KONSEP ETOS KERJA ISLAMI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh: RIF’AH MUNAWAROH NIM 11111047
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2016 i
ii
iii
iv
v
MOTTO
Bekerja Itu Ibadah, Berprestasi Itu Indah (Tasmara, 2002:73)
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (Q.S. Al-Insyiqaq: 6)
vi
PERSEMBAHAN
Atas rahmat dan ridho Allah Swt, skripsi ini penulis persembahkan untuk: 1. Bapakku, Sutarna, dan ibuku, Durotul Basaroh, dengan segala perjuangan, do‟a, keringat pengorbanan, kesabaran dan cinta kasih yang membentuk diriku menjadi seorang perempuan yang tegar dalam mengarungi kehidupan yang penuh liku. Semoga Allah Swt memberikan umur panjang, kesehatan, dan kesakinahan dalam hubungan bapak dan ibu, serta semoga Allah Swt memasukkan mereka ke dalam golongan penghuni surga. 2. Adikku, Riza Gunawan, yang selalu memberikan dukungan, perhatian, dan pengertian, utamanya dalam proses pembuatan skripsi ini. Semoga Allah Swt memberi kelancaran agar dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik, tercapai apa yang dicita-citakan, dan yang terpenting semoga Allah Swt menjadikanmu anak saleh yang dapat meninggikan derajat keluarga. 3. Kekasihku, Slamet Setiawan, yang tak pernah henti memberikan motivasi, semangat dan dukungan dalam mengarungi masa-masa sulit dalam hidupku, serta tak pernah lelah menasehatiku agar menjadi seorang perempuan yang lebih dewasa dan bijaksana. Semoga Allah Swt senantiasa menjagamu dan meridhoi niat baik kita untuk segera bersatu dalam ikatan suci pernikahan.
vii
KATA PENGANTAR
Terucap syukur kepada Allah Swt Yang Maha Sempurna beserta Asmaul HusnaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu persyaratan wajib untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Srata Satu Pendidikan Islam (S.Pd.I) Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Tak lupa sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Rasulullah saw. Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menemui hambatan, tetapi dengan rahmat-Nya dan perjuangan penulis serta bantuan berbagai pihak sehingga skripsi ini terselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan banyak terima kasih atas segala nasehat, bimbingan, dukungan, dan bantuannya kepada: 1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga. 2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga. 3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Kajur PAI IAIN Salatiga. 4. Ibu Maslikhah, S.Ag., M.Si. selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan sumbangan pemikiran terbaiknya dalam masa bimbingan hingga selesainya penulisan skripsi ini. 5. Bapak M. Gufron, M.Ag., selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan bimbingan dan motivasi untuk menjadi yang terbaik.
viii
6. Segenap dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga yang telah banyak memberikan hikmah dan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama di bangku perkuliahan. 7. Bapak dan Ibuku tercinta, yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materi serta dengan tulus dan ikhlas mengetuk pintu langit berdoa untuk kelancaran dalam menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini. 8. Keluarga Besar Biro Konsultasi Psikologi Tazkia khususnya Tim Majelis Do‟a Mawar Allah yeng telah memberikan banyak pengalaman dan pelajaran berharga bagi penulis. 9. Ibu Dr. Muna Erawati, M.Si., yang telah memotivasi penulis untuk selalu optimis dalam meraih kesuksesan. 10. Para pustakawan di IAIN Salatiga, yang telah memberikan pelayanan dalam menggali wacana selama proses perkuliahan, khususnya Mbak Fera dan Mbak Devi yang telah mendukung kelancaran pencarian bahan pustaka selama pembuatan skripsi penulis. 11. Saudara-saudaraku seperjuangan di KOPMA “FATAWA” IAIN Salatiga, yang telah memberikan pengalaman dalam berorganisasi. 12. Sahabat-sahabatku, Evi Triyani, Rini Riftiyani, Nur Anisah, Ratih Siti Nur Jannah, Yuli Hastuti, Ika Khusnul Fadhilah, Al Milatul Mizza yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini. 13. Rekan-rekanku di kelas PAI B angkatan tahun 2011, kelompok KKL, kelompok PPL, kelompok KKN yang telah memberikan banyak pengalaman berharga selama perkuliahan.
ix
x
ABSTRAK Munawaroh, Rif‟ah. 2015. Konsep Etos Kerja Islami dalam Perspektif Pendidikan Islam. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Maslikhah, S.Ag., M.Si. Kata Kunci: Etos Kerja Islami, Pendidikan Islam, Guru dan Siswa Etos kerja Islami merupakan karakter berkenaan dengan kerja yang bukan hanya berorientasi pada materi tetapi lebih jauh bekerja merupakan ibadah. Etos kerja Islami sebagai karakter kerja memiliki pandangan utuh tentang dunia dan akhirat, materi dan non materi, serta jasmani dan rohani. Peneliti tertarik untuk mengkaji tentang etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan Islam. Peneliti secara khusus mencari implikasi etos kerja Islami pada pendidikan Islam. Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: (1) Bagaimana konsep etos kerja Islami?, (2) Bagaimana konsep etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan Islam?, (3) Bagaimana implikasi etos kerja Islami terhadap guru dan siswa dalam pendidikan Islam?. Penelitian ini merupakan penelitian kajian pustaka (library research), yaitu meneliti tentang Konsep Etos Kerja Islami dan Konsep Pendidikan Islam dari berbagai literatur. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari sumber data primer yaitu data utama berupa buku-buku tentang etos kerja Islami dan pendidikan Islam dan sumber data sekunder yaitu data pendukung dari data primer yang berhubungan secara tidak langsung dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi. Metode analisis data dengan analisis deduktif, induktif, dan sintesis. Analisis deduktif memaparkan teori-teori secara umum kemudian ditarik sesuai permasalahan penelitian. Analisis induktif dengan membuat kesimpulan hasil penelitian berdasarkan temuan-temuan dari pembahasan terhadap permasalahan dalam penelitian. Analisis sintesis dengan menggabungkan antarkonsep untuk ditemukan hubungan antarkomponen. Hasil penelitian menunjukkan (1) Konsep etos kerja Islami menunjukkan bahwa bekerja merupakan fitrah dan amanah yang esensinya iman, ilmu, dan amal. Bekerja dilakukan dengan semangat jihad, menempatkan tujuan utama bekerja bukan berupa materi, melainkan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt; (2) Konsep etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan Islam merupakan konsep yang memiliki pandangan utuh tentang iman, ilmu, dan amal, kerja dan ibadah, materi dan non materi. Hal ini selaras dengan pendidikan Islam yang berlandaskan prinsip kesatuan dan keseimbangan untuk menciptakan insan kamil; (3) Implikasi etos kerja Islami bagi guru dan siswa dalam pendidikan Islam merupakan spirit yang dapat melahirkan performa kerja profesional dan religius. Etos kerja Islami bagi guru dan siswa dapat membangkitkan motivasi mengajar-belajar yang dilandasi keyakinan bahwa mengajar-belajar merupakan fitrah, amanah, dan ibadah yang dijiwai semangat jihad untuk mengintegrasikan iman, ilmu, dan amal dalam mencapai tujuan pendidikan Islam. xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
HALAMAN BERLOGO ............................................................................
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ..................................................
iii
NOTA PEMBIMBING ...............................................................................
iv
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
v
MOTTO ......................................................................................................
vi
PERSEMBAHAN .......................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ................................................................................
viii
ABSTRAK ..................................................................................................
xi
DAFTAR ISI ...............................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xvi
BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................
1
B. Fokus Masalah .....................................................................
8
C. Tujuan Penelitian .................................................................
8
D. Kegunaan Penelitian ...........................................................
9
E. Metode Penelitian ................................................................
10
F. Penegasan Istilah .................................................................
13
G. Sistematika Penulisan ..........................................................
15
xii
BAB II
BAB III
KONSEP ETOS KERJA ISLAMI ...........................................
17
A. Etos Kerja ............................................................................
17
1. Pengertian Etos Kerja .....................................................
17
2. Sumber Etos Kerja ..........................................................
19
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja ...............
24
4. Ciri-ciri Etos Kerja Tinggi ..............................................
29
5. Ciri-ciri Etos Kerja Rendah ............................................
33
B. Etos Kerja Islami .................................................................
34
1. Pengertian Etos Kerja Islami ..........................................
34
2. Sumber Etos Kerja Islami ...............................................
38
3. Prinsip-prinsip Etos Kerja Islami ....................................
44
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja Islami ....
56
5. Pedoman Sikap Pekerja Beretos Kerja Islami ................
61
6. Karakteristik Etos Kerja Islami ......................................
65
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM ...........................................
78
A. Pengertian Pendidikan Islam ...............................................
78
B. Dasar Pendidikan Islam .......................................................
84
1. Dasar Pandangan Terhadap Manusia ..............................
88
2. Dasar Pandangan Terhadap Masyarakat .........................
89
3. Dasar Pandangan Terhadap Alam Semesta ....................
89
4. Dasar Pandangan Terhadap Ilmu Pengetahuan ..............
90
5. Dasar Pandangan Terhadap Akhlak ................................
92
C. Tujuan Pendidikan Islam .....................................................
93
xiii
BAB IV
D. Karakteristik Pendidikan Islam ...........................................
95
1. Karakteristik Filosofis ....................................................
95
2. Karakteristik Substansi ...................................................
97
3. Karakteristik Aplikatif ....................................................
102
E. Domain Pendidikan Islam ...................................................
105
1. Guru ................................................................................
105
2. Siswa ...............................................................................
119
3. Materi Pendidikan Islam .................................................
124
4. Metode Pendidikan Islam ...............................................
128
5. Alat dan Media Pedidikan Islam .....................................
135
6. Lembaga Pendidikan Islam ............................................. `
137
PEMBAHASAN ......................................................................
141
A. Konsep Etos Kerja Islami ....................................................
141
1. Perpaduan Berbagai Konsep dalam Etos Kerja Islami ...
141
2. Etos Kerja Islami Melahirkan Kerja yang Religius ........
149
B. Konsep Etos Kerja Islami dalam Perspektif Pendidikan Islam ....................................................................................
154
1. Etos Kerja Islami dalam Diri Insan Kamil .....................
155
2. Etos Kerja Islami dalam Karakteristik Pendidikan Islam
160
3. Etos Kerja Islami dalam Diri Guru .................................
166
4. Etos Kerja Islami dalam Diri Siswa ................................
171
xiv
C. Implikasi Etos Kerja Islami dalam Pendidikan Islam ..........
175
1. Etos Kerja Islami dalam Membentuk Guru Profesional dan Religius ....................................................................
176
2. Etos Kerja Islami dalam Membentuk Karakter Insan Kamil pada Siswa ...........................................................
181
PENUTUP ................................................................................
191
A. Kesimpulan ..........................................................................
191
B. Saran ....................................................................................
192
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
194
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..........................................................................
198
BAB V
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup ...........................................................
198
Lampiran 2 Nota Penunjukan Pembimbing .............................................
199
Lampiran 3 Jurnal Konsultasi Skripsi ......................................................
200
Lampiran 4 Daftar Nilai SKK ..................................................................
202
xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan kewajiban bagi manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia. Setiap orang memiliki pandangan, sikap, kebiasaan yang berbeda dalam bekerja. Pandangan, sikap, kebiasaan seseorang terhadap kerja inilah yang dinamakan etos kerja (Buchori, 1994:6). Terbentuknya etos kerja didorong atau dimotivasi oleh berbagai faktor. Dorongan kebutuhan dan aktualisasi diri, nilai-nilai yang dianut, keyakinan atau ajaran agama tertentu dapat berperan dalam proses terbentuknya etos kerja (Asifudin, 2004:30). Etos kerja yang dimotivasi oleh ajaran agama, lebih khusus yaitu oleh nilai-nilai ajaran Islam disebut sebagai etos kerja Islami. Etos kerja Islami merupakan sebuah spirit yang harus mendarah daging dalam diri pribadi muslim. Allah Swt tidak akan mengubah keadaan seseorang atau suatu kaum apabila ia tidak berusaha mengubahnya sendiri, yaitu dengan bekerja. Sebagaimana penjelasan firman Allah Swt dalam Surah Ar-Ra‟du ayat 11 berikut ini:
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S. Ar-Ra‟du: 11).
1
Etos kerja Islami berbeda dengan etos kerja secara umum. Etos kerja secara umum melahirkan semangat kerja yang berorientasi untuk memperoleh kepuasan duniawi, sedangkan etos kerja Islami bukan sekadar melahirkan semangat kerja yang berorientasi pada materi atau kepuasan duniawi, melainkan lebih jauh kerja sebagai ibadah yang tujuannya untuk memperoleh ridho Allah Swt. Tasmara (2002) mengemukakan bahwa etos kerja Islami dimotivasi oleh semangat jihad dan tauhid. Semangat jihad mendorong seorang muslim untuk bekerja dengan kesungguhan yang luar biasa. Sedangkan tauhid dalam etos kerja seorang muslim menjadi daya pendorong agar terus berkreasi tanpa merasa takut terhadap apapun kecuali Allah Swt. Iman yang menghujam dalam dirinya tampak pada amal shalih yang memberikan rahmat bagi alam sekitarnya (Tasmara, 2002:39). Etos kerja seorang muslim idealnya digerakkan oleh dorongan iman dan semangat jihadnya, kemudian diolah dengan daya nalar yang tajam (Tasmara, 2002:58). Seorang yang beretos kerja Islami selalu kecanduan untuk beramal shalih, suatu perbuatan disebut sebagai amal shalih apabila perbuatan itu dilakukan dengan niat ibadah kepada Allah Swt (Sastrahidayat, 2009:12). Oleh karena itu, Tasmara (2002:73-135) mengemukakan 25 ciri seorang yang kecanduan beramal sholih sebagai karakteristik etos kerja Islami. Karakteristik etos kerja Islami tersebut tampak pada perilakunya sehari-hari, seperti: menghargai waktu, jujur, istiqomah, bertanggungjawab, memiliki semangat perubahan,
kecanduan
belajar
dan
2
mencari
ilmu,
berorientasi
pada
produktivitas, senang bersilaturahmi, dan lain-lain. Luth (2001:39-40) selanjutnya menjelaskan karakteristik seorang yang memiliki etos kerja Islami yaitu ia bekerja semata-mata karena Allah Swt, bekerja keras, dan memiliki cita-cita tinggi. Etos kerja Islami menurut Asifudin (2004:96) merupakan salah satu wujud pemahaman Islam kaffah, di antaranya yaitu menyeluruh dan seimbang dalam mengerjakan ibadah mahdhah maupun ibadah dalam arti luas seperti bekerja. Etos kerja Islami memberikan dorongan amat kuat agar kerja sebagai ibadah disikapi dan diperlakukan sebagaimana ibadah-ibadah lainnya (ibadah mahdhah) (Asifudin, 2004:57). Pemahaman tersebut membawa akibat dipraktekkannya etos kerja Islami dalam seluruh dimensi aktivitas kehidupan, baik aktivitas ubudiyah maupun keduniaan; baik aktivitas berkenaan dengan hablumminallah maupun hablumminannas (Asifudin, 2004:52-53). Etos kerja Islami yang melahirkan keyakinan bahwa bekerja sebagai ibadah, merupakan penjabaran dari tujuan hidup manusia. Tujuan hidup manusia ialah sematamata untuk mengabdi kepada Allah Swt., sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt Surah Adz-Dzariyat ayat 56 yang berbunyi:
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat:56). Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang selaras dengan tujuan hidup manusia, yaitu menjadikan hamba Allah Swt yang paling taqwa (Achmadi, 1987:90). Hamba Allah Swt yang paling taqwa merupakan gelar
3
yang akan didapatkan oleh seorang muslim yang senantiasa beribadah kepada Allah Swt. Ibadah yang dimaksud yaitu mengabdikan diri kepada Allah Swt dalam berbagai aspek kehidupan agar memperoleh ridho-Nya (Faridi, 1982:79). Beribadah kepada Allah Swt dalam berbagai aspek kehidupan atau disebut ibadah dalam arti luas merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai pendidikan Islam, sebab pendidikan Islam menuntut keseimbangan dalam aspek duniawi ukhrawi; jasmani rohani; individu dan kemaslahatan masyarakat; ilmu agama dan ilmu duniawi, serta teori dan praktik (Hafidz dan Kastolani, 2009:58-67). Ibadah harus dipahami secara komprehensif; tidak hanya terbatas pada melakukan ritual-ritual agama secara pasif saja, melainkan juga meliputi segala aspek kegiatan: iman, berfikir, merasa dan bekerja (Achmadi, 1987:90). Ibadah dalam arti luas merupakan sarana untuk melaksanakan misi khalifatullah fil ardhi. Manusia sebagai khalifatullah fil ardhi dibekali dengan potensi-potensi atau fitrah. Fitrah pada manusia tidak lain adalah sifat-sifat Allah Swt yang ditiupkannya kepada manusia sebelum lahir (Langgulung, 2004:50). Sifat-sifat Allah itu disebut dalam Al-Qur‟an sebagai nama-nama yang indah atau Asmaul Husna. Pengembangan sifat-sifat Allah setinggitingginya sesuai kemampuan manusia merupakan cara untuk mengantarkan manusia pada keberhasilan melaksanakan misi khalifatullah fil ardhi yang mampu memakmurkan alam dan membawa rahmah bagi alam sekitarnya. Tujuan tertinggi pendidikan Islam dari berbagai uraian di atas sesungguhnya adalah untuk menghasilkan insan kamil. Insan kamil adalah
4
manusia yang utuh jasmani, akal, dan rohani, berguna bagi dirinya dan masyarakat serta gemar mengamalkan ajaran Islam dalam hubungannya dengan Allah Swt dan sesama manusia serta dapat mengambil manfaat dari alam untuk kepentingan hidup di dunia dan akhirat (Daradjat, 2011:29). Konsep etos kerja Islami memiliki keselarasan dengan pendidikan Islam. Keselarasan tersebut di antaranya dapat dilihat dari pandangan keduanya yang komprehensif. Etos kerja Islami memandang kerja bukan sekadar untuk memperoleh kepuasan duniawi, melainkan lebih jauh ialah untuk mendapatkan ridho Allah Swt. Sejalan dengan pandangan tersebut, pendidikan Islam memiliki pandangan yang menyeluruh dalam aspek duniawi ukhrawi; jasmani rohani; individu dan kemaslahatan masyarakat; ilmu agama dan ilmu duniawi, serta teori dan praktik. Pandangan yang menyeluruh dalam pendidikan Islam dapat pula dilihat dari substansi pendidikan Islam yang utuh, yaitu meliputi pendidikan keimanan, pendidikan amal, pendidikan ilmiah, pendidikan akhlak, dan pendidikan sosial. Substansi tersebut marupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan membentuk pola hubungan sebagai berikut: iman adalah pondasi akhlak yang mulia, akhlak yang mulia menjadi pondasi ilmu yang benar, ilmu yang benar menjadi pondasi amal yang shalih (Aly dan Munzier, 2003:72-73). Pola hubungan yang demikian juga terdapat dalam konsep etos kerja Islami. Etos kerja Islami bersumber dari keimanan kepada Allah Swt sehingga berbuah pada keyakinan bahwa kerja adalah ibadah. Keyakinan bahwa kerja adalah ibadah melahirkan performa kerja yang penuh
5
kesungguhan, semangat yang luar biasa, dan hasil yang optimal. Performa kerja yang penuh kesungguhan ini dilandasi dengan etika yang mulia; sikap yang berlandaskan nilai-nilai yang dikehendaki oleh Allah Swt, sebab kesadaran bahwa bekerja merupakan wujud pengabdian kepada Allah Swt dan merasa selalu dalam pengawasan-Nya. Seorang yang beretos kerja Islami dalam bekerja juga berlandaskan pada ilmu, oleh karena itu membuahkan kerja yang profesional. Insan kamil sebagai manusia yang ingin diupayakan atau dihasilkan oleh pendidikan Islam, merupakan sosok manusia yang memiliki karakteristik etos kerja Islami. Insan kamil yaitu manusia yang utuh secara jasmani, akal, dan rohani. Etos kerja Islami apabila dilihat dari karakteristiknya mampu mengembangkan ketiga dimensi tersebut secara utuh. Dari segi jasmani, etos kerja Islami melahirkan karakter manusia yang memperhatikan kesehatan, karena dengan jasmani yang sehat maka akan membuahkan kerja yang optimal. Selanjutnya, dari segi akal akan menumbuhkan karakter manusia yang rasional, ilmiah, proaktif, kreatif, menguasai iptek, menggunakan perencanaan yang baik, disiplin, dan profesional. Etos kerja Islami dari segi rohani akan membentuk manusia yang bekerja dengan kejujuran dan akhlak yang mulia atas dasar keyakinan bahwa kerja merupakan wujud pengabdian dirinya kepada Allah Swt, kerja merupakan amanat dari Allah Swt yang dipikulkan padanya serta ia selalu merasa dalam pengawasan Allah Swt. Etos kerja Islami diperlukan dalam proses pendidikan Islam, hal ini di antaranya dapat dilihat dari domain guru dan siswa. Guru dalam pendidikan
6
Islam misalnya, di antaranya disyaratkan mempunyai kepribadian yang mulia, seperti mandiri dan dewasa. Kepribadian yang mandiri dan dewasa tentunya dimiliki oleh seorang yang menghayati etos kerja Islami dalam melaksanakan setiap aktivitasnya. Seorang guru selanjutnya memiliki tugas selain mengajar dan mendidik siswa, juga bertugas sebagai fasilitator, motivator, dan manager atau pemimpin. Guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya tersebut hendaknya didasarkan pada niat ikhlas karena Allah Swt, memiliki jiwa melayani, serta memiliki karakter yang patut untuk diteladani siswa, seperti sabar, jujur, disiplin, bertanggungjawab, percaya diri, konsisten, senang memperkaya wawasan keilmuan, pandai mengelola waktu dan akhlak mulia yang lainnya. Karakter seorang guru dalam perspektif pendidikan Islam seperti dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya selain harus profesional, juga harus berlandaskan keikhlasan semata-mata untuk mengabdi kepada Allah Swt. Guru dengan karakter demikian tentu tidak akan terlahir jika hanya mempraktikkan etos kerja secara umum yang berorientasi materi saja, melainkan harus dengan mempraktikkan etos kerja Islami. Etos kerja Islami hendaknya juga dimiliki oleh siswa, sebab ia adalah manusia yang akan diupayakan oleh pendidikan Islam agar menjadi insan kamil. Etos kerja Islami seperti telah diuraikan di atas memiliki karakteristik insan kamil, yaitu karakter yang utuh jasmani, akal, dan rohani. Etos kerja Islami memiliki prinsip bahwa bekerja adalah ibadah, oleh karenanya dalam perspektif siswa bekerja diterjemahkan sebagai belajar, sehingga belajar adalah
7
ibadah. Apabila siswa mampu menempatkan belajar sebagai ibadah, maka ia akan terdorong untuk menciptakan prestasi yang setinggi-tingginya. Belajar yang diinsyafi sebagai ibadah bukan hanya akan membuahkan prestasi pada siswa, tetapi lebih dari itu akan tumbuh karakter insan kamil dalam dirinya. Siswa dengan karakter insan kamil tentunya membutuhkan peran guru yang memiliki pandangan utuh dalam bekerja, yaitu guru yang mempraktikkan etos kerja Islami. Berdasarkan pada permasalahan tersebut, maka penulis berkeinginan untuk menggali lebih dalam konsep etos kerja Islami kaitannya dengan pendidikan Islam, sehingga judul yang penulis ambil dalam penelitian ini yaitu “Konsep Etos Kerja Islami dalam Perspektif Pendidikan Islam”. B. Fokus Masalah Fokus masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Konsep Etos Kerja Islami dalam Perspektif Pendidikan Islam”. Fokus masalah tersebut dapat dirinci dalam sejumlah pertanyaan berikut: 1. Bagaimana konsep etos kerja Islami? 2. Bagaimana konsep etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan Islam? 3. Bagaimana implikasi etos kerja Islami terhadap guru dan siswa dalam pendidikan Islam? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui konsep etos kerja Islami.
8
2. Untuk mengetahui konsep etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan Islam. 3. Untuk mengetahui implikasi etos kerja Islami terhadap guru dan siswa dalam pendidikan Islam. D. Kegunaan Penelitian Kegunaan atau manfaat dari hasil penelitian yang penulis harapkan adalah: 1. Teoretik Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi khasanah keilmuan pendidikan Islam, antara lain berupa temuan keselarasan antara konsep etos kerja Islami dengan tujuan pendidikan Islam yaitu untuk membentuk insan kamil. 2. Praktis a. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai motivasi untuk melaksanakan tugas secara profesional karena tumbuh kesadaran dalam dirinya bahwa tugas yang dipikulnya merupakan amanat dari Allah Swt. b. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai motivasi untuk belajar dengan giat, dan lebih jauh lagi timbul dalam dirinya sebuah semangat untuk berprestasi karena semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt. c. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai penambah wawasan untuk mengupayakan timbulnya etos kerja khususnya terhadap guru dan siswa.
9
d. Bagi peneliti sendiri, hasil penelitian ini selain dapat mengembangkan wawasan keilmuan juga sebagai motivasi agar lebih bersemangat dalam beramal di dunia, utamanya dalam rangka membagi ilmu pengetahuan kepada orang lain atas dasar ibadah kepada Allah Swt. E. Metode Penelitian Metode penelitian dalam penelitian ini didasari oleh beberapa hal pokok agar dapat digunakan untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, antara lain: jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kajian pustaka (library research), yaitu menghimpun data dari berbagai literatur, tidak terbatas pada buku-buku tetapi dapat juga berupa bahan-bahan dokumentasi, majalahmajalah, koran-koran, dan lain-lain. Literatur-literatur tersebut di dalamnya dapat ditemukan berbagai teori, hukum, dalil, prinsip-prinsip, pendapat, gagasan, dan lain sebagainya yang dapat dipergunakan untuk menganalisis dan memecahkan masalah yang diselidiki (Nawawi, 1995:30). Dalam penelitian ini penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: a. Meneliti literatur-literatur tentang etos kerja Islami dan pendidikan Islam sebagai objek kajian utama penelitian. b. Mengidentifikasi permasalahan-permasalahan berkaitan dengan ”Konsep Etos Kerja Islami” dalam literatur-literatur tentang etos kerja Islami dan
10
“Konsep Pendidikan Islam” dalam literatur-literatur tentang pendidikan Islam. c. Memaparkan berbagai teori tentang “Konsep Etos Kerja Islami” dan “Konsep Pendidikan Islam”, kemudian ditarik kesimpulan dari beberapa teori yang sesuai dengan pokok permasalahan dalam penelitian. d. Menganalisis pokok permasalahan dengan cara menguraikan “Konsep Etos Kerja Islami”, kemudian mencari perspektif “Pendidikan Islam” terhadap “Konsep Etos Kerja Islami”, dan implikasi “Etos Kerja Islami dalam Pendidikan Islam”, khususnya ditinjau dari domain guru dan siswa. e. Menyimpulkan hasil penelitian berdasarkan fokus masalah dalam penelitian. 2. Sumber Data Data-data yang terkait dengan penelitian ini dikumpulkan melalui studi pustaka. Penulis dalam penelitian ini menggunakan 2 sumber data yaitu sebagai berikut: a. Sumber Data Primer Sumber data primer adalah sumber data utama yang akan dikaji sebagai bahan rujukan dalam penelitian. Data primer dalam penelitian ini adalah buku-buku yang membahas etos kerja Islami dan pendidikan Islam.
11
b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder adalah data pendukung dari data primer. Data sekunder diambil dari sumber-sumber yang lain, yaitu dengan cara mengumpulkan data dari buku, internet, dan informasi lainya yang berhubungan secara tidak langsung dengan permasalahan dalam penelitian ini. 3. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi dilakukan dengan menyelidiki bendabenda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya (Arikunto, 2010:201). Penulis dalam penelitian ini menggunakan benda-benda tertulis yaitu buku-buku etos kerja Islami, pendidikan Islam dan buku-buku lainnya yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. 4. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah: a. Deduktif Metode deduktif adalah metode berfikir yang berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum, dan bertitik tolak dari yang umum itu kita hendak menilai suatu kejadian yang khusus (Hadi, 1981:42). Metode deduktif dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan berbagai teori tentang konsep etos kerja Islami dan konsep pendidikan Islam kemudian
12
ditarik kesimpulan dari beberapa teori yang sesuai dengan pokok permasalahan dalam penelitian. b. Induktif Metode induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari faktafakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkret, kemudian ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum (Hadi, 1981:42). Metode ini digunakan untuk membuat kesimpulan hasil penelitian berdasarkan temuan-temuan dari pembahasan terhadap fokus masalah dalam penelitian ini. c. Sintesis Sintesis yaitu metode untuk mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori lainnya, kemudian kaitan satu kategori dengan kategori lainnya diberi nama/ label lagi (Moleong, 2009:289). Metode ini digunakan untuk menganalisis mengenai konsep etos kerja Islami, perspektif pendidikan Islam terhadap konsep etos kerja Islami, dan implikasi etos kerja Islami terhadap guru dan siswa dalam pendidikan Islam. F. Penegasan Istilah Untuk menghindari kesalahan dalam memahami judul penelitian, maka penulis memberikan pengertian dan batasan penelitian ini, yaitu: 1. Etos Kerja Islami Etos kerja adalah sikap terhadap kerja, pandangan terhadap kerja, kebiasaan kerja, ciri-ciri tentang cara bekerja atau sifat-sifat mengenai cara
13
bekerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompok atau suatu bangsa (Buchori, 1994:6). Etos kerja menurut Asifudin (2004:27) adalah karakter dan kebiasaan berkenaan dengan kerja yang terpancar dari sikap hidup manusia yang mendasar terhadapnya. Etos kerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2007:309-310). Etos kerja Islami dapat didefinisikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga sebagai manivestasi dari amal sholih dan oleh karenanya mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur (Tasmara, 2002:27). Asifudin (2004:234) menjabarkan etos kerja Islami sebagai karakter dan kebiasaan manusia berkenaan dengan kerja, terpancar dari sistem keimanan atau aqidah Islam yang merupakan sikap hidup mendasar terhadapnya. Etos kerja Islami menurut Anoraga (2009:29) adalah suatu pandangan dan sikap bahwa kerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi dan kepuasan lahiriah saja, tetapi yang lebih hakiki kerja merupakan perintah Allah Swt sehingga di sinilah sumber motivasi yang bisa membimbing dan memberi arahan semangat pengabdian. Etos kerja Islami menurut penulis dalam penelitian ini adalah karakter dan kebiasaan berkaitan dengan kerja yang terpancar dari keyakinan bahwa bekerja itu bukan sekadar untuk memperoleh kepuasan
14
lahiriah atau duniawi, tetapi yang lebih hakiki bekerja sebagai ibadah dalam rangka memperoleh ridho Allah Swt. 2. Pendidikan Islam Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk mengembangkan fitrah manusia dan sumber daya insani menuju terbentuknya insan kamil sesuai dengan norma Islam (Achmadi, 1987:9). Pendidikan Islam menurut Marimba (1989:23) adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian muslim. Tafsir (2008:32) menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin dalam segala aspeknya. Berdasarkan pada definisi di atas, maka pengertian pendidikan Islam menurut
penulis
dalam
penelitian
ini
adalah
bimbingan
untuk
mengembangkan fitrah manusia berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam menuju terbentuknya kepribadian muslim dalam hubungannya dengan Allah Swt, dengan sesama manusia, serta dengan alam sekitar. G. Sistematika Penulisan Penelitian ini berisi lima bab untuk membahas Konsep Etos Kerja Islami dalam Perspektif Pendidikan Islam, sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
BAB I
PENDAHULUAN Pada bab ini memuat tentang latar belakang masalah, fokus masalah,
tujuan
penelitian,
kegunaan
penelitian dan sistematika penulisan.
15
penelitian,
metode
BAB II
KONSEP ETOS KERJA ISLAMI Pada bab ini membahas tentang etos kerja dan etos kerja Islami. Pembahasan mengenai etos kerja meliputi pengertian, sumber, faktor-faktor yang mempengaruhi etos kerja, ciri-ciri etos kerja tinggi dan etos kerja rendah. Selanjutnya pembahasan mengenai etos kerja Islami meliputi pengertian, sumber, prinsip-prinsip etos kerja Islami, faktor-faktor yang mempengaruhi etos kerja Islami, pedoman sikap pekerja beretos kerja Islami, dan karakteristik etos kerja Islami.
BAB III
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM Pada bab ini berisi tentang pengertian pendidikan Islam, dasar pendidikan
Islam,
tujuan
pendidikan
Islam,
karakteristik
pendidikan Islam, dan domain pendidikan Islam. BAB IV
PEMBAHASAN Pada bab ini penulis akan membahas tentang konsep etos kerja Islami, konsep etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan Islam, dan implikasi etos kerja Islami terhadap guru dan siswa dalam pendidikan Islam.
BAB V
PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi beberapa kesimpulan dan beberapa saran.
16
BAB II KONSEP ETOS KERJA ISLAMI
A. Etos Kerja 1. Pengertian Etos Kerja a. Pengertian Bahasa Etos kerja secara etimologi berasal dari kata etos dan kerja. Kata etos berasal dari kata dalam bahasa Yunani ethos yang artinya ialah ciri, sifat, atau kebiasaan, adat istiadat atau juga kecenderungan moral, pandangan hidup yang dimiliki seseorang, suatu kelompok atau suatu bangsa (Buchori, 1994:6). Kata etos dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2007:309). Etos dalam kamus sosiologi memiliki arti nilai-nilai dan ide-ide dari suatu kebudayaan atau karakter umum suatu kebudayaan (Soekanto, 1983:106). Arti kata etos dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia adalah watak dasar suatu masyarakat, sedangkan perwujudan luarnya adalah struktur dan norma sosial (Wiradi, 2004:218). Kata kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan atau sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah; mata pencaharian (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2007:554). Kerja dalam arti luas adalah semua bentuk usaha yang
17
dilakukan manusia, baik dalam hal materi atau non materi, intelektual atau fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan atau keakhiratan (Sofyan, 2010:76). Asifudin (2004:58) mengemukakan arti kerja kepada tiga hal: Pertama, kerja merupakan aktivitas bertujuan maka dengan sendirinya dilakukan secara sengaja; Kedua, pengertian kerja dalam konteks ekonomi adalah penyelenggaraan proses produksi maka merupakan upaya memperoleh hasil. Pengertian kerja di sini mencakup pula konteks keagamaan, oleh karenanya pengertian hasil dapat bersifat transenden dan non materil, di samping bersifat materil; dan Ketiga, kerja itu mencakup kerja bersifat fisik dan non fisik atau kerja batin. Kesimpulannya, kerja menurut Asifudin (2004:59) berarti aktivitas bertujuan memperoleh hasil, mencakup kerja lahir dan batin. Penjelasan mengenai kerja lahir dan batin ini secara lebih rinci adalah sebagai berikut: Kerja lahir merupakan aktivitas fisik, anggota badan, termasuk panca indera seperti melayani pembeli di toko, mencangkul di kebun, mengajar di sekolah, menjalankan sholat, dan mengawasi anak buah bekerja. Kerja batin, ada dua macam: pertama, kerja otak, seperti belajar, berpikir kreatif, memecahkan masalah, menganalisis, dan mengambil kesimpulan, kedua kerja qalb, seperti berusaha menguatkan kehendak mencapai cita-cita, berusaha mencintai pekerjaan dan ilmu pengetahuan, sabar dan tawakal dalam rangka menghasilkan sesuatu (Asifudin, 2004:59). As‟ad (2003:47) sejalan dengan pengertian kerja menurut Asifudin (2004) tersebut, mengemukakan bahwa kerja merupakan aktivitas manusia baik fisik maupun mental yang pada dasarnya merupakan bawaan dan mempunyai tujuan yaitu mendapat kepuasan.
