ISSN 2088 – 026X
Jurnal
Kimia dan Kemasan Journal of Chemical and Packaging Vol. 33 No. 1 April 2011
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN IKLIM DAN MUTU INDUSTRI
BALAI BESAR KIMIA DAN KEMASAN J. Kimia Kemasan
Vol. 33
No. 1
Hal. 83 - 130
Jakarta April 2011
ISSN 2088 – 026X
Terakreditasi B No : 325/Akred-LIPI/P2MBI/04/2011
ISSN 2088 – 026X Vol. 33 No.1 April 2011
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN (JOURNAL OF CHEMICAL AND PACKAGING) Terakreditasi dengan Predikat B Nomor : 325/Akred-LIPI/P2MBI/04/2011 Jurnal Kimia dan Kemasan (JKK) memuat hasil penelitian kimia dan kemasan yang belum pernah dipublikasikan. Jurnal Kimia dan Kemasan terbit dua nomor dalam setahun
Penanggungjawab Officially incharge Ketua Chairman Wakil Vice Chairman
Kepala Balai Besar Kimia dan Kemasan Head of Center for Chemical and Packaging Kepala Bidang Sarana Riset dan Standardisasi Head Field for Research Facilities and Standardization
Dewan Redaksi Editorial board
DR. Rahyani Ermawati (Biokimia/Biochemistry) Ir. Emmy Ratnawati (Kimia lingkungan/Environmental chemistry) Ir. Hendartini, MSc (Kemasan/Packaging) Retno Yunilawati, SSi, MSi (Kimia/Chemistry) Arie Listyarini, SSi, MSi (Polimer/Polymer)
Mitra Bestari Peer Reviewer
Prof. DR. Slamet, MT (Kimia/Chemistry) Drs. Sudirman, MSc, APU (Kimia/Chemistry) DR. Etik Mardliyati (Biokimia/Biochemistry) DR. Rike Yudianti (Polimer/Polymer) DR. Sunit Hendrana (Polimer/Polymer)
Redaksi Pelaksana Managing editor
Silvie Ardhanie Aviandharie, ST, MT Chicha Nuraeni, ST Agustina Arianita Cahyaningtyas, ST
Alamat (Address) Balai Besar Kimia dan Kemasan Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No. 1, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur Telepon : (021) 8717438, Fax : (021) 8714928, Email :
[email protected],
[email protected] Website: www.bbkk-litbang.go.id
Isi Jurnal Kimia dan Kemasan dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)
Pengantar Redaksi Jurnal Kimia dan Kemasan Vol. 33, No. 1, bulan April 2011 merupakan terbitan pertama di tahun 2011. Delapan artikel kami sajikan dari berbagai bidang disiplin ilmu. Artikel pertama, “Penggunaan Emulsifier Stearil Alkohol Etoksilat Derivat Minyak Kelapa Sawit pada Produk Lotion Dan Cream”. Sintesis surfaktan stearil alkohol etoksilat dari bahan baku stearil alkohol derivat minyak kelapa sawit yang telah dibuat memiliki spesifikasi yang dapat digunakan sebagai emulsifier untuk produk kosmetik lotion dan cream. Viskositas lotion dan stabilitas emulsi lotion semakin menurun dengan semakin besarnya konsentrasi stearil alkohol etoksilat. Sedangkan pada cream, stabilitas emulsinya semakin naik dengan semakin besarnya konsentrasi stearil alkohol etoksilat. Hasil analisa cemaran mikroba pada lotion sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam Keputusan Dirjen POM. Artikel kedua, dengan judul “Pelapisan Hidroksiapatit pada Logam KS-01 dengan Metode Sol–Gel”. Pelapisan Hidroksiapatit (HAp) pada logam baja KS – 01 buatan PT. Krakatau Steel dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan korosi, hal ini disebabkan baja KS – 01, adalah logam yang rentan terhadap korosi. Pelapisan FeN dipermukaan sampel dapat menaikkan ketahanan korosi, sehingga sampel dapat dilapisi dengan HAp. Artikel ketiga, dengan judul “Sintesis Nanopartikel Magnetit dengan Metode Dekomposisi Termal”. Dalam sintesis nanopartikel oksida logam Fe3O4 kondisi yang tepat untuk memperoleh nanopartikel yang nondisperse dan tidak teraglomerasi sangatlah penting. Hasil karakterisasi penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa proses dekomposisi termal dari Fe (III) acetylacetonate hingga o 280 C menghasilkan Fe3O4 dengan distribusi ukuran partikel nano yang beragam. Diameter partikel Fe3O4 yang terbentuk berukuran 50,0 nm hingga 53,9 nm. Artikel keempat, “Karakterisasi Partikel Kapur Alam Akibat Variasi Waktu Milling (High Energy Milling) dengan X-Ray Diffraction”. Di dalam penelitian ini dilakukan karakterisasi partikel kapur alam akibat variasi waktu milling dengan X-Ray Difractometer (XRD) pada variasi waktu penggilingan 3 jam; 6 jam; 9 jam; 12 jam; 15 jam dan 18 jam. Dari penelitian didapatkan bahwa kapur alam terdiri dari Ca(OH)2 dan CaCO3, ukuran partikel Ca(OH)2 mengecil sebesar 57,9% dengan waktu milling 18 jam. Sedangkan ukuran CaCO3 mengecil sebesar 93,3% dengan waktu milling 3 jam. Artikel kelima, “Pengaruh Waktu Reaksi dan Suhu pada Proses Ozonasi terhadap Penurunan Warna, COD dan BOD Air Limbah Industri Tekstil”. Pengurangan TSS, BOD, COD dan warna pada limbah tekstil telah dilakukan dengan menggunakan ozonasi. Dengan ozonasi terjadi penurunan COD sebesar 73,1%, BOD sebesar 73,1% dan penurunan warna sebesar 94,1% dengan penambahan O2 yang dialirkan sebesar 3 L/menit selama 60 menit. Artikel keenam berjudul “Biosorpsi Logam Berat Cr (VI) dari Limbah Industri Pelapisan Logam dengan Menggunakan Biomassa Saccharomyces cerevisiae Hasil Samping Fermentasi Bir”. Dalam penelitian ini metode biosorpsi diteliti untuk menyisihkan logam berat Cr tersebut dari limbah industri pelapisan logam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat penyisihan Cr sekitar 76% dapat dicapai pada kondisi waktu kontak 3 jam. Artikel ketujuh “Jenis-Jenis Bahan Berubah Fasa dan Aplikasinya”. Bahan berubah fasa berdasarkan titik leleh dan panas peleburan latennya diklasifikasikan menjadi bahan organik dan anorganik. Bahan berubah fasa ini dapat diaplikasikan untuk bangunan, perlindungan dan transportasi produk yang peka terhadap suhu, ice storage, green house, dan cold storage. Artikel terakhir berjudul, “Proses Esterifikasi-Transesterifikasi dan Karakterisasi Mutu Biodiesel asal o Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn)”. Esterifikasi dan transesterifikasi dilakukan pada suhu 60 C menggunakan metanol 98% dan katalis NaOH 0,5% dengan konversi trigliserida menjadi metil ester (biodiesel) mencapai 96%. Karakterisasi mutu biodiesel yang dihasilkan sesuai dengan SNI 04-7182-2006 kecuali viskositas dan angka setana yang belum memenuhi standar. Akhir kata semoga artikel-artikel di atas dapat bermanfaat dan menambah wawasan pembaca. Kritik tertulis yang konstruktif akan redaksi terima dengan senang hati.
