Laporan Penelitian Individual KONSEP MARTABAT TUJUH
Haji Hasan Mustapa
Oleh: Wiwi Siti Sajaroh
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2013 M
DAFTAR ISI A.
I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Perumusan Masalah C. Metode Pembahasan D. Tujuan Penelitian E.
Landasan Teori dan Kerangka konseptual
F.
Kajian Penelitian Sebelumnya
G. Sistematika Pembahasan II.
MELACAK AKAR SEJARAH TEORI MARTABAT TUJUH A. Al-Tuhfah al-Mursalah karya al-Burhanpuri: Sumber Awal B.
III.
Konsep-konsep Utama dalam Doktrin Martabat Tujuh
BIOGRAFI HAJI HASAN MUSTAPA a.
Perjalanan pendidikan Haji Hasan Mustapa
b.
Hasan Mustapa Sang Penyair dari Priangan
IV. AJARAN TASAWUF HAJI HASAN MUSTAPA A.
Ajaran Ma’rifat, sebagai Tonggak Ajaran Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa
B.
Doktrin Martabat Tujuh dalam Ajaran Haji Hasan Mustapa: “Elmu Kama’ripatan Ka Allah Ta’ala”
V. PENUTUP
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Salah satu ilmu yang berkembang pesat dalam khazanah ilmu keislaman adalah ilmu tasawuf. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari bagaimana menjalin hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, dan manusia dg mahkluk lainnya. Intisari dari ajaran tasawuf ini adalah terwujudnya komunikasi antara manusia dengan Tuhan yang besifat ruhaniyah. Tasawuf atau sufisme adalah istilah khusus bagi mistisisme dalam Islam.Tujuannya adalah untuk memperoleh hubungan langsung dan lebih dekat dengan Tuhan, sehingga seseorang merasakan benar bahwa dirinya sedang berada di depan-Nya. Intisari tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia-Tuhan denganjalan mengasingkan diri dan berkontemplasi. 1Ada dua aliran tasawuf dalam Islam. 2Pertama, aliran tasawuf amali (praktis, lahiriyah maupun batiniyah), dimana para penganutnya selalu memagari tasawuf dengan timbangan syariat yang berlandaskan al-Quran dan al-Sunah, serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah dengan keduanya. Kedua, aliran tasawuf falsafi (teoritis), yakni tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini lahir akibat persentuhan tasawuf dengan filsafat. Karenanya maka 1
Harun Nasution, Falsafat clan Mystisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, , 1973). h.56. Hal ini sejalan dengan adanya pembagian dua tipe mistik utama oleh para ahIi, yaitu pertama, mistik ketakterhinggaan (mysticism of infinity), yang memandang Tuhan sebagai realitas yang absolute dan tak terhingga. Manusia dipandang bersumber dari Tuhan (emanasi) dan dapat mencapai penghayatan kesatuan kembali denganNya. Tipe mistik ini seringkali mendapat serangan cukup sengit karena dianggap menghasilkan faham pantheisme dan monisme. Tipe mistik kedua menekankan aspek personal bagi manusia dan Tuhan. Pada tipe kedua ini, hubungan manusia dan Tuhan dilukiskan sebagai hubungan antara kawula dengan tuannya, antara makhluk dengan Penciptanya atau antara si pernabuk cinta dengan kekasihnya. Tipe ini juga berdasar pada konsep creatio ex nihilo. (Iihat Annemarie Schimmel, Dimensi Mtstik dalam Islam, terj. Supardi Djoko Damono dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986) h. 3 2
dalam pengungkapannya menggunakan terminologi filosofis yang berasal dari bermacammacam ajaran filsafat, yang telah mempengaruhi para tokohnya. Dua tipe mistik ini sejalan dengan pendapat para ahli , yaitu, pertama mistik ketakterhinggaan (mysticism of infinity), yang memandang Tuhan sebagai realitas yang absolute dan tak terhingga. Manusia dipandang bersumber dari Tuhan (emanasi) dan dapat mencapai penghayatan kesatuan kembali dengan-Nya. Tipe mistik ini seringkali mendapat serangan cukup sengit karena dianggap menghasilkan faham pantheisme dan monism. Tipe mistik kedua menekankan aspek personal bagi manusia dan Tuhan. Pada tipe kedua ini, hubungan manusia dan Tuhan dilukiskan sebagai hubngan antara kawula dengan tuannnya, anatara makhluk dengan Penciptanya atau antara si pemabuk cinta dengan kekasihnya. Tipe inipun berdasar pada konsep Creatio ex nihilo.
3
Walaupun demikian keorisinilannya sebagai tasawuf tetap tidak
hilang, karena para tokohnya –meski mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan berbeda--mereka tetap berusaha menjaga kemandirian ajarannya, dan terminologi ajaran-ajaran filsafat yang dipakai disesuaikan dengan ajaran tasawufyang mereka anut. 4 Ciri umum tasawuf falsafi ini ialah kesamaran-keajarannya, akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mendalami. Pada masa-masa permulaan, perkembangan pemikiran tasawuf di Indonesia diwamai dengan corak tasawuf falsafi, yang dapat dikategorikan sebagai tipe mistik ketakterhinggaan. Mistik model ini sangat identik dengan faham Wahddt al-Wujud atau Wujudiyah yang merupakan pengembangan dari teori Tajalliat Ibnu Arabi. Pada abad 17, khususnya di aceh, doktrin wujudiyah ini pemah menjadi bahan perdebatan di kalangan para ulama. Selain karena 3
Ibid, Schimmel, h. 3
4
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Raft Usrnani(Bandung: PustakaFirdaus, 1985) h. 187.
adanya faktor sosial politik yang mempengaruhi masing-masing pihak yang berselisih, kontroversi seputar doktrin wujudiyah ini juga diakibatkan adanya perbedaan dalam penafsiran doktrin tersebut. Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia dalam sejarah tercatat memiliki mata rantai yang cukup panjang dan melibatkan kompleksitas hubungan yang sangat rumit antara penuntut ilmu dari Nusantara dengan banyak ulama Timur Tengah. Hal ini terbukti dari proses perjalanan dan penyebaran Islam di Nusantara sejak awal kedatangannya yang memakan waktu cukup lama, hingga akhir abad ke 18. 5 Sejak awal abad ke-16 dan mencapai puncaknya abad ke-17, merupakan periode paling penting dalam proses pembentukan tradisi pemikiran Islam. Ketika itu perdagangan internasional semakin luas, seiring dengan fakta kejayaan beberapa kerajaan di Nusantara, antara lain: Aceh, Mataram, Banten, Makassar / Gowa-Tallo dan Ternate. Pada masa itu, landasan tradisi intelektual dan politik diletakkan. Tampak upaya salin-menyalin kitab, penyebaran ide-ide keagamaan antar kerajaan yang direkam oleh historiografi tradisional. Pada masa itu pula terlihat penciptaan komunitas kognitif Islam sebagai tema utama yang disusul dengan munculnya suasana kosmopolitan. Dalam suasana seperti itu maka muncul perenungan pribadi tentang hubungan manusia sebagai makhluk dengan sang Maha Pencipta. Dalam konteks inilah muncul Aceh sebagai “pusat penghasil” pemikiran cemerlang dalam sejarah pemikiran Islam di Asia Tenggara. Dalam abad ke-17, perkembangan kerajaan-kerajaan di Nusantara, memperlihatkan kecenderungan pandangan sufistik. Paham ini menggambarkan hubungan yang diikat oleh 5
Kajian mendalam tentang hubungan antara penuntut ilmu dari Nusantara dengan ulama TimurTengah serta dampak yang ditimbulkan terhadap perkembangan pemikiran keagamaan ini telah dikupas secara mendalam dan komprehensif oleh Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara A bad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994).
tali kasih, antara “hamba” dan “tuan” antara “raja” dan “rakyat”. Landasannya adalah mengenai keharusan keharmonisan dan kesatuan semesta. Maka dirumuskanlah pemikiran makhluk terhadap Khalik. Dalam konteks itulah Hamzah al-Fansuri menyusun pemikiran sufistik dengan sistematika kosmogoni “martabat tujuh” sebagaimana yang ditulis Muhammad ibn Fad al-Burhanpuri (1590). Hamzah Fanzuri dan Syams-ad-Din AlSumatrani, memainkan peran besar dan penting dalam membentuk pemikiran dan praktik keagamaan kaum Muslim di Melayu-Indonesia. Meskipun tidak banyak diketahui menyangkut kehidupannya, Hamzah seorang Melayu yang berasal dari Fansur (Barus), pusat pengetahuan Islam di Aceh Barat Daya, hidup dalam masa sebelum dan selama pemerintahan Sultan Aceh bernama ‘Ala‘ Al-Din Ri‘ayat Syah, berkuasa tahun 1589-1602 (Azra 1994: 166). Syam ad-Din adalah murid Ham zah. Mereka pendukung terkemuka penafsiran mistiko-filosofis wahdat al-wujud dari tasawuf (Azra 1994: 168). Interaksi yang terjadi antara kaum muslimin dari kedua wilayah ini pada awalnya lebih berbentuk hubungan ekonomi, disusul kemudian hubungan politik, untuk selanjutnya hubungan intelektual keagamaan.Tasawuf merupakan tema keagamaan yang cukup dominan dan sangat akrab dalam wacana keislaman di Indonesia. Hal ini dikarenakan Islam datang ke bumi Nusantara sejak abad 13 diperkenalkan oleh guru-guru pengembara yang belakangan banyak menghasilkan karya-karya tertulis--karakteristik sufi yang kental. 6 Tokoh terkenal penganut faham wujudiyah ini adalah Syekh Harnzah Fansuri dan muridnya Syekh Syamsuddin Sumatrani. 7 Mereka masing-masing telah banyak mengupas tentang Wahdat al-Wujud, diantaranya: "Ruba'i Harnzah Fansuri". Kitab ini disarahkan oleh 6
Ibid, h. 33
7
Ia berasal dari Samudra Pasai, lahir di sana pada penghujung abad VI darti keluarga ulama. Guru utamanya Syekh Hamzah fansuri. Ia juga pernah belajar pada pangeran Bonang. Lihat Hawash Abdullah. Perkembangan Tasawuf dan Tokohnya di Nusantara.(Surabaya: Al-Ikhlas, 1980) .h. 34
muridnya, Syekh Syamsuddin Sumatrani dengan nama "Syarah Ruba'i Fansuri". Doktrin Wahdat al-Wujud ini terpusat pada ajaran tentang penciptaan alam dan manusia melalui penampakan Diri Tuhan dalam tujuh martabat. Konsep ini kemudian dikenal dengan teori Martabat Tujuh yang terdiri dari Ahadiyah, Wahdah, Wahidiyah, Alam Mitsal.. Alam Arwah, Alam Ajsam, dan lnsan Kamil. Sistematilka Martabat Tujuh ini ide dasarnya berasal dari Muhammad ibn Radhullah al-Burhanpuri' 8yang telah menyusun buku kecil (tidak lebih dari sembilan halaman) mengenai emanasi yang terdiri dari tujuh martabat. Buku keeil ini kemudian dikenal dengan "Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi'' yang disusun pada tahun 1590, yang kemudian dibawa ke kepulauan Indonesia. Salah seorang tokoh tasawuf yang ikut serta mengembangkan konsep Martabat Tujuh di Nusantara, khususnya di Jawa Barat adalah Haji Hasan Mustapa. Beliau dilahirkan di kota Garut, Jawa Barat, 1268 H/3 Juni 1852 M – Bandung, 1348 H/13 Januari 1930. Selain dikenal sebagai seorang sufi, beliu dikenal juga sebagai seorang ulama dan pujangga Islam yang banyak menulis masalah agama dan tasawuf dalam bentuk guritan (puisi yang berirama dalam bahasa Sunda). Beliau pernah menjadi kepala penghulu di Aceh pada zaman Hindia Belanda. Haji Hasan Mustafa lahir dan hidup dalam lingkungan menak (bangsawan sunda), namun keluarga yang mengutamakan akan pentingnya pendidikan agama, sehingga ayahnya waktu itu mengirim Haji hasan Mustafa bukan ke bangku sekolah, melainkan mengirimkannya ke pesantren. Beliau belajar agama mulai dari mengajar ngaji kepada orang
8
Seorang sarjana keturunan Arab, dilahirkan di Arab, dilahirkan di ranir,terletak dekat Surat diGujarat. Tidak diketahui tahun kelahirannya. Mula-mula belajar agama di Gujarat, melanjutkan ke tarim (Arab Selatan) sebagai pusat studi ilmu agama pada tahun 1030 H. (1621 M). iajuga seorang Syekh tarekat Rifaiyyah. (lihat Dr. Ahmad Daudy, Allah dan Manusia. (Jakarta: CV.Rajawali, 1983 h. 360. Ia tiba di Aceh pada 6 Muharram 1047H (31 Mei 1637 M) pada masa Sultan Iskandar Tsani
tuanya, belajar Qira’ah pada seorang ulama Garut, kemudian dikirim ke pesantren, sampai belajar Bahasa arab di Makkah ketika ikut Ibdah Haji dengan ayahnya. 9 Salah satu keistimewaan Haji Hasan Mustapa dalam mengajarkan Tasawufnya adalah ajaran Islam melalui karya-karya seninya yang sangat berlainan dengan karya-karya seni Sunda pada masa itu. Sekitar tahun 1900 ia menulis lebih dari 10.000 bait dangding yang mutunya dianggap sangat tinggi oleh para pengeritik sastra Sunda. Karya tersebut umumnya membahas masalah suluk, terutama membahas hubungan antara hamba (kaula) dengan Tuhan (Gusti). Diantara karya-karyanya yang besar itu, beliau menjelaskan tentang konsep Martabat Tujuh.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, penulis ingin menelliti dan mengetahui secara mendalam bagaimana ajaran Martabat Tujuh yang dianut oleh Haji Hasan Mustapa. Selain itu penulis akan melihat lebih jauh, apakah konsep Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa ada perbedaan atau persamaan dengan tokoh-sufi yang lainnya dalam menjelaskan konsep Martabat Tujuh. Jika ada perbedaan, apa yang mempengaruhinya.
C. Metode Pembahasan Penelitian ini menggunakan studi Kepustakaan. Sumber utama yang menjadi kajiannya adalah 2(dua) naskah konsep martabat Tujuh yang ditulis oleh Haji Hasan Mustapa. Naskah yang pertama berjudul “Adji Wiwitan Martabat Tujuh, Undak-undukna Manusa”. Kedua, naskah tanpa judul, tapi isi naskah tersebut menjelaskan tentang ajaran
9
Ki Santri, Haji Hasan Mustafa, 1 Pébruari 2008, diunduh tanggal 25 maret 2013 jam 11.00
Tasawuf Haji Hasan Mustapa, yang disalin ulang pada Bulan Desember 1990 Masehi, yang juga penyalinnya tidak mencantumkan nama. Naskah-naskah tersebut akan dikaji dan diteliti dengan menggunakan kajian filologi, sejarah, atau yang lainnya. Peneliti akan melihat setiap naskahdengan detail, baik dari sistematika isi naskah, simbol-simbol yang digunakan, tema yang dimunculkan, dan term/nama yang digunakan. Selain itu peneliti akan mencoba untuk mengungkap kekhasan martabat tujuh Haji Hasan Mustapa, yang terdapat dalam dua sumber tersebut, yang diperkirakan ada pengaruh budaya, sosial pada isi naskah tersebut. Selain itu peneliti juga menggunakan data skunder seperti buku, laporan, artikel, kamus, dan ensiklopedi yang ada relevansinya dengan pembahasan ini. Data-data tersebut dipahami dan dianalisis secara sistimatis dan komprehensif serta memadukannya dengan konsep-konsep atau teori tasawuf lainnya, kemudian disimpulkan sehingga makna dari data-data tersebut bisa ditemukan.
D. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui secara mendalam
konsep Martabat Tujuh yang dianut oleh Haji
Hasan Mustapa 2. Untuk menelusuri secara historis bagaimana teori martabat tujuh diterima oleh Haji Hasan Mustapa
E. Landasan Teori dan Kerangka konseptual Menurut bahasa, martabat tujuh berarti tujuh tingkatan atau tahapan. Sedangkan menurut istilah , martabat tujuh merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan tentang terjadinya alam
semesta dalam kerangka sistem emanasi.Teori tersebut walaupun
dikemukakan dalam berbagai bentuk dan versi, namun semuanya besifat monistik dan didasarkan pada pandangnan dunia yang sama, yaitu bahwa dunia yang nampak ini mengalir dari Yang Tunggal. Dunia yang nampak memperlihatkan dunia yang tidak nampak, tak terpisahkan dan terikat padanya, serta manunggal dalam Ada . 10 Teori martabat tujuh ini adalah bentuk lain dari faham wahdat al-wujud yang merupakan corak tasawuf pertama yang banyak dianut dan berkembang di Nusantara sekitar abad XVII M. Oleh karenanya martabat tujuh ini juga bisa diartikan sebagai satu wujud dengan tujuh martabatnya.
