LAPORAN KEMAJUAN
PENELITIAN MADYA
MODEL PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) PERKOTAAN (KASUS SOLO GREEN CITY)
Tahun ke I dari rencana 2 tahun
Ketua/Anggota Tim Dra. Inna Prihartini,M.S NIDN Rita Noviani, S.Si. M.Sc. NIDN 0010107508 Pipit Wijayanti,S.Si.M.Sc NIDN 0003061176
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA TAHUN 2013
HALAMAN PENGESAHAN Judul Peneliti/Pelaksana Nama Lengkap NIDN Jabatan Fungsional Program Studi Nomor HP Alamat surel (e-mail) Anggota (1) Nama Lengkap NIDN Perguruan Tinggi Anggota (2) Nama Lengkap NIDN Perguruan Tinggi Tahun Pelaksanaan Biaya Tahun Berjalan Biaya Keseluruhan
: Model Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Perkotaan (Kasus Solo Green City) : Dra. Inna Prihartini, M.S : 0010107508 : Lektor Kepala : Pendidikan Geografi : 082134424444 :
[email protected] : Rita Noviani,S.Si.M.Sc : 0010107508 : UNS : Pipit Wijayanti, S.Si.M.Sc : 0006117603 : UNS : Tahun keI dari rencana 2 tahun : Rp. 45.000.000,: Rp. 100,000.000,-
Surakarta, 9 september 2013 Mengetahui, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Ketua,
Prof. Dr. Ir. Darsono, MSi NIP. 19660611 199103 1002
Dra. Inna Prihartini, M.S 195702071983032002
RINGKASAN Kota Solo yang mempunyai keinginan kuat untuk menjadi kota hijau (green city). Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian penting dari struktur pembentuk kota hijau. Perkembangan kehidupan perkotaan yang pesat mengakibatkan berkurangnya lahan peruntukkan dan pemanfaatan RTH kota. Hal tersebut secara langsung telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model pengembangan RTH perkotaan, dengan rincian kegiatan mengidentifikasi ketersediaan dan kebutuhan serta menyusun tipologi RTH, fungsi dan manfaat RTH, potensi dan permasalahan pengembangan RTH serta menyusun model spasial RTH perkotaan. Penelitian dilakukan di Kota Solo dengan tiga pendekatan (1) Morphological Approach, (2) Spatial Approach, dan (3) Policy Approach. Semua pendekatan dilakukan dengan comparative perspective, yaitu membandingkan tipologi RTH berdasarkan peruntukan fungsi ruang kota. Metode pengumpulan dan analisis data meliputi : (1) Pemetaan dan Sistem Informasi Geografi (SIG), (2) teknik grafis dan visual, (3) metode survey dan RRA (Rapid Rural Appraisal), (4) Indepth interview dan (5) analisis statistik. Masing-masing metode digunakan sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian ini selain memberi output solusi pragmatis, juga menyusun asumsi-asumsi atau teori-teori tentang pembangunan RTH, sehingga tidak terperangkap dalam jebakan teori barat yang seringkali jauh dari realitas empiris Indonesia, serta kasus Kota Solo dapat diterapkan di kotakota lain di Indonesia.
PRAKATA Puji syukur kepada Alloh SWT atas limpahan, petunjuk, serta hidayah_Nya. Atas ijin_Nya jualah penelitian yang berjudul “Analisis Dinamika Sistem Perkotaan Dan Transformasi Wilayah Untuk Penentuan Model Pembangunan Wilayah Solo Raya ” ini selesai ditulis. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi stakeholders perencanan pembangunan, khususnya di kawasan SOLO RAYA, praktisi pembangunan wilayah, serta diharapkan menjaadi landasan pembangunan penelitian-peneltian sejenis selanjutnya. Akhirnya tidak ada segala sesuatu di muka bumi ini yang sempurna, demikian juga halnya dengan tulisan ini.Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dari pembaca untuk memperbaiki tulisan ini agar lebih tajam dan akurat. Hanya kepada Alloh penuliis berserah diri, semoga segala sesuatu yang telah penulis lakukan mendapat ridho_Nya. Amin.
