KONSEP MA’SHUM DALAM AL-QUR’AN Juwaini Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email:
[email protected] ABSTRACT Ma’shum is one of the important things in the concept of prophethood, but many of the Muslims who do not understand the concept well. Since the verses of the Koran in one hand said that the Prophet was the best man in all aspects. On the other hand, the Qur’an also explained that the prophet is a man that can not be separated from wrong and sinful. Islam has made it clear in the Qur’an that all prophets are Ma’shum. This has been agreed by scholars jumhur. Ma’shum properties that exist on the prophet is God gift, and these properties are not possessed by human beings, except the prophets. All acts and deeds done by the prophets avoid sin, in the sense that the delivery of teaching and practice was brought to the people in accordance with the commandments of God revelation. Therefore, all actions undertaken by the prophet must be true. It is said, for all their actions set an example for his people. Kata Kunci: Ma’shum, Nabi, al-Qur’an Pendahuluan Salah satu hal mendasar yang terkandung dalam rukun iman terhadap nabi adalah meyakini bahwa mereka adalah ma’shum. Pengertian ma‘shum yang dimaksudkan di sini adalah semua tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh para nabi bebas dari kesalahan, perbuatan tersebut bernilai ibadah, dan dapat menjadi teladan untuk diikuti oleh umatnya.1 Tulisan ini membahas tentang pengertian ma’shum, sifat ma’shum para nabi dan aspek-aspeknya. Pengertian Ma’shum Secara etimologi, ma’shum berasal dari kata ishmah yang berarti menahan diri, penetapan, patuh, dan tidak meninggalkan sesuatu. Al-Raghib menjelaskan pengertian ma’shum adalah mencegah, berpegang teguh dan memelihara. Sementara al-ishmah menurutnya adalah hal-hal yang dipegang teguh. Jadi alishmah merupakan penjagaan Allah yang khusus diberikan kepada orang-orang yang telah mencapai derajat tertentu. Mereka adalah para nabi, karena mereka tidak melakukan dosa bahkan tidak tergores sedikitpun di dalam hati dan pikiran untuk berbuat dosa dan kesalahan yang dilarang agama.2 Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa sifat ma’shum merupakan kekuatan jiwa yang kuat, dengan kekuatan tersebut dapat mencegah seseorang dari berbuat _____________ 1 2
68
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 2005), 2380 Reza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah (Jakarta: Mizan, 2007), 67 Juwaini: Konsep Ma’shium dalam Al-Qur’an
