TESIS
SENI LUKIS KARYA NI NYOMAN SANI DALAM DINAMIKA SENI LUKIS BALI
I.G.P.A MIRAH RAHMAWATI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
SENI LUKIS KARYA NI NYOMAN SANI DALAM DINAMIKA SENI LUKIS BALI
I.G.P.A MIRAH RAHMAWATI NIM 0990 261 001
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
SENI LUKIS KARYA NI NYOMAN SANI DALAM DINAMIKA SENI LUKIS BALI
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana
I.G.P.A MIRAH RAHMAWATI NIM 0990 261 001
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 29 DESEMBER 2014
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. I Made Suastika, S.U NIP. 195701131980 031 001
Prof. Dr. I Wayan Dibia, S.ST, M.A NIP. 194804121974031001
Mengetahui Ketua Program Studi Magister Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Dr. I Gst. Kt. Gde Arsana, M.Si NIP. 195208151981031004
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SP.S(K) NIP. 195902151985102001
iii
Lembar Penetapan Panitia Penguji
TESIS INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL 29 DESEMBER 2014
Panitia Penguji Tesis, berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana, No : 4498/UN.14.4/HK 2014 Tanggal 24 Desember 2014
Ketua
: Prof. Dr. I Made Suastika, S.U
Anggota
: 1. Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST.,M.A 2. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S 3. Prof. Dr. Ir. Putu Rumawan Salain, M.Si 4. Dr. I Wayan Redig
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama
: I.G.P.A Mirah Rahmawati
NIM
: 0990261001
Program Studi
: S2 Kajian Budaya
Judul Tesis
: Seni Lukis Karya Ni Nyoman Sani Dalam Dinamika Seni Lukis Bali
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan. Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 22 Oktober 2014
( I.G.P.A Mirah Rahmawati )
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas anugerah-Nya segala usaha dan kerja dalam menyusun tesis yang berjudul “ Seni Lukis Karya Ni Nyoman Sani Dalam Dinamika Seni Lukis Bali” ini dapat berjalan dengan lancar sehingga tesis ini bisa diselesaikan. Tesis ini dibuat sebagai syarat untuk memperoleh gelar magister di Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Program Pascasarjana, Universitas Udayana. Tesis ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna sebab dalam usaha menyusun tesis ini ditemui berbagai macam kesulitan. Demi mengatasi kesulitan tersebut, maka penyusunan tesis ini tidak luput dari bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak, untuk itu ucapan terimakasih ditujukan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. dan Bapak Prof. Dr. I Wayan Dibia, S.ST., M.A, masing-masing sebagai pembimbing I dan Pembimbing II yang telah mencurahkan banyak waktu, tenaga serta pikiran untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 2. Ketua Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana berserta seluruh dosen, staf administrasi, dan perpustakaan atas segala tuntunan, dukungan, dan fasilitas yang diberikan kepada penulis. 3. Rektor
Universitas
Udayana,
Koordinator
Program
Pascasarjana
Universitas Udayana, serta Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di lembaga. vi
4. Kedua Orang tua penulis Drs. I Putu Adnyana dan Ni Gusti Ayu Sri Astiti, Kakek dan nenek penulis I Ketut Rai dan Ni Ketut Meregan, suami penulis I Gede Sugiada, S.Sn dan putra penulis Ngurah Gede Arya Satria Wirang serta segenap keluarga besar, atas segala arahan dan semangat yang diberikan baik secara moral, spiritual maupun material sehingga tesis ini dapat diselesaikan. 5. Ni Nyoman Sani dan keluarga serta seluruh informan, sebagai narasumber yang telah banyak memberikan informasi sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tidak ada yang sempurna didunia ini. Begitu pula halnya tulisan ini masih sangat jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan karena keterbatasan biaya, waktu, pengetahuan serta kemampuan penulis dimiliki. Demi menyempurnakan tulisan ini agar menjadi yang lebih baik sangat diharapakan saran dan koreksi dari Bapak dan Ibu penguji, mudah-mudahan tulisan ini dapat berguna bagi pembaca. Akhir kata terima kasih atas perhatian yang telah diberikan.
Denpasar, 09 Nopember 2014 Penulis
vii
ABSTRAK Seni lukis karya Ni Nyoman Sani merupakan salah satu hasil karya seni lukis kontemporer yang diciptakan melalui ekspresi jiwa. Kecintaanya terhadap dunia perempuan dan fashion telah menginspirasi untuk memilih tema tersebut sebagai karya seni lukis. Karya seni lukis Ni Nyoman Sani mempresentasikan gaya hidup perempuan masa kini yang tidak bisa lepas dari trend fashion dan gaya hidup konsumeristik. Fashion sebagai identitas sosial yang menaikkan identitas seseorang yang mengikuti gaya hidup fashionable. Ni Nyoman Sani dibesarkan di lingkungan budaya Bali, namun budaya global memberikan pengaruh pada karya-karyanya. Gaya hidup perempuan konsumtif juga menjadi inspirasi dalam karyanya. Dalam budaya global kecendrungan perempuan akan berada dalam sebuah kesadaran palsu yang mendominasi pola pikir perempuan. Warna dan garis memegang peranan penting dalam setiap lukisannya karena dapat mewakili ekspresi jiwanya Masalah penelitian ini dibagi menjadi tiga yaitu menyangkut bentuk seni lukis Ni Nyoman Sani, faktor yang mempengaruhi dalam berkarya, dan makna seni lukis Ni Nyoman Sani. Teori yang digunakan untuk memecahkan ketiga masalah tersebut adalah teori postfeminis, teori estetika postmodern, teori semiotika. Penelitian ini kemudian dibagi menjadi tiga tahap yaitu: (1) tahap pengumpulan data dengan menggunakan metode observasi dan wawancara serta teknik pencatatan dan analisis, dan (2) tahap analisis data dengan melakukan analisis data, dan (3) tahap penyajian hasil analisis data dengan menggunakan teknik verbal dan formal. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah terungkapnya bentuk seni lukis Ni Nyoman Sani, yang meliputi unsur-unsur seni rupa , struktur dan medium yang digunakan dalam berkarya. Dimana tema yang diangkat lebih banyak terkait dengan pengalaman individu maupun lingkungannya tentang dunia perempuan dan fashion. Penelitian ini juga mengungkap faktor-faktor yang mendukung dan melatar belakangi Ni Nyoman Sani dalam berkarya seni lukis. Baik faktor internal dari dalam diri maupun faktor eksternal dari lingkungan. Ulasan terakhir adalah makna yang terkandung dalam setiap karyanya meliputi: makna estetika yang terkait unsur keindahan dalam setiap karyanya, makna ekspresi dan makna simbol dalam lukisannya. Kata Kunci : Seni Lukis, fashion, perempuan, gaya hidup
viii
ABSTRACT Ni Nyoman Sani’s painting is one of contemporary art that created by soul expression. Fashion and women’s life has inspired her painting theme. Nyoman Sani’s painting present about women’s lifestyle who can’t live without trend fashion and consumerism lifestyle. Fashion as social identity that raises the identity of a person who follows the fashionable lifestyle. Ni Nyoman Sani was grow up in Bali traditional culture, but her painting has influenced by global culture. The consumtive women’s lifestyle also inspire her painting. The women’s mindset in global culture will be dominate by false consciousness. The most important in her painting’s are colour and line because it’s could represent her soul expression. The research problem’s divided into three analysis, the first analysis it’s concern about Ni Nyoman Sani’s painting form. The second analysis concern about factor which influence her painting. Third analysis it’s concern about the meaning of Ni Nyoman Sani’s painting. The theory of this research are postfeminism theory, postmodern aeshtetic theory,and semiotic. This research are devided into three phase: (1) observation and interview data collection, (2) data analysis phase and (3) The results of presentation data. The analysis using verbal and formal techniques. The analysis result in this research is Ni Nyoman Sani ‘s painting form which includes the elements of art and the medium used in her painting. This research also explain about intern and ekstern factor which support Ni Nyoman Sani’s painting. The last analysis is about aesthetic meaning, expression meaning and semiotics meaning of Ni Nyoman Sani’s painting.
Keywords: Painting, fashion, women, lifestyle
ix
RINGKASAN
Seni rupa merupakan salah satu cabang seni yang menggunakan unsurunsur garis, bidang, bentuk, warna dan tekstur dalam proses penciptaanya. Seni rupa dapat dibagi menjadi dua yaitu seni rupa murni dan seni rupa terapan. Seni rupa murni lebih mengutamakan fungsi keindahan sedangkan seni rupa terapan lebih mengutamakan fungsi praktis atau kegunaan. Seni lukis merupakan salah satu bagian dari seni rupa murni atau sering juga disebut dengan Fine Art. Seni lukis di Indonesia juga mendapat pengaruh dari seni rupa Barat. Seni lukis modern lahir sebagai upaya menjaga standar nilai estetik. Berbeda halnya dengan seni lukis kontemporer yang tidak terikat oleh aturan dan cenderung merupakan penolakan terhadap seni modern. Seni kontemporer bukan merupakan sebuah gerakan tetapi refleksi masa tradisi. Kontemporer dapat dikatakan merupakan hasil dari pemikiran postmodern dan merupakan dampak moderinasasi yang cederung mengikat dan menjungjung tinggi nilai estetika. Perkembangan seni lukis kontemporer semakin pesat termasuk di Bali. Beberapa perupa Bali telah memilih melukis dengan gaya kontemporer atau kekinian. Kekinian seni kontemporer bisa meliputi teknik, idea tau tema lukisan. Ni Nyoman Sani merupakan salah satu perupa perempuan yang karyanya dikategorikan ke dalam seni lukis kontemporer. Karya-karya seni lukis Ni Nyoman Sani mengangkat tema tentang gaya hidup perempuan dan fashion. Karya seni lukis Ni Nyoman Sani memuat beberapa kritikan halus yang tentang kehidupan perempuan masa kini yang cenderung mengikuti trend fashion. Walaupun terkadang perempuan harus menjadi korban dari mode itu sendiri dan berada pada sebuah kesadaran palsu atau simulakra. Fashion sangat berhubungan dengan gaya hidup konsumeristik yang mengutamakan pemenuhan hasrat akan berbelanja. Gaya hidup gelamor juga menjadi tema lukisannya. Ni Nyoman Sani dibesarkan dalam adat istiadat Bali namun karyanya mendapat pengaruh globalisasi dan cenderung tertarik dengan tema fashion
x
Berdasarkan uraian di atas, masalah dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga yaitu: (1) Bagaimana bentuk seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika perubahan seni lukis Bali (2), Apa faktor yang mempengaruhi seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali, (3), makna dari seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali.Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk memahami bentuk, faktor yang mempengaruhi karyakaryanya dan makna seni lukis Ni Nyoman Sani. Seni lukis Ni Nyoman Sani memiliki keunikan dan originalitas dalam mengungkap identitas perempuan melalui visualisasi figur perempuan dalam penggabungan antara seni lukis dan fashion dan dapat melihat fenomena perempuan pada jaman globalisasi yang selalu dipengaruhi trend pasar dan gaya hidup yang konsumtif. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menjawab tiga permasalhan pokok dalam penelitian yaitu (1) Untuk mengkaji bentuk karya seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali. (2), Untuk mengkaji faktor yang mempengaruhi seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali. (3), Untuk mengkaji makna dari seni lukis Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali. Manfaat penelitian ini secara teoretis Secara teoretis peneitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan penelitian ilmu kajian budaya dan sebagai refrensi dalam penelitian selanjutnya. Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan pemahaman tentang karya seni lukis perupa perempuan di Bali. Hal ini juga merupakan apresiasi terhadapa karya perupa perempuan di tanah air dan dapat memeberikan informasi tentang kekayaan budaya yang terdapat dalam karya perupa perempuan Bali. Konsep dasar penelitian ini adalah seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali. Konsep tersebut dibagi menjadi empat yaitu seni lukis, Ni Nyoman Sani, dinamika dan seni lukis Bali. Seni lukis yang dimaksud adalah karya seni lukis yang diciptakan dari uangkapan batin dan merupakan penggabungan antara garis,bentuk,bidang, warna dan tekstur. Seni lukis yang di maksud dalam penelitian ini adalah seni lukis yang tergolong dalam seni lukis kontemporer dimana tema, ide lukisan, teknik melukis tidak terikat dan xi
merupakan penolakan terhadap seni modern. Ni Nyoman Sani merupakan salah satu perupa perempuan yang karyanya tergolong seni lukis kontemporer dan memilih tema perempuan dan fashion. Konsep dinamika adalah perkembangan karya seni lukis Ni Nyoman Sani yang diharapakan membawa pengaruh positif terhadap pergerakan dalam seni lukis Bali dan dapat membentuk identitas perupa perempuan Bali. Konsep seni lukis Bali merupakan seni lukis yang tumbuh dan berkembang di Bali seiring dengan perkembangan pariwisata dan pengaruh global masuk ke Bali. Teori yang digunakan untuk mememcah permasalahan dalam penelitian ini adalah teori postfeminis, teori estika Postmodern, teori semiotika postmodern. Lokasi penelitian ini berpusat di Br. Mukti, desa Singapadu Gianyar Bali dan galeri yang mengkoleksi seni lukis karya Ni Nyoman Sani. Jenis data dalam penelitian ini berupa data kualitatif. Data primer dalam penelitian ini adalah seni lukis karya Ni Nyoman Sani. Data sekunder adalah segala informasi yang diperoleh dari wawancara de€ngan orang-orang yang mempunyai apresiasi dalam bidang sastra dan budaya Bali. serta
beberapa
literature yang berhubungan dengan objek penelitian. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, studi pustaka, dan wawancara. Teknik analisis data menekankan pada kajian bentuk, faktor dan makna seni lukis karya Ni Nyoman Sani. Bentuk seni lukis karya Ni Nyoman Sani adalah seni lukis kontemporer dimana garis,
bentuk, bidang, warna dan tekstur tidak terikat dengan aturan
seperti pada seni lukis modern. Seni lukis Ni Nyoman Sani lebih bebas dalam pengambilan tema dan ide lukisan. Prinsip warna kontras digunakan dengan memakai warna-warna yang komplementer. Pusat perhatian tidak selalu dipusatkan ditengah-tengah dan divisualkan dengan objek dan warna-warna cerah. Garis dan warna dalam seni lukis karya Ni Nyoman Sani memegang perenan penting karena dua unsur tersebut akan membentuk sebuah image. Warna dalam seni lukis karya Ni Nyoman Sani ekspresif dan bebas dalam pemilihan warna. Tekstur yang digunakan adalah tekstur semu.
xii
Faktor-faktor yang mempengaruhi Ni Nyoman Sani dalam berkarya seni lukis dari faktor intern (faktor dalam individu itu sendiri) dan faktor ektern (faktor luar individu itu sendiri). Faktor dalam individu yang mempengaruhi proses penciptaan karya seni lukis Ni Nyoman Sani adalah pengalaman hidup Ni Nyoman Sani sebagai seorang perempuan Bali dan sebagai seorang perupa. Cara pandang Ni Nyoman Sani dalam terhadap dunia perempuan. Pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki termasuk cara melukis dan pengetahuanya di bidang seni dan fashion. Kemudian faktor luar yang mempengaruhi antara lain lingkungan keluarga. Kemudian faktor ekstern lainnya adalah konstruksi lingkungan sosial masyarakat Bali. Budaya global di masyarakat yang mempengaruhi dan melatarbelakangi proses penciptaan karya seni lukis karya Ni Nyoman Sani. Pengaruh global tersebut memperngaruhi tema yang diangkat. Ni Nyoman Sani selalu memeperhatikan lingkungan sosialnya dan terinspirasi dengan kehidupan perempuan masa kini yang tentunya mendapat pengaruh globalisasi Makna seni lukis karya Ni Nyoman Sani dilihat dari makna estetika, simbol dan ekspresi. Makna estetika seni lukis karya Ni Nyoman Sani menampilkan sisi estetika perempuan yang ditinjau dari sudut pandang teori estetika postmodern. Idiom estetika postmodern yang sesuai dengan karya Ni Nyoman Sani adalah Kitsch, sebuah bentuk representasi palsu didasarkan semangat reproduksi, adaptasi dan simulasi. Karya –karya Ni Nyoman Sani mengangkat tema-tema yang berhubungan dengan gaya hidup perempuan masa kini dan fashion yang dinilai berlebihan. Jadi dapat dikaji makna estetika dalam seni lukis karya Ni Nyoman Sani adalah representasi perempuan masa kini sebagai sebuah simbol keindahan dan terdapat hasrat untuk dilihat, selalu tampil menarik dan diperhatikan. Makna simbol pada seni lukis Ni Nyoman Sani merupakan gambaran kehidupan perempuan masa kini. Seni Lukis Ni Nyoman Sani memiliki kekhasan dari sisi pengambilan tema dan objek lukisannya memiliki karakter tersendiri. Lukisan Ni Nyoman Sani mengandung makna yang menggambarkan srata kehidupan sosial perempuan masa kini. Karya Seni lukis Ni Nyoman Sani dapat xiii
sebagai gambaran simbol kehidupan perempuan masa kini yang identik dengan trend fashion dimana hal tersebut menjadi sebuah keharusan. Fashion digunakan sebagai simbol yang mewakili srata kehidupan seseorang. Fashion juga dapat mewakili identitas sosial seseorang. Kaum perempan masa kini sangat identik dengan fashion dan gaya hidup konsumeritik. Dalam karyanya Ni Nyoman Sani menggunakan simbol warna. Perempuan yang divisualkan dalam karyanya selalu dibuat dengan posisi sedang berpose ini merupakan sebuah simbol citra diri bahwa seorang perempuan harus selalu tampil ideal, elegant dan menarik. Hal itu dilakukan semata-mata untuk menjaga eksistensinya di tengah masyarakat dan lingkungan sosialnya. Di tinjau dari unsur warna karya Ni Nyoman Sani lebih dominan menggunakan warna-warna primer yaitu merah, biru dan kuning. Dalam karyanya juga lebih banyak menggunakan warna merah yang melambangkan semangat dirinya Ni Nyoman Sani juga memasukkan beberapa simbol kemapanan seperti sofa dimana kita ketahui sofa merupakan simbol strata sosial menengah ke atas yang identik dengan kesan elegant. Simbol lainnya adalah highheal yaitu trend yang cenderung diminati kaum menengah ke atas. Highheal menambah kesan elegant untuk si pemakainya. Simbol –simbol yang dimunculkan dalam seni lukis karya Ni Nyoman Sani lebih banyak berbicara mengenai kemapanan, postur ideal dan tampilan elegant. Dalam lukisannya tanpa sadar telah tercipta realitas semu yang disebut simulakra. Dimana terdapat reduplikasi pencitraan didalamnya, pencitraan perempuan harus tampil seperti objek yang ada dalam lukisannya. Makna eskpresi dalam seni lukis Ni Nyoman Sani adalah sebuah ungkapan perasaan yang dimunculkan lewat bidang dua dimensional. Apa yang di visualkan oleh Ni Nyoman Sani seolah-olah dapat mewakili ekspresi ungkapan perasaanya tentang dunia perempuan. Ekspresi dapat divisualkan dalam bentuk mimik wajah ekspresi gerak atau disebut body language. Dalam karya seni lukis Ni Nyoman Sani ekspresi ditampilkan dengan garis dan warna. Ungkapan perasaan Ni Nyoman Sani tentang dunia perempuan adalah keinginan untuk menginspirasi kaumnya untuk selalu memperhatikan diri , tampil cantik walau ditengah kesibukan perempuan sebagai ibu rumah tangga dan xiv
wanita karier. Ekspresi tersebut muncul dari pengalaman hidup Ni Nyoman Sani dan berdasarkan pengamatannya terhdaap kehidupan sosial perempuan masa kini. Ekspresi yang di visualkan Ni Nyoman Sani lebih banyak menggunakan warnawarna yang identik dengan warna lembut dan feminim. Jika dilihat dari unsur seni rupa garis yang dimunculkan Ni Nyoman Sani dalam setiap karya-karyanya cenderung spontan dan tegas. Jika berbicara ekspresi maka apa yang tertuang dalam karya-karya seni Lukis Ni Nyoman Sani merupakan luapan jiwa yang terselubung. Keinginan untuk menjadi seperti apa yang dilukiskan atau salah satu bentuk respon Ni Nyoman Sani terhadap lingkungannya. Ekspresi tersebut terus mengalir dalam karya-karyanya seiring perkembangan trend fashion dunia dan pengaruh globalisasi. Karya Sani merupakan sebuah pernyataan kedaulatan dirinya. Kedaulatan di tengah gaya hidup yang nge-pop, urban, dan melepaskan diri dari tradisionalisme. Sani menyoroti perilaku serta gaya hidup masyarakat yang gandrung akan teknologi baru, yakni telepon seluler dan Internet serta pernik-perniknya. Gaya hidup perempuan pun terimbas sepenuhnya oleh trend mode terbaru yang sulit ditolak oleh perempuan mana pun
xv
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM.......................................................................................
i
PERSYARATAN GELAR................................................................. .............
ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI........................................................ ........
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...................................... ..........
v
UCAPAN TERIMA KASIH .........................................................................
v
ABSTRAK ...................................................................................................
vi
ABSTRACT .................................................................................................
vii
RINGKASAN……………. ..........................................................................
x
DAFTAR ISI
...........................................................................................
xvi
DAFTAR TABEL ........................................................................................
xx
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xxi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xxiv GLOSARIUM
........................................................................................... xxv
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................
1
1.1
Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah................................................................................
6
1.3
Tujuan Penelitian .................................................................................
6
1.3.1 Tujuan Umum......................................................................................
6
1.3.2 Tujuan Khusus .....................................................................................
7
1.4
Manfaat Penelitian ...............................................................................
7
1.4.1 Manfaat Teoretis ..................................................................................
8
1.4.2 Manfaat Praktis ....................................................................................
8
xvi
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN ..................................................................
9
2.1
Kajian Pustaka .....................................................................................
9
2.2
Konsep ................................................................................................
12
2.2.1 Seni Lukis............................................................................................
13
2.2.2 Ni Nyoman Sani..................................................................... ................
15
2.2.3 Dinamika ……… ................................................................................
16
2.2.4 Seni Lukis Bali ....................................................................................
17
2.3
Landasan Teori ....................................................................................
21
2.3.1 Teori Postfeminis ................................................................................
22
2.3.2 Teori Estetika Postmodern ...................................................................
23
2.3.3 Teori Semiotika ...................................................................................
31
2.3.4 Model Penelitian .................................................................................
36
BAB III
METODE PENELITIAN.............................................................
39
3.1
Rancangan Penelitian ...........................................................................
39
3.2
Lokasi Penelitian .................................................................................
40
3.3
Jenis dan Sumber Data .........................................................................
41
3.4
Penentuan Informan .............................................................................
41
3.5
Instrumen Penelitian ............................................................................
42
3.6
Teknik Pengumpulan Data.......................................................... ...........
42
3.6.1 Teknik Observasi .................................................................................
43
3.6.2 Teknik Wawancara............................ ...................................................
43
3.6.3 Studi Dokumen ....................................................................................
44
3.7
Teknik Analisis Data ...........................................................................
45
3.8
Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ..................................................
46
xvii
BAB IV GAMBARAN
UMUM
WILAYAH
PENELITIAN
DAN
KEHIDUPAN NI NYOMAN SANI ..............................................
47
4.1
Sejarah Desa Singapadu .......................................................................
47
4.2
Potensi Desa Singapadu .....................................................................
53
4.3
Kondisi Geografis Daerah Singapadu ...................................................
55
4.4
Mata Pencaharian Penduduk Singapadu ...............................................
56
4.5
Kehidupan Berkesenian di Desa Singapadu ..........................................
58
4.6
Latar Belakang Kehidupan Ni Nyoman Sani ........................................
59
4.7
Riwayat Pendidikan Ni Nyoman Sani...................................................
62
4.8
Proses Penciptaan Karya Seni Lukis Ni Nyoman Sani ..........................
64
BAB V BENTUK SENI LUKIS KARYA NI NYOMAN SANI DALAM DINAMIKA SENI LUKIS BALI ....................................................
76
5.1
Tema Seni Lukis Karya Ni Nyoman Sani .............................................
76
5.2
Unsur-Unsur Seni Lukis Dalam Karya Ni Nyoman Sani .....................
81
5.3
Medium Seni Lukis Ni Nyoman Sani ...................................................
87
5.4
Estetika Seni Lukis Ni Nyoman Sani ....................................................
90
BAB VI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KARYA SENI LUKIS NI NYOMAN SANI DALAM DINAMIKA SENI LUKIS BALI .............................................................................................. 102 6.1
Faktor Intern ....................................................................................... 102
6.1.1 Pengalaman hidup Ni Nyoman Sani .................................................... 102 6.1.2 Cara Pandang Ni Nyoman Sani Terhadap Perempuan ......................... 105 6.1.3 Pendidikan dan Pengetahuan ................................................................ 110 6.2
Faktor Ektern ....................................................................................... 111
6.2.1 Lingkungan Keluarga........................................................................... 111 6.2.2 Konstruksi Lingkungan Sosial Masyarakat Bali ................................... 113 6.2.3 Budaya Global di Masyarakat .............................................................. 116
xviii
BAB VII MAKNA SENI LUKIS KARYA NI NYOMAN SANI DALAM DINAMIKA SENI LUKIS BALI .......................................
119
7.1
Makna Estetika Pada Lukisan Ni Nyoman Sani................................... 119
7.2
Makna Simbol Pada Lukisan Ni Nyoman Sani ..................................... 122
7.3
Makna Ekspresi Pada Lukisan Ni Nyoman Sani ................................... 133
7.4
Refleksi ............................................................................................... 135
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 138 8.1
Simpulan ............................................................................................. 138
8.2
Saran ................................................................................................... 140
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 142 LAMPIRAN ................................................................................................ 147
xix
DAFTAR TABEL
Halaman 2.1. Penanda-Penanda dan Pola Hidup yang Berlaku ....................................
xx
34
DAFTAR GAMBAR Halaman 4.1
Suasana pameran tugas akhir Ni Nyoman Sani tahun 2001 di STSI Denpasar Dokumen : koleksi Ni Nyoman Sani, 2001 ...........................
63
Salah satu karya desainer Giorgio Armani yang menjadi inspirasi Ni Nyoman Sani dalam berkarya. Dokumen : koleksi Ni Nyoman Sani, 2001 ....................................................................................................
68
4.3 Lukisan karya Srihadi Sudarsono yang berjudul Dancers Dialogue, dibuat tahun 1987 ukuran 132 x 192 cm,bahan cat minyak diatas kanvas. Dokumen : koleksi Ni Nyoman Sani, 2001 .............................
69
4.2
4.4
Lukisa Karya Jeihan Sukmantoro yang berjudul Lala dengan media cat minyak di atas kanvas. Ukuran lukisan 117 x 870 cm dibuat tahun 1991 Dokumen : foto koleksi Ni Nyoman Sani, 2001 ..........................
70
Lukisan Karya Chang Fe Ming yang berjudul Morning Majesty dengan media cat air. Ukuran karya 56 x 76 cm dibuat tahun 1996. Dokumen : koleksi foto Ni Nyoman Sani, 2001 ..................................
71
Ni Nyoman Sani Sedang berkarya di studio lukisnya Dokumen: I.G.P.A Mirah Rahmawati, 2014 ........................................................
74
5.1
Trend Fashion salah satu Trend fashion masa kini ............................
77
5.2
Trend Fashion salah satu Trend fashion masa kini ............................
77
5.3
Salah satu Lukisan Ni Nyoman Sani yang terinspirasi Tahun 2002 Dokumen : I.G.P.A Mirah Rahmawati, 2014 ......................................
79
Sketsa Gambar Ni Nyoman Sani, pensil diatas kertas. Dokumen: Ni Nyoman Sani, 2013 .............................................................................
84
Karya Ni Nyoman Sani yang berjudul abu-abu, 800 x 671cm cat minyak tahun 2002. Dokumen: Koleksi Ni Nyoman Sani,2002 ..........
90
Karya Ni Nyoman Sani yang berjudul pose, 800x671cm, cat minyak tahun 2002 Dokumen: Ni Nyoman Sani ...............................................
91
Lukisan Ni Nyoman Sani yang berjudul I Suggest Not To Smoke dengan media cat minyak di atas kanvas. Ukuran lukisan 200 x 120cm dibuat tahun 2003 Dokumen : koleksi Ni Nyoman Sani 2003 ..............
92
4.5
4.6
5.4 5.5 5.6 5.7
xxi
5.8
Karya Ni Nyoman Sani dengan judul Faces II media cat minyak di atas kanvas ukuran karya 120 x 200 cm Tahun 2003 Dokumen : Ni Nyoman Sani,2003 .............................................................................
94
Karya Ni Nyoman Sani dengan judul Smile Behind media cat minyak di atas kanvas tahun pembuatan karya 2007 Dokumen : I.G.P.A Mirah Rahmawati, 2007 .......................................................................
95
5.10 Karya Ni Nyoman Sani dengan judul Gelamor series media cat minyak di atas kanvas tahun pembuatan karya 2010 Dokumen : I.G.P.A Mirah Rahmawati,2010 ..........................................................
96
5.11 Karya Ni Nyoman Sani dengan judul Ladies media cat minyak di atas kanvas ukuran karya 196 x 128 cm Dokumen : I.G.P.A Mirah Rahmawati, 2010 ................................................................................
99
5.9
5.12 Karya Ni Nyoman Sani yang berjudul friend, tahun 2014,cat minyak.Dokumen: koleksi Ni Nyoman Sani, 2014 ............................... 100 6.1
Lukisan Ni Nyoman Sani yang berjudul Mini,Mini,Mini dengan media cat minyak di atas kanvas. Ukuran lukisan 90 x 130 cm dibuat tahun 2001 Dokumen koleksi Ni Nyoman Sani, 2001 ......................... 108
6.2
Foto keluarga Ni Nyoman Sani, dokumen Ni Nyoman Sani, 2013 ....... 112
6.3
Karya Ni Nyoman Sani yang berjudul Woman The Bos, bahan cat air diatas kertas tahun 2007 Dokumen : Ni Nyoman Sani, 2007 .............. 115
6.4
Karya Ni Nyoman Sani mengangkat tema budaya modern yang berjudul gaya Blue Jeans II ,bahan Mixed media di kanvas dengan ukuran 80x120cm Tahun 2001 Dokumen : Koleksi Ni Nyoman Sani, 2001 ..................................................................................................
118
7.1
Teori warna Prang Brewster, dokumen: I.G.P.A Mirah rahmawati, 2014………………………………………………………………….. .. 124
7.2
Karya Ni Nyoman Sani dengan judul Hurry Up is One media cat minyak di atas kanvas ukuran karya 316 x 368 cm Dokumen : Ni Nyoman Sani, 2005 ............................................................................ 125
7.3
Karya Ni Nyoman Sani dengan judul Look At Me II, media cat minyak di atas kanvas ukuran karya 200x125 cm Tahun 2001 Dokumen :Ni Nyoman Sani, 2001 ............................................................................. 127
xxii
7.4
Karya Ni Nyoman Sani dengan judul Red Sofa, media cat minyak di atas kanvas tahun pembuatan karya ( 2010) Dokumen : Ni Nyoman Sani…………………………………………. ....................................... 128
7.5
Karya Ni Nyoman Sani dengan judul off, media cat minyak, di atas kanvas tahun pembuatan karya ( 2005) Dokumen : Ni Nyoman Sani... 129
7.6
Karya Ni Nyoman Sani dengan judul Take a look at Get Off media cat minyak di atas kanvas ukuran karya 200x125 cm Tahun 2007 Ni Nyoman Sani, 2007 ............................................................................ 130
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Informan ....................................................................... 147 Lamporan 2 Daftar Pedoman Wawancara .................................................... 150 Lampiran 3 Profil Desa Singapadu .............................................................. 151
xxiv
GLOSARIUM
acrylic
:
pewarna buatan pabrik yang menggunakan air sebagai media pelarutnya
artefak
:
benda arkeologi atau peninggalan benda-benda bersejarah, yaitu semua benda yang dibuat atau dimodifikasi oleh manusia yang dapat dipindahkan. contoh artefak adalah alat-alat batu, logam dan tulang, gerabah, prasasti lempeng dan kertas
banjar
:
dusun/ organisasi masyarakat Bali
dedek lidek
:
hancur lebur
deformasi
:
penyederhanaan bentuk
esa, kala, patra
:
istilah Bali tentang ruang, zaman, manusia
desa, pekraman
:
desa adat
dharma
:
kebaikan
di emong
:
di asuh
distorsi
:
penyederhanaan bentuk
etos kerja
:
semangat kerja yang menjadi ciri khas guru dalam menjalankan profesinya.
gender
:
karakter yang melekat pada laki-laki maupun perempuan
jabang
:
calon
jero
:
sebutan rumah dalam bahasa Bali
jengah
:
semangat untuk tidak kalah bersaing
jan panggul
:
pemuka agama
kekawin
:
puisi yang dibuat atau disusun menggunakan bahasa Jawa Kuno.
kharma phala
:
hukum sebab akibat, perbuatan yang baik akan selalu menghasilkan pahala yang baik dan demikian sebaliknya
kober
:
bendera
lango
:
cara pandang mengenai rasa keindahan
ngaben
:
upacara pembakaran mayat di Bali
ngayah
:
membantu pelaksanaan upacara di Bali
ngepah karang
:
dengan
membagi komposisi dalam teknik seni lukis tradisional Bali xxv
ngusap karang ngucek
: :
menghapus sisa pensil membuat warna jauh dan dekat
ngorten
:
membuat kket
nyawi
:
mempertegas dengan kontur dari tinta cina
nyenter
:
memberikan kesan sinar dengan warna putih
ngabur
:
membuat highlight dengan warna hitam putih
ngewarna
:
tahap pemberian warna
pakubon
:
kubu pertahanan
palemahan
:
arti yang luas, sebagai tempat manusia itu tinggal dan berkembang sesuai dengan kodratnya termasuk sarwa prani.
parahyangan
:
hubungan antara manusia dengan Tuhan
pawongan
:
hubungan manusia dengan manusia.
pemangku
:
pemuka agama Hindhu di Bali
profan
:
tidak keramat.
rwa Bhineda
:
menggambarkan keseimbangan hidup manusia dalam dimensi dualistis yaitu keyakinan terhadap adanya dua kekuatan yang hebat seperti baik dan buruk
sakral
:
suci , keramat.
sekehe
:
anggota atau kelompok
sigar mangsi
:
teknik dalam seni lukis tradisional Bali dengan membuat gradasi hitam putih dengan tinta cina
subak
:
sistem pengairan sawah di Bali
tabuh
:
suatu bentuk komposisi didifinisikan sebagai kerangka dasar gending-gending lelambatan tradisional.
taksu
:
istilah dalam bahasa daerah Bali yang berarti kekuatan dalam mujizat
tri hita karana
:
tiga penyebab kebahagiaan hidup dalam agama Hindhu
undagi
:
tukang
young artist
:
salah satu aliran dalam seni lukis Bali modern yang berkembang di Ubud dan diperkenalkan oleh pelukis Ari Smith
xxvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Seni lukis merupakan salah satu cabang seni rupa yang mengutamakan lima unsur rupa yaitu garis, bentuk, bidang, warna dan tekstur. Seni lukis tergolong ke dalam seni rupa murni atau disebut juga dengan fine art. Proses penciptaan, seni lukis lebih mengutamakan ekspresi jiwa perupanya. Ekspresi tersebut divisualkan melalui unsur garis dan warna. (Soedarso, 1990: 11). Seni lukis merupakan cabang dari seni rupa yang cara pengungkapannya diwujudkan melalui karya dua dimensional dimana unsur-unsur pokok dalam karya dua dimensional adalah garis dan warna. Suparli (1993 : 12) menyatakan bahwa seni lukis adalah seni budaya yang merupakan pengutaraan tidak berbentuk tulisan, melainkan berbentuk goresan yang dapat langsung berbicara kepada siapapun dan dimanapun tanpa mengenal batas masa, bangsa dan bahasa. Terdapat beberapa aliran dalam seni lukis yaitu realisme, naturalisme, impresionisme, ekspresionisme, kubisme, surealisme dan abstrak. Aliran-aliran seni lukis tersebut tergolong ke dalam aliran seni lukis modern yang lebih mementingkan norma kebenaran, standar nilai estetik, pencapaian sebagai hasil dari kreativitas dan terikat dalam hal teknik melukis. Berbeda halnya dengan seni lukis kontemporer yang tidak terikat pada teknik melukis dan lebih bebas dalam pemilihan tema lukisan.
1
2
Istilah kontemporer juga dikenal dalam seni lukis yang berarti kekinian. Menurut Prayitno (2013: 6), seni lukis kontemporer adalah penolakan terhadap seni rupa modern dimana perupa tidak terikat dalam pemilihan tema maupun teknik melukis. Istilah kontemporer cenderung mengarah untuk seni rupa kontemporer dalam pengertian yang kedua yaitu antimodernisme. Istilah kekinian dalam seni lukis digunakan untuk menjuluki karya seni lukis yang diciptakan setelah Perang Dunia II. Istilah seni lukis kontemporer sering digunakan untuk lukisan yang diciptakan pada masa kini. Kekinian seni lukis kontemporer meliputi teknik maupun idenya. Ide-ide lukisan yang mengungkapkan kekinian termasuk seni lukis kontemporer. Teknik-teknik lukisan yang menunjukkan teknik-teknik masa kini juga termasuk seni lukis kontemporer. Seni lukis kontemporer bukan merupakan sebuah gerakan atau aliran, dan tidak mengejar identitas, tetapi merupakan refleksi masa tradisi. (Zaelan, 2006 : 51) Seorang pemikir Jerman yang bernama Udo Kulterman
(dalam Seni
volume 2 1992: 64), menyatakan bahwa kontemporer dekat dengan paham postmodern. Seni lukis kontemporer pada masa kini menjadi perhatian para penikmat seni dan perupa. Perkembangan seni lukis kontemporer di Indonesia sangat pesat, hal ini juga dibuktikan dari pernyataan seorang kurator seni rupa Jim Supangkat (dalam Mikke Susanto, 2004 : 4), selama dekade 1990-an telah ada 50 forum seni utama berskala internasional yang berhasil dimasuki oleh karya seni lukis kontemporer Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa karya-karya seni lukis
3
kontemporer Indonesia sudah diakui keberadaannya di dunia international dan minat perupa menekuni seni lukis kontemporer telah mendapat apresiasi dari masyarakat luas. Ni Nyoman Sani merupakan salah satu perupa yang mendapat pengaruh kontemporer dalam tema karya-karyanya. Karya-karya Ni Nyoman Sani dikategorikan dalam seni lukis kontemporer yang ditinjau dari segi tema dan teknik melukis yang cenderung tidak terikat aturan. Ni Nyoman Sani mengangkat tema-tema sosial yang terkait dengan kehidupan perempuan masa kini dan fashion.
Ni Nyoman Sani terinspirasi dari kehidupan perempuan masa kini,
dimana era globalisasi telah memberikan pengaruh terhadap gaya hidup perempuan sehingga tidak dapat dilepaskan dari dunia fashion dan gaya hidup yang konsumeristik. Seolah-olah gaya hidup tersebut telah menjadi suatu keharusan dan sesuatu yang harus diikuti. Kecendrungan perempuan akan berada dalam sebuah kesadaran palsu yang mendominasi pola pikir perempuan masa kini. Figur
perempuan yang dilukiskan adalah
mewakili representasi
perempuan kalangan menengah ke atas yang identik dengan dunia belanja. Konsumerisme merupakan sebuah cara hidup, sering juga mengacu pada hidup yang terpenuhi dengan konsumsi secara berlebihan sehingga mendapatkan nada yang negatif patut dikritisi (Sudjatmiko, 2008 : 29). Objek yang divisualkan dalam lukisannya adalah figur perempuan yang mengikuti trend mode dan mewakili kehidupan perempuan masa kini. Setiap objek lukisannya memiliki
4
karakter yang berbeda-beda hal tersebut divisualkan dengan warna dan garis yang ekspresif. Berbicara fashion merupakan sebuah alat komunikasi dan menunjukkan identitas sosial seseorang. Fashion dan gaya hidup merupakan bentuk pencaharian identitas sosial dan personal. Fashion bukanlah ekploitasi irasional melainkan suatu pencaharian eksistensial untuk berbeda dalam budaya sekuler secara mendalam (Barnard, tt,183). Simmel (2004 : 175). Fashion menjadi gaya hidup masa ini dan sebagai identitas sosial yang menaikkan identitas seseorang yang mengikuti gaya hidup fashionable. Ni Nyoman Sani dibesarkan di lingkungan tradisi Bali yang memiliki adat istiadat yang kuat dan telah membentuknya sebagai seorang perempuan Bali yang mandiri dan mengerti tentang adat istiadat di Bali. Namun jika dikaji karyakaryanya Ni Nyoman Sani berada diluar lingkungan tradisinya dan cenderung mengangkat budaya global sebagai tema lukisan. Apabila di lihat karya-karya Ni Nyoman Sani secara umum berbicara mengenai trend fashion dan gaya hidup perempuan masa kini yang tentunya bertolak belakang dengan realita kehidupannya, jika proses penciptaan karyanya tersebut melalui pengalaman batin. Karya-karyanya cenderung menampilkan figur perempuan asing dengan gaya hidup yang jauh dari tradisi di lingkungannya dan seolah-olah berada pada realitas semu.
Simbol-simbol yang dimunculkan dalam seni lukis karya Ni
Nyoman Sani lebih banyak berbicara mengenai kemapanan, postur ideal dan tampilan elegant.
5
Dalam lukisannya tanpa sadar telah tercipta realitas semu yang disebut simulakra. Dimana terdapat reduplikasi pencitraan didalamnya, pencitraan perempuan harus tampil seperti objek yang ada dalam lukisannya. Jika dilihat kembali mengenai konsep berkarya dalam seni lukis, seniman lukis selalu berkarya berdasarkan pengalaman batin dan merupakan hasil luapan ekspresi jiwa. The Liang Gie (1996 : 31), dalam proses penciptaan karya seni lukis perupa lebih mengutamakan ekspresi jiwa dan pengalaman batin. Image tersebut merupakan ekpresi ide, emosi, dan pengalaman yang dibentuk sedemikian rupa dari pengalaman perupanya sehingga tercapai harmoni. Dengan demikian proses penciptaan selalu didasari luapan ekspresi jiwa berdasarkan pengalaman batin perupanya. Jika berbicara ekspresi maka apa yang tertuang dalam karya-karya seni Lukis Ni Nyoman Sani merupakan luapan jiwa yang terselubung. Keinginan untuk menjadi seperti apa yang dilukiskan atau salah satu bentuk respon Ni Nyoman Sani terhadap lingkungannya. Ekpresi tersebut terus mengalir dalam karya-karyanya seiring perkembangan trend fashion dunia dan pengaruh globalisasi. Hal ini menjadi menarik untuk di kaji dalam pandangan kajian budaya. Karya seni lukis Ni Nyoman Sani yang tergolong kontemporer akan dikaji dalam pandangan postmodern. Karya Ni Nyoman Sani merupakan salah satu representasi keberadaan dan gaya hidup perempuan pada masa kini dengan kehidupan yang sangat konsumtif. Dari uraian diatas, maka terdapat beberapa hal yang menarik yang akan diteliti dari karya seni lukis Ni Nyoman Sani yaitu dari sisi bentuk lukisan, makna lukisannya yang samar dan menyimpan makna tertentu
6
dan faktor-faktor yang mempengaruhi dan melatarbelakangi proses penciptaan seni lukis Ni Nyoman Sani. Adapun penelitian ini akan terfokus pada karya seni lukis Ni Nyoman Sani. Hal lain yang menarik meneliti karya-karyanya karena Ni Nyoman Sani merupakan salah satu perupa perempuan Bali yang selalu bereksplorasi dalam berkarya seni sehingga menimbulkan dinamika yang akan memperkuat karakter karya seni lukisnya.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk, fungsi dan makna yang terkandung dalam karya seni lukis karya perupa Ni Nyoman Sani. Adapun rumusan masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali ? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi dan melatarbelakangi penciptaan seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali ? 3. Makna apa yang terkandung pada seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali ?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bentuk, faktor yang mempengaruhi dan melatarbelakangi penciptaan karya seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali dan makna seni lukis Ni Nyoman
7
Sani. Seni lukis Ni Nyoman Sani memiliki keunikan dan originalitas dalam mengungkap identitas perempuan melalui visualisasi figur perempuan dalam penggabungan antara seni lukis dan fashion dan dapat melihat fenomena perempuan pada jaman globalisasi yang selalu dipengaruhi trend pasar dan gaya hidup yang konsumtif.
1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk meneliti, mengkaji dan merumuskan jawaban atas permasalahan yang telah di kemukakan ke dalam tiga pokok permasalahan yaitu : 1. Untuk mengkaji bentuk karya seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali. 2. Untuk mengkaji faktor yang mempengaruhi dan melatarbelakangi penciptaan seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali 3. Untuk mengkaji makna dari seni lukis Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini menyangkut teoritis dan
praktis, adalah sebagai berikut :
8
1.4.1 Manfaat Teoretis 1. Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan penelitian ilmu kajian budaya dan sebagai referensi dalam penelitian selanjutnya. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang karya seni lukis perupa perempuan di Bali. Hal ini juga merupakan apresiasi terhadap karya perupa perempuan di tanah air dan dapat memberikan informasi tentang kekayaan budaya yang terdapat dalam karya perupa perempuan Bali
1.4.2. Manfaat Praktis 1.
Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan rangsangan kepada generasi muda untuk mengapresiasi karya seni lukis perempuan
perupa
Bali
yang
jumlahnya
sangat
sedikit.
Dengan
mengapresiasi karya seni lukis perupa perempuan diharapkan dapat melestarikan budaya bangsa dan memberikan motivasi generasi muda untuk menekuni seni lukis. 2.
Penelitian ini diharapkan dapat dipakai bahan referensi dalam bidang pendidikan seni lukis, sebagai sumbangan dokumentasi seni yang akan digunakan oleh masyarakat umum sehingga dapat menambah kecintaan masyarakat dalam bidang seni lukis.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DASAR, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka Penelitian ini dipilih beberapa sumber pustaka yang dirasa banyak
mengulas tentang karya seni lukis, perempuan dan estetika, yang sangat relevan dengan
penelitian. Kajian pustaka dilakukan adalah sebagai acuan untuk
memecahkan masalah dalam penelitian dan sebagai penambah wawasan. Kajian mengenai karya seni lukis yang dibuat oleh perupa perempuan telah banyak dilakukan terutama yang terkait dengan bentuk, faktor yang mempengaruhi dan makna dari lukisannya dalam dinamika seni lukis di Bali. Penelitian khusus yang meneliti mengenai karya Ni Nyoman Sani dari segi bentuk, faktor yang mempengaruhi dan makna seni lukis Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali dalam pengamatan penulis belum ditemui. Untuk menambah pengetahuan dan menunjang hasil penelitian maka penulisan ini akan mengacu pada penelitian sebelumnya. Penelitian-penelitian tersebut berguna memberikan informasi dan gambaran mengenai perupa Ni Nyoman Sani dan karya-karyanya. Adapun beberapa penelitian yang dipergunakan adalah sebagai berikut: Hardiman (2007) dalam tesisnya yang berjudul: “Tubuh Perempuan Representasi Gender Perempuan Perupa Bali”. Dalam tesis ini meneliti beberapa karya perempuan perupa seperti Tjok Istri Mas Astiti, I Gusti Murniasih dan salah 9
10
satunya adalah Ni Nyoman Sani. Dalam tesisnya Hardiman mengungkapkan bahwa tubuh perempuan yang merupakan representasi gender dalam karya perupa Bali dan konsep kesenilukisan Ni Nyoman Sani berfungsi sebagai pernyataan keinginan untuk dilihat dan diperhatikan. Dalam tesis tersebut dijelaskan bahwa tubuh terutama tubuh perempuan, dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi objek yang dilihat oleh berbagai disiplin ilmu, berbagai kepentingan politik, berbagai kepentingan wacana, berbagai kepentingan kuasa, dan banyak lagi. Tesis tersebut tentunya sangat berhubungan dengan penelitian ini utamanya dalam membantu memberikan gambaran dan informasi tentang makna perempuan dalam beberapa karya seni lukis Ni Nyoman Sani. Selain itu, kajian pustaka ini juga membantu penulis agar tidak menulis hal-hal yang telah dikaji. Perbedaanya dengan penelitian ini bahwa menggali lebih dari segi bentuk, faktor yang mempengaruhi dalam berkarya dan makna dalam lukisan Ni Nyoman Sani dengan menggunakan teori menggunakan teori postfeminisme, estetika post modern dan semiotika. Sedangkan dalam penelitian sebelumnya menggunakan teori semoitika visual, estetika dan feminisme. Tjok Mas Astiti (2007) dalam tesisnya yang berjudul: “Lukisan Modern Karya I Gusti Kadek Murniasih Dalam Perkembangan Seni Lukis Bali”. Dalam tesis ini menulis tentang salah satu perempuan perupa Bali yang bernama I Gusti Kadek Murniasih, yang terinspirasi dengan kisah pribadinya yang sangat pahit dan melalui karyanya memberikan semangat kepada kaum perempuan untuk tegar dan selalu bersyukur. Tulisan ini berhubungan dengan penelitian yang akan
11
dilakukan sebagai pemberi gambaran kehidupan seorang perempuan perupa dan memberikan informasi mengenai perkembangan seni lukis Bali mengingat karya I Gusti Ayu Murniasih tergolong ke dalam seni lukis tradisional Bali dan namanya tercatat sebagai salah satu perupa perempuan Bali yang berbakat. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori estetika, struktural, fungsional dan perubahan. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada pelukis yang di teliti karyanya dan teori yang digunakan dalam penelitian. Ni Luh Ayu Sukmadewi (2009) dalam tesis yang berjudul: “Tantangan dan Strategi Perempuan Pelukis Bali Dalam Berkreativitas Seni Lukis di Sanggar dan Galeri Seniwati Ubud”, membahas mengenai tantangan yang dialami oleh perempuan perupa Bali dalam berkreativitas seni lukis dan juga mengenai strategi yang digunakan perempuan perupa Bali dalam meningkatkan karirnya dalam seni lukis. Dalam tesis ini juga memasukkan Ni Nyoman Sani sebagai salah satu perempuan pelukis yang dijadikan penelitian. Adapun teori yang digunakan adalah teori hegemoni, motivasi, postfeminise, dan estetika. Tulisan ini berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu dalam hal memberikan gambaran mengenai kehidupan dan tantangan yang dihadapi oleh perempuan perupa Bali. Penelitian ini juga memberikan informasi mengenai faktor yang mempengaruhi perempuan perupa dalam mencipta sebuah karya seni lukis. Perbedaannya dengan penelitian ini bahwa penelitian ini khusus menggali bentuk, faktor yang mempengaruhi dalam berkarya dan makna karya seni lukis Ni Nyoman Sani dengan teori yang berbeda.
12
Dengan demikian, jika diamati dari referensi di atas semuanya menekankan pada apresiasi terhadap karya maupun sisi kehidupan perempuan perupa Bali. Mengingat perempuan berprofesi sebagai perupa dipandang langka dibandingkan profesi lainnya karena biasanya profesi ini identik dengan laki-laki. Karya–karya perempuan perupa tersebut juga tergolong unik dan mampu mewakili karakter mereka masing-masing dan pada setiap karya-karya mereka selalu menyelipkan pesan dan semangat untuk kaumnya. Selain karya seni lukis, kehidupan mereka juga menarik untuk diteliti. Hal ini sepenuhnya dilakukan para peneliti untuk mengapresiasi dan mengangkat keberadaan perempuan perupa Bali sehingga masyarakat lebih mengenal kehidupan dan karya dari perempuan perupa Bali sehingga tidak memandang rendah kepada kemampuan mereka dalam berkarya seni lukis. Dengan memperkenalkan dan mengapresiasi karya para perempuan perupa Bali diharapkan masyarakat lebih dapat mengenal dan lebih menghargai profesi mereka sebagai seorang perupa perempuan yang karyakaryanya juga telah banyak dikenal di mancanegara.
2.2
Konsep Konsep merupakan kerangka acuan peneliti di dalam mendesain instrumen
penelitian. (Bungin, 2005 : 25). Konsep dapat didefinisikan sebagai abstraksi dari sekelompok fakta atau gejala dalam bentuk ide-ide atau gagasan mental. Konseptualisasi dapat juga dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan logika untuk mampu mengenal, mengorganisir, dan menggendalikan dunia eksternalnya sehingga menjadi bermakna (Derida, 1976).
13
Konsep dapat dibagi menjadi dua bagian; pertama , konsep yang diamati yaitu menunjukkan pada suatu objek atau peristiwa yang ditangkap secara langsung dengan indra. Kedua, konsep yang tidak bisa diamati menunjukkan pada hakikat proses yang tidak bisa diamati secara langsung melainkan eksistensinya dapat disimpulkan dari seperangkat konsep yang bisa diamati (Raho, 2007:6-7). Adapun konsep dalam penelitian ini adalah seni lukis, Ni Nyoman Sani, dinamika, dan seni lukis Bali dan dapat diuraikan sebagai berikut :
2.2.1 Seni Lukis Menurut Soedarso (1990: 1) diuraikan bahwa definisi yang paling bersahaja dan sering menyebutkan “seni adalah segala macam keindahan yang diciptakan oleh manusia. Maka menurut jalan pikiran ini seni adalah suatu produk keindahan, suatu usaha manusia untuk menciptakan yang indah-indah yang dapat mendatangkan kenikmatan. Buku ini berguna dalam memberikan informasi mengenai pemahan tentang seni khusunya seni lukis. Seni lukis merupakan ungkapan batin dari perupa dengan mengungkapkan subjek dalam bentuk karya yang indah. Dalam penciptaan bentuk oleh perupa akhirnya menciptakan gaya dan aliran dalam lukis. Kebebasan dalam berkarya dapat melahirkan suatu nilai baru, penciptaan karya seni dapat berorientasi pada bentuk-bentuk distorsi atau deformasi yang memberikan bentuk baru yang lain. Seni lukis juga merupakan salah satu cabang seni yaitu seni rupa, dimana dalam proses
penciptaanya
mengutamakan
ekpresi
jiwa.
Seni
lukis
adalah
penggabungan-penggabungan berbagai garis, warna, tekstur, ruang dan bentuk. (Sudarmadji, 1997 : 21).
14
Seni lukis juga merupakan ungkapan artistik maupun ideologis yang menggunakan warna dan garis guna mengungkapkan perasaan mengekpresikan emosi, gerak, ilusi maupun pengalaman seseorang. Secara teknis seni lukis merupakan pemaparan warna pada bidang dua dimensional untuk menghasilkan sensasi bentuk, gerak, ekpresi yang dapat mengekpresikan emosi dan simbol. Jadi Seni Lukis dapat diartikan sebagai ungkapan artistik yang menggunakan warna dan garis guna mengungkap perasaan mengekpresikan emosi, gerak maupun pengalaman seseorang sehingga menghasilkan sesuatu yang baru. Seni Lukis adalah penyusunan kembali konsep dan emosi dalam suatu bentuk baru yang menyenangkan lewat media dua dimensional (Bastomi, 1992 :19). Menurut Soedarso (1999: 11), mengatakan bahawa seni lukis adalah suatu pengucapan
pengalaman artistik yang dutumpahkan dalam bidang dua
dimensional dengan menggunakan garis dan warna. Seni lukis yang mengarah kepada peniruan terhadap alam, akan melahirkan karya-karya yang naturalisme dan realis. Koentjaraningrat (dalam Krishna Mustajab,1981: 5), mengatakan bahwa seni Lukis dan gambar merupakan bidang-bidang kesenian yang paling fleksibel dan mudah dipakai untuk mengembangkan sifat kepribadian berdasarkan sifat-sifat khas dan mutu yang tinggi. Sifat khas itu tidak hanya dapat dikaitkan dengan wujud lahiriah dari bidang kesenian itu, tetapi juga isinya dan dengan konsepsi intelektual. Aliran dalam seni lukis dapat bersifat sosial yang biasanya timbul terinspirasi dari kehidupan di masyarakat. Selain itu ada juga karena perkembangan ilmu jiwa kelanjutan dari yang terdahulu atau reaksi seniman terdahulu.
15
Seni lukis kontemporer muncul sebagai penolakan terhadap seni modern, demikian juga di bidang seni lukis. Kontemporer merupakan hasil dari konsep pemikiran postmodern yang digunakan sebagai upaya untuk menganalisa sesuatu yang baru dalam aktifitas kreatif dan tidak bisa lagi diapresiasi sebagai bentuk seni modern, dianggap keluar dari batasan modernisme (Zaelani, 1999:92). Seni lukis kontemporer merupakan perkembangan seni rupa sekitar tahun 70-an dengan menempatkan seniman-seniman Amerika seperti David Smith dan Jackson Pollok sebagai tanda peralihan. Seni lukis kontemporer tidak terikat pada aturan dan bukan merupakan aliran dalam seni lukis. Seni kontemporer adalah dimensi waktu yang terus bergulir mengikuti perkembangan masyarakat dengan zamannya
2.2.2 Ni Nyoman Sani Ni Nyoman Sani merupakan salah satu perupa perempuan yang berbakat dan memulai melukis sejak usia dini. Ni Nyoman Sani lahir pada tanggal 10 agustus 1975 di Sanur. Ni Nyoman Sani berasal dari keluarga yang sangat sederhana, ayahnya I Ketut Regug adalah seorang nelayan di pantai Sanur dan ibunya yang bernama Ni Made Tumbuh berprofesi sebagai pedagang souvenir di pantai Sanur. Keinginan dan tekadnya yang kuat membawanya untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) walau dalam keterbatasan biaya, Ni Nyoman Sani tetap berjuang untuk dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ni Nyoman Sani membiayai kuliahnya dengan biaya sendiri dari hasil menjual lukisannya. Dalam keterbatasannya, Ni Nyoman Sani mencoba untuk
16
kuat mengadapi tantangan hidupnya, pada tahun 1990an Ni Nyoman Sani bergabung dengan Sanggar Seniwati Galeri yang bertempat di daerah Ubud. Ni Nyoman Sani kreatif menuangkan ide-idenya dalam berkarya seni lukis dan karyanya dikenal sampai ke mancanegara. Kerja keras Ni Nyoman Sani membuahkan hasil, Ni Nyoman Sani diundang untuk menggelar pameran di luar dan di dalam negeri. Ni Nyoman Sani terinspirasi oleh sosok perempuan, pada karyanya lebih memfokuskan pada fashion dan gaya hidup perempuan masa kini. Sani menggabungkan antara seni lukis dan fashion. Bagi Ni Nyoman Sani sosok perempuan sulit digantikan oleh apapun. Sani memandang kehidupan perempuan tidak jauh dari fashion dan trend sehingga Sani tertarik mengangkat konsep perempuan dan fashion. Ni Nyoman Sani sampai saat ini masih aktif berkarya sampai saat ini. Ni Nyoman Sani juga tertarik dengan dunian fotografi dan telah menggelar pameran tunggalnya pada tahun 2010 di Tanah Tho Galeri.
2.2.3 Dinamika Dinamika berarti gerak, tenaga yang menggerakkan dapat juga berarti semangat (Poerwadarminta, 1996 : 251). Dinamika merupakan penyajian bahasa rupa dengan berbagai unsure yang bervariasi di dalamnya baik unsure garis, bentuk, bidang dan warna. Namun unsure keseimbangan tetap diperhatikan (Sachari: 2004: 117) Dalam penelitian ini dinamika yang dimaksud adalah perkembangan karya-karya Ni Nyoman Sani dalam perkembangan seni lukis Bali sehingga pada akhirnya diharapkan membawa pengaruh positif pada pergerakan
17
seni lukis Bali. Dinamika yang terjadi pada perempuan perupa dengan derasnya arus budaya global menjadi pendorong utama pembentuk identitas perempuan perupa.
2.2.4 Seni Lukis Bali Konsep Seni lukis Bali yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seni lukis yang berkembang di Bali dan perkembangannya seiring dengan perkembangan pariwisata dan pengaruh globalisasi yang masuk ke Bali. Secara umum, Seni lukis merupakan penggabungan-penggabungan berbagai garis, warna, tekstur, ruang dan bentuk pada suatu permukaan yang bertujuan menciptakan image-image. Image tersebut merupakan ekpresi ide, emosi, dan pengalaman yang dibentuk sedemikian rupa sehingga tercapai harmoni (The Liang Gie, 1996 : 31). Seni lukis Bali berkembang pesat seiring masuknya pengaruh pariwisata di Bali. Dalam buku Seni Budaya Bali Moerdowo dikatakan bahwa pada abad ke -20 Bali dikenal sebagai objek pariwisata oleh pemerintah Hindhu Belanda (Moerdowo, 1998 : 215). Dipromosikannya daerah Bali sebagai pariwisata tahun 1927 oleh sebuah perusahaan angkutan kapal laut yaitu KPM (Koniklyke Paket Vaart Maat Schappy) yang menyelenggaran komunikasi dan penyediaan fasilitas penginapan, maka mulailah Bali dikenal oleh bangsa barat. Para budayawan, ahli antropologi dan seniman-seniman mereka tertarik untuk datang ke Bali melihat keindahan alam Bali dan kehidupan masyarakat Bali yang masih bersifat tradisional.
18
Wisatawan yang datang ke Bali diantaranya berasal dari Jerman, Belanda, Perancis dan negara-negara lainnya. Dalam buku Kembara Budaya disebutkan perubahan terjadi yaitu setelah datanganya pelukis-pelukis barat, Walter Spies pelukis Jerman yang hidup di Rusia pernah di kerajaan Solo datang ke Bali pada akhir tahun 1930-an ( Suasta, 2001: 190). Selain Walter Spies pelukis lain yang datang ke Bali adalah Rudolf Bonnet, pelukis ini berkebangsaan Belanda. Rudolf Bonnet dan Walter Spies bersama dengan Cokorda Agung Sukawati yang bersaal dari Ubud bersama-sama mendirikan Pita Maha di wilayah Ubud sebagai suatu perkumpulan para seniman di Bali. Di dalam buku Seni Budaya Bali, Moerdowo menyatakan Pita Maha memiliki pengertian leluhur atau jiwa yang agung dan nama tersebut diberikan oleh Cokorde Ngurah Lingsir, seorang sastrawan Bali di wilayah Ubud. (Moerdowo,1988: 216). Dengan
demikian,
perkembangan
Seni
lukis
Bali
mengalami
perkembangan saat berdirinya Pita Maha. Pada perang duni II organisasi Pita Maha dibubarkan dan seniman tua mendirikan Golongan Pelukis Ubud dengan ketuanya Anak Agung Gde Sobrat. Pada masa ini tampak pergeseran nilai seniman Bali ke arah moderenisasi, terbukti dengan adanya penggunaan persepektif pada seni lukis, perubahan penggunaan persepektif pada seni lukis, perubahan penggunaan tinta Cina dengan memakai cat tempera. Paparan diatas menjadi bukti awal terbentuknya Seni lukis Bali modern di Bali dan semakin berkembang sampai saat ini.
19
Seni lukis Bali dibagi menjadi dua yaitu 1. Seni lukis Bali Tradisional, yaitu karya seni lukis Bali terdahulu yang perkembangannya belum mendapat sentuhan dan belum mengenal unsur pengaruh Barat. Dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. Tema terkait dengan upacara keagamaan maupun cerita epos Mahabarata dan Ramayana. b. Bentuk lebih mengutamakan bentuk wayang kulit Bali c. Ruang dan komposisi dibuat penuh tidak terdapat ruang kosong dalam pengaturan komposisi. d. Garis digunakan sebagai kontur dan memegang peranan sangat penting. e. Warna berhubungan dengan kepercayaan dan agama bersifat simbolis f. Teknik seni lukis tradisional terdiri dari ngepah karang, ngorten, nyawi, ngusap, manyunin, sigar mangsi, ngucek, ngabur, ngwarna. 2. Seni Lukis Bali Modern, yaitu suatu karya seni lukis Bali yang dihasilkan oleh para seniman Bali yang perkembangannya mendapat pengaruh asing baik dalam teknik maupun tema contohnya adalah karya seni lukis Young Artis. Seni lukis ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
20
a. Tema yang diangkat adalah kehidupan sehari-hari dan bertema lebih modern b. Bentuk mendapat pengaruh modern c. Garis lebih ekspresif d. Warna lebih beragam dan mengenal teknik gradasi dari gelap ke terang e. Ruang mendapat pengaturan dan adanya persprektif untuk penempatan objeknya. f. Tekniknya lebih modern dan bervariasi. Wardana (1984: 51) mengatakan bahwa seni lukis Bali dibagi menjadi 3 golongan yaitu: 1. Seni Lukis Klasik Bali Lebih banyak melukiskan lukisan wayang Klasik. Tema yang diangkat adalah tema wayang Klasik. Contohnya adalah seni lukis Klasik Wayang Kamasan. 2. Seni Lukis Bali Baru Berkembang setelah masuknya pengaruh asing yang dibawa oleh seniman lukis asing yang bernama Rudolf Bonnet dan Walter Spies. Kemudian berkembang di Ubud dengan dibentuknya Pita Maha oleh Cokorda Agung Sukawati.
21
3. Seni Lukis Bali Modern Berkembang seiring perkembangan pariwisata di Bali, dengan munculnya seniman-seniman lulusan akademi seni rupa. Contohnya karya seni lukis Young Artist yang dibawa oleh Arie Smith.
2.3
Landasan Teori Teori pada hakekatnya adalah hubungan antara dua faktor yang merupakan
sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris. Suatu teori merupakan hubungan antara dua variable atau lebih yang telah diuji kebenarannya (Soekanto,2001:30). Teori adalah rumusan yang berisikan prinsip umum, terorganisasi secara sistematis dapat digunakan sebagai analisis, membuat asumsi, meramalkan serta menjelaskan suatu gejala atau masalah untuk sebagian atau seluruhnya dan telah pernah dibuktikan kebenarannya (Nasir, 19983 : 21). Dalam penelitian dimungkinkan untuk menggunakan lebih dari satu teori dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap objek penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan teori postfeminis untuk menggali makna dan faktor yang mempengaruhi karya seni lukis Ni Nyoman sani, teori semiotika postmodern untuk menggali makna dari lukisan modern Ni Nyoman Sani, teori estetika postmodern untuk melihat bentuk seni lukis modern Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
22
2.3.1 Teori Postfeminis Postfeminisme adalah semacam jalan baru bagi upaya sebagian perempuan untuk melakukan kritik dari dalam dan dari luar gerakan feminis yang memberikan
suara
lain
bagi
gerakan
perempuan
untuk
memperbaiki
kehidupannya, baik dalam lingkungan kerja maupun keluarga, baik dunia pemikiran maupun dunia aktivisme, baik dalam lingkungan real maupun lingkungan simbolik, dan baik dunia sosial maupun media (Brooks,1997: 8). Dalam penelitian ini menggunakan teori yang dikemukakan oleh Luce Irigaray mengenai perbedaan adalah gerakan perempuan membangun ruang separatis, dimana perempuan dapat membicarakan hasrat mereka dan mengoyak kebisuan tentang ekploitasi yang telah mereka alami (Ann Brooks,1997: 120). Posfeminisme tidak anti feminis, tetapi untuk membuktikan asumsi yang dipercaya oleh para feminis bahwa ada penindasan patriarki terhadap kaum perempuan. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis. Postfeminisme sebagai penggerak perubahan pola berpikir kaum perempuan. Postfeminisme hanyalah sebuah bentuk dari perlawanan kaum perempuan terhadap budaya patriarchal. Ann Brooks (2011: 6), mengungkapkan bahwa postfeminis tidak antifeminisme dan postfeminis hanya menantang asumsi-asumsi hegemoni yang dipegang oleh epistemologi feminis gelombang kedua yang menganggap bahwa penindasan patriarkhi dan impresalis adalah pengalaman penindasan yang universal, karena dalam kenyataannya perempuan sendiri tersebar dalam berbagai
23
kelas sosial, pengelompokan rasial dan etnis, komunitas seksual, subkultur, dan agama yang berarti pula tiap perempuan akan merasakan pengalaman sosial dan kesadaran personal yang berbeda. Luce Irigaray (dalam Ann Brook,1990: 122 ), mengatakan bahwa kaum perempuan dapat setara dengan laki-laki. Dalam postfeminis terkandung semangat perlawanan, terutama dari kaum perempuan yaitu membebaskan diri dari berbagai penindasan, ketidakadilan dan kekerasan, bentuk perlawanan dapat berbentuk dari berbagai cara. Dengan demikian, teori postfeminis merupakan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Teori ini digunakan dalam menganalisis faktor yang mempengaruhi Ni Nyoman Sani dalam berkarya seni lukis dan makna yang terkandung dibalik lukisan Ni Nyoman Sani yang berusaha memperjuangkan menginspirasi para
perempuan melalui karya-karyanya demi mendapatkan
kesetaraan dengan kaum laki-laki.
2.3.2 Teori Estetika Postmodern Estetika dalam wacana postmodern tidak lagi membedakan mana yang indah, mana yang tidak indah, mana yang bermoral, mana yang amoral. Secara ekstrim, dapat dikatakan bahwa wacana estetika postmodern kini justru mencari yang terjelek diantara yang jelek. Estetika postmodern juga tidak lagi membedakan mana yang kelihatan, mana yang tersembunyi. Estetika postmodern mencari yang lebih tersembunyi diantara yang paling tersembunyi (Baudrillard, 1988: 185).
24
Dalam kaitannya dengan model wacana seni postmodern berkembang bahasa estetik postmodernisme yang khas dan unik. Bahasa estetika seni postmodern yang tampil dalam tanda-tanda dan makna-makna seni bersifat tidak stabil, mendua dan plural, disebabkan oleh diutamakannya permainan tanda, keterpesonaan pada penampakan dan diferensiasi, ketimbang makna-makna ideologis yang bersifat stabil dan abadi (Piliang, 1998: 307). Dalam estetika postrmodern dieksplorasi Piliang (2003: 207-209), idiom-idiom estetik yang dominan menjadi warna dalam seni postmodern dimaksud dapat dicatat antara lain Pastiche, Parodi, Kitsch, Camp, dan Skizofrenia. Pastiche, merupakan istilah yang mengacu pada pengertian keberadaan pinjaman pada seni (Piliang, 2003: 209). Pastiche merupakan istilah yang mengacu pada pengertian keberadaan pinjaman pada seni (Piliang, 2003: 209). Hal itu dapat berupa satu unsur, atau sekelompok unsur, sehingga keberadaannya pada suatu karya seni dapat disebut unsur pastiche pada seni, atau terhadap karya seni itu sendiri dapat disebut bersifat pastiche. Dapat pula berupa suatu konstruksi yang terdiri atas susunan unsur-unsur pastiche sehingga suatu karya seni demikian disebut karya seni pastiche. Keberadaan pinjaman atau pastiche dimaksud adalah keberadaan suatu pinjaman yang berasal dari masa lalu (Piliang, 2003: 210; Kutha Ratna, 2007:387). Suatu pinjaman yang dimaksud adalah karya seni, yang dapat berasal dari berbagai penulis (kreator seni) lain, atau penulis (kreator) tertentu di masa lalu.
25
Keberadaan unsur-unsur pinjaman itu di dalam karya pastiche, menurut Hutcheon (dalam Piliang, 2003: 210), terutama terletak pada model relasinya dengan teks atau karya yang menjadi rujukan yang berdasarkan prinsip kesamaan dan berkaitan, yang tidak lain merupakan imitasi murni. Menurut Piliang (2003: 210), pastiche merupakan suatu bentuk imitasi murni, tiruan, atau duplikasi sesuatu dari masa lalu. Sebagai imitasi murni, pastiche mengimitasi teks-teks masa lalu sebagai upaya mengangkat dan mengapresiasinya, dengan cara mencabutnya dari klasik, dan romantik, yaitu sebagai bentuk-bentuk permainan bahasa pastiche. Parodi adalah satu bentuk dialog sebagaimana konsep dialog antarteks dan bertujuan mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas gaya atau karya masa lalu yang dirujuk, dan menjadi semacam bentuk oposisi atau kontras di antara berbagai teks, karya atau gaya lainnya dengan maksud menyindir, mengecam, mengkritik, atau membuat lelucon darinya (Piliang 2003: 213-314; Kutha Ratna, 2007: 387). Linda Hutcheon, Piliang (2003: 214), menekankan bahwa parodi juga merupakan suatu bentuk imitasi, namun bukan imitasi murni, melainkan imitasi yang ironik, dan karena itu parodi lebih merupakan suatu pengulangan yang dilengkapi dengan ruang kritik, yang mengungkapkan perbedaan ketimbang persamaan. Walaupun terdapat persamaan antara pastiche dengan parodi, yaitu keduanya sangat bergantung pada teks, karya, atau gaya masa lalu sebagai rujukan atau titik berangkatnya, namun terdapat perbedaan yaitu: pastiche menjadikan teks, karya, atau gaya masa lalu sebagai titik berangkat dari duplikasi,
26
revivalisme, atau rekonstruksi sebagai ungkapan dari simpati, penghargaan, atau apresiasi, sedangkan parodi sebaliknya, menjadikannya sebagai titik berangkat dari kritik, sindiran, kecaman sebagai ungkapan dari ketidakpuasan atau sekedar ungkapan rasa humor (Piliang, 2003: 214-215). Hutcheon (dalam Piliang, 2003: 214) ,menekankan parodi sebagai sebuah relasi formal atau struktural antara dua teks. Sebuah teks baru diwujudkan sebagai hasil dari sebuah sindiran, plesetan atau unsur lelucon dari bentuk, format, atau struktur dari teks rujukan. Sebuah teks atau karya parodi biasanya menekankan aspek penyimpangan atau plesetan dari teks atau karya rujukan yang biasanya bersifat serius. Piliang (2003: 215-216) menekankan bahwa Piliang (2003: 215216) menekankan bahwa parodi sebagai satu bentuk diskursus selalu memperalat diskursus pihak lain, untuk menghasilkan efek makna yang berbeda. Sebagai satu bentuk representasi palsu, dalam diskursus parodi terdapat dua suara yang berperan. Dua suara ini tidak saja direpresentasikan dalam diskursus parodi, akan tetapi juga menunjuk pada dua konteks pengungkapan yang berbeda, yaitu pengungkapan yang ada sekarang dan sebelumnya. Pengungkapan yang terdahulu digunakan oleh penulis atau seniman untuk tujuan ekspresinya. Kitsch yang sebagai istilah berakar dari bahasa Jerman verkitschen (membuat murah) dan kitschen yang berarti secara literal memungut sampah dari jalan, juga didefinisikan dalam The Concise Oxford Dictionary of Literary Term. Sebagai segala jenis seni palsu (pseudo-art) yang murahan dan tanpa selera sering ditafsirkan sebagai sampah artistik, atau selera rendah (badtaste) (Piliang 2003: 217; Kutha Ratna, 2007: 387-388).
27
Selera rendah, menurut Umberto Eco (dalam Piliang, 2003: 217-218) dimanifestasikan lemahnya ukuran atau kriteria estetik suatu karya, walaupun kriteria itu sendiri sangat sulit didefinisikan, karena bisa sangat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya, dan dari satu zaman ke zaman lainnya. Sebaliknya, Gillo Dorfles (dalam Piliang, 2003: 218) menolak menyebut kitsch sebagai selera rendahan atau seni rendahan, karena kitsch dianggap mempunyai sistemnya sendiri yang berada di luar sistem seni, meskipun pada kenyataannya kedua sistem itu tidak dapat dipisahkan. Dijelaskan Piliang (2003: 218), Jean Baudrillard mendefinisikan kitsch sebagai pseudoart, yaitu sebagai simulasi, kopi, stereotip pemiskinan kualitas pertandaan (signification) yang sesungguhnya sebagai proses melimpah-ruahnya tanda-tanda, referensi alegorik, atau konotasi-konotasi perbedaan; sebagai bentuk pemujaan detail, dan sebagai bombardier. Definisi kitsch menurut Baudrillard dan Eco menurut Piliang (2003: 218), menyiratkan miskinnya orisinalitas, keotentikan, kreativitas, dan kriteria estetik kitsch. Disebabkan kelemahan internal itu, eksistensi kitsch sangat bergantung pada keberadaan objek, konsep, atau criteria eksternal, seperti seni tinggi, objek sehari-hari, mitos, agama, atau tokoh. Terutama, kitsch sangat bergantung pada keberadaan gaya dari seni tinggi. Sekali sebuah karya diberi label seni tinggi, maka struktur artistiknya membentuk elemen-elemen gaya, yang disebut Eco, stylemes, atau unit terkecil dari gaya, di mana kitsch mengidentifikasikan dirinya dengan stylemes ini. Sebagaimana halnya parodi, kitsch adalah sebuah bentuk representasi palsu. Namun, berbeda dengan parodi yang produksinya didasarkan
28
semangat kritik, bermain (play), produksi kitsch lebih didasarkan semangat reproduksi, adaptasi, simulasi. Kitsch mengadaptasi satu medium ke medium lain atau satu tipe seni ke tipe lainnya. Eco memaknai kitsch sebagai satu bentuk penyimpangan dari medium yang sebenarnya (Piliang, 2003: 219). Piliang (2003: 219-220) menjelaskan bahwa sebagai upaya memaksakan seni tinggi, perkembangan kitsch tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsumsi massa dan kebudayaan media massa. Kitsch berfungsi sebagai satu bentuk komunikasi, yang tujuannya untuk menghasilkan efek yang segar yang sangat diperlukan dalam kebudayaan dan konsumsi massa. Kitsch memassakan objek-objek langka, precious dan unik, dan sekaligus mempopulerkan nilai-nilai budayanya. Greenberg (dalam Piliang, 2003: 220), menegaskan bahwa sebagai satu bentuk imitasi dan reproduksi, Kitsch mengimitasi efek-efek seni yaitu efek-efek provokasi, kejanggalan, dan ketidaknormalan. Greenberg menganggap Kitsch, sebagaimana Baudrillard (dalam Piliang, 2003: 220), sebagai satu bentuk dari estetika Hiperealitas karena menggunakan simulakra kebudayaan asli yang diturunkan derajat dan diakademiskan sebagai bahan dasarnya menanggalkan makna-makna mitologis, ideologis, dan spiritual dari objek-objek kebudayaan tinggi, dan menjadikannya tak lebih dari sebuah tanda (sign) transparan dan bersifat seolah-olah (as if) yaitu sebuah tanda ikonik, yang maknanya segera tampak secara denotatif tanpa perlu merujuk lagi pada referensi dunia realitas sebagai petanda, namun makna tersebut disampingkan dan disalahgunakan.
29
Kitsch bertolak belakang dari seni tinggi yang mengutamakan nilai-nilai kebaruan, inovasi, dan kreativitas. Kitsch miskin akan nilai-nilai tersebut, atau memilikinya dengan sangat minimal. Kitsch mempunyai mata rantai yang kuat dengan nilai keuntungan maksimum secara ekonomis karena menghimbau ke seluruh kelas dan lapisan masyarakat, sementara seni tinggi terbatas pada kelompok elit. Camp merupakan idiom estetik kontradiktif yang sering diasosiasikan dengan pembentukan makna, atau kemiskinan makna (Piliang, 2003: 221). Mengutip Susan Sontag, Piliang (2003: 222) menekankan Camp sebagai model estetisme, yaitu satu cara melihat dunia sebagai fenomena estetik, namun bukan dalam pengertian keindahan atau keharmonisan, melainkan keartifisialan dan penggayaan. Estetisme itu dapat dipandang positif dalam pengembangan gaya karena pemberontakannya menentang gaya elit kebudayaan tinggi. Camp yang menolak keotentikan atau keorisinilan, merupakan bentuk duplikasi untuk tujuan dan kepentingan sendiri sebagai bricolagepar-exellence, menghasilkan sesuatu dari apa-apa yang sudah tersedia dengan bahan baku kehidupan sehari-hari, atau lebih tepatnya fragmen-fragmen dari realitas dalam kehidupan nyata, yang diproses dan didistorsi menjadi bukan dirinya, menjadi artifisial. Penekanan camp bukanlah keunikan dari satu karya seni, melainkan kegairahan reproduksi dan distorsi. Camp menjunjung tinggi ketidaknormalan dan keluarbiasaan (Piliang, 2003: 222-223). Camp sebagaimana halnya kitsch merupakan jawaban atas kebosanan, dan memberikan jalan keluar ilusif dari
30
kedangkalan, kekosongan, dan kemiskinan makna dalam kehidupan modern, melalui cara mengisinya dengan pengalaman melakukan peran dan sensasi. Skizofrenia, sebuah istilah psikonalisis yang pada awalnya digunakan untuk fenomena psikis dalam diri manusia, kini digunakan secara metaforik untuk menjelaskan fenomena yang lebih luas termasuk bahasa, sosial ekonomi, sosial politik , dan estetik (Piliang, 2003: 227). Dijelaskan Piliang (2003: 228) bahwa Lacan mendefinisikan skizofrenia sebagai putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau makna. Definisi postrukturalis itu berpandangan bahwa makna tidak dihasilkan berdasarkan hubungan yang pasti. Petanda, yang dalam strukturalis dikatakan sebagai makna dari satu ungkapan, oleh para postrukturalis hanya dipandang sebagai efek makna, yang timbul akibat dari pergerakan atau dialog antara satu penanda dan penanda lainnya. Mengacu pada Jameson, Piliang (2003: 228) menegaskan bahwa pada saat terganggunya hubungan penanda-petanda, atau antarpenanda, yaitu ketika sambungan rantai pertandaan terputus, pada saat itu akan dihasilkan ungkapan skizofrenia, dalam bentuk serangkaian penanda yang tidak saling berkaitan. Menurut Lacan (dalam Piliang, 2003: 228), skizofrenia menganggap kata-kata sama seperti benda-benda sebagai referensi, dengan pengertian, sebuah kata tidak lagi merepresentasikan sesuatu sebagai referensi, melainkan referensi itu sendiri menjadi kata. Dalam diskursus seni postmodern, bahasa estetik Skizofrenia merupakan salah satu bahasa yang dominan, meskipun bahasa itu sudah ada pada era sebelumnya. Dalam diskursus postmodern, bahasa Skizofrenia dihasilkan dari
31
persimpangsiuran penanda, gaya, dan ungkapan dalam satu karya, yang menghasilkan makna-makna kontradiktif, ambigu, terpecah, atau samar-samar (Piliang, 2003: 231). Dengan demikian teori estetika postmodern digunakan untuk menggali bentuk dan makna dalam seni lukis Ni Nyoman Sani. Teori estetika postmodern yang digunakan dalam mengalisis seni lukis Ni Nyoman Sani adalah teori estetika Kitsch adalah sebuah bentuk representasi palsu didasarkan semangat reproduksi, adaptasi dan simulasi. Karya –karya Ni Nyoman Sani mengangkat tema-tema yang berhubungan dengan gaya hidup perempuan masa kini dan fashion yang dinilai berlebihan. Dunia hiperrealitas adalah dunia yang disarati oleh silih bergantinya reproduksi apa yang disebut Baudrillard sebagai simulakra objekobjek yang tak memiliki referensi sosial, objek-objek yang dibuat di atas kerangka meleburnya realitas dengan fantasi, fiksi, halusinasi dan nostalgia, sehingga perbedaan satu sama lainnya sulit diketahui. Simulakra adalah ruang realitas yang disarati oleh proses reduplikasi wujud komoditas citra, fakta, tanda, serta kode dalam satu dimensi ruang dan waktu yang sama (Piliang, 1998: 196). Dengan teori estetika postmodern ini maka dapat dilihat makna estetika dalam karya-karya Ni Nyoman Sani. 2.3.3 Teori Semiotika Istilah semeiotics diperkenalkan oleh Hippocrates seorang penemu ilmu medis Barat, seperti ilmu gejala-gejala (Danesi, 2011:6 ). Menurut Umberto Eco (2003: 44). secara etimologis, kata semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi
32
sosial, yang terbangun sebelumnya, dan dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda tidak hanya sekedar mewakili sesuatu yang lain, namun juga harus ditafsirkan. Umberto Eco menekankan semiotika pada aspek produksi tanda yang ditafsirkan bersifat terbuka dan dinamis. Menurut Umberto Eco, dalam semiotika konsep tanda (ekspresi) harus digantikan dengan konsep fungsi tanda. Fungsi tanda ini memiliki isi yang beragam. Selain itu, fungsi tanda merupakan interaksi dengan berbagai norma budaya yang berbeda-beda dapat memberikan macam-macam konotasi terhadap norma tertentu dan semiotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta. Semiotika mengekplorasi bagaimana makna yang terbangun oleh teks telah diperoleh melalui penataan tanda dengan cara tertentu dan melalui penggunaan kode-kode budaya (Barker, 2004: 32). Semiotika adalah salah satu dari ilmu yang oleh beberapa ahli atau pemikir dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta. Pengertian semotika berhubungan dengan pengertian semantik karena dua pengertian ini meliputi makna dan kemaknaan dalam komunikasi antar manusia. Menurut Charles Morris (dalam Parera, 2004: 4) mangatakan bahwa bahasa sebagai satu system sign dibedakan atas signal dan symbol, tetapi semiotika bukan hanya berhubungan dengan isyarat bahasa, melainkan juga berhubungan dengan isyarat nonbahasa dalam komunikasi antar manusia. Menurut Victor (dalam Parera, 2004: 42) kraft Semiotik terdiri dari analisis bahasa dalam tiga dimensi yang berhubungan dengan pemakaian bahasa, yakni dari segi pragmatik lalu yang berhubungan dengan makna sign linguistik,
33
yakni dari segi semantik dan yang berhubungan denngan hubungan antara signsign bahasa tanpa merujuk kepada maknanya, yakni dari segi sintaksis. Semiotika busana, Barthes mencoba membedakan tiga tipe busana (Barthes,1990), yakni (1) Image Clothing, busana yang ditampilkan sebagai fotografi atau gambar; (2) Written Clothing, busana yang dideskripsikan secara tertulis atau ditransformasikan ke dalam bahasa; dan (3) Real Clothing, busana aktual yang dikenakan pada tubuh manusia, busana sebagai objek. Melalui pendekatan semiotik ini diharapkan dapat memahami bagaimana busana sebagai Image Clothing maupun Real Clothing, yang berfungsi sebagai tanda-tanda di dalam proses produksi dan konstruksi makna. Pierce (dalam Endaswara, 2008: 65 ) mengemukakan tiga jenis tanda berdasarkan hubungan antara tanda dengan yang ditandakan, yaitu: (1) ikon, yaitu tanda yang memiliki kesamaan dengan arti yang dirujuk, 2) indeks, yaitu tanda yang mengandung makna dengan apa yang ditandakan, dan 3) simbol, yaitu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. Menurut Wilbur Scram (dalam Wibowo,2009: 51) makna selalu bersifat individual, maka dibangun berdasarkan pengalaman pribadi, maka setiap tanda memiliki makna yang berbeda disetiap pengalaman dan budaya seorang individu. Arthur Asa Berger (dalam Alex. 2009: 175), memberikan beberapa daftar sejumlah tanda yang sering digunakan untuk membentuk kesan, gambaran, dan
34
identitas, meskipun tidak seluruhnya mengandung kebenaran. Daftar berikut ini juga memuat makna (petanda) yang sering berlaku pada masyarakat (tentu dengan budaya yang berbeda dengan masyarakat ), seperti: potongan rambut, pakaian, perlengkapan tata rias, sepatu, kaca mata, dan dasi. Tabel 1 Penanda-Penanda dan Pola Hidup yang Berlaku PENANDA Rambut panjang Rambut rapi Rambut dipotong terlalu pendek Coklat bata Pucat Levi’s Jean hasil rancangan tertentu Jean K Mart
PETANDA Tidak sesuai dengan kebudayaan (terutama jika rambut lusuh Pengusaha Kaum gay dan tentara, atau keduanya Menyukai olah raga, kegiatan santai Kaum intelektual (orang yang menderita sakit) Busana santai, kaum proletar Terpandang, mewah Pekerja
Menurut Ratna (2006: 105), sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun non verbal. Sedangakan sebagai pengetahuan praktis, pemahaman terhadap keberadan tanda-tanda, khu€susnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari berfungsi untuk meningktakan kualitas kehidupan melalui efektivitas dan efisiensi energi yang harus dikeluarkan. Hipersemiotika merupakan teori yang berkaitan dengan relasi-relasi lainnya yang lebih kompleks antara tanda, makna dan realitas, khususnya relasi simulasi. Hipersemiotika yang berarti melampaui batas semiotika merupakan sebuah kecenderungan yang berkembang pada beberapa pemikir, khususnya pemikir semiotika yang berupaya melampaui batas oposisi biner (prinsip
35
pertentangan di antara dua istilah berseberangan dalam strukturalisme, yang satu dianggap lebih superior dari yang lainnya: maskulin/feminin. Barat/Timur, struktur perkembangan, tanda dan realitas. Semiotika adalah salah satu metode yang paling interpretatif dalam menganalisis tanda dalam karya seni lukis. Kajian semiotika dalam karya seni lukis Ni Nyoman Sani dipandang dari budaya postmodern.
Beberapa teori
semiotika terkait dengan penelitian ini seperti teori yang diungkapkan oleh Umberto eco bahwa tanda atau simbol dapat mewakili sesuatu yang lain dan bersifat dinamis. Hal lain juga diungkapkan teori semiotika digunakan untuk berdusta dalam makna kepalsuan. Terkait dengan tema yang diangkat oleh Ni Nyoman Sani dalam karya seni lukisnya yang berbicara gaya hidup perempuan masa kini dan fashion yang berlebihan. Seperti diketahui trend fashion dengan brand ternama dapat menciptakan kesadaran palsu semacam simulakra. Dalam makna kepalsuan tersebut selalu ditampilkan figur perempuan ideal baik dari segi penampilan dan gaya hidup gelamor. Teori lain diungkapkan oleh Barthes yang mengungkap tentang semiotika fashion salah satunya adalah Real Clothing, busana aktual yang dikenakan pada tubuh manusia, busana sebagai objek. Melalui pendekatan semiotik ini diharapkan dapat memahami bagaimana busana sebagai Image Clothing maupun Real Clothing, yang berfungsi sebagai tanda-tanda di dalam proses produksi dan konstruksi makna. Pernyatan ini sangat terkait dengan penelitian yang menggali makna lukisan Ni Nyoman Sani yang mengangkat tema fashion, dimana busana diharapkan berfungsi sebagai Real Clothing, bukan sebagai sebuah pencitraan diri.
36
2.4 Model Penelitian Budaya global
Budaya Bali
Adat istiadat dan lingkungan sosial
Bentuk karya seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali
Seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali
Faktor yang memperngaruhi dan melatarbelakangi seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali
Fashion dan Gaya hidup
Makna yang terkandung pada seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali
Keterangan : : Garis yang memberi pengaruh secara sepihak : Garis yang memberi pengaruh tidak langsung : Garis yang menunjukkan keterkaitan satu dengan yang lainnya
37
Penjelasan Model Budaya Bali melahirkan adat istiadat di lingkungan sosial masyarakat Bali yang diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Ni Nyoman Sani merupakan salah satu generasi perempuan perupa yang lahir di tengah adat istiadat dan lingkungan sosial masyarakat Bali. Ni Nyoman Sani dibesarkan dalam lingkungan sosial dan adat istiadat Bali, secara tidak langsung budaya dan adat istiadat Bali telah membentuk karakter pribadinya sebagai seorang perempuan perupa Bali yang berbudaya. Seiring perkembangan jaman yang mengarah pada mengenal
globalisasi dan masuknya budaya global
fashion
dari
media
cetak,
Ketertarikannya akan dunia fashion
televisi
dan
Ni Nyoman Sani informasi
internet.
membuat Ni Nyoman Sani memadukan
antara seni lukis dengan fashion. Budaya global memberikan pengaruh pada perkembangan fashion dan gaya hidup perempuan. Secara tidak langsung budaya Bali dan budaya global memberikan pengaruh kepada Ni Nyoman Sani dalam proses penciptaan karya seni lukis sehingga melahirkan seni lukis dengan tema fashion dan perempuan. Ni Nyoman Sani pada awalnya terinspirasi dengan semangat hidup perempuan Bali dalam adat istiadat di Bali, disatu sisi sebagai ibu dalam rumah tangga di satu sisi lain memiliki peran di dalam adat istiadat di lingkungan sosial masyarakat Bali. Perempuan Bali di tengah kesibukannya sebagai ibu dan menjalankan kewajibannya dalam adat istiadat, terkadang lupa memperhatikan dirinya sendiri, hal tersebut yang membuat Ni Nyoman Sani menginspirasi perempuan Bali untuk memperhatikan diri dari segi penampilan sehingga selalu dapat tampil cantik.
38
Inspirasi dan pesan tersebut kemudian dituangkan dalam karya seni lukis. Hal tersebut mendorong lahirnya seni lukis Ni Nyoman Sani yang berada dalam dinamika seni lukis Bali. Seni lukis Ni Nyoman Sani akan dikaji dari segi bentuk, faktor yang memperngaruhi dan melatarbelakangi seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali dan makna yang terkadung pada seni lukis karya Ni Nyoman Sani dalam dinamika seni lukis Bali. Karya- karya seni lukis tersebut dikaji dari sudut pandang budaya postmodern sehingga dapat mengetahui makna yang terdapat dalam setiap lukisan Ni Nyoman Sani. Pengkajian sebagai upaya apresiasi terhadap karya-karya perempuan perupa Bali yang karyanya memiliki karakter dan membawa dinamika dalam seni lukis Bali.
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, dimulai dari membuat rancangan penelitian, penentuan lokasi, jenis dan sumber data, populasi dan sampel, penentuan informasi. Adapun pengertian metode dalam penelitian ini adalah cara kerja dalam memahami objek yang diteliti mengenai bentuk, fungsi dan makna seni lukis modern karya Ni Nyoman Sani. Pengertian metode berasal dari kata lain meta yang berarti sesudah dan hodos yang berarti jalan Jadi pengertian metode adalah cara atau jalan pengaturan atau pemeriksaan sesuatu atau susunan yang teratur (Ndraha, 1985: 33). Menurut Handayani (1983 : 42) metode penelitian adalah bagian dari ilmu pengetahuan yang mempelajari bagaimana cara prosedur kerja. Dapat disimpulkan metode penelitian berarti yaitu cara kerja yang digunakan untuk menemukan menganalisa sekaligus mengembangkan suatu objek pengetahuan sehingga dapat dipahami dan diuji kebenarannya.
3.1
Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai penelitian kualitatif. Adapun penelitian
kualitatif sebuah data dianggap sebagai sebuah totalitas (Soedarsono, 1990: 27). Penelitian kualitatif mengutamakan lingkungan ilmiah sebagai sumber langsung, penekanannya ada pada proses yang menghasilkan data deskritif berupa kata secara lisan dan orang-orang dari perilaku yang diamati dan gambar-gambar.
39
40
Data yang dikumpulkan menyangkut lukisan sebagai objek inti, maupun masyarakat perupa sebagai pendukung yang melahirkan lukisan serta persoalan nilai-nilai dan makan yang terkandung secara ideologis dibalik lukisan itu sendiri. Dari teori yang digunakan bertujuan menggali gejala yang ada pada objek penelitian pada saat sekarang sebagaimana adanya sehingga akan diperoleh faktafakta baru.
3.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di studio perempuan perupa Ni Nyoman Sani yang bertempat di Banjar Mukti, desa Singapadu, Kabupaten Gianyar. Sebagai kelengkapan penelitian lokasi penelitian dikembanagkan di desa sekitarnya seperti galeri lukisan yang mengkoleksi lukisan Ni Nyoman Sani. Objek penelitian ini adalah karya seni lukis Sani yakni tentang kehidupan dan lingkungannya. Galeri yang dijadikan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut : 1. Di galeri tersebut banyak memamerkan dan mengkoleksi karya Ni Nyoman Sani. 2. Galeri tersebut mengetahui segala sesuatu tentang Ni Nyoman Sani baik itu kehidupan sosialnya maupun kehidupan berkeseniannya. Penelitian ini melibatkan beberapa informan yang menekuni bidang seni lukis dan budaya.
41
3.3
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data kualitatif
diperoleh berdasarkan pengamatan langsung di lapangan terhadap lukisan Ni Nyoman Sani terhadap estetika, teknik, unsur seni rupa dan sebagainya sepanjang dapat memecahakan permasalahan penelitian. Data kualitatif digunakan dalam pengumpulan data yang diperoleh dari hasil wawancara terhadap kolektor lukisan Sani, kurator seni, kalangan akademisi, pemilik galeri lukisan, dan beberapa pihak yang terkait dalam bidang seni. Semua itu dapat membantu dalam memberikan informasi yang diperlukan. Data dikumpulkan didapat dari literatur yang kaitannya dengan judul penelitian baik itu diperoleh dari perpustakaan maupun dari referensi dari masyarakat secara individu ataupun kelompok yang dimanfaatkan untuk menunjang penelitian ini. Data tersebut bersumber dari katalog lukisan dan sebagainya. Dalam penelitian ini beberapa foto lukisan Ni Nyoman Sani diambil sebagai sampel. Dengan demikian keseluruhan data tersebut diuraikan pada dasarnya tergantung pada peneliti sehingga tujuan penelitian dapat dicapai.
3.4
Penentuan Informan Informan dalam penelitian ini berasal dari para perupa, kolektor seni lukis,
kalangan akademisi di bidang seni lukis dan kurator seni rupa mereka ditunjuk dalam pemberian informasi mengenai perkembangan seni lukis di Bali dan pendapatnya mengenai karya perupa Sani yang menyangkut bentuk, fungsi dan makna yang terkandung dalam lukisan Ni Nyoman Sani. Informan utama dalam penelitian ini berfungsi dalam menunjuk informan biasa untuk dimintai
42
informasinya sehingga jumlah informan tidak dibatasi tetapi jumlah informan tergantung pada tingkat kejenuhan data yang digali. Dengan adanya informan diharapkan dapat membantu pelaksanaan penelitian ini sehingga akan mampu mendapatkan data yang mendalam.
3.5
Instrumen Penelitian Instrumen adalah alat pengumpul data penelitian, sehingga harus dapat
dipercaya, benar dan dapat sehingga harus dapat dipercaya, benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (valid).
Instrumen penelitian harus
memenuhi kreteria valid. Instumen sebagai alat bantu dalam menggunakan metode pengumpulan data merupakan sarana yang dapat diwujudkan dalam benda, misalnya angket ,perangkat tes, pedoman wawancara, pedoman observasi, skala dan sebagainya. Dalam penelitian ini, peneliti mempergunakan pedoman wawancara. Langkah awal, peneliti mempersiapkan pedoman wawancara yang digunakan sebagai pemandu dalam proses wawancara dengan informan. Peneliti mencatat hasil wawancara. 3.6
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data kualitatif merupakan pengumpulan data yang datanya bersifat deskriptif maksudnya data berupa gejala – gejala yang di kategorikan ataupu dalam bentuk lainnya seperti foto, dokumen, dan catatan – catatan lapangan saat penelitian dilaksanakan ( Sarwono, 2006:259). Dalam metode penelitian kualitatif, data dikumpulkan dengan beberapa teknik
43
pengumpulan data kualitatif, yaitu; wawancara, observasi, dokumentasi. Dalam penelitian ini ada beberapa cara yang dipergunakan untuk mengumpulkan data yaitu sebagai berikut :
3.6.1 Teknik Observasi Observasi merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan mempergunakan pengamatan atau penginderaan langsung terhadap suatu benda, kondisi, situasi, proses atau perilaku yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti (Faisal, 2001: 52). Pengamatan dilakukan dengan melakukan pengamatan, pengambilan foto dan pencatatan langsung terhadap karya seni lukis Ni Nyoman Sani. Sarana yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera dan buku catatan. Tempat observasi adalah studio Ni Nyoman Sani di Br Mukti desa Singapadu, galeri Tama, galeri Seniwati..
3.6.2 Teknik Wawancara Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi dan reponden. Informan adalah yang memberikan keterangan dan data dari individu demi keperluan informasi, sedangakan responden adalah orang yanag dimintai peneliti atau pandangan dari individu yang diwawancarai (Koentjaraningrat, 1997 : 130). Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam, dirancang sedemikian rupa dan tersusun. Dengan wawancara diharapkan dapat dikumpulkan data yang yang terkait dengan penelitian seperti pengalaman, gagasan atau pandangan informan yang terkait dengan penelitian.
44
Wawancara langsung ditujukan pada Ni Nyoman Sani dan para kurator seni yang terkait denga karya seni lukis Sani. Wawacara pertama kali ditujukan pada manager Seniwati Gallery Art By Women sebagai informan kunci (key informan) serta beberapa pihak yang mengetahui karya Ni Nyoman Sani. Penelitian ini dilakukan langsung di lapangan dengan mengamati langsung karya Ni Nyoman Sani. Data yang terkumpul kemudian diseleksi sesuai dengan kebutuhan agar dapat diperoleh sumber data yang akurat. Penelitian dilakukan secara langsung ke lapangan yakni melihat langsung karya Ni Nyoman Sani dan proses pengerjaannya. Wawancara ini bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan sesuatu yang diteliti dan merupakan sesuatu yang dapat membantu dari metode pengamatan.
3.6.3 Studi Dokumen Dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan dengan mencatat data mengambil data gambar dari lukisan Ni Nyoman Sani baik yang diperoleh secara langsung maupun dari buku dan katalog seni lukis. Mulyono (2002: 195) mengungkapkan bahwa penelitian penting dilengkapi dengan analisis dokumen seperti buku-buku, autobiografi catalog, teks, artikel koran majalah dan sebagainya. Maka dalam penelitian ini yang penulis perlukan adalah bahan kajian berupa hasil karya lukis Ni Nyoman Sani. Hal ini memberi kelengkapan dan kesempurnaan hasil peneliltian karena pembaca dapat menyesuaikan hasil pembahasan dengan melihat fakta karya yang akan diulas. Dokumen di bagi menjadi dua yaitu dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dokumen pribadi
45
merupakan catatan mengenai perjalanan seseorang, dokumen untuk memperoleh kejadian nyata tentang situasi sosial dan arti berbagai faktor di sekitar subjek penelitian. Dalam autobiografi Ni Nyoman Sani yang berbentuk buku maupun katalog sangat membantu penelitian ini.
3.7 Teknik Analisis Data Analisis data adalah salah satu tahapan penting dalam suatu penelitian. Analisis data dilakukan dengan memanfaatkan beberapa jenis data yang diperoleh dari data primer dengan wawancara dan didukung dengan data sekunder dari hasil pengamatan langsung, hasil pencatatan, hasil rekaman dan hasil dokumentasi dan sebagainya (Moleong, 2000:190).
