SISTEM PEMELIHARAAN HADITS DARI MASA KE MASA Fuadi Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh Email:
[email protected] ABSTRACT Efforts are taken to get to the accumulation of the hadiths of Prophet into the various books of hadith, has been through a long journey by taking a variety of ways. The process is long and the way the system is related to the transmission of hadith, both starting from the time of the Prophet, companions, or transmission of hadith in the post-generation friends. Maintenance authenticity of the hadith is not an effort that is not intentional, but it is an earnest effort and continuous. Therefore, it needs to be studied to see how this process takes place in various ways on a continuous basis, so the prophetic narrations maintained. Kata Kunci: Sistem, Pemeliharaan, Hadits Nabi Pendahuluan Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadits menempati posisi yang sangat vital bagi kehidupan umat Islam, karena di samping sebagai penjelas dan perinci terhadap kandungan-kandungan al-Qur’an yang bersifat global, ia juga menjadi sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Melihat posisi hadits yang demikian vital, mengharuskan umat Islam untuk lebih berhatihati, baik dalam kegiatan penerimaan, penulisan, maupun penyampaiannya kepada orang lain. Dari sikap kehati-hatian mereka inilah sehingga segala ucapan dan perbuatan serta taqrir Nabi dapat dipelihara dan sampai kepada generasi berikutnya melalui berbagai kitab hadits. Upaya untuk bisa sampai pada penghimpunan hadits dalam berbagai kitab hadits telah melalui perjalanan panjang, dan menempuh berbagai tata cara. Proses panjang dan tata cara yang dimaksud adalah berkaitan dengan sistem periwayatan hadits, baik mulai dari masa Nabi, sahabat, maupun periwayatan hadits pada masa pasca generasi sahabat. Menurut M. Syuhudi Ismail, periwayatan hadits pada masa Nabi lebih terbebas dari syarat-syarat tertentu, jika dibandingkan dengan periwayatan yang terjadi pada zaman sesudahnya. Penyebabnya adalah karena pada masa Nabi seseorang akan lebih mudah untuk melakukan klarifikasi dan pemeriksaan sekiranya ada hadits yang diragukan keshahihannya. Sementara itu, semakin jauh jarak waktu dari masa hidup Nabi, maka semakin sulit pula melakukan pengujian kebenaran suatu hadits.1 _____________ 1
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, cet. II (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 23-26 Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 1, Januari 2013
89
Di sisi lain, hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab hadits, penghimpunannya tidaklah dilakukan oleh ulama hadits secara individual dan dalam masa yang tidak selalu bersamaan. Para penghimpun hadits yang jumlahnya cukup banyak dan masa hidup mereka yang tidak semuanya sezaman itu, telah berusaha menghimpun hadits dari para periwayatnya secara langsung. Apa yang mereka lakukan adalah dalam rangka memelihara eksistensi hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam. Mengacu pada uraian di atas, maka tulisan ini mencoba untuk menguraikan secara singkat bagaimana sistem pemeliharaan hadits, untuk memberi gambaran mengenai upaya penghimpunan hadits yang dilakukan para ulama, proses pematerian dan pembukuannya serta faktor-faktor pendukung pemeliharaan. Pembahasan dilakukan secara deskriptif analisis dengan berpijak pada sumbersumber yang terbatas jumlahnya. Upaya Penghimpunan Hadits Rangkaian kegiatan untuk menghimpun hadits-hadits Nabi oleh para periwayat di awali dengan proses rihlah (perjalanan mencari hadits). Bagi para periwayat hadits, perjalanan mencari hadits adalah suatu hal yang sangat memuaskan, walaupun menghadapi berbagai kendala. Untuk memperoleh hadits yang banyak, perawi melakukan perjalanan ke daerah yang dipandang sebagian sentral hadits. Dalam hal ini, Madinah adalah daerah sasaran pertama mereka, sebab kota ini tempat Nabi hijrah dan di sini pula berakhir kehidupannya. Penduduk kota ini banyak meriwayatkan hadits Nabi,2 sehingga sangat layak jika kota ini menjadi sasaran utama rihlah. Selain Madinah, daerah