Surakarta
Peneliti
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu isu utama pembangunan kota adalah eksistensi keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang semakin berkurang secara signifikan. Di pihak lain keberadaan RTH perkotaan sangat diperlukan membentuk kota yang ramah lingkungan, nyaman dan sehat. Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik yang ada di perkotaan, baik berupa ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka non-hijau telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan seperti seringnya terjadi banjir di perkotaan, tingginya polusi udara, dan meningkatnya kerawanan sosial (kriminalitas dan krisis sosial), menurunnya produktivitas masyarakat akibat stress karena terbatasnya ruang publik yang tersedia untuk interaksi sosial. Untuk itu, perlu reorientasi visi pembangunan kota lebih
mempertimbangkan
faktor-faktor
lingkungan
dan
keberlanjutan
pembangunan. Strategi pemanfaatan ruang, baik untuk kawasan budidaya maupun kawasan lindung, perlu dilakukan secara kreatif, sehingga konversi lahan dari kawasan hijau menjadi kawasan non hijau dan non produktif, dapat dikendalikan. Kota Solo memiliki keinginan kuat untuk menjadi kota hijau (green city) yang ramah lingkungan, yang dicirikan dengan keberadaan kawasan hijau yang proporsional. Sulitnya mencari alternatif pengelolaan RTH di perkotaan karena belum adanya penelitian khusus yang menjelaskan karakteristik atau pola serta daya dukung RTH dan implikasinya, khususnya bagaimana model pengembangan RTH. Akibatnya, upaya-upaya pragmatis untuk memecahkan berbagai persoalan lingkungan perkotaan yang terus diupayakan para praktisi seringkali menghadapi jalan buntu. Selama ini studi-studi tentang perkotaan lebih diletakkan dalam kerangka perbaikan perkonomian kota dan kajian-kajian disain kota. Sedangkan studi tentang problem lingkungan dan penyediaan RTH serta implikasinya belum banyak mendapat perhatian. Oleh karena itu berbagai studi harus terus dilakukan untuk mengembangkan model-model pengembangan RTH di Indonesia, agar upaya-upaya pragmatis untuk memecahkan persoalan perkotaan di Indonesia tidak
begitu saja terjebak menggunakan teori-teori dari barat yang belum tentu tepat untuk konteks Indonesia. Dari uraian di atas diperoleh formulasi pertanyaan penting yang menjadi fokus penelitian, antara lain : 1) Bagaimanakah karakteristik dasar perkembangan kota Solo dan kaitannya dengan eksistensi RTH. 2) Bagaimanakah karakteristik, pola, bentuk dan proses perubahan RTH yang terjadi di wilayah perkotaan tersebut, antar tipologi RTH. 3) Bagaimanakah keseimbangan atau daya dukung RTH serta bagaimanakah polanya menurut struktur kota. 4) Faktor-faktor apa sajakah menentukan lokasi RTH perkotaan. 5) Bagaimanakah konsepsi atau model dasar pembangunan RTH perkotaan di Indonesia. Adakah konsepsi RTH kota Solo dapat diterapkan untuk perkotaan lain di Indonesia?. 6) Bagaimanakah mekanisme pengaturan atau pengelolaan pembangunan RTH di wilayah perkotaan. Dalam konteks makro, kajian terhadap beberapa pertanyaan di atas diharapkan akan membantu memperkaya kaidah ilmiah (research) dan solusi praktis dalam memahami proses dan implikasi pembangunan RTH dalam pembangunan kota, khususnya dalam upaya mewujudkan green city.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PENGERTIAN RTH Secara definitif, Ruang Terbuka Hijau (Green Open spaces) adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian (KLH,2001). Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lanskap kota (Rustam, 2004) Sejumlah
areal
di
perkotaan,
dalam
beberapa
dasawarsa
terakhir ini, ruang publik, telah tersingkir akibat pembangunan gedung-gedung yang cenderung berpola “kontainer” (container development) yakni bangunan yang secara sekaligus dapat menampung berbagai aktivitas sosial ekonomi, seperti Mall, Perkantoran, Hotel, dlsbnya, yang berpeluang menciptakan kesenjangan antar lapisan masyarakat. Hanya orang-orang kelas menengah ke atas saja yang “percaya diri” untuk datang ke tempat-tempat semacam itu (Rustam, 2000). Ruang terbuka hijau yang ideal adalah 30 % dari luas wilayah. Hampir disemua kota besar di Indonesia, Ruang terbuka hijau saat ini baru mencapai 10% dari luas kota. Padahal ruang terbuka hijau diperlukan untuk kesehatan, arena bermain, olah raga dan komunikasi publik. Pembinaan ruang terbuka hijau harus mengikuti struktur nasional atau daerah dengan standar-standar yang ada. Contoh, Curtibas, sebuah kota di Brazil yang menjadi bukti keberhasilan penataan ruang yang mengedepankan RTH di perkotaan. Melalui berbagai upaya penataan ruang seperti pengembangan pusat perdagangan secara linier ke lima penjuru kota, sistem transportasi, dan berbagai insentif pengembangan kawasan, persampahan dan RTH, kota tersebut telah berhasil meningkatkan rata-rata luasan RTH per kapita dari 1 m2 menjadi 55 m2 selama 30 tahun terakhir. Sebagai hasilnya kota tersebut sekarang merupakan kota yang nyaman, produktif dengan pendapatan per kapita penduduknya yang meningkat menjadi dua kali lipat. Hal tersebut menunjukkan bahwa anggapan pengembangan RTH yang hanya akan mengurangi produktivitas ekonomi kota tidak terbukti.