DEWAN REDAKSI
PENGGUNAAN EMULSIFIER STEARIL ALKOHOL ETOKSILAT DERIVAT MINYAK KELAPA SAWIT PADA PRODUK LOSION DAN KRIM (APPLICATION OF ETOXHYLATED STEARYL ALCOHOL EMULSIFIER OF CRUDE PALM OIL DERIVATE FOR LOTION AND CREAM PRODUCTS) Retno Yunilawati, Yemirta dan Yesy Komalasari Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No.1 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Received 14 Maret 2011; accepted 11 April 2011
ABSTRAK Sintesis surfaktan stearil alkohol etoksilat dari bahan baku stearil alkohol derivat minyak kelapa sawit telah dilakukan dan produk yang dihasilkan memiliki spesifikasi yang dapat digunakan sebagai emulsifier untuk produk kosmetik losion dan krim. Pada penggunaan beberapa variasi konsentrasi stearil alkohol etoksilat (0,5%, 1%, 1,5%, 2% dan 2,5%) dalam losion dan krim. Losion dengan konsentrasi stearil alkohol etoksilat 0,5% hingga 1,5% menunjukkan emulsi yang baik, dan pada konsentrasi di atas1,5% terjadi emulsi terpisah, sedangkan pada krim, hingga konsentrasi stearil alkohol etoksilat 2,5%, masih tetap menghasilkan emulsi yang baik. Variasi konsentrasi stearil alkohol etoksilat tidak mempengaruhi pH losion dan krim. Viskositas losion semakin menurun dengan semakin besarnya konsentrasi stearil alkohol etoksilat. Stabilitas emulsi losion juga menurun dengan semakin besarnya konsentrasi stearil alkohol etoksilat, sebaliknya pada krim, stabilitas emulsinya semakin naik dengan semakin besarnya konsentrasi stearil alkohol etoksilat. Analisa cemaran mikroba pada losion yang meliputi angka lempeng total, Staphylococcus aureus, Psudomonas aeruginosa dan Candida albicans, menunjukkan hasil yang sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam Keputusan Dirjen POM No.HK.00.06.4.02894 tentang persyaratan cemaran mikroba pada kosmetika. Kata kunci : Stearil alkohol etoksilat, Emulsifier, Losion, Krim
ABSTRACT Synthesis of ethoxylated stearyl alcohol surfactant from stearyl alcohol of crude palm oil derivate has been done and the product has specification which can be used as emulsifier in cosmetic products, such as lotion and cream. The treatment used a different concentration of ethoxylated stearyl alcohol (0.5%, 1%, 1.5%, 2% dan 2.5%) in lotion and cream. Lotion at concentration of ethoxylated stearyl alcohol 0,5% until 1,5% showed good emulsion and at concentration over 1.5%, the emulsion was separated, while the cream, at concentration of ethoxylated stearyl alcohol until 2.5% was still remain good emulsion. Variation of ethoxylated stearyl alcohol concentration does not influence pH of lotion and cream. Lotion viscocity decreased with increasing of ethoxylated stearyl alcohol concentration. Emulsion stability of lotion decreased with increasing of ethoxylated stearyl alcohol concentration. Emulsion stability of cream increased with increasing of ethoxylated stearyl alcohol concentration. Analysis of microbe contaminat in lotion and cream which include total plate count, Staphylococcus aureus, Psudomonas aeruginosa and Candida albicans showed the result which match with standard requirement from Dirjen POM No.HK.00.06.4.0289 about the requirement of microbe contaminant in cosmetics. Key words : Ethoxylated stearyl alcohol, Emulsifier, Lotion, Cream
Penggunaan Emulsifier Stearil Alkohol…………………...Retno Yunilawati dkk
83
PENDAHULUAN Pengemulsi (emulsifier) adalah bahan yang mempunyai karakteristik khusus yang mampu menyatukan minyak dan air sekaligus, karena pada hampir seluruh produk yang terdiri dari minyak dan air akan cenderung memisah. Emulsifier merupakan surfaktan yang mampu menurunkan tegangan antar muka dua fasa, molekul hidrofilik dan hidrofobik. Produk yang menggunakan campuran air dan minyak selalu menggunakan emulsifier dalam formulasinya, seperti margarin, mayonaise, obat-obatan dan kosmetik. Dalam industri kosmetik, hampir seluruh produknya yang memiliki manfaat untuk melembabkan kulit menggunakan emulsifier. Kosmetika merupakan campuran dari beberapa bahan yang telah diformulasikan sedemikian rupa dan berfungsi untuk merawat tubuh sesuai dengan tujuan penggunaan kosmetika tersebut. Produk kosmetika yang banyak berkembang saat ini adalah produk untuk perawatan kulit, seperti