SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENDIDIKAN KIMIA “Kontribusi Penelitian Kimia Terhadap Pengembangan Pendidikan Kimia”
KONVERSI ASAM OLEAT MENJADI EPOKSIDA 2-ETILHEKSIL OLEAT Maula Eka Sriyani, Asep Kadarohman , Hayat Sholihin Jurusan Pendidikan Kimia, FPMIPA, UPI ABSTRAK 2-Etilheksil oleat merupakan senyawa yang dapat dikonversi menjadi poliolester yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pelumas sintetik. Konversi asam oleat menjadi 2-Etilheksil oleat epoksida memerlukan 2 tahap, yaitu esterifikasi asam oleat dengan 2-etilheksanol dengan bantuan katalis asam. Asam yang digunakan sebagai katalis adalah asam sulfat dan asam para toluen sulfonat (apts). Hasil yang didapat melalui analisis GCMS dan Spektroskopi FTIR memperlihatkan esterifikasi dengan apts lebih baik daripada asam sulfat karena memberikan randemen yang tinggi (99,5%) dan hasil samping berupa 2-etilheksil eter yang lebih sedikit. Kekentalan (Viskositas) yang didapat adalah 8,625 CentiStokes (CSt) pada suhu 23,5o C. Tahap yang kedua adalah epoksidasi menggunakan asam perasetat dengan katalis asam sulfat. Viskositas yang didapat naik menjadi 10 kali lebih tinggi, yaitu 83,42 CSt pada suhu 23,5o C dan randemen 90,69%. ABSTRACT 2-Ethylhexyl oleic is a compound which can be converted to become poliolester that can used as basestock of sinthetic lubricants. Converting oleic acid become 2-ethylhexyl oleic epoxide need two steps. The first step is esterification of oleic acid and 2-ethylhexanol with acid catalyst. Sulfic acid or para toluene sulfonic acid (apts) is ussually used as catalyst. Analysis with GCMS and FTIR show that esterification using apts catalyst is much better than sulfic acid, because it gave higher randemen (99,5%) and less other product (2-ethylhexyl ether). 2ethylhexyl oleic’s viscosity is 8,625 CSt. The second step is epoxidation using peracetic acid and sulfic acid catalyst. Epoxide’s viscosity increase become ten times higher, 83,42 CSt and randemen 90,69%.
PENDAHULUAN Sejalan dengan perkembangan industri, dewasa ini banyak sekali digunakan pelumas. sumber utama dari pelumas umumnya adalah minyak bumi, padahal cadangan minyak bumi di dunia semakin menipis. Oleh karena itu perlu dicari alternatif lain yang dapat menggantikan peran minyak bumi sebagai sumber utama dari bahan dasar pelumas. Garnida (2004) dalam artikelnya menyatakan bahwa minyak jarak dapat digunakan sebagai minya k pelumas, sedangkan Mulyana dan Tjahyono (2003) telah berhasil membuat poliolester dari asam oleat sebagai bahan dasar minyak pelumas sintesis. Hal ini memperlihatkan bahwa ada sumber lain yang
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
1
dapat dipergunakan sebagai bahan dasar pelumas selain minyak bumi. Sumber tersebut salah satunya adalah asam oleat. Asam oleat merupakan salah satu asam lemak penyusun dari minyak kelapa sawit. Di Indonesia, minyak kelapa sawit diproduksi secara masal dengan jumlah yang melimpah, namun penggunaan minyak kelapa sawit hanya terbatas pada produk minyak goreng, gliserin, asam lemak dan ester lemak. Sedangkan sebagai sumber devisa negara hanya diekspor dalam bentuk minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO). Untuk meningkatkan harga jual dan nilai guna dari minyak kelapa sawit, maka minyak kelapa sawit tersebut dapat diubah menjadi bahan dasar pelumas. keuntungan lain yang didapat dengan menggunakan bahan dasar pelumas yang terbuat dari minyak tumbuhan adalah ramah lingkungan, karena dapat terdegradasi (biodegradable ), harga jualnya lebih tinggi dan sumbernya dapat diperbarui kembali. Tugas utama pelumas adalah untuk mengurangi kontak/gesekan antara komponenkomponen yang bergerak di dalam mesin. Selain itu juga pelumas berguna untuk mencegah karat pada bagian mesin, penerus gaya (media hidrolis), serta media pembawa panas keluar/pendingin. Syarat utama bahan dasar pelumas adalah