”Kisah-kisah ikut mengembangkan industri LNG Indonesia, antara lain di Arun, Natuna, Bontang & Matindok” ditulis oleh Nanang Untung Masa Persiapan Orang tua saya, pada pengabdiannya sebagai guru di Tanjungkarang, mendapatkan keberkahan dan keberuntungan pada waktu saya lahir, sehingga saya menyandang nama ”untung”. Ternyata hal ini membawa dampak sangat besar dalam kehidupan saya. Keberuntungan demi keberuntungan membuat saya semakin mensyukuri doa yang telah diberikan orang tua dengan nama itu. Pola hidup saya pada dasarnya sangat mengalir mengikuti arus yang pastinya telah ditentukan olehNya. Saya tidak banyak mengalami kesulitan mulai dari SD ke SMP dan ke SMA yang semuanya di Semarang. Demikian juga pada waktu masuk ITB seperti sangat mudah atau ”dimudahkan” tanpa perlu perencanaan dan persiapan yang matang. Kesadaran mengenal suku-suku lain & berdangdut Pola hidup saya sampai dengan SMA di Semarang, lingkupnya masih sangat kental kedaerahannya. Baru setelah kuliah di ITB-lah, saya benar-benar sadar bahwa ada suku-suku lain selain Jawa yang bersama-sama membentuk suatu bangsa dan negara Indonesia. Kita sebagai mahasiswa selalu disebut-sebut sebagai putraputri terbaik bangsa dan dituntut untuk mempunyai idealisme agar bisa ikut membangun dan memperbaiki negara yang digambarkan sudah sangat memprihatinkan. Saya sangat bersyukur karena pesan dan kesan itu begitu mendalam dihujamkan terutama pada waktu mengikuti gerakan moral ditahun 1978. Pergaulan dengan teman-teman yang dengan latar belakang yang sangat berbeda sangat memperkaya, mendidik dan sekaligus merubah paradigma cara melihat dan mensikapi kehidupan. Kuliah di ITB yang cukup ”sersan” (serius tapi santai) membuat hobi musik saya bisa tersalurkan. Awalnya saya mengikuti Paduan Gitar dan selanjutnya ikut meramaikan grup musik ”Country” campur Dangdut-nya mahasiswa Teknik Kimia (TK) yang pada saat itu lagi sangat ”nge-trend”. Grup musik TK bahkan sempat pentas diberbagai event, termasuk bertandang sampai ke kampus IPB di Baranang Siang Bogor. Semua ini kami lakukan dalam rangka mendukung aktivitas gerakan moral pada tahun 1978. Waktunya beraktualisasi & memulai di PT Arun Entah bagaimana, walaupun nilainya pas-pasan, saya merasa agak terlalu cepat lulus dari jurusan Teknik Kimia ITB di tahun 1982. Karena itu, setelah lulus saya masih belum punya rencana yang pasti untuk mencari kerja. Pada waktu itu rasanya cukup mudah mencari kerja. Setelah 6 bulan melamar kesana-kemari, ada yang ditolak dan ada juga yang diterima. Salah satu upaya saya mencari kerja adalah mengikuti test di PT Arun, Lhokseumawe, Aceh. Saya merasa terhormat karena diterbangkan dari Jakarta ke Lhokseumawe. Itulah pengalaman pertama saya merasakan naik pesawat terbang dan melihat pabrik LNG PT Arun dari udara. Saya semakin merasa terhormat karena yang men-test saya rupanya beberapa orang asing
(”bule”) yang lebih mementingkan men-test logika dan cara berpikir. Saya mendapt kesan bahwa bahwa para penguji tersebut sangat profesional dan bersahabat untuk memberikan ilmunya. Karena kesan-kesan tersebut, akhirnya saya menjatuhkan pilihan untuk bekerja di PT Arun. Sehingga pada bulan Oktober 1982, mulailah saya berkarier sebagai seorang Process Engineer di pabrik LNG PT Arun. PT Arun mempunyai sistim kerja yang sangat mapan, efisien dan sangat dipengaruhi oleh perusahaan Mobil Oil. Proses pabrik LNG sebenarnya sangat sederhana, seperti sistim AC dirumah dimana gas alam-nya didinginkan dan menjadi cair pada suhu – 165 oC oleh pendingin (refrigerant) sehingga volumenya menjadi 600 kali lebih kecil. Dengan volume yang diperkecil ini, maka menjadi efisien untuk dikirimkan ke tempat yang membutuhkan gas alam dalam jarak yang jauh seperti ke Korea, Taiwan dan Jepang. Yang menjadi agak unik adalah karena volume gas yang diproses sangat besar dan menyangkut suhu yang sangat rendah sehingga perlu berbagai teknologi khusus. Teknologi spesifik tersebut antara lain teknologi jenis dan kekuatan material yang dipakai untuk suhu – 165 oC. Juga teknologi pengoperasian pabriknya terutama untuk pengoperasian mesin