Kumpulan Tulisan :
Logika, Rasa dan Kenyataan
1
2
“Kehidupan itu seperti Bumi, Matahari dan Bulan. Bumi adalah Kenyataan yang setiap hari diselingi siang dan malam. Logika adalah Matahari yang mampu menyingkap kegelapan menjadi nyala siang, sedang Bulan adalah Rasa yang mampu hadir agar tidak terlalu kelam ketika datang gelap malam.”
3
Logika : Bagian I Saya, Tunas Muda dan Bangsa
“ Saya masih terlalu liar untuk menjadi pancang, terlalu riak untuk menjadi tenang, terlalu lantang untuk menjadi bisu, terlalu senang untuk menjadi sedih, terlalu hidup untuk menjadi mati, terlalu ingat untuk menjadi lupa, terlalu ranum untuk menjadi busuk, terlalu jaga untuk menjadi tidur dan saya terlalu dini untuk menjadi tua. Itu semua karena saya orang muda.”
4
Tersenyumlah Ibu Pertiwiku Sayang, Meski Hanya Sejenak Si cantik ibu pertiwi tampak sangat bahagia, tersenyum kasmaran sebagaimana seorang gadis muda yang jatuh cinta pada seorang pemuda yang gagah, bersuara indah dan memainkan gitar didepan rumahnya. Bagaimana tidak, karena ketika pertengahan agustus tiba, ribuan nada dan tulisan tampak begitu menyanjungnya. Ada yang menunjukkan kemolekannya, dan banyak yang meluapkan rasa cintanya pada si ibu muda yang indah nan rupawan ini. Meski sudah 66 tahun, ibu ini masih tergolong muda, jika dibandingkan ibu-ibu pertiwi lain di belahan dunia yang jauh dari sini, dari nusantara. Ah, janganlah kau tanya indahnya sanjungan puisi para musisi di televisi, ketika pertengahan agustus tiba. Di atas panggung yang megah ribuan nada indah akan dilantunkan dihiasi hiasan merah putih cantik sebagaimana warna kesukaan si ibu pertiwi. Ah, jangan pula kau tanya ramainya suasana di bulan ini, dari anakanak kecil hingga veteran-veteran tua pun bergembira. Ada yang tertawa berlumuran oli sembari memanjat pohon pinang, dan ada pula anak-anak kecil yang lucu berlarian sembari sendok dan kelerang diapit oleh bibirnya. Ah, sungguh meriah dan indahnya saat-saat ini,
5
menjadi kenangan indah bagi siapa saja, bagi semua anak ibu pertiwi. Ketika pertengahan agustus pun perlahan berlalu, aku tak tega memandang wajah ibu pertiwiku ini. Tawa dan senyum indah kasmaran itu pun perlahan berlalu, lenyap, digantikan raut murung sedih dan terkadang marah. Lantas seperti tidak peduli, anak-anaknya hanya pergi lalu saja, meninggalkannya di depan jendela dengan perasaannya campur aduk, kalut dan penuh rasa kecewa. Lantas mengapa kau menangis ibuku tersayang? Tanyaku sesaat kala kulihat dia di jendela televisi di pagi hari, sembari sepotong roti ini kulahap untuk mengisi perut yang sejengkal ini. Kudengar dengan teliti setiap curahan hatinya, tentang kecemburuannya, tentang kesedihannya dan tentang kemarahannya. Dia menangisi anak-anaknya yang menipunya dan membuatnya terbakar cemburu, ketika mengingat pertengahan agustus, banyak mereka menyanjungnya dan memujinya bahkan ribuan kata cinta dan pengorbanan diluapkan. Tapi apa daya, mereka yang bernyanyi dan berpuisi itu lebih memilih pada hasil karya ibu lain, bangga akan produk luar negeri seakan mengacuhkan halusnya batik dan kain ulos hasil tenunan sang ibu sendiri. Kain-kain indah yang dia tenun dengan air mata kepedihan melihat anak-anak pedalaman yang tak mengenyam pendidikan. Ibu mana pula yang tidak cemburu jika anaknya lebih menghargai orang lain 6
daripada dirinya, tak bersyukurkah dia memiliki ibu seindah ini? Hingga lebih memilih menikmati liburan diluar negeri daripada beningnya Danau Toba atau coraknya warna Kelimutu. Belum lagi anak-anaknya yang berkelompok yang mengaku soleh beragama namun hanya menimbulkan perpecahan diantara sesama keluarganya, keluarga satu ibu, ibu pertiwi. Mereka memperagakan kekerasan, menimbulkan kebencian dan yang paling menyedihkan menodai persatuan dan kesatuan yang indah dalam keberagaman. Tahukah dia berapa nyawa yang melayang mengusir belanda dan jepang dari tanah ini? Lalu, tak dirasanyakah rasa sakit para jiwa-jiwa pejuang melihat kemerdekaan yang indah ini diisi dengan kebencian demi kebencian, kekerasan yang melukai kemanusiaan? Janganlah kau terus menangis oh ibuku sayang, jangan kau tangisi semua kepedihan ini. Aku tahu sudah cukup hancur hatimu yang suci itu, melihat sandiwara anakanakmu di televisi. Dalam berbagai kata manis mereka membagikan janji-janji kejayaan ketika pesta demokrasi tiba, tapi kini satu tanah air pun hanya menuai maraknya drama korupsi. Begitu maraknya dan menegangkannya drama-drama itu, membuat penasaran, memacu andrenalin dan menciptakan polemik seperti membaca novel atau menonton film laga. Tak ada yang berubah, betapa banyakpun janji yang para petinggi itu ucapkan, hanya menambah satu demi satu drama yang mulai 7
terungkap dan disajikan meriah di televisi, tiap jam berita-berita itu menambah susahnya hidup para penghuni pinggiran jalan. Ya sudahlah ibu, kini pertengahan agustus pun akan segera tiba lagi. Usapkanlah air matamu sejenak, dan mulailah dengar dan lihat kata-kata cinta dan kejayaan yang akan disajikan indah lagi ditelevisi. Lupakanlah sejenak semua kesusahan itu. Sejenak, ya meskipun sejenak, setidaknya tak sepanjang tahun air mata itu mengalir.
8
Mahasiswa Etalase Kampus ini kumpulan orang hebat, para alumninya tidak sedikit jadi pejabat dan banyak pula yang jadi konglomerat. Persaingan disini berat, dan semua orang pun seakan-akan punya pangkat yang berperingkat. Jika kau tak punya jaket berseragam atau simbol-simbol himpunan mahasiswa, maka sulitlah keberadaanmu untuk kami anggap. Kami tidak peduli betapa kau punya banyak gagasan yang hebat, selama kau tidak menjabat, maka jangan salahkan jikakau kami sebut “bacotan”. Entahlah karena kami memang malas berpikir, tapi memang lebih keren tampaknya jika punya banyak sertifikat dibandingkan banyak baca buku-buku berat. Jangan macam-macam dengan kami kalau kami sudah berkumpul dengan jaket berseragam. Tak peduli kau siapa, kau harus berikan kami jalan,apalagi kalau sudah tiba saatnya wisudaan. Asal-asal kau bisa kami hantam, dan wajahmu nanti kami buat remuk redam. Entahlah mungkin karena kami tak tahu lagi cara menunjukkan militansi pada organisasi, tapi memang mudah kalau cuma hanya adu jotos dan tendangan kaki. Kami aktif disana dan disini, soal esensi hampir pasti kami tak peduli, karena memang begitulah orang bisa dipandang di kampus ini. “Eksis”adalah kata yang sering kami pakai untuk melabeli setiap mahasiswa dan mahasiswi. Kau akan diukur hanya dengan lembaran 9
kertas bernama CV, tak perlu panjang lebar berbagi gagasan, karena kami tak peduli. Terlalu berat dan menghabiskan waktu membaca buku Pramoedya atau Tan Malaka, terlalu rumit untuk mengikuti kisah Soe Hok Gie. Cukuplah daftar kepanitiaan, kumpul rapat, lalu pulang pukul sepuluh tepat. Maka, sekelilingmu akan meneriakkan “Lo hebat!”. Jaman telah banyak berubah kawan, disini sudah banyak mahasiswa dengan mobil buatan Jerman. Sesekali kami meneriakkan anti kemiskinan namun tetap saja yang kami kenakan harganya ratusan ribuan. Kami membeli barang-barang asli buatan luar negri, tandanya kami punya selera tinggi. Peduli setanlah dengan cinta produk dalam negeri, karena kalau pakai barang palsu meskipun buatan dalam negeri nanti kami kena caci maki. “Lo kok mau sih pakai barang KW-an, mau jadi bahan ketawaan?”. Kami bisa mengundang band-band terkenal untuk tampil diacara kepanitiaan, itupun acaranya surplus belasan jutaan. Proposal-proposal kami mudah untuk diterima perusahaan, karena satu dua orang diantaranya pasti ada keluarganya yang punya jabatan. Peduli amatlah dampaknya apa ke masyarakat, yang penting publikasi gila-gilaan, dananya besar dan ditutup dengan artiskelas berat. Semua organisasi saling adu gengsi, kalau bisa iklan acaranya sampai ke televisi. Pokoknya kabar-kabar
10
acaranya harus santer, jadi pokok bahasan laris di facebook dan twitter. Kami adalah mahasiswa etalase, yang menganggap dialektika itu hanya sesuatu yang klise. “Vini, vidi, vici”, kami datang, kami menang, kami pulang. Jabatan lengkap, nilai mengkilap, punya pacar dan nanti keperusahaan besar untuk melamar. Masa kuliah hanya mempercantik CV, agar dijajakan pada saat interview nanti. Kamimahasiswa etalase, yang menjual diri kami nanti ke depan para korporat yang terhormat. Tapi sebelum tiba saatnya untuk itu semua, mari sejenak kita teriakan“Demi Tuhan, bangsa dan almamater !”. Sekian.
11
Monolog Pagi Hari - Sebuah Kutukan Sebuah Kutukan Pagi ini, aku melihat berita di televisi, katanya Indonesia juara dua Olimpiade sains internasional. Pembawa berita memulai beritanya dengan segaris tanggung senyum bangga yang tak mampu disembunyikannya, atau mungkin sengaja dibuatnya hingga tidak utuh terlihat. Betapa hebatnya anak-anak itu, mampu menang melawan anak-anak negara maju dengan sistem pemerintahan yang lebih bersih dan adil. Di Eropa sana, mungkin tidak ada tilang yang bisa dilobi, bahkan di Jerman kudengar sekolah itu gratis dan tidak bayar. Tidak seperti disini, bahkan contekan ujian nasional, guru yang memberi, tidak lagi sembunyi-sembunyi. Aku bayangkan negara Amerika Serikat, yang punya badan antariksa NASA. Mereka bahkan mencari ilmu bukan sampai ke negeri cina, tapi sampai ke sudut jagat raya yang jaraknya jutaan tahun cahaya. Atau coba kualihkan pikirku ke Eropa, yang membuat laboratorium antar negara untuk memecah elektron dan proton, intisari semua benda. Hebat luar biasa artinya Indonesia, dengan caruk maruknya mental pemimpinnya, mampu menghasilkan generasi muda terbaik dunia. Jaman dahulu para pengembara dunia datang ke Nusantara, ada yang dari Arab, Cina dan Eropa. Mereka
12
hebatnya menjadi kaya raya di tanah yang bukan negerinya, bahkan sebuah bangsa bernama Belanda mendirikan pemerintahan ala mereka. Tidak tanggungtanggung pula, tiga ratus tahun lamanya, memerintah dengan seenak udel mereka. Oleh mereka, penduduk asli nusantara di labeli pribumi, diperlakukan berbeda seakan-akan terlahir dengan harkat martabat dibawah kaki. Mengambil hasil bumi nusantara, menikmatinya dan mengatur penduduknya pula. Kalau kita coba mundurkan sedikit lagi ke belakang, sebenarnya keadaan pun tidak jauh berbeda. Tidak dengan serta-merta nusantara kaya ini seperti surga, penduduknya memakan nasi hasil sawahnya dengan ikan segar dari lautnya sembari bernyanyi sukacita, bebas merdeka. Paduka Raja adalah segalanya, atas nama sucinya darahnya, semua wanita dapat dimilikinya dan seluruh kota dan desa bertebar tanah miliknya. Raja membangun istana khusus wanita rampasannya dari kerajaan-kerajaan kecil tetangganya, sekali dua kali entah itu rakyatnya atau bukan akan dia penggal kepalanya jika berani berpikir melawannya. Ya, itulah manusia yang tak pernah lepas dahaganya akan kuasa. Jika ditambah rakyatnya yang lugu (kalau tak mau dibilang dungu), bermental babu dan tidak banyak tahu. Maka, tirani tangan besi sudah siap tersaji, ditambah awet pula antar generasi.
13
Lalu, kurang apa coba Indonesia ini? Bukankah rakyatnya kini tidak lagi bodoh dan lugu, apalagi di jaman informasi seperti ini. Bahkan Olimpiade tingkat dunia Indonesia meraih banyak mendali. Atau mungkin masih bermental babu? Ah, jelas sekali tidak! Mana ada babu yang membuang sampah di kalinya sendiri, dan menunggu orang lain yang nanti membersihkannya untuk dirinya. Justru semuanya bermental raja, bahkan anak-anak SMA saja kini sudah sesuka hatinya memukuli para pencari berita dan diumumkan pula di dunia maya. Seperti kalau raja sesudah memenggal seorang kacung, kepalanya segera digantung agar dilihat orang ramai matanya dicongkel dan dimakan burung. Lalu, dari keluarga terkutuk mana pula lahir para pesakitan negeri ini? Para pelaku korupsi yang ongkangongkang kaki, mafia keadilan, pengusaha-pengusaha penghancur lingkungan dan manusia-manusia terkutuk lainnya yang berbuat semena-mena namun masih bisa menari berlenggang leha-leha. Kalau dulu tirani dan penjajahan datang dari rakyat bodoh, bermental babu dan hanya bisa berdiam diri. Lalu, apa yang terjadi kini? Siapa pula yang melahirkan kondisi buruk hancur seperti ini? Terkutuk betul-lah semua pejabat brengsek negeri ini, serta yang daripadanya-lah mereka semua menjadi seperti ini. Oalah, segala ampun bagi-Mu ya Gusti. Hamba-Mu yang satu ini tidak dengan cepat untuk segera sadar diri. 14
Sudah dari tadi, hamba-Mu ini tak berhenti mengutuki, namun baru mengerti itu semua tertuju kembali pada diri ini. Betapa lebih buruk dari masa penjajahan dan kerajaan, rakyat yang ada sekarang ini. Tidak bodoh dan tidaklah pula bermental babu, namun lebih hina, yakni bermental pencuri, mau menang sendiri dan tak lagi punya kehormatan diri. Bagaimana pula bermimpi pejabat tidak korupsi, kalau hanya membuat SIM saja maunya tidak perlu repot antri. Tinggal kasih tunai, semua perkara selesai tanpa perlu ikut tes beramai-ramai. Ada pula yang palsukan dokumen sana-sini, agar terhitung sebagai penerima subsidi. Sudahlah, semakin disebut maka semakin malu pula diri ini, sudah sok jagoan mengutuki. Jelaslah sudah dari mana lahirnya para pesakitan negeri ini, kalau bukan karena rakyatnya sendiri yang bermental pencuri. Seenak udelnya tunjuk jari sana-sini padahal akar masalahnya ada dibalik cermin kamar mandi. Tidaklah kurang hina para pejabat korupsi, namun kalau cuma dicaci maki tak ada sejengkal keadaan pun yang akan berganti. Kalau benar mau melawan, bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Masing-masing kita mulai jujur pada keadaan dan mengubah diri secara perlahan, dengan restu Ilahi bukan tak mungkin semua keburukan ini diakhiri. ***
15
Kepalang tanggung juga, kutuk sudah keluar dari tadi, sekalian saja kuluapkan lagi. Terkutuklah para rakyat bermental pencuri (mungkin seperti aku ini), agar menjadi “seperti babi”, biar pun makan dari lumpur tanah, asal tidak memangsa kawanan sendiri. Agar menjadi “seperti cacing kuburan”, meski tinggal dengan bangkai orang mati, namun karenanya tumbuh subur ditanahnya indah mekar melati.
16
Lika-Liku Para Maskulin Kami memang tidak begitu rapi, terkadang beberapa pakaian kotor terletak diatas meja kerja bergabung bersama makan malam. Tapi itu semua, karena kami tidak terfokus pada hal-hal kecil melainkan pada suatu hal besar yang kami kerjakan pada meja tersebut. Kami memang tidak begitu bersih, terkadang debu jok sepeda motor itu cukup tebal untuk membekas pada celana jika diduduki. Itu karena kami lebih terpaku mendengar suara mesinnya dibandingkan memperhatikan celana kami yang mendudukinya. Kami merawat kendaraan bukan dengan lap dan kemoceng, melainkan dengan kunci dan minyak oli, agar lajunya tetap secepat hasrat kami dalam menjalani hidup ini. Beberapa dari kami memang punya kebiasaan buruk, yakni menghisap asap hasil bakaran daun tembakau yang kering. Hal tersebut tidak baik untuk kesehatan, meski media sekarang sudah menggambarkan produk hasil alam itu dengan berlebihan. Itu karena kami lebih mengutamakan bagaimana hidup tersebut dinikmati bukan pada panjangnya waktu yang dijalani. Kami menyukai berdiskusi, karena itulah kelebihan kami. Kami mampu bertukar pendapat tanpa perlu banyak dipengaruhi perasaan. Diskusi kami lebih banyak merupakan aliran logika yang lancar namun tenang,
17
bukan seperti derasnya emosi perasaan yang sekejap, lalu hilang. Kami tidak suka berkomentar dan menyibukkan tentang hal-hal kecil didalam rumah, tentang jumlah gelas ataupun letak televisi. Kami lebih memilih membaca buku diteras rumah sembari segelas kopi menemani. Bukan karena kami tidak peduli, karena bagi kami sisa waktu yang ada akan terasa sia-sia jika hanya untuk halhal kecil dan mempersingkat waktu yang seharusnya bisa kami nikmati. Itulah kami dan dunia kami yang sebenarnya tidak terlalu sulit dimengerti, dan tak seburuk yang teramati. Karena apa jadinya dunia tanpa kami? Jika semua orang memperhatikan letak kain kotor di meja kerja, maka siapa yang memperhatikan apa yang dikerjakan di meja kerjanya? Jika kendaraan-kendaraan itu tampil bersih mengkilap namun tidak bisa dijalankan, lalu apa lagi gunanya? Dan ini semua bukan tentang laki-laki, hanya sepenggal cerita atas apa yang biasa disebut maskulin. Mungkin banyak laki-laki yang demikian, namun tidak sedikit pula yang sebaliknya.Sekilas lalu akan tempak seperti pembenaran, tapi ini hanya sebuah cerita.Cerita yang mungkin tak semua tahu, bahwa dibalik keburukankeburukan itu terletak sebuah kebijaksanaan yang sederhana, yang tanpanya keadaan tidak akan sebaik yang dipikirkan.
