LAPORAN PENELITIAN INDIVIDUAL
TOLERANSI TERHADAP UMAT KRISTIANI DITINJAU DARI FUNDAMENTALISME AGAMA DAN KONTROL DIRI (Studi pada Jamaah Majelis Taklim di Kota Semarang)
Oleh: BAIDI BUKHORI, S.Ag, M.Si.
Dibiayai dengan Anggaran DIPA IAIN Walisongo Semarang Tahun 2012
1
DEPARTEMEN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO LEMBAGA PENELITIAN Jl. Walisongo No. 3-5 Ph (024)76 15923 Fax 601293 Semarang 50185
SURAT KETERANGAN
2
ABSTRAK Indonesia merupakan bangsa yang paling banyak mempunyai keragaman, baik hayati, budaya, adat, bahasa, suku maupun agama. Oleh karena itu semua warga negara dituntut untuk toleran terhadap kelompok lain, termasuk kelompok berdasarkan agama. Jika masing-masing kelompok agama tidak toleran terhadap kelompok agama lain maka akan menimbulkan konflik sosial bahkan pertumpahan darah. Mengingat peran sentral toleransi dalam mewujudkan kehidupan beragama yang rukun dan damai, maka toleransi antar umat beragama perlu ditingkatkan. Oleh karena itu pemahaman tentang toleransi sangat diperlukan, terutama untuk memahami dan memecahkan konflik antar umat beragama di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk menguji secara empiris pengaruh variabel fundamentalisme agama dan kontrol diri secara simultan terhadap toleransi pada umat Kristiani. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan informasi bagi ilmu pengetahuan dan memperkaya wawasan teoretik dalam psikologi agama dan psikologi sosial, khususnya tentang hal-hal yang berpengaruh terhadap toleransi pada umat Kristiani. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi yang akurat tentang pengaruh fundamentalisme agama dan kontrol diri secara simultan terhadap toleransi pada umat Kristiani, untuk selanjutnya dapat dilakukan intervensi yang tepat untuk meningkatkan toleransi tersebut. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Ada pengaruh fundamentalisme agama dan kontrol diri secara simultan terhadap toleransi pada umat Kristiani. Semakin tinggi fundamentalisme agama maka semakin rendah toleransi terhadap umat Kristiani dan semakin tinggi kontrol diri maka semakin tinggi toleransi terhadap umat Kristiani, sebaliknya semakin rendah fundamentalisme agama maka semakin tinggi toleransi terhadap umat Kristiani dan semakin rendah kontrol diri maka semakin rendah toleransi terhadap umat Kristiani. 3
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh jamaah majelis taklim di Kota Semarang. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik multi-stage cluster random sampling. Kriteria subjek yang dijadikan sebagai sampel penelitian adalah anggota/jamaah majelis taklim di Kota Semarang, beragama Islam, minimal berusia 19 tahun dan pendidikan minimal sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala psikologi, yang terdiri dari tiga skala, yakni Skala Toleransi terhadap umat Kristiani, Skala Fundamentalisme agama, dan Skala Kontrol diri. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik dengan menggunakan teknik analisis regresi ganda. Teknik analisis tersebut digunakan untuk mengukur pengaruh fundamentalisme agama dan kontrol diri secara simultan terhadap toleransi pada umat Kristiani. Kesimpulan dari penelitian ini adalah: Terdapat pengaruh fundamentalisme agama dan kontrol diri secara simultan terhadap toleransi pada umat Kristiani. Semakin tinggi fundamentalisme agama dan semakin rendah kontrol diri, maka semakin rendah toleransi terhadap umat Kristiani, sebaliknya semakin rendah fundamentalisme dan semakin tinggi kontrol diri maka semakin tinggi toleransi terhadap umat Kristiani.
Kata kunci: Toleransi agama, fundamentalisme agama, kontrol diri, majelis taklim, umat Islam, dan umat Kristiani.
4
5
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada peneliti sehingga penelitian yang berjudul “Toleransi Terhadap Umat Kristiani Ditinjau dari Fundamentalisme Agama dan Kontrol Diri (Studi pada Jamaah Majelis Taklim di Kota Semarang)” dapat terselesaikan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi ilmu pengetahuan dan memperkaya wawasan teoretik dalam psikologi sosial dan psikologi agama, khususnya tentang hal-hal yang mempengaruhi toleransi terhadap umat Kristiani. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi yang akurat tentang pengaruh fundamentalisme agama dan kontrol diri terhadap toleransi pada umat Kristiani, untuk selanjutnya dapat dilakukan intervensi yang tepat untuk meningkatkan toleransi tersebut. Teriring rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu peneliti selama penelitian ini berlangsung. Ucapan terima kasih tersebut ditujukan kepada: Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam serta Rektor IAIN Walisongo yang telah memberi kesempatan untuk melaksanakan penelitian. Terima kasih pula peneliti sampaikan kepada Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Semarang, Ketua Majelis Taklim Se Kota Semarang, Dekan 6
Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, dan Kepala Lembaga Penelitian IAIN Walisongo. Tidak lupa pula terima kasih kepada para responden yang telah memberikan informasi yang sangat berguna sehingga penelitian ini dapat menghadirkan laporan. Bantuan dari pihak di atas semoga dicatat sebagai amal baik yang dicatat oleh Allah SWT. Akhirnya peneliti berharap semoga penelitian ini bisa bermanfaat bagi peningkatan toleransi antar umat beragama di Indonesia.
Semarang, 16 Juli 2012 Peneliti
7
DAFTAR ISI
Halaman Judul
i
Surat Keterangan
ii
Abstrak
iii
Kata Pengantar
iv
Daftar Isi
vi
BAB I PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Permasalahan
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
9
1. Tujuan Penelitian
9
2. Manfaat Penelitian
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
10
A. Toleransi Agama
13
1. Pengertian Toleransi Agama
13
2. Aspek-Apek Toleransi Agama
17
3. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Toleransi Agama
24
B. Fundamentalisme Agama
29
1. Pengertian Fundamentalisme Agama
29
2. Aspek-Apek Fundamentalisme Agama
31
8
C. Kontrol Diri
38
1. Pengertian Kontrol Diri
38
2. Jenis dan Aspek Kontrol Diri
39
D. Hubungan Fundamentalisme Agama dengan Toleransi
41
E. Hubungan Kontrol diri dengan Toleransi
44
F. Hipotesis
47
BAB III METODOLOGI
48
A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian
48
B. Definisi Operasional Variabel-variabel Penelitian
48
C. Tempat dan Waktu Penelitian
50
D. Populasi dan Sampel
50
E. Metode Pengumpulan Data
51
F. Cara Analisis Data
55
G. Desain Penelitian
56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
60
A. Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas.
60
B. Uji Hipotesis
62
C. Pembahasan
64
BAB V PENUTUP
70
A. Kesimpulan
70
B. Saran
70
DAFTAR PUSTAKA
72
LAMPIRAN
82
9
SAMPUL TOLERANSI Indonesia merupakan bangsa yang paling banyak mempunyai keragaman, baik hayati, budaya, adat, bahasa, suku maupun agama. Oleh karena itu semua warga negara dituntut untuk toleran terhadap kelompok lain, termasuk kelompok berdasarkan agama. Jika masing-masing kelompok agama tidak toleran terhadap kelompok agama lain maka akan menimbulkan konflik sosial bahkan pertumpahan darah. Mengingat peran sentral toleransi dalam mewujudkan kehidupan beragama yang rukun dan damai, maka toleransi antar umat beragama perlu ditingkatkan. Salah satu usaha yang dapat
dilakukan adalah melakukan penelitian-penelitian untuk memperoleh pemahaman yang objektif tentang toleransi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris pengaruh variabel fundamentalisme agama dan kontrol diri secara simultan terhadap toleransi pada umat Kristiani. Kesimpulan dari penelitian ini adalah: Terdapat pengaruh fundamentalisme agama dan kontrol diri secara simultan terhadap toleransi pada umat Kristiani. Semakin tinggi fundamentalisme agama dan semakin rendah kontrol diri, maka semakin rendah toleransi terhadap umat Kristiani, sebaliknya semakin rendah fundamentalisme dan semakin tinggi kontrol diri maka semakin tinggi toleransi terhadap umat Kristiani.
10
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman suku, bangsa, bahasa, ras, dan agama merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Dalam konteks Indonesia, kebinekaan tersebut sudah berlangsung berabad-abad, jauh sebelum negara Indonesia terbentuk. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi juga menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing
dan
untuk
beribadat
menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”. Atas dasar undang-undang ini, semua warga negara, dengan beragam identitas agama, kultural, suku, jenis kelamin, dan sebagainya, wajib dilindungi oleh negara. Ini juga berarti negara tidak boleh mendiskriminasi warganya dengan alasan apapun. Pemerintah dan semua warga negara
berkewajiban
menegakkan
konstitusi
tersebut
(Muhammad, 2009: xiv). Atas dasar uraian di atas, maka semua warga negara dituntut untuk toleran terhadap kelompok lain. Toleransi adalah kesediaan mengenali dan menghargai keyakinan, praktikpraktik, perilaku, dan sebagainya dari orang lain, tanpa harus setuju dengan pendapat mereka (Obinyan, 2004: 12). Jika masing-masing kelompok tidak toleran terhadap kelompok lain maka
akan
menimbulkan
permasalahan
sosial.
Fakta 1
menunjukkan bahwa sejak awal tahun 1999, terjadi konflik sosial atau konflik antar kelompok masyarakat dengan menggunakan identitas agama di berbagai daerah di Indonesia seperti Maluku dan Poso. Konflik sosial tersebut terjadi sebagai akibat dari adanya kategori atau identitas sosial yang berbeda. Perbedaan identitas sosial menimbulkan rasa ingroup yang dilawankan dengan outgroup. Bila rasa tersebut dipertajam, maka akan menimbulkan intoleransi terhadap outgroup, yang pada akhirnya bisa berkembang menjadi konflik sosial. Konflik-konflik sosial yang dilatarbelakangi oleh agama memberikan petunjuk bahwa “toleransi”, sebagai ujung lain dari suatu kontinum prasangka terhadap kelompok lain (Pines & Maslach, 1993: 183), yang dimiliki masing-masing kelompok yang
bertikai
sangat
rendah.
Salah
satu
faktor
yang
menyebabkan terjadinya intoleransi dan konflik antar umat beragama adalah adanya perbedaan penafsiran atas teks-teks kitab suci yang menjadi sumber ajaran keagamaan. Perbedaan penafsiran
tersebut
dapat
berujung
kepada
berbagai
kemungkinan, di antaranya adalah lahirnya aliran-aliran atau isme-isme keagamaan, yang kemudian membentuk komunitaskomunitas keagamaan. Munculnya isme atau aliran yang dikembangkan oleh komunitas-komunitas keagamaan akan menghadirkan klaim-klaim kebenaran sepihak, yang pada akhirnya memunculkan intoleransi terhadap kelompok lain dan 2
bisa menjadi sumber konflik agama (Hapsin dkk., 2004: 2). Salah satu dari isme tersebut adalah fundamentalisme agama, yakni keyakinan terhadap satu agama yang berisi kebenaran literal mutlak tentang kehidupan (Pyszczynski, Solomon, dan Greenberg, 2003: 275). Penelitian Denney (2008: 25) dan Bizumic
&
Duckitt
(2007:
198)
menunjukkan
bahwa
fundamentalisme agama berkaitan dengan intoleransi terhadap pemeluk agama lain. Toleransi selain dipengaruhi fundamentalisme agama juga dipengaruhi oleh kontrol diri. Seorang yang mempunyai kontrol diri tinggi akan mampu mengarahkan dirinya sendiri, bahkan menekan ataupun menghambat keinginan yang menurut dirinya tidak bermanfaat. Marvin dan Merbaun (dalam Aziz dan Hotifah, 2005: 156) berpendapat bahwa kontrol diri secara fungsional didefinisikan sebagai konsep di mana ada atau tidak adanya seseorang memiliki kemampuan untuk mengontrol tingkah lakunya yang tidak hanya ditentukan cara atau teknik yang digunakan, melainkan juga berdasarkan konsekuensi dari apa yang mereka lakukan. Kontrol diri yang dimiliki individu satu dengan yang lain tidaklah sama, ada individu yang memiliki kontrol diri tinggi dan adapula individu yang memiliki kontrol diri rendah. Widiana, Retnowati, dan Hidayat (2004: 14) menyatakan bahwa individu yang memiliki kontrol diri tinggi akan mampu 3
mengarahkan dan mengatur perilakunya pada konsekuensi yang positif. Individu yang kontrol dirinya rendah tidak mampu mengarahkan dan mengatur perilakunya atau akan berperilaku yang cenderung negatif. Dengan demikian individu yang memiliki kontrol diri tinggi akan mampu mengendalikan dan menekan stimulus yang memicu emosi, sehingga akan lebih toleran daripada individu yang memiliki kontrol diri rendah. Dalam rangka mewujudkan umat beragama yang harmonis maka diperlukan toleransi antar umatnya. Oleh karena itu pemahaman tentang toleransi sangat diperlukan, mengingat toleransi merupakan elemen dasar yang dibutuhkan untuk menumbuhkembangkan sikap saling memahami dan menghargai perbedaan yang ada, serta menjadi entry point bagi terwujudnya suasana dialog dan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat (Mas’ud, 2010: v). Studi ini akan mengkaji toleransi umat Islam terhadap umat Kristiani, dengan pertimbangan: Pertama, laporan Moderate Muslim Society menyebutkan bahwa umat Kristiani sebagai kelompok minoritas paling sering menjadi sasaran perlakuan intoleransi (http://www.moderatemuslim.net/, diunduh tanggal 21 Desember 2011), sebaliknya umat Islam sebagai kelompok mayoritas lebih berkesempatan melakukan tindakan intoleransi (Romli, 2008: 46). Hal tersebut bukan berarti umat Kristiani sebagai kelompok minoritas tidak dapat melakukan tindakan 4
yang sama. Kedua, meskipun agama Islam dan Kristen merupakan agama satu rumpun (A’la, 2001: 26), dan keduanya mengajarkan toleransi beragama, namun hubungan antar umatnya sepanjang sejarah mengalami pasang surut, mulai dari interaksi dan kerjasama yang damai sampai pergolakan bahkan pertempuran. Dalam pandangan Islam, umat Kristiani (Nasrani) dan umat Yahudi merupakan salah satu bagian dari ahli kitab. Secara umum pandangan Islam terhadap ahli kitab sangat positif dan sangat konstruktif. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai dan ajarannya yang memberikan peluang dan sangat mendorong kepada umat Islam untuk melakukan interaksi sosial dan kerjasama dengan mereka (A’la, 2001: 26). Islam menegaskan bahwa makanan ahli kitab halal bagi umat Islam dan perempuan ahli kitab halal juga bagi umat Islam (Alquran 5: 5). Islam juga mengharuskan umat Islam untuk berbuat baik, adil, dan wajar dalam urusan mereka (Alquran 4: 135; 5: 8; 60: 8). Toleransi beragama tidak hanya diajarkan Alquran, tetapi juga diajarkan oleh Injil. Locke (1991: 149) menyatakan bahwa toleransi kepada pemeluk agama lain sangat disetujui Injil, dan selaras dengan nalar murni manusia. Injil menegaskan bahwa Yesus menentang dan mengkritik murid-murid-Nya yang mencegah orang lain, yang dianggap bukan kelompok mereka, untuk berbuat baik (menyembuhkan orang) (Markus 9: 38-41 5
dan Lukas 9: 49-50). Injil juga mengajarkan bahwa seseorang harus bersikap ramah terhadap yang lain, penuh kasih mesra, dan saling mengampuni (Efesus 4: 32). Berdasarkan uraian di atas, dapat diperoleh pemahaman bahwa agama Islam maupun Kristen mengajarkan toleransi antar umat beragama, namun fakta menunjukkan bahwa konflik bahkan pertumpahan darah antara umat Islam dengan umat Kristiani sering terjadi. Seperti konflik di Maluku, dengan korban nyawa ribuan jiwa dan 300.000 orang menjadi pengungsi, masyarakat terbelah menjadi dua berdasarkan identitas agama yakni Islam dan Kristen (Malik, 2003: 205). Praktik intoleransi dan kekerasan atas nama agama di Indonesia
masih
berlangsung
hingga
sekarang,
bahkan
cenderung meningkat. Moderate Muslim Society melaporkan bahwa pada tahun 2010 tercatat telah terjadi 81 kasus intoleransi, meningkat 30 persen dari tahun 2009 dengan 59 kasus intoleransi. Dari segi korban, umat Kristiani paling sering menjadi sasaran perlakuan intoleransi, yakni sebanyak 33 kali (http://www.moderatemuslim.net/,diunduh tanggal 21 Desember 2011). Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa telah terjadi kesenjangan (gap) antara idealitas agama (das sollen) sebagai ajaran dan pesan-pesan suci Tuhan dengan realitas empirik yang terjadi dalam masyarakat (das sein). 6
Agama mengajarkan toleransi antar umat beragama, namun sebagian umat beragama intoleran terhadap umat beragama lainnya. Untuk meminimalisir kesenjangan tersebut diperlukan berbagai usaha. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan berbagai macam penelitian sehingga memperoleh pemahaman yang objektif tentang permasalahan tersebut. Semarang dijadikan sebagai lokasi penelitian ini dengan pertimbangan bahwa hubungan antara umat Islam dengan umat Kristiani di kota Semarang terkadang mengalami ketegangan. Cermin dari ketegangan tersebut antara lain, terjadinya kasus pengeboman Gereja Bethel Tabernakel Kristus Alpha Omega pada 31 Juli 2001 (“Peledakan Bom”, 2001). Perusakan Gereja Isa Almasih di Karangroto, Genuk, Semarang pada 31 Juli 2005, yang
mengakibatkan
bangunan
gereja
tersebut
ambruk
(“Mengintip Konflik”, 2009). Penolakan warga atas pendirian Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Jemaat Hosana Ngaliyan (Sholihan & Sulthon, 2008: 50-51). Pemilihan jamaah majelis taklim sebagai subjek penelitian dengan pertimbangan bahwa: 1). Di masyarakat terdapat banyak variasi majelis taklim dengan berbagai ciri khasnya. Ada yang menekankan bahwa Islam mengajarkan toleransi beragama, tetapi ada juga yang menekankan bahwa Islam sebagai identitas, sehingga menimbulkan rasa ingroup (sebagai pemeluk Islam) 7
yang dilawankan dengan outgroup (pemeluk agama lain). Bila rasa
ingroup-outgroup
menimbulkan
intoleransi
tersebut
dipertajam,
terhadap
maka
akan
pemeluk agama
lain.