18
b. Pengertian Istilah Pengertian etos kerja secara terminologi dapat dilihat dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli. Etos kerja menurut Buchori (1994:6) adalah sikap terhadap kerja, pandangan terhadap kerja, kebiasaan kerja, ciri-ciri tentang cara bekerja atau sifat-sifat mengenai cara bekerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompok atau suatu bangsa. Buchori (1994:7) selanjutnya menjelaskan bahwa: “Etos kerja adalah bagian dari tata nilai (value system)”. Etos kerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2007:309-310). Asifudin (2004:27) mengemukakan bahwa etos kerja merupakan karakter dan kebiasaan berkenaan dengan kerja yang terpancar dari sikap hidup manusia yang mendasar terhadapnya. Sikap hidup mendasar ini terbentuk dari dorongan kebutuhan dan aktualisasi diri, nilai-nilai yang dianut, serta keyakinan atau ajaran agama (Asifudin, 2004:30). Etos kerja berdasarkan uraian di atas menurut penulis dapat disimpulkan sebagai sikap, pandangan, karakter, kebiasaan berkenaan dengan kerja, atau dapat juga diartikan sebagai semangat yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok dalam bekerja. 2. Sumber Etos Kerja Sumber etos kerja menurut kesimpulan Siswanto (2012) berdasarkan pengamatannya terhadap berbagai hasil penelitian ada tiga hal, yaitu: nilai-
19
nilai religius, nilai-nilai budaya, serta ideologi masyarakat. Penjelasan mengenai sumber-sumber tersebut adalah sebagai berikut: a. Nilai-Nilai Religius Sebagian analisis menguraikan bahwa sumber utama bagi etos kerja yang baik adalah keyakinan religius, dan agaknya memang terdapat hubungan yang signifikan antara ajaran-ajaran agama dengan etos kerja suatu masyarakat. Tesis Weber mengungkapkan adanya pengaruh ajaran agama, dalam hal ini sekte Protestant Calvinist di Eropa terhadap kegiatan ekonomi para penganutnya, masalah perkembangan suatu masyarakat dengan sikap mereka terhadap makna kerja. Doktrin-doktrin dalam agama Protestant Calvinist menekankan kerja keras adalah suatu keharusan bagi setiap manusia untuk mencapai kesejahteraan; pekerjaan sebagai suatu panggilan jiwa bagi manusia, sehingga kerja merupakan kewajiban hidup yang sakral. Paradigma penting Weber adalah bahwa masalah development dan underdevelopment dari suatu etnis atau suatu bangsa adalah masalah dimiliki atau tidaknya etos kerja yang sesuai dengan pembangunan. Semakin tinggi etos kerja yang dimanifestasikan dalam kemampuan mereka untuk bekerja keras serta hidup hemat dan sederhana, semakin besar kemungkinan mereka berhasil dalam usahausaha pembangunan. Jika etnis atau bangsa memiliki etos kerja yang rendah maka sebaliknya yang akan terjadi (Siswanto, 2012:228). Penemuan Weber tersebut banyak mempengaruhi ahli-ahli ilmu sosial yang lain. Bellah adalah salah satu ilmuwan yang terpengaruh.
20
Bellah dalam penelitiannya tentang agama Tokugawa memperlihatkan bagaimana dua jenis kegiatan religius (Budhisme dan Konfusianisme) telah menguatkan nilai-nilai dasar tentang prestasi dan partikularisme. Keduanya
menjadikan
hubungan-hubungan
partikularistik
dengan
bersifat sakral dan menitikberatkan pentingnya prestasi yang tinggi dalam melaksanakan kewajiban sebagai syarat penyelamatan religius (Siswanto, 2012:229). Budhisme Zen, menurut Bellah sangat menghargai kegiatan produktif. “Hari tanpa kerja berarti hari tanpa makan” merupakan aturan pertama dalam kehidupan kuil Zen. Kerja adalah sesuatu yang suci karena dipandang paling tidak sebagai sebagian dari upaya membalas rahmat yang diterima. Hal yang paling utama di dalam hidup seseorang adalah ketekunan dan loyalitas pada pekerjaan. Di samping itu terdapat pula nilai-nilai sakral yang sangat dipegang dan dihormati oleh bangsa Jepang yang terkandung dalam konsep girl (kewajiban), bungen (status), na (kehormatan), dan jisel (semangat tentang waktu). Akar-akar budaya ini telah membantu tercapainya sukses Jepang. Kini Jepang merupakan bangsa non Barat yang telah mentransformasikan dirinya menjadi satu bangsa industri modern. Sedangkan inti ajaran Konfusianisme yang berisi keutamaan loyalitas, nasionalisme, kolektivisme sosial, dan kepentingan akan teknologi, menjadi dasar hidup masyarakat di negara Hongkong, Korea, Singapura dan Taiwan. Keempat negara tersebut di kawasan Asia
21
dikenal sebagai The Four Small Dragon of Asia (Siswanto, 2012:229230). Ajaran yang merupakan dasar etos kerja bagi agama Hindu, terkandung dalam dharma. Masyarakat Hindu punya kewajiban untuk menaati hukum karmayoga, suatu norma yang menyatakan bahwa bekerja sesuai dengan swadharma masing-masing merupakan inti dari yadnya (ibadah) (Siswanto, 2012:231). Agama Islam juga memiliki konsep-konsep yang merupakan acuan bagi etos kerja. Agama Islam menggariskan syariah (hukum sakral) sebagai sumber aturan dalam berperilaku beserta sumber panutan yang mengajarkan kesetiaan dan ketekunan. Hal ini dipertegas oleh penelitian dan tulisan yang disampaikan, antara lain oleh: Sobari dalam Siswanto (2012:230) yang berkesimpulan bahwa keshalihan merupakan sumber energi, pendorong gairah kerja. Ia bukan sekadar lahan subur bagi tumbuhnya etos kerja, melainkan etos kerja itu sendiri. Muahimin dalam Siswanto (2012:230) menyatakan bahwa norma dalam Islam merupakan bagian dari sistem nilai yang mewajibkan manusia untuk bekerja keras. b. Nilai-Nilai Budaya Etos kerja di samping berasal dari nilai-nilai religius, juga bersumber dari nilai-nilai budaya. Koentjaraningrat dalam Siswanto (2012:231) mengatakan, bahwa sistem nilai budaya atau cultural value systems dan sikap atau attitudes menyebabkan timbulnya pola-pola cara
22
berpikir tertentu pada warga suatu masyarakat dan sebaliknya pola-pola cara berpikir ini yang mempengaruhi tindakan-tindakan dan kelakuan mereka, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam hal membuat keputusan-keputusan yang penting dalam hidup. Artinya, sistem nilai budaya dan sikap yang dimiliki mempengaruhi terhadap etos kerja setiap individu sebagai anggota masyarakat maupun terhadap suatu masyarakat sebagai suatu lembaga (Siswanto, 2012:231). c. Ideologi Masyarakat Etos kerja di samping berasal dari nilai religius dan nilai-nilai budaya, juga bersumber dari ideologi yang dimiliki masyarakat. Masyarakat Barat berhasil mengembangkan industri dengan sains sebagai dasar utamanya karena cara berpikir mereka
yang cenderung
merasionalisasikan persoalan. Masyarakat Jepang demikian pula, mereka tidak ragu-ragu untuk belajar dan meniru dari orang lain sepanjang itu bermanfaat dan tidak merugikan mereka. Bangsa Indonesia juga sesungguhnya telah memiliki pijakan yang kuat untuk membina etos kerja yang menunjang kemajuan. Bangsa Indonesia di samping memiliki sikap hidup yang religius, juga mempunyai Pancasila sebagai dasar-dasar nilai luhur yang tak pernah kering. Pancasila sebagai etos kebudayaan nasional menegaskan, bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat meresapi serta menjiwai kehidupan manusia Indonesia baik dalam bidang kelembagaannya maupun dalam kelakuan individualnya. Nilai-nilai yang terkandung
23
dalam Pancasila yaitu budi pekerti, gotong royong, dan keadilan merupakan dasar etos kerja yang seharusnya dimiliki bangsa Indonesia. Kini tinggal bagaimana bangsa Indonesia memanfaatkan gagasangagasan etos kerja yang dilandasi nilai luhur dalam Pancasila tersebut ke dalam gagasan-gagasan pembangunan. Pentingnya etos kerja yang tinggi bagi keberhasilan pembangunan nasional tidak lagi dapat disangkal (Siswanto, 2012:231-232). Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai religius yang bersumber dari agama, nilai-nilai kebudayaan, serta ideologi suatu bangsa atau masyarakat mampu menjiwai karakter kerja dari suatu kelompok masyarakat, bangsa maupun perseorangan, sehingga ketiganya menjadi sumber bagi terbentuknya etos kerja. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja Manusia adalah makhluk biologis, sosial, intelektual, dan spiritual yang berjiwa dinamis. Oleh karena itu, manusia dalam hidupnya termasuk dalam
kehidupan
kerjanya
sering
mengalami
kesukaran
untuk
membebaskan diri dari pengaruh faktor-faktor tertentu, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Faktor yang bersifat internal timbul dari faktor psikis, misalnya: dorongan kebutuhan, frustasi, suka atau tidak suka, persepsi, emosi, kemalasan, dan sebagainya. Sedangkan faktor yang bersifat eksternal datangnya dari luar, seperti: faktor fisik, lingkungan alam, pergaulan, budaya, pendidikan, pengalaman dan latihan, keadaan politik,
24
ekonomi, imbalan kerja, serta janji dan ancaman yang bersumber dari ajaran agama (Asifudin, 2004:33). Anoraga (2005) mengemukakan ketenangan dan kegairahan bekerja seorang karyawan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a. Faktor kepribadian dan kehidupan emosional sendiri, termasuk dalam faktor ini adalah kesesuaian tugas yang dipegangnya dengan kemampuan dan minatnya; b. Faktor luar, yang terdiri dari faktor job security, kemungkinan untuk mendapat kemajuan, lingkungan kerja, relasi dengan teman sekerja, relasi dengan pimpinan, dan gaji. 1) Job security, maksudnya pekerjaan yang dipegang merupakan pekerjaan yang tetap, jadi bukan pekerjaan yang mudah digesergeser, diungkit, diganti, dan lain sebagainya. Adanya kemungkinan akan dirumahkan, diberhentikan, digeser, merupakan faktor pertama yang mengurangi ketenangan dan kegairahan kerja seorang karyawan. Artinya karyawan tersebut dalam situasi yang demikian akan hanya bekerja secara rutin saja, sekadar melakukan tugas seharihari, sedangkan produktivitas, kreativitas, inisiatif sangat kurang optimal, karena konsentrasi terbagi secara naluriah; 2) Kemungkinan/kesempatan untuk mendapat kemajuan; 3) Kondisi kerja yang menyenangkan. Suasana lingkungan kerja yang harmonis, tidak tegang merupakan syarat bagi timbulnya gairah. Juga suasana lingkungan kerja tidaklah suram;
25
4) Good working companion atau rekan sekerja yang baik. Hubungan sosial yang ada di antara karyawan merupakan faktor yang cukup penting untuk dapat menimbulkan kegairahan kerja. Adanya ketegangan yang muncul dalam hubungan ini mudah sekali menimbulkan akibat yang kurang baik bagi gairah kerja. Dalam hal ini faktor kepribadian seringkali menonjol, yang merupakan faktor yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi harmoni dalam hubungan sosial antarkaryawan, demikian juga latar belakang kebudayaan dan adat kebiasaan karyawan; 5) Hubungan dengan pimpinan atau faktor pimpinan yang baik. Pimpinan yang baik ini akan menimbulkan rasa hormat dan menghargai dari karyawan kepadanya. Dalam hal ini faktor kepemimpinan merupakan faktor yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi hubungan baik antara pimpinan dengan karyawan atau bawahan; 6) Kompensasi, gaji atau imbalan. Faktor ini walaupun pada umumnya tidak menempati urutan-urutan paling atas, tetapi masih merupakan faktor yang mudah mempengaruhi ketenangan dan kegairahan kerja karyawan. Tingginya gaji atau imbalan merupakan sesuatu yang relatif. Bagi seorang karyawan yang baru akan memasuki suatu perusahaan, maka imbalan yang akan diterima pada umumnya diperbandingkan dengan imbalan yang mungkin diterima dari perusahaan-perusahaan lain. Perbedaan yang mencolok dapat
26
menggoyahkan gairah, tetapi menurut penelitian umumnya masih bisa dipatahkan oleh faktor kemungkinan maju (Anoraga, 2005:85). Lebih
lanjut
As‟ad
(2003)
menjelaskan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kepuasan kerja adalah faktor psikologis, sosial, fisik, dan finansial, yaitu sebagai berikut: a. Faktor psikologis, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap kerja, bakat, dan keterampilan; b. Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antara sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaan; c. Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur, dan sebagainya; d. Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan, yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi dan sebagainya (As‟ad, 2003:115-116). Faktor-faktor yang mempengaruhi etos kerja berdasarkan uraian di atas menurut penulis dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor-faktor yang mendorong etos kerja dan faktor-faktor yang menghambat etos kerja.
27
Faktor-faktor yang mendorong maupun menghambat etos kerja dapat dibagi menjadi faktor yang berasal dari dalam diri yang disebut faktor internal dan faktor yang berasal dari luar yang disebut faktor eksternal. a. Faktor yang mendorong etos kerja, yaitu hal-hal atau suatu kondisi yang dapat mendorong semangat kerja seseorang atau suatu kelompok. 1) Faktor internal pendorong etos kerja, seperti: kondisi kesehatan yang baik; usia produktif; memiliki kepribadian produktif; kesesuaian antara tugas atau pekerjaan yang dihadapi dengan kemampuan atau keterampilannya;
terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan
khususnya
kebutuhan akan rasa aman, afiliasi dan cinta, pengakuan dan penghargaan, serta aktualisasi diri; kondisi emosi tertentu seperti ketika sedang bahagia. 2) Faktor eksternal pendorong etos kerja, seperti: pemimpin yang mampu memberi inspirasi dan menggugah semangat bawahannya; hubungan dengan atasan dan dengan sesama teman kerja yang baik; adanya kesempatan untuk maju atau mendapat promosi; gaji, tunjangan, jaminan sosial yang sesuai; kondisi fisik lingkungan yang baik, seperti perlengkapan kerja, pencahayaan, sirkulasi udara. b. Faktor yang menghambat etos kerja, yaitu hal-hal atau kondisi yang menghambat semangat kerja seseorang atau suatu kelompok. 1) Faktor internal penghambat etos kerja, seperti: kondisi kesehatan yang buruk; memiliki kepribadian vested interest yaitu sikap penuh keraguan, cemas, iri, cemburu, dan suka meremehkan; kebutuhan akan
28
rasa aman, afiliasi dan cinta, penghargaan dan pengakuan serta aktualisasi diri yang tidak terpenuhi; kejenuhan dan kelelahan yang dipaksakan. 2) Faktor eksternal penghambat etos kerja, seperti: pemimpin yang tidak dapat mengorganisir sistem kerja dengan baik dan tidak mampu menjadi teladan bagi bawahannya; hubungan dengan atasan dan dengan sesama rekan kerja yang buruk; tidak ada kesempatan untuk maju atau mendapat promosi; gaji, tunjangan, jaminan sosial yang tidak sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan; kondisi lingkungan fisik, seperti penerangan dan sirkulasi udara yang buruk, fasilitas yang tidak memadai, penataan ruang kerja yang buruk atau tidak tepat, dan sebagainya. 4. Ciri-Ciri Etos Kerja Tinggi Ciri-ciri orang yang beretos kerja tinggi menurut Asifudin (2004:38) pada umumnya memiliki sifat-sifat berikut ini: (1) aktif dan suka bekerja keras; (2) bersemangat dan hemat; (3) tekun dan profesional; (4) efisien dan kreatif; (5) jujur, disiplin, dan bertanggungjawab; (6) mandiri; (7) rasional serta mempunyai visi yang jauh ke depan; (8) percaya diri namun mampu bekerjasama dengan orang lain; (9) sederhana, tabah dan ulet; (10) sehat jasmani dan rohani. Shalih (2009) menjelaskan bahwa karakter orang yang berhasil mencapai puncak karir dalam dunia kerja adalah sebagai berikut:
29
a. Jujur, yaitu sikap menyampaikan apa adanya tanpa kepentingan untuk menambah atau mengurangi, lurus hati, bersikap tidak curang, serta menjauhkan diri dari segala bentuk kebohongan; b. Berpandangan jauh ke depan, yaitu berpikir ke masa depan; mampu memprediksi serta mampu merencanakan pencapaian masa depan; c. Dapat memberi inspirasi, artinya ia mampu mendorong dan menjadi sumber motivasi bagi munculnya sebuah pemikiran baru pada pihak lain; d. Kompeten, yaitu kemampuan dan kecakapan diri yang unggul. Artinya ia memiliki keinginan kuat untuk melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan kemampuan diri, bertekad untuk menguasainya, dan bersedia mengembangkan segala kemampuan; e. Adil, yaitu kemampuan seseorang untuk menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya, mampu bertindak secara profesional, serta mampu memperlakukan seseorang sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya; f. Mendukung, yaitu sikap suka mendorong, memotivasi, dan membantu pencapaian ambisi, keinginan, dan tujuan orang lain dengan penuh itikad baik dan membangun persahabatan demi kesuksesan bersama; g. Berpandangan luas, yaitu kemampuan untuk berpikir, melihat, serta menilai sesuatu secara menyeluruh dan utuh. Kemampuan tersebut didukung dengan pertimbangan segala aspek dari berbagai sudut pandang; baik buruk, benar salah, manfaat mudarat, halal haram, dan sebagainya;
30
h. Cerdas, artinya mampu berpikir dan bersikap strategis, jeli, visioner, serta memiliki semangat tinggi dalam mewujudkan tujuan dan keberhasilan; i. Terus terang, yaitu sikap terbuka dalam mengungkapkan pikiran dan emosi. Tidak ada keraguan dalam mengungkapkan sikap yang dia yakini benar, walaupun terasa pahit. Menjauhkan diri dari sikap menggerutu, menilai sesuatu secara sembunyi-sembunyi, dan dari konflik dalam bekerjasama dengan orang lain; j. Berani, yaitu tidak takut terhadap resiko, berani bertanggungjawab, dan bersedia menerima resiko; k. Dapat diandalkan, yaitu konsistensi dalam mengapresiasikan kerja dan kesetiaan dalam mengabdikan diri pada pekerjaan sehingga tumbuhlah sikap kepercayaan orang lain terhadap dirinya; l. Dapat
bekerjasama,
yaitu
melakukan
pekerjaan
dalam
sebuah
kebersamaan dengan orang lain secara sinergis, saling membantu, saling menghormati, penuh kesadaran dan semangat demi kesuksesan bersama; m. Kreatif, artinya dalam sepak terjangnya memiliki beragam variasi sehingga tidak membosankan dan selalu memunculkan hal-hal baru; n. Peduli pada orang lain, yaitu sikap perhatian kepada orang lain dan memperlakukan mereka dengan rasa segan, hormat, serta menghargai; o. Tegas, yaitu sikap seseorang yang dibangun atas dasar keyakinan dan prinsip yang kuat sehingga tidak ragu-ragu dan tidak mudah goyah oleh berbagai godaan yang menghadang;
31
p. Matang, yaitu sikap dewasa, bijaksana, serta tenang dalam mengambil keputusan dan menyikapi setiap permasalahan; q. Berambisi, yaitu berkeinginan keras untuk mencapai sesuatu dengan penuh semangat dan antusiasme. Orang yang berambisi memiliki rasa percaya diri tinggi, dinamis, mau mengambil resiko, spontan, bersedia untuk
mengarahkan,
mandiri,
mempunyai
lebih
banyak
ide
duibandingkan dengan jam kerjanya sendiri; r. Loyal, yaitu sikap setia kepada seseorang, gagasan, atau pekerjaan. Sikap ini terkadang disertai sikap berani berkorban untuk organisasi atau kelompok di mana dia menjadi bagian di dalamnya. Seorang yang loyal berkomitmen untuk memberikan yang terbaik; s. Mampu mengendalikan diri, yaitu mampu mengelola emosinya dengan baik dan dapat menahan untuk tidak menunjukkan emosinya secara berlebihan; t. Independen, yaitu sikap mandiri, bebas dari segala pengaruh, tidak tergantung pada orang lain, dan penuh percaya diri (Shalih, 2009:165178). Ciri-ciri orang yang memiliki etos kerja tinggi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan yaitu: aktif dan suka bekerja keras; bersemangat dan hemat; tekun dan profesional; mandiri dan independen; efisien dan kreatif; jujur, disiplin, dan bertanggungjawab; loyal; rasional serta mempunyai visi yang jauh ke depan; percaya diri; berani terus terang dan berani mengambil
32
resiko; dapat bekerjasama dan peduli dengan orang lain, dapat memberi inspirasi; adil; sederhana; tabah dan ulet; serta sehat jasmani dan rohani. 5. Ciri-Ciri Etos Kerja Rendah Individu atau kelompok masyarakat yang memiliki etos kerja yang rendah atau negatif, maka akan menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut: a. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri; b. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia; c. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan; d. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan; e. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup (Mutaqin, 2010:15). Etos kerja yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat, akan menjadi sumber motivasi bagi perbuatannya. Apabila dikaitkan dengan situasi kehidupan manusia yang sedang “membangun”, maka etos kerja yang tinggi akan dijadikan sebagai prasyarat yang mutlak, yang harus ditumbuhkan dalam kehidupan itu. Karena hal itu akan membuka pandangan dan sikap kepada manusia untuk menilai tinggi terhadap kerja keras dan sungguh-sungguh, sehingga dapat mengikis sikap kerja yang asalasalan, tidak berorientasi terhadap mutu atau kualitas yang semestinya. Nitisemito dalam Mutaqin (2010:15) mengatakan bahwa indikasi turun atau rendahnya semangat dan kegairahan kerja antara lain: a. Turun atau rendahnya produktivitas; b. Tingkat kemangkiran naik;
33
c. Tingkat perputaran buruh yang tinggi; d. Tingkat kerusuhan yang naik; e. Kegelisahan dimana-mana; f. Tuntutan yang sering terjadi; dan g. Pemogokan. Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ciriciri etos kerja yang rendah yaitu berupa pandangan-pandangan yang negatif terhadap kerja, seperti: kerja dipandang sebagai beban, kerja merupakan penghambat kesenangan, kerja dilakukan dengan terpaksa dan dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas. Etos kerja rendah juga dapat dilihat dari indikasi-indikasi praktek di lapangan, seperti: rendahnya produktivitas, kemangkiran naik, terjadi kerusuhanan dan kegelisahan dimana-mana, tuntutan yang sering terjadi, dan pemogokan. B. Etos Kerja Islami 1. Pengertian Etos Kerja Islami a. Pengertian Etos Kerja dalam Bahasa Al-Qur’an Etos kerja Islami dalam bahasa Al-Qur‟an termuat dalam istilah amal shalih. Kata amal ( )عولbiasa diterjemahkan “pekerjaan”. Kata ini digunakan oleh Al-Qur‟an untuk menggambarkan perbuatan yang dilakukan dengan sadar oleh manusia dan jin (Shihab, 1997:479). Kemudian kata shalih ( )صالحterambil dari akar kata shaluha ()صلح yang dalam kamus-kamus bahasa Al-Qur'an dijelaskan maknanya
34
sebagai antonim kata fasid ()فاسد, yang berarti “rusak”. Dengan demikian, kata shalih diartikan sebagai “tiadanya/terhentinya kerusakan (Shihab, 1997:479). Shalih juga diartikan sebagai “bermanfaat dan sesuai”. Amal shalih adalah pekerjaan yang apabila dilakukan, maka suatu kerusakan akan terhenti atau menjadi tiada; atau dapat juga diartikan sebagai suatu pekerjaan yang dengan melakukannya diperoleh manfaat dan kesesuaian. Seorang
yang
shalih
adalah
yang
aktivitasnya
mengakibatkan
terhindarnya mudarat, atau yang pekerjaannya memberikan manfaat kepada pihak-pihak lain, dan atau pekerjaannya sesuai dengan petunjukpetunjuk Ilahi, akal sehat, dan adat istiadat yang baik (Shihab, 1997:480). Kesimpulannya, etos kerja Islami yang secara bahasa Al-Qur‟an yaitu amal shalih, merupakan karakter berkaitan dengan kerja dimana pekerjaan itu harus dilakukan dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Ilahi, akal sehat, dan adat istiadat yang baik, serta menghindari segala bentuk kemudaratan. Etos kerja Islami menurut Asifudin (2004) digali dan dirumuskan berdasarkan konsep iman, ilmu dan amal shalih. Suatu kerja atau perbuatan meskipun memberikan manfaat keduniaan bagi orang lain, namun tanpa disertai iman pada pelakunya, kerja itu tidak akan membuahkan pahala di akhirat. Allah Swt bila menyebut perkataan
الذيي
اهٌْاdalam ayat Al-Qur‟an selalu menyambungkannya dengan ّعولْا
35
الصالحاث.
Sebagaimana tercantum dalam firman Allah Swt sebagai
berikut:
Artinya: Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al„Asr: 1-3).
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai- sungai di dalam syurga yang penuh kenikmatan. (Q.S. Yunus: 9). Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan bahwa iman dan amal shalih merupakan satu rangkaian yang berkaitan erat dan tidak terpisahkan. Tidak ada amal shalih tanpa iman, dan iman akan menjadi mandul bila tidak melahirkan amal shalih. Ilmu ternyata menjadi landasan sekaligus jembatan yang harus ada bagi iman dan amal shalih. Ilmu adalah bagian dari kewajiban yang bersifat keagamaan karena diwajibkan bagi setiap muslim untuk mencarinya. Maka dengan kalimat yang lain, menurut Kastolani dan Hafidz (2009) iman adalah pondasi akhlak yang mulia,
36
akhlak yang mulia menjadi pondasi ilmu yang benar, ilmu yang benar menjadi pondasi amal yang shalih. b. Pengertian Istilah Etos kerja Islami dapat didefinisikan sebagai sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga sebagai manifestasi dari amal shalih dan oleh karenanya mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur (Tasmara, 2002:27). Asifudin (2004:234) menjabarkan etos kerja Islami sebagai karakter dan kebiasaan manusia berkenaan dengan kerja, terpancar dari sistem keimanan atau aqidah Islam yang merupakan sikap hidup mendasar terhadapnya. Etos kerja Islami menurut Anoraga (2009:29) adalah suatu pandangan dan sikap bahwa kerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi dan kepuasan lahiriah saja, tetapi yang lebih hakiki kerja merupakan perintah Allah Swt sehingga di sinilah sumber motivasi yang bisa membimbing dan memberi arahan semangat pengabdian. Etos kerja Islami berdasarkan uraian mengenai pengertian secara bahasa dan istilah di atas dapat disimpulkan sebagai karakter dan kebiasaan berkaitan dengan kerja yang terpancar dari keyakinan bahwa bekerja itu bukan sekadar untuk memperoleh kepuasan lahiriah atau duniawi, tetapi yang lebih hakiki bekerja sebagai ibadah dalam rangka memperoleh ridho Allah Swt.
37
2. Sumber Etos Kerja Islami Etos kerja Islami merupakan karakter berkenaan dengan kerja yang berorientasi bukan hanya sekadar pada hasil materi tetapi lebih dalam dari itu bekerja merupakan ibadah dalam rangka meraih ridho Allah Swt. Ridho Allah Swt merupakan tujuan tertinggi bagi seorang yang beretos kerja Islami. Oleh karena itu, munculnya etos kerja Islami pada diri seseorang bersumber dari keimanan kepada Allah Swt. Manusia yang beriman maka akan meyakini dengan sepenuh hati dan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Perintah-perintah untuk beramal atau bekerja beserta keutamaan-keutamaannya banyak dimuat dalam Al-Qur‟an dan hadits. Ayat-ayat Al-Qur‟an yang memuat tentang perintah dan keutamaan bekerja di antaranya akan diuraikan di bawah ini:
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S. Ar-Ra‟du: 11). Ayat tersebut menjelaskan bahwa nasib atau keadaan manusia tidak akan berubah menjadi lebih baik apabila mereka tidak mengubahnya dengan tangan mereka sendiri, yaitu dengan bekerja untuk memperbaiki kehidupannya
sendiri,
orang-orang
di
sekitarnya,
maupun
untuk
lingkungannya. Apa yang telah diusahakannya, maka itulah yang akan didapatkannya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Surah An-Najm ayat 39-42 berikut ini:
38
Artinya: Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu). (Q.S. An-Najm: 39-42). Manusia tidak memperoleh ganjaran kecuali terhadap pekerjaan dan usahanya sendiri. Tidak pula pekerjaan orang lain dapat ditambahkan kepadanya, juga pekerjaannya tidak dapat dikurangi dan diberikan kepada orang lain. Kehidupan dunia merupakan kesempatan yang diberikan kepada manusia untuk bekerja. Jika ia meninggal dunia, hilanglah kesempatan itu dan terputuslah pekerjaannya atau amalnya, kecuali tiga perkara yaitu anak shalih yang mendo‟akan orang tuanya, sedekah jariyah, dan ilmu yang bermanfaat. Sedikit apapun pekerjaan seseorang, tidak akan disia-siakan oleh Allah Swt. Dengan konsep ini, nilai-nilai kemanusiaan akan terealisir dalam diri manusia yang didasarkan atas eksistensinya sebagai makhluk utama, bertanggungjawab, dan independen. Ia diberi kesempatan bekerja dan memanen hasilnya. Maka akan terwujudlah ketentraman yang bersendikan keadilan (Mursi, 1997:60). Allah Swt dalam penggalan ayat di atas berfirman: Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu). Maksud ayat tersebut, tidak ada jalan kecuali jalan yang akan berakhir pada Tuhan, tidak ada tempat mencari keselamatan diri kecuali kepada-Nya, dan tidak ada tempat
39
kembali kecuali rumah-Nya, baik berupa kenikmatan surga maupun kesengsaraan neraka. Esensi ayat tersbut pada hakikatnya mempunyai nilainilai dan dampak-dampak bagi proses pembentukan emosi manusia. Ketika manusia merasa bahwa akhir sari segala sesuatu adalah Allah Swt, maka sejak perjalanannya ia akan menyadari tentang akhir dari kehidupannya. Nilai-nilai tersebut akan mendasari setiap pekerjaannya dan kemudian ia akan berusaha menyelaraskan diri dengan nilai-nilai tersebut (Mursi, 1997:60). Manusia diberikan bekal berupa kesempurnaan fisik, akal dan juga ruh, maka bekal tersebut harus digunakan untuk bekerja dengan penuh kesungguhan sehingga dapat meninggikan martabatnya di mata Allah Swt dan di mata sesama manusia. Allah Swt juga menyediakan hamparan kekayaan alam di bumi untuk diolah supaya dapat menunjang kehidupan manusia.
Artinya: Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan
40
oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur? (Q.S. Yasin: 33-35). Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah Swt telah menganugerahkan potensi-potensi di lingkungan alam untuk diolah dan dimanfaat manusia. Kekayaan alam yang menghampar barulah sebuah potensi dan belum akan mendatangkan manfaat yang berarti apabila manusia tidak bekerja untuk mengolahnya.
Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyakbanyak supaya kamu beruntung. (Q.S. Al-Jumu‟ah: 10). Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah Swt menghendaki keseimbangan dalam kehidupan manusia. Allah Swt menghendaki manusia memikirkan akhirat dan juga memikirkan dunia, Allah Swt menghendaki keduanya diraih dengan cara yang seimbang tanpa memisahmisahkan keduanya. Dalam mengerjakan segala urusan akhirat maupun urusan dunia, Allah Swt menganjurkan untuk mengerjakannya secara efisien dan menghargai waktu. Sebagaimana diperintahkan dalam surah Al-Insyirah ayat 7 yang berbunyi:
Artinya: Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. (Q.S. Al-Insyirah: 7). 41
. ...
Artinya: Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan ... . (Q.S. Al-Baqarah:148). Allah
Swt
dalam
surah
Al-Baqarah
ayat
148
tersebut
memerintahkan agar manusia berlomba-lomba dalam beramal shalih. Hal itu menunjukkan bahwa Islam memberikan dorongan yang kuat kepada para pemeluknya untuk bekerja giat sehingga membolehkan bahkan menyuruh mereka untuk berkompetisi dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik, tentunya dengan cara yang baik dan sehat.
Artinya: Dan (orang-orang beriman yaitu) orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (Q.S. AlMu‟minun: 8). Amanat dalam ayat tersebut diartikan sebagai apa saja yang diamanatkan kepada mereka (orang-orang beriman). Adapun janji adalah semua janji mereka, baik kepada Allah Swt maupun kepada sesama manusia. Janji dan amanah dalam ayat tersebut mencakup segala sesuatu yang menjadi konsensus tugas dan tanggung jawab manusia, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia. Sedangkan amanah lebih luas daripada janji, maka setiap janji pasti amanah (Asifudin, 2004:126). Amanah pada dasarnya dapat berupa apa saja yang diamanatkan oleh Allah Swt. Jadi, amanah dapat berupa amaliah wajib agar diamalkan, amaliah yang dilarang agar dihindari, dapat berupa benda konkrit seperti
42
tangan, kaki, mulut, panca indera, anak, isteri dan suami; dan dapat berupa sesuatu yang abstrak seperti ilmu, kekuasaan, jabatan, kepercayaan, waktu, pekerjaan, dan lain sebagainya (Asifudin, 2004:127). Kesimpulannya, pekerjaan adalah termasuk amanah Allah Swt yang dititipkan kepada manusia, oleh karena itu manusia harus bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Perintah dan keutamaan-keutamaan bekerja selain dimuat dalam Al-Qur‟an, juga terdapat dalam hadits Rasulullah saw, misalnya hadits yang mengajarkan tentang kerja keras berikut ini:
َع ْي َرس ُْْ ِل هللا صلى هللا عليَ ّسلن− ُ َر ِض َي هللاُ َع ْنه− َع ْي ال ِو ْق َد ِام ُّ َ َها أَ َك َل أَ َح ٌد طَ َعا ًها ق:قا َ َل ،ٍِ ط َخ ْيزًا ِه ْي أَ ْى يَأْ ُك َل ِه ْي َع َو ِل يَ ِد َّ ى .ٍِ اى يَأْ ُك ُل ِه ْي َع َو ِل يَ ِد َ َك− َعلَ ْي ِه ال َّسالَ ُم− هللاِ َدا ُّ َد َّ َِّإِ َّى ًَب Artinya: Dari Al-Miqdam ra., dari Rasulullah saw., beliau bersabda: “Tidak seorangpun makan makanan yang lebih baik daripada memakan hasil kerja tangannya. Sesungguhnya Nabi Allah, Daud as. makan dari hasil kerja tangannya”. (H.R. Bukhari, no. 979). Hadits tersebut menyiratkan pesan bahwa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia diperintahkan untuk bekerja, karena sesuatu yang diperoleh atas usaha atau kerja dari tangannya sendiri adalah lebih mulia kedudukannya dibanding dengan meminta-minta. Perbuatan ini bahkan telah dicontohkan oleh para Nabi seperti Nabi Daud as. Berdasarkan pada uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-Qur‟an
dan
hadits
memerintahkan
43
manusia
untuk
bekerja.
