Laporan Assessment dan Analisis Potensi Konflik Tenure Terkait DA REDD+ di KPHL Kapuas
Ditulis Oleh WIDIYANTO
Maret 2013
Laporan Assessment dan Analisis Potensi Konflik Tenure Terkait DA REDD+ di KPHL Kapuas
A. PENDAHULUAN Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Kapuas menjadi salah satu lokasi yang penting untuk di-assessment potensi konfliknya oleh WGT setidaknya berdasar tiga alasan. Pertama, KPHL Kapuas merupakan salah satu KPH Model yang pendiriannya paling awal, saat kebijakan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan sebagaimana tertuang dalam Permenhut No. 6 tahun 2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH, dicanangkan. Kedua, sebagai KPH Model, assessment terhadap KPHL Kapuas merupakan cermin sekaligus bahan evaluasi terbaik bagi Kementerian Kehutanan dalam mencapai target pembentukan 120 KPH hingga tahun 2014. Ketiga, yang lebih spesifik, hampir seluruh wilayah KPHL Kapuas tumpang-tindih dengan wilayah Demostration Activities REDD+ yang diprakarsai oleh Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP), sehingga dibutuhkan assessment yang mendalam mengenai persinggungan dan implikasinya. Assessment kali ini dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari assessment yang dilakukan oleh WGT sebelumnya, yakni pada tahun 2011. Konteks assessment saat itu KPHL Kapuas belum terbentuk. Oleh sebab itu, WGT melakukan assessment dan analisa tenure guna mendukung pembentukan KPH Model di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Seperti assessment sebelumnya, penelitian ini diawali dengan pelatihan tiga perangkat analisa land tenure yang dilaksanakan oleh WGT dengan mengundang KPH-KPH yang sudah terbentuk. Pelatihan dilaksanakan pada 6-8 Juni 2012 bertempat di Bogor. Kepala KPHL Model Kapuas menjadi salah satu peserta yang diundang dalam pelatihan tersebut yang kemudian ditindaklanjuti dengan menetapkannya sebagai lokasi assessment dengan sejumlah pertimbangan di atas. Tiga perangkat analisa tenure WGT yang diajarkan dalam pelatihan adalah Perangkat Analisis Land Tenure atau Rapid Land Tenure Assessment (RATA), sistem database pendokumentasian konflik HuMaWin, dan perangkat Analisa dan Gaya Pihak Bersengketa (AGATA). KPHL Kapuas sendiri sudah terbentuk sejak tahun 2011 melalui Peraturan Bupati Kapuas No.197 tahun 2011. KPHL Kapuas masih merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kapuas. Peraturan ini merupakan tindak lanjut dari SK Menhut No.247/Menhut-II/2011 tentang Penetapan Wilayah KPHL Model Kapuas, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.
Meski sudah memiliki dasar hukum pembentukan sejak tahun 2011, akan tetapi bangunan kelembagaan KPHL Model Kapuas baru berdiri sejak pertengahan 2012 dengan kantor yang masih menumpang di salah satu ruangan di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kapuas. Karena statusnya UPTD, maka secara struktur KPHL Kapuas secara kelembagaan, administrasi dan keuangan masih berada di bawah Dinas. Ke depan, ada wacana yang berkembang untuk mendorong KPHL Kapuas sebagai Badan Layanan Umum (BLU) yang lebih independen secara struktural.
Peta Wilayah KPHL Model Kapuas (Unit XXXIII) berdasar SK 247/Menhut-II/2011
Pembentukan KPH merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan dalam mendorong percepatan kebijakan prioritas Kementerian untuk Pemantapan Kawasan Hutan. KPH akan dibentuk di seluruh kawasan hutan di Indonesia. Dengan pembentukan KPH yang menekankan pada kepastian penguasaan kawasan hutan, dapat memberikan kesempatan kepada pihakpihak lain untuk turut mengelola dan memanfaatkan hutan dan hasilnya serta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Yang tergambar kuat dalam konsep pembentukan KPH adalah desentralisasi yang nyata di sektor kehutanan. KPH bertanggung jawab secara langsung atas wilayahnya dengan mendorong peningkatan peran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan demi kepentingan kelestarian ekosistem serta peningkatan taraf ekonomi masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada akumulasi keuntungan mendorong maraknya eksploitasi terhadap hutan yang berujung pada kerusakan ekosistem dan
lingkungan. Degradasi dan deforestasi menjadi ancaman nyata di masa depan yang dampaknya dapat dirasakan dengan meningkatnya suhu bumi akibat perubahan iklim. Dengan kata lain saat ini kita mendapati bahwa banyak hutan yang mengalami penurunan secara kualitas. Di sisi lain, tak sedikit hutan yang terlantar tak terkelola dengan baik akibat pengusahaan hutan yang tak bertanggung jawab, yang apabila ditangani dengan baik dapat menghasilkan manfaat bagi pihak lain serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penelantaran hutan ini terjadi ketika perencanaan pengusahaan hutan tidak dirancang dengan baik. Pengusahaan hutan pada masa lalu dianggap lebih menekankan aspek eksploitasi dengan meminggirkan aspek sosial, ekologi, dan keberlanjutan hutan di masa depan. Ketiga aspek penting tersebut belum menjadi instrumen utama untuk dipertimbangkan secara inheren dalam perencanaan pengusahaan hutan. Pemanfaatan seolah menjadi paradigma utama dalam penggunaan kawasan hutan. Setelah dieksploitasi, hutan menjadi areal lahan terbuka dan rentan mengalami konversi status yang pada akhirnya akan mengurangi luasan maupun kualitas lahan. Sementara itu peran organisasi kehutanan yang berada di tingkat lokal yang ada tidak dimaksudkan untuk mengelola kawasan hutan di tingkat tapak. Keberadaan instansiinstansi tersebut lebih pada kontrol perijinan dalam alur pengusahaan hutan dan kepanjangan tangan dari Kementerian Kehutanan di tingkat pusat. Organisasi kehutanan di tingkat daerah menekankan tugas pokok dan fungsinya secara administratif atas kawasan hutan sementara pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain. Dasar yang digunakan Kementerian Kehutanan melalui instansi-instansi kehutanan di bawahnya merujuk UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. UU tersebut menekankan bahwa penguasaan seluruh hutan di Indonesia diserahkan kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala urusan terkait hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, menetapkan status kawasan, serta mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan dan perbuatan hukum mengenai kehutanan. Dengan berpedoman pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, maka penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk peningkatan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; mengoptimalkan fungsi hutan secara seimbang; meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; meningkatkan kapasitas serta keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan masyarakat; dan menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Di sinilah letak strategis pendirian KPH yang salah satu poin pendiriannya guna meningkatkan aksesibilitas masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan. Karena KPH didorong untuk lebih mengetahui kondisi kawasan secara langsung sehingga diharapkan mampu memberikan solusi dan manfaat yang kongkret bagi kelangsungan kehidupan masyarakat di sekitar kawasan hutan, yang secara langsung akan berkontribusi secara signifikan pada proses penyelesaian konflik kehutanan yang marak belakangan. KPHL Model Kapuas tampaknya didirikan berdasar sejumlah kegelisahan di atas. Assessment WGT kali ini lebih pada proses mengidentifikasi potensi konflik tenure yang dialami KPH dengan pihak lain yang bertindak selaku pengelola di dalam kawasan KPH. Pihak lain tersebut tak lain adalah KFCP. WGT tidak melakukan assessment dari sudut pandang kehutanan, biofisik, tutupan, maupun wilayah kelola, akan tetapi lebih pada potensi persoalan land tenure di wilayah KPHL Kapuas yang bersinggungan dengan wilayah kerja KFCP. Data-data mengenai assessment tersebut diperoleh dari berbagai sumber laporan sebagai pengaya laporan ini.