2). Majelis taklim dapat digunakan sebagai wahana untuk menumbuhkembangkan toleransi antar umat beragama. B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan
keseluruhan
uraian
di
atas,
muncul
permasalahan penelitian, yakni: Apakah fundamentalisme agama dan kontrol diri berpengaruh secara simultan terhadap toleransi pada umat Kristiani? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris pengaruh variabel fundamentalisme agama dan kontrol diri secara simultan terhadap toleransi pada umat Kristiani. 2. Manfaat Penelitian Manfaat teoretis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan informasi bagi ilmu pengetahuan dan memperkaya wawasan teoretik dalam psikologi agama dan psikologi sosial, khususnya tentang hal-hal yang berpengaruh terhadap toleransi pada umat Kristiani. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan informasi yang akurat tentang pengaruh fundamentalisme agama dan kontrol diri secara simultan terhadap toleransi pada umat 8
Kristiani, untuk selanjutnya dapat dilakukan intervensi yang tepat untuk meningkatkan toleransi tersebut.
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA Kajian pustaka dalam hal ini dimaksudkan untuk dua kepentingan: Pertama, untuk menunjukkan bahwa penelitian tentang topic ini belum ada yang meneliti. Kedua, untuk membangun landasan teori. Penelitian
dengan
tema
toleransi
beragama,
fundamentalisme, dan kontrol diri secara terpisah telah banyak dilakukan, antara lain: 1. “Toleransi antara umat Islam dan Katolik: Studi kasus di Dukuh Kasaran, Desa Pasungan, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten”, oleh Rachmawati (2006). Temuannya antara lain: Faktor-faktor yang mempengaruhi terciptanya toleransi antara umat Islam dan Katolik adalah terdiri dari faktor internal yaitu faktor keimanan, faktor pengalaman keagamaan, rasa tanggung jawab, dan faktor pengetahuan. Selain itu dipengaruhi pula oleh faktor eksternal yaitu faktor keluarga dan faktor lingkungan masyarakat. Penelitian tersebut merupakan penelitian kualitatif, sementara penelitian ini kuantitatif. Perbedaan lainnya terletak pada subjek, alat ukur, lokasi penelitian. 2. “Toleransi beragama mahasiswa (Studi tentang pengaruh kepribadian, keterlibatan organisasi, hasil belajar pendidikan agama, dan lingkungan pendidikan terhadap toleransi mahasiswa berbeda agama pada 7 perguruan tinggi umum negeri”. Studi 10
tersebut dilakukan oleh Bahari (2010), dengan kesimpulan antara lain: Variabel kepribadian, keterlibatan organisasi, hasil belajar, dan lingkungan pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap toleransi beragama. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini antara lain: Variabel independen penelitian tersebut adalah kepribadian, keterlibatan organisasi, hasil belajar pendidikan agama, dan lingkungan pendidikan, sedangkan dalam penelitian ini variabel independennya fundamentalisme agama dan kontrol diri. Perbedaan lainnya terletak pada subjek, alat ukur, lokasi, dan analisis data penelitian. 3. “Patterns and personality correlates of implicit and explicit attitudes toward Christians and Muslims”, oleh Rowatt, Franklin, & Cotton (2005), yang menemukan bahwa ada korelasi positif antara fundamentalisme agama dengan intoleransi terhadap muslim. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut juga pada sasaran intoleransi, subjek, alat ukur, lokasi, dan analisis data penelitian. 4. “Varieties of group self-centeredness and dislike of the specific other”, oleh Bizumic dan Duckitt (2007). Kesimpulannya adalah: Ada korelasi positif antara fundamentalisme dengan sikap anti terhadap kelompok luar. Perbedaan dengan penelitian ini juga pada sasaran intoleransi, subjek, alat ukur, lokasi, dan analisis data penelitian.
11
5. “Religious fundamentalism and intercultural communication: The
relationships
communication
among
apprehension,
ethnocentrism, religious
intercultural
fundamentalism,
homonegativity, and tolerance for religious disagreements”. Studi tersebut dilakukan oleh Wrench, Corrigan, McCroskey, & Punyanunt-Carter (2006), dengan kesimpulan antara lain: Fundamentalisme berkorelasi negatif dengan toleransi terhadap pemeluk agama lain. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut juga pada sasaran intoleransi, subjek, alat ukur, lokasi, dan analisis data penelitian. 6. “Hubungan antara kontrol diri dengan perilaku seksual pra nikah pada mahasiswa berpacaran”, oleh Miladiyani (2000). Hasil dari studi tersebut adalah ada hubungan negatif yang signifikan antara kontrol diri dengan perilaku seksual pra nikah pada mahasiswa
berpacaran. Perbedaan penelitian ini
dengan
penelitian tersebut juga terletak pada variabel dependen, subjek, alat ukur, lokasi, dan analisis data penelitian. 7. “Kontrol
diri
dan
kecenderungan
kecanduan
internet”.
Penelitian dilakukan oleh Widiana, Retnowati, dan Hidayat (2004). Kesimpulannya adalah ada hubungan negatif yang signifikan antara kontrol diri dengan kecenderungan kecanduan internet.
Variabel
dependen
penelitian
tersebut
adalah
kecenderungan kecanduan internet, sementara penelitian ini
12
toleransi terhadap umat Kristiani. Perbedaan lainnya terletak pada subjek, alat ukur, lokasi, dan analisis data penelitian. Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa studi tentang toleransi terhadap umat Kristiani masih sangat minim. Kebanyakan penelitian yang telah ada adalah membahas tentang prasangka (yang merupakan lawan dari toleransi). Sebatas pengamatan peneliti belum
pernah
dilakukan
studi
yang
menguji
pengaruh
fundamentalisme agama dan kontrol diri terhadap toleransi pada umat Kristiani pada jamaah majelis taklim. A. Toleransi Agama 1. Pengertian Toleransi Agama Kata toleransi berasal dari bahasa Inggris tolerance. Pada awalnya kata tersebut diambil dari bahasa Latin tolerare yang berarti menahan atau memikul. Toleran di sini diartikan dengan saling memikul walaupun pekerjaan itu tidak disukai; atau memberi tempat kepada orang lain, walaupun kedua belah pihak tidak sependapat (Siagian, 1993: 115). Kata kerja dari tolerance adalah (to) tolerate yang berarti: 1). Tidak ikut campur dengan; mempersilahkan; mengizinkan, 2). Mengenal dan menghormati (kepercayaan, praktik orang lain, dan lainlain) tanpa mencampurinya (Neufeldt, 1999: 1407). Dalam bahasa Arab, kata toleransi disebut dengan istilah tasamuh yang berarti sikap membiarkan atau lapang dada. Badawi (1982: 426) menyatakan bahwa tasamuh (toleransi) 13
adalah pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beranekaragam, meskipun tidak sependapat dengannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa toleransi ini erat kaitannya dengan masalah kebebasan atau kemerdekaan hak asasi manusia dalam tata kehidupan bermasyarakat, sehingga mengizinkan berlapang dada terhadap adanya perbedaan pendapat dan keyakinan dari setiap individu. Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, kata toleran berarti bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 1204). Dalam Cambridge international dictionary of English, kata toleransi diartikan sebagai kemauan seseorang untuk menerima tingkah laku dan kepercayaan yang berbeda dari yang dimiliki, meskipun ia mungkin tidak menyetujui atau mengizinkannya (Procter, 2001: 1533). Menurut
Ensiklopedi
nasional
Indonesia,
toleransi
beragama adalah sikap bersedia menerima keanekaragaman dan kebebasan beragama yang dianut dan kepercayaan yang diyakini oleh pihak atau golongan lain. Hal ini dapat terjadi karena keberadaan dan eksistensi suatu golongan, agama atau kepercayaan, diakui atau dihormati oleh pihak lain. Pengakuan 14
tersebut tidak terbatas pada persamaan derajat, baik dalam tatanan kenegaraan, tatanan kemasyarakatan maupun di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga perbedaanperbedaan dalam cara penghayatan dan peribadatannya yang sesuai dengan alasan kemanusiaan yang adil dan beradab (Tim Penyusun Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1996: 384). Kholisuddin (2004: 10) menyatakan bahwa istilah tolerance muncul dalam bahasa Inggris saat terjadinya perang agama pada abad ke-16 antara penganut Protestan dan Katholik, yang memaksa lahirnya praktek toleransi satu sama lain. Pada awalnya terma tersebut mengandung pengertian negatif, namun dengan seiring berjalannya waktu, image negatif itu semakin berkurang dan bahkan akhirnya menjadi gagasan yang positif. Sebagai sebuah konsep dan teori, terma toleransi kemudian digunakan dalam bidang politik, agama, dan kepercayaan. Reese (1999: 774) menyatakan bahwa praktek toleransi agama tumbuh setelah melalui fase-fase penyesuaian dan pertemuan antar agama. Adaptasi dan penyesuaian antar agama menempuh tiga tahap, yakni territorialism, latitudinarianism, dan pax dissidentium. Territorialism adalah masa di mana setiap daerah hanya mengakui dan memaksakan satu agama yang sah, sementara penganut agama lain diminta untuk berpindah ke tempat lain; latitudinarianism atau comprehension merupakan suatu periode di mana satu agama diakui sebagai 15
agama yang berkuasa walaupun jumlah penganutnya sedikit; sedangkan pax dissidentium adalah suatu babak di mana kebebasan suatu agama telah dijamin sepenuhnya. Toleransi sebagai suatu sikap, menurut Walzer dalam Sutanto (2007: 346-353), merujuk pada berbagai matra di dalam suatu garis kontinum. Pertama, yang mencerminkan toleransi keagamaan di Eropa sejak abad ke 16 dan 17 adalah sekadar penerimaan pasif perbedaan demi perdamaian setelah orang merasa capek saling membantai. Jelas ini tidak cukup dan karenanya dapat dicandra gerak dinamis menuju matra kedua: ketidakpedulian yang lunak pada perbedaan. Di situ sang liyan diakui ada, tetapi kehadirannya tidak bermakna apa-apa. Matra ketiga melangkah lebih jauh: ada pengakuan secara prinsip bahwa sang liyan punya hak-hak sendiri sekalipun mungkin ekspresinya tidak disetujui. Matra keempat bukan saja memperlihatkan pengakuan, tetapi juga keterbukaan pada yang lain, atau setidaknya keingintahuan untuk lebih dapat memahami sang liyan. Posisi paling jauh dalam kontinum ini, yakni matra kelima, tidak sekadar mengakui dan terbuka, tetapi juga mau mendukung atau bahkan merawat dan merayakan perbedaan, entah karena alasan estetika-religius (keragaman sebagai ciptaan Tuhan), entah karena keyakinan ideologis (keragaman merupakan tanah subur bagi perkembangan umat manusia). 16
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil pemahaman bahwa
toleransi
adalah
kesediaan
menghargai
dan
membolehkan pendirian, kepercayaan, dan tindakan seseorang yang berbeda atau bertentangan dengan yang dimilikinya. Toleransi
tidak
berarti
seseorang
harus
mengorbankan
kepercayaan yang dianutnya. Sejalan dengan pengertian tersebut, maka toleransi agama dapat diartikan sebagai kesediaan seseorang untuk menghormati dan membolehkan pemeluk agama untuk melaksanakan ibadah menurut ajaran dan ketentuan agama masing-masing yang diyakini. 2. Aspek-aspek Toleransi Agama Pribadi yang memiliki toleransi adalah pribadi yang toleran. Orang yang memiliki toleransi beragama akan melihat perbedaan
agama
tidak
sebagai
pertentangan,
apalagi
permusuhan, melainkan sebagai suatu keniscayaan. Insan beragama yang toleran mampu menerima, menghargai, dan memberi kebebasan kelompok lain baik yang seagama maupun yang berbeda agama. Mereka juga memiliki kesabaran dan mampu bekerjasama terhadap kelompok lain. Berkaitan dengan uraian-uraian terdahulu, berikut adalah beberapa aspek toleransi beragama:
a. Penerimaan
17
Osborn (1993: 235) menyatakan bahwa kunci dari toleransi adalah menerima orang apa adanya. Senada dengan pendapat tersebut, Eisenstein (2008: 15) menyatakan bahwa manifestasi dari toleransi adalah adanya kesediaan seseorang untuk menerima pendapat, nilai-nilai, perilaku orang lain yang berbeda dari diri sendiri. Penerimaan dapat diartikan memandang dan menerima pihak lain dengan segala keberadaannya, dan bukan menurut kehendak dan kemauannya sendiri. Hal tersebut berarti setiap golongan umat beragama menerima golongan agama lain tanpa memperhitungkan perbedaan, kelebihan atau kekurangan (Al Munawar, 2003: 51). Dengan adanya penerimaan akan berdampak positif bagi kehidupan keagamaan seseorang dalam masyarakat, karena: Pertama, dengan mengakui dan menerima perbedaan berarti turut menciptakan keharmonisan. Kedua, mengakui dan menerima perbedaan tidak hanya membawa kepada toleransi, tetapi juga pemahaman yang mendalam satu sama yang lain. Ketiga, mengakui dan menerima perbedaan, tidak berarti menghilangkan komitmen keyakinan sendiri dan menjadi seorang yang relatifis. Justru mengakui dan menerima perbedaan adalah perjumpaan dari berbagai komitmen keyakinan yang ada (Hasyim,2008). Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa penerimaan dapat diartikan sebagai kesediaan seseorang 18
menerima orang lain seperti adanya. Dengan kata lain, tidak menurut
proyeksi
yang
dibuat
sendiri.
Jika
seseorang
memproyeksikan penganut agama lain menurut kemauannya sendiri, maka pergaulan antar golongan agama tidak akan dimungkinkan. Jadi misalnya seorang Kristen harus rela menerima seorang penganut agama Islam menurut apa adanya, menerima Hindu seperti apa adanya. b. Penghargaan Selain kesediaan menerima, hal penting lain yang terkait dengan toleransi adalah kesediaan untuk menghargai segala sesuatu yang ditolak atau ditentang oleh seseorang (Sullivan, Pierson, & Marcus, 1993: 125). Senada dengan pendapat tersebut, Magnis-Suseno (1992:
97)
menyatakan bahwa
manifestasi dari toleransi adalah adanya kesediaan seseorang untuk menghormati keyakinannya meskipun tidak disetujuinya. Kesediaan menghargai tersebut harus dilandasi oleh kepercayaan bahwa tidak benar ada orang atau golongan yang berkeras memaksakan kehendaknya sendiri kepada orang atau golongan lain. Tidak ada orang atau golongan yang memonopoli kebenaran, dan landasan ini disertai catatan bahwa soal keyakinan adalah urusan pribadi masing-masing orang. Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa tiap-tiap umat beragama harus menghormati eksistensi agama lain dengan pengertian menghormati keragaman dan 19
perbedaan ajaran-ajaran yang terdapat pada setiap agama dan kepercayaan yang ada baik yang diakui negara maupun belum diakui oleh negara. Menghadapi realitas ini setiap pemeluk agama dituntut agar senantiasa mampu menghayati sekaligus memposisikan diri dalam konteks pluralitas dengan didasari semangat saling menghormati dan menghargai eksistensi agama lain (Ruslani, 2000: 169). Dalam bentuk tidak mencela atau memaksakan maupun bertindak sewenang-wenangnya dengan pemeluk agama lain. c. Kesabaran Hal penting lain yang terkait dengan toleransi adalah kesabaran, yang merupakan suatu sikap simpatik terhadap perbedaan pandangan dan sikap orang lain (Kartasapoetro dan Hartini, 1992: 439). Bagus (1996: 264) menyatakan bahwa wujud dari toleransi adalah kesediaan seseorang yang bersabar terhadap keyakinan filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat disanggah, atau bahkan keliru. Sikap semacam ini tidak berarti setuju terhadap keyakinan-keyakinan tersebut. Juga tidak berarti acuh tak acuh terhadap kebenaran dan kebaikan, dan tidak harus didasarkan atas agnostisisme, atau skeptisisme, melainkan lebih pada sikap hormat terhadap pluriformitas dan martabat manusia yang berbeda. Kesabaran dalam konteks toleransi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menahankan hal-hal yang tidak disetujui atau tidak 20
disukai, dalam rangka membangun hubungan sosial yang lebih baik (Khisbiyah, 2007: 4). Berdasarkan ketiga pendapat tersebut maka toleransi beragama dapat diartikan sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain. d. Kebebasan Aspek lain dari toleransi adalah memberi kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing (Yewangoe, 2009: 80-81). Hak asasi manusia yang paling esensial dalam hidup adalah hak kemerdekaan/kebebasan baik kebebasan untuk berfikir maupun kebebasan untuk berkehendak dan kebebasan di dalam memilih kepercayaan/agama.
