LAPORAN HASIL PENELITIAN
PERBANDINGAN REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM ANTIGONE KARYA SOPHOCLES DAN CIK PUAN KARYA HAJI SUHAIMI OLEH
1. ESSY SYAM 2. MOHD. FAUZI 3. ULUL AZMI Penelitian ini dibiayai oleh APBF Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Lancang Kuning, sesuai dengan surat perjanjian pelaksanaan Penelitian nomor: 1110 /Unilak-06/B.07/2013
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS LANCANG KUNING PEKANBARU 2013
HALAMAN PENGESAHAN 1. Judul Penelitian
: Perbandingan Representasi Perempuan dalam Antigone karya Sophocles Dan Cik Puan Karya Haji Suhaimi. : Sastra/ Filsafat
2. Bidang Ilmu 3. Ketua Pelaksana a. Nama lengkap b. Jenis Kelamin c. NIK d. Pangkat/Golongan e. Jabatan f. Fakultas/Jurusan g. Alamat h. Telp 4. Alamat Rumah 5. Lokasi Kegiatan 6. Biaya
: Dra. Essy Syam, M.Hum : Perempuan : 96 011 32 : III.d/Lektor :: Ilmu Budaya/ Sastra Inggris : Jl. D.I. Panjaitan, Km 8 Rumbai : 0761-53536/ 081365674556 : Jl. Rindang no 44,Pekanbaru : Fakultas Ilmu Budaya Unilak, Pekanbaru : Rp. 2.500.000,-
Pekanbaru, Mengetahui Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas lancang Kuning
Ketua Peneliti
Dr. Junaidi, S.S.,M.Hum NIK: 00 01 183
Dra. Essy Syam, M.Hum NIK: 96 011 32
Menyetujui Ketua Lembaga Penelitian dan pengabdian Masyarakat ( LPPM) Universitas lancang Kuning
Dr. Ervayenri, M.Si NIP 196208141992031002
RINGKASAN Kajian ini menrupakan kajian deskriptif analisis yang membandingkan dua buah karya sastra berjudul Antigone karya Sophocles dan Cik Puan karya Haji Suhaimi. Kajian ini memfokuskan diri pada perbandingan representasi perempuan dalam kedua karya tersebut. Hasil kajian menunjukkan bahwa perempuan Yunani direpresentasikan dengan representasi yang positif. Dalam hal ini ditemukan bahwa perempuan Yunani dilabeli dengan stereotipe yang positif seperti berani, tegas, berpendirian kuat dan penih kasih sayang. Representasi ini menempatkan perempuan Yunani sebagai sosok dengan kualiats diri yang baik, namun di saat yang sama, karya ini juga merepresentasikan perempuan Yunani sebagai sosok yang lemah sehingga dengan kelemahanynya itu ia tidak dapat dan tidak siap menerima konsekuensi hukuman yang harus ia terima sebagai akibat dari tindakannya. Representasi ini secara ideologis ingin memperlihatkan bahawa betapapun bagus kualitas diri seorang perempuan, perempuan tetaplah sosok yang lemah yang memerlukan laki-laki untuk menguatkannya. Jadi, secara ideologis, representasi ini mempertegas inferioritas perempuan, walaupun di permukaannnya, seolah-olah teks ini memperlihatkan kekuatan dan kualitas baik perempuan.Di sisi lain, dalam Cik Puan, representasi perempuan Melayu tidak sebaik representasi perempuan Yunani. Walaupun perempuan Melayu direpresentasikan sebagai sosok yang pintar, berani dan berpendirian kuat, namun karya ini lebih tegas memperlihatkan representasi negatif. Perempuan Melayu direpresentasikan sebagai perempuan yang licik, kasar dan ambisius. Dengan kelicikan dan dan ambisinya ia menimbulkan kekacauan dalam kerajaannya. Secara ideologis, representasi ini menempatkan perempuan pada posisi yang kurang menguntungkan sehingga menimbulkan persepsi bahwa seorang perempuan tidak boleh diberi kekuasaan karena ia cendrung menyalah gunakan kekuasaan dan posisinya yang berpengaruh itu.
SUMMARY It is a descriptive analysis which compares two literary works entitle Antigone written by Sophocles and Cik Puan written by Haji Suhaimi. The focus of this analysis is comparing the representations of women in both works. The result shows that in Greek society, woman is represented with positive representations. In this case, the Greek woman is labelled with positive stereotypes such as brave, smart, assertive and affcetionate person. These representations place Greek woman as a figure with good qualities. Meanwhile, in the same time, the work also represents the Greek woman as a weak person in which with her weakness, she can’t stand with the consequence of her action. Ideologically, this representation shows that no matter how good the qualities a woman posseses, she is a weak person who needs a man to make her strong. So, ideologically, this representation strengthens woman’s inferiority, eventhough on the surface, the work presents woman with her strength and good qualities. In other side, the representation of Malay woman found in Cik Puan, is not as positive as those found in Antigone. Cik Puan represents woman as smart, brave and determined person. Anyhow, this work clearly shows negative representation of Malay woman. It clearly shows that Malay woman is cunning, rude and ambitious. With her cunningness and her ambition, she troubles other people’s lives. Ideologically, this representations put woman in disadvantageous position in which it leads to perception that woman may not be given power because she tends to misuse those power and high position.
SUMMARY This study compares two literary works entitle Antigone written by Sophocles and Cik Puan written by Haji Suhaimi. The focus of this study is to compare the representations of women whic are reflected in both works. It is a descriptive analysis in which the result shows that in Greek society, woman is represented with positive representations. In this case, the Greek woman is labelled with positive stereotypes such as bravem smart, assertive and affcetionate person. These representations place Greek woman as a figure with good qualities. Meanwhile, in the same time, the work also represents the Greek woman as a weak person in which with her weakness, she can‟t stand with the consequence of her action. Ideologically, this representation shows that no matter how good the qualities a woman posseses, she is a weak person who needs a man to make her strong. So, ideologically, this representation strengthens woman‟s onferiority, eventhough on the surface, the work presents woman with her strength and good qialities. In other side, the representation of Malay woman found in Cik Puan, is not as positive as those
found in Antigone. Cik Puan represents woman as smart, brave and
determined person. Anyhow, this work clearly shows negative representation of Malay woman. It clearly shows that Malay woman is cunning, rude and ambitious. With her cunningness and her ambition, she troubles other people‟s lives. Ideologically, this
PRAKATA Puji sykur ke hadirat Allah STW karena dengan rahmat dan karunianya, kami dapat menyelesaikan kajian ini yang berjudul “ Perbandingan Representasi Perempuan Yang Tergambar Dalam Antigone karya Sophocles dan Cik Puan karya Haji Suhaimi. Pada kesempatan ini, kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak Universitas lancang Kuning yang telah memfasilitasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian masyarakat Universitas Lancang Kuning dalam hal pengawasan dan pelaksanaan Tri dharma perguruan tinggi. Selanjutnya terima kasih kami sampaikan kepada Fakultas Ilmu Budaya sebagai penyandang dana untuk kelancaran kajian ini. terakhir kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Kami berharap agar kajian yang kami lakukan ini dapat bermanfaat bagi kami dan bagi kajian selanjutnya.
