LAPORAN PENELITIAN
BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM KEDUDUKANNYA SEBAGAI JUSTICE COLLABORATOR (STUDI KASUS PERKARA NOMOR: 145/Pid.Sus/2013/PN.Smg)
OLEH: IMAM ASMARUDIN, SH.,MH
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL 2014
LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul
2. Bidang Penelitian 3. Peneliti a. Nama Lengkap dan gelar b. Jenis Kelamin c. NIPY/NIDN d. Disiplin Ilmu e. Jabatan Fungsional f. Fakultas/Jurusan g. Alamat h. Telp. i. Alamat Rumah
4. 5. 6. 7.
j. Telp./Email Jumlah Anggota Lokasi Kegiatan Jangka Waktu Penelitian Jumlah Biaya
: Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi Dalam Kedudukannya Sebagai Justice Collaborator (Studi Kasus Perkara Nomor: 145/Pid.Sus/2013/PN.Smg) : Hukum : Imam Asmarudin, SH.,MH : Laki-laki : 17762551981/0625058106 : Ilmu Hukum : Asisten Ahli : Hukum/ Ilmu Hukum : Jl. Halmahera KM. 1 Tegal : (0283) 358745 : Perumahan Bumi Elok Sejahtera Blok Mawar, No. B1a Pengabean-Tegal : 081548071356 /
[email protected] : - Orang : Tegal dan Semarang : 6 Bulan (Juni s/d Nopember 2014) : Rp. 3.500.000,- (tiga juta lima ratus ribu rupiah) Tegal, Oktober 2014 Peneliti,
Mengetahui, Dekan.
H. Mukhidin, SH.,MH NIPY. 51521071961
Imam Asmarudin, SH.,MH NIPY. 17762551981 Menyetujui, Ka. LPPM
Dr. Dino Rozano, M.Pd NIP. 19530404 198803 1 001
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penelitian dengan judul Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi Dalam Kedudukannya Sebagai Justice Collaborator (Studi Kasus Perkara Nomor: 145/Pid.Sus/2013/PN.Smg) dengan baik. Penelitian dengan judul Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi Dalam Kedudukannya Sebagai Justice Collaborator (Studi Kasus Perkara Nomor: 145/Pid.Sus/2013/PN.Smg)
ini telah kami
usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan bayak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam penyelesaian penelitian ini. Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadar sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin member saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki penelitian ini. Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari penelitian dengan judul Bentuk
Perlindungan Hukum Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi Dalam Kedudukannya Sebagai Justice Collaborator (Studi Kasus Perkara Nomor: 145/Pid.Sus/2013/PN.Smg) ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.
Tegal, Oktober 2014
Penyusun
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi Dalam Kedudukannya Sebagai Justice Collaborator (Studi Kasus Perkara Nomor: 145/Pid.Sus/2013/PN.Smg, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap Justice Collaborator dalam mengungkap Tindak Pidana Korupsi dalam hukum positif Indonesia serta untuk mengetahui bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi Dalam Kedudukannya sebagai Justice Collaborator studi dalam perkara No. 145/Pid.sus/2013/PN. Smg. Kebijakan hukum pidana saat ini terhadap Justice collaborator tindak pidana korupsi di Indonesia belum mendapatkan pengaturan yang memadai untuk menjadi landasan hukum bagi aparat penegak hukum. Hingga saat ini pengaturan tentang Justice collaborator secara eksplisit hanya diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam perkara pidana tertentu. Konsep restorative justice dalam melindungi justice collaborator sangat tepat untuk diterapkan. Kontribusi justice collaborator dalam mengungkap kasus korupsi membedakannya dengan koruptor biasa sehingga menjadi dasar untuk menghindarkannya dari pemidanaan. Penghapusan tuntutan terhadap justice collaborator akan menyebabkan koruptor berlombalomba mengungkapkan kasus korupsi yang dilakukannya. Sehingga, kasus korupsi akan terbongkar secara massif dan signifikan Kata Kunci : Tindak Pidana Korupsi, Perlindungan Hukum, Justice collaborator
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………..
i
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………
ii
KATA PENGANTAR ……………………………………………
iii
DAFTAR ISI ……………………………………………………..
iv
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………….
1
a. Latar Belakang ………………………………………………..
1
b. Rumusan Masalah …………………………………………….
10
c. Tujuan Penelitian ……………………………………………...
10
d. Manfaat Penelitian …………………………………………….
11
e. Metode Penelitian ……………………………………………..
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………
13
a.
Pengertian Korupsi …………………………………………..
13
b.
Justice Collaborator ………………………………………….
16
c.
Konsep Perlindungan ………………………………………...
20
d.
Aturan Perlindungan …………………………………………
22
e.
Kasus Posisi Perkara No. 145/Pid.sus/2013/PN.Smg ………..
28
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………
61
a. Bentuk-bentuk perlindungan hokum bagi Justice Collaborator Yang diatur dalam Hukum Internasional maupun Nasional ….
61
b. Pengaturan Justice Collaborator dalam peraturan Per UUan di Indonesia ………………………………………………………
67
c. Pembahasan perkara No. 145/Pid.sus/2013/PN.Smg ………….
69
BAB IV PENUTUP ………………………………………………...
83
a. Kesimpulan ………………………………………………….
83
b. Saran ………………………………………………………...
84
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….
86
LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana ketentuan dalam pasal 1 ayat 3 UUD NKRI 1945 perubahan ketiga, negara indonesia adalah negara hukum. Dengan demikian dimasukkannya pasal ini ke dalam bagian pasal UUD NKRI 1945 menunjukan semakin kuatnya dasar hukum serta menjadi amanat negara, bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasar hukum dan harus merupakan negara
hukum, namun tetap saja persoalan yang menyangkut
penegakkan hukum dinegara Indonesia tetap menjadi fokus utama yang harus di selesaikan, terutama yang menyangkut pelaku tindak pidana korupsi. Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hokum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan social yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar yang berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula sebuah Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai ‘the guardian’ dan sekaligus ‘the ultimate interpreter of the constitution’ Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu: 1. Perlindungan hak asasi manusia. 2. Pembagian kekuasaan. 3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: 1. Supremacy of Law. 2. Equality before the law. 3. Due Process of Law. Salah satu permasalahan hukum yang ada di negara kita sebagai negara hukum adalah pemberantasan tindak pidana korupsi, Korupsi di Indonesia sudah menjadi permasalahan mendasar bahkan telah mengakar sedemikian dalam sehingga sulit untuk diberantas. Hal ini terlihat semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin meluas. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan, Tndak Pidana korupsi di Indonesia merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crime), kejahatan yang dapat meruntuhkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruption berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu korupsi (Andi Hamzah, 2005:4). Pengungkapan tindak pidana korupsi sangat penting dilakukan oleh semua pihak, terutama dari pihak saksi pelaku (Justice Collaborator) sangat dibutuhkan untuk mengatahui secara persis bagaimana tindak pidana korupsi tersebut dilakukan. Meskipun dengan bernagai resiko yang ada peran dari saksi pelaku tersebut ((Justice Collaborator) sangatlah dibutuhkan. Masyarakat umum terkadang mencampur adukan pengertian Justice Collaborator dengan whistle blower, meskipun sama-sama melakukan kerjasama dengan aparat hukum dengan memberikan informasi pnting terkait dengan kasus hukum. Akan tetapi keduanya sebenarnya memiliki status hokum yang berbeda, “Whistle blower” dapat diterjemahkan sebagai saksi pelapor, sedangkan Justice
Collaborator dapat diterjemahkan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum” (Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 4 tahun 2011). Istilah whistle blower dan Justice Collaborator kini kerap muncul dalam korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), istilah keduanya dikutip dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) didalam tindak pidana tertentu. Mengingat
pentingnya
peran
dari
Justice
Collaborator
dalam
membongkar tindak pidana korupsi, maka perlindungan terhadap Justice Collaborator mulai menjadi pembahasan agar ada kepastian hukumnya, dalam RUU Tipikor 2011, Justice Collaborator telah diatur dalam pasal 52 ayat (1): “ salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, jika ia dapat membantu mengungkap tindak pidana korupsi tersebut. Pasal 52 ayat (2). “ jika tidak ada tersangka atau terdakwa yang perannya ringan dalam tindak pidana korupsi…maka yang membantu mengungkap tindak pidana korupsi dapat dikurangi pidananya.” Namun dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum mengatur ketentuan mengenai Justice Collaborator kecuali undang-undang RI Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. Undang-undang ini pun tidak memberikan “hak istimewa” kepada seorang juctice collaborator, kecuali “peniup peluit”. Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi keberadaan Justice Collaborator bertujuan untuk memudahkan pembuktian dan penuntutan serta dapat mengungkap tuntas suatu tindak pidana terutama yang berkaitan dengan organisasi kejahatan. Hal itu dilakukan karena tindak pidana korupsi di Indonesia tidak pernah dilakukan sendirian melainkan biasanya secara kolektif, keberadaan ketentuan Justice Collaborator merupakan celah hokum yang diharapkan memperkuat pengumpulan alat bukti dan barang bukti dipersidangan. Namun demikian celah hukum bagi justice collaborator bukan tanpa risiko baik dari sisi kepentingan perlindungan yang bersangkutan maupun dari sisi kepentingan peradilan yang adil dan setara sejak proses penyidikan sampai pada
proses pemasyarakatan, kenyataan yang ada dalam pelaksanaan perlindungan hukum
terhadap
Justice
Collaborator
masih
menjadi dilematis
dalam
penerapannya. Sehubungan dengan hal itu peneliti akan melakukan sebuah kajian terhadap bagaimana bentuk perlindungan hukum terdakwa tindak pidana korupsi yang kedudukannya sebagai Justice Collaborator, dalam ini peneliti mengambil salah satu contoh kasus yang sudah diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Semarang
(TIPIKOR)
yakni
perkara
pidana
No.
145/Pid.sus/2013/PN.Smg, yang secara sekilas perlu peneliti sampaikan tuntutan terhadap Terdakwa
yang telah dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) semarang adalah sebagai berikut : 1.
Menyatakan terdakwa SUDAR bin MANGUN SUWITO telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “MELAKUKAN
TINDAK
PIDANA
KORUPSI
PERBUATAN YANG DITERUSKAN”, sebagaimana SUBSIDAIR Pasal 3 Jo.
SEBAGAI dakwaan
Pasal 18 Undang – Undang Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. 2.
Menjatuhkan pidana atas diri terdakwa SUDAR bin MANGUN SUWITO
tersebut oleh karena kesalahannya itu dengan pidana
penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan. 3.
Menetapkan agar lamanya terdakwa berada dalam masa penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
4.
Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam Tahanan
5.
Menghukum pula terdakwa SUDAR bin MANGUN SUWITO untuk membayar denda sebesar RP. 50.000.000,00 ( LIMA PULUH JUTA RUPIAH ), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan, maka terhadap terdakwa akan diganti dengan hukuman pengganti denda selama 3 (tiga) bulan kurungan.
6.
Menetapkan agar barang bukti berupa : A).
DIPA OPS SUS KEPOLISIAN (LS/ LANGSUNG) POLRES TEGAL TAHUN 2008 :
a. 6 (enam) bendel Foto copy Perwabku dana ops sus Kepolisian Polres Tegal ke KPPN 118 Tegal : 1). Perwabku
Ops
Curranmor
Candi
2008
senilai
Rp.81.000.000,00 2). Perwabku
Ops
Pekat
Candi
2008
senilai
Currat
Candi
2008
seniali
Ketupat
Candi
2008
senilai
Rp.89.100.000,00 3). Perwabku
Ops
Rp.71.250.000,00 4). Perwabku
Ops
Rp.96.480.000,00 5). Perwabku
Ops
Nusa
Candi
2008
senilai
Zebra
Candi
2008
senilai
Rp.91.500.000,0; 6). Perwabku
Ops
Rp.59.770.000,00 b. 3 (tiga) bendel Foto copy Perwabku dana Kontijensi Polri Ops Sus Kepolisian Polres Tegal : 1). Perwabku Biaya Uang Makan dan Uang Saku Ops
Ketupat Candi 2008 senilai Rp.48.000.000,00 2). Perwabku Biaya Kodal Ops Ketupat Candi 2008 senilai
Rp.480.000,00 3). Perwwabku Biaya Uang Makan, Uang Saku dan Kodal
Ops Lilin Candi 2008 senilai Rp.24.240.000,0. c. 1 (satu) bendel Foto Copy Print Out Rekening Bensat Polres Tegal No. 1035007198 di Bank Jateng Cab. Slawi B). DIPA RUTIN (UP/ UANG PERSEDIAAN) POLRES TEGAL : 10 (sepuluh) Berkas Foto copy PERWABKU DIPA Rutin dari Polres Tegal kepada KPPN 118 Tegal, periode April 2008 s/d Januari 2009
C). DANA APBD PEMPROV JATENG : a. 1 (satu) bendel foto copy Print Out Rekening Bensat Polres Tegal No. 1035007198 di Bank Jateng Cab. Slawi berisi transfer dana
dari
Kesbangpolinmas
Prov.
Jateng
senilai
Rp.125.000.000,00. b. 1 (satu) bendel foto copy Laporan Perwabku Ops Tata Praja PILGUB Polres Tegal ke Kesbangpolinmas Prov. Jateng. c. 1 (satu) bendel Rincian Distribusi
Anggaran PILGUB/
WAGUB Jateng Th. 2008 Polres Tegal berikut lampirannya D). DANA APBD PEMKAB TEGAL : a. Asli Kuitansi dari Bendahara Kesbangpolinmas Kab. Tegal tanggal
September 2008 senilai Rp.478.155.000,00 yang
ditandatangani Kapolres Tegal AKBP. Drs. Agustin Hardiyanto, SH.,MH.,MM selaku penerima (Tahap I). b. Asli Berita Acara Serah Terima Dana Kegiatan Pengendalian Keamanan Dan Lingkungan Dalam Pilkada Bagi Polres Tegal Nomor : 900/
/2008 tanggal 1 September 2008 senilai
Rp.478.155.000,00 yang ditandatangani oleh Kapolres Tegal AKBP. Drs. Agustin Hardiyanto, SH.,MH.,MM selaku penerima (Tahap I). c. Asli Kuitansi dari Bendahara Kesbangpolinmas Kab. Tegal tanggal
Oktober 2008 senilai Rp.321.245.000,00 yang
ditandatangani Kapolres Tegal AKBP. Drs. Agustin Hardiyanto, SH.,MH.,MM selaku penerima (Tahap II). d. Asli Berita Acara Serah Terima Dana Kegiatan Pengendalian Keamanan Dan Lingkungan Dalam Pilkada Bagi Polres Tegal Nomor : 900/
/2008 tanggal 20 Oktober 2008 senilai
Rp.321.245.000,00 yang ditandatangani Kapolres Tegal AKBP. Drs. Agustin Hardiyanto, SH.,MH.,MM selaku penerima (Tahap II).
e. Foto copy Laporan Perwabku Operasi Tata Praja Pilkada Kab. Tergal ke Kesbangpolinmas Pemkab Tegal: 1). Duk. Anggaran Latihan Pra Operasi Pam Pilkada Bupati/
Wakil Bupati sebesar Rp.90.000.000,00 2). Duk. Anggaran Giat Pam Masa Pendaftaran sebesar
Rp.1.750.000,00 3). Duk. Anggaran Tahap II Penanganan Penyidikan Tindak
Pidana Pilkada Kab. Tegal sebesar Rp.4.625.000,00 4). Duk. Anggaran Tahap II Giat Pengamanan Rumha
Pasangan Calon Bupati/ Wakil Bupati Kab. Tegal sebesar Rp.3.000.000,00 5). Duk.
Anggaran
Kegiatan
Penyelidikan
Gangguan
Kamtibmas sebesar Rp.27.750.000,00 6). Duk. Anggaran Simulasi Penanganan Unjuk Rasa Pam
Pilkada Bupati/ Wakil Bupati sebesar Rp.22.495.000 7). Duk. Anggaran Tahap II Giat Pengamanan Kampanye
Rangkaian Pengamanan Pilkada Kab. Tegal sebesar Rp.157.500.000,8). Duk. Anggaran Tahap II Giat Pam Masa Tenang Pam
Pilkaada Kab. Tegal sebesar Rp.18.750.000,00 9). Duk. Anggaran Tahap II Giat Pengamanan Langsung
Pemungutan Suara (TPS/ Stand By Polres) Rangkaian Pam Pilkada Kab. Tegal sebesar Rp.75.000.000,00 10). Duk. Anggaran Tahap II Giat untuk Pengamanan Pasca
Pemungutan/ Penghitungan Suara Pilkada Kab. Tegal sebesar Rp.22.500.000,00 11). Duk. Anggaran Giat Penanganan Tindak Pidana Pilkada
Cabup/ Cawabup Kab. Tegal sebesar Rp.8.750.000,00 12). Duk. Anggaran Kodal/ Wasdal Rangkaian Pam Pilkada
Bupati/ Wakil Bupati sebesar Rp.123.200.000,-
13). Duk. Anggaran Pergeseran Pasukan/ Serpas (Duk. BBM
Ranmor R-4 dan R-2 Dinas) Rangkaian Pam Pilkada Bupati/ Wakil Bupati sebesar Rp.186.210.000,-; 14). Duk. Anggaran Tahap II untuk Serpas (Duk. BBM
Ranmor R-4 dan R-2 Dinas) Giat Pam Pilkada Kab. Tegal sebesar Rp.31.035.000,00 15). Duk Anggaran Tahap II Pengadaan ATK untuk Giat
Minops
Pam
Pilkada
Kab.
Tegal
sebesar
Rp.8.835.000,00. 16). 1 (satu) bendel Daftar Rekapitulasi Penarikan dan
Penyaluran Anggaran Dana PILKADA Kab. Tegal TA. 2008, berikut lampirannya E). BUKTI – BUKTI LAIN : a. Foto copy catatan harian milik Bensat Polres Tegal Ipda Sudar tertanggal 4 September 2008 yang berisi perintah Kapolres Tegal tentang perincian Disribusi Dana PILBUP Tegal Tahun 2008, b. 1 (satu) bendel Daftar Rincian Perhitungan Penerimaan Dana (DIPA Rutin/ UP Polres Tegal) dan Penyaluran periode bulan April 2008 s/d Januari 2009 (Perwabku Intern dari Bensat ke Kapolres Tegal). c. Asli Kuitansi dari Bensat Polres Tegal tanggal 24 Oktober 2008 senilai Rp.250.000.000,00 yang ditandatangani oleh Bripda Rizqi Wigia Astuti (anggota TAUD Polres Tegal). d. Foto copy Buku DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) Tahun 2008 Polres Tegal Revisi I tanggal 1 September 2008. e. Foto copy Buku RKA-KL (Rencana Kerja dan Anggaran Satauan Kerja - Rincian Kegiatan dan Keluaran TA. 2008 f. 1 (satu) bendel Perincian Penerimaan Dana Operasional Bensat Polres Tegal dari Kapolres, berikut Lampiran Bukti-bukti Pengeluaran dari Periode April 2008 s/d Januari 2009
g. foto copy legalisir mata anggaran Dana Pam PilGUB Jateng TA. 2008 kode rekening 1.119.01.29.07.5.2 h. foto copy legalisir mata anggaran Dana bantuan Pam PilBUP Tegal TA. 2008 kode rekening 1.19.01.15.09 i. foto
copy
legalisir
mata
anggaran
Dana
bantuan
Kesbangpolinmas Kab. Tegal TA. 2008 kepada Polres Tegal untuk peningkatan Kantrantibmas melaui peran DAI j. foto
copy
legalisir
mata
anggaran
Dana
bantuan
Kesbangpolinmas Kab. Tegal TA. 2008 kepada Polres Tegal untuk Pengamanan Natal dan Tahun Baru 2009 k. foto
copy
legalisir
mata
anggaran
Dana
bantuan
Kesbangpolinmas Kab. Tegal TA. 2008 kepada Polres Tegal untuk Operasi Candi Tahun 2008 l. Surat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan
Propinsi
Jawa
Tengah
Nomor
:
S-
2926/PW11/5/2009 Tanggal 25 Agustus 2009 Perihal Laporan Hasil perhitungan kerugian keuangan negara / daerah atas penyalahgunaan dana DIPA Polres Tegal TA. 2008/2009 dan dana bantuan pemerintah propinsi jawa tengah dan pemerintah kabupaten Tegal yang bersumber dari APBD Tk. I dan APBD Tk. II guna mendukung giat opsnal PAM Pilgub dan Pilbub Tahun 2008 m. Uang Tunai sebesar Rp.10.000.000,00 ( sepuluh juta rupiah ), dengan pecahan : 1.
