LAJU PERTUMBUHAN BIOMASSA DAN UJI KADAR KARBOHIDRAT Gelidium latifolium PADA KULTIVASI MENGGUNAKAN SISTEM INJEKSI
DEA FAUZIA LESTARI
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
LAJU PERTUMBUHAN BIOMASSA DAN UJI KADAR KARBOHIDRAT Gelidium latifolium PADA KULTIVASI MENGGUNAKAN SISTEM INJEKSI adalah benar merupakan hasil karya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini. Bogor, 21 November 2012
DEA FAUZIA LESTARI C54080013
SUMMARY DEA FAUZIA LESTARI. Biomass Growth Rate and Carbohydrate Yield of Gelidium latifolium on 𝐂𝐎𝟐 Injection of Cultivation System. Supervised by MUJIZAT KAWAROE and ADRIANI SUNUDDIN. Macro algae is a potential feedstock for bioethanol energy development. The species of macro algae are very diverse in nature so that need to explore and research about biological characteristic, such as biomass growth rate. This research analyzed the levels of carbohydrate yield and measure the biomass growth rate of Gelidium latifolium on carbon dioxide (CO2 ) injection as source of photosynthesis The research was conducted at Laboratory of Microbiology, Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) of Bogor Agricultural University, Baranangsiang, on February until July 2012. Macro algae Gelidium latifolium is taken from Ujung Kulon, Banten. Experimental design used is Randomized Block Design (RBD) and Duncan Test with some treatments, namely control, P1 injection of 2.000 cc (200 cc x 10 minutes per 3 days) and aeration, P2 injection of 3.000 cc (200 cc x 15 minutes per 3 days) and aeration, P3 injection of 2.000 cc (200 cc x 10 minutes per 3 days) without aeration, and P4 injection of 3.000 cc (200 cc x 15 minutes per 3 days) without aeration. Initial weight of the Gelidium latifolium cultivation samples are similar, 3 grams and time of cultivation is 42 days. The results showed that the highest average wet weight at the end of cultivation is P2 (4.16 ± 0.14 gram), P1 (4.03 ± 0.12 gram), P3 (0.23 ± 3.66 gram), control (3.54 ± 0.06 gram), and P4 (40.23 ± 3.26 gram). The daily growth rate value of Gelidium latifolium during study ranged from 0.02 to 1.06%. The highest daily growth rate of all treatments occurred in P2 is 1.06 ± 0.14% at 4th week, while the lowest daily growth rate of all treatments occurred in P4 is 0.02 ± 0.85% in the 2nd week . The weight of P4 treatment macro algae decreased drastically in the 2nd week caused by fungi that grow around the thallus. The different treatments make significant effect on the growth rate of Gelidium latifolium, so need a test to determine effect of treatments to growth rate at 95% confidence interval. Carbohydrate yield before cultivation is 18.23%, while after cultivation for control carbohydrate yield is 19.40%, P1 is 20.40%, P2 is 19.40%, P3 is 16.87%, and P4 is 16.40% .
RINGKASAN DEA FAUZIA LESTARI. Laju Pertumbuhan Biomassa dan Uji Kadar Karbohidrat Gelidium latifolium pada Kultivasi Menggunakan Sistem Injeksi . Dibimbing oleh MUJIZAT KAWAROE dan ADRIANI SUNUDDIN. Makroalga merupakan bahan baku potensial untuk mengembangkan energi bioetanol. Jenis makroalga sangat beragam di alam sehingga perlu dilakukan eksplorasi dan penelitian untuk mengetahui karakteristik biologi dasar, seperti laju pertumbuhan biomassa. Penelitian yang dilakukan adalah pengujian kadar karbohidrat dan pengukuran laju pertumbuhan Gelidium latifolium pada kultivasi menggunakan injeksi karbondioksida ( ) sebagai bahan fotosintesis dan reduksi karbon di atmosfer. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikroalga Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) kampus Institut Pertanian Bogor, Baranang Siang, Bogor pada bulan Februari sampai dengan Juli 2012. Makroalga yang digunakan adalah Gelidium latifolium yang diambil dari perairan Ujung Kulon, Banten. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan Uji Lanjut Duncan dengan beberapa perlakuan, yaitu kontrol, P1 sebanyak 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi, P2 injeksi injeksi sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan aerasi, P3 injeksi sebanyak 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi, dan P4 injeksi sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi. Bobot awal dari sampel Gelidium latifolium yang dikultivasi diseragamkan yaitu seberat 3 gram dan waktu kultivasi selama 42 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot basah rata-rata di akhir kultivasi yang dari paling tinggi adalah pada P2 sebesar 4,16±0,14 gram, P1 sebesar 4,03±0,12 gram, P3 sebesar 3,66±0,23 gram, kontrol sebesar 3,54±0,06 gram, dan P4 sebesar 3,26±0,23 gram Besarnya nilai laju pertumbuhan harian Gelidium latifolium selama penelitian berkisar antara 0,02-1,06%. Laju pertumbuhan harian tertinggi dari semua perlakuan terjadi pada P2 yaitu 1,06±0,14% di minggu ke-4, sedangkan laju pertumbuhan harian terendah dari semua perlakuan terjadi pada P4 yaitu 0,02±0,85% di minggu ke-2. Besarnya nilai bobot makroalga perlakuan P4 mengalami penurunan drastis pada miggu ke2 yang disebabkan oleh fungi yang tumbuh di sekitar thallus. Pemberian berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan Gelidium latifolium, sehingga dilakukan uji lanjut untuk menentukan perlakuan berbeda nyata terhadap laju pertumbuhannya pada selang kepercayaan 95%. Besar kadar karbohidrat sebelum kultivasi adalah 18,23%, setelah kultivasi kadar karbohidrat kontrol sebesar 19,40%, P1 sebesar 20,40%, P2 sebesar 19,40%, P3 sebesar 16,87%, dan P4 sebesar 16,40%.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
LAJU PERTUMBUHAN BIOMASSA DAN UJI KADAR KARBOHIDRAT Gelidium latifolium PADA KULTIVASI MENGGUNAKAN SISTEM INJEKSI
DEA FAUZIA LESTARI
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
SKRIPSI
Judul Penelitian
: LAJU PERTUMBUHAN BIOMASSA DAN UJI KADAR KARBOHIDRAT Gelidium latifolium PADA KULTIVASI MENGGUNAKAN SISTEM INJEKSI
Nama Mahasiswa
: Dea Fauzia Lestari
NIM
: C54080013
Departemen
: Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui, . Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si. NIP. 19651213 199403 2 002
Adriani Sunuddin, S.Pi. M.Si. NIP. 19790206 200604 2 013
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. NIP. 19640801 198903 1 001 Tanggal Sidang : 21 November 2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Laju Pertumbuhan Biomassa dan Uji Kadar Karbohidrat Gelidium latifolium pada Kultivasi Menggunakan Sistem Injeksi
”. Penelitian ini merupakan
tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan banyak terima kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian Skripsi ini, yaitu : 1. Ibunda dan ayahanda tercinta atas kasih sayang, doa, dukungan, nasihat, kesabaran, serta bantuannya baik moril maupun materil. 2. Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si. dan Adriani Sunuddin, S.Pi. M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi kepada Penulis. 3. Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan kepada Penulis. 4. Staff Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC), yaitu Mba Dahlia, Mba Dina, Bang Ito, Mba Tyas, Syarif, Mba Indah, dan Mba Neli yang memberikan arahan dan pendapat saat melakukan proses penelitian. 5. Rizky Rahadikha dan teman seperjuangan SBRC tim yang selalu memberikan semangat serta bantuan dalam suka duka penelitian yaitu Adit, Hary, Anma, Rizky, Yuni, Inggit, Raka, Dodi, Mia, Ian, dll.
6. Teman-teman Perwira 42 serta teman-teman ITK 45 yang senantiasa membantu dan memberikan semangat dalam penelitian dan proses penulisan Skripsi ini. Kesempurnaan Skripsi ini tidak terlepas dari saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Penulis berharap semoga Skripsi ini dapat berguna untuk semua pihak.
Bogor, 21 November 2012
Dea Fauzia Lestari
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR JUDUL ...........................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................ii KATA PENGANTAR ......................................................................................iii DAFTAR ISI ...................................................................................................iv DAFTAR TABEL ...........................................................................................v DAFTAR GAMBAR .......................................................................................vi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................vii 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ......................................................................................1 1.2 Tujuan ...................................................................................................2 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Makroalga .............................................................................................3 2.2 Klasifikasi dan Karakteristik Gelidium latifolium ..................................4 2.3 Laju Pertumbuhan Makroalga ................................................................5 2.4 Metode Budidaya ..................................................................................7 2.5 Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Makroalga ..............................8 2.4.1 Suhu ..........................................................................................8 2.4.2 Salinitas .....................................................................................9 2.4.3 Nutrien ......................................................................................9 2.2.4 Keasaman (pH) ..........................................................................10 2.2.5 Oksigen terlarut (DO) ................................................................10 2.2.6 Kecerahan dan cahaya ................................................................10 2.2.7 Hama dan penyakit ....................................................................11 2.5 Siklus Karbondioksida ...........................................................................11 2.6 Kegunaan Makroalga .............................................................................13 2.7 Karbohidrat ...........................................................................................14 2.8 Produksi Bioetanol dan Hidrolisis .........................................................15 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................................18 3.2 Alat dan Bahan .....................................................................................18 3.3 Metode Penelitian .................................................................................22 3.3.1 Persiapan media kultivasi dan bibit ..............................................22 3.3.2 Kultivasi dengan sistem injeksi ............................................24
3.3.3 Analisis kandungan ...............................................................27 3.3.4 Pengukuran parameter kualitas air ...............................................30 3.3.5 Pengukuran laju pertumbuhan biomassa ......................................30 3.4 Uji Kadar Karbohidrat ..........................................................................31 3.5 Analisis Data ........................................................................................31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Bobot Basah Gelidium latifolium ..........................................................34 4.2 Laju Pertumbuhan Gelidium latifolium .................................................37 4.3 Pemanfaatan Karbondioksida pada Kultivasi Gelidium latifolium .........42 4.4 Kualitas Air ..........................................................................................48 4.5 Isolasi Fungi Penghambat Pertumbuhan ...............................................52 4.6 Kadar Karbohidrat Gelidium latifolium .................................................54 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ..........................................................................................57 5.2 Saran ....................................................................................................57 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................58 LAMPIRAN ..................................................................................................61 DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................72
DAFTAR TABEL Halaman 1. Alat-alat uji kadar karbohidrat Gelidium latifolium ……......................... 18 2. Alat-alat penelitian laju pertumbuhan Gelidium latifolium ....................... 19 3. Bahan-bahan uji kadar karbohidrat Gelidium latifolium ........................... 21 4. Bahan-bahan penelitian laju pertumbuhan Gelidium latifolium ................ 21 5. Konsentrasi dan massa nutrien untuk kultivasi Gelidium latifolium ......... 25 6. Persamaan regresi linear laju pertumbuhan harian Gelidium latifolium ... 39 7. Kadar karbohidrat Gelidium latifolium sebelum dan sesudah kultivasi .... 55
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Makroalga Gelidium latifolium .................................................................... 4 2. Hubungan antara
dengan pH ................................................................12
3. Alat penelitian .............................................................................................20 4. Bahan penelitian ..........................................................................................22 5. Akuarium dan bibit Gelidium latifolium ......................................................24 6. Kultivasi Gelidium latifolium dengan injeksi 7. Metode pengukuran
.........................................26
terlarut .................................................................27
8. Bagian-bagian Orsat Apparatus ..................................................................28 9. Proses uji kadar karbohidrat Gelidium latifolium .........................................31 10. Bobot basah rata-rata akhir kultivasi Gelidium latifolium ............................34 11. Selisih pertambahan bobot basah rata-rata Gelidium latifolium .....................36 12. Laju pertumbuhan harian Gelidium latifolium .............................................38 13. Laju pertumbuhan relatif Gelidium latifolium ..............................................41 14. Input
pada kultivasi Gelidium latifolium ..............................................43
15. Jumlah
terlarut harian pada kultivasi Gelidium latifolium .....................44
16. Jumlah total 17. Sisa
terlarut pada kultivasi Gelidium latifolium .........................45
hasil pengukuran Orsat Apparatus ................................................47
18. Parameter suhu air selama kultivasi Gelidium latifolium ..............................48 19. Parameter salinitas air selama kultivasi Gelidium latifolium ........................49 20. Parameter keasaman air selama kultivasi Gelidium latifolium ......................51 21. Makroalga yang terserang fungi ..................................................................52 22. Rhizopus sp. ................................................................................................52
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data bobot basah kultivasi Gelidium latifolium ...................................... . 62 2. Data bobot basah rata-rata kultivasi Gelidium latifolium ......................... . 63 3. Data selisih bobot basah rata-rata kultivasi Gelidium latifolium .............. . 63 4. Data laju pertumbuhan harian Gelidium latifolium ................................. 63 5. Data laju pertumbuhan relatif Gelidium latifolium .................................. 64 6. Jumlah
terlarut pada kultivasi Gelidium latifolium ........................... 64
7. Jumlah
sisa pada kultivasi Gelidium latifolium ................................. 65
8. Analisis statistik laju pertumbuhan Gelidium latifolium .......................... 65 9. Contoh perhitungan kadar karbohidrat .................................................... 66 10. Kualitas air selama kultivasi Gelidium latifolium .................................... 68 11. Foto-foto selama penelitian .................................................................... 70
1. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya makroalga yang beragam dan wilayah
pesisir yang luas. Luasnya lahan menjadi pendukung untuk dilakukannya eksplorasi dan pemanfaatan makroalga sebagai bahan baku bioetanol. Salah satu makroalga yang potensial adalah Kelas Gelidian. Spesies Gelidium sp. memiliki kandungan agar 26,5%. Presentasi ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata kadar agarofit yang pernah dilaporkan sebelumnya yaitu 15-40% (Rasyid et al., 1999). Namun makroalga jenis ini belum banyak dibudidayakan dan kebanyakan diambil secara langsung dari alam. Makroalga mengonversi energi dari cahaya matahari melaui proses fotosintesis. Proses fotosintesis memerlukan molekul karbondioksida (
) dari
atmosfer dan hidrogen dipisahkan dari air untuk membangun karbohidrat. Makroalga dapat mereduksi
yang menyebabkan peningkatan suhu bumi
sehingga baik untuk dibudidayakan. Karbohidrat yang terkandung pada makroalga memiliki kandungan lebih tinggi daripada lemaknya. Menurut Jeong dan Park (2009), kandungan gula lebih mudah untuk dikonversi ke dalam bentuk biofuel dan kimia. Hal ini memungkinkan peluang untuk menjadikan makroalga sebagai bahan dari energi alternatif biofuel. Kegiatan eksplorasi ini bisa memanfaatkan gas buangan
untuk
kultivasi makroalga yang potensial penghasil bioetanol. Sehingga didapat dua keuntungan yaitu mereduksi kandungan
yang di atmosfer dan menghasilkan
bahan baku yang bisa diproduksi menjadi bioetanol. Jeong dan Park (2009) menyatakan bahwa absorbsi
oleh biomassa laut adalah sebesar 36,8 ton/ha 1
2
yang besarnya lima kali lebih banyak dari biomassa tumbuhan di darat. Menurut Aresta et al. (2005) biomassa yang dihasilkan dari fotosintesis tanaman akuatik lebih efisien dan tinggi dibandingkan dengan tanaman terestrial yaitu rata-rata sebesar 1,8-2,2%. Biomassa yang dihasilkan dari fotosintesis tanaman akuatik rata-rata sebesar 8%. Penelitian ini melihat laju pertumbuhan biomassa dari Gelidium latifolium pada sistem yang diinjeksikan
dengan kadar yang berbeda-beda. Selain
melihat laju pertumbuhan Gelidium latifolium, dilakukan perhitungan jumlah yang digunakan dalam proses kultivasi sehingga bisa diketahui jumlah gas tersebut dalam proses kultivasi serta kandungan karbohidrat sebelum dan sesudah kultivasi.