Kebebasan
merupakan
hak
yang
fundamental bagi manusia sehingga hal ini yang dapat membedakan
manusia
dengan
makhluk
yang
lainnya.
Kebebasan beragama sering kali disalahartikan dalam berbuat sehingga manusia ada yang mempunyai agama lebih dari satu. Yang dimaksudkan kebebasan beragama di sini bebas memilih suatu kepercayaan atau agama yang menurut mereka paling benar dan membawa keselamatan tanpa ada yang memaksa atau menghalanginya.
21
Dalam konteks Idonesia, Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2 menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini jelas bahwa negara sendiri menjamin penduduknya dalam memilih dan memeluk agama/keyakinannya masing-masing serta menjamin dan melindungi penduduknya di dalam menjalankan peribadatan menurut agama dan keyakinannya masing-masing. e. Kerjasama Abdillah (2001: 13) menyatakan bahwa di dalam memaknai toleransi agama terdapat dua penafsiran tentang konsep ini. Pertama, penafsiran yang bersifat negatif yang menyatakan bahwa toleransi agama itu cukup mensyaratkan adanya sikap membiarkan dan tidak menyakiti orang atau kelompok lain baik yang berbeda maupun yang sama. Kedua, penafsiran yang bersifat positif yaitu menyatakan bahwa harus adanya bantuan dan dukungan terhadap keberadaan orang lain atau kelompok. Sejalan dengan pendapat di atas, Al Munawar (2003: 1517) menyatakan bahwa ada dua macam toleransi agama, yakni toleransi statis dan toleransi dinamis. Toleransi statis adalah toleransi dingin yang tidak melahirkan kerjasama. Bila pergaulan antar umat beragama hanya dalam bentuk statis, maka akan melahirkan toleransi semu. Toleransi dinamis adalah 22
toleransi aktif yang melahirkan kerja sama untuk tujuan bersama, sehingga kerukunan antar umat beragama sebagai refleksi dari kebersamaan umat beragama sebagai satu bangsa. Dengan
demikian
dapat
diperoleh
pemahaman
bahwa
manifestasi dari toleransi agama adalah adanya kesediaan bekerjasama dengan pemeluk agama lain. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek toleransi beragama adalah: 1). Penerimaan, yakni kemauan seorang pemeluk suatu agama untuk menerima perilaku dan kepercayaan yang berbeda dari yang dimilikinya, meskipun hal tersebut tidak ia setujuinya. 2). Penghargaan, yakni
kesediaan
seorang
pemeluk
suatu
agama
untuk
menghargai pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. 3). Kesabaran, yaitu kemampuan seorang pemeluk suatu agama untuk menahankan hal-hal yang tidak disetujui atau tidak disukai, dalam rangka membangun hubungan antar umat beragama yang lebih baik. 4). Kebebasan, yakni kemauan seorang pemeluk suatu agama untuk memberi kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya
dan menentukan nasibnya
masing-masing. 5).
Kerjasama, yakni adanya kesediaan bekerjasama dengan pemeluk agama lain. 23
3. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Toleransi Agama Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap toleransi agama, antara lain: kepribadian, lingkungan pendidikan, kontak antar kelompok, fundamentalisme agama, dan kontrol diri. a. Kepribadian Salah satu tipe kepribadian yang berpengaruh terhadap toleransi adalah tipe kepribadian extrovert. Parkes (1986: 113) menyatakan bahwa ciri individu bertipe kepribadian extrovert adalah: bersifat sosial, santai, aktif, dan cenderung optimis. Dengan ciri-ciri tersebut maka individu dengan tipe kepribadian extrovert cenderung lebih bisa menjalin hubungan dengan outgroup. Kecenderungan tersebut mengakibatkan perasaan ingroup dan outgroupnya kurang berkembang. Konsekuensinya, karena identitas sosial lebih rendah pada individu berkepribadian extrovert, maka toleransi mereka lebih tinggi daripada yang berkepribadian introvert. Studi Hadjar (2010: 159) menunjukkan bahwa individu bertipe kepribadian extrovert lebih toleran daripada introvert. b. Lingkungan pendidikan Menurut teori belajar sosial, toleransi diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses sosialisasi (Bukhori, 2010: 33). Terdapat tiga lingkungan pendidikan yang digunakan dalam proses
sosialisasi
tesebut,
yakni
lingkungan
keluarga,
lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. 24
Di lingkungan keluarga, orangtua memainkan peran yang sangat penting dalam membantu perkembangan toleransi pada anak. Anak-anak mengobservasi sikap dan perilaku orangtua mereka dan mereka mampu menangkap isyarat-isyarat non verbal yang dilakukan oleh orangtua mereka ketika bereaksi terhadap individu di luar kelompoknya, akibatnya jika orangtua toleran maka anak-anak tersebut cenderung menjadi toleran. Sebaliknya jika orangtua intoleran maka akan mengarahkan anak menjadi intoleran (Harding, Prochasky, Kutner, & Cheno, dalam Lindzey & Aronson, 1985 : 215). Di lingkungan pendidikan formal baik di sekolah maupun kampus, seorang siswa/mahasiswa akan mendapatkan informasi yang lebih akurat dan objektif tentang kelompok lain. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui pengamatan langsung terhadap perilaku kelompok lain. Dengan pengamatan langsung tersebut siswa/mahasiswa
dapat
memperoleh
informasi
tentang
kelompok lain yang lebih akurat dan objektif sehingga informasi yang bias dan stereotip yang dimiliki sebelumnya dapat berubah. Konsekuensinya toleransi mereka meningkat. Studi Bahari (2010: 143) menyimpulkan bahwa lingkungan pendidikan sangat
menentukan
dan
memberi
pengaruh
terhadap
pembentukan sikap, penerimaan, tingkah laku, dan toleransi setiap mahasiswa terhadap berbagai kemajemukan (etnis, organisasi, dan agama). 25
Lingkungan masyarakat adalah lingkungan ketiga dalam proses pembentukan kepribadian anak (Yusuf, 1996: 26). Lingkungan masyarakat akan memberikan sumbangan yang berarti dalam diri anak apabila diwujudkan dalam proses dan pola yang tepat. Tidak semua ilmu pengetahuan, sikap, keterampilan maupun performansi dapat dikembangkan oleh sekolah/kampus ataupun dalam keluarga, karena keterbatasan dan kelengkapan lembaga tersebut. Kekurangan yang dirasakan akan dapat diisi dan dilengkapi oleh lingkungan masyarakat dalam membina pribadi anak, termasuk dalam hal toleransi. c. Kontak antar kelompok. Untuk meningkatkan toleransi antar kelompok diperlukan peningkatan kontak antar kelompok. Berkaitan dengan hal tersebut, Allport dalam Brown (1995: 373) mengajukan suatu hipotesis yang kemudian dikenal dengan contact hypothesis, yaitu suatu teori yang menyatakan bahwa peningkatan kontak antar anggota berbagai kelompok akan mengurangi intoleransi di antara
kelompok
tersebut.
Pettigrew
(1997:
174-175)
menyatakan bahwa kontak dapat mengurangi intoleransi dengan syarat: 1). Kelompok tersebut setara dalam hal kedudukan sosial, ekonomi, dan status. 2). Situasi kontak harus mendukung terjadinya kerjasama dan saling tergantung sehingga mereka dapat bekerjasama dalam mencapai tujuan yang disepakati. 3). Bentuk kontak sebaiknya informal sehingga antar anggota dapat 26
saling mengenal sebagai individu dan bukan sebagai anggota kelompok tertentu. 4). Ketika terjadi kontak, norma yang berlaku harus menguntungkan berbagai pihak. 5). Interaksi antar kelompok harus menjamin terjadinya diskonfirmasi tentang stereotip yang melekat pada masing-masing kelompok. d. Fundamentalisme Agama. Allport (1979: 474) mengungkapkan bahwa agama merupakan
suatu
yang
poradoksal
karena
agama
bisa
menimbulkan toleransi, namun agama juga bisa menyebabkan intoleransi.
Studi
Batson
dan
Ventis
(1982:
258-263)
menemukan bahwa jemaat yang jarang menghadiri misa gereja lebih intoleran daripada jemaat yang rajin ke gereja. Hal tersebut ternyata disebabkan karena ajaran keagamaan dari gereja yang diteliti menyebarkan paham egalitarianisme. Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian Denney (2008: 25) dan Altemeyer dan Hunsberger (1992: 113) menemukan bahwa ada korelasi positif antara fundamentalisme agama dengan intoleransi terhadap muslim. Temuan kedua penelitian di atas bisa dipahami karena seseorang yang fundamentalisme agamanya tinggi cenderung berpikiran sempit, enggan untuk mempertanyakan keyakinan yang lain, dan tidak mampu mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda (English, 1996: 24-25). Berdasarkan uraian tersebut maka dapat
27
diasumsikan bahwa fundamentalisme agama berpengaruh terhadap intoleransi pada pemeluk agama lain. e. Kontrol diri. Sebagai salah satu sifat kepribadian, kontrol diri pada satu individu dengan yang lain tidaklah sama. Ada yang memiliki kontrol diri tinggi dan ada yang rendah. Mereka yang memiliki kontrol diri tinggi mampu mengubah kejadian dan menjadi agen utama dalam mengarahkan dan mengatur perilaku, sehingga membawa kepada konsekuensi positif. Mereka juga mampu mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial di sekitarnya (Roosianti, 1994: 97). Oleh karena itu perilakunya lebih responsive terhadap petunjuk situasional, lebih fleksibel, dan berusaha untuk memperlancar interaksi sosial, bersifat hangat dan terbuka. Berdasarkan uraian di atas dapat diasumsikan bahwa individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi akan lebih toleran terhadap pemeluk agama lain. B. Fundamentalisme Agama 1. Pengertian Fundamentalisme Agama Istilah fundamentalisme pertama kali muncul di kalangan komunitas Kristen di Amerika Serikat antara tahun 1910 sampai 1915 M. Gerakan ini muncul sebagai reaksi atas gerakan modernisme ajaran keagamaan yang begitu marak disuarakan oleh kalangan agamawan yang ingin mempertahankan iman kristiani atas pengaruh gerakan teologi modern. Kritisisme injil, 28
paham liberalisme keagamaan, nasionalisme ajaran-ajaran dogmatik, geologi, astronomi dan teori evolusi seringkali menjadi tema-tema sentral yang dianggap dapat menghancurkan ajaran Kristen (Suprapto, 2004: 11). Altemeyer dan Hunsberger (1992: 118) mengungkapkan bahwa fundamentalisme agama adalah kepercayaan adanya sekumpulan ajaran agama yang berisi asas, dasar, hakikat, hal pokok, dan inti kebenaran tentang manusia dan Tuhan. Kebenaran pokok pada dasarnya ditentang oleh kekuatan jahat yang harus dilawan dengan penuh semangat. Kebenaran pokok itu harus diikuti menurut asas, kebiasaan-kebiasaan yang tak berubah-ubah dari masa lalu. Siapa yang percaya dan mengikuti ajaran pokok itu memiliki hubungan istimewa dengan Tuhan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Laythe, Finkel, Bringle, dan Kirpatrick (2002: 624) menyatakan bahwa fundamentalisme merupakan
suatu
jenis
keyakinan
yang
militan,
yakni
pemahaman tentang hanya ada satu kebenaran absolut dan hubungan
khusus
dengan
tuhan.
Burrell
(1995:
2-3)
mendefinisikan fundamentalisme sebagai sebuah pendirian yang tegas dan tidak ragu-ragu bahwa sekelompok keyakinan tertentu, biasanya terambil dari pedoman yang “suci” dan sering dihubungkan dengan kehidupan dan pengajaran serta kewajiban semua orang yang beriman untuk melaksanakan sesuai keyakinan tersebut. 29
Pyszczynski, Solomon, dan Greenberg (2003: 275) menyatakan bahwa fundamentalisme adalah keyakinan terhadap satu agama yang berisi kebenaran literal mutlak tentang kehidupan,
yang
mungkin
membantu
individu-individu
memperoleh keuntungan psikologis dari agama. Herriot (2007: 117) mendefinisikan fundamentalisme agama sebagai pola militansi (meskipun tidak harus selalu keras) sekelompok orang yang menganggap dirinya sebagai penganut sejati yang berusaha untuk mencegah erosi identitas agama dan membentengi batasbatas komunitas agama mereka. Moaddel dan Karabenick (2008: 1667) menyatakan bahwa fundamentalisme adalah seperangkat keyakinan yang khas dan sikap terhadap agama, termasuk kepatuhan pada norma-norma agama, keyakinan terhadap universalitas dan kekekalan prinsip-prinsipnya, kesahihan klaim, dan begitu pentingnya bagi kebahagiaan manusia. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dalam penelitian ini yang dimaksud fundamentalisme agama adalah suatu kepercayaan yang lebih menekankan pada penafsiran secara literal dan radikal terhadap doktrin-doktrin agama. 2. Aspek-aspek Fundamentalisme Agama Altemeyer dan Hunsberger (1992: 118) menyatakan bahwa penganut fundamentalisme memiliki karakter sebagai berikut: 1). Meyakini bahwa ajaran dan kitab suci agama mereka berisi kebenaran penuh tentang semua eksistensi atau kehidupan. 30
2). Meyakini bahwa hanya penganut agama mereka yang mempunyai hubungan istimewa dengan Tuhan. 3). Meyakini agama mereka sempurna sehingga ritual-ritual dan praktikpraktik sekarang ini harus sama dengan ritual dan praktik masa lalu. 4). Meyakini bahwa mereka ditentang oleh kekuatan jahat yang kuat di dunia ini, termasuk agama-agama yang lain, yang harus diperangi dengan penuh semangat. Voll dalam Kurniawan (2003: 19) menyatakan bahwa aspek-aspek dari fundamentalisme meliputi: 1). Menekankan pada transendensi ketuhanan, sekaligus pada perintah etika darinya. 2). Menekankan pada kesatuan pemikiran dan praktiknya, serta melindungi tradisi dan menghindari inovasi, yang pada akhirnya menolak keanekaragaman dan menolak berkompromi dengan adat istiadat lokal. Herriot (2007: 117-118) mendaftar lima karakteristik utama yang membedakan gerakan fundamentalis dari gerakan agama dan non-agama yang lainnya, yaitu: 1). Reactivity (reaktivitas), yakni permusuhan terhadap modernisme; 2). Dualisme, kecenderungan untuk melihat sesuatu secara hitam dan putih; 3). Authority (kekuasaan), kerelaan untuk menerima beberapa
teks
suci
secara
literal
dan
dalam
totalitas
(keseluruhannya); 4). Selectivity (selektivitas), pilihan atas beberapa pilihan tertentu yang berasal dari teks suci sebagai penekanan; dan 5). Millennialisme, sebuah keyakinan bahwa 31
dunia akan sampai pada fase tertentu, yakni Tuhan akan menang dan kebaikan akan menang di atas kejahatan. Mahendra (1999: 6-7) mengatakan bahwa terdapat dua ciri atau aspek fundamentalisme, yakni cenderung menafsirkan teks-teks keagaman secara rigid (kaku) dan literal (harfiah). Dua ciri ini berimplikasi pada sikap orang-orang yang berfaham fundamentalis sering kali militan dan berfikiran sempit, bersemangat secara berlebihan atau cenderung ingin mencapai tujuan dengan cara-cara memakai kekerasan (Rahardjo, 1993: 20). Lebih
lanjut
Munawarrahman
(2001:437-440)
menambahkan ciri-ciri khas penganut fundamentalisme, yaitu: Pertama, penafsiran represif atas nama Tuhan. Seperti diketahui agama terdiri atas simbol-simbol yang bisa dimaknai dengan pandangan ideologi dan politik tertentu. Misalnya pesan keagamaan bisa menjadi justifikasi untuk paham-paham modern seperti demokrasi, kesamaan, kebebasan dan humanisme. Tetapi sebaliknya, pesan keagamaan yang sama juga bisa dipakai untuk membenarkan segala perbedaan dan diskriminasi dalam kelas, ras, seks, gender, agama, pendidikan, keyakinan politik, justru mengatasnamakan Tuhan. Yang terakhir ini terjadi pada kalangan yang disebut fundamentalisme. Fundamentalisme Islam secara ekstrim bisa menjadi contoh penafsiran represif atas nama Tuhan, dengan otoritas obsolutnya. 32
Kedua, kesatuan agama dan Negara. Ciri yang paling mencolok dari fundamentalisme Islam dalam konteks hubungan Negara dan agama adalah tekanan yang sangat kuat untuk membangun bentuk negara teokratik (khilafah, atau sejenisnya). Negara ideal yang ditegakkan dalam pandangan penganut fundamentalisme Islam ini, dengan jalan menyatukan negara (state) dan agama (religion). Isu-isu pokok yang dikedepankan adalah penerapan syariat dengan memperbesar peran ulama. Ketiga, penyebaran simbol-simbol kejahatan. Karena kalangan fundamentalis tidak bisa menyatukan Islam dengan tantangan Barat dan apa yang datang dari Barat dianggap sebagai “jahat, dosa bahkan iblis”. Keempat, literalismeskriptual. Juga penolakan historisme dan rasionalisasi. Ini adalah tipikal dari cara pandang kaum fundamentalis yang menolak cara membaca kitab suci dari kalangan “Islam Liberal” yang mempertimbangkan situasi dan perubahan sosial. Kaum fundamentalis menolak penafsiran baru atas teks Islam, yang dianggapnya menyimpang dari “Islam yang murni”. Seluruh problem sekarang dipecahkan dengan cara kembali kepada zaman awal Islam yang ideal itu. Kelima,
obsesi
atas
isu-isu
superstruktur.
