JURNAL ILMU SOSIAL, Vol. 11, No. 1, April 2013
DINAMIKA DEMOKRASI DAN HAM DI INDONESIA: Tantangan Kehidupan Berbangsa Di Era Reformasi Susanto T. Handoko* *Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP UNCEN Abstract :This article is a review of the results of the authors on the development dynamics of democracy and human rights in Indonesia today. assessment methods in this article using historical methods using literature references that relafan with problems. The problems studied in the article include the dynamics of the practice of democracy in Indonesia after the fall of the New Order is still trapped in a vortex of problems and issues of human rights in Indonesia is still confined politics. Assessment results that the authors generate ideas between democracy and human rights have a strong relationship.Both interact with each other and mutual interdependence. Both are part of the makeup and character of the Indonesian nation in the current maelstrom of global competition, both in the past, present, and future.
Abstrak:Artikel merupakan hasil pengkajian terhadap perkembangan dinamika demokrasi dan HAM di Indonesia hingga saat ini. metode pengkajian dalam artikel ini menggunakan metode sejarah dengan menggunakan referensi studi pustaka yang relafan dengan permasalahaan. Permasalahan yang dikaji dalam artikel meliputi dinamika praktik demokrasi di Indonesia pasca tumbangnya Orde Baru masih terperangkap dalam pusaran masalah serta persoalan penegakan HAM di Indonesia masih terkungkung politik.Hasil pengkajian penulis menghasilkan pemikiran bahwa antara demokrasi dan HAM memiliki hubungan yang kental.Keduanya saling berinteraksi dan saling interdependensi. Keduanya merupakan cermin dan bagian dari karakter bangsa Indonesia dalam arus pusaran persaingan global, baik di masa lalu, kini, dan yang akan datang.
Keyword :Democracy, Human of Rights, Reformation, Indonesia
Perbincangan kita tentang demokrasi saat ini sudah terkontaminasi berbagai kosakata humanisme, seperti kehendak umum, distribusi sosial, dan kesetaraan. Padahal, demokrasi berangkat dari ide mengenai demos atau kewargaan sebagai konsep yang berbatas. Demokrasi tidak berpijak pada kemanusiaan universal atau proletariat yang mengatasnamakan kemanusiaan.Demokrasi adalah sebuah ruang (rumah/bangunan) dengan pagar politik yang jelas.Pagar demokrasi adalah konstitusi.Konstitusi mendefinisikan substansi politik yang menjadi ukuran kewargaan dalam sebuah ruang demokratis. Demokrasi memerlukan etika publik yang tertanam dalam setiap warga dalam bentuk kebajikan (virtue).Demokrasi sebagai jalan pembangunan rasionalitas politik berdasarkan prinsip transparansi dan ketepercayaan kehilangan roh.Politik di era postmodern sejatinya meletakkan dasar eksistensinya di atas kekuatan kultural lokal.Politik postmodern mempromosikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Pada sisi lain, komitmen terhadap HAM di Indonesia dewasa ini semakin menguat. Namun, pemahaman terhadap HAM sering dilakukan secara sempit. HAM hanya dipahami
sebagai kebebasan sehingga kecenderungannya mengarah pada anarkhi dan kurang atau tidak menghargai hak-hak orang lain. Kajian ini mengupas tentang dinamika demokrasi dan HAM di Indonesia Era Reformasi kaitannya dengan tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam arus pusaran global. Tahun 2013 bagi bangsa dan negara Indonesia bukan sekadar Tahun Ular menurut perhitungan kalender Tiongkok Kuno, melainkan juga Tahun Politik karena menjadi tahun pemanasan menuju pesta demokrasi atau Pemilu 2014.Politik dalam pemikiran Aristoteles (384-322 SM) memiliki makna yang mulia, politik berkaitan dengan hal-hal kenegaraan.Menurut Aristoteles kemunculan sebuah negara tidak terlepas dari wajah politik manusia sebagai zoon politicon atau makhluk yang berpolitik.Namun, dalam dinamika politik Indonesia saat ini, politik diarena praksis mengalami peyorasi makna sebagai cara untuk meraih kekuasaan. Ada adagium: human is an animal rational atau manusia adalah hewan yang berpikir. Berdasarkan tabiat itu maka kepada negaralah manusia mempraktikkan ‘watak’ politik tersebut.
47
Susanto Handoko – Dinamika Demokrasi dan HAM Indonesia
Kontelasi politik di era modern berakar pada kekuatan kultur Barat, yang tak jarang menafiqkan kultur (kearifan) lokal yang di dalamnya terkandung berbagai akar nilai budaya adiluhung. Akibatnya seluruh kontestasi berujung pada hitungan angka pemilih yang amat sering berangkat dari pencitraan (Kompas, 16 Januari 2013).Sehingga tak heran ruang publik dijejali berbagai pencitraan politik kaum elite yang memberangus suara kritis publik. Rekam jejak ‘sang aktor’ dipoles dan dipermak dalam tampilan baru sebagai tokoh yang suci, bersih, dicintai rakyat, piawai dalam bernegara, peduli pada rakyat kecil dan populis. Dampaknya adalah berbagai kontestasi sering kali diwarnai black campain yang berakar dari naluri buas manusia – manusia adalah serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Konstitusionalisme sebagai bagian inti dari demokrasi konstitusional senantiasa menyertai dinamika sejarah Indonesia modern.Dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, konstitusionalisme menjadi unsur penting sejak ide dan konsep Indonesia merdeka mulai dirumuskan oleh para founding fathers. Debat panjang, alot dan sengit dalam sidang-sidang BPUPKI ketika merumuskan UUD1945, membuktikan para founding fathers memancang itikad menjunjung konstitusionalisme. Konstitusionalisme juga menjadi bagian penting dalam proses demokratisasi Indonesia Era Reformasi, yang diwujudkan melalui empat kali amandemen UUD 1945 (Kaelan, 2003; Marsudi, 2006) Proses transformasi politik yang diawali dengan runtuhnya rezim otoritarian menuju tatanan politik yang demokratis merupakan suatu perubahan yang sangat mendasar bagi bangsa Indonesia. Demokrasi dimaksudkan sebagai upaya membangun struktur dan sistem serta pengelolaan kekuasaan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat (Koirudin, 2004: v-vi). Yang terpenting adalah perilaku budaya demokrasi yang menghargai perbedaan, mengembangkan toleransi, bersikap akuntabel, dapat menerima kekalahan, dan tidak berlaku sewenang-wenang bagi yang memperoleh kemenangan dalam kompetisi. Dan hal ini membutuhkan proses waktu yang panjang, ketekunan, kesabaran, dan kerja keras untuk mewujudkan suatu nation state yang utuh, kuat dan demokratis. Sementara itu, Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai gagasan, paradigma, serta kerangka konseptual tidak lahir secara tiba-tiba