F. Kajian Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang Haji Hasan Mustapa sudah dilakukan oleh Jajang Jahroni dalam tesisnya, dengan judul "Haji Hasan Mustapa (1852-1930) as The Great Sundanese Mystic" (Haji Hasan Mustapa (1852-1930) Seorang Sufi Besar Sunda), sebuah penelitian tentang karakteristik dan tipologi pemikiran tasawuf K.H. Hasan Mustapa sebagai salah seorang tokoh sufi Sunda. Tulisan ini merupakan tugas akhir studinya di Belanda untuk mendapat gelar M.A. Jajang adalah seorang Dosen Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jajang menjelaskan bahwa Haji Hasan Mustapa telah berhasil merelasikan antara tradisi mistik lokal Jawa-Sunda dan tradisi tasawuf klasik Islam. Hal tersebut, katanya, tampak dalam membandingkan antara term-term kosmologi Jawa-Sunda baik dalam mitologi maupun pewayangan dengan term-term yang dikenal dalamtasawuf.Naskah Martabat Tujuhnya Haji Hasan Mustapa menjelaskan fase lanjutan dari fase-fase yang dilalui dalam Gelaran Sasaka di Kaislaman. Suatu fase puncak dalam sikap dan cara pandang keagamaan yang
10
Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Suatu Studi Filsafat,( Jakarta: Gramedia, 1991) h. 115-127.
berakhir pada maqomat Insan Kamil. Maqom yang tidak lagi melihat perbedaan dan pertentangan dalam kehidupan di dunia sebagai kenyataan hakikiah. Perbedaan yang paling menonjol dari tesis Jajang Jahroni dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah, Jajang Jahroni menyoroti ajaran Haji Hasan Mustopa dalam ajaran Tasawuf secara umum, sedangakan yang akan peneliti lakukan dalam penelitian ini adalah mengupas dengan detail dan mendalam khusus tentang ajaran Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa. Selain itu ada penelitian yang berjudul “Kinanti (Tutur Teu Kacatur Batur): Tasawuf Alam Kesundaan Haji Hasan Mustapa (1852-1930)”. Penelitian ini memfokuskan pada aspek nuansa alam kesundaan yang menjadi wadah tasawuf Haji Hasan Mustapa. Meski dalam beberapa kajian nama Hasan Mustapa sudah mulai dikenal, namun nuansa lokal Sunda sebagai wadah interpretasi tasawufnya belum banyak dieksplorasi. Sementara penelitian lain yang sama-sama mengkaji tokoh Haji Hasan Mustapa, seperti Kajian Abas (1976), dan Gibson (2005) misalnya, cenderung melihat sisi pemikiran tasawuf Haji Hasan Mustapa dihubungkan dengan genealogi tasawuf yang mempengaruhinya.
G. Sistematika Pembahasan Laporan Penelitian ini terdiri dari lima Bab. Bab Pertama adalah Pendahuluan, yang akan menjelasakan latar belakang mengapa penelitian ini dilaksanakan, dengan mengemukakan rumusan masalah, metode pembahasan dan tujuan dari penelitian ini. Selain itu pada bab pertama ini, juga dijelaskan tentang landasan teori dan kerangka konseptual dari penelitian ini, dan memunculkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan oleh bebrapa peneliti yang mempunyai tema yang bersinggungan dengan penelitian ini.
Bab kedua hasil
penellitian ini menelusuri akar sejarah dari kemunculan teori
martabat tujuh, dengan mengemukakan tokoh yang pertama kali membawa teori martabat tyujuh ini masuk ke Nusantara kemudian diikuti dan disebarkan oleh tokoh-tokoh tasawuf di Nusantara, mulai dari Syamsuddin Sumatrani, Abdul Rauf al-Sinkili, dan masuk ke tataran Pulau Jawa dikembangkan oleh seorang tokoh tasawuf terkenal yaitu Syaikh Abdul Muhyi. Pada Bab ketiga, mengupas
biografi Haji Hasan Mustapa. Bab ini mengupas
perjalanan hidup dan pendidikannya, orang-orang yang berada di sekelilingnya, maupun perjalan spiritualnya. Pada Bab keempat yang merupakan inti dari penelitian ini, bicara tentang konsep martabat tujuh Haji Hasan Mustapa. Yang berbeda darri martabat tujuhnya Haji Hasan Mustapa ini diantaranya adalah konsep ajaran tasawufnya yang dikemas dalam bentuk syairsyair berbahasa sunda, yang sangat kental dengan nilai-nilai budaya lokal kesundaan. Hal ini yang dimungkinkan, penyebab diterimanya konsep martabat tujuh oleh berbagai kalangan masyarakat sunda pada masa itu. Bab kelima merupakan bab terakhir yang menutup seluruh rangkain dari pernelitian, dengan memeberikan kesimpulan dari hasil penelitian ini .
BAB II MELACAK AKAR SEJARAH TEORI MARTABAT TUJUH DI TATAR SUNDA
A. Al-Tuhfah al-Mursalah karya al-Burhanpuri: Sumber Awal Sistematika martabat
tujuh
berasal dari
Muhammad
Ibnu
Fadlillah al
Burhanpuri 11(w. 1620) yang telah menyusun sebuah buku kecil (dalam ukuran separoh kwarto dan tidak
lebih dari dari sembilan halaman) megenai emanasi menurut
tujuh
martabat. Buku kecil yang kemudian dikenal dengan Tuhfah al-Mursalah
ila ruh al-nabi
“Persembahan kepada jiwa nabi” tersebut telah disusun pada tahun 1590. 12
Tuhfa adalah
karya yang ringkas, hampir semacam kumpulan dari aphorisme. Burhanpuri menyebutnya dengan nubdha, ringkasan atau ikhtisar ajaran-ajaran sufi sehingga bersifat eklektis. Landasan ajaran Tuhfa adalah bahwa Tuhan merupakan Wujud (being) dan wujud itu mengalir ke dunia kasat mata melalui tahapan emanasi namun tanpa melibatkan perubahan dalam proses tersebut. Tahapan pertama adalah ketersembunyian Tuhan (Ahadiya) dan enam tahapan berikutnya yang mengalir darinya adalah Wahda, Wahidiyya, Alam Arwah, (dunia Jiwa), alam al-mitsal (dunia ide), alam al-jism(dunia tubuh), dan alam al-insan kamil (dunia manusia sempurna).
Wahda dan Wahidiyya bersama-sama Ahadiya membentuk tiga
serangkai primer seperti dalam pemikiran plotinus dan tidak melibatkan manifestasi luaran (eksterior). Sedangkan empat tahapan lainnya dikelompokkan
sebagai
wujud luaran
11
Sedikit sekali informasi mengenai dirinya selain ia telah menulis Tuhfa dan syarhnya yang diberi judul “al-hakika al-muwafika li al-syari’a . Karyanya ini menunjukkan suatu usaha di kalangan tradsisi sufi ortodoks untuk menahan kecenderungan ekstrim beberapa kelompok mistik India. Selain itu karya ini bertuijuan untuk menjamin pemahaman dan praktek yang benar akan elemen-elemen ajaran Islam. (lihat A.H.Johns, The Gift Addressed To The Spirit of The Prophet , (Canberra: The Australian National University, 1965) h.5 12
Karel A. Steanbrink,. Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat. Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia.(Jogjakarta, IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 180-182.
(eksterior). Manusia merupakan tahapan final dalam proses itu dan dapat mencapai kesempurnaan ketika pengetahuan yang ada pada dirinya telah mencapai pengetahuan Tuhan dan memahami dari mana
berasal dan kemana akan kembali, sehingga ia hidup sesuai
ajaran syari’at. Manusia merupakan mikrokosmos dan terdiri dari lima tingkatan emanasi di atasnya dan rtitik balik dimana pemikiran Tuhan yang telah melewati berbagai tahapan tersebut kembali kepada keabsolutan diri-nya. Simpul-simpul ajaran ini adalah (a) Tuhan merupakan sumber segala sesuatu (b) tidak ada sesuatupun selain Tuhan yang mewujud sendiri (c) benda-benda individual yang saling dibedakan (mufassal) antara satu dengan lainnya tidak dapat disejajarkan dengan Tuhan, meskipun sebelum adanya penciptaan mereka menyatu di dalam-Nya. Maka harus dicatat bahwa hal ini tidak
tidak berlawanan dengan
doktrin Kesatuan Wuijud (unity of Being) yang menjadi elemen pokok pemikiran sufi, tetapi menolak seluruh kecenderungan antinomian dan ekstrim. 13 Ajaran al-Burhanpuri dimungkinkan
yang tertuang dalam karyanya
telah dikenal di Indonesia semasa
ia
Tuhfa al-Mursalah ini,
masih hidup. Drewes telah
menunjukkan bahwa Ibrahim al-Kurani (w.1689) telah menyusun komentar terhadap karya tersebut bagi muslim Indonesia atas permintaan Ahmad al-Kushashi, gurunya di Madinah, gumna memberikan pemahaman yang benar terhadap karya ini. Karena al-Kushashi wafat tahun 1661, maka komentar itu kemungkinan besar ditulis sebelum itu itu meski tidak dikenal secara pasti. Namun penggunaan komentar karya ini mensyaratkan pengetahuan terhadapnya
terlebih dulu
sehingga dugaan bahwa Tuhfa (ditulis sekitar 1590) telah
dikenal di Indonesia sekitar tahun 1619 atau sebelum itu jelas tidak memaksakan fakta. 14
13
A.H Johns, op-cit h.6
14
Ibid, h. 8
Terdapat empat orang pengarang muslim utama yang karyanya kita kenal dandianggap mendapat pengaruh dari al-Burhanpuri. Mereka menulis dalam bahasa Melayu dan merka hidup pada kurun abad ke-17. Tiga diantaranya adalah orang Sumatra dan yang keempat dari Gujarat, yakni al-Raniri. Meskipun terbilang orang asing, al-Raniri, dapat menulis menggunakan bahasa Melayu dengan baik. Adapun tiga orang Sumatra itu ialah Shamsu alDin Pasai, Abdul Rauf Singkel, dan Hamzah Fansuri. Shamsu al-Din wafat tahun 1630 tapi tahun kelahirannya tidak diketahui. Abdul Rauf Singkel lahir sekitar tahun 1617 dan wafat sekitar tahun 1690. Sedangkan Hamzah Fansuri tidak diketahui lahir dan wafatnya namun sepertinya ia hidup dan menulis beberapa tahun sebelum Shamsu al-Din. Dari keempat orang tersebut Hamzah dan Shams al-din dianggap mewakili kelompok sufi heterodoks berdasarkan paham panteisme mereka. Sementara al-Raniri dan Abdul Rauf Singkel termasuk kelompok ortodoks. Al-Raniri mencapai kemasyhurannya ketika menjabat hakim di pemerintahan Iskandar Tsani, penguasa Aceh 1636-1641 yang menjatuhkan hukuman terhadap mereka yang dituduh musyrik dan membakar karya-karya Hamzah sehingga beberapa orang pengikutnya dihukum. Hamzah fansuri, al-Raniry, Shamsu al-Din, dan Abdul Rauf Singkel telah menggunakan Tuhfa dalam karya-karya mereka dan memakai pemikiran mengenai tujuh tingkatan wujud. 15 Shams al-Din menggunakannya dalam beberapa karyanya sehingga hal ini membuktikan bahwa Tuhfa telah dikenal di Aceh sebelum tahun 1630. Secara ekstensif al-Raniri juga mengutip Tuhfa dalam beberapa karyanya. Dan juga Abdul Rauf Singkel yang karyakaryanya ditulis antara tahun 1661sampai 1686 menggunakan terminologi dari Tuhfa yang ia duga para muridnya telah akrab dengan pemikiran itu dengan sistem yang berbeda. Secara 15
Walaupun sistematika, ketujuh alam tersebut yang mereka pakai tidak persis sama dengan pencetus utamanya, yaitu al-Burhanpuri
khusus Hamzah penting untuk dicatat karena ia menggunakan sistem pemikiran yang sangat dekat dengan sistem pemikiran al-Jilli yang pada beberapa segi hal ini menunjukkan beberapa titik temu dengan Ibn Fadlillah dan karyanya. Meskipun tahun 1630 adalah tahun paling akhir bagi pengenalan Tuhfa di Sumatra Utara, namun beberapa tahun sebelumnya ia telah dikenal. Ia mulai dikenal setelah satu tahun musim haji sesudah karya ini ditulis karena Gujarat dan pelabuhan dagangnya seperti Surat dapat ditempuh sekitar satu atau dua bulan perjalanan dari Aceh. Akan lebih sulit untuk mengetahui kapan Tuhfa mulai dikenal di Jawa. Karena tidak terdapat jejak yang ditemukan pada dua karya muslim paling awal di Jawa yakni: Het Boek van Bonang (kitab undangundang Bonang) dan Een Javaansche Primbon uit de zeitiende eeuw (kitab primbon Jawa). Demikian pula tidak ditemukan bagian dari Tuhfa dalam ajaran-ajaran para Wali Songo yang menurut tradisi merupakan para penyebar Islam pertama di Jawa. Namun terdapat alasan yang kuat untuk menduga bahwa Abdul Rauf Singkel memainkan peran yang penting dalam menyebarkannya di Jawa. Pertama, ia menghabiskan masa sekitar 19 tahun di Mekkah dimana saat itu Mekkah sendiri banyak dipengaruhi oleh pemikiran mistik muslim India.Artinya, Abdul Rauf mungkin telah memiliki akses terhadap Tuhfa dan menjadikannya sebagai dasar pengajarannya sendiri di sana. Kedua, ia dikenal sangat dekat dengan dua orang khalifah Tareqat Syattariyah yakni Ahmad Qusyasyi dan Mulla Ibrahim al-Kurani. Dari Ibrahim sendiri ia mendapatkan ijin untuk medirikan tareqat ini ketika ia kembali ke Sumatra pada tahun 1661. Selain itu, ia telah mencapai kedudukan yang tinggi di Mekkah dan menjadi guru bagi ratusan bahkan ribuan muslim Indonesia yang datang ke sana dari berbagai kepulauan. Sebagian dari mereka bahkan diinisiasi ke dalam Tareqat Syattariyah. Hal inilah yang mungkin menjadi sebab bagi cepatnya perkembangan
tareqat ini di Indonesia sekembalinya Abdul Rauf sekaligus menjadi bukti bahwa Tuhfa sangat dikenal, khusunya di Jawa. Di Aceh sendiri ia mengajar sekitar 30 tahun dan meraih reputasi tinggi sehingga dihormati sebagai “rasul” pertama ke Indonesia. Patut diingat bahwa Aceh merupakan tempat persinggahan bagi para jamaah haji dalam perjalanannya ke Mekkah dan beberapa jamaah asal Jawa sempat bermukim di sana saat pergi maupun kembali dari Tanah Suci. Selain itu, mereka juga mempelajari agama sehingga dapat dipastikan sebagian dari mereka tentu menjalin hubungan bahkan benar-benar belajar dengan Abdul rauf. Karena itu, bukan suatu kebetulan jika sebagian besar interpolasi (penambahan) dalam teks Jawa berupa kutipan dari karya-karya teoritis penting Abdul Rauf atau setidaknya semangat karya itu sangat dekat dengan karyanya. Rinkes memberikan informasi menarik mengenai perkembangan Tareqat Syattariyah yang juga sesuai dengan asumsi kita di atas.Dalam artikelnya Saints of Java (para wali Jawa) ia menyebutkan bahwa Abdul Muhyi (penyebar Islam di wilayah Priangan) telah bertemu dengan Abdul Rauf di Aceh saat ia kembali dari haji dan setelah itu menyebarkan ajaranajaran Syattariyah di Jawa. Dalam hal ini ia diikuti oleh murid utamanya yaitu Bagus Nurdjain dari Cirebon (yang tidak jauh dari Tegal dimana teks Jawa Tuhfa ini ditulis) dan juga anaknya yaitu Bagus Anom (Mas Pekik Ibrahim) dan Haji Abdullah. Maka tidaklah berlebihan untuk menduga bahwa perkembangan Tareqat Syattariyah dan pengenalan terhadap Tuhfa seiring dengan keadaan yang disebut di atas sehingga, secara teoritis, versi Jawa dari Tuhfa telah ada setidaknya sejak 1680. 16
16
Ibid, h.9-12
B. Konsep-konsep Utama dalam Doktrin Martabat Tujuh Menurut bahasa martabat tujuh berarti tujuh tingkatan atau tahapan. Sedangkan menurut istilah, martabat tujuh merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan tentang terjadinya alam semesta dalam kerangka sistem emanasi.Teori tersebut walaupun dikemukakan dalam berbagai bentuk dan versi, namun semuanya besifat monistik dan didasarkan pada pandangnan dunia yang sama, yaitu bahwa dunia yang nampak ini mengalir dari Yang Tunggal. Dunia yang nampak memperlihatkan dunia yang tidak nampak, tak terpisahkan dan terikat padanya, serta manunggal dalam Ada. 17
Teori martabat tujuh ini adalah bentuk lain dari faham wahdat al-wujud yang
merupakan corak tasawuf pertama yang
banyak dianut dan berkembang di Nusantara sekitar abad
XVII M. Oleh karenanya martabat tujuh ini juga bisa diartikan sebagai satu wujud dengan tujuh
martabatnya. Terdapat tujuh tingkatan (martabat) yang tertuang dalam teori Martabat Tujuh AlBurhanpuri. Konsep –konsep uatamanya adalah sbb: 1. Ahadiyya 2. Wahda 3. Wahidiyya 4. Alam al-Arwah 5. Alam al-Mitsal 6. Alam al-Ajsam 7. Insan al-Kamil
17
Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Suatu Studi Filsafat,( Jakarta: Gramedia, 1991) h. 115-127. Lihat juga Tesis, Wiwi Siti Sajartoh, Martabat Tujuh Syaikh Abdul Muhyi, Pascasrjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001
Ajaran al-Burhanpuri yang dijadikan sebagai ladasan munculnya Teori Martabat Tujuh adalah pendapatnya, seperti yang tertuang dalam Tuhfah al-Mursalah 18 sebagai berikut : “Wujud ini memiliki tingkatan-tingkatan yang banyak. Tingkatan pertama adalah Nondeterminasi (al-lata’ayun),Kemutlakan,dan Esensi Murni, tidak dalam pengertian bahwa batasan melekat dalam istilah mutlak, dan implikasi dari non-determinasi melekat pada tingkatan ini. Namun dalam pengertian, bahwa Wujud dalam tingkatan ini terlepas dari determinasi-determinasi dan sifat-sifat serta melampaui setiap batasan bahkan kemutlakan itu sendiri. Tingkatan ini disebut Ahadiyya dan merupakan Esensi Terdalam Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Mulia dan tidak di atasnya tingkatan lain bahkan semua tingkatan lainnya berada di bawahnya. Tingkatan kedua adalah tingkatan Determinasi Pertama (at-ta’ayun al-awaal) yang berarti pengetahuan Tuhan akan DzatNya dan Sifat-Nya serta seluruh yang ada secara umum tanpa pembedaan antara satu dengan yang lain. Tingkatan ini disebut Wahda dan Hakekat Muhammadiyah. Tingkatan ketiga adalah Determinasi Kedua (at-ta’ayun atsani), yakni pengetahuan Tuhan akan Dzat-Nya dan Sifat-Nya serta segala yang ada secara terperinci dengan pembedaan antara satu dengan yang lain. Tingkatan ini disebut Wahdadan Hakekat Insaniyah. Ketiga tingkatan ini seluruhnya bersifat tidak diciptakan (qadim) dan pendahuluan (taqdim) serta pengakhiran (ta’khir) adalah bersifat logis,bukan temporal. Tingkatan keempat adalah tingkatan Alam al-Arwah yang berarti sesuatu yang alami, mandiri, dan sederhana yang memanifestasikan diri pada dirinya sendiri atau ide-ide. Tingkatan kelima adalah tingkatan Alam al-Mitsal yang berarti sesuatu yang alami,tersusun,dan lembut yang tidak 18
teks Arab Tuhfa yang dimuat dalam A.H.Johns, ibid. h. 130
mengalami pembagian,pemisahan,penyisipan,dan penambahan. Tingkatan keenam adalah tingkatan Alam al-Ajsam yang berarti sesuatu yang alami,tersusun,dan padat serta memungkinkan pembagian dan pemisahan. Tingkatan ketujuh ialah Tingkatan yang memadukan seluruh tingkatan yang disebutkan:bendawi dan spiritual;Wahidiyya dan Wahda;dan ia adalah manifestasi dari bagian-bagian akhir dan keadaan-keadaan (ilbas), yaitu Manusia. Demikian ketujuh tingkatan itu. Yang pertama dari ketujuh tingkatan itu adalah nondeterminasi (ladzuhur) dan yang enam lainnya adalah keadaan universal dari manifestasi. Dan yang paling terakhir, yakni manusia, ketika dalam dirinya termanifestasi atau terjadi seluruh tingkatan yang terdahulu dalam bentuk yang tidak tersembunyi, maka hal itu disebut tingkatan Manusia Sempurna (al-Insan al-Kamil). Dan termanifestasi dan terjadinya semua itu secara paripurna adalah pada diri Nabi kita SAW sehingga, karena hal ini, ia menjadi penutup para nabi. Konsep yang ditawarkan oleh al-Burhanpuri tentang Martabat Tujuh ini, banyak diadopsi oleh Syamsussin Sumatrani, sebagaimana tertuang dalam kitabnya Jauhar –alHaqaiq. Jika dibandingkan dengan Hamzah Fansuri sebagai pendahulunya, Syamsuddin berbeda dengan Hamzah. Ia menggunakan istilah lain untuk menguraikan pangkat-pangkat atau martabat pengaliran ke luar Zat Mutlak itu dengan cara yang sistematis. Menurut Syamsuddin (tidak jauh berbeda dengan Burhanpuri dalam pengunaan istilah), pangkatpangkat atau martabat dari pengaliran ke luar Zat yang Mutlak itu adalah : 1.