Analisis dan interpretasi data dilakukan
melalui pendekatan teori multi disiplin yakni : teori estetika postmodern, teori postfeminis, teori semiotika postmodern. Tahapan pertama dalam menganalisis data adalah open coding penulis mengumpulkan data dengan memilih semua data yang terbaik, tidak semua bahan yang dikumpulkan dapat dijadikan data dalam penulisan, dan kemudian merinci, memeriksa, membandingkan, mengkonseptualisasikan, dan mengkategorikan semua data yang didapat. Tahap kedua adalah axial coding, yaitu semua data yang dikumpulkan dalam penelitian ini digolongkan menjadi dua jenis. Pertama data umum yang meliputi data tentang kehidupan sosial budaya masyarakat Ubud yang mencakup tentang letak dan kondisi geografis, kehidupan ekonomi, dan kehidupan keseniannya. Data khususnya adalah karya lukisan modern Ni Nyoman Sani. Tahapan yang terakhir adalah selective coding, yaitu mengklasifikasikan proses pemeriksaan kategori inti yaitu data tentang lukisan Ni Nyoman Sani.
46
3.8
Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Data yang terkumpul kemudian dianalisis, tahapan selanjutnya adalah
penyajian hasil penelitian. Pengujian data dilakukan secara deskriptif. Penelitian kualitatif adalah menyusun desain yang secara terus menerus disesuaikan dengan kenyataan di lapangan. Disamping itu tidak menggunakan disain yang disusun secara ketat dan kaku (Moleong, 2007: 7). Dengan demikian, penyajian penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut berasal dari wawancara, foto, dokumen dan catatan. Untuk mendapatkan data deskriptif mengenai lukisan Ni Nyoman Sani digunakan metode pendekatan kualitatif berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu ; 1) Sumber data dalam penelitian ini merupakan situasi wajar tentang lukisan Ni Nyoman Sani 2) Penelitian sebagai instrumen penelitian untuk mengadakan pengamatan, wawancara dan pencatatan langsung di lapangan 3) Data yang dikumpulkan lebih dominan data deskriptif 4) Penelitian ini menggunakan proses dan bentuk lukisan Ni Nyoman Sani 5) Penelitian ini mencoba menemukan makna lukisan Ni Nyoman Sani 6) Penelitian ini mengutamakan data langsung dari lapangan 7) Mengutamakan pandangan dalam menafsirkan lukisan Ni Nyoamn Sani 8) Melakukan data awal sampai akhir penelitian yang kemudian disusun kedalam bentuk penulisan dengan sistematika.
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KEHIDUPAN NI NYOMAN SANI
4.1 Sejarah Desa Singapadu Desa Singapadu merupakan cikal bakal dari jaman kerajaan Ida Dalem Jambe yang bertahta di Keraton Suweca Pura, Klungkung yang memiliki 3 putra yaitu 1. Ida Sri Dewa Dimadya, bertahta di Puri Klungkung 2. Ida Sri Dewa Anom Wirya bertahta di Timbul, Sukawati 3. Ida Sri Dewa Jertahta di Gelgel Pada tahun Caka 1632 atau 1710 M diceritakan Ida Sri Dewa Anom Wirya atau Ida Sri Dewa Agung Anom Wirya Wijaya Tanu bertahta di Keraton Timbul Sukawati dengan gelar Ida Sri Dalem Maha Sirikan atau Ida Dalem Sukawati. Pemerintahan Ida Dalem Sukawati juga didukung oleh I Dewa Kaleran, putra dari I Dewa Kaleran Prabu, keturunan dari I Dewa Agung Artha yang berasal dari Kaliaiget, Buleleng. Keberadaan I Dewa Kaleran di Sukawati berkaitan dengan terjadinya kekacuan di daerah Kalianget. Ketika itu Prabu I Dewa Kaleran yang menderita gangguan jiwa dibunuh oleh rakyatnya yang mengamuk dan membakar keraton. Setelah peristiwa tersebut, anak-anak beserta keluarganya mengungsi dari Kalianget menuju daerah Bali Tengah, antara lain menuju Kerambitan dan Kutul (Tabanan). Sedangkan I Dewa Kaleran mengungsi ke Desa Kuta yang merupakan daerah Kerajaan Mengwi. 47
48
Keberadaan I Dewa Kaleran di Desa Kuta diketahui Ida Dalem Sukawati. teringat akan asal-usul kekerabatan antara Satria Kaleran dengan Ida Dalem Sukawati, maka Dalem Sukawati mohon kepada Ki Agung Anglurah Made Agung yang bertahta di Mengwi pada saat itu agar rnengijinkan mengajak I Dewa Kaleran menetap di Sukawati untuk dijadikan Jan-Banggul (pemangku) di Pura Penataran Agung Sukawati. I Dewa Kaleran akhirnya diijinkan menetap di Sukawati dengan bertempat tinggal di sebelah utara Pura Penataran Agung Sukawali didampingi oleh seorang istri dan dua orang anak. Permaisuri dari Ida Dalem Sukawati yaitu Ida Sri Bahtari Mutering Jagat telah rnelahirkan seorang putra. Ketika itu I Dewa Kaleran menyerahkan putranya yang bernama I Desak Made Oka untuk mengabdi kepada Permaisuri untuk mengabdi kepada permaisuri dari Ida Dalem Sukawati sebagai inang pengasuh. Penampilan dari Desak Made Oka yang anggun dan simpatik membuat Ida Dalem Sukawati berpikir untuk menjodohkannya dengan salah satu ipar beliau yang ada di Puri Mengwi. Namun Dalem Sukawati mengalami kesulitan menentukan kepada siapa sepantasnya gadis itu dijodohkan mengingat ipar beliau ada tiga yaitu Ki Gusti Putu Panji, Ki Gusti Made Banyuning, Ki Gusti Made Banyuning, Ki Gusti Ketut Munggu. Agar tidak dianggap memihak terhadap salah satu diantaranya maka akhirnya Ida Dalem Sukawati memutuskan untuk mengundang ke tiga ipar beliau tersebut dengan catatan siapa yang datang paling awal berhak mempersunting Ni Desak Made Oka. Diceritakan bahwa yang datang paling awal adalah I Gusti Ketut Munggu, dengan demikian sesuai dengan keputusan yang telah ditetapkan maka Ida Dalem Sukawati kemudian merestui I
49
Gusti Ketut Munggu mempersunting Ni Desak Made Oka. Kedua mempelai kembali ke Mengwi, dan sesampainya disana I Gusti Putu Panji betul-betul terkejut dan terpesona menyaksikan kecantikan dan keanggunan Ni Desa Made Oka. Tanpa diduga muncul rasa dendam dan sakit hati dari I Gusti Putu Panji terhadap Ida Dalem Sukawati yang dianggap tidak adil dan pilih kasih. Akibatnya muncul niat dari Ki Gusti Putu Panji untuk menyerang dan menggempur kerajaan Sukawati Rencana penyerangan tersebut sudah didengar oleh Ida Dalem Sukawati dengan memerintahkan kepada pasukannya untuk siap siaga. Menyadari situasi kerajaan Sukawati yang dalam bahaya maka I Dewa Kaleran menghadap dengan memohon kepada beliau agar diperkenankan untuk turut serta dalam pertempuran, namum tidak diijinkan oleh Ida Dalem Sukawati, karena I Dewa Kaleran sudah berstatus sebagai Jan-Panggul (pemangku) di Pura Penataran Agung Sukawati. Namun karena I Dewa Kaleran tetap bersikeras, maka Ida Dalem Sukawati akhirnya mengijinkan turun ke medan peperangan untuk memimpin pasukan Sukawati. Dalam menghadapi pertempuran, pasukan Sukawati dibawah pimpinan I Dewa Kaleran beristirahat di hutan Jagaraga yang terletak di tepi barat wilayah Kerajaan Sukawati. Di tempat tersebut para pasukan ngabas hutan untuk mendirikan Pakubon. Lambat laun kawasan hutan yang telah di rabas dikenal dengan nama Banjar Abasan, sedangkan tempat pasukan Sukawati mendirikan pakubon dikenal sebagai Banjar Kebon. Pasukan Sukawati dan Mengwi saling berhadap-hadapan, sorak sorai pasukan kedua pihak terdengar bergemuruh di medan perang. Ketika itu I Dewa Kaleran memerintahkan I Made Nusa untuk
50
mengibarkan kober putih. Ternyata setelah melihat kibaran kober putih tersebut pasukan Mengwi lari tunggang langgang. Hal ini mengakibatkan Ki Gusti Putu Panji marah dan mengamuk membabi buta menghadapi pasukan Sukawati, Akhirnya Ki Gusti Putu Panji tewas di tangan pasukan Sukawati dengan kondisi jenasah yang dekdek lidek. Untuk mengenang peristiwa tersebut dibangun Pura Padekdekan yang terletak di kawasan Subak Kalangan Kebon. Mendengar kakaknya tewas di medan perang maka Ki Gusti Made Banyuning kemudian turun ke medan perang untuk membela Mengwi. Namun Ki Gusti Made Banyuning pun berhasil dibunuh oleh pasukan Sukawati setelah anusnya ditusuk dengan besi panas yang membara. Kawasan tempat meninggalnya Ki Gusti Made Banyuning dibangun sebuah Pura yang disebut Pura Anggar Besi, dan medan perternpuran antara Mengwi dan Sukawati disebut kalangan kebon Singkat cerita, pasukan Kerajaan Mengwi telah berhasil dikalahkan dan perang pun berakhir. Ida Dalem Sukawati kemudian memerintahkan I Dewa Kaleran tinggal menetap di Jagaraga dan mengangkatnya sebagai Manca untuk mengawasi dan menjaga wilayah tepi barat Kerajaan Sukawati. Disamping itu Ida Dalem Sukawati memerintahkan orang-orang kepercayaannya untuk memperkuat pertahanan di beberapa wilayah. Setelah sekian lama menetap di Jagaraga, I Dewa Kaleran belum juga dikaruniai putra. Karena rnerasa dirinya sudah tua, maka muncul keinginan untuk pulang ke Sukawati agar dapat berkumpul kembali bersama putranya yang tinggal di Sukawati. Oleh sebab itu ia menghadap kepada Ida Dalem Sukawati dan menyampaikan niatnya untuk kembali ke Sukawati.
51
Sehubungan dengan itu ia memohon agar Ida Dalem Sukawati berkenan menempatkan salah seorang putranya untuk bertahta di Jagaraga. Keinginan I Dewa Kaleran untuk kembali ke Sukawati ternyala tidak direstui oleh Ida Dalem Sukawati karena beliau masih tetap menaruh kepercayaan kepada I Dewa Kaleran sebagai manca di Jagaraga untuk mempertahankan wilayah tepi Barat Kerajaan Sukawati tersebut. Oleh karena tatkala itu belum ada putra yang dapat diangkat untuk bertahta di Jagaraga, maka Ida Dalem Sukawati menyerahkan putranya yang masih sedang dalam kandungan istrinya. I Dewa Kaleran patuh terhadap perintah Ida Dalem Sukawati dan kembali ke Jagaraga diiringi para Pasek, undagi, dan rakyat lainnya. Diceritakan bahwa sang jabang bayi pun kemudian lahir ke dunia. Namun keahiran bayi tersebut membuat orang-orang kaget karena buruk rupa dan sedikit pun tidak mirip dengan wajah Ida Dalem Sukawati. Rakyat Merasa sangsi atau kurang percaya bahwa bayi tersebut adalah putra dari Ida Dalem Sukawati, sehubungan dengan peristiwa tersebut maka tempat dimana bayi tersebut dilahirkan kemudian lebih dikenal sebagai Banjar Sangsi, dan rumah I Dewa Kaleran pun akhirnya disebut Jero Sangsi. Keberadaan bayi tersebut kemudian dilaporkan oleh I Dewa Kaleran kepada Ida Dalem Sukawati. Namun ditengah perjalanannya ia dihadang atau dihalang-halangi oleh penduduk dari Selat. Untuk mengenang peristiwa tersebut kemudian di tempat itu didirikan bangunan yang disebut Bale Malang. Setelah I Dewa Kaleran melaporkan tentang keberadaan sang jabang bayi tersebut kehadapan Ida Dalem Sukawati, maka untuk menjawab kesangsian rakyatnya terhadap sang jabang bayi, beliau bermaksud
52
untuk menguji sang jabang bayi dengan kobaran api. Apabila dengan cara demikian ternyata sang jabang bayi masih tetap hidup, maka itu berarti bahwa bayi tersebut memang benar putra Ida Dalem Sukawati. Diceritakan bahwa sang jabang bayi telah ditaruh dalarn kobaran api yang sedang membesar. Tak lama kemudian kobaran api tersebut semakin redup dan akhirnya padam. Ketika itu I Dewa Kaleran bersama rakyat terkejut dan terheran-heran menyaksikan bahwa sang jabang bayi ternyata masih dalarn keadaan hidup seperti sediakala. Sejalan dengan peristiwa itu akhirnya I Dewa Kaleran dan rakyat seluruhnya percaya bahwa sang jabang bayi itu adalah benar putra Ida Dalem Sukawati. Sejak peristiwa itu pula sang jabang bayi tersebut mendapat sebutan I Dewa Agung Api. Selanjutnya sang jabang bayi diajak ke jeroan oleh I Dewa Kaleran serta diupacarai sebagaimana tatakrama upacara yang berlaku bagi keturunan Ida Dalem Sukawati. Selain itu, untuk Mengantisipasi agar pasidikaran sang jabang bayi tidak bercampur-baur dengan keturunan I Dewa Kaleran, maka khusus untuk sang jabang bayi tersebut dibuatkan sebuah tempat pemujaan atau pelinggih pamuspan yang terletak di dalam areal pamerajan Jero Sangsi. Setelah sekian tahun lamanya menetap di Jero Sangsi akhirnya I Dewa Kaleran dikaruniai lagi seorang putra. Pada suatu ketika dimana putra I Dewa Kaleran dan I Dewa Agung Api sama-sama telah beranjak dewasa, tatkala itu I Dewa Kaleran menyampaikan pendapatnya kepada anaknya: “Pada kemudia hari jika nanda telah cukup dewasa, tidaklah pantas tinggal bersama I Dewa Agung di rumah ini, karena akan kelihatan berbaur. Jika nanda mencari tempat pekarangan
53
yang baru juga tidaklah pantas, karena nandalah yang memang sepantasnya menjadi pewaris di rumah ini. Sebaiknya I Dewa Agung dibuatkan puri agar kita tidak berbaur dengan beliau. Singkat cerita, agar kedudukan I Dewa Agung Api tidak berbaur dengan keturunan I Dewa Kaleran, maka I Dewa Agung Api akhirnya dibuatkan puri tersendiri yang diberi nama Puri Agung Singapadu, disamping itu I Dewa Kaleran juga menghaturkan sebuah pajenengan di Pamerajan Agung Singapadu sebagai perwujudan bukti kesetiaannya terhadap keturunan Ida Dalem Sukawati, terutama Ida Dewa Agung Api. Semenjak dibangunnya puri tersebut keseluruhan wilayah Jagaraga lebih dikenal dengan sebutan Singapadu. Mengenai asal-usul nama Singapadu ini diperkirakan berkaitan dengan peristiwa dahsyat yang pernah terjadi antara Kerajaan Sukawati dengan Mengwi. Pertempuran tersebut sebagai perang tanding antara dua singa. Dalam Bahasa Bali, makna kata ”Singa” juga berarti manggala atau raja dan kata ”Padu”, berarti perang tanding atau pertempuran (Profil Desa Singapadu, 2009: 1-5).
4.2 Potensi Desa Singapadu Desa Singapadu merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Desa Singapadu terletak membujur dari Timur ke Barat dengan batas-batas sebagai berikut : a. Sebelah Utara
: Desa Singapadu Tengah
b. Sebelah Selatan
: Desa Batubulan
c. Sebelah Barat
: Kabupaten Badung
d. Sebelah Timur
: Desa Celuk
54
Dimana wilayah Desa Singapadu lebih banyak terdiri dari lahan pertanian sehingga memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat Desa Singapadu. Oleh karena terdiri dari lahan pertanian maka di Desa Singapadu terdiri dari beberapa Subak, seperti Subak Culeg, Subak Seh Singapadu, Subak Seh Sengguan, dan Subak Kalangan Kebon. Dari aspek fungsi lahan, wilayah Desa Singapadu terdiri dari : a. Tanah Pemukiman
: 35,77 Ha
b. Persawahan
: 115,7 Ha
c. Luas Pekarangan
: 53,19 Ha
d. Luas Kuburan
: 1,53 Ha
Desa Singapadu tidak memiliki areal hutan dan memiliki sentral pengerajin industri kecil seperti pengerajin perak, pengerajin patung, tukang ukir dan jasa, seni budaya di Desa Singapadu sangat berkembang dan telah mempunyai nama di tingkat Nasional maupun Mancanegara. Secara geografis Desa Singapadu termasuk daerah daratan dengan ketinggian 50 m sampai 100m dari permukaan laut dan beriklim tropis, dengan temperatur 32°C dan maksimum 36°C. Desa Singapadu merupakan bagian dari wilayah kecamatan Sukawati. Wilayah Desa Singapadu terdiri dari 6 wilayah Banjar Dinas yakni : a. Banjar Dinas Apuan b. Banjar Dinas Seseh c. Banjar Dinas Mukti d. Banjar Dinas Kebon e. Banjar Dinas Sengguan f. Banjar Dinas Bungsu
55
Dari aspek keagamaan dan adat, Desa Singapadu terdiri 2 Desa Pekraman yaitu Desa Pekraman Singapadu dan Desa Pekraman Kebon. Desa Pekraman Singapadu terdiri dari 2 Banjar Adat yaitu : a. Banjar Adat Apuan b. Banjar Adat Seseh Sedangakan Desa Pekraman Kebon terdiri dari 4 Banjar Adat/ Pekraman yaitu a. Banjar Adat Mukti b. Banjar Adat Kebon c. Banjar Adat Sengguan d. Banjar Adat Bungsu Desa Singapadu merupakan dua Desa Pekraman yang terdiri dari dua kayangan tiga yang diemong oleh semua Banjar Adat yang ada di desa Singapadu. Dengan gambaran tersebut, dapat diinformasikan bahwa di desa Singapadu masyarakat sangat sarat dengan kehidupan
4.3 Kondisi Geografis Daerah Singapadu Pulau Bali terkenal dengan seni dan budayanya, Secara astronomi pulau Bali terletak antar 7’54 Lintang Utara ke Selatan pada posisi 8’50 Lintang Selatan dan melebur dari barat ke timur pada 114’25-114’42 Bujur Timur. Secara geografis, wilayah Bali terletak disebelah utara dibatasi laut Bali, di sebelah selatan dibatasi Samudra Indonesia, di sebelah barat dibatasi Selat Bali atau Propinsi Jawa Timur, dan disebelah timur dibatasi Selat Lombok atau Propinsi Nusa Tenggara Barat. Kabupaten Gianyar merupakan salah satu kabupaten yang ada di Bali yang menjadi lokasi penelitian tepatnya di desa Singapadu. Kabupaten
56
Gianyar memiliki luas 368.00 kilometer persegi, itu terdiri atas tujuh kecamatan yaitu Kecamatan Gianyar, Blahbatuh, Sukawati, Ubud, Payangan, Tegalalang dan Tampaksiring dengan 56 desa dan 46 kelurahan. Kabupaten Gianyar merupakan daerah yang terkenal di bidang pariwisata dan keseniannya, banyak dibangun pusat-pusat penjualan produk seni lukis atau patung seperti art shop dan galeri seni.
4.4 Mata Pencaharian Penduduk Singapadu Sebagian dari penduduk desa Singapadu bermata pencaharian pada sektor peternakan, sektor industri kecil, disektor seni budaya, jasa hotel, perdagangan dan perkebunan.Sektor peternakan di desa Singapadu belum dikelola secara optimal sebagian besar masyarakat mata pencahariannya pengrajin. Namun peternakan babi, sapi, ayam dan itik tetap sebagai penunjang pendapatan rumah tangga. Pada sub sektor industri kecil dan kerajinan ini pada umumnya berupa patung, ukiran-ukiran, kerajianan dari kayu, lukisan, perak dan emas yang dijadikan souvenir. Disamping industri kecil diatas terdapat pula industri rumah tangga untuk memenuhi keperluan upacara adat, konsumsi rumah tangga dan dijual secara kecil-kecilan seperti pembuatan jajan Bali yang dipakai untuk sarana upacara adat. Sedangkan sektor perikanan terutama perikanan air tawar belum tergarap dan masyarakat belum berani mencoba untuk merenovasi di bidang budidaya ikan. Dibidang seni budaya tiap-tiap Banjar di desa Singapadu telah memiliki seperangkat gamelan. Di desa Singapadu juga telah berdiri sanggar-sanggar seni seperti sanggar seni tabuh dan seni tari serta Sekehe wayang, topeng, sekehe
57
santhi, sekehe cak, sekehe janger, sekehe gambuh dan sekehe tabuh wanita. Sebagai penunjang sendi-sendi perekonomian dan berfungsi memperkuat perekonomian masyarakat di desa Singapadu telah ada 2 LPD, 8 koperasi Banjar, dan 2 koperasi kumpulan dari warga. Proyek pengembangan kecamatan merupakan salah satu upaya pemerintah desa Singapadu bersama-sama masyarakat untuk membangkitkan sektor perekonomian dna membuka peluang usaha bagi masyarakat. Dalam proyek pengembangan kecamatan tahun 2006 telah dibangun jalan beton subak Culeg sepanjang 275 m sedangkan tahun 2007 proyek pengembangan kecamatan berupa peningkatan jalan beton sepanjang 350m yang berlokasi di Banjar Kebon. Untuk menunjang perekonomian masyarakat di desa Singapadu telah ada beberapa sub indikator kelembagaan ekonomi diantaranya berdirinya LPD yang ada sejak tahun 2004. Selain itu masing-masing Banjar juga memiliki Koperasi banjar yang modal awalnya diperoleh dari bantuan Pemerintah Gianyar. Adapun lembaga Koperasi atau sejenisnya yang ada di desa Singapadu berjumlah 10 unit usaha yang terdiri dari 6 Koperasi simpan pinjam di masingmasing Banjar, 2 unit Koperasi kumpulan warga dan 2 unit LPD yang ada di Desa Pekraman Singapadu dan Kebon. Lembaga ekonomi lainnya adalah adanya beberapa toko atau kios yang jenis usaha perdagangan kelontong dan menjual produk-produk kerajianan untuk konsumsi wisatawan termasuk juga bebrapa warung makanyang kesemuanya menunjang perekonomian masyarakat. Dalam kegiatan usaha industri kerajinan di desa Singapadu juga ada berkembang usaha industri seperti; Industri kerajinan kayu, patung, industri perak, dan tukang ukir.
58
Mata pencaharian penduduk desa Singapadu juga ditunjang dari sektor pendidikan dan sumber daya manusianya. Penduduk desa Singapadu banyak yang telah mengenyam pendidikan sampai ke perguruan
tinggi. Hal ini juga sangat
berpengaruh baik terhadap perekonomian dan mata pencaharian penduduk desa Singapadu.
4.5 Kehidupan Berkesenian di Desa Singapadu Desa Singapadu merupakan salah satu desa di kabupaten Gianyar yang mengembangkan seni budaya. Kesenian yang dikembangkan tersebut diantaranya seni ukir, seni patung, seni tari, seni tabuh dan seni kekawin. Pengembangan dari kesenian tersebut telah mengalami kemajuan dan menjadi sumber mata pencaharian seperti seni kerajinan ukir perak dan emas. Kehidupan berkesenian di desa Singapadu dapat dilihat dari berbagai aktivitas seni yang dilakukan seharihari oleh beberapa penduduknya, seperti menjadi seniman tari, pelukis maupun seniman patung. Terdapat pula beberapa sanggar tari dan tabuh di desa tersebut dalam rangka mengembangkan kreatifitas generasi mudanya dalam berkesenian. Berkesenian bagi sebagian penduduk desa Singapadu merupakan sebuah tradisi yang harus dilestarikan secara turun temurun. Beberapa penduduknya ada yang bermata pencaharian sebagai seniman dan pengajar seni, seperti seniman lukis, patung, ukir, tabuh dan tari. Hal ini merupakan salah satu upaya dalam pelestarian kesenian yang ada di desa Singapadu. Kehidupan berkesenian di desa Singapadu juga terkait dengan adat istiadat setempat hal ini terlihat pada setiap upacara keagamaan yang dilaksanakan selalu menyertakan kesenian yang ada seperti seni tari, tabuh maupun ukir.
59
Kesenian memiliki peranan penting dalam setiap upacara keagamaan baik dalam upacara piodalan maupun ngaben. Maka peranan seniman sangat besar dalam upaya pelestarian kesenian yang ada di desa Singapadu. Berkesenian dalam hal ini juga dapat disebut ngayah yaitu berkesenian dengan tujuan tulus iklas untuk dalam hidup bermasyarakat ,karena kehidupan berkesenian di Bali tidak lepas dari agama dan adat istiadat yang ada. Semuanya saling terkait satu dengan yang lainya. Demikian pula dengan kehidupan berkesenian di desa Singapadu dimana seniman sangat memegang peranan penting dalam upaya pelestarian seni budaya. Kehidupan berkesenian di desa Singapadu sangat didukung oleh lingkungan, adat istiadat dan tentunya sumber daya manusia yang berkualitas. Hal lain yang sangat mendukung kehidupan berkesenian di desa Singapadu adalah adanya sektor pariwisata dimana desa Singapadu menjadi daerah tujuan wisatawan mancanegara maupun domestik. Para wisatawan dapat mengunjungi secara langsung seniman yang ingin dituju dan melihat langsung proses pembuatan karya seni ataupun dapat belajar seni tari maupun tabuh di sanggar seni di desa Singapadu.
4.6
Latar Belakang Kehidupan Ni Nyoman Sani Ni Nyoman Sani dilahirkan pada tanggal 10 Agustus 1975 di Banjar Panti
Sanur, dia merupakan anak ke 7 dari 8 bersaudara. Pada usia mudanya Ni Nyoman Sani telah aktif
di dunia seni gambar. Ni Nyoman Sani tertarik
menekuni seni fashion sejak duduk di bangku sekolah dasar dengan belajar secara otodidak. Pada saat duduk di bangku sekolah menengah pertama dengan
60
kemampuan belajar secara otodidak Ni Nyoman Sani memberanikan diri mengirimkan beberapa gambar desainnya ke salah satu media cetak yang ada di Bali. Walaupun mengalami berbagai rintangan Ni Nyoman Sani tidak pernah menyerah untuk menyalurkan ide - idenya dalam seni gambar yang ditekuni. Sampai suatu hari karyanya dimuat di sebuah media cetak di Bali dan hal ini menjadi suatu kebanggaan baginya. Kehidupan masa kecil Ni Nyoman Sani jauh dari lingkungan seni, ayahnya yang bernama I Ketut Regug adalah seorang nelayan di desa Sanur yang sekaligus berkehidupan bertani dan ibunya yang bernama Ni Made Tumbuh adalah seorang pedagang Souvenir di Sanur. Dalam keterbatasan ekonomi Ni Nyoman Sani bercita-cita menjadi seorang seniman profesional. Pada tahun 1993, Ni Nyoman Sani memperdalam ketrampilannya dalam bahasa Inggris dan bekerja di sebuah perusahaan garment di Denpasar. Kemudian Ni Nyoman Sani memutuskan melanjutkan pendidikannya dibidang seni rupa ke salah satu institut seni yang ada di Bali. Walaupun di lingkungannya sangat jarang yang berminat menekuni dunia seni, Ni Nyoman Sani tetap pada pendiriannya untuk berkesenian. Keputusannya untuk menekuni pendidikan seni di perguruan tinggi juga mengalami beberapa hambatan seperti biaya kuliah yang harus ditanggung seorang diri karena keterbatasan ekonomi di keluarganya. Namun Ni Nyoman Sani tidak mundur dari keinginannya, dia tetap melanjutkan pendidikannya di institut seni dengan biaya sendiri.
61
Pada tahun 1993 Ni Nyoman Sani bergabung dengan sanggar Seniwati Art By Woman yang menghimpun seniman lukis perempuan Bali yang terletak di Ubud Kabupaten Gianyar. Sanggar ini dihimpun oleh ibu Mary Northmore yang juga merupakan istri seorang seniman terkenal di Indonesia yaitu Bapak Abdul Aziz. Di sanggar tersebut Ni Nyoman Sani merupakan salah satu seniman muda yang sangat aktif sehingga namanya selalu terpilih dalam setiap pameran yang diadakan di dalam negeri maupun diluar negeri. Di perguruan tinggi Ni Nyoman Sani makin mengambil jurusan seni rupa murni yaitu seni lukis. Ketertarikannya akan dunia fashion dituangkan pada kanvas. Ni Nyoman Sani sangat aktif dalam berpameran di kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar dia juga sangat aktif dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh kampus. Ni Nyoman Sani selalu rajin melatih diri dalam membuat sketsa setiap ide yang muncul langsung dia tuangkan ke media kertas atau kanvas. Seiring waktu Ni Nyoman Sani menemukan karakter figur yang diinginkannya dia lebih tertarik melukiskan keindahan perempuan walaupun awalnya juga sempat menekuni seni lukis natural seperti pemandangan alam. Ni Nyoman Sani merupakan salah satu seniman muda yang kreatif mengembangkan idennya. Pada tahun 2001 dia telah menamatkan pendidikan tingginya dengan nilai yang baik dan meraih gelar sarjana seni. Ni Nyoman Sani menikah dengan seorang seniman lukis yang bernama I Ketut Sugantika, mereka memiliki seorang putri yang bernama Ni Wayan Ugi Gayali Sugantika dan seorang putra yang bernama I Made Arcadia Devali Sugantika. Karir Ni Nyoman Sani sangat didukung oleh suaminya yang juga seorang seniman lukis modern.
62
Ni Nyoman Sani merupakan menantu dari seorang pematung ternama yang bernama I Ketut Muja. Ni Nyoman Sani bertempat tinggal di Banjar Mukti desa Singapadu kabupaten Gianyar, bersama suami Ni Nyoman Sani membangun sebuah
studio
yang
berdampingan
dengan
studio
mertuanya.
Untuk
mengembangkan karirnya dibidang seni Ni Nyoman Sani juga menekuni seni fotografi, tema yang diambilnya adalh tentang alam, kehidupan sosial dan perempuan. Ni Nyoman Sani juga aktif mendirikan komunitas seni yang disebut Mother Art Space dan berkreasi dengan berbagai media. Selain aktif dalam berkesenian Ni Nyoman Sani juga aktif berkecimpung dalam lingkungan sosialnya seperti aktif dalam setiap kegiatan yang diadakan di lingkungan banjarnya. Kegiatan PKK, ngaben, upacara piodalan merupakan contoh beberapa aktivitas rutin yang dilaksanakan oleh Ni Nyoman Sani di sela- sela kesibukannya sebagai seorang seniman perempuan. Di lingkungan sosialnya Ni Nyoman Sani dikenal sebagai pribadi yang baik dna selalu kreatif mengembangkan ide-idenya.
4.7 Riwayat Pendidikan Ni Nyoman Sani Ni Nyoman Sani adalah seorang seniman perempuan yang mengenyam pendidikan formal dari bangku sekolah dasar hingga di perguruan tinggi. Pada tahun 1981 Ni Nyoman Sani mengenyam pendidikan di sekolah dasar di Denpasar. Setelah menamatkan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama (SMP), pada tahun 1991 Ni Nyoman Sani melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum di SLUA 1 Denpasar. Setelah menamatkan pendidikannya di SLUA 1 Denpasar, pada tahun 1995 Ni Nyoman Sani melanjutkan pendidikannya ke
63
jenjang perguruan tinggi yaitu di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dan pameran tugas akhir dilihat gambar 4.1. Selama mengenyam pendidikan di sekolah tinggi Ni Nyoman Sani menekuni jurusan seni lukis modern dengan mengangkat tema-tema perempuan dan fashion. Ni Nyoman Sani melanjutkan pendidikannya dengan biaya sendiri, dan dengan berbekal ketrampilannya melukis Sani bergabung dalam sanggar Seniwati Galeri dan berhasil membiayai kuliahnya dari hasil menjual lukisan. Berikut (Lihat gambar 4.1) merupakan foto yang diambil saat Ni Nyoman Sani melakukan pameran tugas akhirnya di Sekolah Tinggi Seni Indonesia.
Gambar 4.1 Suasana pameran tugas akhir Ni Nyoman Sani tahun 2001 di STSI Denpasar Dokumen : foto koleksi Ni Nyoman Sani, 2001
64
4.8 Proses Penciptaan Karya Seni Lukis Ni Nyoman Sani Proses penciptaan karya seni lukis menggunakan metode pendekatan semiotika karena data yang akan dicermati dalam sebuah penciptaan adalah tanda. Adapun konsep-konsep tersebut dikatakan dalam buku Metode Penciptaan Seni adalah sebagai berikut : 1) Konsepsi Dharma Konsepsi ini menuju kepada hidup manusia dalam dimensi tunggal yaitu keseimbangan hidup yang berdasarkan Moksartam Jagaddita Ya Ca Iti Dharma, yaitu setiap keberadaaan di dunia ini memiliki dharmanya masing-masing untuk mencapai kesempurnaan hidup ( I Made Bandem, 2001 : 7). 2) Konsepsi Rwa Bhineda Konsepsi ini menggambarkan keseimbangan hidup manusia dalam dimensi dualistis, yaitu keyakinan terhadap adanya kekuatan yang hebat seperti baik dan buruk, Sakral dan Profan, siang dan malam, laki dan perempuan, kaja dan kelod, sekala dan niskala. Konsepsi keharmonisan serba dualistis ini besar pengaruhnya kepada kehidupan seniman, tidak saja pada dinamikaperjuangannya, tetapi juga memberi kestabilan agar kehidupan mereka tidak tergoyahkan oleh berbagai kejutan (I Made Bandem, 2001 : 7). 3) Konsepsi Tri Hita Karana Konsep tiga penyebab kebahagiaan hidup ini terdiri dari Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Makna dari konsepsi ini adalah
65
keselarasan hidup yang mencakup keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan, keselarasan dengan manusia, dan keselarasan hubungan antara manusia dnegan lingkungannya (I Made Bandem, 2001 : 7). 4) Konsepsi Karmaphala Konsepsi ini berlandaskan hukum sebab akibat karena yang baik akan selalu menghasilkan pahala yang baik dan semikian sebaliknya, sehingga bagi seniman Bali bahwa konsepsi ini dapat digunakan sebagai pengendalian diri dan dasar penting bagi pembinaan moral (etika) dalam berbagai kehidupan (I Made Bandem, 2001 : 7). 5) Konsep Etos kerja Konsepsi-konsepsi kerja menilai tinggi kerja keras dan pentingnya iktisar dalam hidup dan memberikan landasan bagi dinamika kehidupan. Kerja adalah gerak dan esensi dari gerak sangat sesuai dengan eksisitensi dari alam semesta. Sesuatu yang tidak bergerak dan bekerja berlawanan dengan hakikat alam. Konsepsi ini dapat menjadi pangkal berbagai kemajuan, kreativitas dan inovasi . (I Made Bandem, 2001 : 7). 6) Konsepsi Lango Konsepsi ini sangat berkembang dalam kehidupan seniman di Bali dan diketahui bahwa seni yang berdasarkan estetika adalah salah satu konfigurasi dasar sebagai kebudayaan eskspresif. (I Made Bandem, 2001 : 7).
66
7) Konsepsi Desa Kala Patra Konsepsi ruang, waktu dan keadaan, menyesuaikan diri dengan keadaan, tempat dan waktu dalam menghadapi berbagai permasalahan. Di sini seni budaya diperlukan sebagai potensi untuk mengembangkan diri sendiri (I Made Bandem, 2001 : 7). 8) Konsepsi Taksu dan Jengah Taksu dan Jengah merupakn dua paradigma dalam kebudayaan Bali yang perlu dihayati dan dikembangkan. Taksu adalah inner power yang memberi kecerdasan, keindahan dan mujizat. Taksu sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa adalah hasil dari kerja keras, dedikasi, penyerahan diri pada bidang masing-masing dalam keadaan murni. Berfungsi meningkatakan kreativitas meliputi segala aspek kehidupan yang membawa kemajuan-kemajuan sebagai competitive pride yaitu semangat untuk bersaing, guna menambahkan karya seni yang bermutu (I Made Bandem, 2001 : 7). Hawkin (dalam Soedarsono,2001 : 207), penciptaan seni lukis yang baik selalu melalui tiga tahap yaitu, pertama Exploratio (Ekplorasi), kedua Improvisation (improvisasi) dan ketiga Forming (pembentukkan atau komposisi). Dalam proses penciptaannya Ni Nyoman Sani juga berpegangan pada ketiga tahapan tersebut. Adapun ketiga proses tersebut diuraikan sebagai berikut :
67
A) Eksploration Tahap berimajinasi merasakan dan merespon objek yang dijadikan sumber penciptaan. Ekplorasi merupakan tahapan awal dalam penciptaan karya seni lukis, dimana seniman melakukan pengamatan dan pencermatan terhadap objek yang tampak termasuk juga mengenai pengalaman yang dialami semuanya melalui proses perenungan. Hal ini dilakukan dalam mencari ide – ide untuk dituangkan dalam sebuah karya. Sebelum memulai melukis Ni Nyoman Sani selalu mencari ide atau inspirasi tentang objek yang akan dilukis. Ni Nyoman Sani terinspirasi oleh perempuan dan fashion, dia selalu mengikuti perkembangan dunia fashion. Pengalaman tersebut diperolehnya dengan melihat berbagai majalah mode seperti karyakarya Empirio Armani,
karya Tex Savario, Houte couture dan karya
Alexander Mcqueer. Ide-ide tersebut kemudian
dituangkan ke dalam bidang dua
dimensional di atas kanvas. Ni Nyoman Sani sangat mengagumi karya desainer-desainer tersebut karena dinilai memiliki karakter pada karya desainnya dan menampilkan sesuatu yang beda dengan karya rancangan desainer lainnya. Selain perancang asing Ni Nyoman Sani juga mengagumi perancang dari dalam negeri salah satunya Adji Notonegoro.
68
Berikut
(Lihat gambar 4.2)
merupakan contoh dari salah satu
karya desainer yang menjadi inspirasi dalam proses penciptaan karya seni lukisnya.
Gambar 4.2 Salah satu karya desainer Giorgio Armani yang menjadi inspirasi Ni Nyoman Sani dalam berkarya. Dokumen : koleksi Ni Nyoman Sani, 2001
Selain karya-karya desainer Ni Nyoman Sani juga melihat beberapa karya seniman lukis seperti karya Srihadi Sudarsono, Jeihan Sukmantoro dan karya Chang Fe Ming. Dengan melihat karya seniman lain dapat mempelajari hal-hal yang belum diketahui misalnya seperti teknik lukis, penempatan komposisi dan lainya. Di bawah ini merupakan karya Srihadi Sudarso gambar 4.3 yang melukiskan beberapa perempuan yang sedang berdiri dengan menggenakan pakaian untuk menari.
69
Gambar 4.3 merupakan salah satu karya seni lukis Srihadi Sudarso yang menginspirasi Ni Nyoman Sani dalam berkarya.
Gambar 4.3 Lukisan karya Srihadi Sudarsono yang berjudul Dancers Dialogue, dibuat tahun 1987 ukuran 132 x 192 cm, bahan cat minyak diatas kanvas. Dokumen : koleksi Ni Nyoman Sani, 2001
Pelukis lainnya yang mengispirasi Ni Nyoman Sani adalah Jeihan Sukmantoro gambar 4.4 yang juga melukiskan beberapa tentang kehidupan sosial perempuan. Beberapa objek dalam lukisan Jeihan tampak melayang hanya dibatasi oleh batas warna –warna tanpa banyak objek dan komposisi yang dibuat unik dengan tampilan objek tepat di tengah kanvas. Dalam hal ini Ni Nyoman Sani mengamati cara penempatan komposisi dan teknik pewarnaanya yang unik.
70
Gambar 4.4 berikut adalah karya pelukis Jeihan Sukmantoro yang menginspirasi Ni Nyoman Sani dalam proses penciptaanseni lukisnya
Gambar 4.4 Lukisan Karya Jeihan Sukmantoro yang berjudul Lala dengan media cat minyak di atas kanvas. Ukuran lukisan 117 x 870 cm dibuat tahun 1991 Dokumen : foto koleksi Ni Nyoman Sani, 2001
Pelukis berikutnya adalah karya Chang Fe Ming gambar 4.5 dimana dalam karya ini terlihat beberapa teknik penempatan dan komposisi objek gambar yang terpotong. Dimana dalam karya ini terfokuskan pada satu sudut yang ingin ditonjolkan. Karya Chang Fe Ming gambar 4.5, yang juga menginspirasi Ni Nyoman Sani dalam berkarya. Demikian pula dalam karya Ni Nyoman Sani menonjolkan bagian terpenting sehingga objek
71
dibuta terpotong namun hal tersebut tidak mengurangi kesan estetika dalam lukisannya. Gambar 4.5 merupakan salah satu karya Chang Fe Ming juga menginspirasi Ni Nyoman Sani dalam berkarya seni lukis.
Gambar 4.5 Lukisan Karya Chang Fe Ming yang berjudul Morning Majesty dengan media cat air. Ukuran karya 56 x 76 cm dibuat tahun 1996. Dokumen : koleksi foto Ni Nyoman Sani, 2001
Ketiga perupa tersebut memberikan inspirasi Ni Nyoman Sani dalam bidang komposisi, pewarnaan dan pemilihan objek. Ni Nyoman Sani mengekplorasi apa yang dilihatnya misalnya dalam setiap lukisan seniman lain yang menginspirasinya. Terlepas dari itu Ni Nyoman Sani selalu mencari ide- idenya sendiri dan tidak meniru dari manapun karena originalitas sangat dipenting dalam proses setiap penciptaan. Dalam
72
mencari ide tersebut Ni Nyoman Sani melakukan perenungan – perenungan sehingga pada akhirnya melahirkan sebuah ide lukisan. B) Improvisation Tahap memberikan kesempatan yang lebih besar bagi imajinasi dan memberikan ruang seniman untuk berekperimen dalam menemukan karakter sebagai contoh karakter bentuk objek dalam lukisan. Tahapan ini juga disebut dengan eksperimentasi, yaitu proses percobaan dengan membuat berbagai sketsa awal dari berbagai bentuk. Dalam bereksperimen juga diperlukan sebuah kreativitas, Ni Nyoman Sani bereksperimen dengan komposisi, berbagai media dan teknik. Dalam beberapa karyanya sani menggunakan teknik kerok dengan menggunakan pensil maupun pisau palet dan terdapat pula beberapa goresan garis spontan. Ni Nyoman Sani bereksperimen
dengan
merubah
berbagai
bentuk
objeknya
dan
bereksperimen dengan teknik pewarnaan sehingga memperoleh kesan esetetis dan artistik. Dari hasil ekperimen tersebut Ni Nyoman Sani menemukan bentuk yang diinginkannya. C) Forming Tahap pemindahan sketsa atau membuat sketsa langsung ke atas bidang kanvas. Dalam tahap ini biasanya mengalami beberapa perubahan ide. Hal ini dikarenakan adanya proses kreatifitas dan imajinasi yang bebas. Dalam proses pembentukan didukung oleh sarana alat dan bahan yang diperlukan dalam melukis.
73
Adapun bahan yang digunakan adalah kanvas, pensil, dan cat minyak atau acrilyc. Alat yang digunakan adalah pisau palet, kuas berbagai ukuran, tempat mencuci kuas, dan lap untuk membersihkan kuas. Setelah tersedianya bahan dan alat, maka langkah selanjutnya adalah membuat sketsa diatas kanvas dengan pensil maupun dengan cat minyak atau cat acrilyc. Dalam mengatur komposisi Ni Nyoman Sani lebih dominan dengan komposisi asimetris dimana posisi objek dibuat menyamping dan objek terlihat terpotong lebih dominan pada bagian kepala. Hal ini dilakukan karena ingin menampilkan kesan artistik dengan objek yang tidak utuh untuk menampilkan kesan artistik. Untuk membuat kesan lebih dekat dalam karya, Ni Nyoman Sani menggunakan teknik dussel dengan menggunakan warna terang. Dalam setiap proses berkarya Ni Nyoman Sani selalu melihat kembali hasil karyanya karena di beberapa karyanya mengalami perubahan secara spontan terutama pada pemasangan warna dan komposisi objeknya. Perubahan tersebut terjadi karena Ni Nyoman Sani melihat adanya kekurangan
dalam
karyanya
yang
harus
diperbaharui
misalnya
pengurangan ataupun penambahan kesan artistik seperti teknik kerok dengan menggunakan pensil ataupun pisau palet. Ni Nyoman Sani Selalu mengotrol setiap karya yang dihasilkannya hal ini dilakukan untuk menyeimbangkan setiap unsur rupa yang ada dalam lukisannya seperti, garis,bentuk, warna,tekstur dan bidang.
Dalam pemilihan warna Ni
Nyoman Sani selalu terinsprirasi oleh trend mode yang sedang berkembang
74
lebih banyak karyanya menggunakan warna –warna terang dan lebih banyak membiarkan beberapa ruang kosong dibelakang objek dalam lukisannya. Berikut adalah gambar Ni Nyoman Sani yang sedang melukis di studio miliknya. Berikut gambar 4.6 adalah salah satu aktifitas Ni Nyoman Sani di dalam studionya di desa Singapadu Gianyar.
Gambar 4.6 Ni Nyoman Sani Sedang berkarya di studio lukisnya Dokumen: I.G.P.A Mirah Rahmawati, 2014
Bentuk yang ditampilkannya pun mengalami perubahan – perubahan karena Ni Nyoman Sani selalu bereksperimen dalam setiap karyanya. Kreativitasnya tak terbedung dalam membuat bentuk bentuk baru yang mungkin belum terpikirkan oleh orang lain. Objek dibuat lebih sederhana namun terkesan elegan. Tahap akhir dalam proses berkaryanya
75
adalah pemberian identitas pada lukisannya berupa tanda tangan atau namanya. Hal ini bertujuan menjauhkan bentuk pemalsuan karya atau penjiplakan dan sebagai bukti originalitasnya dalam berkarya. Melalui proses yang panjang Ni Nyoman Sani mampu menghasilkan banyak karya dengan identitasnya yang sangat unik, sehingga karyanya banyak dikoleksi oleh kolektor dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam penelitian ini akan diteliti 10 sampel lukisan Ni Nyoman Sani yang mewakili setiap idenya yaitu diambil dari tahun 1999.
BAB V BENTUK SENI LUKIS MODERN NI NYOMAN SANI DALAM DINAMIKA PERUBAHAN SENI LUKIS BALI
5.1 Tema Seni Lukis Karya Ni Nyoman Sani Tema menjadi sesuatu yang sangat penting dalam sebuah penciptaan seni. Melalui tema dapat mengetahui makna dari sebuah karya seni. Ni Nyoman Sani mengambil tema yang berhubungan dengan kehidupan perempuan dan fashion. Kehidupan perempuan masa kini terkait dengan gaya hidup konsumerisme. Seni dalam pengertian sangat umum didalam era kapitalisme global dewasa ini mempunyai peran yang sangat penting dalam menciptakan sistem diferensi sosial melaui tanda dan simbol-simbol yang ditawarkannya (Piliang, 2012 : 113). Ni Nyoman Sani menggabungkan antara seni lukis dengan fashion yang diwujudkan dalam seni lukis kontemporer. Fashion merupakan salah satu objek dari kebudayaan yang sarat dengan penggunaan tanda dan citra semiotika. Fashion juga dianalisis sebagai sistem tanda, Dick Hebdige (dalam Barnard: 2009 :23), mengkombinasikan metode semiotika dan metode antropologi dalam rangka memahami tanda-tanda fashion di kalangan kelompok- kelompok subkultur, seperti Punk, Hippies, Skin Head. Kutipan tersebut menekankan fashion sebagai sistem tanda, dalam arti yang lain fashion memiliki fungsi komunikasi artifaktual seperti yang divisualisasikan dalam lukisan Ni Nyoman Sani. Fashion menyampaikan pesan-pesan nonverbal dan termasuk ke dalam komunikasi nonverbal.
76
77
Berikut merupakan beberapa trend fashion dari perancang Tax Savario yang karya-karyanya menginspirasi Ni Nyoman sani untuk menciptakan ide-ide baru dalam lukisannya.
Gambar 5.1 Salah satu Trend fashion masa kini Dokumen: www.google.com, 2014
Gambar 5.2 Salah satu Trend fashion masa kini Dokumen: www.google.com, 2014
Gambar 5.1 dan gambar 5.2 merupakan salah satu visual trend fashion yang memfokuskan pada trend make up dan tatanan rambut. Pada gambar 5.2 terdapat text yang bertuliskan kata Elegant Extremes, secara visual tampak beberapa model menggunakan gaun hitam, kesan yang ingin ditampilkan adalah elegant dan kata extremes mewakili ekspresi dalam penataan rambut. Trend ini juga menginspirasi Ni Nyoman Sani dalam berkarya. Fashion berasal dari bahasa latin ‘factio’ yang memiliki arti membuat atau melakukan (Barnard: 2009).
78
Menurut Oxford English Dictionary (OED), ‘fashion’ sebagai kata benda (noun) memiliki arti: way of doing something (tata cara atau cara bertindak). Sebagai kata kerja (verb), fashion memiliki arti: give form or shape to (kegiatan membuat atau melakukan). Fashion merupakan suatu cara aksi yang dirangsang oleh perkembangan industri kosumen. Selanjutnya, fashion adalah suatu cara tindakan sosial, baik sirkular maupun transisional (Chaney, 2009:99). Dalam masyarakat kontemporer Barat, istilah ‘fashion’ sering digunakan sebagai sinonim dari istilah ‘dandanan’, ‘gaya’, dan ‘busana’. Fashion dan pakaian adalah bentuk komunikasi nonverbal karena tidak menggunakan kata-kata lisan atau tertulis. Pakaian dibentuk menjadi sesuatu yang menyerupai kalimat, pakaian, atau setelan pakaian yang banyak memiliki kesamaan dengan cara kata-kata dirangkai dalam kalimat. Peran busana, pakaian, dandanan, dan perhiasan dalam proses komunikasi insani telah mendapatkan sorotan di tanah air. Pakaian dipandang memiliki suatu fungsi komunikatif dan merupakan bentuk suatu komunikasi artifaktual. Komunikasi artifaktual merupakan komunikasi yang berlangsung melalui pakaian dan penataan berbagai artefak, misalnya pakaian, dandanan, barang perhiasan, kancing baju, atau furnitur rumah dan penataannya. Fashion kebutuhan masyarakat saat ini.
telah menjadi
79
Berikut ini pada gambar 5.3 merupakan karya Ni Nyoman Sani (2014) yang terinspirasi dengan trend fashion masa kini yang diadopsi dari budaya luar.
Gambar. 5.3 Salah satu Lukisan Ni Nyoman Sani yang terinspirasi trend fashion terkini Dokumen : I.G.P.A Mirah Rahmawati, 2014
Karya Ni Nyoman Sani (Lihat gambar 5.3) divisualkan seorang perempuan yang sedang memegang rambut dengan posisi menjinjitkan kaki, seolah - olah sedang memamerkan rambutnya yang tebal menunjukkan kebanggaanya akan model rambut yang dimiliki. Dalam lukisan tersebut terjadi sebuah komunikasi nonverbal, Ni Nyoman Sani menampilkan beberapa simbol bentuk dan warna dalam lukisan tersebut. Dalam beberapa karyanya Ni Nyoman Sani juga menampilkan gaya hidup perempuan masa kini yang juga terkait dengan gaya hidup yang konsumtif dalam memilih pakaian maupun asesoris yang
80
digunakan. Terkait dengan tema seni lukis dalam karya Ni Nyoman Sani, penulis melakukan wawancara dengan salah satu desainer fashion di Denpasar, Anak Agung Ayu Sri Wariyani mengatakan: “Menurut saya Pengetahuan Ni Nyoman Sani tentang fashion sangat baik, sani mampu merespon perkembangan fashion dunia dengan baik dan membawa fashion ke dalam seni lukis, biasanya fashion terkait dengan selera dan identitaas diri, namun disayangkan pula Sani kurang mengangkat trend budaya fashion lokal sebagai ide lukisannya.” (wawancara Pk.12.40, 28 Oktober 2014). Kutipan wawancara di atas menjelaskan pengetahuan yang dimiliki Ni Nyoman Sani tentang fashion dunia dapat dikatakan sangat baik hanya saja pemilihan tema kurang mengangkat budaya fashion lokal. Hal ini dapat disebabkan karena trend fashion berkembang di luar negeri lebih pesat daripada di dalam negeri dan beberapa desainer dalam negeri mengadopsi trend fashion yang sedang berkembang diluar negeri. Berdasarkan wawancara dengan Ni Nyoman Sani pada tanggal 23 Maret 2014 mengatakan: ”Perempuan Bali bekerja sangat keras untuk keluarga dan komunitas mereka, tanpa mengeluh atau berdebat. Saya terpesona oleh perempuan dan cinta untuk mempelajari lebih lanjut tentang karakter mereka. Ini adalah mengapa saya memilih tema untuk hanya melukis perempuan dan saya ingin menginspirasi perempuan untuk menjadi mandiri, tegar, dan memperhatikan dirinya” (wawancara, 23 maret 2014)
Kutipan wawancara diatas merupakan salah satu alasan Ni Nyoman Sani mengangkat tema perempuan dalam karyanya. Ni Nyoman Sani ingin memperjuangkan kaumnya dan menginspirasi perempuan untuk memperhatikan dirinya sendiri. Pada karya-karyanya Ni Nyoman Sani tidak mengangkat sisi
81
kesedihan dari kehidupan perempuan. Hal ini dilakukannya untuk menginspirasi perempuan untuk selalu bersyukur terlahir sebagai kaum perempuan. Ni Nyoman Sani ingin menginspirasi pola pikir perempuan untuk lebih mandiri dan perduli terhadap sesamanya. Pada postfeminis disebutkan juga, postfeminis sebagai penggerak pola piker perempuan kearah kemajuan.
5.2 Unsur-Unsur Seni Lukis Ni Nyoman Sani Susunan seni lukis antara lain mewujudkan unsur-unsur visual (The Visual Element), yang terdiri dari garis (line), warna (colour), bentuk (shape), tekstur (Texture) dan ruang atau gelap terang (Volume). Dengan demikian struktur seni lukis terdiri dari dua faktor, yang dikemukakan oleh Dan Suwaryono (dalam Fajar, 1981: 30), yaitu :
Faktor Idiolpastis
:
Ide/pendapat, pengalaman, emosi, fantasi faktor ini lebih bersifat rohaniah yang mendasari penciptaan seni lukis.
Faktor Fisikooplastis :
Meliputi hal-hal yang menyangkut masalah teknik, termasuk organisasi elemn-elemen visual seperti garis, warna, tekstur, ruang dan bentuk dengan prinsipnya.
82
Adapun yang termasuk ke dalam unusr-unsur seni visual seni lukis adalah sebagai berikut : 1. Garis Garis adalah suatu goresan yang menjadi batas limit dari suatu benda, masa, ruang, dan warna (Fajar dkk, 1981 : 13). Garis merupakan suatu abstraksi pada bentuk benda atau wujud yang digunakan untuk menyarankan suatu bentuk, gerak, dan bisa mewakili sifat dan karakter seseorang berdasarkan coretan garis yang dihasilkan. (Arsana,1983: 31). Arti garis dapat dibagi menjadi dua yaitu : a. Asosiasi garis vertikal (tegak) Garis tegak dapat diperluas, berdasarkan isi,termasuk kemuliaan, melawan perubahan, kestabilan, kemegahan, kekuatan, tanpa kenal waktu dan seterusnya (Arsana,1983: 35). b. Asosiasi garis horisontal (datar) Garis horisontal dapat diartikan dengan ketenangan dan kedamaian bahkan kematian. Demikian luas kemungkinan makna dari berbagai wujud garis yang dimanfaatkan secara dan ekspresif oleh senimanseniman besar saat ini. Garis memiliki 2 sifat yaitu : 1) Garis nyata adalah garis ini mudah untuk diamati dan cepat terlihat kehadirannya seperti garis lurus, garis lengkung, garis patah-patah dan garis bergelombang.
83
2) Garis khayal adalah garis ini tidak jelas terlihat, tetapi dapat dirasakan kehadirannya seperti garis yang hadir dengan sendirinya sebagai batas bidang, batas warna, batas benda, horison dan berfungsi menguatkan kesan ruang dan memberi batasan antara satu bidang dengan bidang lainnya ( Fajar Sidik,dkk,1981 : 4) Garis apabila dilihat berdasarkan simbol ekpresinya dapat dibagi menjadi : a. Upward Swirls
adalah elokan
keatas memberi sugesti aspirasi
kekuatan spiritual dan semangat dalam diri. b. Upward Spray adalah pancaran keatas memberi sugesti pertumbuhan, idealisme, spontanitas c. Consentic Arcs adalah lengkung yang memusat memberi sugesti perluasan keatas, gerakan yang mengembang kegembiraan d. Horizontal Line adalah garis horizontal memeberi sugesti ketenangan e. Vertical adalah memberi sugesti stabil, kuat dan simple f. Rhytmic Curve adalah bengkokan yang berirama memberi sugesti lemah gemulai dan keriangan g. Expanding Spheres adalah gelombang yang mengembang memberi sugesti kegembiraan yang ringan h. Pyramide adalah memberi sugesti stabil ( Fajar Sidik, dkk, 1981 : 37)
84
Berikut merupakan slah satu sketsa garis dari Ni Nyoman Sani yang menunjukkan spontanitas.
Gambar 5.4 Sketsa Gambar Ni Nyoman Sani, pensil diatas kertas Dokumen: Ni Nyoman Sani, 2013
Dalam karya seni lukis Ni Nyoman Sani garis menjadi elemen yang sangat penting terutama dalam pengungkapan ekspresi. Pada karyanya menggunakan sifat garis nyata dan garis khayal. Berdasarkan uraian diatas, apabila dilihat pada karya seni lukis Ni Nyoman Sani setiap garis memiliki makna tersendiri seperti beberapa garis vertikal pada karyanya yang melambangkan susatu yang Simple. Beberapa garis juga nampak ditampilkan dan mengesankan spontanitas, semangat dalam diri dan kelembutan seorang perempuan. Makna garis-garis tersebut dapat dilihat berbeda-beda pada setiap karyanya seusai dengan inspirasinya dalam berkarya.
85
2.
Bentuk Pengertian bentuk dalam bahasa inggris terdapat dua istilah yaitu Form
dan Shape. Di dalam seni lukis dipergunakan kedua istilah tersebut, hal ini sejajar dengan pandangan Herbert Read (dalam Soedarso,1990 : 16), telah menyalin Shape menjadi kata bentuk, sedangakan Form desain menjadi wujud. Bentuk dan wujud mempunyai perbedaan, dimana bentuk dalam struktur seni lukis di golongan pada unsur-unsur visual. Sedangkan wujud dalam seni lukis merupakan perwujudan yang terlihat dari faktor idioplastis. (Arsana, dkk,1983 : 31) Bentuk dalam karya seni lukis Ni Nyoman Sani sudah mengalami distorsi bentuk, bentuk lebih banyak dibuat memanjang dan ramping. Beberapa bentuk mengalami penyederhanaan seperti bentuk manusia dan objek pendukungnya.
3.
Bidang Karya seni lukis merupakan karya seni bidang dua dimensi karena
bahannya bersifat dasar dan merata. Pembagian bidang pada seni lukis Ni Nyoman Sani tidak menampakkan kesan tiga dimensi bidang gambar dibuat datar.
4.
Ruang Ruang adalah gubahan dari pada bentuk dua atau tiga dimensi dan
merupakan kesan batas yang dibentuk oleh positif atau negatif yang dibatasi oleh limit (Arsana dkk,1983 : 55). Dikatakan juga ruang tidak terjemah, tetapi dapat dimengerti. Dalam kesenian konsepsi tentang ruang yang berubah terus. Ruang selain mempunyai dua dimensi tambahan yaitu lebar dan dalam yang menyebabkan berbeda dengan garis.
86
5.
Warna Nilai yang mampu ditampilkan oleh warna sebagaimana juga penampilan
suatu garis dapat mengandung aspek estetis dan aspek perlambangan. Disamping nilai-nilai dan makna warna secara universal, yang juga memiliki kaidah-kaidah buku, maka setiap pelukis berusaha menampilkan pribadinya melalui berbagai kemungkinan
yang timbul dari berbagai aspek pengekspresian warna.
Berdasarkan kedua kemungkinan di atas dalam setiap pengucapan seni berusaha menemukan nilai-nilai artistik dan perpaduan warna yang harmonis bersifat subjektif. Secara psikologis warna dapat mempengaruhi jiwa manusia seperti yang dinyatakan Darmaprawitawa ( 2002 : 30), bahwa warna dapat memperngaruhi jiwa manusia dengan kuat atau dapat mempengaruhi emosi manusia, warna dapat pula menggambarkan suasana hati seseorang. Warna merah bagi Fajar Sidik akan tidak sama dengan penampilan warna merah pelukis Corne (Arsana, dkk,1983 : 49). Aspek warna di dalam seni lukis dapat dilihat dan dirasakan juga dalam warna-warna alam lingkungan dimana dapat dipelajari nilai-nilai harmoni. Sifat kewanitaan maupun sifat kejantanan seseorang juga dapat diungkapkan melalui warna. Dinyatakan juga perempuan lebih menyukai warna hangat, warna pastel dan warna lembut (Darmaprawitawa, 2002 : 38). Demikian pula dengan perempuan perupa apabila diaamati lebih banyak menggunakan warna-warna hangat seperti warna merah, kuning, coklat dan jingga. Dalam lingkaran warna terutama warna-warna yang berada dari merah ke kuning. Warna lembut misalnya biru dan hijau.
87
Dalam karya Ni Nyoman Sani warna merupakan elemen yang sangat penting. Pada karyanya warna merupakan simbol dan mengandung pesan yang kuat seperti warna kulit, warna baju yang dikenakan dalam lukisannya dan lainnya. Lebih banyak menggunakan warna-warna terang dan lembut.
6.
Tekstur Tekstur memiliki pengertian sifat permukaan suatu benda, baik itu nyata
maupun semu. Suatu permukaan benda kasar, halus, lunak dan bisa juga licin (Arsana, dkk,1983 : 58). Tekstur dibagi menjadi dua macam yaitu tekstur nyata dan tekstur semu disebut tekstur dan tekstur semu disebut tekstur nyata bila permukaan suatu benda diraba secara fisik terasa betul-betul kasar, misalnya pada goni, hampelas dan batu karang. Sebaliknya tekstur semu yaitu suatu permukaan benda yang kelihatannya saja kasar, setelah diraba ternyata halus, tidak bsebagaiman yang nampak. Pada lukisan Ni Nyoman Sani lebih menonjolkan kesan tekstur semu. Tekstur dibuat dengan sistem kerok pada kanvas untuk menambah kesan artistik.
5.3 Medium Seni Lukis Ni Nyoman Sani Dalam proses penciptaan karya seni lukis sangat didukung oleh medium yaitu bahan dan alat yang digunakan dalam melukis. Ketrampilan dalam menggunakan alat dan bahan sangat menentukan kualitas sebuah lukisan. Dalam karya lukisnya Ni Nyoman Sani sangat memperhatikan medium yang digunakan pemilihan bahannya sangat selektif mengingat hal tersebut akan menentukan
88
kualitas sebuah karya lukis. Adapun alat yang digunakannya dalam melukis adalah sebagai berikut 1. Palet Merupakan tempat meletakkan warna 2. Pisau Palet Pisau palet digunakan untuk membuat teknik kerok dan menerapkan warna serta memperjelas figur dan mengisi tekstur semu pada bagian yang dianggap perlu. 3. Kuas Jenis kuas yang digunakan oleh Ni Nyoman Sani adalah jenis kuas yang berukuran kecil hingga besar,ukuran kuas yang kecil pencipta pergunakan untuk memberi tekanan pada bagian-bagian yang gelap atau terkesan jauh sedangkan kuas besar untuk membuat blok warna background atau latar belakang dan blok figur yang ingin ditampilkan. 4. Spidol dan Pensil Kedua alat ini digunakan untuuk mensketsa sebelum menerapkan warna serta membuat berbagai macam kontur maupun coret-coretan pada bagian yang dianggap perlu. Bahan –bahan yang digunakan dalam seni lukis Ni Nyoman Sani adalah sebagai berikut : 1. Spanram Dipergunakan terbuat dari bahan kayu dengan berbagai macam ukuran 80cm sampai 200 cm
89
2. Kanvas Jenis kanvas yang digunakan adalah kanvas buatan sendiri dari pemilihan kain berserat sedang dan rapat. Mengecat dengan campuran dari cat ultraproof dan cat tembok djarum warna putih dengan perbandingan 2 : 1 Proses pembuatannya adalah sebagai berikut : Pada awalnya kain kanvas dibentangkan diatas spanram dan dikuatkan dengan steples, bila sudah rapi baru di cat dengan campuran bahan diatas tadi dengan dua (2) kain lapis,hingga serat kain tertutup rapat. 3. Warna Ni Nyoman Sani memepergunakan warna cat minyak dari winsor Newton, maimeri, luvre maupun cat minyak lain yang bermutu baik warna maupun pigmennya. Dipilihnya cat minyak karena efek yang ditimbulkan lebih kuat dan warnanya lebih beragam. 4. Terpentine atau Minyak Cat Digunakan sebagai pengecer untuk membuat perbandingan warna tebal dan tipis. Bagi Ni Nyoman Sani alat dan bahan merupakan hal pendukung yang sangat penting. Ni Nyoman Sani sangat memperhatikan kualitas lukisannya karena baginya karya seni merupakan perwujudan batinnya. Kecintaanya terhadap dunia seni rupa telah membuat Ni Nyoman Sani memilih jalan sebagai seorang seniman perempuan yang mampu berbicara di dunia internasional.
90
5.4 Estetika Seni Lukis Karya Ni Nyoman Sani Ni Nyoman Sani memperhatikan unsur estetis pada setiap karyanya. Objek dibuat berbeda dengan kenyataan dan telah mengalami distorsi bentuk atau perubahan bentuk dan
penggayaan. Jika dihubungkan dengan teori estetika
postmodern, idiom estetika postmodern yang sesuai untuk pengkajian karya Ni nyoman Sani adalah camp, dimana penekanan camp bukanlah keunikan dari satu karya seni, melainkan kegairahan reproduksi dan distorsi. Camp menjunjung tinggi ketidaknormalan dan keluarbiasaan (Piliang, 2003: 222-223). Dari teori di atas jelas dikatakan bentuk dalam estetika postmodern telah mengalami perubahan. Pada seni lukis karya Ni Nyoman Sani bentuk tidak realistis, seperti terlihat pada gambar 5.5 ukuran anatomi tubuh dibuat berbeda dengan kenyataan. Berikut merupakan karya Ni Nyoman Sani yang dikategorikan estetika postmodern.
Gambar 5.5 Karya Ni Nyoman Sani yang berjudul abu-abu, 800 x 671cm cat minyak tahun 2002. Dokumen: Koleksi Ni Nyoman Sani,2002
91
Pada gambar 5.5 tervisualkan tiga sosok perempuan yang sedang berpose. Objek dibuat bebas dengan pewarnaan yang sederhana. Jika dihubungkan dengan teori estetika, karya ini dikategorikan ke estetika postmodern dengan idiom camp, dimana bentuk telah mengalami perubahan bentuk dan bersifat distorsif. Seperti yang dikatakan Piliang (2003: 222-223), penekanan camp bukanlah keunikan sebuah karya seni, melaikan kegairahan produksi dan distorsi. Ni Nyoman Sani bereksperimen dengan bentuk sehingga menghasilkan bentuk-bentuk yang kreatif. Berikut merupakan karya yang juga mengalami perubahan bentuk ke arah menyederhanaan bentuk. Gambar 5.6 melukiskan tiga perempuan yang sedang berpose menggunakan gaun merah.
Gambar 5.6 Karya Ni Nyoman Sani yang berjudul Pose dengan ukuran 150 x 35cm, tahun 2007 Dokumen: Ni Nyoman Sani,2007
92
Berikutnya adalah idiom estetika yang disebut parodi, yaitu sebuah ungkapan perasaan tidak puas berisi kritikan , lelucon bahkan menyindir. Parodi adalah satu bentuk dialog sebagaimana konsep dialog antar teks dan bertujuan mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas gaya atau karya masa lalu yang dirujuk, dan menjadi semacam bentuk oposisi atau kontras di antara berbagai teks, karya atau gaya lainnya dengan maksud menyindir, mengecam, mengkritik, atau membuat lelucon darinya (Piliang 2003: 213-314; Kutha Ratna, 2007: 387). Ni Nyoman Sani juga mengkritik beberapa gaya hidup perempuan yang mengabaikan kesehatan tubuhnya, seperti karya berikut. Berikut merupakan karya yang berjudul I Suggest Not to Smoke (2003). Berikut merupakan karya Ni Nyoman Sani yang berjudul I Suggest Not to Smoke (2003).
Gambar 5.7 Lukisan Ni Nyoman Sani yang berjudul I Suggest Not To Smoke dengan media cat minyak di atas kanvas. Ukuran lukisan 200 x 120 cm dibuat tahun 2003 Dokumen : koleksi Ni Nyoman Sani, 2003
93
Pada gambar 5.7, secara visual melukiskan dua orang perempuan yang sedang berdiri salah satunya sedang merokok. Lukisan tersebut menginspirasi perempuan untuk tidak merokok. Ni Nyoman Sani mengkritik gaya hidup perempuan masa kini yang terkadang melupakan pentingnya arti kesehatan. Gaya hidup tidak sehat seperti merokok, bagi kaum perempuan merokok sangat rentan akan terkena kanker. Pada karya ini Ni Nyoman Sani juga mengkritik penggunaan pakaian yang ketat dan minim dapat merugikan kesehatan perempuan. Ini merupakan sebuah kritikan bagi perempuan karena untuk tampil cantik mereka harus rela mengorbankan
kesehatan tubuhnya. Seperti diketahui menggunakan pakaian
minim merupakan sebuah trend yang eksentrik. Baudrillard (Barnard, 1996 :221), mengatakan salah satunya mengenai fashion yang eksentrik dan gaya hidup yang tanpa sekat. Seperti yang disampaikan oleh Anak Agung Ayu Sri Wariyan, seorang fashion designer, pada wawancara dengan penulis, mengatakan: “Saya melihat trend fashion yang ketat dan minim masih digemari oleh kalangan perempuan sampai saat ini, karena dengan pakaian ketat dan mini perempuan akan lebih percaya diri dengan bentuk tubuhnya.” (wawancara, 28 Oktober 2014). Kutipan wawancara diatas menegaskan trend mempengaruhi rasa percaya diri. Bagi sebagian perempuan, penggunaan fashion minim dan ketat dapat meningkatkan rasa percaya diri namun disatu sisi dapat merugikan kesehatan. Untuk sebuah trend dan eksistensi mereka rela untuk menjadi korban dari sebuah mode.
94
Gambar berikut 5.8 merupakan penggambaran wajah perempuan dengan ekspresi yang berbeda-beda.
Gambar 5.8 Karya Ni Nyoman Sani dengan judul Faces II media cat minyak di atas kanvas ukuran karya 120 x 200 cm tahun 2003 Dokumen : Ni Nyoman Sani, 2003
Karya ini berjudul Faces II, ditampilkan berbagai macam ekpresi wajah perempuan. Dalam lukisan ini terdapat beberapa ekspresi wajah. Ni Nyoman Sani terinspirasi dengan perempuan yang berprofesi sebagai pragawati. Beberapa diantara wajah tersebut nampak menggunakan warna rambut yang berwarna warni. Karya ini merupakan sebuah sindiran halus terhadap perempuan dimana wajah – wajah tersebut nampak lelah dengan Make Up dan memiliki ekspresi yang berbeda-beda. Perempuan–perempuan tersebut walaupun lelah mereka harus tetap tampil cantik. Ekspresi wajah tersebut mewakili karakter masing-masing perempuan dalam lukisan ini. Karya Ni Nyoman Sani ingin mewakili ekpresi perempuan yang lelah dalam mencari pemenuhan kebutuhan hidupnya. Lukisan ini
95
dipamerkan pada pameran tunggal Ni Nyoman Sani yang berjudul The Pleasure in Looking, Ni Nyoman Sani lebih banyak menampilkan sosok perempuan mapan karena Sani ingin menampilkan sisi lain dari perempuan yang tidak terkait dengan penderitaan perempuan. Karena baginya melukiskan penderitaan perempuan itu artinya sangat bertentangan dengan batinnya. Karya berikutnya adalah berjudul Smile Behind (Lihat gambar 5.9) karya ini merupakan sebuah sindiran tentang kehidupan sosial perempuan terdapat sebuha persaingan. Dilukiskan dengan tiga karakter wajah perempuan dengan tatapan mata yang memeiliki arti.
Gambar 5.9 Karya Ni Nyoman Sani dengan judul Smile Behind media cat minyak di atas kanvas tahun pembuatan 2007 Dokumen : I.G.P.A Mirah Rahmawati, 2007
96
Karya pada gambar 5.9 merupakan representasi kehidupan sosial di kalangan perempuan yang terkadang sangat semu. Ni Nyoman Sani mengkritik beberapa kalangan perempuan tidak lepas dengan persaingan dalam hidupnya. Merka terlihat sangat akrab namun dibalik keakraban terseut tersimpan sebuah ketidak puasan atau jiwa persaingan yang terselubung. Hal ini yang menginspirasi Ni Nyoman Sani untuk menuangkannya dalam karya seni lukis, karena kasus seperti ini kerap ia temui di pergaulan sosialnya. Jika diamati estetika yang termasuk dalam karya ini adalah idiom estetika parodi dimana sisi pergaulan sosial perempuan menjadi sebuah sindiran halus dalam karya Ni Nyoman Sani yang memparodikan wajah perempuan dengan berbagai ekpresi. Berikut ini merupakan karya Ni Nyoman Sani yang berjudul Gelamor series merupakan representsai kehidupan yang menyimbulkan adanya simulakra.
Gambar 5.10 Karya Ni Nyoman Sani dengan judul Gelamor series media cat minyak di atas kanvas tahun pembuatan karya (2010) Dokumen : I.G.P.A Mirah Rahmawati, 2010
97
Pada karya di bawah ini juga terlihat beberapa perempuan berkumpul dan sedang berpose dengan posisi yang berbeda-beda. Tentunya mereka dari kalangan atas dapat dilihat dari cara berpakaiannya yang serba mewah. Semua perempuan dalam lukisan Nampak menggenakan pakaian minim dan dengan tatanan Make Up yang tebal. Aktivitas perempuan masa kini tentunya berbeda dengan perempuan di masa lalu. Mereka memiliki kesibukannya tersendiri, dan memiliki komunitasnya sendiri. Di masyarakat pada masa sekarang hal ini merupakn hal yang biasa dan dianggap wajar. Dalam lukisannya ini terlihat beberapa perempuan menggunakan High Heel yaitu sepatu berhak tinggi. Ini merupakan salah satu simbol yang identik dengan keanggunan. perempuan merasa percaya diri dan anggun jika menggunakan High Heel bahkan diantara mereka mengabaikan kesehatannya demi untuk tampil menarik dengan High Heel. High Heel biasanya identik dengan perempuan kalangan menengah keatas. Hal tersebut dapat menaikkan status sosial si pemakainya. High Heel sendiri pada awalnya berkembang di dunia barat dan awalnya dipakai oleh kaum laki-laki di Negara perancis. Seiring perkembangan jaman kemudian memilki bentuk yang beragam dan dipakai oleh kaum perempuan. High Heel merupakan simbol idnetitas si pemakaianya, semakin tinggi ukurannya semakin anggun yang memakainya. High Heel identik dengan perempuan yang langsing dan memilki postur tubuh yang ideal. Untuk tampil cantik terkadang perempuan rela mengabaikan kesehatannya. Busana dapat mewakili identitas seseorang, seperti
98
yang tervisual dalam lukisan di bawah ini busana yang dikenakan elegant dan terkesan mewah. Nampak ekspresi wajah yang datar dengan Make Up tebal pada garis mata terlihat gelap. Terlihat mereka ingin tampil berbeda dan ingin dilihat oleh lingkungannya. Hal tersebut menunjukkan eksistensi mereka di lingkungan sosialnya. Ni Nyoman Sani menampilkan figure-figur yang berbeda dari figure perempuan yang sebenarnya. Figur dibuat memanjang dan beberapa objek terpotong. Lukisan ini dapat bermakna untuk menunjukkan eksisitensinya pada lingkungan perempuan mencoba tampil berbeda dan berani dalam memakai busana. Keinginan untuk dilihat dan tampil cantik membuat mereka lupa akan jati dirinya sendiri dan mereka hidup dalam realitas yang semu. Hidup mengikuti trend fashion yang terus berkembang dan gaya hidup konsumtif membuat mereka merasa terbebani tatapan wajah yang datar. Bagian mata terlihat gelap sehingga terkesan datar tanpa ekspresi. Dalam karya tersebut juga terlihat perempuan berusaha menutupi kekurangan fisiknya. Jika dihubungkan dengan teori estetika kecendrungan perempuan berada pada kesadaran palsu, kehidupan yang berlebihan. Idiom estetika yang cenderung pada karya ini adalah dunia hiperrealitas dimana sarat dengan silih bergantinya reproduksi apa yang disebut Baudrillard sebagai simulakra objek-objek yang tak memiliki referensi sosial, objek-objek yang dibuat di atas kerangka meleburnya realitas dengan fantasi, fiksi, halusinasi dan nostalgia, sehingga perbedaan satu sama lainnya sulit diketahui. Simulakra adalah ruang realitas yang disarati oleh proses reduplikasi wujud komoditas citra, fakta,
99
tanda, serta kode dalam satu dimensi ruang dan waktu yang sama (Piliang, 1998: 196). Karya berikutnya yang hamper sama dengan karya pada gambar 5.11 adalah Karya dibawah ini yang merupakan salah satu karya seni lukis Ni Nyoman Sani yang berjudul ladies. Kehidupan perempuan yang dilukiskan dalam lukisan ini sangat semu dan merupakan penggambaran kehidupan yang tidak nyata.
Gambar 5.11 Karya Ni Nyoman Sani dengan judul Ladies media cat minyak di atas kanvas ukuran karya 196 x 128 cm Dokumen : I.G.P.A Mirah Rahmawati, 2010
Imajinasi tinggi menambah keunikan karyanya. Tampilan perempuan dalam karyanya ini terlihat sangat percaya diri dengan tampilan yang elegant. Namun disisi lain mereka seakan tidak menjadi dirinya sendiri. Simbol –simbol yang dimunculkan dalam seni lukis karya Ni Nyoman Sani lebih banyak berbicara
100
mengenai kemapanan, postur ideal dan tampilan elegant. Ni Nyoman Sani menjauhkan sisi realitas yang sebenarnya dalam karya-karyanya. Arus globalisasi telah merubah pandangannya tentang gaya hidup yang harus di jalani perempuan masa kini. Semua diungkapkannya dalam bentuk karya seni lukis. Karya berikut berjudul friend
Gambar 5.12 Karya Ni Nyoman Sani yang berjudul friend, cat minyak,tahun 2014 Dokumen: koleksi Ni Nyoman Sani, 2014
Dalam lukisan ini terdapat beberapa objek perempuan yang sedang menatap kedepan. Ekspresi wajah dapat mewakili karakter yang ingin ditampilkan dalam lukisannya. Idiom estetika yang terkait dengan lukisan ini adalah dalam diskursus postmodern, bahasa Skizofrenia dihasilkan dari persimpangsiuran penanda, gaya, dan ungkapan dalam satu karya, yang menghasilkan makna-makna kontradiktif, ambigu, terpecah, atau samar-samar (Piliang, 2003: 231). Makna dalam lukisan tersebut menujukkan makna yang samar-sama. Sehingga jika orang
101
yang melihat lukisan pada gambar 5.12 akan merasa penasaran akan makna yang terdapat pada lukisan tersebut. Dengan demikian dapat di amati dari beberapa lukisan diatas karya Ni Nyoman Sani cenderung mengusung estetika postmodern dan menerapkan idiomidiom estetika tersebut kedalam setiap karyanya. Berdasarkan pengamatan penulis, estetika pada karya Ni Nyoman Sani cenderung pada idiom parodi dan kitsch dimana cenderung mengarah pada parodi yang berisi sindiran, kritikan. Beberapa karyanya juga melukiskan kehidupan yang menunjukkan dunia hiperealitas terutama jika berbicara trend fashion. Pada setiap karyanya Ni Nyoman Sani tanpa disadari telah menerapkan idiom estetika postmodern. Karyanya menjadi unik dan memiliki makna yang menarik para penikmat seni. Sehingga karyanya memiliki karakter dan originalitas yang tinggi karena keberaniannya dalam memilih dan mengangkat tema kehidupan perempuan.
BAB VI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KARYA SENI LUKIS NI NYOMAN SANI DALAM DINAMIKA PERUBAHAN SENI LUKIS BALI
6.1 Faktor Intern Proses penciptaan karya seni lukis dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor ekternal. Ni Nyoman Sani dalam proses penciptaan karya seni lukisnya, yang termasuk ke dalam faktor internal adalah pengalaman hidup Ni Nyoman Sani dan cara pandang Ni Nyoman Sani terhadap perempuan. Masing –masing faktor tersebut mendukung proses penciptaan karya Ni Nyoman Sani. Berikut beberapa faktor internal yang melatarbelakangi terciptanya karya seni lukis Ni Nyoman Sani.
6.1.1 Pengalaman Hidup Ni Nyoman Sani Pengalaman hidup dapat menjadi latar belakang bagi seorang seniman dalam menciptakan karya. Pengalaman – pengalaman tersebut dituangkan dalam bentuk garis dan warna. Ni Nyoman Sani merupakan salah satu perupa perempuan yang sangat aktif di masa mudanya. Ni Nyoman Sani sangat mencintai dunia seni khususnya desain fashion. Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama Ni Nyoman Sani telah memiliki pengalaman dengan dunia desain fashion. Pengalamannya ditambah dengan pengamatannya pada perkembangan dunia fashion baik dari majalah maupun dari pengamatan langsung dari televisi.
102
103
Ni Nyoman Sani sangat memahami dirinya sendiri dan tugas-tugasnya sebagai seorang perempuan dalam keluarga. Menurutnya dalam sebuah wawancara Ni Nyoman Sani sangat bangga dengan peran perempuan yang harus bekerja tanpa mengeluh disamping kesibukan sebagai ibu rumah tangga hal itu juga merupakan sebuah pengabdian dan merupakan sebuah kewajiban. Vivekananda (dalam Putra, 2000 :28),
menyatakan bahwa “Every duty is holy,
and devation to duty is the highest from of the worship of God’, yang artinya setiap kewajiban adalah suci dan ketaatan kepada kewajiban adalah bentuk pemujaan yang tertinggi kepada Tuhan. Perempuan Bali memiliki posisi dan dedikasi yang tinggi, karena semenjak kecil telah diajarkan kepadanya kebenaran Dharma dan bekerja merupakan kewajiban setiap orang. Menurut pendapat Ni Nyoman Sani dalam sebuah wawancara yang dilakukan tanggal 12 Pebruari 2012 mengatakan : “Perlahan-lahan kesetaraan antara jenis kelamin mulai muncul. Saya bukan seorang feminis dan tidak memiliki pandangan feminis yang kuat. Namun, saya percaya itu perlu bagi semua individu untuk menjadi lebih terbuka dengan menurunkan ego mereka.” (Wawancara, 12 Pebruari 2012) Kutipan wawancara di atas menjelaskan Ni Nyoman Sani bukan seorang fenimis
dan tidak mengerti dengan paham tersebut. Namun baginya tetap
melakukan perjuangan untuk hidup lebih baik. Jika dihubungkan dengan teori penelitian, maka dapat diuraikan pendapat, Ann Brooks ( 1997: 22), mengatakan bahwa kaum perempuan dapat setara dengan laki-laki. Dalam postfeminis terkandung semangat
perlawan, terutama, dari kaum perempuan yaitu
membebaskan diri dari berbagai penindasan, ketidakadilan dan kekerasan, bentuk perlawanan dapat berbentuk dari berbagai cara. Salah satu cara adalah dengan
104
mengenyam pendidikan formal. Pendapatnya tersebut berkaitan juga dengan kesetaraan antara kedudukan laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Apabila dilihat secara konseptual, kebudayaan tidak mengenal diskriminasi jenis kelamin. Kebudayaan ialah realitas yang memeberi peluang pada eksisitensi kemanusiaan secara menyeluruh. Putu Suasta (2001 : 174), fakta yang berkembang memperlihatkan bahwa dominasi laki-laki terhadap perempuan menyebabkan desain kebudayaan menunjukkan kecendrungan yang amat
hierarkhis,
laki-laki mempunyai
kedudukan primer sedangkan perempuan pada kedudukan sekunder Pendapat lainnya adalah menurut Luh Ketut Suryani (2001:41), mengatakan bahwa pada dasarnya di Bali tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Jika anak perempuan kurang diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal, tetapi pendidikan informal diperoleh cukup banyak. Sejak kecil perempuan telah dilatih untuk menjadi leader, memimpin adik-adiknya. Berdasarkan pendapat tersebut, perempuan dan laki-laki memiliki posisi yang sama di masyarakat namun di masyarakat sering dijumpai kesenjangan antara laki-laki dan perempuan terutama dalam hal mengenyam pendidikan formal. Jiwa kepemimpinan perempuan telah terlatih dan tumbuh dalam lingkungan keluarga sejak dini. Dalam beberapa pernyataan diatas jelas tergambar bagaimana kedudukan perempuan dalam kebudayaan. Demikian pula dengan Ni Nyoman Sani yang sangat bangga terlahir sebagai perempuan Bali, dimana dia dapat membagi waktunya untuk keluarga dan masyarakat selain kesibukannya sebagai seniman. Pengalaman batinnya sebagai
105
perempuan Bali yang aktif telah membuatnya terinspirasi melukis figur perempuan. Hal itu merupakan salah satu pengalaman yang memotivasi Ni Nyoman Sani untuk menginspirasi perempuan lainnya.
Ekspresi kreatif Ni
Nyoman Sani mencerminkan kedaulatan dan pembebasan perempuan dan dia berani menerobos hambatan membagi disiplin desain fashion dan seni lukis. Ni Nyoman Sani mendorong perempuan lain untuk mengejar impian mereka dengan menetapkan contoh keberanian, optimisme dan kerja keras. Dalam kanvasnya, figur perempuan yang tak hanya feminim dan modis, namun menyiratkan suatu kehendak bebas dari kungkungan budaya patriarki. Ni Nyoman Sani seakan-akan adalah sisi lain dari perempuan Bali kini, yang senyatanya hidup di silang pertemuan nilai-nilai global dan lokal, yang komunal dan juga individual. Pengalaman –pengalaman batinnya itu yang memperkuat penciptaan setiap karya-karyanya.
6.1.2 Cara Pandang Ni Nyoman Sani Terhadap Perempuan Ni Nyoman Sani terinspirasi dengan kehidupan perempuan postmodern. Pandangan Ni Nyoman Sani tentang perempuan adalah sosok mandiri, kuat dan anggun. Pandangan tersebut yang membuat Ni Nyoman Sani memilih tema perempuan. Cara pandang Ni Nyoman Sani terhadap perempuan tentu sangat berbeda dengan cara pandang laki-laki pada umunya tentang perempuan. Ni Nyoman Sani berpendapat mengenai semangat perempuan seperti yang diungkapkan dalam wawancara pada tanggal 15 agustus 2012, seperti berikut: “Semangat perempuan mencoba menghapus perempuan dalam cara pandang dunia laki-laki yang cenderung secara dominan menjadikan perempuan sebagai tontonan atau obyek pandang. Opini maskulin ini juga
106
dipahami para perempuan kebanyakan sehingga hitam putih perempuan adalah hitam putih apa yang dilihat laki-laki atas nama nafsu erotik.” (Wawancara, 15 Agustus 2012). Kutipan di atas, Ni Nyoman Sani mengungkapkan bahwa dengan semangat, seorang perempuan menghapus cara pandang dunia tentang dirinya. Seperti yang diketahui secara dominan perempuan sebagai objek pandang namun hal ini juga dipahami oleh perempuan sendiri sehingga apa yang terkait dengan perempuan terkadang menjadi objek ekploitasi terutama jika berbicara tentang tubuh perempuan. Dalam perjalanan karirnya sebagai perupa Ni Nyoman Sani telah lama mengekplorasi tentang dunia perempuan baik itu tentang gaya hidup, semangat hidup, fashion dan tubuh perempuan. Menurutnya perempuan merupakan mahluk istimewa yang memiliki beribu misteri, hal tersebut yang menginspirasinya untuk selalu mengangkat dunia perempuan dalam karya lukisnya. Perempuan yang muncul dalam kanvas Ni Nyoman Sani adalah perempuan yang berbicara atas nama dirinya. Ni Nyoman Sani melukis tidak berada di luar perempuan, sehingga tidak masuk ke diri perempuan, sekadar mencampuri urusan mereka atau memaksakan sebuah nilai-nilai ideal. Dalam karyanya selalu menampilkan hal yang baru terutama dalam memvisualkan Trend Fashion dan gaya hidup (Life Style). Berbicara fashion sangat terkait dengan citra dan representasi. Fashion akan membicarakan citra ideal seorang perempuan yang bertubuh langsing dan berkulit putih, sedangkan representasi merupakan pemunculan citra tersebut di tengah masyarakat.
107
Salah seorang kurator seni rupa dalam wawancara penulis dengan I Wayan Sukra pada tanggal 20 Januari 2010 dikediamannya, menyatakan seperti berikut: “Karya-karya Sani memuat kritik yang halus terhadap yang seharusnya ada dengan pengalaman apa yang adanya. Fashion merupakan suatu topik yang layak menjadi perhatian kita karena jelas ia merupakan suatu cara aksi yang dirangsang oleh perkembangan industri konsumen” (Wawancara, 20 Januari 2010 ). Kutipan wawancara di atas mengungkap karya Ni Nyoman Sani merupakan sebagai kritik halus perempuan untuk memperbaiki kehidupannya di lingkungan sosial masyarakat. Jika dihubungkan dengan teori postfeminis Ann Brook, Postfeminisme adalah semacam jalan baru bagi upaya sebagian perempuan untuk melakukan kritik dari dalam dan dari luar gerakan feminis yang memberikan
suara
lain
bagi
gerakan
perempuan
untuk
memperbaiki
kehidupannya, baik dalam lingkungan kerja maupun keluarga(Brooks,1997: 8). Tepatnya kritikan dalam karya Ni Nyoman Sani dinilai sebagai upaya penggerak perubahan pola berpikir kaum perempuan untuk memperbaiki kehidupannya dimana seperti diketahui bahwa postfeminis hanyalah sebuah bentuk dari perlawanan kaum perempuan terhadap budaya patriarchal. Berikut merupakan salah satu contoh karya Ni Nyoman Sani yang melukiskan tentang kebanggaan seorang perempuan dalam memakai rok mini.
108
Gambar 6.1 berikut merupakan salah satu lukisan Ni Nyoman Sani yang terinspirasi dengan pakaian mini.
Gambar 6.1 Lukisan Ni Nyoman Sani yang berjudul Mini,Mini Mini dengan media cat minyak di atas kanvas. Ukuran lukisan 90x 130 cm dibuat tahun 2001 Dokumen : koleksi Ni Nyoman Sani, 2001
Dalamn Gambar 6.1, dilukiskan beberapa perempuan menggunakan pakaian minim diantaranya memakai rok mini dan pakaian yang sangat minim. Penggunaan pakaian minim merupakan salah satu upaya dalam menunjukkan eksistensi diri. Perempuan dalam lukisan di atas seolah-olah mengesampingkan norma di masyarakat dan memiliki keinginan semata-mata hanya untuk dilihat dan dengan cara tersebut mereka dapat menunjukkan eksistensinya. Dalam lukisan tersebut terlihat beberapa figur perempuan dilukiskan dengan warna kulit
109
yang berbeda dengan pakaian mini. Warna merah muda melambangkan sifat perempuan yang feminism. Pandangan Baudrillard (1996 :220), Gerak dari rok panjang ke rok pendek bernilai sama dengan nilai fashion sebagai gerak perlawanan, dan kedua gerak itu melahirkan efek yang sama dari “kecantikan”. Bagi postmodernitas, kecantikan hanyalah produk perbedaan, dan fashion yang paling eksentrik, disfungsional, menggelikan, sangat cantik, selama itu merupakan perbedaan dari apa yang pernah ada. Pendapat di atas merupakan bentuk perlawanan ditunjukkan dengan gaya fashion sebagai sebuah gerak perlawanan menunjukkan eksistensi diri dan keinginan menjadi untuk dilihat. Jika dihubungkan dengan teori postfeminis peralihan gerak dari rok panjang ke rok pendek merupakan sebuah semangat perlawanan perempuan untuk menunjukkan sebuah eksistensi di masyarakat. Dengan demikian cara pandang Ni Nyoman Sani tentang perempuan adalah mahluk terindah ciptaan Tuhan yang memiliki sensitivitas tinggi. Ni Nyoman Sani sangat mengagumi sisi perempuan yang tegar, kuat dan mandiri dalam menjalani hidup untuk itu Ni Nyoman Sani tidak pernah melukiskan sisi kesedihan perempuan. Ni Nyoman Sani ingin menjadi bagian dari semangat perempuan dan melalui karyanya ingin merubah pola pikir perempuan untuk hidup lebih baik
110
6.1.3 Pendidikan dan Pengetahuan Tingkat pendidikan dan pengetahuan sangat mendukung proses berkarya, Ni Nyoman Sani mengenyam pendidikan seni di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar dengan jurusan Seni rupa murni yaitu seni lukis. Dalam perkembangan pengetahuannya di bidang seni lukis Ni Nyoman Sani banyak mendapat pengetahuan dalam proses penciptaan karya seni lukis termasuk juga dalam teknik melukis. Seperti dalam proses penciptaanya Eksploration adalah berimajinasi merasakan dan merespon objek yang dijadikan sumber penciptaan. Ekplorasi merupakan tahapan awal dalam penciptaan karya seni lukis, dimana seniman melakukan pengamatan dan pencermatan terhadap objek yang tampak termasuk juga mengenai pengalaman yang dialami semuanya melalui proses perenungan. Tahap berikutnya adalah Improvisation dimana tahap ini memberikan kesempatan yang lebih besar bagi imajinasi dan memberikan ruang seniman untuk berekperimen dalam menemukan karakter sebagai contoh karakter bentuk objek dalam lukisan. Tahapan ini juga disebut dengan eksperimentasi, yaitu proses percobaan dengan membuat berbagai sketsa awal dari berbagai bentuk. Tahap ketiga adalah Forming yaitu pemindahan sketsa atau membuat sketsa langsung ke atas bidang kanvas. Dalam tahap ini biasanya mengalami beberapa perubahan ide. Hal ini dikarenakan adanya proses kreatifitas dan imajinasi yang bebas. Ketiga tahapan tersebut merupakan proses penciptaan yang diperoleh dari proses belajar di pendidikan tinggi. Proses tersebut dilalui oleh Ni Nyoman Sani dalam berkarya. Pengetahuan juga menambah ide dan inspirasinya
111
dalam berkarya seni lukis hal ini terbukti dari tema –tema yang diangkat yang berhubungan dengan kehidupan perempuan masa kini dan gaya hidup yang mungkin bisa dikatakan budaya postmodern.
6.2 Faktor Ektern Faktor ekstern yang dimaksud dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang memperngaruhi di luar diri Ni Nyoman Sani. Adapun yang termasuk dalam faktor ekstern adalah lingkungan keluarga, lingkungan sosial masyarakat, pendidikan dan pengetahuan serta budaya modern di masyarakat.
6.2.1 Lingkungan Keluarga Lingkungan keluarga memberikan inspirasi Ni Nyoman Sani dalam berkarya seni lukis. Padangannya tentang perempuan pada awalnya ditanamkan oleh ibunya, sehingga Ni Nyoman Sani memahami peran perempuan Bali. Ni Nyoman Sani berpandangan sebagai perempuan Bali tidak harus berada didalam rumah dan berkutat dengan kehidupan didalam rumah. Perempuan Bali harus tampil menarik, sehingga perempuan dapat menunjukkan eksistensinya di masyarakat. Latar belakang ini yang mendorong Ni Nyoman Sani melukis dengan tema perempuan modis dengan gaya hidup yang terkesan mewah. Menurut Ni Nyoman Sani eksistensi perempuan masa kini bisa direpresentasikan dengan trend fashion dan gaya hidup modern. Dalam hal ini Ni Nyoman Sani ingin menampilkan sisi lain dari peran perempuan pada umumnya, terdapat keinginan untuk di lihat dan diakui keberadaanya. Pada umumnya perempuan hanya berkutat dengan
112
kehidupan rumah tangga baik itu mengurus rumah tangga dan menjalankan semua kewajiban sehingga lupa akan memperhatikan diri sendiri. Hal tersebut yang menjadi sorotan dalam konsep karya Ni Nyoman Sani. Ni Nyoman Sani mencoba untuk menginspirasikan perempuan Bali untuk tampil cantik,elegan dan anggun dalam berbagai Style Fashion. Berikut merupakan foto keluarga Ni Nyoman Sani
Gambar 6.2 Foto Ni Nyoman Sani dan keluarga. Dokumen: Ni Nyoman Sani,2013
Keluarga sangat mendukung aktivitas berkesenian Ni Nyoman Sani sehingga dapat melahirkan karya-karya seni lukis dengan aktif. Ni Nyoman Sani lahir di keluarga yang non seniman dan menikah dengan salah satu anak seniman patung ternama I ketut Muja yang bernama I Ketut Sugantika. Dimana I Ketut Muja Sejak dini telah menanamkan jiwa kebersamaan dalam berkesenian kepada anak-anaknya begitu juga pada menantunya Ni Nyoman Sani sehingga dapat melahirkan karya-karya yang berkualitas tanpa mengutamakan kepetingan materi. Lingkungan ini juga membentuk karakter Ni Nyoman Sani dalam berkarya
113
sehingga berani berekspresi dalam bentuk dan berekperimen dalam menggunakan media lukis. Improvisation adalah tahap memberikan kesempatan yang lebih besar bagi imajinasi dan memberikan ruang seniman untuk berekperimen dalam menemukan karakter sebagai contoh karakter bentuk objek dalam lukisan. Tahapan ini juga disebut dengan eksperimentasi, yaitu proses percobaan dengan membuat berbagai sketsa awal dari berbagai bentuk.
6.2.2 Konstruksi Lingkungan Sosial Masyarakat Bali Masyarakat merupakan sebuah komunitas besar dimana didalam masyarakat tercipta konstruksi-konstruksi sosial dimana hal tersebut dianggap suatu kebenaran yang terjadi secara wajar. Salah satu contoh yang terkait dengan penelitian ini adalah perbedaan gender. Dalam kontruksi masyarakat Bali terlihat jelas laki-laki dikonstruksi sebagai mahluk yang kuat, pemberani, dan gagah sedangkan perempuan dikonstruksikan sebagai sosok yang lemah lembut, pemalu, yang kadang identik dengan simbol warna merah muda. Dalam masyarakat Bali konstruksi sosial membentuk suasana kaum laki-laki lebih dominan daripada kaum perempuan. Namun di masyarakat hal tersebut bukanlah menjadi permasalahan karena dianggap sebagai suatu realitas yang sesunggguhnya. Pada lingkungan sosial masyarakat Bali menjadi perempuan pelukis merupakan hal yang jarang terjadi mengingat peranan perempuan Bali dalam masyarakat. Namun hal ini bukan menjadi sebuah permasalahan untuk perupa Ni Nyoman Sani dalam berkarya seni lukis. Ni Nyoman Sani banyak mendapatkan ide atau inspirasi dari konstruksi lingkungan sosialnya di masyarakat. Dimana jika dilihat kembali sangat sulit membagi waktu antara menjalankan kewajiban dengan karirnya sebagai seorang
114
perupa perempuan. Ni Nyoman Sani banyak melihat rekannya sesama perempuan Bali yang berprofesi sebagai perupa perempuan tidak dapat berkarya layaknya seorang perupa karena terhalang oleh aturan keluarga ataupun kesibukan sebagai ibu rumah tangga. Hal ini sangat disayangkan olehnya, berbeda dengan Ni Nyoman Sani yang aktif berkarir di dunia seni lukis. Ni Nyoman Sani dalam karyanya mengangkat sebagian kehidupan perempuan masa kini dengan kesibukan. Dalam perkembangan jaman posisi perempuan pada masa sekarang mengalami perkembangan yang pesat.Perempuan masa kini sudah memilki karir yang tinggi dan bahkan melampaui penghasilan kaum laki-laki. Dalam karyanya Ni Nyoman Sani memvisualisasikan idenya tersebut dalam karyanya sebagai berikut yang bejudul Woman the Bos. Pada karya tersebut terlukis sosok perempuan yang duduk pada kursi dengan posisi menaikan salah satu kakinya terdapat simbol mahkota pada bagian atas kepalanya. Jika diamati dari judul nya Woman the Bos disini memliki banyak makna. Konstruksi sosial dimasyarakat sangat jarang memposisikan perempuan sebagai “bos” di keluarga maupun dalam kehidupan masyakarat. Dalam wawancara penulis dengan Dewa Biang Raka terkait dengan peran perempuan di masyarakat dan di keluarga pada tanggal 2 maret 2014. Beliau merupakan salah satu perempuan perupa senior yang berasal dari Ubud Bali, menyatakan seperti berikut: “Bagi saya perempuan tetap harus pada posisinya sebagai perempuan karena mengingat di Bali kita mengenal system purusa dan kedudukan perempuan telah diatur dalam adat istiadat Bali. perempuan Bali memegang teguh prinsip luh luwih. “(Wawancara, 2 maret 2014 )
115
Pandangan tersebut sedikit berbeda dengan visual yang ditampilkan dalam karya Ni Nyoman Sani gambar 6.3 I Dewa Biang Raka lebih menerima tatanan adat istiadat yang ada di masyarakat. Seperti diketahui dalam budaya ketimuran sangat tidak sopan jika perempuan duduk dalam posisi tersebut namun pada masa sekarang hal tersebut menjadi hal yang biasa. Ni Nyoman Sani ingin menginspirasi perempuan untuk menjadi perempuan yang mandiri, tangguh dan kerja keras sehingga dapat meraih posisi yang layak. Di bawah ini gambar 6.3 merupakan karya Ni Nyoman Sani yang dipamerkan pada tahun 2007.
