KODE NO. 2 Edgar Wallace
2014
Kode No. 2 Diterjemahkan dari Code No. 2 karangan Edgar Wallace terbit tahun 1930 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Desember 2014 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2014 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
D
INAS
RAHASIA tak pernah menyebut diri mereka secara
melodramatis. Jikapun mereka bicara, biasanya disamar-
kan sebagai “Departemen”—kalian lihat, bahkan bukan “Departemen Intelijen”. Bagaimanapun juga ini departemen hebat, dan di antara orang-orang hebat yang bertugas—dalam kapasitas kecil— ada Schiller. Dia merupakan pemuda Swiss berdaya cipta tinggi, dengan hasrat besar terhadap bahasa asing. Dia kenal semua penjahat di London—jahat dari sudut pandang politik—dan dia bermanfaat bagi Kepala Sekretaris (Intelijen), meski Bland dan para pembesar...well, mereka tidak membencinya, tapi mereka agak...entah bagaimana menyebutnya. Mengamati kuda bersemangat yang melintasi secarik kertas putih di jalan, dia sama sekali tak ketakutan, dia justru memperhatikan makhluk berderap-derap tersebut dengan penuh harap. Dia belum pernah masuk Permainan Besar, meski sudah berusaha keras. Tapi Permainan Besar dimainkan oleh orang-orang yang “mengunyah sandi rahasia di buaian”, begitu kata Bland. Dengan suatu cara misterius, Schiller tahu Reggie Batten ditembak mati saat sedang mengeluarkan perintah mobilisasi Korps Bavaria ke-14 dari sebuah tempat persembunyian di Munich —ini betul, dan kejadian menyedihkan ini dilukiskan sebagai “kecelakaan penerbangan”. Otoritas militer Munich mengangkat jasad Reggie ke dalam pesawat lalu menjatuhkannya...kemudian koran-koran Munich menghadiahi Reggie ulasan indah, dan menyebut pemakaman akan 5
dilangsungkan pukul dua, dan mereka berharap semua teman tercintanya akan datang. Teman-temannya yang tak menaruh curiga ditahan dan digeledah, penginapan dan kopor mereka dijarah, dikirim keluar perbatasan. Bland, yang berada di Munich, tidak menghadiri pemakaman, bahkan dia meninggalkan kota bir itu tanpa berlama-lama. Dia kembali ke kota hanya sehari ketika Schiller diminta datang untuk bertukar pandangan. Bland, berdagu persegi, klimis, dan berpembawaan tenang, mendengar keterangan Schiller, lalu tertawa. “Kau sama sekali salah soal Tn. Batten,” ujarnya. “Dia tak terkait dengan departemen ini, dan kematiannya akibat kecelakaan naas. Karena itu aku tak bisa menyerahkan pekerjaannya padamu.” Schiller mendengarkan dan membungkuk. “Aku salah informasi, pak,” katanya sopan. Dia menempuh cara lain dan menyusun serangan terencana terhadap Kepala Sekretaris, yang telah menikmati taraf karir nyaman, dilambangkan dengan peralihan antara akhir periode kebergunaan dan kesadarannya akan fakta ini. Di masanya, Sir John Grandor adalah Intelijen terhebat di Eropa, tapi kini—dia masih menyebut telegram nirkabel sebagai “penemuan hebat”. Tetap saja Sir John seorang kepala. Kepala yang lumayan lihai. Cap kantornya adalah Kode No. 2. Mata biasa tak bisa melihatnya. Ia tertera pada rak dasar brankas antara tutup-tutup baja, pelat demi pelat tulisan rapat dan rapi hasil tangannya sendiri. 6
