MENGKRITISI PENAFSIRAN KAUM LIBERAL ATAS JILBAB PEREMPUAN
Hamdiah A. Latif Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh
ABSTRACT For long time, the veil (jilbab) has been realized as an obligation, which must be performed and worn by Muslimah in their lives. Even the majority of Muslim Sunni scholars since the classical era have had the same view and decision: "wearing the veil is an obligation and a kind of submission toward Allah's command". Therefore, it seems strange if Muslim thinkers who lived later arose with a contradictive view with the mainstream Muslim scholars' opinion. This article deals with the view and reasons of liberal thought in Indonesia on veil issue by concentrating on the group Jaringan Islam Liberal (Liberal Islam Network; henceforward JIL). The term of liberal Islam refers to a trend among a particular group of Muslims who argue that understanding the text of Islamic teachings should be complemented by the context in which it is being reinterpreted because the text does not exhaust all the meanings of the revelation. However, the presence of this group has aroused many responses to the ideas that it promotes. Kata kunci: penafsiran, jilbab, liberal
PENDAHULUAN Dalam artikel kontroversialnya yang bertajuk "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" beberapa tahun silam, Ulil Absar Abdalla, yang lebih dikenal sebagai koordinator Jaringan Islam Liberal di Indonesia melontarkan gagasan liberal seputar perlunya penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsurunsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. Dalam pandangan Ulil, agar umat Islam bisa bangkit maju merajut kembali kejayaan peradaban Islam seperti masa silam, salah satunya dengan membedakan ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dengan ajaran yang mendasar. Bagi Ulil, Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya merupakan ekspresi budaya dan kita tidak diwajibkan mengikutinya. Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak harus diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011
133
(public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia.1 Gagasan liberal yang dilontarkan Ulil itu tidak saja berseberangan dengan pemahaman ajaran Islam yang telah diyakini selama ini, namun juga merambah dengan menggugat ranah yang telah lama dipercayai sebagai wilayah qath'iyyat (permanent thesis) dalam hukum Islam, semisal kewajiban hijab, jilbab, bahkan qishash dan rajam. Persoalan ini menimbulkan resistensi yang meluas di kalangan umat Islam Indonesia karena dianggap meresahkan dan membingungkan umat, hingga pada akhirnya terbit fatwa hukuman mati bagi Ulil yang dikeluarkan oleh Forum Ulama Umat Islam (FUUI) atas ide liberal yang diangkat Ulil dalam tulisan tersebut. Jika ditilik lebih jauh, artikel tersebut seakan mengulang gagasan lama yang pernah dilontarkan oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur), dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tentang pentingnya pribumisasi Islam serta perlunya memisahkan unsur agama Islam dari segala elemen budaya lokal Arab. Perintah hijab seperti jilbab, dalam pandangan mereka lebih merupakan representasi budaya Arab daripada perintah agama yang wajib ditaati dan dikerjakan. Artikel ini tidak bermaksud menjadi media hujatan dan cercaan atas gagasan Ulil yang kontroversial, melainkan lebih sebagai wahana untuk mendiskusikan kembali persoalan keagamaan, khususnya yang berkenaan dengan hukum hijab (jilbab) bagi perempuan. Untuk tujuan tersebut, artikel ini mengajukan rumusan masalah: Apa alasan hukum (legal reason) kaum liberal dalam menafsirkan persoalan hijab (jilbab) bagi perempuan sehingga dianggap lebih merupakan cerminan budaya Arab? Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap perintah kewajiban jilbab tersebut? Untuk menyeimbangi dan mengcounter pemikiran liberal tadi, diajukan pertanyaan penutup: Apa yang menjadi dalil dan penafsiran ulama yang telah meyakini sejak lama kewajiban jilbab bagi kaum perempuan? Artikel ini mencoba mengkritisi pemikiran liberal tentang hukum jilbab perempuan dengan menggunakan pendekatan studi bibliografi. Dalam kajian ini, akan dipaparkan pandangan ulama Islam, dalil yang mereka gunakan untuk merespon ide dan gagasan liberal tentang permasalahan jilbab. Untuk lebih memudahkan dan mensistematisasikan pembahasan, artikel ini akan terlebih dahulu mengkaji dalil-dalil yang berkenaan dengan perintah kewajiban jilbab bagi perempuan berikut penafsiran ulama di dalamnya. Selanjutnya akan dielaborasi lebih jauh alasan hukum yang melatarbelakangi gagasan liberal yang menganggap perintah jilbab lebih sebagai produk budaya lokal Arab. Artikel ini nantinya akan ditutup dengan beberapa kesimpulan penting mengenai persoalan kewajiban jilbab perempuan dan jawaban kritis atas gagasan liberal mengenai persoalan tersebut. DALIL PERINTAH JILBAB DAN HUJAH ULAMA Secara bahasa, jilbab terambil dari akar kata jalaba yang bermakna menutup.2 Sedangkan pengertian jilbab secara umum adalah pakaian yang longgar _____________ 1
Ulil Absar Abdalla, "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam", Kompas, 18 November 2002 2 Ibnu Mandhur, Lisan al-'Arab (Beirut: Dar al-Shadir,1990), 88. 134
Hamdiah A. Latif: mengkritisi penafsiran kaum liberal atas jilbab perempuan
dilengkapi dengan kerudung penutup kepala.3 Dalam ajaran Islam, perintah jilbab diwajibkan bagi kaum perempuan muslimat, di mana terdapat ayat al-Qur'an yang turun di Madinah memerintahkan dengan tegas hal tersebut, yaitu Surat al-Ahzab (33: 59): "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istriistri orang Mukmin agar mengulurkan atas diri mereka jilbab-jilbab mereka. Yang demikian itu menjadikan mereka lebih mudah dikenal (sebagai wanita Muslimah/wanita merdeka/orang baik-baik) sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Jika ditinjau dari sisi sebab turun ayat (asbab nuzul), perintah jilbab diberlakukan tidak terlepas dari kondisi wanita-wanita Muslim—baik kalangan merdeka maupun budak—pada masa awal Islam di Madinah yang memakai pakaian yang sama dalam garis besar bentuknya dengan pakaian-pakaian yang dipakai oleh wanita-wanita pada umumnya, khususnya ketika keluar di malam hari. Keadaan semacam itu digunakan oleh orang-orang munafik dan fasik untuk menggoda dan mengganggu wanita-wanita termasuk wanita Muslimah. Dan ketika kaum munafik itu ditegur menyangkut perlakuan mereka terhadap Muslimah, mereka berkata: "Kami kira mereka hamba sahaya. Hal ini terjadi karena ketika itu identitas mereka sebagai wanita Muslimah tidak terlihat dengan jelas, lalu turunlah ayat ini yang memerintahkan agar wanita Muslimah memakai jilbab yang diulurkan ke badan mereka guna membedakan mereka dari wanita yang bukan Muslimah sehingga terhindar dari segala gangguan tangan dan lidah yang usil dari kalangan munafik maupun fasik.4 Terkait perintah kewajiban mengenakan jilbab bagi perempuan berdasar ayat di atas, Muhammad Ali al-Shabuni merangkum beberapa kesimpulan penting tentang penafsiran jumhur ulama seputar perintah jilbab tersebut, di antaranya5: 1) Allah memuliakan istri-istri dan anak-anak perempuan Rasulullah terlebih dahulu untuk mengenakan hijab yang menutup tubuh. Hal ini merupakan petunjuk bahwa keluarga dan keturunan Rasulullah sejatinya menjadi teladan bagi seluruh perempuan Muslimin untuk meniru dan menjaga adab dan hijab tersebut dengan memakai jilbab. 2) Perintah hijab dengan mengenakan jilbab ini turun setelah tetapnya perintah syariat mengenai kewajiban menutup aurat, maka esensi dari perintah memakai jilbab itu pada dasarnya sebagai penguat untuk menutup aurat, khususnya bagi kaum Muslimah. 3) Penyebutan ketiga unsur mukhatab dari ayat tersebut secara terang dan rinci, yakni kepada: istri-istri Nabi, anak-anak perempuan Nabi dan seluruh kaum perempuan Mukminin menjadi alasan yang kuat dan tegas bahwasannya hijab berupa jilbab tidaklah disyariatkan bagi keluarga Nabi _____________ 3
Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1996), 172 Ali Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, jld. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1998), 50 5 Muhammad Ali al-Shabuniy, Tafsir Ayat Ahkam, jld. 2 (Damascus: Maktabah Ghazali, 1977), 378-9 4
Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011
135
semata, melainkan mencakup seluruh wanita Mukmin secara qath'iy (pasti), sebagaimana tersurat dalam ayat tersebut. 4) Firman Allah dalam ayat di atas: "Yang demikian itu menjadikan mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu" (dzalika adna an yu'rafna fa la yu'dzayna) menegaskan alasan hukum ('illat) dari perintah jilbab bagi kaum Muslimat, bahwa tujuan dari pensyariatan jilbab adalah untuk melindungi mereka dan menjadi identitas pembeda antara perempuan merdeka dan hamba sahaya sehingga tidak mudah diganggu oleh kaum munafik maupun fasik. Sehubungan dengan pengertian firman Allah ini, Abu Hayyan memberi penafsiran lain atas ayat ini, bahwa yang dimaksud "agar lebih dikenal" (adna an yu'rafna) maksudnya agar mereka lebih dikenal karena menjaga diri, iffah dan juga menutup diri. Dalam pandangan jumhur ulama pula, Surat Al-Ahzab (33: 59) tersebut mengandung berbagai hukum syariat, antara lain:6 1) Perintah hijab berupa jilbab disyariatkan kepada seluruh perempuan Mukmin tanpa kecuali berdasar keumuman ayat (al-'ibrah bi 'umum allafdh, la bi khusus sabab), sebab hal ini sejalan dengan spirit dan tujuan syariat, khususnya untuk menjaga kehormatan perempuan (hifdh al-'irdh). 2) Untuk maksud menjaga kehormatan tersebut, maka hijab syar'iy maupun jilbab haruslah memenuhi beberapa syarat berikut: hijab/jilbab yang dikenakan haruslah menutupi seluruh tubuh, tidak tipis, tidak membentuk lekuk tubuh dan tidak diberi wangian berlebihan yang dapat merangsang lawan jenis. Dengan demikian, kewajiban hukum hijab (jilbab) itu berlaku umum atas semua wanita dan bukan bersifat khusus hanya untuk istri Nabi, walaupun asal lafadhnya khusus bagi mereka. Sebab keumuman 'illatnya menunjukkan pada keumuman hukum di dalamnya.7 PENAFSIRAN LIBERAL ATAS PERINTAH JILBAB Kehadiran sekelompok anak muda yang tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan menyebarkan gagasan pemikiran liberal telah mengundang respon beragam dari berbagai kalangan cendekiawan dan intelektual Muslim di Indonesia. Melalui semangat revivalisme yang diusungnya lewat serangkaian gagasan dan ide pembaharuan, seperti revitalisasi ijtihad, pluralisme dan relativisme (agama), kebebasan beragama, kebebasan berekspresi hingga sekularisasi telah membuat kebanyakan Muslim di Indonesia mengalami kegerahan dan telah menimbulkan dampak yang amat luas, khususnya dalam menyikapi pelbagai persoalan keagamaan yang selama ini diyakini sebagai permanent thesis (qath'iyyat), namun dilabrak dengan begitu mudah dan leluasanya lewat berbagai penafsiran baru yang sangat berlawanan dan kontradiktif. Di antara permanent thesis yang dicoba gugat dalam permasalahan agama adalah persoalan hijab. Dalam hal ini kalangan liberal—sebagaimana dituliskan Ulil Absar Abdalla dalam artikel kontroversialnya—jilbab lebih merupakan ekspresi lokal partikular Islam di Arab sehingga tidak wajib ditiru dan diikuti. Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. _____________ 6 7
136
Ibid., 380-6 Syaikh Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), . 766
Hamdiah A. Latif: mengkritisi penafsiran kaum liberal atas jilbab perempuan
Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Jauh sebelumnya, lokomotif pembaharuan Islam di Indonesia yang dihela oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur), Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dkk. juga menyatakan hal senada tentang pentingnya pribumisasi Islam serta perlunya memisahkan unsur agama Islam dari segala elemen budaya lokal Arab. Perintah hijab seperti jilbab, dalam pandangan mereka lebih merupakan representasi budaya Arab ketimbang perintah agama yang wajib ditaati dan dikerjakan. Hampir serupa dengan pendapat liberal di atas, meski dengan ekspresi bahasa berbeda, ahli tafsir al-Qur'an terkemuka Indonesia, M. Quraish Shihab— baik dalam bukunya, Wawasan al-Qur'an maupun dalam wawancara sebuah siaran televisi—berpendapat bahwa praktik hijab lebih mencerminkan identitas suatu kaum, karenanya bentuk hijab suatu bangsa terang berbeda dengan bangsa lainnya, asalkan pantas menurut kaumnya, seperti songkok, kerudung, jilbab, yang berbeda satu dan lainnya. Pada gilirannya, keharusan memakai jilbab, dalam pandangan Shihab, sama sekali tidak bisa dipaksakan kepada siapapun, melainkan harus lebih merupakan kesadaran dirinya dan bukan sebab paksaan agama. Semua pandangan di atas tampak jelas berseberangan dengan keyakinan mainstream ulama Islam yang telah meyakini sejak lama keabsahan permanent thesis soal perintah hijab bagi perempuan. Jika ditilik lebih jauh, ada sejumlah alasan yang mendasari pandangan liberal terkait masalah hijab bagi perempuan ini, antara lain8: Pertama, berkenaan dengan ayat-ayat hijab, sebagaimana tersebut dalam Surat al-Ahzab (33: 59), dalam pandangan kaum liberal, lebih dipahami bahwa petunjuk makna bagi kasus hukum asli yang tersebut dalam ayat bukan berasal dari lafadh yang umum, melainkan karena kekhususan sebabnya (al-'ibrah bi khusus al-sabab la bi 'umum al-lafdh). Dalam hal ayat hijab Surat al-Ahzab (33: 59) ini, yang menjadi objek perintah (mukhatab) hijab ditujukan kepada istri-istri Nabi sebagaimana mula ayat berbunyi: "Wahai Nabi, katakanlah kepada istriistrimu dan anak-anakmu…," maka dengan demikian perintah jilbab itu terbatas hanya bagi keluarga Nabi sehingga turunlah perintah hijab tersebut. Kedua, sebab lain yang melatari pandangan liberal perihal hukum hijab adalah kuatnya pengaruh pemikiran filsafat Barat semisal materialis-marxis yang amat mengagungkan sebuah proses dialektika sehingga menghasilkan tesisantitesis dan sintesis dalam melihat dan memperlakukan al-Qur'an hanya sebagai sebuah teks biasa yang mungkin dibongkar dan dikritik, bukan sebagai sebuah kitab suci. Akibat lebih jauh dari pandangan ini, tidak ada satu kebenaran pun yang mungkin termapankan (established) dalam mengkaji wahyu al-Qur'an, sebab setiap tesis itu akan melalui siklus pengujian antitesis hingga nantinya tersimpul dalam sintesis. Sintesis itu sendiri pada gilirannya akan kembali menjadi tesis seperti semula yang mungkin juga diuji dengan antitesis. Dengan kata lain, penggunaan metode ini dalam memahami al-Qur'an akan mengeliminir secara perlahan kekudusan wahyu al-Qur'an, sebab kitab suci ini ditempatkan hanya sebagai sebuah teks biasa atau karya sastra, disamakan dengan pengalaman Bible _____________ 8
Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal (Jakarta: Perspektif, 2010), 425-460 Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011
137
bagi umat Kristiani yang mungkin dibantah dan dikritisi oleh siapa pun, bukan hak atau pun monopoli kaum agamawan saja. Ketiga, pengaruh tren penafsiran hermeuneutika yang menganggap realitas adalah sebab diturunkannya al-Qur'an. Terkait hal ini, salah satu tokoh pemikir liberal asal Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd menulis dalam bukunya, Naqd alKhitab al-Dini, bahwa: "Realitas adalah asal mula teks dan tidak mungkin kita abaikan. Dari realitas, teks itu terbentuk. Dari bahasa dan sistem budayanya, konsep teks itu dikonstruksi. Dan dari intensitas pergulatan manusia, petunjuknya senantiasa diperbarui. Yang pertama, kedua dan terakhir adalah realitas." Pandangan ini pada gilirannya akan menganggap segala hukum syariat yang dibawa al-Qur'an, termasuk masalah jilbab di dalamnya, sebagai sesuatu yang tidak absolut. Pasalnya, hukum-hukum yang terikat dan terkait dengan peristiwa-peristiwa tertentu dipicu oleh