dosa dan maksiat, sekalipun dalam kondisi yang sangat sulit. Kekuatan jiwa ini dicapai dengan pengetahuan yang sempurna terhadap keburukan dan kejahatan serta ancaman bagi pelaku dosa, dengan kehendak serta keinginan yang kuat untuk mengendalikan hawa nafsu. Melalui sifat ma’shum ini, tidak berarti bahwa Allah memaksa para nabi untuk meninggalkan dosa dan mencabut kebebasan berkehendak dalam usaha mereka. Ma’shum juga bisa dinisbahkan kepada Allah dengan makna yang lain, yaitu bahwa Allah yang menjamin sifat ma’shum para nabi dan rasul.3 Sifat ma’shum yang dimiliki oleh nabi dapat menjadi penghalang dari maksiat yang diharamkan dan dilarang dalam syari’at. Dengan demikian, tidak terdapat kontradiksi antara ma’shum para nabi dalam mengamalkan suatu perbuatan yang diperbolehkan dalam syari‘at masing-masing, seperti taubat dengan cara membunuh adalah salah satu syari’at bagi Nabi Musa, tetapi cara bertaubat yang demikian tidak terdapat dalam syari’at Nabi Muhammad. Konsep ma’shum yang dimaksudkan dalam tulisan ini berkaitan dengan tugas para nabi dalam menyampaikan wahyu dari Allah, sedangkan di luar tugas tersebut nabi adalah manusia biasa yang kadangkala silap atau salah. Namun hal ini tidak menghalangi tugas dalam menyampaikan wahyu. Seperti pelanggaran yang pernah dilakukan oleh Nabi Daud, Nabi Yunus dan Nabi Muhammad, setelah melakukan dan menyadari kesalahan, para nabi tersebut langsung bertaubat. Keadaan ini pada hakikatnya dapat meninggikan derajat kenabian dan kerasulan.4 Hal ini sesuai dengan pandangan Ibnu Katsir yang menyatakan bahwa para nabi dianugerahi sifat ma’shum serta diberi pertolongan oleh Allah.5 Sifat Ma’shum Para Nabi Sifat ma’shum yang dimiliki oleh nabi adalah anugerah Allah, karena setiap manusia selain nabi selalu melakukan kesalahan dan perbuatan maksiat. Selain nabi ada juga yang disebut dengan wali Allah. Mereka juga terpelihara dari perbuatan yang keji. Tetapi sifat ini bukanlah sifat ma’shum, karena sifat ma’shum hanya dikhususkan Allah bagi nabi dan rasul.6 Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an dalam surat al-Hadid ayat 28;
ِ ْ َﻳَﺎ أَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ آَ َﻣﻨُﻮا اﺗﱠـ ُﻘﻮا اﻟﻠﱠﻪَ وآَ ِﻣﻨُﻮا ﺑِﺮ ُﺳﻮﻟِِﻪ ﻳـُ ْﺆﺗِ ُﻜﻢ ﻛِ ْﻔﻠ ﲔ ِﻣ ْﻦ َر ْﲪَﺘِ ِﻪ َوَْﳚ َﻌ ْﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻧُﻮًرا ﲤَْ ُﺸﻮ َن ﺑِِﻪ َوﻳـَ ْﻐ ِﻔْﺮ ْ َ َ َ ِ ﻴﻢ ٌ ﻟَ ُﻜ ْﻢ َواﻟﻠﱠﻪُ َﻏ ُﻔ ٌ ﻮر َرﺣ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada rasulnya, niscaya Dia memberikan kamu dua bahagian dari karunia-Nya dan mengadakan untuk kamu yang terang benderang, dengan cahaya itu kamu dapat berjalan di jalan yang benar dan Dia mengampunimu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Hadid: 28)
_____________ 3
Mustafa Shadiq al-Rafi’i, ‘Ijaz al-Quran wa al-Balaghah al-Nabawiyyah (Beirut: Dar alKutub al-Arabi, 1990), 737-738 4 Azyumardi Azra, Ensiklopedi …, 240 5 Ibnu Katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim (Beirut: Dar al-Fikri, 1980), 314 6 Muhammad Labil Ahmad, Hakikat Nubuwwah (Singapura: Pustaka Nasional, 1985), 39 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 1, Januari 2013