1.2
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah :
1. Menguji kadar karbohidrat Gelidium latifolium sebelum dan sesudah kultivasi; 2. Menganalisis laju pertumbuhan biomassa Gelidium latifolium selama kultivasi menggunakan sistem injeksi
;
3. Menganalisis penggunaan konsentrasi gas kultivasi pada perlakuan yang berbeda.
yang digunakan selama proses
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Makroalga Makroalga merupakan ganggang yang tidak mempunyai batang, daun, dan
akar sejati. Tubuhnya menyerupai batang yang disebut dengan thallus dan hidupnya menempel pada substrat, seperti karang, lumpur, pasir, batu, dan benda keras lainnya (Anggadiredja et al., 2006). Bentuk thallus pada makroalga bermacam-macam antara lain ada yang berbentuk pipih, tabung, bulat, dan sebagainya. Pigmen yang terdapat pada thallus juga bermacam-macam sehingga dapat digunakan dalam membedakan berbagai kelas makroalga, yaitu Chloropyceae, Phaeophyceae, Rhodophyceae, dan Cyanophceae. Pigmen yang menentukan warna ini adalah klorofil, karoten, phycoerythin, dan phycocyanin merupakan pigmen utama di samping pigmen lainnya (Aslan, 1998). Alga merah atau Rhodophyceae merupakan alga yang memiliki pigmen fikobilin yang terdiri dari phycoerythin (berwarna merah) serta phycocyanin (berwarna biru). Alga merah ini bersifat adaptasi kromatik yaitu memiliki penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan dan dapat menimbulkan berbagai warna pada thallus. Jenis ekonomis dari divisi ini adalah Gracilaria spp., Gelidium spp., Euchema spp., Hypnea spp., Gigartina spp., dan Rhodymena spp. Alga cokelat dengan nama lain Phaeopyceae merupakan alga yang memiliki pigmen klorofil a dan c, beta karoten, violasantin dan fikosantin. Jenis ekonomis pada divisi ini adalah Sargassum spp., Hormophysa spp., dan Turbinaria spp. Alga hijau atau Chlorophyceae merupakan alga yang memiliki pigmen berupa klorofil a dan b, beta, gamma, karoten,dan santhofil. Alga ini pada umumnya berwarna hijau dan jenis yang 3
4
benilai ekonomis pada divisi ini adalah Ulva spp. dan Enteromorpha spp. (Aslan, 1998).
2.2
Klasifikasi dan Karakteristik Gelidium latifolium Makroalga yang digunakan dalam penelitian adalah jenis Gelidium
latifolium, tersaji pada Gambar 1.
Gambar 1. Makroalga Gelidium latifolium Sumber: Dokumentasi pribadi Dirujuk dari Hatta et al. (2001), taksonomi Gelidium latifolium adalah sebagai berikut: Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gelidiales Family : Gelidiaceae Genus : Gelidium Species : Gelidium latifolium (Bornet ex Hauck, 1883)
5
Menurut Aslan (1998) ciri-ciri Gelidium sp. adalah memiliki ukuran kecil, panjang ± 20 cm, dan lebar 1,5 mm. Batang utama tegak dengan percabangan biasanya menyirip. Thallus berwarna kemerahan, coklat, dan hijau kecoklatan. Organ reproduksinya berukuran mikroskopis. Lebih dari seratus jenis makroalga telah dimasukkan dalam Genus Gelidium yang tersebar di seluruh dunia dan 11 jenis diantaranya terdistribusi di perairan Indonesia. Nama Gelidium berbeda-beda di setiap daerah misalnya kades dan intip kembang karang (Jawa Barat), bulung merak dan bulung ayam (Bali), serta sayur laut (Ambon). Gelidium sp. memiliki kandungan agar berkualitas baik dan potensial dijadikan sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetik, dan makanan. Selain itu, diolah menjadi bioetanol dan bahan baku pulp atau kertas karena kualitas seratnya yang sangat baik. Kandungan agar-agarnya berkisar antara 12-48% tergantung jenisnya (Aslan, 1988).
2.3
Laju Pertumbuhan Makroalga Pertumbuhan adalah perubahan ukuran suatu organisme dapat berupa berat
atau panjang dalam waktu tertentu. Pertumbuhan makroalga sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang berpengaruh antara lain jenis, galur, bagian thallus, dan umur. Faktor eksternal yang berpengaruh antara lain keadaan fisik dan kimiawi perairan. Selain itu, faktor lain yang sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan makroalga yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh manusia (Syahputra, 2005). Pertumbuhan juga merupakan salah satu aspek biologi yang harus diperhatikan. Ukuran bibit makroalga yang ditanam sangat berpengaruh terhadap
6
laju pertumbuhan dan bibit thallus yang berasal dari bagian ujung akan memberikan laju pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan bibit thallus dari bagian pangkal. Menurut Puslitbangkan (1991), laju pertumbuhan makroalga yang dianggap cukup menguntungkan adalah di atas 3% pertambahan berat per hari. Makroalga merupakan organisme laut yang memiliki syarat-syarat lingkungan tertentu agar dapat hidup dan tumbuh dengan baik. Semakin sesuai kondisi lingkungan perairan dengan areal yang akan dibudidayakan akan semakin baik pertumbuhannya dan juga hasil yang diperoleh (Syahputra, 2005). Soegiarto et al. (1978) menyatakan bahwa laju pertumbuhan makroalga berkisar antara 2-3% per hari. Percobaan yang dilakukannya menggunakan rak terapung pada tiga lapisan kedalaman berbeda menunjukkan bahwa posisi yang lebih dekat dengan permukaan (30 cm) tumbuh lebih baik daripada lapisan kedalaman di bawahnya karena cahaya matahari merupakan faktor penting untuk pertumbuhan makroalga. Pada kedalaman tidak terjangkau cahaya matahari, maka makroalga tidak dapat tumbuh. Demikian pula iklim, letak geografis dan faktor oseanografi menentukan pertumbuhannya. Pertumbuhan makroalga dikategorikan sebagai pertumbuhan somatik dan pertumbuhan fisiologis. Pertumbuhan somatik merupakan pertumbuhan yang diukur berdasarkan pertambahan berat dan panjang thallus, sedangkan pertumbuhan fisiologis dilihat berdasarkan aspek reproduksi dan kandungan koloidnya.
7
2.4
Metode Budidaya Menurut Aslan (1998), secara umum di Indonesia budidaya makroalga
dilakukan dalam tiga metode penanaman berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan. Ketiga metode tersebut dijelaskan sebagai berikut: a. Metode dasar (bottom method) Penanaman dengan metode ini dilakukan dengan mengikat bibit tanaman yang telah dipotong pada karang atau balok semen kemudian disebar pada dasar perairan. Metode dasar merupakan metode pembudidayaan makroalga dengan menggunakan bibit dengan berat tertentu. b. Metode lepas dasar (off-bottom method) Metode ini dapat dilakukan pada dasar perairan yang terdiri dari pasir, sehingga mudah untuk menancapkan pancang. Metode ini sulit dilakukan pada dasar perairan yang berkarang. Bibit diikat dengan tali rafia yang kemudian diikatkan pada tali plastik yang direntangkan pada pokok kayu atau bambu. Jarak antara dasar perairan dengan bibit yang akan dilakukan berkisar antara 20-30 cm. Bibit yang akan ditanam berukuran 100-150 gram, dengan jarak tanam 20-25 cm. Penanaman dapat pula dilakukan dengan jaring yang berukuran 2,5x5 m² dengan lebar mata jaring 25-30 cm dan direntangkan pada patok kemudian bibit rumput laut diikatkan pada simpul-simpulnya. c. Metode apung (floating method/longline) Metode ini cocok untuk perairan dengan dasar yang berkarang dan pergerakan airnya didominasi oleh ombak. Penanaman menggunakan rakit-rakit dari bambu dengan ukuran tiap rakit bervariasi tergantung dari
8
ketersediaan material, umumnya 2,5x5 m² untuk memudahkan pemeliharaan. Aslan (1998) menyatakan pemanenan makroalga dilakukan bila telah mencapai bobot empat kali dari bobot awalnya yaitu dalam lama pemeliharaan sekitar 1,5-4 bulan. Indriani dan Sumiarsih (1999) menyatakan makroalga bisa dipanen dalam waktu tanam 6-8 minggu. Menurut Kadi dan Atmadja (1988) pemanenan makroalga dapat dilakukan setelah 1-3 bulan.
2.5
Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Makroalga Beberapa faktor yang memengaruhi pertumbuhan dari makroalga
diantaranya sebagai berikut:
2.4.1 Temperatur Temperatur merupakan faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena temperatur memengaruhi aktivitas metabolisme ataupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut (Hutabarat dan Evans, 2008). Toleransi temperatur dianggap sebagai faktor penting dalam menjelaskan biogeografi makroalga. Kenaikan temperatur yang tinggi mengakibatkan thallus menjadi pucat kekuning-kuningan yang menjadikan makroalga tidak dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, temperatur perairan yang baik untuk budidaya makroalga adalah 20-28 °C dengan fluktuasi harian maksimum 4 °C (Puslitbangkan, 1991). Temperatur merupakan faktor sekunder bagi kehidupan makroalga dan fluktuasi yang tinggi akan menghindarkan proses water mixing pertumbuhan dan reproduksi.
9
Menurut Luning (1990) makroalga mempunyai temperatur kisaran spesifik karena adanya enzim pada tubuhnya. Di daerah tropis makroalga masih dapat tumbuh pada kisaran temperatur 20-30 ⁰C dan hidup optimal pada 28 ⁰C.
2.4.2 Salinitas Makroalga tumbuh dengan baik pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat air tawar yang masuk akan menyebabkan pertumbuhan makroalga menjadi tidak normal. Salinitas yang dianjurkan untuk budidaya makroalga adalah salinitas pada kisaran 28-34 ppt (Zatnika dan Angkasa, 1994). Menurut Dawes (1981) kisaran salinitas yang baik untuk budidaya makroalga berkisar 3035 ppt. Soegiarto et al. (1978) pun menuturkan bahwa salinitas yang cocok untuk budidaya makroalga adalah 32-35 ppt.
2.4.3 Nutrien Unsur hara atau nutrien berperan untuk pertumbuhan, terdiri dari mikro nutrien dan makro nutrien. Mikro nutrien merupakan unsur hara yang diperlukan dalam jumlah yang sedikit sedangkan makro nutrien merupakan unsur hara yang diperlukan dalam jumlah yang banyak. Unsur Nitrogen dan Fosfor merupakan makro nutrien yang menjadi pembatas pertumbuhan dan perkembangan makroalga. Nitrogen diserap dalam bentuk Nitrat dan unsut Fosfor diserap dalam bentuk Fosfat (Nybakken, 1988). Menurut Indriani dan Sumiarsih (1999) penyerapan unsur hara oleh makroalga dilakukan oleh seluruh bagian thallus. Akan tetepi harus waspada terhadap unsur-unsur berbahaya seperti Pb dan Hg karena dapat diserap oleh makroalga yang dapat membahayakan bila dikonsumsi oleh manusia.
10
2.4.4 Derajat keasaman (pH) Makroalga cenderung membutuhkan pH yang basa untuk pertumbuhannya. Derajat keasaman yang ideal untuk pertumbuhan makroalga yaitu 8-9. Apabila perairan terlalu asam maupun basa maka akan menghambat pertumbuhan makroalga (Puslitbangkan, 1991). Menurut Zatnika dan Angkasa (1994) derajat derajat keasaman yang baik untuk pertumbuhan makroalga adalah 7-9 dengan kisaran derajat derajat keasaman optimum sebesar 7,3-8,2.