suatu sebab. Oleh karenanya, banyak hukum al-Qur'an itu turun disebabkan oleh peristiwa praktis dan riil atas sebab tertentu, sehingga hukum itu tidak menjadi aturan syariat yang mutlak. Selain ketiga alasan pandangan liberal di atas, terdapat pula penafsiran yang melihat perintah jilbab lebih sebagai suatu pembentuk identitas. Pandangan ini sebagaimana dikutip Shihab dalam bukunya, Wawasan Al-Qur'an, dilontarkan oleh seorang pemikir kontemporer asal Tunisia, Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur, dalam bukunya, Maqashid al-Syari'ah. ‘Asyur menyebutkan bahwa adat kebiasaan suatu kaum tidak boleh— dalam kedudukannya sebagai adat—untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu. 'Asyur kemudian memberikan beberapa contoh atas pernyataannya itu, di antaranya dari al-Qur'an Surat al-Ahzab (33:59) yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan jilbabnya. Perintah jilbab pada ayat ini—dalam pandangan 'Asyur— lebih merupakan ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini. Lebih jauh, 'Asyur menambahkan bahwa cara memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan wanita dan adat mereka. Tetapi tujuan perintah ini adalah seperti bunyi ayat itu, yakni: "agar mereka dapat dikenal (sebagai wanita Muslim yang baik) sehingga tidak diganggu" (dzalika adna an yu'rafna fa la yu'dzayna). Karenanya pula, sekalipun ayat hijab (jilbab) ini berisi perintah, namun dalam pandangan 'Asyur lebih menekankan istiadat bangsa Arab, sehingga tidak wajib diikuti bagi bangsa lain yang memiliki adat berbeda, sebagaimana halnya perintah pencatatan hutang-piutang, sekalipun sangat diperlukan, namun bukan termasuk ke dalam perintah wajib.9 Atas beberapa alasan kerancuan pemikiran liberal dalam penafsiran perintah hijab dapat dikemukakan beberapa sanggahan sebagai berikut: Pertama, hukum syariat perihal perintah hijab (jilbab) bagi perempuan bukanlah terbatas ditujukan untuk pihak-pihak yang dinyatakan atau direspon pertama kali dalam al-Qur'an, melainkan berlaku bagi setiap perempuan mukmin sesuai dengan keumuman lafadh (al-'ibrah bi umum al-lafdh la bi khusus alsabab). Sekalipun pakar tafsir al-Qur'an memang berbeda pendapat, apakah dalam menentukan makna suatu lafadh harus diperhatikan keumuman lafadh ataukah _____________ 9
138
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, 178-9
Hamdiah A. Latif: mengkritisi penafsiran kaum liberal atas jilbab perempuan
kekhususan sebab yang melatarinya, namun mayoritas ahli tafsir berpendapat bahwa makna lafadh lebih didasari oleh keumuman lafadh (al-'ibrah bi 'umum allafdh) itu. Demikian pula halnya dengan perintah hijab (jilbab) bagi perempuan.10 Kedua, Berbagai persoalan yang selama ini diyakini sebagai "wilayah tak terpikirkan" (the unthinkable things), meminjam istilah pemikir Muslim Aljazair, Mohamed Arkoun, untuk menyebut ranah persoalan qath'iy dalam Islam, telah dengan mudah ditukar dan diganti oleh kalangan liberal hanya dengan menyandarkan konsep mashlahat, dialektika materialisme, sebagai landasan hukum (tanpa klasifikasi apakah persoalan tersebut masuk dalam ranah ta'aqquli/sesuatu yang dapat dinalar; ataukah ta'abbudi/bernilai ibadah). Padahal metode yang diadopsi dari luar Islam itu tidak sepenuhnya tepat dan sesuai untuk membedah dan mengkaji kekudusan wahyu dan perintah Allah dalam al-Qur'an. Implikasi lebih jauh dari pandangan demikian, sikap "terlalu mengkritisi" ajaran agama secara berlebihan itu dapat menggiring umat ke tabir tren relativismenihilisme. Ketiga, pandangan yang menyatakan bahwa perintah kewajiban hijab itu lebih sebagai penekanan identitas juga tidak dapat dibenarkan, sebab banyak dari ajaran Islam yang masa awalnya turun untuk merespon budaya Arab, namun hukumnya kemudian berlaku jamak bagi seluruh kaum Muslimin, seperti persoalan dhihar, ila'. Demikian pula dengan perintah kewajiban hijab (jilbab) bagi perempuan yang berlaku umum untuk seluruh perempuan Muslim.