pendingin dan pencairannya. Satu pabrik LNG di PT Arun membutuhkan gas 5 s/d 6 kali kebutuhan pabrik pupuk, sedangkan satu pabrik di Bontang Kalimantan Timur bisa 8 s/d 9 kali. Saat ini kapasitas pabrik terakhir di Qatar bisa mencapai lebih dari 20 kali kebutuhan gas alam untuk pabrik pupuk. Kapasitas pabrik pencairan gas alam memang terus menerus meningkat. Orang bilang bahwa berkerja di bagian produksi sebuah pabrik, biasanya hanya menangani dua masalah yaitu kebuntuan (”mampet”) dan kebocoran. Tetapi kalau yang mengalami kebuntuan adalah salah satu kompresor pendingin di pabrik LNG yang besarnya bisa mencapai lebih dari 50 ribu kompresor AC dirumah, atau kalau bocornya adalah tangki minyak condensate LNG berukuran 80 ribu m3 maka persoalannya menjadi lain. Karena uap gas alam bisa menyebar dan bila terbakar akan mengakibatkan hancurnya seluruh fasilits pabrik serta membahayakan masyarakat di Lhokseumawe,. Success story PT Arun Pada tahun 1982, PT Arun sedang dalam ekspansi bertahap mulai dari 3 pabrik menjadi 5 pabrik dan akhirnya menjadi 6 pabrik pada tahun 1986. Ternyata ekpansi tidak berhenti disitu karena tahun 1988 berhasil menambah fasilitas pabrik baru untuk mengekstraksi LPG. Para pekerja pada waktu itu ditantang untuk berkreasi dan berinovasi mencari terobosan-terobosan untuk dapat menambah kapasitas dan produksi agar secepatnya kekayaan sumber daya alam dapat di-uang-kan. Produksi LNG sempat mencapai 137% dari kapasitas design dengan keandalan operasi 98% atau rata-rata waktu tidak beroperasi (”shutdown”) bisa ditekan dibawah 9 hari per tahun baik untuk maintenance maupun karena masalah operasi. PT Arun pada pertengahan sampai akhir tahun 1990an sempat menjadi produsen LNG terbesar dan teraman di dunia. Saya sempat membuat presentasi
di International LNG Conference 11 tahun 1995 di Birmingham menggambarkan ”success story” tersebut. Lingkungan kerja yang menantang, teladan profesionalisme dan integritas dari para senior, training yang maksimal baik didalam maupun diluar negeri membuat saya benar-benar menikmati pekerjaan saya sehingga 14 tahun tanpa terasa lewat begitu cepatnya. Pilihan jalur Spesialisasi vs. Manajerial Setelah mencapai jabatan senior engineer, pada tahun 1993 saya dipanggil untuk memilih dicalonkan menjadi ahli spesialis LNG atau menempuh jalur managerial. Melihat kebutuhan akan spesialis LNG masih jarang di Indonesia sedangkan Indonesia merupakan produsen LNG terbesar didunia, maka saya memutuskan untuk memilih jalur spesialis dan diberangkatkan untuk menimba ilmu ke pusat penelitian Mobil Oil di Princeton dan Dallas selama 18 bulan. Selama tugas belajar tersebut saya benar-benar bisa melihat dan belajar bagaimana para doktor-doktor muda di Amerika serikat mengembangkan model proses simulasi untuk mengoptimisasikan produksi LNG dan bagaimana mereka menangani tahap awal proyek Qatar LNG yang sekarang menjadi produsen LNG terbesar di dunia. Sekembalinya dari tugas belajar, saya diberi kepercayaan untuk menanggani proyek NSO (North Sumatra Offshore) bekerja sama dengan team Mobil Oil, baik di Jakarta maupun di Houston sehingga proyek yang tadinya sangat marginal bisa menjadi ekonomis dengan memanfaatkan ekstra kapasitas dan fasilitas yang ada. Bagi saya, proyek NSO sendiri merupakan proyek yang cukup unik karena mulai mengenal sisi lain dari rantai bisnis yaitu sisi produksi gas dari lapangan yang letaknya 100 km di lepas pantai. Selain itu menangani gas yang berkadar H2S (1.3%) yang sangat berbahaya dengan CO2 (35%) yang sangat tinggi. Kandungan-kandungan ini belum pernah dilakukan di Indonesia dan sangat berbeda dibandingkan dengan gas lapangan Arun yang berada di darat sejauh 35 km dari pabrik LNG. Alhamdulilah pabrik pengolahan gas NSO berhasil dilanjutkan dan mulai tahun 2000-an menjadi sumber alternatif utama untuk menolong kekurangan pasokan gas di PT Arun. Panggilan Untuk Mengabdi – bergabung dengan Pertamina mengembangkan proyek Natuna Selama menangani proyek NSO saya terekspose dengan dunia Pertamina berserta sistim Production Sharing Contract-nya dan tersadar bahwa Pertamina