sebagaimana kita lihat dalam “Universal Declaration of Human Right” 10 Desember 1948. Namun, melalui proses yang panjang dalam sejarah peradaban manusia. Dari perspektif historis deklarasi yang ditandatangani oleh Majelis Umum PBB dihayati sebagai suatu pengakuan yuridis formal dan merupakan ‘titik kulminasi’ perjuangan sebagian besar umat manusia di belahan dunia, khususnya yang tergabung dalam PBB. Upaya konseptualisasi HAM, baik di Barat maupun di Timur, meskipun upaya tersebut masih bersifat lokal, parsial, dan sporadikal (Kaelan, 2007: 99; Kansil & Christine, 2005: 19; Mansyur, 2007: 33). Pada Sidang Majelis Umum PBB tanggal 10 Desember 1948, PBB mendeklarasikan pernyataan umum HAM melalui Universal Declaration Independent of Human Right.Deklarasi HAM ini berisi 30 pasal.Semua pasal tersebut menegaskan pada semua bangsa bahwa setiap manusia dilahirkan itu memiliki hak fundamental yang tidak dapat dirampas dan dicabut oleh manusia lainnya.Makna HAM yang dinyatakan di dalam deklarasi tersebut mengakui manusia sebagai pribadi (individu).Hak asasi tersebut diantaranya hak hidup, kemerdekaan, pekerjaan yang layak, jaminan sosial, dan pendidikan. Menurut Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM, HAM (human right) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Samawi, 2007; Kansil & Christine, 2005: 30). Dibandingkan dengan Universal Declaration Independent of Human Right PBB maka isi UU RI No.39/1999 sebetulnya lebih lengkap dan terperinci mengatur tentang HAM.Hal ini dapat dilihat dari jumlah pasal dalam UU tersebut yang terdiri atas 106 pasal. Dinamika HAM di Era Reformasi ditandai oleh Gerakan Reformasi 1998 yang telah mengadopsi sebagian besar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Nilai hak asasi manusia telah diakomodasi oleh konstitusi negara Indonesia.Kebebasan berpendapat, kebebasan berorganisasi, dan kebebasan berekspresi betulbetul sedang menikmati bulan madu.Ajaran HAM di Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 memiliki nilai-nilai kuat dalam 48
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol. 11, No. 1, April 2013
Pembukaan UUD 1945.Nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan ke dalam pasal-pasal, terutama pasal 28 A-J tentang HAM.Ketentuan pasal tersebut kemudian dilaksanakan dalam beberapa UU.Dalam memaknai dan mengimplementasikan HAM perlu memperhatikan Kewajiban Asasi Manusia (KAM).Karena dalam HAM melekat KAM.Dengan demikian kita secara proporsional dapat mengapresiasi dan mengimplementasikan HAM dan KAM. METODOLOGI Kajian Dinamika Demokrasi dan HAM di Indonesia Era Reformasi diawali dengan penelitian yang menggunakan metode sejarah. Adapun metode Penelitian sejarah terdiri dari empat tahap yaitu: (1) Tahap Pengumpulan data atau heuristik. Tahap ini merupakan tahapan atau proses dalam mengumpulkan atau menemukan sumber-sumber sejarah. Adapun cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data adalah studi pustaka dengan jalan mempelajari (menelaah) berbagai tulisan berupa buku, dan artikel koran yang relevan dengan tema kajian. Koran Harian Kompas Edisi tahun 2008 – 2013 penulis jadikan rujukan utama dalam kajian ini dengan pertimbangan banyak pakar bidang politik dan HAM tingkat nasional dan internasional yang menjadi kontributor dan ketersediaan koleksi koran tersebut pada penulis. (2) Tahap penilaian data atau kritik. Tahap ini merupakan tahapan menyeleksi sumber sejarah untuk menentukan kredibilitas dengan jalan kritik intern dan otensitasnya dengan jalan kritik ekstern. (3) Tahap penafsiran data atau interpretasi. (4) Tahap penulisan atau historiografi. Tahap keempat ini merupakan tahapan mensintesakan fakta-fakta untuk ditampilkan dalam cerita yang utuh dalam bentuk tulisan/karya sejarah yang kritis analitis dan bersifat ilmiah (Garraghan, 1957: 33; Suhartono, 2010: 9-56); Renier,1997: 113127). Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam kajian ini adalah pendekatan historis dan politik (ilmu sosial).Politik dan HAM menjadi paradigma dan wacana utama dinamika kehidupan bangsa Indonesia Era Reformasi 1998-2013. Pendekatan sejarah yang diakronisakan meneropong proses perkembangan demokrasi dan HAM Era Reformasi, sedangkan pendekatan ilmu sosial (politik) yang sinkronis akan menekankan struktur (Kuntowijoyo, 1995: 107). Sejarah Baru yang memang lahir dari adanya
perkembangan ilmu-ilmu sosial menjadi bukti pengaruh ilmu-ilmu sosial pada sejarah.Oleh karena itu, selain pendekatan politik dalam kajian ini konsep politik juga penulis jadikan landasan berpijak untuk menganalisis kehidupan demokrasi dan HAM Era Reformasi.Dalam ilmu politik beragam istilah seperti organisasi, sistem politik, political culture, demokrasi, konstitusi, birokrasi, kharisma, kepemimpinan, korupsi, dan lainnya – penulis gunakan sebagai kerangka acuan analisis. PEMBAHASAN Demokrasi dan Tantangan Hidup Berbangsa Panorama iklim demokratisasi di Indonesia akhir-akhir ini menampakkan watak anomali, ditunjukkan oleh sikap, perilaku, dan tindakan para elite politik yang kian kehilangan arah dan tujuan. Alih-alih menjadi agen pembangun karakter, pengayaan makna dan sublimasi kultur demokrasi, para elite politik justru menjadi parasit demokrasi, yang memangsa nilai-nilai kultur demokrasi dari dalam, melalui perilaku ironik mereka di dalam ruang virtualitas media. Menurut Yasraf Amir Piliang, pemikir Forum Studi Kebudayaan ITB Bandung, bahwa mesin demokrasi yang mestiya dibangun oleh kekuatan pikiran, pengetahuan, dan intelektualitas, kini dikuasai oleh mesin-mesin citra, tontonan, dan teater politik di atas panggung “masyarakat tontonan politik” (society of political spectacle) yang menyuguh-kan aneka artifisialitas, banalitas, dan distorsi politik. Mesin komunikasi politik yang diharapkan dapat mendiseminasi ide, pengetahuan, dan gagasan cerdas politik kini menjadi ajang retorika, parodi, danseduksi virtual politik(Kompas, 15 Februari 2010). Akibatnya, masih menurut Yasraf Amir Piliang bahwa proses demokratisasi tak mampu membangun arsitektur masyarakat politik yang cerdas, etis, dan estetis karena pendidikan warga (civic education) kini telah diambil alih oleh “penghiburan warga” (civic entertainment). Elite politik yang mestinya menjadi pelopor pencerahan dan pencerdasan warga justru terperangkap di dalam skema banalitas, artifisialitas, dan virtualitas media (elektronik) yang menyerahkan dirinya pada logika komersialitas, popularitas, dan selebriti media(Ibid).