Kebijaksanaan pertanahan di perkotaan yang sejalan dengan aspek lingkungan hidup adalah jaminan terhadap kelangsungan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau ini mempunyai fungsi “hidro-orologis”, nilai estetika dan seyogyanya sekaligus sebagai wahana interaksi sosial bagi penduduk di perkotaan (Danisworo, M, 1998). Taman-taman di kota menjadi wahana bagi kegiatan masyarakat untuk acara keluarga, bersantai, olah raga ringan dan lainnya. Demikian pentingnya ruang terbuka hijau ini, maka hendaknya semua pihak yang terkait harus mempertahankan keberadaannya dari keinginan untuk merubahnya. Berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi (Danoedjo, 1990 dan KLH, 2001): 1. Bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan 2. Bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga, pemakaman Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya diklasifikasi menjadi : 1. Bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan 2. Bentuk RTH jalur ( koridor, linear), Berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi : 1. RTH kawasan perdagangan, 2. RTH kawasan perindustrian, 3. RTH kawasan permukiman, 4. RTH kawasan pertanian, dan 5. RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga, alamiah. Status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi (Anonim, 2008): 1. RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh pemerintah (pusat, daerah), dan 2. RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat.
2.2. FUNGSI RTH Dari segi fungsi RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan ekonomi (Rustam, 1996 dan KLH, 2001). Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, sempadan sungai dll. Secara sosial-budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai tetenger kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU dsb. Secara estetika RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan- jalan kota. Sementara itu RTH juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan. Sementara itu secara struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. RTH dengan konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dsb. Sedangkan RTH dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun taman-taman regional/ nasional. Penentuan luas ruang terbuka hijau ada yang mengacu pada jumlah penduduk dan kebutuhan ruang gerak per individu. Di Malaysia luasan hutan kota ditetapkan seluas 1,9 M2/penduduk; di Jepang ditetapkan sebesar 5,0 M2/penduduk; Dewan kota Lancashire Inggris menetapkan 11,5 M2/penduduk; Amerika menentukan luasan hutan yang lebih fantastis yaitu 60 M2/penduduk; sedangkan DKI Jakarta mengusulkan luasan taman untuk bermain dan berolah raga sebesar 1,5 M2/penduduk (Green for Life: 2004). Perhitungan dengan issu kebutuhan rauang gerak per individu tersebut mudah diterima secara logis
sehingga akan diperoleh luasan ruang terbuka hijau sesuai dengan jumlah penghuninya. Semakin besar penduduk semakin luas RTH yang harus tersedia.
2.3. KAJIAN RTH DI DALAM DAN LUAR NEGERI 2.3.1. Ruang Terbuka Hijau di Luar Negeri Tulisan berikut disampiakn dari Robinette, J (1983) yang menulis tentang Lanscape Planning For Energy Conservation.Kesadaran pembangunan perkotaan berwawasan lingkungan di negara-negara maju telah berlangsung dalam hitungan abad. Pada jaman Mesir Kuno, ruang terbuka hijau ditata dalam bentuk taman-taman atau kebun yang tertutup oleh dinding dan lahan-lahan pertanian seperti di lembah sungai Efrat dan Trigis, dan taman tergantung Babylonia yang sangat mengagumkan, The Temple of Aman Karnak, dan tamantaman perumahan. Selanjutnya bangsa Yunani dan Romawi mengembangkan Agora, Forum, Moseleum dan berbagai ruang kota untuk memberi kesenangan bagi masyarakatnya dan sekaligus lambang kebesaran dari pemimpin yang berkuasa saat itu. Berikutnya pada jaman Meldevel, pelataran gereja yang berfungsi sebagai tempat berdagang, berkumpul sangat dominan sebelum digantikan jaman Renaisance yang glamour dengan plaza, piaza dan square yang luas dan hiasan detail serta menarik. Seni berkembang secara optimal saat ini, sehingga implementasi keindahan dan kesempurnaan rancangan seperti Versailles dan kota Paris menjadi panutan dunia. Gerakan baru yang lebih sadar akan arti lingkungan melahirkan taman kota skala besar dan dapat disebut sebagai pemikiran awal tentang sistem ruang terbuka kota. Central Park New York oleh Frederick Law Olmested dan Calvert Voux melahirkan profesi Arsitektur Lansekap yang kemudian mengembang dan mendunia. Melihat kenyataan tersebut tampaknya kebutuhan ruang terbuka yang tidak hanya mengedepankan aspek keleluasaan, namun juga aspek kenamanan dan keindahan di suatu kota sudah tidak dapat dihidari lagi, walaupun dari hari ke hari ruang terbuka hijau kota menjadi semakin terdesak. Beberapa pakar