18
Dirimu dan Dunia dalam Berita Aku mengutuki kepengecutanku, karena tak berani mengungkapkan bahwa aku sungguh peduli padamu. Sama seperti anak TKI di dusun kumuh, yang mengutuk pemerintah membiarkan wajah ibunya disulut cerutu. Kita sudah lama saling mengenal, wahai perempuan cantik berhati keras. Sudah selama lumpur sidoarjo yang mengental, lalu dibiarkan, tak berkutik dan berakhir naas. Aku membenci malam sendu yang tak terhindarkan, yang telah melayangkan paras manismu diatas kamar. Seperti membenci para guru yang harusnya mengajar kebenaran, malah dengan jelas mengajari menipu tanpa samar. Harusnya aku sudah mengajakmu jalan, bukan termenung diam tanpa harapan. Sebagaimana harusnya rakyat desa memberi perlawanan, melihat hutannya diraung-raung pengusaha sialan Aku terlalu terbuai dengan lagu-lagu melankolis dan sebuah gitar ini. Seperti anak muda terlena kemewahan palsu, disajikan manis indah di televisi. Sayangku, aku geram dengan semua pemendamanku padamu akan sebuah cinta. Begitu pula 19
aku tetap diam menyimpan amarahku ketika melihat acara berita Lalu aku bisa apa? Kau dan berita ini sama saja.. Membuatku diam terpaku, meski tahu harus melakukan sesuatu.
20
Maaf Ibu, Anakmu pulang terlambat waktu Ibu, sabarlah dahulu karena kini bukan waktuku Aku pulang terlambat waktu, tapi yakinlah ku tak sedang lilu Hanya tersandung satu dua batu dijalan lurus itu Masih ada yang harus aku kejar, Ibu Janganlah kau takut, aku pasti akan pulang kepadamu
Semusim lagi aku berjanji pada langit dan bumi Ku kan sampai diujung jalan mesti harus dengan berlari Sekali-kali mungkin ku akan berhenti Tapi hanya untuk mengenang ujung jalan yang menanti Disana senyum tawa kan ku luapkan dari dasar hati
21
Anakmu tidak sedang terlambat, hanya butuh waktu yang tepat Jalanku mungkin sedikit lebih panjang, itu semua bukan tanpa alasan Karena nanti ketika aku datang, gemakanlah pada seluruh daratan "Anakku telah datang menginjak bumi, cendikiawan muda bangsa pilihan Yang tidak bermimpi hanya jadi pekerja, dirantai dan diikat lehernya Tapi ditangannya ada seberkas asa, agar keadaan ini tak lagi sama"
22
Logika : Bagian II Nalar, Agama, Budaya dan Petuah Bijaksana
“Tuhan itu ada di semua masa dan di semua ruang. Dia juga ada dalam setiap pikiran, hati dan jiwa manusia yang mengabdikan dirinya pada kedamaian sesama dan lingkungannya”
23
Penyesalan Seorang Kristen Muda “Aku seorang pengecut yang memuji-Mu ya Tuhan dan seorang manja yang terus mengeluh padamu, oh Ibu Pertiwi.”
Aku adalah seorang mahasiswa, seorang muda yang sedang belajar untuk mempersiapkan diri agar kelak dapat berguna bagi semua orang di sekitarku, dan bangsaku Indonesia. Jika ada yang bertanya, aku menjawab aku adalah seseorang berkeyakinan pada Kristus, karena aku tidak terlalu suka disebut beragama kristen, mungkin karena di negeriku ini agama telah dipakai dengan salah oleh manusia-manusia yang tidak memanusiakan dirinya. Meski kerap kali orang lain berkata bahwa manusia-lah yang salah bukan agamanya, tapi tetap saja aku tidak nyaman jika disebut beragama. Anggap saja aku terlalu verbalis, tapi yah mau bagaimana lagi. Aku lebih nyaman dikatakan berkeyakinan pada kristus daripada disebut pengikut Kristus, sebagaimana arti harafiah kata "kristen". Karena, aku masih mengutuki diriku sendiri, yang sama sekali tidak menunjukkan mengikuti perilaku kristus. Karena bagiku bukan dengan melantunkan pujian dengan mulut dan doa-doa panjang sembari hati bergetar hebat saja yang menunjukkan perilaku Yesus. Aku tahu persis, Yesus adalah pembebas dan dia datang untuk membebaskan, dimana aku menemukan diriku seringkali hanya berhenti sampai titik 24
mendoakan dan bernyanyi dibanding membebaskan. Yesus mendatangi orang lumpuh dan kusta yang ditinggalkan, menginap di rumah pemungut cukai yang korup dan bukan menginap di bait suci sembari bernyanyi dan memuji. Jika hanya berdoa, ada baiknya aku menyebut diriku sebagai pengikut farisi dibandingkan dengan disebut pengikut Kristus. Jika hanya bernyanyi ada baiknya aku menyebut diriku biduan. Aku juga tidak nyaman disebut negarawan atau pemuda bangsa, sebut saja aku seorang muda warga negara Indonesia. Karena yang kutahu hanya memakan subsidi dengan kuliah berbiaya rendah serta bantuan dari negara yang lain. Cuma bensin motorlah aku memilih tak disubsidi tapi kalau kepepetpun aku beli premium juga. Tapi hinanya, aku ini sukanya hanya mengeluh, yang tentang sistem yang koruplah, hukum yang gak ditegakkanlah dan kekerasan berkedok agamalah. Jika hanya mengeluh ada baiknya aku menyebut diriku, seorang muda warga negara Indonesia yang kekanakkanakan. Jika hanya menerima subsidi ada baiknya aku menyebut diriku si miskin yang ditanggung negara, ya karena memang aku ini miskin karya pada negara. Aku hanya mengumbar kejelekan bangsaku sendiri dan takut untuk terjun kedalamnya dan mengubahnya. Padahal bagaimana mungkin sesuatu berubah jika hanya dibicarakan dari luar, sedang para pemimpin kita yang korup itu tertawa bergelimang uang? Padahal pula aku
25
tahu persis bahwa Yesus turun ke dunia dan menebus dosa adalah sebuah perubahan dari dalam, bukan hanya dengan menunggu manusia yang berdosa mati dan meninggalkan dunia untuk dia lempar kedalam kebinasaan. Aku ini juga adalah seorang muda yang tua bangka, hidup hanya dalam kisah-kisah kuno para nabi dan pendiri bangsa. Ketika SD aku membaca kisah hebat seperti daud, samuel, yosua dan banyak tokoh lain yang mengubah nasib bangsanya Israel. Ketika SMP, aku membaca habis buku tentang kehidupan Muhammad Hatta, seorang pendiri bangsa yang kukagumi karena ilmu yang dipelajarinya dia baktikan untuk bangsa. Tapi, sudah satu dekade sejak buku itu kubaca tak juga aku mengikutinya sebagaimana aku tak juga pernah mengikut Kristus dan kisah para nabi dalam Alkitab. Semoga ini hanya diriku saja, karena jika tidak betapa malangnya bangsa ini, betapa terancamnya kekristenan. Semoga juga aku bisa beranjak dari mengutuki diri ke tahap mengubah diri dan tak lagi malu pada apa yang seharusnya aku katakan ke orang lain tentang siapa diriku sebenarnya. Bahwa aku bukanlah seorang pengecut yang memuji Tuhan dan seorang manja yang mengeluh pada Ibu Pertiwi.
26
Berkenalan dengan Setan Dahulu, aku pernah mendengar sebuah cerita tentang setan disebuah persekutuan. Konon, bahwasanya setan itu sangatlah picik dan cerdik, bersembunyi dalam kodekode rahasia dan dalam simbol-simbol yang ada di kehidupan manusia. Bacalah Alkitab lalu kau akan tahu wujud setan seperti apa, dia adalah seekor ular naga yang besar dan dia pula manusia yang bertanduk seperti seekor kambing jantan. Setan ini mengelabui manusia, menjelma dalam wujud berhala-berhala yang disembah manusia, menjadi patung-patung yang ada diberbagai kebudayaan dan tempat. Bahkan, salah seorang pernah berkata bahwa dia mengenal seseorang teman yang diurapi roh kudus sehingga mampu melihat roh-roh jahat itu udara. Dia melihat roh-roh itu berkumpul di patungpatung besar, bergerombol dalam berbagai wujud. Sebut saja roh kesombongan, dia memiliki tanduk yang besar, lalu disana terdapat pula roh percabulan yang berkeliaran tanpa busana dan menghingapi manusia disekitarnya. Kau harus menjauhkan segala wujud benda berhala agar tidak ada dalam rumahmu, dalam kamarmu, agar hendaknya roh-roh itu tidak berada disekitarmu. Guciguci bergambar naga, patung-patung berbentuk kambing jantan, dan legenda-legenda lainnya yang merupakan buah karya iblis yang berusaha menjauhkan manusia dari Tuhan Allah semesta alam.
27
Dua paragraf diatas adalah sebuah kilasan mengenai suatu pengertian tentang setan, lucifer, bintang timur, atau apapun nama-nama dibalik sosok yang kita kenal sebagai bapa segala dosa tersebut. Pengertian tersebut tampak alkitabiah sekali, tampak begitu mistis sehingga tak sulit bagi kita untuk terciut hati dan takut. Tapi tak semua hal tersebut benar, bahkan telah berkembang menjadi suatu ketakutan yang dangkal yang memberangus kebudayaan. Maka apa jadinya jika semua guci-guci kebudayaan cina yang bergambar naga akan dimusnahkan? Lalu apa jadinya jika ornamen gorga batak bernama singa-singa yang bergambar kerbau dengan dua tanduk besar dibakar dalam api-api besar yang dinyalakan atas nama "tuhan"? Akan tiba suatu saat, dimana kebudayaan-kebudayaan yang indah itu hanya akan menjadi ingatan yang hilang seiring generasi yang berlalu. Pernahkah anda mendengar legenda skotlandia, tentang sebuah mahluk bernama faun yang berbadan manusia dengan kaki rusa dan tanduk serta telinga kambing jantan? Tampak menyeramkan bukan? Namun, dalam legenda diceritakan bahwa faun adalah perwujudan roh hutan dan alam yang akan membantu manusia jika mereka mampu menjaga hutan dan alam disekitarnya. Bagiku, faun justru tampak seperti malaikat, ketika melihat manusia yang justru dengan rupa yang sangat tampan menebangi hutan, membunuh hewan-hewan liar, lalu mendirikan mal-mal besar dan yang mungkin didalamnya didirikan gereja (hanya kiasan).
28
Kini, terciptalah suatu ajaran yang simbolis, yang tanpa pernah mencoba menggali sesuatu lebih dalam dengan gampangnya menunjukkan jari kearah ini dan itu sebagai perwujudan dari sosok setan. Suatu keyakinan yang imajinatif dan tidak logis, yang berusaha mewujudkan sosok-sosok setan dalam wujud fisik dibandingkan melihat tingkah laku manusia yang justru lebih menyerupai setan dibandingkan kayu-kayu ukiran dan lukisan-lukisan peninggalan leluhur yang justru sebenarnya memiliki arti yang luhur. Manusia memiliki berbagai ragam kebudayaan sebelum agama datang menyentuh mereka. Kebudayaan itu tercipta dari hasil olah pikir mereka dan dilukiskan dalam wujud-wujud imajinasi mereka. Dalam mitologi cina, naga adalah wujud daripada roh-roh orang suci sebelum beranjak ke surga. Namun, dalam mitologi batak yang dipengaruhi hindu, naga padoha adalah sosok kejahatan yang dikisahkan selalu berseteru dengan batara guru seorang dewa yang melambangkan kebaikan. Dalam Alkitab, naga digambarkan sebagai perwujudan setan saat dihukum dan dijatuhkan ke bumi. Gambar-gambar itu (dalam kebudayaan-kebudayaan) hanyalah sebuah kiasan, yang akan berbeda-beda pada masing-masing kebudayaan. Namun, hal yang sejatinya luhur tidak lagi dapat dilihat dikarenakan huruf-huruf dalam kitab suci yang ditelan bulat-bulat, dan keindaha budaya yang tidak lagi didalami. faun hanyalah sebuah kiasan orang-orang skotlandia agar generasi dibawahnya
29
menjaga hutan dan alamnya karena hal tersebut akan membantu mereka dalam kehidupannya dan akan merugikan mereka ketika hutan gundul dan bencana longsor melenyapkan rumah-rumah mereka. Mereka menggambarkannya dengan kaki rusa, telinga dan tanduk kambing merujuk pada hewan-hewan yang ada di hutan-hutan mereka. Penyembahan pada sosok-sosok tersebutlah yang menjadikannya berhala bukan pada wujud fisiknya. Jadi kelak, biarkanlah legenda-legenda itu tetap ada menjadi imajinasi-imajinasi yang mewarnai masa kecil anak-anak kita , sembari mereka menangkap pesan luhur dibaliknya. Biarkanlah guci-guci dan ukiran-ukiran indah itu menghiasi rumah kita dan mengingatkan kita betapa eksotisnya kebudayaan itu. Lalu ketika ditanya, seperti apakah wujud setan itu oleh anak kita kepada kita kelak. Maka jawablah, wujudnya seperti traktor-traktor besar yang menghabisi hutan tanpa ampun, seperti pejabat-pejabat berjas yang mencuri uang-uang rakyat dan seperti apa yang kau lihat dicermin "nak", ketika kau mulai jauh dari firman Tuhan dan membiarkan kesombongan, keserakahan, ketidakpedulian akan sesama dan hal-hal keji lainnya menjadi satu dalam dirimu.
30
Satu Gema Dalam Pelestarian Budaya
Manusia dalam perkembangannya menciptakan suatu kebudayaan yang corak dan unik di seluruh belahan dunia, menjadi salah satu kekayaan dunia yang indah ditengah-tengah kemerosotannya yang tak lagi mampu dipungkiri. Manusia tidaklah mampu hidup selamanya, setiap generasi akan gugur dalam waktu yang tiada mungkin dihentikan dan bertunas pulalah generasi baru. Setiap zaman punya keunikannya sendiri, sehingga kebudayaan pun akan semakin berkembang, mungkin semakin kaya atau mungkin semakin bergeser dan kehilangan makna luhurnya. Budaya adalah seluruh total pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakal kepada nalurinya dan yang hanya dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar, begitulah Koentjaraningrat berusaha merumuskannya. Sebagaimana ilmu, budaya adalah hasil proses belajar manusia yang sudah terjadi sejak manusia ada, mungkin ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu. Sebagaimana itu pula, proses belajar itu dilakukan oleh manusia sejatinya untuk mensejahterakan dirinya dan orang lain atau masyarakatnya sesuai dengan pemahaman dan kearifan di jamannya. Satu gema yang dapat kita tangkap adalah bahwasanya budaya ada untuk mesejahterakan manusia baik untuk dirinya maupun masyarakatnya serta lingkungan
31
tinggalnya. Satu gema ini akan mampu kita tangkap dalam setiap kebudayaan dan dalam setiap karyanya baik itu dalam seni, ilmu maupun bentuk kearifan lokal lainnya di seluruh belahan dunia. Gema ini yang tentunya kita tangkap menjadi suatu tugas bagi generasi muda untuk melestarikan budaya leluhurnya, melestarikan hasil pemikiran para pendahulunya dari pengalaman mereka, meskipun kadang dengan perkembangan pemahaman saat ini, mampu membantu kita untuk dengan teliti memilah budaya-budaya mana yang layaknya perlu kita lestarikan dan mana pula yang tidak. Maka sampailah kita pada sebuah pemahaman sederhana dalam makna pelestarian budaya, bahwasanya pelestarian budaya akanlah kehilangan maknanya sebagaimana yang telah bergema di seluruh belahan bumi, bilamana pelestarian itu tidak lagi memberikan manfaat serta mensejahterakan manusia. Oleh karenanya, akan tidak banyak berguna segala upaya pelestarian budaya jikalau hal tersebut tidak memberikan manfaat dan mesejahterakan "orang lain", yang dalam konteks kekinian yang biasa kita sebut dengan masyarakat.
32
Berpikir Adil Meski Meyakini Sesuatu yang Dogmatis "Agama ataupun aliran kepercayaan tentang Tuhan, tentang semesta, kehidupan setelah mati dan lain sebagainya, meskipun diyakini dengan hati dan tanpa bukti-bukti ilmiah sebagaimana ilmu pengetahuan, harusnya tidak mematikan nalar dan membunuh keadilan dalam berpikir" - Arion Batara Suatu ketika, saya berbicara dengan seseorang berkeyakinan tertentu, jika diidentikkan dengan agama, merupakan salah satu agama besar di dunia. Meski saya tidak merasa bahwa keyakinan sama dengan agama, tapi setidaknya itulah yang dijadikan identitas atau klasifikasi kasar atas sebuah keyakinan seseorang. Dalam perbincangan kami, maka tersebutlah suatu kutipan yang berisi sebagai berikut : "Dari pohon yang baik akan menghasilkan buah yang baik pula". Maka, aku pun bertanya padanya "Lalu apakah dari pohon yang buruk tak bisa berbuah buah yang baik", dari percakapannya dia menjawab tidak, meski dengan katakata yang berbelit-belit seakan takut nanti akan menjadi bumerang atas apa yang dia yakini secara dogmatis akan mungkin runtuh dengan penalaran sederhana.
33
Pertanyaan ini timbul tentang perdebatan kami akan sikap yang baik atas suatu gagasan. Dimana aku dengan tegas berkata bahwa suatu gagasan yang benar akan tetap benar selama hal tersebut berlandaskan kasih dan kemanusiaan, tidak peduli siapa yang melontarkannya. Gagasan yang menyatakan perlawanan terhadap kekerasan akan tetap sebuah gagasan mulia, meski diucapkan seorang gypsy, sambil menghisap sebatang ganja yang dia linting sembari setengah menutup mata.Setidaknya begitulah yang aku sampaikan. Lalu, aku berkata bahwasanya benar dari seseorang yang baik akan lahir sebuah gagasan baik, namun tidak berarti sebuah gagasan baik tidak bisa keluar dari siapa saja. Karena jika sebuah gagasan dinilai berdasarkan tingkah laku maupun hidup pemikir maupun pelontarnya dan bukan pada gagasan itu sendiri, maka kita akan terjebak dalam perbedaan norma-norma, budaya, maupun keyakinan yang membuat kita menjadi tidak adil dalam menilai. Maka ketika aku bertanya siapakah pohon yang baik itu, dia menjawab mereka-mereka yang hidup dengan keyakinan sesuai dengan keyakinan dia, yang imannya sesuai dengan keimanannya. "Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak sesuai dengan keimananmu?" tanyaku. "Tak mungkinkah gagasan yang baik keluar daripadanya?"
34
Dalam kekalutannya, "fundamentalis" ini, begitulah dalam hati aku menyebutnya mulai meracau tak menentu arah hingga sampai pada suatu kisah tentang seseorang bernama Mahatma Gandhi. "Lalu apakah Mahatma Gandhi yang dengan jelas berkeimanan berbeda denganmu, mengutarakan hal yang tidak baik?" tanyaku. "Padahal dia mengajarkan tentang perlawanan tanpa pedang, perjuangan tanpa dtumpahan darah?" lanjutku. "Dan bukankah yang beliau ajarkan sesuai dengan dasar keyakinanmu sendiri, yang kubaca dari kitab sucimu itu, yakni kasih!" tekanku padanya. Aku tak tahu ada hantu apa dalam pikirannya, atau mungkin nalarnya sudah mati, entahlah, namun dia menjawab : "Siapa tahu mahatma gandhi meyakini hal yang sama denganku! Siapa tahu!". Lalu tanyaku, "Apakah keyakinanmu juga meyakini Trimurti sebagaimana Mahatma Gandhi yakini?", sebelum dia menjawab, aku langsung menekankan lagi, "Jelas tidak bukan?".