Islam
fundamentalis menolak kategori-kategori kelas, kepentingankepentingan kelas, pembentukan kelas dan organisasi kelas yang biasa dipakai dalam sosiologi. Keenam, Pan-Islamisme. Obsesi 33
pokok yang dikembangkan oleh Islam fundamentalis adalah perluasan dari konsep ummah (komunitas orang beriman), yang diberikan
definisi
secara
ideologis.
Ketujuh,
patriarkhi.
Mengembalikan peran wanita ke sektor domistik dari sektor publik, mewajibkan jilbab secara ketat dan rigid. Kedelapan, tidak Timur dan tidak Barat. Selogan utama yang disuarakan oleh kaum fundamentalis yang dikutip dari alQur’an, tetapi diberikan muatan interpretasi secara politis dan ideologis, dengan maksud Timur (komunis), Barat (kapitalis). Kesembilan, otoritarian dalam wacana. Dalam hal wacana, kalangan fundamentalis bersikap lebih penting menekankan pada apa-apa yang normative dari pada statemen-statemen diskriptif-faktual. Fundamentalisme terkadang memiliki suatu program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. Kaum fundamentalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut menjadi pengganti dari tatanan yang sudah ada. Menurut
Marty
(1988:
21-23)
aspek-aspek
fundamentalisme meliputi: 1). Oposisi, yakni perlawanan terhadap
musuh.
perkembangan.
3).
2).
Penolakan
Penolakan
terhadap
terhadap
evolusi
atau
pluralisme
dan
relativisme. 4). Penolakan terhadap hermeneutika. Aspek-aspek
fundamentalisme
dari
Marty
tersebut
kemudian dimodifikasi oleh Azra (1996: 109-110) untuk diterapkan dalam mengidentifikasi gejala fundamentalisme 34
Islam. Aspek-aspek tersebut adalah: 1). Oppositionalism (paham perlawanan). mengambil
Fundamentalisme bentuk
dalam
perlawanan
agama
terhadap
manapun
ancaman
yang
dipandang membahayakan eksistensi agama. 2). Penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Penganut fundamentalisme berpandangan bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Dalam kerangka ini, adalah masyarakat yang harus menyesuaikan perkembangannya dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikuti perkembangan
masyarakat.
Karena
itulah,
penganut
fundamentalisme bersifat a-historis dan a-sosiologis; dan tanpa peduli apapun bertujuan kembali kepada bentuk masyarakat “ideal” seperti pada kaum salaf (generasi pertama dari kalangan sahabat dan dua generasi pasca sahabat Nabi Muhammad) yang dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna. 3). Penolakan terhadap hermeneutika. Artinya, mereka menolak sikap kritis (liberal) terhadap teks dan interpretasinya. Teks Alquran harus dipahami secara literal (sebagaimana adanya), karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. 4). Penolakan terhadap pluralisme dan relativisme.
Bagi
penganut
fundamentalisme,
pluralisme
merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan sikap keagamaan yang tidak selaras 35
dengan pandangan penganut fundamentalisme merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, yang terutama muncul tidak hanya dari intervensi nalar terhadap teks kitab suci, tetapi juga karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama. Senada dengan Marty dan Azra, Abegebriel & Abeveiro (2004: 506-7), menyatakan bahwa bahwa ciri-ciri umum dari fundamentalisme Islam ialah: (a) Gerakan-gerakan Islam yang secara politik menjadikan Islam sebagai ideologi dan secara budaya menjadikan Barat sebagai the others; (b) Memiliki prinsip
yang
mengarah
pada
paham
perlawanan
(oppotionalisme); (c) Penolakan terhadap hermenitika karena pemahaman Al Qur’an sepenuhnya adalah skriptualistik; dan (d) Secara epistemologis, dalam wilayah gerakan sosial-politik menolak pluralisme dan relativisme; serta (e) Penolakan perkembangan historis dan sosiologis, karena dalam pandangan mereka, “umat manusia yang tengah melakukan aktivisme sejarah di dunia harus menyesuaikan teks Al Qur’an, bukan sebaliknya”. Aspek fundamentalisme dari Marty (1988: 21-23) dan Azra (1996: 109-110) yang meliputi: Penolakan terhadap evolusi atau perkembangan, penolakan terhadap pluralisme
dan
relativisme, dan penolakan terhadap hermeneutika, digunakan penulis untuk mengidentifikasi gejala fundamentalisme Islam, 36
sedang aspek oposisi tidak digunakan. Oposisi tidak digunakan karena dalam kondisi tertentu oposisi sangat diperlukan. Umat Islam diperintahkan melakukan amar makruf nahi munkar (menyuruh kepada yang baik dan mencegah dari yang munkar). Amar makruf bisa dilakukan dengan tiga bentuk, yakni merubah dengan tangan (kekuasaan atau kekerasan), merubah dengan lisan, dan merubah dengan hati (Qumaihan, 1990: 37). Berdasarkan uraian di atas, dapat diperoleh pemahaman bahwa unsur-unsur yang terdapat pada makna fundamentalisme adalah sifat statis, orientasi ke masa lampau, tertutup, menolak penyesuaian
terhadap
masyarakat,
eksklusif,
penentangan
bahkan
perkembangan keras
yang
dalam
perlawanan.
terjadi
bermazhab,
Unsur-unsur
pada beku,
tersebut
merupakan lahan subur untuk berkembangnya intoleransi. Studi Denney (2008: 25) menemukan bahwa fundamentalisme keagamaan berkorelasi positif dengan intoleransi terhadap muslim. Studi serupa juga dilakukan oleh Altemeyer dan Hunsberger (1992: 113) dan Rowatt dkk. (2005: 29) yang menemukan bahwa ada korelasi positif antara fundamentalisme agama dengan intoleransi terhadap muslim.
C. Kontrol Diri 1. Pengertian Kontrol Diri
37
Chaplin (1981: 44) menyatakan bahwa kontrol diri (self control) adalah kemampuan individu untuk mengarahkan tingkah lakunya sendiri. Sementara itu Marvin dan Merbaun (dalam Aziz dan Hotifah, 2005: 156) berpendapat bahwa kontrol diri secara fungsional didefinisikan sebagai konsep di mana ada atau tidak adanya seseorang memiliki kemampuan untuk mengontrol tingkah lakunya yang tidak hanya ditentukan cara atau teknik yang digunakan, melainkan juga berdasarkan konsekuensi dari apa yang mereka lakukan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Goldfried dan Merbaum (dalam Lazarus, 1976:
117),
mendefinisikan
kontrol
diri
sebagai
suatu
kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi
positif. Selain itu kontrol diri juga
menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan (Lazarus, 1976: 117). Berdasarkan pengertian di atas, maka kontrol diri dapat diartikan sebagai suatu aktivitas pengendalian tingkah laku. Pengendalian tingkah laku mengandung makna yaitu melakukan pertimbangan-pertimbangan memutuskan
sesuatu
untuk
terlebih bertindak.
dahulu Semakin
sebelum intens
38
pengendalian tingkah laku, semakin tinggi pula kontrol diri seseorang. 2. Jenis dan aspek-aspek kontrol diri Block dan Block (dalam Lazarus, 1976: 118) menjelaskan ada tiga jenis kualitas kontrol diri, yaitu over control, under control, dan appropriate control. Over control merupakan kontrol diri yang dilakukan oleh individu secara berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri dalam beraksi terhadap
stimulus.
Under
control
merupakan
suatu
kecenderungan individu untuk melepaskan impuls dengan bebas tanpa perhitungan yang masak. Appropriate control merupakan control individu dalam upaya mengendalikan impuls secara tepat. Berbeda dengan pendapat tersebut, Cormier & Cormier (dalam Aziz dan Hotifah, 2005: 156), menyatakan bahwa kontrol diri pada prakteknya terdiri dari tiga cara, yaitu: 1). Self monitoring, yaitu suatu proses di mana individu mengamati dan merasa peka terhadap segala sesuatu tentang diri dan lingkungannya. 2). Self reward, yaitu suatu teknik di mana individu mengatur dan memperkuat perilakunya dengan memberikan hadiah atau hal-hal yang menyenangkan jika keinginan yang diharapkannya berhasil. 3). Stimulus control, yaitu suatu teknik yang dapat digunakan untuk mengurangi ataupun meningkatkan perilaku tertentu. Kontrol stimulus 39
menekankan
pada
pengaturan
kembali
atau
modifikasi
lingkungan sebagai isyarat khusus (cues) atau antasenden atau respon tertentu. Berdasarkan konsep Averill (1973: 292), terdapat 3 jenis kemampuan mengontrol diri, yaitu kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (cognitive control), dan control keputusan (decisional control). a. Kontrol perilaku Kontrol
perilaku
merupakan
kemampuan
untuk
mengambil tindakan konkrit untuk mengurangi akibat dari stressor dan kemampuan mengatur stimulus, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus
sebelum
waktunya
berakhir
dan
membatasi
intensitasnya. b. Kontrol kognitif Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan. Kontrol kognitif juga bisa berarti kemampuan individu dalam menggunakan proses berpikir atau strategi untuk memodifikasi akibat stressor. c. Kontrol keputusan 40
Kontrol keputusan merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan. Dari uraian dan penjelasan di atas, maka untuk mengukur kontrol diri dalam penelitian ini digunakan pendapat Averill di atas. Alasan penggunaan konsep dari Averill dalam mengukur tingkat kontrol diri yang dimiliki oleh individu karena konsepnya jelas dan rinci. D. Hubungan Fundamentalisme Agama Dengan Toleransi Di antara ciri fundamentalisme agama adalah memiliki paham perlawanan, yakni mengambil bentuk perlawanan yang sering bersifat radikal terhadap segala ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama, seperti modernitas atau modernisme, sekularisme, dan tata nilai Barat pada umumnya (Azra, 1996: 109). Mereka sangat membenci “sistem kafir” dan “sistem jahiliah” yang merupakan hasil peradaban Barat, meskipun sistem pemikiran tersebut konstruktif sekalipun. Mahendra (1993: 6-7) mengatakan bahwa terdapat dua ciri atau aspek fundamentalisme, yakni cenderung menafsirkan teks-teks keagaman secara rigid (kaku) dan literal (harfiah). Dua ciri ini berimplikasi pada sikap orang-orang yang berfaham 41
fundamentalis yang sering kali militan dan berfikiran sempit, bersemangat secara berlebihan atau cenderung ingin mencapai tujuan dengan cara-cara memakai kekerasan (Rahardjo, 1993: 20). Penganut fundamentalisme menolak cara membaca kitab suci dari kalangan “Islam Liberal” yang mempertimbangkan situasi dan perubahan sosial. Mereka juga menolak penafsiran baru atas teks Islam, yang dianggapnya menyimpang dari “Islam yang murni”. Seluruh problem sekarang dipecahkan dengan cara kembali kepada zaman awal Islam yang ideal. Kecenderungan penganut fundamentalisme untuk menafsirkan teks-teks tersebut secara literal diperlukan untuk menjaga kemurnian doktrin dan pelaksanaannya, karena menurut mereka penerapan doktrin secara utuh adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran (Mahendra, 1999: 215). Diakui atau tidak, dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang bisa ditafsirkan secara radikal di luar konteks riwayat turunnya ayat tersebut, yang sering dijadikan dasar oleh para penganut fundamentalisme untuk melakukan perlawanan. Ayat-ayat tersebut antara lain tentang: “perintah terhadap orang mukmin untuk memerangi orang-orang kafir” (Alquran 9: 123); “keharusan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir dan munafik” (Alquran 9: 73); “ketidakrelaan orang Yahudi dan Nasrani terhadap umat Islam sampai orang Islam itu mengikuti 42
millah (cara hidup) mereka” (Alquran 2: 120). Ayat-ayat tersebut bila dipahami secara tekstual bisa mengarahkan umat Islam untuk tidak toleran bahkan melakukan tindakan kekerasan terhadap orang-orang selain Islam, termasuk pada umat Kristiani. Akibat dari penafsiran secara literal terhadap ayat-ayat Alquran juga melahirkan ciri lain dari fundamentalisme, yakni penolakan
terhadap
pluralisme
dan
relativisme.
Dalam
pandangan penganut fundamentalisme, masyarakat cenderung dilihat secara “hitam putih” yaitu antara masyarakat islami yang meyakini dan mengamalkan doktrin secara menyeluruh dengan masyarakat jahiliah yang tidak meyakini dan mengamalkan ajaran
Islam.
Dengan
sikap
tersebut,
maka
penganut
fundamentalisme cenderung bersifat tertutup dari kemungkinan beradaptasi dan berakulturasi dengan umat agama lain, termasuk terhadap umat Kristiani, yang pada akhirnya bisa meningkatkan intoleransi terhadap umat Kristiani. Ciri lain dari penganut fundamentalisme adalah mereka secara membabi-buta selalu berusaha untuk kembali kepada bentuk masyarakat “ideal” seperti pada kaum salaf yang dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna. Menurut
mereka, masyarakat
yang harus
menyesuaikan
perkembangannya dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikuti perkembangan masyarakat. 43
Semangat untuk kembali kepada masa lalu secara berlebihan tersebut
akan
keberagamaan
dengan yang
mudah
kaku,
menggiring
hingga
pada
pada
sikap
akhirnya
bisa
menimbulkan tindak intoleransi dan kekerasan. Penelitian Denney (2008: 25) dan Bizumic & Duckitt (2007: 198) menunjukkan
bahwa
fundamentalisme
berkaitan
dengan
intoleransi terhadap pemeluk agama lain. E. Hubungan Kontrol Diri Dengan Toleransi Konsep kontrol diri sangat relevan untuk melihat hubungan antara pribadi dengan lingkungan masyarakat. Individu dengan kontrol diri yang tinggi sangat memperhatikan cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Ia cenderung untuk mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat. Bagi individu, kontrol diri tersebut penting untuk dikembangkan karena: Pertama, individu tidak hidup sendiri tetapi hidup dalam kelompok. Ia mempunyai kebutuhan untuk memuaskan keinginan atau kebutuhannya. Supaya tidak mengganggu dan melanggar kenyamanan dan keselamatan orang lain, maka ia harus mengontrol perilakunya. Kedua, masyarakat menghargai kemampuan, kebaikan, dan hal-hal yang dapat diterima masyarakat lainnya yang dimiliki individu. Masyarakat juga menyusun standar minimal tertentu yang harus dimiliki 44
individu sebagai anggota masyarakat. Untuk memenuhi standar tersebut diperlukan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut tidak melakukan hal-hal yang menyimpang (Calhoun dan Acocella, 1990: 214). Salah satu ciri seorang individu yang memiliki kontrol diri tinggi adalah mampu melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu untuk bertindak. Selain itu ia memiliki kecakapan dan kepekaan dalam membaca situasi diri dan lingkungannya, serta memiliki kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi. Dalam konteks hubungan antar umat beragama, seorang individu yang memiliki kontrol diri tinggi akan lebih toleran terhadap pemeluk agama lain daripada individu yang memiliki kontrol diri rendah. Dengan kontrol diri tinggi, seorang pemeluk agama dapat menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beranekaragam, meskipun ia tidak sependapat dengannya. Dengan kata lain seorang yang memiliki kontrol diri tinggi akan mampu menerima perilaku dan kepercayaan yang berbeda dari yang dimilikinya, meskipun hal tersebut tidak ia setujuinya. Dengan kontrol diri tinggi, seseorang juga mampu memandang dan menerima pihak lain dengan segala keberadaannya, dan bukan menurut kehendak dan kemauannya sendiri. 45
Cermin dari seseorang yang memiliki kontrol diri tinggi adalah memiliki kemampuan untuk menahankan hal-hal yang tidak disetujui atau tidak disukai, dalam rangka membangun hubungan antar umat beragama yang lebih baik. Sejalan dengan hal tersebut, Bagus (1996: 264) menyatakan bahwa wujud dari toleransi adalah kesediaan seseorang yang bersabar terhadap keyakinan filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat disanggah, atau bahkan keliru. Berdasarkan uraian di atas maka dapat diperoleh pemahaman bahwa seorang individu yang memiliki kontrol diri tinggi akan mampu bersabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain. F. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Fundamentalisme agama dan kontrol diri berpengaruh secara simultan terhadap toleransi pada umat Kristiani. Semakin tinggi fundamentalisme agama dan semakin rendah kontrol diri, maka semakin rendah toleransi terhadap umat Kristiani, sebaliknya semakin rendah fundamentalisme dan semakin tinggi kontrol diri maka semakin tinggi toleransi terhadap umat Kristiani.