mengatakan bahwa ruang terbuka hijau tidak boleh kurang dari 30%, atau 1.200 m2 tajuk tanaman diperlukan untuk satu orang (Grove, 1983) . Bagaimana kota-kota di Mancanegara menghadapi hal ini, berikut diuraikan beberapa kota-kota yang dianggap dapat mewakili keberhasilan Pemerintah Kota dalam pengelolaan ruang terbuka hijau kota. Singapura, dengan luas 625 Km2 dan penduduk 3,6 juta pada tahun 2000 dan kepadatan 5.200 jiwa/ km2, diproyeksikan memiliki ruang terbangun mencapai 69% dari luas kota secara keseluruhan. Dalam rencana digariskan 24% atau 177 Km2 sebagai ruang terbuka, sehingga standar ruang terbukanya mencapai 0,9 ha per 1.000 orang (Chiara, 1988). Tokyo, melakukan perbaikan ruang terbuka hijau pada jalur hijau jalan, kawasan industri, hotel dan penutupan beberapa jalur jalan. Walaupun luas kota Tokyo sangat terbatas, namun Pemerintah kota tetap mengusahakan taman-taman tersebut, yang memiliki standar 0,21 ha per 1.000 orang. Sementara itu, pendekatan penyediaan ruang terbuka hijau yang dilakukan di Bombay – India, dapat pula dijadikan masukan awal untuk dapat memahami Hirarki Ruang Terbuka Hijau di lingkungan permukiman padat. Menurut Ciara, (1988), dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa apabila diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial tercermin di dalam 4 (empat) unsur utama, yaitu :
Ruang keluarga yang digunakan untuk keperluan pribadi
Daerah untuk bergaul/ sosialisasi dengan tetangga
Daerah tempat pertemuan warga
Daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama seluruh warga masyarakat
Penelitian ini lebih lanjut mengungkapkan bahwa diperkirakan 75% fungsi ruang terbuka hijau dapat tercapai. Hal ini dikarenakan padatnya tingkat permukiman sehingga ruang terbuka berfungsi menjadi daerah interaksi antar individu yang sangat penting bahkan dibutuhkan. Jakarta dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, mencapai 8.000.000 jiwa, merupakan kenyataan. Oleh karenanya penelitian ini dapat
dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam menentukan besarnya Ruang Terbuka Hijau pada kawasan permukiman padat. Untuk menentukan standar RTH perlu dibuatkan suatu penelitian berdasarkan studi banding standar yang berlaku di negara lain (Ciara, 1998). Tabel 1. Kondisi Ruang Terbuka Hijau Kota-Kota Besar No. Kota Populasi RTH (m2/jiwa) (juta jiwa) 1 Singapura 2,70 7,0 2 Baltimore 0,93 27,0 3 Chicago 3,37 8,80 4 San Fransisco 0,66 32,20 5 Washington DC 0,76 45,70 6 Muenchen 1,27 17,60 7 Amsterdam 0,81 29,40 8 Geneva 0,17 15,10 9 Paris 2,60 8,40 10 Stocholm 1,33 80,10 11 Kobe 1,40 8,10 12 Tokyo 11,80 2,10 Sumber : Liu Thai Ker, 1994 (dalam Frick, Heinz dan FX Bambang Suskiyatno. 1998)
2.3.1. Ruang Terbuka Hijau di Dalam Negeri Hampir semua studi mengenai perencanaan kota (yang dipublikasikan dalam bentuk rencana umum tata ruang kota dan pendetailannya) menyebutkan bahwa kebutuhan ruang terbuka di perkotaan berkisar antara 30% hingga 40%, termasuk di dalamnya bagi kebutuhan jalan, ruang-ruang terbuka perkerasan, danau, kanal, dan lain-lain. Ini berarti keberadaan ruang terbuka hijau (yang merupakan sub komponen ruang terbuka) hanya berkisar antara 10 % – 15 %. Kenyataan ini sangat dilematis bagi kehidupan kota yang cenderung berkembang sementara kualitas lingkungan mengalami degradasi/kemerosotan yang semakin memprihatinkan. Ruang terbuka hijau yang notabene diakui merupakan alternatif terbaik bagi upaya recovery fungsi ekologi kota yang hilang, harusnya menjadi perhatian seluruh pelaku pembangunan yang dapat dilakukan
melalui gerakan sadar lingkungan, mulai dari level komunitas pekarangan hingga komunitas pada level kota. Penurunan kualitas ruang terbuka public, terutama ruang terbuka hijau (RTH) pada 30 tahun terakhir sangat signifikan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35% pada awal tahun 1970 an menjadi kurang dari 10% pada saat ini. RTH yang ada sebagian bersar telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan seperti jaringan jalan, gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan kawasan permukiman baru. Jakarta dengan luas RTH sekitar 9 persen, saat memiliki rasio RTH per kapita sekitar 7,08 m2, relatif masih lebih rendah dari kota-kota lain di dunia (Anonim, 1995) Di Surabaya, kebutuhan ruang terbuka hijau yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah sejak tahun 1992 adalah 20 – 30%. Sementara kondisi eksisting ruang terbuka hijau baru mencapai kurang dari 10% (termasuk ruang terbuka hijau pekarangan) (Gunadi, 1995). Hasil studi yang dilakukan oleh Tim Studi dari Institut Teknologi 10 November Surabaya tentang Peranan Sabuk Hijau Kota Raya tahun 1992/1993 menyebutkan bahwa luas RTH berupa taman, jalur hijau, makam, dan lapangan olahraga adalah + 418,39 Ha, atau dengan kata lain pemenuhan kebutuhan RTH baru mencapai 1,67 m2/penduduk. Jumlah ruang terbuka hijau tersebut sangat tidak memadai jika perhitungan standar kebutuhan dilakukan dengan menggunakan hasil proyeksi Rencana Induk Surabaya 2000 saat itu yaitu 10,03 m2/penduduk (Pemerintah Kota Surabaya, 2003) Di Jogyakarta, luas ruang terbuka hijau kota berdasarkan hasil inventarisasi Dinas Pertamanan dan Kebersihan adalah 51.108 m2 atau hanya sekitar 5,11 Ha (1,6% dari luas kota), yang terdiri dari 62 taman, hutan kota, kebun raya, dan jalur hijau. Bila jumlah luas tersebut dikonversikan dalam angka rata-rata kebutuhan penduduk, maka setiap penduduk Yogyakarta hanya menikmati 0,1 m2 ruang terbuka hijau. Dibandingkan dengan dua kota yang telah disebutkan di atas, barangkali pemenuhan kebutuhan ruang terbuka hijau bagi penduduk di Kota Bandung masih lebih tinggi. Hingga tahun 1999, tiap penduduk Kota Bandung menikmati + 1,61
m2 ruang terbuka hijau. Angka ini merupakan kontribusi eksisting ruang terbuka hijau yang mencover Kota Bandung dengan porsi + 15% dari total distribusi pemanfaatan lahan Kota.