49
Oleh karena itu, nuansa kehidupan demok- kentalnya, hal yang sama dapat dirasakan dalam rasi Indonesia di Era Reformasi ditandai olehSusanto dinamika internal parpol, khususnya Handokopolitik – Dinamika Demokrasi dan HAM Indonesia beragam paradoksal yang membuat bangsa dalam penentuan calon partai dalam pilkada Indonesia ‘bernafas’ dan ‘bergelut’ dengan atau pemilu. kompleksitas masalah. Dalam arti yang paling Kasus-kasus politik uang yang melibatkan radikal, demokrasi adalah bentuk tata sosial hampir semua parpol di parlemen, baik yang politik yang menjadikan pihak yang diperintah mengarah ke korupsi maupun pelanggaran (rakyat) sebagai pemerintah.Radikalitas de- aturan dana politik (kampanye). Hal ini akan mokrasi persis terletak di dalam inti argumen senantiasa mengemuka dan memperburuk yang sekilas bersifat paradoksal itu.Bahasan wajah perpolitikan nasional di tengah dinamika berikut penulis paparkan paradoksal demokrasi persaingan dan pergantian politik yang cepat di di Indonesia. setiap tingkatan dewasa ini (Kompas, 14 Mei 2008). Apalagi menjelang Pemilu 2014yang akan datang intensitasnya akan makin tinggi Paradoks-Paradoks Demokrasi dan panas. Demokrasi Permukaan dan Demokrasi Visual Political buying tidak bisa dielakkan karena Menurut Jeff Haynes demokrasi permukaan sistem politik mendukung hal itu.Mahalnya adalah model demokrasi di negara-negara biaya politik selalu dituding sebagai salah satu berkembang di mana demokrasi masih berkutat pada pembentukan pranata formal, penyediaan penyebab utama maraknya praktik korupsi di prosedur elektoral, dan belum menyentuh ranah parlemen. Untuk kampaye Pemilu Legislatif pembangunan kesadaran (Kompas, 21 Januari 2014, setiap calon utama atau yang di2009). Hal ini terkait masyarakat sipil yang perkirakan lolos ke Senayan (DPR Pusat) lemah dan absennya kepemimpinan politik membutuhkan dana sekitar Rp 2 miliar yang berinisiatif menciptakan kontingensi bagi (Kompas, 17 Desember 2012). Bertolak dari kondisi riil ini maka ‘arisan korupsi’ akan lahirnya gerakan sipil kearah demokratisasi. Untuk konteks Indonesia, menurut Bony makin merajalela. Bahkan seorang tokoh politik Hargens, akademisi FISIP UI Jakarta, ada dua mengatakan, korupsi menjadi watak politik fakta yang menonjol: (1) demokrasi masih Indonesia.Dengan demikian, terbongkarnya dipermukaan; (2) masyarakat belum cukup praktik korupsi di lingkungan politisi atau hanya masalah nasib dan matang untuk menentukan pilihan rasional parpol tanpa pengaruh dominatif dari struktur domi- waktu.Terbongkarnya korupsi itu arisan, arisan nan, seperti oligarki partai politik, birokrasi, nasib.Oleh karena arisan, tidak ada yang tahu kapan dapatnya (Kompas, 4 Februari 2013a). institusi tentara, dan penguasa kapital (Ibid). Jika dibandingkan pola korupsi antara Orba Demokrasi permukaan seperti yang terjadi di dengan kini, dulu (Orba) korupsi dilakukan Indonesia pada Era Reformasi, diperparah oleh karena ada kesempatan (peluang), tetapi kini penekanan berlebihan pada tampilan sehingga demokrasi kita sebenarnya adalah demokrasi korupsi by design, sudah diniatkan dan sejak awal ketika menyusun visual.Demokrasi ini lebih mengutamakan dirancang kebijakan dan anggaran. Anggaran itu sengaja aspek tampak atau tampilan.Dalam politik, dibuat besar untuk bisa dikorupsi, tetapi apa aspek visual tentu penting, tetapi penampilan kontribusinya bagi masyarakat luas? Masyarasekadar bungkusan atau topeng.Paling kat hanya sekadar melihat permaian ‘bancakan’ mendasar adalah substansi, yaitu kinerja in actu, keberpihakan pada rakyat, dan komitmen anggaran para elite penguasa/politik yang rakus konkret terhadap prinsippemerintahan dan korup.Hati nurani telah luntur dan punah – homo homini lupus menyeruak dalam segala demokratik (Ibid). sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan berbegara. Demokrasi Uang Selain menjamurnya demokrasi visual, kekuatan uang dalam perpolitikan nasional Era Reformasi semakin menunjukkan pengaruh yang masif. Pengaruh itu dapat kita saksikan dalam bekerjanya fungsi-fungsi parlemen dalam hubungannya dengan pemerintah, institusi negara, dan sektor swasta. Dan tidak kalah
Narsisme Demokrasi Selain karena maraknya demokrasi visual dan demokrasi uang yang menggerogoti tubuh bangsa Indonesia sekitar satu setengah dasawarsa.Demokrasi kita kini menjadi demokrasi narsisistik (narcissistic democracy), yang di dalamnya para elite politik (wakil rakyat) 50
JURNAL ILMU SOSIAL, penampilan Vol. 11, No. 1, dan Aprilcitra 2013 diri disibukkan mengatur di depan kamera TV ketimbang mengasah pisau analisa (nalar) memikirkan rakyat (misalnya pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan rakyat).Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi khususnya media cetak, elektronik, dan digital membuat perilaku elite politik menyaingi bahkan melebihi para selebritis (artis).Dan menariknya di Indonesia banyak artis yang akhirnya tergiur masuk ke ranah politik praktis menjadi pejabat eksekutif dan legislatif baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun pusat. Para selebritis itu memang telah memiliki modal sosial yang cukup kuat (popularitas) dan kapital yang besar, sehingga tidak membutuhkan ‘polesan’ yang banyak/tebal untuk menarik dukungan massa dalam pilkada/pemilu. Apalagi menjelang masa kampanye Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Tahun 2014 yang akan datang, nuansa pencitraan dinilai paling mendominasi tampilan iklan politik di media massa. Sehingga, pengenalan visi, misi, dan program cenderung tertanggalkan di tengah kekhawatiran tumpang tindih kepentingan dengan politisi pemilik media (Kompas, 28 Januari 2013).
