PEROLEHAN KEMBALI BAHAN DASAR PELUMAS DARI LIMBAH PELUMAS MESIN DENGAN METODE ADSORPSI DAN PENCIRIANNYA
ADHE MULAT KUSUMAH
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perolehan Kembali Bahan Dasar Pelumas dari Limbah Pelumas Mesin dengan Metode Adsorpsi dan Penciriannya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2013 Adhe Mulat Kusumah NIM G44104011
ABSTRAK ADHE MULAT KUSUMAH. Perolehan Kembali Bahan Dasar Pelumas dari Limbah Pelumas Mesin dengan Metode Adsorpsi dan Penciriannya. Dibimbing oleh HENNY PURWANINGSIH dan MUHAMMAD KHOTIB. Limbah pelumas mesin dapat diolah kembali menjadi bahan dasar pelumas dengan cara menghilangkan pengotor-pengotor yang terkandung di dalamnya. Salah satu cara menghilangkan pengotor tersebut adalah dengan metode adsorpsi. Adsorben bentonit, zeolit, dan silika diujikan, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa adsorben yang potensial untuk digunakan adalah bentonit, dengan persentase perolehan kembali sebesar 25%. Bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali termasuk dalam golongan 3 menurut pengelompokan American Petroleum Institute. Metode adsorpsi dengan bentonit mampu mengurangi pengotor logam hingga 80% sehingga bahan dasar pelumas yang diperoleh dapat digunakan kembali setelah ditambahkan sejumlah aditif. Kata kunci: adsorpsi, bentonit, limbah pelumas
ABSTRACT ADHE MULAT KUSUMAH. Recovery of Lube Base Oil from Lube Engine Oil Waste with Adsorption Method and Its Characterization. Supervised by HENNY PURWANINGSIH and MUHAMMAD KHOTIB. Engine lube oil waste can be recycled into lube base oil by removing the impurities. One way to eliminate the impurities is by adsorption method. The adsorbent studied were bentonite, zeolite, and silica and it was shown that bentonite was the potential adsorbent for the recovery process, with 25% recovery percentage. The lube base oil recovered was categorized as group 3 base oil base on the American Petroleum Institute classification. The adsorption method with bentonite could reduce the metal impurities up to 80%, so that the base oil can be reused after addition of some additives. Key words: adsorption, bentonite, waste oil.
PEROLEHAN KEMBALI BAHAN DASAR PELUMAS DARI LIMBAH PELUMAS MESIN DENGAN METODE ADSORPSI DAN PENCIRIANNYA
ADHE MULAT KUSUMAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Perolehan Kembali Bahan Dasar Pelumas dari Limbah Pelumas Mesin dengan Metode Adsorpsi dan Penciriannya Nama : Adhe Mulat Kusumah NIM : G44104011
Disetujui oleh
Dr Henny Purwaningsih, MSi Pembimbing I
M Khotib, SSi, MSi Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Desember 2012 ini ialah limbah pelumas mesin, dengan judul Perolehan Kembali Bahan Dasar Pelumas dari Limbah Pelumas Mesin dengan Metode Adsorpsi dan Penciriannya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Henny Purwaningsih, MSi selaku pembimbing pertama dan Bapak M Khotib, SSi, MSi selaku pembimbing kedua yang senantiasa memberikan arahan, semangat, dan doa kepada penulis selama melaksanakan penelitian. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Asbari, SSi selaku Manajer Teknis Divisi Lubricant PT Petrolab dan seluruh staf karyawan Divisi Lubricant, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, kakakku Adhi Surya Perdana, serta seluruh keluarga dan sahabat atas saran, kritik, serta semangat selama penelitian. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, April 2013 Adhe Mulat Kusumah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN METODE Ruang Lingkup Penelitian Alat dan Bahan Penyiapan Sampel Limbah Pelumas Pemulihan Bahan Dasar Pelumas dengan Metode Adsorpsi Pencirian Limbah Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas HASIL DAN PEMBAHASAN Penghilangan Pengotor dengan Asam Adsorben Potensial Sifat Fisis Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas Sifat Kimia Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas Spektrum FTIR SIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vii vii 1 2 2 2 3 3 3 5 5 6 7 9 11 13 14 14 16 24
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Sifat fisik pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali Penggolongan mutu bahan dasar pelumas Sifat kimia pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan kembai Kadar logam pelumas bekasdan bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali Analisis gugus fungsi dalam spektrum FTIR pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali Kondisi pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali berdasarkan spektrum FTIR
7 8 10 11 12 12
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Diagram alir penelitian Hasil pengendapan pelumas dengan H2SO4 Hasil adsorpsi dengan bentonit (a), zeolit (b) dan silika (c) Contoh perhitungan indeks kekentalan (ASTM D 2270) Perhitungan bilangan asam total (ASTM 974–04 2004 Perhitungan kadar abu (ASTM D 482–01 2001) dan kadar residu karbon (ASTM D 189–01 2001) Spektrum FTIR pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali
16 17 17 18 21 22 23
1
PENDAHULUAN Pelumas digunakan dalam perawatan mesin kendaraan bermotor, kendaraan diesel, mesin industri, mesin kapal, dan sebagainya untuk mengurangi gesekan sehingga meningkatkan efisiensi dan mengurangi keausan mesin. Fungsi lain pelumas ialah mendinginkan mesin dari kalor yang timbul akibat gesekan. Pada mesin automotif, pelumas juga berfungsi sebagai detergen untuk melarutkan pengotor hasil pembakaran. Kebutuhan pelumas setiap tahun terus meningkat, terutama pada bidang automotif dan industri. Pemakaian pelumas di bidang automotif berdasarkan data statistik pada tahun 2001 ialah 112 218 ton dan terus meningkat setiap tahunnya hingga pada tahun 2007 mencapai 151 954 ton. Hal serupa terjadi di sektor industri, pemakaian pelumas di tahun 2001 sebesar 94 107 ton dan tahun 2007 mencapai 151 954 ton. Kebutuhan pelumas yang terus meningkat ini menimbulkan masalah ketersediaan minyak pelumas di Indonesia. Peningkatan produksi pelumas untuk kebutuhan dalam bidang automotif sebesar 2 300 L/tahun. Di sisi lain, hampir 16 100 L/tahun konsumsi pelumas tahun 2001–2007 ialah untuk kebutuhan sektor automotif yang terus meningkat seiring terus meningkatnya jumlah produksi automotif. Kebutuhan akan pelumas tersebut antara lain dipenuhi melalui