PROSIDING SEMINAR NASIONAL REKAYASA KIMIA DAN PROSES 2004 ISSN : 1411-4216
KARAKTERISTIK ESTER POLIGLISEROL DARI ESTOLIDA & ASAM OLEAT SEBAGAI BAHAN DASAR PELUMAS MESIN OTOMOTIF Dicky Dermawan1, A. Zainal Abidin2, Dyah Setyo Pertiwi1 1
Jurusan Teknik Kimia FTI ITENAS 2 Jurusan Teknik Kimia FTI ITB Jl. PHH Mustafa 23 Bandung 40124 Email: 2d@itenas.ac.id
Abstrak Senyawa-senyawa ester poliol merupakan alternatif utama pengganti bahan dasar pelumas yang hingga kini masih didominasi minyak bumi. Hasil studi mutakhir menunjukkan bahwa ester poliol yang dibuat dari gliserol dan estolida & asam oleat memiliki keunggulan yang unik. Selain dibuat dari bahan baku yang berasal minyak nabati yang terbaharukan, ester ini dapat dirancang untuk memenuhi berbagai grade viskositas. Pada kasus yang ditinjau, dianalisis 3 produk esterifikasi yang dirancang untuk memenuhi spesifikasi kalsifikasi SAE 40 dan SAE 50. Rasio reaktan awal pada ketiga sampel adalah 1½ asam oleat permol gliserol. Kemungkinan aplikasi ester poligliserol dari campuran estolida – asam oleat sebagai bahan dasar pelumas mesin otomotif dikaji melalui uji karakteristik sifat kimia-fisik berupa viskositas (ASTM D-445), indeks viskositas (ASTM D-2270), specific gravity (D-1296), pour point (ASTM D-97), flash point (ASTM D-92), total acid number (ASTM D-664), total base number (ASTM D-2896), sulphated ash content (ASTM D-874), dan foaming tendency (ASTM D-892). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat kimia-fisik ester yang diuji, kecuali foaming tendencynya, sudah memenuhi spesifikasi karakteristik pelumas mesin otomotif yang disyaratkan SK Dirjen Migas No. 041/K/34/DDJM/1988. Perbandingan dengan karakteristik bahan dasar pelumas konvensional dan pelumas mesin otomotif yang beredar di pasaran juga dilakukan. Keunggulan ester poligliserol – estolida asam oleat adalah relatif tingginya indeks viskositas dan flash pointnya. Akan tetapi, kecenderungan pembentukan buih dan stabilitas buihnya masih perlu diturunkan. Kata kunci: asam oleat; ester; estolida; pelumas mesin otomotif; poligliserol
Pendahuluan Setelah komersial selama lebih dari 60 tahun, pangsa pasar pelumas sintetik hingga saat ini masih berada dalam kisaran 2% – 5% dari pasaran pelumas dunia sebesar 30 juta ton pertahun. Diantara baragam bahan sintesis yang telah komersial, senyawa-senyawa ester merupakan kelompok yang perkembangannya paling pesat. Di Eropa Barat, laju pertumbuhan penggunaan ester mencapai 15% pertahun (Randles, 1993) Hal ini tak lepas dari hasil studi komparatif yang menyimpulkan keunggulan ester, khususnya ester poliol, dibandingkan dengan bahan sintetik lagi. Karakteristik senyawa ester yang menguntungkan adalah tendensinya sebagai deterjen/pendispersi alami, dan responsnya yang sangat baik terhadap aditif-aditif penghambat oksidasi, hidrolisis, korosi, dan penaik sifat pelumasan. (Booser, 1994). Ester poliol yang memiliki gugus hidroksil yang tak terkonversi memiliki beberapa keunggulan, diantaranya stabilitas termal/oksidasinya lebih tinggi dibandingkan ester lain (Pafford, 1997), memiliki polaritas tinggi yang sangat penting peranannya dalam menurunkan efek gesekan dan keausan, menghemat konsumsi bahan bakar (Pafford, 1997), tingkat emisinya rendah (Schlosberg, 1997), dan biodegradabilitasnya tinggi (Morrison, 1995; Duncan, 1998; Isbell, 2000; Cermak, 2001). Gambar 1 menunjukkan suatu struktur molekul yang representatif dari ester poligliserol – estolida asam oleat yang menjadi subjek penelitian ini. Dalam kebanyakan aplikasi, pelumas digolongkan menurut viskositasnya. Tabel 1 menunjukkan klasifikasi pelumas otomotif dari SAE. Pelumas mesin yang banyak digunakan di Indonesia memerlukan viskositas sesuai dengan SAE 40 atau SAE 50.
