KONTRAK BISNIS DALAM PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BMT BINA UMMAT SEJAHTERA (BUS) DAN BMT HUSNAYAIN
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh:
MUHAMMAD SYAFIQ UMAM NIM: 107046101813
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 Mei 2011
Muhammad Syafiq Umam
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, meskipun masih terdapat kekurangan. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing umatnya menuju kehidupan bahagia fiddun yaa wal aakhirat. Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa banyak tangan yang terulur memberikan bantuan. Ucapan rasa hormat yang setinggi-tingginya dan terima kasih yang setulus-tulusnya atas segala kepedulian mereka yang telah memberikan berbagai bentuk bantuan baik berupa sapaan moril, kritik, masukan, dorongan semangat, maupun sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menghanturkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta. 2. Ibu Dr. Euis Amalia, M. Ag dan Bapak Mu’min Rauf, M.Ag, selaku ketua dan sekretaris Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam). 3. Bapak Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH,MH., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu luang, motivasi serta pikiran untuk memberikan
v
ilmu, dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini, semoga Allah membalas kebaikan bapak. 4. Seluruh dosen serta segenap Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis, yang telah memberikan pemikirannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 5. Segenap pimpinan dan karyawan Perpustakaan Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan pinjaman buku kepada penulis, sehingga dapat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Bapak Kukuh Setiawan selaku Kasi Marketing Wilayah I BMT BUS dan juga Bapak Komarudin selaku Direktur BMT Husnayain dan seluruh jajaran stafnya, yang telah membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini. 7. Kedua orang tua saya, Bapak Drs. H. Zakaria Anshary dan Ibu Hj. Ati Fatimah S.PdI yang telah memberikan motifasi dan dukungannya baik dalam bentuk materil dan immateril, dan juga nasihat yang disampaikan selalu memberikan cahaya inspirasi dalam melewati setiap langkah kehidupanku. Tak lupa kepada kakak tersayang Fauziyatul Muna S.PdI, kakak iparku Anta Wijaya S.Pd I dan juga bibiku Ucu Nuraeni.
vi
8. Orang-orang terdekat Hilman, Iksan, bang Asril, kang Dede, ustadz Saiful dan ustadz Yuda, yang telah memberikan dukungan kepada penulis baik dalam bentuk motivasi, saran dan kritik yang berarti bagi penulis. 9. Teman-teman seperjungan di UIN khususnya mahasiswa Perbankan Syariah kelas D angkatan 2007 yang telah membantu dalam skripsi ini, meraka adalah Darto, Gufron, Deny, Fajri , Ismi, Risa, Fery, Riyan, Faiz, Ade Ikhwan, Ade Qomar, Patah, Eki . Serta kepada seluruh pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu atas semua bantuan dan masukannya kepada penulis. Terima kasih atas semua bantuan yang tak akan penulis lupakan, semoga silaturahmi kita dapat terus terjalin. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak atas seluruh bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Jakarta, 17 Mei 2011
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................... iii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iv KATA PENGANTAR............................................................................................
v
DAFTAR ISI........................................................................................................... viii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...............................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.........................................................
8
D. Review Studi Terdahulu ..................................................................
9
E. Kerangka Teori................................................................................. 13 F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ......................................... 16 G. Sistematika Penulisan....................................................................... 20
BAB II
KERANGKA
TEORI
KONTRAK
PEMBIAYAAN
MUDHARABAH A. Pembiayaan Mudharabah ................................................................. 22 1. Pengertian Pembiayaan ............................................................. 22 2. Pengertian Mudharabah............................................................. 23 3. Landasan Syariah Mudharabah ................................................ 25 4. Rukun dan Syarat Mudharabah ................................................ 28 5. Nisbah Keuntungan Mudharabah ............................................. 30 6. Bentuk-Bentuk Mudharabah .................................................... 33 B. Kontrak Bisnis Syariah..................................................................... 34 1. Pengertian Kontrak dan Akad ................................................... 34 2. Rukun dan Syarat Akad............................................................. 35
viii
3. Asas-Asas Perjanjian/Akad dalam Islam .................................. 38 4. Hal-Hal yang Dapat Merusak Akad .......................................... 44 5. Macam-Macam Akad ................................................................ 46 6. Berakhirnya Akad...................................................................... 48
BAB III
GAMBARAN UMUM BMT BINA UMMAT SEJAHTERA (BUS) DAN BMT HUSNAYAIN A. Sejarah Berdirinya BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain ........................................................................................ 52 1. Sejarah Singkat BMT Bina Ummat Sejahtera........................... 52 2. Sejarah Singkat BMT Husnayain.............................................. 53 B. Visi dan Misi BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain... 55 1. Visi dan Misi BMT Bina Ummat Sejahtera .............................. 55 2. Visi dan Misi BMT Husnayain ................................................. 56 C. Struktur Organisasi BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain ......................................................................................... 57 1. Struktur Organisasi BMT Bina Ummat Sejahtera..................... 57 2. Struktur Organisasi BMT Husnayain........................................ 58 D. Produk-Produk BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain 60 1. Produk-Produk BMT Bina Ummat Sejahtera ........................... 60 2. Produk-Produk BMT Husnayain............................................... 63
BAB IV
HASIL
PENELITIAN
KONTRAK
BISNIS
DALAM
PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BMT BINA UMMAT SEJAHTERA (BUS) DAN BMT HUSNAYAIN A. Prosedur Pembuatan Kontrak Bisnis Mudharabah di BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain.................................. 67 1. Prosedur Pembuatan Kontrak Bisnis Mudharabah di BMT Bina Ummat Sejahtera............................................................... 67 ix
2. Prosedur Pembuatan Kontrak Bisnis Mudharabah di BMT Husnayain.................................................................................. 69 B. Struktur dan Anatomi Kontrak Mudharabah di BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain ....................................................... 71 1. Struktur dan Anatomi Kontrak Mudharabah di BMT Bina Ummat Sejahtera ....................................................................... 71 2. Struktur dan Anatomi Kontrak Mudharabah di BMT Husnayain.................................................................................. 77 C. Analisis Materi Kontrak Mudharabah di BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain terhadap Perjanjian Syariah .......... 81 1. Analisis Materi Kontrak Mudharabah di BMT Bina Ummat Sejahtera .................................................................................... 81 2. Analisis Materi Kontrak Mudharabah di BMT Husnayain ....... 90
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan....................................................................................... 94 B. Saran-saran ....................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 97 LAMPIRAN............................................................................................................ 101
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kegiatan usaha atau bisnis merupakan hal yang pokok bagi setiap manusia, terutama bagi seseorang yang memiliki kegiatan usaha dengan cara berwiraswasta pasti mereka akan membutuhkan suatu modal untuk menjalankan usahanya agar kegiatan usaha mereka dapat tumbuh dan berkembang sesuai yang mereka harapkan. Kegiatan bisnis dilakukan oleh seseorang bertujuan agar mereka dapat bertahan dalam menghadapi hidup karena sulitnya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak maka mereka berfikir untuk menjalankan bisnis, dengan bertujuan agar kebutuhan mereka yang paling mendasar yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder mereka terpenuhi. Hal itu dilakukan karena, pada prinsipnya manusia memiliki sifat yang tidak puas maka mereka berusaha hingga kebutuhan tersier mereka terpenuhi pula. Oleh karena itu agar mereka dapat mencapai kebutuhan baik primer, sekunder dan tersier mereka melakukan pembiayaan kepada lembaga keuangan salah satunya kepada BMT. Pembiayaan ini dilakukan karena modal yang mereka punya kurang untuk memulai usaha atau pun untuk mengembangkan usaha mereka. Sehingga pihak BMT pun ketika melakukan pencairan, BMT akan memulainya salah satunya dengan melakukan kontrak yang memuat aturan-aturan yang harus dipahami dan disepakati oleh kedua belah pihak. 1
2
Menurut A. Gani Abdullah dalam sebuah wawancara tanggal 12 Februari 2005, menyatakan bahwa titik tolak perbedaan dengan KUH Perdata adalah pada tahap unsur ikrar (ijab dan kabul) dalam tiap transaksi. Apabila dua janji antara para pihak tersebut disepakati dan dilajutkan dengan ikrar (ijab dan kabul), maka terjadilah ‘aqdu (perikatan)1. Pada dasarnya hukum perikatan Islam menganut kebebasan berkontrak yaitu suatu perikatan atau perjanjian akan sah dan mengikat kedua belah pihak apabila ada kesepakatan suka sama suka yaitu dalam ijab dan qabul. Adanya kedua aqad tersebut yaitu ijab dan qabul menandakan bahwa transaksi tersebut telah sah yang dilandasi oleh dasar suka sama suka. Selain itu pula berdasarkan hukum positif syarat syah kontrak sebagaimana diatur dalam pasal 1320 BW yaitu:2 a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal. Keempat syarat tersebut biasa juga disingkat dengan sepakat, cakap, hal tertentu dan sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subyeknya atau pihak-pihak dalam perjanjian sehingga disebut sebagai syarat
1
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cet.II, (Jakarta: Kenca Prenada Media Group), h 47. 2 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perencanaan Kontrak (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.13.
3
subjektif. Sedangkan syarat ke tiga dan ke empat disebut syarat objektif.3 Keempat syarat inilah yang menjadi syarat syahnya suatu kontrak yang ada di dalam hukum positif. Sedangkan syarat umum akad, ulama fikh menetapkan beberapa syarat umum suatu akad. Pertama, pihak-pihak yang berakad itu telah cakap bertindak hukum (mukallaf) atau jika obyek akad itu merupakan milik orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya. Kedua, obyek akad itu diakui oleh syara’. Ketiga, akad itu tidak dilarang oleh nash (ayat atau hadits) syara’. Keempat, akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan akad itu. Kelima, akad dapat memberikan faidah. Keenam, ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadinya qabul. Ketujuh, ijab dan qabul mesti langsung dijawab sehingga bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi batal.4 Oleh karena itu yang membedakan syarat sah hukum perjanjian Islam dengan hukum perjanjian positif adalah jika perjanjian menurut hukum syariat meski tidak bertentangan dengan syara’. Sedangkan dalam perjanjian menurut hukum positif yaitu tidak bertentangan pada perundang-undangan. Di dalam kontrak yang terdapat pada 2 BMT yang penulis teliti terdapat beberapa kontrak pembiayaan, salah satunya adalah kontrak pembiayaan mudharabah.
3
Hasanuddin Rahman, Contract Drafting: Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, cet.I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.8. 4 M. Nadratuzzaman Hosen, dkk, Materi Dakwah Ekonomi Syariah (Jakarta: PKES, 2008), h.83-84.
4
Mudharabah adalah penyerahan harta dari shahib al-mal (pemilik modal/dana) kepada mudharib (pengelola dana) sebagai modal usaha, sedangkan keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah (perbandingan laba rugi) yang disepakati. Jika terjadi kerugian maka ditutup dengan laba yang diperoleh, namun apabila dalam akad mudharabah tidak mendapatkan laba sama sekali atau mengalami kerugian, maka mudharib (peneglola dana) tidak berhak diberi upah atas usahanya, dan shahib al-mal (pemilik dana )tidak berhak menuntut kerugian kepada mudharib, demikian ini jika kerugian tidak disebabkan kelalaian dari pihak mudharib.5 Kontrak atau akad yang dibuat oleh pihak BMT tentunya berbeda-beda isinya. Apalagi berdasarkan data yang diperoleh, di DKI Jakarta terdapat 43 BMT dengan rincian di Jakarta Timur terdapat 16 BMT, di Jakarta Selatan terdapat 17 BMT, di Jakarta Utara terdapat 4 BMT, di Jakarta Barat 4 BMT dan di Jakarta pusat terdapat 2 BMT.6 Oleh karena itu, pasti di setiap BMT memiliki perbedaan dalam isi kontrak yang dibuat, salah satunya seperti ada pihak BMT yang membuat kontrak dengan amat singkat, pendek dan bahasa yang sederhana. Ada juga pihak BMT yang membuat kontrak dengan amat detail dan bahasa yang sulit dipahami. Namun dari kontrak yang dibuat masih terdapat beberpa kekurangan baik seperti dalam hal ketidaksesuaiaan terhadap konsep. 5
HMM.Dumairi Nor, dkk, Ekonomi Syariah Versi Salaf, cet.II, (Jawa Timur: Pustaka Sidogiri,2008), h.9. 6 ”Daftar BMT se-Jabodetabek (sumber data: Dhuha Nusantara)”, artikel diakses pada 16 Maret 2011 dari www.mail.yahoo.com
5
Oleh karena itu karena berbeda-bedanya isi kontrak di setiap BMT, penulis di sini mengambil dua BMT di Jakarta yaitu BMT Bina Ummat Sejahtera (BUS) dan BMT Husnayain. BMT BUS terletak di JL. Raya Pondok Gede No. 1 RT/RW6/1 Lb. Buaya Cipayung Jak-Tim. BMT BUS memiliki budaya kerja shidiq, amanah, fathonah, dan tablig. BMT Husnayain terletak di Pondok Pesantren Husnayain Jl. Lapan No. 25, Kalisari Jakarta Timur. BMT ini didirikan pada tanggal 8 September 1999 dan di bawah naungan Pimpinan Pesantren Husnayain KH. A. Cholil Ridwan, Lc. BMT Husnayan mempunyai motto “Menepis Riba Menggapai Berkah”. Kontrak pembiayaan mudharabah yang ada di kedua BMT ini memiliki ragam, bentuk dan peraturan yang berbeda seperti ada yang menggunakan bahasa yang sulit dimengerti dan aturan yang detail di dalam kontrak seperti di BMT BUS dan ada juga BMT yang memiliki ragam bahasa yang mudah dimengerti oleh nasabah seperti BMT Husnayain. Sehingga penulis di sini ingin menganalisa dari setiap isi kontrak yang berbeda-beda yang
dibuat oleh kedua BMT tersebut
apakah sesuai dengan konsep yang ada atau masih belum mendekati konsep tersebut. Sebagai contoh, isi kontrak yang ada pada pembiayaan mudharabah di BMT BUS, dalam hal nisbah yang disebutkan oleh bagian front liner bahwa tidak memakai sistem nisbah melainkan menggunakan sistem tawar-menawar antara mudharib dan shahibul maal, mengenai besarnya keuntungan tiap bulan yang telah
6
disetujui maka pemberian keuntungan dibayarkan secara flat nominalnya hingga akhir kotrak/akad. Sedangkan berdasarkan wawancara dengan Kasi Marketing Wilayah I BMT BUS, Bapak Kukuh Setiawan, penentuan keuntungan berdasarkan nisbah telah ditentukan di awal. Namun, untuk pembayaran keuntungan setiap bulannya dibayarkan dengan nominal yang tetap sampai akhir kontrak/akad, alasan dibayarkan keuntungan secara tetap karena nasabah malas dan tidak mengerti membuat laporan keuangan bulanan, dikarenakan nasabahnya adalah orang pasar. Selain itu alasan yang dikemukakan oleh Kasi Marketing BMT BUS adalah pengembalian pokok yang ada di BMT BUS disebut dengan kata “titipan”, sehingga jumlah uang/modal pokok yang dipinjamkan oleh BMT BUS terhadap nasabah tidak berkurang sehingga keuntungan yang dibayarkan tetap. Oleh karena itu menurut penulis ada perbedaan pendapat antara Kasi Marketing dan front liner tentang masalah tersebut. Sedangkan yang terjadi di BMT Husnayain hampir sana dengan yang ada di BMT BUS yaitu BMT Husnayain mematok keuntungan secara flat juga. Selain itu masih ada juga contoh di dalam kontrak yang telah dibuat berbagai pihak yang ada di BMT mengenakan biaya administrasi. Pengenaan biaya administrasi pada dasarnya sebagai biaya pengganti seperti kertas, tinta print dan perlengkapan operasional lainnya yang diemban oleh perbankan syariah ataupun oleh BMT. Cara perhitungan biaya administrasi baik yang dilakukan perbankan syariah ataupun BMT berbeda-beda ada yang ditentukan dengan menggunakan persentasi dikalikan dengan total pembiayaan ataupun ada juga
7
yang menggunakan nominal. Oleh karena itu penulis ingin menelaah apakah pengenaan biaya administrasi di BMT tersebut menggunakan sistem presentasi dikalikan dengan total pembiayaan atau menggunakan sistem pengenaan biaya administrasi dengan menggunakan nominal yang ditetapkan bersama. Dari kedua contoh yang dipaparkan di atas merupakan hanya contoh sebagian dari bagian dari kontrak pembiayaan mudharabah yang terjadi di BMT saat ini. Oleh karena itu penulis ingin menganalisis lebih lanjut dari kontrakkontrak yang dibuat oleh BMT BUS dan BMT Husnayain. Sehingga, di sini penulis menganalisis kontrak mudharabah yang dibuat oleh BMT BUS dan BMT HUSNAYAIN, apakah aplikasi kontrak yang ada di dua BMT tersebut sudah sesuai dengan perjanjian syariah atau belum mendekati perjanjian syariah. Sehingga penulis ingin mengangkat judul penelitian yaitu “KONTRAK BISNIS DALAM PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BMT BINA UMMAT SEJAHTERA (BUS) DAN BMT HUSNAYAIN ” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pembatasan masalah merupakan hal yang cukup penting dalam sebuah penelitian. Hal ini berguna agar penelitian tidak melompat terlalu jauh dari suatu masalah yang ada, sehingga di sinilah peran penting dari pembatasan masalah. Sehingga, penulis membuat pembatasan masalah yaitu pada bagian kontrak pembiayaan mudharabah di kedua BMT tersebut dan juga Penulis melakukan analisis dari kontrak mudharabah tersebut apakah sudah sesuai dengan perjanjian syariah atau belum.
8
Adapun perumusan masalah yang penulis buat adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah struktur dan anatomi kontrak pembiayaan mudharabah pada BMT Bina Ummat Sejahtera (BUS) dan BMT Husnayain? 2. Bagaimanakah kesesuaian materi kontrak pembiayaan mudharabah terhadap perjanjian syariah pada BMT Bina Ummat Sejahtera (BUS) dan BMT Husnayain? C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan dari penelitian yang penulis buat adalah : a. Bagaimana mengetahui struktur dan anatomi kontrak pembiayaan mudharabah pada BMT
Bina Ummat Sejahtera (BUS) dan BMT
Husnayain. b. Bagaimana kesesuaian materi kontrak pembiayaan mudharabah terhadap perjanjian syariah pada BMT Bina Ummat Sejahtera (BUS) dan BMT Husnayain. 2. Manfaat Penelitian a. Bagi Peneliti Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti mengenai akad/kontrak mudharabah yang sesuai dengan konsep perjanjian syariah. Di samping itu peneliti dapat menambah wawasan mengenai struktur dan anatomi kontrak yang ada di kedua BMT ini.
9
b. Bagi BMT Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi kedua BMT dalam menentukan langkah selanjutnya berkaitan
dengan
pengembangan
dan
penelitian
(research
and
development) mengenai kontrak/akad mudharabah. c. Bagi Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berguna dalam memperkaya koleksi dalam ruang lingkup karya-karya penelitian lapangan. d. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat apakah kontrak mudharabah yang dibuat oleh suatu BMT telah sesuai dengan ketentuan syariat atau tidak. D. Review Studi Terdahulu Penulis disini melakukan penelitian dengan menganalisis kontrak pembiayaan mudharabah pada BMT BUS dan BMT Husnayain. Pada penelitianpenelitian sebelumnya belum ada yang mengkaji analisis kontrak pembiayaan mudharabah pada dua BMT. Akan tetapi penulis disini tetap berpacu pada review terdahulu, berikut matrik review terdahulu yang penulis buat:
10
No 1.
Aspek Perbandingan a.Judul
Studi Terdahulu Tinjauan Kontrak Bagi Hasil Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam.Penulis: Diah Pitaloka ( Prodi Muamalah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta) .
Rencana Skripsi Kontrak Bisnis dalam Pembiayaan Mudharabah Pada BMT BUS dan BMT Husnayain.
b.Fokus
Skripsi ini membahas tentang kesesuaian kontrak mudharabah dilihat dari hukum positif dan hukum islam.