2.4.5 Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut (DO) umumnya banyak dijumpai di lapisan permukaan karena proses difusi dan fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton. Oksigen terlarut penting dalam mempengaruhi kesetimbangan kimia air laut dan mempengaruhi kehidupan organisme laut. Baku mutu DO untuk makroalga adalah lebih dari 5 mg/L (Soegiarto et al., 1978).
2.4.6 Kecerahan dan Cahaya Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami kecerahan penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Kebutuhan cahaya yang tinggi bagi makroalga untuk kepentingan fotosintesis terlihat dari sebarannya yang terbatas pada daerah yang masih menerima cahaya matahari (Hutabarat dan Evans, 2008). Cahaya yang mencapai permukaan bumi dan perairan terdiri atas cahaya langsung yang berasal dari matahari dan cahaya yang disebarkan oleh awan. Pigmen klorofil menyerap cahaya biru dan merah, karoten menyerap cahaya biru
11
dan hijau, fikoeretin menyerap cahaya hijau, dan fikosianin menyerap cahaya kuning (Cole, 1988).
2.4.7 Hama dan Penyakit Penyakit yang menyerang makroalga dapat menyebabkan penurunan kualitas baik secara anatomi maupun struktur bagian dalam thallus makroalga, gejala ini dapat dilihat dengan adanya perubahan warna dan bentuk sehingga laju pertumbuhan makroalga menurun. Ciri-ciri makroalga yang terkena penyakit aisais ditandai dengan timbulnya bintik-bintik pada bagian thallus yang dapat mengakibatkan thallus menjadi patah apabila dibiarkan dalam waktu relatif lama. Penyebab timbulnya penyakit ini adalah karena adanya mikroba yang menyerang makroalga yang lemah. Penyakit ais-ais biasanya menyerang 11 makroalga jenis Eucheuma spp. Gejala yang dapat dilihat adalah perubahan warna menjadi pucat dan pada beberapa thallus menjadi putih dan akhirnya membusuk (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2004). Penyakit white spot merupakan penyakit yang menyerang makroalga jenis Laminaria japonica di Cina. Penyakit ini menimbulkan gejala terjadinya perubahan warna thallus dari coklat kekuningan menjadi putih kemudian menyebar keseluruh thallus dan bagian makroalga membusuk dan rontok (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2004). 2.5
Siklus Karbondioksida Pembakaran bahan bakar fosil (batu bara dan minyak bumi) oleh
kendaraan bermotor dan kegiatan industri meningkatkan kadar
di atmosfer.
Karbondioksida merupakan salah satu gas yang memiliki efek rumah kaca (green
12
house effect) yaitu gas yang menyerap panas yang dilepaskan oleh cahaya matahari. Oleh karena itu, peningkatan kadar
berkorelasi positif dengan
peningkatan temperatur bumi yang biasa disebut dengan pemanasan global (Effendi, 2003). Meskipun persentasi perairan relatif tinggi karena
di atmosfer relatif kecil tetapi keberadaannya di memiliki kelarutan yang tinggi (Jeffries dan
Mills,1996). Karbondioksida yang terdapat di atmosfer larut ke dalam badan air akan menghasilkan asam karbonat (Cole et al., 1988). Cole et al. (1988) juga mengemukakan bahwa keberadaan terdapat dalam bentuk gas karbondioksida bebas ( ion karbonat (
), dan asam karbonat (
di perairan
), ion bikarbonat (
). Proporsi dari keempat bentuk
karbon tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Hubungan antara
),
dengan pH (Willoughby, 1978)
Karbondioksida yang terlarut di dalam air membentuk beberapa kesetimbangan yang secara terperinci ditunjukkan dalam persamaan kesetimbangan karbondioksida (Mackereth et al., 1989):
13
(gas) +
(aq)
……………………... (1) ……………………… (2)
O
……………………… (3)
+ H
+
……………………… (4) ……………………… (5)
+ O
+
Kelarutan
……………………… (6)
dalam air dipengaruhi oleh temperatur. Proses fotosintesis
di perairan dapat memanfaatkan
ataupun ion bikarbonat sebagai sumber
karbon (Jeffries dan Mills,1996). Namun tumbuhan akuatik misalnya alga lebih menyukai
sebagai sumber karbonnya dibandingkan ion bikarbonat dan
karbonat. Bikarbonat sebenarnya dapat digunakan sebagai sumber karbon tetapi di dalam kloroplas bikarbonat harus dikonversi terlebih dahulu menjadi dengan bantuan enzim karbonik anhidrase (Boney, 1989).
2.6
Kegunaan Makroalga Makroalga dimanfaatkan secara luas baik dalam raw material maupun
dalam bentuk hasil olahan. Di Indonesia makroalga digunakan sebagai lalapan, obat, manisan, dan sayuran. Sedangkan di Jepang digunakan sebagai sayuran, minuman teh, dan campuran pada nasi. Selain itu, pemanfaatan makroalga adalah sebagai pupuk, makanan ternak, dan sumber energi (Atmadja et al., 1996). Salah satu hasil olahan makroalga yang paling potensial dan bernilai ekonomi adalah polisakarida. Polisakarida yang sangat komersil dari alga yaitu agar, karaginan, dan alginat. Agar merupakan senyawa polisakarida yang
14
memiliki sifat-sifat koloid sehingga banyak dimanfaatkan untuk formulasi berbagai produk. Polisakarida agar dapat diperoleh dari berbagai jenis alga merah diantaranya Gracilaria sp. dan Gelidium sp. (Rachmaniar, 1996b). Menurut John (2010) beberapa spesies alga dengan kandungan pati yang tinggi dapat dijadikan etanol. Perusahaan penerbangan dan minyak telah mulai menginvestasikan modalnya untuk mengembangkan biofuel dari alga misalnya US Air Force dan Federal Aviation Administration.
2.7
Karbohidrat Karbohidrat adalah biomolekul yang sangat melimpah di bumi.
Fotosintesis mengonversi lebih dari 100 miliar metrik
dan
O menjadi
selulosa dan produk tanaman lainnya. Karbohidrat (gula dan pati) adalah makanan pokok di sebagian besar dunia. Polimer karbohidrat tidak berfungsi sebagai struktural serta pelindung elemen dalam dinding sel bakteri, tanaman, dan dalam jaringan ikat hewan. Ada tiga kelas ukuran utama karbohidrat, yaitu monosakarida, oligosakarida, dan polisakarida. Kata "sakarida" berasal dari bahasa Yunani sakaron, yang berarti "gula" (Nelson dan Cox, 2004). Monosakarida atau gula sederhana, terdiri dari aldehida polihidroksi tunggal atau keton unit. Monosakarida yang paling melimpah di alam adalah gula enam-karbon D-glukosa, kadang-kadang disebut sebagai dekstrosa. Monosakarida dengan rantai lebih dari empat karbon cenderung memiliki struktur siklik. Oligosakarida terdiri dari rantai pendek monosakarida atau residu bergabung dengan karakteristik hubungan yang disebut ikatan glikosidik. Secara umum monosakarida dan disakarida memiliki nama berakhir dengan akhiran "-ose"
15
(Nelson dan Cox, 2004). Polisakarida adalah gula yang mengandung polimer lebih dari 20 unit dan beberapa memiliki ratusan atau ribuan unit. Beberapa polisakarida seperti selulosa adalah rantai linear sedangkan glikogen adalah rantai bercabang. Keduanya terdiri dari unit berulang D-glukosa, tetapi berbeda dalam jenis glikosidik dan akibatnya memiliki sifat yang sangat berbeda dan peran biologis (Nelson dan Cox, 2004).
2.8
Produksi Bioetanol dan Hidrolisis Proses produksi blue-etanol dari makroalga dilakukan melalui beberapa
tahapan, yaitu hidrolisis, fermentasi, dan pemurnian. Hidrolisis dilakukan menggunakan asam kuat dengan pemanasan 100 ⁰C selama 3 jam atau menggunakan enzim selulase. Tujuannya adalah untuk memisahkan polisakarida dari biomassa makroalga. Selanjutnya adalah fermentasi hasil hidrolisis makroalga menjadi etanol menggunakan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme yang biasa digunakan untuk fermentasi adalah Saccharomyces cerevisiae, Streptococcus cremoris, dan Lactobacillus pentoacetius pada kondisi anaerob, karena pada kondisi aerob akan menjadikan mikroorganisme berkembang baik tetapi pembentukan etanolnya sedikit. Tahap terakhir adalah pemurnian etanol agar kandungan hasil fermentasi sesuai dengan yang diharapkan dan bisa digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil (Iryani et al., 2009). Hidrolisis adalah reaksi kimia yang memecah molekul air ( kation hidrogen (
) dan anion hidroksida (
O) menjadi
) melalui suatu proses kimia.
Proses ini biasanya digunakan untuk memecah polimer tertentu, contohnya polimer organik yang memiliki rantai karbon. Ada tiga metode hidrolisis yang
16
biasa digunakan, yaitu hidrolisis asam encer (dilute acid hydrolysis), hidrolisis asam pekat (concentrated acid hydrolisis), dan hidrolisis enzim (enzyme hydrolysis). Hidrolisis selulosa menjadi gula sederhana dapat dilakukan menggunakan tiga metode di atas. Beberapa penelitian melaporkan bahwa proses hidrolisis secara enzimatis lebih menguntungkan daripada menggunakan asam yaitu mencegah terjadinya korosi, proses dapat berlangsung pada kondisi mild (pH 4,8 dan temperatur 500 °C) dan rendemen lebih tinggi (Duff dan Murray, 1996). Menurut Speight (2002) hidrolisis merupakan reaksi pengikatan gugus hidroksil atau
oleh suatu senyawa. Gugus
dapat diperoleh dari
senyawa air. Hidrolisis dapat digolongkan menjadi hidrolisis murni, hidrolisis asam, hidrolisis basa, dan hidrolisis enzim. Hidrolisis murni adalah hidrolisis yang menggunakan air saja sebagai penghidrolisis. Beberapa macam senyawa yang dapat dihidrolisis secara langsung dengan menggunakan air saja, antara lain halida asam dan asam anhidrid. Hidrolisis dengan asam ini mula-mula diamati oleh Kirchoff dengan mengamati hidrolisis pati dengan adanya asam-asam mineral dan terjadi suatu transformasi bahan pati menjadi glukosa. Jenis asam yang banyak digunakan antara lain asam klorida, asam sulfat, asam oksalat, dan asam benzena sulfonat. Asam berfungsi sebagai katalisator yaitu untuk mempercepat terjadinya proses hidrolisis. Hidrolisis alkali adalah hidrolisis menggunakan larutan alkali encer seperti larutan asam. Larutan alkali encer hanya bersifat sebagai katalisator saja. Larutan alkali pekat yang diberikan dalam jumlah cukup bertujuan untuk mengikat asam yang terbentuk. Hidrolisis enzim adalah hidrolisis dengan menggunakan zat enzim yang dihasilkan oleh
17
mikroorganisme. Contoh hidrolisis enzim yaitu proses hidrolisis reaksi pembuatan alkohol. Pada reaksi hidrolisis ini air akan menyerang komponen karbohidrat atau hemiselulosa sehingga pecah menjadi gula yang lebih sederhana seperti glukosa, galaktosa, dan mannose. Reaksinya : (
)n + n
O n
Hidrolisis polisakarida menjadi glukosa berlangsung sangat lambat, sehingga dalam reaksinya membutuhkan katalisator untuk mempercepat terjadinya proses hidrolisis. Katalisator yang biasa digunakan adalah asam atau enzim. Asam yang digunakan dalam proses hidrolisis adalah asam-asam organik, tapi yang paling banyak digunakan adalah asam sulfat atau asam klorida (Speight, 2002).
3. BAHAN DAN METODE
3.1
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juli 2012. Waktu
pemeliharaan Gelidium latifolium berlangsung dari bulan Juni sampai Juli 2012. Kegiatan penelitian meliputi tahap persiapan media kultivasi dan bibit makroalga, kultivasi menggunakan injeksi
, pengukuran kualitas air, pengamatan
pertumbuhan makroalga, dan uji kadar karbohidrat sebelum serta setelah kultivasi. Rangkaian penelitian dilakukan di Laboratorium Mikroalga, Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC), Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sampel Gelidium latifolium diperoleh dari perairan Ujung Kulon, Banten.
3.2
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam uji kadar karbohidrat Gelidium latifolium pada
kultivasi menggunakan injeksi
tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Alat-alat uji kadar karbohidrat Gelidium latifolium No. Nama Alat
Keterangan
1.
Alat hidrolisis
Temperatur 300°C
2.
Neraca analitik
Kapasitas 2.000 gram
3.
Labu didih
500 mL
4.
Labu takar
500 mL
5.
Kertas saring
6.
Corong
7.
Pipiet volumetrik
10 mL dan 25 mL
8.
Gelas ukur
100 mL
9.
Labu erlemeyer
500 mL
10.
Biuret
100 mL
18
19
Alat yang digunakan dalam penelitian laju pertumbuhan biomassa Gelidium latifolium pada kultivasi menggunakan injeksi
tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Alat-alat penelitian laju pertumbuhan Gelidium latifolium No. Nama Alat
Spesifikasi
1.
Dimensi 20x20x30
Akuarium kaca
Keterangan , tebal
15 buah
kaca 5 mm 2.
Styrofoam
Dimensi 19x19x1,5
Penutup akuarium
3.
Selang aerasi
Diameter 5 mm
Warna bening
4.
Tali nilon
Panjang 25 cm
30 buah
5.
Karet kaca
6.