Gambar 6.3 Karya Ni Nyoman Sani yang berjudul Woman The Bos, bahan cat air diatas kertas tahun 2007 Dokumen : Ni Nyoman Sani, 2007
116
Pada intinya keinginan hidup lebih baik adalah tujuan dari pergerakan postfemins tersebut. Seperti yang di ungkapakan dalam teori postfeminis Luce Irigaray (dalam Ann Brook,1990: 122 ), mengatakan bahwa kaum perempuan dapat setara dengan laki-laki. Dalam postfeminise terkandung semangat perlawanan, terutama dari kaum perempuan yaitu membebaskan diri dari berbagai penindasan, ketidakadilan dan kekerasan, bentuk perlawanan dapat berbentuk dari berbagai cara. Hal ini yang selalu menginspirasi Ni Nyoman Sani dalam menyuarakan hati nuraninya untuk kaumnya. Ni Nyoman Sani memperjuangkan kaumnya dan menginspirasi dalam bentuk karya seni lukis. Permasalahan seperti hal tersebut yang menginispirasi dan melatarbelakangi penciptaan karya Ni Nyoman Sani.
6.2.3 Budaya Global di Masyarakat Perkembangan teknologi dan komunikasi termasuk ke dalam budaya global. Budaya global di masyarakat mempengaruhi daya cipta seorang seniman. Budaya global sangat mempengaruhi tradisi dan kebudyaan tradisional di era globalisasi. Budaya global ditandai dengan kabur dan runtuhnya sekat-sekat tradisional antara budaya dan seni, budaya tinggi dan budaya rendah budaya dan bisnis. (Barker,2004 : 157). Karya –karya seni lukis Ni Nyoman Sani dipengaruhi oleh budaya global, baik dari tema yang diangkat dan teknik yang digunakan dalam melukis. Ni Nyoman Sani banyak mengangkat gaya hidup perempuan masa kini yang dipandang dari budaya postmodern.
117
Pengaruh budaya global telah mampu memberikan ruang tersendiri bagi perempuan-perempuan masa kini tanpa mengesampingkan kewajibannya dalam keluarga. Ni Nyoman Sani banyak melihat ide dari berbagai media seperti televisi, media inetrnet dan majalah fashion. Budaya global telah merubah pandangan perempuan tentang cara berpakaian dan gaya hidup salah satu contohnya trend menggunakan busana Blue Jeans dikalangan remaja perempuan masa kini. Ni Nyoman Sani sangat terinspirasi dan menuangkannya ke dalam lukisan. Ketertarikan Ni Nyoman Sani budaya memakai jeans dikalangan remaja perempuan menurutnya Trend Jeans adalah sebuah trend mode dari luar negeri. Jeans pada awalnya digunakan oleh pengembala dan petani di Amerika Serikat kemudia dengan kwalitas yang dapat diandalkan berkembang menjadi sebuah trend mode anak muda yang memakai dan dipadukan dengan atasan. Menurutnya remaja menyukai kebebasan dan mengganggap sebuah kebebasan adalah ruang yang amat didambakan. Blue Jeans berasal dari negara liberal, negara yang rakyatnya bebas mengungkapkan pendapat-pendapat mereka. Dalam arti sempit Blue Jeans bisa dipakai dimana saja, kapan saja,dan untuk siapa saja. Dipilhnya remaja karena cenderung memiliki keinginan melakukan apa saja termasuk dalam meilih gaya hidup yang mereka inginkan.
118
Berikut gambar 6.4 merupakan karya Ni Nyoman Sani yang terinspirasi dengan trend Jeans
Gambar 6.4 Karya Ni Nyoman Sani mengangkat tema budaya modern yang berjudul gaya Blue Jeans II ,bahan Mixed media di kanvas dengan ukuran 80x120cm Tahun 2001 Dokumen : Koleksi Ni Nyoman Sani, 2001 Hal ini membuktikan bahwa budaya modern maupun postmodern sangat mempengaruhi Ni Nyoman Sani dalam berkarya seni lukis. Seperti salah satu karya diatas yang terlihat trend fashion
modern menggunakan jeans dan
berpakain atasan yang minim. Globalisasi menginspirasi remaja untuk menampilkan identitasnya dan membuat komunitasnya sendiri. Hal ini juga menjadi perhatian perupa Ni Nyoman Sani dalam mencari ide-ide untuk lukisannya.
BAB VII MAKNA SENI LUKIS KARYA NI NYOMAN SANI DALAM DINAMIKA PERUBAHAN SENI LUKIS BALI
7.1 Makna Estetika Pada Lukisan Ni Nyoman Sani Estetika merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam penciptaan sebuah karya seni. estetika adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni dan keindahan. Estetika berasal dari bahasa yunani aisthesis yang berarti pemahaman intelektual (Rapar,1996: 67). Piliang (1998 : 307), mengatakan bahwa bahasa estetik seni postmodern yang tampil dalam tanda-tanda dan makna-makna yang bersifat tidak stabil mendua dan plural,
disebabkan oleh diutamakannya permainan tanda,
keterpesonaan pada penampakan dan diferensiasi, ketimbang makna-makna ideologis yang bersifat stabil dan abadi. Dalam beberapa lukisannya warna-warna yang di pakai adalah warna-warna cerah dan memiliki makna sesuai dengan tema yang diangkat. Diskursus seni postmodern, bahasa estetik Skizofrenia merupakan salah satu bahasa yang dominan, meskipun bahasa itu sudah ada pada era sebelumnya. Dalam
diskursus
postmodern,
bahasa
Skizofrenia
dihasilkan
dari
persimpangsiuran penanda, gaya, dan ungkapan dalam satu karya, yang menghasilkan makna-makna kontradiktif, ambigu, terpecah, atau samar-samar (Piliang, 2003: 231). Apabila dikaitkan dengan karya seni lukis Ni Nyoman Sani, pengertian nilai estetika dalam karyanya lebih menekankan pada sifat-sifat yang khas dan keunikan bentuk figur-figurnya. Seorang filsuf Italia Beredette Croce (1866-1952), mengatakan bahwa seni adalah pengungkapan kesan-kesan (art is 119
120
expression of impressions). Pengungkapan itu berwujud berbagai gambaran angan-angan, seperti: warna, garis, bentuk, dan tekstur. Proses pengungkapan tersebut berlangsung sepenuhnya dalam budi pikiran seniman. Oleh karena itu, karya seni yang dihasilkan hanya semacam memorandum, salinan, atau reproduksi dari sesuatu yang dialami seniman dalam dirinya (Gie, 1996: 33). Estetika dalam lukisan Ni Nyoman Sani ditekankan pada karakter representasi perempuan yang ditampilkan dan pemvisualisasian warnawarna yang terkomposisi baik. Seperti pada karya yang berjudul Smile Behind, dilukiskan tiga wajah perempuan dengan karakter berbeda, ekspresi masingmasing wajah dibuat berbeda. Pada umunya setiap perempuan sangat mendambakan kulit putih bersih dengan tubuh yang langsing namun dalam beberapa karyanya Ni Nyoman Sani mencoba mempresentasikan sisi keindahan lain dari perempuan. Perempuan tetap merasa cantik dengan tampilan kulit yang gelap dan tampilan make up yang tebal dapat mewakili status sosial perempuan pada masa sekarang. Dengan kata lain perempuan tidak harus tampil dengan kulit putih bersih untuk dikatakan cantik. Perempuan dengan tampilan kulit gelap memiliki estetikanya sendiri, bahkan pada jaman sekarang beberapa perempuan rela mengorbankan banyak biaya untuk mendapakan kulit gelap yang eksotik. Hal ini menunjukkan bahwa untuk dapat dikatakan indah tidak harus berkulit putih. Dalam karya-karyanya Ni Nyoman Sani merepresentasikan keindahan perempuan dalam bentuk yang berbeda, seperti contoh tampilan rambut tebal dan kulit yang cenderung gelap. Ni Nyoman Sani berpendapat perempuan merupakan salah satu
121
mahluk ciptaan Tuhan yang sangat mulia dan istimewa dengan sejumlah daya pesona sekaligus misteri. Baginya perempuan harus dapat tampil cantik dan menarik. Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang kurator seni rupa I Wayan Sukra 10 November 2011 mengatakan : ”Estetika dalam lukisan Ni Nyoman Sani menunjukkan sebuah bentuk kesederhanaan dalam artian kualitas estetiknya dilihat dari kemampuannya melukiskan bentuk dengan figur-figur sederhana” (Wawancara, 10 November 2011). Kutipan wawancara tersebut mengatakan kesan estetika dapat muncul dari penyederhaan bentuk sehingga menimbulkan bentuk yang unik dan jika dihubungkan dengan teori estetika postmodern, idiom estetik yang sesuai dengan kutipan wawancara diatas adalah idiom estetika Camp, dimana Camp menolak keotentikan atau keorisinilan terjadi penyederhanaan bentuk objek atau yang disebut distorsi. Ni Nyoman Sani menampilkan representasi perempuan dalam bentuk yang lebih sederhana dan berkarakter. Pada sisi lain beberapa karyanya juga mengangkat kehidupan dengan dunia hiperealitas adalah dunia yang disarati oleh silih bergantinya reproduksi apa yang disebut Baudrillard sebagai simulakra, objek merupakan respresentasi dari nostalgia ataupun fantasinya. Dalam lukisannya Ni Nyoman Sani tanpa sadar telah tercipta realitas semu yang disebut simulakra. Dimana terdapat reduplikasi pencitraan didalamnya, pencitraan perempuan harus tampil seperti objek yang ada dalam lukisannya Ni Nyoman Sani berekspresi dengan bentuk dan warna figur-figur perempuan ditampilkan dengan figur yang berbeda dengan tampilan kulit gelap
122
sebagai sindiran terhadap kesan bahwa perempuan dengan kulit gelap tidak dapat tampil cantik. Beberapa karyanya juga menampilkan sosok perempuan yang kurus dan memiliki gaya hidup yang salah sebagai sebuah ungkapan ekspresi dan mengkritik gaya hidup perempuan modern. Semua itu divisualkan dengan indah dan unik dalam karya-karyanya. Estetika Seni lukis Ni Nyoman Sani cenderung mengarah pada estetika postmodern.
7.2 Makna Simbol Pada Lukisan Ni Nyoman Sani Simbol merupakan lambang yang mengandung makna atau arti. Kata symbol dalam bahasa Inggris berarti bermakna. Secara konseptual simbol merupakan sesuatu yang biasanya kelihatan yang menggantikan gagasan atau objek tertentu. Dapat juga diartikan sebagai tanda konvensional, yakni Sesuatu yang dibangun oleh masyarakat atau individu dengan arti tertentu yang kurang lebih standard dan disepakati oleh masyarakat. Simbol juga dapat berarti tanda atau isyarat yang mewakili gagasan objek (Soetedja, 2014 : 42). Dalam lukisan Ni Nyoman Sani simbol dapat dilihat dari unsur-unsur seni rupanya yang menonjol yaitu garis, bentuk dan warna. Ni Nyoman Sani juga memvisualkan simbol-simbol dalam fashion. Fashion merupakan sebuah tanda dan menurut Umberto Eco secara etimologis, kata semiotika berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti ‘tanda’. Tanda didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial, yang terbangun sebelumnya, dan dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Fashion
merupakan sebuah simbol yang dapat
membawa para perempuan ke dalam realitas semu. Fashion dapat digunakan sebagai penanda untuk menegaskan identitas sosial dan secara bersamaan sebagai
123
pembeda identitas dengan individu lain. Bagi beberapa perempuan sangatlah penting untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain dalam tentang gaya dan penampilan untuk menunjukkan eksistensinya. Dikatakan George Ritzer (2003 : 163), mengatakan fashion tidak memiliki nilai dan moralitas. Cenderung menyebar laksana virus kanker Disebutkan pula bahwa fashion mengendalikan orang muda zaman sekarang, sebagai perlawanan bagi setiap bentuk perintah, perlawanan tanpa ideologi, tanpa tujuan. Dalam pernyataan tersebut pemaknaan mengenai fashion cenderung kearah negatif karena dianggap sebagai suatu yang tidak bernilai dan tidak memiliki moralitas. Roach dab Eicher ( dalam Barnard, 1996: 83), menunjukkan, misalnya bahwa fashion dan pakain secara simbolis mengikat satu komunitas. Di sisi lain, fashion menjadi gaya hidup pada jaman modern pada masa ini dan sebagai identitas sosial yang menaikkan identitas seseorang yang mengikuti gaya hidup fashionable. Fashion dapat dikatakan sebuah alat komunikasi dan menunjukkan identitas sosial seseorang. Schlehe ( dalam kutanegara, 2006: 83), fashion dan gaya hidup merupakan bentuk pencaharian identitas sosial dan personal. Logika modernitas adalah bahwa fashion bukanlah ekploitasi irasional melainkan suatu pencaharian eksistensial untuk berbeda dalam budaya sekuler secara mendalam. Representasi perempuan dalam lukisannya sebagai simbol gaya hidup perempuan menengah ke atas. Makna simbol dalam lukisan Ni Nyoman Sani dalam penelitian ini akan diarahkan pada garis, bentuk dan warna. Apabila dilihat dari simbol garis. Karya Ni Nyoman Sani lebih banyak menggunakan garis tegas
124
dan cenderung ekspresif. Hal ini melambangkan sisi semangat jiwa Ni Nyoman Sani dalam berkarya. Jika ditinjau dari segi bentuk karya Ni Nyoman Sani cenderung menggunakan warna warna cerah. Dalam teori warna Brewster disebutkan warna-warna yang ada berasal dari tiga warna pokok yaitu merah, kuning dan biru. Dalam seni rupa, warna bisa berarti pantulan tertentu dari cahaya yang dipengaruhi oleh pigmen yang terdapat di permukaan benda. Misalnya pencampuran pigmen magenta dan cyan dengan proporsi tepat dan disinari cahaya putih sempurna akan menghasilkan sensasi mirip warna merah. (Sachari, 2004: 49) Berikut merupakan gambar colour wheel theory, yang dikemukakan oleh warna Prang Brewster
Gambar 7.1 Teori warna Prang Brewster, dokumen: www.google.com, 2014 Simbol warna dalam publikasi ini didasarkan pada budaya global. Dalam beberapa situasi, berbagai negara di dunia dapat melampirkan arti yang berbeda untuk beberapa warna. warna bendera bangsa, warna tim olahraga suatu negara, dan konvensi lainnya akan mempengaruhi simbolisme warna tertentu. Setiap
125
warna mampu memberikan kesan dan identitas tertentu sesuai kondisi sosial pengamatnya. Misalnya warna putih akan memberi kesan suci dan dingin di daerah Barat karena berasosiasi dengan salju. Sementara di kebanyakan negara Timur warna putih memberi kesan kematian dan sangat menakutkan karena berasosiasi dengan kain kafan. Dalam psikologi warna menurut Sulasmi Darmaprawira (2002:107), warna digolongkan menjadi dua, yang didasarkan pada arti simbolisnya. Pertama, karena keluarnya warna merah sering diasosiasikan dengan matahari, darah, dan api karena benda tersebut memeberi kesan panas atau merangsang emosi kejiwaan. Warna dingin diwakili oleh warna biru. Sifat warna, air, langit dan gunung memberi kesan sejuk atau tenang. Pada lukisan Ni Nyoman Sani cenderung menggunakan warna merah pada setiap lukisannya seperti tervisualkan pada lukisan berikut ini yang berjudul hurry up Berikut merupakan karya seni lukis Ni Nyoman Sani yang berjudul Hurry Up is One.
Gambar 7.2 Karya Ni Nyoman Sani dengan judul Hurry Up is One media cat minyak di atas kanvas ukuran karya 316 x 368 cm Dokumen : Ni Nyoman Sani, 2005
126
Pada karya gambar 7.2 divisualkan warna merah sebagai latar belakang seperti diketahui warna merah secara spikologis berarti simbol Energi, Api, Semangat dan Keberanian, Bahaya, Keamanan, Waspada, kehangatan, kekuatan, impuls, dinamisme, kegiatan, keberanian, kegembiraan, cinta, gairah, kekuasaan, pemberontakan,
agresi,
perang
dan
pertempuran.
Dapat
juga
berarti
melambangkan kesan energi, kekuatan, hasrat, erotisme, keberanian, simbol dari api, pencapaian tujuan, darah, resiko, ketenaran, cinta, perjuangan, perhatian, perang, bahaya, kecepatan, panas, kekerasan. Warna ini dapat menyampaikan kecenderungan untuk menampilkan gambar dan teks secara lebih besar dan dekat. warna merah dapat mengganggu apabila digunakan pada ukuran yang besar. Pada karya tersebut simbol warna merah mengartikan semangat mengejar impian terkait dengan judul karyanya yang berjudul Hurry Up yang berarti bergegas. Ni Nyoman Sani ingin menginspirasi orang yang melihat karyanya untuk selalu bersemangat. Ni Nyoman Sani selalu bersemangat dalam hidupnya untuk itu simbol warna merah selalu divisualkan dalam karya karyanya. Seperti karya berikut gambar 7.3 yang melukiskan kehidupan perempuan yang terinspirasi dengan menggunakan pakaian mini. Warna merah disini memiliki arti simbol dari erotisme dan dapat juga mengarah pada hasrat keinginan untuk dilihat dan terlihat cantik. Warna merah pada karya ini cenderung dilukiskan secara merata pada objek lukisan. Dan terdapat pula unsur warna kuning menyimbolkan kebahagiaan warna ini terkesan mencolok dan dapat menarik perhatian, dan putih cenderung terkesan tenang
127
Berikut merupakan karya seni lukis Ni Nyoman Sani yang berjudul Look At Me II.
Gambar 7.3 Karya Ni Nyoman Sani dengan judul Look At Me II, media cat minyak di atas kanvas ukuran karya 200x125 cm Tahun 2001 Dokumen : Ni Nyoman Sani, 2001
Warna putih identik dengan simbol percaya diri dan kesucian,dalam karya tersebut terlukiskan seorang perempuan sangat percaya diri dalam memakai pakain yang berwarna putih. Warna putih digunakan juga dalam visual warna kulit sebagai simbol warna kulit impian para perempuan pada umunya. Dimana simbol tersebut dapat mewakili bahwa perempuan ingin dilihat seperti yang tertera pda judul lukisannya. Karya lainya adalah yang berjudul sofa, sofa merupakan salah satu simbol
yang menggambarkan srata sosial menengah ke atas dan selalu identik dengan kemewahan. Seperti yang tervisualkan pada lukisan ini adalah perempuan Nampak sedang duduk bersama dengan posisi masing–masing sedang berpose dengan gaya fashionable. Pakaian yang digunakan cenderung terbuka dan fashionable. Make Up nya pun dibuat tebal mengesankan perempuan pesolek.
128
Berikut merupakan karya seni lukis Ni Nyoman Sani yang berjudul Red Sofa.
Gambar 7.4 Karya Ni Nyoman Sani dengan judul Red Sofa, media cat minyak di atas kanvas tahun pembuatan karya ( 2010) Dokumen : Ni Nyoman Sani, 2010
Keunikan pada karya ini adalah posisi duduk pada sofa tentunya hal ini menambah kesan artistik dalam lukisannya. Perempuan dalam lukisan tersebut memiliki warna kulit yang berbeda satu dengan yang lainnya menandakan mereka dari latar belakang budaya yang berbeda namun mereka memilki gaya hidup yang sama sehingga membentuk sebuah komunitas sosial. Warna putih dalam lukisan ini melukiskan rasa percaya diri. Berikut merupakan salah satu karya Ni Nyoman Sani menggunakan simbol warna biru dan putih.
129
Berikut merupakan karya seni lukis Ni Nyoman Sani yang berjudul off.
Gambar 7.5 Karya Ni Nyoman Sani dengan judul off, media cat minyak di atas kanvas tahun pembuatan karya ( 2005) Dokumen : Ni Nyoman Sani, 2005
Dalam karya ini juga melukiskan seorang perempuan dengan posisi sedang beristirahat dengan warna dominan merah. Pada bagian kulit dibuat warna putih. Karya beikutnya adalah yang berjudul Take a look at Get Off yang dibuat pada tahun 2005. Warna dalam lukisan tersebut cenderung berwarna biru. Warna biru memiliki arti memberikan kesan komunikasi, peruntungan yang baik, kebijakan, perlindungan, inspirasi spiritual, tenang, kelembutan, dinamis, air, laut, kreativitas, cinta, kedamaian, kepercayaan, loyalitas, kepandaian, panutan, kekuatan dari dalam, kesedihan, kestabilan, kepercayaan diri, kesadaran, pesan, ide,
berbagi,
idealisme,
persahabatan
dan
harmoni,
kasih
sayang.
130
Warna ini memberi kesan tenang dan menekankan keinginan. Biru tidak meminta mata untuk memperhatikan. Obyek dan gambar biru pada dasarnya dapat menciptakan perasaan yang dingin dan tenang. Warna biru juga dapat menampilkan kekuatan teknologi, kebersihan, udara, air dan kedalaman laut. Selain itu, jika digabungkan dengan warna merah dan kuning dapat memberikan kesan kepercayaan dan kesehatan. Dalam lukisan tersebut warna biru memberikan kesan lembut dan adanya komunikasi dengan menunjukkan body language. Berikut merupakan karya seni lukis Ni Nyoman Sani yang berjudul Take a look at Get Off.
Gambar 7.6 Karya Ni Nyoman Sani dengan judul Take a look at Get Off media cat minyak di atas kanvas ukuran karya 200x125 cm Tahun 2007 Dokumen : Ni Nyoman Sani, 2007
131
Karya yang berjudul Take A Look At Get Off
melukiskan seorang
perempuan dengan menggunakan Shawl biru dengan posisi tangan di pinggang yang mewakili kebebasan perempuan dalam mengekspresikan diri. Simbol warna biru merupakan melambangkan warna sejuk dan dingin, warna kulit dibuat putih bersih tanpa arsiran. Melihat cara berpakaian perempuan dalam lukisan tersebut dari kalangan menengah keatas. Perempuan tersebut diposisikan sedang berpose. Perempuan biasanya mencari perhatian lewat cara berpakain, terkadang mereka memilih pakaian yang minim. Hal ini tidak lain adalah keinginan untuk dilihat. Keinginan untuk dilihat merupakan sebuah upaya untuk menunjukkan eksistensi. Ni Nyoman Sani lebih tertarik menggunakan simbol warna dan body language dalam lukisannya. Seperti dalam gambar 7.6 body language yang ditampilkan menunjukkan simbol kebebasan berekspresi dan percaya diri yang tinggi. Simbol warna biru pada lukisan tersebut menunjukkan kesan tenang. Warna-warna yang cenderung digunakan Ni Nyoman Sani adalah warnawarna primer dan beberapa menggunakan unsur putih dan hitam. Nampak dominan penggunaan warna merah dan kuning pada karya-karyanya. Hal lain yang menarik adalah penggunaan unsur putih pada kulit objek lukisannya. Divisualkannya perempuan berkulit putih sebagai ungkapan sesuatu yang ideal dalam pandangan perempuan pada umumnya yaitu memiliki kulit putih bersih. Dengan demikian simbol warna dapat mewakili ekspresi ungkapan jiwa Ni Nyoman Sani tentang apa yang dialaminya, diimpikannya dan dilihatnya di lingkungan kehidupannya. Setelah melakukan pengamatannya terhadap beberapa
132
karyanya, lukisan Ni Nyoman Sani dapat dikatakan sebagai sebuah representasi dari karakter dirinya dan impiannya. Teori semiotika, menurut Umberto Eco pada prinsipnya semiotika adalah sebuah disiplin yang memperlajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta. Seperti halnya dengan karya Ni Nyoman Sani yang mengangkat tentang fashion, dimana fashion merupakan tanda yang dapat digunakan untuk berdusta dan bersifat semu. Pierce (dalam Endaswara, 2008: 65) mengemukakan tiga jenis tanda berdasarkan hubungan antara tanda dengan yang ditandakan, yaitu: (1) ikon, yaitu tanda yang memiliki kesamaan dengan arti yang dirujuk, 2) indeks, yaitu tanda yang mengandung makna dengan apa yang ditandakan, dan 3) simbol, yaitu tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan, sesuai dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. Dalam lukisan Ni Nyoman Sani simbol fashion digunakan sebagai ikon yang divisualkan dengan simbol warna. Simbol warna dalam lukisan Ni Nyoman Sani merupakan ekspresi jiwa dan merupakan pengalaman bathinnya. Seperti yang diungkapkan oleh Wilbur Scram (dalam Wibowo,2009: 51) makna selalu bersifat individual, maka dibangun berdasarkan pengalaman pribadi, maka setiap tanda memiliki makna yang berbeda disetiap pengalaman dan budaya seorang individu. Warna merupakan tanda yang secara psikologis memiliki arti dan merupakan hasil dari pengalaman bathin seorang perupa. Ni Nyoman Sani lebih tertarik menggunakan simbol warna dan body language dalam lukisannya.
133
7.3 Makna Ekspresi Pada Lukisan Ni Nyoman Sani Ekspresi merupakan sebuauh ungkapan, dalam seni ekpresi menjadi hal yang penting. Seni merupakan ekpresi perasaan dan pikiran, seperti cinta, kemarahan,kesedihan, kegembiraan,keheranan,semanagat dan aneka perasaan lain yang terjadi secara spontan. Perasaan yang diekpresikan dalam karya seni bukan lagi perasaan individual melainkan perasaan yang universal. Perasaan muncul sebagai sebuah respon terhadap sesuatu diluar dirinya, yakni lingkungan hidupnya. Dalam proses penciptaan karyanya Ni Nyoman Sani menuangkan segala ekpresinya kedalam kanvas. Ekspresi ditunjukkan dalam bentuk garis dan warna, garis lebih tegas dan ekpsresif menunjukkan kesan percaya diri. Responnya terhadap lingkungan membuatnya mengankat tema-tema kehidupan perempuan. Dalam setiap lukisannya ekpresi yang ditampilkan sangat beragam. Ni Nyoman Sani dalam karyanya berekspresi dengan simbol gerak tubuh. Beberapa karyanya memakai gerak tubuh yang bias mewakili eksprresi yang ingin disampaikan. Ekpresi wajah figur dalam lukisan Ni Nyoman Sani lebih banyak dibuat dingin dan datar. Ni Nyoman Sani juga mengekspresikan dirinya lewat permaianan warna. Ni Nyoman Sani selalu tertarik dengan dunia fashion dia selalu mengikuti perkembangan dunia mode dari televisi maupun media lain seperti majalah.
134
Pengalaman–pengalaman batiniahnya itu kemudian dituangkan ke dalam ekspresi lukisan di atas kanvas ataupun di atas kertas. Ni Nyoman Sani juga melihat langsung kehidupan perempuan dilingkungannya yang menginspirasinya untuk berekspresi membuat karya seni lukis. Pengalaman-pengalamannya itu dituangkan dalam setiap tema karya yang diangkatnya dalam lukisannya. Mengangkat tema kesedihan sangat bertentangan dengan batinnya. Tema-tema yang diekspresikannya lebih banyak yang mengungkap kegembiraan dunia perempuan dengan kehidupan gelamour. Walaupun terkadang terdapat misteri dibalik tampilan lukisannya. Melukiskan figur perempuan cantik dengan gaun yang indah merupakan impian Ni Nyoman Sani sejak berusia dini, menurutnya seorang perempuan walau sibuk dengan urusan rumah tangga harus bias tampil cantik,menarik dan anggun. Makna ekspresi dalam seni lukis Ni Nyoman Sani terlahir sebagai sebuah ungkapan perasaan yang dimunculkan lewat bidang dua dimensional. Apa yang di visualkan oleh Ni Nyoman Sani seolah-olah dapat mewakili ekspresi ungkapan perasaanya tentang dunia perempuan. Ekspresi dapat divisualkan dalam bentuk mimik wajah ekspresi gerak atau disebut body language. Karya Ni Nyoman Sani merupakan sebuah pernyataan kedaulatan dirinya. Kedaulatan di tengah gaya hidup yang nge-pop, urban, dan melepaskan diri dari tradisionalisme. Sani menyoroti perilaku serta gaya hidup masyarakat yang gandrung akan teknologi baru, yakni telepon seluler dan Internet serta pernikperniknya.
135
Gaya hidup perempuan pun terimbas sepenuhnya oleh trend mode terbaru yang sulit ditolak oleh perempuan mana pun. Dengan demikian Ekspresi dalam seni lukis Ni Nyoman Sani dapat diartikan sebagai sebuah ungkapan jiwa perasaan tentang apa yang dialami dan dirasakannya dan merupakan bentuk responnya terhadap permasalahan yang kerap terjadi di lingkungan sosialnya yang berhubungan dengan kehidupan perempuan.
7.4 Refleksi Pengaruh globalisasi telah memberi pengaruh pada gaya hidup perempuan masa kini, termasuk dalam mempercantik dirinya. Padangan tentang dunia perempuan pun menjadi berubah, perempuan masa kini identik dengan sosok yang mandiri, penuh semangat dan selalu memperhatikan penampilan dirinya. Perubahan gaya hidup tersebut tentunya merubah pola pikir setiap perempuan masa kini. Mempercantik diri ditengah kesibukannya di keluarga dan dalam karir sudah menjadi suatu keharusan. Hal tersebut terkadang memaksa perempuan untuk selalu tampil sempurna agar dapat dilihat. Gaya hidup konsumtif merupakan salah satu gambaran kehidupan perempuan masa kini. Mengikuti trend mode terkadang menjadi sebuha keharusan. Dalam menciptakan kesan itu perempuan terkadang harus rela untuk mengorbankan kesehatannya untuk tampil cantik. Karya Ni Nyoman Sani banyak mengungkap hal tersebut. Perempuan yang tervisualkan merupakn sosok yang ideal dan mengenal trend mode masa kini. Pengalaman batin merupakan salah satu dasar Ni Nyoman Sani dalam berkarya seni. Ni Nyoman Sani banyak melihat lingkungan sekitarnya dan pengalamannya
136
melihat tentang dunia mode dia tuangkan sebagai ekspresi seni. Lukisan Ni Nyoman Sani lahir sebagai akibat pengalamn batinnya yang ingin menginspirasi perempuan untuk selalu tampil cantik, menarik dalam suasan apapun. Ni Nyoman Sani tidak berminat untuk melukisakan kesedihan perempuan karena sangat bertentangan dengan batinnya sebagai perempuan. Bentuk seni lukisan Ni Nyoman Sani bertemakan tentang dunia perempuan dan fashion diungkapkan dengan unsure seni lukis dengan bebas sehingga menghasilkan karya yang artistik dan unik. Faktor yang mempengaruhi dan melatarbelakanginya dalam berkarya adalah faktor internal yaitu pengalaman hidup Ni Nyoman Sani, cara pandang Ni Nyoman Sani terhadap
perempuan dan faktor pendidikan dan pengetahuan
sedangkan faktor ekternalnya meliputi faktor lingkungan keluarga dan faktor lingkungan sosial masyarakat. Faktor-faktor tersebut yang mempengaruhi Ni Nyoman Sani dalam berkarya.
Lukisan Ni Nyoman Sani dalam dinamika
perubahan seni lukis bali memiliki makna spirit untuk perempuan untuk tampil cantik, mandiri dan anggun. Dinamika akan membentuk karakter lukisannya. Ketiga makna yang terkandung dalam lukisannya adalah makna estetika, makna simbol, dan makna ekspresi. Pada intinya seni lukis Ni Nyoman Sani merupakan ungkapan perasaanya yang memperjuangkan kedudukan perempuan dan keinginan untuk hidup lebih baik. Tanpa disadari karya-karyanya menciptakan sebuah ruang semu yang jauh dari kenyataan.
137
Realitas dalam lukisannya cenderung berbicara mengenai kemapanan, postur tubuh ideal, dan gaya hidup diluar budayanya. Karya –karya Ni Nyoman Sani lahir sebagai kritikan halus terhadap fenomena sosial yang terjadi di masyarakat, dimana beberpa perempuan masih belum dapat menikmati kehidupannya. Hal ini yang membuatnya untuk menginspirasikan perempuan untuk merubah mindset kearah yang lebih maju, bergerak maju untuk hidup lebih baik, memperhatikan dan menyayangi dirinya sendiri.
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa karya Ni Nyoman Sani merupakan luapan ekspresi dari dalam dirinya yang tidak lepas dari pengalaman batinnya. Ni Nyoman Sani ingin menginspirasi perempuan dan fashion lewat karya-karyannya yang imajinatif. Dalam memvisualkan ide-idenya Ni Nyoman Sani memerlukan ketekunan dan keahlian dalam mencari teknik melukis. Karya seni lukis Ni Nyoman Sani merupakan sebuah ungkapan jiwa dan pengalaman batinnya yang merupakan sebuah pernyataan kedaulatan dirinya. Kedaulatan di tengah gaya hidup yang nge-pop, urban, dan melepaskan diri dari tradisionalisme. Pada karya lainnya, Ni Nyoman Sani juga menyoroti perilaku serta gaya hidup masyarakat yang gandrung akan teknologi baru, yakni telepon seluler dan Internet serta pernik-perniknya. Faktor melatarbelakangi dan mempengaruhi Ni Nyoman Sani dalam berkarya adalah faktor intern dari dalam diri Ni Nyoman Sani yang diperoleh dari pengalaman batinnya dan cara pandangnya tentang dunia perempuan. Faktor ekstern merupakan faktor pendukung dari luar yaitu lingkungan keluarga, konstruksi lingkungan sosial masyarakat, pendidikan dan pengetahuan dan budaya modern di masyarakat Bali. Faktor –faktor ini yang medorong dan mempengaruhi Ni Nyoman Sani dalam berkarya seni lukis. Makna Seni lukis Ni Nyoman Sani 138
139
adalah menginspirasi perempuan untuk menghargai dirinya sendiri mengetahui dan paham tentang potensi nya sendiri. Selain itu memberikan semangat untuk selalu tampil menarik dan cantik. Ni Nyoman Sani sangat sedih batinnya melihat perempuan yang tidak memperhatikan tubuhnya sendiri. Melalui karya-karyanya Ni Nyoman Sani ingin menginspirasi perempuan untuk hidup sehat , bersih dan cantik. Ni Nyoman Sani ingin merubah mindset perempuan kearah yang lebih maju, bergerak maju untuk hidup lebih baik, memperhatikan dan menyayangi dirinya sendiri. Makna ekspresi karya Ni Nyoman Sani dapat berupa uangkapan batiniah, sindiran dan pembrontakan dirinya. Makna ekspresi dalam seni lukis Ni Nyoman Sani adalah sebuah ungkapan perasaan yang dimunculkan lewat bidang dua dimensional. Semua yang divisualkan oleh Ni Nyoman Sani dapat mewakili ekspresi ungkapan perasaanya tentang dunia perempuan. Ekspresi dapat divisualkan dalam bentuk mimik wajah ekspresi gerak atau disebut body language. Mengingat di lingkungan sosial pada umumnya perempuan hanya indentik dengan kemolekan tubuhnya hal ini tentunya jika dilihat dari pandangan laki-laki. Padahal masih banyak sisi perempuan yang harus digali tidak hanya seputar tubuh saja. Karya Ni Nyoman Sani dapat merupakan sebuah impian masa lalu yang terus membayangi batinnya. Kecintaanya akan dunia mode dan dunia perempuan sudah membuat Ni Nyoman Sani menjadi seorang perupa yang kreatif dan imajinatif, sehingga melahirkan karya–karya yang inovatif yang tentunya diharapkan mampu membawa dinamika baru dalam perkembangan seni lukis di
140
Bali. Menampilkan sisi kemewahan dan gelamour perempuan bukanlah hal yang dinilai negatif mengingat banyaknya pengaruh budaya adalah yang masuk ke Indonesia. Visualisasi tersebut merupakan sebuah ungkapan kemurnian batin Ni Nyoman Sani dalam menyikapi perubahan jaman. Dimana perubahan itu membawa pengaruh pada kehidupan sosial perempuan jaman dahulu. Ni Nyoman Sani menyikapi dengan pandangan yang positif. Untuk tampil menarik dan cantik tidak harus mengorbankan nilai-nilai kebaikan yang ada. Beberapa karyanya menampilkan busana yang minim hal ini dapat berupa sindiran maupun merupakan sebuah keinginan diri untuk selalu diperhatikan atau dilihat. Hal tersebut yang menambah keunikan bagi karya Ni Nyoman Sani sehingga dapat membawa dinamika perubahan bagi seni lukis bali, karena keberaniannya dalam mengangkat tema dan kemurniannya dalam menuangkan ide-idenya ke dalam kanvas. Makna simbol dikaji dengan menggunakan teori semiotika postmodern yang mengungkap simbol-simbol yang terdapat dalam karya Ni Nyoman Sani.
8.2 Saran Saran ditujukan kepada masyarakat, pelukis dan pencinta seni bahwa karya seni lukis Ni Nyoman Sani dapat membawa dinamika perubahan pada perkembangan seni lukis di Bali. Diharapkan dapat memperkaya khasanah seni lukis Indonesia dan memperkaya pengalaman estetika yang memberikan inspirasi para kaum perempuan untuk berkarya dan selalu bersemangat dalam kondisi
141
apapun. Diharapkan pula karya Ni Nyoman Sani dapat dipahami dan menginspirasi perupa muda dalam berkarya. Pada kesempatan ini penulis menyarankan kepada masyarakat, pemerintah dan pencinta seni untuk mengarahkan tujuan berkesenian mengacu kreativitas dan menciptakan ide-ide yang lebih inovatif sehingga karya para seniman perempuan Indonesia dapat diakui di dunia internasional. Diharapkan pula membawa dinamika perubahan ke arah yang lebih baik dan dalam berekspresi selalu mengacu kepada nilai-nilai moral, etika, logika dan estetika yang baik
142
DAFTAR PUSTAKA
Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Arsana, dkk. 1983. Dasar-Dasar Seni Lukis. Jakarta: Depdikbud Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan. Atmaja, Jiwa. 1988. Puspanjali. Denpasar: CV. Kayumas. Atmaja, Mochtar Kusuma dkk. 1991. Perjalanan Seni Rupa Indonesia. Bandung : Panitia Pameran KIAS. Bakker Sj.J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Bandem, I Made. 2001. Metode Penciptaan Seni. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia. Becker, Howard S. 1984. The Art World. Berkeley – California: University of California Press. Bocock, Robert. 2012. Pengantar Komprehensif Untuk Memahami Hegemoni. Yogyakarta dan Bandung: Jalursutra. Brook, Ann.1997. Postfeminisme Culture Studies Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. Burn, Jhon. 1988. Art Of Bali Painting From The Neka Museum. Denpasar: Museum Neka. Bungin, Burhan. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif Komuniksi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik Serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Yogyakarta: Kencana. Burton, Graeme. 1999. Pengantar Untuk Memahami Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra. Cassirer, Ernst. 1992. Manusia dan Kebudayaan Sebuah Esai tentang Manusia. Jakarta: PT Gramedia. Chris, Barker. 2004. Culture Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Darmaprawita, Sulami. 2001. Warna Teori dan Kreativitas Penggunaanya. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Dermawan, Budiman. 1988. Pendidikan Seni Rupa. Bandung: Ganeca Exact.
143
Dermawan T, Agus. 1996. Katalog Gallery Seniwati Bali. Jakarta: Bentara Budaya. Dickie, George. 1979. Aestetics: An Introduction. Indiana Polis: The BobbsMerrill Education Publishing. Djelantik, A.A.M. 1999. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Fakih, Mansour. 1997. Seni Rupa Penyadaran. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Featherstone, Mike. 2001. Postmodernisme Budaya dan Konsumen.Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Gie, The Liang. 1976.Garis-garis Besar Estetika (Filsafat Keindahan). Yogyakarta: Karya. Gie, The Liang. 1996. Filsafat Keindahan.Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguan. _____________. 1996. Filsafat Seni: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ilmu Berguna. Hardiman. 2000. Tentang Tafsir Perempuan dalam Seni Rupa. Denpasar: Majalah Lain. ____________. 2007. Tesis “Tubuh Perempuan : Represetasi Gender Perempuan Perupa Bali, Denpasar : Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana. Hendrik Rapar, Jean. 1996. Pustaka Filasafat Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Kanisius Hoed, H, Benny. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Jakarta : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Depok. Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembang Seni di Indonesia. Terjm. Soedarsono. Badung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Kaplan Dvid, Albert A. Mammers. 2000. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kartini, Parmono. 2008. Horizon Estetika, Yogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM. Kasiyan. 2008. Manipulsi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan, Yogyakarta: Ombak.
144
Kontjaraninngrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.Jakarta: PT Gramedia. ______________. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia. ______________. 1988. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas Indonesia. ______________. 1990. Pengantar Ilmu Anthropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta. Kutanegara. 2006. Budaya Barat Dalam Kacamata Timur.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kusnadi. 1991. Kritik Seni dan Penciptaan Seni Rupa. SENI: Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, 1/03 Oktober 1991. Kutha Ratna, Nyoman. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Marianto, Dwi M. 2002. Seni Kritik Seni. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Institut Seni Yogyakarta. . Moerdowo. 1988. Seni Budaya Bali Dwipa. Denpasar: Pusat Dokumen Kebudayaan Bali. Mulyana, Dedi. 2002. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandunng: PT Kanisius. Moleong J.2000. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Ngurah Bagus. Hubungan Peluksi Rudolf Bonnet dengan Seniman Bali. Denpasar: Yayasan Rudolf Bonnet. Ndraha, Talizudulu. 1985. Teori Metodelogi. Jakarta: PT. Bina Aksara. Parera JD. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga. Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotik Tafsir Culture Studies Atas Matinya Makna.Yoyakarta: Jalasutra. Purnata, 1976. Sekitar Perkembangan Seni Rupa di Bali. Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali. Raho, Bernard, SVD. 2007. Teori Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Read, Herbert. 2000. Estetika Seni dan Problematiknya. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. (Terjemahan Soedarso SP).
145
Rohidi, Tjetjep rohendi. 2000. Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung: Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Press. Sachari, Agus. 1989. Estetika Terapan: Spirit-spirit yang Memikirkan Desain. Bandung: ITB. ___________. 2002. Estetika Makna, Simbol dan Daya. Bandung: ITB. Sidik, Fajar dkk. 1981. Disain Elementer. Yogyakarta: Asri Yogyakarta. Sanafiah, Faisal. 2001. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Pers. Sanrtrock, John. 2003. Andolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Penerbit Erlangga. Smier, Joost. 2009. Arts Under Pressure Mempertanyakan Keragaman Budaya di Era Globalisasi, Institut Proses. Yogyakarta: Insist Press. Soedarso SP. 1990. Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern. Yoyakarta: Suku Dayar Sana. ___________. 1990. Tinjauan Seni Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni. Yogyakarta: Suku Dayar Sana. Soedarsono. 1990. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Soedjatmiko, Haryanto. 2008. Saya Berbelanja Maka Saya Ada.Ketika konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup. Yogyakarta: Jalursutra. Sony Kartika, Dharsono, Ganda Prawira, Nanang. 2004. Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. Storey, John. 2009. Teori Budaya-Budaya Pop Memetakan Lanskap Konseptual Culture Studies.Yogyakarta: Qalam. Suasta. 2001. Kembara Budaya. Denpasar: Bali Mangsi. Sudarmadji. 1968. Persagi Sebagai Pelapor Seni Rupa Indonesia Modern. Yogyakarta: ASRI. Sudarta. 1996. Katalog Gallery Seniwati Bali. Jakarta: Bentara Budaya. Sudjoko. 2001. Pengantar Seni Rupa. Bandung: ITB.
146
Sulasmi, Darmaprawira. 2001. Warna Teori Kreativitas Penggunaanya. Bandung: ITB. Sumarjono, Jakob. 1984. Filsafat Estetika. Bandung: ITB. Supardi. 1983. Tinjauan Seni. Jakarta: Depdikbud. Suryani, Luh Ketut. 2003. Perempuan Bali Kini. Denpasar: PT. Offset BP. ______________. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB. Sutrisno, Mudji. 1999. Kisi-Kisi Estetika. Yogyakarta: Kanisius. ______________. 1999. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius. Suwaji.1981. Seni Lukis Bali. Yogyakarta: STSRI. Suwandono. 1978. Seni Rupa Indonesia dan Pembinaanya. Jakarta: Proyek Pembinaan Kesenian. Tan, G Mely. 1990. Perempuan Indonesia Pemimipin Masa Depan. Jakarta: Pusat Sinar Harapan. Tinasbuko, Sumbo. 2008. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jala Sutra. Titib, I Made. 1998. Citra Wanita. Surabaya: Paramita. Tjidra. 2000. Wujud Fisik dan Falsafah Lukisan Wayang Bali. Denpasar: UPT. Penerbitan Universitas Udayana. Wedari, Yadnya. 1999. Kehidupan Wanita Hindhu. Denpasar: Institut Hindhu Denpasar. Wright, Asri. 1996. Katalog Seniwati Gallery. Jakarta: Bentara Budaya. Zaelani, Rizky. 1999. Perkembangan Seni Kontemporer di Indonesia.Yogyakarta: Kanisius
147
Lampiran 1 DAFTAR INFORMAN 1.
2.
3.
4.
Nama
: Mary Northmore
Tanggal Lahir
: Taunton Somereset England, 5 agustus 1949
Umur
: 65 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Pemilik Seniwati Gallery Art By Woman Ubud
Alamat
: Desa Mas kec.Ubud, Kab. Gianyar.
Nama
: Thomas Freitag
Tanggal Lahir
: 1950
Umur
: 64 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Kurator dan pengamat seni rupa.
Alamat
: Jalan Hayam Wuruk Denpasar
Nama
: I Dewa Biang Raka
Tanggal Lahir
: 16 Juli 1937
Umur
: 77 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pendidikan
: SD
Pekerjaan
: Seniman Lukis Tradisional ( Seniwati)
Alamat
: Jl. Sugriwa Padang Tegal Ubud
Nama
: Ni Wayan Rotiani
Tanggal Lahir
: 1968
Umur
: 46 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Seniman Lukis
Alamat
: Br. Bentuyung Ubud Gianyar
148
5.
6.
7.
8.
Nama
: Ni Putu Suriati
Tanggal Lahir
: Br Payogan Ubud, 1964
Umur
: 50 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Seniman Lukis
Alamat
: Br. Payogan Ubud
Nama
: I Ketut Karsana, S.Pd
Tanggal Lahir
: Sukasada, 03 Juli 1979
Umur
: 35 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: Universitas Ganesha ( UNDIKSA )
Pekerjaan
: Guru Seni Rupa dan Seniman Lukis Modern
Alamat
: Jalan Seroja 2 Denpasar
Nama
: I Nyoman Sukariana
Tanggal Lahir
: 18 Juli 1985
Umur
: 29 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: ISI Denpasar
Pekerjaan
: Seniman Lukis Modern
Alamat
: Desa Munggu Badung
Nama
: Anak Agung Ayu Sri Wariyani
Tanggal Lahir
: 27 Pebruari 1967
Umur
: 47 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pendidikan
: Diploma seni desain
Pekerjaan
: Fashion Designer ( Ayu Beautique )
Alamat
: Ciung wanara II No 8 Denpasar
149
9.
10.
11.
`
Nama
: I Putu Suryana, S.Sn
Tanggal lahir
: 6 April 1982
Umur
: 32 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: ISI Denpasar
Pekerjaan
: Guru Seni Rupa dan Seniman Lukis Modern
Alamat
: Jl Tukad Banyusari Gang Pelita 2
Nama
: Drs. I Made Jana, M.Sn
Tanggal Lahir
: 1950
Umur
: 64 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jalan Batuyang GG Elang No 1 Batu Bulan
Pendidikan
: ISI Yogyakarta
Pekerjaan
: Dosen ISI Denpasar
Alamat
: Jalan Batuyang GG Elang No 1 Batu Bulan
Nama
: Ni Putu Sri Rahayu
Tanggal Lahir
: 15 Januari 1979
Umur
: 35 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pendidikan
: STSI Denpasar
Pekerjaan
: Perempuan Perupa
Alamat
: Jalan Arjuna no 34 Denpasar
150
Lampiran 2 PEDOMAN WAWANCARA PERTANYAAN GAMBARAN UMUM KARYA SENI LUKIS NI NYOMAN SANI 1. Apakah pernah melihat karya Seni Lukis Ni Nyoman Sani? 2. Makna apa yang terdapat dalam lukisan Ni Nyoman Sani? 3. Apakah yang menarik dalam karya seni lukis Ni Nyoman Sani? 4. Bagaimana unsure-unsur rupa karya Ni Nyoman Sani? 5. Apa pesan yang disampaikan dalam karya –karya Ni Nyoman Sani? PERTANYAAN TENTANG BENTUK SENI LUKIS NI NYOMAN SANI DALAM DINAMIKA PERUBAHAN SENI LUKIS BALI 1. 2. 3. 4. 5.
Seni Lukis Ni Nyoman Sani termasuk ke dalam aliran apa? Bagaimana bentuk atau struktur seni lukis Ni Nyoman Sani? Unsur-unsur apa yang menunjang seni lukis Ni Nyoman Sani? Bagaimana tanggapan pengamat terhadap karya seni Ni Nyoman Sani? Unsur apa yang menonjol dalam karya seni lukis Ni Nyoman Sani?
PERTANYAAN TENTANG FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SENI LUKIS KARYA NI NYOMAN SANI DALAM DINAMIKA PERUBAHAN SENI LUKIS BALI 1. Faktor apa yang mempengaruhi Ni Nyoman Sani dalam berkarya? 2. Apakah globalisasi memeperngaruhi proses penciptaan Ni Nyoman Sani? 3. Menurut saudara manakah yang lebih menarik karya seni lukis modern atau seni lukis tradisional? 4. Bagaimanakah faktor lingkungan dapat mempengaruhi karya Ni Nyoman Sani? 5. Faktor apa yang menunjang Ni Nyoman Sani dalam berkaraya? PERTANYAAN TENTANG MAKNA SENI LUKIS MODERN KARYA NI NYOMAN SANI DALAM DINAMIKA PERUBAHAN SENI LUKIS BALI 1. Bagaimana makna yang terkandung dalam seni lukis Ni Nyoman Sani? 2. Apakah makna dari karya seni lukis Ni Nyoman Sani memperngaruhi kehidupan masyarakat Bali, khususnya perempuan? 3. Adakah nilai-nilai yang dapat diteladani dari makna seni lukis Ni Nyoman Sani? 4. Menurut Bapak ibu apa makna perempuan yang terdapat dalam seni lukis Ni Nyoman Sani? 5. Bagaimana makna estetika seni lukis Ni Nyoman Sani? 6. Bagaimana makna ekspresi dalam seni lukis Ni Nyoman Sani? 7. Bagaimana makna simbol dalam seni lukis Ni Nyoman Sani?
151
Lampiran 3
PROFIL DESA SINGAPADU
Arti Lambang : 1) Dasar segi lima warna hijau simbol falsafah hidup warga masyarakat Singapadu yang melambangkan bahwa : masyarakat Singapadu senantiasa berpedoman kepada falsafah Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, selalu tenang dan mempunyai cita-cita yang luhur. Warna hijau melambangkan kesuburan 2) Bintang warna kuning lambang Ketuhanan Yang Maha Esa 3) Candi bentar dengan seorang penari simbol seni budaya yang menggambarkan bahwa Desa Singapadu adalah Desa seni yang sangat kaya akan bermacam-macam bentuk kesenian 4) Padi warna kuning dan kapas warna putih dan hijau, adalah simbol kemakmuran yang melambangkan kesejahteraan serta kemakmuran masyarakat 5) Singa kembar yang duduk berhadap – hadapan simbol kekuatan yang melambangkan bahwa terjadinya Desa Singapadu.
Studi tentang seni lukis realis karya agus wiryawan periode 2001 – 2003
Skripsi
Oleh: DARMAWAN KRISTIANTO NIM : K 3201018
PENDIDIKAN SENI RUPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2007
STUDI TENTANG SENI LUKIS REALIS KARYA AGUS WIRYAWAN PERIODE 2001 – 2003
Oleh: Nama : Darmawan Kristianto NIM : K 3201018
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapat gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Seni Rupa Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Seni
PENDIDIKAN SENI RUPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2007
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Persetujuan pembimbing
Pembimbing I
Drs. H. Edy Tri Sulistyo, M. Pd. NIP. 131 569 200
Pembimbing II
Drs. Tjahjo Prabowo, M. Sn. NIP. 131 472 203
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan.
Pada Hari
: Jum’at
Tanggal
: 2 Februari 2007
Tim Penguji Skripsi :
Nama Terang
Tanda Tangan
Ketua
: Drs. Mulyanto, M. Pd
………………………………
Sekretaris
: Dra. MY. Ning Yuliastuti, M. Pd
………………………………
Anggota I
: Drs. H. Edy Tri Sulistyo, M. Pd
………………………………
Anggota II
: Drs. Tjahjo Prabowo, M. Sn
...……………………………
Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,
Dr. H. Trisno Martono, M. M NIP 130 529 720
ABSTRAK
Darmawan Kristianto, STUDI TENTANG SENI LUKIS REALIS KARYA AGUS WIRYAWAN PERIODE 2001 – 2003, Skripsi, Surakarta, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, November 2006. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Latar belakang Agus Wiryawan menjadi pelukis, (2) Tema yang diangkat Agus Wiryawan dalam berkarya, (3) Alat dan bahan yang dipakai Agus Wiryawan dalam berkarya, (4) Teknik pembuatan lukisan realis Agus Wiryawan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara secara langsung, observasi langsung dan analisis dokumen. Validitas data yang digunakan adalah triangulasi data dan review informant. Teknik sampling yang dipakai adalah purposive sampling, sedangkan teknik analisis datanya menggunakan flow model of analysis. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Agus Wiryawan dalam berkarya dipengaruhi oleh kepuasan batin sebagai faktor utama. Sedangkan faktor pendukung yang mempengaruhi yaitu lingkungan keluarga, latar belakang pendidikan dan lingkungan masyarakat yang menjadikan Agus Wiryawan melukis secara intensif, (2) Agus Wiryawan melukis dengan tema aktivitas kehidupan manusia, khususnya aktivitas kaum perempuan, (3) Alat yang digunakan Agus Wiryawan dalam berkarya yaitu easel, piring palet, pisau palet, kuas lukis dan kuas cat air berukuran terkecil hingga terbesar untuk membuat goresan yang terkecil hingga terbesar pula. Sedangkan bahan yang digunakan Agus Wiryawan dalam berkarya adalah dengan menggunakan media kanvas, cat minyak merk Amsterdam, Greco, Winton dan minyak cat minyak merk Greco. Selain itu pernah pula Agus Wiryawan berkarya menggunakan media kertas, pensil, pensil warna, konte, pastel, tinta, cat poster dan cat air. Sedangkan cat minyak yang biasa digunakan Agus Wiryawan dalam membuat warna dasar adalah cat minyak Greco, (4) Dalam teknik pembuatan lukisan realis karya Agus Wiryawan terdiri dari tiga tahapan. Tahap pertama yaitu pencarian ide dilakukan oleh Agus Wiyawan dengan cara mengosongkan pikiran, selanjutnya berkonsentrasi pada pencarian objek yang akan dilukis. Tahap berikutnya adalah tahap menyempurnakan, mengembangkan dan memantabkan gagasan awal (elaboration and refinement) yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga akan mempermudah proses pemindahan objek kedalam media kanvas dengan bantuan alat dan bahan serta teknik tertentu yang dilakukan menggunakan bantuan kamera. Tahapan yang terakhir adalah menuntaskan proses penciptaan objek ke dalam media kanvas, dimulai dari pembuatan sketsa, warna dasar, warna dasar dipertebal sampai proses finishing dengan mencantumkan jati diri seniman (Agus Wiryawan) beserta tahun pembuatan pada karya lukis.
MOTTO
…… “Yang akan terjadi, maka terjadilah……..(QS. Yaasiin: 82)”.
PERSEMBAHAN
Sebagai tanda kasih sayang dan rasa cintaku yang tulus karya tulis ini kupersembahkan kepada : Ø Ayah dan Ibu tercinta Ø Kakak dan Adikku tersayang Ø Pinkyku tercinta Ø Amanatul Chotimah Ø Jean dan Tari Sahabat Karibku Ø Almamater Sejatiku Ø Seluruh Dosen FKIP SR UNS
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang melimpah, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan syarat untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Seni Rupa pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak mendapatkan bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu pada kesempatan kali ini dengan penuh kerendahan hati saya ucapkan rasa terimakasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Dr. H. Trisno Martono., M. M. sebagai Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS Surakarta yang telah memberi ijin penyusunan skripsi . 2. Bapak Drs. H. Amir Fuady, M. Hum., sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP UNS Surakarta yang telah menyetujui atas permohonan skripsi yang diajukan. 3. Bapak Drs. Edi Kurniadi, M. Pd., sebagai Ketua Program Seni Rupa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP UNS Surakarta yang telah memberikan ijin atas penyusunan skripsi ini. 4. Bapak Drs. H. Edy Tri Sulistyo, M. Pd., selaku Pembimbing I yang memberikan bimbingan dan pengarahan, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Bapak Drs. Tjahjo Prabowo,M. Sn, selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 6. Ibu Dra. M.Y. Ning Yuliastuti, M. Pd, selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan yang sangat berarti bagi proses penyusunan skripsi ini. 7. Seluruh dosen FKIP UNS yang mengajar dan membimbing saya selama ini. 8. Mas Agus Wiryawan, selaku seniman dan pelukis yang mana telah menyediakan waktu dan tempat bagi saya serta telah bersedia menjadi informan guna penyusunan skripsi seni lukis ini. 9. Ayah dan Ibu tercinta, yang telah banyak memberikan bantuan moril dan spirituil yang sangat berarti. 10. Teman-teman Seni Rupa, khususnya angkatan 2001 yang telah memberikan semangat dan motivasi yang berguna dalam penyusunan skripsi ini. Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun disadari dalam skripsi ini masih ada kekurangan, namun diharapkan skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan khususnya pada ilmu seni rupa. Surakarta, 2 Pebruari 2007
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
PENGAJUAN ...................................................................................................
ii
PERSETUJUAN ...............................................................................................
iii
PENGESAHAN................................................................................................
iv
ABSTRAK........................................................................................................
v
MOTTO ............................................................................................................
vi
PERSEMBAHAN.............................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii DAFTAR ISI....................................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
xii
DAFTAR BAGAN ........................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................................
1
B. Rumusan Masalah............................................................................
4
C. Tujuan Penelitian .............................................................................
4
D. Manfaat Penelitian ...........................................................................
5
1. Manfaat Teoritis.........................................................................
5
2. Manfaat Praktis ..........................................................................
5
BAB II KAJIAN TEORIK A. Kajian Teori ...................................................................................
6
1. Pengertian Seni .........................................................................
6
2. Pengertian Seniman ..................................................................
7
3. Pengertian Seni Rupa................................................................
7
4. Pengertian Seni Lukis ...............................................................
9
5. Komponen Seni Lukis............................................................... 10 6. Pengertian Realisme.................................................................. 17
B. Kerangka Berpikir.......................................................................... 19 BAB III METODOLOGI A. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... 21 B. Bentuk dan Strategi Penelitian ..................................................... 21 C. Sumber Data................................................................................. 21 D. Teknik Pengumpulan Data........................................................... 22 1. Observasi................................................................................. 23 2. Wawancara.............................................................................. 23 3. Dokumentasi ........................................................................... 24 E. Teknik Sampling ......................................................................... 25 F. Validitas Data .............................................................................. 26 1. Triangulasi Data...................................................................... 26 2. Review Informan ..................................................................... 26 G. Teknik Analisis Data.................................................................... 27 1. Reduksi Data........................................................................... 27 2. Display atau Penyajian Data ................................................... 27 3. Verivikasi atau Penarikan Simpulan ....................................... 28 H. Prosedur Penelitian ...................................................................... 29 1. Tahap Pra Lapangan................................................................ 29 2. Tahap Pengumpulan Data ....................................................... 29 3. Tahap Analisis Data ................................................................ 30 4. Tahap Penulisan Laporan ........................................................ 30 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian .......................................................... 31 B. Latar Belakang Agus Wiryawan Menjadi Pelukis Realis............. 32 1. Faktor Utama........................................................................... 32 2. Faktor Pendukung ................................................................... 32 C. Tema Lukisan Realis Agus Wiryawan ......................................... 39 D. Alat dan Bahan dalam membuat Lukisan Realis Agus Wiryawan . 40 E. Teknik Pembuatan Lukis Realis Karya Agus Wiryawan ............. 40 1. Tahap Proses Penciptaan Lukisan Realis Agus Wiryawan ..... 40
2. Visualisasi Karya Lukis Realis Agus Wiryawan .................... 51 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Simpulan....................................................................................... 67 B. Implikasi....................................................................................... 68 1. Teoritis .................................................................................... 68 2. Praktis ..................................................................................... 69 C. Saran............................................................................................. 69 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 70 LAMPIRAN....................................................................................................... 72
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Alat Lukis....................................................................................... 41 Gambar 2. Bahan Lukis ................................................................................... 41 Gambar 3. Spranram dan Kain Kanvas............................................................ 42 Gambar 4. Easel dan Kain Kanvas diatas Easel .............................................. 42 Gambar 5. Proses Pencampuran Warna........................................................... 44 Gambar 6. Sketsa ............................................................................................. 45 Gambar 7. Proses Pembuatan Warna Dasar .................................................... 46 Gambar 8. Proses Pembuatan Warna Dasar dipertebal .................................. 48 Gambar 9. Proses Finishing ”Penjual Sayuran” .............................................. 50 Gambar 10. Pasar ............................................................................................... 51 Gambar 11.Pemecah Batu.................................................................................. 53 Gambar 12. Air Kehidupan................................................................................ 54 Gambar 13. Belajar Suling................................................................................. 56 Gambar 14. Bemain Suling I ............................................................................. 57 Gambar 15. Bermain Suling II........................................................................... 59 Gambar 16. Meracik Jamu................................................................................. 60 Gambar 17. Bakul Jamu..................................................................................... 62 Gambar 18. Kasih Ibu I...................................................................................... 64 Gambar 19. Kasih Ibu II .................................................................................... 65 Gambar 20. Wawancara dengan Agus Wiryawan ............................................. 72 Gambar 21. Peneliti dengan seniman Agus Wiryawan ...................................... 72 Gambar 22. Foto Salah Satu Karya Realis Agus Wiryawan .............................. 72
DAFTAR BAGAN
Halaman Bagan 1. Kerangka Berfikir ............................................................................... 19 Bagan 2. Analisis Model Mengalir .................................................................... 28
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Foto Penelitian............................................................................... 72 Lampiran 2. Foto Salah Satu Karya Lukis Realis Agus Wiryawan................... 73 Lampiran 3. Biodata Pelukis Agus Wiryawan................................................... 75 Lampiran 4. Hasil Wawancara dengan Pelukis Agus Wiryawan ...................... 76 Lampiran 5. Surat Perijinan Penyusunan Skripsi .............................................. 83 Lampiran 6. Surat Bukti Penelitian.................................................................... 87 Lampiran 7. Review Informant .......................................................................... 88 Lampiran 8. Denah Lokasi Penelitian................................................................ 89
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian merupakan salah satu unsur dari suatu kebudayaan universal yang dapat ditangkap, dinikmati dan dihayati oleh manusia melalui panca indera. Seni berasal dari kata ‘art’ yang berasal dari perkataan Latin ‘ars’ yang berarti kemahiran (The Liang Gie, 1976: 60). Jadi dari sudut etimologi art dapat diartikan sebagai suatu kemahiran dalam membikin barang-barang atau mengerjakan sesuatu. Seni juga diartikan sebagai sebuah ungkapan dari rasa keindahan, gagasan dan keinginan manusia yang berhubungan dengan perkembangan di sekitar, baik dalam lingkungan alam maupun kehidupan dalam suatu masyarakat. Seni terlahir bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, namun untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Dengan demikian sebuah kesenian muncul sebagai cirikhas suatu masyarakat yang sekaligus sebagai pendukung, pelengkap dan penyempurna derajat masyarakat serta kebudayaan dalam masyarakat tersebut. Hal ini dipertegas: “Seni adalah segala kegiatan dan hasil karya manusia yang mengutarakan pengalaman batinnya yang karena disajikan secara unik dan menarik memungkinkan timbulnya pengalaman atau kegiatan batin pula pada diri orang lain yang menghayatinya. Hasil karya ini lahirnya bukan karena didorong oleh hasrat memenuhi kebutuhan hidup manusia yang paling pokok melainkan oleh kebutuhan spiritualnya, untuk melengkapi dan menyempurnakan derajat kemanusiaannya” (Sudarso, 2000: 2). Rasa keindahan yang diungkapkan dalam suatu media kesenian yang disebut dengan karya seni ini dapat menjadi sebuah penghubung bahasa batin antar manusia. Melalui sebuah karya seni kita akan dapat membaca watak, kepribadian dan sifat dari pencipta sesuai dengan wujud dan interpretasi karya seni tersebut. Karya seni merupakan objek ekspresif hasil representasi dari suatu konsep dalam pemikiran seorang seniman. Karya seni adalah suatu objek yang
bersifat ekspresif, karya seseorang untuk merepresentasikan suatu konsep dalam pikirannya, oleh karenanya ia dapat dikatakan selalu mengenai sesuatu (Dwi Marianto, 2002: 24). Nilai sebuah karya seni tidak dapat dilihat dari segi teknik atau penampilan wujud luar saja. Karya seni dapat dinilai dengan berbagai kriteria, antara lain melalui ciri-ciri kasat mata, dari bagaimana subjek direpresentasi, dari fungsi simbolis, aspek ekonomis dan dari aspek fungsi atau kegunaan. Sebuah pendapat mengemukakan: “Bobot seni tidak terletak pada bentuk seni, bukan pada kemahiran seniman mengolah lakon, bukan pada teknik berkarya, melainkan pada isinya. Bobot seni adalah penghayatan seniman terhadap seluruh kehidupan yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk seni sebagai lambangnya” (Suwaji Bastomi, 1992: 76). Salah satu cabang dari seni yaitu seni rupa, khususnya seni lukis dewasa ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kreativitas dan kekhasan dari senimanpun semakin komplek seiring dengan gaya dan aliran baru yang muncul dewasa ini. Lebih lanjut gaya dan aliran baru tersebut berkembang menjadi cirikhas dari idealisme seorang seniman. Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, cirikhas seorang pelukis juga dapat dilihat dari teknik goresan, pemilihan objek lukis, pemilihan warna maupun bahan dan alat yang digunakan. Perkembangan seni lukis yang semakin marak ini memunculkan seniman muda dan komunitas seni yang saling bersaing dalam membuat karya seni lukis yang baru, salah satu diantaranya adalah seni lukis beraliran realisme. Karya lukis yang dihasilkan oleh seniman yang beraliran realisme merupakan tampilan dari berbagai objek yang berhasil diamati, ditangkap dan disajikan dengan apa adanya berdasarkan realita yang ada. Sebuah pendapat menyatakan: “Kita sebut setiap seni realistis apabila apa yang kita lihat adalah naturalistis dan apabila yang kita lihat menunjukkan dunia aktual seperti jika kita memandang tembus sebuah cendela kaca yang datar, apakah penggambaran yang kita lihat itu baik ataupun buruk” (Narsen Afatara, 1997: 2).
Pendapat lain menyatakan “Realisme berasal dari kata “real” dan “isme” dalam bahasa Inggris berarti nyata” (Edy Tri Sulistyo, 2005: 15. b). Sedangkan kata isme berarti suatu doktrin, teori yang memiliki karakter tersendiri. Aliran realisme diartikan sebagai gaya seni yang berusaha menggambarkan objek seperti keadaan yang sesungguhnya yang dapat dilihat. Kaum realis memandang dunia ini tanpa ilusi. Mereka menggunakan penghayatan untuk menemukan dunia. Mereka ingin menciptakan hasil seni yang nyata dan menggambarkan apa-apa yang betul-betul ada dan kasat mata. Secara teoritis mereka adalah pelukis-pelukis objektif, pelukis yang akan melukiskan apa saja yang dijumpai tanpa pandang bulu dan tidak akan menciptakan sesuatu yang hanya keluar dari gagasan. Apa yang dilihat akan dilukiskan apa adanya tanpa idealisasi, distorsi, maupun pengolahan-pengolahan lain. Pelukis pertama yang menemukan aliran realisme ini ialah Gustave Courbert (1807-1877). Dalam realis, mereka adalah pelukis-pelukis objektif, pelukis yang akan melukiskan apa saja yang dijumpai tanpa pandang bulu dan tidak akan menciptakan sesuatu yang hanya keluar dari gagasan. Apa yang dilihat akan dilukiskan apa adanya tanpa penambahan ekspresi, idealisasi, distorsi, maupun pengolahan warna dan imajinasi. Sebelum Gustave Courbert lukisan realis pernah ada, pelopor lukisan ini adalah Francisco de Goya (1746-1828). Francisco de Goya terkenal sebagai pelukis potret pada masa itu. Lukisan potret yang dibuat sangat mengagumkan akan kelembutannya. Sebagai contoh lukisan potret istrinya “Josefa Bayeu” atau “Madame Goya” (c. 1798) dan “Marquesa de la Solana” (c. 1797-98). Namun yang lebih terkenal dari semua lukisan Francisco de Goya itu adalah sepasang lukisan “Maja” (dibaca ‘Maha’) yang bertelanjang dan berpakaian (c. 1797-98) yang selalu tertambat pada nama Goya. Akan tetapi dalam lukisan realis Francisco de Goya ini masih terdapat unsur penambahan ekspresi. Walaupun ekspresinya bagus demikian pula dengan sapuan kuasnya tetap saja Francisco de Goya tidak dianggap sebagai tokoh pertama yang menemukan lukisan realisme, namun ia dianggap sebagai tokoh pelopor lukisan realisme.
Agus Wiryawan adalah salah satu seniman dari Surakarta yang beraliran realisme yang masih aktif dalam berkarya. Sebagian karya lukis realis yang dibuat juga nampak seperti potret. Sampai saat ini Agus Wiryawan masih rutin mengadakan pameran secara kelompok, baik yang bersifat lokal maupun nasional, bahkan ia pernah mengikuti pameran yang bertaraf internasional yang diadakan di Wonogiri pada tahun 1998, sehingga ia patut diperhitungkan dalam jajaran komunitas seniman di Indonesia. Dari penjelasan tersebut maka seni lukis realis karya Agus Wiryawan di Surakarta perlu untuk diteliti. Penelitian dilakukan lebih jauh tentang karya lukis serta perkembangan seni lukis Agus Wiryawan. Adapun pembatasan masalah dalam penulisan ini adalah latar belakang Agus Wiryawan menjadi seorang pelukis, tema yang diangkat dalam berkarya, alat dan bahan serta teknik pembuatan lukisan realis Agus Wiryawan periode 2001–2003.
B. Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang yang telah dikemukakan di atas dan untuk membatasi masalah yang diteliti, maka dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang melatarbelakangi Agus Wiryawan menjadi pelukis? 2. Tema apa yang diangkat oleh Agus Wiryawan dalam berkarya? 3. Alat dan bahan apa saja yang dipakai Agus Wiryawan dalam berkarya? 4. Bagaimanakah teknik pembuatan lukisan realis karya Agus Wiryawan?
C. Tujuan Penelitian Penelitian dilakukan oleh seorang peneliti pasti memiliki sebuah tujuan, demikian halnya dengan penelitian ini. Dengan melakukan penelitian secara mendalam tentang seni lukis realis karya Agus Wiryawan, penulis memiliki beberapa tujuan, antara lain: 1. Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi Agus Wiryawan menjadi pelukis. 2. Untuk mengetahui tema yang diangkat Agus Wiryawan dalam berkarya.
3. Untuk mengetahui keseluruhan alat dan bahan yang dipakai Agus Wiryawan dalam berkarya. 4. Untuk mengetahui teknik pembuatan lukisan realis Agus Wiryawan.
D. Manfaat Penelitian Selain memiliki tujuan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik bagi seniman yang lain, masyarakat luas, sekolah seni dan referensi bagi peneliti yang lain. Adapun manfaat dari penelitian ini dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Manfaat Teoritis a. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi seni lukis realis di Surakarta. b. Sebagai sumber informasi dan dokumen yang dapat digunakan sebagai referensi penelitian yang lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis a. Mendapat gambaran secara jelas mengenasi tema, alat dan bahan, teknik pembuatan dan bagaimana karya-karya yang dihasilkan oleh Agus Wiryawan. b. Penelitian ini dapat memberi gambaran alternatif teknik melukis realis bagi masyarakat luas dan seniman yang lain.
BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teori 1. Pengertian Seni Seni merupakan bentuk aktivitas manusia untuk menciptakan suatu karya apapun, yang kemudian sebagai cipta seniman akan menyampaikan ungkapan perasaan tentang perkembangan lingkungan masyarakat dan fenomenafenomena alam yang terjadi di sekitar kepada orang lain. Seni bukan hanya semata-mata kegiatan jasmani saja, melainkan aktivitas jasmani maupun rohani. Achdiat Karta Miharja menyatakan: “Seni adalah kegiatan rohani manusia yang merefleksikan realita dalam suatu karya yang berkat bentuk dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam pengalaman rohani si penerimanya” (dalam Suwaji Bastomi, 1992: 20). Sebuah karya seni akan menimbulkan kembali perasaan dari pencipta apabila penikmat seni mampu menangkap, menerima dan menelaah filosofis apa yang terkandung dalam seni tersebut. Mengingat bahwa setiap manusia memiliki kemampuan dan daya tangkap yang berbeda-beda, maka perasaan yang ditangkap oleh penikmat seni juga akan berbeda-beda satu sama lain. Untuk itu seorang seniman dituntut memiliki sebuah kreativitas yang mampu menyamakan persepsi penikmat seni yang bertujuan agar penikmat seni mampu menerima dan menganalisis pesan filosofis yang terkandung dalam sebuah karya seni sesuai dengan maksud dari pencipta karya seni tersebut. Dari uraian di atas dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa kegiatan seni merupakan salah satu bahasa batin yang bersifat filosofis yang mampu menyikapi perkembangan lingkungan masyarakat dan fenomena-fenomena alam yang terjadi di sekitar kita melalui sebuah bentuk karya seni yang kemudian disuguhkan kepada para penikmat seni.
2. Pengertian Seniman Pada dasarnya seniman adalah seorang spesialis, artinya seorang yang memiliki kekhususan, kekhususan dalam hal memiliki daya dan kemampuan menciptakan seni atau menghasilkan seni (Suwaji Bastomi, 1992: 98). Seniman merupakan manusia yang mampu mewarnai peradaban manusia. Kehadirannya sangat berarti, yaitu sebagai kunci pembedah peradaban suatu kelompok. Predikat untuk menjadi seorang seniman sangat berat karena seorang seniman harus memiliki energi kegilaan yang luar biasa. Tanpa energi kegilaan ini tidak mungkin seniman mampu melahirkan karya kreatif dan besar. Seniman merupakan orang yang memiliki daya tangkap dan daya ungkap lebih tinggi dari pada orang lain yang bukan seniman. Melalui karya, seniman wajib untuk selalu mengkritik diri sendiri. Pada dasarnya seniman terbagi dalam 2 golongan yaitu seniman kreatif sebagai pencipta karya seni dan seniman timbal yang bertugas sebagai penyaji karya seni. Sebuah pendapat menyatakan bahwa “Seniman-seniman yang mampu mengungkapkan ciptanya kedalam suatu bentuk seni biasanya disebut seniman kreatif, sedangkan seniman yang mampu mengungkapkan cipta orang lain disebut seniman penyaji atau seniman timbal” (Suwaji Bastomi, 1992: 97-98). Seniman adalah seorang spesialis, memiliki daya cipta dan menciptakan seni yang terus berkembang secara kreatif dengan melupakan apa yang pernah dilakukan, ia terus berekspresi dengan kreativitas serta imajinasi dari pengalaman luar yang diperoleh.
3. Pengertian Seni Rupa Seni rupa adalah jenis seni yang ada rupanya, artinya seni yang wujudnya dapat diindera dengan mata dan diraba. Oleh karena itu seni rupa disebut pula seni visual (Suwaji Bastomi, 1992: 39).
Seni rupa merupakan
refleksi dari si pembuat tentang apa-apa yang mengalir dalam diri dicetuskan dalam bentuk sebuah karya. Bentuk karya tersebut dapat berupa lukisan, patung, tata ruang maupun bentuk fisik yang lain. Ini semua merupakan cetusan
pengalaman manusia tentang apa-apa yang, dapat diraba dengan tangan dan dapat dilihat dengan mata. Sedangkan pendapat yang lain mengemukakan: “Seni rupa yakni seni yang ada rupa (ujudnya). Artinya karya seni tersebut dapat dilihat dengan mata. Lengkapnya pengertian seni rupa yaitu gejala manifestasi batin dan pengalaman estetis dengan media garis, warna, tekstur, volume, ruang, dan sebagainya” (Edy Tri Sulistyo, 2005: 90. a). Seni rupa dapat dibedakan menjadi 2 bagian yang dapat memilah dan mewakili dimensi visual karya seni, yaitu:
a. Seni Rupa Dwi Matra Seni rupa dwi matra adalah karya seni rupa yang mempunyai ukuran panjang dan lebar. Pengamatannya harus dilihat dari satu arah depan (Edy Tri Sulistyo, 2005: 100. a). Sedangkan pendapat lain menyatakan: “Seni rupa dwi matra adalah seni rupa yang mempunyai dua ukuran yaitu panjang dan lebar, dengan kata lain seni rupa dwi matra bersifat datar, tidak mempunyai ketebalan sehingga tidak memakan ruang” (Suwaji Bastomi, 1992: 39). Dari sini akan menjadi lebih komplek untuk dinyatakan bahwa seni rupa dwi matra akan berwujud gambar dan lukisan yang dapat dilihat dari arah depan, meskipun juga sedikit terlihat dari samping namun secara keseluruhan akan terlihat maksimal apabila seni rupa dwi matra dilihat dari arah depan. b. Seni Rupa Tri Matra Seni rupa tri matra ialah karya seni rupa yang mempunyai unsur garis, warna, bidang, tekstur, dan ruang/massa/kedalaman. Wujudnya mempunyai ukuran panjang, lebar, dan isi/tebal, sehingga dapat dinikmati dari segala arah (Edy Tri Sulistyo, 2005: 105-106. a). Seni rupa tri matra memiliki ciri sebuah volume, sehingga dapat menunjukkan dimensi yang dapat terlihat dari berbagai arah. Pendapat yang lain menyatakan: “Seni rupa tri matra adalah seni rupa yang memakan ruang karena mempunyai matra panjang, lebar dan tebal” (Suwaji Bastomi, 1992: 40).
Seni rupa trimatra bersifat memenuhi ruang dan berwujud, sehingga seni rupa trimatra berhubungan erat dengan bentuk. Sebagai contoh adalah patung dan ukiran yang berwujud tiga dimensional yang artinya dapat dinikmati dari berbagai penjuru, baik dari arah depan, belakang, samping kiri, samping kanan, atas dan bawah.
4. Pengertian Seni Lukis Seni lukis merupakan salah satu cabang dari seni rupa yang pada saat ini mengalami perkembangan begitu pesat, demikian pula mengenai batasan-batasan pengertiannya. Secara umum seni lukis diartikan sebagai suatu penggunaan warna pada sebuah bidang permukaan untuk menciptakan maksud tertentu dari sebuah imajinasi. Sebuah pendapat menyatakan bahwa: “Seni lukis merupakan salah satu hasil karya seni rupa dwi matra, di samping seni grafis, ilustrasi, desain komunikasi visual gambar dan sketsa” (Edy Tri Sulistyo, 2005: 1. b). Seni lukis adalah seni mengenai gambar-menggambar dan lukismelukis (Lukman Ali, 1996: 915). Apabila suatu lukisan memiliki unsur garis yang sangat menonjol, semisal karya-karya yang dibuat dengan pena atau pensil, maka karya tersebut disebut “gambar”, sedang “lukisan” adalah karya yang kekuatannya terletak pada unsur warna. Bermacam pendapat dari para ahli mengenai pengertian seni lukis yang hingga sekarang ini masih berkembang secara elementer, maka dipertegas dalam Ensiklopedia Indonesia: “Seni lukis adalah bentuk lukisan pada bidang 2 dimensi, berupa hasil pencampuran warna yang mengandung arti”. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka pengertian seni lukis dapat disimpulkan sebagai hasil aktivitas manusia yang dituangkan dalam bidang dua dimensi dalam arti mempunyai ukuran panjang dan lebar dengan melandaskan fisioplastis
dan
ideoplastis
menggunakan
medium
seni
rupa
sehingga
menghasilkan karya seni lukis yang mempunyai nilai artistik guna mencapai ekspresi dan imajinasi.
Di dalam seni lukis pada hakekatnya terdapat kegiatan melukis untuk menuangkan ide kreatif yang terdapat unsur ekspresivitas dan kreativitas. Sebuah pendapat menyatakan: “Melukis dapat dikatakan sebagai kegiatan menggambar, jika ungkapan perasaan (ekspresi) merupakan aspek yang paling dominan, oleh karenanya melukis dapat dikatakan dengan istilah menggambar ekspresi. Jadi, melukis berarti usahaseseorang (sebut: seniman) untuk menyalurkan ungkapan perasaandengan menggunakan media seni rupa lazimnya adalah media cat minyak di atas kanvas atau cat air di atas kertas” (Edy Tri Sulistyo, 2005: 1-2. b). 5. Komponen Seni Lukis Seni lukis terdiri dari 3 komponen yaitu: subject matter/pokok soal/ tema, bentuk dan isi. Ramuan atau komponen seni meliputi subject matter, bentuk dan isi atau arti (Mulyadi, 2000: 14). Komponen pendukung tersebut akan berperan dalam pembabaran bentuk visual sebuah karya dalam hal ini karya seni lukis. Dari pernyataan di atas, lebih lanjut dibahas sebagai berikut:
a. Subject Matter atau Tema Subject matter merupakan media untuk menyampaikan suatu maksud atau sebagai sarana untuk memaknai sesuatu. Semua terangkai dalam satu pokok bahasan yang sering disebut juga dengan tema. Subject matter atau tema diartikan sebagai inti (pokok) masalah dalam hidup manusia, baik keduniawian maupun kerohanian, yang mengilhami seniman untuk dijadikan subjek yang artistik dalam karyanya (Dharsono dan Nanang, 2004: 26). Subject matter atau tema disampaikan melalui bahasa karya seni, sebagai contoh: sebuah gambar dan garis yang terputus-putus pendek dan melengkung mengatakan sesuatu yang berbeda jika dibandingkan sebuah gambar yang sama tetapi dengan menggunakan garisgaris yang lembut tertata walaupun memiliki subject matter yang sama. Subject matter yang diangkat dalam lukisan realis Agus Wiryawan adalah aktivitas kehidupan manusia, khususnya kaum perempuan. Namun demikian dalam tema-tema yang begitu sederhana tersebut, Agus Wiryawan mampu untuk menampilkan variasi bentuk yang luar biasa dan mengagumkan.
Hal ini dapat kita lihat pada beberapa karya lukisan Agus Wiryawan yang berjudul: Air Kehidupan, Meracik Jamu, Pasar dan lain-lain. Dalam lukisan itu akan ditemukan variasi bentuk yang bermacam-macam, misalnya perempuan yang sedang bekerja, aneka ragam gerabah, alat dan bahan dalam meracik jamu, seruling, bebatuan dan lain-lain.
b. Form atau Bentuk Bentuk dikenal sebagai “totalitas” karya, yang merupakan organisasi unsur-unsur rupa, sehingga terwujud apa yang disebut karya (Mulyadi, 2000: 16). Oleh karena itu bentuk digunakan dalam pengistilahan elemen-elemen pendukung dalam terciptanya karya seni lukis dalam kaitannya dengan teknis perubahan subject matter kedalam medium yang dipilih. Terciptanya bentuk dalam seni lukis secara teknis didukung oleh elemen-elemen seni lukis yang meliputi: garis, warna, bentuk, tekstur dan gelap terang. Lebih lanjut elemen-elemen seni lukis tersebut dibahas sebagai berikut: 1. Garis Garis merupakan suatu alat yang fundamental dalam membabarkan ekspresi. Garis juga merupakan perlengkapan grafis yang dibuat untuk fungsi simbolis dalam ekspresi. Garis pada hakekatnya adalah suatu rentetan dari titiktitik yang berimpitan, ia merupakan bentuk abstrak yang tidak ada di dalam alam, artinya sekedar illusif yang memberikan kesan imajinatif tertentu (Soegeng Toekio, 1983: 18). Garis ini bisa menyatakan tapal batas, relung atau gelombang berirama (ritme), keras atau pejal dan banyak lagi. Dalam seni lukis garis biasa digunakan untuk membuat kontur, tekstur serta memberikan efek-efek gerak. Selain itu garis juga dapat memberi kesan irama dan kekuatan dari goresan yang berbeda-beda antara seniman yang satu dengan yang lain.
2. Warna Warna merupakan salah satu elemen pokok dalam karya seni rupa. Warna terjadi sebagai akibat mata kita menangkap pantulan cahaya di atas suatu
benda. Intensitas atau daya pantul tadi berbeda kekuatan, sehingga indera kita dapat membedakan macam warna yang ditangkap. Warna juga dapat digunakan untuk mengetahui sifat-sifat, simbolik dan media ekspresi. Adanya perbedaan jenis ini dapat memberi kesan tentang ruang, komposisi, gelap terang, keindahan dan sebagainya. Dalam seni lukis, warna sebenarnya terbentuk karena pigmen-pigmen dari cat yang memiliki daya pantul cahaya yang diterimanya dan menyerap berkas sinar tertentu (Soegeng Toekio, 1983: 22). Warna mampu memberi sifat harmoni, kontras bahkan keserasian dengan objek. Dalam pengolahan warna, Agus Wiryawan biasa mencampur terlebih dahulu cat minyak merk Greco, Amsterdam dan Winton beserta minyat cat minyak merk Greco di atas piring palet sampai matang, kemudian baru ia goreskan di atas kanvas. Warna kesukaan Agus Wiryawan adalah warna-warna yang agak gelap seperti warna coklat yang ia peroleh dari pencampuran warna merah, kuning, biru dan sedikit warna putih dengan komposisi tertentu. Menurut Agus Wiryawan hal ini sangat cocok dengan konsep yang diangkat dalam lukisan, yaitu warna kulit manusia. Gelap terang berdasarkan arah cahaya yang datang sangat diperhitungkan sekali dalam lukisan Agus Wiryawan. Warna-warna yang disajikan dalam lukisan Agus Wiryawan dibuat sedapat mungkin sesuai dengan warna asli dengan modal keterampilan tersebut memang sudah dikuasai. Warna-warna yang hadir dalam setiap lukisan Agus Wiryawan merupakan warna-warna yang nyata atau realis seperti yang tampak pada lukisan: Air Kehidupan, Bermain Suling I, Pemecah Batu, Meracik jamu, Pasar dan sebagainya. Dalam
membuat
lukisan
Agus
Wiryawan
tidak
mempercantik
penampakan objek. Ia bersikap jujur terhadap kenyataan objek yang dilihat menggunakan tingkat ketepatan yang tinggi. Namun demikian dalam memperoleh modal penguasaan pencampuran warna tersebut membutuhkan waktu lama, bahkan bertahun-tahun yang berasal dari pengalaman, pendidikan maupun pengaruh lingkungan. Hal ini karena kemampuan manusia, dalam hal ini Agus Wiryawan yang terbatas. Dia tidak akan mengerti tentang teknik pencampuran
warna apabila sama sekali belum pernah melihat, mengerti dan diajarkan oleh orang lain.
3. Shape atau Bidang Bidang merupakan salah satu elemen pokok dalam seni rupa yang memiliki bentuk dan jenis yang tentu saja banyak sekali. Bentuk bidang dibagi menjadi 2 macam, yaitu bentuk bidang beraturan (bujur sangkar, lingkaran, oval, persegi panjang maupun segi tiga) dan bentuk bidang tidak beraturan. Bidang pada seni rupa, bisa jadi merupakan hasil perpotongan dari beberapa garis atau garis lengkung yang bertemu ujung pangkalnya sehingga merupakan silhuet dari sesuatu. Bidang juga dapat terjadi pada sekelompok warna. Misalnya dengan hanya menyentuh kuas yang sudah bercampur warna diatas bidang datar atau kertas, terjadilah bekas atau tanda warna yang menempel pada kertas tersebut. Bekas yang dihasilkan ini disebut bidang atau merupakan “spot” (noktah). Sedangkan bidang yang terjadi karena pertemuan garis lengkung dan merupakan silhuet dapat kita sebut shape (Edy Tri Sulistyo, 2005: 117. a). Sedangkan pengertian lain menyatakan: Bidang sebagai elemen tidak terbentuk tanpa adanya batas pemisah, bidang atau spot sama halnya seni rupa. Secara definitif bidang bisa memberi pengertian noktah: shape, area atau mass atau juga size. Semuanya itu terutama dinyatakan bagi penggambaran atau bentuk dua dimensi, sedangkan kata mass atau massa bisa dua atau tiga dimensi (Soegeng Toekio, 1983: 20). Bidang dapat memberi sebuah kesan menonjol, menentukan proporsi, keseimbangan (balance) maupun komposisi dalam sebuah desain, lukisan, patung dan karya seni rupa yang lain. Bagi seniman atau pendesain bidang dapat dicapai dengan goresan, ulasan kuas, torehan atau cukilan dan banyak cara lain menurut kepentingan mendapatkan bentuk.
4. Tekstur Tekstur pada dunia seni rupa adalah sifat-sifat dari permukaan bidang atau kualitas suatu permukaan (Edy Tri Sulistyo, 2005: 118. a). Sedangkan pengertian yang lain tentang tekstur pada dasarnya adalah sifat rabaan dari suatu
permukaan yang secara imajinatif ataupun faal memberikan kesan tertentu. Sifat rabaan ini bisa rial (artinya: nyata dapat dirasakan oleh indera raba), ataupun hanya ilusif: hanya dapat dirasakan lewat imajinatif (Soegeng Toekio, 1983: 21). Tekstur rial atau nyata dibuat menggunakan bahan-bahan mix-media, jika tekstur ini diraba rasanya kasar sesuai kesan yang dirasakan. Sedangkan tekstur semu dibuat menggunakan goresan, sapuan kuas, torehan dan garis-garis yang tipis serta lembut. Meskipun kesan yang dirasakan juga kasar, namun jika diraba ternyata rata, tidak sesuai dengan pandangan. Kesan utama yang disampaikan lewat bidang adalah sifat faal dari suatu bentuk visual. Kita akan menangkap tentang rasa halus, kasar, tajam, lunak, datar dan sebagainya, sebagai akibat dari penglihatan kita terhadap relief dan gambaran atau lukisan yang kita lihat.
5. Value atau Gelap Terang Value diartikan sebagai perbedaan kecerahan warna atau perbedaan tingkat kegelapan antara bagian-bagian yang berdekatan pada bagian detail sebuah lukisan atau gambar (Suryo, 2000: 71). Value juga diartikan sebagai warna-warna yang memberikan kesan gelap terang atau gejala warna dalam perbandingan hitam dan putih (Suwaji Bastomo, 1992: 65). Apabila suatu warna ditambah dengan putih, maka warna itu makin tinggi valuenya sampai pada putih sama sekali. Apabila ditambah dengan hitam warna itu akan lemah valuenya sampai pada hitam sama sekali.
6. Komposisi Seni Komposisi adalah susunan atau perimbangan. Berhasil atau tidaknya suatu karya seni ditentukan oleh susunan unsur-unsurnya, sehingga susunan itu dapat membentuk ungkapan sesuai dengan yang dikehendakinya (Edy Tri Sulistyo, 2005: 98. a). Susunan unsur karya seni tersebut mencakup: a. Proporsi, b. Keseimbangan, c. Harmoni, d. Irama, e. Kontras, f. Pusat perhatian dan g. Keutuhan, lebih lanjut komposisi seni dibahas sebagai berikut:
a) Proporsi Pengertian
yang
paling
dekat
dengan
istilah
proporsi
adalah
perimbangan. Masalah komposisi unsur satu dengan yang lain harus menunjukkan kekuatan yang seimbang. Dalam seni lukis misalnya point of interest harus menyatu dengan background maupun foreground sehingga seimbang dan tidak terkesan berdiri sendiri-sendiri. (h. 98).
b) Keseimbangan Keseimbangan (balance) adalah apabila beberapa unsur karya seni dapat memberi rasa seimbang serta memuaskan pada kita yang melihat dan merasakan. Lukisan misalnya, keseimbangan dalam lukisan dapat kita lihat pada penempatan point of interest, background maupun foreground. Untuk mencapai keseimbangan tersebut cara yang ditempuh adalah dengan mengatur unsur-unsur seni secara sistematis (penempatan berurutan dan tertata rapi) ataupun asimetris (penempatan acak, kanan-kiri atas-bawah tidak sama namun terasa seimbang). (h. 98).
c) Harmoni Harmoni adalah proporsi yang cocok dari hasil pengamatan. Istilah harmoni sering di sejajarkan dengan istilah serasi. Sebagai contoh lukisan yang bertemakan lands scape atau natural harus disertai dengan background ataupun foreground yang sama, sehingga kesan harmoni atau serasinya akan nampak. (h. 98).
d) Irama Pada awalnya istilah irama hanya digunakan dalam seni musik, namun setelah seni mengalami perkembangan, pada akhirnya istilah irama digunakan pula untuk semua cabang seni, tidak terkecuali dalam seni lukis. Salah satu contoh irama dalam seni lukis yaitu dengan menyejajarkan garis mendatar (horizontal), garis tegak (vertikal), garis lengkung dan garis miring (diagonal). Garis horizontal memberikan kesan irama yang tenang dan tentram, garis vertikal memberikan kesan irama sifat agung dan stabil, garis lengkung
berirama lemah dan lembut, sedangkan garis diagonal menimbulkan irama gerak, lincah, gembira dan terkesan dinamis. Tiga kemungkinan utama tercipta irama pada seni rupa yaitu: 1. Pengulangan bidang atau bentuk garis yang beraturan dengan jarak dan bentuk yang sama. 2. Perbedaan ukuran dengan bentuk yang teratur dan berkelanjutan. 3. Perbedaan jarak dan ruang yang terus menerus antara bentuk atau bidang yang selaras dalam gerak. (h. 99).
e) Kontras Pengertian kontras adalah unsur karya seni satu dengan yang lain tampak jelas perbedaannya bahkan berlawanan. Sebagai contoh dalam pementasan karya seni antar background, panggung dengan bentuk karya seni yang dipentaskan kadang-kadang timbul kekontrasan. (h. 99).
f) Pusat Perhatian Walaupun karya seni terdiri dari berbagai macam unsur pembentuk yang saling berkaitan erat, namun untuk menarik perhatian dari penikmat seni harus terdapat point of interest atau centre of interest pada bagian tertentu dalam sebuah karya seni yang harus ditonjolkan. Sebuah contoh pada lukisan centre of interest dibuat dengan warna yang mencolok ataupun dengan ukuran yang relatif lebih besar yang ditempatkan di tengah-tengah dan tepat pada sasaran mata memandang. (h. 100).
g) Keutuhan Menilai karya seni harus secara utuh (totalitas), artinya harus secara keseluruhan. Penilaian terhadap sebuah karya seni dapat dari segi fisik atau bentuk maupun dari segi nonfisik atau tema maupun isi yang ditampilkan. Hasil karya seni akan mendekati penilaian yang sempurna apabila beberapa kaidah yang telah diketengahkan menunjukkan keutuhan, berhubungan erat, saling mendukung satu sama lain. (h. 100).
c. Isi atau Arti Isi didefinisikan sebagai “final statement”, mood (suasana hati) atau pengalaman penghayat. Isi merupakan arti yang essenntial daripada bentuk, dan seringkali dinyatakan sebagai sejenis emosi, aktivitas intelektual atau assosiasi yang kita lakukan terhadap suatu karya/ seni (Mulyadi, 2000: 16). Jika maksud dan tujuan sebuah karya mampu dimengerti, maka isi sebuah karya telah tersampaikan. Bentuk tersebut merupakan titik akhir dari sebuah ketentuan yang telah melewati suatu proses pemikiran dari kesadaran batin seniman pencipta.
6. Pengertian Realisme Sebuah pendapat menyatakan: “Kita sebut setiap seni realistis apabila apa yang kita lihat adalah naturalistis dan apabila yang kita lihat menunjukkan dunia aktual seperti jika kita memandang tembus sebuah cendela kaca yang datar, apakah penggambaran yang kita lihat itu baik ataupun buruk” (Narsen Afatara, 1997: 2). Jadi seniman realis adalah yang memandang dunia tanpa ilusi. Mereka menggunakan penghayatan untuk menemukan dunia. Hal ini jelas terlihat dari ucapan salah seorang diantara penganut aliran realis ini (Courbert, Pelukis dari Perancis), “Tunjukkan malaikat kepadaku dan aku akan melukisnya”. Hal ini mengandung maksud bahwa ia tidak akan melukiskannya kalau hal ini gagal ditunjukkan kepadanya. Secara teoritis seniman realis adalah pelukis-pelukis objektif, pelukis yang melukiskan apa saja yang dijumpai tanpa pandang bulu dan tidak akan menciptakan sesuatu yang hanya keluar dari gagasan. Apa yang dilihat akan dilukiskan apa adanya tanpa idealisasi, distorsi, maupun pengolahan-pengolahan lain. Pada hakekatnya aliran realisme dan aliran naturalisme sering dianggap sama oleh orang awam, namun kedua aliran ini mempunyai perbedaan yang jelas. Realisme dari kata “real” dalam bahasa Inggris berarti nyata, sedang naturalisme dari kata “nature” yang berarti alam (Edy Tri Sulistyo, 2005: 15. b).
Sesungguhnya, realisme cenderung melukiskan kenyataan yang pahit dari kehidupan manusia. Balinsky, orang Rusia, cara bagaimana orang dapat melukiskan realistis mengatakan: carilah objek kesenilukisanmu dari sekeliling kehidupanmu sehari-hari, jangan bagus-baguskan. Tangkap itu apa adanya sebagaimana manusia sekarang. Sedangkan dalam naturalisme, seniman berusaha melukiskan segala sesuatu dengan nature atau alam kodrat. Untuk memberikan kesan mirip, diusahakan wujud yang persis, artinya, susunan, perbandingan, keseimbangan, perspektif, tekstur, pewarnaan disamakan setepat mungkin sesuai dengan mata kita melihat gejala yang dilihat. Walaupun kedua aliran ini mempunyai perbedaan cukup jelas, namun sampai saat ini kita masih sering dihadapkan pada kesulitan untuk membedakan dikarena kedua aliran ini sama-sama melukiskan keadaan yang representatif. Pelukis pertama yang menemukan aliran realisme ini ialah Gustave Courbert (1807-1877). Di Indonesia di samping Raden Saleh, Basuki Abdullah dan Dullah termasuk penganut aliran ini.
B. Kerangka Berpikir
Faktro Pendukung Latar Belakang Faktor Utama Kepuasan Batin
Lingkungan: Seniman a. Keluarga
Seniman
b. Pendidikan Ide c. Masyarakat Tema
Teknik Pembuatan
Objek/Model di photo Menggunakan Kamera
Sketsa
Warna Dasar
Warna Pertebal
Karya
Bagan 1. Kerangka Berpikir
Alat dan Bahan
Keterangan: Agus Wiryawan dalam berkarya seni lukis realis dipengaruhi oleh Kepuasan batin sebagai faktor utama. Sedangkan factor pendukung Agus Wiryawan dalam berkarya seni lukis realis yaitu latar belakang lingkungan keluarga, latar belakang pendidikan dan latar belakang lingkungan masyarakat. Tahap yang pertama yang dilakukan Agus Wiryawan dalam berkarya yaitu mencari ide atau gagasan awal guna menentukan tema yang tepat dan matang, kemudian baru mencari objek atau model yang sesuai dengan tema yang telah ditentukan. Setelah objek atau model yang sesuai ditemukan kemudian dipotret menggunakan bantuan kamera. Langkah selanjutnya menyiapkan alat dan bahan untuk memindahkan bentuk-bentuk kedalam kanvas yang diawali dengan pembuatan sketsa dan warna dasar. Warna dasar kemudian dipertebal dengan pengolahan warna realis yang telah dikuasai. Setelah keseluruhan komponen itu dilaksanakan, maka muncullah sebuah karya seni lukis realis sebagai hasil dari proses berkarya seniman, dalam hal ini seniman Agus Wiryawan. Kemudian pada proses finishing, lukisan tersebut dicantumkan jati diri seniman, tahun pembuatan dan diberi pigura.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah yang sekaligus merupakan studio lukis mini (berukuran 3 x 2,5 m) Agus Wiryawan berlokasi di Perumahan Klodran Indah, RT 03/ III, Jl. Jambu IV, Klodran, Colomadu, Karanganyar. Sedangkan pelaksanaan penelitian ini pada bulan Januari 2006 sampai dengan bulan Maret 2006.
B. Bentuk dan Strategi Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, yaitu metode penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis maupun lisan dari orang atau peristiwa yang sedang diamati. Metode kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Tylor, dalam Moleong, 2000: 3). Penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan segi “proses” dari pada “hasil” penelitian, hal ini disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses (Moleong, 2000: 7).
C. Sumber Data Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh (Suharsimi, 1996: 114). Penelitian ini memerlukan banyak data yang bersumber dari orang-orang maupun dokumen, sehingga hasil penelitian ini tidak diragukan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Informant, yaitu data yang diperoleh dari orang yang dianggap mengetahui tentang apa yang sedang diteliti, keterangan tersebut kemudian dicatat sebagai sumber data. Dalam hal ini Agus Wiryawan sebagai informant. 2. Tempat dan peristiwa yang terjadi dalam proses pembuatan karya sebagai objek dalam penelitian.