B. Deskripsi Wilayah KPHL Model Kapuas Sejarah Kawasan Dasar penetapan wilayah KPHL Model Kapuas adalah Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 247/Menhut-II/2011 tentang Pembentukan KPHL Model Kapuas. Dalam Surat tersebut dinyatakan bahwa letak geografis KPHL Model Kapuas berada pada 114° 23' 31,4" - 114° 42'44,5" Bujur Timur dan 1°51'47,4" - 2° 25' 45,8" Lintang Utara. Wilayah ini baru sebatas penunjukan kawasan. Luas area wilayah KPHL Kapuas mencapai 105.372 hektar berada di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Mantangai dan Kecamatan Timpah. Wilayah KPH berada secara administratif di sepuluh desa di dua kecamatan tersebut. Desa-desa tersebut adalah Petak Puti di Kecamatan Timpah, Desa Tumbang Muroi, Lapetan, Tumbang Mangkutup, Katunjung, Sei Ahas, Katimpun, Kalumpang, Mantangai Hulu dan Mantangai Tengah berada di Kecamatan Mantangai. Wilayah KPHL Model Kapuas berada di eks proyek Pengembangan Lahan Gambut (EksPLG) Sejuta Hektar Provinsi Kalimantan Tengah. Sebelah timur berbatasan dengan Hutan Konservasi di Kabupaten Barito Selatan, sebelah barat berbatasan dengan APL Kabupaten Kapuas di mana dapat dijumpai desa-desa yang berada di tepi Sungai Kapuas. Demikian sebelah selatan, wilayah KPHL Kapuas berbatasan dengan APL, dan utara dengan HPK Kabupaten Kapuas. Mulanya proyek PLG Sejuta Hektar diprakarsai oleh Pemerintahan Presiden Soeharto pada masa lalu untuk mengkonversi secara besar-besaran kawasan gambut menjadi areal pertanian pangan. Melalui Keppres No. 82 tahun 1995 tentang Pengembangan
Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah, Pemerintah melakukan konversi tersebut guna mengantisipasi krisis pangan nasional saat itu. Berdasar peta lampiran Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1982, kawasan Eks-PLG berada di kawasan hutan produksi (HP) dan sebagian hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang secara hukum status kawasan hutan tersebut dapat dilepaskan sebagai kawasan hutan. Lalu Menteri Kehutanan mengeluarkan SK No. 166/Menhut/VII/1996 mengenai Pencadangan Areal Hutan untuk Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah. Keluarnya SK Menhut ini kuat dugaan demi memuluskan rencana Pemerintah untuk mengkonversi kawasan sebagaimana dikehendaki Presiden dalam Keppres tahun 1995 itu. Berbagai kebijakan lainnya pun dikeluarkan guna menyukseskan program PLG Sejuta Hektar yang terbilang prestisius tersebut, seperti misal program transmigrasi para penduduk dari Jawa yang ditempatkan di sebelah selatan lokasi PLG itu. Hingga sekarang masih banyak transmigran yang tinggal di dekat Mantangai di sekitar perkebunan kelapa sawit. Guna menjalankan konversi kawasan, pelbagai Ijin Penebangan Kayu (IPK) pun dikeluarkan. Aktivitas penebangan kayu membabati hutan meninggalkan potongan-potongan kayu dan semak belukar. Di kawasan tersebut kemudian dibuat drainase-drainase dan kanal dengan membuat tabat yang fungsinya menahan air masuk ke gambut. Sepanjang masa jalannya proyek PLG pada medio 1990an dibuat paling tidak dua kanal primer induk yang pararel membujur dari timur ke barat sepanjang 187 km dengan menghubungkan tiga sungai besar: Sungai Barito, Sungai Kapuas, dan Sungai Kahayan. Saluran tersebut rencananya menjadi kontrol utama pengairan padi pada proyek PLG. Akan tetapi gagal. Proses pengeringan lahan gambut ini membuat lahan kering-kerontang, ekosistem hutan rawa gambut menjadi rusak, dan sebagai dampak terburuknya: lahan menjadi mudah sekali terbakar. Ini kerap terjadi di Blok A sebelah utara. Sementara Blok E yang terletak di ujung utara wilayah KPHL Model Kapuas kondisi hutannya dapat dikatakan masih bagus. Menurut penuturan warga Katunjung, periode akhir tahun 1997an merupakan puncak terjadinya kebakaran hebat di kawasan gambut ini. Berhektar-hektar lahan gambut terbakar yang mengakibatkan bencana asap akibat kebakaran yang hebat. Asap kebakaran gambut membubung tinggi hingga ke daerah-daerah lain dan menimbulkan bencana asap tingkat nasional. Ekosistem dan ekologi di kawasan tersebut menjadi rusak akibat kebakaran tersebut. Hutan pun mengalami degradasi fungsi dan kebakaran gambut menjadi pemicu utama pelepasan emisi gas rumah kaca. Dokumen Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan rencana kegiatan KFCP menyebutkan beberapa lokasi di Blok A bahkan mengalami lebih dari satu kali kebakaran terhitung sejak tahun 1990, 2001, 2002, 2004, 2005, hingga 2006 dan 2009. Bahkan di lokasi tersebut terdapat rawa gambut yang mengalami tujuh kali kebakaran
pada durasi tersebut. Letak lokasi yang paling sering mengalami kebakaran, menurut dokumen UKL-UPL KFCP, berada di dekat kanal primer. Bisa jadi lokasi rawa tersebut yang mengalami pengeringan parah sehingga gambut mudah terbakar. Dengan kondisi ekosistem dan ekologi yang rusak akibat kebakaran, ditambah massifnya penebangan kayu yang dilegalkan berdasar Ijin Pemanfaatan Kayu pada masa 1990an akhir, kawasan Eks-PLG berubah seolah menjadi lahan terbuka. Sisa-sisa tebangan pohon berserak, gambut mengering, dan tutupan lahan makin berkurang. Areal tersebut lebih mirip lahan terlantar ketimbang kawasan hutan. Kerusakan rawa gambut yang merupakan ekosistem terbesar di wilayah KPHL Model Kapuas tentu saja membahayakan tak hanya dapat memicu pelepasan emisi yang dapat mendorong terjadinya perubahan iklim, namun juga membahayakan kelangsungan ekosistem di sana. Hutan rawa gambut memiliki fungsi ekologis yang sangat besar dalam menjaga dan mengontrol fungsi hidrologi dan ketersediaan air serta sebagai habitat yang spesifik bagi keanekaragaman jenis flora dan fauna, seperti ramin, jelutung, ketiau, dan nyatoh. Hutan rawa gambut yang rusak dan terganggu akan sangat sulit untuk direklamasi. Meski kondisi lahan terlantar—terutama di Blok A sebelah utara, akan tetapi secara hukum, status kawasan tersebut masih kawasan hutan dengan kategori hutan produksi sebagaimana ditunjuk dalam Peta TGHK tahun 