34
4. KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA HASIL PEMEKARAN 2008-2010 4.1. Gambaran Umum Dalam kajian ini dipilih 45 sampel yang berasal dari 135 kabupaten/kota hasil pemekaran daerah yang penetapannya dilakukan antara tahun 1999 hingga 2005. Sampel diambil dari 26 provinsi, dengan masing-masing provinsi dipilih 1-2 kabupaten/kota hasil pemekaran secara acak. Adapun ke-45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang terpilih menjadi sampel dalam kajian ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran yang Dijadikan Sampel Berdasarkan Provinsi Provinsi Kabupaten/Kota Aceh Kab. Gayo Lues Sumut Kab. Serdang Bedagai, Kota Padang Sidimpuan Sumbar Kab. Dharmasraya, Kab. Pasaman Barat Riau Kab. Rokan Hilir, Kab. Kuantan Singingi Jambi Kab. Tebo, Kab. Muaro Jambi Sumsel Kab. OKU Selatan Bengkulu Kab. Kepahiang, Kab. Lebong Lampung Kab. Lampung Timur, Kota Metro Babel Kab. Bangka Barat, Kab. Belitung Timur Kepri Kab. Lingga, Kota Tanjung Pinang NTB Kab. Sumbawa Barat NTT Kab. Lembata, Kab. Manggarai Barat Kalbar Kab. Bengkayang, Kab. Sekadau Kalteng Kab. Lamandau, Kab. Barito Timur Kalsel Kota Banjarbaru, Kab. Tanah Bumbu Kaltim Kab. Kutai Timur Sulut Kab. Kepulauan Talaud, Kab. Minahasa Selatan Sulteng Kab. Morowali, Kab. Banggai Kepulauan Sulsel Kab. Luwu Utara, Kab. Luwu Timur Sultra Kab. Bombana, Kab. Wakatobi Gorontalo Kab. Boalemo Sulbar Kab. Mamuju Utara Maluku Kab. Kepulauan Aru, Kab. Seram Bagian Barat Malut Kab. Kepulauan Sula Papua Kab. Keerom, Kab. Supiori Papua Barat Kab. Raja Ampat, Kab. Teluk Wondama Total
Jml 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 2 1 2 2 45
Sumber: diolah dari data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri 2012
Ke-45 kabupaten/kota yang dijadikan sampel tersebut diambil dari kabupaten/kota hasil pemekaran yang telah berusia 3 tahun atau lebih (dengan menggunakan basis perhitungan usia per 31 Desember 2008). Berdasarkan kriteria
35 tersebut, kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel memiliki rentang usia antara 5 sampai 9 tahun. Tidak terdapat kabupaten/kota hasil pemekaran yang memiliki usia 3 dan 4 tahun karena pada tahun 2004 dan 2005 tidak ada penetapan kabupaten/kota baru (lihat kembali Gambar 2). Bila diklasifikasi lebih rinci, sebagian besar kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel telah berusia 5 sampai 6 tahun. Jumlahnya mencapai 29 kabupaten/kota atau sekitar 64,4 persen dari seluruh sampel. Mereka adalah kabupaten/kota hasil pemekaran yang penetapannya dilakukan pada tahun 2002 dan 2003. Sementara sisanya, 16 kabupaten/kota (35,6 persen) telah genap berusia 7 tahun dan 9 tahun. Tidak ada sampel kabupaten/kota yang berusia 8 tahun karena memang tidak ada pemekaran yang ditetapkan pada tahun 2000.
19
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
14 10
0
2
0
3 tahun 4 tahun
5 tahun 6 tahun
0
7 tahun 8 tahun
9 tahun
Sumber: diolah dari data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri 2012
Gambar 5.
Usia 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran (basis 31 Desember 2008)
Memperhatikan komposisi di atas, dapat dikatakan bahwa sebagian besar kabupaten/kota hasil pemekaran yang menjadi sampel dalam penelitian ini masih dipimpin oleh Bupati/Walikota definitif di periode 5 tahun pertama, yakni 32 kabupaten/kota hasil pemekaran yang berusia 5 dan 6 tahun. Sedangkan sisanya (16 kabupaten/kota hasil pemekaran) sudah memasuki periode kepemimpinan kepala daerah di 5 tahun kedua.3 Oleh karena itu, program kerja sebagian besar pemerintah daerah kabupaten/kota hasil pemekaran masih memusatkan perhatiannya pada pemenuhan kelengkapan kelembagaan daerah, seperti: DPRD dan satuan kerja pemerintah daerah (SKPD), pengisian jabatan pada SKPD, rekrutmen pegawai, dan sebagainya. 3
Sebagaimana diatur dalam PP Nomor 129 Tahun 2000 jo PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah maka setelah penetapan daerah pemekaran baru diundangkan, Menteri Dalam Negeri segera melantik Pejabat Bupati/ Walikota yang pemilihannya dilakukan melalui mekanisme penunjukan oleh pejabat kepala daerah asal sebelum pemekaran. Pejabat Bupati/ Walikota ini, dengan difasilitasi oleh gubernur bersama bupati/walikota daerah induk, diberi waktu setahun untuk menyusun perangkat pemerintahan dan mempersiapakan pemilihan bupati/walikota.
36 Berdasarkan proses pembentukannya, pembentukan kabupaten/kota hasil pemekaran dapat dilakukan melalui 3 prosedur, yakni: mekanisme usulan dari pemerintah, mekanisme hak inisiatif di DPR, dan transformasi daerah otonom dari kabupaten menjadi kota.
3 14
Pemerintah Pusat
28
Hak Inisiatif DPR Transformasi Kab ke Kota
Sumber: diolah dari data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri 2012
Gambar 6.
Komposisi 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran Berdasarkan Prosedur Pemekaran
Sebagian besar kabupaten hasil pemekaran dibentuk melalui pengajuan aspirasi ke pemerintah pusat. Hal ini karena memang pada tahun-tahun awal kebijakan pemekaran wilayah, pemerintah pusat masih dapat mengakomodasi usulan pembentukan daerah baru yang masuk. Namun dalam perkembangannya ketika usulan pemekaran daerah sudah semakin banyak, DPR melalui hak inisiatifnya menjadi pintu masuk alternatif dalam pengajuan aspirasi pemekaran daerah baru. 14
14
13
12 10 8
9 7
Pemerintah Pusat
6
Hak Inisiatif DPR
4
Transformasi Kab ke Kota
2
2
0
0
0 5 th
2
6 th
0 0 7 th
0
1
9 th
Sumber: diolah dari data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri 2012
Gambar 7.
