LAPORAN HASIL PENELITIAN
KADAR IFN-ɤ PADA KONTAK SERUMAH PENDERITA TB PARU SEBAGAI INDIKATOR DETEKSI DINI INFEKSI Mycobacterium tuberculosa
Oleh Dr. dr. Sri Andarini Indreswari, M.Kes Suharyo, S.KM, M.Kes
DIBIAYAI MELALUI KONTRAK KERJA DENGAN SURAT PERJANJIAN NO: 248/SP2H/PL/Dit.Litabmas/IV/2011 tgl 14 April 2011. DIPA: 0541/023-04.1.01/00/2011, tanggal 20 Desember 2010. No. SPM : 00278/DP2M/A3.2/V/2011 DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO SEMARANG TAHUN 2011 1
2
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................2 RINGKASAN..........................................................................................................3 PRAKATA .............................................................................................................4 DAFTAR TABEL ..................................................................................................5 DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................6 DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................7 I.
PENDAHULUAN ..........................................................................................8
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................11 III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ..................................................17 IV. METODE PENELITIAN ...............................................................................18 V. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................21 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................29 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
3
RINGKASAN
Kadar IFN-ɤ Pada Kontak Serumah Pende rita Tb Paru Sebagai Indikator Deteksi Dini Infeksi Mycobacterium tuberculosa Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosa dan bersifat menular. WHO menyatakan bahwa sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis. Program pengobatan dan pencegahan secara dini masih terkendala oleh deteksi dini pada orang yang mempunyai riwayat kontak serumah dengan penderita penyakit tuberkulosis. Jika diketahui lebih dini pada orang yang kontak serumah dengan penderita tuberkulosis maka upaya pengobatan pencegahan dapat dilakukan dengan efektif sehingga penyakit tersebut tidak berkembang menjadi klinis. Deteksi infeksi penyakit tuberkulosis saat ini masih mengandalkan pemeriksaan BTA positif dan tes tuberkulin yang masih mempunyai keterbatasan dalam hal sensitifitas dan spesifitasnya untuk orang dewasa sehingga belum dipakai dalam program tb paru di Indonesia. Secara teori produksi Interferon Gamma (IFN-ɤ) dapat digunakan sebagai parameter untuk mengamati perjalanan penyakit infeksi, dalam hal ini khususnya TBC paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola kadar IFN-ɤ pada orang yang kontak serumah dengan penderita penyakit tuberkulosis sebagai acuan penentuan waktu pengobatan pencegahan penyakit tuberkulosis. Metode penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan pendekatan kohor. Populasi penelitian yang digunakan adalah orang yang kontak serumah dengan penderita penyakit tuberkulosis (umur lebih dari 15 tahun). Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling dan jumlah sampel yang digunakan sebanyak 34 orang kontak serumah (terpapar) dan 35 orang tidak kontak serumah (tidak terpapar). Penelitian dilaksanakan melalui 2 tahap yaitu tahap identifikasi responden dan observasi kadar IFN-ɤ dan status klinis. Analisis data yang akan digunakan adalah Man Whitney test dan Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan hasil tes mantoux yang positif pada kelompok kontak serumah (79,4%) dan dari kelompok yang tidak kontak serumah (5,9%). Rerata kadar interferon gamma pada kelompok yang terpapar kontak serumah dengan penderita Tb paru sebesar 5,32 pg/ml sedangkan pada kelompok yang tidak terpapar 1,1 pg/ml. Terdapat hubungan yang signifikan antara status paparan dengan hasil tes mantoux (p value 0,0001dan nilai x2 sebesar 34,631). Ada perbedaan rerata kadar interferon gamma secara signifikan antara kelompok terpapar kontak serumah dengan penderita tb paru dengan kelompok yang tidak terpapar (p-value 0,0001). Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengikuti perkembangan IFN gamma berdasarkan status paparan. Kata kunci: Kadar IFN-ɤ, Kontak Serumah, Penderita Tb Paru
4
PRAKATA Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah. SWT dan dengan segala rahmat serta ridhlo-Nya sehingga terselesaikan dan tersusunlah laporan penelitian dengan judul Kadar IFN-ɤ Pada Kontak Serumah Penderita Tb Paru Sebagai Indikator Deteksi Dini Infeksi Mycobacterium tuberculosa. Laporan penelitian ini diharapkan menjadi bahan evaluasi dan referensi yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memerlukan khususnya pihak pemerintah, masyarakat, dan akademisi.. Tidak lupa peneliti mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Dian Nuswantoro melalui LP2M yang telah memberi dukungan, kemudian tidak lupa peneliti mengucapkan terimakasih juga kepada Kepala Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarng atas penyediaan sumberdaya dan kerjasamanya, terimaksih juga diucapkan untuk Dekan Fakultas Kedokteran khususnya Kepala Laboratorium GAKI serta rekan-rekan mahasiswa yang telah ikut membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Semoga laporan penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak dan dapat menambah pengetahuan bagi pembaca. Peneliti merasa penyusunan laporan ini masih banyak kelemahan dan kekurangannya, oleh karena itu saran dan kritik sangat diharapkan oleh peneliti.
Semarang, Desember 2011 Ketua Peneliti
5
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1.
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat pendidikan, Tidur sekamar dengan penderita TB, Jenis lantai, Kondisi ventilasi, Kepadatan rumah, Kebiasaan merokok, Status imunisasi BCG, dan Status Gizi ……………………………. 21
Tabel 5.2.
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur, Tinggi Badan, Berat Badan, dan BMI ……………………………………… 22
Tabel 5.3.
Distribusi Hasil Tes Mantoux Berdasarkan Status Responden ………………………………………………….. 23
Tabel 5.4.
Distribusi Kategori Kadar Interferon Gamma Berdasarkan Status Responden …………………………………………... 24
6
DAFTAR GAMBAR
Bagan 4.1
Kerangka Pikir Penelitian …………………………………...
Gambar. 5.1
Grafik Boxplot Kadar Interferon Gamma Berdasarkan Status Responden …………………………………………... 23
7
18
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Output Pengolahan Data Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Kadar Interferon Gamma Lampiran 3. Kuesioner Penelitian Lampiran 4. Foto Kegiatan Penelitian Lampiran 5. Biodata Peneliti Lampiran 6. Buram Artikel Penelitian
8
BAB I PENDAHULUAN Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberkulosis dan bersifat menular. WHO menyatakan bahwa sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis (WHO, 2000). Di Indonesia pemberantasan penyakit tuberkulosis telah dimulai sejak tahun 1950 dan sesuai rekomendasi WHO sejak tahun 1986 regimen pengobatan yang semula 12 bulan diganti dengan pengobatan selama 6-9 bulan. Strategi pengobatan
ini disebut
DOTS
(Directly Observed Treatment
Short
Course
Chemotherapy). Cakupan pengobatan dengan strategi DOTS tahun 2000 dengan perhitungan populasi 26 juta, baru mencapai 28% (Depkes RI, 1997). Salah satu pilar penanggulangan penyakit tuberkulosis dengan startegi DOTS adalah dengan penemuan kasus sedini mungkin. Hal ini dimaksudkan untuk mengefektifkan pengobatan penderita dan menghindari penularan dari orang kontak yang termasuk subclinical infection. Kenyataannya di Kota Semarang, data menunjukkan jumlah penemuan kasus suspect (tersangka) masih jauh dari target. Sejak tahun 2007 sampai tahun 2009 kuartil ke 1, angka pencapaian penemuan suspect hanya berkisar 53%. Angka tersebut sangat jauh dari target sehingga diperkirakan penularan penyakit tuberkulosis akan semakin meluas (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2010). Penegakkan diagnosis tuberkulosis dilakukan secara bersama-sama, yaitu : anamnesa, gejala klinis dari penyakit tuberkulosis, pemeriksaan bakterologis ditunjang pemeriksaan radiologi dan tes tuberkulin. Namun tes-tes tersebut kurang sensitif dan spesifik untuk penegakan diagnosis bagi orang yang sudah kontak serumah dengan penderita tuberkulosis. Deteksi infeksi penyakit tuberkulosis saat
ini
masih
mengandalkan pemeriksaan BTA positif dan tes tuberkulin yang masih mempunyai keterbatasan dalam hal sensitifitas dan spesifitasnya. Oleh karena itu diperlukan suatu indikator penegakan diagnosis bagi orang yang kontak dengan penderita tuberkulosis, dalam hal ini adalah kadar IFN-ɤ. Secara teori produksi Interferon Gamma (IFN-ɤ) dapat digunakan sebagai parameter untuk mengamati perjalanan penyakit infeksi, dalam hal ini khususnya TBC paru (Singh MM. 1999). Penelitian terdahulu di Yogyakarta menyebutkan rendahnya produksi IFN-ɤ pada penderita tuberkulosis aktif sebelum pengobatan kemoterapi apabila 9
dibandingkan dengan individu sehat dan penderita penyakit paru non tuberkulosis. Namun penelitian tentang pola kadar IFN-ɤ pada orang yang kontak serumah dengan penderita penyakit tuberkulosis belum pernah dilakukan. Rumusan masalah penelitian yang akan dijawab pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pola kecenderungan kadar IFN-ɤ pada orang yang kontak serumah dengan penderita penyakit tuberkulosis? 2. Apakah terdapat perbedaan pola kecenderungan kadar IFN-ɤ antara orang yang kontak serumah bersama penderita penyakit tuberkulosis dengan orang yang sehat (tidak kontak dengan penderita TB Paru)?
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.
Penyakit Tuberkulosis Tuberkulosis dikenal sebagai penyakit infeksi yang bersifat menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, sebagian besar menyerang paru tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Tuberkulosis dapat memasuki tubuh barsama butir-butir debu atau percikan dahak (Droplet) yang menyebar keudara sewaktu penderita tuberkulosis batuk atau bersin (Yoga. Tjandra, 1999). Mycobacterium Tuberculosis berbentuk batang ramping, lurus atau sedikit bengkok dengan kedua ujungnya membulat. Basil ini sulit sekali diwarnai, tetapi sekali terwarnai maka ia akan menahan zat warna itu dengan baik sekali dan tidak dapat lagi dilunturkan walaupun dengan asam alkohol. Oleh karena itu disebut juga sebagai Basil Tahan Asam ( BTA). Zat lilin yang ada di dinding selnya yang menyebabkan sulit diwarnai dan kesulitan ini dapat diatasi bila digunakan zat warna yang melunturkan lilin sambil dilakukan pemanasan. Untuk mewarnai kuman ini lazimnya digunakan zat warna ZeihlNeelsen (ZN). Basil ini cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, Mycobacterium Tuberculisis dapat dormant (tertidur/ tidak aktif)selama beberapa tahun (Jawetz. 1996). 2.
Penularan Kontak Serumah dan Patofisiologi Penyakit Tuberkulosis Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif, pada waktu batuk
atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Beberapa faktor yang mengakibatkan menularnya penyakit itu adalah kebiasaan buruk pasien TB paru yang meludah sembarangan. Selain itu, kebersihan lingkungan juga dapat mempengaruhi penyebaran virus. Misalnya, rumah yang kurang baik dalam pengaturan ventilasi. Kondisi lembab akibat kurang lancarnya pergantian udara dan sinar matahari dapat membantu berkembangbiaknya virus (Singh MM. 1999). Oleh karena itu orang sehat yang serumah dengan penderita TB paru merupakan kelompok sangat rentan terhadap penularan penyakit tersebut. Lingkungan rumah, Lama kontak serumah dan perilaku pencegahan baik oleh penderita maupun orang yang rentan sangat mempengaruhi proses penularan penyakit TB paru.
11
Bila penderita baru pertama kali tertular kuman tuberkulosis terjadi suatu proses dalam paru-parunya yang disebut infeksi primer. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosiler bronkus dan terus berjalan sampai alveolus. Infeksi dimulai saat kuman
tuberkulosis berhasil
berkembangbiak dengan pembelahan diri di paru-paru yang berakibat peradangan di dalam paru-paru. Terjadi sel eksudasi dari sel karena proses dimakannya kuman tuberkulosis oleh sel makrofag. Lesi dapat terjadi pada kelenjar limfe yang disebabkan lepasnya kuman pada saluran limfe, saluran limfe akan membawa kuman tuberkulosis ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut komplek primer (Crevel RV, et al. 2001). Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besar respon daya tahan tubuh. Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman tuberkulosis, meskipun demikian ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman dormant. Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita tuberkulosis. Masa inkubasi yaitu waktu yang di perlukan mulai terinfeksi kuman tuberkulosis sampai dengan timbulnya gejala penyakit, diperkirakan 6 bulan. Proses pemusnahan kuman tuberkulosis oleh sel makrofag menimbulkan kekebalan spesifik terhadap kuman tuberkulosis. Memperhatikan proses patofisiologi tersebut maka dibutuhkan suatu standar deteksi dini bagi orang yang kontak serumah dengan penderita Tb paru.
3.
Diagnosis Tube rkulosis Diagnosa tuberkulosis adalah upaya untuk menegakkan atau mengetahui jenis
penyakit yang diderita seseorang. Untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis dilakukan secara bersama-sama, yaitu : anamnesa, gejala klinis dari penyakit tuberkulosis, pemeriksaan bakterologis ditunjang pemeriksaan radiologist dan tes tuberkulin (Yoga. Tjandra. 1999). a.
Anamnesa Penderita biasanya mengeluh batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih, dahak bercampur darah, rasa nyeri dada dan sesak nafas.
b. Gejala klinis penyakit tuberkulosis Gejala klinis pada penderita tuberkulosis adalah wajah tampak pucat, batuk berdahak, badan lemah, berat badan turun, badan berkeringat pada malam 12
hari walaupun tanpa kegiatan, malaise, suhu badan sedikit meningkat siang atau sore hari yang berlangsung selama empat minggu. c
Pemeriksaan Bakteriologis Diagnosa yang paling pasti untuk penyakit tuberkulosis adalah dengan cara mengisolasi kumannya. Bahan spesimen dapat berupa dahak segar, cairan lambung, urine, cairan pleura, cairan otak, cairan sendi dan biopsi (Crevel RV, et al.). Pemeriksaan bahan sampel dahak penderita tersangka secara mikroskopis dilakukan dengan menggunakan pewarna Ziel Neelsen. Pemeriksaan mikroskopis untuk diagnosis adalah cara termudah, tercepat dan termurah. Konfirmasi bakteriologis tidak mungkin dilakukan untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis primer karena kuman tuberkulosis belum ada dalam dahak penderita. Pada tuberkulosis milier sulit dilakukan konfirmasi bakteriologis tetapi dapat dilakukan dengan cara usap tenggorokan sedangkan pada tuberkulosis pasca primer. Hal ini merupakan salah satu upaya yang penting untuk konfirmasi diagnosis (Kresno SB. 2001).
d. Pemeriksaan Radiologis Apabila dari tiga kali pemeriksaan dahak hasilnya negatif sedangkan secara klinis mendukung sebagai tersangka penderita tuberkulosis, perlu dilakukan pemeriksaan radiologis (Kresno SB. 2001). e. Tes Tuberkulin Pada tes tuberkulin diagnosis ditegakkan dengan melihat luasnya daerah indurasi pada kulit tetapi saat ini di Indonesia, tes tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis tuberkulin pada orang dewasa sebab sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi dengan Mycobakterium tuberculosis karena tingginya prevalensi tuberkulosis. Hasil tes tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang dites pernah terpapar dengan kuman tuberkulosis dan tes bisa negatif meskipun orang tersebut menderita penyakit tuberkulosis, misalnya pada penderita HIV/AIDS, malnutrisi berat, tuberkulosis milier dan morbili (Yoga. Tjandra. 1999).
13
4.