1982 yang tertuang dalam SK Menteri Pertanian No: 759/Kpts/Um/10/1982 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah seluas 15.300.000 ha sebagai Kawasan Hutan. Upaya pelepasan kawasan yang pernah dilakukan melalui SK Menhut tahun 1996 tidak berjalan mulus, sehingga statusnya masih tetap Kawasan Hutan.1 Dalam dokumen Perencanaan KFCP tahun 2009 pun menyebut bahwa lokasi Eks-PLG masih berstatus sebagai Kawasan Hutan Negara dengan kategori hutan produksi, yang dalam waktu beberapa tahun mendatang akan berubah menjadi hutan lindung atau suaka alam.2 Status kawasan hutan tersebut dapat ditemukan dalam Perda No. 3 tahun 2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) Kabupaten Kapuas dan Perda No. 8 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (Perda RTRWP) Kalimantan Tengah yang menyatakan bahwa Eks-PLG merupakan Kawasan Hutan dengan fungsi Konservasi, yang terdiri dari Konservasi Flora dan Fauna, Kawasan Konservasi Hidrologi, Kawasan Konservasi Gambut Tebal, dan Kawasan Konservasi Ekosistem Air Hitam.
1
Yayasan BOS, Proposal Pengusulan Areal Mawan menjadi Hutan Konservasi [Suaka Alam], tahun tidak diketahui, hal 16. 2 Lihat dokumen Perencanaan KFCP tahun 2009 halaman 4.
Keppres No. 82 tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan secara resmi dicabut melalui Keppres No. 80 tahun 1999 tentang Pedoman Umum Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Dalam Pasal 1 ayat (4) Keppres No. 80 disebutkan bahwa kawasan yang memiliki lahan basah yang bergambut dengan ketebalan gambut lebih dari 3 meter dan kawasan yang berfungsi lindung pada daerah kerja pengembangan lahan gambut dimanfaatkan untuk konservasi dan pengelolaannya dilakukan oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Perda dan Keppres ini kemudian menjadi sarana justifikasi bagi Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (BOSF) mengajukan konsesi konservasi orangutan seluas 300.000an hektar di kawasan hutan Eks-PLG menyeberang ke Hutan Konservasi di Kabupaten Barito Selatan, di sebelah timur wilayah KPHL Model Kapuas sekarang. Kejelasan status kawasan hutan Eks-PLG sebagai kawasan hutan lindung muncul melalui Instruksi Presiden No. 2 tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Dinyatakan dalam Inpres tersebut bahwa keseluruhan wilayah Blok E masuk dalam kawasan Lindung. Demikian halnya di Blok A bagian utara. Keputusan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan kelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati yang hidup di hutan rawa gambut. Dalam Permenhut No. 55/Menhut-II/2008 tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Konservasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah, wilayah Eks-PLG masuk sebagai wilayah arahan fungsi hutan lindung. Ditinjau dari segi hukum, kejelasan status kawasan tersebut menjadi dasar yang kuat untuk tetap memasukkan lahan Eks-PLG sebagai hutan yang dikuasai negara, meski pada kenyataannya kondisinya telah mengalami degradasi dan deforestasi yang parah. Paling tidak lahan yang dimaksud tidak dikeluarkan sebagai areal penggunaan lain yang akan dengan mudah dimanfaatkan untuk kepentingan nonkehutanan, seperti ekspansi kelapa sawit yang kian meluas di Kalimantan ini. Perubahan fungsi kawasan dari status hutan produksi menjadi hutan lindung kemudian ditetapkan melalui SK. Menhut No. 292/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan di Kalimantan Tengah. Dalam lampiran peta SK Menhut No. 292, wilayah Blok E dan A sebelah utara ditunjuk menjadi hutan lindung dengan mengeluarkan beberapa bagian di sebelah kanan-kiri Sungai Kapuas menjadi APL mengingat adanya keberadaan desa-desa dan permukiman warga yang umumnya di tepian sungai tersebut. Kepastian status hukum lahan Eks-PLG
terakhir berdasarkan SK Menhut No. 529/Menhut-II/2012 tentang Penunjukan Areal Hutan di Provinsi Kalimantan Tengah Seluas 15.300.000 Hektar Sebagai Kawasan Hutan. Sementara itu dalam peta pencadangan yang dikeluarkan oleh Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan bernomor S.207/VII-WP3H/2011 memasukkan lokasi Eks-PLG untuk wilayah KPHL Model Kapuas. Wilayah KPHL Model Kapuas yang 105 ribu hektar berada di dua blok A dan E itu. Dan dikukuhkan dalam SK Pembentukan KPHL Model Kapuas. Perkembangan terakhir, Gubernur Kalimanantan Tengah sudah mengeluarkan dua SK pembentukan panitia tata batas kawasan hutan, yang tertuang dalam SK Gubernur Kalimantan Tengah No. 188.44/107/2011 tentang Pembentukan dan Penetapan Panitia Tata Batas Luar Kawasan Hutan Kabupaten/Kota se-Provinsi Kalimantan Tengah yang keluar pada 31 Maret 2011, dan SK Gubernur Kalimantan Tengah No. 188.44/113/2011 tentang Pembentukan dan Penetapan Panitia Tata Batas Fungsi Kawasan Hutan Kabupaten/Kota se-Provinsi Kalimantan Tengah, terbit 4 April 2011. Mengenai susunan Panitia Tata Batas Luar Kawasan Hutan Kabupaten Kapuas, dalam SK Gubernur No. 107 disebutkan bahwa Ketua Panitia adalah Bupati Kapuas, Sekretaris merangkap Anggota: Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kapuas/ Kepala BKSDA/Kepala Balai Taman Nasional, sedang Anggota Panitia terdiri dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kapuas, Kepala BPKH Wilayah V Banjar Baru, Kepala Bappeda Kabupaten, Camat setempat, dan Lurah/Kepala Desa setempat. Tim Panitia Tata Batas Kawasan KPHL Kapuas telah menyelesaikan sebagian tata batas luar. Panjang kawasan yang yang telah selesai ditata batas sementar sepanjang + 31.278,10m dengan menggunakan patok sementara yang terbuat dari kayu bulat berdiameter 5-7 cm, dipasang pada jarak antara 25-150 m, sebanyak 324 buah. Dalam Berita Acara Panitia Tata Batas disebutkan bahwa sepanjang proses penataan batas, tidak ditemukan hak-hak pihak ketiga di dalam kawasan. Identifikasi permukiman terdekat dengan kawasan hutan berada di Desa Sei Ahas dan Desa Katimpun. Tutupan lahan didominasi tanaman galam, hutan jarang, tanaman karet masyarakat dan semak belukar.