impor, selain dengan cara meningkatkan jumlah produksi pelumas (BPS 2007). Bahan baku pelumas sebagian besar masih diimpor. Impor pelumas automotif meningkat setiap tahunnya, dan tahun 2007, telah mencapai 123 568 ton per tahun. Dengan meningkatnya jumlah pelumas automotif, akan dihasilkan semakin banyak limbah pelumas bekas. Limbah ini perlu ditangani secara serius karena termasuk limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). Perolehan kembali (recovery) bahan dasar pelumas dari limbah pelumas perlu dilakukan untuk mengurangi dampak pencemaran tanah dan air. Selain itu, juga dapat mengurangi kebergantungan pada impor bahan dasar pelumas. Pelumas bekas pakai dapat berasal dari minyak mentah atau campuran dari beberapa pelumas sintetik (pelumas mesin bekas, pelumas turbin, pelumas kompresor, minyak transfer kalor) (Ladha et al. 2010). Pelumas bekas biasanya telah banyak mengandung zat pencemar yang sebagian sulit untuk dipisahkan, seperti jelaga, lumpur, air, garam, kotoran taklarut, residu bahan bakar, bahan teroksidasi, dan residu aditif terlarut (Rolly 2009). Salah satu upaya menjernihkan pelumas bekas adalah dengan memisahkan zat-zat pengotor yang terkandung di dalamnya. Pengotor terbentuk sebagai hasil perubahan kimia maupun fisika, seperti air hasil pembakaran bahan bakar, partikel keausan logam, jelaga, serta hasil oksidasi pelumas (Pertamina 1998). Adsorpsi merupakan perpindahan massa adsorbat dari fase gerak (fluida pembawa adsorbat). Adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sifat fisis dan kimia adsorben (luas permukaan, ukuran pori, dan komposisi kimia molekul), sifat fisis dan kimia adsorbat (ukuran, kepolaran, dan komposisi kimia molekul), konsentrasi adsorbat dalam fase cair, keadaan fase cair (pH dan suhu), serta kondisi kerja adsorpsi (Rahmawati 2006). Adsorben harus selektif, berpori (mempunyai luas permukaan per satuan massa yang besar), dan mempunyai daya ikat yang kuat terhadap zat yang hendak dipisahkan secara fisis ataupun kimia. Luas permukaan yang besar dapat diperoleh dengan cara memperkecil ukuran
2 partikel, tetapi tidak boleh terlalu kecil agar tidak ikut terbawa dalam aliran fluida (Lianna et al. 2012). Salah satu jenis adsorben yang dapat digunakan untuk mengadsorpsi pengotor dalam pelumas bekas adalah bentonit. Bentonit banyak terdapat di alam. Sebelum digunakan sebagai adsorben, bentonit diaktivasi terlebih dulu untuk meningkatkan daya jerapnya (Hilyati dan Widihastono 1991). Dalam penelitian ini, perolehan kembali bahan dasar pelumas dilakukan dengan cara adsorpsi dari limbah pelumas mesin. Konsumsi pelumas mesin lebih tinggi daripada pelumas nonmesin. Sebagai ilustrasi, kebutuhan pelumas mesin mobil sekitar 42 L setiap kali pengisian, dan harus diganti setiap 250 jam. Sementara itu, kebutuhan pelumas non-mesin 102 L, tetapi dapat digunakan hingga 1 000 jam bahkan lebih. Kebutuhan pelumas mesin lebih banyak karena pelumas tersebut lebih sering diganti (Carrey dan Haijen 2001). Dalam penelitian sebelumnya, penjernihan pelumas bekas dengan metode adsorpsi menggunakan adsorben batu bara, karbon aktif, silika, dan alkil benzenasulfonat (ABS). Produk olahan yang dihasilkan mendekati bahan dasar pelumas dengan proses adsorpsi menggunakan adsorben batu bara dan kombinasi ABS murni-zeolit sebagai media penjernih (Lianna et al. 2012). Selain itu, penjernihan pelumas juga pernah dilakukan dengan H2SO4 dikombinasikan dengan penggunaan tanah lempung, distilasi, dan filtrasi (Joseph 2010)
METODE Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup pemanfaatan pelumas bekas untuk mendapatkan bahan dasar pelumas. Mutu bahan dasar pelumas ditentukan melalui beberapa pengujian, meliputi kekentalan, kadar logam, titik tuang, kadar abu, bilangan asam total, kadar residu karbon, warna, kadar air, dan spektrum inframerah transformasi Fourier (FTIR).
Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tabung kaca untuk titik tuang, pelat pemanas, syringe, viskometer Ostwald, plasma gandeng induktif (ICP) Horiba, spektrofotometer FTIR Thermo Fischer Scientific, Karl Fisher Mitsubishi, kolorimeter Lovibond, cawan porselen, cawan besi, segitiga porselen, tutup cerobong (hood), insulator, tanur, dan peralatan kaca. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah pelumas mesin bekas yang berasal dari mesin alat berat dengan merek Pertamina jenis mineral, H2SO4 p.a, es kering, kerosen, toluena teknis, isopropil alkohol teknis, HCl p.a, indikator fenolftalein, indikator p-naftolbenzena, KOH 0.1 N, heksana teknis, serta beberapa jenis adsorben seperti bentonit 100 mesh, zeolit 100 mesh, dan silika.
3 Penyiapan Sampel Limbah Pelumas Sampel pelumas bekas yang digunakan memiliki kekentalan SAE (Society of Automotive Engineers) 15W–40. Sebanyak 200 mL sampel dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian diaduk dengan kecepatan 100 rpm. dan ditambahkan 40 mL H2SO4 p.a. Campuran terus diaduk selama 3 jam hingga diperoleh larutan yang homogen, lalu didiamkan selama 48 jam hingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan atas dipisahkan dengan menggunakan corong pisah untuk proses penjernihan selanjutnya (Joseph 2010).
Pemulihan Bahan Dasar Pelumas dengan Metode Adsorpsi Pengotor pada pelumas bekas dihilangkan dengan menggunakan zeolit, bentonit, dan silika. Zeolit dan bentonit diaktivasi menggunakan HCl 1 N dengan nisbah zeolit/bentonit dan HCl 1:1. Aktivasi dilakukan dengan cara direfluks selama 2 jam kemudian campuran dicuci dengan akuades hingga padatan adsorben bebas asam (Daniel et al. 2012). Silika diaktivasi dengan cara dikemas di dalam kolom, lalu dielusi menggunakan pelarut heksana. Perlakuan dengan Metode Adsorpsi Seratus mL pelumas bekas yang sudah dihilangkan pengotornya dengan H2SO4 dipanaskan sambil diaduk hingga mencapai suhu >120 ᴏC. Zeolit/bentonit yang telah diaktivasi dimasukkan ke dalam pelumas bekas panas tersebut. Suhu dijaga tetap konstan dalam keadaan teraduk selama 3 jam, kemudian campuran didiamkan selama 24 jam. Ke dalam silika yang sudah dikemas di dalam kolom dimasukkan sampel pelumas bekas sebanyak 100 mL, lalu dielusi dengan heksana. Bahan dasar pelumas yang diperoleh ditentukan tingkat kejernihannya secara visual dan yang memiliki tingkat kejernihan tertinggi dicirikan lebih lanjut.