Pecahan Rp. 100.000,00 sebanyak 1 (satu) lembar
2.
Pecahan Rp. 50.000,00 sebanyak 198 (seratus sembilan puluh delapan) lembar
n. Uang tunai Rp. 30.000.000,00 ( tiga puluh juta rupiah ), dengan pecahan : 1.
Pecahan Rp. 100.000,00
2.
Pecahan Rp. 50.000,00
Barang bukti tetap terlampir dalam berkas perkara. 7. Menghukum terdakwa SUDAR bin MANGUN SUWITO untuk
membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,00 ( lima ribu rupiah) Dengan tuntutan tersebut Terdakwa yang sejak awal pemeriksaan di Kepolisian Daerah Jawa Tengah (POLDA) sampai pengungkapan dipersidangan, berdasarkan BAP terdakwa di Penyidik dapat dicermati bahwa sebenarnya telah membantupihak penyidik untuk membongkar tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh atasannya, akan tetapi tetap saja terdakwa menjalani proses persidangan dan dijatuhi hukuman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Semarang selama 1 (satu) tahun 8 bulan bahkan dituntut membayar denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap Justice Collaborator dalam mengungkap Tindak Pidana Korupsi dalam hukum positif Indonesia ? 2. Bagaimana bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi dalam KEdudukannya sebagai Justice Collaborator dalam Perkara Pidana No. 145/Pid.Sus/2013/PN.Smg?
C. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap Justice Collaborator dalam mengungkap Tindak Pidana Korupsi dalam hukum positif Indonesia.
2.
Untuk mengetahui bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi Dalam Kedudukannya sebagai Justice Collaborator studi dalam perkara No. 145/Pid.sus/2013/PN. Smg
D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan
sumbangan
pemahaman
informasi
tentang
bentuk
perlindungan hukum terhadap Justice Collaborator dalam mengungkap Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum positif Indonesia. 2. Memberikan sumbangan pemikiran kepada instansi terkait baik di kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan agar dalam perlakuan terhadap Terdakwa tindak pidana korupsi yang kedudukannya sebagai Justice Collaborator mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan pelaku utama.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah studi kasus, yakni studi kasus perkara nomor 145/Pid.Sus/2013/PN.Smg Menurut suharsimi Arikunto penelitian studi kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu (Suharsimi Arikunto: 2002:120) adapun tujuan studi kasus adalah untuk memberikan secara mendetail tentang latar belakangfat-sifat, karakter yang khas dari kasus ataupun status dari individu, yang kemudian dari sifat-sifat khas diatas akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum (Mardalis:1993:57)
2. Metode Pendekatan Sesuia dengan tujuan penelitian hokum ini, maka penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis-empiris. Hal ini sesuai pendapat Ronny Hanitiyo Soemitro yang menyatakan bahwa dengan penekanan pada penelitian hokum normative, sedangkan penelitian dengan pendekatan yuridis sosiologis dimaksudkan untuk mempelajari dan meneliti hubungan timbale balik antara hokum dengan lembagalembaga social yang lain. Disini hokum tidak dikonsepsikan sebagai suatu gejala normative yang mandiri (otonom), tetapi sebagai institusi social
yang dikaitkan secara riil, dengan variable-variabel social yang lain (Ronny Hanitiyo Soemitro: 1988,34-35) Sedangkan pendekatan kualitatif yaitu suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data-data tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (lexy J. Moeloeng, 1990:3)
3. Jenis Data Data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh degan cara menelaah pertauran perundang-undangan yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas, menelaah buku-buku/ literature, laporan penelitian serta data yang diambil dari instansi pemerintah yang berkaitan erat dengan obyek yang diteliti dalam hal ini adalah putusan perkara No. 145/Pid.sus/2013/PN.Smg. dan untuk mendukung data sekunder juga dilakukan observasi berupa wawancara dengan pertanyaan yang telah disiapkan lebih dahulu baik kepada petugas, pejabat, maupun para pakar yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
4. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data penelitian ini adalah melalui pengumpulan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber kepustakaan dan hasil wawancara narasumber untuk menunjang informasi berkaitan dengan bahan hokum primer.
5. Analisis data Penelitian ini menggunaan metode analisis deskriptif kualitatif yaitu memaparkan kalimat secara jelas dan terperinci. Metode ini digunakan untuk menguraikan (1) kondisi perlindungan bagi Justice Collaborator di Indonesia saat ini, (2) menjelaskan solusi perlindungan bagi Justice Collaborator sebagai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dari analisis dan sintesis yang dilakukan akan dibuat simpulan dan rekomendasi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Korupsi Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam Bahasa Indonesia disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dan dalam Bahasa Sansekerta yang tertuang dalam Naskah Kuno Negara Kertagama arti harfiah corrupt menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkut pautkan dengan keuangan (Sudarto, 1996 :115). Korupsi di dalam Black’s Law Dictionary adalah “suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain” (Black, Henry Campbell; Edisi VI; 1990). Pengertian korupsi secara yuridis, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negaara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, (sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap) serta gratifikasi. (sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat(1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat(1) dan ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, dan d, serta Pasal 12B ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Piddana Korupsi). 3. Kelompok delik penggelapan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 8, Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion). (sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e dan huruf f UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). 5. Kelompok delik pemalsuan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi). 6. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan. (sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 12 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Dari 6 (enam) kelompok delik di atas, hanya 1 (satu) kelompok saja yang memuat unsur merugikan negara diatur di dalam 2 pasal yaitu pasal 2 dan 3, sedangkan 5 kelompok lainnya yang terdiri dari 28 pasal terkait dengan perilaku menyimpang dari penyelenggara negara atau pegawai negeri dan pihak swasta. Korupsi sungguh menyebabkan krisis kepercayaan. Korupsi diberbagai bidang pemerintahan sejak minim. Padahal tanpa dukungan rakyat program perbaikan dalam bentuk apapun tak akan pernah berhasil. Sebaliknya jika rakyat memiliki kepercayaan dan mendukung pemerintah serta berperan serta dalam pemberantasan korupsi maka korupsi pun bisa diakhiri.
Amien Rais, membagi jenis korupsi yang harus diwaspadai dan dinilainya telah merajalela di Indonesia ke dalam empat jenis, yaitu: (1) korupsi ekstortif, korupsi ini merujuk pada situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya; (2) korupsi manipulatif, jenis korupsi ini merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya; (3) korupsi nepotistik, korupsi jenis ini merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan pada anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon; (4) korupsi subversif, korupsi ini berbentuk pencurian kekayaan negara yang dilakukan oleh para pejabat negara. (Amin Rais; 84-85). Beberapa pengertian korup dan korupsi dari berbagai kamus: 1. Korup berarti: a. busuk; palsu; suap (Kamus Bahasa Indonesia, 1993) b. buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi (Kamus Hukum, 2002) 2. Korupsi berarti: a. kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian (The Lexicon Webster Dictionary, 1978) b. penyuapan pemalsuan (Kamus Bahasa Indonesia, 1993) c. penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain (Kamus Hukum, 2002). Dari segi represif, kesukaran memberantas korupsi terletak pada kesulitan dalam hal membuktikan kejahatan korupsi di sidang pengadilan (Adami Chawazi;2008:12). Hukum pembuktian konvensional dalam KUHAP yang berpijak pada landasan Asas Presumtion of Innocence memang tidak menunjang mempermudah pembuktian perkara korupsi disidang pengadilan (Firman Wijaya; 2012: 11). Karena itu, upaya yang luar biasa dibidang pembuktian perlu dilakukan penyimpangan dari hukum pembuktian umum dengan cara memasukan ketentuan-
ketentuan baru sebagai pengecualian kedalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya dirubah Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Justice collaborator merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk membongkar suatu kejahatan yang terorganisir, seperti jaringan mafia termasuk korupsi yang biasanya dilakukan secara berjamaah. Kategori extraordinary crime (kejahatan luar biasa) bagi tindak pidana korupsi jelas membutuhkan extra ordinary measure / extraordinary enforcement (penanganan yang luar biasa) Iadami Chazawi; 2008:10). Oleh karenanya perlindungan hukum sangat diperlukan bagi Justice Collaborator terhadap kegiatan yang melawan hukum.
B. Justice Collaborator Justice Collaborator, menurut Firman Wijaya (Wijaya, Firman. 2012) merupakan peran serta masyarakat yang tumbuh dari suatu kesadaran membantu aparat hukum mengungkap kejahatan atau tindak pidana yang tidak banyak diketahui orang dan melaporkan hal tersebut kepada aparat hukum. Peran Justice Collaborator lahir dari kondisi negara yang berangkat dari kesulitan penyidik dan penuntut umum dalam mengungkap, mengusut, dan menghukum para pelaku kejahatan terorganisir yang sangat merugikan kepentingan umum. Para pelaku kejahatan yang terorganisir begitu sulit dijangkau secara hukum karena rapi dan canggihnya suatu tindak kejahatan sehingga hampirhampir ”tidak meninggalkan jejak pembuktian”. Belum lagi pelaku kejahatan memiliki jaringan yang luas hampir disemua sektor kekuasaan, termasuk kekuasaan hukum, dan para pelaku kejahatan terorganisir tidak segan-segan untuk menghabisi siapa saja yang dengan tindakan balasan (retaliation). Dari sudut Hukum Acara Pidana, ada tingkat kesulitan pembuktian karena prinsip bukti utama dalam tindak pidana adalah kesaksian. Karakter kejahatan terorganisir yang berlaku dikalangan pelaku kejahatan adalah loyalitas yang dikenal dengan ” kesaksian diam atau sumpah dian (omerta), yaitu komitmen dan aturan yang tidak tertulis diantara anggota mafia yang tidak mudah digoyahkan.
Pelanggaran atas omerta tersebut adalah nyawa tebusannya bagi siapapun yang melanggarnya. Perlindungan terhadap justice collaborator diterapkan pertama kali pada tahun 1963 di Amerika Serikat. Dimana saat itu, seorang mafia Italia-Amerika bernama Joseph Valachi memberikan kesaksian di hadapan Komisi Kongres Amerika Serikat. Atas kesaksiannya tersebut, Joseph Valachi menjadi mafia yang pertama kali melanggar sumpah para mafia yang disebut omerta. Pada dasarnya, omerta merupakan sumpah diam yang diyakini para mafia baik karena rasa takut ataupun kesetiaan terhadap kelompok mafianya. (Febri Diansyah, diakses dari http://news.okezone.com/read/2011/0/3/31/584/44080/kematian-whistleblower). Dalam setiap kasus, kehadiran Justice Collaborator sangat membantu aparat penegak hukum dalam proses penyidikan, karena peranannya inilah seorang Justice Collaborator di anggap pantas untuk menerima perlindungan hukum ataupun keringinan hukum.“Justice Collaborator itu harus memperoleh keringanan hukum, karena dia mengungkap kejahatan, hal ini akan memudahkan penyidikan dalam mengungkap pelaku lain” (Artidjo Alkostar, 2013). Melihat besar peranan dan resiko yang harus dihadapi oleh seorang Justice Collaborator maka sudah sepantas nya jika kemudian diberikan perlindungan hukum terhadapnya. Kewenangan untuk menentukan status Justice Collaborator itu ada di tangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang akan memverifikasi dan menyerahkannya kepada jaksa. Kehadiran Justice Collaborator dalam kasus-kasus besar seperti korupsi, pelanggaran HAM berat, narkoba, dan terorisme serta perdagangan orang, sangat membutuhkan perlindungan yang nyata, mengingat besarnya ancaman yang ada padanya. Oleh karena itu diperlukan nya perlindungan dan keringinan hukum terhadap Justice Collaborator. Dalam SEMA dijelaskan bahwa keberadaan dua istilah ini bertujuan untuk menumbuhkan partisipasi publik dalam mengungkap suatu tindak pidana tertentu tersebut. Salah satu acuan SEMA adalah Pasal 37 Ayat (2) dan Ayat (3) Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003. Ayat (2) pasal tersebut berbunyi, setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus
tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini. Sedangkan Ayat (3) pasal tersebut adalah, setiap negera peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama subtansial dalam penyelidikan atau penuntutan (Justice Collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini. Ketentuan serupa juga terdapat pada pasal 26 konvensi PBB anti kejahatan transnasional yang terorganisir (United Nation Convention Against Transnational Organized Crimes). Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi menjadi UU No. 7 Tahun 2006 dan meratifikasi Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional menjadi UU No. 5 Tahun 2009. Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan, menjadi whistle blower maupun justice collaborator memiliki perlindungan berbeda satu sama lain. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 10 UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal itu menyebutkan, whistle blower atau saksi pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau yang telah diberikan. Sedangkan justice collaborator atau saksi sekaligus tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Namun, kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidananya. Untuk menyamakan visi dan misi mengenai whistle blower dan justice collaborator, dibuatlah Peraturan Bersama yang ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Peraturan Bersama tersebut mengatur tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Menurut Denny, terdapat empat hak dan perlindungan yang diatur dalam peraturan bersama ini. Pertama, perlindungan fisik dan psikis bagi whistle blower
dan justice collaborator. Kedua, perlindungan hukum. Ketiga penanganan secara khusus dan terakhir memperoleh penghargaan. Untuk penanganan secara khusus, terdapat beberapa hak yang bisa diperoleh whistle blower atau justice collaborator tersebut. Yakni, dipisahnya tempat penahanan dari tersangka atau terdakwa lain dari kejahatan yang diungkap, pemberkasan perkara dilakukan secara terpisah dengan tersangka atau terdakwa lain dalam perkara yang dilaporkan. Kemudian, dapat memperoleh penundaan penuntutan atas dirinya, memperoleh penundaan proses hukum seperti penyidikan dan penuntutan yang mungkin timbul karena informasi, laporan dan atau kesaksian yang diberikannya. Serta bisa memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa menunjukkan wajahnya atau menunjukkan identitasnya. Istilah Justice collaborator dapat disebut juga sebagai pembocor rahasia atau peniup pluit yang mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum atau partisipant whistleblower. Si pembocor rahasia haruslah orang yang ada di dalam organisasi yang dapat saja terlibat atau tidak terlibat didalam tindak pidana yang dilaporkan itu (Firman Wijaya: 11 : 2012) Syarat untuk seseorang dapat dikatakan sebagai justice collaborator yaitu: (Gabriel Francius Silaen:5). 1. Tindak pidana yang diungkap merupakan tindak pidana yang serius dan atau teroganisir, seperti korupsi, pelanggaran HAM berat, narkoba, terorisme, TPPU, traficing, kehutanan. Jadi untuk hal tindak pidana ringan tidak mengenal istilah ini. 2. Keterangan yang diberikan signifikan, relevan dan andal. Keterangan yang diberikan benar-benar dapat dijadikan petunjuk oleh aparat penegak hukum dalam mengungkapkan suatu tindak pidana sehingga memudahkan kinerja aparat penegak hukum. 3. Orang yang berstatus justice collaborator bukanlah pelaku utama dalam
perkara
tersebut
karena
kehadirannya
sebagai
justice
collaborator adalah untuk mengungkapkan siapa pelaku utama dalam kasus tersebut. Dia hanya berperan sedikit didalam terjadinya perkara itu tetapi mengetahui banyak tentang perkara pidana yang
terjadi itu. 4. Dia
mengakui
perbuatannya
di
depan
hukum
dan
bersedia
mengembalikan aset yang diperolehnya dengan cara kejahatan itu secara tertulis. 5. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana.