Cerita diatas tidak bermaksud menciderai keyakinan tertentu,ataupun menolak sebuah frase indah nan hebat
35
"Dari pohon yang baik maka keluar buah yang baik pula", sebagaimana yang diartikan bahwasanya dari mereka yang menghidupi kebaikan akan mengeluarkan gagasan kebaikan pula. Cerita diatas bermaksud untuk menceritakan bahwasanya mengkultuskan sesuatu keyakinan secara membabibuta dan mempersempit sebuah nilai, maka justru menciptakan pola pikir yang tidak sehat dan gagal. Mengapa sulit mengakui bahwa seseorang mungkin memiliki gagasan benar meski dalam kehidupannya dia melakukan hal-hal yang tidak sesuai keyakinan kita? Bukankah sejarah mengatakan, ada banyak darah yang tertumpah yang justru diakibatkan para pemuka-pemuka semua keyakinan didunia, tidak luput dari keyakinan kita sendiri pula. Bahwasanya bukan tentang siapa atau apa keyakinannya, tapi apa gagasan yang dibawakannya. Janganlah menghubung-hubungkan sesuatu kebenaran seakan-akan harus berasal dari aliran kita. Ataupun sebaliknya, membenar-benarkan sesuatu yang keluar dari seseorang yang se-aliran dengan kita meskipun belum terbukti demikian. Seperti meracau tentang seorang yang mengutarakan gagasan benar seakan-akan dia memang mengambilnya
36
dari keyakinan kita, atau membenarkan gagasan seseorang hanya karena dia memiliki keyakinan yang sama dengan kita meskipun gagasannya belum tentu sesuai dengan keyakinan kita tersebut. Jadilah adil dalam berpikir dan menilai, apalagi dalam perbuatan.
37
Pesan untuk Umat Manusia Seorang buta menyebut Nama Nama yang dia percaya penuh kuasa Nama yang menjadi awal alam semesta
Seorang Tuli membayangkan sesosok Wajah Wajah yang dia yakini bercahaya Yang selalu disebut dengan kata Maha
Seorang miskin melantunkan nada Nada bagi Sang pencipta Surga Dimana setelah mati dia akan kesana Meninggalkan semua siksa yang kini dia rasa
Seorang Pemuda bertanya-tanya Adakah pesan yang ditinggalkan untuknya Adakah tugas yang harus dilakukannya
38
Untuk semua keindahan dalam dunianya
Untuk kekayaan yang dimilikinya Untuk kuat tubuh dan tampan wajahnya Untuk jelitanya pujaan hatinya
Adakah yang mampu memberitahunya Bahwasanya pesan itu benar adanya Pesan bagi seluruh umat manusia
Adakah yang mampu menyampaikan padanya Bahwasanya ada mereka yang tuli, miskin dan buta Untuk menjadi tempat luapan syukurnya pada Dia Dia yang menjadi pencipta semua dunia
Agar meski yang buta tak rasakan cahaya Meski yang tuli tak juga menangkap suara
39
Yang miskin tak pernah merasakan kaya
Mereka dapat merasakan Sang Pencipta Merasakan deras aliran kasih-Nya Melalui sang pemuda kaya dan perbuatannya
Beritahu dia apalah gunanya semua agama Jika hanya menjadi alasan untuk saling angkat sejata Atau hanya jadi pedoman segala ritual manusia Tanpa dirasakan oleh sesamanya Ciptaan terindah Sang Maha Kuasa
40
Kebaikan Itu Bukan Seperti Menanam Jagung, Amang. Suatu hari ibuku pernah berkata begini : "Kebaikan itu bukan seperti menanam jagung amang, dang isi tanomonmu, isi muse suanon mu, alai ingot ma hatakkon, ikkon suanonmu do akka na denggan i baen ho tu jolma". Artinya kurang lebih bahwa kebaikan itu bukan seperti menanam jagung, dimana kau tanam maka disitu pulalah akan kau tuai. Tapi percayalah pada kata-kataku oh anakku, bahwa kau pasti akan memperoleh akan apapun kebaikan yang kau berikan ke orang lain. Ayahku adalah seorang polisi dengan sebuah mobil L300 tua yang dulu dipakainya (kini sudah ganti tapi dengan mobil tua lainnya). Mobil ini dulunya ambulans puskesmas keliling yang sudah sangat tua, kalau gak salah keluaran tahun 80 atau 82, dan dilelang. Ibuku yang sudah lama jadi pegawai pun diberikan kesempatan membelinya dengan harga murah. Eh, tapi yang namanya mobil, mungkin juga ya seperti manusia. Mobil ini mungkin dulu kerjanya membawa jenazah, orang sakit dan lain-lain, dan ternyata setelah dicat merah sama bapak tetap aja kerjanya membawa orang yang sedang bermasalah. 41
Suatu hari aku mau naik mobil L-300 ini, dan aku melihat banyak pecahan kaca di joknya yang butut itu dan sedikit bercak darah. Aku tanya ke bapakku "Pak, ini kok kotor gini? kenapa pak?". Lalu jawabnya "tadi aku angkut orang yang kecelakaan di jalan, kutaroh langsung dibelakang, eh ternyata gak sempat, sudah meninggal duluan". Aku yang saat itu kelas 6 SD lalu beberapa hari sempat "ogah" mau masuk ke mobil itu. Suatu pagi aku terbangun di kamar ku, aku kaget setengah mati. Di hari libur (aku lupa libur apa), pagi hari itu, aku melihat ada seorang anak tidur di kasur di sebelah tempat tidurku. Aku loncat dari tempat tidur langsung ku cari mamak-ku, dan aku tanya itu siapa. Mamak ku pun bilang kalau itu anak yang dibawa bapak tadi malam, setelah dia jaga malam, dia lihat ada anak jalanan yang mau dipukuli kawan-kawannya, lalu diangkutnya ke rumah. Mamak-ku menyuruhku membangunkannya dan memberikannya pakaianku. Aku pun langsung mencari pakaianku yang terjelek buat kukasih dia pakai. Pikirku, butuh satu hari natal setiap tahunnya untuk menambah sepasang pakaian di lemari pakaianku. Aku gak akan memberikan yang terbaik tentunya. Setelah anak ini makan dan kenyang, lalu aku mengajaknya main kelereng bersama tetanggaku. Dia bercerita bahwa dia memanggil bapakku dengan kata bapak, dan dibelakang mobil L-300 itu ada sepasang 42
sepatu roda yang dibelikan bapakku buat dia. Aku kesal setengah mati lalu aku bongkar mobil butut itu, dan aku gak menemukan apa-apa. Si anak itu berdalih, bahwa sepatu roda itu udah disimpan. Akhirnya, aku sadar bahwa anak itu hanya berbohong dan membual, mungkin karena hidupnya begitu susah. Sudah hampir sore hari, Mamak-ku memanggil kami masuk kedalam. Si anak bengal ini langsung masuk ke dalam dan memanggil mamak-ku dengan kata mamak, seakan-akan dia udah diangkat anak. Mamak-ku mengajaknya bicara, berkata bahwa kalau dia mau hidup susah, dia boleh tinggal bersama kami dan akan disekolahkan. Si anak itu menolak dan ingin dipulangkan kemana dia berasal, mendengar itu mamakku pun masuk ke kamar memberikannya sejumlah uang dan menyuruhnya pergi dan berkata kapan saja dia berubah pikiran dia bisa kembali. Aku mengantarkan si anak ini sampai ke depan jalan, sambil kesal melihat dia harus mengenakan pakaianku dan memegang plastik yang berisi pakaiannya yang lama. Dia lalu memanggil taksi, tapi taksinya gak mau berhenti, "sial kali!" katanya. Dia pun menghentikan angkot dan naik lalu pergi. Aku pun melihat kepergian sepasang pakaianku pergi entah kemana, "yang jelek aja kok", pikirku menghibur diri.
43
Lagi-lagi di suatu pagi aku kembali kaget setengah mati, aku terbangun dan di bawah di samping tempat tidurku aku melihat seorang gadis muda tertidur. Aku bangun lalu kembali menanyakan hal yang sama, ku pikir mungkin dia saudara atau apalah. Ternyata, mamak-ku bilang bahwa gadis itu adalah gadis yang ditemukan bapak-ku dipinggir jalan sedang kebingungan mencari jalan ke rumah saudaranya di tengah malam, dan dia tidak punya uang untuk taksi. Melihat bapakku yang sedang berpakaian dinas polisi, dia pun lalu menghampiri dan meminta tolong. Pagi itu, saat aku hendak ke sekolah, si gadis itu pun diantarkan ke rumah saudaranya oleh mamak, bapakku. Aku dulu sangat sulit mengerti bagaimana mamak dan bapakku begitu mudahnya membantu orang yang mereka tidak kenal. Sampai suatu saat, aku pun merasakannya, betapa kadang kita bisa saja membutuhkan bantuan orang lain yang kita tidak kenal sama sekali. Pada saat itu, aku dan kakak ku berencana pergi ke siantar untuk bertemu saudara yang datang dari jauh. Saudaraku itu berencana mau jalan-jalan keliling samosir, parapat dan sipolha. Aku merengek-rengek ingin ikut liburan bersama mereka, dan kakakku pun rela membawaku dan menemaniku untuk bertemu saudara kami itu di siantar. Kakakku pada saat itu bekerja sampai sore sehingga kami baru bisa berangkat ke siantar mencari bis keberangkatan malam. Namun, karena pada 44
saat itu jalanan macet dan bis yang kami naiki pun adalah bis ekonomi yang memang tidak pernah menjamin ketepatan waktu, lalu kami tiba di terminal siantar larut malam. Kakak perempuanku itu berusaha mencari angkutan kota ke tiga balata, karena dari sana kami harus naik ojek lagi agar sampai ke rumah oppung untuk bertemu saudara kami itu. Tapi, uang yang ada semuanya serba pas-pasan untuk naik angkot lalu menyambung naik ojek. Tapi tidak ada lagi angkot saat itu, yang ada hanya becak mesin, dan aku masih ingat mereka hanya mau mengantar ke tiga balata dengan ongkos 11.000 rupiah. Kakakku berkata kami tidak punya uang sebanyak itu saat itu lalu becak mesin itu pun perlahan menghilang seiring air mataku pun yang perlahan datang. Tapi aku tak sampai menangis karena aku tahu betul bahwa disampingku ada kakak perempuanku yang nyalinya lebih besar dari sekumpulan anak-anak muda sekitar rumah, yang pernah dia datangi sendiri, dia bentak hanya karena pernah menggodanya (bahasa bataknya di "pistak") sekali. Kakakku berbicara dengan penjual rokok di warung kecil sekitar terminal dan "Bim salabim abra kadabra", ternyata penjual rokok itu ternyata "boru Purba", sama dengan marga kami "Purba". Setelah mendengar cerita kami, si penjual rokok itu mengajak kami menginap ke
45
rumahnya yang hanya berjalan kaki (cukup jauh sih) dari warung dimana dia berjualan. Kami diberikan tikar di ruang tamu dan selimut serta bantal dan kakak ku disuruh membuatkan teh manis panas buat kami nikmatin bersama dengan sedikit bercerita lalu tidur. Keesokan paginya (cukup pagi), aku terbangun sambil melihat kakakku yang sedang membangunkan aku sambil membawa sebuah ceret berisi teh manis panas buat dibagikan kesemua isi rumah itu. Aku bangun lalu mandi dan bersiap, kami diberikan sarapan lalu mengucapkan pamit pulang kepada semua isi rumah. Aku masih mendengar bisikan anak si empunya rumah yang seumuran denganku, katanya "Ai ise dei danakdanaki, i halung-halung tas na balga?". Kurang lebih artinya dia menanyakan siapa aku, anak-anak yang membawa tas yang cukup besar. Sejenak, aku melihat diriku yang bertanya sama mamakku siapa orang yang ada disamping tempat tidurku. Sesaat itu pula aku sadar bahwa ternyata aku bisa saja membutuhkan bantuan orang lain yang tidak aku kenal sama sekali. Lalu, aku dan kakakku buru-buru pulang karena harus bertemu saudaraku sebelum siang, karena mereka akan pergi jalan-jalan siang itu juga.
46
Lelaki Paruh Baya dan Sebuah Pesta Natal Seorang lelaki paruh baya berjalan masuk dalam sebuah ruangan yang penuh hiasan dan kelap-kelip lampu. Disana, dilihatnya ada banyak anak-anak muda, perempuan dan laki-laki didalam ruangan itu. Mereka tampak tampan, gagah, cantik dan berpakaian sangat rapi, ada yang berpakaian merah, hijau dan juga biru. Para pemuda itu tampak sangat bahagia, bertepukan tangan dan bernyanyi. Alunan-alunan lagu yang gembira mengalir ceria ibarat dalam sebuah pesta. Lelaki paruh baya itu dalam hatinya bertanya, apa yang sedang dirayakan mereka? Lalu sejenak hening, lampu-lampu menjadi padam, lilinlilin pun dinyalakan membuat suasana menjadi temaram. Di dengar lelaki itu sebuah lagu, sebuah lagu yang sudah ratusan tahun ini dia dengar dialunkan merdu. Lagu tentang sebuah malam yang syahdu, akan lahirnya seorang Pembawa Keselamatan dalam kandang domba yang sarat akan makna kesederhanaan. Diingatnya lah hangat palungan itu, dan silau bintang yang hadir dalam gelap langit malam yang biru. Lalu lelaki paruh baya itu pun akhirnya tahu tentang apa semua hiasan-hiasan dan kelap kelip lampu di ruangan itu.
47
Seorang pria yang masih muda dengan jas hitam yang sangat bagus, berdiri didepan kumpulan anak-anak muda itu. Dia tampak berkhotbah, dengan semangat yang begitu besar ibarat air bah, ia mulai berkata-kata. Ia katakan pada semua anak muda disana, bahwa ada kelimpahan materi yang dijanjikan Tuhan pada mereka, ada kesembuhan dan pula curahan berkat. Semua anak muda itu tampak gembira mendengarnya, dan menyambutnya dengan melambai-lambaikan tangan mereka ke udara, seakan sedang menangkap berkatberkat Tuhan yang sedang dicurahkan atas mereka. Bertanyalah pria berjas hitam pada semua hadirin yang datang, "Siapa diantara kalian yang mau berkelimpahan? Menghasilkan banyak uang untuk kalian berikan perpuluhan, perduapululahan atau mungkin persembilanpuluhan kepada Tuhan? Siapa diantara kalian yang mau hidup dalam kesembuhan? Memiliki tubuh sehat dan dijauhkan dari segala penyakit dan kelemahan? Maka, seluruh orang disana serentak berkata "Amin" dengan suara yang lantang dan meyakinkan. Pria berjas hitam lalu mulai meneriakkan "Datang kepada Tuhan, angkat tangan kalian dan ikutlah ke belakang ruangan". Lelaki itu mengernyitkan keningnya, tak pernah lah dirasanya janji-janji itu sedemikian adanya. Diingatnyalah seorang pria berjubah kusut yang mencari belalang untuk dimakan dalam panasnya padang yang 48
menghanguskan rambut. Di padang gurun pria berjubah kusut berkhotbah tentang datangnya titisan kerajaan sorga, yang dimana karena kemuliaan-Nya dia merasa tak layak hanya untuk sekedar membuka tali kasut-Nya. Disusun kembali oleh lelaki paruh baya itu, gambar wajah si pria berjubah kusut dalam ingatannya.Tidaklah ada kekayaan dunia pada diri si pria berjubah kusut dan matinya ia pun berakhir dengan hanya kepala terletak diatas sebuah piringan. Tak ada kekayaan dan tak ada pula umur panjang, hanya sebuah pelayanan yang dilakukan dengan tulus kepada Tuhan. Wajah lelaki paruh baya itu pun semakin murung, betapa kini jaman sudah berubah. Jikalau hanya untuk kekayaan dunia, ataupun tubuh sehat yang prima, sia-sia lah pengorbanan seorang Anak Manusia di bukit golgota. Anak Manusia yang lahir dalam hinanya kandang domba, berjalan bersama orang kusta dan pemungut cukai yang berdosa hingga akhirnya mati disamping para pembunuh dan pemerkosa. Lelaki itu lalu keluar dari ruangan itu, ditinggalkannya segala kemewahan hingar bingar pesta. Masih berbekas baginya senyum tulus si penderita kusta yang mengangkat kasurnya atau tangisan haru gadis Samaria meski sudah berlalu ribuan tahun lamanya. Direnungnya dalam hatinya, mungkin saat ini yang seperti mereka ada di luar sana sedang tak ada yang menghiraukannya.
49
Dalam langkahnya keluar ruangan, dibisikkannya kata yang sama yang dahulu sempat diucapkannya, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga." Lalu berlalulah ia, menghilang dalam kerumunan dan bunyi gendang yang ditabuh dalam suasana pesta yang bergemuruh.
Untuk semua yang tertidur oleh khotbah yang meski menghibur namun sebenarnya hanya membuat kabur. -abps- Bandung - 16 Desember 2011
50
Rasa : Bagian I Kumpulan Surat Cinta & Puisi “Kau mengajarkanku tentang sebuah cinta sederhana, kala kau cium lembut pipiku tanpa sebab dan alasan, di suatu petang sehabis hujan. Aku ingin bertanya, namun senyum yang kau berikan seakan telah menjawab segalanya. Aku balas dengan menggenggam jemarimu, namun aku tahu aku tak mampu menandinginya. Kau begitu kaya akan rasa, dan logika milikku pun luluh lantak dibuatnya.”