Kode No. 2 sangatlah rahasia. Kode inilah yang dipergunakan agen-agen besar. Ia tidak dicetak, tidak pula diedarkan, melainkan dipelajari di bawah pengajaran Kepala sendiri. Orang-orang yang tahu Kode No. 2 tidak pernah menyombongkan pengetahuan mereka, sebab nyawa mereka berada dalam keadaan genting— bahkan di masa damai. Schiller tak pernah bisa menjadi agen besar. Dia warga asing yang dinaturalisasi, sementara orang-orang besar itu warga asli, dilatih untuk Permainan ini sejak hari pertama masuk Dinas. Mereka orang terdidik, dikutuk seumur hidup untuk memisahkan diri dari tanah kelahiran. Jati diri mereka, atau tempat tinggal mereka, hanya diketahui oleh tiga orang, dua di antaranya tidak memiliki eksistensi resmi. Sir John menyukai Schiller dan melakukan banyak hal untuknya. Dia menceritakan kisah-kisah petualangannya di masa lampau, dan Schiller pun mendengarkan dengan penuh perhatian. Dalam salah satu obrolan usai makan malam ini (dia pemuda paling tampan, dan Sir John sering mengajaknya ke rumah untuk makan malam), Schiller menyebut-nyebut Kode No. 2 secara sambil lalu. Dia membicarakannya dengan santai, sedangkan Sir John membahas Kode tersebut secara umum. Dia bercerita bagaimana kode itu disimpan di brankas khusus, bagaimana disusun dengan sistem laman lepas, dan betapa merepotkannya karena selalu berantakan dan harus dikonsultasikan setiap hari, dan harus mengganti pelat-pelat yang dipakainya pada bagian atas, padahal posisi abjadnya sudah pas. 7
Sang pemuda berkata polos bahwa dia akan datang ke kantor Sir John setiap malam dan menyortirnya, tapi pak tua itu tersenyum ramah dan melarangnya. ***** Suatu hari, Bland memanggil Grigsby ke kantornya. Pemuda dengan corak muka kemerahan datang saat itu juga. “Bocah bernama Schiller ini menyusahkanku,” kata Bland dengan nada rendah, hampir menjadi sifat dasar kedua di Dinas. “Dia memang pintar dan berguna, tapi aku tak percaya padanya.” “Riwayatnya bersih,” timpal Grigsby, memandang keluar jendela, “dan dia tak banyak tahu tentang hal-hal besar—Sir John peragu, tapi dia cukup akrab. Apa yang membuatmu cemas sekarang?” Bland mondar-mandir di ruangan. “Dia sedang menciptakan alat penerima nirkabel baru,” katanya, “dan dia sudah membuat pak tua itu tertarik. Dia mengerjakannya seharian di ruangannya, dan malam harinya dibawa ke kantor Sir John, lalu dikunci rapat dalam brankas. “Aneh rasanya membayangkan boks itu—seukuran kaleng biskuit—mampu menampung sesuatu berotak manusia dan berjalan-jalan dalam brankas kedap udara, atau memicingkan mata pada kodenya; tapi, entah bagaimana, aku tidak suka itu.” Grigsby terkikih. “Aku baru dengar itu,” akunya. “Aku tak mengingkari 8
kepintaran Schiller. Dia menciptakan pembuang udara untuk kamarku. Modelnya cerdik sekali. Tapi aku hampir tak bisa membayangkan alat penerima nirkabel yang membaca dan mentransmisikan kode dari dalam brankas baja.” Tapi Bland tidak bergeming. Dia mengutus seseorang untuk memanggil May Prince. Wanita ini sedang liburan di Devonshire, tapi langsung berangkat ke kota: seorang gadis bertubuh mungil—dia tampak berumur delapan belas, padahal sepuluh tahun lebih tua—dengan senyum termanis di dunia, sepasang mata kelabu penuh penilaian, dan mulut yang agak terkulai. “Maaf mengganggu hari liburmu,” kata Bland, “tapi aku ingin Schiller terus diawasi. Pekan depan kau akan diberhentikan dari Departemen karena mengabaikan tugas. Kau akan pensiun dengan penuh dukacita, dan kau akan bercerita pada Schiller, yang akan terus kau temui, bahwa aku monster dan aku kehilangan banyak uang dalam taruhan pacuan kuda. Aku akan siapkan beberapa rekening juru taruh untukmu agar bisa kau perlihatkan dengan bijak.” “Apa dia akan memerasmu?” tanyanya. Bland menggeleng. “Jika dia sesuai dugaanku, dia tak akan melakukannya. Tidak, dia mungkin memberimu kepercayaan—sampai nanti.” Maka May pergi sambil mengangguk. ***** 9
Penemuan Schiller menghabiskan waktu pengembangan yang panjang. Tapi dia sangat antusias dengan segala kemungkinan-nya dan
menghembuskan
antusiasmenya
kepada
Kepala.