Kebahagiaaan atau kesengsaraan yang diterima manusia baik di dunia maupun kelak di akhirat tergantung dari usaha, amal atau kerja yang dilakukannya. Manusia diberikan kesempatan untuk beramal atau bekerja di dunia hanya sebentar saja, ketika maut telah menjemput maka tak akan ada yang dapat diusahakannya lagi. Oleh karenanya, hamparan kekayaan alam yang dianugerahkan Allah Swt di bumi harus diolah dengan sebaikbaiknya sebagai sarana memperoleh bekal akhirat. Bekerja adalah amanah, maka dianjurkan agar bekerja dengan sungguh-sungguh dan berkompetisi secara sehat serta menghargai waktu. Nilai-nilai inilah yang di antaranya dapat menjadi sumber keyakinan umat muslim untuk bersemangat dalam bekerja dengan menghayati etos kerja Islami. 3. Prinsip-prinsip Etos Kerja Islami a. Kerja adalah Ibadah Ibadah menurut bahasa berarti taat, tunduk, merendahkan diri dan menghambakan diri, sedangkan pengertian ibadah menurut istilah berarti penghambaan diri yang sepenuhnya untuk mencapai keridhoan Allah Swt (Tono, dkk., 1998:2). Ruang lingkup ibadah pada dasarnya digolongkan menjadi dua, yaitu ibadah mahdhah atau ibadah ritual atau ibadah khusus dan ibadah grairu mahdhah atau ibadah luar ritual atau ibadah umum (Syahyuti, 2011:47). Ibadah mahdhah memiliki tiga prinsip: keberadaannya harus berdasarkan adanya perintah dalil, tata caranya harus mencontoh Rasulullah saw., dan asasnya taat. Tata pelaksanaannya tidak dapat
44
diubah dan tidak dapat pula diimprovisasi. Ibadah mahdhah sering pula disebut sebagi ibadah dalam arti sempit, yaitu aktivitas atau perbuatan yang sudah ditentukan syarat dan rukunnya. Kondisi, cara, tahapan, dan urutannya telah ditentukan. Ibadah ini menjalin relasi seorang hamba dengan Allah Swt secara langsung tanpa dicampuri hubungannya dengan manusia lain. Ibadah mahdhah ini contohnya seperti: seperti wudhu, tayamum, shalat, puasa, haji (Syahyuti, 2011:47). Ibadah ghairu mahdhah di samping memiliki dimensi hubungan hamba dengan Allah Swt, juga mencakup hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya atau relasi horizontal dengan lingkungan sekitarnya. Prinsip-prinsip ibadah ini adalah tata pelaksanaannya tidak kaku, bersifat rasional, dan berasas manfaat. Selama hal itu bermanfaat, maka boleh dilakukan. Yang tergolong ibadah ini adalah segala bentuk kebaikan untuk menjaga hidup, seperti makan, minum, mencari nafkah, dan seterusnya. Ibadah-ibadah muamalah ini berbentuk interaksi antarmanusia
yang
dijalankan
secara
sungguh-sungguh
dengan
berpedoman pada Al-Qur‟an dan hadits. Jika dalam ibadah mahdhah dilarang untuk berkreasi, dalam muamalah manusia sangat dianjurkan untuk berkreasi sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan (Syahyuti, 2011:48). Walaupun antara ibadah mahdhah dan ibadah
ghairu
mahdhah
memiliki
perbedaan
dalam
tata
cara
pelaksanaannya, namun keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu
45
mencari ridho Allah Swt. Oleh karena itu, keduanya memiliki kedudukan yang sama penting. Bekerja merupakan suatu upaya manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Bekerja dalam pandangan Islam bukan sekedar untuk mendapatkan materi, tetapi lebih jauh dan lebih dalam. Bekerja sebagai upaya mewujudkan firman Allah Swt sebagai bagian dari keimanannya. Dengan demikian bekerja sebagai aktivitas yang mulia. Bekerja adalah sarana untuk melaksanakan perintah-perintah Allah Swt. Zakat, infaq, dan sedekah tidak mungkin dapat terlaksana jika kita tidak bekerja. Bekerja juga merupakan wujud syukur atas nikmat dan karunia Allah Swt kepada manusia di dunia ini. Lebih jauh lagi, bekerja merupakan wujud pemenuhan perintah Allah Swt atas amanat yang dibebankan kepada manusia yaitu sebagai khalifah di bumi, yang bertugas untuk mengolah seluruh potensi alam raya ini untuk kemakmuran manusia. Oleh karena itu, bekerja dalam pandangan Islam termasuk ibadah, dalam artian segala aktivitas yang dilakukan bernilai kebaikan dan tidak bertentangan dengan syari‟at, serta ditujukan dalam rangka mencari ridho-Nya. Prinsip ini artinya bekerja bukan sekadar berorientasi pada materi, tetapi juga imateri. Bekerja akan bernilai ibadah apabila dilakukan dengan ikhlas dilandasi niat semata-mata mencari keridhoan Allah Swt. Hasil kerja berupa materi bukanlah tujuan akhir, melainkan hasil tersebut adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga akan dapat
46
melaksanakan perintah-perintah Allah Swt selama di dunia termasuk melaksanakan ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, haji. Ibadah-ibadah mahdhah tersebut tidak mungkin dapat terlaksana apabila manusia tidak bekerja. Kerja dengan penuh keikhlasan tentunya akan dihiasi dengan kebaikan-kebaikan disetiap langkahnya. Pada hakikatnya, setiap kerja yang dilakukan dengan kebaikan, sesuai perintah Allah Swt dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang telah dibuat-Nya serta bertujuan untuk meraih ridho-Nya adalah termasuk ibadah. b. Kerja Didasarkan Prinsip Keseimbangan Hakikat ajaran Islam melarang sikap dan perilaku keterlaluan dalam beragama. Nabi Muhammad saw. sendiri dalam kehidupan sehariharinya selalu memanfaatkan waktu untuk melakukan kerja dan perbuatan mulia, baik berupa ibadah mahdhah, menunaikan kewajiban untuk diri sendiri dan keluarga, berbuat baik kepada sesama, dakwah, mengajar, dan lain-lain (Asifudin, 2004:64). Larangan Rasulullah saw. tentang perilaku berlebihan dalam beragama ini termuat dalam hadits berikut:
ٌ ْ َجا َء َثالَ َث ُة َره:س بْن َمالِكٍ رض َقا َل اج ِ ط ِالَى ُبي ُْو ِ ٍ َعنْ اَ َن ِ ت اَ ْز َو َكا َ َّن ُه ْم, َفلَمَّا ا ُ ْخ ِبر ُْوا.ال َّن ِبيِّ ص َيسْ اَل ُ ْو َن َعنْ عِ َبا َد ِة ال َّن ِبيِّ ص ْ َو اَي َْن َنحْ نُ م َِن ال َّن ِبيِّ ص؟ َق ْد ُغ ِف َر لَ ُه َما َت َق َّد َم مِن: َف َقال ُ ْوا,َت َقالُّ ْو َها َو َقا َل,صلِّى اللَّ ْي َل اَ َب ًدا َ ُ َف ِا ِّنى ا, اَمَّا اَ َنا:َذ ْن ِب ِه َو َما َتأ َ َّخ َر؟ َقا َل اَ َح ُد ُه ْم َ َو َقا َل, اَ َنا اَص ُْو ُم ال َّدهْ َر َو الَ ا ُ ْفطِ ُر:ُآخر َ اَ َنا اَعْ َت ِز ُل ال ِّن َسا َء:ُآخر 47
اَ ْن ُت ُم الَّ ِذي َْن قُ ْل ُت ْم:هللا ص ِالَي ِْه ْم َف َقا َل ِ َف َجا َء َرس ُْو ُل,َفالَ اَ َت َز َّو ُج اَ َب ًدا ل ِك ِّنى اَص ُْو ُم َو,هلل َو اَ ْت َقا ُك ْم لَ ُه ِ ِ هللا ِا ِّنى َالَ ْخ َشا ُك ْم ِ َك َذا َو َك َذا؟ اَ َما َو ب َعنْ ُس َّنتِى َ ِ َف َمنْ َرغ, َو اَ َت َز َّو ُج ال ِّن َسا َء,صلِّى َو اَرْ قُ ُد َ ُ ا ُ ْفطِ ُر َو ا .ْس ِم ِّنى َ َفلَي Artinya: Dari Anas bin Malik ra., ia berkata: “Ada tiga orang sahabat yang mendatangi rumah isteri-isteri Rasulullah saw. untuk bertanya tentang ibadah Nabi saw. Ketika mereka diberitahukan tentang ibadahnya seakan-akan mereka menganggapnya sedikit, mereka berkata: „Dimana posisi kita dibanding Rasulullah saw.?. Allah Swt telah mengampuni baginya dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang‟. Salah seorang mereka berkata: „Adapun aku akan shalat malam selamanya‟. Orang yang lain berkata: „Aku akan puasa sepanjang masa dan tak pernah berhenti puasa‟. Orang yang satunya lagi berkata: „Aku akan menghindari perempuan dan tidak menikah selamanya‟. Maka Rasulullah saw. kemudian mendatanginya dan berkata: „Apakah kalian yang berkata begini dan begini? Demi Allah Swt, sesungguhnya akulah yang paling takut kepada Allah Swt. dan paling bertakwa kepada-Nya, hanya saja aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur dan aku menikahi wanitawanita. Maka barang siapa yang tidak senang terhadap sunnahku, maka ia bukanlah golonganku‟.” (H.R. Bukhari, no. 2.039). Prinsip keseimbangan ini apabila dikaikan dengan etos kerja Islami menurut Asifudin (2004:57) menimbulkan implikasi yang memberikan dorongan amat kuat agar kerja sebagai ibadah disikapi dan diperlakukan sebagaimana ibadah-ibadah lainnya (ibadah mahdhah). Posisi aktivitas keduniaan yang disukai Allah Swt adalah sama-sama diperintahkannya, seperti halnya penegasan diperintahkannya shalat, zakat, puasa, dan sebagainya. Oleh karena itu, etos kerja yang baik di
48
berbagai bidang kehidupan juga wajib ditegakkan dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Prinsip keseimbangan dalam etos kerja Islami menurut penulis yaitu manusia dalam hidupnya di dunia bukan hanya sekadar mementingkan ibadah ritual semata, melainkan juga harus bekerja dengan penuh kesungguhan, karena bekerja termasuk ibadah yang samasama diperintahkan oleh Allah Swt. Bekerja merupakan sarana atau alat untuk mengumpulkan bekal di akhirat, selain itu dengan bekerja maka ibadah mahdhah dapat terlaksana, seperti halnya haji membutuhkan biaya untuk dapat melaksanakannya. Biaya tersebut tentunya didapat melalui bekerja. Prinsip ini juga berimplikasi pada dipraktikkannya etos kerja Islami dalam berbagai aspek kehidupan, baik urusan dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, intelektual dan fisik, dan pasangan-pasangan lainnya secara menyeluruh sesuai porsinya. c. Kerja Dilandasi Ilmu Sumber ilmu yang mendasari etos kerja Islami adalah wahyu dan keteraturan hukum alam yang merupakan hasil penelitian akal. Ilmu sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yaitu sebagai landasan atau jembatan iman dan aman shalih, maka ilmu aqly dipandang amat penting dalam Islam. Akal menjangkau daya yang dapat dipakai untuk memahami realitas konkrit dan ghaib. Realitas konkrit dipahami oleh pikiran, sedangkan realitas ghaib atau spiritual oleh qalbu. Pengertian seperti
ini
penting
untuk
dipahami
49
supaya
orang
tidak
lagi
mempertentangkan akal dengan iman, karena pemahaman dengan akal dapat mencakup pemberdayaan iman terhadap objek yang memang harus diimani. Akal melakukan penalaran sehingga sampailah pada kesimpulan bahwa alam ini diatur oleh Tuhan dengan hukum alam yang diciptakanNya. Hukum alam ini dalam bahasa Islam disebut sebagai sunnatullah (Asifudin, 2004:114). Keilmuan sehubungan dengan sunnatullah ini secara langsung atau tidak langsung menuntut serta medidik orang Islam agar bekerja rasional, ilmiah, proaktif, kreatif, menguasai iptek, menggunakan perencanaan yang baik, adil, teratur, disiplin, dan profesional, serta menghindari sikap-sikap yang merupakan lawan atau kebalikan dari sikap-sikap tersebut. d. Kerja Dijiwai Semangat Jihad dan Tauhid Jihad secara etimologi Bahasa Arab adalah berasal dari kata jaahada, yujaahidu, mujaahadan dan jihaadan yang artinya bekerja sepenuh hati (Mansur, 1982:9). Jihad menurut Tasmara (2002:36) berarti suatu
sikap
yang
sungguh-sungguh
dalam
berikhtiar
dengan
mengerahkan seluruh potensi diri untuk mencapai suatu tujuan atau citacita. Faridi (1982:138) mengemukakan mengenai arti jihad sebagai perjuangan atau bersungguh-sungguh, yaitu segala macam bentuk usaha yang dilakukan untuk menegakkan yang benar dan menumbangkan yang salah.
50
Jihad
apabila
diterjemahkan
sebagai
bersungguh-sungguh,
semangat tersebut merupakan ruh yang universal. Bersifat universal artinya tidak hanya orang Islam yang
mempunyai semangat
kesungguhan tersebut. Orang kafir sekalipun pasti akan memperoleh apa yang ia inginkan selama memiliki kesungguhan untuk berusaha. Bedanya dengan semangat kerja dalam Islam ialah kaitannya dengan niat serta cara meraihnya. Bagi orang Islam, bekerja merupakan kewajiban yang hakiki dalam rangka menggapai ridho Allah Swt sehingga kesadaran seperti ini disebut sebagai jihad fi sabilillah. Orang kafir bersungguhsungguh dalam bekerja untuk kesenangan duniawi semata, bahkan bersungguh-sungguh untuk memuaskan nafsu (Tasmara, 2002:37). Bangsa Jepang adalah salah satu contoh bangsa yang memiliki semangat jihad yang mereka terjemahkan dalam satu kata magis: keizen. Keizen adalah semangat untuk terus-menerus melakukan perbaikan yang melibatkan setiap orang, mulai dari pimpinan puncak, para manager, sampai pada pekerja lapangan (Tasmara, 2002:41). Keizen harus diterapkan juga oleh orang Islam dalam segala urusannya baik dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, serta intelektual dan fisik dengan niat mencari ridho Allah dalam bentuk kemasan jihad. Makna jihad dalam kaitannya dengan bekerja, berikhtiar, atau mewujudkan suatu cita-cita menjadi satu kekuatan yang secara abadi harus terus menerus menyala serta digali potensinya sehingga mampu mengeluarkan energi yang signifikan. Jihad bukan sekedar teriakan
51
penuh semangat, melainkan ada muatan batin yang mendorong kesungguhan luar biasa untuk melahirkan perbuatan kreatif (Tasmara, 2002:39). Semangat jihad inilah yang mampu menjadi pendorong bagi seorang muslim agar mewujudkan apa yang menjadi angan-angan, harapan ataupun ide-ide pemikirannya menjadi perbuatan nyata. Semangat jihad adalah jiwa etos kerja seorang muslim yang berfungsi sebagai sumber motivasi untuk beramal shalih. Jihad merupakan bagian dari 3 rangkaian mutiara yang berulang kali disebutkan dalam Al-Qur‟an, yaitu: iman, hijrah, dan jihad. Seorang yang beriman tidak mungkin puas dengan keadaan yang statis. Dia ingin selalu menunjukkan perbaikan dari waktu ke waktu, sebagaimana pesan-pesan yang disampaikan dalam makna hijrah. Akan tetapi kualitas iman dan semangat perubahan tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya jihad, yaitu kesungguhan untuk membuktikannya dalam kehidupan nyata (Tasmara, 2002:39). Jihad adalah penggerak dan pendorong bagi seorang muslim untuk mengubah diri dan dunia dalam rangka meraih ridho Allah Swt. Jihad memiliki fondasi ketauhidan bahwa tidak ada Ilah melainkan Allah Swt. Ilah berarti sesuatu yang disembah, sesuatu yang menguasai diri, yang dapat memberikan perlindungan sehingga menyebabkan diri terikat kepanya. Ilah bisa berarti apa saja yang menguasai diri manusia dengan begitu hebatnya sehingga menjadi belenggu bagi dirinya. Harta, tahta, dan wanita bisa menjadi Ilah apabila
52
manusia sangat bergantung padanya dan seluruh hidupnya terpenjara oleh tujuan terhadapnya (Tasmara, 2002:47). Ilah bagi seorang yang memiliki etos kerja Islami tentu hanya Allah Swt semata. Ikrar ketauhidan ini merupakan cara Allah untuk memuliakan sekaligus membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan serta keyakinan yang akan meruntuhkan martabat dirinya sebagai makhluk yang memiliki potensi rohani khususnya pada berbagai bentuk tahayul, ideologi, science, dan bahkan teknologi (Tasmara, 1994:19). Ikrar ketauhidan ini menjadi daya pendorong seorang muslim untuk terus berkreasi tanpa merasa takut terhadap segala pemikiran yang bersifat tahayul (Tasmara, 2002:43). Tauhid ini melahirkan dan mendorong etos kerja melalui cara dirinya berani untuk berpikir secara kritis dan merdeka, hati yang lapang, dan karenanya tidak merasa tertekan oleh apapun. Sikap yang mandiri dan bersih dari takhayul mendorong seorang yang beretos kerja Islami untuk tampil menjadi pribadi yang sangat proaktif, penuh inisiatif dan kreativitas (Tasmara, 2002:44). Tauhid melahirkan pula “kesadaran diri” (self awarness) yang sangat kuat sehingga seorang yang ber-etos kerja Islami mampu mengendalikan diri, mampu mendayagunakan seluruh potensi dirinya secara proporsional, dan mampu melakukan pilihan-pilihan dengan memakai tolok ukur kebenaran yang diyakini (Tasmara, 2002:45). Manusia mempunyai fitrah sebagai subjek (khalifatullah fil ardhi), sehingga dia tidak boleh melawan fitrahnya sendiri untuk menjadi
53
objek benda lain selain Allah Swt. Seorang pribadi yang memiliki etos kerja Islami tersebut sangat bahagia untuk menjadi pelayan Allah Swt. Kalimat iyyaaka na‟budu yang ia ucapakan menjadi semacam gelora untuk mengerahkan seluruh potensi dirinya untuk membuktikan pelayanannya kepada Allah Swt. Semangat iyyaaka na‟budu menjadi motivasi besar di dalam hatinya untuk melayani, mengembangkan, dan memberikan manfaat bagi seluruh makhluk (Tasmara, 2002:47). Mereka yang ber-etos kerja Islami memiliki prinsip hidup yaitu tauhid: prinsip yang teguh dan tidak tergoyahkan karena akarnya menghujam ke seluruh sanubarinya, kemudian tampak pada amal shalih yang memberikan rahmat bagi alam sekitarnya (Tasmara, 2002:49). Semangat jihad yang tumbuh dari tauhid inilah yang seharusnya menjadi etos kerja setiap muslim dimanapun berada. Jihad dan tauhid sebagai jiwa etos kerja Islami menurut penulis dalam penelitian ini adalah sebuah kesungguhan, semangat yang luar biasa yang mendorong seseorang untuk beramal shalih dalam rangka memperoleh ridho Allah Swt. Semangat yang luar biasa ini dilandasi oleh keyakinan akan tidak adanya Ilah melainkan Allah Swt sehingga termanifestasi pada kebebasan untuk bekerja atau berkreasi dengan mendayagunakan seluruh potensi yang diberikan Allah Swt secara proporsional tanpa takut oleh apapun kecuali Allah Swt. Etos kerja Islami dengan dijiwai jihad dan tauhid ini berbuah pada keberanian untuk
54
berpikir maupun bekerja secara kritis, kreatif dan merdeka dilandasi pengabdian penuh kepada Allah Swt. e. Kerja dengan Meneladani Sifat-sifat Ilahi serta Mengikuti Petunjukpetunjuk-Nya. Manusia sebagai khalifatullah fil ardhi dibekali dengan potensipotensi atau fitrah. Fitrah pada manusia tidak lain adalah sifat-sifat Allah Swt yang ditiupkannya kepada manusia sebelum lahir (Langgulung, 2004:50). Sifat-sifat Allah itu disebut dalam Al-Qur‟an sebagai namanama yang indah atau Asmaul Husna. Sifat-sifat Allah harus diteladani manusia supaya potensi-potensi dirinya mewujud dalam perbuatan nyata yang serupa dengan sifat-sifat Allah dalam porsi kemanusiaannya. Sifat al-Khaliq (Maha Pencipta) pada Allah misalnya, dapat dijabarkan oleh manusia dalam bentuk sifat kreatif. Gabungan sifat ar-Rabb, alMudabbir, al-Musawwir, al-Muqaddir dan al-Khaliq pada Allah Swt menunjukkan Dia memiliki sifat Maha Sempuna dalam bekerja. Manusia mempunyai potensi untuk mengembangkan karakteristik etos kerja tinggi dengan meneladani sifat Maha Sempurna Allah Swt tersebut dalam bekerja, seperti aktif, berencana, efisien, efektif, disiplin, profesional, ilmiah, kritis, konstruktif, dan sebagainya. Allah Maha Kuasa (al-Malik) dengan kekuasaan tidak terbatas dan Allah Maha Pengatur (alMudabbir), manusia juga mempunyai potensi untuk memimpin dan mengembangkan manajemen di bidang usaha, politik, sosial dan lain-lain (Asifudin, 2004:123).
55
Keistimewaan orang yang beretos kerja Islami aktivitasnya dijiwai oleh dinamika aqidah dan motivasi ibadah. Bekerja dengan niat mencari ridho Allah Swt amat erat kaitannya dengan ihsan, sedangkan makna ihsan sangat luas, antara lain sehubungan dengan kerja artinya bekerja harus optimal atau sebaik mungkin. Ihsan di sini amat mendukung pengembangan sikap percaya diri, kemandirian sekaligus mendorong suka bekerjasama dengan orang lain dengan pengawasan malaikat. Orang yang beretos kerja Islami juga memiliki ciri-ciri yang tercakup dalam konsep amanah. Amanah menjadi salah satu prinsip akhlak yang utama dalam Islam. Konsep amanah ini mewujud kepada sikap moral seperti: menjaga mutu kerja, menepati janji, jujur, dan lain sebagainya (Asifudin, 2004:124-125). Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa etos kerja Islami harus dilandasi prinsip-prinsip: kerja merupakan ibadah, kerja memiliki kedudukan yang sama dengan ibadah-ibadah mahdhah, kerja harus dilandasi ilmu, kerja dijiwai dengan semangat jihad dan tanpa takut terhadap apapun kecuali Allah Swt, serta kerja dengan meneladani sifat-sifat Allah Swt sesuai kadar kemanusiaan dan mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya. 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja Islami a. Faktor Pendorong Hal-hal yang dapat mendorong seorang muslim untuk menghayati dan mempraktikkan etos kerja Islami selain karena faktor pemenuhan kebutuhan-kebutuhan seperti pengakuan dan aktualisasi diri, faktor
56
lingkungan kerja, serta berbagai faktor yang bersifat keduniaan yang lainnya, juga dipengaruhi oleh faktor yang bersifat transenden. Faktor tersebut ialah janji-janji yang Allah Swt kabarkan dalam firman-Nya. Allah Swt menjanjikan pahala bagi umatnya yang beriman kepada-Nya dan mengamalkan dalam perbuatan yang nyata. Allah Swt juga berjanji akan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang bekerja dengan disertai iman. Janji Allah Swt tersebut dimuat dalam firman Allah Swt dalam Surah An-Nahl ayat 97 berikut ini:
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. An-Nahl: 97). b. Faktor Penghambat Etos kerja Islami merupakan karakter berkaitan dengan kerja yang bersumber dari keyakinan Islam, tepatnya keyakinan Islam tentang kerja. Keyakinan Islam sebagai sumber etos kerja Islami ternyata tidak cukup membuat etos kerja Islami ini dimiliki oleh semua umat muslim. Ada beberapa sebab yang menghambat dihayatinya etos kerja Islami oleh umat muslim, di antaranya sebagi berikut:
57
1) Pandangan dikotomis antara ibadah dan kerja Salah satu
penyebab
keterpurukan dunia
Islam
adalah
menguatnya tradisionalisme, yakni cara pandang dikotomis terhadap ibadah dan kerja. Tradisionalisme secara sederhana dapat dijelaskan sebagai lahirnya semacam pandangan umum di kalangan masyarakat bahwa ibadah adalah persoalan ukhrawi dan pekerjaan sehari-hari adalah urusan duniawi (atau setidaknya kurang bernilai ibadah), yang masing-masing memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda. Pendeknya, karena keduanya diyakini memiliki dimensi atau nilai yang berbeda, maka prioritas terhadap keduanya juga harus dibedakan (Irkhami, 2014:171). 2) Pandangan keliru tentang makna zuhud Zuhud adalah perilaku terpuji, tapi maknu zuhud sering dikelirukan dan disalahtafsirkan sebagai sikap menolak segala hal duniawi. Mereka menolak segala hal yang enak dan menyenangkan, tidak mempedulikan makan dan minum, berpakaian seadanya, dan tidak memikirkan harta kekayaan. Mereka takut terperdaya oleh pesona dunia (Syahyuti, 2011:166). Kehidupan dunia memang berpotensi besar melalaikan atau melengahkan manusia. Dalam Surah Al-Hadid ayat 20 disebutkan bahwa kehidupan dunia itu semata-mata permainan dan hiburan yang melalaikan, hanyalah kesenangan bagi orang yang terperdaya, dan seterusnya. Namun hakikatnya, ayat ini bukan kecaman terhadap
58
dunia
yang
menjadikan
seseorang
harus
mengutuk
dan
mengabaikannya, melainkan gambaran kehidupan duniawi orangorang hedonis yang melalaikan agama (Syahyuti, 2011:166-167). Zuhud tidaklah identik dengan melarat. Zuhud adalah kepuasan hati dengan apa yang diberikan Allah Swt. Tak ada ikatan hati kepada harta dan hal-hal yang bersifat material lainnya. Harta hanya sampai di “tangan”, tidak sampai di “hati” (Syahyuti, 2011:167). Artinya sekaya apapun seseorang itu, ia tidak akan terperdaya atau menjadi budak dari hartanya. Ia tidak takut hartanya berkurang dengan berbagi kepada orang yang tidak mampu dan anak yatim. Ia justru gemar bersedekah, karena ia meyakini harta hanyalah titipan dan di dalam harta tersebut ada bagian untuk orang-orang yang berhak menerimanya. Oleh karena itu, orang kaya sangat bisa melakukan zuhud. 3) Paham jabariyah Paham jabariyah sebenarnya dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan ekstrim dan moderat. Golongan ekstrim berpandangan bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa; manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan; manusia dalam perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. Manusia menurut paham ini hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang (Nasution,1986:33-34). Sedangkan golongan
59
moderat berpandangan, Tuhanlah yang menciptakan perbuatanperbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatanperbuatan itu. Paham jabariyah yang masih melekat pada sebagian umat muslim dimasa kini adalah sisa-sisa dari paham jabariyah ekstrim, meskipun tidak seekstrim seperti yang telah dijelaskan di atas. Kalangan jabariyah dimasa kini ialah mereka yang kurang bisa memahami makna takdir. Mereka mencampurkan takdir mubram dengan takdir mu‟allaq. Takdir mubram adalah ketentuan Allah Swt tanpa campur tangan manusia, misalnya gempa bumi serta berputarnya siang dan malam. Sebaliknya, takdir mu‟allaq adalah ketentuan Allah Swt yang digantungkan atas jalan usaha (ikhtiar) dan do‟a, artinya ada peran manusia di dalamnya. Dalam konteks takdir mu‟allaq, manusia harus berusaha dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki kemudian hasilnya diserahkan kepada Allah Swt (Syahyuti, 2011:168). Ciri orang yang berpaham jabariyah di masa kini antara lain tidak rasional, negatif, dan pesimis terhadap dunia (Syahyuti, 2011:167). Paham ini juga berimplikasi pada kekeliruan dalam memaknai tawakal. Tawakal sering disalahartikan sebagai menyerah dan pasrah tanpa mau berusaha mengubah nasib (Syahyuti, 2011:79). Padahal, arti tawakal yang sebenarnya ialah berusaha dan
60
berikhtiar dengan sungguh-sungguh setelah itu baru menyerahkan hasilnya kepada Allah Swt, bukan bermakna meninggalkan ikhtiar dan usaha, kemudian hanya berpasrah pada nasib atau dapat diistilahkan kalah sebelum berperang. Etos kerja Islami berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam praktik-praktik kehidupan umat Islam keyakinan tentang kerja dalam pandangan Islam yang bersumber dari janji-janji Allah Swt di dalam firman-Nya dapat menjadi pendorong umat Islam untuk menghayati etos kerja Islami. Penghayatan etos kerja Islami juga mengalami beberapa hambatan, di antaranya disebabkan oleh: (1) pandangan bahwa ibadah berorientasi ukhrawi sedangkan kerja berorientasi duniawi; (2) pandangan yang keliru mengenai makna zuhud sebagai sikap menolak kesenangan dunia, harta, dan hal-hal yang bersifat materi lainnya; (3) pandangan yang negatif tentang takdir, yaitu takdir dipahami sebagai kehendak Allah Swt yang membuatnya merasa tidak punya daya dan upaya sehingga berdampak pada sikap pasrah sebelum berusaha. 5. Pedoman Sikap Pekerja Beretos Kerja Islami Seorang pekerja muslim yang mampu menghidupkan etos kerja Islami dalam hatinya dan dalam kerjanya, akan mampu menampilkan cara kerja yang terbaik. Seorang yang bekerja dengan etos kerja Islami haruslah memiliki pedoman bersikap dan bertingkahlaku yang berdasarkan nilai-nilai sikap terbaik yaitu akhlakul karimah. Dengan berpegang pada pedoman sikap dalam bekerja, seorang pekerja akan memberikan penampilan
61
terbaiknya. Pedoman bersikap tersebut menurut Shalih (2009:157-163) antara lain sebagai berikut: a. Bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai kejujuran. Menghayati sepenuhnya
bahwa
kejujuran
merupakan
jati
diri
yang
akan
menghantarkan kepada kedudukan terpuji; b. Meyakini sepenuhnya bahwa setiap kebohongan, pemalsuan dan penipuan merupakan bentuk pengkhianatan. Sikap tersebut dapat merendahkan martabat dirinya sebagai hamba Allah Swt dan merusak perusahaan atau instansi; c. Mampu menghadirkan Allah Swt dalam dunia kerja. Selalu merasa dilihat dan dinilai oleh Allah Swt sehingga tumbuh kesadaran bahwa Allah Swt hanya akan menerima pekerjaan yang dilakukan secara bersih dan sungguh-sungguh; d. Selalu memegang teguh tanggung jawab tugas yang telah diamanahkan pada dirinya. Menjauhkan diri dari segala bentuk penyelewengan dan pengkhianatan terhadap kontrak kerja, sumpah jabatan, dan/atau kesepakatan yang telah dibuat dalam setiap rangkaian kerja; e. Memiliki etika yang tinggi, menghargai semangat kerja kelompok, dan ikut aktif dalam membina kualitas kelompoknya; f. Memelihara semangat dan gairah yang sangat tinggi untuk memberikan pelayanan prima;
62
g. Tidak
pernah
mengomersilkan
jabatannya,
memanipulasi,
dan
memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi, karena hal itu merupakan pengkhianatan terhadap amanah Allah Swt; h. Memiliki
semangat
pengorbanan,
senantiasa
mencintai,
serta
mendahulukan kepentingan perusahaan atau instansi dan orang lain di atas kepentingan pribadi; i. Mampu membangun hubungan baik dengan setiap rekan kerja, karyawan, dan pimpinan; j. Berusaha untuk dapat berempati kepada setiap orang, yaitu dengan menjadi pendengar yang baik, selalu tampil dengan wajah berseri, serta penuh senyuman; k. Mempunyai jiwa kepemimpinan yang unggul. Menunjukkan keteladanan sehingga dirinya menjadi panutan, baik di lingkungan kerja maupun dalam pergaulan di masyarakat; l. Menjadikan semangat musyawarah sebagai ciri kepribadian dalam menyelesaikan berbagai persoalan kerja; m. Proaktif, harmonis, dan turut serta dalam memberikan kontribusi untuk meningkatkan kualitas sumber insani, baik individual maupun kolektif; n. Memelihara kualitas lingkungan kerja yang kondusif, menghindari segala bentuk pergunjingan, situasi konflik, serta perbuatan yang mengganggu organisasi dan wibawa perusahaan atau instansi;
63
o. Merasakan misi sebagai duta perusahaan atau instansi dalam pergaulan di masyarakat. Dengan misi tersebut tumbuhlah citra positif masyarat terhadap perusahaan atau instansi; p. Mempertimbangkan dengan segala kebijaksanaan dalam ketenangan hati dan kebersihan pikiran akan setiap pengambilan keputusan; q. Menyadari sepenuhnya bahwa berdisiplin tinggi dan memenuhi peraturan perusahaan merupakan bagian hakiki dari sikap dan cara kerja profesinal; r. Melaksanakan setiap tugas dengan standar kualitas tinggi sesuai visi dan misi perusahaan atau instansi; s. Bekerja secara inovatif, mampu menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan untuk mencapai peningkatan kualitas diri, terbuka dengan gagasan baru, dan memiliki kemampuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan secara cepat, tepat, dan akurat; t. Berupaya sekuat tenaga dan dengan segala kemampuan untuk mengembangkan diri dalam mendukung upaya pengembangan dan keberhasilan kerja. Seseorang yang menghayati etos kerja Islami dalam aktivitas kerjanya, berdasarkan pada uraian di atas maka harus berpegang pada pedoman sikap yang mulia, seperti: bersikap dan bertindak atas dasar kejujuran, menolak segala bentuk kebatilan karena hal itu dapat merendahkan martabatnya sebagai hamba Allah Swt, selalu merasa diawasi Allah Swt dalam setiap aktivitas kerjanya, selalu memegang teguh tanggung jawab tugas yang telah diamanahkan, mendahulukan kepentingan pekerjaan
64
di atas kepentingan pribadi, membangun hubungan yang baik dengan atasan, rekan kerja, dan setiap orang di sekitarnya, menunjukkan keteladanan di lingkungan kerja maupun di masyarakat, proaktif, harmonis dan turut serta memberikan kontribusi bagi orang lain maupun instansi kerjanya, memelihara lingkungan kerja yang kondusif, mengambil keputusan secara bijaksana, mampu beradaptasi dengan perubahaperubahan, terbuka pada gagasan baru, serta selalu mengembangkan kemampuan diri demi kemajuan kerjanya. 6. Karakteristik Etos Kerja Islami Tasmara (2002) mengemukakan karakteristik etos kerja Islami ke dalam 25 ciri orang yang kecanduan beramal shalih. Ciri-ciri orang yang memiliki etos kerja islami akan tampak dalam sikap dan perilakunya yang kecanduan untuk beramal shalih, yaitu bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah. Dua puluh lima ciri etos kerja Islami menurut Tasmara (2002) adalah sebagai berikut: a. Kecanduan Terhadap Waktu Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah cara seseorang menghayati, memahami, dan merasakan betapa berharganya waktu. Satu detik berlalu tidak mungkin dia kembali. Waktu merupakan deposito paling berharga yang dianugerahkan Allah Swt secara gratis dan merata kepada setiap orang. Apakah dia orang kaya atau miskin, penjahat atau orang alim akan memperoleh jatah deposito waktu yang sama, yaitu 24 jam atau 1.440 menit atau sama dengan 86.400 detik setiap hari.
65
Tergantung
kepada
masing-masing
manusia
bagaimana
dia
memanfaatkan depositonya tersebut (Tasmara, 2002:73). b. Memiliki Moralitas yang Bersih (Ikhlas) Salah satu kompetensi moral yang dimiliki seorang yang berbudaya kerja Islami itu adalah nilai keikhlasan. Ikhlas yang diambil dari bahasa Arab mempunyai arti: bersih, murni (tidak terkontaminasi), sebagai antonim dari syirik (tercampur). Ibarat ikatan kimia air (H2O), dia menjadi murni karena tidak tercampur apapun, dan bila sudah tercampur sesuatu (misalnya CO2) komposisinya sudah berubah dan dia bukan lagi murni H2O. Kata ikhlas dapat disejajarkan dengan sincere (bahasa Latin sincer: pure) yang berarti suasana atau ungkapan tentang apa yang benar yang keluar dari hati nuraninya yang paling dalam (based on what is truly and deeply felt, free from dissimulation). Mereka yang disebut mukhlis melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa motivasi lain kecuali bahwa pekerjaan itu merupakan amanat yang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya (Tasmara, 2002:78-79). c. Memiliki Kejujuran Seorang yang jujur di dalam jiwanya terdapat komponen nilai ruhani yang memantulkan berbagai sikap yang berpihak kepada kebenaran dan sikap moral yang terpuji (morally upright). Perilaku jujur adalah perilaku yang diikuti oleh sikap tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Kejujuran dan integritas adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
66
Seorang yang jujur harus siap menghadapi resiko dan segala akibat dengan gagah berani (Tasmara, 2002:80-81). d. Memiliki Komitmen Komitmen berasal dari bahasa Latin committere, to connect, entrustthe state of being obligated or emotionally impelled, artinya adalah keyakinan yang mengikat (aqad) sedemikian kukuhnya sehingga membelenggu seluruh hati nuraninya dan kemudian menggerakkan perilaku menuju arah tertentu yang diyakininya (i‟tiqad). Orang yang memiliki komitmen tidak mengenal kata menyerah. Ciri-ciri orang yang memiliki komitmen antara lain sebagai berikut: 1) Siap berkorban demi sesuatu yang lebih penting; 2) Merasakan dorongan semangat dalam misi yang lebih besar; 3) Menggunakan nilai-nilai kelompok dalam pengambilan keputusan dan penjabaran pilihan-pilihan (Tasmara, 2002:85). e. Istiqomah atau Kuat Pendirian Pribadi muslim yang profesional dan berakhlak memiliki sikap konsisten (dari bahasa Latin consistere; harmony of conduct or practice with profession; ability to be asserted together without contradiction), yaitu kemampuan untuk bersikap secara taat asas, pantang menyerah, dan mampu mempertahankan prinsip serta komitmennya walau harus berhadapan dengan resiko yang membahayakan dirinya. Mereka mampu mengendalikan diri dan mengelola emosinya secara efektif. Tetap teguh pada komitmen, positif dan tidak rapuh kendati berhadapan dengan
67
situasi yang menekan. Sikap konsisten telah melahirkan kepercayaan diri yang kuat dan memiliki integritas serta mampu mengelola stres dengan tetap penuh gairah (Tasmara, 2002:86). f. Disiplin Erat kaitannya dengan konsisten adalah sikap berdisiplin (Latin: disciple, discipulus, murid, mengikuti dengan taat), yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dengan tenang dan tetap taat walaupun dalam situasi yang sangat menekan. Pribadi yang disiplin sangat hati-hati dalam mengelola pekerjaan serta penuh tanggung jawab dalam memenuhi kewajibannya. Pandangannya terarah pada hasil yang akan diraih, sehingga mampu menyesuaikan diri dalam situasi yang menantang. Mereka pun juga mempunyai daya adaptabilitas atau keluwesan untuk menerima inovasi atau gagasan baru (Tasmara, 2002:88). g. Konsekuen dan Berani Menghadapi Tantangan Ciri lain dari pribadi muslim yang memiliki budaya kerja adalah keberaniannya menerima konsekuensi dari kuputusannya. Bagi mereka, hidup adalah pilihan (life is a choice) dan setiap pilihan merupakan tanggung jawab pribadinya. Mereka tidak mungkin menyalahkan pihak manapun karena pada akhirnya semua pilihan merupakan tanggung jawab pribadinya (Tasmara, 2002:89). h. Memiliki Sikap Percaya Diri (Self Confidence) Percaya diri melahirkan kekuatan, keberanian, dan tegas dalam bersikap serta berani mengambil keputusan yang sulit walaupun harus
68
membawa konsekuensi berupa tantangan atau penolakan. Sikap percaya diri dapat kita lihat dari beberapa ciri kepribadiannya yang antara lain sebagai berikut : 1) Mereka berani menyatakan pendapat atau gagasannya sendiri walaupun hal tersebut beresiko tinggi, misalnya menjadi orang yang tidak populer atau malah dikucilkan. 2) Mereka mampu menguasai emosinya; ada semacam self regulation yang menyebabkan dia tetap tenang dan berpikir jernih walaupun dalam tekanan yang berat (working under pressure). 3) Mereka memiliki independensi yang sangat kuat sehingga tidak mudah terpengaruh oleh sikap orang lain walaupun pihak lain adalah mayoritas. Baginya, kebenaran tidak selalu dicerminkan oleh kelompok yang banyak (Tasmara, 2002:89-90). i. Kreatif Pribadi muslim yang kreatif selalu ingin mencoba metode atau gagasan baru dan asli (new and original: using or showing use of tha imagination to create new ideas or things) sehingga diharapkan hasil kinerjanya dapat dilaksanakan secara efisien, tetapi efektif (Tasmara, 2002:91). j. Bertanggungjawab Bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan merupakan ciri bagi muslim yang bertaqwa. Amanah adalah titipan yang menjadi tanggungan, bentuk kewajiban atau utang yang harus kita bayar dengan
69
cara melunasinya sehingga kita merasa aman atau terbebas dari segala tuntutan (Tasmara, 2002:94-95). k. Bahagia Karena Melayani Melayani atau menolong seseorang merupakan bentuk kesadaran dan kepeduliannya terhadap nilai kemanusiaan. Memberi pelayanan dan pertolongan
merupakan
investasi
yang
kelak
akan
dipetik
keuntungannya, tidak hanya di akhirat, tetapi di duniapun mereka sudah merasakannya (Tasmara, 2002:96). l. Memiliki Harga Diri Harga diri (dignity, self esteem) merupakan penilaian menyeluruh mengenai diri sendiri, bagaimana ia menyukai pribadinya, harga diri mempengaruhi kreatifitasnya, dan bahkan apakah ia akan menjadi seorang pemimpin atau pengikut (Tasmara, 2002:100). m. Memiliki Jiwa Kepemimpinan Kepemimpinan berarti kemampuan untuk mengambil posisi dan sekaligus
memainkan
peran
(role)
sehingga
kehadiran
dirinya
memberikan pengaruh pada lingkungan (Tasmara, 2002:102). n. Berorientasi ke Masa Depan Seorang pribadi muslim yang memiliki etos kerja tidak akan berkata, ”ah, bagaimana nanti”, tetapi dia akan berkata, ”nanti bagaimana?”, dia tidak mau berspekulasi dengan masa depan dirinya. Dia harus menetapkan sesuatu yang jelas dan karenanya seluruh tindakannya diarahkan kepada tujuan yang telah dia tetapkan (Tasmara, 2002:105).