Skripsi ini pada pembiayaan mudharabah BMT
c.Objek Penelitian
Di database skripsi terdahulu dan di kajian review yang di tulis oleh Abdul Hafid Nur objek penelitian Diah Pitaloka tidak disebutkan apakah di Bank Syariah atau di BMT.
Objek penelitian terfokus pada BMT BUS dan BMT Husnayain.
d.Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan Metode penelitian adalah library research dan yang digunakan adalah deskriptif analitis. kualitatif deskriptif analitis dengan studi library research dan field research.
e.Hasil
- Kontrak bagi hasil baik ditinjau dari hukum positif maupun islam umumnya berisi hal-hal yang mengatur tentang ketentuan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang berkontrak - Bagi hasil menurut hukum positif hanya mengenal perhitungan aman dan untung dalam setiap transaksi yang dilakukan sedangkan dalam islam mengandung unsur keadilan kedua belah pihak.
f.Waktu/tempat
Penelitian ini dilakukan pada tahun Penelitian ini 2005 dan tempat penelitian tidak dilakukan pada awal disebutkan Maret sampai dengan Juni 2011 dengan tempat peneltian di BMT BUS dan BMT Husnayain.
terfokus kontrak di
dua
- Mengetahui prosedur pembuatan kontrak. - Mengetahui struktur dan anatomi kontrak di ke dua BMT. - Mendapatkan hasil berupa kontrak pada BMT yang mempunyai kontrak sesuai perjanjian syariah.
11
2.
a.Judul
Pola Pembiayaan Mudharabah Pada 3 Baitul Maal wa Tamwil (BMT) di Jakarta Selata.Penulis: Abing Adul Kabir (Prodi Muamalah UIN Jakarta)
Kontrak Bisnis dalam Pembiayaan Mudharabah Pada BMT BUS dan BMT Husnayain.
b.Fokus
- Skripsi ini membahas mengenai pola pembiayaan pada tiga BMT. mencakup tentang prosedurprosedur seperti proses pembiayaan mulai dari proses persyaratan colon nasabah, penyelidikan dan analisis pembiayaan, berupa layak atau tidaknya nasabah, sidang komite yang berupa persetujuan atau penolakan atas permohonan, pengikatan pembiayaan, proses pencairan pembiayaan sampai proses pegawasan. Semua hal di atas dilakukan dengan membandingkan prosedurnya pada tiga BMT. - Selain itu skripsi ini membahas mengenai analisis pola pembiayaan mudarabah antara teori dan aplikasinya di ketiga BMT.
Skripsi ini pada pembiayaan mudharabah BMT
terfokus kontrak di
dua
c.Objek Penelitian
penelitian BMT Al-Karim, BMT El-Syifa, Objek terfokus pada BMT BMT Ta’awun. BUS dan BMT Husnayain.
d.Metode Penulisan
Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analitif dengan menggunakan metode lapangan dan dengan menggunakan metode kepustakaan.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif analitis dengn studi library research dan field research.
e.Hasil
Skripsi ini menghasilkan bahwa pola pembiayaan mudharabah antara teori dan aplikasinya di ketiga BMT adalah sesuai.
- Mengetahui prosedur pembuatan kontrak. - Mengetahui struktur dan anatomi kontrak di ke dua BMT.
12
- Mendapatkan hasil berupa kontrak pada BMT yang mempunyai kontrak sesuai perjanjian syariah. f.Waktu/Tempat
3.
a.Judul
Proses penelitian dilakukan sejak Penelitian ini awal November 2009 dilakukan pada awal sampai dengan Februari 2010. Maret sampai dengan Juni 2011 dengan tempat di BMT BUS dan BMT Husnayain. Atribut Proyek dan Mudharib Kontrak Bisnis dalam dalam Pembiayaan mudharabah Pembiayaan pada Bank Syari’ah di Mudharabah Pada Indonesia.Penulis:Muhammad BMT BUS dan BMT (Jurnal ekonomi dan bisnis Husnayain. Vol.21,No.3,2006,221-235). Jurnal ini terfokus pada pertimbangan praktisi pelaku bank syariah atas proyek yang akan dibiayai dengan kotrak mudharabah.jurnal ini hanya membahas isi yang ada di dalam kontrak mudharabah saja,dan tidak menganalisis isi kontrak tersebut apa sudah sesuai syariah atau belum.
Skripsi ini pada pembiayaan mudharabah BMT.
c. Objek Penelitian
Perbankan syariah di Indonesia
Objek penelitian terfokus pada BMT BUS dan BMT Husnayain.
d.Metode Penulisan
Metode penelitian ini adalah penelitian eksploratif yang merupakan penelitian awal untuk mencari dan mengidentifikasikan aspek–aspek yang dipertimbangkan bank syariah dalam memilih proyek dan mudharib dalam pembiayaan mudharabah. Selain itu data diperoleh dengan wawancara dan angket. Tekhnik pengambialan
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif analitis dengn studi library research dan field research.
b.Fokus
terfokus kontrak di
dua
13
sampel dilakukan secara purposive random sampling. e.Hasil Penelitian
Di dalam kontrak mudharabah - Mengetahui prosedur perbankan syariah pembuatan kontrak. mengkatagorikan nasabah - Mengetahui struktur pembiayaan mudharabah harus dan anatomi kontrak memiliki tingkat kesehatan proyek, di ke dua BMT. jaminan kesepakatan pembayaran, - Mendapatkan hasil prospek yang baik, laporan berupa kontrak pada keuangan proyek, kejelasan BMT yang persyaratan kontrak, dan ketegasan mempunyai kontrak waktu kontrak. Selain itu sesuai perjanjian pertimbangan praktisi pelaku syariah. perbankan syariah atas mudharib yang akan dibiayai oleh kontrak mudharabah adalah bahwa mudharib harus memiliki kemampuan bisnis, jaminan, reputasi mudharib, asal-usul mudharib dan komitmen usaha. Sehingga atribut-atribut inilah yang tersirat di dalam pembiayaan mudharabah pada bank syariah sebagai penilaian atribut proyek mudharabah pada mudharib.
Oleh karena itu berdasarkan tiga data review studi terdahulu yang telah dicantumkan di atas maka peneliti menulis tentang “Kontrak Bisnis dalam Pembiayaan Mudharabah pada BMT Bina Ummat Sejahtera (BUS) dan BMT Husnayain”. Karena menurut peneliti, penelitian yang dilakukan belum pernah ada yang mengangkat terutama yang terfokus pada kontrak mudharabah yang mengambil objek penelitian di dua BMT sebagai bahan perbandingan isi kontrak. E. Kerangka Teori Kerangka teori atau landasan teori penulisan ini adalah masalah tentang kontrak bisnis yang ada di BMT BUS dan BMT Husnayain di sini penulis
14
menganalisis isi kontrak tersebut apakah sesuai dengan perjanjian syariah atau tidak. Oleh karena itu, penulis mengambil referensi dari berbagai buku di antaranya adalah buku Fikih Islam Wa’adiliatuhu dengan penulis Wahbah AzZuhaili, buku Fikih Muamalah, buku Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, buku Hukum Perikatan Islam, buku Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan dengan penulis Adiwarman Karim, dan kumpulan fatwa DSN-MUI. Akan tetapi penulis di sini penulis menitikberatkan pada Fatwa DSN MUI ketika menganalisisnya disamping hal yang tertulis di atas. Setiap institusi keuangan termasuk BMT di sini pasti membuat suatu perjanjian kontrak/akad, dikarenakan kedudukan kontrak merupakan hal yang amat penting dalam suatu pembiayaan karena didalamnya memuat mengenai pasal-pasal yang didalamnya menjelaskan aturan yang harus ditaati kedua belah pihak dan juga memuat konsekuensi bila salah satu pihak melanggarnya. Kontrak di dalam syariah diperbolehkan karena bertujuan untuk menjaga rasa kepercayaan kedua belah pihak, terutama bagi BMT. BMT harus membuat suatu kontrak yang jelas sehingga mereka tidak akan kecolongan uang oleh nasabah pembiayaan. Sebenarnya banyak cara yang digunakan oleh BMT untuk mendapatkan keuntungan dari pembiayaan mudharabah seperti menggunakan nisbah dan juga menggunakan pembagian keuntungan yang ditetapkan di muka atau cara-cara lainya. Pembagian bagi hasil dengan sistem flat atau ditetapkan di muka menurut penulis bermasalah karena dengan sistem ini pihak mudharib diharuskan membayar bagi hasil secara tetap padahal proses bagi hasil harus
15
berdasarkan nisbah seperti dengan prosentase keuntungan7 40 % untuk BMT dan 60% untuk mudharib. Pengertian mudharabah itu sendiri adalah penyerahan harta dari shahib almal (pemilik modal/dana) kepada mudharib (pengelola dana) sebagai modal usaha, sedangkan keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah (perbandingan laba rugi) yang disepakati. Jika terjadi kerugian maka ditutup dengan laba yang diperoleh, namun apabila dalam akad mudharabah tidak mendapatkan laba sama sekali atau mengalami kerugian, maka mudharib (pengelola dana) tidak berhak diberi upah atas usahanya dan shahib al-mal (pemilik dana) tidak berhak menuntut kerugian kepada mudharib. Demikian ini jika kerugian tidak disebabkan kelalaian dari pihak mudharib.8 Oleh karena itu berdasarkan dari pengertian diatas bahwa pembagian keuntungan harus dilakukan dengan bagi hasil. Selain itu definisi dari kontrak adalah peristiwa dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis.9 Oleh karena itu setiap institusi khususnya baitul maal wat tamwil harus menuliskan kontrak/aqad pembiayaan mudharabah ketika menyalurkan pembiayaan tersebut. Definisi Baitul Mal wa Tamwil (BMT) adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan 7
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh & Keuangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2007),h.206-207. 8 Ibid., h.9 9 Ah.Azharudin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif & Hukum Islam,cet.I, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h.42.
16
usaha – usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil dan menengah dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Selain itu, Baitul Mal wa Tamwil juga bisa menerima titipan zakat, infak dan sedekah, serta menyalurkannya sesuai dengan peraturan dan amanatnya.10 Dari kedua isi kontrak BMT yang penulis kaji mempunyai ragam isi kontrak yang berbeda. Sehingga penulis memunyai
keinginan kuat untuk
mengetahui bagaimana isi dari kontrak pembiayaan mudharabah di kedua BMT ini, apakah isi kontrak tersebut sudah sesuai konsep yang ada dalam syariat Islam. F. Metode Penelitian Dan Teknik Penulisan 1. Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan disini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Travers (1978), metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan sifat susuatu yang tengah berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.11 sedangkan metode kualitatif yakni prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif: ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orangorang (subyek) itu sendiri.12
10
A.Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan), (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,2002), h.183 11 Husein Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, cet. IV, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.22. 12 Robert Bogdan dan steven J. Taylor, Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif. Penerjemah Arief Furchan, cet. I, (Surabaya: Usana Offset Printing, 1992), h.21-22.
17
Oleh karena itu penelitian deskriptif kualitatif yaitu suatu penelitian yang berupaya menghimpun data, mengolah dan menganalisis data secara kualitatif dan menafsirkannya secara kualitatif pula dari sumber yang didapat. Sehingga penulis dapat menganalisis bagian yang ada dalam kontrak mudharabah di ke dua BMT ini. 2. Objek Penelitian Penulis di sini melakukan objek penelitian di dua tempat yaitu di BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain, dengan cara menganalisis isi kontrak yang ada di kedua BMT tersebut, apakah kontrak yang dibuat telah sesuai dengan perjanjian syariah atau hanya cuma label syariah saja. 3. Sumber Data a. Data Primer Data primer merupakan informasi yang dikumpulkan peneliti langsung dari sumbernya. Salah satunya dengan mewawancarai pihak-pihak yang terkait seperti dengan Kasi Marketing BMT BUS dan Direktur BMT Husnayain, mengenai prihal yang diwawancarai adalah seputar akad kontrak pembiayaan mudharabah di BMT tersebut. b. Data Sekunder Merupakan data yang diperoleh dari literature-literatur kepustakaan seperti dari buku, internet serta sumber-sember lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini, yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian ini.
18
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan (Library Research) Studi
kepustakaan
dilakukan
untuk
mencapai
pemahaman
yang
komprehensif tentang konsep-konsep yang akan dikaji. Bahan yang digunakan untuk studi pustaka ini, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan, majalah, surat kabar, website, serta beberapa artikel atau jurnal yang berkaitan dan relevan dengan masalah yang penulis angkat yaitu yang berkaitan dengan kontrak pada pembiayaan mudharabah. b. Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian lapangan adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pengamatan secara langsung pada ke dua BMT tersebut dengan menggunakan teknik pengumpulan sebagai berikut: 1) Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat
yang
dinamakan
interview
guide
(panduan
wawancara).13
Wawancara/interview dapat dipandang sebagai metode pengumpulan data
13
Mohammad Nazir, Metode Penelitian (Bandung: Ghalia Indonesia, 2003), h.193.
19
dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematis dan berlandaskan kepada tujuan penelitian.14 2) Studi Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data yang ditujukan kepada subjek penelitian. Studi ini dilakukan dengan cara melihat dokumen serta arsip seperti kontrak pembiayaan mudharabah yang ada pada ke dua BMT tersebut. 5. Teknik Analisa Data Tekhnik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengunakan metode analisis dokumen yaitu penyelidikan meliputi informasi melalui pengujian arsip dokumen.15 Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian ini melakukan pengujian terhadap data informasi yang berdasarkan pada fakta di lapangan. Oleh karena dalam tekhnik analisis data ini dapat dihasilkan berupa interpretasi atau menggambarkan seluruh hasil analisis yang diperoleh dari berbagai data yang telah diperoleh baik dari data primer ataupun sekunder dengan prioritas tanpa mementingkan kualitas datanya, akan tetapi lebih mementingkan pada kesesuaian dalam perjanjian syariah.
14
Sutrisno Hadi, Metodologi Research: jilid 2, ( Yogyakarta: Andi, 2004), h.218. Consuelo G. Sevilla, dkk, Pengantar Metode Penelitian. Penerjemah Alimuddin Tuwu, (Jakarta: UI-Press, 2006) h.85. 15
20
6. Teknik Penulisan Teknik penulisan ini merujuk pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2007. G. Sistematika Penulisan Untuk lebih terarah dalam pembahasan skripsi ini, penulis membuat sistematika sesuai dengan masing-masing bab. Penulis membaginya menjadi lima bab yaitu: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini memuat tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan teknik penulisan, serta sistematika penulisan.
BAB II
KERANGKA
TEORI
KONTRAK
PEMBIAYAAN
MUDHARABAH Bab ini membahas mengenai. Pertama, pembiayaan mudhaabah yang di dalamnya terdapat pengertian pembiayaan, pengertian mudharabah, landasan syariah mudharabah, rukun dan syarat mudharabah, nisbah keuntungan mudharabah, bentuk mudharabah. Kedua, kontrak bisnis syariah yang di dalamnya membahas pengertian kontrak bisnis dan akad, rukun dan syarat akad, asas-asas perjanjian/akad dalan Islam,
21
hal-hal yang dapat merusak akad, macam-macam akad, dan berakhirnya akad. BAB III
GAMBARAN UMUM BMT BINA UMMAT SEJAHTERA (BUS) DAN BMT HUSNAYAIN Bab ini menjelaskan tentang sejarah berdirinya BMT BUS dan Husnayain, visi dan misi, struktur organisasi dan produk-produk pada ke dua BMT tersebut.
BAB IV
HASIL
PENELITIAN
KONTRAK
BISNIS
DALAM
PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BMT BINA UMMAT SEJAHTERA (BUS) DAN BMT HUSNAYAIN Bab ini menjelaskan mengenai prosedur pembuatan kontrak pada BMT BUS dan BMT Husnayain, struktur dan anatomi kontrak mudharabah, serta analisis materi kontrak mudharabah pada ke dua BMT tersebut terhadap perjanjian syariah. BAB V
PENUTUP Bab terakhir ini memuat beberapa kesimpulan dan saran-saran yang didapat dari hasil penelitian di bab-bab sebelumnya yang kemudian diakhiri dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
BAB II KERANGKA TEORI KONTRAK PEMBIAYAAN MUDHARABAH
A. Pembiayaan Mudharabah 1. Pengertian Pembiayaan Suatu pembiayaan – dalam pengertian memberikan modal usaha – tidaklah dilakukan melainkan atas dasar kepercayaan. Dasar inilah yang membuat Veitzal Rivai menyatakan bahwa istilah pembiayaan pada intinya berarti I believe, I trust, ’saya percaya’ atau ‘saya menaruh kepercayaan’.1 Selanjutnya dia menyatakan bahwa perkataan pembiayaan yang artinya kepercayaan (trust), berarti lembaga pembiayaan selaku shahibul mal menaruh kepercayaan kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang diberikan. Sehingga pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara lembaga keuangan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu.2 Sedangkan menurut M. Nur Rianto Al Arif, pembiayaan adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga.
1
Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Management (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 4. 2 Ibid., h. 4
22
23
Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendekatan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.3 Berdasarkan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan bab I pasal I No. 12, yang dimaksud pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah: “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”.4 Menurut Antonio, pembiayaan adalah pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit.5 Oleh karena itu pembiayaan bisa dikaitkan dengan pembiayaan mudharabah. 2. Pengertian Mudharabah Dari beberapa pengertian mengenai pembiayaan, maka pembiayaan erat kaitannya dengan kata mudharabah. Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal modal, sedangkan pihak lainnya 3
M. Nur Rianto Al Arif, Dasar-dasar Pemasaran Bank Syariah (Bandung: Alfabeta, 2010),
h. 42. 4
“Undang-undang No. 10 tahun 1998”, artikel diakses pada tanggal 29 Maret 2011 dari http://www.komisiinformasi.go.id/assets/data/arsip/uu-bank-10-1998.pdf. 5 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press,2001), h.160.
24
menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si pengelola itu harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.6 Mudharabah adalah suatu kontrak kemitraan (partnership) yang berlandaskan pada prinsip pembagian hasil dengan cara seseorang memberikan modalnya kepada yang lain untuk melakukan bisnis dan kedua belah pihak membagi keuntungan atau memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama.7 Selain itu mudharabah adalah penyerahan harta dari shahib al-mal (pemilik modal/dana) kepada mudharib (pengelola dana) sebagai modal usaha, sedangkan keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah (perbandingan laba rugi) yang disepakati. Jika terjadi kerugian maka ditutup dengan laba yang diperoleh, namun apabila dalam akad mudharabah tidak mendapatkan laba sama sekali atau mengalami kerugian, maka mudharib (peneglola dana) tidak berhak diberi upah atas usahanya, dan shahib al-mal (pemilik dana) tidak berhak menuntut
6
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, h.95 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Penerjemah Soeroyo dan Nastangin, Jilid 4, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1996), h. 380. 7
25
kerugian kepada mudharib, demikian ini jika kerugian tidak disebabkan kelalaian dari pihak mudharib.8 Selain itu menurut Adiwarman Karim, mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahib al-maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dalam paduan kontribusi 100% modal kas dari shahib al-maal dan keahlian dari mudharib. 9 3. Landasan Syariah Mudharabah Secara umum, landasan dasar syariah mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadits berikut ini: a. Al-Qur’an … … Artinya: “…dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT…”(QS. Al-Muzammil: 20) Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari surah al-Muzammil ayat 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata
8
HMM.Dumairi Nor.dkk, Ekonomi Syariah Versi Salaf, cet-II, (Jawa Timur : Pustaka Sidogiri,2008), h. 9. 9 Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh & Keuangan (Jakarta : PT. Raja Grafindo persada, 2007), h. 206-207.
26
mudharabah
yang
berarti
melakukan
suatu
perjalanan
usaha.10
Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Jumu’ah ayat 10 yang berbunyi: Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS. Al-Jumu’ah:10)11 ......... Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu...” (QS. Al-Baqarah: 198)12 Surah al-Jumu’ah ayat 10 dan al-Baqarah ayat 198 sama-sama mendorong kaum muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha. b. Al-Hadits Sumber yang berasal dari hadits mengenai mudharabah terdapat dua buah sumber yaitu: 1) HR Thabrani, yang artinya: "Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli
ternak.
bersangkutan 10
Jika
menyalahi
bertanggung
jawab
peraturan atas
tersebut, dana
yang
tersebut.
