LAPORAN HASIL PENELITIAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK MELALUI PENGADILAN PAJAK SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN HUKUM DI SEKTOR PERP AJAKAN (Studi Kasus Kantor Pengadilan Pajak di Jakarta)
PELAKSANA: Dr. Suparmin, SH., M.Hum/ NIP: 09.06.1.�174 FX. BUDHY SANTOSO I NIM : 117010570
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG 2013
DAFTARISI i
HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN
ii
KAT A PEN GANTAR
iv
DAFTAR ISL BABI:
v'
PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Perumusan Masalah
. ..
..
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
.. .. . . .. ..
.. . . .. .. .. .
4
..
4
D. Sistematika Penulisan BAB II:
5
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pajak............................................... 1.
Pengertian Pajak
7 7
2. Pengertian Hukum Pajak
lO
3. Sistem Pemungutan Pajak
11
B. Tinjauan Umum Tentang Sengketa Pajak
:.................
14
1. Pengertian Sengketa Pajak.................................................
14
2. Unsur-Unsur di dalam Sengketa Pajak..............................
14
3. Penyelesaian Sengketa Pajak.............................................
16
C. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan Pajak............................ 1.
17
Lembaga-Lembaga Sebelum Terbentuknya Pengadilan Pajak...................................................................................
17
2. Pengadilan Pajak................................................................
19
3. Susunan Organisasi Pengadilan Pajak............................... 22 4. Putusan Pengadilan Pajak.................................................. 23
BAB III : METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian
25
B. Data dan Sumber Data............................................................. 25 C. Tehnik Pengumpulan Data....................................................... 26 D. Anal is is Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . .
.. . . . . . . . . . 2 7
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Sengketa Pajak melalui Pajak
Pengadilan 28
1.
Kuasa Hukum
:................. 28
2.
Pengajuan Banding
30
3.
Pengajuan Gugatan
32
4.
Persiapan Persidangan....................................................... 34
5.
Pemeriksaan di Persidangan.............................................. 37
6.
Pembuktian........................................................................ 40
7.
Putusan Pengadilan Pajak
Vlll
41
ini, serta semakin meningkatnya jumlah pembayar pajak tentu di lain pihak akan mengakibatkan semakin meningkatnya potensi sengketa pajak. Pemungutan pajak oleh pemerintah akan bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat. Pelaksanaan pemungutan pajak ditengah masyarakat yang tidak sesuai dengan undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat wajib pajak, sehingga dapat menimbulkan sengketa pajak antara wajib pajak dengan pejabat atau aparatur pajak (fiskus). Oleh sebab itu untuk lebih memberikan pelayanan dan perlindungan kepada warga masyarakat sebagai pembayar pajak, maka diperlukan adanya suatu lembaga peradilan di bidang perpajakan yang dapat menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak, serta dapat memberikan putusan hukum dan kepastian hukum atas sengketa pajak dengan proses yang sederhana, cepat, dan murah, sesuai dengan asas yang dianut dalam sistem peradilan di Indonesia. Perlunya suatu lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa pajak merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang KUP disebutkan bahwa, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Sebagaimana amanat Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang KUP, menjadi dasar tentang perlunya dibentuk peradilan pajak tersendiri guna menyelesaikan sengketa pajak. Karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan
2
sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak. Untuk memenuhi harapan tersebut terbitlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dikenal empat upaya hukum dalam menyelesaikan sengketa pajak yaitu, keberatan, banding, gugatan dan peninjauan kembali. Yang dimaksud dengan "Keberatan"
dalam
pelaksanaan
ketentuan
peraturan
perundangundangan
perpajakan terjadi apabila Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan. Sedangkan upaya hukum banding merupakan kelanjutan dari upaya hukum keberatan. Dalam arti, tidak ada banding sebelum melalui keberatan karena yang diajukan banding adalah surat keputusan keberatan sebagai bentuk penyelesaian sengketa pajak di tingkat lembaga Keberatan. Hukum acara peradilan pajak tidak hanya mengenal keberatan dan banding sebagai upaya hukum biasa, tetapi termasuk pula gugatan untuk melawan kebijakan pejabat pajak yang terkait dengan penagihan pajak, seperti terbitnya surat tagihan pajak dan penagihan secara paksa. Gugatan dan banding keduanya merupakan upaya hukum biasa. Pengadilan Pajak dalam menangani masalah gugatan kompetensinya diperluas sesuai amanat Pasal 23 ayat (2) UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Di
3
samping terhadap pelaksanaan penagihan pajak, gugatan dapat diajukan terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin menulis skripsi dengan judul " Penyelesaian Sengketa Pajak Melalui Pengadilan Pajak Sebagai Upaya Penegakan Hukum Di Sektor Perpajakan".
B. Perumusan Masalah Dengan ni.emperhatikan alasan pemilihan judul skripsi, maka dirumuskan masalah-masalah untuk dijadikan pedoman penelitian agar mencapai sasarannya. Adapun masalah-masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana penyelesaian sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak sebagai
upaya penegakan hukum di sektor perpajakan ? 2. Permasalahan dalam penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak dan upaya untuk mengatasinya.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Tujuan penulisan skripsi ini selain untuk melengkapi tugas persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang, juga mempunyai tujuan penulisan sesuai dengan permasalahan yang dibahas yaitu :
4
1. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak sebagai upaya penegakan hukum di sektor perpajakan. 2. Untuk mengetahui permasalahan dalam penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak dan upaya untuk mengatasinya.
2. Manfaat Penelitian
Dengan tercapainya tujuan penelitian sebagaimana tersebut diatas, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Dari segi teoritis skripsi ini diharapkan berguna bagi perkembangan hukum pajak, khususnya di dalam penyelesaian sengketa perpajakan melalui Pengadilan Pajak. 2. Dari segi praktis skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pembaca dan pihak yang berkepentingan sehingga diharapkan dapat lebih memahami aturan-aturan hukum perpajakan di Indonesia mengenai penyelesaian sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak.
D. Sistematika Penulisan
Di dalam penulisan skripsi
iru
terdiri dari lima bah. Masing-masing
perinciannya sebagai berikut. Bab I tentang Pendahuluan, di dalamnya berisi uraian latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi yang bertujuan untuk mengantarkan pikiran pembaca ke pokok permasalahan yang akan dibahas.
5
Bab II tentang Tinjauan Pusaka, Bab ini berisi teori dan kerangka berpikir yang berkaitan dengan masalah pokok yang diteliti. Di sini penulis menguraikan tinjauan tentang pajak yang meliputi pengertian pajak, pengertian hukum pajak dan sistem pemungutan pajak. Selain itu dibahas tinjauan tentang sengketa pajak yang meliputi pengertian sengketa pajak, unsur-unsur dalam sengketa pajak dan penyelesaian sengketa pajak. Dalam bab II ini juga dibahas tinjauan tentang Pengadilan
Pajak
yang
meliputi
pembahasan
lembaga-lembaga
sebelum
terbentuknya Pengadilan Pajak, pembahasan mengenai Pengadilan Pajak, Susunan Organisasi Pengadilan Pajak dan Putusan Pengadilan Pajak. Bab III tentang Metode Penelitian, dalam Bab ini berisi uraian mengenai jenis penelitian, data dan sumber data, tehnik pengumpulan data dan analisis data. Bab IV tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan, dalam Bab ini berisi hasil penelitian tentang proses penyelesaian sengketa pajak melalui pengadilan pajak yang meliputi pembahasan tentang kuasa hukum, pengajuan Banding, pengajuan Gugatan,
persiapan persidangan, pemeriksaan di persidangan,
pembuktian, putusan Pengadilan Pajak dan peninjauan kembali. Juga dibahas tentang permasalahan dalam penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak. Bab V tentang Penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari penulis sebagai penutup skripsi ini.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Pajak 1. Pengertian Pajak
Secara umum, sering kita mendengar himbauan mengenai pentingnya membayar pajak sebagai wujud peran serta masyarakat untuk membiayai pembangunan membayar
negara.
pajak
Dalam
untuk
turut
memahami
mengapa
seseorang
membiayai
pembangunan
yang
harus terus
dilaksanakan, maka perlu dipahami terlebih dahulu pengertian dari pajak itu sendiri. Untuk mengambil pengertian yang lebih konkrit tentang pajak, dapat kita lihat dari pengertian yang diberikan oleh para ahli, diantaranya: 1. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH.2
:
"Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan UndangUndang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar
pengeluaran
umum".