70
o. Hidup Berhemat dan Efisien Dia akan selalu berhemat karena seorang mujahid adalah seorang pelari marathon, lintas alam, yang harus berjalan dan ari jarak jauh. Karenanya, akan tampaklah dari cara hidupnya yang sangat efisien di daam mengeloa setiap ”resources” yang dimilikinya. Dia menjauhkan sikap yang tidak produktif dan mubazir karena mubazir adaah sekutunya setan yang mahajelas. Dia berhemat bukanlah dikarenakan ingin memupuk kekayaan sehingga melahirkan sikap kikir individualistis, melainkan dikarenakan ada satu reserve bahwa tidak selamanya waktu itu berjalan secara lurus, ada up and down, sehingga berhemat berarti mengestimasikan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang (Tasmara, 2002:105). p. Memiliki Jiwa Wiraswasta (Entrepreneurship) Dia memiliki jiwa wiraswasta yang tinggi, yaitu kesadaran dan kemampuan yang sangat mendalam (ulil abab) untuk melihat segala fenomena yang ada di sekitarnya, merenung, dan kemudian bergelora semangatnya untuk mewujudkan setiap perenungan batinnya dalam bentuk yang nyata dan realistis(Tasmara, 2002:107). q. Memiliki Jiwa Bertanding (Fastabiqul Khoirot) Semangat bertanding merupakan sisi lain dari citra seorang muslim yang memiliki semangat jihad. Panggilan untuk bertanding dalam segala lapangan kebajikan dan meraih prestasi, dihayatinya dengan penuh rasa tanggung jawab (Tasmara, 2002:109).
71
r. Mandiri Sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah terdapat pada jiwa yang merdeka, sedangkan jiwa yang terjajah akan terpuruk dalam penjara
nafsunya
sendiri,
sehingga
dia
tidak
pernah
mampu
mengaktualisasikan asset, kemampuan, serta potensi Ilahiahnya yang sungguh sangat besar nilainya (Tasmara, 2002:114). s. Haus Mencari Ilmu Seorang yang mempunyai wawasan keilmuan tidak pernah cepat menerima sesuatu sebagai taken for granted, karena sikap pribadinya yang kritis dan tak pernah mau menjadi kerbau jinak, yang hanya mau manut kemana hidungnya ditarik. Dia sadar bahwa dirinya tidak boleh ikut-ikutan tanpa pengetahuan karena seluruh potensi dirinya suatu saat akan diminta pertanggungjawaban dari Allah Swt (Tasmara, 2002:116). t. Memiliki Semangat Perantauan Mereka ingin memjelajahi hamparan bumi, memetik hikmah, mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa budaya manusia. Jiwa perantauannya
mengantarkan
dirinya
untuk
mampu
mandiri,
menyesuaikan diri, dan pandai menyimak dan menimbang budaya orang lain. Hal ini menyebabkan dirinya berwawasan universal, tidak terperangkap dalam fanatisme sempit, apalagi kauvinisme yang merasa bahwa hanya bangsa dan negaranya sajalah yang paling unggul (Tasmara, 2002:120).
72
u. Memperhatikan Kesehatan dan Gizi Etos kerja Islami adalah etos yang erat kaitannya dengan cara dirinya memelihara kebugaran dan kesegaran jasmaninya. Mens sana in corpore sano, bagi seorang muslim bukanlah hanya sebagai motto olah raga, tetapi dia bagian dari spirit atau gemuruh jiwanya, meronta dan haus untuk berprestasi. Salah satu persyaratan untuk menjadi sehat adalah cara dirinya untuk memilih dan menjadikan konsumsi makanan sehat dan bergizi, sehingga dapat menunjang dinamika kehidupan dirinya dalam mengemban amanah Allah Swt (Tasmara, 2002:123). v. Tangguh dan Pantang Menyerah Izin Allah Swt adalah sunnatullah yang berlaku universal. Bukan milik ummat Islam saja tapi milik siapapun. Siapa yang menolak sunnah maka dia telah menolak nikmat Allah Swt. Maka, bekerja keras, ulet, dan pantang menyerah adalah ciri dan cara dari kepribadian muslim yang mempunyai etos kerja. Keuletan merupakan modal yang sangat besar di dalam menghadapi tantangan dan tekanan (pressure), sebab sejarah telah banyak membuktikan betapa banyak bangsa yang mempunyai sejarah pahit, namun akhirnya dapat keluar dengan berbagai inovasi, kohesivitas kelompok, dan mampu memberikan prestasi yang tinggi bagi lingkungannya (Tasmara, 2002:125). w. Berorientasi pada Produktifitas Seorang muslim akan selalu berorientasi pada cara kerja yang efisien, artinya selalu membuat perbandingan antara jumlah keluaran
73
(performance) dibandingkan dengan energi (waktu tenaga) yang dia keluarkan (produktifitas: keluaran yang dihasilkan berbanding dengan masukan dalam bentuk waktu dan energi). Cara kerja yang efisien ini menjadi orientasi seorang yang beretos kerja Islami karena ia sangat menghargai arti waktu sebagi aset, dia tidak akan membiarkan waktu terbuang tanpa arti (Tasmara, 2002:129). x. Memperkaya Jaringan Silaturahmi Bersilaturrahmi berarti membuka peluang dan sekaligus mengikat simpul-simpul informasi dan menggerakkan kehidupan. Manusia yang tidak mau atau enggan bersilaturrahmi untuk membuka cakrawala pergaulan sosialnya atau menutup diri dan asyik dengan dirinya sendiri, pada dasarnya dia sedang mengubur masa depannya. Dia telah mati sebelum mati. Bersilaturrahmi dapat membuat panjang umur, maksudnya panjang umur bukanlah berapa lama seseorang akan hidup tetapi seberapa bermakna dia memanfaatkan hidup (Tasmara, 2002:131). y. Memiliki Semangat Perubahan (Spirit Of Change) Pribadi yang memiliki etos kerja Islami sangat sadar bahwa tidak akan ada satu makhluk pun di muka bumi ini yang mampu mengubah dirinya kecuali dirinya sendiri. Betapapun hebatnya seseorang untuk memberikan motivasi, hal itu hanyalah kesia-sian belaka, bila pada diri orang tersebut tidak ada keinginan untuk dimotivasi (Tasmara, 2002:134).
74
Karakteristik etos kerja Islami menurut Luth (2001:39-40) mencakup tiga hal yaitu niat ikhlas karena Allah Swt, kerja keras, dan memiliki citacita tinggi, yang diuraikan sebagai berikut: a. Niat Ikhlas karena Allah Swt Semata Niat ikhlas merupakan landasan dalam segala aktivitas. Niat sematamata karena Allah Swt akan memberi kesadaran bahwa: (a) Allah Swt sedang memantau atau mengawasi kerja manusia, (b) Allah adalah tujuan dari segala yang ingin diraih atau dilakukan, (c) segala yang diperoleh wajib disyukuri, (d) rezeki harus digunakan dan dibelanjakan di jalan yang benar, dan (e) menyadari apa saja yang diperoleh atau dimiliki manusia pasti ada pertanggungjawaban kepada Allah Swt (Luth, 2001:39). b. Kerja Keras (al-Jiddu fi al-„Amal) Islam memerintahkan agar bekerja keras, maksudnya bekerja dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, jujur, dan mengusahakan sesuatu dengan cara-cara yang halal. Kerja dengan cara yang demikian merupakan kerja yang didasarkan pada prinsip jihad, yaitu bekerja dengan kesungguhan hati semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt. Orang yang bekerja keras dikelompokkan sebagai mujahid di jalan Allah Swt (Luth, 2001:40). c. Memiliki Cita-Cita yang Tinggi (al-Himmah al-„Aliyah) Cita-cita yang tinggi harus ditanamkan dalam diri setiap manusia dalam bekerja. Seorang pekerja tidak boleh puas hanya dengan menjadi
75
bawahan seumur hidupnya, tetapi ia harus mempunyai cita-cita yang tinggi agar suatu saat menjadi pemilik, majikan, atau bos dari pekerjaan yang digelutinya (Luth, 2001:40). Cita-cita yang tinggi ini juga berimplikasi pada kerja keras yang harus dilakukan oleh seorang yang ingin mewujudkan cita-cita tersebut. Ia harus berusaha dengan penuh kesungguhan agar mencapai hasil yang maksimal pada setiap aktivitas atau kerja yang ia lakukan sehingga cepat atau lambat cita-cita tersebut akan terwujud menjadi kenyataan. Shalih (2009:63) menyebutkan tentang karakteristik etos kerja Islami ini dengan istilah 10 ciri bekerja dengan hati nurani, yaitu sebagai berikut: a. Mengawali kerja dengan niat yang baik dan benar; b. Menjaga agama Allah Swt dalam bekerja; c. Menghadirkan Allah Swt dalam setiap pekerjaan; d. Menggunakan hati nurani dalam menentukan sikap saat bekerja; e. Menampilkan sikap taqwa dalam bekerja; f. Ikhlas dalam bekerja; g. Menampilkan cara kerja yang terbaik (amal prestatif); h. Memunculkan syukur prestatif; i. Menjalin silaturahmi dan merajut ukhuwah (kerja sama); j. Menampilkan pelayanan prima (service excellent). Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik etos kerja Islami dapat dilihat dari sikap-sikap yang tampak sebagai buah dari keyakinan berkenaan kerja sebagai ibadah. Orang yang
76
telah menancapkan keyakinan dalam hatinya bahwa kerja merupakan ibadah, maka akan memperlihatkan sikap-sikap sebagaimana yang disebutkan Tasmara (2002) dalam 25 ciri orang yang kecanduan amal shalih, kemudian yang disebutkan Luth (2001) dalam 3 karakteristik etos kerja Islami, dan yang disebutkan Shalih (2009) dalam 10 ciri bekerja dengan hati nurani.
77
BAB III KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Pendidikan Islam 1. Pengertian Bahasa Pendidikan Islam secara etimologi berasal dari kata-kata bahasa Arab yang pada umumnya digunakan untuk menunjukkan istilah pendidikan, yaitu: tarbiyah, ta‟lim dan ta‟dib. Istilah tarbiyah berasal dari tiga kata, yaitu: Pertama, rabba yarbu yang artinya bertambah dan tumbuh. Kedua, rabiya yarba yang artinya menjadi besar. Ketiga, rabba yarubbu yang artinya memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara (Nahlawi, 1992:31). Ketiga asal kata tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang tercakup dalam makna tarbiyah terdiri atas empat unsur, yaitu: a. Menjaga dan memelihara pertumbuhan fitrah manusia; b. Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan; c. Mengarahkan seluruh kelengkapan manusia yang beraneka ragam (terutama akal budinya) menuju kesempurnaan; d. Melaksankan pendidikan secara bertahap sesuai perkembangan anak (Nahlawi, 1992:32). Tafsir (2008:29) berdasarkan pada uraian mengenai empat unsur tarbiyah tersebut, menyimpulkan bahwa pendidikan menurut term tarbiyah
78
adalah pengembangan seluruh potensi siswa secara bertahap menurut ajaran Islam. Istilah ta‟lim berasal dari kata „allama yang berarti mengajar (pengajaran), yaitu transfer ilmu pengetahuan (Bawani dan Anshori, 1991:72). Menurut Jalal (1988:27), proses ta‟lim lebih universal dibanding dengan proses tarbiyah. Ta‟lim merupakan proses yang membawa kepada tazkiah (pensucian), yaitu pensucian dan pembersihan diri manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri itu berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala hal yang bermanfaat untuk diketahui. Ta‟lim tidak hanya berhenti pada pengetahuan berdasarkan prasangka atau yang lahir dari taklid (Jalal, 1988:29). Ta‟lim mencakup pengetahuan teoritis, mengulang kajian secara lisan, dan menyuruh melaksanakan pengetahuan itu. Ta‟lim mencakup pula aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya serta pedoman perilaku yang baik (Jalal, 1988:30). Istilah ta‟dib berasal dari kata addaba yang artinya mendidik yang lebih tertuju pada penyempurnaan akhlak atau budi pekerti (Achmadi, 1987:4). Attas (1996:61-62) mendefinisikan ta‟dib sebagai pengenalan dan pengakuan secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Pengertian ini menurut Tafsir (2008:29), intinya ta‟dib
79
merupakan usaha agar orang mengenali dan mengakui tempat Tuhan dalam kehidupan ini. Definisi tersebut menurut Tafsir (2008:29) selain panjang, abstrak, sulit dipahami, juga sulit dioperasionalkan. Berdasarkan pada ketiga pengertian pendidikan Islam secara etimologi tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan merupakan upaya untuk menumbuh kembangkan potensi atau fitrah manusia dalam aspek pengetahuan, keterampilan praktis, dan akhlak agar manusia mencapai kesempurnaannya. Islam secara etimologi dan menurut Al-Qur‟an berarti penyerahan diri dan kepatuhan (Nahlawi, 1992:36). Pokok-pokok ajaran Islam disimpulkan oleh kalangan ulama terdiri dari tiga komponen, yaitu: Islam, iman, dan ihsan. Ada juga yang mengistilahkan tiga pokok ajaran tersebut dengan: aqidah, syari‟ah, dan akhlak. Lain lagi menyebutnya dengan: aqidah, ibadah, dan mu‟amalah (Kaelany, 2000:31). Aspek Islam yaitu berupa penyerahan diri kepada Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Perkasa, dan Maha Esa. Penyerahan itu diikuti dengan kepatuhan dan ketaatan untuk menerima dan melakukan apa saja yang diperintah dan dilarang-Nya. Tunduk pada aturan dan undang-undang yang diturunkan kepada manusia melalui hamba pilihan-Nya (para rasul). Aturan dan undang-undang yang dibuat oleh Allah Swt itu dikenal dengan istilah syari‟ah (Kaelany, 2000:31). Untuk memudahkan pemahaman terhadap syari‟ah Islam yang luas dan global, ulama membagi syari‟ah itu dalam dua segi mendasar, yaitu: (1) Segi amalan sebagai sarana bagi orang-
80
orang muslim mendekatkan diri kepada Tuhannya (hablum minallah) disebut ibadah; (2) Segi amal usaha dalam menjalin hubungan sesama manusia (hablum minannas) dan hubungannya dengan lingkungan, alam semesta disebut muamalah (Kaelany, 2000:33). Pembagian syari‟ah ke dalam dua segi di atas hanya untuk memudahkan pemahaman manusia. Iman sebagai pokok ajaran Islam yang berikutnya, memiliki pengertian kepercayaan kepada Allah Swt Tuhan Yang Maha Esa. Esensi iman bukan sekadar hanya percaya akan adanya Allah Swt dan mengucapkan kalimat syahadatain secara lisan, tetapi iman harus diwujudkan dalam tindakan nyata yaitu berupa amal shalih. Amal shalih adalah refleksi dari iman, yang mencakup ibadah dalam arti ubudiyah atau ibadah khusus dan ibadah dalam arti luas. Pengertian ibadah secara eksklusif lebih berdimensi hubungan vertikal yang syarat, cara dan polanya telah digariskan oleh Allah Swt dan rasul-Nya. Ini kalau ditinjau dari arti yang pertama yang lebih bersifat ritual. Namun dalam pengertian luas dan universal, ibadah adalah segala kegiatan manusia beriman yang dilakukan dengan ikhlas dan bertujuan untuk mencapai ridho Allah Swt. Dalam pengertian terakhir ini terdapat korelasi yang erat dengan tujuan penciptaan manusia agar segala aktivitas hidupnya berorientasi pengabdian kepada Allah Swt semata (ibadah). Peran manusia sebagai khalifah untuk menguasai, mengelola, dan memakmurkan dunia ini sehingga menjadi dunia yang damai, aman, dan penduduk yang sejahtera, pada hakikatnya tercakup dalam pengertian ibadah secara luas. Seluruh kegiatan hidup orang beriman
81
dengan demikian akan bernilai amal shalih jika bermotivasi dan bertendensi ikhlas mencapai keridhoan Allah Swt (Kaelany, 2000:99-100). Ihsan secara bahasa artinya berbuat baik, bagus, kebajikan, dan shalih, sedangkan secara istilah artinya meyakini dan merasakan Allah Swt senantiasa mengawasi, memperhatikan gerak-gerik dan segala aktivitas dalam kehidupan. Dengan ihsan diharapkan semua perilaku dan aktivitas seorang muslim bukan saja dilakukan dengan keindahan dan kebaikan secara lahir, melainkan sungguh-sungguh dilandasi iman. Dengan ihsan juga seorang muslim akan melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi manusia. Sikap ihsan, dengan kata lain akan menampilkan seseorang menjadi muslim yang memiliki akhlakul karimah atau akhlak mulia. Akhlak mulia ini contohnya meliputi akhlak terhadap Allah Swt, seperti: taqwa, tawakal, bersyukur atas segala nikmat dan bersabar atas segala musibah, dan sebagainya; akhlak kepada diri sendiri seperti: jujur, ikhlas, istiqamah, sabar, disiplin, dan lain-lain; akhlak terhadap orang lain seperti: berbakti kepada orang tua, tolong-menolong, bermusyawarah dalam memecahkan persoalan dengan masyarakat, dan lain sebagainya; serta akhlak kepada alam semesta seperti: memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya, tidak merusak alam dan mengeksploitasinya secara berlebihan (Kaelany, 2000:54-60). Islam menurut uraian di atas dapat disimpulkan sebagai agama yang berisikan tiga ajaran pokok, yaitu: (1) Dimensi Islam atau syari‟ah yang berisikan ajaran tentang hablumminallah dan hablumminannas; (2) Dimensi
82
iman atau aqidah yang berisikan ajaran tentang kepercayaan kepada Allah Swt yang diwujudkan dalam amal shalih; serta (3) Dimensi ihsan atau akhlak yang berisikan ajaran tentang perilaku mulia yang didasarkan pada iman. 2. Pengertian Istilah Pengertian pendidikan Islam secara terminologi telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Pendidikan Islam menurut Achmadi (1987:10) adalah segala usaha untuk mengembangkan fitrah manusia dan sumber daya insani menuju terbentuknya insan kamil sesuai dengan norma Islam. Insan kamil yang dimaksud dalam pengertian tersebut adalah muttaqiin yang terefleksikan dalam perilaku baik, dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia, maupun dengan alam. Sejalan dengan pengertian ini, Daradjat (2011:29) menjelaskan insan kamil sebagai manusia utuh rohani jasmani, dapat hidup dan berkembang dengan wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah Swt. Makna insan kamil yang demikian mengandung arti bahwa pendidikan Islam diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakat serta senang dan gemar mengamalkan serta mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah Swt dan dengan manusia sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia dan di akhirat nanti (Daradjat, 2011:29). Pendidikan Islam menurut Marimba (1989:23) adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju
83
terbentuknya kepribadian muslim. Kepribadian muslim adalah kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya yaitu baik tingkah laku luarnya, kegiatankegiatan jiwanya maupun filsafat hidup dan kepercayaannya menunjukkan pengabdian dan penyerahan diri kepada Tuhan. Tafsir (2008:32) menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi Muslim semaksimal mungkin dalam segala aspeknya. Definisi yang digunakan ini menyangkut pendidikan yang dilakukan di dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah, serta menyangkut aspek jasmani, akal, dan hati subjek didik. Berdasarkan pada pengertian terminologi pendidikan Islam menurut para ahli tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam adalah bimbingan untuk mengembangkan fitrah manusia berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam menuju terbentuknya kepribadian muslim dalam hubungannya dengan Allah Swt, dengan sesama manusia, serta dengan alam sekitar. B. Dasar Pendidikan Islam Dasar pendidikan adalah pandangan yang mendasari seluruh aktivitas pendidikan baik dalam rangka penyusunan teori perencanaan maupun pelaksanaan pendidikan. Dasar pendidikan merupakan nilai-nilai tertinggi yang dijadikan pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa di mana pendidikan itu berlaku. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan dasar pendidikan Islam ialah pandangan hidup yang Islami atau biasa disebut pandangan hidup muslim yang pada hakikatnya merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat transenden,
84
universal, dan eternal (Achmadi, 1987:76). Sumber dari nilai-nilai luhur dalam Islam ialah Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah saw. (Achmadi, 1987:77). Maka pendidikan Islam juga bersumber dari nilai-nilai luhur dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah saw. Allah Swt berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 122 dan Surah Al-Anbiya‟ ayat 7, sebagai berikut:
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (Q.S. At-Taubah: 122). Ayat tersebut menjelaskan bahwa umat Islam tidak dianjurkan untuk semuanya ikut berangkat dalam peperangan, melainkan harus ada sebagaian dari mereka yang mendalami pengetahuan tentang Islam sehingga akan terlahir cendekiawan-cendekiawan muslim yang dapat menjaga kekokohan umat dan agama Islam. Ayat tersebut juga menekankan pentingnya ilmu tentang agama sebagai bekal kehidupan. Manusia yang memiliki wawasan keagamaan luas tidak akan tersesat hidupnya baik dunia sampai di akhirat. Betapa pentingnya ilmu pengetahuan dan pendidikan dalam menuntun hidup manusia, Allah Swt menyuruh kepada manusia untuk bertanya atau meminta petunjuk kepada
85
orang yang berilmu apabila ia tidak mengerti tentang sesuatu hal, sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Anbiya‟: 7 berikut ini:
Artinya: Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (Q.S. Al-Anbiya‟: 7). Nilai-nilai dalam Al-Qur‟an yang berkaitan dengan pendidikan Islam adalah pendidikan yang menyeluruh. Pendidikan Islam ialah pendidikan keimanan, ilmu, amal, akhlak, dan sosial. Maka pendidikan Islam adalah pendidikan keimanan, pendidikan ilmiah, pendidikan amaliah, pendidikan akhlak, dan pendidikan sosial (Hafidz dan Kastolani, 2009:68). Hal itu tergambar dalam firman-Nya dalam surah Al-„Asr ayat 1-3.
Artinya: Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-„Asr: 1-3). Berdasarkan pada ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa proses pendidikan meliputi pendidikan keimanan yang harus dipraktikkan dalam bentuk amal shalih.
Pendidikan Islam dalam ayat tersebut juga berupa
pendidikan sosial dan akhlak. Pendidikan sosial yaitu berupa saling menasehati dalam kebenaran, kemudian saling menasehati dalam kesabaran, dan sabar adalah simbol pendidikan akhlak dalam Islam. 86
Sunnah Rasulullah saw. menjadi sumber kedua bagi pendidikan Islam sesudah Al-Qur‟an, maksudnya adalah perkataan Rasulullah saw. dan perbuatannya, dan apa yang dipersetujuinya terhadap sahabat-sahabat melalui perkataan atau diam dan senyap, serta sifat-sifat jasmani dan akhlaknya. Sunnah telah membawa perkara-perkara yang sesuai dengan yang dibawa AlQur‟an, dan sunnah datang untuk menentukan perkara-perkara yang disentuh Al-Qur‟an secara umum. Dalam sunnah atau hadits Rasulullah saw. dijelaskan tentang pentingnya pendidikan Islam. Manusia mulia yang akan memperoleh kenikmatan surga bukan hanya manusia yang senantiasa rajin beribadah dalam artian shalat dan mengaji, melainkan juga manusia yang hidupnya diisi dengan proses pencarian ilmu yang dapat menjadikan dirinya sebagai insan taqwa. Oleh karena itu, Rasulullah saw. menyebutkan bahwa orang yang mencari ilmu yaitu ilmu yang bermanfaat, akan dimudahkan jalannya dalam memasuki surga, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:
َِ ك طَ ِز ْيقًايَ ْلتَ ِوسُ فِ ْي َ َ َّ َه ْي َسل:ال َ ََّ َع ْي أَبِى ُُ َز ْي َزةَ أَ َّى َرس ُْْ َل هللاِ ق َسِ ََّل هللاُ لََُ طَ ِز ْيقًا إِلَى ال َجٌَّ ِت,ِع ْل ًوا Artinya:
Dari Abu Hurairah radhiallahu‟anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu‟alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga”. (H.R. Muslim, no. 1.888). Sunnah Rasulullah saw. dalam hubungannya dengan pendidikan Islam menggunakan dua pendekatan, yaitu: Pertama, bersifat positif artinya berpusat
87
pada dasar-dasar yang sesuai dan kuat bagi akhlak yang mulia dan bertujuan menanamkan kemuliaan. Kedua, bersifat penjagaan artinya menghindarkan manusia dari segala macam keburukan, baik bersifat individual atau sosial, dan menjaga masyarakat dari bahaya perpecahan (Syaibany, 1979:432). Dasar pendidikan Islam yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Sunnah tersebut, oleh Jalaluddin (2001) diperinci menjadi lima, yaitu: dasar pandangan terhadap manusia, dasar pandangan terhadap masyarakat, dasar pandangan terhadap alam semesta, dasar pandangan terhadap ilmu pengetahuan, dan dasar pandangan terhadap akhlak. 1. Dasar Pandangan Terhadap Manusia Manusia memiliki sejumlah potensi untuk berkembang dan dikembangkan. Dalam kaitan ini pendidikan Islam menilai manusia didasarkan atas prinsip-prinsip pemikiran bahwa: a. Manusia adalah ciptaan Allah Swt yang paling mulia. Manusia diciptakan pada hakikatnya adalah untuk mengabdi kepada Allah Swt; b. Manusia dalam hidupnya diamanatkan untuk menjadi hamba Allah Swt dan sekaligus khalifah guna memakmurkan kehidupan di bumi; c. Manusia memiliki kemampuan untuk berkomunikasi, kemampuan untuk belajar dan mengembangan diri; d. Manusia adalah makhluk yang memiliki dimensi jasmani, rohani, dan ruh (fitrah ketauhidan); e. Manusia bertumbuh dan berkembang ditentukan oleh potensi bawaan dan pengaruh lingkungannya;
88
f. Manusia memiliki sifat fleksibel (keluwesan) dan memiliki kemampuan untuk mengubah serta mengembangkan diri (Jalaluddin, 2001:83-84). 2. Dasar Pandangan Terhadap Masyarakat Manusia selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial.
Manusia
tidak
dapat
hidup
sendiri,
dengan
mengabaikan
keterlibatannya dengan kepentingan pergaulan antarsesamanya dalam kehidupan bermasyarakat. Atas dasar pertimbangan ini, maka pemikiran tentang masyarakat mengacu kepada penilaian bahwa: a. Masyarakat merupakan kumpulan individu yang terikat oleh kesatuan dari berbagai aspek, seperti: latar belakang budaya, agama, tradisi, kawasan lingkungan, dan lain-lain; b. Masyarakat yang terbentuk dalam keragaman adalah sebagai ketentuan dari Allah Swt, agar dalam kehidupan terjadi dinamika sosial dalam bentuk interaksi antarsesama manusia yang menjadi warganya; c. Setiap masyarakat memiliki identitas sendiri yang secara prinsip berbeda satu sama lain; d. Masyarakat merupakan lingkungan yang dapat memberi pengaruh pada pengembangan potensi individu (Jalaluddin, 2001:84-85). 3. Dasar Pandangan Terhadap Alam Semesta Manusia dalam peranannya sebagai khalifah Allah Swt diamanatkan untuk menciptakan kemakmuran di bumi tempat manusia itu hidup. Alam semesta memang diciptakan Allah Swt untuk dimanfaatkan manusia atas
89
petunjuk penciptanya. Berdasarkan pandangan tersebut, maka pemikiran tentang alam semesta mengacu pada prinsip bahwa: a. Lingkungan alam baik berupa lingkungan sosial maupun lingkungan fisik atau benda budaya dan benda alam mempengaruhi pendidikan, sikap, dan akhlak; b. Lingkungan alam termasuk juga jagat raya adalah bagian dari ciptaanNya; c. Setiap wujud di alam semesta terbentuk dari dua unsur, yaitu unsur materi dan non materi, nyata dan ghaib, dunia dan akhirat; d. Alam senantiasa mengalami perubahan menurut ketentuan hukum yang diatur oleh Penciptanya (sunnatullah); e. Alam terwujud dalam dinamika gerak yang teratur dan terkendali oleh suatu tatanan yang menyatu pada sunnatullah; f. Alam merupakan sarana yang diperuntukkan bagi manusia sebagai upaya meningkatkan kemampuan diri sejalan dengan potensi yang dimilikinya (Jalaluddin, 2001:85-86). 4. Dasar Pandangan Terhadap Ilmu Pengetahuan Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hasil produksi dari pengembangan nalar dan kreasi manusia dalam upaya mengembangkan diri dan
membentuk
peradaban.
pengetahuan dan teknologi
Pendidikan
Islam
memandang
ilmu
betapapun canggihnya, secara hakiki harus
terikat pada nilai-nilai tertentu. Pemikiran yang dijadikan dasar pandangan ini meliputi prinsip-prinsip sebagai berikut:
90
a. Pengetahuan merupakan pengembangan dari kemampuan nalar manusia yang potensi dasarnya bersumber dari anugerah Allah Swt; b. Pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui usaha (belajar, meneliti, atau eksperimen) atau melalui penyucian diri serta pendekatan kepada Allah Swt. Pengetahuan diperoleh dari kesungguhan usaha disebut ilm al-kash (acquired knowledge) sedangkan yang diperoleh dari pendekatan diri hingga memperoleh bimbingan Allah Swt disebut ilm ladunni (perennial knowledge); c. Pengetahuan merupakan potensi manusia yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kehidupan diri maupun masyarakat; d. Pengetahuan terbentuk melalui nalar dan pengindraan; e. Pengetahuan manusia memiliki kadar dan tingkatan yang berbeda sesuai dengan objek, tujuan, dan metode yang digunakan; f. Pengetahuan yang paling utama adalah pengetahuan yang berhubungan dengan Allah Swt, perbuatan-Nya serta makhluk-Nya; g. Pengetahuan manusia pada hakikatnya adalah hasil penafsiran dan pengungkapan kembali segala bentuk permasalahan yang berkaitan dengan hukum-hukum Allah Swt (sunnatullah) dan ciptaan-Nya; h. Pengetahuan yang hakiki adalah pengetahuan yang didasari oleh kaidahkaidah dan nilai akhlak, karena akan dapat mendatangkan ketentraman batin. Sehubungan dengan ini maka pengetahuan yang bernilai adalah pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia lahir dan batin sesuai petunjuk Allah Swt (Jalaluddin, 2001:86-87).
91
5. Dasar Pandangan Terhadap Akhlak Pendidikan Islam memandang pembinaan akhlak merupakan faktor penting dalam pendidikan. Keutamaan akhlak sebagai sarana puncak dalam pendidikan Islam. Arah sasaran pencapaian target tersebut agar dapat dipenuhi, maka perlu dirumuskan prinsip-prinsip yang menjadi dasar pandangan terhadap akhlak, yaitu: a. Akhlak termasuk faktor yang diperoleh dan dipelajari; b. Akhlak lebih efektif dipelajari dan dibentuk melalui teladan dan pembiasaan yang baik; c. Akhlak dipengaruhi oleh faktor waktu, tempat, situasi dan kondisi masyarakat, serta adat istiadat, dan cita-cita atau pandangan hidup. Akhlak tidak selalu terpelihara, kebaikan dan keburukan berpengaruh bagi pembentukan akhlak; d. Akhlak sejalan dengan fitrah dan akal sehat manusia, yaitu cenderung kepada yang baik; e. Akhlak mempunyai tujuan akhir yang identik dengan tujuan akhir ajaran Islam, yaitu untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; f. Akhlak yang mulia merupakan realisasi dari ajaran Islam; g. Akhlak berintikan tanggung jawab terhadap amanat Allah Swt, sehingga dinilai berdasarkan tolok ukur yang diisyaratkan Allah Swt dalam ajaran Islam (Jalaluddin, 2001:88). Dasar pendidikan Islam berdasarkan uraian di atas merupakan pandangan yang mendasari segala aktivitas pendidikan yang bersumber dari
92
nilai-nilai luhur dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah saw. Ada lima prinsip utama yang menjadi kerangka acuan dalam penyusunan dasar pendidikan Islam, yaitu dasar pandangan terhadap manusia, dasar pandangan terhadap masyarakat, dasar pandangan terhadap alam semesta, dasar pandangan terhadap ilmu pengetahuan, dan dasar pandangan terhadap akhlak. Berdasarkan prinsip-prinsip utama yang dijadikan acuan dasar pendidikan Islam tersebut, dapat dilihat bahwa pendidikan Islam dalam segala aspeknya senantiasa dihubungkan dengan konsep ajaran Islam, khususnya kaitannya dengan hakikat penciptaan dan amanat Ilahiyat. C. Tujuan Pendidikan Islam Tujuan pendidikan Islam menurut pendapat beberapa ahli adalah sebagai berikut: Achmadi (1987:90) mengemukakan bahwa tujuan tertinggi dan terakhir pendidikan Islam pada dasarnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya diciptakan oleh Allah Swt. Tujuan tertinggi dan terakhir menurut Achmadi (1987:90-92) adalah sebagai berikut: 1. Menjadikan hamba Allah Swt yang paling taqwa. Tujuan ini sejalan dengan tujuan hidup manusia yaitu semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt. Pengertian ibadah yang dimaksud di sini tidak terbatas pada ritual-ritual gama secara pasif saja, melainkan juga meliputi segala aspek kegiatan yaitu: iman, berfikir, merasa, dan bekerja;
93
2. Mengantarkan subjek didik menjadi khalifatullah fil ardhi yang mampu memakmurkan alam sekitar dan mampu mewujudkan rahmah bagi alam sekitarnya; 3. Untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat, baik individu maupun masyarakat. Kebahagiaan hidup dunia dan akhirat hanya akan dicapai dengan ilmu. Tujuan umum pendidikan Islam menurut Abrasyi (1970:1-4) adalah pembinaan akhlak, persiapan kehidupan dunia dan akhirat, penguasaan ilmu, dan keterampilan bekerja dalam masyarakat. Tujuan umum pendidikan Islam menurut Tafsir (2008:51) ialah muslim yang sempurna, atau manusia yang taqwa, atau manusia yang beribadah kepada Allah Swt. Kategori muslim sempurna adalah sebagai berikut: 1. Jasmani
yang
sehat
dan
kuat,
ciri-cirinya
yaitu:
sehat,
kuat,
berketeramapilan; 2. Akal yang cerdas, ciri-cirinya yaitu: mampu menyelesaikan masalah secara cepat dan tepat, mampu menyelesaikan masalah secara ilmiah dan filosofis, memiliki dan mengembangkan sains, memiliki dan mengembangkan filsafat; 3. Hati yang taqwa kepada Allah Swt ciri-cirinya yaitu: dengan sukarela melaksanakan perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya, hati yang berkemampuan berhubungan dengan alam gaib (Tafsir, 2008:50). Nata (1997:53-54) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam meliputi: (1) Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka
94
bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan; (2) Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah Swt, sehingga tugas tersebut terasa ringan dikerjakan; (3) Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga ia tidak
menyalahgunakan
fungsi
kekhalifahannya;
(4)
Membina
dan
mengarahkan potensi akal, jiwa, dan jasmaninya sehingga ia memiliki ilmu, akhlak, dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan untuk mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya; serta (5) Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Berdasarkan pada uraian mengenai tujuan pendidikan Islam oleh para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam menurut penulis adalah untuk membentuk insan kamil, yaitu dengan membina potensi akal, ruh, dan jasmani manusia sehingga ia memiliki ilmu, akhlak, dan keterampilan
untuk
mendukung
tugas
pengabdian
(ibadah)
dan
kekhalifahannya, agar ia dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. D. Karakteristik Pendidikan Islam 1. Karakteristik Filosofis Pendidikan Islam a. Penciptaan yang Bertujuan Islam memandang pendidikan sebagai proses yang suci untuk merealisasikan tujuan asasi manusia dalam kehidupan nyata yaitu beribadah kepada Allah Swt dalam makna yang luas. Pendidikan dalam hal ini merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam, yang ruang
95
lingkupnya adalah alam semesta, pusatnya adalah manusia, dan tujuannya adalah kehidupan yang beriman (Hafidz dan Kastolani, 2009:45). b. Kesatuan yang Menyeluruh Refleksi prinsip kesatuan dalam filsafat Islam tampak pada proses pendidikan. Pertama, prinsip kesatuan perkembangan individu dalam kerangka perkembangan masyarakat dan dunia. Kedua, prinsip kesatuan umat manusia yang merupakan karakteristik universalitas dalam pendidikan Islam. Ketiga, prinsip kesatuan pengetahuan yang mencakup berbagai disiplin ilmu dan seni (Aly dan Munzier, 2003:58). c. Keseimbangan Prinsip keseimbangan dalam Islam tercermin dalam pendidikan Islam, seperti keseimbangan antara teori dan praktik, ucapan dan perbuatan, pengetahuan kemanusiaan yang berguna bagi individu dan yang berguna bagi masyarakat, serta pengetahuan yang fardhu „ain dan yang fardhu kifayah dalam semua lapangan pengetahuan, baik keagamaan maupun keduniaan (Aly dan Munzier, 2003:62). Allah Swt mencela
orang-orang
yang
hanya
mengatakan
sesuatu
tanpa
mengamalkannya, sebagaimana tercantum dalam surah Ash-Shaff ayat 23 sebagai berikut:
96
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Q.S Ash Shaff: 2-3). Prinsip keseimbangan dalam pendidikan Islam telah meletakkan segala sesuatu sesuai dengan batasnya dan menghitung segala sesuatu sesuai dengan ukurannya, sehingga tidak mencederai ukuran dan kehidupan. Prinsip yang demikian diletakkan karena pendidikan Islam adalah pendidikan untuk hidup dengan penuh keimanan menuju keridhoan Allah Swt (Aly dan Munzier, 2003:65). Karakteristik filosofis pendidikan Islam seperti telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam dicirikan sebagai: Pertama, pendidikan yang berupaya merealisasikan tujuan penciptaan manusia yaitu untuk beribadah kepada Allah Swt dalam arti yang luas; Kedua, pendidikan Islam menekankan prinsip kesatuan antara umat manusia maupun kesatuan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan; Ketiga, pendidikan Islam menekankan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan. 2. Karakteristik Substansi Pendidikan Islam a. Pendidikan Keimanan Substansi pendidikan Islam yang paling utama adalah pendidikan keimanan.