sifat viskositasnya (kekentalan) yang relatif besar. Pelumas dibagi menjadi dua jenis, yaitu pelumas mineral dan pelumas sintetik. Pelumas mineral berasal dari minyak bumi yang ditambah beberapa bahan aditif agar mutu pelumas menjadi lebih baik, sedangkan pelumas sintetik adalah pelumas yang bahan bakunya merupakan campuran dari beberapa bahan kimia (Hartomo, 1991). Contoh dari bahan dasar pelumas sintetis adalah polialphaolefin (PAO), ester organik, diester dan poliolester. Agar dapat diubah menjadi bahan dasar pelumas poliolester, maka asam oleat harus mengalami beberapa reaksi, yaitu esterifikasi, epoksidasi dan hidrolisis. Esterifikasi adalah reaksi pembentukan ester dengan mereaksikan asam (asam oleat) dengan alkohol (2-etilheksanol) sehingga menghasilkan ester (2-Etilheksil oleat) dan air. Reaksi yang terjadi adalah O H3C (CH2) 7 CH CH (CH2)7 C
OH
+ HO CH2
(CH2)3
CH
CH 3
H+
C2H5
O H3C (CH2)7 CH CH (CH2)7 C
O
CH2
CH
(CH2)3
+ H 2O CH3
C2H5
Epoksidasi merupakan reaksi pembentukan gugus oksiran oleh asam peroksi (perasam) dengan senyawa olefin dan ikatan aromatis. Beberapa asam peroksi yang dapat digunakan untuk reaksi epoksidasi adalah asam perasetat, perbenzoat, performat, perfluoroasetat, m-kloroperbenzoat dan m-nitroperbenzoat. Diantara semua perasam ini, asam perasetatlah yang paling banyak digunakan karena mudah didapat, murah, efisiensi epoksidasinya tinggi, dan stabil pada suhu lingkungan (Mulyana dan Tjahyono, 2003). Reaksi yang terjadi adalah : O H3C (CH2)7 CH CH (CH2)7 C
O CH2 CH
(CH2)3 CH3
+ 3CH3COOOH
H+
C2H5
O O H3C (CH2)7 CH CH (CH2)7 C O
CH2
CH
(CH2)3
CH3
+ 3CH3COOH
C2H5
Masalah yang ingin diketahui jawabannya adalah sejauh mana efektifitas kerja katalis asam sulfat dan asam para toluen sulfonat terhadap hasil ester yang didapat dari proses esterifikasi, bagaimana langkah yang harus dilakukan untuk mengkonversi asam oleat menjadi epoksida 2-etilheksil oleat dan bagaimana hasil viskositas yang diperoleh dari setiap tahap reaksi.
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
2
Penelitian ini bertujuan untuk mengkonversi asam oleat menjadi epoksida 2etilheksil oleat agar dapat dipergunakan sebagai bahan baku dalam sintesis poliolester yang dapat dipakai sebagai bahan dasar pelumas sesuai dengan nilai viskositasnya. ALAT DAN BAHAN Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah asam oleat (p.a), 2-etilheksanol (p.a), asam sulfat 98%, asam para toluene sulfonat, asam asetat glasial, H2O2, etanol teknis , Na2CO3 jenuh, Na2SO4 anhidrous, akuades dan diklorometan (DCM). Sedangkan alat yang digunakan untuk analisis adalah GCMS dan FTIR. PROSEDUR a. Esterifikasi Ke dalam labu dasar bulat berleher tiga dimasukan asam oleat (0,1423 mol; 45 ml; 12,4025 g), kemudian ditambahkan campuran 2-etilheksanol (0,2139 mol; 24,5 ml; 18,3480 g) dan H2SO4 atau apts 0,16 ml (0,5%). Campuran asam oleat dan alkohol direfluks selama 4 jam pada suhu 180-182o C dalam tekanan 1 atm. Setelah itu fasa air dan fasa organik dipisahkan dengan bantuan corong pisah. Fasa organik (lapisan atas) dicuci etanol sebanyak 250 ml (4 kali volume ester). Setelah itu lapisan organik dicuci dengan menggunakan air panas (3 kali @ 25 ml) dan dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrous kemudian disaring. Larutan 2-etilheksil oleat diukur volume, berat, kekentalan dan warna. 2-etilheksil oleat kemudian dianalisis dengan menggunakan GC-MS dan spektrofotometer Infra Merah (IR). b. Epoksidasi. • Pembuatan asam perasetat H2O 2 (0,8882 mol; 21 mL; 30,2 g) ditambah asam asetat glasial (0,4833 mol; 27,5 ml; 29,0 g) dan H2SO4 0,35 ml dimasukan ke dalam wadah dan diaduk selama 72 jam pada suhu ruang. Larutan ini dipakai langsung sebagai larutan asam peraseat untuk prosedur selanjutnya tanpa pemisahan ataupun analisa terlebih dahulu. • Reaksi Epoksidasi Senyawa 2-etilheksil oleat sebanyak 30 ml ditambah campuran asam perasetat 70 ml (dari persediaan 3.2.2.1) dan H2SO 4 sebanyak 1,35 ml. Direfluks pada suhu 40 o C selama 4 jam sambil diaduk. Hasil akhir dipisahkan antara fasa air dan fasa organik. Fasa organik dinetralisasi dengan Na2CO3 jenuh, kemudian dicuci dengan air panas dan diekstrak diklorometana sebanyak 50 ml. Ekstrak epoksida dievaporasi. Hasil akhir diukur volume, ke kentalan, massa, dicatat warna dan dianalisa menggunakan GC-MS dan IR. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan Analisa Bahan Awal Untuk menentukan apakah produk yang disintesis berhasil terbentuk, maka dilakukan dahulu analisa bahan dasar awal, yaitu asam oleat dengan menggunakan GC-MS dan FTIR. Dari analisis dengan menggunakan GCMS, didapat waktu retensi asam oleat adalah 22,4 dengan kadar 87,13%. Untuk meyakinkan gugus fungsi yang terdapat dalam sampel merupakan gugus fungsi yang dimiliki oleh asam oleat, dilakukan analisis dengan menggunakan FTIR. Spektra yang ditunjukan dari analisa asam oleat oleh FTIR adalah sebagai berikut:
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
3
Gambar 1. Spektra IR asam oleat Spektra FTIR menunjukan adanya serapan kuat dan melebar pada bilangan gelombang 3200-2500 cm-1 memperlihatkan adanya gugus OH dalam karboksil yang ada dalam senyawa tersebut. Serapan pada bilangan gelombang 1712,7 cm-1 menunjukkan bahwa senyawa tersebut memiliki gugus karbonil (C=O). Sedangkan serapan yang menunjukan adanya ikatan rangkap (C=C) pada 3100 cm-1 dan 1600 cm 1 tidak tampak dalam spektra hal ini dikarenakan adanya serapan yang sangat kuat sekali dari gugus karbonil dan hidroksil. Proses Esterifikasi Dari hasil analisa dengan menggunakan alat GC-MS, didapat kromatogram dengan dua puncak yang dominan. Puncak yang pertama yaitu puncak ke-10 yang terletak pada waktu retensi 14,18 menit dan puncak yang kedua berada pada waktu retensi 26,98 menit. Sedangkan untuk hasil esterifikasi asam oleat dan 2-etilheksanol dengan menggunakan katalis asam para toluene sulfonat (apts) hanya ada satu puncak yang dominan yaitu puncak yang terdapat pada waktu retensi 26,86 menit.
Gambar 2. Kromatogram hasil esterifikasi dengan katalis asam para toluen sulfonat (apts) 2% Dari hasil analisis terlihat adanya pergeseran puncak utama pada kromatogram sampel awal dengan kromatogram produk esterifikasi. Pada kromatogram hasil esterifikasi dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4 ), puncak utama terdapat pada waktu retensi 26,98 menit. Puncak utama ini bergeser dari puncak asam oleat yang semula terletak pada waktu retensi 22,45 menit. Sedangkan untuk hasil esterifikasi dengan menggunakan apts, waktu retensi dari puncak utama produk terletak pada 26,86 menit. Pada hasil esterifikasi dengan menggunakan katalis apts juga terjadi pergeseran puncak utama terhadap asam oleat awal. Dari data yang diperoleh dengan menggunakan dua kondisi suhu yang berbeda, yaitu 150o C dan 180 o C, ester terbentuk pada suhu 180 o C. Dari data di atas, dapat dilihat bahwa waktu retensi dari asam oleat belum bergeser, masih tetap pada posisi semula, yaitu 23 menit. Puncak utama terletak pada waktu retensi 12,10 menit. Sedangkan waktu retensi dari ester 2-etilheksil oleat yaitu 26 menit tidak nampak dalam kromatogram tersebut. Hal ini membuktikan bahwa
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
4
produk ester yang diharapkan tidak terbentuk apabila digunakan kondisi refluks pada suhu 150o C. Data dari spektra massa juga tidak menunjukkan adanya ester 2etilheks il oleat yang terbentuk dari esterifikasi tersebut. Tabel di bawah ini memperlihatkan hasil esterifikasi dengan menggunakan variabel suhu yang berbeda. Tabel 1. Hasil esterifikasi dengan variabel suhu yang berbeda. No 1 2
Jumlah pereaksi 2AO Etheks 1 2 mol mol 1 2 mol mol
H2SO4 2% 2%
Suhu (o C)
tr (waktu retensi)
150155 180185
12,10 menit 26,98 menit
Kadar 36,14 % 45,22%