Pompa aerator
7.
Batu aerasi
8.
Mixing chamber
Diameter 20 cm, tinggi 38 cm
9.
Tabung
Regulator Morris 101-25 FL
10.
Kompresor
Viva air compressor E25 2248
30 buah Resun LP-60 air pump 15 buah Bentuk tabung
US Model SP-204 11.
Flow meter
Dwayer RMA-12-SSV
Satuan cc/menit
12.
Batu aerasi
13.
Neraca digital
ACIS-AD-2100H
Kapasitas 2.000 gr
14.
Refraktometer
ATAGO S/Mill-E
Salinitas 0-100‰
15.
pH meter
HANNA instrument
16.
Termometer
17.
Gelas ukur
Volume 250 mL
3 buah
18.
Gelas erlemeyer
Volume 1000 mL
1 buah
19.
Sirink
Volume 3 mL
1 buah
20.
Orsat Apparatus
21.
Kantong
Dimensi 20x28 cm
22.
Alat pemotong
Gunting dan cutter
23.
Penggaris
Panjang 30 cm
9 buah
Satuan ⁰C
Pelarut KOH 6 buah
20
Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian tersaji pada Gambar 3.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)
Gambar 3. Alat penelitian; (a) Akuarium (b) Mixing chamber (c) Tabung (d) Neraca (e) Flow meter (f) Orsat Apparatus (g) Refraktometer (h) pH meter (i) Kantong
21
Bahan yang digunakan dalam uji kadar karbohidrat Gelidium latifolium sebelum dan setelah kultivasi tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Bahan-bahan uji kadar karbohidrat Gelidium latifolium No. Nama Bahan
Keterangan
1.
Gelidium latifolium kering
5 gram
2.
HCL 3%
200 mL
3.
Indikator PP
3 tetes
4.
Aquades
5.
NaOH 30%
6.
Luff school
25 mL
7.
Larutan KI 20%
10 mL
8.
Larutan
25 mL
9.
Larutan Na-tiosulfat 0.1 N
10.
Indikator kanji 0,5%
25%
5 tetes
Bahan yang digunakan dalam penelitian laju pertumbuhan biomassa Gelidium latifolium pada kultivasi menggunakan injeksi
tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4. Bahan-bahan penelitian laju pertumbuhan Gelidium latifolium No. Nama Bahan
Spesifikasi
Keterangan
1.
Gelidium latifolium
± 3 gram
30 ikat
2.
Air laut
8 liter /akuarium
15 akuarium
0,1262 gram
Penentu normalitas NaOH
TSP, ZA,Urea
15 ppm, 30 ppm, 30 ppm
Murni dan campuran
4 bar
0,8 gram
0,02 N
3. 4.
Nutrien
5. 6.
NaOH
7.
Indikator PP
3-4 tetes/titrasi
22
Beberapa bahan yang digunakan dalam penelitian tersaji pada Gambar 4.
(a) (b) (c) Gambar 4. Bahan penelitian; (a) Gelidium latifolium (b) NaOH dan PP (c) Nutrien
3.3
Metode Penelitian Penelitian ini diawali dengan melakukan persiapan media kultivasi dan
bibit makroalga. Tahapan kedua adalah pemeliharaan makroalga dalam akuarium kultivasi serta diberikan perlakuan injeksi Tahapan ketiga adalah analisis konsentrasi
dengan jumlah yang berbeda-beda. terlarut dan sisa dari sampel air
media kultivasi serta kualitas air, yaitu temperatur, salinitas, dan derajat derajat keasaman. Tahapan keempat adalah mengukur laju pertumbuhan biomassa Gelidium latifolium diukur dari data pertumbuhan bobot. Tahapan terakhir adalah pengujian kadar karbohidrat biomassa sebelum dan sesudah kultivasi.
3.3.1 Persiapan media kultivasi dan bibit Akuarium yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 15 buah dengan ukuran 20x20x30
. Akuarium terbuat dari bahan kaca dan memiliki ketebalan
5 mm. Volume air laut yang digunakan di setiap akuarium adalah sebanyak 8 liter. Pertama-tama akuarium disterilkan dengan alkohol 70% kemudian
23
dikeringkan. Setelah kering, akuarium diisi air laut yang telah disaring menggunakan plankton net untuk mengurangi organisme mikroskopik masuk. Air diaerasi menggunakan pompa aerator yang disambungkan menggunakan selang aerasi. Selain itu, untuk mengatur besar gelembung udara dalam air digunakan batu aerasi pada ujung selang. Akuarium yang berjumlah 15 buah dibagi menjadi lima untuk setiap perlakuan dan setiap perlakuan terdapat tiga ulangan. Media akuarium diletakan di ruangan yang temperaturnya distabilkan , yaitu pada ruangan AC dengan temperatur 23 ⁰C. Setelah media kultivasi disiapkan, selanjutnya menyiapkan bibit makroalga Gelidium latifolium. Bibit tidak langsung diberikan perlakuan namun diaklimatisasi terlebih dahulu selama 1-3 hari. Aklimatisasi merupakan proses penyesuaian sampel sebelum diberikan perlakuan tertentu. Hal ini bertujuan agar sampel tidak stress dan bisa hidup di lingkungan ex-situ dengan baik. Sampel Gelidium latifolium dicuci untuk menghilangkan substrat lumpur dan parasir. Selain itu, alga asosiasi yang menempel dibersihkan agar tidak menghambat pertumbuhan sampel. Sebelum dilakukan perlakuan injeksi
dengan jumlah yang berbeda-
beda pada makroalga, hal yang paling penting adalah pemilihan bibit yang akan dikultivasi. Bibit makroalga harus muda, bersih, dan segar supaya memberikan pertumbuhan yang optimum. Bibit yang baik berasal dari induk yang sehat, segar, dan bebas dari jenis lain (Indriani dan Sumiarsih, 1999). Bibit yang telah dipilih kemudian ditimbang untuk menyeragamkan bobotnya dengar bobot rata-rata. Setelah ditimbang, bibit diikat dengan tali dan ditambahkan pemberat agar tidak melayang-layang saat berada di air. Setiap akuarium diisi dengan dua ikat
24
makroalga masing-masing 3 gram, sehingga dibutuhkan 30 ikat makroalga. Media dan bibit makroalga Gelidium latifolium pada saat kultivasi disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Akuarium dan bibit Gelidium latifolium
3.3.2 Kultivasi dengan injeksi Kultivasi Gelidium latifolium dilakukan selama 6 minggu di lingkungan yang terkontrol yaitu pada akuarium berisi air laut yang diganti selama 2 minggu sekali. Penggantian air bertujuan untuk menjaga kualitas air karena akuarium tidak menggunakan sistem resirkulasi atau filter. Pertumbuhan makroalga memerlukan nutrien sehingga dilakukan pemberian nutrien selama kultivasi sebanyak 3 kali dalam 2 minggu. Setiap akuarium mendapatkan jumlah nutrien yang sama. Nutrien yang diberikan adalah TSP, urea dan ZA. Tabel 5. menunjukkan banyaknya nutrien yang digunakan selama kultivasi Gelidium latifolium.
25
Tabel 5. Konsentrasi dan massa nutrien untuk kultivasi Gelidium latifolium No.
Jenis Pupuk
Konsentrasi
Massa
1.
TSP
15 ppm
0,12 gr
2.
ZA
30 ppm
0,24 gr
3.
Urea
30 ppm
0,24 gr
Selain nutrien, makroalga juga membutuhkan cahaya untuk berfotosintesis. Cahaya membantu makroalga menguraikan dalam reaksi fotolisis yang terjadi di dalam grana. Ion
O menjadi
dan
ditangkap oleh
untuk menghasilkan biomassa tubuh makroalga berupa pertumbuhan thallus. Karbondioksida digunakan sebagai bahan pokok dalam penelitian ini, dengan melihat pengaruh penambahan karbondioksida atau injeksi
dengan
volume yang berbeda-beda terhadap laju pertumbuhan Gelidium latifolium. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 1 kontrol serta 4 perlakuan dan 3 kali ulangan. Adapun kelima perlakuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus. 2. Perlakuan P1 dengan injeksi
sebanyak 2.000 cc (200 cc x 10 menit
per 3 hari) dan aerasi. 3. Perlakuan P2 dengan injeksi
sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit
per 3 hari) dan aerasi. 4. Perlakuan P3 dengan injeksi
sebanyak 2.000 cc (200 cc x 10 menit
per 3 hari) tanpa aerasi. 5. Perlakuan P4 dengan injeksi per 3 hari) tanpa aerasi.
sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit
26
Injeksi
sebagai sumber karbon berasal dari
murni dan gas
kompresor dengan tekanan masing-masing sebesar 2 bar. Kedua sumber gas tersebut digabungkan pada sebuah tabung pencampur yaitu mixing chamber. Keluaran
dari mixing chamber sebesar 2x100 cc/menit yang dialirkan ke
dalam akuarium menggunakan selang aerasi berdiameter 5 mm. Akuarium ditutup dengan menggunakan styrofoam untuk mencegah terjadinya difusi gas yang tidak dikehendaki. Pengukuran
sisa dilakukan pada perlakuan P3 dan
P4. Karbondioksida pada kedua perlakuan tersebut ditampung menggunakan kantong
yang dipasang bersamaan saat awal injeksi
menjelang sore hari. Proses injeksi
dan diukur
ke dalam akuarium kultivasi tersaji pada
Gambar 6.
Gambar 6. Kultivasi Gelidium latifolium dengan injeksi
27
3.3.3 Analisis kandungan Nilai konsentrasi
yang diinjeksikan dapat diketahui dengan melihat
flowmeter saat perlakuan yaitu sebesar 2x100 cc/menit. Karbondioksida yang bercampur dengan air akan bereaksi dan menjadi pengukuran penentuan NaOH atau
terlarut. Metode
terlarut yang digunakan adalah metode titrasi dengan
. Metode pengukuran
terlarut tersaji pada Gambar 7.
NaOH 0,8 gram
Dilarutkan dengan 1 Liter aquades
Standarisasi oleh larutan
Didapat normalitas NaOH (0,02 N)
Sampel air 25 mL
Indikator pp 4 tetes
Tittrasi NaOH 0,02 N Gambar 7. Metode pengukuran
terlarut
Keadaan asam akan ditunjukkan apabila air sampel tidak mengalami perubahan warna saat ditetesi indikator PP. Titrasi dilakukan sampai warna air sampel berubah menjadi merah muda selama 30 detik.
28
Perhitungan konsentrasi
terlarut menggunakan rumus (Boyd, 1982) : ………. (7)
Keterangan : = konsentrasi
terlarut (mg/L)
mL titran = volume NaOH (mL) N titran = normalitas NaOH (0,02 N) Jumlah
yang tersisa pada perlakuan P3 dan P4 dapat diketahui
mengacu pada jumlah gas yang tertampung pada kantong
, yang kemudian
diukur menggunakan Orsat Apparatus. Gambar 8. menunjukkan bagian-bagian dari alat Orsat Apparatus yang berfungsi untuk mengukur sisa
Gambar 8. Bagian-bagian Orsat Apparatus Orsat Apparatus memiliki tiga tabung dengan masing-masing fungsi berbeda. Perbedaan fungsi disebabkan oleh jenis larutan yang terdapat di dalammnya. Tabung I berisi larutan Cu
, tabung II berisi larutan asam kalium
pirogalik, dan tabung III berisi larutan KOH.
29
Cara penggunaan: 1. Set ketiga tabung I, II, III pada ketinggian tertentu dengan membuka kran A, B, C dan mengatur tinggi larutan pada tabung I, II, III dengan menaik-turunkan gelas B, kemudian tutup kran A, B, C setelah didapat tinggi yang diinginkan. Posisi ini ditetapkan sebagai titik acuan. 2. Naikan air yang ada pada tabung C sampai ketinggian air mencapai 50 mL dengan cara membukakan keran H. 3. Ambil gas buangan (
) dari saluran gas buangan untuk diukur, salurkan
melalui selang yang dimasukan ke dalam pipa H. 4. Buka kran H sehingga gas buangan akan masuk dan mengakibatkan tinggi air yang ada di tabung ukur C akan berkurang. 5. Setelah tinggi air pada tabung ukur turun sebanyak 50 mL (mencapai angka 0) tutup kran H dan artinya sudah memasukan volume gas sebanyak 50 mL. 6. Untuk mengukur kandungan
buka kran C supaya gas buangan
bereaksi dengan larutan pada tabung III, yaitu KOH dengan menaikturunkan gelas B sebanyak 5 - 7 kali. 7. Setelah 5 - 7 kali, kembalikan posisi larutan III ke posisi acuan pada set awal dan tutup kran C setelah didapatkan posisi yang diinginkan. 8. Baca kenaikan permukaan air pada tabung ukur C. Kenaikan permukaan merupakan volume
yang ada pada 50 mL gas buangan yang kita ukur.
30
3.3.4 Pengukuran parameter kualitas air Pengukuran parameter kualitas air dilakukan setiap 3 hari sekali bersamaan dengan pemberian
. Parameter yang diukur adalah temperatur,
salinitas, dan derajat keasaman (pH). Temperatur diukur menggunakan termometer Celcius. Salinitas diukur menggunakan refraktometer dengan satuan permil (‰). Derajat derajat keasaman (pH) diukur menggunakan pH meter digital. Pengukuran kualitas air biasanya dilakukan setelah jam tiga sore dengan memperhitungkan aktivitas fotosistesis yang dilakukan oleh makroalga.