Tata Kuasa Wilayah KPHL Model Kapuas KPHL Model Kapuas dengan keterbatasan kelembagaan dan sarana pendukung lainnya, berupaya melakukan identifikasi awal mengenai kondisi tata kelola dan tata kuasa di wilayahnya. Dari sini, KPH Kapuas harus menerima kenyataan bahwa telah berlangsung sebuah proyek demonstration activities REDD+ di wilayahnya yang dilakukan oleh
KFCP. Artinya, KFCP telah beraktivitas beberapa tahun sebelum KPHL Model Kapuas didirikan. Berdasar pengamatan sepintas, adanya kelembagaan KPHL Model dengan KFCP sebagai pelaksana proyek demonstrasi aktivitas REDD+ di lapang yang hampir secara keseluruhan tumpang-tindih, memunculkan tanggapan beragam yang sangat potensial dapat menimbulkan konflik atas tata kuasa kawasan hutan di Kapuas. Potensi konflik ini tentu saja perlu diuraikan guna dicari jalan keluarnya demi pengelolaan kehutanan ke depan yang lebih baik. Pada umumnya konflik tenure menyangkut kawasan hutan terjadi jika terdapat perbedaan klaim penguasaan atas kawasan atau satu lahan yang sama, di mana masingmasing pihak merasa paling berkuasa atas lahan yang menjadi obyek sengketa dan berupaya mengecualikan atau menghilangkan klaim pihak lainnya. Pengecualian atau penghilangan klaim pihak lawan sengketa dapat dilakukan dengan beragam metode yang pada intinya hendak mengurangi legitimasi keberadaan pihak lain tersebut. Dalam kasus ini, potensi konflik tata kuasa teridentifikasi bermula dari adanya persinggungan wilayah KPHL Model Kapuas dengan wilayah kerja demonstration activities KFCP. KPHL Model Kapuas dan KFCP adalah dua pihak yang terlibat dalam konflik tata kuasa tersebut. Sesungguhnya tak sedikit anggota masyarakat adat Dayak Ngaju yang tinggal di desadesa sekitar kawasan KPHL Kapuas. Berbagai sumber menyebut masyarakat Dayak Ngaju telah tinggal di situ sejak awal abad ke-19.3 Mereka mengandalkan mata pencariannya dengan mengambil ikan dan tinggal di tepian Sungai Kapuas. Desa Kalumpang, misalnya, konon merupakan induk dari beberapa desa sekitar, seperti Sei Ahas, Katunjung, Katimpun, Tumbang Muroi.4 Sejak berhentinya proyek PLG Sejuta Hektar akhir 1990an, masyarakat sekitar aktif berkebun karet dan mencari ikan melalui kanal-kanal kecil yang saling terhubung. Tidak sedikit masyarakat yang memiliki klaim penguasaan atas tatas yang mereka bangun sewaktu pelaksanaan Proyek PLG Sejuta Hektar pertengahan tahun 1990an dulu. Bagi warga yang turut menggali pembuatan tatas pada waktu itu, sekarang seolah menjelma sebagai pemilik blocking kanal tersebut. Tatas-tatas letaknya berada di mulut sungai besar dan sebagian besar berada dalam kawasan KPHL Kapuas. Areal penguasaan tatas masyarakat berada pada lahan antara satu tatas dengan tatas lainnya. Terdapat pergeseran hubungan antara pembuat tatas pada waktu itu, menjadi seolah hubungan hukum antara tatas dengan pemiliknya. Hubungan hukum tersebut diperkuat dengan adanya pengakuan atas kepemilikan tatas yang dikeluarkan oleh kepala desa, dan menjadi bukti formal penguasaan tatas. Bagi masyarakat lokal tatas barangkali 3 4
RPJM Desa Mantangai Hulu 2011-2015 RPJM Desa Kalumpang 2011-2015
kedudukannya sama dengan tanah yang dapat diklaim penguasaannya, baik wujud permukaan, tanaman di atasnya, maupun sumberdaya yang terkandung di dalamnya, seperti perbagai jenis ikan. Agak susah melacak sejak kapan muncul surat pernyataan kepemilikan tatas dalam masyarakat. Apakah sejak berhentinya Proyek PLG Sejuta Hektar atau sejak mulainya demonstation activities REDD+ KFCP. Karena klaim-klaim penguasaan informal masyarakat tersebut menjadi salah satu pertimbangan ganti rugi dalam elemen pembiayaan blocking kanal pada proyek KFCP, yang memicu masyarakat ‘memformalkan’ klaim penguasaan mereka selama ini kepada otoritas setempat, dalam hal ini kepala desa, sebagai basis legitimasi penguasan lahan oleh masyarakat setempat. Sementara itu KPHL Model melandaskan legitimasi keberadaannya pada aturan formal mulai dari Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 247/Menhut-II/2011 tentang Pembentukan KPHL Model Kapuas hingga ke Peraturan Bupati No. 197 tahun 2011. Secara wilayah, KPHL Kapuas mengacu pada SK Menhut No.529 tahun 2012 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Kalimantan Tengah. Di lain pihak, KFCP, dengan dukungan dana berlimpah untuk menyelenggarakan proyek DA REDD+ berupaya membangun legitimasinya melalui beragam kegiatan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Beragam kegiatan KFCP di wilayah kerjanya antara lain melakukan pemetaan wilayah kerja, wilayah desa, pembibitan, demonstrasi penanaman beragam jenis tanaman di lahan-lahan kritis, pemantauan terhadap kebakaran lahan, dan lain sebagainya. Kegiatan KFCP di luar aktivitas kehutanan tampak juga dilakukan oleh proyek kemitraan bilateral Indonesia-Australia ini, seperti turut membantu sejumlah pemerintah desa, terutama di daerah yang menjadi wilayah kerjanya, menyusun rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes). Di tingkat pemerintahan, KFCP juga terlibat mendanai pengembangan kapasitas birokrasi dalam pemerintahan lokal sebagai komitmen dukungan pembangunan Kerangka Kerja Nasional REDD termasuk dukungan terhadap Pokja REDD antar instansi pemerintah. Bupati Kapuas sendiri guna mendukung dan mengoptimalkan kemanfaatan program-program KFCP di tingkat Kabupaten Kapuas, telah membentuk Kelompok Kerja (Working Group) KFCP melalui SK Bupati Kapuas No. 138/BAPPEDA tahun 2010, tertanggal 24 Maret 2010. Menurut SK Bupati Kapuas No. 138 tahun 2010, Kelompok Kerja KFCP memiliki tugas dan fungsi pokok: 1) Memfasilitasi implementasi rencana kegiatan KFCP sebagaimana terdapat di dalam dokumen desain teknis yang sudah mendapat persetujuan oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia di Tingkat Kabupaten Kapuas;