Dia
mengerjakan mesin di waktu luang, dan setiap jam enam kurang lima menit petang mengangkut boks beratnya ke kantor Kepala, dengan khusyuk menaruh bebannya di atas pemanggang besi yang membentuk satu rak brankas, dan mengamati penguncian dengan tatapan waspada. May Prince belum juga mendapat bahan laporan. Tiga hari sebelum 1 Agustus mematikan yang membawa kehancuran dan kesengsaraan bagi Eropa, Bland, yang bekerja sehari semalam demi kepentingan departemennya, naik ke ruangan Schiller untuk menanyainya tentang kejujuran Antonio Malatesta, yang dicurigai menjadi agen Negara-negara Tengah. Bland jarang mengunjungi kantor bawahannya, tapi pada saat ini teleponnya sedang rusak. Ternyata pintunya dikunci, dia pun mengetuk tak sabaran. Schiller segera membukakan sambil tersenyum. Mejanya diseraki kabel, baterai listrik, perkakas, dan sekrup, tapi tak ada tanda keberadaan alat penerima nirkabel hebat itu. “Anda sedang mencari kotak ajaibku, pak?” tanya Schiller. “Ada
di brankasku—sebentar lagi akan
kudemonstrasikan
kehebatannya! Bahkan hari ini aku menangkap sinyal dari Markas Besar Angkatan Laut—tembus jendela tertutup.” Bland tidak mendengarkan. Dia berdiri tegak, hidungnya mengendus-endus. Ada sedikit bau manis—aroma kamper dan sesuatu yang lain. 10
Schiller memperhatikannya dengan mata menyipit. “H’m,” kata Bland, lalu berputar meninggalkan ruangan. Ada telegram di meja kerjanya. Diantarkan selagi dia pergi barusan: Schiller adalah agen bayaran Eropa Tengah. Dia kepala Departemen Kriptogram. Ada buktinya. —May. Bland membuka laci mejanya, mengeluarkan pistol otomatis, lalu berpacu menerobos pintu, dan melangkahi dua anak tangga sekaligus. Pintu Schiller terbuka, tapi dia sudah pergi. Dia tak keluar lewat lobi atau pintu depan. Penjaga pintu samping melihatnya lewat dan mendengarnya memanggil taksi. Bland pun kembali ke kantor dan menelepon kepolisian: “Awasi semua stasiun kereta dan dermaga. Tangkap dan tahan Augustus Schiller.” Dia mendeskripsikan sosoknya secara singkat tapi pasti. “Sangat disayangkan,” kata Sir John, sangat risau, “tapi kurasa dia tak mengambil sesuatu yang penting. Apa dia sudah memindahkan penemuannya?” “Masih tersimpan baik, Sir John,” kata Bland muram, “dan malam ini, dengan izin Anda, aku akan lihat apa yang terjadi.” “Jangan berani-beraninya!” Bland mengangguk. 11
“Aku belum mengutak-atiknya sama sekali, tapi aku sudah mendengarkan lewat mikrofon dan tak diragukan lagi isinya mekanisme mesin jam. Nyaris hening, tapi aku mendeteksi bunyi. Kuusulkan kita taruh boks itu di tempat biasanya, biarkan pintu brankasnya terbuka, lalu awasi.” Sir John merengut. Semua ini mencerminkan penilaiannya dan membuatnya tersinggung, tapi dia terlalu loyal kepada Dinas—di mana dia mencurahkan 45 tahun hidupnya—untuk membiarkan luka kebanggaannya mengalahkan tugas publiknya. Jam enam pagi, boks ditaruh di dalam brankas. “Di situkah biasanya disimpan?” tanya Bland. “Biasanya aku—bahkan selalu—menaruhnya di atas kisi besi.” “Persis di atas Kode 2, rupanya.” Kepala Sekretaris merengut lagi, tapi kali ini berusaha berpikir. “Betul,” katanya pelan, “suatu kali, seingatku, ketika boks ditempatkan agak ke samping, Schiller mendorongnya ke tengah. Kupikir itu sedikit kelancangannya.” Kedua pria menarik sepasang kursi lengan kemudian duduk di depan brankas. Kesiagaan mereka sepertinya akan lama. Jam delapan, sembilan, sepuluh berlalu sudah, tapi tak juga terjadi apa-apa. “Kurasa ini agak konyol, bukan?” tanya Sir John tak sabar, sementara jam sebelas kurang seperempat telah berbunyi. “Sepertinya begitu,” kata Bland keras kepala, “tapi aku ingin lihat—astaga—lihat!” 12