Komposisi 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran Berdasarkan Usia dan Prosedur Pemekaran
37 Gambar di atas menunjukkan bahwa semakin mutakhir, usulan pemekaran daerah baru yang diajukan melalui pengajuan ke pemerintah pusat semakin menurun. Sementara, pembentukan daerah pemekaran melalui hak inisiatif DPR justru semakin meningkat. Kecenderungan tersebut menunjukkan pergeseran tingkat peran pemerintah pusat dan DPR dalam mekanisme pengajuan kabupaten/ kota baru hasil pemekaran. 4.2.
Perkembangan PDRB Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang diambil adalah data PDRB Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 yang dimaksudkan untuk menghilangkan faktor inflasi dalam melihat tingkat pertumbuhannya. Di samping itu, kajian ini juga memilih untuk menggunakan data PDRB Tanpa Minyak dan Gas untuk melihat PDRB riil yang dihasilkan oleh masyarakat. Hal ini karena hampir semua tambang minyak dan gas dikelola oleh korporasi asing sehingga sumber pendapatan dari sektor tersebut tidak murni dari produksi masyarakat. Nilai PDRB Tanpa Minyak dan Gas Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 di kabupaten/kota hasil pemekaran selama periode 2008-2010 menunjukkan komposisi yang sangat beragam (lihat Tabel 2). Dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel, terlihat bahwa PDRB Kabupaten Kutai Timur memiliki nilai rata-rata tertinggi, yakni: 15.545 milyar rupiah. Nilai rata-rata PDRB Kabupaten Kutai Timur ini bahkan sangat jauh dibandingkan dengan ratarata PDRB Kabupaten Sumbawa Barat yang berada di posisi kedua dengan nilai rata-rata mencapai 4.737 milyar rupiah. Sedangkan Kabupaten Luwu Timur yang berada di posisi ketiga memiliki rata-rata PDRB yang tidak jauh dari rata-rata PDRB Kabupaten Sumbawa Barat, yakni: 4.529 milyar rupiah. Memang jika dicermati, hanya ada 17 kabupaten/kota hasil pemekaran (37,8 persen) yang rata-rata PDRB-nya mencapai angka 1 triliun rupiah. Sisanya yakni 28 kabupaten/kota hasil pemekaran (62,2 persen) memiliki nilai rata-rata PDRB di bawah 1 triliun rupiah. Bahkan, ada 4 kabupaten/kota hasil pemekaran yang hanya memiliki rata-rata PDRB di bawah 200 milyar rupiah, yakni: Kabupaten Supiori (118 milyar rupiah), Kabupaten Lembata (146 milyar rupiah), Kabupaten Teluk Wondama (177 milyar rupiah), dan Kabupaten Kepulauan Aru (198 milyar rupiah). Situasi ini menggambarkan betapa jauhnya kesenjangan kinerja perekonomian di antara kabupaten/kota hasil pemekaran. Ada catatan menarik terkait perbedaan tingkat perekonomian kabupaten/kota hasil pemekaran yang cukup jauh. Pertama, dari perhitungan statistik diketahui bahwa tidak terdapat korelasi yang cukup kuat antara usia kabupaten/kota hasil pemekaran dengan rata-rata PDRB masing-masing, ditunjukkan dari nilai r yang hanya 0,2117. Kedua, sektor pertanian masih menjadi sektor utama (leading sector) bagi sebagian besar kabupaten/kota hasil pemekaran dalam memacu pertumbuhan ekonominya. Dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang diteliti, 35 kabupaten mengandalkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai sektor terbesar (leading sector). Ketiga, meskipun terdapat 35 kabupaten yang mengandalkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai sektor terbesar (leading sector), namun hanya 10 kabupaten/kota hasil pemekaran yang berhasil mencapai rata-rata PDRB di atas 1 trilyun rupiah.
38 Tabel 2.
No.
PDRB Tanpa Minyak dan Gas Berdasarkan Harga Konstan 2000 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran 2008-2010 (dalam milyar rupiah) Kab/Kota
1 Gayo Lues 2 Kota Padang Sidimpuan 3 Serdang Bedagai 4 Dharmas Raya 5 Pasaman Barat 6 Rokan Hilir 7 Kuantan Singingi 8 Tebo 9 Muaro Jambi 10 OKU Selatan 11 Kepahiang 12 Lebong 13 Lampung Timur 14 Kota Metro 15 Bangka Barat 16 Belitung Timur 17 Lingga 18 Kota Tanjung Pinang 19 Sumbawa Barat 20 Lembata 21 Manggarai Barat 22 Bengkayang 23 Sekadau 24 Lamandau 25 Barito Timur 26 Kota Banjarbaru 27 Tanah Bumbu 28 Kutai Timur 29 Kepulauan Talaud 30 Minahasa Selatan 31 Morowali 32 Banggai Kepulauan 33 Luwu Utara 34 Luwu Timur 35 Bombana 36 Wakatobi 37 Boalemo 38 Mamuju Utara 39 Kepulauan Aru 40 Seram Bagian Barat 41 Kepulauan Sula 42 Supiori 43 Keerom 44 Raja Ampat 45 Teluk Wondama Sumber : diolah dari data BPS
Provinsi NAD Sumut Sumut Sumbar Sumbar Riau Riau Jambi Jambi Sumsel Bengkulu Bengkulu Lampung Lampung Babel Babel Kep. Riau Kep. Riau NTB NTT NTT Kalbar Kalbar Kalteng Kalteng Kalsel Kalsel Kaltim Sulut Sulut Sulteng Sulteng Sulsel Sulsel Sultra Sultra Gorontalo Sulbar Maluku Maluku Malut Papua Papua Papua Barat Papua Barat
2008 391 836 4.048 1.020 2.395 3.567 2.719 787 845 1.137 670 468 3.483 504 2.418 799 529 2.209 3.827 139 381 1.067 601 526 595 851 2.879 14.505 384 1.150 1.262 625 1.357 4.430 361 206 293 533 188 292 297 111 287 234 164
Tahun 2009 410 885 4.287 1.088 2.545 3.826 2.907 828 906 1.206 708 490 3.703 531 2.520 837 564 2.363 4.888 146 395 1.115 633 556 627 901 3.043 15.314 404 1.224 1.385 675 1.447 4.251 389 235 311 605 197 307 313 118 321 247 180
2010 431 936 4.551 1.159 2.707 4.115 3.111 879 1.027 1.279 750 515 3.938 563 2.653 886 601 2.531 5.496 152 409 1.166 670 591 665 954 3.243 16.815 426 1.329 1.575 732 1.533 4.905 420 262 333 711 209 320 333 126 352 263 187
Rata-rata 411 886 4.295 1.089 2.549 3.836 2.912 831 926 1.207 709 491 3.708 533 2.530 841 565 2.368 4.737 146 395 1.116 635 558 629 902 3.055 15.545 405 1.234 1.407 677 1.446 4.529 390 234 312 616 198 306 314 118 320 248 177
39 Secara keseluruhan selama periode 2008-2010 laju perkembangan PDRB Tanpa Minyak dan Gas di kabupaten/kota hasil pemekaran menunjukkan peningkatan yang positif. Bahkan jika dibandingkan antara laju PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran dengan laju PDRB kabupaten/kota secara nasional pada periode yang sama terdapat fenomena yang menarik. Di tahun 2009, saat laju PDRB kabupaten/kota secara nasional mengalami sedikit penurunan, laju PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran justru mengalami peningkatan besar. 9.00
8.21
8.00 7.00
6.53
6.00
%
5.00 4.00 3.00
5.47
5.90
5.41
Laju PDRB Laju PDRB nas
3.21
2.00 1.00 0.00 2008
2009
2010
Sumber: diolah dari data BPS 2012
Gambar 8.