Ahadiyya, Martabat ini disebut juga dengan istilah la ta’ayyun (tanpa pembeda-bedaan). Di sini Zat yang Mutlak masih berada dalam keadaan yang semula, yaitu masih bebas
dari segala hubungan (belum memiliki hubungan dengan apapun).
Lebih lanjut
Syamsuddin menjelaskan sebagai berikut : “Dan wujud itu pada martabat tanpa penampakan diri, ketidakterbatasan, dan keesaaan semata, suci dari relasi sifat dan dari segala batasan, bahkan juga dari
batasan
ketidakterbatasan. Hakikat-Nya tidak diketahui oleh selain Dia. Perngetahuan tentang wujud pada martabat ini paling sulit untuk dibicarakan, paling rumit untuk dipikirkan, dan paling sukar untuk disebut. Pengetahuan Sang ‘Arif tentang martanvbat itu merujuk kepada penyucian dan pengudusan. 19 Sementara Hamzah menggambarkan Martabat pertama ini--seperti diungkapkan di atas-digambarkan sebagai laut yang tak bergerak. Nama “Allah” yang dipakai oleh Hamzah untuk mencirikan pangkat ini adalah “Huwa”. Mernurut hamzah nama Allah adalah sepangkat lebih rendah dari pada nama “Huwa”, tetapi Zat adalah lebih tinggi dari pada nama “Huwa”. Jika berbicara tentang Zat maka Zat itu dibicarakan secara objektif, tetapi jika berbicara tentang “Huwa”, di sini Zat yang Mutlak dilihat dari segi penjelmaan. Nama “Allah adalah nama yang konkrit, tetapi nama ”Huwa” itu berada pada taraf Allah masih berada pada Diri-Nya sendiri. Nama “Allah” adalah
nama Yang didalamnya
terdapat pernyataan wahda. 20 2.
Wahda. Syamsuddin berpendapat, bahwa pengetahuan itu sebenarnya sudah ada di dalam pangkat ahadiyya, yang mendahului pangkat wahda ini. Tetapi pada taraf ini yang menilik yang ditilik (‘alim dan ma’lum) masih merupakan daya terpendam, keduanya
19
Lihat Azis Dahlan, Tasawuf Syamsuddin al-Sumatrani, Disertasi, Tidak diterbitkan, 1992, IAIN Jakarta.
20
Hadiwidjono. Op-cit h. 31
h. 71.
masih disimpan di dalam pengetahuan (‘ilm), belum dibeda-bedakan. Pada martabat ini keduanya dibentangkan : Pembentangan ini diibaratkan sebagai
penyinaran cahaya.
Hasil pembentangan itu atau hasil penjelmaan itu adalah model-model pertama dari segala makhluk, yang masih berada secara akali, halus, tak dapat diraba yang disebuit ‘ayan tsabita. Sementara Hamzah menggambarkan martabat kedua ini sebagai gerak ombak dan disebut sebagai pembeda-bedaan yang pertama (ta’ayyun awwal). Pembedabedaan yang pertama ini adalah pangkat dimana yang mengenal(‘alim) menilik DiriNya sendiri, sehingga timbullah hal yang dikenal (ma’lum). Sebutan lain dari martabat wahda ini adalah “cahaya Muhammad” atau relitas Muhammad”(Haqiqat Muhammad). Pengetahuan (‘ilm) yang melihat ma’lumat atau ide adalah relitas Muhammad. Tempat asal Nur Muhammad adalah diantara yang mengenal dan yang dikenal. Di sini kepada Muhammad diberikan tempat diantara Zat yang Mutlak dan dunia. Oleh karena itu
sebagai perantara
dapat dikatakan bahwa Nur
Muhammad bersinar dari pada Zat Allah. Hamzah dan Syamsuddin berpendapat bahwa sifat Allah dijelmakan atau dimunculkan pada nmartabat kedua ini. Oleh karenanya martabat wahda disebut kunhi sifat atau hakekat sifat yang sebenarnya. 21 3. Wahidiyya. Martabat ini disebut juga sebagai ta’ayyun tsani (pembeda-bedaan kedua). Syamsuddin mengemukakan bahwa wahidiyya adalah pangkat rupa yang nyata di dalam cermin, atau gambar yang dipantulkan oleh Zat. Sedangkan Hamzah Fansuri seperti diungkapakan di atas menggambarkan martabat ini dengan asap. Jadi Wahidiyya – menurut Syamsuddin--adalah pembentangan apa yang sudah berada secara terpendam di 21
Ibid, h. 31-37.
dalam Zat. Zat itu mrndapatkan bentuk, sekalipun masih secara akali. Demikian gambaran ketiga martabat pertama , atau
turunnya Zat
yang
Mutlak
ke dalam
pembeda-bedaan yang pertama dan yang kedua. Semuanya itu sebenarnya adalah satu dan kekal., dan satu di dalam eksitensinya. Sedangkan perbedaaannya adalah ahadiyya adalah martabat dimana belum terdapat pembeda-bedaan, wahda adalah pembeda-bedaan yang pertama, dan wahidiyya adalah martabat pembeda-bedaan yang kedua. Sekalipun terdapat perbedaaan semuanya masih tetap satu, dan ketiga penjelmaan ini semuanya masih terjadi di dalam eksistensi ilahi. Ketiganya disebut maratib ilahi (pangkat ilahi). Martabat pertama, kedua, dan ketiga, menurut pengajaran Syamsuddin Sumatrani, seperti dalam pengajaran al-Burhanpuri, adalah sama-sama qadim (dahulu tanpa permulaan atau tanpa didahului oleh tiada). Ini berarti bahwa dari segi waktu keberadaan martabat kedua tidaklah lebih kmudian dari keberadaan martabat kedua. Urutan pertama, kedua, dan ketiga itu tidaklah mengacu urutan waktu (zaman), tetapi mengacu kepada penetapan akal tentang aspek mana yang menjadi dasar bagi aspek yang lain. 22 4. Alam Arwah. Martabat ini merupakan
tajalli Tuhan tahap ketiga yang tidak lagi
berlanghsung dalam diri-Nya, tetapi pada bukan selain diri-Nya (fi ghairihi). Ini berarti ia harus menciptakan alam. Menurutnya, penciptaan alam oleh Tuhan berawal dengan penciptaan makhluk pertama. Makhluk pertama itu adalah nur (cahaya), yang dalam pengajaran Ayamsuddin disebut dengan sejumlah nama, diantaranya: Ruh Muhammad, Nur Muhammad, Akal, al-Qalam al-‘Ala (Pena tertinggi). Selain itu dikemukakan bahwa segenap
alamlainnya diciptakan Tuhan dari Nur Muhammad. Jika Nur Muhammad
berasal dari cahaya , maka segenapa alam lainnya berasal darui Nur Muhammad. 22
Azis Dahlan, Op-cit h. 77
Namun kendatipun segenapa makhluk atau alam itu berasal dari cahaya Tuhan juga, ini tidaklah berarti dengan sendirinya
bahwa senmua makhluk itu sama derajat atau
martabatnya. Menurut Syamsuddin, Nur muhammad adalah makhluk yang paling tinggi martabatnya. Mengenai martabat keempat ini Hamzah memberikan penjelasan; realitas yang terpendam yang di dalam pangkat wahidiyya berkumpul sebagai awan, sekarang mengalir ke luar sebagai roh. Oleh karena itu sebutan yang biasa bagi martabat
ini
adalah “alam arwah”. Selanjutnya ia mengemukakan, Hujan terdiri dari abanyak air. Maka hujan adalah suatu kejamakan, sekalipun demikian hujan adalah suatu kesatuan, karena kejamakan itu berada di dalam kesatuan. Sekalipun titik air itu bisa berbeda-beda besarnya, tetapi semuanya satu, yaitu : hujan. 5. Alam Mitsal. Alam ini merupakan sesuatu yang murakkab (tersusun), lathif (halus), ghair mutajazzi (tidak mengandung bagian-bagian), la muba’adh (tidak dapat dibagi), la mukhraq (tidak bisa dipisah-pisah), la muiltaim (tidak bersatu dengan yang lain, dan masih termasuk alam ghaib, yakni tidak dapat ditangkap panca indra lahir. Jasad-jasad alam mitsal ini tidak seperti jasad-jaad materi yang dapat dicerai-beraikan dan disatukan dengan jasad lain. Alam mitsal ini alam cita atau ide . Alam ini adalah daerah perbatasan alam arwah dan alam segala tubuh. Alam ini tidak terdiri dari benda, sekalipun demikian terdapat dimensi juga. Alam ini bercirikan warna seperti alam impian. 6. Alam Ajsam. Alam ini menurut Syamsuddin mempunyai kriteria sebagai berikut: tubuh yang tebal, tersusun, bisa dibagi-bagi, bisa dipadukan, dan bisa ditangkap dengan indra lahir. Dalam hal ini Syamsuddin tidak menunjukkan apa saja yang termasuk dalam katagori alam empiris ini. Namun dari pengajarannya yang diberikan dapat ditangkap suatu isyarat bahwa yang dimaksud adalah ‘arasy, kursy, surga, neraka, langit, dan bumi.
7. Alam al-Insan. Martabat yang ketujuh ini merupakan pembicaraan yang sangat penting dalam ajaran Martabat Tujuh
Syekh Syamsudin Sumatrani. Alam manusia yang
dikategorikan sebagai martabat ketujuh disebut juga syai al-jami’, yaitu sesuatu yang menghimpun semua martabat. Secara lahiriah manusia memiliki unsur yaitu tanah, air, udara, dan api. Dengan komponen itu ia disebut al-insan a-basyari (manusia lahir). Adapun secara bathiniyah memiliki unsur-unsur wujud, ilm, nur dan syuhud. Dengan ilmu adalah sifat-sifat, dengan nur adalah nama, dan dengan syuhud adalah perbuatan. Dan dengan komponen ini ia disebut al-insan al-haqiqi (manusia haqiqi/sejati). Berkaitan dengan manusia haqiqi ini, Syekh Syamsuddin sumatrani memberikan penjelasan bahwa sebagaimana Tuhan memiliki Dzat, sifat-sifat, nama-nama, dan perbuatan-perbuatan, begitu juga manusia haqiqi yang ruhnya memiliki empat unsur tersebut. Tapi mesti dipahami bahwa semua yang dimiliki manusia itu hanyalah ciptaan, pemberian, atau pinjaman dari Tuhan dan berfungsi sebagai tajalli bagi Tuhan.
23
Untuk lebih mendapat gambaran yang lebih dalam tentang konsep Martabat Tujuh, di sini akan kita lihat sumber akarv teoriny adalah konsep Konsep Wahdat alWujud Ibnu ‘Arabi, kemudian dikembangnkan oleh muridnya sekaligus mantu dari Ibnu ‘Arabi yaitu al-Qunawi (w. 673/1274) 24. Al-Qunawi memberikan penjelasan konsep Wahdat al-Wujud dan sekaligus mengembangkannya dengan teori “Lima Kehadiran Tuhan”.
23
24
Azis Dahlan, op-cit h.
Al-Qunawi adalah salah seorang murid (pengikut) utama Ibnn al-Arabi dan dibandingkan dengan pengikut lainnya ia dikenal sebagai murid yang bertanggungjawab atas sistematisasi ide-ide Ibn Arabi dan menunjukkan keselarasan penting ide-ide tersebut dengan al-Qur’an dan Hadits sehingga menjadikannya lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam secara luas. Ia seorang penulis yang telah menghasilkan hampir 30-an karya yang sebagian besar berbahasa Arab dan beberapa diantaranya berbahasa Persia.(ibid)
Toeri Lima Kehadieran Tuhan tsb, dijelaskan sbb : PertamaKehadiran pengetahuan atau Batin (hadrat al-batin), yang mencajup nama-nama Tuhan, sifatysifat-Nya, dan entitas-entitas abadi. Di hadapan Kehadiran Pertama dalam posisi yang berlawanan, adalah Dunia Persepsi atau Kehadiran Lahir (hadrat al-dhahir). Di antara keduanya adalah Kehadiran Pusat yang mencakup dua sisi yang secara akslusif berkenaan dengan manusia paripurna. Kemudian di sisi kanan dari kehadiran pusat, antara ia dan Ketuhanan Yang Ghaib adalah Kekadiran Ruh. Terakhir, di sisi kiri Kehadiran Pusat antara ia dan dunia Nyata adalah Dunia Kesan.