losion kulit dan krim kulit. Losion merupakan salah satu bentuk emulsi, didefinisikan sebagai campuran dari dua fasa (fasa minyak dan fasa air) yang tidak dapat bercampur, yang distabilkan dengan sistem emulsi dan jika ditempatkan pada suhu ruang, berbentuk cairan yang dapat dituang (Schmitt 1996). Sedangkan krim, hampir sama dengan losion, namun berbentuk lebih padat dibandingkan losion dan mengandung fasa minyak yang lebih banyak dibandingkan losion. Losion maupun krim merupakan suatu sistem emulsi, maka dalam proses pembuatannya digunakan emulsifier. Sekitar 2% dari bahan penyusun losion dan krim merupakan emulsifier (Balsam et al. 1972). Emulsifier yang sering digunakan dalam pembuatan losion dan krim antara lain ester sulfat, N (stearyl colamino formylmethyl) pyridium chloride, alkyl dimethyl benzyl ammonium chloride, cetyl pyridinium chloride, trietanolamin, cocamido-propyl betaine, polyoxyethylene fatty alcohol ethers, sorbitan fatty acid esters, potassium stearat, dan amonium stearat (Balsam et al. 1972). Emulsifier yang digunakan dalam kosmetika saat ini masih banyak yang berasal dari minyak bumi, yang terkadang dapat menimbulkan alergi bagi penggunanya. Selain itu, emulsifier yang berasal dari minyak bumi suatu saat bisa habis persediaannya karena petrokimia merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan. Oleh karena itu, saat ini sedang banyak dikembangkan emulsifier yang berasal dari minyak nabati, seperti minyak
kelapa sawit, minyak kelapa, minyak kedelai, minyak zaitun, minyak jagung, dan minyak kacang. Produksi minyak kelapa sawit yang melimpah di Indonesia memungkinkan untuk dikembangkannya produk derivat kelapa sawit sebagai emulsifier dalam kosmetik. Beberapa keuntungan penggunaan emulsifier dari kelapa sawit adalah bersifat alami dan merupakan sumber daya alam yang dapat diperbarui, dapat dijamin kehalalannya, memiliki karakteristik biodegradable yang tinggi, dan memiliki fungsi sebagai pelembab yang baik (Anonim 2010). Salah satu emulsifier yang dapat dibuat dari derivat minyak kelapa sawit adalah stearil alkohol etoksilat yang dapat dibuat dari reaksi etoksilasi alkohol. Pembuatan stearil alkohol etoksilat sebagai emulsifier telah dilakukan oleh Yunilawati dkk (2010) dan secara umum memenuhi spesifikasi untuk digunakan sebagai emulsifier pada kosmetik. Hal ini merupakan suatu peluang untuk menerapkan penggunaan stearil alkohol etoksilat tersebut sebagai emulsifier pada kosmetik, khususnya untuk losion dan krim. Penggunaan stearil alkohol etoksilat sebagai surfaktan emulsifier memiliki keunggulan dibanding produk kelapa sawit lainnya, yaitu bersifat excellent karena tahan terhadap pH lingkungannya dan sekaligus dapat bersifat sebagai emollient (pelembut) (O’Lenick 1990). Selain dari kelapa sawit, alkohol etoksilat ada juga yang disintesis dari minyak bumi. Alkohol etoksilat dapat dijumpai di pasaran dengan beberapa merk dagang, diantaranya ecolat (produk PT. Ecogreen Oleochemicals), ceteareth, emulgen (produk PT. KAO) dan chromophor. Penggunaan ceteareth sebagai emulsifier pernah dilakukan dalam pembuatan hand body losion dari virgin coconut oil (Afifah & Solichah 2009) dan menunjukkan stabilitas yang baik pada masa penyimpanan hingga dua bulan. Pada penelitian ini, akan dilakukan formulasi stearil alkohol etoksilat sebagai emulsifier dalam losion dan krim. Formula losion dan krim yang dipilih merupakan losion dan krim untuk kulit dengan formula dasar seperti yang telah dilakukan oleh Balsam et al. (1972) dan dimodifikasi oleh Rahayu dkk (2008). Konsentrasi alkohol etoksilat yang digunakan bervariasi, antara 0,5% hingga 2%. Losion dan krim yang telah dibuat dianalisa untuk mengetahui derajat keasamannya (pH),
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 83-89
84
viskositas, stabilitas emulsi dan total mikroba (Hambali 2000; Haryono dkk 2005).
yang terdapat pada suatu losion dan krim sekitar 2% (Balsam et.al.,1972).
BAHAN DAN METODE
Analisa Losion dan Krim Analisa yang dilakukan meliputi pengukuran derajat keasaman (pH), viskositas, stabilitas emulsi, dan total mikroba. Sebagai pembanding dalam analisa produk losion dan krim ini, dilakukan pula analisa losion dan krim komersial.