Perbandingan Laju PDRB 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran dengan Laju PDRB Kabupaten/Kota secara Nasional 2008-2010 (dalam persen)
Penurunan laju PRDB pada tahun 2009 lebih banyak disebabkan oleh kondisi perekonomian global yang masih mengalami tekanan akibat krisis. Situasi krisis global tersebut mengakibatkan penurunan ekspor karena adanya penurunan permintaan produk ekspor dari luar negeri. Di sisi lain, suku bunga perbankan yang masih tinggi menyebabkan pada melambatnya pertumbuhan investasi. Meskipun terjadi penurunan ekspor dan investasi ini, laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 masih tetap positif karena masih banyak ditopang oleh kegiatan konsumsi domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah. Memperhatikan latar situasi tersebut, ada beberapa kemungkinan mengapa di saat PDRB kabupaten/kota secara nasional mengalami penurunan, namun PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran tetap mengalami peningkatan. Argumentasi pertama adalah sebagian besar kabupaten /kota hasil pemekaran mengandalkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai sektor utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi mereka—sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Padahal sektor pertanian ini relatif kebal dampak terhadap situasi keuangan global yang tengah krisis. Hal ini karena sektor tersebut lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan domestik dan tidak terkait dengan pergerakan di pasar modal sehingga gejolak ekonomi di luar negeri tidak mempengaruhi pertumbuhan sektor ini. Dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang diteliti, 35 kabupaten mengandalkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai sektor terbesar (leading sector) dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi mereka. Sedangkan 6
40 kabupaten hasil pemekaran menjadikan sektor pertambangan dan penggalian sebagai sektor terbesar yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, yakni Kab. Rokan Hilir, Kab. Sumbawa Barat, Kab. Tanah Bumbu, Kab. Kutai Timur, Kab. Luwu Timur, dan Kab. Raja Ampat. Kemudian, yang menumpukan sektor perdagangan sebagai sektor utama dalam pertumbuhan ekonomi adalah 3 daerah yang ketiganya merupakan kota, yaitu: Kota Padang Sidimpuan, Kota Tanjung Pinang, dan Kota Banjarbaru. Hanya ada 1 kabupaten yang mengandalkan pertumbuhan ekonominya pada sektor industri pengolahan, yakni: Kab. Bangka Barat.
1
3
pertanian, kehutanan, per ikanan
6
pertambangan dan penggalian industri pengolahan
35
perdagangan, hotel, resto ran
Sumber: diolah dari data BPS 2010
Gambar 9.
Komposisi 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran Berdasarkan Sektor yang Terbesar Kontribusinya dalam Pertumbuhan Ekonomi
Argumentasi kedua adalah semua kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel pada penelitian ini berasal dari luar Jawa. Sementara, struktur perekonomian nasional masih lebih banyak berpusat di Jawa. Hal ini bisa dicermati dari kontribusi PDRB 45 kabupaten/kota hasil pemekaran terhadap PDB yang hanya berkisar 3,7%-3,8%. Artinya, peningkatan PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran tidak banyak pengaruhnya terhadap pertumbuhan PDB nasional. Argumentasi ketiga adalah kuatnya pengaruh konsumsi rumah tangga terhadap PDB yang antara lain didorong peningkatan belanja pemerintah. Pada tahun 2009, pertumbuhan belanja pemerintah cukup tinggi mencapai 19,25%. Peningkatan belanja pemerintah tersebut teraktualisasi melalui pengeluaran untuk program sosial terkait penyelenggaraan Pemilu 2009 dan penanggulangan dampak krisis ekonomi. Berdasarkan kajian yang dilakukan UNDP dan Bappenas tahun 2008 diketahui bahwa jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota hasil pemekaran relatif masih tinggi. Hal ini karena ada kecenderungan daerah induk melepas kecamatan-kecamatan yang selama ini menjadi kantong-kantong kemiskinan. Terkait hal itu, keberadaan program sosial dan pengeluaran terkait Pemilu 2009 dan penanggulangan dampak krisis ekonomi cukup membantu peningkatan konsumsi rumah tangga miskin di kabupaten/kota hasil pemekaran sehingga turut mendorong pertumbuhan PDRB.
41 4.3.
Perkembangan Belanja Pemerintah Dalam pandangan ekonom neoklasik, salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah pembentukan kapital/modal. Dengan pemahaman tersebut, besarnya belanja pemerintah daerah dinilai akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. 90,000 80,000
milyar rupiah
70,000
68,378
72,840
78,819
60,000 50,000 total belanja
40,000 30,000 20,000
20,970
22,700
22,987
2008
2009
2010
PDRB
10,000 -
Sumber: diolah dari data BPK 2008-2010 dan BPS 2008-2010
Gambar 10.