Pencirian Limbah Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas Uji Kekentalan (ASTM D 445-09) Sejumlah sampel dimasukkan ke dalam tabung kekentalan kinematik kemudian direndam pada bejana berisi silikon yang sudah dikondisikan suhunya pada 100 ᴏC. Laju alir diukur sebagai waktu alir mulai dari meniskus atas hingga meniskus bawah. Kekentalan kinematik diukur dengan waktu alir minimum 200 detik. Nilai kekentalan diperoleh dari hasil kali laju alir dengan faktor tabung viskometer. Pengukuran juga dilakukan pada suhu 40 ᴏC. Hasil pengukuran pada kedua suhu tersebut digunakan untuk mendapatkan nilai indeks kekentalan (VI). Uji Kadar Logam (ASTM D 5185-09) Dalam uji ini, sampel diencerkan menjadi 11 kali lipatnya dengan pelarut kerosen, salah satu pelarut yang cocok untuk pelumas. Sebanyak 0.3 mL bahan dasar pelumas dilarutkan dalam 3 mL kerosen. Standar disiapkan dengan cara yang sama. Conostan merupakan standar uji logam yang digunakan. Keausan logam dan logam aditif ditentukan dengan menggunakan ICP Horiba.
4 Uji Titik Tuang (ASTM D 97-05) Sampel dituang ke dalam tabung uji hingga batas meniskus. Tabung ditutup dengan gabus yang dilengkapi termometer, lalu dimasukkan ke dalam alat ukur. Tabung uji diselubungi kain agar uap dingin dari es kering tidak keluar, perubahan yang terjadi kemudian diamati. Titik tuang ialah suhu tertinggi saat minyak sudah tidak dapat dituang lagi, ditandai dengan cairan sampel yang tidak bergerak dalam 5 detik setelah dituang. Titik tuang sebenarnya ditentukan dengan menambahkan 3 ᴏC pada titik tuang pengamatan ini (T = T0 + 3 °C). Spektroskopi FTIR (ASTM E 2412-04) Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer FTIR Thermo Fischer Scientific dan perangkat lunak Integra, dengan metode baseline, yaitu membandingkan spektrum pelumas baru (standar) dengan sampel. Sejumlah data yang diperlukan dimasukkan, kemudian pengukuran dimulai dengan sejumlah sampel dituangkan ke dalam media kristal ZnSe dan selanjutnya dibaca oleh perangkat lunak, menghasilkan nilai jelaga, oksidasi, nitrasi, dan sulfasi. Uji Kadar Abu (ASTM D 482-03) Sampel dituang ke dalam cawan porselen yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 775 ± 25 °C sedikitnya 10 menit, didinginkan dalam desikator tanpa bahan pengering (dessicant) hingga suhu kamar, dan ditimbang hingga ketelitian 0.1 mg. Cawan dan sampel dipanaskan dengan hati-hati hingga sampel terbakar dengan nyala yang merata. Setelah pembakaran berhenti, pemanasan dilanjutkan secara hati-hati hingga tidak menimbulkan asap dan buih. Cawan lalu dipanaskan di dalam tanur pada suhu 775 ± 25 ºC hingga oksidasi karbon selesai atau hampir selesai. Setelah didinginkan di dalam desikator hingga suhu kamar, cawan ditimbang kembali beserta isinya.
Uji Nilai Asam Total (ASTM D 974-04) Standardisasi Larutan KOH. Sebanyak 0.2 g kalium hidrogenftalat (KHP) yang telah dikeringkan selama ±1 jam pada suhu 110 ± 1 ºC ditimbang dan dilarutkan ke dalam 40 ± 1 mL air bebas-CO2. Larutan baku primer ini dititrasi dengan larutan KOH dalam alkohol sampai berwarna merah muda permanen (menggunakan indikator fenolftalein). Titrasi blangko dilakukan pada 40 mL air bebas-CO2 yang digunakan.
Wp = bobot KHP 204.23 = bobot molekul KHP Va = volume titran untuk menitrasi KHP (mL) Vb = volume titran untuk menitrasi blangko (mL) Penentuan Bilangan Asam Total. Sampel ditimbang ke dalam labu erlenmeyer 250 mL, lalu dilarutkan dengan 100 mL campuran toluena-isopropil
5 alkohol (1:1). Selanjutnya, ke dalam campuran ditambahkan 0.5 mL larutan indikator p-naftolbenzena dan terus dikocok sampai semua sampel larut. Campuran lalu dititrasi dengan KOH 0.1 N hingga diperoleh titik akhir berwarna hijau. Perhitungan bilangan asam total sebagai berikut:
A B N W
= larutan KOH untuk menitrasi sampel (mL) = larutan KOH untuk menitrasi blangko (mL) = normalitas KOH = bobot sampel (g)
Uji Kadar Residu Karbon (ASTM D 189-01) Bobot kosong cawan kering dan bersih ditimbang, kemudian sampel pelumas ditimbang sebanyak 5 g ke dalam sebuah tabung bertutup dan dibakar di atas pembakar selama 10 menit. Cawan berisi sampel yang sudah dibakar lalu dimasukkan ke dalam tanur. Setelah sampel menjadi abu, cawan didinginkan ke suhu 25 ᴏC di dalam desikator dan ditimbang untuk memperoleh bobot abu.
Uji Warna Pelumas (ASTM D 1500-04a) Tabung uji ditempatkan pada rumah tabung yang telah diisi air suling paling sedikit sampai kedalaman 50 mm. Sampel dimasukkan ke dalam tabung sampai tanda batas kemudian tabung dimasukkan ke dalam kompartemen kolorimeter. Sumber cahaya pada kolorimeter dihidupkan, kemudian warna sampel dibandingkan dengan warna standar. Nilai warna standar yang sama dengan warna sampel dicatat. Uji Kadar Air Metode Karl Fischer (ASTM D 6304-04a) Prinsip pengukuran ialah perubahan potensial elektrode Pt yang dicelupkan ke dalam larutan analisis pada saat pereaksi ditambahkan dengan titrator potensiometri. Titik akhir tercapai bila beda potensial mencapai 250 mV. Sampel dimasukkan ke dalam syringe sebanyak 1 mL kemudian ditimbang dan dimasukkan ke dalam alat Karl Fischer. Data hasil penimbangan bobot syringe kosong dengan bobot syringe berisi sampel dimasukkan pada alat. Kadar air akan terbaca secara langsung oleh software.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penghilangan Pengotor dengan Asam Sebelum dilakukan adsorpsi, zat aditif dan pengotor yang terlarut dalam sampel pelumas bekas diendapkan dengan menggunakan H2SO4 p.a (Lampiran 1). Logam-logam pengotor di dalam pelumas bekas dapat berasal dari dalam mesin
6 karena pengikisan logam mesin, atau dari zat aditif pelumas itu sendiri. Kandungan logam pada zat aditif pelumas di antaranya adalah Zn, Ca, dan Mg. Logam Ca dan Mg banyak ditemukan dalam aditif detergen, sedangkan logam Zn berasal dari aditif antioksidan, antikorosi, antiwear, extreme pressure, dan jumlahnya harus mencukupi agar pelumas dapat digunakan pada waktu tertentu (Fajar dan Yubaidah 2007). Warna hitam pelumas disebabkan oleh pemanasan saat mesin beroperasi dan sisa karbon hasil pembakaran bahan bakar. Pada proses pengendapan, asam kuat akan mengompleks logam-logam terlarut. Logam dan pengotor lain akan mengendap bersama dengan sisa karbon, dibuktikan dengan terbentuknya 2 lapisan (Lampiran 2). Lapisan atas (pelumas) sudah terbebas dari logam dan pengotor lain, namun warnanya masih tampak hitam. Kekentalannya sudah jauh lebih rendah, yaitu 11.42 cSt pada suhu 100 ºC dan 75.58 cSt pada suhu 40 ºC, dibandingkan dengan sebelum perlakuan asam, yaitu 13.16 cSt pada suhu 100 ºC dan 96.77 cSt pada suhu 40 ºC. Kekentalan yang rendah tersebut akan mempermudah proses adsorpsi selanjutnya.