Sir John termegap. Persis di bawah boks terdapat Kode 2, diselubungi jilid kulit, pinggirannya dibalut dengan pita baja tipis agar tahan lama. Perlahan-lahan sampul buku terangkat, menyentak naik sedikit lalu jatuh, berjingkrak lagi, jatuh lagi, seolah ada sesuatu di bagian dalam yang berusaha membebaskan diri. Tiba-tiba sampul terbuka dan tetap tegak, bersama isinya membentuk huruf L, di mana sampul menjadi tangkai yang tegak. Terdengar bunyi “klik”. Lalu interior brankas diterangi cahaya lembut kehijauan, memancar pada halaman kode teratas dan berlangsung hampir satu menit. Lalu padam. Dan sampul buku pun jatuh. “Piuuh!” siul Bland. Diangkatnya boks hitam dengan hati-hati dari brankas lalu dibawa ke meja Sir John. Setelah lama dan telaten diperiksa bagian dasarnya, ditaruhnya boks tersebut. “Kode No. 2 ada di tangan musuh, pak,” katanya. Hari sudah terang ketika dia menyelesaikan penyelidikan. Separuh boks dipenuhi akumulator. Semua akumulator ini memasok arus yang mengangkat sampul buku Kode, beroperasi dengan magnet kuat. Mereka memberi cahaya pada lampu-lampu uap air raksa kecil, yang menghasilkan cukup cahaya bagi kamera tersembunyi untuk memperoleh eksposur efektif. “Mekanisme jam kecil yang sederhana,” kata Bland, “ini menyetel waktu untuk bekerjanya mesin dan menyalakan atau memadamkan arus. Barangkali membuka dan menutup shutter 13
yang menyembunyikan lensa, lampu, dan magnet. Aku mencurigai keberadaan kamera saat mencium bau film di ruangannya.” Sir John, pucat kurus, mengangguk. “Keluarkan aku dari masalah ini secepat mungkin, Bland,” katanya kasar. “Aku akan pensiun akhir tahun ini. Aku sudah tua.” Dia berjalan ke pintu dan berhenti, jemarinya memegang gagang. “Nyawa tiga puluh orang ada di tangan Schiller,” katanya, “nama dan alamat mereka di dalam buku itu. Kurasa dia sudah selesai membacanya. Cerobohnya aku sampai mengubah urutan halaman hampir setiap hari, dan iblis itu telah bekerja selama sembilan bulan. Dia pasti sudah membaca bukunya sekarang, sebab selalu ada pelat berbeda di bagian atas.” “Aku akan berusaha sebaik mungkin, pak,” ujar Bland. Schiller sudah pergi—pergi jauh—sebelum perang dideklarasikan. Dia terlihat di Belanda dan terlacak sampai Cologne. Tak ada kemungkinan mengubah kode, dan pesan-pesan berdatangan dari para agen. Bland mengambil langkah berani. Melalui seseorang di Denmark, dia dapat berkomunikasi dengan Schiller dan menyodorkan kesepakatan. Tapi Schiller tidak meladeni. Dalam kata-kata utusan yang dikirim Bland, bunyinya begini: “Schiller menerima upah besar dari pemerintah musuh atas penguraian pesan-pesan nirkabel yang dikirim para agen Anda. Dia sendiri tahu kodenya.” Tidak patah arang, Bland lagi-lagi berkomunikasi dengan si 14
pengkhianat, menawarinya uang banyak jika dia mau kembali ke negara netral dan menyimpan rahasianya. “Temui aku di Belanda, akan kuperbaiki keadaan,” akhir pesannya. Ini menimbulkan tanggapan yang menjadi ciri khas sang kepala mata-mata lihai: “Datanglah ke Belgia, akan kuatur.” Usulan gila, sebab Belgia kini merupakan wilayah musuh. Tapi Bland membawa nyawanya, dan belati kaca panjang dalam tas tangan, dan malam itu juga berangkat ke Eropa. Bland masuk Belgia lewat pintu belakang dan bersusah-payah sampai ke Brussels. Bukanlah kepentingan nasional untuk menjelaskan sarana dan metodenya masuk ke tanah yang dijaga ketat tersebut, tapi cukuplah dikatakan bahwa dia bertemu Schiller, yang tampak makmur, di kafetaria Gold Lion, Hazbruille, sebuah desa kecil di Ghent-Lille Road. “Kau sangat pemberani, Tn. Bland,” puji Schiller, “andai saja aku bisa membantumu. Sayang sekali tidak.” “Kalau begitu kenapa kau membawaku kemari?” tanya Bland. Schiller menatapnya curiga. “Aku punya kode tertentu,” katanya pelan. “Aku sudah menyelesaikannya dengan pengecualian tertentu: ada tiga halaman yang hilang. Berapa harga yang kau minta?” Orang sebesar Bland takkan kaget. “Tawaran yang pantas,” katanya kalem, “tapi kode apa yang ingin kau beli?” “No. 2,” jawab Schiller, “kupikir—” 15