Bahan Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain stearil alkohol (derivat kelapa sawit), stearil alkohol etoksilat (hasil sintesis di BBKK tahun 2009), asam stearat (derivat kelapa sawit), H2SO4, propilen glikol, gliserin, minyak zaitun, lanolin, pewangi, dan beberapa losion dan krim komersil yang beredar di pasaran. Alat yang digunakan meliputi reaktor bertekanan (Reaktor Parr 4533), pemanas listrik (hot plate), pengaduk magnet (magnetik stirer), gelas piala kapasitas 2 L, cawan petri, termometer, botol kaca penyimpan sampel kapasitas 500 mL, mixer, kertas pH indikator, pH meter, oven, viskometer, dan alat penghitung koloni (Coloni Counter). Metode Pembuatan Losion dan Krim Komposisi bahan yang digunakan dalam pembuatan losion dan krim sesuai dengan proses pembuatan losion dan krim berdasarkan Balsam et al. (1972) yang telah dimodifikasi oleh Rahayu dkk (2008) seperti pada Tabel 1. Prinsip pembuatan losion dan krim adalah memanaskan fasa air dan fasa minyak di tempat yang berbeda, kemudian dicampurkan (Balsam et al. 1972; Anonim 2010). Fasa air yang berupa gliserol, air, dan stearil alkohol etoksilat 0 dipanaskan dalam wadah gelas pada suhu 75 C sampai semua terlarut sempurna. Di tempat yang terpisah, dipanaskan pula fasa minyak (asam stearat, stearil alkohol, minyak zaitun, propilen glikol, dan lanolin) dalam wadah gelas 0 pada suhu 75 C hingga bercampur sempurna. Setelah itu, fasa minyak ditambahkan ke dalam fasa air kemudian diaduk dengan kecepatan tinggi (3000 rpm) selama beberapa menit. Kecepatan pengadukan diturunkan menjadi 800 rpm dan suhu diturunkan hingga 400C, kemudian ditambahkan pewangi, dan didinginkan. Losion dan krim yang sudah dibuat dimasukkan ke dalam wadah yang tertutup rapat. Variabel yang divariasikan dalam pembuatan losion ini adalah konsentrasi emulsifier (stearil alkohol etoksilat), yaitu 0,5%, 1%, 1,5%, 2%, dan 2,5%. Kisaran konsentrasi ini ditentukan berdasarkan studi pustaka bahwa emulsifier
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Losion dan Krim Pembuatan losion dan krim dilakukan beberapa kali dengan merubah formula komposisi bahan penyusunnya hingga didapatkan losion dan krim dengan emulsi yang stabil yang ditunjukkan oleh tidak adanya pemisahan fasa pada losion dan krim. Berdasarkan hasil seleksi beberapa formula, dihasilkan formula terbaik seperti pada Tabel 2. Pada Tabel 2 tampak bahwa komposisi bahan penyusun losion dan krim berbeda, dimana fasa air lebih banyak terdapat pada formula losion, dan krim mengandung fasa minyak yang lebih banyak dibanding losion. Tabel 1. Komposisi bahan penyusun losion dan krim Jenis Bahan
Jumlah (%) Losion
Krim
Asam stearat
13-15
15-20
Minyak zaitun
2-5
2-5
Lanolin
1-2
1-2
0,5-2,5
0,5-2,5
Stearil alkohol etoksilat Gliserol
5-10
15-20
Pewangi
secukupnya
secukupnya
70-78
42-57
Air
Tabel 2. Formula losion dan krim hasil seleksi Jenis Bahan
Jumlah (%) Losion
Krim
Asam stearat
20
10
Minyak zaitun
3
2
Lanolin
1
1
0,5-2,5
0,5-2,5
2
-
Alkohol etoksilat Propilen glikol Gliserol
5
3
Pewangi
secukupnya
secukupnya
Air
68.5-66.5 %
82.5-80.5 %
Penggunaan Emulsifier Stearil Alkohol…………………...Retno Yunilawati dkk
85
Konsentrasi stearil alkohol etoksilat yang berbeda pada losion dan krim, memberikan bentuk emulsi yang berbeda juga, seperti ditunjukkan pada Gambar 1 yang memperlihatkan bentuk fisik losion dan krim pada beberapa variasi konsentrasi stearil alkohol etoksilat. Pada Gambar 1, tampak bahwa losion dengan konsentrasi stearil alkohol etoksilat 0,5% hingga 1,5% merupakan emulsi yang baik karena tidak terjadi pemisahan fasa. Sedangkan losion dengan konsentrasi stearil alkohol etoksilat 2% dan 2,5% secara fisik emulsinya terlihat tidak bagus, dimana emulsi terpecah, dan terjadi pemisahan antara fasa air dan fasa minyak. Krim dengan variasi konsentrasi stearil alkohol etoksilat 0,5% hingga 2,5% secara fisik menunjukkan emulsi yang bagus, tidak terjadi pemisahan fasa. Hasil Analisa Losion Dan Krim Derajat keasaman (pH) Nilai pH merupakan nilai yang menunjukk an de raj a t k ea sam a n su a t u ba han . p H merupakan parameter yang penting pada produk kosmetika. pH produk kosmetik sebaiknya men dekati pH kulit, yaitu 5,5 (Iswari & Latifah 2007). Produk kosmetika yang memiliki pH yang jauh
dengan pH fisiologis kulit (pH 4,5 hingga pH 5,5) akan lebih mudah mengiritasi kulit. Kulit dilapisi oleh mantel asam yaitu lapisan lembab yang bersifat asam di permukaan kulit. Mantel asam ini terbentuk dari asam lemak yang berasal dari minyak kulit, asam susu dalam keringat serta asam amino. Mantel asam ini berfungsi melindungi kulit dari kekeringan, infeksi bakteri dan jamur. Mantel asam akan rusak bila sering terkena bahan atau kosmetika yang mempunyai pH jauh berbeda dengan pH fisiologis kulit (Sudarwanto 1996 dalam Haryono dkk 2005; Iswari & Latifah 2007). Hasil pengukuran pH losion dan krim dengan berbagai variasi konsentrasi stearil alkohol etoksilat dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. Pada pengukuran pH losion dan krim, didapatkan hasil bahwa konsentrasi stearil alkohol etoksilat yang berbeda-beda tidak mempengaruhi pH losion dan krim yang dibuat, yaitu masih berada dalam pH sekitar 7. Bila dilihat dari pH bahan baku penyusun losion dan
Losion
Gambar 2. Grafik pH losion pada beberapa konsentrasi stearil alkohol etoksilat
Krim
Gambar 1. Losion dan krim dengan variasi konsentrasi stearil alkohol etoksilat
Gambar 3. Grafik pH krim pada beberapa konsentrasi stearil alkohol etoksilat
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 83-89
86