25
Kelima Kehadiran tersebut bisa juga digambarkan dalam skala menurun atau naik. Dalam Pengetahuan Tuhan, sebagai tingkat pertama, entitas-entitas bersifat “tiada” (ma’dum) meskipun segala keabadian diketahua oleh Tuhan. Tingkkatan Kedua, yaitu tingkatan Ruh, entitas-entitas menjadi erksistensi sebagai weujud-wujud “cahaya” (nurani) yang hidup dalam kedekatan dengan Tuhan, namun tetap terpisah dari-Nya. Pada tingkatan berikutnya yaitu pada tingkatan ketiga, adlah tingkatan Imajinasi, entitas-entitas masih terbentuk cahaya namun dalam tingkatan yang lebih rendah dan saat itu mereka tidak lagi bersifat “sederhana’ (basit) dan tidak tersusun. Ia sudah merupakan susunan dari bagia-bagian. Dalam Dunia Imajinasi dan kesan inilah pandangan (musyahadah) orang-orang saleh dapat terjadi. Di sini Ruh dapat memanifestasikan dirinya dalam bentuk-bentuik indrawi dan di sini pila, setelah peristiwa kematian, kualitas amal dan opral manusia menerima bentu-bentuk jasmaniah. Akhirnya samapai pada tingkat terendah yakni manifestasi luar Wujud, yakni berupa Dunia Indrawi yang bersifat kegelapan (zulamni) dan tersusun (murakkab). 25
William C.Chittick dan Peter Lamborn Wilson, Fakhruddin Iraqi.(New York: Paulist Press, 1982) h. 14
Itulah empat tingkatan dasar dari eksistensi yang mengacu secara berurutan sebagai “supra-formal” (ma’nawi, yakni berhubungan dengan “makna-makna” yang berada dalam Pengetahuan Tuhan. Sementara istilah “makna” (ma’na) sama dengan entitas abadi) yaitu “spiritual” (ruhani); “imajinal” (mithal) dan “inderawi” (hissi). Yang pertama (tingkatan pengetahuan Tuhan) tidak diciptakan dan ketiga sisanya yang lain (tingkatan jiwa, dunia imajinal, dan dunia inderawi) diciptakan. Sedangkan Manusia Paripurna mencakup keempat tingkatan eksistensi tersebut. Manusia biasa juga mencakup keempat tingkatan eksistensi itu. Setidaknya, dalam pengertian bahwa keempatnya terefleksi dalam dirinya. “Realitas” dirinya atau “makna”, yakni tingkatan Ketuhanan, adalah entitas yang abadi Manusia Paripurna. Ruhnya berhubungan dengan Dunia Ruh, jiwanya dengan Dunia Imajinasi, dan badannya dengan Dunia Inderawi. Selanjutnya sebagai sebuah kesatuan dia akan merefleksikan Manusia Paripurna (al-insan al-kamil). 26 Alasan al-Qunawi membagi Kehadiran-Kehadiran pada lima tingakatan dapat dirangkumkan sebagai berikut. Terdapat dua kehadiran dasar, yakni Yang Ghaib dan Yang Nyata. Namun terdapat hal yang lebih bersifat ghain dari p[ada yang lain, sebagaimana terdapat pula beberpa hal yang lebih nyata dari pada yang lain. Maka setiap kehadiran dibagi ke dalam “nyata” (haqiqi) dan “nisbi” (idhafi). Yang Nyata ghaib adalah Tuhan berikut nama-nama dabn sifat-sifat-Nya. Yang ghaib nisbi adalah Dunia Ruh. Yang benar-benar nyata adalah dunia inderawi dan yang nyata nisbi adalah dunia Imajinal. Terakhir, Manusia Paripurna mencakup keempat kehadiran tersebut.
26
,Chittick, The Five Divine Presences, h. 112-113
Untuk bahan perbandingan dapat dilihat teori lima kehadiran Tuhan yang dikemukan oleh al-Qaysari sbb: Skema al-Qaysari secara umum sesuai dengan skema yang dibuat al-Qunawi. Dia menulis dalam pengantarnya terhadap komentar Fusus:” Kehadiran universal pertama ialah (1) Kehadiran Yang Ghaib Yang Tak Terbatas. Dunia Kehadirannya adalah entitas-entitas abadi dalam Kehadiran Pengetahuan. Berhadapan dengannya di tempat yang berlawanan ialah (2) Kehadiran Yang Nyata Yang Tak Terbatas yang dunia Kehadirannya adalah Kerajaan (al-mulk) {Dunia Persepsi-Pengertian (alam al-hiss)}. Kemudian terdapat Yang Ghaib yang nisbi. Ia dibagi menjadi dua bagian, yakni: Pertama (3) yang terdekat dengan Yang Ghaib Yang Tak terbatas. Dunianya ialah Ruh-Ruh Kerajaan yang sangat besar (al-malakut) dan Kekuasaan (al-jabarut), yakni dunia Intelak dan Jiwa yang tidak digunakan (mujarrad). Kedua, bagian Yang Ghaib Yang Nisbi (4) yang terdekat dengan Yang Nyata. Dunianya ialah Kesan-Kesan Adapun alasan mengapa Yang Ghaib Yang Nisbi terbagi dua adalah bahwa Ruh-Ruh memiliki bentuk-bentuk imajinal yang mempunyai kesesuaian dengan Dunia Yang Nyata Yang Tak Terbatas, intelektual, dan bentuk-bentuk tak terpakai yang memiliki kesesuaian dengan Yang Ghaib Yang Tak Terbatas. Kelima (5) adalah Kehadiran yang mencakup empat Kehadiran sebelumnya. Dunianya ialah dunia manusia yang mencakup seluruh dunia dan segala sesuatu dalam dirinya”. Pada pernyataan yang langsung mengikuti ungkapan di atas, al-Qaysari kemudian melihat Kehadiran-Kehadiran dari sudut pandang lain dan juga mengikuti skema-skema lainnya yang telah kita bahas:” Maka (1) Dunia Kerajaan (al-mulk) adalah tempat manifestasi bagi (2) Dunia Kerajaan yang sangat besar (al-malakut) yang merupakan Dunia Imajinal Tanpa Batasan. Selanjutnya ia menjadi tempat manifestasi bagi (3) Dunia
Kekuasaan (al-jabarut), yakni Dunia Realitas-Realitas Yang Tak Terpakai. Dan dunia ini adalah tempat manifestasi bagi (4) Dunia Entitas-Entitas Abadi yang menampakkan (5) Nama-Nama Ketuhanan atau Kehadiran Kesatuan Inklusif (al-wahidiyya/al-wahdaniyya) yang ia sendiri merupakan tempat manifestasi bagi (6) Kesatuan Eksklusif (alahadiyya)”. Dalam klasifikasi kedua ini al-Qaysari masalah Manusia Paripurna dan membagi Kehadiran Pertama al-Qunawi menjadi tiga tingkatan, yakni: tingkatan Kesatuan Eksklusif (al-ahadiyya), Kesatuan Inklusif (al-wahidiyya/al-wahdaniyya), dan entitas-entitas Abadi (al-maujudaat al-abadiyya). Al-Qaysari samasekali tidak membahas tentang tingkatan Esensi atau Yang Tak Terbatasi sebagaimana dalam dua skema di atas. Tapi nampaknya, seperti halnya al-Qunawi dan juga gurunya sendiri al-Kashani, al-Qaysari menganggap Esensi atau Yang Tak Terbatasi sebagai sumber semua entifikasi dan hal ini di luar skema manapun. 27 Jika ditelusuri lebih jauh, akar konsep martabat tujuh ini sangat dimungkinkan dipengaruhi oleh konsep-konsep tasawuf yang muncul sebelumnya, diantaranya: pertama ajaran Tasawuf yang dikemukakan oleh Husayn ibn Mansur al-Hallaj (858-922), yang dikenal dengan konsep al-Hulul. Menurut al-Hallaj, Allah adalah Zat yang Pertama, asal dan pusat dunia. Allah menciptakan Adam dalam gambarNya sendiri. Gambar dari kasih Allah yang kekal itu dipantulkan dari Diri Allah sendiri, agar Ia dapat melihat Diri-Nya sendiri di dalam cermin. “Terpujilah Dia yang menyatakan rahasia dari sinar ilahi-Nya di dalam manusia (yaitu Adam) 28 . Menurut al-Hallaj, Tuhan Allah tidak bisa bersatu 27
Ibid, h. 123-124 28 R.A Nicholson, The Mystics of Islam, (London, 1914) hl.150; Bandingkan A.E.Affifi, The Mysstical Philosophy of Muhyid Din Ibnu al-Arabi,(Cambridge, 1939) h. 78 catatan 4.
dengan manusia, kecuali dengan cara demikian, bahwa Roh ilahi menjadi hulul (berpadu), artinya bahwa ketuhanan (Lahut) menjelma ke dalam diri insan. Oleh karenanya para sufi harus berusaha melepaskan diri dari gerak yang mengaburkan, yang datang dari dunia yang beraneka ragam dan bersifat fana.Lebih lanjut al-Hallaj mengemukakan bahwa manusia yang makin erat mempersatukan dirinya dengan Allahnya, akan semakin sering Allah menampakkan Diri serta bertindak di dalam pusat hati atau sirr manusia itu. Sehingga akhirnya orang akan mengalami suatu persekutuan
rahasia
dalam tarap
tertinggi. Di sini orang akan mengalami Huwa (Ia), yaitu Zat yang tanpa akhir itu. Di dalam keadaan yang demikian itu Allah bisa berbicara dengan perantaraan manusia, sebagai umpama ungkapan “Ana al-Haqq”. 29 Ungkapan demikian nampaknya tidak boleh dipandang sebagai ungkapan manusia, melainkan ungkapan Allah yang ada di dalam manusia itu. Allah bagi al-Hallaj transsenden dan immmanen. Dan Allah tidak identik dengan manusia. Yang ini jelas dari ucapan nya ketika ia diadili di hadapan hakim. Diantaranya ia pernah berkata, bahwa ia sama sekali tidak menganggap dirinya berhak menduduki tempat Allah atau nabi, sebab nabi adalah manusia yang menyembah Allah, yang melipatgandakan puasa dan perintah Allah dan mengetahui hal yang lain kecuali itu. 30Lebih lanjut al-Hallaj menjelaskan behwa di dalam hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak ilahi, sehingga setiap tindakan manusia berasal dari Allah. Manusia menurutnya, “sebagaimana dia tidak memiliki asal tindakannya, begitu juga dia tidak memiliki tindakannya”. Kedua, konsep tasawuf yang kemukakan oleh Ibnu ‘Arabi, dan dipopulerkan oleh al-Jilli, yakni Insan Kamil.Menurut Ibnu ‘Arabi manusia
18
29
Ibid, h.151
30
Harun Hadiwijono, Kebatinan Isam Dalam Abad Enambelas, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, T.YH) h. 17-
adalah tempat tajalli Tuhan yang paling sempurna,karena dia adalah akaun al-jami’, atau dia merupakan sentral wujud, yakni alam kecil (mikrokosmos) yang tercermin padanya alam besar (makrokosmos); dan tergambar padanya sifat-sifat ketuhanan. Oleh karena itulah manusia diangkat sebagai khalifah. 31 Menurut Ibnu ‘Arabi Insan Kamil merupakan miniatur dan relitas ketuhanan dalam tajalli-Nya pada jagat raya. Oleh karena itu, ia menyebutnya sebagai al-‘alam al-shagir (mikrokosmos), yang pada dirinya tercermin bagian-bagian dari jagat raya (makrokosmos). Esensi insan kamil merupakan cermin dari esensi Tuhan, jiwanya sebagai gambaran dari al-nafs al-kulliyah (jiwa universal), tubuhnya mencerminkan arasy, pengetahuannya mencerminkan pengetahuan Tuhan: hatinya berhubungan dengan bait al-Ma’mur, kemampuan mental spiritualnya terkait dengan malaikat; daya ingatannya dengan saturnus (zuhal), daya inteleknya dengan yupiter ( al-Musytari), dan lain-lain. 32Proses yang harus dilakukan untuk menjadi Insan Kamil
adalah
melalui
apa
yang
diistilahkan
Ibnu
‘Arabi
dengan
(berakhlaklah dengan akhlak Allah). Takhalluq berarti menafikan sifat-sifat manusia dan menegaskan sifat-sifat Allah yang telah ada pada kita. Selain itu Takhalluq juga berarti menafikan wujud kita dan menekankan wujud Allah karena kita dan sesuatu selain Allah tidak mempunyai wujud kecuali dalam arti majazi. Ketika manusia menafikan wujudnya, ia kembali pada sifat aslinya, yaitu ketiadaan (adam), dan pada saat yang sama ia berada dalam keadaan ketentraman abadi. Di samping itu takhalluq juga berarti menerima dan mengambil nama-nama Allah yang telah ada pada diri kita, yang masih dalam bentuk potensial.
Takhallluq
dicontohkan
secara
sempurna
oleh
Nabi
Muhammad
31
abdul Qadir Mahmud, Al-Falsafah Al-Sufiyah fi al-Islam, Dar al-Fikr al-arabi, Cairo, t.t h. 575
32
Ibnu ‘Arabi, Al-Futuhat al-Makiyah. Ibid.h.118
SAW. 33Kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan ber tajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah almuhammadiyah). Hakikat Muhammad merupakan wujud tajalli tuhan parupurna, dan merupakan makhluk yang paling pertama diciptakan oleh Tuhan. Ia telah ada sebelum penciptaan Adam. Oleh karena itu Ibnu ‘Arabi menyebutnya dengan akal pertama. Dialah yang menjadi sebab penciptaan alam semesta dan sebab terpeliharanya.
Hakikat
Muhammadiyah seperti yang dikutip Harun Hadiwijono bisa dikatakan juga sebagai aspek yang mistis dari logos. Ia bukan Muhammad Muhammad, roh Muhammad. Manusia Muhammad
sang nabi, melainkan hakekat dari Mekah
dan segala nabi,
termasuk Musa, Ibrahim dan Yesus adalah penjelmaan individual dari haqiqat Muhammad tadi. Oleh Ibnu ‘arabi ia disebut Qutb(kutub), yaitu kepala rohani darin susunan pemerintahan nabi dan wali. Ia adalah yang menyatakan Allah, yang meneruskan segala pengetahuan Allah kepada semua orang yang memilikinya dan yang menjadi sebab dari segala penjadian. Ia sama dengan roh kudus dan aktivitas Allah
yang menciptakan
(haqiqatu al-Makhlisu bihi). 34 Demikian sekilas gambaran tentang konsep utama Teori Martabat Tujuh, yang merupakan pengembangan dari faham Wahdat al-wujud yang kemudian berkembang menjadi teori “Lima Kehadiran Tuhan. Dan jika ditelusuri lebih jauh, teori martabat tujuh ini diinspirasioleh konsep tasawuf yang muncul sebelumnya, diantaranya konsep hulul dan Insan Kamil. Teori Martabat Tujuh ini di Nusantara dianut dan dikembangkan oleh
33
Kautsar. Op-cit. h. 139
34
Hadiwijono, Op-cit, h. 20
banyak tokoh tasawuf diantaranya oleh Syamsuddin Sumatrani (Abad XVII di Aceh), hingga abad XX, salah satu tokoh yang mengembangkannya yaitu Hasan Mustopa. Faham Martabat Tujuh ini, memang sangat sulit dipahami oleh orang awam, hanya orang-orang yang berilmu luaslah yang mudah memahaminya. Oleh karena itu pada masa Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani masih hidup, faham Wahdat alWujud itu dapat dipertahankan berjalan di atas garisnya, namun setelah kedua ulama terkenal itu wafat, faham ini ada yang disalhpahami, bahkan cebderung diselewengkan menjurus ke arah menyesatkan.
BAB III BIOGRAFI HAJI HASAN MUSTAPA A. Perjalanan pendidikan Haji Hasan Mustapa Haji Hasan Mustapa (lahir di Garut, Jawa Barat, 1268 H/3 Juni 1852 M – wafat di kota Bandung, 1348 H/13 Januari 1930) adalah salah seorang tokoh Tasawuf yang berasal dari kalangan elite pribumi, dari keluarga camat perkebunan di Cikajang, Garut. Ia pernah menjabat sebagai penghuluPenghulu Besar (hoefd panghulu)di Aceh dan Bandung(Parijs Van Java),35 sampai beliau pensiun. Perjalanan pendidikan Haji Hasan Mustopa dilaluinya di kota Makkah, ketika ia pertama kali menginjakkan kakinya di tanah suci pada usia 8 tahun bersama ayahnya, untuk menunaikna ibadah haji dan kemudian bermukim di sana untuk mempelajari agama, khususnya untuk belajar bahasa arab dan membaca al-Qur’an.