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
G-4-1
ikatan rangkap menjamin senyawa bertitik leleh rendah
O O O O
O
eter menurunkan titik leleh
ester dikenal memiliki sifat pelumasan yang baik O
OH
O
O O
sebagian gugus hidroksil tak terkonversi meningkatkan stabilitas termal/oksidasi
percabangan menurunkan titik leleh
Gambar 1 Struktur ester poligliserol – estolida asam oleat. Ditunjukkan pula beberapa keunggulan sifat yang diharapkan muncul karena gugus-gugus fungsional yang dikandungnya
Tabel 1 Spesifikasi pelumas mesin dari SAE (SAE J-300, Feb. 1991) Klasifikasi SAE 0W 5W 10W 15W 20W 25W 20 30 40 50 60
Viskositas minimum suhu rendah [=] cP pada suhu [=] oC, cranking 3 250 pada –30 3 500 pada –25 3 500 pada –20 3 500 pada –15 4 500 pada -10 6 000 pada -5 -
Viskositas maksimum suhu rendah [=] cP, pemompaan tanpa yield stress 30 000 pada –35 30 000 pada –30 30 000 pada –25 30 000 pada –20 30 000 pada –15 30 000 pada –10 -
Viskositas minimum pada 100oC [=] cSt 3,8 3,8 4,1 5,6 5,6 9,3 5,6 9,3 12,5 16,3 21,9
Sifat-sifat yang perlu dimiliki pelumas secara spesifik bergantung pada tujuan pemakaiannya. Pelumas mesin otomotif, misalnya, selain harus berfasa cair dalam rentang kondisi operasi, harus memiliki indeks viskositas tinggi, laju penguapan rendah, stabilitas termal/oksidasi yang tinggi, serta memiliki sifat detergensi yang baik tanpa kecenderungan pembentukan buih yang berarti. (Bosch, 1993) Tabel 2 menunjukkan suatu standar pelumas mesin otomotif berbahan bakar bensin. Penggunaan pelumas pada berbagai aplikasi sering memerlukan sifat tambahan lain, misalnya pada pencampuran dengan udara tidak membentuk buih. Pemakaian untuk suhu rendah menghendaki titik tuang yang rendah. Untuk pemakaian pada tekanan tinggi, sensitivitas viskositas terhadap tekanan menjadi penting. Tabel 2 Spesifikasi Pelumas Motor Bensin Empat Langkah*) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Karakteristik Syarat Viskositas, cSt Sesuai SAE Viscosity index, min. 90 Flash Point, oC min. 185 Total base number, min. mg 2,5 KOH/g Sulphated ash content %wt Dilaporkan Metal content: % wt Dilaporkan Calcium, Magnesium, Zinc Fuel diluent %vol, max. Nol Water content Nol %vol, max. Foaming tendency Seq. I mL, max. 300 Seq. II. mL, max. 25 Seq. III. mL, max. 300
Metode SL.P.46-29/30 ASTM D-445 SL.P.46-31 ASTM D-2270 SL. P. 46-17 ASTM D-92 SL.P.46-6 ASTM D-664 / ASTM D-2896 SL.P.46-6 ASTM D-874 SL.P.46-22 ASTM D-811 / AAS SL.P.46-16 ASTM D-332 SL.P.46-32 ASTM D-95
SL.P.46-19
ASTM D-892
*) Kep. Dirjen Migas No. 041/K/34/DDJM/1988
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
G-4-2
Pada penelitian ini dipelajari karakteristik senyawa ester yang disintesis menggunakan bahan-bahan baku terbaharukan berupa gliserol dan asam oleat yang tipikal struktur molekulnya ditunjukkan Gambar 1. Senyawa ini dipandang potensial untuk dikembangkan karena fleksibilitasnya. Pengaturan kadar estolida dan waktu polimerisasi gliserol memungkinkan diperolehnya produk yang memenuhi spesifikasi viskositas SAE 30 ke hingga SAE 60 untuk pelumas mesin otomotif (Dermawan, 2004a). Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik pelumasan ester sebagai fungsi dari koordinat dalam diagram serta untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik yang perlu diperbaiki dalam upaya ke arah aplikasi. Karena itu, perbandingan dengan karakteristik beberapa pelumas mesin otomotif komersial yang beredar di pasaran juga dilakukan. Bahan dan Metode Penelitian a. Polimerisasi Gliserol Polimerisasi dilangsungkan pada suhu 250oC menggunakan susunan peralatan yang terdiri dari reaktor batch berupa erlenmeyer 1000 mL di atas hotplate berpengaduk magnetik yang dilengkapi dengan termometer, kondenser, serta penampung kondensat. Pada proses ini, digunakan NaOH