Keterangan : AO=asam oleat; 2-Etheks= 2-etilheksanol. Untuk meyakinkan bahwa pergeseran waktu retensi yang terjadi pada esterifikasi dengan suhu 180o C bukan merupakan hasil isomerisasi dari asam oleat yang terjadi karena pemanasan, maka dilakukan analisa GC-MS terhadap asam oleat yang dipanaskan pada suhu 180-185o C selama 4 jam. Hasil GC-MS, menunjukkan bahwa waktu retensi dari asam oleat hasil pemanasan tidak berubah, yaitu 22,34 menit dengan kadar 94%, sehingga dapat dipastikan bahwa reaksi esterifikasi telah berlangsung. Adanya perbedaan waktu retensi yang tidak jauh berbeda antara produk yang menggunakan katalis H 2SO4 dan produk yang dikatalis menggunakan apts dikarenakan pada perbedaan waktu pengoperasian GC. Hasil spektra MS menunjukan bahwa pada puncak utama produk esterifikasi dengan waktu retensi 26,98 menit adalah sebuah ester dengan kemiripan 83%. Ester 2-etilheksil oleat tidak terdeteksi oleh alat karena dalam pustaka alat tersebut belum ada senyawa dengan nama ester 2-etilheksil oleat. Selain menggunakan GC -MS, digunakan juga metode analisis spektroskopi infra merah (FTIR). Berdasarkan spektra infra merah untuk produk hasil esterifikasi dengan menggunakan katalis apts dapat kita lihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 3 . Spektra infra merah produk esterifikasi dengan katalis asam para toluene sulfonat Pada spektra ini terlihat jelas perbedaan serapan melebar yang ada pada bilangan gelombang 3400-2900 cm-1. Perbedaan pola serapan ini menunjukan bahwa gugus fungsi karboksil telah berubah menjadi ester. Serapan pada bilangan gelombang 1712,6 cm-1 bergeser menjadi 1735,8 cm-1 menunjukan adanya perbedaan serapan gugus karbonil (C=O). Pada bilangan gelombang 3456,2 cm-1 terdapat puncak yang
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
5
merupakan serapan gugus OH yang berasal dari 2-etilheksanol yang masih dimiliki oleh sampel yang masih terdeteksi pada kromatogram GC dengan waktu retensi sekitar 6 menit. Untuk mengurangi jumlah produk samping yang terbentuk, maka dilakukan usaha untuk mencari kondisi reaksi yang optimum. Variabel yang digunakan yaitu jenis katalis dan kondisi reaksi. Beberapa kondisi optimasi yang telah dilakukan dirangkum dalam tabel di bawah ini: N o
AO (mol)
2-EH (mol)
H2SO4 (%)
1 2 3
1 1 1
4 4 4
2 1,5 0,5
AO sisa -
Produk (%) 2-EH 2sisa EHE 2,89 21,38 6,29 13,73 19,52 9,95
Ester 45,22 65,87 57,96
Tabel 2 . Reaksi esterifikasi katalis H2SO 4 suhu 180-185o C (4 jam) Keterangan : AO= asam oleat; 2-EH=2-etilheksanol; 2-EHE=2-Etilheksil eter
No 1 2
AO (mol)
2-EH (mol)
1 1
4 2
Apts (%) 2 1
AO sisa -
Produk (%) 2-EH 2sisa EHE 12,94 2,17 8,88 0,87
Ester 73,84 75,12
Tabel 3. Reaksi esterifikasi dengan katalis apts suhu 180 -185o C (4 jam) Keterangan : AO= asam oleat; 2-EH=2-etilheksanol; 2-EHE=2-Etilheksil eter Dari kedua tabel tersebut dapat kita lihat bahwa pembentukan hasil samping berupa 2-etilhe ksil eter lebih banyak terdapat pada proses esterifikasi dengan menggunakan asam sulfat sebagai katalis. Oleh karena itu reaksi esterifikasi lebih baik menggunakan apts. Oleh karena itu maka proses selanjutnya menggunakan produk dari hasil esterifikasi dengan menggunakan katalis apts. Untuk mengurangi jumlah 2-etilheksanol sisa, maka dilakukan esterifikasi dengan perbandingan jumlah asam oleat dan 2-etilheksanol yang kecil, yaitu 1 mol asam oleat : 1,1 hingga 1,2 mol 2-etilheksanol. Dengan menggunakan 1,1 mol 2-etilheksanol, jumlah alkohol sisa adalah 8,06%. Sedangkan dengan menggunakan 1,2 mol 2-etilheksanol, jumlah alkohol sisa adalah 12,72 %. Jadi untuk efisiensi bahan baku, perbandingan pereaksi yang digunakan untuk membuat produk ester adalah 1 mol asam oleat : 1 mol alkohol : 0,5% apts. randemen yang diperoleh adalah 99,5%. Hasil ini tentunya belum akurat, karena di dalam ester masih terdapat 2-etilheksanol sisa. Viskositas ester oleat adalah 8,625 CSt. Hasil ini didapat dari pengukuran viskositas dengan menggunakan viskometer.