Dijelaskan
bahwa
"dapat
dipaksakan" berarti bahwa bila utang pajak tidak dibayar maka utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga penyanderaan;
terhadap pembayaran pajak,
tidak dapat
ditunjukkan adanya jasa timbal balik tertentu seperti halnya dalam retribusi.
2
Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, ( Yogyakarta: Andi, 2009), ha!. 1-2
7
Dalam perkembangan selanjutnya Rochmat Soemitro dalam bukunya Pajak dan Pembangunan (1974) memperbarui definisinya menjadi sebagai
berikut : "Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan "surplusnya" digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment."
2. Dr. Soeparman Soemaharnidjaja
3
:
"Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh Penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahtraan umum". 4:
3. Prof. PIA. Adriani
"Pajak adalah Iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya
adalah
untuk
membiayai
pengeluaran-pengeluaran
umum
berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan." 4. Prof. Dr. Smeets
5
:
"Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui normanonna umum, yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah."
3 4
Ibid, hal. 2 Ibid, hal. 3
8
Dari pengertian pajak diatas dapat disimpulkan bahwa unsur yang melekat dalam pengertian pajak yaitu: a. pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang. b. sifatnya dapat dipaksakan. c. tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak. d. pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta). e. pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum. Pemungutan pajak merupakan pengalihan kekayaan dari rakyat kepada negara yang hasilnya juga akan dikembalikan kepada rakyat. Oleh sebab itu, pemungutan pajak harus mendapat persetujuan dari rakyat itu sendiri mengenai jenis pajak apa saja yang akan dipungut serta berapa besamya pemungutan pajak. Proses persetujuan rakyat yang dimaksud hanya dapat dilakukan dengan suatu undang-undang. Sifat pemungutan pajak yang dapat dipaksakan dapat dijelaskan bahwa uang yang dikumpulkan dari pajak akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan serta pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Supaya ada kepastian dalam proses pengumpulannya dan berjalannya pembangunan serta berkesinambungan, maka sifat pemaksaannya hams ada dan rakyat itu sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk undang-undang.
5
Ibid, hal. 4
9
Unsur pemaksaan disini berarti apabila wajib pajak tidak mau membayar pajak, pemerintah dapat melakukan upaya paksa dengan mengeluarkan suatu surat paksa agar wajib pajak mau melunasi utang pajaknya.
2. Pengertian Hukum Pajak Berbeda dengan pengertian pajak, hukum pajak mempunyai arti suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak.
6
Dengan kata
lain hukum pajak menerangkan: a. Siapa-siapa wajib pajak (subjek pajak); b. Objek-objek apa yang dikenakan pajak (objek pajak); c. Kewajiban wajib pajak kepada pemerintah; d. Timbulnya dan hapusnya utang pajak; e. Cara penagihan pajak; f. Cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak. Hukum pajak bermanfaat untuk menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat
yang
merumuskannya
dapat
dalam
dihubungkan
peraturan-peraturan
dengan hukum
pengenaan dan
pajak,
menafsirkan
peraturan-peraturan hukum tersebut. Wewenang
yang
dimiliki
pemerintah
di
dalam
melakukan
pemungutan pajak kepada masyarakat, walaupun mengandung unsur paksaan tidak berarti tanpa didasari suatu aturan hukum. UUD 1945 sebagai konstitusi
6
Ibid, hal. 55
10
..
negara RI dalam Pasal 23 A (basil amandemen) dengan tegas menyebutkan
"Pajak dan Pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang ". Artinya konstitusi kita sangat melindungi rakyat dari kemungkinan kesewenang-wenangan penguasa (fiskus) di dalam memungut pajak. Berdasarkan perundang-undangan yang mengatur tentang pajak, ada beberapa jenis pajak yang dibebankan kepada masyarakat, antara lain: 1. Pajak penghasilan (PPh) berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun . 1983, sebagaimana beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. 2. Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, sebagaimana beberapa kali diubah, terakhir dengan UndangUndang Nomor 42 Tahun 2009. 3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. 4. Bea Meterai berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985.
3. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak kepada masyarakat dapat dibagi atas 4 ( empat) macam yaitu
7
7:
Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hu/cum Pajak, ( Jakarta : Salemba, 2007 ), hal. 22
11
a. Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Dengan sistem ini masyarakat (wajib pajak) bersifat pasif dan menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak seseorang baru diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak. b. Semi Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada fiskus dan wajib pajak untuk menentukan besamya pajak seseorang yang terutang. Dalam sistem ini setiap awal tahun pajak Wajib Pajak menentukan sendiri besamya pajak yang terutang untuk tahun berjalan yang merupakan angsuran bagi Wajib Pajak yang harus disetor sendiri. Baru kemudian pada akhir pajak fiskus menentukan besamya utang pajak yang sesungguhnya berdasarkan data yang dilaporkan oleh Wajib Pajak. c. Self Assessment System adalah suatu sistem pernungutan pajak yang memberi wewenang penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. Dalam sistern ini Wajib Pajak yang aktif sedangkan fiskus tidak turut campur dalam penentuan besamya pajak yang terutang seseorang, kecuali Wajib Pajak melanggar ketentuan yang berlaku. d. Withholding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang mernberi wewenang pada pihak ketiga untuk memotong I memungut besarnya pajak yang terutang. Pihak ketiga yang telah ditentukan tersebut selanjutnya
12
menyetor dan melaporkannya kepada Fiskus. Pada sistem ini Fiskus dan Wajib
Pajak tidak aktif.
Fiskus hanya bertugas mengawasi
saja
pelaksanaan pemotongan I pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Di Indonesia dari keempat pemungutan pajak di atas, pelaksanaan
official assessment system telah berakhir pada tahun 1967 yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925 dengan Tata Cara MPS dan MPO. Dalam official assessment system Fiskus mengeluarkan "Surat Ketetapan Sementara" pada awal tahun, yang kemudian dikeluarkan lagi "Surat Ketetapan Pajak Rarnpung" pada akhir tahun pajak untuk menentukan besarnya utang pajak yang sesungguhnya terutang. Tahun 1968 sampai dengan
1983 masih menggunakan sistem semi self assessment dan
withholding dengan tata cara yang disebut MPS dan MPO. Barulah tahun 1984 ditetapkan sistem self assessment secara penuh dalam sistem pemungutan pajak Indonesia yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nornor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakkan (Undang-Undang KUP) yang mulai berlaku pada 1 Januari 1984. Walaupun perhitungan pajak terutang dilakukan oleh wajib pajak sendiri berdasarkan sistem self assessment, namun tidak berarti Fiskus (petugas/pejabat pajak) tidak berwenang melakukan pemeriksaan dengan mengoreksi dan menghitung kembali serta selanjutnya menetapkan sendiri pajak yang terutang. Berdasarkan kondisi ini, dimana seringkali wajib pajak
13
merasa keberatan dengan penetapan jumlah pajak terutang dari Fiskus yang dituangkan dengan Surat Tagihan Pajak, maka akan timbul sengketa antara Wajib Pajak dengan Fiskus.
B. Tinjauan Umum Tentang Sengketa Pajak
1.