Parasit Demokrasi Di Era Reformasi ini teridentifikasi ada tiga kelompok parasit yaitu: parpol, politisi korup, dan penegak hukum yang curang (Kompas, 8 Desember 2009). Parpol di Indonesia absen dan lalai dalam melakukan fungsi dan tugas pendidikan politik, sosialisasi politik, serta agregasi dan artikulasi kepentingan. Parpol seolah berperan hanya sebagai petarung (fighter) dalam pemilu, merekrut calon pejabat eksekutif dan legislatif, dan merebut suara rakyat, itulah sebabnya sistem kepartaian di Indonesia lemah dan keropos. Kerapuhan parpol di Era Reformasi telah berdampak munculnya politisi korup di berbagai lembaga negara Indonesia.Politisi tipe ini tak bisa diharapkan sebagai wakil rakyat karena orientasi politiknya bersifat parsial dan prakmatis.Mereka inilah benalu (parasit) demokrasi kita.Hidup dari demokrasi, tetapi tidak bekerja, bahkan membunuh demokrasi.Politisi tipe ini memperlihatkan perilaku berpolitik yang compang-camping, baik dari sisi visi, kinerja, dan etis.Kita seperti di-ingatkan oleh Montesquieu, “Suatu negeri akan karamdan tenggelam jika kekuasaan legislatif lebih korup ketimbang
eksektutif.”Keper-cayaan publik terjun bebas ke titik terendah.Padahal politisi di parlemen adalah elemen mendasar dalam demokrasi.Lebih parah lagi jika kemerosotan mutu demokrasi juga diakibatkan ulah penegak hukum yang curang.Mereka bekerja dalam sistem hukum untuk menghukum orang yang tidak menguntungkan dari aspek ekonomi, kekuasaan, dan me-melihara mereka yang memberi keuntungan ekonomi dan politik.Sebenarnya, mereka bukan parasit langsung demokrasi.Melainkan mereka adalah penumpang gelap dari kelompok parasit. Demokrasi ala Dikte Pasar Salah satu bentuk kekecewaan terhadap demokrasi adalah tidak mampu mengurangi ketidakadilan dan tidak mendorong partumbuhan ekonomi.Demokrasi sebenarnya menuntut mediasi dan diskusi.Untuk tujuan ini ruang publik menjadi syarat mutlak. Namun, ketika ruang publik masih ditentukan oleh jasa dan kepemilikan kapital, ia diskriminatif dan tidak berbeda dengan pasar (H. Arend, 1952, dalam Kompas, 23 April 2008). Lalu, politik bekerja mengikuti model pasar dan politik pencitraan. Politik masuk ke teknik merayu, seperti iklan yang digunakan untuk memasarkan tokoh, dan gagasan politik. Hanya masalahnya, supermarket dan mal memang benar-benar melayani kebutuhan konsumen meski menindas pekerja (R. Sennett, 2006, dalam Kompas, 23 April 2008). Aka tetapi, warga negara bukan sekadar konsumen yang tidak puas, warga negara adalah konsumen politik yang dihadapkan pada tekanan untuk membeli atau memilih.Keputusan memilih produk tergantung dari pencitraan dan pemasarannya.Versi politik model supermarket menekan demokrasi lokal, tetapi memungkinkan fantasi individu seperti iklan.Memang dinamika megastore ini menurunkan bobot isi dan substansi politik, tatapi merangsang imajinasi perubahan. Menurut Haryatmoko, akademisi UI Jakarta, bahwa ‘perubahan’ saat ini menjadi mantra politik (Kompas, 23 April 2008). Berubah dan bergerak menjadi indikator institusi yang dinamis.Institusi menarik bila menunjukkan tanda-tanda perubahan.Perubahan harus dibedakan dengan konflik internal parpol yang menunjukkan kemapanan kekuasaan. Sementara itu, stabilitas adalah tanda kelemahan, sedangkan destabilisasi tanda baik.Citra diri yang ideal ialah rela pergi, 51
menyerahkan kepemilikan atau jabatan. Maka,Susanto memiliki Handokopendukung – Dinamika Demokrasi loyal/fanatik. dan HAMSungguh Indonesia parpol yang menunjukkan mobilitas pimpinan- ironi ‘demokrasi rental mobil’ memerlukan nya akan mendapat banyak simpati. Ideal ini durasi proses yang panjang, melelahkan, dan menjadi keharusan praktis bagi eksekutif yang cost relatif mahal. mencoba menghadapi tekanan konstituen yang tidak sabar, seperti tekanan kapital yang tidak KRISIS DEMOKRASI sabar.Maka, harus selalu merekayasa diri, selalu Jika kita mau belajar dari sejarah Indonesia memenuhi dan menggoyang pasar.Mobilitas modern, sejak 1952, Presiden Soekarno telah dan kerelaan pimpinan untuk meninggalkan mengingatkan bangsa Indonesia tentang lima jabatan menunjukkan sistem yang berfungsi, macam krisis yang bisa mematikan. Lima bukan kekalahan.Contoh faktual untuk kasus ini macam krisis itu adalah: (1) krisis politik, yang adalah mundurnya Luthfi Hasan Ishaaq dari membuat banyak orang tidak percaya lagi jabatan Presiden PKS (31 Januari kepada demokrasi (krisis demokrasi); (2) krisis 2013).Pengunduran diri itu di-sampaikan alat-alat kekuasaan negara; (3) krisis cara tersangka dugaan suap terkait rekomendasi berpikir dan cara meninjau; (4) krisis moral; (5) kuota impor daging sapi di Kementerian krisis kewibawaan (Kompas, 16 April 2008). Pertanian di teras Gedung KPK Jakarta.Alasan Kelima macam krisis tersebut seakan Lutfi ingin berkonsentrasi menghadapi kasus berdaur ulang menggerogoti bangsa Indonesia hukum yang membelitnya, dan PKS tetap dari Era Orde Lama, Orde Baru hingga Era berjalan sebagaimana mestinya (Kompas, 1 Reformasi.Sehingga kepercayaan rakyat Februari 2013). terhadap aparatur negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) luntur dan berada pada titik nadir.Demokrasi yang diagung-agungkan Demokrasi Rental Mobil Jika benar sinyalemen selama ini bahwa selama ini malah sebaliknya membuat bangsa proses korporatisasi parpol telah dan sedang Indonesia ‘tercoreng’ oleh demokrasi itu terjadi, tentunya akan sangat menarik untuk sendiri.Krisis demokrasi di negeri ini salah mencermati bisnis model apa yang selama ini satunya merupakan bentuk dari ketidakjadi acuan sebagian parpol. Mengacu pada dewasaan para elite politik dalam ‘memberbagai pemilihan kepala daerah, tampaknya perebutkan’ kekuasaan. Segala macam cara model bisnis sebagian parpol di Indonesia dilakukan oleh elite politik untuk mendapatkan, mendekati‘model bisnis rental mobil’ (Kompas, mendayagunakan, dan melestarikan (memper4 Februari 2013b).Siapa pun bisa tahankan) kekuasaan sehingga terjadi abuse of menyewamobil untuk dikendarai menuju tujuan power. Sekali lagi, rakyat menjadi korban tertentu asalkan membayar uang sewa yang ‘permaian’ tidak fair dari para elite politik. besarnya tergantung dari jenis mobil.Kalau satu Entah sampai kapan hal ini (game) berlangsung mobil dirasa tak mencukupi, penyewa bisa di negeri Indonesia. melakukan koalisi dengan menyewa beberapa Menurut advokat senior Adnan Buyung mobil sekaligus. Nasution, bahwa demokrasi tidak melulu terkait Selanjutnya, pasca mendapatkan mobil, prosedur.Demokrasi harus memiliki substansi, penyewa harus mencari sopir dan kernet, yaitu prinsip-prinsip pokok yang harus mengisi BBM, lantas membeli GPS atau ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan menyewa pemandu (tour guide). Dalam bernegara.Oleh karena itu, demokrasi harus konteks pemilihan kepala daerah, menurut berdasarkan prinsip konstitusionalisme yang Wijayanto Samirin akademisi dari Universitas bertujuan membatasi kesewenang-wenangan Paramadina Jakarta, cabub/cagub harus mem- kekuasaan, termasuk mencegah adanya tirani bentuk tim sukses termasuk membiayai dari kelompok mayoritas (tyranny of the keperluan logistik mereka serta menyewa majority) (Kompas, 9 Oktober 2008). konsultan politik untuk melakukan survei dan menyusun strategi pemenangan – karena Konsolidasi Demokrasi umumnya parpol tidak menyediakannya (Ibid). Beragam paradoks demokrasi yang telah Agenda berikutnya cabub/cagub harus berjuang penulis paparkan tersebut, maka demokrasi di door to door, mengumpulkan massa dan Indonesia harus dibenahi, ditata kembali, dan memasang iklan diberbagai media massa dikembalikan pada roh demokrasi itu (cetak/elektronik/digital) untuk meraih duku- sendiri.Dalam hal ini langkah yang pertama dan ngan pemilih – karena umumnya parpol tidak utama adalah komitmen konsolidasi demokrasi 52