3.3.5 Pengukuran laju pertumbuhan biomassa Pengukuran laju pertumbuhan biomassa harian makroalga yang dikultivasi dihitung berdasarkan rumus (Dawes et al., 1993) : ………… (8) Laju pertumbuhan relatif dihitung dengan rumus : ……….….. (9) Keterangan : DGR = laju pertumbuhan harian makroalga (%) per hari RGR = laju pertumbuhan relatif makroalga (%) = bobot akhir makroalga pada saat t hari (gram) = bobot awal makroalga pada saat penanaman (gram) ∆t = periode kultivasi makroalga (hari)
31
3.4 Uji Kadar Karbohidrat Uji kadar karbohidrat dilakukan dengan menggunakan proses hidrolisis asam. Berikut adalah tahapan proses uji kadar pati Gelidium latifolium dapat dilihat pada Gambar 9. Gelidium latifolium kering 5 gram
Hidrolisis dengan HCL 3% selama 3 jam
Biarkan sampai dingin
Penambahan indikator PP
Penetralan dengan (NaOH 4N) sampai berwarna merah muda
Pengenceran sampai 500 mL
Menyaring sampai 10 mL + Luff schrool 25 mL + aquades 15 mL
Didihkan 10 menit (endapan merah bata)
Setelah dingin + KI 30% 10 mL dan 25% 25 mL
Titrasi menggunakan Na-tiosulfat 0,1 N
Menambahkan kanji 2% (biru tua)
Titrasi sampai berwarna putih susu
Gambar 9. Proses uji kadar karbohidrat Gelidium latifolium
32
Uji karbohidrat di atas adalah metode yang resmi ditetapkan oleh BSN dalam SNI 01-2891-1992 yaitu analisis total karbohidrat dengan menggunakan metode Luff Schrool.
3.5 Analisis Data Penelitian ini menggunakan model Rancangan Acak Lengkap dengan lima perlakuan dan enam kelompok. Data dianalisis secara statistik menggunakan Analisis Ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95%. ANOVA adalah teknik analisis statistik yang dapat memberikan jawaban atas ada tidaknya skor pada masing-masing kelompok, dengan suatu resiko kesalahan sekecil mungkin (Irianto, 2004). Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) persamaan Rancangan Acak Kelompok adalah sebagai berikut : μ+
+
+
…………………. (10)
Keterangan: = perlakuan injeksi
(ke-i) dan kelompok minggu (ke-j)
μ = nilai tengah umum = pengaruh akibat perlakuan injeksi
(ke-i)
= pengaruh kelompok minggu (ke-j) = kesalahan perlakuan percobaan pada perlakuan jenis bahan organik (ke-i) dan ulangan (ke-j) Untuk melihat pengaruh perbedaan perlakuan terhadap laju pertumbuhan Gelidium latifolium , dilakukan analisis ragam dengan uji F. Setelah didapatkan hasil beda nyata, dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan untuk membandingkan semua pasangan perlakuan yang ada (Boer, 2008). Uji Duncan didasarkan pada
33
sekumpulan nilai beda nyata yang ukurannya semakin besar tergantung pada jarak pada pangkat-pangkat dari dua nilai tengah yang dibandingkan. Selain itu, dilakukan uji regresi agar bida mengetahui pola pertumbuhan pada hari tertentu dengan variabel x sebagai periode kultivasi dan variabel y sebagai besar laju pertumbuhan biomassa harian Gelidium latifolium.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Bobot Basah Gelidium latifolium Penelitian menunjukkan bahwa pertambahan bobot basah rata-rata setiap
ulangan pada kultivasi Gelidium latifolium dari perlakuan yang berbeda memiliki hasil beragam. Pertambahan bobot basah paling tinggi ditunjukkan oleh kultivasi P2 yaitu injeksi
sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan aerasi,
sedangkan yang paling rendah adalah kultivasi P4 yaitu injeksi
sebanyak
3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi (Lampiran 1). Pertambahan bobot basah rata-rata memengaruhi bobot basah pada akhir periode kultivasi. Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Bobot basah rata-rata dan simpangan baku pada akhir kultivasi Gelidium latifolium Keterangan : K = kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus. P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan aerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.
34
35
Bobot basah rata-rata di akhir kultivasi yang dari paling tinggi adalah pada P2 sebesar 4,16±0,14 gram, P1 sebesar 4,03±0,12 gram, P3 sebesar 3,66±0,23 gram, K sebesar 3,54±0,06 gram, dan P4 sebesar 3,26±0,23 gram (Lampiran 2). Makroalga memerlukan sinar matahari untuk melakukan fotosintesis. Fotosintesis yang berlangsung tidak hanya dibantu dengan sinar matahari, tetapi juga zat hara sebagai makanan. Zat hara didapatkan dari nutrien terlarut yang diberikan, yaitu TSP, ZA, dan urea. Penyerapan zat hara dilakukan oleh seluruh bagian tubuh dibantu oleh sirkulasi yang baik yaitu gerakan air. Sistem sirkulasi perlakuan K, P1, dan P2 menjadikan pertumbuhan Gelidium latifolium lebih baik daripada P3 dan P4. Hal ini sesuai dengan pernyataan Indriani dan Sumiarsih (1991) bahwa gerakan air berfungsi untuk memudahkan penyerapan zat hara, membersihkan kotoran yang ada, dan melangsungkan pertukaran Injeksi
dan
dalam air.
ditambah aerasi lebih efektif meningkatkan pertambahan
bobot basah Gelidium latifolium yang dikultivasi. Besar kecepatan
yang
diinjeksikan seragam sebesar 200 cc/menit didasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Barat (2011) dengan menggunakan kecepatan 500 cc/menit. Kecepatan yang digunakan pada penelitian ini diturunkan dari kecepatan penelitian sebelumnya, hal ini bertujuan untuk tetap menjaga derajat keasaman dari media air laut, karena volume air yang digunakan lebih sedikit. Aerasi menimbulkan gelembung-gelembung udara di dalam air dan menyebabkan pergerakan serta sistem sirkulasi di dalamnya. Penggunaan batu aerasi membantu memecah gelembung udara agar difusi di dalam air berlangsung lebih cepat dan terserap sempurna oleh makroalga. Lama injeksi
pun
berpengaruh pada pertambahan bobot, perlakuan yang diaerasi dan injeksi
36
sebanyak 200 cc/menit selama 15 menit (P2) hari lebih efektif daripada injeksi sebanyak 200 cc/menit selama 10 menit (P1). Namun terjadi sebaliknya pada perlakuan yang tidak diaerasi, injeksi (P3) lebih efektif daripada injeksi
sebanyak 200 cc/menit selama 10 menit sebanyak 200 cc/menit selama 15 menit
(P4). Perlakuan K sebagai kontrol hanya mendapatkan aerasi saja, sehingga pertambahan bobotnya lebih lambat daripada perlakuan yang ditambahkan injeksi (P1, P2 dan P3). Hal ini tidak berlaku untuk P4 karena mengalami penurunan selisih bobot basah rata-rata pada awal kultivasi. Selisih pertambahan bobot basah rata-rata Gelidium latifolium tersaji pada Gambar 11.
Gambar 11. Selisih pertambahan bobot basah rata-rata dan simpangan baku Gelidium latifolium Keterangan : K = kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus. P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.
37
Perlakuan P4 yakni injeksi
sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per
3 hari) tanpa aerasi mengalami penurunan bobot basah rata-rata pada minggu ke-2 pemeliharaan, namun di minggu selanjutnya pertambahan bobot meningkat kembali. Secara keseluruhan selisih pertumbuhan bobot basah rata-rata menunjukkan peningkatan di awal pemeliharaan, setelah beberapa minggu pemeliharaan mengalami penurunan. Perlakuan P3 yaitu injeksi
sebanyak
2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi mengalami penurunan yang signifikan di akhir pemeliharaan yaitu setelah minggu ke-4. Hal ini berbeda dengan perlakuan P4 yang mengalami penurunan sejak minggu ke-2. Penurunan ini diakibatkan oleh pelunakan bagian thallus sehingga mengurangi bobot basah Gelidium latifolium yang dikultivasi. Bagian thallus yang melunak dipotong agar tidak memengaruhi pertumbuhan bagian yang lainnya. Selisih tertinggi terjadi pada kultivasi P2 di minggu ke-4 sebesar 0,2383±0,11gram, sedangkan selisih pertumbuhan negatif terjadi pada kultivasi P4 di minggu ke-2 sebesar -0,0933±0,37 gram dan kultivasi P3 di minggu ke-6 sebesar 0,0017±0,08 gram (Lampiran 3).
4.2
Laju Pertumbuhan Gelidium latifolium Laju pertumbuhan Gelidium latifolium untuk setiap perlakuan bervariasi
baik laju pertumbuhan hariannya maupun laju pertumbuhan relatifnya, ekuivalen dengan pertambahan bobot rata-ratanya. Kultivasi berlangsung selama 42 hari dan pengukuran laju pertumbuhan dilakukan setiap satu minggu sekali. Pemeliharaan makroalga selama 42 pada penelitian ini didasarkan pada kisaran waktu yang dibutuhkan untuk kultivasi makroalga antara 6-8 minggu Indriani dan
38
Sumiarsih (1999) dan pemanenan dapat dilakukan setelah 6 minggu yaitu saat tanaman dianggap cukup matang dengan kandungan polisakarida maksimum Mukti (1987). Besarnya nilai laju pertumbuhan harian Gelidium latifolium selama penelitian berkisar antara 0,02-1,06%. Perbedaan laju pertumbuhan harian ini disebabkan oleh perbedaan respon makroalga terhadap perlakuan yang diberikan. Pemberian karbondioksida atau injeksi
pada jumlah yang berbeda
memberikan pengaruh yang berbeda pada lingkungan hidupnya. Berikut adalah grafik laju pertumbuhan harian Gelidium latifolium selama kultivasi 42 hari pada perlakuan yang berbeda hari tersaji pada Gambar 12.
Gambar 12. Laju pertumbuhan harian dan simpangan baku Gelidium latifolium Keterangan : K = kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus. P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.
39
Laju pertumbuhan harian perlakuan P4 yaitu injeksi
sebanyak 3.000
cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi sangat fluktuatif , dilihat pada minggu ke-2 terjadi penurunan dari 0,54±0,15% menjadi 0,02±0,85%, namun pada minggu ke-3 mengalami kenaikan menjadi 0,12±0,58% (Lampiran 4). Bila melihat perlakuan P4, besarnya injeksi
sebanyak 3.000 cc menyebabkan
lingkungan menjadi lebih asam sehingga nilai pH menurun. Penurunan pH juga terjadi pada P3 dengan besarnya injeksi
sebanyak 2.000 cc, namun tidak
sebesar penurunan pH pada P4. Hal ini berbeda dengan P1 dan P2, penurunan pH dapat dinormalkan kembali oleh proses aerasi yang memicu terjadinya resirkulasi (Lampiran 10). Laju pertumbuhan harian selama kultivasi 42 hari dapat diregresikan untuk mengetahui pertumbuhan pada hari-hari selanjutnya. Berikut adalah persamaaan regresi laju pertumbuhan harian control dan perlakuan yang berbeda Gelidium latifolium. Tabel 6. Persamaan regresi linear laju pertumbuhan harian Gelidium latifoloum Kontrol x = 0.463 - 0.000659 t Perlakuan 1
x = 0.913 - 0.00401 t
Perlakuan 2
x = 1.02 - 0.00486 t
Perlakuan 3
x = 0.698 - 0.00404 t
Perlakuan 4
x = 0.322 - 0.00502 t
Nilai x adalah besarnya laju pertumbuhan sedangkan t adalah lamanya waktu kultivasi. Persamaan regresi kontrol dan beberapa perlakuan menunjukan nilai yang berbeda-beda. Laju pertumbuhan harian tertinggi dari semua perlakuan terjadi pada P2 yaitu 1,06±0,14% di minggu ke-4, sedangkan laju pertumbuhan harian terendah dari semua perlakuan terjadi pada P4 yaitu 0,02±0,85% di minggu ke-2. Kondisi laju pertumbuhan harian pada akhir pertumbuhan setiap perlakuan
40
juga mengalami penurunan karena pada minggu tersebut pertumbuhan telah mengalami fase stasioner (Lampiran 4). Laju pertumbuhan harian menunjukkan persentase perbandingan antara bobot saat akhir kultivasi dan bobot saat awal penanaman per satuan waktu. Selain faktor derajat keasaman, salinitas pun memengaruhi laju pertumbuhan Gelidium latifolium. Nilai salinitas tidak hanya berpengaruh pada pertumbuhan makroalga, tapi juga memicu organisme lain untuk tumbuh baik pada lingkungan tersebut. Salah satunya adalah fungi Rhizopus sp. yang menempel pada thallus Gelidium latifolium. Fungi ini menyebabkan penurunan laju pertumbuhan harian kulivasi P4 pada minggu ke-2 dan P3 pada minggu ke-6. Organisme mikro lainnya seperti mikroalga, tumbuh pada akuarium sehingga tampak seperti warna hijau di dinding-dinding akuarim. Metode kultivasi monoline floating efektif untuk pemeliharaan Gelidium latifolium selama penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aslan (1998) bahwa tingkat pertumbuhan makroalga dengan metode apung adalah sekitar 2,00-3,00%, metode lepas dasar sekitar 1,66-1,75%, dan metode dasar sekitar 0,30-0,53%. Menurut Soegiarto et al. (1978) kisaran laju pertumbuhan makroalga yang baik adalah antara 2-3%. Kultivasi pada setiap perlakuan dalam penelitian belum termasuk pada kategori baik karena laju pertumbuhannya kurang dari 2% sampai akhir pemeliharaannya. Selain laju pertumbuhan harian, Gelidium latifolium juga memiliki pertumbuhan relatif. Berikut adalah diagram laju pertumbuhan relatif Gelidium latifolium selama 42 hari pada setiap perlakuan tersaji pada Gambar 13.
