapat lebih menyempurnakan tulisan ini. Kepada pemerintah, terutama kepada lembaga-lembaga terkait diharapkan berperan aktif mendorong, dan memotivasi para seniman agar selalu berkreasi, dengan menyediakan ruang dan tempat untuk menampilkan karya-karya terbarunya. baik dalam bentuk pameran maupun pementasan untuk seni pertunjukan.Hal ini sangat penting, karena kesenian sudah menjadi ciri khas dan napasnya Bali. Untuk kepentingan pendidikan, diharapkan ada manfaatnya untuk menambah perbendaharaan pengetahuan
tentang seni, dan sebagai bahan
referensi untuk penulisan dan penelitian seni berikutnya, terutama untuk bidang ilmu yang linier bagi mahasiswa di lingkungan Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana
DAFTAR PUSTAKA Abdulsyani. 2002. Sosiologi :Skematika Teori dan Terapan. Jakarta : Bumi Aksara. Agger, Bin. 2006, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Terjemahan. Yogyakarta : Kreasi Wacana. Bastomi, Suwaji. 1992. Wawasan Seni. IKIP Semarang. Batuan, I Dewa Nyoman. 2003. “Mandala Lingga Yoni” Puisi dan Penjelasannya. Budiastra, Putu. 1982 “Pameran Seni Rupa Bali Karya Generasi Muda”. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Darmaprawira, Sulasmi, W. A. 2002. Warna :Teori dan Kreativitas Penggunaannya, Bandung : ITB. Dermawan T, Agus, 2007. Bali Bravo Leksikon pelukis tradisional Bali 200 tahun. Jakarta: Panitia Bali Bangkit. Hal. 53. Dibia, I Wayan. 2003.”Nilai-Nilai Estetika Hindu dalam Kesenin Bali”.Dalam : I.B.G. Yudha Triguna (ed). Estetika danPembangunan Bali. Denpasar : Wijaya Dharma. Hal. 91-110. Djelantik, A.A.M.1988. “Kencenderungan Perkembangan Seni Lukis Bali dan Ketahanan Gaya - Gaya Tradisional”. Dalam : Jiwa Atmaja (ed). Puspanjali; Persembahan Untuk Ida Bagus Mantra. Denpasar : CV Kayumas. Hal. 29 - 41. ,2008. Estetika Sebuah Pengantar, Jakarta : Masyarakat Seni Pertunjukan Indognesia (MSPI) bekerja sama dengan Ford Foundation. Gie, Liang. 1986. Filsafat Seni Sebuah Pengantar, Yogyakarta :Pustaka Pelajar Ilmu Pengetahuan. Gitosudarmo, Indriyo. 1990. Prinsip Manajemen. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta. Greetz, Clifford. 1973. The interpretation of Cultures. NewYork : Basic Books, Inc. Publishers. , 1989. The Interpretation of Culture. New York : Basic Books, Inc. Publisers. , 1992. Tafsir Kebudayaan.(Terjemahan).Yogyakarta: Kanisius.t o. 149
150
Hasibuan, Malayu s.p. 2005. Organisasi dan Motivasi.Jakarta : PT Bumi Aksara. Jack C. Rick. 1982. The Material and Method Sculpture. New York, Oxford University Press. Jean Couteau. 2003. “Wacana Seni Rupa Bali Modern”. Dalam : Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia (ed). Paradigma danPasar.Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti. Hal : 117. Kaplan, David dan Albert A. Manners. 2000. Teori Kebudayaa, Penterjemah Landung Simatupang, Pustaka Pelajar Yogyakarta. Kartika, Sony Dharsono. 2004 Seni Rupa Modern, Bandung : Rekayasa Sains. Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas Indonesia. , 2003. Pengantar Ilmu Antropologi II, Jakarta: Renika Cipta. Libert, Gosta. 1976. Iconographic Dictionary of The Indian Religion, HinduismBuddhism-Jainism. Leiden, E. J. Brill. Linggih, I Nyoman. 2001. “Patung Dewa Ruci di Persimpangan Jalan Arteri Nusa Dua-Tanah Lot”. Tesis Untuk Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya, Universitas Udayana, Denpasar. Mantra, I B. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Meleong, Lexy J. 2002. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Monier, William. 1986. A Sankrit English Dictionary. Mutilal Banarsidass, Delhi Vanarasi Patna Mandras. Panitia Parisada Hindu Dharma. 1991. Upadeca Tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu, Denpasar : Upada Sastra Piliang, Yasraf Amir, 2003. Hipersemiotika Tafsir Kultulral Studies Atas Matinya : Makna.Yogyakarta : Jalasutra. Purwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Antropologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Purwadaminta W.J.S. 1965. Kamus Umum Bahasa Indonesia Bagian I, Jakarta : Balai Pustaka.
