Konsolidasi Demokrasi: Tantangan Reformasi
225
KONSOLIDASI DEMOKRASI: TANTANGAN REFORMASI Todung Mulya Lubis
Saturated with differences, history of opening the gateway of democracy for our nation has actually been initiated by the founding fathers, when they agreed to proclaim the independence of the Republic of Indonesia. It was never a smooth road of history in upholding the democracy for Indonesia. Fabricated democracies such as guided democracy and Pancasila democracy were the main themes of the past, which are hardly acknowledge to be any son of democracy. So to say, one of reformasi agenda is to lead our democracy back to its basic principle of the sovereignty of the people by means of constitution amandements. Unfortunately, the results of such effort clearly indicate lack of wholehearted political will, to not to say based only upon short term political interest.
Pad a tahun 1945 sejarah membuka pintu gerbang . demokrasi kepada bangsa In! ketika para pendiri negara In! . bersepakat memproklamirkan negara Republik Indonesia. Meski ada perdebatan tajam sesama pendiri negara tentang benruk dan tata pemerintahan serta jaminan hak-hak asasi manusia tetapi semangat membangun demokrasi adalah semangat yang menggelora di dalam semua dada para pendiri negara. Kita melihat bahwa perbedaan pendapat yang tajam tentang halhal tersebut di atas tidak dapat menutup fakta bahwa semangat demokrasi itu begiru menggelora. Tak berlebihan jika dalam Pembukaan UUD 1945 ada alinea yang berbunyi,
"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur"
Nomor 2 Tahun XXXII
226
Hukum dan Pembangunan
Alinea tersebut tak menyebut kata demokrasi akan tetapi membaca risalah rapat pembuatan UUD 1945 kita akan takjub bahwa semangat demokrasi itu begitu kuat, dan kalau tak ada kata sepakat maka pendapat yang mendapat dukungan mayoritas menjadi pendapat yang disepakati. Supomo, yang tak begitu setuju dengan hak asasi manusia, pada akhirnya menerima rumusan hak asasi manusia dalam batang tubuh UUD 1945. Lebih jauh, Supomo juga secara demokratis menerima UUD 1949 dan UUDS 1950 yang sangat sarat dengan jarninan hak asasi manusia. Kita menyaksikan sampai tahun 1950an demokrasi in action begitu menarik dengan semua pasang surut dan jatuh bangunnya kabinet. Ikhtiar untuk membuat UUD Baru melalui Konstituante sepertinya akan membuka lebih lebar lagi pintu demokrasi. Akan tetapi sayang bahwa konflik politik telah menggantikan perbedaan politik, dan ironisnya konflik politik ini mulai diboncengi oleh kepentingan yang merasa khawatir bahwa demokrasi akan menghancurkan keutuhan negeri. Hal ini terutama disebabkan oleh instabilitas politik yang menyulut perlawanan daerah apalagi karena kondisi ekonomi tak rnenunjukkan pertumbuhan yang mengesankan. Pihak tentara yang sejak jaman revolusi memendam niat untuk ikut dalam panggung politik kekuasaan terus mendorong terjadinya perubahan politik yang akhirnya berpuncak pada dibubarkannya Konstituante dan dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya kern bali UUD 1945. Soekarno yang merasa bahwa Indonesia yang diproklamirkannya berada dalam bahaya perpecahan menyetujui perubahan politik terse but yang pada akhirnya melahirkan situasi politik yang secara diametral bertentangan dengan demokrasi yang dulu hendak ditegakkan. Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa sejak 5 Juli 1959 negeri ini rnulai rnemasuki jaman yang dalam sejarah politik kita dikenal sebagai jaman 'demokrasi terpimpin' dan kemudian diikuti dengan 'demokrasi Pancasila·. Kedua jaman terse but tak lain dari pengingkaran terang-terangan atas prinsip-prinsip demokrasi. Ketika demokrasi diikuti dengan kata sifat (adjective) maka demokrasi itu kehilangan maknanya. Kita tak perlu bersusah payah mencari contoh pengingkaran demokrasi tersebut. Secara terbatas kita bisa menyebut misalnya pengingkaran dalam bentuk pengangkatan presiden seumur hidup. pengangkatan anggota DPR, pembubaran partai politik, pembredelen surat kabar. masuknya ten tara dalam partai politik, floating mass. dan penerapan asas tunggal. Kesemua ini adalah praktek yang lazim ditemui di negara-negara otoriter. Tetapi pemimpin negeri ini tak pernah sudi mengakui bahwa Indonesia itu sebagai negara otoriter.