41
Gambar 13. Laju pertumbuhan relatif Gelidium latifolium Keterangan : K = kontrol yaitu dengan hanya diberikan aerasi terus-menerus. 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P1 = injeksi P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P3 = injeksi P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.
Besar laju pertumbuhan relatif Gelidium latifolium di akhir kultivasi pada setiap perlakuan yang berbeda dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah adalah P2 sebesar 32,66%, P1 sebesar 29,43%, P3 sebesar 19,82%, K sebesar 16,64%, dan P4 sebesar 7,91% (Lampiran 5). Laju pertumbuhan relatif menunjukkan hubungan presentase bobot saat akhir kultivasi dan bobot saat awal penanaman. Hasil analisis secara statistik dengan selang kepercayaan 95%, menghasilkan bahwa perlakuan K yaitu kontrol memiliki nilai variasi ragam b. Perlakuan P1 yaitu injeksi
sebanyak 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari)
dan aerasi, P2 yaitu injeksi
sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari)
dan aerasi, serta P3 yaitu injeksi
sebanyak 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3
hari) tanpa aerasi berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan Gelidium
42
latifolium, ketiganya masing-masing memiliki variasi ragam d, e, dan c. Perlakuan P4 yaitu injeksi
sebanyak 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari)
tanpa aerasi memiliki nilai variasi ragam a (Lampiran 8). Nilai variasi ragam c sampai e merupakam jarak peringkat antara satu nilai rata-rata dengan rata-rata lainnya setelah diurutkan. Nilai variasi ragam e memiliki nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot yang paling tinggi, sedangkan nilai variasi ragam a memiliki nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot yang paling rendah. Perlakuan K sebagai kontrol berada pada peringkat b artinya perlakuan P1, P2, dan P3 memiliki besar nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot lebih tinggi dari perlakuan kontrol sedangkan perlakuan P4 memiliki besar nilai rata-rata laju pertumbuhan bobot lebih rendah. Selain pengujian berdasarkan perlakuan, dilakukan juga analisis statistik berdasarkan waktu kultivasi makroalga. Hasilnya menunjukkan bahwa pengaruh lamanya hari tidak berbeda nyata terhadap laju perlumbuhan Gelidium latifolium sehingga tidak diperlukan uji lanjut untuk melihat variasi nilai ragamnya.
4.3
Pemanfaatan Karbondioksida pada Kultivasi Gelidium latifolium Karbondioksida diinjeksikan ke dalam air laut sebagai media kultivasi
makroalga dengan aliran yang sama namun lamanya berbeda. Perlakuan P1, P2, P3, dan P4 diinjeksi
dengan kecepatan 200 cc/menit dengan lama 10-15
menit. Berikut diagram nilai besarnya input perlakuan tersaji pada Gambar 14.
yang diberikan pada setiap
43
Gambar 14. Input
pada kultivasi Gelidium latifolium
Keterangan : K = tidak mendapatkan injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P1 = injeksi P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.
Karbondioksida (
) merupakan molekul gas yang bisa larut dalam air
laut. Karbondioksida berikatan dengan air membentuk senyawa anorganik yaitu asam karbonat yang akan terurai menjadi ion bikarbonat. Semakin banyak yang masuk ke dalam air, jumlah asam pun meningkat. Penelitian yang dilakukan merupakan salah satu aplikasi dari pemanfaatan karbondioksida terlarut yakni memanfaatkan
yang berasal dari injeksi
untuk pertumbuhan
biomassa Gelidium latifolium. Penelitian ini didukung oleh teori Aresta (2010) bahwa pemanfaatan gas karbondioksida dapat dijadikan sebagai teknologi renewable yakni pengonversian karbon menjadi biomassa tumbuhan akuatik atau terestrial. Injeksi
pada perlakuan P1 dan P3 ataupun P2 dan P4 dilakukan
dengan kecepatan yang sama namun hasil kelarutanya berbeda. Hal ini
44
disebabkan oleh pemberian aerasi pada perlakuan P1 dan P2, sedangkan P3 dan P4 tidak dilakukan pemberian aerasi. Perbedaan perlakuan ini dimaksudkan untuk melihat pengaruh jumlah gas
yang diinjeksi terhadap kualitas air dan
respon pertumbuhan Gelidium latifolium. Aerator memberikan masukan gelembung-gelembung udara pada air laut sehingga terjadi sirkulasi dan pergerakan air pada akuarium. Sirkulasi dan pergerakan air memengaruhi jumlah kelarutan gas dalam air laut. Diagram berikut menunjukkan bahwa
yang diinjeksikan ke terlarut harian pada
setiap perlakuan nilainya berfluktuasi.
Gambar 15. Jumlah
terlarut harian pada kultivasi Gelidium latifolium
Keterangan: K = tidak bisa diukur menggunakan titrasi NaOH karena keadaan basa. P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.
Nilai
terlarut harian paling tinggi terjadi pada perlakuan P4 pada hari
ke-33 yaitu 37,25 mg/L, sedangkan yang paling rendah pada perlakuan P1 hari ke-
45
42 yaitu 19,95 mg/L. Semakin lama waktu injeksi kelarutannya. Hal ini disebabkan oleh input
semakin tinggi nilai
yang berdifusi dengan air laut
lebih banyak. Karbondiksida pada kontrol tidak dapat diukur menggunakan titrasi NaOH karena jumlah karbondioksida sangat sedikit dan terserap sempurna oleh thallus Gelidium latifolium. Selain itu, karbondioksida berubah menjadi bentuk lain yaitu ion bikarbonat (
). Nilai kelarutan
turun setelah 3 kali injeksi
dilakukan. Faktor penggantian air laut pada
akuarium yang dilakukan setelah 3 kali injeksi
memiliki fase naik dan
menyebabkan kualitas air
menjadi fluktuatif. Berikut adalah persentasi perbandingan total
terlarut
setiap perlakuan, tersaji pada Gambar 16.
Gambar 16. Jumlah total
terlarut pada kultivasi Gelidium latifolium
Keterangan : K = tidak mendapatkan injeksi P1 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) dan aerasi. P2 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) dan diaerasi. P3 = injeksi 2.000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3.000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.
46
Nilai tertinggi total yaitu injeksi
terlarut dalam air laut adalah pada perlakuan P4
selama 15 menit tanpa aerasi dan paling rendah adalah pada
perlakuan P1 yaitu injeksi
selama 10 menit dan aerasi. Nilainya total
terlarut secara berurutan setiap perlakuan dari yang tertinggi sampai terendah adalah P4 441,76 mg/L, P3 391,01 mg/L, P2 360,21 mg/L, dan P1 283,65 mg/L (Lampiran 6). Menurut Effendi (2003) salah satu faktor yang memengaruhi kelarutan adalah tekanan parsial. Tekanan parsial akan berkurang akibat adanya kegiatan fotosintesis dan pemanasan. Kemampuan fotosintesis individu makroalga yang berbeda-beda serta pemanasan pada siang hari menjadi penyebab variasi nilai pada setiap perlakuan. Pengukuran kelarutan
dilakukan pada sore hari karena pada waktu
tersebut cahaya mulai redup. Fotosintesis memerlukan cahaya matahari untuk mengeksitasi elektron yang terdapat pada klorofil sehingga keadaan elektron dalam klorofil menjadi tidak stabil dan mendesak molekul air terpecah menjadi dan
. Ion
berperan dalam pembentukan
menjadi glukosa melewati
reaksi terang. Oleh karena itu, pada saat cahaya mulai meredup efektivitas fotosintesis menurun sehingga dilakukan pengukuran Kelarutan
sisa.
yang terjadi pada P1, P2, P3, dan P4 telah melebihi batas
normal perairan, oleh karena itu sisa
yang tidak dapat larut dalam air
mengalami difusi dan tertampung pada kantong plastik yang telah diinstalasikan pada akuarium P3 dan P4.
47
Karbondioksida sisa merupakan gas sisa yang terbebaskan dari air laut dan tertampung pada penampung plastik untuk menangkap
. Penampung plastik yang digunakan
dilengkapi dengan keran agar gas
yang masuk tidak
berdifusi dengan gas dari luar. Konsentrasi gas diukur menggunakan Orsat Apparatus. Pengukuran
sisa ini dilakukan hanya pada P3 dan P4 yakni
perlakuan injeksi tanpa aerasi. Persentasi jumlah
sisa dapat diukur karena
tidak terjadi pertukaran dengan gas lainnya yang berada di luar akuarium. Penampungan gas dilakukan setelah selesai injeksi yaitu pukul 10.00, kemudian pengukuran dilakukan pada sore hari bersamaan dengan pengukuran kualitas air. Jumlah
sisa harian setiap pemberian injeksi berfluktuasi, namun perlakuan P4
selalu mendominasi P3. Berikut adalah nilai
sisa harian yang terukur oleh
Orsat Apparatus tersaji pada Gambar 17.
Gambar 17. Sisa
hasil pengukuran Orsat Apparatus
Keterangan : K, P1, dan P2 tidak diukur karena mendapat masukan gas dari luar. P3 = injeksi 2000 cc (200 cc x 10 menit per 3 hari) tanpa aerasi. P4 = injeksi 3000 cc (200 cc x 15 menit per 3 hari) tanpa aerasi.
48
Nilai
sisa harian paling tinggi terjadi pada perlakuan P4 pada hari ke-
42 yaitu 12,27%, sedangkan yang paling rendah pada perlakuan P3 hari ke-13 yaitu 9,53%. Rata-rata sisa
tersisa dari perlakuan P3 sebesar 10,16% dan P4
sebesar 11,73%. Volume air laut sebanyak 8 liter dan injeksi
sebanyak
2x100 cc/menit memengaruhi kesetimbangan karbondioksida dalam air laut. Hal ini sesuai dengan Teori Boyd (1988) yang mengategorikan kelarutan
di
perairan bahwa pada temperatur 25-27 °C berkisar antara 0,45-0,48 mg/L. Besarnya nilai temperatur berkebalikan dengan nilai kelarutan karbondioksida.
4.4
Kualitas Air Penelitian ini melakukan pengukuran beberapa kualitas air, yaitu
temperatur, salinitas, dan derajat keasaman (pH). Nilai temperatur air selama kultivasi Gelidium latifolium tersaji pada Gambar 18.
Gambar 18. Parameter temperatur air selama kultivasi Gelidium latifolium
Selama 6 minggu pemeliharaan, temperatur air bervariasi antara 25-27 ⁰C. Perubahan temperatur disebabkan oleh redup terangnya penyinaran matahari.
49
Pada hari yang sama nilai temperatur pun sama, karena penempatan posisi akuarium berada di posisi yang terpapar cahaya matahari, namun besarnya tidak fluktuatif karena temperatur ruangan terkontrol oleh AC. Menurut Luning (1990) makroalga mempunyai kisaran temperatur spesifik karena adanya enzim pada tubuhnya. Makroalga dapat tumbuh di daerah tropis pada kisaran temperatur 2030 ⁰C dan hidup optimal pada temperatur 28 ⁰C. Gelidium latifolium tidak dapat tumbuh dengan baik jika rentang temperaturnya luas. Tunas thallus mengalami pemberhentian pertumbuhan dikarenakan perubahan temperatur yang fluktuatif. Temperatur juga memengaruhi kelembaban udara di sekitar lingkungan tempat kultivasi. Kelembaban yang tinggi juga tidak begitu bagus untuk pertumbuhan Gelidium latifolium saat kultivasi. Parameter kualitas air yang diukur selanjutnya adalah salinitas. Nilai salinitas semua perlakuan besarnya sama di setiap pengukuran. Nilai salinitas air selama kultivasi Gelidium latifolium tersaji pada Gambar 19.
Gambar 19. Parameter salinitas air selama kultivasi Gelidium latifolium
50
Salinitas yang dianjurkan untuk makroalga adalah salinitas pada kisaran 28-34 ppt (Zatnika dan Angkasa, 1994). Menurut Dawes (1981) kisaran salinitas yang baik untuk budidaya makroalga berkisar 30-35 ppt. Soegiarto et al. (1978) pun berpendapat bahwa salinitas yang cocok untuk budidaya makroalga adalah 32-35 ppt. Salinitas air pada penelitian yang dilakukan berkisar antara 32-34‰. Nilai ini masih berada dalam kisaran salinitas yang dianjurkan. Nilai salinitas tersebut relatif tinggi disebabkan oleh tingkat penguapan air dalam akuarium yang cukup tinggi, sehingga dilakukan penambahan air tawar. Penguapan ditandai adanya butiran garam pada dinding akuarium. Menurut Aslan (1998) Gelidium yang hidup di perairan Indonesia adalah jenis yang yang menyukai salinitas tinggi yaitu 33‰. Parameter kualitas air yang diukur adalah derajat keasaman (pH). Derajat keasaman yang ideal untuk pertumbuhan makroalga yaitu 8-9. Apabila perairan terlalu asam ataupun terlalu basa maka akan menghambat pertumbuhan makroalga (Puslitbangkan, 1991). Menurut Zatnika dan Angkasa (1994) derajat derajat keasaman yang baik untuk pertumbuhan makroalga yaitu antara 7-9 dengan kisaran derajat derajat keasaman optimum sebesar 7,3-8,2. Nilai derajat keasaman air laut pada setiap perlakuan bervariasi mulai dari yang terendah yaitu 6,3 sampai tertinggi 8,8. Nilai derajat keasaman air selama kultivasi Gelidium latifolium tersaji pada Gambar 20.