Bland menyela. “Kode No. 2?” ulangnya, menyeruput bir Jerman (untuk sementara dia menjadi petani Belgia). “Tentu saja itu omongkosong. Aku dan kau sama-sama tak tahu Kode No. 2. Kode yang kau curi adalah No. 3.” Schiller tersenyum angkuh. “Begitu kau kembali ke London,” katanya, “tanya Kepalamu apa ‘Agate’ bukan berarti ‘Angkutan yang mengisi muatan di Borkum’.” “Mungkin cuma kebetulan kau mendapatkan istilah itu,” kata Bland enggan. “Tanya dia apakah ‘Optique’ bukan berarti ‘Kaisar sudah pergi ke Dresden’,” kukuh Schiller kalem. Bland menengok-nengok ruangan, menimbang. “Kau tahu banyak, teman,” katanya. Wanita yang mengelola kafetaria masuk tak lama kemudian dan mendapati Bland mengisap cerutu mewah, siku di atas meja, bock setengah kosong di depannya. Wanita itu melirik pada Schiller sambil tersenyum. “Dia lelah,” kata Bland, menenggak habis bock. “Biarkan dia tidur. Jangan sampai diganggu seekor lalat pun,” tambahnya, bercanda. Schiller terbaring menyamping di bangku tempat Bland duduk. Wajahnya menghadap dinding, dan di atas kepalanya ada saputangan biru kasar. “Dia takkan diganggu,” kata Madame, lalu mengantongi uang 16
tip lima sou yang Bland berikan sambil menyeringai berterima kasih. “Saat dia bangun,” kata Bland di pintu, “katakan padanya aku sudah pergi ke Ghent.” Tiga jam kemudian, seorang tentara infantri Landsturm Jerman yang datang untuk minum kopi petang, mengangkat saputangan yang menutupi muka orang tidur tersebut, lalu tergagap: “Gott! Astaga!” Schiller sudah tiga jam tewas. Bahkan dokter perlu waktu lama untuk menemukan mata belati kaca di dalam jantungnya. ***** Sepekan kemudian Bland sedang berdandan untuk makan malam di flat West End-nya, dan sedang memasang dasi kupu-kupu, ketika pelayan memberitahukan mampirnya Grigsby. “Sudah kusampaikan padanya bahwa Anda sedang berdandan, tuan,” kata Taylor, “tapi Tn. Grigsby seperti baru memenangkan lomba berkuda Gatwick, dia tak mau menerima jawaban ‘Tidak’.” Taylor orang yang mempunyai hak istimewa, dan diperbolehkan bersikap kritis bahkan terhadap teman-teman Bland. Dia pelayan ideal menurut sudut pandang tuannya, dia sederhana dan banyak mulut. Bagi seseorang dalam profesi Bland, sifat banyak mulut pada diri pelayan merupakan kebaikan sebab membuat majikannya selalu waspada, tak pernah terlena oleh keamanan atau kemewahan. Lebih dari itu, dia bisa tahu apa yang dipikirkan 17
pembantu banyak mulut, dan, melalui perantara para agen rahasia, apa yang dikatakannya. “Persilakan dia kemari,” kata Bland kemudian. Tn. Grigsby masuk ruang dandan dengan gaduh, tapi salamnya agak dingin. “Aku ada masalah denganmu,” katanya. “Apa yang kau katakan pada Nona Greenholm tentang diriku? Kau tahu perasaanku pada Alice.” “Tunggu sebentar,” balas Bland tajam, berpaling pada pembantunya. “Taylor, pergilah ke Kantor Pos, kirimkan surat yang ada di rak gantungan koridor.” Tn. Grigsby menunggu sampai pintu flat terdengar ditutup, lalu dia berjalan ke lorong dan mengunci selot pintu depan. Kemudian dia kembali ke tempat Bland berdiri memunggungi perapian, kedua tangannya terselip ke dalam saku celana. “Kau yakin dia mendapatkan No. 2?” tanyanya. Bland mengangguk. Grigsby menggigit bibir, berpikir. “Tak usah dipikirkan bagaimana dia mendapatkannya— sekarang,” katanya, “masalahnya adalah, siapa yang akan mendapatkannya selanjutnya!” Bland membuka wadah cerutu, mengigit ujung salah satu batangnya, dan menyalakannya sebelum menjawab. “Jadi
kabar
apa
yang
kau
dapat!”
tanyanya.