151
Rinu, Ni Made. 2004. Pengaruh Lukisan I Gusti Ketut Kobot Terhadap Perkembangan Seni Lukis Ubud, Tesis, Denpasar: Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana. Ritzer, George dan Dauglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan. Jakarta : Asian Prenada Media. Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer, Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta. Prenada Media. Siagian, Sondang P. 2002. Kiat Meningkatkan Produkdivitas Kerja. Jakarta. PT. Renika Dipta. Sudana, I Wayan. 2000. I Made Suteja dan Karya Seninya, Tesis, Yogyakarta: Pascasarjana ISI. Sumardja, Jakob. 2000. Filsafat Seni, Bandung : ITB. Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2000. Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan, Bandung : Erlangga. Sachari, Agus. 2002 Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa,Bandung : STSI Bandung Press. , 2002. Estetika Makna, Simbol dan Daya, Bandung : ITB Sidik, Fajar dan Prayitno, Aming. 1981. Disain Elementer, Yogyakarta : STSRI “ASRI”. Sudarso, SP. 1990. Tinjauan Seni, Yogyakarta : Saku Dayar Susanto Mikke. 2011. Diksi Rupa Kumpulan Istilah dan Gerakan Seni Rupa. Yogyakarta. Dikti Art Lab & Djagad Art House. Swandi, I Wayan. 1999. “InovasiIda Bagus Tilem Dalam Seni Patung Bali Modern”. Tesis. Untuk Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana, Denpasar. Tim Penyusun. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta : Balai Pustaka. Titib, I Made.2003. Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita
152
Tirta Yasa, Anak Agung Gde Ngurah. 2004. Transformasi Rerajahan Seni Lukis Bali Modern Sebuah Kajian Budaya, Tesis, Denpasar : Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana. Winardi, J. 2004. Motivasi dan Pemotivasian Dalam Managemen.Jakarta : PT. Raja Grafindo. Wojowasito.S. dan Purwadarminta. W.J.S. Kamus Lengkap Inggeris – Indonesia Indonesia – Inggeris. Bandung : Hasta. Ziauddin Sardar-Borin Van Loon, Seri Mengenal Dan Memahami Cultural Studies, Scientific Press, Batam Zoest, Aart. Van. 1993 Semiotika :Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa Yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
148
LAMPIRAN
153
Lampiran 1
DAFTAR INFORMAN
1. Nama
: I Dewa Nyoman Batuan
Umur
: 74 Tahun
Pendidikan
: SGBN
Pekerjaan
: Pelukis
Alamat
: Br. Pengosekan, Mas, Ubud
2. Nama
: Anak Agung Gde Rai
Umur
: 63 Tahun
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Kepala Museum Arma/Kolektor lukisan
Alamat
: Br. Tengah Peliatan, Ubud
3. Nama
: Pande Wayan Sutedja Neka
Umur
: 75 Tahun
Pendidikan
: SGA
Alamat
: Br. Tengah, Peliatan, Ubud
Pekerjaan
: Kepala Museum Neka/Kolektor lukisan
4. Nama
: I Dewa Putu Adnyana
Umur
: 37 Tahun
Pendidikan
: S1, ISI Denpasar
Pekerjaan
: Pelukis
Alamat
: Br. Pengosekan, Mas, Ubud
154
5. Nama
: I Gusti Putu Sena
Umur
: 73Tahun
Penidikan
: SR
Pekerjaan
: Pelukis
Alamat
: Br. Pengosekan, Mas, Ubud
6. Nama
: I Ketut Kebut
Umur
: 73 Tahun
Pendidikan
: SR
Pekerjaan
: Pelukis
Alamat
: Br. Pengosekan, Mas, Ubud
155
Lampiran 2
PEDOMAN WAWANCARA
A. Pertanyaan Umum 1. Menurutbapak apakah yangdiketahui tentang seni ? 2. Seni-seni apa yang lebih anda kenal di dalam masyarakat ? 3. Bagaimana anda menikmati seni ? 4. Bagaimana anda megekspresikan diri anda dalam berkesenian ? 5. Apakah di tempat anda ada komunitas untuk berkesenian ? 6. Bagaimana bapak melihat perkembangan seni lukis selama ini ? 7. Apakah seni lukis selama ini mengalami perubahan dalam banyak hal ? 8. Sebutkan salah satu tokoh pelukis yang bapak kenal dan memberikan inspirasi untuk karya anda ? B. Petanyaann tentang bentuk seni lukis mandala gaya I Dewa Nyoman Batuan 1. Menurut bapak, apa yang dimaksud dengan bentuk dalam seni lukis ? 2. Bentuk-bentuk apa saja yang pernah bapak buat dalam karya-karya bapak ?