KESIMPULAN Perbedaan pandangan dan hukum antara kalangan jumhur ulama dan kalangan liberal dalam melihat perintah kewajiban hijab (jilbab) bagi perempuan tidak bisa dilepaskan dari persoalan interpretasi. penafsiran dan metodologi yang dipakai dalam membaca dan meneliti dalil nash. Bagi kalangan liberal, perintah jilbab lebih didasarkan pada kekhususan sebab turunnya surat al-Ahzab (33: 59) yang tertuju kepada istri-istri dan putriputri Nabi, sehingga bukan berlaku umum untuk seluruh kaum Muslimat (al'ibrah bi khusus al-sabab, la bi 'umum al-lafdh). Di samping itu, bagi kalangan liberal, perintah jilbab juga lebih merepresentasikan ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini. Sebab tujuan perintah hijab ini adalah seperti bunyi ayat itu, yakni: "agar mereka dapat dikenal (sebagai wanita Muslim yang baik) sehingga tidak diganggu" (dzalika adna an yu'rafna fa la yu'dzayna). Karenanya pula, sekalipun ayat hijab (jilbab) ini berisi perintah, namun lebih menekankan istiadat bangsa Arab, sehingga tidak wajib diikuti bagi bangsa lain yang memiliki adat berbeda. Karena itu pula cara memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan wanita dan adat mereka. Sementara bagi kalangan jumhur ulama, persoalan hijab (jilbab) bagi perempuan termasuk ke dalam ranah qath'iyyat (permanent thesis). Sekali pun dalam Surat al-Ahzab (33: 59) yang menjadi dalil umum tentang hijab (jilbab) perempuan, Allah memuliakan istri-istri dan anak-anak perempuan Rasulullah terlebih dahulu untuk mengenakan "hijab syar'i" yang menutup tubuh, tidak _____________ 10
Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal, 427
Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011
139
berarti kewajiban tersebut terbatas hanya kepada mereka, melainkan bersifat umum bagi seluruh Muslim perempuan (al-'ibrah bi 'umum al-lafdh, la bi khusus al-sabab). Perintah hijab ini juga turun setelah tetapnya perintah syariat mengenai kewajiban menutup aurat, maka esensi dari perintah memakai jilbab itu pada dasarnya sebagai penguat untuk menutup aurat, khususnya bagi kaum Muslimah. Tesis perintah hijab berlaku umum ini diperkuat lagi dengan penyebutan secara sharih ketiga unsur mukhatab dari ayat tersebut secara terang dan rinci, yakni kepada: istri-istri Nabi, anak-anak perempuan Nabi dan seluruh kaum perempuan Mukminin. Ini menjadi alasan yang kuat dan keras bahwasannya hijab berupa jilbab tidaklah disyariatkan bagi keluarga nabi semata, melainkan mencakup seluruh wanita Mukmin secara qath'i (pasti), sebagaimana tersurat dalam ayat. Bertolak dari sini, persoalan tafsir yang banyak dikembangkan oleh kalangan liberal akhir-akhir ini seperti persoalan hijab (jilbab) perempuan, sangat layak untuk ditelaah dan dikaji secara kritis: benarkah gagasan itu telah sesuai dengah ruh dan inti syariat ataukah hanya sebuah tawaran pemikiran serampangan guna mengusik pemahaman ajaran Islam yang benar?
DAFTAR PUSTAKA Ali Sayis. Tafsir Ayat Ahkam. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1998 Fahmi Salim. Kritik terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal. Jakarta: Perspektif, 2010 Ibnu Mandhur. Lisan al-'Arab. Beirut: Dar al-Shadir, 1990 M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur'an. Bandung: Mizan, 1996 Muhammad Ali al-Shabuniy. Tafsir Ayat Ahkam. Damascus: Maktabah Ghazali, 1977 Syaikh Imad Zaki Al-Barudi. Tafsir Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004 Ulil Absar Abdalla. "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam". Kompas, 18 November 2002
140
Hamdiah A. Latif: mengkritisi penafsiran kaum liberal atas jilbab perempuan