M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Teori dan Praktek, h. 95-96. Ibid., h. 95-96. 12 Rachmat Syafi’i, Fiqh Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS dan Umum (Bandung: Pustaka Setia 2001), h. 225. 11
27
Disampaikanlah syarat-syarat tersebut pada Rasulullah Saw. dan Rasulullah pun membolehkannya". 2) HR Ibnu majah No. 2280, kitab at-Tijarah, yang artinya: “Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.13 c. Ijma’ Di antara ijma’ dalam mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya. d. Qiyas Mudharabah diqiyaskan kepada al-musaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada pula yang kaya, namun di sisi lain, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua
13
Ibnu Hajar Al- Asqalany, Syarah Bulughul Marram. Penerjemah Ahmad Sunarto, cet. I, (Surabaya: Halim Jaya, 2001), h. 437.
28
golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.14 4. Rukun dan Syarat Mudharabah15 Faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad muharabah adalah: a. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha) b. Objek mudharabah (modal dan kerja) c. Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul) d. Nisbah Keuntungan Pelaku. Jelaslah bahwa rukun dalam akad mudharabah sama dengan rukun dalam akad jual beli ditambah satu faktor tambahan, yakni nisbah keuntungan. Faktor pertama (pelaku) kiranya sudah jelas. Dalam akad mudharabah, harus ada minimal dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahib al-mal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil). Tanpa dua pelaku ini, maka akad mudharabah tidak ada. Objek. Faktor kedua (objek mudharabah) merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaku usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbetuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang
14
Rachmat Syafi’i, Fiqh Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS dan Umum, h. 226. Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh & Keuangan, h. 206-210.
15
29
diserahkan bisa berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain. Tanpa dua objek ini, akad mudharabah pun tidak akan ada. Para fuqaha sebenarnya tidak membolehkan modal mudharabah berbentuk barang. Ia harus uang tunai karena barang tidak dapat dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian (gharar) besarnya modal mudharabah. Namun para ulama madzhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul mal. Modal mudharabah bukan merupakan modal yang belum disetorkan. Para fuqaha telah sepakat tidak bolehnya mudharabah dengan hutang. Tanpa adanya setoran modal, berarti shahibul mal tidak memberikan kontribusi apa pun padahal mudharib yang telah bekerja. Para ulama Syafi’i dan Maliki melarang hal itu karena merusak sahnya akad. Persetujuan. Faktor ketiga, yakni persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi dari an-taradhin minkum (sama-sama rela). Di sini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah.
Si pemilik dana
setuju dengan
perannya
untuk
mengkontribusikan dana, sementara si pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja. Nisbah Keuntungan. Faktor yang keempat (yakni nisbah) adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan
30
shahib al-mal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan. 5. Nisbah Keuntungan Mudharabah16 a. Prosentase Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal Rp tertentu. Jadi nisbah keuntungn itu misalnya adalah 50:50, 70:30, atau 60:40, atau bahkan 99:1. Namun nisbah ini tidak boleh 100:0, karena para ahli fiqih sepakat berpendapat bahwa mudharabah tidak sah apabila shahib al-mal dan mudharib membuat syarat agar keuntungan hanya satu pihak saja. Jadi nisbah keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan porsi setoran modal; tentu dapat saja bila disepakati ditentukan nisbah keuntungan sebesar porsi setoran modal. Nisbah keuntungan tidak boleh dinyatakan dalam bentuk nominal Rp tertentu, misalnya shahib al-maal mendapat Rp 50 ribu, mudharib mendapat Rp 50 ribu. b. Bagi Untung dan Bagi Rugi Ketentuan di atas itu merupakan konsekuensi logis dari karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang tergolong ke dalam kontrak investasi (natural uncertainty contracts). Dalam kontrak ini, return dan timing cash
16
Ibid., h. 206-210
31
flow kita tergantung kepada kinerja sektor riilnya. Bila laba bisnisnya besar, kedua belah pihak mendapat bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, mereka mendapat bagian yang kecil juga. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah laba ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal rupiah tertentu. Bila bisnis dalam akad mudharabah ini mendatangkan kerugian, pembagian kerugian itu bukan berdasarkan atas nisbah, tetapi berdasarkan porsi masing-masing pihak. Ituah alasan mengapa nisbahnya disebut sebagai nisbah keuntungan, bukan nisbah saja, yakni karena nisbah 50:50 atau 99:1 itu, hanya ditetapkan bila bisnisnya untung. Bila bisnis rugi, kerugiannya itu harus dibagi berdasarkan porsi modal masing-masing pihak, bukan berdasarkan nisbah. c. Jaminan Ketentuan pembagian kerugian seperti di atas itu hanya berlaku bila kerugian yang terjadi benar-benar murni diakibatkan oleh risiko bisnis (business risk), bukan karena risiko karakter buruk mudharib (character risk). Bila kerugian terjadi karena karakter buruk, misal karena mudharib lalai dan/atau melanggar persyaratan-persyaratan kontrak mudharabah, maka shahib al-mal tidak perlu menanggung kerugian seperti itu. Sedangkan untuk character risk, mudharib pada hakikatnya menjadi wakil dari shahibul mal dalam mengelola dana dengan seizin shahib mal, sehingga wajiblah baginya berlaku amanah. Jika mudharib melakukan keteledoran, kelalaian, kecerobohan dalam merawat dan menjaga dana, yaitu
32
melakukan pelanggaran, kesalahan dan kelewatan dalam perilakunya yang tidak termasuk bisnis mudharabah yang disepakati atau ia keluar dari ketentuan yang disepakati, mudharib tersebut harus menanggung kerugian mudharabah sebesar bagian kelalaiannya sebagai sanksi dan tanggung jawabnya. Ia telah menimbulkan kerugian karena kelalaian dan perilaku zhalim karena ia telah memperlakukan harta orang lain yang dipercayakan kepadanya di luar ketentuan yang disepakati. Mudharib tidak pula berhak untuk menentukan sendiri mengambil bagian dari keuntungan tanpa kehadiran atau sepengetahuan shahibul mal sehingga shahibul mal dirugikan. Jelas hal ini konteksnya adalah character risk. Maka, untuk menghindari adanya moral hazard dari pihak mudharib yang lalai atau menyalahi kontrak ini, maka shahib al-mal dibolehkan meminta jaminan tertentu kepada mudharib. Jaminan ini akan disita oleh shahib al-mal jika ternyata timbul kerugian karena mudharib melakukan kesalahan, yakni lalai dan/atau ingkar janji. Tegasnya, bila kerugian yang timbul disebabkan karena risiko bisnis, jaminan mudharib tidak dapat disita oleh shahib al-mal. d. Menentukan Besarnya Nisbah Besarnya nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak yang berkontrak. Jadi, angka besaran nisbah ini muncul sebagai hasil tawar-menawar antara shahib al-mal dengan mudharib. Dengan demikian,
33
angka nisbah ini bervariasi, bisa 50:50, 60:40, 70:30, 80:20, bahkan 99:1. Namun para ahli fiqih sepakat bahwa nisbah 100:0 tidak diperbolehkan. e. Cara Menyelesaikan Kerugian Jika terjadi kerugian, cara penyelesaiannya adalah: 1) Diambil terlebih dahulu dari keuntungan, karena keuntungan merupakan pelindung modal. 2) Bila kerugian melebihi keuntungan, baru diambil dari pokok modal. 6. Bentuk – Bentuk Mudharabah Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis: mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.17 a. Mudharabah Muthlaqah Yang dimkasud dengan transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang memberikan kekuasaan sangat besar. Menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, mudharabah harus berbentuk muthlaqah (mutlak dan tanpa batasan), maka tidak sah mudharabah muqayyadah (bersyarat dan
17 M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Teori dan Praktek, h. 97
34
memiliki batasan) dengan jenis perdagangan tertentu, orang tertentu, dan negeri tertentu.18 b. Mudharabah Muqayyadah Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat
usaha.
Adanya
pembatasan
ini
seringkali
mencerminkan
kecendrungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha. B. Kontrak Bisnis Syariah 1. Pengertian Konrak dan Aqad Kontrak atau contracts (dalam bahasa Inggris) dan overeenkomst (dalam bahasa belanda) dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah peristiwa di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis.19 Para pihak bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk mentaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut dengan perikatan (verbintenis).
18 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani. cet. I, Jilid V, (Jakarta: Gema Insani Press, 2011), h. 25. 19 Ah.Azharudin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif & Hukum Islam, cet.I, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 42.
35
Istilah “perjanjian” dalam hukum Indonesia disebut “akad” dalam hukum Islam.20 Lafal akad berasal dari lafal Arab, al-‘aqd, yang secara etimologis berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan. Secara terminologis akad memiliki arti umum (al-ma’na al-am) dan khusus (al-ma’na al-khas). Adapun arti umum dari akad adalah segala sesuatu yang dikehendaki seseorang untuk dikerjakan, baik yang muncul dari kehendaknya sendiri, seperti kehendak untuk wakaf, membebaskan hutang, thalak dan sumpah, maupun yang membutuhkan pada kehendak dua pihak dalam melakukannya seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan dan gadai atau jaminan. Sedangkan arti khusus (al-ma’na al-khas) akad adalah pertalian atau keterikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syari’ah (Allah dan Rasul-Nya) yang menimbulkan akibat hukum pada obyek akad.21 2. Rukun dan Syarat Akad Menurut mayoritas ulama, rukun akad terdiri atas: a. Shighat (pernyataan ijab dan qabul), b.’aqidan (dua pihak yang melakukan akad) dan c. ma’qud ‘alaih (obyek akad). Menurut madzhab Hanafi, rukun akad hanya terdiri atas ijab dan kabul (shighat). Berikut diuraikan rukun dan syarat akad menurut mayoritas ulama:22
20
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.
68. 21
Ah.Azharudin Latif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif & Hukum Islam, h. 65. 22 Ah. Azharudin Latif, Fiqh Muamalat, cet. I (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h.64-67.
36
a. Shighat (formulasi) ijab dan kabul dapat diwujudkan dengan ucapan lisan, tulisan, isyarat bagi mereka yang tidak mampu berbicara atau menulis, sarana komunikasi modern, bahkan dengan perbuatan (bukan ucapan, tulisan, maupun isyarat) yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak untuk melakukan suatu akad yang umumnya dikenal dengan al-mu’athah. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar suatu ijab dan kabul dipandang sah yaitu: 1) Ijab dan kabul harus secara jelas menunjukan maksud kedua belah pihak, 2) Antara ijab dan kabul harus selaras, dan 3) Antara ijab dan kabul harus muttashil (bersambung, connect), yakni dilakukan dalam satu majlis ‘aqad (tempat kontak). b. Pelaku akad disyaratkan harus orang mukallaf (‘aqil-baligh, berakal sehat dan dewasa atau cakap hukum). Mengenai batasan umur pelaku untuk keabsahan akad diserahkan kepada ‘urf atau peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin kemaslahatan para pihak. c. Sesuatu yang menjadi obyek akad harus memenuhi 4 (empat) syarat: 1) Ia harus sudah ada secara konkret ketika akad dilangsungkan; atau diperkirakan akan ada pada masa mendatang dalam akad-akad tertentu seperti dalam akad salam, istishna’, ijarah dan mudharabah.
37
2) Ia harus merupakan sesuatu yang menurut hukum Islam sah dijadikan obyek akad, yaitu harta yang dimiliki serta halal dimanfaatkan (mutaqawwam). 3) Ia harus dapat diserahkan ketika terjadi akad, namun tidak berarti harus dapat diserahkan seketika. 4) Ia harus jelas (dapat ditentukan, mu’ayyan) dan dapat diketahui kedua belah pihak. Ketidakjelasan obyek akad-selain ada larangan Nabi untuk menjadikannya sebagai obyek akad-mudah menimbulkan persengketaan di kemudian hari, dan ini harus dihindarkan. Mengenai penentuan kejelasan suatu obyek akad ini, adat kebiasaan (‘urf) memunyai peranan penting. Dari syarat pertama ulama mengecualikan empat macam akad: salam, istishna’, ijarah dan musaqah. Artinya, keempat macam akad ini tetap dinyatakan sah walaupun obyek akad belum ada ketika terjadi akad. Selain rukun, agar suatu akad dinyatakan sah masih diperlukan sejumlah syarat. Beberapa syarat yang berkenaan dengan shighat, ’aqid, dan ma’qud ‘alaih, telah dikemukakan. Syarat penting lainnya adalah bahwa akad yang dilakukan bukan akad yang dilarang oleh hukum bahwa akad tersebut harus menimbulkan manfaat (kegunaan, mufid). d. Maudhu ‘al-‘aqad atau tujuan akad merupakan salah satu bagian penting yang mesti ada pada setiap akad. Yang dimaksud dengan maudhu’ al‘aqad adalah tujuan utama untuk apa akad itu dilakukan (al-maqshad al-
38
ashli alladzi syuri’a al-‘aqad min ajlih). Menurut hukum Islam, yang menentukan tujuan hukum akad adalah al-Musyarri’ (yang menetapkan syariat, yaitu Allah). Dengan kata lain, akibat hukum suatu akad hanya diketahui melalui syara’dan harus sejalan dengan kehendak syara’. Atas dasar itu, semua bentuk akad yang tujuannya bertentangan syara’ (hukum islam) adalah tidak sah dan karena itu tidak menimbulkan akibat hukum; misalnya, menjual barang yang diharamkan seperti minuman keras (khamr). Jika hal itu terjadi, dalam pandangan hukum Islam akibat hukumnya tidak tercapai. Tegasnya, menurut hukum Islam, jual beli atas barang yang diharamkan tersebut tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan barang kepada pembeli dan kepemilikan harga barang kepada penjual. 3. Asas-asas Perjanjian atau Akad dalam Islam Secara terminologis, asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat. 23 Muhammad Daud Ali, mengartikan asas apabila dihubungkan dengan kata hukum adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berfikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum.24
23
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 60. 24 Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 30.
39
Oleh karena itu, Asas-asas yang ada dalam perjanjian dalam hukum Islam terdapat beberapa point yaitu:25 a. Asas ibahah (Mabda’ al-Ibahah) Asas ibahah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “Pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya.” Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam hukum Islam, untuk tindakan-tindakan ibadah berlaku asas bahwa bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentukbentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil syariah. Orang tidak dapat membuat-buat baru ibadah yang tidak pernah ditentukan oleh Nabi SAW. Sebaliknya, dalam tindakan-tindakan muamalat berlaku asas sebaliknya, yaitu bahwa segala sesuatu itu sah dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atas tindakan itu. Bila dikaitkan dengan tindakan hukum, khususnya perjanjian, maka ini berarti bahwa tindakan hukum dan perjanjian apa pun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai perjanjian tersebut. b. Asas kebebasan berakad (Mabda’ Hurriyah at-Ta’aqud) Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis 25
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, h. 87.