Pengertian Sengketa Pajak
Pengertian Sengketa Pajak menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) yaitu : Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan Perundanganundangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
2. Unsur-Unsur di dalam Sengketa Pajak
Unsur-unsur yang ada dalam sengketa pajak adalah: • Adanya
satu
keputusan
dalam
bidang
8
perpajakan
yang
dapat
disengketakan dan bersifat administratif, tetapi mempunyai kekhususan serta mempunyai karakteristik tersendiri di bidang perpajakan;
Ali Purwito M. dan Rukiah Komariah, Pengadilan Pajak- Proses Keberatan dan Banding, ( Jakarta : Lernbaga Kajian Hukum Fiskal, FH UI, 2007 ), hal. 57 8
14
• Terdapat 2 (dua) pihak yang bersengketa, yaitu Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak
versus
pejabat
perpajakan
yang
mempunyai
kewenangan rnemberikan keputusan di bidang pajak, sehingga dapat dirnasukkan dalarn kategori sengketa dalarn arti hukurn; • Atas keputusan tersebut di atas, dapat diajukan keberatan, banding atau gugatan, jika rnenurut pendapat Wajib Pajak bahwa keputusan pejabat perpajakan dianggap atau dirasakan tidak adil atau tidak tepat. Arti kata "dapat" diajukan banding diartikan bahwa atas keputusan rnasih diberikan kemungkinan diselesaikan di tingkat eksekutif dengan persyaratan yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Untuk rnengajukan sengketa perpajakan, pokok sengketa yang dikernukakan hams jelas apakah formal yuridis atau material. Dengan dernikian sengketa pajak dapat dikategorikan atas :
9
a) Sengketa karena kesalahan atau pelanggaran formal, yaitu sengketa yang terjadi jika, perundang-undangan atau peraturan pelaksanaan dalam bidang perpajakan tidak dipatuhi, misalnya tidak rnembuat faktu pajak atau tidak membuat pernbukuan. Pelanggaran peraturan formal ini dapat rnenjadi sengketa, jika pihak pejabat perpajakan menetapkan koreksi dan atau sanksi administrasi berupa denda berdasarkan peraturan yang berlaku. Sengketa formal biasanya disebabkan karena terdapat perbedaan persepsi, penafsiran ketentuan perundang-undangan ataupun penerapan
9
Loe.Cit.
15
..
peeraturan antara fiskus dan Wajib Pajak. Atau dapat juga disebabkan oleh pelaksanaan penagihan utang, sita atau lelang. b) Sengketa yang bersifat yuridis, yaitu mengenai kebenaran penerapan undang-undang. c) Sengketa karena kesalahan atau pelanggaran material, kemungkinan lebih disebabkan kesalahan bersifat kuantitatif misalnya dalam perhitungan, kesalahan pemberitahuan mengenai pajak-pajak terutang, tidak jelasnya norma perhitungan, perbedaan dalam penafsiran dan penerapan klasifikasi barang atau perhitungan besamya denda administrasi yang diterapkan.
3. Penyelesaian Sengketa Pajak
Penyelesaian Sengketa Pajak adalah penyelesaian melalui upaya hukum yang terdiri atas : 1. Upaya hukum biasa a. Upaya Hukum Keberatan, disampaikan oleh Wajib Pajak ke Direktorat Jenderal Pajak b. Upaya Hukum Banding dan Upaya Hukum Gugatan disampaikan oleh Wajib Pajak ke Pengadilan Pajak. 2. Upaya Hukum Luar biasa berupa: permohonan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia
16
Sesuai ketentuan dalam pasal 25 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu: a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c. Surat Ketetapan Pajak Nihil; d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
C. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan Pajak 1.
Lembaga-Lembaga Sebelum Terbentuknya Pengadilan Pajak 10
a. Institusi Pertimbangan Pajak (IPP) Upaya
penyelesaian
sengketa
pajak
telah
dirintis jauh
sebelum
kemerdekaan. Sejak jaman Hindia Belanda dulu, pemerintahan saat itu telah memperkirakan tentang adanya sengketa yang terjadi di bidang perpajakan, terutama antara para pengusaha dan pejabat di bidang perpajakan. Oleh karena itu pada tahun 1915 dibentuk suatu lembaga yang dinamakan Institusi Pertimbangan Pajak (IPP), yang didirikan berdasarkan
Staatsblad 1915 Nomor 707 dan berkedudukan di Batavia. b. Majelis Pertimbangan Pajak (MPP)
10
Ibid, ha!. 4
11
Ibid, hal. 5
11
17
Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) dibentuk sebagai penyempumaan dari lnstitusi Pertimbangan Pajak, berdasarkan pada Staatsblad Tahun 1927 Nomor 29 tentang Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van het
Beroep in Belastingzaken). Pada awal tahun-tahun kemerdekaan, untuk mencegah kekosongan hukum maka peraturan
tahun
1927 masih
diberlakukan. Baru pada tahun 1959 pemerintah Indonesia meninjau kembali peraturan dimaksud dengan mengubah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959. Badan ini merupakan badan yang berwenang dan berfungsi untuk memeriksa dan memutus permohonan banding yang diajukan wajib pajak atas sengketa pajak, setelah keberatannya ditolak. Majelis Pertimbangan Pajak, anggota-anggotanya terdiri dari kalangan pemerintahan, pengusaha, para pakar perpajakan atau yang ditunjuk oleh pemerintah. Pembentukan MPP yang berdasarkan undang-undang, meskipun belum menjalankan kekuasaan kehakiman, namun keberadaannya di masyarakat sudah diakui sebagai badan peradilan khusus untuk penyelesaian perselisihan perpajakan. c. Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP)
12
Melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997, dibentuk suatu badan yang menjalankan funsi peradilan yakni Badan Penyelesaian Sengketa Pajak atau disingkat menjadi BPSP. Badan ini mempunyai kewenangan yang lebih luas dan dimaksudkan menggantikan kedudukan Majelis
12
Ibid, hal. 6
18
Pertimbangan Pajak yakni selain memeriksa clan memutuskan masalah sengketa pajak, juga atas masalah-masalah yang berkaitan dengan keputusan di bidang kepabeanan dan cukai. Meskipun bukan berbentuk pengadilan, tetapi forum pemeriksaan dan pemutus sengketa seperti Majelis yang terdiri atas Ketua dan anggota berjumlah dua orang, bertindak sebagai hakim. Dalam pelaksanaannya penyelesaian sengketa pajak melalui Badan Penyelesaian Sengketa Pajak masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Karena itu diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.
2.
Pengadilan Pajak Pada tahun 2002 ditetapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 ..
tentang Pengadilan Pajak. Undang-undang tersebut diundangkan didalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 Nomor 27 pada tanggal 12 April 2002. Dengan demikian sejak tahun 2002 untuk pertama kalinya Indonesia memiliki suatu badan peradilan khusus dalam bidang pajak dengan nama Pengadilan Pajak. Perubahan nama badan peradilan pajak dari badan penyelesaian sengketa pajak membawa implikasi terhadap sistem peradilan Indonesia dan
19
kekuasaan kehakiman. Implikasi itu antara lain bertambahnya satu lagi lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Kedudukan Pengadilan Pajak berada di ibu kota negara. Persidangan oleh Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya, dan dapat pula dilakukan di tempat lain berdasarkan ketetapan Ketua Pengadilan Pajak. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Kemudian Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak. Berdasarkan kedua pasal tersebut dapat diketahui bahwa kompetensi Pengadilan Pajak adalah memeriksa dan memutus sengketa pajak. Dalam menyelesaikan sengketa pajak, Pengadilan Pajak memiliki kewenangan dalam 2 (dua) macam upaya hukum, yakni "Gugatan" dan "Banding". Dalam hal "Banding" Pengadilan. Pajak hanya berwenang memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 31 ayat (2)). Sedangkan dalam hal "Gugatan" Pengadilan Pajak berwenang memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-U ndang
20
..
Nomor 16 Tahun 2009 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku (Pasal 31 ayat (3)). Istilah "Gugatan" dan "Banding" dalam sistem peradilan pajak menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 mempunyai makna yang berbeda dengan istilah "Gugatan" dan "Banding" dalam sistem peradilan pada lembaga-lembaga peradilan yang lain seperti pada Peradilan Umum, Peradilan Militer maupun Peradilan Tata Usaha Negara. Pada system Peradilan Pajak, "gugatan" menunjukkan bahwa sengketa tersebut belum diajukan pada upaya hukum lain. Jadi merupakan proses yang pertama kali oleh wajib pajak untuk menempuh upaya hukum lain. Jadi merupakan proses yang pertama kali oleh wajib pajak untuk menempuh upaya hukum ke Pengadilan Pajak, sedangkan istilah Banding, wajib pajak pemah menempuh upaya hukum lain melalui Upaya Administratif berupa keberatan, yakni ke DirJend Pajak atau DirJend Bea dan Cukai atau Kepala Daerah. Kemudian apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak setuju dengan keputusan DirJend Pajak atau DirJend Bea dan Cukai atau Kepala Daerah, lalu mengajukan Banding ke Pengadilan Pajak. Selain tugas
dan wewenang sebagaimana dimaksud
di
atas,
Pengadilan Pajak juga diberi kewenangan untuk mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak. (Pasal 32 ayat (1)). Kewenangan ini nampaknya diselaraskan dengan kewenangan-kewenangan lembaga peradilan lain seperti dalam lingkungan Peradilan Umum, Militer, Agama, dan Tata
21
.