Adsorben Potensial Silika merupakan adsorben pertama yang diujikan. Minyak pelumas bekas dialirkan melalui silika yang dikemas dalam kolom dengan menggunakan aseton sebagai fase gerak. Silika didapati tidak cukup efektif menjerap pengotor pada pelumas bekas. Warna pelumas bekas masih sama sebelum dan sesudah perlakuan (Lampiran 3). Proses adsorpsi diawali dengan mengencerkan sampel dalam pelarut heksana agar lebih mudah terjerap. Akan tetapi, hal ini tidak cukup membantu penjerapan pengotor dari dalam sampel. Adsorben kedua yang diujikan ialah zeolit, salah satu adsorben yang memiliki kapasitas adsorpsi sangat baik karena memiliki pori-pori berukuran molekul sehingga mampu menyaring atau memisahkan molekul (molecular sieving) (Yoga dan Henry 2007). Zeolit diaktivasi dengan cara direfluks dalam H2SO4 p.a untuk membuka pori-pori zeolit. Dengan nisbah zeolit terhadap sampel sebesar 1:1, yaitu 200 mL sampel pelumas bekas dicampur dengan 200 g zeolit, zeolit juga didapati tidak cukup baik untuk menjerap pengotor dan menjernihkan pelumas bekas. Pelumas hasil adsorpsi tetap berwarna kehitaman (Lampiran 3). Adsorben ketiga yang digunakan, yaitu bentonit mempunyai struktur berlapis dengan kemampuan mengembang (swelling) dan memiliki kation-kation yang dapat ditukarkan (Katti dan Katti 2001). Meskipun lempung bentonit sangat berguna untuk adsorpsi, tetapi kemampuan adsorpsinya terbatas. Aktivasi dengan menggunakan asam (HCl, H2SO4, dan HNO3) sehingga menghasilkan bentonit dengan kemampuan adsorpsi yang jauh lebih tinggi (Kumar dan Jasra 1995). Dalam penelitian ini, bentonit diaktivasi menggunakan HCl 1 N dengan metode refluks. Metode refluks akan menjaga konsentrasi asam tetap konstan. Pemekatan konsentrasi dapat merusak struktur bentonit. Adsorben bentonit menghasilkan tingkat kejernihan tertinggi dibandingkan dengan silika dan zeolit. Warna pelumas hasil adsorpsi tampak kekuningan (Lampiran 3). Nisbah antara bentonit dan pelumas bekas juga 1:1, yaitu 200 mL sampel:200 g bentonit. Persen perolehan kembali yang didapatkan adalah 25%. Hasil tersebut dikumpulkan dan dianalisis
7 sifat fisis seperti tingkat kejernihan dengan uji warna, indeks kekentalan, dan titik tuang.
Sifat Fisis Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas Dalam kendali mutu pelumas, analisis warna merupakan indikator awal tingkat kemurnian bahan. Warna pelumas diamati dan dibandingkan dengan standar warna yang ada. Apabila warna berada di luar standar spesifikasi pelumas tersebut, maka pelumas mungkin telah tercampur dengan bahan lain (Naibaho 2008). Bahan dasar pelumas hasil adsorpsi dengan bentonit menunjukkan tingkat warna 1.0, jauh lebih jernih jika dibandingkan dengan produk pelumas high viscosity index (HVI) yang digunakan sebagai pembanding (Tabel 1). Tabel 1 Sifat fisis pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali Kekentalan (cSt) VI Titik Tuang Jenis Warna ᴏ ᴏ 40 C 100 C (ᴏC) Pelumas bekas > 8.0 96.77 13.16 134 -24 Bahan dasar pelumas hasil perolehan 1.0 75.58 11.42 143 -12 kembali Standar Bahan Dasar Pelumas HVI 650 4.0 557.5 33.77 96 -9 HVI 95 Maks 2.0 56.45 7.36 99 -9 HVI 160S Maks 3.0 118.10 11.52 96 -9 HVI 60 Maks 1.5 27.72 4.85 106 -12 Sampel pelumas bekas yang digunakan memiliki kekentalan pada 100 ᴏC sebesar 13.16 cSt (Lampiran 4). Jika dikategorikan berdasarkan ketentuan SAE J300 (100 ᴏC min 5.6 cSt), maka pelumas bekas tersebut termasuk kategori SAE 15W. Bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali memiliki kekentalan pada 100 ᴏC lebih rendah, yaitu 11.42 cSt. Jika mengacu pada SAE J300 (100 ᴏC min 9.3 cSt, maks 12.5 cSt), maka termasuk dalam kategori SAE 30 (API 2004). Suhu 100 ᴏC merupakan suhu operasional mesin. Jika pelumas terlalu kental pada suhu tersebut, maka mesin akan bekerja lebih berat sehingga memerlukan energi dan bahan bakar yang lebih banyak (Fajar dan Yubaidah 2007). Kekentalan juga diukur pada suhu 40 ᴏC yang merupakan suhu terendah saat kondisi pelumas paling stabil. Nilai kekentalan pada kedua suhu tersebut digunakan untuk memperoleh nilai indeks kekentalan (VI). Bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali memiliki nilai VI sebesar 143 (Lampiran 1). Nilai ini telah sesuai dengan nilai VI pelumas sintetik yang berkisar 130–150 (Fajar dan Yubaidah 2007). Pelumas dengan nilai VI > 80 dikatakan memiliki indeks kekentalan tinggi (HVI) (Sudrajat et al. 2007). Bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali memiliki VI yang lebih tinggi dibandingkan dengan minimum beberapa pelumas HVI yang diberikan pada Tabel 1. Pembanding tersebut merupakan jenis-jenis bahan dasar pelumas yang digunakan dalam campuran pembuatan produk pelumas yang diujikan. Sampel pelumas mesin yang digunakan bermerek