51
Surat Cinta Untuk Kekasih Hati Terima kasih, sayang, untuk mengatakan iya ketika dengan gugup dan terbata-bata ku sampaikan padamu bahwa sejatinya ada rasa cinta dariku untukmu. Aku ingin kau menjadi kekasih hatiku, dan kau pun mengangguk sembari tertunduk malu. Terima kasih untuk ada disampingku bukan hanya untuk mengisi masa muda kita yang berapi-api, namun juga menjadi penyeimbang dalam hidupku yang begitu cepat dan menggebu-gebu. Aku terlalu riak tanpamu, dan kau mampu untuk menenangkanku agar tidak terlalu deras aku melaju. Aku sering kali tenggelam dalam duniaku, tentang gagasan-gagasan yang aku dapat dari buku-buku. Aku tahu kau tak begitu banyak tahu, namun kau nikmati setiap ceritaku tentang apapun itu. Aku acap kali memikirkan hal-hal besar dan kau pun hadir untuk memikirkan hal-hal kecil bagiku. Seperti ketika ku tunjukkan padamu artikel tentang tokoh-tokoh bangsa di laptopku, kau justru mengeluarkan selembar tisu dan mulai mengelap layar laptopku yang penuh debu. Setelah selesai, kau memintaku melanjutkan, tapi kekagumanku pada tokoh-tokoh itu pun sontak berpindah pada dirimu. Aku hanya tersenyum, dan tak mungkin rasanya jika kukatakan padamu, aku mengagumimu lebih daripada 52
Hatta dan Tan Malaka. Gombalan macam apa pula itu, pasti jawabmu, maka kusimpan saja dalam kalbu. Terima kasih untuk belaian lembutmu di rambutku, yang mampu membuatku terlelap ketika kutemui satu dua buah batu kerikil dalam jalan hidupku. "Terlalu banyak hal yang kau pikirkan dalam hidupmu, sisakanlah sedikit untukku", bisikmu lembut kala itu ketika aku sudah mulai menutup kelopak mataku. Aku tetap berpura-pura telah tidur dan tak mendengarnya sebagaimana yang kau kira. Dalam suaramu aku tahu kau cemburu, bukan pada gadis lain yang mungkin lebih centil dan kemayu, namun pada gagasan-gagasan yang memenuhi pikiran dan sanubariku. Ingin rasanya kujawab padamu, bahwa diantara begitu banyak hal itu, dirimu lah yang mengambil ruang paling besar dalam kepalaku. Tapi, kau pasti malu begitu ku tahu kau cemburu, maka kusimpan saja dalam kalbu. Sebenarnya sayang, justru aku lah yang paling banyak belajar darimu, dan itu tidaklah mungkin kuterima dari buku-buku. Sekalipun aku mampu mengumpulkan semua jenis buku dan artikel menjadi satu, namun tetap tidaklah mampu mengajarkan apa yang telah ku peroleh darimu. Kau mengajarkanku tentang sebuah cinta sederhana, kala kau cium lembut pipiku tanpa sebab dan alasan, di suatu petang sehabis hujan. Aku ingin bertanya, namun senyum yang kau berikan seakan telah menjawab segalanya. Aku balas dengan menggenggam 53
jemarimu, namun aku tahu aku tak mampu menandinginya. Kau begitu kaya akan rasa, dan logika milikku pun luluh lantak dibuatnya. Kau memutarbalikkan duniaku, dan aku terlalu malu mengungkapkannya padamu. Dahulu, aku memutuskan untuk mencari pasangan yang pula seperti aku, haus akan wawasan dan gagasan, agar kelak mampu sepadan. Aku pun mulai membangun berbagai kriteria, dengan jalinan ribuan rantai logika. Kau pun hadir seketika, dan tanpa perlu berdialektika, kau mampu menjadi seperti badai yang merobohkan pondasi pemikiranku, meluluhlantakkanku dengan kesaktian yang hingga kini masih menjadi misteri. Aku yang saat ini hanya mampu berkata padamu, bahwa tak perlulah kau tahu semua tentang Cokroaminoto dan Tan Malaka, karena nanti bukan mereka lah yang nantinya akan kau tunggu di meja makan, ketika malam tiba. Hanya ada satu yang kau perlu tahu, yakni : diriku.Dan kini, kau sudah mengetahuinya bahkan melebihi aku sendiri. Terima kasih sayang, untuk menyadarkanku makna sejati tentang cinta, dan untuk menyampaikannya padaku meski tanpa perlu berkata-kata. Dan jikalaulah Tuhan berkehendak, kiranya aku ingin membangun sebuah rumah untukku kelak menghabiskan sisa hidup sampai ajal datang menjemput. Bukanlah perpustakaan, kolam ikan ataupun hiasan dinding dari berbagai daerah yang harus ada disana nantinya, tapi dirimu dan anak-anak 54
kita, yang pekikan tawa mereka menjadi alunan musik penenang jiwa.
55
Surat Cinta Kepada Istri Terimakasih sayang, karena kau tak langsung menyela dan menceramahiku, ketika sepulang kerja aku mungkin mengumpat beberapa rekan kerja. Kau mendengar dan sesekali ikut mengumpat dengan sangat halus sambil membuatku tertawa, lalu setelah segelas teh hangat itu kita habiskan, kau sadarkan bahwa kita tak seharusnya seperti itu. Kau ajak aku melihat pula dimana kesalahanku. Terimakasih sayang, untuk menjadi bijaksana tanpa berusaha terlihat demikian. Aku mungkin tidak bisa memperbaiki pipa air dirumah kita, tidak seperti suami teman baikmu yang bahkan bisa membuat sendiri kandang anjingnya. Tapi, kau tetap sabar menungguku dibawah wastafel, hingga aku menyerah dan kau mulai menekan nomor telepon tukang pipa, sambil tersenyum setelah menyiapkan segelas jus dingin. Terima kasih sayang, untuk mengerti kekuranganku tanpa berusaha menjatuhkanku. Kita mungkin berdebat tentang dimana kita akan memilih rumah atau dimana kita akan menyekolahkan anak kita. Tapi, kita tidak sampai berteriak dan kau tetap menyiapkan sarapan seenak pagi-pagi sebelumnya. Terimakasih sayang untuk mampu menjadi rekan hidup
56
dan berbagi pikiran, bukan hanya mengangguk dan menurut saja. Suatu kali aku pernah pulang ke rumah, menyesali bahwa uang yang harusnya menjadi uang renovasi rumah, habis terpakai karena aku gagal bermain saham. Kau hanya menyentuh pundakku dan berkata bahwa sisa uangnya masih bisa kita belikan cat, dan hari minggu ini kita bisa melipur lara dengan melihat dinding rumah kita berwarna lebih cerah. Terimakasih sayang, kau mampu menerima kesalahanku tanpa berusaha menjadikannya lebih buruk. Namun, diatas itu semua, yang paling membuatku merasa sangat bersyukur memiliki istri sepertimu adalah ketika kau tidak lagi merasa perlu harus berlibur ke Rusia sebagaimana tetangga sebelah kita, setelah lama kita mendiskusikannya. Kau ikut tersenyum tulus bahagia, saat aku justru mengajakmu ke panti-panti dan ke desa-desa daerah asal kita serta makan bersama anakanak atau orang tua yang hidupnya tidak seberuntung kita. Jika aku mati hari ini sayang, tak perlu lah kau bersedih hati. Aku sudah memberikanmu harta yang kupendam selama ini, yakni hati penuh syukur dan berserah pada Tuhan. Jika pula aku bertemu Tuhan hari ini, aku akan berlari dan menjabat tangan-Nya dan berkata “Jikalau benar jodoh ada di tangan-Mu Tuan, maka biarkanlah
57
aku menjabat tangan yang telah memberikanku keberkahan paling kusyukuri dalam hidup”.
58
Surat Cinta Ayah untuk Putrinya Putriku, aku masih ingat ketika kau dilahirkan di hari minggu itu. Wajahku tampak menunggu khawatir dengan mengapit keras rokok kretek itu dengan jariku, menghisapnya mampu membantu menghilangkan semua kekhawatiran itu. Akhirnya, melihat wajah mungilmu membuat semua beban yang tadinya ada seakan pecah menguap bersama udara. Terima kasih manisku, kau menjadi penyemangat terbesar dalam hari-hariku. Putriku, tak seperti kebanyakan mereka yang menjadi ayah, aku tak pernah sekalipun merasa memilikimu ataupun menjadikanmu wadah bagi semua ambisiambisiku, entah itu dari masa mudaku ataupun dari halhal yang menjadi pembicaraan kumpulan keluarga, teman kantor maupun tetangga. Kau adalah manusia merdeka dalam kemerdekaan yang mensejahterakan sekelilingmu, jagoanku. Bagiku, kau bukanlah piala yang akan kubanggakan jika kau mampu menjadi apa yang dipikirkan oleh tetangga sebagai sesuatu yang hebat. Jikalaupun aku mengajarimu setiap malam sebelum kau tidur, bukanlah agar nilainilai di rapormu bagus sehingga para guru memujimu, memujiku dan kita menjadi pasangan ayah-putri yang hebat.
59
Tapi agar kau mampu menjadi manusia yang kaya akan ilmu, menjadi haus akan belajar dan sebagai tambahan aku ingin menghabiskan waktu bersamamu lebih banyak, bukan hanya mendorong ayunanmu dipohon belakang rumah tapi juga ada di meja belajar kamarmu, cintaku. Sebenarnya sayang, aku harus melatih memasang muka tidak puas ketika gurumu mencelotehkan kekesalannya karena tak semua tugas kau kumpulkan tepat waktu. Padahal aku tahu, aku memilih mengajakmu ke komunitas pengerajin kayu dan tanah liat dibandingkan mengerjakan tugas kerajinan yang ada dibuku. Itu aku lakukan sayang, karena kau cerita bahwa pada akhirnya tugas-tugas itu dikerjakan orangtua teman-temanmu atau pembantunya dan dikumpulkan keesokan harinya dengan sangat cantik untuk sebuah coretan huruf A di rapor mereka.
Aku katakan padamu, “Mengapa kita harus terburuburu? Sabtu ini kau akan kuajak melihat beberapa kerajinan, dan jika kau menemukan sesuatu yang kau suka maka kita akan mencoba membuat yang seperti itu namun tidak boleh sama. Nanti, jawab saja pada gurumu bahwa karyamu belum selesai, dan ayah yang akan menjelaskan sisanya nanti.”
60
Sebenarnya aku ingin tertawa, ketika dalam pembicaraan sepulang gereja, para handai taulan itu benar-benar berbinar berkata bahwa dengan segenap usaha dia akan membawa putra-putrinya pada Tuhan, bukan pada dunia ini. Mereka membelikan putra-putrinya buku-buku cerita kitab suci, dan mengharuskan mereka berdoa sesudah bangun, sebelum makan, sebelum berangkat dan berbagai hal lainnya yang bagiku sungguh merepotkan. Kau pasti ingat bahwasanya aku hanya mengajarkan padamu untuk berdoa kapan saja kau merasa perlu, dan hendaknya kau menghidupinya. Putriku, aku meyakini bahwa keyakinanku pada Tuhan adalah sebuah anjuran bagimu. Jalanilah hidupmu dan temukan sendiri Tuhan dalam miskin dan kumuhnya kota, dalam pengetahuan dan dalam perjuangan kemanusiaan. Datanglah pada Tuhan sayang, tapi bukan sampai disitu saja. Datanglah pada Tuhan agar Dia menjadikanmu terang dalam dunia dan segala kecemarannya ini. Aku masih ingat di sore hari itu, ketika kau berdebat keras dengan ibumu tentang jurusan pilihanmu. Ibumu benar-benar menginginkan kau masuk di jurusan yang lapangan pekerjaannya lebih luas, dan kau sebagaimana sifat ayahmu ini, menolaknya dengan keras. Aku masuk dalam kamarmu dan membisikkan padamu bahwasanya itu semua terjadi karena betapa cintanya ibumu padamu, yang tidak menginginkan anaknya nanti harus susah payah mencari pekerjaan. Aku katakan padamu bahwa
61
nanti ayah saja yang akan bicara padanya, karena ayah sangat mengenalnya, wanita kecintaan ayah. Aku menepuk bahumu bangga, betapa putrinya ini mampu dengan tegas mengikuti lentera jiwanya. Dan ibumu hanya belum mengerti saja, bahwa putrinya ini tahan terhadap segala cuaca. Namun, sayang sekali kau tak melihatnya, senyum ibumu ketika melihat putrinya maju keatas mimbar dengan toga sarjana yang sangat cocok kau kenakan. Aku pun tak banyak meminta tentang lelaki seperti apa yang menjadi pendampingmu nanti. Dan ketika di malam itu kau menelpon ayah untuk bercerita betapa kau sudah yakin padanya, aku hanya meminta pria itu untuk menghabiskan waktunya dengan ayah seharian. Kau merengek dan menangis minta di beritahu apa saja yang ayah katakan padanya, tapi maaf sayang kau tak boleh tahu. Kau tak boleh tahu betapa ayah bersumpah akan membunuhnya jika dia berani memadamkan pijar api kehidupanmu yang selama ini cemerlang dan menghangatkan. Tapi biarlah saat ini kau tahu, karena jika bukan sekarang maka kapan lagi. Sayang, lengkap sudah rasanya tugasku sebagai seorang ayah dari putri sehebat engkau. Semua yang kau capai adalah karena kau hebat sayang, dan bukanlah sesuatu yang layak untuk kubanggakan pada orang lain, meski dalam hati ini rasa bangga itu sulit untuk di bendung. Meski tak dapat kutahan air mataku ketika melepasmu di 62
cerahnya pagi hari pernikahanmu, namun bahagiaku tak mampu tergambar melihat tawamu lepas dalam pelukan pria pujaan hatimu. Jikalau saja sayang, Tuhan hari ini datang menjumpaiku mungkin aku akan merasa senang dan sedikit penasaran. Aku akan bertanya padanya, “Mengapa Kau memberikan tugas yang sangat mudah ya Tuan? Menjadi orang tua dengan putri sehebat ini ?”
63
Kami Berbeda, Lantas Kenapa ? “Janganlah kau dekati dia, nak” kata ibu Baranglah tentu ibu tak setuju Dia itu dari suku seberang Orang bilang mereka suka menusuk dari belakang Ibu tahu satu orang yang seperti itu Tetangga dari saudara kenalannya ibu
Berontakku pun tertahan diam dalam kalbu Bagaimana mungkin ibu tahu dia seperti itu Bukankah yang lebih mengenalnya adalah aku Peduli setan omongan orang ini dan itu
Ayah sarankan kau untuk tidak bersamanya Untuk mengertinya kau masih terlalu muda Adat mereka berbeda dengan kita, nak
64
Bila nanti kau menjalaninya kuranglah elok bila ditampak Sudah sejak moyangmu kita seperti ini Permintaan ayah kiranya mau engkau turuti
Kata-kataku pun tertahan dalam kelunya lidah Meski muda, aku ini sudah tahu banyak, Ayah! Bukannya tak kugubris semua adat nenek moyang Namun, hati dan jiwa bukan perkara gampang Apalah lagi yang mampu untukku bilang Jika yang tepat bagiku hanyalah dia memang
Sudahlah kawan, akhiri saja semua cerita Sulit jika tentang Tuhan saja kalian berbeda Tekanan besar pun datang dari lingkungan dan keluarga Bahkan izin orang tua pun sulit kalian terima
Aku seakan sedang melawan seisi dunia
65
Yang ribuan tahun sudah bermasalah dengan agama Lantas kenapa jika tentang Tuhan kami berbeda Apakah memang ke surga itu sebuah perjalanan bersama Bukankah Tuhan itu kita sebut Maha Cinta Lantas dimana salahnya mengasihi manusia
Kita dan mereka hanya belum cukup mengenal Yang akhirnya membuat rasa curiga semakin kental Selama kita dan mereka punya rasa kemanusiaan Maka tidaklah ada alasan membeda-bedakan Kita semua berbeda, aku,kau, kita dan mereka Namun, kita juga semua sama, manusia, mahluk mulia Bukan hanya karena akalnya, juga karena rasa cinta dalam hatinya
66
Yogyakarta Aku hidupkan mesin motor tua itu Kurapihkan rambutku di depan spion Sampailah aku di rumah kosmu
Kubawa kau keluar lewat gerbang "Kita mau kemana?" tanyamu "Kemana saja asal kita bisa makan bersila" Jawabku dengan tawa
Kurasa tanganmu melingkar aku Kita tidak sedang menuju sesuatu Melewati stasiun tugu Melingkari alun-alun kidul
Kita berhenti sejenak di depan benteng Fredenburg Berbicara tentang lucunya anjing ibu kosmu
67
Dan riuhnya tawa si mbah tetangga rumah sewaanku
Aku ajak kau duduk bersila di lesehan Melihat lampu di pinggir jalan gejayan Ku pesankan pecal lele dan es teh manisnya Kau merapikan jaketku dari atas meja
Kuantarkan kau kedepan gerbang Sebuah kecup dariku mengakhiri malam Kau berjalan mundur menuju pintu Memandangiku tanpa kehilangan senyum
68
Tentang Cinta Sederhana Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Sapardi Djoko Damono
Selalu aku rindu akan akhir tahun, ibu. Akan jernihnya matamu menatapi aku bercerita tentang ini dan itu. Tentang kepulanganku yang kau sambut dengan sebuah pelukan lembut dan usapan pelan di rambut. Bertanya padaku tentang lika-liku hidup yang aku jalani, tentang mimpi dan resah hati dan tentang gadis yang kurenungi dalam rinai gerimis. Aku tahu persis tak semua perkataanku dapat kau cerna, tentang buku-buku langka yang berhasil selesai kubaca. Atau pula tentang para tokoh hebat yang kukagumi pemikirannya. Kau tampak tak peduli betapa rumit apa yang akan aku utarakan,
69
tatapanmu selalu menunjukkan keinginan besar untuk mendengarkan. Mendengarkan apa yang anak laki-laki mu ini akan ceritakan, tentang pencariannya dalam perantauan, tentang hal-hal baru yang ia temukan. Usanglah semua rumit dan sulitnya kisah anakmu dinegeri orang, dengan cinta sederhana yang kau simpan dalam tatapan matamu yang ia pandang. ---------------------------------------------------------Aku sadar betul sayang, betapa hal yang kau inginkan dariku hanyalah waktu yang sedikit saja lebih panjang. Betapa kau inginkan aku membelai rambutmu hingga kau tertidur lelap, atau megenggam tanganmu ketika harus melewati jalan panjang yang gelap. Dan itu pula yang membuatku tak pernah sekalipun lupa, pada senyum manismu yang melambai padaku dari balik jendela. Pada binar matamu yang menghantarkan aku memalingkan wajah dan kembali berjalan berbalik arah. Dari matamu, aku sadar bahwa kau mengerti, tak banyak waktu yang kita miliki. Satu hal yang kau harus tahu dengan pasti, bahwa nafasku yang terengah di depan pintu rumah, adalah karena aku berlari ketika tahu aku punya sedikit waktu untuk kubagi. Saat kau tertawa membuka pintu, dengan balutan sederhana baju tidurmu, maka saat itu pula aku tahu, bahwa takkan pernah kehabisan alasan untuk aku kembali padamu.
70
Dongeng Bidadari Bumi Aku selalu teringat tentang sebuah dongeng akan keberadaan seorang bidadari bumi. Ya, dialah seorang bidadari namun bukan di sorga, nirwana ataupun istana para dewa yang berada di atas kumpulan awan atau diantara gugusan bintang andromeda. Kecantikannya bukan hanya pada lengkung indah senyumnya yang mampu mengalahkan cerahnya warna bunga di kala sinar mentari pagi menerpa, atau pada dalamnya sorot matanya yang mampu menghanyutkan jiwasebagaimana derasnya ombak di pantai selatan Jawa. Dia adalah bidadariseutuh-utuhnya manusia yang hidup dan kakinya terinjak pada bumi, yang keberadaanya membuat manusia merasa tak lagi perlu ke sorga, nirwana ataupun istana para dewa. Mengapa harus kesana, jika di bumi yang meski tak ada habisnya bergejolak oleh kefanaan manusia, aku dapat meraba wujud bidadari yang mampu melepaskan segala penat terkutuk yang menjadi sahabat akrab manusia. Kekuasaanya akan hati para pria bukan oleh paras wajahnya, namun pada luas dan tajamnya paradigma yang ada dalam pikirannya. Kadang aku bertanya, bagaimana mungkin dibalik halusnya rambut hitam lembut mengkilap itu, tersimpan begitu luas cakrawala
71
pemahaman yang tidak sama dengan berjuta-juta wanita diluar sana. Ya, diluar sana, para wanita ada yang sibuk mengurusi bentuk rambutnya ataupun warna bibirnya, namun tetap saja tidak merdeka dalam berpikir dan tidak adil dalam berkata. Atau pula, yang hanya sibuk bekerja dan bekerja untuk meraih kegelimangan harta agar ia dapat puas menikmatinya, seakan-akan menjadi naik harkat martabatnya oleh tumpukan uang, ataupun tambahan gelar demi gelar dibelakang namanya. Atau yang lebih menyedihkan lagi, ada saja wanita yang meski jaman sudah berganti masih merasa terlahir sebagai mahluk yang harus berada dibawah laki-laki yang entah karena dipaksa atau kemauan sendiri, kini menjadi apa yang orang sebut suami. Sedang yang lain, sibuk akan ritual-ritual penyembahan, entah kepada sosok manusia suci atau pada Pencipta semesta ini, sebagai pemuas hati seakan-akan lupa dirinya masih berada di bumi. Hah, entahlah dengan para wanita-wanita lain diluar sana, apakah karena memang mereka hanya manusia biasa? Atau itu semua karena manusia-manusia yang sudah ada sebelum nenek dari kakeknya nenek ayahku dilahirkan, memang sudah salah sebelumnya mengkonsepkan sosok wanita. Yah,sepertinya memang karena mereka hanya manusia biasa, tak seperti sang bidadari bumi yang memang lahir dari rahim dewa Ra dan dirawat baik oleh Ganesha, Sang dewa yang kerap 72
minum dari mangkuk pengetahuan tanpa pernah merasa kehilangan dahaga. Bidadari ini dilahirkan dimasa depan, namun sudah dewasa sejak sekarang. Oleh karenanya pemikirannya jauh lepas meninggalkan kekangan-kekangan jaman yang usang. Jika ada sebutan yang lebih futuristik dari kata “modern”, maka kata itu harusnya bermakna sama dengan jauhnya pemikiran sang bidadari bumi, yang melintasi jaman-jaman batu menuju jauh pada jamanjaman dimana telepati bukanlah lagi hal gaib ketika udara diisi gelombang-gelombang informasi oleh manusia. Dia adalah bidadari bumi yang bersayap bukan pada punggungnya, namun pada pikirannya yang mampu terbang lebih cepat dari waktu untuk tiba di masa depan. Namun dia bukan hanya sekedar sang bidadari,yang indah dinikmati baik oleh panca indera tubuh maupun dengan diselami melalui hati. Dia juga adalah sang calon ibu dari anak-anak seorang pria yang aku harap itu aku. Dia adalah saudara kembar dari ibu terhebat di alam ini, ya siapa lagi kalau bukan Sang Bumi. Sang Bumi, si ibu dari begitu banyaknya mahluk di semesta ini, yang sudah berapa juta tahun merawat baik anakanaknya,menghidupinya dengan suburnya tanahnya, merawatnya dengan teduhnya awan-awannya dan mendidiknya dengan tegasnya badai-badainya.