Usaha Negara, dimana salah satu kewenangan pengadilan pada tiap-tiap lingkungan peradilan tersebut adalah juga mengawasi kuasa hukum.
3. Susunan Organisasi Pengadilan Pajak
Menurut ketentuan Bab II Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 susunan Pengadilan Pajak terdiri dari: 1. Pimpinan
Pimpinan Pengadilan Pajak terdiri dari seorang ketua dan paling banyak lima orang wakil ketua. Mereka diangkat oleh Presiden dari para hakim untuk masa jabatan lima tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali masa jabatan. Pengusulan untuk menjadi pimpinan pajak dilakukan oleh Menteri Keuangan dengan terlebih dahulu meminta persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Ketua dan wakil Ketua Pengadilan menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 berstatus sebagai pejabat negara yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dibidang sengketa pajak. 2. Hakim Anggota Para hakim Pengadilan Pajak juga diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Keuangan dengan terlebih dahulu meminta persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Para hakim anggota oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 juga diberi status sebagai pejabat negara dan unsur pelaksana tugas kekuasaan kehakiman dibidang sengketa pajak.
22
3. Sekretaris Pengadilan Pajak dilengkapi dengan sebuah sekretariat yang mempunyai tugas memberikan pelayanan dibidang administrasi umum. Sekretariat dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh seorang wakil sekretaris. Sekretaris atau wakil sekretaris atau pegawai sekretariat pengadilan pajak adalah Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungan Departemen Keuangan. 4. Panitera Pada Pengadilan Pajak ditetapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang panitera. Dalam melaksanakan tugasnya panitera dibantu oleh seorang wakil dan beberapa orang panitera pengganti yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Pembinaan teknis panitera dilakukan oleh Mahkamah Agung.
4. Putusan Pengadilan Pajak Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan serta berdasarkan keyakinan Hakim. Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh Hakim Ketua dan apabila majelis didalam mengambil putusan dengan musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan, putusan diambil dengan suara terbanyak. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
23
Pengadilan Pajak hanya mengenal satu tingkatan. Pengadilan Pajak adalah lembaga peradilan yang pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Jadi tidak memiliki pengadilan tingkat banding dan tingkat kasasi sebagaimana pengadilan-pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Tidak adanya tingkatan Pengadilan Pajak, juga menyebabkan tidak adanya upaya hukum lain bagi Wajib Pajak dalam menyelesaikan sengketa pajak. Satu-satunya yang ditempuh adalah upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung. Peninjauan Kembali hanya akan memeriksa berkas perkara dan menilai apakah hukum sudah diterapkan dengan benar atau tidak. Sedangkan alasan untuk mengajukan Peninjauan Kembali juga terbatas.
24
..
f
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian yang digunakan untuk penulisan skripsi
iru
dapat diuraikan
sebagai berikut : A. Jenis Penelitian Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak dan peraturan perpajakan dijadikan acuan dasar peraturan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah proses penyelesaian sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak dan permasalahan dalam penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak dan upaya untuk mengatasinya.
B. Data dan Sumber Data Dalam menyusun skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder,dan tersier. 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan di bidang hukum pajak yang mengikat, antara lain : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
25
Undang Nomor 16 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum pnmer yakni hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, hasil-hasil penelitian terdahulu, buku-buku referensi, majalah hukum,
pendapat-pendapat
para
sarjana
yang
berhubungan
dengan
pembahasan skripsi ini. 3. Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum dan lain-lain.
C. Tehnik Pengumpulan Data Penulisan skripsi ini menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan yaitu mempelajari dan menganalisis secara sistematis buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi mi.
26
D. Analisis Data Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini termasuk dalam tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan : 1. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti; 2. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin yang ada; dan 3. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif-kualitatif.
27
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Proses Penyelesaian Sengketa Pajak melalui Pengadilan Pajak Penyelesaian sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak diatur dalam Bab IV Pasal 34 s/d Pasal 92 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 (Undang-Undang Pengadilan Pajak) termasuk pengaturan tentang upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
1. Kuasa Hukum
Untuk menjalani proses hukum melalui Pengadilan Pajak, para pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk maju sendiri maupun meminta bantuan pihak lain dalam bentuk didampingi atau diwakili oleh kuasa hukum. Ketentuan tentang Kuasa Hukum ini diatur dalam Bab IV Bagian Pertama, pasal 34 Undang-Undang Pengadilan Pajak yang berbunyi sebagai berikut: (1). Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi . ... atau diwakili oleh satu atau lebih kuasa hukum dengan Surat Kuasa Khusus. (2) Untuk menjadi kuasa hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia; b. mempunyai pengetahuan yang luas dan keahlian tentang peraturan perundang-undangan perpaj akan; c. persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
28
..
(3) Dalam hal kuasa hukum yang mendampingi atau mewakili pemohon Banding atau penggugat adalah keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua, pegawai, atau pengampu, persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak diperlukan. Ketentuan tersebut memberikan penghormatan kepada pihak-pihak yang bersengketa untuk dapat membela haknya dan menghadapi sendiri pihak lawan sengketa atau memilih didampingi atau diwakili oleh kuasa hukum dengan Surat Kuasa Khusus. Pengertian didampingi, maka tentunya dalam beracara di Pengadilan Pajak para pihak yang bersengketa wajib hadir dan secara aktif mengikuti jalannya pemeriksaan di persidangan. Sementara apabila diwakili, maka para pihak yang bersengketa tidak harus hadir di persidangan, kecuali apabila diperlukan.13 Ketentuan lebih lanjut tentang peryaratan tentang kuasa hukum di Pengadilan Pajak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.01/2012 tentang Persyaratan Untuk Menjadi Kuasa Hukum Pada Pengadilan Pajak. Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan tersebut mengatur : Setiap orang perseorangan yang akan menjadi Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak, harus memiliki izin kuasa hukum dari Ketua Pengadilan Pajak. Dalam Pasal 3 ayat (2) diatur persyaratan menjadi kuasa hukum pada Pengadilan Pajak meliputi :
13
Y. Sri Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hal, 92
29
..
a. merupakan Warga Negara Indonesia (WNI); b. memiliki asli Surat Kuasa Khusus dari pihak yang bersengketa untuk mendampingi atau yang mewakilinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Pajak dalam berperkara pada Pengadilan Pajak; c. mempunyai pengetahuan yang luas dan keahlian tentang peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; d. memiliki ijazah Sarjana atau Diploma IV dari perguruan tinggi yang terakreditasi oleh instansi yang berwenang; e. mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); memiliki Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dari Kepolisian
f.
Negara Republik Indonesia (POLRI) atau instansi yang berwenang. g.
dalam hal orang perseorangan · yang akan menjadi Kuasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah mantan Hakim Pengadilan Pajak, yang bersangkutan hams telah melewati jangka waktu 2 (dua) tahun setelah berhenti/pensiun sebagai Hakim Pengadilan Pajak.
2. Pengajuan Banding Ketentuan mengenai permohonan banding diatur dalam pasal 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
30
Undang Nomor 16 Tahun 2009. Diatur bahwa Wajib Pajak dapat pengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Suatu Keputusan Keberatan. Sedangkan ketentuan dalam pasal 25 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengatur, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu: a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c. Surat Ketetapan Pajak Nihil; d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam
Undang-Undang Pengadilan Pajak
ketentuan mengenai
pengajuan banding diatur dalam Bab IV Bagian Kedua, pasal 35 sampai dengan pasal 39 sebagaimana diuraikan di bawah ini. Banding diajukan oleh Wajib Pajak atau Ahli Warisnya, seorang pengurus (bila berstatus badan hukum) atau Kuasa Hukumnya, dengan surat permohonan Banding dalam bahasa Indonesia ke Pengadilan Pajak. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Jangka waktu ini sifatnya tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan yang di luar kekuasaan Pemohon Banding.