2) Mengkoordinasi dan memfasilitasi proses konsultasi publik dan sosialisasi kegiatan KFCP dan Rencana Aksi Program KFCP di Tingkat Kabupaten Kapuas sampai tingkat Kecamatan dan Desa; 3) Merumuskan dan menyusun rencana dan instrumen monitoring dan evaluasi kegiatan KFCP; 4) Melaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan KFCP di lapangan dengan mengacu dan berpedoman pada Sistem Monitoring dan Evaluasi yang sudah ditetapkan oleh IAFCP/KFCP; 5) Menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas dan fungsi Kelompok Kerja secara berkala kepada Bupati Kapuas dengan tembusan disampaikan kepada program KFCP dan pihak terkait (stakeholders); 6) Mengkoordinasi dan memfasilitasi kegiatan pengembangan kapasitas (capacity building), peningkatan pengetahuan (knowledge building) dan pembangunan penyadaran (awareness building) terkait program KFCP secara khusus dan REDD secara umum; 7) Mengkoordinasi dan memfasilitasi pelaksanaan komunikasi; 8) Membangun hubungan baik (trust building) dengan para pihak terkait (stakeholders) Tingkat Kabupaten, Kecamatan dan Desa terkait dengan program KFCP: 9) Memfasilitasi dan mediasi penyelesaian konflik (conflict resolution) di tingkat Kabupaten Kapuas hingga Desa, apabila terdapat konflik atau isu yang terkait dengan kegiatan KFCP di lapangan. Beragam aktivitas dan dukungan KFCP di luar kehutanan tersebut di atas secara tak langsung memperkuat legitimasi keberadaan KFCP dalam tata kuasa kehutanan di wilayah KPHL Model Kapuas. Terdapat persepsi kuat dalam pandangan masyarakat bahwa KFCP merupakan pengelola kawasan tersebut yang menjurus pada pemegang kuasa tunggal atas kawasan. Kesan ini sulit ditampik mengingat KFCP melakukan kegiatan dengan mobilisasi dana dan sumberdaya yang tak sedikit. Sehingga persepsi yang terbangun di masyarakat, sesungguhnya KFCP-lah yang berperan besar dalam membangun dan memberi penghidupan masyarakat desa.5 Faktor lain yang memperkuat legitimasi KFCP dari perspektif global. KFCP merupakan proyek percontohan pertama dari kesepakatan Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP). Misi utama project IAFCP ini menyusun model pendanaan yang menggunakan pendekatan berbasis inisiatif pasar dan merumuskan langkah-langkah
5
Persepsi ini muncul dari kalangan kepala desa dan sejumlah warga yang terlibat dalam kegiatan yang didanai oleh KFCP, seperti pembibitan, penanaman, penabatan blok-blok bergambut di desa seperti di Desa Katimpun.
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.6 Skema pendanaan perubahan iklim model REDD ini yang sekarang menjadi perdebatan hangat di tingkat internasional. KFCP merupakan realisasi dari kemitraan yang melibatkan dua negara, IndonesiaAustralia, untuk karbon hutan. Kesepakatan ini ditandatangani langsung oleh Presiden SBY dan Perdana Menteri Australia, untuk jangka waktu 2008-2012 dengan komitmen pendanaan dari Australia sebesar 40 juta AUD. Rinciannya 10 juta AUD untuk persiapan REDD dan 30 juta AUD untuk pengembangan pilot project Kalimantan Tengah ini. Kementerian Kehutanan melalui Sekretaris Jenderal Hadi Daryanto lalu mengeluarkan Surat Keterangan No. KT. 12/II-KUM/2010 tertanggal 20 Desember 2010 tentang Penunjukan Wilayah Kerja KFCP, yang berada pada kawasan lahan gambut seluas 120.000 hektar yang terletak di bagian utara bekas kawasan Proyek Pembangunan Lahan Gambut (eks PLG) sejuta hektar yang dibatasi oleh Sungai Kapuas di sebelah barat dan Sungai Mantangai di bagian barat daya dengan wilayah administrasi terbagi di Kecamatan Mantangai dan Kecamatan Timpah, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah dengan batas geografis kurang lebih 114023’21”-11404023’21” bujur timur dan 1056’1”-2030’10” lintang selatan. Surat yang dikeluarkan Sekjend Kemenhut tersebut menjadi dasar peta wilayah kerja KFCP, meski dalam poinpoin kesepakatan telah secara eksplisit menyebut lokasi proyek demonstration activities KFCP di Kabupaten Kapuas. Keluarnya SK Sekjen Kementerian Kehutanan No. KT.12/II-KUM/2010 tentang Penunjukan Lokasi Wilayah Kerja KFCP, makin menguatkan bahwa pengelolaan eks lahan PLG berada di tangan Kementerian Kehutanan. Pada periode paska pemberhentian Mega PLG sejuta hektar, sempat terjadi tarik-ulur kewenangan pengelolaan kawasan antara Pemerintah dengan pemerintah daerah. Pemerintah pusat berargumen mengenai status kawasan hutan, sementara pemerintah daerah mendasarkan klaim pengelolaannya menurut UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Ijin-ijin perkebunan sawit sempat dikeluarkan oleh Pemda Kabupaten Kapuas dengan dasar kewenangannya tadi (Gamma Galudra, dkk; 2010). Bila menilik penanggalannya, SK Sekjend Kemenhut yang menunjuk lokasi KFCP terbit tiga hari sebelum Rapat Kabinet yang menunjuk Kalimantan Tengah sebagai provinsi 6
Bernadinus Steni dan Sentot Setyasiswanto, Tak ada Alasan Ditunda; Potret FPIC dalam Proyek Demonstration Activities REDD+ di Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah, HuMa, 2011, hal. 15-16.