73
Ah, mungkin aku sudah gila jika hanya terus memikirkannya. Benar-benar kau bukan manusia, oh sang bidadari bumi. Bahkan hanya dengan dongenganmu saja, telah membuat aku menjadi susah bingung dan merana. Aku menjadi terus mencoba mencari-cari kekasih hati yang sedikit saja mampu seperti dirimu, oh tokoh dalam dongeng kesukaanku. Aku menjadi seperti pelaut-pelaut yang mengarungi bulatan bumi dalam hantaman ombak samudera, untuk sebuah cerita tentang peninggalan harta karun yang entah ada dimana. Benarbenar sialan dongeng yang menceritakanmu itu dan alangkah baiknya untuk aku segera menutup buku. Aku akan datang padamu hai gadis-gadis cantik yang sedang memasang gincu dibibirnya, aku tak akan peduli akan kata-kata yang keluar daripada mulut indah merah merona itu, selama aku mampu mencumbuinya. Aku akan merebutmu gadis-gadis bermahkotakan rambut lembut hitam mengkilap, aku tak peduli akan pikiran yang ada didalamnya, entah itu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri, atau hanya tentang indahnya pantulan wajahmu yang kau tatapi dibalik cermin. Selama jari-jemari ini masih bisa membelainya, ya peduli setan dengan itu semua. Dan nanti tepat di hari aku mati, aku akan mengakhiri penantianku, karena disitulah aku akan mulai pencarianku akan sosok bidadari, yang karena memang mustahil ada di dunia ini. Rohku akan melayang terbang mencarimu di sorga,
74
nirwana dan istana para dewa diantara kumpulan awan dan gugusan bintang adromeda.
75
Rasa : Bagian II Cerita Cinta
“Cerita Cinta Itu Tak Selamanya Berakhir Indah, Namun Ceritanya Akan Selalu Indah, Karena Dia Bercerita Tentang Cinta”
76
Bunga yang Tepat (Bagian Pertama) Alkisah terdapat seorang pemuda di suatu desa yang alamnya indah dan kaya akan berbagai jenis bunga. Pemuda ini tinggal bersama seorang kakeknya, dimana seluruh keluarga yang lain sudah tiada akibat bencana letusan gunung berapi yang berada di desa mereka dua puluh tahun yang lalu. Di suatu sore, datanglah pemuda ini ke hadapan kakeknya yang sedang sekarat di tempat tidur mereka, lalu kata si kakek kepadanya, “Cucuku yang terkasih, sudah waktunya untuk aku menyusul semua keluarga kita di sana, di negeri para dewa diatas gunung berapi itu. Kiranya, kau dapat hidup seorang diri sendiri disini. Meskipun demikian, aku akan meninggalkanmu sebuah pot tua peninggalan leluhur kita.” Lanjut si kakek kepadanya, “pot ajaib ini memilki kemampuan untuk menceriakan suasana hati seisi rumah jika ditanami sebuah jenis bunga yang sesuai dengan keinginan si empunya rumah. Letakkanlah pot ini di dalam rumah, lalu carilah diseluruh padang disekitar desa dan hutan-hutan di kaki gunung ataupun di pedagang-pedagang bunga didaerahini, sebuah jenis bunga yang sesuai dengan hatimu. Carilah bunga dengan warna yang kau sukai, namun kau harus ingat bahwa bunga tersebut harus dapat tumbuh di pot dengan ukuran 77
seperti itu serta harus mampu hidup dalam pot tersebut”. Seketika itu pula, si kakek menghembuskan nafas terakhirnya di tengah tiupan angin kesunyian yang menerpa deras di hati sang pemuda. Seminggu sesudah si kakek tiada, pemuda tersebut termangu dengan masih mengingat jelas pesan sikakek. Setelah menatapi pot ajaib di depannya, lalu dia berkata pada dirinyasendiri, “Aku akan pergi ke hutan, aku pernah melihat sebuah bunga merah dengan daun kecoklatan yang sangat indah. Aku akan mengambil sebuah saja karena aku sangat menyukai warna merah dan coklatnya yang akan menghiasi rumahku ini”, katanya dalam hati. Lalu, pergilah pemuda ini ke hutan di bawah kaki gunung berapi yang dua puluh tahun lalu, dengan muntahannya telah membakar habis ayah,ibu dan adikadiknya. Sesampainya disana, pemuda ini terkejut, dia melihat seorang gadis berkacamata tampak juga sedang mengamati kumpulan bunga merah berdaun coklat itu. Jubah putihnya menutupi tubuhnya yang kuning langsat dengan rambut yang diikat ekor kuda. Pemuda ini terpana, lalu dia bertanya pada sanggadis tersebut mengenai tujuan keberadaannya disana. Setelah sebuah perbincangan hangat dan diselingi tawa, pemuda ini tahu bahwa gadis tersebut adalah seorang peneliti yang sedang meneliti jenis tanaman yang sama dengan bunga yang sedang dia cari tersebut. 78
Peneliti ini pun lalu bercerita padanya bahwa dia harus melakukan penelitian dalam jangka waktu yang tidak sebentar terhadap tanaman tersebut dan kemah yang dibangunnya tampak tidak cukup kuat untuk menahan jika hujan tropis besar datang sebagaimana biasanya. Sedangkan disisi lain, penginapan di kota berjarak cukup jauh dimana akan sangat menyulitkannya untuk meneliti kondisi bunga tersebut di saat malam dan subuh. Bak gayung bersambut, sang pemuda lalu menawarkan rumahnya untuk menjadi tempat tinggal sementara bagi sang gadispeneliti tersebut. Kegembiraannya membuatnya lupa untuk mencari tahu lebih jauh apakah ukuran maupun lokasi tempat bunga yang akan dia bawa pulang sudah cocok untuk ditanam di pot kecilnya tersebut. Sang pemuda tersebut merasa sangat beruntung, karena bukan hanya bunga yang dia bawa pulang ke rumah kecilnya tersebut. Tapi juga seorang wanita cantik yang juga cerdas yang akan menghapuskan kesunyiannya sepeninggalan kakeknya. Pemuda ini pun lalu menanam bunga yang baru saja dipetiknya tersebut dan lalu mempersiapkan kamar bekas kakeknya untuk dapat dipakai oleh si gadis.Gadis tersebut pun kini sudah mengambil sebagian besar perhatiannya, lebih daripada bunga dan pot ajaib peninggalan kakeknya. Hari-hari berikutnya sudah bagaikan mimpi yang bahkan sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh si pemuda. 79
Setiap hari sebelum ia pergi ke ladang atau hutan untuk berburu, dia mengantarkan sang gadis cantik idamannya tersebut sambil bercerita dan tertawa satu sama lain. Seminggu sudah berlalu, dan perjalanan menuju lokasi bunga tersebut kini mereka jalani dengan tangan yang saling menggenggam dengan mesra dan hangat. Tak terasa sudah sebulan berlalu, si pemuda tersebut kini bisa memandangi bulan di malam hari dengan bercerita tentang kehidupan bersama seorang gadis yang bersandar dipundaknya. Dia melirik sejenak ke arah pot kecilnya, sembari pundaknya menjadi sandaran kepala dan untaian rambut si gadis peneliti tersebut. Lalu, katanya dalam hati, “Ternyata pot kecil ini benar-benar ajaib, kek!”. Sore itu senja tampak sangat indah keemasan, ketika si pemuda berjalan pulang ke rumahnya setelah pulang dari berburu. Langkahnya begitu cepat seakan ingin segera sampai di rumah dan menyiapkan makan malam yang indah seindah biasanya dengan seorang gadis cantik idamannya. Ketika meletakkan hasil buruannya diatas meja, dia menemukan selembar kertas dengan tulisan tangan diatasnya. Lalu, dibacanya tulisan di kertas tersebut, Sayang, maafkan aku karena harus pergi darimu tanpa pamit sebelumnya
80
Aku tahu akan lebih berat dan sulit bagiku jika harus memandang wajahmu Wajah dengan garis-garis keras namun dengan sepasang tatapan lembut itu Yang menatapku dengan penuh cinta dan keinginan besar untuk melindungi Maafkan aku karena telah menjadi lancang meninggalkanmu yang kuyakini pasti kan terluka Namun, bukan hanya dirimu saja sayang, aku pun sampai tak sanggup memegang pena Dan memulai menuliskan kata-kata yang aku kutuki ini
Aku harus pergisayang, karena sebenarnya penelitianku sudah selesai sejak sebulan lalu Namun, aku belum sanggup jika harus dengan segera meninggalkanmu Aku harus kembali ke kota yang jauh dari sini, memulai lagi kehidupanku sebelumnya
81
Dan yang paling menyakitkan adalah aku tahu persis kita tiada mungkin terus bersama Ayahku tak akan mungkin mengijinkan kau menikahiku, seorang pemuda desa di kaki gunung Kita berasal dari dunia yang tak sama sayang, meski cinta diantara kita tak lagi perlu dipertanyakan Terimakasihku sebesar-besarnya kusampaikan kepadamu Dan sebuah permohonan maaf yang ku tahu tiada mungkin kau beri Aku mencintaimu Romeoku
Salam Cinta - Julietmu
Pemuda tersebut pun terjatuh dari kaki-kakinya yang tegap kokoh berdiri, tertunduk lesu seakan tak mempercayai apa yang terjadi. Angin topan yang dibawa hujan badai yang datang di bulan Januari pun tak akan bisa merobohkan kuda-kudanya yang kuat, namun itu semua seakan roboh ketika sebuah perasaan sakit samarsamar terasa didadanya. Rasa sakit yang tampak tidak
82
nyata, namun seperti membawa tubuhnya untuk segera menyentuh lantai. Di tengah kekecewaan itu, tak sengaja dia melirik kepada bunga di pot kecilnya yang sudah tampak layu sejak kemarin, dan tepat di hari ini sudah terkulai mati. Sekilas dia melihat bayangan dirinya sendiri sedang makan bersama gadis itu di meja makan, sembari sang gadis berkata padanya, “Sayang,bunga merah kecoklatan yang kuteliti itu tak akan mampu hidup di pot kecilmu itu. Bunga itu harus hidup di hutan bebas sehingga kebutuhan nutrisinya terpenuhi. Lihatlah, bulan depan bunga itu tak akan mampu bertahan”. Kenangan itu seakan datang kembali tanpa diundang, dan dia menyesali tak pernah mendengarkan dengan serius cerita si gadis tentang sebuah bunga di pot kecilnya. Dia terdiam, tidak tahu apakah harus mengutuki pot kecilnya atau malah bersyukur yang karena keajaibannya telah memberikannya masa-masa indah bersama seorang gadis impian dari negeri yang jauh. Bersambung (Belum Selesai)
83
Malin Kundang Sudah sebelas tahun berlalu sejak malam itu, hampir tidak ada hari yang terlewat tanpa cacian bapak dan tetesan air mata ibu yang menetes meski hanya satu dua butiran kecil. Malam dimana si anak yang dahulu kami sebut anak kesayangan itu, menghilang dari rumah dan hanya meninggalkan seberkas surat. Anak kesayangan yang juga adik bungsuku itu, menghancurkan impian bapak untuk memiliki seorang anak pegawai departemen ternama pemerintah, dengan kabur hilang tak berbekas.Bagiku bukanlah hal tersebut yang membuatku sangat membenci si anak yang kini kami sebut si malinkundang itu.Melainkan, bagaimana dia tega menghancurkan hati ibu yang sudah merawatnya sejak kecil, membiarkan ibunya menangis didepan teras setiap sore tiba dan berharap dia menunjukkan batang hidungnya. Dia memang pandai dan itu sudah terlihat ketika dia masih berumur bocah, dimana hampir setiap tahun gelar juara umum diraihnya. Sejak pengumuman diterimanya dia di Sekolah Tinggi Negara yang lulusannya nanti akan jadi pegawai di departemen pemerintah, ibu dan bapak sudah menyiapkan rencana yang sangat bagus untuk kehidupannya. Sebegitu bagusnya rencana bapak dan ibu, sehingga tak pelak kami kakak-kakaknya berharap 84
ketika muda dulu, kami bernasib sama dengan dia. Bapak menjual sepetak sawahnya dan membelikannya sebuah sepeda motor merah keluaran terbaru untuk dapat dipakainya kuliah, yang karena memang kampus sekolah tinggi itu tak jauh dari rumah. Selain itu, bapak dan ibu juga sudah menjodohkannya dengan Tiur, anak gadisnya Camat setempat yang menjadi primadona di daerah kami. Semua rencana indah itu buyar tak bersisa tanpa ada pertanda apapun yang diberikan olehnya sebelumnya. Dia tidak pernah sama sekali menolak ketika disuruh mendaftar Sekolah Tinggi Negara itu, dan begitu pula ketika dia dibawa bapak dan ibu berkunjung ke rumah Camat untuk berkenalan dengan Tiur, anak gadisnya. Namun, suatu malam ketika bapak membuka paksa pintu kamarnya yang diengsel dari dalam, kami hanya menemukan sebuah surat.
Kepada Ibuku tercinta dan kakakkakakku tersayang juga buat Bapak.
Aku ingin menyampaikan rasa terimakasihku yang pasti tidak akan cukup untuk menggambarkan betapa aku sangat mensyukuri memiliki keluarga seperti kalian
85
dan betapa besar apa yang sudah kalian perjuangkan untukku. Aku mencintai kalian dan selamanya akan tetap mencintai kalian. Oleh karenanya, aku tidak akan sanggup jika harus melihat kalian terluka dengan keputusan yang aku ambil.
Aku harus pergi, ibu, kakak! Aku memiliki hidup untuk aku hidupi sendiri dan hasrat untuk aku jalani. Aku tak akan mampu melakukannya jika harus terus bersama kalian. Jika harus menjalani hidup sebagaimana yang bapak dan ibu rencanakan, aku tak akanmampu berdamai dengan hati dan pikiranku yang berkata lain.
Tak perlulah kalian cari aku, dan aku janji akan tetap menyampaikan kabar sebisa mungkin. Suatu hari nanti aku pasti pulang.Aku mencintai kalian.
Si Bungsu
86
Tapi, disamping kebencian kami, ibu menyimpan kerinduan yang sangat dalam padanya. Ibu, adalah orang yang paling yakin suatu saat nanti dia akan pulang, karena memang tampaknya dia tak pernah ketinggalan kabar tentang kami. Kami tidak tahu, namun tampaknya dia pun selalu memperhatikan kami. Tiga tahun yang lalu, ketika bayi laki-laki saudari kami lahir, sebuah paket berisi boneka diantar kerumah saudari kami itu dengan tanpa alamat pengirim dan hanya sebuah nama pengirim bertuliskan “Paman”.Belum lagi, seringkali ibu merasa heran dengan uang di rekeningnya yang tiba-tiba bertambah tanpa tahu siapa pengirimnya.Tanpa perlu berdiskusi panjang lebar, kami semua tahu pasti bahwa si bungsu malinkundang itu ada di dibalik semuanya. Sore ini, aku datang berkunjung ke rumah ibu dan bapak, karena memang tak jauh dari rumah yang kubangun sendiri.Dalam sayup-sayup cacian bapak yang tak ada habisnya kepada anak bungsunya itu, aku melihat ibu termenung di teras rumah. Sore ini tampak tak biasa, air matanya tampak mengalir sangat deras namun tanpa sedikit pun ia mengeluarkan suara. Tiba-tiba bapak tampak berbicara padanya dengan suara keras, “Sudahlah Bu! Janganlah kau buang sia-sia air matamu itu, hanya untuk si anak durhaka itu!”. Aku mengamini betul kata-kata bapak, dan ingin segera menenangkan mereka berdua sampai aku dengar ibu berkata, “Mungkin, kita yang salah pak.Mungkin kita, pak”.Aku
87
lihat bapak tampak kesal dan memilih masuk kedalam rumah.Aku segera mengambil tempat untuk duduk di samping ibu. Ibu masih berusaha mengusap air matanya, ketika pandangan kami tertuju pada dua orang anak kecil yang masuk ke pekarangan kami dan berusaha mengutip buah mangga yang terjatuh dari pohonnya.Lalu, tampak seorang wanita memanggil kedua anak itu lalu merangkulnya sambil mengucapkan permohonan maaf pada kami. Pakaian ibu dan kedua anak itu tampak bagus dan sepertinya keduanya berasal dari kota. Lalu, wanita itu bertanya dimana kediaman ibu Uli, yang merupakan nama dari ibuku sendiri. Setelah ibu menjawab bahwa dialah ibu Uli, wanita itu lalu menangis dan menyeka air matanya.Kami tertegun sampai mendengar suaranya yang terisak, “Kenalkan ibu, mereka ini cucu-cucumu!” Ibuku langsung menangis dan memeluk kedua anak tadi dengan serta merta menciumi pipi mereka. “Dimana bapaknya?”, tanya ibu pada wanita itu, “Dimana bungsuku itu?” Sejenak, wanita itu mengambil waktu untuk menenangkan diri.Aku lalu mengajak dia dan kedua anak kecil, yang merupakan keponakanku itu untuk masuk ke dalam rumah.Ku suruh Lisma, sanak dari kampung yang menumpang tinggal sambil merawat ibu dan bapak di rumah, untuk membuatkan teh.Segala kebencianku seakan lenyap ditelan angin, saat dengan seksama kudengar cerita dari adik iparku itu.Wanita 88
yang berparas cantik, tampak tegar dengan sorot matanya yang menunjukkan bahwa dia secerdasadikku.