156
3. Sebelum bapak melukis dengan konsep “mandala”,bentuk-bentuk apa yang dominan dalam karya-karya bapak ? 4. Kapan bapak mulai melukis dengan konsep mandala ? 5. Menurut bapak, mandala itu apa ? 6. Mengapa bapak tertarik dengan mandala ? 7. Apakah mandala itu selalu identik denganpola lingkaran ? 8. Apakah bapak sudah merasa puas dengan Mandala sebagai konsep karya
bapak ? C. Petanyaan untuk Bab V mengenai factor-faktorapa yang mendorong penciptaan seni lukis mandala gaya I Dewa Nyoman Batuan 1. Sejak kapan anda menekuni seni lukis dan apamotivasi anda dalam menekuni seni lukis ? 2. Apakah mengetahui gaya seni lukis I Dewa Nyoman Batuan ? 3. Sejak kapan anda mengetahui dan dimana pertama kali mengetahui karya I Dewa Nyoman Batuan ? 4. Bagaimana persepsi bapak mengenai seni lukis mandala gaya I Dewa Nyoman Batuan ? 5. Apakah anda dapatmenikmati karya-karya seni lukis I Dewa Nyoman Batuan ? 6. Apa nama aliran seni seni lukis I Dewa Nyoman Batuan ? 7. Wawancara kepada I Dewa Nyoman Batuan ? a. Kapan bapak mulai sebagai pelukis ?
157
b. Dimanabapak pertama kali menemukan ide untuk menghasilkan karya seni lukis bapak ? c. Kapan bapak menemukan ide untuk membuat seni lukis mandala ? d. Setelah bapak berkarya dan menemukan suatu ide dalam seni lukis bapak, tidakkah ada kekawatiran dalam diri bapak akan diterima atau tidak diterimanya karya bapak oleh masyarakat sekitar ? Tolong jelaskan. e. Bagaimana anda melihat karya-karya seni lukis yang lain sejalan dengan perkembanganpariwisata di Bali ? f. Apakah lukisan bapak juga di konsumsi untukkepentingan pariwisata ? g. Dalam bentuk apa bapak berpartisifasi dalam konteks tersebut ? D. Pertanyaan mengenai makna seni lukis madala gaya I DewaNyoman Batuan
1. Apakah makna mandala dalam karya-karya bapak ? 2. Apakah makna seni lukis mandala yang bapak buat terhadap masyarakat, khususnya terhadap masyarakat sekitar tempat tinggal bapak ? 3. Bagaimanakah apresiasi masyarakat terhadap seni lukis mandala sebagai hasil karya bapak ? 4. Apakah ada tujuan tertentu melalui makna seni lukis mandala yang bapak
158
buat, baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat ? 5. Bagaimana program dengan begitu banyaknya karya-karya yang bapak hasilkan ?
159
Lampiran 3
PIAGAM PENGHARGAAN
PIAGAM WIJA KESUMA Penghargaan dari Pemerintah Kabupaten Gianyar, Tahun 1994
160
PIAGAM DHARMA KESUMA Penghargaan dari Pemerintah Provinsi Bali, Tahun 1995
161
PIAGAM HADIAH SENI Penghargaan dari Menteri Budaya dan Pariwisata Pemerintah Negara Republik Indonesia, Tahun 2008