51
Gambar 20. Parameter derajat keasaman air selama kultivasi Gelidium latifolium
Perlakuan berpengaruh terhadap nilai pH, semakin lama injeksi semakin asam air laut. Selain itu, faktor aerasi pun memberikan pengaruh pada perubahan derajat keasaman. Aerasi bisa mengembalikan derajat keasaman air karena adanya penambahan udara dari luar akuarium terutama oksigen yang bisa menurunkan kandungan asam di dalam air. Menurut Mackereth et al. (1989), derajat keasaman sangat berkaitan erat dengan
, semakin tinggi kadar
maka semakin tinggi derajat keasamannya dan hal ini juga berlaku sebaliknya semakin rendah asam, jumlah
maka semakin rendah derajat keasamannya. Pada kondisi dalam air tinggi disebabkan adanya reaksi
dan air
menghasilkan asam karbonat sedangkan pada konsidi basa bentuk
berubah
menjadi ion bikarbonat ataupun karbonat. Selama kultivasi kontrol memiliki pH tertinggi 8,77 dan terendah 8,30. Perlakuan P1 memiliki pH tertinggi 7,50 dan terendah 7,33. Perlakuan P2 memiliki pH tertinggi 7,30 dan terendah 7,07. Perlakuan P3 memiliki pH tertinggi 7,13 dan terendah 6,63. Perlakuan P4 memiliki pH tertinggi 6,63 dan terendah 6,20.
52
4.5
Isolasi Fungi Penghambat Pertumbuhan Faktor biologi yang memengaruhi penurunan pertumbuhan Gelidium
latifolium adalah fungi. Fungi menempel pada thallus menyebabkan bagian thallus menjadi lunak dan berlendir. Berikut ini adalah gambar makroalga yang terserang oleh fungi pada saat kultivasi (Gambar 21).
Rhizopus sp.
Gambar 21. Makroalga yang terserang fungi
Fungi pada thallus diisolasi pada media PDA (Potato Dextrose Agar) berbahan dasar kentang untuk mengetahui jenis fungi yang menghambat pertumbuhan. Fungi disimpan pada media tersebut selama satu minggu di dry cabinet sampai terlihat jelas koloni dan hifanya. Berikut adalah gambar fungi hasil isolasi dari Gelidium latifolium (Gambar 22).
(a) (b) Gambar 22. Rhizopus sp.; (a) Pengamatan K.Nishimura dan (b) Hasil isolasi pada media PDA Sumber: K. Nishimura 1999 Sumber: Dokumentasi pribadi
53
Fungi di atas adalah kapang Rhizopus sp. yang biasa digunakan dalam pembuatan kecap. Kapang tersebut memiliki kemampuan untuk hidup pada salinitas tinggi sehingga bisa hidup pada tubuh makroalga yang hidup di laut. Warna putih (Gambar 21) disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada pada thallus. Pada proses isolasi banyak ditemukan beberapa jenis fungi, tetapi yang lebih dominan adalah Rhizopus sp. Klasifikasi Rhizopus menurut Germain et al. (2006), yaitu Kingdom : Fungi Divisio : Zygomycota Class : Zygomycetes Ordo : Mucorales Familia : Mucoraceae Genus : Rhizopus Koloni Rhizopus sp. berwarna putih berangsur-angsur menjadi abu-abu serta sporangia globus atau sub globus berwarna coklat gelap sampai hitam bila telah masak. Sporangiofor tumbuh dari stolon dan mengarah ke udara, tumbuh berlawanan dan terletak pada posisi yang sama dengan sporangiofora, Bentuk spora bulat, oval atau berbentuk elips atau silinder. Menurut Sorenson dan Hesseltine (1986), Rhizopus sp. tumbuh baik pada kisaran pH 3,4-6 dan membutuhkan air untuk pertumbuhannya, tetapi kebutuhan air fungi lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri. Hal ini selaras dengan hasil pengamatan yang dilakukan, Rhizopus sp. tumbuh pada thallus makroalga perlakuan P4. Pada perlakuan P4 kualitas airnya lebih asam dibandingkan perlakuan lainnya akibat lama injeksi
dan tidak ditambahkannya aerasi.
Thallus yang terserang fungi mengalami pembusukan dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Hal ini disebabkan oleh aktivitas fungi yang tumbuh pada
54
thallus. Thallus mengalami perubahan fisik terutama tekstur yang semakin lunak karena terjadi degradasi kadar selulosa (Hidayat et al., 2006).
4.6
Kadar Karbohidrat Gelidium latifolium Berbagai jenis Gelidium di Indonesia dan negara lain dimanfaatkan sebagai
bahan baku pabrik agar-agar. Kandungan agarnya berkisar antara 12-48% tergantung jenisnya, sedangkan kandungan agarnya di Indonesia (Sulawesi) mencapai 30% (Aslan, 1998). Menurut Rasyid et al. (1999) Gelidium sp. memiliki kandungan agar 26,5%. Hasil uji kadar karbohidrat yang dilakukan dalam penelitian berkisar antara 16,40-20,40%. Kadar karbohidrat yang diuji adalah jenis monosakarida yaitu glukosa dan dihasilkan dari hidrolisis pati (amilum). Penentuan kadar karbohidrat kuantitatif dilakukan melaui metode Luff Schrool dengan prinsip dasarnya adalah hidrolisis karbohidrat dalam Gelidium latifolium kering menjadi monosakarida yang dapat menjadi
mereduksi
(SNI 01-2891-1992).
Tahapan reaksi yang terjadi adalah : R-COH
Cu
+
CuO
Cu
+
+
CuO
Cu
+
+
2KI
Cu
+
2Cu +
R-COOH O
+ NaI
Uji kadar karbohidrat dilakukan sebelum dan sesudah kultivasi. Kadar karbohidrat sebelum kultivasi nilainya sebesar 18,23%, sedangkan setelah kultivasi bervariasi sesuai perlakuannya. Kadar karbohidrat kontrol nilainya
55
sebesar 19,40%, P1 sebesar 20,40%, P2 sebesar 19,40%, P3 sebesar 16,87%, dan P4 sebesar 16,40%. Besar kelima nilai kadar karbohidrat setelah kultivasi tersebut tidak terlalu berbeda dengan nilai kadar karbohidrat sebelum kultivasi. Kadar karbohidrat Gelidium latifolium sebelum dan sesudah kultivasi tersaji pada Tabel 7. Tabel 7. Kadar karbohidrat Gelidium latifolium sebelum dan sesudah kultivasi Waktu Uji
Perlakuan
Kadar Karbohidrat
Sebelum kultivasi
-
18.23%
Sesudah kultivasi
K
19.40%
P1
20.40%
P2
19.40%
P3
16.87%
P4
16.40%
Kadar karbohidrat pada perlakuan P3 dan P4 merupakan kadar paling kecil dibandingkan yang lainnya. Nilai ini terjadi diperkirakan karena pada P3 dan P4 tumbuh fungi yang memfermentasi sakarida dari bagian thallus makroalga. Menurut Sudarmaji dan Markakis (1977), selama proses fermentasi akan terjadi perubahan pada kadar air setelah 24 jam fermentasi, kadar air akan mengalami penurunan menjadi sekitar 61% dan setelah 40 jam fermentasi akan meningkat lagi menjadi 64%. Perubahan-perubahan lain yang terjadi selama fermentasi adalah berkurangnya kandungan oligosakarida penyebab flatulence. Penurunan tersebut akan terus berlangsung sampai fermentasi 72 jam. Kadar karbohidrat sebelum kultivasi lebih rendah dari K, P1, dan P2, setelah kultivasi dikarenakan sampel yang uji sebelum kultivasi adalah bibit yang memiliki karakteristik thallus lebih muda daripada sampel yang telah dikultivasi. Setelah dikultivasi Gelidium latifolium telah mengalami proses metabolisme dan
56
katabolisme sehingga biomassa thallus lebih banyak mengandung karbohidrat hasil pemanfaatan energi cahaya melalui fotosintesis menjadi biomassa. Pengaruh penambahan injeksi
pada kultivasi terhadap jumlah C
(karbon) organik adalah kaitannya dengan biomassa thallus yang dihasilkan. Karbondioksida merupakan sumber karbon anorganik yang dikonversi ke dalam karbon organik berupa karbohidrat. Apabila bahan baku karbon tersedia di lingkungan secara mudah makan kegiatan fotosintesis yang memanfaatkan karbon anorganik akan berjalan dengan mudah, namun harus didukung dengan ketersediaan faktor lainnya seperti cahaya, nutrien, dan parameter fisik lainnya.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Kadar karbohidrat Gelidium latifolium sebelum kultivasi adalah 18,23%,
sedangkan setelah kultivasi untuk masing-masing perlakuan, yaitu P1 sebesar 19,40%, P2 sebesar 20,40%, P3 sebesar 19,40%, P4 sebesar 16,87%, dan P5 sebesar 16,40%. Laju pertumbuhan harian Gelidium latifolium selama penelitian ini berkisar antara 0,02-1,06%. Laju pertumbuhan harian tertinggi dari semua perlakuan ditemukan pada P3 yaitu 1,06±0,14% di minggu ke-4, sedangkan yang terendah ditemukan pada P5 yaitu 0,02±0,85% di minggu ke-2. Pemberian berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan Gelidium latifolium. Nilai kelarutan dan sisanya dipengaruhi oleh faktor aerasi dan konsentrasi injeksi.
5.2
Saran Perlu dilakukan diperhatikan aklimatisasi dan sterilisasi untuk mencegah
timbulnya faktor biologis yang memengaruhi kultivasi Gelidium latifolium. Selain itu, sebaiknya dilakukan penelitian pemberian injeksi karbondioksida serta komposisi nutriennya sebagai bahan pembentukan biomassa Gelidium latifolium.
57
DAFTAR PUSTAKA
Anggadiredja, T.T., Zatnika, A., Purwoto, H., dan Istini, S. 2006. Rumput Laut. Swadaya. Depok, Indonesia. APHA. 1976. Standard Methods for Water and Sewage Analysis, 4th Ed. American Public Health Association. New York. Aresta, M., A. Dibendetto, dan G. Berberio. 2005. Utilization of macro-algae for enhanced CO₂ fixation and biofuels production: development of a computing software for LCA study. Fuel Process Tech. 86: 1679-1693. Aresta, M. 2010. Carbon Dioxide as Chemical Feedstock. Wiley VCH Verlag and Co. KGaA, Weinheim. Aslan, L.M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta. Indonesia. Barat, W.O.B. 2011. Pemanfaatan karbondioksida ( ) untuk optimalisasi pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Boer, M. 2008. Sidik Ragam : Pengantar Rancangan Percobaan. SPL, SDP. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elselvier Science Publisher B.V. Amsterdam. Cole, J.J., Findlay, S., dan Pace, M.L. 1988. Bacterial production in fresh and saltwater ecosystems: A cross-system overview. Mar. Ecol. Prog. Ser. 43:1-10. Dawes, C.J. 1981. Marine Botany. John Wiley and Sons University of South Florida. New York. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2004. Progam Unggulan Bidang Perikanan Budidaya Periode 2004-2009. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Duff, S.J.B., dan Murray, W.D. 1996. Bioconversion of forest product industry waste cellulosics to fuel ethanol. A Review. Bioresour. Technol. 55:1-33. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Goh, C.S. dan Lee, K.T. 2009. A visionary and conceptual macroalgae-based third-generation bioethanol (TGB) biorefinery in Sabah, Malaysia as an 58
59
underlay for renewable and sustainable development. Renewable Sustain Energy Reviews. 14: 843-848. Germain, Grant, dan McDonald. 2006. Successful treatment of invasive Rhizopus infection in a child with thalassemia. Med Mycol . 44(8):771-5. Hatta, A.M. dan Dardjat, R. 2001. Gelidium spinosum. In: van Reine, W.F.P. Trono, Jr. G.C. (Eds.) Plant Resources of South-East Asian No. 15(1) Cryptogams: Algae. Backhuys Publishers, Leiden.166-167. Hidayat, N., Padaga, M.C. dan Suhartini, S. 2006. Mikrobiologi Industri. Andi. Yogyakarta. Hutabarat, S. dan Evans, S.M. 2008. Pengantar Oseanografi. UI Press. Jakarta. Indriani, H. dan Sumarsih, E. 1999. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut (cetakan 7). Penebar Swadaya. Jakarta. Irianto, A. 2004. Statistik : Konsep Dasar dan Aplikasinya. Prenada Media Group. Jakarta. Iryani, A.D. 2009. Hidrolisis Residu Rumput Laut Limbah Industri Karagenan (Euchema spinosum) untuk Menghasilkan Glukosa sebagai Bahan Baku Bioetanol. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Jeffries, M., dan Mills, D. 1996. Freshwater Ecology, Principles and Applications. John Wiley and Sons. Chicester UK. Jeong, G.T. dan Park, D.H. 2009. Production of sugars and levulinic acid from marine biomass Gelidium amansii. Appl. Biochem. Biotechnol. 161: 41-52. John, R.P., Anisha, G.S., Nampoothiri, K.M., dan Pandey, A. 2010. Micro and macroalgal biomass : A renewable source for bioethanol. Bioresource Technology. 102 :186-193. Luning, K. 1990. Seaweeds: Their Environment, Biogeography, and Ecophysiology. Wiley. New York. Mackereth, F.J.H., Heron, J. and Talling, J.F. 1989. Water analysis: some revised methods for limnologists. Freshwater Biological Association. 36 : 120. Mattjik, A.A. dan Sumertajaya, I.M. 2002. Pancangan Percobaa dengan aplikasi SAS dan Minitab Jilid 1. IPB Press. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mubarak, H. 1981. Percobaan Budidaya Rumput Laut Euchema spinosum di Perairan Lorok, Pacitan dan Kemungkinan Pengembangannya. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.