*****
Adikku itu kini adalah seorang dosen di perguruan tinggi ternama di ibu kota, sembari mendirikan lembaga konsultan dan sebuah sekolah gratis miliknya sendiri. Tepat setahun yang lalu, dia berhasil memperoleh hak paten dari sebuah program komputer yang kini dipakai di sebuah perusahaan multinasional.Dia memperoleh royalti yang cukup besar setiap bulan sehingga mampu membiayai sekolah milikinya yang diperuntukkan untuk anak tidak mampu.Dia juga menabung sejumlah uang untuk diberikan kepada bapak, ibu dan kepada anak-anak kami, keponakannya. Wanita yang duduk dihadapanku itu adalah seorang peneliti dan aktivis lingkungan hidup yang telah menikahi adikku selama empat tahun.Dia berasal dari suku seberang yang selalu diperingatkan bapak dan ibu untuk tidak kami jadikan pasangan hidup, karena perang saudara yang pecah empat puluh tahun lalu.Mungkin, itulah alasannya si bungsu itu tidak mengundang dan memberitahukan kami semua perihal pernikahannya itu.Mereka membangun rumah tangga di ibu kota dengan
89
mandiri tanpa ada bantuan biaya dari keluarga sama sekali. Satu tahun yang lalu, tepat sepuluh tahun semenjak kepergiannya dari rumah, adikkuberserta anak dan istrinya datang kerumah.Namun, ketika berada didepan rumah, dia mendengar cacian bapak dan aku tentang betapa durhakanya dia sebagai seorang anak.Kala itu, ketika aku bertanya siapa dia dan sedang mencari siapa, dia berpura-pura salah alamat dan memilih untuk kembali ke ibukota. Pada saat itu, aku dan bapak sama sekali tidak mengenalinya. Dua bulan yang lalu, ketika berada di sekolah gratis miliknya, seorang orang tua dari salah satu anak jalanan yang ada disana mendatanginya. Dia dan orangtua itu terlibat adu mulut karena dia tidak mau menyerahkan anak tersebut kembali pada orangtuanya yang berusaha memberhentikan anak tersebut dari sekolah agar kembali bekerja di jalanan sebagai pengantar ganja dan sabu. Orangtua anak tersebut pun menancapkan sebuah belati berukuran 30 centimeter tepat di dada kirinya.Adikku itu, si malinkundang itu pun harus mengakhiri hidupnya di usia yang belum genap 30 tahun. Ibuku menangis sambil memeluk erat menantunya itu, bapak yang dari tadi ternyata di balik tirai mencuri dengar semua pembicaraan kami, terjatuh pada kedua lututnya sembari menangis tiada henti.Aku hanya bisa
90
menahan rasa sakit yang sangat dalam di dada, menyadari bahwa setahun yang lalu aku membuatnya pergi lagi dari rumah. Dan yang paling buruk, membuat dia tak bertemu lagi dengan ibu, yang selalu menunggunya pulang setiap sore didepan teras, sebagaimana dulu ketika ibu menunggu dia pulang bermain saat masih anak-anak, dan menyuruhnya mandi setelahnya. Dalam isakan tangisnya, kudengar bapak berkata, “Bapak, yang durhaka nak, bapaklah yang durhaka. Kalau kau mendengar bapak, kutuklah bapak nak! Kutuklah bapak! Kutuklahbapak menjadi batu!” Selesai.
91
Kisah hamba pada Tuannya Alkisah, ada seorang Tuan yang mahakuasa, mahaindah, mahaterpuji dan segala kebaikan bersumber daripadaNya. Namun demikian, yang terbesar dari kesemuanNya itu adalah kemahacintaanNya terhadap suatu desa kecil yang berdiri diatas tanah milikNya, diantara udara kepunyaanNya dan dibawah langit kekuasaanNya. Desa ini sangatlah kumuh, kotor dan juga miskin. Kejahatan, kelaparan, penyakit dan segala hal yang jahat ada diantaranya, menjadi satu dengan desa tersebut.Penduduknya adalah sekumpulan orang yang tinggal menetap secara liar, tak mengakui keberadaan si Tuan tersebut, berbuat sesukanya dan oleh karenanya desa tersebut menjadi hina pula nista. Suatu kali dua orang diantara penduduk desa datang dengan rendah hati menghadap pada si Tuan, meminta untuk merka dapat tinggal dalam rumahNya, lalu Tuan tersebut pun mengharuskan keduanya menjadi hambaNya dan melayaniNya hingga nanti mereka dipersilahkan masuk. Hamba yang pertama berpikir dalam hati "Betapa indahnya rumah Tuanku ini, bersih, megah, mewah serta
92
semua kebaikan ada didalamnya. Lalu betapa kuasanya pula Tuanku ini hingga tak mungkin dengan mulutku mampu menggambarkanNya". Hamba yang pertama pun mengingat pesan Tuannya untuk dia melayani, lalu ditinggalkannyalah desanya, dia berjalan menuju depan rumah si Tuan, katanya "Tuan ku yang maha agung pula mulia, kubawakan pada-Mu alat-alat musik terindah dari seluruh negeri hendaknya pula Kau dengar aku menyanyikan segala kebaikan yang ada padamu oh Tuan ku yang mahamulia". Keesokan harinya, dicarinya pula kanvas terindah dari seluruh negeri dan kuas terhalus serta warna-warni tercerah dari semua penjuru. Katanya didepan rumah si Tuan, "Tuanku yang mahamulia, hari ini aku merayakanMu atas kemahakuasaanMu , hendaknya dengan lukisan-lukisan terbaik yang dapat ku beri dapat sedikit tergambar betapa bersyukurnya aku menjadi HambaMu". Tak pelak hari demi hari berlalu, dan segala yang terbaik dari seluruh negeri pun sudah menumpuk didepan rumah megah milik si Tuan, dibawakan oleh hambaNya yang pertama. Lalu tibalah saat dimana si Tuan tersebut ingin melihat hasil kerja kedua hambaNya dan memutuskan pakah mereka akan diterima dalam rumahNya atau tidak. Tuan itu pun perlahan turun menuju pintu rumahNya, dibukaNya lalu dilihat olehnya hanya berdiri satu orang
93
hambaNya, namun belum sempat Dia berbicara tampak dari jauh seseorang berjalan. Terlihat seorang yang sederhana, hanya pakaian seadanya namun tetap terlihat rapi. Wajahnya tampak lelah dan tubuhnya sedikit kotor. Lalu seseorang itu pun berkata padaNya "Wahai Tuanku yang mahamulia, maafkan aku yang datang kemari dengan tampilan tak layak di hadapanMu. Tuanku, aku tahu betul bahwa kau mahamulia, dan segala kemuliaan itu tidaklah mungkin bertambah lagi dan apalah artinya aku bagiMu". Lalu lanjutnya, "Segala kebaikan padaMu tak akan mampu lagi kutambahkan meski dengan apapun. Tuan, yang aku tahu hanyalah bahwa Kau begitu mencintai desa dimana aku tinggal dan menetap. Tuanku yang mahakaya, disana kemiskinan ada dimana-mana beserta pula kehinaan dan kenisataan lainnya.Tapi mereka semua begitu tidak memperdulikanMu, oleh karenanya tak ada pelayanan lain yang bisa kulakukan selain berusaha membuat desaku itu menjadi lebih baik. Dan, aku pun gagal, Tuanku. Aku hanya mampu bekerja dan menghindari sebuah keluarga dari kelaparan, dan setelahnya aku hanya mampu membantu seseorang sehingga dia keluar dari lingkaran kriminal serta terakhir aku bahkan tidak mampu menyembuhkan penyakit seorang nenek, tapi mampu memepertemukannya kembali dengan anaknya sebelum dia meninggal."
94
Lalu Tuan itu bertanya, "ketika kau membantu orangorang tadi, dan mereka menanyakan alasannya, apa yang kau jawab wahai hambaKu?" Lalu jawab si hamba kedua itu, "Aku hanya menjawab ya Tuanku, aku melakukanya karena aku adalah hamba dari seorang Tuan yang mencintai desa ini."
95
Kenyataan : Kenangan dan Perjalanan
“Kenyataan Akan Tetap Menjadi Kenyataan, Kita Lah Yang Menciptakannya Menjadi Sebuah Keindahan Yang Akan Kita Nyanyikan Kelak Dalam Alunan Lagu Kenangan”
96
Kisah tentang Abang dan Kakak Tidaklah banyak kemewahan yang dapat kutemukan dalam masa kecilku yang penuh dengan kesederhanaan, jikalau kemewahan diartikan dengan barang-barang mahal yang dibeli di hingar-bingarnya perkotaan. Pohon nangka yang tinggi menjulang itu serasa bianglala di taman impian. Sungai berarus deras pun sudah seperti kolam pribadi, dimana setiap sore aku dan kedua abangku pergi kesana dengan sebuah motor merah yang meskipun bukan yang terbaru tapi masih sangar jika berlari kencang. Kami bertiga, tanpa helm dan aku hanya mampu melihat ke bawah dimana kilauan pasir jalanan tampak sangat cepat berlewatan. Sepeda motor itu pula tanpa spion, hanya abangku yang paling belakang yang sesekali melihat kebelakang dan akan berteriak, “ada mobil bang, hati-hati!”. Jikalau saja motor tua gila itu sedikit saja lalai menjalankan tugasnya, maka ibuku akan menangisi tiga putranya sekaligus. Aku hanya anak lelaki kecil pada saat itu, yang tak bisa memungkiri bahwasanya hingar-bingarnya kemewahan ala kota yang disajikan menarik di televisi milik kedai kopi di simpang jalan sangatlah menarik perhatian. Tentang permainan elektronik yang disebut game board, tentang makanan yang bernama hamburger dan restoran cepat saji yang menyediakan mainan anak-anak untuk 97
dijual. Meskipun hanya setiap sore dahulu hal tersebut kusaksikan, ketika menumpang menonton serial satria baja hitam di kedai kopi simpang jalan, yang akan segera terhentikan jika teriakan usiran si pemilik kedai terdengar. Seringkali saat ini ku tertawai sendiri keinginankeinginan konyol milikku saat itu. Meskipun demikian, ada banyak hal yang harus kusyukuri karenanya. Karena keinginan-keinginan itu, aku dapat kembali mengingat betapa indahnya dilahirkan disebuah keluarga dengan kakak-kakak yang sangat membanggakan. Bukan tentang bagaimana akhirnya keinginan-keinginan itu terwujud, tetapi tentang bagaimana satu dan beberapa orang kakak yang menunjukkan arti kasih sayang sebenarnya pada seorang adik. Suatu siang, ketika aku sudah pulang dari sekolah, seperti biasanya aku akan menunggu kakak-kakakku untuk kembali dari sekolah mereka. Saat itu untuk sampai dirumah adalah sebuah kelegaan yang besar bagiku, karena untuk menyeberang jalan besar antar kota di simpang jalan aku harus mampu menahan kaki-kaki kecilku yang bergetar kuat. Siang itu bukanlah sebuah siang yang biasa, kakak laki-lakiku yang duduk di bangku SMP pulang membawakan sesuatu. Sesuatu itu adalah sebuah makanan yang tadinya hanya bisa kulihat di televisi.
98
Ya, sebuah hamburger daging sapi ditunjukkan abangku dihadapanku dengan keadaan masih hangat dan terbungkus. Suara kertasnya yang dibuka, seperti suara gemertak robohnya pintu-pintu impian yang kokoh dan besar yang tadinya tertutup rapat dan terlihat tak mungkin terbuka. Oleh kakakku, dibaginya hamburger itu untuk kami nikmati bersama. Kuperlahan kunyahanku dan membiarkan lidah ini lebih lama menikmati arti sebuah kemewahan, makanan impian seperti yang ada di televisi. Meski hamburger yang kulahap ini hanya sebuah hamburger seharga satu atau dua ribu rupiah yang dijual oleh penjaja kaki lima di sekolah abangku, tapi tetap saja ini hamburger, makanan anak para raja pikirku. Tahun pun berganti, dan bulan kesayanganku pun segera tiba. Bulan Januari, sebuah bulan dimana hari kelahiranku akan kembali dirayakan. Tahun lalu, hari kelahiranku dirayakan besar-besaran dengan mengundang tetangga dan memotong sebuah bolu yang dimasak sendiri oleh ibu. Tahun lalu pula, kakakkakakku mengumpulkan uangnya untuk sebuah kacamata satria baja hitam yang dapat dilipat. Kali ini aku tak meminta banyak pada ibu, hanya sebuah kesempatan untuk makan di sebuah restoran cepat saji seperti di televisi. Lalu, bersama kakak perempuanku, aku pergi kesana dan merayakan hari yang hanya setahun sekali itu. Tadinya 99
aku meminta paket makanan berhadiah botol minuman bergambar batman, namun ketika kakakku mengatakan tak cukup uang yang ada, maka paket ayam nasi dan soda pun sudah cukup bagiku. Bukanlah enaknya ayam goreng itu yang memuaskan aku, tapi sejenak saja aku merasa bahwa aku dan kakakku sama seperti anak-anak dan keluarga yang cukup kaya yang ada di restoran itu. Sejenak aku merasa sudah sangat kaya dan sudah menjadi anak kandung dari hingar-bingarnya perkotaan yang disajikan manis di televisi di kedai kopi simpang jalan. Bukan cuma makanan saja yang menjadi impian anakanak di jamanku, permainan-permainan seperti game board dan mainan-mainan lain sudah menjadi sebuah kebanggaan besar bagi mereka yang memilikinya. Sebuah game board yang dahulu dipakai bergilir oleh kami sekeluarga kecuali ibu, sudah teronggok tak bernyawa karena sudah mencapai titik batasnya. Namun, itu semua seakan mudah terlupakan ketika abangku datang dengan game board yang lebih canggih dengan permainan tembak-menembak pesawat dengan dua jenis warna. Meskipun itu hanya pinjaman dan sebentar saja, tapi bagiku saat itu, hal tersebut sudah merupakan kebanggaan yang tak ada habisnya kuceritakan di sekolah. Ketika game board pinjaman itu dikembalikan, abangku memintaku bekerja sama dengannya untuk membeli 100
sebuah mainan yang bisa menggantikannya. Dia meminta uang lima ratus milikku untuk membeli sebuah kotak pensil dengan bola besi kecil didepannya dan lubang-lubang berterakan angka yang bisa dimasukkan kedalamnya, semakin sulit lubangnya semakin besar angkanya. Siang hari ketika paginya kuserahkan uang itu, kutunggui abangku di simpang jalan. Dari kejauhan, tampak dia sudah membuka tasnya dan melambailambaikan padaku sebuah kotak pensil. Aku kecil segera berlari dan menggapai kotak pensil dengan mainan bolabola kecil didepannya. Meskipun itu hanya sebuah kotak pensil dengan logo sebuah merk susu anak-anak, namun kebahagiaannya tak mampu terlupakan hingga kini. Memiliki kakak-kakak seperti mereka bukanlah hanya tentang masa-masa kecil yang haru dalam kesederhanaan dan rasa saling berbagi. Tapi tentang bagaimana memiliki saudara yang selalu ada ketika hidup dan segala kesusahannya menghadang rintang dan menciutkan hati. Bukan hanya di masa kecil, kami menghajar siapa saja yang membuat air mata kakak perempuan kami terjatuh entah karena diejek atau didorong jatuh saat bermain. Di masa kini, dan esok nanti pun kakak-kakak hebat seperti mereka akan selalu ada dan saling menjaga meski di kota yang tak lagi sama. Dalam perjalanan hidup, banyak teman dan sahabat bahkan ada pula sosok-sosok yang berusaha menjadi 101
kakak, namun tetap tak mampu mengisi tempat yang sama dengan sisi yang mereka isi. Bahkan tak jarang dalam berbagai komunitas ada banyak sosok yang dihadirkan sebagai kakak spiritual atau kakak rohani, atau apapun sebutannya. Mereka yang dalam tradisi komunitas berusaha menjadi kakak yang padanyalah semua masalah dan keluh kesah hidup dapat kita luapkan dan berbagi beban. Tak ada maksud untuk tidak mengindahkannya, hanya saja memiliki kakak-kakak yang sudah kepalang panjang kisahnya untuk menjadi sahabat bagi jiwa, dan tak ada masalah yang terasa besar ketika dibagi dengan mereka. Rasanya tidaklah angkuh dan jumawa jika berkata pada diri sendiri bahwasanya sudah cukuplah mereka yang dianugerahkan Tuhan ini kepadaku menjadi kakak yang kepada merekalah semua ombak kehidupan ini kuluapkan, menjadi karang yang menghantam dan memecahkannya menjadi butir-butir air yang berpelangi kala sinar mentari menerpanya. Terimakasih Tuhan karena mengizinkan mereka lahir dengan rahim yang sama denganku, menjalani semua pahit manisnya kehidupan dan saling menguatkan. Untuk kakak-kakakku yang menjadi alasan syukurku yang tiada henti pada Tuhan.
102
Rumah Itu Selalu Punya Ruang “Keluarga”, sepasang suami istri yang kupanggil “mamak” dan “bapak” serta ke-empat saudaraku yang lain, itulah yang selalu terbayang ketika kata itu terdengar. Saya seorang mahasiswa, lahir dan tumbuh di pinggiran kota Medan, Sumatera Utara. Lahir dari lima bersaudara sebagai anak yang paling muda dari seorang ayah polisi biasa dan ibu pegawai negeri di sebuah puskesmas kecil. Saya jauh lebih muda, lahir delapan tahun setelah ke-empat saudara saya lahir. Keluarga kami memulai sejarahnya dari sebuah perumahan polisi yang kini sudah digusur, lalu berpindah menuju perumahan kecil pegawai puskesmas, tepat setahun setelah saya lahir. Saya menghabiskan masa kecil di rumah kecil tiga kamar itu, sedangkan kakak dan abang saya yang lain menghabiskan masa remaja mereka. Rumah itu begitu kecil, ditambah kerabat yang merupakan dua orang pemuda dan satu orang gadis baru tamat SMA yang berasal dari kampung, yang sedang melanjutkan sekolah di kota Medan. Mereka berbagi tempat dengan kakak dan abangku sedang aku berbagi tempat dengan bapak dan mamak.