40
apa pun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah dan memasukkan klausul apa saja ke dalam aad yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta sesama dengan jalan batil. Nas-nas Al-qur’an dan sunnah Nabi SAW serta kaidah-kaidah hukum Islam menunjukkan bahwa hukum Islam menganut asas kebebasan berakad. Adanya asas kebebasan berakad dalam hukum Islam didasarkan kepada beberapa dalil salah satunya adalah:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu, dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan apa saja baik bernama maupun yang berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Ma`idah:1) Kebebasan berakad dari ayat yang dikutip di atas adalah perintah dalam ayat ini menunjukan wajib. Artinya memenuhi akad itu hukumnya wajib. c. Asas konsensualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah) Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa
41
perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam hukum Islam pada umumnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsual. Para
ahli
hukum
Islam
biasanya
menyimpulkan
asas
konsensualisme dari dalil-dalil hukum yaitu: Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali (jika makan harta sesama itu dilakukan) dengan cara tukar-menukar berdasarkan periinan timbal balik (kata sepakat) di antara kamu”. (QS. An-Nisa: 29) Kutipan ayat di atas menunjukkan antara lain bahwa setiap pertukaran secara timbal balik diperbolehkan dan sah selama didasarkan kesepakatan. d. Asas janji itu mengikat Dalam Al-Qur’an dan Hadits terdapat banyak perintah memenuhi janji. Dalam kaidah usul fikih, “perintah itu pada asasnya menunjukkan wajib”. Ini berarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi. Di antara ayat dan Hadits dimaksud adalah, Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isra’: 34)
42
e. Asas keseimbangan (Mabda’ at-Tawazun fi al-Mu’awadhah) Meskipun secara faktual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian Islam tetap menekankan perlunya keseimbangan itu, baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memenuhi risiko. Asas keseimbangan dalam memikul risiko tercermin dalam larangan terhadap riba, di mana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala risiko atas kerugian usaha, sementara kreditur bebas sama sekali dan harus mendapat prosentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami kembalian negatif. f. Asas kemaslahatan (Tidak memberatkan) Dengan asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa akad yang dibuat oleh para pihak bertujuan untuk kemaslahatan bagi mereka dan tidak menimbulkan
kerugian
(mudharat)
atau
keadaan
memberatkan
(masyaqqah). g. Asas amanah Dengan asas amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam hukum Islam, terdapat suatu bentuk perjanjian yang disebut perjanjian amanah, salah satu pihak hanya bergantung kepada informasi jujur dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan untuk menutup
43
perjanjian bersangkutan. Di antara ketentuannya adalah bahwa bohong atau penyembunyian informasi yang semestinya disampaikan dapat menjadi alasan pembatalan akad bila di kemudian hari ternyata informasi itu tidak benar yang telah mendorong pihak lain untuk menutup perjanjian. h. Asas keadilan (Al-‘Adalah) Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum Islam, keadilan langsung merupakan perintah AlQur’an yang menegaskan , “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. Al-Ma`idah: 8). Sering kali di zaman modern ini akad ditutup oleh satu pihak dengan pihak lain tanpa ia memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai klausul akad tersebut, karena klausul akad itu telah dibakukan oleh pihak lain. Tidak mustahil bahwa dalam pelaksanaannya akan timbul kerugian kepada pihak yang menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan. Dalam hukum Islam kontemporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku itu dapat diubah oleh pengadilan apabila memang ada alasan untuk itu. Selain itu, istilah keadilan tidaklah dapat disamakan dengan suatu persamaan. Menurut Yusuf Qardhawi, keadilan adalah keseimbangan antara berbagai potensi individu, baik moral ataupun materill, antara
44
individu dan masyarakat dan antara masyarakat satu dengan lainnya yang berlandaskan pada syariat Islam.26 4. Hal-hal yang Dapat Merusak Akad Akad yang dipandang tidak sah atau sekurang-kurangnya dapat dibatalkan apabila terdapat hal-hal sebagai berikut: a. Keterpaksaan atau dures (al-Ikrah) Salah satu asas akad menurut hukum Islam adalah kerelaan (al-ridha) dari para pihak yang melakukan akad. Implementasi asas ini diwujudkan dalam bentuk ijab-kabul yang merupakan unsur terpenting dalam akad. Jika sebuah akad dilakukan tanpa adanya kerelaan, berarti akad tersbut dibuat dengan secara terpaksa. Dilihat dari akibat yang ditimbulkannya, para ulama membagi ikrah menjadi dua macam, yaitu: 1) Pemaksaan sempurna (ikhrah tam), yaitu yang berakibat pada hilangnya jiwa, atau anggota badan, atau pukulan keras yang bisa mengakibatkan cacat fisik pada dirinya atau kerabatnya. 2) Pemaksaan tidak sempurna (ikrah naqish), yaitu mengakibatkan rasa sakit yang ringan atau berupa pukulan yang ringan. Para ulama mensyaratkan bahwa pemaksaan yang berpengaruh pada akad adalah pemaksaan yang tidak disyariatkan (tidak dibenarkan secara
26
Yusuf Qardhawi,Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Penerjemah Didin Hafidhuddin, dkk, cet.I, (Jakarta:Robbani Press,1997), h.396
45
hukum). Namun jika pemaksaan itu dikehendaki secara hukum, maka pemaksaan itu tidak berpengaruh. Misalnya, pemaksaan hakim terhadap seseorang yang berhutang untuk menjual kelebihan hartanya (dari kebutuhan) untuk membayar utang. b. Kesalahan mengenai obyek akad (Ghalath) Ghalath berarti kesalahan, yakni kesalahan orang yang berakad dalam menggambarkan obyek akad, baik kesalahan dalam menyebutkan sifatnya. Misalnya, seseorang membeli perhiasan yang diduganya adalah emas, namun ternyata tembaga. Akad seperti ini sama dengan akad pada sesuatu yang tidak ada obyeknya. Dengan demikian, status hukum jual beli tersebut adalah batal, karena obyek akad yang dikehendaki oleh pembeli tidak ada. c. Penipuan (Tadlis) atau ketidak pastian (Taghrir) pada obyek akad Tadlis adalah suatu upaya untuk menyembunyikan cacat pada obyek akad dan menjelaskan dengan gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataannnya untuk menyesatkan pihak yang berakad dan berakibat merugikan salah satu pihak yang berakad tersebut. Upaya ini disebut juga dengan taghrir (penipuan). Tadlis ada tiga macam: 1) Tadlis perbuatan, yakni menyebutkan sifat yang tidak nyata pada obyek akad. 2) Tadlis ucapan, seperti berbohong yang dilakukan oleh salah seorang yang berakad untuk mendorong agar pihak lain mau melakukan
46
akad. Tadlis kadang terjadi juga pada harga barang yang dijual, atau menipu dengan memberi penjelasan yang menyesatkan. 3) Tadlis dengan menyembunyikan cacat pada obyek akad padahal ia sudah mengetahui kecacatan tersebut. Akad yang mengandung tipuan (tadlis) dilarang oleh hukum Islam, tetapi tidak berpengaruh pada akad, kecuali jika disertai tipuan besar. Dalam hal disertai tipuan besar, maka pihak yang ditipu berhak membatalkan akad, untuk menyelamatkan dirinya dari kerugian, artinya ia sebagai pihak yang ditipu diberi hak khiyar mem-fasakh akad jual belinya, disebabkan adanya tipu daya yang disertai rayuan. d. Ketidak seimbangan obyek akad (Ghaban) disertai tipuan (Taghrir) Pengertian ghaban di kalangan ulama adalah tidak terwujudnya keseimbangan antara obyek akad (barang) dengan harganya, seperti harganya lebih rendah atau lebih tinggi dari harga sesungguhnya. Sedangkan taghrir (penipuan) adalah menyebutkan keunggulan pada barang tetapi tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Ghaban kurang berpengaruh pada akad, karena hal itu sering terjadi sehingga sulit menghindarinya sehingga ia tidak boleh dijadikan alasan untuk mengurungkan akad. 5. Macam-macam Akad Dari lihat dari aspek sifat dan hukumnya, akad dibagi menjadi akad sah (shahih) dan akad tidak sah (ghair shahih). Akad sah adalah akad yang
47
memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum akad ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum akad (baik yang bersifat khusus maupun bersifat umum) yang ditimbulkan oleh akad itu, saat itu juga, dan mengikat bagi para pihak yang melakukannya. Sebagai contoh, jual beli yang sah-dalam arti telah terpenuhi semua rukun dan syaratnya, setelah terjadi ijab dan kabul, barang yang dijual menjadi milik pembeli dan harga penjualan barang menjadi milik penjual, kecuali apabila ada syarat khiyar. Perpindahan kepemilikan itu dipandang sudah terjadi walaupun belum dilakukan serah terima. Akad sah, menurut madzhab Hanafi dan Maliki, terbagi atas akad yang nafidz dan akad yang mauquf. Yang pertama (nafidz) adalah akad yang dilakukan oleh orang yang cakap hukum (ahliyah) dan memiliki kompetensi untuk melakukan akad terhadap obyek akad. Sedangkan yang kedua (mauquf) adalah akad yang dilakukan oleh orang yang cakap hukum (ahliyah) namun tidak memiliki kompetensi untuk melakukan akad terhadap obyek akad tersebut; misalnya menjual sebuah barang oleh orang yang bukan pemiliknya padahal ia tidak diberi izin untuk menjualnya. Akad mauquf ini tidak menimbulkan akibat hukum, kecuali pihak yang berkompeten mengizinkan atau membolehkannya. Menurut madzhab Syafi’i dan Hambali, akad mauquf ini dipandang sebagai akad yang batal. Akad tidak sah adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya. Hukum akad ini adalah bahwa semua akibat hukum yang ditimbulkan dari akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang
48
berakad; misalnya menjual bangkai dan khamr, atau akad jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum. Menurut ulama madzhab Hanafi, akad yang tidak sah terbagi menjadi dua, yaitu akad yang batal (bathil) dan akad yang rusak (fasid). Akad yang batal adalah akad yang mengandung cacat pada rukun dan obyeknya. Misalnya akad yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum atau akad yang obyeknya tidak dapat menerima hukum akad seperti barang yang diharamkan. Dengan kata lain, akad batal adalah akad yang tidak dibenarkan syara’ (hukum Islam) dilihat dari sudut rukun dan cara pelaksanaanya. Akad batal dipandang tidak pernah terjadi menurut hukum, walaupun secara kenyataan pernah terjadi; dan oleh karenanya ia tidak memunyai akibat hukum sama sekali. Sedangkan akad fasid adalah akad yang pada dasarnya dibenarkan hukum namun akad tersebut disertai hal-hal yang tidak dibenarkan hukum. 6. Berakhirnya Akad (Intiha’ al-‘aqd) Menurut hukum Islam, suatu akad berakhir disebabkan terpenuhinya tujuan akad (tahqiq gharadh al-‘aqd), fasakh, infisakh, kematian dan ketidakizinan (‘adal al-ijazah) dari pihak yang memiliki kewenangan dalam akad mauquf. a. Suatu akad dipandang berakhir apabila tujuan akad telah tercapai. Dalam akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah tangan kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik
49
penjual. Demikian juga, akad berakhir disebabkan intiha’ muddah al-‘aqd (berakhir masa akad). b. Fasakh. Sebuah akad berakhir disebabkan fasakh (pemutusan). Dalam akad yang mengikat bagi para pihak, ada beberapa alasan yang menyebabkan akad dapat atau bahkan harus difasakh: 1) Disebabkan akad dipandang fasad, misalnya menjual sesuatu yang tidak jelas spesifikasinya atau menjual sesuatu dengan dibatasi waktu. Jual beli semacam itu dipandang fasad, dan karenanya harus (wajib) di fasakh, baik oleh para pihak yang berakad maupun oleh hakim, kecuali terdapat hal-hal yang menyebabkan fasakh tidak dapat dilakukan seperti pihak pembeli telah menjual barang yang dibelinya. 2) Disebabkan adanya khiyar. Pihak yang memiliki hak khiyar, baik khiyar syarat, khiyar ‘aib, khiyar ru’yah maupun lainnya dibolehkan untuk melakukan fasakh akad yang telah dilakukannya. Fasakh boleh dilakukan tanpa memerlukan pihak lain; kecuali dalam khiyar ‘aib (khiyar disebabkan terdapat kerusakan pada obyek akad) setelah obyek akad diterima. 3) Disebabkan
iqalah.
Iqalah
adalah
fasakh
terhadap
akad
berdasarkan kerelaan kedua belah pihak ketika salah satu pihak menyesal ingin mencabut kembali akad yang telah dilakukannya. Iqalah dianjurkan oleh Nabi SAW.
50
4) Disebabkan
oleh
‘adam al-tanfidz,
yakni
kewajiban
yang
ditimbulkan oleh akad tidak dipenuhi oleh para pihak atau salah satu pihak bersangkutan. Jika hal itu terjadi, akad boleh fasakh. Misalnya dalam akad yang mengandung khiyar naqd (khiyar pembayaran) c. Infasakh, yakni putus dengan sendirinya (dinyatakan putus, putus demi hukum). Sebuah akad dinyatakan putus apabila isi akad tidak mungkin dapat dilaksanakan (istihalah al-tanfidz) disebabkan
afat samawiyah
(force majeure). Dalam akad jual beli misalnya barang yang dijual rusak di tangan penjual sebelum diserahkan kepada pembeli. Dengan demikian, akad jual beli dinyatakan putus dengan sendirinya (infasakh), karena pelaksanaan akad yang dalam hal ini menyerahkan barang mustahil dapat dilakukan. d. Kematian Beberapa bentuk akad berakhir disebabkan kematian salah satu pihak yang berakad. Berikut contoh-contoh akad dimaksud. 1) Akad sewa menyewa (ijarah). Menurut Hanafiah, akad ijarah berakhir disebabkan kematian salah satu pihak, namun tidak berakhir menurut madzhab yang lain. 2) Jika pemberi gadai meninggal, akad menjadi berakhir dan barang gadaian dijual (oleh washiy, pengampu) untuk membayar utangnya apabila ahli waris masih di bawah umur. Akan tetapi, jika ahli
51
warisnya orang dewasa, mereka bisa membayarkan utang pewaris pemberi gadai guna menyelamatkan barang gadaian. 3) Dalam akad kafalah (kafalah bi al-dain), akad tidak berakhir disebabkan kematian debitur (madin). Akad baru berakhir dengan pembayaran utang kepada kreditur (da’in) atau pembebasan utang (ibra’). Jika kafil (pemberi garansi) meninggal dunia, utang yang digaransinya dibayar dari harta peninggalannya. 4) Dalam akad mudharabah, jika pemilik modal atau mudharib meninggal, maka akad mudharabah menjadi batal menurut mayoritas ulama, karena mudharabah mencakup akad wakalah, seementara wakalah batal dengan meninggalnya muwakil (orang yang mewakilkan) atau wakil.27 e. Tidak ada persetujuan (‘adam al-ijazah). Akad mauquf berakhir apabila pihak yang memiliki kewenangan tidak memberikan persetujuan terhadap pelaksanaan akad.
27
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam, h.512.
BAB III GAMBARAN UMUM BMT BINA UMMAT SEJAHTERA (BUS) DAN BMT HUSNAYAIN
A. Sejarah Berdirinya BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain 1. Sejarah Singkat BMT Bina Ummat Sejahtera Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) BMT Bina Ummat Sejahtera berdiri bermula dari sebuah keprihatinan menatap realitas perekonomian masyarakat lapis bawah yang tidak kondusif dalam mengantisipasi perubahan masyarakat global. Tahun 1996 Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orsat Rembang berusaha menggerakan organisasi dengan mendirikan sebuah lembaga keuangan alternatif dengan pemrakarsanya Drs. Abdullah Yazid, MM., membuat usaha lembaga keuangan alternatif berupa usaha simpan pinjam yang dimotori
gerakan
Kelompok
Swadaya
Masyarakat
(KSM),
karena
perkembangan lembaga ini mendapat tanggapan baik dari masyarakat, maka pada tahun 1998 berubah menjadi Koperasi Serba Usaha (KSU) “Unit Simpan Pinjam” dengan Nomor Badan Hukum 13801/BH/KWK.11/III/1998. Kemudian pada tahun 2002 berubah menjadi Koperasi Simpan Pinjam Syari’ah (KSPS) BMT Bina Ummat Sejahtera sampai akhirnya pada tahun 2006 berubah menjadi Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). BMT Bina Ummat Sejahtera, pada saat ini telah mempunyai 68 cabang di seluruh Indonesia dengan kantor pusat yang berada di Jl. Raya No.16 Lasem, Jawa 52
53
Tengah. Namun di sini penulis mengambil objek penelitian di kantor cabang BMT Bina Ummat Sejahtera cabang Pondok Gede, Jakarta Timur. Kantor cabang BMT BUS yang berada di Jakarta terdapat dua cabang. Pertama, yang berada di Tanjung Priuk berdiri pada bulan Oktober 2008. Kedua, setelah enam bulan dibukalah cabang baru yang beralamat di JL. Raya Pondok Gede No. 1 RT 006 RW 01 Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur. 2. Sejarah Singkat BMT Husnayain BMT Husnayain merupakan BMT yang tergolong cukup lama keberadaannya, BMT ini didirikan sejak tanggal 21 September 1999 M pada hari Jum’at pada kalender islam bertepatan pada tanggal 10 Jumadi Tsani 1420 H. BMT Husnayain didirikan untuk menjawab problematika ekonomi masyarakat yang ada, baik di sekitar Pondok Pesantren Husnayain maupun di wilayah Jabodetabek pada umumnya. Yang intinya berdirinya BMT ini bertujuan untuk mebebaskan masyarakat dari kemiskinan dan membantu para pengusaha kecil agar terbebas dari jeratan rentenir. Dalam rangka memperbaiki kondisi ini, maka Pondok Pesantren Husnayain bersama dengan jamaah Masjid Abu Bakar Shidiq melakukan terobosan untuk membentuk lembaga yang tidak hanya pro terhadap pengusaha-pengusaha besar, tetapi lebih mengarah terhadap pengusaha kecil dengan berlandaskan prinsip keadilan dan berpedoman pada syariat islam. Maka setelah beberapa kali mengadakan pertemuan-pertemuan yang dipimpin oleh pimpinan Pondok Pesantren Husnayain yaitu KH. Kholil
54
Ridwan, Lc beserta 11 orang pendiri lainnya yaitu KH. Maryadi M. Kewang, S.Ag., H. Sobar Harahap, S.E., MM., Ir. H. M. Nasir, H. Musaddad, S.H., Ir. H. Mulyadi, Ir. H. Syamsudin Halik, H. Syamsudin Harahap, H. M. Zein Ridwan, Sutrisna, B.Sc., Drs. Komarudin dan ustadz Saelani Hasan. Maka pada hari Jum’at tanggal 21 September 1999 diputuskan serta ditetapkan berdirinya lembaga keuangan mikro syariah yang bernama BMT Husnayain sebagai unit dari koperasi Pondok Pesantren Husnayain dengan Nomor Badan Hukum 094/BH/KWK.9/III/1995. BMT ini berdiri di atas bangunan seluas 5 X 12 M2 , dengan nomor NPWP 1.850.5332.1-005. Prinsip utama yang menjadi pilar BMT Husnayain pada saat itu adalah dengan modal keyakinan dan semangat mengembangkan ekonomi kerakyatan berdasarkan syariah islam, maka para pendiri BMT Husnayain yang terdiri dari 12 orang yang diwakili oleh K.H. Kholil Ridwan menyerahkan amanah kepada pengelola BMT Husnayain untuk menjalankan usaha dengan modal awal Rp.16.000.000,- (enam belas juta rupiah). Maka dengan modal sejumlah ini pada bulan Oktober 1999 BMT Husnayain resmi beroprasi di JL. Lapan No. 25 RT 009 RW 01 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Pada saat ini BMT Husnayain telah mendapat sambutan dan respon positif dari masyarakat, selain itu pula BMT Husnayain telah melebarkan sayap dengan membuka cabang di daerah Pondok Ranggon, Pasar Minggu, Cilengsi, Kramat Jati, dan Duren Sawit.
55
B. Visi dan Misi BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain 1. Visi dan Misi BMT Bina Ummat Sejahtera BMT Bina Ummat Sejahtera memiliki visi yaitu menjadi lembaga keuangan mikro syariah terdepan dalam pendampingan usaha kecil yang mandiri. Sedangkan misi BMT BUS memiliki lima misi yaitu: a. Membangun lembaga jasa keuangan mikro syari’ah yang mampu memberdayakan jaringan ekonomi mikro syari’ah, sehingga mampu menjadikan umat yang mandiri. b. Menjadikan lembaga jasa keuangan mikro syari’ah yang tumbuh dan berkembang melalui kemitraan yang sinergi dengan lembaga syari’ah lain, sehingga mampu membangun tatanan ekonomi yang penuh kesetaraan dan keadilan. c. Mengutamakan mobilisasi pendanaan atas dasar ta’awun dari golongan aghniya, untuk disalurkan ke pembiayaan ekonomi kecil dan menengah serta mendorong terwujudnya manajemen zakat, infaq dan shodakoh, guna mempercepat proses mensejahterakan ummat, sehingga terbebas dari dominasi ekonomi ribawi. d. Mengupayakan peningkatan permodalan sendiri, melalui penyertaan modal dari para pendiri, anggota, pengelola dan segenap potensi ummat. Sehingga menjadi lembaga jasa keuangan mikro syari’ah yang sehat dan tangguh.
56
e. Mewujudkan lembaga yang mampu memberdayakan, membebaskan dan membangun keadilan ekonomi ummat, sehingga menghantarkan ummat islam sebagai Khoerul Ummat. Selain itu BMT BUS memiliki motto “Wahana Kebangkitan Ekonomi Ummat” Dari Ummat Untuk Ummat Sejahtera Untuk Semua. Bukanlah mudah dalam mewujudkannya, maka sangatlah penting dalam menumbuhkan dan mengembangkan potensi ekonomi rakyat serta dalam mewujudkan demokrasi ekonomi yang mempunyai ciri-ciri demokratif, keterbukaan dan kekeluargaan, menjadi keniscayaan untuk dilaksanakan, maka KJKS BMT BUS selalu berusaha menangkap sinyal-sinyal gerakan ekonomi masyarakat kecil menjadi gerakan jamaah bersama-sama mewujudkan cita-cita kesejahteraan ummat. 2. Visi dan Misi BMT Husnayain Setiap institusi yang ada mempunyai cita-cita untuk tumbuh menjadi besar pasti mempunyai visi dan misi. Sehingga BMT Husnyain memiliki visi dan misi. Visi BMT Husnayain yaitu menjadi BMT terbaik dan terdepan menuju kebangkitan ekonomi umat untuk mencapai keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan. BMT Husnayain memiliki misi yang ingin dicapai dalam menjalankan usahanya. Misi tersebut adalah: a. Membantu umat agar tidak terjerumus ke dalam ekonomi ribawi. b. Mengembangkan pengusaha kecil dan menengah agar tetap dapat bersaing.
57
c. Mempererat ukhuwah Islamiyah melalui pembinaan ekonomi umat. d. Mendidik pengusaha kecil untuk jujur, bertanggung jawab dan profesional dalam mengelola usahanya. e. Mengembangkan sistem ekonomi yang adil, sehat dan bersih sesuai syariah. Selain itu BMT Husnayain memiliki motto yaitu Menepis Riba Menggapai Berkah. C. Struktur Organisasi BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain. 1. Struktur Organisasi BMT Bina Ummat Sejahtera Struktur BMT Bina ummat Sejahtera yang ada di cabang Pondok Gede adalah: Manajer Regional Wilayah I
Kasi Marketing Wilayah I
Kordinator Lapangan
Kepala Marketing
Marketing
Teller
58
Di BMT BUS cabang Pondok Gede yang bertindak sebagai manajer rigional wiayah I adalah Fuad Ali Budiman, SH.MM., setelah itu posisi garis perintah ke bagian kasi marketing wilayah I yaitu Kukuh Setiawan, setelah itu garis perintah langsung ke kordinator lapangan dan juga ke teller. Kordinator lapangan dipimpin oleh Muhammad Bahril Mahabbah SE, dan teller dipegang oleh Nunung Umaya. Pada posisi Kordinator lapangan membawahi kepala marketing yang dipegang oleh Panti Kusuma Ningtiyas SP, dan kepala markerting membawahi marketing yang dipegang oleh Nahelo. 2. Struktur Organisasi BMT Husnayain Organisasi adalah suatu sistem perserikatan formal, berstruktur dan terkoordinasi dari sekelompok yang bekerja sama dalam mencapai tujuan tertentu. Organisasi hanya merupakan alat dan wadah saja. Di BMT Husnayain seluruh jajaran dan individu yang terlibat dalam organisasi telah mempunyai tugas masing-masing, sehingga mekanisme kerjanya dapat berjalan dengan lancar. Struktur organisasi di BMT Husnayain adalah organisasi strata yang dipimpin oleh pengawas yang bertugas mengawasi jalannya laju organisasi yang dijalankan oleh bawahannya. Semua pihak yang terlibat dalam struktur organisasi ini mempunyai hak untuk menuangkan ide-ide pemikiran mereka yang berguan untuk mengembangkan BMT Husnayain agar menjadi lebih baik. Berikut struktur organisasi di BMT Husnayain.