Perbandingan Agregat Realisasi Total Belanja Pemerintah dengan Agregat PDRB 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran 2008-2010 (dalam milyar rupiah)
Secara kumulatif, nilai realisasi total belanja pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun dalam periode tahun anggaran 2008-2010. Demikian halnya dengan nilai agregat PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran selama 2008-2010, terjadi peningkatan setiap tahun. Kondisi ini sesuai dengan hukum Wagner yang menyatakan bahwa semakin tinggi PDB/PDRB akan semakin tinggi pula pengeluaran (belanja) pemerintah. Namun jika dicermati lebih jauh, slope (kemiringan) kurva peningkatan realisasi belanja pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran sedikit lebih landai ketimbang slope kurva peningkatan PDRB. Artinya, selama periode tersebut, porsi kenaikan realisasi belanja pemerintah per tahun lebih lambat daripada kenaikan PDRB per tahun (Gambar 10). Dari hasil analisis terhadap laporan realisasi APBD kabupaten/kota hasil pemekaran untuk tahun anggaran 2008-2010, ditemukan bahwa realisasi Total Belanja pemerintah daerah kabupaten/kota hasil pemekaran selalu menunjukkan adanya peningkatan tiap tahunnya. Namun jika dicermati lebih jauh, peningkatan realisasi Total Belanja tersebut tidak diikuti dengan peningkatan realisasi Belanja Modal (Gambar 11). Bahkan dalam periode 2008-2010 tersebut justru terlihat bahwa realisasi Belanja Modal terus mengalami penurunan. Realisasi anggaran tahun 2009 menunjukkan bahwa meskipun Total Belanja pemerintah meningkat (dari 20.970 milyar rupiah menjadi 22.700 milyar rupiah), tapi pada realisasi Belanja Modal justru mengalami penurunan dibanding tahun 2008 (dari 8.353 milyar rupiah menjadi 8.135 milyar rupiah). Demikian halnya dengan yang terjadi dalam realisasi anggaran tahun 2010.
42
25,000
belanja modal total belanja
10,000
2008
2009
6,782
8,135
5,000
8,353
milyar rupiah
15,000
22,987
22,700
20,970
20,000
2010
Sumber: diolah dari data BPK 2008-2010
Gambar 11.
Perkembangan Agregat Realisasi Belanja Modal dan Total Belanja Pemerintah 45 Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran Tahun Anggaran 2008-2010 (dalam milyar rupiah)
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat alokasi belanja di luar Belanja Modal yang mengalami peningkatan cukup besar. Dari hasil pengamatan terhadap LKPD kabupaten/kota hasil pemekaran di tahun anggaran 2009 terlihat bahwa rata-rata di tahun anggaran tersebut terdapat peningkatan cukup besar pada realisasi Belanja Operasional sub Belanja Sosial. Hal ini bisa dimengerti karena pada tahun 2009 merupakan tahun pemilu dimana para kepala daerah kabupaten/kota hasil pemekaran mengalokasikan Belanja Sosial yang sangat besar untuk kepentingan politik partai yang mengusung mereka. Di samping untuk kepentingan Pemilu 2009, sub Belanja Sosial juga meningkat terkait programprogram sosial untuk meredam dampak krisis ekonomi global. Sedangkan pada realisasi belanja pemerintah tahun 2010, peningkatan belanja umumnya disebabkan oleh peningkatan pada realisasi Belanja Operasi sub Belanja Pegawai. Hal ini terkait banyaknya penambahan aparat pegawai negeri sipil (PNS) baru di tahun tersebut. Sementara untuk realisasi belanja Operasional sub Belanja Sosial justru mengalami penurunan dibanding realisasi tahun anggaran sebelumnya. Fakta ini semakin memperkuat kesimpulan bahwa kepentingan politik praktis dalam penyusunan anggaran dan belanja pemerintah daerah (APBD) masih sedemikian besar. Hal lain yang menarik untuk dilihat pada realisasi belanja pemerintah tahun 2010 adalah penurunan yang cukup tajam pada realisasi Belanja Modal. Jika pada tahun anggaran 2008-2009, agregat realisasi Belanja Modal 45 kabupaten/kota hasil pemekaran berkisar pada angka 8 trilyun rupiah. Namun pada tahun 2010, nilai agregat realisasi Belanja Modal 45 kabupaten/kota hasil pemekaran berkisar pada angka 6 trilyun rupiah. Meskipun terjadi penurunan Belanja Modal yang cukup besar, namun realisasi Total Belanja tetap terjadi peningkatan. Setelah dicermati dari LKPD kabupaten/kota hasil pemekaran ternyata terdapat peningkatan pada alokasi Belanja Hibah pada tahun anggaran 2010. Peningkatan Belanja Hibah inilah yang menopang peningkatan Total Belanja.