103
Hari-hari kami lalui dengan sangat gembira dan hangat, ketika pemuda dari kampung memanjat pohon kelapa di depan rumah, saya pun mengambil sebuah baskom besar untuk kami pun menikmati es kelapa bersama, tanpa pernah sekalipun merasa bahwa kecilnya rumah itu dapat menciutkan rasa syukur kami dan kehangatan yang ada. Halaman rumput hijau puskesmas menjadi tempat kami selalu bersenda gurau ketika petang. Kadang ketika masa ujian tiba, kamar suntik di puskesmas, yang kuncinya dipercayakan kepada ibu, dipakai buat belajar dan tidur oleh kakak dan abang saya, karena kamar di rumah tidak cukup untuk orang sebanyak itu. Begitulah rumah kami yang sebenarnya bukan milik kami, selalu penuh, bukan hanya dengan orang, tapi juga dengan canda tawa, kehangatan, dan kesederhanaan. Tak terasa, kini sudah sepuluh tahun sejak saya merasakan ketika rumah kecil itu penuh dengan orang, hingga dapur kami ubah menjadi kamar dan dengan kayu dan seng seadanya, lalu kami pun mengubah halaman belakang menjadi dapur yang selalu basah ketika hujan deras tiba. Tahun demi tahun, perlahan jumlah orang di rumah kami pun mulai berkurang, kakak dan abang saya mulai merantau dan menempuh pendidikan di pulau jawa, serta pemuda dari kampung selesai menempuh pendidikannya dan memilih mencari hunian sendiri. Ketika saya beranjak kelas tiga SLTP, kami pun meninggalkan rumah itu, karena ibuku dengan segala 104
jerih payahnya berhasil membangun rumah, yang memiliki tiga kamar namun lebih luas dibanding rumah kecil di samping puskesmas itu. Kakek dan nenek di bawa oleh ayah ke rumah dan menempati satu kamar, satu kamar lagi buat ayah dan ibuku dan satu kamar sisanya buatku. Kini, waktu pun telah berjalan cukup jauh, meninggalkan kenangan-kenangan indah itu yang tak lekang di ingatanku. Delapan tahun sudah berlalu, dan keluargaku sudah berubah begitu banyak, kakek nenek kini sudah tiada meninggalkan bapak dan ibuku berdua. Kakak lakilakiku yang paling tua kini bekerja di Sibolga sekitar 10 jam dari rumah, setiap minggu dia pulang ke rumah miliknya tepat sekitar 30an meter dari rumah bapak ibu kami tersebut. Istrinya bekerja di medan, kurang lebih 200 meter dari rumah dan cukup hanya berjalan kaki sebagai seorang perawat di Rumah Sakit Umum Pusat. Kakak kedua berkeluarga di Ambon, Kakak ketiga berkeluarga di Tangerang dan keempat masih belum menikah dan bekerja di Jakarta. Tapi, aku salah, ternyata kehangatan yang dahulu itu bukanlah sekedar kenangan.
Rumah kami sepertinya tak akan pernah sepi, meskipun dihuni oleh dua orang yang kini bahkan sudah menjadi kakek dan nenek atau dalam bahasa bataknya oppung. 105
Tanpa direncanakan, rumah itu kini diisi oleh satu orang pemuda dari desa, satu orang pemudi dari jakarta, dan dua orang pemudi dari Siantar, sebuah kota dekat dengan desa kami. Semuanya itu adalah keuarga, dan latarnya berbeda-beda, dua dintaranya dipercayakan ke rumah kami karena tadinya bertingkah cukup nakal, satu diantaranya karena tidak mampu mebiayai biaya sekolah dan terakhir karena adik ibuku yang adalah orang tuanya lebih mempercayakan untuk dia tinggal di rumah kami. Belum cukup sampai disitu, ternyata rumah abang lakilakiku pun demikian pula. Disana terdapat dua orang adik istrinya yang mengambil kuliah kedokteran dan satu orang anak dari kakak ibu kami yang berkuliah di perguruan tinggi negeri yang sama namun jurusannya berbeda. Situasi itu cukup menggambarkan kehangatan yang aku rasakan dulu. Para pemuda-pemudi itu begitu riuhnya bercanda dan tak pelak selalu membuat ibuku tersenyum dan bapakku tertawa. Kehangatan mereka mampu meredakan sikap nakal beberapa pemuda yang tadinya tidak demikian dan menciptakan kenangan yang sama sebagaimana delapan tahun yang lalu. Begitulah rumah ibu dan bapakku yang ternyata tak pernah kenal tempat dan waktu. Rumah mereka selalu penuh akan keluarga dan handai taulan, dan yang terindah selalu penuh akan tawa. Aku menggagumi mereka, bahwasanya ketika hidup berada di kala susah maupun ketika kini semua jauh membaik, kehangatan 106
mereka selalu memanggil banyak orang untuk tinggal bersama. Bahwasanya rumah mereka yang meskipun kecil namun tak akan dan tak akan pernah kehabisan ruang untuk tawa-tawa baru dan senyum-senyum baru.
107
Kisah Seorang Pemuda dan Ular Sawah Sebelumnya, ini bukanlah sebuah cerita yang punya banyak makna, bukan cerita yang indah buat diceritakan. Tapi entah kenapa begitu sulit untuk aku lupakan. Setiap kali hujan berhenti di sore hari, aku selalu ingat rumah kecil ku yang dulu, di sebuah kompleks puskesmas di pinggiran kota Medan, kecil dan sederhana. Setiap sore punya banyak cerita, baik itu indah maupun sedih, tangis maupun tawa. Tapi sore hari yang satu ini, selalu teringat, entah kenapa. Ibuku hanyalah seorang asisten apoteker, lulusan setara SMA. Namun, dia banyak belajar, hingga akhirnya dia bisa menyuntik, dia tahu obat apa saja untuk beberapa penyakit. Puskesmas, hanya buka sampai pukul 3 sore, dimana masyarakat seharusnya masih berladang atau bekerja. Aneh memang, tapi begitulah puskesmas. Sehingga, sering kali jika ada yang datang pada saat puskesmas sudah tutup, ibu saya memberikan sedikit obat yang dia tahu, lalu menyuruhnya datang lagi ketika puskesmas sudah buka. Suatu hari, suatu sore. Kompleks puskesmas kami, yang hanya terdiri dari 3 buah rumah yang masing-masing ditempati karyawannya, menjadi sangat riuh dan sibuk. 108
Keriuhan ini dikarenakan seorang pria yang datang, dengan tangan yang terluka besar. Pergelangan tangannya terbuka lebar seperti baru saja tersayat pisau besar atau mesin. Darah mengalir deras, dan sebuah kain mengikat otot lengan atasnya dengan kuat sehingga terlihat biru. Lelaki itu ternyata digigit oleh sebuah ular sawah yang besar, di sebuah kandang ayam yang sederhana. Kain itu mengikat tangannya agar darah yang mungkin sudah terinfeksi banyak kuman tak bercampur dengan darah diseluruh tubuhnya. Pria ini hanya seorang pemuda dari kampung, yang bekerja di rumah saudaranya untuk mengurus sebuah peternakan ayam kecil. Pemuda ini bersama seorang temannya, hanya mereka berdua, datang ke rumah kami dengan keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Ibuku segera memanggil kakak-ku, yang masih sekolah keperawatan setingkat SMA untuk membantunya. Tetangga kami disebelah rumah adalah seorang karyawan puskesmas juga, yang sudah kami anggap seperti keluarga. Pemuda ini dibawa ke rumah tetangga kami yang memang lebih luas daripada rumah kami, agar lebih mudah mengobatinya. Mereka bertiga segera menampung darah pemuda ini dalam sebuah baskom yang dalam waktu singkat sudah hampir setengahnya penuh. Saat itu, mereka segera mengambil perban, suntikan, benang jahitan luka, dan semua perlengkapan untuk 109
menjahit luka. Pergelangan itu terbuka lebar, dan jika tak hati-hati, si pemuda bisa saja tak selamat. Aku melihat kakak perempuanku seperti keringat dingin, dia yang masih sekolah harus dihadapkan pada keadaan yang tidak mudah. Ibuku pun demikian, dia hanya seorang asisten apoteker. Setelah beberapa waktu yang cukup lama, tangan si pemuda ini sudah selesai dijahit dengan rapi oleh mereka bertiga. Lalu, akhirnya si pemuda ini bersama temannya pulang,namun sebelum pulang ibu ku mengharuskan dia untuk segera ke rumah sakit umum yang berada beberapa ratus meter dari rumah kami, agar kondisinya bisa ditangani oleh yang lebih ahli. Lalu, darah si laki-laki ini yang sudah tertampung dalam sebuah baskom yang cukup besar dibuang, sambil kakak-ku menyampaikan betapa beratnya pekerjaan yang tadi dia lakukan. Beberapa hari kemudian, si pemuda itu tidak lagi tampak di daerah kami, hingga akhirnya kami mendapat kabar bahwa dia pulang ke kampung nya untuk menjalani pengobatan kampung katanya. Kami cukup kesal mendengar hal itu, mengingat bahwa luka yang baru saja dialami adalah sebuah luka besar yang cukup berbahaya. Ibuku berkata bahwa jahitan sebesar itu harus selalu dikontrol hingga akhirnya kering dan sembuh, belum lagi mengingat betapa bahayanya taring-taring si ular dapat menginfeksi dia. Pada saat kejadian itu, dia sudah tampak lemas dan pucat akibat kehilangan banyak sekali
110
darah. Setelah luka luarnya dijahit pun, seharusnya dia mendapatkan pengobatan, karena mungkin kain yang mengikat lengannya itu tak mampu menjaga agar darah kotornya tak bercampur. Belum lagi betapa banyak darah-nya yang keluar pada saat itu. Tapi, mungkin si pemuda itu tak punya pilihan, rumah sakit mungkin berarti uang, sedang dia hanyalah pemuda yang bahkan harus bekerja di sebuah peternakan ayam kecil milik saudaranya.Beberapa minggu berlalu, kami mendengar kabar bahwa si pemuda ini akhirnya meninggal dunia di kampungnya. Pengobatan kampung memang sepertinya tak bisa menggantikan perawatan modern, obat, serta suntikan anti infeksi dan tetanus yang harusnya diberikan. Begitulah cerita si ular sawah dan seorang pemuda. Ular sawah yang terjepit ketika tempat tinggalnya kini berubah menjadi peternakan, dan rumah warga. Dia tak lagi dapat mencari ayam-ayam yang bebas berkeliaran , sehingga peternakan mungkin satu-satunya pilihan. Si pemuda pun tak punya pilihan, dia harus mengecek semua ayam-ayam yang dititipkan padanya, dan ketika ada ayam yang mati, dialah yang harus bertanggung jawab. Begitulah cerita tentang bagaimana si pemuda dan si ular sawah yang sama-sama tak punya pilihan, harus mengakhiri hidupnya. Si ular sawah mungkin cukup beruntung, dia mengakhirinya lebih cepat di ujung kayu dan pisau milik si pemuda dan temannya. Si
111
pemuda kurang beruntung, karena dia harus menderita dan menyadari bahwa ternyata dia tidak punya cukup uang untuk menyelamatkan hidupnya.
112
Pelajaran dari Perjalanan 10 jam (Bagian Pertama ) Juli 2008, saat itu aku sedang dalam perjalanan menuju Medan dari Sibolga dengan sebuah mini bus, perjalanan kurang lebih 9 jam itu aku lalui dengan memetik pelajaran berharga. Seorang lelaki tua tionghoa duduk disebelahku saat itu, aku menyapanya dengan “Koko” ( panggilan untuk lelaki yang lebih tua oleh orang tionghoa ). Koko ini terlihat sangat senang, dia membawa sebuah sangkar berisi seekor burung, yang dia bilang tadi pagi ditemukannya jatuh dari atas pohon, dan dia memutuskan akan merawatnya dan membawanya ke medan. Kupikir, “lucu juga kakek satu ini, seperti anak kecil saja”. Seketika juga aku merasa baru saja bertemu orang yang sangat bijaksana. Ternyata Koko ini masihlah seorang ayah,dengan anak yang paling kecil seorang lelaki yang masih duduk di bangku SLTP di medan. Lelaki setua dia, jika memiliki cucu yang duduk di bangku SLTP saja, orang pasti percaya. Dia bercerita bahwa anaknya yang paling tua adalah wanita berumur kurang lebih 20tahunan, namun tingkat intelektualnya sepertinya dibawah rata-rata ( mungkin semacam Retardasi Mental ). Aku langsung tersentak, baru sadar bahwa ke-sahaja-an dan kemurahan
113
senyum Koko terhadap orang yang baru dia kenal ternyata tidak menggambarkan kesusahan hidupnya. Handphone Koko berdering, anak laki-laki nya menelepon dia, menanyakan sudah sampai dimana, sepertinya sudah tak sabar ingin bertemu sang ayah. Setelah Koko selesai berbicara dengan anaknya, ia bercerita bahwa sudah 5 tahun dia berada di Sibolga, ia bekerja sebagai teknisi ( tukang bengkel besi ) di salah satu proyek temannya. Dia bercerita bahwa tubuhnya sudah terlalu tua untuk bergelut dengan besi-besi tua. Dia memutuskan untuk kembali ke Medan, mencoba memulai usaha yang kiranya masih layak buat tubuh tuanya. Dia bercerita bahwa sebelumnya dia tinggal di Medan, didaerah percut, pinggiran kota Medan. Dia dahulu berbisnis tambak undang dan sukses, namun masyarakat setempat mencuri hasil tambaknya tiap kali masa panen, dan dia pun tidak berani melawan masyarakat setempat. Seketika itu juga dia memutuskan pindah rumah, dan bingung harus mencari nafkah lewat cara apa. Dia bercerita bahwa sahabatnyalah yang menolongnya. Memberikan dia pekerjaannya sekarang. Satu pelajaran berharga dari Koko, “Sahabat itu sangat berharga, kalau bagiku bahkan lebih dari saudara” kata si Koko. Sudah sampai Tarutung, daerah Tapanuli Utara, dan anak laki-laki Koko sudah lebih dari 4 kali 114
meneleponnya untuk menanyakan sudah sampai dimana. Padahal masih 5 - 8 jam mungkin sampai di Medan.
Koko melanjutkan ceritanya, dia mengajarkan padaku “Hidup ini adalah rencana yang diatas, ada 5 yang sudah diaturkan Tuhan buat kita, yakni : Kelahiran, jodoh, pertemuan, perpisahan dan kematian. Kita hanya tinggal menjalaninya sebaik-baiknya.” Lalu si Koko bercerita bahwa, dia adalah tionghoa Sibolga yang lahir dari orang tua kaya, mereka 3 orang bersaudara. Ketika ia remaja, orangtuanya meninggal, warisan orangtuanya dimiliki oleh kakaknya sepenuhnya. Adiknya, pergi ke hongkong, dan belakangan pernah menemuinya dan mengaku bahwa dia sudah menjadi anggota mafia hongkong. Sementara dia, melewati banyak pahitnya hidup untuk bisa hidup mapan. Bahkan Kakak perempuannya yang kini hidup serba berkecukupan berkat modal orang tuanya, enggan membantunya. Awalnya dia sangat kecewa, namun perlahan dia mulai melupakannya.
115
Pelajaran dari Perjalanan 10 jam (Bagian Kedua) Lima hal, itulah yang selalu diyakini koko sebagai “kehendak langit”; kelahiran, kematian, jodoh, pertemuan dan perpisahan. Bagi saya, yang mungkin tidak sekuat Koko, semua yang terjadi di hidup adalah Kehendak Tuhan, sama saja dengan prinsip yang dipegang Koko ditengah keraguan hatinya saat itu. Aku yakin dia pasti bimbang saat itu, berusaha memulai bisnis yang baru lagi, tidak ada jaminan akan sukses atau tidak. Tapi setidaknya dia percaya, apapun itu yang akan terjadi, dia sudah berusaha yang terbaik. Koko mulai bercerita, “dahulu aku ketika muda, pernah jadi buruh di pedalaman hutan Kalimantan. Aku melihat banyak sekali wanita yang telinganya panjang karena anting-antingnya besar.” Koko bercerita sangat detil dan semangat seakan-akan aku belum pernah melihatnya di TV dan internet. Maklumlah pikirku, Koko mengkin merasa aku belum pernah melihatnya, hanya karena aku belum pernah ke Kalimantan. “Kematian”, itulah yang berusaha ditampilkan Koko dalam ceritanya, bahwa kematian itu murni “kehendak langit”. Dia bercerita ketika Mandor-nya meninggal hanya karena kepalanya tertimpa kayu tua yang sudah
116
lapuk, yang terjatuh dari sebuah pohon tepat dimana dibawahnya sang mandor berdiri. Begitu pula dengan kematian orang tuanya, semuanya murni adalah “kehendak langit”. -------------------------------------------------------------------Seorang ibu muda, duduk didepan Koko, bercerita panjang lebar dengan seseorang disebelahnya. Aku pikir yang disebelahnya itu adiknya atau pembantunya. Si ibu bercerita mengenai suaminya yang seorang perwira polisi di kota Medan dan hal-hal lainnya yang terkesan sangat sempurna. Aku berpikir, “Si ibu muda ini terdengar seperti menyombongkan diri, agar semua penumpang saat itu dan si supir mendengarkan kesempurnaan hidupnya”. Tapi aku juga berusaha meyakinkan diriku bahwa aku terlalu mencurigai isi hati si ibu muda itu. Medan dan Sumatera Utara begitu mengagung-agungkan arti kata “perwira”. Budaya masyarakat Medan memberi penghargaan lebih untuk pekerjaan aparat pemerintah terutama yang bergelar perwira, sehingga si ibu begitu bangga menceritakan hal itu. “cik.. cik.. cik..” bunyi burung yang berada dalam sangkar. Seketika Koko menunduk dan mengambil makanan dalam sangkar dengan lidi, ujung lidi yang sudah melekat makanan di arahkan ke paruh burung itu, dan burung itu pun memakannya. Anak berumur 5 tahun, yang merupakan anak si ibu muda itu langsung melihat ke belakang. “Wah, ada burung”, katanya.
117
“Burung si Koko inilah, bunyi terus… Ko, hati-hati burungnya Ko.. Koko ini sudah tua tapi burungnya masih aktif aja” canda si Ibu muda dengan tawa. Burung bisa bermakna ganda di medan, dan semua penumpang merasa bahwa si ibu muda sedang memainkan makna kiasannya, yang sangat tidak sopan jika diartikan harafiah. Sontak seisi bus tertawa, si Koko juga, bahkan koko juga ikut dalam canda gurau yang sedikit nakal itu. Koko ini orang yang bersahaja kupikir, aku yakin dia merasa di tertawakan tapi tetap saja dia ikut tertawa. Tapi tetap bagiku si ibu muda tak seharusnya bercanda mengenai hal itu, si koko sudah terlalu tua untuk candaan seperti itu, mengingat ibu itu juga sedang membawa anak berumur 5 tahunan. Mungkin si ibu muda sedikit mendengar cerita hidup si Koko yang diceritakan kepadaku, sehingga terlihat kurang menghormati. Mungkin beda jika si Koko berkata bahwa dia punya sebuah mall di medan, pasti si ibu tak berani bercanda seperti itu. Sekali lagi, aku berusaha berpikir bahwa akulah yang sudah terlalu curiga pada si ibu muda ini. -------------------------------------------------------------------Kami sudah sampai di siantar, masih 3-4 jam lagi menuju Medan. Mini bus berhenti disebuah rumah makan, karena memang sudah waktunya makan malam. Mini bus melanjutkan perjalanan. Satu pelajaran lagi dari si Koko, kali ini sedikit asumsi si koko akan kehidupan, dia berkata:
118
“Dalam hidup, akan ada 3 keuntungan besar yang akan datang, dan jika kita tidak siap dan jeli dalam memanfaatkannya bisa jadi kesusahanlah yang akan datang.” Setidaknya itulah yang dirasakan si koko dalam kehidupannya. Aku sih berpikir bahwa mungkin bukan hanya 3, mungkin 2 atau mungkin 5, tapi yang paling penting “memanfaatkannya”, setiap anugerah Tuhan harus disyukuri dan kita harus jeli untuk terkadang menambil resiko. Tapi si koko juga mengingatkan untuk harus jeli melihat situasi. Diapun bercerita, bahwa si adik yang anggota mafia hongkong, pernah menemuinya setahun lalu, menawarkan pilihan berat buatnya untuk pindah ke Cina bersama keluarga dan menjalani bisnis dengan si adik. Koko ini bingung, dia pun menawarkan sebuah tawaran agar si adik membawanya ke Cina untuk sementara dia melihat kemungkinan dia pindah kesana. Si adik membawanya ke Cina, selama sebulan disana, si koko memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Dia berkata cuaca salju disana tak akan mampu diterjang tubuh tuanya yang terbiasa di cuaca tropis. Belum lagi ketidakmampuan dia dan keluarga berbahasa Mandarin standar dan tulisannya, dia dan keluarga hanya bisa berbicara Hokkien. Belum lagi latar belakang si adik yang seorang mafia, dia mengutamakan keselamatan keluarganya. Saya sentak menggagumi tawaran Koko untuk mencoba tinggal disana dan kejeliannya menganilisis kondisi,
119
terutama konsennya pada keluarga,seorang ayah yang hebat . HP Koko berdering lagi, sepertinya hampir setiap 15 menit si anak meneleponnya, menanyakan posisinya sekarang. Saat itu sedang macet di daerah “pasar bengkel” kurang lebih 1-2 jam menuju Medan. Seisi bus seakan sudah bisa merasakan seberapa rindunya si anak dengan ayahnya yang satu ini.