JURNAL ILMU SOSIAL, 11, No. para 1, April 2013 semua elemen bangsaVol. terutama pemangku
kepentingan (stake holders). Keberhasilan tiga kali penyelenggaraan pemilu Era Reformasi (1999, 2004, dan 2009), menjadikan bangsa Indonesia berhasil melalui fase kritis/krisis.Arus balik atau stagnasi transisi demokratisasi tidak terjadi.Pengalaman sejarah gelombang demokratisasi di dunia menunjukkan kriteria kesuksesan dalam meniti jalan transisi demokrasi adalah tes dua/tiga kali penyerahan kekuasaan (Huntington, 1991, dalam Kompas, 13 Mei 2009; penulis).Menurut Huntington, fase transisi untuk konsolidasi demokrasi adalah terjadinya rotasi kekuasaan secara damai dari penguasa pemenang pemilu pertama kepada pemenang pemilu kedua dan seterusnya. Apabila tes itu gagal dilalui, otoritarianisme akan kembali menerpa bangsa Indonesia. Konsolidasi demokrasi menurut Diamond (2003, dalam Kompas, 13 Mei 2009) dapat dimaknai sebagai pembiasaan norma-norma, prosedur-prosedur, dan harapan-harapan tentang demokrasi ke dalam perilaku aktor-aktor politik.Para aktor politik secara rutin dan mekanis menyesuaikan diri dengan aturan demokrasi sebagai the only game in town, bahkan ketika mereka berkonflik dan bersaing. Jadi, konsolidasi demokrasi secara singkat adalah kesesuaian antara norma dan perilaku aktor-aktor politik mengenai prinsip-prinsip demokrasi. Sehingga konsolidasi demokrasi tak hanya mencakup dimensi liberalisasi politik dan kontestasi elektoral (Kompas, 27 Desember 2012).Jika hanya dua aspek ini sebagai barometer konsolidasi demokrasi, tak ada keraguan mengatakan demokrasi Indonesia telah terkonsolidasi.Sebab, sejauh ini masih ada ruang kebebasan politik dan ritual pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara periodik.Praktik demokrasi di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru didominasi gegap gempita dua dimensi ini. Keseriusan berkonstitusi adalah esensial bagi demokrasi baru seperti Indonesia.Studi tentang demokratisasi menggarisbawahi pentingnya konstutisionalisme dalam setiap fase demokratisasi.Mulai dari fase transisi, fase instalasi, hingga fase konsolidasi demokrasi.Konstitusionalisme adalah batu uji kualitas demokratisasi (Ibid). Menurut Juan J. Linz, Alfred Stepan, dan Richard Gunther (1995, dalam Kompas, Ibid), menekankan pentingnya konstutisionalisme
dalam berdemokrasi.Sementara itu, Larry Diamond (1999, dalam Kompas,Ibid), meyakini bahwa salah satu indikator kon-solidasi demokrasi adalah ketika semua komponen dalam negara setuju mematuhi konstitusi.Dimensi konstitusional merupakan salah satu prasyarat penting mewujudkan demokrasi terkonsolidasi. Praktik demokrasi di Indonesia Era Reformasi, negara dan masyarakat sama-sama mengidap problem berdemokrasi konstitusional. Menurut Munafrizal Manan, akademisi dari Fisip Universitas Al-Azhar Indonesia, gurita korupsi di kalangan elite hingga intoleransi terhadap kaum minoritas adalah contoh bahwa konstitusionalismebelum memiliki roh dalam praktik kenegaraan dan kebangsaan kita sehari-hari. Negara dan masyarakat masih berjarak dengan demokrasi konstitusional. Hal ini merintangi laju demokrasi menuju konsolidasi demokrasi, dan menjadi PR segenap warga negara. KUALITAS DEMOKRASI INDONESIA Selain konsolidasi demokrasi, aspek berikut yang juga penting diperhatikan adalah takaran demokrasi.Upaya mengukur seberapa tinggi kini kualitas demokrasi di Indonesia kerap menyedot perhatian banyak kalangan, baik di dalam maupun luar negeri.Beragam konsep, metode, waktu, ataupun analisis dimunculkan.Hasilnya pun beragam, yang memungkinkan diinterpretasikan berbeda.Pada tahun 2012, setidaknya ada dua indeks demokrasi sudah terpublikasikan.Bappenas, BPS, dan UNDP pada pertengahan Oktober memaparkan nilai IDI sebesar 63,17 dari skor tertinggi 100. Indeks ini dibangun dari 28 indikatordan 11 variabel yang dikelompokkan dalam aspek kebebasan sipil, hak-hak politik, dan kelem-bagaan demokrasi (Kompas, 31 Desem-ber 2012a). Dengan nilai tersebut, kinerja demok-rasi di Indonesia tahun 2010 disimpulkan ‘belum memuaskan’. Bahkan, dibandingkan tahun 2009 indeks sebesar 67,30, berarti terjadi penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Sebaliknya, Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (Demos) serta Puskapol UI Jakarta dalam lingkup konsorsium Indeks Demokrasi Asia mencatat tahun 2012 indeks demokrasi Indonesia sebesar 5,27 dari skor tertinggi 10. Indeks demokrasi ini dibangun dari pengukuran aspek liberalisasi dan ekualisasi. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan nilai indeks 53
4,99, hasilnya mengindikasikan terjadi pening-Susanto (dalam Handoko kondisi – Dinamikapenarikan Demokrasi dansampel HAM Indonesia acak katan kualitas demokrasi sederhana). Semakin panjang lagi daftar indeks Meskipun demikian, kesalahan di luar demokrasi berikut perbedaan hasilnya jika pemilihan sampel dimungkinkan terjadi.Dalam ditambahkan dengan produk lembaga lain. mengukur kualitas demokrasi ada tiga dimensi Hasil pengukuran FreedomHouse, misalnya, penilaian yang dilakukan, yaitu dimensi lembaga internasional yang secara rutin sejak kebebasan sipil (civil liberty), Hak-hak Politik tahun 1972 memeringkat demokrasi atau (political rights), dan evaluasi kehidupan kualitas kebebasan di 87 negara, menyatakan, institusi/kelembagaan Demokrasi (institutions pada tahun 2012, indeks Indonesia sebesar 2,5 of democracy). Selanjutnya, dari ketiga dimensi dari skala tertinggi 1 dan terendah. Artinya, penilaian tersebut diturunkan dalam 13 Indonesia dari sisi keterbukaan politik, indikator persepsi publik seperti terlihat pada kebebasan sipil, independensi kehidupan table 3.Beragam konsep, metode, waktu, masyarakat dan media tergolong ‘bebas’, tidak ataupun institusi penyelenggara yang berbeda banyak berbeda dengan India, Korea Selatan, memang memungkinkan hasil ataupun