Proses Epoksidasi. Dari hasil percobaan, diperoleh epoksida dengan warna kuning dan kental dengan viskositas 83,42 CSt dan randemen 90,69%. Hasil dari kromatogram GC memperlihatkan adanya puncak baru pada waktu retens i 40,908 menit.
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
6
Gambar 4. Kromatogram epoksidasi 2 -Etilheksil oleat dengan asam perasetat. Kenaikan viskositas dari produk epoksida ini dikarenakan oleh naiknya massa molekul relatif dari produk. Berubahnya ikatan rangkap menjadi ikatan tunggal dapat menyebabkan wujud fisik dari senyawa tersebut menjadi padat, selain itu juga semakin banyak rantai karbon yang dimiliki oleh suatu senyawa, maka wujud fisik dari senyawa itu akan semakin padat (Fessenden, 1997). Dari Spektra massa tersebut, massa molekul relatif dari senyawa tersebut sangat tinggi sekali. Berbeda dengan ester, wujud fisik dari epoksida ini memiliki kekentalan yang sangat tinggi. Selain itu juga warna dari produk epoksida berubah menjadi berwarna kuning hingga bening. Analisis lain yang dilakukan terhadap produk hasil epoksidasi adalah analisis dengan menggunakan FTIR. Hasil spektra IR dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5 . Spektra IR dari hasil epoksidasi. Dari spektra diatas, terdapat serapan yang melebar pada bilangan gelombang 3379,1 yang menunjukan adanya gugus OH dalam senyawa tersebut. Gugus OH ini berasal dari 2-etilheksanol yang masih terdapat dalam senyawa tersebut. Serapan yang cukup kuat pada bilangan gelombang 2900-2600 menunjukan keberadaan gugus Csp3 yang diikuti oleh serapan pada bilangan gelombang 1448,1 dan 1419,5. Produk epoksida merupakan produk yang tidak stabil. 2-Etilheksil olein oksida dapat dengan mudah berubah apabila terdapat air maupun nukleofil lain seperti alkohol. Ketidakstabilan 2-etilheksil oleat epoksida dikarenakan oleh tegangan (Strained) pada cincin segitiga yang memiliki sudut ikatan sebesar 60o. Agar stabil ikatan sp3 yang dimiliki oleh C harus memiliki sudut ikatan sebesar 109o. Selain itu juga pada cincin segitiga memiliki polaritas antara C-O. Atom C memiliki keelektronegatifan yang lebih rendah daripada atom O. Atom O cenderung lebih dapat menarik elektron daripada atom C, sehingga pada ikatan oksiran tersebut, tingkat reaktifitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan eter lainnya (Siregar, 1988). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Konversi asam oleat menjadi epoksida 2-etilheksil oleat pada prosesnya mengalami 2 tahapan, yaitu:
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
7
•
•
Pada tahap pertama, yaitu esterifikasi didapat ester oleat yang lebih baik apabila digunakan apts sebagai katalisnya. Hasil dari analisa GCMS memperlihatkan adanya produk lain yaitu etilheksil eter apabila digunakan katalis H 2SO4, sedangkan esterifikasi yang menggunakan katalis apts tidak memperlihatkan adanya eter sebagai produk samping. Oleh karena itu untuk proses selanjutnya digunakan ester oleat yang menggunakan katalis apts. Ester oleat yang diperoleh dari hasil esterifikasi berwarna merah anggur hingga coklat dengan kekentalan 8,625 CSt (23,5o C) dan randemen 99,5%. Tahap kedua yaitu pembentukan epoksida dengan menggunakan asam perasetat dan katalis H2SO4. Epoksida yang diperoleh berwarna kuning, kental seperti gel, besarnya harga viskositas adalah 83,42 CSt (23,5o C), randemen 90,69% dan berbau khas.