Inte rferon Gamma Limfosit T hanya dapat mengenali antigen asing apabila molekul tersebut
diekspresikan bersama molekul MHC. Penyajian antigen oleh MHC kelas I atau kelas II menentukan jenis limfosit yang bereaksi. Antigen peptida dipresentasikan bersama molekul MHC kelas I kepada sel T CD8⁺, sedangkan MHC kelas II kepada sel T CD4⁺. Sel Th CD4⁺ yang telah mengenal peptida tersebut akan diaktifkan menuju jalur yang berbeda berdasarkan konsep proliferasi Th1 dan Th2. Jenis penyakit karena infeksi mikroorganisme tertentu mempengaruhi fenotip respon tertentu pula. Infeksi dengan mikobakterium tuberkulosis cenderung mengaktifkan jalur Th1 dari pada Th2. Namun dalam perjalanan penyakit TBC fenotipe Th1 dan Th2 dapat saling bergeser (switching) tergantung dari berbagai kondisi, misalnya keparahan penyakit, pengaruh pengobatan dan sebagainya. Aktivasi fenotipe Th1 menghasilkan pola produksi sitokin antara lain IFN-ɤ, sedangkan fenotipe Th2 menghasilkan sitokin antara lain IL-4. Pada penelitian ini dikaitkan dengan kesembuhan dalam pengobatan dengan strategi DOTS selama 2 bulan awal (Chackerian AA, Perera TV, Behar SM. 2001). Hubungan produksi atau kadar sitokin di dalam serum dengan pengobatan telah banyak diteliti, di Indonesia telah diteliti di Yogyakarta dengan hasil produksi IFN-ɤ
pada
PBMC penderita TBC paru aktif yang distimulasi dengan PPD dan mikobakterium sonicate jauh lebih rendah dibanding kontrol sehat dan penyakit paru non tuberkulosis. Tidak terdapat perbedaan pada stimulasi dengan PHA, hal ini menunjukkan penderita tuberkulosis
mempunyai defisiensi yang sifatnya spesifik dalam kapasitasnya
memproduksi IFN-ɤ. Ditemukan produksi IL-13 tidak terdapat perbedaan dengan kontrol. Pada evaluasi terhadap penderita dengan pengobatan strategi DOTS didapatkan produksi IFN-ɤ
yang rendah sebelum terapi, menjadi normal secara cepat setelah
pengobatan, sejalan dengan perkembangan penyakit secara klinis, tetapi tidak terdapat perbedaan secara signifikan pada produksi IL-13 (Chackerian AA, Perera TV, Behar SM. 2001). Penelitian yang telah dilakukan oleh pengusul berkenaan dengan penyakit tuberkulosis adalah peran faktor imunogenetika terhadap kesembuhan pengobatan pada penderita TB paru. Penelitian tersebut bertujuan menjelaskan hubungan faktor HLADRB dengan kesembuhan klinis, dalam hal ini terjadinya konversi BTA pasca 2 bulan pengobatan dengan strategi DOTS dan bagaimana 14
hubungannya dengan kapasitas
produksi IFN-ɤ dan IL-4 di dalam supernatan kultur PBMC. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan nested case control, pada pasien baru tuberkulosis paru dengan pemeriksaan sputum BTA positip yang mendapat pengobatan strategi DOTS selama 2 bulan. Jenis alel (HLA-DRB) yang ditemukan dengan pemeriksaan PCR dinyatakan sebagai variabel paparan, variabel efek adalah hasil pemeriksaan sputum (BTA) dengan pengecatan Ziehl Neelsen yang diteruskan dengan tes Niacin pasca 2 bulan pengobatan, serta produksi IFN-ɤ dan IL-4 (diperiksa dengan metoda ELISA). Sebagai variabel perancu ditetapkan BMI dan jenis kelamin. Analisis dilakukan dengan menghitung rasio odds dengan chi-square dan logistic regression. Untuk hubungannya dengan produksi sitokin dilakukan analisis dengan T- test. Penelitian dilakukan pada sampel sejumlah 73, diperoleh dari 158 pasien baru berobat jalan yang diikuti selama 2 bulan, terdiri dari 34 kasus
(tidak terjadi
konversi/BTA +) dan 39 kontrol (terjadi konversi/BTA -). Penelitian dilakukan di BP4, 12 Puskesmas dan RSUD Kota Semarang. Hasil penelitian adalah alel HLA-DRB1*1502 dan HLA-DRB5*01 merupakan alel yang bersifat risiko pada kasus dibandingkan kontrol terhadap tidak terjadinya konversi BTA pasca 2 bulan pengobatan dengan OR = 3,2 (95% CI: 1,103-9,287). Sedangkan alel HLA-DRB1*1201 dan alel HLA-DRB3*01 merupakan alel yang bersifat protektif pada kasus dibandingkan kontrol, dengan OR= 0,305 (95%CI: 0,117-0,798), alel HLADRB3*01 dengan OR= 0,214 (95%CI: 0,0770,592). Apabila dilakukan penggabungan, alel HLA-DRB1*1502 bersama dengan alel HLA-DRB5*01 dengan OR 4,21 (95% CI: 1,312-13,510), sedangkan alel HLADRB1*1201 bersama alel HLA-DRB3*01 dengan OR 0,201 (95% CI: 0,64-0,628). Population Attributable Risk (PAR) untuk alel HLA-DRB1*1502 bersama dengan HLADRB5*01 sebesar 63,99%. Apabila variabel perancu dimasukkan ke dalam analisis, maka hanya alel HLA-DRB1*1502 yang secara signifikan merupakan faktor risiko untuk tidak terjadinya konversi BTA dengan OR= 4,9 (95% CI: 1,234 -15,617). Probabilitas untuk HLA-DRB1*1502 adalah sebesar 70,57%. Kapasitas produksi IFN-ɤ dan IL-4 tidak berhubungan dengan timbulnya kekebalan maupun kerentanan terhadap konversi BTA yang diakibatkan oleh alel HLA-DRB1*1502, HLA-DRB5*01, HLA-DRB1*1201, dan HLA-DRB3*01. Rerata produksi IFN-ɤ di dalam kultur PBMC dengan stimulasi 0,5 ug/mL adalah sebesar 22,51 ± 26,17 pg/mL, dengan stimulasi PPD 5 ug/mL : 24,70 ± 26,15pg/mL. Dengan stimulasi PHA 50 ug/mL sebesar 152,92 ± 54,55 pg/mL,
15
sedangkan tanpa stimulasi sebesar 3,15 ± 6,19 pg/mL. Produksi IL-4 hanya terdeteksi dengan stimulasi PHA sebesar 15,78 ± 18,70 pg/mL Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah Alel HLA-DRB1*1502 merupakan faktor risiko bagi pasien untuk tidak terjadinya konversi BTA pasca 2 bulan pengobatan strategi DOTS, dengan probabilitas cukup besar. Tidak terdapat hubungan antara kapasitas produksi IFN-ɤ dan IL-4 di dalam supernatan kultur PBMC pasien dengan faktor HLA-DRB. Sehingga disarankan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pola produksi IFN-ɤ pada orang yang kontak serumah dengan penderita TB paru dan juga perlu dilakukan penelitian pada aspek farmakogenetik dalam upaya pemberantasan penyakit tuberkulosis paru di Indonesia. Oleh karena itu pada kesempatan ini, peneliti mengusulkan tema penelitian tentang pola produksi IFN-ɤ pada orang yang kontak serumah dengan penderita tuberkulosa.
16
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis kadar interferon gamma pada orang yang kontak serumah dan orang yang tidak kontak dengan penderita tb paru. Tujuan khusus penelitian adalah: Tujuan khusus: a. Mendeskripsikan karakteristik sampel berdasarkan status paparan b. Mendeskripsikan hasil pemeriksaan tes mantoux berdasarkan status paparan c. Mendeskripsikan kadar interferon gamma berdasarkan status paparan d. Menganalisis hubungan antara status paparan dengan hasil tes mantoux e. Menganalisis perbedaan rerata kadar interferon gamma berdasarkan status paparan 2. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat dalam kajian diagnosa penyakit menular khususnya TB Paru. Hasil penelitian ini akan menjadi dasar pengambilan keputusan dilakukan pencegahan lebih dini pada orang yang kontak serumah dengan penderita TB paru setelah diketahui grafik perkembangan dari kadar IFN-ɤ
17
BAB IV METODE PENELITIAN
1. Kerangka Pikir Penelitian Kerangka pikir pada tahun pertama ini dapat dilihat pada bagan berikut: Sumber Penularan Penderita penyakit
Kelompok terpapar Tes Tub erkulin Positif
Orang Kontak serumah dengan penderita tuberkulosis
Tes Tub erkulin Negatif
Kelompok tak terpapar
Tes Tub erkulin
Orang sehat (negatif TB Paru secara klinis) dan tidak serumah dengan pend erita
Positif Tes Tub erkulin
tuberkulosis
Negatif Tes pertama Anamnese klinis, Tes kadar IFN-ɤ
Bagan 4.1 Kerangka Pikir Penelitian 2. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah orang yang kontak serumah dengan penderita penyakit tuberkulosis (dibatasi dengan umur yang lebih dari 15 tahun) sebagai kelompok terpapar dan yang tidak kontak serumah sebagai kelompok tidak terpapar. Laporan tahun 2009 Dinas Kesehatan Kota Semarang menyebutkan bahwa tedapat 1593 orang yang positif
TB paru dengan 9657 orang yang kontak serumah. Oleh karena itu teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling dengan rumus besar sampel adalah sebagai berikut: 18
Zα x s
2
n= d
Tingkat kepercayaan yang dipilih adalah 95%, ketepatan perbedaan kadar IFN-ɤ antar kelompok adalah 2 ug/mL dengan simpangan baku sebesar 6 (hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh ketua pengusul). Hasil perhitungan menunjukkan jumlah sampel minimal yang harus dipenuhi adalah sebesar 34. Oleh karena itu jumlah sampel pada penelitian ini sebesar 34 pada kelompok terpapar dan 34 pada kelompok tidak terpapar (total 68 responden).
3.
Rancangan Penelitian Penelitian akan dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian analitik
observasional dengan pendekatan kohort (follow up) selama 2 tahun. Tahun pertama penelitian ini meliputi tahap-tahap penelitian sebagai berikut: a. Tahap I (Tahap Identifikasi) Pada tahap ini dilakukan persiapan penelitian (pembuatan instrumen kuesioner riwayat kontak serta kartu kohort) dan identifikasi terhadap anggota keluarga dari penderita tuberkulosis yang hidup serumah. Kegiatan identifikasi ini meliputi identifikasi penderita dan riwayat kontak serumah. Identifikasi penderita dilakukan dengan menggunakan catatan medis pengobatan penderita sedangkan penelusuran riwayat kontak dari anggota keluarga dengan penderita dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Penelusuran riwayat kontak dilakukan untuk mengetahui lama waktu kontak dan pola kontak dengan penderita Pada akhir tahap ini, peneliti akan mendapatkan populasi studi yaitu orang yang kontak serumah dengan penderita penyakit tuberkulosis serta yang tidak kontak serumah. Tahap ini diperkirakan memerlukan waktu kurang lebih 3 bulan. b. Tahap II (Tes tuberkulin dan kadar IFN-ɤ) Kegiatan pada tahap ke dua adalah pemeriksaan status penyakit tuberkulosis dari orang kontak serumah maupun tidak kontak serumah dengan menggunakan anamnese, tes kadar IFN-ɤ serta tes tuberkulin. Anamnese dilakukan untuk mengetahui gejala dan tanda klinis dari sampel. Untuk pemeriksaan kadar IFN-ɤ digunakan Kit PeliKine Compact human IFN-ɣ ELISA kit (Sanquin) Cat. No. M 1933 - 288 test. Pada tes tuberkulin diagnosis ditegakkan dengan melihat luasnya 19
daerah indurasi pada kulit. Pada tahap ini merupakan permulaan pengukuran dan pengamatan pola kadar IFN-ɤ. Pada tahap ini akan diketahui status orang kontak serumah dengan penderita tersebut sudah terinfeksi Micobacterium tuberculosa atau belum. Kegiatan pada tahap ini diperkirakan akan dilaksanakan selama 3 bulan. 4. Penyajian dan Analisa data Penyajian data dibuat baik dengan menggunakan narasi, tabel, grafik, dan pemetaan dari sampel. Tabel digunakan untuk menyajikan data karakteristik termasuk IFN-ɤ. Sedangkan grafik dibuat untuk
status penyakit/infeksi dan data kadar
menunjukkan kecenderungan atau fluktuasi kadar IFN-ɤ. Analisis secara statistik akan digunakan dengan uji T- test untuk mengetahui perbedaan rata-rata kadar IFN-ɤ pada orang kontak serumah berdasarkan status tes tuberkulin. T- test juga digunakan untuk menguji perbedaan rata-rata kadar IFN-ɤ pada orang kontak serumah berdasarkan lama durasi infeksi sampai muncul tanda klinis.
20
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Karakte ristik Responde n Tabel 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat pendidikan, Tidur sekamar dengan penderita TB, Jenis lantai, Kondisi ventilasi, Kepadatan rumah, Kebiasaan merokok, Status imunisasi BCG, dan Status Gizi Terpapar Tidak Terpapar Karakteristik f % f % Tingkat pendidikan tidak sekolah & tak lulus SD 1 2,9 1 2,9 SD/Sederajat 11 32,4 0 0,0 SMP/Sederajat 3 8,8 0 0,0 SMA/Sederajat 14 41,2 23 67,6 D3/lebih 5 14,7 10 29,5 Tidur sekamar dengan penderita TB ya tidak
25 9
73,5 26,5
0 34
0,0 100,0
Jenis lantai tanah semen/sejenis
1 33
2,9 97,1
1 33
2,9 97,1
Kondisi ventilasi tidak berjendela berjendela
0 34
0,0 100,0
1 33
2,9 97,1
Kepadatan rumah sekamar >3 orang sekamar 3 orang sekamar 2 orang sekamar 1 orang
3 9 22 0
8,8 26,5 64,7 0,0
1 3 26 4
2,9 8,8 76,5 11,8
Kebiasaan merokok ya tidak
6 28
17,6 82,4
8 26
23,5 76,5
Status imunisasi BCG tidak diimunisasi diimunisasi
11 23
32,4 67,6
0 34
0,0 100,0
Status gizi underweight normal overweight obese
5 13 5 11
14,7 38,2 14,7 32,4
6 19 2 7
17,6 55,9 5,9 20,6
21
Tabel 5.1 menunjukkan Jumlah subyek penelitan yang dianalisis adalah 68 sampel, terdiri dari 34 kelompok terpapar dan 34 kelompok tidak terpapar. Hasil identifikasi sampel menurut
pendidikan adalah sebagian besar pendidikan
SD/sederajat pada kelompok terpapar lebih besar (32,4%) dibanding tidak terpapar (0,0%), namun sampel yang SMA/sederajat lebih besar pada kelompok tidak terpapa (67,6% disbanding 41,2%) demikian pula pada tingkat pendidikan D3/lebih, pada kelompok tidak terpapar lebih besar (29,5%) daripada kelompok terpapar (14,7%). Sampel terpapar tidur sekamar dengan penderita sebanyak 25 orang (73,5%) lebih besar dibanding kelompok tidak terpapar (0,0%).