penafatau bahkan Amerika Serikat. Dibandingkan siran hasil yang berbeda. Rentang keterbatasan tahun sebelumnya, angka indeks tidak berubah, setiap indeks pun berbeda-beda. Inilah rimba yang menyimpulkan tidak terjadi penurunan pengukuran demokrasi yang dalam pandangan ataupun peningkatan kualita kebebsan di pesimistis memungkinkan menyesatkan siapa Indonesia. pun yang terjebak.Atau sebaliknya, meDalam bahasan ini menarik untuk dicermati mungkinkan pula memberikan peluang untuk hasil survei wawancara tatap muka langsung memilih dan memanfaatkannya sesuai dengan Litbang Kompas tanggal 26 November – 11 kepentingan.Akan tetapi, dalam pandangan Desember 2012 terhadap 1.404 responden usia yang lebih optimistis, keragaman pengukuran minimal 17 tahun yang dipilih secara acak semacam ini juga berarti suatu bertingkat di 33 provinsi di Indonesia. Meng- kekayaan.Kekayaan untuk memahami gunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan kelebihan dan kekurangannya.Oleh karena, 95%, “margin of error” penelitian sekitar 2,6% dalam keragaman atau kemajemukan, kilau demokrasi hadir. Tabel 1. Tabel Kualitas Demokrasi di Indonesia Survei Litbang Kompas 26 November – 11 Desember 2012 No 1
Dimensi Kebebasan Sipil (civil liberty)
2
Hak-hak Politik (political rights)
3
Kelembagaan Demokrasi (institutions of democracy)
Persepsi Skor Kebebasan dari Tindakan diskriminatif 7,7 Kebebasan dalam berserikat 7,9 Kebebasan dalam menjalankan keyakinan 7,8 Kebebasan dalam berpendapat 7,6 Keterlibatan dalam kebijakan publik 4,2 Praktik menjalankan hak politik (memilih) 8,4 Jaminan keberadaan hak politik 8,7 Praktik keadilan hukum 4,5 Transparansi layanan publik 4,9 Pendidikan politik masyarakat 4,5 Penciptaan pemimpin/kader 4,8 Pengawasan jalannya pemerintahan 5,1 Penyerapan aspirasi masyarakat 4,7 Sumber: Diolah dari Kompas, 31 Desember 2012
Membangun Kultur Demokrasi Indonesia Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang secara historis bersifat majemuk. Beragam suku, ras, adat-istiadat, dan agama hidup serta berkembang bersama membentuk suatu realitas kolektif yang disebut “Indonesia”. Pada era
Ket. 0 skor terendah, 10 skor tertinggi
globalisasi informasi dan komunikasi seperti saat ini, kemajemukan berkembang sangat cepat. Di satu sisi, kemajemukan sosial itu dapat menjadi sumber kekayaan budaya yang tiada tara. Namun, di sisi lain dapat berpotensi 54
JURNAL SOSIAL,sekaligus Vol. 11, No.menjadi 1, April 2013 sebagai ILMU penghancur sumber
perpecahan dan konflik (Hardiman, 2009). Di dalam paradoks itu muncul berbagai gerakan kultural-religius yang ingin menghapus semua bentuk kemajemukan pandangan hidup atas nama kelompok ajaran tertentu. Segala masalah seolah bisa diselesaikan dengan diterapkannya ajaran tersebut.Pandanganpandangan yang berbedadari ajaran itu dianggap sebagai noda yang harus dimusnahkan (Ibid; Kompas, 5 November 2009). Dunia kehidupan (lebenswelt) telah dijajah oleh paradigma berpikir sistem ekonomi.Solidaritas dan spontanitas yang mendasari komunikasi antar manusia secara perlahan hancur. Hal ini adalah akibat berkembangnya cara berpikir yang mengedepankan kontrol, efektivitas, dan efisiensi. Berhadapan dengan situasi seperti itu, maka model teori diskursus negara hukum demokratis (Hardiman, 2009). Dalam hal ini semua bentuk kebijakan publik haruslah dibuat dalam proses komunikasi yang terbuka, bebas paksaan, dan egaliter dari semua pihak. Terutama pihak-pihak yang terkait dengan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, diskursus publik merupakan salah satu bentuk komunikasi dalam proses penentuan kebijakan publik. Dalam diskursus setiap orang dianggap sebagai subyek bebas yang berdiri setara dan memiliki keinginan untuk mencapai kesepakatan bersama. Subyek bebas ini juga harus menjauhkan diri dari semua bentuk sikap yang tidak adil untuk mencapai kesepakatan bersama yang bebas dan rasional (Kompas, 5 November 2009 ). Diskursus tersebut dilindungi oleh hukum yang dianggap sebagai kunci penjaga kesatuan di dalam masyarakat majemuk. Hukum itu sendiri hanya dapat dianggap sahih apabila sudah merupakan hasil dari proses diskursus yang egaliter, bebas paksaan, dan open endeed (terbuka). Nantinya, hukum yang sahih itu pula dapat memastikan terjadinya diskursus yang sehat.Sekaligus untuk melindungi orang-orang yang terlibat di dalamnya.Hal ini berarti hukum selalu terkait dengan moral sebagai prinsip keadilan yang tidak memihak (Kompas, 5 November 2009). Pemahaman diskursus ruang publik di sini, terdiri dari para ahli, penguasa, dan rakyat sebagai pihak yang berdaulat.Sehingga implementasi atau praktik demokrasi tidak hanya saat pemilu saja, melainkan justru di antara pemilu – saat dimana warga negara
membicangkan persoalannya dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.Diskusi publik ini dengan segala ‘tarik ulur’ dan perbedaan persepsi – akhirnya terjadi musyawarah mufakat (konsensus) untuk kepentingan bersama, menjadi esensi dari demokrasi radikal.Sila keempat Pancasila menjadi dasar demokrasi yang berlandaskan pada permufakatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.Di sinilah pentingnya pendidikan kewarganegaraan agar rakyat memiliki literasi (sadar) terhadap hak dan kewajibannya – dan secara cerdas menggunakan hak dan kewajiban tersebut dalam kemajemukan bangsa Indonesia. Formasi demokrasi radikal adalah formasi pendidikan warga negara untuk membentuk masyarakat majemuk yang didasarkan pada rasionalitas bukan atas dasar mitos belaka. Demokrasi tidak pernah cukup pada dirinya.Demokrasi memerlukan etika publik (warga) dalam bentuk virtue.Oleh karena itu, demokrasi perlu dilengkapi program etis terencana, seperti pendidikan moral, pendidikan karakter, pen-didikan kewargaan, pendidikan toleransi, dan lainnya. Pada bagian berikut penulis akan memaparkan kondisi dan tantangan HAM di Indonesia di Era Reformasi. Antara demokrasi dan HAM memiliki keterkaitan yang erat.Keduanya ibarat dua sisi mata uang logam.Pemahaman demokrasi dan HAM penting agar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita sesuai dengan koridor huma-nisme. DINAMIKA HAM DI ERA REFORMASI Pada Era Reformasi pertumbuhan gerakan HAM di Indonesia sangat pesat.Berbagai lembaga yang memperjuangkan HAM tersebut dapat dilihat dari adanya lembaga-lembaga Non Gouverment Organization (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).Berbagai NGO/LSM muncul dengan berbagai bidang kegiatan, misalnya menangani pendidikan anak jalanan, kekerasan anak dalam rumah tangga atau sekolah, tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, demokratisasi, bantuan hukum dan lainnya.Banyak LSM yang memang berbuat banyak dalam memperjuangkan HAM untuk me-majukan nilai kemanusiaan, tetapi disinyalir tidak sedikit pula yang melakukan tanpa memperhatikan kepentingan nasional.