C. KONSEP PERLINDUNGAN Ide perlindungan justice collaborator sesungguhnya telah diamanatkan dalam Pasal 37 ayat (3) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, bahwa: Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini. Pemberian imunitas kepada justice collaborator yang membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana korupsi ini menimbulkan banyak pro dan kontra. Beberapa resistensi terhadap konsep ini didasari pada argumentasi antara lain (Abdul Haris Semendawai: 2013): a. Seorang yang melakukan suatu tindak pidana harus diberikan hukuman
yang
setimpal
sesuai
dengan
kejahatan
yang
dilakukannya. b. Dikhawatirkan akan terjadi diskriminasi terhadap pelaku pidana yang lain dengan bobot perbuatan yang sama dengan yang dilakukannya. Argumentasi di atas merupakan pengejawantahan prinsip equality before the lawdan prinsip non-impunity. Kedua prinsip ini menyatakan bahwa semua
orang berkedudukan sama di muka hukum, sehingga semua orang yang bersalah harus dihukum tanpa ada pengecualian. Oleh karena itu, prinsip ini memandang bahwa justice collaborator tidak boleh dilindungi, melainkan harus dihukum seperti koruptor lainnya. Namun, dalam perkembangan hukum pidana kini dikenal konsep restorative justice yang mampu menjadi sandingan prinsip equality before the law dan non-impunity. Konsep restorative justice menyatakan bahwa, tidak semua orang harus diperlakukan sama karena ada hal-hal yang membedakan orang tersebut dengan orang lain, sehingga atas perbedaannya itulah seseorang dapat saja tidak dipidana asalkan bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian yang diakibatkannya. Dalam hal ini, konsep restorative justice sangat tepat diterapkan untuk melindungi justice collaborator dengan argumentasi sebagai berikut: a. Konsep restorative justice berlandaskan pada asas ketidaksamaan sebagai keadilan. Kontribusi yang diberikan oleh justice collaborator dalam
mengungkap
kasus
korupsi
ini
dijadikan
dasar
yang
membedakannya dengan koruptor biasa. Sehingga, kontribusinya ini menjadi dasar untuk menghindarkannya dari pemidanaan; b. Konsep restorative justice akan menimbulkan efek positif bagi masyarakat dimana pihak-pihak yang potensial menjadi justice collaborator tidak akan takut lagi untuk mengungkap dan dengan demikian, kasus-kasus korupsi akan terungkap dalam jumlah yang masif. Berdasarkan pemikiran di atas, maka konsep restorative justice yang bertujuan untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh korban ini sangat tepat untuk diterapkan terhadap justice collaborator, sebab: a. Justice collaborator telah membantu mengungkapkan kasus korupsi yang dilakukannya. Laporannya tersebut merupakan kontribusi yang sangat besar dalam membantu upaya pemberantasan korupsi; b. Penghapusan tuntutan atas justice collaborator akan menyebabkan para pihak mengungkapkan kasus korupsi yang dilakukannya. Sehingga, kasus korupsi akan terbongkar secara masif dan signifikan;
Dalam hal ini, tanggung jawab yang dimiliki oleh justice collaborator terdiri atas: a. Tanggung jawab untuk mengembalikan uang negara yang dikorupsi b. Tanggung jawab untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar kasus korupsi yang dilaporkannya hingga ke akarakarnya. Konsep ini merupakan upaya pemulihan kerugian yang diderita oleh negara akibat korupsi. Tanggung jawab justice collaborator dalam hal merestorasi kerugian negara inilah yang menggantikan pemidanaan bagi justice collaborator. D. Aturan Perlindungan Dalam hal ini peneliti lain yaitu, Yutirsa Yunus (depkumham) menggagas teknis perlindungan justice collaborator yang meliputi: (1) Kriteria Justice Collaborator; (2) Syarat Perlindungan; (3) Jenis Perlindungan; (4) Model Perlindungan Kolaboratif; (5) Model Perlindungan Komprehensif; (6) Putusan Integratif; dan (7) Pembebasan Bersyarat. Mekanisme teknis ini merupakan satu kesatuan yang bersifat runtut dan menyeluruh sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Kriteria Justice Collaborator Sebagai langkah awal, perlu ditentukan terlebih dahulu apa saja kriteria yang harus dipenuhi oleh seseorang agar dapat disebut sebagai justice collaborator. Untuk dapat dikatakan sebagai justice collaborator maka seseorang harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Merupakan individu yang pertama kali melaporkan adanya tindak pidana korupsi; b. Merupakan pelaku atas tindak pidana korupsi yang ia laporkan. Kriteria ‘individu’ ini dimaksudkan untuk:
a. Menjamin bahwa hanya satu orang saja yang dapat ditetapkan sebagai justice collaborator atas suatu kasus korupsi. Hal ini bertujuan agar semua pihak yang terlibat dalam kasus korupsi (kecuali justice collaborator) dapat dipidana; b. Hal ini bertujuan agar dua atau lebih koruptor dalam satu kasus korupsi tidak berkonspirasi untuk sama-sama menjadi justice collaborator. Kriteria ‘pertama kali’ ini dimaksudkan untuk: a. Mencegah timbulnya kerancuan mengenai siapa yang menjadi justice collaborator bila terdapat lebih dari satu orang yang melapor; b. Mendorong orang-orang yang terlibat dalam kasus korupsi untuk saling berlomba-lomba menjadi justice collaborator sebelum didahului oleh orang pertama yang melapor. Justice collaborator memiliki peranan yang sangat dominan dan strategis dalam membantu aparat penegak hukum untuk membongkar dan mengungkap tindak pidana. Hal itu dikarenakan, seorang Justice collaborator adalah orang yang ikut berperan dalam terjadinya suatu tindak pidana terorganisir dan dilakukan secara berjamaah seperti tindak pidana korupsi. Namun posisi seorang Justice collaborator bukan merupakan pelaku utama dari terjadinya suatu tindak pidana korupsi. Orang yang demikian tersebut dapat dijadikan sumber informasi dalam kaitannya dengan adanya tersangka dan alat bukti lain dalam tindak pidana korupsi yang belum ditemukan oleh penegak hukum. Justice collaborator sering digunakan untuk mengungkap ketidakjujuran dan penyimpangan yang dilakukan oleh dirinya sendiri dan rekan-rekannya dalam suatu tindak pidana. Upaya ini tentu bukan pekerjaan yang mudah karena ia harus mengungkapkan dengan jujur apa yang telah ia lakukan dengan rekan-rekannya dalam suatu tindak pidana terorganisir yang dalam hal ini ia juga akan mendapatkan beban atas yang diungkapnya dalam kesaksian tersebut. Apabila ditinjau berdasarkan peran justice collaborator yang strategis untuk mempercepat pengungkapan tindak pidana terorganisir, maka kebutuhan akan peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur mengenai justice collaborator sangat diperlukan sehingga diperlukan political will yang kuat baik dari pemerintah dan DPR serta dari semua pihak
yang berkepentingan untuk mengimplementasikan Justice collaborator terutama dalam kasus korupsi. Problematika yang dihadapi di Indonesia saat ini bahwa pengaturan Justice Collaborator belum diatur dalam KUHAP. Ketentuan di dalam KUHAP hanya mengatur tentang hak-hak seorang pelaku dalam proses peradilan pidana. Hingga saat ini pengaturan tentang Justice collaborator secara eksplisit hanya terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam perkara tindak pidana tertentu. SEMA ini dalam fungsinya hanya sebagai surat dinas yang memuat penjelasan atau petunjuk tentang tata cara pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan dalam ruang lingkup
kewenangannya
sehingga
SEMA
ini
belumlah
cukup
untuk
memberikan landasan hukum tentang Justice collaborator, karena seorang Justice collaborator muncul sejak tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, hingga tahap pemeriksaan di persidangan, sedangkan SEMA ini hanya mengatur justice collaborator yang telah memasuki tahap persidangan sedang pada tahap sebelum persidangan SEMA ini hanya bersifat tembusan sehingga tidak terlalu mengikat dalam pelaksanaannya tergantung dari aparat penegak hukum lain apakah akan mengikuti aturan di dalam SEMA t e r s e b u t atau tidak tanpa adanya daya paksa kepada aparat penegak hukum lainnya yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam SEMA tersebut. Demikian halnya dengan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Bersama aparat penegak hukum (Kementrian Hukum dan Ham, Kejagung, Polri, KPK dan LPSK) tanggal 14 Desember 2011 tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelapor dan saksi pelaku yang bekerjasama. Dalam penerapannya belum dapat menjadi dasar hukum yang kuat tentang Justice collaborator dalam peradilan pidana oleh aparat penegak hukum, karena Peraturan Bersama ini hanya bersifat petunjuk teknis bagi aparat penegak hukum yang berada di instansinya masing-masing sehingga tidak mempunyai kekuatan yang mengikat seperti halnya undang-undang.
Salah satu langkah yang sedang ditempuh oleh pemerintah saat ini untuk memberikan pengaturan tentang Justice collaborator dalam peradilan pidana adalah dengan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban sesuai dengan amanat dalam ketentuan Pasal 37 Konvensi PBB Anti Korupsi dan Pasal 26 Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional yang terorganisir. Adapun revisi tersebut dilakukan dengan memasukkan kedalam Pasal 1 yang berisi tentang ketentuan umum pengertian Justice collaborator yaitu saksi/atau yang juga pelaku tindak pidana yang membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dan/atau pengembalian aset-aset/hasil suatu tindak pidana kepada Negara dengan memberikan kesaksian atau informasi lain. Selain itu, dalam draft revisi UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut juga memasukan ketentuan-ketentuan yang memberikan perlakuan khusus terhadap Justice collaborator berkaitan dengan perlindungan keamanan selama dalam proses peradilan hingga penjatuhan vonis dan pelaksanaan pidana berupa pemisahan tempat tahanan dan penjara yang berjauhan dengan tersangka/narapidana lain yang diungkap, pemberkasan dengan tersangka/terdakwa lain yang diungkapnya, penundaan penuntutan atas tidak pidana yang diungkapnya dengan tindak pidana yang diakuinya, serta penghargaan terhadap pelapor pelaku berupa keringanan hukuman, penghapusan penuntutan dan pemberian remisi atau grasi dengan pertimbangan khusus apabila pelapor pelaku adalah seorang narapidana. Pengaturan baru lainnya yang terdapat dalam draft revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut adalah mengenai syarat-syarat untuk dapat menentukan apakah seseorang dianggap sebagai Justice collaborator yaitu keseriusan tindak pidana yang diungkap, sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh pelapor pelaku, pelapor pelaku bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapnya atau tindak pidana lain yang dilakukannya, pelapor pelaku mengakui sendiri tindak pidana yang pernah ia lakukan sebelumnya yang belum pernah diperiksa dan diputus oleh pengadilan, tindak pidana lain yang dilakukannya merupakan tindak pidana yang lebih ringan dibandingkan dengan tindak pidana yang diungkapnya di mana tindak pidana lain yang dilakukannnya
tidak termasuk tindak pidana pembunuhan atau kekerasan seksual, tindak pidana di mana korbannya tidak setuju dengan restitusi yang diberikan, dan tindak pidana yang mendapat tuntutan dari masyarakat agar pelapor pelaku diadili. Jika ditinjau dari substansi yang terdapat dalam draft revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 di atas, maka dapat dikatakan bahwa pemerintah telah menyadari betapa pentingnya peranan Justice collaborator dalam peradilan pidana
khususnya
dalam
mengungkap
kejahatan
terorganisir
sehingga
memerlukan adanya suatu landasan hukum yang kuat untuk memberikan perlindungan kepada Jusitice collaborator. Dalam aspek hukum acara pidana sendiri, pengaturan tentang saksi pelaku yang bekerjasama (Justice collaborator) dilakukan dengan melakukan revisi terhadap ketentuan yang tercantum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan memberikan pengaturan yang memadai dalam peradilan pidana. Dalam draft revisi KUHAP saat ini telah memasukan pengaturan tentang saksi mahkota yang dahulu belum mendapatkan pengaturan dalam proses peradilan pidana. Namun demikian, istilah yang digunakan dalam KUHAP mempunyai perbedaan dan tidak mengenal istilah Justice collaborator untuk menunjukan pada seseorang yang membantu aparat penegak hukum untuk membantu mengungkap tindak pidana. KUHAP memakai istilah saksi mahkota (Crown witness) yang merupakan
istilah
hukum
yang
digunakan
dalam Wetboek
van
Strafvordering (KUHAP) Belanda. Meskipun terdapat persamaan antara saksi mahkota dan Justice collaborator yaitu kedua-duanya merupakan pelaku dalam suatu tindak pidana, namun jika dilihat dari aspek inisiatif untuk memberikan keterangan/informasi tentang suatu tindak pidana, maka terdapat perbedaan yang signifikan antara saksi mahkota yang dikenal dalam KUHAP dan Justice collaborator yang merupakan istilah yang diadopsi dari Amerika. Pada saksi mahkota, inisiatif untuk memberikan keterangan berasal dari aparat penegak hukum yang kesulitan untuk mengungkap suatu tindak pidana karena kekurangan alat bukti lainnya (bewijs minimum) sehingga aparat penegak hukum mengambil salah satu pelaku yang mempunyai peranan yang minim untuk dijadikan saksi
terhadap pelaku lainnya dengan cara memisahkan berkas perkara (split) antara saksi mahkota dengan pelaku yang lain. Sedangkan pada Justice collaborator, inisiatif untuk memberikan keterangan/informasi tentang tindak pidana berasal dari dalam diri pelaku yang dengan kesadarannya mengakui perbuatan yang dilakukannya dan kemudian membantu aparat penegak hukum dengan memberikan keterangan berhubungan dengan tindak pidana yang dilakukannya serta keterlibatan pelaku utama lainnya dalam jaringan tindak pidana. Dengan demikian, istilah yang saat ini digunakan dalam revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yakni saksi mahkota untuk menunjuk pada seorang pelaku yang dijadikan saksi oleh aparat penegak hukum mempunyai pengertian yang berbeda dengan istilah Justice collaborator yang dimaksud untuk menunjuk pada seorang yang membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana. Jika kita kembali kepada esensi politik hukum pidana itu sendiri yang berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang, dengan kata lain bahwa politik hukum pidana berusaha meneliti perubahan-perubahan yang terjadi untuk dapat merumuskan kembali peraturan perundang-undangan saat ini (Ius constitutum) menuju peraturan perundangundangan masa mendatang (Ius constituendum) sehingga peraturan tersebut dapat berdayaguna dan berlaku secara efektif sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu dirumuskan kembali definisi saksi mahkota dan Justice collaborator itu sendiri, apakah kedua istilah tersebut merupakan satu kesatuan sehingga pengaturannya dapat disatukan, ataukah kedua istilah tersebut adalah dua hal yang berbeda sehingga memerlukan pengaturan tersendiri yakni untuk saksi mahkota dan Justice collaborator dalam rumusan ketentuan yang berbeda sehingga tidak terjadi multi tafsir dalam penerapannya oleh aparat penegak hukum. Dengan demikian, dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia khususnya hukum pidana formill (hukum acara pidana) berkaitan dengan pengaturan Justice collaborator perlu dikaji dengan baik dan cermat dengan
meninjau kembali hakikat keberadaan dan peranan Justice collaborator dalam peradilan pidana untuk dapat merumuskan menjadi suatu kebijakan hukum pidana yang baik, sehingga politik hukum pidana berkaitan dengan Justice collaborator dalam peradilan pidana khususnya tindak pidana korupsi dapat mencapai sasaran yang diinginkan guna memberantas tindak pidana korupsi dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.
E. Posisi Kasus Bahwa dalam
kasus ini Terdakwa Sudar Bin Mangun Suwito telah
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
ke persidangan ini dengan dakwaan
subsidairitas sebagai berikut : 1.
PRIMAIR : Bahwa terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO yang menjabat
sebagai Bendahara Satuan (Bensat) Polres Tegal berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah No.Pol : Skep/71/I/2009 tanggal 19 Januari 2009 tentang penempatan, pengangkatan dan pengukuhan dalam pengukuhan Bensatker Polres Tegal bersama-sama dengan Drs. AGUSTIN HARDIYANTO, SH, MH, MM Kepala Kepolisian Resort (KAPOLRES) Tegal Tahun 2008-2009 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI) No.Pol : Skep/102/III/2008 tanggal 16 Maret 2008 tentang Pemberhentian Dari dan Pengangkatan Dalam Jabatan Di Lingkungan POLRI selaku Kuasa Pengguna Anggaran Satuan Kerja Kepolisian Resort (POLRES) Tegal berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Nomor : Skep/14/I/2009 tanggal 5 Januari 2009 tentang Pejabat Pengelola Anggaran Keuangan di Jajaran Polda Jateng (dilakukan penuntutan secara terpisah), pada kurun waktu antara bulan April 2008 sampai dengan bulan Januari 2009 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2008 sampai dengan tahun 2009, bertempat di Kantor POLRES Tegal Jalan Aip KS. Tubun Nomor 3 Slawi Provinsi Jawa Tengah atau setidak-tidaknya disuatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Semarang Provinsi Jawa Tengah, telah melakukan atau turut
serta melakukan, beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, yang dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut : Bahwa terdakwa sebagai Bensat di Polres Tegal Tahun 1996-2009 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah No.Pol : Skep/71/I/2009 tanggal 19 rfJanuari 2009 tentang Penempatan, Pengangkatan dan Pengukuhan dalam Pengukuhan Bensatker Polres Tegal. Bahwa pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 POLRES Tegal mengelola keuangan Negara berupa Anggaran Dana DIPA APBN POLRES Tegal TA 2008 dan TA 2009 berupa Dana Rutin (periode April 2008 s/d Januari 2009), DIPA Operasi Khusus PolresTegal, Dana Kontijensi Polri Untuk Operasi (Ops) Ketupat Dan Operasi (Ops) Lilin Candi 2008,
Dana Bantuan Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah berupa Dana Bantuan Pemilihan Gubernur APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran (TA)
2008 dan Dana Bantuan Pemerintah
Kabupaten Tegal berupa Dana Bantuan Pilihan Bupati APBD Kabupaten Tegal TA 2008 dan Dana Bantuan Kesbangpol dan Limas Kabupaten Tegal APBD Kabupaten Tegal TA 2008 yang pengelolaannya diatur dalam ketentuan antara lain : a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 3 ayat (1) “Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan”. b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 18 ayat (3) “Pejabat yang menandatangani dan atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN bertanggungjawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul”.
Pasal 54 ayat (2)
“Kuasa Pengguna Anggaran
bertanggungjawab
secara formal dan material kepada Pengguna Anggaran atas pelaksanaan kegiatan yang berada dalam penguasaannya”. c. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah : Pasal 61 ayat (1)
” Setiap pengeluaran harus didukung oleh bukti
yang lengkap dan syah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih”; d. Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pertanggungjawaban Keuangan dilingkungan Polri, Pasal 3 Prinsip-prinsip penyelenggaraan Perwabku : 1. Akuntabilitas, yaitu senantiasa dapat dipertanggungjawabkan; 2. Transparan, yaitu keterbukaan dalam pembuata Perwabku; 3. Proporsional, yaitu sesuai dengan peruntukan; 4. Profesional, yaitu sesuai dengan keahlianya. Pasal 51 ayat (1) “Pengelolaan dana bantuan yang bersumber dari Departemen/ Lembaga/ Pemda/ Masyarakat yang diterima oleh Kasatker, baik tingkat pusat maupun kewilayahan, kelengkapan dokumen Perwabku disamakan dengan Perwabku APBN sesuai dengan kegunaan/atau peruntukannya. Bahwa dalam melakukan pengelolaan Keuangan Negara pada POLRES Tegal tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 selaku Kuasa Pengguna Anggaran adalah Drs. AGUSTIN HARDIYANTO, SH, MH, MM Kepala Kepolisian Resort (KAPOLRES) Tegal bersama dengan terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO selaku Bensat telah melakukan perbuatan-perbuatan tidak sesuai dengan ketentuan yaitu : 1. Penyalahgunaan Dana APBN DIPA Rutin (periode April 2008 s/d Januari 2009) dan DIPA Operasi Khusus PolresTegal 1.1 Bahwa pada tahun 2008 dan tahun 2009 POLRES Tegal mendapatkan alokasi dana APBN berdasarkan DIPA Tahun Anggaran 2008 dan DIPA Tahun Anggaran 2009.
1.2
Bahwa Dana DIPA APBN Polres Tegal tahun 2008 dan tahun 2009 tersebut digunakan untuk kegiatan rutin dan
kegiatan operasi
Khusus (Opsus) Kepolisian Polres Tegal yang diberi nama sebagai berikut: a. Ops Curanmor Candi 2008 dari tanggal 08 Mei 2008 s/d 01 Juni 2008. b. Ops Pekat candi 2008 dari tanggal 14 Juli 2008 s/d tanggal 07 Agustus 2008 c. Ops Currat Candi 2008 dari tanggal 19 Agustus 2008 s/d 12 September 2008 d. Ops Ketupat Candi 2008 dari tanggal 24 September 2008 s/d tanggal 09 Oktober 2008 e. Ops Nusa candi 2008 dari tanggal 26 Oktober 2008 s/d tanggal 19 Nopember 2008. f. Ops Zebra Candi 2008 dari tanggal 24 Nopember 2008 s/d tanggal 13 Desember 2008. g. Ops Lilin Candi 2008 dari tanggal 24 Desember 2008 s/d tanggal 02 Januari 2009 1.3
Bahwa terdakwa selaku Bendahara Satuan Polres Tegal (Bensat) SUDAR Bin MANGUN SUWITO mengajukan Surat Permintaan Pembayaran – UP/LS kepada KPPN 118 Tegal setelah lengkap dan disetujui maka diterbitkanlah Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Dana tersebut oleh KPPN ditransfer ke PT Bank Jateng Cabang Slawi dengan No Rekening : 1-035-00719-8 atas nama Bendahara Satker Polres Tegal.
1.4
Bahwa terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO selaku Bendahara Satker Polres Tegal kemudian mencairkan dana tersebut dengan cek, dan selanjutnya melaporkan kepada AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM selaku Kuasa Pengguna Anggaran.
1.5
Bahwa setelah pencairan dana tersebut AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM memerintahkan terdakwa SUDAR Bin
MANGUN SUWITO untuk menyalurkan 70 % dari dana tersebut kepada Bagian/ Satuan Fungsi, Polsek dan sisanya 30 % untuk membantu kegiatan komando. 1.6
Bahwa berdasarkan
perintah AKBP Drs.Agustin Hardiyanto,
SH.MH.MM tersebut terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO membuat Daftar Rincian Perhitungan Penyaluran Anggaran untuk masing-masing Bagian, Satuan Fungsi dan Polsek.