Pekanbaru, januari 2014
Tim pelaksana
DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................................i RINGKASAN DAN SUMMARY.............................................................................................ii PRAKATA................................................................................................................................iii DAFTAR ISI.............................................................................................................................iv BAB 1. PENDAHULUAN .....................................................................................................1 BAB 2. . PERUMUSAN MASALAH......................................................................................3 BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN...............................................................4 BAB 4. TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................5 BAB 5. METODE PENELITIAN............................................................................................11 BAB 6. PEMBAHASAN ........................................................................................................12 BAB 7, SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................................21 DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................23 LAMPIRAN............................................................................................................................24
BAB 1. PENDAHULUAN Seorang perempuan memiliki peran, tugas, tanggung jawab dan posisi dalam suatu masyarakat dan budaya tertentu. Perbedaan kondisi masyarakat dan budaya ini menempatkan perempuan pada posisi yang berbeda pula. Posisi seorang perempuan ini menentukan bagaimana perempuan tersebut diperlakukan oleh masyarakatnya. Salah satu bentuk perlakuan yang umum ditemukan adalah menampilkan atau merepresentasi perempuan dengan citra atau imej tertentu dengan tujuan tertentu pula. Dalam banyak hal, representasi perempuan dilakukan untuk mensosialisasikan kedudukan perempuan dalam relasinya dengan laki-laki. Dalam hal ini banyak ditemukan representasi yang menempatkan perempuan dalam kondisi yang lebih rendah dari laki-laki sehingga representasi yang diciptakan itu menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan. Representasi perempuan itu diciptakan lewat berbagai media dengan berbagai versi dan tujuan untuk membuat masyarakat meyakini kebenaran representasi tersebut dan di saat yang sama untuk meyakinkan perempuan untuk menghayati posisinya sesuai dengan representasi yang diciptakan tersebut. Representasi menciptakan makna karena itulah suatu representasi memiliki peran yang besar dalam menciptakan makna atau pemahaman tertentu. Demikian pula representasi perempuan. Perempuan direpresentasikan dengan representasi tertentu untuk tujuan tertentu. Dalam
berbagai
representasi
yang
dilakukan
terhadap
perempuan,
sebagian
merepresentasikan perempuan dengan representasi yang kurang positif karena kekuasaan berada di tangan laki-laki sehingga dengan representasi yang tidak positif itu kaum laki-laki diuntungkan. Dengan representasi perempuan dilabeli dengan stereotipe tertentu sehingga menempatkan perempuan pada posisi yang lemah. Dalam masyarakat Eropa, banyak ditemukan representasi perempuan dalam berbagai media sebagai upaya mengkondisikan perempuan
pada peran dan statusnya sebagai
pendamping laki-laki dan dalam hal ini perempuan dikondisikan untuk menghayati perannya tersebut. Demikian pula halnya representasi perempuan dalam masyarakat Melayu. Perempuan Melayu juga dikondisikan untuk menerima kelemahan posisinya dibandingkan laki-laki,
walaupun
banyak
juga
karya-karya
dalam
masyarakat
Melayu
yang
merepresentasikan perempuan dengan representasi yang membongkar representasi yang universal yang dianggap stabil tersebut.
Terkait dengan hal di atas, penelitian ini menyorot representasi perempuan dalam masyarakat Eropa yang tergambar dalam sebuah karya berjudul Antigone yang ditulis oleh Sophocles dan membandingkan representasi perempuan Melayu yang tergambar dalam sebuah karya yang berjudul Cik Puan yang ditulis oleh Haji Suhaimi.
BAB 2. PERUMUSAN MASALAH Sejalan dengan apa yang dipaparkan dalam bab Pendahuluan, penelitian ini memfokuskan diri untuk membandingkan representasi perempuan yang tergambar dari dua buah karya yang berjudul Antigone yang ditulis oleh Sophocles dan Cik Puan yang ditulis oleh Haji Suhaimi. Kajian ini menganalisis representasi perempuan dalam masyarakat yang berbeda. Analisis ini memperlihatkan persamaan dan perbedaan representasi perempuan dalam dua masyarakat yang berbeda tersebut, dengan demikian kajian ini merupakan suatu kajian komparasi
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. TUJUAN Analisis ini bertujuan : a. Menggambarkan representasi perempuan dalam sebuah karya sastra berjudul Antigone karya Sophocles b. Menggambarkan representasi perempuan dalam sebuah karya sastra berjudul Cik Puan karya Haji Suhaimi c. Membandingkan representasi perempuan dalam Antigone dan Cik Puan
2. MANFAAT 1. Terrumuskan reprsentasi perempuan dalam drama Antigone karya Sophocles dan dalam drama Cik Puan karya Haji Suhaimi. 2. Terrumuskan perbandingan representasi perempuan Yunani dan perempuan Melayu dalam kedua karya tersebut di atas.
BAB 4. TINJAUAN PUSTAKA 1. Representasi Bila kita berbicara tentang representasi, ada dua hal yang saling terkait, yaitu representatif
( orang yang merepresentasikan orang lain) dan represented ( orang yang
direpresentasikan). Dasar teori representasi mengatakn bahwa “representation may be defined mostly as a relation between two persons, the representative and the represented or constituent, with the representative holding the authority to perform various actions that incorporate the agreement of the represented.”( Gracia, hal 461 ). Dengan demikian, representatif memiliki kekuasaan untuk menampilkan apa yang ingin ditampilkannya sesuai dengan persepsinya. Lebih jauh lagi, Stuart Hall mendefinisikan representasi sebagai “penciptaan makna melalui bahasa.” Lebih jelasnya Hall mengungkapkan bahwa representasi merupakan “ the production of meaning of concepts in our minds through language.” ( Hall, 16-17) Agar penciptaan makna dalam representasi melalui bahasa ini dapat berjalan, Hall menawarkan tiga pendekatan: (1) Pendekatan Reflektif ( Reflective approach) yang disebut juga pendekatan mimetik, beranggapan bahwa makna terdapat dalam objek, manusia, gagasan, atau kejadian dalam dunia nyata dan bahasa berfungsi sebagai cermin yang merefleksikan makna
sesungguhnya yang sudah ada. (2) Pendekatan Intensional
( Intentional approach ) menekankan pada pengarang ( the author) atau speaker
yang