April - funi 2002
Konsolidasi Demokrasi: Tanrangan Reformasi
227
Kekuasaan otoriter memang dapat bertahan lama, dalam kasus Indonesia, kita melihat pemerintahan Soeharto yang lebih dari 30 tahun. Tetapi kekuasaan otoriter itu tak akan pernah bertahan selamanya. Pemeo tentang . ratu adil' atau . enlightened despot' hanyalah kebetulan sejarah yang ditandai dengan lahirnya pemimpin yang baik budi, tetapi sistem pemerintahan otoriter tak akan bisa berjalan baik dan effektif karena kekuasaan selalu akan korupsi, dan yang lebih penting lagi adalah karena tak ada oposisi. Disinilah kekuasaan otoriter itu menjadi busuk (decay) dan pada akhirnya rontok. Karena itu pemerintahan demokratis dari segal a sisi akan jauh lebih menguntungkan rakyat banyak karena terbukanya pintu kontrol. Pemenang hadiah nobel , Amarttya Sen dengan lugas mengatakan bahwa jumlah orang kelaparan secara statistik lebih banyak di negara otoriter ketimbang negara demokratis. Mari kita kutip pernyataan menarik Amarttya Sen dalam bukunya Developrnent As Freedom,
"Indeed, the working of democracy and of political rights can even help to prevent famines and other economic disasters. Authoritarian rulers, who are themselves rarely affected by famines (or othersuch economic calamities), tend to lack the incentive to take timely preventive measures. Democratic governments, in contrast, have to win elections and face public criticism, have strong incentive to undertake measures to avert famines and other such catastrophes. It is not surprising that no famine has ever taken place in the history of the world in a functioning democracy - be it economically rich (as in contemporary Western Europe or North America) or relatively poor (as in post-independence India, or Bostwana, or Zimbawe). Famines have tended to occur in colonial territories governed by rulers from elsewhere (as in British India or in an Ireland administered by alienated English rulers) , or in one-party states (as in the Ukraine in the 1930s, or in China during 1958-1961, or Cambodia n the i970s), or in military dictatorships (as in Ethiopia, or Somalia, or some of the Sahel countries in the near past) ". Implisit dikatakan bahwa korupsi lebih banyak di negara otoriter ketimbang di negara demokratis . Artinya, pilihan terbaik bagi rakyat adalah demokrasi meski demokrasi tak menjanjikan keadilan yang merata, tetapi demokrasi akan lebih mampu menahan korupsi dan kesewenangan kekuasaan yang lebih menyesengsarakan rakyat. Setidaknya pada negara demokrasi rakyat itu punya hak suara. Dalam sistem politik yang mapan
Nomor 2 Tahun XXXIi
228
Hukum dan Pembangunan
kuatnya oposisi dan kebebasan pers akan mampu menjaga kekuasaan untuk tidak menJadi korup (meski korupsi tak akan bisa diberantas secara menyeluruh). Jatuhnya Soeharto membuka kembali momentum demokrasi yang membuka untuk kedua kalinya pintu gerbang kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Memang suasana sekarang sangat diwarnai oleh euphoria politik, tetapi dibalik itu semua rakyat menuntut suatu perombakan yang mendasar dalam sistem politik. Dalam konteks ini sebetulnya banyak orang bicara tentang politik baru dan Indonesia Baru (New Indonesia) . Pemerintahan transisional ini harus meletakkan landasan untuk memasuki masa depan yang lebih demokratis, partisipatoris, makmur dan ditopang oleh supremasi hukum. Untuk itu suatu konstitusi baru menjadi conditio sine qua non karena konstitusi baru ini akan menjadi kontrak so sial baru antara rakyat dan negara. Bahasa populer untuk perubahan mendasar ini adalah reformasi yang oleh Forum Untuk Reformasi Demokratik dijabarkan daJam beberapa isu-isu pokok yaitu, • •
• • • •
Reformasi konstitusional dan perundang-undangan terhadap Jembaga legislative dan eksekutif untuk mendukung transisi demokratik; Otonomi daerah untuk menjamin partisipasi politik yang inkJusif dan administrasi publik yang effektif serta terselenggaranya pembangunan di seluruh Indonesia; Mendefinisikan kembali hubungan sipil-militer untuk menJ3mm supremasi badan-badan perwakilan yang dipilih; Memberdayakan peran masyarakat sipil baik sebagai pengawas maupun sebagai penggerak pemerintahan demokratik; Meningkatkan partisipasi aktif para perempuan dalam politik dan masyarakat; Membicarakan tentang kesenjangan fundamental dan kegelisahan di dalam masyarakat yang diakibatkan oleh pergolakan sosio-ekonomi dan kecurigaan antar agama.