Keadaan lantai rumah tidak
berbeda antara kelompok terpapar dengan tidak terpapar yaitu pada umumnya berlantai semen/sejenis (masing-masing 97,1%). Ventilasi rumah dapat diidentifikasikan umumnya berjendela, hanya pada kelompok terpapar lebih besar (100,0%) dibanding kelompok tidak terpapar yang hanya 97,1%. Kepadatan rumah didapatkan satu kamar tidur dihuni > 3 lebih banyak terjadi pada kelompok terpapar 8,8 dibanding kelompok tidak terpapar (2,9%), demikian pula pada kepadatan rumah yang tidur sekamar 3 orang masih banyak pada kelompok terpapar. Kebiasaan merokok menunjukkan proporsinya lebih besar pada kelompok tidak terpapar dibanding terpapar yaitu 23,5% dibanding 17,6%. Status imunisasi BCG, terdapat 11 orang (32,4%) pada kelompok terpapar tidak didapatkan parut/tanda bekas imunisasi, sedangkan sampel pada kelompok tidak terpapar 100,0% pernah mendapatkan imunisasi BCG. Proporsi status gizi yang normal lebih banyak pada kelompok tidak terpapar sebesar 55,9% dianding 38,2%. Sedangkan yang underweight lebih besar pada kelompok tidak terpapar 17,6% dibanding kelompok terpapar yang hanya 14,7%. Tabel 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur, Tinggi Badan, Berat Badan, dan BMI Variabel Umur (th) Tinggi badan (cm) Berat badan (kg) BMI
Rerata
Minimum Terpapar
Maksimum
Terpapar
Tidak Terpapar
Tidak Terpapar
Terpapar
Tidak Terpapar
39,6
20,9
16
19
85
24
158,9 57,9 22,9
164,1 59,2 21,8
140 30 11,7
155 40 16,6
175 83 32,4
178 92 32,9
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa rerata umur antara kelompok terpapar dengan tidak terpapar cukup jauh berbeda yaitu 39,6 tahun dibanding 20,9 tahun sedangkan rerata tinggi dan berat badannya tidak jauh berbeda. Demikian pula dengan rerata 22
basal metabolism index (BMI). Pada kelompok terpapar, nilai minimum BMInya mencapai 11,7 sedangkan nilai maksimum BMI antara kelompok terpapar dan tidak terpapar hampir sama. Status BCG dan status gizi sampel tidak menunjukkan ada hubungan yang signifikan dengan kadar interferon gamma setelah diuji dengan Chi square (p value 0,299, dan 0,131).
2.
Hasil Tes Mantoux Tabel 5.3 Distribusi Hasil Tes Mantoux Berdasarkan Status Responden Status Kontak Serumah Tidak Kontak serumah
Hasil Tes Mantoux Positif Negatif f % f % 27 79,4 7 20,6 2 5,9 32 94,1
Total f 34 34
% 100,0 100,0
Pada kelompok sampel dengan hasil tes mantoux yang positif pada kelompok kontak serumah (79,4%) jauh lebih besar dari kelompok yang tidak kontak serumah (5,9%), sedangkan pada hasil tes mantoux yang negatif, proporsinya pada kelompok tidak kontak serumah dengan penderita tb paru 4 kali lebih besar dibanding kelompok yang kontak serumah. Setelah dilakukan uji Chi square, diperoleh p value sebesar 0,0001dan nilai x2 sebesar 34,631. Ini berarti status responden (terpapar dan tidak terpapar) berhubungan signifikan dengan hasil tes mantoux. 3.
Hasil Peme riksaan Kadar Inte rferon Gamma 50
40
40
30
36
20
10
0
-10 N=
34
34
Ter papar
Tidak terpapar
status responden
Gambar. 5.1 Grafik Boxplot Kadar Interferon Gamma Berdasarkan Status Responden 23
Rerata kadar interferon gamma pada kelompok yang terpapar kontak serumah dengan penderita Tb paru sebesar 5,32 pg/ml sedangkan pada kelompok yang tidak terpapar lebih kecil yaitu 1,1 pg/ml. Demikian pula nilai maksimum dan minimum, pada kelompok yang terpapar kontak serumah dengan penderita Tb paru lebih besar daripada kelompok yang tidak terpapar dengan nilai 38,2 pg/ml dan 0,54 pg/ml dibanding 2,7 pg/ml dan 0,14 pg/ml. Setelah dilakukan uji statistik beda rerata dengan menggunakan Man Whitney U test (data kadar interferon gamma berdistribusi tidak normal) menunjukkan p-value 0,0001. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan rerata kadar interferon gamma secara signifikan antara kelompok terpapar kontak serumah dengan penderita tb paru dengan kelompok yang tidak terpapar. Setelah dilakukan kategori kadar interferon, maka diperoleh gambaran sebagai berikut: Tabel 5.4 Distribusi Kategori Kadar Interferon Gamma Berdasarkan Status Responden Status Responden
Total
Kategori kadar interferon gamma > 15,7
< 15,6
f
%
f
%
f
%
Terpapar
2
5,9
32
94,1
34
100,0
Tidak terpapar
0
0,0
34
100,0
34
100,0
Tabel 5.4 menunjukkan sampel dengan kadar interferon gamma yang > 15,7 pg/ml, proporsinya pada kelompok terpapar (5,9%) lebih besar daripada kelompok tidak terpapar (0,0%). Sebaliknya pada sampel dengan kadar interferon gamma yang < 15,6 pg/ml, proporsinya pada kelompok terpapar (94,1%) lebih kecil daripada kelompok tidak terpapar (100,0%)
4.
Pembahasan Pada penelitian ini ingin dibandingkan hasil pemeriksaan Uji Tuberkulin dengan pemeriksaan serologis kadar IFN gamma pada kelompok kontak serumah dengan penderita TBC yang mempunyai hasil pemeriksaan BTA+. Kit yang dipergunakan masih menggunakan
Human IFN gamma
Quantikine Kit, tidak menggunakan
QuantiFeron-TB Gold (QFT-G) atau T-SPOT yang telah dianjurkan pemakaiannya oleh CDC ( the US Centers for Disease Control and Prevention) sejak Tahun 2005 24
kemudian diperbaharui dan di publikasikan kembali pada tanggal 25 Januari tahun 2010 (Wongtim S et all, 1999, Lee JY, Choi HJ, 2006, Miranda C, 2010), serta dibuktikan mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (Soysal A, 2008). Mengapa masih dipergunakan Human IFN gamma Quantikine Kit? Hal ini mengingat hasil penelitian oleh peneliti sebelumnya menunjukkan terdapatnya hubungan kadar IFN gamma pada proses kesembuhan penderita TBC (Sri Andarini I, 2009). Oleh peneliti lain di Yogyakarta didapatkan juga terdapatnya hubungan kadar IFN gamma dengan kadar TH1 dan TH2 (Subronto YW, 2002). Disamping harga dari Kit tersebut yang relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan kedua Kit terbaru tersebut, sehingga apabila ditemukan hasil yang signifikan dapat secara lebih ekonomis dpergunakan untuk deteksi dini penyakit TBC paru. Hasil penelitian tahun pertama ini sudah menunjukkan terdapatnya hubungan kadar IFN gamma pada kelompok terpapar dan tidak terpapar (p value 0,0001). Harapan peneliti dengan mengikuti perjalanan paparan selama 6-8 bulan kemudian, dapat ditemukan perkembangan yang signifikan dari kadar IFN gamma tersebut. Meskipun TST (Tuberkuline Skin Test)/Tes Mantoux dalam beberapa dekade telah
dipergunakan sebagai standar untuk mendeteksi TBC laten tetapi masih
mempunyai keterbatasan. Vaksinasi BCG dikatakan masih dapat mempengarui hasil positif dari pemeriksaan tersebut (fals positif). Kemudian ditemukan bahwa IFN release assays dapat dipergunakan sebagai alternatif standar di dalam penentuan TBC laten. Implementasi yang berhasil pengunaaan IFN release Assays telah dibuktikan pada penelitian terhadap pekerja kesehatan, personil laboratorium, dan klinisi yang patut diduga menderita TBC laten . Penelitian menggunakan TB-Gold In Tube test dengan standar ≥ 0,35 IU ml/>25% dari nilai Nul (Wongtim S et all, 1999, Lee JY, Choi HJ, 2006, Miranda C, 2010). Pada penelitian ini adalah penderita kontak serumah dengan penderita TBC aktif (BTA +). Karakteristik sampel di kedua kelompok yaitu terpapar dan tidak terpapar tidak jauh berbeda, hanya pada umur secara rerata pada kelompok terpapar jauh lebih tua dari kelompok tidak terpapar. Namun demikian faktor umur belum ada laporan yang menyebutkan dapat mempengaruhi kadar interferon gamma. Oleh karena itu dari segi pemilihan sampel sudah tidak berpengaruh terhadap faktor penelitian. Demikian pula status imunisasi BCG dan status gizi tidak menunjukkan ada hubungan dengan kadar interferon gamma. Penelitian ini menghasilkan temuan 25
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status paparan dengan hasil pemeriksaan TST (p value, 0001), serta terdapat perbedaan rerata kadar interferon gamma secara signifikan berdasarkan status paparan. Rerata kadar interferon gamma pada kelompok terpapar 5 kali lebih besar dibanding rerata pada kelompok tidak terpapar. Ini menunjukkan bahwa kadar interferon gamma sudah mulai menunjukkan peluang untuk menjadi indikator dalam melihat perkembangan penyakit TBC pada kelompok yang rentan khususnya yang kontak serumah dengan penderita. Penelitian sebaiknya dilanjutkan untuk mengikuti perkembangan kadar IFN gamma pada penderita kontak serumah tersebut sehingga dapat melihat keterkaitannya dengan perkembangan gejala fisiknya. Penelitian di Yunani menyebutkan terdapat hubungan siknifikan antara indurasi TST dan parut BCG yang terdapat (p < 0,0001), tetapi tidak terdapat hubungan signifikan pada kelompok umur yang berbeda (6,12,15 tahun) pada diameter dari indurasi TST (Lalvani A, Pareek M. 2010, Pareek M. 2011, Briassoulis G. 2005). Oleh karena Baku Emas (Gold standard) untuk infeksi TBC laten belum ada maka sulit untuk menilai apakah uji baru lebih baik dari uji tuberkulin. Penilaian sensitivitas dan spesitivitas alat uji baru sulit dilakukan tanpa referensi uji sebagai baku emas (Subagyo A, 2006). Di beberapa negara telah banyak dilakukan penelitian yang membandingkan efektifitas dari IFN gamma release assays dengan TST. Diantaranya di Korea Selatan, suatu negara dengan keadaan intermediate TB burden, telah dibandingkan hasil dari TST, QFT-G dan T-SPOT TB assays. Dari 224 partisipan, didapatkan hasil dari 168 pasien, 87 orang menderita TB aktif, 131 orang dari kelompok dengan risiko rendah untuk TBC. Dengan penetapan cut off
untuk TST 10mm, didapatkan
sensitivitas untuk SPOT (96,6%), secara signifikan lebih tinggi dari TST (66,7%) dan QFT-G (70,1%). Untuk spesivisitas QFT-G lebih tinggi dari pada TST
(91,6%
versus 78,6%). Spesivisitas QFT-G lebih tinggi dari pada SPOT ( 91,6% versus 84,7%). (Legesse M, 2011) Penelitian di Belanda menyebutkan bahwa hasil positif pemeriksaan dengan darah (serologis) berhubungan dengan pajanan, tetapi pemeriksaan dengan TST tidak berhubungan dengan pajanan. Terjadi kurang sensitifan dari IFN assays di dalam mendeteksi individu dengan hasil pemeriksaan TST > dari 15 mm atau lebih serta status imunisasi BCG (Koksal D, 2006).
26
Peneliti lain menyebutkan bahwa QFT-G dapat dipergunakan sebagai pengujian penelitian yang bersifat seri. Akan tetapi pengulangan tes harus dibaca secara berhati-hati oleh karena dapat dimungkinkan terjadinya infeksi non spesifik baru (Wong Cf, et all , 2003) Pemeriksaan IFN gamma dari cairan pleura pada pleuritis TBC dapat dipergunakan sebagai diagnostik marker. Kadar IFN gamma secara siknifikan ditemukan lebih tinggi pada penderita TBC dibanding individu non TBC (131,3 pg/ml versus 50,4 pg/ml dengan p value < 0,01). Penelitian dilakukan di sebuah RS Bangkok (Arend SM, 2007, Pai M, Joshi R, 2006), penelitian lain menyebutkan apabila cut off values 60 pg/ml ditemukan sensitifitas sebesar 79,4% dan spesifisitas 100% untuk pemeriksaan dengan IFN release assay. (Carandang EH. 1988) Penetapan cut off values untuk TST, QFT dan SPOT dapat meningkatkan sensitifitas untuk masing-masing assay tetapi spesifisitas untuk QFT tetap. Ditemukan sensitivitas untuk TST 70%, QFT 78%, T SPOT 83,5%. Sedangkan spesifisitas TST 35%, QFT 89,4% dan T-SPOT 84,8%. QFT dan T-SPOT secara signifikan lebih spesifik dibanding TST (p value < 0,01). Apabila cut off values dinaikkan maksimal sebesar 0,818 IU/ml untuk QFT sensitifitas tidak berkurang, meningkatkan untuk TST dan T SPO Ttetapi secara signifikan menurunkan spesifitasnya (Lee JY, Choi HJ et all, 2006), demikian juga penelitian di Kuwait menyebutkan QFT-G-IT dan TSPOT.TB dapat dipergunakan untuk Penderita TBC dengan infeksi laten. (Arend SM, et all, 2001) ACS (an Advisory Committee Statement) dari CTC ( Canadian Tuberculosis Committee) memberikan rekomendasi dan melakukan pembaruan rekomendasi pada tahun 2008 yang menyatakan bahwa pada orang dewasa atau anak-anak yang mengalami kontak dengan penderita TBC paru aktif direkomendasikan dapat menggunakan IGRA sebagai tes konfirmasi pada individu dewasa atau anak yang mempunyai hasil TST positif pada pemeriksaan Tes Tuberkulin yang patut diduga dapat mengalami TBC laten (LTBI/ Latent Tuberculosis Infection), serta diduga tidak akan berisiko menjadi kasus TBC aktif. Sedangkan pada kontak yang dekat yang patut diduga dapat mengalami pengembangan menjadi kasus aktif apabila terinfeksi, TST atau TST dan IGRA harus dipergunakan. Apabila TST dan IGRA dilakukan direkomrendasikan hasil IGRA sebagai penggambaran keadaan sebelum atau pada waktu TST dibaca. (Miranda C. et all, 2010). Di Turki di dapatkan hasil penelitian yang menunjukkan IGRA merupakan alat diagnostik yang mempunyai nilai 27
diagnostik dengan dengan sensitifitas dan spesifisitas yang lebih tinggi. Turki merupakan negara dengan insidensi rendah (Soysal A. et all, 2008). IGRA dapat dipergunakan untuk diagnosa TBC aktif dan latent, sedangkan T-SPOT TB assay dipergunakan dengan menggunakan ESAT-6 dan CFP-10 untuk pasien TBC yang sedang di dalam pengobatan (CCDR. 2008). Igra apabila sensitifitasnya dikembangkan dapat
dipergunakan untuk melakukan eksklusi penderita LTBI
dengan keadaan immunocompromised (Zhao J. et all, 2011. Ahmad S. 2010). Skrining dengan menggunakan Igra untuk LTBI merupakan suatu hal yang cost efektif, hal ini telah dibuktikan pada penelitian yang dilakukan pada kaum imigran di London Inggris di dalam upaya pencegahan penyakit menjadi TBC aktif (Pareek M, 2011). Tetapi penelitian lain menyebutkan bahwa ESAT-6 dan CFP-10 kurang sensitif apabila dipergunakan untuk mendiagnosis LTBI dibanding PPD (67 versus 100%) (Dilektasli AG. Et all, 2010). Meskipun pada beberapa negara telah dibuktikan sensitifitas dan spesifisitas dari TTPOT.TB; akan tetapi pada penelitian yang dilakukan di China pada 899 pelajar untuk melakukan skrining terhadap LTBI, ditemukan bahwa terdapat hasil: Positip untuk untuk T-SPOT .TB 13,0% (95% CI 10,4-15,4) dan 24,9% untuk TST (95% CI 21,5-28,6) pada sampel dengan parut BCG ( agreement 72,3%; 95% CI: 68,6-75,8). Pada sampel tanpa parut BCG 17,3% (95% CI 11,7-24,2) dan 23,7% (95%CI: 17,331,2) sedangkan agreement 73,1% (95% CI 65,4-79,9). Hasil ini menunjukkan rendahnya hasil dibandingkan agreement (kesepakatan) yang telah dtetapkan untuk pemeriksaan TST dan T-SPOT.TB (Zhang S. et all, 2010). Dengan melihat hasil- hasil penelitian di beberapa negara tersebut, pemeriksaan maupun skrining untuk penderita yang diduga menderita infeksi TBC laten, masih memerlukan penelitian-penelitian lebih lanjut dengan melihat prevalens TBC pada suatu negara.