8 Meditran SX 15W–40 yang berdasarkan Lembaga Pengawasan Minyak dan Gas, mengandung campuran dari HVI 95, HVI 60, HVI 650, dan HVI 160S. Kekentalan zat cair biasanya akan menurun bila terjadi kenaikan suhu. Pelumas yang baik adalah yang memiliki nilai VI tinggi (Sudrajat et al. 2007) karena nilai VI menunjukkan kemampuan pelumas mempertahankan kekentalannya terhadap perubahan suhu (Harjono 2001). Hal ini menunjukkan bahwa bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali memiliki kestabilan kekentalan yang tinggi. Namun, Tabel 1 menunjukkan kekentalan yang lebih rendah pada suhu 100 ᴏC dibandingkan dengan pada suhu 40 ᴏC. Penambahan aditif diperlukan untuk meningkatkan kinerja bahan dasar pelumas tersebut dalam jangka waktu tertentu. Analisis sifat fisis selanjutnya ialah pengukuran nilai titik tuang (pour point). Titik tuang diperoleh setelah pelumas benar-benar membeku. Titik beku merupakan batas suhu terendah dalam ᴏC pada saat pelumas membeku (tidak dapat mengalir). Titik beku dikurangi 3 poin merupakan titik tuang, yaitu suhu tertinggi dalam ᴏC pada saat pelumas mulai mengalir dari keadaan beku. Pada kondisi tersebut masih terdapat aditif pelumas jenis pour point dispersant yang dapat membantu mempertahankan mutu pelumas terhadap penurunan suhu di bawah kondisi normal. Tujuan uji ini adalah menentukan batas maksimum titik tuang minyak pelumas, dengan asumsi bahwa jumlah aditif pour point dispersant yang digunakan sudah sesuai dengan baku mutu minyak pelumas yang disyaratkan (Sardjito 2006). Berdasarkan nilai titik tuang, pelumas bekas dapat dikategorikan dalam SAE 30 (maks. -18 ᴏC) atau SAE 40 (maks. -15 ᴏC). Sementara berdasarkan nilai kekentalan dan titik tuang, kategori yang sesuai ialah SAE 30 yang memiliki nilai titik tuang lebih rendah. Semakin rendah nilai titik tuang, semakin luas wilayah aplikasi pelumas (dapat diaplikasikan di daerah tropis maupun di daerah beriklim dingin) (Fajar dan Yubaidah 2007). Setelah pelumas bekas mengalami perlakuan untuk diperoleh kembali bahan dasar pelumasnya, nilai titik tuang meningkat secara signifikan ke -12 ᴏC. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali sudah tidak lagi terdapat aditif pour point dispersant. Akibatnya pelumas lebih mudah membeku. Juga berbeda dengan nilai VI, bahan dasar pelumas tidak mampu untuk secara optimum tetap dalam bentuk cair, kecuali dibantu dengan aditif. Mengacu pada penggolongan mutu bahan dasar pelumas (Tabel 2), bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali digolongkan dalam kategori III, berdasarkan nilai VI 143 dan titik tuang -12 ᴏC. Golongan ketiga ini jauh lebih unggul karena mengandung senyawa hidrokarbon jenuh di atas 90% dan sulfur di bawah 0.03%, serta nilai VI minimum 120 (Pertamina 1998). Tabel 2 Penggolongan mutu bahan dasar pelumas Titik Tuang Indeks Kandungan Senyawa Kategori Kekentalan Sulfur Jenuh (ᴏC) I 80–120 > 0.03 < 90 -5 sampai 15 II 81–120 ≤ 0.03 ≤ 90 -10 sampai -20 III ≥120 ≤ 0.03 ≤ 90 -10 sampai -25 IV PAO 135-140 ≤ 0.03 -53 V Poliester 140 ≤ 0.03 -21 Sumber: API (2004)
9 Sifat Kimia Pelumas dan Bahan Dasar Pelumas Bilangan Asam Total Bilangan asam total atau total acid number (TAN) adalah jumlah basa, dinyatakan dalam mg KOH/g sampel, yang diperlukan untuk menitrasi sampel dalam pelarut sampai titik ekuivalen, yaitu terbentuk warna hijau/hijau kecokelatan dengan menggunakan larutan indikator p-naftolbenzena (ASTM D 974-04). Minyak pelumas bekas dapat mengandung asam atau basa yang berasal dari aditif atau sebagai hasil degradasi selama pemakaian. Asam organik yang terdapat di dalam pelumas meliputi vernis/resin. Jenis asam tersebut tidak mudah bereaksi dengan aditif dan dapat meningkatkan kekentalan pelumas. Bilangan asam total yang tinggi dapat membentuk lapisan kental, yang menurunkan efisiensi aliran pompa dan meningkatkan risiko korosi mesin terutama apabila terdapat cemaran air. Hasil penelitian menunjukkan TAN pelumas bekas sebesar 1.82 mg KOH/g sampel pelumas (Lampiran 5). Kandungan asam aktif dalam sampel pelumas bekas ini dapat menyebabkan korosi. Namun, setelah perlakuan TAN jauh menurun menjadi 0.02 mg KOH/g sampel. Hasil ini menunjukkan bahwa bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali telah memenuhi spesifikasi teknis parameter tingkat keasaman untuk pelumas HVI, yaitu rerata 0.05 mg KOH/g. Kadar Abu Analisis kadar abu mengukur jumlah sisa abu ketika minyak dibakar sampai habis. Abu dapat berasal dari minyak bumi sendiri atau akibat proses korosi dalam sistem penyimpanan atau penimbunan (adanya partikel logam yang tidak bisa terbakar) (ASTM D 482-03). Pelumas bekas memiliki kadar abu tertinggi, yaitu 1.27% (Lampiran 6). Setelah diberi perlakuan, abu tidak dapat terdeteksi sehingga dapat dikatakan telah bersih dari cemaran. Kadar Residu Karbon Analisis kadar residu karbon atau conradson carbon residue (CCR) adalah pemeriksaan karbon/arang pada minyak solar dan minyak diesel yang mungkin terbentuk selama proses pembakaran dan dapat menyebabkan kerak arang pada penginjeksi mesin diesel (ASTM D 189-01). Pelumas bekas memiliki kadar residu karbon tertinggi. Setelah proses adsorpsi dengan menggunakan bentonit, residu karbon dalam pelumas hanya tersisa 0.06%. Nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan bahan dasar pelumas lainnya yang digunakan sebagai acuan, yaitu 0.1–1%. Residu karbon di dalam mesin disebabkan oleh terbentuknya asam di dalam pelumas sebagai hasil oksidasi. Bahan bakar yang berasal dari minyak bumi akan mengandung wax/lilin dan juga sulfur sehingga uji kadar residu perlu dilakukan. Kadar Air Kadar air adalah salah satu parameter terpenting dalam penentuan mutu pelumas karena bila terlalu besar, dapat memicu korosi. Kandungan air yang sangat berlebih juga dapat menggantikan atau mengurangi ketebalan lapisan pelumas di dalam mesin (ASTM D 6304-04a). Kadar air bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali masih berada dalam batas normal, yaitu 106 ppm.