mendefenisikan makna. (3) Pendekatan Konstruksionis ( Constructionist approach) mengatakan bahwa pelaku sosial yang mempergunakan sistem konsep dan budayanyalah yang mnegkonstruksi makna. Pendekatan ini menyuguhkan hubungan yang kompleks antara benda-benda, konsep, dan bahasa. Berbeda dari pendekatan semiotik yang mendefenisikan representasi dengan menekankan bagaimana kata berfungsi sebagai tanda di dalam bahasa. Sedangkan di dalam budaya, makna tergantung pada unsur-unsur yang lebih luas, pada seluruh diskursus melalui berbagai variasi teks yang menempatkan representasi sebagai sumber “ the production of social knowledge.” Yang berhubungan dengan berbagai cara praktek-praktek sosial dan mempertanyakan kekuasaan. Pendekatan Konstruksionis sejalan dengan konsep representasi yang digagas oleh Foucault yang mengemukakan bahwa representasi adalah “ the production of knowledge through discourse.” Dalam hal ini Foucault mendefenisikan diskursus ( discourse ) sebagai “ group of statements which provide
a language for talking about – a way of representing the language about- a particular topic at a particular historical language.” Selanjutnya Foucault menekankan pentingnya diskursus dalam penciptaan makna, bahwa tidak satupun hadir di luar diskursus, karena tidak ada yang bermakna di luar diskursus. Foucault tidak menolak keberadaan objek fisik, namun objek-objek itu baru bermakna di dalam diskursus. Dengan demikian representasi itu adalah suatu proses, dimana pelaku budaya menggunakan bahasa untuk menciptakan makna. Benda, objek, manusia dan kejadian tidak memiliki makna dalam dirinya sendiri, masyarakat di dalam budayanyalah yang memaknainya. Apa yang dikemukakan perspektif konstruksionis mendukung apa yang dikemukakan oleh Foucault yang mengatakan bahwa representasi merupakan penciptaan makna dengan melibatkan hubungan antara tiga hal yaitu; (1) benda-benda, manusia, kejadian, pengalaman, (2) konsep yang terdapat dalam pemikiran, dan (3) tanda, yang tersusun di dalam bahasa yang mengkomunikasikan konsep-konsep itu. Dipengaruhi oleh Foucault, konsep representasi juga dikemukakan oleh Edward. W. Said dalam karyanya “Órientalism: Western Conception of the Orient.” Di sini, Said mengemukana bagaimana Barat beranggapan bahwa Timur tidak dapat merepresentasikan dirinya sendiri dan karena itu merupakan tugas Barat untuk merepresentasikan Timur. Representasi yang dilakukan Barat menempatkan Timur sebagai the other( yang lain ) yang merupakan upaya untuk mengontrol Timur dan untuk membuat Timur menghayati diri sesuai dengan representasi cintaan Barat tersebut. Dengan menempatkan Timur sebagai the other yang harus dikontrol, Barat mengukuhkan superioritasnya sebagai pengontrol dan di saat yang sama mengukuhkan pula posisi Timur
yang inferior. Dalam uraiannya Said
menjelaskan bahwa,” European culture gained its strength and identity by setting itself off against the Orient as a sort of surrogate and even underground self.” ( Said: 3) Pada saat yang bersamaan, representasi juga menciptakan citra ( image) atau stereotipe yang melekat pada yang direpresentasikan sebagai upaya memberi label. Pemberian label ini bertujuan melemahkan represented dan mengukuhkan representatif. Dalam tulisannya, Edward Said mempertegas bahawa,” Orientalism can also express the strength of the West and the Orient‟s weakness – as seen by the West.”( Said: 45). Dari apa yang diungkapkan Said ini, kita dapat melihat bagaimana Barat menciptakan stereotipe Timur dan di saat yang sama menciptakan stereotip untuk dirinya, “ The Orient is irrational, depraved ( fallen),
childlike, “different,” thus the European is rational, virtuous, mature, “normal.” ( Said: 40) Stereotipe ini menciptakan identitas Timur yang bukan merupakan usahanya sendiri, tapi sebagai manipulasi Barat. Dengan melihat besarnya pengaruh penciptaan stereotip itu, suatu representasi dapat menjadi alat untuk mendeskriditkan seseorang (kelompok ). Karena itulah suatu representasi dapat menjadi kajian yang penting karena suatu citra dapat dikonstruksi melalui representasi lalu direkonstruksi melalui representasi yang lain.
2. Ideologi Bila kita berbicara tentang representasi kita tidak dapat terlepas dari membicarakan tentang ideologi karena suatu teks yang merepresentasikan sesuatu tidak pernah tidak memiliki konsekuensi ( never without consequences)( Storey: 5).Hal ini terjadi karena “ texts are said to take sides, consciously or unconsciously.” Oleh sebab itulah “ all texts are ultimately political.” Dengan demikian dapat dipastikan ada ideologi yang ingin disampaikan oleh sebuah teks karena teks adalah “ a site on which ideological struggles are acted out.” (Barry: 195) Terdapat beberapa pengertian ideologi yang dikemukakan oleh Storey. Pertama, ideologi diartikan sebagai seperangkat ide atau gagasan yang sistematis yang dianut oleh sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Kedua, ideologi adalah suatu penciptaan topeng ( masking, distortion, concealment) dimana ideologi ini menciptakan kesadaran palsu ( false consciousness) karena ideologi ini menyembunyikan realitas sehingga kelompok dominan tidak melihat diri mereka sebagai kelompok yang mendominasi dan mengopresi, demikian pula sebaliknya, kelompok minoritas tidak menyadari diri mereka didominasi dan diopresi karena adanya realitas dominasi yang disembunyikan itu. ketiga, bentuk ideologis ( ideological forms) yang menunjukkan pada cara-cara teks tertentu ( seperti televisi, lagu pop, novel, film, dll ) dalam menampilkan citra tertentu dalam memandang dunia. Keempat, ideologi tidak diartikan sebagai gagasan, namun sebagai praktek nyata sehari-hari ( material practice). Pengertian ini menekankan pada prilaku sehari-hari yang dapat ditangkap oleh panca indera. Pengertian ini menggaris bawahi kebiasaan-kebiasaan dan ritual-ritual tertentu yang memiliki kekuatan dan mengikat masyarakat pada tatanan sosial. Kelima, pengertian ideologi dikemukakan oleh Roland Barthes dengan mengatakan bahwa ideologi bekerja pada
penciptaan konotasi. Penciptaan konotasi ini merupakan penciptaan makna sekunder melalui teks-teks atau praktek-praktek yang diproduksi orang. Penciptaan konotasi ini
disebut
Barthes sebagai “mitos.” Melalui representasi yang ditampilkan oleh suatu teks, ideologi bekerja tanpa disadari karena kebradaan ideologi itu tersembunyi dan terintegrasi di dalam teks sehingga tidak mudah untuk diidentifikasi.
Ideologi beroperasi dengan cara yang sangat tersamar dan
didukung serta disetujui oleh mereka yang terdominasi, yang oleh Antonio Gramsci disebut dengan “hegemoni.” Dominasi yang bekerja secara tersamar ini menciptakan topeng sebagai kesadaran palsu di balik representasi yang ditampilkan sebagai propaganda yang terdapat di dalam teks sebagai media beroperasinya.