Keimanan
yang dimaksud
adalah
keimanan
dengan
manivestasi amal perbuatan yang nyata, dengan menjadikan hidup dan kehidupan di dunia ini bernilai ibadah, bertaqwa yang sebenarnya, dan berakhlak mulia dalam rangka mendapatkan hidayah dan ridho dari Allah
97
Swt (Zainuddin, 1991:101). Keimanan yang demikian tujuannya agar kehidupan individu itu bermakna, aktivitasnya mempunya tujuan, motivasi untuk belajar dan bekerja berkembang secara terus-menerus, akhlaknya menjadi tinggi, jiwanya menjadi suci dan senantiasa menjadi cakap untuk menjadi khalifatullah fil ardhi (Hafidz dan Kastolani, 2009:70). Iman adalah pondasi akhlak yang mulia, akhlak yang mulia menjadi pondasi ilmu yang benar, ilmu yang benar menjadi pondasi amal yang shalih (Aly dan Munzier, 2003:72-73). Oleh karena itu, iman adalah yang pertama dan terutama dalam ajaran Islam yang harus tertancap dalam diri individu, sehingga pendidikan keimanan merupakan pondasi dari ilmu pengetahuan dan aspek-aspek pendidikan yang lainnya serta merupakan pedoman dan pandangan hidup seorang muslim. Sehingga dalam memahami, mendalami, dan menyelidiki ajaran Islam, menghayati dan mengamalkannya harus berlandaskan iman yang kuat. b. Pendidikan Amaliah Pendidikan Islam menegaskan tentashalihng pentingnya aspek amaliah, karena pendidikan Islam menganjurkan belajar dengan selalu mengaplikasikannya dalam tindakan, tidak hanya menghafal teori-teori yang tidak mampu membawa pada amal shalih dalam kehidupan nyata (Hafidz dan Kastolani, 2009:30). Amal shalih pada hakikatnya merupakan salah satu pintu masuk ke dalam substansi pendidikan Islam, di samping merupakan buah utama dari ilmu yang benar, akhlak yang
98
mulia,
dan
pendidikan
sosial
kemasyarakatan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Pendidikan amaliah mencakup segala sesuatu yang dimuat dalam pendidikan keterampilan, yang tercermin dalam perbuatan yang bermanfaat kepada umat manusia dalam kehidupan ini dan perbuatan yang dapat menjamin keberlangsungan ilmu pengetahuan sebagai upaya untuk menguasai seluruh alam semesta, mengambil manfaat dari bumi yang telah diberikan, serta membuat potensi, kekayaan, dan kandungan bumi menjadi bermanfaat bagi individu, masyarakat, dan umat manusia seluruhnya (Hafidz dan Kastolani, 2009:84). c. Pendidikan Ilmiah Substansi pendidikan Islam yang lain ialah ilmu pengetahuan, dimulai dengan keterampilan membaca dan menulis. Pendidikan keterampilan baca tulis dilanjutkan dengan pengetahuan kemanusiaan yang dimulai dari pengetahuan tentang jiwa manusia sampai kepada lingkungan sosial sepanjang masa dan di setiap tempat, kemudian pengetahuan tentang lingkungan fisik dan fenomena-fenomena alam. Pandangan Islam tentang ilmu pengetahuan bersifat komprehensif karena lahir dari prinsip kesatuan yang merupakan aspek penting di dalam konsep Islam. Atas dasar itu Islam mendorong manusia untuk mempelajari setiap pengetahuan
yang bermanfaat bagi dirinya,
masyarakat, dan semua umat manusia, baik dalam lingkungan
99
pengetahuan keagamaan maupun pengetahuan sosial, kealaman, ataupun pengetahuan lainnya (Aly dan Munzier, 2003:85). Islam sangat mendorong untuk mempergunakan akal sampai batas kemampuannya, dan mencela dengan keras orang yang tidak mempergunakan akal dan rasionalnya (Hafidz dan Kastolani, 2009:102). Akal dapat digunakan manusia untuk memperoleh dan mempelajari ilmu, dimana Islam memuliakan manusia untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat baginya, masyarakat, dan umat manusia seluruhnya. Pendidikan Islam juga berdasarkan ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan merupakan materi yang paling dalam dan dipergunakan sebagai pondasi dalam pengembangan ilmu, keterampilan, dan pandangan manusia. Buah dari ilmu yang baik adalah terwujudkan insan yang paling taqwa sebagai tujuan utama pendidikan Islam (Hafidz dan Kastolani, 2009:101) d. Pendidikan Akhlak Pendidikan akhlak merupakan bagian besar dalam substansi pendidikan Islam. Posisi ini terlihat dari kedudukan Al-Qur‟an sebagai referensi paling penting tentang akhlak bagi kaum muslimin: individu, keluarga, masyarakat, dan umat (Aly dan Munzier, 2003:89). Akhlak adalah ibarat (sifat atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) dan meresap dalam jiwa, daripadanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan wajar dan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan (Zainuddin, 1991:102). Akhlak merupakan buah Islam yang bermanfaat
100
bagi manusia dan kemanusiaan, serta membuat hidup dan kehidupan menjadi baik. Akhlak merupakan alat kontrol psikis dan sosial bagi individu dan masyarakat. Tanpa akhlak masyarakat manusia tidak akan berbeda dari kumpulan binatang (Aly dan Munzier, 2003:89). Manusia hendaknya mengikuti dan mempraktikan nilai-nilai yang ada dalam asmaul husna sesuai kemampuan dan kekuatannya (Hafidz dan Kastolani, 2009:108). Selain mengambil nilai-nilai asmaul husna sebagai pedoman akhlak mulia, manusia juga harus mengambil teladan dari akhlak yang dicontohkan Rasulullah saw. selama hidupnya. Pendidikan akhlak dalam Islam sangat berkaitan dengan tujuan utama pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam untuk mewujudkan insan paling taqwa, melaksanakan tugas khalifatullah fll ardhi, serta persiapan kehidupan dunia dan akhirat membutuhkan akhlak yang mulia, supaya manusia senantiasa berpegang teguh pada kebaikan dan menjauhkan diri dari kemungkaran (Hafidz dan Kastolani, 2009:110). e. Pendidikan Sosial Pendidikan sosial dalam Islam menempati posisi yang penting karena manusia adalah makhluk sosial sesuai dengan ciptaan Allah Swt. Allah Swt sebagai dzat pencipta dan sembahan manusia, dan Islam sebagai rahmat lil „alamiin tidak datang hanya untuk satu individu, masyarakat tertentu, tetapi untuk seluruh individu, masyarakat, dan seluruh generasi di setiap masa dan tempat. Allah Swt mewariskan bumi dan mengamanatkannya kepada setiap muslim dan menjadikan sosial
101
sebagai watak Islam dan watak generasi muda Islam. Maka tidak heran jika Islam memusatkan perhatiannya pada pengembangan tradisi sosial yang benar bagi individu, menanamkan perasaan dan kesadaran sebagai keluarga, anggota masyarakat, individu dan masyarakat dunia yang luas (Hafidz dan Kastolani, 2009:124). Berdasarkan
pada
uraian
mengenai
karakteristik
substansi
pendidikan Islam di atas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik pendidikan Islam yaitu meliputi: Pertama, pendidikan keimanan yang berfungsi sebagai landasan bagi kehidupan manusia dalam rangka menjalankan tugas sebagai khalifatullah fil ardhi; Kedua, pendidikan akhlak sebagai wujud dari keimanan yang dimiliki manusia serta akhlak sebagai kemuliaan sikap dari insan yang paling taqwa; Ketiga, pendidikan ilmiah sebagai sarana untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang baik; Keempat, pendidikan sosial sebagai sarana untuk mengembangkan tanggung jawab individu terhadap manusia lain atau masyarakat banyak, sehingga sekaligus sebagai sarana mewujudkan insan yang paling taqwa serta mewujudkan tugas khalifatullah fil ardh. 3. Karakteristik Aplikatif Pendidikan Islam a. Kewajiban Belajar Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim.
Banyak
ayat, hadis, dan realitas sejarah dalam kehidupan Rasulullah saw. dan ulama salaf menunjukkan kewajiban untuk menuntut ilmu dan menjadikan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama dalam
102
menuntut ilmu, sesuai dengan wataknya dan manfaat yang akan diambil bagi dirinya dan masyarakatnya (Hafidz dan Kastolani, 2009:134). b. Kesinambungan Pendidikan Karakteristik ini berkaitan dengan prinsip keluasan ilmu pengetahuan. Pendidikan Islam mengasumsikan bahwa pengetahuan merupakan proses yang berkembang terus sepanjang masa hingga akhir zaman, bukan proses yang terbatas, dan tidak seorangpun dapat mencapai akhir proses itu (Aly dan Munzier, 2003:103). Perkembangan ilmu pengetahuan lahir karena banyaknya pembahasan dan pengkajian secara terus-menerus. Tidak ada batas akhir bagi manusia untuk menggali pengetahuan, karena “di atas setiap orang yang berpengetahuan masih ada Yang Maha Tahu”. Manusia dengan umurnya yang terbatas, tidak mungkin mampu meliput semua ilmu pengetahuan, baik keagamaan maupun keduniaan (Aly dan Munzier, 2003:104). Setiap anggota masyarakat hendaknya mengambil spesialisasi yang berbeda dalam berbagai disiplin ilmu, sehingga pengetahuan mereka menjadi lengkap. Setiap ilmu yang bermanfaat, apapun lapangan dan disiplinnya, merupakan ilmu fardhu kifayah yang wajib digeluti oleh sebagian anggota masyarakat agar yang lain tidak memikul beban. Seluruh masyarakat muslim akan berdosa jika lalai dalam merencanakan spesialisasi disipin-disiplin yang diperlukan bagi pengembangan masyarakat (Aly dan Munzier, 2003:104).
103
c. Pemerataan Kesempatan Belajar Setiap muslim dalam masyarakat mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, antara orang Arab dan selain Arab, dan tidak ada perbedaan pula antara orang berkulit hitam dan putih, kecuali hanyalah kadar amal dan usaha yang mereka lakukan dengan kesempatan yang sama bagi semua. Amal dan usaha adalah tolok ukur pembeda antara orang-orang mukmin dalam mencapai tujuan risalah Islam, seperti bertaqwa, berjihad, dan menuntut ilmu. Orang-orang yang bertaqwa adalah paling mulia dalam pandangan Allah Swt (Aly dan Munzier, 2003:105). Kesempatan untuk belajar dalam Islam diberikan kepada semua individu dan lapisan masyarakat, baik yang sempurna maupun kurang sempurna. Setiap individu memiliki hak belajar yang sama atas negara dan masyarakat (Hafidz dan Kastolani, 2009:141). d. Cara Memperoleh Pengetahuan Pendidikan Islam memiliki karakteristik yang berkenaan dengan cara memperoleh dan mengembangkan pengetahuan serta pengalaman. Anggapan dasarnya ialah setiap manusia dilahirkan dengan membawa fitrah serta dibekali dengan berbagai potensi dan kemampuan yang berbeda dari manusia lainnya. Dengan bekal tersebut kemudian dia belajar: mula-mula melalui hal-hal yang dapat ditangkap dengan panca inderanya sebagai jendela pengetahuan; selanjutnya bertahap dari hal-hal yang dapat ditangkap indera kepada hal-hal yang abstrak, dan dari yang
104
dapat dilihat kepada yang dapat difahami (Aly dan Munzier, 2003:106107). Manusia
dilahirkan
tanpa
berpengetahuan
dan
bahwa
pengetahuan yang dimilikinya merupakan hasil perolehan. Manusia setelah dilahirkan mulai memasuki proses belajar melalui interaksi dengan lingkungannya. Manusia mulai belajar melalui pendengaran dan penglihatan; atau dengan kata lain melalui panca indera, proses pengalaman dan penelitian (Aly dan Munzier, 2003:107). e. Aturan Moral dalam Penggunaan Pengetahuan Aturan-aturan moral dalam penggunaan pengetahuan merupakan karakteristik paling penting dari pendidikan akhlak. Pengetahuan apapun, baik keagamaan maupun keduniaan, teoritis maupun praktis, ibarat pisau bermata dua yang dapat digunakan pemiliknya untuk berlaku munafik dan berkuasa atau berbuat kebaikan dan mengabdi kepada kepentingan umat manusia. Oleh sebab itu, Islam mementingkan ilmu yang bermanfaat dan memperhatikan penggunaannya bagi kepentingan individu dan masyarakat, sebaliknya, Islam melarang mempelajari pengetahuan yang berbahaya seperti sihir serta penggunaannya dalam hal-hal yang membahayakan manusia dan tidak bermanfaat bagi mereka (Aly dan Munzier, 2003:109). Uraian mengenai karakteristik aplikatif pendidikan Islam di atas kesimpulannya yaitu: (1) Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim; (2) Setiap muslim hendaknya memiliki spesialisasi disiplin ilmu;
105
(3) Setiap muslim berhak untuk belajar, tanpa membedakan jenis kelamin, ras, suku, warna kulit, golongan; (4) Pengetahuan diperoleh manusia melalui alat indera; dan (5) Pengetahuan yang boleh dipelajari ialah yang bermanfaat dan tidak membahayakan. E. Domain Pendidikan Islam Domain pendidikan Islam mencakup unsur-unsur penting yang berperan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Domain pendidikan Islam yang akan dibahas yaitu meliputi: guru, siswa, materi, metode, media dan lembaga pendidikan Islam. 1. Guru a. Pengertian Guru Guru adalah orang dewasa yang tugas atau pekerjaannya selain mengajar, juga mendidik siswa (Purwanto, 2007:138). Mengajar ialah memberikan pengetahuan atau melatih kecakapan-kecakapan atau keterampilan-keterampilan kepada siswa, sedangkan mendidik ialah membentuk budi pekerti dan watak siswa. Pada hakikatnya mengajar dan mendidik ialah satu kesatuan, siapa yang mengajar ia juga mendidik, dan siapa hendak mendidik, harus juga mengajar. Menurut Purwanto (2007:150) pendidikan lebih luas dari pengajaran. Pendidikan merupakan pendidikan
keseluruhan;
merupakan
pembentukan
kepribadian,
sedangkan pengajaran adalah salah satu alat usaha dari pendidikan keseluruhan.
106
Guru dalam bahasa Jawa adalah orang yang digugu (diindahkan) dan ditiru, digugu dalam arti piwulange (ajarannya) diperhatikan dan diindahkan oleh siswa, serta ditiru dalam arti perilaku guru akan selalu diikuti oleh siswa dan masyarakatnya karena guru sebagaimana ulama adalah pewaris sifat dan perilaku Rasulullah saw., yaitu sebagai uswatun hasanah (contoh atau teladan yang baik) (Roqib, 2009:36). Menurut Abrasyi (1993:136), guru adalah spiritual father atau bapak rohani bagi seorang siswa, karena ia yang memberi santapan jiwa dengan ilmu dan pendidikan akhlak. b. Syarat-Syarat Guru Syarat-syarat menjadi guru yang baik dalam konteks pendidikan Islam, menurut Daradjat (2011) secara umum hendaknya bertaqwa kepada Allah Swt, berilmu, sehat jasmaninya, baik akhlaknya, bertanggungjawab, dan berjiwa nasional, sebagaimana uraian berikut: 1) Taqwa Kepada Allah Swt Guru sesuai dengan tujuan pendidikan Islam, tidak mungkin mendidik anak agar bertaqwa kepada Allah Swt, jika ia sendiri tidak bertaqwa kepada-Nya. Sebab guru adalah teladan bagi siswanya sebagaimana Rasulullah saw. menjadi teladan bagi umatnya. Sejauh mana seorang guru mampu memberi teladan baik kepada siswasiswanya sejauh itu pulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik mereka menjadi generasi penerus bangsa yang mulia (Daradjat, 2011:41).
107
2) Berilmu Keilmuan guru ini salah satunya dibuktikan dengan ijazah yang dimiliki. Ijazah bukan semata-mata secarik kertas, tetapi suatu bukti bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan tertentu yang diperlukan untuk suatu jabatan. Guru pun harus mempunyai ijazah supaya ia diperbolehkan mengajar (Daradjat, 2011:41). 3) Sehat Jasmani Kesehatan jasmani kerapkali dijadikan salah satu syarat bagi mereka yang melamar untuk menjadi guru. Guru yang mengidap penyakit menular umpamanya sangat membahayakan kesehatan siswa-siswa. Guru yang berpenyakit di samping itu juga tidak akan bergairah dalam mengajar (Daradjat, 2011:41). 4) Berkelakuan Baik Budi pekerti guru sangat penting dalam pendidikan watak siswa. Guru harus menjadi suri teladan, karena siswa suka meniru. Tujuan pendidikan Islam di antaranya ialah membentuk akhlak baik pada anak dan ini hanya mungkin jika guru itu berakhlak baik pula. Akhlak yang harus dimiliki oleh guru di antaranya: mencintai jabatannya sebagai guru, bersikap adil terhadap semua siswanya, berlaku sabar dan tenang, berwibawa, gembira, manusiawi, bekerjasama dengan guru-guru lain, serta bekerja sama dengan masyarakat (Daradjat, 2011:41).
108
5) Berjiwa Nasional Bangsa Indonesia terdiri dari beratus suku bangsa yang berlainan bahasa dan adat istiadat. Guru bertugas untuk menanamkan jiwa kebangsaan atau nasionalisme dalam diri siswa untuk menyatukan berbagai perbedaan tersebut. Guru agar mampu menanamkan nasionalisme dalam diri siswa maka harus memiliki jiwa nasional (Daradjat, 2011:42). c. Sifat-Sifat Guru Syarat-syarat guru seperti uraian di atas adalah syarat-syarat yang umum, yang berhubungan dengan jabatan guru di dalam masyarakat. Salah satu syarat umum tersebut ialah guru harus berkelakuan baik, artinya seorang guru harus memiliki sikap, watak, dan sifat-sifat yang baik. Abrasyi (1993:137-139) menyebutkan bahwa sebaiknya guru dalam Islam memiliki sifat-sifat berikut ini: 1) Bersifat zuhud, maksudnya tidak mengutamakan materi, mengajar dilakukan karena mencari keridhoan Allah Swt. Gaji bagi seorang pendidik adalah diperbolehkan, akan tetapi perlu diingat bahwa menerima gaji tersebut bukan tujuan semata-mata. Gaji tersebut merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam rangka beribadah kepada Allah Swt dan mendekatkan diri kepadaNya sebagi tujuan hakiki; 2) Bersih tubuhnya sehingga penampilan lahiriahnya menyenangkan dan bersih jiwanya artinya tidak suka melakukan dosa-dosa besar;
109
3) Ikhlas atau tidak ria dan bersikap jujur dalam pekerjaan; 4) Bersifat pemaaf, yakni harus memiliki sifat pemaaf terhadap siswasiswanya, banyak bersabar, berkepribadian dan memiliki harga diri, menjaga kehormatan, dan menghindarkan hal-hal yang hina; 5) Bersifat kebapakan, yakni mencintai siswanya seperti mencintai anaknya sendiri; 6) Mengetahui karakter siswa, mencakup pembawaan, kebiasaan, perasaan, dan pemikiran. Sifat-sifat guru sebagaimana disimpulkan oleh Tafsir (2008:84) yaitu: kasih sayang kepada siswa, lemah lembut, rendah hati, menghormati ilmu yang bukan pegangannya, adil, menyenangi ijtihad, konsekuen
antara
perkataan
dengan
perbuatan,
dan
sederhana.
Selanjutnya menurut Purwanto (2008:143-146), seorang guru yang baik memiliki sifat-sifat: adil, percaya dan suka kepada siswa-siswanya, sabar dan rela berkorban, berwibawa, penggembira atau humoris, bersikap baik terhadap guru-guru lainnya, serta bersikap baik terhadap masyarakat. Seorang guru menurut Gunawan (2014) harus memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi siswa, dan berakhlak mulia. Kepribadian tersebut apabila dijabarkan adalah sebagai berikut: 1) Memiliki kepribadian yang mantap dan stabil, yang indikatornya bertindak sesuai norma hukum dan norma sosial. Bangga sebagai guru dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai norma;
110
2) Memiliki kepribadian yang dewasa, dengan ciri menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai guru yang memiliki etos kerja; 3) Memiliki kepribadian yang arif, yang ditunjukkan dengan tindakan yang bermanfaat bagi siswa, sekolah, dan masyarakat, serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak; 4) Memiliki
kepribadian
yang
berwibawa,
yaitu
perilaku
yang
berpengaruh positif terhadap siswa dan memiliki perilaku yang disegani; 5) Memiliki akhlak mulia dan menjadi teladan, dengan menampilkan tindakan yang sesuai norma religius (iman dan taqwa, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani siswa (Gunawan, 2014:196). d. Tugas Guru Tugas guru bukan hanya mengajar (transfer of knowledge) saja, tetapi juga sekaligus mendidik, yaitu aktualisasi sifat-sifat Ilahi manusia dengan cara aktualisasi potensi-potensi manusia untuk mengimbangi kelemahan-kelemahan yang dimiliki. Oleh karena itu, tugas-tugas guru dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Sebagai pengajar (mu‟allim) yang bertugas merencanakan program pengajaran, dan melaksanakan program yang telah disusun, serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian (evaluasi) setelah program dilaksanakan;
111
2) Sebagai pendidik (murabbi) yang mengarahkan siswa pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil, seiring dengan tujuan Allah Swt menciptakannya; 3) Sebagai pemimpin (manager) yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri dan siswa serta masyarakat terkait yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan antisipasi atas program yang telah dilakukan (Roestiyah dalam Gunawan, 2014:170). Tugas dan kewajiban guru menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip Zainuddin (1991) dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Mengikuti Jejak Rasulullah saw. dalam Tugas dan Kewajibannya Seorang guru hendaknya menjadi wakil dan pengganti Rasulullah
saw.
yang
mewarisi
ajaran-ajarannya
dan
memperjuangkan dalam kehidupan masyarakat di segala penjuru dunia, demikian pula perilaku, perbuatan dan kepribadian seorang guru
harus
mencerminkan
ajaran-ajarannya,
sesuai
dengan
akhlaknya. Seorang guru seharusnya menilai tujuan dan tugas mengajarnya adalah karena mendekatkan diri kepada Allah Swt semata. Pandangan ini dapat dilihat dari dua segi: pertama, sebagai tugas kekhalifahan dari Allah Swt; kedua, sebagai pelaksanaan tugas ibadah kepada Allah Swt untuk mencari ridho-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Tugas demikian dimaksudkan agar seorang guru tidak menilai tugasnya
hanya sekadar untuk mencari gaji dan
112
kekayaan belaka. Gaji bagi seorang guru adalah diperbolehkan, akan tetapi perlu diingat bahwa menerima gaji tersebut bukan tujuan semata-mata. Gaji tersebut merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam rangka beribadah kepada Allah Swt dan mendekatkan diri kepada-Nya sebagai tujuan hakiki (Zainuddin, 1991:59-60). 2) Memberikan Kasih Sayang Terhadap Siswa Seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orangtua siswanya, yaitu mencintai siswanya seperti memikirkan keadaan anaknya. Hubungan psikologis antara guru dan siswanya, seperti hubungan naluriah antara kedua orangtua dan anaknya, sehingga hubungan timbal balik yang harmonis tersebut akan berpengaruh positif ke dalam proses pendidikan dan pengajaran (Zainuddin, 1991:61). 3) Menjadi Teladan bagi Siswa Seorang
guru
hendaklah
mengerjakan
apa
yang
diperintahkan, menjauhi apa yang dilarangnya dan mengamalkan segala ilmu pengetahuan yang diajarkannya, karena perkataan dan tindakan guru merupakan teladan bagi siswanya. Oleh karena itu, seorang guru harus benar-benar dapat digugu dan ditiru, artinya segala tutur katanya, segala anjurannya, segala nasehat-nasehatnya harus benar-benar dapat dipercaya, harus benar-benar dapat digunakan sebagai pegangan, sebagai pedoman, dan segala gerak
113
geriknya, segala tingkah lakunya harus benar-benar menjadi contoh (Zainuddin, 1991:62). 4) Menghormati Kode Etik Guru Setiap guru haruslah menjaga dan memelihara kode etik guru dalam
rangka
membantu
kemajuan
proses
pendidikan
dan
pengajaran pada umumnya. Kode etik tersebut misalnya seorang guru tidak boleh melamar suatu pekerjaan; bahwa suatu kontrak harus dipenuhi hingga selesainya, guru tidak boleh mencampuri urusan guru lain kecuali dimintai pertolongan, menjaga rahasia siswa kecuali dipandang perlu untuk disampaikan kepada orang lain dengan seizin dari yang bersangkutan, sorang guru tidak boleh mengkritik teman sejawatnya kecuali dengan jujur dan tertulis serta resmi, dan sebagainya (Zainuddin, 1991:63). e. Kode Etik Guru Kode etik guru dalam Islam menurut Al-Kanani dalam Gunawan (2014) yaitu meliputi: kode etik yang berkaitan dengan diri sendiri, kode etik yang berkaitan dengan pelajaran, dan kode etik yang berkaitan dengan siswa. 1) Kode Etik Guru yang Berkaitan dengan Diri Sendiri a) Guru hendaknya insyaf akan pengawasan Allah Swt terhadap segala perkataan dan perbuatannya, ia memegang amanat yang diberikan Allah kepadanya. Oleh karena itu, ia tidak boleh
114
menghianati amanat itu, justru ia tunduk dan merendahkan diri kepada Allah Swt; b) Guru hendaknya memelihara kemuliaan ilmu. Salah satu bentuk pemeliharaannya ialah dengan tidak mengajarkan ilmu kepada orang yang menuntut ilmu hanya untuk kepentingan dunia semata; c) Guru hendaknya bersifat zuhud, artinya hendaknya ia tidak tamak terhadap kesenangan dunia; d) Guru hendaknya tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta prestise, atau kebanggan atas orang lain; e) Guru hendaknya menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara‟, menjauhi situasi yang dapat mendatangkan fitnah, dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan harga dirinya di mata orang banyak; f) Guru
hendaknya
memelihara
syiar-syiar
Islam,
seperti
melaksanakan shalat jama‟ah di masjid, mengucapkan salam, serta menjalankan amar ma‟ruf nahi mungkar; g) Guru hendaknya rajin melaksanakan hal-hal yang disunahkan oleh agama, baik secara lisan maupun perbuatan, seperti membaca AlQur‟an, berzikir, dan shalat tengah malam; h) Guru hendaknya memelihara akhlak mulia dalam pergaulannya, dan menghindarkan diri dari akhlak tercela sehingga menjadi teladan dan panutan;
115
i) Guru hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti membaca dan menulis; j) Guru hendaknya selalu belajar dan bersikap terbuka terhadap masukan apapun yang bersifat positif dari manapun datangnya (Gunawan, 2014:181-182). 2) Kode Etik Guru yang Berhubungan dengan Pelajaran a) Guru sebelum berangkat untuk mendidik hendaknya suci dari hadas dan kotoran, serta mengenakan pakaian yang baik; b) Guru selalu berdo‟a terlebih dahulu sebelum berangkat ke tempat mengajar dan di sepanjang perjalanan selalu berzikir kepada Allah Swt; c) Guru ketika di dalam ruang belajar mengambil posisi tempat yang membuatnya terlihat oleh semua siswa; d) Guru sebelum memulai pelajaran hendaknya membaca sebagian ayat
Al-Qur‟an
dan
kemudian
membaca
basmalah,
agar
memperoleh berkah dalam mengajar; e) Guru hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai hirarki nilai, kemuliaan, dan kepentingannya, serta berupaya mendasarkan materi pelajaran dengan Al-Qur‟an dan hadits; f) Guru hendaknya selalu mengatur volume suaranya sehingga tidak terlalu keras ataupun terlalu pelan;
116
g) Guru hendaknya memperhatikan tata cara penyampaian materi pelajaran yang baik, sehingga apa yang disampaikan mudah dicerna oleh siswa; h) Guru hendaknya selalu menanamkan akhlak terpuji kepada siswa, termasuk menegur siswa yang berbuat tercela, baik di dalam maupun di luar ruangan belajar; i) Guru hendaknya bersikap bijak dalam melakukan pembahasan, menyampaikan pelajaran, dan menjawab pertanyaan; j) Guru harus berusaha mempersatukan hati siswanya antara satu dengan lainnya, khususnya jika ada siswa baru; k) Guru hendaknya menutup setiap akhir pelajaran dengan kalimat wallahu a‟lam (Allah Swt Yang Maha Tahu), yang menunjukkan penyerahan kembali segala urusan kepada Allah Swt; l) Guru hendaknya tidak mengajar bidang studi yang tidak dikuasainya, ini adalah salah satu wujud memuliakan ilmu (Gunawan, 2014:183-184). 3) Kode Etik Guru yang Berkaitan dengan Siswa a) Guru hendaknya mengajar dengan niat mencari ridho Allah Swt, menyebarkan ilmu, menghidupkan syara‟, menegakkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan, serta memelihara kemaslahatan umat; b) Guru hendaknya tidak menolak untuk mengajar siswa yang tidak mempunyai niat tulus dalam belajar;
117
c) Guru hendaknya mencintai siswanya seperti ia mencintai dirinya sendiri; d) Guru hendaknya memotivasi siswanya agar menuntut ilmu seluas mungkin; e) Guru hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dimengerti, dan berusaha agar siswanya dapat memahami pelajaran; f) Guru hendaklah melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukannya; g) Guru hendaknya bersikap adil terhadap semua siswanya; h) Guru hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan siswanya, seperti apabila ada siswa yang sakit, ia menjenguknya, dan
apabila
ada
yang
kehabisan
bekal,
hendaklah
ia
membantunya; i) Guru hendaknya terus memantau perkembangan siswanya, baik intelektual maupun akhlaknya (Gunawan, 2014:184-185). Uraian mengenai guru di atas dapat disimpulkan bahwa guru menurut penulis dalam penelitian ini adalah orang dewasa yang bertugas untuk mengupayakan perkembangan potensi siswa, baik jasmani maupun rohani melalui proses pengajaran. Istilah guru yang terkadang muncul pada pembahasan selanjutnya dalam penelitian ini maknanya disamakan dengan pengertian guru tersebut, dengan tujuan untuk memudahkan pembaca dalam memaknai setiap bagian dalam penelitian ini.
118
Tugas seorang guru yaitu sebagai pengajar, guru dan pemimpin, yang berlandaskan keteladanan terhadap sifat-sifat Rasulullah saw. Selanjutnya, syarat seorang guru yaitu umur sudah dewasa, sehat jasmani, bertaqwa, berilmu, dan berakhlak mulia. Kode etik yang harus ditaati oleh guru yaitu berupa etika yang berkaitan dengan diri sendiri; berupa persyaratan akhlak guru, etika berkaitan dengan pelajaran yaitu mengenai adab dalam proses belajar mengajar, serta etika yang berkaitan dengan siswa yaitu mengenai sikap seorang guru terhadap siswa. 2. Siswa a. Pengertian dan Hakikat Siswa Siswa dalam perspektif pendidikan Islam merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Siswa merupakan makhluk Allah Swt yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun pertimbangan bagianbagiannya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan (Rasyidin dan Nizar, 2005:47). Siswa memerlukan bimbingan orang lain; dalam hali ini ialah guru, untuk membantu mengarahkan dan mengembangkan potensi yang dimiliki, serta membimbingnya menuju kedewasaan. Oleh karena itu, pemahaman konkrit tentang siswa perlu diketahui oleh guru, supaya dapat membantu pelaksanaan tugas dan fungsinya melalui berbagai
119
aktivitas kependidikan. Siswa pada hakikatnya memiliki beberapa karakteristik yang perlu dipahami oleh guru, yaitu sebagai berikut: 1) Siswa bukan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini penting untuk dipahami oleh guru agar perlakuan terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, baik dalam aspek metode mengajar, materi yang diajarkan, sumber bahan yang digunakan, dan lain sebagainya; 2) Siswa adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Pemahaman ini perlu diketahui agar aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh siswa; 3) Siswa adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi. Kebutuhan tersebut di antaranya adalah kebutuhan biologis, kasih sayang, rasa aman, harga diri, aktualisasi diri dan sebagainya; 4) Siswa adalah makhluk Allah Swt yang memiliki perbedaan individual, baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungannya. Hal ini penting untuk dipahami guru, karena menyangkut bagaimana pendekatan yang sesuai dengan aneka ragam sikap dan perbedaan tersebut dalam suasana yang dinamis, tanpa harus mengorbankan kepentingan salah satu pihak atau kelompok;
120
5) Siswa merupakan resultan dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan melalui proses pendidikan. Sedangkan unsur rohani meliputi dua daya, yaitu daya akal dan rasa. Daya akal dipertajam melalui proses pendidikan dengan mengasah daya intelektualitasnya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah. Konsep ini bermakna bahwa proses pendidikan Islam hendaknya dilakukan dengan memandang siswa secara utuh; 6) Siswa adalah manusia yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Tugas guru di sini adalah membantu mengembangkan dan mengarahkan perkembangan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan, tanpa melepaskan tugas kemanusiaannya; baik secara vertikal maupun horizontal (Rasyidin dan Nizar, 2005:48-50). b. Sifat-Sifat Ideal Siswa Sifat-sifat ideal yang harus dimiliki oleh siswa misalnya: berkemauan keras atau pantang menyerah, memiliki motivasi yang tinggi, sabar, tabah, tidak mudah putus asa dan lain sebagainya (Rasyidin dan Nizar, 2005:52). Berkenaan dengan sifat-sifat ideal tersebut, AlGhazali sebagaimana dikutip Rasyidin dan Nizar (2005:52-53) merumuskan sifat-sifat yang harus dimiliki siswa menjadi sepuluh macam sifat, yaitu:
121
1) Belajar dengan niat ibadah, konsekuensi dari sikap ini siswa akan senantiasa mensucikan diri dengan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-harinya, serta berupaya meninggalkan akhlak yang rendah (tercela); 2) Mengurangi kecenderungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi dan sebaliknya. Sifat yang ideal adalah menjadikan kedua dimensi kehidupan (dunia akhirat) sebagai alat yang integral untuk melaksanakan amanat-Nya, baik secara vertikal maupun horizontal; 3) Bersikap tawadhu‟ (rendah hati); 4) Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari berbagai aliran; 5) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun ilmu agama; 6) Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkrit) menuju pelajaran yang sulit (abstrak); 7) Mempelajari suatu ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya; 8) Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari; 9) Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi; 10) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu
pengetahuan
yang
dapat
bermanfaat,
membahagiakan,
mensejahterakan, serta memberi keselamatan hidup di dunia dan akhirat, baik untuk dirinya maupun manusia pada umumnya.