Terdakwa
SUDAR Bin MANGUN SUWITO kemudian melaporkan kepada AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM dan setelah disetujui dan
ditandatangani
oleh
AKBP
Drs.Agustin
Hardiyanto,
SH.MH.MM Daftar Rincian Perhitungan Penyaluran Anggaran tersebut, 70 % dari Anggaran tersebut disalurkan oleh Terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO kepada Bagian, Satuan Fungsi dan Polsek dan sisanya yang 30 % diserahkan tunai kepada AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM setelah dipotong pengeluaran untuk kegiatan diluar kegiatan dalam DIPA . 1.7
Bahwa kemudian dalam realisasi anggaran DIPA TA 2008 dan 2009 tersebut tidak seluruhnya digunakan untuk pelaksanaan kegiatan tersebut sebagaimana peruntukannya, namun atas perintah AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM kepada terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO sebagian dari dana tersebut dipotong untuk kegiatan diluar peruntukannya (kegiatan komando dan kegiatan diluar dinas
saksi AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM
selaku Kapolres) sejak April 2008 sampai dengan Januari 2009 adalah sebagai berikut : Penerimaan - SP2D cair April 2008 s/d Januari 2009
Rp.2.892.461.794,-
Pengeluaran - Sesuai peruntukannya : - Belanja rutin dan kegiatan operasi Polres Tegal Rp.1.704.850.868,- Tidak sesuai peruntukannya :
- Didukung bukti
Rp. 374.151.308,-
- Tidak didukung bukti
Rp. 299.537.024,Rp 673.688.332,-
Jumlah pengeluaran
Rp. 2.378.539.200,-
Jumlah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp. 513.922.594,2. Penyalahgunaan Dana Bantuan Pemilihan Gubernur APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran (TA) 2008 : 2.1 Dalam rangka pengamanan pemilihan Gubernur Jawa Tengah tahun 2008, Polres Tegal menyelenggarakan Operasi Tata Praja Pilgub sesuai Sprin/363/V/2008 tanggal 19 Mei 2008 tentang Pelaksanaan Operasi Tata Praja candi 2008 yang dilaksanakan dengan sumber pembiayaan dari APBD Tingkat I tahun 2008 Provinsi Jawa Tengah sebagaimana tercantum dalam Perda APBD Nomor 8 Tahun 2007 Tanggal 27 Desember 2007 yang dijabarkan dengan Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 80 Tanggal 27 Desember 2007 tentang Penjabaran APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2008 Nomor Rekening 1.19.01.29.07.5.2 sebesar Rp. 125.000.000,00, untuk pembiayaan kegiatan pengamanan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah tahun 2008. 2.2 Bahwa bermula dari Perjanjian Kerjasama Badan Kesatuan dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Jawa Tengah Dan Kepolisian Resort Tegal Nomor 900/427 Nomor Pol: B/636/III/2008 tanggal 12 Maret 2008 tentang Pengamanan Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah Tahun 2008 yang berisikan, bahwa kedua belah pihak sepakat untuk melakukan Pengamanan Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah Tahun 2008 dengan dibiayai APBD Provinsi Jawa
Tengah
Tahun
Anggaran
2008
Nomor
Rekening
1.19.01.29.07.5.2 sebesar Rp125.000.000,00. 2.3 Bahwa Polres Tegal mengajukan Proposal tentang Kegiatan Pengamanan dan Rencana Kebutuhan Belanja Dalam Rangka Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Tahun 2008
tanggal 18 Maret 2008 dengan anggaran yang dibutuhkan sebesar Rp 125.000.000,00. 2.4 Bahwa dana bantuan untuk pengamanan pemilihan Gubernur sejumlah Rp 125.000.000,00 dari Kesbangpol dan Linmas Propinsi Jawa Tengah ditransfer ke No Rekening : 1-035-00719-8 PT Bank Jateng Cabang Slawi atas nama terdakwa selaku Bendahara Satker Polres Tegal SUDAR Bin MANGUN SUWITO pada tanggal April 2008. Atas transfer tersebut
terdakwa SUDAR Bin MANGUN
SUWITO
AKBP
melapor
kepada
Drs.Agustin
Hardiyanto,
SH.MH.MM bahwa dana Pilihan Gubernur telah masuk rekening Polres Tegal dan AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM memerintahkan untuk segera mencairkannya dan mendistribusikan. 2.5 Bahwa terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO
selaku
Bendahara Satker mencairkan Dana pilihan Gubernur dengan cek senilai Rp 125.000.000,00 yang kemudian dari dana tersebut atas petunjuk
AKBP
Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM dalam
pelaksanaannya anggaran tersebut tidak seluruhnya dipergunakan untuk pelaksanaan kegiatan pengamanan Pilgub, dimana sebagian dari dana tersebut dipotong untuk membantu kegiatan komando dan kegiatan diluar dinas AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM sebagai berikut : Penerimaan - Dana cair tanggal April 2008
Rp 125.000.000,00
Pengeluran - Sesuai peruntukannya :
Rp 61.637.400,00
Sub jumlah
Rp 61.637.400,00
- Tidak sesuai peruntukannya : - Didukung bukti :
Rp.17.617.000,00
- Tidak didukung bukti :
Rp 23.745.000,00
Sub jumlah
Rp 41.362.000,00
Jumlah Pengeluaran
Rp 102.999.400,00
Jumlah yang tidak dapat di
Rp 22.000,600,00
pertanggungjawabkan 3 Penyalahgunaan Dana Bantuan Pilihan Bupati APBD Kabupaten Tegal TA 2008 : 3.1 Bahwa Polres Tegal disamping
menyelenggarakan
Operasi Tata
Praja Pilgub; pada tahun 2008 dalam rangka pengamanan pemilihan Bupati Tegal
juga menyelenggarakan
Operasi Tata Praja Pilbup
sesuai Surat Perintah Kopolres Tegal No. Pol : Sprin/546/IX/2008 tanggal 4 September 2008 tentang Perintah pelaksanaan operasi ” Tata Praja 2008 Polres Tegal dengan sumber pembiayaan dari APBD Tingkat II tahun 2008
Pemerintah Kabupaten Tegal sebagaimana
tercantum dalam Perda Nomor 1 Tahun 2008 tanggal 23 Januari 2008 tentang APBD Kabupaten Tegal TA 2008 yang kemudian dijabarkan dengan Peraturan Bupati Tegal Nomor 1 Tahun 2008 tentang Penjabaran APBD Kabupaten Tegal TA 2008 kode rekening 1.19.1.19.01.15.05 sebesar Rp. 799.440.000,00,untuk pembiayan kegiatan pengamanan Pemilihan Bupati Tegal. 3.2 Bahwa sebelum pencairan dana bantuan untuk pembiayan kegiatan pengamanan Pemilihan Bupati Tegal, terlebih dahulu dibuat Berita Acara Serah Terima Dana kegiatan Pengendalian Dan Lingkungan Dalam Pelaksanaan Pilkada Bagi Polres Tegal antara Drs. Bambang Puji Waluyo, MM Kepala Kantor Kesbangpol dan Limas Kabupaten Tegal dengan AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM selaku Kapolres Tegal sebagai berikut : a. BA No. 900/0217.A/2008 tanggal 1 September 2008 untuk pencairan bantuan tahap I sebesar Rp 478.155.000,00, termasuk pajak sebesar Rp19.708.181,00 ; b. BA No. 900/2256.A/2008 tanggal 20 Oktober 2008 untuk pencairan bantuan tahap II sebesar Rp 321.245.000,00.
3.3 Bahwa setelah berita acara serah terima dana untuk bantuan Pengendalian Keamanan dan Lingkungan dalam Pelaksanaan Pilkada Bupati ditandatangani AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM selaku Kapolres Tegal, bantuan dicairkan dari Kantor Kesbangpol dan Limas Kabupaten Tegal dengan kode rekening kegiatan 1.19.01.15.09 sebagai berikut : a. Tahap I dengan surat bukti pengeluaran tanggal 1 September 2008 dana sebesar Rp.478.155.000,00; b. Tahap II dengan surat bukti pengeluaran tanggal 20 Oktober 2008 dana sebesar Rp.321.245.000,00; 3.4 Atas pencairan dana tersebut terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO selaku Bendahara Satker Polres Tegal
kemudian
melaporkan kepada AKBP Drs.Agustin Hardiyanto yang kemudian AKBP
Drs.Agustin
Hardiyanto
memerintahkan
untuk
mendistribusikan sesuai konsep yang telah disiapkan oleh AKBP Drs.Agustin Hardiyanto yang dalam realisasinya anggaran tersebut tidak seluruhnya
dipergunakan
untuk pelaksanaan kegiatan
pengamanan Pilbup, melainkan sebagian dari dana tersebut dipotong untuk membantu kegiatan komando dan kegiatan diluar dinas Drs. Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) dengan rincian sebagai berikut : Tahap I digunakan sebagai berikut : Penerimaan - Dana Cair tanggal 1-09-2008
Rp
478.155.000,00
- Sesuai peruntukannya
Rp
253.396.340,00
Sub Jumlah
Rp
253.396.340,00
Pengeluaran
- Tidak sesuai peruntukannya : -
Didukung bukti :
Rp
-
-
Tidak didukung bukti
Rp.
3.000.000,00
Sub Jumlah
Rp
3.000.000,00
Jumlah Pengeluaran
Rp
256.396.340,00
Jumlah yang tidak dapat di pertanggungjawabkan Rp
221.758.660,00
Rp
321.245.000,00
Tahap II digunakan sebagai berikut : Penerimaan -
Dana Cair tanggal 20-10-2008
Pengeluaran - Tidak sesuai peruntukannya : - Didukung bukti :
Rp
113.000.000,00
- Tidak didukung bukti :
Rp
44.600.000,00
Jumlah Pengeluaran
Rp
157.600.000,00
Jumlah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp
163.645.000,00
4 Penyalahgunaan Dana Bantuan Kesbangpol dan Limas Kabupaten Tegal APBD Kabupaten Tegal TA 2008. 4.1 Dalam tahun 2008 Polres Tegal juga mendapat dana bantuan dari Kantor Kesbangpol dan Limas Kabupaten Tegal untuk dukungan operasi Polres Tegal dengan sumber dana APBD Tk II sebagaimana tercantum dalam Perda Nomor 12 Tahun 2008 tanggal 20 Oktober 2008 tentang Perubahan APBD Kabupaten Tegal TA 2008 yang dijabarkan dengan Peraturan Bupati Tegal Nomor : 31 Tahun 2008 tentang Penjabaran Perubahan APBD Kabupaten Tegal TA 2008 kode rekening 1.19.1.19.01.15.09 sebagai berikut : -
Peningkatan Kantrantibmas
Melalui Peran DAI
Rp
100.264.000,00
dan Tahun Baru 2009
Rp
40.000.000,00
-
Rp
60.000.000,00
Rp
200.264.000,00
-
Pengamanan Natal tahun 2008
Operasi Ketupat Candi 2008 Jumlah
4.2 Bahwa dalam pelaksanaannya dana tersebut tidak seluruhnya digunakan untuk mendukung kegiatan tersebut, namun
oleh
Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) memerintahkan kepada
terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO untuk mempergunakan sebagian dana tersebut untuk kegiatan diluar kegiatan operasi dan untuk kegiatan komando dan kegiatan diluar dinas Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) sebagai berikut : 1) Dana Peningkatan Kantrantibnas Melaluai Peran DAI : Setelah BA Serah Terima No. 900/0286 tanggal 2 Desember 2008 dana dicairkan dua tahap yaitu : Penerimaan -
Tahap I tanggal 13-11-2008
Rp
50.000.000,00
-
Tahap II tanggal 02-12-2008
Rp
50.264.000.00
Jumlah
Rp 100.264.000,00
Penggunaan -
Sesuai peruntukannya :
-
Bayar Pajak Kegiatan Dai
Rp.
13.965.874,00
-
Bayar Pajak Pembang. Pos
Rp.
8.114.477,00
Rp
22.071.351,00
Sub Jumlah -
Tidak sesuai peruntukannya :
-
Didukung bukti :
-
Duk Kesbanglinmas
Sub Jumlah
Rp.
5.000.000,00
Rp
5.000.000,00
-
Tidak didukung bukti :
-
Iuran Polwil
Rp.
10.000.000,00
-
Kas Bensat
Rp.
692.649.00
Sub Jumlah
Rp
10.692.649,00
Jumlah Pengeluaran
Rp
37.764.000,00
Jumlah yang tidak dapat
Rp
62.500.000,00
dipertanggungjawabkan 2) Pengamanan Natal tahun 2008 dan Tahun Baru 2009 Penerimaan -
Tahap I tanggal 24-12-2008Rp
Penggunaan
40.000.000,00
-
Tidak sesuai peruntukannya
Rp
2.500.000,00
Rp
37.500.000,00
Rp
60.000.000,00
Rp
45.250.000,00
Rp
14.750.000,00
Jumlah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan 3) Operasi Ketupat Candi 2008 Penerimaan -
Tahap I tanggal 24-09-2008
Penggunaan -
Sesuai peruntukannya :
Jumlah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
5 Penyalahgunaan Dana Kontijensi Polri Untuk Operasi (Ops) Ketupat Dan Operasi (Ops) Lilin Candi 2008 5.1 Dalam pelaksanaan Operasi Ketupat tahun 2008 Perintah Pelaksanaan Program No. Pol : P3/000010/XII/2008/Polres Tegal/01 tanggal 16 Desember 2008, Operasi Lilin 2008 dan tahun baru 2009 Polres Tegal juga mendapat dukungan anggaran operasional kontijensi Polri tahun anggaran 2008 sebagai berikut : 1) Ops Ketupat 2008 sebesar Rp 48.480.000 digunakan untuk : -
Dukungan uang makan (100 Org x 16 hari x Rp 20.00,00) = Rp 32.000.000,00
-
Dukungan uang saku (100 Org x 16 hari x Rp 10.000.00) = Rp 16.000.000,00
-
Dukungan Kodal ( 100 Org x 16 hari x Rp 300,00 ) = Rp
480.000,00
Rp 48.480.000,00 2) Operasi Lilin Candi 2008 sebesar Rp 24.240.000,00 digunakan untuk -
Dukungan uang makan ( 80 Org x 10 hari x Rp 20.000,00) = Rp 16.000.000,00
-
Dukungan uang saku ( 80 Org x 10 hari x Rp 20.000,00 ) = Rp 8.000.000,00
-
Dukungan Kodal ( 80 Org x 10 hari x Rp 20.000,00 )
= Rp
240.000,00
Rp 24.240.000,00 Jumlah
Rp 72.720.000,00
5.2 Bahwa oleh Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) selaku Kuasa Pengguna Anggaran bersama-sama dengan terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO selaku Bandahara Satuan Kerja anggaran operasional kontijensi Polri Operasi Ketupat 2008 dan Operasi Lilin Candi 2008 tersebut
tidak seluruhnya dipergunakan sesuai
peruntukaannya, namun sebagian dipergunakan untuk kepentingan Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) sebagai berikut : Penerimaan -
Dana Operasi Ketupat
Rp.
48.480.000,00
-
Dana Operasi Lilin Candi
Rp.
24.240.000,00
Rp
72.720.000,00
Jumlah dana yang diterima Penggunaan : -
Sesuai Peruntukannya : - Uang makan dan saku anggota Sub jumlah
-
Rp.
39.900.000,00
Rp
39.900.000,00
Rp
2.500.000,00
Rp
2.500.000,00
Tidak sesuai peruntukannya :
- Didukung bukti: - Dukungan Linmas Sub jumlah - Tidak didukung dengan bukti : - Giat Opsnal Bensat :
Rp.
2.000.000,00
- Bensin Ranmor Kapolres
Rp.
1.000.000.00
- Ajudan ibu Kapolda
Rp.
500.000,00
- Duk Waka
Rp.
1.500.000,00
- Duk Kabag Ops
Rp.
1.000.000,00
- Lain-lain
Rp.
1.250.000,00
- Masuk Kas
Rp.
10.000.000,00
Sub jumlah
Rp
17.250.000,00
Jumlah penggunaan
Rp
59.650.000,00
Rp
13.070.000.00
Jumlah yang tidak dapat Dipertanggungjawabkan
Bahwa secara keseluruhan atas penyalahgunaan Anggaran Dana DIPA APBN POLRES Tegal TA 2008 dan TA 2009 berupa Dana Rutin (periode April 2008 s/d Januari 2009), DIPA Operasi Khusus PolresTegal, Dana Kontijensi Polri Untuk Operasi (Ops) Ketupat Dan Operasi (Ops) Lilin Candi 2008,
Dana
Bantuan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berupa Dana Bantuan Pemilihan Gubernur APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran (TA) 2008 dan Dana Bantuan Pemerintah Kabupaten Tegal berupa Dana Bantuan Pilihan Bupati APBD Kabupaten Tegal TA 2008 dan Dana Bantuan Kesbangpol dan Limas Kabupaten Tegal APBD Kabupaten Tegal TA 2008, terdapat penyimpangan penggunaan Keuangan Negara pada POLRES Tegal tidak sesuai peruntukannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) selaku Kuasa Pengguna Anggaran bersama dengan Terdakwa Sudar bin Mangun Suwito dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp.1.053.846.854,00 dengan perincian sebagai berikut : Penerimaan: -
Jumlah Dana yang cair
Rp
4.089.845.794,00
Rp
2.127.405.959,00
Rp
2.127.405.959,00
514.768.308,00
Pengeluaran: -
Sesuai peruntukannya
Sub Jumlah -
Tidak sesuai Peruntukannya:
-
Didukung bukti
Rp
- Tidak didukung bukti
Rp
398.824.673,00
Sub Jumlah
Rp
913.592.981,00
Rp.
3.040.998.940,00
Rp
1.049.146.854,00
Jumlah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
Bahwa atas uang yang diterima dan tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) selaku Kuasa Pengguna Anggaran
bersama dengan terdakwa Sudar bin Mangun Suwito selaku Bensat Polres Tegal selanjutnya dipergunakan untuk kepentingan Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) antara lain : 1. Diberikan sebagai hadiah kepada Kepala Kesbangpolinmas Kabupaten Tegal BAMBANG PUJI WALUYO sebesar Rp.10.000.000,00; dan 2. Diberikan sebagai hadiah kepada Ketua DPRD Kab. Tegal ACHMAD HUSEIN, Sag sebesar Rp.30.000.000,00. 3. Transfer ke Chie Chit Sri Rejeki, Bank Niaga Cabang Solo Rek. No.021.01.70486.11.3, tanggal 15 Mei 2008 sebesar Rp.6.000.000,00. untuk membayarkan hutang Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal). 4. Sisanya sebesar Rp.1.003.146.845,00 dipergunakan untuk kepentingan pribadi Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) lainnya. Bahwa perbuatan terdakwa SUDAR bin MANGUN SUWITO bersamasama dengan Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) yang tidak menggunakan Anggaran Dana DIPA Polres Tegal TA 2008, TA 2009, Dana Bantuan Pengamanan Pemilihan Gubernur APBD Provinsi Jawa Tengah TA 2008, dan Dana Bantuan Pengamanan Pemilihan Bupati Tegal yang bersumber APBD Pemerintah Kabupaten Tegal TA 2008 dan Dana Kontijensi Polri TA 2008 sesuai dengan peruntukannya tersebut tidak sesuai dengan peraturan yaitu : a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 3 ayat (1) “Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan”. b. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara Pasal 18 ayat (3) “Pejabat
yang
menandatangani
dan
atau
mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN bertanggungjawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul”.