3. Feminisme Feminisme berasal dari bahasa Latin femina yang berarti “ memiliki kualitas perempuan.”( Tuttle: 105 ) Istilah ini kemudian digunakan untuk menuntut persamaan hak dan merupakan suatu gerakan yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Feminsime terinspirasi dari sebuah persepsi bahwa ada yang salah dalam perlakuan masyarakat terhadap perempuan. Karena itulah feminisme mencoba menganalisis alasan dan dimensi yang menyebabkan opresi terhadap perempuan selain untuk mendapatkan kebebasan perempuan. Bagi sebagian feminis, kebebsan berarti “social equality with men.” (Tuttle: 105). Perjuangan feminis bertujuan meningkatkan status perempuan sejajar dengan laki-laki. Salah satu jalan unutk mendapatkan kesejajaran itu adalah dengan membebaskan perempuan dari ikatan domestik atau ikatan keluarga. Para feminis awal mengalami banyak kendala dalam memperjuangkannya karena pada masa itu masyarakat masih sangat terikat dengan tradisi dan nilai-nilai yang sangat kuat. Niali-nilai itu mewajibkan perempuan unutk menjaga kemurnian, menjadi pasif dan pasrah, dan rajin mengurus keluarga. Selain itu, perjuangan feminis kemudian dilanjutkan dibidang pendidikan, ekonomi dan politik yang akhirnya berhasil mereka dapatkan pada tahun 1893. Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi baik organisasi sosial maupun organisasi politik seperti ASU ( Amalgated Shearers‟ Union), yang
bertujuan menciptakan hubungan yang harmonis antara majikan dan pekerja. WCTU ( Women‟s Christian Temperance Union) yang menetang eksploitasi perempuan. WCTU, kemudian berkolaborasi dengan suffragists memperjuangkan isu-isu perempuan, bantuan hukum, akses mendapatkan pekerjaan, dan masalah seksual. Dalam perkembangan selanjutnya, perempuan mendapat hak untuk mengajukan perceraian, berpartisipasi dalam perang, terlibat dalam pemerintahan seperti menjadi senator, dan yang terakhir munculnya kelompok lesbian yang keberadaannya mulai populer pada tahun 1992.(Grimshaw: 151-279) Pada tahun 1970, seorang aktifis feminis Australia, Germaine Greer menerbitkan bukunya The Female Eunuch yang menandai dimulainya gerakan feminis gelombang kedua. Buku ini menekankan pada seksualitas dan tanggung jawab setiap perempuan secara individu untuk menolak kondisi sosial yang dikonstruksi oleh laki-laki melalui institusi yang patriakhis seperti pernikhan dan keluarga. Lebih detil lagi, buku ini menyarankan perempuan menemukan seksualitas mereka sendiri sehingga mereka dapat menolak dominasi dan opresi yang mereka alami sehingga mereka dapat hidup dengan cara yang mereka pilih. Perjuangan feminis gelombang kedua ini memberikan dampak yang dalam seluruh aspek kehidupan. Salah satu dampaknya adalah berkembangnya kritik sastra feminis. Kritik ini mempertanyakan teks-teks lama sebagai upaya merevisi. Kritik ini bertujuan menggali, menganalisis dan mengapresiasi karya-karya yang ditulis oleh penulis perempuan pada masa lalu dan selain itu juga mengevaluasi ulang karya-karya yang ditulis oleh penulis laki-laki dari perspektif perempuan dan di saat yang sama mencari teks-teks yang seksis. Selain itu, perjuangan feminis juga mendasari munculnya slogan “ personal is political” yang melihat dikotomi yang memisahkan wilayah publik dan wilayah domestik sebagai kondisi yang merugikan perempuan. Dengan dikotomi itu persoalan-persoalan ( dalam pernikahan/ keluarga) yang dianggap sebagai wilayah pribadi dan persoalan keluarga yang dianggap sebagai persoalan pribadi dan harus diselesaikan secara pribadi pula, menjadi sorotan. Wilayah publik yang selalu didentikkan dengan laki-laki dengan dunia kerja, politik, ekonomi, dan sejenisnya, sedangkan perempuan yang identik dengan dunia domestik hanya ditempatkan di rumah. Dengan menempatkan perempuan di dunia domestik, perempuan tidak dapat memberdayakan dirinya di samping adanya kecendrungan terjadinya kekerasan domestik. Di sini terimplikasi hubungan kekuasaan yang dikenal dengan “sexual politic” yang menunjukkan “power relation between sexes.” ( Tuttle: 296). Hal ini dikemukakan oleh
Kate Millet ketika ia menulis Sexual Politic dimana ia mengungkapkan bahwa “ when one group rules another, the relationship between the two is politicl.”( Tuttle: 196). 4. Sastra Banding
Sastra banding adalah kajian interdisipliner atas teks-teks secara lintas budaya yang memfoluskan diri pada pola-pola hubungan dalam sastra-satra yang berbeda baik yang bersifat lintas ruang maupun lintas waktu.
Kajian sastra banding tidak harus membandingkan satu teks sastra dengan teks sastra yang lain. Bahkan kajian yang dilakukan lebih banyak membandingkan teks sastra dengan teks non-sastra. Sastra banding mengkaji sastra di luar batas sebuah negara dan kajian tentang hubungan sastra dengan ilmu atau kepercayaan lain seperti seni, filsafat, sejarah, ilmu sosial ( politik, ekonomi, masyarakat) sains, agama, dll. Sastra banding tidak hanya berhubungan dengan teks-teks sastra saja, tetapi lebih jauh dari itu berhubungan dengan kajian lintas budaya dan interdisipliner ( Bassnet: 1993 ). Sastra banding merupakan sebuah kajian kritis terhadap kesusastraan dua atau lebih dari karya yang berbeda bahasa, budaya, dan negara. Dalam praktteknya banyak pula dilakukan terhadap karya dari bahasa yang sama, bila karya tersebut berasal dari negara atau budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, dalam kajian yang banyak dilakukan, dapat pula dilakukan perbandingan antar karya seni yang berbeda. Contohnya seorang komparatis dapat mengkaji hubungan sebuah film dengan kesusastraan. Menurut Benedetto Croco
( 1903 ) dalam Bassnet,
“ Comparative literature is the exploration of „the vicissitudes, alterations, developments, and reciprocal differences‟ of themes and literary ideas across literatures.” Jadi, Sastra banding adalah kajian yang berupa eksplorasi perubahan ( vicissitudes), penggantian (alteration), pengembangan ( development), dan perbedaan timbal balik ( tema) dua karya sastra atau lebih.
BAB 5. METODE PENELITIAN 1. JENIS PENELITIAN Kajian ini menggambarkan perbandingan representasi perempuan yang tergambar dalam sebuah karya berjudul Antigone dan membandingkannya dengan representasi perempuan yang tergambar dalam sebuah karya berjudul Cik Puan. Dengan demikian kajian ini merupakan sebuah studi kepustakaan dimana kajian dilakukan dengan dengan mengumpulkan data- data kepustakaan.
2. SUMBER DATA Sumber data dalam kajian ini adalah dua karya sastra yang berbeda yaitu Antigone yang ditulis oleh Sophocles dan Cik Puan yang ditulis oleh Haji Suhaimi. Karena fokus kajian adalah representasi perempuan, maka data utama adalah data-data yang menggambarkan bagaimana perempuan direpresentasikan dalam kedua karya tersebut.
3. TEKNIK ANALISIS DATA Kajian ini merupakan suatu analisis deskriptif analisis dimana kajian ini bertujuan menggambarkan fenomena yang ada.Dalam hal ini, kajian ini akan mendeskripsikan perbandingan representasi perempuan Yunani yang tergambar pada sebuah karya berjudul Antigone dengan representasi perempuan Melayu yang tercermin dalam karya Cik Puan. Selanjutnya, dalam mengumpulkan hasil kajian, kesimpulan ditarik secara induktif dimana gambaran-gambaran spesifik yang dipaparkan menuntun pada gambaran umum tentang representasi perempuan Yunani dan perempuan Melayu.
BAB 6. PEMBAHASAN I.