2.4. DAMPAK BERKURANGNYA RTH DAN KEBIJAKAN Perencanaan tata ruang wilayah perkotaan berperan sangat penting dalam pembentukan ruang-ruang publik terutama RTH di perkotaan pada umunya dan di kawasan permukiman pada khususnya (Purnomohadi, 2002). Perencanaan tata ruang seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian lingkungan, dan kawasan-kawasan yang secara alami rentan terhadap bencana (prone to natural hazards) seperti gempa, longsor, banjir maupun bencana alam lainnya. Kawasan-kawasan inilah yang harus kita kembangkan sebagai ruang terbuka, baik hijau maupun non-hijau. Issue yang berkaitan dengan ruang terbuka publik atau ruang terbuka hijau secara umum terkait dengan beberapa tantangan tipikal perkotaan, seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup di kawasan kota dan di lingkungan permukiman warga, bencana banjir/ longsor dan perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra-produktif dan destruktif seperti kriminalitas dan vandalisme. Dari aspek kondisi lingkungan hidup, rendahnya kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH secara ekologis (Haeruman, 1995). Di samping itu tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan (run-off). Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan tingkat kesehatan dan tingkat harapan hidup masyarakat. Secara sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan konflik horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak langsung juga dapat
disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial untuk pelepas ketegangan yang dialami oleh masyarakat perkotaan. Rendahnya kualitas lingkungan perumahan dan
penyediaan ruang
terbuka publik, secara psikologis telah menyebabkan kondisi mental dan kualitas sosial masyarakat yang makin buruk dan tertekan. Sementara itu secara teknis, issue yang berkaitan dengan penyelenggaraan RTH di perkotaan antara lain menyangkut terjadinya sub-optimalisasi penyediaan RTH baik secara kuantitatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM, kurangnya
keterlibatan
stakeholder
dalam
penyelenggaraan
RTH,
serta
terbatasnya ruang/ lahan di kawasan permukiman yang dapat digunakan sebagai RTH (Rustamk, 2000). Sub-optimalisasi ketersediaan RTH terkait dengan kenyataan masih kurang memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah ruang terbuka per kapita yang tersedia. Sedangkan secara kelembagaan, masalah RTH juga terkait dengan belum adanya aturan perundangan yang memadai tentang RTH, serta pedoman teknis dalam penyelenggaraan RTH sehingga keberadaan RTH masih bersifat marjinal. Di samping itu, kualitas SDM yang tersedia juga harus ditingkatkan untuk dapat memelihara dan mengelola RTH secara lebih professional. Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR), mewajibkan setiap kota menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) minimal 30 persen dari luas wilayah kota (Anonim, 2008). Peraturan ini kemudian diaplikasikan ke dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2011-2030. Dalam Perda RTRW DKI Jakarta, RTH sebanyak 30 persen tersebut terdiri dari 10 persen lahan privat, 14 persen publik, dan 6 persen lahan privat yang bisa dimanfaatkan untuk publik. Namun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri hingga kini mengaku masih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan RTH untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota hijau (green city)
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk mendukung pembangunan kota berkelanjutan, khususnya menyangkut proses pembangunan kota dan keinginan pemerintah kota solo menjadi kota hijau (green city). Secara khusus, tujuan umum tersebut dapat dijabarkan menjadi empat tujuan yakni 1. Mengidentifikasi karakteristik dan dinamika perkembangan ketersediaan ruang terbuka hijau di kota Solo 2. Menganalisis daya dukung atau keseimbangan kebutuhan dan ketersediaan ruang terbuka hijau di kota solo 3. Pengembangan model alokasi keruangan dinamika perkembangan ketersediaan ruang terbuka hijau di kota Solo 4. Menyusun arahan kebijakan penataan ruang terbuka hijau untuk menuju solo kota hijau (green city)