122
c. Tugas dan Kewajiban Siswa Tugas dan kewajiban yang harus senantiasa diperhatikan dan dikerjakan oleh setiap siswa menurut Abrasyi (1993:147-148) di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Sebelum mulai belajar, siswa didik harus terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat buruk, karena belajar dan mengajar adalah termasuk ibadah; 2) Niat belajar hendaknya ditujukan untuk mengisi jiwanya dengan fadhilah, mendekatkan diri kepada Allah Swt, bukan untuk menonjolkan diri dan berbangga diri; 3) Hendaknya bersedia meninggalkan keluarga dan tanah air untuk mencari ilmu ke tempat yang jauh sekalipun; 4) Jangan terlalu sering menukar guru, kecuali dengan pertimbangan yang matang; 5) Hendaklah ia menghormati guru, memuliakannya karena Allah Swt, dan berupaya menyenangkan hatinya; 6) Jangan merepotkan guru dengan banyak pertanyaan, dan jangan melakukan suatu aktivitas dalam belajar kecuali atas petunjuk dan izin guru; 7) Memaafkan guru apabila mereka bersalah, terutama dalam menggunakan lidahnya; 8) Bersungguh-sungguh dan tekun belajar;
123
9) Siswa wajib saling mengasihi dan menyayangi di antara sesamanya sebagai wujud untuk memperkuat rasa persaudaraan; 10) Bergaul dengan baik terhadap guru-gurunya; 11) Siswa hendaknya senantiasa mengulang pelajaran dan menyusun jadwal belajar dengan baik guna meningkatkan kedisiplinan belajarnya; 12) Menghargai ilmu dan bertekad untuk terus menuntut ilmu sampai akhir hayat. Siswa berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai anak yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi untuk dikembangkan. Ia hakikatnya memiliki perbedaan dengan individu lain, mempunyai berbagai kebutuhan dan periode perkembangan yang harus pahami dan diupayakan oleh guru. 3. Materi Pendidikan Islam Materi dalam pendidikan Islam yaitu semua ilmu yang berasal dari Allah Swt. Ilmu tersebut diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu perennial knowledge (pengetahuan abadi) dan acquired knowledge (pengetahuan yang diperoleh). Pengklasifikasian tersebut dimaksudkan sekadar untuk membedakan cara atau proses perolehannya, bukan untuk memisahkan keduanya.
124
a. Ilmu Pengetahuan Abadi yang Bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah (Perennial Knowledge) Ilmu pengetahuan abadi ini secara esensial tidak mengalami perkembangan dan perubahan. Tetapi dalam penjabarannya dan pemahamannya mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman. Isi kandungan ilmu ini secara garis besar meliputi: aqidah, syari‟ah, dan akhlak. 1) Aqidah Aqidah secara etimologi berarti keyakinan hidup dan secara khusus berarti iman yakni kepercayaan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diamalkan dengan perbuatan (anggota badan). Objek materi pembahasan aqidah pada umumnya ialah rukun iman yang enam yakni: iman kepada Allah Swt, kepada malaikat, kepada kitab-kitab Allah Swt, kepada rasul-rasul Allah Swt, kepada hari akhir, serta iman kepada qadha dan qadar. Aqidah merupakan landasan paling utama bagi hidup dan kehidupan manusia yang akan memberikan motivasi dan pengendali aktivitas manusia. Oleh karena itu, aqidah harus ditanamkan kepada siswa sejak dini (Achmadi, 1992:81-82). 2) Syari‟ah Syari‟ah secara etimologi berarti jalan, dan secara terminologi berarti suatu sistem norma Ilahi yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan denga alam. Syari‟ah menurut Achmadi (1992:83) mencakup dua aspek yaitu:
125
hubungan secara langsung antara manusia dengan Allah yang disebut ibadah khusus (vertikal) dan hubungan manusia dengan sesama manusia yang disebut mu‟amalah ma‟annas. 3) Akhlak Akhlak ialah segala tuntunan dan ketentuan Allah Swt yang membimbing watak, sikap, dan tingkah laku manusia agar bernilai luhur sesuai dengan fitrahnya. Secara rinci akhlak dalam Islam dibagi menjadi: a) Akhlak manusia terhadap Al-Khaliq (Allah Swt); b) Akhlak manusia terhadap dirinya sendiri; c) Akhlak manusia terhadap sesama manusia; d) Akhlak manusia terhadap alam lingkungannya (flora dan fauna) (Achmadi, 1992:83). Akhlak yang cakupannya sangat luas itu, maka sesungguhnya syari‟ah juga termasuk akhlak. Namun Achmadi (1992) berpendapat syari‟ah dikhususkan dalam bidang tersendiri atas dasar pertimbangan bahwa ketentuan syari‟ah lebih tegas, termasuk sangsi hukumnya, sedangkan akhlak dalam pembidangan ini pada umumnya tidak disertai sangsi hukum yang jelas. Sifat akhlak hanya mengetuk hati nurani manusia untuk menentukan sikap dan perbuatan sesuai dengan bimbingan Ilahi. Pertimbangan individu di sini sangat menentukan, oleh karenanya hanya imanlah yang dapat memanggil hati nurani manusia untuk menerima dan melakukan ketentuan tersebut secara
126
ikhlas. Akhlak yang telah dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari dan telah menjadi milik seseorang akan membentuk watak, dan watak yang telah dijiwai akhlak Islami akan memperkokoh iman seseorang. Demikian hubungan iman, akhlak, dan watak yang merupakan tugas pendidikan Islam untuk mengembangkannya (Achmadi, 1992:83). b. Ilmu Pengetahuan yang Diperoleh (Acquired Knowledge) Wilayah kajian ilmu ini ialah meliputi manusia sendiri, sejarah, dan alam semesta. Ilmu perolehan ini dapat diklasifikasikan menjadi ilmu-ilmu berikut ini: 1) Imajinatif (seni), meliputi: seni dan arsitektur Islam, bahasa, sastra; 2) Ilmu-ilmu intelektual, meliputi: studi sosial, filsafat, pendidikan, ekonomi, ilmu politik, sejarah, peradaban Islam (termasuk pahampaham Islam tentang politik, ekonomi, kehidupan sosial, perang dan damai), geografi, sosiologi, linguistik, psikologi, antropologi; 3) Ilmu-ilmu alam, meliputi: filsafat ilmu pengetahuan, matematika, statistik, fisika, kimia, ilmu-ilmu kehidupan, astronomi dan ilmu ruang, dan sebagainya; 4) Ilmu terapan, meliputi: rekayasa dan teknologi (sipil, mesin, dan sebagainya), obat-obatan, dan sebagainya; 5) Ilmu-ilmu praktis, meliputi: perdagangan, administrasi umum, ilmu perpustakaan,
ilmu
kerumahtanggaan,
sebagainya (Achmadi, 1992:84).
127
ilmu
komunikasi,
dan
Berdasarkan uraian di atas, materi atau isi pendidikan Islam walaupun secara kasat mata dipisahkan menjadi perennial knowledge dan acquired knowledge, namun keduanya ialah satu kesatuan. Keduanya harus diajarkan secara utuh sebagai satu kesatuan dengan tujuan untuk menambah ketaqwaan siswa. Perennial knowledge dalam pengajarannya harus diserta penjelasan dari temuan-temuan dalam acquired knowledge, supaya muatannya selalu mengikuti perkembangan zaman. Acquired knowledge harus dilandasi dengan ajaran-ajaran di dalam perennial knowledge, supaya tidak menjadi ilmu yang melenceng dari ketentuanketentuan Islam. 4. Metode Pendidikan Islam Metode pendidikan yang sangat menyentuh perasaan, mendidik jiwa dan membangkitkan semangat dapat ditemukan dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi saw. Metode-metode tersebut menurut Nahlawi (1992) meliputi: metode hiwar, metode kisah, metode amtsal, metode keteladanan, metode pengamalan dan pembiasaan, metode „ibrah dan ma‟uidhah, serta metode targhib dan tarhib. a. Metode Dialog (Hiwar) Qur’ani dan Nabawi Dialog (hiwar) adalah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang dikehendaki (dalam hal ini oleh guru). Bahan pembicaraan di dalam percakapan itu tidak dibatasi; dapat digunakan berbagai konsep sains, filsafat, seni, wahyu, dan lain-lain. Hiwar
128
mempunyai dampak yang dalam bagi pembicara dan juga bagi pendengar pembicaraan itu. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: pertama, dialog itu berlangsung secara dinamis karena kedua pihak terlibat langsung dalam pembicaraan, sehingga tidak membosankan; kedua, pendengar tertarik untuk mengikuti pembicaraan secara terusmenerus karena ingin tahu kesimpulannya; ketiga, metode ini dapat membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan dalam jiwa; keempat, jika hiwar dilakukan dengan baik, memenuhi akhlak dan tuntunan Islam, maka cara berdialog, sikap orang yang terlibat itu akan memberikan pengaruh positif bagi peserta yaitu berupa pendidikan akhlak, sikap dalam bicar, menghargai pendapat orang lain, dan sebagainya (Nahlawi, 1992:284-285). Metode hiwar menurut Nahlawi (1992) terdapat dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi saw. Hiwar yang terdapat dalam Al-Qur‟an misalnya hiwar Khitabi atau Ta‟abudi, merupakan metode dialog yang diambil dari dialog antara Tuhan dan hamba-Nya di dalam Al-Qur‟an (Nahlawi, 1992:290). Hiwar yang berasal dari Sunnah Nabi adalah metode dialog yang digunakan Rasulullah saw. untuk mendidik para sahabatsahabatnya. Rasulullah saw. menghendaki agar para sahabatnya yang memulai pertanyaan (Nahlawi, 1992:323). b. Metode Kisah Qur’ani dan Nabawi Kisah dalam pendidikan Islam mempunyai fungsi edukatif yang sangat penting. Hal ini disebabkan kisah Qur‟ani dan Nabawi memiliki
129
beberapa
keistimewaan
yang
membuatnya
mempunyai
dampak
psikologis dan edukatif yang sempurna, rapi, dan luas jangkauannya seiring dengan perkembangan zaman. Metode kisah dikatakan amat penting karena alasan antara lain sebagai berikut: 1) Kisah selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya; 2) Kisah Qur‟ani dan Nabawi dapat menyentuh hati manusia karena penampilan tokoh kisah itu disajikan secara mengena, sesuai dengan tempatnya, fungsi dan upaya pencapaian tujuan edukatif dari penyajiannya; 3) Kisah Qur‟ani mendidik perasan keimanan dengan cara: (a) membangkitkan berbagai perasaan seperti khauf, ridho, cinta; (b) mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpuk pada suatu puncak yaitu kesimpulan kisah; (c) melibatkan pembaca atau pendengar ke dalam kisah itu sehingga ia terlibat secara emosional (Nahlawi, 1992:331-335). Kisah-kisah Nabawi tidak berbeda dengan kisah-kisah Qur‟ani, akan tetapi ditinjau dari segi tujuannya merupakan sebuah rincian atau pengkhususan dari tujuan kisah Qur‟ani. Kisah-kisah Nabawi itu seperti tentang keikhlasan dalam beramal shalih, menganjurkan bersedekah dan mensyukuri nikmat Allah Swt (Nahlawi, 1992:344-347).
130
c. Metode Perumpamaan (Amtsal) Allah Swt ada kalanya mengajari umatnya dengan membuat perumpamaan, misalnya dalam Surah Al-Ankabut ayat 41 Allah Swt mengumpamakan sesembahan atau Tuhan orang kafir dengan sarang laba-laba, ayat tersebut berbunyi:
Artinya: Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindungpelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (Q.S. Al-Ankabut: 41). Metode perumpamaan seperti dalam ayat-ayat Al-Qur‟an juga dapat digunakan oleh guru dalam mengajar. Pengungkapannya tentu sama dengan metode kisah, yaitu dengan cara ceramah atau membaca teks. Kebaikan metode ini antara lain sebagai berikut: 1) Mempermudah siswa dalam memahami konsep yang abstrak, ini terjadi karena perumpamaan itu mengambil benda konkrit seperti kelemahan Tuhan orang kafir diumpamakan dengan sarang laba-laba; 2) Perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang tersirat dalam perumpamaan tersebut;
131
3) Merupakan pendidikan agar dapat berpikir logis dalam menggunakan perumpamaan
itu.
Perumpamaan
yang dibuat
harus
mampu
memperjelas konsep, bukan sebaliknya; 4) Amtsal Qur‟ani dan Nabawi dapat memberikan motivasi kepada pendengarnya untuk melakukan amal baik dan menjauhi segala kemungkaran (Nahlawi, 1992:355-362). d. Metode Teladan Siswa cenderung meneladani gurunya; ini diakui oleh semua ahli pendidikan, baik Barat maupun Timur. Dasarnya ialah karena secara psikologis anak memang senang meniru; tidak saja yang baik, yang jelek pun ditirunya. Sifat siswa itu diakui dalam Islam. Umat meneladani Nabi saw.; Nabi saw. meneladani Al-Qur‟an. Keteladanan dalam pandangan Islam dapat dipetik beberapa konsep, di antaranya yaitu: 1) Metode pendidikan Islam berpusat pada keteladanan. Kepala sekolah, guru, dan semua aparat sekolah merupakan teladan bagi siswa di sekolah. Dalam pendidikan masyarakat, teladan itu adalah para pemimpin masyarakat, misalnya para da‟i; 2) Teladan untuk umat Islam khususnya para guru adalah Rasulullah saw. Guru tidak boleh mengambil tokoh yang diteladani selain Rasulullah saw., sebab beliau adalah teladan yang baik. Rasulullah saw. meneladankan bagaimana kehidupan yang dikehendaki Tuhan, karena Rasulullah saw. adalah penafsir ajaran Tuhan (Nahlawi, 1992:366-367).
132
Manusia secara psikologis memang membutuhkan tokoh teladan dalam hidupnya; ini adalah sifat pembawaan. Taqlid (meniru) adalah salah satu sifat pembawaan manusia. Peneladanan itu ada dua macam, yaitu sengaja dan tidak sengaja. Keteladan yang tidak sengaja di antaranya adalah keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat keikhlasan, sedangkan keteladanan yang disengaja seperti memberikan contoh membaca yang baik, mengerjakan shalat yang benar. Keteladanan yang disengaja ialah keteladanan yang memang disertai penjelasan atau perintah agar meneladani. Dalam pendidikan Islam, kedua keteladanan tersebut sama pentingnya (Nahlawi, 1992:372). e. Metode Pengamalan dan Pembiasaan Islam adalah agama yang menuntut pemeluknya supaya mengerjakan amal shalih. Sebagian ulama salaf mengatakan, bahwa ilmu akan
berkurang
dengan
tidak
mengamalkan,
menyerukan,
dan
mengerjakannya kepada orang-orang. Oleh karena itu, dalam dunia pendidikan,
metode
“learning
by
doing”
atau
dengan
jalan
mengaplikasikan teori dengan praktik sangat terkesan dalam jiwa, mengokohkan ilmu di dalam kalbu dan menguatkan dalam ingatan (Nahlawi, 1992:375-376). Suatu amalan sebaiknya dilakukan secara terus-menerus supaya menjadi sebuah kebiasaan. Maka dalam pendidikan Islam digunakan metode pembiasaan untuk pembinaan sikap. Anak-anak yang dibiasakan bangun pagi misalnya, akan berpengaruh dalam segala aktivitas
133
hidupnya. Ia akan mengerjakan pekerjaan lain pun cenderung pagi-pagi atau lebih awal. Ahli-ahli pendidikan sepakat untuk membenarkan metode pembiasaan sebagai salah satu upaya yang baik dalam pembentukan manusia dewasa (Tafsir, 2008:144). Metode pengamalan dan pembiasaan dapat menggugah akhlak yang baik pada jiwa siswa sehingga ia tumbuh menjadi pribadi yang lebih istiqamah, karena merasakan dirinya sukses dalam perbuatan dan pekerjaannya. f. Metode Pelajaran (‘Ibrah) dan Nasehat (Mau’idhah) „Ibrah
dan
i‟tibar
adalah
suatu
kondisi
psikis
yang
menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi dengan menggunakan nalar sehingga kesimpulannya dapat mempengaruhi hati untuk tunduk kepadanya atau dengan kata lain „ibrah ialah suatu kondisi yang memungkinkan manusia sampai dari pengetahuan konkrit kepada pengetahuan yang abstrak (Nahlawi, 1992:390). Adapun ma‟uidhah adalah nasehat yang lembut yang diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya (Nahlawi, 1992:403). g. Metode Janji (Targhib) dan Hukuman (Tarhib) Targhib adalah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai bujukan. Tarhib adalah ancaman dari Allah Swt atas dosa yang dilakukan, dengan maksud untuk menumbuhkan rasa takut pada hamba-Nya. Targhib dan tarhib dalam pendidikan Islam berbeda dengan metode ganjaran dan hukuman dalam pendidikan Barat. Perbedaan
134
utamanya ialah targhib dan tarhib berdasarkan ajaran Allah Swt, sedangkan ganjaran dan hukuman bersandarkan hukuman dan ganjaran duniawi. Perbedaan antara targhib dan tarhib dengan ganjaran dan hukuman di antaranya sebagai berikut: 1) Targhib dan tarhib mengandung aspek iman, sedangkan ganjaran dan hukuman tidak mengandung aspek iman; 2) Targhib dan tarhib secara operasional lebih mudah dilaksanakan daripada metode ganjaran dan hukuman karena materi targhib dan tarhib sudah ada dalam Al-Qur‟an dan Sunnah, sedangkan ganjaran dan hukuman harus ditemukan sendiri oleh guru; 3) Targhib dan tarhib lebih universal, dapat digunakan kepada siapa saja dan di mana saja, sedangkan jenis hukuman dan ganjaran harus disesuaikan dengan orang tertentu dan tempat tertentu; 4) Targhib dan tarhib di pihak lain lebih lemah daripada ganjaran dan hukuman, karena ganjaran dan hukuman lebih nyata dan langsung waktu itu juga, sedangkan pembuktian targhib dan tarhib kebanyakan ghaib dan diterima nanti (di akhirat) (Tafsir, 2008:147). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode-metode dalam pendidikan Islam seperti metode hiwar, metode kisah, metode amtsal, metode keteladanan, metode pengamalan dan pembiasaan, metode „ibrah dan ma‟uidhah, serta metode targhib dan tarhib, semuanya bertujuan untuk membentuk kepribadian siswa berdasarkan nilai-nilai Islam.
135
5. Alat dan Media Pendidikan Islam Alat pendidikan dalam banyak kasus menjadi rancu karena dipersamakan dengan media pendidikan. Alat dapat disebut dengan hardware atau perangkat keras, yang berfungsi untuk menyajikan pesan, seperti: LCD, Komputer, Televisi, VCD, speaker, dan sebagainya. Sedangkan media pendidikan yaitu bahan atau perangkat lunak (software) yang di dalamnya mengandung pesan-pesan yang perlu disajikan, contohnya: video, film, slide power point, rekaman, musik, dan lain sebagainya (Roqib, 2009:69). Alat dan media pendidikan dengan perkembangan teknologi saat ini bukan hanya berperan sebagai alat bantu belaka bagi guru, tetapi juga sebagai alat penyalur pesan dari guru kepada siswa. Media pendidikan sebagai salah satu sumber belajar yang dapat menyalurkan pesan akan membantu mengatasi hambatan psikologis, fisik, kultural, dan lingkungan. Media pendidikan juga dapat membantu perbedaan gaya belajar, cacat tubuh, atau hambatan jarak geografis, minat, intelegensi, keterbatasan daya indera, jarak waktu, dan lain-lain (Roqib, 2009:70). Dalam perspektif pendidikan Islam, kewajiban membuat media dengan memanfaat perkembangan iptek dan keharaman mengacuhkannya adalah bagian dari aktualisasi amar ma‟ruf nahi mungkar. Perkembangan teknologi walaupun memiliki dua sisi yang saling bertentangan; positif dan negatif, akan tetapi guru harus mampu mengambil sisi positifnya, yaitu
136
mengambil yang penting dan bermanfaat bagi pengembangan proses pendidikan Islam (Roqib, 2009:71). Pada masa sekarang, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, proses belajar mengajar tidak dapat dilepaskan dari media modern. Guru dapat memanfaatkan teknologi modern untuk membuat media sehingga proses belajar mengajar menjadi lebih menarik. Guru, misalnya dapat memanfaatkan jaringan internet untuk membuat blog atau website yang berisi materi pembelajaran yang dibutuhkan dan dapat diakses oleh peserta didik serta masyarakat umum. Power point juga dapat digunakan oleh guru untuk menyampaikan materi pelajaran secara lebih ringkas, menarik, dan mudah dipahami siswa, apalagi jika dilengkapi dengan musik, bagan, grafik, gambar, bahkan video. 6. Lembaga Pendidikan Islam Lembaga pendidikan merupakan suatu institusi, media, forum, atau situasi dan kondisi tertentu yang memungkinkan terselenggaranya proses pembelajaran, baik secara terstruktur maupun secara tradisi yang telah diciptakan sebelumnya (Roqib, 2009:121). Lembaga pendidikan secara garis besar dibagi menjadi tiga: (1) lembaga pendidikan formal; (2) lembaga pendidikan informal; (3) lembaga pendidikan non formal, yaitu sebagai berikut: a. Lembaga Pendidikan Formal Lembaga pendidikan formal seringkali dilekatkan dengan lembaga sekolah yang memiliki tujuan, sistem, kurikulum, gedung,
137
jenjang, dan jangka waktu yang telah tersusun rapi dan lengkap. Sekolah didirikan dengan maksud untuk menyampaikan pendidikan dan ilmu pengetahuan dengan sistem yang teratur dan metode yang sistematik. Guru melaksanakan pembinaan, pendidikan, dan pengajaran di lembagalembaga pendidikan formal ini dengan dibekali pengetahuan tentang siswa,
serta
memiliki
kemampuan
untuk
melaksanakan
tugas
kependidikan. Fungsi sekolah dalam konsep Islam adalah sebagai media merealisasikan pendidikan berdasarkan tujuan pemikiran, aqidah, dan syari‟ah demi terwujudnya penghambaan (pengabdian) kepada Allah Swt, sikap mengesakan-Nya serta mengembangkan segala potensi atau fitrahnya sehingga manusia terhindar dari berbagai penyimpangan (Kaelany, 2000:251-252). b. Lembaga Pendidikan Informal Lembaga pendidikan informal yaitu keluarga sebagai lingkungan pendidikan
pertama
yang
berperan
penting
dalam
membentuk
kepribadian anak. Rumah keluarga muslim merupakan benteng utama tempat anak-anak dibesarkan melalui pendidikan Islam. Keluarga muslim maksudnya adalah keluarga yang mendasarkan aktivitasnya pada pembentukan keluarga yang sesuai dengan syari‟ah Islam. Di dalam rumah itu anak akan dididik antara lain agar ia dapat mendirikan syari‟ah Islam. Di dalam keluarga itu juga diharapkan dapat terwujud ketentraman psikologis jika kedua suami istri bersatu di atas landasan kasih sayang sehingga anak-anak pun akan tumbuh dalam suasana bahagia, percaya
138
diri, tenteram, kasih sayang serta jauh dari kekacauan (Kaelany, 2000:250). c. Lembaga Pendidikan Non Formal Lembaga pendidikan non formal keberadaannya berada di luar sekolah atau di masyarakat, dan masyarakat itulah yang mengkondisikan dan menjadi guru atau pendidik sekaligus sebagai subjek didik. Lembaga pendidikan non formal misalnya pesantren dan masjid. 1) Pesantren Pesantren adalah lingkungan masyarakat tempat para santri menuntut ilmu (Sri Sutjianingsih dan Sutrisno Kutoyo dalam Saerozi, 2013:7). Ciri-ciri khas pesantren yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya adalah: (1) adanya pondok tempat tinggal kiai dan santrinya; (2) adanya masjid sebagai tempat kegiatan ibadah dan belajar-mengajar (pengajian); (3) santri bertempat tinggal secara tetap dalam waktu yang relatif lama (bermukim); (4) kiailah yang menjadi tokoh sentral dalam pesantren; dan (5) yang diajarkan adalah kitab-kitab Islam klasik sebagai kelanjutan dari pengajian Al-Qur‟an (Dhofier, 1983:44). 2) Masjid Aktivitas pertama Rasulullah saw. ketika di Madinah adalah membangun masjid, karena masjid merupakan suatu tempat yang dapat menghimpun berbagai jenis kegiatan kaum muslimin. Masjid selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga digunakan seluruh umat
139
muslim untuk membahas dan memecahkan persoalan hidup, bermusyawarah untuk mewujudkan berbagai tujuan, menjauhkan diri dari kerusakan, serta menghadang berbagai penyelewengan aqidah. Sesuatu yang sudah mulai terlupakan pada zaman ini, dahulu masjid digunakan sebagai markas besar tentara, dan merupakan pusat pendidikan yang mengajak manusia pada keutamaan, kecintaan pada pengetahuan, kesadaran sosial, serta sebagai sarana dalam mengisi hati kaum muslimin dengan kekuatan spiritual serta berzikir mengingat dan mendekatkan diri kepada-Nya (Kaelany, 2000:250). Lembaga pendidikan Islam seperti yang telah diuraikan di atas, masing-masing memiliki peranan yang amat penting bagi perkembangan siswa. Keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama, seharusnya mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran Islam yang berfungsi sebagai pedoman moral anak dalam bergaul dengan masyarakat luar. Sekolah atau madrasah merupakan pendidikan formal yang wajib ditempuh siswa sebagai bekal masa depannya. Pesantren maupun masjid sebagai lembaga pendidikan non formal sekaligus keagamaan yang diperlukan oleh anak dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang ajaran Islam serta mempertebal keimanan.
140
BAB IV PEMBAHASAN
A. Konsep Etos Kerja Islami 1. Perpaduan Berbagai Konsep dalam Etos Kerja Islami Etos kerja Islami merupakan karakter berkenaan dengan kerja yang berorientasi bukan sekadar pada aspek materi tetapi lebih dalam dari itu untuk mengabdi kepada Allah Swt sehingga ridho-Nya dapat diraih. Etos kerja Islami memiliki prinsip di antaranya bahwa bekerja itu harus sepenuh hati karena merupakan wujud pengabdian kepada Allah Swt. Bekerja sebagai wujud pengabdian kepada Allah Swt termasuk ibadah dalam arti luas, maka umat muslim hendaknya menyeimbangkan hidupnya dengan beribadah mahdhah dan juga bermuamalah, hablum minallah dan hablumminannas. Beribadah mahdhah seperti shalat, memang diwajibkan atas umat muslim, tetapi Islam tidak menghendaki manusia yang mengisi seluruh waktunya dengan hanya beribadah mahdhah, mengasingkan diri dari kehidupan bermasyarakat, dan melalaikan tugas-tugasnya sebagai khalifah Allah Swt untuk menciptakan kemakmuran di muka bumi. Etos kerja Islami menempatkan kerja sebagai aktivitas yang mulia. Kerja sebagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat duniawi sekaligus sarana untuk mencapai kebahagiaan di akhirat.
141
Etos kerja Islami menempatkan hasil materi bukan sebagai tujuan tertinggi dalam bekerja, melainkan hanya sebatas sarana untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Oleh karena itu, tujuan tertinggi dari kerja seorang muslim yang beretos kerja Islami ialah pengabdian kepada Allah Swt dengan sepenuh jiwa, pikiran, dan fisik untuk meraih ridho-Nya. Supaya dengan ridho Allah Swt tersebut, manusia dimasukkan dalam golongan penghuni surga. Konsep-konsep dalam etos kerja Islami begitu moderat dalam memposisikan kerja dalam kehidupan manusia. a. Bekerja Sesuatu yang Fitrah dan Amanah Manusia diciptakan Allah Swt dengan segenap potensi, baik ruhani, jasmani, maupun akal. Potensi-potensi tersebut yang membedakan manusia dari binatang dan memperoleh kedudukan sebagai makhluk yang paling mulia. Manusia dengan bekerja maka potensi dalam dirinya akan berkembang secara optimal, karena bekerja merupakan aktualisasi diri (Syahyuti, 2011:147). Artinya, dengan bekerja manusia memanusiakan dirinya. Islam berpandangan bahwa manusia hanya dapat memanusiakan dirinya dengan iman, ilmu, dan amal (Tasmara, 2002:4). Iman akan menjadi nyata dengan adanya amal yang dihiasi moral yang luhur yang dapat membawa ke jalan yang lurus. Jalan yang lurus akan diperoleh melalui ilmu. Oleh karena itu, seorang muslim dalam bekerja harus dilandasi dengan iman dan ilmu yang dapat membawa kepada jalan yang lurus, supaya manusia dapat memanusiakan dirinya.
142
Manusia sebagai makhluk yang paling mulia, maka amanat untuk memakmurkan bumi pun dilimpahkan kepadanya. Gelar khalifatullah fil ardhi atau khalifah Allah Swt di bumi membawa konsekuensi bagi manusia untuk bekerja dengan penuh kesungguhan, bukan kerja yang asal-asalan apalagi hanya bermalas-malasan. Manusia dianjurkan untuk bekerja giat dan berkompetisi dalam melakukan pekerjaan yang baik, sebagaimana telah disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 148, artinya: “... Maka berlomba-lombalah kamu dalam (berbuat) kebaikan ....”. Hanya dengan bekerja dengan penuh kesungguhan manusia dapat menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat terbaik (khairu ummah) yang bermanfaat bagi lingkungannya. Bekerja merupakan perintah Allah Swt yang banyak termuat dalam firman-Nya. Salah satunya dalam Q.S. Ar-Ra‟du ayat 11 dijelaskan bahwa Allah Swt tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka sendiri
yang mengubahnya. Ayat ini
menyiratkan perintah Allah Swt kepada umat manusia untuk bekerja agar mereka dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik. Dengan kehidupan yang lebih baik maka manusia dapat meninggikan martabatnya. b. Bekerja adalah Ibadah Tugas
setiap
manusia
dan
juga
jin
ialah
ibadah;
menghambakan diri kepada Allah Swt. Ibadah sebagai tugas hidup
143
adalah mencakup semua aspek kehidupan (ucapan, perbuatan, dan lain-lain) yang diizinkan oleh Allah Swt dan dilaksanakan dengan ikhlas untuk mendapatkan ridho Allah Swt. Ibadah dalam pengertian khusus (terminologi fiqh) berarti perbuatan atau upacara dalam melaksanakan hubungan langsung dengan Allah Swt. Termasuk dalam pengertian ini adalah rukun Islam yang lima. Ibadah dalam arti khusus utamanya rukun Islam yang lima telah diatur tata caranya secara pasti (Faridi, 1982:87-88). Ibadah baik sebagai tugas hidup maupun ibadah ritual memiliki kedudukan yang sama pentingnya dan harus dilakukan seluruhnya tanpa meninggalkan salah satu di antaranya. Bekerja adalah salah satu aspek dari kehidupan manusia yang berfungsi
untuk
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
guna
mempertahankan kelangsungan hidup. Bekerja merupakan sarana untuk memanusiakan manusia dan meninggikan martabatnya di hadapan Allah Swt. Bekerja adalah termasuk ibadah, apabila dilaksanakan dengan ikhlas, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki Allah Swt dan tujuan tertingginya untuk meraih ridho Allah Swt. Bekerja sebagai ibadah berarti kerja yang dilakukan didasarkan pada keimanan kepada Allah Swt sehingga bekerja termasuk amal shalih. Allah Swt tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang beramal shalih, seperti tertulis dalam firman Allah Swt surah Al-Kahfi ayat 30 berikut ini:
144
Artinya: Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal shalih, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik. (Q.S. AlKahfi: 30). Bekerja sebagai ibadah yaitu menghambakan diri kepada Allah Swt. Bekerja dalam rangka menghambakan diri kepada Allah Swt Yang Maha Mulia lagi Sempurna tentunya tidak boleh asal-asalan, melainkan harus dilaksanakan dengan ikhlas, sepenuh hati, dan penuh kesungguhan. Bekerja sebagai ibadah harus diiringi oleh tujuan untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, kemudian melahirkan suatu peningkatan atau perbaikan untuk meraih nilai yang lebih bermakna. Bekerja sebagai ibadah merupakan bukti pengabdian dan rasa syukur umat muslim untuk mengolah dan memenuhi panggilan Ilahi agar mampu menjadi yang terbaik karena mereka sadar bahwa bumi diciptakan sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos terbaik (Tasmara, 2002:25). Bekerja merupakan ibadah, maka sebagai muslim jangan sampai terjebak hanya pada ibadah ritual saja dan menganggap kerja hanya sebagai aktivitas duniawi yang tidak bernilai ibadah. Anggapan tersebut tentunya tidak benar. Islam merupakan agama yang kaffah, mementingkan urusan dunia dan akhirat, hablumminallah dan hablumminannas, aqidah dan syari‟ah, jasmani dan rohani, individu
145
dan sosial, serta pasangan-pasangan yang lainnya. Sifat menyeluruh dan seimbang ini dipertegas oleh Al-Qur‟an dan hadits. Dalam Surah Al-Jumu‟ah ayat 9 dijelaskan bahwa: “Apabila kamu selesai mengerjakan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah”. Ayat ini menegaskan bahwa manusia yang bertakwa bukan sekadar yang mengerjakan ibadah ritual melainkan juga bermuamalah. Rasulullah saw. selanjutnya dalam hadits juga menjelaskan bahwa beliau tidak menyukai sikap yang berlebihan, karena beliau orang yang paling takut kepada Allah Swt saja berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur serta menikahi wanita-wanita. Islam agama yang kaffah, menghendaki pemeluk-pemeluknya untuk melaksanakan tuntunan agama secara menyeluruh dan seimbang. c. Bekerja adalah Rangkaian Iman, Hijrah, dan Jihad Jihad bukan hanya semata-mata dikaitkan dengan perang secara fisik. Jihad secara umum maknanya adalah kesungguhan untuk mengerahkan segala kekuatan atau potensi dirinya di dalam melaksanakan sesuatu dan meninggikan martabat dirinya sebagai manusia yang mengemban misi sebagai rahmatan lil „alamin (Tasmara, 2002:37). Oleh karena itu, secara sederhana jihad diartikan sebagai bersungguh-sungguh. Allah Swt bahkan memberikan jaminan pertolongan serta jalan keluar bagi mereka yang bersungguh-sungguh dalam segala hal, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt surah Al-Ankabut ayat 69 sebagai berikut:
146
Artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-Ankabut: 69). Jihad dalam kaitannya dengan kerja islami merupakan semangat yang bergemuruh dalam setiap pekerjaan yang dilakukan karena keterpanggilan untuk mendapatkan rahmat dan ridho Allah Swt. Jihad merupakan bagian dari tiga rangkaian mutiara yang secara berulang disebutkan di dalam Al-Qur‟an, yaitu rangkaian iman, hijrah, dan jihad. Iman harus dihidupkan dalam bentuk adanya perubahan (hijrah). Kualitas iman dan semangat perubahan tidak mungkin dapat terwujud kecuali dengan adanya jihad, yaitu kesungguhan untuk membuktikan dalam kehidupan yang nyata (Tasmara, 2002:39). Bekerja adalah ibadah, ini artinya bekerja harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan, mengerahkan segala daya dan upaya secara maksimal, serta dengan semangat yang luar biasa. Bekerja dengan semangat jihad juga merupakan proyeksi dari keimanan seorang muslim. Keimanan dalam dirinya membawa keyakinan bahwa Allah Swt senantiasa mengawasi kerja yang ia lakukan. Keyakinan ini akan terproyeksikan pada sikap jujur dalam bekerja serta mampu menghindarkan diri dari sikap-sikap curang atau negatif dalam bekerja. Kesimpulannya, bekerja dengan semangat jihad ialah bekerja
147
dengan penuh kesungguhan untuk melahirkan perubahan-perubahan yang lebih baik disetiap waktu, karena Allah Swt selalu mengawasi kerja yang ia lakukan. d. Materi Bukan Sekadar Hasil Kerja Bekerja dalam konteks etos kerja Islami bukan sekadar berorientasi pada materi, tetapi juga imateri sebagai tujuan tertinggi. Hasil kerja berupa materi bukanlah tujuan akhir, melainkan hasil tersebut adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga akan dapat melaksanakan perintah-perintah Allah Swt selama di dunia termasuk melaksanakan ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, haji. Ibadah-ibadah mahdhah tersebut tidak mungkin dapat terlaksana apabila manusia tidak bekerja. Haji misalnya, membutuhkan biaya yang besar untuk dapat menunaikannya. Biaya tersebut didapat melalui bekerja tentunya. Zakat juga demikian, zakat fitrah misalnya, hanya dapat dikeluarkan oleh seorang muslim yang mampu untuk membayarkannya. Zakat mal dapat dikeluarkan oleh seorang muslim apabila telah mencapai nisab dan haul. Nisab tentunya dicapai apabila telah memenuhi kadar tertentu, artinya orang yang dapat mengeluarkan zakat mal tergolong orang yang berharta. Ini artinya, materi atau harta bukan sekadar bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan manusia selama hidup di dunia. Apalagi harta dipandang sebagai sesuatu yang negatif, karena dapat membuat manusia lalai dan terlena. Anggapan ini memang
148
benar adanya, yaitu apabila seorang yang berharta tersebut menganggap harta sebagai tujuan hidupnya, ia takut kehilangannya, dan menjadi budak hartanya. Harta bagi seorang muslim seharusnya ditempatkan sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah Swt dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan akhirat, sehingga tercapailah tujuan tertinggi dari bekerja yaitu mendapatkan ridho Allah Swt agar memasukkan ke dalam golongan penghuni surga. 2. Etos Kerja Islami Melahirkan Kerja yang Religius Etos kerja Islami merupakan karakter berkenaan dengan kerja yang bersumber dari keyakinan Islam terhadap kerja, di mana sumber tersebut dimuat dalam Al-Qur‟an dan hadits. Keyakinan-keyakinan terhadap kerja yang Islami dapat melahirkan cara-cara kerja yang Islami pula. a. Produktivitas Tinggi sebagai Proyeksi Hati yang Bersyukur Seorang muslim seharusnya akan menghindari sikap mubadzir. Dengan penghayatan ini tumbuhlah sikap yang konsekuen dalam bentuk perilaku yang selalu mengarah pada cara kerja yang efisien. Sikap seperti ini merupakan modal dasar dalam upaya menjadikan dirinya sebagai manusia yang selalu berorientasi kepada nilai-nilai produktif. Kerja yang efisien dan berorientasi pada produktivitas ini karena pribadi muslim sangat menghayati arti waktu sebagai aset, ia tidak mungkin membiarkan waktu berlalu tanpa arti. Penghargaan terhadap waktu ialah salah satu wujud rasa syukur atas limpahan nikmat yang Allah Swt berikan kepadanya.