ANTIGONE
Polyneices dan Eteocles adalah dua saudara kandung yang saling bermusuhan yang akhirnya melibatkan mereka dalam perang saudara di Thebes. Dalam perang saudara ini, keduanya terbunuh.Creon sebagai raja Thebes memerintahkan melaksanankan upacara penguburan yang agung untuk menghormati kematian Eteocles, namun sebaliknya melarnag siapapun untuk menguburkan Polyneices, karena Polyneices dianggap sebagai musuhnya, karena itulah mayatnya tidak boleh dikuburkan dan dibiarkan menjadi santapan binatang. Antigone dan
Ismene yang merupakan adik-adik perempuan dari Polyneices dan Eteocles
membicarakan tentang kaematian kedua saudara mereka. Secara sembunyi-sembunyi Antogine mengajak Ismene untuk menguburkan mayat Polyneices. Keinginan Antigone ini melanggar perintah Creon, sang raja. Karena itu Ismene merasa takut dan menolak untuk membantu Antigone. Ismene membujuk Antigone untuk mengurungkan niatnya namun Antigone tidak terpengarauh dan tetap dengan niatnya untuk menguburkan Polyneices. Dan ia melakukannya sendiri tanpa bantuan adiknya. Berita dikuburkannya mayat Polyneices akhirnya samapai kepada Creon dan Antigone akhirnya ditangkap dan dibawa ke hadapan Creon. Antigone menjelaskan bahwa ia malakukan penguburan itu semata-mata karena nilai moralitas. Jawabannya membuat Creon marah. Dalam kemarahannya Creon menuduh kedua kakak beradik Antigone and Ismene telah bekerja sama menentang perintahnya. Namun Antigone menjelaskan bahwa Ismene tidak terlibat. Haemon adalah putra Creon dan juga merupakan tunangan Antigone. Ketika Haemon mendengar apa yang telah terjadi ia menenmui ayahnya, namun dalam pertemuan itu anak dan ayah tidak sepaham yang akhirnya membnuat mereka bertengkar. Creon memutuskan memenjarakan Antigone di sebuah gua.keputusan Creon ini membuat Teiresias, seorang pendeta tua yang buta mendatanginya dan menasehati dan memperingatkan Creon akan murka sang Dewa dengan keputusannya, namun Creon tidak mendengarkannya bahkan melampiaskan kemarahannya kepada sang pendeta. Menyadari bahwa hukuman yang ditimpakan kepadanya akan membuat hidup dalam penjara, Antigone memutuskan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Mendapat berita tentang kematian Antigone, Haemon yang sangat mencintai Antigone melakukan hal yang sama, iapun mengakhiri hidupnya. Eurydice, istri Creon dan juga ibu sangat terpukul dengan kematian anaknya dan iapun mengikuti jejak anaknya bunuh diri. Creon sangat terpukul dengan kematian anaknya Haemon. Ia masuk ke istana dengan membawa mayat anaknya. Ia menyadari keputusannya memenjarakan Antigone telah menyebabkan semua itu.Tiba-tiba seorang pengawal masuk dan mengabari Creon bahwa istrinya Eurydice telah bunuh diri dan diakhir hayatnya ia menyalahkan Creon karena menyebabkan kematian anaknya.dengan perasaan
sedih Creon menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi. Dia menyadari tindakannya tidak direstui sang Dewa sehingga dia kehilangan anak dan istrinya.walaupun Dewa telah menghukum orang yang sombong tapi hukuman itu memberi pelajaran yang berharga.
I.1. REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM ANTIGONE Antigone adalah seorang perempuan yang tegas. Ketika ia meyakini, ia melaksanakan atau menerapkannya dan ketika ada orang yang mencoba mempengaruhinya, dengan tegas ia akan mempertegas pendiriannya. Hal ini tergambar dari dialog antara Antigone dan Ismene ketika Antigone mengungkapkan keinginannya untuk menguburkan Polyneices. Ismene mengungkapkan ketidak sediaannya membantu Antigone. Ismene lalu memujuk Antigone untuk membantalkan niatnya, namun dengan tegas Antigone menyatakan keyakinannya dengan keputusannya untuk menguburkan Polyneices walaupun tanpa bantuan Ismene, Antigone Ismene Antigone
: Wilt thou aid this hand to lift the dead? : Thou wouldst bury him, when „tis forbidden to Thebes? : I will do my part, and thine, if thou wilt not, to a brother. False to him will I never be found.( Sophocles, hal 2 )
Keinginan Antigone untuk menguburkan Polyneices adalah suatu tindakan yang sangat berani. Dengan menguburkan Polyneices, Antigone menentang rajanya. Bagi
mansyarakatnya,
raja memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Jadi tindakan Antigone melanggar perintah rajanya adalah suatu tindakan yang sangat berani dan beresiko. Karena itulah ketika Antigone mengajak Ismene membantunya, Ismene memeperlihatkan kekhawatirannya untuk melawan Creon. Ismene
: Ah, over-bold! When Creon hath forbidden.( Sophocles, hal 2)
Antigone tidak hanya direpresentasikan sebagai seorang perempuan yang tegas dan berani, tapi karya ini juga merepresentasikannya sebagai seorang yang sportif. Sebagai seorang yang sportif ia bertanggung jawab terhadap tindakannya dan siap menerima konsekuensinya. Ketika Creon mengetahui tindakannya menguburkan Polyneices, Antigone dibawa ke hadapan Creon. Karena Antiogne dan Ismene merupakan saudara dari Eteocles dan Polyneices, Creon mencurigai Ismene membantu Antigone menguburkan Polyneices. Dengan tegas dan sportif, Antigone mengakui semua perbuatannyadan dengan tegas pula ia tidak melibatkan Ismene dalam perbuatannya itu karena memang dari awal Ismene tidak menyetujui tindakannya itu. hal itu diungkapkannya di hadapan Creon ketika Creon akan menghukum mereka berdua. Hal ini diungkapkan Antigone di hadapan Creon dan Ismene bahwa ia yang bertanggung jawab terhadap tindaknnya dan Ismene tidak terlibat sama sekali. Antigone
: Nay, justice will not suffer thee to do that: thou didst not consent to the deed, nor did I give thee part in it.( Sophocles, hal 12)
Antigone menguburkan Polyneices untuk alasan moralitas. Itulah yang ia katakan kepada Creon ketika ia dibawa ke hadapan Creon. Namun moralitas bukanlah satu-satunya alasan. Antigone memiliki rasa kasih sayang terhadap saudaranya. Sebagai manusia moralitas menuntunnya dan sebagai adik, kasih sayangnya kepada saudara laki-lakinya membuatnya mempertaruhkan keselamatan dirinya untuk memberikan penguburan yang layak bagi mayat saudaranya. Selain itu, tindakannya itu didorong oleh nilai relijius yang ia yakini. Antigone yakin Tuhannya tidak akan merestui keputusan Creon untuk membiarkan mayat Polyneices tidak dikuburkan. Antigone yakin apa yang ia lakukan mendapat restu dari Tuhannya. Antigone
: Yes, for it was not Zeus taht had published me that edict , not such are the laws set among men by the justice who dwells with the gods below, nor deemed I that thy decrees were of such force, taht a mortal could override the unwritten and the unfailing statutes of heaven. For thy life is not of today ot yesterday, but from all time and no man knows when they were first put forth.( Sophocles, hal 10)
Dari awal, sosok Antigone direpresentasikan dengan representasi yang positif karena sebagai seorang manusia, Antigone memiliki kualitas yang baik. Namun di saat yang sama, karya ini juga merepresentasikan Antigone sebagai seorang yang lemah. Kelemahannya tergambar dari tindakannya mengakhiri hidupnya. Antigone tidak dapat bertahan dengan hukuman penjara yang ditimpakan Creon padanya sehingga ia memutuskan bunuh diri. Tindakan ini merepresentasikannya sebagai seorang yang lemah. II.