“Aku
menyeberangi perbatasan sebelum mereka tahu kematiannya. Wajar jika aku belum dengar apa-apa selain yang dikatakan orang 18
kita di Amsterdam.” “Kodenya ada di London,” kata Grigsby singkat. “Segera setelah dia mati, pihak berwenang di Brussels mengirim kabelgram ke Valparaiso. Dialamatkan kepada seseorang bernama Van Hooch —barangkali pihak ketiga. Ini.” Dia mengeluarkan buku saku dan membentangkan secarik kertas di atas meja. Pesannya pendek dan berbahasa Spanyol: Penginapan London Schiller. “Agak membingungkan,” kata Bland. “Schiller tak mungkin menuliskan kodenya—dia terlalu pintar untuk itu. Tapi dia harus memberi jaminan kepada pihak berwenang bahwa rahasianya takkan lenyap bersama kematiannya. Mungkin sudah diatur agar dia memberitahu seseorang yang disepakati—dalam hal ini seseorang di Amerika Selatan—bagaimana kode itu disembunyikan. Lokasi persisnya dia rahasiakan sampai ajalnya tiba, mungkin tersembunyi di antara dokumen pribadinya.” “Teori yang masuk akal,” kata Grigsby. “Dia tak bilang apaapa lagi padamu?” Bland menggeleng. “Tentu saja aku harus membunuhnya,” katanya dengan nada menyesal. “Memang kejam, tapi nyawa tiga puluh orang baik berada di tangannya. Mungkin dia sudah tahu di mana mereka ditempatkan.” “Dan orang yang muncul kemudian juga akan tahu,” kata Grigsby muram. “Malam ini kita mulai menggeledah penginapannya.” 19
Tapi ternyata flat di Soho Square itu tak ada gunanya. Selama hampir dua minggu tiga orang Intelijen paling cerdas (termasuk Lecomte dari departemen Prancis) memeriksa dan menggeledah, membelah furnitur, membongkar lantai, dan melucuti lemari makanan. Hasilnya negatif. “Aku yakin ada di sana,” kata Bland kesal. “Kita pasti melewatkan sesuatu. Mana May Prince?” “Dia di kantor Chief Censor’s. Ada tugas di sana,” jelas Grigsby. ***** May datang dengan penuh kemenangan. “Kupikir kau akan memanggilku,” katanya. “Aku bisa menyelamatkanmu dari banyak masalah!” Bland meminta maaf. “Aku sudah menyia-nyiakanmu, May,” katanya. “Kau tahu, aku tak melihatmu sejak kau mengirimiku telegram soal Schiller?” Dia mengangguk. “Aku tahu itu—Schiller mati, bukan?” “Bagaimana kau tahu?” Dia mengangkat bahu. “Kami membaca sesuatu di kantor Censor—surat-surat polos dari Belanda, berisi pesan di antara baris-barisnya yang ditulis dengan asam formika dan susu. Jika kau gunakan formula yang 20
tepat akan kelihatan. Tn. Schiller orang yang luar biasa. Ayahnya salah seorang cendekiawan terhebat yang pernah Swiss miliki, meski beliau buta. Apa yang kau inginkan dariku sekarang?” Bland menjelaskan singkat. Gadis ini tahu Kode No. 2 dan kerahasiaan yang menyelubunginya, dan menyadari urgensi situasi ini. “Ngomong-ngomong, bagaimana kau tahu dia agen musuh?” tanyanya. “Aku temukan kodenya,” jawabnya samar. Didampingi kedua pria, dia pergi ke flat di Soho Square. Lantainya sudah diganti, ruang-ruangnya bisa dihuni lagi. Dia mengelilingi flat, lalu kembali ke ruang makan besar. “Di ruang inilah kodenya berada,” katanya tegas. Apartemen yang ceria, dilapisi kertas dinding cokelat