Saran Hasil produk epoksida yang didapat belum terkonsentrasi pada satu produk saja, sehingga perlu dicari kembali teknik epoksida yang selektif, yang dapat memberikan satu produk yang dominan dalam proses epoksidasi. Masih terdapatnya 2-etilheksanol di dala m produk akhir, sehingga perlu dicari kembali bagaimana cara pemisahan yang tepat antara produk dengan senyawa awal, termasuk 2-etil heksanol dan katalis. Perlu dicari bagaimana teknik yang tepat dalam proses hidrolisis untuk membentuk poliolester sehingga dapat digunakan sebagai bahan dasar pelumas sintetik. Hal ini belum ditemukan dalam penelitian ini karena terbatasnya waktu penelitian dan zat yang tersedia. DAFTAR PUSTAKA Adams,R., Kromdyk,J.P. dan Noblit,T., (1999), Canola Oil-Based Fluid is Gentle on Environment, [online], Tersedia : http://fweb.com/archieve/Apr_99_fluid. html. [15 Juli 2004] Anonim, (----), Crude Palm Oil, It’s About Money, Honey! ---, ---Anonim, (----), Synthetic Lubricants What Are They, [Online], Tersedia: http://petronomics.com/syn_what.htm, [9 Juni 2004] Budziekiewicz, H., Djerassi,C. dan Williams, D.H., (1967), Mass Spectrometry of Organic Compounds , San Fransisco: Holden-Day,Inc. Dermawan, Dicky, (2000), Sintesis Poligliserol-Estolida Asam Oleat dengan Sebagian Gugus Hidroksil tak Terkonversi dan Sifat Viskometriknya Sebagai Bahan Dasar Pelumas, [Online], Tersedia: http://digilib.itb.ac.id/go.php?id= itbs2-tk-2000-Dicky-O leat, [9 Juni 2004] Fessenden, R.H. dan Fessenden, J.S., (1997), Kimia Organik jilid 1, (Alih Bahasa: Aloysius Hadyana Pudjaatmaka), Jakarta: Penerbit Erlangga. Fessenden, R.H. dan Fessenden, J.S., (1997), Kimia Organik jilid 1I, (Alih Bahasa: Aloysius Hadyana Pudjaatmaka), Jakarta: Penerbit Erlangga. Garnida, (2004), Pelumas dan Pelumasan Mesin Diesel, [Online], Tersedia: http://www.plnkc.or.id/library/download/attach_PELUMAS%20%20DAN%20 %20PELUMASAN%20%20MESIN%20%20DIESEL.doc-supplemental result, [9 Juni 2004] Hanum, Cut Samsiar, (2004), Biodiesel Jelantah dan Pelumas Sawit, [Online], Tersedia: http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2356, [9 Juni 2004]
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
8
Hartomo, J.H., (1991), Lekuk, Liuk, Liku Pelumas, (Cetakan pertama), Yogyakarta: Andi Offset. Hendayana, Sumar, (1994), Kimia Analitik Instrumen, Semarang: IKIP Semarang Press. McNair, M.C dan Bonelli, E.J., (1968), Basic Gas Chromatography, California; Consolidated Printers. Mulyana, A. dan Tjahjono, E.W., (2003), Penelitian Teknologi Proses Pembuatan Poliolester sebagai Bahan Dasar Minyak Pelumas Sintesis, [Online], Tersedia:http://www.iptek.net.id/ind/jurnal_idx.php?doc=VIII.IIB.09. htm, [9 Juni 2004] Orisanto, A.K., (1998), Memilih dan Mengganti Pelumas yang Pas, [Online], Tersedia: http://www.indomedia.com/intisari/1998/maret/oli.htm, [6 Juni 2004]. Schuchardt, U., Sercheli, R. and Vargas, R. M., (1997), Transesterification of Vegetable Oils : a Review, Journal of Brazilian Chemical Society. Vol.9 no. 3. Siregar, Morgong., (1988), Dasar-Dasar Kimia Organik , Jakarta; Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Seminar Nasional Penelitian & Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004
9