CIK PUAN Cik Puan berkisah tentang seorang perempuan bernama Cik Puan yang merupakan istri Sultan
Siak yang berani dan pintar. Sebagai istri Sultan, ia menyadari bahwa ia memiliki kekuasaan untuk melakukan apa yang ia inginkan. Kedudukannya sebagai istri Sultan tidak membuatnya merasa puas dengan keputusan yang dibuat suaminya. Ia merasa Sultan terlalu lemah lembut dalam membuat keputusan sehingga di matanya Sultan terlihat lemah. Karena itulah Cik Puan mendebat Sultan dan mengungkapkan ketidak setujuannya dengan keputusan Sultan yang dianggapnya terlalu banyak pertimbangan. Ketika pasukan kerajaan Siak bertempur dengan pasukan kerajaan negeri Johor, pasukan kerajaan Siak mengalami kekalahan. Menurut Cik Puan kekalahan itu disebabkan oleh keputusan Sultan yang keliru. Dalam pertempuran itu Sultan memberi waktu dan kesempatan kepada kerajaan Johor untuk mempersiapkan kekuatan karena Sultan tidak mau menyerang musush ketika berada dalam keadaan lemah. Bagi Sultan, menyerang musuh yang tidak siap bertempur bukanlah suatu tindakan yang terpuji. Hal ini dijelaskan Sultan kepada Cik Puan: Sultan : Ini kita lakukan karena kita tidak mau kejayaan kita dibantah seseorang, apalagi terhadap seorang nelayan yang mengaku panglima Apuk, panglima
Sultan Johor yang perkasa. Kita harus menang dengan cara jantan agar musuh berlutut dan tidak dapat berkata apa-apa. Itulah sebabnya Apuk kanda susuh kembali ke Johor menyusuan kekuatan kembali. Cuma nasib lagi sial, ketika itu kita kalah. ( Suhaimi: tt, 125 ) Namun Cik Puan tidak dapat menerima keputusan Sultan dan kekalahan yang mereka alami. Karena itulah Cik Puan menganjurkan kepada Sultan untuk berperang kembali, tapi Sultan menolak sarannya. Karena sarannya tidak diterima, Cik Puan memutuskan untuk membalas kekalahan kerajaan Siak dengan menyingkirkan orang-orang yang mendukung keputusan Sultan. Ia mengambil Daeng Peringgi sebagai kaki tangannya untuk menjalankan rencananya. Cik Puan memerintahkan Daeng Peringgi untuk membunuh Laksamana karena Laksamana selalu mendukung keputusan Sultan. Daeng Peringgi setuju menenrima tugas membunuh Laksamana, lalu Cik Puan memantrai keris Daeng Peringgi agar keris itu menjadi senjata yang mematikan. Cik Puan, lalu, menemui Laksamana dan memerintahkan Laksamana untuk memungut upeti. Cik Puan berbohong dengan mengatakan kepada Laksamana bahwa perintah yang dibawanya merupakan perintah Sultan. Laksamana merasa heran karena ia tahu bahwa Sultan tidak mau memungut upeti dari rakyat karena Sultan tidak mau membebani rakyatnya. Dengan pertimbangan itu, Laksamana menolak menjalankan perintah itu. Cik Puan mempertegas bahwa perintah Sultan yang dibawanya harus dilaksanakan dan bila Laksamana menolak berarti Laksamana tidak taat kepada Sultan dan sebagai akibatnya Laksamana akan menerima hukuman. Laksamana tidak merasa takut. Ia bersiap-siap menghadapi kemungkinana diserang pasukan Sultan, walaupun ia merasa ragu bila perintah itu datang dari Sultan. Maka Laksamanapun mengumpulkan pasukannya di Bukit Batu, bersiap-siap menghadapi serangan. Tiba-tiba Daeng Peringgi datang menyerang Laksamana. Ia sangat ingin membunuh Laksamana. Dari apa yang dikatakan Daeng Peringgi, tahulah Laksamana bahwa Cik Puanlah dalang dari semua kekacauan ini. di saat Laksamana dan daeng Peringgi saling menyerang, tiba-tiba, Mas Ayu, adik perempuan
Laksamana, datang.
Daeng Peringgi yang sangat menyukai Mas Ayu
menghentikan serangannya setelah berhasil melukai Laksamana. Daeng Peringgi segera mendekati Mas Ayu dan merayunya. Di saat Daeng Peringgi lengah, Mas Ayu menikannya dan membuatnya terluka. Dalam keadaan terluka Daeng Peringgi menemui Cik Puan dan mereka mengatur siasat. Rupanya Laksamana mendapatkan bantuan dari Sultan yang datang dengan pasukannya ke Bukit Batu. Bantuan dari Siak ini membuat Cik Puan dan Daeng Peringgi berada pada posisi yang terjepit. Laksamana datang disusul Sultan. Setelah berhasil mengalahkan pasukan Daeng Peringgi, Sultan memerintahkan untuk menangkap Cik Puan, sedangkan Daeng Peringgi menem,ui ajalnya karena lukanya yang semakin parah.
II.2. REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM CIK PUAN Cik Puan sangat ingin mneyerang negeri Johor untuk membalas kekalahan kerajaan Siak. Keinginannya ini membuatnya mencoba melunakkan hati Sultan agar menyetujui pendapatnya untuk menyerang Johor.
Dengan argumentasi yang meyakinkan, secara diplomatis, Cik Puan
mengemukakan alasan yang kuat untuk menyerang Johor. Cik Puan
: Dialah punca semuanya ini. Sebulan kita telah kembali dari Johor. Tapi semuanya tidak dapat dilupakan. Kita kembali dengan nama yang cemar. Sebagai ayam sabung yang kalah di tengah gelanggang.
Sultan
: Kenapa itu yang menjadi fikiran?
Cik Puan
: Bagaimana tidak menjadi fikiran. Bukankah kekalahan itu salah kita sediri?
Sultan
: Kalah menang itu biasa,
Cik Puan
: Tapi bukan untuk kita
Sultan
: Mengapa begitu ?
Cik Puan
: Karena kita telah memberi waktu kepada musuh, memberi waktu kepada musuh sama dengan memberi pedang untuk memenggal leher kita.
Sultan
: Ini kita lakukan karena kita tidak mau kejayaan kita dibantah seseorang, apalagi terhadap seorang nelayan yang mengaku panglima Apuk, panglima Sultan Johor yang perkasa. Kita harus menang dengan cara jantan agar musuh berlutut dan tidak dapat berkata apa-apa. Itulah sebabnya Apuk kanda susuh kembali ke Johor menyusuan kekuatan kembali. Cuma nasib lagi sial, ketika itu kita kalah.
Cik Puan
: Kekalahan itu sangat memalukan. Kita kalah melawan sisa-sisa laskar yang telah kita tawan. Ayam kalah negeri tergadai.
Sultan
: lalu apa yang mesti kita buat?
Cik Puan
: Inilah yang dinda runsingkan. Dinda yang berambut panjang ini sangat aib menerima kekalahan itu, apalagi kanda seorang Sultan. Punya daerah sejauh mata memandang. Punya laksamana hnadal terbilang. Tentu saja peristiwa itu sangat memalukan kanda.
Sultan
: Maksud dinda kita berperang lagi, menumpahkan darah ke bumi lagi? Menambah lagi bilangan janda? Memperbanyak lagi yatim piatu? ( Suhaimai, tt: 124-125)
Dengan ucapannya itu Sultan menolak keinginan Cik Puan untuk berperang lagi, namun dengan Cik Puan tidak patah semangat, ia terus mengemukan alasan lain agar Sultan menyetujui keinginannya. Cik Puan
: Jika kanda tak serta, biarlah dinda seorang saja. Mungkin Yang Maha Kuasa memberikan perasaan malu itu hanya pada dinda. Aib itu telah begitu merasuk jiwa dinda, kadang kala ia mengaca dari muka, mengejek dari belakang, telah begitu mebakar letup-letup hati ini. kemanakah perginya marwah kanda sebagai raja perkasa? Dinda tak sanggup melihat semua ini. dinda akan memakai celana dan memotong rambut. ( Suhaimi, tt: 126)
Dengan penuh keyakinan, Cik Puan menjabarkan panjang lebar alasan mengapa mereka harus berperang.