46
BAB III METODOLOGI A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian 1. Variabel Bebas
: 1). Fundamentalisme agama 2). Kontrol diri
2. Variabel Tergantung
: Toleransi terhadap umat Kristiani
B. Definisi Operasional Variabel-variabel Penelitian Toleransi terhadap umat Kristiani adalah kesediaan seseorang untuk menghormati dan membolehkan umat Kristiani melaksanakan ibadah menurut ajaran dan ketentuan agama yang diyakininya. Aspek-aspek toleransi terhadap umat Kristiani meliputi: 1). Penerimaan, yakni kemauan seseorang untuk menerima perilaku dan kepercayaan umat Kristiani, meskipun hal tersebut tidak ia setujuinya. 2). Penghargaan, yakni kesediaan seseorang untuk menghargai pendapat, pandangan, kepercayaan, dan kebiasaan umat Kristiani yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. 3). Kesabaran, yaitu kemampuan seseorang untuk menahankan hal-hal yang tidak disetujui atau tidak disukai dari umat Kristiani. 4). Kebebasan, yakni kemauan seseorang untuk memberi kebebasan kepada umat Kristiani untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya. 5). Kerjasama, yakni adanya kesediaan seseorang bekerjasama dengan umat Kristiani. Tinggi rendahnya toleransi 47
terhadap umat Kristiani tercermin melalui skor yang diperoleh subjek pada Skala Toleransi terhadap umat Kristiani. Skor yang tinggi menunjukkan bahwa toleransinya tinggi, dan sebaliknya skor yang rendah menunjukkan bahwa toleransinya rendah. Fundamentalisme agama adalah suatu kepercayaan yang lebih menekankan pada penafsiran secara literal dan radikal terhadap doktrin-doktrin agama. Aspek fundamentalisme agama meliputi: 1). Penolakan terhadap hermeneutika, yaitu menolak sikap kritis (liberal) terhadap Alquran beserta interpretasinya. 2). Penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. 3). Penolakan terhadap
perkembangan
historis
dan
sosiologis.
Tinggi
rendahnya fundamentalisme agama tercermin melalui skor yang diperoleh subjek pada Skala Fundamentalisme agama. Skor yang tinggi menunjukkan bahwa fundamentalisme agamanya tinggi, dan sebaliknya skor yang rendah menunjukkan bahwa fundamentalisme agamanya rendah. Kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku dan mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam diri yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan yang efektif dalam bertingkah laku sehingga perilakunya menjadi bermanfaat dan dapat diterima secara sosial. Aspek kontrol diri meliputi: 1). Kontrol perilaku (behavior control). 2). Kontrol kognitif (cognitive control). 3). Kontrol keputusan (decisional control). Tinggi rendahnya 48
kontrol diri tercermin melalui skor yang diperoleh subjek pada Skala kontrol diri. Skor yang tinggi menunjukkan bahwa kontrol dirinya tinggi, dan sebaliknya skor yang rendah menunjukkan bahwa kontrol dirinya rendah. C. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Semarang pada bulan April sampai dengan Juli 2012. D. Populasi dan Sampel Populasi dari penelitian ini adalah seluruh jamaah majelis taklim di Kota Semarang. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik multi-stage cluster random sampling, yakni teknik mengambil sampel dalam dua atau lebih tahapan
karena
populasinya
tidak dapat
secara
mudah
diidentifikasi atau karena populasinya sangat besar. Dengan menggunakan teknik tersebut, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: Pertamakali peneliti mengambil delapan kecamatan dari 16 kecamatan yang ada di Kota Semarang secara random. Kedua, peneliti mengambil secara random 3 mejelis taklim di setiap kecamatan secara random. Kecamatan yang terpilih meliputi, Pedurungan, Genuk, Banyumanik, Gajah Mungkur, Candi, Semarang Barat, Ngaliyan, dan Mijen. Majelis taklim yang terpilih meliputi: Roja'ul Khoir, Ikhwanul Muslimin, Daruttaubah, Ketauhidan, Albarokah, Yasinta, Al Anwar, Nurul Iman, Al Ikhlas, Al Hidayah, Darus Salam, Al 49
Muhibbin, At Taqwa, Miftahul Jannah, Annur, Al-Amin, ArRahmah, Baitul Huda, Al-Huda, Islam Kaffah, Baitussalam, AlInsan, Al-Ma'ruf, dan Khoirun Nisa’. Kriteria subjek yang dijadikan sebagai sampel penelitian adalah anggota/jamaah majelis taklim di Kota Semarang, beragama Islam, minimal berusia 19 tahun dan pendidikan minimal sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Berdasarkan teknik pengambilan sampel dan kriteria subjek tersebut diperoleh sampel sebesar 200 orang. E. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala psikologi, yaitu cara pengumpulan data dengan menetapkan besarnya bobot atau nilai skala bagi setiap jawaban pernyataan objek psikologis yang berdasarkan pada suatu kontinue. Skala tersebut terdapat empat pilihan jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Pemberian skornya tergantung dari favorable dan tidaknya suatu butir. Skor jawaban bergerak dari nilai empat (4) hingga nilai satu (1) pada jawaban yang favorable dan dari satu (1) sampai empat (4) pada butir jawaban yang unfavorable. Skala yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah Skala Toleransi terhadap umat Kristiani, Skala Fundamentalisme agama, dan Skala Kontrol diri. 50
a. Skala toleransi terhadap umat Kristiani Variabel toleransi terhadap umat Kristiani diukur dengan Skala Toleransi terhadap umat Kristiani, yang memiliki koefisien validitas bergerak antara 0,352 sampai 0,684, dan alphanya 0,907. (Hasil uji validitas dengan program SPSS versi 16.00 sebagaimana dalam lampiran II C). Aspek toleransi meliputi, yakni: 1). Penerimaan, yakni kemauan seorang muslim untuk menerima perilaku dan kepercayaan umat Kristiani. 2). Penghargaan,
yakni
kesediaan
seorang
muslim
untuk
menghargai pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan umat Kristiani. 3). Kesabaran, yaitu kemampuan seorang muslim untuk menahankan hal-hal yang tidak disetujui dari umat Kristiani. 4). Kebebasan, yakni kemauan seorang muslim untuk memberi kebebasan kepada umat Kristiani untuk menjalankan keyakinannya. 5). Kerjasama, yakni adanya kesediaan seorang muslim bekerjasama dengan umat Kristiani. Skala Toleransi terhadap umat Kristiani sebagaimana dalam Lampiran I C. Distribusi aitem-aitem Skala Toleransi terhadap umat Kristiani yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian disajikan pada tabel 1.
51
Tabel 1 Distribusi Aitem Skala Toleransi Terhadap Umat Kristiani. No.. Aspek 1. Penerimaan 2. Penghargaan 3. Kesabaran 4. Kebebasan 5. Kerjasama Jumlah
Favorable 37, 39, 43 34, 42, 47 36, 44, 46 40, 49, 53 38, 52 14
Unfavorable 48, 54 45, 50 51, 55 35, 41 8
Jumlah 5 5 3 5 4 22
b. Skala Fundamentalisme Agama. Variabel fundamentalisme agama diukur dengan Skala Fundamentalisme agam, yang memiliki koefisien validitas bergerak antara 0,338 sampai 0,529, dan alphanya 0,823. (Hasil uji validitas dengan program SPSS versi 16.00 sebagaimana dalam lampiran II A). Aspek fundamentalisme agama meliputi: 1). Penolakan terhadap hermeneutika. 2). Penolakan terhadap pluralisme
dan
relativisme.
3).
Penolakan
terhadap
perkembangan historis dan sosiologis. Skala Fundamentalisme agama sebagaimana dalam Lampiran I A. Distribusi aitem-aitem Skala Fundamentalisme agama
yang akan digunakan dalam
pengumpulan data penelitian disajikan pada tabel 2.
52
Tabel 2 Distribusi Aitem Skala Fundamentalisme agama Islam No.. Aspek 1. Penolakan perkembangan historis dan sosiologis 2. Penolakan terhadap pluralisme dan relativisme 3. Penolakan terhadap hermeneutika
Favorable 5, 7, 13, 15, 18
Unfavorable 3, 9, 11
Jumlah 8
2, 6, 8, 10, 14
-
5
1, 4, 16, 17
12
5
Jumlah
14
4
18
c. Skala Kontrol Diri. Variabel kontrol diri diukur dengan Skala Kontrol diri, yang memiliki koefisien validitas bergerak antara 0,320 sampai 0,626, dan alphanya 0,843. (Hasil uji validitas dengan program SPSS versi 16.00 sebagaimana dalam lampiran II B). Aspek fundamentalisme agama meliputi: 1). Kontrol perilaku (behavior control). 2). Kontrol kognitif (cognitive control). 3). Kontrol keputusan (decisional control). Kontrol perilaku merupakan kemampuan
untuk
mengambil
tindakan
konkrit
untuk
mengurangi akibat dari stressor dan kemampuan mengatur stimulus, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung,
menghentikan
stimulus
sebelum
waktunya
berakhir, dan membatasi intensitasnya. 53
Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan. Kontrol kognitif juga bisa berarti kemampuan individu dalam menggunakan proses berpikir atau strategi untuk memodifikasi akibat stressor. Kontrol keputusan merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan. Skala Kontrol diri sebagaimana dalam Lampiran I B. Distribusi aitem-aitem Skala Kontrol diri yang akan digunakan dalam pengumpulan data penelitian disajikan pada tabel 3. Tabel 3. Distribusi Aitem Skala Kontrol diri No.. Aspek 1 Kontrol perilaku 2 Kontrol kognitif 3 Kontrol keputusan Jumlah
Favorable 20, 21, 28, 31 22, 25, 29 23, 33 9
Unfavorable 26, 27, 30 32 19, 24 6
Jumlah 7 4 4 15
54
F. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik dengan menggunakan teknik analisis regresi ganda. Teknik analisis tersebut dilakukan dengan memanfaatkan program SPSS 16.0. G. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang memakai metode ex post facto, yakni penelitian yang dimaksudkan untuk menyelidiki kondisi yang sudah terjadi dan menyiratkan hubungan sebab akibat (McMillan & Schumacher dalam Hadjar, 1999: 88). Sedang desain penelitian yang digunakan adalah korelasional, yang bertujuan untuk menguji pengaruh fundamentalisme agama dan kontrol diri secara simultan terhadap toleransi pada umat Kristiani. Sebagaimana dibahas dalam bagian sebelumnya bahwa dalam penelitian ini terdapat 2 variabel bebas dan 1 variabel terikat. Variabel bebas yang pertama adalah fundamentalisme agama, yakni suatu kepercayaan yang lebih menekankan pada penafsiran secara literal dan radikal terhadap doktrin-doktrin agama. Variabel bebas kedua adalah kontrol diri, yakni kemampuan
untuk
membimbing
tingkah
laku
dan
mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam diri yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan yang efektif dalam bertingkah laku sehingga perilakunya menjadi bermanfaat 55
dan dapat diterima secara sosial. Adapun variabel terikatnya adalah toleransi terhadap umat Kristiani, yakni kesediaan seseorang untuk menghormati dan membolehkan umat Kristiani melaksanakan ibadah menurut ajaran dan ketentuan agama yang diyakininya. Untuk mendapatkan desain penelitian yang benar, peneliti berusaha untuk menempuh langkah-langkah sebagai berikut: a. Merumuskan masalah dengan benar, sehingga akan dapat diuji dan menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah
yang
sedang
diteliti.
Adapun
permasalahan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Apakah fundamentalisme agama dan kontrol diri berpengaruh secara simultan terhadap toleransi pada umat Kristiani? b. Mengumpulkan
data
di
lapangan
dengan
menggunakan
instrumen yang memiliki validitas dan reliabilitas yang baik. Untuk itu sebelum instrumen digunakan dalam pengambilan data yang sesungguhnya dilakukan uji coba terlebih dahulu. Data ujicoba skala kemudian dianalisis dengan cara melihat korelasi skor aitem dengan skor total, yang dikenal dengan sebutan indeks daya diskriminasi aitem atau indeks konsistensi aitem total (Anastasi & Ubrina, 1997). Daya diskriminasi aitem adalah sejauh mana aitem mampu membedakan antara kelompok yang memiliki atribut yang diukur dengan kelompok 56
yang tidak memiliki atribut. Adapun teknik analisis yang digunakan adalah teknik korelasi product moment terkoreksi (Corrected Item-Total Correlation), karena keempat skala yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kontinum. Atas dasar hasil analisis tersebut, aitem yang memiliki daya beda tinggi (memiliki nilai koefisien korelasi yang signifikan pada taraf 5 persen) dipilih dan dipertahankan sebagai aitem skala yang akan digunakan dalam penelitian, sedangkan aitem yang memiliki daya beda rendah (tidak signifikan) digugurkan dan tidak digunakan lebih lanjut. Pada penelitian ini untuk mengestimasi tingginya reliabilitas alat ukur digunakan pendekatan konsistensi internal dari Cronbach. Melalui pendekatan ini maka dapat dilihat konsistensi antar aitem dalam skala. Untuk komputasinya digunakan
koefisien
alpha
Cronbach
(Wijaya,
2009).
Penghitungan reliabilitas dilakukan terhadap data aitem secara keseluruhan maupun khusus data aitem-aitem terpilih melalui uji validitas aitem. c. Menggunakan langkah-langkah pengambian sampel secara cermat. Sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya, langkahlangkah pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah: Pertamakali peneliti mengambil delapan kecamatan dari 16 kecamatan yang ada di Kota Semarang secara random. Kedua, peneliti mengambil secara random 3 mejelis taklim di setiap kecamatan secara random. Kriteria subjek yang dijadikan 57
sebagai sampel penelitian adalah anggota/jamaah majelis taklim di Kota Semarang, beragama Islam, minimal berusia 19 tahun dan pendidikan minimal sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). d. Memilih teknik analisa yang sesuai dengan masalah dan data yang tersedia. Dalam penelitian ini teknik analisis yang digunakan adalah teknik regresi berganda. e. Berusaha menginterprestasikan hasil-hasil penelitian secara cermat. Hasil analisa data akan didiskusikan dengan orang-orang yang benar-benar ahli dan menguasai masalah hasil penelitian tersebut. Langkah-langkah di atas dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan validitas internal dan eksternal. Yang dimaksud validitas adalah seberapa jauh penjelasan ilmiah tentang suatu fenomena sesuai dengan kenyataan. Validitas dalam hal ini dibedakan menjadi dua, yakni validitas internal dan eksternal. Validitas internal mengacu pada seberapa jauh apa yang diamati, diukur, dan dianalisis sesuai dengan kenyataan. Validitas eksternal mengacu pada kemampuan generalisasi hasil (Hadjar, 1999: 106).
58
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas Sebelum dilakukan pengujian hipotesis, terlebih dahulu dilakukan pengujian normalitas dan heteroskedastisitas. Skor yang diperoleh subjek pada masing-masing Skala sebagaimana dalam lampiran III. 1. Uji Normalitas Analisis normalitas berfungsi untuk menguji penyebaran data hasil penelitian.
Dari grafik di atas, terlihat titik-titik menyebar disekitar garis diagonal, serta penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Maka model regresi layak dipakai untuk prediksi toleransi terhadap umat Kristiani berdasar masukan variabel independennya. 59
2. Uji heteroskedastisitas. Analisis heteroskedastisitas berfungsi untuk melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik di atas, di mana sumbu X adalah Y yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual (Y prediksi – Y sesungguhnya) yang telah distudentized.
Dari grafik di atas, terlihat titik-titik menyebar secara acak, tidak membentuk sebuah pola tertentu yang jelas, serta tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini berarti tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi, sehingga model regresi layak dipakai untuk prediksi toleransi terhadap umat Kristiani berdasar masukan variabel independennya.