“Kuasa
Pasal 54 ayat 2
Pengguna
Anggaran
bertanggungjawab secara formal dan material kepada Pengguna Anggaran
atas
pelaksanaan
kegiatan
yang
berada
dalam
penguasaannya”. c.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah : Pasal 61 ayat (1) ” setiap pengeluaran harus didukung oleh bukti yang lengkap dan syah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih”;
d. Peraturan
Kapolri
Nomor
10
Tahun
2008
tentang
Pertanggungjawaban Keuangan dilingkungan Polri, Pasal 3 Prinsip-prinsip penyelenggaraan Perwabku : a. Akuntabilitas, yaitu senantiasa dapat dipertanggungjawabkan; b. Transparan, yaitu keterbukaan dalam pembuatan Perwabku; c. Proporsional, yaitu sesuai dengan peruntukan; d. Profesional, yaitu sesuai dengan keahlianya. Pasal 51 ayat (1) “Pengelolaan dana bantuan yang bersumber dari Departemen/ Lembaga/ Pemda/ Masyarakat yang diterima oleh Kasatker, baik tingkat pusat maupun kewilayahan, kelengkapan dokumen Perwabku disamakan dengan Perwabku APBN sesuai dengan kegunaan/atau peruntukannya. Bahwa atas perbuatan terdakwa SUDAR bin MANGUN SUWITO telah memperkaya orang lain yaitu Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) sebesar Rp 1.009.146.854,00 dan memperkaya orang lain yaitu BAMBANG PUJI WALUYO sebesar Rp.10.000.000,00 dan ACHMAD HUSEIN, Sag sebesar Rp.30.000.000,00. Bahwa akibat perbuatan terdakwa sebagaimana diuraikan diatas secara keseluruhan telah merugikan keuangan negara sebesar Rp1.049.146.854,00 atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut sebagaimana hasil Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Jawa Tengah tanggal 25 Agustus 2009 tentang Laporan Hasil Perhitungan Kerugian
Keuangan Negara/Daerah Atas Penyalahgunaan Dana DIPA POLRES Tegal TA 2008/2009 Dan Dana Bantuan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Dan Pemerintah Kabupaten Tegal Yang Bersumber Dari APBD TK I Dan APBD TK II Guna Mendukung Giat Opsnal PAM Pigub dan Pilbup Tahun 2008. Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
SUBSIDIAIR : Bahwa terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO yang menjabat sebagai Bendahara Satuan (Bensat) Polres Tegal berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah No.Pol : Skep/71/I/2009 tanggal 19 Januari 2009 tentang penempatan, pengangkatan dan pengukuhan dalam pengukuhan Bensatker Polres Tegal
bersama-sama dengan Drs. AGUSTIN
HARDIYANTO, SH, MH, MM Kepala Kepolisian Resort (KAPOLRES) Tegal Tahun 2008-2009 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI) No.Pol : Skep/102/III/2008 tanggal 16 Maret 2008 tentang Pemberhentian Dari dan Pengangkatan Dalam Jabatan Di Lingkungan POLRI selaku Kuasa Pengguna Anggaran Satuan Kerja Kepolisian Resort (POLRES) Tegal berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Nomor : Skep/14/I/2009 tanggal 5 Januari 2009 tentang Pejabat Pengelola Anggaran Keuangan di Jajaran Polda Jateng (dilakukan penuntutan secara terpisah), pada kurun waktu antara bulan April 2008 sampai dengan bulan Januari 2009 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2008 sampai dengan tahun 2009, bertempat di Kantor POLRES Tegal Jalan Aip KS. Tubun Nomor 3 Slawi Provinsi Jawa Tengah atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Semarang Provinsi Jawa Tengah, telah melakukan atau turut serta melakukan, beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa
sehingga
harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut,
menguntungkan
diri
sendiri
atau
orang
lain
atau
dengan tujuan
suatu
koorporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, yang dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut: Bahwa terdakwa diangkat sebagai Bensat di Polres Tegal Tahun 19962009 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah No.Pol : Skep/71/I/2009 tanggal 19 Januari 2009 tentang Penempatan, Pengangkatan dan Pengukuhan dalam Pengukuhan Bensatker Polres Tegal. Bahwa tersangka diangkat sebagai Bensat di Polres Tegal Tahun 1996-2009 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah No.Pol : Skep/71/I/2009 tanggal 19 Januari 2009 tentang Penempatan, Pengangkatan dan Pengukuhan dalam Pengukuhan Bensatker Polres Tegal. Bahwa pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 POLRES Tegal mengelola keuangan Negara berupa Anggaran Dana DIPA APBN POLRES Tegal TA 2008 dan TA 2009 berupa Dana Rutin (periode April 2008 s/d Januari 2009), DIPA Operasi Khusus PolresTegal, Dana Kontijensi Polri Untuk Operasi (Ops) Ketupat Dan Operasi (Ops) Lilin Candi 2008,
Dana Bantuan Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah berupa Dana Bantuan Pemilihan Gubernur APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran (TA)
2008 dan Dana Bantuan Pemerintah
Kabupaten Tegal berupa Dana Bantuan Pilihan Bupati APBD Kabupaten Tegal TA 2008 dan Dana Bantuan Kesbangpol dan Limas Kabupaten Tegal APBD Kabupaten Tegal TA 2008 yang pengelolaannya diatur dalam ketentuan antara lain : a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 3 ayat (1) “Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan”. b. Undang-Undang Negara
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Pasal 18 ayat (3) “Pejabat
yang
menandatangani
dan
atau
mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN bertanggungjawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul”. Pasal 54 ayat (2)
“Kuasa Pengguna Anggaran
bertanggungjawab
secara formal dan material kepada Pengguna Anggaran atas pelaksanaan kegiatan yang berada dalam penguasaannya”. c. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah : Pasal 61 ayat (1)
” Setiap pengeluaran harus didukung oleh bukti
yang lengkap dan syah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih”; d. Peraturan
Kapolri
Nomor
10
Tahun
2008
tentang
Pertanggungjawaban Keuangan dilingkungan Polri, Pasal 3
Prinsip-prinsip penyelenggaraan Perwabku :
a. Akuntabilitas, yaitu senantiasa dapat dipertanggungjawabkan; b. Transparan, yaitu keterbukaan dalam pembuatan Perwabku; c. Proporsional, yaitu sesuai dengan peruntukan; d. Profesional, yaitu sesuai dengan keahlianya. Pasal 51 ayat (1) “Pengelolaan dana bantuan yang bersumber dari Departemen/ Lembaga/ Pemda/ Masyarakat yang diterima oleh Kasatker, baik tingkat pusat maupun kewilayahan, kelengkapan dokumen Perwabku disamakan dengan Perwabku APBN sesuai dengan kegunaan/atau peruntukannya. Bahwa dalam melakukan pengelolaan Keuangan Negara pada POLRES Tegal tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 selaku Kuasa Pengguna Anggaran adalah Drs. AGUSTIN HARDIYANTO, SH, MH, MM Kepala Kepolisian Resort (KAPOLRES) Tegal bersama dengan terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO selaku Bensat telah melakukan perbuatan-perbuatan tidak sesuai dengan ketentuan yaitu : 1 Penyalahgunaan Dana APBN DIPA Rutin (periode April 2008 s/d Januari 2009) dan DIPA Operasi Khusus Polres Tegal
1.1 Bahwa pada tahun 2008 dan tahun 2009 POLRES Tegal mendapatkan alokasi dana APBN berdasarkan DIPA Tahun Anggaran 2008 dan DIPA Tahun Anggaran 2009. 1.2 Bahwa Dana DIPA APBN Polres Tegal tahun 2008 dan tahun 2009 tersebut digunakan untuk kegiatan rutin dan kegiatan operasi Khusus (Opsus) Kepolisian Polres Tegal yang diberi nama sebagai berikut: a. Ops Curanmor Candi 2008 dari tanggal 08 Mei 2008 s/d 01 Juni 2008. b. Ops Pekat candi 2008 dari tanggal 14 Juli 2008 s/d tanggal 07 Agustus 2008 c. Ops Currat Candi 2008 dari tanggal 19 Agustus 2008 s/d 12 September 2008 d. Ops Ketupat Candi 2008 dari tanggal 24 September 2008 s/d tanggal 09 Oktober 2008 e. Ops Nusa candi 2008 dari tanggal 26 Oktober 2008 s/d tanggal 19 Nopember 2008. f. Ops Zebra Candi 2008 dari tanggal 24 Nopember 2008 s/d tanggal 13 Desember 2008. g. Ops Lilin Candi 2008 dari tanggal 24 Desember 2008 s/d tanggal 02 Januari 2009 1.3 Bahwa terdakwa selaku Bendahara Satuan Polres Tegal (Bensat) SUDAR Bin MANGUN SUWITO mengajukan Surat Permintaan Pembayaran – UP/LS kepada KPPN 118 Tegal setelah lengkap dan disetujui maka diterbitkanlah Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Dana tersebut oleh KPPN ditransfer ke PT Bank Jateng Cabang Slawi dengan No Rekening : 1-035-00719-8 atas nama Bendahara Satker Polres Tegal. 1.4 Bahwa terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO selaku Bendahara Satker Polres Tegal kemudian mencairkan dana tersebut dengan cek, dan selanjutnya melaporkan kepada AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM selaku Kuasa Pengguna Anggaran.
1.5 Bahwa
setelah
pencairan
dana
tersebut
AKBP
Drs.Agustin
Hardiyanto, SH.MH.MM memerintahkan terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO untuk menyalurkan 70 % dari dana tersebut kepada Bagian/ Satuan Fungsi, Polsek dan sisanya 30 % untuk membantu kegiatan komando. 1.6 Bahwa berdasarkan
perintah AKBP Drs.Agustin Hardiyanto,
SH.MH.MM tersebut terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO membuat Daftar Rincian Perhitungan Penyaluran Anggaran untuk masing-masing Bagian, Satuan Fungsi dan Polsek.
Terdakwa
SUDAR Bin MANGUN SUWITO kemudian melaporkan kepada AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM dan setelah disetujui dan ditandatangani oleh AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM Daftar Rincian Perhitungan Penyaluran Anggaran tersebut, 70 % dari Anggaran tersebut disalurkan oleh Terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO kepada Bagian, Satuan Fungsi dan Polsek dan sisanya yang 30 % diserahkan tunai kepada AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM setelah dipotong pengeluaran untuk kegiatan diluar kegiatan dalam DIPA . 1.7 Bahwa kemudian dalam realisasi anggaran DIPA TA 2008 dan 2009 tersebut tidak seluruhnya digunakan untuk pelaksanaan kegiatan tersebut sebagaimana peruntukannya, namun atas perintah AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM kepada terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO sebagian dari dana tersebut dipotong untuk kegiatan diluar peruntukannya (kegiatan komando dan kegiatan diluar dinas
saksi AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM selaku
Kapolres) sejak April 2008 sampai dengan Januari 2009 adalah sebagai berikut : Penerimaan -
SP2D cair April 2008 s/d Januari 2009
Pengeluaran -
Sesuai peruntukannya :
Rp.2.892.461.794,-
-
Belanja rutin dan kegiatan
operasi Polres Tegal
Rp.1.704.850.868,-
- Tidak sesuai peruntukannya : -
Didukung bukti
-
Tidak didukung bukti
Rp. 374.151.308,Rp. 299.537.024,Rp 673.688.332,-
-
Jumlah pengeluaran
Rp. 2.378.539.200,-
Jumlah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp. 513.922.594,2 Penyalahgunaan Dana Bantuan Pemilihan Gubernur APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran (TA) 2008 : 2.1 Dalam rangka pengamanan pemilihan Gubernur Jawa Tengah tahun 2008, Polres Tegal menyelenggarakan Operasi Tata Praja Pilgub sesuai Sprin/363/V/2008 tanggal 19 Mei 2008 tentang Pelaksanaan Operasi Tata Praja candi 2008 yang dilaksanakan dengan sumber pembiayaan dari APBD Tingkat I tahun 2008 Provinsi Jawa Tengah sebagaimana tercantum dalam Perda APBD Nomor 8 Tahun 2007 Tanggal 27 Desember 2007 yang dijabarkan dengan Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 80 Tanggal 27 Desember 2007 tentang Penjabaran APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2008 Nomor Rekening 1.19.01.29.07.5.2 sebesar Rp. 125.000.000,00, untuk pembiayaan kegiatan pengamanan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah tahun 2008. 2.2 Bahwa bermula dari Perjanjian Kerjasama Badan Kesatuan dan Perlindungan Masyarakat Provinsi Jawa Tengah Dan Kepolisian Resort Tegal Nomor 900/427 Nomor Pol: B/636/III/2008 tanggal 12 Maret 2008 tentang Pengamanan Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah Tahun 2008 yang berisikan, bahwa kedua belah pihak sepakat untuk melakukan Pengamanan Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah Tahun 2008 dengan dibiayai APBD Provinsi
Jawa
Tengah
Tahun
Anggaran
2008
Nomor
Rekening
1.19.01.29.07.5.2 sebesar Rp125.000.000,00. 2.3 Bahwa Polres Tegal mengajukan Proposal tentang Kegiatan Pengamanan dan Rencana Kebutuhan Belanja Dalam Rangka Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Tahun 2008 tanggal 18 Maret 2008 dengan anggaran yang dibutuhkan sebesar Rp 125.000.000,00 untuk kegiatan : 1)
Lat
Pra
Pilkada
160
personil
x Rp
4.400.000,00
2) Pam Kampanye 115 x 4 hari x Rp36.000
Rp
16.560.000,00
Rp
10.440.000,00
1harixRp27.500
3) Pam Distribusi Logistik 290 x 1 hari x Rp.36.000 4) Pam Masa Tenang 250 personil x 3 hari x Rp.36.000
Rp
5) Pam Pemungutan suara 550 personil x 3 hari x Rp 36.000
27.000.000,00 Rp
6) Siaga Mako Polres 112 Personil x 3 x Rp36.000
47.304.000,00 Rp
7) Pam Pasca pemungutan suara 100 personil x 2 hari x Rp 36.000
12.096.000,00 Rp
Jumlah
7.200.000,00 Rp
125.000.000,00
2.4 Bahwa dana bantuan untuk pengamanan pemilihan Gubernur sejumlah Rp 125.000.000,00 dari Kesbangpol dan Linmas Propinsi Jawa Tengah ditransfer ke No Rekening : 1-035-00719-8 PT Bank Jateng Cabang Slawi atas nama terdakwa selaku Bendahara Satker Polres Tegal SUDAR Bin MANGUN SUWITO pada tanggal April 2008. Atas transfer tersebut SUWITO
melapor
kepada
tersangka SUDAR Bin MANGUN AKBP
Drs.Agustin
Hardiyanto,
SH.MH.MM bahwa dana Pilihan Gubernur telah masuk rekening Polres Tegal dan AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM memerintahkan untuk segera mencairkannya dan mendistribusikan.
2.5 Bahwa terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO
selaku
Bendahara Satker mencairkan Dana pilihan Gubernur dengan cek senilai Rp 125.000.000,00 yang kemudian dari dana tersebut atas petunjuk
AKBP
Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM dalam
pelaksanaannya anggaran tersebut tidak seluruhnya dipergunakan untuk pelaksanaan kegiatan pengamanan Pilgub, dimana sebagian dari dana tersebut dipotong untuk membantu kegiatan komando dan kegiatan diluar dinas AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM sebagai berikut : Penerimaan - Dana cair tanggal April 2008
Rp
125.000.000,00
- Sesuai peruntukannya :
Rp
61.637.400,00
Sub jumlah
Rp
61.637.400,00
- Didukung bukti :
Rp.
17.617.000,00
- Tidak didukung bukti :
Rp.
23.745.000,00
Sub jumlah
Rp
41.362.000,00
Jumlah Pengeluaran
Rp
102.999.400,00
Pengeluran
- Tidak sesuai peruntukannya :
Jumlah yang tidak dapat di
pertanggungjawabkan Rp 22.000,600,00
3 Penyalahgunaan Dana Bantuan Pilihan Bupati APBD Kabupaten Tegal TA 2008 : 3.1 Bahwa Polres Tegal disamping
menyelenggarakan
Operasi Tata
Praja Pilgub; pada tahun 2008 dalam rangka pengamanan pemilihan Bupati Tegal
juga menyelenggarakan
Operasi Tata Praja Pilbup
sesuai Surat Perintah Kopolres Tegal No. Pol : Sprin/546/IX/2008 tanggal 4 September 2008 tentang Perintah pelaksanaan operasi ” Tata Praja 2008 Polres Tegal dengan sumber pembiayaan dari APBD Tingkat II tahun 2008
Pemerintah Kabupaten Tegal sebagaimana
tercantum dalam Perda Nomor 1 Tahun 2008 tanggal 23 Januari 2008
tentang APBD Kabupaten Tegal TA 2008 yang kemudian dijabarkan dengan Peraturan Bupati Tegal Nomor 1 Tahun 2008 tentang Penjabaran APBD Kabupaten Tegal TA 2008 kode rekening 1.19.1.19.01.15.05 sebesar Rp. 799.440.000,00,untuk pembiayan kegiatan pengamanan Pemilihan Bupati Tegal. 3.2 Bahwa sebelum pencairan dana bantuan untuk pembiayan kegiatan pengamanan Pemilihan Bupati Tegal, terlebih dahulu dibuat Berita Acara Serah Terima Dana kegiatan Pengendalian Dan Lingkungan Dalam Pelaksanaan Pilkada Bagi Polres Tegal antara Drs. Bambang Puji Waluyo, MM Kepala Kantor Kesbangpol dan Limas Kabupaten Tegal dengan AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM selaku Kapolres Tegal sebagai berikut : 1) BA No. 900/0217.A/2008 tanggal 1 September 2008 untuk pencairan bantuan tahap I sebesar Rp 478.155.000,00, termasuk pajak sebesar Rp19.708.181,00 ; 2) BA No. 900/2256.A/2008 tanggal 20 Oktober 2008 untuk pencairan bantuan tahap II sebesar Rp 321.245.000,00. 3.3 Bahwa setelah berita acara serah terima dana untuk bantuan Pengendalian Keamanan dan Lingkungan dalam Pelaksanaan Pilkada Bupati ditandatangani AKBP Drs.Agustin Hardiyanto, SH.MH.MM selaku Kapolres Tegal, bantuan dicairkan dari Kantor Kesbangpol dan Limas Kabupaten Tegal dengan kode rekening kegiatan 1.19.01.15.09 sebagai berikut : a. Tahap I dengan surat bukti pengeluaran tanggal 1 September 2008 dana sebesar Rp.478.155.000,00; b. Tahap II dengan surat bukti pengeluaran tanggal 20 Oktober 2008 dana sebesar Rp.321.245.000,00; 3.4 Atas pencairan dana tersebut terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO selaku Bendahara Satker Polres Tegal
kemudian
melaporkan kepada AKBP Drs.Agustin Hardiyanto yang kemudian AKBP
Drs.Agustin
Hardiyanto
memerintahkan
untuk
mendistribusikan sesuai konsep yang telah disiapkan oleh AKBP Drs.Agustin Hardiyanto yang dalam realisasinya anggaran tersebut tidak seluruhnya
dipergunakan
untuk pelaksanaan kegiatan
pengamanan Pilbup, melainkan sebagian dari dana tersebut dipotong untuk membantu kegiatan komando dan kegiatan diluar dinas Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) dengan rincian sebagai berikut : Tahap I digunakan sebagai berikut : Penerimaan - Dana Cair tanggal 1-09-2008
Rp
478.155.000,00
- Sesuai peruntukannya
Rp
253.396.340,00
Sub Jumlah
Rp
253.396.340,00
- Didukung bukti :
Rp
-
- Tidak didukung bukti
Rp.
Sub Jumlah
Rp
Pengeluaran
- Tidak sesuai peruntukannya :
Jumlah Pengeluaran
Rp
3.000.000,00 3.000.000,00
256.396.340,00
Jumlah yang tidak dapat di pertanggungjawabkan Rp
221.758.660,00
Tahap II digunakan sebagai berikut : Penerimaan -
Dana Cair tanggal 20-10-2008
Rp
321.245.000,00
Pengeluaran - Tidak sesuai peruntukannya : - Didukung bukti :
Rp
113.000.000,00
- Tidak didukung bukti :
Rp
44.600.000,00
Jumlah Pengeluaran
Rp
157.600.000,00
Jumlah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp
163.645.000,00
4 Penyalahgunaan Dana Bantuan Kesbangpol dan Limas Kabupaten Tegal APBD Kabupaten Tegal TA 2008. 4.1 Dalam tahun 2008 Polres Tegal juga mendapat dana bantuan dari Kantor Kesbangpol dan Limas Kabupaten Tegal untuk dukungan operasi Polres Tegal dengan sumber dana APBD Tk II sebagaimana tercantum dalam Perda Nomor 12 Tahun 2008 tanggal 20 Oktober 2008 tentang Perubahan APBD Kabupaten Tegal TA 2008 yang dijabarkan dengan Peraturan Bupati Tegal Nomor : 31 Tahun 2008 tentang Penjabaran Perubahan APBD Kabupaten Tegal TA 2008 kode rekening 1.19.1.19.01.15.09 sebagai berikut : -
Peningkatan Kantrantibmas
Melalui Peran DAI -
100.264.000,00
Pengamanan Natal tahun 2008
dan Tahun Baru 2009 -
Rp
Rp
Operasi Ketupat Candi 2008 Jumlah
40.000.000,00 Rp
60.000.000,00
Rp 200.264.000,00
4.2 Bahwa dalam pelaksanaannya dana tersebut tidak seluruhnya digunakan untuk mendukung kegiatan tersebut, namun
oleh
Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) memerintahkan kepada terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO untuk mempergunakan sebagian dana tersebut untuk kegiatan diluar kegiatan operasi dan untuk kegiatan komando dan kegiatan diluar dinas Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) sebagai berikut : 1. Dana Peningkatan Kantrantibnas Melaluai Peran DAI : Setelah BA Serah Terima No. 900/0286 tanggal 2 Desember 2008 dana dicairkan dua tahap yaitu : Penerimaan -
Tahap I tanggal 13-11-2008Rp
-
Tahap II tanggal 02-12-2008Rp 50.264.000.00 Jumlah
Penggunaan
50.000.000,00
Rp 100.264.000,00
-
Sesuai peruntukannya :
-
Bayar Pajak Kegiatan DaiRp.