69
Menurut penulis tafsir al-Nur, yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah naungan Ilahi yang dikhususkan bagi para wali dan orang-orang yang bertakwa dan ini bukan sifat ma’shum.7 Sifat Ma’shum Nabi Daud Berkaitan dengan Nabi Daud, Allah telah menjelaskan hal ini dalam alQur’an, yaitu tentang kesalahan yang dilakukan ketika datang dua orang yang sedang berselisih mengharap penyelesaian yang adil, seperti yang terdapat dalam surat Shad ayat 22-25;
ِ إِ ْذ دﺧﻠُﻮا ﻋﻠَﻰ داوود ﻓَـ َﻔ ِﺰ ِ ﻒ ﺧﺼﻤ ٍ ﻀﻨَﺎ َﻋﻠَﻰ ﺑَـ ْﻌ ﺎﳊَ ﱢﻖ ْ ِﺎﺣ ُﻜ ْﻢ ﺑَـْﻴـﻨَـﻨَﺎ ﺑ ُ ﺎن ﺑَـﻐَﻰ ﺑـَ ْﻌ َ َ َُ َ ََ ْ َﺾ ﻓ َ ْ َ ْ َع ﻣْﻨـ ُﻬ ْﻢ ﻗَﺎﻟُﻮا َﻻ َﲣ ِ ِ َﺧﻲ ﻟَﻪ ﺗِﺴﻊ وﺗِﺴﻌﻮ َن ﻧـَﻌﺠﺔً وِﱄ ﻧـَﻌﺠﺔٌ و ِ ( إِ ﱠن ﻫ َﺬا أ22) اط ِ ﺼﺮ ِ ِ ِ ٌاﺣ َﺪة َ َ َ ْ َ َ َ ْ ُْ َ ٌْ ُ َ َوَﻻ ﺗُ ْﺸﻄ ْﻂ َو ْاﻫﺪﻧَﺎ إ َﱃ َﺳ َﻮاء اﻟ ﱢ ِ ﺎل ﻟَ َﻘ ْﺪ ﻇَﻠَﻤﻚ ﺑِﺴﺆ ِال ﻧَـﻌﺠﺘِﻚ إِ َﱃ ﻧِﻌ ِ َاﳋِﻄ ﺎﺟ ِﻪ َوإِ ﱠن َﻛﺜِ ًﲑا ِﻣ َﻦ ْ ﺎل أَ ْﻛ ِﻔ ْﻠﻨِ َﻴﻬﺎ َو َﻋﱠﺰِﱐ ِﰲ َ َ( ﻗ23) ﺎب َ ﻓَـ َﻘ َ َ ْ َُ َ َ َ ِ ِ ِ ﺾ إِﱠﻻ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ آَﻣﻨﻮا وﻋ ِﻤﻠُﻮا اﻟ ﱠ ِ ِ ْ ٍ ﻀ ُﻬ ْﻢ َﻋﻠَﻰ ﺑَـ ْﻌ ود أَﱠﳕَﺎ ُ اﳋُﻠَﻄَﺎء ﻟَﻴَْﺒﻐﻲ ﺑَـ ْﻌ ُ ﻴﻞ َﻣﺎ ُﻫ ْﻢ َوﻇَ ﱠﻦ َدا ُو َ َ َُ َ ٌ ﺼﺎﳊَﺎت َوﻗَﻠ ِ ِ ﻚ َوإِ ﱠن ﻟَﻪُ ِﻋْﻨ َﺪﻧَﺎ ﻟَُﺰﻟْ َﻔﻰ َو ُﺣ ْﺴ َﻦ َﻣﺂَ ٍب َ ( ﻓَـﻐَ َﻔْﺮﻧَﺎ ﻟَﻪُ َذﻟ24) ﺎب ْ َﻓَـﺘَـﻨﱠﺎﻩُ ﻓ َ َﺎﺳﺘَـ ْﻐ َﻔَﺮ َرﺑﱠﻪُ َو َﺧﱠﺮ َراﻛ ًﻌﺎ َوأَﻧ “Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut karena kedatangan) mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus. Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: “Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan. Daud berkata: “Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik.” (QS. Shad: 22-25) Ayat di atas menjelaskan tentang Nabi Daud yang bertindak dengan tergesa-gesa, serta tidak meneliti permasalahan tersebut secara mendalam. Beliau terpengaruh dorongan emosi ketika mendengar perkataan salah seorang yang sedang berselisih, tanpa terlebih dahulu mendengar alasan dan memberikan kesempatan kepadanya untuk membela dirinya sendiri. Oleh karena itu, datang teguran Allah agar Nabi Daud tidak cepat terpengaruh oleh emosi dalam menetapkan suatu hukum. Sebagaimana firman Allah:
_____________ 7
70
Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Nur (Semarang: Pustaka Rizki Putra, t.th), 54 Juwaini: Konsep Ma’shium dalam Al-Qur’an
ِ ﺎﳊ ﱢﻖ وَﻻ ﺗَـﺘﱠﺒِ ِﻊ ا ْﳍﻮى ﻓَـﻴ ِ ِ ﲔ اﻟﻨ ِ ﺎك َﺧﻠِﻴ َﻔﺔً ِﰲ ْاﻷ َْر ﻚ َﻋ ْﻦ َﺳﺒِ ِﻴﻞ َ َود إِﻧﱠﺎ َﺟ َﻌْﻠﻨ َ ﻀﻠﱠ ُ ﻳَﺎ َد ُاو َ ْ ﺎﺣ ُﻜ ْﻢ ﺑَـ ْ َض ﻓ ُ ََ َ َْ ﱠﺎس ﺑ ِ ِ ِ ِ اﻟﻠﱠ ِﻪ إِ ﱠن اﻟﱠ ِﺬ ِ اﳊِﺴ ﺎب ٌ ﻳﻦ ﻳَﻀﻠﱡﻮ َن َﻋ ْﻦ َﺳﺒِ ِﻴﻞ اﻟﻠﱠﻪ َﳍُ ْﻢ َﻋ َﺬ َ َ ْ اب َﺷﺪﻳ ٌﺪ ﲟَﺎ ﻧَ ُﺴﻮا ﻳـَ ْﻮَم
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”. (QS. Shad: 26)