31
Terhadap satu surat keputusan diajukan satu Surat Banding, dengan disertai alasan-alasan yangjelas dan mencantumkan tanggal diterimanya surat keputusan yang dibanding dan dilampiri salinan surat keputusan yang dibanding. Dalam hal Banding diajukan terhadap besarnyajumlah pajak yang terutang, maka Banding hanya dapat diajukan apabila telah dibayar sebesar 50 % (lima puluh persen) dari jumlah yang terutang tersebut. Terhadap Banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak. Apabila pencabutan Banding diajukan sebelum sidang dilaksanakan maka Banding yang dicabut tersebut dihapus dari daftar sengketa melalui penetapan Ketua Pengadilan Pajak. Namun apabila pencabutan Banding diajukan dalam sidang dan atas persetujuan terbanding, maka Banding yang dicabut tersebut dihapus dari daftar sengketa melalui putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan. Banding yang telah dicabut tidak dapat diajukan kembali.
3. Pengajuan Gugatan Berdasarkan pasal 23 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, diatur bahwa yang menjadi obyek gugatan di Pengadilan Pajak adalah : a. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; b. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
32
c. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam aturan keberatan; d. Penjerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan. Dalam
Undang-Undang Pengadilan
Pajak ketentuan
mengenai
pengajuan gugatan diatur dalam Bab IV Bagian Ketiga, pasal 40 sampai dengan pasal 43. Gugatan diajukan oleh Penggugat, Ahli Warisnya, seorang pengurus (bila berstatus badan hukum) atau Kuasa Hukumnya, diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia ke Pengadilan Pajak. Jangka waktu pengajuan gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal pelaksanaan penagihan. Jangka waktu pengajuan Gugatan terhadap keputusan selain Gugatan terhadap surat pelaksanaan penagihan pajak adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya keputusan yang digugat. Jangka waktu pengajuan Gugatan ini pun sifatnya tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan yang di luar kekuasaan penggugat, maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang selama 14 (empat belas) hari terhitung sejak berakhimya keadaan di luar kekuasaan penggugat. Terhadap satu pelaksanaan penagihan atau satu surat keputusan diajukan satu Surat Gugatan, dengan disertai alasan-alasan yang jelas,
33
T
mencantumnkan tanggal diterima pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat. Pengajuan Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan. Namun penggugat dapat mengajukan perrnohonan agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan Pajak. Perrnohonan penundaan dapat diajukan sekaligus dalam Gugatan dan diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya. Perrnohonan penundaan ini dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika pelaksanaan penagihan pajak yang digugat itu dilaksanakan. Terhadap Gugatan dapat diajukan surat pemyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak. Apabila pencabutan Gugatan diajukan sebelum sidang dilaksanakan maka Gugatan yang dicabut tersebut dihapus dari daftar sengketa melalui penetapan Ketua Pengadilan Pajak. Namun apabila pencabutan Gugatan diajukan setelah sidang dan atas persetujuan tergugat, maka Gugatan yang dicabut tersebut dihapus dari daftar sengketa melalui putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan. Gugatan yang telah dicabut tidak dapat diajukan kembali.
4. Persiapan Persidangan Sebelum masuk ke dalam proses pemeriksaan di persidangan, penanganan perkara di bidang pajak terlebih dahulu melalui serangkaian
34
...
proses persiapan. Proses persiapan tersebut dimaksudkan untuk mematangkan perkara
sehingga ketika
pemeriksaan
di
persidangan
dilangsungkan,
pemetaan terhadap perkara relatif sudah lebih jelas dan matang. Oleh karenanya, tahap ini juga dapat disebut sebagai tahap pematangan perkara.14 Ketentuan mengenai persiapan persidangan diatur dalam Bab IV Bagian Keempat, pasal 44 sampai dengan pasal 48 Undang-Undang Pengadilan Pajak. Dalam hal Banding, Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 14 (empat belas)
hari
sejak
tanggal
diterimanya
Surat
Banding,
harus sudah
mengirimkan salinan Surat Banding kepada pihak Terbanding untuk meminta Surat Uraian Banding. Kemudian Terbanding dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat Uraian Banding, harus sudah menyerahkan Surat Uraian Banding. Selanjutnya salinan Surat Uraian Banding tersebut dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima, oleh Pengadilkan Pajak harus sudah dikinn kepada pihak Pemohon Banding. Pemohon Banding dalam jangka waktu 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal diterima salinan Surat Uraian Banding harus sudah menyampaikan Surat Bantahan. Oleh Pengadilan Pajak salinan Surat Bantahan dari Pemohon Banding dalam jangka waktu 14 (empatbelas) hari sejak tanggal diterimanya Surat Bantahan harus sudah dikirimkan kepada Terbanding. Dalam hal Gugatan, Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 14 ( empat belas)
14
hari
sejak
tanggal
diterimanya
Surat
Gugatan,
harus
sudah
Ibid. hal. 132
35
..
mengirimkan salinan Surat Gugatan kepada pihak Tergugat untuk meminta Surat Tanggapan. Kemudian Tergugat dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat Tanggapan, harus sudah menyerahkan Surat Tanggapan. Selanjutnya salinan Surat Tanggapan tersebut dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima, oleh Pengadilkan Pajak harus sudah dikirm kepada pihak Penggugat. Penggugat dalam jangka waktu 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal diterima salinan Surat Tanggapan harus sudah menyampaikan Surat Bantahan. Oleh Pengadilan Pajak salinan Surat Bantahan dari Penggugat dalam jangka waktu 14 (empatbelas) hari sejak tanggal diterimanya Surat Bantahan harus sudah dikirimkan kepada Tergugat Apabila Terbanding atau Tergugat, atau Pemohon Banding atau Penggugat tidak memenuhi ketentuan tersebut, Pengadilan Pajak tetap melanjutkan pemeriksaan banding atau gugatan. Dari ketentuan-ketentuan di atas terlihat bahwa para pihak yang bersengketa mesti mempersiapkan berbagai berkas untuk beracara di Pengadilan Pajak. Berkas-berkas tersebut diharapkan · dapat digunakan sebagai bahan awal pemeriksaan oleh hakim sebelum memasuki persidangan. Pengadilan meminta kepada
pihak
terbanding
atau
tergugat,
untuk
menyampaikan surat uraian banding atau surat tanggapan. Selanjutnya dari surat uraian banding atau surat tanggapan tersebut, Pengadilan meminta pihak pemohon banding atau penggugat untuk membuat surat bantahan . . Untuk keperluan pemeriksaan di persidangan, Ketua Pengadilan rnenunjuk Majelis yang terdiri dari 3 (tiga) orang Hakim atau Hakim Tunggal
36
untuk memeriksa atau memutus sengketa pajak. Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Majelis, Ketua menunjuk salah seorang Hakim sebagai Hakim Ketua yang memimpin pemeriksaan sengketa pajak. Majelis atau Hakim Tunggal bersidang pada hari yang ditentukan dan memberitahukan hari sidang dimaksud kepada pihak yang bersengketa. Majelis/Hakim Tunggal sudah mulai bersidang dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Banding. Dalam hal Gugatan, Majelis/Hakim Tunggal sudah memulai sidang dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Surat Gugatan.