yang dipandang sebagai sentral hadits lainnya adalah Mekah, Mesir, Syam, dan Basrah.3 Para periwayat hadits melawat ke daerah-daerah sentral hadits, terkadang hanya untuk menemui seorang periwayat, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu al-Ayyub yang berangkat ke Mesir hanya untuk menemui Uqbah.4 Kenyataan ini menunjukkan betapa gigihnya para perawi dalam melakukan perlawatan ke daerah-daerah tersebut. Perjalanan mencari hadits ini jika dikaitkan dengan periodisasi sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits, berlangsung pada awal-awal abad II H. Paling tidak, ada beberapa alasan mengapa para periwayat hadits melakukan lawatan antar sentral hadits, antara lain adalah karena mencari hadits adalah bagian dari ibadah dan secara sosiologis terdapat kecenderungan untuk diakui sebagai ulama hadits jika melakukan lawatan. Lawatan yang dilakukan pada abad ke II H itu baru dalam batas-batas mengumpulkan hadits berdasarkan kemampuan hafalan. Pelanggaran mengenai larangan penulisan hadits, sebagaimana yang disampaikan Nabi dalam salah satu hadisnya, oleh sebagian periwayat masih dianggap sebagai perbuatan yang kurang bermoral, sebagai akibat pemahaman yang sederhana terhadap hadits tersebut. _____________ 2
Subhi Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahahu, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), 54 3 Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 75 4 Abu al-Ayyub mencari hadits yang berbunyi: Barang siapa menutupi kesukaran seorang muslim di dunia ini, Allah akan menutupi kesukarannya pada hari kiamat. Hasbi al-Shiddieqi, Pokok-pokok…, 71 90
Fuadi: Sistem Pemeliharaan Hadits dari Masa ke Masa
Meskipun demikian, pandangan kurang bermoral ini kurang diterapkan secara nyata mengingat ditemukannya shahifah milik Abu Hurairah berjumlah 140 hadits.5 Hal yang sama terjadi pada Hasan bin Ali yang berwasiat kepada budaknya menjelang kematiannya, agar membakar seluruh kitab miliknya kecuali satu yang tertinggal.6 Hanya saja, pencatatan hadits oleh sahabat-sahabat tertentu pada saat itu masih bersifat rahasia. Proses Penulisan Hadits secara Resmi Penulisan hadits secara rahasia oleh kalangan sahabat dan tabi’in berlangsung dari masa Nabi SAW masih hidup, hingga lahirnya instruksi Khalifah Umar bin Abdul Aziz (menjadi khalifah 99 H) terhadap gubernur dalam wilayah yuridikasinya untuk melakukan upaya-upaya yang berkaitan dengan pembukuan hadits.7 Seruan khalifah ini disambut positif oleh gubernur yang berkuasa pada saat itu dan membuahkan hasil dengan tampilnya dua pelopor kodifikasi, yaitu Muhammad bin Hazm (w. 117 H) dan Muhammad bin Syihab al-Zuhri (w. 124 H).8 Ulama menetapkan al-Zuhry sebagai penyusun kitab hadis pertama. Sepeninggal al-Zuhri muncul ulama lain seperti Ibn Juraij di Makkah (80-160 H), di Madinah bin Ishak (w. 151 H) dan Malik bin Anas (93-179 H) serta Abdurrahman al-Auza’i (w. 157 H).9 Tidak ada kesepakatan di kalangan ulama mengenai siapa yang menjadi tokoh utama dalam menyusun kitab hadits di antara ulama tersebut. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa upaya pematerian pada saat itu adalah terwujudnya sejumlah kitab yang pengarangnya seperti tersebut di atas. Tampaknya, upaya ulama itu baru pada tahap koleksi hadits-hadits, belum dilakukan pemisahan antara hadits yang dipandang shahih dan tidak shahih. Proses Pembukuan Hadits Menurut Nuruddin ‘Itr, abad III H merupakan masa keemasan hadits, sebab dalam abad ini hadits dan ilmu yang berkaitan dengannya dibukukan.10 AlBukhari (w. 256 H) telah melakukan penyusunan kitab berdasarkan bab tertentu dengan kitabnya al-Jami’u al-Shahih, selanjutnya diikuti oleh imam lain seperti Muslim dengan kitab Shahih Muslim, al-Tirmidzi mengarang Sunan al-Tirmudzi, Abu Daud dengan Sunan Abi Daud, dan Ibnu Majah dengan Sunan Ibnu Majah.11 Kelima kitab tersebut dikenal dengan istilah al-Ushul al-Khamsah atau kutub alkhamsah. Selain itu, ditemukan pula kitab hadits dalam bentuk musnad, di antaranya susunan Musa bin Abdullah al-Absy dan jumlah keseluruhan adalah 29 buah. Dalam periode ini dikemukakan juga pembahasan tentang keadaan rawi yang melahirkan kaedah hadits, illat-illat hadits, dan tarjamah perawi hadits.12 Pada abad IV-VI H, muncul kitab shahih yang belum ada pada masa abad III H, kitab shahih dimaksud adalah al-Shahih oleh Ibnu Khuzaimah, al-Tafsir wa _____________ 5
Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib, jil. XII (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), 71 Muhammad bin Sa’ad, Thabaqat al-Qubra, jil. VI (Beirut: Dar al-Shadr, t.th), 259 7 Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok…, 80 8 Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok…,78 9 Syuhudi Ismail, Ulum al-Hadits…,75 10 Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naufal fi Ulum al-Hadits, terj. Mulijo, jil. I-II (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 48 11 Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naufal…, 48 12 Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naufal…, 46 6
Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 1, Januari 2013
91
al-Anwa’, al-Mustadrak oleh al-Hakim, al-Muntaqa oleh Ibnu Janud, dan lainlain. Pada abad keempat ini selesai pembinaan hadits karena dianggap seluruh hadits Nabi telah terkumpul atau terbukukan.13 Dalam bidang ilmu hadits, terlihat karya Abu Muhammad al-Ramahurmudzi (w. 360 H) yang membahas mengenai tata tertib rawi dan muhaddits, tentang teknik penerimaan dan penyampaian hadits, kesungguhan para ulama dalam mengemban ilmu hadits, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan disiplin ilmu hadits. Ada juga kitab al-Kifayah fi ‘Ilmi al-Riwayah karangan al-Khatib alBaghdadi Abu Bakar bin Ahmad bin Ali (w. 463 H) yang membahas pedoman periwayatan hadits. Pada abad VI H sampai sekarang, ulama melakukan kegiatan menertibkan isi-isi kitab hadits, menyaring dan menyusun kitab-kitab takhrij serta menyusun kitab-kitab jami’, seperti mengumpulkan hadits-hadits hukum dan mentakhrij hadits-hadits tersebut. Di antara kitab-kitab yang disusun pada periode ini adalah kitab Zawa’id, al-Sunan al-Kubra, Jami’ al-Jawami’, Bulugh al-Maram, dan lainlain. Perkembangan ilmu hadits mencapai puncak dengan disusunnya seluruh cabang ilmu hadits yang dipelopori Abu Amir Usman bin Shalah (w. 643 H), selain itu ada pula kitab ilmu hadits yang berjudul al-Irsyad karya al-Nawawi (w. 676 H) dan al-Tabshirah wa al-Tazkirah oleh al-Iraqi (w. 806 H).14 Selanjutnya, muncul fasilitas teknologi modern, terutama mesin cetak dan khususnya penggunaan alat komputer dewasa ini, sehingga dapat juga dijadikan sebagai sarana yang utama dalam rangka pemeliharaan hadits. Faktor-faktor Pendukung Pemeliharaan Hadits Dengan memperhatikan uraian sebelumnya, hendaknya dapat memberi inspirasi dalam merumuskan faktor-faktor intern yang mendukung pemeliharaan hadits, faktor intern yang dimaksud ialah: 1. Adanya hadits yang memberikan petunjuk berkenaan dengan pemeliharaan hadits. Hadis ini memberikan motivasi tersendiri bagi ulama untuk memelihara hadis. 2. Kemampuan menghafal yang kuat dari umat Islam, khususnya pada generasi sahabat dan tabi'in. 3. Sikap kehati-hatian dan selektif dalam menyikapi pemalsuan hadits. 4. Adanya peninggalan tulisan atau manuskrip dari sahabat tertentu. 5. Adanya majelis-majelis ilmu tentang hadis di kota-kota besar tempat berkumpulnya ulama. 6. Sikap serius berlandaskan ajaran agama. Adapun faktor ekstern adalah terkait dengan dukungan politik yang diberikan oleh khalifah, terutama oleh Umar bin Abdul Aziz. Kiranya juga dapat dikemukakan dukungan khalifah al-Mutawakkil ketika membela ulama hadits, yaitu dengan penolakan untuk menerima teologi Mu’tazilah sebagai teologi negara. Pada masa khalifah al-Makmun, aliran Mu’tazilah ini mendapat dukungan negara padahal kelompok ini tidak terlalu menggunakan hadis sebagai landasan hukum. Ahmad bin Hanbal dalam gerakan ini mendapat penyiksaan fisik dan tekanan bathin. Selain dari beberapa faktor di atas, peran ulama dalam memelihara _____________ 13 14
92
Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok…, 116-117 Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naufal…, 53-54