Dengan alasan marwah, martabat dan harga diri yang harus mereka jaga, maka
peperangan harus dilaksanakan agar kerajaan Siak Sri Indrapura tidak jatuh marwah dan harga dirinya di mata kerajaan lain.
Dari cara Cik Puan menjabarkan alasannya,
sosok perempuan ini
direpresentasikan sebagai perempuan yang diplomatis dan argumentataif karena secara diplomatis ia mengungkapkan alasan yang kuat untuk memerangi musuh dan secara argumentataif ia mengungkapkan brtapa sangat beralasannya bila mereka menyerang Johor. Ketika keinginannya untuk menyerang Johor tidak direima oleh Sultan, Cik Puan tidak menghentikan niatnya itu. sebagai seorang perempuan yang sangat kuat dengan pendiriannya, penolakan Sultan itu tidak menyurutkan langkahnya. Jika Sultan tidak mau berperang, maka ia sendiri yang akan melakukannya. Hal itu diungkapkannya secara tegas kepada Sultan. Dan Sultan yang sudah paham dengan sifatnya yang keras kepala dan pendiriannya yang tidak bisa digoyahkan, tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Dari tindakan yang dilakukannya karya ini merepresentasikan Cik Puan sebagai perempuan yang berpendirian kuat dan berani. Cik Puan mengajak Daeng Peringgi bekerja sama dengannya dan membantunya mewujukan keinginannya itu. langkah awal yang diambilnya adalah membunuh Laksamana karena Laksamana merupakan orang yang selalu mendukung keputusan Sultan. Ketika Cik Puan menyuruh Daeng Peringgi membunuh Laksamana, Daeng Peringgi mewrasa takut karena ia beranggapan membunuh Laksemana sama artinya dengan menentang Sultan. Ketakutannya membuat Cik Puan marah. Dengan kasar Cik Puan memarahi Daeng Peringgi Cik Puan
: (marah! Daeng Peringgi didepaknya, lalu jatuh) Bodoh, selama ini apa yang kau dapat. Hanya kasihan beta. Suatu pekerjaan memang minta rintangan. Tapi jika ini berhasil Daeng kujadikan Laksemana.( Suhaimi, tt: 127)
Untuk mencapai tujuannya, Cik Puan memanfaatkan nama Sultan
untuk membuat
Laksemana terpojok. Dengan meyakinkan ia mengatakan kepada laksamana bahwa
Sultan
memerintahkannya memungut upeti dari rakyat. Cara yang dilakuakn Cik Puan ini memperlihatkan sosok Cik Puan yang licik karena memanfaatkan nama orang lain dalam hal ini nama Sultan untuk mencapai keinginannya. Cik Puan
: ( memandang ke kanan dan ke kiri ) Pertama, Laksemana harus memberi upeti. Kedua, besok pagi Kota berjalan agar diantarkan ke Siak Sri Indrapura.
Datuk Laksemana: ( Heran) Upeti ? kenapa beta mesti mengantar upeti. Memberi upeti berarti menambah beban rakyat. Kehidupan rakyat sangat sengsara. Dagangan dengan Melaka telah terputus. Melaka dalam kepungan Portugis. Rakyat tak berani membawa perniagaan ke sana. Cukai pancung alas yang beta kumpulkan, tiga suku hamba pergunakan untuk pembangunan. Dari mana hamba mesti memberi upeti. Peri menghantar kota berjalan sedang hamba fikirkan. Cik Puan
: Apa......? Laksemana menolak titah? Dimanakah taat setia Datuk kepada Sultan. Bukankah datuk sewaktu dilantik menjadi Laksemana mengucapkan ikrar setia? Apakah laksemana ragu kepada beta? ( Suhaimi, tt: 129-130)
Kelicikan Cik Puan juga terlihat dari tindakannya memperalat Daeng Peringgi. Ia tidak menjalankan rencananya itu dengan tangannya sendiri. Dengan memperalat Daeng Peringgi, Cik Puan dapat mengkambing hitankan Deang Peringgi bila rencananya gagal. Itulah yang terjadi kemudian, daeng Peringgi tertangkap dan ia dihukum Sultan karena terbukti bersalah, namun sebelum hukuman menimpanya, ia meninggal dunia akibat luka yang dideritanya. Di saat Cik Puan melihat rencananya gagal, ia memerintahkan Daeng peringgi pergi, namun daeng Peringgi dihadang oleh pasukan dari kerajaan Siak yang datang ke Bukit Batu bersama Sultan. Ketika ia tertangkap, Daeng Peringgi membeberkan kelicikan Cik Puan dan mengatakan bahwa Cik Puanlah dalang dari semua kekacauan itu. Cik Puan juga direpresentasikan sebagai seorang perempuan yang pintar. Kepintarannya terlihat dari caranya mengatur strategi untuk melaksanakan rencananya.
Pertama, ia mengatas
namakan perintah Sultan untuk emnciptakan citra negatif pada diri Laksemana. Di saat yang sama, ia memerintahkan daeng Peringgi untuk membunuh Laksemana. Strategi ini ia fikirkan dengan baik.
Bila Daeng Peringgi berhasil membunuh Laksemana, citra negatif Laksemana akan menimbulkan persepsi yang negatif pula sehingga Sultan dan rakyat akan memandangnya sebagai sosok yang tidak taat kepada Sultan. Dengan demikian, kematiannya dianggap sebagai akibat dari sikapnya yang tidak baik tersebut. Walaupun Cik Puan gagal menjalankan rencananya, namun dari caranya mengatur strategi memperlihatkan kepintarannya.
III.