sebagai pengelola asset strategis negara perlu penanganan baik yang membuat saya merasa ingin untuk menyumbangkan tenaga dan pikiran saya. Kesempatan itu muncul pada waktu Pertamina membutuhkan tenaga spesialis LNG untuk proyek Natuna D Alpha yang cadangan gasnya 3 kali cadangan Arun. Tahun 1996 saya resmi bergabung dengan Pertamina dan segera kembali ke Houston untuk bergabung dengan Tim Exxon Natuna. Budaya kerja Exxon hampir mirip dengan Mobil akan tetapi agak sedikit kaku dan arogan, mungkin karena perusahaannya jauh lebih besar. Tahun 1998 harga minyak jatuh dibawah US$ 10/bbls sehingga proyek Natuna menjadi tidak ekonomis untuk dikembangkan karena biaya untuk memproses 1,000 mmscfd gas yang kadar CO2 sangat tinggi (75%) sangat mahal yaitu sekitar $ 5 milyard. Biaya yang dihabiskan untuk persiapan proyek Natuna baik pengeboran maupun engineering sudah diatas $ 300 juta dan biaya ini bisa
hilang. Resiko bisnis usaha minyak dan gas memang sangat besar sehingga hanya perusahaan yang sangat kuat keuangannya yang bisa melakukan bisnis ini. Ikut mengoperasikan pabrik LNG Train H di Bontang Sekembalinya ke Indonesia, tahun 1988 saya segera bergabung dengan tim proyek Pertamina LNG Train H Bontang dibantu beberapa tenaga asing dari Total Indonesie, Unocal (sekarang ChevronTexaco) dan Vico (sekarang BP). Pekerjaan engineering sudah separuh jalan, dan belum sampai setahun tinggal di Jakarta saya memboyong keluarga ke Bontang karena pabrik hampir selesai konstruksi dan mulai memasuki persiapan untuk memasuki tahap pengoperasian awal pabrik (start up). Pabrik dapat diselesaikan lebih cepat 37 hari dari target dan merupakan rekord tercepat diantara kontruksi pabrik sebelumnya. Akhirnya pabrik LNG Train H diserah terimakan ke PT Badak untuk dioperasikan pada Januari 2000. Pengalaman yang menegangkan dalam masa start up adalah terlemparnya steam valve 20” tekanan 63 kg/cm2 sejauh 100 m karena adanya air yang terjebak dan meledak sehingga menyebabkan berhentinya operasi hampir seluruh pabrik selama 5 hari. Alhamdulilah peristiwa itu tidak sampai mengakibatkan korban jiwa. Karena dirasa bahwa cadangan gas di Kalimantan Timur masih berlimpah, maka pada tahun itu juga dilaksanakan engineering untuk membangun LNG Train I di Bontang. Saya segera terlibat dari mulai persiapan engineering sampai dengan selesai pelelangan untuk memilih kontraktor EPC-nya. Dalam proses pelelangan tersebut saya merasa sangat puas karena berhasil ikut membantu agar Lokal Kontraktor bisa berdiri sama tinggi dengan EPC Kontraktor International. Tetapi walaupun EPC kontraktornya sudah terpilih, akhirnya Train I tidak jadi dibangun karena kondisi pasar dan bisnis tidak bisa mendukung. Hal ini merupakan ”blessing in disguise” menilik Kalimantan Timur sekarang mengalami kesulitan untuk memenuhi komitment suplai gas. Mulai belajar berbisnis LNG Sejak tahun 2001, secara paralel dengan penugasan LNG Train I saya juga ditugaskan untuk ikut mengembangkan gas Matindok di Sulawesi Tengah. Tugas kali ini sangat menarik karena walaupun masih dalam konteks LNG akan tetapi saya lebih berkecimpung sebagai produsen gas bukan pengolah gas dan lebih menekankan dari sisi bisnisnya. Situasi berkembang menjadi semakin menantang karena gas yang diperkirakan hampir dari 2 kali cadangan Arun ternyata setelah dilakukan pengeboran hanya dikonfirmasi sekitar seper-sepuluhnya Arun. Dengan lokasi lapangan gas yang sangat terpencil dan tidak ada pengguna gas maka jumlah gas yang sangat kecil perlu dikirim keluar sehingga semakin sulit mengembangkan lapangan gas tersebut. Untungnya harga gas semakin lama semakin mahal sehingga keekonomiannya bisa semakin membaik. Saya sempat mencoba untuk memasarkan ke China dengan teknologi Mini LNG dan memikirkan pengangkutannya dengan teknologi ”cryogenic containers” skala kecil. Sungguh menarik sistim bisnis di China karena benar-benar berbeda dengan sistim bisnis yang dipelajari di Jepang ataupun di Barat. Pada waktu itu tim saya berkeyakinan bahwa China pasti melakukan sesuatu yang benar sehingga negaranya bisa maju dengan sangat pesat dan mandiri.