pilot implementasi REDD+ di Indonesia. Artinya, penunjukan Kabupaten Kapuas sebagai wilayah DA REDD+ KFCP memiliki legitimasi sangat besar dengan berbagai dukungan secara politik dari Pemerintah Pusat. Barangkali pula rapat kabinet tersebut merupakan arena justifikasi lokasi KFCP di Kabupaten Kapuas. KFCP kemudian melakukan pendekatan-pendekatan kepada pemerintahan desa di wilayah kerja mereka, yang terdiri dari tujuh desa itu. KFCP membuat kesepakatan dengan para kepala-kepala desa yang kemudian dikukuhkan dalam bentuk Perjanjian Desa. KFCP juga membantu melakukan pendampingan perangkat desa-desa dalam membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa). Tak banyak penduduk desa yang mengetahui isi dari Perjanjian Desa. Sebagian penduduk Katunjung misalnya mengatakan hanya sekitar 10 persen warga desa tersebut yang mengetahui ada perjanjian. Dan pemberitahuan mengenai DA REDD+ KFCP dianggap mereka hanya sosialisasi. Tidak dalam kerangka free, prior and informed consent (FPIC) sebagai prasyarat persetujuan atau penolakan proyek oleh komunitas adat yang terdampak (Bernadinus Steni, dkk; 2012). Mantir-mantir adat dimasukkan sebagai salah satu penandatangan Perjanjian dalam kapasitasnya sebagai saksi. Dengan demikian tergambar kuat bahwa melalui Perjanjian Desa, KFCP seolah-oleh memperoleh dukungan formal dari komunitas adat yang mendiami wilayah proyek. Di Katunjung, ada salah seorang mantir yang tidak menyetujui proyek percontohan KFCP dengan menolak menandatangani Perjanjian Desa. Bagi masyarakat lokal, kehadiran KFCP justru menciptakan polarisasi di tingkat akar rumput (Widiyanto; 2012). Ada yang pro terhadap kehadiran proyek, yakni mereka yang memperoleh keuntungan secara ekonomi, namun tak sedikit pula yang menolaknya dengan sejumlah alasan. Dalam Perjanjian Desa pihak KFCP diwakili oleh sebuah badan hukum bernama PT Aurecon Indonesia, yang berdomisili di Jakarta. Masyarakat dan beberapa pihak banyak yang kemudian menanyakan legalitas, baik KFCP maupun perusahaan tersebut, mengingat struktur KFCP tidak pernah menyebut nama perusahaan tersebut ketika berada di lapangan. Akan tetapi, ada pokok persoalan lainnya yang bersumber pada Perjanjian tersebut. Ada tujuh prinsip yang akan diterapkan oleh KFCP dalam Perjanjian Desa, yakni: 1) KFCP tidak akan pernah mencoba mengklaim lahan atau status hukum dan hak adat atas tanah dan wilayah di desa tanpa persetujuan dari seluruh penduduk desa. Setelah perjanjian berakhir lahan dan hasil-hasil sepenuhnya dikelola masyarakat. 2) KFCP akan menghargai dan mengakui hukum-hukum adat termasuk yang mengatur sumberdaya alam.
3) Keuntungan-keuntungan dari kegiatan KFCP harus dibagi secara adil di antara semua pemangku kepentingan hak, termasuk perempuan dan kelompok-kelompok terpinggirkan. 4) Kegiatan-kegiatan KFCP harus mendukung mata pencaharian yang berkelanjutan sesuai dengan pembangunan desa. 5) Semua anggota masyarakat di desa mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam program secara penuh dan efektif. 6) Anggota masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang kegiatan KFCP untuk memastikan tata kelola program yang baik. 7) Pelaksanaan program harus sejalan dengan hukum dan peraturan lokal dan nasional (termasuk hukum adat), dan konvensi-konvensi internasional. Dalam prinsip poin 1 KFCP menyatakan tidak akan mengubah atau mengklaim status lahan. Prinsip tersebut benar adanya akan tetapi praktik di lapangan dengan adanya peta wilayah kerja, pola-pola pembagian kerja, serta belum adanya mekanisme hukum yang kuat mengenai proyek percontohan REDD+, membuat apa yang telah dilakukan oleh KFCP di lokasi seperti penguasa atas lahan. Sejak berhentinya mega PLG sejuta hektar tahun 1998an, mulai muncul klaim-klaim kepemilikan atas kanal-kanal atau tabat oleh masyarakat lokal, mengingat tabat tersebut merupakan sumber kehidupan mereka (Gamma Galudra; 2010). Sehingga saat salah satu kegiatan KFCP adalah melakukan pembukaan blocking kanal, protes masyarakat pun muncul. Dalam focused group discussion yang diselenggarakan WGT dalam rangkaian assessment ini di Desa Katimpun, pada akhir November 2012, dapat dikatakan secara keseluruhan peserta mengenal dan mengetahui proyek KFCP, dan sebaliknya hampir semua yang hadir tidak mengetahui apa dan siapa KPHL Kapuas itu. Di beberapa lokasi proyek KFCP tampak pula ditemui poster-poster berisi informasi kegiatan dan alokasi dananya. Kegiatan-kegiatannya meliputi pembibitan dan penanaman yang lebih banyak dikonsentrasikan di Katunjung ke selatan, termasuk Katimpun.