59
STRUKTUR ORGANISASI BMT HUSNAYAIN DEWAN SYARI’AH Ketua
: KH. Ah. Kholil Ridwan
Anggota
: 1. KH. Maryadi M. Kewang, S.Pd I 2. H. Syamsul Ulum, SH
DEWAN PENGAWAS / PEMBINA Ketua
: H. Sobar Harahap, SE. MM.
Anggota
: 1. Sutrisna, BSc. (Pengawas Operasional) 2. Syamsudin Harahap
DIREKTUR
: Drs. Komarudin
Ka. MARKETING : Yayat Supriyadi, SE. MARKETING
: 1. Pranoto, S.Pd I. 2. Agus
REMEDIAL
: H. Saring
AO
: 1. Lukman 2. Ibnu 3. Ary Norman Z. 4. Dadang Suherman
PEMBUKUAN
: Anita
ADMINISTRASI
: Alfian
KASIR
: Ria Astari
C.S
: Anita
60
Alfian BAITUL MAAL
: Asmuni Tahir
-
Staff
: Askanida
-
Staff
: Muhammad Ridwan
D. Produk-Produk BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain 1. Produk-Produk BMT Bina Ummat Sejahtera Sesuai dengan motto “Wahana Kebangkitan Ekonomi Ummat”, maka program-program kerja yang disusun oleh KJKS BMT Bina Ummat Sejahtera senantiasa mengedepankan untuk gairah perekonomian rakyat kecil sehingga dapat berdaya guna dengan memanfaatkan potensi yang ada di daerah. Bidang-bidang usaha seperti pertanian, nelayan menjadi prioritas dalam pembinaan
manajemen
dan
keuangan,
sementara
industri
kecil
dan
perdagangan yang dibutuhkan adalah fasilitas permodalan dan pemasaran. Langkah-langkah yang ditempuh lembaga dalam melaksanakan program tersebut adalah melalui penyaluran modal kerja kepada anggota dan menarik simpanan anggota, sehingga anggota merasakan manfaat pembinaan yang dilakukan lembaga. Disamping itu, lembaga menempuh jalur tahunan yakni dengan memberikan zakat maal dan shodaqoh, pembagian daging qurban serta pengajian umum anggota, hal ini dimaksudkan untuk membangun komunikasi dengan anggota. Berikut produk-produk pembiayaan, simpanan dan baitu maal yang baru ada di BMT BUS cabang Pondok Gede.
61
a. Produk-produk pembiayaan anggota: 1) Produk Pembiayaan Pedagang Sasaran pembiayaan usaha kecil mikro, utamanya pedagang kecil yang membutuhkan permodalan untuk pengembangan usahanya dengan sistem angsuran harian, mingguan dan bulanan dengan jangka waktu pembayaran sesuai kesepakatan. 2) Produk Pembiayaan Industri dan Jasa Produk ini dikhususkan bagi para pengusaha yang bergerak dalam bidang pengembangan jasa dan industri melalui sistem angsuran ataupun jatuh tempo yang telah disepakati kedua belah pihak. Selain itu akad–akad pembiayaan yang ada di BMT BUS cabang Pondok Gede adalah mudharabah, bai’ bitsamanajil, murabahah dan qordul hasan. b. Produk Simpanan Anggota 1) Simpanan Sukarela Lancar (Si Rela) Simpanan ini penyetoran dan pengambilannya dapat dilakukan setiap saat, penyetoran Si Rela dapat dilakukan melalui sistem bola jemput yakni pengelola / petugas akan mendatangi anggota hendak menitipkan dana. Jasa atau bagi hasil diperhitungkan dengan nisbah 35%:65%.
62
2) Simpanan Sukarela Berjangka (Si Suka) Simpanan berjangka dengan sistem setoran dapat dilakukan setiap saat dan pengambilannya dissuaikan dengan tanggal valuta. Jenis Simpanan Si Suka dapat digolongkan Si Suka 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan dan 1 tahun. 3) Simpanan Sukarela Pendidikan (Si Sidik) Simpanan yang dipersiapkan untuk biaya pendidikan dengan cara penyetorannya setiap bulan dan pengambilannya pada saat siswa akan masuk perguruan tinggi. 4) Simpanan Haji Bentuk simpanan yang ditujukan bagi ummat islam yang hendak menunaikan ibadah haji, Simpanan Haji menggunakan prinsip wadiah yadlomanah dan ijarah bittamlik sehingga memberikan kemudahan dan manfaat dalam menunaikan ibadah haji serta mempunyai nilai dakwah bil jama’ah. c. Baitul Maal Selain bertujuan profit oriented, KJKS BMT BUS yang tidak kalah penting adalah social oriented, kedua tujuan tersebut oleh lembaga ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan, Untuk mewujudkan program-program yang bersifat sosial oriented tersebut lembaga telah mengembangkan Baitul Maal. Sumber Baitul Maal adalah dari zakat, infaq dan shadaqoh baik dari karyawan ataupun para aghniya’. KJKS BMT BUS setiap tahun
63
mengeluarkan zakat maal dan zakat fitrah rata-rata mencapai 2.500 orang pertahun, selain hal tersebut penyaluran beasiswa anak sekolah dari keluarga kurang mampu mnjadi prioritas utama, sampai saat ini lembaga telah mampu memberikan beasiswa kepada 256 anak usia sekolah, mulai dari SD, SLTP dan SMU. 2. Produk-Produk BMT Husnayain Di BMT Husnayain memiliki berbagai macam produk yang berguna sebagai sarana daya tarik dalam menjaring dan mempertahankan nasabah. BMT Husnayain memiliki berbagai macam produk baik produk pengumpulan dana (funding) dan juga produk penyaluran dana (lending). Berikut beberapa produk yang ada di BMT Husnayain. a. Produk Pengumpulan Dana Produk pengumpulan dana yang ada di BMT husnayain terdiri dari berbagai macam, secara garis besar produk pengumpulan dana yang ada di BMT ini adalah simpanan dengan sistem bagi hasil dan juga simpanan berupa titipan (wadiah). 1) Simpanan dengan sistem bagi hasil Simpanan dengan sistem bagi hasil di BMT husnayain terdiri dari beberapa produk yaitu: a) Simpanan muamalah. Simpanan ini pada semua anggota yang setoran awalnya sebesar Rp.20.000,- dan selanjutnya minimal Rp.10.000,dan simpanan dalam bentuk ini dapat diambil setiap saat.
64
b) Simpanan haji dan umrah. Tujuan adanya simpanan ini adalah mewujudkan keinginan masyarakat dan nasabah/anggota yang ingin menunaikan ibadah ke tanah suci. Simpanan ini dapat diambil apabila sudah mencukupi biaya untuk pelaksanaan ibadah tersebut. c) Simpanan qurban. Simpanan qurban bertujuan agar nasabah BMT Husnayain dapat menabung hingga mereka dapat menjalankan ibadah qurban, simpanan qurban dapat diambil dalam bentuk hewan qurban ataupun dalam bentuk uang. d) Simpanan pendidikan. Simpanan ini dapat diambil ketika anak nasabah memasuki tahun ajaran baru ataupun ketika penerimaan mahasiswa baru dan untuk biaya sekolah lainnya. e) Simpanan aqiqah. Simpanan ini bertujuan nasabah dapat menunaikan ibadah aqiqah sesuai dengan yang diinginkannya. Simpanan ini dapat diambil ketika nasabah ingin melakukan aqiqah, simpanan ini dapat diambil dalam bentuk uang ataupun kambing. f) Simpanan walimah. Simpanan ini dapat diambil seminggu pada saat menjelang pernikahan. g) Simpanan investasi. Simpanan ini adalah simpanan jenis khusus atau simpanan berjangka bagi anggota yang mempunyai dana mulai dari Rp. 1.000.000,- nasabah akan mendapat bagi hasil yang besar dari produk yang diatas, akan tetapi dana nasabah tidak dapat diambil minimal selama empat bulan.
65
2) Simpanan wadiah atau titipan Produk simpanan wadiah terdiri dari tiga produk yaitu: a) Simpanan amanah debitur. Jenis simpanan ini nasabah tidak diberikan bagi hasil, pada simpanan ini pihak BMT Husnayain hanya membantu nasabah dalam jasa penitipan, simpanan dalam bentuk wadiah amanah ini dapat diambil setiap saat. b) Simpanan lebaran. Jenis simpanan ini tidak diberikan bagi hasil, BMT Husnayain hanya membantu nasaah dalam hal penitipan, simpanan ini dapat diambil ketika menjelang Idul Fitri. b. Produk Penyaluran Dana BMT Husnayain memiliki beberapa produk dalam penyaluran dana (lending) yaitu: 1) Pembiayaan Mudharabah Pembiayaan ini disalurkan kepada nasabah yang berguna untuk modal usaha, selain itu jangka waktu pembiayaan, besar nisbah dan cara pengembalian
dana
ditentukan
sesuai
dengan
perjanjian
dan
kesepakatan. 2) Pembiayaan Murabahah. Pada pembiayaan ini BMT Husnayain mendapatkan keuntungan dari tingkat atau besar harga yang disetujuai oleh kedua belah pihak yang berasal dari selisih harga asal dengan harga jual ke nasabah (harga mark up).
66
3) Pembiayaan Ar-Rahn. Pada pembiayaan ini diberikan kepada anggota untuk keperluan yang bersifat darurat. Nasabah menyerahkan barang gadaian kepada BMT Husnayain, agar nasabah mendapatkan pinjaman dari pihak BMT. 4) Pembiayaan Ijarah. Pada pembiayaan ini BMT Husnayain memberikan dana kepada nasabah untuk membayar biaya sewa lokasi tempat usaha nasabah. c. Produk Baitul Maal BMT Husnayain memiliki produk baitul maal, produk baitul maal kegiatannya menghimpun dana dari zakat, infaq dan shodaqah yang disalurkan dalam bentuk kegiatan sosial dan tidak mengharapkan keuntungan. Kegiatan ini disalurkan dalam beberapa bentuk program seperti, beasiswa pendidikan bagi anak yatim dan kaum dhuafa, program orang tua asuh, qardhul hasan (pinjaman kebajikan), pengajian bulanan, mentoring (anak yatim dan dhuafa), bimbingan belajar, santunan anak yatim dan dhuafa, hadiah lebaran dan sumbangan ke panti asuhan.
BAB IV HASIL PENELITIAN KONTRAK BISNIS DALAM PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BMT BINA UMMAT SEJAHTERA (BUS) DAN BMT HUSNAYAIN
A. Prosedur Pembuatan Kontrak Bisnis Mudharabah di BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain 1. Prosedur Pembuatan Kontrak Bisnis Mudharabah di BMT Bina Ummat Sejahtera Prosedur pembuatan kontrak yang ada di BMT BUS ada beberapa tahapan sampai kontrak disetujui oleh nasabah, berikut tahapan prosedur pembuatan kontrak yang ada di BMT BUS:1 a. Anggota ataupun calon anggota mengajukan permohonan dengan membawa syarat–syarat yang diperlukan seperti foto kopi KTP suami dan istri, foto kopi KK dan foto kopi jaminan. Selain itu bagi anggota atupun calon anggota/anggota boleh menyertakan foto copy berkas lainnya seperti foto copy NPWP, foto copy SIUP, rekening listrik, rekening telepon, slip gaji, laporan keuangan dan foto copy SK pegawai. Selain itu calon anggota ataupun anggota telah mengisi lembar permohonan pembiayaan dan juga melakukan tawar menawar nisbah. 1
Wawancara Pribadi dengan Kasi Marketing Wilayah I BMT BUS Kukuh Setiawan. Jakarta, 3 Mei 2011.
67
68
b. Setelah memberikan seluruh persyaratan ke BMT Bina Ummat Sejahtera, pihak BMT akan melakukan analisis yaitu analisis dokumen dan analisis lapangan. Analisa dokumen berupa menganalisa persyaratan dokumen yang diberikan calon ataupun anggota kepada BMT BUS yang tertera pada point a. Sedangkan analisa lapangan yaitu pihak BMT BUS melakukan survei lokasi ke calon ataupun anggota yang mengajukan pembiayaan. Setelah itu pihak analisis membuat laporan dari ke dua analisa tersebut untuk menjadi bahan laporan di rapat komite. c. Setelah kedua poin di atas selesai maka akan terjadilah rapat komite pembiyaan yang membahas permohonan baik berupa permohonan tawar menawar nisbah dan laporan tim survei, rapat ini dihadiri oleh manajer koordinator wilayah I, manajer cabang, kasir, bagian pemasaran dan bagian yang menganalisa. Dalam rapat komite ini dapat menghasilkan dua keputusan yaitu: 1)
Keputusan yang ditolak, yaitu calon ataupun anggota tidak mendapatkan pembiayaan yang diajukannya dikarenakan tidak memenuhi persyaratan atau kriteria khusus dari BMT BUS.
2)
Keputusan yang diterima, yaitu calon ataupun anggota mendapatkan pembiayaan dari BMT BUS. Pembiayaan yang diterima bisa sesuai dari permohonannya, kurang dari permohonannya dan dengan syarat tertentu.
69
d. Setelah rapat komite selesai maka hasil dari rapat komite akan diinformasikan ke calon ataupun anggota pemohon. e. Jika calon ataupun anggota yang ditolak pembiayaannya maka seluruh dokumentasi baik foto copy ataupun yang asli yang diserahkan ke BMT BUS, maka pihak BMT BUS akan mengembalikan ke calon ataupun anggota tersebut. Sedangkan, bagi calon ataupun anggota yang diterima maka BMT BUS akan mencairkan pembiayaannya dengan syarat membaca dan mengisi dari isi akad/kontrak yang dibuat dan juga mendaftar menjadi anggota BMT BUS dengan membayar simpanan wajib, simpanan sukarela dan simpanan lain-lain. Maka setelah itu pihak BMT akan mencairkan besar pembiayaanya. 2. Prosedur Pembuatan Kontrak Bisnis Mudharabah di BMT Husnayain Prosdur pembuatan kontrak yang ada di BMT Husnayain terdiri dari lima tahapan yaitu:2 a. Nasabah calon pembiayaan mudharabah datang ke BMT Husnayain untuk mengambil formulir pembiayaan. b. Setelah nasabah mengisi formulir dan melengkapi persyaratan, nasabah datang kembali ke BMT Husnayain, dengan persyaratan berupa: 1) Usaha minimal sudah satu tahun 2) Menjadi anggota BMT Husnayain 2
Wawancara Pribadi dengan Kepala Marketing BMT Husnayain Yayat Supriyadi. Jakarta, 30 April 2011.
70
3) Tidak menjual barang haram 4) 3 Lembar Foto Copy KTP suami dan Istri 5) 1 Lembar Foto Copy Kartu Keluarga (KK) 6) 3 Lembar Foto Copy Surat Nikah 7) Foto Suami / Istri ukuran 4 x 6 = 1 lembar 8) Jaminan (Jika diperlukan) Selain itu nasabah mengisi formulir berupa surat permohonan pembiayaan yang didalamnya berupa data pribadi, data pembiayaan, data penghasilan dan kebutuhan keluarga, data usaha dan dokumen persyaratan administrasi. Data permohonan pembiayaan tersebut harus ditandatangani nasabah terlebih dahulu dan diketahui oleh sumi/istri. c. Setelah nasabah melengkapi persyaratan di atas maka pihak BMT Husnayain akan melakukan survei ke nasabah, dengan melihat usaha dari nasabah apakah usahanya ramai atau tidak, persediaan barangnya banyak atau tidak dan selain itu Pihak BMT dalam menganalisis menggunakan aspek 5C pula yaitu: Character, Capacity, Capital, Collateral dan Condition of Economic. d. Setelah dilakukan survei oleh tim survei maka tim survei melaporkan datadata yang diperoleh utnuk dirapatkan pada rapat komite, rapat komite ini diikuti oleh direktur, kepala marketing dan marketing. Untuk pembiayaan diatas Rp. 2.000.000,- maka dewan pengawas operasional harus mengikuti rapat komite tersebut. Ketika rapat komite diputuskan besarnya
71
pembiayaan yang disepakati berapa dan kemudian dalam rapat komite ditentukan apakah nasabah pengajuan pembiayaannya diterima atau ditolak, dan jika diterima akan diberikan SP3. e. Kemudian jika pembiayaan mudharabah diterima oleh BMT Husnayain dan nasabah menyetujui hasil dari rapat komite, maka BMT Husnayain memberikan
kontrak/akad
kepada
nasabah
untuk
dipelajari
dan
ditandatangani. Dan apabila nasabah menyetujui kontrak tersebut maka hukum perikatan sudah dimulai, akan tetapi jika nasabah menyatakan keberatan dari isi kontrak seperti bagi hasil untuk BMT terlalu besar, maka pihak BMT akan bermusyawarah kembali dengan pimpinan mengenai besar nisbah yang diinginkan nasabah, dan jika pimpinan menyetujui besar nisbah yang diinginkan nasabah dan nasabah telah sesuai maka nasabah dapat menandatangani kontrak pembiayaan mudharabah ini. B. Struktur dan Anatomi Kontrak Mudharabah di BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain 1.
Struktur dan Anatomi Kontrak Mudharabah di BMT Bina Ummat Sejahtera Pada dasarnya, struktur dan anatomi kontrak dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, isi dan penutup. Ketiga hal ini dijelaskan sebagai berikut:3
3
Salim H.S. Hukum kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak (Sinar grafika: Jakarta, 2003), H.127-128.
72
a. Bagian Pendahuluan Pada bagian pendahuluan kontrak mudharabah di BMT BUS ini terdapat tiga bagian sub bagian yaitu: 1) Sub bagian pembuka. Dalam sub bagian pembuka ini memuat judul akad yang disepakati, akad ini bernama “Akad Pembiayaan Mudharabah”. 2) Sub bagian identitas para pihak. Dalam sub bagian ini dicantumkan identitas para pihak yang mengikatkan diri dalam akad mudharabah dan siapa saja yang menandatangani akad mudharabah ini. Dalam kontrak mudharabah ini yang mengikatkan diri adalah: a) Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Fuad Ali Budiman
Jabatan
: Manajer Region
Alamat
: Jl. Raya Pondok Gede No. 1
Bertindak untuk dan atas nama Koperasi Jasa Keuangan Syariah Bina Ummat Sejahtera selanjutnya disebut Pihak I (Shohibul Maal) Nama
: Joko Sutomo
Tempat/Tgl.Lahir : Lumajang, 21 Juni 1961 Alamat
: Jl. Petudewo 241, 9/1 Halim
No.KTP / SIM
:095405210661049
Dalam melakukan perbuatan hukum dibantu oleh istri/sami
73
Nama
: Endang Sri Wahjoening P.