Kita tidak akan membahas isu-isu pokok diatas secara satu per satu, tetapi kita akan lebih memfokuskan diri pada upaya pembentukan Konstitusi Baru yang memungkinkan demokrasi bisa diterjemahkan dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Seperti kita ketahui sekarang sudah ada tiga kali perubahan UUD 1945 sehingga kita mengenal Perubahan Pertama (the First Amendement), Perubahan Kedua (the Second
April - Juni 2002
Konsolidasi Demokrasi: Tantangan ReJormasi
229
Amendement) dan Perubahan Ketiga (the Third Amendement). Perubahan-
perubahan tersebut tidak ideal tetapi UUD 1945 tidak lagi diperlakukan sebagai sesuatu yang sakral. Beberapa pasal dapat disebut sebagai menjawab tuntutan demokrasi seperti misa1nya pasal 7, Perubahan Pertama, yang berbunyi, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sarna, hanya untuk kali masa jabatan". Kemudian pasal 6A (1) Perubahan Ketiga merumuskan, "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat" Diakui bahwa Panitia Ad Hoc yang merumuskan perubahan UUD 1945 sepertinya menangkap tuntutan demokrasi yang berkembang di masyarakat. Akan tetapi apabila pasal-pasal itu dikaitkan dengan pasalpasal lain maka kita akan me1ihat bahwa perubahan konstirusi yang tengah berlangsung sekarang ini tak disertai dengan landasan atau paradigma ketatanegaraan yang jelas. Perubahan-perubahan tersebut berlangsung secara tambal sulam, dan banyak yang didasari akan kepentingan politik jangka pendek. Bab mengenai hak asasi manusia dalam Perubahan Kedua secara jelas menunjukkan kompromi politik yang melindungi kepentingan politik tertentu. Pasal-pasal mengenai proses 'impeachment' menunjukkan bahwa para pembuat Perubahan tak menyadari implikasi dari perubahan tersebut. Tak berlebihan jika banyak pihak yang tidak lagi percaya kepada kemampuan Panitia Ad Hoc MPR untuk melakukan perubahan tersebut apalagi karena dari segi proses kesemua perubahan itu dirasakan berlangsung dalam mekanisme yang elitis, tidak partisipatoris. Proses perubahan yang elitis ini nantinya tak akan melahirkan rasa kepemilikan (sense of ownership) dari rakyat karena mereka tak diajak turut serta. Tuntutan akan d ibentuknya Komisi Konstitusi adalah tuntutan yang berdasar bukan semata untuk menghindari dagang sapi politik dan tak jelasnya paradigma ketatanegaraan para anggota Panita Ad Hoc, tetapi terutama karena setiap Konstitusi baru membutuhkan suatu proses yang melibatkan publik, ada public support. Karena itulah, seperti di Thailand, Afrika Selatan dan Philipina misalnya, rakyat begitu dilibatkan. Di Thailand keanggotaan Komisi Konstitusi yang dipilih mewakili setiap provinsi bergabung bersama sejumlah ahli dalam merumuskan kerangka
Nomor 2 Tahun XXXII
230
Hukum dan Pembangunan
dan isi Konstitusi Baru, dan itu dilakukan secara maraton dengan menggunakan medium bahasa yang dimengerti oleh rakyat, jadi bukan dalam bahasa yang sifatnya esoteric. Komisi Konstitusi Thailand bekerja selama 240 hari, dan meski waktu tersebut tidak terlalu lama kita menyaksikan lahirnya Konstitusi Baru Thailand yang amat komprehensif yang memuat lebih dari 300 pasal yang tidak saja mengatur mengenai lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif, tetapi melengkapinya dengan pengaturan tentang hak asasi manusia, komisi pemilihan umum, komisi hak asasi