13.965.874,00
-
Bayar Pajak Pembg. Pos Rp.
8.114.477,00
Sub Jumlah
Rp
-
Tidak sesuai peruntukannya :
-
Didukung bukti :
-
Duk Kesbanglinmas
Sub Jumlah
22.071.351,00
Rp.
5.000.000,00
Rp
5.000.000,00
-
Tidak didukung bukti :
-
Iuran Polwil
Rp.
10.000.000,00
-
Kas Bensat
Rp.
692.649.00
Sub Jumlah
Rp
10.692.649,00
Jumlah Pengeluaran
Rp
37.764.000,00
Jumlah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp 62.500.000,00 2. Pengamanan Natal tahun 2008 dan Tahun Baru 2009 Penerimaan -
Tahap I tanggal 24-12-2008Rp
40.000.000,00
Penggunaan -
Tidak sesuai peruntukannyaRp
2.500.000,00
Jumlah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp 37.500.000,00 3. Operasi Ketupat Candi 2008 Penerimaan -
Tahap I tanggal 24-09-2008Rp
60.000.000,00
Penggunaan -
Sesuai peruntukannya :
Rp
45.250.000,00
Jumlah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp 14.750.000,00 5 Penyalahgunaan Dana Kontijensi Polri Untuk Operasi (Ops) Ketupat Dan Operasi (Ops) Lilin Candi 2008
5.1 Dalam pelaksanaan Operasi Ketupat tahun 2008 Perintah Pelaksanaan Program No. Pol : P3/000010/XII/2008/Polres Tegal/01 tanggal 16 Desember 2008, Operasi Lilin 2008 dan tahun baru 2009 Polres Tegal juga mendapat dukungan anggaran operasional kontijensi Polri tahun anggaran 2008 sebagai berikut : 1) Ops Ketupat 2008 sebesar Rp 48.480.000 digunakan untuk : -
Dukungan uang makan (100 Org x 16 hari x Rp 20.00,00) = Rp 32.000.000,00
-
Dukungan uang saku (100 Org x 16 hari x Rp 10.000.00) = Rp 16.000.000,00
-
Dukungan Kodal ( 100 Org x 16 hari x Rp 300,00 ) = Rp
480.000,00
Rp 48.480.000,00 2) Operasi Lilin Candi 2008 sebesar Rp 24.240.000,00 digunakan untuk : -
Dukungan uang makan ( 80 Org x 10 hari x Rp 20.000,00) = Rp 16.000.000,00
-
Dukungan uang saku ( 80 Org x 10 hari x Rp 20.000,00 ) = Rp 8.000.000,00
-
Dukungan Kodal ( 80 Org x 10 hari x Rp 20.000,00 ) = Rp
240.000,00
Rp 24.240.000,00 Jumlah
Rp 72.720.000,00
5.2 Bahwa oleh Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) selaku Kuasa Pengguna Anggaran bersama-sama dengan terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO selaku Bandahara Satuan Kerja anggaran operasional kontijensi Polri Operasi Ketupat 2008 dan Operasi Lilin Candi 2008 tersebut
tidak seluruhnya dipergunakan sesuai
peruntukaannya, namun sebagian dipergunakan untuk kepentingan Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) sebagai berikut : Penerimaan -
Dana Operasi Ketupat
Rp.
48.480.000,00
-
Dana Operasi Lilin Candi
Jumlah dana yang diterima
Rp.
24.240.000,00
Rp
72.720.000,00
Penggunaan : -
Sesuai Peruntukannya : - Uang makan dan saku anggota Sub jumlah
-
Rp.
39.900.000,00
Rp
39.900.000,00
Tidak sesuai peruntukannya :
- Didukung bukti: - Dukungan Linmas Sub jumlah
Rp
2.500.000,00
Rp
2.500.000,00
- Tidak didukung dengan bukti : - Giat Opsnal Bensat :
Rp.
2.000.000,00
- Bensin Ranmor Kapolres
Rp.
1.000.000.00
- Ajudan ibu Kapolda
Rp.
500.000,00
- Duk Waka
Rp.
1.500.000,00
- Duk Kabag Ops
Rp.
1.000.000,00
- Lain-lain
Rp.
1.250.000,00
- Masuk Kas
Rp.
10.000.000,00
Sub jumlah
Rp
17.250.000,00
Jumlah penggunaan
Rp
59.650.000,00
Jumlah yang tidak dapat dipertanggung
Rp 13.070.000.00
jawabkan Bahwa secara keseluruhan atas penyalahgunaan Anggaran Dana DIPA APBN POLRES Tegal TA 2008 dan TA 2009 berupa Dana Rutin (periode April 2008 s/d Januari 2009), DIPA Operasi Khusus PolresTegal, Dana Kontijensi Polri Untuk Operasi (Ops) Ketupat Dan Operasi (Ops) Lilin Candi 2008,
Dana
Bantuan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berupa Dana Bantuan Pemilihan Gubernur APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran (TA) 2008 dan Dana Bantuan Pemerintah Kabupaten Tegal berupa Dana Bantuan Pilihan Bupati APBD Kabupaten Tegal TA 2008 dan Dana Bantuan Kesbangpol dan Limas Kabupaten Tegal APBD Kabupaten Tegal TA 2008, terdapat penyimpangan
penggunaan Keuangan Negara pada POLRES Tegal tidak sesuai peruntukannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) bersama dengan terdakwa Sudar Bin Mangun Suwito selaku Bensat Polres dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp.1.053.846.854,00 dengan perincian sebagai berikut : Penerimaan: -
Jumlah Dana yang cair
Rp
4.089.845.794,00
Rp
2.127.405.959,00
Rp
2.127.405.959,00
514.768.308,00
Pengeluaran: -
Sesuai peruntukannya
Sub Jumlah
-
Tidak sesuai Peruntukannya:
-
Didukung bukti
Rp
- Tidak didukung bukti
Rp
398.824.673,00
Sub Jumlah
Rp
913.592.981,00
Rp.
3.040.998.940,00
Rp
1.049.146.854,00
Jumlah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
Bahwa atas uang yang diterima dan tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh Drs Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) bersama dengan Sudar bin Mangun Suwito selaku Bensat Polres Tegal selanjutnya dipergunakan untuk kepentingan Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) antara lain : 1 Diberikan sebagai hadiah kepada Kepala Kesbangpolinmas Kabupaten Tegal BAMBANG PUJI WALUYO sebesar Rp.10.000.000,00; dan 2 Diberikan sebagai hadiah kepada Ketua DPRD Kab. Tegal ACHMAD HUSEIN, Sag sebesar Rp.30.000.000,00. 3 Transfer ke Chie Chit Sri Rejeki, Bank Niaga Cabang Solo Rek. No.021.01.70486.11.3, tanggal 15 Mei 2008 sebesar Rp.6.000.000,00. untuk membayarkan hutang Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal). 4 Sisanya sebesar Rp.1.003.146.845,00 dipergunakan untuk kepentingan pribadi Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) lainnya.
Bahwa perbuatan terdakwa SUDAR bin MANGUN SUWITO bersamasama dengan Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) yang tidak menggunakan Anggaran Dana DIPA Polres Tegal TA 2008, TA 2009, Dana Bantuan Pengamanan Pemilihan Gubernur APBD Provinsi Jawa Tengah TA 2008, dan Dana Bantuan Pengamanan Pemilihan Bupati Tegal yang bersumber APBD Pemerintah Kabupaten Tegal TA 2008 dan Dana Kontijensi Polri TA 2008 sesuai dengan peruntukannya tersebut tidak sesuai dengan peraturan yaitu : a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 3 ayat (1)
“Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan”. b. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara Pasal 18 ayat (3) “Pejabat
yang
menandatangani
dan
atau
mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN bertanggungjawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul”. Pasal 54 ayat 2
“Kuasa Pengguna Anggaran
bertanggungjawab
secara formal dan material kepada Pengguna Anggaran atas pelaksanaan kegiatan yang berada dalam penguasaannya”. c. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah : Pasal 61 ayat (1) ” setiap pengeluaran harus didukung oleh bukti yang lengkap dan syah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih”; d. Peraturan
Kapolri
Nomor
10
Tahun
2008
Pertanggungjawaban Keuangan dilingkungan Polri, Pasal 3 Prinsip-prinsip penyelenggaraan Perwabku : a. Akuntabilitas, yaitu senantiasa dapat dipertanggungjawabkan; b. Transparan, yaitu keterbukaan dalam pembuatan Perwabku;
tentang
c. Proporsional, yaitu sesuai dengan peruntukan; d. Profesional, yaitu sesuai dengan keahlianya. Pasal 51 ayat (1) “Pengelolaan dana bantuan yang bersumber dari Departemen/ Lembaga/ Pemda/ Masyarakat yang diterima oleh Kasatker, baik tingkat pusat maupun kewilayahan, kelengkapan dokumen Perwabku disamakan dengan Perwabku APBN sesuai dengan kegunaan/atau peruntukannya. Bahwa atas perbuatan terdakwa SUDAR bin MANGUN SUWITO telah memperkaya orang lain yaitu Drs.Agustin Hardiyanto (Kapolres Tegal) sebesar
Rp 1.009.146.854,00 dan memperkaya orang lain yaitu
BAMBANG PUJI WALUYO sebesar Rp.10.000.000,00 dan ACHMAD HUSEIN, Sag sebesar Rp.30.000.000,00. Bahwa akibat perbuatan terdakwa sebagaimana diuraikan diatas secara keseluruhan telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 1.049.146.854,00 atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut sebagaimana hasil Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Jawa Tengah tanggal 25 Agustus 2009 tentang Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara/Daerah Atas Penyalahgunaan Dana DIPA POLRES Tegal TA 2008/2009 Dan Dana Bantuan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Dan Pemerintah Kabupaten Tegal Yang Bersumber Dari APBD TK I Dan APBD TK II Guna Mendukung Giat Opsnal PAM Pigub dan Pilbup Tahun 2008. Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum Bagi Justice Collaborator yang Diatur Didalam Instrumen Internasional Maupun Nasional. Suatu pengungkapan atau kesaksian kebenaran dalam suatu scandal crime ataupun Serious Crime oleh justice collaborator jelas merupakan ancaman nyata bagi pelaku kejahatan. Pelaku kejahatan akan menggunakan berbagai cara untuk membungkam dan melakukan aksi pembalasan sehingga kebijakan perlindungan seharusnya bersifat prevensial (mencegah sebelum terjadi) kehadiran justice collaborator memang sulit dibantah dapat menjadi alat bantu, sekalipun seorang justice collaborator berani mengambil resiko yang sangat berbahaya bagi keselamatan fisik maupun psikis dirinya, dan keluarganya, resiko terhadap pekerjaan dan masa depannya. Maka perlu dirancang landasan hukum maupun bentuk-bentuk perlindungan hukum yang kuat dan skema perlindungan yang jelas dan terukur bagi justice collaborator dalam pengungkapan tindak pidana tertentu khususnya tindak pidana korupsi terutama dilingkungan aparat publik yang terkait dengan mal administrasi, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan yang membahas kepentingan umum. Dalam realitasnya justice collaborator seringkali kurang mendapatkan perlindungan hukum dalam proses hukumnya. Berdasarkan penjabaran diatas sangatlah patut adanya perlindungan hukum bagi justice collaborator dalam mengungkap fakta tindak pidana korupsi di Indonesia. Terhadap orang-orang yang kritis dan berani mencegah dan mengungkap korupsi yang telah ia lakukan bersama rekanrekannya, kebalikannya seringkali diberikan sanksi dengan merekayasa seolah-olah yang bersangkutan melakukan perbuatan indisipliner atau perbuatan melawan hukum. Justice collaborator perlu diberikan perlindungan hukum, sehingga ia tidak selalu menjadi korban dengan harapan justice collaborator yang lain mampu
bekerjasama dan mempermudah aparat hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana korupsi guna menemukan alat bukti serta menangkap tersangka yang lain. Untuk mengetahui seberapa jauh perlindungan hukum yang diberikan kepada justice collaborator di Indonesia, maka dapat dikaji dari beberapa peraturan perundang-undangan yang ada baik itu berasal dari Intrumen internasional maupun nasional antara lain: a) United Nations Convention Against Corruption/ UNCAC (selanjutnya disebut Undang – undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi). Bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi justice collaborator atas kesaksian yang diberikan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi diatur dalam pasal 37 ayat (2) dan ayat (3) United Nations Convention Against Corruption/ UNCAC yang menyatakan bahwa Negara wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku dan mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan “kekebalan dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana. Namun, kembali lagi pada sistem hukum nasional negara Indonesia yaitu melalui lembaga yang khusus memberikan perlindungan saksi dan korban ternyata masih belum menjangkau justice collaborator. Sehingga apa yang menjadi amanat dalam undang-undang tersebut belum terealisasikan. b) United
Nation
Convention
Against
Transnational
Crimes/UNCATOC (selanjutnya disebut Undang–undang
Organized Nomor 5
Tahun 2009 tentang Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional). Perlindungan hukum bagi justice collaborator diatur dalam pasal 24 ayat (1) UNCATOC yang menyatakan sebagai berikut negara memberikan perlindungan yang efektif dari kemungkinan pembalasan atau intimidasi terhadap saksi-saksi dalam proses pidana yang memberikan kesaksian mengenai tindak
pidana. Pasal tersebut hanya mengatur mengenai perlindungan terhadap “saksi” bukan untuk justice collaborator. Hal ini tidak memberikan peluang bagi justice collaborator untuk mendapatkan perlindungan hukum terkait perannya yang sangat signifikan. c)
KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana) Bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi Justice Collaborator
dalam
pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi di dalam KUHAP memang tidak mengerucut kepada hak-hak saksi namun dalam KUHAP mengatur perlindungan hukum terhadap hak-hak terdakwa. Perlindungan hokum terhadap Justice Collaborator dengan statusnya sebagai tersangka dalam KUHAP diatur dalam pasal 50-55, 57-65 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Namun dalam penerapanya pasal-pasal tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Hal itu disebabkan belum mengatur secara spesifik mengenai bentuk perlindungan yang seharusnya didapatkan justice collaborator. d) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya dirubah menjadi Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Pengertian “saksi” tidak dijelaskan secara rinci dalam undang-undang ini, namun undang-undang ini telah mencantumkan mengenai saksi dalam Pasal 15 butir a yaitu:
“Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang
menyampaikan laporan atau memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi”. Pada bagian penjelasan pasal 15 butir a menyatakan: “Yang dimaksud dengan “memberikan perlindungan”, dalam ketentuan ini melengkapi juga pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian identitas
pelapor/saksi atau melakukan evakuasi termasuk
perlindungan hukum”. Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tidak diatur secara spesifik mengenai jenis-jenis saksi, tersangka, dan terdakwa yang terlibat dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi serta untuk perlindungan hukum bagi saksi, tersangka, dan terdakwa tidak diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan uraian diatas, maka seorang justice collaborator dalam hal ini masih belum diakui keberadaannya dan eksistensinya dalam Undangundang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya dirubah menjadi Undang-undang Nomor 20 tahun 2001. Sehingga tanpa adanya perlindungan hukum akan sangat rentan mendapat intimidasi dari pihak-pihak yang ia laporkan terkait tindak pidana korupsi yang ia lakukan. e)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-undang ini tidak mencantumkan secara jelas mengenai siapa saja
saksi yang dimaksud dalam undang-undang tersebut. Namun, dalam undangundang ini memberikan pengertian terhadap “saksi” yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Undang-undang ini juga mencantumkan dalam pasal 8 bahwa: “Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahapan penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi justice collaborator atas kesaksian yang diberikan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi disetarakan dengan saksi pada umumnya yaitu berupa perlindungan terhadap hak– hak saksi yang diatur dalam Pasal 5–10 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Hak-hak saksi pelaku yang
bekerjasama/Justice Collaborator dalam Undang-Undang ini telah diatur guna memenuhi rasa aman sebagai standar pelayanan instansi yang berwenang dalam
melaksanakan bentuk-bentuk perlindungan hukum yang telah diperjanjikan sebelumnya baik atas permintaan sendiri maupun melalui orang lain ataupun instansi yang berwenang yang dalam hal ini meliputi sarana prasarana, fasilitas, Instansi yang akan memberikan perlindungan hukum, dan kepentingan pihak Justice Collaborator. f) Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi Perlindungan hukum justice collaborator dipertimbangkan bedasarkan beberapa aspek kemasyarakatan, yang meliputi landasan hukum, proses penahanan di Rutan/Rumah Tahanan, dan pidana penjara yang dilaksanakan bedasarkan peraturan perundang-undangan/instrumen nasional yang berlaku. Proses Penahanan Dirumah Tahanan bedasarkan peraturan perundangundangan/istrumen yang berlaku sebagai bentuk perlindungan hokum terhadap justice collaborator atas kesaksian yang diberikan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi, harus memenuhi 2 (dua) ketentuan, meliputi: a) Penempatan justice collaborator di blok khusus (Blok register H), serta b) Pengawasan khusus dalam pemenuhan hak–hak: 1) Menjalankan ibadah, 2) Menerima kunjungan 3) Pelayanan makanan, 4) Pelayanan kesehatan, 5) Memperoleh informasi (bacaan dan siaran media massa), dan 6) Politik dan keperdataan Di Indonesia, justice collaborator tetap akan menjalani pidana penjara apabila terbukti bersalah dan terlibat dalam perbuatan pidana yang dihadapinya. Meskipun demikian, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ia tetap memperoleh perlindungan hukum seperti perlindungan keamanan dan pemenuhan atas hak-haknya. Namun dalam keputusan presiden ini masih belum diatur secara khusus/spesifik mengenai remisi bagi justice collaborator dan prosedur apa saja yang ia lakukan untuk mendapatkan remisi tersebut. Bedasarkan ketentuan tersebut, sangat beralasan apabila justice collaborator patut mendapatkan perlakuan tersebut.
g) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Strategi Nasional Pencegahan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 Dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014. Dalam Peraturan Pemerintah ini tidak diatur mengenai perlindungan hukum bagi justice collaborator atas kesaksian yang diberikan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi, namun didalam Peraturan Pemerintah ini cenderung bentuk perlindungan hukumnya mengarah pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
h) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
4 Tahun 2011 Tentang
Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators) Didalam Perkara Tindak Pidana Tertentu Dalam penerapannya Pasal 9 Point C dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators) Didalam Perkara Tindak Pidana Tertentu telah diatur mengenai perlindungan hukum bagi Justice Collaborators sebagai berikut: 1) Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus bagi Justice Collaborators; 2) Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara paling ringan diantara terdakwa lain yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud. 3)
Dalam
pemberian
perlakuan
khusus
tersebut,
hakim
harus
mempertimbangkan rasa keadilan bagi masyarakat. Namun,
Surat
Edaran
ini
belumlah
cukup
untuk
memberikan
perlindungan hukum bagi justice collaborator. Karena ketika justice collaborator itu muncul maka ia harus dilindungi mulai tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, hingga tahap pemeriksaan di persidangan.sedangkan Surat Edaran ini hanya melindungi justice collaborator yang telah memasuki tahap persidangan dan tentunya hakimlah yang meberikan perlindungan hukum tersebut. Berdasarkan perlindungan hukum bagi justice collaborator yang ditinjau dari
berbagai peraturan perundang-undangan ditemukan bahwa didalamnya masih sangat minim, bahkan tidak mengenai atau menjangkau perlindungan hukum bagi justice collaborator. Pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban pada prinsipnya harus merupakan pemberian seperangkat hak yang dapat dimanfaatkan dan diperolehnya dalam posisinya sebagai salah satu elemen dalam proses peradilan pidana dan adanya perlindungan terhadap saksi termasuk saksi pelaku yang berkerjasama adalah merupakan salah satu bentuk penghargaan atau kontribusi para justice collaborator dalam proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, perlu segera didorong adanya percepatan pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan revisi atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai ujung tombak dalam memberikan perlindungan hukum terhadap justice collaborator. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 33 United Nations Convention Against Corruption/ UNCAC dan Pasal 15 butir a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
2.