3. Dokumentasi, keseluruhan karya lukis Agus Wiryawan pada periode 2001– 2003 berjumlah 84 karya. Karya yang merupakan pesanan dari pelanggan sejumlah 53 karya, sedangkan 31 karya selebihnya merupakan karya yang dibuat oleh Agus Wiryawan berdasarkan keinginan dan kepuasan batin serta bukan pesanan dari pelanggan atau penggemar seni. Dalam penelitian ini mengambil 10 lembar foto-foto hasil karya Agus Wiryawan Periode 2001– 2003 yang bukan merupakan pesanan dari pelanggan atau penggemar karya lukis realis Agus Wiryawan dengan tema aktivitas manusia, khususnya kaum perempuan, meliputi: “Pasar” 2001, media cat minyak di atas kanvas berukuran 70 x 110 cm; “Pemecah Batu” 2001, cat minyak di atas kanvas berukuran 70 x 90 cm; “Air Kehidupan” 2002, cat minyak di atas kanvas berukuran 70 x 90 cm; “Belajar Suling” 2002, cat minyak di atas kanvas berukuran 70 x 90 cm; “Bermain Suling I” 2002, cat minyak di atas kanvas berukuran 70 x 90 cm; “Bermain Suling II” 2002, cat minyak di atas kanvas berukuran 70 x 90 cm; “Meracik Jamu” 2002, cat minyak di atas kanvas berukuran 80 x 100 cm; “Bakul Jamu” 2003, cat minyak di atas kanvas berukuran 80 x 100 cm; “Kasih Ibu I” 2003, cat minyak di atas kanvas berukuran 80 x 120 cm; dan “Kasih Ibu II” 2003, cat minyak di atas kanvas berukuran 60 x 80 cm. 4. Kepustakaan sebagai sumber tambahan, yaitu berupa buku tentang seni, seni rupa, seni lukis, komponen seni, metode penelitian kualitatif, buku pedoman penyusunan laporan hasil penelitian dan buku-buku yang lain yang mendukung penelitian ini. Selain buku juga didukung dengan katalog-katalog Pameran Lukisan yang pernah diikuti oleh Agus Wiryawan.
D. Teknik Pengumpulan Data Kegiatan pengumpulan data merupakan bagian yang sangat penting dalam sebuah penelitian. Oleh karena itu untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian kualitatif ini memerlukan cara atau teknik pengumpulan data. Teknik pengumpuan data dalam penelitian ini ada 3 macam yaitu :
1. Observasi Observasi merupakan metode ilmiah yang bisa diartikan sebagai pengamatan dengan pencatatan secara sistematik terhadap fenomena-fenomena yang dihadapi dan diselidiki (Sutrisno Hadi, 1990: 23). Dalam pengertian lain observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi (Nasution, 1988: 56). Penjaringan data dalam penelitian ini menggunakan observasi langsung, dimana penulis secara langsung melakukan kunjungan ketempat penelitian dan melakukan pengamatan secara langsung terhadap apa saja yang menjadi objek penelitian. Dalam penelitian ini digunakan teknik observasi tak berperan. Dalam observasi tak berperan perilaku yang berkaitan dengan kondisi lingkungan yang tersedia dapat diamati secara formal maupun informal. Observasi digunakan untuk menjaring data-data tentang latar belakang, tema yang diangkat untuk mewujudkan ide, proses penciptaan seni lukis dan visualisasi karya seni lukis Agus Wiryawan.
2. Wawancara Wawancara yaitu pengumpulan data dengan secara lisan kemudian dijawab dengan lisan pula. Dengan wawancara diharapkan diperoleh data secara langsung dari informan, baik data yang bersifat informasi maupun data penunjang penelitian yang dibutuhkan oleh peneliti. Sebuah pendapat menyatakan: “Wawancara adalah mengkonstuksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntunan, kepedulian dan lain-lain kebulatan; mengkonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami masa lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang telah diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota” (Lincoln dan Guba, dalam Moleong, 2000: 135). Wawancara dilakukan secara terstruktur, sehingga dapat memberikan keleluasaan kepada peneliti dalam mengajukan pertanyaan kepada informant.
Pengertian wawancara tersruktur adalah wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan (Moleong, 2000: 138). Teknik wawancara adalah pengumpulan data yang bersifat terbuka dan mendalam. Wawancara
dilakukan
secara
tidak
formal
guna
menanyakan
permasalahan yang diperlukan dalam penelitian ini. Wawancara merupakan pengumpulan data dari sebuah penelitian kualitatif. Dengan wawancara diperoleh data secara langsung, baik data yang bersifat informasi maupun yang harus dicatat. Dalam penelitian ini pihak yang diwawancarai adalah seniman lukis realis Agus Wiryawan. Data yang diperoleh menggambarkan tentang keseharian Agus Wiryawan dalam membuat lukisan, diawali dari latar belakang, tema yang diangkat dalam berkarya, alat dan bahan yang digunakan, teknik pembuatan karya lukis sampai dengan hasil dari karya lukis realis pada periode 2001–2003.
3. Dokumentasi Menurut Guba dan Lincoln: “Dokumen ialah setiap bahan tertulis ataupun film, lain dari record, yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik. Record adalah setiap pernyataan tertulis yang disusun oleh seseorang atau lembaga untuk keperluan pengujian suatu peristiwa atau menyajikan akunting” (dalam Moleong, 2000: 161). Selain itu disebutkan dokumen adalah sumber yang bukan manusia, non human resources (Nasution, 1988: 85). Pengertian lain dari dokumen dan arsip merupakan bahan yang tertulis yang bergayutan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Ia merupakan rekaman tertulis tetapi juga gambar atau benda peninggalan yang berkaitan dengan suatu aktivitas atau peristiwa tertentu (Sutopo 2002: 54). Dokumen atau arsip merupakan teknik pengumpulan data yang paling menentukan. Dengan menganalisa dokumen yang ada, maka lengkap sudah data yang dikumpulkan, tinggal bagaimana kita akan mengolah data tersebut. Teknik pengumpulan data dengan analisis dokumentasi ini mengarah untuk menjaring data tentang kebenaran lukisan Agus Wiryawan merupakan lukisan realis,
originalitas lukisan Agus Wiryawan (bukan merupakan lukisan repro/ bajakan) dan sebagai bukti keaktifan Agus Wiryawan dalam berkarya pada periode 2001– 2003. Keseluruhan karya lukis yang dihasilkan Agus Wiryawan pada periode 2001–2003 berjumlah 84 karya. Karya yang merupakan pesanan dari pelanggan sejumlah 53 karya, sedangkan 31 karya selebihnya merupakan karya yang dibuat oleh Agus Wiryawan berdasarkan keinginan dan kepuasan batin serta bukan pesanan dari pelanggan atau penggemar seni. Dari 31 karya tersebut 25 karya bertema aktivitas kegiatan wanita dan 6 karya bertema pemandangan alam. Dalam penelitian ini dokumentasi yang ada berupa: (1) Data hasil wawancara dengan seniman Agus Wiryawan (2) Katalog pameran lukisan Agus Wiryawan (3) 10 lembar foto karya lukis Agus Wiryawan yang bukan merupakan pesanan dari pelanggan atau penggemar karya lukis realis Agus Wiryawan dengan tema aktivitas manusia, khususnya kaum perempuan.
E. Teknik Sampling Teknik sampling dalam penelitian kualitatif jelas beda dengan teknik sampling pada penelitian kuantitatif. Dalam hubungan dengan penelitian, Cuplikan (sampling) diartikan suatu bentuk khusus atau suatu proses yang umum dalam pemusatan atau pemilihan dalam penelitian yang mengarah pada seleksi (Sutopo, 1988: 21). Pengertian yang lain: ”Sampling adalah menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan bangunannya (constructions). Tujuannya adalah untuk merinci kekhususan yang ada kedalam ramuan konteks yang unik. Maksud kedua dari sampling ialah menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul” (Moleong, 2000: 165). Dalam penelitian ini digunakan teknik “Purposive Sampling“. Purposive sampling adalah dimana peneliti cenderung memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantab dalam mengetahui masalah secara dalam (Sutopo, 1988: 21–22).
Dalam penelitian ini pemilihan sampel dengan menentukan orang yang dianggap mengetahui dan menguasai pokok permasalahan. Oleh karena itu sampel tersebut adalah informant yaitu seniman lukis Agus Wiryawan.
F. Validitas data Pengujian data yang terkumpul apakah memiliki tingkat kebenaran atau tidak, maka diadakan pengecekan data yang disebut validitas data. Validitas data akan membuktikan apakah data yang diperoleh sesuai dengan apa yang ada di lapangan atau tidak. Validitas adalah membuktikan apa yang diamati oleh peneliti sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada dalam dunia kenyataan, dan apakah penjelasan yang diberikan tentang dunia memang sesuai dengan yang sebenarnya ada atau terjadi (Nasution, 1988: 105). Dalam hal ini validitas data dilakukan dengan triangulasi data dan review informant.
1. Triangulasi Data Triangulasi data adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2000: 178). Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu triangulasi sumber yang berarti membandingkan dan mengecek balik derajad kepercayaan suatu informasi melalui waktu dan alat yang berbeda. Dalam hal ini dilakukan dengan membandingkan data hasil pengamatan dengan wawancara latar belakang, tema, bahan dan alat serta teknik pembuatan karya lukis realis Agus Wiryawan.
2. Review Informant Review informant merupakan pemeriksaan keabsahan data dengan cara mengajukan kembali data yang telah terkumpul untuk diteliti oleh informan, jika terjadi kesalahan, maka akan dapat dibenarkan sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Review Informant dilakukan oleh informan (khususnya pada key informant) untuk mengetahui apakah yang ditulis merupakan sesuatu yang dapat
disetujui mereka, dalam hal ini kadang-kadang memerlukan diskusi agar pengertian dari kedua belah fihak dapat dicapai (Sutopo, 1988: 31-32). Dalam penelitian ini simpulan sementara hasil wawancara dan pengamatan dikemukakan kembali kepada key informant yaitu Agus Wiryawan agar didapat sebuah data yang valid dan telah disetujui keabsahannya.
G. Teknik Analisis data Analisis data adalah proses mengatur urutkan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar (Patton, dalam Moleong 2000: 103). Sedangkan pendapat lain menyatakan: “Analisis data adalah proses yang merinci usaha secara formal untuk menentukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu” (Bogdan dan Taylor, dalam Moleong, 2000: 103). Analisis data adalah pengorganisasian dan pengurutan data kedalam kategori dan kesatuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja. Ada 3 komponen analisis data, yaitu:
1. Reduksi data Reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data (kasar) yang ada dalam fieldnote. Proses ini berlangsung terus sepanjang riset, yang dimulai dari bahkan sebelum pengumpulan data dilakukan (Sutopo, 1988: 34-35). Jadi reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan. Reduksi data ini berlangsung secara terus menerus selama objek yang berorientasi berlangsung.
2. Display atau Penyajian data Display
data
adalah
suatu
rakitan
organisasi
informasi
yang
memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan (Sutopo, 1988: 35). Dengan melihat display atau penyajian data, akan dapat dimengerti apa yang terjadi dan
memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut. Penyususnan data yang baik harus secara sistematika, sehingga akan banyak menolong dan mempermudah penelitian yang dilakukan. Dengan melihat suatu penyajian data yang tersusun secara sistematika akan mudah mengerti tentang simpulan yang didapat berdasarkan penelitian yang telah dilakukan.
3. Verifikasi atau Penarikan Simpulan Penarikan simpulan/ verifikasi dilakukan sejak permulaan pengumpulan data sedang analisis kualitatif mulai mencari arti benda-benda mencatat keteraturan, pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proporsi (Tjetjep Rohendi Rohidi, 1993: 19). Verifikasi data juga diartikan sebagai penarikan simpulan sementara atas dasar data yang telah didapat demi memperoleh kebenaran data. Karena penelitian ini merupakan penelitian kasus tunggal, maka digunakan analisis data model analisis mengalir atau flow model of analysis yang digambarkan dalam bagan berikut:
Masa Pengumpulan Data
REDUKSI DATA
Antisipasi
Selama
Pasca
PENYAJIAN DATA ANALISIS Selama
Pasca
VERIFIKASI DATA
Selama
Pasca
Bagan 2. Analisis Data Model Mengalir (Miles, M.B. dan Huberman, terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi)
Bagan analisis data model mengalir atau flow model of analysis tersebut disusun dengan alasan sebagai berikut: a. Karena permasalahan yang diteliti merupakan kasus tunggal. b. Tempat diadakan penelitian ini hanya satu tempat atau homogen, yaitu di rumah seniman Agus Wiryawan. c. Komponen-komponen awal sifatnya sejajar dari proses reduksi data, penarikan simpulan dari awal sampai akhir penelitian sejajar atau paralel. Penelitian ini dimulai dari reduksi data, lalu penyajian data dan pada akhirnya ditarik sebuah simpulan awal atau verifikasi sebagai sesuatu yang saling berkaitan satu sama yang lain pada saat sebelum, selama maupun sesudah atau pasca penelitian, untuk membangun wawasan umum (analisis) seperti yang telah digambarkan pada bagan di atas.
H. Prosedur penelitian 1. Tahap Pra Lapangan a. Menyusun rancangan, b. Memilih tempat dan waktu penelitian, c. Mengurus perijinan, d. Menjajaki situasi lapangan, e. Menyusun instrumen dan rambu-rambu pertanyaan, f. Memilih informan, g. Menyiapkan perlengkapan penelitian.
2. Tahap Pengumpulan Data a. Memasuki lapangan penelitian, b. Mengumpulkan data dari lokasi penelitian melalui wawancara, observasi dan dokumen, c. Berperan serta sambil mengumpulkan data, kemudian dibahas dan dimantabkan.
3. Tahap Analisis Data a. Membuat konsep dasar dari analisis data, b. Membuat dan mengembangkan sajian data, c. Menganalisis berdasarkan pengamatan dan pengayaan, d. Merumuskan simpulan akhir. 4. Tahap Penulisan Laporan a. Menyusun laporan awal, b. Menyusun perbaikan laporan, c. Menyusun laporan akhir.
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kediaman Agus Wiryawan yang berlokasi di Kabupaten Karanganyar, Surakarta. Di tempat ini terdapat studio mini berukuran 3 x 2,5 m yang digunakan Agus Wiryawan dalam berkarya lukis realis. Studio mini berukuran 3 x 2,5 m sekaligus tempat tinggal Agus Wirayawan terletak di Perumahan Klodran Indah, RT 03/ III, Jalan Jambu IV, Klodran Colomadu, Kabupaten Karanganyar. Agus Wiryawan merupakan salah satu pelukis realis yang tergabung dalam Kelompok Pelukis Pujosari di Taman Sriwedari Surakarta, Kelompok Tiga Warna di Jakarta serta pernah mengikuti kelompok pelukis yang lain pada saat mengikuti pameran lukis kelompok. Agus Wiryawan mengawali pekerjaan sebagai seniman lukis secara otodidak berdasarkan bakat yang dimiliki sejak masih duduk di bangku SD. Lebih lanjut ia menekuni pekerjaan seni yang menjadi pegangan hidup setelah lulus dari STM yang berawal dari patah hati. Patah hati yang diderita tidak menyebabkan ia putus asa, justru menjadikan pemacu untuk berkarya yang mengagumkan. Pada awal melukis ia mencoba beberapa macam aliran, namun lebih lanjut Agus Wiryawan konsisten dengan karya lukis beraliran realis. Tempat tinggal Agus Wiryawan menghadap ke utara yang berbatasan langsung dengan Jalan Jambu IV, sebelah barat berbatasan dengan rumah tetangga, sebelah timur berbatasan dengan rumah tetangga dan sebelah selatan berbatasan dengan rumah tetangga di Jl. Jambu V. Kondisi mata pencaharian sekitar rumah Agus Wiryawan kebanyakan merupakan Pengusaha, PNS, Perangkat Desa, TNI, POLRI, Pegawai Bank dan Wiraswasta yang rata-rata tergolong mampu. Meskipun lokasi kediaman Agus Wiryawan tidak terletak di Jantung kota Surakarta, namun merupakan lokasi strategis dan potensial yang mampu menunjang kemajuan di bidang seni. Kurang lebih 1,5 km sebelah utara rumah Agus Wiryawan terdapat Sekolah Menengah Kejuruan Seni Rupa (SMK N 9 Surakarta). Kurang lebih 5 km sebelah barat rumah Agus Wiryawan terdapat
Bandara Adi Sumarmo yang bertaraf Internasional dan digunakan sebagai lokasi pemberangkatan atau embarkasi haji. Sebelah timur terdapat UNS, ISI (STSI) dan TBS yang merupakan ajang untuk menunjukkan bakat mahasiswa dan insan seni di seluruh kota Surakarta dan sekitarnya. Sedangkan beberapa kilo meter sebelah selatan rumah Agus Wiryawan terdapat Taman Hiburan Rakyat Sriwedari Kraton Mangkunegaran dan Kraton Surakarta Hadiningrat yang merupakan pusat kebudayaaan kota Surakarta.
B. Latar Belakang Agus Wiryawan Menjadi Pelukis 1. Faktor Utama Faktor utama yang menyebabkan Agus Wiryawan lebih cenderung untuk memilih menjadi pelukis dan hingga sekarang konsisten dengan lukisan realis adalah karena ia mendapatkan kepuasan batin. Pekerjaan sebagai pelukis merupakan pekerjaan yang paling disukai oleh Agus Wiryawan sejak ia masih kecil. Selain itu menjadi pelukis tidak dikejar-kejar waktu, target dan setoran. Pekerjaan ini cenderung santai dan tergantung dari mood atau suasana hati seniman.
2. Faktor Pendukung Faktor pendukung Agus Wiryawan menjadi pelukis terbagi menjadi 3 macam, yaitu: a. Lingkungan Keluarga Agus Wiryawan lahir di Boyolali pada tanggal 19 November 1975. Ayah Agus Wiryawan bernama Mulyanto bekerja sebagai PNS salah satu staf BKKBN Kabupaten Karanganyar. Sedangkan ibu Agus Wiryawan bernama Madiningsih yang bekerja sebagai wiraswasta di Karanganyar. Orang tua Agus Wiryawan sama sekali tidak memiliki bakat di bidang kesenian. Agus Wiryawan memiliki 3 saudara yang semua laki-laki. Agus Wiryawan adalah anak pertama dari empat bersaudara. Ketiga adik Agus Wiryawan tidak ada yang terjun dunia seni rupa, namun ada seorang yang berbakat seni menggambar dan melukis, yaitu Adi
saudara terkecil Agus Wiryawan. Saat ini Adi duduk disalah satu bangku Perguruan Tinggi Swasta di Surakarta (UMS) dan telah memasuki semester akhir. Semenjak kecil Agus Wiryawan sudah tertarik dan mimiliki bakat dalam menggambar, ia suka mencoret-coret dengan media kertas sembarang, pensil dan pensil warna. Lebih lanjut Agus Wiryawan menggambar dengan media kertas dan cat air. Kemudian Agus Wiryawan ingin mengabadikan ekspresinya dengan media lain yang lebih baik, rapi, menarik dan awet, sehingga lebih diminati oleh banyak penggemar seni, yaitu menggunakan media kanvas dan cat minyak. Orang tua Agus Wiryawan tidak pernah memaksa untuk bekerja sebagai apapun, akan tetapi mereka menginginkan Agus Wiryawan menjadi TNI karena kebanyakan pendahulu mereka berprofesi sebagai TNI. Namun demikian Agus Wiryawan tetap menjadi seorang seniman sesuai dengan keinginan hati dan tetap didukung oleh kedua orang tua. Masa remaja Agus Wiryawan sering berkelana di jalanan dan alam bebas, sehingga selalu mendapatkan ide dan inspirasi untuk melukis dan terus melukis.
b. Latar Belakang Pendidikan Proses perjalanan hidup berkesenian Agus Wiryawan melalui 3 jalur pendidikan. Jalur pendidikan tersebut yaitu pendidikan formal, pendidikan non formal dan pendidikan otodidak. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diajarkan lewat suatu lembaga pendidikan resmi seperti sekolah dan akademisi. Di bangku-bangku sekolah atau akademisi inilah pelajar atau mahasiswa dibimbing oleh tenaga pengajar. Pendidikan non formal merupakan pendidikan yang diperoleh dari luar lembaga pendidikan resmi, seperti dari lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan sebagainya. Sedangkan pendidikan otodidak merupakan pendidikan yang diperoleh dari belajar sendiri. Lebih lanjut jalur pendidikan tersebut dibahas sebagai berikut:
1) Pendidikan Formal Pendidikan formal Agus Wiryawan bermula ketika ia menginjak usia 6 tahun. Meskipun ia bertempat tinggal di Boyolali, namun ia memulai pendidikan
di SD Negeri III Jaten Karanganyar, tepat pada pertengahan tahun 1981. Pada saat duduk di bangku kelas 1 bakat menggambar yang dimiliki oleh Agus Wiryawan belum begitu nampak, nilai pada mata pelajaran kesenian masih biasa saja. Sedikit demi sedikit Agus Wiryawan mulai tertarik dengan pelajaran menggambar, meskipun pada saat itu baru menggunakan media kertas dan pensil. Ketika menginjak kelas 2 ia sudah mulai menggambar menggunakan pensil warna dan krayon. Hal ini membuat Agus Wiryawan semakin tertarik pada mata pelajaran menggambar. Sedikit demi sedikit bakat menggambar Agus Wiryawan mulai muncul. Ia sering mendapat nilai 8 yang merupakan nilai tertinggi pada mata pelajaran kesenian. Menginjak kelas 3 bakat menggambar Agus Wiryawan semakin berkembang pesat. Ketika duduk di kelas 4 pada tahun 1985, Agus Wiryawan ditunjuk oleh guru untuk mewakili SD Negeri III Jaten Karanngayar dalam perlombaan menggambar tingkat SD se-Kabupaten Karanganyar dan berhasil meraih Juara I, sehingga menjadi kebanggan guru dan sekolah. Selain untuk dikoleksi di sekolah ada beberapa karya yang diminta oleh gurunya untuk dibawa pulang sebagai kenang-kenangan. Agus Wiryawan tetap bertahan dan selalu mendapat nilai yang bagus dalam mata pelajaran menggambar hingga 6 dan lulus dari SD Negeri III Jaten Karanganyar pada pertengahan tahun 1987. Agus Wiryawan melanjutkan pendidikan di SMP Negeri II Karanganyar. Di sekolah ini Agus Wiryawan mulai mengenal kanvas, palet, kuas, cat air, pastel, cat poster, spidol, konte dan cat minyak sebagai media untuk menggambar. Selain itu di sekolah inipun, mulai dari kelas 1 sampai kelas 3 Agus Wiryawan selalu mendapat nilai yang bagus pada mata pelajaran seni rupa. Di sekolahnya inipun, sebagian karya Agus Wiryawan sering diminta oleh guru maupun temantemannya untuk dikoleksi. Setelah lulus pada pertengahan tahun 1990, Agus Wiryawan melanjutkan pendidikan di STM YP Colomadu Karanganyar sampai lulus pada pertengahan tahun 1993. Di sekolah yang terakhir inipun, mulai dari kelas 1 hingga kelas 3 Agus Wiryawan selalu mendapatkan nilai A, khususnya pada mata pelajaran seni rupa dan gambar teknik serta banyak karyanya yang diminta sekolah maupun guru dan teman-temannya untuk dikoleksi. Di sekolah
yang terakhir ini pula Agus Wiryawan mendapatkan pelajaran menggambar menggunakan rapido dan tinta china (tinta bak). Dengan latar belakang pendidikan formal tersebut Agus Wiryawan mendapat pengetahuan tentang media dan bahan yang digunakan untuk melukis beserta cara penggunaannya yang merupakan modal awal untuk menjadi pekerja seni.
2) Pendidikan non Formal Pekerjaan melukis merupakan pencarian sesuatu hal yang baru dan itu dilakukan dengan sepenuh hati, sekalipun apa yang dicari seniman sebenarnya adalah sebuah proses yang tak akan pernah selesai. Demikian ungkapan yang sesuai bagi seniman Agus Wiryawan. Dalam menjadi seorang pekerja seni, khususnya pelukis, selain dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal, pendidikan non formal juga memiliki andil yang potensial. Menurut Agus Wiryawan pendidikan non formal merupakan faktor pendukung bagi perkembangan dan kemajuan seni lukis. Pendidikan non formal Agus Wiryawan diperoleh dan diawali ketika ia bergabung dengan sanggar atau Kelompok Pelukis Pujosari. Kemudian Agus Wiryawan juga bergabung dengan Kelompok Lima, Kelompok Pelukis Tiga Warna dan sebagainya. Dengan bergabung bersama kelompok seni tersebut mempengaruhi peningkatan kemampuan Agus Wiryawan dalam teknik pengolahan warna dan penggarapan objek. Meskipun tidak begitu besar namun pendidikan non formal juga merupakan faktor pendukung bagi kemajuan karya seni lukis, khususnya pada teknik pewarnaan dalam lukisan Agus Wiryawan.
3) Pendidikan Otodidak Dari kecil semasa masih duduk di bangku sekolah dasar, Agus Wiryawan mulai tertarik dan memiliki bakat menggambar. Agus Wiryawan meraih juara I dalam perlombaan menggambar antar Sekolah Dasar se-Kabupaten Karanganyar. Kegemaran menggambar ini berawal dari kegiatan mencorat-coret
bersama teman serta ketika ia melihat dan pada akhirnya terobsesi dengan acara TVRI “Menggambar Bersama Pak Tino Sidin”. Jadi tidak mengherankan kalau gambar-gambar yang dibuat Agus Wiryawan masih mendapat pengaruh dari acara tersebut. Setelah menginjak remaja, Agus Wiryawan mulai mengenal lawan jenis dan mencari pasangan hidup yang didambakan. Setelah menemukan seorang kekasih ia mulai menggambar secara otodidak berdasarkan ekspresi dan luapan perasaan hati. Senang, sedih, rindu, gelisah, marah, benci dan sebagainya yang dituangkan pada sebidang kanvas dengan penuh ekspresi dan sapuan kuas yang lembut. Namun perjalan cinta sepasang kekasih ini tak berjalan lama dan kandas di tengah jalan. Hal ini menyebabkan Agus Wiryawan menjadi patah hati. Namun berawal pada saat ia sedang patah hati ini justru menjadi motivasi bagi Agus Wiryawan untuk menggoreskan perasaan kedalam media kanvas dan cat minyak, sehingga menghasilkan karya yang mengagumkan. Dalam usia yang masih muda yaitu saat berusia 19 tahun Agus Wiryawan telah memutuskan untuk menjadi seorang pekerja seni. Selanjutnya Agus Wiryawan mulai melukis dan terus melukis secara otodidak, tepatnya sejak akhir tahun 1996. Lukisan yang dibuat pada masa itu sudah merupakan ekspresi jiwa yang murni tanpa pengaruh dari siapa dan apapun. Pahit getir kehidupan dalam bidang seni telah ia rasakan. Dari pelukis yang hanya sekedar melukis sampai menjadi pelukis jalanan yang menjual karya lukis di tepian jalan telah dilalui oleh lelaki setengah baya yang akrab disapa dengan sebutan “Mas Iwan” ini.
c. Latar Belakang Lingkungan Masyarakat Surakarta sebagai kota madya sekaligus kota budaya tentu saja memiliki beranekaragam bentuk kesenian budaya seperti: Sekatenan, Suronan, Gebyar Ramadhan, Bengawan Solo Fair, pentas seni (seni musik, tari, wayang orang, wayang kulit, ketoprak dan sebagainya), pameran seni lukis, seni patung, kerajinan dan lain-lain. Kesenian budaya Surakarta tentu saja tidak terlepas dari dukungan Kabupaten-kabupaten lain yang di bawahi, meliputi Kabupaten Klaten,
Boyolali, Wonogiri, Karanganyar, Sragen dan Sukoharjo. Hal tersebut memotivasi Agus Wiryawan untuk menjadi salah satu unsur dari kesenian dan budaya tersebut. Agus Wiryawan lahir dan dibesarkan di Boyolali. Secara otomatis pergaulan dengan teman-teman serta warga lingkungan akan mempengaruhi kepribadian dan jati diri. Ia senang bermain dengan teman-teman sebaya sambil mencorat-coret di atas sebidang tanah. Kehidupan sosial dan aktivitas manusia di lingkungan masyarakat yang beranekaragam telah menyentuh hati Agus Wiryawan serta diabadikan dalam media kanvas dan cat minyak. Pada awal pembuatan lukisan Agus Wiryawan, tidak hanya secara realis melainkan juga secara naturalis, surealis maupun ekspresionis. Seiring perjalanan waktu Agus Wiryawan tertarik dengan lukisan realis yang sesuai dengan kenyataan, apa adanya, mudah dipahami dan dimengerti oleh masyarakat umum. Selain itu ia juga menyukai tingkat dalam pembuatan proporsi tubuh manusia, teknik pewarnaan dan proses pembuatan lukisan realis. Agus Wiryawan memutuskan untuk
menjadi seorang pelukis realis hingga saat ini. Ketertarikan Agus
Wiryawan terhadap lukisan realis karena lukisan ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dalam proporsi dan pengolahan warna agar sesuai dengan warna objek yang dilukis. Agus Wiryawan merupakan seorang seniman yang memiliki ciri khas tersendiri dalam berkarya. Kebanyakan karya lukis yang dihasilkan bertemakan aktivitas kegiatan manusia yang sebagian besar adalah kaum perempuan. Kadang-kadang Agus Wiryawan juga melukis aktivitas kegiatan lakilaki, pemandangan dan lainnya apabila ada pesanan. Pada awal perjalanan Agus Wiryawan menjadi seorang pelukis, ia masih bertempat tinggal bersama orang tua di Boyolali. Pada saat itu pula ia merasa banyak waktu luang yang masih tersia-siakan, terutama pada malam hari. Kemudian Agus Wiryawan mencari kesibukan lain untuk mengisi waktu tersebut. Beberapa saat kemudian ia mendapatkan pekerjaan di BRI Turisari Pasar Nongko sebagai Security. Setelah merasakan telah siap dan telah memiliki pekerjaaan yang tetap, kemudian Agus Wiryawan kembali mencari gadis pujaan hati yang akan dijadikan
pendamping hidup. Perjalanan berakhir setelah Agus Wiryawan menemukan gadis pujaan hati yang bernama Yunita Dewi Utami, yang sampai sekarang telah menjadi istrinya. Setelah menikah Agus Wiryawan bersama istri tercinta pindah rumah yang berlokasi di Perumahan Klodran Indah Jl. Jambu IV, RT 03/ III Klodran Colomadu Karanganyar hingga saat ini. Di sana mereka dikaruniai seorang putra yang bernama Ivan Rizki Wiryawan yang sekarang duduk di bangku kelas 1 SD Negeri 2 Sumber Surakarta. Teras rumah baru Agus Wiryawan yang berukuran 3 x 2 m dijadikan studio mini. Selain berkarya lukis sendiri di studio mini berukuran 3 x 2 m ini, kadang ia membuat karya lukis bersama teman sesama seniman. Selain memiliki keahlian di bidang seni lukis realis, Agus Wiryawan juga keahlian dalam membuat patung. Patung karya Agus Wiryawan antara lain patung TNI yang terletak di Asrama CPM Surakarta dan patung Joko Tarub yang di buat pada salah satu Hotel di Semarang. Selain itu ia juga membuat beberapa patung di rumah, antara lain patung Batman, Hulk, patung kepala manusia setengah robot dalam film terminator, patung torso wanita, mobil Batman dan sebagainya. Akan tetapi membuat patung hanya sekedar hoby dalam mengisi waktu luang, bukan mata pencaharian pokok. Sampai saat ini Agus Wiryawan masih aktif dalam berkarya seni lukis, sehingga ia patut diperhitungkan dalam jajaran komunitas seniman di Surakarta. Kemudian Agus Wiryawan bergabung bersama Kelompok Pelukis Pujosari Taman Sriwedari Surakarta dan melakukan beberapa kali pameran secara kelompok. Setelah beberapa lama berkarya dan mengikuti pameran kelompok dengan Kelompok Pelukis Pujosari ia merasa sedikit bosan. Selanjutnya Agus Wiryawan bergabung dengan Kelompok lima dan mengadakan pameran kelompok di kota-kota besar seperti Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan sebagainya. Dengan bergabungnya Agus Wiryawan beserta Kelompok Lima bukan berarti Agus Wiryawan lepas dari Kelompok Pelukis Pujosari. Ia masih aktif pameran bersama Kelompok Pelukis Pujosari, walaupun kapasitasnya berkurang. Sampai sekarang Agus Wiryawan masih aktif dalam berkarya serta mengadakan pameran kelompok. Selain Kelompok Pelukis Pujosari dan
Kelompok Lima, telah banyak kelompok pelukis lain yang diikuti dalam pameran kelompok. Agus Wiryawan juga pernah sekali mengadakan pameran lukisan yang bertaraf Internasional yang diselenggarakan di Wonogiri pada tahun 1998. Sebagian besar karya yang dipamerkan Agus Wiryawan telah dikoleksi oleh penggemar seni, bahkan ada beberapa karya yang dikoleksi oleh warga Negara Malaysia. Setelah pameran tersebut ia masih berhubungan dengan pihak Malaysia dan beberapa kali memesan lukisan. Namun karena ada kecurangan dari pihak pemesan pada akhir-akhir ini hubungan tersebut dihentikan. Dengan terhentinya hubungan tersebut tidak berarti berhenti pula pemesanan terhadap karya lukis Agus Wiryawan, dikarenakan masih banyak penggemar seni yang berasal dari dalam negeri.
C. Tema Lukisan Realis Karya Agus Wiryawan Tema sebagai sebuah pokok persoalan yang terdapat di dalam sebuah karya lukisan mempunyai peranan yang sangat penting. Melalui tema, pengalaman, emosi dan ide seniman dapat dimunculkan dan disalurkan. Dalam menentukan sebuah tema dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor yang berasal dari lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat sekitar, maupun faktor yang berasal dari latar belakang pendidikan seniman. Seperti telah dibahas di atas, berdasarkan pengaruh lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat sekitar, dan latar belakang pendidikan, maka Agus Wiryawan menyimpulkan bahwa pada dasarnya semua objek yang ada di alam ini adalah sama dan tidak boleh dibeda-bedakan. Semua objek yang ada di muka bumi dapat menjadi sebuah sumber inspirasi dalam menentukan tema pada sebuah karya lukisan. Pada hakekatnya melukis adalah menggali keindahan yang ada di muka bumi dan kebenaran objek yang dilihat serta menuangkan kreativitas dan kemampuan artistik kedalam sebuah media. Lebih lanjut untuk menemukan kekhasan lukisannya, maka Agus Wiryawan lebih sering melukis aktivitas kehidupan manusia, khususnya aktivitas kaum perempuan, seperti mengasuh anak, bermain seruling, memasak, meracik
jamu, mencari air, berjualan di pasar, bekerja memecah batu, belajar seruling dan sebagainya. Namun demikian, sebagai seorang seniman Agus Wiryawan dituntut harus mampu melukis dengan tema lain, sesuai dengan perkembangan seni dan kehendak dari penggemar karya seni. Namun demikian dalam tema yang begitu sederhana tersebut, Agus Wiryawan mampu untuk menampilkan variasi bentuk yang luar biasa dan mengagumkan. Variasi tersebut dapat menguatkan bahwa Agus Wiryawan bukanlah pelukis yang monoton. Hal tersebut dapat dibuktikan pada beberapa contoh karya yang disajikan, antara lain yang berjudul: Air Kehidupan, Bakul Jamu, Belajar Suling, Bermain Suling I, Bermain Suling II, Kasih Ibu I, Kasih Ibu II, Meracik Jamu, Pasar, Pemecah Batu.
D. Alat dan Bahan Dalam Membuat Lukisan Realis Agus Wiryawan Alat yang digunakan Agus Wiryawan dalam berkarya yaitu easel, piring palet, pisau palet dan kuas lukis berukuran terkecil hingga terbesar untuk membuat goresan yang terkecil hingga terbesar pula. Sedangkan bahan yang digunakan Agus Wiryawan dalam berkarya adalah dengan menggunakan media kanvas, cat minyak merk Amsterdam, Greco, Rembran dan minyak cat minyak merk Greco. Selain itu pernah pula Agus Wiryawan berkarya menggunakan media kertas, pensil, pensil warna, konte, pastel, tinta, cat poster dan cat air. Sedangkan cat minyak yang biasa digunakan Agus Wiryawan dalam membuat warna dasar adalah cat minyak merk Greco.
E. Teknik Pembuatan Lukisan Realis Karya Agus Wiryawan 2. Tahapan Dalam Proses Penciptaan Lukisan Realis Agus Wiryawan Dalam teknik pembuatan lukisan realis karya Agus Wiryawan terdiri dari tiga tahapan. Tahap pertama yaitu pencarian ide dilakukan oleh Agus Wiyawan dengan cara mengosongkan pikiran, selanjutnya berkonsentrasi pada penentuan tema yang tepat dan matang. Pada garis besarnya Agus Wiryawan melukis dengan tema realita kehidupan sosial dan aktivitas manusia yang kebanyakan perempuan. Setelah tema benar-benar tepat dan matang, kemudian
mengadakan pencarian objek yang akan dilukis. Objek yang digunakan oleh Agus Wiryawan kebanyakan difoto terlebih dahulu. Setelah mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan, seperti easel, palet, pisau palet, kanvas, cat minyak dan kuas cat minyak, maka Agus Wiryawan memulai dengan membuat warna dasar secara global pada sebidang kanvas menggunakan cat minyak merk Greco dengan tipis.
Gambar 1. Alat Lukis (Kuas cat minyak, Pisau palet dan Piring palet) (Sumber: Dokumentasi berupa foto oleh Heru Setyawan)
Gambar 2. Bahan Lukis (Cat minyak dan Minyak cat minyak) (Sumber: Dokumentasi berupa foto oleh Heru Setyawan)
Gambar 3. Spanram dan Kain Kanvas (Sumber: Dokumentasi berupa foto oleh Heru Setyawan)
Gambar 4. Easel dan Kain Kanvas di atas Easel (Sumber: Dokumentasi berupa foto oleh Heru Setyawan)
Tahap berikutnya adalah tahap menyempurnakan, mengembangkan dan memantabkan gagasan awal (elaboration and refinement). Penyempurnaan, pengembangan dan pemantapan ide atau gagasan awal dilakukan sedemikian rupa sehingga akan mempermudah proses pemindahan objek kedalam media kanvas dengan bantuan alat dan bahan serta teknik tertentu yang dilakukan menggunakan bantuan kamera. Objek yang akan dilukis difoto terlebih dahulu. Dari hasil photo selanjutnya dibuat warna dasar bentuk global. Dengan demikian akan diperoleh bentuk dengan mudah sesuai keinginan seniman. Teknik dalam karya lukis merupakan bentuk keahlian khusus dari pribadi seniman yang mereka dapat dari pengalaman-pengalaman pribadi, pendidikan dan pengaruh lingkungan yang mereka peroleh dan dihayati. Dengan ketinggian teknik melukis yang telah ditekuni selama bertahun-tahun serta pemahaman yang prima akan bentuk-bentuk, proporsi dan keseimbangan, Agus Wiryawan dengan segenap kreativitas yang dimiliki mampu menciptakan sebuah karya lukis realis yang memiliki karakteristik tersendiri dan lain dari pada yang lain. Proses penciptaan lukisan realis Agus Wiryawan dengan cara konvensional, yaitu dengan cara mencampurkan cat ke dalam piring palet menggunakan kuas cat minyak maupun pisau palet untuk memperoleh warna yang realis, kemudian warna tersebut ia gunakan untuk membuat goresan yang mengarah dan berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan detail-detail objek secara realis. Jarang sekali Agus Wiryawan menggunakan warna tuble karena warnanya tidak akan sesuai dengan warna objek asli. Ia lebih sering membuat warna sendiri menggunakan komposisi cat minyak sesuai yang diinginkan. Untuk memperoleh warna seputar kuning dan biru seperti: kuning muda, kuning tua, biru, biru tua, biru muda, hijau muda, hijau tua, kuning kehijauan, biru kehijauan digunakan cat minyak merk Amsterdam warna biru dan kuning serta cat minyak merk Winton warna putih yang kesemuanya dicampur dengan minyak cat merk Greco dengan komposisi sesuai yang dibutuhkan. Untuk memperoleh warna seputar merah dan biru seperti: ungu tua, ungu muda violet, merah muda, merah tua, merah kebiruan, ungu kebiruan digunakan cat minyak merk Winton warna biru dan putih serta cat minyak merk Amsterdam warna
merah yang dicampurkan dengan minyak cat merk Greco di atas piring palet. Untuk memperoleh warna seputar merah dan kuning seperti: kuning kemerahan, jingga muda, jingga tua, merah kekuningan menggunakan cat minyak merk Amsterdam warna kuning dan merah serta cat minyak merk Winton warna putih yang kesemuanya dicampur dengan minyak cat merk Greco sesuai dengan kebutuhan. Untuk memperoleh warna yang lebih cerah Agus Wiryawan menggunakan cat minyak merk Winton warna putih, sebaliknya untuk membuat warna yang kusam atau lebih gelap digunakan cat merk Amsterdam berwarna hitam.
Gambar 5. Proses Pencampuran Warna (Sumber: Dokumentasi berupa foto oleh Heru Setyawan) Agus Wiryawan biasa menggunakan cat minyak merk Greco dalam pembuatan warna dasar. Namun tidak menutup kemungkinan apabila dalam lukisan Agus Wiryawan hanya menggunakan satu macam cat minyak, baik merk Greco, Asterdam maupun Rembran sesuai dengan pesanan dari pelanggan. Setelah warna yang sesuai ditemukan kemudian baru digoreskan dengan sapuan kuas yang mengarah sesuai bentuk dan detail objek serta realis di atas kanvas.
Agus Wiryawan melakukan hal tersebut secara rutin tanpa unsur emosional dan tanpa tambahan ekspresi dari jiwa. Apa yang dilukis Agus Wiryawan semata-mata murni realita atau kenyataan tanpa ditambah maupun dikurangi. Dengan menggunakan kemampuan estetik dari pengalaman yang dimiliki Agus Wiryawan, maka objek yang dilukis akan dengan mudah diwujudkan di atas media kanvas. Tahapan yang terakhir adalah menuntaskan proses penciptaan objek ke dalam media kanvas, dimulai dengan proses pembuatan sketsa, proses pembuatan warna dasar, proses mempertebal warna dasar dan diakhiri dengan proses finishing dengan cara mencantumkan jati diri seniman (Agus Wiryawan) beserta tahun pembuatan karya lukis, dibahas sebagai berikut: a. Proses Pembuatan Sketsa
Gambar 6. Proses Pembuatan Sketsa (Sumber: Dokumentasi berupa foto oleh Heru Setyawan)
Sketsa lukisan dengan judul ”Penjual Sayuran” dibuat dengan goresan kuas cat lukis secara langsung pada sebidang kanvas berukuran 40 x 60 cm menggunakan cat minyak merk Amsterdam warna kuning Azo Yellow Light.
b. Proses Pembuatan Warna Dasar
Gambar 7. Proses Pembuatan Warna Dasar (Sumber: Dokumentasi berupa foto oleh Heru Setyawan) Setelah sketsa selesai dibuat, langkah berikutnya adalah membuat warna dasar lukisan. Pertama kali yang dilakukan oleh Agus Wiryawan adalah membuat warna dasar kulit manusia menggunakan cat minyak merk Greco Ochre 34 (warna coklat) yang dicampur dengan sedikit minyak cat minyak merk Greco dengan goresan yang tipis.
Tahap berikutnya yaitu membuat warna dasar rambut menggunakan cat minyak merk Greco Ivory Black. Kemudian warna dasar sayuran menggunakan cat minyak merk Greco Most Green 12 (wana hijau lumut) yang sebagian dikombinasikan dengan cat minyak merk Asmterdam Azo Yellow Light (warna kuning), sehingga nampak lebih hijau muda. Untuk bangunan gedung pasar yang tampak sedikit juga dibuat menggunakan cat minyak merk Greco Ivory Black (warna hitam) yang dikombinasikan dengan Titanium White (warna putih) cat minyak merk Winton. Warna biru pada baju di buat menggunakan cat minyak merk Greco Russian Blue. Warna langit dibuat dengan kombinasi antara warna putih Titanium White cat minyak merk Amsterdam, biru Ultra Marine dan merah Carmine Red cat minyak merk Greco, sehingga menghasilkan biru keunguan menggunakan cat minyak merk Greco. Dan untuk warna dasar yang terakhir, yaitu warna kayu pada bagian bawah dibuat menggunakan warna dasar cat minyak merk Greco Ivory Black 44 yang dicampurkan dengan Most Green 12 (wana hijau lumut), sehingga warnanya menjadi hijau kehitam-hitaman. Setiap tahap dalam pembuatan warna dasar, cat minyak yang dipakai selalu dicampur dengan sedikit minyak cat minyak serta digoreskan dengan tipis di atas sebidang kain kanvas berukuran 40 x 60 cm ini. Hal ini bertujuan agar cat minyak yang digoreskan dapat merata, tidak terlalu boros dan cepat kering. Setelah warna dasar selesai dibuat, kemudian proses pembuatan lukisan ini berhenti selama satu hari. Hal ini bertujuan untuk memastikan warna dasar yang dibuat oleh Agus Wiryawan telah benar-benar kering, sehingga sewaktu warna dasar ini dipertebal warnanya tidak akan campur dan tidak akan kelihatan kusam.
c. Proses Mempertebal Warna Dasar
Gambar 8. Proses Pembuatan Mempertebal Warna Dasar (Sumber: Dokumentasi berupa foto oleh Heru Setyawan) Setelah warna dasar lukisan benar-benar sudah kering, proses pembuatan lukisan ini dilanjutnya dengan mempertebal warna dasar. Tahap pertama dalam proses ini adalah mempertebal pada bagian kepala. Pertama-tama Agus Wiryawan membuat campuran cat minyak merk Greco Ochre 34 (warna coklat) dengan cat minyak merk Winton Carmine Red (warna Merah) dan Titanium White (warna putih) serta sedikit warna biru Prussian Blue dan warna kuning Lemon Yellow cat minyak merk Amsterdam. Selanjutnya warna tersebut digoreskan pada bagian kepala dan leher seperti yang tampak pada gambar. Pada sisi wajah yang terkena cahaya dibuat dengan komposisi Titanium White dan Lemon Yellow yang lebih banyak, sedangkan pada posisi wajah yang kurang mendapatkan cahaya
diperbanyak dengan Ochre dan Carmine red. Kemudian dengan teknik goresan yang telah dikuasai, Agus Wiryawan membuat proporsi dan anatomi wajah dengan detail objek apa adanya tanpa dibuat-buat. Setelah detail dan proporsi wajah selesai dibuat, maka ia meneruskan dengan mempertebal rambut menggunakan cat minyak merk Greco Ivory Black, Winton Titanium White dan sedikit warna merah Carmine Red. Setelah rambut selesai dan telah menghabiskan waktu seharian untuk membuat detai wajah, maka proses pembuatan lukisan ini dihentikan kembali dan dilanjutkan hari berikutnya. Tahap berikutnya Agus Wiryawan mempertebal warna pakaian. Warna yang digunakan adalah warna biru Russian Blue dan pada yang bagian terang dikombinasikan dengan Titanium White cat minyak merk Winton. Untuk membuat parnak-pernik warna putih pada baju dan kain putih yang dipakai subjek juga menggunakan Titanium White. Tahap berikutnya mempertebal warna dasar pada bagian tangan dan kaki. Warna yang digunakan pada bagian ini sama dengan warna yang digunakan pada bagian kepala, yaitu cat minyak merk Greco Ochre 34, Winton Carmine Red, Titanium White dan Amsterdam Prussian Blue serta Lemon Yellow. Setelah subjek sebagai centre interest selesai dibuat proses berikutnya adalah mempertebal warna dasar back ground. Untuk back ground kain warna putih dipertebal menggunakan cat minyak merk Amsterdam Titanium White. Warna hijau muda menggunakan komposisi cat minyak merk Greco Most Green 12 dicampur dengan Winton Titanium White. Kemudian warna pada sayur menggunakan cat minyak merk Greco Most Green, Ivory Black, Winton Titanium White, Carmine Red dan Amsterdam Lemon Yellow. Untuk gedung bangunan menggunakan cat minyak merk Greco Ivory Black, Amsterdam Ultra Marine, Carmine Red dan Winton Titanium White. Pada bagian langit dipertebal menggunakan cat minyak merk Greco Cobalt Blue 19, Amsterdam Prussian Blue, Carmine red dan Winton Titanium White. Kemudian untuk warna kayu yang sedikit terlihat di bagian sudut kiri bawah dipertebal menggunakan cat minyak merk Greco Ochre 34, Ivory Black 44, Amsterdam Lemon Yellow dan Carmine Red.
Dalam tahap mempertebal warna dasar inipun dalam pemakaian minyak cat minyak dengan komposisi yang sedikit agar warna yang dihasilkan dapat cerah dan tidak luntur. Setelah semua warna dasar selesai dipertebal, proses berikutnya adalah merapikan bagian-bagian yang tidak segaja terkena goresan kuas dengan cat minyak warna lain, sehingga lukisan terlihat semakin rapi dan detail objek akan lebih tampak.
d. Proses Finishing
Gambar 9. Proses Finishing ”Penjual Sayuran” Oil on Canvas, 40 x 60 cm (2007) (Sumber: Dokumentasi berupa foto oleh Heru Setyawan) Proses finishing dilakukan dengan membubuhi nama seniman, dalam hal ini Agus Wiryawan beserta tahun pembuatan lukisan menggunakan cat warna merah Amsterdan Carmine Red. Lukisan yang telah finishing siap unruk diberi
pigura yang biasanya Agus Wiryawan pesan sendiri pada temannya di Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari Surakarta. Selanjutnya lukisan ini telah siap untuk dipamerkan maupun untuk dijual pada penggemar seni.
3. Visualisasi Karya Lukis Realis Agus Wiryawan Visualisasi merupakan penjabaran sesuatu yang bisa dilihat dan diraba. Dalam hal ini visualisasi penjabaran karya dalam bentuk lukisan karya Agus Wiryawan yang beraliran realis dari bermacam-macam tema dan judul, tahun pembuatan serta media yang digunakan. Dalam penelitian ini menggunakan 10 karya lukis Agus Wiryawan yang dijadikan sebagai bahan acuan. Karya-karya yang dijadikan acuan atau bahan penelitian adalah karya lukis beraliran realis yang dibuat pada periode 2001–2003 berdasarkan kepuasan batin seniman, bertemakan aktivitas kegiatan perempuan, bukan repro/bajakan, karya yang dianalisa berdasarkan warna, masih ada dokumentasinya dan tidak untuk karya lukis lain, yang merupakan pesanan dari penggemar seni maupun karya yang memiliki tema lain. Lebih lanjut dianalisa sebagai berikut:
Gambar 10. “Pasar” Oil on Canvas, 70 x 110 cm (2001)
(Sumber: Dokumentasi berupa foto oleh Heru Setyawan) “Pasar” merupakan salah satu judul karya lukis realis Agus Wiryawan. Selain terdapat beraneka posisi dan aktivitas, komposisi warna yang beraneka ragampun terpampang pada lukisan Agus Wiryawan yang satu ini. Lukisan ini bertemakan aktivitas kegiatan manusia sehari-hari yang sedang melakukan aktivitas jual beli untuk memenuhi kebutuhan hidup di sebuah lingkungan pasar tradisional. Lukisan ini di buat berdasarkan realita yang ada pada sebuah pasar tradisional yang terletak di daerah Nusukan. Lukisan ini nampak lain dari pada yang lain karena centre interest (aktivitas jual beli) yang mendominasi hampir seluruh bagian pada sebidang lukisan kanvas ini. Sedangkan latar belakang pada lukisan ini adalah barangbarang yang diperjual belikan serta jelas tampak lebih sedikit jika dibandingkan dengan centre interest. Proses pewarnaan dimulai dengan warna dasar biru, hijau, hitam, merah dan kuning cat minyak merk Greco. Lebih lanjut warna tersebut dikombinasikan dengan warna coklat dan merah cat minyak merk Amsterdam sebagai warna kulit, sedangkan warna biru, merah, hitam, hijau, kuning dan putih cat minyak merk Winton untuk mewarnai pakaian dan barang yang diperjualbelikan di pasar. Pengolahan warna dengan teknik tinggi yang telah dikuasai oleh Agus Wiryawan membuat lukisan ini tampak lebih hidup seperti objek asli. Suasana seperti ini sering kita jumpai disebuah pasar tradisional, akan tetapi sudut pandang yang dipilih Agus Wiryawan sebagai objek dalam penciptaan lukisan ini memang sangat bagus, sehingga banyak penggemar seni yang tertarik dan mengincar lukisan ini.
Gambar 11. “Pemecah Batu” Oil on Canvas, 70 x 90 cm (2001) (Sumber: Dokumentasi berupa foto Oleh Heru Setyawan) Lukisan Agus Wiryawan yang berjudul “Pemecah Batu” bertemakan aktivitas manusia, dalam hal ini sosok figur seorang ibu yang sedang bekerja membanting tulang dengan sepenuh tenaga yang dimiliki guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kombinasi warna dan gelap terang yang ada tanpa dibuat-buat ini semakin memperjelas kedudukan objek sebagai centre interest dalam lukisan realis ini. Sesosok ibu yang sedang bekerja keras membanting tulang demi memenuhi kebutuhan dan kelanjutan hidup keluarga dimunculkan kembali oleh Agus Wiryawan dalam lukisan ini, dengan pemilihan objek serta realita kehidupan sosial yang berbeda. Aktivitas manusia sehari-hari, khususnya kaum perempuan dalam kehidupan sosial memang membuat Agus Wiryawan lebih tertarik untuk diabadikan dalam sebidang kain kanvas dengan goresan yang lugas, rapi dan realis tanpa penambahan ekspresi dan imajinasi.
Proses pewarnaan pada lukisan ini dimulai dengan warna dasar biru, coklat dan hitam cat minyak merk Greco dengan polesan tipis untuk objek manusia dan warna dasar kuning serta coklat muda cat minyak merk Greco sebagai latar belakang. Warna kulit dibuat coklat sawo matang kombinasi antara warna kuning, merah dan coklat cat minyak merk Amsterdam. Warna biru tua dan putih cat minyak merk Winton dipakai untuk warna kebaya, kombinasi coklat dan hitam untuk kain penutup kepala serta biru cat minyak merk Amsterdam untuk warna pakaian. Sedangkan untuk latar belakang dengan warna dasar kuning pada lukisan ini dipertebal menggunakan kombinasi warna coklat tua, putih dan kuning cat minyak merk Amsterdam untuk tanah, keranjang, gagang skop, gagang palu dan karang. Untuk bebatuan dan besi skop warna dasar kuning dikombinasikan dengan coklat, merah, biru dan hitam cat minyak merk Winton. Pengolahan warna dengan teknik tinggi yang dikuasai oleh Agus Wiryawan membuat lukisan ini lebih hidup seperti objek asli yang dilukis.
Gambar 12. “Air Kehidupan” Oil on Canvas, 70 x 90 cm (2002) (Sumber: Dokumentasi berupa foto oleh Heru Setyawan)
Karya lukis Agus Wiryawan yang berjudul “Air Kehidupan”, dengan tema aktivitas kehidupan manusia, dalam hal ini seorang ibu tua yang sedang mencari air untuk menghidupi keluarga, yang ditemani oleh salah satu anaknya. Di sekeliling ibu tua yang sedang mencari air terdapat berbagai bervariasi bentuk background, seperti: gerabah, sumber mata air, dan bebatuan di sekeliling sumber mata air tersebut. Penampakan figur manusia, dalam hal ini ibu tua sangat jelas mengandung makna dan mengajak pengamat ke arah pesan yang disampaikan Agus Wiryawan. Dalam hal ini ia mengungkapkan dengan cara apa adanya berdasarkan realita yang ada dalam kehidupan sosial, yaitu penggambaran tanggung jawab seorang ibu yang besar dalam menghidupi keluarga. Dalam realita kehidupan sosial perjuangan seorang ibu untuk menghidupi keluarga memang sangat berat, apalagi disaat anak mereka masih kecil. Proses pewarnaan dimulai dengan membuat warna dasar menggunakan cat minyak merk Greco warna merah, putih, biru dan kuning dengan tipis. Langkah selanjutnya membuat warna coklat sawo matang dari campuran cat warna kuning, merah dan biru cat minyak merk Winton sebagai warna kulit. Kemudian untuk warna pakaian digunakan cat minyak merk Amsterdam warna putih, biru, merah serta warna hitam untuk rambut. Kemudian untuk background digunakan warna merah, putih, biru, sedikit warna kuning dan warna coklat tua cat minyak merk Amsterdam. Background dengan warna sebagian lebih terang dan sebagian lagi lebih gelap yang ada dalam lukisan sangat berguna untuk memperjelas centre interest. Bentuk figur gerabah, sumber mata air dan bebatuan dilukiskan secara apa adanya dan dengan teknik pengolahan warna tingkat tinggi sehingga hasilnya menyerupai warna asli. Sapuan kuas dengan tekstur yang lugas dan apa adanya menghasilkan komposisi seimbang pada sebidang lukisan realis di atas kanvas ini.
Gambar 13. “Belajar Suling” Oil on Canvas, 70 x 90 cm (2002) (Sumber: Dokumentasi berupa foto oleh Heru Setyawan) “Belajar Suling” merupakan salah satu karya lukis Agus Wiryawan yang bertemakan aktivitas manusia dalam realitas kehidupan sosial. Figur laki-laki dan perempuan hadir dalam format besar dan sedang duduk berduaan. Figur wanita sedang asyik belajar suling ditemani seorang laki-laki pemain suling yang sedang mengajarinya. Laki-laki itu mencermati dengan serius setiap gerak tangan dan teknik meniup suling yang diajarkan kepada wanita tersebut. Dalam lukisan ini warna coklat tua, coklat muda dan biru yang digunakan sebagai latar belakang semakin mempertegas keberadaan objek. Realita keseriusan dari figur perempuan yang sedang belajar bermain suling dan laki-laki yang serius mengajari wanita tersebut merupakan salah satu gambaran dari kondisi kehidupan sosial masyarakat yang berhasil diungkap Agus Wiryawan dalam media kanvas.
Seperti biasa pada proses awal penggarapan warna lukisan menggunakan cat minyak merk Greco warna merah, coklat, biru, hitam dan kuning secara tipis sebagai warna dasar. Selanjutnya warna coklat sawo matang kombinasi antara warna coklat, putih dan merah cat minyak merk Amsterdam digunakan dalam pewarnaan kulit figur manusia. Kemudian untuk pakaian yang di kenakan subjek adalah kombinasi dari warna hitam, putih, coklat muda, coklat tua dan warna biru cat minyak merk Winton. Sedangkan background tersusun dari kombinasi warna coklat muda, coklat tua, merah, hitam dan sedikit warna biru cat minyak merk Amsterdam. Pengolahan warna dalam lukisan ini dibuat semaksimal mungkin oleh Agus Wiryawan sesuai dengan warna asli objek dan tanpa rekayasa, imajinasi dan ekspresi guna meningkatkan nilai artistik dan estetik karya ini.
Gambar 14. “Bermain Suling I” Oil on Canvas, 70 x 90 cm ( 2002) (Sumber: Dokumentasi foto berupa oleh Heru Setyawan)
Lukisan
Agus
Wiryawan
yang
berjudul
“Bermain
Suling
I”
memunculkan kembali tema aktivitas kegiatan wanita. Figur wanita tersebut juga dihadirkan dalam format besar yang sedang duduk sambil bermain suling dalam kegelapan malam, ditemani sebatang lilin kecil yang menyala dan memancarkan cahaya. Proses pewarnaan lukisan ini dimulai dengan membuat warna dasar menggunakan cat minyak merk Greco merah, kuning dan hitam tipis. Lebih lanjut untuk pengolahan warna kulit, warna dasar kuning dipoles menggunakan warna merah, coklat tua, putih dan hitam cat minyak merk Winton. Warna hitam untuk rambut, merah untuk pakaian kemben dan kombinasi coklat dengan hitam cat minyak merk Amsterdam untuk kain jarik. Warna latar belakang bagian atas kombinasi antara warna merah dan kuning cat minyak merk Amsterdam, sehingga menjadi kuning kemerahan seperti warna cahaya lilin yang menyala redup. Sedangkan latar belakang bagian bawah dengan warna hitam cat minyak merk Winton. Lebih lanjut untuk warna seruling dan meja dengan kombinasi antara coklat, kuning dan putih cat minyak merk Amsterdam. Warna gelap hadir tanpa dibuat-buat pada latar belakang bagian bawah semakin memperjelas keberadaan objek serta menjadi nilai estetik dan artistik tersendiri pada sebidang lukisan ini. Unsur terang yang muncul tanpa rekayasa berdasarkan realita yang ada pada latar belakang bagian atas lukisan inipun juga menambah nilai artistik. Menurut Agus Wiryawan, unsur gelap terang sangat berpengaruh dan semakin memperkuat kualitas lukisan. Namun demikian sebagai seorang pelukis realis ia tidak merekayasa warna maupun unsur gelap terang. Untuk memperoleh lukisan yang demikian ia hanya bermain terhadap penataan objek yang akan di lukis.
Gambar 15. “Bermain Suling II” Oil on Canvas, 70 x 90 cm (2002) (Sumber: Dokumentasi Katalog difoto kembali oleh Heru Setyawan) “Bermain Suling II” juga merupakan sebuah judul dari salah satu lukisan Agus Wiryawan yang bertemakan aktivitas wanita. Figur wanita hadir kembali dalam format besar. Background dibuat Agus Wiryawan dengan taburan berbagai warna seperti coklat tua, coklat muda, hijau, orange dan merah. Dalam lukisan yang satu ini memang agak lain dari pada yang lain karena lukisan ini merupakan pesanan dari salah satu penggemar seni lukis. Dalam lukisan ini terdapat penambahan unsur ekspresi yang terletak pada permainan warna dalam pengolahan latar belakang, sehingga semakin mempertegas keberadaan objek. Objek Wanita yang memainkan suling kesayangan dengan penuh semangat dan hati-hati merupakan salah satu realita dalam kehidupan dimana wanita tersebut sangat berhati-hati dalam menggunakan dan memperlakukan barang kesayangan, dalam hal ini suling kesayangan.
Pewarnaan objek dimulai dengan warna dasar kuning, hijau, hitam dan putih cat minyak merk Greco yang kemudian ditebalkan dengan kombinasi warna merah, putih dan coklat cat minyak merk Amsterdam untuk warna kulit manusia. Warna hitam digunakan untuk rambut, sebagian latar belakang dan kain jarik yang dikombinasikan dengan warna putih dan coklat yang juga menggunakan cat minyak merk Amsterdam. Sedangkan kombinasi oranye dan hijau cat minyak merk Winton dipakai untuk warna pakaian dalam. Lebih lanjut warna coklat kemerahan untuk seruling, serta kombinasi warna merah, putih, biru, coklat dan hitam untuk latar belakang menggunakan cat minyak merk Greco.
Gambar 16. “Meracik Jamu” Oil on Canvas, 80 x 100 cm (2002) (Sumber: Dokumentasi berupa foto Oleh Heru Setyawan)
Karya lukis dengan tema aktivitas manusia, utamanya aktivitas perempuan dengan judul “Meracik Jamu” ini merupakan salah satu karya terbaik yang pernah diciptakan Agus Wiryawan. Selain benar-benar mirip dengan objek yang di foto secara langsung, teknik pengolahan warna yang tinggi, komposisi
yang seimbang dan anatomi tubuh yang proporsional dalam lukisan ini semakin menambah nilai artistik. Pemilihan dan penataan objek yang disengaja membuat lukisan ini menjadi lebih berbobot dan lebih sempurna. Penggambaran dalam format besar yang secara detail, proporsional dan seimbang serta pengolahan warna dengan teknik tinggi, namun tetap berdasarkan realita objek yang ada tanpa penambahan ekspresi dan imajinasi dalam membuat lukisan sehingga lukisan realis ini tampak lebih hidup. Proses pewarnaan dimulai dengan warna dasar kuning, merah, hijau dan coklat cat minyak merk Greco. Kemudian warna dasar dipertebal menggunakan warna coklat, merah, putih dan kuning untuk kulit, warna merah dan hitam untuk kain kemben serta bibir, warna hitam untuk rambut dan kain jarik yang dikombinasikan dengan warna coklat cat minyak merk Amsterdam. Kemudian untuk warna tanaman hias kombinasi antara warna putih dan hijau cat minyak merk amsterdam. Sedangkan warna dasar coklat pada latar belakang yang dominan dikombinasikan dengan warna hitam untuk membuat warna kayu jati yang tua serta sedikt warna putih, hijau, merah dan kuning pada bahan dan alat pembuat jamu menggunakan cat minyak merk Winton. Objek wanita berpakaian jawa menggunakan kemben warna merah yang sedang bekerja meracik jamu dengan lemah lembut merupakan cerminan wanita jawa yang lemah lembut dan giat bekerja. Warna coklat sebagai latar belakang yang sangat dominan dalam lukisan ini semakin memperjelas kedudukan objek sebagai pusat perhatian. Kombinasi warna yang ada dalam lukisan ini berdasarkan objek asli tanpa unsur rekayasa yang ditambahkan oleh Agus Wiryawan.
Gambar 17. “Bakul Jamu” Oil on Canvas, 80 x 100 cm (2003) (Sumber: Dokumentasi Katalog difoto kembali oleh Heru Setyawan)
“Bakul Jamu” merupakan sebuah judul karya lukis Agus Wiryawan yang juga bertemakan aktivitas kaum perempuan. Figur wanita dengan format besar yang hadir dalam karya tersebut lebih kompleks dengan berpakaian adat Jawa, sehingga membutuhkan pertimbangan yang cukup jeli dalam proses pembuatan dan pengolahan warna. Esensi dan signifikan pada subjek yaitu wanita yang sedang duduk sambil meracik jamu yang akan dijual merupakan perlambang wanita jawa, dalam hal ini sebagai tanggung jawab seorang ibu yang giat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Objek dengan warna cerah yang tertuang dalam sebidang kanvas menjadikan lebih kontras dengan background dengan warna gelap. Figur ibu berpakaian adat Jawa merupakan centre interest dalam lukisan realis ini. Warna yang dihadirkan apa adanya berdasarkan realita yang ada dan tidak ada penambahan maupun rekayasa bentuk dalam lukisan ini. Dalam penciptaan lukisan ini Agus Wiryawan berusaha tidak mempercantik penampakan objek. Ia berusaha bersikap jujur terhadap kenyataan
objek yang dilihat menggunakan tingkat ketepatan yang tinggi. Ia hanya mengungkapkan realitas atau fakta tanpa penambahan ekspresi dan imajinasi dengan cara dan teknik tinggi yang telah ia kuasai. Agus Wiryawan sangat lihai dalam mempermainkan berbagai warna, seperti warna merah, biru, hijau, coklat muda, coklat tua, putih dan kuning seperti warna yang asli. Warna-warna tersebut masih diperkaya dengan kombinasi dari warna-warna dasar, sehingga kelihatan nyata dan tampak seperti warna asli. Bagi Agus Wiryawan teknik pencampuran warna dianggap sangat dominan, penting dan akan menentukan kualitas karya. Proses pembuatan lukisan ini diawali dengan membuat warna dasar menggunakan cat minyak merk Greco warna merah, coklat dan kuning tipis. Langkah berikutnya adalah membuat warna kulit coklat sawo matang kombinasi anatara warna coklat, merah, putih dan kuning serta warna hitam untuk rambut menggunakan cat minyak merk Amsterdam. Cat minyak merk Amsterdam juga digunakan untuk warna pakaian dengan warna merah dan putih serta warna coklat muda, coklat tua dan hitam untuk kain jarik. Sedangkan komposisi warna coklat tua, hitam kebiru-biruan, sedikit warna putih dan hijau dipakai Agus Wiryawan dalam pewarnaan background menggunakan cat minyak merk Winton. Figur seorang ibu hadir dengan bentuk detail dan dengan anatomi tubuh yang proporsional. Background yang kebetulan berwarna coklat tua dan kebirubiruan dengan kombinasi warna hitam, sedikit putih dan hijau semakin mempertegas keberadaan dari objek sebagai centre interest. Peralatan dan bahan pembuatan jamupun tertata seperti rapi apa adanya tanpa penambahan ekspresi dan imajinasi seniman, namun tidak mengurangi nilai karya estetik ini.
Gambar 18. “Kasih Ibu I” Oil on Canvas, 80 x 120 cm (2003) (Sumber: Dokumentasi berupa foto oleh Heru Setyawan) Tema aktivitas kaum perempuan, dalam hal ini aktivitas seorang ibu yang sedang duduk sambil mengasuh bayi merupakan suguhan pada lukisan Agus Wiryawan yang berjudul “Kasih Ibu I”. Figur ibu yang sedang mengasuh bayi dibuat detail apa adanya serta hadir dalam format besar berdasarkan objek asli yang dilukis. Figur ibu tersebut mencurahkan segala rasa kasih sayang yang besar kepada si buah hati. Lembut dan penuh hati-hati, itulah realita kehidupan yang diungkapkan dalam “Kasih Ibu I” salah satu karya lukis realis Agus Wiryawan ini. Proses pewarnaan dimulai dengan warna dasar coklat, merah, kuning dan biru cat minyak merk Greco dengan tipis. Lebih lanjut warna coklat sawo matang dibuat untuk kulit, biru untuk pakaian ibu dan warna kuning untuk pakaian bayi menggunakan cat minyak merk Amsterdam. Kemudian warna dasar
coklat yang mayoritas diolah sedemikian rupa dengan kombinasi warna merah, putih, hitam dan biru untuk kain jarik serta pada latar belakang lukisan. Kombinasi warna dan gelap terang hadir tanpa dibuat-buat oleh Agus Wiryawan dalam setiap karya lukis semakin mempertegas keberadaan objek sebagai centre interest. Realita kehidupan yang dilukiskan Agus Wiryawan tentang begitu besar ungkapan kasih sayang seorang ibu kepada anak. Semenjak anak masih dalam kandungan hingga terlahir dan dibesarkan di dunia, ibu selalu memberi kasih sayang sepenuh hati.
Gambar 19. “Kasih Ibu II” Oil On canvas, 60 x 80 cm (2003) (Sumber: Dokumentasi berupa foto oleh Heru Setyawan)
Lukisan Agus Wiryawan yang berjudul “Kasih Ibu II” menggambarkan realita sosial kehidupan dan aktivitas manusia. Lukisan bertemakan aktivitas kaum perempuan, dalam hal ini aktivitas seorang ibu yang mengasuh bayi. Penggambaran dibuat detail dan proporsional serta hadir dalam format besar berdasarkan sudut pandang seniman dalam melihat objek yang akan dilukis.
Penggarapan warna yang ada dalam lukisan inipun berdasarkan pada objek yang dilukis. Seperti pada lukisan sebelumnya, figur ibu tersebut memberikan segala rasa kasih sayang yang besar kepada si buah hati. Lembut dan penuh hati-hati, itulah realita pengungkapan kasih sayang seorang ibu pada salah satu karya Agus Wiryawan yang berjudul “Kasih Ibu II” ini. Kombinasi warna dan gelap terang yang selalu hadir tanpa rekayasa dan pengolahan yang dibuat-buat oleh Agus Wiryawan dalam setiap karya semakin mempertegas centre interest. Dilihat dari segi pewarnaan Agus Wiryawan berusaha mengolah dengan sebaik mungkin dan sesuai dengan objek asli yang dilukis. Proses pewarnaan pada lukisan ini dimulai dengan warna dasar merah, hijau, biru dan coklat cat minyak merk Greco dengan goresan tipis. Lebih lanjut seperti biasa warna kulit dibuat coklat kemerahan, hitam untuk rambut, merah muda untuk pakaian ibu dan warna biru untuk pakaian bayi menggunakan cat minyak merk Amsterdam. Warna dasar biru untuk latar belakang dikombinasi dengan warna putih, biru tua, coklat dan hijau yang diolah sedemikian rupa sehingga menjadi pohon pisang, padi, gunung dan langit menggunakan cat minyak merk Winton. Sedangkan warna dasar coklat sebagai latar belakang dikombinasikan dengan warna hitam dan biru cat minyak merk Amsterdam untuk membuat warna coklat gedek bambu, tiang dan kursi kayu.
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan penelitian yang mewujudkan hasil penemuan dan analisis formal yang dilaksanakan tentang lukisan realis karya Agus Wiryawan di Perumahan Klodran Indah, RT 03/ III, Jl. Jambu IV Colomadu Karanganyar yang sesuai dengan rumusan masalah, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Agus Wiryawan dalam berkarya dipengaruhi oleh kepuasan batin sebagai faktor utama yang kemudian didukung oleh latar belakang lingkungan keluarga, latar belakang pendidikan dan latar belakang lingkungan masyarakat. Agus Wiryawan melukis dengan tema aktivitas kehidupan manusia, khususnya aktivitas kaum perempuan. Alat yang digunakan Agus Wiryawan dalam berkarya yaitu easel, piring palet, pisau palet dan kuas lukis cat minyak berukuran terkecil hingga terbesar untuk membuat goresan yang terkecil hingga terbesar pula. Sedangkan bahan yang digunakan Agus Wiryawan dalam berkarya adalah dengan media kanvas, cat minyak merk Amsterdam, Greco, Winton dan minyak cat minyak Greco. Sedangkan cat minyak yang biasa digunakan Agus Wiryawan dalam membuat warna dasar adalah cat minyak Greco. Dalam teknik pembuatan lukisan realis karya Agus Wiryawan terdiri dari tiga tahapan. Tahap pertama yaitu pencarian ide dilakukan oleh Agus Wiyawan dengan cara mengosongkan pikiran, selanjutnya berkonsentrasi pada penentuan tema dan pencarian objek yang akan dilukis. Tahap berikutnya adalah tahap menyempurnakan, mengembangkan dan memantabkan gagasan awal (elaboration and refinement), sehingga akan mempermudah proses pemindahan objek kedalam media kanvas dengan bantuan alat kamera. Tahapan yang terakhir adalah menuntaskan proses penciptaan objek ke dalam media kanvas, dimulai dengan membuat warna dasar sampai dengan proses finishing dengan cara
mencantumkan jati diri seniman (Agus Wiryawan) beserta tahun pembuatan dan lukisan itu diberi pigura. Agus Wiryawan dalam melukis tidak menambahkan unsur emosi, ekspresi, distorsi dan imajinasi. Kebanyakan lukisan Agus Wiryawan adalah apa adanya berdasarkan realita dalam kehidupan. Keseluruhan karya lukis yang dihasilkan Agus Wiryawan pada periode 2001–2003 berjumlah 84 karya. Karya yang merupakan pesanan dari pelanggan sejumlah 53 karya, sedangkan 31 karya selebihnya merupakan karya yang dibuat oleh Agus Wiryawan berdasarkan keinginan dan kepuasan batin serta bukan pesanan dari pelanggan atau penggemar seni. Dari 31 karya tersebut 25 karya bertema aktivitas kegiatan wanita dan 6 karya bertema pemandangan alam. Kebanyakan karya lukis Agus Wiryawan dibuat dengan ukuran 70 x 90 cm dengan objek sebagai pusat perhatian disajikan dalam format besar. Dalam penelitian ini mengambil 10 sampel photo karya lukis Agus Wiryawan dengan ketentuan hasil karya yang bukan pesanan dari penggemar seni dan memiliki tema aktivitas manusia sehari-hari khususnya kaum perempuan.
B. Implikasi Berdasarkan hasil penelitian di atas maka implikasi atau dampak yang dapat dihasilkan adalah sebagai berikut:
1. Teoritis Dengan melakukan penelitian tentang seni lukis realis karya Agus Wiryawan di Perumahan Klodran Indah Jl. Jambu IV Colomadu Karanganyar Periode 2001–2003 merupakan salah satu tahap untuk menggali lebih dalam tentang seni lukis realis di Surakarta. Dengan penelitian ini akan muncul seniman lukis realis baru yang mampu menampilkan karya baru yang lebih berbobot dengan cara penguasaan ide, tema yang matang, alat dan bahan, dan proses pembuatan karya hingga finishing yang lebih baik.
2. Praktis Dengan adanya penelitian tentang seni lukis realis Agus Wiryawan ini dapat menambah wacana tentang kesenirupaan bagi seniman lukis yang lain maupun bagi masyarakat umum dan memberikan kontribusi berupa informasi tentang seni lukis realis karya Agus Wiryawan, sehingga ia akan lebih terkenal sebagai seniman lukis realis di Surakarta.
C. Saran Berdasarkan hasil penelitian tentang karya lukis realis Agus Wiryawan diatas, maka disarankan sebagai berikut: 1. Agus Wiryawan selain mengadakan pameran lukisan realis secara kelompok diharapkan agar berani mengadakan pameran tunggal, sehingga masyarakat luas lebih mengenal karya lukis realisnya. 2. Agus Wiryawan setiap mengadakan pameran akan lebih baik jika disisipi sarasehan tentang karya lukis realis yang sedang dipamerkan agar masyarakat umum lebih mengenal dengan jelas serta mampu memahami makna yang terkandung di dalam karya lukis realisnya. 3. Agus Wiryawan sebaiknya mendirikan studio lukis yang lebih besar, bahkan bila perlu mendirikan galery yang luas, sehingga dapat melukis dengan lebih leluasa, dapat untuk memajang dan mengoleksi karya.
Daftar Pustaka Dharsono Sony Kartika dan Nanang Ganda Prawira. 2004. Pengantar Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. Dwi Maryanto. 2002. Seni Kritik Seni. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Edy Tri Sulistyo. 2005. Kaji Dini Pendidikan Seni. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press) Universitas Sebelas Maret Surakarta. ______________. 2005. Tinjauan Seni Lukis Indonesia. Surakarta: Rumpun Ilalang, UPT MKU dan UNS Press.
Pustaka
Hassan Sadily. 1991. Ensiklopedia Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve. Lukman Ali. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Miles, M.B. dan Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI – Press. Moleong L. J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Mulyadi P. 2000. Pengetahuan Seni. Surakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia UNS. Narsen Afatara. 1999. Tinjauan Seni Lukis Modern. Surakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia UNS. Nasution. 1988. Metode Penelitian Naturalistik – Kualitatif. Bandung: Tarsito. Soegeng Toekio. M. 1983. Tinjauan Seni Rupa. Surakarta: Proyek Pengembangan IKI. Sub Proyek ASKI. Sudarso SP. 1991. Tinjauan Seni. Yogyakarta: Saku Dayar Sana. _________. 2000. Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern. Yogyakarta: CV. Studio Delapan Puluh Enterprise Bekerjasama Dengan Badan Penerbit ISI. Sutopo, H. B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press Surakarta.
___________. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif. Surakarta: Pusat Penelitian UNS. Suharsimi Arikunto. 1996. Managemen Penelitian. Jakarta: P2LPTK. Suryo Suradjijo. 2000. Filsafat Seni. Surakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia UNS. Sutrisno Hadi. 1990. Statistik Jilid I, II, dan III. Yoyakarta: Andi Offset. Suwaji Bastomi,. 1992. Wawasan Seni. Semarang: IKIP Semarang Press. The Liang Gie. 1976. Garis Besar Estetik, Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.
FOTO PENELITIAN
Gambar 20. Wawancara dengan pelukis Agus Wiryawan (Sumber: Dokumentasi berupa foto oleh Heru Setyawan)
Gambar 21. Peneliti dengan Seniman Agus Wiryawan (Sumber: Dokumentasi berupa foto oleh Heru Setyawan)
FOTO SALAH SATU KARYA LUKIS REALIS AGUS WIRYAWAN BERJUDUL “PENJUAL SAYURAN”
Gambar 22. Lukisan ”Penjual Sayuran” Oil on Canvas, 40 x 60 cm (2007) (Sumber: Dokumentasi berupa foto oleh Heru Setyawan)
BIODATA INFORMAN 1. Nama
: Agus Wiryawan (Iwan).
2. Tempat, tanggal lahir
: Boyolali, 19 November 1975
3. Agama
: Islam
4. Pekerjaan
: Pelukis, Scurity BRI Cabang Pasar Nongko
5. Pendidikan
: STM
6. Alamat
: Perumahan Klodran Indah, Jl Jambu IV, RT 03/ III, Karanganyar Surakarta.
7. Perjalanan Seni
:
a. Gelar Karya Lukis Akhir Tahun 2002 di Quality Hotel Solo, 23 Desember 2002 – 2 Januari 2003, bersama Kelompok Pelukis Solo. b. Pameran Lukisan EXPO PRODUK UNGGULAN’ 99 di Graha Wisata Niaga Solo, 4 – 14 Maret 1999, bersama Kelompok Pelukis Solo. c. Pameran Nasional Seni Rupa UNS 2003 Dalam Rangka Dies Natalis UNS Ke XXVII di Student Centre UNS, 26 – 30 April 2003, bersama Dosen, Guru, Mahasiswa, Alumni dan Seniman. d. Gema Seni Indonesia Merdeka VII di Taman Budaya Surakarta, 1 – 10 Oktober 2002, bersama Kelompok Pelukis Pujasari Solo. e. Pameran Lukisan BENGAWAN SOLO ART III di Hotel Sahid Kusuma Jl. Sugiyopranoto No. 20 Solo 57111, 23 Desember 2003 – 2 Januari 2004, bersama Himpunan Pelukis Surakarta. f. Pameran Lukisan Seribu Bunga di Hotel Patra Jasa Jl. Sisingamangaraja Semarang, 1 – 31 Agustus 2001, bersama Edo Art Gallery. g. Pameran Lukisan Spirit Semar di Kusuma Sahid Hotel, 1 – 6 Maret 2003 dan di Gapuro Seni Sriwedari pada tanggal 8 – 15 Maret 2003, bersama Balada Semar. h. Pameran Lukisan Wanita di Mata Pria di Quality Hotel, 14 – 21 Juni 2003 dan di Jl. Slamet Riyadi 275 Gapura Sriwedari Lt. atas Solo pada tanggal 22 – 30 Juni 2003, bersama Kelompok Pelukis Pujasari.
i. Pameran Lukisan Ekspresi Tiga Warna di Sanggar Tiga Warna Jl. Raya Lenteng Agung Depok No. 12. Jakarta, bersama Kelompok Pelukis Tiga Warna. j. Pameran Lukisan Gema Seni Indonesia Merdeka Ke 8 di Aula LOKAPRANA WISMA PKBI Jl. Hang Jebat III/ F3 P. O. Box. 6017 Kebayoran Baru Jakarta 12120, 15 – 19 September 2003, bersama Himpunan Pelukis Surakarta k. Dan masih banyak lagi Pameran Lukisan Kelompok yang pernah di ikuti oleh Agus Wiryawan, baik dengan Kelompok Pelukis yang sama maupun bersama Kelompok Pelukis yang lain.
HASIL WAWANCARA 1. Tanya : Kapan dan dinama Mas Agus Wiryawan dilahirkan? Jawab : Saya lahir di Boyolali pada tanggal 19 November 1975. 2. Tanya : Siapa nama orang tua Mas Agus Wiryawan dan apa pekerjaannya? Jawab : a
Ayah saya bernama Mulyanto, pekerjaan orang tua saya adalah PNS di BKKBN Karanganyar.
a
Sedangkan ibu bernama Madiningsih yang bekerja sebagai wiraswasta di Karanganyar
3. Tanya : Mas Agus Wiryawan anak nomor berapa, berapa jumlah saudara, dimana tempat tinggal mereka dan apakah ada diantara saudara Mas Agus Wiryawan yang memiliki bakat sebagai seorang pelukis? Jawab : a
Saya nomor 1 dari 4 bersaudara, jadi saya memiliki 3 orang saudara.
b
Saudara saya yang nomor 2 tinggal di Baron Tipes, sedangkan saudara saya yang nomor 3 dan 4 tinggal di Jaten Karanganyar.
c
Bakat melukis pada saudara saya memang ada, yaitu pada saudara saya yang terakhir, nomor 4 yang bernama Adi yang pada saat ini dia masih kuliah di UMS.
4. Tanya : Bagaimana latar belakang Mas Agus Wiryawan menjadi seorang pelukis realis? Jawab : Mula-mula berawal hobi mencorat-coret yang terinspirasi oleh acara TVRI “Menggambar Bersama Pak Tino Sidin”, kemudian sempat terhenti dan muncul kembali ketika saya sedang patah hati. Dengan patah hati tersebut
saya tidak putus asa. Hal ini justru mendorang saya untuk mencari media sebagai sarana pengungkapan isi hati saya. Kemudian saya membuat goresangoresan pada secarik kertas. 5. Tanya : Sejak kapan Mas Agus Wiryawan mulai menyadari akan kehadiran bakat melukis dan kapan mulai menseriusinya? Jawab : a. Sejak dari kecil, tepatnya pada waktu kelas 5 SD. Pada waktu itu saya sering menonton acara TVRI “Menggambar Barsama Pak Tino Sidin”. Kebetulan pada saat kelas 3 SD saya mewakili sekolah saya SDN III Jaten Karanganyar, yang kebetulan pula pada saat itu saya memenangkan perlombaan dan meraih juara I pada lomba menggambar tersebut. b. Kemudian saya mulai menyeriusi bakat saya dalam melukis dan terjun kedunia seni lukis pada akhir tahun 1996 berawal dari penyakit patah hati yang saya derita. 6. Tanya : Apakah bakat melukis yang Mas Agus Wiryawan miliki merupakan keturunan? Jawab : Bukan bakat keturunan. Mulai dari buyut, kakek-nenek, hingga orang tua saya satupun tidak ada yang memiliki bakat melukis. Mereka bekerja sebagai PNS dan TNI. Bahkan kedua orang tua saya sempat menginginkan saya menjadi TNI, namun saya tetap menjadi seorang pelukis dan kedua orang tua tetap mendukung dan setuju apa bila saya tetap menjadi seniman. 7. Tanya : Seberapa besar apa pengaruh lingkungan keluarga terhadap pekerjaan seni Mas Agus Wiryawan? Jawab : Meskipun sebenarnya orang tua saya menginginkan saya menjadi TNI, namun pengaruh keluarga terhadap pekerjaan seni saya sangatlah besar. Dengan dukungan dari orang tua serta keluarga saya, sehingga saya dapat menjadi
seorang pelukis dan mampu menghidupi keluarga dari hasil jerih payah saya sebagai seorang seniman. 8. Tanya : Pendidikan apa saja yang pernah Mas Agus Wiryawan tempuh hingga saat ini? Jawab : Saya sekolah SD di SDN III Jaten Karanganyar, kemudian saya melanjutkan ke SMP N II Karanganyar. Setelah lulus SMP saya melanjutkan pendidikan di STM YP Colomadu Karanganyar. 9. Tanya : Apakah nilai yang menonjol dan apa pengaruh pendidikan terhadap pekerjaan Mas Agus Wiryawan Sebagai seorang pelukis? Jawab : a
Dari SD hingga SMP saya selalu mendapat nilai terbaik, yaitu nilai 8 pada mata pelajaran menggambar dan seni rupa. kemudian pada saat duduk di bangku STM saya selalu mendapat nilai yang baik pula pada mata pelajaran seni rupa dan gambar teknik.
b
Pendidikan yang saya tempuh memiliki pengaruh yang besar, terutama pada pematangan teknik pengolahan warna, sehingga saya dapat mengolah warna yang realis meskipun masih banyak terdapat kekurangan.
10. Tanya : Adakah pengaruh lingkungan yang mendorong Mas Agus Wiryawan untuk melukis? Jawab : Ada, namun sangat sedikit. Yang jelas pengaruh saya dalam melukis adalah situasi dan kondisi pada saat patah hati itu. 11. Tanya : Apakah Mas Agus Wiryawan melukis hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup saja? Jawab :
Tentu saja tidak. Motif saya adalah karena saya suka dan tertarik dengan pekerjaan sebagai seorang pelukis. Selanjutnya memang saya akui bahwa hasil dari melukis saya gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun sebagian besar saya gunakan untuk belajar dan selau berekspresi dan bereksprerimen dengan tujuan agar karya yang saya hasilkan semakin berbobot. 12. Tanya : Apakah tema yang Mas Agus Wiryawan angkat dalam melukis? Jawab : Tema yang saya angkat adalah realis objek manusia, kebanyakan adalah kegiatan perempuan sehari-hari. Namun apabila ada pesanan dengan tema yang lain, maka juga akan saya kerjakan karena tidak baik menolak rejeki selam itu halal. 13. Tanya : Apakah latar belakang pemilihan tema tersebut? Jawab : Saya sangat penasaran dengan tingkat kerumitan objek manusia, utamanya dalam membuat anatomi tubuh manusia, bagaimana membuat proporsi tubuh manusia yang tepat, padahal manusia tersebut sedang melakukan kegiatan sehari-hari. Ini sangat rumit dan sulit. Nah itulah yang membuat saya sangat tertarik. 14. Tanya : Apa sajakah alat dan bahan yang Mas Agus gunakan? Jawab : Saya biasa menggunakan pisau palet, piring palet, kuas lukis dari yang terkecil hingga yang terbesar untuk membuat goresan terkicil hingga terbesar pula, cat minyak (greco, rembran, amsterdam), minyak cat minyak amsterdam, kanvas dan easel. Saya sering menggunakan greco untuk membuat warna dasar. Selain itu kadang saya juga menggambar menggunakan media kertas sembarang, pensil, cat air, cat tembok, cat poster, pensil warna, spidol, konte, tinta bak, pastel, crayon dan sebagainya. 15. Tanya :
Bagaimanakah teknik penciptaan karya lukis Mas Agus Wiryawan? Jawab : Pertama-tama yang saya lakukan adalah mencari ide atau gagasan yang saya gabungkan menjadi sebuah konsep guna menetukan tema yang matang. setelah saya mendapatkan kematangan tema selanjutnya saya mengadakan perburuan, sehingga mendapatkan objek yang saya sukai. Terkadang saya menggunakan objek manusia langsung, namun terkadang saya juga menggunakan foto. Kemudian saya menyiapkan media kanvas serta alat dan bahan yang akan saya gunakan dalam melukis. Setelah itu saya membuat warna dasar bentuk global atau semacam sketsa dengan warna cat greco merah atau kuning yang tipis. Langkah selanjutnya saya mewarnai warna dasar tersebut dengan warna yang telah saya campurkan sedemikian rupa dengan goresan kuas tanpa permainan warna, emosi dan imajinasi, sehinggamenjadi sebuah lukisan yang telah sempurna menurut saya. Pada proses finishing lukisan tersebut saya beri pigura yang saya pesan sendiri dari teman saya. 16. Tanya : Bagaimana perjalanan seni Mas Agus Wiryawan? Jawab : Saya belajar melukis secara otodidak. Sewaktu saya masih kecil saya sering menonton acara TVRI “Menggambar Barsama Pak Tino Sidin”. Hal tersebut sangat membuat saya tertarik terhadap kegiatan menggambar. Kemudian saya menseriusi melukis pada akhir tahun 1996. Kemudian saya mulai bergabung dengan paguyuban atau kelompok seniman di Pujosari Taman Sriwedari Surakarta, Kelompok Tiga Warna di Jakarta dan sebagainya untuk mendukung kemajuan saya dalam melukis serta untuk mengadakan pameran kelompok. Hingga saat ini 17. Tanya : Berapa kalikah pameran yang pernah Mas Agus Wiryawan ikuti hingga saat ini, apakah Mas Agus Wiryawan pernah mengadakan pameran tunggal? Jawab :
a. Banyak sekali, yang jelas lebih dari 40 kali. b. Saya belum pernah melakukan pameran tunggal. Selain saya belum siap secara mental, karya-karya saya juga masih sedikit dikarenakan sudah banyak yang laku. 18. Tanya : Siapa sajakah yang pernah mengoleksi karya Mas Agus Wiryawan? Jawab : Lukisan saya banyak di koleksi oleh relasi dan penggemar lukisan saya. Bahkan pada saat pameran di Wonogiri yang bertaraf internasional, lukisan saya banyak dikoleksi oleh warga Malaysia. Hubungan dengan pelanggan dari Malaysia terus berlanjut, namun setelah beberapa tahun akhirnya saya memutuskan hubungan tersebut karena pelanggan dari Malaysia tersebut melakukan kecurangan dengan mengganti jati diri saya pada lukisan tersebut dengan identitasnya, kemudian dijual lagi dengan harga yang tinggi. 19. Tanya : Sejauh mana pengaruh pesanan terhadap kebebasan Mas Agus Wiryawan dalam melukis? Jawab : Pengaruh pesanan membuat saya lebih maju dikarenakan pemesan selalu memiliki saran dan kritikan. Saya sangat senang terhadap kritikan pemesan selama saran dan kritikan mereka progresif atau bersifat membangun serta yang saya anggap baik, sehingga saya menjadi lebih baik dan karya lukisan yang saya hasilkan menjadi lebih berbobot dan bernilai. Saya merasa tidak begitu terganggu dengan kritikan dan saran dari pemesan. Biasanya sebelum saya mengerjakan pesanan lukisan tersebut saya bermusyawarah terlebih dahulu dengan pemesan lukisan, sehingga hasilnya memuaskan, baik bagi saya maupun bagi pelanggan yang memesan lukisan kepada saya. 20. Tanya : Dalam satu bulan kurang lebih berapa lukisan yang dapat Mas Agus Wiryawan hasilkan? Jawab :
Dalam satu bulan + saya menghasilkan 3 karya, namun apabila ada pesanan maka karya yang saya hasilkan tergantung dari jumlah pesanan tersebut. Biasanya saya membuat lukisan selesai dalam 3 – 4 hari.
SURAT BUKTI PENELITIAN Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Agus Wiryawan
Pekerjaan
: Seniman, Seccurity BRI Pasar Nongko
Alamat
: Perumahan Klodran Indah, RT 03/ III, Jl. Jambu IV, Colomadu Karanganyar Surakarta.
Selaku informan kunci (keys Informant) dalam penelitian ini. Menerangkan bahwa: Mahasiswa Seni Rupa FKIP UNS di bawah ini: Nama
: Darmawan Kristianto
NIM
: K 3201018
Pekerjaan
: Mahasiswa Seni Rupa FKIP UNS 2001
Alamat
: Ngabeyan, RT 06/ 03 Karanganom Klaten 57475
Telah
mengadakan
observasi,
wawancara
dan
penelitian
guna
kelengkapan penulisan skripsi sebagai syarat untuk menyelesaikan Studi Program Seni Rupa dan sebagai syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Harap menjadi periksa dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Surakarta, 20 April 2006
(Agus Wiryawan)
REVIEW INFORMANT
Yang bertanda tangan di bawah, selaku Review Informant: Nama
: Agus Wiryawan.
Alamat
: Perumahan Klodran Indah, RT 03/ III, Jl. Jambu IV,
Klodran Colomadu Karanganyar, Surakarta. Pekerjaan
: Seniman/ seccurity BRI Pasar Nongko.
. Menerangkan bahwa Mahasiswa FKIP Seni Rupa UNS yang melakukan penelitian ini: Nama
: Darmawan Kristianto.
NIM
: K 3201018
Pekerjaan
: Mahasiswa Seni Rupa FKIP UNS.
Alamat
: Ngabeyan RT 03/ 06, Karanganom, Klaten 57475.
Telah disetujui dan telah dianalisa oleh review informant, dalam hal ini saya sendiri (Agus Wiryawan Review Informant, Key Informant dan Seniman), sehingga keabsahan data dan fakta yang ditemukan dari hasil penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana mestinya. Harap menjadi periksa dan dapat bermanfaat sebagaimana mestinya.
Surakarta, 11 Desember 2006
(Agus Wiryawan)
DENAH LOKASI PENELITIAN Timur
S M K N 9
JL. Adi Sumarmo
P O M B E N S E N
Rumah Agus Wiryawan
J l J a m b u I V
K L O D R A N
Ke Bandara
F A J A R I N D A H
EKSPRESI KEHIDUPAN WANITA METROPOLITAN DALAM UNGKAPAN SENI LUKIS
PROYEK STUDI Diajukan dalam Rangka Penyelesaian Program Studi Seni Rupa S1 untuk Mencapai Gelar Sarjana Seni
Disusun Oleh : Eko Bagus Budi Prasetyo 2450407005
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2012
HALAMAN PENGESAHAN Proyek Studi ini telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Proyek Studi Jurusan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang pada: hari tanggal
: Rabu : 26 September 2012
Panitia Ujian Proyek Studi
Ketua
Sekretaris
Drs. Agus Yuwono, M.Si., M.Pd. NIP 196812151993031003
Drs. PC. S. Ismiyanto, M.Pd. NIP 195312021986011001
Penguji I
Dr. Sri Iswidayati, M.Hum. NIP 195207011981112001
Penguji II
Penguji III
Eko Haryanto, M.Ds. NIP 197201032005011002
Drs. Purwanto, M.Pd, NIP 195901011981031003
ii
PERNYATAAN
Proyek studi dengan judul ”Ekspresi tentang Kehidupan Wanita Metropolitan dalam Ungkapan Seni Lukis” beserta seluruh isinya merupakan hasil karya sendiri. Demikian pernyataan ini dijadikan pedoman bagi yang berkepentingan.
Semarang, September 2012
Eko Bagus Budi Prasetyo 2450407005
iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO Niat disertai kerja keras adalah rencana sukses yang sempurna. Eko Bagus Budi Prasetyo
PERSEMBAHAN Bapak, Ibu, dan keluarga Semua yang membaca
iv
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk, kekuatan, dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proyek studi yang berjudul “Ekspresi tentang Kehidupan Wanita Metropolitan dalam Ungkapan Seni Lukis”. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Drs. Purwanto, M.Pd selaku pembimbing utama, dan Eko Haryanto, M.Ds selaku pembimbing kedua, yang telah memberi pengarahan dan membantu untuk menyelesaikan proyek studi ini. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si., Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan penulis menempuh kuliah, 2. Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum., Dekan Fakultas Bahasa dan Seni yang telah memberikan izin menyelesaikan proyek studi ini, 3. Drs. Syafii, M.Pd, Ketua Jurusan Seni Rupa, dan Drs. Supatmo, M.Pd., Sekretaris Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang yang telah membantu kelancaran administrasi, 4. Bapak, Ibu, dan keluarga yang selalu memberikan dukungan dan do’a, 5. Semua pihak yang turut berpartisipasi dalam penyusunan proyek studi ini. Demikian pengantar penulis, dengan harapan semoga proyek studi ini memberi manfaat bagi berbagai pihak. Semarang, September 2012
Penulis
v
SARI
Prasetyo, Eko Bagus Budi. 2012. Ekspresi tentang Kehidupan Wanita Metropolitan dalam Ungkapan Seni Lukis. Proyek Studi. Jurusan Seni Rupa. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Purwanto, M.Pd, Pembimbing II: Eko Haryanto, M.Ds. Kata kunci: Kehidupan Wanita Metropolitan, Seni Lukis. Terpaan aneka ragam budaya mengakibatkan merebaknya gaya hidup metropolis yang cenderung mengedepankan kemewahan daripada kecerdasan dan nilai budaya lokal. Gaya hidup metropolis ini terutama berkembang pada kalangan muda yang tergolong labil, dan sangat mudah terpengaruh. Perubahan gaya hidup ini juga terlihat pada kaum wanita. Pilihan beraktivitas wanita lebih banyak porsinya pada sesuatu yang bersifat materil duniawi. Media dalam karya seni lukis ini pertama digunakan cat arkrilik mowilek yakni sejenis cat tembok yang kedap air, dan air sebagai campuran pengencernya. Kedua adalah lem kayu (fox) adalah lem yang mengandung bahan plastik, berwarna putih susu, bersifat transparan, digunakan sebagai pembuatan tekstur dan pelapis kanvas. Karya seni lukis yang dihasilkan berjumlah empat belas buah dengan ukuran 90 x 90 cm sampai dengan 100 x 135 cm. Karya seni lukis ini merupakan imaji dari kehidupan wanita metropolitan. Subyek yang terdapat pada lukisan-lukisan penulis dalam proyek studi ini adalah wanita. Berlatar belakang pesantren, penulis menganggap wanita dan kehidupan metropolitan sebagai sesuatu hal yang negatif. Penulis menganggap subyek tersebut paling efektif dalam menyampaikan pesan yang hendak disampaikan pada apresiator. Pesan-pesan yang terdapat pada lukisan-lukisan tersebut adalah mengenai kehidupan wanita metropolitan yang dapat merusak hidup dan moral wanita tersebut. Selain itu, penulis lebih memilih wanita sebagai subyek lukisan daripada pria ataupun makhluk lainnya karena wanita lebih memiliki bentuk anatomi yang indah dan mudah untuk disetilisasi. Simpulan dari proyek studi ini ialah sifat wanita metropolitan menarik untuk dikaji dikarenakan gaya hidupnya yang beragam. Dalam menciptakan karya seni lukis hendaknya lebih mengeksplorasi tema, media, maupun teknik dalam berkarya. Diharapkan proyek studi ini dapat bermanfaat bagi apresiator, terutama mahasiswa dan diharapkan pula dapat memberikan motivasi kepada mahasiswa yang lain untuk menciptakan karya seni lukis yang estetis, eksploratif, dan dapat dinikmati oleh orang lain.
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...............................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN...................................................................................
iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...........................................................................
iv
PRAKATA ................................................................................................................
v
SARI ..........................................................................................................................
vii
DAFTAR ISI .............................................................................................................
viii
BAB 1 PENDAHULUAN .........................................................................................
1
1.1 Latar Belakang Pemilihan Tema ....... ...................................................................
1
1.2 Alasan Pemilihan Jenis Karya ..............................................................................
4
1.3 Tujuan Pembuatan Proyek Studi ..........................................................................
5
1.4 Manfaat Pembuatan Proyek Studi .........................................................................
5
BAB 2 KONSEP BERKARYA ...............................................................................
7
2.1 Konsep .................................................................................................................
7
2.1.1 Ekspresi .............................................................................................................
7
2.1.2 Wanita Metropolitan .........................................................................................
8
vii
2.1.3 Referensi Estetis Penulis ...................................................................................
11
2.1.4 Pengertian Seni Lukis .......................................................................................
13
2.2 Unsur-Unsur Karya Seni Lukis ............................................................................
14
2.2.1 Garis ..................................................................................................................
14
2.2.2 Warna ................................................................................................................
15
2.2.3 Tekstur ..............................................................................................................
15
2.3 Prinsip-Prinsip Berkarya Lukis ............................................................................
16
2.3.1 Keseimbangan (balance) ...................................................................................
17
2.3.2 Dominasi ...........................................................................................................
17
2.3.3 Kesebandingan (proportion) .............................................................................
18
2.3.4 Kesatuan (unity) ................................................................................................
18
2.3.5 Irama (rhytm) ....................................................................................................
19
BAB 3 METODE DALAM BERKARYA ..............................................................