Tempat/Tgl. Lahir
: Probolinggo, 25 Juni 1963
Alamat
: Jl. Pentudewo No. 241
No.KTP / SIM
: 0954056506630383
Selanjutnya disebut Pihak II (Mudharib). 3) Sub bagian penjelasan. Pada sub bagian ini diberikan penjelasan mengapa para pihak mengatakan kontrak (seiring disebut bagian premis). Dalam kontrak mudharabah di BMT BUS tercantum seperti: “Dengan ini menggabungkan diri masing-masing untuk menanggung hutang sejumlah dibawah ini, sehingga demikian baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri atau salah seorang saja menanggung segala hutang”. b. Bagian Isi Ada tiga hal yang tercantum dalam bagian isi, yaitu: 1) Klausula transaksi. Klausula transaksi adalah klausula-klausula yang berisi tentang transaksi yang akan dilakukan. Klausula transaksi pada BMT BUS dicantumkan pada pasal 1 sampai dengan pasal 15. Pasal – pasal tersebut mengenai klausula pembiayaan mudharabah, klausula pelunasan sebelum jatuh tempo, klausula pelunasan melewati jatuh tempo, klausula jaminan,
74
klausula pengawasan dan pemeriksaan, klausula pernyataan, klausula wanprestasi dan klausula penjualan atau pelelangan objek jaminan. 2) Klausula spesifik. Klausula spesifik adalah klausula yang mengatur hal-hal yang spesifik dalam suatu transaksi. Artinya klausula tersebut tidak terdapat dalam kontrak dengan sanksi yang berbeda dalam kontrak mudharabah ini klausula yang mengatur tentang ketentuan spesifik terdapat pada pasal 1 dan 7. Isi dari pasal 1 yaitu: a) Besar pembiayaan dalam kontrak mudharabah ini sebesar Rp. 3000.000,- (tiga juta rupiah) b) Jangka waktu pembiyaan berlangsung selama 15 bulan c) Cara titipan pokok yaitu dengan cara bulanan d) Besar titipan pokok Rp. 200.000,e) Besar bagi hasil Rp. 82.500,f)
Cadangan Resiko Rp. 7.500,-
g) Total setoran Rp. 290.000,Selain itu pada kontrak mudharabah terdapat pula klausula spesifik yang lain yaitu jaminan, jaminan dalam kontrak ini yaitu: a) Dua (2) buah BPKB kendaraan bermotor roda : Dua Merk
: Honda
Tahun Produksi
: 2006
Warna
: Silver
75
Nomor Rangka
: KHIHB42136K024665
Nomor Mesin
: HB42E1027897
Bahan Bakar
: Bensin
No. BPKB
: E-1396391
No. Polisi
: B-6131 TIH
Tercatat atas nama : Joko Sutomo Alamat
: Halim Perdana Kusuma No. 241
3) Klausula ketentuan umum. Klausula ketentuan umum adalah klausula yang seringkali dijumpai dalam berbagai kontrak dagang maupun kontrak lainnya. Klausula ini antara lain mengatur tentang domisili hukum, penyelesaian sengketa, pilihan hukum, pemberitahuan, keseluruhan dari perjanjian dan lainlain. Klausula ketentuan umum yang ada pada kontrak di BMT BUS adalah pada pasal 9 sampai dengan pasal 16 yang membahas mengenai klausula pengawasan dan pemeriksaan, klausula pernyataan, klausula wanprestasi dan klausula penjualan atau pelelangan objek jaminan dan juga domisili, isi dari salah satu dari pasal tersebut di atas yaitu domisili yaitu : a) Konsekuensi dan segala akibat hukum dari akad pembiayaan Mudharabah ini kedua belah pihak sepakat memilih domisili hukum dan berperkara di Kantor Paniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan tidak mengurangi hak wewenang pihak I (Shohibul
76
Maal) untuk menuntut pelaksanaan/eksekusi atau menajukan tuntutan hukum terhadap Pihak I (Mudharib)/Penerima pembiayaan ini melalui atau di hadapan Pengadilan lainnya di manapun juga di dalam wilayah Republik Indonesia. c. Bagian Penutup Pada bagian penutup, ada dua hal yang dicantumkan dalam kontrak mudharabah ini, yaitu: 1) Sub bagian kata penutup. Kata penutup biasanya menerangkan bahwa perjanjian tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang memiliki kapasitas untuk itu. Atau para pihak menyatakan ulang bahwa mereka akan terikat dengan isi kontrak. Sub bagian ini berbunyi “Akad pembiayaan ini mulai berlaku sejak ditanda tangani oleh kedua belah pihak” 2) Sub bagian ruang penempatan tanda tangan. Pada bagian ini, terdapat ruang penempatan tanda tangan para pihak yang terkait dalam kontrak mudharabah ini, yaitu ruang tanda tangan untuk manajer region BMT BUS yaitu Fuad Ali Budiman, Nasbah yaitu Joko Sutomo dan saksi I dan saksi II, namun di sini saksi II yaitu istri nasabah tidak menandatangani padahal identitas istri nasabah tertulis di sub bagian pencantuman identitas, akan tetapi malah saksi I yang menandatanganinya, yang tidak tercantum dalam sub bagian identitas.
77
2. Struktur dan Anatomi Kontrak Bisnis Mudharabah di BMT Husnayain Struktur dan anatomi kontrak mudharabah yang ada di BMT Husnayain dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:4 a. Bagian Pendahuluan Pada bagian pendahuluan kontrak mudharabah yang ada di BMT Husnayain, dibagi menjadi dua sub bagian yaitu: 1) Sub bagian pembuka. Sub bagian ini memuat tiga hal, yaitu: a) Judul perjanjian, dalam kontrak ini adalah “Akad Mudharabah”. b) Tanggal disepakati kontrak/akad mudharabah, di mana akad ini ditandatangani pada hari Rabu tanggal 29 Desember 2010 (dua puluh sembilan Desember dua ribu sepuluh). c) Tempat dibuat dan ditandatangani kontrak bertempat di Jl. Lapan No. 25 Rt. 009/01 Pekayon-Ps. Rebo Jakarta timur. 2) Sub bagian pencantuman identitas para pihak Pada sub bagian ini dicantumkan identitas para pihak yang mengikat diri dalam akad dan siapa saja dari kedua belah pihak yang menandatangani
akad.
Dalam
mengikatkan diri adalah: a) Nama Jabatan
4
Ibid., h.127-128
: Komarudin : Direktur
kontrak
mudharabah
ini,
yang
78
Yang dalam hal ini sesuai dengan SOP Pembiayaan, bertindak untuk dan atas nama KJKS BMT Husnayain yang berkedudukan di Jakarta Timur untuk selanjutnya disebut Pihak I Nama
: Ahmad Mudhor
Jabatan
: Manajer Koperasi Syari’ah Urang Sadaya
Yang dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama kepentingan Koperasi Syari’ah Urang Sadaya yang berkedudukan di Perum PT. Semen Cibinong Jl. Anggrek C24, Cileungsi-Bogor, untuk selanjutnya disebut Pihak II. 3) Sub bagian penjelasan Pada sub bagian ini diberikan penjelasan mengapa para pihak mengatakan kontrak (sering disebut premis) seperti “Kedua belah pihak telah sepakat mengadakan akad mudharabah/bagi hasil secara bersyarat (mudharabah muqayyadah) yang terkait dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut” b. Bagian Isi Pada bagian isi, ada tiga hal yang dicantumkan, yaitu 1) Klausula transaksi Klausula transaksi adalah klausula-klausula yang berisi tentang transaksi yang akan dilakukan. Klausula transaksi yang diatur di BMT Husnayain yaitu pada pasal I sampai dengan pasal IV.
79
2) Klausula spesifik Klausula spesifik mengatur hal-hal yang spesifik dalam suatu transaksi. Artinya klausula tersebut tidak terdapat dalam kontrak dengan sanksi yang berbeda. Isi dari klausula ini adalah: a) Besar pembiayaan yang diberikan BMT Husnayain ke nasabah adalah sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) b) Jangka waktu pembiayaan yaitu selama dua belas bulan terhitung sejak tanggal 29 Desember 2010 sampai dengan 28 Junuari 2012. c) Besar nisbah yaitu 70% (Anggota): 30% (BMT Husnayain) berdasarkan pendapatan kotor (revenue sharing). d) Jaminan berupa sertifikat tanah No. 3570425 atas nama Sumiyati Mian dengan luas tanah 275 m2 bertempat di Susukan Ciracas. 3) Klausula ketentuan umum Klausula ketentuan umum adalah klausula yang seringkali dijumpai dalam berbagai kontrak dagang maupun kontrak lainnya. Klausula ini mengatur tentang domisili hukum, penyelesaian sengketa dan pilihan hukum. bunyi dari klausula ini adalah pada pasal V yaitu “Dalam pelaksanaan pembiayaan ini tidak diharapkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, dikarenakan dasar transaksi ini adalah semata-mata karena Alloh SWT. Namun apabila karena kehendak-Nya pula terjadi permasalahan, kedua belah pihak setuju menyelesaikannya dengan cara musyawarah untuk mufakat. Apabila tidak dapat diselesaikan secara
80
musyawarah, maka penyelesaian melalui Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)” c. Bagian Penutup Pada bagian penutup, ada dua hal yang dicantumkan yaitu: 1) Sub bagian kata penutup Sub bagian ini berbunyi “Demikianlah akad ini dibuat dan ditanda tangani kedua belah pihak dengan sukarela (saling ridho) tanpa paksaan dari pihak manapun”. 2) Sub bagian ruang penempatan tanda tangan Sub bagian ruang penempatan tandatangan adalah tempat pihak-pihak menandatangani perjanjian atau kontrak dengan menyebutkan nama pihak
yang
terlibat
dalam
kontrak,
nama
jelas
orang
yang
menandatangani dan jabatan dari orang yang menandatangani. Pada bagian ini, terdapat ruang penempatan tandatangan para pihak yang terkait dalam kontrak mudharabah yaitu: a) BMT Husnayain, yang diwakili oleh Drs. Komarudin yang disebut Pihak I b) Nasabah yaitu Ahmad Mudhor yang disebut Pihak II c) Saksi yaitu Yayat S. dan Darius Berdasarkan analisis anatomi dan struktur baik kontrak yang ada di BMT BUS maupun di BMT Husnayain , draft kontrak pembiayaan mudharabah yang dibuat tidak mengganngu kegiatan pembiayaan mudharabah
81
itu sendiri dikarenakan dalam struktur dan anatomi yang ada merupakan hasil dari akad secara lisan yang dituangkan dalam tulisan berupa kontrak pembiayaan mudharabah. C. Analisis Materi Kontrak Mudharabah di BMT Bina Ummat Sejahtera dan BMT Husnayain terhadap Perjanjian Syariah 1. Analisis Materi Kontrak Mudharabah di BMT Bina Ummat Sejahtera terhadap Perjanjian Syariah Dari isi kontrak yang telah di kemukakan di atas, penulis ingin mengkaji lebih dalam lagi mengenai isi kontrak yang ada di BMT BUS apakah kontrak pada pembiayaan mudharabah ini telah sesuai atau masih belum sesuai terhadap perjanjian syariah, oleh karena itu penulis menganalisa bagian dari kontrak mana yang belum sesuai dan dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. a. Penentuan Besar Bagi Hasil Pada Pasal 1 besar bagi hasil terlihat ditetapkan secara nominal yaitu ditetapkan sebesar Rp. 82.500,- pada dasarnya di BMT ini menggunakan nisbah namun nisbah digunakan pada awal akad dilihat dari laba rata-rata usaha mudharib, namun untuk selanjutnya pembagian keuntungan ditetapkan secara flat yaitu sebesar Rp. 82.500,- sampai akhir akad. Dengan alasan modal pokok yang ada, tidak berkurang karena nasabah mengembalikan uangnya dengan titipan ke BMT dan juga nasabah malas untuk membuat laporan
82
keuangan bulanan.5 Akan tetapi titipan yang dibayarkan secara bulanan oleh nasabah tidak dapat ditarik, sampai akhirnya BMT mendebet dari titipan tersebut untuk pembayaran modal pokok. Di BMT ini terjadi perbedaan persepsi antara ungkapan Kasi Marketing Wilayah I dan front liner, bahwa pada praktiknya penerapan bagi hasil di BMT ini tidak menggunakan prosentase nisbah, melainkan dengan cara tawar-menawar dari laba yang didapat. Penyebab tidak menggunakannya nisbah karena nasabah BMT ini belum mengerti. Selain itu besar keuntungan yang dibayarkan di BMT BUS dibayarkan secara tetap sampai akhir masa perjanjian. Berdasarkan Fatwa DSN-MUI No.07/DSN-MUI/IV/2000 bahwa “Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan”. b. Besar Biaya Administrasi Pada pasal 2 pada kontrak yang terdapat di BMT BUS disebutkan bahwa besar biaya administrasi sebesar 2% dari total pembiayaan di dalam kontrak ini disebutkan besar pembiayaan sebesar Rp. 3.000.000,- maka dikalikan 2% sehingga nasabah wajib membayar biaya administrasi sebesar Rp. 60.000,-. Pembebanan biaya administrasi seharusnya tidak menggunakan prosentase. Karena di satu sisi jika nasabah meminjam uang dalam jumlah
5
Wawancara Pribdi dengan Kasi Marketing Wilayah I BMT BUS Kukuh Setiawan. Jakarta, 5 Mei 2011.
83
besar maka tingkat biaya administrasinya pun menjadi besar, sehingga ada suatu ketidakadilan, karena besar biaya administrasi yang dibayar tidak sesuai dengan biaya administrasi yang dikeluarkan oleh BMT. c. Tidak Adanya Klausula/Ketentuan Jika Terjadi Force Majure Di dalam draft kontrak yang ada di BMT BUS tidak ada isi yang membahas jika nasabah terjadi force majure. Yang dimaksud dengan force majure yaitu :6 1) Jika terjadi keadaan memaksa, Pihak Kedua akan dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian dan keterlambatan penyelesaian pekerjaan 2) Yang di maksud keadaan memaksa pada ayat di atas adalah keadaan atau peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan Pihak Kedua untuk dapat mengatasinya, sehingga dapat dipertimbangkan kemungkinan– kemungkinan adanya perubahan waktu pelaksanaan. 3) Yang dapat dianggap force majure adalah: Bencana alam (gempa bumi, tanah longsor dan banjir), kebakaran, perang, huru-hara, pemberontakan, pemogokan dan epidemik (wabah penyakit), tindakan pemerintah di bidang moneter yang langsung mengakibatkan kerugian luar biasa.
6
HS,Salim. Perencanaan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU) (.Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 70.
84
Oleh karena itu kontrak yang ada di BMT BUS seharusnya memuat ketentuan terjadinya force majure, karena berdasarkah hasil wawancara dengan Bapak Kukuh Setiawan selaku Kasi Marketing Wilayah I apabila nasabah pembiayaan mudharabah di BMT BUS terjadi force majure seperti pengusaha ternak ikan, ketika terjadi banjir maka pengusaha (mudharib) diwajibkan untuk membayar pokok dari pembiayaan mudharabah itu sendiri, hal tersebut menurut penulis bertentangan dengan asas keadilan dalam hukum perjanjian syariah. d. Pihak BMT Menentukan Harga Penjualan/Pelelangan Objek Jaminan Secara Sepihak yang Dikarenakan Nasabah Berbuat Wanprestasi. Pada pasal 13 terdapat statement bahwa “Pihak I (Shohibul Maal) wajib
melelangkan/menjual
objek
jaminan
atas
akad
pembiayaan
Mudharabah ini secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri melalui pelelangan umum di hadapan pejabat yang berwenang atau di bawah tangan setelah diambilnya atas kekuatan apa yang ditentukan dalam pasal 12 dalam akad pembiayaan Mudharabah ini.” Dalam pasal 12 disebutkan jika nasabah wanprestasi maka pihak BMT akan mengambil alih kepemilikan atas objek jaminan jika perlu lewat jalur hukum yang berlaku, sedangkan dalam pasal 13 disebutkan bahwa Pihak BMT
sudah
memiliki
objek
jaminan
tersebut
dan
berhak
untuk
menjual/melelangkan sesuai dengan harga yang BMT tetapkan, tanpa
85
persetujuan dari nasabah lagi. Arti kata bersama-sama di pasal 13 ini bahwa pelelangan di hadiri oleh manajer, pejabat BMT dan pejabat lelang. Sedangkan maksud sendiri-sendiri adalah pejabat BMT mengkuasakan kepada pejabat lelang. Sehingga pelelangan di sini bisa di artikan sepihak. Oleh karena itu, di sini nasabah bisa dirugikan. Selain itu, jika dilihat dari pasal 14 bahwa apabila pelelangan belum tercukupi sisa angsuran maka BMT berhak melakukan proses hukum seperti yang tertuang pada pasal 1131 KUHP perdata. Yang intinya nasabah wajib mengembalikan modal secara utuh ditambah dengan bagi hasil. Di sinilah terjadi ketidaksesuaian dengan asas perikatan dan perjanjian dalam Islam yaitu pada asas keadilan dan pada asas kerelaan, karena bisa saja nasabah tidak rela dengan besar harga penjualan objek jaminan yang ditetapkan secara sepihak oleh BMT. Seperti yang tertera dalam surat an-Nisa: 29 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. Di sinilah asas kerelaan perlu diterapkan dan juga keadilan. e. Pihak BMT Tidak Mau Kalah Mengenai Cara Penyelesaian Sengketa dan Lokasi Tempat Berperkara Hukum Pada pasal 16 disebutkan bahwa “ Konsekwensi dan segala akibat hukum dari akad pembiayaan Mudharabah ini kedua belah pihak sepakat memilih domisili hukum dan berpekara di Kantor Paniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Dengan tidak mengurangi hak wewenang Pihak I
86
(Shohibul Maal) untuk menuntut pelaksanaan/eksekusi atau mengajukan tuntutn hukum terhadap Pihak II (Mudharib)/penerima pembiayaan ini melalui atau di hadapan Pengadilan lainnya di manapun juga di dalam wilayah Republik Indonesia”. Pada isi kontrak ini penyelesaiaan perselisihan tidak diselesaikan dengan
musyawarah terlebih dahulu. Melainkan langsung ke Pengadilan
Negeri, sedangkan saran DSN-MUI adalah musyawarah terlebih dahulu. Selain itu BMT mempunyai wewenang untuk mengajukan tuntutan hukum di pengadilan lainnya, padahal tempat lokasi berperkara hukum sudah ditetapkan dalam kontrak ini di Pengadilan Jakarta Timur, dan di sinilah dikawatirkan terjadinya penyalahgunaan wewenang BMT untuk memenangkan perkara. Sebaiknya untuk kasus persengketaan diselesaikan di BASYARNAS saja. Berdasarkan permasalahan di atas DSN-MUI yang memfatwakan dalam No.7/DSN-MUI/IV/2000 bahwa “Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapainya kesepakatan melalui musyawarah”. f. Nasabah Tidak Bisa Berkutik dengan Dibatasi Ruang Gerak Nasabah Atas Pengambilan Kuasanya dengan Ditutupnya Pasal 1813 KUH Perdata Pada pasal 17 ayat 1 dijelaskan “Kuasa-kuasa yang diberikan oleh Pihak II (mudharib)/penerima pembiayaan kepada Pihak I (Shohibul Maal)
87
sehubungan pemberian pembiayaan ini diberikan Hak Substitusi sehingga tidak dapat ditarik kembali atau diakhiri baik oleh ketentuan Undang-Undang yang mengakhiri pemberi kuasa sebagaimana ditentukan dalam pasal yang 1813 KUH Perdata maupun oleh sebab apapun juga, dan kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pemberian pinjaman ini tanpa adanya kuasa-kuasa tersebut akad pembiayaan ini tidak akan dibuat”. Di sini nasabah dengan ditutupnya isi pasal 1813 maka nasabah tidak dapat menarik kuasa yang diberikan kepadanya dengan cara apapun, dan di sinilah menurut penulis isi dari pasal ini bisa disebut perjanjian yang sepihak. Hal ini telah berlawanan pada asas kebebasan yang tertera dalam hukum perjanjian syariah. Di karenakan harta yang telah di kuasakan tidak bisa ditarik kembali disebabkan telah adanya hak substitusi. g. Tidak Adanya Klausula Definisi Hal tersebut bertujuan agar nasabah dapat mengerti dari istilah-istilah kunci di dalam kontrak mudharabah ini. Klausula ini bertujuan agar nasabah tidak terjadi salah paham atau salah penafsiran. Dan hal ini perlu dicantumkan agar pihak BMT tidak dapat mengelabui nasabah, seperti nasabah tidak mengerti bahwa pada pembiayaan mudharabah seharusnya keuntungan yang dibayarkan setiap bulan berfluktuatif sesuai besarnya laba yang diperoleh, bukan dengan flat.
Selain itu mengenai pengertian hari kerja yang bisa
dikaitkan dengan prosedur pembayaran.