Sesampaianya di tanah aiar, kemudia ia
melanjutkan pendidikannya dengan mengunjungi Sepulangnya dari Mekah di masukkan ke berbagai pesantren di Garut dan Sumedang. Ia belajar dasar-dasar ilmu syaraf dan nahwu (tata bahasa Arab) kepada Rd. H Yahya, seorang pensiunan penghulu di Garut. Kemudian ia pindah ke Abdul Hasan, seorang kiai dari Sawahdadap, Sumedang. Dari Sumedang ia kembali lagi ke Garut untuk belajar kepada Kiai Muhammad Irja, murid Kiai Abdul Kahar, seorang kiai terkenal dari Surabaya dan murid dari Kiai Khalil Madura, pemimpin Pesantren Bangkalan, Madura. Pada tahun 1874, ia berangkat untuk kedua kalinya ke Mekah guna memperdalam ilmu-ilmu keagamaan Islam. Kali ini ia bermukim di Mekah selama 8 tahun. Ketika berada di Mekah ia berkenalan dengan Christiaan Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang
35
Dalam sejarah Perjuangan Rakyat Indonesia, kota Bandung mempunyai banyak kenangan. Hal ini bias kita lihat dengan hadirnya beberapa monumen yang telah didirikan dalam rangka memperingati memperingati beberapa peristiwa bersejarah, diantaranya; Monumen Perjuangan Jawa Barat, Monumen Bandung Lautan Api, Monumen Penjara Banceuy, Monument Kereta Api, dan Taman Makam Pahlawan.
sedang meneliti masyarakat Islam di Mekah. Pertemuan itu membuat hubungan keduanya akrab sampai Haji Hasan Mustafa meninggal dunia dan Snouck Hurgronje kembali ke negerinya setelah menunaikan tugas pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia 36 Kedudukan dan posisi beliau ini yang menjadi salah satu penyebab Snouck Hurgronje menempatkan ia sebagai salah satu tokoh kunci yang dianggap dapat membuka informasi untuk memperoleh pengetahuan tentang Islam lokal. Seperti dikemukskakan oleh Laffan, ia dijadikan sebagai salah satu informan pribumi yang memberi kemudahan tertentu yang mengetahui secara mendalam tentang Islam, dan sekaligus dapat memeberikan gambaran yang lebih jelas tentang Muslim pada waktu itu di Hindia Belanda. 37 Sejarah hidup Haji Hasan Mustopa, salah satu diantaranya bisa diperoleh dari beberapa karyanya yang menyisipkan tentang perjalanan hidupnya. Dalam salah satu karyanya disebutkan bahwa beliau mempunyai kedekatan dengan sosok C. Snouck Hurgronje. Sosok Haji Hasan Mustopa sudah masuk ke dalam lingkaran strategi Hurgronje yang menjadikan aristokrasi pribumi sebagai kelas sosial pertama yang ditarik ke dalam lingkaran kolonial. Ada alasan lain yang menyebabkan Snouck menjadikan Haji Hasan Mustopa sebagai informan penting, diantaranya adalah : 1. Haji Hasan Mustopa dianggap sebagai model perpaduan antara pribadi santri dan kaum menak yang mengalami kolonisasi. Dari latar belakang keluargamenak dan santri ini, ia menjadi pemimpin pribumi potensial yang dicari Belanda untuk menduduki jabatan penting
36
37
Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid 1, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, cet-9, 2003, hal. 183-184.
Michael Francis Laffan.Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, The Umma below the Winds. LondonNew York: Routledge Curzon, 2003. p. 82-84; Burhanudin, 2012: 158.
yaitu sebagai elite penghulu Priangan sekaligus masuk ke dalam lingkaran kaummenak dan pada perjalanan kemudian masuk pada lingkaran kolonial. 38 2. Haji Hasan Mustopa mempunyai kemampuan dalam bidang budaya Sunda, yang kemudian Snouck menariknya ke dalam birokrasi Belanda. Hal ini dilatarbelakangi oleh obsesi yang kuat dari Snouck tentang hukum adat (adat-recht), 39. 3. Haji Hasan Mustopa mempunyai dua kekuatan yang melekat pada dirinya, yaitu sebagai seorang “menak“ sunda dan sebagai seorang santri. Dua factor ini merupakan dua hal yang berbeda, bahkan dalam konteks kesundaan, terjadi “kesenjangan” antara kaum ménak dan ulama atau santri dari kalangan pesantren, yang dihasilkan dari kebijakan colonial. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan secara tidak langsung berdampak pada perbedaan orientasi budaya. Haji Hasan Mustopa mewakili sosok ménak yang sangat kuat bergumul dengan aktifitas sastra dan budaya Sunda. Sementara factor lain yang dimiliki oleh ahji hasan Mustopa sebagai seorang santri dianmggap mampu mengembangkan tradisi lokal pesantren yang didominasi oleh tradisi Islam. 40 Latar belakang hidup yang mempengaruhi karya-karya sufistik Haji Hasan Mustopa dimungkinkan disebabkan oleh beberapa hal; pertama, Haji Hasan Mustopa berasal dari keluragapesantren sekaligus keluarga yang akrab dengan seni budaya Sunda. Seperti diungkapakan Kartini, Tidak sedikit dari keluarganya, terutama dari pihak ibunya yang menjadi 38
Informasi ttg kedudukan Haji hasan Mustopa dapat dilihat, dalam karya Mikihiro Moriyama.Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak dan Kesastraan Sunda Abad ke-19. trans. Suryadi. Jakarta: KPG, 2005, juga dlm karya Nina H. Lubis. Kehidupan Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998. 39 Snouck berpandangan bahwa signifikansi Islam terletak dalam sebuah sistem budaya tertentu dan menegakkan supremasi adat atas syariat. Ini berbeda dengan ulama pesantren—sebagai inti dari komunitas Jawi di Timur Tengah—tetap menjadi kelompok lain yang independen dan berada di luar sistem kekuasaan kolonial.. 40 Salah satu contoh yang dapat kita lihat dalam aktifitas ngalogat (Jawa: ngapsahi)misalnya, hanya berkembang dalam tradisi pesantren. Kalangan ulama pesantren kiranya menggunakan budaya Sunda hanya terbatas pada fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi dan pengajaran. Lihat Iip Dzulkifli Yahya. “Ngalogat di Pesantren Sunda: Menghadirkan yang Dimangkirkan” Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Ed. Henri Chambert-Loir. Jakarta: KPG, 2009. p. 363-378.
ulama dan menjadi gurunya seperti Kyai Haji Hasan Basri (Kiarakoneng, Garut) dan Kyai Muhammad (Cibunut, Garut). Sedangkan dari keluarga ibunya banyak yang menjadi bujangga Sunda, panayagan dan pencipta lagu.Bahkan dikemukakan bhwa pada masa remajanya Haji Hasan Mustopa dikenal nakal dan sering ikut menari ronggéng ketuk tilu. 41Kedua, menurut Jajang dalam tesisnya, Haji Hasan Mustopa pernah pergi ke Mekah sebanyak tiga kali. 42Haji Hasan Mustopa mengunjungi Makkah terbagi pada 3 periode. Keberangkatan pertama ketika HHM pada usia delapan tahun,diperkirakan ia berada di Makkah tidak lebih dari dua tahun. Keberangkatan ke Makkah yang kedua, setelah ia dewasa selama tiga samapai empat tahun, dan ketika itu ia menikah dengan Nyi Mas Liut. Peride ketiga Haji Hasan Mustopa berada di Makkah selama lima tahun, dan ini merupkan kunjungan terakhir. 43Setelah itu, Haji Hasan Mustopa ikut serta berkeliling Jawa, pernah bertugas di Aceh sebagai penghulu, dan kemudian menetap lama di Bandung juga bertugas menjadi penghulu. Sampai beliau pensiun. Beberapa sarjana meyakini bahwa ketertarikannya pada mistisisme sudah terbangun sejak berada di Mekah, bahkan dimungkinkan ia sudah masuk ke dalam jaringan tarekat. Walaupun Haji Hasan Mustopa sendiri tidak secara jelas menyebutkannya, karena ia cenderung lebih konsern pada tradisi keilmuan Islam terutama fiqih. Ketertarikan pada mistisisme lebih dalam dan menggelutinya secara serius dimungkinkan berkembang kemudian. 44 Hal ini diperkuat dengan salah satu karya puisinya sbb: Tadi aing nu kapahung Tilu puluh taun leuwih 41
Kartini, 1985: 13.Tini Kartni, Ningrum Djulaeha, Saini K.M. dan Wahyu Wibisana. Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa.Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud Jakarta, 1985. p. 13 42 Haji Hasan Mustopa mengunjungi Makkah terbagi pada 3 periode. Keberangkatan pertama ketika HHM pada usia delapan tahun, diasumdikan ia berada di Makkah tidak lebih dari dua tahun . Keberangkatan ke Makkah yang kedua, 43 Jajang Jahroni.“The Life and Mystical Thought of Haji Hasan Mustafa (1852-1930).” Thesis Leiden University. 1999. p. 17 44 Jajang Jahroni, p. 22.
Dina rasaning kadunyan Beurat birit salah indit Ayeuna di walagrina Indit birit mawa bibit Artinya : Barusan aku yang tersesat Tiga puluh tahun lebih Dalam perasaan keduniaan Malas karena salah pergi Sekarang merasakan bahagianya Pergi membawa benih Puisi di atas menggambarkan perjalan hidupnya yang mengalami perjalanan panjang dalam menempuh kehidupan yang dia rasa tersesat dalam keduniawian. Selama tiga puluh tahun lebih beliau merasakan salah melangkah atau yang beliau sebut dengan istilah tibalik paesan jati (terbaliknya nilai). 45Kenyatan ini memeberikan gambaran, bahwa dimungkinmkan bahwa Haji Hasan Mustopa tidak sedari awalsudah memiliki kesadaran mistisisme bahkan menjadi pengikut tarekat. Karena baru beberapa tahun kemudian, ia mengakui dirinya sebagai pengikut tarekat Shattariyah. Dimungkinkan ketika beliau berada di Makkah , tradisi keilmuan Islam
yang
dimilikinya belum merasa menemukan pengalaman spiritual yang memuaskan. Oleh karena itu, keseriusan Haji Hasan Mustopa dalam mendalami mistisisme tidak jauh dari beberapa karya yang disusunnya dalam berbagai guguritan mistik, yaitu sekitar tahun 1900-1902. Oleh karenanaya karir dan jabatannya selama di Aceh dengan tradisi mistisisme Islam Nusantara (seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Nuruddin Al-Raniri dan Abdurra’uf AlSingkili), sangat dimungkinkan dapat memepengaruhi perjalanan kehidupan dan kary-karya mistiknya. Walaupun menurut Jajang Jahroni besar kemungkinan ia juga sudah mengetahui
45
Puisinya ini ditulis dalam bentuk puisi Kinanti Kulu-kulu di Lalayu Cod. Or. 7875e bait
58, Haji Hasan Mustapa. Kinanti Kulu-kulu. Bandung: Kiblat, 2009. p. 28-30.
tentang tradisi tasawuf Timur Tengah (Ibn ‘Arabi, Al-Jili, Al-Ghazali, dan Al-Burhanfuri) selama dua belas tahun karirnya di Mekah (1860-1862, 1869-1873, 1877-1882). 46 Haji Hasan Mustopa sebagaimana dikemukakan Jajang meninggal pada hari senin 13 Januari 1030, pada usia 78 tahun. 47 Dimakamkan di karang Anyar, Bandung. Sepanjang hidupnya ia mendedikasikan dirinya untuk karir, masyarakat, dan kesusastraan sunda. Secara kronologis dapat kita lihat perjalanan hidup Haji Hasan Mustopa sbb: 1. Tanggal 3 Juni 1982 lahir di Cikajang Garut. 2. 1860 – 1862, Peride pertama ia pergi ke Makkah bersama ayahnya 3. Tiga atau empat tahun, periode kedua ia berkunjung ke Makkah, yakni setelah ia dewasa 4. 1877 -1882 , peride berikutnya ia berangkat ke Makkah 5. 1882 -1887 , guru di Masjid Agung di Garut periode I 6. 1887 – 1889, mengikuti dan menyertai perjalannya dengan C. Snouck Hurgronje 7. 1889 -1091, Guru di Masjid Agung Garut periode II 8. 1892 – 1895, diangkat sebagai penghulu di Kutaraja 9. 1895 – 1917, diangkat sebagai hoofd penghulu di Bandung 10. 1917, berhenti dari jabatannya sebagai penghulu 11. Tanggal 13 januari 1930, Haji Hsan Mustopa tutup usia. 48
B. Hasan Mustapa Sang Penyair dari Priangan Sosok Haji Hasan Mustopa dikenal sebagai Sastrawan sekaligus tokoh tasawuf, yang mencurahkan seluruh perasaan batinnya dalam bait-bait puisi/guritan 49. Dikemukakan oleh peneliti karya Haji Hasan Mustopa, diantaranya Ajip Rosidi bahwa karya-karyanya mempunyai kekhasan tersendiri, yakni: 1. Mengandung simbol-simbol dan citra kesundaan, mengalir dengan mudah, kerntal mewarnai perenungan mistiknya, sehingga ide-ide mistisnya lebih mudah dicerna oleh berbagai
46
Jahroni, 1999: 24, 41. Jahroni, p. 40 48 Jahroni, hal. 42 49 guritan (puisi yang berirama dalam bahasa Sunda), Ia dikenal sebgai seorang ulama dan pujangga Islam yang banyak menulis masalah agama dan tasawuf dalam bentuk puisi 47
kalangan masyarakat. Hasil perenungannya tersebut, terlihat dalam kary-karya puisinya yang bermel;odi dan sarat dengan pesan-pesan sufistik. 50 2. Berkualitas tinggi, memunculkan banyak asosiasi, seolahj-aolah mengalir secara alami. Sehingga terasa wajar, dan tetap memeperhatihkan dan memepertahankan kaidah-kaidah puisi kesundaan yang cukup rumit. 51 3. Memiliki kekuatan konsep sufistik, yang dalam pengungkapannya dihadirkan tentang hubungan dirinya (kuring, kaula, aing)dengan Tuhan (Gusti, Pangeran)yang berakar pada alam kehidupan budaya lingkungannya, yaitu alam kesundaan. 4. Bernuansa alam kesundaan terutama flora dan fauna, misalnya menggunakan tema tumbuhtumbuhan dan hewan tertentu sebagai metafor untuk menggambarkan konsep tasawufnya. mengandung eberapa karakter puisi guguritan HHM, nuansa alam kesundaan beberapa kali ditemukan dalam karyanya, terutama flora dan fauna. Naskah KTKB misalnya menggunakan tema tumbuh-tumbuhan dan hewan tertentu sebagai metafor untuk menggambarkan konsep tasawufnya. Simbol hewan memang tidak sesering tumbuhan. 5. Menggunakan citra dan simbol alam Sunda yang subur. Misalnya penggunaan simbol flora berupa bambu (bambusa Sp.div) dengan aneka jenisnya. Ia menyebut angklung 52 yang
50
Ajip Rosidi.Guguritan.Bandung: Kiblat, 2011. p. 18-20; bisa dilihat juga dalam tulisan Hawe Setiawan. “Cangkang Suluk Dangding HHM sebagai Wadah Mistisisme Islam”, paper in Sawala Mesek Karya HHM, UIN Bandung, 2009. p. 2. 51 Karenanya membaca guguritan HHM sebagai sajak bermatra (metrical verse)harus diletakkan dalam konteks suasana saat itu yang membaca dengan bersuara dan menyanyikannya dalam lagu, bukan membaca dalam hati (silent reading) dan mendaraskannya. Meskipun konsekuensinya, kadang ketatnya aturan puisi berakibat pada sebaran makna sufistik yang tidak terkendali dalam banyak guguritan-nya yang umumnya tidak beranjak dari tema pencarian dan pencapaian spiritual. Satu konsep diulang-ulangnya di berbagai tempat. Meskipun konsekuensinya, kadang ketatnya aturan puisi berakibat pada sebaran makna sufistik yang tidak terkendali dalam banyak guguritannya yang umumnya tidak beranjak dari tema pencarian dan pencapaian spiritual. Satu konsep diulang-ulangnya di berbagai tempat. Lihat Jajang A Rohmana Kinanti [Tutur Teu Kacatur Batur]: Tasawuf Alam Kesundaan Haji Hasan Mustapa (1852-1930), h. 5 52
Angklung adalah salah satu instrumen musik Sunda yang terbuat dari bambu. Ia dianggap sebagai instrumen musik asli dari Priangan. Terdiri dari dua atau tiga bambu pendek berukuran
sengaja dibedakan dengan bambu biasa (awi) ketika menggambarkan keserasian kondisi dirinya dengan Tuhan.
Puguh angklung ngadu angklung Bisa uni teu jeung awi Balukarna lalamunan Mun hiji misah ti hiji Ngan kari pada capétang Ngawayangkeun abdi Gusti Artinya: Jelas angklung mengadu angklung Bisa bunyi (indah) dengan bambu Sebabnya dari lamunan Kalau yang satu pisah dari yang satu Cuma sekedar pandai berbicara Penggunaan metafor flora dan fauna, bagi Haji Hasan Mustopa merupakan upaya untuk memperkaya horizon penafsiran sufistik yang disenyawakan dengan suasana alam Sunda. Dengan keterampilan dan kemampuan yang sangat kuat dalam mengolah dan memilih bahasa yang baik, ia mampu mempertemukan nilai keislaman dengan kekhasan lokal Sunda. Bahasa Sunda diperlakukan Haji Hasan Mustopa sebagai media untuk mencari kemungkinan maknamakna baru yang tak terduga, dinamis, kaya dan terbuka. Ia bisa memainkan simbol alam sekelilingnya yang ditemuinya untuk kemudian dibawa ke dalam alam pemikiran mistisnya.
sedang yang diletakkan dalam bingkai persegi empat. Cara memainkannya adalah dengan menggoyak-goyangkannya. Bunyi dihasilkan dari getaran bambu-bambu yang saling beradu. Pada masyarakat Baduy, angklung dipertunjukkan pada acara hiburan atau ritual tertentu
BAB IV AJARAN TASAWUF HAJI HASAN MUSTAPA A. Ma’rifat: Tonggak Ajaran Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa Ajaran Ma’rifat bagi Haji Hasan Mustafa merupakan suatu hal yang wajib dipejalajari dan diketahui bagi semua umat manusia yang sudah mukallaf, dan baligh. Semua manusia mau tidak mau harus berma’rifat pada Allah Swt. Hal ini berlandaskan pada hadis Rasulullah yang berbunyi : “ awwalu dini Ma’rifatullahi ta’ala”. Artinya mula-mulanya agama itu adalah harus menegetahui terlebih dahulu pada Allah.