10 Pelumas HVI dianjurkan memiliki kadar air tidak lebih dari 150 ppm. Berdasarkan nilai bilangan asam total, kadar abu, kadar residu karbon, dan kadar air, dapat disimpulkan bahwa bahan dasar pelumas yang diperoleh telah bermutu baik (Tabel 3). Tabel 3 Sifat kimia pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali Bilangan Kadar Residu Kadar Abu Kadar Air Asam Total Karbon Jenis (mg KOH/g) (%) (%) (ppm) Pelumas bekas 1.82 1.27 2.01 52 000 Bahan dasar pelumas hasil 0.02 Ttd 0.06 106 perolehan kembali Standar Bahan Dasar Pelumas HVI 650 maks 0.05 0.01 maks 1.0 maks 150 HVI 95 0.05 0.01 0.1 maks 150 HVI 160S 0.05 0.01 0.1 maks 150 HVI 60 0.05 0.01 0.1 maks 150 Keterangan: ttd = tidak terdeteksi
Kadar Logam Bahan dasar pelumas pada dasarnya tidak berlogam, tetapi dalam proses pembuatannya, ditambahkan aditif yang mengandung logam. Aditif berfungsi meningkatkan sifat fisis bahan dasar pelumas, tetapi selama pemakaian, aktivitasnya akan terus menurun. Jenis aditif yang sering digunakan dalam pelumas adalah antioksidan, antikorosi, detergen, dan extreme pressure. Dalam penelitian ini, logam aditif yang diukur meliputi Zn, Ca, dan Mg. Selain logam aditif, di dalam pelumas bekas juga terdapat logam pencemar yang biasanya bersumber dari keausan mesin atau proses oksidasi antara lain Mg, Ca, Zn, Na, Cr, Fe, Ni, Pb, Cu, Sn, dan Al (Troyer dan Fitch 2001). Kadar logam dalam pelumas bekas terutama logam aditif menunjukkan penurunan setelah perlakuan adsorpsi dengan bentonit (Tabel 4). Penurunan kadar logam pengotor rerata >80% (kecuali Mg) pada bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali. Sampel yang cukup kental menghambat proses adsorpsi maka kekentalan diturunkan dengan memanaskan sampel hingga suhu 120 oC. Selama proses pemanasan disertai dengan pengadukan, adsorpsi sampel menjadi lebih optimum. Logam Mg tidak cukup kuat dijerap oleh bentonit jika dibandingkan dengan Ca dan Zn, menunjukkan bahwa bentonit bukan adsorben spesifik untuk logam Mg. Diperlukan jenis adsorben lain untuk membantu menjerap logam tersebut. Kandungan antioksidan dalam pelumas adalah 1000 ppm dan aditif detergen (Ca dan Mg) sekitar 2000 ppm (Troyer dan Fitch 2001).
11 Tabel 4 Kadar logam pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali Kadar Logam (ppm) % Parameter Pelumas Bahan Dasar Pelumas Hasil Penurunan Bekas Perolehan Magnesium (Mg) 178 127 28.65 Kalsium (Ca) 2336 343 85.32 Zink (Zn) 1368 168 87.72 Natrium (Na) 1 1 0 Kromium (Cr) Ttd ttd ttd Besi (Fe) 17 1 94.12 Nikel (Ni) 2 ttd 100 Timbel (Pb) 7 ttd 100 Tembaga (Cu) 4 ttd 100 Timah (Sn) ttd ttd ttd Aluminium (Al) 1 3 Keterangan: ttd = tidak terdeteksi
Kandungan logam Al dalam bahan dasar pelumas hasil perlakuan justru meningkat. Komposisi bentonit terdiri atas (Mg,Ca)O∙Al2O3∙5SiO2∙nH2O. Penambahan HCl ketika proses aktivasi bentonit diduga menyebabkan proses dealuminasi. Konsentrasi HCl yang terlalu tinggi dapat melarutkan sebagian Al (Hilyati dan Widihastono 1991). Uji warna dapat menunjukkan bahwa dengan konsentrasi HCl yang semakin tinggi, semakin banyak logam yang terlarut: warna merah yang terukur pada alat lovibond tintometer semakin tinggi (Fikri dan Reni 2010). Faktor lain yang dapat menyebabkan kadar Al meningkat adalah suhu pemanasan yang terlalu tinggi. Al pada kisi struktur bentonit dapat terlepas dan mengakibatkan sedikit kerusakan pada struktur bentonit (Hairil 2001). Spektrum FTIR Pelumas tersusun oleh bahan dasar pelumas dan aditif, masing-masing mempunyai gugus fungsi khas yang dapat dideteksi dengan spektrofotometer FTIR. Alat ini dapat digunakan untuk menentukan proses kimia yang cenderung menurunkan mutu pelumas (Setiyono 2006). Setiap pelumas memiliki spektrum FTIR yang khas dan spektrum tersebut dapat dijadikan sebagai sidik jari atau identitas keasliannya. Lampiran 7 menampilkan spektrum pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali. Tabel 5 memuat analisis gugus fungsi yang ditemukan serta sumbernya. Material yang terdapat dalam minyak pelumas baru antara lain mengandung parafin, naftalena, lilin, aspal, karbon, lumpur, pelarut aromatik dan non-aromatik, logam, garam, senyawa yang mengandung silikon untuk antibuih, dan bahan tambahan (aditif) (Sanusi 2006). Degradasi dan kontaminasi adalah salah satu faktor penyebab menurunnya mutu minyak pelumas. Pelumas yang telah kehilangan kemampuannya untuk melumasi atau melindungi komponen-komponen mesin dari keausan akan memunculkan serapan kuat pada kisaran bilangan gelombang untuk parameter jelaga, oksidasi, sulfasi dan nitrasi (Tabel 6).
12 Tabel 5 Analisis gugus fungsi dalam spektrum FTIR pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali Bilangan Gelombang Gugus Bahan Dasar Keterangan Pelumas Pelumas Fungsi Pelumas Hasil Bekas Pustaka* Perolehan –OH 3648.1 3648 Antioksidan aromatik Bahan dasar pelumas 2916.93 2918.86 2000–3000 –CH3 (mineral dan PAO) 1704.52 1704–1773 C=O amida Dispersan C=C 1605.75 1600–1700 Mineral aromatik 1303.74 1230–1366 C–N amina Detergen 1229.96 1230–1366 C–N amina Detergen S=O 1168.86 1158–1169 Detergen sulfonat C–H Antioksidan dan 974.83 978–654 aromatik Antiwear *Sumber: Fajar dan Yubaidah (2007)
Tabel 6 Kondisi pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali berdasarkan spektrum FTIR Bahan Dasar Pelumas Bilangan Pelumas Bekas Hasil Perolehan Parameter -1 Gelombang (cm ) (Abs/0.1 mm) (Abs/0.1 mm) Jelaga 2000 0.15 ttd Oksidasi 1800–1670 0.03 ttd Nitrasi 1650–1600 0.03 ttd Sulfasi 1180–1120 0.07 ttd Air 3500–3150 ttd ttd Anti Keausan 1025–960 ttd ttd Sumber: ASTM D 2412-04 (2004)
Jelaga menyebabkan pelumas menjadi berwarna hitam, dan terbentuk oleh proses pembakaran selama pelumasan di dalam mesin. Jelaga dicirikan oleh serapan FTIR pada bilangan gelombang 2000 cm-1 (ASTM E 2412-04). Semakin lama pelumas terpakai melumasi mesin, jelaga akan semakin banyak dihasilkan sehingga pelumas bekas tampak sangat hitam. Jelaga yang terbentuk terlihat pada pelumas bekas mencapai 0.015 Abs/0.1 mm. Bentonit menjerap jelaga tersebut sehingga warna pelumas kembali ke kondisi awal. Tingkat oksidasi pelumas bekas juga dapat dilihat dari spektrum FTIR, diperoleh nilai oksidasi sebesar 0.03 Abs/0.1 mm. Oksidasi pelumas terjadi karena reaksi dengan oksigen dari udara. Hasil oksidasi umumnya berupa senyawa yang mengandung gugus karbonil (C=O), misalnya keton, asam karboksilat, dan aldehida (Rolly 2009). Oksidasi merupakan reaksi utama yang akan mengubah sifat pelumas (Rizvi 1992).