20
3.1 Pemilihan Media ..................................................................................................
20
3.1.1 Bahan ................................................................................................................
20
3.1.2 Alat ....................................................................................................................
21
3.1.3 Teknik Berkarya ................................................................................................
22
3.2 Proses Berkarya ...................................................................................................
23
viii
3.2.1 Proses Konseptualisasi ......................................................................................
23
3.2.2 Proses Visualisasi ..............................................................................................
24
BAB 4 DESKRIPSI DAN ANALISIS KARYA .....................................................
27
4.1 Karya I: Wanita dan Diskotik ..............................................................................
27
4.2 Karya II: Belanja ..................................................................................................
33
4.3 Karya III: Pergaulan Bebas 1 ...............................................................................
37
4.4 Karya IV: Mewahnya Makeup dan Kecantikan ...................................................
41
4.5 Karya V: Wanita dan Tempat Karaoke 1 .............................................................
45
4.6 Karya VI: Menanti ...............................................................................................
49
4.7 Karya VII: Matrealistis ........................................................................................
53
4.8 Karya VIII: Cantik dan Menyakiti Diri ................................................................
56
4.9 Karya IX: Pergaulan Bebas 2 ...............................................................................
59
4.10 Karya X: Lupa Waktu ........................................................................................
62
4.11 Karya XI: Sibuk .................................................................................................
66
4.12 Karya XII: Wanita dan Tempat Karaoke 2 ........................................................
69
4.13 Karya XIII: Sombong ........................................................................................
72
4.14 Karya XIV: Persamaan Gender ..........................................................................
76
BAB 5 PENUTUP ...................................................................................................
79
ix
5.1 Simpulan ..............................................................................................................
79
5.2 Saran ....................................................................................................................
79
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
81
LAMPIRAN A. Biodata Penyusun B. Katalog Pameran C. Foto Pameran D. Surat Keputusan Ujian Proyek Studi E. Surat Pernyataan Selesai Bimbingan Proyek Studi
x
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Pemilihan Tema Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh dunia barat dengan nilai-nilainya telah mempengaruhi nilai budaya kita. Salah satu dampaknya terlihat pada wanita dan kehidupannya. Wanita jaman sekarang cenderung beradaptasi mengikuti jaman. Hal tersebut akibat arus global yang nyata yaitu nilai-nilai dari luar dapat dengan mudah masuk ke dalam kehidupan masyarakat melalui teknologi komunikasi modern. Pengaruh tersebut tidak selalu berupa pengaruh positif, tetapi juga berupa pengaruh negatif. Teknologi informasi ini telah merubah budaya sebagian besar masyarakat dunia, terutama yang tinggal di perkotaan. Masyarakat perkotaan yang memiliki kemudahan akses terhadap informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena pengaruh budaya global. Kehidupan masyarakat saat ini tumbuh beriringan dengan globalisasi ekonomi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya seperti shopping mall, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri kuliner, kawasan huni mewah, apartemen, iklan barang-barang mewah dan merek asing, makanan instan (fast food), serta reproduksi dan transfer gaya hidup melalui iklan di media elektronik maupun cetak yang sudah sampai ke ranah keluarga. Dampak budaya global mengakibatkan perubahan sosial budaya, yaitu sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu
1
2
masyarakat. Perubahan ini merupakan hal yang umum terjadi, seiring berkembangnya jaman dan sesuai dengan sifat dasar manusia yang selalu ingin berubah. Perubahan ini mencakup banyak aspek dari hidup manusia, termasuk perubahan peradaban dan gaya hidup. Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang merupakan ciri sebuah dunia modern, atau yang biasa juga disebut modernitas. Terpaan aneka ragam budaya mengakibatkan merebaknya gaya hidup metropolis yang cenderung mengedepankan kemewahan daripada kecerdasan dan nilai budaya lokal. Gaya hidup metropolis ini terutama berkembang pada kalangan muda yang tergolong labil, dan sangat mudah terpengaruh. Perubahan gaya hidup ini juga terlihat pada kaum wanita. Pilihan beraktivitas wanita lebih banyak porsinya pada sesuatu yang bersifat materil duniawi. Gaya hidup metropolis digambarkan secara gamblang dalam film-film dan sinetron Indonesia yang setiap hari dapat disaksikan di layar televisi. Pengaruhpengaruh budaya itulah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya beragam gaya hidup wanita metropolitan. Wanita metropolitan selalu berusaha untuk memperbaharui penampilannya sesuai dengan trend yang sedang berlaku. Penampilan bukan saja apa yang melekat di tubuh semata, melainkan juga bagaimana keseluruhan potensi dalam diri memungkinkan mereka untuk menampilkan citra diri. Cara berpakaian dan pilihan warna dalam berbusana ataupun dalam hal apa saja yang berkaitan dengan identitasnya sebagai wanita adalah salah satu dari usaha wanita metropolitan untuk membentuk citra tertentu melalui penampilannya.
3
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dampak masuknya aneka ragam budaya tidak hanya berupa dampak positif tetapi juga negatif. Sebagai contoh dampak negatifnya pada wanita metropolitan adalah rusaknya jati diri wanita. Wanita melupakan kodrat dan kewajibannya. Mereka cenderung terpukau pada kemilau duniawi. Menemukan wanita metropolitan yang terpengaruh dampak negatif tidaklah sulit, misalkan saja ketika kita mendatangi kelab malam, kita akan menjumpai wanita-wanita dengan gaya hidupnya yang tidak sehat: pakaian mini, rokok, minuman keras, narkoba, dan seks bebas sudah menjadi pemandangan yang biasa, padahal hal tersebut dapat merusak moral dan hidup wanita itu sendiri. Penulis memilih kehidupan wanita metropolitan sebagai subyek lukisan karena penulis merasa prihatin dengan keadaan yang demikian. Berlatar belakang pesantren, penulis menganggap wanita dan kehidupan metropolitan sebagai sesuatu hal yang negatif. Penulis menganggap subyek tersebut paling efektif dalam menyampaikan pesan yang hendak disampaikan pada apresiator. Pesanpesan yang terdapat pada lukisan-lukisan tersebut adalah mengenai kehidupan wanita metropolitan yang dapat merusak hidup dan moral wanita tersebut. Selain itu, penulis lebih memilih wanita sebagai subyek lukisan daripada pria ataupun makhluk lainnya karena wanita lebih memiliki bentuk anatomi yang indah dan mudah untuk disetilisasi. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut menunjukkan karakteristik kehidupan wanita metropolitan terasa unik untuk divisualisasikan.
4
Oleh karena itu, penulis mengangkat hal tersebut sebagai tema dan sekaligus sebagai judul karya proyek studi ini.
1.2 Alasan Pemilihan Jenis Karya Seni lukis merupakan bagian dari karya seni rupa yang tergolong populer di Indonesia, di samping seni patung, seni kriya dan cabang seni lainnya. Hal ini dikarenakan seni lukis adalah salah satu cabang seni yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan secara efektif, sehingga karya seni lukis tergolong popular. Maraknya budaya seni rupa dari berbagai tempat dan eksplorasi-eksplorasi dalam dunia seni tidak membuat dunia seni lukis tersingkir dari posisinya sebagai karya seni yang diminati. Malah hal tersebut telah memicu para pelukis untuk bersaing dalam dunia seni di Indonesia. Tak heran, mereka para seniman atau para calon seniman berlomba-lomba mencari media atau teknik lukis yang baru sebagai media menuangkan gagasannya. Seni lukis harus merdeka semerdekamerdekanya, terlepas dari segala ikatan moral maupun tradisi agar dapat hidup subur, segar dan merdeka (Sudjojono dalam Siregar, 2006:4). Hal tersebut dibuktikan dengan dimanfaatkanya media modern untuk menyelesaikan sebuah karya seni lukis, seperti halnya digunakannya proyektor, cetak digital bahkan yang sedang marak terjadi adalah pembuatan karya seni lukis secara gotong royong atau biasa disebut artisan. Berkaitan dengan alasan tersebut di atas, maka penulis memilih seni lukis sebagai media berekspresi. Di samping itu, alasan yang tidak kalah penting adalah sesuai dengan konsentrasi mata kuliah yang penulis pilih. Oleh karena itu, jenis
5
karya yang akan dijadikan penyampaian ide dan gagasan tersebut berbentuk lukisan.
1.3 Tujuan Pembuatan Proyek Studi Pembuatan proyek studi ini bertujuan sebagai berikut: 1.
Mengembangkan imaji kreatif dalam karya seni lukis dengan mewacanakan kehidupan wanita metropolitan sebagai subyek lukisan.
2.
Mengembangkan teknik berkarya seni lukis dengan menggunakan media akrilik pada kanvas.
3.
Ingin menyampaikan pesan moral bahwa kehidupan wanita metropolitan cenderung negatif yang dituangkan melalui seni lukis.
1.4 Manfaat Pembuatan Proyek Studi Pembuatan proyek studi ini mempunyai manfaat sebagai berikut: 1. Bagi penulis, karya proyek studi ini dapat menjadi wahana pengembangan pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang seni rupa khususnya seni lukis. Selain itu, karya proyek studi ini dapat dijadikan tolok ukur kemampuan dalam berkarya seni lukis, sekaligus sebagai media ekspresi. 2. Bagi para penikmat seni dan pencipta karya seni rupa, karya proyek studi ini dapat menambah pengetahuan tentang seni khususnya seni lukis.
3. Manfaat lebih luas adalah sebagai sarana apresiasi baik bagi masyarakat umum maupun dalam lingkup jurusan seni rupa UNNES sehingga dapat menjadi motivasi sekaligus inspirasi dalam berkarya seni. Menurut Bahari
6
(2008:80) apresiasi bagi seniman adalah untuk memperkaya nilai-nilai estetik untuk menemukan bentuk ekspresi yang baru. Di samping itu juga sebagai sarana informasi untuk mengetahui apa-apa saja yang sudah dibuat oleh seniman lain atau pendahulunya, sehingga mencari celah-celah yang belum dikerjakan seniman lainnya, guna melahirkan karya seni yang inovatif.
BAB II KONSEP BERKARYA 2.1 Konsep 2.1.1
Ekspresi Seni memang selalu dihubungkan dengan ekpresi pribadi, sebab seni lahir dari
ungkapan perasaan pribadi pada penciptanya. Dalam (http://iffadewi017.blogspot.com diakses pada hari Rabu tanggal 24 Oktober 2012, pukul 21.30 WIB) dijelaskan seni adalah susunan estetis yang digunakan untuk mengekspresikan suatu perasaan atau emosi tertentu. Sehubungan dengan nilai ekspresi dalam seni dirumuskan tentang kedudukan ekspresi dalam proses penciptaan seni, sebagai berikut : 1) Pengamatan terhadap kualitas materiil 2) Penyusunan hasil pengamatan tersebut 3) Pemanfaatan susunan itu untuk mengekspresikan emosi atau perasaan yang dirasakan sebelumnya Ekspresi adalah proses ungkapan emosi atau perasaan di dalam proses penciptaan karya seni, proses ekspresi bisa diaktualisasikan melalui media. Media musik bunyi; media seni rupa adalah garis, bidang dan warna; media tari adalah gerak,
media
teater
adalah
gerak,
suara
dan
lakon
(http://masaminkhoirul.blogspot.com/2012/pengertian-ekspresi) diakses pada hari Rabu tanggal 24 Oktober 2012, pukul 21.30 WIB). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:325) disebutkan pengertian ekspresi yaitu 1. pengungkapan atau proses menyatakan (yaitu memperlihatkan
7
8
atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dsb); 2. pandangan air muka yg memperlihatkan perasaan seseorang. Jadi dapat disimpulkan bahwa ekspresi adalah pengungkapan atau proses untuk menyatakan maksud, gagasan dan perasaan di dalam proses penciptaan karya seni. Dalam penelitian ini ekspresi dituangkan dalam seni lukis. 2.1.2
Wanita Metropolitan Kata wanita berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari akar kata kerja “wan
= menghormati”. Akar kata kerja “wan” kemudian menjadi “wanita” setelah mendapat akhiran “hita/ita” yang artinya baik, mulia, sejahtera. Ada beberapa ahli yang mengatakan bahwa wanita berasal dari kata “watina atau batina (betina), dan dalam perkembangan lebih lanjut menjadi wanita. Ahli lain menyebut istilah lain untuk wanita adalah “perempuan” yang berasal dari kata „empu‟ atau ‟pu‟ dan akhiran „an‟. Kata perempuan berarti mereka yang utama, dimuliakan atau dihormati (Mupu dalam Kompasiana 2011). Bung Karno memandang perempuan sebagai tiang negara. Bila baik perempuannya, maka baiklah masyarakatnya. Perempuan, pendeknya, kita tempatkan dalam seting sosial-politik, dan kebudayaan, dan sebagai tokoh. Pada jaman modern seperti sekarang ini, perkembangan teknologi seperti televisi, majalah, internet, dan sebagainya berdampak besar bagi kehidupan dan moral masyarakat termasuk kaum wanita. Salah satu penyebab yang ditimbulkannya adalah terbentuknya istilah wanita metropolitan. Wanita di kotakota besar atau biasa disebut dengan wanita metropolitan terpengaruh dampak teknologi terutama yang bersangkutan dengan trend, baik trend pakaian, trend
9
perhiasan, bahkan trend pergaulan. Wanita metropolitan selalu berusaha untuk memperbaharui penampilannya sesuai dengan trend yang sedang berlaku walaupun hal tersebut menimbulkan dampak negatif bagi moral dan kehidupannya. Gaya hidup merupakan gambaran bagi setiap orang yang mengenakannya dan menggambarkan seberapa besar nilai moral orang tersebut dalam masyarakat di sekitarnya. Atau juga, gaya hidup adalah suatu seni yang dibudayakan oleh setiap orang. Gaya hidup juga sangat berkaitan erat dengan perkembangan zaman dan teknologi. Dalam arti lain, gaya hidup dapat memberikan pengaruh positif atau negatif bagi yang menjalankannya. Kehidupan masyarakat saat ini tumbuh beriringan dengan globalisasi ekonomi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya seperti shopping mall, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri kuliner, kawasan huni mewah, apartemen, iklan barang-barang mewah dan merek asing, makanan instan (fast food), serta reproduksi dan transfer gaya hidup melalui iklan di media elektronik maupun cetak yang sudah sampai ke ranah keluarga. Dampak budaya global mengakibatkan perubahan sosial budaya, yaitu sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan ini merupakan hal yang umum terjadi, seiring berkembangnya jaman dan sesuai dengan sifat dasar manusia yang selalu ingin berubah. Perubahan ini mencakup banyak aspek dari hidup manusia, termasuk perubahan peradaban dan gaya hidup. Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di
10
dunia yang merupakan ciri sebuah dunia modern, atau yang biasa juga disebut modernitas. Terpaan aneka ragam budaya mengakibatkan merebaknya gaya hidup metropolis yang cenderung mengedepankan kemewahan daripada kecerdasan dan nilai budaya lokal. Gaya hidup metropolis ini terutama berkembang pada kalangan muda yang tergolong labil, dan sangat mudah terpengaruh. Perubahan gaya hidup ini juga terlihat pada kaum wanita. Pilihan beraktivitas wanita lebih banyak porsinya pada sesuatu yang bersifat materil duniawi. Penulis memilih wanita metropolitan sebagai subyek lukisan karena bagi penulis subyek tersebut dirasa dapat menyampaikan pesan yang hendak disampaikan pada apresiator. Pesan-pesan yang terdapat pada lukisan-lukisan tersebut adalah mengenai kehidupan wanita metropolitan yang cenderung negatif. Penulis mengangkat tema mengenai imaji kehidupan wanita metropolitan karena ketertarikan penulis terhadap karakteristik kehidupan wanita metropolitan yang cenderung mengarah ke hal negatif. Inspirasi tersebut timbul setelah penulis banyak membaca referensi-referensi mengenai gaya hidup wanita metropolitan di jaman modern seperti sekarang ini melalui media cetak maupun elektronik, dan diskusi. Berdasar kedua hal tersebut maka penulis menjadikan wanita metropolitan sebagai subyek dalam lukisan proyek studi. Penulisan dan kajian tentang wanita metropolitan telah banyak dilakukan dari berbagai sudut pandang. Namun, penulisan dan kajian tentang potret kehidupan wanita metropolitan dalam karya seni lukis belum pernah dilakukan.
11
Hal tersebut yang memperkuat keinginan penulis untuk mengangkatnya sebagai tema dalam proyek studi. 2.1.3
Referensi Estetis Penulis Pada pembuatan proyek studi ini, penulis memilih kehidupan wanita
metropolitan sebagai tema dalam karya lukis. Hampir sama dengan pemikiran penulis, beberapa pelukis menggunakan wanita dan kehidupan metropolitan sebagai tema dalam lukisannya. Lukisan yang mengangkat tema wanita salah satunya adalah lukisan karya Ratri Inayatul Basyarah (2008). Sedangkan lukisan yang bertemakan metropolitan diantaranya adalah lukisan karya Noer Dhami (2010). Lukisan karya Basyarah (2008) berjudul I Want to be Free berukuran 140 cm x 120 cm menggunakan media cat arkrilik di atas kanvas. Secara keseluruhan, lukisan tersebut dibuat untuk menciptakan kesan pemberontakan seorang wanita dari keadaan yang menghimpitnya. Persamaan lukisan Basyarah dengan lukisan penulis adalah mengenai wanita yang ingin memberontak. Perbedaanya, lukisan penulis menggambarkan wanita yang terlalu bebas setelah memberontak sehingga terkesan liar tanpa mengikuti aturan. Penulis terinspirasi dari gaya Basyarah dalam menampilkan subyek utama lukisan yang berupa figur wanita, figur wanita tersebut menggunakan warna hijau sebagai warna tubuh hal ini memberi inspirasi penulis untuk menampilkan warna-warna yang tidak biasa digunakan dalam warna kulit seperti warna coklat. Perbedaanya, distorsi yang dilakukan penulis dengan cara organ tubuhnya cenderung memanjang, penonjolan pada bagianbagian tertentu, rambut terurai lurus warna hitam panjang dan gerak anatomi
12
melengkung, selain itu ekspresi wajah sendu. Bentuk figur wanita tersebut didistorsi sehingga menghilangkan kesan realis.
Lukisan karya Ratri Inayatul Basyarah dengan judul I Want To Be Free, media cat akrilik di atas kanvas, ukuran 140 x 120 cm, tahun 2008.
Lukisan karya Noer Dhami dengan judul Gado-gado Metropolitan berukuran 145 cm x 180 cm menggunakan media cat arkrilik pada kanvas. Pada lukisan tersebut, Noer Dhami beranggapan berkembangnya gaya hidup dan transaksi jual beli model baru yang segala sesuatunya bertumpu pada sistem transaksi non tunai baik hutang jangka panjang maupun jangka pendek. Selain itu dengan disertai tawaran bunga yang sangat menggiyurkan atau diskon secara besar-besaran, baik di bidang sandang, pangan, dan papan. Akan tetapi sadar maupun tidak kita telah terjebak dalam suatu wilayah sistem peradaban yang serba hutang dan cicilan, serta budaya akal–akalan. Hal tersebut sudah terjadi di kota besar dan seolah jadi gado–gado metropolitan. Persamaan lukisan penulis dengan lukisan Dhami adalah pada tema yaitu metropolitan. Perbedaannya yaitu penulis lebih cenderung fokus kepada wanita metropolitan dan seputar kehidupannya. Karya Noer Dhami ini memberi inspirasi penulis dari konsepnya yaiu tentang gaya hidup wanita yang cenderung memberonak.
13
Lukisan karya Noer Dhami dengan judul Gado-gado Metropolitan, media cat akrilik di atas kanvas, ukuran 145 x 180 cm, tahun 2010.
2.1.4
Pengertian Seni Lukis Seni berkaitan erat dengan keindahan atau sesuatu hal yang bernilai indah.
Keindahan akan terwujud bilamana subyek atau penghayat seni memiliki perasaan indah, dan obyek memiliki nilai keindahan. Ilmu yang mempelajari tentang keindahan tersebut adalah estetika. Estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek yang disebut keindahan (Djelantik, 1999:20). Seni adalah aktivitas batin dan pengalaman estetik yang dinyatakan dalam bentuk agung yang mempunyai daya menjadikan takjub dan haru (Bastomi, 1992:19). Salah satu bentuk seni rupa adalah seni lukis. Seni lukis adalah penggambaran pada bidang dua dimensi berupa hasil pencampuran warna yang mengandung maksud, pengungkapan atau pengucapan pengalaman yang ditampilkan pada bidang dua dimensional dengan menggunakan garis dan warna
14
(Susanto, 2002:71). Pengertian lain menyebutkan bahwa seni lukis merupakan bidang seni rupa yang bertalian dengan ungkapan bebas dengan media terpilih pada suatu permukaan (Sunaryo 2006:18) Jadi, dapat disimpulkan bahwa seni lukis adalah bidang seni rupa sebagai pengungkapan pengalaman artistik yang diekspresikan dengan media terpilih pada suatu permukaan.
2.2 Unsur-unsur Karya Seni Lukis Sebuah karya seni tidak terlepas dari unsur-unsur visual sebagai unsur pembentuk sekaligus sebagai unsur pendukung agar sebuah karya seni tercipta secara sempurna. Secara garis besar unsur-unsur visual (rupa) yang penulis kembangkan dalam berkarya antara lain garis, warna, bidang, tekstur, dan ruang. Sedangkan
prinsip-prinsip
desain
yang
dikembangkan
adalah
irama,
kesebandingan, keseimbangan, pusat perhatian, dan kesatuan. Unsur-unsur visual dan prinsip-prinsip desain yang penulis kembangkan akan dijabarkan sebagai berikut. 2.2.1
Garis Kaitannya dengan gambar, Sunaryo (2002:7) menjelaskan beberapa
pengertian tentang garis; pertama, garis merupakan tanda yang memanjang dan membekas pada satu permukaan; kedua, garis merupakan batas suatu bidang atau permukaan, bentuk dan warna. Sunaryo juga menambahkan bahwa garis sangat berhubungan dengan parasaan hati, sebagai contoh ketika kita berada di dalam atau saat mencipta garis,
15
maka terasa oleh kita adalah garis yang berbeda-beda kesannya. Pada sebuah tulisan, garis tulisan penulis dengan keadaan tenang tentu berbeda dengan ketika penulis membuat garis tulisan ketika dengan suasana hati gelisah atau panik. Dalam suatu desain khusus, garis ditimbulkan karena adanya warna, garis cahaya, bentuk, pola, tekstur, dan ruang (garis ini sebagai pembatas ruang). Jadi dapat disimpulkan bahwa garis dalam unsur seni rupa merupakan salah satu unsur dasar yang sangat penting sebagai media ungkap yang efektif dan efisien. Selain itu, garis sebagai bentuk pengucapan isi dan perasaan manusia serta memberi kesan gerak/ ritme dan menciptakan kontur. Karya seni dapat terwujud dengan adanya garis. Garis yang penulis gunakan adalah garis tidak nyata yang tercipta karena adanya perbedaan warna dari raut satu ke raut yang lainya. 2.2.2
Warna Warna merupakan suatu kualitas yang memungkinkan seseorang dapat
membedakan dua objek yang identik dalam ukuran bentuk, tekstur, raut dan kecerahan, warna berkait langsung dengan perasaan dan emosi (Sunaryo, 2002:10). Setiap karya yang dibuat penulis mempunyai unsur warna. Pada background kebanyakan menggunakan warna-warna gelap seperti warna hitam. Sedangkan pada subyek lukisan menggunakan kombinasi warna komplementer. Penggunaan warna yang kontras tersebut dimaksudkan untuk menonjolkan subyek lukisan.
16
2.2.3
Tekstur Tekstur adalah nilai raba pada suatu permukaan, baik itu nyata maupun
berupa kesan. Sahman (1993:62) menerangkan bahwa tekstur bisa kasar, halus, teratur atau tidak beraturan. Tekstur dimanfaatkan tidak hanya atas pertimbangan teknis, tetapi juga atas dasar yang mengacu pada isi substansi lukisan. Dalam karya proyek ini tekstur yang ditampilkan adalah tekstur nyata. Karya dibuat bertekstur untuk menonjolkan bagian-bagian yang diinginkan. Tekstur tersebut dibuat menggunakan percampuran lem kayu dengan cat akrilik.
2.3 Prinsip-prinsip Berkarya Seni Lukis 2.3.1 Keseimbangan (balance) Keseimbangan (balance) merupakan prinsip desain yang berkaitan dengan pengaturan ”bobot” akibat “gaya berat” dan letak kedudukan bagian-bagian, sehingga susunan dalam keadaan seimbang (Sunaryo, 2002:39). Tidak adanya keseimbangan dalam suatu komposisi, akan membuat perasaan tak tenang dan keseutuhan komposisi akan terganggu, sebaliknya, keseimbangan yang baik memberikan perasaan tenang dan menarik, serta menjaga keutuhan komposisi. Di dalam karya seni lukis yang dibuat penulis diperlukan penataan subyek lukisan yang disusun dengan seimbang. Dalam karya seni lukis ini, keseimbangan yang diterapkan ialah keseimbangan senjang (asyimmetrical balance), dapat diperoleh jika terdapat bagian yang tidak sama antara belahan kiri dan kanan, tetapi tetap dalam keadaan yang tidak berat sebelah.
17
2.3.2 Dominasi Dominasi adalah pengaturan peran atau penonjolan bagian atas bagian lainnya dalam suatu keseluruhan (Sunaryo, 2002:36). Dengan peran yang menonjol pada bagian itu maka menjadi pusat perhatian (center of interest) dan merupakan tekanan (emphasis), karena itu menjadi bagian yang penting dan yang diutamakan. Penerapan dominasi dalam lukisan ini penulis lakukan dengan cara menghadirkan subyek utama dengan perbedaan warna. Pada background kebanyakan menggunakan warna-warna gelap seperti warna hitam. Sedangkan pada subyek utama lukisan menggunakan warna-warna cerah seperti, merah, jingga, biru, hijau dan kuning. Selain itu subyek utama juga ditampilkan dengan ukuran yang lebih besar dari subyek yang lain. Pengaturan tersebut dapat memberikan penonjolan pada subyek utama. 2.3.3 Kesebandingan (proportion) Kesebandingan atau proporsi berarti hubungan antar bagian atau antara bagian tertentu yang terdapat pada keseluruhan. Pengaturan hubungan yang dimaksud bertalian dengan ukuran, yaitu besar kecilnya bagian, luas sempitnya bagian, panjang pendeknya bagian, atau tinggi rendahnya bagian. Selain itu, kesebandingan juga menunjukkan pertautan ukuran antara suatu objek atau bagian dengan bagian yang mengelilinginya. Pada karya yang dibuat oleh penulis, proporsi tubuh wanita mengalami pendistorsian. Organ tubuh cenderung memanjang, penonjolan pada bagianbagian tertentu, rambut terurai lurus warna hitam panjang dan gerak anatomi
18
melengkung, selain itu ekspresi wajah sendu. Pendistorsian tersebut bertujuan untuk menggambarkan kehidupan wanita yang glamour, kontras, dan keras. 2.3.4 Kesatuan (unity) Kesatuan (unity) merupakan prinsip pengorganisasian unsur rupa yang paling mendasar (Sunaryo, 2002:31). Tujuan akhir dari penerapan prinsip-prinsip yang lain, seperti keseimbangan, kesebandingan, irama dan lainnya adalah untuk mewujudkan kesatuan yang padu atau keseutuhan. Prinsip kesatuan seharusnya tidak dilihat setara dengan prinsip-prinsip lain, karena sesungguhnya kesatuan diperoleh dengan terpenuhinya prinsip-prinsip yang lain. Penerapan prinsip kesatuan dalam karya seni lukis ini penulis sengaja menghadirkan subyek lukisan dengan komposisi garis, warna, dan tekstur yang tidak terlepas dari prinsip keseimbangan, irama, dan dominasi. Secara keseluruhan susunan tersebut membentuk suatu kesatuan. 2.3.5 Irama (rhytm) Dalam Modul Seni Budaya (tanpa tahun:12) dijelaskan irama adalah susunan yang teratur yang ditimbulkan dari pengulangan unsur-unsur sehingga menimbulkan kesan adanya hubungan yang teratur, terus menerus, dan mempunyai kesan gerak. Irama merupakan prinsip desain yang berkaitan dengan pengaturan unsurunsur rupa sehingga dapat membangkitkan kesatuan rasa dan gerak (Sunaryo, 2006:18). Irama dapat diciptakan dengan berbagai cara yaitu : (1) Repetitive atau irama yang diperoleh secara berulang atau monoton, (2) Alternatife merupakan bentuk irama yang tercipta dengan cara perulangan unsur-unsur rupa secara
19
bergantian, (3) Progresive menunjukkan perulangan dalam perubahan dan perkembangan secara berangsur - angsur atau bertingkat, dan (4) Flowing merupakan
pengaturan
garis-garis
berombak,
berkelok
dan
mengalir
berkesinambungan. Penerapan irama dalam lukisan ini penulis lakukan dengan cara jika ditarik garis imaginer mengarah pada garis patah-patah, hal tersebut dapat dikembangkan dari unsur organ tubuh, arah kaki, arah tangan, rambut dan tatapan wajah.
BAB III METODE DALAM BERKARYA
3.1 Pemilihan Media 3.1.1
Bahan
Bahan yang digunakan dalam membuat proyek studi ini adalah sebagai berikut. 3.1.1.1 Kanvas Kanvas yang digunakan untuk membuat karya lukis ini berbentuk segi empat dengan ukuran beraneka ragam. Ukuran yang terkecil 90x60 cm, sedangkan ukuran yang terbesar 100x135 cm. 3.1.1.2 Spanram Spanram adalah sesuatu benda yang digunakan sebagai tempat peletakan (bentangan) kanvas. Biasanya berbentuk persegi panjang maupun bujur sangkar. Tetapi di masa kini banyak spanram yang berbentuk macam-macam, bisa berbentuk segitiga, jajaran genjang, trapesium, lingkaran dan lain-lain namun dalam pembuatan karya ini bentuk yang digunakan adalah persegi dan persegi panjang. Bahan yang digunakan terbuat dari kayu, bisa kayu jati, kayu randu, mahoni dan lain - lain. 3.1.1.3 Lem Kayu ( PVC ) Lem kayu adalah jenis lem yang memiliki sifat menutup pada saat kering, karna sifatnya yang menutup ini maka fungsi lem kayu adalah sebagai penutup pori - pori permukaan kain kanvas. Sehingga diharapkan ketika proses melukis,
20
21
cat tidak merembes ke bagian belakang. Secara garis besar tujuan diberinya pelapis ini agar kanvas menjadi lebih kuat, cat tidak tembus dan lukisan menjadi awet. Lem kayu selain sebagai pelapis kain kanvas, penulis juga menggunakan lem kayu sebagai tekstur dalam teknik melukis. Tekstur dibagi menjadi dua yakni tekstur nyata dan tekstur tidak nyata, tekstur nyata adalah bila lukisan dipegang akan terasa bertekstur sedangkan tekstur tidak nyata adalah kelihatan bertekstur tetapi bila diraba tidak bertekstur. Lem kayu yang dicampur dengan cat memberikan tekstur nyata dalam lukisan. 3.1.1.4 Vernis Vernis digunakan setelah proses pembuatan karya seni selesai. Vernis yang digunakan oleh penulis yakni vernis untuk kayu. Penggunaan media ini bertujuan agar warna dari lukisan yang dihasilkan menjadi lebih cemerlang dan berfungsi untuk melindungi lukisan dari jamur sehingga lukisan bisa awet. 3.1.1.5 Cat Akrilik Cat akrilik yang digunakan penulis adalah cat mowilek sebagai medianya. Untuk campurannya penulis menggunakan air. 3.1.2
Alat
Alat yang digunakan dalam membuat karya ini adalah sebagai berikut. 3.1.2.1 Kuas Kuas yang digunakan ada 3 jenis, yaitu kuas cat minyak, kuas cat air, dan kuas cat tembok yang berukuran relatif besar. Dari ketiga macam kuas tersebut digunakan berbagai macam ukuran, yaitu ukuran 0, 6, dan 10 untuk kuas jenis cat
22
minyak, ukuran 0 dan 6 untuk kuas jenis cat air, dan untuk kuas jenis cat tembok berukuran 5. 3.1.2.2 Palet Palet digunakan untuk tempat mencampur cat sebelum dioleskan di kanvas. Palet yang digunakan adalah palet yang terbuat dari plastik. 3.1.2.3 Kain Lap Kain lap yang digunakan penulis adalah kain lap yang mudah menyerap air. Digunakan untuk membersihkan kuas setelah dipakai untuk mengecat. Bertujuan menjaga kuas tetap bersih, terutama setelah mengganti warna agar warna tidak tercampur. 3.1.2.4 Karet penghapus Karet penghapus digunakan untuk menghapus bekas sket yang telah digambar pada kanfas dan kertas yang sudah tidak terpakai lagi. Karena penulis menggunakan pensil 2b untuk mebuat sket, maka dapat dihapus dengan karet penghapus biasa. 3.1.2.5 Air Air digunakan sebagai pengencer cat akrilik yang berbahan dasar air. 3.1.3
Teknik Berkarya Teknik yang digunakan penulis yaitu menggunakan cat akrilik yang
dicampur dengan lem kayu. Apabila telah disapukan dan kering, warnanya tidak akan luntur jika tersiram air. Sedangkan penggunaan lem kayu digunakan untuk mendapatkan efek tekstur pada lukisan, hal ini merupakan teknik baru ketika media cat akrilik di campur dengan lem kayu. Akrilik mengandung bahan polimer
23
ester poliakriat, sehingga memiliki daya rekat yang sangat kuat terhadap medium lain, meskipun standar pengencer yang digunakan adalah air. Dalam berproses berkarya ini penulis menggunakan metode teknik gouache yaitu teknik melukis dengan menggunakan cat plakat, untuk mendapatkan efek pada background penulis menggunakan warna dasar terlebih dahulu kemudian setelah kering barulah menggunakan sapuan warna lain dengan menggunakan kuas berukuran besar.
3.2
Proses Berkarya
3.2.1
Proses Konseptualisasi Tahap pertama proses pembuatan seni lukis adalah pencarian ide dan
gagasan untuk diangkat sebagai tema. Ide dan gagasan yang diangkat penulis adalah tentang wanita karena menurut penulis, kehidupan wanita metropolitan adalah tema yang menarik untuk dikaji. Penulis merasa bahwa kehidupan wanita metropolitan terutama di jaman modern ini dapat menghancurkan hidup dan moral wanita tersebut, sehingga menimbulkan keprihatinan penulis. Untuk alasan tersebut, penulis ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat terutama kepada wanita metropolitan. Pada proses konseptual, penulis lebih mengamati tentang kehidupan wanita metropolitan dengan segala dampak negatifnya untuk diangkat sebagai ide dan gagasan. Hasil dari pengamatan tersebut adalah bahwa wanita metropolitan bisa dikatakan telah rusak atau tercemari oleh masuknya budaya asing yang cenderung negatif.
24
Pengumpulan sumber data dan pencarian ide, tahapan ini dilakukan untuk mencari tema yang dapat diangkat sebagai tema karya seni lukis. Adapun sumber datanya diperoleh dari buki-buku bacaan, koran, ataupun media cetak lainya, serta internet, televisi, dan media elektronik lainya. Diperoleh juga dengan cara menghadiri beberapa pameran lukisan di galeri-galeri seni. Data yang dicari berupa permasalahan-permasalahan tentang kehidupan wanita metropolitan, serta teknik-teknik melukis dengan menggunakan cat akrilik 3.2.2
Proses Visualisasi Pada pembuatan karya dibutuhkan kecermatan, dan semangat berinovasi
supaya tidak terjadi kejenuhan maupun rasa takut dalam mencoba cara baru. Proses yang terjadi bisa berulang-ulang agar dapat dihasilkan karya yang maksimal. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut. 3.2.2.1 Gambar Rancangan Gambar rancangan atau sket dibuat di kertas dengan tujuan, agar visualisasi tampak lebih bagus dan terencana. Ide pikiran dengan acuan data yang diperoleh direalisasikan ke dalam bentuk karya goresan tangan sebagai sketsa kasar di atas kertas sebelum disalin dengan ukuran lebih besar ke dalam kanvas. 3.2.2.2 Pembuatan Kanvas Kain kanvas dilapisi dengan lem kayu terlebih dahulu agar pori-pori kanvas tertutup, setelah lem kayu kering kemudian dicat dengan akrilik warna putih yang diencerkan dengan air lalu didiamkan hingga kering, pengecatan ini dilakukan berulang kali sampai pori-pori kanvas tertutup. Setelah itu permukaan kanvas diampelas hingga halus dan kemudian dilapisi cat satu kali lagi.
25
3.2.2.3 Pembuatan Subyek Lukisan Dimulai dengan memberi cat dasar warna gelap menggunakan cat akrilik lalu didiamkan hingga kering. Setelah itu diberi efek warna lain dengan garisgaris yang spontan dengan menggunakan teknik transparan agar warna utama masih kelihatan. Hal tersebut dibuat dengan harapan untuk memperoleh warna matang dan efek yang tidak konvensional. Jika subyek pengisi jadi, maka subyek pendukung lukisan dibuat dengan menggunakan warna dasar terlebih dahulu kemudian detail lukisan dibuat dengan warna utama. Hal ini diharapkan untuk mendapat warna yang lebih bagus. Setelah kering subyek disempurnakan dengan memberi detail sesuai dengan konsep penulis. Jika pembuatan tekstur yang berfungsi untuk mengisi bidang yang ada dan sebagai seluruh subyek pengisi dan tambahan selesai, subyek pokok dibuat dengan cara menggunakan cat akrilik dicampur dengan lem kayu.
3.2.2.4 Finishing Proses terakhir yang dilakukan setelah proses pembuatan lukisan selesai adalah merapikan bagian samping lukisan dengan mengecat kembali, cara ini dilakukan karena penulis tidak menggunakan figura. Setelah seluruh proses tersebut selesai, maka digunakan pelapis lukisan berjenis vernis dengan tujuan agar warna dari lukisan menjadi lebih cemerlang, tahan terhadap jamur dan awet. 3.2.2.5 Penyajian Karya Lukis
26
Proses pengemasan terakhir dalam format layak pamer untuk lukisan bermedia cat akrilik di atas kanvas tidak menggunakan bingkai karena ketebalan kanvas sengaja dibuat agar kanvas tidak perlu lagi diberi bingkai.
BAB IV DISKRIPSI DAN ANALISIS KARYA
4.1 Karya I
4.1.1 Spesifikasi Karya Judul
: Wanita dan Diskotik
Media
: Akrilik di atas kanvas
Ukuran
: 90 cm x 135 cm
Tahun
: 2012
4.1.2
Deskripsi Karya
27
28
Lukisan ini bersubjek dua orang wanita menggunakan baju yang terbuka pada bagian perut. Figur wanita yang berada di sebelah kanan lukisan posisi wajah menghadap ke depan dengan ekspresi wajah yang sendu. Rambut panjang dan terurai kebawah, tangan kanan memegang pundak dan tangan kiri membawa botol minuman dengan memakai baju yang berwarna merah. Figur wanita yang disebelah kiri lukisan dengan posisi wajah menghadap ke kanan dengan ekspresi wajah sama seperti figur wanita yang berada disebelah kanan yaitu memiliki ekspresi wajah sendu, hal ini adalah sebagai ciri khas penulis
yang
menggunakan
ekspresi
wajah
sendu
dimaksud
untuk
menggambarkan kehidupan metropolitan yang keras. Dengan rambut yang terurai kebawah, tangan kanan memegang rokok dan kaki kiri berada di atas meja sedangkan kaki kanan lurus ke bawah yang terlihat sampai lutut, dengan baju yang berwarna kombinasi hijau yaitu pada warna bra digunakan warna hijau sedangkan bagian rok berwarna hijau kekuningan. Selain subjek utama yang berupa dua figure wanita terdapat pula subjek pendukung berupa lampu diskotik sebuah meja dan botol minuman. Perubahan bentuk yang dilakukan penulis adalah : organ tubuhnya cenderung memanjang, penonjolan pada bagian-bagian tertentu, rambut terurai lurus warna hitam panjang dan gerak anatomi melengkung, selain itu ekspresi wajah sendu. Hal ini dimaksudkan untuk memberi ciri khas pada penulis.
29
4.1.3
Analisis Karya Lukisan dengan subjek pokok dua figur wanita yang berada di sebelah
kanan lukisan posisi berdiri tetapi bagian lutut kebawah tidak tampak dengan menggunakan celana dalam merah dan bra yang berwarna merah pula, dengan tangan kanan memagang pundak dan tangan kiri membawa botol minuman. Sedangkan figur yang satunya berada di sebelah kiri lukisan, menghadap ke samping dengan posisi berdiri dengan tangan kanan memegang rokok dan kaki kiri berada di atas meja sedangkan kaki kanan di bawah teapi hanya terlihat sampai lutut, tersebut terdapat beberapa unsur rupa di dalamnya, salah satunya adalah unsur garis. Hubungan subjek dengan lingkunganya tidak dibatasi garis nyata, garis terbentuk karena perbedaan warna dari raut satu ke raut yang lainya. Unsur-unsur garis tersebut antara lain: - Garis vertikal terdapat pada garis-garis yang tersusun secara tidak teratur dan mempunyai ketebalan yang berbeda sehingga terbentuk irama yang dinamis. Grais-garis tersebut sebagai ikon cahaya lampu. - Garis melengkung, bergelombang dan memutar terdapat pada lekuk tubuh figur wanita garis ini bertujuan untuk memberikan kesan dinamis pada subjek lukisan. Bisa dikatakan garis-garis yang terdapat pada lukisan ini adalah kebanyakan garis-garis vertikal yang terbentuk dari sabuan kuas secara spontan, geris lengkung dan bergelombang yang tercipta oleh lekuk tubuh figur wanita. Garis-garis lengkung, bergelombang dan memutar menciptakan kesan dinamis.
30
Sedangkan warna yang disajikan pada lukisan berjudul ”Wanita dan Diskotik” adalah warna kontras antara subjek dan background . Warna coklat kekuningan digunakan sebagai warna kulit, sedangkan warna putih digunakan untuk memberi kesan gelap terang. Pada subjek pendukung digunakan warnawarna yang lebih cerah antara lain, warna merah, kuning dan biru sebagai kesan warna dari cahaya lampu. Secara keseluruhan warna yang digunakan pada lukisan dengan judul ”Wanita dan Diskotik” adalah: -
Warna primer pada subjek lukisan yaitu warna merah, warna kuning, dan warna biru terdapat pada subjek lukisan
-
Warna monokromatik gradasi dari warna coklat dan kuning disajikan pada figur wanita berfungsi untuk memberi kesan cahaya sekaligus untuk menonjolkan subjek lukisan. Pemilihan pewarnaan bertujuan untuk menghadirkan keserasian dan untuk memunculkan subjek lukisan. Secara keseluruhan warna yang digunakan seimbang antara, misalnya merah dengan kuning, biru, hijau, coklat dsb. Pada background warna hitam sebagai warna dasar, hal ini bertujuan agar subjek utama terlihat menonjol. Perubahan bentuk yang dilakukan penulis adalah:
-
Organ tubuhnya cenderung memanjang
-
Penonjolan pada bagian-bagian tertentu
-
Rambut terurai lurus warna hitam panjang - Gerak anatomi melengkung dan ekspresi wajah sendu. Hal ini dimaksudkan
untuk memberi ciri khas pada penulis.
31
Seluruh bentuk dan warna ditata di dalam bidang berukuran 150 cm x 100 cm
menggunakan media akrilik
pada kanvas
dengan posisi
vertikal.
Keseimbangan yang dipilih dalam lukisan ini adalah keseimbangan simetris, hal tersebut ditunjukkan dengan peletakan satu figur wanita di sebelah kiri dan satu figur wanita di sebelah kanan yang di tengah figur tersebut terdapat sebuah meja. Ruang kosong sebagai background diisi dengan susunan warna primer yang terlihat menyatu dengan subjek utama. Secara keseluruhan, dari unsur-unsur yang terdapat pada lukisan ini, maka lukisan ini mengetengahkan keanekaragaman bentuk dan warna. Warna-warna yang dipilih adalah warna-warna kontras, dimaksudkan sebagi kehidupan glamour dalam lukisan ini. Dalam hal ini adalah kehidupan malam wanita yang diisi dengan cara pergi ke tempat hiburan malam. Lukisan yang mengisahkan tentang kehidupan malam ini terdiri dari dua figur subjek wanita, yang tertata dalam keseimbangan simetris. Subjek lukisan tersebut terdiri dari: -
Ikon wanita
-
Ikon botol minuman
-
Ikon cahaya lampu Secara kesseluruhan unsur-unsur tersebut mempunyai tanda-tanda atau
denotasi yang berfungsi sebagai petunjuk dan mempunyai makna konotasi. Denotasi yang terdapat pada lukisan yang berjudul ”Wanita dan diskotik” adalah: subjek wanita yang digambarkan dengan mata terpejam dan seterngah terpejam, mempunyai konotasi sedang menikmati suasana malam pada saat itu.
32
Warna hitam pada bakcground yang dihiasi dengan cahaya lampu mempunyai konotasi kehidupan malam yang gemerlap. Penggambaran subjek utama yang berupa figur wanita dengan membawa rokok dan botol minuman dimaksudkan agar para penikmat melihat, menyelami, memahami dan akhirnya mengerti tentang kehidupan wanita metropolitan yang cenderung negatif. Jadi dapat disimpulkan bahwa lukisan ini dibuat dengan tujuan mengajak penikmat melihat, mengamati, menyelami, memahami dan akhirnya mengerti tentang kehidupan wanita metropolitan yang cenderung negatif, yaitu merokok, minuman keras, keluar malam dan sebagainya, yang dengan sifat-sifat tersebut dapat merugikan diri mereka.
33
4.2 Karya II
4.2.1 Spesifikasi karya Judul
: Belanja
Media
: Akrilik dan cat minyak pada kanvas
Ukuran
: 100 cm x 70 cm
Tahun
: 2011
4.2.2 Deskripsi karya Lukisan dengan judul “Belanja” di atas memiliki subjek pokok berupa dua figur wanita dengan dengan posisi berdiri. Figur pokok pertama terdapat pada bagian kanan lukisan dengan posisi menghadap ke samping, tangan kanan membawa plastik dan dengan membawa tas yang diselempangkan. Subjek pokok
34
kedua terdapat pada bagian kiri lukisan dengan posisi yang hampir sama dengan subjek pertama, tetapi subjek pada sebelah ini tangan kanan ditekuk ke atas dan tidak membawa apa-apa. Selain subjek pokok juga terdapat juga subjek pendukung berupa tas, plastik dan sepatu yang terdapat pada background. Sedangkan pada bagian background terdapat warna dasar hitam dengan dipadu sapuan warna cerah yakni warna putih, warna kuning, warna biru dan warna merah. 4.2.3 Analisis Karya Dalam lukisan bersubjek yang sedang belanja dengan posisi berdiri ini terdapat beberapa unsur rupa di dalamnya. Unsur-unsur yang terdapat sebagai media ekspresi antara lain adalah: Garis-garis yang tercipta di dalam lukisan ini antara lain adalah sebagai berikut: -
Garis vertikal yang terbentuk karena subjek dua figur wanita yang berdiri sejajar.
-
Garis-garis lengkung terbentuk dari kontur bentuk tubuh subjek lukisan berupa figur wanita yang memenuhi bagian lukisan.
-
Garis horizontal yang diletakan pada bagian tengah lukisan sebagai ikon rak sepatu. Selain unsur garis juga terdapat unsur warna yang terdapat pada lukisan,
warna-warna yang terdapat pada lukisan antara lain: -
Warna merah, warna jingga dan warna biru sebagai ikon pakaian pada lukisan.
35
-
Warna putih yang terdapat subjek pokok lukisan adalah kesan dari bagian subjek yang terkena cahaya.
-
Warna hitam masih mendominasi background dengan perpaduan warna primer yakni warna kuning, warna merah, dan warna biru sebagai ikon cahaya lampu.
-
Warna hijau pada kulit sebagai ikon matrealistis Dalam lukisan tersebut subjek figur wanita di sebelah kanan lukisan
didominasi dengan warna analogus yaitu terdapat pada warna pakaian mayoritas kuning, kuning jingga dan merah. Sedangkan warna monokromatik terdapat pada subjek figur wanita yang berada di sebelah kiri lukisan yaitu warna biru, dan biru muda. Pemilih warna yang berbeda antara subjek pokok dan subjek pendukung dilakukan dengan tujuan untuk memunculkan subjek pokok lukisan. Penataan komposisi lukisan tersebut menggunakan komposisi simetris dengan meletakan satu subjek figur wanita di sebelah kiri lukisan dan satu figur lagi di sebelah kiri lukisan. Secara keseluruhan subjek lukisan berbentuk organik dan dengan kontras gelap kontras terang yang ditimbulkan dari perpaduan warna putih dan gelap. Pemilihan subjek bendukung yang ditata pada background, dimaksudkan penulis untuk menonjolkan subjek utama dan dengan pemilihan warna yang kontras dengan subjek utama, sehingga yang menjadi perhatian sepenuhnya ada pada subjek wanitanya. Lukisan berjudul “belanja ” terdapat kesan-kesan yang hadir dari unsurunsur rupa dan terdapat pesan dari simbol-simbol yang ada. Bentuk subjek utama yakni berupa dua figur wanita yang membawa banyak barang belanjaan memberi
36
kesan boros, Sedangkan warna hijau pada figur wanita menandakan matrealistis, mengingatkan kita akan warna hijau uang. Dalam hal ini, tak lupa simbol perhiasan yang dipakai pada figur wanita ini memberi kesan glamour. Jadi secara keseluruhan lukisan ini dibuat penulis untuk menciptakan kesan kehidupan wanita metropolitan yang boros. Gaya hidup wanita metropolitan yang seperti ini menimbulkan anggapan miring bahwa wanita metropolitan kehidupanya identik dengan menghambur-hamburkan uang. Dengan gaya hidup seperti itulah maka kehdupan wanita metropolitan diidentikan dengan kehidupan yang negatif yakni gaya hidup konsumtif secara berlebihan. Padahal sebagian besar masyarakat kita berada di bawah kemiskinan dan banyaknya penagngguran. Maka seharusnya ketika kita menginginkan sesuatu hendaklah membeli seperlunya.
37
4.3 Karya III
4.3.1
Spesifikasi karya
Judul
: Pergaulan Bebas 1
Media
: Akrilik dan car minyak di kanvas
Ukuran
: 110 cm x 90 cm
Tahun
: 2012
4.3.2
Deskripsi karya Pada lukisan dengan judul “Pergaulan bebas 1” di atas memiliki subjek
lukisan berupa dua figur wanita, figur yang pertama terletak di bagian kiri lukisan figur tersebut tampak menghadap ke depan dengan kedua tangan menyilang ke bahu, kedua kaki ditekuk dengan posisi duduk. Sedangkan pada figur wanita yang kedua berada di sebelah kiri lukisan dengan posisi hampir sama dengan figur yang
38
pertama, perbedaan terlihat pada posisi kepala jika figur wanita yang pertama posisi kepala menghadap ke depan maka figur wanita yang kedua ini posisi kepala menghadap ke samping dan tangan kanan berada di bawah. Pada bagian background
terdapat warna dasar hitam yang masih
mendominasi dengan dipadu sapuan warna cerah yakni warna putih, warna kuning, warna biru dan warna merah. Selain itu pada background juga terdapat subjek pendukung yakni dua batang bunga. 4.3.3
Analisis Karya Pada lukisan dengan judul “Pergaulan bebas 1” terdapat unsur-unsur
garis yang terbentuk secara tegas maupun secara semu. Garis-garis tersebut antara lain: -
Garis vertikal yang terbentuk dari sapuan kuas secara spontan pada background dengan dominan warna putih yang dipadu dengan warna primer.
-
Garis horisontal yang membujur membagi bidang lukisan menjadi dua bagian yang berbeda yakni bagian atas dengan dominasi warna hitam dan bagian bawah dengan dominasi warna biru tua.
-
Garis lengkung atau bergelombang terbentuk dari kontur subjek lukisan yang berupa figur wanita. Bisa dikatakan garis-garis yang terdapat pada lukisan ini adalah
kebanyakan garis-garis lengkung dan bergelombang yang tercipta lekuk tubuh wanita dan bunga. Garis-garis lengkung, bergelombang dan memutar menciptakan kesan dinamis.
39
Sedangkan warna yang terdapat pada ini adalah warna merah dan warna jingga yang digunakan sebagai pakaian, warna coklat tua digunakan sebagai warna kulit, selain warna tersebut juga terdapat warna primer yakni warna kuning, warna merah, warna biru dan dipadu dengan warna putih digunakan sebagai kesan dari cahaya. Pada background bagian atas dominasi warna hitam, sedangkan pada background bagian bawah didominasi warna biru, baik background bagian atas maupun background bagian bawah terdapat warna primer yakni warna merah, warna kuning, warna biru dan dipadu warna putih dengan sapuan kuas spontan. Secara keseluruhan, lukisan ini menggunakan warna kontras, hitam dengan putih, hitam digunakan sebagai warna dasar background dan putih sebagai warna cahaya pada subjek wanita. Dimaksudkan agar subjek wanita terlihat menonjol dan menjadi pusat perhatian dalam lukisan ini. Lukisan berjudul “Pergaulan Bebas 1” tersebut ditata dengan menggunakan keseimbangan simetris dengan penempatan subjek figur wanita yang pertama berada di sebelah kiri lukisan dan subjek figur wanita yang kedua berada di sebelah kiri lukisan. Penataan luas bidang dan warna dengan bidang background bagian atas berwarna dominasi hitam dan pada background bagian bawah dominasi warna biru memperkuat kesimetrisan lukisan tersebut. Lukisan dengan dua figur wanita tampak dari kaki hingga kepala dengan posisi satu figur wanita menghadap ke depan dengan posisi tangan menyilang ke bahu dan figur wanita yang kedua dengan kepala menghadap ke samping kiri dan menunduk dengan ekspresi wajah yang sendu, dan warna gelap pada background memberikan kesan kesedihan dan ketermenungan.
40
Pergaulan yang salah akan mengakibatkan kerugian bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, ketika kita sudah melakukan kesalahan barulah kita menyesal, tapi hal itu hendaknya menjadikan kita sadar akan kesalahan yang kita perbuat agar tidak mengulanginya dikemudian hari.
4.4 Karya IV
4.4.1
Spesifikasi Karya
Judul
: Mewahnya Makeup dan kecantikan
Media
: Akrilik di atas kanvas
Ukuran
: 130 cm x 110 cm
Tahun
: 2012
41
4.4.2
Deskripsi Karya Pada lukisan yang berjudul “Mewahnya Makeup dan Kecantikan” di
atas terdapat subjek pokok berupa satu figur wanita dilukis secara utuh dari kepala hingga kaki dengan posisi berjongkok menghadap depan, Pada figur tersebut tangan kanan agak ditekuk ke atas dan tangan kiri ditekuk kebawah bawah kedua tangan tersebut tampak memegang cermin. Sedangkan pada background warna hitam mendominasi dengan dipadu warna primer dengan sapuan kuas spontan. Selain subjek pokok juga terdapat juga subjek pendukung berupa satu buah cermin yang berukuran besar, satu buah cermin yang berukuran kecil dan tuju buah botol makeup.
4.2.3
Analisis Karya Dalam lukisan dengan judul “Mewahnya Makeup dan Kecantikan”
dengan subjek pokok berupa satu figur wanita dilukis secara utuh dari kepala hingga kaki dengan posisi jongkok menghadap depan ini terdapat beberapa unsur rupa di dalamnya. Unsur-unsur yang terdapat sebagai media ekspresi antara lain adalah: Garis-garis yang tercipta di dalam lukisan ini antara lain adalah sebagai berikut: -
Garis vertikal yang terdapat pada background terbentuk dari sapuan kuas dengan warna primer dengan dipadu warna putih. - Garis lengkung terdapat pada subjek lukisan yang berupa figur wanita dan terdapat pada subjek pendukung yang berupa cermin dan botol-botol makeup.
42
- Garis horizontal terdapat pada bagian kaanan lukisan yakni berupa rak untuk menaruh botol-botol makeup. Warna-warna yang tersaji secara keseluruhan dalam karya yang berjudul “Mewahnya Makeup dan Kecantikan” adalah Warna primer yaitu warna merah, warna kuning dan warna biru. Pada background warna hitam sebagai warna dasar yang dipadu dengan sapuan spontan warna primer. Pemilihan warna primer yang yang dipadu dengan background berwarna hitam tersebut selain untuk kebutuhan estetis dan keserasian warna, juga membuat subjek lukisan lebih menonjol. Seluruh bentuk dan warna yang terdapat pada lukisan disusun pada bidang kanvas persegi empat berukuran 130 cm x 110 cm dengan media akrilik pada kanvas. Peletakkan subjek utama berada di bagian pinggir kanvas sebelah kiri, menyebabkan pembagian antara kanan dan kiri tidak sama. Oleh karena itu, keseimbangan yang digunakan adalah keseimbangan asimetris. Dari semua unsur yang didapat dari lukisan ini, maka dapat dikatakan bahwa lukisan ini bercerita tentang penampilan merupakan bagian dari gaya hidup wanita metropolitan yang merupaka suatu keharusan. Namun karna dianggaap penting maka wanita metropolitan menghabiskan sebagian uangnya demi membeli peralatan make up demi menunjang penampilanya, dilambangkan dengan subjek pendukung yang berupa cermin dan alat-alat make up. Lukisan berjudul “Mewahnya Makeup dan Kecantikan” terdapat kesankesan yang hadir dari unsur-unsur rupa dan terdapat pesan dari simbol-simbol yang ada. Bentuk subjek utama yakni berupa satu figur wanita yang membawa
43
cermin dan botol-botol makeup mengesankan bahwa kehidupan wanita itu sangan mengutamakan penampilan, sedangkan pemilihan warna-warna mencolok yakni warna merah kuning dan coklat pada wajah mengesankan berlebihan, warna primer yakni warna merah, warna kuning dan warna biru pada ikon botol makeup mengesankan berbagai macam produk kecantikan yang ia pergunakan untuk menunjang penampilanya. Kemudian ia membeli seluruh peralatan kecantikan demi menunjnang penampilanya, berharap bahwa dengan seperti itu maka kehidupanya akan menjadi lebih baik. Tapi kemudian apa yang ia lakukan itu baik atau suatu pemborosan? wanita hendaklah berpenampilan sperlunya dan tidak berlebihan karna suatu yang berlebihan itu justru tidak baik.
44
4.5 Karya V
4.5.1
Spesifikasi Karya
Judul
: Wanita dan Tempat Karaoke 1
Media
: Akrilik di atas kanvas
Ukuran
: 100 cm x 135 cm
Tahun
: 201
4.5.2
Deskripsi Karya Dalam lukisan berjudul “Wanita dan Tempat Karaoke 1” di atas
memiliki subjek pokok berupa dua
figur wanita, figur wanita yang pertama
berada di sebelah kiri lukisan dengan posisi duduk dengan wajah menghadap ke depan, kaki kanan diangkat dan ditekuk sedangkan kaki kiri berada dibawah,
45
posisi tangan kanan diletakan pada kaki kanan sedangkan tangan kiri berada dibawah untuk menipang badan. Figur wanita yang kedua hampir sama dengan figur wanita yang pertama, perbedaan terlihat pada posisi kepala jika figur wanita wajah menghadap kedepan maka figur wanita yang kedua ini posisi wajah menghadap kesamping kiri.Selain subjek pokok, lukisan tersebut memiliki subjek pendukung berupa tiga buah mikrofon, satu buah orgen, satu buah gelas dan enam buah lampu. Warna yang terdapat pada subjek-subjek tersebut didominasi primer yaitu warna merah, kuning dan biru. Sedangkan warna dari background lukisan didominasi warna hitam yang dipadu dengan warna primer yang disapukan secara spontan. 4.5.3
Analisis Karya Dalam lukisan yang berjudul “Wanita dan Tempat Karaoke 1” terdapat
beberapa unsur rupa di dalamnya. Unsur-unsur yang terdapat sebagai media ekspresi antara lain adalah: Garis-garis yang terdapat dalam lukisan ini adalah garis-garis bergelombang yang terbentuk atas subjek pokok lukisan berupa dua figur wanita dan ikon alat musik organ serta ikon lampu yang terdapat pada subjek pendukung. Selain garis-garis bergrlombang pada lukisan ini juga terdapat garis vertikal yang terdapat pada background terbentuk dari sapuan kuas dengan warna primer yakni merah, kuning dan biru dengan dipadu warna putih sebagai warna cahaya. Selain garis,unsur warna juga berperan sebagai media menyampaikan pesan antara lain menggunakan warna kontras antara subjek lukisan dan
46
background bertujuan untuk memunculkan subjek lukisan sebagai center of interest. Warna-warna tersebut adalah: -
Warna jingga, warna merah dan warna biru sebagai ikon pakaian pada subjek pokok figur menusia.
-
Warna hitam mendominasi bagian background.
-
Warna primer yaitu warna merah, warna kuning dan warna biru sebagai ikon gemerlapnya cahaya lampu. Selain warna primer yang mendominasi lukisan terdapat juga warna subjek
warna analogus kuning, jingga dan merah. Warna monokromatik yaitu biru dan biru muda juga terdapat pada lukisan ini. Pemilihan pewarnaan antara monokromatik dan analogus bertujuan untuk memberikan keserasian warna pada lukisan. Penataan warna, bentuk, dan garis disusun pada bidang kanvas berukuran 100 cm x 135 cm dengan menggunakan media akrilik peda kanvas. Keseimbangan yang digunakan pada lukisan tersebut adalah keseimbangan simetris, hal tersebut tampak pada penataan subjek pokok yang ada pada bagian kiri dan kanan lukisan dan subjek pendukung yang menyebar pada samping subjek pokok. Karna menggunakan campuran lemkayu maka tekstur pada lukisan ini adalah tejstur nyata. Pusat perhatian yang terdapat pada lukisan ini adalah subjek pokok yang berupa dua figur wanita yang sedang duduk berdampingan karena selain bentuknya, warna yang terdapat pada subjek utama yakni warna jingga, merah, biru dan biru keputihan ini kontras dengan background yang berwarna hitam, sehingga subjek utama tampak menonjol.
47
Subjek pokok berupa figur wanita yang dibuat dengan posisi duduk dengan kaki diangkat keatas memberikan kesan menikmati suasana, perhiasan yang dipakai pada figur manusa memberi kesan glamour.Warna merah warna kuning dan warna biru pada ikon lampu memberi kesan suasana yang gemerlap. Sedangkan background yang didominasi warna hitam menandai situasi malam hari. Dari seluruh simbol-simbol berupa garis, warna, bentuk dan goresangoresan yang terdapat dalam lukisan berjudul “Wanita dan Tempat Karaoke 1”, penulis hendak menyampaikan pesan bahwa wanita memang membutuhkan kesenagan, tetapi hendaklah kesenagan itu tidak dilakukan secara berlebihan.
48
4.6 Karya VI
4.6.1
Spesifikasi Karya
Judul
: Menanti
Media
: Akrilik di kanvas
Ukuran
: 130 cm x 110 cm
Tahun
: 2012
4.6.2
Deskripsi Karya Lukisan dengan judul “Menanti” di atas memiliki subjek pokok berupa
tiga figur wanita, satu figur berada di sebelah kiri lukisan dengan posisi bediri dengan wajah menghadap kesamping dan kedua tangan diangkat, figur wanita yang kedua digambarkan dengan posisi duduk dikursi dengan kaki kiri diangkat pada kaki kanan sedangkan tangan berada diantara kaki dengan wajah menghadap
49
ke depan, figur wanita yang selanjutnya berada di sebelah kanan lukisan dengan posisi yang hampir sama dengan figur wanita yang pertama yakni posisi bediri dan menghadap kesamping, yang membedakanya adalah posisi tangan yakni jika figur yang pertama tangan diangkat maka figure yang kedua tangan beradaa di bawah sedangkan wajah tidak kelihatan karna menghadap kebelakang. Selain subjek pokok terdapat pula subjek pendukung yakni berupa bangunan gedung, tiga buah lampu, beberapa bintang yang menyebar di bagian atas lukisan, bulan dan sebuah kursi yang diletakan ditengah lukisan. 4.6.3
Analisis Karya Dalam lukisan yang berjudul “Menanti” dengan subjek pokok tiga figur
wanita dengan media cat akrilik pada kanvas ini memiliki berbagai macam unsur dalam seni rupa, dan salah satu unsur tersebut adalah unsur garis. Unsur-unsur garis yang terdapat pada lukisan adalah : -
Garis vertikal terbentuk karena subjek utama berupa tiga figur wanita yang digambarkan dengan posisi tegak sejajar dan subjek pendukung yang berupa banguna gedung yang diletakan sucara berjajar pula.
-
Sedangkan garis bergelombang terbentuk dari figur-figur wanita yang menjadi subjek lukisan. Secara keseluruhan, garis-garis yang mendominasi lukisan tersebut adalah
garis vertikal dan horisontal pada background. Hal tersebut karena background pada lukisan didominasi oleh bentuk ikon-ikon gedung. Unsur lain yang terdapat pada lukisan tersebut adalah warna. Warna yang mendominasi dalam lukisan tersebut adalah warna primer yakni warna merah,
50
warna kuning dan warna biru. Sedangkan warna yang mendominasi background adalah warna hitam dengan dipadu sapuan warna primer dan Warna putih digunakan untuk bagian yang terkena cahaaya. Penggunaan warna yang mencolok antara subjek pokok dan background bertujuan untuk mendapatkan center of interses pada lukisan. Lukisan dengan judul “Menanti” di susun pada bidang kanvas berukuran 130 cm x 110 cm dengan menggunakan media cat akrikik pada kanvas. Lukisan ini menggunakan keseimbangan simetris karna subjek pokok berupa tiga figur manusaia diletakan secara seimbang yakni dibagian kanan lukisan, bagian kiri lukisan dan bagian tengah lukisan. Yang mejadi pusat perhatian pada lukisan ini adalah tiga figur wanita yang sedang berada diantara gedung-gedung. Dominan karena pewarnaan yang terang dibandingkan dengan background nya, ditujukan agar mata penikmat tertuju pada bagian tersebut. Pada subjek utama yang berupa figur wanita terdapat tekstur nyata, tekstur tercipta dari campuran lemkayu dengan cat. Lukisan dengan judul “Menanti” mengisahkan tentang kehidupan wanita yang sedang kumpul pada malam hari ini terdiri dari tiga figur subjek wanita yang tertata dalam keseimbangan simetris. Subjek lukisan tersebut terdiri dari: -
Ikon wanita sebagai subjek pokok
-
Ikon gedung
-
Ikon bintang dan bulan
-
Ikon lampu jalan
51
Subjek pokok yang digambarkan sedang berada di alam terbuka dengan warna gelap memberikan kesan bahwa mereka keluar pada mlam hari. Subjek pendukung berupa bangunan gedung, memberi kesan bahwa mereka berada ditengah perkotaan. Bagi gaya hidup wanita metropolitan, berkumpul dengan teman memang memiliki keuntungan yaitu bisa bersosialisasi dengan orang lain sehingga kita dapat menambah pengetahuan atau pengalaman terutama di kota-kota besar hal itu sangat dibutuhkan, tetapi jika dilakukan secara berlebihan maka hal itu juga dapat merugikan bagi kaum wanita itu sendiri karena hal itu dapat memperbesar terjadinya pergaulan bebas. Oleh karena itu hendaklah kaum wanita terutama di kota-kota besar dapat mengendalikan diri dan mengatur waktu agar waktu tidak terbuang dengan sia-sia.
52
4.7 Karya VII
4.7.1
Spesifikasi Karya
Judul
: Matrealistis
Media
: Akrilik di kanvas
Ukuran
: 90 cm x 110 cm
Tahun
: 2012
4.7.2
Deskripi karya Lukisan dengan subjek satu figur wanita dengan posisi duduk diatas mobil,
dengan kaki kiri diangkat dan kaki kanan ditekuk, sedangkan posisi tangan kanan memegang headphone dan tangan kiri dengan posisi menyangga badan di atas berjudul “Matrealistis”. Subjek pokok yang berupa satu figur wanita dengan
53
posisi duduk di atas mobil dengan kaki kanan diangkat keatas dan memakai kacamata hitam di letakkan pada bagian tengah lukisan, sedangkan subjek pendukung diletakkan mengitari subjek pokok. Pada bagian background lukisan didominasi dengan warna analogus yaitu warna kuning, warna merah dan warna jingga. Selain subjek pokok terdapat juga sujek pendukung yang berupa bagunan gedung, satu buah mobil, satu buah tas, satu kacamata dan headphone. Warna yang digunakan adalah warna-warna cerah seperti kuning, jingga pada background dan pada subjek pendukung berupa bangunan gedung dan mobil yang berwarna merah. 4.7.3
Analisis Karya Secara sintaksis terdapat unsur-unsur garis pada lukisan, garis yang
terdapat pada lukisan adalah: -
Garis vertikal yang terdapat pada lukisan tersebut terbentuk dari ikon banguna gedung yang ditata secara berjajar
-
Garis lurus yang menuju ke arah horizontal berfungsi sebagai garis pembatas antara bidang atas dengan bidang bawah. Hal tersebut merupakan ikon dari batas cakrawala.
-
Garis lengkung terbentuk dari lekuk tubuh figur wanita yang menjadi subjek utama lukisan dan pada subjek pendukung yang berupa ikon mobil. Selain unsur garis, juga terdapat unsur warna pada lukisan sebagai
penyampai pesan. Warna yang terdapat pada lukisan adalah:
54
Warna-warna yang mendominasi pada lukisan ini adalah warna analogus yaitu warna kuning, warna jingga dan warna merah. Selain warna analogus terdapat juga warna biru sebagai busana yang dipakai oleh figur wanita, warna abu-abu, warna hitam dan warna putih.Pewarnaan antara subjek lukisan dan background lukisan dimaksudkan untuk memunculkan subjek lukisan sebagai center of interes. Secara
semantik
lukisan
yang
berjudul
“Matrealistis”
ini
mempresentasikan kehidupan wanita yang matrealistis, subjek pokok berupa figur wanita yang dibuat dengan posisi duduk di atas mobil dengan kaki kanan diangkat keatas dan memakai kacamata hitam ini memberikan kesan arogan, perhiasan dan pernak pernik yang dipakai pada subjek utama member kesan mewah. Pada subjak pendukung terdapat
ikon bangunan gedung member kesan berada di
tengah perkotaan. Dari berbagai macam simbol-simbol yang terdapat pada lukisan, dapat disimpulkan bahwa pragmatik pada lukisan tersebut yaitu wanita adalah makhluk yang konsumtif yang selalu menginginkan sesuatu yang baru, tetapi hendaknya tidak keinginan itu tidak dilakukan secara berlebihan.
55
4.8 Karya VIII
4.8.1 Spesifikasi karya Judul
: Cantik dan Menyakiti Miri
Media
: Akrilik di kanvas
Ukuran
: 110 cm x 90 cm
Tahun
: 2012
4.8.2
Diskripsi karya Pada lukisan yang memiliki judul “Cantik dan Menyakiti Didri” di atas
terdapat subjek lukisan berupa figur wanita yang sedang duduk diatas kursi yang didepanya terdapat meja rias. Posisi wajah menghadap ke samping dengan mata
56
terpejam, kedua kaki berenyila, sedangkan pada posisi tangan kiri menyangga kepala dan tangan kanan membawa ikon alat suntik. Pada bagian background lukisan tersebut terdapat ikon meja rias dengan alat mekupnya, satu buah kursi, satu buah fas bunga. Subjek lukisan tersebut digambarkan sedang duduk ditempat rias.
4.8.3
Analisis Karya Secara sintaksis lukisan yang berjudul ”Cantik dan Menyakiti Diri”
terdapat unsur garis. Unsur garis yang terdapat pada lukisan adalah: -
Garis vertikal yang terdapat pada lukisan terbentuk dari Sebjak utama yang berupa figur wanita dan subjak pendukung yang berupa ikon meja rias.
-
Garis horisontal yang terdapat pada lukisan terbetuk dari warna putih yang membagi bidang lukisan menjadi dua bagian yang berbeda yakni bagian atas lebih luas dari pada bagian bawah.
-
Garis bergelombang pada lukisan terbentuk dari kontur subjek lukisan yang berupa figur wanita. Selain unsur garis terdapat juga unsur warna, warna-warna yang
mendominasi pada lukisan yang berjudul “Cantik dan Menyakiti Didri” adalah warna primer yaitu warna merah, warna kuning dan warna biru yang dipadu dengan warna jingga, warna merah muda dan warna putih.Pada bagian background warna yang mendominasi adalah warna hitam dengan dipadu warna primer dan warna putih dengan teknik sapuan yang spontan.
57
Seluruh unsur rupa pada lukisan disusun pada bidang kanvas empat persegi panjang dengan media akrilik pada kanvas. Dan keseimbangan pada lukisan menggunakan keseimbangan simetris, hal tersebut dapat dilihat melalui penempatan subjek lukisan yang berada ditengah, subjek pendukung yang berupa ikon meja rias yang di tempatkan disamping kiri lukisan dan subjek utama yang berupa figur wanita yang berada disamping kanan lukisan, hal tersebut menciptakan komposisi yang simetris. Secara semantik bentuk subjek lukisan yang berupa figur wanita dengan posisi duduk di depan meja rias memberi kesan bahwa ia sedang melihat kecantikanya di depan cermin, mata yang terpejam dan tangan kanan yang membawa ikon alat suntik member kesan bahwa figur wanita yang terdapat pada lukisan tersebut sedang menyakiti diri sendiri. Sedangkan pada background terdapat ikon meja rias, kursi, fas bunga dan sapuan kuas secara spontan yang membentuk garis lurus ini memberi kesan berada didalam ruangan. Dari penafsiran simbol-simbol yang terdapat pada subjek dan background lukisan tersebut, sebuah pesan hendak disampaikan bahwa wanita diciptakan untuk merawat dirinya sendiri dan bukan untuk disakiti
58
4.9 Karya IX
4.9.1
Spesifikasi karya
Judul
: Pergaulan bebas II
Media
: Akrilik di kanvas
Ukuran
: 90 cm x 110 cm
Tahun
: 2012
4.9.2
Deskripsi karya Lukisan berjudul “Pergaulan Bebas II” di atas memiliki subjek berupa
satu figur wanita sedang memegang ikon dasi dengan ke dua tanganya, posisi figur wanita tersebut sedang duduk di meja dan dengan posisi kaki bersila. Selain subjek utama terdapat juga subjek pendukung yang berupa ikonmeja yang berwarna kuning, ikon kursi yang berwarna hijau, dan ikon dua buah dasi yang berwarna biru muda dan dasi yang satunya berwarana hitam dengan garis putih.
59
Pada bagian background lukisan memiliki warna dasar hitam dengan dipadu warna kuning, biru dan merah yang merupakan warna primer dan warna putih kemudian warna-warna tersebut disapukan secara spontan. 4.9.3
Analisis Karya Secara sintaksis lukisan berjudul “Pergaulan Bebas II” dengan subjek
berupa satu figur wanita sedang membawa ikon dua buah dasi di atas memiliki unsur rupa berupa unsur garis. Unsur garis yang terdapat pada lukisan tersebut antara lain: -
Garis vertikal terbentuk dari warna merah, kuning dan biru yang pada background yang dikuaskan secara spontan.
-
Garis horisontal yang terdapat pada lukisan terbentuk dari ikon meja, membagi bidang lukisan menjadi dua bagian yang berbeda yakni bagian atas dan bagian bawah.
-
Garis lengkung atau bergelombang terdapat pada kontur yang membentuk figur wanita yang menjadi subjek utama pada lukisan. Unsur warna yang terdapat pada lukisan tersebut antara lain warna putih,
kuning, merah, biru dan hitam. Warna putih yang terdapat pada subjek lukisan dibuat untuk memberikan kesan cahaya. Sedangkan pada background lukisan didominasi oleh warna dasar hitam dan dipadu dengan warna kuning, merah biru, dan putih dengan sapuan kuas spontan. Penerapan teknik pewarnaan yang berbeda antara subjek lukisan dan background bertujuan untuk memunculkan subjek lukisan.
60
Pada lukisan dengan judul “Pergaulan Bebas II” tersebut ditata pada bidang kanvas dengan media cat akrilik dengan keseimbangan simetris. Kesimetrisan tersebut dapat dilihat melalui penempatan subjek lukisan yang berada di bagian tengah lukisan. Secara semantik lukisan yang berjudul “Pergaulan Bebas II” ini mempresentasikan kehidupan wanita yang selingkuh, hal tersebut terlihat pada subjek pokok berupa figur wanita yang sedang duduk di atas meja, dengan kedua tangan yang memegang ikon dasi ini memberikan kesan bahwa wanita tersebut sedang merayu, ikon dasi yang terdapat pada lukisan member kesan laki-laki. Jadi dapat disimpulkan bahwa wanita tersebut sedang merayu teman laki-lakinya. Secara pragmatik lukisan berjudul “Pergaulan Bebas II” mengandung pesan bahwa wanita adalah makhluk yang tidak puas dengan apa yang dimilikinya sehingga selalu menginginkan sesuatu yang baru, sehingga menimbulkan hasrat untuk memilikinya termasuk dalam hal memilih pasangan hidup, ada sebagian yang tidak puas dengan pasanganya dan kemudian mencari yang baru.
61
4.10 Karya X
4.10.1 Spesifikasi Karya Judul
: Lupa Waktu
Media
: Akrilik di kanvas
Ukuran
: 90 cm x 110 cm
Tahun
: 2012
4.10.2 Deskripsi Karya Lukisan dengan judul “Lupa Waktu” di atas memiliki subjek pokok berupa satu figur wanita, dengan posisi bediri dengan wajah menghadap kesamping dan kedua tangan membawa tas yang berwarna merah, Selain subjek pokok terdapat pula subjek pendukung yakni berupa bangunan gedung yang
62
berwarna merah, kuning jingga dan biru, dua buah tas berwarna merah, sebuah jam dengan uran besar dan sepasang sayap yang menempel pada jam tersebut. 4.10.3 Analisis Karya Secara sintaksis lukisan yang berjudul “Lupa Waktu” dengan subjek pokok satu figur wanita dengan media cat akrilik pada kanvas ini memiliki berbagai macam unsur dalam seni rupa, dan salah satu unsur tersebut adalah unsur garis. Unsur-unsur garis yang terdapat pada lukisan adalah : -
Garis vertikal terbentuk karena subjek utama satu
figur wanita yang
digambarkan dengan posisi bediri dan subjek pendukung yang berupa banguna gedung yang diletakan sucara berjajar. -
Sedangkan garis bergelombang terbentuk dari figur wanita yang menjadi subjek ytama lukisan. Secara keseluruhan, garis-garis yang mendominasi lukisan tersebut adalah
garis vertikal Hal tersebut karena background pada lukisan didominasi oleh bentuk ikon-ikon gedung. Selain unsur garis juga terdapat unsur warna yang terdapat pada lukisan tersebut, yaitu pewarnaan analogus yang terdapat pada subjek lukisan dengan dominasi warna merah, warna jingga dan warna kuning. Sedangkan warna primer mendominasi lukisan yakni biru kuning dan merah. Warna putih pada subjek utama digunakan untuk menonjolkan antara subjek utama dengan subjek pendukung. Sedangkan pada background lukisan warna hitam mendominasi dengan dipadu warna mera dan biru yang dikuskan secara spontan .
63
Unsur-unsur rupa tersebut disusun pada bidang kanvas dengan menggunakan media akrilik pada kanvas. Dan penataan komposisi yang terdapat pada lukisan tersebut adalah komposisi simetris. Hal tersebut dapat dilihat dari penataan subjek lukisan yang berada pada bidang tengah lukisan, walaupun pada bagian kanan lukisan terdapat ikon jam yang berukuran besar namun hal itu dapat di seimbangkan dengan penataan gedung-gedung yakni gedung yang berada di sebelah kiri lebih tinggi dari gedung sebelah kanan. Hal ini semakin memperkut kesimetrisan lukisan tersebut. Secara semantik lukisan dengan judul “Lupa Waktu” mengisahkan tentang kehidupan wanita yang sedang keluar sepanjang hari hingga wanita tersebut lupa waktu.Secara keseluruhan subjek lukisan tersebut terdiri dari: -
Ikon wanita sebagai subjek pokok
-
Ikon gedung
-
Ikon jam, dan
-
Ikon tas Subjek pokok yang digambarkan sedang berada di alam terbuka, warna
gelam mendominai pada lukisan ini memberikan kesan bahwa wanita tersebut berada pada mlam hari. Ikon berupa bangunan gedung memberi kesan bahwa mereka berada ditengah perkotaan dan ikon jam yang digambarkan bersayap pada lukisan memberi kesan bahwa wanita tersebut sedang asik keluar hingga lupa waktu. Dari berbagai simbol - simbol yang disampaikan dengan menggunakan garis, warna dan bentuk figur pada lukisan, Pragmatik pada lukisan
64
menyampaikan
pesan
bahwa
kehudupan
wanita
metropolitan
tidak
memperdulikan waktu, baik keluar pada malam hari maupun keluar pada siang hari.
4.11 Karya XI
4.11.1 Spesifikasi karya Judul
: Sibuk
Media
: Akrilik dan cat minyak di kanvas
Ukuran
: 90 cm x 90 cm
Tahun
: 2012
65
4.11.2 Deskripsi karya Lukisan dengan judul “Sibuk” di atas memiliki satu subjek berupa figur wanita dengan posisi duduk di atas kursi, posisi tangan kanan berada di atas meja sambil menopang kepala sedangkan tangan kiri memegang ikon laptop. Sedangkan pada posisi kedua kaki diangkat menyilang. Selain subjek utama yang berupa satu figur wanita terdapat juga subjek pendukung, yakni ikon buku yang ditumpuk, ikon laptop berwarna kuning yang pada layarnya terdapat tanda Tan, ikon guci, ikon kursi dan meja. Pada background lukisan warna hitam sebagai warna dasar dan warna hijau, kuning, merah, putih di
kuaskan secara spontan membentuk garis-garis menyerupai
persegi. 4.11.3 Analisis Karya Secara sintaksis lukisan dengan judul ”Sibuk” terdapat unsur-unsur rupa, salah satu unsur rupa yang terdapat pada lukisan tersebut adalah unsur garis. Unsur garis vertikal yang terdapat pada lukisan terbentuk dari garis spontan yang terdapat pada background. Sedangkan garis lengkung atau garis bergelombang ada pada kuntur lekuk tubuh subjek lukisan yang berupa figur wanita. Garis horizontal adalah garis yang membujur membagi bidang lukisan menjadi dua bagian yang berbeda yakni bagian atas lebih luas dari pada bagian bawah, secara keseluruhan pembagian bidang ini adalah asimetri. Pada bagian atas digunakan sebagai tempat kedudukan dinding dan pada bagian bawah sebagai permukaan lantai. Hal tersebut merupakan ikon dari batas cakrawala.
66
Selain unsur garis juga terdapat unsur warna pada lukisan. Warna yang terdapat pada subjek lukisan adalah warna merah, warna kuning, warna biru, warna putih dan warna hitam sebagai warna dasar background. Pada ikon busana yang dipakai oleh sujek utama menggunakan warna antara yakni kuning hijau. pewarnaan monokromatik digunakan pada ikon lantai dan ikon steamer yatu warna biru dan warna putih. Perbedaan pewarnaan antara subjek dan background lukisan dimaksudkan untuk memunculkan subjek dan memperkuat center of interest pada lukisan. Unsur-unsur rupa diatas disusun pada bidang kanvas persegi berukuran 90 cm dengan menggunakan media akrilik. Keseimbangan yang terdapat pada lukisan tersebut adalah keseimbangan simetris, walaupun penempatan subjek utama lukisan yang berada pada sisi sebelah kanan lukisan namun hal ini dapat diseimbangkan melalui subjek pendukung yang berupa ikon buku, ikon laptop, ikon guci dan ikon kursi. Ikon-ikon tersebut di tempatkan pada sebelah kiri lukisan sehingga terdapat keseimbangan simetris. Secara semantik lukisan dengan judul ”Sibuk” hendak memberikan pesan dengan sebyek lukisan berupa satu figur wanita yang sedang duduk dengan tangan menyentuh dagu dan memegang bagian rahang. Hal tersebut memberikan kesan bahwa figur tersebut sedang berpikir.ikon laptop yang pada layarnya terdapat tanda Tanya dan ikon tumpukan buku member kesan pekerjaan yang menumpuk, ikon steamer member kesan bahwa kepala wanita tersebutb sedang panas. Dari kesan-kesan yang terdapat pada lukisan, secara pragmatik mengandung pesan
67
pesan bahwa kehidupan wanita metropolitan memiliki kesibukan yang terkadang tidak bisa ia kendalikan.
4.12 Karya XII
4.12.1 Spesifikasi Karya Judul
: Wanita dan Tempat Karaoke II
Media
: Akrilik di atas kanvas
Ukuran
: 90 cm x 110 cm
Tahun
: 2012
4.12.2 Deskripsi Karya Dalam lukisan berjudul “Wanita dan Tempat Karaoke II” di atas memiliki subjek pokok berupa satu figur wanita, dengan posisi duduk dan wajah
68
menghadap ke samping, posisi kedua tangan diangkat dengan tangan kiri memegang ikon mokrofon sedagkan posisi kedua kaki ditekuk kesamping. Selain subjek pokok, lukisan tersebut memiliki subjek pendukung berupa satu buah ikon mikrofon, satu buah ikon meja, enam ikon botol, satu buah ikon fas bunga dan dua buah ikon lampu dengan warna merah dan kuning, Warna yang terdapat pada subjek-subjek tersebut didominasi primer yaitu warna merah, kuning dan biru namun dalam hal ini warna merah paling menonjol, warna merah digunakan sebagai warna subjek pendukung seperti ikon meja, ikon tempat duduk, ikon lampu yang berada di sebelah kiri luikisan, ikon fas bunga dan ikon oakaian yang dipakai figur wanita . Sedangkan warna dari background lukisan didominasi warna hitam yang dipadu dengan warna primer yang disapukan secara spontan yang membenyuk garis-garis. 4.12.3 Analisis Karya Secara sintaksis lukisan yang berjudul “Wanita dan Tempat Karaoke II” dibuat dengan beberapa unsure garis antara lain: -
Garis vertikal terbentuk dari sapuan kuas secara spontan.
-
Garis horisontal pada lukisan terbentuk dari warna biru yang membujur membagi bidang lukisan menjadi dua bagian yakni bagian dan bagian bawah.
-
Garis bergelombang pada lukisan terbentuk dari subjek pokok lukisan berupa satu figur wanita dan pada subjek pendukung yakni ikon botol dan ikon lampu. Selain unsur garis juga terdapat unsur warna yang terdapat pada lukisan tersebut, warna-warna tersebut adalah:
69
-
Warna primer yaitu warna merah, warna kuning dan warna biru sebagai mendominasi subjek lukisan.
-
Warna monokromatik yaitu merah tua, merah dan merah muda juga terdapat pada lukisan ini dan warna hitam menjadi warna dasar background. Penataan warna, bentuk, dan garis disusun pada bidang kanvas berukuran
90 cm x 110 cm dengan menggunakan media akrilik peda kanvas. Keseimbangan yang digunakan pada lukisan tersebut adalah keseimbangan simetris, hal tersebut tampak pada penataan subjek pokok yang diletakan di tengah lukisan. Secara semantik subjek pokok berupa satu figur wanita yang dibuat dengan posisi duduk dengan kedua tangan dianggkat dan tangan kiri memegang mikrofon member kesan bahwa wanita tersebut sedang asik benyanyi, perhiasan yang dipakai pada figur manusa memberi kesan glamour, background yang didominasi warna hitam menandai situasi malam hari dan ikon botol minuman memberi kesan selain karaoke wanita tersebut juga sedang mabok. Dari seluruh simbol-simbol berupa garis, warna, bentuk dan goresangoresan yang terdapat dalam lukisan berjudul “Wanita dan Tempat Karaoke II”, penulis hendak menyampaikan pesan bahwa wanita boleh ketempat hiburan asalkan hal itu tidak disalah gunakan.
70
4.13 Karya XIII
4.13.1 Spesifikasi karya Media
: Akrilik dan di kanvas
Judul
: Sombong
Ukuran
: cm x cm
Tahun
: 2012
4.13.2 Deskripsi karya Pada lukisan dengan judul “Sombong” di atas memiliki subjek berupa satu figur wanita yang sedang duduk di kursi, posisi tangan kanan menekuk ke atas menyangga kepala dan posisi tangan kiri berada di sandaran kursi, sedangkan posisi kaki diangkat menyilang.
71
Pada background lukisan terdapat ikon lampu yang berwarna kuning, ikon fas bunga dengan warna coklat, ikon mahkota dengan warna kuning, ikon meja warna merah muda dan ikon kursi yang berwarna merah pada busa dan kuning pada kayunya.
4.13.4 Analisis Karya Secara sintaksis lukisan berjudul “Sombong” dengan subjek berupa satu figur wanita yang sedang duduk dengan posisi menghadap depan. Pada posisi tangan kanan subjek digambarkan menekuk keatas menyangga kepala, sedangkan posisi tangan kiri berada di atas sandaran kursi memiliki unsure garis antara lain: Garis yang mendominasi lukisan tersebut adalah garis lengkung yang terdapat
baik dari subjek utama yang berupa figur wanita maupun subjek
pendukung yang berupa ikon lampu, ikon fas bunga, ikon meja dan ikon kursi.Sedangkan garis vertikal terdapat pada bagian ikon kursi yang berupa kaki kursi. Selain unsur garis juga terdapat unsur warna, warna-warna tersebut antara lain: Warna
yang
mendominasi
dalam
karya
tersebut
adalah
warna
monokromatik, yaitu warna merah tua, merah dan merah muda. Warna kuning terdapat pada ikon lampu yang berada di tengah lukisan dan kanan lukisan selain itu warna kuning juga terdapat pada ikon kayu. Pada background bagian kanan memiliki warna lebih gelap dari pada background bagian kiri, yaitu merah tua.
72
Sedangkan warna-warna yang terdapat pada subjek utama lukisan adalah: warna putih digunakan sebagai warna pakaian dan warna jingga digunakan sebagai warna kulit. Seluruh unsur rupa yang terdapat pada lukisan disusun di atas kanvas dengan menggunakan media akrilik pada kanvas. Penempatan subjek lukisan berupa figur wanita yang berada di tengah menunjukkan penataan simetris pada lukisan. Kesimetrisan tersebut diperjelas dengan penataan ikon kursi pada subjek pendukung lukisan yang berada di tengah lukisan. Secara semantik lukisan dengan subjek figur wanita dengan posisi duduk, tangan kanan menekuk ke atas menyangga kepala dan posisi tangan kiri berada di sandaran kursi, sedangkan posisi kaki diangkat menyilang tersebut memberikan kesan bahwa figur wanita yang terdapat pada lukisan sedang menikmati kedudukanya. Sedangkan kesan kekuasaan terdapat pada ikon mahkota yang dipakai. Dari kesan-kesan yang terdapat pada lukisan, secara pragmatik terdapat pesan bahwa wanita adalah makhluk yang juga memiliki jiwa kepemimpinan
73
4.14 Karya IV
4.14.1 Spesifikasi karya Judul
: Persamaan Gender
Media
: Akrilik dan cat minyak di kanvas
Ukuran
: cm x cm
Tahun
: 2012
4.14.2 Deskripsi karya Lukisan berjudul “Persamaan Gender” di atas memiliki subjek utama berupa figur wanita sedang memegang simbol pria dan wanita dengan kedua tanganya, posisi subjek utama tersebut berdir dan wajah menghadap ke depan dengan menggunakan headphone . Secara keseluruhan lukisan tersebut terlihat dari kepala sampai pinggul.
74
Warna yang terdapat pada likisan tersebut didominasi monokromatik yaitu warna merah tua, warna merah, warna merah muda dan warna putih, Sedangkan untuk menonjolkan sujek utama dengan background digunakan warna gelap yaitu merah tua dan hitam. Pada background terdapat warna putih dan warna hitam yang disapukan secara spontan sehingga membentuk garis-garis. 4.14.3 Analisis Karya Secara sintaksis lukisan berjudul “Persamaan Gender” dengan subjek berupa figur wanita sedang membawa simbol pria dan wanita di atas memiliki unsur rupa berupa unsur garis. Unsur garis yang terdapat pada lukisan tersebut antara lain: -
Garis vertikal terdapat bada background yang terbentuk dari warna putih dan warna hitam dengan sapuan kuas spontan.
-
Garis lengkung atau bergelombang terdapat pada kontur yang membentuk figur wanita yang menjadi subjek pada lukisan dan garis-garis spontan dengan warna putih pada background. Unsur warna yang terdapat pada lukisan tersebut didominasi warna
monokromatik, yaitu warna hitam, warna merah, warna merah muda dan warna putih. Sedangkan untuk memunculkan subjek utama digunakan warna gelap seperti warna hitam, busana yang dipakai oleh subjek utama yaitu warna putih dengan garis dan titik yang berwarna merah muda dan warna kuning sebagai warna ikon perhiasan. Pada lukisan dengan judul “Persamaan Gender tersebut ditata pada bidang kanvas dengan media cat akrilik dengan keseimbangan simetris.
75
Kesimetrisan tersebut dapat dilihat melalui penempatan subyek lukisan yang berada di bagian tengah lukisan. Secara semantik lukisan dengan subjek figur wanita dengan posisi berderi dengan kedua tangan diangkat menyilang dan membawa simbol pria dan wania yang di angkat dengan posisi sejajar memberi kesan bahwa figur wanita tersebut menginginkan bahwa wanita dan pria itu memiliki kedudukan yang sama. Sedangkan headphone yang dipaka pada figur wanita tersebut member kesan bahwa wanita tersebut tidak mendengarkan perkataan oranglain dan hanya mengikuti kemauanya saja. Dari kesan-kesan yang terdapat pada lukisan pragmatik yang terdepat pada lukisan tersebut adalah wanita metropolitan biasanya memiliki peran yang sama dengan laki-laki.
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Penulis memilih tema “Wanita sebagai Subyek dalam Karya Seni Lukis” dalam proyek studi ini karena wanita merupakan makhluk yang unik dan sangat menarik. Karena keunikan tersebutlah banyak pihak dari berbagai disiplin ilmu dan termasuk penulis berusaha untuk mengkajinya. Salah satu keunikan yang menarik penulis untuk menjadikannya sebagai inspirasi dalam proyek studi adalah gaya hidup wanita yang beragam dan wanita memiliki bentuk anatomi yang indah dan mudah untuk disetilisasi. Dalam proyek studi ini penulis menampilkan karya seni lukis dengan teknik melukis menggunakan media cat akrilik dan lem kayu sebagai tekstur pada kanvas. Sifat dari cat akrilik yang tidak membutuhkan waktu lama untuk kering dan sifat lem kayu yang kental dan lengket menjadikan penulis tertarik untuk mengkombinasikannya dalam proyek studi karena menghasilkan goresan dan bentuk tekstur yang tidak konvensional. Dalam mencampur cat dan lem kayu penulis melakukannya menggunakan palet, karena hasil percampuran warna dengan lem kayu lebih merata. Subyek yang terdapat pada lukisan-lukisan penulis dalam proyek studi ini adalah figur-figur wanita karena figur tersebut dianggap paling sesuai dengan tema yang diangkat dan dianggap sebagai figur yang efektif sebagai penyampai pesan antara penulis dan apresiator. Dengan melukis menggunakan wanita sebagai
76
77
sumber inspirasi, penulis dapat mengembangkan sensitifitas, daya peka terhadap sifat-sifat wanita dan kreatifitas. Kesimpulan akhir dari penulisan ini adalah bahwa sifat wanita metropolitan menarik untuk dikaji dikarenakan gaya hidupnya yang beragam dan wanita memiliki bentuk anatomi yang indah dan mudah untuk disetilisasi sehingga menarik untuk dijadikan subjek lukisan. Berbagai media dapat menjadi bahan dalam membuat seni lukis, termasuk media cat akrilik yang dicampur dengan lem kayu mampu menghasilkan tekstur yang menarik untuk diaplikasikan dalam lukisan.
B. Saran Dengan adanya proyek studi yang penulis buat ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi seluruh akademisi Unnes dalam bidang seni lukis pada khususnya. Bagi para akademisi seni rupa Unnes baik seni rupa pendidikan, seni rupa murni maupun DKV diharapkan dapat lebih kreatif lagi dan tidak ragu untuk bereksplorasi dalam membuat karya seni. Dalam berkarya seni sumber gagasan sangatlah banyak dan dapat ditemukan dimana saja dan kapan saja. Pengalaman-pengalaman estetis, ide, gagasan, kebudayaan, permasalahan-permasalahan sosial atau apa pun dapat diolah menjadi sumber inspirasi. Seperti dilakukan penulis, pengambilan tema dalam berkarya seni diambil dari permasalahan yang terdapat pada lingkungan bahkan diri sendiri maupun dari media.
78
Bagi seorang seniman, khususnya pelukis sumber inspirasi boleh sama dengan orang lain, tetapi yang paling penting orisinalitas karya sangat perlu untuk dijaga dalam menghasilkan karya seni yang berkualitas sehingga mampu mewarnai corak lukisan yang ada.
79
DAFTAR PUSTAKA Bagus Vian, dkk. tanpa tahun. Modul Seni Budaya untuk SMK. Solo: CV.Haka MJ. Bahari, Nooryan. 2008. Kritik Seni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bastomi, Suwadji. 1992. Wawasan Seni. Semarang: IKIP Semarang Press. Djelantik, A.A.M. 1999. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Fathoni, Helmi. 2006. Imaji Ikan Asin dalam Karya Seni Lukis. Semarang: Laporan Proyek Studi Pendidikan Seni Rupa UNNES Rondhi, Moh dan Anton Sumartono. 2002. Paparan Perkuliahan Mahasiswa: Tinjauan Seni Rupa I. Semarang: Unnes Press. Sahman, Humar. 1993. Mengenali Dunia Seni Rupa. Semarang: IKIP Semarang Press. Siregar, Aminudin TH dan Enin Supriyanto (ed.). 2006. Seni Rupa Modern Indonesia: Esai-esai Pilihan. Jakarta: Nalar. Suharso dan Anna Retnoningsih. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: CV Widya Karya. Sunaryo, Aryo. 2002. Nirmana 1. Hand Out, Semarang: Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan seni UNNES. Sunaryo, Aryo. 2006. Seni Lukis Dasar. Hand Out. Jurusan Seni Rupa FBS UNNES. Susanto, Mike. 2002. Diksi Rupa. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. http://id.wikipedia.org/wiki/imaji diakses Rabu, 26 Januari 2011 pukul 21.30 http://iffadewi017.blogspot.com diakses pada hari Rabu tanggal 24 Oktober 2012, pukul 21.30 WIB http://masaminkhoirul.blogspot.com/2012/pengertian-ekspresi) diakses pada hari Rabu tanggal 24 Oktober 2012, pukul 21.30 WIB http://www.kompasiana.com/wanita diakses Rabu, 26 Januari 2011 pukul 22.30
80
LAMPIRAN
81
DESAIN KATALOG PAMERAN
82
FOTO PAMERAN
83
84
PROFIL PENULIS
Nama
: Eko Bagus Budi Prasetyo
NIM
: 2450407005
Jurusan/Prodi
: Seni Rupa/ Seni Rupa Murni
Fakultas
: Bahasa dan Seni
Hobi
: Nge-game
No.hp
: +6285742219142
Cita-cita
: Jadi kepala rumah tangga yang baik
Email Fb/Blog
:
[email protected]
Alamat
: Ngetuk Tanggung Harjo Grobogan
Hal yang pernah digeluti dibidang Seni Rupa: 1999. Juara 3 lomba gambar tingkat Kelurahan Tanggung Harjo 2006. Juara 1 lomba Mural tingkat se-SMA MAN 1 Semarang 2007. Membuat pesanan gambar karikatur sampai sekarang
85
2007. Membuat adonan tanah liat untuk dijual 2007. Membuat pesanan sepatu lukis sampai sekarang 2007. Pernah membuat desain gapura untuk desa Tanggung Harjo Kab. Grobogan 2008. Pernah bekerja di bimbingan belajar (5bln) 2009. Membuat pesanan desain kartu nama, desain MMT sampai sekarang 2009. Pernah jadi asisten guru Tk (2bln) 2009. Pernah membuat mural di Tk (4hari) 2009. Pernah membat lukisan diuntuk permainan anak-anak 2010. Pernah jadi juri mewarnai untuk anak Tk 2011. Pernah membuat masjid hias berjalan (untuk menjelang puasa 2011) 2011. Pernah membuat mobil hias berjalan(untuk menjelang puasa 2011) 2011. Bekerja di SMK Perdana Semarang (sebagai guru) sampai sekarang
PERAN KAUM PEREMPUAN DALAM INDUSTRI KERAJINAN GERABAH DI DESA BANYUMULEK, LOMBOK BARAT, NUSA TENGGARA BARAT 1
Deshinta Vibriyanti
Abstract This paper aims to examine the role of women in the pottery industry in Banyumulek, West Lombok, NTB. In order the Banyumulek village community life, the pottery is not just a domestic handicraft industry which drives the family economic. Moreover, pottery is a social-cultural identity of the local community acquired handed down from ancestors. The study used a qualitative-description method. The process of data collection was done by interviewed, observation, and some related literature review. The results show that women are the main actors in the pottery industri in Bayumulek. About 80 percent of the pottery industrial activities carried out by women. The skill hereditary inherited from mother to daughter since childhood. Furthermore, potterymaking skills is as an economic strategy for living due many women were widowed or living separately with her husband who work aboard as migrant workers. In the perspective of the local community, making pottery is women’s work. If a man made the pottery, they called them as effeminate (men tend to be feminine). So that, the men task are merely transporting pottery from the site to the kiln drying and handling marketing distribution. Therefore, it takes effort to change the way local communities perspective related to the division of labor in the pottery industry. These can be the approach, assistance and dissemination of shared stakeholders in increasing the participation of men. Expected with the high participation of male will make pottery industry in Banyumulek village can be developed and brought prosperity to the rural communities. Keywords: role, women, pottery
A.