krim, termasuk stearil alkohol etoksilat hasil sintesis, semuanya merupakan bahan-bahan dengan pH mendekati pH netral sehingga dapat dihasilkan losion dan krim dengan pH sekitar 7. Nilai pH ini masih dalam kisaran pH yang dipersyaratkan oleh adalah SNI 16-4952-1998 Losion Bayi (pH 4,0 hingga pH 7,5), dan SNI 164399-1996 Sediaan Tabir Surya (pH 4,5 hingga pH 8,0). Sebagai perbandingan, dilakukan pula pengukuran pH losion dan krim komersil dengan beberapa merk di pasaran, yang hasilnya tampak seperti pada Tabel 3. Losion dan krim yang komersil yang beredar di pasaran masih ada yang memiliki pH di luar standar yang dipersyaratkan. Viskositas Analisa viskositas hanya dilakukan terhadap produk losion. Viskositas merupakan salah satu parameter penting dalam proukproduk emulsi, khususnya losion. Nilai viskositas berkaitan dengan kestabilan emulsi suatu bahan, yang artinya berkaitan dengan stabilitas emulsi. Menurut Schmitt (1996), semakin tinggi viskositas suatu bahan, maka bahan tersebut akan semakin stabil karena pergerakan partikel cenderung sulit dengan semakin kentalnya suatu bahan. Hasil pengukuran viskositas losion menunjukkan bahwa viskositas losion berada pada kisaran 7.500 centri Poise (cP) sampai dengan 10.750 cP (Gambar 4). Nilai viskositas ini dipengaruhi oleh konsentrasi stearil alkohol etoksilat, dimana semakin besar konsentrasi stearil alkohol etoksilat, viskositas losion semakin rendah, yang berarti losion semakin encer sehingga semakin tidak stabil seperti yang dikakatan oleh Schmitt (1996). Pengukuran viskositas juga dilakukan terhadap losion komersil untuk membandingkan viskositas losion komersil dengan losion yang tel ah dibu at. Pada produk komersil, nil ai viskositas diperoleh berkisar 10700 cP hingga 15500 cP. Viskositas losion yang telah dibuat dengan konsentrasi stearil alkohol etoksilat 0,5% (10750 cP) masuk dalam kisaran viskositas losion komersil. Stabilitas emulsi Stabilitas emulsi menunjukkan kestabilan suatu bahan dimana emulsi yang terdapat dalam bahan tidak mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lain dan membentuk lapisan yang terpisah. Emulsi yang baik memiliki sifat tidak berubah menjadi lapisan-lapisan,
Tabel 3. Hasil analisa pH beberapa losion dan krim komersil Merk
pH
Losion A
7,14
Losion B
7,69
Losion C
7,61
Krim A
8,69
Krim B
6,53
Krim C
7,53
Gambar 4. Grafik nilai viskositas losion pada beberapa variasi konsentrasi stearil alkohol etoksilat
tidak berubah warna dan tidak berubah konsistensinya selama penyimpanan. Menurut Suryani dkk (2000), emulsi yang tidak stabil dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain komposisi bahan yang tidak tepat, tidak sesuainya rasio antara fase terdispersi dan fase pendispersi, pemanasan dan penguapan yang berlebihan, jumlah dan pemilihan emulsifier yang tidak tepat, pembekuan, guncangan mekanik atau getaran, ketidakseimbangan densitas, reaksi antara dua atau lebih komponen dalam sistem dan penambahan asam atau senyawa elektrolit. Hasil rata-rata pengukuran stabilitas emulsi losion dan krim berkisar antara 96% hingga 99%. Variasi konsentrasi stearil alkohol etoksilat mempengaruhi stabilitas emulsi losion dan krim. Pada losion, semakin besar konsentrasi stearil alkohol etoksilat, stabilitas emulsi semakin rendah (Gambar 5). Konsentrasi stearil alkohol etoksilat yang besar menyebabkan viskositas losion semakin rendah atau losion semakin encer seperti telah dibahas pada subbab seb elumn ya, sehingga menyebabkan
Penggunaan Emulsifier Stearil Alkohol…………………...Retno Yunilawati dkk
87
stabilitas emulsinya rendah. Hal sebaliknya dijumpai pada pengukuran stabilitas emulsi krim, dimana stabilitas emulsi krim meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi stearil alkohol etoksilat (Gambar 6).
Gambar 5. Grafik stabilitas emulsi losion pada beberapa konsentrasi stearil alkohol etoksilat
Gambar 6. Grafik stabilitas emulsi krim pada beberapa konsentrasi stearil alkohol etoksilat
Tabel 4. Hasil pengukuran stabilitas emulsi beberapa losion dan krim komersil Merk
Tabel 5. Hasil analisa cemaran mikroba losion dan krim Jenis cemaran mikroba
Nilai
Persyaratan BPOM
Angka lempeng total
< 10
Maks. 10
Staphylococcus aureus
Negatif
Negatif
Pseudomonas aeruginosa
Negatif
Negatif
Candida albicans
Negatif
Negatif
2
Hasil analisa stabilitas emulsi pada poduk losion dan krim komersial berkisar antara 98% hingga 99% seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Bila dibandingkan dengan stabilitas emulsi losion dan krim yang telah dibuat, maka hanya losion dengan konsentrasi stearil alkohol etoksilat 0,5% yang memiliki stabilitas emulsi dalam rentang stabilitas emulsi losion komersil. Sedangkan untuk krim, krim dengan konsentrasi stearil alkohol etoksilat 2% dan 2,5% yang memiliki stabilitas emulsi dalam rentang stabilitas emulsi krim komersil. Cemaran mikroba Tumbuhnya mikroba dapat menyebabkan kerusakan pada produk yang mengalami penyimpanan, sehingga analisa cemaran mikroba menjadi parameter yang harus dilakukan pada produk losion dan krim. Analisa yang dilakukan meliputi angka lempeng total, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan Candida albicans. Parameter tersebut merupakan parameter yang dipersyaratkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia yang dituangkan dalam Keputusan Direktorat Jenderal POM No.HK.00.06.4.02894 tentang persyaratan cemaran mikroba pada kosmetik. Hasil analisa cemaran mikroba losion dan krim yang telah dibuat menunjukkan nilai yang sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh BPOM, seperti yang terlihat pada Tabel 5.