BAB IV METODE PENELITIAN 1.1. Pendekatan Dan Metode Penelitian Secara umum penelitian bersifat deskriptif-evaluatif dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan Morphological Approach, Spatial Approach, dan Policy Approach. Pendekatan pertama berkaitan dengan kajian aspek lingkungan fisik perkotaan, seperti perubahan penggunaan lahan dan tata ruang, bentuk landscape, gedung, permukiman, open space dan lain-lain. Pendekatan kedua untuk
kajian
keruangan
atau
spasial
keberadaan RTH
beserta
kebutuhannya. Pendekatan ketiga adalah analisis kebijakan (policy analysis), yang mengkaji tentang kebijakan pembangunan green city
dan RTH Perkotaan
berbasis daya dukung perkotaan. Penelitian dilakukan dalam batas administrasi kota Solo, dengan menggunakan unit analisis satuan lingkungan kota atau blok peruntukan ruang dan jenis RTH, yaitu dengan menyusun tipologi RTH perkotaan sebagai berikut : Tabel 2 : Penentuan unit analisis lokasi penelitian, berdasarkan tipologi RTH dan blok peruntukan ruang perkotaan Blok Peruntukan Ruang Kota RTH Private RTH Public Permukiman Tipe1 Tipe1 Perdagangan dan jasa Tipe2 Tipe2 Industri Tipe3 Tipe3 Pendidikan Tipe4 Tipe4 Lainnya Tipe ke-n Tipe ke-n Berdasarkan kriteria di atas, direncanakan untuk mengambil sampel pada tipe yang telah ditentukan. Selanjutnya di masing-masing kasus tipologi tersebut akan diperbandingkan (Case and Comparative Studies). Dari pendekatan ini diharapkan suatu pemahaman yang mendalam mengenai isu-isu yang muncul dalam penelitian, sehingga dapat dideskripsikan dan dianalisa secara mendalam, khususnya untuk menganalisis karakter, tipologi, dan dinamika keberadaan RTH beserta dan kebutuhannya. Lebih lanjut, dapat dikembangkan suatu hipotesa ataupun konsep-konsep dan model baru mengenai isu yang RTH perkotaan sebagai basis pengembangan green city.
Adapun metode atau teknik penelitian (pengumpulan dan analisis data) yang digunakan akan dipakai gabungan antara studi literatur, metode survey, RRA (Rapid Rural Appraisal), indepth interview, Pemetaan dan Sistem Informasi Geografi (SIG), teknik dokumentasi, dan analisis statistik. 1.2. Tahapan Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dalam empat tahap, diantaranya : 1. Tahap pertama, akan dilakukan studi literatur yang intensip menyangkut topik penelitian. Dalam studi literatur ini akan dikaji lebih lanjut isu-isu dan kebijakan mengenai RTH di Indonesia, konsepsi RTH, manfaat dan tipologi RTH, dan implikasi pengembangan RTH dalam pembangunan perkotaan di Indonesia. Diharapkan dengan studi literatur yang lebih mendalam akan dirumuskan parameter yang lebih tajam mengenai karakteristik RTH, manfaat dan tipologinya. Selain itu, tahap pertama penelitian ini juga diharapkan akan dapat memunculkan beberapa hipotesis kerja yang menjadi pedoman penelitian lapangan selanjutnya. Merupakan bagian dari tahap pertama penelitian, akan dilakukan penyusunan riset disain yang rinci dimana indikator dan variabel penelitian, daftar-daftar pertanyaan, kuesener, serta peta-peta dasar untuk penelitian lapangan disiapkan dan disusun secara benar. 2. Tahap kedua penelitian, akan dilakukan penelitian lapangan baik berupa analisis
situasional
(pemetaan),
observasi
lapangan,
dokumentasi,
pengumpulan data lapangan, maupun wawancara (survei). Selanjutnya pada bagian awal penelitian lapangan, akan dilakukan penelitian pendahuluan, terutama untuk menguji daftar pertanyaan penelitian yang telah disusun pada tahap pertama penelitian, serta menentukan sampel atau studi kasus. Data-data yang dikumpulkan meliputi segala hal yang terkait dengan karakteristik dan tipologi RTH. 3. Tahap ketiga penelitian, akan dilakukan analisa data serta diskusi intensif dengan stakeholder tentang hasil penelitian sementara. Tahap ini bertujuan untuk memodifikasikan serta mengkomparasikan temuan-temuan dari studi kasus. Diharapkan bahwa pada tahap ini beberapa kesamaan umum serta