PERBANDINGAN REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM ANTIGONE DAN CIK PUAN Dalam merepresentasikan sosok perempuan , Antigone menampilkan representasi perempuan
yang dualisme. Pada satu sisi, karya ini menampilkan sosok perempuan yang tegas, berani, sportif, penuh kasih sayang, yang tergambar dari tokoh utamanya, Antigone. Namun di sisi yang lain Antigone juga direpresentasikan sebagai seorang yang lemah karena ia tidak dapat bertahan dengan hukuman yang diterimanya sehingga akhirnya mengakhiri hidupnya. Representasi perempuan yang ditampilkan ini baik secara eksplisit maupun implisit menampilkan representasi perempuan yang tidak positif. Walaupun secara eksplisit karya ini menampilkan tokoh utamanya seorang perempuan, Antigone dengan kualitas-kualitas yang positif, namun secara implisit, karya ini melemahkan sosok Antigone dengan keputusannya mengakhiri hidupnya. Secara ideologis ini menunjukkan kelemahan perempuan. Sedangkan dalam karya Cik Puan, representasi perempuan tercermin dari tokoh utamanya, Cik Puan. Seperti halnya Antigone, Cik Puan direpresentasikan dengan representasi yang tidak hanya positif tapi juga negatif. Representasi positif terlihat dari bagaimana teks ini menampilkan sosok Cik Puan yang berani, pintar, argumentatif, berpendirian kuat. Namun di saat yang sama, karya ini juga menampilkan sosok perempuan yang kasar dan licik. Dengan demikian kualitas-kualitas diri Cik Puan yang positif tidak dapat merepresentasikannya sebagai perempuan yang baik karena kulaitaskualitas yang baik itu dipergunakan untuk tujuan yang tidak baik. Jadi, baik Antigone maupun Cik Puan direpresentasikan dengan representasi yang negatif. Namun perbedaannya, representasi negatif pada Antigone tidak menciptakan label yang negatif pada dirinya karena
keputusannya mengakhiri hidupnya hanya memperlihatkan kelemahannya, tidak
menunjukkan tindakan yang menyakiti orang lain. Sebaliknya Cik Puan dilabeli dengan label yang negatif karena kulitas positif yang dimilikinya tidak memberi manfaat yang baik bkepada dirinya dan juga orang lain, bahkan sebaliknya menyakiti orang lain. Suatu representasi menciptakan makna. Representasi Antigone sebagai perempuan yang memiliki kualitas yang baik seperti tegas, berani, dan penuh kasih sayang dapat dimaknai sebagai
penciptaan makna dimana perempuan Yunani direpresentasikan sebagai perempuan yang hebat, yang memiliki keberanian menentang penguasa demi menegakkan kebenaran dan membela harga diri. Di saat masyarakat Yunani didominasi oleh besarnya peran dan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan di dalam masyarakat yang patriakhis, keberanian Antigone menjadi suatu perlawanan yang heroik dari kaum perempuan. Padahal karya ini ditulis beberapa ratus tahun sebelum Masehi, dimana masyarakat pada saat itu masih sangat patriakhis dan perempuan belum memiliki peran dan status yang sejajar dengan laki-laki. Apalagi sosok yang dilawan Antigone adalah seoarng raja. Ini memperlihatakn suatu tindakan yang fenomenal mengingat pada saat itu posisi perempuan dalam masyarakat masih sangat lemah. Sebaliknya representasi perempuan Melayu yang direpresentasikan lewat tokoh Cik Puan dapat dimaknai sebagai pemaknaan yang membuat orang yang dituju oleh representasi ini menerima pemaknaan yang diciptakan. Cik Puan adalah seorang perempuan yang memiliki kedudukan yang tinggi. Dengan kedudukannya sebagai istri Sultan, Cik Puan memiliki kekuasaan. Cik Puan ditampilkan sebagai perempuan yang menyalah gunakan kekuasaan dan kedudukannya untuk mendapatkan ambisinya. Pada satu sisi, Cik Puan direpresentasikan sebagai seorang perempuan yang berani, tegas, berpendirian kuat. Representasi ini dapat dimaknai secara positif, namun representasi lainnya membongkat nilai positif yang ada pada representasi sebelumnya. Keberanian, ketegasan dan pendiriannya yang kuat ia gunakan untuk tujuan yang tidak baik, apalagi di saat yang sama label-label negatif juga ditempelkan padanya seperti kasar, licik dan
ambisius. Jadi, pemaknaan yang
ditimbulkan dari representasi ini menciptakan persepsi yang negatif terhadap perempuan Melayu.
BAB 7.SIMPULAN DAN SARAN
I.
SIMPULAN
Dari kajian ini dapat disimpulkan: 1. Dalam Antigone, perempuan Yunani direpresentasikan sebagai perempuan yang tegas, berani, berpendirian kuat dan penuh kasih sayang. Namun, di balik representasi yang positif ini, perempuan Yunani juga dilabeli dengan stereotipe yang lemah. Dengan demikian, secara ideologis, karya ini mempertegas kelemahan perempuan. Betapapun banyak kualitas baik yang dimilikinya, namun perempuan tidak dapat mengingkari kelemahannya yang memerlukan dukungan laki-laki.
2. Perempuan Melayu direpresentasikan sebagai perempuan yang pintar, berani dan berpendirian kuat. Pada permukaannya, representasi ini seolah-olah melabeli perempuan Melayu dengan stereotipe yang positif, namun denga jelas karya ini merepresentasikan perempuan Melayu secara negatif.
Perempuan Melayu
direpresentasikan sebagai perempuan yang kasar, licik dan ambisius. Kualitas baik yang dimilikinya, bahkan digunakan untuk tujuan negatif. Jadi secara keseluruhan, perempuan Melayu direpresentasikan secara negatif utnuk menggambarkan bahwa perempuan Melayu yang memiliki kekuasaan dan kedudukan yang tinggi operlu dikontrol karena dengan kekuasaan dan posisi itu, perempuan cendrung menyalah gunakannya.
3. Dari representasi perempuan dalam dua karya tersebut terlihat perbedaan yang jelas,. Perempuan Yunani direpresentasikan dengan representasi yang lebih positif dibandingkan dengan perempuan Melayu. Walaupun ada representasi yang melemahkan perempuan Yunani, namun hal itu tidak secara signifikan menciptakan representasi negatif bagi perempuan Yunani. Sebaliknya, secara gamblang perempuan Melayu direpresentasikan secara negetif dengan melabeli atribut negatif yang dimilikinya.
II.
SARAN
1. Dari hasil kajian ini dapat disarankan agar kajian lebih lanjut tentang representasi perempuan dapat dilakukan menmgingat masih banyak hal yang dapat dieksplorasi, apalagi kajian tentang perempuan Yunani dan perempuan Melayu merupakan kajian yang sangat luas sehingga banyak hal yang dapat dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA 1
LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama
: Dra. Essy Syam, M.Hum
Jenis Kelamin
: Perempuan
NIK
: 96 011 32
Disiplin ilmu
: Susastra
Pangkat/Gol
: Lektor/ IIId
Jabatan
: -
Fakultas/ Jurusan
: Fakultas Ilmu Budaya/ Sastra Inggris
Penelitian terakhir: 1. Simbol dan Ironi dalam Cerpen The Lottery, Karya Shirley Jackson 2. Kasus Kompleks Oedipus (oedipus Complex) Dalam Cerpen Mengawini Ibu Karya Khrisna Pabichara: Kajian Psikoanalisis. 3. Kristenisasi Masyarakat Aborijin Oleh Bangsa Kulit Putih Australia Dan Resistensi Masyarakat Aborijin Yang Tergambar Dalam Maydina, The Shadow, Karya Hyllus Maris dan Sonia Borg.
4. Representasi Perempuan dalam Masyarakat Patriakhal Yang Tergambar Dalam Antigone Karya Sophocles
Pekanbaru, Desember 2013
Dra. Essy Syam, M.Hum
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama
: Mohd. Fauzi, S.S
Jenis Kelamin
: Laki-laki
NIK
: 0301212
Disiplin ilmu
: Susastra
Pangkat/Gol
: Asisten Ahli/ IIIa
Jabatan
: Pembantu Dekan I
Fakultas/ Jurusan
: Fakultas Ilmu Budaya/ Sastra Indonesia
Penelitian terakhir
:
1. The Role of Symbols in D.H.Lawrence’s The Rainbow. 2. The Enemy of People as Reflected in Henrik Ibsen’s The Wild Duck and An Enemy of People 3. Penguatan Informasi Ekowisata Kelurahan Sei Empura Melalui Film Dokumenter. .
Pekanbaru, Desember 2013
Mohd. Fauzi, S.S
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Ulul Azmi,S.S.,M.A
Jenis Kelamin
: Laki-laki
NIK
: 06 01 229
Disiplin ilmu
: Susastra
Pangkat/Gol
: Asisten ahli/ III
Jabatan
: Pembantu Dekan II/Ketua jurusan
Fakultas/ Jurusan
: Fakultas Ilmu Budaya/ Sastra Melayu
Penelitianan terakhir : 1. Peranan Syair Ikan Terubuk Pada Masyarakat Melayu Bengkalis. 2. Opantun Nikah Kahwin masyarakat Melayu Bengkalis: Kajian Struktur Fungsional. 3. Gaya Bahasa Pantun Nikah Kahwin Masyarakat Melayu Bengkalis.
Pekanbaru, Desember 2013
Ulul Azmi, S.S., M.A