43 Peningkatan realisasi Belanja Hibah pada tahun anggaran 2010 tersebut tidak lepas dari kebijakan dari Kementerian Keuangan yang mengalihkan Belanja Modal DAK Pendidikan ke Belanja Hibah DAK Pendidikan (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2011). Pengalihan inilah yang menjadikan realisasi Belanja Modal menurun, namun Total Belanja tetap meningkat. Sebagai dampak dari kebijakan, kondisi ini tidak hanya berlaku di kabupaten/kota hasil pemekaran tetapi terjadi dalam realisasi APBD 2010 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Jika dibandingkan dengan kajian lain, tren penurunan realisasi Belanja Modal selama periode 2008-2010 ternyata senada dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Direktorat Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan (2013). Kajian tersebut menemukan bahwa tren penurunan realisasi Belanja Modal selama 2008-2011 merupakan gejala umum yang terjadi di seluruh kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Beberapa faktor yang ditengarai sebagai sebab penurunan realisasi Belanja Modal adalah, pertama, masih sering terjadi keterlambatan pemerintah kabupaten/kota dalam menetapkan APBD untuk kemudian diajukan kepada Kementerian Keuangan, maksimal akhir Januari tahun bersangkutan. Keterlambatan tersebut umumnya disebabkan oleh berlarutnya proses penetapan Perda tentang APBD antara pihak eksekutif dengan legislatif (DPRD). Akibat keterlambatan ini daerah yang bersangkutan dikenakan sanksi penundaan DAU sebesar 25 persen dari pagu perbulan hingga daerah tersebut menetapkan APBD. Kedua, realisasi Belanja Modal pada APBD di akhir tahun seringkali pelaksanaannya di bawah target atau lebih rendah dibandingkan dengan anggarannya. Hal ini ditengarai karena daerah tidak cukup mampu mengejar peningkatan belanja atau belum cukup mampu melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk menyerap pelampauan pendapatan tersebut saat terjadi tambahan pendapatan yang cukup signifikan dari transfer Pusat ataupun peningkatan penerimaan lainnya. Di samping itu, daerah mempunyai kecenderungan untuk melakukan perubahan APBD sekitar bulan Agustus-September tahun anggaran berjalan, setelah diketahuinya hasil audit atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun sebelumnya sehingga dapat mengetahui secara pasti berapa besarnya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya. Kombinasi antara pelampauan pendapatan, besarnya angka SiLPA yang telah diaudit, dan penetapan perubahan APBD menjelang akhir tahun anggaran berjalan (di atas bulan September) mengakibatkan waktu yang tersisa untuk menyesuaikan belanja dan merealisasikannya menjadi sangat sempit. Apalagi setelah APBDPerubahan ditetapkan, daerah masih memerlukan proses tender yang sudah pasti akan berakibat pula terhadap keterlambatan pelaksanaan kegiatan. Apabila kegiatan terlambat dan baru dilaksanakan mendekati akhir tahun anggaran, maka akan mengakibatkan rendahnya penyerapan anggaran dan rendahnya kualitas penyelesaian kegiatan. Ketiga, pemerintah daerah cenderung menganggarkan sangat pesimis (under estimate) pendapatan yang belum terinfokan tersebut pada saat proses perencanaan APBD di daerah. Mengingat bahwa struktur pendapatan APBD sangat didominasi oleh transfer dari Pusat (PAD hanya berkisar 20 persen dari total pendapatan, bahkan untuk Kabupaten/Kota hanya sekitar 9 persen), maka kecepatan dan keakuratan informasi transfer dari pemerintah pusat menjadi sangat krusial bagi daerah.
44 Tabel 3.
No.
Realisasi Total Belanja Pemerintah 45 Kabupaten /Kota Hasil Pemekaran Tahun Anggaran 2008-2010 (dalam milyar rupiah) Kab/Kota
1 Gayo Lues 2 Kota Padang Sidimpuan 3 Serdang Bedagai 4 Dharmas Raya 5 Pasaman Barat 6 Rokan Hilir 7 Kuantan Singingi 8 Tebo 9 Muaro Jambi 10 OKU Selatan 11 Kepahiang 12 Lebong 13 Lampung Timur 14 Kota Metro 15 Bangka Barat 16 Belitung Timur 17 Lingga 18 Kota Tanjung Pinang 19 Sumbawa Barat 20 Lembata 21 Manggarai Barat 22 Bengkayang 23 Sekadau 24 Lamandau 25 Barito Timur 26 Kota Banjarbaru 27 Tanah Bumbu 28 Kutai Timur 29 Kepulauan Talaud 30 Minahasa Selatan 31 Morowali 32 Banggai Kepulauan 33 Luwu Utara 34 Luwu Timur 35 Bombana 36 Wakatobi 37 Boalemo 38 Mamuju Utara 39 Kepulauan Aru 40 Seram Bagian Barat 41 Kepulauan Sula 42 Supiori 43 Keerom 44 Raja Ampat 45 Teluk Wondama Sumber : diolah dari data BPS
Provinsi NAD Sumut Sumut Sumbar Sumbar Riau Riau Jambi Jambi Sumsel Bengkulu Bengkulu Lampung Lampung Babel Babel Kep. Riau Kep. Riau NTB NTT NTT Kalbar Kalbar Kalteng Kalteng Kalsel Kalsel Kaltim Sulut Sulut Sulteng Sulteng Sulsel Sulsel Sultra Sultra Gorontalo Sulbar Maluku Maluku Malut Papua Papua Papua Barat Papua Barat
2008 302 371 502 382 398 1.485 845 514 513 480 365 340 695 340 348 320 420 463 305 318 351 437 360 359 393 363 466 1.450 331 359 545 381 447 536 320 393 320 274 279 429 409 360 509 629 401
Tahun 2009 363 374 461 441 483 1.673 901 484 528 452 396 321 754 371 412 392 520 589 439 333 333 447 390 420 367 421 637 1.797 287 386 551 452 479 678 318 376 328 325 297 449 418 334 531 592 410
2010 380 356 666 440 491 1.517 796 513 560 456 379 329 919 429 388 401 500 585 459 316 362 438 439 373 397 416 549 2.050 342 379 599 433 501 492 285 355 326 334 414 410 410 270 447 672 414
Rata-rata 348 367 543 421 457 1.558 847 504 534 463 380 330 789 380 383 371 480 546 401 322 349 441 396 384 386 400 551 1.766 320 375 565 422 476 569 308 375 325 311 330 429 412 321 496 631 408
45 Dalam praktiknya, dalam penyusunan APBD, daerah hanya menaikkan pendapatan transfernya dengan prosentase kecil. Pada kenyataannya, realisasi pendapatan dari transfer tersebut ditambah lagi dengan komponen pendapatan lainnya—misalnya dari PAD—pasti melampaui angka perencanaan yang berujung pada lebihnya dana pada tahun anggaran yang bersangkutan dan belum tentu semuanya terserap menjadi belanja, bahkan ada yang idle dalam bentuk SiLPA. Kondisi-kondisi itulah yang menyebabkan penurunan realisasi belanja pemerintah. Secara lebih terperinci, perkembangan belanja pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tabel tersebut terlihat bahwa ada 3 kabupaten hasil pemekaran yang memiliki rata-rata realisasi total belanja di atas 1 triliun rupiah, yakni: Kabupaten Kutai Timur (1.766 milyar rupiah) dan Kabupaten Rokan Hilir (1.558 milyar rupiah). Kedua kabupaten tersebut termasuk ―kabupaten kaya‖ dengan rata-rata PDRB di atas 1 trilun rupiah (lihat Tabel 4.2). Sedangan 4 kabupaten/kota hasil pemekaran yang memiliki rata-rata total belanja terkecil adalah Kabupaten Mamuju Utara (311 milyar rupiah), Kabupaten Kepulauan Talaud (320 milyar rupiah), Kabupaten Supiori (321 milyar rupiah), dan Kabupaten Lembata (322 milyar rupiah). Perkembangan Infrastruktur Di antara berbagai jenis infrastruktur, jalan merupakan infrastruktur yang sangat penting dalam membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi. Ketersediaan infrastruktur jalan yang baik akan memperlancar distribusi barang dan faktor produksi antar daerah serta meningkatkan mobilitas penduduk. Kondisi pelayanan jalan yang lebih baik menyebabkan reduksi biaya operasional kendaraan (vechicle operating cost) dan biaya kecelakaan (accident cost) serta peningkatan nilai waktu (time value). Wardman (1998) menyatakan nilai penghematan waktu perjalanan memiliki dua komponen yaitu opportunity cost dari waktu yang digunakan untuk perjalanan dan disulitas relatif dari waktu tersebut. 4.4.