Stabilitas Emulsi (%)
Losion A
99,0649
Losion B
99,1548
Losion C
99,3495
Krim A
98,2387
Krim B
98,3426
Krim C
98,8848
KESIMPULAN 1. Variasi konsentrasi stearil alkohol etoksilat tidak berpengaruh pada pH losion dan krim. 2. Variasi konsentrasi stearil alkohol etoksilat mempengaruhi viskositas losion, dimana semakin besar konsentrasi stearil alkohol etoksilat, viskositas losion semakin turun. Viskositas yang baik (sesuai dengan viskositas losion komersil) diperoleh pada
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 83-89
88
losion dengan konsentrasi stearil alkohol etoksilat 0,5%. 3. Variasi konsentrasi stearil alkohol etoksilat mempengaruhi stabilitas emulsi losion dan krim, dimana pada losion bila konsentrasi stearil alkohol etoksilat meningkat, maka stabilitas emulsi semakin turun, sedangkan pada krim sebaliknya. Losion yang memiliki stabilitas emulsi terbaik (sesuai stabilitas losion komersil) adalah losion dengan konsentrasi stearil alkohol etoksilat 0,5%. Krim yang memiliki stabilitas emulsi terbaik (sesuai stabilitas krim komersil) adalah krim dengan konsentrasi stearil alkohol etoksilat 2% dan 2,5%. 4. Hasil analisa cemaran mikroba menunjukkan bahwa semua parameter cemaran mikroba pada losion dan krim sesuai dengan standar yang dipersyaratkan oleh BPOM. DAFTAR PUSTAKA Afifah, N. dan E. Sholichah. 2009. Pemanfaatan virgin coconut oil (VCO) dalam sediaan hand body lotion dan uji stabilitasnya. Dalam: Prosiding seminar nasional Teknik Kimia Universitas Parahyangan: 178 -184. Afifah, N. dan A.K. Mirwan. 2008. Uji stabilitas emulsi body lotion menggunakan cetearyl alcohol/ ceteareth 20 sebagai self emulsifier. Dalam: Prosiding seminar nasional sains dan teknologi Universitas Lampung: 481-488. Anonim. 2010. Personal care product. http://www.malaysiapalmoil.org/publica tion/book, (diakses 2 April 2011). Balsam, M.S., S.D. Gerson, M.M. Rieger, E. Sagarin and S.J. Strianse. 1972. Cosmetics: science and technology. New York: John Wiley & Sons. Barnett, G. 1972. Cosmetics and science technology. Vol. I. New York: Wiley Interscience. CTFA. 2004. Guidelines on stability testing of cosmetic product. Washington DC. Hambali, E. 2000. Bahan kuliah teknologi emulsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Haryono, A., D. Sondari, dan D. Mansur. 2005. Sintesis chitosan kationik dari cangkang udang dan penggunaannya sebagai stabilizer produk skin lotion. Laporan penelitian. Pusat Penelitian Kimia LIPI.
Iswari, R. dan F. Latifah. 2007. Buku pegangan ilmu pengetahuan kosmetik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Lim, Hong Ngae, A. Kassim, A. Sharif, D. Kuang, A. Yarmo, Z. Edris, R. Ismail, and H.N Ming. 2008. Palm based lauryl alcohol ethoxylate behavioural study and recomendations in personal care applications. The malaysian journal of analytical sciences, Vol 12 (3) : 536541. Morwanti, D.A. 2007. Aplikasi dimethicone (silicon oil) sebagai pelembut dalam proses pembuatan skin lotion. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. O’Lenick, A.J. 1990. Group selectivity of ethoxylation of hidroxy acids. Soap cosmetic and chemical specialties, Vol.72. O’Lenick, A.J., dan J.K. Parkinson. 2002. A comparison of ethoxylation of fatty alcohol, fatty acid, and dimethiconol. JAOCS 73 (1) : 63-66. Rahayu, S.P. dan S. Naimah. 2008. Pembuatan formulasi krim anti nyamuk dari fraksi minyak sereh. Laporan penelitian Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jakarta. Schmitt, W.H. 1996. Skin care products. Cosmetics and toiletries industry 2nd edition. London: Blackie Academic and Profesional. Suryani, A., I. Sailah., dan E. Hambali. 2000. Teknologi emulsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Schueller, R and P. Romanowski. 1999. Beginning cosmetic chemistry. Allured Publishing Corporation. Wagiyono. 2003. Menguji kesukaan secara organoleptik. Departemen Pendidikan Nasional. Yunilawati, R., Yemirta dan Y. Komalasari. 2010. Sintesis stearil alkohol etoksilat sebagai emulsifier pada kosmetik. Jurnal Kimia dan Kemasan (32) 1: 1318.