13 Kadar nitrasi pelumas bekas terukur sebesar 0.03 Abs/0.1 mm. Reaksi nitrasi memasukkan gugus nitro pada suatu senyawa dan memunculkan serapan pada bilangan gelombang 1800–1670 cm-1 (ASTM E 2412-04). Selain itu, terukur kadar sulfasi pada pelumas bekas sebesar 0.07 Abs/0.1 mm. Oksida sulfur terbentuk ketika bahan bakar yang mengandung sulfur terbakar dan bereaksi dengan air hingga terbentuk asam sulfat. Asam tersebut sangat berbahaya karena bersifat korosif. Gugus sulfat dapat terbaca pada bilangan gelombang 1180–1120 cm-1 (ASTM E 2412-04). Perlakuan awal berupa penambahan H2SO4 pekat menghilangkan beberapa aditif pelumas. Hal itu menimbulkan perubahan yang jelas pada spektrum FTIR. Daerah sidik jari spektrum pelumas bekas memperlihatkan serapan di 1168.86 cm1 (gugus fungsi sulfonat) dan 1229.96 cm-1 (gugus C–N amina) yang terdapat dalam aditif detergen. Serapan pada bilangan gelombang 1704.52 cm-1 berasal dari gugus C–N amina yang dimiliki oleh aditif dispersan. Jenis aditif lain terdeteksi pada daerah sidik jari, yaitu di bilangan gelombang 974.83 cm-1 (gugus C–H aromatik) ialah antioksidan dan antiwear. Aditif jenis antioksidan juga terdeteksi pada 3648.1 cm-1 (gugus –OH aromatik). Sampel bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali mengandung gugus C=C aromatik (bilangan gelombang 1605.75 cm-1) yang merupakan ciri khas pelumas mineral, salah satu jenis penyusun bahan dasar pelumas. Masih terdapat aditif detergen yang ditunjukkan dengan serapan pada bilangan gelombang 1303.74 cm-1 (gugus C–N amina), tetapi beberapa jenis aditif yang lain telah hilang dengan penambahan asam dan proses adsorpsi menggunakan bentonit (Tabel 5). Berbagai jenis bahan dasar pelumas khususnya yang sintetik tidak dapat dibedakan dengan pelumas mineral. Spektrum FTIR sampel pelumas bekas maupun hasil perlakuan tidak menunjukkan puncak pada bilangan gelombang 1600 cm-1, yang menunjukkan gugus aromatik sebagai ciri khas pelumas mineral. Hal ini mendukung nilai VI yang diperoleh yang menunjukkan bahwa bahan dasar pelumas hasil perlakuan merupakan pelumas sintetik.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Bahan dasar pelumas dapat diperoleh kembali dari limbah pelumas dengan metode adsorpsi. Persen perolehan kembali 25% dari 200 mL sampel dengan perlakuan asam dan adsorpsi menggunakan bentonit. Berdasarkan kriteria API, bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali termasuk golongan 3, dengan nilai VI yang tinggi sebesar 143 dan nilai titik tuang terendah di suhu -12 oC. Kandungan logam mampu diturunkan rata-rata lebih dari 80%, kecuali logam Mg. Nilai bilangan asam total, kadar abu, kadar residu karbon, dan kadar air semuanya bernilai rendah. Analisis spektrum FTIR menunjukkan bahan dasar pelumas yang diperoleh telah terbebas dari jelaga, oksidasi, sulfasi, dan nitrasi. Bahan dasar pelumas tersebut dapat dikategorikan sebagai pelumas sintetik berdasarkan nilai VI dan sidik jari spektrum FTIR.
14 Saran Untuk mendapatkan bahan dasar pelumas dari pelumas bekas dengan perolehan kembali yang lebih baik dan memenuhi spesifikasi baku teknisnya, perlu diujikan penggunaan campuran berbagai adsorben lain.
DAFTAR PUSTAKA [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. ASTM E 2412-04, Condition monitoring of used lubricants by trend analysis using Fourier transform infrared (FTIR) spectrometry. West Conshohocken (US): ASTM International. [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. ASTM D 2270-04, Calculation viscosity index from kinematic viscosity at 40 ᴏC and 100 ᴏC. West Conshohocken (US): ASTM International. [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. ASTM D 1500-04a, Color of petroleum products (ASTM color scale). West Conshohocken (US): ASTM International. [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2001. ASTM D 189-01, Conradson carbon residue of petroleum products. West Conshohocken (US): ASTM International. [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2003. ASTM D 482-03, Ash from petroleum products. West Conshohocken (US): ASTM International. [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. ASTM D 974-04, Acid and base number by color-indicator titration. West Conshohocken (US): ASTM International. [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2009. ASTM D 445-09, Standard test method for kinematic viscosity of transparent and opaque liquids and calculation of dynamic viscosity. West Conshohocken (US): ASTM International. [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2004. ASTM D 6304-04a, Determination of water in petroleum products, lubricating oils, and additives by coulometric Karl Fischer titration. West Conshohocken (US): ASTM International. [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2005. ASTM D 97-05, Pour point of petroleum products. West Conshohocken (US): ASTM International. [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2009. ASTM D 5185-09, Determination of the particle size of powdered activated carbon by inductively couple plasma (ICP). West Conshohocken (US): ASTM International. [API] American Petroleum Institute. 2004. Spesification 5L Forth. Spesification for line pipe Ed ke-2. Washington (US): API. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Tingkat Konsumsi Minyak Pelumas untuk Sektor Industri dan Otomotif. Jakarta (ID): BPS.