28
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Kesimpulan a. Sebagian besar pendidikan SD/sederajat pada kelompok terpapar lebih besar (32,4%) dibanding tidak terpapar (0,0%) b. Sampel terpapar tidur sekamar dengan penderita sebanyak 25 orang (73,5%) lebih besar dibanding kelompok tidak terpapar (0,0%). c. Keadaan lantai rumah antara kelompok terpapar dengan tidak terpapar yaitu berlantai semen/sejenis (masing-masing 97,1%) d. Rerata umur antara kelompok terpapar dengan tidak terpapar cukup jauh berbeda yaitu 39,6 tahun dibanding 20,9 tahun. e. Rerata BMI pada kelompok terpapar, nilai minimum BMInya mencapai 11,7 f. Hasil tes mantoux yang positif pada kelompok kontak serumah (79,4%) dan dari kelompok yang tidak kontak serumah (5,9%). g. Rerata kadar interferon gamma pada kelompok yang terpapar kontak serumah dengan penderita Tb paru sebesar 5,32 pg/ml sedangkan pada kelompok yang tidak terpapar 1,1 pg/ml h. Terdapat hubungan yang signifikan antara status paparan dengan hasil tes mantoux (p value 0,0001dan nilai x2 sebesar 34,631) i. Terdapat perbedaan rerata kadar interferon gamma secara signifikan antara kelompok terpapar kontak serumah dengan penderita tb paru dengan kelompok yang tidak terpapar (p-value 0,0001).
2.
Saran Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengikuti perkembangan IFN gamma berdasarkan status paparan.
29
DAFTAR PUSTAKA Arend SM, Thijsen SFT, Leyten EMS, Bouwman JJM, Franken WPJ, Koster BFPJ, Cobelens FGJ, Van Houte AJ, Bossink AWJ. 2007. Comparison of Two InterferonAssays and Tuberculin Skin Test for Tracing Tuberculosis Contacts. Am J of Resp Crit Med.; 175: 618-627 Arend SM, Engelhard AC, Groot G, de Boer K, Andersen P, Ottenhoff TH, van Dissel JT. 2001. Tuberculin skin testing compared wih T-cell responses to Mycobacterium tuberculosis-specific and nonspecific antigens for detection of latent infection in persons with recent tuberculosis contact. Clin Diagn Lab Immunol. Nov; 8(6): 1089-96 Ahmad S. 2010. New approaches in the diagnosis and treatment of latent tuberculosis infection. Respir Res Des 3; 11: 169 Ahmad Kabeer BS, Paramasivan P, Raja A. Role of Interferon Gamma Release Assay in Active TB Diagnosis among HIV infected individuals. Plos ONE . Des 2008; (5): e 57 Briassoulis G, karabatsou I, Gogoglou V, Tsorva A. 2005. BCG vaccination ay three different age groups: response and effectiveness. J of Imm Based Therapies and Vacc, 3:1 Crevel RV, et al. 2001. Mycobacterium tuberculosis Beijing genotype associated with febrile response to treatment. Emerging infectious disease:; Vol.7, No. 5: 880-3. Chackerian AA, Perera TV, Behar SM. 2001. Gamma interferon- producing CD4⁺ T lymphocytes in the lung correlate with resistance to infection with mycobacterium tuberculosis. American Society of Microbiology: Infection and Immunity; Carandang EH. 1988. Re-evaluation of Mantoux Test in Filipino Adults: A Preliminary Study. Phil J Microbiol Infect Dis; 17(1): 29-33 Canada Communicable Disease Report (CCDR). 2008. An Advisory Committee Statement (ACS). Canadian Tuberculosis Committee (CTC): Updated recomendations on interferon –gamma release assays for latent tuberculosis infection. October; 34(6): 1-13 Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular.1997. Modul Pelatihan Program Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Tingkat Puskesmas. Depkes RI. Jakarta Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2010, Profil Kesehatan Kota Semarang 2009, Semarang Ditjen PPM & PLP Depkes RI. 1997. Tatalaksana Pengobatan. Jakarta: pelatihan Program Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis tingkat Puskesmas.; modul 4: 1-41
30
Dilektasli AG, Erdem E, Durukan E, Eyuboglu FO. 2010. Is the T-cell-based interferongamma releasing assay feasible for diagnosis of latent tuberculosis infection in an intermediate tuberculosis-burden country? Jpn J Infect Dis. N0v; 63(6): 433-6 Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular 1997. Modul Pelatihan Program Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Tingkat Puskesmas. DepKes RI. Jakarta. Hassain S, Afsal N, Javaid K, Ullah M, Ahmad T, Saleem UZ. Level of interferon gamma in the blood of tuberculosis patients. Iran J Immunol 2010 Dec; &(4):240-6 Jawetz. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. ECG, Jakarta, Kresno SB. 2001. Diagnosis dan prosedur laboratorium. Balai Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta;: 83-95 Koksal D, Unsal E, Poyraraz B, Kaya A, Savas H, Sipit T, Gonullu U. 2006. The Value of serum interferon-gamma level in the differensial diagnosis of active and inactive pulmonary tuberculosis. Tuberk Toraks;54(1): 17-21 Legesse M, Ameni G, Mamo G, Medhin G, Bjune G, Abebe F. 2011. Community-based cross-setional survey of latent tuberculosis infection in Afar pastoralists Ethiopia using Quantiferon-TB Gold In-Tube and tuberculin skin test. BMC Infect Dis.;11(89). Lee JY, Choi HJ, Park IN, Hong SB, Obr Mh, YM, Lim, CM, Lee SD, Koh Y, Kim WS, Kim Ds, Kim WD, Shim TS. 2006. Comparson of two commercial interferon gamma assay for diagnosin Mycobacterium Tuberculosis infection. Eur Re17(p J; 28(1): 24-30 Lalvani A, Pareek M. 2010. A 100 year update on diagnosis of tuberculosis infection. Br Med Bull; 93: 69-84 M. Sopiyudin Dahlan, 2002. Statistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan, Arkans, Jakarta. Miranda C, Tomford JW, Gordon SM. 2010. Interferon- gamma release assays: better than tuberculin skin testing? Cleveland Clin J of Med.; 77(9): 606-610 Pareek M, Watson JP, Ormerod LP, Kon OM, Woltmann G, White PJ, Abubakar I, Lalvani A. 2011. Screening of immigrants in the UK for imported latent tuberculosis: a multientre cohort study an cost-ffectiveness analysis. Lancet Infect Dis Jun; 11(6): 435-44 Pai M, Joshi R, Dogra S, Mendiratta DK, Narang P, Kalantri S, Reingold AL, Colford JM, Riley LW, Menzies D. 2006. Serial Testing of Health Care Workers for Tuberculosis Using Interferon-gamma assay. Am J of Resp Crit Med; 174(3): 349-355 31
Quantikine Human IFN-Y Immunoassay. For the quantitative determinations in cell culture supernates, serum, and plasma. Catalog Number DIF 50. R&D Systems Inc 614 McKinley place NE Minneapolis MN 55413 . United States of America. Singh MM. 1999. Immunology of tuberculosis an update. New Delhi: Ind J Tub; Sudigdo S. & Sofyan ismael. 2002. Dasar-dasar Metodologi Penelitian klinis. Edisi ke 2. Sagung Seto Jakarta Subagyo A, Aditama T Y, Sutoyo DK, Partakusuma LG. 2006. Pemeriksaan Interferon gamma dalam darah untuk deteksi infeksi tuberkulosis. Jurnal Tuberkulosis Indonesia; 3 ( 2): 6-19 Soysal A, Torun T, Efe S, Gencer H, Tahaoqlu K, Bakir M. 2008. Evaluation of cut-off values of interferon-gamma-based assays in the diagnosis of M. Tuberculosis infection. Int J Tuberc Lung Dis. Jan; 12(1): 50-6 Sakti H. Kadar Interferon gamma penderita tuberkulosis. Disertasi 2010. Program Doktor Psikologi UGM. Sri Andarini I, 2009, Pola Sitokin TH1 dan TH2 pada Penderita Tuberkulosis Paru, Jurnal Visikes, vol. 8, no. 1, Maret 2009 ISSN 1412-3746. F. Kesehatan Udinus Semarang Subronto YW, Sunardi T, Arend SM, Geluk A, de Broer T, van Meijgaarden K, Hisyam B, de Vries RRP, Ottenhof THM. 2002. Type-1 and type-2 cytokin patterns in relations to clinical manifestations of patiens with active tuberculosis in Indonesia. Royal Netherland Academy of Arts and Sciences (KNAW). Thesis Uneveriteit Leiden; 45-58 World Health Organization (WHO). 2000. Global Tuberculosis Control. WHO Report WHO. Geneva Wong Cf, Yew Ww, Leung SK, Chan Cy, Hui M, Yeang CA, Cheung AF. 2003. Assay of pleural fluid interleukin-6, tumor necrosis factor-alpha and interferon- gamma in the diagnosis and outcome correlation of tuberculous infection. Respir Med. Dec; 97(12): 1289-95 Wongtim S, Silachamroon U, Ruxrungtham K, Udompanich V, Limthongkul S, Charoenlap P, Nuchprayoon C. 1999. Interferon gamma for diagnosing tuberculous pleural. Thorax; 54: 921-924 Yoga. Tjandra. 1999. Tuberkulosis Diagnosis, Terapi dan Permasalahannya, Lab. Mikrobiologi RSUP Persahabatan. Jakarta Zhang S, Shao L, Mo L, Chen J, Wang F, Meng C, Zhong M, Wu M, Wen X, Zhang W. 2010. Evaluation of gamma interferon release assay using Mycobacterium tuberculosis antigens for diagnosis of latent and active tuberculosis in Mycobacterium bovis BCG-vaccinated populations. Clin Vaccine Immunol Des; 17(12): 1985-90 32
Zhao J, Wang Y, Wang H, Jiang C, Liu Z, Meng X, Song G, Chen N, Grviss EA, Ma X. 2011. Low agreement between the T-SPOTT .TB assay and tuberculi skin test among college students in China. Int J Tuberc Lung Dis Jan; 15(1): 134-6
33
Lampiran 1.
OUTPUT PENGOLAHAN DATA NPar Tests Mann-Whitney Test Ranks
status responden Terpapar kontak serumah
kadar interf eron gamma
N
Mean Rank
Sum of Ranks
34
47.66
1620.50
Tidak terpapar
34
21.34
725.50
Total
68
Tes t Statis ticsa
Mann-Whitney U Wilcoxon W
kadar interf eron gamma 130.500 725.500
Z
-5.514
A symp. Sig. (2-tailed)
.000
a. Grouping Variable: status responden
Crosstabs s tatus re sponden * has il tes m antoux Cros stabulation hasil tes mantoux status responden
Terpapar kontak serumah
Count
Tidak terpapar
Count
Total
positif 27
% w ithin s tatus responden
7
Total 34
79.4%
20.6%
100.0%
2
32
34
5.9%
94.1%
100.0%
29
39
68
42.6%
57.4%
100.0%
% w ithin s tatus responden Count % w ithin s tatus responden
negatif
Chi-Square Te s ts
Pearson Chi-Square Continuity
Correction a
Likelihood Ratio
1
A sy mp. Sig. (2-s ided) .000
34.631
1
.000
43.005
1
.000
V alue 37.577 b
df
Fisher's Exact Test Linear-by -Linear A ss ociation
37.025
N of V alid Cases
68
1
Ex ac t Sig. (2-s ided)
Ex ac t Sig. (1-s ided)
.000
.000
.000
a. Computed only f or a 2x2 table b. 0 cells (.0%) have ex pected c ount less than 5. The minimum expected count is 14.50.
34
Crosstabs k ate gori bm i * status re s ponde n Cross tabulation status responden kasus kategori bmi
underw eight
% w ithin kategori bmi Normal
5
6
Total 11
45.5%
54.5%
100.0%
Count Count % w ithin kategori bmi
Overw eight obes e
13
19
32
40.6%
59.4%
100.0%
Count % w ithin kategori bmi
5
2
7
71.4%
28.6%
100.0%
Count % w ithin kategori bmi
Total
11
7
18
61.1%
38.9%
100.0%
Count % w ithin kategori bmi
kontrol
34
34
68
50.0%
50.0%
100.0%
Chi-Square Te s ts
3
A sy mp. Sig. (2-s ided) .335
Likelihood Ratio
3.447
3
.328
Linear-by -Linear A ss ociation
1.893
1
.169
N of V alid Cases
68
V alue 3.391a
Pearson Chi-Square
df
a. 2 cells (25.0%) hav e expec ted count less than 5. The minimum ex pec ted count is 3.50.
s tatus re sponden * k ate gori k adar inte rfe ron gam m a Cross tabulation kategori kadar interf eron gamma >=15,7 status responden
terpapar kontak serumah
% w ithin s tatus responden tidak terpapar
2
<=15,6 32
Total 34
5.9%
94.1%
100.0%
0
34
34
.0%
100.0%
100.0%
2
66
68
2.9%
97.1%
100.0%
Count
Count % w ithin s tatus responden
Total
Count % w ithin s tatus responden
OLAP Cubes status responden: Total
umur responden
Mean 30.15
Std. Deviation 14.455
Minimum 16
Max imum 85
tinggi badan
161.51
7.623
140
178
berat badan
58.53
12.132
30
92
22.4170
4.26114
11.72
32.99
BMI
35
OLAP Cubes status responden: terpapar kontak s erumah Mean 39.47
Std. Deviation 15.598
Minimum 16
Maximum 85
tinggi badan
158.97
7.701
140
175
berat badan
57.85
11.615
30
83
22.9911
4.78396
11.72
32.42
Mean 20.82
Std. Deviation 1.336
Minimum 19
Maximum 24
164.06
6.733
155
178
umur responden
BMI
OLAP Cubes status responden: tidak terpapar
umur responden tinggi badan berat badan BMI
59.21
12.765
40
92
21.8430
3.64685
16.65
32.99
s tatus im unisasi BCG * k ate gori k adar inte rfe ron gam m a Cr os stabulation kategori kadar interf eron gamma >=15,7 status imunisasi BCG
tidak ada
Count % w ithin s tatus imunis as i BCG
ada
Count % w ithin s tatus imunis as i BCG
Total
Count % w ithin s tatus imunis as i BCG
1
<=15,6 10
Total 11
9.1%
90.9%
100.0%
1
56
57
1.8%
98.2%
100.0%
2
66
68
2.9%
97.1%
100.0%
Chi-Square Te s ts
Pearson Chi-Square Continuity Correction a Likelihood Ratio
1
A sy mp. Sig. (2-s ided) .187
.118
1
.731
1.276
1
.259
V alue 1.739b
df
Fisher's Exact Tes t Linear-by-Linear A ss ociation
1.713
N of V alid Cases
68
1
Ex act Sig. (2-s ided)
Ex ac t Sig. (1-s ided)
.299
.299
.191
a. Computed only f or a 2x2 table b. 2 cells (50.0%) hav e ex pec ted count less than 5. The minimum expected c ount is .32.