55
Berbagai tekanan baik dari dalam maupun kehidupan dewasa kelak sehingga mampu luar negeri membuat pemerintah RI merespon mengapresiasi HAM. tuntutan terhadap HAM.Melalui peraturanSusanto Handoko – Dinamika Demokrasi dan HAM Indonesia perundang-undangan dan lembaga tentang HAM kemudian dibentuk.Tahun 1993 di- KEINDONESIAAN SAAT INI bentuk Komnas HAM.UUD 1945 di-amandemen dengan memasukkan bagian HAM ke Kondisi bangsa belakangan ini timbul dalam pasal 28 ayat A-J, Ketetapan MPR RI berbagai ancaman dan tantangan terkait Nomor XVII Tahun 1998 Tentang HAM, dan fundamentalisme agama. Pengacara senior Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Adnan Buyung Nasution (Kompas, 9 Oktober Tentang HAM – kesemuanya menunjukkan 2008), mengidentifikasi tiga gejala tersebut bahwa negara sudah memiliki perhatian dan yaitu: (1) kemunculan berbagai perda syariat komitmen yang tinggi terhadap persoalan yang diskriminatif dan melanggar HAM; (2) HAM. Pengadilan HAM (UU RI No.26/2000) desakan untuk mengegolkan RUU tentang juga dibentuk sebagai respon untuk menangani Pornografi yang amat antiperempuan (misogypelangaran HAM (Kansil & Christine, 2005: nist) dan tidak mampu melindungi anak; dan (3) 44 & 53; Marsudi, 2006). tindak kekerasan yang dilakukan kelompok Saat ini Indonesia telah meratifikasi dua fundamental terhadap pemeluk agama dan konvensi dasar HAM, yaitu tentang hak sipil- kepercayaan minoritas, rakyat kecil marjinal, politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya. juga aktivis pejuang kebebasan beragama. Oleh karena itu, setiap orang ditantang Kondisi riil demokrasi kita saat ini masih mengaktualisasikannya dalam kehidupan ber- mengidap penyakit kronis. Virus perusak bangsa dan bernegara, meskipun negara tetap demokrasi dibawa oleh berbagai kelompok motor utama karena negaralah yang menjadi fundamental yang mengotori dan menodai pemangku kewajiban atas pemenuhan, keadaban publik dengan menggunakan caraperlindungan, dan penghormatan HAM cara kekerasan pada sesama anak bangsa (Kompas, 27 Mei 2010). Hak asasi manusia (warga). Tindakan premanisme harus dicegah haruslah dilihat secara utuh antara hak sipil dan dan penegakan hukum (dan HAM) harus politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya. ditegakkan oleh aparat. Negara tidak boleh Memperhatikan setengah dari HAM sama terlambat dalam menangani berbagai anardengan memperhatikan setengah kemanusiaan. khisme warga terhadap warga lain. PerPemerintah harus mengambil peran signifikan lindungan negara terutama ditujukan untuk untuk mempromosikan HAM, menghormati, kelompok-kelompok minoritas, kelompok melindungi, dan menyediakan pemenuhan marjinal, lemah, dan terancam. Penegakan HAM yang dijamin konstitusi.Kesejahteraan hukum harus mampu menjadi ultimum manusia haruslah menjadi tujuan sesuai remedium guna mencegah agar tidak terjadi lahirnya Deklarasi HAM.Apa saja yang kondisi ketiadaan norma (normless) dan menyimpang dari kesejahteraan manusia harus memastikan tercapainya summum bonum dipertanyakan, terlepas dari pengaruhnya (greatest good) (Kompas, 9 Oktober 2008). terhadap pertumbuhan ekonomi, kekuasaan Carut marut sendi kehidupan politik, politik, dan kestabilan politik sebuah wilayah ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan agama (Kompas, 11 Desember 2012). saat ini baik skala lokal maupun nasional Meskipun komitmen negara Indonesia mendominasi memori kolektif berbangsa kita. sangat besar dalam menangani kasus-kasus Ada tantangan besar untuk mewujudkan pelanggaran HAM dengan berbagai perang- keadaban publik dan intensionalitas sebagai katnya sebagaimana tersebut di atas, tetapi bangsa.Menurut Herry Priyono dalam Kongres berbagai kecenderungan pelanggaran HAM Pancasila 2009 di UGM Yogyakarta, tantangan juga semakin meningkat.Hal ini berarti tersebut didasarkan bukan pada intensionalitas penanganan persoalan HAM tidak dapat dan kesengajaan prinsip sektarian agama, ras, dilakukan dengan perangkat hukum semata, atau kesukuan, tetapi atas dasar prinsip bersifat tetapi harus ditangani secara civic (warga negara). Dasar civic berarti komprehensip.Untuk itu pendidikan HAM keanggotaan dalam negara-bangsa (nation sangat penting diberikan di setiap lembaga state) Indonesia bukan didasarkan pada pendidikan di Indonesia.Pemahaman HAM identitas suku, ras, agama ataupun gaya hidup, atau pendidikan HAM sejak dini sebagai bekal 56
pemilikan harta, melainkan identitas sebagai warga negara (Kompas, 27 Mei 2010). Para founding fathers sebenarnya mewarisJURNAL ILMU SOSIAL, Vol. 11, No. 1, AprilIndonesia 2013 kan dasar di mana bangunan dibangun.Dasar itu adalah Pancasila (Kaelan, 2003; Marsudi, 2006). Untuk Indonesia yang memiliki peta sosiologis begitu beragam dan kaya, Pancasila adalah rumusan penting dari proses dan pergulatan pendiri bangsa. Pancasila tidak hanya lahir dari kesadaran tentang keragaman, tetapi juga jaminan bagi keragaman itu dalam mewujudkan apa yang dicita-citakan bersama, yaitu menjadi bangsa Indonesia.Dan itu bukan kepentingan (kesepakatan) satu atau dua golongan saja. Kesepakatan yang dirintis antara lain oleh pelajar di STOVIA, lalu Kongres Pemuda 1928, hingga Proklamasi Kemerdekaan 1945 menunjukkan, Indonesia lahir dari semangat kebersamaan dan kesetaraan sebagai warga sebuah bangsa, mengatasi kepentingan golongan dan perseorangan (Kartodirdjo dkk, 1999: 1-20; Abdullah, 2001 & Suhartono, 1994) . Seharusnya, di Era Reformasi ini, Indonesia jauh lebih mudah menghidupi dan mewujudkan itu.Berbagai perlengkapan yang dibutuhkan membangun keadaban publik dan cita-cita kebangsaan itu telah ada.Sebagai negara demokrasi dan hukum yang menjunjung tinggi HAM, semua elemen (kelompok), apa pun latar belakangnya memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Semboyan kita yang termaktub dalam buku Sutasoma karya Mpu Tantular (Abad ke-14) sungguh indah: Bhinneka Tunggal Ika – berbeda-beda tetapi tetap satu. Satu setengah dasawarsa terakhir kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara – dijejali berbagai konflik horizontal dan vertikal di bebagai wilayah Indonesia.Konflik sosial harus serius diantisipasi dan diselesaikan secara bermartabat, agar tidak mengguncang sendisendi bangunan bangsa. Untuk itu, kita mesti kembali merujuk empat pilar kesepakatan para pendiri bangsa: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.Dasar, bentuk, konstitusi, dan jargon negara Indonesia jelas mengakui dan menghargai keragaman (kemajemukan) sebagai modal kekayaan bangsa.Dan, modal itu diharapkan dikelola dengan baik sehingga dapat men-dorong terciptanya cita-cita dan tujuan bersama, yaitu masyarakat yang sejahtera, cerdas, adil, dan makmur.Semoga.