cerah. Dado lebar berdesain sederhana membalut tembok, kayu lis dicat dengan warna cokelat agar serasi dengan kertasnya. Di langitlangit bergantung sebuah fitting listrik, dan ke situlah May melirik. “Kami sudah menurunkannya,” kata Bland, “dan kayu lisnya sudah dicabut, tapi nihil.” “Bisa tinggalkan aku sendirian sebentar?” tanya sang gadis. Kedua pria menarik diri, tapi mereka hampir belum keluar ruangan sebelum dia menyusul dengan mata berbinar gembira. “Dapat!” dia tertawa. “Oh, aku tahu—aku tahu!” “Di mana?” tanya Bland heran. “Tunggu,” katanya bersemangat. “Kapan tamu Amerika Selatan-mu akan datang?” 21
“Besok—tentu saja ruangan ini akan dikawal, dia takkan punya kesempatan untuk menggeledah.” Matanya masih menari-nari saat dia mengangguk. “Kita lihat saja—besok. Kurasa kau akan mendapat tamu blakblakan dari Valparaiso, dan begitu dia datang, aku ingin kau memanggilku.” “Apa-apaan—” “Tunggu, tunggu! Apa yang akan dia katakan?” Dia memejamkan mata dan merengut. “Aku bisa memberitahukan namanya; Raymond Viztelli.” “Kau tahu ini dari semula?” tanya Grigsby yang keheranan, tapi gadis itu menggeleng. “Aku tahu ketika masuk ruangan ini,” katanya, “tapi sekarang aku sedang menebak. Aku rasa dia akan menawarkan bantuan untuk menemukan kodenya, dan dia akan bilang ada panel rahasia di tembok, dan akan perlu berhari-hari untuk menemukannya. Dan kupikir dia akan memintamu hadir saat melakukan penggeledahan.” “Tak perlu diminta,” kata Bland sebal. “Kurasa kau sangat misterius, May, tapi aku punya firasat kau benar.” Sebelum pergi, May mengajukan beberapa pertanyaan kepada penjaga gedung. “Tn. Schiller, mengerjakan semua dekorasinya sendiri—di ruang makan, bukan?” “Ya, nona,” kata si penjaga. “Dia biasa sibuk dengan botol 22
tajin atau kuas cat.” “Dan dia sudah membayar sewa di muka?” “Betul, nona.” “Dan dia bilang flatnya jangan diapa-apakan sampai dia kembali?” “Sama persis dengan perkataannya!” seru si pengurus. “Sudah kuduga,” kata May. ***** Jam sepuluh keesokan paginya, Bland menerima sebuah kartu. Di situ terukir: “Senor X. Bertramo Silva”, dan di satu pojoknya tertulis, “dari Valparaiso”. Bland pun memencet bel, tak lama kemudian Grigsby dan sang gadis masuk. “Dia sudah datang,” kata Bland singkat, menyerahkan kartu kepada May. Si tamu dipersilakan masuk. Dia pria mungil necis dengan janggut runcing, dan berbahasa Inggris fasih. Selain itu, setelah perkenalan, dia langsung terjun ke inti persoalan. “Aku akan blak-blakan dengan Anda, Tn. Bland,” dia memulai. Bland langsung melirik May, melihat gelak tawa di matanya. “Aku pernah menjadi agen Negara-negara Tengah selama beberapa waktu—aku katakan ini karena aku ingin kau mengerti posisiku,” sambungnya. “Aman di Amerika Selatan, kupikir takkan 23
ada yang meminta jasaku. Namun, beberapa pekan lalu aku dapat kabelgram yang diintersepsi oleh otoritas Inggris. “Tentu saja aku sudah tahu, dalam peristiwa tertentu aku harus datang ke Inggris untuk mencari dokumen tertentu, dan aku harus mempelajari
tempat
penyembunyiannya
melalui
telegram.