Crosstabs 36
s tatus im unisasi BCG * s tatus re sponden Cr os stabulation status responden
status imunisasi BCG
tidak ada
Count % w ithin s tatus responden
ada
Count % w ithin s tatus responden
Total
Count % w ithin s tatus responden
terpapar kontak serumah 11
tidak terpapar 0
Total 11
32.4%
.0%
16.2%
23
34
57
67.6%
100.0%
83.8%
34
34
68
100.0%
100.0%
100.0%
tidur se kam ar de ngan kontak * status r es ponde n Cross tabulation status responden
tidur sekamar dengan kontak
ya
Count % w ithin s tatus responden
tidak
Count % w ithin s tatus responden
Total
Count % w ithin s tatus responden
37
terpapar kontak serumah 25
tidak terpapar 0
Total 25
73.5%
.0%
36.8%
9
34
43
26.5%
100.0%
63.2%
34
34
68
100.0%
100.0%
100.0%
tingkat pe ndidik an * status res ponde n Cros stabulation status responden
tingkat pendidikan
tak sekolah
Count % w ithin s tatus responden
tak lulus SD
Count % w ithin s tatus responden
SD/sederajat
Count % w ithin s tatus responden
SLTP/s ederajat
Count % w ithin s tatus responden
SMU/sederajat
Count % w ithin s tatus responden
D3/lebih
Count % w ithin s tatus responden
Total
Count % w ithin s tatus responden
terpapar kontak serumah 1
tidak terpapar 0
2.9%
.0%
1.5%
0
1
1
.0%
2.9%
1.5%
11
0
11
32.4%
.0%
16.2%
3
0
3
8.8%
.0%
4.4%
14
23
37
41.2%
67.6%
54.4%
5
10
15
14.7%
29.4%
22.1%
34
34
68
100.0%
100.0%
100.0%
Total 1
jenis lantai * s tatus res ponde n Cros stabulation status responden
jenis lantai
tanah
Count % w ithin s tatus responden
semen/sejenis
Count % w ithin s tatus responden
Total
Count % w ithin s tatus responden
38
terpapar kontak serumah 1
tidak terpapar 1
2.9%
2.9%
2.9%
33
33
66
97.1%
97.1%
97.1%
34
34
68
100.0%
100.0%
100.0%
Total 2
ve ntilas i * status res ponde n Cross tabulation status responden
ventilasi
tidak berjendela
Count
terpapar kontak serumah 0
tidak terpapar 1
.0%
2.9%
1.5%
34
33
67
100.0%
97.1%
98.5%
34
34
68
100.0%
100.0%
100.0%
% w ithin s tatus res ponden berjendela
Count % w ithin s tatus res ponden
Total
Count % w ithin s tatus res ponden
Total 1
k epadatan rumah * s tatus re s ponde n Cross tabulation status responden
kepadatan rumah
satu kamar tidur > 3orang
Count
satu kamar tidur 3 orang
Count
% w ithin s tatus res ponden % w ithin s tatus res ponden
satu kamar tidur 2 orang
Count % w ithin s tatus res ponden
1 kamar tidur 1 orang
tidak terpapar 1
8.8%
2.9%
5.9%
9
3
12
26.5%
8.8%
17.6%
22
26
48
64.7%
76.5%
70.6%
0
4
4
.0%
11.8%
5.9%
34
34
68
100.0%
100.0%
100.0%
Count % w ithin s tatus res ponden
Total
terpapar kontak serumah 3
Count % w ithin s tatus res ponden
k ebias aan m e rokok * status res ponden Cros stabulation status responden
kebiasaan merokok
ya
Count % w ithin s tatus responden
tidak
Count % w ithin s tatus responden
Total
Count % w ithin s tatus responden
terpapar kontak serumah 6
tidak terpapar 8
Total 14
17.6%
23.5%
20.6%
28
26
54
82.4%
76.5%
79.4%
34
34
68
100.0%
100.0%
100.0%
39
Total 4
k ate gori bm i 2 * status re s ponde n Cross tabulation status responden
kategori bmi 2
kurang-normal
Count
terpapar kontak serumah 18
tidak terpapar 25
Total 43
52.9%
73.5%
63.2%
16
9
25
47.1%
26.5%
36.8%
34
34
68
100.0%
100.0%
100.0%
% w ithin s tatus responden di atas normal
Count % w ithin s tatus responden
Total
Count % w ithin s tatus responden
Crosstabs s tatus re sponden * has il tes mantoux Cros stabulation hasil tes mantoux status responden
terpapar kontak serumah
Count % w ithin status res ponden
tidak terpapar
Count % w ithin status res ponden
Total
Count % w ithin status res ponden
Explore status responden kadar interferon gamma 40
40
35 30 25 36
20 15 10 5 0 -5 N=
34
terpapar k ontak s eru
34
tid ak te rpapar
status responden
Crosstabs
40
positif 27
negatif 7
Total 34
79.4%
20.6%
100.0%
2
32
34
5.9%
94.1%
100.0%
29
39
68
42.6%
57.4%
100.0%
s tatus re sponden * k ate gori k adar inte rfe ron gamm a Cross tabulation kategori kadar interf eron gamma >=15,7 status responden
terpapar kontak serumah
% w ithin s tatus res ponden tidak terpapar
2
<=15,6 32
Total 34
5.9%
94.1%
100.0%
0
34
34
.0%
100.0%
100.0%
2
66
68
2.9%
97.1%
100.0%
Count
Count % w ithin s tatus res ponden
Total
Count % w ithin s tatus res ponden
OLAP Cubes Cas e Proces s ing Sum m ary Cases Included N kadar interf eron gamma * status responden
Ex cluded
Percent 68
N
100.0%
Total
Percent 0
.0%
OLAP Cubes status responden: Total
kadar interf eron gamma
Mean 3.261956
Std. Deviation 5.3144316
Maximum 38.1540
Minimum .1368
Maximum 38.1540
Minimum .5367
Maximum 2.6807
Minimum .1368
OLAP Cubes status responden: terpapar kontak serumah
kadar interf eron gamma
Mean 5.324891
Std. Deviation 6.9324392
OLAP Cubes status responden: tidak terpapar
kadar interf eron gamma
Mean 1.199021
Std. Deviation .7170648
41
N
Percent 68
100.0%
Lampiran 3
SURAT PERSETUJUAN Yang bertanda tangan di bawah ini: ID No
: …………………………
Nama
: …………………………
Umur
: …………………………
Alamat
: ………………………….
Menyadari manfaat dan risiko penelitian tersebut di bawah ini berjudul
“Kadar IFN-ɤ Pada Kontak Serumah Penderita Tb Paru Sebagai Indikator Deteksi Dini Infeksi Mycobacterium Tuberculosa” Maka pada hari ini …………………, tanggal ………, bulan …………….., tahun 2011, Dengan sukarela menyetujui diikutsertakan sebagai responden dengan catatan bila suatu waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun, berhak membatalkan persetujuan ini. Mengetahui
Yang menyetujui
Penanggungjawab penelitian
Responden
Dr. dr. Sri Andarini I, M.Kes
(…………………………………………)
Saksi pihak peneliti
Saksi pihak responden
(………………………………………)
(…………………………………………)
42
PERNYATAAN PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN Kadar IFN-ɤ Pada Kontak Serumah Penderita Tb Paru Sebagai Indikator Deteksi Dini Infeksi Mycobacterium Tuberculosa Saya dan keluarga saya (Suami/Isteri/Anak/Saudara) yang bertanda tangan di bawah ini, diminta untuk memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan dan mengijinkan pemeriksaan kesehatan atas diri saya berkaitan dengan penelitian untuk mengetahui keadaan perkembangan kesehatan terhadap diri saya. Saya mengetahui bahwa: 1. Tujuan penelitian ini adlah mengetahui perkembangan kesehatan diri saya akibat tinggal serumah atau tidak tinggal serumah dengan penderita TBC paru. 2. Saya akan bersedia menjawab semua pertanyaan yang diajukan pada diri saya sehubungan dengan penelitian tersebut. 3. Saya akan bersedia menjalankan pemeriksaan kesehatan sehubungan dengan penelitian tersebut. 4. Saya akan patuh pada nasihat dan pengobatan yang diberikan pada diri saya. 5. Hasil penelitian ini akan berguna untuk diri saya dan untuk kepentingan perkembangan pelayanan pencegahan dan pengobatan TBC paru 6. Hasil penelitian atas diri saya akan dirahasiakan oleh peneliti. 7. Keikutsertaan saya dalam penelitian ini adalah sukarela 8. Apabila dalam pelaksanaan penelitian ini saya merasa tidak puas atas perlakuan pada diri saya, saya diperkenankan mengundurkan diri. Demikian saya telah membaca penyataan ini.
43
FORMULIR IDENTITAS RESPONDEN Orang (> 15 tahun) yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru minimal 6 bulan (kasus) Orang (> 15 tahun) yang tidak pernah tinggal serumah dengan penderita TBC (kontrol) Kontak/Non Kontak Lama Kontak
: ………………tahun
Hubungan dengan penderita : …………… Tidur dengan penderita
: sekamar/tidak sekamar
A. Identitas 1. Nomor Responden
: ……………………..
2. Nama
: ……………………..
3. Umur
: ……………………..
4. Alamat
: ……………………..
5. Tempat berobat
: ……………………..
6. Puskesmas pengawas: …………………….. 7. Pendidikan
: 1. Tak sekolah
4. SLTP/sederajat
2. Tak lulus SD
5. SMU/sederajat
3. SD/sederajat
6. D3/lebih tinggi
8. Pendapatan keluarga per bulan? Rp……………………….. 9. Status imunisasi BCG :
1. Lengkap
10. Hasil pemeriksaan mantoux: 1. Positif
2. Tidak Lengkap 2. Negatif
B. Identitas Sumbe r Penularan 1. Nama
: …………………….
2. Mulai terdiagnosa penyakit : ……………………. 3. Pengobatan TB masuk bulan ke:………………… C. Kondisi Lingkungan dan Perilaku 1. Keadaan lantai
: 1. Lantai tanah 2. Lantai semen/lain- lain
2. Keadaan ventilasi
: 1. Tidak mempunyai jendela 2. Mempunyai jendela
3. Kepadatan rumah
: 1. Satu ruang tidur dihuni 2 orang 2. Satu ruang tidur dihuni 3 orang 3. Satu ruang tidur dihuni > 3 orang 44
4. Kebiasaan merokok : 1. Ya
2. Tidak
5. Apakah sekarang menderita penyakit lain? : 1. Ya, sebutkan…………………. 2. Tidak D. Hasil Pe meriksaan Fisik 1. Tinggi badan (TB)
: ………….cm
2. Berat badan (BB)
: ………….Kg
E. Hasil Pe meriksaan Laboratorium
45
Lampiran 5
BIODATA PENELITI
Identitas Nama
: Dr. dr. Sri Andarini Indreswari, M.Kes
NPP
: 0686.20.2007.346
Tempat/ Tgl Lahir
: Blitar, 12 Nopember 1946
Alamat Rumah
: Jl. Pamularsih Raya 34 Semarang
Telp
: 024/ 7602150, HP. 0818 292 788
Alamat Kantor
: F. Kesehatan UDINUS Jl. Nakula I No.5-11 Semarang
Pendidikan 1. Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta lulus (19965/66-1972/73) 2. Magister Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM Yogyakarta lulus (1996-1998) 3. Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran UNDIP Semarang (2001/02- 2006/07), dengan hasil: cumlaude terbaik.
Riwayat Penelitian
:
No
Judul Riset
Tahun
1.
Perencanaan Tenaga Kesehatan di RS tipe C di Jawa 1997 Tengah
2.
Hubungan faktor HLA dengan produksi IL-4 , IFN gamma pada penderita Tuberkulosis Paru yang mendapatkan pengobatan strategi DOTS
46
2004
Riwayat Publikasi
:
No
Judul Publikasi – media publikasi
Tahun
1.
Pemeriksaan genetika pada penderita Tuberkulosis Paru
2007 jurnal Visikes Dian Nuswantoro
Produksi 2.
IL-4,
IFN-ɣ
Tuberkulosis Paru yang
(gamma)
pada
penderita
mendapatkan pengobatan
2007 jurnal Visikes
strategi DOTS Dian Nuswantoro
Hubungan faktor HLA dengan kesembuhan penderita tuberkulosis paru yang mendapatkan pengobatan strategi 3.
DOTS
2011, Medika
Jurnal
Media
Indonesiana
(MMI), vol 45 No.1 Faktor2 yang berhubungan dengan kunjungan pasien rawat jalan jamsostek pada PT. Hutama Karya Semarang.
4.
2008 pemakalah, pada seminar peningkatan 47
nasional akses
pelayanan
kesehatan
melalui
jamkesmas
sebagai
upaya
peningkatan kesehatan masyarakat di Semarang
Riwayat hidup ini dibuat dengan sebenarnya
Semarang Desember 2011
Dr. dr. Sri Andarini Indreswari, M.Kes
BIODATA ANGGOTA PENELITI
Identitas Nama
: Suharyo, S.KM, M.Kes
NPP
: 0686.11.2002.299
Tempat/ Tgl Lahir
: Pekalongan, 18 Mei 1979
Alamat Rumah
: Patemon RT 04 RW II Gunungpati Semarang
Telp
: HP. 081 225 628 18
Alamat Kantor
: F. Kesehatan UDINUS Jl. Nakula I No.5-11 Semarang
Pendidikan 48
1. Program Sarjana, Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP Peminatan Epidemiologi (19972001)
2. Program Magister Promosi Kesehatan Konsentrasi Kesehatan Reproduksi dan HIV&AIDS Program Pascasarjana UNDIP (2007-2009)
Riwayat Penelitian
:
No
Judul Riset
Tahun
1.
Hubungan Kejadian gondok dengan tingkat konsentrasi 2000 dan presentasi belajar pada anak SD kelas
2.
Hubungan
antara
Faktor-Faktor
Eksternal
dengan
Kebugaran Jasmani pada Manusia Usia lanjut Di Jawa
2005
Tengah (Studi Kasus di panti Wreda Kota Semarang) Faktor-Faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru pada anak di Kota Semarang 3.
2007
Riwayat Publikasi
No
:
Judul Publikasi – media publikasi yang relevan
49
Tahun
1.