manusia, ombudsman, komisi anti korupsi, badan audit negara, dan berbagai hal lainnya. Diharapkan dengan sifat konstitusi yang komprehensif ini maka tak akan ada lagi kekosongan konstitusional yang nantinya akan membutuhkan 'interpretation' dari Mahkamah Agung. Dalam konteks Indonesia, konstitusi yang komprehensif akan mampu mencegah perdebatan tentang haram tidaknya Tap MPR yang selama ini dipergunakan sebagai pelengkap dan pelaksanaan UUD 1945. Membaca Perubahan Pertama, Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga UUD 1945, kita tak mendapat kesan bahwa kita tengah membuat suatu Konstitusi yang komprehensif dengan suatu paradigma demokratik yang jelas. Proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung yang sudah diamanatkan tidak jelas akan dibawa kemana jika tak ada cal on yang memenangkan suara 50% plus. Artinya, sangat mungkin pemilihan babak kedua dilakukan di MPR oleh anggota-anggota MPR dengan suara terbanyak. Kalau ini yang terjadi maka demokrasi yang dikehendaki di penghujung jalan kembali ditelikung oleh sistem kekuasaan yang tak demokratis. Hal lain yang dapat ditafsirkan sebagai negasi terhadap demokrasi adalah dibatasinya calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dari partai politik dan atau gabungan partai politik. Pasal 6A (2) Perubahan Ketiga mengatakan, "Pasangan ealon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum" Pasal 6A (2) ini telah menutup pintu bagi para calon independen dari luar partai politik padahal sebagai warga negara seseorang itu berhak untuk mencalonkan dan dicalonkan untuk menduduki jabatan publik apabila orang tersebut telah cakap menurut hukum. Pasal 6A (2) tersebut telah menafikan hak berpolitik di luar partai politik padahal hak berpolitik
April - Juni 2002
Konsolidasi Demokrasi: Tanlangan Reformasi
231
itu merupakan hak asasi yang dijamin oleh konstitusi . Selain itu pasal tersebut telah menutup peluang bagi rakyat banyak untuk memperoleh calon Presiden dan Wakil Presiden yang mungkin lebih baik dan berkualitas ketimbang calon-calon yang datang dari kalangan partai politik. Jadi seandainya para pembuat Perubahan dapat memahami angin demokratisasi yang bertiup di seluruh penjuru planet maka para pembuat Perubahan akan merasa bahwa berdemokrasi tak hanya monopoli partai politik. Orang-orang yang memilih tak bergabung dengan partai politik mempunyai hak yang syah dan konstitusional untuk berpolitik dan menerima jaminan konstitusional lainnya . Hal lain yang juga diabaikan oleh para pembual Perubahan adalah kemungkinan didirikannya Partai Lokal yang banya beraktivitas di satu atau dua daerah saja satu dan lain hal karena mereka hanya ingin berkonsentrasi pada daerah, atau karena merasa belum sepenuhnya siap untuk terjun ke kancah politik nasional. Di Jerman, kita melihat bagaimana Green Party mulai sebagai partai lokal sebelum akhimya ikut terjun sebagai partai nasional. Jadi kalau di Sumatera Barat, misalnya , ada Partai Ninik Mamak, yang hanya concern dengan pembangunan daerah Sumatera Barat, seharusnya hal ini syah-syah saja. Mungkin dalam semangat otonomi daerah Partai Ninik Mamak ingin merebut posisi Gubemur serta Bupati dan memberi warna bagi tata pemerintahan di daerahnya. Dari segi substansi banyak hal yang kita bisa persoalkan dari semua· Perubahan yang sudah disyahkan seperti misalnya mengenai Mahkamah Konstitusi, proses impeachment, hak asasi manusia, dan sebagainya. Tetapi celakanya kita pun dipaksa bingung membaca tata bahasa pada beberapa pasal Perubahan seperti misalnya pasal 22E (3) dan (4) yang berbunyi , "Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggoEa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik" "Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota anggola Dewan Perwakilan Daerah adalah perorangan"