149
b. Bekerja secara Profesional sebagai Proyeksi Nilai Keikhlasan Bekerja yang dilakukan dengan penuh keikhlasan, yang orientasi utamanya ialah meraih ridho Allah Swt maka akan membuahkan
kerja
yang
profesional.
Keikhlasannya
untuk
mengabdikan diri kepada Allah Swt akan melahirkan cara-cara kerja yang profesional yang tentunya disukai oleh Allah Swt. Ia dalam bekerja di antaranya akan memiliki sikap jujur, konsisten, disiplin, bertanggungjawab, melayani. Sikap-sikap tersebut ia lakukan secara ikhlas, tanpa ada pamrih apapun. Meskipun dengan sikap kerja yang demikian ia akan mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan atau hasil yang tidak sesuai harapan, ia akan tetap menerimanya dengan senang hati, sebab ia ikhlas dalam kerjanya. Ia yakin, dengan keikhlasannya Allah Swt akan memberikan balasan yang lebih indah. Balasan indah baik berupa kebahagiaan di dunia maupun kebahagiaan berupa surga di akhirat. c. Kerja Datang dari Cinta sebagai Wujud Pengabdian Bekerja sebagai wujud pengabdian kepada Allah Swt tentunya akan dilakukan dengan sepenuh hati dan cinta yang mendalam, supaya Allah Swt berkenan memberikan ridho-Nya. Ketika seseorang mengagumi orang lain yang diharapkan akan menjadi kekasihnya, maka ia akan melakukan apapun dengan sepenuh cinta untuk dapat memilikinya. Begitupun dengan bekerja, apabila ia sadar bahwa bekerja merupakan ibadah; pengabdian diri kepada Allah Swt, maka
150
ia akan melakukan kerja dengan sepenuh cinta, supaya Allah Swt juga mencintainya, mengabulkan do‟anya dan memberikan ridho-Nya. d. Bekerja dalam Balutan Kompetisi dan Tolong Menolong Allah Swt memerintahkan manusia untuk berlomba-lomba atau berkompetisi (tanafus) di manapun keberadaannya untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan (Fitriantoro, 2011:28). Semua ini menunjukkan etos persaingan dalam kualitas kerja yang Islami. Dalam kaitannya dengan kerja, Islam memerintahkan supaya seorang muslim dalam bekerja memiliki semangat untuk berkompetisi agar memperoleh hasil yang terbaik. Kompetisi yang dilakukan harus dilandasi dengan akhlak yang mulia, bukan kompetisi yang dilakukan dengan cara curang. Kompetisi dalam bekerja juga dibarengi dengan sikap saling tolong menolong (ta‟awun). Seorang muslim walaupun berada dalam sebuah kompetisi kerja, namun tetap mengutamakan untuk menolong rekan kerja yang membutuhkan bantuannya. Ia memiliki prinsip, dengan memudahkan urusan orang lain maka Allah Swt akan memudahkan segala urusan dirinya. Oleh karena itu, dengan memberi pertolongan kepada rekan kerjanya, ia akan menjadi seorang yang memiliki citra baik di hadapan semua orang. Jika ia berhasil dalam kerjanya, misalnya memperoleh promosi atau kenaikan pangkat, semua orang di sekitarnya akan ikut senang. Kebaikannya kepada
151
orang-orang di sekitarnya menumbuhkan kecintaan mereka kepada dirinya serta mampu menghantarkan pada kesuksesan kerjanya. e. Bekerja secara Sempurna (Itqan) Kualitas kerja yang itqan yaitu hasil pekerjaan yang dapat mencapai standar ideal pekerjaan secara teknis. Kerja secara itqan ntuk itu memerlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Islam
menganjurkan
umatnya
agar
terus
menambah
atau
mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih (Fitriantoro, 2011:19). Seorang muslim yang bekerja dengan landasan itqan selalu berusaha mengerjakan segala sesuatu secara sempurna atau dengan standar tinggi. Ia tidak mau bekerja secara asal-asalan, bekerja harus itqan. Kerja secara itqan membutuhkan ilmu yang mumpuni, karena kesempurnaan
atau
idealitas
tidak
mungkin
dicapai
dengan
pengetahuan yang terbatas terhadap pekerjaannya. Ia harus ahli dalam bidangnya; mengetahui apa yang ia kerjakan sampai ke akar-akarnya dan terus-menerus melakukan perbaikan agar memperoleh hasil yang lebih baik disetiap waktunya. f. Bekerja dengan Kreatif dan Gigih sebagai Wujud Sikap Tawakal Seorang muslim yang kreatif dan gigih dalam kerjanya memiliki ciri-ciri: motivasi untuk berprestasi yang kuat, komitmen yang kuat terhadap pekerjaannya, serta penuh inisiatif dan optimisme (Tasmara, 2002:91-92). Bekerja secara kreatif dan gigih merupakan wujud sikap tawakal.
152
Seorang muslim yang memiliki sikap tawakal, dalam bekerja akan berusaha dengan sungguh-sungguh dan ia yakin akan usahanya tersebut. Setiap kali semangat kerjanya mulai redup ia berdzikir kepada Allah Swt untuk menumbuhkan dorongan semangat pada dirinya. Setiap kali diterpa badai tantangan dalam kerjanya, ia segera memperbaiki dan membenahi diri. Dalam segala hal ia tidak pernah mencari kambing hitam, ia tidak akan mencari-cari alasan kegagalan dirinya dengan cara menyalahkan orang lain. Ia menyadari bahwa apapun yang terjadi dalam kerjanya harus ia hadapi dengan penuh tanggung jawab. Tidak ada kata pesimis dalam hidupnya. Baginya melihat sesuatu secara pesimis dan negatif hanya akan menambah beban dan bukan akan mendapatkan penyelesaian dari persoalan yang dihadapinya. g. Zuhud dan Tawadhu Zuhud bukan berarti menolak segala sesuatu yang bersifat duniawi. Zuhud dalam konteks etos kerja Islami ialah kepuasan hati dengan apa yang diberikan Allah Swt. Tidak ada ikatan hati kepada harta dan hal-hal yang bersifat material lainnya. Harta hanya sampai di “tangan”, tidak sampai di “hati” (Syahyuti, 2011:167). Harta bagi seorang muslim merupakan sarana, bukan tujuan. Harta merupakan sarana untuk memperoleh kebahagiaan akhirat. Seorang muslim yang zuhud tidak akan terperdaya oleh harta, karena harta merupakan sarana untuk ia dapat melaksanakan ibadah dan meraih kebahagiaan
153
akhirat. Harta bukanlah tujuan ia bekerja, bukan pula tujuan dari hidupnya. Kezuhudan seorang muslim juga diiringi dengan sikap tawadhu. Tawadhu adalah sikap merendah tanpa menghinakan diri (Syahyuti, 2011:154). Tawadhu akan mengangkat derajat seseorang, bahkan mengangkat derajat suatu kaum dan menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Tawadhu adalah salah satu akhlak mulia yang menggambarkan keagungan jiwa, kebersihan hati, dan ketinggian derajat pemiliknya (Syahyuti, 2011:155). Tawadhu dalam kaitannya dengan kerja ialah sikap yang senantiasa rendah hati, merasa bahwa ia bukan siapa-siapa meskipun memiliki kedudukan tinggi dalam pekerjaannya. Orang yang rendah hati maka hati dan pikirannya selalu terbuka terhadap gagasan-gagasan atau ide-ide baru. Hal inilah yang akan membawa kemajuan pesat pada orang yang memiliki sikap tawadhu. Tampak di luar biasa-biasa saja, namun dibalik tampilan luarnya tersimpan sesuatu yang luar biasa. B. Konsep Etos Kerja Islami dalam Perspektif Pendidikan Islam Etos kerja Islami hakikatnya adalah iman dan amal. Etos kerja Islami akan membuahkan kerja yang dilandasi oleh keimanan kepada Allah Swt. Kerja yang dilandasi keimanan pada Allah Swt ini akan menciptakan keyakinan pada diri seorang muslim bahwa bekerja merupakan ibadah, yaitu dalam segala aktivitasnya diarahkan untuk mencapai ridho Allah Swt. Konsep iman dan amal juga merupakan bagian dari karakteristik pendidikan Islam.
154
Pendidikan Islam berupaya membentuk manusia yang beriman dan beramal shalih. Pendidikan Islam selalu menganjurkan amal shalih, yaitu belajar dengan diaplikasikan dalam tindakan, tidak semata-mata menghafal teoriteori dan pengetahuan yang tidak mampu membawa pada amal shalih yang nyata. Artinya, baik pendidikan Islam maupun etos kerja Islami menekankan pada konsep iman dan amal. Etos kerja Islami dalam pandangan pendidikan Islam akan dijelaskan pada uraian di bawah ini. 1. Etos Kerja Islami dalam Diri Insan Kamil sebagai Tujuan Pendidikan Islam Etos kerja Islami merupakan karakter atau semangat berkenaan dengan kerja yang bukan sekadar didorong oleh tujuan untuk memperoleh hasil materi, tetapi yang lebih dalam ialah dorongan untuk memperoleh hasil imateri yaitu kebahagiaan di akhirat. Artinya, etos kerja Islami ialah semangat kerja yang berorientasi pada aspek duniawi dan ukhrawi. Etos kerja Islami secara sederhana dapat dikatakan sebagai semangat kerja yang dilandasi keyakinan bahwa dunia harus diraih dalam genggaman untuk bekal meraih kebahagiaan di akhirat. Etos kerja Islami mencakup unsur-unsur yang saling terintegrasi, yaitu berupa iman, ilmu, dan amal shalih. Islam berpandangan bahwa manusia hanya dapat memanusiakan dirinya dengan iman, ilmu, dan amal (Tasmara, 2002:4). Iman akan menjadi nyata dengan adanya amal yang dihiasi moral yang luhur yang dapat membawa ke jalan yang lurus. Jalan yang lurus akan diperoleh melalui ilmu. Oleh karena itu, seorang muslim
155
dalam bekerja harus dilandasi dengan iman dan ilmu yang dapat membawa kepada jalan yang lurus, supaya manusia dapat memanusiakan dirinya. Etos kerja Islami akan menjadikan seseorang bersemangat dan bergairah untuk bekerja karena ia meyakini bahwa setiap pekerjaannya merupakan wujud pengabdian kepada Allah Swt. Seorang yang beretos kerja Islami memiliki keyakinan bahwa ia harus berprestasi dalam kerjanya, ia harus bekerja dengan semangat tinggi dan memperoleh hasil yang selalu meningkat. Ia yakin jika bekerja dengan niat ikhlas karena Allah Swt, melakukan kerja dengan baik dan tidak melanggar ketentuanNya maka Allah Swt akan meridhoi apa yang ia kerjakan, sehingga Allah Swt akan mencatatnya sebagai amal shalih yang merupakan tabungan untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Etos kerja Islami selain berpandangan bahwa aktivitas kerja itu sendiri akan mendatangkan balasan berupa kebahagiaan di akhirat, juga memiliki pandangan bahwa hasil dari aktivitas kerja yang dilakukan yaitu berupa materi, merupakan sarana yang dapat digunakan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sehingga orang yang beretos kerja Islami disetiap kerjanya selalu diiringi gemuruh semangat untuk mencapai hasil yang maksimal dan selalu berusaha untuk meningkatkan hasil. Materi yang dihasilkan dari kerjanya selain ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sandang papan pangan, juga ditabung untuk bekal di akhirat. Tabungan akhirat itu diperoleh misalnya dari sedekah yang ia
156
keluarkan, infaq, wakaf, serta amal-amal lainnya yang dapat ia lakukan karena materi yang dimilikinya. Orang yang beretos kerja Islami bergairah untuk mendapat hasil materi, namun materi bukanlah tujuan dari kerjanya. Materi itu digunakannya sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt, jadi keridhoan Allah Swt merupakan tujuan yang ingin ia capai. Bagi seorang yang beretos kerja Islami, ibadah ritual seperti shalat belumlah cukup untuk memenuhi tabungan akhirat. Ia memiliki keyakinan harus menjadi orang yang sukses dalam kerjanya supaya ia dapat bermanfaat bagi orang banyak. Dengan kesuksesannya ia dapat berbagi rezeki dengan orang yang kurang mampu; ia dapat mendirikan yayasan sosial, panti asuhan, lembaga pendidikan, yang dapat menolong saudara-saudaranya yang kurang beruntung. Harta yang dimiliki bukanlah untuk dinikmati sendiri, melainkan ia gunakan untuk kebahagiaan banyak orang. Bagi orang yang beretos kerja Islami, seluruh aktivitas hidup ialah ibadah. Mengamalkan rukun Islam yang lima ialah ibadah, bermuamalah untuk kemaslahatan umat juga ialah ibadah. Seorang yang beretos kerja Islami seperti uraian di atas merupakan sosok manusia yang memiliki kepribadian utuh. Ia bekerja secara profesional dengan dilandasi iman, ilmu, dan amal shalih. Ia bekerja selain untuk mendapat hasil duniawi yang maksimal, juga berorientasi untuk mendapat kebahagiaan akhirat atas ridho Allah Swt melalui pekerjaan yang ia lakukan. Orientasi ukhrawi dalam kerja ini membutuhkan
157
kecerdasan secara ruhani atau dapat dikatakan orang yang beretos kerja Islami benar-benar menghidupkan iman dalam hatinya. Hati atau kalbu yang dipenuhi iman memiliki tanda-tanda seperti: bila ia shalat maka khusyuk dalam shalatnya, bila ia mengingat Allah Swt maka hatinya menjadi tenang, bila disebut nama Allah Swt bergetar hatinya, bila dibacakan ayat-ayat Allah Swt mereka bersujud dan menangis (Tafsir, 2008:46). Dari situlah akan muncul manusia yang berpikir dan bertindak sesuai dengan kehendak Allah Swt. Orang yang beretos kerja Islami senantiasa menghadirkan Allah Swt disetiap kerjanya, ia selalu merasa dalam pengawasan Allah Swt. Oleh karena itu, etos kerja Islami dapat menjadi spirit bagi terbentuknya kepribadian manusia yang utuh atau insan kamil. Insan kamil ialah manusia yang ingin dihasilkan oleh pendidikan Islam. Pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk manusia yang dapat mendayagunakan seluruh potensi dirinya baik jasmani, akal maupun ruhani yang dapat menunjang tugas pengabdian (ibadah) dan kekhalifahan di muka bumi. Manusia yang dapat mendayagunakan jasmani, akal serta ruhaninya untuk membangun hubungan dengan Allah Swt, bermanfaat bagi sesama manusia dan alam sekitarnya adalah hakikatnya insan kamil tersebut. Pendidikan Islam utamanya di madrasah atau sekolah, dalam mengupayakan terbentuknya Insan kamil membutuhkan berbagai usaha yang bersifat praktis. Insan kamil bukan hanya manusia yang cerdas
158
karena memiliki banyak teori, melainkan manusia yang mampu melakukan tindakan yang nyata baik untuk dirinya, orang-orang di sekitarnya, dan masyarakat luas, karena Islam mengajarkan iman yang dibuktikan dengan amal shalih. Maka tindakan pun harus dilandasi dengan akhlak mulia yang bersumber dari keimanan kepada Allah Swt, supaya tidak terjun ke dalam tindakan-tindakan yang melanggar ketentuan agama. Etos kerja Islami jika diinternalisasikan pada manusia yang terlibat dalam proses berlangsungnya pendidikan Islam, maka dapat mendobrak semangat untuk bertindak atau bekerja dengan giat karena keimanannya kepada Allah Swt. Etos kerja Islami apabila dihayati oleh guru maka akan menimbulkan semangat untuk mendidik siswa maupun mengemban tugas lainnya secara maksimal karena ia selalu merasa diawasi Allah Swt dan ia ingin kerjanya dapat dicatat sebagai amal shalih. Etos kerja Islami apabila dihayati oleh siswa maka akan melahirkan siswa yang tekun dan semangat belajar, aktif dalam kegiatan-kegiatan yang positif, serta berakhlak mulia. Etos kerja Islami dalam pendidikan Islam merupakan spirit untuk mengupayakan terbentuknya insan kamil. Sebab etos kerja Islami berlandaskan iman dan amal, begitupun dengan pendidikan Islam. Pendidikan Islam mengajarkan pendidikan keimanan dan juga amal. Etos kerja Islami merupakan semangat untuk bekerja yang besumber dari keimanan kepad Allah Swt. Sehingga etos kerja Islami adalah spirit yang menjadi penggerak proses berlangsungnya pendidikan Islam untuk membentuk insan kamil.
159
2. Etos Kerja Islami dalam Karakteristik Pendidikan Islam a. Karakteristik Filosofis Pendidikan Islam Etos kerja Islami berlandaskan prinsip bahwa kerja merupakan bagian dari tugas hidup manusia yaitu beribadah kepada Allah Swt. Kerja dalam etos kerja Islami dipandang secara menyeluruh, yaitu kerja bertujuan untuk memenuhi kebutuhan duniawi dan sekaligus sebagai sarana untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat karena bekerja merupakan ibadah. Kerja selain itu juga berdasarkan prinsip keseimbangan, artinya dalam kehidupan manusia di dunia tidak boleh berlebih-lebihan dalam beribadah ritual ataupun berlebihan dalam bekerja. Segala sesuatu yang berlebihan akan membawa pada keburukan. Ibadah ritual maupun muamalah hendaknya dilaksanakan sesuai porsinya. Pada waktu bekerja misalnya, ketika sedang sibuk bekerja dan pekerjaannya masih menumpuk, kemudian terdengar kumandang adzan, maka pekerjaan yang bertumpuk itu harus ditinggalkan terlebih dahulu dan bersegera untuk menunaikan shalat, setelah selesai melaksanakannya bersegera pula untuk kembali pada pekerjaan tersebut. Prinsip etos kerja Islami yang menempatkan kerja sebagai bagian dari ibadah merupakan prinsip yang dapat dijadikan alat untuk merealisasikan salah satu dari karakteristik filosofis pendidikan Islam. Pendidikan Islam memiliki karakteristik sebagai sarana untuk merealisasikan tugas hidup manusia yaitu beribadah kepada Allah Swt
160
dan sebagai khalifah Allah Swt di bumi. Pendidikan Islam dalam mengupayakan pembentukan manusia yang dapat merealisasikan tugas hidupnya maka dibutuhkan alat yang tepat. Alat tersebut salah satunya ialah etos kerja Islami, karena etos kerja Islami merupakan semangat untuk bekerja dengan tujuan untuk memperoleh ridho Allah Swt. Etos kerja Islami akan menumbuhkan kerja yang penuh semangat dan kesungguhan karena kerjanya merupakan wujud pengabdian kepada Allah Swt. Kerja itu sendiri merupakan sarana untuk merealisasikan tugas manusia sebagai khalifah Allah Swt. Tugas sebagai khalifah tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya kerja atau amal dalam kehidupan yang nyata. Oleh karena itu, etos kerja Islami mampu melahirkan kerja yang penuh kesungguhan dan dengan kerja itu mampu mewujudkan tugas untuk beribadah atau mengabdi kepada Allah Swt dan sebagai khalifah Allah Swt di bumi. Prinsip menyeluruh adalah karakteristik pendidikan Islam yang berikutnya. Pendidikan Islam menghargai dan memandang penting semua pengetahuan yang berguna bagi individu dan masyarakat, tanpa membeda-bedakan antara ilmu keagamaan dan ilmu keduniaan. Etos kerja Islami dalam pendidikan Islam dapat menjadi spirit yang menggerakkan pola pikir dan tindakan yang bersifat menyeluruh. Etos kerja Islami mengandung semangat kerja yang orientasinya tidak memisahkan antara duniawi dan ukhrawi, maupun materi dan imateri. Etos kerja Islami mendorong seseorang untuk menjadikan kerja
161
sebagai sarana mempertahankan kelangsungan hidup di dunia sekaligus sarana mengumpulkan bekal untuk kebahagiaan di akhirat. Etos kerja Islami dapat membentuk cara pandang yang menyeluruh sebagaimana prinsip pendidikan Islam. Pendidikan Islam selain berlandaskan pada prinsip menyeluruh juga
menghendaki
adanya
keseimbangan.
Pendidikan
Islam
menghendaki keseimbangan antara teori dan praktik, ucapan dan perbuatan, pendidikan Islam menekankan asas penerapan praktis dan manfaat bagi individu dan masyarakat dalam menghadapi realitas hidup (Aly dan Munzier, 2003:63). Pendidikan Islam juga membuat keseimbangan antara pengembangan kecenderungan spiritual dan pemenuhan kebutuhan material serta sosial (Aly dan Munzier, 2003:65). Pendidikan Islam selain itu juga membuat keseimbangan antara kemaslahatan individu dan kemaslahatan masyarakat, dengan tanpa mengabaikan salah satunya (Aly dan Munzier, 2003:65). Etos kerja Islami seperti halnya pendidikan Islam juga berlandaskan prinsip keseimbangan, utamanya dalam hal urusan duniawi dan ukhrawi serta materi dan imateri. Etos kerja Islami sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya berpandangan bahwa antara kerja dengan ibadah ritual hendaknya seimbang sesuai porsinya masing-masing.
Pandangan
bahwa
kerja
semata-mata
hanya
berorientasi materi tanpa adanya nilai spiritual yang terlibat di dalamnya tidak tepat menurut pandangan etos kerja Islami. Kerja
162
dalam pandangan etos kerja Islami memiliki nilai ibadah, maka kerja sebagai ibadah hendaknya disikapi dan diperlakukan sebagaimana ibadah-ibadah lainnya (Asifudin, 2004:57). Menurut Asifudin (2004), posisi aktivitas keduniaan yang disukai Allah Swt adalah sama-sama diperintahkan oleh-Nya, seperti halnya penegasan diperintahkannya shalat, zakat, puasa, dan ibadah-ibadah ritual lainnya. Prinsip keseimbangan dalam etos kerja Islami merupakan prinsip yang mendukung salah satu prinsip yang menjadi karakteristik pendidikan Islami. Prinsip keseimbangan dalam pendidikan Islam di antaranya ialah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan materi dan pengembangan spiritual. Demikian juga dengan etos kerja Islami, yang pada intinya menghendaki keseimbangan antara urusan duniawi dan ukhrawi atau materi dan spiritual. Artinya, etos kerja Islami dalam hal prinsip keseimbangan berjalan selaras dengan pendidikan Islam. Oleh karena itu, penghayatan etos kerja Islami dalam pendidikan Islam dapat memudahkannya untuk merealisasikan prinsip keseimbangan tersebut. b. Karakteristik Substansi Pendidikan Islam Etos kerja Islami dibangun dari beberapa konsep yang ada di dalamnya. Konsep yang paling menonjol ialah iman dan amal. Konsep iman dalam etos kerja Islami berupa keyakinan akan keberadaan Allah Swt yang telah menciptakan manusia dengan berbagai potensi dan memberi tugas serta amanat kepada manusia untuk beribadah dan
163
menjadi khalifah Allah Swt di bumi. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan dalam kerja yang penuh kesungguhan dengan tujuan memperoleh ridho Allah Swt. Kerja dengan penuh kesungguhan inilah wujud nyata dari konsep amal dalam etos kerja Islami. Konsep amal tersebut dijiwai dengan semangat jihad, oleh karena itu dalam setiap kerjanya selalu dilakukan dengan penuh kesungguhan disertai gemuruh semangat yang luar biasa. Etos kerja Islami selain konsep iman dan amal, juga memiliki konsep etika yang diwujudkan dalam etika kerja. Etika kerja secara sederhana merupakan pedoman sikap yang menjadi rambu-rambu dalam bekerja. Etika kerja Islami merupakan pedoman sikap agar setiap kerja yang dilakukan tampak elok dan tidak melanggar ketentuan Allah Swt. Konsep iman, amal, serta etika dalam etos kerja Islami merupakan bagian dari substansi pendidikan Islam. Ada lima substansi pendidikan Islam, yaitu pendidikan keimanan, pendidikan amaliah, pendidikan ilmiah, pendidikan akhlak, dan pendidikan sosial. Substansi pendidikan Islam tersebut, saling berkaitan satu sama lain dan membentuk pola hubungan sebagai berikut: iman adalah pondasi akhlak yang mulia, akhlak yang mulia menjadi pondasi ilmu yang benar, ilmu yang benar menjadi pondasi amal yang shalih (Aly dan Munzier, 2003:72-73). Maka etos kerja Islami merupakan spirit dalam pendidikan keimanan, pendidikan amaliah, dan pendidikan akhlak di dalam pendidikan Islam. Etos kerja Islami terutama selaras dengan
164
pendidikan amaliah. Spirit dalam etos kerja Islami dapat membawa pengaruh positif pada pendidikan amaliah. Etos kerja Islami merupakan karakter atau semangat kerja yang berorientasi bukan sekadar pada aspek materi tetapi yang lebih dalam ialah mencapai ridho Allah Swt. Karakter kerja yang demikian perlu dihayati dalam pendidikan amaliah, supaya tercipta amal atau perbuatan nyata yang berlandaskan ibadah kepada Allah Swt sehingga amal tersebut akan selalu pada koridor yang benar sesuai yang dikehendaki Allah Swt. c. Karakteristik Aplikatif Pendidikan Islam Pendidikan Islam memandang belajar sebagai suatu kewajiban, tanpa membedakan antara laki-laki maupun perempuan. Seorang muslim baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki kegigihan untuk menuntut ilmu. Pendidikan Islam menghendaki agar setiap muslim ahli dalam disiplin ilmu tertentu, karena begitu luasnya ilmu pengetahuan sehingga tidak mungkin setiap manusia dengan keterbatasan kemampuan yang dimiliki dapat mempelajari seluruh ilmu pengetahuan. Pendidikan Islam juga menghendaki agar setiap manusia belajar secara terus menerus selama hidupnya, sebab ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang. Pendidikan Islam berpandangan bahwa setiap muslim dalam masyarakat mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, antara orang Arab dan selain Arab, dan tidak ada perbedaan pula antara orang berkulit
165
hitam dan putih, kecuali hanyalah kadar amal dan usaha yang mereka lakukan dengan kesempatan yang sama bagi semua. Amal dan usaha adalah tolok ukur pembeda antara orang-orang mukmin dalam mencapai tujuan risalah Islam, seperti bertaqwa, berjihad, dan menuntut ilmu. Orang-orang yang bertaqwa adalah paling mulia dalam pandangan Allah Swt (Aly dan Munzier, 2003:105). Kegigihan seorang muslim untuk belajar secara terus-menerus selama hidup, kemudian untuk mempelajari suatu disiplin ilmu sehingga menjadi ahli dalam bidang tersebut, maka diperlukan kemauan dan semangat yang luar biasa. Kemauan dan semangat yang luar biasa merupakan spirit dalam etos kerja Islami, sehingga etos kerja Islami merupakan spirit yang harus dimiliki seorang muslim dalam proses belajar selama ia hidup maupun dalam menekuni suatu disiplin ilmu. Etos kerja Islami harus senantiasa dihayati oleh seorang muslim utamanya dalam proses belajar, karena pendidikan Islam memandang manusia sama rata dalam hal kesempatan memperoleh pendidikan, kecuali berdasarkan usaha dan amal yang dilakukan. 3. Etos Kerja Islami dalam Diri Seorang Guru Etos kerja Islami merupakan karakter atau semangat berkaitan dengan kerja yang berlandaskan keyakinan bahwa kerja bukan hanya untuk memperoleh hasil materi, tetapi lebih dari itu kerja adalah ibadah; tugas hidup manusia untuk mengabdikan diri kepada Allah Swt yang semata-mata untuk mendapatkan ridho dari-Nya. Keyakinan bahwa
166
bekerja merupakan wujud pengabdian kepada Allah Swt membawa akibat pada semangat kerja yang luar biasa dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Seorang yang memiliki etos kerja Islami selalu ingin bekerja dengan mengerahkan seluruh kemampuan terbaiknya, karena ia bekerja dengan dijiwai semangat jihad. Ia bekerja dengan penuh semangat dan kesungguhan demi performa kerja yang terbaik. Performa kerja yang terbaik adalah bentuk rasa syukurnya kepada Allah Swt yang telah membekali dirinya dengan segenap potensi atau fitrah dan kekayaan alam yang menghampar luas. Bekerja dengan mengerahkan seluruh potensi untuk menghasilkan performa kerja yang maksimal sebagai wujud pengabdian kepada Allah Swt merupakan sikap yang harus dimiliki oleh seorang guru. Guru dalam pendidikan Islam dituntut untuk memiliki sifat atau kepribadian yang dewasa, dengan ciri menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai guru yang memiliki etos kerja (Gunawan, 2014:196). Etos kerja Islami maka dari itu merupakan karakter yang harus ada dalam diri guru, utamanya guru dalam lembaga pendidikan Islam. Etos kerja Islami yang dihayati oleh guru akan melahirkan performa kerja yang terbaik dalam menjalankan tugasnya sebagai guru. Etos kerja Islami yang berlandaskan keyakinan bahwa kerja adalah ibadah, akan melahirkan performa kerja dengan karakteristik di antaranya: bekerja dengan ikhlas karena ingin mendapat ridho Allah Swt semata, jujur, bertanggungjawab, istiqamah dan kuat pendirian, disiplin, memiliki
167
harga diri, berani menghadapi tantangan, percaya diri, bahagia karena melayani, mandiri, berorientasi kemasa depan, pandai mengelola waktu, ketagihan menuntut ilmu. Karakteristik kerja seperti itu selaras dengan karakter yang harus dimiliki oleh seorang guru. Abrasyi (1993:137) di antaranya mengatakan bahwa guru sebaiknya memiliki sifat ikhlas atau tidak ria dan bersikap jujur dalam pekerjaan, sederhana, banyak bersabar, berkepribadian dan memiliki harga diri, menjaga kehormatan, dan menghindarkan hal-hal yang hina. Sifat-sifat ini sama dengan karakter etos kerja Islami yaitu bekerja dengan ikhlas semata-mata hanya mengharap ridho Allah Swt, jujur, memiliki harga diri, hidup berhemat dan efisien. Guru salah satunya bertugas sebagai fasilitator bagi siswa, maka ia harus memiliki jiwa melayani, dan jiwa melayani ini merupakan karakterstik etos kerja Islami. Seorang guru menurut Gunawan (2014:196) harus memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi siswa, dan berakhlak mulia. Kepribadian tersebut selaras dengan karakteristik etos kerja Islami. Seorang guru memiliki kepribadian mantap, stabil dan dewasa selaras dengan karakteristik etos kerja Islami seperti bertanggungjawab, mandiri, istiqamah dan kuat pendirian. Kemudian seorang guru yang berwibawa selaras dengan karakteristik etos kerja Islami yaitu memiliki harga diri, dan seorang guru yang menjadi teladan ialah ia yang memiliki akhlak mulia, seperti jujur, ikhlas, suka menolong, disiplin, percaya diri, dan sikap-sikap lainnya yang merupakan akhlak
168
mulia. Sikap-sikap guru yang patut untuk diteladani ini juga selaran dengan karakteristik-karakteristik etos kerja Islami. Etos kerja Islami berlandaskan prinsip bahwa bekerja selain dilandasi dengan iman, juga harus menggunakan penalaran, sehingga membuahkan kerja yang rasional, ilmiah, proaktif, kreatif, menguasai iptek, menggunakan perencanaan yang baik, adil, teratur, disiplin, dan profesional. Bekerja bagi seorang guru memerlukan sikap yang berlandaskan penalaran tersebut. Seorang guru oleh karenanya dalam menyampaikan materi pendidikan Islam utamanya tentang aqidah, syari‟ah maupun akhlak hendaknya disertai dengan penjelasan yang bisa dipahami secara rasional oleh siswa dan disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu penetahuan dan teknologi. Etos kerja Islami akan melahirkan performa kerja yang rasional, ilmiah, profesional, serta mengikuti perkembangan teknologi dengan tetap berpegang teguh pada etika kerja Islami. Etos kerja Islami berpandangan bahwa kerja memiliki orientasi bukan hanya pada hasil materi, tetapi yang lebih dalam ialah untuk meraih ridho Allah Swt. Pandangan ini selaras dengan pandangan yang dikehendaki pendidikan Islam, yaitu: Seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas mengajarnya adalah karena mendekatkan diri kepada Allah Swt semata. Dan ini dapat dipandang dari dua segi: pertama, sebagai tugas kekhalifahan dari Allah Swt; kedua, sebagai pelaksanaan tugas ibadah kepada Allah Swt untuk mencari ridho-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Tugas demikian dimaksudkan agar seorang guru tidak menilai tugasnya hanya sekadar untuk mencari gaji dan kekayaan belaka. Gaji bagi seorang guru adalah
169
diperbolehkan, akan tetapi perlu diingat bahwa menerima gaji tersebut bukan tujuan semata-mata. Gaji tersebut merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam rangka beribadah kepada Allah Swt dan mendekatkan diri kepada-Nya sebagi tujuan hakiki (Zainuddin, 1991:59-60). Etos kerja Islami dengan demikian selaras dengan pandangan mengenai tugas seorang guru dalam pendidikan Islam. Keselarasan tersebut sangat tampak dalam pandangan terhadap nilai atau posisi harta di dalam kerja. Materi atau harta merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam rangka beribadah kepada Allah Swt dan mendekatkan diri kepadanya. Pandangan seperti ini mendorong guru untuk menampilkan sikap yang mulia dan performa kerja yang optimal karena ia mengharap ridho Allah Swt, dan bukan karena tujuan memperoleh harta atau materi. Etika kerja Islami merupakan pedoman sikap dalam etos kerja Islami. Etos kerja Islami adalah karakter atau semangat kerja yang bersumber dari ajaran Islam. Etos kerja Islami berdasarkan pandangan ini, dalam hal performa kerja memiliki pedoman sikap supaya kerja yang dilakukan tetap berada dalam koridor ajaran Islam. Etika kerja seorang yang beretos kerja Islami di antaranya yaitu: memegang teguh kejujuran karena ia sadar dengan kejujuran maka akan meninggikan martabatnya di hadapan Allah Swt; mengemban tugas dengan penuh tanggung jawab dan menolak segala bentuk penyelewengan kerja karena ia sadar bahwa Allah Swt selalu mengawasi apa yang ia kerjakan; menjalankan tugas dengan disiplin, inovatif, kreatif, dan memiliki standar tinggi dalam kerjanya; serta
170
menjalin hubungan yang harmonis dengan orang-orang yang terlibat dalam pekerjaannya. Etika kerja Islami hendaknya dimiliki oleh guru dalam pendidikan Islam. Guru dalam pendidikan Islam juga terikat oleh kode etik yang selaras dengan etika kerja Islami sebagaimana dijelaskan di atas. Kode etik guru salah satunya menurut Gunawan (2014:181) ialah guru hendaknya insyaf akan pengawasan Allah Swt terhadap segala perkataan dan perbuatannya, ia memegang amanat yang diberikan Allah kepadanya. Oleh karena itu, ia tidak boleh mengkhianati amanat itu, justru ia tunduk dan merendahkan diri kepada Allah Swt. Kode etik guru dalam pendidikan Islam tersebut selaras dengan etika kerja dalam etos kerja Islami. Keduanya, baik etika dalam etos kerja Islami maupun kode etik guru dalam pendidikan Islam berlandaskan pada sikap tunduk dan merendahkan diri pada Allah Swt dalam setiap tindakannya;
melaksanakan tugas
dengan kejujuran dan tanggung jawab sebab ia kerja adalah amanat yang diberikan Allah Swt pada manusia dan Allah Swt selalu mengawasi terhadap segala perkataan dan perbuatan manusia. 4. Etos Kerja Islami dalam Diri Siswa Etos kerja Islami apabila dihayati ke dalam diri seseorang maka dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki karakter unggul dengan dilandasi keimanan yang kuat. Etos kerja Islami mampu mengembangkan dimensi-dimensi yang ada dalam diri manusia, yaitu jasmani, akal dan rohani. Etos kerja Islami dari segi jasmani, melahirkan karakter manusia
171
yang memperhatikan kesehatan dan gizi. Etos kerja Islami dari sisi akal akan menumbuhkan karakter manusia yang rasional, ilmiah, proaktif, kreatif, menguasai iptek, menggunakan perencanaan yang baik, adil, teratur, disiplin, dan profesional. Etos kerja Islami dari segi rohani akan membentuk manusia yang bekerja dengan kejujuran dan akhlak yang mulia atas dasar keyakinan bahwa kerja merupakan wujud pengabdian dirinya kepada Allah Swt, kerja merupakan amanat dari Allah Swt yang dipikulkan padanya serta ia selalu merasa dalam pengawasan Allah Swt. Dimensi atau potensi dalam diri manusia dikembangkan oleh etos kerja Islami secara utuh. Dimensi jasmani, akal dan rohani juga ada dalam diri siswa. Siswa memiliki kebutuhan untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan dimensi-dimensi tersebut agar menjadi tindakan yang nyata. Karakteristik etos kerja Islami tersebut menunjukkan bahwa dimensi-dimensi
dalam
diri
siswa
dapat
dikembangkan
melalui
penghayatan terhadap etos kerja Islami. Karakteristik yang dimiliki oleh seorang yang beretos kerja Islami secara umum di antaranya ialah: bekerja ikhlas karena Allah Swt semata, jujur,
istiqamah
dan
kuat
pendirian,
disiplin,
percaya
diri,
bertanggungjawab, pandai mengelola waktu, memiliki harga diri, hidup berhemat dan efisien, mandiri, kecanduan belajar dan menuntut ilmu, memiliki semangat perantauan, tangguh dan pantang menyerah, memiliki semangat perubahan, serta memperkaya jaringan silaturahmi (Tasmara, 2002:73-134). Karakteristik tersebut selaras dengan tugas dan kewajiban
172
yang harus dilakukan oleh siswa berdasarkan pendapat Abrasyi (1993:147148), yaitu di antaranya: belajar diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, bersedia meninggalkan keluarga untuk menuntut ilmu sampai ke tempat yang jauh, bersungguh-sungguh dan tekun belajar, disiplin untuk mengulang pelajaran dan menyusun jadwal belajar dengan baik, membina hubungan yang baik dengan guru dan teman-temannya, serta bertekad untuk terus menuntut ilmu sampai akhir hayat. Etos kerja Islami melahirkan kerja yang ikhlas dengan niat sematamata untuk beribadah kepada Allah Swt. Karakteristik tersebut selaras dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh siswa, yaitu belajar dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Etos kerja Islami membentuk manusia yang memiliki semangat perantauan, hal ini selaras dengan kewajiban siswa menurut Abrasyi (1993) tersebut yaitu bersedia meninggalkan keluarga untuk menuntut ilmu sampai ke tempat yang jauh. Etos kerja Islam juga membentuk seorang yang kecanduan untuk mencari ilmu, di mana karakteristik ini selaras dengan tugas siswa menurut Abrasyi (1993) yaitu bertekad untuk terus menuntut ilmu sampai akhir hayat. Etos kerja Islami selanjutnya menumbuhkan karakter istiqamah dan kuat pendirian, disiplin, pandai mengelola waktu, sebagaimana tugas dan kewajiban siswa menurut Abrasyi (1993) yaitu bersungguh-sungguh dan tekun belajar, disiplin untuk mengulang pelajaran dan menyusun jadwal belajar dengan baik. Etos kerja Islami juga melahirkan karakteristik seorang yang senang menjalin silaturahmi, hal ini sebagaimana kewajiban
173
siswa menurut Abrasyi (1993) yaitu agar dapat membina hubungan yang baik dengan guru dan teman-temannya. Etos kerja Islami bersumber dari keimanan kepada Allah Swt, dan iman tidak cukup hanya diucapkan dalam perkataan dan diyakini dalam hati. Iman harus dibuktikan melalui amal shalih. Amal shalih merupakan setiap aktivitas yang diniatkan untuk mencari ridha Allah Swt. Oleh karena itu, etos kerja Islami harus diwujudkan dalam kerja yang didasarkan niat untuk beribadah kepada Allah Swt. Konsep iman dan amal dalam etos kerja Islami merupakan bagian dari sifat-sifat ideal yang harus dimiliki oleh siswa menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip Rasyidin dan Nizar (2005:52-53) yaitu seorang peserta hendaknya mengenal nilai-nilai praktis dari ilmu yang dipelajari. Artinya siswa bukan hanya sekadar memahami dan meyakini ilmu yang dipelajari, tetapi juga harus mempraktikkannya dalam kehidupan nyata agar membawa manfaat bagi sesama manusia dan alam sekitar. Etos kerja Islami berasal dari pandangan bahwa manusia dalam urusan dunia dan akhirat harus memiliki keseimbangan. Islam tidak menghendaki
segala
sesuatu
yang
berlebihan.