60
B. Uji Hipotesis Setelah dilakukan analisis dengan teknik analisis regresi berganda, penelitian ini menghasilkan temuan-temuan sebagai berikut: b
ANOVA Sum of Model
Squares
1
Regression
1833.347
2
916.673
Residual
8293.608
197
42.100
10126.955
199
Total
df
Mean Square
F 21.774
Sig. .000
a. Predictors: (Constant), Kontrol_diri, Fundamentalisme b. Dependent Variable: Toleransi_agama
Hasil analisis data mengenai pengaruh fundamentalisme agama dan kontrol diri secara simultan terhadap toleransi pada umat Kristiani menunjukkan koefisien pengaruh F sebesar 21,774 dengan nilai signifikansi (Pvalue) 0,000. Melihat nilai Pvalue tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh fundamentalisme agama dan kontrol diri secara simultan terhadap toleransi pada umat Kristiani. Berdasar hasil tersebut maka dapat diambil pemahaman bahwa, semakin tinggi fundamentalisme agama dan semakin rendah kontrol diri, maka semakin rendah toleransi terhadap umat Kristiani, sebaliknya semakin rendah fundamentalisme dan semakin
61
a
tinggi kontrol diri maka semakin tinggi toleransi terhadap umat Kristiani. Model Summaryb Std. Error of the Model
R
1
.425
R Square a
Adjusted R Square
.181
.173
Estimate 6.48842
a. Predictors: (Constant), Kontrol_diri, Fundamentalisme b. Dependent Variable: Toleransi_agama
Nilai R Square sebesar 0,181 menunjukkan besarnya peran atau kontribusi variabel fundamentalisme agama dan kontrol diri dalam menjelaskan variabel toleransi terhadap umat Kristiani sebesar 18,1%. Adapun sisanya sebesar 81,9 dijelaskan oleh prediktor lain dan kesalahan-kesalahan lain. (eror sampling dan non sampling).
62
Coefficients
Model
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
1 (Constant) Fundamentalisme Kontrol_diri
a
Std. Error
72.374
5.182
-.450
.069
.126
.084
Beta
t
Sig.
13.966
.000
-.419
-6.494
.000
.097
1.498
.136
a. Dependent Variable: Toleransi_agama
Hasil
analisis
data
juga
menunjukkan
bahwa
nilai
probabilitas t-hitung variabel fundamentalisme agama sebesar 0,00. Hal tersebut berarti fundamentalisme secara parsial berpengaruh terhadap toleransi pada umat Kristiani. Nilai probabilitas t-hitung variabel kontrol diri sebesar 0,136. Hal tersebut berarti kontrol diri secara parsial tidak berpengaruh terhadap toleransi pada umat Kristiani. C. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa kontrol diri dan fundamentalisme secara simultan berpengaruh terhadap toleransi pada umat Kristiani, namun secara parsial kontrol diri tidak
berpengaruh
terhadap
toleransi
tersebut,
sedangkan
fundamentalisme berpengaruh pada toleransi. Atas dasar uraian tersebut dapat dipahami bahwa kontrol diri hanya berperan sebagai penguat variabel fundamentalisme dalam mempengaruhi toleransi 63
terhadap umat Kristiani. Hal tersebut didukung hasil analisis regresi sederhana untuk menguji pengaruh fundamentalisme terhadap toleransi pada umat Kristiani. Diketahui bahwa peran variabel fundamentalisme agama dalam menjelaskan variabel toleransi terhadap umat Kristiani hanya sebesar 17,2%, namun setelah dianalisis secara simultan dengan kontrol diri menggunakan regresi ganda perannya meningkat menjadi 18,1%. Secara parsial kontrol diri tidak berpengaruh terhadap toleransi bisa jadi karena pada saat penelitian ini dilaksanakan hubungan antara umat Islam dan umat Kristiani di Kota Semarang dalam kondisi relatif kondusif. Bila penelitian ini dilaksanakan di daerah konflik antara umat Islam dan Kristiani yang membuat identitas agama
umat
Islam terancam maka
kontrol
diri
kemungkinan berpengaruh terhadap toleransi pada umat Kristiani. Sebagaimana di ungkapkan oleh Brown (1995: 380) bahwa bila ancaman terhadap identitas sosial cukup kuat, maka akan menyebabkan tindakan intoleransi. Hal tersebut bisa diperoleh pemahaman bahwa dalam kondisi terancam identitas agamanya, seseorang yang kontrol dirinya tinggi maka akan lebih mampu menahankan hal-hal yang tidak disetujui atau tidak disukai, dalam rangka membangun hubungan antar umat beragama yang lebih baik. Berbeda dengan variabel kontrol diri, meskipun kecil variabel fundamentalisme berpengaruh terhadap toleransi pada 64
umat Kristiani baik secara parsial maupun secara simultan bersama kontrol diri. Hal tersebut bisa dipahami bahwa dalam penelitian ini variabel yang paling kuat berpengaruh terhadap toleransi pada umat Kristiani adalah fundamentalisme agama. Adanya pengaruh fundamentalisme agama terhadap toleransi terhadap umat Kristiani sejalan dengan pendapat Misrawi (2007: 168), bahwa fundamentalisme tidak hanya sekedar membawa paham keagamaan, melainkan juga menyimpan ideologi intoleransi. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, bahwa fundamentalisme berkorelasi positif dengan intoleransi. Penelitian Denney (2008: 25) dan Bizumic & Duckitt (2007: 198) menunjukkan bahwa fundamentalisme agama berkaitan dengan intoleransi terhadap pemeluk agama lain. Seseorang yang memiliki fundamentalisme tinggi cenderung untuk melakukan truth claim, menganggap diri atau kelompoknya sendiri yang paling benar dan menyalahkan hasil interpretasi orang lain. Sebagai akibat dari pandangan dan keyakinan yang demikian itu, mereka cenderung tertutup, dan tidak mau menerima pandangan dan sikap yang berbeda (Dahlan, 2009: 84). Akibat dari klaimklaim seperti itu, akan memunculkan atau dimunculkannya segregasi atau pemilahan yang dalam istilah ilmu-ilmu sosial disebut in group lawan out group. Lahirnya in group yang dilawankan dengan out group, bukan saja bermakna penyatuan dan pengikatan emosi keagamaan ke dalam internal pemeluk agama 65
dalam aliran yang sama tetapi sekaligus pembeda terhadap kelompok lain di luarnya. Jadi di dalam internal pemeluk agama yang sama saja bisa terjadi pemilahan dan pengerasan oleh akibat perbedaan paham apalagi terhadap umat yang berbeda-beda agama. Dalam
konteks
seperti
inilah
maka
toleransi
penganut
fundamentalisme rendah (Hapsin, 2002: 2). Sebagaimana diungkapkan oleh Azra (1996: 109-110) bahwa salah satu prinsip yang dipengang penganut fundamentalisme adalah oppositionalism (paham perlawanan). Fundamentalisme dalam agama manapun mengambil bentuk perlawanan terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama. Acuan dan tolok ukur untuk menilai tingkat ancaman itu tentu saja adalah kitab suci, yang dalam kasus fundamentalisme Islam adalah Alquran, dan pada batas tertentu hadis Nabi Muhammad. Bagi penganut fundamentalisme, pilihan untuk tidak toleran karena ada misi agama lain yang bersifat proaktif, yang dianggap membahayakan eksistenti agama Islam, yakni kristenisasi. Misi tersebut telah dianggap sebagai salah satu “dosa besar” yang dapat mengganggu eksistensi agama lain. Karenanya, fundamentalisme tidak sekedar memelihara paham keagamaan, melainkan juga mengklaim telah melindungi agama dari ancaman yang sewaktuwaktu datang dari luar agama (Misrawi, 2007: 168). Dengan kata lain, bagi penganut fundamentalisme, intoleran terhadap umat
66
Kristiani merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama. Seperti diketahui bahwa, agama terdiri atas simbol-simbol yang bisa dimaknai dengan pandangan ideologi dan politik tertentu. Misalnya pesan keagamaan bisa menjadi justifikasi untuk pahampaham modern seperti demokrasi, kesamaan, kebebasan dan humanisme. Tetapi sebaliknya, pesan keagamaan yang sama juga bisa dipakai untuk membenarkan segala perbedaan dan diskriminasi dalam kelas, ras, seks, gender, agama, pendidikan, keyakinan politik, justru mengatasnamakan Tuhan. Yang terakhir ini terjadi pada penganut fundamentalisme (Dahlan, 2009: 80).
Sejalan
dengan pendapat tersebut, Misrawi (2007: 168) menyatakan bahwa fundamentalisme telah memproduksi tafsir keagamaan yang semestinya
bernuansa
toleransi,
tapi
pada
akhirnya
lebih
menonjolkan intoleransi. Ciri lain dari fundamentalisme adalah menolak cara membaca kitab suci dari kalangan lain yang mempertimbangkan situasi dan perubahan sosial. Penganut fundamentalisme menolak penafsiran baru atas teks Islam, yang dianggapnya menyimpang dari “Islam yang murni”. Seluruh problem sekarang dipecahkan dengan cara kembali kepada zaman awal Islam yang ideal itu. Menurut
mereka,
masyarakat
yang
harus
menyesuaikan
perkembangannya dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikuti perkembangan masyarakat. 67
Semangat untuk kembali kepada masa lalu secara berlebihan tersebut akan dengan mudah menggiring pada sikap keberagamaan yang kaku, hingga pada akhirnya bisa menimbulkan tindak intoleransi dan kekerasan. Atas dasar uraian di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa seseorang yang fundementalisme agamanya tinggi cenderung intoleran terhadap umat Kristiani. Intoleransi tersebut didasarkan pada penafsiran teks-teks keagamaan secara literal dan radikal. Sering kali penafsiran secara literal dan radikal tersebut mengarahkan seseorang terjebak pada truth claim, menganggap diri atau kelompoknya sendiri yang paling benar dan menyalahkan hasil penafsiran orang lain. Penafsiran tersebut juga mengarahkan para penganutnya untuk cenderung bersifat tertutup dari kemungkinan beradaptasi dan berakulturasi dengan umat agama lain, termasuk terhadap umat Kristiani, yang pada akhirnya bisa meningkatkan intoleransi terhadap umat Kristiani. Berdasarkan pembahasan di atas dapat dipahami bahwa toleransi agama merupakan fenomena sosial psikologis, maka ia utamanya dipengaruhi oleh faktor yang terkait dengan potensi berinteraksi sosial dengan objek toleransi, baik yang berasal dari dalam diri individu (internal) maupun dari luar diri individu (eksternal). Fundamentalisme hanya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi toleransi terhadap umat Kristiani. Masih banyak faktor yang berpengaruh terhadap toleransi, baik faktor dari 68
dalam diri, seperti tipe kepribadian dan etnosentrisme, maupun faktor dari luar diri, seperti norma sosial, lingkungan pendidikan, kontak pertemanan dengan kelompok luar, interaksi antar ras maupun agama, status keluarga, dan identitas kelompok (Bukhori, 2011: 107-108).
69
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah: Terdapat pengaruh fundamentalisme agama dan kontrol diri secara simultan terhadap toleransi pada umat Kristiani. Semakin tinggi fundamentalisme agama dan semakin rendah kontrol diri, maka semakin rendah toleransi terhadap umat Kristiani, sebaliknya semakin rendah fundamentalisme dan semakin tinggi kontrol diri maka semakin tinggi toleransi terhadap umat Kristiani. B. Saran Atas dasar kesimpulan sebagaimana dikemukakan di atas, ada beberapa saran yang patut dipertimbangkan oleh pihakpihak yang berkepentingan sebagai berikut: Bagi para pengasuh majelis taklim pada khususnya dan tokoh-tokoh agama pada umumnya, hendaknya melakukan usaha-usaha untuk mereduksi fundamentalisme dan selalu menumbuhkembangkan faham moderat yang menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama. Untuk para peneliti, perlu dilakukan penelitian yang lebih komprehenship, yang diantaranya melibatkan tingkat pendidikan dan kontak antar pemeluk agama. Dengan melibatkan variabel tingkat pendidikan dan kontak tersebut diharapkan pemahaman
70
tentang pengaruh fundamentalisme dan kontrol diri pada toleransi terhadap umat Kristiani lebih jelas.
71
DAFTAR PUSTAKA
A’la, A. 2001. “Rekonsiliasi dan kerjasama”. Dalam N. Achmad (ed.). Pluralitas agama: Kerukunan dalam keragaman (h. 23-29). Jakarta: Kompas. Abdillah, M. 2001. “Pluralisme dan toleransi”. Dalam N. Achmad (ed.). Pluralitas agama: Kerukunan dalam keragaman (h. 11-16). Jakarta: Kompas. Abegebriel, A. M. & Abeveiro, A. Y. 2004. Negara Tuhan – The thematic encyclopaedia. Jakarta: SR-Ins Publishing. Al Munawar, S. A. 2003. Fiqih hubungan antar agama. Jakarta: Ciputat Press. Allport, G. W. 1979. The nature of prejudice. Reading: AddisonWesley. Altemeyer, B. & Hunsberger, B. 1992. Authoritarianism, religious fundamentalism, quest, and prejudice. The International Journal for The Psychology of Religion, 2(2), 113-133. Anastasi, A & Urbina, S. 1997. Psychological testing. Upper Saddle River: Prentice Hall, Inc. Averill, J.R., 1973. Personal control over aversive stimuli and it’s relationship to stress. Psychological Bulletin, 80, 286-303. Aziz, R. & Hotifah, Y. 2005. Hubungan zikir dengan kontrol diri santri manula. Jurnal Psikologi Islami, 1(2), 153-161.
72
Azra, A. 1996. Pergerakan politik Islam: Dari fundamentalisme, modernisme hingga post-modernisme. Jakarta: Paramadina. Badawi. A. Z. 1982. Mu`jam musthalahat al-`ulum al-ijtima`iyat. Beirut: Maktabah Lubnan. Bagus, L. 1996. Kamus filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bahari. 2010. Toleransi beragama mahasiswa (Studi tentang pengaruh kepribadian, keterlibatan organisasi, hasil belajar pendidikan agama, dan lingkungan pendidikan terhadap toleransi mahasiswa berbeda agama pada 7 perguruan tinggi umum negeri. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Batson, C. D. & Ventice, L. W. 1982. The religious experience; A social psychological perspective. New York: Oxford University Press. Bizumic, B. & Duckitt, J. 2007. Varieties of group selfcenteredness and dislike of the specific other. Basic and Applied Social Psychology, 29, 195-202. Brown, R. 1995. Prejudice its social psychology. Cambridge: Blackwell Publisher Inc. Bukhori, B. 2010. Prasangka terhadap pemeluk agama lain dalam perspektif teori belajar sosial dari Albert Bandura. Jurnal Psikologi, 3(1), 29-36. Bukhori, B. 2011. Meta-analisis hubungan orientasi religius dengan prasangka rasial. Jurnal At-Taqaddum, 3(1), 105-123. 73
Burrell, R. M. 1995. Fundamentalisme Islam, terj. Yudian W. Asmin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Calhoun, J. F. & Acocella, J. R. 1990. Psychology of adjustment and human relationship. New York: Mc. Graw-Hill, Inc. Chaplin, J. P. 1981. Dictionary of psychology. New York: Dell Publishing Coorporation Inc. Dahlan, F. 2009. Fundamentalisme agama antara fenomena dakwah dan kekerasan atas nama agama. Jurnal El-Hikmah, 1, 7688. Denney, Jr., H. T. 2008. Relationships between religion and prejudice:
Implisit
and
explicit
measures.
Thesis
(unpublished). Georgia: Georgia State University. Eisenstein, M. A. 2008. Religion and the politics of tolerance: How Christianity builds domocracy. Waco: Baylor University Press. English, F. 1996. The lure of fundamentalism. Transactional Analysis, 26, 23-30. Hadjar, I. 1999. Dasar-dasar metodologi penelitian kuantitatif dalam pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hadjar, I. 2010. Prasangka keagamaan. Semarang: Walisongo Press. Hapsin, A., Bukhori, B., Elizabeth, M. Z., Adnan, M., Thohir, M., Jamil, A., & Siswati. 2004. Radikalisme religio politik di Jawa Tengah. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). 74
Semarang:
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Harding, Y., Prochasky, H., Kutner, B., & Cheno, J. 1985. “Prejudice and ethnic relations”. In G. Lindzey & A. Aronson. A handbook of social psychology (p. 1-76). Addison-Wesley: Reading Mass. Hasyim, U. 1979. Toleransi, kemerdekaan, dan beragama dalam Islam sebagai dasar menuju dialog dan kerukunan antar agama. Surabaya: Bina Ilmu. Herriot, P. 2007. Religious fundamentalism and social identity. Journal of Muslim Mental Health, 3, 117-119. Kartasapoetro, G.
& Hartini. 1992. Kamus sosiologi dan
kependudukan. Jakarta: Bumi Aksara. Khisbiyah, Y. 2007. Menepis prasangka, memupuk toleransi untuk multikulturalisme:
Dukungan
dari
psikologi
sosial.