Sifat Ma’shum Nabi Yunus Selain Nabi Daud, Nabi Yunus juga disebutkan dalam al-Qur’an. Hal ini menceritakan tentang taubat Nabi Yunus ketika beliau berdakwah kepada kaumnya untuk menyembah Allah, namun umat tidak menuruti dakwahnya. Maka Nabi Yunus merasa tidak sabar dalam menghadapi keadaan tersebut dan marah terhadap kaumnya, kemudian beliau pergi meninggalkan mereka.8 Situasi yang dihadapi tersebut merupakan salah satu ujian dari Allah, agar beliau bertaubat. Ujian itu juga untuk melihat sejauhmana keyakinan dan kejujuran beliau terhadap Allah. Al-Qur’an menceritakan bahwa Nabi Yunus menaiki sebuah kapal laut. Ketika sampai di tengah laut, kapal tersebut ditiup oleh angin yang sangat kencang dan di pukul ombak yang tinggi. Mereka merasa sedang berada dalam bahaya yang besar. Anak buah kapal mengatakan bahwa mereka harus mengurangi beban kapal, agar kapal tersebut tidak tenggelam. Akhirnya dengan terpaksa mereka memilih untuk melemparkan sebagian orang yang berada di atas kapal ke laut, agar para penumpang yang lain selamat dari ancaman tenggelam. Hal itu dilakukan dengan sistem undian dan undian itu jatuh kepada Nabi Yunus. Beliaupun dilemparkan ke laut, dan kemudian ditelan oleh ikan. Hal ini terjadi akibat dari kekecewaan beliau terhadap kaumnya yang tidak mau menerima dakwah yang dibawa, karena kekecewaan tersebut beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan kaumnya, perbuatan Nabi Yunus ini ditegur oleh Allah. Di dalam perut ikan, keyakinan Nabi Yunus kembali menjadi kuat, beliau berdoa dalam kegelapan, baik kegelapan laut, kegelapan malam dan kegelapan dalam perut ikan, dengan kalimat-kalimat yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah:
ِ ِ ِ ِ ِِ ﻚ َ َﺖ ُﺳْﺒ َﺤﺎﻧ َ ْﺐ ُﻣﻐَﺎﺿﺒًﺎ ﻓَﻈَ ﱠﻦ أَ ْن ﻟَ ْﻦ ﻧَـ ْﻘﺪ َر َﻋﻠَْﻴﻪ ﻓَـﻨَ َﺎدى ِﰲ اﻟﻈﱡﻠُ َﻤﺎت أَ ْن َﻻ إِﻟَﻪَ إِﱠﻻ أَﻧ َ َو َذا اﻟﻨﱡﻮن إ ْذ َذ َﻫ ِ ِ ِِ ِ ِ إِ ﱢﱐ ُﻛْﻨ ِِ ﲔ َ ﺎﺳﺘَ َﺠْﺒـﻨَﺎ ﻟَﻪُ َوﳒَﱠﻴْـﻨَﺎﻩُ ﻣ َﻦ اﻟْﻐَ ﱢﻢ َوَﻛ َﺬﻟ َ ﻚ ﻧـُْﻨﺠﻲ اﻟْ ُﻤ ْﺆﻣﻨ َ ﺖ ﻣ َﻦ اﻟﻈﱠﺎﻟﻤ ُ ْ َ( ﻓ87) ﲔ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah _____________ 8
Muhammad Labil Ahmad, Hakikat …, 58
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 1, Januari 2013
71
termasuk orang-orang yang zalim. Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman”. (QS. al-Anbiya’: 87-88) Sifat Ma’shum Nabi Muhammad Berkaitan dengan Nabi Muhammad, terdapat beberapa kisah yang memaparkan aspek ini, antaranya: Pertama, ketika Abdullah bin Ubay bin Salul, salah seorang munafik meninggal dunia, Nabi melakukan shalat dan mendoakannya. Oleh sebab itu Allah menegurnya, seperti yang terdapat dalam surat al-Taubah ayat 84:
ِ َوَﻻ ﺗُﺼ ﱢﻞ ﻋﻠَﻰ أَﺣ ٍﺪ ِﻣْﻨـﻬﻢ ﻣﺎت أَﺑ ًﺪا وَﻻ ﺗَـ ُﻘﻢ ﻋﻠَﻰ ﻗَـ ِﱪﻩِ إِﻧـﱠﻬﻢ َﻛ َﻔﺮوا ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ ورﺳﻮﻟِِﻪ وﻣﺎﺗُﻮا وﻫﻢ ﻓ ﺎﺳ ُﻘﻮ َن ْ ُ َ َ َ ُ ََ ُ ُْ ْ َ ْ َ َ َ َ ُْ َ َ َ َ