88
h. Bahasa yang Digunakan Sulit untuk Dipahami dan Tidak Sederhana Target dari pembiayaan yang ada di BMT BUS ini adalah masyarakat menengah ke bawah yang erat kaitannya dengan pendidikan yang tidak tinggi. Oleh karena itu demi kemaslahatan bersama dan agar tidak terjadi penyesalan terutama di pihak nasabah, sebaiknya isi kontrak dirubah dengan penyataan yang mudah dicerna golongan menengah ke bawah. Selain itu mengenai ketidaksederhanaan kata seperti di dalam kontrak disebutkan Pihak II (mudharib) atau penerima pembiayaan, sebaiknya dari ketiga makna tersebut dipilih satu saja. i. Kontrak Ini Tidak Tertulis Jangka Waktu Nasabah Dianggap Cedera Janjinya. Dalam kontrak mudharabah yang dibuat, tidak ditentukan jangka waktu berapa hari setelah jatuh tempo nasabah pembiayaan belum mengembalikan modal berikut bagi hasil dan dapat dianggap cedera janji apakah kena setelah satu hari, dua hari atau tiga hari akan dianggap cedera janji. Hal ini diperlukan agar tidak terjadinya penyelewengan aturan di salah satu pihak. j. Saksi Istri Tidak Menandatangani Kontrak Padahal pada Bagian Komparasi Disebutkan Hal ini bertujuan agar jika nasabah wanprestasi dan BMT mengambil alih objek jaminan maka tidak ada permasalahan dari pihak istri.
89
k. Tidak Adanya Ketentuan Mengenai Denda (Ta’zir) dan Ganti Rugi (Ta’widh) Denda (ta’zir) adalah sanksi yang diberikan kepada nasabah yang mampu membayar tetapi menunda-nunda pembayaran dengan sengaja (bukan karena force majeur). Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial (Fatwa DSN-MUI No. 17/DSN-MUI/IX/2000) Ganti Rugi (Ta’widh) adalah menutup kerugian yang diakibatkan pelanggaran atau kekeliruan. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas (Fatwa DSN No.43/DSN-MUI/VIII/2004) mengenai ganti rugi (ta’widh) Oleh Karena itu pasal mengenai denda (ta’zir) dan ganti rugi (ta’widh) boleh dicantumkan asalkan ketentuan mengenai denda dan ganti rugi sesuai dengan Fatwa DSN-MUI. l. Pernyataan Pengakuan Hutang Oleh Nasabah Dalam kontrak yang tertulis bahwa di dalam kontrak mudharabah tertera bahwa nasabah menanggung hutang, padahal dalam Fatwa DSN MUI NO: 07/DSN-MUI/IV/2000 mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha
antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
90
Pengakuan hutang ini salah satunya bisa mengakibat jika nasabah rugi maka BMT bisa meminta ganti rugi secara penuh kepada nasabah karena pengakuan hutang oleh nasabah. 2. Analisis Kesesuaian Isi Kontrak Mudharabah di BMT Husnayain terhadap Perjanjian Syariah a. Besarnya Nisbah Secara Flat Di BMT Husnayain penerapan mudharabah yang diperaktekan di lapangan keuntungan dibayarkan secara flat dan tidak berubah-ubah di saat waktu cicilan.7 Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Komarudin di BMT Husnayain penerapan keuntungan dengan sistem nisbah dan secara berfluktuatif. Hal ini berlawanan antara perkataan Bapak Komarudin dengan bagian colector yaitu Bapak Dadang Suherman. b. Kesalah Pahaman Arti Mudharabah Muqayyadah Istilah tersebut di dalam kontrak diartikan mudharabah/bagi hasil secara bersyarat, namun definisi mudharabah muqayyadah di BMT Husnyain adalah suatu jenis pembiayaan di mana mudharib tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.8 Hal ini telah berlawanan dengan teori di dalam buku Wahbah Az-Zuhaili, mudharabah muqayyadah adalah akad mudharabah yang pemilik modal menentukan agar mengelolanya
7
Wawancara Pribadi dengan bagian AO kolektor BMT Husnayain Dadang Suherman. Jakarta. 4 Juni 2011. 8 Wawancara Pribadi dengan Kepala Marketing BMT Husnayain Yayat Supriyadi. Jakarta. 30 April 2011.
91
di negeri tertentu, atau barang tertentu, atau waktu tertentu atau tidak menjual dan membeli dengan orang tertentu.9 c. Pihak I Tidak Menanggung Sepenuhnya Kerugian Karena Risiko Usaha/Force Majure Pada kenyataannya Pihak I tidak menanggung secara penuh melainkan hanya menanggung sebesar 50% jika hal itu karena resiko usaha seperti kebakaran/force majure.10 Hal ini telah berlawanan dengan keputusan Fatwa DSN-MUI No.07/DSN-MUI/IV/2000 bahwa “Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan”. Hal ini juga tercantum dalam surat Al-A’raaf: 29, disebutkan bahwa “Katakanlah :”Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil”. d. Pasal Wanprestasi yang Ada Masih Minim Dalam akad ini “Apabila Pihak II mengingkari akad ini maka pihak I berhak untuk menarik kembali saldo pembiayaan yang ada pada setiap saat, dengan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Pihak II”. Di sini perlu diberi kejelasan lebih lanjut mengenai hal apa saja yang termasuk mengingkari akad. Seperti surat atau dokumen yang dijadikan agunan itu palsu atau tidak benar isinya apakah hal tersebut termasuk mengingkari akad/tidak. Hal tersebut 9
Wahbah Az-Zuhaili,, Fiqih Islam. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, cet. I, Jilid V, (Jakarta: Gema Insani Press , 2011), h. 480. 10 Wawancara Pribadi dengan Direktur BMT Husnayain Komarudin. Jakarta. 18 Mei 2011.
92
dapat dikaitkan dengan surat Al-Anfal: 27 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui”. e. Tidak Ada Klausula Definisi Klausula definisi perlu dicatat dalam kontrak pembiayaan mudharabah ini, karena nasabah yang meminjam belum tentu mengerti istilah-istilah yang ada di kontrak perjanjian ini. Klausula ini bertujuan agar nasabah tidak terjadi salah paham atau salah penafsiran. f. Adanya Kesalahan Klausul dalam Pasal IV Di dalam pasal ini bahwa “Biaya survey, administrasi dan yang lainnya ditanggung oleh Pihak I”. Sedangkan berdasarkan praktiknya hal tersebut ditanggung oleh Pihak II. Oleh karena itu isi dari klausul tersebut harus diperbaiki menjadi “Biaya survey, administrasi dan yang lainnya ditanggung oleh Pihak II”. g. Tidak Adanya Klausula Pemberian Kuasa Ketentuan pemberian kuasa ini penting agar jika pada suatu hari mudharib mengalami sakit atau bahkan meninggal ada yang akan menanggung segala pokok pembiayaan mudharabah dan bagi hasilnya adalah ahli warisnya.
93
h. Tidak Adanya Ketentuan Mengenai Denda (Ta’zir) dan Ganti Rugi (Ta’widh) Pasal mengenai denda (ta’zir) dan ganti rugi (ta’widh) boleh dicantumkan asalkan ketentuan mengenai denda dan ganti rugi sesuai dengan Fatwa DSN-MUI yaitu Fatwa DSN-MUI No. 17/DSN-MUI/IX/2000 mengenai denda dan Fatwa DSN No.43/DSN-MUI/VIII/2004 mengenai ganti rugi (ta’widh). i. Kurang Adanya Pengawasan Pada prakteknya bentuk pengawasan pembiayaan mudharabah yang ada di BMT Husnayain masih kurang dan bahkan tidak ada. Padahal seharusnya BMT harus mengawasi uang pembiayaan tersebut apakah benar untuk di pakai usaha atau malah untuk kepentingan konsumtif semata. Sedangkan menurut Fatawa DSN-MUI No: 07/DSN-MUI/IV/2000 “ Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama sesuai dengan syari’ah; dan LKS tidak ikut serta dalam manajemen perusahaan atau peroyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan”.
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap struktur dan anatomi kontrak pembiayaan mudharabah yang ada di BMT Bina Ummat Sejahtera (BUS) dan di BMT Husnayain dan juga hasil analisis penulis terhadap kesesuaian materi kontrak mudharabah pada BMT BUS dan BMT Husnayain terhadap perjanjian syariah. Maka penulis menyimpulakan: 1. Struktur dan anatomi kontrak yang ada di BMT BUS dan BMT Husnayain berdasarkan isi dari struktur anatomi yang dibuat terdapat bagian pendahuluan, bagian isi dan bagian penutup, namun pada bagian-bagian tersebut masih ada kekurangan seperti di BMT BUS yaitu pada bagian pembuka
tidak
mencantumkan
tanggal
dan
tempat
dibuat
dan
ditandatanganinya kontrak tersebut, selain itu pada bagian isi, klausula definisi tidak dicantumkan dan juga tidak adanya pembahasan mengenai force majeure di dalam format kontrak tersebut. Sedangkan struktur dan anatomi kontrak yang tidak terpenuhi di BMT Husnayain yaitu pada bagian isi mengenai klausula definisi. Secara umum struktur dan anatomi kontrak yang ada di BMT BUS dan BMT Husnayain masih terbilang kurang lengkap. Akan tetapi jika dilihat dari segi bentuk pemaknaan kalimat BMT Husnayain lebih mudah untuk dicerna bagi kalangan nasabah BMT. Namun hal tersebut secara 94
95
keseluruhan tidak terlalu mengganggu kegiatan pembiayaan mudharabah di kedua BMT ini. 2. Akad pembiayaan mudharabah yang ada di BMT BUS dan BMT Husnayain secara garis besar ada beberapa hal yang kurang dan tidak sesuai dengan perjanjian syariah. Pertama, pada BMT BUS adalah penentuan besar bagi hasil secara flat, besar biaya administrasi, tidak adanya ketentuan/klausula jika terjadi force majeure, pihak BMT menentukan harga pelelangan/penjualan objek jaminan secara sepihak yang dikarenakan nasabah wanrestasi, pihak BMT tidak mau kalah mengenai cara penyelesaian sengketa dan lokasi tempat berperkara hukum, nasabah tidak bisa berkutik dengan dibatasi ruang gerak nasabah atas pengambilan kuasanya dengan ditutupnya pasal 1813 KUH Perdata, tidak adanya klausula definisi, bahasa yang digunakan sulit dipahami dan tidak sederhana, kontrak ini tidak tertulis jangka waktu nasabah dianggap cedera janjinya, saksi istri tidak menandatangani kontrak padahal pada bagian komparasi disebutkan, tidak adanya denda dan ganti rugi dan yang terakhir yaitu pernyataan pengakuan hutang oleh nasabah. Kedua, di BMT Husnayain yang kurang dan tidak sesuai dengan perjanjian syariah adalah besarnya nisbah secara flat selama angsuran, kesalahpahaman arti mudharabh muqayyadah, pihak I tidak menanggung sepenuhnya kerugian karena risiko usaha/force majure, pasal wanprestasi yang ada masih minim, tidak ada klausula definisi, ada kesalahan klausula dalam pasal 4, tidak adanya klausula
96
pemberian kuasa, dan tidak adanya ketentuan mengenai denda dan ganti rugi dan yang terakhir adalah kurang adanya pengawasan dari BMT. B. SARAN Penulis berusaha untuk mencoba memberikan saran kepada BMT BUS dan BMT Husnayain yaitu: 1. Sebaiknya kontrak yang ada di BMT BUS dibuat dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh nasabah, desain kontrak yang dibuat seharusnya jangan memberatkan salah satu pihak, menambahkan ketentuan force majeure, memperbaiki klausula biaya administrasi dan juga pengenaan nisbah yang diberikan seharusnya tidak secara flat. 2. Bagi BMT Husnayain sebaiknya pengenaan nisbah yang diberikan tidak secara flat selain itu format kontrak ditambahkan mengenai klausula definisi dan juga memperjelas isi pasal yang sudah ada seperti merinci hal-hal yang menyebabkan wanprestasi. Dan pihak BMT diperlukan pembenahan antara kesesuain yang tertulis di kontrak dengan yang terjadi di lapangan, seperti dalam hal force majeure BMT hanya menanggung 50% paling besar dan mengenai aplikasi dari mudharabah muqayyadah itu sendiri yang ada di lapangan. 3. Seharusnya isi kontrak yang ada di BMT BUS dan BMT Husnayain sesuai dengan Fatwa DSN-MUI dan prinsip syariah, sehingga apabila pihak BMT mentaatinya diharapkan kontrak mudharabah yang ada di ke dua BMT ini sesuai dengan perjanjian secara syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya. Al Arif, M. Nur Rianto. Dasar-dasar Pemasaran Bank Syariah. Bandung: Alfabeta, 2010. Al- Asqalany, Ibnu Hajar, Syarah Bulughul Marram. Penerjemah Ahmad Sunarto. cet.I. Surabaya: Halim Jaya , 2001. Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. cet. I. Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. cet.I. Jilid V. Jakarta: Gema Insani Press, 2011. Bogdan, Robert dan Taylor, Steven J. Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif. Penerjemah Arief Furchan. cet. I. Surabaya: Usana Offset Printing, 1992. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. ed. 2. Jakarta: Balai Pustaka, 1994. Dewan Syariah Nasional (DSN). Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Jakarta: Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, 2006.
97
98
Dewi, Gemala. dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cet.II. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006. Djazuli, A dan Janwari, Yadi. Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. H.S, Salim. Hukum kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Sinar grafika: Jakarta, 2003. ______________. Perencanaan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU). Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. jilid 2. Yogyakarta: Andi, 2004. Hosen, M. Nadratuzzaman. dkk. Materi Dakwah Ekonomi Syariah. Jakarta: PKES, 2008. Karim, Adiwarman. Bank Islam: Analisis Fiqh & Keuangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2007. Lathif, Ah. Azharudin. Fiqh Muamalat. cet. I. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Latif, Ah. Azharuddin dan Nahrowi. Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif & Hukum Islam,cet.I. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009. Miru, Ahmad. Hukum Kontrak dan Perencanaan Kontrak. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
99
Nazir, Muhammad, Metode Penelitian. Bandung: Ghalia Indonesia, 2003. Nor, HMM.Dumairi. dkk. Ekonomi Syariah Versi Salaf, cet.II. Jawa Timur: Pustaka Sidogiri, 2008. Qardhawi, Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam.Penerjemah Didin Hafidhuddin, dkk. cet.I. Jakarta: Robbani Press, 1997 Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Penerjemah Soeroyo dan Nastangin. Jilid 4. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1996. Rahman, Hasanuddin. Contract Drafting: Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, cet.I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003. Rivai, Veithzal dan Veithzal, Andria Permata. Islamic Financial Management. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007. Sevilla, Consuelo G. dkk. Pengantar Metode Penelitian. Penerjemah Alimuddin Tuwu. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2006. Syafi’i, Rachmat. Fiqh Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS dan Umum. Bandung: Pustaka Setia, 2001. Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007. Umar, Husein. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. cet. IV. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
100
Sumber Wawancara Wawancara Pribadi dengan bagian AO Kolektor BMT Husnayain Dadang Suherman. Jakarta. 4 Juni 2011. Wawancara Pribadi dengan Direktur BMT Husnayain Komarudin. Jakarta. 18 Mei 2011. Wawancara Pribadi dengan Kasi Marketing Wilayah I BMT BUS Kukuh Setiawan. Jakarta. 5 Mei 2011. Wawancara Pribadi dengan Kepala Marketing BMT Husnayain Yayat Supriyadi. Jakarta, 30 April 2011. Sumber Online “Daftar BMT se-Jabodetabek (sumber data: Dhuha Nusantara)”, artikel diakses pada 16 Maret 2011 dari http://www.mail.yahoo.com “Undang-undang No. 10 tahun 1998”. Artikel diakses pada tanggal 29 Maret 2011 dari http://www.komisiinformasi.go.id/assets/data/arsip/uu-bank-10-1998.pdf.
Hasil Wawancara di BMT Bina Ummat Sejaktera (BUS) Pondok Gede Dengan: Bapak Kukuh Setiawan Selaku Kasi Marketing Wilayah I S: Siapakah target pembiayaan mudharabah di BMT BUS? K: Intinya golongan bawah, ekonomi lemah, golongan atas ga jadi target, golongan menengah pun bisa tidak menjadi target. S:Untuk di BMT BUS menerapkan pembiayaan muthlaqah (anggota bebas menentukan usaha apa,temapat dll) atau muqayyadah? K: Dua-duanya bisa, tergantung kondisinya. S: Di BMT BUS menggunakan PLS atau RS? K: Kalau sekarang profit, missal dengan cara pendekatan itu profit akhirnya. S: Penerpan jaminan di BMT BUS untuk pembiayaan diatas 1 juta adakah ketentuan memberikan jaminan diatas pembiayaan yang akan diberikan BMT BUS? K: Ndak seperti itu, berapa aja pakai jaminan, tapi ada satu proyek khusus untuk orang-orang pasar tradisional bisa tidak pakai jaminan tapi maksimal 1 juta, di pasar tapi dia berjualan, bukan pembeli seperti IRT, tapi dia ga dapat pembiayaan seperti itu, sehingga pakai jaminan. Jaminan ada 2, tanah atau BPKB, jika BPKB sepakati nilai jual seperti kendaraan. Seperti Motor harga 10 jt, tapi maksimal
permohonan 50% . Tapi, kalau sertifikat bisa sampai 70% baik itu pasar ataupun non pasar. S: Apakah banyak calon anggota atau anggota yang ingin mengajukan pembiayaan mudharabah di BMT BUS Pondok Gede? K: Banyak, ada 800 anggota disini, sekitar 700, 80% pedagang-pedagang dan pake mudharabah. S: Ada persyaratan khusus yang akan dipertimbangkan oleh BMT dalam penilaiaan pembiayaan layak atau tidak? K: Penilaian layak atau tidak layak di BMT BUS memakai 5C ga ada yang lebih khusus, tetap itu. S: Mengenai kontrak di BMT BUS agak susah untuk dimengerti dan BMT BUS terlihat amat hati-hati, apakah nasabah tidak susah untuk mengerti isi kontrak tersebut? K: Jadi kita ada akad yang lengkap yaitu yang tulisan, tapi akad itu sama mas akad itu bukan tulisan, tapi diskusi antara 2 orang yang biasa terjadi, tentang perjanjian, bisa pembiayaan, bisa hutang piutang dan sebagainya. Di sini yang dimaksud yaitu yang tertulis, jadi kita bacakan, ini biasanya yang pakai jaminan lengkap, di luar pasar biasanya atau yang pasar, tapi membutuhkan pembiayaan yang lebih. S: Besar pembiayaan ini kalau yang 4 rangkap berapa pak?