sebagai katalis. Kelangsungan reaksi diikuti dengan cara mengamati secara fisik terbentuknya uap air yang memisahkan diri dari massa reaksi. b. Konversi Asam Oleat Menjadi Estolida Dilakukan secara diabatik pada tekanan atmosferik dalam reaktor batch berpengaduk dengan katalis asam sulfat sebanyak 3 - 5 %v/v. Prosedur detail telah dibahas pada laporan terdahulu (Dermawan, 2002a,b). Variasi rasio relatif antara estolida dengan asam oleat dilakukan melalui pencampuran antara estolida hasil reaksi dengan asam oleat segar. c. Esterifikasi Dilangsungkan pada rentang suhu 160oC hingga 240oC. dalam reaktor (a). Campuran estolida dan asam oleat ditambahkan ke dalam hasil polimerisasi. Tidak digunakan tambahan katalis selain yang dipakai untuk polimerisasi gliserol. d. Uji Karakteristik Dilakukan uji karakteristik terhadap 3 sampel yang berbeda (Gambar 2). Karakteristik yang diuji berikut metodenya meliputi viskositas (ASTM D-445), indeks viskositas (ASTM D-2270), specific gravity (D1296), pour point (ASTM D-97), flash point (ASTM D-92), total acid number (ASTM D-664), total base number (ASTM D-2896), sulphated ash content (ASTM D-874), dan foaming tendency (ASTM D-892). Kecuali uji viskositas, indeks viskositas, dan specific gravity yang dilakukan sendiri, seluruh uji karakteristik dilakukan di Laboratorium Proses PPPTMGB Lemigas, Jakarta.
Gambar 2 Kurva Estimasi Sifat Viskometrik Ester Poligliserol – Estolida Asam Oleat sebagai Bahan Dasar Pelumas Mesin Otomotif. A, B, C: Titik-titik Uji
Hasil-hasil dan Pembahasan Tabel 3 menunjukkan hasil uji selengkapnya berikut perbandingan karakteristik antara suatu sampel pelumas yang dibuat dengan beberapa jenis pelumas bahan dasar pelumas konvensional dan beberapa jenis JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
G-4-3
pelumas mesin komersial. Pembandingan bermanfaat untuk memberikan gambaran mengenai sifat-sifat yang perlu diperbaiki dari bahan dasar yang dibuat. Viskositas. Viskositas pelumas hasil penelitian yang diuji, seperti ditunjukkan Gambar 2, dirancang untuk memenuhi spesifikasi SAE 50 sebagaimana pelumas pembandingnya. Hal ini menunjukkan aplikabilitas model sifat viskometrik yang dikembangkan terdahulu sebagai tebakan awal bagi pengaturan viskositas ester poligliserol – estolida asam oleat sebagai bahan dasar pelumas sintetik (Dermawan, 2004a). Indeks viskositas. Indeks viskositas pelumas yang dibuat berkisar antara 127 - 142; relatif lebih baik daripada pelumas mineral yang berkisar antara 128 dan 131. Akan tetapi, nilainya masih lebih rendah dibandingkan pelumas semisintetik yang berkisar antara 164 dan 170. Peningkatan indeks viskositas lebih lanjut tidak terlalu penting karena nilai ini sudah jauh lebih baik dibandingkan standar yang hanya mensyaratkan nilai minimum 90. Dengan demikian, pemakaian viscosity modifier atau viscosity index improver yang umum dipakai pada pelumas komersial, tidak diperlukan untuk formulasinya menjadi pelumas komersial. Hal ini merupakan keunggulan tersendiri mengingat viscosity modifier merupakan bahan polimer dengan harga yang relatif mahal, dan komposisinya dalam kebanyakan pelumas komersial yang mencapai 4% – 6%. Di samping itu, secara teknis ditemukan bahwa viscosity modifier mengalami shear thinning, yaitu fenomena kehilangan viskositas pada tegangan geser tinggi (ATC, 1993). Pour point. Titik tuang pelumas yang dibuat berkisar antara -6oC hingga -12oC, dengan kecenderungan menurun dengan peningkatan derajat polimerisasi gliserol (Gambar 2). Hal ini menunjukkan peranan gugus eter dalam molekul poligliserol dalam menurunkan titik tuang. Pengaruh percabangan molekul terhadap titik tuang tidak tampak (bandingkan sampel A terhadap sampel B: sampel B memiliki derajat percabangan lebih tinggi tetapi titik tuangnya tidak