Telegram itu datang—dan di sinilah aku sekarang!” Dia merentangkan lengannya secara dramatis. “Aku langsung mendatangimu. Akan kukatakan terus-terang kenapa aku datang: kuputuskan, satu malam sebelum sampai di Plymouth, bahwa permainan ini tidak sebanding dengan biayanya. Aku akan membantumu semampuku untuk menemukan dokumen itu, kemudian aku akan pulang ke Amerika Selatan, jika kau izinkan.” Bland keheranan. Pria itu mengatakan hampir semua yang diprediksi May. Dia pun kembali melirik sang gadis, dan dibalas dengan anggukan. “Kau mengerti, penggeledahannya—” Bland memulai. “Akan diawasi kepolisian?” sela pria dari Valparaiso. “Aku lebih suka begitu.” “Kau bisa langsung memulai penggeledahannya?” tanya Bland. “Lebih cepat lebih baik,” jawabnya sungguh-sungguh. “Tunggu sebentar.” Kali ini May yang bicara. “Kau punya ingatan yang bagus, senor?” tanyanya. Selama sepecahan detik senyum pria itu memudar dari 24
matanya. “Ingatanku sangat bagus, madame,” katanya kasar. Mereka pun pergi bersama dalam taksi dan dipersilakan ke flat milik Schiller oleh perwira polisi yang berjaga. “Kau punya teori?” tanya Bland begitu mereka berdiri di ruang depan. “Ya,”
jawab
pria
Valparaiso.
“Kukira
dokumennya
disembunyikan di dalam ceruk di tembok di balik panel rahasia. Mungkin perlu seminggu untuk menemukan panelnya. Rumah ini sangat tua, dan mungkin Tn. Schiller memilihnya karena struktur bangunannya.” Lagi-lagi Bland berpikir cepat—keterus-terangan pria ini, kesediaannya untuk membantu, obrolan tentang panel rahasia, semuanya cocok dengan ramalan May yang menakjubkan. Dia melihat kegembiraan di mata May—gembira atas kebingungan Kepalanya. Lalu Bland berpaling pada si pria mungil. “Teruskan,” katanya. Senor Silva membungkuk. “Aku akan pilih tembok ini dulu,” katanya, “dan aku akan mencari bukti keberadaan panel. Jemariku mungkin lebih sensitif dari milik kalian.” Tangannya terulur ke arah dado, lalu— “Berhenti!” Mendengar suara peringatan tajam dari May, Senor Silva berbalik. 25
“Sebelum kau lanjutkan,” katanya, “aku ingin tanya apa kau menghargai hidupmu?” Pria Chile mengangkat bahu dan membentangkan kedua tangannya. “Tentu saja, madame.” May menoleh pada Bland. “Jika orang ini tahu Kode 2, apa yang akan terjadi padanya?” Bland berpaling dari May ke wajah orang asing tersebut. “Sudah pasti dia akan mati,” ujarnya singkat. May mengangguk. “Kau boleh lanjutkan jika kau mau, tapi kau memulainya terlalu ke kanan.” Raut Senor Silva memucat. “Ke kanan!” gagapnya. “Pesan untukmu berawal di pintu, Senor Viztelli,” kata May kalem. “Kodenya dimulai setelah kau sampai di jendela. Mau melanjutkan?” Dia menggeleng, kehabisan kata-kata. Bland memanggil anak buahnya, mereka pun memaksa si mungil dari Amerika Selatan untuk masuk taksi. “Sekarang jelaskan,” kata Bland. May berjalan ke tembok dekat pintu dan menyentuh dado. “Coba raba,” katanya. “Jemari Bland menyentuh kertas dinding dengan hati-hati. Dia merasakan beberapa tonjolan tajam, lalu menggeser tangannya ke kanan, dan merasakan tonjolan lain. Tersadarlah dia. 26
“Braille!” bisiknya. Sang gadis mengangguk. “Ayah Schiller seorang tunanetra,” katanya, “dan Schiller jelas mempelajari abjad yang dibaca tunanetra. Silva mendapat informasi bagaimana kodenya ditulis dan tahu kapan waktu yang tepat untuk mengambilalih karya Schiller.” Jemarinya menyusuri dado. “Ada tujuh baris tulisan, semua mengitari ruangan,” katanya. “Schiller merekatkan dado ini sendirian—satu persatu—sambil memotret Kode 2 secepatnya. Begini bunyi baris teratas: “Kepada Raymond Viztelli,” dia membacakan. “Teruslah berpura-pura membantu polisi; bersikaplah blak-blakan, seperti kuperintahkan. Katakan pada mereka ada panel rahasia, dengan begitu kau bisa datang sering-sering. Kode dimulai: ‘Abraham’ berarti ‘Senjata-senjata baru telah dipasang.’” Bland meraih tangannya dan menariknya pergi dengan lembut. “Jika kau ingin menjadi gadis baik dan makan bersamaku malam ini,” katanya setengah bergurau, “jangan teruskan penyelidikanmu lebih jauh.” Petang itu Bland melakukan pekerjaan amatir dengan baik: melucuti kertas.
27