0.250
(km/km2)
0.200
0.189
0.200
0.206
0.133
0.141
0.147
0.150 0.100
sampel nasional
0.050 0.000 2008
2009
2010
Sumber: diolah dari data BPS 2012
Gambar 12.
Perbandingan Pertambahan Rasio Panjang Jalan 45 Kabupaten/ Kota Hasil Pemekaran terhadap Pertambahan Rasio Panjang Jalan Kabupaten/Kota Secara Nasional 2008-2010
46 Pertumbuhan rasio panjang jalan yang menjadi wewenang kabupaten/kota hasil pemekaran terhadap luas wilayah selama kurun waktu 2008-2010 menunjukkan peningkatan walaupun lambat. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan rasio peningkatan jalan yang menjadi wewenang kabupaten/kota secara nasional. Lambatnya pertumbuhan rasio panjang jalan yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota terkait dengan minimnya anggaran yang disediakan untuk membangun jalan baru setiap tahunnya. Situasi ini menunjukkan bahwa secara umum kebijakan otonomi daerah belum memberi dampak yang signifikan pada pertumbuhan rasio panjang jalan. Demikian halnya dengan kebijakan pemekaran daerah, Gambar 12 di atas memperlihatkan bahwa secara nasional kinerja daerah-daerah pemekaran dalam penambahan panjang jalan tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain (yang bukan hasil pemekaran). Kenyataan tentang lambatnya pertumbuhan rasio jalan di daerah pemekaran tersebut selaras dengan penjelasan pada bagian sebelumnya tentang belanja pemerintah. Porsi Belanja Modal dalam Total Belanja pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran terlihat kurang memadai (lihat Gambar 11). Padahal bila mengacu pada model Rostow dan Musgrave tentang perkembangan pengeluaran pemerintah, pengeluaran untuk investasi (modal) pada daerah baru hasil pemekaran idealnya memiliki porsi yang terbesar dari Total Belanja. Hal ini ditujukan untuk pengadaan sarana maupun prasarana publik, seperti: infrastruktur transportasi, pendidikan, kesehatan, pemerintahan, dan lain sebagainya, yang biasanya minim atau belum tersedia di daerah baru. Namun, dalam kasus daerah-daerah baru hasil pemekaran di Indonesia ternyata tidak seluruhnya sesuai dengan model Rostow dan Musgrave tersebut. Porsi belanja modal terhadap total belanja pemerintah tidak cukup besar. Akibat minimnya porsi belanja modal inilah maka perkembangan infrastruktur—termasuk jalan—di kabupaten/kota hasil pemekaran tidak jauh berbeda dengan kabupaten/kota lain. Selain soal kinerja dalam pertumbuhan panjang jalan, satu hal lagi yang menarik adalah semua daerah pemekaran yang berstatus kota memiliki nilai rasio panjang jalan di atas 1 (lihat Tabel 4). Artinya, daerah pemekaran yang berstatus kota relatif memiliki rasio panjang jalan yang memadai. Kota Padang Sidimpuan, misalnya, memiliki rasio jalan 2,53. Sementara Kota Tanjung Pinang dan Kota Banjarbaru masing-masing memiliki rasio panjang jalan 1,64 dan 1,39. Bahkan Kota Metro memiliki rata-rata rasio panjang jalan 5,93 yang merupakan rasio tertinggi dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel. Selain karena luas wilayahnya relatif lebih kecil dan tingkat kepadatan penduduknya yang tinggi, kota-kota hasil pemekaran lebih banyak mengandalkan pertumbuhan ekonominya pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Sektor-sektor tersebut memang mensyaratkan adanya dukungan infrastruktur jalan yang memadai. Situasi berbeda terjadi di daerah hasil pemekaran yang berstatus kabupaten. Semua kabupaten hasil pemekaran memiliki rasio panjang jalan di bawah 1, termasuk kabupaten yang dikategorikan kabupaten kaya. Hal yang diduga menyebabkan lambatnya pertumbuhan panjang jalan di kabupaten hasil pemekaran adalah luasnya wilayah kabupaten hasil pemekaran walaupun sudah direduksi dengan adanya pemekaran tersebut. Di sisi lain, kondisi demografis kurang mendukung dimana jumlah penduduk relatif sedikit dan penyebaran penduduk tidak merata sehingga kebutuhan untuk mobilitas juga kurang.
47 Tabel 4.
No.