lebih baik). Sebenarnya, hasil-hasil ini sudah comparable dengan titik tuang bahan dasar pelumas HVI 60, HVI 95, HVI 160, dan HVI 650 yang berbasis minyak bumi yang berada dalam rentang –9oC hingga –15oC (Hexindo, 1997). Untuk pemakaian di daerah tropis seperti Indonesia, angka ini sudah memadai dan kira-kira sama dengan bahan dasar kebanyakan pelumas komersial. Akan tetapi, hasil-hasil ini relatif masih tinggi bila dibandingkan dengan pelumas pembanding yang mencapai -20oC atau lebih rendah. Rendahnya titik tuang semua pelumas pembanding disebabkan semua pelumas komersial ini telah diformulasi dengan bahan-bahan penurun titik tuang untuk memenuhi standar winter grade. Flash point. Flash point pelumas yang dibuat mencapai 259oC hingga 272oC, dengan kecenderungan meningkat dengan peningkatan massa molekul relatif (Gambar 2). Massa molekul relatif ester yang tinggi diduga merupakan variabel yang paling berpengaruh. Massa molekul relatif sampel C (sekitar 900; lihat Gambar 2) yang lebih tinggi dibandingkan sampel A dan B (sekitar 650; lihat Gambar 2) mengakibatkan rendahnya tekanan uap ester sehingga memberikan nilai flash point yang tinggi. Hasil-hasil ini secara umum jauh lebih tinggi dibandingkan semua pelumas pembanding yang hanya berkisar antara 220 o C dan 248oC. Ini menandakan bahwa keandalan kinerja pelumas yang dibuat pada pengoperasian suhu tinggi, khususnya dari bahaya kebakaran, relatif lebih baik. Sementara itu, standar hanya mensyaratkan nilai minimum 185oC. Total acid number pelumas hasil penelitian bersumber dari sisa asam oleat dan estolida yang tidak tereaksikan, sedangkan total base numbernya bersumber dari katalis yang digunakan. Karena asam oleat dan campurannya dengan estolida bertitik tuang lebih tinggi daripada esternya, maka ada kemungkinan bahwa titik tuang ester dapat diturunkan dengan cara mereaksikan sesempurna mungkin atau dengan cara memisahkan sisa asam oleat tak terkonversi. Di samping itu, flash point sampel diduga berkaitan dengan TAN. Dugaan ini didukung data flash point ester gliserol estolida-asam oleat bermassa molekul relatif ratarata 600 yang mencapai 278oC pada TAN 0,969 (Tabel 4). Relatif tingginya TBN pelumas pembanding berasal dari overbased detergent yang ditambahkan pada saat formulasi; bukan sifat intrinsik dari bahan dasarnya. Demikian pula, sulphated ash content pelumas yang dibuat berasal dari katalis yang digunakan, sedangkan pada pelumas pembanding, angka ini terutama berasal dari berbagai bahan aditif yang ditambahkan. Relatif tingginya foaming tendency dapat dipandang sebagai konsekuensi logis dari sifat pelumas sintetik yang dibuat sebagai bahan pendispersi. Akan tetapi kiranya perlu dicatata bahwa sampel A sebenarnya sudah memenuhi semua kriteria yang disyaratkan Kep. Dirjen Migas No. 041/K/34/DDJM/1988, termasuk foaming tendencynya. Foaming dapat menyebabkan persoalan serius karena dua hal. Pertama, kontak antarpermukaan logam yang saling bergerak relatif akan meningkat, sehingga gesekan akan menyebabkan mesin menjadi aus. Selain itu, rendahnya koefisien perpindahan panas gelembung udara akan mengakibatkan mesin mengalami overheating. Kedua, foaming meningkatkan kontak antara bahan pelumas dengan oksigen. Hal ini akan
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
G-4-4
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
G-4-5