Tata Kelola Kawasan KPHL Model Kapuas saat ini telah selesai menyusun Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Pendek dan Jangka Panjang yang berdurasi sepuluh tahun dari 2013-2022. Seluruh wilayah KPHL dibagi ke dalam tiga blok, yakni Blok Inti (Zona Konservasi) yang berada di bagian utara atau Blok E, seluas 65.480,4 ha atau sekitar 62,30% mencakup 730 petak. Kemudian Blok Pemanfaatan (Zona Revitalisasi/Pengelolaan Adaptif) yang berada di bagian barat seluas 13.375,10 ha (12,70 %) mencakup 240 petak, dan Blok
Khusus (Zona Rehabilitasi) yang berada di bagian selatan dengan luas 26.310,40 ha (25 %) mencakup 310 petak. Per petak luas maksimal 100 ha. Masyarakat setempat telah memiliki pengetahuan tradisional sendiri mengenai pengelolaan kawasan yang mereka praktikan secara turun-temurun di lapangan. Proyek PLG Sejuta Hektar harus diakui sedikit banyak mempengaruhi pola berladang sebagian besar masyarakat setempat. Bila sebelum adanya proyek tersebut, masyarakat masih menganut pola berladang secara berpindah-pindah, namun sekarang menetap di permukiman-permukiman di tepian sungai. Memang masih banyak dijumpai bangunan-bangunan pondok semi permanen yang berdiri di dalam hutan, akan tetapi bangunan tersebut bersifat sementara. Bukan tempat bermukim permanen. Masyarakat tinggal di pondok-pondok tersebut saat memanen atau mencari ikan di sekitar. Berikut adalah sejumlah pengetahuan tradisional masyarakat setempat7 mengenai pengelolaan lahan di Desa Mantangai Hulu, desa berpenduduk terbanyak yang terletak berdekatan dengan kawasan KPHL Kapuas. 1.
2. 3.
4. 5.
6.
7. 8.
Napu adalah kawasan yang berada di pinggir DAS, tanaman yang tumbuh seperti, karet dan rotan. Selain karet dan rotan juga ditumbuhi kayu alam seperti: kayu rangas, kayu tatumbu, rasau rasau, kayu hampuak, kayu tambalinah, kayu kalabuau, dan kayu sapakau. Isin Petak adalah tanah subur, tidak dikatak gambut dan tidak dikatakan tanah baruh, Isin petak sangat bagus untuk lahan pertanian padi pasang surut. Gahagas adalah tanah yang tidak dikatakan gambu dan tidak dikatakan lumpur, tanah tersebut sangat baik untuk tanaman karet, buah mangkahai (Cempedak) dan Rambutan. Tajahan/Galeget adalah tanah tinggi yang tidak jauh dari permukaan pasir. Petak Napu/Katam adalah keberadaannya ini di pinggir aliran suangai besar/DAS. Jenis tanah ini biasanya digunakan untuk tempat berkebun karet, pemukiman, kebun rotan. Petak Pamatang keberadaannya sekitar ±300 Meter dari DAS. Yang digunakan untuk tempat berladang, berkebun karet, sayuran dll, dan juga tempat berusaha seperti berburu (Mandup). Petak Sahep keberadaanya kurang lebih ± 3 Kilu Meter dari Pinggir DAS. Jenis tanah tersebut biasanya digunakan untuk tempat lahan pertanian padi gunung. Petak Luau adalah tanah yang gambutnya dalam. Yang biasanya tempat masyarakat berusaha mencari kulit Gemur, tempat mencari ikan dan mencari kayu untuk bahan bangunan rumah.
Areal pengelolaan masyarakat setempat sangat mungkin berada di dalam kawasan mengingat keterikatan mereka terhadap tatas-tatas eks Proyek PLG Sejuta Hektar sangat tinggi. Namun bagi KPHL Kapuas, pengelolaan hutan secara tradisional di
7
Ikhwan, Tata Cara Pengelolaan dan Hukum Adat, catatan lapangan riset, tidak diterbitkan.
kawasannya tidak menjadi masalah, sepanjang pemberdayaan dan hak-hak masyarakat untuk mencari nafkah dan penghidupannya tidak terganggu. Assessment kali ini melihat bahwa proyek KFCP belum sampai memberikan pemahaman yang utuh mengenai keberadaan proyek DA REDD+ ketika masyarakat sendiri telah memiliki pengetahuan tradisional mereka tentang bagaimana mengelola hutan. Maka tak mengherankan, selain mengakibatkan friksi dalam masyarakat, kehadiran KFCP juga mengancam eksistensi hak-hak komunitas terkait penguasaan dan pengelolaan lahan.
Perijinan di Kawasan KPHL Kapuas Menurut laporan Pemancangan Batas Sementara Panitia Tata Batas, di kawasan KPHL Kapuas tidak ditemukan adanya ijin yang dimiliki oleh pihak ketiga. Dengan kata lain, kawasan KPHL clean dari perijinan, baik kehutanan maupun nonkehutanan. Memang terdapat aktivitas di wilayah konservasi yang dikelola oleh Yayasan BOS, akan tetapi basis legalitasnya sulit ditemukan. Status ijin BOS di daerah Mawas sendiri tak dapat dilacak, meski lembaga ini telah beroperasi di lapangan sejak beberapa tahun lalu. Di wilayah Kabupaten Kapuas, BOSMAWAS beroperasi di sebelah timur Dusun Tuanan, Desa Katunjung, Kecamatan Mantangai, hingga ke utara termasuk Blok E, dalam wilayah KPHL Model Kapuas.
F. Hutan Desa sebagai Solusi Mengatasi Potensi Konflik? KFCP tampak memang mendemonstrasikan bagaimana upaya mengurangi pelepasan emisi di lahan gambut dilakukan lewat DA REDD+, meski pada dasarnya masyarakat lokal memiliki cara sendiri dalam mengelola kawasan. Proyek percontohan yang dilakukan KFCP dapat dianggap termasuk tipe DA REDD+ tingkat lokal dimana lokasi proyek memiliki perencanaan tata ruang yang terbatas pada satu jenis area hutan yakni hutan lindung. Pokok persoalannya adalah DA REDD+ yang dilakukan KFCP tidak memiliki konsesi legal yang kuat atas lahan sehingga masalah tenure yang seharusnya menjadi konsern utama para proponent proyek seperti KFCP, memiliki kepastian di masa depan. Kepastian tenurial jangka panjang merupakan hal yang sangat penting untuk validasi dan pengembalian biaya. Kepastian tentang kelangsungan hidup sebuah kegiatan percontohan juga merupakan faktor penting yang menjadi penentu dalam model konsesi. Para pemrakarsa (proponent) proyek berkepentingan untuk memastikan bahwa kegiatan percontohan yang mereka lakukan akan berlangsung cukup lama untuk mengembalikan biaya awal yang besar (Erin Myers, dkk: 2011). Barangkali juga imajinasi keuntungan atas klaim karbon setelah DA REDD+ dianggap berjalan lancar.