Rasio Panjang Jalan yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran 2008-2010 Kab/Kota
1 Gayo Lues 2 Kota Padang Sidimpuan 3 Serdang Bedagai 4 Dharmas Raya 5 Pasaman Barat 6 Rokan Hilir 7 Kuantan Singingi 8 Tebo 9 Muaro Jambi 10 OKU Selatan 11 Kepahiang 12 Lebong 13 Lampung Timur 14 Kota Metro 15 Bangka Barat 16 Belitung Timur 17 Lingga 18 Kota Tanjung Pinang 19 Sumbawa Barat 20 Lembata 21 Manggarai Barat 22 Bengkayang 23 Sekadau 24 Lamandau 25 Barito Timur 26 Kota Banjarbaru 27 Tanah Bumbu 28 Kutai Timur 29 Kepulauan Talaud 30 Minahasa Selatan 31 Morowali 32 Banggai Kepulauan 33 Luwu Utara 34 Luwu Timur 35 Bombana 36 Wakatobi 37 Boalemo 38 Mamuju Utara 39 Kepulauan Aru 40 Seram Bagian Barat 41 Kepulauan Sula 42 Supiori 43 Keerom 44 Raja Ampat 45 Teluk Wondama Sumber : diolah dari data BPS
Provinsi NAD Sumut Sumut Sumbar Sumbar Riau Riau Jambi Jambi Sumsel Bengkulu Bengkulu Lampung Lampung Babel Babel Kep. Riau Kep. Riau NTB NTT NTT Kalbar Kalbar Kalteng Kalteng Kalsel Kalsel Kaltim Sulut Sulut Sulteng Sulteng Sulsel Sulsel Sultra Sultra Gorontalo Sulbar Maluku Maluku Malut Papua Papua Papua Barat Papua Barat
luas wilayah (km2) 5.719,67 139,39 1.900,22 2.961,13 3.887,77 8.881,59 7.656,03 6.461,00 5.246,00 5.495,94 6.648,00 2.731,31 5.325,03 68,74 2.883,70 2.506,91 2.117,72 239,50 1.849,02 1.266,39 2.947,50 5.396,30 5.444,30 6.414,00 3.834,00 371,38 5.066,96 35.747,50 1.251,02 1.484,47 15.490,12 3.214,46 7.843,57 6.944,88 3.316,16 823,00 2.300,90 3.043,75 6.425,77 6.948,40 14.166,29 9.692,60 9.365,00 6.084,50 14.953,80
2008 0,109 2,530 0,770 0,393 0,320 0,212 0,260 0,123 0,195 0,075 0,064 0,113 0,196 5,930 0,210 0,106 0,166 1,027 0,106 0,555 0,238 0,222 0,078 0,111 0,129 1,387 0,258 0,021 0,213 0,298 0,095 0,339 0,298 0,209 0,172 0,335 0,285 0,375 0,017 0,030 0,046 0,007 0,083 0,020 0,029
Tahun 2009 0,109 2,530 0,663 0,399 0,324 0,212 0,260 0,123 0,209 0,078 0,074 0,113 0,196 5,930 0,259 0,148 0,172 1,076 0,142 0,555 0,238 0,242 0,084 0,112 0,170 1,387 0,258 0,028 0,213 0,298 0,101 0,367 0,299 0,242 0,209 0,454 0,299 0,390 0,025 0,031 0,055 0,007 0,087 0,028 0,030
2010 0,109 2,530 0,770 0,406 0,320 0,212 0,260 0,123 0,209 0,089 0,079 0,133 0,312 5,930 0,271 0,148 0,178 1,568 0,150 0,539 0,238 0,259 0,092 0,112 0,183 1,387 0,258 0,029 0,139 0,298 0,101 0,393 0,328 0,246 0,209 0,457 0,301 0,410 0,031 0,033 0,046 0,010 0,093 0,036 0,031
48 Hal lain yang juga dianggap sebagai penghambat peningkatan rasio panjang jalan adalah kondisi geografis dan topografis yang kurang mendukung. Ada beberapa kabupaten hasil pemekaran yang secara alamiah merupakan daerah kepulauan dan pegunungan sehingga sulit dan berbiaya mahal untuk meningkatkan jumlah panjang jalan di daerah tersebut. Kondisi alamiah yang menghambat pertumbuhan panjang jalan tersebut banyak dijumpai di daerahdaerah pemekaran yang berada di Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Papua. Dari Tabel 4 di atas, dapat dilihat bahwa kondisi rasio panjang jalan kabupaten/kota hasil pemekaran di keempat provinsi tersebut sangat rendah, hingga kurang dari 0,1. Sebagai gambaran, angka rasio panjang jalan di tahun 2010 untuk Kab. Kepulauan Aru tercatat hanya 0,03. Selanjutnya, Kab. Seram Bagian Barat (0,03), Kab. Kepulauan Sula (0,05), Kab. Supiori (0,01), Kab. Keerom (0,09), Kab. Raja Ampat (0,04), Kab. Teluk Wondama (0,03). Sedangkan rasio panjang jalan pada tahun-tahun sebelumnya malah lebih rendah lagi. Perkembangan Tenaga Kerja Konsekuensi dari adanya pemekaran daerah adalah berkurangnya jumlah penduduk secara drastis jika dibandingkan ketika masih bersama daerah induk. Akibatnya hal ini akan berdampak langsung terhadap jumlah tenaga kerja yang ada di daerah induk maupun daerah pemekaran. Dalam pandangan ekonomi neoklasik, penurunan jumlah tenaga kerja dinilai akan ikut menurunkan kemampuan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
2009
4,105,431
4,339,579 3,821,112
2008
4,083,061
3,712,093
4,400,000 4,300,000 4,200,000 4,100,000 4,000,000 3,900,000 3,800,000 3,700,000 3,600,000 3,500,000 3,400,000 3,300,000
3,968,197
(orang)
4.5.
angkatan kerja kesempatan kerja
2010
Sumber: diolah dari data BPS 2012
Gambar 13.