Pendahuluan
P
erubahan sistem perekonomian dalam masyarakat membawa peru bahan pula pada alokasi ekonomi keluarga. Hal tersebut berdampak pada perubahan peran kaum perempuan dalam kontribusinya terhadap kesejahteraan keluarga. Partisipasi perempuan di pasar kerja diduga akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya kesempatan mengenyam pendidikan, menurunnya jum lah anak yang dilahirkan, serta berbagai kemudahan teknologi yang membantu perempuan untuk menjalankan dua peran sekaligus, sebagai ibu rumah tangga dan sebagai perempuan bekerja. Bagi keluarga kelas bawah, keterlibatan seluruh anggota keluarga dalam 1
bidang ekonomi sangat berarti. Bagi mereka yang tinggal di wilayah tertinggal dan status ekonomi miskin, peran ganda bukan suatu hal yang baru. Bahkan bagi perempuan, berperan ganda sudah ditanamkan semenjak mereka kecil oleh orang tua. Para remaja putri tidak dapat bermain bebas seperti layaknya remaja lainnya karena terbebani kewajiban bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. (Soe trisni: 94, 1997). Para perempuan, khususnya pada keluarga miskin tidak terlalu memperdulikan pekerjaan yang akan mereka kerjakan. Sebagian besar mereka bekerja sebagai buruh dengan gaji rendah seperti pembantu rumah tangga dan pekerjaan jasa domestik lainnya (Mudzhakar, Anto, dkk: 189, 2001). Di Desa Banyumulek, Lombok
Penulis adalah peneliti bidang kependudukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 117 | P a g e
Barat, NTB juga demikian. Namun yang membedakan perempuan di desa ini adalah jenis pekerjaan yang digeluti. Perempuan desa Banyumulek mayoritas bekerja sebagai pengrajin gerabah. Sebagian dari mereka bekerja berkelompok berdasarkan ikatan kekerabatan keluarga. Selain merupakan keahlian yang diperoleh turun temurun, membuat gerabah juga merupakan salah satu strategi ekonomi bagi mereka. Tingginya angka perempuan yang berstatus janda dan perempuan yang ditinggal oleh suami untuk bekerja di luar negeri sebagai TKI mendorong perempuan di desa Banyumulek untuk menekuni profesi sebagai pembuat gerabah. Gerabah adalah salah satu bentuk peradaban tertua dan universal dalam perkembnagan budaya manusia. Gerabah dapat ditemui di setiap kebudayaan di seluruh penjuru dunia dan sudah dikenal oleh manusia bahkan sejak jaman pra sejarah. Menurut ahli sejarah, gerabah atau yang biasa disebut juga dengan tembikar mulai dikenal oleh manusia sejak zaman neolitikum. Pada saat itu manusia purba mulai hidup menetap, bercocok tanam dan mengenal api (Soegondho, 1995). Manusia pada zaman tersebut mulai menyimpan bahan makanan dengan menggunakan keranjang. Untuk menghindari kebocoran di sela-sela keranjang, yang terbuat dari anyaman akar tanaman, keranjang tersebut dilapisi dengan tanah liat. Kartodirdjo (1997) menyebutkan, sebagai ganti alat-alat berupa keranjang dibutuhkan barang yang lebih kuat berupa gerabah. Gerabah dimanfaatkan untuk menyimpan makanan, upacara keagamaan dan upacara pemakaman. Nilai-nilai yang terkandung dalam gerabah pada dasarnya menggambarkan kondisi suatu kelompok masyarakat pada zamannya. Pada zaman dulu gerabah dibuat berbentuk perkakas dapur dan alatalat rumah tangga seperti piring, bejana, gentong, mangkok, cobek, kendi, pot dan lain sebagainya. Sejalan dengan perkembangan peradaban dan penemuan teknologi, saat ini alat-alat rumah tangga tidak banyak yang berbahan dasar tanah liat, namun sudah beralih menggunakan bahan dasar yang lebih ringan seperti kaca (glass), tembaga, perak, melamin dan lain sebagainya. Sejalan dengan waktu gerabah mengalami transisi nilai kebendaan yang 118 | P a g e
berawal dari nilai fungsional berkembang menjadi nilai estetika (seni). Di beberapa komunitas masyarakat kebudayaan masih menggunakan gerabah sebagai alat perlengkapan upacara adat dan keagamaan. Saat ini gerabah sebagai produk seni telah berkembang menjadi bentuk yang lebih indah sebagai penunjang dalam kehidupan. Di samping itu, produk yang dihasilkan terus mengalami perbaikan bentuk dengan desain baru berdasarkan pengalaman batin perajin (Soegondho, 1995). Selain perkembangan dalam aspek nilai kebendaan (value goods), gerabah juga mengalami perkembangan dalam hal proses pembuatan. Diawali proses pembuatan dengan teknik yang sangat sederhana (hand building) hingga saat ini gerabah melalui proses pembuatan dengan teknologi modern. Gerabah yang paling sederhana dibentuk dengan menggunakan tangan dan memiliki bentuk permukaan yang kasar dan kadang tidak simentris. Namun saat ini pembuatan gerabah pada umumnya sudah menggunakan teknologi tatap batu dan roda putar sehingga memiliki bentuk dan nilai seni yang indah. Pada dasarnya gerabah sejak zaman dahulu hingga kini, dibuat melalui tiga proses dasar, yaitu 1) menguli/meremas-remas (kneading); 2) membentuk (forming); dan 3) membakar (firing). Namun saat ini sentuhan-sentuhan modern banyak dijumpai pada produkproduk gerabah sehingga dibutuhkan proses finishing dengan memberikan sentuhan dekorasi pada gerabah. Hal tersebut dapat terlihat dari bentuk-bentuk kreatif dan inovatif yang ditemui saat ini dalam berbagai bentuk seperti vas bunga, guci besar maupun kecil, serta bentuk-bentuk hiasan dekorasi lainnya lain. Masyarakat Indonesia juga me ngenal gerabah sebagai salah satu ciri kebudayaan yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Daerah-daerah di Indonesia yang menjadi sentra kerajinan gerabah saat ini diantaranya, gerabah Takalar dari Sulawesi Selatan, gerabah Kasongan dan Pondong dari Yogyakarta, gerabah Plered dari Purwakarta, gerabah Gethakan dari Malang, gerabah Nagara dari Kalimantan Selatan, gerabah Waykanan dari Lampung, gerabah Banyumulek di Lombok Barat, gerabah Banyuning dari Bali, gerabah Sentani dari Papua dan masih
banyak potensi-potensi kerajian gerabah dari daerah lain yang belum dikelola dengan baik. Gerabah bagi masyarakat pengrajin desa Banyumulek tidak hanya semata bernilai ekonomi dan sebagai sumber mata pencaharian. Gerabah dinilai sebagai suatu identitas sosial dan budaya yang diperoleh turun temurun dari leluhur. Proses pembuatan gerabah yang cukup kompleks yaitu dilakukan melalui beberapa tahap pengerjaan dan membutuhkan tenaga kerja yang relatif banyak, sehingga menjadikan usaha kerajinan gerabah sebagai salah satu media integrasi sosial dalam masyarakat. Umar Kayam dalam Sudarso (2002) menyatakan bahwa kerajinan gerabah, anyam-anyaman dari bambu, ukiran kayu dalam bentuk maupun motif yang sederhana merupakan seni komunitas pedesaan yang masih akrab, homogen dan masih berfungsi untuk mengikat solidaritas komunitas. Pembagian kerja dalam proses produksi gerabah sejak dahulu sudah dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Proses pembuatan gerabah melalui beberapa tahap, yaitu dimulai dari pengambilan tanah liat, persiapan tanah liat, proses pembentukan, penjemuran, pem bakaran dan yang terakhir adalah proses penyempurnaan (finishing). Setiap daerah memiliki perbedaan budaya dan tradisi dalam pembagian kerja. Di Thailand, lakilaki tidak ikut terlibat dalam produksi atau pun distribusi. Pengrajin perempuan melalukan semua proses usaha, mulai dari mengumpulkan tanah liat, melembutkan dan menggiling, menguli/meremas-remas tanah liat, membentuk gerabah, menjemur, membakar dan pada tahap akhir memberikan sentuhan dekoratif pada gerabah serta memasarkannya (Atmadja, 1991). Di daerah penghasil gerabah di Banyumulek, Lombok Barat, walaupun sebagian besar proses produksi dilakukan oleh perempuan namun untuk pemasaran dan distribusi dilakukan oleh laki-laki. Perbedaan setiap daerah penghasil gerabah dalam hal pembagian kerja menjadi hal yang menarik karena tentu saja pembagian kerja tersebut memiliki rasionalitas tersendiri berdasarkan kearifan lokal masing-masing budaya. Penelitian-penelitian terdahulu me ngenai gerabah lebih banyak membahas proses produksi gerabah dalam perspektif
budaya laki-laki. Namun sebenarnya di beberapa daerah seperti di Banyumulek, perempuan justru menjadi aktor utama. Hal ini menarik untuk dibahas karena hampir semua proses produksi dilakukan oleh kaum perempuan. Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang kehidupan pe rempuan pengrajin gerabah yang terdapat di Kecamatan Banyumulek, Lombok Barat, NTB. Melalui tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada berbagai stakeholder yang terkait untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan pengrajin gerabah dalam meningkatkan perekonomian keluarga. B.
Kondisi Sosio-Demografi Banyumulek, Lombok Barat
Desa
G
erabah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Desa Banyumulek. Dinamai gerabah Banyumulek karena diproduksi di desa Banyumulek, kecamatan Kediri, Kabupaten Lombok Barat. Sebenarnya selain Banyumulek, di Lombok terdapat beberapa desa lain yang juga menghasilkan gerabah dengan kualitas ekspor seperti Desa Penujak, Lombok Tengah dan desa Masbagik, Lombok Timur. Kerajinan gerabah telah menjadi harapan hidup lebih dari 10.000 pengerajin yang berasal dari ketiga desa. Desa Banyumulek berjarak sekitar 15 km sebelah timur Kota Mataram dengan populasi penduduk berjumlah 10.347 jiwa. Walaupun pekerjaan sebagai petani sawah masih dilakukan, namun 80 persen penduduk menggantungkan hidup dari industri kerajinan gerabah. Menurut data BPS Kabupaten Lombok Barat tahun 2007, terdapat 2.413 rumah tangga pengrajin gerabah dari total 3.203 rumah tangga di Desa Banyumulek. Dari 11 dusun di desa ini sentra gerabah tersebar di empat dusun, yaitu di Banyumulek Barat, Banyumulek Timur, Gubug Baru, dan Muhajirin. Pada tahun 2010 desa ini pecah menjadi dua desa yaitu Desa Banyumulek dan Desa Lelede. Di sekitar dusun itu berkembang penganyaman rotan dan pengusaha art shop sebagai bukti bahwa kerajinan gerabah terus berkembang dan mampu menjadi penggerak utama perekonomian desa ini. Menurut data BPS Kabupaten Lombok Barat tahun 2007, populasi 119 | P a g e
penduduk perempuan desa Banyumulek tercatat sebanyak 4.863 orang yang tersebar di 16 dusun. Hampir 80% dari populasi perempuan tersebut terlibat dalam industri kerajinan gerabah. Dalam pandangan masyarakat setempat, membuat gerabah adalah pekerjaan perempuan. Jika seorang suami membuat gerabah, mereka dijuluki banci (laki-laki yang cenderung feminin). Akibatnya, tugas suami hanya mengangkut gerabah dari lokasi penjemuran ke tungku pembakaran. Selain itu data dari Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan di Lombok Barat menyebutkan bahwa pada tahun 2011, dari 2.205 keluarga di Desa Banyumulek, terdapat 150 kepala keluarga perempuan berstatus janda. Data lain menyebutkan bahwa dari 10.000 jiwa lebih penduduk di desa tersebut, lebih dari 400 perempuan hidup menjanda dan sendirian menanggung beban keluarga. Kebanyakan perempuan yang menjanda itu ditinggal suaminya merantau ke Malaysia, dan sebagian besar tidak ada kabar mengenai para suami yang menjadi buruh migran itu. Kondisi demikianlah yang mendorong para perempuan untuk me ngambil alih bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarganya dengan menjadi pengrajin gerabah atau dalam bahasa setempat disebut memande. Memande yaitu membuat gerabah yang secara turun temurun menjadi keterampilan warisan leluhur. Dari kegiatan memande ini, terciptalah bermacam bentuk benda kebutuhan rumah tangga seperti tempat minum, gentong, vas bunga, periuk, dan lain sebagainya. Dari keterampilan memande inilah para perempuan pengrajin gerabah dapat bertahan hidup dan menghidupi keluarganya Sayangnya, keuntungan dari pekerjaan ini sangatlah kecil. Berjam-jam duduk mengolah gerabah, mereka hanya mendapatkan uang sebesar Rp 400 untuk satu piring tempat sambal kecil dan Rp15.000 untuk vas bunga setinggi satu meter, padahal membuat vas tersebut membutuhkan waktu selama lima hari. (www.jurnalperempuan.org/memandekegiatan-ekonomi-perempuan-lombok.html). Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Sukardi (1997), menyebutkan bahwa kontribusi perempuan di Banyumulek terhadap perekonomian rumah tangga masing-masing mencapai 52% dimana total 120 | P a g e
pendapatan rumah tangga (sekitar 70%) bersumber dari industri gerabah. Secara pasti belum dapat diketahui kapan dan bagaimana kerajinan gerabah menjadi keahlian masyarakat desa Banyumulek. Namun, beberapa pengrajin tua di desa Banyumulek menyebutkan bahwa nenek moyang mereka membawa keahlian membuat gerabah yang berasal dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Para pengrajin gerabah yang telah lanjut usia menyebutkan bahwa mereka telah membuat gerabah sejak umur mereka masih kecil. Keahlian tersebut mereka peroleh dari orang tua mereka dan kemudian mewariskannya kepada generasi selan jutnya. Oleh karena itu para pengrajin gerabah di Lombok lebih banyak yang merasa bahwa mereka sebagai pekerja tangan yang ahli membuat gerabah dari pada sebagai seorang seniman. Gerabah yang telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Banyumulek dapat tercermin dari bentuk dan struktur bangunan rumah tradisional penduduk. Rumah tradisional penduduk di Banyumulek pada umumnya terbuat dari kayu dan dibangun di atas tiang-tiang (berbentuk panggung) dengan tujuan menghindari luapan sungai Babak. Sehari-hari, bagian bawah rumah (kolong) dimanfaatkan sebagai tempat untuk melakukan aktivitas membuat gerabah, tempat bersosialisasi dan kadang menjadi tempat tidur. Hal tersebut sangat dimungkinkan karena jarak lantai rumah yang cukup tinggi dari permukaan tanah. Namun sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan pengaruh modernisasi telah banyak penduduk yang menganti rumah tradisional mereka dengan bangunan modern. Salah satu ciri bangunan modern terlihat dari dinding yang terbuat dari tembok bata, atap genteng dan jendela yang terbuat dari kaca. Menurut masyarakat setempat, walaupun rumah dengan konstuksi modern tidak sedingin dan sesejuk rumah tradisional yang berbahan kayu tua dan bambu serta beratap jerami, namun rumah modern menurut mereka lebih mudah dirawat dan sebagai salah satu lambang kemakmuran (pride) pagi pemiliknya.
C. Peran Perempuan dalam Produksi Gerabah Banyumulek
V
incentelli (2006), peneliti kajian tentang jender dan gerabah, yang telah melakukan penelitian hampir ke seluruh benua di dunia, menyebutkan bahwa dalam tradisi Timur, empat dari lima masyarakat pengrajin gerabah adalah perempuan. Menurut Vincentelli, peran perempuan dalam disain sebuah karya seni sering diabaikan, sehingga banyak penelitian tentang karya seni termasuk gerabah, yang bias jender. Vincentelli juga banyak mengkritisi hasil-hasil penelitian ahli sejarah dari Barat yang menggunakan perspektif maskulin. Menurut ahli sejarah Barat, peran perempuan Barat dalam produksi gerabah hanya sebatas dekorasi saja sedangkan laki-laki mengambil peran sebagai disainer. Ahli sejarah dari Barat juga mempercayai bahwa aktor utama dalam proses produksi gerabah adalah lakilaki. Namun pernyataan tersebut dibantah oleh Vincentelli yang telah melakukan penelitian mengenai gerabah di beberapa negara di Eropa, Afrika, dan Asia. Menurutnya para pembuat gerabah di berbagai belahan dunia yang ditemuinya kebanyakan adalah perempuan. Dalam teknik produksi gerabah pun, terdapat perbedaan metode antara pengrajin laki-laki dan perempuan. Menurut para ahli sejarah Barat, laki-laki membuat gerabah dengan menggunakan dudukan berputar (wheels), sedangkan perempuan tetap menggunakan teknik tradisional yaitu menggunakan tangan (hand-building). Saat ini perempuan pengrajin gerabah tetap resisten terhadap metode ‘maskulin’ dan lebih memilih mengunakan tangan dan teknologi rendah untuk menjaga sebuah tradisi. Pada kenyataannya teknik pem buatan gerabah secara tradisional justru sangat diminati oleh para wisatawan. Tidak hanya produk hasil yang dijual namun proses pembuatan gerabah dapat dikemas sebagai wisata atraksi yang menjadi daya tarik wisatawan. Demonstrasi proses pembuatan gerabah dengan teknik tradisional dapat menjamin keaslian suatu produk (authenticity of product) (Vincentelli, 2006). Dalam proses produksi gerabah, perempuan banyak terlibat dalam aktivitas produktif antara lain: pembentukan gerabah
dari adonan tanah liat, membentuk gerabah, pembakaran gerabah, pengecatan dan finishing, kontrol kualitas dan penjualan. Sementara pekerjaan pendukung dalam pembuatan gerabah seperti membakar dan menghias (melukis dan mengukir) gerabah, menyediakan bahan baku, dan menjual gerabah biasanya dibantu oleh tenaga lakilaki. Berikut ini penjelasan secara singkat mengenai peran perempuan dalam proses pembuatan gerabah di desa Banyumulek. a.
Persiapan Tanah Liat
Tanah liat sebagai bahan baku pembuatan gerabah dapat ditemukan di sekitar desa. Perempuan pengrajin gerabah biasanya menggali tanah liat dengan menggunakan tangan dan kemudian membawanya ke rumah dengan meng gunakan keranjang rotan. Keranjang rotan berisi tanah liat dibawa dengan cara meletakkannya di atas kepala atau mengaitkannya di kedua ujung sebuah galah (dipanggul). Dalam bahasa lokal tanah liat sebagai bahan baku gerabah disebut “tanak malit”. Warna tanah liat merupakan salah satu dasar dalam mengklasifikasikan jenis gerabah yang dihasilkan. Tanah liat bahan baku gerabah bisa berwarna merah, kuning, hijau atau hitam. Warna dasar tanah liat akan menghasilkan warna yang berbeda pada gerabah ketika melalui tahap pembakaran. Menurut informasi ahli geologi, gerabah Banyumulek memiliki keunikan tersendiri dibandingkan produk sejenis yang dihasilkan oleh sentra produksi lain. Hal tersebut disebabkan karena keunikan jenis bahan baku tanah liat yang digunakan. Bahan tanah liat gerabah Banyumulek memiliki tingkat penyusutan yang lebih rendah sehingga lebih cepat matang dalam pembakaran. Bahan baku tanah liat banyak ditemui di daerah sekitar desa seperti di ladang atau kadang juga ditemukan di sawah. Menurut perempuan pengrajin gerabah, tanah liat terbaik adalah tanah liat yang berasal dari lapisan dalam tanah yang terletak pinggir bukit-bukit kecil. Pada umumnya, lahan-lahan tempat penggalian tanah liat tersebut merupakan kepemilikan seseorang. Para pengrajin tidak bisa dengan leluasa mengambil tanah liat di lahan milik orang lain. Terlebih lagi jika musim hujan datang, dimana lahan-lahan 121 | P a g e
tersebut biasanya ditanami oleh padi, para pengrajin akan mencari alternatif lokasi tanah liat lainnya. Dalam menemukan sumber tanah liat baru, para pengrajin harus memiliki kemampuan dalam ‘menilai’ jenis tanah liat. Pengalaman dan pengetahuan yang didapat secara turun temurun merupakan modal dasar bagi para pengrajin. Pengujian tanah liat tidak hanya melihat tekstur dan kepadatan tanah saja namun tidak jarang pengujian dilakukan dengan melihat warna, mencium bau tanah, bahkan mengecap rasa tanah liat tersebut. Sejalan dengan mulai berkurangnya sumber tanah liat dan keterbatasan akses perempuan pengrajin dalam memperoleh tanah liat, maka saat ini pola pembelian tanah liat kepada pemilik lahan dan kemudian diantarkan langsung ke rumah pengrajin banyak dijumpai. Menurut salah satu sumber menyebutkan, para pengrajin membayar kepada pemilik lokasi tanah sekitar Rp 300.00 per satu mobil pick up. Biasanya tanah liat tersebut berasal dari daerah pegunungan Sasak, sebelah selatan pelabuhan Lembar, berjarak sekitar 10 kilometer dari desa Banyumulek. Satu mobil pick up tanah liat tersebut cukup untuk memproduksi gerabah selama satu hingga dua minggu. b.
Proses Pembentukan Gerabah
Sebelum melakukan proses penga dukan bahan dasar, yang terdiri dari tanah liat, pasir, dan air, tanah liat terlebih dahulu mengalami proses perendaman selama 2 – 3 hari. Proses perendaman itu disebut sebagai sistem basah. Proses ini berguna untuk menyaring tanah liat dari kerikil-kerikil kecil yang masih menempel pada tanah liat. Sementara menunggu rendaman tanah liat selesai, pasir disaring untuk menghasilkan pasir yang benar-benar halus. Pasir sebagai bahan campuran tersebut biasanya diambil dari pinggiran sungai yang melintas sekitar 300 meter dari desa Banyumulek (Kali Babakan). Salah satu keunggulan gerabah Banyumulek juga terdapat pada jenis pasir yang digunakan. Kandungan pasir kuarsa yang cukup tinggi, koalin yang bagus, dan juga dilengkapi dengan sertifikat tidak beracun, sehingga aman sebagai tempat menyajikan makanan (Bappeda, 2011). Setelah proses perendaman selesai dan pasir telah disaring, kedua bahan tersebut 122 | P a g e
dicampurkan/diuli hingga menghasilkan bahan dasar gerabah yang mudah dibentuk sesuai dengan desain yang diinginkan. Dalam proses pembentukan gerabah, pengrajin Banyumulek masih menggunakan peralatan sederhana seperti: sepotong bambu, botol kecil bekas, alat pemutar yang terbuat dari kayu, kulit kelapa, kain, dan pisau sabit yang bekas. Tanah liat yang siap dibentuk diletakkan di kayu putaran kemudian dibentuk dengan tangan oleh pengrajin. Teknik pembuatan gerabah Bayumulek sedikit berbeda dengan gerabah lainnya. Pembentukan gerabah dilakukan sedikit demi sedikit dengan menam bahkan/menempelkan tanah liat berupa gulungan (coiled). Setelah dibentuk dengan tangan kemudian permukaan gerabah dihaluskan dengan menggunakan sepotong bambu/kayu dan sebilah sabit bekas hingga pori-pori permukaan gerabah benar-benar halus. Setelah digosok dengan batu atau botol bekas, gerabah lalu dibiarkan kering selama 5 – 7 hari sampai benar-benar kering dan siap untuk pembakaran. c. Pembakaran Gerabah Secara teknis, proses pembakaran gerabah baru dapat dilakukan jika gerabah dalam kondisi benar-benar kering. Keunggulan gerabah Banyumulek juga dapat dilihat dari proses pembakarannya. Para pengrajin gerabah Banyumulek tetap mempertahankan teknik pembakaran tradisional, yaitu dengan menggunkan jerami dan kayu bakar (tenunuq lendang) yang banyak dilakukan di tengah kebun. Proses pembakaran membutuhkan bahanbahan seperti: kayu bakar, serabut kulit kelapa, jerami/daun bambu kering, minyak tanah dan batu bata yang sudah pecah sebagai alas untuk meletakkan gerabah. Teknik pembakaran seperti ini memiliki keuntungan diantaranya adalah kemudahan dalam mengeluarkan gerabah dari tungku serta keleluasan dalam mewarnai atau menambah hiasan/ornamen pada gerabah saat pembakaran sedang berlangsung. Sebelum dibakar, gerabah terlebih dahulu dilumuri dengan sejenis campuran cairan yang terbuat dari tanah liat, okar, dan minyak solar. Cairan tersebut bertujuan untuk menghaluskan dan membuat permukaan gerabah menjadi mengkilap. Setelah dilumuri cairan tersebut gerabah
dikeringkan 4 – 5 jam sebelum dimasukkan ke dalam tungku pembakaran. Proses pembakaran gerabah biasanya berlangsung sekitar 3 – 4 jam. Sambil proses pem bakaran berlangsung, proses pewarnaan juga dilakukan oleh pengarajin. Para pengrajin gerabah Banyumulek melakukan dua teknik pewarnaan yang alami. Pertama, pewarnaan menggunakan bahan dasar kulit asam yang disemprotkan ke permukaan gerabah disaat gerabah dalam kondisi panas. Pewarnaan dengan menggunakan kulit asam ini merupakan salah satu kekhasan produk gerabah Banyumulek. Warna yang dihasilkan nantinya spesifik berupa bercak-bercak kecoklatan pada permukaan gerabah. Kedua, pewarnaan dengan meng gunakan rumput kering atau bekas gergaji. Caranya dengan menggulingkan gerabah yang panas di atas rumput kering atau bekas gergaji beberapa menit. d. Finishing Setelah melalui proses pembakaran, gerabah pun masuk pada tahap penyelesaian (finishing). Tahap ini me rupakan tahap penting untuk mengubah tampilan gerabah yang masih polos dan kasar menjadi gerabah yang menarik dan bernilai seni tinggi. Oleh karena itu, biasanya para pengrajin secara kreatif melakukan inovasi-inovasi dalam ornamenornamen gerabah. Teknik dekorasi dengan menempelkan tanah liat pada permukaan gerabah merupakan salah satu teknik lama yang masih digunakan oleh pengrajin gerabah Bayumulek. Masyarakat setempat menyebutnya dengan istilah “tenempel”. Adapun beberapa teknik ornamen yang adalah: ornamen ukir kerik, ornamen tempel kulit telur, ornamen tempel pasir, ornamen anyaman rotan (ketak lombok), dan ornamen tempel kain/batik. Sedangkan motif-motif gerabah khas Banyumulek banyak dipengaruhi oleh motif suku Sasak yang merupakan suku asli masyarakat Lombok. Berbeda dengan produksi gerabah desa Masbagik dan Penunjak yang bermotifkan binatang laut dan motif orang, gerabah Banyumulek banyak menampilkan motif-motif tanaman di permukaan gerabah. Perempuan pengrajin gerabah dinilai sebagai pembawa identitas budaya di era gobalisasi saat ini. Mereka beradaptasi
dengan dinamis terhadap kondisi dan kesempatan yang baru melalui pameranpameran, demonstrasi dan bisnis pariwisata (Vincentelli, 2006). Hal tersebut didorong oleh permintaan pasar pariwisata yang menuntut pengrajin gerabah untuk melakukan diversifikasi produk secara kreatif. Pada gerabah Banyumulek, perubahan tersebut dapat terlihat dari bentuk, motif, warna dan ornamen-ornamen gerabah yang semakin variatif. Contohnya ornamen anyaman rotan yang menghiasi permukaan gerabah Banyumulek yang hingga kini sangat diminati oleh konsumen. Pada awalnya gerabah Banyumulek tidak menggunakan ornamen tersebut sebagai salah satu ciri khas produk mereka. Ide melapisi gerabah dengan anyaman rotan diyakini oleh masyarakat pengrajin terinspirasi dari botol minuman petani tradisional setempat yang terbuat dari rotan kering. Melalui intervensi program pelatihan dari pemerintah daerah, akhirnya masyarakat pengrajin mulai me ngaplikasikan anyaman rotan di setiap produk gerabah yang mereka produksi. Saat ini, geramah dengan ornamen anyaman rotan menjadi salah satu ciri khas gerabah Banyumulek. Jika menyaksikan pembuatan gerabah secara langsung dapat dipahami mengapa pengrajin pada zaman dulu bahkan hingga kini di beberapa kebudayaan, dipercaya sebagai tukang sulap (McKinnon, 1996). Berawal dari setumpuk tanah yang tidak berbentuk dalam sekejap dapat berubah menjadi bentuk pot yang indah. Sejarahnya dahulu, perempuan di desa Banyumulek berprofesi sebagai penenun. Hanya segelintir kelompok masyarakat yang memiliki keahlian sebagai pembuat gerabah. Seorang perempuan yang tidak memiliki leluhur (keturunan) seorang pengrajin gerabah tidak akan menjadi seorang pengrajin gerabah, karena menjadi seorang pengrajin gerabah diyakini diperoleh melalui garis keturunan keluarga yaitu dari seorang ibu kepada anak perempuannya. Namun demikian, seorang pengrajin tidak dapat bekerja sendirian. Proses pembuatan gerabah yang melalui tahapan yang banyak membutuhkan bantuan pekerja lainnya. Biasanya seluruh anggota keluarga ikut membantu proses pembuatan gerabah. Bagi pekerja anak-
123 | P a g e
anak, biasanya upah yang diberikan berupa makanan, baju dan biaya sekolah. Hubungan satu keluarga pengrajin dengan tetangga pengrajin yang berdekatan cukup unik. Mereka biasanya mengenal spesialisasi produk. Tingkat keahlian mereka dalam membuat berbagai jenis gerabah (gerabah besar,sedang, dan kecil) berbeda-beda antar kelompok pengrajin. Sebuah keluarga pengrajin tidak akan membuat tipe produk yang sama dengan keluarga pengrajin lainnya. Misalnya seorang pengarajin memproduksi gentong, vas dan ceret maka keluarga yang lain akan memproduksi gerabah bentuk lain. Kalaupun harus memproduksi tipe yang sama biasanya spesialisasi dilakukan berdasarkan ukuran produk. Gerabah Banyumulek secara luas dapat diterima baik oleh pasar lokal maupun internasional. Hal ini terlihat dari meningkatnya permintaan gerabah Banyumulek awal tahun 1990-an. Gerabah pada masa itu menjadi konsumsi hotel berbintang, majalah-majalah disain dan seni, serta dijadikan ikon promosi pariwisata Indonesia di luar negeri. Puncaknya ketika gerabah Ceret Lombok dipamerkan dalam ajang bergengsi Fletcher Challenge International Ceramics Exhibition pada tahun 1993. Pada ajang itu, gerabah Lombok adalah satu-satunya kerajinan gerabah desa se-Asia yang dipamerkan. Sejak saat itu kerajinan gerabah yang dulunya dipandang sebagai pekerjaan dengan ‘tangan kotor’, bertransformasi menjadi status sosial yang baru. Pendapatan pengrajin gerabah yang meningkat menjadikan profesi ini dipandang lebih prestisius oleh masyarakat desa selain pengrajin. Khususnya bagi perempuan pengarajin gerabah, status sosial sebagai pengrajin kecil kemudian berubah drastis ketika proses pembuatan gerabah mulai ‘dikonsumsi’ oleh turis, fotografer dan pembuat film dalam dan luar negeri. Menurut para pengrajin, meningkatnya permintaan gerabah secara langsung meningkatkan perekonomian keluarga masyarakat desa setempat yang berdampak pada banyaknya anak-anak dari keluarga pengrajin yang bersekolah, hutang-hutang keluarga terlunasi dan secara jelas terlihat dari banyaknya rumah-rumah yang direnovasi menjadi rumah permanen. Dalam hal ini kerajian gerabah berperan sebagai 124 | P a g e
mesin pendorong terjadinya mobilitas sosial dalam masyarakat Lombok, khususnya Desa Banyumulek. D. Sistem Pemasaran Banyumulek
D
Gerabah
di
ahulu sistem pemasaran gerabah masih bersifat tradisonal dengan jangkauan pemasaran yang tidak luas. Pedagang keliling adalah bagian dari masyarakat usaha gerabah yang memiliki peran cukup penting dalam sebuah jaringan pemasaran. Pengrajin gerabah menjual hasil produksi kepada pedagang keliling dan kemudian pedagang keliling menjajakannya dengan cara memikul gerabah berjalan kaki di sekitar desa terdekat. Tawar menawar harga terjadi antara pengarajin dengan pedagang. Biasanya pedagang dengan mudah dapat menekan harga dengan menggunakan alasan kualitas gerabah yang kurang baik saat menemukan sedikit retakan atau permukaan gerabah yang tidak mulus. Jika kesepakatan harga telah tercapai maka pedagang akan menyusun gerabah-gerabah dengan hati-hati ke dalam keranjang, menyeimbangkannya di kedua keranjang, lalu memikulnya dengan berjalan kaki. Pedagang keliling ini akan menjajakan gerabah sampai beberapa hari hingga semua gerabah terjual. Menurut mereka hal tersebut lebih menguntungkan dibanding melakukan perjalanan ke pasar dengan resiko kemungkinan pecah/retak pada gerabah ketika sampai di pasar. Pedagang keliling kebanyakan adalah suami-suami pengrajin gerabah atau warga desa laki-laki lainnya. Sedangkan bagi perempuan pengrajin yang hanya menggantungan hidup dari usaha membuat gerabah, serta tidak memiliki tenaga kerja keluarga yang dapat membantu melakukan proses pembakaran sendiri, biasanya memilih untuk menjual gerabah kepada pedagang dalam kondisi belum dibakar (setengah jadi). Tentu saja dengan harga yang lebih rendah dibanding dengan gerabah yang sudah melalui proses pembakaran. Sejalan dengan waktu terjadi perubahan situasi pemasaran di tiga desa sentra produksi gerabah (Banyumulek, Penujak, dan Masbagik). Awal tahun 1980an pun menjadi tahun bersejarah bangkitnya perekonomian Lombok melalui produksi gerabah. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari
intervensi pemerintah melalui berbagai program pembimbingan seperti pelatihan, penguatan modal, dan promosi bagi pengrajin gerabah maupun para penggerak usaha gerabah lainnya. Strategi pemasaran yang dibuat sejalan dengan penguatan sektor pariwisata di pulau Lombok dinilai tepat. Hal tersebut berimbas pada bergairahnya komoditas-komoditas lain selain gerabah, misalnya kain tenun, anyaman rotan, ukiran kayu dan lain sebagainya. Perubahan yang sangat drastis terlihat di desa Banyumulek. Pada akhir tahun 1980, suasana desa Banyumulek sangat tenang dan hanya ramai di saat hari pasar saja. Tidak ada aktivitas yang terlihat menonjol selain hilir mudik pedagang keliling yang menjajakan gerabah dengan berjalan kaki atau menggunakan kereta kuda. Namun saat ini, kondisi desa tersebut tidak demikian lagi. Desa Banyumulek telah bertransformasi menjadi desa yang sibuk dengan hilir mudik arus mobil dan truk pengangkut gerabah ke pulau Bali dan Jawa. Selain itu permintaan gerabah dari luar negeri pun cukup banyak terutama dari negara-negara di Eropa dan Amerika. Tokotoko seni (art shops) dan galeri pun telah dibangun di sepanjang jalan masuk utama. Tidak jarang kita menemukan wisatawan baik domestik maupun manca negara yang berkunjung ke desa ini untuk menikmati wisata baru yang atraktif yaitu menyaksikan pembuatan gerabah langsung dari pengrajin gerabah. Gerabah Banyumulek telah berperran sebagai menjadi menggerak ekonomi utama desa Banyumulek. E. Program Pemberdayaan Perempuan Pengrajin Gerabah
S
alah satu studi tentang peran perempuan yang bekerja pada produksi gerabah menyebutkan bahwa faktor utama yang mendorong perempuan bekerja pada usaha kerajinan gerabah adalah faktor ekonomi. Semakin sempitnya lahan pertanian dan berkurangnya kepemilikan lahan membuat pertanian dinilai tidak mampu lagi menjadi sumber mata pencaharian pokok keluarga. Oleh karena itu dibutuhkan kegiatan ekonomi di luar pertanian yang dapat menopang perekonomian keluarga seperti industri rumah tangga atau industri kecil.
Mengingat pekerjaan di sektor pertanian yang bersifat musiman, maka memungkinkan bagi keluarga petani untuk melakukan kegiatan non pertanian untuk menambah penghasilan keluarga. Walaupun dalam kasus Desa Banyumulek para perempuan pengrajin bukan berasal dari keluarga petani namun dorongan ekonomi tetap menjadi alasan utama perempuan bekerja sebagai pengrajin gerabah. Faktor alokasi waktu pun menjadi alasan yang rasional bagi perempuan untuk menggeluti usaha ini. Perempuan dinilai memiliki keleluasaan dalam penggunaan alokasi waktu karena peran domestik yang dimiliki. Para perempuan pengrajin bekerja setelah selesai melakukan pekerjaan rumah tangga. Rata-rata mereka bekerja 7 – 8 jam sehari, baik yang bekerja di rumah sendiri maupun bekerja di tempat pengusaha gerabah yang masih kerabat. Dari wawancara dengan perempuan pengrajin gerabah, mereka menyatakan bahwa membuat gerabah adalah kegiatan yang menyenangkan dan tidak merasa terbebani. Hal tersebut karena selain mendapatkan penghasilan, mereka bekerja tidak terikat dengan waktu dan tidak meninggalkan tugas-tugas sebagai ibu rumah tangga. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Berata (2011), menunjukkan bahwa dalam pengembangan industri kerajinan gerabah di Pulau Lombok, ibu rumah tangga memegang peranan yang paling dominan, baik dilihat dari waktu yang dicurahkan maupun keterlibatannya pada seluruh rangkaian kegiatan proses produksi. Pembahasan penelitian ini dititikberatkan pada pola pembinaan, peluang pengembangan industri kerajinan gerabah, peran yang dilakukan beberapa pihak swasta seperti Lombok Craft Project, proses produksi, analisis biaya dan pendapatan industri kerajinan gerabah saat itu, serta analisis ekonomi peran ibu rumah tangga pada industri kerajinan gerabah. Potensi sumber daya kaum perempuan di desa Banyumulek disadari merupakan modal dasar peningkatan perekonomian masyarakat setempat. Namun mayoritas perempuan di desa ini memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hal tersebut berdampak pada kemampuan yang sangat terbatas dalam manajemen usaha, akses terhadap informasi harga, dan 125 | P a g e
ketrampilan bernegosiasi. Hal ini dipotret dengan baik oleh pemerintah derah dan beberapa NGO dari luar negeri. Pada tahun 1988, terbentuk kerja sama antara pemerintah New Zealand dengan Pemerintah Indonesia dalam hal peningkatan kapasitas perempuan pengrajin gerabah di Lombok yang dikenal dengan Lombok Craft Project (LCP). Program pemberdayaan pengrajin gerabah ini tidak hanya mengucurkan pendanaan/modal saja namun juga melakukan pelatihan-pelatihan dan pendampingan baik dari aspek teknis maupun pemasaran. Melalui pelatihan itu terjadi perubahan orientasi jenis gerabah yang diproduksi. Jika sebelumnya masih memproduksi aneka barang rumah tangga tradisonal seperti tempat air, tempat menyimpan makanan, wadah menyajikan makanan dan lain-lain, maka saat ini terjadi peningkatan ragam dan kualitas prosuk gerabah yang menyesuaikan dengan selera pasar. Melihat perkembangan produksi yang meningkat, melalui LCP kemudian didirikan Lombok Pottery Center (LPC) sebagai saluran komersial karya gerabah. Pada tahun 2000, penjualan melalui LPC mencapai Rp. 2,5 milyar dengan keuntungan bersih Rp 1,7 milyar. Nilai ekspor diperkiraan pada tahun yang sama menacapai US$ 1.5 juta. Sebagian keuntungan disalurkan ke bagian pengembangan masyarakat untuk mendanai kegiatan pembangunan, operasional dan staf termasuk distribusi bonus untuk para pengrajin dan staf sebagai pemghargaan atas kinerja merka yang baik.( www.yskk.org/program/ekonomi-kerakyatan /pengembangan-koperasi-pengrajin-gera bah) Program LCP yang didanai oleh pemerintah New Zealand dinilai berhasil meningkatkan pemberdayaan perempuan pengrajin gerabah di Lombok. Oleh karena itu dipandang perlu untuk melembagakan program ini menjadi bentuk wadah dengan status hukum yang baru. Diharapkan status hukum yang baru ini berbasis masyarakat dan mengarah pada keberlanjutan (sus tainability) dan kemandirian. Akhirnya dibentuklah program pengembangan koperasi perempuan pengrajin gerabah. Program Pengembangan Koperasi Perempuan Pengrajin Gerabah merupakan program yang dirancang untuk 126 | P a g e
mempersiapkan masyarakat (pengrajin gerabah) agar mampu mengelola aktivitas yang telah diinisiasi oleh LCP secara mandiri dan berkelanjutan lewat pem bentukan koperasi dan perseroan terbatas (PT). Pemberdayaan perempuan peng rajin gerabah sepertinya membuahkan hasil. Selain hasil perekonomian masyarakat yang meningkat, munculnya kader-kader perem puan yang aktif mendorong pemberdayaan kaumnya. Salah satunya adalah ibu Nurul Aini. Ia adalah salah satu warga desa Banyumulek yang memiliki dedikasi tinggi dalam upaya meningkatkan pemberdayaan perempuan desa Banyumulek, khususnya dalam usaha gerabah. Ibu Aini mengambil peran sebagai penampung produk kerajinan gerabah di desa Banyumulek. Bukan sekedar menampung hasil produksi peng rajin gerabah, bu Aini juga melakukan pembimbingan melalui program pember dayaan, pelatihan, dan pendidikan bagi perempuan pengrajin. Bu Aini juga memprakarsai berdirinya sebuah koperasi simpan pinjam yang diberi nama Al Madiah. Anggota koperasi tidak dapat meminjam modal perorangan namun harus berbentuk kelom pok tanggung-renteng yang beranggotakan 10-15 orang. Sistem ini dinilai tepat untuk menumbuhkan rasa memiliki bagi setiap anggota koperasi. Selain itu dengan menerapkan sistem ini, kemungkinan kerugian koperasi yang disebabkan oleh tunggakan pinjaman anggota dapat terhindarkan karena kelompok merupakan penjamin utama. Hingga kini koperasi Al Madiah beranggotakan 135 orang anggota dan semuanya adalah perempuan. Belum berhenti sampai di sana saja, Bu Aini juga memiliki perhatian yang serius terhadap bidang pendidikan anak usia dini. Ia pun merintis berdirinya taman kanakkanak pada tahun 1993. Dengan bantuan dari Japan International Cooperation Agency (JICA) maka berdirilah gedung TK yang diberi nama Raudatul Anfal. Kebijakan sekolah yang unik terlihat dari keber pihakannya terhadap keluarga yang kurang mampu dalam hal pembiayaan. Uang sekolah terhitung murah hanya Rp 10.000/bulan bagi masing-masing siswa. Bagi keluarga siswa yang kurang mampu biaya tersebut boleh dicicil bahkan pihak sekolah pun menerima pembayaran dengan
menggunakan gerabah. Menurut pengurus sekolah, hal ini terbukti berhasil mendorong partisipasi siswa sekolah karena sebelumnya banyak ditemui anak-anak yang absen atau putus sekolah karena harus membantu pekerjaan orang tuanya di rumah. Kini usaha gerabah orang tua siswa tetap bisa berjalan dan anak-anak pun tetap bisa bersekolah. Menurut bu Aini yang juga mantan pengajar Madrasah Aliyah (MA), ia merasakan adanya ketimpangan jender dalam cara pandang masyarakat lokal terhadap profesi sebagai pengrajin gerabah. Masyarakat Lombok memandang bahwa pekerjaan sebagai pengarajin gerabah adalah pekerjaan perempuan. Jika ada suami yang membuat gerabah, maka masyarakat menjuluki dengan sebutan 1 banci . Cara pandang tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakseimba ngan pembagian kerja antara suami dan istri dalam sebuah keluarga pengarajin. Tugas suami hanya mengangkut gerabah dari lokasi penjemuran ke tungku pembakaran. Bu Aini bertekad untuk mengubah cara pandang masyarakat lokal dengan pendekatan dan pendampingan kepada setiap keluarga. Usaha pendampingan dan pendekatan tersebut tak jarang mengundang pertentangan dan cibiran masyarakat setempat. Namun dengan ketekunan dan kesabaran yang memakan waktu delapan tahun, baru sekitar tahun 1998 terlihat hasil perubahan cara pandang masyarakat. Hal ini terlihat dari keikutsertaan para suami dalam proses produksi gerabah. Beberapa proses produksi kini mulai dilakukan oleh kaum lakilaki seperti mencampur bahan baku, membuat gerabah, membakar, bahkan menganyam aksesoris juga ditangani para suami. Perubahan cara pandang ini menjadikan beban kerja pengrajin perempuan menjadi lebih ringan. Satu lagi hasil karya Bu Aini dalam hal edukasi masyarakat, yaitu masalah kesehatan lingkungan tempat tinggal. Tidak hanya mengurusi produksi gerabah, Bu Aini juga mengedukasi para pengrajinnya untuk 2
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ban·ci 1 a tidak berjenis laki-laki dan juga tidak berjenis perempuan; 2 n laki-laki yg bertingkah laku dan berpakaian sbg perempuan; wadam; waria.
memiliki lingkungan tempat tinggal yang bersih dan sehat. Dahulu para pengrajin melakukan kegiatan mandi, cuci, dan kakus di sungai. Bu Aini kemudian mengajari para pengrajin untuk menyisihkan sebagian penghasilan mereka untuk mendapatkan rumah yang sehat. Sekarang para pengarajin di bawah asuhan bu Aini sudah memiliki kamar mandi dan kakus keluarga sendiri. Bu Aini juga memberikan pinjaman dana untuk pembangunan fasilitas kamar mandi dan kakus bagi pengrajinnya. Sama halnya dengan kebijakan pembayaran uang sekolah di TK, pengrajin juga boleh melunasi pinjaman tersebut dengan gerabah yang mereka produksi. F. Potensi Pengembangan Gerabah Banyumulek
Kerajian
S
aat ini kondisi usaha gerabah Banyumulek tidak segemilang di awal tahun 1990-an. Kondisi perekonomian dunia yang mengalami krisis menjadikan permintaan ekspor gerabah ke luar negeri menurun drastis. Ditambah lagi kondisi keamanan dalam negeri yang satu dekade lalu dipenuhi oleh teror bom di beberada kota di Tanah Air, menjadikan sektor pariwisata terpuruk karena menurunnya jumlah kunjungan wisatawan. Misalnya saja pasca kejadian bom Bali pada bulan Oktober 2002 yang seketika mematikan usaha pariwisata di Bali dan Lombok, telah menurunkan hampir 50 persen penjualan hasil industri pariwisata. Padahal sebelum ledakan bom tersebut industri kerajinan gerabah Banyumulek dan daerah sentra lainnya di pulau Lombok mampu menyuplai 75 persen produknya ke pulau Bali dan 25 persen di ekspor ke luar negeri. Walaupun diakui oleh beberapa pengarajin, kondisi saat ini belum benarbenar kembali seperti tahun-tahun sebelumnya, namun usaha untuk mem bangkitkan perekonomian masyarakat melalui gerabah mulai kembali dirintis. Bekal program pembimbingan dan bantuan dari pemerintah New Zealand tetap digunakan baik yang berupa modal fisik maupun modal skill dari para pengarajin dan pengusaha gerabah. Selain itu keseriusan pemerintah untuk memajukan kembali industri gerabah terlihat melalui program-program yang dicanangkan. Diantaranya menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor unggulan 127 | P a g e
daerah melalui program Visit Lombok Sumbawa 2012. Program ini menargetkan kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara mencapai 1 juta orang di tahun 2012. Salah satu pendorong meningkatnya kunjungan wisatawan ke Lombok adalah dengan dibukanya Bandara International Lombok pada tahun 2011. Sentra kerajinan gerabah Banyumulek saat ini dirancang sebagai destinasi wisata atraktif yang menampilkan bentuk wisata dengan memberikan pengalaman langsung membuat gerabah di lokasi pengrajin. Bentuk wisata baru ini mendapat respon positif dari berbagai kalangan terutama bagi para pelaku usaha sentra. Wisatawan yang berkunjung merupakan pasar yang potensial tidak hanya bagi pengrajin dan pemilik usaha, namun secara nyata juga dapat menghidupkan perekonomian setempat. Selain itu pemerintah daerah juga aktif memperkenalkan produksi gerabah Lombok melalui pameran-pameran baik di dalam maupun di luar negeri. Salah satu usaha penguatan produksi juga dilakukan dengan cara mendaftarkan hak paten produk gerabah lombok, termasuk gerabah Banyumulek. G. Penutup
P
erempuan dan gerabah di desa Banyumulek merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kerajinan gerabah bagi kaum perempuan bukan hanya sekedar keahlian yang diperoleh melalui garis keturunan, namun juga sebagai identitas sosial dan kultural masyarakat Banyumulek yang dinamis dan berkesinambungan. Kedinamisan dan kesinambungan kerajinan gerabah Banyumulek terlihat jelas dari transformasi fungsional gerabah yang berawal dari pemenuhan kebutuhan alat rumah tangga, berubah menjadi komoditas pasar hingga di ekspor ke manca negara. Perubahan seni kerajinan gerabah tersebut secara langsung dirasakan berpengaruh terhadap aspek ekonomi, sosial dan budaya lokal. Perubahan yang terjadi juga dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan pengetahuan seni itu sendiri. Seperti dikemukakan Bakker (1983), perubahan itu berasal dari pengalaman
128 | P a g e
baru, pengetahuan baru, teknologi baru dan akibatnya dalam penyesuaian cara hidup dan kebiasaan pada situasi baru. Namun di sisi lain, seni gerabah juga mengandung nilai kontinuitas. Kontinuitas berarti keberlangsungan kebiasaan-kebiasaan la ma yang dipertahankan atau dipelihara oleh tradisi sosial yang ditanamkan pada generasi penerus melalui sosialisasi, renovasi dan inovasi (Bakker, 1983). Pandangan masyarakat lokal bahwa membuat gerabah adalah pekerjaan perempuan secara tidak langsung juga menjadi tantangan dalam pengembangan usaha gerabah. Cara pandang masyarakat lokal yang bias jender terkait beban kerja, menimalisir campur tangan kaum laki-laki dalam proses pembuatan gerabah. Kaum suami yang ikut membuat gerabah dipandang sebagai laki-laki yang kurang maskulin oleh masyarakat karena mengerjakan pekerjaan perempuan. Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan yang memakan waktu lama untuk merubah cara pandang masyarakat lokal bahwa kerajinan gerabah bukan hanya domain perempuan, laki-laki pun dapat berkontribusi di dalamnya. Hal ini menjadi penting, menginggat jenis pekerjaan pada setiap proses pembuatannya membutuhkan tenaga yang cukup besar. Dengan mendapat bantuan dari tenaga kerja laki-laki dapat meringankan beban perempuan pengrajin dalam berproduksi. Penguatan terhadap kapasitas perempuan pengrajin juga harus tetap diagendakan. Hal ini karena pelaku utama usaha kerajinan gerabah adalah perempuan. Strategi yang paling umum dilakukan adalah menempatkan perempuan secara langsung sebagai penerima manfaat utama (Holmes dan Jones, 2010). Bentuk bimbingan langsung kepada perempuan pengrajin berupa pelatihan teknis pembuatan, desain, dan pemasaran dinilai sukses meningkatkan kapasitas perempuan di desa Banyumulek. Selain itu hasilnya juga terlihat dari munculnya kader-kader perempuan yang memiliki jiwa wirausaha dan mampu untuk menjadi leader dalam pemberdayaan perempuan. Dengan perempuan yang berdaya dapat menjadi agen ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Daftar Pustaka Atmadja, M.K. 1991. Perjalanan Seni Rupa Indonesia: Dari Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini. Bandung. Panitia Pameran KIAS Bakker, SJ. 1983. Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar. Jakarta. Kanisius. Berata, M dan Muka, P. 2011. Gerabah Banyumulek Satu Tinjauan Budaya. Laporan Penelitian ISI Denpasar, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional, 2010. http://repo.isi-dps.ac.id/756/1/banyumulekbab1.pdf. (diakses tanggal16 September 2014) Holmes dan Jones, 2010. Rethinking Social Protection Using A Gender Lens. Working paper no. 320. London. ODI. Kartodirdjo, Sartono dkk,. 1997. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid I. Jakarta. Depdikbud. McKinnon, Jean. 1996. Vessels of Life: Lombok Earthenware. Bali. Saritaksu. Mudzhakar, Antho, dkk. 2001. Wanita Dalam Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press. Soedarso. 2006. Trilogi Seni: Penciptaan, Estetika, dan Kegunaan Seni . Yogyakarta. BP ISI Soegondho, Santoso. 1995. Tradisi Gerabah di Indonesia: Dari Masa Prasejarah Hingga Masa Kini . Jakarta. Himpunan Keramik Indonesia Soetrisno, Loekman. 1997. Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan. Yogyakarta. Kanisius. Soekanto, Soerjono. 1983. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta. Rajawali. Sukardi, Lalu. 1997. Analisis Ekonomi Peran Ibu Rumah Tangga Pada Industri Kerajinan Gerabah di Pulau Lombok. Bogor. Institute Pertanian Bogor. Vincentelli, Moira. 2006. Women Potters: Transforming Tradition. Rutgers University Press. New Jersey. USA. Internet www.jurnalperempuan.org/memande-kegiatan-ekonomi-perempuan-lombok.html www.yskk.org/program/ekonomi-kerakyatan/pengembangan-koperasi-pengrajin-gerabah/
129 | P a g e
PORNOGRAFI DALAM EKSPRESI DAN APRESIASI SENI RUPA (TINJAUAN ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS DAN AKSIOLOGIS) Zulkifli Fakultas Bahas a dan S eni Unibersitas Negeri Medan
ABSTRAK Dalam ekspresi dan apresiasi seni rupa, pornografi berkembang sejalan dengan kebebasan senimannya. Secara epistemologis pornografi sudah ada semenjak seni rupa prasejah atau primitif, sampai perkembangan seni rupa kontemporer di era postmodern sekarang ini. Dalam realitas sosial dan budaya beberapa kelompok masyarakat di Indonesia, kehidupan yang bernuansa pornografi juga berkembang dan dipertahankan. Oleh sebab itu sulit untuk mengeneralisasikan pornografi dalam pemahaman yang terbatas, karena banyak variabel yang mesti dipertimbangkan, apalagi untuk merumuskannya dalam bentuk undang-undang. Oleh sebab itu, permasalahan ini harus dilihat secara holistik dan proporsional. Dalam aktivitas kesenirupaan, keselarasan antara kebebasan estetika dengan tanggung jawab moral dan etika harus tetap dijaga.
Kata Kunci: Pornografi, Ekspresi Seni Rupa, Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis
PENDAHULUAN Menurut Undang-Undang Pornografi tahun 2008, pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunika si dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat 1. Definisi dari rumusan Undang-Undang ini ditanggapi secara debatable oleh masyarakat. Karena apa yang disebut sebagai pornografi masih bersifat debatable, sangat terbuka untuk dibahas dalam berbagai pers pektif keilmuan, khususnya budaya (dalam pengertian etika dan moral), menyebabkan pernyataan undang-undang ini tidak mudah dipahami oleh berbagai kalangan. Banyak resistensi muncul semenjak rancangan undangundang diwacanakan sampai akhirnya diundangkan. Konsekuensi dari kelahiran undang-undang ini semakin nyata ketika diterapkan, digunakan s ebagai das ar untuk menyatakan suatu aktivita s masyarakat dinilai sudah bersifat pornografi dan dianggap melanggar undang-undang, misalnya menganulir karya seni rupa yang akan dipamerkan pada suatu ajang pameran, atau membatalkan rencana pameran atau pertunjukan panggung kes enian. Tidak mudah untuk m engkategorisasikan aktivitas masyarakat dalam pemahaman pornografi atau pornoaksi, sulit menggeneralisasikannya, karena berkaitan dengan perbeda an nilai-nilai; agama, budaya, etika dan adat serta kebiasa an masyarakat. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki perbeda an dalam menanggapi dan memahami bagian-bagian tubuh manusia yang 1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
menjadi sumber hasrat, hawa nafsu dan sumber tafsir pornografi. P ada masyarakat Bali misalnya, telanjang dada dianggap tidak ada masalah, karena dari dulu perempuan Bali sudah terbiasa hanya menutup bagian bawah dada. P erempuan Bali, terutama masyarakat tradisinya tidak akan sungkan memperlihatkan bagian dadanya, dan kaum laki-lakinya juga tidak risih melihat perempuan lawan jenisnya telanjang dada. Kondisi seperti ini juga berlansu ng dalam ritual-ritual agama dan budaya masyarakatnya. Lebih jauh lagi bisa kita lihat pada masyarakat tradisional Papua, yang hanya menutupi sedikit bagian yang sangat vital. Laki-lakinya hanya menggunakan koteka, dan perempuan menggunakan penutup sebatas pinggang. Contoh lain dalam kehidupan masyarakat dari berbagai suku dan adat tradisional sangat banyak, dengan keberagam an bentuk dan kadar “pornografi”nya. Dengan demikian, karena realitasnya ada dalam kehidupan sehari-hari beberapa kelompok masyarakat, tentunya sulit untuk mengeneralisasikannya s ebagai pornografi. Di sisi lain, seandainya tempat dan situasi yang jadikan sebagai tolak ukur untuk membedakan pornografi dengan yang bukan pornografi, berkaitan dengan memperlihatlan bagian tubuh sensual ses eor ang, juga menimbulkan banyak persoalan. Secara umum masyarakat memahami bagian tubuh yang menimbulkan rangsangan seksual hanya boleh dibuka di ruang pribadi atau di tempat yang hanya ada kawan sejenis. Namun dalam kenyataannya banyak tempat-tempat yang dilegalkan dan sudah dianggap biasa bagi masyarakat dan khalayak umum untuk membuka dan memperlihatkan sebagian bes ar dari bagian tubuh, misalnya di kolam renang umum, atau pada kegiatan olah raga. P akaian perenang, pes enam, binaragawan, dan hampir semua caba ng oleh raga memperlihatkan bentuk tubuh dan bagian terbuka dari tubuh orangnya. Dalam olah raga pada prinsipnya sem akin minim pakaian atlitnya sem akin memberi keleluasa a n dan kelincahan untuk bergerak, dan semakin menguntungkan untuk berkompetisi, walaupun ditampilkan di depan umum. Dengan demikian tempat umumpun sudah biasa menampilkan nuans a “pornografi”. Keterbuka an lokasi dan suas ana ini semakin bebas ketika media televisi dan internet mem a syarakat. Tayangan TV dalam berbagai acara seolah sudah dikemas agar bisa mengekspose bagian-bagian tubuh laki-laki dan perempuan untuk dilihat oleh semua orang dari beragam usia. Pornografi semakin sulit dibatasi ketika kebebas an yang berkaitan dengan memperlihatkan bagian tubuh ini diekplorasi sebagai bagian dari ekspresi kesenian. Ata s nama kebebas an berekspresi seniman ingin beba s berkarya. Apa lagi kalau kita kaitkan pada perkembangan kesenian kontemporer dalam budaya posmodernisme. Sebagaimana dijelaskan; secara umum posmodernisme dalam seni rupa merupakan sebu ah konsep yang meragukan berbagai kepastian yang diakui dalam masyarakat kesenian, dengan pengertian lain postmodernisme membuka berbagai kemungkinan yang semula dianggap tidak masuk akal, mustahil atau tabu, dan merupakan pejuang keterbukaan yang radikal. 2 Dalam kebebas an seni rupa kontemporerpostmodern, menurut pemahaman di atas, kehadiran pornografi tidak menjadi mas alah. Lebih jauh, hampir s emua cabang kese nian bersinggungan dengan “rambu-rambu” yang dinyatakan dalam Undang-Undang Pornografi. P ada 2
Emmanuel Subangun, Syuga Derrida, Jejak Langkah Posmodernisme di Indonesia (Yogyakarta: CRI Alocita, 1994),80.
karya sastra masa lalu sampai sekarang banyak syair-syair yang menuliskan kata-kata bermakna jenis kelamin, bagian-bagian vital tubuh laki-laki dan perempuan, ketelanjangan, serta persetubuhan. Pada beberapa karya s a strawan, seperti; Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi A.G. atau Ayu Utami, hal ini bisa kita temui3. Ungkapan yang bernuas an pornografi dalam sastra berkaitan langsung dengan pengunaan bahas a secara prakmatis pada masyarakat. Dalam pergaulan dan interaksi sehari-hari masyarakat, mengucapkan kata atau bahas a yang berkaitan dengan nuans a pornografi ini sudah menjadi bagian dari humor, untuk membuat suas ana menjadi rileks dan tidak membosankan. Malah tidak jarang pembicara dalam forum formal juga meng unakan nuans a pornografi ini untuk membuat audiennya tidak bosan dan tidak mengantuk. P ada beberapa lirik lagu dari semua jenis musik, dan pada penampilan atau pergelaran seni tari tradisional sampai kontemporer ungkapan pornografi sudah biasa kita ketahui. Banyak lirik lagu pop, dangdut, dan jenis lainnya, terutama yang menggambarkan romatism e dalam kesenangan dan kegembiraan menggunakan kata-kata berkonotasi ketelanjangan dan persetubuhan. Penampilan tari, terutama tari kontemporer dan tari yang ditampilkan untuk acara hiburan malam ada yang penarinya tanpa menggunakan busana, alias bugil. Teater tradisional, atau pertunjukan lawak juga menggunakan hal-hal yang bersifat pornogarafi sebagai daya tariknya, misalnya bisa dilihat pada lawakan grup Srimulat. Dalam hal ini, artinya pornografi dan pornoaksi merupakan bagian dari konsep berkes enian yang sudah diakui adanya s em enjak dahulu, yang berkembang pada semua jenis dan ragam kesenian. Khusus dalam ekspre si dan apresiasi seni rupa, masalah pornografi memberikan warna pemaham an tersendiri. Dikaitkan dengan istilah pornografi s endiri, sebetulnya sangat identik dengan persoalan kesenirupaan, yaitu grafis atau grafika, yang di dalam arti kamus kurang lebih bermakna gambar. Dikaitkan dengan hakekat seni rupa sendiri yang bersifat abadi, dimana bentuk yang terungkap dalam s ebuah karya dari dulu sampai sekarang dapat diketahui untuk dipahami. Seni rupa tidak seperti seni yang lain, yang momennya bisa hilang ditelan waktu, kecuali ada rekamannya. Seni rupa yang apa bila disebut s ebagai pornografi, orang bisa menyimpan dan mengkoleksinya, museum bisa merawatnya, sehingga bagaimana visualisa si pornografi dalam seni rupa s em enjak prasejarah sampai seni rupa kontemporer bisa dilihat sekarang. P ada karya seni rupa primitif, terutama dalam mengungkapkan karakter laki-laki dalam seni patung adalah melalui visualisasi alat kelaminnya. Makanya hampir semua seni patung primitif dari berbagai suku bangsa di Nus antara dan dunia memberi penekanan pada penampilan alat kelaminnya, dibanding anggota tubuh lainnya. Sejalan dengan pandangan ini, secara tersirat, sebagai simbol kesuburan masyarakat primitif menggunakan rujukan dari alat kelamin, yaitu “lingga” sebagai repres entasi alat kelamin laki-laki, dan “yoni” sebagai representasi alat kelamin perempuan. Kelanjutan setelah masa Primitif, pada zaman Purba, perwujudan dari ekplorasi kons ep pornografi ini bisa dilihat pada relief-relief candi, yang merupakan bagian dari perkembangan agama Hindu dan Budha. Artinya, dalam hal ini secara religius eksplorasi konsep pornografi 3
Acep Zamzam Noor, Seni yang Terhukum Karena Tafsir ; Porno
juga merupakan bagian dari ajaran agama tertentu, dan menganggap pornografi yang direpresentasikan melalui alat kelamin manusia dalam ketelanjangan merupakan suatu perwujudan kesucian. S ebagai perwujudan karya seni rupa religius, juga bisa dilihat pada langitlangit arsitektur Kapel Sistina di Vatikan, dimana Maestro seni rupa dunia, Michelangelo melukiskan manusia-manusia telanjang dalam jumlah banyak. Michelangelo menyeles aikan lukisan ini selama empat tahun (1508-1512) atas perintah Paus Yulius II. Di tempat suci Kristiani ini, di tempat umat kristiani berdoa, Michelangelo melukiskan perempuan telanjang, memperlihatkan dada dan pantat, serta laki-laki dengan palus yang tidak ditutupi. Walaupun dalam perjalanan waktu lukis an ini pernah diberi penutup, namun Paus Yohane s P aulus II dalam proyek restorasi Kapel Sistina (1994) meminta agar lukisan tersebut tidak ditutupi. Ia mengatakan bahwa Kapel secara istimewa menjadi “tempat kudus bagi teologi tubuh manusia”. Tubuh telanjang manusia adalah pintu masuk bagi manusia berdosa untuk bersentuhan dengan kekudus an Allah. Dengan melihat tubuh telanjang itu tiap manusia diundang untuk dibebaskan dari kebingunggannya akan arti tubuhnya. 4 Dalam perkembangan seni rupa modern Indone sia banyak lukisan yang memperlihatkan ketelanjangan dibuat oleh para seniman. Tentunya yang membuat atau malahirkan ransangan sensual sehingga bisa dikonotasikan dengan pornografi adalah lukisan yang bercorak realis. Salah satu pelukis realis legendaris Indonesia adalah Basuki Abdullah, yang karyanya juga disenangi presiden Soekarno, dimana sebagian juga mengeksplorasi aspek s ensualitas dengan merepres entasikan ketelanjangan. Hal yang sama juga berkembang pada pelukis-pelukis realis lainnya, baik yang berk embang secara otodidak, maupun yang berkembang di lingkungan akademik. Karya mahasiswa di lembaga akademik seperti Jurusan Seni Rupa ITB Bandung dan ISI Yogyakarta juga banyak yang mengeksplorasi estetika sensualitas ini. Kalau kita amati keberadaan dan perkembangan pornografi dalam berbagai kesenian, dan secara khusus dalam seni rupa, tentunya bisa dipahami bahwa pornografi itu sesuatu yang nyata adanya semenjak dahulu s ampai sekarang, yang berkembang seirama dengan tarikan nafas kehidupan masyarakat, karena seni adalah cerminan dan repres enta si budaya masyarakatnya. Namun di sisi lain kita melihat adanya beberapa kasus yang terjadi dalam dunia kes enirupaan, yang menjadikan karya seni rupa bernuans a pornografi sebagai ala s an permas alahan moral, dan dianggap meresahkan masyarakat. Misalnya dalam suatu pameran seni rupa, ketika diturunkannya karya seni rupa instalasi Pink Swing Park, karya Agus Suwage dan Davy Linggar dari arena CP Bienalle 2005 di Museum Bank Indonesia, dan juga diturunkan sebelum pam eran ber akhir karya fotografi figur Anjasm ara dan Isabel Yahya, yang sebetulnya relevansinya juga ada pada pose -pose pad a lukisan-lukisan Kahlil Gibran yang menjadi ilustrasi kumpulan puisi sufistiknya yang sudah terkenal. 5 S elanjutnya, bagaimana pornografi dalam ekpresi dan apresiasi seni rupa, kita lihat dalam pembaha s an ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
TINJAUAN ONTOLOGIS 4 5
href=’http://ads6.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?n=ac22031e&cb=INSERT Baca Acep Zamzam Noor, Seni yang Terhukum Karena Tafsir ; Porno
Apa sebetulnya hakekat dari pornografi dalam ekspresi dan apresia si seni rupa dapat dibahas berdas arkan pendekatan dan kerangka berfikir dimensi filsafat ontologi. Dapat disebutkan bahwa ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang paling kono, beras al dari Yunani, sebagaimana yang terungkap dalam pandangan filsuf Yunani kuno; Thales, Plato, dan Aristoteles. Studi-studi mereka membahas keberada an sesuatu yang bersifat kongkrit, yang pada mas anya kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Thales beranggapan bahwa segala sesuatu beras al dari substansi yang sama, sehingga s e suatu tidak bisa dianggap berdiri sendiri. Istilah ontologis berasal dari bahas a Inggris “ontology”, meskipun akar katanya dari bahas a Yunani; on-ontos (ada-kebenaran) dan logos (studi, ilmu tentang). Beberapa pengertian das ar ontologi diantaranya; 1) ontologi merupakan studi tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari yang ada dalam bentuknya yang abstrak, studi ini melontarkan pertanyaan; seperti “apa itu “ada” dalam dirinya sendiri?”, 2) ontologi juga bisa mengandung pengertian sebuah cabang fils afat yang menggeluti tata dan struktur realitas luas, dengan menggunakan kategori-kategori seperti ada atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, es e nsi, keniscayaan dasar, bahkan “yang ada” sebagai “yang ada”, 3) Ontologi merupakan cabang filsafat yanag mencoba melukiskan hakekat “ada” yang terakhir, 4) Ontologi juga mengandung pengertian sebagai cabang filsafat yang melontarkan pertanyaan, apa arti ”ada” dan “berada”, 5) Ontologi bis a juga m engandung pengertian s ebuah cabang filsafat yang menyelidiki status realitas dan jenis-jenis realitas suatu hal, menyelidiki realitas yang menentukan apa yang kita sebut realitas. Inti dari beberapa pengertian di atas adalah bahwa ontologi mengandung pengertian “pengetahuan tentang yang ada”. 6 Oleh sebab itu objek kajian ontologi adalah yang ada atau hakekat seluruh realitas. Ontologi diidentifikasi s ebagai filsafat metafisika, yang disebut juga protofilsafat atau filsafat yang pertama, karena memang studi tentang yang ada pada dataran studi filsafat umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Dalam filsafat, pembahas an ontologi menjadi yang utama, yaitu membahas realitas yang merupakan kenyataan yang bisa menjurus pada suatu kebenaran. Realitas ontologis melahirkan pertanyaan-pertanyaan; apakah ses ungguhnya hakekat realitas yang ada ini?, apakah realita s yang tampak ini sesuatu realita materi saja? Adakah se suatu dibalik realita? Apakah realita ini terdiri dari satu bentuk unsur (monisme), dua unsur (dualisme) atau pluralisme? Pokok permasalahan yang menjadi objek kajian filsafat menyangkut tiga s egi, yaitu; 1) logika (benar - salah), 2) etika (baik - buruk), 3) estetika (indah jelek). Ketiga cabang utama filsafat ini dalam perkembangannya bertambah dengan; 1) hakekat keberadaan zat, hakekat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika, 2) kajian mengenai organisasi sosial, pemerintahan yang ideal yang terangkum dalam politik. Dari kelima cabang filsafat ini; logika, etika, estetika, metafisika dan politik kemudian berkembang lagi menjadi cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik yang disebut dengan filsafat ilmu 7 6
Idzam Fautanu, Filasafat Ilmu, Teori dan Aplikasi (Jakarta: Referensi, 2012), 120. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), 34-34.
7
Metafisika umum atau yang disebut ontologi dapat mendekati permas alahan hakekat realitas dari dua sudut pandang. Orang dapat mempertanyakan apakah pernyataan itu tunggal atau jamak? yang demikian ini merupakan pendekatan kuantitatif, atau orang dapat juga mengajukan pertanyaan (dalam babak terakhir) apakah yang merupakan jenis kenyata an itu? yang demikian itu merupakan pendekatan secara kualitatif. Berkaitan dengan bahwasanya estetika bagian dari objek kajian fils afat, gambaran pengalaman estetis manusia dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Sikap estetis bagaimana seharusnya? Supaya ada peng alaman estetis pada manusia, diperlukan suatu sikap estetis pada seniman dan sipengamat, yang dibedakan dengan sikap praktis, atau usaha untuk memakainya demi s e suatu tujuan lebih lanjut, terlibat secara pribadi, secara menyeluruh tapi tanpa mencari pamrih. 2. P erhatian estetis diarahkan kemana? P erhatian tidak hanya pada objek fisik tapi juga objek fenomenal, namun dipahami bahwa objek fenomenal itu s ekaligus ditentukan bahkan diciptakan pada sa at pengalaman e stetis itu muncul, bertahan, dan berkembang. 3. Suatu klasifikasi pengalaman-pengalaman estetis. Karena titik pengalaman e stetetis terletak pada pengalaman indrawi, oleh sebab itu untuk menggolongkan pengalaman estetis didas arkan pada perbedaan panca indera manusia, seperti penglihatan (visual arts) dan p endengaran (auditory art), dan indera lainnya. 4. Letaknya karya seni dimana? Sudah lama dibedakan bahwa karya seni berupa karya seni terapan (useful art) dan karya seni murni (fine art), disinilah letaknya dan terjadinya seni yang indah itu 5. Mengenai arti dan nilai dalam rangka pengalaman estetis. Pertanyaannya adalah apakah wajar dan mungkin menyelidiki arti dari produk dan pengalaman estetis sama dengan taraf kebenaran dan nilai mutu kebaikan? S ecara empiris justru para senirupawan enggan ditanya mengenai arti suatu karya seni atau mengenai nilai kesusilaan yang ada atau tidak ada dalam karyanya. Oleh sebab itu kecenderungan P engalaman estetis yang s e sungguhnya letaknya bagaikan di luar pengertian berdas arkan azas -az a s kebenaran, dan diluar penilaian berda s arkan kebaikan yang dianut dalam dunia ilmu dan dunia ke susilaan masing-masing. 6. Hubungan antara pengalaman estetis dengan kebenaran dan kebaikan. Dalam filsafat manusia dijelaskan bahwa tindakan-tindakan manusia mengarah pada suatu tujuan. Dengan demikian secara singkat ada dua hal yang “bekerja sam a” dalam tindakan pengembangan diri manusia, yaitu kebenaran (pengenalan) dan kebaikan (penghendakan), yang kedua -duanya terwujud pada taraf rohani dan jasmani. Dari segi kebenaran (pengenalan) terdapat pengetahuan akal budi (rohani) dan pengetahuan inderawi (jasmani, panca indera), dan dari segi kebaikan (penghendakan) dapat pengarahan kehendak (rohani) dan pengarahan nafsu (jasmani). Agar suatu kesinambungan pengalaman estetis dapat dicapai perlu kiranya menjau hi s egala sikap mencari untung, mencari hasil, mengejar suatu tujuan. 7. P engalaman estetis dan pengalaman religius. Pertanyaannya adalah apakah pengalaman e stetis manusia mirip atau bahkan sam a dengan pengalaman manusia mengenal yang religius? Dalam beberapa gejala menampakan kemiripan, yang membedakannya adalah dorongan atau
dinamisme yang termuat dalam pengalaman religius, yaitu kearah yang trensendence. 8 Dimensi filsafat ontologis sebagaimana yang dipaparkan di atas akan dirujuk sebagai pertimbangan dan da s ar pemikiran dalam pembahas an mas alah pornografi dalam ekspresi dan apresiasi seni rupa. Secara etimologi, istilah pornografi beras al dari bahas a Yunani (pornographia−secara harafiah tulisan tentang atau gambar tentang pelacur) (kadang kala juga disingkat menjadi "porn", atau "porno") adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku s eksual manusia secara terbuka (eksplisit) dengan tujuan membangkitkan birahi (gairah seksual). Pornografi berbeda dari erotika. Dapat dikatakan, pornografi adalah bentuk ekstrem/vulgar dari erotika. Erotika sendiri adalah penjabaran fisik dari konsep-konsep erotisme. Kalangan industri pornografi kerap kali menggunakan istilah erotika dengan motif eufemisme namun mengakibatkan kekacauan pemahaman di kalangan masyarakat umum. Pornografi dapat menggunakan berbagai media; teks tertulis maupun lisan, foto-foto, ukiran, gambar, gambar bergerak (termasuk animasi), dan suara s eperti misalnya suara orang yang bernapa s tersengal-sengal. Film porno menggabungkan gambar yang bergerak, teks erotik yang diucapkan dan/atau suara-suara erotik lainnya, sem entara majalah seringkali menggabungkan foto dan teks tertulis. Novel dan cerita pendek menyajikan teks tertulis, kadangkadang dengan ilustrasi. 9 S e suai dengan topik makalah ini permasalahan pornografi juga ada dalam ekpresi dan apre siasi seni rupa. Keberada annya dapat kita telusuri pada s emua cabang kesenirupaan; seni lukis, seni patung, seni kriya, s eni grafis, fotografi, dan cabang lainnya, dari seni rupa zaman primitif sa mpai sekarang. Keberadaannya juga dapat kita pahami dari permasalahan yang muncul, ketika karya seni rupa dihadapkan dengan aturan, norma, dan hukum yang memiliki otoritas terhadap pornografi. Berdas arkan dimensi filsafat ontologi, pornografi dalam ekspresi dan apresiasi seni rupa dianggap sudah lazim, se suai dengan tuntutan kebebas an berimajinasi, berfantasi dan berekspresi senimannya. Jim Supangkat kurang-lebih mengatakan; karya seni rupa yang bernuans a pornografi, yang menampilkan ketelanjangan, kalau dilihat dari eksplorasi kes enian sudah menjadi konvensi yang lanjut di dalam seni rupa. Artinya bahwa tubuh di dalam artian laki maupun perempuan, itu dilihat sebagai menampilkan vitalitas. Vitalitas itu artinya ada kekuatan dari dalam yang menunjukkan tanda-tanda kehidupan, sehingga tubuh yang terbuka, tubuh yang telanjang itu sering ditampilkan dalam seni rupa, baik melalui lukisan maupun patung. Dalam pengertian bahwa, pada tubuh manusia itu terlihat misalnya, plastisitas tubuh yang sangat biomorfik dan tidak bisa dibandingkan dengan substansi lain. Di dalam seni rupa, konsep ketelanjangan yang dikaitkan dengan vitalitas memang telah dis epakati. Lain halnya di dalam fotografi, ada kemudian menimbulkan reaksi bila ketelanjangan itu ditampilkan melalui fotografi. Tradisi melukis menampilkan wanita telanjang mempunyai tradisi yang lebih dulu, walaupun fotografi sudah mulai motret telanjang sejak awal fotografi ditemukan. Maka dalam s eni lukis dan seni patung itu, ada jarak antara si pelihat dengan ketelanjangan dalam lukisan. Maksudnya, dia melihat dunia yang lain, artinya betapapun lukisan telanjang itu sangat mirip, 8
Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, Estetika (Filsafat Keindahan) (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,1993), 6-23. 9 http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pornografi&oldid=6640294
katakanlah sangat realistik, dan kemudian lukisan itu bahkan mengga mbarkan s e s eorang dengan jelas, orang tetap menganggap itu berjarak, dunia yang lain, artinya bukan bagian dari kenyataan. Di dalam fotografi, tidak ada jarak antara pelihat dan si foto itu, karena si foto itu dianggap bagian dari kenyataa an. 10 Di dalam kesenian sebetulnya sudah hampir tidak ada batasannya, s eb ab orang kemudian juga bisa mempersoalkan s eks dalam karya, betul-betul sek yang dipersoalkan, dan itu suatu hal yang positif. Jangankan di Eropa atau Amerika, di Jepang banyak seniman-seniman bes ar, dimana konsep dasarnya adalah mengeksploitasi sek. sek mengandung banyak friksi dalam kehidupan manusia. Apakah ini reproduksi, apakah ini sebetulnya spirit, apakah itu vitality, atau apakah itu pornografi, itu persoalan yang sangat kaya. Dan ketika itu ditampilkan ke masyarakat melalui sebuah karya seni, hal itu mengandung s ebuah perenungan yang sangat kaya. Jadi kalau di dalam kesenian, hal-hal s em acam itu (termasuk di dalam seni rupa), tidak ada batas annya. Oleh seb ab itu menurut Jim Supangkat, karena pornografi sudah menjadi kelaziman dalam ekpresi dan apresiasi seni rupa, makanya dianggap persoalan pornografi menjadi tidak ada dalam seni rupa. 11 S ebagaimana pokok permas alahan yang menjadi objek kajian filsafat, yang menyangkut segi; logika (benar-salah), etika (baik-buruk), dan estetika (indah-jelek), tentunya persoalan seni rupa cenderung masuk dalam tataran permas alahan estetika, utamanya dalam pros e s penciptaan dan dalam pros e s penikmatannya atau proses pengapresiasiannya. Namun ketika karya seni dipublikasikan sehingga menjadi komsumsi umum tentunya akan berhadapan dengan pertimbangan etika. Mengingat ukuran dan takaran, serta persepsi mayarakat tidaklah sama mengenai hal-hal yang berbau erotis dan pornografi, tentunya karya seni rupa yang berpotensi dipahami sebagai yang mengandung pornografi harus dipertimbangkan tempat dan waktu penampilannya berdasarkan aspek etika ini. Kearifan dalam menentukan dan menempatkan apakah karya seni rupa yang berbau pornografi sudah memenuhi pertimbangan etika, s ehingga bisa menjaga perasa an masyarakat dan kolompok yang tidak sepaham, secara tidak langsung juga telah mempertimbangkan a spek logika dalam hakekat kebenaran seni rupa “pornografi”.
TINJAUAN EPISTEMOLOGIS Berkaitan dengan asal mula dan bagaimana informasi pengetahuan yang benar dari perkembangan pornografi dalam ekspresi dan apre siasi seni, khususnya seni rupa, akan dibahas berdas a rkan dimensi filsafat epistemologi. Dapat disebutkan bahwa epitemologis merupakan cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan, yang mencoba menjawab pertanyaan mendas ar; apa yang membedakan pengetahuan yang benar dari pengetahuan yang s alah. Pertanyaan-pertanyaan ini secara praksis ditranslasikan ke dalam mas alah metodologi ilmu pengetahuan. Misalnya bagaimana mengembangkan s ebuah teori atau model yang lebih baik dari teori yang lain. Sejalan dengan ini s ebagai salah satu komponen dalam filsafat ilmu, epismologis di fokuskan pada 10
http://advertisingfashionfurniture.blogspot.com/2013/05/pornografi-itu-tidak-ada-dalam-senirupa.html. 11 http://advertisingfashionfurniture.
kajian tentang bagaimana cara ilmu pengetahuan memperoleh kebenarannya, atau bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar, atau bagaimana s eorang itu tahu apa yang mereka ketahui. Dengan demikian kata tanya “how” menjadi kata kunci dalam upaya menemukan rahasia dibalik kemunculan kons ep-konsep teoritis. 12 S ecara epistemologis dapat dijelaskan bahwa pornografi dan pornoaksi mempunyai sejarah yang panjang. Misalnya pornografi dalam karya seni yang s ecara seksual bersifat sugestif dan eksplisit sama tuanya dengan karya seni yang menampilkan gambar-gambar yang lainnya. Teknologi gambar berupa foto-foto yang eksplisit muncul tak lama setelah ditemukannya media fotografi. Karya-karya film yang paling tuapun sudah menampilkan gambar-gambar telanjang maupun gambaran lainnya yang secara seksual bersifat eksplisit. Awal mulanya sejarah pornografi dan pornoaksi ini adalah dari keberada an seorang perempuan cantik jelita yang hidup di Negara Yunani, yaitu sekitar abad ke-empat sebelum Masehi, yang bernama Phyerne, dari Thespie. Ia seorang hitaerai yaitu perempuan yang hidupnya hanya untuk bersenang-senang dengan laki-laki. Hitearai berbeda dengan porne, yaitu perempuan pelacur yang digunakan dan dibayar setiap hari, dan berbeda pula dengan istri yang dipercayakan untuk memelihara rumah tangga dan keturunan yang baik.13 Suatu ketika Pheyrne pernah dituduh sebagai sipenggoda para jejaka Athena. Ketika hendak menjatuhkan hukuman terhadap Phryne, pembela Phryne yang bernama Hyperdes mengajukan pembelaan dengan cara meminta Phryne berdiri di suatu tempat di depan sidang dengan posisi yang dapat dilihat oleh semua hadirin. Phryne melepaskan pakaiannya satu persatu hingga tubuh indahnya tampak oleh hakim dan seluruh yang hadir, dan hasilnya Phryne dibebaskan dari tuduhan dan hukuman. P ertunjukan Phryne itulah kemudian merupakan awal dari adegan pornografi yang kemudian berkembang menjadi striptease show, yang kita kenal s ampai sekarang. Dalam pengertiannya, strip-tease adalah yang dilakukan s ecara langsung atau tanpa melalui media komunikasi, atau disebut sebagai pornoaksi. Sementara itu jika strip-tease ditampilkan melalui media dikategorikan s ebagai pornografi.14 Strip-tease show yang dilakukan oleh seorang Hetaerai tersebut tidak berkaitan dengan porne yang berarti pelacur. Namun pada perkembangan s elanjutnya seperti yang terdapat dalam Kamus Bahas a Indonesia kata porne yang beras al dari kata porne yang berarti cabul. 15 Sedangkan kata pornografi menurut kamus tersebut adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan tujuan untuk membangkitkan nafsu birahi, sedangkan kata strip-tease menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pertunjukan tarian yang dilakukan oleh perempuan dengan gerakan antara lain dengan menanggalkan pakaiannya satu persatu di hadapan penonton, atau dapat juga berarti tarian telanjang. 16 Meskipun rumusan strip-tease tersebut tidak disertakan tujuan untuk merangsang nafsu birahi seperti halnya dengan rumusan pornografi, namun akibat dari stip-tease ini juga sam a-sam a dapat membangkitkan nafsu 12
Idzam Fautanu, 156. Alex A. Rachim, Pornografi Dalam Pers Sebuah Orentasi (Jakarta: Dewan Pers 1987), 10-11. 14 Baca Alex A. Rachim, Pornografi Dalam Pers Sebuah Orentasi (Jakarta: Dewan Pers 1987). 15 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 696. 16 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia. 13
birahi. Berdasarkan pengertian di atas sebenarnya akibat dari striptease dan pornografi sebenarnya tidak berbed a, baik yang ditampilkan secara langsung atau melalui media komunikasi, yaitu sama-s am a membangkitkan nafsu birahi bagi orang yang melihat atau menontonnya. 17 Pornografi dan pornoaksi dapat kita tinjau dari beberapa perspektif; pertama perspektif social cultural, bahwa ketika membahas mengenai pornografi maka yang harus diperhatikan adalah mas alah perbedaan sosio budaya, kurun waktu dan tahapan kedewasa an etis dari orang-orang secara individual dan seluruh masyarakat. Sementara itu dalam realitasnya terjadi perbeda an yang sangat mencolok antara belahan Barat dan Timur. Perbeda an yang mencolok antara Barat dan Timur dari segi kehidupan sosial, adalah Barat khususnya Benua Eropa mengalami kemajuan yang sangat menonjol. S em entara Timur masyarakatnya identik den gan memegang teguh tradisi, adat istiadat, dan kultur masing-masing, terutama yang diwarisi dari para leluhurnya. P erspektif ke dua adalah penilaian yang lebih menyoroti pada a spek etika. Untuk itu perlu adanya kriteria mengenai indah, kriteria baik yang lebih mencakup pada mas alah etis walaupun tekanannya bisa berbeda. Dalam ilmu pengetahuan tekanannya adalah pada aspek kebenaran, dalam arti seni tekanannya pada arti yang indah atau e stetik, dan dalam a spek etis tekanannya adalah pada yang baik. Penilaian yang bijaksana mengenai mas alah seksualitas, kriteria benar dan indah harus diikutsertakan sebagai landasan dasar untuk mencapai suatu penilaian yang bijaksana. P engalaman manusia dan kebenaran agam a, ilmu pengetahuan dapat sangat membantu manusia dalam membuat penilaian etis yang bertanggung-jawab tanpa terjebak membuat larangan-larangan moral yang irrasional. Dalam kriteria pornografi dan pornoaksi ada keterkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh Talcott Person melalui konsep sibernetik, bahwa ada keterkaitan system budaya, sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem organis. 18 Dengan demikian perubahan pada nilai atau sistem budaya akan berakibat pada perubahan sistem sosial, yang pada akhirnya juga sistem kepribadian dan organisme aksi masyarakat. Melihat perges eran tersebut terjadi perbedaan yang sangat signifikan antara masyarakat Barat dan masyarakat Timur dalam memandang konsep seks dan pornografi dan pornoaksi. P ada sisi lain, berdas arkan tingkatan eksistensi dan pengaruh yang ditimbulkannya secara umum pornografi dan pornoaksi dibedakan menjadi beberapa tingkatan, yaitu; pornografi dan pornoaksi normal, pornografi dan pornoaksi biasa dan pornografi dan pornoaksi keras sadistis. 19 Secara garis bes ar perbedaan tersebut lebih mengacu pada pengaruh yan g diakibatakan tiga katogari pornografi tersebut. Pornografi dan pornoaksi keras dapat merangsang orang bersangkutan untuk s ampai melampiaskan dorongan s eksualnya secara brutal kepada orang lain. Pornografi dan pornoaksi ringan umumnya merujuk kepada bahan-bahan yang menampilkan ketelanjangan, adegan-adegan yang s ecara sugestif bersifat seksual, atau menirukan adegan s eks, sem entara pornografi dan pornoaksi berat mengandung gambar-gambar alat kelamin dalam keada an terangsang dan kegiatan seksual termasuk 17
Neng Dzubaidah, Pornografi Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, 140. Burhan Bungin, Kontruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks Di Media Massa 19 Johan Suban Tukau, Etika Seksual dan Perkawinan, 75-76. 18
penetrasi. Di dalam industri media hal ini dilakukan klasifikasi lebih jauh sec ara informal. Pembeda an ini bisa jadi tidak berarti bagi banyak orang, namun definisi hukum yang tidak pasti dan standar yang berbeda-beda menyebabkan produser membuat pengambilan gambar dan penyuntingannya dengan cara dan trick yang berbeda-beda pula pula. Mereka pun terlebih dulu mengkonsultasikan film-film mereka dalam versi yang berbeda-beda kepad a tim hukum mereka. 20 P em ahaman epistemologis dalam ekspresi dan apresiasi seni rup a s ebagaimana dipaparkan di atas dapat kita terima sebagai kenyataan lahir dan berkembangnya suatu bidang ilmu dan wawasan seni, atau lahirnya suatu karya seni. Sebagai makluk yang paling sempurna, manusia diberi banyak kelebihan oleh Tuhan S ang P encipta, salah s atunya adalah potensi otak, yang menggerakkan nalar dan logika manusia, sehingga melahirkan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Secara epistemologis, sejauhmanapun ilmu dan wawas ana seni bisa berkembang dan sejauhmana kemahiran seniman melahirkan karya seni yang agung, dianggap belum akan memberi efek negatif bagi manusia dan kemanusiaan, karena pem aham an epistemologis dalam filsafat masih memungkinkan eksis dalam kebebas an nilainya, kecuali kalau sudah disosialisasikan kepada masyarakat penikmatnya. Namun ketika karya s eni yang sudah diketahui hakekatnya dan dipahami keberada a nya melalui filsafat ontologi dan epistemologi itu disosialisasikan dan diaplikasikan dalam masyarakat dan lingkungan sosial, barulah banyak hal harus dipertimbangan, karena dalam sosialisa si dan aplikasinya ilmu seni dan karya seni, termasuk s eni postmodernisme tidak boleh bebas nilai.
TINJAUAN AKSIOLOGIS Aksiologis adalah as a s mengenai cara bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan yang secara epistemologis diperoleh dan dis usun. Aksiologi dipahami juga sebagai cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai, seperti etika, estetika, atau agam a. Aksiologis terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan kons ep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai. Terdapat dua kategori dasar aksiologi, yaitu; objektivisme dan subjektivisme. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang s am a; apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada pendapat manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran objektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subjektivis. 21 S eorang ilmuan yang mengembangkan ilmunya haruslah memiliki tanggung jawab sosial. Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Sekiranya hasil karya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan maka dia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat tersebut. Atau dengan perkata an lain, penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Peranan sosial inilah
20 21
Istibsjaroh, menimbang hukum pornografi, pornoaksi dan aborsi dalam perspektif islam Idzam Fautanu, 202.
yang menonjol dalam kemajuan ilmu dimana penemuan seorang ilmuan dapat merubah wajah peradaban, seprti Neuton atau Thomas Alfa Edisosn. 22 Nilai kegunaan ilmu dapat dilihat pada kegunaan filsafat ilmu, untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, yaitu: 1) filsafat sebagai kumpulan teori yang digunakan memahami atau mereaksi dunia pemikiran; jika sesorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. 2) filsafat sebagai pandangan hidup, dimana filasafat dalam posisi yang kedua ini, s emu a teori ajarannya diterima kebenarannya dan dilaks anakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk penunjuk dalam menjalani kehidupan. 3) Filsafat s ebagai metodologi dalam memecahkan ma s alah yang kita hadapi di dalam hidup ini. Contoh; bila ada batu di depan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita kadang tersandung, maka batu itu bermas alah. Kehidupan bisa dijalani dengan enak bila mas alah itu dapat dis elesaikan. Banyak alternatif untuk bisa menyelesaikan masalah, mulai dari yang s ederhana sampai yang rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana m aka bias anya mas alah tidak terselesaikan secara tuntas. Penyelesaian yang detail bias anya dapat mengungkap semua mas alah yang berkembang dalam kehidupan manusia. 23 Aktivita s s e ni rup a m erup ak a n aktivita s individu al d a n s o si al. Ketika s e nim a n at a u p erup a m er e n u n g, b erim ajin a si, d a n me n d a p atk a n ins pira si d a n k e m u dia n m ul ai m el akuk a n pro s e s b erk arya, d ala m h al ini d a p at dis e b ut b a hwa di a m el akuk a n aktivita s individu al. Ketika d al a m pro s e s ini s e nim a nn ya m e mikirkan d a n m e m b a ya n gk a n s e s u atu ya n g b erb a u porno gr afi d a n k e m udi a n m e n u a n gk a n nya k e d ala m k arya , a p al a gi pro s e s ini dilakuk a nnya di d ala m studio, at a u bukan p a d a t em p at ya n g t erbuka t e ntunya h al ini tid ak m e nj adi p er s o a lan. S a m a s e p erti d al am p e ng e m b a n g a n ilmu p e n g et a h u a n s ela m a tid ak b er s e ntuh a n d e n g a n ek si st e n si or a n g lain t e ntunya tid ak a d a m a s al a h. Nam un k etika s e nim a n at a u p erup a s et el a h s el e s ai b erkarya, d a n karya nya si ap untuk diso si alis a sik a n, p ertimb a n g a n d a n p e mikiran ak siologi s h aru s dim a s ukk a n. B erbe d a d e n g a n ontologis d a n e pi st e m ologi s, ak siologi s tid ak m ungkin b e b a s nilai, m e n ging at ontologi s dipahami juga sebagai cabang fils afat yang berkaitan dengan nilai, s ebagaimana halnya etika, estetika, atau agama. P a d a h ak ekat nya k arya s e ni rup a a d al a h milik d ari s e nim a n at a u p erup a nya, d a n h al ini b erl aku ketika k arya dibu a t, n a m u n k etika karya s e ni rup a s e le s ai, d a n di s o si alis a sik an k e m a s yar ak at, di a aka n m e nj adi milik ma s y ar ak at, d al am p e n g ertian m a s yar ak at b e b a s m e n g a p r e si a sinya berd a s ark a n a p a ya n g t erungk a p p a d a k arya s e ni rup a dim ak s ud. Wa h a n a d a n m e di a s o si alis a si k a rya s e ni rup a ini ut a m a nya a d al a h m el alui kegi at a n p a m er a n. Ad a b e b e rap a j eni s p a m er a n, ya n g dib e d ak a n b e rd a s ark a n; tip e p a m er a n, k ar akt er p a m er a n, t e m p o p a m er a n, d a n struktur lok a si p a m er a n. 24 22
Jujun S. Suriasumantri, 237. Idzam Fautanu, 204-205. 24 Mikke Susanto. Menimbang Ruang Menata Rupa (Wajah dan Tata Pameran Seni Rupa) (Yogyakarta: Galang Press. 2004) 23
Berd a s ark an jenis-je ni s p am er an s e b a g ai wah a n a d an m edi a m en s o si alis a sikan karya s e ni rup a di at a s, terkait d eng a n karya s eni rup a yang m eng a ndung perm a s al ah a n pornogr afi tentunya d ap at m enye s u aikannya. S etid aknya b erd a s arka n p etimb ang a n t em p at, waktu, lingkung an (bud aya), dan keb er a g am a n a pr e si ator, karya s e ni rup a bi s a dipertimb angkan ketika m en s o si alis a sikannya. Berd a s arkan p e rtimb ang a n ak siologis, temp at at au loka si p em aj ang a n karya s e ni rup a yan g b ernu an s a pornografi hend aklah yang relev an d eng a n kar akt er a pr e si ator. Tidak mungkin p em aj ang an karya at au p am er an s eni rup a yang b ernu an s a pornogr afi di lingkung a n s ekolah, at au di lingkung a n p e s a ntren yang sud a h diket ahui p aling anti deng a n h al-h al yang b er sifat pornogr afi. Ide alnya a d al ah p ad a lingkung a n yang m ayorita s s etuju, d a n m emiliki ked ew a s a n apr e si a si terh a d ap karya s e ni rup a yan g m emp erlihatkan ket e lanjang a n b a gian tubuh t ert entu. P ad a su atu t emp at yang p erm an e n s ekalipun h al ini m e stinya bis a dijag a, misaln ya p a d a mu s e um, gal eri s en i, at au art shop. Hal ini sud ah diwujudkan oleh p eng elola mu s e um Antonio Blanco di Bali. S eb a gi an karya Antonio Blanno yang b erb au ponografi ditemp atkan p ad a ru ang khu su s, ya n g h anya boleh dilihat oleh p engunjung ya n g sud a h d ew a s a . Situa si ini m erup ak an s e s u atu yang h aru s diapr e sia si, m enging at Bali s e b etulnya a d al ah d a er ah yang tidak terlalu m amp erm a s al ahk an h al-h al ya n g b erb a u pornogr afi, dibandingk an d a er ah lain di Indon e si a. P a d a h al di luar mu s e um Antonio Balanco, di m a syar ak a t Bali m emp erlihatka n b a gi an d ad a tidak m enjadi p er so al an. Bagitu jug a d eng a n b eb er ap a karya s e ni rup a c end er am at a yang dijual di Bali jela s -jela s m emvisu alkan alat kelamin laki-laki, d a n ditawarkan ditempat terbuka. Artinya a p a yang di ter apk an p ad a mu s e u m Antonio Balanco ad al ah s e s u atu ya n g s a ng at m emp erh atikan ke s elar a s a n ant ar a fils afat e st etika d eng a n etika. Tanggung jawab moral s e nim an at au p e rup a s e b a g ai orang yang m encipt ak an karya, sa m a h alnya d eng a n s e s e or ang yang m el ahirkan ilmu p eng et ahu a n, jug a bis a diwujudkan d ala m p ertimb ang a n waktu, yaitu kap an waktu yang tep at m engg el ar p a m er an karya s e ni rup a yan g b ernu an s a “pornogr a fi”. Walaupun tidak bis a m engclaim s e pih ak b ahw a s e ni rup a pornogr afi ad al ah tidak suci, d an m eng a ndung dos a, n am un m em a ng p erlu dipe rh atikan mom en-mom en yang m enjadi pant ang a n d al am angg a p a n m a syar ak at untuk tidak m engungk apk an h a l-hal yan g b er sifat pornogr afi da n porno ak si. Mis alnya d al am tiap -tiap a g a m a d a n keyakinan m a syar akat ad a h ari at au bulan yang diangg ap suci, mis alnya R am a dh a n b a gi um a t Islam, t entunya p a d a bulan ini kegiat a n p am er a n s e ni rup a yang m em a m erkan pornogr afi m e stinya tidak dilaksa n ak an. Hal ini m em ang bis a diperd eb atkan, s e b a g aim an a fils afat ak siologi jug a m emp ert anyak an a p ak ah keb e n ar an itu b erg antung p ad a pend ap at m anu si a. Namun p ertimb ang a n subjektivita s d an objektivita s tet ap h aru s m engkompromikannya untuk m el ahirkan s olusi yang t erb aik. S el ain kondisi di at a s , kondisi lingkung a n jug a m enjadi p ertimba n g a n ut am a, d al am kaitannya d eng a n aktivita s so si alis a si karya s eni rup a. Beb er ap a lingkung a n bud aya, ad at istia d at, ag a m a d an ke p erc aya a n m a syar ak at tidak bis a m en erim a h al-h a l yang b erb au pornografi dan porno ak si. Bet ap a pun s e nim an at au ora ng yang m e m a h a mi s eni rup a m enjela sk an b ahw a s e ni rup a ad al ah s e ni, d an tidak b erkaita n lang s ung
d eng a n m a s al ah etika d an ag am a, n a mun p ad a lingkunga n t ert entu p enjela s a n dim aksud m a sih su s a h diterima. Orang yang me n g erti s eni d an m emiliki apr e si a si yang b aik mungkin s aj a bis a m eng at a kan b ahw a s e ni tidaklah s e p erti a p a yan g ka s at m at a s aj a, t et api m enyimp an m akn a p ad a ked al am a n p e m ah a m a nnya, at au d eng a n istilah lain a d a yan g m eng at ak an s e ni berbohong untuk m e nyam p aikan keb en a ran, n amun b a gi s eb a gi an ma s yar ak at d an lingkung a n b elum te ntu bis a m en erim anya. Oleh s e b a b itu p etimb anga n b erd a s arkan lingkung an ini diperlukan d al am me nyel ar a sk an ekspre si e st etis d eng a n etika yan g diyakini lingkung an s ekitarnya. Apa lagi se ni rup a m erup ak an s e ni yan g b er sifat ab a di, b ert ah an d al am waktu, tid ak s e p erti s eni tari at au s e ni mu sik yang ak an hilang d ari penglihata n at au p end e ng ara n s et el ah m em e nnya b erlalu. S e ni rup a yang b er sifat fisik, s el am a tidak diturunka n d ari pajang a nnya, da n s el am a tidak dirus ak, t entunya ak an tet ap ab a di d an m enjadi objek t ata p a n yang m elihatkan. Dalam p erkemb a n a ga n s e ni rup a t erkini, yaitu s e nirup a kont e mporer po stmod ern m e stinya jug a m emp ertimba n gk an nilai etika ya n g ad a di m a syar ak at. Walaupun kod e simbol dala m konsensus masyarakat atau kode kultural itu sendiri juga telah mengalami pendekonstruksian, sebab masyarakat telah m e ngalami perubah an land a s an filosofis karen a m er ek a s endiri bersinggunga n dengan dunia luar atau masyarakat, diharapan s eniman tidak hanya ingin membuat sens a s i dengan karya yang merayakan p emb e b a s a n d ari atur an b aku. Dalam pilihan kelu ar d ari kaid ah-kaid a h e st etika er a sebelumnya yang dirasakan mengekang, diharapkan seniman atau perupa tetap mampu menghadirkan perenungan, dan memberikan pencerahan apresiasi kepada masyarakat. Pada das arnya karya seni rupa adalah hasil dialektika berkesenian dengan lingkungan alam dan manusianya, oleh karena itu dalam setiap penciptaan seni harus mampu memberikan dampak bagi masyarakat. Sebagaimana pengembangan ilmu, pengembangan kes enian juga harusnya berdampak secara sosial. Ilmu pengetahuan dan keterampilan yang tidak boleh bebas nilai ibarat dua sisi mata pedang, ada sisi positif dan ada sisi negatifnya, oleh sebab itu manusia dituntut untuk bisa menggunakan ilmu pengetahuan dan keterampilannya dengan baik, khususnya pengetahuan, wawasan dan keterampilan kesenirupaan. Sebagaimana Yasraf Amir memberi penjelas an tentang idiom seni rupa postmodern, yaitu yang berkaitan dengan dekontruksi; bahwa menolak dekonstruksi berarti melenyapkan peluang eksistensial budaya-budaya marjinal, sebaliknya menerima dekonstruksi secara total berarti memberi peluang bagi lenyapnya sistem kategori dan tata nilai kebudayaan itu s endiri.25 Tentunya memungkinkan kebebas a n dalam seni rupa postmodern. Yang jelas kebebas an s eniman secara estetika, hendaknya didampingi dengan kearifan secara etika. Estetika dan Etika sebagai objek kajian filsafat disamping bisa dikaji secara terpisah, namun harus disinergikan dalam aplikasinya, s ebagai perwujudan fils afat aksiologi.