Hubungan
antara
Faktor-Faktor
Eksternal
dengan 2005
Kebugaran Jasmani pada Manusia Usia lanjut Di Jawa Tengah (Studi Kasus di panti Wreda Kota Semarang) Majalah ilmiah,dipublikasikan dalam Jurnal Kesehatan VISIKES, Vol 4 No. 1, Maret 2005, ISSN 1412-3746 Hubungan antara Kadar Kolesterol dengan Kebugaran Jasmani pada Manusia Usia lanjut Di Jawa Tengah (Studi Kasus 2.
di
panti
Wreda Kota Semarang)
Majalah
ilmiah,dipublikasikan dalam majalah Ilmiah DIAN, vol. 4, No. 2, Juli 2005, ISSN 1412-3088
Riwayat hidup ini dibuat dengan sebenarnya
Semarang Desember 2011
50
2005
Lampiran 6
BURAM ARTIKEL ILMIAH HASIL PENELITIAN KADAR INTERFERON GAMMA PADA KONTAK SERUMAH Sri Andarini Indreswari Suharyo Staf Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro
Abstrak Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosa dan bersifat menular. WHO menyatakan bahwa sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis. Program pengobatan dan pencegahan secara dini masih terkendala oleh deteksi dini pada orang yang mempunyai riwayat kontak serumah dengan penderita penyakit tuberkulosis. Jika diketahui lebih dini pada orang yang kontak serumah dengan penderita tuberkulosis maka upaya pengobatan pencegahan dapat dilakukan dengan efektif sehingga penyakit tersebut tidak berkembang menjadi klinis. Deteksi infeksi penyakit tuberkulosis saat ini masih mengandalkan pemeriksaan BTA positif dan tes tuberkulin yang masih mempunyai keterbatasan dalam hal sensitifitas dan spesifitasnya untuk orang dewasa sehingga belum dipakai dalam program tb paru di Indonesia. Secara teori produksi Interferon Gamma (IFN-ɤ) dapat digunakan sebagai parameter untuk mengamati perjalanan penyakit infeksi, dalam hal ini khususnya TBC paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola kadar IFN-ɤ pada orang yang kontak serumah dengan penderita penyakit tuberkulosis sebagai acuan penentuan waktu pengobatan pencegahan penyakit tuberkulosis. Metode penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan pendekatan kohor. Populasi penelitian adalah orang yang kontak serumah dengan penderita penyakit tuberkulosis (umur lebih dari 15 tahun). Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling dan jumlah sampel yang digunakan sebanyak 34 orang kontak serumah (terpapar) dan 35 orang tidak kontak serumah (tidak terpapar). Penelitian dilaksanakan melalui 2 tahap yaitu tahap identifikasi responden dan observasi kadar IFN-ɤ dan status klinis. Analisis data yang akan digunakan adalah Man Whitney test dan Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan hasil tes mantoux yang positif pada kelompok kontak serumah (79,4%) dan dari kelompok yang tidak kontak serumah (5,9%). Rerata kadar interferon gamma pada kelompok yang terpapar kontak serumah dengan penderita Tb paru sebesar 5,32 pg/ml sedangkan pada kelompok yang tidak terpapar 1,1 pg/ml. Terdapat hubungan yang signifikan antara status paparan dengan hasil tes mantoux (p value 0,0001dan nilai x2 sebesar 34,631). Ada perbedaan rerata kadar interferon gamma secara signifikan antara kelompok terpapar kontak serumah dengan penderita tb paru dengan kelompok yang tidak terpapar (p-value 0,0001). Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengikuti perkembangan IFN gamma berdasarkan status paparan. Kata kunci: Kadar IFN-ɤ, Kontak Serumah, Penderita Tb Paru 51
PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) paru merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah oleh karena Indonesia merupakan negara dengan prevalensi tinggi urutan ketiga setelah Cina dan India. Kontribusi India, Cina dan Indonesia lebih dari 50% dari seluruh kasus TBC yang terjadi pada 22 negara di dunia ( Sub Direktorat TB...4........). Berdasarkan Global Tuberkulosis kontrol tahun 2009 (data 2007) angka prevalensi semua tipe TB adalah sebesar 244 per 100.000 penduduk atau sekitar 565.614 kasus. Insidensi kasus baru TBC dengan BTA positip sebesar 102 per 100.000 penduduk atau sekitar 236.029 kasus. Kematian sebesar 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang per hari. ( Forum TBC Indonesia.or.id..3.....) Di Pekalongan Jawa Tengah telah dilakukan penelitian terhadap 250.000 populasi dan didapatkan hasil angka kematian TBC berdasarkan golongan umur sebesar 53/100.000, serta menduduki peringkat ke 6 penyebab kematian. ( Sub Direktotrat TB..4.......) Salah satu indikator dalam menunjukkan pencapaiain Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) adalah menurunnya insiden dan angka kematian akibat TBC. Di Indonesia target MDGs telah tercapai yaitu besarnya angka kesembuhan pada tahun 2006 sebesar 76% dan deteksi dini 85% (7 th Meeting of the sub group....5.....) Situasi TBC di Indonesia mendapatkan bahwa sejak tahun 2000 telah berhasil mencapai dan mempertahankan angka kesembuhan sesuai target global yaitu minimal 85%. Penemuan kasus baru BTA + telah mengalami peningkatan yaitu 38% pada tahun 2003 menjadi 76% pada tahun 2006. ( Sub Direktorat..4....) Meskipun demikian apabila melihat hasil ARTI ( Annual Risk of TB Infection) yaitu resiko penularan TB tahunan yang sudah diteliti dari 5948 pelajar yang di tes dan 5653 yang dapat dibaca hasilnya, didapatkan hasil perkiraan prevalensi penularan sebesar 8,0% (95% CI:6,2-9,8%) dan ARTI 1,0% berati terdapat 1000 individu per 100.000 mendapatkan infeksi TBC setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan TBC masih merupakan masalah di Indonesia. ( Sub Direktorat ..4....) Penemuan kasus yang dalam hal ini merupakan kegiatan penjaringan suspek yaitu jumlah suspek yang diperiksa dahaknya di antara 100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu. Proporsi pasien TB Paru BTA positif diantara suspek yang diperiksa pada tahun 2009 masih dalam range target yang diharapkan yaitu sebesar 5-15%. Sedangkan pada tahun 2010 tribulan 1 proporsi pasien adalah sebesar 11%. ( 4...) 52
Salah satu pilar penanggulangan penyakit tuberkulosis dengan strategi DOTS adalah dengan penemuan kasus sedini mungkin. Hal ini dimaksudkan untuk mengefektifkan pengobatan penderita dan menghindari penularan dari orang kontak yang termasuk subclinical infection. Kenyataannya di Kota Semarang, data menunjukkan jumlah penemuan kasus suspect (tersangka) masih jauh dari target. Sejak tahun 2007 sampai tahun 2009 kuartil ke 1, angka pencapaian penemuan suspect hanya berkisar 53%. Angka tersebut sangat jauh dari target sehingga diperkirakan penularan penyakit tuberkulosis akan semakin meluas (33...........Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2010). Proporsi pasien TB Paru BTA positip diantara seluruh pasien TB Paru pada tahun 2010 sebesar 61%, masih dibawah target yang diharapkan yaitu sebesar 65%. Hal ini menunjukkan masih perlunya dilakukan prioritas untuk penemuan BTA positip pada kasus TB Paru Angka penemuan kasus baru (CDR) menunjukkan peningkatan dari tahun 2000-2010. Target yang ditetapka sebesar 70%, apabila dilihat pencapaian pada tribulan 1 tahun 2010 sebesar 17,5% dapat dikatakan sudah mencapai target. Apabila melihat angka kesembuhan dari tahun 200-2009 trdapat trend peningkatan tetapi masih dibawah target yang diharapkan yaitu 85%. Apbila melihat data-data yang dilaporkan oleh SUBDIT TB DEPK ES RI tahun 2009 sudah menunjukkan peningkatan, akan tetapi melihat insidensi dan prevalensi yang masih cukup tinggi masih diperlukan inovasi –inovasi baru di dalam pengelolaannya. (4.......) Pemeriksaan BTA merupakan pemeriksaan bakteriologis yang ditetapkan sebagai diagnosis pasti penetapan penderita TB Paru sebagau penderita TB Paru aktif atau menular dan sebagai salah satu indikator pemberian pengobatan strategi DOTS.(34.......) Program pengobatan dan pencegahan secara dini masih terkendala oleh deteksi dini pada orang yang mempunyai riwayat kontak serumah dengan penderita penyakit tuberkulosis. Apabila diketahui lebih dini pada orang yang kontak serumah dengan penderita tuberkulosis maka upaya pengobatan pencegahan dapat dilakukan dengan efektif sehingga penyakit tersebut tidak berkembang menjadi klinis. Deteksi infeksi penyakit tuberkulosis saat ini masih mengandalkan pemeriksaan BTA positif dan tes tuberkulin yang masih mempunyai keterbatasan dalam hal sensitifitas dan spesifitasnya. Secara teori produksi Interferon Gamma (IFN-ɤ) dapat digunakan sebagai parameter untuk mengamati perjalanan penyakit infeksi, dalam hal ini khususnya TBC paru.(.6 .... M Garbati H...)
53
Pemeriksaan BTA pada penderita kontak serumah secara program telah dianjurkan, meskipun
belum
terdapat
data
hasil
evaluasi di
dalam pelaksanaannya.
(34.............DepKES RI......modul Pelat pemberTBC) Pemeriksaan individu kontak serumah dengan pemeriksaan IFN gamma diharapkan dapat menjadi salah satu metode skrining deteksi dini dan dapat ditindak lanjuti dengan pemeriksaan selanjutnya untuk diagnosa pasti dengan
pemeriksaan dahak dan
rontgenologis. Pada beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kadar IFN gamma lebih tinggi pada penderita dengan diagnosis TB Paru dibanding kontrol sehat, pengukuran kadar IFN gamma sangat membantu untuk penentuan diagnosis kasus TB Paru aktif. (Husain S...31.) Disebutkan bahwa pemeriksaan IFN gamma dengan QFT-G/ Quanti FERON-TB Gold in-tub atau pemeriksaan QFT-G dikombinasikan dengan pemeriksaan TST (tuberculine Skin Test) dapat dipergunakan untuk mendiagnosis TB paru aktif. (4 baru). QFT-G dan T.SPOT.TB dikatakan lebih bagus dipergunakan sebagai alat pendeteksi infeksi Mikobakterium Tuberculosis dibanding TST (17...). Peneliti lain bahkan menyebutkan terdapat hubungan antara kadar IFN gamma dengan komitmen motivasi melalui metode KKI (30..Sakti.....) pada penderita TB Paru yang mendapatkan pengobatan. Makin sering pasien TB paru memotivasi pasien lain maka semakin tinggi penurunan kadar IFN gamma yang dihasilkan. Meskipun demikian terdapat juga penelitian yang menunujukkan tidak terdapatnya perbedaan secara signifikan (P=0,4) kadar IFN gamma pada penderita TB Paru aktif, Tb paru yang tidak aktif dan kontrol sehat. (.7....Koksal D...). Tes serologis berhubungan dengan paparan sedangkan TST tidak. Kekurang sensitivan dari pemeriksaan IFN-assay pada individu dengan hasil TST > 15 mm memerlukan investigasi lanjut dengan beberapa alternatif besaran dari cut-off point ( 14....). Meskipun telah terdapat penelitian yang menyebutkan pemeriksaan dengan QFT-GIT dan ELISPOT dapat dipergunakan sebagai sarana diagnosis untuk LTBI dan Kontak, serta ditemukan bahwa ELISPOT lebih sensitif dibandingkan QFT tetapi perbandingan sceara signifikan antara pemeriksaan TST dengan pemeriksaan kedua IGRA tersebut masih memerlukan penelitian lebih lanjut (10.....). Penelitian di Filipina mendapatkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara status klinis penderita TBC dengan tes Mantoux, pada penderita dengan hasil rontgenologis positif dan manifestasi klinis menunjukkan proporsi yang lebih tinggi pada tes Mantoux ( 11.....)
54
Sepertiga dari penduduk dunia kemungkinan telah megalami infeksi laten dengan mikobakterium tuberkulosis. TST merupakan uji traditional yang dipergunakan untuk mendeteksi terdapatnya infeksi. Tetapi TST merupakan uji dengan spesifisitas rendah, khususnya pada pasien yang telah mendapatkan BCG vaksin. Angka proporsi pasien TB paru BTA positip diantara suspek yang diperiksa adalah sebesar 5-15% (4,25......Pustaka .....1 ). Sampai saat ini belum ditemukan baku emas untuk infeksi TBC laten, sehingga sulit untuk menilai apakah uji baru lebih baik dari uji tuberkulin ( 12.....) Berdasarkan hal—hal tersebut diatas akan diteliti
kadar IFN gamma dan TST pada
individu kontak serumah dengan penderita TB paru aktif.
METODE Subyek penelitian adalah individu kontak serumah dengan penderita baru TB Paru aktif (BTA+) yang mendampingi penderita TB Paru aktif yang berobat jalan di BKPM Semarang berfungsi sebagai PMO atau tidak), dan tinggal serumah dengan penderita. Penelitian berjalan agak lama oleh karena tidak semua pendampin bersedia menjadi subyek penelitian oleh karena tidak mau diambil darah dan disuntik (pemeriksaan Mantoux/ uji Tuberkulin). Rancangan penelitian adalah penelitian diagnostik dengan pendekatan kohort selama 2 tahun.(1.,2..) Kelompok terpapar adalah individu dewasa (>15 tahun) serumah dengan penderita
yang tinggal
baru TB Paru aktif dengan BTA+ . Lama tinggal serumah
adalah minimal 6 bulan. Kelompok tidak terpapar adalah individu dewasa (>15 tahun), sehat dan tidak tinggal serumah dengan penderita TB Paru. Penelitian tahun pertama terdiri dari 2 tahap yaitu tahap identifikasi , meliputi identifikasi terhadap anggota keluarga dari penderita yang tinggal serumah minimal selama 6 bulan. Penelusuran kontak dengan menggunakan kuesioner, identifikasi penderita dengan catatan medik. Penelusuran riwayat kontak dilakukan untuk mengetahui pola kontak dengan penderita. Juga diidentifikasi keadaan rumah penderita, khususnya ventilasi dan kepadatan dalam satu kamar serta kebersamaan tidur di dalam satu kamar. Keadaan imunisasi BCG , kebiasaan merokok, dan BMI juga diidentifikasi. Tahap kedua adalah dilakukan pemeriksaan kadar IFN gamma dan Tuberkulin Skin Tes (TST)/tes mantoux terhadap kelompok terpapar maupun yang tidak terpapar. Dilakukan pengambilan darah sebanyak 3 cc di BKPM, dimasukkan ke dalam vacutainer kemudian dimasukkan ke dalam ice pack, dikirim ke Laboratorium Gizi FK Undip, di sentrifuge selama 10 menit pada 3000 Rpm untuk pemisahan serum, serum diambil 1cc 55
kemudian disimpan di dalam deep freeze(-80°C), setelah semua sampel terkumpul dilakukan assay untuk pemeriksaan IFN-gamma dengan teknik Elisa Kit yang dipergunakan adalah Quantikine . Human IFN-ɣ Immunoassay Cat. No. DIF50, 96 tests. Penyiapan reagen yang dilakukan meliputi: Wash buffer – apabila masih dalam bentuk consentrat, panaskan sesuai suhu ruang dan campur hati2 kristal tsb sehingga mencair. Campur 20 mL wash buffer Concentrate dengan deionized atau air destilasi menjadi 500 mL wash buffer. Substrate solution – Color reagents A dan B dicampur dengan vulume yang sama selama 15 menit. Hindari sinar. Tiap well berisi 200 µL campuran resultan. IFN- ɣ standar- rujuk label vial untuk rekonstitusi volume. Rekonstitut IFN- ɣ dengan calibrator diluent RD6-21. Menghasilkan stok solution 1000pg/mL. Biarkan minimal 15 menit. Lipolized standar + calibrator diluent RD6-21 sebanyak 5,4 mL. Standar 0 dari diluent RD6-21. Dibuat 6 tube masing- masing diisi diluent RD6-21 500uL, masing- masing dengan konsentrasi 500pg/mL; 250pg/mL; 125pg/mL; 62,5pg/mL; 31,2pg/mL; dan 15,6pg/mL. Dari stock solution diambil 500uL dimasukkan ke tabung berisi 500pg/mL; dicampur kemudian diambil lagi 500uL dan dimasukkan ke tabung berikutnya demikian seterusnya. Pemakaian polypropylene tubes. Pipet 500 uL dari Calibrator Diluent RD6-21 pada masing2 tabung. Gunakan
stok untuk memproduksi dilution series. Setiap tabung
dicampur sebelum dipindah. Undiluted standar digunakan sebagai standar tinggi (1000 pg/mL) Calibrator Diluent RD6-21 disediakan untuk standar 0 (0 pg/mL). Assay dilakukan dengan menyiapkan sampel pada suhu ruang, menyiapkan
semua
reagen dan standar sesuai yang ditentukan, kemudian ditambahkan 100uL Assay Diluent RD1-51 pada setiap wel l. Kemudian ditambahkan 100 uL standar, sampel atau kontrol ke setiap well selama 15 menit. Inkubasi 2 jam. Aspirasi dan cuci 4 kali.Tambahkan 200 uL conyugate ke masing2 well. Inkubasi 2 jam. Aspirasi dan cuci 4 kali. Ditambahkan 200 uL Substrate Solution ke setiap well. Inkubasi selama 30 menit. Hindari cahaya. Tambahkan 50 uL STOP Solution ke setiap well. Kemudian di baca pada 450 nm selama 30 menit correction 540 atau 570 nm. (35.......pustaka.......) CARA MELAKUKAN UJI TUBERKULIN METODE MANTOUX (TES MANTOUX) yaitu dengan menyiapkan 0,1 ml PPD ke dalam disposable spuit ukuran 1 ml (3/8 inch 26-27 gauge). Permukaan lengan volar lengan bawah dibersihkan menggunakan alcohol pada daerah 2-3 inch di bawah lipatan siku dan biarkan mengering. Kemudian 56
disuntikkan PPD secara intrakutan dengan lubang jarum mengarah ke atas. Suntikan yang benar akan menghasilkan benjolan pucat, pori-pori tampak jelas seperti kulit jeruk, berdiameter 6-10 mm. Pembacaan: Hasil tes Mantoux dibaca dalam 48-72 jam, lebih diutamakan pada 72 jam. Reaksi positif yang muncul setelah 96 jam masih dianggap valid. Kemudian ditentukan indurasi (bukan eritem) dengan cara palpasi. Diameter diukur transversal terhadap sumbu panjang lengan dan dicatat sebagai pengukuran tunggal. Hasil pengukuran dalam mm (misalnya 0 mm, 10 mm, 16 mm) dengan penggaris khusus, serta dicatat
tanggal
pembacaan dan dibubuhkan nama dan tandatangan pembaca. Apabila timbul gatal atau rasa tidak nyaman pada bekas suntikan dapat dilakukan kompres dingin atau pemberian steroid topikal INTERPRETASI TEST MANTOUX Tes Mantoux dinyatakan positif apabila diameter indurasi > 10 mm. Apabila terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap tuberkulin yang munculnya cepat (immediate hypersensitivity reactions), dapat timbul segera setelah suntikan dan biasanya menghilang dalam 24 jam. Hal ini tidak mempunyai arti dan bukan menunjukkan hasil yang positif. (pustaka...29,34..) Hasil Interferon gamma dapat dibandingkan antara kelompok terpapar maupun kelompok tidak terpapar, demikian juga hasil pemeriksaan TST. Dapat ditentukan spesifisitas dan sensitifitas dari masing-masing pemeriksaan. Rencana penelitian tahun kedua, sampel diikuti baik pada kelompok terpapar maupun tidak terpapar. Diperiksa keadaan klinis sampel meliputi pemeriksaan dahak, rontgenologis apabila diperlukan, sehingga dapat ditetapkan pengobatan yang mungkin diperlukan oleh penderita. Setelah 2 bulan dilakukan pemeriksaan ulang BTA dan pemeriksaan kadar Interferon gamma. Dengan demikian dapat diketahui fluktuasi kadar Interferon gamma juga riwayat perkembangan penyakit.