“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik”. (QS. al-Taubah: 84) Ayat ini memerintahkan agar Nabi Muhammad menjauhi orang-orang munafik, tidak boleh menyalatkan jenazah mereka dan berdiri di kubur berdoa dan beristighfar untuk mereka, karena mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya. Padahal ketika akan menyalatkan jenazah Abdullah bin Ubay, Umar yang berdiri disamping Nabi bertanya apakah beliau akan menyalatkan jenazah seorang munafik. Nabi dengan tersenyum menjawab bahwa beliau diperbolehkan untuk memilih dan beliau telah memilih. Kemudian Nabi dan Umar sama-sama melaksanakan salat jenazah dan setelah itu mengantarkan jenazah Abdullah bin Ubay sampai ke kuburan. Selesai pemakaman, turunlah ayat di atas. Setelah turun ayat tersebut, Nabi tidak pernah lagi melakukan shalat jenazah untuk orang munafik hingga Nabi wafat.9 Kedua, Nabi Muhammad pernah mengharamkan madu dan budak perempuannya untuk dirinya sendiri, yang sebenarnya dihalalkan oleh Allah. Kemudian Allah menegur dengan firman-Nya dalam surah al-Tahrim ayat 1:
ِ ِ ﻚ واﻟﻠﱠﻪ َﻏ ُﻔ ِ َ َﻳﺎ أَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﻨِﱠﱯ ِﱂ ُﲢﱢﺮم ﻣﺎ أَﺣ ﱠﻞ اﻟﻠﱠﻪ ﻟ ﻴﻢ َ ﻚ ﺗَـْﺒﺘَﻐﻲ َﻣْﺮ ُ َ ََُ َ َ َ ﱡ ٌ ُ َ َ ﺿﺎ َة أ َْزَواﺟ ٌ ﻮر َرﺣ
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Tahrim: 1) Ketiga, Nabi Muhammad memberi toleransi kepada orang-orang munafik untuk tidak mengikuti perang Tabuk, lalu Allah menegur melalui seperti tersebut dalam al-Qur’an surat al-Taubah ayat 43:
ِ ﻋ َﻔﺎ اﻟﻠﱠﻪ ﻋْﻨﻚ ِﱂ أ َِذﻧْﺖ َﳍﻢ ﺣ ﱠﱴ ﻳـﺘﺒـ ﱠﲔ ﻟَ ﱠ ِ ﲔ َ َ َََ َ ْ ُ َ َ َ َ ُ َ َ ِﺻ َﺪﻗُﻮا َوﺗَـ ْﻌﻠَ َﻢ اﻟْ َﻜﺎذﺑ َ ﻳﻦ َ ﻚ اﻟﺬ
“Semoga Allah mema’afkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” (QS. al-Taubah: 43) Keempat, Nabi Muhammad mendapat teguran dari Allah karena keputusan yang dibuat ketika mengambil tebusan dari para tawanan Perang Badar. Hal ini seperti tertera dalam surat al-Anfal ayat 68: _____________ 9
72
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim (Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’i, 1980), 113 Juwaini: Konsep Ma’shium dalam Al-Qur’an
ِ ِ ِ َﻟَﻮَﻻ ﻛِﺘ ِ ﻴﻢ ٌ َﺧ ْﺬ ُْﰎ َﻋ َﺬ َ ﻴﻤﺎ أ ٌ ْ ٌ اب َﻋﻈ َ ﺎب ﻣ َﻦ اﻟﻠﱠﻪ َﺳﺒَ َﻖ ﻟَ َﻤ ﱠﺴ ُﻜ ْﻢ ﻓ
“Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil”. (QS. al-Anfal: 68) Kelima, pada peristiwa perang Uhud Nabi Muhammad mengalami lukaluka yang cukup parah, sedangkan orang-orang Islam banyak yang melarikan diri. Hal ini membuat Nabi emosi dan berkata “Akankah selamat suatu kaum jika melakukan hal seperti ini pada nabinya”, lalu Allah menegur beliau sebagaimana yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 128:
ِ َ َﻟَﻴﺲ ﻟ ﱠﻬ ْﻢ ﻇَﺎﻟِ ُﻤﻮ َن ُ ﻮب َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ أ َْو ﻳُـ َﻌ ﱢﺬﺑَـ ُﻬ ْﻢ ﻓَﺈِﻧـ َ ُﻚ ﻣ َﻦ ْاﻷ َْﻣ ِﺮ َﺷ ْﻲءٌ أ َْو ﻳَـﺘ َ ْ