variasi dari kasus-kasus studi sudah dapat dirumuskan sehingga dapat digunakan untuk menyusun model alokasri ruang bRTH perkotaan. Pada tahap ini juga dilakukan kajian-kajian pengembangan dari penelitian, khususnya terhadap temuan-temuan baru dan riset lanjutan. 4. Tahap keempat penelitian adalah finalisasi serta penulisan akhir. Pada tahap ini, hasil penelitian sudah harus dirumuskan dan dipresentasikan dalam format laporan penelitian yang baik dan benar. Bagian terpenting dalam tahap terakhir ini adalah tersusunnya sejumlah rumusan kebijakan (policy) yang dpat digunakan secara aplikatif oleh Pemerintah Kota untuk mengembangkan RTH. Selengkapnya tahadap penelitian dapat dilihat pada diagram alir penelitian sebagaimana ditampilkan dalam diagram berikut (diagram 1) Ruang Kota Kawasan Budidaya
Demografi Ekonomi Sosial Karakteristik RTH
Fungsi Kota
-
Perdagangan dan jasa Permukiman Industri Pendidikan
-
Jenis Letak Luas Tanaman Fungsi/ manfaat
Tahap/Tahun II
Kasus Solo
Ruang Terbuka
Tipologi Fungsi Kota
Tipologi RTH
Ketersediaan Suplay
Kebutuhan Demand
Tahap/Tahun I
Kawasan Lindung
Daya Dukung RTH Kota
Pemodelan RTH
Konsepsi Model RTH
Green City Policy
Kota-Kota di Indonesia
BAB V HASIL YANG DI CAPAI Peta Sebaran Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Solo
Arti penting penelitian ini dapat dipahami dari manfaat, baik bagi pengembangan konsep (teoritis) maupun aplikasi.Dari sisi pengembangan konsep dan teori, penelitian ini memberikan kontribusi dalam upaya strategi pembangunan perkotaan yang ramah lingkungan dengan mengembangkan model penataan ruang terbuka hijau. Hingga saat ini, pembangunan perkotaan lebih menekankan atau bias kepada aspek ekonomi, menggusur banyak ruang publik termasuk RTH sehingga memberikan kecenderungan penurunan kualitas lingkungan yang terus-menerus. Cara pandang seperti ini tidak terlepas dari pemahaman teori-teori perkotaan yang banyak dipakai (dibanding dengan teori lingkungan) dan juga kepentingan pemilik modal yang kuat. Penelitian ini menawarkan reorientasi baru dalam memandang strategi pembangunan perkotaan, yaitu merubah atau menggeser dari paradigma economic city oriented menjadi environment based secara terintegrasi dalam pembangunan kota. Pengembangan model ini menggunakan cara pandang yang lebih luas dengan mengintegrasikan berbagai macam karaktersitik sosial-ekonomi yang
berbeda-beda menjadi satu kekuatan yang integral. Model ini sangat tepat di dalam kerangka menyambut era otonomi daerah dan meredam konflik antara kepentingan publik dengan pemilik modal perkotaan, sehingga dapat meredam munculnya disintegrasi sosial dan degradasi lingkungan. Hasil penelitian ini diharapkan pula dapat bermanfaat secara praktis, khususnya dalam membangun kerangka pikir dan perumusan kebijaksanaan pembangunan perkotaan secara lebih terintegrasi antara economic dan environmenmt values, sehingga dapat meredam berbagai macam potensi konflik perkotaan. Harapan lebih lanjut kasus model RTH kota Solo ini dapat diterapkan di kota-kota lain di Indonesia, sehingga semakin mendukung Solo sebagai kota pencontohan pengembangan RTH. Penelitian ini diyakini dapat memberikan sumbangan baik kepada kepentingan ilmu pengetahuan (konsep dan teori) maupun kepentingan praktis bagi masyarakat dan pengambil kebijakan. Kontribusi terhadap ilmu pengetahuan berasal dari originalitas tema penelitian yang belum banyak diteliti, aspek-aspek metodologis yang diterapkan dalam studi, dan penemuan-penemuan empiris lapangan. Terhadap masyarakat luas, khususnya pengambil kebijakan, penelitian ini berkontribusi pada andil dalam pemahaman yang lebih baik dan meluas tentang model pembangunan wilayah. Penelitian ini dapat dijadikan acuan dasar dan reorientasi bagi pengembangan studi pembangunan wilayah dan perkotaan, khususnya untuk meningkatkan integrasi lingkungan yang dapat menjamin pembangunan perkotaan dan daerah sekitarnya secara terpadu dan berkesinambungan dan disinilah letak keaslian penelitian. Kekhasan atau originalitas penelitian ini juga tampak dari pendekatan dan metode penelitian yang digunakan, yaitu mengintegrasikan tinjauan makro, meso, dan mikro, dengan pendekatan fisik dan sosial serta analisis kebijaksanaan, disamping analisis case and comparative studies terhadap dinamika sistem perkotaan sehingga dapat dicapai perolehan hasil yang lebih komprehensif.
BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA Beberapa target ruang lingkup penelitian menurut tahapannya adalah: 1. Pada tahun pertama penelitian, penelitian difokuskan untuk mengetahui dan mengkaji secara keruangan karakter dan dinamika perkembangan ketersediaan RTH, yang meliputi karakteristik dasar tentang bentuk (pola) dan proses perkembangan lingkungan RTH serta tipologinya di daerah perkotaan,
termasuk pada tahap selanjutnya adalah menganalisis atau
mengkomparasikannya dengan kebutuhan RTH, sehingga dapat ditemukan nilai daya dukung RTH kota solo sebagai bahan dasar untuk menyusun model alokasi RTH. 2. Tahun
kedua
penelitian,
dikonsentrasikan
untuk
melakukan
pengembangan model alokasi RTH pada tingkat mikro-detil, termasuk meneliti manfaat yang didapatkan. Dalam tahap ini penelitian diarahkan untuk menganalisis indikator-indikator penentu penempatan RTH dengan mempertimbangkan besarnya manfaat RTH bagi perbaikan lingkungan perkotaan. Selain itu juga disusun kebijakan penataan RTH untuk menuju solo kota hijau (green city)
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Tidak ada keseimbangan antara ketersediaan RTH dengan Kebutuhan RTH 2. Daya Dukung RTH kota Solo tidak sesuai dengan jumlah kebutuhan
Saran Perlu diciptakan RTH di kota solo untuk memenuhi daya dukung RTH
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1987. Departemen Dalam Negeri, 1987. Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 14, Tahun 1987, tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan. Anonim, 1995. RTH Kota – Jakarta. Majalah Konstruksi, Maret 1995, Rubrik Lingkungan. Anonim, 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Penerbit Harvarindo. Chiara, Joseph De & Lee Koppelman. 1988. Urban Planning and Design Criteria. Van Nostrand Reinhold Company, NY. Chiara, Joseph De & Lee Koppelman. 1998. Site Planning Standard. McGrawHill Book Company, NY. Danisworo, M, 1998, Makalah Pengelolaan kualitas lingkungan dan lansekap perkotaan di indonesia dalam menghadapi dinamika abad XXI. Danoedjo,S. 1990., Menuju Standar Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Kota Dalam Rangka Melengkapi Standar Nasional Indonesia. Direktur Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta. Frick, Heinz dan FX Bambang Suskiyatno. 1998. Dasar-Dasar Ako-Arsitektur, Konsep Arsitektur Berwawasan Lingkungan serta Kualitas Konstruksi dan Bahan Bangunan untuk Rumah Sehat dan Dampaknya Atas Kesehatan Manusia. Penerbit Kanisius, Soegijapranata University Press. ISBN 979672-127-9, cetakan ke-5. Gunadi, Sugeng. 1995. Arti RTH Bagi Sebuah Kota. Makalah pada Buku: “Pemanfaatan RTH di Surabaya”, bahan bacaan bagi masyarakat serta para pengambil keputusan Pemerintahan Kota. Grey, Jane W. & Frederick C. Deneke: 1978. Urban Forestry. John Wiley & Sons Book Company, InC
Haeruman, Herman. 1995. Pembangunan Kota yang Berwawasan Lingkungan. Bahan dipersiapkan untuk artikel di majalah SERASI, diterbitkan sebagai majalah berkala oleh kantor KLH. Hester R.T, 1975 Neighborhood Space. Husting son and Rose. Jurnal Arsitektur Lansekap Indonesia nomor 04 tahun 1998. Kementerian Lingkungan Hidup. 2001. Pedoman Kebijakan dan Strategi Pengembangan RTH dan Penghijauan Kota (Draft 3). 15 November 2001. (Tidak dipublikasikan). Laurie. M, 1975. An Introduction to Landscape Architecture. American Publisher. Lynch, Kevin. 1967. Site Planning. Houghton Mifflin Company, Boston. Newton N,T, 1971. Design On the Land. (The Development Of Landscape Architecture). Pemerintah Kotamadya DT II Malang,, Sejarah Perencanaan Kota Malang Sejak Jaman Kolonial Dan Perkembangannya Ditinjau Dari Aspek Pertamanan. Jakarta, 23 Agustus 1990. Pemerintah Kota Surabaya 2003, Langkah Kebijakan dan Pengalaman Praktis Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Di Surabaya. Jakarta. Purnomohadi, Ning. 2002. Pengelolaan RTH Kota dalam Tatanan Program BANGUN PRAJA Lingkungan Perkotaan yang Lestari di NKRI. Widyaiswara LH, Bidang Manajemen SDA dan Lingkungan. KLH. Rustam Hakim, 2000. Analisis Kebijakan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota DKI Jakarta, Thesis. Institut Teknologi Bandung. Rustam Hakim, 1996, Tahapan dan Proses Perancangan dalam Arsitektur Lansekap, penerbit Bina Aksara Jakarta Rustam Hakim, 2004, Arsitektur Lansekap, Manusia, Alam dan Lingkungan, penerbit Bina Aksara Jakarta Robinette, J., 1983. Lanscape Planning For Energy Conservation. Van Nostrand Reinhold Co., New York. Soemarwoto, O., 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Jambatan Jakarta.