Fuadi: Sistem Pemeliharaan Hadits dari Masa ke Masa
hadits kiranya dapat diklasifikasikan kepada ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin. Ulama mutaakhirin secara umum lebih merujuk pada kitab-kitab yang telah disusun oleh ulama sebelumnya. Mereka tidak banyak mentakhrij hadits, hanya menghafal dan memeriksa sanad-sanad di dalam kitab-kitab yang sudah ada. Selain itu, pada periode ulama mutaakhirin, hadits-hadits shahih telah diklasifikasikan dalam pembukuan dan hanya sedikit yang tidak terbukukan. Beberapa Sorotan dan Kilas Balik Pembukuan hadits secara formal berlangsung pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, namun tidak berarti bahwa pembukuan itu tidak berdasarkan atas hafalan-hafalan yang telah diriwayatkan sebelumnya. Dalam hal ini, justru hafalan-hafalan itu merupakan tahapan-tahapan yang dilalui dalam sistem pemeliharaan hadits. Penghafalan hadits berlangsung sejak sahabat menerima hadits dari Nabi dan dalam hal tertentu Nabi juga memberikan penjelasan atas permasalahan yang dihadapi sahabat-sahabatnya. Ada beberapa kondisi tertentu yang memberi peluang sehingga sahabat dapat menghafal dan meriwayatkan sabda Nabi secara harfiah. Kondisi tersebut adalah: 1. Nabi berusaha menyesuaikan sabdanya dengan bahasa (dialek) kemampuan intelektual, dan latar-belakang budaya lawan bicaranya. 2. Untuk sabda tertentu, Nabi menyampaikan berulang-ulang, dua atau tiga kali, atau merincinya. 3. Tidak sedikit sabda Nabi disampaikan dalam bentuk ungkapan pendek tetapi sarat makna. 4. Ada yang disampaikan dalam bentuk do’a, zikir, dan keadaan-keadaan tertentu dalam ibadah. 5. Orang Arab dikenal sangat kuat hafalannya, dan umumnya masih buta huruf, bagi mereka bahasa tutur menjadi sangat dominan. 6. Sahabat dikenal sangat sungguh-sungguh berusaha menghafal hadits Nabi secara lafaz. Sepeninggal para sahabat, ulama berusaha memelihara dan mempertahankan kemurnian hadits sebagai sumber hukum Islam, melalui beberapa karya mereka yang gemilang. Karya tersebut dapat berupa terhimpunnya hadits-hadits Nabi dalam kitab-kitab hadits. Karya ulama dalam mengumpulkan hadits Nabi merupakan karya yang gemilang, karena upaya menghimpun hadits termasuk karya dan kerja keras. Upaya ini dipelopori oleh Umar bin Abdul Aziz. Selain itu, juga terbentuknya ilmu jarh wa al-ta’dil, karena semakin meluasnya upaya pemalsuan hadits. Atas dasar inilah ulama bangkit untuk membicarakan keadaan periwayat, menjarh dan menta’dilnya. Terumuskannya berbagai macam ilmu hadits sebagai salah satu usaha untuk mewujudkan betapa amat cermat dan telitinya ulama hadits dalam menjaga kemurnian hadits. Kesimpulan Dari uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya penghimpunan hadits dilakukan antara generasi secara berkesinambungan. Cara yang dilakukan dalam pengumpulan hadits dilakukan oleh periwayat dengan melakukan rihlah (lawatan) ke sentral-sentral hadits. Dalam upaya pematerian, terdapat Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 1, Januari 2013
93
kitab-kitab hadits yang merupakan koleksi dari hadits-hadits yang belum dilakukan pemisahan antara hadits yang shahih dan dhaif. Upaya pemisahan dilakukan oleh ulama pada abad III H. Seputar pembukuan hadits terdapat perkembangan yang ditandai dengan munculnya kitab-kitab shahih yang dikenal dengan kutub al-khamsah, dan klasifikasi menurut tertib pembahasan
DAFTAR KEPUSTAKAAN Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Tahzib al-Tahzib, jil. XII. Beirut: Dar al-Fikr, 1978 Ismail, M. Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, cet. II. Jakarta: Bulan Bintang, 1995 ‘Itr, Nuruddin. Manhaj al-Naufal fi Ulum al-Hadits, terj. Mulijo, jil. I-II. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994 Muhammad bin Sa’ad. Thabaqat al-Qubra, jil. VI. Beirut: Dar al-Shadr, t.th Al-Shalih, Subhi. Ulum al-Hadits wa Musthalahahu, terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993 Ash-Shiddieqy, Hasbi. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan Bintang, 1976
94
Fuadi: Sistem Pemeliharaan Hadits dari Masa ke Masa