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (QS. Ali Imran: 128) Dari ayat al-Qur’an tersebut di atas, dapat dipahami bahwa para nabi tidak terlepas dari kesilapan dan kesalahan, namun hal tersebut akan segera dijelaskan oleh Allah dan merekapun langsung memohon ampun kepada Allah. Mereka juga sebagai manusia biasa yang makan, minum, tidur, sakit, gembira, susah dan lain sebagainya. Sebagai manusia biasa, mereka juga dapat lupa dan melakukan salah. Sifat-sifat tersebut tidak merusak konsep ma‘shum yang ada pada mereka. Dengan sifat ma‘shum yang mereka miliki, akan semakin mengukuhkan sifat kema’shuman bagi para nabi tersebut. Hal ini seperti tersebut dalam al-Qur’an:
ِ اﺣ ٌﺪ ﻓَﻤﻦ َﻛﺎ َن ﻳـﺮﺟﻮ ﻟَِﻘﺎء رﺑﱢِﻪ ﻓَـْﻠﻴـﻌﻤﻞ ﻋﻤ ًﻼ ﺻ ِ ِ ﱄ أَﱠﳕَﺎ إِ َﳍ ُﻜﻢ إِﻟَﻪ و ِ ﺎﳊًﺎ ﻮﺣﻰ إِ َﱠ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ُ َْ َ ُﻗُ ْﻞ إﱠﳕَﺎ أَﻧَﺎ ﺑَ َﺸٌﺮ ﻣﺜْـﻠُ ُﻜ ْﻢ ﻳ َْ ٌَ ْ ُ ِ ِ ِِ َﺣ ًﺪا َ َوَﻻ ﻳُ ْﺸ ِﺮ ْك ﺑﻌﺒَ َﺎدة َرﺑﱢﻪ أ
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (QS. al-Kahfi: 110) Teguran Allah kepada para Nabi melalui firman-Nya bertujuan untuk mengajar dan mengingatkan mereka agar senantiasa mengambil pilihan yang lebih baik dan lebih sempurna, serta lebih berhati-hati dalam setiap masalah. Teguran ini terjadi pada hasil ijtihad Nabi terhadap sesuatu hal yang tidak ada dalil. Hal ini dapat terjadi pada nabi, dan ijtihad tersebut tidak boleh dianggap suci dan salah.10 Sifat ma’shum yang diberikan Allah kepada nabi khusus mengenai penyampaian dan pengamalan mereka, sebab mustahil bagi nabi berdusta dan berbuat salah terhadap apa yang telah diwahyukan Allah kepadanya atau mengamalkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diwahyukan kepadanya. Ma’shum para nabi bukan sekedar tidak melakukan dosa, karena sebagai seorang manusia biasa wajar jika melakukan kesalahan. Nabi menjadi ma’shum karena memiliki malakah nafsaniyah atau karakter inheren yang sangat kuat, dengan malakah tersebut mereka tercegah dari perbuatan dosa dan maksiat, sekalipun dalam kondisi yang sulit. Malakah ini dicapai dengan pengetahuan yang _____________ 10
Muhammad Labil Ahmad, Hakikat…, 60
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 1, Januari 2013
73
sempurna dan terus menerus terhadap keburukan perbuatan dosa dengan kehendak serta keinginan yang kuat untuk mengendalikan hawa-nafsu. Karena malakah ini tidak mungkin dapat terwujud kecuali dengan bantuan dan inayah Allah. Aspek-Aspek Ma’shum
Kema’shuman merupakan salah satu perkara penting dalam pembahasan kenabian. Menurut Islam, nabi mesti memiliki sifat ma’shum secara mutlak, baik sebelum maupun sesudah diangkat menjadi nabi. Pembahasan tentang kema’shuman nabi dilihat dari dua aspek. Pertama, aspek penetapan. Kedua, aspek pembuktian. Aspek penetapan yang dimaksud bahwa manusia memerlukan nabi untuk menjadi teladan dan membimbing manusia menuju kesempurnaan melalui syari’at yang dibawanya. Oleh karena itu, nabi mesti mempunyai