120
Pelajaran dari Perjalanan 10 jam (Bagian Ketiga) Kemudian, si koko bertanya padaku, “aku mau membeli apa itu namanya, komputer yang bisa di bawa-bawa? “. “Laptop ko?” tanyaku sambil ingin memberi tahu. Jujur aku sangat terkejut, mendengar cerita koko mengenai ketidakpastian finansial keluarganya, dia malah ingin membeli laptop. Apa yang sedang dipikirkan lelaki tua ini, tanyaku dalam hati. “iya laptop”, kata si koko, “anakku laki-laki satu-satunya itu minta dibelikan laptop, karena dia malu, hanya dia yang tidak bisa menggunakan komputer di sekolahnya”. Langsung saja aku ingatkan bahwa anaknya itu masih SMP, dan kebutuhan akan laptop sudah pasti bukanlah jawaban untuk dia mempelajari komputer. Aku berkata kepadanya lebih baik untuk membelikan anak laki-lakinya itu buku mengenai word, excel dan sebagainya. “Sebaiknya koko ajak saja dia ke gramedia, biarkan dia memilih buku yang disukainya, biar dia mempelajarinya di komputer sekolah saja”, jawabku. Jujur saja aku menjawabnya sambil memikirkan betapa berartinya uang untuk membeli laptop, untuk koko pakai buat bisnis barunya. “Tapi memang, jika koko membelikannya komputer, akan lebih baik untuk dia
121
belajar ko, tapi bukan laptop ko, itu terlalu mahal”, jawabku lagi. Aku tersentuh setelah mendengar jawaban koko setelah itu. “Aku cuma memiliki dua anak, yang paling tua, yang perempuan itu, aku tak bisa berharap lebih darinya. Mungkin Tuhan sudah berkehendak akan kekurangannya itu, aku hanya bisa merawatnya sampai nyawaku habis”, jawab koko, dari nada suaranya aku mendengar rasa sakit dan kepasrahan secara bersamaan. “Anak laki-laki ku satu-satunya ini, hanya dia yang bisa kuharapkan, aku hanya ingin agar dia bisa jadi orang yang berhasil dan mapan. Tapi, umurku yang sudah tua ini, bahkan membuatku tak lagi bermimpi untuk bisa melihatnya menikah, menggendong anak, dan membina keluarga”. “Sisa hidupku akan kuberikan yang terbaik buat dia, supaya kalaupun nanti, kapanpun aku harus pergi setidaknya aku sudah berikan yang terbaik buat dia”, jawab si koko. Aku merasakan keinginan yang kuat pada diri koko buat dia dapat melihat anak laki-lakinya ini berhasil dan menggendongkan cucu buatnya, tapi kepasrahannya kepada kehidupan membuat dia tidak berani berharap lebih, dia tahu dia tak mampu melawan waktu. Pembicaraan kami terhentikan oleh suara sesuatu. Tiba-tiba HP koko berdering lagi, nada suara HP nya itu adalah lagu batak berjudul “anak medan”. “Anak medan yang satu inilah”, kata koko kepadaku sambil tersenyum menandakan bahwa anak laki-lakinya itulah yang berada 122
di ujung telepon. Aku menguping pembicaraan mereka, aku penasaran akan betapa haru-nya hubungan anak dan ayah ini. “Pi… bagi pulsa pi…”, suara si anak laki-laki terdengar dari loudspeaker HP si koko ( Papi adalah panggilan si anak buat ayahnya ini ). “ahh.. taik mu lah… lu gak tidur-tidur jam segini, minta pulsa pula”, jawab si koko yang langsung dibalas oleh tawa kecil si anak. Tapi tetap si anak tidak tidur buat menunggu pahlawannya satu ini. Ya, koko ini seorang pahlawan, bahkan akupun mengakuinya. Inilah lima tahun penantian si anak, lima tahun pahlawannya ini pulang dari pertarungannya melawan besi-besi tua. Pahlawan yang menjalani setiap detik dengan peluh keringat buat “anak laki-laki harapannya”. Demi si anak gadisnya yang dengan semua kekurangannya tapi tetap dengan sepenuh hati dicintainya ini, dan buat wanita setengah baya yang dipanggilnya anak-anaknya ibu, yang dicintainya meski harus berjuang keras melawan usia. Pernikahan yang dimulai koko di usia yang terlambat dan segala kondisi jatuh bangun keluarga, tampaknya begitu tenang diterima si koko yang sudah dididik kehidupan sejak ditinggal orangtuanya sejak remaja. Kepasrahan koko akan kehidupan, akan “kehendak langit”, menjadikan dia kuat tapi tetap penuh kasih dan dedikasi pada keluarga. “Papi cepatlah datang ya”, kata si anak. “Macet ini, lu mau gua terbang apa”, jawab si koko. Pembicaraan di 123
HP itu selesai, si koko menatapku tanpa kata, seakan berkata “inilah anak laki-laki harapanku”. Aku tahu betapa akan emosionalnya pertemuan hari itu, si anak menunggu pahlawannya, si ayah ingin segera menjumpai “harapan”nya. Sejuta kemungkinan akan mereka hadapi, untuk memulai semua dari awal lagi, mencoba peruntungan dengan pasrah terhadap “kehendak langit”. Si ayah bukan hanya akan berjuang melawan peruntungan tapi juga usia dan tubuhnya yang tua. Tak terasa sudah tiba di medan, mini bus “Bulungan Indah” berhenti di terminalnya, saat itu pukul 02.30 pagi dini hari WIB. Aku turun bersama abangku yang juga dalam perjalanan itu. Aku masih melihat si koko yang sepertinya ingin sesegera mungkin menjumpai harapannya itu. Aku melihatnya, sambil aku berdoa agar kiranya Tuhan selalu bersama dia dan keluarganya. Perlahan becak mesin tumpanganku mebawaku semakin jauh, dan tak bisa lagi melihat si koko yang sedang mencari tumpangannya ke rumah. -------------------------------------------------------------------Kisah ini adalah sebuah perjalanan 10 jam dengan sebuah pelajaran kehidupan, sebuah kisah singkat akan kepasrahan dan perjuangan. Sebuah kisah pilu dibalik sebuah senyum ramah lelaki tua. Ya, bagiku inilah sebuah perjalanan, ini pula sebuah pelajaran. Selesai
124
Hati Emas di Sebuah Gereja Kecil
Saya bukan hendak membanggakan gereja saya, oleh karena itu saya tidak akan menyebutkan nama gerejanya. Gereja ini adalah gereja kecil, dimana saya sejak kecil sering beribadah minggu kesana. Gereja ini memiliki jemaat yang jumlahnya tidak begitu besar, bahkan tergolong kecil. Jika saya bisa mengambil asumsi sederhana dari apa yang saya lihat, saya bisa katakan keluarga jemaat gereja ini memiliki tingkat ekonomi menengah kebawah dengan mayoritas suku Batak Toba dan Karo. Hanya beberapa yang membawa mobil, parkiran yang masih lahan hijau yang dipenuhi rumput itu pun tidak pernah anda lihat penuh, sebagaimana biasanya gereja di kota-kota besar.Anda mungkin akan melihat banyak kesederhanaan dalam gereja ini, yang hingga saat ini masih menjadi semacam ciri khas yang bagi saya tak tergantikan. Maklumlah, jika saat anda bernyanyi di gereja ini, suara atau nada keyboard ( satu-satunya alat musik yang dipakai ) kadang sedikit tidak sesuai, itu karena hanya ada seorang keyboardis, yang memang tidak pernah kursus khusus. Lelaki tua ini pun mengajarkan anaknya bermain keyboard, lalu jadilah ada dua keyboardis di
125
gereja ini. Sesederhana itu, tanpa ada tim musik khusus atau semacam pelatihan oleh profesional yang dilakukan secara rutin setiap minggunya. Tetaplah maklum, jika paduan suara perukumpulan para suami hanya punya satu lagu andalan yang berulang kali ditampilkan, judulnya “pir ma tondim”. Janganlah mengeluh, jika anda melihat tempat duduk yang sedikit kurang nyaman anda duduki, penuh dengan coretan anak-anak sekolah minggu. Bahkan, di salah satu bangku ada akan menemukan nama saya “ARION” tergores di bangku kayu-nya yang sudah cukup tua. Saya selalu tertawa, tindakan bodoh saya ketika masih anak-anak masih dapat dilihat orang hingga kini. Tapi cobalah lirik ke bangku di bagian sedikit agak ke belakang, anda akan melihat seorang ibu tua dengan seorang wanita yang tampaknya jauh lebih tua dari dia duduk disampingnya. Ibu ini berpakaian rapi, sedikit gemuk, khas sebagaimana ibu-ibu berusia 50 tahunan. Ibu tua ini sangat anggun meski tidak dipenuhi berbagai perhiasan, hanya seadanya.Wanita disebelahnya tampak kurus dengan kulit agak kecoklatan dan ukuran tubuh yang kecil, wanita ini memiliki gigi yang hampir habis, ditambah tubuh yang sangat kurus. Jangan heran, jika ketika semua jemaat berdiri, wanita ini tidak berdiri dan hanya duduk di tempat .
126
Wanita itu adalah sepupu ibu itu, anak dari saudara perempuan ayahnya. Anak dari “namboru-nya”, itulah orang batak menyebutnya. Ibu itu selalu membawa sepupunya itu ke gereja setiap minggunya. Dia merawatnya di rumahnya meski dengan segala kekurangan sepupunya itu. Wanita itu memiliki banyak kekurangan semacam retradasi mental. Si ibu itu merawatnya, memakaikannya pakaian yang sederhana namun sangat rapi dilihat, setiap hari minggu, agar sepupunya itu mengikuti ibadah hari minggu bersamanya. Setiap minggu,wanita itu dituntun si ibu dan selalu duduk disamping si ibu. Hanya itu yang saya tahu dari “inang” ( panggilan ibu dalam bahasa batak ) itu, selain kenyataan bahwa suaminya lah yang biasanya berkhotbah di mimbar setiap minggunya. Bagi saya itu semua cukup untuk meneladani hati emas-nya, kesediaannya membantu saudaranya. Semoga “anak Tuhan” yang satu ini dapat memberikan teladan bagi kita.
127
Keajaiban Kaisarea (Bagian Pertama) Ini adalah sebuah kisah haru penuh akan rangkaian campur tangan Tuhan dalam hidup seorang manusia, dalam sebuah sekolah tempat dimana anak-anak dan kepolosannya mulai diasah menuju sebuah kedekatan akan Tuhan dan pemikiran yang bertanggung jawab. Ini kisah akan sikap penuh kasih senantiasa membawa keajaiban, sikap penuh rasa syukur senantiasa membawa campur tangan Tuhan dalam “kemustahilan” yang telah diciptakan manusia dengan semua keterbatasan kemampuannya untuk memahami dunia ini. *** Aku bersekolah di sebuah sekolah dasar Kristen bernama yayasan Kaisarea, sekolah ini adalah sebuah sekolah yang masih sangat baru ketika aku masuk dan bersekolah disana. Aku dan teman-temanku adalah angkatan pertama di sekolah ini. Kami lah sekumpulan murid pertama yang oleh sekolah ini berhasil mendapatkan Ijasah, yang oleh seorang kepala sekolah galak namun penuh kasih bernama Miss Yusni Sagala, kami memanggilnya Miss Yus, kami terbentuk lebih matang dalam menyelesaikan masa kanak-kanak. Sosok ini dan sekolah ini memberiku sebuah pelajaran akan betapa rencana Tuhan itu bagaikan rantai yang sambung
128
menyambung untuk mereka yang senantiasa berserah padaNya. Sebelas Juli dua ribu sembilan, Aku mengumpulkan beberapa teman yang dahulu satu kelas di SD untuk melakukan sebuah reuni kecil-kecilan, “unwell organized” tapi memberi makna bagi kami. Aku terkejut dan sangat senang, saat masuk dan menemukan Miss Yusni Sagala, yang terakhir kabarnya saya dengar mengalami sakit yang hebat dan bahkan diisukan sudah meninggal dunia oleh salah satu temanku, sedang berada di ruang kepala sekolah dengan begitu sehat dan penuh semangat. Sejenak, aku berpikir aku bermimpi, saat sedang menunggu kedatangan teman-teman yang lain, aku melihat sosok miss yus, mungkin hanya mirip pikirku lagi. Aku langkahkan kakiku, yang kini dua kali lebih panjang dari langkah kecil seorang arion empat belas tahun lalu, yang oleh mamakku aku dibawa ke sekolaha ini untuk menyelesaikan sekolah dasar dan menghabiskan masa kecilku bersama teman-teman dan miss Yus. Aku masuki gerbang yang sejak aku tinggal delapan tahun lalu belum pernah dicat ulang, kulewati pos kecil tempat besi tua yang dipukul menandakan waktu pulang atau istirahat. Besinya sama, dindingnya sama, lubang didindingnya sama hanya lebih besar kali ini, semua sama, yang berbeda hanya lapangan tanah kini sudah dipasangi blok merah menetupi semuanya. 129
Aku masuki ruangan kepala sekolah, aku tanpa berkata apa-apa langsung menyalam ibu tua sedikit gemuk berkacamata itu, aku langsung berkata “Miss Yus, masih ingat aku? Aku arion”, belum sempat aku melanjutkan dia langsung menegaskan kalau aku arion purba siboro, dilihatnya jumper-ku yang bertuliskan asal kampusku dengan ucapan kagum, disalam dan dirangkulnya aku. “Ini bukan kebetulan” itulah hal yang paling dia tegaskan kepada kami mengenai kedatangan kami, yang diantaranya tidak semuanya beruntung sedang menjalani kuliah. “Ibu baru seminggu lalu menjabat kepala sekolah lagi disini, mari kukenalkan ke guru-guru yang sudah sejak lama berganti-ganti”, kalimatnya itu membuatku bingung, kabar mengenai dia dan penyakit kanker rahimnya dan isu-isu lainnya saling beradu dalam pikiranku. Dan kini aku menemukannya di ruangan yang sama dengan delapan tahun lalu, meski dia mengidap kanker stadium empat?
130
Keajaiban Kaisarea (Bagian Kedua)
Ada sebuah pelajaran berharga yang kudapat saat kembali menemui miss yus sejak delapan tahun yang lalu, kali ini bukan pelajaran untuk tidak cakap kotor, yang dahulu dilakukannya dengan memukul dan menjewer kami, tapi sebuah pelajaran mengenai kehidupan. Kami, anak murid miss Yus delapan tahun lalu, kini berkumpul dan bercerita di sebuah ruangan. Miss Yus membelikan sekotak air mineral dan meninggalkan kami dalam ruangan. Tanpa sepengetahuan kami, ia sedang menangis di dalam ruangan kantornya sembari berdoa. Setelah itu, dia masuk dan menceritakan kami kehidupannya dan sekolah ini sekarang. Pelajaran pertama mulai dari kepasrahan akan Tuhan. Kanker rahim telah merenggut kesempatannya memiliki keturunan, tapi bagiku itu tak merenggut kesempatannya memiliki anak dan menjadi seorang ibu, bahkan ibu dari tiga puluh dua orang anak di setiap kelasnya. Ya, sikap keibuannya begitu terasa kala suaranya bergetar memarahi dan menyemangati anak-anak didiknya. Tahun 1994, ia divonis sebagai pengidap kanker rahim,
131
dan dokter pun sudah memprediksi tahun 1994 tak akan bisa dilewati lagi olehnya. Dia menyimpan berita itu hanya untuk dia dan Tuhan, dan ternyata kepasrahannya membuatnya mampu menjalani hidup dengan penuh energi, bahkan sejak tahun 1995 sampai 2001 dia telah menemani 32 anak angkatan pertamanya hingga lulus dan salah satunya menggaguminya dan menuangkannya menjadi tulisan ini. Tapi Tuhan menunjukkan jalan lain di kehidupannya, tahun 2003 ia tak mampu lagi bergerak, ia pingsan di tempat kerjanya dan tak mampu lagi menjalani profesi sebagai kepala sekolah. Kepasrahan akan Tuhan hanya itulah yang dia pegang saat itu, meski perutnya telah membesar dan kulitnya menghitam akibat kanker stadium empat sudah hampir pasti merenggut nyawanya. Pelajaran kedua adalah pertolongan Tuhan itu nyata dan sikap penuh kasih akan selalu membawa keajaiban. Keadaanya yang terus memburuk ternyata tak membuatnya lupa akan Tuhan, dan seketika itu juga Tuhan menunjukkan bahwasanya kuasa-Nya terlalu besar untuk analisis seorang dokter yang sudah memprediksi nyawa Miss Yus tinggal beberapa minggu dan hari lagi. Ternyata semua orang yang dahulu mengenal Miss Yus dan sikapnya yang penuh kasih dengan Kuasa Tuhan menempatkan mereka sehingga dapat menolong Miss Yus. Mulai dari mantan guru SD yang mengajar kami hanya dua tahun yang kini sudah
132
bekerja sebagai protokoler presiden, membantu mendanai pengobatan miss yus, hingga salah seorang mantan muridnya ketika ia masih mengajar di salah satu perguruan swasta lain. Mantan muridnya yang adalah seorang keturunan tionghoa membawanya ke Taiwan dan Cina untuk menjalani pengobatan metode baru yang masih dikembangkan. Semuanya murni dibiayayai oleh mantan muridnya itu, dan dia pun pasrah pada Tuhan, meski secara jujur sang mantan murid mengatakan bahwa dia adalah kelinci percobaan untuk metode pengobatan baru itu. Kuasa Tuhan pun dengan nyata menjamah miss Yus, perlahan kankernya mulai pulih hingga akhirnya dia melakukan pengangkatan kankernya yang tinggal seberat tiga kilogram di salah satu rumah sakit di medan, yang bahkan dokter dan perawat yang menanganinya adalah mantan orang tua murid yang namanya masih dengan jelas dihapalnya. Kini, dia sudah kembali semangat menjalani masa-masa penyembuhan setelah tujuh tahun berjuang mengalahkan kanker. Hingga akhirnya dia membuat sebuah pilihan untuk menjabat kembali sebagai kepala sekolah yang sudah tujuh tahun ia tinggalkan. Namun masih ada sebuah cerita mengapa ia sampai menangis melihat kedatangan kami saat seminggu tepat setelah ia kembali menjabat kepala sekolah. Cerita ini tidak dilanjutkan, karena hingga saat ini 133
penulis belum menemui kembali tokoh dalam cerita untuk membuat tulisan yang lebih lengkap. Mohon Maaf
134
Kumpulan tulisan ini adalah hasil tulisan saya yang dapat anda baca juga di www.arionbatara.webs.com Arion Batara Purba Siboro
135