PENUTUP 25
Yasraf Amir Piling, Perkembangan Wacana Kebudayaan Kontemporer dan Pengaruhnya Terhadap Tata-Nilai Seni Rupa, 7.
Pornografi dalam ekspresi dan apresiasi seni rupa diakui adanya, dan pada hakekatnya tumbuh dan berkembang sejalan dengan kebeba s an s enimannya. Secara epistemologis juga sangat mudah dijelaskan, dimana pornografi sudah ada sem enjak seni rupa pras ejah atau primitif sampai perkembangan seni rupa kontemporer di era postmodern sekarang ini. Sejalan dengan ini, dalam kehidupan nyata dimasyarakatpun kehidupan yang bernuans a pornografi juga berkembang dan dipertahankan, dengan berbagai alas an. Oleh sebab itu sulit untuk mengeneralisasikan pornografi dalam pemahaman yang s empit, karena banyak variabel yang mestinya dipertimbangkan, apalagi merumuskannya dalam bentuk undang-undang yang berlaku bagi semua bentuk pornografi. Dari pada terus larut dalam mempermasalahkan pornografi, khususnya dalam ekspresi dan apresiasi seni rupa, sebaiknya semua pihak berusaha menempatkan permas alahan ini pada porsinya, dan tetap bersikap arif terhadap kondisi dan situasi yang ada, kes elaras an antara kebebas an estetika dengan tanggung jawab etika hendaknya tetap dijaga.
DAFTAR PUSTAKA Bungin, Burhan. Kontruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks Di Media Massa. Dzubaidah, Neng. Pornografi Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam. Fautanu, Idzam. Filasafat Ilmu, Teori dan Aplikasi. Jakarta: Referensi, 2012. Istibsjaroh. Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi dan Aborsi dalam Perspektif Islam. Noor, Acep Zamzam. Seni yang Terhukum Karena Tafsir ; Porno. Piliang, Yasraf Amir. Perkembangan Wacana Kebudayaan Kontemporer dan Pengaruhnya Terhadap Tata-Nilai Seni Rupa. Bandung: Makalah pad a S eminar dan Lokakarya P endidikan Seni Rupa di FSRS-ITB , 12-13 S eptembr 2001. Pus at P embinaan dan P engembangan Bahas a Indonesia Depdikbud RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1995, (cet. ke-2). Rachim, Alex A. Pornografi Dalam Pers Sebuah Orentasi. Jakarta: Dewan P ers, 1987. Subangun, Emmanuel. Syuga Derrida, Jejak Langkah Posmodernisme di Indonesia. Yogyakarta: CRI Alocita, 1994. Suban Tukau, Johan. Etika Seksual dan Perkawinan. Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000.
Sutrisno, Muji dan Putranto, Hendar (editor). Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005. Tim Kajian LBH APIK J akarta. Tanggapan atas RUU Anti Pornografi dan Anti Pornoaks, Sebuah Draf Kajian. Jakarta: APIK, tt. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi href=’http://ads6.kompa s ads.com/new/www/delivery/ck.php?n=ac22031e& ;cb=INSERT http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pornografi&oldid=6640294 http://advertisingfashionfurniture.blogspot.com/2013/05/pornografi-itu-tidakada-dalam-seni-rupa.html. Sekilas tentang penulis : Drs. Zulkifli, M.Sn. adalah dosen pada Jurusan S eni Rupa dan sekarang menjabat sebagai Pembantu Dekan I FBS Unimed.
Ibu sebagai sumber ide dalam penciptaan karya seni lukis
Disusun oleh
Tommy Rizaldy C0600029
Telah disetujui pembimbing
Pembimbing I
Drs. Arfial Arsad Hakim, M. Sn NIP 130 938 299
Pembimbing II
Drs. P. Mulyadi NIP 130 516 343
Mengetahui Ketua Jurusan Seni Rupa Murni
Drs. Arfial Arsad Hakim, M. Sn NIP 130 938 299
PENGESAHAN
ii
Telah disetujui dan disahkan oleh Panitia Penguji Jurusan Seni Rupa Murni Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pada tanggal : 31 Januari 2008
Panitia Penguji :
1. Drs. Sunarto, M. Sn. _________________ Ketua Sidang
(
2. Drs. Rusmadi _________________ Sekretaris Sidang
(
3. Drs. Arfial Arsad Hakim, M.Sn _________________ Penguji I
(
4. Drs. P. Mulyadi _________________ Penguji II
(
) ………………… NIP. 130 818 779
) ………………… NIP. 130 803 759
) ………………… NIP. 130 938 299
) ………………… NIP. 130 516 343
Mengetahui
Dekan Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta
Drs. Sudarno, M.A NIP 131 472 202
Motto iii
“Diatas seluruh kesempurnaan hanya ada sikap sederhana dan rendah hati” (Puthut EA)
Persembahanku Kepada : Tuhan Yang Maha Kuasa Ibuku Budhe Yati Para ibu, dan calon ibu yang lain Dan prosesku. PERNYATAAN
iv
Nama : TOMMY RIZALDY NIM : C0600029
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tugas Akhir berjudul Ibu Sebagai Sumber Ide Dalam Penciptaan Karya Seni Lukis adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam penulisan ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang diperoleh dari tugas akhir tersebut.
Surakarata, Yang Membuat Pernyataan
Tommy Rizaldy KATA PENGANTAR
v
Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, penulis mampu menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul “Ibu Sebagai Sumber Ide Dalam Penciptaan Karya Seni Lukis”. Penulisan ini disusun sebagai syarat guna mencapai gelar Sarjana Seni, Jurusan Seni Rupa Murni, Fakultas Sastra Dan Seni Rupa. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Pengantar Karya Tugas Akhir ini mengalami berbagai macam kendala dan hambatan, sehingga penulis memerlukan bantuan dari berbagai pihak, untuk menyelesaikan Pengantar Karya Tugas Akhir ini. Maka dengan kesempatan yang baik ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada : 1. Bapak Drs. Sudarno, M. A selaku Dekan Fakultas Sastra Dan Seni Rupa. 2. Bapak Drs. Arfial Arsad Hakim, M. Sn. Selaku Ketua Jurusan Seni Rupa Murni Fakultas Sastra Dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret dan sebagai Pembimbing I atas toleransi, pengertian, dan arahannya dalam proses penulisan Karya Tugas Akhir. 3. Bapak Drs. P. Mulyadi selaku Pembimbing II atas apresiasi, pengarahan serta pengertian kepada penulis selama proses pengerjaan Karya Tugas Akhir 4. Bapak Drs. Agus Purwantoro atas pengarahan dan kepercayaan kepada penulis yang diberikan selama kuliah. 5. Bapak Drs. Agus Nur Setyawan, M. Hum, selaku Koordinator Tugas Akhir atas pengertian, toleransi, dukungan moril juga bantuan pikiran selama proses pengerjaan Karya Tugas Akhir. 6. Ibu dan Bapak yang menjadi cikal bakal atas semua yang terjadi dalam proses pengerjaan Tugas Akhir dalam aspek positif dan menjadikan kedewasaan pikir maupun kedewasaan psikis penulis yang tidak bisa dinilai secara materi, serta adik-adikku (Rangga dan Ratih) atas kesabarannya menunggu dengan ikhlas. 7. Budhe Yati dan Pakdhe Ram, yang selalu memberi kepercayaan, memberi bantuan secara materiil, dan memberi kesempatan dengan ikhlas untuk penulis menyelesaikan study. Tidak ada kata yang bisa mewakili rasa terimakasih penulis terhadap Budhe dan Pakdhe, hanya doa dan harap semoga Tuhan membalas kebaikan Budhe dan Pakdhe dengan lebih baik. Amin.
vi
8. Ibu Sri dan Om Yan, atas bantuan dan pengertiannya selama ini. 9. Risa, atas dukungan, semangat dan pengertiannya juga laptopnya maupun kamera digitalnya yang sangat membantu selama proses pengerjaan Karya Tugas Akhir, terimakasih dan selamat berjuang juga. 10. Mbak Cici atas dukungannya, terimakasih banyak. Selamat berjuang untuk citacita mbak juga. 11. Mbak Yayuk atas dukungannya. 12. Pak Untung atas sharing dan saran-sarannya yang menjadikan ketetapan hati penulis untuk lebih bekerja keras. 13. Nerfita “Popi” Primadewi atas pinjaman komputernya. 14. Mohammad Topando dan Ian atas suport dan pinjaman printernya. 15. Herlambang Bayu Aji atas support dan DVD-RWnya. 16. Mas Herry Soedjarwanto atas dukungan moril dan wawasan dalam dunia seni lukis yang sangat berguna bagi penulis. 17. Adi “Cnul” atas bantuan pinjaman peripheral komputer ketika situasi darurat dalam proses pengerjaan Tugas Akhir. 18. M. Zamroni “Jampuk” dan Desta, Irfan “Gundul”, Topo, Yayan, Nina, dan kawan-kawan FPPI yang lain atas sharing, support, pengertian, materi, tenaga juga pikiran yang kalian berikan. Terimakasih banyak, selamat memperjuangkan keyakinan. 19. Om Wandi atas apresiasinya. 20. Sigit Purnomo Adi, S. Sn dan Priyanto, S. Sn atas bantuan dan informasiinformasi yang diberikan. 21. I Made Aryasa, Bondink, Sigit DFL, Dini dan Froni atas bantuan yang pernah kalian berikan. 22. Gamber, Afik, Bolot, Luwak, Wawo dan teman-teman Seni Rupa yang tidak dapat disebut satu persatu. 23. Lik Sarbini yang selalu bertanya “kapan maju TA?” 24. Serta semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan maupun pembuatan karya tugas akhir ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
vii
Akhir kata penulis hanya bisa memohon maaf atas ketidaksempurnaan dalam penulisan Konsep Karya Tugas Akhir ini, semoga dapat bermanfaat bagi mahasiswa Seni Lukis pada khususnya dan pembaca yang lain pada umumnya. Amin.
Penulis
Tommy Rizaldy
DAFTAR ISI
viii
Halaman
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………. i HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………………………. ii HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….. iii HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ……………………………. iv PERNYATAAN ……………………………………………………………… v KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. vi DAFTAR ISI …………………………………………………………………. ix DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………. xi ABSTRAK ……………………………………………………………………. xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………………….. 1 B. Batasan Masalah ……………………………………………………... 3 C. Rumusan Masalah …………………………………………………… 3 D. Tujuan Penulisan …………………………………………………….. 3 BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Perempuan ………………………………………………. 4 B. Pengertian Ibu ……………………………………………………….. 4 C. Pengertian Kodrat …………………………………………………… 4 D. Pengertian Seni ………………………………………………………. 5 E. Seni Sebagai Media Ekspresi ………………………………………... 9 F. Distorsi, Abstraksi, Simbol Dan Simbolisme ………………………. 10 BAB III METODE A. Implementasi Teori …………………………………………………... 14 B. Implementasi Visual …………………………………………………. 15 BAB IV PENUTUP
ix
A. Kesimpulan …………………………………………………………… 22 B. Saran ………………………………………………………………….. 23 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
x
Gambar 1 : “ibu I” Gambar 2 : “Long journey” Gambar 3 : “ibu” Gambar 4 : “tanah sengsara” Gambar 5 : “wanita karir in action” Gambar 6 : “my prerogatif” Gambar 7 : “ibu II”
ABSTRAK
xi
Tommy Rizaldy, C 0600029, Ibu Sebagai Sumber Ide Dalam Penciptaan Karya Seni Lukis, Mahasiswa Seni Rupa Murni Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Permasalahan yang dibahas dalam penulisan tugas akhir ini, yaitu (1) Mencoba membuka cakrawala tentang perempuan, yang selama ini secara bawah sadar kita masih mensubordinasikannya. Serta bagaimana perempuan dapat menjadi sumber ide dalam penciptaan karya? (2) Bagaimana intepretasi yang bersumber dari perempuan menjadi proses penciptaan dan visualisasi karya ? Tujuan Tugas Akhir ini adalah (1) Memberikan gambaran tentang perempuan dari fenomena yang ada. (2) Menggambarkan tentang perempuan yang dituangkan dalam karya lukis. Penulis mencoba berkomunikasi tentang masalah sosial dengan lukisan sebagai sarana penyampaian pesan dan sebagai media berekspresi. Media lukisan konvensional bagi penulis cukup untuk mengartikulasikan pesan secara lebih luas melalui warna, garis, bentuk, maupun simbol yang terbentuk dalam lukisan. Dalam karya ‘Tugas Akhir’ ini, penulis menciptakan tujuh buah karya lukis. Tujuh buah karya lukis tersebut terdiri dari berbagai macam ukuran dengan tema ibu. Sedangkan mengenai tema dalam penulisan adalah memaparkan tentang fenomena perempuan dalam hal ini ibu yang hidup ditengah budaya modern, tentunya ada banyak permasalahan didalamnya. Fenomena yang terjadi didalamnya menjadi ide dalam membuat karya lukis bagi penulis.
xii
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam perjalanan hidup perempuan ada dua tahapan yang harus dilalui untuk melengkapi kodratnya sebagai perempuan, yaitu menjadi anak dari ibunya kemudian sebagai ibu dari anaknya. Di luar seorang laki-laki juga mempunyai sifat ke-ibu-an, namun bisa dikatakan bahwa ibu adalah identik dengan perempuan. Ketika seorang anak hanya bisa dilahirkan melalui rahim, maka yang punya rahimlah yang secara otamatis menjadi ibu bagi si anak, yang dalam hal ini adalah perempuan. Seorang perempuan dalam merawat anaknya tidak hanya ketika anak telah lahir, namun ketika anak masih berupa janin dalam rahim, sang perempuan sudah mulai merawat sang bayi dengan asupan gizi melalui pusar sampai sang jabang bayi siap untuk menghirup udara dunia. Dalam hal ini hanya seorang perempuanlah yang dapat melakukannya. Namun, apakah cukup sampai disini tanggung jawab seorang perempuan terhadap anaknya? Tentu tidak demikian. Menyusui adalah masih menjadi kodrat perempuan yang harus tetap dijalani, karena ASI sangatlah dibutuhkan oleh seorang bayi yang baru lahir. “ASI yang keluar pertama hingga hari ke lima atau ke tujuh dengan warna kekuningan mengandung zat putih telur atau protein yang kadarnya tinggi dan zat anti infeksi atau kekebalan. Kolostrum sangat sesuai dengan kondisi bayi di hari-hari pertama kelahirannya karena bayi belum pantas menerima beban yang akan memberatkan kerja ginjal. Dan kolostrum mengandung faktosa dan lemak dalam kadar rendah sehingga mudah dicerna. Pemberian ASI eksklusif harus diberikan sejak bayi lahir sampai sekitar 6 bulan. Dengan menyusui secara benar dan teratur kebutuhan bayi selama 6 bulan akan terpenuhi tanpa adanya makanan tambahan. Sedangkan di atas usia 6 bulan bayi memerlukan makanan tambahan tetapi pemberian ASI dapat dilanjutkan sampai bayi berumur 2 tahun.” (Humas Forum Peduli ASI kota Kediri, 11 Juli 2006)
xiii
Jadi dapatlah dikatakan bahwa, ada kodrat yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja oleh seorang perempuan dengan atau tanpa alasan apapun. Jika kita melihat dalam lingkungan sosial sekitar kita yang sekarang, banyak perubahan dalam fenomena perempuan. Perempuan sekarang tidak hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga, namun telah banyak yang berada dalam ruang publik baik dalam ranah ekonomi, sosial, budaya, politik ataupun olahraga. Semua dilakukan atas nama karir yang sedikit banyak telah mengakibatkan dampak negatif bagi perkembangan anak. Fenomena tersebut banyak terinspirasi atau bentuk pengaruh paham feminisme Barat yang menurut penulis belum tentu semuanya dapat di aplikasikan pada kaum perempuan di Indonesia. Masyarakat Indonesia masih meyakini adanya kodrat yang melekat pada setiap individu laki-laki maupun perempuan. Begitu juga dengan hak dan kewajiban setiap individu dalam mengarungi proses kehidupan. Secara naluriah masing-masing individu sadar akan hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Benar jika karir adalah sebuah hak yang bisa dimiliki oleh siapapun. Namun ketika sebuah kewajiban yang sifatnya kodrati harus ditinggalkan demi sebuah hak, bukankah itu akan berdampak negatif? Sudah seharusnya perempuan khususnya yang telah menjadi ibu memposisikan kembali dirinya sebagai seorang perempuan seutuhnya yang dalam hal ini tidak meninggalkan kewajiban untuk memenuhi kodrat-kodrat yang telah melekat pada dirinya. Laki-laki dan perempuan memang diciptakan untuk saling melengkapi. Seperti halnya dua sisi keping mata uang yang tidak dapat dipisahkan, laki-laki dan perempuan hendaknya dapat bekerja sama dalam pemenuhan persoalan kehidupan, sehingga saling menutupi kekurangan masing-masing. Jika ada pernyataan bahwa laki-laki juga bisa menjadi seorang ibu, itu hanya sebatas sifat-sifat seperti menyayangi, memelihara, merawat dan lainnya yang tidak bersifat naluriah. Naluri seorang ibu hanya dapat dimiliki seorang ibu. Namun bukan berarti seorang laki-laki tidak bisa menjadi ibu, karena sifat ke-ibu-an bisa juga dimiliki oleh laki-laki tapi tetap pada batas yang tidak bersifat kodrati. Permasalahan sosial pada umumnya dan perempuan pada khususnya memang menjadi tema yang selalu menarik perhatian penulis sebagai stimulus penciptaan
xiv
karya. Mereka yang masih konsisten terhadap tanggung jawab kodratinya menjadi sangat menarik, ditengah budaya global yang menawarkan kemudahan hidup. Melalui perasaan dan membingkainya dengan media lukis dari sudut pandang penulis sebagai ungkapan untuk turut berdialog dalam permasalahan-permasalahan tersebut.
B. BATASAN MASALAH Dalam batasan masalah, penulis membatasi masalah pada perempuan yang secara kodrati memang milik perempuan juga sifat keibuan yang memang identik dengan sifat perempuan. Dan penulis hanya akan fokus terhadap perempuan dewasa dan yang telah menjadi ibu. Dari keberagaman fenomena sekarang, tentang perempuan dan sifat keibuan, dalam konteks kehidupan pasti terdapat sesuatu yang menarik setiap fragmennya, sesuatu yang bisa menjadi stimulan bagi penulis untuk menciptakan karya lukis.
C. RUMUSAN MASALAH 1. Mencoba membuka cakrawala tentang perempuan, yang selama ini secara bawah sadar kita masih mensubordinasikannya. Serta bagaimana ibu dapat menjadi sumber ide dalam penciptaan karya. 2. Bagaimana intepretasi yang bersumber dari ibu menjadi proses penciptaan dan visualisasi karya ?
D. TUJUAN PENULISAN 1. Memberikan gambaran tentang ibu dari fenomena yang ada. 2. Menggambarkan tentang ibu yang dituangkan dalam karya lukis.
xv
BAB II KAJIAN TEORI
A. PENGERTIAN PEREMPUAN Perempuan adalah label atau nama untuk jenis kelamin salah satu jenis manusia. Dari sisi fisik, perempuan sudah mempunyai karakteristik atau ciri khas sendiri. Contohnya adalah tumbuhnya payudara ketika sudah dewasa sebagai alat untuk memberi makanan secara alami kepada si jabang bayi. Ciri fisik yang lain adalah pinggul yang besar, tidak adanya jakun, dan mempunyai vagina sebagai alat reproduksi. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga terbitan Balai Pustaka mengatakan, perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003: 856) Ciri secara fisik tersebut cukup membedakan seperti apa perempuan dan bukan perempuan. Sedangkan ciri lain yang bukan fisik, yang mengarah kepada identitas perempuan, bahwa perempuan selalu diidentikan dengan sifat-sifat lemah lembut, sifat merawat, sifat memberi, sifat pengasih dan penyayang, dan sifat yang lainnya yang banyak diamini oleh sebagian besar manusia bahwa sifat-sifat tersebut identik milik perempuan. B. PENGERTIAN IBU Ibu adalah kata kerja, Bapak adalah kata benda. Ibu yang bekerja, bapak yang mendapat status-nya di mata publik. Dan perempuan ini adalah manifestasi yang paling riil dari itu semua. (http://www.google.com/indonesia perspective feminist theory & practice. Diakses 26 februari 2008). …seorang ibu adalah subjek yang paling dikorbankan dari tiap transisi budaya…(http://www.google.com/ibu. diakses 26 februari 2008). Ibu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, adalah orang perempuan yang telah melahirkan seseorang, sebutan untuk wanita yang telah bersuami, atau, panggilan yang takzim kepada wanita yang sudah atau belum bersuami. Wanita menurut kamus yang sama, adalah perempuan dewasa. Wanita karier berarti wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha, xvi
perkantoran, dan sebagainya). Yang agak seru adalah definisi tentang perempuan. Kamus itu menyebutkan, perempuan adalah "Orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat
menstruasi,
hamil,
melahirkan
anak,
dan
menyusui".
(http://www.google.com/ibu/chaidir.com, diakses pada tanggal 7 februari 2008)
C. PENGERTIAN KODRAT Yang disebut dengan kodrat adalah keistimewaan yang diberikan Tuhan sejak lahir kepada perempuan dan laki-laki dan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain. Kodrat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga adalah, kodrat: 1 kekuasaan (Tuhan): manusia tidak akan mampu menentang - - atas dirinya sbg makhluk hidup; 2 hukum (alam): benih itu tumbuh menurut … nya; 3 sifat asli; sifat bawaan: kita harus bertindak sesuai dng … kita masing-masing. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003: 587) Kodrat manusia bukanlah suatu yang secara pasti, tetap, dan rinci sudah dirumuskan oleh Sang Pencipta sehingga manusia tinggal melaksanakannya, melainkan sesuatu yang masih bersifat umum dan terbuka bagi perkembangan. (http://www.google.com/etika.html, 2007) Perbedaan biologis yang bersifat kodrati antara laki-laki dan perempuan merupakan keistimewaan yang telah diberikan Tuhan agar dapat menyadari kekurangan masing-masing sehingga timbul kesadaran untuk saling melengkapi. Sesuatu yang sifatnya kodrati akan menjadi kehilangan manfaatnya bila tidak digunakan dengan semestinya. Bisa jadi akan menimbulkan dampak negatif bagi keseimbangan hidup. Setiap kodrat memiliki fungsinya masing-masing yang oleh sebab itu menjadi wajib bagi sang pemilik kodrat untuk menjalaninya. Kewajiban yang timbul dari adanya kodrat yang melekat ini disebut dengan kewajiban kodrati. Artinya kewajiban ini tidak bisa digantikan oleh orang lain.
xvii
D. PENGERTIAN SENI 1. Definisi Seni Beberapa definisi dan pengertian kata seni: pengertian kata seni kita ambil dari Inggris art, yang berakar dari kata Latin ars, yang berarti: “ketrampilan yang diperoleh melalui pengalaman, pengamatan atau proses belajar”. Dari akar kata ini kemudian berkembang pengertian yang diberikan oleh kamus Webster sebagai berikut:
“penggunaan
menghasilkan
ketrampilan
benda-benda
dan
estetis.”
imajinasi
secara
kreatif
dalam
(http://www.google.com/Webster’s
Collegiate Dictionary, 1973 : 63) Pengertian lain diambil dari bahasa Belanda kunst, yang mempunyai definisi sebagai berikut: “suatu kesatuan secara struktural dari elemen-elemen estetis, kwalitas-kwalitas teknis dan ekspresi simbolis, yang mempunyai arti tersendiri dan tidak lagi membutuhkan pengesahan oleh unsur-unsur luar untuk pernyataan dirinya”. (http://www.google.com/Winkler Prins : 427) Definisi seni Kamus Umum Bahasa Indonesia: kecakapan membuat (menciptakan) sesuatu yang elok-elok atau indah. Sesuatu karya yang dibuat (dicipta) dengan kecakapan yang luar biasa seperti sanjak, lukisan, ukiran-ukiran dsb. (http://www.id2.com, 2007) Jakob Sumardjo mengungkapkan bahwa, seni sejak dahulu dikategorikan sebagai artefak atau benda bikinan manusia. Pada dasarnya, artefak itu dapat dikategorikan menjadi tiga golongan yakni, benda-benda yang berguna tapi tidak indah, kedua benda-benda yang berguna dan indah, dan yang ketiga benda-benda yang indah tapi tidak ada nilai praktisnya. Jenis yang ketiga ini yang dibecarakan dalam estetika (J. Sumardjo, 1998: 24). 2. Kompenen Seni Dalam dunia kesenian terkandung beberapa komponen yang mendukung terciptanya sebuah karya seni. Semua kompenen tersebut saling terkait dan berpengaruh satu sama lainnya. Adapun komponen-komponen itu diantaranya adalah; a. Subject Matter
xviii
Hampir dapat dipastikan pada setiap karya seni mempunyai subjek matter. Secara teoritis subjek matter harus dibedakan dengan tema. Subjek matter berada di dalam karya seni, sedang tema berada diluar karya seni. Oleh karena itu biasanya oleh senimannya maka subjek matter itu dipakai sebagai “judul” karyanya. Dan dengan “judul” karya seni, penghayat merasa dituntun untuk dapat menangkap keseluruhan bentuk karya. Subjek matter pada karya seni itu adalah berasal dari kesatuan kualitatif hasil pengolahan batiniah seniman terhadap hal-hal atau apa saja yang dianggapnya hakiki pada objek, baik yang bersifat aktual maupun yang ideal. (Suryo Suradjijo, 2000: 65) Menurut Ocvirk, subject matter yang digunakan seniman dalam hal ini bisa saja berfungsi sebagai perangsang kreativitas. Dalam menghadapi subyek seorang seniman
berusaha
menampilkan
karakternya
sesuai
dengan
pandangan pribadinya, atau dapat juga berusaha menampilkan apa adanya. Suatu problem penciptaan karya seni bukan ‘apa’ yang harus dipakai seniman sebagai subyek, tetapi ‘bagaimana’ seseorang dapat menampilkannya untuk mewujudkan karakternya (P. Mulyadi, 1997: 16). b. Bentuk Bentuk dalam karya seni adalah aspek visualnya, atau yang terlihat yaitu karya seni itu sendiri. Bentuk dikenal pula sebagai ‘Totalitas’ karya yang merupakan organisasi unsur-unsur rupa, sehingga terwujud apa yang disebut karya. Unsur-unsur yang dimaksud adalah; garis, bidang, gelap-terang dan warna. Ini berarti bahwa bentuk adalah sesuatu yang dapat ditangkap dengan panca indera, yaitu dilihat dan diraba (P. Mulyadi, 1997: 16). Sebuah benda seni harus mempunyai wujud agar dapat diterima secara inderawi oleh orang lain. Tetapi wujud ini tidak serta-merta menjadi karya seni. Nilai yang biasa ditemukan dalam karya seni adalah nilai bentuk dan nilai isi (J. Sumardjo, 2000: 35). Bentuk adalah suatu organisasi , totalitas, keseluruhan atau kesatuan hubungan antara unsur-unsur pendukung bentuk (garis, shape, value, tekstur
xix
dan warna), sehingga masing-masing unsur itu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang juga dengan keseluruhan. “Bentuk” sebuah karya seni itu terjadi karena adanya kesatuan hubungan timbal balik antara unsur dasar antara yang satu dengan yang lain, dan antara setiap dasar itu dengan keseluruhannya, sehingga masing-masing unsur dasar itu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain juga dengan keseluruhannya. Keseluruhan hubungan itu secara organis dengan hubungan mutualistis. Dengan hubungan organis itu maka “bentuk” bukan sekedar jumlah yang bersifat kualitatif. (Suryo Suradjijo, 2000: 67). c. Isi Selain bentuk dalam karya seni juga terdapat isi yang disebut sebagai kualitas yang ada dalam karya seni. Isi juga dimaksudkan sebagai mood (suasana hati) atau pengalaman penghayatan. Isi merupakan arti yang penting dari bentuk, dan sering kali dinyatakan sebagai sejenis emosi, aktivitas intelektual pengamatan yang kita lakukan terhadap suatu karya seni. Apabila ada suatu usaha untuk menganalisa, mengapa bentuk dari suatu karya menimbulkan emosi atau ekspresi terhadap kita, atau juga merangsang aktivitas intelektual penghayatnya, sebenarnya kita sedang berhadapan dengan isi. Frank J. Mather menyatakan bahwa isi dan bentuk merupakan dua aspek yang didalamnya ada sesuatu yang sama, dimana bentuk mengandung isi. Isi adalah sesuatu keseluruhan dari pada suatu karya seni sebagai yang diangankan oleh pengalaman batin dan disamping itu memperlihatkan gerak yang bertolak dari suatu ide yang mempunyai arti penuh, kemudian menuju kepada gambaran yang muncul secara sensual. Maka pada gambaran yang mendahului terlahirnya bentuk yang utuh, isi itu memperlihatkan arahan yang afektif sehingga merupakan gambaran yang final (P. Mulyadi, 1997: 16). Ditinjau dari segi proses penciptaan karya, “isi” adalah hasil tuangan seluruh kehidupan jiwanya. (Suryo Suradjijo, 2000: 74)
xx
Ditinjau dari segi penghayatan, “isi” sebuah karya seni adalah kesatuan hubungan nilai-nilai hakiki obyek yang telah diberi makna oleh penghayat, sehingga “isi” merupakan kesan terakhir dari pengalaman estetis penghayat berada di dalam idea penghayat sendiri dalam membentuk “bentuk” karya. (Suryo Suradjijo, 2000: 74) 3. Medium Media merupakan suatu pilihan yang disesuaikan dengan ide sehingga membantu dalam proses penciptaan karya. Persinggungan ihwal karya seni yang menyangkut medium mengarah pada proses lahiriah dan konkretnya karya seni. Medium meliputi bahan (material), alat (tool), dan teknik (technique). Perihal alat dan
bahan
yang
diperhatikan
adalah
ciri,
sifat,
kemungkinan,
dan
keterbatasannya. Teknik ada dua kategori; yang konvensional dan bersifat pribadi atau non konvensional (Mikke Susanto. 2003: 21) 4. Teknik. Mengenal seluk beluk teknik seni dan menguasai teknik tersebut amat mendukung seorang seniman untuk menuangkan gagasan seninya secara tepat seperti yang dirasakan. Ini karena bentuk yang dihasilkan amat menentukan kandungan isi gagasannya. Dengan demikian, penguasaan teknik sangat penting dalam penciptaan karya seni. Makin mengenal dan menguasai teknik, makin bebas pula seorang seniman menuangkan segala aspek gagasan seninya. Gagasan yang hebat tanpa disertai penguasaan teknik seni yang hebat pula, dapat mengganggu kelahiran karya seni (Jakob Sumardjo.2000: 96). Teknik merupakan salah satu pengukur kelogisan penggunaan alat dan material dan korelasi antara obyek seni dengan fungsinya (Bangun. 2000: 21). Teknik ada dua kategori; yang konvensional dan bersifat pribadi atau non konvensional (Mikke Susanto. 2003: 21).
D. SENI SEBAGAI MEDIA EKSPRESI Setiap manusia memerlukan sarana dan media untuk menyalurkan atau melepaskan kegelisahan yang muncul dalam dirinya. Setiap orang mempunyai cara
xxi
pandang yang berbeda dalam menyalurkan emosi atau gejolak. Seni merupakan salah satu cara diantara sekian banyak cara yang bisa digunakan untuk mengungkapkan keprihatinan dan kegelisahan yang dirasakan manusia. Kegelisahan itu sendiri disebabkan karena adanya keterbatasan manusia dalam mengungkapkan gejolakgejolak yang terjadi. Menurut Ki Hajar Dewantara, “Seni yaitu segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia”. Dalam hal ini seni juga merupakan produk keindahan yang dapat menggerakkan perasaan indah orang lain yang melihatnya. Berbeda dengan definisi yang terdahulu, yang dikemukakan Ahdiat K. Miharja yaitu bahwa “Seni adalah kegiatan rohani manusia yang direfleksikan kenyataan dalam suatu karya yang berkat maupun isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani si penerimanya”. Dalam definisi ini dengan tegas dinyatakan bahwa seni adalah kegiatan rohani, bukan semata-mata kegiatan jasmani. (P.Mulyadi, 1997 : 5) Menurut Thomas Munro, ”Seni adalah alat buatan manusia untuk menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lain yang melihatnya. Efek tersebut mencakup tanggapan-tanggapan yang berwujud pengamatan, pengenalan, imajinasi yang rasional maupun emosional”. Dalam pandangan ini, selain ditekankan sebagai kegiatan rohani, seni harus ditanggapi secara serius dengan segenap fungsi-fungsi jiwa yang ada. Dengan demikian melihat suatu lukisan tidak cukup hanya mengetahui obyek yang dilukiskan, melainkan tanggapan kita harus sampai kepada bagaimana sikap kita terhadap obyek tersebut, misalnya pengalaman apa yang pernah kita rasakan sehubungan dengan obyek tersebut. Dari batasan-batasan tersebut Sudarso SP memberikan kesimpulan sementara bahwa “Seni adalah hasil karya manusia yang mengkomunikasikan pengalamanpengalaman batinnya, pengalaman batin tersebut disajikan secara indah dan menarik sehingga memberikan atau merangsang timbulnya pengalaman batin pula kepada manusia lain yang menghayatinya”. Kelahirannya tidak didorong oleh hasrat memenuhi kebutuhan manusia yang pokok, melainkan merupakan usaha untuk melengkapi dan menyempurnakan derajat kemanusiaannya atau memenuhi kebutuhan yang bersifat spiritual. (P.Mulyadi, 1997 : 6)
xxii
F. DISTORSI, ABSTRAKSI, SIMBOL DAN SIMBOLISME Istilah didalam seni baik istilah teknis maupun non teknis sangatlah beragam. Ada beberapa istilah teknis yang menyangkut dalam proses kreatif penulis dalam menciptakan karya seni lukis 1. Distorsi perubahan bentuk; penyimpangan; keadaan yang dibengkokkan. Dalam fotografi disebut pemiuhan makna. Pada keadaan tertentu dalam berkarya seni dibutuhkan, karena merupakan salah satu cara mencoba menggali kemungkinankemungkinan lain pada suatu bentuk/figur. (Mikke Susanto, 2002 : 33) Sedangkan munurut pendapat lain, distorsi ialah pengubahan bentuk yang lebih menonjolkan karakteristik visual obyek, sehingga mendapatkan bentuk menjadi lebih sempurna dari bentuk aslinya, atau untuk mendapatkan bentuk lain yang sesuai dengan konsep estetik seniman, sehingga sering tampak berlebihlebihan (Sunarto, 1998: 5). 2. Abstraksi 1 proses atau perbuatan memisahkan; 2 proses penyusunan abstrak; 3 metode untuk mendapatkan pengertian melalui penyaringan terhadap gejala atau peristiwa. Dalam seni rupa, proses ini kerap menjadi jalan untuk menangkap secara simpel dari sebuah objek/peristiwa/gejala. (Mikke Susanto, 2002 :11) Dalam Ensiklopedi Indonesia, Abstraksi (Ing.: abstraction). Merupakan proses pembentukan konsep dengan cara memisahkan ciri-ciri atau sifat-sifat esensial dari beberapa benda, dan kemudian sifat yang esensial ini dianggap sebagai hakikat dari beberapa benda tadi. Mis. jeruk, pisang dan jambu dapat digolongkan menjadi buah-buahan. Proses pembentukian konsep melalui abstraksi ini oleh J. Piaget dianggap sebagai proses perkembangan mental yang khas manusiawi serta merupakan ciri dari orang dewasa yang secara inteligentif normal; *abstrak. (ENSIKLOPEDI INDONESIA, 3, hal : 64, 1982) 3 Simbol bagi Sausure adalah satu bentuk tanda yang semu natural, yang tidak sepenuhnya arbiter (terbentuk begitu saja), atau termotivasi. Bagi Peirce, sebuah bentuk tanda berdasarkan pada konvensi. Simbol seharusnya ditunjukkan bahwa bagi Peirce, sebuah tanda dapat masuk dalam kategori yang ikonik, indeksikal atau simbolis, semua dapat terjadi pada saat yang sama. Dengan kata lain, satu
xxiii
aspek dari sebuah tanda tidak menghindari aspek-aspek lainnya. (Mikke Susanto, 2002 : 104) Sedangkan menurut pendapat lain mengenai istilah simbol adalah kata simbol berasal dari kata Yunani ‘Symbolos’ yang berarti tanda pengenal/lencana. Symbolos di yunani digunakan sebagai bukti identitas untuk mengikat persahabatan, misal; sebuah batu atau mata uang yang dibelah, sehingga pemegang setiap potongan mempunyai bukti konkret dari persahabatan mereka. Symbolos melambangkan dua orang atau lebih, merupakan tanda nyata dari sesuatu yang tidak kelihatan, seperti perkawinan, persahabatan, saling percayamempercayai (Sastro Pratejo, 1982: 55). Dalam pola kehidupan, orang jawa pada umumnya berkaitan dengan simbol-simbol. Dalam kamus umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwodarminto, disebut bahwa simbol adalah; 1. lambang yang menyatakan sesuatu hal yang mujarab, misal; lukisan, perkataan, lencana dsb, 2. Tanda pengenal yang tetap (menyatakan sifat, keadaan dsb), misal; warna putih ialah kesucian, gambar padi sebagai kemakmuran (Poerwodarminto, 1976: 378). Simbol merupakan tanda yang dapat melambangkan atau mewakili sesuatu atau benda secara orbiter (terbentuk begitu saja) dan konvensianal (kesepakatan). Simbol seni adalah kedalaman makna harfiah yang samar, kesadaran yang sebenarnya dirasakan dalam acuan kapasitas batiniahnya (Susanne K. Langer, 1988: 134). Sedangkan simbol dalam buku Bunga Rampai Seni oleh Suryo Suradjijo ditulis bahwa simbol seni adalah bentuk ekspresif itu sendiri. Ia adalah suatu simbol dalam suatu arti yang lazim, karena ia tidak menyampaikan sesuatu dari dirinya sendiri. Oleh karenanya ia tidak dapat dikatakan dengan tegas mempunyai “arti”, yang ia miliki ialah “makna” (Suryo Suradjijo, 1985: 41). Tetapi,
A.
Sudiarja
di
dalam
buku
Manusia
Multi
Dimensional
mengungkapkan bahwa simbol seni bukanlah suatu susunan, jadi tak dapat dikatakan teratur atau tidak teratur. Simbol seni adalah satu dan utuh, karena itu ia tidak menyampaikan “makna” (meaning) untuk “dimengerti”, melainkan “pesan” (import) untuk “diresapkan”. Terhadap “makna” orang hanya dapat mengerti atau
xxiv
tidak mengerti, tetapi terhadap “pesan” dari seni orang dapat tersentuh secara lemah dan secara intensif. Sehingga dalam hal ini terdapat elastisitas yang luas terhadap peresapan “pesan” seni itu. (A. Sudiarja, 1982: 77). 4. Simbolisme merupakan seni memilih analogi untuk ide-ide yang abstrak (misalnya merpati untuk perdamaian) dan merupakan sesuatu yang tidak asing dalam seni syair. (Mikke Susanto, 2002 : 104) Dalam Ensiklopedi Indonesia mengenai istilah ikon adalah, Ikon (dari Yun.: eikon = potret, gambar, bayangan). Gambar-gambar keagamaan, terutama di kalangan Gereja-Gereja Ortodoks Timur. Dalam kedudukan dan fungsinya, gambar-gambar tersebut berbeda dengan patung-patung keagamaan di dunia Kristen Barat; gambar-gambar ikon disejajarkan dengan doa dan sakramen. Di lingkungan Gereja Ortodoks Timur, sebuah ikon dianggap menghadirkan tokoh yang digambarkan secara nyata; pemujaan ikon tidak ditujukan kepada materi gambar, tetapi tokoh yang digambarkan dan kemiripan tokoh yang dimaksud dinyatakan dalam penggambaran. Gambar-gambar ikon yang pertama dikenal pada pertengahan abad ke-4. Lambat laun pemujaan-pemujaan pada gambargambar ikon meluas sedemikian rupa sehingga hampir mendekati takhayul, yang akhirnya menyebabkan timbulnya *ikonoklasme (726-843 Masehi). Setelah sikap pemujaan gambar-gambar dan patung keagamaan dipulihkan kembali, seni lukis ikon mengalami perkembangan subur. Penyerbuan dan penaklukan daerah-daerah Gereja Ortodoks Timur oleh Turki (dari abad ke-14 sampai ke-16) menghambat suatu gaya nasional dalam seni lukis ikon; hanya di Rusia kesenian itu sempat menemukan gaya sendiri yang khas. Pelukis ikon terbesar yang dikenal adalah Andrey Roeblyov (1360-1430). (ENSKLOPEDI INDONESIA, 3, hal : 1378, 1982)
xxv
BAB III IBU SEBAGAI SUMBER IDE DALAM PENCIPTAAN KARYA SENI LUKIS
A. IMPLEMENTASI TEORI Dalam mencipta karya seni, seorang pencipta memperoleh ide dari hasil pengalaman dan pengamatan lingkungan, kemudian melalui proses perenungan ataupun proses berpikir timbul gagasan atau ide yang melandasi penciptaan karya (Sunarto, 1998: 3). Dari fenomena yang terjadi dalam lingkungan sosial masyarakat kota (surakarta) berkembang semakin modern yang ditandai dengan semakin cepatnya perkembangan media dan teknologi, sehinga akses-aksesnya semakin mudah untuk didapatkan. Hal ini didukung pula oleh tumbuhnya pusat perbelanjaan yang semakin menjamur dan menawarkan hal yang baru, yang sangat potensial untuk merubah gaya hidup manusia dari segi gengsi, kemudahan, kenyamanan, privasi dan tren yang selalu up to date (terbaru). Hal tersebut secara bawah sadar menuntut masyarakat yang tertarik bergaya hidup modern selalu terpacu untuk mengikuti tren. Peluang-peluang tersebut yang sengaja diciptakan tanpa memikirkan dampak sosial, yang berakibat negatif bagi perkembangan masyarakat. Dalam perjalanan pembangunan modernitas yang selalu menawarkan kemudahan, kenyamanan, dan gengsi. Sifatnya yang instant tersebut menjadi sangat mudah dikonsumsi oleh masyarakat kelas bawah sekalipun. Mau tidak mau hal itu akan menimbulkan kepincangan budaya karena perubahannya yang cepat tanpa diimbangi dengan wawasan sosial secara luas. Perempuan yang hadir dan mengisi ruang-ruang modern tanpa ada wawasan sosial yang matang bisa jadi akan menjadi korban bagi modernitas itu sendiri. Fenomena didalam mall, super market, hypermarket, bisa dijadikan acuan atas perubahan budaya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan pasar modern dewasa ini sudah menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya hidup modern yang berkembang di masyarakat kita. Tidak hanya di kota metropolitan tetapi sudah merambah sampai kota kecil di tanah air. Sangat mudah menjumpai minimarket, supermarket bahkan hipermarket di sekitar xxvi
tempat tinggal kita. Tempat-tempat tersebut menjanjikan tempat belanja yang nyaman dengan harga yang tidak kalah menariknya. Propaganda budaya global (media, teknologi, demokrasi, HAM ataupun kebebasan) berpengaruh besar tehadap perubahan perilaku masyarakat tradisional – perempuan tanpa kecuali - sebagai konsumen atas produk yang ditawarkan, sehingga merubah perilaku kehidupannya. Dahulu perempuan selalu ada tempat secara eksklusif untuk mereka, namun sekarang kita bisa melihatnya berbaur secara bebas. Contohnya ketika ada konser band rock yang sedang berlangsung, maka sekarang kita bisa melihat banyak sekali perempuan yang ada disana berbaur dan ikut berekspresi di tengah-tengah penonton. Ini menandakan bahwa dinding pembatas juga aturan main yang telah disepakati oleh masyarakat konvensional sudah tidak relevan untuk jaman modern sekarang. Singkatnya, budaya global telah menggusur budaya lokal. Dalam paragraf diatas merupakan sesuatu yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sekarang. Bagaimana dengan perempuan khususnya yang menjadi ibu? Apakah makna ibu telah ikut bergeser juga seiring perubahan budaya? Tentu saja iya, namun hanya ibu yang terseret arus perubahan jaman saja tentunya yang berubah. Kenapa? Karena ibu yang lebih memikirkan keluarga dan lebih mempertimbangkan stabilitas ekonomi dalam keluarga mempunyai kebijaksanaan sendiri tanpa kontaminasi oleh promosi arus globalisasi yang menawarkan kemudahan hidup. Dan juga kaum ibu yang seperti itu perlahan menjadi marginal. Disitulah penulis melihat adanya kualitas ibu, secara bawah sadar mereka mampu mempertahankan kodratnya sebagai ibu atas jaman yang berusaha menghimpit makna ibu secara kodrati. Akibat dari terbatasnya ekonomi, menjadikan terbatasnya akses edukatif bagi mereka juga keluarganya. Hal itu mengakibatkan hanya nurani dan naluri sebagai sarana untuk menjalani kehidupannya yang sarat dengan tanggung jawab kodratinya.
B. IMPLEMENTASI VISUAL 1. Konsep Bentuk. Perpaduan dari pengolahan ide yang berasal dari pengamatan lingkungan, fenomena yang terjadi didalam kehidupan sehari-hari tentang perilaku perempuan (dalam hal ini ibu) seperti fenomena di ruang publik seperti mall, pasar
xxvii
tradisional, tempat bekerja, juga ruang privasi seperti dirumah, lingkungan kampung, mendorong penulis untuk mewujudkan (memvisualisasikan) sosok ibu yang mempunyai arti luas. Pemilihan figur manusia dan alam sebagai pelaku utama dari sasaran tema hanya berdasarkan imaginasi kehidupan riil. Bentuk yang dibuat dalam karya lukis mengacu pada bentuk riil, tetapi tidak baku. Alam dan manusia yang ditampilkan mengalami perubahan bentuk, namun tidak meninggalkan karakter asli obyek yang ditampilkan menurut kesesuaian persepsi penulis dari segi tema. Beberapa figur dalam karya-karya ada yang berubah, baik dari perubahan bentuk maupun perubahan makna. Seperti dalam karya yang berjudul “Ibu I”, justru penulis tidak menampilkan sosok perempuan sebagai ibu, namun seorang laki-laki yang sedang menyuapi anak kecil, seperti pekerjaan seorang ibu rumah tangga pada umumnya. Simbol ibu memang telah disepakati secara jender adalah perempuan, namun dalam karya ini simbol ibu terjadi pada sosok laki-laki. Karya tersebut adalah upaya penulis berbicara tentang perubahan makna yang mungkin terjadi secara kondisional didalam masalah sosial, seperti himpitan ekonomi keluarga, hilangnya pekerjaan kepala rumah tangga, sehingga memaksa perempuan untuk bekerja di ruang publik. Penguatan situasi disimbolkan dengan adanya bentuk pintu rumah dan tembok yang menyimbolkan lingkungan eksklusif, yaitu keluarga. Penulis tidak membatasi teknik dalam pengerjaan karya lukis ini dengan alasan untuk mencapai bentuk yang diinginkan, namun teknik yang dipakai sebagian besar menggunakan teknik kering dan teknik basah. Untuk bidang yang luas, penulis cenderung menggunakan teknik basah. Sedangkan untuk pengerjaan bentuk yang detil, penulis cenderung menggunakan teknik kering (tidak memakai campuran minyak, langsung dari tube) karena tingkat kesulitan dalam pengerjaan bentuk detil lebih tinggi dan koreksi lebih mudah dengan menggunakan teknik ini. Sedangkan beberapa bagian bentuk didalam lukisan ada yang memakai alat bantu, misalnya isolatip untuk membuat garis yang lurus. Warna dominan cerah karena menggambarkan situasi siang hari (daylight). Langit cerah dengan sinar rata, dan warna tanah agak dominan warna kuning menyerupai tanah padas dengan maksud lebih dramatis namun tidak lazim. Komposisi statis lebih tepatnya untuk
xxviii
mendefinisikan karya lukis ini, tenang, sepi, tidak banyak gejolak yang tergambarkan didalam karya. Karya “Long Journey” menggambarkan perjuangan hidup perempuan yang kodratnya sebagai ibu dari anaknya berusaha mengarungi samudera kehidupannya yang jauh dari keberpihakkan karena konstruksi sosial yang telah terjadi bertahuntahun. Penggambaran beratnya perjuangan hidup digambarkan dengan seorang perempuan menggendong anak kecil sedang mengayuh perahu dilautan pasir, dengan situasi senja yang seakan menandakan harapan sudah semakin tenggelam. Distorsi laut menjadi pasir merupakan pemaknaan penulis akan beratnya perjuangan, kerja keras, untuk mencapai tujuan dari harapan. Perahu, perempuan menggendong anak kecil, padang pasir, senja yang akan berganti malam merupakan simbolisme dari penggambaran penulis tentang kehidupan ibu yang berjuang hidup dan menghidupi di samudera kehidupan ini. Dengan komposisi statis, kesan yang ada seolah sepi, namun berat. Garis horizantal sebagai batas cakrawala memberi kesan lapang dan semakin memperkuat suasana kesendirian dan kesepian. Sedangkan warna situasi senja yang kekuning-kuningan dominan hitam lebih dramatis dalam suasana tersebut, menguatkan bahwa kondisi riil sang ibu memang benar-benar berjuang dalam menjalani hidup. Dalam proses pengerjaan karya ini, sebagian besar menggunakan teknik basah karena ruang yang luas lebih mendominasi dalam karya ini. Beberapa bagian menggunakan teknik kering, misalnya hole yang ada di padang pasirnya dan obyek ibu didalam lukisan. Karya “Ibu”, center of interest-nya adalah pohon gersang dengan rumput yang subur dibawahnya. Penulis mengibaratkan ibu yang selalu ikhlas dan rela berkorban. Apapun kondisinya hidup ini apabila tulus dalam menjalani, akan menumbuhkan estafet dalam ruang hidup setiap manusia selanjutnya yang secara sadar mengajarkan bahwa regenerasi dalam kehidupan akan selalu terjadi. Imajinasi penulis dalam menggambarkan pengorbanan tersebut dengan bentuk pohon yang kering, tetapi rumput dibawahnya bisa tumbuh subur hijau, seakan pohon tersebut rela mati demi kehidupan yang lain. Ada cahaya yang menyinari dari atas pohon tersebut menyimbolkan sesuatu yang diberkati, dalam hal ini xxix
dimaksudkan pohon yang kering tersebut mendapat kemuliaan. Teknik yang dipakai dalam proses pengerjaan lukisan ini hampir sama dengan pengerjaan lukisan yang lain yaitu teknik basah dan teknik kering. Untuk spot bidang yang luas, menggunakan teknik basah. Campuran minyak lebih dominan, dengan tujuan sapuan kuas lebih leluasa dan lebih merata. Kemudian dibagian obyek pohon, rumput, cahaya sinar, dan beberapa batuan kecil menggunakan teknik kering. Sedangkan langit memakai teknik dussel. Warna cenderung gelap, dengan usaha menggambarkan situasi riil ketika langit sedang mendung. Komposisi ini menggunakan komposisi tertutup, kesan mengarah ke titik center, dan tidak ada pergerakan. Didalam karya “My Prerogatif” adalah penggambaran perempuan yang mengaku perempuan modern yang sudah tidak memakai lagi aturan-aturan kodrati yang melekat padanya. Ide dasar terhadap karya lukis tersebut diperoleh ketika melihat fenomena di foodcourt salah satu Mall di kota Solo, beberapa kelompok perempuan muda yang tampak lebih mencolok dari sekian banyak pengunjung yang lain. Mereka memaknai kebebasan adalah sesuatu yang mutlak, seperti lifestyle (gaya hidup), tujuan hidup, dan penentuan pilihan ataupun keputusan adalah hak mutlak atas dirinya sendiri yang hampir mngesampingkan aspek kodratinya sebagai seorang calon ibu. Singkatnya, seakan tidak ada aturan kodrati yang dibebankan terhadap hidup mereka. Aspek tersebut yang menarik bagi penulis, karena bagi penulis hal tersebut merupakan sebuah ironi, karena menurut penulis bertentangan dengan aturan yang sifatnya kodrati yang dapat memberi dampak pada ritme keseimbangan hidup. Didalam karya bentuk obyek perempuan digambarkan vulgar, dengan rambut berwarna merah dengan posisi tangan terangkat memegang kepala bagian belakang seolah membuka diri. Bagian perut menghadap terbalik 360 derajat dari badan. Lukisan ini sindiran dari penulis terhadap beberapa kaum perempuan muda seperti yang diungkapkan diatas. Bentuk obyek didistorsi demikian adalah usaha penulis atas ide dan ungkapan dari ide tersebut. Teknik menggunakan teknik kering, sedangkan latar belakang dengan dussel.
xxx
Karya “Wanita Karir in Action”, adalah penggambaran ibu yang bekerja di ruang publik. Di satu sisi, tuntutan pekerjaan yang meminta profesionalitas sehingga mau tidak mau berusaha sebaik mungkin demi karir yang digelutinya untuk capaian yang terbaik, namun disisi lain kewajiban atas kodrat yang juga dibebankan terhadapnya tidak boleh dilupakan. Polemik disini merupakan aspek nurani si perempuan terhadap tanggung jawabnya. Bagi penulis merupakan hal yang ironis ketika karir sang ibu lebih penting namun anaknya menjadi terlantar, walaupun alih-alih bekerja untuk kehidupan keturunannya (anak) namun dari segi kuantitas waktu juga sangat berpengaruh besar terhadap kualitas hubungan antara ibu dan anak. Warna yang ditampilkan menggunakan warna yang mencolok, menyiratkan bahwa menjaga sebuah karir harus lebih menonjol dari yang lain. Tampil cantik dan sempurna demi karir. Teknik yang digunakan dalam pembuatan lukisan ini sebagian besar menggunakan teknik kering. Komposisi tertutup dengan center of interest ditengah-tengah bidang gambar. Karya “Tanah Sengsara”, menggambarkan setiap orang selalu bermimpi tentang hal yang indah-indah, membuat harapan, berangan-angan yang ideal untuk dirinya. Setiap ibu akan selalu membuat harapan yang indah terhadap generasi atau keturunannya, juga terhadap kehidupannya. Namun apabila kenyataan yang dijalaninya sekarang masih jauh dari harapan ataupun anganangannya, maka harapan tetaplah harapan sejauh mata bisa memandang, dan kaki masih tetap berjalan dikehidupannya yang nyata. Cerita antara angan dan realita selalu ada di setiap manusia, angan dan realita adalah dua ruang yang berbeda. Karya ini dibuat atas dedikasi kaum ibu terhadap tanggung jawabnya sebagai ibu yang dalam kehidupan nyata masih jauh dari kesejahteraan, kenyamanan dan kebahagiaan hidup, namun tetap ikhlas menjalaninya. Teknik dalam melakukan proses pengerjaan lukisan ini menggunakan teknik basah, teknik kering dan dussel. Seperti pada lukisan yang lain, untuk pengerjaan bidang yang luas cenderung memakai teknik basah. Background adalah yang pertama digarap, kemudian semakin lama semakin mendetil di bagian obyek-obyek yang ada di lukisan. Beberapa bagian menggunakan teknik dussel, seperti pada kabut di
xxxi
belakang perbukitan. Warna pada lukisan ini cenderung cerah, menampilkan warna natural. Komposisi ini statis, tidak bergerak dan hening. Karya “Ibu II”, menggambarkan kondisi alienasi perempuan, dalam hal ini seorang ibu. Kondisi tersebut menjadikan kebesaran jiwa, dan kemampuan bertahan dengan berbagai kondisi yang dialami apabila menerima dan rela menjalani tekanan dan batasan yang diberikan kepadanya. Figur perempuan dewasa dengan posisi kedua tangan terpenjara oleh sayapnya sendiri adalah artikulasi kondisi alienasi perempuan yang dalam hal ini adalah ibu. Teknik dalam proses pengerjaan lukisan ini menggunakan teknik kering dan teknik basah. Bidang yang luas lebih cenderung menggunakan teknik basah, sedangkan beberapa bagian yang mendetil cenderung memakai teknik kering. Ada juga beberapa bagian yang dilakukan dengan dussel guna mencapai apa yang penulis inginkan. Background adalah yang pertama digarap, kemudian proses terakhir adalah pengerjaan figur tersebut. Warna cenderung kelam, tidak cerah. Komposisi pada lukisan ini adalah komposisi statis. Tidak ada pergerakan yang berarti, hanya diam dan hening. 2. Media Penulis menggunakan media kanvas dan cat minyak. Kanvas yang dipakai adalah kain kanvas mentah yang diproses sendiri menjadi kanvas jadi yang siap dipakai untuk melukis. Kanvas dibuat menurut kesesuaian atas karya yang akan dibuat, karena menyangkut kenyamanan dalam pembuatan karya. Dalam proses membuat kanvas sebagai media utama dalam melukis, penulis menggunakan bahan cat genteng warna putih yang dicampur dengan lem kayu. Campuran antara lem kayu dan cat genteng menurut kesesuaian atas karya yang akan dibuat, bisa jadi prosentase campuran cat genteng sebagai pelapis kanvas lebih besar dari lem kayu atau sebaliknya. Proses yang pertama adalah membuat dasaran, yaitu menutup pori-pori kain kanvas. Hal ini dilakukan secara berulang-ulang sampai dirasa cukup untuk menutup pori-pori kain kanvas. Kemudian proses selanjutnya adalah pelapisan dari lapisan dasar tadi, proses inipun dilakukan secara berulang-ulang untuk satu
xxxii
media kanvas dikarenakan kualitas lapisan berpengaruh dalam karya, baik kenyamanan maupun ketahanan untuk karya tersebut. Cat minyak yang digunakan adalah cat minyak yang mempunyai kualitas menengah keatas, seperti cat minyak dengan merk dagang Amsterdam, Winton, juga Classico. Alasan digunakan jenis cat minyak tersebut adalah karena kualitas pigmen yang menurut penulis sudah mencukupi untuk proses dalam membuat karya, dan jenis karakter cat minyak tersebut dirasa cukup nyaman oleh penulis untuk proses membuat karya.
xxxiii
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN Perempuan mempunyai karakter tersendiri baik secara fisik maupun psikis. Sifatsifat dari karakter tersebut sudah menjadi fitur bawaan sejak lahir, dalam arti kodratnya. Perempuan akan menjadi ibu yang secara kodrat melahirkan dan merawat pertumbuhan anaknya. Dari sini sudah menegaskan bahwa ada sebuah tanggung jawab yang tidak bisa digantikan oleh orang lain. Proses mengandung, melahirkan sampai dengan merawat anak adalah tugas yang harus dikerjakan dengan sebaik mungkin oleh seorang ibu. Hubungan darah yang ada pada ibu dan anak membuat perkembangan anak menjadi lebih berkualitas jika diasuh sendiri oleh sang ibu. Di sisi lain, arus globalisasi memang tak terbendung. Sebagai sebuah negara yang demokratis, masyarakat Indonesia dituntut untuk lebih selektif dan inofatif dalam menanggapi dan menyikapi budaya global yang masuk. Gesekan budaya antara lokal dan global, mau tidak mau membuat nilai, makna dan fungsi budaya lokal menjadi bergeser yang akhirnya menjadi polemik tersendiri. Kesetaraan jender, HAM, dan isu global lainnya yang masuk dalam tatanan budaya lokal tanpa filter yang memadai untuk menyaring dan mengartikulasikan tujuan dari budaya baru tersebut, justru akan membuat carut marut tatanan yang sudah berjalan dengan baik sesuai kondisi budaya yang sudah ada. Home schooling, baby sister, penitipan anak dan yang lainnya merupakan fenomena yang memperlihatkan pergeseran peran dan fungsi dari seorang ibu. Hal ini menjadi sebuah kondisi yang perlu kita sikapi bersama. Jangan sampai mengatasnamakan modernisasi, namun masa depan Bangsa menjadi semakin terpuruk. Modernisasi berarti menjadikan masyarakat lebih berkualitas dan mandiri. Maju mundurnya sebuah Bangsa harus didukung dari semua elemen, tak terkecuali ibu. Anak-anak adalah masa depan Bangsa, dan para ibulah yang menjadikannya kuat atau lemah dalam menghadapi roda kehidupan yang semakin berkembang cepat.
xxxiv
Maka dari itu, perlu kiranya mengembalikan dan menghidupkan lagi peran dan fungsi dari seorang ibu. Dalam falsafah kita menyebutkan, laki-laki pusakanya rumah, sedangkan perempuan adalah tiangnya. Apa yang terjadi pada sebuah rumah jika tiangnya rapuh? Jika Negara Jepang menjadi sedemikian maju karena peran seorang ibu dalam perkembangan anaknya, kenapa kita tidak? Ketika transisi budaya tersebut di atas masih berjalan, maka wawasan, pengetahuan dan nurani dari seorang ibu dalam mencetak generasi selanjutnya, menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Tentunya oleh ibu dari anak-anaknya sendiri. Sekarang, wacana seperti dalam paragraf-paragraf diatas telah dapat kita rasakan di sekitar kita. Tatanan kehidupan yang berubah membuat kondisi kehidupan berubah juga. Secara umum yang paling merasakan aspek kebutuhan hidup yang paling mendasar adalah para ibu. Mampu tidak mampu harus mengikuti perkembangan jaman. Terlepas dari berkualitas atau tidaknya kemampuan ekonomi maupun wawasan baik secara ilmu ataupun pengtahuan, kasih dan sayangnya terhadap orangorang yang dikasihi dan disayanginya sangatlah besar, sehingga mampu hidup dan menghidupi orang-orang yang dikasihi dan disayangi didalam kehidupan.
B. SARAN Wacana jender, HAM, Demokrasi dan yang lain sudah bukan barang baru sekarang ini. Namun tak perlu kita pungkiri jika dalam masyarakat kita masih banyak yang menyalah artikan wacana tersebut. Setiap manusia bebas menentukan pilihan bagi hidup masing-masing. Setiap manusia juga bebas menafsirkan sesuatu. Namun ada sebuah pilihan yang bukan pilihan kita tapi kita harus menjalaninya, yaitu kodrat. Ada yang ingin menjadi laki-laki, ada yang ingin menjadi perempuan, dan ada juga yang tak ingin dilahirkan. Tak perlu menyalahkan ini itu, dan tak perlu mengalahkan sana sini. Manusia lahir dengan membawa kodratnya masing-masing. Jika semua berjalan sesuai dengan relnya masing-masing, maka akan sampai ke tujuan tanpa halangan suatu apapun.
xxxv
EKSPRESI TEKANAN BATIN TERHADAP KEADAAN SOSIAL MELALUI MEDIA SENI LUKIS Tamban Arif Maulana* Triyono Widodo** Fenny Rochbeind** Progran Studi Pendidikan Seni Rupa FS Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang 5 Malang 65145Alamat e-mail:
[email protected] Abstrak: Penciptaan ini bertujuan untuk mengetahui proses penciptaan karya lukis yang merupakan ekspresi tekanan batin terhadap keadaan sosial dan mengetahui wujud karya seni yang merupakan ekspresi tekanan batin terhadap keadaan sosial. Dalam penciptaan karya seni lukis ini pencipta menggunakan metode dengan menggabungkan tiga teknik yaitu pertama dalam pembuatan latar belakang (background) dilakukan dengan teknik cipratan. Teknik yang kedua adalah dalam pembuatan objek, dengan teknik yang berbeda yaitu menuangkan pigmen cat langsung dari botol sehingga tercipta pengelompokan-pengelompokan (genangangenangan) pigmen cat yang terpisah. Teknik yang ketiga adalah mempertegas bagian-bagian dari objek yang tercipta dari genangan pigmen cat sebelumnya menggunakan unsur garis lengkung. Kata kunci: seni lukis, keadaan sosial
Dalam bahasa Inggris lukisan dikenal sebagai istilah painting. Sedangkan proses untuk menghasilkan painting disebut dengan to paint yang berarti mengecat, yaitu mengecatkan bahan tertentu pada suatu permukaan. Lukisan dapat diartikan sebagai suatu jenis karya seni rupa yang perwujudannya terdiri atas unsur-unsur bidang berwarna (Widodo,1992:4). Mengecat bahan warna pada permukaan seperti yang diungkapkan pada uraian diatas, tidak disamakan pengertiannya dengan mengecatkan bahan warna pada permukaan tembok atau kayu ataupun pada permukaan bidang lain yang sifatnya untuk menutupi sifat (karakteristik) bahan karena pengecatan warna pada lukisan akan membentuk elemen-elemen visual seperti titik, garis, bidang, bentuk, ruangan dan tekstur dengan prinsip-prinsipnya. Selain itu, lukisan sebagai karya yang memiliki nilai seni yang dihasilkan dari ekspresi pencipta, dapat memberikan pengalaman baru bagi penerimanya.
Seni lukis dari sudut pandang sikap mental berkarya dapat didefinisikan sebagai aktivitas berolah rupa yang pada prosesnya lebih menekankan pada kebebasan ekspresi pencipta (Widodo, 1992). Seorang pencipta memiliki kebebasan untuk menciptakan visualisasi karya yang diciptakan. Deformasi bentuk atau mengganti warna pada jenis karya seni atau visualisasi karya bentuk imajinatif (abstrak) merupakan proses penciptaan karya yang wajar dan sah. Seorang pelukis realis tidak harus meniru bentuk seperti yang tampak. Pelukis realistis, representational atau abstrak berhak untuk menambahkan ide berdasarkan pengalaman yang dimiliki ke dalam lukisan yang diciptakan. Lukisan diciptakan untuk berbagai tujuan seperti menciptakan keindahan, memberikan hiasan, menampakkan kebenaran, mengungkapkan nilai-nilai religious, mengungkapkan fantasi, mencatat pengalaman, mencerminkan keadaan sosial budaya atau untuk mengungkapkan masalah secara umum. Karya seni dengan berbagai peran ini berfungsi untuk memenuhi kebutuhan rohani, yaitu sebagai media ekspresi bagi pencipta atau sebagai media apresiasi bagi penerimanya dapat disebut sebagai lukisan. Menurut Widodo (1992:11) seni lukis dari sudut pandang fungsi dapat didefinisikan sebagai karya seni yang diciptakan semata-mata sebagai sarana curahan isi hati penciptanya. Keadaan sosial merupakan suasana/situasi yang sedang berlaku yang berkenaan dengan masyarakat, berkaitan dengan definisi seni dari pandangan Susane K. Langer yaitu seni bentuk ekspresi yang diciptakan bagi persepsi penerima lewat indera dan penciteraan, kegembiraan, gairah, ketegangan, tekanan pikiran, atau emosi yang kompleks dalam kehidupan manusia. Dari hal ini dapat dilihat bahwa peranan keadaan/kehidupan sosial mempengaruhi seniman dalam menciptakan karyanya.
Setiap karya seni, sedikit-banyak mencerminkan setting masyarakat tempat seni itu diciptakan. Sebuah karya seni ada karena seorang seniman menciptakannya, dan seniman itu berasal dan hidup dari masryarakat tertentu. Bermasyarakat tersebut merupakan realita yang langsung dihadapi sebagai rangsangan dan pemicu kreativitas kesenimannya. Seniman dapat bertindak sebagai saksi masyarakat atau sebagai kritikus. Sebagai kritikus dalam hal ini, seniman memainkan peran keberadaan dirinya yang bebas dari nilai-nilai yang dianut masyarakatnya. Jadi, meskipun seniman hidup dalam suatu masyarakat dengan tata nilai sendiri, dan belajar dari tata nilai tersebut, ia juga punya kebebasan untuk menyetujui atau tidak menyetujui tata nilai masyarakat itu. Seniman dan juga orang lain sebagai anggota suatu kelompok masyarakat, dibentuk oleh nilai struktur (idiologi) yang dianut masyarakatnya. Namun dalam hal bermasyarakat terdapat sisi individu atau pribadi-pribadi dengan moralitas yang berbeda pula. Hal ini seharusnya membangun keadaan dan sistem sosial berdasarkan idiologi suatu masyarakat tersebut. Akan tetapi tidak jarang terdapat individu-individu yang melenceng atau pembelot dari idiologi berupa nilai norma maupun nilai religi, bahkan tidak disadari sehingga menjadi kebiasaan dan mempengaruhi keadaan sosial atau yang sering disebut oleh masyarakat salah kaprah. Dalam peran seniman sebagai saksi masyarakat pelaku seni dapat menjadikan keadaan masyarakat ini sebagai suatu stimulus dengan reaksi berupa sebuah karya yang bermuatan ide dan gagasan untuk dikomunikasikan kepada ornag lain agar orang lain merasakan juga menyadari pemikiran dari hasil pengamatan dan sebagai pelaku dalam bermasyarakat.(Sumardjo, J. 2000) METODE Metode merupakan cara yang dipakai dalam proses penciptaan karya seni. Dalam penciptaan karya seni lukis ini pencipta menggunakan metode dengan menggabungkan tiga teknik yaitu pertama dalam pembuatan latar belakang (background) dilakukan dengan teknik
cipratan. Pelaksaan teknik ini dengan cara mencipratkan cat acrylic secara spontan dari arah atas menggunakan kuas pada permukaan media kanvas. Dalam kegiatan ini posisi kanvas direbahkan terlentang pada lantai. Proses dalam teknik yang pertama ini memilki variasi penggunaan ukuran kuas guna menciptakan hasil cipratan yang berbeda. Hasil cipratan kecil menggunakan kuas kecil dan hasil cipratan besar dengan kuas yang besar pula. Teknik yang kedua adalah dalam pembuatan objek, dengan teknik yang berbeda yaitu menuangkan pigmen cat langsung dari botol sehingga tercipta pengelompokanpengelompokan (genangan-genangan) pigmen cat yang terpisah. Dari cat yang masih menggenang ini kemudian dicipratkan kembali menggunakan kuas. Cipratan yang kedua ini berbeda dengan cara yang dilakukan pada teknik pertama, perbedaannya adalah cipratan dilakukan kearah samping (mendatar) menuju genangan-genangan cat yang berdekatan. Hal ini dilakukan menggunakan pigmen cat dengan alasan pigmen memiliki karakter yang pekat, tajam. Menghasilkan tampilan objek yang kuat serta kesinambungan antar genangan pigmen cat dan menciptakan kesatuan pada objek dengan teknik cipatan mendatar. Teknik yang ketiga adalah mempertegas bagian-bagian dari objek yang tercipta dari genangan pigmen cat sebelumnya menggunakan unsur garis lengkung. Kemudian dilanjutkan dengan memberikan gradasi dan menentukan pencahayaan untuk memunculkan efek tiga dimensi pada objek. Cara ini digunakan untuk mengahasilkan detail dan bentuk objek pada lukisan yang dihasilkan. HASIL 1. Karya 1 Judul
: “ Tak sadar menuhankan uang ”
Ukuran : 190cm x 150cm Media : acrylic + pigmen pada kanvas
Tahun : 2012 Foto
:
Penjelasan judul dengan perwujudan karya: Dari visualisasi karya menjelaskan judul yaitu dalam suatu masyarakat pada zaman sekarang ini banyak terdapat manusia yang lupa diri (mementingkan dirinya sendiri) apalagi kalau sudah berhubungan dengan masalah perut. Dalam karya terdapat figur burung ( dapat mewakili individu/manusia/oknum) yang mempunyai sayap untuk terbang seharusnya dapat menjelajahi wilayah yang luas untuk mencari makanan yang lain namun dalam karya ini burung berebut dan memburu makanan tersebut. Kaitannya dengan masyarakat sekarang adalah banyaknya orang yang tidak peduli dengan yang lain baik itu saudara, teman, atasan/ bawahan, jika sudah di butakan oleh kebutuhan dalam hal ini adalah uang. Bahkan mereka berpendapat dapat melakukan segalanya dengan uang. 2. Karya 2 Judul
: “ Terseret arus sesat “
Ukuran : 3 panel 80cm x 60cm
Media : acrylic + pigmen pada kanvas Tahun : 2012 Foto :
Penjelasan judul dengan perwujudan karya: Dari karya ini memunculkan figur ikan, merupakan binatang air yang berada pada aliran atau arus air, hubungannya dengan kehidupan sekarang adalah banyaknya individu/orang dalam suatu masyarakat yang terbawa oleh keadaan sekitarnya yaitu menuju keadaan yang salah (dalam karya adalah warna yang lebih gelap) walaupun salah satu ingin keluar dari arus, namun lebih banyak orang yang menhimpitnya sehingga hanya bisa bertahan tanpa melakukan apa-apa, akhirnya orang ini seperti membiarkan keadaan yang salah tersebut tetap berjalan walaupun sebenarnya tidak setuju. 3. Karya 3 Judul
: “ Mengagumi pemimpin semu “
Ukuran : 3 panel 80cm x 60cm Media : acrylic + pigmen pada kanvas Tahun : 2012 Foto :
Penjelasan judul dengan perwujudan karya: Dari karya ini muncul sosok naga. Naga merupakan makluk imajiner dan tidak ada di alam. Naga menurut sebagian orang atau masyarakat, dianggap mempunyai kekuatan/ peranan yang luar biasa bahkan menjadi suatu yang membanggakan. Demikian juga pada masyarakat sekarang banyak manusia (oknum) yang menjadikan orang lain seorang pemimpin tanpa mengetahui kepribadiannya bahkan visi dan misinya dalam memimpin. Yang mereka lihat hanya karena orang lain ini dalam suatu masyarakat memiliki kemampuan dari segi perekonomian (terpandang karna kaya/banyak uang). 4. Karya 4 Judul : “ Dengan alasan kasih sayang “ Ukuran : 150cm x 60cm Media : acrylic + pigmen pada kanvas Tahun : 2012 Foto :
Penjelasan judul dengan perwujudan karya: Dari visualisasi karya muncul figur perempuan. Perempuan (menurut pengalaman pencipta) dalam menghadapi suatu permasalahan adalah lebih cenderung mengedepankan perasaan atau mengambil mengambil titik aman. Akan luar biasa jika perempuan tersebut dalam peranan seorang ibu akan tetapi jika perempuan tersebut berada dalam posisi seorang atasan atau peminpin, maka penyelesaian masalah akan berakrir menjadi apa yang dia iginkan bukan penyelesaian secara logika yang berdampak pada tindakan atau kegiatan untuk penyelesaian masalah melainkan sekedar menjadi perenungan. 5. Karya 5 Judul
: “ Sistematika gang buntu “
Ukuran : 90cm x 70cm Media : acrylic + pigmen pada kanvas Tahun : 2012
Foto :
Penjelasan judul dengan perwujudan karya: Dari visualisasi karya terbentuk gumpalan-gumpalan yang bergerak tidak teratur dan berputar-putar hal ini mencerminkan keadaan seseorang ketika dihadapkan pada banyak permasalahan. Tidak dapat fokus kepada penyelesaian satu masalah kemudian beranjak untuk menyelesaikan yang lain melainkan merasa bingung dan putus asa sehingga sering meninggalkan permasalahan tersebut, dengan harapan dapat menyelesaikan hal yang lain tetapi pada kenyataannya sama saja dan hanya terpontang-panting dalam hal-hal itu saja. 6. Karya 6 Judul
: “ Kinerja iblis “
Ukuran : 4 panel 50cm x 40cm Media : acrylic + pigmen pada kanvas Tahun : 2012
Foto :
Penjelasan judul dengan perwujudan karya: Dari visualisasi karya terdapat objek yang merupakan perubahan bentuk dari objek sedikit demi sedikit menjadi bentuk lain tanpa jelas sosok yang ditampilkan. Demikian pula cara kerja iblis dalam mempengaruhi manusia agar menjadi pengikutnya sebagai penghuni neraka. Iblis mempengaruhi manusia agar manusia tidak memiliki tujuan hidup/menuju ke arah yang berkebalikan dari keyakinan dalam beragama. PEMBAHASAN Penciptaan karya lukis ini tidak lepas dari hasil pemikiran yang dilandasi faktor kepribadian pencipta, dimana kepribadian seorang manusia terbentuk sejak lahir serta dalam masa perkembangannya. Pencipta sendiri dilahirkan sebagai orang jawa serta di besarkan oleh orang tua yaitu dari ayah yang agamis. Dalam masa remaja, pencipta mengikuti berbagai organisasi termasuk menjadi seorang praja muda karana. Dari beberapa hal ini cukup membetuk karakter pribadi pencipta yaitu seorang yang nasionalis, religius, serta tidak sedikit kearifan-kearifan jawa terdapat dalam karakter dan kepribadiannya. Pengaruh kepribadian pencipta terhadap munculnya ide yang dituangkan dalam karya adalah ketika terdapat banyaknya masalah yang wajar dialami oleh setiap manusia, diataranya dalam berkehidupan sosial, adaptasi sosial atau bermasyarakat. Ada saatnya keadaan sosial/
masyarakat yang dialami manusia tidak sesuai dengan karakter dan kepribadiannya, maka yang akan terjadi adalah masalah atau peristiwa yang mengusik bahkan bertolak belakang dengan diri pencipta. Melalui kepekaan dan perenungan suatu masalah ini, maka muncul respon dari pencpita yaitu bahwa diri pencipta sedang bergejolak baik dari perasaan, nurani maupun pemikirannya yang harus diungkapkan. Gejolak yang timbul ini menjadi ide dan tema pokok dalam penciptaan dan visualisasi karya-karya pencipta. Gejolak ini disimbolisasikan pada suatu yang bergerak dan menggeliat dan unsur sederhana yang mampu mewakili, dalam hal ini adalah unsur garis yaitu garis lengkung. Namun hal ini tidak cukup untuk sebuah penyelesaian masalah, jika hanya ada garis lengkung (gejolak) yang akan menimbulkan tindakan yang egois dan mencari kebenaran dari pencipta sendiri maka pencipta melengkapi ide bahwa iklim, suasana atau kondisi sosial juga berperan, dalam hal ini adalah visualisai dari latar belakang objek dari warna yang homogen atau dominasi satu warna. Hasil pemikiran pencipta juga berperan dalam penyelesaian ide yaitu menjadikan suatu gagasan bahwa bagaimana karya seni itu tetap menjadi curahan pemikiran, emosi, perasaan namun juga memiliki nilai estetik yang menarik orang lain yang melihat. Berdasarkan pada pengamatan pencipta dimana karya lukis utamanya yang berobjekkan abstraksi sering terlewatkan begitu saja oleh pengamat(masyarakat umum) tanpa tahu isi maupun pesan yang disampaikan pelukis. Dengan adanya kualitas estetik, media estetik, serta prinsip organisasi estetik akan membentuk visualisasi yang menarik untuk orang lain berapresiasi yang selanjutnya menuju ranah kritis maupun keingintahuan terhapat maksud (isi dan pesan) dari pencipta. Serta dalam penggarapannya pencipta menggunakan tiga teknik yaitu teknik cipratan baik dari arah atas maupun teknik cipratan mendatar . Juga menggunakan teknik tata susun atau komposisi, dalam hal ini memperhatikan tampilan detail ,warna, cahaya , dsb. Dalam proses penggarapan (pengerjaan) enam buah karya pencipta
yaitu membutuhkan waktu kurang lebih tiga bulan, mengingat dari tiga teknik yang dipakai tersebut teknik terakhir yaitu proses detail dan pencahayaan merupakan teknik yang paling lama. Dari pembahasaan dua hal terakhir menunjukkan orisinalitas karya dan merupakan sebuah proses kriatif dari pencipta. Dalam penciptaan karya-karyanya pencipta sangat memperhatikan aspek-aspek. Menurut Anggraini.M (2007:35) aspek adalah pokok pandangan atau pemunculan gagasan, masalah, situasi, dsb sebagai pertimbangan yang dilihat dari sudut pandang tertentu. Dalam hal ini aspek tersebut dalah organisasi visual yang menampilkan wujud karya (lukisan) sebagai karya yang mampu berdiri sendiri yaitu karya yang objektif. Diantaranya dalam visualisasi karya-karya pencipta terdapat aspek kualitas estetik yaitu pada setiap objeknya tersusun kesinambungan yang teratur membentuk atribut kesatuan atau kebulatan, serta terdapat atribut variasi baik dari warna maupun objeknya yang akan menampilkan atribut keragaman. Aspek kedua yang dapat dikaji dalam karya-karya pencipta adalah dari penggunaan unsur-unsur rupa yang merupakan media estetik yaitu pemanfaatan dan pengolahan unsur garis yang akan mendukung terbentuknya unsur bentuk, penggunaan dan penempatan warna yang juga mendukung munculnya tektur serta pencahayaan(cahaya). Dan yang terakhir unsur ruang (keruangan) dari hasil pengolahan dan pemanfaatan arah dating cahaya melaui unsur warna. Aspek ketiga yag terdapat dalam karya-karya pencipta adalah hasil penerapan media estetik yang membentuk struktur artistik melalui prinsip organisasi visual. Prinsip organisasi visual yang terdapat dalam karya yaitu keselarasan/keserasian, ritme/irama, kevariasian/emphasis, serta keseimbangan dan kesebandingan.
Keselarasan atau keserasian yang terdapat pada karya-karya pencipta adalah tata susun yakni perulangan unsur bentuk pada setiap bagian objek serta terdapat banyaknya perulangan garis. Dalam dua hal ini sekaligus mencapai/memunculkan prinsip irama atau ritme. Sedangkan prinsip kevariasian atau emphasis pencipta memanfaatkan perbedaan warna dan ukuran pada bagian objek. Sementara prinsip keseimbangan dan kesebadingan yang di manfaatkan pencipta adalah keseimbangan asimetris juga informal dan tata letak objek yang berbeda. Bukan berarti pencipta tidak memperhatikan kedua prinsip tersebut melainkan kedua prinsip tersebut dimanfaatkan untuk menciptakan kesan bergejolak sesuai pada konsep karya. Dalam penciptaan karya seni lukis yang mengekspresikan tekanan batin tehadap keadaan sosial ini pencipta mampu menghasilkan enam (6) karya seni lukis yang orisinil, dalam jangka waktu tiga (3) bulan. Karya-karya pencipta juga merupakan hasil kreatif yang menggunakan tiga teknik, yaitu teknik cipratan baik cipratan dari atas maupun cipratan mendatar secara spontan (ekspresif) serta teknik memperindah wujud karya dengan memperhatikan pencahayaan dan detail (forma). Hasil karya pencipta yang berupa fisik (benda) yaitu lukisan mampu berdiri sendiri sebagai karya seni yang objektif. Selain itu penggunaan unsur garis dan warna yang merupakan media estetik yang paling menonjol berkaitan dengan isi pesan yang ingin dikomunikasikan pencipta mampu ditelusuri (dikaji) sebagai karya yang subjektif. Dari dua (2) hal tersebut, karya-karya hasil kreatifitas pencipta mampu memenuhi tiga (3) fungsi pokok seni sekaligus, yaitu fungsi personal, fungsi sosial, serta fungsi fisik. Karyakarya ini pada akhirnya dapat memberikan pengalaman kepada pengamat baik dari segi visualisasi yaitu wujud dan teknik yang digunakan, segi isi pesan yang dikomunikasikan maupun segi kepribadian, cara berfikir serta sudut pandang dari pencipta.
Daftar Rujukan Anggraini, Mairna. 2007. Kamus lengkap bahasa Indonesia. Surabaya: CV. Prakacita. Darmaprawira, S. 2002. Warna Teori Dan Kreativitas Penggunaannya edisi ke-2. Bandung: Penerbit ITB. Indrawati, L. 2004. Nirmana (Organisasi Visual). Malang: Universitas Negeri Malang. Sobur, A. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset. Soedarso, S. 2006. Trilogi Seni.Yogyakarta: Institut Seni Indonesia. Soedarso, S. 2000. Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern.Jakarta: CV.Studio. Soedarso, S.1990. Tinjauan Seni .Yogyakarta:Saku dayar sana Soehardjo ,A.J.2005. Pendidikan Seni. Malang: Balai kajian seni dan Desain. Universitas Negeri Malang. Soetjipto, K. 1989. Sejarah Perkembangan Seni Lukis Modern Jilid I. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Sony, D, K. 2004. Seni Rupa Modern. Bandung: Rekayasa Sains. Sony, D, K. 2007. Kritik Seni. Bandung: Rekayasa Sains. Sumardjo, J. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB. Sumarwahyudi. 2009.Pengetahuan Seni Rupa. Malang: Universitas Negeri Malang. Susanto,M. 2002. Diksi rupa.Yogyakarta: Kanisius. Tim Penyusun Petunjuk Teknis. 2011. Petunjuk Teknis Kegiatan Akademik Jurusan Seni Dan Desain, edisi 2011. Malang: Jurusan Seni Dan Desain Fakultas Sastra UM. TIM UM. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang : Universitas Negeri Malang. Widodo, T. 1992. Dasar-Dasar Seni Lukis (Buku I). Malang. Institut Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Malang.
ITB J. Vis. Art. Vol. 1 D, No. 2, 2007, 211-223
211
Persoalan Kesetaraan Gender dalam Karya Seni Rupa Kontemporer Indonesia Ira Adriati Winarno Fakultas Senirupa dan Desain-ITB Abstrak. Art work serves not only for personal expression but also have social function. It is quite obvious as some Indonesian women artists use their art works to express gender equality issues. Their ideas are contributing greatly to the development of contemporary visual art in Indonesia. These women artists express issues of gender that whether personally experienced by them or other women in general, using the expressive style of surrealism, expressionism, and naturalism. Certainly, their art works show good aesthetics values, supported by excellent skills and technical abilities. Most of their art works not only provide excellent visualizations but also send strong messages on gender equality issues. Their works, as explained in this study, provide a common ground to increase public awareness for the importance of gender equality issues in Indonesia. Keywords: women artists; gender equality; art works.
1
Pendahuluan
Karya seni rupa seringkali dianggap hanya sebatas ekspresi personal dari perupanya. Masih banyak yang tidak menyadari bahwa karya seni rupa walaupun merupakan ekspresi personal, tetap memiliki fungsi sosial yang dapat memaparkan berbagai situasi sosial dalam kehidupan manusia. Feldman menyebutkan, In a sense all works of art perform a social function, since they are created for an audience [1]. Karya seni bahkan bisa saja mempengaruhi pemikiran masyarakat melalui unsur-unsur visual yang terdapat dalam sebuah karya seni. Perempuan perupa Indonesia saat ini memanfaatkan karya seni rupa sebagai media ekspresi pribadi. Beberapa di antara perempuan perupa tersebut, menggunakan karya seni sebagai media untuk mengungkapkan perhatiannya terhadap berbagai persoalan gender. Tulisan ini akan memaparkan tentang karya-karya perempuan perupa Indonesia yang mengangkat persoalan kesetaraan gender. Memaparkan tema yang mereka pilih, nilai estetis dalam karya seni perempuan perupa Indonesia, dan pengaruhnya pada persepsi masyarakat terhadap persoalan gender.
Received June 14th 2007, Revised July 24th 2007, Accepted for publication August 14th 2007.
212
2
Ira Adriati Winarno
Kesetaraan Gender
Mengapa kesetaraan gender digaungkan dalam berbagai media secara internasional? Apakah memang tidak ada kesetaraan antara perempuan dan pria dalam kehidupan ini? Banyak kasus yang memperlihatkan ketimpangan tersebut. Beberapa contoh yang tampak adalah keberadaan perempuan di parlemen yang tidak sebanding dengan jumlah pria, tidak tercatatnya perempuan dalam historiografi suatu negara, maupun tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai akibat ketidaksejajaran istri dan suami. Di Indonesia khususnya dalam struktur kehidupan beberapa suku di masa lampau, kesetaraan gender telah diwujudkan. A. Nunuk P. Murniati [2], memaparkan berdasarkan tulisan Peacock bahwa sistem masyarakat Jawa adalah bilineal, yakni posisi perempuan dan laki-laki setara dalam mengambil keputusan. Hal yang sama dapat dilihat pada masyarakat Sunda, Aceh, Iban, Mananjan, dan Ambon. Masih dalam penuturan A. Nunuk P. Murniati [2], bahwa pergeseran struktur dari bilineal menjadi patriarki dipengaruhi oleh agama Kristen yang ”mensucikan” kawin somah. Dalam ajaran tersebut, istri hanya satu dan ia adalah milik suami. Ajaran tersebut berpengaruh pada konsep bilineal di beberapa kawasan Papua. Tampaknya tidak hanya agama Kristen, tetapi seluruh agama-agama semit (Yahudi, Nasrani, Islam) telah mempengaruhi masyarakat untuk menganut struktur patriarki. Nasarudin Umar [3] memaparkan bahwa setiap agama tidak diturunkan di dalam masyarakat yang hampa budaya, melainkan terhadap masyarakat yang sudah sarat dengan nilai-nilai budaya. Agama-agama semit turun di dalam masyarakat yang androsentris, di mana relasi gender didominasi oleh kaum laki-laki. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tafsiran ajaran agama sangat dipengaruhi oleh budaya di mana agama tersebut pertama kali diturunkan. Pengaruh patrilineal di Jawa khususnya di sekitar Yogyakarta dan Solo, karena pengaruh feodal, melalui ajaran Mangkunegaran IV. Hubungan setara perempuan dan laki-laki, berubah menjadi hubungan subordinasi. Denys Lombard salah satu penulis historigrafi Indonesia memaparkan bahwa meskipun tidak ada kesimpulan mutlak yang dapat ditarik dari kutipan Xin Tangshu yang menyatakan bahwa pada tahun 674 penduduk Heling (Jawa) mempunyai ratu yang bernama Sima (Xi-mo), terdapat juga beberapa prasasti yang dengan jelas menyebut bangunan-bangunan yang didirikan oleh ”raturatu” (bini-haji) [4].
Persoalan Kesetaraan Gender dalam Karya Seni Rupa
213
Paparan di atas memperlihatkan bahwa pada dasarnya berbagai suku di Indonesia sebelum bergesekan dengan budaya luar termasuk pemikiran keagamaan, menganut prinsip bilineal. Akulturasi budaya menyebabkan pergeseran struktur sosial bilineal menjadi patriarki. Pergeseran struktur sosial dalam masyarakat tersebut menyebabkan perempuan seringkali tersubordinasi. Kekerasan secara fisik maupun mental dirasakan oleh kaum perempuan di Indonesia maupun berbagai negara di dunia. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) merasa perlu mencanangkan program kesetaraan gender yang tertuang dalam The Eight Millenium Development Goals (MDGs) 2015. Dalam MDGs 2015 urutan ketiga yaitu Promote gender equality and empower women (Mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan). Indonesia sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-bangsa termasuk negara yang harus memenuhi target MDGs 2015 tersebut. Berbagai bentuk kegiatan dilakukan untuk memenuhi target tersebut. Beberapa perempuan perupa Indonesia melalui karya-karyanya, telah mengangkat tema-tema yang berkaitan dengan persoalan gender. Karya-karya mereka diharapkan dapat mempengaruhi pemikiran masyarakat tentang pentingnya kesetaraan gender untuk kehidupan manusia yang lebih baik.
3
Para Pelopor Perempuan Perupa Indonesia
Perempuan perupa Indonesia yang berkiprah dengan visualisasi seni rupa modern diawali oleh Kartini dan kedua adiknya. Guru melukis mereka adalah seorang perempuan Belanda yang memiliki keahlian melukis secara realis. Karya-karya Kartini, Rukmini, dan Kardinah berupa karya seni lukis naturalis dengan obyek-obyek di sekeliling mereka seperti kucing, tumbuhan, maupun keindahan alam. Emiria Sunassa adalah perempuan perupa yang masuk dalam kelompok PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia). Beberapa karyanya merekam budaya seni Indonesia. Perempuan perupa lain yang tidak dikenal masyarakat adalah Mia Bustam, ia adalah istri pertama pelukis Sudjojono. Setelah perceraiannya, perempuan ini justru mampu mengembangkan keahlian melukisnya. Karya-karyanya memperlihatkan kemahirannya dalam melukis secara naturalis. Mia Bustam bergabung dengan Sanggar Seniman Indonesia Muda di Yogyakarta untuk mengembangkan bakat melukisnya. Selanjutnya jumlah perempuan perupa Indonesia semakin bertambah, sejalan dengan berdirinya sekolah formal seni rupa di Indonesia. Perempuan perupa yang menempuh pendidikan di Seni Rupa Institut Teknologi Bandung periode
214
Ira Adriati Winarno
tahun 1960-1970-an, memunculkan nama Farida Srihadi, Erna Pirous, Umi Dachlan, dan Heyi Ma’mun sebagai perempuan perupa dengan visualisasi karya abstrak. Penghayatan kepada alam, perenungan pribadi, maupun penghormatan pada budaya tradisi menjadi pilihan tema mereka. Di Yogyakarta, dikenal nama Kartika Affandi yang memvisualisasikan karyakaryanya dengan gaya ekspresionis serupa dengan ayahnya. Karya-karyanya merekam berbagai fenomena alam, benda-benda di sekitar, anggota keluarganya, dan karya-karya periode tahun 1990an ia berani mengungkapkan perasaan tertekan yang ia rasakan dalam menghadapi persoalan ketidakadilan gender dalam rumah tangganya. Seri karya berjudul Self Portrait (1-7). Pada karya Self Portrait 1-6 ia melukiskan wajah dirinya dengan warna putih, krem, dan sedikit kuning muda. Dalam karya Self Portrait 7, Kartika seakan telah menemukan kembali kepercayaan dirinya dengan menyimbolkan dirinya dengan bunga matahari dan matahari yang memperlihatkan wajah ayahnya.Melalui karya-karya Kartika tersebut, dapat ditangkap bahwa seri Self Portrait 1-7 (1999) adalah ungkapannya tentang tindak ketidakadilan yang ia rasakan oleh suaminya. Perempuan perupa lainnya yang berasal dari Yogyakarta yang menempuh pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) adalah Ida Hadjar. Dalam buku Indonesian Heritage: Seni Rupa [5], dinyatakan bahwa Ida Hadjar memiliki ciri melukis secara figuratif. Ia melukiskan berbagai aktifitas rakyat seperti para penari Jaran Kepang. Karyanya yang lain merekam peristiwa tragedi Sinila yang tertuang dalam Tragedy Sinila, 1980. Dalam seni patung, beberapa pematung yang memperoleh pendidikan tinggi seni rupa, seperti Edi Ratna mengungkapkan memikirannya melalui visualisasi abstrak dengan media kayu. Salah satu karyanya berjudul Dialogue in Wood, 1987. Pada periode tahun 1974-1979 terjadi peristiwa menarik dalam dunia seni rupa Indonesia yaitu peristiwa protes seniman muda terhadap keputusan dewan juri Biennale Seni Lukis Indonesia II tahun 1974. Gerakan mereka kemudian dikenal dengan istilah Gerakan Seni Rupa Baru. Salah satu perempuan perupa yang termasuk dalam gerakan tersebut adalah Siti Adiyati. Karyanya berjudul Child’s Game (1977), memperlihatkan alat permainan coklak atau dakon dengan dinding digambar tangan yang sedang menjatuhkan kerang-kerang untuk permainan tersebut. Melalui pemaparan beberapa karya perempuan perupa pada masa awal, ternyata tidak tampak nyata keinginan memanfaatkan karya seni rupa sebagai media
Persoalan Kesetaraan Gender dalam Karya Seni Rupa
215
untuk mengungkapkan persoalan kehidupan perempuan dalam kaitan relasi perempuan dan pria khususnya persoalan gender. Mia Bustam yang mulai mengembangkan bakat pada saat kehidupan rumah tangganya mengalami kehancuran, dalam buku biografinya, tidak menjelaskan apakah mengungkapkan kegalauannya melalui karya lukis. Selama periode keretakan rumah tangganya, ia hanya memaparkan bahwa ia melukiskan sosok anak-anaknya dan dirinya sendiri. Tabel 1 Tahun 1900-an 1930 – 1950 an 1960-an
1970-an 1980-an
1990-an – 2000an
Kecenderungan tema dalam karya perempuan perupa Indonesia.
Tema & Gaya Visual Keindahan alam naturalis Keindahan alam & seni budaya Indonesia - naturalis Kekaguman pada alam, perasaan pribadi – abstrak, figuratif, ekspresionis
Perupa Kartini, Rukmini, Kardinah Emiria Sunassa, Trijoto Abdullah, Mia Bustam Kartika Affandi, Umi Dachlan, Farida Srihadi, Erna Pirous, Ida Hadjar
Kekaguman pada alam, perasaan pribadi, persoalan sosial – abstrak, figuratif, ekspresionis Persoalan sosial, banyak yang mengangkat persoalan gender – visualisasi surealis, figuratif, simbolis
Nunung WS., Nanik Mirna, Edith Ratna, Heyi Ma’mun, Siti Adiati, Yanuar Ernawati, d ll Dolorosa Sinaga, Astari Rasjid, Arahmaiani, Lucia Hartini, Iriantine Karnaya, IGK Murniasih
Keterangan Pengaruh dari pelukis Belanda Emiria anggota PERSAGI, Mia anggota SIM Cukup banyak mahasiswi di Perguruan Tinggi Seni Perupa dari Bandung cenderung abstrak Perupa dari Yogyakarta cenderung figuratif Hanya beberapa perempuan perupa yang dipilih sbg sampel
Beberapa perempuan perupa dlm sampel ini telah berkarier sejak tahun 1980an, tetapi lebih menonjol dgn tema gender tahun 1990an, sehingga masuk periode ini.
Dalam Tabel 1 diperlihatkan kemunculan tema persoalan gender secara nyata dalam karya perempuan perupa Indonesia. Dalam setiap periode tidak berarti tema lama ditinggalkan, beberapa perempuan perupa tetap konsisten dengan tema awal yang mereka pilih, tetapi perempuan perupa lainnya mengikuti arus utama. Sebagai contoh Kartika Affandi mengangkat persoalan pribadi dalam karya-karyanya baru dalam periode tahun 1990-an, padahal sebelumnya ia mengalami persoalan rumah tangga pula dalam perkawinan pertamanya.Tabel
216
Ira Adriati Winarno
ini juga memperlihatkan secara garis besar bahwa tema sosial yang berkaitan dengan persoalan gender, baru benar-benar muncul sebagai tema karya perempuan perupa Indonesia pada periode tahun 1990-an. Nama perempuan yang tertulis berupa sampel dari sekian banyak perempuan perupa Indonesia. Ketidakberanian mengangkat persoalan rumah tangga atau relasi dengan pria (persoalan gender) ke dalam karya perempuan perupa pada masa awal, kemungkinan besar karena masyarakat masih menabukan persoalan rumah tangga untuk diungkapkan dan diketahui oleh orang lain. Selain itu jika melihat kebijakan pemerintah Orde Baru yang berkuasa sejak tahun 1966 – 1998, secara nyata mendudukkan perempuan sebagai pendamping suami. J.J. Rizal dalam tulisannya menyatakan bahwa Sejak itu (sejak terbitnya enam jilid Sejarah Nasional Indonesia yang diterima oleh Presiden Soeharto 18 Maret 1976), historiografi Indonesia melulu berisi sejarah perempuan yang tidak mengganggu patriarki militer, perempuan sebatas ”konco wingking” (teman di belakang) yang setia pada penguasa [6].
4
Tema Persoalan Kesetaraan Gender dalam Seni Rupa
Periode tahun 1990-an, mulai tumbuh kesadaran dalam diri perempuan perupa untuk memanfaatkan karya seni rupa sebagai media ekspresi mengungkapkan berbagai persoalan gender yang mereka rasakan. Kemungkinan besar keberanian tersebut muncul sejalan dengan maraknya pembahasan feminisme dan persoalan gender dalam ilmu sosial. Pada akhir tahun 1990, Universitas Indonesia membuka Program Magister Kajian Wanita. Dengan demikian semakin memperkuat asumsi bahwa pada tahun 1990 merupakan titik awal kesadaran dunia akademis di Indonesia untuk mengembangkan pengetahuan tentang perempuan. Secara tidak langsung memperkokoh fenomena memahami persoalan perempuan dari sudut pandang perempuan itu sendiri. Dampak kesadaran bahwa perempuan selama ini menjadi warga negara kelas dua berdampak pula pada dunia kesenirupaan Indonesia. Selain itu jika memperhatikan proses kemunculan posmodern, isu gender adalah salah satu tema yang diusung. Tidak mengherankan jika dalam perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia, perempuan perupa tersadarkan untuk mengangkat persoalan gender dalam karya seni mereka. Yustiono [7] dalam tulisannya memaparkan bahwa pada aspek ide, seni rupa kontemporer menampakkan sosok penentang arus dominasi modernisme, hal ini dapat dipandang sebagai hadirnya asas ganda. Pada aspek ide ini, kecenderungan untuk menyerap pikiran-pikiran posmodernisme juga nampak
Persoalan Kesetaraan Gender dalam Karya Seni Rupa
217
kuat. Hal itu nampak misalnya pada idiom-idiom yang sering dipakai seperti plural, etnik, multikulturalisme, gender, marginal, dan lain-lain. Idiom gender tampak nyata sebagai tema pada perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia. Perempuan perupa seperti Lucia Hartini, Arahmaiani, Astari Rasjid, Iriantine Karnaya, Dolorosa Sinaga, Marida Nasution, hingga perupa yang lebih muda seperti Bunga Jeruk dan Laksmi Sitoresmi mengangkat tema tersebut. Arahmaiani secara tegas menyatakan bahwa karya-karyanya merupakan bentuk kesadarannya akan ketidakadilan gender yang dirasakan oleh perempuan. ”Sesuai dengan kapasitasku sebagai perempuan, demikian juga dalam memahami aspek kehidupan yang akan saya angkat dalam seni rupa, saya mencoba menyuarakan permasalahan dari golongan tertindas. Maka dari itu permasalahan tersebut saya tampilkan dengan memakai metafor gender”. Menurutnya pola penindasan antara penguasa dan rakyat yang tertindas atau antara yang kuat dan yang lemah, sama dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang selalu tersubordinasi [8].