PENUTUP Kesimpulan Penegakan Demokrasi dan penuntasan HAM di Indonesia saat ini terasa masih tersandera dinamika politik kontemporer.Hal ini dikarenakan para elite politik (penguasa) tidak memiliki komitmen kuat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tersebut.Bahkan, disinyalir kasus pelanggaran HAM tertentu dijadikan ‘senjata pamungkas’ untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan.Aroma kenikmatan (madu) kekuasaan sangat menggairahkan dan menggelorakan ‘nafsu’ elite dan kelompoknya untuk menggapainya. Akhirnya kekuasaan yang tidak amanah akan menjerumuskan elite ke lembah belantara ‘korupsi’. Kondisi penegakan HAM di Indonesia diperparah lagi oleh: (1) Memudarnya nilainilai dalam kehidupan masyarakat seperti toleransi, kepeduliaan, gotong-royong, dan lainnya sebagai akibat dari kurangnya pemahaman terhadap HAM; (2) Maraknya aksi anarkhi di Era Reformasi sekarang ini dijadikan sebagai alternatif untuk melampiaskan aspirasi yang tidak terakomodasi dengan baik; (3) Meningkatnya pelanggaran hukum dan HAM baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun para penyelenggara negara; dan (4) Rendahnya pemahaman HAM baik dikalangan masyarakat maupun para penyelenggara negara. Dalam kasus kebangsaan Indonesia saat ini, rasionalitas harus dibangun di atas nilai-nilai luhur kultural yang beraneka ragam. Manusia (Indonesia) bukan sederet konstituen yang berakhir nasibnya dalam kotak suara.Indonesia terdiri dari beragam suku, ras, budaya, agama, dan golongan.Solidaritas nasional berhasil mengikat kemajemukan itu dalam bangunan berbentuk NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.Konstitusi telah memberi tanggung jawab kepada negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia.Pemurnian makna demokrasi dan penegakan HAM adalah kunci keberhasilan pembangunan dan kesejahteraan warga negara.
57
Susanto Handok
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik, 2001. Nasionalisme dan Sejarah, Bandung: CV Satya Historika. Easton, David, 2000, “Analisis Sistem Politik”, dalam Mohtar Mas’oed dan Colin McAndrews, 2000. Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hardiman, F. Budi, 2009. Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius. Kansil, C.S.T & Christine S.T.K, 2005. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, Jakarta: PT Pradnya Paramita. Kaelan, 2003.Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma. Kartodirdjo, Sartono dkk, 1999.Dinamika Nasionalisme Indonesia, Salatiga: Yayasan Bina Darma. Mansyur, Hamdan dkk (ed), 2007. Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Marsudi, Subandi Al, 2006.Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi, Jakarta: PR Raja Grafindo Persada. Pranoto, Suhartono W., 2010. Teori & Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu. Renier, G.J., 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Samawi, Ahmad, 2007. Pendidikan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Depdiknas. Sekretaris Negara Republik Indonesia, 1995.Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Setneg RI. Suhartono, 1994.Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai Proklamasi, 1908-1945, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Thoha, Miftah, 2007. Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Koran: Harian Kompas, 16 April 2008, “Demokrasi Tak Terpimpin” Harian Kompas, 23 April 2008, “Demokrasi Dikoreksi” Harian Kompas, 13 Mei 2008, “Anamnesis Tragedi Mei 1998” Harian Kompas, 14 Mei 2008a, “Demokrasi Uang” Harian Kompas, 14 Mei 2008b, “Ihwal Keadilan Transisional” Harian Kompas, 9 Oktober 2008, “Konstitusionalisme Vs Fundamentalisme” Harian Kompas, 21 Januari 2009, “Paradoks Demokrasi Permukaan” Harian Kompas, 3 Mei 2009, “Mencari Asumsi Dasar Berpolitik” Harian Kompas, 13 Mei 2009, “Dekonsolidasi Demokrasi” Harian Kompas, 5 November 2009, “Membangun Kultur Demokrasi Radikal” Harian Kompas, 8 Desember 2009, “Parasit Demokrasi” Harian Kompas, 15 Februari 2010, “Demokrasi Era Kuantum” Harian Kompas, 4 Mei 2010, “Gelombang Pasang Nepotisme” Harian Kompas, 27 Mei 2010, “HAM dan Tantangan Hidup Berbangsa” Harian Kompas, 11 Desember 2012, “HAM Tetap Jadi Isu Sentral” Harian Kompas, 17 Desember 2012a, “DPR, Cermin Kusam Demokrasi” Harian Kompas, 27 Desember 2012, “Prospek Konsolidasi Demokrasi” Harian Kompas, 31 Desember 2012a, “Menakar Rimba Takaran Demokrasi” Harian Kompas, 31 Desember 2012b, “Menggali Lubang Demokrasi” Harian Kompas, 16 Januari 2013, “Menuju Era Politik Postmodern” HarianKompas,23 Januari 2013, “Tuntaskan Kasus HAM: Komnas HAM dan Agung Perlu Koordinasi” Harian Kompas, 30 Januari 2013, “Caleg Harus Punya Modal: Finansial Calon Jadi Pertimbangan” Harian Kompas, 31 Januari 2013, “HAM: Pelanggaran Terstruktur Tak Ada” Harian Kompas, 4 Februari 2013b, “Demokrasi Rental Mobil”
Kejaksaan Kemampuan
58
48