HASIL Jumlah subyek penelitan yang dianalisis adalah 68 sampel, terdiri dari 34 kelompok terpapar dan 34 kelompok tidak terpapar. Tabel 5.1 menunjukkan Jumlah subyek penelitan yang dianalisis adalah 68 sampel, terdiri dari 34 kelompok terpapar dan 57
34 kelompok tidak terpapar. Hasil identifikasi sampel menurut
pendidikan adalah
sebagian besar pendidikan SD/sederajat pada kelompok terpapar lebih besar (32,4%) dibanding tidak terpapar (0,0%), namun sampel yang SMA/sederajat lebih besar pada kelompok tidak terpapa (67,6% disbanding 41,2%) demikian pula pada tingkat pendidikan D3/lebih, pada kelompok tidak terpapar lebih besar (29,5%) daripada kelompok terpapar (14,7%). Sampel terpapar tidur sekamar dengan penderita sebanyak 25 orang (73,5%) lebih besar dibanding kelompok tidak terpapar (0,0%). Keadaan lantai rumah tidak berbeda antara kelompok terpapar dengan tidak terpapar yaitu pada umumnya berlantai semen/sejenis (masing- masing 97,1%). Ventilasi rumah dapat diidentifikasikan umumnya berjendela, hanya pada kelompok terpapar lebih besar (100,0%) dibanding kelompok tidak terpapar yang hanya 97,1%. Kepadatan rumah didapatkan satu kamar tidur dihuni > 3 lebih banyak terjadi pada kelompok terpapar 8,8 dibanding kelompok tidak terpapar (2,9%), demikian pula pada kepadatan rumah yang tidur sekamar 3 orang masih banyak pada kelompok terpapar. Kebiasaan merokok menunjukkan proporsinya lebih besar pada kelompok tidak terpapar dibanding terpapar yaitu 23,5% dibanding 17,6%. Status imunisasi BCG, terdapat 11 orang (32,4%) pada kelompok terpapar tidak didapatkan parut/tanda bekas imunisasi, sedangkan sampel pada kelompok tidak terpapar 100,0%
pernah
mendapatkan imunisasi BCG. Proporsi status gizi yang normal lebih banyak pada kelompok tidak terpapar sebesar 55,9% dianding 38,2%. Sedangkan yang underweight lebih besar pada kelompok tidak terpapar 17,6% dibanding kelompok terpapar yang hanya 14,7%. Tabel 1 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur, Tinggi Badan, Berat Badan, dan BMI Variabel Umur (th) Tinggi badan (cm) Berat badan (kg) BMI
Rerata
Minimum Terpapar
Maksimum
Terpapar
Tidak Terpapar
Tidak Terpapar
Terpapar
Tidak Terpapar
39,6
20,9
16
19
85
24
158,9 57,9 22,9
164,1 59,2 21,8
140 30 11,7
155 40 16,6
175 83 32,4
178 92 32,9
Tabel 1 menunjukkan bahwa rerata umur antara kelompok terpapar dengan tidak terpapar cukup jauh berbeda yaitu 39,6 tahun dibanding 20,9 tahun sedangkan rerata tinggi dan berat badannya tidak jauh berbeda. Demikian pula dengan rerata basal metabolism index (BMI). Pada kelompok terpapar, nilai minimum BMInya mencapai 11,7 sedangkan nilai maksimum BMI antara kelompok terpapar dan tidak terpapar 58
hampir sama. Status BCG dan status gizi sampel tidak menunjukkan ada hubungan yang signifikan dengan kadar interferon gamma setelah diuji dengan Chi square (p value 0,299, dan 0,131). Tabel 2 Distribusi Hasil Tes Mantoux Berdasarkan Status Responden Status Kontak Serumah Tidak Kontak serumah
Hasil Tes Mantoux Positif Negatif f % f % 27 79,4 7 20,6 2 5,9 32 94,1
Total f 34 34
% 100,0 100,0
Pada kelompok sampel dengan hasil tes mantoux yang positif pada kelompok kontak serumah (79,4%) jauh lebih besar dari kelompok yang tidak kontak serumah (5,9%), sedangkan pada hasil tes mantoux yang negatif, proporsinya pada kelompok tidak kontak serumah dengan penderita tb paru 4 kali lebih besar dibanding kelompok yang kontak serumah. Setelah dilakukan uji Chi square, diperoleh p value sebesar 0,0001dan nilai x2 sebesar 34,631. Ini berarti status responden (terpapar dan tidak terpapar) berhubungan signifikan dengan hasil tes mantoux. 50
40
40
30
36
20
10
0
-10 N=
34
34
Ter papar
Tidak terpapar
status responden
Grafik Boxplot Kadar Interferon Gamma Berdasarkan Status Responden Rerata kadar interferon gamma pada kelompok yang terpapar kontak serumah dengan penderita Tb paru sebesar 5,32 pg/ml sedangkan pada kelompok yang tidak terpapar lebih kecil yaitu 1,1 pg/ml. Demikian pula nilai maksimum dan minimum, pada kelompok yang terpapar kontak serumah dengan penderita Tb paru lebih besar 59
daripada kelompok yang tidak terpapar dengan nilai 38,2 pg/ml dan 0,54 pg/ml dibanding 2,7 pg/ml dan 0,14 pg/ml. Setelah dilakukan uji statistik beda rerata dengan menggunakan Man Whitney U test (data kadar interferon gamma berdistribusi tidak normal) menunjukkan p-value 0,0001. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan rerata kadar interferon gamma secara signifikan antara kelompok terpapar kontak serumah dengan penderita tb paru dengan kelompok yang tidak terpapar.
Setelah dilakukan kategori kadar interferon, maka diperoleh gambaran sebagai berikut: Tabel 3 Distribusi Kategori Kadar Interferon Gamma Berdasarkan Status Responden Status Responden
Kategori kadar interferon
Total
gamma > 15,7
< 15,6
f
%
f
%
f
%
Terpapar
2
5,9
32
94,1
34
100,0
Tidak terpapar
0
0,0
34
100,0
34
100,0
Tabel di atas menunjukkan sampel dengan kadar interferon gamma yang > 15,7 pg/ml, proporsinya pada kelompok terpapar (5,9%) lebih besar daripada kelompok tidak terpapar (0,0%). Sebaliknya pada sampel dengan kadar interferon gamma yang < 15,6 pg/ml, proporsinya pada kelompok terpapar (94,1%) lebih kecil daripada kelompok tidak terpapar (100,0%)
DISKUSI Pada penelitian ini ingin dibandingkan hasil pemeriksaan Uji Tuberkulin dengan pemeriksaan serologis kadar IFN gamma pada kelompok kontak serumah dengan penderita TBC yang mempunyai hasil pemeriksaan BTA+. Kit yang dipergunakan masih menggunakan Human IFN gamma Quantikine Kit, tidak menggunakan QuantiFeron-TB Gold (QFT-G) atau T-SPOT yang telah dianjurkan pemakaiannya oleh CDC ( the US Centers for Disease Control and Prevention) sejak Tahun 2005 kemudian diperbaharui 60
dan di publikasikan kembali pada tanggal 25 Januari tahun 2010 (Wongtim S et all, 1999, Lee JY, Choi HJ, 2006, Miranda C, 2010), serta dibuktikan mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (Soysal A, 2008). Mengapa masih dipergunakan Human IFN gamma Quantikine Kit? Hal ini mengingat hasil penelitian oleh peneliti sebelumnya menunjukkan terdapatnya hubungan kadar IFN gamma pada proses kesembuhan penderita TBC (Sri Andarini I, 2009). Oleh peneliti lain di Yogyakarta didapatkan juga terdapatnya hubungan kadar IFN gamma dengan kadar TH1 dan TH2 (Subronto YW, 2002). Disamping harga dari Kit tersebut yang relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan kedua Kit terbaru tersebut, sehingga apabila ditemukan hasil yang signifikan dapat secara lebih ekonomis dpergunakan untuk deteksi dini penyakit TBC paru. Hasil penelitian tahun pertama ini sudah menunjukkan terdapatnya hubungan kadar IFN gamma pada kelompok terpapar dan tidak terpapar (p value 0,0001). Harapan peneliti dengan mengikuti perjalanan paparan selama 6-8 bulan kemudian, dapat ditemukan perkembangan yang signifikan dari kadar IFN gamma tersebut. Meskipun TST (Tuberkuline Skin Test)/Tes Mantoux dalam beberapa dekade telah
dipergunakan sebagai standar untuk mendeteksi TBC laten tetapi masih
mempunyai keterbatasan. Vaksinasi BCG dikatakan masih dapat mempengarui hasil positif dari pemeriksaan tersebut (fals positif). Kemudian ditemukan bahwa IFN release assays dapat dipergunakan sebagai alternatif standar di dalam penentuan TBC laten. Implementasi yang berhasil pengunaaan IFN release Assays telah dibuktikan pada penelitian terhadap pekerja kesehatan, personil laboratorium, dan klinisi yang patut diduga menderita TBC laten . Penelitian menggunakan TB-Gold In Tube test dengan standar ≥ 0,35 IU ml/>25% dari nilai N ul (Wongtim S et all, 1999, Lee JY, Choi HJ, 2006, Miranda C, 2010). Pada penelitian ini adalah penderita kontak serumah dengan penderita TBC aktif (BTA +). Karakteristik sampel di kedua kelompok yaitu terpapar dan tidak terpapar tidak jauh berbeda, hanya pada umur secara rerata pada kelompok terpapar jauh lebih tua dari kelompok tidak terpapar. Namun demikian faktor umur belum ada laporan yang menyebutkan dapat mempengaruhi kadar interferon gamma. Oleh karena itu dari segi pemilihan sampel sudah tidak berpengaruh terhadap faktor penelitian. Demikian pula status imunisasi BCG dan status gizi tidak menunjukkan ada hubungan dengan kadar interferon gamma. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status paparan dengan hasil pemeriksaan TST (p value, 0001), serta 61
terdapat perbedaan rerata kadar interferon gamma secara signifikan berdasarkan status paparan. Rerata kadar interferon gamma pada kelompok terpapar 5 kali lebih besar dibanding rerata pada kelompok tidak terpapar. Ini menunjukkan bahwa kadar interferon gamma sudah mulai menunjukkan peluang untuk menjadi indikator dalam melihat perkembangan penyakit TBC pada kelompok yang rentan khususnya yang kontak serumah dengan penderita.
Penelitian sebaiknya dilanjutkan untuk mengikuti
perkembangan kadar IFN gamma pada penderita kontak serumah tersebut sehingga dapat melihat keterkaitannya dengan perkembangan gejala fisiknya. Penelitian di Yunani menyebutkan terdapat hubungan siknifikan antara indurasi TST dan parut BCG yang terdapat (p < 0,0001), tetapi tidak terdapat hubungan signifikan pada kelompok umur yang berbeda (6,12,15 tahun) pada diameter dari indurasi TST (Lalvani A, Pareek M. 2010, Pareek M. 2011, Briassoulis G. 2005). Oleh karena Baku Emas (Gold standard) untuk infeksi TBC laten belum ada maka sulit untuk menilai apakah uji baru lebih baik dari uji tuberkulin. Penilaian sensitivitas dan spesitivitas alat uji baru sulit dilakukan tanpa referensi uji sebagai baku emas (Subagyo A, 2006). Di beberapa negara telah banyak dilakukan penelitian yang membandingkan efektifitas dari IFN gamma release assays dengan TST. Diantaranya di Korea Selatan, suatu negara dengan keadaan intermediate TB burden, telah dibandingkan hasil dari TST, QFT-G dan T-SPOT TB assays. Dari 224 partisipan, didapatkan hasil dari 168 pasien, 87 orang menderita TB aktif, 131 orang dari kelompok dengan risiko rendah untuk TBC. Dengan penetapan cut off untuk TST 10mm, didapatkan sensitivitas untuk SPOT (96,6%), secara signifikan lebih tinggi dari TST (66,7%) dan QFT-G (70,1%). Untuk spesivisitas QFT-G lebih tinggi dari pada TST
(91,6% versus 78,6%).