60
Mukti, E. 1987. Ekstraksi dan Analisa Sifat Fisiko-kimia Karagenan dari Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii. Majalah Khusus. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nelson, D.L. dan Cox, M.M. 2004. Lehninger Principles of Biochemistry (4th edition).W.H Publisher. New York. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologi diterjemahkan oleh H. M. Eidman, Koesbiono, D. G. Bangen, M. Hutomo, dan S. Sukardjo. PT Gramedia. Jakarta. Puslitbangkan. 1991. Budidaya Rumput Laut (Eucheuma sp.) dengan Rakit dan Lepas Dasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian Pengembangan Pertanian. Jakarta. Rachmaniar. 1996a. Seaweed Resources in Indonesia. Asia Pacific Phycological Forum I. Sydney. Rasyid, A., Rachmat, R., dan Murniasih, T. 1999. Karakterisasi polisakarida agar dari Gracilaria sp. dan Gelidium sp. Prosiding. Pra Kipnas VII Forum Komunikasi I Ikatan Fikologi Indonesia, 8 September 1999, Gedung DRN, Puspiptek, Serpong. Soegiarto, A.W., Sulistijo, dan Mubarak, H. 1978. Rumput Laut (algae) Manfaat. Potensi dan Usaha Budidayanya. Lembaga Oseanologi Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Sudarmadji, S. dan Markakis, P. 1977. Phytate and Phytase of Soybean Tempe. J. Sci. Food Agric. 28: 381-394. Syahputra. 2005. Pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut K. alvarezii yang dibudidayakan pada kondisi lingkungan dan jarak tanam yang berbeda. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Zatnika, A. dan Angkasa, W.I. 1994. Teknologi Budidaya Rumput Laut. Makalah pada Seminar Pekan Akuakultur V. Tim Rumput Laut BPP Teknologi Jakarta. Jakarta.
LAMPIRAN
61
62
Lampiran 1. Data bobot basah kultivasi Gelidium latifolium (gram) Hari ke-
Ulangan
H-0
1 2 3
H-7
1 2 3
H-14
1 2 3
H-21
1 2 3
H-28
1 2 3
H-35
1 2 3
H-42
1 2 3
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Perlakuan 3
Perlakuan 4
Perlakuan 5
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3.09
3.15
3.25
3.13
3.09
3.1
3.17
3.19
3.09
3.08
3.07
3.2
3.22
3.1
3.14
3.11
3.24
3.17
3.15
3.16
3.07
3.18
3.22
3.14
3.1
3.11
3.15
3.2
3.2
3.12
3.21
3.35
3.44
3.27
3.19
3.2
3.39
3.34
3.22
3.22
3.19
3.45
3.46
3.29
2.83
3.18
3.43
3.39
3.32
2.41
3.22
3.37
3.47
3.28
3.25
3.14
3.32
3.45
3.31
3.23
3.35
3.66
3.52
3.45
3.23
3.38
3.5
3.49
3.37
3.28
3.31
3.6
3.75
3.41
2.85
3.27
3.69
3.64
3.43
2.5
3.34
3.63
3.76
3.46
3.32
3.26
3.5
3.73
3.47
3.36
3.42
3.92
3.71
3.54
3.35
3.53
3.79
3.86
3.49
3.5
3.5
3.63
3.84
3.71
2.92
3.34
3.9
3.77
3.8
2.53
3.5
3.89
4.03
3.55
3.29
3.43
3.74
4.11
3.49
3.3
3.51
4.11
3.9
3.57
3.39
3.54
3.95
4.14
3.53
3.57
3.47
3.67
4.02
3.88
2.96
3.43
4.04
3.79
3.9
2.64
3.58
3.99
4.18
3.44
3.34
3.42
3.8
4.25
3.67
3.33
3.55
4.17
4.14
3.62
3.42
3.6
4.06
4.27
3.56
3.6
3.51
3.87
4.12
3.93
3.04
3.49
4.14
3.91
3.96
2.73
3.63 3.48
4.03 3.89
4.23 4.29
3.38 3.53
3.41 3.35
63
Lampiran 2. Data bobot basah rata-rata kultivasi Gelidium latifolium (gram) Hari keH-0 H-7 H-14 H-21 H-28 H-35 H-42
Perlakuan 1 3.00 3.09 3.19 3.32 3.45 3.49 3.54
Perlakuan 2 3.00 3.18 3.39 3.60 3.81 3.93 4.03
Perlakuan 3 3.00 3.21 3.43 3.65 3.89 4.05 4.16
Perlakuan 4 3.00 3.14 3.28 3.43 3.60 3.67 3.66
Perlakuan 5 3.00 3.12 3.02 3.09 3.15 3.21 3.26
Lampiran 3. Data selisih bobot basah rata-rata kultivasi Gelidium latifolium (gram) yMinggu ke M1 M2 M3 M4 M5 M6
Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3 Perlakuan 4 0.0917±0.02 0.1817±0.03 0.2083±0.03 0.1350±0.04 0.0983±0.04 0.2033±0.03 0.2167±0.04 0.1467±0.03 0.1283±0.03 0.2117±0.08 0.2233±0.09 0.1500±0.03 0.1350±0.05 0.2150±0.09 0.2383±0.11 0.1650±0.14 0.0383±0.05 0.1150±0.09 0.1600±0.12 0.0683±0.140 1.0517±0.01 0.1000±0.06 0.1133±0.07 -0.0017±0.08
Perlakuan 5 0.1150±0.03 -0.0933±0.37 0.0683±0.04 0.0583±0.09 0.0567±0.10 0.0533±0.03
Lampiran 4. Data laju pertumbuhan harian Gelidium latifolium (%) Minggu keM1 M2 M3 M4 M5 M6
Perlakuan 1 Perlakuan 2 0.43±0.01 0.44±0.03 0.48±0.06 0.45±0.03 0.43±0.03 0.40±0.03
0.84±0.15 0.86±0.10 0.86±0.06 0.82±0.04 0.77±0.07 0.70±0.05
Perlakuan 3 0.96±0.06 0.95±0.07 0.93±0.17 1.06±0.14 0.85±0.11 0.78±0.07
Perlakuan 4 Perlakuan 5 0.63±0.14 0.64±0.07 0.64±0.04 0.69±0.13 0.57±0.15 0.47±0.16
0.54±0.15 0.02±0.85 0.12±0.58 0.51±0.44 0.18±0.33 0.19±0.25
64
Lampiran 5. Data laju pertumbuhan relatif Gelidium latifolium (%) Minggu ke- Perlakuan 1 M1 3.01 M2 6.1 M3 10.08 M4 14.07 M5 15.17 M6 16.64
Lampiran 6. Jumlah Hari ke3 6 9 13 16 19 23 26 29 33 36 39 42 Rata-rata
Perlakuan 2 5.88 12.07 18.13 23.94 26.90 29.42
Perlakuan 3 Perlakuan 4 6.71 13.25 19.53 25.84 29.88 32.66
4.44 8.97 13.44 18.09 19.83 19.82
terlarut pada kultivasi Gelidium latifolium (mg/L)
Perlakuan 2 22.59 21.71 21.12 23.17 22.00 21.41 22.88 22.29 20.83 22.29 22.00 21.41 19.95 21.82
Perlakuan 3 28.16 26.99 26.99 28.16 27.57 26.99 29.04 28.16 27.57 28.75 28.16 27.28 26.40 27.71
Perlakuan 4 31.97 31.09 29.92 31.39 30.51 29.92 31.68 30.51 28.45 31.39 29.92 27.57 26.69 30.08
Perlakuan 5 35.20 34.03 32.27 36.37 34.03 32.56 34.61 33.15 31.39 37.25 35.49 33.73 31.68 33.98
Perlakuan 5 3.76 0.25 2.48 4.34 8.18 9.91
65
Lampiran 7. Jumlah Hari ke3 6 9 13 16 19 23 26 29 33 36 39 42 Rata-rata
sisa pada kultivasi Gelidium latifolium (%)
Perlakuan 2
Perlakuan 3
9.90 10.00 10.27 9.53 10.00 10.27 9.87 10.13 10.30 10.27 10.47 10.67 10.47 10.16
11.25 11.63 12.00 10.87 11.87 11.53 11.63 11.83 11.87 11.77 11.87 12.07 12.27 11.73
Lampiran 8. Analisis statistik laju pertumbuhan Gelidium latifolium Anova: Two-Factor Without Replication SUMMARY
Count
Sum
Average
Variance
Row 1 Row 2 Row 3 Row 4 Row 5 Row 6
5 5 5 5 5 5
3.393605 2.905547 3.031282 3.529191 2.801609 2.534402
0.678721 0.581109 0.606256 0.705838 0.560322 0.50688
0.047236 0.13822 0.106611 0.059487 0.073232 0.056438
Column 1 Column 2 Column 3 Column 4
6 6 6 6
2.632152 4.855592 5.522412 3.636643
0.438692 0.809265 0.920402 0.606107
0.000769 0.004055 0.009109 0.005724
Column 5
6
1.548838
0.25814
0.046112
df
MS
F
P-value
F crit
0.027785 0.433744 0.009496
2.925986 45.6765
0.038479 8.75E-10
2.71089 2.866081
ANOVA Source of Variation
SS
Rows Columns Error
0.138926 1.734977 0.18992
5 4 20
Total
2.063823
29
66
Uji F(coloumns) atau perlakuan F-crit < F-hitung, Tolak Ho artinya pemberian injeksi
berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan Gelidium latifolium. Stelah itu dilakukan perhitungan CV atau koefisien keragaman dengan perhitungan sebagai berikut:
CV =
x 100%
CV =
x 100% = 16,06% (Uji Ducan)
Uji Ducan (DMRT) Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5
Nilai rata-rata DGR 0.438692072 0.809265278 0.920401972 0.606107109 0.25814
Kode variasi b d e c a
Grafik Sebaran Normal Regresi Laju Pertumbuhan Harian Gelidium latifolium
x = 0.463 - 0.000659 t
67
x = 0.913 - 0.00401 t
x = 1.02 - 0.00486 t
x = 0.698 - 0.00404 t
68
x = 0.322 - 0.00502 t
Lampiran 9. Contoh perhitungan kadar karbohidrat Dik
: V-tiosulfat = 8,62 ml gr sampel = 2 gram = 2000 mg
Dit
: Kadar karbohidrat = …………….?
Kadar karbohidrat = = 19,40% (Kontrol)
Lampiran 10. Kualitas air selama kultivasi Gelidium latifolium Temperatur (°C) Hari ke0 3 6 9 13 16 19 23
P1 27 27 26 27 27 26 26 25
P2 27 27 26 27 27 26 26 25
P3 27 27 26 27 27 26 26 25
P4 27 27 26 27 27 26 26 25
P5 27 27 26 27 27 26 26 25
69
26 29 33 36 39 42
25 26 26 26 26 26
25 26 26 26 26 26
25 26 26 26 26 26
25 26 26 26 26 26
25 26 26 26 26 26
Salinitas (‰) Hari ke0 3 6 9 13 16 19 23 26 29 33 36 39 42
P1 32 32 33 34 32 33 33 32 33 34.5 32 32 33 34
P2 32 32 33 34 32 33 33 32 33 34.5 32 32 33 34
P3 32 32 33 34 32 33 33 32 33 34.5 32 32 33 34
P4 32 32 33 34 32 33 33 32 33 34.5 32 32 33 34
P5 32 32 33 34 32 33 33 32 33 34.5 32 32 33 34
Keasaman (pH) Hari ke0 3 6 9 13 16 19 23 26 29 33 36 39 42
P1 8.2 8.3 8.5 8.6 8.3 8.5 8.7 8.3 8.5 8.7 8.3 8.5 8.7 8.8
P2 8.2 7.5 7.4 7.4 7.5 7.5 7.4 7.5 7.4 7.4 7.3 7.5 7.4 7.4
P3 8.2 7.3 7.2 7.2 7.3 7.3 7.2 7.3 7.2 7.4 7.3 7.3 7.2 7.2
P4 8.2 7.1 7.0 6.8 7.1 7.0 6.7 7.1 7.0 6.7 7.1 7.0 6.7 6.6
P5 8.2 6.6 6.5 6.3 6.6 6.5 6.3 6.6 6.5 6.3 6.6 6.5 6.3 6.2
70
Lampiran 11. Foto-foto selama penelitian
(a)
Sampel Gelidium latifolium
(c) Pengukuran dimensi sampel
(e) Media PDA
(b) Aklimatisasi sampel
(d) Alga parasit pada saat kultivasi
(f) Jarum ose
(h) Hasil isolasi fungi tahap 1
(g) Spirtus
(i) Hasil peremajaan fungi
71
(j) Gelidium latifolium kering
(l)Hidrolisis asam HCL
(k) Sampel untuk hidrolisis
(m) Penambahan Luff Schrool
(n) Penambahan kanji
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 6 Desember 1990 dari ayah bernama Sukendar dan ibu bernama Rustika. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 2008 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas dari SMAN 1 Sumedang dan pada tahun yang sama masuk di Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Semasa menempuh kegiatan akademik di IPB, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan, yaitu Anggota Racana Pramuka IPB 2008-2012, Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa FPIK 2009-2010, Anggota IAAS IPB 2009-2010, dan Anggota Himpunan Mahasiswa ITK 2009-2012. Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Iktiologi 2010-2012, Biologi Laut 2010-2012, Ekologi Laut Tropis 2012-2013, dan Biologi Tumbuhan Laut 2012-2013. Penulis pernah menjadi Mahasiwa Berprestasi Departemen ITK pada tahun 2010, 10 besar Lomba Menulis Energi Terbarukan ESDM, perwakilan Latihan Gabungan Nasional Pramuka se-Indonesia pada tahun 2010 di Universitas Sriwijaya, Sumatera Utara dan tahun 2011 di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Selain itu, penulis pernah mengikuti kegiatan Sailing Practice 2010 di Kepulauan Spermonde serta menjadi pembicara pada kegiatan Konservasi dan Survei Lapangan Himiteka di Kecamatan Parigi, Ciamis.
72