Penggunaan Emulsifier Stearil Alkohol…………………...Retno Yunilawati dkk
89
PELAPISAN HIDROKSIAPATIT PADA LOGAM KS-01 DENGAN METODA SOL – GEL (HYDROXYAPATITE COATING ON KS-01 METAL BY SOL – GEL METHOD)
Sulistioso G.S.1, Setyanto T.2, Henny Purwaningsih3, Susanti3 dan A.Sitompul1 1
Pusat Teknologi Bahan Industri – BATAN Puspiptek, Tangerang selatan 2 Dept. Fisika – FMIPA IPB 3 Dept. Kimia – FMIPA IPB E-mail :
[email protected]
Received 4 Maret 2011; accepted 11 April 2011
ABSTRAK Telah dilakukan pelapisan hidroksiapatit (HAp) pada logam baja KS-01 buatan PT. Krakatau Steel. Sebelum o dilapisi dengan HAp, baja KS-01 dinitridasi dengan metode nitridasi gas pada temperatur 525 C selama 3 jam. Tujuan pelapisan HAp pada permukaan sampel adalah untuk meningkatkan ketahanan korosi karena baja KS-01 adalah logam yang rentan terhadap korosi. Hasilnya lapisan FeN di permukaan sampel dapat menaikkan ketahanan korosi sehingga sampel dapat dilapisi dengan HAp, menggunakan metode sol – gel. Hasil pelapisan pada permukaan sampel menunjukkan lapisan yang homogen. Analisis difraksi sinar-X pada permukaan logam menunjukkan fasa yang dominan adalah fasa HAp, dan fasa lainnya adalah fasa apatit kelompok A dan fasa apatit kelompok B. Kata kunci : Nitridasi, Baja KS – 01, Hidroksiapatit, Sol – Gel
ABSTRACT Coating of hydroxyapatite (HAp) on steel metal (KS-01) made by PT. Krakatau Steel was conducted. Before o coated with HAp, KS - 01 have been nitrided at 525 C for 3 hours with gas nitriding method. The purpose of nitriding is to improve corrosion resistance of the sample, because the material KS - 01 is susceptible to corrosion. FeN layer on the surface of sample as a product of nitridation process increased the corrosion resistance, so the sample could be coated with HAp, using sol-gel method. The coating on the surface of sample showed a homogeneous layer. After HAp coating, X-ray diffraction analysis on the surface of the metal, indicated that HAp as dominant phase and another phase are the phase apatite type A and type B. Key words : Nitridation, KS – 01 steel, Hydroxyapatite, Sol – Gel
PENDAHULUAN Patah tulang dapat disebabkan oleh kecelakaan transportasi, bencana alam, penggunaan alat berat, penggunaan perkakas rumah tangga maupun pada saat melakukan olah raga. Proses penyembuhan patah tulang dapat dipercepat dengan penanganan yang baik, misalnya dengan penanaman logam (implantasi). Prinsip penanaman logam adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi tersebut selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi) (Oktavia 2009).
Logam implan telah diaplikasikan untuk patah tulang pada bagian muka seperti hidung, rahang, dan lekuk mata (Kayin 2009). Selain pada mata, logam implan juga sering digunakan pada pangkal paha (joint hip) dan sebagai pengganti lutut yang rusak (knee cap). Logam yang digunakan untuk implantasi harus mempunyai kualitas yang baik karena logam tersebut akan ditanamkan di dalam tubuh untuk waktu yang lama antara 3 tahun sampai seumur hidup. Logam yang dapat digunakan sebagai implan diantaranya stainless steel (SS), paduan
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 90-95
90
kobalt dan paduan titanium (Thamaraiselvi 2005). Logam SS yang sering digunakan sebagai logam implan adalah logam SS 316 dan SS 316L. Kedua jenis logam ini digunakan sebagai implan karena memiliki kadar karbon yang rendah sehingga resistensinya terhadap korosi cukup tinggi. Tapi paduan logam kobalt dan titanium memiliki sifat resistensi terhadap korosi yang lebih baik daripada logam SS namun harga kedua logam ini mahal sehingga penggunaannya menjadi lebih terbatas (Kim 2003). Material yang memiliki sifat biokompatibel dengan tubuh adalah apabila saat diimplankan ke dalam tubuh tidak mengalami reaksi penolakan (Kayin 2009). Untuk meningkatkan kompatibilitas material implan dengan tubuh, material implan dilapisi dengan material lain yang biokompatibel. Selain meningkatkan resistensi terhadap korosi, pelapisan logam dengan biomaterial juga dapat mempercepat pembentukan tulang baru dan pembentukan ikatan antara permukaan implan dengan jaringan disekitarnya. Senyawa apatit adalah contoh material yang biokompatibel, telah digunakan untuk melapisi logam SS 316L (Vijayalaksmi 2006) dan logam titanium (Kim 2003). Biomaterial yang digunakan sebagai pelapis logam akan menjadi media antara organ tubuh dan logam karena respon yang diberikan oleh tubuh kepada material yang diimplankan berbeda-beda tergantung pada sensitivitas tubuh penerima, maka dengan lapisan apatit diharapkan tubuh dapat menerima material implan. Selain digunakan sebagai material pelapis logam, senyawa apatit juga dapat digunakan sebagai material pensubstitusi tulang (Vazquez 2005). Pelapisan logam menggunakan senyawa apatit dapat dilakukan dengan berbagai jenis metode, diantaranya metode sol - gel, electrophoretic deposition (EPD), thermal spraying, sputtering, dan pulsed laser deposition (Kim 2003). Metode sol - gel memiliki keuntungan dibandingkan metode pelapisan lainnya karena prosesnya menggunakan suhu rendah dan komposisi kimia prekursor senyawa apatit yang dihasilkan dengan metode ini mudah dikontrol (Vijayalaksmi 2006) dan ketebalan lapisan mudah diatur, tapi membutuhkan waktu yang relatif lama. Kebutuhan material implan di Indonesia terus meningkat, khususnya boneplate atau logam penyambung tulang yang patah atau retak (fiksasi). Boneplate walaupun terbuat dari logam yang mempunyai resistensi korosi sangat
Gambar 1. Boneplate (Kayin 2009)