Surakarta: PSB-PS UMS. Kholisuddin. 2004. Toleransi agama dalam al-Qur'an kajian tematik tafsir al-Azhar karya Hamka. Tesis. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Kurniawan, H. 2003. Realitas gerakan Hizbut Tahrir di Indonesia: Wacana hegemonik dan praksis ideologi (Studi pemikiran Islamisme
Timur
fundamentalisme
Tengah
Islam-politik
dalam di
peta
gerakan
Indonesia).
Tesis.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 75
Laythe, B., Finkel, D. Bringle, R. & Kirkpatrick, L. 2002. Religious fundamentalism as a predictor of prejudice: A twocomponent model. Journal for the Scientific Study of Religion, 41: 623-635. Lazarus, R.S., 1976. Paterns of adjustment. Tokyo: McGraw Hill Kogakusha, Ltd. Locke, J. 1991. A letter concerning toleration.
New York:
Routledge. Magnis-Suseno, F. 1992. Filsafat kebudayaan politik: Butir-butir pemikiran kritis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mahendra, Y. I. 1999. Modernisme dan fundamentalisme dalam politik Islam. Jakarta: Paramadina. Malik, I. 2003. Bakubae; Gerakan dari akar rumput untuk menghentikan kekerasan di Maluku. Jakarta: LSPP. Marty, M. E. 1988. Fundamentalism as a social phenomenon. Bulletin of the American Academy of Arts and Sciences, 42(2),15-29. Mas’ud, A. 2010. “Kata pengantar”. Dalam Bahari, Toleransi beragama mahasiswa (Studi tentang pengaruh kepribadian, keterlibatan organisasi, hasil belajar pendidikan agama, dan lingkungan pendidikan terhadap toleransi mahasiswa berbeda agama pada 7 perguruan tinggi umum negeri.
76
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (h. 6-7). Mengintip konflik di Joglo Semar. 2009. Diunduh pada tanggal 10 November
2009
dari:
http://www.wahidinstitute.org/
Program/Detail/?id=435/hl=id/Mengintip_Konflik_Di_Jogl o_Semar. Miladiyani, N. 2008. Hubungan kontrol diri dengan perilaku seksual pranikah pada mahasiswa berpacaran. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Misrawi, Z. 2007. Al Quran kitab toleransi: Inklusivisme, pluralisme dan multikulturalisme. Jakarta: Fitrah. Moaddel,
M.
dan
Karabenick,
S.
A.
2008.
Religious
fundamentalism among young muslim in Egypt and Saudi Arabia, Social Forces, 86 (4), 1675-1710. Moderate Muslim Society. 2010. Tindakan intoleransi naik 30 persen. Diunduh pada tanggal 21 Desember 2010 dari: http://www.moderatemuslim.net/. Muhammad, H. 2009. “Pluralisme sebagai keniscayaan teologis”. Dalam A. M. Ghazali. Argumen pluralisme agama; Membangun toleransi berbasis Al Qur'an (h. xiii-xiv). Jakarta: KataKita. Munawarrahman, B. 2001. Islam pluralis: Wacana kesetaraan kaum beriman. Jakarta: Paramadina.
77
Neufeldt, V. 1999. Webster’s new world collage dictionary. Ohio: Macmillan. Obinyan, E. 2004. Differential adolescent delinquency tolerance and the effect of race and gender. Dissertation (unpublished). Florida: University of South Florida. Osborn, K. 1993. Tolerance. New York: The Rosen Publishing Group, Inc. Parkes, K. R. 1986. Coping in stressful episodes: The role of individual differences, environmental factors, and situational characteristics.
Journal
of
Personality
and
Social
Psychology, 51(6), 1277-1292. Peledakan Bom di Gereja Tabernakel Kristus Alfa Omega Semarang Pimpinan Umat Beragama Prihatin. 2001. Diunduh pada tanggal
2
Agustus
2001
//www.kompas.com/kompas-cetak/0108/02/
dari:
http:
DAERAH/
pimp21.htm. Pettigrew, T. F. 1997. Generalized intergroup contact effect on prejudice. Personality and Social Psychology Bulletin, 23, 173-185. Pines, A. & Maslach, C. 1993. Experiencing social psychology, reading, and projects. New York: McGraw-Hill Book Company.
78
Procter, P. (Ed). 2001. Cambridge international dictionary of English. Cambridge: Cambridge University. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Pyszczynski, T., Solomon, S., & Greenberg, J. 2003. In the wake of 9/11: The psychology of terror. Washington DC: APA. Qumaihan, J. 1990. Beroposisi menurut Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Rachmawati, A. F. D. 2006. Toleransi antar umat Islam dan Katolik: Studi kasus di Dukuh Kasaran, Desa Pasungan, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten. Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang: IAIN Walisongo. Rahardjo, M. D. 1993. Ensiklopedi al-Qur’an; Tafsir sosial berdasar konsep-konsep kunci. Jakarta: Paramadina. Reese, W. L. 1999. Dictionary of philosophy an religion, Eastern & Western tought. New York: Humanity Books. Romli, K. 2008. Membongkar prasangka. Jurnal Komunitas, 26, 39-46. Roosianti, W., 1994. Hubungan antara pemantauan diri dan popularitas dengan pengungkapan diri pada remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Rowatt, W. C., Franklin, L. M., & Cotton, M. 2005. Patterns and personality correlates of implicit and explicit attitudes
79
toward Christians and Muslims. Journal for the Scientific Study of Religion, 44, 29-43. Ruslani. 2000. Masyarakat dialoq antar agama; Studi atas pemikiran Muhammad Arkoun. Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya. Sholihan & Sulthon, M. 2008. Dimensi politis dalam konflik keagamaan di Indonesia; Studi kasus terhadap pendirian Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Jemaat Hosanda Ngaliyan Semarang. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Semarang: Walisongo Mediation Center. Siagian, S. H. 1993. Agama-agama di Indonesia. Salatiga: Satya Wacana. Snyder, M. and Gangested S. 1986. On the nature of self monitoring: Matters of assesment, matters of validity. Journal of Personality and social Psychology, 56, 125-133 Sullivan, J. L., Pierson, J., & Marcus, G. E. 1993. Political tolerance and American democracy. Chicago: University of Chicago Press. Suprapto, H. 2004. Skriptualisme Islam di Indonesia (Tahun 1998 sampai tahun 2003). Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang: Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo. Sutanto, T. 2007. “Melampaui toleransi?: Merenung bersama Walzer” dalam Ihsan Ali-Fauzi, dkk. Demi toleransi demi pluralisme. Jakarta: Paramadina. 80
Tim
Penyusun
Ensiklopedia.
1996.
Ensiklopedia
nasional
Indonesia. Jakarta: PT. Cipta Abdi. Widiana, H. S., Retnowati, S., & Hidayat, R. 2004. Kontrol diri dan kecenderungan kecanduan internet. Humanitas, 1(1), 6-16. Wijaya, T. 2009. Analisis data penelitian menggunakan SPSS. Yogyakarta: BP Universitas Atma Jaya. Wrench, J. S., Corrigan, M. W., McCroskey, J. C., & PunyanuntCarter, N. M. 2006. Religious fundamentalism and intercultural communication: The relationships among ethnocentrism, intercultural communication apprehension, religious fundamentalism, homonegativity, and tolerance for religious disagreements. Journal of Intercultural Communication Research, 35, 23-44. Yewangoe, A. A. 2009. Agama dan kerukunan. Jakarta: Gunung Mulia. Yusuf, A. M. 1996. Pengantar ilmu pendidikan. Jakarta: Ghalia.
81
IDENTITAS DIRI Jenis kelamin
: ……………
Umur
: ....................
Pendidikan terakhir
: a. SD b. SMP c. SMA d. Perguruan
Tinggi Nama Majelis Taklim
: …..………..
PETUNJUK Kami bermaksud meminta bantuan kepada Anda dengan cara mengisi skala. Mohon Anda membaca petujuk-petunjuk di bawah ini: 1. Dalam skala-skala ini terdapat sejumlah pernyataan. Setelah membaca dengan seksama Anda diminta memilih salah satu dari 4 pilihan tanggapan yang tersedia dengan memberi tanda contreng (√) pada pilihan yang disediakan, yaitu: SS
: Bila Anda sangat sesuai dengan pernyataan
S
: Bila Anda sesuai dengan pernyataan
TS
: Bila Anda tidak sesuai dengan pernyataan
STS
: Bila Anda sangat tidak sesuai dengan pernyataan
2. Pilihlah alternatif tanggapan yang benar-benar sesuai dengan keadaan/kenyataan diri Anda, bukan dengan apa yang seharusnya. 3. Seumpama ada pernyataan yang secara kenyataan Anda belum mengalaminya, Anda dapat membayangkan bila suatu saat Anda
82
mengalaminya dan memperkirakan reaksi Anda terhadap hal tersebut. 4. Dalam menjawab skala ini mohon semua dijawab (tidak ada satupun yang terlewatkan), dan Anda tidak perlu takut salah, karena semua jawaban dapat diterima. 5. Kerahasiaan identitas dan jawaban Anda akan kami jamin. 6. Kesungguhan dan kejujuran Anda sangat menentukan kualitas hasil penelitian ini. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Peneliti
83
LAMPIRAN I Lampiran I A: Skala Fundamentalisme Sesudah Ujicoba No
Pernyataan
SS
1
Jika saya mempelajari tafsir, maka saya lebih suka memilih buku tafsir yang disusun oleh sarjana muslim lulusan Timur Tengah dari pada sarjana muslim lulusan Barat.
2
Bagi saya, sekularisme faham yang tidak benar.
3
Saya lebih memilih menjadi nasabah bank konvensional (seperti BCA) daripada bank syariah (seperti Bank Mu’amalat).
4
Menurut saya, umat Islam tidak membutuhkan pemikiran Barat untuk membantu memahami Alquran.
5
Saya berusaha menghindari pengamalan agama dari pengaruh budaya lokal.
6
Saya tidak senang dengan kelompok yang mengusung liberalisme (seperti Jaringan Islam Liberal).
7
Saya percaya bahwa suatu bangsa akan sejahtera apabila mengikuti sistem ekonomi Islam.
S
TS
STS
adalah
84
No
Pernyataan
8
Bagi saya, tidak ada kebenaran yang bisa diambil dari agama lain.
9
Saya akan kecewa jika Indonesia diubah menjadi Negara berdasarkan Islam.
10
Bersahabat baik dengan orangorang yang berpaham liberal akan membawa dampak negatif pada diri saya.
11
Saya senang terhadap keputusan para Pendiri Bangsa yang tidak menjadikan agama Islam sebagai agama Negara.
12
Saya senang jika ada orang non muslim yang mampu menulis Tafsir Alquran.
13
Menurut saya, krisis multidimensi di Indonesia terjadi sebagai akibat tidak diterapkan aturan Islam.
14
Saya menolak pelaksanaan kegiatan doa bersama antar umat beragama untuk keselamatan bangsa.
15
Saya senang jika para pencuri diberi hukuman secara Islam (potong tangan).
16
Saya menolak penafsiran Alquran yang menggunakan metode penafsiran dari sarjana Barat.
SS
S
TS
STS
85
No
Pernyataan
17
Jika saya belajar tafsir Alquran, maka saya akan lebih memilih ustadz yang berpendidikan dari Timur Tengah daripada yang berpendidikan dari Barat.
18
Saya menolak pemikiran tentang kesetaraan gender (kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki).
SS
S
TS
STS
SS
S
TS
STS
Skala Fundamentalisme Sebelum Ujicoba No
Pernyataan
1
Jika saya mempelajari tafsir, maka saya lebih suka memilih buku tafsir yang disusun oleh sarjana muslim lulusan Timur Tengah dari pada sarjana muslim lulusan Barat.
2
Bagi saya, sekularisme faham yang tidak benar.
3
Saya lebih memilih menjadi nasabah bank konvensional daripada bank syariah.
4
Bagi saya, penafsiran Alquran yang hanya mengikuti logika dapat menyesatkan.
5
Bagi saya, umat Islam tidak boleh saling menyalahkan, termasuk dalam hal pemahaman tentang agama.
adalah
86
No
Pernyataan
6
Menurut saya penerapan hukum Islam tidak perlu disesuaikan dengan kondisi masyarakat.
7
Saya kecewa jika ustadz dalam pengajian yang saya ikuti menafsirkan Alquran secara tekstual.
8
Saya bersedia menyediakan fasilitas untuk kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh kelompok muslim apapun fahamnya.
9
Saya turut merasa senang atas berdirinya bank-bank syariah di Indonesia.
10
Menurut saya, umat Islam tidak membutuhkan pemikiran Barat untuk membantu memahami Alquran.
11
Saya akan menikah dengan seorang muslim/muslimah tanpa melihat faham yang dianutnya.
12
Saya berusaha menghindari pengamalan agama dari pengaruh budaya lokal.
SS
S
TS
STS
87
No
Pernyataan
13
Bagi saya, metode penafsiran kontekstual memiliki lebih banyak kelebihan dibandingkan metode penafsiran tekstual.
14
Saya tidak senang dengan kelompok yang mengusung liberalisme (seperti Jaringan Islam Liberal).
15
Saya percaya bahwa suatu bangsa akan sejahtera apabila mengikuti sistem ekonomi Islam.
16
Jika saya belajar tafsir Alquran maka saya akan memilih ustadz yang lebih menekankan nalar dalam penafsirannya.
17
Bagi saya, tidak ada kebenaran yang bisa diambil dari agama lain.
18
Saya akan kecewa jika Indonesia diubah menjadi Negara berdasarkan Islam.
19
Saya percaya bahwa penafsiran ayat Alquran secara literal (sebagaimana bunyi ayat) mampu menangkap kandungan makna ayat tersebut.
20
Bersahabat baik dengan orangorang yang berpaham liberal akan membawa dampak negatif pada diri saya.
SS
S
TS
STS
88
No
Pernyataan
21
Saya senang terhadap keputusan para Pendiri Bangsa yang tidak menjadikan agama Islam sebagai agama Negara.
22
Bagi saya, tidak ada pemahaman yang mutlak benar terhadap Alquran.
23
Saya khawatir terhadap munculnya berbagai macam faham keagamaan yang berbeda.
24
Jika saya menjadi seorang juru dakwah maka saya akan menggunakan budaya lokal sebagai media dalam dakwah.
25
Saya senang jika ada orang non muslim yang mampu menulis Tafsir Alquran.
26
Saya keberatan jika harus membantu kelompok muslim lain yang berbeda faham dengan saya.
27
Menurut saya, krisis multidimensi di Indonesia terjadi sebagai akibat tidak diterapkan aturan Islam.
28
Saya tidak akan mengikuti kajian tafsir Alquran yang hanya menekankan pada penafsiran literal (sebagaimana bunyi ayat).
29
Menurut saya, semua kelompok muslim harus diberi kesempatan yang sama untuk berkembang.
SS
S
TS
STS
89
No
Pernyataan
30
Menurut saya umat Islam harus menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman dalam menafsirkan Alquran.
31
Saya khawatir jika Alquran dipahami secara liberal akan menodai kesuciannya.
32
Saya menolak pelaksanaan kegiatan doa bersama antar umat beragama untuk keselamatan bangsa.
33
Saya senang jika para pencuri diberi hukuman secara Islam (potong tangan).
34
Saya menolak penafsiran Alquran yang menggunakan metode penafsiran dari sarjana Barat.
35
Saya tetap merasa nyaman bergaul dengan kelompok muslim lain meskipun berbeda pemahaman.
36
Bagi saya, Alquran bisa ditafsirkan sesuai perkembangan sains dan teknologi.
37
Jika saya belajar tafsir Alquran, maka saya akan lebih memilih ustadz yang berpendidikan dari Timur Tengah daripada yang berpendidikan dari Barat.
38
Saya turut bergembira bila kelompok muslim lain yang berbeda faham dengan kelompok saya mengalami kemajuan.
39
Saya menolak pemikiran tentang kesetaraan gender.
SS
S
TS
STS
90
Lampiran I B: Skala Kontrol Diri Sesudah Ujicoba No
Pernyataan
SS
19
Saya lebih senang pergi “jalan-jalan” daripada harus menyelesaikan pekerjaan saya di rumah.
20
Ketika menunggu seseorang, saya melakukan suatu aktifitas untuk mengisi waktu.
21
Kegagalan sebagai pemicu semangat saya untuk berperilaku yang lebih baik lagi.
22
Saya selalu berpikir positif kejadian buruk yang saya alami.
23
Jika saya yakin bahwa sesuatu itu benar maka saya sulit untuk dipengaruhi orang lain.
24
Hidup saya lebih dikendalikan oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi secara kebetulan.
25
Berbagai cobaan yang menimpa saya justru membuat saya lebih dekat kepada Tuhan.
26
Saya membiarkan televisi tetap hidup meskipun mengganggu anak-anak yang sedang belajar.
27
Saya mengerjakan sesuatu tanpa berpikir panjang
28
Saya menebus kesalahan yang telah saya lakukan dengan selalu berusaha berbuat lebih baik.
S
TS
STS
terhadap
91
No
Pernyataan
29
Saya selalu mengambil hikmah atau pelajaran dari kejadian-kejadian buruk yang menimpa saya.
30
Saya tidak peduli dengan barang-barang yang berserakan di dalam rumah saya.