5. Pemeriksaan di Persidangan Ketentuan mengenai pemeriksaan dengan acara biasa diatur dalam Bab IV Bagian Kelima, pasal 49 sampai dengan pasal 64, sedangkan pemeriksaan dengan acara cepat diatur dalam Bab IV Bagian Keenam, pasal 65 sarnpai dengan pasal 68 Undang-Undang Pengadilan Pajak. Untuk kepentingan pemeriksaan di persidangan, Ketua Pengadilan menunjuk Majelis untuk pemeriksaan dengan acara biasa, sedangkan pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan oleh Majelis atau Hakim Tunggal. Pemeriksaan
yang
dilakukan
keuntungan/kelebihan, antara lain 15 a. Pertimbangan
hukumnya
oleh
Majelis
memiliki
beberapa
:
setidak-tidaknya
menjadi
lebih
matang
mengingat pemeriksaan dilakukan secara bersama-sama seluruh anggota;
15
Ibid, hal. 138
37
b. Pengetahuan dan kemampuan hakim tentu secara umum menjadi lebih memadai dibandingkan dengan hakim tunggal; c. Menjadi relatiflebih kuat dalam menghadapi tekanan dari luar; d. Kemungkinan penyelewengan yang mempengaruhi putusan, secara teoritis akan lebih kecil, mengingat apabila salh satu anggota ada yang menyeleweng masih akan berhadapan dengan anggota yang lain. Pemeriksaan dengan acara biasa dilakukan oleh Majelis Hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum. Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Majelis melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan atau kejelasan berkas perkara banding atau gugatan. Kelengkapan berkas banding atau gugatan adalah kelengkapan mengenai ada atau tidak adanya fotocopy surat keputusan yang dibanding atau digugat. Sedang yang dimaksud dengan kejelasan banding atau gugatan adalah kejelasan atas alasan-alasan banding atau gugatan. Apabila banding atau gugatan tidak lengkap atau tidak jelas, sepanjang bukan merupakan persyaratan formal seperti surat banding atau gugatan harus menggunakan Bahasa Indonesia, terhadap satu keputusan/pelaksanaan penagihan diajukan satu surat banding/gugatan, dan pembayaran sebesar 50% (limapuluh persen) dari pajak terutang, kelengkapan dan atau kejelasan dimaksud dapat diberikan dalam persidangan. Untuk kelancaran persidangan, Majelis Hakim dapat memanggil pihak-pihak yang bersengketa. di Pengadilan Pajak, sifat pemanggilan terhadap pihak terbanding atau tergugat merupakan keharusan, sementara itu
38
untuk pihak pemohon banding atau penggugat bukan merupakan keharusan. Artinya, Ketua Majelis dapat memanggil pihak pemohon banding atau penggugat hanya apabila diperlukan untuk memberikan keterangan. Namun demikian pihak pemohon banding atau penggugat dapat memberitahukan kepada Ketua Majelis untuk hadir dalam persidangan guna memberikan keterangan lisan, dan Ketua Majelis akan memberitahukan hari dan tanggal persidangan kepada pemohon banding atau penggugat. Hakim Ketua menjelaskan masalah yang disengketakan kepada pihakpihak yang bersengketa. Kepada terbanding atau tergugat, Majelis Hakim .. dapat mengajukan pertanyaan mengenai hal-hal yang dikemukakan pemohon banding atau penggugat dalam Surat Banding atau Surat Gugatan dan dalam Surat Bantahan. Apabila Majelis memandang perlu, dalam hal pemohon banding atau penggugat hadir dipersidangan, Ketua Majelis dapat meminta pemohon banding atau penggugat memberikan keterangan yang diperlukan dalam penyelesaian sengketa pajak. Atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa, atau karena jabatan, Hakim Ketua dapat memerintahkan saksi untuk hadir dan didengar keterangannya dalam persidangan. Pemeriksaan sengketa pajak dengan acara cepat dilakukan terhadap : a. Sengketa pajak tertentu, yaitu sengketa sengketa berupa banding atau gugatan yang tidak memenuhi persyaratan formal banding ataupun persyaratan formal gugatan;
39
b. Gugatan yang diajukan selain atas keputusan pelaksanaan penagihan pajak yang tidak diputus dalam jangka waktu 6 ( enam) bulan dengan acara biasa sejak surat gugatan diterima; c. Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan mengenai persyaratan isi putusan atau kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung dalam putusan Pengadilan Pajak; d. Sengketa yang berdasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan wewenang Pengadilan Pajak.
Pemeriksaan dengan acara cepat terhadap sengketa pajak dilakukan tanpa Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan dari terbanding atau tergugat dan tanpa Surat Bantahan dari pemohon banding atau penggugat.
6. Pembuktian
Ketentuan mengenai pembuktian diatur dalam Bab IV Bagian Ketujuh, pasal 69 sampai dengan pasal 76 Undang-Undang Pengadilan Pajak. Alat bukti dapat berupa : surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan para saksi, pengakuan para pihak, dan atau pengetahuan Hakim. Pengadilan Pajak menganut prinsip pembuktian bebas. Majelis atau Hakim Tunggal sedapat mungkin mengusahakan bukti berupa surat atau tulisan sebelum menggunakan alat bukti lain. Pemeriksaan
alat
bukti
dilakukan
dalam
rangka
menentukan
kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam undang-undang
40
..
perpajakan. Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak. Dalam persidangan para pihak tetap dapat mengemukakan hal baru, yang dalam Banding atau Gugatan, Surat Uraian Banding atau Tanggapan, atau Bantahan, belum diungkapkan.
7. Putusan Pengadilan Pajak Ketentuan mengenai putusan diatur dalam Bab IV Bagian Kedelapan, pasal 77 sampai dengan pasal 85, dan mengenai pelaksanaan putusan diatur dalam Bab IV Bagian Kesembilan, pasal 86 sampai dengan pasal 88 UndangUndang Pengadilan Pajak. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan ini langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali putusan dimaksud menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. Dalam hal ini, Kepala Kantor Pelayanan Pajak masih harus menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak yang diperlukan pembayar pajak untuk dapat memperoleh kelebihan dimaksud. Putusan dalam sengketa pajak dengan acara biasa, terhadap perkara Banding harus sudah dijatuhkan oleh Hakim dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat banding diterima, dan apabila ada hal-hal
41
khusus dapat diperpanjang untuk paling lama 3 (tiga) bulan. Hal-hal yang khusus tersebut antara lain pembuktian sengketa rumit dan pemanggilan saksi memerlukan waktu yang lama. Sementara itu terhadap perkara Gugatan, putusan harus sudah dijatuhkan paling lama 6 (enam) bulan sejak gugatan diterima, dan apabila ada hal-hal khusus dapat diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan. Terhadap sengketa pajak tertentu yang diperiksa dengan acara cepat sebagaimana telah diuraikan sebelumnya diputus dalam jangka waktu 30 (tigapuluh) hari. Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan penilaian pembuktian, dan
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan
yang
bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim. Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Majelis, putusan diambil berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh Hakim Ketua dan apabila dalam musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan, maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Putusan Hakim yang tidak sepakat dengan putusan yang diambil harus dinyatakan dalam putusan Pengadilan Pajak. Putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Pajak baik dalam hal banding maupun gugatan dapat berupa : a. Menolak; b. Mengabulkan sebagian atau seluruhnya; c. Menambah pajak yang harus dibayar; d. Tidak dapat diterima;
42
..
e. Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; dan/atau f. Membatalkan.
Terhadap putusan Pengadilan Pajak tidak dapat lagi diajulan Gugatan, Banding, atau Kasasi. Putusan Pengadilan Pajak harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Salinan putusan atau salinan penetapan Pengadilan Pajak dikirim kepada para pihak dengan surat oleh Sekretaris dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan Pengadilan Pajak diucapkankan. Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh Pejabat yang berwenang. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan Pajak dalam jangka waktu tersebut, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku.
8. Peninjauan Kembali
Ketentuan mengenai pemeriksaan peninjauan kembali diatur dalam Bab IV Bagian Kesepuluh, pasal 89 sampai dengan pasal 93 Undang-Undang Pengadilan Pajak. Seperti dijelaskan sebelumnya, putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Meskipun demikian, pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Pengadian Pajak kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasanalasan khusus yang ditentukan dan pemeriksaan Peninjauan Kembali
43
dilakukan berdasarkan hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Agung.
B. Permasalahan dalam Penyelesaian Sengketa Pajak di Pengadilan Pajak
Permasalahan yang timbul dalam penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Ketentuan Membayar 50% (Limapuluh Persen) dari Jumlah Pajak yang
Terutang
Salah satu ketentuan Undang-Undang Peradilan Pajak yang tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah salah satu syarat pengajuan Banding di Pengadilan Pajak, apakah Wajib Pajak sebagai Pemohon Banding masih harus membayar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak yang terutang? Berdasarkan Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Pengadilan Pajak diatur bahwa dalam hal Banding diajukan terhadap besamya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen). Adanya keharusan membayar 50% (limapuluh persen) dari jumlah pajak yang terutang ini telah lama dirasakan merupakan syarat yang memberatkan Wajib Pajak yang berkehendak untuk menyelesaikan sengketa pajak melalui Pengadilan Pajak. Persyaratan keharusan membayar 50% (limapuluh persen) dari jumlah pajak terutang dari Wajib Pajak, sebelum 44
mengajukan permohonan banding, dianggap telah melanggar asas praduga tak bersalah. Tujuan Wajib
Pajak mengajukan permohonan banding ke
Pengadilan Pajak pada hakikatnya karena menolak penetapan pajak dari fiskus dan menolak keputusan keberatan yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak. Oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dianggap telah mengambil keputusan yang salah atau melanggar ketentuan hukum yang berlaku dalarn mengambil keputusan dan rnenentukan jumlah pajak terutang.