Manusia
yang
menghabiskan hidupnya untuk mengejar materi adalah tidak dikehendaki oleh Allah Swt, sebaliknya, manusia yang seumur hidupnya mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat dan terus-menerus beribadah (dalam arti ibadah ritual atau individu) juga tidak disukai Allah Swt. Allah Swt menghendaki manusia untuk beribadah dan bekerja, mementingkan urusan
174
individu
dan
tidak
meninggalkan
urusan
bermasyarakat,
karena
sesungguhnya bekerja adalah termasuk ibadah. Dalam kaitannya dengan pendidikan
Islam,
kecenderungan
pada
siswa
hendaknya
kehidupan
memiliki
duniawi
sifat
dibanding
mengurangi ukhrawi
dan
sebaliknya. Siswa idealnya mampu memandang konsep dunia dan akhirat sebagai satu kesatuan. Kebahagiaan akhirat ialah tujuan hidup manusia, namun kebahagiaan akhirat tidak akan diraih tanpa kehidupan dunia yang diisi dengan kemuliaan, karena dunia adalah jembatan menuju akhirat. C. Implikasi Etos Kerja Islami Terhadap Guru dan Siswa dalam Pendidikan Islam Konsep etos kerja Islami berdasarkan uraian sebelumnya memiliki keselarasan dengan komponen-komponen pendidikan Islam. Keselarasan tersebut dapat dijadikan indikator mengenai keterlibatan etos kerja Islami dalam mendukung kesuksesan proses pendidikan Islam. Beberapa uraian di bawah ini kurang lebih akan membahas mengenai implikasi etos kerja Islami terhadap guru dan siswa dalam pendidikan Islam. Pembahasan mengenai implikasi etos kerja Islami dalam proses pendidikan Islam pada penelitian ini hanya difokuskan terhadap domain guru dan siswa, dengan argumentasi bahwa kedua domain tersebut merupakan sentral perhatian dalam proses pendidikan Islam, tanpa mengesampingkan peranan domain pendidikan Islam yang lain.
175
1. Etos Kerja Islami dalam Membentuk Guru Profesional dan Religius Etos kerja Islami berpandangan bahwa bekerja merupakan amanah dari Allah Swt yang dipikulkan kepada manusia dalam perannya sebagai khalifah di bumi. Hal ini tercantum dalam firman Allah Swt sebagai berikut:
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (Q.S. Al-Ahzab: 72).
Artinya: Dan (orang-orang beriman yaitu) orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. (Q.S. AlMu‟minun: 8). Bekerja sebagai amanah mengandung konsekuensi agar manusia bekerja dengan penuh kesungguhan, berupaya mencapai hasil terbaik dan sempurna sesuai kemampuannya, dan selalu merasa dalam pengawasan Allah Swt. Bekerja sebagai amanah apabila dihayati oleh seorang guru akan menimbulkan performa kerja yang terbaik dalam menjalankan tugasnya. Guru dalam melaksanakan tugas mengajar dan mendidik siswa akan berupaya untuk memberikan pelayanan terbaik, begitu pula dalam berhubungan dengan teman sejawat, dengan atasan dan dengan
176
masyarakat, akan selalu menampakkan sikap dan perilaku yang bijaksana dan bertanggungjawab sebagai wujud penghayatan bekerja yang amanah. Kerja sebagai amanah dalam diri guru, mampu melahirkan akhlak mulia dan tindakan-tindakan positif sebagai teladan bagi siswanya. Guru yang menempatkan kerja sebagai amanah akan menampilkan akhlak mulia seperti
jujur,
perkataannya
sesuai
dengan
perbuatannya,
bertanggungjawab, sabar, disiplin, penuh kasih dengan siswanya, hal ini akan menjadi akhlak yang patut untuk dijadikan teladan oleh siswa. Allah Swt mencela orang yang hanya berbicara tanpa mempraktikkan dalam tindakan nyata, sebagaimana tertulis dalam firman-Nya berikut:
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Q.S Ash Shaff: 2-3). Guru yang amanah akan menampilkan tindakan yang sesuai dengan perkataannya. Ceramah-ceramahnya di dalam kelas bukan hanya menjadi hiasan yang memperbagus penampilan mengajarnya, tetapi ia berani berceramah atau memberikan nasehat karena hal itu sudah dilakukannya. Seorang guru yang bekerja atas dasar amanah ialah sosok guru yang memiliki integritas tinggi.
177
Etos kerja Islami berpijak pada keyakinan bahwa bekerja adalah ibadah, bukti pengabdian dan rasa syukurnya atas segala karunia Allah Swt. Allah Swt berfirman dalam surah Al-Kahfi ayat 7 yang berbunyi:
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (Q.S. Al-Kahfi: 7). Kerja yang diyakini sebagai ibadah akan melahirkan performa yang penuh kecintaan dan keikhlasan sebagai wujud pengabdian diri kepada Allah Swt. Guru apabila menanamkan dalam dirinya bahwa bekerja ialah ibadah maka ia akan menjalankan tugas-tugasnya dengan hati senang dan penuh kerelaan. Ia mengajar dihadapan siswanya dengan riang gembira dan berusaha untuk mengerahkan segala kemampuan terbaiknya dalam memberikan ilmu dan membentuk kepribadian siswa. Keyakinan akan kerja sebagai ibadah mendorongnya untuk bekerja secara profesional, yaitu dengan terus memperdalam disiplin ilmu yang menjadi kajiannya, mengadakan inovasi-inovasi dalam proses belajar mengajar dengan siswa, bersikap dan bertindak dengan penuh kejujuran dan integritas tinggi dalam menjalankan tugasnya sebagai guru maupun dalam kehidupan sehari-hari. Etos kerja Islami berlandaskan iman dan amal yang dijiwai semangat jihad. Keimanan dalam diri bahwa Allah Swt yang telah menciptakan manusia dengan dibekali sejumlah potensi dalam rangka menjalankan tugas ibadah dan menjadi khalifah di bumi mendorong
178
seorang yang beretos kerja Islami untuk melakukan amal shalih dalam bentuk kerja yang dipenuhi gemuruh semangat untuk menjadi yang terbaik dengan kerja yang penuh kesungguhan. Kerja yang dilandasi dengan iman dan jihad bagi seorang guru akan melahirkan performa kerja yang berusaha untuk selalu mengerahkan kemampuan terbaiknya, sebagai rasa syukur atas segala potensi yang dikaruniakan Allah Swt kepadanya. Usaha untuk mengerahkan segenap kemampuan terbaiknya itu ia wujudkan dalam kerja yang profesional. Ia tampil sebagai pribadi yang selalu bergairah dan penuh semangat baik ketika mengajar siswanya, berhubungan dengan guru, dan dengan atasan. Ia selalu optimis dan berpandangan positif dalam segala situasi. Apabila dalam menjalankan tugasnya kemudian menemui kendala atau permasalahan, ia tidak berputus asa dari rahmat Allah Swt dan terus berusaha untuk memperbaiki diri dan keadaan. Bekerja dijiwai semangat jihad bagi seorang guru akan melahirkan semangat untuk berlomba-lomba mengukir prestasi gemilang sebagai seorang guru. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah AlBaqarah ayat 148 berikut: . ...
Artinya: Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan ... . (Q.S. Al-Baqarah:148). Prestasi diraih dengan cara menampilkan kemampuan mengajar terbaik, menampilkan guru yang berkepribadian mulia di hadapan 179
siapapun, atau bahkan dengan mengikuti berbagai karya-karya ilmiah yang diperuntukkan bagi guru. Semangat jihad dalam diri seorang guru membuatnya
selalu
bergairah
untuk
berkompetisi
dalam
rangka
menciptakan prestasi. Gairah kompetisi dalam dirinya bukan berarti ia melupakan jiwa kepedulian dan tolong menolong terhadap sesama. Etos kerja Islami menempatkan harta atau materi bukan sebagai tujuan dari bekerja, melainkan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga manusia dapat beribadah ritual dengan khusyuk dan juga dapat beribadah dalam arti luas untuk kemaslahatan orang banyak serta lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Keyakinan seperti ini apabila dipraktekkan oleh seorang guru akan melahirkan performa kerja yang tidak menempatkan gaji sebagai orientasi atau tujuan ia bekerja. Gaji bukanlah tujuan utama yang ingin ia raih dari tugasnya sebagai guru, karena ia bertugas atas dasar ibadah. Bekerja sebagai ibadah bukan juga berarti guru tidak boleh atau tidak berhak menerima gaji. Gaji tetaplah dibutuhkan dan hak yang harus diberikan kepada guru, karena dengan gaji tersebut guru dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Guru dengan terpenuhi kebutuhan hidupnya diharapkan menjadi salah satu faktor yang dapat memicu ketenangan dalam beribadah ritual. Gaji sebagai sarana untuk beribadah secara luas dan mendekatkan diri kepada Allah Swt, maka dengan gaji tersebut guru yang beretos kerja Islami mampu memanfaatkannya untuk berbagi dengan sesama, memberikan infaq, bahkan menyisihkan uang untuk tabungan haji.
180
Gaji yang dimanfaatkan bukan sekadar untuk memenuhi kepuasan duniawi akan mampu menjadi sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Guru yang menghayati etos kerja Islami; yang menempatkan gaji sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt, memiliki sikap yang sederhana. Ia sederhana dalam berpenampilan dan gaya hidup. Guru dengan karakter kerja yang amanah, bekerja dengan penuh cinta dan keikhlasan sebagai wujud ibadah, menampilkan teladan sikap dan perilaku mulia, bekerja dengan penuh gairah dan kesungguhan, serta menjadikan gaji bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup melainkan sekaligus sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt dan bersikap sederhana, merupakan bekal untuk mengupayakan pembentukan siswa yang memiliki karakter insan kamil. 2. Etos Kerja Islami dalam Membentuk Karakter Insan Kamil pada Siswa Etos kerja Islami merupakan sebuah semangat kerja yang terpancar dari keyakinan bahwa bekerja adalah amanah, bekerja adalah ibadah, bekerja dijiwai semangat jihad, bekerja bukan sekadar berorientasi materi. Bekerja dalam konteks siswa tentunya bukan memiliki pengertian sebagai profesi atau suatu kegiatan untuk mencari nafkah, tetapi bekerja diterjemahkan sebagai belajar. Belajar sama halnya dengan bekerja, apabila dilakukan dengan niat ikhlas semata-mata untuk mendapat ridho Allah Swt dan ditempuh dengan cara yang baik dan benar maka belajar juga bernilai ibadah. Apalagi ketika ilmu pengetahuan sebagai hasil belajar
181
itu dapat membawa manfaat bagi kemaslahatan orang banyak; misalnya dengan menghasilkan penemuan-penemuan terbaru bagi solusi kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemaslahatan orang banyak merupakan salah satu amal yang masih akan mengalir pahalanya meskipun orang tersebut sudah meninggal dunia. Belajar yang dilakukan dengan niat ibadah merupakan jalan bagi seseorang untuk memperoleh kemudahan memasuki syurga, sebagaimana sabda Nabi saw. berikut ini:
ُك طَ ِز ْيقًايَ ْلتَ ِوس َ َّ َه ْي َسل: َ ََّ َع ْي أَبِى ُُ َزي َْزةَ أَ َّى َرس ُْْ َل هللاِ ق َ ال الجٌَّ ِت َ َسِ ََّل هللاُ لََُ طَ ِز ْيقًا إِلَى,فِ ْي َِ ِع ْل ًوا Artinya:
Dari Abu Hurairah radhiallahu‟anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu‟alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga”. (H.R. Muslim, no. 1.888). Hadits tersebut menjelaskan betapa orang yang menuntut ilmu maka akan diberi kemudahan oleh Allah Swt untuk masuk surga. Ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan didapatkan atas keridhoan Allah Swt dapat menjadi jalan penerang bagi kehidupan manusia. Aly dan Munzier (2003:72-73) menjelaskan bahwa iman adalah pondasi akhlaq yang mulia, akhlaq yang mulia menjadi pondasi ilmu yang benar, ilmu yang benar menjadi pondasi amal yang shalih. Oleh karena itu, dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat membedakan mana yang merupakan amal
182
shalih yang harus dilakukan dan mana yang merupakan amal tercela yang tidak boleh untuk dilakukan. Seorang yang berilmu akan senantiasa menghiasi dirinya dengan amal shalih, sehingga amal tersebut menjadi penuntun yang memudahkannya untuk masuk syurga. Siswa yang memiliki semangat belajar atas dasar keyakinan bahwa belajar adalah ibadah akan melahirkan sikap utuh dalam diri siswa. Belajar yang selama ini hanya bertujuan pada hal-hal materi, seperti: belajar agar menjadi juara kelas, agar dapat memasuki sekolah favorit, agar menjadi juara olimpiade, agar nantinya menjadi orang sukses dan kaya raya, dan berbagai tujuan duniawi lainnya yang terpisah sama sekali dari tujuan hakiki seorang muslim dalam berbagai aktivitas kehidupannya, yaitu beribadah dalam rangka memperoleh ridho Allah Swt. Etos kerja Islami akan menimbulkan spirit belajar yang utuh dalam diri siswa; ia belajar dengan mendasarkan niat semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt, kemudian niat tersebut diwujudkan dalam praktik belajar yang menghasilkan prestasi gemilang, dengan tujuan untuk meraih masa depan gemilang yang diridhoi Allah Swt. Etos kerja Islami dapat memotivasi siswa agar belajar dengan mengintegrasikan aspek iman, ilmu, amal, dan akhlak, seperti dijelaskan dalam surah Al-„Asr berikut ini:
183
Artinya: Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kererugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al„Asr: 1-3). Ayat tersebut dalam konteks siswa, dapat dimaknai bahwa dalam belajar harus dilandasi niat untuk beribadah kepada Allah Swt sebagai bagian dari aspek keimanan. Iman akan mandul tanpa dipraktikkan dalam wujud amal, maka dalam konteks siswa, ilmu yang dipelajari harus dipraktikkan dalam tindakan yang nyata. Sebagai seorang siswa yang terpelajar, dalam setiap tindakannya harus didasarkan kepada pengetahuan yang benar, dan bukan sekadar ikut-ikutan saja. Tindakan yang didasarkan pada pengetahuan yang benar akan melahirkan akhlak mulia. Sehingga siswa yang dalam dirinya tertanam spiritetos kerja Islami akan memiliki prestasi yang tinggi, akhlak yang mulia, serta yang terpenting hatinya dilandasi keimanan kepada Allah Swt. Etos kerja Islami memotivasi siswa agar memiliki keseimbangan dalam hidup, hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah AlJumu‟ah ayat 10 sebagai berikut:
Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyakbanyak supaya kamu beruntung. (Q.S. Al-Jumu‟ah: 10).
184
Ayat tersebut dalam konteks siswa maknanya adalah masa belajar siswa harus diisi dengan kesibukan baik yang berhubungan dengan urusan dunia maupun akhirat. Belajar adalah kewajiban siswa, namun yang dimaksud belajar bukan hanya sekadar belajar di sekolah, tetapi juga diisi dengan belajar mengaji atau memperdalam ilmu-ilmu agama. Contoh yang lainnya, selama belajar disekolah apabila telah memasuki waktu dhuhur maka bersegera menunaikannya, bahkan lebih baik lagi jika dapat menunaikan shalat dhuha ketika ada waktu luang selama di sekolah. Aspek keseimbangan yang ada dalam konsep etos kerja Islami, dalam konteks siswa dapat pula diartikan bahwa siswa dalam belajar dianjurkan untuk selalu mengaplikasikan dalam tindakan, tidak hanya semata-mata menghafal teori-teori dan pengetahuan yang tidak mampu membawa pada amal shalih dalam kehidupan nyata. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah Swt surah An-Najm ayat 39 berikut ini:
Artinya: Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (Q.S. An-Najm: 39). Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa teori dan pengetahuan apabila tidak dipraktikkan dalam amal yang nyata maka hanya akan sia-sia, karena manusia hanya akan memperoleh hasil yang positif apabila ia berusaha atau beramal atau melakukan tindakan nyata. Misalnya, ketika siswa mengetahui dan mengerti tentang syarat wajib shalat, rukun-rukunnya, sunah-sunahnya, yang membatalkan serta keutamaaan-keutamaan shalat,
185
maka pengetahuan itu sepatutnya harus dipraktikkan dalam bentuk pelaksanaan shalat lima waktu setiap hari. Etos kerja Islami dalam diri siswa akan melahirkan keyakinan bahwa belajar merupakan upaya untuk mengembangkan fitrah atau potensi dalam dirinya. Siswa merupakan pribadi yang dibekali dengan potensi jasmani, akal, dan rohani. Siswa dengan bimbingan guru akan berupaya mengembangkan ketiga potensi tersebut secara utuh, sehingga dapat menjadi bekal untuk mengamalkan ajaran Islam secara utuh pula, yaitu mencakup hablumminallah dan hablumminannas. Etos kerja Islami dalam mengembangan potensi jasmani, akan melahirkan karakter siswa
yang memperhatikan kesehatan fisik,
mempunyai kesadaran akan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan. Kesadaran untuk menjaga kesehatan timbul dari keyakinan bahwa dengan tubuh yang sehat maka ia dapat berpikir jernih sehingga dapat menyaring mana tindakan yang baik dan yang buruk. Pengembangan potensi akal akan menumbuhkan karakter siswa yang rasional, ilmiah, proaktif, kreatif, menguasai iptek, menggunakan perencanaan yang baik, teratur, dan disiplin. Seorang siswa harus memiliki karakter tersebut dalam rangka menghadapi kencangnya arus globalisasi, dengan tetap bersandar pada ajaran-ajaran Islam. Etos kerja Islami dari segi rohani akan membentuk karakter siswa yang jujur, bertanggungjawab, dan dihiasi dengan berbagai akhlak yang mulia atas dasar keyakinan bahwa belajar merupakan wujud
186
ibadah kepada Allah Swt, belajar merupakan amanat dari Allah Swt yang dipikulkan padanya serta ia selalu merasa dalam pengawasan Allah Swt. Etos kerja Islami akan mendorong siswa untuk belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh, karena belajar adalah bagian dari jihad. Jihad menurut Tasmara (2002:36) berarti suatu sikap yang sungguh-sungguh dalam berikhtiar dengan mengerahkan seluruh potensi diri untuk mencapai suatu tujuan atau cita-cita. Etos kerja Islami oleh karenanya akan melahirkan semangat belajar dengan mengerahkan segenap kemampuan siswa untuk mencapai prestasi gemilang yang diridhoi Allah Swt. Siswa akan memiliki kesadaran untuk belajar dengan gigih karena Allah Swt telah menganugerahkan segenap potensi dalam dirinya. Potensi tersebut harus ia kembangkan semaksimal mungkin agar dapat mencapai cita-cita yang ia impikan. Belajar dengan gigih untuk mengembangkan potensi secara maksimal ialah wujud rasa syukurnya kepada Allah Swt atas segenap potensi yang dianugerahkan dalam dirinya. Etos kerja Islami harus diupayakan dalam diri siswa supaya tumbuh siswa yang memiliki karakter belajar bukan hanya berorientasi materi atau duniawi, belajar sebagai ibadah, belajar sebagai pengembangan fitrah, dan belajar dengan semangat jihad. Siswa yang diupayakan memiliki karakter demikian merupakan sarana untuk mewujudkan insan kamil dalam dirinya. Oleh karena itu, upaya pembentukan etos kerja Islami dapat dimulai dengan mengembangkan ketiga potensi manusia yaitu jasmani, akal, dan rohani.
187
Upaya membentuk etos kerja Islami dari segi jasmani misalnya melalui metode pembiasaan. Pembiasaan seperti sarapan sebelum berangkat sekolah agar bersemangat dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Pembiasaan sarapan pagi ini juga ditanamkan nilai religius, sehingga ia terbiasa sarapan bukan hanya untuk tujuan mengisi energi tubuh. Siswa perlu ditanamkan kesadaran bahwa dengan sarapan maka tubuh akan berenergi, pikiran menjadi jernih, dan jiwa menjadi tenang. Jiwa yang tenang serta pikiran yang jernih akan melahirkan akhlak yang mulia. Akhlak yang mulia sangat disukai Allah Swt dan bernilai pahala. Pembiasaan untuk hidup bersih juga perlu ditanamkan dalam diri siswa, seperti dengan membuat jadwal piket kelas dan juga kesadaran untuk peduli pada lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya. Pembiasaan untuk hidup bersih ini juga disertai penanaman nilai-nilai religius, seperti ditanamkan pemahaman bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Allah Swt menjadikan sesuatu yang bersih sebagai syarat
dalam
beribadah
kepada-Nya,
misalnya,
sebelum
shalat
diperintahkan untuk membersihkan diri dengan cara berwudhu. Metode pembiasaan dengan demikian, untuk mendisiplinkan siswa secara jasmani hendaknya disertai penanaman pemahaman yang komprehensif mengenai tindakan yang akan dibiasakan tersebut. Pemahaman tersebut meliputi unsur duniawi dan ukhrawi. Penanaman etos kerja Islami dari segi akal ialah upaya untuk menumbuhkan pola pikir yang rasional, kreatif, inovatif dan memiliki
188
pandangan yang terbuka. Upaya ini salah satunya dapat dilakukan melalui metode hiwar. Metode hiwar dilakukan untuk membahas materi pelajaran dengan cara dialog atau diskusi. Tata cara dalam dialog atau diskusi dapat merujuk pada dialog yang dimuat dalam Al-Qur‟an atau hadits. Dengan merujuk tata cara dialog dalam Al-Qur‟an atau hadits, maka proses belajar dengan metode hiwar ini akan sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Oleh karena itu, dengan metode hiwar ini siswa diharapkan dapat terasah nalarnya, memiliki wawasan yang lebih luas, dan memiliki sikap terbuka dalam menerima pandangan dari orang lain serta tetap berlandaskan nilainilai keislaman. Cara menumbuhkan etos kerja Islami dari segi rohani siswa yaitu dengan mengupayakan pembentukan sikap yang sadar akan pengawasan Allah Swt, hal ini akan tercermin dalam sikap jujur, bertanggungjawab, disiplin, percaya diri, dan akhlak mulia yang lainnya. Metode yang dapat digunakan agar tumbuh sikap-sikap demikian dalam diri siswa di antaranya yaitu metode keteladanan, serta targhib dan tarhib. Metode keteladanan adalah dengan keteladanan yang diberikan oleh guru kepada siswanya. Seorang guru baik perkataan maupun perbuatannya harus dapat ditiru oleh siswa. Guru harus menampilkan perkataan yang mulia dan perkataan itu sesuai dengan apa yang dilakukannya. Guru harus memiliki sikap jujur, bertanggungjawab, disiplin, percaya diri, penuh kasih sayang, sehingga sikap tersebut akan dicontoh oleh siswa. Kemudian metode targhib dan tarhib yaitu berupa janji dan ancaman atau reward and
189
punishment yang diberikan oleh guru kepada siswa. Janji berupa pahala dan surga apabila siswa melakukan tindakan terpuji, serta ancaman berupa siksa di neraka apabila siswa melakukan tindakan tidak terpuji. Etos kerja Islami melalui metode-metode tersebut diharapkan tumbuh dalam diri siswa. Sehingga siswa bersemangat dalam belajar dan menampilkan tindakan yang terpuji sebagaimana karakterik etos kerja Islami. Tindakan terpuji yang ditampilkan siswa diniatkan untuk beribadah kepada Allah Swt supaya ridho-Nya dapat diraih. Siswa yang menghayati etos kerja Islami akan tampil sebagai seorang yang berprestasi secara akademik dan ihsan dalam berperilaku.
190
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Etos kerja Islami ditinjau dari makna filosofis yaitu karakter kerja yang berlandaskan keyakinan bahwa bekerja adalah fitrah dan amanah yang esensinya iman, ilmu, dan amal, bekerja adalah ibadah, bekerja dijiwai semangat jihad, dan materi bukan tujuan dari bekerja tetapi sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Etos kerja Islami apabila ditinjau dari hasil, akan melahirkan kerja produktif, profesional, penuh kecintaan, kompetitif, berorientasi pada kesempurnaan, kreatif, gigih, bertanggungjawab dan optimis yang berlandaskan sikap religius, ditandai dengan rasa syukur, keikhlasan; pengabdian semata-mata kepada Allah Swt, tolong menolong, sederhana dan tawadhu‟. 2. Etos kerja Islami dalam perspektif pendidikan Islam memiliki pandangan utuh tentang iman, ilmu, dan amal, kerja dan ibadah, duniawi dan ukhrawi, serta materi dan non materi. Pandangan utuh tersebut memiliki keselarasan dengan pendidikan Islam, ditinjau dari karakter insan kamil sebagai tujuan pendidikan Islam, prinsip kesatuan dan keseimbangan antara iman, ilmu, dan amal sebagai karakteristik pendidikan Islam, kerja yang berorientasi dunia dan akhirat sebagai karakter guru profesional dan
191
religius, serta pengembangan potensi secara utuh sebagai upaya membentuk karakter insan kamil dalam diri siswa. 3. Implikasi etos kerja Islami bagi guru dan siswa dalam pendidikan Islam merupakan spirit yang dapat melahirkan performa kerja profesional dan religius. Etos kerja Islami bagi guru dan siswa dapat membangkitkan motivasi mengajar-belajar yang dilandasi keyakinan bahwa mengajarbelajar merupakan fitrah, amanah, dan ibadah, serta dijiwai semangat jihad untuk mengintegrasikan iman, ilmu, dan amal dalam mencapai tujuan pendidikan Islam. B. Saran 1. Guru Guru hendaknya menghayati etos kerja Islami dalam melaksanakan tugasnya, sehingga akan lahir semangat yang tinggi dan performa kerja profesional dan religius, yaitu bekerja atas dasar keikhlasan untuk beribadah kepada Allah Swt. Seorang guru adalah teladan bagi siswanya, oleh karena itu menampilkan karakter pekerja yang beretos kerja Islami merupakan salah satu cara memberikan keteladanan kepada peserta didik. 2. Siswa Siswa hendaknya membiasakan diri untuk disiplin dan kerja keras dalam belajar, baik di sekolah maupun di rumah. Siswa selain itu hendaknya membiasakan diri untuk mengikuti pembelajaran di kelas dengan penuh semangat dan antusiasme, dan menanamkan dalam dirinya
192
bahwa belajar dengan penuh semangat merupakan wujud pengabdian kepada Allah Swt dan Allah Swt senantiasa mengawasi dirinya. 3. Sekolah Sekolah hendaknya turut menciptakan suasana yang mampu menghidupkan etos kerja Islami bagi seluruh warga sekolah. Bentuk dukungan sekolah dalam mengupayakan terbentuknya etos kerja di antaranya ialah dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadahi. Tenaga kependidikan, seperti petugas akademik, petugas perpustakaan, petugas kebersihan, juga harus menunjukkan etos kerja yang tinggi dengan memberikan pelayanan yang prima.
193
DAFTAR PUSTAKA Abrasyi, Mohd. Athiyah. 1993. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Terj. H. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry. Jakarta: Bulan Bintang. Achmadi. 1987. Ilmu Pendidikan Islam I. Salatiga: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo. . 1992. Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media. Albani, Muhammad Nashiruddin. 2012a. Ringkasan Shahih Bukhari. Terj. Rahmatullah dan Kamaluddin Sa‟adiyatulharamain. Jakarta: Pustaka Azzam. . 2012b. Ringkasan Shahih Muslim. Terj. Subhan dan Imran Rosadi. Jakarta: Pustaka Azzam. Aly, Hery Noer dan Munzier. 2003. Watak Pendidikan Islam. Jakarta: Friska Agung Insani. Anoraga, Panji. 2009. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Asifudin, Ahmad Janan. 2004. Etos Kerja Islami. Surakarta: Muhammadiyah University Press. As‟ad, Moh. 2003. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty. Attas, Syed Muhammad Al-Naquib. 1996. Konsep Pendidikan dalam Islam. Terj. Haidar Bagir. Bandung: Mizan. Bawani, Imam dan Isa Anshori. 1991. Cendekiawan Muslim dalam Perspektif Pendidikan Islam. Surabaya: Bina Ilmu. Buchori, Mochtar. 1994. Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.
194
Daradjat, Zakiyah. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Departemen Agama. 1989. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putera. Dhofier, Zamakhsyari. 1983. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES. Faridi, Miftah. 1982. Pokok-Pokok Ajaran Islam. Bandung: Perpustakaan Salman ITB. Fitrianto, Fajar Rian. 2011. Pengaruh Etos Kerja Islam Terhadap Kinerja Karyawan PT BPRS Buana Mitra Perwira Purbalingga. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo. Gunawan, Heri. 2014. Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hadi, Sutrisno. 1981. Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Hafidz dan Kastolani. 2009. Pendidikan Islam: Antara Tradisi dan Modernitas. Salatiga: STAIN Salatiga Press. Irkhami, Nafis. 2014. Islamic Work Ethics: Membangun Etos Kerja Islami. Salatiga: STAIN Salatiga Press. Jalal, Abdul Fattah. 1988. Azas-Azas Pendidikan Islam. Terj. Herry Noer Ali. Bandung: CV. Diponegoro. Jalaluddin. 2001. Teologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Kaelany, H.D. 2000. Islam dan Aspek-Aspek Kemasyarakatan. Jakarta: Bumi Aksara. Langgulung, Hasan. 2004. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru. Luth, Thohir. 2001. Antara Perut dan Etos Kerja dalam Perspektif Islam. Jakarta: Gema Insani.
195
Mansur, Sutan H.A.R. 1982. Jihad. Jakarta: Panji Masyarakat. Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: AlMa‟arif. Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mursi, Abdul Hamid. 1999. SDM yang Produktif: Pendekatan Al-Qur‟an dan Sains. Jakarta: Gema Insani Press. Mutaqin, Wawan Ridwan. 2010. Pengaruh Iklim Organisasi, Etos Kerja dan Disiplin Kerja Terhadap Efektivitas Kinerja Organisasi di Politeknik Kesehatan Surakarta. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta: Program Studi Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret. Nahlawi, Abdurrahman. 1992. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam: dalam Keluarga, di Sekolah, dan di Masyarakat. Terj. Herry Noer Ali. Bandung: CV. Diponegoro. Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-Aliran Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Sejarah Analisa
Nata, Abudin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. . 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Purwanto, Ngalim. 2007. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rasyidin dan Samsul Nizar. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta. Roqib, Muh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta: LKiS.
196
Saerozi. 2013. Pembaruan Pendidikan Islam: Studi Historis Indonesia dan Malaysia 1900-1942. Yogyakarta: Tiara Wacana. Saleh, Muwafik. 2009. Bekerja dengan Hati Nurani. Jakarta: Erlangga. Sastrahidayat, Ika Rochdjatun. 2009. Membangun Etos Kerja dan Logika Berpikir Islami. Malang: UIN Malang Press. Shihab, M. Quraish. 1997. Tafsir AL-Qur‟an Al-Karim. Bandung: Pustaka Hidayah. Siswanto, Dwi. 2012. Urgensi Falsafah Penyuluhan Pembangunan dan Etos Kerja dalam Pemberdayaan Masyarakat. Ilmiah CIVIS. II (I): 217-237. Soekanto, Soerjono. 1983. Kamus Sosiologi. Jakarta: Rajawali Press. Sofyan, Mochlasin. 2010. Islam dan Etos Kerja: Tafsir Islam Transformatif Perspektif M. Dawam Raharjo. Salatiga: STAIN Salatiga Press. Syahyuti. 2011. Islamic Miracle of Working Hard: 101 Motivasi Islami Bekerja Keras. Depok: Manna dan Salwa. Syaibani, Omar Muhammad Al-Toumy. 1979. Falasafah Pendidikan Islam. Terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang. Tafsir, Ahmad. 2008. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tasmara, Toto. 2002. Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Tono, Sidik, M. Sularno, Imam Mujiono, dan Agus Triyanto. 1998. Ibadah dan Akhlak dalam Islam. Yogyakarta: UII Press Indonesia. Wiradi, Gunawan. 2004. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 5. Bekasi: Delta Pamungkas. Zainuddin. 1991. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara. 197
198
199
200
201
202
203
204
205