Perkembangan Jumlah Angkatan Kerja dan Kesempatan Kerja 45 Kabupaten /Kota Hasil Pemekaran 2008-2010 (dalam orang)
Sebagaimana diketahui, model pertumbuhan ekonomi neoklasik didasari pada dua faktor utama, yaitu pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk. Kedua faktor ini yang menjadi kekuatan dalam meningkatkan pertumbuhan. Boediono (1995) menyatakan bahwa meningkatkan output sebagai konsekuensi pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dengan meningkatkan keterampilan pekerja, penerapan sistem pembangian kerja yang tepat berdasarkan
49 keterampilan pekerja dan penggunaan mesin-mesin yang dapat memudahkan dan mempercepat serta meningkatkan produktifitas tenaga kerja. Peningkatan dalam penggunaan tenaga kerja menandakan adanya kesempatan kerja sebagai akibat dari peningkatan output tersebut. Dalam konteks pemekaran daerah, penurunan jumlah tenaga kerja setelah dilakukan pemekaran akan berdampak pada daerah induk maupun daerah pemekaran. Secara langsung, dampak ekonomi yang dihadapi oleh daerah induk adalah penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pajak dan retribusi daerah. Secara tidak langsung, hal ini akan berpengaruh pada angka pertumbuhan ekonomi. Bagi daerah hasil pemekaran, faktor tenaga kerja tidak selalu memberi dampak yang sama, tergantung tarikan ekonomi yang ada. Jika pemekaran daerah tersebut merupakan transformasi dari kabupaten ke kota, maka ada kemungkinan akan terjadi migrasi (urbanisasi) yang akan berpengaruh positif pada peningkatan jumlah tenaga kerja. Demikian pula jika daerah pemekaran itu memiliki sumberdaya ekonomi yang besar (misalkan: hasil tambang) yang mendorong terbukanya kesempatan kerja. Situasinya akan berbeda manakala pemekaran daerah tersebut justru tidak berhasil menjadikan daerah hasil pemekaran dapat memanfaatkan potensi ekonomi yang tersedia. Secara keseluruhan, selama periode 2008-2010 terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja, baik dalam pengertian angkatan kerja maupun kesempatan kerja, di kabupaten/kota hasil pemekaran (Gambar 13). Meskipun jika dicermati secara individual, tidak semua kabupaten/kota hasil pemekaran yang mengalami peningkatan jumlah angkatan kerja ataupun kesempatan kerja. Sebagian besar kabupaten/kota hasil pemekaran mengalami pertumbuhan jumlah angkatan kerja dan kesempatan kerja yang fluktuatif. Bahkan, ada pula yang menurun selama periode tersebut, seperti yang terjadi di Kota Padang Sidimpuan, Kab. Kuantan Singingi, dan Kab. Supiori. Namun fluktuasi jumlah tenaga kerja di sebuah daerah dalam jangka pendek merupakan situasi yang normal. Peningkatan jumlah angkatan kerja yang diiringi dengan peningkatan jumlah kesempatan kerja di kabupaten/kota hasil pemekaran mengindikasikan bahwa kinerja perekonomian telah menghasilkan pasar tenaga kerja yang positif. Artinya, pertambahan supply tenaga kerja masih bisa diimbangi dengan pertambahan demand tenaga kerja. Hanya saja, pertambahan demand tenaga kerja (kesempatan kerja) masih belum cukup optimal dalam menekan pertambahan supply tenaga kerja. Akibatnya, jumlah angkatan kerja masih jauh lebih tinggi dibanding jumlah kesempatan kerja. Dari 45 kabupaten/kota hasil pemekaran yang dijadikan sampel, terlihat bahwa Kabupaten Lampung Timur merupakan daerah dengan rata-rata jumlah kesempatan kerja tertinggi selama periode 2008-2010, dengan jumlah rata-rata 448.175 orang. Berikutnya adalah Kabupaten Serdang Bedagai dengan jumlah rata-rata kesempatan kerja mencapai 285.548 orang (Tabel 5). Fakta yang menarik adalah kedua kabupaten tersebut mengandalkan sektor pertanian sebagai sektor utama dalam menyerap tenaga kerja. Masyarakat di kedua kabupaten ini memiliki kultur agraris yang kuat sejak masa kolonial sehingga sektor pertanian di kedua daerah ini mampu menjadi tumpuan utama dalam penyerapan tenaga kerja. Kondisi tersebut selaras dengan kondisi ketenagakerjaan secara nasional dimana sektor pertanian merupakan sektor yang paling besar dalam menyerap tenaga kerja.
50 Tabel 5.
No.
Jumlah Kesempatan Kerja di Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran 2008-2010 Kab/Kota
1 Gayo Lues 2 Kota Padang Sidimpuan 3 Serdang Bedagai 4 Dharmas Raya 5 Pasaman Barat 6 Rokan Hilir 7 Kuantan Singingi 8 Tebo 9 Muaro Jambi 10 OKU Selatan 11 Kepahiang 12 Lebong 13 Lampung Timur 14 Kota Metro 15 Bangka Barat 16 Belitung Timur 17 Lingga 18 Kota Tanjung Pinang 19 Sumbawa Barat 20 Lembata 21 Manggarai Barat 22 Bengkayang 23 Sekadau 24 Lamandau 25 Barito Timur 26 Kota Banjarbaru 27 Tanah Bumbu 28 Kutai Timur 29 Kepulauan Talaud 30 Minahasa Selatan 31 Morowali 32 Banggai Kepulauan 33 Luwu Utara 34 Luwu Timur 35 Bombana 36 Wakatobi 37 Boalemo 38 Mamuju Utara 39 Kepulauan Aru 40 Seram Bagian Barat 41 Kepulauan Sula 42 Supiori 43 Keerom 44 Raja Ampat 45 Teluk Wondama Sumber : diolah dari data BPS
Provinsi NAD Sumut Sumut Sumbar Sumbar Riau Riau Jambi Jambi Sumsel Bengkulu Bengkulu Lampung Lampung Babel Babel Kep. Riau Kep. Riau NTB NTT NTT Kalbar Kalbar Kalteng Kalteng Kalsel Kalsel Kaltim Sulut Sulut Sulteng Sulteng Sulsel Sulsel Sultra Sultra Gorontalo Sulbar Maluku Maluku Malut Papua Papua Papua Barat Papua Barat
2008 29.907 76.890 271.879 75.551 143.122 188.122 117.429 124.188 132.873 176.953 60.479 45.883 419.610 65.344 66.867 41.460 33.321 72.800 38.628 52.483 98.271 95.529 94.360 25.480 47.369 68.666 96.515 78.752 30.758 76.261 86.106 74.959 121.697 86.464 54.658 48.018 47.875 51.373 30.604 60.399 51.221 6.825 25.475 17.171 11.344
Tahun 2009 29.845 76.408 301.475 75.844 139.868 153.496 115.464 121.078 134.985 185.411 64.334 49.328 448.736 63.096 66.824 41.730 34.159 76.094 39.882 55.327 135.410 94.570 94.595 25.840 48.763 73.492 101.119 71.218 35.073 77.467 85.388 75.968 123.826 90.064 56.539 48.467 51.629 57.485 32.414 64.556 48.314 6.814 25.851 19.332 10.505
2010 37.243 87.880 283.291 87.419 158.617 194.049 114.363 149.421 151.175 171.102 64.636 49.995 476.179 71.172 89.828 49.752 33.460 74.299 53.343 53.548 120.238 101.452 94.625 29.999 53.557 87.024 116.765 106.174 38.333 89.795 93.490 79.419 124.319 105.898 65.474 39.538 54.697 57.879 33.416 70.837 45.545 5.571 22.885 15.147 11.453
Rata-rata 32.332 80.393 285.548 79.605 147.202 178.556 115.752 131.562 139.678 177.822 63.150 48.402 448.175 66.537 74.506 44.314 33.647 74.398 43.951 53.786 117.973 97.184 94.527 27.106 49.896 76.394 104.800 85.381 34.721 81.174 88.328 76.782 123.281 94.142 58.890 45.341 51.400 55.579 32.145 65.264 48.360 6.403 24.737 17.217 11.101