Oleh
karenanya Wajib Pajak memohon agar pengadilan mengeluarkan putusan agar rnembatalkan keputusan dari Direktur Jenderal Pajak dimaksud. Namun dengan adanya ketentuan keharusan membayar terlebih dahulu 50% (lima puluh persen) dari perhitungan kewajiban Wajib Pajak, berarti Wajib Pajak dianggap telah bersalah. Padahal keputusan tersebut belum atau akan diuji kebenarannya oleh hakim di pengadilan, artinya ada kemungkinan keputusan tersebut bertentangan dengan peraturan hukum dan harus dibatalkan. Sejalan dengan refonnasi di bidang perpajakan, Undang-Undang tentang Ketentuan Umurn dan Tata Cara Perpajakan (KUP) telah mengalarni perubahan, khususnya pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umurn dan Tata Cara Perpajakan. Di sisi lain Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak masih berlaku dan belum mengalami perubahan, sehingga seakan-akan ada ketentuan yang saling bertentangan antara Undang-Undang Pengadilan Pajak dan Undang-Undang
45
..
KUP dalam persyaratan keharusan membayar 50% (limapuluh persen) dari jumlah pajak yang terutang sebelum pengajuan banding. Jika dikaji lebih mendalam, sesuai dengan Undang-Undang KUP maka Wajib Pajak seharusnya tidak perlu membayar 50% tersebut selama Wajib Pajak memang tidak menyetujui koreksi pemeriksa pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Sebab sesuai dengan ketentuan yang ada, jumlah yang belum disetujui Wajib Pajak saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan belum termasuk sebagai utang pajak. Ketidaksetujuan Wajib Pajak ini dapat dilihat dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani baik oleh Wajib Pajak maupun pemeriksa pajak pada saat pemeriksaan pajak berakhir. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 36 ayat ( 4) UndangUndang Pengadilan Pajak dan Pasal 27 ayat (Sa), ayat (Sb) dan ayat (Sc) Undang-Undang KUP, sebagai berikut:
Pasal 36 ayat (4) VU Pengadilan Pajak: "Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (I), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam ha! Banding diajukan terhadap besarnya ium/ah Paiak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen)." Pasal 27 ayat (Sa) VU KVP:
46
"Dalam hal Wajib Pajak mengajukan Banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), Pasal 25 ayat (7), atas jumlalt pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan seiak tanggal penerbitan Putusan Banding. " Pasal 27 ayat (Sb) VV KVP: "Jumlan pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang paiak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (la)." Pasal 27 ayat (Sc) VV KVP: "Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan paiak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan. "
Merujuk
pada ketentuan Pasal 27 ayat (5a), (Sb) serta ayat (Sc)
Undang-Undang KUP, jumlah yang belum dibayar pada saat Keberatan tidak termasuk sebagai utang pajak dan pelunasannya tertangguh sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Menurut ketentuan Undang-Undang KUP tersebut jumlah koreksi yang belum disetujui oleh Wajib Pajak dianggap belum termasuk sebagai utang pajak, maka pada saat mengajukan permohonan Banding kepada Pengadilan Pajak, Wajib Pajak tidak perlu membayar 50% dari jumlah utarig pajak yang tercantum pada Surat Keputusan Keberatan. Meskipun Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang
47
Pengadilan Pajak tetap mewajibkan Wajib Pajak, namun secara matematis jumlah yang harus dibayar Wajib Pajak adalah 50% x jumlah Rupiah nihil atau sama dengan nihil.
2. Tempat Kedudukan Pengadilan Pajak di lbukota Negara
Saat ini Pengadilan Pajak tunggal dan bertempat kedudukan di ibukota negara di Jakarta. Akibatnya, terjadi kesulitan akses dan biaya tinggi bagi sebagian wajib pajak yang hendak mencari keadilan di bidang perpajakan yang berasal dari luar wilayah Jakarta. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Pengadilan Pajak dikatakan bahwa penyelesaian sengketa pajak harus dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana. Salah satu pencapaian ideal sebuah pengadilan adalah kemudahan akses bagi para pencari keadilan. Penyelesaian sengketa pajak dilakukan berdasarkan asas efisiensi dan efektivitas
dan
dapat
dijangkau
oleh
masyarakat,
tetapi
tidak
mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, tidak seharusnya wajib pajak menanggung biaya berperkara yang tinggi seperti biaya material, biaya transportasi dan akomodasi dan biaya psikologis dengan keberadaan Pengadilan Pajak yang berkedudukan satu-satunya di Jakarta, terlebih dengan memperhatikan kondisi geografis dan infrastruktur di Indonesia. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Pengadilan Pajak diatur Sidang Pengadilan Pajak dilakukan ditempat kedudukannya dan apabila dipandang
48
..
perlu
dapat
dilakukan
ditempat
lain.
Dengan
kata
lain
dapat
diselenggarakannya persidangan Pengadilan Pajak yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan di manapun di wilayah Indonesia jika dipandang perlu. Sebagai implementasi dari pasal 4 Undang-Undang Pengadilan Pajak, untuk memperlancar dan mempercepat proses penanganan sengketa pajak maka mulai tanggal 7 Juni 2012 tel ah dirnulai penyelenggaraan sidang di luar tempat kedudukan Pengadilan Pajak, yaitu di Yogyakarta. Menyusul 14 Maret 2013 di Surabaya, tahun 2014 di Medan, dan rencana selanjutnya di Makasar. Tempat persidangan di Yogyakarta untuk wajib pajak yang berdomisili di Jawa Tengah dan Y ogyakarta. Sedangkan di Surabaya untuk wajib pajak yang berdomisili di Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Tempat persidangan di Medan untuk wilayah Sumatera, kecuali Lampung yang tetap di Jakarta. Dengan adanya tempat sidang pengadilan pajak di sejumlah daerah ini, diharapkan beban wajib pajak akan berkurang terkait dengan ongkos atau biaya perjalanan pengurusan sengketa pajak. Penyelenggaraan sidang di luar tempat kedudukan Pengadilan Pajak di beberapa daerah memang sedikit banyak mengurangi beban Wajib Pajak dalam penyelesaian sengketa pajak di Pengadilan Pajak. Namun tempatnya juga masih terbatas dibandingkan dengan luas geografis wilayah Indonesia. Terlebih ada persoalan pada jumlah hakim dan sumber daya pendukung penyelenggara Pengadilan Pajak akan kebutuhan tersebut. Selama ini untuk sidang di luar Jakarta hakim yang bertugas hams terbang dari Jakarta karena
49
memang sampai sekarang berdasar Undang-Undang Pengadilan Pajak, Pengadilan Pajak berkedudukan di ibukota Negara, di Jakarta. Dipandang perlu untuk mengkaji ulang dan merancang perubahan atas Undang-Undang Pengadilan Pajak. Institusi peradilan secara tempat dan kedudukan harus berada dekat dengan para pencari keadilan, dan seyogyanya menyesuaikan keterwakilan dari domisili para wajib pajak. Untuk mencapai pengadilan yang ideal maka rumusannya adalah Pengadilan Pajak berada di setiap ibukota provinsi.