Lebih lanjut Hasan Mustafa mengingatkan tentang pengertian dan pentingnya ilmu, bahwa artinya ilmu itu adalah pengetahuan, tapi bukan hanya harus tahu pada syarat sahnya ibadah saja, tetapi harus mengetahui (ma’rifat) pada Allah dan Rasulullah. Hasan mustapa menganalogikan Ma’rifat seperti tempat atau gudang untuk tempatnya amal ibadah. Melakukan amal ibadah, artinya kita sedang mengumpulkan perabotan dan hiasan rumah, meja, kursi, lemari, dan lain sebagainya. Sementara ma’rifat diibaratkan kita mempunyai bangunan rumah yang kokoh. Dengan adanya ma’rifat, kita bisa menempatkan perkakas dan perabotan yang telah kita usahkan dengan susah payah ini, bisa ditempatkan pada tempat yang layak dan pantas. Hal ini dapat memberikan dampak pada orang yang menempati rumah tersebut menjadi merasa nyaman. Karena logikanya kalau kita punya perabotan yang bagus dan mahal, jika tidak ada tempatnya, maka barang-barang tersebut menjadi tidak berharga, dan tentunya bisa cepat rusak, dan lapuk, akhirnya tidak akan diambil manfaat dengan sebaikbaiknya, dan tidak akan memeberikan kenikmatan seperti yag diiharapkan. 53
Jalan-jalan Ma’rifat. 53
Hasan Mustapa, Copi naskah, Tanpa Judul, ditulis dui Bandung, Mei 1931, disalin ulang di Bayah (Banten Girang) pada bulan Desember tahun 1990 M. h. 2-3
Menurut Hasan Mustafa, Ma’rifat pada Allah SWT ada dua jalan: Pertama, dari bawah ke atas, yaitu dengan menjalani mesantren (belajar/ mendalami ilmu keagamaan) terlebih dahulu, yaitu dengan membaca kitab Qur’an, kemudian melaksanakan ibadah dengan melaksanakan rukun Islam yang lima perkara. Hal seperti itu adalah jalan untuk mencapai ma’rifat pada Allah. Menurut Hasan Mustafa, sayangnya banyak orang tidak menyampaikannnya pada tingkatan ma’rifat karena sudah merasa nimat dalam “Pal Nunjuk” nya. Padahal kalau dilanjutkan ma’rifat pada sifat Allah ta’ala, pasti akan menemukan kenikmatan, karena baru sampai pada Asma nya saja sudah begitu nikmatnya. Kedua, jalan dari atas ke bawah, yakni memenuhi dalil yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu, “Awwalu Dinni Ma’rifatullahi Ta’ala, selain “mesantren”, juga harus bisa menghisab(menghitung atau introspeksi) diri dengan cara mencari guru yang mursyid, kalau kita tidak akan tahu tanpa melalui guru. Oleh karena itu harus segera menyusul tarekatnya para wali, itulah yang akan sampai pada ma’rifat pada sifatnya Allah ta’la yang disebut “Johar Awal”, yakni hakekatnya Muhammad, dengan tujuan agar semua kembali pada Allah Ta’la. Karena pada hakekatnya kita akan kembali kepada Allah “Inna Lillahi wa inna ilahi Roji’un.” Kita berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah. 54 Dalam naskah yang sama Hasan Mustapa mengemukakan beberapa dalil-dalil Qur’an maupun Hadis Nabi, yang menjelaskan tentang hal- hal yang harus dilakukan untuk memulai mengenal Tuhan. 55 Diantaranya : man tolabal.....(2)
54 55
Hasan Mustapa, h. 4 Hasan Mustopa, h. 6-8
artinya : Siapa saja orang yang mencari Tuhan keluar dari dirinya sendiri, maka teman-teman termasuk orang yang tersesat, karena dalam tekadnya merasa lebih jauh dengan Allah Ta’ala, karena ada dalil yang menjelskan : wa nahnu aqrobu .......(3) artinya : Aku tidak ada perantara lagi dengan kamu sekalian, walaupun dibandingkan dengan urat leher nadi kamu sendiri, masih lebih dekat dengan-Ku, oleh karenanya manusia lebih dimuliakan oleh Allah Ta’la. Hal ini sejalan dengan ayat al Qur’an yang berbunyi : walaqod karomna bani adama....(4) cari ayat berp ya ? artinya: kami sudah menuliakan anak cucu Adam. Diperkuat dengan ayat lain yang berbunyi : Laqod holakna fi ahsani taqwiim.......Q/S Attin (5) Artinya : Manusia itu paling baik dan paling sempurna dibanding dengan makhluk Allah Ta’ala yang lain . Dalam hal ini Haji Hasan Mustopa ingin menegaskan bahwa Apabila manusia mengetahui dirinya sendiri, maka akan mengetahui kemuliaan yang ada dalam badannya.sendiri. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW; man arofa nafsahu faqod arofa robbahu........(6) artinya : siapa yang mengetahui dirimu sendiri, sudah apasti akan mengetahui Tuhannya waman arofa robbahu, faqod jahilan nafsahu.......(7) artinya : dan siapa yang mengetahui Tuhannya, maka dah pasti dirinya merasa bodoh, karena mengetahui jasadnya tidak akan bisa bulak balik jika tanpa ada daya dan kekutan dari Tuhannya.
Dalam penejelasan di sini, Haji Hasan Mustopa ingin menunjukkan bahwa jasad manusia hanya sekedar rangkanya saja. Oleh karenanya jika manusia ngajipun jangan mengaji kitab yang terkena rusak, tapi ngaji kitab yang langgeng/abadi, sebagaimana dalam hadits : iqro kitabaka kafa binafsika alyauma alaika hasiba. ......(8) artinya : Kalian harus ngaji kitab yang abadi, yakni harus ngaji kitab abadi yang terdapat dalam dirimu sendiri. Haji Hasan Mustopa menganjurkan untuk segera mencari qudrat irodat Tuuhan, dalam diri kita sendiri,dengan alasan : pertama, lebih nyata kekuasaan Tuhan itu dalam diri kita sendiri, dan lebih nyata keinginan Tuhan dalam dirinya sendiri. Kedua, lebih nyata ilmun Tuhan dalam dirinya sendiri, dan lebih nyata hidupnya Tuhan dalam dirinya sendiri, ketiga, dan lebih nyata melihat Tuhan dalam dirinya sendiri, keempat lebih nyata pendengaran Tuhan dalam diri nya sendiri, kelima, lebih nyata perkataan Tuhan dalam diri kita sendiri. seperti dalam dalilnya : wahuwa ma’akum ainama kuntum :........(9) artinya : Allah Ta’ala selalu menyertai ummatnya dimanapun meereka berada., aku disana berada. Tapi sesungguhnya yang dimaksud dibarengi oleh Allah ta’ala yaitu dengan qudrat dan irodatnya serta dengan ilmunya. Hal ini sejalan dengan sifat 20 yang merangkap-rangkap. Seperti :
Hayat dan hayan Hayat artinya hidup
Hayan Artinya yang hidup Sama dan sami;an Sama artinya mendengar Sami’an artinya yang mendengar
Basar dan basiron Basar artinya melihat Basiron artinya yang melihat Kalam dan mutakaliman Kalam artinya bicara Mutakaliman artinya yang bicara Qudrat dan irodat Qudrat artinya Kuasa Irodat artinya yang maha kuasa Dalam menjelaskan tentang Ma’rifat ini, Haji Hasan Mustopa mempertanyakan tentang “Apa yang kuasa dalam diri kita ?” kemudian ia mencoba menjawab, bahwa Yang kuasa dalam diri kita kecuali hidup, juga dibuktikan dengan kemampuan kita untuk bergerak. Irodat artinya kuasa, buktinya : Mata bisa melihat, Telinga bisa mendengar, Hidung bisa mencium, Mulut bisa bicara, Ini untuk membuktikan bahwa tidak terpisahkan antara qudrat dan irodat. Demikian penjaelasan Haji Hasan Mustopa tentang Ma’rifat yang dijadikan sebagai tonggak awal untuk mengetahui dan mengenal Tuhan
B. Doktrin Martabat Tujuh dalam Ajaran Haji Hasan Mustapa Hasan Mustapa menjelaskan ajaran Martabat Tujuh secara rinci, mulai dari menjelaskan cara pengucapan Allah dan Muhammad dihubungkan dengan ketujuh tingkatan dalam Martabat Tujuh, seperti tercantum dalam naskahnya yang ditulis di
Bandung pada bulan Mei tahun 1931. Dalam Naskah itu disebutkan bahwa tulisan ini sudah disalin lagi di Bayah (banten Girang) pada bulan Desember 1990 M. Dalam bab ini akan dimuat naskah utuh yang menjelaskan konsep Martabat Tujuhnya Haji Hasasn Mustopa, kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Martabat Alam Tujuh Nerangkeun Martabat Alam Tujuh (nganggo rucatan engangna kecap) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Alam Ahadiat hurup Al Jadi Allah Alam Wachdat hurup lah Alam Wahidiat hurup Mu Jadi Muhammad Alam Arwah hurup ham Alam Ajsam hurup mad Alam misal hurup A Jadi Adam Alam Insan Kamil hurup dam Buktina Alam Dunya oge eusina ngan tujuh powe, hakekatna nyaeta tina Alam anu kasebut di luhur, tegesna Alam nu tujuh teh lalakon Allah, Muhammad, Adam, kusabab eta wajib dikanyahokeunana ku sarerea. Upama urang arek nyusul kana asal, sabab lamun teu dikanyahokeun ti ayeuna jalan-jalanna jeung barang-barangna, atuh tangtu bakal sasab, momoal bisa balik deui kana Asal, sabab teu kapanggih deui jeung jalanna waktu tadi urang turun-turunna ti Aherat ka Alam Dunya. Ayeuna eta martabat Alam tujuh teh ku jisim kuring rek diterangkeun sarta make ibarat kalawan dibuktikeun ku Gambar supaya gampang dihartoskeunana.
Artinya :”Buktinya Alam dunia juga isinya hanya tujuh hari, hakekatnya adalah dari alam yang disebut di atas, tegasnya alam yang tujuh itu perjalanan (perbuatan )Allah, Muhammad, Adam, oleh karenanya wajib diketahui oleh semuanya. Jika kita mau menyusul pada asal, tetapi tidak diketahui jalan-jalan dan barang-barangnya, tentu akan nyasar, tadk akan bias balik lagi ke asal, kareana tidak ketemu lagi dengan jalannya waktu tadi kita turunnya dari akhirat kea lam dunia. Sekarang Alam Martabat Tujuh akan saya terangkan serata menggunakan ibarat dan dibuktikan dengan gambar supaya mudah tuk difahaminya.
Selaian itu Hasan Mustafa menjelaskan Martabat Tujuh disempurnakan dengan mencantumkan gamabar sbb:
GAMBAR
Tafsirna (Katerangan Gambar)
Tafsir gambar Katerangan A (Alam Ahadiyat)
Nyaeta Alam Ahadiat, martabat nu Maha Suci, dalilna Dat laesa kamislihi, hartina Dat anu teu aya upamana Artinya : (Yaitu alam ahadiyat, Martabat Yang Maha Suci, dalilnya Dat Laisa Kamislihi artinya Dat yang tidak ada persamaannya ) Bakat ku kumaha atuh anu matak teu beunang di umpamakeun teh? Naha bakating ku kawasana? Atawa bakating ku Agungna? Atawa bakating ku hiji-hijina? Artinya: kenapa samapai tidak bias diumpamakan ? Apakah karena kekuasaan-Nya? Atau karena keagungan-Nya?) Upama bakating ku Kawasana, kapan dina jaman eta mah teu acan aya dadamelanana, karana ngaran kawasa teh kudu bukti heula nu didamelna, kapan dina Alam Ahadiat mah sumawona manusa; Aherat jeuang Alam Dunya oge teu acan aya. Artinya: Apabila karean kekuasaannya, kan waktu itu belum ada perbuatannya?, karena naamanya buasa harus terbukti dulu perbuatannya, sementara di Alam Hadiyat itu jangankan manusia akherat dan alam dunia saja belum ada). Upama bakating ku Agungna, da tacan aya anu hina dina Alam Ahadiat mah karana aya basa Agung teh sanggeusna aya anu hina.(Apabila karena keagungan-Nya< belum ada yang hina di dalam alam ahadiyat, karena ada bahasa Agung itu setelah ada yang hina) Upama bakating ku Hiji-hijina, da kapan tacan aya dua jaman eta mah, sabab aya hiji teh sanggeus aya nu loba. (Apabila karebna satu-satunya, kan waktu itu belum ada dua, sebab ada satu itu setelah ada yang banyak ) Kumaha atuh pihartieunana? Supaya eta dalil Dat Laesa kamislihi teh jadi uni, kieu upamana mupakat mah, numatak Alam Ahadiat ku dalil Dat Laesa Kamislihi, hartina Dat anu teu aya upamana, sategesna nyaeta ku bakating Suci, hartina beresih teu aya sifat-sifatna acan sumawona jenenganana, naha rek diupamakeun jeung naon upama teu aya Sifatna, sabab di Saksian deui ku Dalil nu Maha Suci teh Billa haeffin hartina teu wana teu rupa, teu bereum, teu hideung, teu powek, teu caang, Billa Maqanin hartina teu arah, teu anggon, teu di kulon, teu di wetan, teu di kaler, teu di kidul, teu di luhur, teu di handap, tah kitu kateranganana, anu matak nu Maha Suci teh teu beunang diupama-upama, sumawon di enggon-enggon atawa dituduh-tuduh di ditu di dieu, lantaran kaburu lain. Sabab kalangan ku bukti. (Bagaimana pengertiannya ? agar dalail ttg laisa Kamislihi menjadi bunyi, begini jika mupakat, Penyebab Alam AHdiyat dengan dalil LAisa Kamisluhi, artinya dat yang tidak ada semisalnya, sesungguhnya adalah karena begitu sucinya, artinya bersih, tidak ada sifat-sifatnya, apalagi namanya,
apakah mau diumpamakan dengan apa yang tidak ada sidfatnya, sebab disaksikan lagi dengan dalil yang MAha Suci itu Billa Haefin artinya tidak ada warna tidak ada rupa, tidak merah, tidak hitam, tidak gelap, tidak terang, BILLa Maqonin, artinya Tidak ada arah, tidak tempat, tidak barat, tidak timur, tidak utara, tidak selatan, tidak di atas tidak di bawah, ityulah penjelasannya, oleh karenanya Yang Maha Suci itu tidah bias diumpamakan, begitu juga ditempatkan, atau dituduh-tuduh di sana sini sebab kaburu lain, sebab terhalang oleh bukti
Katerangan B Alam Wachdat, martabat Sifatna nu Maha Suci, jadi dina Alam Wachdat mah nu Dat Laesa Kamislihi teh jadi Dat Sifat, rupana Caang Padang nyaeta nu kasebut Johar Awal, Johar hartina Caang, Awal hartina mimiti, jadi nyaeta nu pangheula-heulana aya samemeh Bumi jeung Langit; sumawona manusa, tah eta Johar Awal teh nu kasebut Hakekat Muhammad tea Kapan ceuk hadis oge Muhammad teh awal-awalna pisan, sabab Johar Awal teh Nur, tegesna Cahayana nu Maha Suci, malah ceuk para Wali mah Sagara Hirup, atawa Sajatining Sahadat, karana gulungna Dat jeung Sifat atawa Allah Muhammad dina Hakekatna.( Alam Wahdat, martabat sifatnya Yang MAha Suci, Jadi dalam alam wahdat yang Dat laisa kamislihi menjadi dat sifat, rupanya terang yaitu tesebut degan Johar Awal, johar artinmya terang, awal artinya pertama, jadi yaitu paling dahulu ada yang mula Bumi dan langit; begitu juga manusia, nah itu johar awal itu Nur, tegasnya cahaya yang maha suci, malah kata para wali adalah samudra hidup, atau sejatinya sahadat, karena gulungnya dat dan sifat atau Allah Muhammmada dalam hakikatnya.
Katerangan C (Alam Wahdat) Alam Wahidiat, martabatna Asmana nu Maha Suci. Kejadian tina Johar Awal Alam Wachdat tadi bijil Sorotna jadi Cahaya opat rupa, nyaeta: { Alam Wahidiat, martabatnya asmanya Yang Maha Suci. Kejadian dari Johar Awal alam wahdat tadi keluar dari cahaya empat rupa, yaitu : ) 1. 2. 3. 4.