Pengaturan Justice Collaborator Dalam Peraturan
Perundang-
Undangan Di Indonesia Justice collaborator memiliki peranan yang sangat dominan dalam membantu membongkar dan mengungkap kasus korupsi. Dilihat dari posisi jutice collaborator, maka ada sebuah posisi yang strategis yang dimiliki oleh seorang justice collaborator. Hal itu dikarenakan, seorang justice collaborator adalah orang yang ikut berperan dalam terjadinya suatu tindak pidana terorganisir dan dilakukan secara berjamaah seperti tindak pidana korupsi. Namun dalam hal ini posisi dari justice collaborator bukan merupakan pelaku utama dari terjadinya suatu tindak pidana korupsi. Orang yang demikian tersebut dapat dijadikan sumber informasi dalam kaitannya dengan adanya tersangka dan alat bukti lain dalam tindak pidana korupsi yang belum ditemukan oleh penyidik. Oleh karena itu, perlindungan hokum yang maksimal sangatlah dibutuhkan bagi Justice Collaborator untuk tetap menjaga konsistensinya dalam mengungkap tindak pidana korupsi.
Secara historis, istilah justice collaborator sering digunakan
untuk menunjukkan seseorang pelaku yang bekerjasama dengan aparat hukum yang berupaya mengungkap ketidakjujuran dan penyimpangan yang dilakukan oleh dirinya dan rekan-rekanya dalam suatu tindak pidana korupsi. Upaya ini tentu bukan pekerjaan yang mudah karena ia harus mengungkapkan dengan jujur apa yang telah ia lakukan dengan rekanrekannya dalam suatu tindak pidana terorganisir yang dalam hal ini ia juga akan mendapatkan beban atas yang diungkapnya dalam kesaksian tersebut. Beban tersebut akan ditanggung oleh justice collaborator itu sendiri terkait kehilangan pekerjaan, pidana yang dijatuhkan hakim, dan beban psikis serta fisik bagi dirinya.
Rocky Marbun menyebutkan bahwa problematika muatan tentang
Justice Collaborator dalam perundang-undangan di Indonesia baik dalam Surat Edaran Mahkamah Agung maupun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban ternyata membutuhkan detail arah dan kebijakan politik hukum pidana yang jelas, karena keduannya terutama Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators) Didalam Perkara Tindak Pidana Tertentu telah diatur mengenai perlindungan hukum bagi Justice Collaborators dalam fungsinya sebagai surat dinas yang memuat penjelasan atau petunjuk tentang tata cara pelaksanaan suatu peraturan perundangundangan dalam ruang lingkup kewenangannya, namun kenyataanya justru membutuhkan petunjuk lebih lanjut terkait persoalan tersebut. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, Justice Collaborator tidak secara spesifik diatur baik dari segi perlindungan hukumnya maupun mengenai Justice Collaborator itu sendiri. Program perlindungan bagi Justice Collaborator yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan
Saksi
dan
Korban
belum
memadai
sebagai
landasan/pijakan hukum bagi aparat hukum untuk memberikan perlindungan hukum. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan problem ini pemerintah Indonesia seharusnya membuat atau membagi hak-hak saksi tersebut bedasarkan kategorikategori saksi yaitu perlindungan atas hak saksi dalam prosedural pidana dan membuat peraturan perundang-undangan yang baru atau mengganti yang lama
dengan peraturan perundang-undangan baru yang secara spesifik mengatur Justice Colllaborator dan perlindungan hukumnya atas kesaksian yang akan, sedang, dan telah dilakukannya. Apabila ditinjau bedasarkan peran justice collaborator pada saat ini dalam mengungkap suatu tindak pidana korupsi, maka kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai justice collaborator dan perlindungan hukum baginya sangat diperlukan mengingat peranan justice collaborator yang sangat signifikan. Sehingga diharapkan dimasa datang pengaturan secara spesifik mengenai justice collaborator dan perlindungan hukumnya dapat terpenuhi dan dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. PEMBAHASAN KASUS PERKARA NO: 145/Pid.sus/2013/PN. Smg. Jaksa Penuntut Umum dalam membuktikan dakwaan Primernya ternyata tidak bisa membuktikan dakwaannya sehingga Terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO DIBEBASKAN dari Dakwaan Primernya, Jaksa berpendapat bahwa salah satu unsur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak terpenuhi, sehingga dakwaan Primer tidak bisa dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Proses persidangan yang dilakukan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Semarang dalam memeriksa perkara ini telah mengahdirkan saksi-saksi yang berjumlah 19 (Sembilan belas) orang saksi yakni : 1.
Kompol Valentinus A
2.
AKP. Moh.Sahri, SH
3.
Kompol Wiyoto
4.
AKP Rudi Hartono
5.
AKP Suwandi
6.
Hariono
7.
AKP Ngakan Ketut Putra
8.
AKP Akhmad Mujahid
9.
AKP Ketut Wirnita
10. IPDA Haryono 11. AKP Sumarjo 12. AKP Dwija Utama 13. AKP Supratman 14. AIPTU Muh Yani 15. Bripda Riski Wigia Astuti 16. Khaerudin, SH 17. Achmad Husen S.Ag 18. Drs.Agustin Hardiyanto, SH, MH.,MM 19. Saksi Ahli Heri Pratama SW Proses peradilan pidana adalah suatu proses persidangan yang sangat berbeda dengan proses persidangan lainnya, karena dalam suatu proses persidangan pidana haruslah dapat diukur seberapa jauh kesalahan (schuld) yang terdapat pada diri seorang terdakwa pada dugaan tindak pidana yang didakwakan tanpa ada sedikitpun keraguan pada Majelis Hakim pemeriksa suatu perkara tentang hal tersebut. Untuk kemudian, berdasarkan hal ini, dapat pula diukur dan dimintakan seberapa besar pertanggung jawaban pidana yang bisa dilekatkan pada seorang terdakwa. Hal ini pula yang disampaikan Curzon LB Curzon dalam bukunya “Criminal Law” (London; M & E Pitman Publishing ; 1997) yang menjelaskan : “Bahwa untuk dapat mempertanggung jawabkan seseorang dan karenanya mengenakan pidana terhadapnya, tidak boleh ada keraguan sedikitpun pada diri hakim tentang kesalahan terdakwa” Hal ini pula yang disampaikan Prof. Moeljatno pada bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana” (Jakarta; Bina Aksara; 1987) yang menerangkan : “Orang tidak mungkin mempertanggung jawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana” Sementara, Indriyanto Seno Adji dalam buku “Korupsi dan Hukum Pidana” menyebutkan: ”Tindak pidana adalah perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya
bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya”. Berkaitan dengan itu perbuatan Terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO juga harus menjadi perhatian lebih dalam Majelis Hakim Pemeriksa perkara mengingat kedudukan Terdakwa pada saat iru juga berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan dalam kondisi yang tertekan secara Phsikis, yang perlu kita renungkan adalah bahwa mungkinkan seorang yang menjalankan perintah
jabatan
dan
dengan
kondisi
secara
Phsikis
tertekan
dapat
dipertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana? Karakteristik perkara pidana Indonesia telah menempatkan unsur yang esensial dalam suatu perumusan delik, baik yang ujud perumusannya secara tersirat maupun tersurat, yaitu apa yang dinamakan unsur melawan hukum atau “wedderechttelijk”. Sebagai suatu delik formil, unsur melawan hukum dalam suatu perumusan delik kerap menempatkannya sebagai suatu perbuatan yang primaritas untuk menentukan dipidananya seseorang atau tidak atau dikenal dengan istilah “strafbarehandeling”. Perbuatan terdakwa yang dapat dipidana (strafbarehandeling) terletak pada wujud suatu perbuatan yang dirumuskan dalam ketentuan/pasal yang mengaturnya, bukan pada akibat dari perbuatannya sebagai bentuk dari delik materil. Sebagai delik formil, konsekuensi hukumnya adalah bahwa seorang penuntut umum wajib membuktikan unsur esensial dari “strafbarehandeling” atau perumusan ketentuan yang didakwakan tersebut, begitu pula pembuktian terhadap unsur yang merupakan “sarana” penggunaan dari strafbarehandeling tersebut. Berbicara pertanggungjawaban pidana, maka semuanya akan sangat bergantung dengan adanya suatu tindak pidana (delik). Tindak pidana disini, berarti menunjukkan adanya suatu perbuataan yang dilarang. Leonard Switz pada bukunya berjudul “Dilemma’s in Criminology” (New York; Mc. Graw Hill; 1967) menyebutkan untuk dikatakan sebagai suatu tindak pidana (delik) jika telah terpenuhinya 5 syarat, yaitu : 1.
An act must take place that involves harm inflicted on someone by the actor
2.
The act must be legally prohibited in the time it is committed
3.
The perpetrald must have criminal intent (mesn rea) whe he engages in the act
4.
There must be caused relationship between the voluntary misconduct and the harm that result from it; &
5.
There must some be legally prescribed punishment for anyone convicted of the act
Kata Delik atau delictum atau delict sendiri memiliki arti sebagai perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang. Dimana dalam hal hukum pidana sendiri kita mengenal adanya dua jenis yaitu delik formil yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang serta delik materil yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Dan, pada delik ini sendiri Van Hattum menyebutkan antara perbuatan dan orang yang melakukannya sama sekali tidak dapat dipisahkan. Dalam ilmu hukum pidana, kita juga mengenal adanya unsur yang terdapat dalam delik yaitu berupa : 1. Unsur subyektif yaitu berupa unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku yang dihubungkan dengan adanya suatu kesalahan yang diakibatkan oleh suatu kesengajaan (opzet/dolus) ataupun kealpaan (negligence) yang juga sangat berhubungan dengan asas hukum pidana “an act does not make a person guilty unless the mind guilty or actus non facit reum nisi mens sit rea”. Dalam perkembangan ilmu hukum pidana sendiri, para pakar pidana telah menyetujui tentang kesengajaan sendiri terbagi atas 3 (tiga) bentuk yaitu : Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk) Kesengajaan dengan keinsyafan pasti (opzet als zekerheid bewustzijn) Kesengajaan dengan keinsyafan akan kemungkinan (dolus eventualis) Serta untuk kealpaan terbagi atas 2 (dua) bentuk yaitu : Tidak berhati-hati Dapat menduga kemungkinan akibat perbuatan itu
2. Unsur Obyektif yang merupakan unsur yang berasal dari luar diri si pelaku yang terdiri atas : a. Perbuatan manusia berupa : a.1. act yaitu perbuatan aktif atau perbuatan positif a.2. omission yaitu perbuatan pasif atau perbuatan negative yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan b.
Akibat (result) perbuatan manusia, dimana dalam hal ini akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingankepentingan yang dipertahankan oleh hukum
c. Keadaan-keadaan (circumstances) yang terbagi atas : c.1 keadaan pada saat perbuatan dilakukan c.2 keadaan pada saat perbuatan telah dilakukan d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum, dimana sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman dan sifat melawan hukum adalah perbuatan itu bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. Sementara itu, Prof. Satochid Kartenegara sehubungan dengan pengertian delik ini sendiri menyebutkan, unsur delik terdiri atas unsur obyektif dan unsur subyektif, dimana unsur obyektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia yaitu : - Suatu tindakan - Suatu akibat, dan - Keadaan (omstandigheid) Dimana kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undangundang. Sedangkan unsur subyektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa : - Kemampuan dapat dipertanggung jawabkan (toerekenings vatbaarheid) - Kesalahan (schuld) Untuk melihat suatu tindak pidana (delik) tersebut tidaklah bisa berdiri sendiri-sendiri karena baru akan bermakna apabila ada suatu proses pertanggung jawaban pidana. Artinya, setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana (delik)
tidak dengan sendirinya harus dipidana atau dijatuhkan hukuman pada dirinya, karena agar dapat dijatuhi suatu pemidanaan atau hukuman terhadap diri seseorang maka pada diri orang tersebut harus ada unsur dapat dipertanggung jawabkan secara pidana yang dapat dimintakan ataupun dijatuhkan kepadanya sesuai dengan unsur-unsur perbuatan sebagaimana ditegaskan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku. Herman Kontorowich, yang ajarannya diperkenalkan Prof Moeljatno menyebutkan : “Untuk adanya suatu penjatuhan pidana terhadap pembuat (strafvorrassetzungen) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya perbuatan pidana (strafbarehandlung), lalu sesudah itu diikuti dengan dibuktikannya adanya ‘schuld’ atau kesalahan subyektif pembuat. ‘Schuld’ baru ada sesudah ada ‘unrecht’ atau sifat melawan hukum suatu perbuatan”. Pertanggung jawaban pidana sendiri lahir dengan diteruskannya celaan (verwijtbaarheid) yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan diteruskannya celaan yang subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana karena perbuatannya. (Dr. Dwija Priyatno,
SH,
MHum,
Sp.N,
Kebijakan
Legislasi
tentang
Sistem
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV Utomo, hal. 30) Bahwa rumusan delik dalam Pasal 3, pembuktiannya tidak hanya sekedar melihat pertanggungjawaban pidana berdasarkan “materiele feit” (berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006 nomor : 003/PUU-IV/2006 penjelasan terkait dengan perbuatan melawan hokum secara materiil tidak mengikat lagi dan tidak berkekuatan hukum) sebagai delik campuran saja, tetapi tetap harus berpegang pada asas pertanggung jawaban pidana yang berlaku secara universal yang dikenal dengan istilah “Geen Straf Zonder Schuld” (tiada pidana tanpa kesalahan), apakah schuld (kesalahan) tersebut berupa opzet (kesengajaan) maupun berupa culpa (kelalaian) dengan mengaitkan adanya suatu prinsip “formeele wedderechtelijkheid” dan adanya suatu alasan penghapusan pidana berdasarkan fungsi negatif. Kesalahan itu sendiri adalah unsur, bahkan merupakan syarat mutlak bagi adanya suatu pertanggungjawaban yang berupa pengenaan pidana kepada
seseorang. Kesalahan juga merupakan suatu asas fundamental dalam hukum pidana. Sesuai dengan pandangan dualistis, yang juga dianut Prof. Moeljatno menegaskan semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya dan menjadi suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pandangan ini pada dasarnya untuk mempermudah dalam melakukan sistematisasi unsur-unsur dari suatu tindak pidana, artinya dapat menggolongkan mengenai unsur mana yang masuk dalam perbuatannya dan unsur mana yang termasuk dalam unsur kesalahannya. Unsur-unsur kesalahan itu sendiri dalam arti luas adalah : - Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat, artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal - Hubungan bathin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan / dolus atau kelalaian / culpa - Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf (Dr. Dwija Priyatno, SH, MHum, Sp.N, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV Utomo, hal. 36-41) dalam rangka membuktikan semua unsur tindak pidana, terlebih dahulu harus dipahami adalah sistem pertanggungjawaban pidana karena hal ini erat kaitannya dengan penentuan terjadinya suatu tindak pidana serta penentuan siapa sebenarnya yang bertanggungjawab dalam tindak pidana tersebut. Dan, tak kalah pentingnya adalah dalam menentukan kesalahan dan/atau kesengajaan tersebut harus ada atau mempunyai kehendak dan niat untuk berbuat dari si pembuat/pelaku itu sendiri. Selanjutnya, sesuai dengan pendapat Roeslan Saleh, pembuktian akan kehendak untuk berbuat tersebut berkaitan erat dengan syarat yang merupakan kekhususan dari kealpaan yaitu : 1.
Tidak menduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum
2.
Tidak berhati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Pembuktian terhadap syarat pertama dari kealpaan tersebut diletakkan pada hubungan bathin terdakwa dengan akibat yang timbul dari perbuatan atau keadaan
yang menyertainya. Dalam hal ini, perbuatan yang telah dilakukan terdakwa itu seharusnya dapat dihindarinya karena seharusnya dapat menduga lebih dahulu bahwa perbuatannya akan menimbulkan akibat yang dilarang oleh undangundang. Menurut Memorie Van Toelichting, maka kata “dengan sengaja” (opzettelijk) adalah sama dengan “willens en wetens” (dikehendaki dan diketahui). Mengenai pengertian pada Memorie van Toelichting tersebut, Prof Satochid Kartanegara mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah : “Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta menginsyafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu” (Leden Marpaung; Asas-Teori-Praktik HUKUM PIDANA; Sinar Grafika; Jakarta; 2005; hal 13). Dr. Chairul Huda, SH, MH, dalam bukunya “dari Tiada pidana tanpa kesalahan menuju kepada tiada pertanggung jawaban pidana tanpa kesalahan” (tinjauan kritis terhadap teori pemisahan tindak pidana dan pertanggung jawaban pidana) pada hal 64 menyebutkan: Mempertanggung jawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggung jawaban pidana tidak hanya berarti “rightfully sentenced” tetapi juga “rightfully accused”. Pertanggung jawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana. Kemudian pertanggung jawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah. Pertama, pertanggung jawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai syarat-syarat factual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek preventif. Kedua pertanggung jawaban pidana merupakan akibat hukum (legal consequences) dari keberadaan syarat-syarat factual tersebut, sehingga merupakan bagian dari aspek represif hukum pidana. “It is this condition between conditioning facts and conditioned legal consequences whichs is expressed in the statement about responsibility”. Jadi, dalam hal ini selain harus dikaji fakta dengan unsur-unsur yang terdapat pada pasal-pasal yang telah didakwakan kepada seorang terdakwa, maka juga harus dikaji pula mengenai tepat ataukah tidak pertanggung jawaban dimintakan kepada seseorang tersebut sebagaimana yang telah didakwakan oleh
Penuntut Umum. Jangalah sampai, kita melakukan suatu dakwaan dan atau tuntutan kepada seseorang yang sebenarnya tidak bersalah dan seharusnya tidak dimintakan pertanggung jawaban pidana pada dirinya karena dengan melakukan tindakan ini maka pada dasarnya telah terjadi suatu “pemerkosaan” terhadap hukum dan keadilan. Bahwa, untuk menentukan apakah terhadap terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana, haruslah terbukti semua unsur-unsur dari pasal yang didakwakan kepadanya sebaliknya apabila salah satu unsur delik tidak terbukti maka tidak ada perbuatan yang dapat dianggap sebagai strafbarehandeling. Selanjutnya, apabila semua unsur delik dapat dibuktikan, maka yang kemudian harus dikaji adalah patutkah pertanggung jawaban pidana ditujukan kepada terdakwa dengan menjatuhkan pemidaan (celaan) kepada dirinya atau adakah alasan pembenar atau alasan pemaaf yang dapat melepaskan Terdakwa dari dakwaan penuntut umum yang dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan istilah Strafuitsluitingsgronden. Dalam hal straftuitsluitingsgronden ini, Prof.Satochid Kartanegara memberi pengertian sebagai hal-hal atau keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan orang yang telah melakukan sesuatu yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (delik) tidak dapat dihukum. Tidak dapat dihukum dimaksud karena tidak dapat dipertanggungjawabkan. Syarat yang kemudian membuat seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum pidana dalam melakukan perbuatannya menurut Prof. Mr. G. A. van Hammel adalah sebagai berikut : 1.
Jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga ia mengerti atau menginsyafi nilai dari perbuatannya
2.
Orang harus menginsyafi bahwa perbuatannya menurut tata cara kemasyarakatan adalah dilarang
3.
Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya
Dalam doktrin hukum pidana di kenal istilah ”actus non est reus, nisi mens sit rea” atau dalam bahasa inggrisnya yang diterjemahkan menurut Wilson : ”an act is not criminal in the absence of a guilty mind” (Willian Wilson, Criminal
Law: Doctrine and Theory, London: Logman, 2003, 67). Pemaknaannya adalah ”suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat kriminal jika tidak terdapat kehendak jahat didalamnya”. Pada satu sisi, doktrin mens rea merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana, dan pada sisi lain juga menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut. Berdasarkan hasil wawancara Peneliti dengan Terdakwa langsung bahwa dalam melaksanakan perintah Kapolres Drs. AGUSTIN HARDIYANTO, SH.,MH.,MM, Terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO tidak ada kehendak jahat sedikitpun dalam hatinya, Terdakwa hanyalah sebagai pelaksana saja sebagai seorang bawahan yang diperintah oleh pimpinan. Pada doktrin hukum pidana pula terdapat istilah daya paksa (overmacht) sebagai alasan pemaaf, yang dalam pasal 48 KUHP disebutkan bahwa “ barang siapa melakukan perbuatan pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” Dalam doktrin hukum pidana terdapat 2 (dua) jenis daya paksa, yaitu daya paksa absolut (vis absoluta) dan daya paksa relatif (vis compulsiva), menurut Moeljanto daya paksa absolut (vis absoluta) adalah suatu daya paksa yang bersumber dari paksaan fisik sehingga oorang yang terkena paksaan tersebut tidak dapat menghindarkan diri. Jadi berdasarkan kekuatan fisik yang mutlak yang tidak dapat dihindari, sementara daya paksa relatif (vis compulsiva) adalah suatu daya paksa yang bersumber dari paksaan phisikis (dalam batin) yang membuat seseorang tidak kuat menahan daya paksa tersebut sekalipun secara fisik masih memungkinkan untuk menghindarkan diri. (Moeljanto, dalam buku azas-azas hukum pidana, 1987:139). Apabila kita kaitkan teori tersebut dengan hasil wawancara peneliti dengan Terdakwa dan beberapa saksi yang pernah diajukan di persidangan, saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan ternyata menerangkan bahwa dengan sikap temperamental dari Kapolres Drs. AGUSTIN HARDIYANTO, SH.,MH.,MM, tidak ada yang berani untuk melawan perintah dari Kapolres, perwira yang ada dijajaran Polres Tegal pun tidak ada yang berani, melihat situasi dan kondisi Psikis tentunya sudah dapat digambarkan bahwa saat Drs. AGUSTIN
HARDIYANTO, SH.,MH.,MM menjadi Kapolres Tegal tahun 2008 s/d 2009 tentu berdampak pada keadaan psikis dari anggotanya tidak terkecuali Terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO yang tidak sanggup melawan perintah dari Kapolres Drs. AGUSTIN HARDIYANTO, SH.,MH.,MM, meskipun secara fisik mampu menolak. hasil wawancara peneliti dengan Terdakwa dan beberapa saksi yang pernah diajukan di persidangan diperoleh fakta dalam persidangan bahwa dalam perkara ini Terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO sebenarnya adalah hanya sebagai korban saja, Terdakwa justru sebagai orang yang berjasa dalam membongkar tindak pidana korupsi (sebagai Justice Collaborator) yang dilakukan oleh Kapolres Tegal yakini bapak Drs. AGUSTIN HARDIYANTO, SH.,MH.,MM. justru Terdakwalah yang memberikan data-data yang sangat jelas dan terperinci terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kapolres Tegal. Peneliti juga pernah mempertanyakan kepada Terdakwa terkait dengan sikap penyidik terkait dengan jaminan perlindungan Terdakwa apabila membantu membongkar tindak pidana korupsi (sebagai Justice Collaborator) yang diduga dilakukan oleh Kapolres, menurut Terdakwa Penyidik menyatakan akan membantu bahkan tidak akan melanjutkan keterlibatan Terdakwa dalam perkara ini, dan Terdakwa cukup dijadikan sebagai saksi saja, akan tetapi ternyata Terdakwa merasa prihatin dengan sikap penyidik yang justru menyeret terdakwa dalam persidangan ini, sungguh berbanding terbalik dengan jasa Terdakwa yang telah membantu penyidik dalam membongkar tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kapolres Tegal Drs. Agustun Hardiyanto, SH.,MH.,MM.. Dari hasil analisa peneliti Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan tidak ada satupun yang menyampaikan bahwa terhadap pemotonganpemotongan tersebut adalah inisiatip dari Terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO, justru dari saksi-saksi yang dihadirkan semua menyatakan bahwa pemotongan-pemotongan terhadap dana DIPA rutin Polres Tegal dan dana bantuan PILBUP Kabupaten Tegal dan PILGUB Jawa Tengah tahun 2008 adalah semuanya atas kebijakan dan inisiatip dari Kapolres Tegal yakni Bapak Drs.
AGUSTIN HARDIYANTO, SH.,MH.,MM. dimana dana-dana potongan tersebut dipergunakan untuk kepentingan pribadi dari kapolres dan juga untk dukungan dana komando, Terdakwa hanyalah pelaksana saja dan hanya menjalankan perintah jabatan saja dari Kapolres, karena tidak ada keberanian dan tidak ada daya dari Terdakwa untuk membantah perintah dari Kapolres, jangankan Bensat, kapolsek-kapolsek yang berpangkat lebih tinggi dari Terdakwapun tidak berani untuk melakukan protes ataupun membantah perintah dari Kapolres Bapak Drs. AGUSTIN HARDIYANTO. SH.,MH.,MM. Selain itu menurut beberapa saksi berdasarkan wawancara Peneliti dengan kepribadian
dari
seorang
Kapolres
Drs.
AGUSTIN
HARDIYANTO,
SH.,MH.,MM yang sangat temperamental semakin menjadikan pimpinan yang sangat arogan dan ditakuti oleh bawahannya, setiap ada bawahan yang mencoba akan membantah perintahnya langsung diberikan sanksi. Bahkan saksi-saksi juga menerangkan bahwa Kapolres Drs. AGUSTIN HARDIYANTO, SH.,MH.,MM setiap memberikan arahan dengan nada yang membuat anggotannya secara phsikis tertekan ditambah lagi setiap memberikan arahan selalu naik dimeja dan hal itu semakin menjadikan Kapolres Drs. AGUSTIN HARDIYANTO, SH.,MH.,MM dimata bawahannya dicap sebagai seorang Kapolres yang arogan. Selain itu berdasarkan keterangan saksi ahli pemotongan-pemotongan terhadap dana DIPA rutin Polres Tegal dan dana bantuan PILBUP Kabupaten Tegal tahun 2008 dan PILGUB Jawa Tengah tahun 2008 tidak ada dana aliran masuk ke pribadi Terdakwa, justru saksi ahli menerangkan bahwa ada pembagian Prosentase yang dilakukan oleh Kapolres Drs.AGUSTIN HARDIYANTO, SH.,MH.,MM terhadap dana-dana tersebut, dimana saksi ahli menerangkan bahwa prosentase adalah 70 % untuk dukungan kegiatan dan 30 % untuk dana Kapolres, dan kebijakan tersebut adalah kebijakan Kapolres sendiri bukan kebijakan dari Terdakwa selaku Bendahara Satuan (Bensat). Bensat hanyalah pelaksana dari perintah jabatan tersebut, kedudukan Bensat sama dengan satuansatuan lain yang hanya menjalankan perintah dari Kapolres saja. Bahwa Berbicara tentang problema Terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO, pada dasarnya dapat kita pertanyakan pada diri kita sendiri dan diri
setiap pribadi, baik dari profesi hukum ataupun profesi lainnya atau orang awam sekalipun yang katanya sering tidak mengerti tentang dunia hukum. Terlepas dari posisi dan kedudukan dalam masyarakat, pada dasarnya kita semua secara bersama-sama selalu mencari dan berusaha menemukan hukum berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan sehingga akhirnya tercapai suatu kebenaran materil guna menghasilkan nilai KEADILAN SEJATI yang diidam-idamkan umat manusia tanpa pandang bulu dan posisi agar tercapainya balanced of justice principle’s. Prinsip keadilan yang berimbang (balanced of justice prinsiple’s) berlaku dan mengikat bagi pihak yang terlibat pada due process of law, dalam hal ini Tersangka/Terdakwa. Maksud ”due process of law” bahwa terdakwa tidak boleh dinyatakan bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap (Inkracht van Gewjisde) sehingga mengarah pada prinsip keadilan yang
berimbang.
Atas
dasar
itu,
proses
peradilan
pidana
disamping
memperhatikan pendapat Penuntut Umum harus pula mempertimbangkan dan memperhatikan keterangan ataupun pembelaan Terdakwa dan/atau Penasihat Hukum-nya. Pengaturan tentang Justice Collaborator di Indonesia memang belum secara fokus diatur, namun demikian ada beberapa terobosan yang dilakukan oleh beberapa lembaga untuk melindungi saksi pelaku (Justice Collaborator) dalam membongkar tindak pidana korupsi, diantaranya adalah Peraturan Bersama Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Republik Indonesia, NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011, NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011, NOMOR : 1 Tahun 2011, NOMOR : KEPB02/01-55/12/2011, NOMOR : 4 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama, dalam pasal 4 disebutkan bahwa : “Syarat untuk mendapatkan perlindungan sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah sebagai berikut:
a.
tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius dan/atau terorganisir;
b.
memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir;
c.
bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya;
d.
kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperolehnya dari tindak pidana yang bersangkutan, hal mana dinyatakan dalam pernyataan tertulis; dan
e.
adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerjasama atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
Bahwa apabila dikaitkan dengan ketentuan pasal tersebut Terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO seharusnya memenuhi syarat untuk mendapatkan perlindungan karena sebagaimana ketentuan pasal 4 huruf b dan huruf c tersebut disebutkan bahwa b). memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius dan/atau terorganisir; c). bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapnya; Namun demikian majelis hakim telah berpendapat lain, majelis tetap berpendapat bahwa Terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO adalah pelaku yang membantu memperkaya orang lain dalam hal ini adalah mantan Kapolres Tegal, Majelis hakim dalam pertimbangannya menolak pembelaan yang dilakukan oleh Penasihat hukumnya yang menginginkan agar Terdakwa SUDAR Bin MANGUN SUWITO dikategorikan sebagai orang yang membantu penyidik dalam membongkar maupun memberikan data-data terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh mantan atasan Terdakwa.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan : 1.
Bentuk perlindungan hukum justice collaborator di Indonesia saat ini belum dilaksanakan secara baik dan tidak maksimal. Hal ini dapat dilihat dari segi: pertama, kenyataan yang menunjukkan bahwa para justice collaborator seperti SUDAR Bin MANGUN SUWITO turut dijadikan tersangka atas kasus korupsi yang dilaporkannya; kedua, ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; Peraturan Bersama tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama; dan Surat Edaran Mahkamah Agung tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu yang tidak menghapuskan pemidanaan bagi justice collaborator;
2.
Konsep restorative justice dalam melindungi justice collaborator sangat tepat untuk diterapkan. Kontribusi justice collaborator dalam mengungkap kasus korupsi membedakannya dengan koruptor biasa sehingga menjadi dasar untuk menghindarkannya dari pemidanaan. Penghapusan tuntutan terhadap justice
collaborator
akan
menyebabkan
koruptor
berlomba-lomba
mengungkapkan kasus korupsi yang dilakukannya. Sehingga, kasus korupsi akan terbongkar secara massif dan signifikan; 3.
Rekomendasi kebijakan perlindungan hukum terhadap justice collaborator dalam hal ini meliputi: kriteria justice collaborator; syarat perlindungan; jenis perlindungan;
model
perlindungan
kolaboratif;
model
komprehensif; putusan integratif; dan pembebasan bersyarat. .
perlindungan
B. Saran-Saran Berdasarkan temuan-temuan hasil pembahasan sebagaimana telah disimpulkan di atas, maka disarankan : 1.
Kebijakan hukum pidana saat ini terhadap Justice collaborator tindak pidana korupsi di Indonesia belum mendapatkan pengaturan yang memadai untuk menjadi landasan hukum bagi aparat penegak hukum. Hingga saat ini pengaturan tentang Justice collaborator secara eksplisit hanya diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam perkara pidana tertentu, sehingga SEMA tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat seperti halnya Undang-Undang.
2.
Prospek pengaturan terhadap Justice collaborator tindak pidana korupsi di Indonesia pada masa mendatang memiliki peluang yang besar mengingat peranannya yang sangat strategis dalam mengungkap jaringan tindak pidana korupsi yang terorganisir. Langkah yang ditempuh pemerintah saat ini yaitu dengan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dengan menambahkan ketentuankententuan yang mengatur tentang Justice collaborator. Disamping itu juga pengaturan tentang Justice collaborator dapat dimasukkan ke dalam draft revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan terlebih dahulu merumuskan kembali definsi saksi mahkota dan Justice collaborator dengan rumusan yang tepat apakah kedua-duanya merupakan satu kesatuan atau kedua istilah tersebut masing-masing berdiri sendiri sehingga tidak terjadi multi tafsir dalam penerapannya oleh aparat penegak hukum
3.
Kepada pemerintah dan DPR agar segera membuat suatu kebijakan hukum pidana dalam bentuk Undang-Undang atau melakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan terkait dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun Undang-undang tentang perlindungan saksi yang memberikan pengaturan yang memadai terhadap Justice collaborator dalam peradilan pidana dengan melakukan peninjauan kembali tentang
hakikat Justice collaborator secara cermat dan teliti guna menghasilkan suatu peraturan perundang-undangan yang baik sehingga dapat memberikan dayaguna yang maksimal dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. 4.
Kepada aparat penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi, walaupun hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas tentang Justice collaborator, namun kiranya dapat lebih memperhatikan keberadaan Justice collaborator serta dapat memberikan perlindungan yang optimal sehingga keberadaan Justice collaborator dalam peradilan pidana dapat memberikan peran yang maksimal dalam mengungkap tindak pidana dan pelaku utama lainnya dalam jaringan tindak pidana terorganisir.
5.
Perlu dilakukan sosialisasi kepada para aparat penegak hukum khususnya lembaga peradilan terhadap bentuk perlindungan yang diberikan kepada Justice collaborator.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Buku Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Baharuddin Lopa, 2001, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Penerbit Kompas Kartono, Kartini, 1983, Pathologi Sosial, Jakarta: CV Rajawali Press. Klitgaard, Robert, 2001, Membasmi Korupsi (terjemahan), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Mengenali dan Memberantas Korupsi Soerjono Soekanto, 1983, Efektivitas Hukum dan Peran Sanksi, Remaja Karya Sudarsono, 2002, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta T. Heru Kasida Brataatmaja, 1993, Kamus Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius Wahyudi Kumorotomo, 2005, Akuntabilitas Birokrasi Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Achmad Ali. 2008. Menguak Tabir Hukum. Bogor: Ghalia. Andi Hamzah. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Baharuddin Lopa. 2001. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Kompas. Darji Darmodiharjo dan Shidarta. 2008. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mas Achmad Daniri, Ed. Wijayanto dan Ridwan Zachrie. 2009. Korupsi Mengorupsi Indonesia. Jakarta: Gramedia. Muladi. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana. Semarang: Penerbit Universitas Diponegoro.
Ninik Mariyanti. 1986. Suatu Tinjauan tentang Usaha Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia. Romli Atmasasmita. 1996. Sistem Peradilan Pidana: Prespektif Eksistensialisme dan Abolisi onisme. Bandung: Binacipta. Artikel Koran Salomo Simanungkalit dan Indrawan Sasongko, “Nama Permainannya: Duit, Duit, Duit..”, Kompas, 17 Maret 2002 Vincentia Hanny S, “Pelayan Bangsa versus Pungli”, Kompas, 1 September 2005 Makalah Abdullah Hehamahua, 2005, “Wajah Pemberantasan Korupsi di Indonesia Hari Ini”, Makalah, Semiloka, BEM ITB, Bandung
Dokumen Internet Anonim, 27 September 2005, “Menggugat Peran Agama dalam Pemberantasan Korupsi”, indopos.co.id Frans Seda, 31 Desember 2003, “Korupsi (Sebuah Refleksi/Renungan Akhir Tahun)”, kompas.com 1. Lain-lain Denny Indrayana. Beda “Whistle Blower” dan “Justice Collaborator”. Kompas. 17 mei 2012 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), No. 4, 2011 Artidjo Alkostar. Perbedaan status hukum justice collaborator dan whistle blower. Tribunnews. 17 maret 2013
PERSONALIA PENELITIAN k. Nama Peneliti l. Jenis Kelamin m. NIPY/NIDN n. Disiplin Ilmu o. Jabatan Fungsional p. Fakultas/Jurusan q. Alamat r. Telp. s. Alamat Rumah t. Telp./Email
: Imam Asmarudin, SH.,MH : Laki-laki : 17762551981/0625058106 : Ilmu Hukum : Asisten Ahli : Hukum/ Ilmu Hukum : Jl. Halmahera KM. 1 Tegal : (0283) 358745 : Perumahan Bumi Elok Sejahtera Blok Mawar, No. B1a Pengabean-Tegal : 081548071356 /
[email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI Tahun Lulus 2006
Jenjang S1
Universitas Pancasakti Tegal
2011
S2
Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto
Perguruan Tinggi
Jurusan/ Bidang Studi Ilmu Hukum Ilmu Hukum
PENGALAMAN KERJA 1. Anggota Tim Penyusun Naskah Akademik Raperda PDAM Kabupaten Brebes, tahun 2010 2. Anggota Tim Penyusun Naskah Akademik Raperda Penyertaan Modal Kabupaten Brebes, tahun 2010 3. Anggota Tim Penyusun Naskah Akademik Raperda Air Tanah Kabupaten Brebes, tahun 2010 4. Anggota Tim Penyusun Naskah Akademik Raperda Pajak Daerah Kabupaten Brebes, tahun 2010 5. Anggota Tim Penyusun Naskah Akademik Raperda Retribusi Daerah Kabupaten Brebes, tahun 2010 6. Anggota Tim Penyusun Naskah Akademik Raperda Penyertaan Modal BPR, BKK, Bank Puspa Kencana Kabupaten Brebes, tahun 2010 7. Anggota Tim Penyusun Naskah Akademik Raperda Penyertaan Modal Administrasi Kependudukan Kabupaten Brebes, tahun 2010 8. Anggota Tim Penyusun Naskah Akademik Raperda Pencabutan Perusahaan Daerah Pertanian Kabupaten Brebes, tahun 2010 9. Anggota Tim Penyusun Naskah Akademik Raperda Pajak Daerah Kota Tegal, Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) kota Tegal dengan Litbang UPS Tegal, 2011
RINCIAN ANGGARAN PENELITIAN
a. Pemasukan :
Rp. 3.500.000,-
b. Pengeluaran : -
Honor Peneliti
Rp. 1.000.000,-
-
Pembelian kertas 2 rim @ Rp. 30.000,-
Rp.
-
Pembelian Tinta Printer
Rp. 100.000,-
-
Pembelian Flas Disk
Rp. 100.000,-
-
Akomodasi ke lokasi penelitian (makan & transpt) Rp. 1.500.000,-
-
Internet
Rp. 200.000,-
-
Fotocopy
Rp. 340.000,-
-
Penjilidan
Rp
Jumlah Pengeluaran
Rp. 3.500.000,-
Terbilang : tiga juta lima ratus ribu rupiah
60.000,-
200.000,-
JADWAL PELAKSANAAN KEGIATAN
No
Juni 2014
Kegiatan I
1.
Persiapan
2.
Pengumpulan bahan dan data
3.
Studi Pendahuluan
4.
Kegiatan Penelitian
5.
Penyusunan dan Penyerahan Laporan
II
Juli 2014
III
IV
V
V
I
Agustus 2014
II III IV
V
V
I
II
September 2014
III IV
I
V
V
Oktober 2014
II III IV
I
V
V
Nopember 2014
II III IV
I
V
V
V V
V
V
V
II III IV