Spesivisitas QFT-G lebih tinggi dari pada SPOT ( 91,6% versus 84,7%). (Legesse M, 2011) Penelitian di Belanda menyebutkan bahwa hasil positif pemeriksaan dengan darah (serologis) berhubungan dengan pajanan, tetapi pemeriksaan dengan TST tidak berhubungan dengan pajanan. Terjadi kurang sensitifan dari IFN assays di dalam mendeteksi individu dengan hasil pemeriksaan TST > dari 15 mm atau lebih serta status imunisasi BCG (Koksal D, 2006). Peneliti lain menyebutkan bahwa QFT-G dapat dipergunakan sebagai pengujian penelitian yang bersifat seri. Akan tetapi pengulangan tes harus dibaca secara ber-hatihati oleh karena dapat dimungkinkan terjadinya infeksi non spesifik baru (Wong Cf, et all , 2003) 62
Pemeriksaan IFN gamma dari cairan pleura pada pleuritis TBC dapat dipergunakan sebagai diagnostik marker. Kadar IFN gamma secara siknifikan ditemukan lebih tinggi pada penderita TBC dibanding individu non TBC (131,3 pg/ml versus 50,4 pg/ml dengan p value < 0,01). Penelitian dilakukan di sebuah RS Bangkok (Arend SM, 2007, Pai M, Joshi R, 2006), penelitian lain menyebutkan apabila cut off values 60 pg/ml ditemukan sensitifitas sebesar 79,4% dan spesifisitas 100% untuk pemeriksaan dengan IFN release assay. (Carandang EH. 1988) Penetapan cut off values untuk TST, QFT dan SPOT dapat meningkatkan sensitifitas untuk masing- masing assay tetapi spesifisitas untuk QFT tetap. Ditemukan sensitivitas untuk TST 70%, QFT 78%, T SPOT 83,5%. Sedangkan spesifisitas TST 35%, QFT 89,4% dan T-SPOT 84,8%. QFT dan T-SPOT secara signifikan lebih spesifik dibanding TST (p value < 0,01). Apabila cut off values dinaikkan maksimal sebesar 0,818 IU/ml untuk QFT sensitifitas tidak berkurang, meningkatkan untuk TST dan T SPOTtetapi secara signifikan menurunkan spesifitasnya (Lee JY, Choi HJ et all, 2006), demikian juga penelitian di Kuwait menyebutkan QFT-G-IT dan T-SPOT.TB dapat dipergunakan untuk Penderita TBC dengan infeksi laten. (Arend SM, et all, 2001) ACS (an Advisory Committee Statement) dari CTC ( Canadian Tuberculosis Committee) memberikan rekomendasi dan melakukan pembaruan rekomendasi pada tahun 2008 yang menyatakan bahwa pada orang dewasa atau anak-anak yang mengalami kontak dengan penderita TBC paru aktif direkomendasikan dapat menggunakan IGRA sebagai tes konfirmasi pada individu dewasa atau anak yang mempunyai hasil TST positif pada pemeriksaan Tes Tuberkulin yang patut diduga dapat mengalami TBC laten (LTBI/ Latent Tuberculosis Infection), serta diduga tidak akan berisiko menjadi kasus TBC aktif. Sedangkan pada kontak yang dekat yang patut diduga dapat mengalami pengembangan menjadi kasus aktif apabila terinfeksi, TST atau TST dan IGRA harus dipergunakan. Apabila
TST
dan IGRA dilakukan direkomrendasikan
hasil
IGRA
sebagai
penggambaran keadaan sebelum atau pada waktu TST dibaca. (Miranda C. et all, 2010). Di Turki di dapatkan hasil penelitian yang menunjukkan IGRA merupakan alat diagnostik yang mempunyai nilai diagnostik dengan dengan sensitifitas dan spesifisitas yang lebih tinggi. Turki merupakan negara dengan insidensi rendah (Soysal A. et all, 2008). IGRA dapat dipergunakan untuk diagnosa TBC aktif dan latent, sedangkan TSPOT TB assay dipergunakan dengan menggunakan ESAT-6 dan CFP-10 untuk pasien TBC yang sedang di dalam pengobatan (CCDR. 2008). Igra apabila sensitifitasnya dikembangkan dapat dipergunakan untuk melakukan eksklusi penderita LTBI dengan 63
keadaan immunocompromised (Zhao J. et all, 2011. Ahmad S. 2010). Skrining dengan menggunakan Igra untuk LTBI merupakan suatu hal yang cost efektif, hal ini telah dibuktikan pada penelitian yang dilakukan pada kaum imigran di London Inggris di dalam upaya pencegahan penyakit menjadi TBC aktif (Pareek M, 2011). Tetapi penelitian lain menyebutkan bahwa ESAT-6 dan CFP-10 kurang sensitif apabila dipergunakan untuk mendiagnosis LTBI dibanding PPD (67 versus 100%) (Dilektasli AG. Et all, 2010). Meskipun pada beberapa negara telah dibuktikan sensitifitas dan spesifisitas dari TTPOT.TB; akan tetapi pada penelitian yang dilakukan di China pada 899 pelajar untuk melakukan skrining terhadap LTBI, ditemukan bahwa terdapat hasil: Positip untuk untuk T-SPOT .TB 13,0% (95% CI 10,4-15,4) dan 24,9% untuk TST (95% CI 21,5-28,6) pada sampel dengan parut BCG ( agreement 72,3%; 95% CI: 68,6-75,8). Pada sampel tanpa parut BCG 17,3% (95% CI 11,7-24,2) dan 23,7% (95%CI: 17,3-31,2) sedangkan agreement 73,1% (95% CI 65,4-79,9). Hasil ini menunjukkan rendahnya hasil dibandingkan agreement (kesepakatan) yang telah dtetapkan untuk pemeriksaan TST dan T-SPOT.TB (Zhang S. et all, 2010). Dengan melihat hasil- hasil penelitian di beberapa negara tersebut, pemeriksaan maupun skrining untuk penderita yang diduga menderita infeksi TBC laten, masih memerlukan penelitian-penelitian lebih lanjut dengan melihat prevalens TBC pada suatu negara.
SIMPULAN Terdapat hubungan signifikan untuk pemeriksaan TST pada individu kontak serumah. Belum ditemukan hubungan signifikan pada kadar IFN gamma.
Masih diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk mengikuti perkembangan IFN gamma.
Ucapan terima kasih Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga dapat selesainya penelitian ini. Terutama kepada Ka BKPM Semarang dan Ka Laboratorium Gizi FK Undip Semarang yang telah mengijinkan penelitian dilakukan. Juga kepada Ka Lab BKPM, dan staf Lab Gizi FK Undip. Semarang.
64
DAFTAR PUSTAKA 1. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Sagung Seto. Jakarta 2008. (edisi ke 3) hal 147-165, 193-215 2. Forum TBC Indonesia.or.id. Di kirim Pebr 22. 2007. Jam 07.45 Post Subyek Tes TB. Di unduh 6 Okt 2011 jam 14.00 3. Sub Direktorat TB Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan WHO. Lembar Fakta Tuberkulosis 2008. Jakarta 24 Maret. Hari TB Indonesia. 4. 7thn Meeting of the Sub Group on Public-Private Mix for Tb Care and Control. Grand Pallais Lille France 23-24 Oct. 2011 5. M Garbati H, Yusuph, M Kagu, A Moses. Diagnosis Of Pulmonar Tuberculosis: Utility Serolog An Mantoux Reaction In A Source-Limited Setting. The Internet J of Infect Dis. 2010; 8 ( 1) 6. Koksal D, Unsal E, Poyraraz B, Kaya A, Savas H, Sipit T, Gonullu U. The Value of serum interferon- gamma level in the differensial diagnosis of active and inactive pulmonary tuberculosis. Tuberk Toraks 2006;54(1): 17-21 7. Legesse M, Ameni G, Mamo G, Medhin G, Bjune G, Abebe F. Communitybased cross-setional survey of latent tuberculosis infection in Afar pastoralists Ethiopia using Quantiferon-TB Gold In-Tube and tuberculin skin test. BMC Infect Dis. 2011;11(89). 8. Briasoulis G, Karabatsou I, Gogoglou V, Tsorva . BCG vaccination at three different age group: respons and effectiveness. J of Imm Based Therapies and Vaccines 2005, 3:1 9. Adetifa IMO, Lugos MD, Hammond A, Jeffries D Donkor S, Adegloba RA, Hill PC. Comparison of two interferon gamma release assay in the diagnosis of Mycobacterium tuberculosis infection and disease in The Gambia. 10. Carandang EH. Re-evaluation of Mantoux Test in Filipino Adults: A Preliminary Study. Phil J Microbiol Infect Dis 1988; 17(1): 29-33 11. Subagyo A, Aditama T Y, Sutoyo DK, Partakusuma LG. Pemeriksaan Interferon gamma dalam darah untuk deteksi infeksi tuberkulosis. Jurnal Tuberkulosis Indonesia 2006; 3 ( 2): 6-19 12. Wong Cf, Yew Ww, Leung SK, Chan Cy, Hui M, Yeang CA, Cheung AF. Assay of pleural fluid interleukin-6, tumor necrosis factor-alpha and interferon-gamma in the diagnosis and outcome correlation of tuberculous infection. Respir Med. 2003 Dec; 97(12): 1289-95 13. Arend SM, Thijsen SFT, Leyten EMS, Bouwman JJM, Franken WPJ, Koster BFPJ, Cobelens FGJ, Van Houte AJ, Bossink AWJ. Comparison of Two Interferon-Assays and Tuberculin Skin Test for Tracing Tuberculosis Contacts. Am J of Resp Crit Med. 2007; 175: 618-627 14. Pai M, Joshi R, Dogra S, Mendiratta DK, Narang P, Kalantri S, Reingold AL, Colford JM, Riley LW, Menzies D. Serial Testing of Health Care Workers for Tuberculosis Using Interferon-gamma assay. Am J of Resp Crit Med. 2006; 174(3): 349-355 15. Wongtim S, Silachamroon U, Ruxrungtham K, Udompanich V, Limthongkul S, Charoenlap P, Nuchprayoon C. Interferon gamma for diagnosing tuberculous pleural. Thorax 1999; 54: 921-924 16. Lee JY, Choi HJ, Park IN, Hong SB, Obr Mh, YM, Lim, CM, Lee SD, Koh Y, Kim WS, Kim Ds, Kim WD, Shim TS. Comparson of two commercial interferon 65
gamma assay for diagnosin Mycobacterium Tuberculosis infection. Eur Re17(p J 2006; 28(1): 24-30 17. Miranda C, Tomford JW, Gordon SM. Interferon- gamma release assays: better than tuberculin skin testing? Cleveland Clin J of Med. 2010; 77(9): 606-610 18. Soysal A, Torun T, Efe S, Gencer H, Tahaoqlu K, Bakir M.Evaluation of cut-off values of interferon- gamma-based assays in the diagnosis of M. Tuberculosis infection. Int J Tuberc Lung Dis. 2008 Jan; 12(1): 50-6 19. Canada Communicable Disease Report (CCDR). An Advisory Committee Statement (ACS). Canadian Tuberculosis Committee (CTC): Updated recomendations on interferon –gamma release assays for latent tuberculosis infection. 2008 October; 34(6): 1-13 20. Dilektasli AG, Erdem E, Durukan E, Eyuboglu FO. Is the T-cell-based interferon-gamma releasing assay feasible for diagnosis of latent tuberculosis infection in an intermediate tuberculosis-burden country? Jpn J Infect Dis. 2010 N0v; 63(6): 433-6 21. Zhang S, Shao L, Mo L, Chen J, Wang F, Meng C, Zhong M, Wu M, Wen X, Zhang W. Evaluation of gamma interferon release assay using Mycobacterium tuberculosis antigens for diagnosis of latent and active tuberculosis in Mycobacterium bovis BCG-vaccinated populations. Clin Vaccine Immunol 2010 Des; 17(12): 1985-90 22. Arend SM, Engelhard AC, Groot G, de Boer K, Andersen P, Ottenhoff TH, van Dissel JT. Tuberculin skin testing compared wih T-cell responses to Mycobacterium tuberculosis-specific and nonspecific antigens for detection of latent infection in persons with recent tuberculosis contact. Clin Diagn Lab Immunol. 2001 Nov; 8(6): 1089-96 23. Zhao J, Wang Y, Wang H, Jiang C, Liu Z, Meng X, Song G, Chen N, Grviss EA, Ma X. Low agreement between the T-SPOTT .TB assay and tuberculi skin test among college students in China. Int J Tuberc Lung Dis 2011 Jan; 15(1): 134-6 24. Ahmad S. New approaches in the diagnosis and treatment of latent tuberculosis infection. Respir Res 2010 Des 3; 11: 169 25. Lalvani A, Pareek M. A 100 year update on diagnosis of tuberculosis infection. Br Med Bull 2010; 93: 69-84 26. Pareek M, Watson JP, Ormerod LP, Kon OM, Woltmann G, White PJ, Abubakar I, Lalvani A. Screening of immigrants in the UK for imported latent tuberculosis: a multientre cohort study an cost-ffectiveness analysis. Lancet Infect Dis 2011 Jun; 11(6): 435-44 27. Briassoulis G, karabatsou I, Gogoglou V, Tsorva A. BCG vaccination ay three different age groups: response and effectiveness. J of Imm Based Therapies and Vacc 2005, 3:1 28. Karyorini, Suryanto E. Uji Tuberkulin. Jurnal Tuberkulosis Indonesia 2006; 3(2)6-19 29. Sakti H. Kadar Interferon gamma penderita tuberkulosis. Disertasi 2010. Program Doktor Psikologi UGM. 30. Hassain S, Afsal N, Javaid K, Ullah M, Ahmad T, Saleem UZ. Level of interferon gamma in the blood of tuberculosis patients. Iran J Immunol 2010 Dec; &(4) : 240-6 31. Ahmad Kabeer BS, Paramasivan P, Raja A. Role of Interferon Gamma Release Assay in Active TB Diagnosis among HIV infected individuals. Plos ONE . Des 2008; (5): e 57 32. Dinas Kesehatan Kota Semarang 2010. Profil Kesehatan Kota Semarang 2009. Semarang 66
33. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular 1997. Modul Pelatihan Program Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Tingkat Puskesmas. DepKes RI. Jakarta. 34. Quantikine Human IFN-Y Immunoassay. For the quantitative determinations in cell culture supernates, serum, and plasma. Catalog Number DIF 50. R&D Systems Inc 614 McKinley place NE Minneapolis MN 55413 . United States of America.
67
Lampiran 7
RENCANA PENELITIAN LANJUTAN TUJUAN Untuk mengetahui perkembangan kadar interferon gamma (IFN-ɤ) pada orang yang kontak serumah dengan penderita TB paru.
METODE Penelitian akan dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian analitik observasional dengan pendekatan kohort (follow up). Tahap-tahap penelitiannya adalah sebagai berikut: Tahap III (observasi follow up kadar IFN-ɤ dan status klinis) Kegiatan pada tahap ini adalah observasi follow up kadar IFN-ɤ selama 8 bulan terhadap sampel yang telah ditetapkan. Metode pengamatan dilakukan dengan melakukan pengukuran kadar IFN-ɤ sebanyak 2 kali dengan interval 4 bulan. Selain itu, juga dilakukan observasi klinis untuk mengetahui status infeksi dari sampel jika terdeteksi positif pada tahap II. Tahap ini akan menghasilkan informasi kecenderungan atau fluktuasi kadar IFN-ɤ dan durasinya. Tahap IV (Observasi klinis dan analisa data) Pada tahap akhir ini dilakukan observasi secara klinis terhadap sampel setelah dilakukan observasi follow up. Observasi klinis dilakukan untuk mengetahui hasil akhir perkembangan status klinis dari orang yang kontak serumah dengan melihat gejala dan tanda penyakit tuberkulosisnya. Setelah mendapatkan datadata dari tahap satu sampai empat, maka dilakukan analisis data secara menyeluruh sesuai tujuan penelitian. Tahap ini diperkirakan memerlukan waktu 2 bulan.
68
Sumber Penularan Penderita penyakit Tuberkulosis Riwayat kontak serumah (lama dan pola kontak)
TB paru klinis positif
Kelompok terpapar Orang Kontak serumah dengan penderita tuberkulosis
Tes Tuberkulin Positif
TB paru klinis negatif TB paru klinis positif
Tes Tuberkulin Negatif
TB paru klinis negatif
Kelompok tak terpapar Orang sehat (negatif TB Paru secara klinis) dan tidak serumah dengan
TB paru klinis positif
Tes Tuberkulin Positif
penderita tuberkulosis
TB paru klinis negatif
Tes Tuberkulin Negatif
TB paru klinis positif TB paru klinis negatif
Tes pertama Anamnese klinis, Tes kadar IFN-ɤ dan Tuberkulin
Tes kedua dan ketiga Anamnese klinis,
Pola Kadar IFN-ɤ
Tes kadar IFN-ɤ
Penelitian yang telah dilakukan Penelitian yang akan dilakukan
69