K: Kalau pakai jaminan pakai yang 4 rangkap. Rp. 100.000,- aja kalau pakai jaminan pake ini. Ini kan untuk mengetahui jaminan dan cara-cara lainnya. kalau untuk nasabah pasar lebih simple, tapi juga isinya sama tapi diambil pointnya aja. Intinya ya yang 4 rangkap lembar kontrak ini, kalau pembayaran harian bisa pakai kontrak yang 1 rangkap. S: Kalau bagi hasil ada ketentuan minimum buat anggota? K: Intinya ga ada. Jadi begini, kalau mas syafiq jualan mas harus tau harga mas beli berapa nanti serendah-rendahnya. Saya dapat hasil berapa, katakanlah kalau 10 ribu, saya harus menjual 12 ribu, tinggal kita diskusi, kita tawarkan, kita pakai asumsi. Jual pulsa missal 10 ribu, dari sana 10 ribu dijual 11 ribu, jadi, seribu untung. Mas kalau nawar 10 ribu jadi 15 ribu, Masa 15 ribu, saya beli 20 ribu misalnya, malah untung 10 ribu. Sama kaya BMT BUS, kita juga punya target, missal tadi kalau ga mau 11 ribu, ya ga usah beli ke kita. Kita mempunyai target nominal yang kita terima yaitu dari asumsi. Lalu berapa kita mempunyai pikiran, saya mempunyai target dari 1 juta untung 20 ribu misalnya. Pada waktu di sistem pendekatan kita akan mendapatkan angka-angka kalau mau pembiayaan kan cerita. Akan mendapatkan laba 200 ribu/bulan missal dari 1 juta, kalau saya dapat 20 ribu BMT BUS berarti mencapai target 10%. Artinya kalau anda menawarkan 90:10 untuk saya, bisa gak? bisa kan. Saya target sama dengan 20 rb yang saya dapat. Untuk nisbahnya itu tadi sistem asumsi itu ya. Kalau yang sistem syariah murni gak usah berfikiran seperti itu, tapi paling tidak kita sebagai BMT harus belajar,
kalau ada orang jual sayuran, itu orang berapa si dapat untungnya, untung paling 30% lah dia bersih 90:10 atau 80:20 saja saya untung, jadi pemikiran saya sendiri yang tidak disampaikan ke nasabah pembiayaan. Jadi kira-kira target. S: Mengenai titipan atau pokok ketika di bulan ke-9 titipan nasabah sudah ada 900 ribu di BMT BUS, berarti uang atau modal pokok untuk jalani usaha tinggal 100 ribu dari modal pokok 1 juta dengan jangka waktu 10 bulan, hal itu apa nasabah tidak keberatan untuk memberikan keuntungan sampai bulan 9 secara tetap pak sedangkan modal mereka berkurang? K: Kan dia mesti tau, sistemnya kan asumsi, asumsi itu akan sama atau tetap mengenai besar keuntungannya sampai akhir masa perjanjian, kalau tidak mau yang seperti itu, yang syariah murni aja, tapi siap apa tidak mereka. Akan tetapi mereka merasa gak terbebani tuh sampai sekarang. S: Kalau pembiayaan udah dicairkan apa BMT BUS akan memonitoring? K:Kita disana memonitoring ke pasar. Bagian pemasaran tuh ada 3, pemasaran bagian simpanan, pemasaran bagian pembiayaan dan pemasaran bagian pendampingan. Yang melakukan tugas monitoring adalah pemasaran bagian pendampingan. Kalau dananya diselewengkan maka akan ditarik dananya oleh BMT. Sebab nanti yang masuk ke kita tidak barokah dan yang masuk ke dia juga tidak barokah. S: Kalau struktur kontrak ada yang buat khusus? seperti notaris?
K:Kalau BMT BUS semua pengelola bisa. Ini bukan saya, karena di BMT BUS itu pengelola bisa semua, yang penting dirundingkan karena sudah training. Yang buat berdua dengan orang yang berakad tapi yang akad maunya diceritain dan terus tanda tangan. Missal pasal di dalam kontrak ini mau dirubah, kalau seperti pasal 3 dan pasal 4 ga bisa dirubah, karena sudah standar bakunya. Makanya diskusi akad harus sesuai yang kontrak. Nasabah Cuma tanda tangan aja. S: Kalau di dalam akad sudah dijelaskan, bahwa objek jaminan di tanggung oleh si anggota. Baik berupa imateril maupun materil, kalau berupa materil berupa berwujud seperti Bendanya. Imateril kan dalam aspek hukumnya gitu ya pa? Apakah benar-benar kepemilikan dia atau bukan? K: Ya, betul. S: Dalam pasal 8 ini tidak menjelaskan bahwa Objek BPKB ditanggung oleh BMT BUS, kalau menurut saya jaminan itu kan tidak diperlukan. Karena ada beberapa anggota yang tidak amanah, sehingga jaminan
diwajibkan. Jaminan itu akan
berfunsi apabila ada masalah seperti apa Pa? K: Wanprestasi, yaitu ia yang seharusnya membayar pada saat tanggal jatuh tempo tetapi dia tidak setor pada saat itu. Mundur-mundur sampai dengan 1 bulan atau lebih, nah itu yang namanya wanprestasi sebab dia tidak bisa menyetor. S: Jika nasabah telat bayar 1 hari, 2 hari, atau 3 hari, apakah sudah dianggap cidera janji oleh BMT BUS? (terlambat bayar) mudhorib dianggap cidera janji?
K: Seharusnya sudah mas, tapi di BMT BUS kita kembalikan saja ke Al-Qur’an bahwa kalau dia belum bisa membayar pada waktunya, maka yang memberikan hutang itu melonggarkan waktunya. Di BMT BUS tidak kena ganti rugi atau denda itu kan cara penyelesaian kalau kita, di akad tidak mengatakan lewat tanggal jatuh tempo di denda, akan tetapi pokok modal harus tetap diberikan tapi. Untuk besar bagi hasilnya bisa diberikan atau tidak, tergatung kelegaan dari pihak BMT, walupun sudah 12 bulan tidak memberikan bagi hasil, jika BMT lega, ya no problem walaupun mereka bertindak wanprestasi. S: Kalau di kontrak pembiayaan mudharabah di BMT BUS bisa dikatakan dengan hutang mengapa Pa? K: Sebenarnya kita tidak mengatakan hutang, karena tidak ada hutang. Karena kita biayai untuk usaha soalnya, sebenarnya tidak hutang, tapi pembiayaan. Karena mudhorobah untuk perdagangan, bukan hutang piutang. S: Kalau mengenai hari libur jatuh tempo misal hari Minggu, Selasa juga boleh di bayarkan Pa? Dan tidak kena denda atau ganti rugi? K: Boleh. Tergantung kelegaan BMT. S: Kalau untuk mempelajari isi akad atau kontrak ini, si mudharib di bacakan kurang lebih 5 menit, sesudah itu ditandatangani? K: Ya, Intinya dia sudah setuju atau tidak pada isi klausul ini.
S: Isi Klausul apa pak yang bisa dirubah? K:Ya berapa bagi hasilnya, jangka waktu dan besar permohonan pembiayaan nasabah yang di terima oleh BMT BUS. S: Kalau di draft akad ini disebutkan bahwa jika ada hal-hal yang tidak dikehendaki, maka diselesaikan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, disini BMT BUS mempunyai wewenang untuk merubah, bentuk wewenangnya apabila di Pengadilan Negeri Jakarta Timur seperti bagaimana Pa? K: Kita belum pernah tuh mas. Saya belum pernah tau caranya seperti apa, dari pertama kali ada tahun 1996 ini belum pernah menemukan yang ke pangadilan. Itu semua terselesaikan dengan cara musyawarah. S: Kalau membahas mengenai force majeure, disini tidak ada pasal mengenai force majeure, Jika terjadi hal tersebut pada usaha lele misalnya, jika terjadi banjir dan saya bangkrut saya harus balikin pakok itu. Kalu bagi hasil diiklashkan, yang jadi masalah mengenai penjualan dan pelelangan obyek jaminan pada kontrak ini, apakah pelaku force majeure masuk pasal kontrak itu? Yang disebutkan bahwa anggota tetap bayar pakok dan bagi hasil? K: Di dalam pasal ini tidak berkaitan dengan perkara force majeure melainkan hanya wanprestasi. Jika terjadi force majeure pada nasabah maka akan di kembalikan ke manajemen BMT BUS apakah mereka harus tetap membayar pokok pembiayaan
atau tidak, tergantung dari keuangan di Baitu Maal, jika tidak mencukupi maka nasabah harus membayar modal pokok yang ada, dan bagi hasil tidak dibayarkan. S: Kalau objek jaminan lewat jalan lelang ya Pa? Sudah pernah terjadi belum Pa? K: Belum terjadi di BMT BUS. S: Mengenai isi kontrak biaya administrasi sebesar 2%, jika saya meminjem 100 juta di kali 2%, saya minjem 10 juta dikali 2% juga, saya minjem 200 ribu dikali 2% juga, nah itu pernah ada komplain dari anggota Pa? Tolong dong pa persentasinya dikurangi? K: Pernah tapi tidak dikabulkan oleh pihak BMT BUS. Karena biaya administrasi 2% sudah baku. S: Mengenai prosedur pembuatan kontrak di BMT BUS bagaimana Pa? K: Pertama, calon anggota atau anggota mengajukan permohonan dengan membawa persyaratan berupa foto copy KTP, KK dan foto kopi jaminan jika diperlukan selain itu anggota mengisi lembar permohonan pembiayaan. Kedua, pihak BMT melakukan analisis berupa dokuman dan lapangan , setelah melakukan analisis pihak analisi membuat laporan untuk rapat komite. Ketiga, setelah kedua poin di atas selesai maka dilanjutkan ke rapat komite yang dihadiri manajer koordinator wilayah I, manajer cabang, kasir, bagian pemasaran dan bagian menganalisa. Dalam rapat komite menghasilkan dua keputusan yaitu keputusan yang ditolak dan
yang diterima. Keempat, setelah rapat selesai maka hasil dari rapat akan disampaikan ke pemohon. Kelima, Jika anggota yang ditolak maka seluruh dokumentasi baik foto copy ataupun yang asli akan diserahan kembali ke pemohon. Dan jika diterima maka pihak BMT akan segera mencairkan pembiayaannya dengan syarat mengisi dan menyetujui kontrak serta mendaftar menjadi anggota BMT. Keterangan : S : Syafiq dan K : Kukuh Setiawan (BMT BUS)
Hasil Wawancara di BMT Husnayain Dengan : Bapak Komarudin Selaku Direktur BMT Husnayain S : Apakah pengertian mudharabah di BMT Husnayain? K: Pihak BMT memberikan pembiayaan kepada anggota untuk modal usaha dengan pola bagi hasil baik setelah dipotong biaya operasional atau belum, contoh dengan porsi/nisbah 70:30 (70 untuk nasabah, 30 untuk BMT), dengan modal 100% dari BMT. S: Siapakah target dalam skala prioritas pembiayaan mudharabah di BMT Husnayain? K: Skala prioritas di BMT Husnayain pada umumnya nasabah yang sudah lama dan usahanya bagus ditunjang dengan lama usaha 2 tahun. Namun, ada pula 1 tahun dengan syarat ia memiliki keahlian khusus. Contohnya ada satu pembiayaan yang diberikan kepada bos pemulung untuk usaha daur ulang plastik, kemudian BMT memberikan sebuah mesin penggilingan plastik. Anggota ini sudah lama dibina. Untuk diketahui rata-rata anggota BMT Husnayain adalah masyarakat ekonomi menengah ke bawah. S: Agar tidak tercampur uang BMT dan nasabah bagimana ?
K: Kita membelikan mesin, maka ia yang mengolah bahan baku yang siap dijual dan mendapat keuntungan dari penjualannya. Supaya uang mereka tidak tercampur maka pihak BMT harus bersedia mengajarkan pembukuan walaupun sederhana. S: Untuk nisbah ada ketentuan batas minimal ? K: Nisbahnya tawar menawar, ada pula 60 : 40, tapi rata-rata 70 : 30. S: BMT Husnayain menerapkan mudharabah muthlaqah atau muqayyadah? K: Mudharabah biasanya bebas, yang menentukan dia. Dia yang mempunyai keahlian. Maka, jarang yang menggunakan muqayyadah. S: BMT Husnayain menggunakan PLS atau RS? K: Memakai keduanya. S: Misalnya risiko terjadi bukan karena kesalahan mudharib, maka apakah yang menanggung semua kerugian BMT Husnayain? K: Belum pernah. Kalaupun ada kasus pernah karena kelalaian 100% dari nasabah yang nanggung mereka. Namun, apabila terjadi suatu musibah kebakaran, maka risisko ditanggung bersama. S: Jadi, untuk force majeure BMT Husnayain kecelakaan tersebut ditanggung bersama? K: Ya Betul, misalnya kebakaran BMT menanggung 50%.
S: Penerapan jaminan di BMT Husnayain untuk pembiayaan mudharabah batas minimalnya berapa? Untuk pembiayaan di atas 1 juta adakah ketentuan jaminannya? K: Jaminan pada umumnya diberlakukan ke semua jenis pembiayaan dari 2 juta ke atas, maka dinamakan fixed asset, seperti BPKB motor, sertifikat tanah, dsb. Untuk jaminan 2 juta ke bawah, hanya berupa barang-barang yang ia miliki di rumah. Seperti TV, lemari es, disepenser, kompter, dsb. Adapun penilaian jaminan tersebut sebesar 75% dari jumlah harga. Apabila ada kerusakan maka nasabah yang menanggung. S: Untuk nasabah tetap di bawah dan di atas 2 juta sistem jaminannya bagimana Pak? K: Dilihat dari bagus-tidaknya usaha. Ada yang pencairan 5 juta jaminannya lebih rendah, tapi ia merupakan anggota lama penabung tetap dan aktif, serta memiliki jumlah tabungan yang cukup banyak, maka itu bisa menjadi jaminannya. S: Bagaimanakah cara menghitung nisbah di BMT Husnayain? Apa menggunakan sistem flat atau tidak? K: Di BMT Husnayain adakalanya naik turun. Tidak flat, menghitugnya dari porsi nisbah, 70% untuk mudharib, 30% untuk BMT. Misal, pembiayaan 1 juta untung 100 ribu di bulan ini, maka mudharib dapat 70% dari laba dan BMT mendapat 30% dari laba juga. Jika di bulan kedua labanya jadi 200 ribu, hitungannya sama saja tinggal kali 70% untuk nasabah dan 30% buat BMT dari laba sebesar 200
ribu. Maka akan selalu berfluktuatif. Namun, semua itu kembali ke nasabah ia pantas pembiayaan yang mana. Apabila tidak pantas menggunakan mudharabah maka kita alihkan ke murabahah. Karena marjin murabahah tetap, sedangkan mudharabah bagi hasilnya naik turun. S: Apakah banyak nasabah yang mengajukan pembiayaan mudharabah di BMT Husnayain? K: Pembiayaan mudharabah ada 20% dari porsi pembiayaan lainnya. S: Apa yang melatarbelakangi draft kontrak atau akad di BMT Husnayain amat simpel? K: Dahulu rumit, namun pada akhirnya diambil intisarinya saja. Disamping itu, ratarata pembiayaan mudharabah tidak sampai berbulan-bulan melainkan mingguan. Dan selain itu agar tidak membuat rumit masyarakat yang tidak mengenal pada prinsip mudharabah, yang penting esensinya aja. S: Dalam pembuatan kontrak di BMT Husnayain, siapa pihak yang berwenang membuat kontrak pembiayaan mudharabah ini? K: Tim khusus. Namun terdapat konsultasi dengan pihak notaris, saya juga termasuk ke dalam tim khusus tersebut. S: Apakah draft kontrak boleh dibaca dan diisi di rumah oleh nasabah?
K: Pertama-tama kita bacakan, setelah selesai nasabah baru membacanya dan menanyakan jika terdapat yang tidak jelas. Selain itu kontrak atau akad tidak boleh dibawa pulang dalam pengisiannya. S: Apakah terdapat perbedaan isi atau pasal-pasal kontrak mudharabah pada nasabah pembiayaan besar? K: Sama aja, yang membedakan hanya pada jaminannya. S: Bagaimana bila nasabah melunasi hutangnya sebelum jatuh tempo? Dan bagaimana jika pelunasan melewati jatuh tempo? K: Bila pelunasan sebelum jatuh tempo, maka yang dilunaskan adalah pokoknya, lalu bagi hasil yang dibayarkan hingga bulan pelunasan itu saja. Namun, apabila melewati jatuh tempo kita berikan masa tenggang selama 1 minggu, bila itu pun dihiraukan maka kita adakan pemanggilan pada pihak tersebut dan melakukan negosiasi, hasil dari negosiasi berupa kesepakatan, perjanjian akan kita reschedule. Jangka waktu akan ditambah dengan syarat membayar administrasi. S: Bagaimana bentuk pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan BMT Husnayain? K: Pengawasan dan pemeriksaan BMT selalu diawasi dengan detail, misal dari laporan keuangan dan diadakan rapak koordinasi di setiap waktu sebelum mulai aktifitas kerja ataupun setelah rutinitas kerja di sore harinya. S: Bagaimana mekanisme penjualan objek jaminan? Apa ada sistem lelang?
K: Apabila pembiayaannya macet dan sudah ada kesepakatan dengan anggota yang terkait untuk dilakukan pelelangan, maka akan langsung diadakan pelelangan jaminan melalui BMT sendiri ataupun dari nasabah. S: Mengenai simpanan titipan yang dibayarkan nasabah, jika nasabah mengajukan pembiayaan selama 10 Bulan dan anggota membayar titipan di bulan ke 9, apakah uang tersebut bisa di ambil? Apakah pokok modal dia berkurang karena di membayar titipan tersebut? K: Bisa saja. Apabila kepentingannya terdesak, misal anaknya sakit keras dan tidak punya uang maka dapat ambil uang pengembalian pokoknya, karena bentuknya titipan. Untuk pokok tidak berkurang karena titipan bisa diambil dan besar titipan itu bebas berapapun nominalnya, tergantung keuangan nasabah, yang penting saat akhir akad mereka bisa melunasi. S: Apakah pembebanan biaya administrasi di BMT Husnayain dalam bentuk prosentase dikalikan pokok pembiayaan? K: Kalo biaya administrasi ada, tapi masih dapat didiskusikan besarannya memakai range 1-2%, tergantung besar pembiayaannya. S: Apakah ada sistem pemberlakuan denda dan ganti rugi di BMT Husnayain?
Hasil Wawancara di BMT Husnayain Dengan : Bapak Yayat Supriyadi Selaku Kepala Marketing BMT Husnayain S: Bagaimana prosedur pembuatan kontrak di BMT Husnayain? Y: Pertama, nasabah calon pembiayaa mudharabah datang ke BMT Husnayain untuk mengambil formulir pembiayaan. Kedua, setelah mengisi formulir dan melengkapi persyaratan nasabah datang kembali ke BMT Husnayain, dengan persyaratan berupa: usaha minimal 1 tahun, menjadi anggota, tidak jual barang haram, foto kopi KTP, KK, surat nikah , pas foto dan jaminan jika diperlukan. Ketiga, BMT melakukan survei ke nasabah dengan menggunakan 5C (Character, Capacity, Capital, Collateral dan Condition of Economic) untuk menganalisanya. Keempat, setelah survei maka dilakukan rapat komite yang dihadiri oleh Direktur, Kepala Marketing dan Marketing. Untuk pembiayaan di atas Rp. 2.000.000,- maka Dewan Pengawas Operasional harus mengikuti rapat komite tersebut. Dalam rapat ini ditentukan apakah nasabah pembiayaan diterima atau tidak. Kelima, Jika pembiayaan diterima dan nasabah menyetujui hasil dari rapat komite maka nasabah dapat menandatangani akad/kontrak pembiayaan mudharabah. S: Bagaimana aplikasi pembiayaan mudharabah muqayyadah di BMT Husnayain? Y: Aplikasi mudharabah muqayyadah di BMT Husnayain adalah pihak nasabah pembiayaan dapat menentukan sendiri tempat usaha, jenis usaha dan waktu usaha. S: Apakah isi pasal IV telah sesuai?
Hasil Wawancara di BMT Husnayain Dengan : Bapak Dadang Suherman Selaku AO Kolektor BMT Husnayain S: Bagaimana penerapan nisbah bagi hasil di BMT Husnayain? D: Penerapan bagi hasil di Husnayain jika yang terjadi di lapangan tidak berdasarkan nisbah, yang terjadi adalah sistem flat. Dikarenakan dalam pembiayaan mudharabah jika berdasarkan laba usaha yang dilihat tiap kali angsuran, nasabah cendrung berbohong, sehingga BMT Husnayain dalam aplikasi yang ada di lapangan tidak menggunakan nisbah. Selain itu kerena uang yang ada di BMT Husnayain berasal dari nasabah, sehingga pihak BMT pun harus berhati-hati, karena pihak BMT sudah mendapatkan amanah dari nasabah sebagai media penyimpan uang dan lembaga intermediary (perantara).
S: Bagaimana pembebanan biaya administrasi di BMT Husnayain? D: Biaya administrasi di sini sebenarnya bisa sampai 3% di kali total pembiayaan, namun untuk hal ini masih bisa terjadi tawar menawar. S: Bagaimana bentuk pengawasan dan pembinaan yang terjadi di BMT Husnayain? D: Sebenarnya pihak BMT masih kurang dalam hal pengawasan seperti ketika pencairan pihak BMT masih kurang berperan untuk mengecek apakah benar uang