3. J angka Waktu Bera car a di Pengadilan Pajak Penyelesaian sengketa pajak harus dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana. Pasal 81 UndangUndang Pengadilan Pajak menerangkan bahwa putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Banding diambil dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima. Dalam hal-hal khusus, jangka waktu tersebut dipe1:Panjang paling lama 3 (tiga) bulan. Lamanya jangka waktu beracara di Pengadilan Pajak akan menjadi kontradiksi dengan penerapan asas pemeriksaan cepat, murah dan sederhana. Kontradiksi ini dilihat dari kesimpulan bahwa maksimal waktu yang dibutuhkan adalah 18 (delapanbelas) bulan. Hal ini dihitung dari waktu maksimal pengajuan banding selama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat keputusan
keberatan
yang dimohonkan
banding,
ditambah
i5
(limabelas) bulan waktu maksimal yang diberikan kepada hakim untu
50
menjatuhkan putusan. Jangka waktu maksimal 18 ( delapan belas) bulan ini hanya pada pemeriksaan di Pengadilan Pajak. Ditambah lagi dengan jarak waktu antara tanggal Putusan dengan tanggal Sidang Pengucapan Putusan. Upaya untuk mengatasi lamanya jangka waktu beracara di Pengadilan Pajak dapat dilakukan melalui perubahan dalam Hukum Acara UndangUndang Pengadilan Pajak atau diatur dalam mekanisme teknis Tata Tertib Persidangan. Sistem pemeriksaan majelis hakim dapat dibuat sistematis dan cepat. J angka waktu putusan pemeriksaan acara biasa dapat dipangkas menjadi 6 (enam) bulan. Waktu atas pemeriksaan perdidangan, pengambilan keterangan dan bukti-bukti dari pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang pemeriksaan dapat direncanakan dan diatur selaras dengan asas peradilan yang cepat, murah dan sederhana.
4. Tidak Ada Kewajiban
Hadir Dalam Persidangan bagi Pemohon
Banding/Penggugat
Proses penyelesaian sengketa pajak rrielalui Pengadilan Pajak hanya mewajibkan kehadiran terbanding atau tergugat, sedangkan pemohon banding atau penggugat dapat menghadiri persidangan atas kehendaknya sendiri, kecuali apabila dipanggil oleh Hakim atas dasar alasan yang cukup jelas. Berdasarkan Pasal 46 Undang-Undang Pengadilan Pajak disebutkan bahwa pemohon banding atau penggugat dapat memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Pajak untuk hadir dalam persiapan untuk memberikan keterangan lisan.
Kata-kata "dapat" mengandung arti bahwa tidak ada
51
...
kewajiban hakim untuk menghadirkannya dipersidangan.dengan demikian pemohon banding atau penggugat tidak mutlak mempunyai hak untuk hadir dipersidangan, karena dengan kata-kata dapat tersebut keputusan untuk bisa hadir atau tidak pemohon banding atau penggugat dipersidangan ditentukan oleh Hakim, berdasarkan perlu atau tidaknya pemohon banding atau penggugat dimintakan keterangannya dipersidangan. Dengan demikian, pemeriksaan dalam persidangan lebih merupakan pemeriksaan berkas-berkas saja.
Hal demikian dapat berpotensi untuk melanggar hak Wajib Pajak selaku pemohon banding atau penggugat untuk membela kepentingannya semaksimal mungkin dengan menyampaikan pendapatnya secara lisan dipersidangan. Kehadiran pemohon banding dan penggugat sebaiknya dijadikan sebagai suatu tugas yang merupakan hal wajib bagi para hakim agar para pencari keadilan di bidang perpajakan dapat membela diri mereka secara langsung.
52
.
BABV
PENUTUP A. Kesimpulan
Dari keseluruhan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak. 2. Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak. Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan Keberatan. Sedangkan dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya selain yang ditetapkan dalam aturan keberatan. 3. Pengadilan Pajak
bertempat kedudukan di ibukota negara, di Jakarta.
Sidang Pengadilan Pajak dilakukan ditempat kedudukannya dan apabila dipandang perlu dapat dilakukan di tempat lain. Sebagai implementasi dari ketentuan tersebut dan untuk memperlancar dan mempercepat proses penanganan sengketa pajak maka telah dimulai penyelenggaraan sidang di luar tempat kedudukan Pengadilan Pajak, yaitu di Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan selanjutnya di Makasar.
53
4. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Meskipun demikian, pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali atas putusan Pengadian Pajak kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan khusus yang ditentukan dan pemeriksaan Peninjauan Kembali dilakukan berdasarkan hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Agung.
B. Saran-Saran
Saran-saran yang dapat disampaikan sebagai hasil pembahasan adalah : 1. Asas penyelesaian sengketa pajak dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana belum sepenuhnya terlaksana maka diharapkan ke depan kinerja Pengadilan Pajak lebih ditingkatkan dengan
melakukan
perubahan/penyempurnaan
Undang-Undang
Pengadilan Pajak dan menyempurnakan tata tertib dan teknik pemeriksaan sengketa pajak, 2. Masih terbatasnya tempat penyelenggaraan sidang di luar tempat kedudukan Pengadilan Pajak dibandingkan dengan luas geografis wilayah Indonesia. Dipandang perlu untuk menambah tempat penyelenggaraan sidang di luar tempat kedudukan Pengadilan Pajak atau mengkaji ulang guna mencapai pengadilan yang ideal dari segi keterwakilan dari domisili para wajib pajak maka perlu dikaji keberadaan Pengadilan Pajak di setiap ibukota provinsi.
54
3. Perlu penanganan pada persoalan jumlah hakim dan kebutuhan sumber daya pendukung penyelenggara Pengadilan Pajak. Peningkatan Sumber Daya Manusia dalam lingkup Pengadilan Pajak sebaiknya dilakukan secara intensif dan berkelanjutan.
55
DAFTARPUSTAKA
Buku: Ali Purwito M. dan Rukiah Komariah, Pengadilan Pajak- Proses Keberatan dan Banding, (Jakarta : Lembaga Kajian Hukum Fiskal, FH UI, 2007) H. Bahdin Nur Tanjung dan H. Ardial, Pedoman Penulisan Karya Ilmiab (Proposal, Skripsi, dan Tesis) dan Mempersiapkan Diri Menjadi Penulis Artikel Ilmiah, (Jakarta: Kencana, 2010) Kumpulan Putusan Pengadilan Pajak Periode 2007-2011 (Seri I), (Jakarta Departement Litbang & Standart Profesi IKPI, 2012) Muhammad Sukri Subki dan Djumadi, Menyelesaikan Sengketa Melalui Pengadilan Pajak, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007 Satjipto Rahardjo, llmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006) R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar llmu Hukum Pajak, (Bandung 1998)
Reflika,
Tim SmarTaxes Series, Studi Kasus Banding Pengadilan Pajak II, (Jakarta, Semar Publishing, 2009) Wirawan B. Byas dan Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta : Salemba, 2007) Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, (Yogyakarta : Andi, 2009) Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2009) Internet: AR
Muhammad, Mau Banding Hanis Bayar 50% Dulu?,
, diakses 14 Januari 2014
Banding di Pengadilan Pajak, Blog Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, , diakses 07 Februari 2014 Banding
di Pengadilan Pajak, Websites Sekretariat Pengadilan Pajak, , diakses 07 Februari 2014
56
,,
Gugatan
di Pengadilan Pajak, Websites Sekretariat Pengadilan Pajak, , diakses 07 Februari 2014
Gugatan Wajib Pajak Meningkat, Pengadilan Pajak Ditambah, Websites Direktorat Jenderal Pajak, , diakses 25 Februari 2014 Memupuk Harapan Terhadap Pengadilan Pajak, Websites Direktorat Jenderal Pajak, , diakses 25 Februari 2014 Sengketa Pajak di Pengadilan Pajak, Websites Sekretariat Pengadilan Pajak, , diakses 07 Februari 2014. Peraturan Perundang-undangan : ..c-
Peraturan Ketua Pengadilan Pajak Nomor : PER-001/PP/2010 Tentang Tata Tertib Persidangan Pengadilan Pajak Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.0112012 Tentang Persyaratan . Untuk Menjadi Kuasa Hukum Pada Pengadilan Pajak Susunan Dalam Satu Naskah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan Sebagaimana Te/ah Diubali Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, (Jakarta : Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Humas - Direktorat Jenderal Pajak, 2011) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tanggal 12 April 2002 Tentang Pengadilan Pajak, (Jakarta : Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Hurnas - Direktorat Jenderal Pajak, 2011) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tanggal 17 Juli 2007 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
57
f I