Gambar 1 (a) Lucia Hartini, Srikandi, 1993, 150 x 150 cm, cat minyak di atas kanvas; (b) Astari Rasjid, Prettified Cage, 1998 (Sumber: Marianto, D. Surealisme Yogyakarta, Rumah Penerbitan Merapi, Yogyakarta, 2001; Katalog Women in the Realm of Spirituality, 1998).
218
Ira Adriati Winarno
Lucia Hartini memaparkan persoalan hidupnya dalam beberapa karya periode tahun 1990-an. Salah satunya karya berjudul Srikandi (1993). Memvisualisasikan sosok dirinya yang sedang bertolak pinggang, dengan latar belakang tembok-tembok dan pemandangan langit dan bulan. Banyak mata mengamatinya. Pada saat karya tersebut dikerjakan, Lucia Hartini mendapat goncangan dalam hubungannya dengan suaminya, tetapi berusaha tegar menghadapi persoalan hidup tersebut. Ia tidak bergantung kepada suaminya lagi, ia memenuhi kebutuhan rumah tangga dan merawat kedua anaknya sendiri. Lucia mengungkapkan: ”Saya ingin tunjukkan bahwa kesendirian tak perlu membuat takut dalam mengarungi hidup. Keagungan Tuhan lewat jagat raya ini senantiasa melindungi kita.”
Gambar 2 (a) Arahmaiani, Lingga-Yoni, 1994 Akrilik di atas kanvas, 182 x 140 cm; (b) Iriantine Karnaya, I’m Leaving, 1995 patung metal, 45 x 61 x 5 cm (Sumber: Supriyanto, E. & Bollansee, M., Indonesian Contemporary Art Now, SNP International, Singapore, 2007; Katalog Women in the Realm of Spirituality, 1998.
Astari Rasjid memvisualisasikan pandangannya selama hidup dalam kungkungan budaya Jawa yang kuat. Astari berbicara mengenai posisi perempuan yang terkadang tidak memiliki nilai tawar. Salah satu karyakaryanya dalam periode awal adalah Temple of Efflorescence, 1996. Memperlihatkan sosok perempuan berpakaian pengantin Jawa memegang bunga teratai merah dengan latar belakang candi Borobudur. Karya-karyanya periode tahun 2000an, mulai mengganti latar belakang budaya Jawa dengan persoalan budaya masa kini dengan penggunaan ikon produk tas yang seringkali menjadi pengukur gengsi di antara kaum perempuan. Salah satunya dalam karya berjudul Envy (2006). Astari Rasjid sangat peka terhadap situasi sosial budaya di Indonesia yang berkaitan dengan kaum perempuan. Setelah peristiwa kerusuhan Mei 1998, ia
Persoalan Kesetaraan Gender dalam Karya Seni Rupa
219
membuat seri karya yang berhubungan dengan kekerasan terhadap kaum perempuan etnis Cina, salah satu karyanya berjudul False Target (1998) dan Prettified Cage (1998). Karya Prettified Cage berupa karya tiga dimensi yang memperlihatkan bentuk kebaya, kain dan alat untuk mengunci kemaluan perempuan. Arahmaiani pada tahun 1994 dengan berani memvisualisasikan genital perempuan dan laki-laki dalam lukisannya yang berlatar belakang huruf-huruf Arab. Karya tersebut berjudul Lingga Yoni yang dalam agama Hindu merupakan simbol laki-laki dan perempuan. Keberaniannya mengungkapkan bagaimana perempuan tertindas dalam kehidupan melalui karya-karyanya tentu dengan harapan masyarakat berani mengakuinya untuk memperbaiki kehidupan ini agar menjadi lebih adil. Iriantine Kanarya dan Dolorosa Sinaga, dua orang pematung yang memilih tema persoalan perempuan dalam karyanya. Iriantine membuat patung sesosok perempuan yang mengandung akibat perkosaan dalam karya berjudul Victimized (1998). Ia juga memotret para perempuan yang terpaksa menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) karena beban ekonomi yang harus mereka tanggung. Perempuan yang menjadi TKI harus rela berpisah dengan anak dan suami mereka. Visualisasi kondisi tersebut terlihat dari karya berjudul I’M LEAVING (1995).
Gambar 3 (a) Dolorosa Sinaga, Avante!, 2003 Bronze, 107 x 43 x 81 cm; (b) IGAK Murniasih, Waiting, 2003, cat skrilik pada kanvas, 100 x 100 cm (Sumber: Katalog Pameran Via Dolorosa, Nadi Gallery, 9 April – 13 Mei 2003; Supriyanto, E. & Bollansee, M., Indonesian Contemporary Art Now, SNP International, Singapore, 2007).
220
Ira Adriati Winarno
Gambar 4 (a) Ika W. Burhan, Wonder Women, 2006, 37 x 39 cm, stoneware, cobalt blue, iron oxide, slab, pinch; (b) Ira Suryandari, Oh....Maaa....!, 2007, 35.5 x 42 cm, stoneware, grog, coil, slab, slip (Sumber: Katalog Pameran Patung Keramik It’s Fun 2b a Womanemara 6 Galeri, 25 April -15 Mei 2007; Katalog Pameran Patung Keramik It’s Fun 2b a Womanemara 6 Galeri, 25 April -15 Mei 2007)
Dolorosa Sinaga dengan patung perunggu berukuran kecil membicarakan perempuan yang tertindas atau perempuan memiliki kekuatan dengan menggalang kebersamaan di antara kaum perempuan. Karya-karyanya dalam Pameran Tunggal berjudul Via Dolorosa tahun 2003, mengungkapkan ketidakadilan yang diterima perempuan pada satu sisi dan di sisi yang lain memberikan gambaran kekuatan perempuan. Contoh karyanya berjudul Avante (2003), memperlihatkan tujuh perempuan dengan anak-anak mereka, seakan berteriak untuk memperoleh keadilan melalui visualisasi tangan mereka yang mengepal dan menunjuk. Seorang perempuan perupa yang berani melukiskan genital perempuan dan pria dalam karya-karyanya adalah IGAK Murniasih (almarhum). Bukan untuk mengumbar sesuatu yang porno, tetapi berbicara tentang berbagai tekanan psikologis dari persoalan kekerasan seksual yang diterimanya. Kreativitasnya membuat karya Murniasih menjadi unik, dengan warna-warna yang fantastik, komposisi yang tidak biasa, sehingga menjauhkan pemikiran pengamat tentang pengeksposan genital manusia. Melalui karya, Murniasih mengajak masyarakat untuk jujur bahwa ada sebagian orang merasakan kekerasan seksual tersebut. Tidak mungkin
Persoalan Kesetaraan Gender dalam Karya Seni Rupa
221
diungkapkan, tetapi terlalu sakit untuk dirasakan. Karya seni merupakan terapi bagi dirinya sendiri untuk melupakan masa kelam yang pernah dialami. Pada bulan Mei 2007, dua orang perempuan perupa Ira Suryandari dan Ika W. Burhan mencoba memotret keseharian perempuan Indonesia yang tinggal di perkotaan. Mereka melukiskan bagaimana para perempuan berarisan, pergi ke tempat sauna (spa), atau melukiskan keinginan untuk langsing, maupun kesibukan mengurus anak. Karya keramik yang menampilkan figur-figur perempuan dengan kesehariannya tersebut seakan tidak membicarakan konflik kesetaraan gender. Hanya saja, setelah direnungkan, sebenarnya mereka pun ingin membicarakan betapa menjadi perempuan terkadang terbebani dengan berbagai tuntutan dari luar dirinya, seperti tuntutan untuk tampil cantik dengan tubuh langsing, mereka harus ke spa untuk menjadi perempuan cantik tadi. Siapa yang menuntut? Tentu saja pria dan juga perempuan lain di sekeliling mereka, padahal tak banyak perempuan menuntut pria untuk tetap tampan dan langsing. Para perupa perempuan tersebut juga berbicara tentang beratnya tugas sebagai perempuan yang telah menjadi ibu. Mereka takkan pernah hanya memikirkan dirinya sendiri, karena mereka akan seantiasa dibebani oleh tugas mengurus anak-anak mereka. Di sisi lain, seorang bapak hampir tak pernah merasakan tugas tersebut. Dengan demikian, sebenarnya para perupa itu membicarakan persoalan kesetaraan gender pula. Perbedaan generasi tampaknya membentuk cara pandang dalam mengungkapkan persoalan yang berat dalam visual yang terasa santai, keseharian, dan seakan tanpa persoalan. Wonder Women (2006) karya Ika W. Burhan divisualisasikan dengan sosok perempuan dengan balita yang menggayut di tubuhnya. Masih mengangkat tentang beban seorang ibu, Ira Suryandari dalam karya Oh....Maaa....! (2007) diwujudkan dalam sosok perempuan yang menarik gerobak berisi empat anak-anaknya. Masih banyak perempuan perupa Indonesia yang memilih tema-tema persoalan kesetaraan gender. Perempuan perupa di atas hanyalah beberapa contoh yang dapat dipaparkan. Setelah peristiwa kelam Kerusuhan Mei 1998, perempuan perupa Indonesia dan beberapa pria perupa secara tegas mengungkapkan keprihatinan dan ketidaksetujuan mereka terhadap kekerasan yang dialami banyak perempuan khususnya mereka yang beretnik Cina dalam sebuah pameran. Pameran Ekspresi 18 perupa; Menyikapi Kekerasan Terhadap Perempuan di Cemara 6
222
Ira Adriati Winarno
Galeri, Jakarta 2 – 12 Desember 1998. Kegiatan tersebut memberikan gambaran bahwa perempuan dapat menyatakan sikap melalui karya seni rupa. Keberanian mereka mengangkat persoalan gender dalam karya seni, merupakan salah satu cara untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa ketimpangan gender itu terjadi dalam masyarakat Indonesia. Jika Hélène Cixous seorang tokoh feminis, meminta perempuan untuk menuliskan pengalamannya sebagai perempuan melalui medium sastra atau bahasa, maka perempuan perupa harus melukiskannya melalui bahasa visual dengan medium karya seni. Supaya semakin banyak lapisan masyarakat menyadari tentang adanya manusia perempuan yang memiliki peran dalam peradaban, dan saat ini para perupa itu belum memperoleh kesetaraan.
5
Simpulan
Tema persoalan gender yang diangkat oleh perempuan perupa Indonesia dapat divisualisasikan tanpa mengenyampingkan kemampuan estetis. Beragam media dan bentuk visualisasi yang penuh pertimbangan estetis dilakukan oleh perempuan perupa Indonesia, seperti dengan menggunakan media cat minyak, akrilik, keramik, logam, dan lain sebagainya. Kemudian gaya visualisasi naturalis, simbolis, figuratif, maupun surealis, dipilih untuk mendukung tema kesetaraan gender. Keberanian mengangkat persoalan gender dalam karya seni rupa di Indonesia sejalan dengan perkembangan seni rupa kontemporer secara global. Keberanian ini dapat menjadi terapi pribadi karena membantu menyalurkan beban mental yang dirasakan oleh perempuan perupa seperti Kartika Affandi, IGK. Murniasih, atau Lucia Hartini. Di sisi lain, karya seni para perupa perempuan dapat membantu membuka wawasan masyarakat tentang pentingnya kesetaraan gender dalam kehidupan. Meskipun demikian terdapat kesadaran bahwa karya seni tidak akan mengubah sebuah situasi secara instan, tetapi sebuah karya seni dapat menjadi sebuah stimulus dalam berbagi atau menganjurkan sebuah pemikiran, kegembiraan, maupun perasaan duka cita.
Daftar Pustaka [1] [2]
Edmund Burke Feldman. 1967. Art as Image and Idea, Prentice –Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, h. 36. Murniati. 2004. Getar Gender, Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga, Indonesiatera, Magelang, h. 89.
Persoalan Kesetaraan Gender dalam Karya Seni Rupa
[3]
[4] [5] [6] [7] [8]
223
Nasarudin Umar. 2000. Penafsiran Kitab Suci Berwawasan Jender: Tinjauan Terhadap Ragam dan Bias Interpretasi Teks Al- Qur’an dalam Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang Berubah, Program Studi Kajian Wanita, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 169. Denys Lombard. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya: Warisan-warisan Kerajaan Kosentris, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 92. Hildawati Soemantri, ed.. 2002. Indonesian Heritage: Seni Rupa, ed. Indonesia, Buku Antar Bangsa, Jakarta. J. J. Rizal, Jejak Perempuan dalam Historiografi Indonesia, dimuat dalam Jurnal Perempuan No.52, h 31. Yustiono. 1995. Seni Rupa Kontemporer Indonesia dan Era Asia Pasifik, dalam Jurnal Seni Rupa FSRD ITB, volume II/1995 . FX. Harsono. 2003. Kerakyatan dalam Seni Lukis Indonesia: Sejak PERSAGI hingga Kini dalam Politik dan Gender: Aspek-aspek Seni Visual Indonesia, Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta, h. 76 .
EKSPRESI SENI LUKIS PELUKIS WANITA (Studi Fenomenologi Mengenai Komunikasi Nonverbal Visual dalam Mengekspresikan Diri oleh Pelukis Wanita IWPI Jabar) THE ART’S EXPRESSION OF WOMAN PAINTERS Phenomenology Study of Visual Non Verbal Communication In Self Expression By Woman Painter in IWPI Jabar) Suhendra Prawirawidjaja Universitas Pdjadjaran
Program Magister Ilmu Komunikasi email:
[email protected]
BAB I ABSTRAK Cara penyampaian sudut pandang mengenai realitas tersebut berbeda antara seniman pria dan wanita. Wanita sendiri seperti yang kita ketahui cenderung lebih sering menggunakan komunikasi nonverbal dalam mengekspresikan perasaannya. Maka dari itu, di dalam pembuatan karya seni tentunya pelukis wanita memiliki kekayaan bahasa non verbal yang lebih banyak dan kekhasan tersendiri dibandingkan pelukis laki-laki. Subjek penelitian ini ialah pelukis wanita yang tergabung dalam Ikatan Wanita Pelukis Indonesia (IWPI). Penelitian ini menggunakan metode penelitian fenomenologis, dibantu dengan arahan teori konstruksi sosial, interaksionis simbolik serta komunikasi non verbal visual. Adapun hasil penelitian ini menyatakan bahwa (1) Makna Profesi Pelukis wanita dalam mengekspresikan diri melaui seni lukis dibagi menjadi dua kategori yaitu kategori pertama memiliki makna implisit mencakup di dalamnya sarana untuk menyalurkan pikiran imajiner pelukis wanita, sarana untuk menyalurkan hobi, sarana menyalurkan sisi spiritual, serta sarana untuk berkomunikasi secara intrapersonal. Kategori kedua mengandung makna eksplisit yaitu pembuktian diri, bentuk kebebasan berekspresi sebagai wanita, bentuk pekerjaan professional, mendapatkan kehormatan,dan menyampaikan pesan.(2) Motif pelukis wanita dalam mengkespresikan diri melalui seni lukis ada dua kategori yaitu motif diri di dalamnya tercakup mencapai rasa puas, cinta dan kebanggan diri, serta motif sosial yaitu mencari kesuksesan materi,menonjolkan sisi kewanitaan, serta hiburan. (3) Cara pelukis wanita dalam mengekspresikan diri melalui seni lukis dibagi menjadi dua kategori pertama yaitu cara non teknis di dalamnya mencakup mencari inspirasi, serta penyusunan ide. Kategori kedua yaitu teknis mencakup pemilihan media, sketsa, pemilihan warna, dan brush stroke. Adapun saran dalam penelitian ini (1) Agar pelukis wanita menciptakan lebih banyak karya dengan mengatur waktu luang tanpa melupakan peran sebagai Ibu (2) Agar para pelukis wanita dapat meningkatkan keterampilan dalam melukis dengan cara mengikuti sekolah formalmaupun non formal. (3) Agar pelukis wanita lebih berani dalam mengeksplorasi objekobjek lukisan terumama dari sisi kewanitaannya. Kata-kata kunci: Fenomenologis, Interaksi Simbolik, Konstruksi Sosial, Komunikasi Nonverbal Visual, Pelukis Wanita.
1
1.1 Latar Belakang Penelitian Bagi seniman, ungkapan secara nonverbal yang dilakukan melalui wadah seni lukis akan diutarakan melalui baik gambar, symbol, warna dan lainnya yang ada di dalam lukisannya tersebut. Ungkapan rasa secara nonverbal tersebut merupakan upaya dari pada seniman dalam menyampaikan apa yang ada di dalam benaknya (pesan) kepada orang-orang yang menikmati karya seninya. Didalam ilmu komunikasi, hal tersebut merupakan salah satu proses di dalam komunikasi nonverbal visual. Komunikasi nonverbal sendiri memiliki arti proses komunikasi yang dilakukan diluar menggunakan kata-kata verbal. Komunikasi nonverbal visual merupakan gabungan dari komunikasi nonverbal dengan komunikasi visual, yang mana keduanya merupakan proses komunikasi tanpa penggunaan kata-kata verbal tetapi menggunakan gambargambar, lambang, warna dan stimulasi visual lainnya sebagai gantinya. Di dalam pembuatan karya seni, seniman sebagai komunikator di dalam proses komunikasi nonverbal visual akan memilih dan mengkreasikan objek-objek yang ada dalam karyanya sesuai realitas visual yang ia tangkap didalam pikirannya. Tentunya setiap orang memiliki pandangan akan suatu realitas yang berbeda-beda tiap orangnya tergantung kesadarannya masing-masing. Begitu pula adanya perbedaan gender ikut merekonstruksi perbedaan sudut pandang mengenai realitas. Wanita cenderung lebih sering menggunakan komunikasi nonverbal dalam mengekspresikan perasaannya Maka dari itu, berlatar belakang dari cara berkomunikasi secara nonverbal visual oleh pelukis wanita yang di ekspresikan melalui media seni lukis itulah yang kemudian menjadi minat peneliti sehingga mempertimbangkannya untuk mengangkat tema penelitian dengan judul “Ekspresi Seni Pelukis Wanita”. Penelitian ini dilakukan di kota Bandung. Alasan dipilihnya kota Bandung sebagai tempat penelitian karena Bandung merupakan salah satu kota penting dalam sejarah perkembangan seni lukis di Indonesia. Selain itu, Pemerintah Indonesia telah menempatkan kota ini sebagai kota yang ada dalam 7 prioritas pembangunan seni dan kebudayaan di Indonesia sejak tahun 2008. Hal ini disebabkan oleh maraknya aktivitas seni dan budaya yang telah berlangsung dan dilakukan oleh warga Bandung. Alasan lain yang menambah penting untuk melakukan dikota ini adalah terdapatnya suatu organisasi yang khusus menaungi pelukiswanita. Mereka semua bergabung didalam Ikatan Wanita Pelukis Indonesia (IWPI).
2
IWPI merupakan sebuah wadah berkumpulnya wanita dan anak-anak untuk melakukan kegiatan yang di gemari bersama, yaitu melukis. Didalamnya, terdapat beberapa kelompok melukis yang dikategorikan berdasarkan media lukisnya seperti kelompok melukis oil painting, kelompok melukis fabric painting, kelompok melukis Chinese Painting dan kelompok melukis glass painting. Dengan mengusung metode penelitian fenomenologis, peneliti mencoba untuk menganalisis para pelukis wanita dalam mengekspresikan perasaan nya melalui kesenian seni lukis melalui media-media lukis tertentu. Dalam metode penelitian fenomenologis, peneliti akan berusaha untuk memahami arti terhadap suatu peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang ada dalam situasi tertentu. Kajian ini, ini banyak dipengaruhi oleh Weber yang memberi penekanan pada verstehen, yaitu pengertian interpretasi terhadap pemahaman manusia. Di dalam hal ini, maka peneliti berusaha untuk memahami interpretasi seniman wanita terhadap objek lukisannya. Tentunya, untuk melakukan penelitian dengan metode fenomenologi, peneliti akan melakukan pengamatan partisipan, wawancara intensif, melakukan analisis kelompok kecil dan memahami keadaan sosial. Manfaat dari penelitian ini kedepannya diharapkan dapat mengembangkan kajian komunikasi terutama komunikasi non verbal dari segi teoritis. Sedangkan secara metodologis, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam mengembangkan perspektif fenomenologi di bidang komunikasi dan seni. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan evaluasi bagi para seniman dan juga praktisi komunikasi, dan juga bagi pihak lain yang membutuhkan serta berkepentingan terhadap penelitian ini. 1.2 Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penelitian akan memfokuskan mengenai “Bagaimana Ekspresi Seni Pelukis Wanita?” Dari fokus tersebut maka timbulah pertanyaan penelitian yang dimaksudkan sebagai pemberi arahan bagi peneliti dalam mengungkapkan fenomana yang terjadi. Pada penelitian ini beberapa pertanyaan penelitiannya antara lain: 1. Bagaimana makna profesi pelukis wanita dalam mengekspresikan diri melalui seni lukis? 2. Bagaimana cara pelukis wanita dalam mengekspresikan diri melalui seni lukis? 3. Apa motif pelukis wanita dalam mengekspresikan diri melalui seni lukis? 3
BAB II BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Bahan di dalam artikel ilmiah ini berisikan hal-hal yang menggambarkan beberapa konsep-konsep khusus yang akan diteliti di dalam penelitian ini. Beberapa landasan teoritis yang akan diuraikan dalam penelitian ini yaitu fenomenologi, teori interaksi simbolik, teori konstruksi sosial dan teori komunikasi nonverbal visual. 2.1.1 Fenomenologi Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang menjadi dalah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Berdasarkan etimologi, istilah fenomenologi berasal dari dua kata Yunani yaitu “phenomenon” dan “logos”. Istilah ini dalam segi bahasa dimaksudkan sebagai “penampilan”, yaitu penampilan yang “menampilkan” logos (dalam Misiak dan Sexton, 2005:2). Salah satu yang pelopor filsafat yang menggunakan fenomenologi sebagai suatu istilah adalah Edmund Husserl. Fenomenologi berusaha mengungkap fenomena sebagaimana adanya (to show it self) atau menurut penampakannya sendiri (vails it self). Adapun konsep lain yang dikemukakan Husserl adalah Lebenswelt (dunia kehidupan). Lebenswelt merupakan dunia sebagaimana manusia menghayatinya dalam spontanitas sebagai basis tindakan komunikasi antara subjek hukum. Bertolak dari gagasan ini Husserl kemudian menyatakan bahwa segenap tindakan kesadaran berlangsung dalam horison yang tetap yaitu dunia yang disadari atau dialami (Misiak & Sexton, 2005: 10). Manusia di dalam kehidupan nyata bergerak di dunia yang sudah terselubungi dengan penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan serta filsafat. Penafsiranpenafsiran tersebut ada kalanya diwarnai oleh kepentingan manusia, situasi kehidupan dan kebiasaan manusia tersebut. Analisis fenomenologis memiliki banyak cara pandang melihat suatu fenomena. Menurut Schutz dalam interaksi sosial berlangsung pertukaran motif, proses pertukaran motif para aktor dinamakan the reciprocity of motives. Melalui interpretasi terhadap tindakan orang lain, individu dapat mengubah tindakan selanjutnya untuk mencapai kesesuaian dengan tindakan orang lain. Agar dapat melakukan hal itu individu dituntut untuk mengetahui makna, motif, atau 4
maksud dari tindakan orang lain. Motif dalam perspektif fenomenologi menurut Schutz adalah konfigurasi atau konteks makna yang tampak pada aktor sebagai landasan makna perilakunya (Mulyana, 2004:81). 2.1.2 Teori Konstruksi Sosial Teori konstruksi sosial merupakan salah satu teori sosiologi kontemporer yang di populerkan oleh sosiologis bernama Peter L. Berger dan Thomas Luckmann sebagai pencetusnya. Teori konstruksi sosial ini menghadirkan konsep dasar mengenai sosiologi pengetahui yang memiliki realitas sui generis. Individu sebagai pencipta yang kreatif memiliki kekuatan terhadap suatu realitas dunia sosial disekelilingnya. Berger dan Luckmann mengatakan bahwa realitas sosial terdiri dari tiga macam, yaitu realitas objektif, simbolik dan subjektif. Realitas objektif ini terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar individu dan realitas tersebut dianggap sebagai suatu kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam brbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi (dalam Bungin, 2001:4-5). Di dalam kehidupan sehari-hari, gejala-gejala sosial masyarakat selalu berubah dan berproses dalam pengalaman bermasyarakat. Maka dari itu, pusat konstruksi sosial ini seharusnya bertumpu pada bentuk-bentuk penghayatan dalam kehidupan bermasyarakat dalam segala aspeknya (kognitif, intuitif, psiko-motoris dan emosional). Adanya realitas sosial ini merupakan hal-hal yang kita jumpai dalam kehidupan bermasyarakat yang tertuang dalam tindakan (baik itu komunikasi, seni, organisasi, dan lain-lain) dan ditumukan didalamnya pengalaman manusia yang intersubjektif. Melalui pengalaman secara terus-menerus inilah masyarakat kemudian terbentuk dan semakin tidak terbatas jumlahnya. Berger memandang bahwa kesadaran dalam diri manusia sebagai kesadaran intensional, selalu mengarah kepada objek. Sebaliknya, kesadaran juga dipengaruhi oleh berbagai macam objek diluarnya. Ia melihat relasi antara individu dan masyarakat dan segala pranata yang membangunnya sebagai hal yang dialektis;masyarakat sendiri merupakan gejala dialektik, hasil yang diciptakan oleh manusia itu sendiri, tetatpi terus akan mempengaruhi penciptanya. Di dalam bermasyarakat, di dalamnya merupakan 5
aktivitas yang dibangun dan kesadaran manusia sebagai pembentuk masyarakat itu sendiri. Masyarakat sesungguhnya sudah ada sebelum individu tersebut di lahirkan dan tetap ada setelah individu tersebut mati. Dalam suatu proses masyarakat, individu memiliki identitas tertentu yang dipertahankan seumur hidupnya dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu, manusia tidak dapat hidup tanpa masyarakat. Dalam pandangan dialektis tersebut, Berger kemudian memberikan alternatif terhadap paham determinisme yang menganggap indivisu dibentuk oleh struktur sosial dan tidak memiliki peran apapun di dalamnya. Dalam pandangan ini Berger ingin membuktikan bahwa manusia dapat mengubah struktur sosial, meskipun manusia akan selalu dipengaruhi dan dibentuk oleh institusi sosialnya.
2.1.3 Interaksi Simbolik Istilah interaksi simbolik pertama kali dikemukakan oleh George Herbert Mead yang kemudian dimodifikasi oleh seorang ilmuwan bernama Herbert Blumer pada tahun 1969 guntuk mencapai tujuan tertentu. Karakteristik yang menjadi dasar interaksi simbolik adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara hubungan antar individu dengan individu lainnya, individu dengan masyarakat dan sebaliknya, masyarakat dengan individu. Interaksi yag terjadi antar individu itu tercapai dan berkembang melalui simbolsimbol yang mereka ciptakan. Interaksi yang berlangsung tersebut dilakukan secara sadar dan interaksi secara simbolik juga berkaitan dengan anggota gerak tubuh seperti penggunaan suara atau vokal, gerakan tubuh, ekspresi tubuh dan wajah, yang mana kesemuanya itu mememiliki maksud tertentu dan disebut dengan “simbol”. Mead sendiri pada awalnya tidak menamai teori ini dengan sebutan interaksi simbolik, tetapi setelah ia meninggal barulah murid-muridnya kemudian berkolaborasi untuk menerbitkan buku yang berisikan materi-materi perkuliahan yang diberikan oleh Mead. Buku tersebut kemudian diberi judul Mind, Self, and Society (1934). Pemikiran Mead tersebut kemudian diberi nama teori interaksi simbolik oleh mahasiswanya yang bernama Herbert Blummer pada tahun 1937 berdasarkan asumsi Mead yang mengatakan bahwa simbol adalah fondasi kehidupan personal dan sosial (Mulyana, 2006:68). Menurut Cooley, konsep diri setiap individu akan sangat ditentukan oleh apa yang ia pikirkan tentang pikiran orang lain mengenai dirinya (Mulyana, 2006:74). Sebagai 6
konsekuensi dari kehidupan sosial, maka konsep diri seseorang akan selalu berubah dari satu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya, dimana pengaruh kelompok tersebut sangat kental bagi intepretasi diri seseorang.Didalam berinteraksi dengan dirinya sendiri, manusia akan menjadi objek bagi dirinya. Dan dalam membentuk suatu tindakan, manusia akan melakukan dialog internal dengan dirinya sendiri dalam menyusun konsep dan strategi untuk berhubungan dengan dunia luar diluar dunianya sendiri. Maka dari itu, manusia bukanlah makhluk yang akan beraksi atas pengaruh lingkungan luarnya, tetapi manusia akan bertindak sesuai hasil interpretasi di dalam dirinya. Sebagai hasil dari interaksi di dalam diri internal manusia, maka interpretasi tersebut akan menghasilkan suatu tindakan. Tetapi, sebelum bertindak manusia harus menetapkan tujuan, menggambarkan arah perilakunya, memperkirakan situasi, mencatat dan mengintepretasi tindakan orang lain, mengecek kembali terhadap dirinya, dan lainlainnya. Berkaitan dengan proses ini, Mead kemudian menyimpulkan bahwa manusia dipandang sebagai suatu organisme yang aktif dan memiliki hak-hak terhadap objek yang di modifikasinya. Tindakan manusia akan dipandang sebagai tingkahlaku yang dibentuk oleh pelaku dan sebagai ganti respons yang didapat dari dalam dirinya. 2.2 Metode Di dalam penelitian ini, digunakan metode penelitian kualitatif yang menjelaskan fenomena sosial melalui sudut pandang pelukis wanita sebagi subjek di dalam penelitian. Adapun penelitian kualitatif menurut Strauss dan Carbin adalah suatu jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedurprosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya (Sukidin, 2002:1). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang orisinil mengenai pengalaman manusia, sebagaimana pengalaman tersebut dirasakan olehnya. Adapun dalam menghimpun informasi di dalam mengumpulkan data penelitian ini digunakan beberapa cara dibawhah ini. 2.2.1 Uji Keabsahan Data Penelitian kualitatif tidak seperti halnya penelitian kuantitatif dimana di dalam penelitian tersebut dapat diuji validitas dan reliabilitas melalui statistik. Kebenaran akan suatu realitas didalam penelitian kuantitatif tidaklah bersifat tunggal tetapi bergantung pada konstruksi subjek 7
manusianya. Maka dari itu, menurut Sugiyono (2005:120) dibutuhkan keabsahan data. Ada 4 kriteria di dalamnya yaitu: a. Kredibilitas (validitas internal) b. Transferabilitas (Validitas eksternal) c. Kehandalan (reliabilitas) d. Kepastian (keobjektifan) Secara umum, validitas merupakan kebenaran dan kejujuran akan sebuah deskripsi, kesimpulanm penjelasan, tafsiran dan segala jenis laporan (Alwasilah,2002:169). Untuk membuktikan bahwa yang sesungguhnya terjadi di lapangan oleh seorang peneliti, maka diperlukanlah validitas. Untuk menguji kredibilitas suatu data, maka dilakukan antara lain dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan member check (Sugiyono:2005:121). 2.2.2 Member Check Merupakan suatu cara yang dilakukan oleh peneliti dengan tujuan untuk mengkonfirmasi ulang data yang didapat dilapangan kepada informan. Draft kasar yang didapat dari hasil wawancara dilapangan, kemudian di cross check. Informasi yang diperoleh kemudian akan digunakan dalam penulisan laporan sesuai dengan yang dimaksud informan. 2.2.3 Tempat Penelitian Berdasarkan pada uraian di latar belakang penelitian mengenai pengalaman ekspresi pelukis wanita, maka penelitian di lakukan di sebuah organisasi Ikatan Wanita Pelukis Indonesia cabang Jawa Barat di kota Bandung.
8
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil 3.1.1Makna Profesi Pelukis wanita dalam Mengekspresikan Diri Melaui Seni Lukis Pelukis wanita didalam mengekpresikan seni lukis dapat dikatakan sebagai komunikator yang mengkomunikasikan melalui pesan non verbal via media seni lukis terhadap komunikan nya yaitu audiens penikmat seninya. Tentunya, dalam upaya mengekpresikan karya seninya para pelukis wanita menggunakan objek-objek yang menjadi hasil representasi ide-ide kreatifnya di dalam melukis. Adapun objek-objek yang dipilihnya merupakan manifestasi dari simbol-simbol yang memiliki makna tertentu bagi pelukis wanita. Bukan hanya dapat dipahami oleh pelukis wanita saja, tetapi simbol yang digunakan haruslah dapat menampung pesan yang dapat dimengerti oleh audiensnya. Interaksi simbolik pada hakekatnya merupakan proses formatif yang menjadi hak setiap manusia, yang akan menjangkau berbagai bentuk hubungan antar manusia secara luas. Adapun makna yang terkandung dalam simbol-simbol yang digambarkan cukup mudah untuk dicerna oleh audiens baik yang ahli dalam seni lukis maupun bukan ahli. Secara tematik lukisan hasil karya Ibu LM, Ibu NB, dan Ibu NS dapat dengan mudah dipahami oleh audiens nya. Sedangka lukisan milik Ibu PR, Ibu MK, dan Ibu TMY cukup sulit untuk dipahami maknanya karena adanya nilai intrinsik dalam penggunaan berbagai macam simbol, warna dan bentuk objek yang digunakan. Perlu pemahaman yang lebih mendalam dalam menilai lukisan tersebut. Dari hasil penelitian tersebut maka makna profesi pelukis wanita dalam mengekspresikan diri melaui seni lukis dibagi menjadi dua kategori yaitu:
Makna implisit
Makna eksplisit
Menyalurkan pikiran imajiner pelukis wanita
Pembuktian diri
Sarana menyalurkan sisi spiritual
Bentuk kebebasan berekspresi sebagai wanita
Sarana
untuk
berkomunikasi
secara Bentuk pekerjaan professional
9
intrapersonal
Menyampaikan Pesan
Sarana untuk menyalurkan hobi
Mendapatkan kehormatan
3.1.2 Cara Pelukis Wanita dalam Mengekspresikan Diri Melalui Seni Lukis Berdasarkan hasil lapangan dapat dinyatakan bahwa cara pelukis wanita dalam mengekspresikan seni dimulai dengan pencarian Ide. Dari 6 responden pelukis wanita 4 diantaranya yaitu Ibu NS, Ibu LM, Ibu TMY serta Ibu NB mendapatkan ide dari lingkungan sehari-hari, sedangkan Ibu Monika mendapatkan Ide dari dirinya sendiri sebagai objek lukisan dan juga Ibu PR yang mendapatkan ide dari dari sosok perempuan yang lemah lembut. Meskipun begitu menariknya keseluruhan responden berangkat dari latar belakang yang sama yaitu Ibu Rumah Tangga. Hanya saja hal yang paling mencolok yang membuat mereka berbeda satu sama lain adalah pendidikan formal yang dijalani tiga diantara responden yaitu Ibu Ibu TMY, Ibu Monika dan Ibu PR menjadikan wawasan serta pengalaman dan pendalaman di dalam bidang seni lukis menjadi lebih luas. Sehingga, keterkaitannya dengan cara pengekspresian seni lukis bagi mereka yang memiliki latar belakang sekolah formil, cara pengekspresiannya lebih tereksplorasi dengan baik dan juga teknik-teknik yang digunakan sangat beragam. Meskipun begitu, tiga responden lain yang tidak memiliki latar belakang pendidikan formal dalam seni lukis juga tidak terlalu ketinggalan dalam teknik mengekspresikan seni lukis mereka dikarenakan mereka terus menerus melatih potensi mereka dengan cara mengikuti kursus seni lukis ke beberapa guru lukis yang dianggap cukup kompeten. Selanjutnya pemilihan media dalam melukis juga kerap di sesuaikan dengan tema/aliran lukis yang dibuat oleh pelukis wanita. Bagi Ibu TMY pemilihan kertas sebagai media dalam seni dengan aliran Chinese painting paling sesuai jika dibandingkan dengan penggunaan media kanvas. Sedangkan bagi Ibu LM, Ibu NS, Ibu PE an Ibu MK penggunakan kanvas merupakan media yang paling sesuai meskipun aliran lukisan mereka berbeda-beda. Ibu Nani, Ibu Lili dan Ibu NB memilih aliran lukisan naturalis, Ibu Monika memilih aliran realistik, dan Ibu PE memilih aliran ekspresionis. Di dalam melukis rupanya para pelukis wanita ini juga kerap menemukan hambatan baik secara eksternal maupun internal. Secara eksternal tiga diantara responden yaitu Ibu NB dan Ibu 10
TMY menganggap adanya teknik pewarnaan gelap terang yang kurang baik akan menjadi hambatan dalam menimbulkan kesan lukisan yang sesuai dengan keinginan yang ditampilkan. Sedangkan Ibu LM dan Ibu NS menganggap hambatan internal dalam diri yang dipicu oleh rasa malas dan kurangnya mood dalam mengerjakan karya menjadi hambatan dalam menyelesaikan lukisannya. Sedangkan dua orang responden yaitu Ibu PR dan Ibu MK tidak merasa memiliki hambatan yang berarti. Di dalam teori interaksi simbolik, Cooley berpendapat bahwa konsep diri setiap individu akan sangat ditentukan oleh apa yang ia pikirkan tentang pikiran orang lain mengenai dirinya (Mulyana, 2006:74). Sebagai konsekuensi dari kehidupan sosial, maka konsep diri seseorang akan selalu berubah dari satu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya, dimana pengaruh kelompok tersebut sangat kental bagi intepretasi diri seseorang. Maka dari itu, manusia bukanlah makhluk yang akan beraksi atas pengaruh lingkungan luarnya, tetapi manusia akan bertindak sesuai hasil interpretasi di dalam dirinya. Dari hasil penelitian tersebut maka cara pelukis wanita dalam mengekspresikan diri melalui seni lukis dibagi menjadi dua kategori yaitu:
Non teknis
Teknis
Mencari inspirasi,
Pemilihan media
Penyusunan ide.
Sketsa, Pemilihan warna Brush stroke
3.1.3 Motif Pelukis Wanita dalam Mengkespresikan Diri Melalui Seni Lukis Berdasarkan hasil penelitian di lapangan terdapat beberapa motif yang melatari para pelukis wanita dalam mengekpresikan seni ke dalam karya lukis. Menurut Mead, konsep diri pada Diri (self) adalah proses interaksi sosial antar individu dengan orang lain. Sebagaimana konsekuensi dari interaksi sosialnya, maka konsep diri setiap individu akan bergantung dengan bagaimana ia dinilai oleh orang lain saat berinteraksi. Konsep diri ini menurut Cooley juga sangat dipengaruhi oleh apa yang orang lain pikirkan mengenai dirinya (Mulyana, 2006:74) dimana pengaruh kelompok sosial tersebut sangat kental bagi interpretasi diri seseorang. Maka dari itu, 11
munculnya motif tidak hanya dilatari oleh konsep diri individu terhadap individu itu sendiri tetapi juga dicampuri oleh apa yang orang laing pikirkan mengenai dirinya sebagai konsekuensi dari interaksi sosial. Kadangkala sebagai wanita yang berubah menjadi sosok Ibu, kebanyakan dari mereka mendedikasikan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengurusi kesejahteraan keluarga. Hampir tidak ada waktu luang yang tersisa untuk memikirkan diri sendiri atau bahkan sekedar meluangkan waktu untuk beristirahat sejenak. Seluruh rasa cinta dan kasih sayang seorang Ibu pastinya akan tercurah demi keluarga. Maka dari itu banyak para wanita yang mulai merasakan pergeseran konsep diri akibat lingkungan sosialnya yang juga turut berubah sejalan dengan prioritas dalam tujuan hidupnya. Meski begitu, sebagai manusia yang memiliki berbagai macam kebutuhan, seorang Ibu juga memiliki keinginan untuk bisa memberikan sesuatu yang merupakan bagian dari konsep dirinya kepada orang lain. Kebutuhan pribadi manusia ini akan bertambah sejalan dengan semakin meningkatnya interaksi terhadap lingkungannya. Begitupun motif yang terbentuk akan semakin berkembang seiring dengan kebutuhan manusia yang terus bertambah. Dari hasil penelitian tersebut maka motif pelukis wanita dalam mengkespresikan diri melalui seni lukis dibagi menjadi dua kategori yaitu:
Motif diri
Motif sosial
Mencapai rasa puas
Mencari kesuksesan materi,
Cinta
Menonjolkan sisi kewanitaan
Kebanggan diri
Hiburan
12
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN 4.1 KESIMPULAN Berdasarkan paparan yang telah disampaikan, maka dapat ditarik simpulan-simpulan sebagai berikut: 1. Dari hasil penelitian ini dinyatakan bahwa ekspresi seni pelukis wanita di IWPI Jabar secara proses cara pelukis wanita dalam mengekspresikan seni di dalam seni lukis dimulai dengan ide yang dilatari oleh berbagai macam hal yatu dari lingkungan sehari-hari, dari sosok wanita yang lemah lembut dan dari diri pelukis wanita sendiri yang dinilainya sebagai bagian dari objek lukis. Pendidikan formal dalam bidan seni lukis dinilai banyak membantu kedalaman teknik dan khasanah pengetahuan para pelukis wanita dalam mengekspresikan seni. pemilihan media lukis sebagai salah satu rangkaian proses dari cara pelukis wanita dalam mengekspresikan seni digunakan berbeda disesuaikan menurut aliran seni
lukisnya, aliran lukis Chinese painting menggunakan kertas, aliran lukis
naturalis, realistis dan ekspresionis menggunakan kanvas. Adapun hambatan yang ditemukan dalam mengekspresikan seni
oleh pelukis wanita dinilai menjadi dua
hambatan yaitu hambatan secara teknis dan hambatan internal didalam diri pelukis wanita. 2.
Motif yang paling tinggi yang melatarbelakangi
pelukis wanita dalam
mengekspresikan seni adalah motif harga diri serta kebutuhan untuk mencari identitas diri. Wanita sebagai sosok Ibu yang bergelut dalam kesibukan rumah tangga juga mendambakan kebutuhan untuk aktualisasi diri dimana kebutuhan tersebut akan muncul setelah kebutuhan dasar lainnya telah terpenuhi. Adapun hubungan antara motif, komunikasi dan seni merupakan hubungan yang saling berlangsung secara simultan mempengaruhi satu sama lain. Motif sebagai dorongan untuk manusia berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lain dan seni sebagai alat untuk mengkomunikasikannya. Adapun seni yang mendapat reaksi dari para audiensnya akan kembali menimbulkan motif baru bagi pelukis dalam mengkomunikasikan pesan dalam karya selanjutnya. 3. Pemilihan objek-objek di dalam karya seni lukis yang digunakan oleh pelukis wanita merupakan hasil manifestasi dari smbol-simbol yang memiliki makna tersendiri bagi pelukis wanita. Hal tersebut juga merupakan hasil dari bentuk interaksi sosial antara 13
pelukis wanita dengan lingkungan sekitarnya. Salah satu bentuk eksplorasinya adalah ekspresi rasa seni secara simbolik dengan Tuhannya, ekspresi seni terhadap dirinya sebagai bagian dari objek lukis, dan juga simbol-simbol yang bermakna khusus sesuai kebudayaan yang menyertai lingkungan tersebut. 4.2 Saran-Saran 4.2.1 Saran Praktis 1. Dari hasil penelitian ini diketahui cara pelukis wanita dalam mengekspresikan seni lukis dimulai melalui pemilihan ide yang ada dari lingkungan sehari-hari. Maka dari itu disarankan untuk lebih memperluas lingkungan agar lebih banyak mendapatkan dan mengeksplorasi ide-ide baru di lingkungan yang baru. Hasil dari penelitian ini juga dinyatakan bahwa pendidikan formal dalam berkesenian dinilai cukup menunjang para pelukis untuk dapat lebih mengeksplorasi ekpresi seni dan juga teknik-teknik dalam melukis sehingga apabila memungkinkan disarankan untuk mengambil pendidikan formal. Bagi Ibu Rumah Tangga yang kesulitan dalam mengatur waktu bisa mengikuti kelas jarak jauh yang banyak diadakan secara online tanpa perlu hadir di dalam kelas. Selain itu dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa cara pelukis wanita dalam mengekspresikan seni merupakan proses yang memiliki banyak langkah sehingga dalam pengerjaannya memakan waktu yang tidak sebentar. Namun demikian untuk terus menghasilkan karya harus ada dorongan yang lebih kuat terutama dalam mengatasi hambatan dari dalam diri yaitu rasa malas dan juga perencanaan pembagian waktu yang tepat disesuaikan dengan kesibukan. 2. Hasil lain dari penelitian ini menyatakan bahwa adanya motif yang tinggi akan harga diri serta kebutuhan untuk mencari identitas diri oleh pelukis wanita dalam mengekspresikan seni lukis. Oleh sebab itu, disarankan bagi pelukis wanita untuk bisa lebih berani dalam mengekspresikan perasaan dalam diri dengan penggunaan objek-objek lukisan yang diluar dari kebiasaan serta pemilihan warna-warna yang tdak monoton. Selain itu, eksplorasi aliran lukis juga bisa membantu tercapainya maksud dan tujuan pesan yang ingin disampaikan pelukis kepada audiensnya. Disamping itu, untuk memperkaya motif di dalam melukis, disarankan untuk banyak membuat karya lukis karena semakin banyak karya lukis yang dihasilkan maka akan semakin banyak interaksi yang terjadi dan menghasilkan feedback yang mendorong lahirnya motif baru bagi pelukisnya.
14
3. Bagi para pelukis wanita disarankan untuk lebih mengenal dan peka terhadap lingkungan sekelilingnya agar dapat memperoleh banyak inspirasi terhadap objek-objek sidekitar yang memungkinkan memiliki makna terhadap suatu simbol tertentu. Kedepannya diharapkan simbol tersebut dapat menjadi ciri khas dari lukisan yang dilukis oleh pelukis wanita. Selain itu di sarankan juga bagi para pelukis wanita untuk mengeksplorasi kebudayaan-kebudayaan baru dimana disetiap kebudayaan sarat akan simbol yang banyak belum diketahui oleh orang awam, sehingga karya lukis nya dapat juga bermanfaat sebagai media dalam mentranfer ilmu pengetahuan. 4. Disarankan pula kepada para pelukis wanita untuk lebih berani dalam mengeksplorasi sisi feminis wanita. Hal tersebut disebabkan sebagai bentuk penyuaraan aspirasi wanita dan juga sebagai bentuk solidaritas sesama kaum wanita. Semakin feminin karya suatu lukisan maka akan semakin orisinil kedalaman eksplorasi rasa oleh pelukis wanita.
BAB V UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih penuis sampaikan kepada Bapak Dr. Anter Venus, M.Si selaku ketua Tim Pembimbing. Ibu Nuriyah Asri Sjarifah, M.Si. selaku pembimbing pendamping. Bapak Dr. Suwandi Sumartias, M.Si selaku Ketua Program S2 Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, dosen wali penulis. Ibu Dr. Hj. Jenny Ratna Suminar, M.Si, Dr. Hj. Rd. Funny Mustikasari Elita, M.Si, dan Bapak Dr. Asep Suryana, M.S selaku penelaah dalam Seminar Usulan. Staff Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, yang telah mendidik dan memberikan pengetahuan kepada penulis sejak penulis menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi sampai terselesaikannya tesis ini. Ibu Prie Ernalia, ketua IWPI Jabar, atas bantuan dan bimbingannya sampai selesainya tesis ini. Karyawan dan Karyawati IWPI Jabar atas bantuan sampai selesainya tesis ini. Semua pihak yang telah membatu penulis selama ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
15
BAB VI DAFTAR PUSTAKA Ardianto, Elvinaro. 2010. Metodologi Penelitian Untuk Public Relations. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Basrowi dan Sukidin. 2002. Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded Theory, Fenomenology, Etnometodology, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik, Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi. Surabaya: Insan Cendikia. Bungin, Burhan. 2001. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Cresswell, John.W, 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions, USA:Sage Publications. Inc Lindlof, Thomas. R.1995. Qualitative Communication Research Methods. California: Sage Publications. Littlejohn, Stephen. W. dan Foss. Karen. A. 2008. Encyclopedia of Communication Theory. California: Sage Publication. Misiak, Henryk. dan Sexton, Virginia Staudt. 2005. Psikologi Fenomenologi: Esktensial dan Humanistik. Bandung: Refika Aditama. Mulyana, Dedi. 2006. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sugiyono, 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Surono, Cut Kamaril Wardani. 2001. Konsep Pendidikan Seni Tingkat SD-SLTP-SMU. Jakarta: The Ford Foundation. Watt, J.H dan Berg, Van Den. 1995. Research Methods for Communication Science. Boston: Allyn and Bacon.
16
KAJIAN TEMA EROTIK PADA KARYA SENI RUPA KONTEMPORER LAKSMI SHITARESMI Pradnya Kasita Dr. Ira Adriati S.Sn, M.Sn
Irma Damajanti S.Sn, M.Sn
Program Studi Sarjana Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB E-mail:
[email protected]
Kata Kunci: Laksmi Shitaresmi, budaya Jawa, seni erotik, tubuh telanjang Abstrak Tema erotik telah l muncul dalam seni rupa di Indonesia sejak masa prasejarah, namun dalam perkembangannya ia terhambat oleh pemikiran-pemikiran yang menganggapnya tabu dan tidak lebih dari sekedar pornografi. Tema erotik biasanya muncul dengan visual tubuh telanjang, alat kelamin, dan simbolsimbol seksual lain. Penelitian ini fokus pada karya seorang seniman Indonesia, Laksmi Shitaresmi, yang dalam karya-karyanya kerap kali memunculkan visual tubuh telanjang, terutama tubuhnya sendiri.Penelitian dilakukan dengan kajian kritik seni, tubuh, seni erotik, dan budaya Jawa.Ditemukan bahwa tubuh telanjang dalam karya Laksmi Shitaresmi tidak hanya persoalan birahi dan seksualitas, tetapi juga diri seniman dalam masyarakat. Abstract Erotic themes has emerged in visual arts in Indonesia before prehistoric era, but its development is obstructed by the ideas that believe it as taboo, vulgar display, and mere pornography. Erotic themes usually shows in portrayals of nude bodies, genitals, and other sexual symbols. This research focuses on the works of an Indonesian artist, Laksmi Shitaresmi, whose works mostly includes nude bodies, especially of her own. The research is conducted using art critic, theories on bodies, erotic art, and Javanese culture. It finds that nude bodies in Laksmi Shitaresmi‟s works are not always about lust and sexuality, but also about the artist‟s self in their society. I.
Pendahuluan
Menurut Art Lexicon atau Kamus Seni Rupa, seni erotik adalah karya seni yang menimbulkan atau merayakan hasrat-hasrat seksual.Kontemporer adalah masa sekarang; terjadi pada masa kini.Maka, karya seni rupa kontemporer erotik adalah hasil pekerjaan yang dilakukan dengan keahlian bidang rupa yang diciptakan atau terjadi pada masa sekarang dan memiliki isi yang berhubungan dengan perasaan seksual. Visualisasi tubuh telanjang, alat kelamin, dan adegan persetubuhan sering dikategorikan sebagai seni rupa erotik.Meski tidak semua karya seni rupa yang menampilkan hal-hal tersebut sengaja dibuat atau bertujuan menimbulkan hasrat seksual orang-orang yang melihatnya.Hal ini terutama terjadi pada karya-karya seni rupa prasejarah atau tradisional. Seni rupa prasejarah dari berbagai tempat, termasuk kepulauan Indonesia, berupa patung, ukiran, atau lukisan yang menggambarkan figur dengan alat kelamin atau payudara yang ditonjolkan atau alat kelamin saja; bagian tubuh yang pada masa modern dianggap tak pantas diekspos atau digambarkan karena nilai-nilai seksualitasnya. Namun, visualisasi tersebut merupakan simbol kesuburan, tidak hanya berhubungan dengan keturunan manusia, tetapi juga keberlangsungan hidup alam pada kepercayaan kuno. Contoh lain, dalam kepercayaan dan tradisi India, persetubuhan merupakan salah satu
cara untuk melakukan pencapaian spiritual. Sedangkan dalam kepercayaan dan tradisi Cina, seksualitas adalah salah satu standar keseimbangan atau harmoni manusia dengan alam dan kesehatan fisik dan mental seseorang. Di Barat, tubuh telanjang atau ideal secara seksual digunakan untuk menggambarkan dewadewa dan tokoh-tokoh dalam kitab suci sebagai simbol kemurnian dan kesehatan raga dan jiwa. Kepercayaan-kepercayaan yang memberikan peran penting kepada seks dan seksualitas sebagai jalan untuk mencapai spiritualitas tertinggi itulah yang memicu berkembangnya erotika. Karya seni dan sastra yang dibuat untuk menimbulkan gairah seksual orang agar orang tersebut mampu atau terangsang untuk melakukan kegiatan seksual, sehingga ia kemudian mendapatkan pencapaian spiritualitas tersebut. Seiring perkembangan jaman, seks dan seksualitas dalam masyarakat secara bertahap kehilangan nilai-nilai spiritualitasnya.Seks dan karya-karya seni erotik, misalnya di Perancis abad 18, dianggap sebagai hiasan atau hiburan bagi kaum bangsawan.Begitu pula di Indonesia, karya-karya potret, terutama perempuan, menjadi hiasan di rumah-rumah pemerintah kolonial.Meski ada seniman-seniman yang membuat karya seni erotik sebagai media spiritualitas bagi dirinya sendiri. Seni rupa erotik dapat menjadi ekspresi kebutuhan atau tendensi seksual senimannya sendiri. Dalam buku The Worm in The Bud, Ronald Pearsall menyatakan, “For many repressed artists, the demand for nude paintings meant that their sexual needs were sublimated in an acceptable and life-enhancing manner” (103). Dalam seni rupa saat ini, erotika dan visualisasi seks telah melampaui makna-makna spiritualitas atau hasrat seksual.Simbol-simbol seks dan seksualitas digunakan sebagai media dalam menyampaikan kritik sosial bahkan politik. Jika dulu simbol-simbol kelamin dan persetubuhan disamarkan dengan simbolsimbol seperti binatang atau bentuk-bentuk lain, kini beberapa karya seni rupa erotik justru mengangkat seksualitas untuk menyampaikan persoalan-persoalan lain yang lebih kompleks. Meski penggunaan simbol untuk penyampaian secara implisit dan karya yang menunjukkan hasrat seks murni maupun spiritualitas masih ada hingga saat ini. Di Indonesia, terdapat beberapa perempuan seniman yang berkarya seni rupa dengan menggunakan visual tubuh, terutama tubuhnya sendiri, misalnya Arahmaiani, Erika Ernawan dan Lelyana Kusumawati. Seniman yang dipilih dalam penelitian ini adalah Laksmi Shitaresmi. Laksmi Shitaresmi dipilih karena ia termasuk seniman yang aktif berkarya dan berpameran (hampir setiap tahun sejak 1987 Laksmi mengikuti pameran karya seni). Secara visual, Laksmi Shitaresmi juga memiliki ciri khas yang muncul berkali-kali pada karya-karya dalam periode tertentu.Latar belakang Laksmi Shitaresmi sebagai seorang perempuan yang lahir pada wilayah dan lingkungan masyarakat Jawa juga dapat diteliti melalui kemunculan simbolsimbol pada karyanya.Dibandingkan kebanyakan perempuan seniman lainnya, Laksmi Shitaresmi termasuk yang paling sering membuat karya dengan visual tubuh, terutama tubuh telanjangnya sendiri. Laksmi Shitaresmi adalah seniman kelahiran Yogyakarta, 9 Mei 1974.Karya-karyanya banyak menampilkan bagian tubuh seperti payudara, alat kelamin, dan tubuh telanjang, terutama tubuh perempuan.
Sebagai seorang perempuan yang lahir dan tumbuh dalam budaya patriarkis, tubuh perempuan dalam karya Laksmi Shitaresmi mengisahkan pemikiran-pemikiran akan peranan dirinya sebagai perempuan dalam masyarakat. Dalam karya seni rupa, tubuh telanjang dapat menjadi suatu simbol diri atau keadaan masyarakat yang saat itu terjadi dan diceritakan oleh seniman.Melihat Laksmi Shitaresmi sebagai seorang perempuan yang menggambarkan tubuh perempuannya dalam karya-karyanya, karya-karya Laksmi dapat dikaji dengan teori-teori yang berhubungan dengan posisi perempuan dalam kehidupan masyarakat Jawa. Dengan mengkaji tema-tema erotik pada karya-karya Laksmi Shitaresmi dapat diteliti dan dipahami bagaimana erotika dilihat dan digunakan sebagai ekspresi atau respon seniman terhadap isu atau kondisi kehidupan atau lingkungan seniman secara pribadi maupun masyarakat atau budaya Indonesia yang lebih luas sekaligus memahami bagaimana masyarakat Indonesia melihat dan menilai erotika. II.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang memudahkan penulis untuk mengobservasi data-data yang telah dipilih sebagai batasan penelitian secara rinci dan terarah.Teori-teori yang digunakan untuk mengkaji karya-karya yang dipilih dalam penelitian ini adalah teori kritik seni yang didukung teori seni rupa erotik, teori tubuh, dan kebudayaan Jawa.Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan kajian pustaka melalui buku, tulisan, dan penelitian yang telah dibuat sebelumnya, wawancara dengan seniman yang diteliti, dan observasi karya-karya seni rupa. Penelitian dilakukan dengan pemilihan sampel-sampel karya seni rupa Laksmi Shitaresmi yang menampilkan unsur-unsur visual yang berkesan erotik; terutama tubuh telanjang. Lima karya yang dipilih, Kasmaran, Dalam Setiap Langkahku, Indahnya Kehamilan, Ngamar Sutra, dan Irama Rotasi Hidupku. Masing-masing karya dikaji dengan mendeskripsikan karya, kemudian analisa formal dari deskripsi, interpretasi konteks dan makna karya, dan evaluasi keseluruhan karya, kemudian evaluasi keseluruhan dari kelima karya yang diteliti.
III.
Analisa Karya
Karya-karya Laksmi Shitaresmi yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini antara lain Kasmaran, Pada Setiap Langkahku, Indahnya Kehamilan, Ngamar Sutra, dan Irama Rotasi Hidupku. Tiap karya dibuat pada tahun yang berbeda dan menunjukkan kecenderungan visual yang berubah seiring perkembangan kekaryaan Laksmi.
Gambar 1.Kasmaran, Akrilik di atas kanvas, 80 cm x 150 cm, 1999
Dalam karya ini terlihat sosok seorang perempuan yang ekspresi dan gesturnya seolah menunjukkan gairah seksual, berada dalam suatu kenikmatan.Hal ini diperkuat dengan tubuhnya yang telanjang dada, memperlihatkan payudaranya. Dengan tubuhnya sendiri, Laksmi menyatakan bahwa iapun mampu dan berhak memiliki fantasinya sendiri mengenai laki-laki atau kehidupan asmara yang didambakannya, tidak hanya sekedar menyadi „pengikut‟ yang hanya menerima bagaimana ia diperlakukan dalam hubungan seksual. Dalam masyarakat Jawa modern, perempuan juga memiliki hak untuk memilih suami atau pasangan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya, tidak sekedar menerima jika pasangannya tidak mampu memenuhi kebutuhan seksual tersebut. „Kejujuran‟ Laksmi muncul dalam pernyataan bahwa ia memiliki hasrat seksual, dan hal tersebut tidak perlu dianggap tabu hanya karena ia perempuan yang diharapkan memiliki kesan pemalu atau tertutup dalam persoalan seks yang kadang dianggap tidak layak dibicarakan.
Gambar 2.Pada Setiap Langkahku, Akrilik di atas kanvas, 145 cm x 145 cm, 2000
Jika disesuaikan dengan judulnya, seolah „batu‟ atau pilihan hidup Laksmi menjadi beban yang harus ditanggungnya dimanapun, kapanpun.„Beban‟ juga bisa berarti komentar-komentar tidak menyenangkan dari orang di sekitarnya terhadap caranya menjalani hidup. Namun, dengan tubuh tegap ia melangkah maju dan tidak mempedulikan pendapat itu, meninggalkan dirinya yang tersiksa. Pada karya ini, unsur erotika diwakili oleh ketelanjangan, meski pada karya ini ketelanjangan hanya mewakili kejujuran atau penggambaran diri Laksmi apa adanya, yang menceritakan pengalaman pribadinya. Namun, kedua figur telanjang ini juga menggambarkan suatu persoalan yang berasal dari seksualitas, yaitu praktik kekuasaan. Figur pertama tubuhnya condong ke belakang dan ekspresinya terkesan pasrah, sedangkan figur kedua postur tubuhnya menunjukkan ia seolah berjalan maju dengan wajah tegas. Figur pertama seolah merupakan wujud perempuan yang biasa disampaikan media: pasif dan submisif baik dalam kegiatan seksual maupun dalam masyarakat, ia merupakan pihak yang dikontrol dan didominasi, dan dicekik sihingga menimbulkan kesan fetish atau praktik bondage dalam kegiatan seksual. Sedangkan figur kedua menggambarkan pihak yang mengontrol dan mendominasi, tubuhnya kokoh dan ekspresi wajahnya memiliki pernyataan. Laksmi secara jujur mengungkapkan kesulitan atau berbagai persoalan yang dialaminya. Mungkin ia melawan stereotip perempuan Jawa yang sering memendam atau menyembunyikan perasaannya agar tidak menimbulkan konflik bagi orang lain. Tetapi Laksmi sama sekali tidak bermaksud menciptakan konflik, ia hanya menceritakan tentang dirinya sendiri apa adanya.
Gambar 3.Indahnya Kehamilan, Acrylic on canvas, 80 cm x 150 cm, 2003
Kehamilan adalah representasi dari reproduksi, keberlangsungan hidup suatu ras makhluk melalui keturunannya untuk menjaga keseimbangan alam dan kehidupan, selain keseimbangan spiritualitas dan kesehatan makhluk secara fisik; ia melambangkan kesuburan, suatu pencapaian dari karya erotik paling primitif. Kehamilan juga terjadi akibat adanya hubungan seksual; menunjukkan bahwa seseorang yang
hamil telah merasakan adanya gairah seksual.Pada karya ini, figur perempuan memiliki kesan ekspresi yang tenang dan bahagia, menunjukkan bahwa kehamilannya merupakan sesuatu yang diterimanya, bukan karena suatu paksaan.Ia mendapatkan manfaat atau pencapaian dari kegiatan seksual yang dinikmatinya. Karya ini, sesuai dengan judulnya, adalah apresiasi seorang perempuan terhadap kemampuannya untuk menjalani kehamilan.Kehamilan adalah suatu pilihan hidup yang dapat disyukuri dan dinikmati, bukan semata-mata fungsi perempuan untuk menghasilkan keturunan. Laksmi hamil sesuai dengan kehendaknya, tanpa paksaan dari pihak manapun, dan ia menghargai hal tersebut dengan menjalani kehamilannya sebaikbaiknya; ia menjaga dirinya sendiri dan bayinya, dengan sabar menanti waktu kelahiran si bayi yang akan membawa lebih banyak kebahagiaan bagi dirinya. Tubuh setengah telanjang Laksmi seolah ia sengaja menunjukkan tubuhnya yang sedang hamil dengan bangga. Dengan hamil dan melahirkan seorang anak, Laksmi juga mendapatkan posisi sebagai seorang Ibu.Dalam budaya Jawa, ibu dalam keluarga merupakan sosok pendukung terkuat seluruh anggota keluarga.Umumnya, seorang ibu atau istri dalam keluarga Jawa turut bekerja untuk menyokong kehidupan keluarga, sebagai ibu rumah tangga sekalipun selalu menjaga kebutuhan dan keamanan anggota keluarganya. Ayah sebagai kepala keluarga memang menjadi pencari nafkah utama, tetapi ibu-lah yang mengambil keputusan terhadap sistem dalam rumah atau keluarga. Menjadi seorang ibu dalam keluarga Jawa memiliki banyak tanggung jawab yang berat, tetapi itu menjadi salah satu peran yang dibanggakan oleh Laksmi.
Gambar 4.Ngamar Sutra ,Teak wood, polyurethane painted, acrilyc painted, electronic machine 190 cm X 190 cm X 20 cm, 2010
Jika perempuan berwarna putih dalam karya ini adalah potret diri Laksmi Shitaresmi, maka figur lainnya bisa diperkirakan sebagai sosok laki-laki idaman; laki-laki yang dicintai oleh Laksmi – suaminya sendiri. Hal ini didapat dari posisi kedua figur yang ditampilkan: satu figur berada di atas dan antara kedua kaki figur yang lain, penggambaran yang umum terhadap persenggamaan. Satu tangan figur pertama juga menyentuh dada, tepatnya payudara figur kedua, suatu gestur yang secara fisik dapat menghasilkan rangsangan seksual.Mulut terbuka (menganga) menunjukkan napas terengah-engah yang dihasilkan dari kegiatan persenggamaan tersebut.
Simbol-simbol lain seperti awan, api, dan air, seolah menyimbolkan kesenangan dari aktivitas seksual, yaitu perasaan melayang, berapi-api, dan air mani. Kapal dan rumah merupakan simbol perlindungan dan keluarga, sedangkan roda menunjukkan pergerakan.Bunga teratai memiliki bentuk yang mewakili vulva, sumber dari kehidupan yang tak terbatas.Dalam karya ini, teratai dapat diartikan sebagai seksualitas Laksmi dan seperti pada karya-karya visual erotik India, kegiatan seksual sebagai salah satu jalan menuju pencapaian spiritualitas dan kesehatan (well-being).Seks atau hubungan Laksmi dengan suaminya baginya merupakan salah satu pencapaian dalam hidup yang membantunya mendapatkan pencapaian spiritualitas tersebut.Karya ini menggambarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan.Dalam keluarga Jawa, seorang istri dapat memegang kuasa atas keputusan-keputusan penting menyangkut sistem dalam rumah untuk kesejahteraan keluarganya.Namun, hal ini tentu perlu disertai dengan kompromi dengan anggota keluarga lain, terutama suami. Perempuan Jawa dalam meraih kontrol terhadap keputusan dan komprominya menggunakan cara bicara atau perilaku yang halus dan menghindari konfrontasi. „Penyerahan diri‟ (submission) Laksmi dalam karya ini mungkin menunjukkan cara berkompromi tersebut dengan mengalah, namun ia tetap mampu mengatur dan mendapatkan apa yang diinginkannya. Meski didominasi, Laksmi tidak tertindas, ia mendapatkan kesenangan dan kenyamanan dari pilihan yang dibuatnya sendiri. Dari komunikasi atau hubungan yang tercipta antara Laksmi dan suaminya, ia berharap dapat menjadi pelindung dan pembimbing bagi anak-anaknya, dipimpin oleh suaminya dan dengan petunjuk Tuhan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan.
Gambar 5.Irama Rotasi Hidupku, Fiberglass, wood, polyurethane painted, acrilyc sheet, LED Light 214 cm X 208 cm X 14 cm, 2013
Dalam karya ini terlihat tiga figur perempuan. Masing-masing figur memiliki pose berbeda dan disusun searah membentuk lingkaran. Ketiga figur ini identik, ketiganya perempuan dengan tubuh yang bisa dibilang langsing, rambut panjang tergerai bergelombang dan ujungnya bertemu pada pusat bidang karya, tanpa pakaian, dan masing-masing memegang berbagai objek berbeda di kedua tangan.Ketiganya memiliki postur yang ideal dan berada dalam ekspresi netral dan tubuh seolah melayang namun terkendali. Posisi tubuh masing-masing figur ini menunjukan kemampuannya bergerak dengan bebas, ia tidak kaku atau terikat terhadap kendali pihak lain, menunjukkan bahwa ia melakukan hal tersebut karena ia mampu dan
ingin bergerak demikian. Postur tubuh yang ideal juga menunjukkan tubuh yang sehat, karena itu ia kuat dan mampu melakukan apapun yang diinginkannya.
Masing-masing figur pada karya ini memegang sebuah objek dengan detail menyerupai alat musik dan bunga. Alat musik merupakan simbol harmoni dan bunga merupakan simbol feminitas. Karya ini menggambarkan bahwa jika dilakukan dengan benar dengan nilai-nilai feminin yang Laksmi percayai, harmoni atau keselarasan hidup seseorang dan hubungannya dengan orang lain akan tercapai. Ketiga figur ini disusun membentuk sebuah lingkaran dan posisi tubuhnya seolah membuat lingkaran tersebut tak berujung.Berbagai macam objek juga dibentuk dengan spiral. Sesuai dengan judulnya, rotasi, spiral dan lingkaran menggambarkan aliran, pergerakan yang kontinu dan tanpa henti. Pergerakan dalam konteks ini adalah Laksmi yang menjalani hidupnya dengan terus maju, tanpa melihat ke belakang atau menyesali yang telah terjadi, setiap hari tanpa henti, juga bagaimana satu kegiatannya dalam salah satu peran mempengaruhi perannya yang lain. Ketiga peran yang dijalaninya secara bergantian ini pada akhirnya berpusat pada satu hal, yaitu menjadi dirinya sendiri sebagai satu individu manusia.
Meski karya ini mengandung unsur-unsur erotik, yaitu tubuh telanjang dan objek-objek-objek yang bersifat phallic (tongkat dan objek silindris panjang) dan vulvic (bunga dan teko teh), dalam karya ini hanya disajikan seksualitas sebagai bagian dari keseimbangan spiritualitas dalam hidup Laksmi.Tidak ada wujud figur yang merangsang secara seksual.Simbol-simbol yang digunakan pun bersifat multi tafsir, tidak ada yang secara spesifik merujuk pada alat kelamin atau kegiatan seksual.Mungkin memang secara bawah sadar objek-objek tersebut terbentuk dari ide-ide mengenal seks, namun dengan interpretasi melalui makna-makna simbol secara universal, karya ini memiliki banyak konteks di luar bidang seksualitas.
IV.
Kesimpulan
Seni rupa erotik meliputi karya-karya seni rupa yang mengandung atau menampilkan hal-hal yang bersifat merangsang gairah atau ide-ide yang bersifat seksual. Hal-hal tersebut divisualisasikan dengan berbagai cara, dari objek-objek simbolik (bentuk-bentuk menyerupai alat kelamin) hingga tampilan yang vulgar (kegiatan persenggamaan. Dalam seni rupa Indonesia, seni rupa erotik telah ada sejak zaman prasejarah.
Karya-karya Laksmi Shitaresmi sering menggunakan figur telanjang. Karya dengan visual tubuh telanjang, terutama yang dibahas dalam penelitian ini tidak bertujuan untuk merangsang secara seksual, tetapi merupakan penggambaran diri yang jujur dan apa adanya. Karya Kasmaran menggambarkan diri Laksmi yang tampak sedang mengalami kenikmatan seksual, namun karya ini tidak mengajak atau merangsang pengamat secara seksual, tetapi menunjukkan bahwa Laksmi yang seorang perempuan juga memiliki fantasi dan keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan atau kepuasan seksual bagi dirinya sendiri. Karya Pada Setiap Langkahku menampilkan dua figur perempuan telanjang yang menceritakan pengalamannya menjalani berbagai macam persoalan dalam hidup dan mendapatkan berbagai perlakuan dari orang di sekitarnya.Karya Indahnya Kehamilan menggambarkan diri Laksmi yang sedang hamil, mengekspresikan
kebahagiaan pengalamannya sebagai seorang ibu dan penantian menunggu kelahiran anaknya.Karya Ngamar Sutra menampilkan adegan persenggamaan dua figur yang menggambarkan Laksmi dan suaminya, selain mengekspresikan kenikmatan seksual, karya ini menceritakan hubungan antara sepasang suami-istri dan peran mereka dalam membangun keluarga yang memiliki posisi dalam masyarakat.Karya Irama Rotasi Hidupku menampilkan tiga figur perempuan yang menggambarkan usaha Laksmi dalam menyeimbangkan diri dalam menjalani tiga peran dalam kehidupan yang dipilih oleh Laksmi, yaitu sebagai ibu dan suami dalam keluarganya, dan sebagai seniman dalam masyarakat. Karya-karya Laksmi Shitaresmi bukan merupakan „erotika‟ melainkan bersifat „erotik‟, karena karya-karya tersebut tidak memuaskan hasrat seksual laki-laki, tetapi mengekspresikan seksualitasnya sendiri, peranan seks dalam hidupnya, dan penggambaran tubuh sebagai representasi dirinya sebagai perempuan dalam lingkungan hidupnya. Ketelanjangan dalam karya-karya Laksmi Shitaresmi tidak bertujuan menonjolkan daya tarik seksual, tetapi mewakili diri yang jujur dan apa adanya dalam kenyataan yang terjadi padanya. Karya-karya Laksmi Shitaresmi juga mengandung nilai-nilai budaya Jawa, terutama dalam menceritakan peran seorang perempuan sesuai dengan kebiasaan masyarakat Jawa.
Ucapan Terima Kasih Artikel ini didasarkan kepada catatan proses berkarya/perancangan dalam MK SR4099 Tugas Akhir Program Studi Sarjana Seni Rupa FSRD ITB. Proses pelaksanaan skripsi ini disupervisi oleh pembimbing Dr. Ira Adriati, S.Sn, M.Sn. dan Irma Damajanti, S.Sn, M.Sn.
Daftar Pustaka Bienpoen, Carla, Indonesian Women Artists: The Curtain Opens, Yayasan Senirupa Indonesia: 2007 Handayani, Christina dan Novianto, Ardhian, Kuasa Wanita Jawa, LKiS, Yogyakarta: 2004 Kronhausen, Erotic Art: a survey of erotic fact and fancy in the fine arts, Bell Publishing Company, New York: 1968 Meskimmon, Marsha, Women Making Art: History, Subjectivity, Aesthetics, Routledge, London: 2003 Soemantri, Hilda, Indonesian Heritage: Visual Art, Archipelago Press: 1998 Tresidder, Jack, The Complete Dictionary of Symbols in Myth, Art, and Literature, Duncan Baird Publishers Ltd, London : 2004
Katalog Pameran City, Galeri Canna: 2008 Katalog Pameran Nakedness Reveals Life, Bentara Budaya Jakarta: 2009
REPRESENTASI PEREMPUAN PADA LUKISAN DI BAK TRUK Obed Bima Wicandra Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra Surabaya E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Bak truk telah menjelma tidak saja menjadi alat transportasi namun juga media komunikasi visual seiring dengan semakin banyaknya iklan yang memanfaatkan media ini dalam mempromosikan suatu produk. Namun perjalanan bak truk menjadi media promosi diawali oleh bertebarannya lukisan yang memanfaatkan bak truk yang semula kosong di sisi kanan, kiri maupun belakang truk. Perempuan menjadi figur yang banyak dipakai sebagai objek lukis. Tulisan ini lebih menyoroti fenomena lukisan yang banyak mengambil figur perempuan dalam kajian gender, untuk melihat apakah representasi perempuan dalam lukisan di bak truk tersebut dimaknai sebagai adanya ketimpangan dalam relasi gender. Kata kunci: representasi, perempuan, bak truk, lukisan, relasi gender.
ABSTRACT The backs of dump trucks have transformed to not only as a transportation mechanism, but also as visual communication media. This phenomena goes along with the many advertisements that utilizes this kind of medium in promoting certain products. But the backs of dump trucks become a promotional medium because of the already many paintings painted on them, which they are originally plain on the right, left, and the back sides. Women become figures that many portray as their painted subjects. This article focuses more on the painting phenomena that uses the female figures through a gender study, to see whether woman representations in the paintings of the backs of trucks are signified as having imbalanced gender relations. Keywords: representation, woman, back of dump truck, painting, gender relations.
istilah dalam memaknai bentuk-bentuk ekspresi seni yang ada dan dipengaruhi oleh kebudayaan kota. Namun keberadaannya telah menjadi kultur dalam persoalan-persoalan yang menyangkut kota sebagai sebuah ruang. Seni urban bermula ketika sebuah ruang perkotaan dianggap sebagai ruang yang diperebutkan dengan berbagai kepentingan. Dari kejadian tersebut muncul beragam bentuk ekspresi. Kesepakatan awal bisa saja tidak berpretensi sebagai sebuah ekspresi seni, tapi lebih pada kebutuhan pragmatis atas persoalan kota tersebut. Jalanan kota dimaknai sebagai etalase ketika di atasnya ramai hilir mudik segala jenis kendaraan dengan segala jenis status sosialnya serta berbagai kepentingan. Jalanan juga tidak lagi dipandang sebagai ekses ‘menuju’ atau ekses ‘dari-ke’ namun jalanan telah mendukung adanya paradigma definisi sosial yang mengakui manusia sebagai aktor yang kreatif dalam realitas sosialnya (Ritzer, 1992:43). Truk yang melintas di jalanan sebagian besar kota di Indonesia yang memiliki keunikan dengan melukis bagian belakang truk, yaitu bagian baknya juga memiliki nilai ”hiburan” sendiri. Memiliki nilai
PENDAHULUAN Peradaban perkotaan yang memicu kenyataan bahwa industri tidak bisa dibendung lagi memunculkan gerakan pop-art yang menggambarkan kebudayaan atau produk yang diciptakan oleh industri dan mulai dikenal oleh masyarakat. Dalam perkembangannya, seni urban tumbuh subur di perkotaan karena kota-kota besarlah yang memiliki infrastruktur serta fasilitas bagi berkembangnya budaya urban. Selain industri pabrikan, industri hiburan dan kemudahan akses informasi memiliki pengaruh yang kuat sekali di dalam perkembangan seni urban, terutama kebudayaan digital yang membuat segala sesuatu atau peristiwa bisa ditonton dengan cepat oleh khalayak umum, misalnya internet dan televisi. Seni urban selalu bergerak serta mengalami perubahan sesuai situasi kotanya. Dalam perwujudannya kemudian, seni urban menjelma menjadi tren fashion, street art (mural dan graffiti), trans art (lukisan di becak dan lukisan di bak truk) dan bentuk perwujudan lain yang menjadikan kota sebagai backdrop dalam segala aksi tersebut. Seni urban bukanlah hal yang baru dalam konteksnya sebagai 31
32
NIRMANA, VOL.9, NO. 1, JANUARI 2007: 31-37
”hiburan”, karena lukisan di bak truk sering memancing emosi, entah itu senyuman atau justru sinis akibat dari visualisasi lukisan di bak truk tersebut. Kalimat yang bernada lugas nan erotik sering tergambarkan dengan jelas diiringi dengan objek gambar figur perempuan dengan berpakaian lengkap maupun minim. Jalanan benar-benar menjadi etalase, karena salah satunya datang dari visualitas bak truk yang ikut berkepentingan dalam lalu lintas jalan. Erotika dalam lukisan di bak truk menjadi pertanyaan yang mengemuka ketika kehadirannya justru di tengah-tengah bangkitnya kesadaran fundamentalis yang memunculkan isu gerakan anti pornografi. Representasi perempuan yang dimunculkan dalam lukisan tersebut seringkali diasumsikan juga sebagai bentuk pornografi. Namun yang menjadi permasalahan disini adalah, sebagai bentuk karya seni lukis dengan medium bak truk, kehadiran bak truk di jalanan justru menjadi hiburan bagi pengguna jalan yang lain, termasuk perempuan itu sendiri. Lukisan di bak truk juga acap kali dipandang sebagai bentuk pengeksploitasian perempuan sebagai objek visual. Digambarkan sebagai objek, maka perempuan hanya ditempatkan sebagai sosok yang tidak penting secara sosial bahkan di beberapa lukisan perempuan baru digambarkan sebagai sosok yang penting hanya karena penampilannya sebagai perempuan atau dengan kata lain sebagai pemanis pandangan saja. Tulisan ini untuk mengetahui apa saja representasi perempuan dalam lukisan di bak truk selain juga untuk melihat apakah representasi tersebut menyebabkan adanya ketimpangan dalam relasi gender. REPRESENTASI PEREMPUAN Lukisan di bak truk yang terekam oleh penulis dari fenomena jalanan lebih banyak memunculkan figur perempuan atau juga merepresentasikan perempuan. Dari beberapa lukisan di bak truk, representasi perempuan tersebut antara lain meliputi: 1. Representasi perempuan secara biologis. Dalam banyak lukisan di bak truk terjadi penekanan terhadap pentingnya perempuan untuk selalu tampil memikat dengan mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis, misalnya memiliki rambut panjang dan bibir merah merekah yang ditampakkan selalu tersenyum. Pencitraan perempuan semacam ini ditekankan lagi dengan menebar isu “natural anomy” bahwa umur perempuan dan ketuaan perempuan sebagai momok yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan seorang perempuan, artinya dipastikan tidak banyak yang memvisualisasikan perempuan tua
(gambar 1). Pencitraan ini yang membuat perempuan menjadi lebih penting dalam hubungan sosial. Kebermaknaan perempuan dihargai dari ”jerih payahnya” merawat tubuh, mempercantik diri bahkan usahanya dalam mencegah penuaan dini.
Gambar 1. Visualisasi perempuan dengan rambut yang panjang terurai Gambar 1 di atas menunjukkan ada figur perempuan yang digambarkan dengan rambutnya yang panjang terurai diiringi dengan teks lingual berbahasa Jawa berbunyi ”Ojo lalekno aku” atau ”Jangan lupakan aku”. Secara konotatif, lukisan tersebut merepresentasikan kehadiran perempuan menjadi bermakna atau diingat kehadirannya ketika perempuan rajin memperhatikan penampilannya. Penampilan inilah yang menjadi titik penting perempuan dan dihadirkan dalam lukisan di bak truk. 2. Representasi perempuan pendoa (gambar 2). Perempuan terkesan ’disetarakan’ dengan lakilaki, namun sebenarnya perempuan ditempatkan untuk memiliki tanggung jawab yang lebih besar pada sikap hidupnya, seperti cara beragama dan hidup dalam beragama. Perempuan akan dituntut lebih ”baik” daripada laki-laki. Laki-laki tidak pernah beribadah dianggap biasa daripada perempuan yang tidak pernah beribadah. Perempuan juga dimaksudkan sebagai seorang istri yang setia bahkan rela menunggu sang suami yang lama tidak pulang
Wicandra, Representasi Perempuan Pada Lukisan di Bak Truk
serta penggambaran seorang istri yang rajin beribadah demi keselamatan keluarganya. Dalam situasi yang terbalik, sangat jarang digambarkan sosok laki-laki yang juga taat beribadah untuk mendoakan istri dan anaknya yang setia menunggu di rumah.
4. Representasi Sensual. Banyak sekali foto dari lukisan bak truk yang terekam. Hal ini mengindikasikan bahwa lukisan yang banyak memunculkan kesan seksis dan sensualitas-erotik perempuan adalah dominan di jalanan.
Gambar 4. Papaku tersenyum digoyang mama
Gambar 2. Perempuan berjilbab 3. Janda sebagai perempuan yang ”gampangan” (Gambar 3). Representasi ini terekam dari lukisan bak truk yang biasanya bertuliskan ”Kutunggu Jandamu” dan seperti di gambar bawah yang bertuliskan ”Pemburu Janda”. Janda dalam konstruksi sosial sering diasosiasikan sebagai ”penggoda”, bahkan jika status janda diperoleh dari perceraian, maka ia diasosiasikan sebagai hal yang tabu. Di sini terjadi ketimpangan dalam relasi seksual, karena status janda dianggap sebagai kelas yang lebih rendah dibandingkan dengan status duda. Beberapa tayangan hiburan di media massa seringkali menempatkan janda sebagai individu yang harus diwaspadai, bahkan itu oleh kaum perempuan sendiri.
Gambar 3. Pemburu Janda
33
Gambar 5. Tak ada waktu untuk mamah
Gambar 6. Biar ompong tapi nyedot
34
NIRMANA, VOL.9, NO. 1, JANUARI 2007: 31-37
Gambar 4 dan 5 di atas, kegiatan erotis laki-laki dan perempuan yang mempunyai status suami dan istri dimunculkan dalam wilayah publik. Kalimat yang cenderung seronok seperti ”Papaku tersenyum digoyang mama” mempunyai makna erotik karena kata ”digoyang” jika konteksnya papa dan mama, maka kata tersebut bermakna sebagai aktivitas seksual. Kalimat ini diucapkan oleh sang anak yang tentu saja ditabukan jika melihat aktivitas seksual orang tuanya. Jika dibaca lebih dalam, maka dalam kalimat tersebut perempuan diposisikan sebagai pihak yang aktif daripada laki-laki. Dalam struktur sosial, perempuan yang diposisikan secara aktif dalam relasi seksual, maka perempuan itu bisa dikatakan sebagai sosok yang hiperseks, label yang merendahkan perempuan meskipun dalam konteks rumah tangga. Gambar 5 juga memposisikan perempuan sebagai pihak yang aktif dalam urusan seksual jika dilihat dari posenya. Seorang istri wajar jika mendapatkan kebutuhan seksualnya dari suaminya, namun seringkali kebutuhan ini harus dimatikan jika suami tidak siap melakukannya. Namun situasi akan berbeda jika perempuan yang tidak siap, namun suami mengehendakinya, maka ada keterpaksaan dari pihak si istri namun melakukannya. Hegemoni suami dalam penggambaran lukisan di bak truk ini terjadi. Gambar 6 sangat dekat dengan asosiasi seronok. Kalimat yang dipakai ”Biar Ompong, Tapi Nyedot” juga mengasosiasikan hal yang porno karena ditunjang dengan gambar perempuan yang memperlihatkan bagian dada agak terbuka. Seksisme dalam lukisan ini menjadi dominan karena ukuran figur perempuan lebih besar daripada laki-laki. Begitu pula komposisi memperlihatkan bagian dada perempuan yang didominankan lebih dapat terlihat. LUKISAN DI BAK TRUK: PEMENUHAN IMAJINASI LAKI-LAKI Tak dapat dipungkiri lagi, bahwa lukisan di bak truk banyak diproduksi oleh laki-laki. Laki-laki juga yang selama ini diposisikan pada sektor publik. Sebagai pengemudi truk maupun pelukis bak truk, pencitraan perempuan itu didasarkan pada struktur sosial yang notabene dibangun dari pemikiran maskulinitas. Dalam kaitannya dengan wacana perempuan, pembacaan narasi ’tubuh’ perempuan itulah sebenarnya yang dibidik oleh pelukis bak truk di balik denotasi lukisan. Tubuh perempuan dimaknai sebagai bahan pembicaraan yang luas dan terbuka, dan karena itulah tubuh perempuan telah menjadi
tubuh sosial, di mana tubuh tidak lagi dimaknai sebagai fisik semata namun sebuah bangunan yang diciptakan atau dikonstruksi oleh hukum, moralitas dan struktur sosial. Penggambaran perempuan dengan penampilan fisiknya yang menunjang seperti rambut panjang terurai, leher yang jenjang, bibir merah basah dan pipi yang merona adalah konstruksi sosial yang dimaksudkan untuk memenuhi imajinasi hasrat dan fantasi lakilaki. Perempuan kemudian secara sadar memenuhi konstruksi sosial tersebut hingga tercipta kondisi di mana apa yang dilakukan oleh perempuan itu juga yang dikehendaki oleh laki-laki. Ungkapan ”Jangan Lupakan Aku” dengan penggambaran figur perempuan dengan mata sayu, kulit putih, rambut panjang dan tampak secara fisik perempuan tersebut rajin melakukan perawatan, maka secara tidak langsung apa yang dilakukannya agar sang lelakinya tidak jatuh hati kepada perempuan lain yang bisa jadi melakukan perawatan lebih baik daripada dia. Dalam konteks pengemudi truk, kondisi ”jatuh ke lain hati” sangat dimungkinkan, sehingga jauh-jauh hari sang perempuan melakukan langkah preventif dengan melakukan perawatan diri agar sang lelakinya tidak melupakannya dan akan kembali pulang ke rumah. Dalam konsep keluarga pun, sudah lama pembagian kerja dalam suatu keluarga menempatkan laki-laki di satu sisi dan perempuan di sisi yang lain. Pembagian kerja yang menempatkan laki-laki dalam sektor publik sedangkan perempuan dalam sektor domestik pada perkembangannya terdapat ketimpangan dalam relasi laki-laki dan perempuan. Suami menyerahkan sepenuhnya urusan rumah tangganya pada istri sehingga ia mendapat ”profesi” sebagai koki keluarga, perawat suami dan anak-anak, guru bagi anak-anak hingga bahkan pembantu rumah tangga. Tentu saja pembagian kerja keluarga seperti ini berakibat pada ketidakadilan pada perempuan sementara laki-laki hanya memikirkan masalah ekonomi keluarga. Menurut Greer, adalah kesadaran bahwa kewajiban utama kaum perempuan bukanlah melulu terhadap suami ataupun anak-anaknya, tetapi terhadap dirinya sendiri. Kaum perempuan, pada hematnya, haruslah membebaskan diri mereka dari diskriminasi yang meluas dan mendalam di dalam struktur maupun cara berpikir masyarakat, serta membebaskan diri dari tindakan sewenang-wenang serta penghinaan yang mereka alami setiap harinya. “Kaum perempuan”, demikian tulisnya, “… harus membebaskan diri mereka dari dominasi laki-laki, membebaskan diri mereka dari stereotipe yang dibentuk oleh lelaki, … yang melihat diri mereka dari citra lelaki,… yang melihat tubuh, seksualitas, intelektualitas, emosi, dan
Wicandra, Representasi Perempuan Pada Lukisan di Bak Truk
keseluruhan keperempuanan mereka dari perspektif laki-laki” (Greer, 1971:1). Sebenarnya, Greer menuntut adanya perubahan cara berpikir, tumbuhnya nilai-nilai baru di dalam masyarakat, dan cara berelasi yang bersifat setara, yang akan memberikan pembebasan kepada kaum perempuan. Karena itu dalam salah satu lukisan bak truk bertuliskan ”Doamu Harapanku” sebenarnya secara konotatif laki-laki merekonstruksi ”tubuh” perempuan yang baik adalah perempuan yang beribadah. Sama seperti gambaran perempuan yang dimunculkan dalam lukisan tersebut yang dipilih adalah gambaran perempuan yang berjilbab. Dengan pemahaman lain secara konotatif, pekerjaan suami yang mengemudikan truk tentu akan sering meninggalkan rumah. Keadaan ini dapat menjadi permasalahan ketika lakilaki merekonstruksi perempuan sebagai orang yang setia dan tidak berpaling ke lelaki lain. Dalam kondisi yang dibalik, tentu saja sang istri juga berhak meminta suaminya bersikap yang sama. Setia dalam lukisan tersebut digambarkan sebagai perempuan yang memakai jilbab. Jilbab bukan hanya perangkat pakaian dalam ibadah, namun dalam lukisan ini jilbab telah dikonotasikan sebagai jaminan mutu bahwa sang istri akan setia. Bagaimana dengan si suami? Tidak ada tuntutan secara sosial mengenai hal itu. MEMBICARAKAN TUBUH YANG EROTIK1 Wacana tubuh perempuan bila dikaitkan dengan berbagai macam wacana tubuh di atas, dapat dianalisis dan menghasilkan kesimpulan bahwa tubuh perempuan adalah tubuh yang disubordinasi, dimarjinalisasi, tidak dibicarakan atau tidak punya arti bagi keberadaan perempuan itu sendiri. Tubuh perempuan selalu dipersepsikan atas dasar ”orang lain”, oleh karena tubuh perempuan lebih banyak dibangun karena ia adalah obyek bagi ”orang lain” (laki-laki). Hal itu dapat dilihat dari makna-makna spesifik yang ditempel pada perempuan selalu berkaitan dengan tubuhnya seperti ”seksi”, ”menggiurkan”, ”cantik”, ”menggemaskan”, ”napsuin”, ”aduhai”, dan sebagainya. Makna-makna yang diukir oleh sosial atau masyarakat adalah berhubungan dengan seks. Maka dalam hal ini, tubuh perempuan disamakan dengan seks, maka perempuan adalah seks. 1
Erotika adalah gairah seksual atau hal-hal yang membangkitkan gairah seksual atau kodrat alami manusia yang memiliki gairah seksual. Bukan merupakan pornografi karena pada dasarnya merupakan bentuk pengakuan atau penghargaan pada integritas kebertubuhan dan kemanusiaan seseorang. Lihat Jurnal Perempuan edisi Pornografi no. 38 hlm. 44. Erotik di dalam Ensiklopedia Feminisme dikatakan bukan hanya nafsu seksual semata, melainkan sensualitas secara keseluruhan.
35
Perempuan dalam hubungan-hubungan sosialnya selalu ”diseksualitaskan”, digenderkan, dijenis-kelaminkan secara anatomis. Ini adalah pendekatan esensialis (seperti terdapat pada pelarangan pada eksistensi perempuan diwujudkan dalam Perda (peraturan daerah), seperti perempuan pulang malam atau penggunaan gembok pada pemijat perempuan yang menyamakan sumber seksualitas adalah pada perempuan), sementara kapitalisme melakukan hal yang sama membuat tubuh perempuan menjadi ”tubuh yang direkayasa”, tubuh yang dibentuk, dipilih sesuai kebutuhan industri, kepentingan pemilik modal, dan lain-lain (bukan kebutuhan perempuan sendiri). Apakah dengan melukis tubuh perempuan dengan pakaian yang minim disertai dengan kalimat yang menjurus pada nada sensualitas sedemikian rupa maka hal tersebut kemudian dapat dikatakan sebagai karya seni pornografi sementara di sisi yang lain ia diterima keberadaannya? Satu hal yang ambigu dalam masyarakat adalah, ketika tayangan televisi menayangkan adegan-adegan seronok, masyarakat dapat langsung bereaksi. Namun tidak demikian halnya, dengan lukisan di bak truk. Bahkan keberadaannya seperti yang ditulis di pendahuluan makalah ini, lukisan bak truk seperti ini malah menjadi media hiburan bagi pengguna jalan yang lain di tengahtengah padatnya arus lalu lintas serta jalan yang menanjak. Etalase hiburan melalui lukisan di bak truk diterima sepenuhnya oleh masyarakat. Jika demikian, bagaimana karya seni dalam lukisan bak truk ini bagi pereduksian posisi perempuan? Dalam pornografi dapat dilihat bagaimana perempuan juga menikmati karya tersebut (Fajriyah, www.fatayat.or.id). Sehingga para feminis yang melihat pornografi sebagai sebuah representasi menekankan pembedaan antara relasi seksual, representasi seksual dan mencoba mengalihkan penekanan atas konsep ketegasan batasan yang jelas dengan gagasan pornografi sebagai salah satu cara pandang. Sehingga adanya ketimpangan relasi seksual dalam sebuah karya seks tidak dapat dimaknai sebagai bentuk ketimpangan relasi seksual antara laki-laki dan perempuan. Dalam karya seks, perempuan juga dapat mengekspresikan dirinya dan menilainya sebagai sebuah karya. Representasi tubuh yang telanjang dalam seksualitasnya, atau orang-orang yang melibatkan dirinya dalam sebuah tindakan seks, hal tersebut dapat di tafsirkan oleh masyarakat sebagai tindakan pornografi. Akan tetapi dalam masyarakat yang lain, tindakan seks tersebut dapat saja dinilai sebagai sebuah karya yang tidak mengandung unsur pornografi. Karenanya, tidak ada gambaran atau katakata yang mempunyai maksud dan makna yang
36
NIRMANA, VOL.9, NO. 1, JANUARI 2007: 31-37
hakiki dan pasti dalam sebuah tindakan ketika gambar dan kata-kata tersebut sudah berada di tangan yang berbeda. Representasi atas seksualitas perempuan dalam foto dan iklan ini sebenarnya berada dalam sebuah bingkai rezim yang lebih besar dan kuat dan mereduksi posisi perempuan. Sebagaimana Wolgast seperti yang dikutip oleh Jeremi Jena mengatakan bahwa pornografi adalah representasi eksplisit perilaku seksual yang digambarkan sedemikian rupa sehingga peran dan status perempuan direduksikan semata-mata sebagai objek seksual yang dimanipulasi dan dieksploitasi (Jena, www.freelists.org). Dari sini kita bisa melihat, bagaimana pornografi merupakan bagian dari representasi dari banyak hal, setidaknya merupakan representasi dari hak berekspresi, representasi perempuan sebagai manusia yang otonom dan juga dapat merepresentasikan bagaimana perempuan berada dalam dominasi yang hegemonik sebagai obyek seksual. Sehingga akan tepat apa yang dikatakan oleh Donny Danardono, bahwa setiap karya, dalam bentuk apapun itu, maknanya sangat tergantung pada budaya penikmatnya (Danardono, www.kompas.com). Seksualitas perempuan dieksploitasi sedemikian rupa sehingga dapat semakin mengukuhkan perempuan sebagai obyek seks bagi laki-laki. Problema ini semakin dilematik saat persoalan trafiking perempuan untuk industri pornografi dan seks semakin luas. Tentu saja kondisi demikian semakin mempersulit posisi perempuan karena di satu sisi perempuan distereotipe sebagai objek seksual dan harus memberikan pelayanan seks seperti yang dituntut oleh laki-laki, tetapi di sisi lain, perempuan disalahkan karena seksualitas dan erotisme yang dimilikinya. Dalam melihat fenomena lukisan bak truk yang menampilkan sisi seksualitas dan erotisme tersebut, tampak bahwa dengan erotisnya maka perempuan menjadi sumber pornografi dan menjadi sumber ”olok-olok” karena keberadaan organ tubuhnya. Mereduksi posisi perempuan melalui lukisan bak truk menjadi hal yang biasa karena hegemoni yang dimunculkan oleh lukisan ini. Pengguna jalan lain (termasuk perempuan) menerima sepenuhnya lukisan bak truk yang erotik ini bahkan nyaris tidak ada protes yang dimunculkan oleh kelompok-kelompok sosial termasuk kaum feminis dalam melihat fenomena ini. Kondisi yang dapat semakin memperparah relasi seksual laki-laki dan perempuan ini kemudian juga dikomodifikasi oleh produsen-produsen iklan kondom yang ikut bermain dalam wilayah seni lukis bak truk ini. Seakan-akan perempuanlah yang menyebabkan kegiatan selalu menjurus pada seks.
SIMPULAN Representasi perempuan dalam budaya media memang menunjukkan problematika tersendiri. Dapat kita cermati bersama bahwa komodifikasi tubuh perempuan dalam industri media kurang mempertimbangkan keadilan gender, termasuk dalam media jalanan seperti lukisan di bak truk. Budaya media lebih menekankan pada akumulasi kapital an sich dan mengabaikan nilai-nilai keadilan, kebersamaan dan kemanusiaan. Tubuh perempuan yang direpresentasikan menjadi bersifat diskriminatif dan subordinatif. Dan ironisnya hal ini compatible dengan arus budaya patriarki. Jadi representasi identitas perempuan berada pada posisi subordinatif. Perempuan dalam prakteknya di perankan dalam wilayah-wilayah yang bias gender. Maka dari representasi identitas yang demikianlah sosok perempuan identik dengan dapur, kasur dan sumur. Kemudian yang menjadi persoalan, dari pencitraan identitas perempuan tersebut mempengaruhi persepsi dan dimensi kognisi publik tentang apa dan bagaimana seorang ‘perempuan’ harus dimaknai. Atau dengan bahasa lain regulasi citra tersebut mengalami kulturasi sehingga perempuan dimaknai menurut reproduksi citra yang sesungguhnya hanya merupakan simulasi yang bias gender. Pendek kata, budaya gender sesungguhnya merupakan konstruksi sosial yang digenderkan. Budaya gender dengan demikian merupakan relasi identitas, peran dan struktur yang membingkainya. Jika yang membingkai dalam industri media adalah budaya patriarki maka perempuan ditempatkan pada posisi yang minoritas. Lukisan pada bak truk dalam perkembangannya menjadi industri media, karena lukisan yang ditampilkan didominasi oleh isu perempuan itu kini lambat laun telah dimasuki oleh wilayah iklan. Iklan kondom banyak mewarnai lukisan di bak truk tersebut. Dengan tetap mempertahankan representasi perempuan yang bias gender, maka hal ini menjadi catatan tersendiri di balik hampir tidak adanya catatan kritis tentang fenomena lukisan bak truk tersebut. Representasi perempuan yang tergambarkan dalam lukisan bak truk telah mereduksi posisi perempuan yang seharusnya setara dengan laki-laki. DAFTAR PUSTAKA Danardono, Donny. Tak Mungkinnya Norma Hukum Antipornografi. 15 Maret 2007. http://www. kompas.com/kompas-cetak/0605/29/swara/268 3713.htm Fajriyah, Iklilah Muzayyanah Dini. Pornografi dalam Perdebatan Feminis, 20 Nopember 2007.http:// www.fatayat.or.id
Wicandra, Representasi Perempuan Pada Lukisan di Bak Truk
Fakih, Manshour. (2007). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (cetakan kesebelas). Greer, Germaine. (1971). The Female Eunuch. New York: McGraw-Hill. Jena, Jeremias. Mendefinisikan Pornografi 15 Maret 2007 http://www.freelists.org/archives/ppi/05 2006/msg00416.html Jurnal Perempuan Edisi Pornografi No. 38, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Cetakan I, November 2004. Prabasmoro, Aquarini Priyatna. (2003). Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas, dan Globalisasi dalam Iklan Sabun. Yogyakarta: Jalasutra.
37
Smart, Carol. (1989). Feminism and The Power of Law, London. Tedjoworo, H. (2001). Imaji dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat Postmodern, Yogyakarta: Kanisius. Tomagola, Tamrin Amal. (1998). ”Citra Wanita dalam Iklan, dalam Majalah Wanita Indonesia; Suatu Tinjauan Sosiologis Media”, dalam Ibrahim, Idi Subandy dan Suranto, Hanif (ed.), Wanita dan Media; Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung: Rosda. Ilustrasi foto diambil dari http://www.ndorokakung. com dan http:// www.pecasndahe.com