Tampaknya hal ini sangat disadari oleh KFCP. Dengan dukungan saling menguntungkan dengan Pemerintah dan instansi pemerintahan terkait, KFCP kemudian mendorong pengajuan skema Hutan Desa. Menurut catatan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kapuas, ada tujuh desa yang mengajukan skema Hutan Desa kepada Menteri Kehutanan, yakni Desa Katunjung, Katimpun, Sei Ahas, Mantangai Hulu, Kalumpang, Tumbang Muroi, dan Petak Puti. Pada pertengahan November 2012, datang tim verifikasi hutan desa dari Kementerian Kehutanan. Kali ini baru empat desa yang dikunjungi dalam waktu yang relatif singkat. Tim datang ke Desa Katunjung, Katimpun, Petak Puti, dan satu desa di luar kawasan adalah Tambak Bajaj. Semua desa tersebut berada di wilayah area kerja KFCP, kecuali Tambak Bajaj. Ditengarai KFCP-lah yang melakukan pendekatan supaya desa-desa mengajukan skema hutan desa. Di tengah ketidakpastian yuridis mengenai status aktivitasnya di masa yang akan datang, skema hutan desa tampak merupakan pilihan yang realistis guna ‘mewadahi’ aktivitas DA REDD+ KFCP apabila secara resmi berakhir. Pasal 6 ayat (4) butir f Permenhut No. 20 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan karbon Hutan, dinyatakan salah satu penyelenggara karbon hutan adalah pemegang izin hutan desa. KPHL Kapuas sendiri mengatakan setuju dengan hutan desa mengingat skema tersebut diharapkan mampu memberdayakan masyarakat di sekitar kawasan. Dengan pengelolaan hutan yang dikoordinasikan oleh pemerintahan desa, hutan desa dianggap mampu memberikan nilai tambah bagi kemajuan masyarakat lokal. Masyarakat desa bisa mengembangkan potensi sumberdaya hutan yang ada dengan membudidayakan lebah hutan atau hasil alam nonkayu lainnya. Catatan KPHL Kapuas terhadap pengajuan hutan desa adalah luasan kawasan yang diajukan harus realistis dengan melihat tingkat kemampuan warga dalam mengelola. Misalnya saja, apakah realistis 231 kepala keluarga Desa Katimpun mengajukan luas hutan desa mencapai 3.270 hektar? Demikian pula apakah sanggup 277 kepala keluarga warga Desa Katunjung mengelola 6.938 hektar hutan desa nantinya? Yang artinya 25 hektar tiap kepala keluarga? Belum lagi jarak antara lokasi hutan desa yang diajukan dengan permukiman yang rata-rata agak jauh. Pengajuan hutan desa ini pada dasarnya menjadi titik kompromi antara KFCP sebagai salah satu pihak yang secara ekonomi dan legitimasi kuat, dengan KPHL Kapuas yang secara yuridis kuat meski serba terbatas dalam infrastruktur dan pendanaan. Namun poin-poin kritisasi yang dilontarkan oleh KPHL Kapuas menjadi penanda adanya persetujuan dengan catatan.
Rekomendasi Hasil assessment mendorong sejumlah rekomendasi, yakni: Perlu melakukan pertemuan multipihak yang menjadi stakeholder KPH, termasuk KFCP, untuk menjelaskan secara komprehensif mengenai penguasaan lahan oleh KPHL Model Kapuas; Perlu memperkuat sarana dan prasarana penunjang, terutama bagi kegiatan operasional KPHL Model Kapuas di lapangan di wilayah KPH; Perlu mendorong percepatan penataan batas kawasan hutan, khususnya kawasan KPHL Kapuas dalam rangka menjamin kepastian kawasan KPH. Perlu mendorong one map policy dengan lingkup kecil di kecamatan guna mendapatkan gambaran sebaran hak dan penguasaan lahan oleh banyak klaim termasuk di antaranya klaim kawasan hutan, kepemilikan masyarakat, ijin perkebunan, maupun kebijakan-kebijakan tertentu, seperti moratorium.
Daftar Pustaka
Gamma Galudra, et al, Hot Spot of Emmission and Confusion; Land Tenure Insecurity, Contested Policies and Competing Claims, in Central Kalimantan Ex-Mega Rice Project, Working Paper No.100, WAC-Icraf, 2010. Soraya Afif, dkk, Kajian Para Pihak Terkait Upaya Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Kalimantan Tengah, Kemitraan, 2011. Erin Myers, et al, Apakah yang Dimaksud dengan Proyek Percontohan REDD+?, Info Brief, Cifor, 2011. Bernadinus Steni dan Sentot Setyosiswanto, Tak Ada Alasan Ditunda; Potret FPIC dalam Proyek DA REDD+ di Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah, HuMa, 2011. Widiyanto, Legal Actors Assessment in KFCP Project, tidak diterbitkan, 2012. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Katimpun, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Kalumpang, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Mantangai Hulu, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, 2011. BPKH Wil. V Banjarbaru, “Laporan Hasil Pemancangan Batas Sementara dan Identifikasi Hak-hak Pihak Ketiga pada Sebagian Kawasan Hutan Lindung S. Kapuas di Wilayah Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah”, 2013 WGT, Laporan Assessment dan Analisa Tenure untuk Mendukung Pembentukan KPH Model di Kabupaten Kapuas, Prov Kalimantan Tengah, WGT, 2011. Peraturan Bupati Kabupaten Kapuas No.197 tahun 2011 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Kapuas Dinas Perkebunan dan Kehutanan. Instruksi Presiden No. 2 tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Keputusan Menteri Kehutanan No. 247/Menhut-II/2011 tentang Penetapan Wilayah KPHL Model Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 529 tahun 2012. Peraturan Menteri Kehutanan No. 20 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan. Peraturan Daerah No. 3 tahun 2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kapuas. Perjanjian Desa Katunjung dengan KFCP, 2011.