Membaca secara teliti dan hati-hati makna pasal 22E (3) sepertinya yang memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik sehingga pertanyaannya adalah siapakah yang mempunyai hak pilih, partai politik atau perorangan warga negara? Anehnya, pada pemilihan anggota
Nomor 2 Tahun XXXII
232
Hukum dan Pembangunan
DPD yang memilih adalah perorangan sehingga pertanyaannya adalah mengapa berbeda pemilih untuk anggota DPR dan DPRD di satu pihak dengan pemilih anggota DPD di lain pihak? Apakah disini para pembuat Perubahan berbicara ten tang asal muasal dan kualifiksi cal on anggota DPR, DPRD dan DPD? Kalau demikian mengapa kalimat pada pasal 22E (3) dan (4) menggunakan kata 'memilih '? Keluhan bahwa perubahan UUD 1945 selama ini tak ditopang oleh satu paradigma ketatanegaraan yang jelas kiranya bukanlah keluhan yang asal bunyi. Inkonsistensi pasal-pasal, tata bahasa yang tidak menunjang disamping proses yang tidak partisipatoris memberikan dasar sejarah yang amat kuat untuk menuntut kembali agar Komisi Konstitusi didirikan. Alasan bahwa hal ini sudah terlambat tak dapat diterima karena kalau para elit politik kita ikhlas maka Komisi Konstitusi dapat bekerja selama 240 hari seperti di Thailand. Dan hendaknya jangan ada ketakutan yang berlebihan seperti yang diungkapkan oleh penggagas Gerakan Nurani Parlemen dan Forum Kajian Ilmiah Konstitusi bahwa perubahan konstitusi sekarang ini sudah kebablasan dan bisa jadi akan menghilangkan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan pasal 1(2) UUD 1945 menjadi .. Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang dasar" tak akan menghilangkan eksistensi negara kesatuan Republik Indonesia. Kekhawatiran bahwa pasal 1(2) Perubahan Ketiga UUD 1945 akan menyebabkan rakyat berbondongbondong ke MPR untuk menjalankan 'kedaulatan rakyat ' dan dengan demikian menghilangkan peran MPR agaknya mernpakan alasan defensif yang tak bertitik tolak dari sejarah bangsa-bangsa. Kedaulatan rakyat adalah kedaulatan rakyat. Dengan atau tanpa pasal 1(2) UUD 1945 apabila rakyat berkehendak menjalankan kedaulatannya pemerintah mau pun negara tak akan kuasa menghentikannya. Semua kita seharnsnya memahami hal ini. Jadi berhentilah menakut-nakuti rakyat, dan marilah kita mulai bersikap jujur kepada diri kita: apakah kita akan membangun kedaulatan rakyat, demokrasi, supremasi hukum dan hak asasi manusia? Atau kita akan kembali ke masa lampau yang otoriter dimana kedaulatan ada di tangan penguasa, dimana hukum dan kebenaran tergantung pada kedermawanan kekuasaan? UUD Barn bukanlah sebuah obat mujarab (panacea) yang ces pleng, tetapi UUD Barn jika dia dibuat dengan amat komprehensif melalui proses partisipatoris pasti akan mampu menjadi kontrak sosial barn yang membawa harapan baru bagi hari depan kita, hari depan anak cucu kita.
April - Juni 2002