Narun cahaya Beureum Hawaun cahaya Koneng Maun cahaya Bodas Turobun cahaya Hideung (1. Nurun cahaya merah, hawaun, cahaya kuning, Maun cahaya putih, turobuh cahaya hitam ) Jadi eta cahaya nu opat perkara teh nu disebut Nur Muhammad tea, ari Muhammadna mah Johar Awal, barang eta. Nur Muhammad cahaya nu opat perkara teh disebutna Hakekat Adam, nyaeta Asmana nu Maha Suci. (itu Jadi cahaya yang empat perkara yang disebut Nur Muhammad, kalau Muhammadnya jauhar awal, barang itu, Nur Muhammad cahaya yang empat perkara disebutnya Hakekat Adam, yaitu asmanya Yang Maha Suci)
Cahaya anu Beureum jadi hakekatna lapad Alip ( ) ا Cahaya yang merah hakikatnya lafad Alif ( ) ا Cahaya anu Koneng jadi hakekatna lapad Lam-awal ( ) ل Cahaya yang kuning jadi hakikatnya lafad lam awal ( ) ل Cahaya anu Bodas jadi hakekatna lapad Lam-ahir ( ) ل Cahjaya yang putih jadi hakikatnya lafad lam akhir ( ) ل Cahaya anu Hideung jadi hakekatna lapad He ( ) ه Cahaya yang hitam jadi hakikatnya lafad ha ( ) ه Johar Awal jadi hakekatna lapad Tasjid ( ◌ّ ) Johar awal jadi hakikatnya lafad tasdid ( ◌ّ ) Sareatna nya jadi lapad Allah, jadi eta Cahaya nu kasebut di luhur teh, nu ngajadikeun bibit Tujuh Bumi, Tujuh Langit sarawuh eusina kabeh Sanajan Agama oge asalna tidinya bae. Jadi sariatnya lapad allah, jadi cahaya yang disebut di atas, yang menjadikan bibit tujuh bumi, tujuh langih dan seluruh isinya, walaupun agama asalnya dari situ juga. 1. Ayana Sahadat nyaeta ku ayana Johar Awal 2. Ayana Solat nyaeta ku ayana Cahaya Beureum 3. Ayana Jakat nyaeta ku ayana Cahaya Koneng 4. Ayana Puasa nyaeta ku ayana Cahaya Bodas 5. Ayana M. Haji nyaeta ku ayana Cahaya Hideung -adanya sahadat yaitu karena adanya johar awal -adanya solat yaitu karena adanya cahaya merah -adanya zakat yaitu karena adanya cahaya kuning -adanya puasa yaitu karena adanya cahaya putih - adanya M; haji yaitu karena adanya cahaya hitam Sanajan waktu oge aya lima waktu: Walaupun waktu juga ada lima waktu 1. 2. 3. 4. 5. -
Subuh bagian Nabi Adam Lohor bagian Nabi Ibrohim Asar bagian Nabi Enoh Magrib bagian Nabi Isa Isa bagian Nabi Musa Subuh bagian nabi adam, Dhuhur bagian anbi Ibrahim Asar bagian nabi Nuh Maghrib bagian nabi Isa Isa bagian nabi Musa
Pertingkahna Solat (Sembahyang) oge 5 perkara: Prilaku shalat juga 5 perkara 1. Nangtung 2. Takbiratul Ihrom 3. Ruku 4. Sujud 5. Lungguh - Berdiri - Takbiratul ihrom - Ruku - Sujud - Duduk Sahabat oge aya 4 ka 5 Kanjeng Nabi Sahabat juga ada 4 dan ke 5 Nabi Muhammad 1. Sahabat Abubakar 2. Sahabat Umar 3. Sahabat Usman 4. Sahabat Ali 5. Kanjeng Rasulullah Sahabat Abu Bakar Sahabat Umar Sahabat Usman Sahabat Ali Rasulullah Di Mekah aya Imam Opat ka Lima Baetullah Di Makkah ada empat imam dan yang kellima baetullah 1. 2. 3. 4. 5.
Imam Maliki Imam Hanapi Imam Sapi’i Imam Hambali Baetullah Imam Maliki Imama hanfi Imam Syafi’i Imam Hambali Baeullah Tah geuning sidik kabeh oge tina Asmana Allah, hakekatna nyaeta Nur Muhammad cahaya opat perkara ka lima Johar Awa. Di sini jelas, bahwa semuanya itu dari asma Allah, hakikatnya yaitu Nur Muhammad, cahaya empat perkara yang kelima Johar Awal. .
Katerangan D Alam Arwah, martabat Af’alna nu Maha Suci; nyaeta Af’alna Allah ta’ala ngajadikeun ieu alam Dunya, kieu ceuk elmu akal mah ngadamelna teh Ibarat dina Bioscoop mah nyaeta Istijradna bangsa Walanda, Alam Wachdat nyaeta Johar Awal teh lir ibarat Listrikna, ari Nur Muhammad Alam Wahidiat ibarat kacana. Alam Arwah. Martabat af’alnya yang Maha suci, yaitu Af’alna Allah Ta’ala yang menjadilakn alam dunia, ilmu akal mengatakan membuatnya itu diibaratkan di bioskop itu adalah istijradnya bangsa Belanda, Alam Wachdat yaitu Johar Awal, seperti listriknya, Nur Muhammad alam wahidiyat seperti cerminnya. Narun ibarat kaca Beureum Hawun ibarat kaca Koneng Maun ibarat kaca Bodas Turobun ibarat kaca Hideung Narun seperti kaca merah Hawun seperti kscs kuning Maun seperti kaca putih Turobun seperti kscs hitam Barang eta kaca nu opat rupa disorot ku Johar Awal, kajadian bijil kalangkangna. Tina kaca Beureum jadi Seuneu Alam Dunya Tina kaca Koneng jadi Angin Alam Dunya Tina kaca Bodas jadi Cai Alam Dunya Tina kaca Hideung jadi Bumi Alam Dunya Apabila kaca yang empat itu disorot oleh Jaohar Awal maka akan keluar bayangannya, Dari kaca merah menjadi api alam dunia Dari kaca kuning menjadi angin alam dunia Dari kaca putih menjadi air alam dunia Ari kaca hitam menjadi bumi alam dunia
Ku kawasa-kawasana Allah ta’ala bleg bae jadi ieu Alam Dunya, nyaeta Jagat kabir, jadi sategesna Alam Dunya teh kajadian tina Nur Muhammad. Karena kekuasaan Allah Ta’la maka jadilah alam dunia, yaitu jagad raya a9kabir), jadi tegasnya alam dunia itu kejadiannya dari Nur Muhammad. Katerangan E Alam ajsam; martabat manusa, sanggeusna ngadeg ieu Alam Dunya, Gusti nu Maha Suci bade ngersakeun deui midamel Adam Majaji, terus nimbalan ka Malaikat, miwarang turun ka Alam Dunya kudu nyokot aci seuneu, aci angin, aci cai, aci bumi, gancangna geus beunang eta aci-aci anu opat perkara teh terus didamel: Alam Ajsam: martabat manusia, setelah berdirinya alam dunia, Tuhan yang Maha Suci ingin menciptakan Adam Majaji, kemudian memanggil Malaikat, memerintahkan untuk turun ke alam dunia untuk mengambil saripati (aci) api, saripati angin, saripati air, saripati bumi, dan setelah dapat saripati yang empat itu kemudian dibuat: Aci Bumi kajadian kulit bulu Adam Aci Seuneu kajadian getih daging Adam Aci Cai kajadian urat balung Adam Aci Angin kajadian otot sungsum Adam Saripati bumi menjadi kulit bulu adam Saripati Api menjadi darah daging adam Saripati air menjadi urat tulang adam Saripati angin menjadi otot sungsum adam Ku kawasana Allah ta’ala, jleg bae jadi dalil Muhammad; nyaeta Mim ( ) م, He ( ) ه, Mim ( ) م, Dal ( ) د: Cahaya nu Hideung jadi hakekat lafad Mim - awal Cahaya nu Bodas jadi hakekat lafad He Cahaya nu Koneng jadi hakekat lafad Mim - ahir Cahaya nu Bereum jadi hakekat lafad Dal Johar Awal jadi hakekat lafad Tasjid Dengan kekuasaaan Allah maka jadilah dalil Muhammad, yaitu Mim ( ), Ha ( ), mim ( ), dal ( ): Cahaya yang hitam jadi hakikat lafad mim – awal
Cahaya yang putih menjadi hakikat lafad ha Cahaya kuning, menjadi hakikat lafad mim – akhir Cahaya merah menjadi hakikat lafad dal Johar awal jadi hakikat lafad tasdid Sare’atna nya jadi lafad Muhammad atawa sabalikna tina Lafad Allah. Mim awal lafad Muhammad tegesna Sirah He lafad Muhammad tegesna Dada Mim ahir lafad Muhammad tegesna Udel Dal lafad Muhammad tegesna Suku Sariatnya menjadi lafad Muhammad atau sebaliknya dari lafadz Allah Mim awal lafad Muhammad tegasnya kepala Ha lafadz Muhammad tegasnya dada Mim akhir lafadz Muhammad tegasnya pusar Dal lafadz Muhammad tegasnya kaki Keterangan F Tidak ada penjelasannya di dalam naskah ini Ditemukan penjelasan dalam naskah lain: “Adji wiwitan Martabat Tujuh” dikemukakan, bahwa Alam misal “patunggalan nu UNGGUL jadi GUSTINA, unggal djisim anu badag nyembah kanu badag, nu ALUS nyembah kanu alus. Pada penjelesan lain disebutkan bahwa lautan missal “ disebutkan “ Loba djisim hidji rupa, asalna alam sahiji. Artinya : Alam misal penyatuan uyang UNGGUL menjadi GUSTI-nya Katerangan G Alam Insan Kamil, martabat kasampurnaan, samangsa-mangsa manusa di Dunya geus bisa Ma’rifat kana sipatna Allah ta’ala nu kasebut Johar Awal tea, atawa Alam Wachdat (Katerangan B) tadi, eta Elmuna geus tepi kana Pangkat Insan Kamil, hartina Manusa Sampurna, engke dina maotna bakal jatoh kana Pangkat Kamil Mukamil, hartina Sampurnaning Sampurna, beak rasana, beak jasmanina, jadi Dat Laesa kamislihi deui, saperti waktu tadi samemeh urang turun ka Alam Dunya. Katerangan G
Alam Insan Kamil, martabat kesempurnaan, ketika manusia di dunia sudah bisa ma’rifat sifatnya Allah ta’ala yang disebut Johal Awal, atau alam wahdat (keterangan B) yang disebut di atas. Itu ilmunya sudah sampai pada pangkat insan kamil, artinya manusia sempurna, nanti pada waktu meninggalnya adan menjadi pangkat kamil mukamil. Artinya sempunanya sempurna, abis rasanya, baik jasmaninya, menjadi zat laisa kamislihi lagi, seperti waktu sebelum kita turun kea lam dunia. Dalam Naskah “Adji Wiwitan Martabat Tujuh” Haji Hasan Mustopa menjelaskan konsep Martabat Tujuh sbb: 56 1. Ahadiat, Dat anu matak taya pamentana 2. Wahdat, Sipat nu matak menta kahidji, aya kana dat, sabab euweuh sifat henteu Datan. Datmah teu sipatan. 3. Wahidiyat, eta asma, numatak menta dua, nya eta kana dat jeung sipat, sabab unggal asma boga sipat, unggal sipat boga dat. Hartina unggal-unggal ngaran boga PATUT. Unggal PATUT teu engang tina DAT. Wahdaniat eta AFAL, nu matak menta tilu, nyaeta ahadiat, wahdat, wahidiat. 4. Arwah, hartina arwah nyawa 5. Misal hartina patut 6. Adjsam hartina bungkeuleukan 7. Insan Kamil hartina pepek, sampuna teu aya kakurang, sabab geus jadi pakumpulan martabat. Artinya: Ahadiat, dat yang tidak ada permintaannya, Wahdat, sifat yang menyebabkan minta pertama, ada pada dat, sebab tidak ada dat yang tidak ada datnya. Dat itu tidak ada sifatnya. Wahidiyat, itu asama, yang menyebabkan minta dua, yakni pada dat dan sipat, sebab setiap asma mempunyai sipat, setiap sipat mempunyai dat. Aryinya setiap nama mempunyai PATUT. Setiap PATUT tidak lepas dari dat. Wahdaniat eta af’al, sehingga minta tiga, ahadiat, wahdat, wahidiat. Arwah, artinya arwah jiwa Misal , artinya patut, harus Adjsam artinya fisik (badan kasar Insan Kamil artinya lengkap , sempurna tidak ada kurang, sebab sudah menjadi kumpulnya martabat.
Haji Hasan Mustopa dalam kedua naskah ini mencoba menjelaskan konsep martabat tujuh dengan menafsirkan lafad Lailaha illallah dengan berbagai makna. Misalnya menguhubungkan huruf yang terdapat pada lafad lailahaillah dengan warna, rukun Islam, waktu shalat, gerakan shalat, dan nama-nama para sahabat nabi, dan nama imam madzhab. Hal ini dilakukan untuk mempermudah 56
Haji Hasan Mustopa, “Adji Wiwitan Martabat Tujuh”UndakUndukna Manusa, Kenging ngumpulkeun Wangsaatmadja, sareng Panitia, h. 1-2
pemahaman tentang konsep martabat tujuh yang sangat sulit dipahami oleh masyarakat awam. Pengunaan warna, nama sahabat, rukun Islam, dll, yang dijelaskan dalam naskah tersebut, karena istilah itu yang lebih akrab dan sering didengar oleh masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat sunda ketika itu. Pengaetahuan tentang Ma’rifat bagi Haji Hasan Mustopa menjadi hal yang sangat penting di dalam mengawali pemahaman terhadap konsep Martabat tujuh. Karena konsep ini yang akan memudahkan dan mempercepat dalam mempelajari konsep martabat tujuh bagi masyarakat yang lebih luas.
jika kita mau bandungkan dengan penjelasan syaikh abdul muhyi tentang martabat tujuh dalam “martabat kang pipitu”, ia mengawalinya memberikan gamabaran yang sangat jelas bahwa ia ingin memggarisbawahi adanya perbedaan antara tuhan dan hamba dan memberikan vonis kafir billah bagi orang yang tidak beranggapan seperti itu. nampaknya penegasan ini dilatarbelangi oleh beberapa hal : a. AJARAN
MARTABAT TUJUH YANG AKAN DISAMPAIKANNYA KHAWATIR DISALAHPAHAMI OLEH
PARA PENGIKUTNYA. BERDASARKAN PENGALAMAN PENDAHULUNYA YAKNI HAMZAH FANSURI DAN SYAMSUDDIN SUMATRANI, AJARAN WAHDAT AL-WUJUD ATAU AJARAN MARTABAT TUJUH INI (KARENA SULIT DIPAHAMI ARANG AWAM) BANYAK DISALAHPAHAMI. KESALAHPAHAMAN TERHADAP
AJARAN
INI
MENGAKIBATKAN
DIMAKSUDKAN UNTUK MENGHUJAT TUDUHAN TERSEBUT
57
DIKEMUKAKAN
MUNCULNYA
TUDUHAN-TUDUHAN
AJARAN WAHDAT AL-WUJUD. DIANTARA AL-RANIRY TERHADAP AJARAN
YANG
TUDUHAN-
HAMZAH FANSURI,
YAKNI:
b. syekh abdul muhyi ingin mengawali pembicaraan martabat tujuh, dengan ajaran tauhid yang tentunya sangat berkaitan dengan tasawuf. ajaran tasawuf berlandaskan pada akidah islam, sedangkan dalam akidah islam konsep tauhid merupakan salah satu aspek yang dianggap paling vital, terutama dalam konteks hubungan manusia dengan tuhan (hablum min allah). begitu pentingnya keberadaan tauihid dalam islam, seseorang yang tidak bertauhid 57
SYED MUHAMMAD NAGUIB AL-ATTAS, THE MYSTICISM OF HAMZAH FANSURI, (KUALA LUMPUR: UNIVERSITY OF MALAYA PRESS, 1970) H..18. LIHAT JUGA SYED MUHAMMAD NAGUIB AL-ATTAS, RANIRY AND THE WUJUDIYYAH OF 17TH CENTURY ACHEH, (MBRAS, 1966) H. 31.
bisa dianggap sebagai orang kafir. tauhid bagi orang awam barangkali hanya merupakan penegasan yang membedakan dirinya sebagai seorang mukmin dengan seorang kafir atau musyrik (orang yang menduakan tuhan). akan tetapi bagi seorang sufi tauhid merupakan pintu yang terbuka untuk memahami dan masuk dalam realitas hakiki, yaitu al-haqq, allah swt. c.
SYEKH ABDUL MUHYI
SEBAGAI
MURID ABDUL RAUF SINGKEL
BANYAK MENGIKUTI AJARAN
GURUNYA. ABDUL RAUF SINGKEL SEBAGAIMANA KITA KETAHUI DALAM MEMAHAMI AJARAN WAHDAT AL-WUJUD MENGANUT KONSEP AL-FAID DAN AZ-ZIL. IA SANGAT HATI-HATI DALAM MENGEMUKAKAN AJARAN TERSEBUT. IA MENCOBA UNTUK MENJAUHKAN PADA SATU PEMAHAMAN BAHWA WAHDAT ALWUIJUD MERUPAKAN DOKTRIN YANG MENGAJARKAN KESATUAN ANTARA TUHAN DAN ALAM SECARA MUTLAK. ABDUL RAUF JUGA DIKENAL SEBAGAI TOKOH MODERAT DALAM MENANGGAPI AJARAN WAHDAT AL-WUJUD. IA MENEKANKAN TERHADAP KESELARASAN DOKTRIN TERSEBUT DENGAN ALQUR’AN DAN HADITS NABI. ACEH SAAT ITU.