Mulai tahun 2006 ada perubahan strategi Pertamina dalam pengembangan gas Sulawesi. Alhamdulilah saya masih bisa menikmati proses tersebut sambil terus mencari pengalamanpengalaman baru dan berusaha agar tugas yang diberikan perusahaan bisa dilaksanakan sebaik mungkin. Tentang keluargaku Saya merasa peran keluarga sangat penting dan membuat kehidupan kami menjadi lebih lengkap. Saya sangat beruntung dan sangat berterimakasih kepada istri saya (Esniar) yang rela berkorban untuk berhenti bekerja dari PT Arun dan menemani suami kemanapun saya bertugas, baik di Indonesia maupun di perantauan Amerika serikat. Disetiap penugasan, saya selalu pindah bersama keluarga termasuk membawa kedua anak laki-laki saya (Yoni dan Yanda). Salah satu kebahagian kami adalah kelahiran anak perempuan kami satu-satunya yaitu Nena yang lahir di Dallas, USA. Sewaktu Nena lahir, ia sempat ditunggui oleh Eyangnya yang datang jauh-jauh dari Indonesia. Mungkin inilah hadiah dan anugerah Allah untuk istri saya atas dedikasinya untuk keluarga dan kesetiaannya menunggui suami. Selain menimba ilmu dan pengalaman dalam pengembangan proyek di Amerika serikat, saya sangat bersyukur pada tahun 1997 bisa menunaikan ibadah haji dari Houston bersama istri. Untung ada mahasiswa IKIP Bandung yang sedang belajar di Houston dan bersedia menunggui anak saya yang masih kecil-kecil selama kami melaksanakan ibadah haji. Kilas balik kehidupan Melihat kembali kehidupan saya selama dua puluh tahun lebih menggeluti bisnis LNG, disatu sisi saya merasa cukup puas telah ikut memberikan sumbangsih mengembangkan Industri LNG di Indonesia. Namun disisi lain saya merasa bahwa masih sangat banyak yang perlu dikerjakan oleh para insinyur Indonesia, khususnya dalam penguasaan teknologi LNG. Saya berpendapat bahwa Insinyur Indonesia harus memiliki teknologi pengolahan yang bahan alamnya banyak tersedia di negeri ini, seperti LNG. Sekarang ini saya sering menambah wawasan dengan kumpul bersama para alumni ITB 77 yang sedang giat-giatnya berusaha mengembangkan energi alternatif dan bercita-cita untuk memberikan sumbangsih kepada bangsa. Saya sangat menyadari bahwa suatu saat kandungan gas alam akan habis & kita perlu mencari solusi lain untuk mengatasi kebutuhan enersi. Penguasaan teknologi lisensi untuk memproduksi energi alternatif yang dikembangkan oleh para alumni ITB-77 sangat menarik dan menantang. Mudah-mudahan pengalaman saya merancang dan membangun industri LNG dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangsih pemikiran. Semoga cita cita mulia alumni ITB 77 tersebut dapat segera terwujud. Amin. Tentang penulis (redaksi) Nanang Untung adalah alumni jurusan Teknik Kimia ITB. Saat menuliskan tulisan ini, ia menjabat sebagai pimpinan di PT Pertamina (persero) untuk pengembangan proyek LNG Donggi Senoro di Matindok, Sulawesi. Nanang juga sangat serius mengembangkan industri Biodiesel bersama rekanrekan alumni ITB-77 lainnya.