31
Saya selalu berhati-hati dalam bertindak.
32
Kadangkala saya berpikir bahwa hidup ini kurang ada manfaatnya.
33
Ketika saya mempunyai banyak pekerjaan, saya tidak bingung dalam memutuskan pekerjaan mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
SS
S
TS
STS
Skala Kontrol Diri Sebelum Ujicoba NO
PERNYATAAN
SS
S
TS
STS
1.
Saya lebih senang pergi “jalan-jalan” SS daripada harus menyelesaikan pekerjaan saya di rumah.
S
TS
STS
2.
Berdasarkan pengalaman di masa lalu, SS saya mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi masa depan.
S
TS
STS
3.
Menunda suatu pekerjaan adalah pilihan SS terbaik bagi saya daripada harus mengerjakan dengan tergesa-gesa.
S
TS
STS
92
NO
PERNYATAAN
SS
4.
Saya sering merasa bingung dihadapkan pada beberapa pilihan.
5.
Ketika menunggu seseorang, saya melakukan suatu aktifitas untuk mengisi waktu.
6.
Saya merasa gelisah setiap memikirkan masa depan saya.
7.
Kegagalan sebagai pemicu semangat saya untuk berperilaku yang lebih baik lagi.
8.
Saya selalu berpikir positif terhadap kejadian buruk yang saya alami.
9.
Jika saya yakin bahwa sesuatu itu benar maka saya sulit untuk dipengaruhi orang lain.
10.
Hidup saya lebih dikendalikan oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi secara kebetulan.
11.
Berbagai cobaan yang menimpa saya justru membuat saya lebih dekat kepada Tuhan.
12.
Saya selalu mengeluh jika kejadian buruk menimpa saya.
13.
Ketika saya berbelanja di toko swalayan, saya sering bingung dalam memilih barang yang akan saya beli.
S
TS
STS
bila
kali
93
NO
PERNYATAAN
14
Saya membiarkan televisi tetap hidup meskipun mengganggu anak-anak yang sedang belajar.
15.
Banyaknya penderitaan yang saya alami membuat saya putus asa.
16.
Saya mengerjakan sesuatu tanpa berpikir panjang
17.
Saya menebus kesalahan yang telah saya lakukan dengan selalu berusaha berbuat lebih baik.
18.
Saya selalu mengambil hikmah atau pelajaran dari kejadian-kejadian buruk yang menimpa saya.
19.
Saya tidak peduli dengan barang-barang yang berserakan di dalam rumah saya.
20.
Saya selalu berhati-hati dalam bertindak.
21.
Ketika saya dihadapkan pada beberapa pilihan, saya bisa memilihnya dengan cepat.
22.
Kadangkala saya berpikir bahwa hidup ini kurang ada manfaatnya.
23.
Jika saya memiliki banyak pekerjaan, saya enggan mencicil pekerjaan itu.
24.
Ketika saya mempunyai banyak pekerjaan, saya tidak bingung dalam memutuskan pekerjaan mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
SS
S
TS
STS
94
Lampiran I C. Skala Toleransi Terhadap Umat Kristiani Setelah Ujicoba Khusus untuk pernyataan-pernyataan di bawah ini, semua kata “mereka” akan mewakili kata umat Kristiani. No
Pernyataan
34
Saya akan mengucapkan selamat bila mereka mendapatkan anugerah (misalnya naik jabatan).
35
Saya akan berusaha menolak jika dipasangkan dengan mereka dalam satu team.
36
Saya tidak merasa terganggu bila mereka selalu menyanyikan lagu-lagu ruhani dengan suara keras.
37
Saya merasa senang jika bisa bersahabat baik dengan mereka.
38
Jika mereka mengalami kesulitan dalam mencari suatu barang, saya akan berusaha mencarikannya.
39
Saya rela jika umat Islam dibantu finansial oleh mereka.
40
Tidak masalah bagi saya jika mereka mendirikan lembaga pendidikan Kristen di daerah saya.
41
Saya akan berusaha menolak jika diajak untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu bersama mereka.
42
Jika mereka melaksanakan kebaktian di rumah mereka, maka saya berusaha tidak akan mengganggu.
SS
S
TS
STS
95
No
Pernyataan
43
Saya merasa senang jika mereka bertamu ke rumah saya.
44
Saya tidak merasa jengkel apabila mereka memberi beasiswa bagi pelajar muslim yang kurang mampu.
45
Saya tidak akan memakan makanan yang diberikan mereka kepada saya meskipun saya tahu makanan itu halal.
46
Saya tidak marah jika mereka membagikan selebaran tentang agama Kristen di lingkungan saya.
47
Saya memuji kepedulian mereka terhadap fakir miskin.
48
Saya merasa tidak nyaman jika harus bergaul dengan mereka.
49
Tidak masalah bagi saya jika tetangga saya mengadakan kegiatan natalan bersama di rumah mereka.
50
Saya tidak akan datang jika diundang resepsi pernikahan oleh mereka.
51
Bagi saya, sudah saatnya umat Islam menghentikan mereka dalam menyiarkan agama mereka.
52
Kalau punya uang, saya tidak berkeberatan bila harus meminjami mereka yang memerlukan.
SS
S
TS
STS
96
No
Pernyataan
53
Tidak masalah bagi saya jika mereka mendirikan tempat ibadah yang sangat megah di daerah saya.
54
Saya kecewa jika melihat teman saya seagama bergaul akrab dengan mereka.
55
Bagi saya, pendirian gereja di lingkungan tempat tinggal saya perlu ditolak.
SS
S
TS
STS
Skala Toleransi Terhadap Umat Kristiani Sebelum Ujicoba Khusus untuk pernyataan-pernyataan di bawah ini, semua kata “mereka” akan mewakili kata umat Kristiani. No
Pernyataan
SS
S
TS
STS
1
Seandainya saya melihat mereka SS mengalami kecelakaan di jalan, saya akan menolong mereka.
S
TS
STS
2
Saya akan mengucapkan selamat bila mereka mendapatkan anugerah (misalnya naik jabatan).
3
Saya akan berusaha menolak jika dipasangkan dengan mereka dalam satu team.
4
Saya tidak merasa terganggu bila mereka selalu menyanyikan lagu-lagu ruhani dengan suara keras.
5
Saya sangat jengkel bila mendengar mereka mengajukan argumen tentang kebenaran agama mereka.
6
Saya merasa senang jika bisa bersahabat baik dengan mereka. 97
No
Pernyataan
7
Saya jengkel bila mendengar mereka mengungkapkan kelebihan-kelebihan agama mereka.
8
Jika mereka mengalami kesulitan dalam mencari suatu barang, saya akan berusaha mencarikannya.
9
Saya rela jika umat Islam dibantu finansial oleh mereka.
10
Bagi saya, pendirian gereja di lingkungan tempat tinggal saya perlu ditolak.
11
Saya akan berusaha menolak jika diajak untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu bersama mereka.
12
Jika mereka melaksanakan kebaktian di rumah mereka, maka saya berusaha tidak akan mengganggu.
13
Saya merasa senang jika mereka bertamu ke rumah saya.
14
Saya tidak merasa jengkel apabila mereka memberi beasiswa bagi pelajar muslim yang kurang mampu.
15
Saya tidak akan memakan makanan yang diberikan mereka kepada saya meskipun saya tahu makanan itu halal.
16
Saya tidak marah jika mereka membagikan selebaran tentang agama Kristen di lingkungan saya.
SS
S
TS
STS
98
No
Pernyataan
17
Saya memuji kepedulian mereka terhadap fakir miskin.
18
Saya merasa tidak nyaman jika harus bergaul dengan mereka.
19
Tidak masalah bagi saya jika tetangga saya mengadakan kegiatan natalan bersama di rumah mereka.
20
Saya tidak akan datang jika diundang resepsi pernikahan oleh mereka.
21
Bagi saya, sudah saatnya umat Islam menghentikan mereka dalam menyiarkan agama mereka.
22
Kalau punya uang, saya tidak berkeberatan bila harus meminjami mereka yang memerlukan.
23
Tidak masalah bagi saya jika mereka mendirikan tempat ibadah yang sangat megah di daerah saya.
24
Saya kecewa jika melihat teman saya seagama bergaul akrab dengan mereka.
25
Tidak masalah bagi saya jika mereka mendirikan lembaga pendidikan Kristen di daerah saya.
SS
S
TS
STS
99
LAMPIRAN II Lampiran II A: Uji Validitas Skala Fundamentalisme Agama Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items .823
18 Item-Total Statistics Corrected
Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance
Item-Total
Alpha if Item
Item Deleted
Correlation
Deleted
if Item Deleted
Aitem_1
75.1895
197.725
.372
.816
Aitem_2
75.4234
194.439
.415
.814
Aitem_3
76.1976
198.880
.338
.818
Aitem_10
76.3831
193.978
.387
.816
Aitem_12
76.3831
197.152
.362
.817
Aitem_14
75.1089
196.324
.390
.815
Aitem_15
74.8427
196.570
.466
.812
Aitem_17
76.2823
192.382
.363
.818
Aitem_18
75.9677
192.436
.403
.815
Aitem_20
76.3790
194.309
.437
.813
Aitem_21
76.6694
191.259
.435
.813
Aitem_25
77.0484
192.840
.351
.818
Aitem_27
76.1371
193.163
.426
.813
Aitem_32
77.3065
187.274
.480
.810
100
Aitem_33
76.4113
191.895
.399
.815
Aitem_34
76.4395
198.733
.377
.816
Aitem_37
75.5605
194.304
.482
.811
Aitem_39
76.8952
182.232
.529
.807
101
Lampiran II B: Uji Validitas Skala Kontrol diri
Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items .843
15
Item-Total Statistics Corrected
Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance Item-Total Alpha if Item Item Deleted
if Item Deleted Correlation
Deleted
ITEM_19
47.1398
26.382
.435
.836
ITEM_23
47.1720
26.166
.619
.826
ITEM_25
46.9355
26.409
.519
.831
ITEM_26
47.1398
27.295
.348
.841
ITEM_27
47.0753
26.223
.532
.830
ITEM_28
47.5054
27.644
.323
.842
ITEM_29
46.9570
26.411
.457
.835
ITEM_32
46.8387
26.680
.481
.833
ITEM_34
47.1290
25.179
.626
.824
ITEM_35
46.9140
26.079
.595
.827
ITEM_36
46.9140
26.253
.587
.828
ITEM_37
46.9570
25.802
.481
.833
ITEM_38
46.9892
26.946
.433
.836
102
ITEM_40
47.1398
26.491
.368
.842
ITEM_42
47.2151
27.692
.320
.842
103
Lampiran II C: Uji validitas Toleransi Terhadap Umat Kristiani Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items .907
22
Item-Total Statistics Corrected
Cronbach's
Scale Mean if Scale Variance Item-Total Alpha if Item Item Deleted
if Item Deleted Correlation
Deleted
Aitem_2
96.3952
324.175
.494
.903
Aitem_3
96.8024
328.556
.428
.905
Aitem_4
98.9194
322.139
.428
.905
Aitem_6
96.9718
317.056
.589
.901
Aitem_8
97.1169
330.695
.355
.906
Aitem_9
98.6048
317.649
.509
.903
Aitem_10
98.7177
308.665
.658
.899
Aitem_11
97.2016
331.579
.352
.906
Aitem_12
96.2500
330.043
.492
.904
Aitem_13
96.6008
323.795
.621
.902
Aitem_14
97.3831
314.140
.532
.903
Aitem_15
97.0444
318.868
.496
.903
Aitem_16
98.9153
318.491
.481
.904
104
Aitem_17
97.2097
315.600
.574
.901
Aitem_18
97.1290
316.761
.572
.902
Aitem_19
97.4395
313.146
.556
.902
Aitem_20
97.0000
319.887
.499
.903
Aitem_21
97.7823
308.535
.616
.900
Aitem_22
96.4194
330.487
.419
.905
Aitem_23
98.6734
308.690
.684
.899
Aitem_24
97.3226
312.584
.609
.901
Aitem_25
98.1331
306.343
.632
.900
105
LAMPIRA III: Skor yang diperoleh subjek pada masingmasing Skala No.Resp.
R-1 R-2 R-3 R-4 R-5 R-6 R-7 R-8 R-9 R-10 R-11 R-12 R-13 R-14 R-15 R-16 R-17 R-18 R-19 R-20 R-21 R-22 R-23 R-24 R-25 R-26
Fundamentalisme 46 48 47 51 61 42 46 46 49 39 49 46 48 40 40 59 50 58 46 50 49 43 70 66 44 50
Kontrol Diri 47 47 45 50 43 53 56 45 47 56 43 50 59 51 57 55 45 45 49 45 59 38 56 55 54 56
Toleransi Agama 58 59 61 55 48 76 65 59 57 61 56 60 56 61 67 46 53 52 57 59 57 59 50 45 49 40 106
R-27 R-28 R-29 R-30 R-31 R-32 R-33 R-34 R-35 R-36 R-37 R-38 R-39 R-40 R-41 R-42 R-43 R-44 R-45 R-46 R-47 R-48 R-49 R-50 R-51 R-52 R-53 R-54 R-55
56 43 65 56 40 55 44 55 43 60 49 50 48 47 48 60 50 46 48 40 35 55 49 51 42 68 54 43 54
55 53 50 43 51 46 45 54 51 55 46 46 46 45 48 50 44 45 58 55 55 45 44 48 44 59 42 51 49
53 60 42 55 51 69 57 54 63 65 60 64 64 64 51 51 57 59 56 76 75 48 64 46 70 48 58 68 54 107
R-56 R-57 R-58 R-59 R-60 R-61 R-62 R-63 R-64 R-65 R-66 R-67 R-68 R-69 R-70 R-71 R-72 R-73 R-74 R-75 R-76 R-77 R-78 R-79 R-80 R-81 R-82 R-83 R-84
51 55 38 56 51 37 38 48 41 46 55 40 36 42 42 46 43 43 40 40 43 39 39 42 58 55 43 55 56
47 45 52 53 57 50 47 48 46 54 47 52 49 47 39 38 55 56 58 51 51 45 54 42 58 60 57 60 51
59 48 74 55 58 60 64 59 53 61 56 65 60 57 58 54 54 52 63 53 50 47 51 53 63 57 55 58 59 108
R-85 R-86 R-87 R-88 R-89 R-90 R-91 R-92 R-93 R-94 R-95 R-96 R-97 R-98 R-99 R-100 R-101 R-102 R-103 R-104 R-105 R-106 R-107 R-108 R-109 R-110 R-111 R-112 R-113
42 37 33 53 48 42 58 41 35 41 43 47 54 41 43 47 43 45 48 53 55 46 41 38 37 55 40 54 41
59 49 57 59 54 57 52 49 56 51 46 54 51 43 42 49 54 45 44 53 53 49 44 44 43 48 43 48 60
76 58 52 60 61 56 58 67 54 63 68 48 56 60 64 60 72 51 65 49 43 60 60 59 58 55 61 54 82 109
R-114 R-115 R-116 R-117 R-118 R-119 R-120 R-121 R-122 R-123 R-124 R-125 R-126 R-127 R-128 R-129 R-130 R-131 R-132 R-133 R-134 R-135 R-136 R-137 R-138 R-139 R-140 R-141 R-142
40 54 53 52 54 59 54 56 56 59 40 50 50 49 47 49 48 47 52 57 47 52 54 49 52 50 53 41 43
52 48 47 49 46 46 49 50 51 58 46 51 45 44 46 47 53 42 57 49 57 41 38 39 38 37 39 50 54
67 46 58 47 56 57 51 60 51 57 55 57 52 58 63 58 52 59 54 50 53 54 62 59 68 59 62 60 64 110
R-143 R-144 R-145 R-146 R-147 R-148 R-149 R-150 R-151 R-152 R-153 R-154 R-155 R-156 R-157 R-158 R-159 R-160 R-161 R-162 R-163 R-164 R-165 R-166 R-167 R-168 R-169 R-170 R-171
44 43 49 44 45 43 46 41 49 48 50 52 56 40 58 46 41 44 53 42 57 49 48 42 41 46 48 44 51
55 47 52 55 50 47 48 42 50 41 43 45 43 48 47 54 51 43 49 39 42 41 47 45 46 52 46 45 48
70 58 66 76 63 55 55 53 59 54 56 47 40 55 49 56 53 51 54 51 40 54 57 53 54 64 53 49 51 111
R-172 R-173 R-174 R-175 R-176 R-177 R-178 R-179 R-180 R-181 R-182 R-183 R-184 R-185 R-186 R-187 R-188 R-189 R-190 R-191 R-192 R-193 R-194 R-195 R-196 R-197 R-198 R-199 R-200
46 45 47 44 45 49 47 47 46 46 49 46 55 41 56 53 57 59 48 47 44 38 52 54 42 43 55 52 56
38 54 48 40 41 48 48 49 52 44 50 45 49 51 51 56 54 49 59 45 46 57 43 55 39 46 49 51 55
57 56 62 49 53 50 64 55 56 55 61 64 53 55 45 57 47 47 50 57 61 53 62 58 59 66 51 53 42 112
113