sifat atau memiliki kema‘shuman, supaya umatnya yakin dan taat dalam mematuhi dan mengikuti ajaran yang disampaikan.11 Jadi, kema’shuman nabi menjadi suatu kemestian dalam menyampaikan ajaran agama kepada umatnya. Sehingga umat meyakini apa yang disampaikan oleh nabi. Jika nabi melakukan maksiat, dosa, dan kesalahan, maka akan hilang kepercayaan umat kepadanya dan ajaran agama yang disampaikan. Adapun pada aspek pembuktian, yang dimaksud bahwa kema’shuman nabi terlihat secara nyata di dalam kehidupannya. Hal ini dapat diketahui dan dibuktikan secara langsung melalui pergaulan pada masa para nabi masih hidup oleh umatnya masing-masing, ataupun melalui penyelidikan terhadap sejarah hidup mereka yang membuktikan dengan jelas bahwa mereka benar-benar hidup dalam keadaan bersih, suci dan terhindar dari perbuatan dosa. Kedua aspek di atas sesuai dengan fungsi atau tugas pengutusan para nabi untuk membimbing manusia, maka sebagai pembimbing hendaklah para nabi tidak melakukan kesalahan, jika melakukan kesalahan, mereka tidak dapat dijadikan sebagai pembimbing. Ma’shum juga diartikan bahwa seorang nabi dapat menjaga dan mengamalkan agama secara sempurna. Jika hal ini tidak dapat dilakukan, maka akan menimbulkan keraguan bagi manusia untuk menerima agama yang dibawanya, karena tidak ada suatu kepastian kebenaran dalam membawa syari’at agama. Kema’shuman nabi memberikan keyakinan kepada umat untuk mengikuti ajaran yang dibawa.12 Sebab secara fitrah, manusia memiliki kecenderungan kuat untuk mengikuti orang yang dipercayai memiliki kemuliaan dari Allah, seperti sabda Rasulullah: 13
اﳕﺎﺑﻌﺜﺖ ﻻﲤﻤﺎ ﻣﻜﺎرم اﻻﺧﻼق ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ
“Bahwasanya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Pernyataan hadis di atas menjelaskan bahwa pada awal sejarah kelahiran Nabi Muhammad bahkan sampai dewasa, bangsa Arab jahiliyah umumnya berada dalam situasi kehidupan yang buruk dari sisi akhlak. Oleh karena itu, Nabi bertugas membimbing akhlak manusia sesuai dengan ajaran al-Qur’an. Untuk menjalankan tugas tersebut, Allah membekali Nabi dengan kesempurnaan sifat _____________ 11
Rafiq, al-‘Ajam, 9232: 738 Moenawar Chalil, Kelengkapan Nabi Muhammad (Jakarta: Gema Insani, 2001), 221 13 Ala al-Din Ali bin Hisyamuddin, Kanz al-Ummal al-Aqwal wa al-Af’al, bab al-fasl alAwwal fi al-Targhib, no. 5217, 16 12
74
Juwaini: Konsep Ma’shium dalam Al-Qur’an
dan akhlak, sehingga dalam dirinya terdapat teladan yang dapat dijadikan contoh baik dalam berbicara, bersikap ataupun bertindak. Sebagaimana firman Allah:
ِ ِ ُﺳ َﻮةٌ َﺣ َﺴﻨَﺔٌ ﻟِ َﻤ ْﻦ َﻛﺎ َن ﻳَـْﺮ ُﺟﻮ اﻟﻠﱠﻪَ َواﻟْﻴَـ ْﻮَم ْاﻵَ ِﺧَﺮ َوذَ َﻛَﺮ اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺜِ ًﲑا ْ ﻟَ َﻘ ْﺪ َﻛﺎ َن ﻟَ ُﻜ ْﻢ ِﰲ َر ُﺳﻮل اﻟﻠﱠﻪ أ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. ”. (QS. Al-Ahzab: 21) Demikian pula, Allah mewajibkan hamba-Nya untuk menaati Nabi secara mutlak seperti disebutkan dalam al-Qur’an:
ِﱠ ِ َﻃﻴﻌﻮا اﻟﻠﱠﻪ وأ ِ ِ ﻮل َوأ ُوﱄ ْاﻷ َْﻣ ِﺮ ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ﻓَِﺈ ْن ﺗَـﻨَ َﺎز ْﻋﺘُ ْﻢ ِﰲ َﺷ ْﻲ ٍء ﻓَـُﺮﱡدوﻩُ إِ َﱃ َ َﻃ ُﻴﻌﻮا اﻟﱠﺮ ُﺳ َ َ ُ ﻳﻦ آَ َﻣﻨُﻮا أ َ ﻳَﺎ أَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﺬ ِ ِ ﻮل إِ ْن ُﻛْﻨﺘﻢ ﺗُـﺆِﻣﻨﻮ َن ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ واﻟْﻴـﻮِم ْاﻵ ِ اﻟﻠﱠ ِﻪ واﻟﱠﺮﺳ َﺣ َﺴ ُﻦ ﺗَﺄْ ِو ًﻳﻼ ُ ْ ُْ َ َﺧ ِﺮ ذَﻟ ْ ﻚ َﺧْﻴـٌﺮ َوأ ُ َ َْ َ
“Wahai orang-orang yang beriman, ta’atlah kamu kepada Allah dan Rasul dan pemimpin (orang-orang yang berkuasa) dari kalangan kamu. Kemudian jika kamu berbantah-bantah (berselisihan) dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada (Kitab) Allah (al-Qur’an) dan (Sunnah) rasulnya jika kamu benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu) dan lebih bagus pula kesudahannya”. (QS. alNisa’: 59) Kesimpulan
Ma’shum adalah terpeliharanya seseorang dari dosa, sifat ini hanya dimiliki oleh para nabi. Nabi akan dipelihara oleh Allah dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. Tiada seorangpun dari mereka yang melanggar perintah Allah, karena Allah telah memerintahkan kepada manusia agar meneladani nabi yang telah menyerukan suri teladan yang baik dan sempurna bagi seluruh manusia. Semua para nabi bersifat ma’shum, mereka senantiasa berada dalam peliharaan Allah dan tidak pernah melakukan dosa atau kesalahan yang akan mengantarkan mereka mendapat hukuman dari Allah. Berbeda dengan para nabi yang lain, Nabi Muhammad sering melakukan ijtihad dan berfikir sebelum melakukan sesuatu, kemudian baru mengambil suatu keputusan yang menurut beliau membawa kemaslahatan kepada manusia. Jika ada suatu keputusan yang kurang sesuai, beliau akan mendapat teguran dari Allah, ini bukan karena Nabi melakukan dosa tetapi lebih kepada merupakan peringatan supaya melakukan yang lebih baik dan lebih sempurna dari apa yang beliau lakukan.
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 1, Januari 2013
75
DAFTAR KEPUSTAKAAN Ahmad, Muhammad Labil. Hakikat Nubuwwah. Singapura: Pustaka Nasional, 1985 Azra, Azyumardi. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru, 2005 Chalil, Moenawar. Kelengkapan Nabi Muhammad. Jakarta: Gema Insani, 2001 Hisyam al-Din, ‘Ala al-Din Ali. Kanz al-Ummal al-Aqwal wa al-Af’al, Bab alfasl al-Awwal fi al- Targhib Ibnu Katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim. Beirut: Dar al-Fikri, 1980 Al-Rafi’i, Mustafa Shadiq. ‘Ijaz al-Quran wa al-Balaghah al-Nabawiyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1990 Ash-Shiddieqy, Hasbi. Tafsir al-Nur. Semarang: Pustaka Rizki Putra, t.th. Sihbudi, Reza. Menyandera Timur Tengah. Jakarta: Mizan, 2007
76
Juwaini: Konsep Ma’shium dalam Al-Qur’an