58
HAL INI NAMPAKNYA TIDAK LEPAS DARI KONTEKS SOSIAL MASYARAKAT
59
Hal ini memberikan indikasi pada kita bahwa ada dua situasi yang berbeda, ketika zaman Syaikh Abdul Muhyi dan Haji Hasan Mustopa menyebarkan teori Martabat Tujuh ini. Pada masa Syaikh Bdul Muhyi masih sangat lekat pada masyarakat tentang konsep Wahdat al-Wujud yang dianggap menyeleweng dan dianggap sesat. Sehingga ketika teori Martabat Tujuh ini, dimasyarakatkan di khalayak umum, Syaikh Abdul MJUhyi menganggap penting untuk menjaganya dengan memberikan pondasi tauhid yang kuat.
58
OMAN FATHURRAHMAN, MENYOAL WAHDATUL WUJUD KASUS ABDURRAUF SINGKEL DI ACEH ABAD 17, (JAKARTA: MIZAN, 1999) H. 51A 59
KETIKA ABDUL RAUF BERANGHKAT KE MAKKAH SEKITAR TAHUIN 1642, DI ACEH SEDANG TERJADI PERTIKAIAN DAN KONTROVERSI ANTARA SEORANG ULAMA ORTODOKS, AL-RANIRY DENGAN PENGANUT DOKTRIN WUJUDIYAH HAMZAH FANSURI DAL SYAMSUDDIN SUMATRANI.
Sedangkan pada masa Haji Hasan Mustopa, situasinya sudah sedikit berbeda, tidak terlalu menghawatirkan akan tuduhan kesesatan dan penyelewengan terhadap pemahaman konsep Maertabat Tujuh dan wahdat al-wujud, tetapi yang menjadi fokus utama adalah bagaimana konsep Martabat tujuh ini mudah dipahami dan dimengerti oleh berbagai kalangan. Sehingga bahasa, yang digunakanpun yang sangat mudah dan dekat dengan masyarakat umum.
BAB V PENUTUP Kesimpulan 1. Haji Hasan Mustopa mencoba membumikan konsep Martabat Tujuh dengan pemahaman yang lebih sederahana, supaya mudah dimengerti oleh masyarakat awam. Diantaramya dengan menggunakan puisi yang mengandung nada dan berbahasa sunda (guritan), agar enak didengarm mudah diingat, dan mudah dipahami. 2. Haji Hasan Mustapa salah seorang tokoh Tasawuf yang berasal dari kalangan elite pribumi, dari keluarga camat perkebunan di Cikajang, Garut. Ia mempunyai dua kekuatan yang melekat pada dirinya, yaitu sebagai seorang “menak“ sunda dan sebagai seorang santri. Dua factor ini merupakan dua hal yang berbeda, bahkan dalam konteks kesundaan, terjadi “kesenjangan” antara kaum ménak dan ulama atau santri dari kalangan pesantren, yang dihasilkan dari kebijakan colonial. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan secara tidak langsung berdampak pada perbedaan orientasi budaya. Haji Hasan Mustopa mewakili sosok ménak yang sangat kuat bergumul dengan aktifitas sastra dan budaya Sunda. Sementara factor lain yang dimiliki oleh ahji hasan Mustopa sebagai seorang santri dianmggap mampu mengembangkan tradisi lokal pesantren yang didominasi oleh tradisi Islam.
Daftar Pustaka Abady, HM. Yusrie. “Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Propinsi Jawa Barat”, dalam Musda Mulia, dkk. (edit.), Katalog Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Indonesia II, Jakarta: Balitbang Agama Depag, 1998 Abdullah, Muhammad. “Paham Wahdat al-Wujud dalam Naskah Satariyah Karya Syeikh Abdurrouf Singkel: Suntingan Teks dan Pengungkapan Isinya”, Jakarta: Penelitian,1995). ______. “Doktrin Wahdah al-Wujud Ibn ‘Arabi dalam Naskah Syattariyah: Suntingan dan Kajian Isi Teks”, Jakarta: Tesis UI, 1996 Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Prenada, 2004. edisi revisi. Behrend (penyunt.), T.E. Katalog Induk Naskah –naskah Nusantara Jilid 4, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta: YOI-EFDO, 1998 Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1999. cet. III Christomy, Tommy. “Shattariyyah Tradition in West Java: the Case of Pamijahan”, Studia Islamika, 8/2: 2001 ______. Signs of the Wali: Narratives at The Sacred Sites in Pamijahan, West Java, Australia: ANU Press, 2008 Ekadjati, Edi S. dan Undang A. Darsa. Oman Fathurrahman (penyunt.) Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: YOI-EFEO, 1999. Fariza, Atiek. “Tarekat Syattariah di Keraton Kanoman Cirebon”, Jakarta: Skripsi UI, 1989 Fathurrahman, Oman. Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks Jakarta: Prenada, 2008 Haeri, Syaikh Fadhlallah. Jenjang-jenjang Sufisme, penterj. Ibnu Burdah dan Shohifullah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000 Muhaimin, AG. The Islamic Traditions of Cirebon: Adat and Among Javanese Muslims, Australia: ANU Press, 1995 _____. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, penterj. A. Suganda. Jakarta: Logos, 2002, cet. II Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. “Kodikologi Melayu di Indonesia”, Lembar Sastra edisi khusus No. 24 Fakultas Sastra UI Depok; Mustapa, Hasan, Elmu Kama’rifatan ka Allah Ta’ala, Bandung, 1993, Naskah disalin lagi di Bayah, (Banten Girang) pada bulan Desember 1990 M. _____________, Adji Wiwitan Martabat Tudjuh Undak Usukna Manusa, dikumpulkan oleh Wangsaatmadja dan Tim, Tp.tahun _____________, 16 bundel Naskah, yang akan dijadikan bahan penelitian Nicholson, Reynold A. Mistik dalam Islam, penterj. tim BA. Jakarta: Bumi Aksara, 1998 Pudjiastuti, Titik. Naskah dan Studi Naskah: Sebuah Antologi. Bogor: Akademia, 2006
Rahman, Fazlur. Islam, penterj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1997. cet. III. Robson, S.O. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia, penterj. Kentjanawati Gunawan. Jakarta: RUL, 1994 Safari, Achmad Opan. “Tarekat Sattariyah Kraton Kaprabonan Suatu Kajian Filologis”, Bandung: Tesis Unpad, 2010 Schimmel, Annemarie. DimensiMistik dalam Islam, penterj. Sapardi Djoko Damono, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009. cet. III. al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami. al-Qahirah: Dar alSaqafah, 1983 _______. Sufi dari Zaman ke Zaman, penterj. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985 Teeuw, A. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya, 2003. cet. III Trimingham, J. Spencer The Sufi Orders in Islam. Oxford: Oxford University, 1971
Daftar Pustaka
Abady, HM. Yusrie. “Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Propinsi Jawa Barat”, dalam Musda Mulia, dkk. (edit.), Katalog Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Indonesia II, Jakarta: Balitbang Agama Depag, 1998
Abdullah, Muhammad. “Paham Wahdat al-Wujud dalam Naskah Satariyah Karya Syeikh Abdurrouf Singkel: Suntingan Teks dan Pengungkapan Isinya”, Jakarta: Penelitian,1995). ______. “Doktrin Wahdah al-Wujud Ibn ‘Arabi dalam Naskah Syattariyah: Suntingan dan Kajian Isi Teks”, Jakarta: Tesis UI, 1996 Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Prenada, 2004. edisi revisi. Behrend (penyunt.), T.E. Katalog Induk Naskah –naskah Nusantara Jilid 4, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta: YOI-EFDO, 1998 Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1999. cet. III Christomy, Tommy. “Shattariyyah Tradition in West Java: the Case of Pamijahan”, Studia Islamika, 8/2: 2001 ______. Signs of the Wali: Narratives at The Sacred Sites in Pamijahan, West Java, Australia: ANU Press, 2008 Ekadjati, Edi S. dan Undang A. Darsa. Oman Fathurrahman (penyunt.) Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: YOI-EFEO, 1999. Fariza, Atiek. “Tarekat Syattariah di Keraton Kanoman Cirebon”, Jakarta: Skripsi UI, 1989 Fathurrahman, Oman. Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks Jakarta: Prenada, 2008 Haeri, Syaikh Fadhlallah. Jenjang-jenjang Sufisme, penterj. Ibnu Burdah dan Shohifullah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000 Muhaimin, AG. The Islamic Traditions of Cirebon: Adat and Among Javanese Muslims, Australia: ANU Press, 1995 _____. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, penterj. A. Suganda. Jakarta: Logos, 2002, cet. II Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. “Kodikologi Melayu di Indonesia”, Lembar Sastra edisi khusus No. 24 Fakultas Sastra UI Depok; Mustapa, Hasan, Elmu Kama’rifatan ka Allah Ta’ala, Bandung, 1993, Naskah disalin lagi di Bayah, (Banten Girang) pada bulan Desember 1990 M.
_____________, Adji Wiwitan Martabat Tudjuh Undak Usukna Manusa, dikumpulkan oleh Wangsaatmadja dan Tim, Tp.tahun _____________, 16 bundel Naskah, yang akan dijadikan bahan penelitian Nicholson, Reynold A. Mistik dalam Islam, penterj. tim BA. Jakarta: Bumi Aksara, 1998 Pudjiastuti, Titik. Naskah dan Studi Naskah: Sebuah Antologi. Bogor: Akademia, 2006 Rahman, Fazlur. Islam, penterj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1997. cet. III. Robson, S.O. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia, penterj. Kentjanawati Gunawan. Jakarta: RUL, 1994 Safari, Achmad Opan. “Tarekat Sattariyah Kraton Kaprabonan Suatu Kajian Filologis”, Bandung: Tesis Unpad, 2010 Schimmel, Annemarie. DimensiMistik dalam Islam, penterj. Sapardi Djoko Damono, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009. cet. III. al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami. al-Qahirah: Dar al-Saqafah, 1983 _______. Sufi dari Zaman ke Zaman, penterj. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985 Teeuw, A. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya, 2003. cet. III Trimingham, J. Spencer The Sufi Orders in Islam. Oxford: Oxford University, 1971 Abou al-Bakr, Omaima. “The Symbolic Function of Metaphor in Medieval Sufi Poetry: The Case of Shushtari”, Alif: Journal of Comparative Poetics. 12 (1992): 40-57. Akkach, Samer. “The World of Imagination in Ibn 'Arabi's Ontology”, British Journal of Middle Eastern Studies, 24.1 (1997): 97-113. Azra, Azyumardi. The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of MalayIndonesian and Middle Eastern ‘Ulama>’ in the seventeenth and eighteenth centuries. Honolulu: ASAA-Allen & Unwin and University of Hawai’i Press, 2004. Braginsky, V. I. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. trans. Hersri Setiawan. Jakarta: INIS, 1998. ___. “Some remarks on the structure of the Syair Perahu by Hamzah Fansuri.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 131.4 (1975): 407-426. Brouwer, M.A.W. Perjalanan Spiritual dari Gumujeng Sunda, Eksistensi Tuhan, sampai Siberia. Jakarta: KPG, 2003. Burckhardt, Titus. Introduction to Sufi Doctrine. Indiana: World Wisdom, 2008. Burhanudin, Jajat. Ulama & Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia. Bandung: Mizan, 2012. Chittick, William C. “The Spiritual Path of Love in Ibn al-'Arabi and Rumi”, MysticsQuarterly. 19.1 (1993): 4-16. ___. Ibn ‘Arabi Heir to the Prophet. Oxford: One World, 2005.
Christomy, Tommy. Signs of the Wali: Narratives at the Sacred Sites in Pamijahan, West Java. Canberra: ANU E Press, 2008. Coolsma, S. Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek. Leiden: A. W. Sijthoff’s UitgeversMaatschappij, 1913. ___. Tata Bahasa Sunda. trans. Husein Widjajakusumah dan Yus Rusyana. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985. Ekadjati, Edi S. Naskah Sunda. Bandung: Lembaga Penelitian Unpad-The Toyota Foundation, 1988. ___. Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya, 2009. Fathurahman, Oman. Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Thariq al-Qusyasyiyy: Tanggapan AlSinkili terhadap Kontroversi Doktrin Wujudiyyah di Aceh pada Abad XVII (Suntingan Teks dan Analisis Isi). Thesis. Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998. ___. Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta: Prenada Media, EFEO, PPIM, KITLV, 2008. ___. Filologi dan Islam Indonesia. Jakarta: Kementerian Agama RI Balitbangdiklat Puslitbang Lektur Keagamaan Jakarta, 2010. Halligan, Fredrica R. “The Creative Imagination of the Sufi Mystic, Ibn 'Arabi.” Journal of Religion and Health. 40.2 (2001): 275-287. Jahroni, Jajang. “The Life and Mystical Thought of Haji Hasan Mustafa (1852-1930).” Thesis Leiden University. 1999. Johns, A.H. “Sufism in Southeast Asia: Reflections and Reconsiderations.” Journal of Southeast Asian Studies 26.1 (1995): 169-183. Kartni, Tini, Ningrum Djualeha, Saini K.M. dan Wahyu Wibisana. Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud Jakarta, 1985. Keeler, Annabel. “Sufi tafsir as a mirror: al-Qushayrī the murshid in his Laṭāʾif al-ishārāt”, Journal of Qur'anic Studies. 8.1 (2006): 1-21. Kunto, Haryoto. Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung: PT. Granesia, 1986. Laffan, Michael Francis. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, The Umma below the Winds. London-New York: Routledge Curzon, 2003. Lubis, Nina H. Kehidupan Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998. ___. ed. Sejarah Tatar Sunda. Vol. I. Bandung: Lembaga Penelitian Unpad, 2003. Millie, Julian Patrick. “Splashed by the Saint: Ritual Reading and Islamic Sanctity in West Java.”Diss. Leiden University. 2006. Moriyama, Mikihiro. Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak dan Kesastraan Sunda Abad ke-19. trans. Suryadi. Jakarta: KPG, 2005. Muhaimin, A. G. The Islamic Traditions of Cirebon. Canberra: ANU E Press, 2006. Mustapa, Haji Hasan. Gendingan Dangding Sunda Birahi Katut Wirahmana Djilid A. Bandung: Jajasan Kudjang, 1976. ___. Kinanti Kulu-kulu. Bandung: Kiblat, 2009. Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslims Sages. New York: Caravan Books, 1997. Nicholson, Reynold A. The Mystics of Islam. Indiana: World Wisdom, 2002. Rigg, Jonathan. A Dictionary of the Sunda Langage of Java, Kamus Sunda-Inggris. Bandung: Kiblat, 2009.
Rikin, W. Mintardja. Peranan Sunat dalam Pola Hidup Masyarakat Sunda. Bogor: S.N., 1994. Rosidi, Ajip. Ngalanglang Kesusastran Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983. ___. Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana. Bandung: Pustaka, 1989. ___. Manusia Sunda. Bandung: Kiblat Pustaka Utama, 2009. ___. Guguritan. Bandung: Kiblat, 2011. ___. ed. Ensiklopedi Sunda, Alam, Budaya, dan Manusia. Jakarta: Pustaka Jaya, 2003. Santrie, Aliefya M. “Martabat Alam Tujuh Karya Syaikh Abdul Muhyi.” Warisan Intelektual Islam Indonesia Telaah atas Karya-Karya Klasik. Ed. Ahmad Rifa’i Hassan.Bandung: Mizan, 1992. Satjadibrata, R. Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat, 2005. Sells, Michael. “Ibn 'Arabi's Polished Mirror: Perspective Shift and Meaning Event”, StudiaIslamica. 67 (1988): 121-149. Setiawan, Hawe, “Cangkang Suluk Dangding HHM sebagai Wadah Mistisisme Islam”, paper in Sawala Mesek Karya HHM, UIN Bandung, 2009. Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Jakarta: UI-Press, 1988. Soebardi, S. The Book of Cebolek. Leiden: KITLV-The Hague-Martinus Nijhoof, 1975. Spiller, Henry. Gamelan, The Traditional Sound of Sunda. California: ABC-CLIO, 2004. Tim Peneliti IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, "Wawacan Nasehat Haji Hasan Mustafa." Naskah Klasik Keagamaan Nusantara II: Cerminan Budaya Bangsa. Ed. Fadhal Bafadal & Asep Saefullah. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, MORA, 2006. Yahya, Iip Dzulkifli. “Ngalogat di Pesantren Sunda: Menghadirkan yang Dimangkirkan” Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Ed. Henri Chambert-Loir. Jakarta: KPG, 2009. Wessing, Robert. “Cosmology and Social Behavior in A West Javanese Settlement.” Diss. the University of Illinois at Urbana-Champaign, 1974. Wildan, Dadan. Sunan Gunung Jati antara Fiksi dan Fakta: Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural.Bandung: Humaniora Press, 2002. Zoetmulder, P. J. Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. trans. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.