15 Bath DS, Jenal MS, Turmuzi L. 2012. Penggunaan tanah bentonit sebagai adsorben logam Cu. J Tek Kim. 1(1):1-12. Fajar R, Yubaidah S. 2007. Penentuan kualitas pelumas mesin. J Lub Sci Tech. 1(9): 8-15. Fikri ME, Reni K. 2010. Regenerasi bentonit bekas secara kimia fisika dengan aktivator asam klorida dan pemanasan pada proses pemucatan CPO [skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung. Harjono H. 2001. Teknologi Minyak Bumi. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr. Hairil P. 2001. Pemanfaatan zeolit lampung yang diaktivasi dengan NaOH sebagai adsorben uap pada kondensasi uap industri karet remah (crumb rubber) [skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung. Hilyati, Widihastono B. 1991. Adsorpsi zat warna tekstil pada zeolit alam dari Bayah. J Kim Terapan Indones. 1(2):47-53. Joseph U. 2010. A comparative study of recycling of used lubrication oils using distillation, acid and activated charcoal with clay methods. J Petroleum & Gas Eng. 2(2):12-19. Katti K, Katti D. 2001. Effect of Clay-Water Interactions on Swelling in Montmorillonite Clay. Fargo (US): North Dakota State University. Kumar P, Jasra RV. 1995. Evolution of porosity and surface acidity in montmorillonite clay on acid activation, Chem Res. 34:1440-1448. Ladha S, Molyneux P, Wang JX, Wang KR, Buckley JS. 2010. Evaluasi pengelolaan limbah pelumas sebagai limbah B3 [makalah]. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung. Lianna J, Yunia K, Haerry S. 2012. Penjernihan minyak pelumas bekas dengan metode adsorpsi suatu usaha pemanfaatan kembali minyak pelumas bekas sebagai base oil. J Teknol Kim & Industri Univ Diponegoro. 1(1):252-257. Naibaho ABF. 2008. Pengaruh kekentalan dan tekanan terhadap jumlah persen volume fraksi bensin [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Pertamina. 1998. Pelumas dan Pelumasan. Cilacap (ID): Pertamina. Rahmawati E. 2006. Adsorpsi senyawa residu klorin pada karbon aktif termodifikasi zink klorida [skripsi]. Bogor (ID): Intstitut Pertanian Bogor Rizvi SQA. 1992. Lubricant Additive and Their Function. Di dalam: Robinson NB, editor. ASM Handbook Friction, Lubrication, and Wear Technology. Maryland (US): ASM International. Rolly F. 2009. Pelumas Menurut Bahan Dasar dan Aditif. Jakarta (ID): Gramedia. Sardjito. 2006. Panduan Tentang Pelumas dan Pelumasan Edisi Pertama. Jakarta (ID): Petrolab Services. Sanusi W. 2006. Bahan Dasar Pelumas dan Formulasi Pelumas. Ed ke-1. Jakarta (ID): Buletin MASPI. Setiyono. 2006. Potensi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di wilayah DKI Jakarta dan strategi pengelolaannya. J Teknol Lingk. 3(1):1-20. Sudrajat R, Ariatmi R, Setiawan D. 2007. Pengolahan minyak jarak pagar menjadi epoksi sebagai bahan dasar pelumas. J Petroleum & Gas Eng. 3: 1-22. Troyer D, Fitch J. 2001. Oil Analysis Basic. Ed ke-2. Texas (US): Noria Corporation. Yoga P, Henry TP. 2007. Coal fly ash conversion to zeolite for removal of chromium and nickel from wastewaters. J Environ Tech.3:1–5.
16 Lampiran 1 Diagram alir penelitian Aktivasi Bentonit Bentonit
Ditambahkan HCl 1 N (1:1) Direfluks selama 2 jam. Disaring dan dicuci dengan akuades. Dikeringkan
Bentonit Aktif
Metode Kerja Pelumas Bekas
Ditambahkan 40 mL H2SO4 p.a Lapisan atas dipisahkan lalu dipanaskan suhu 120 oC Ditambahkan bentonit.
Pelumas:Bentonit Teraktivasi (1:1)
Diaduk selama 3 jam kemudian didiamkan selama 24 jam, lalu disaring
17 Lampiran 2 Hasil pengendapan pelumas dengan H2SO4
Lampiran 3 Hasil adsorpsi dengan bentonit (a), zeolit (b) dan silika (c)
(a)
(b)
(c)
18
Lampiran 4 Contoh perhitungan indeks kekentalan (ASTM D 2270) Sampel Suhu (ᴏC) Faktor Tabung (C) Waktu (det) 40 0.2376 407.28 Pelumas bekas 100 0.0376 349.91 Bahan dasar 40 0.2337 323.4 pelumas hasil perolehan 100 0.0353 323.72
V (cSt) 96.77 13.16 75.58
VI 134 143
11.42
Contoh perhitungan kekentalan: Kode viskometer Ostwald 1786/150 V = kekentalan kinematik (mm2/det atau cSt) C = tetapan dari viskometer yang dikalibrasi t = waktu alir rerata maka nilai kekentalan
Perhitungan Nilai VI Kekentalan pada 100 ᴏC = 13.16 cSt Kekentalan pada 40 ᴏC = 96.77 cSt Nilai L Kekentalan kinematik pada 100oC = 13.16 pada tabel terletak di antara 13.10 dan 13.20 13.10 nilai L = 235.0 13.20 nilai L = 238.1
Nilai H Kekentalan kinematik pada 100 oC = 13.16 pada tabel terletak di antara 13.10 dan 13.20 13.10 nilai H = 122.9
19 lanjutan Lampiran 4 13.20 nilai H = 124.2
Mencari Nilai N
U = nilai kekentalan pada 40 oC Y = nilai kekentalan pada 100 ᴏC
Nilai VI
20 lanjutan Lampiran 4 Nilai L dan H pada 100 ᴏC (ASTM D 2270)
21 Lampiran 5 Perhitungan bilangan asam total (ASTM 974–04 2004 Standardisasi larutan KOH Bobot KHP (kalium hidrogenftalat) = 0.2015 g Volume Blangko
= 0.05 mL
Volume KHP
= 10.96 mL
Va Vb Wp
= Larutan KOH yang diperlukan untuk titrasi sampel (mL) = Larutan KOH yang diperlukan untuk titrasi blangko (mL) = Bobot sampel (g)
Bilangan Asam Total Sampel Pelumas bekas Bahan dasar pelumas hasil perolehan Contoh perhitungan
Bobot sampel (g) 10.1213 12.6543
Volume (mL) Blangko Sampel (B) (A) 0.1 3.75 0.1
0.25
TAN (mg KOH/g) 1.82 0.06
22
Lampiran 6 Perhitungan kadar abu (ASTM D 482-01 2001) dan kadar residu karbon (ASTM D 189-01 2001) Bobot (g) Kadar Abu Sampel (%) Cawan Kering Sampel Cawan + Abu Pelumas bekas Bahan dasar pelumas hasil perolehan
38.6190
5.0753
38.6837
1.27
38.1881
5.2481
38.1881
0
Contoh perhitungan :
Bobot (g) Sampel
Cawan Kering
Pelumas Bekas Bahan dasar pelumas hasil perolehan
Contoh perhitungan
sampel Cawan + Abu
Kadar Residu karbon (%)
27.1281
5.0372
27.2295
2.01
26.9291
5.1645
26.9320
0.06
23 Lampiran 7 Spektrum FTIR pelumas bekas dan bahan dasar pelumas hasil perolehan kembali
24
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Halim, Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 1 November 1987 dari Ayah Sardjuni dan Ibu Warsiyem. Penulis merupakan putri kedua dari 2 bersaudara, dengan kakak lelaki bernama Adhi Surya Perdana. Tahun 2005, penulis lulus dari SMA PLUS YPHB Bogor. Pada tahun yang sama penulis masuk Program Diploma 3 Analisis Kimia, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2010, penulis diterima di Program Alih Jenis Departemen Kimia, Fakultas MIPA, IPB. Tahun 2008 sampai sekarang, penulis bekerja di PT Petrolab Services yang bergerak di bidang analisis Lubricant dan Environment.