mempercepat proses oksidasi pelumas. Proses ini dapat mengakibatkan pelumas terdegradasi menjadi senyawa-senyawa bermassa molekul relatif rendah yang mungkin bersifat korosif dan bervolatilitas tinggi, sehingga viskositas pelumas cepat meningkat, bahkan dapat menimbulkan persoalan sludge dan deposit pada mesin, sehingga interval ceratnya menjadi pendek. Persoalan ini perlu diatasi dengan penambahan antifoaming agent. Kesimpulan Dan Saran Konversi gliserol dan asam oleat menjadi pelumas sintetik berupa campuran senyawa kompleks ester poligliserol - estolida asam oleat dengan sebagian gugus hidroksil tak terkonversi yang dijadikan subjek penelitian ini secara umum telah berhasil menghasilkan bahan yang secara umum memiliki karakteristik yang dikehendaki sebagai bahan dasar pelumas. Ester yang diperoleh cukup potensial untuk dikembangkan lebih lanjut. Indeks viskositas sudah comparable dengan pelumas komersial dan jauh lebih baik dibandingkan standar yang hanya mensyaratkan nilai minimum 90. Dengan demikian, pemakaian viscosity modifier atau viscosity index improver yang umum dipakai pada pelumas komersial, tidak diperlukan untuk formulasinya menjadi pelumas komersial. Hal ini merupakan keunggulan tersendiri mengingat viscosity modifier merupakan bahan polimer dengan harga yang relatif mahal, dan komposisinya dalam kebanyakan pelumas mesin komersial yang mencapai 4% – 6%. Disamping itu flash pointnya yang relatif tinggi menandakan bahwa keandalan kinerja pelumas yang dibuat pada pengoperasian suhu tinggi, khususnya dari bahaya kebakaran, relatif lebih baik. Sungguhpun demikian, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk pengembangannya. Berbagai uji kinerja perlu dilakukan. Formulasi dengan berbagai aditif untuk menurunkan foaming tendency serta meningkatan kinerjanya perlu dilakukan. Ucapan Terima Kasih Penelitian ini dapat dilaksanakan atas dukungan dana dari Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional melalui Hibah Bersaing XI. Daftar Pustaka ATC, (1993), Document 49 Lubricant Additives and The Environment, CEFIC Belgium Beseda & de Detrich, (1990), Methods of Manufacturing Polyglycerol Esters, US Patent No. 4,950,441 Booser, (1994), CRC Handbook of Lubrication & Technology III, Scotia, New York Bosch, (1993), Automotive Handbook, Imprime en Allemagne, ed.3, hal. 218-225 Cermak dkk., (2001), Biodegradable Oleic Estolide Ester Having Saturated Fatty Acid End Group Useful as Lubricant Base Stock, US Patent No. 6,316,649 Dermawan D., (2002a) Pengaruh Konsentrasi Katalis Pada Konversi Asam Oleat Menjadi Estolida dengan Katalis Asam Sulfat, Jurnal Itenas No. 2 Vol. 6, hal. 37 - 42 Dermawan D., (2002b), Pengaruh Temperatur Pada Konversi Asam Oleat Menjadi Estolida Dengan Katalis Asam Sulfat, Prosiding Seminar Nasional “Kejuangan” Teknik Kimia UPN “Veteran” Yogyakarta Dermawan D., (2004a), Pengaturan Produk Esterifikasi Poligliserol dengan Campuran Estolida - Asam Oleat, Prosiding Seminar Nasional “Kejuangan” Teknik Kimia UPN “Veteran” Yogyakarta Dermawan D. & Doko, M.L., (2004b), Karakteristik Ester Gliserol dari Estolida & Asam Oleat sebagai Bahan Dasar Pelumas Mesin Otomotif, Prosiding Seminar Nasional “Kejuangan” Teknik Kimia UPN “Veteran” Yogyakarta Duncan & Exxon Chemical Pat. Inc., (1998), High Viscosity Complex Alcohol Esters, US Pat. No. 5,750,750 Hexindo, (1997), Prospek Industri dan Pemasaran Pelumas di Indonesia 1997 – 2000. Jakarta Isbell dkk., (2000), Biodegradable Oleic Estolide Ester Base Stocks and Lubricants, US Pat. No. 6,018,063 Morrison & Penzoil Product Co., (1995), Biodegradable Lubricant, US Patent 5378249 Pafford & Exxon Chemical Pat. Inc, (1997), Polyol Ester Composition with Unconverted Hydoxyl Group for Use as Lubricant Base Stocks, US Patent No. 5,698,502 Schlosberg & Exxon Chemical Pat. Inc., (1997), Synthetic Ester Base Stocks for Low Emission Lubricants, US Patent No. 5,674,822 Subiyanto, (1995), Studi Minyak Lumas Semisintetik CGPS-EX dan EXTEO 2001G HPO Eks Pasaran, Lembar Publikasi Lemigas, Vol. 29 No. 2 Randles, Subkhin (ed.), (1993), Synthetic Lubricants and High-Performance Functional Fluids, Marcel Dekker Inc. ³ JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
G-4-6