tinggi, tapi tidak berarti mempunyai biokompatibilitas yang baik terhadap tubuh manusia karena itu dibutuhkan suatu interface agar terjadi kompatibilitas yang baik antara boneplate dan tubuh manusia. Interface tersebut berupa biomaterial yang mempunyai komposisi mirip dengan tulang manusia. Pada penelitian ini akan dilakukan pelapisan HAp pada logam yang berpotensi untuk dijadikan boneplate. BAHAN DAN METODE Bahan Logam yang digunakan dalam penelitian ini adalah logam yang diperoleh dari PT Krakatau Steel dengan kadar karbon 0,1%, material ini bukan termasuk baja tahan karat. Pelapisan HAp dengan metode sol - gel dalam keadaan basah dan melibatkan temperatur yang tinggi karena itu sebelum dilapisi dengan senyawa apatit, terlebih dahulu dinitridasi. Proses nitridasi adalah proses pelapisan senyawa nitrida pada permukaan logam yang bertujuan untuk meningkatkan resistensi terhadap korosi (Myung 2009; Muflihah 2004), serta mencegah terlepasnya ion – ion logam ke dalam tubuh. HAp merupakan senyawa kalsium pospat yang paling stabil dengan rumus molekul Ca10(PO4)6(OH)2. Unit kristal HAp mempunyai struktur heksagonal dengan parameter kisi a sebesar 9,432 Å dan c sebesar 6,881 Å (Aoki 1991). Kalsium pospat di dalam tubuh berbedabeda tergantung pada peran senyawa tersebut dalam tubuh, misalnya pada gigi dibutuhkan kalsium pospat yang memiliki kandungan fluorida yang lebih besar dibandingkan pada tulang lain. Kristal apatit dapat mengandung karbon dalam bentuk karbonat yang dapat mensubstitusi formula HAp dengan menempati
Pelapisan Hidroksiapatit pada Logam KS-01…………………... Sulistioso dkk
91
dua posisi. Gugus karbonat yang mensubstitusi posisi OH pada struktur HAp disebut apatit karbonat tipe A (AKA) dan gugus karbonat yang 3mensubstitusi posisi (PO4) disebut apatit karbonat tipe B (AKB) (Wang 2005; Aoki 1991). Metode Penyiapan Sampel dan Nitridasi Baja KS-01 dipotong berbentuk koin dengan diameter 14 mm, kemudian dipoles dengan kertas gerinda (grinding paper), mulai dari grit 200 sampai grit 1200. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam krusibel berbentuk perahu (boat), proses selanjutnya boat dimasukkan ke dalam tabung kaca yang terbuat dari kaca tahan panas seperti tampak pada Gambar 2. Setelah itu gas amoniak dialirkan dengan laju aliran gas 5 mL/menit. Temperatur tungku di set pada o 525 C dengan waktu nitridasi 3 jam. Sintesis dan Pelapisan HAp Sintesis HAp dengan metode sol – gel (Rajabi 2007; Kumar 2008; Betts 1981) dilakukan sebagai berikut, serbuk Ca(NO3)2.4H2O sebanyak 19,706 gram dilarutkan dalam etanol 96% sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 1 M. Larutan H3PO4 80% sebanyak 6 ml dilarutkan dalam etanol 96% sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 1,67 M. Kedua larutan dicampurkan dengan cara meneteskan larutan H3PO4 kedalam larutan Ca(NO3)2.4H2O yang diaduk dengan kecepatan 300 rpm pada suhu ruang, sehingga campuran mempunyai rasio molar Ca/P = 1,67. Kemudian, larutan dipanaskan dalam media air selama 60 menit, pada suhu 60°C dan di aging selama ±12 jam pada suhu kamar. Larutan tersebut dipanaskan lagi selama 6 jam pada suhu 60°C sampai terbentuk gel (Rajabi 2007). Pelapisan dilakukan dengan cara meneteskan gel diatas keping sampel KS – 01 yang sudah dinitridasi, dan diratakan dengan spatula pada kedua permukaannya. Setelah merata, sampel dipanaskan pada suhu 100°C selama 2 jam, pemanasan dimaksudkan untuk menguapkan air yang terdapat di dalam gel HAp. Kemudian dilanjutkan dengan sampel dipanaskan pada suhu 550°C selama 6 jam agar fasa HAp terbentuk dengan baik dan pelapisan menjadi lebih kuat. Dengan pemanasan pada suhu 250°C selama 2 jam agar terjadi proses pelapisan HAp pada sampel.
Gambar 2. Setting nitridasi (Setiawan, 2009)
HASIL DAN PEMBAHASAN Nitridasi merupakan perlakuan pengerasan permukaan atau proses termokimia dengan melibatkan difusi nitrogen ke dalam permukaan suatu logam, pada temperatur penahanan yang sesuai dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu, tergantung dari ketebalan lapisan atau aplikasi dari material yang diinginkan. Nitridasi biasanya dilakukan dengan gas nitrogen (N2) atau gas amoniak (NH3) atau campuran keduanya yang mengalami proses disosiasi (Wang 2005). Ada juga yang mendefinisikan nitridasi secara umum sebagai perlakuan pengerasan permukaan dengan melibatkan difusi nitrogen ke dalam suatu material sehingga dapat meningkatkan kekerasan, ketahanan aus, dan ketahanan korosinya. Pada makalah ini digunakan gas NH3 high purity sebagai sumber gas N2. Reaksi disosiasi yang terjadi adalah sebagai berikut : 2 NH3 → 2 N + 3 H2 …………….. (1) Kemudian N2 akan bereaksi dengan Fe membentuk senyawa FeN (Setiawan 2009). Proses nitridasi dilakukan untuk mendapatkan ketahanan korosi yang lebih baik dari sampel KS-01 karena jenis logam ini sangat korosif pada lingkungan air dan temperatur tinggi. Gambar 4 memperlihatkan lapisan nitrida yang merupakan fasa FeN. Setelah dinitridasi, sampel baja KS-01 dilapisi dengan HAp dengan metode sol – gel, dan terbukti bahwa lapisan nitrida sangat efektif untuk mencegah terjadinya korosi, hal ini tampak
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 90-95
92
A
4X Gambar 3. Sampel KS-01 sebelum dinitridasi
B Lapisan Nitrida
50X
Base metal KS - 01
Gambar 4. Lapisan nitrida, setelah sampel dinitridasi
dari foto penampang lintang struktur mikro sampel baja KS-01 yang telah dilapisi dengan HAp (Gambar 5), tidak tampak adanya cacat korosi walaupun sampel dipanaskan sampai 650°C. Lapisan FeN pada permukaan sampel tidak saja meningkatkan ketahanan korosi, menaikkan kekerasan tapi juga sebagai lapisan pelindung agar ion – ion logam tidak terlepas ke lingkungan tubuh. Pada Gambar 5(A), tampak bahwa lapisan HAp pada permukaan sampel, merupakan lapisan yang solid dan tidak berpori (hard coated), tetapi pada Gambar 5(B) (perbesaran 50X), tampak lapisan HAp merupakan poros material. Hal ini sangat baik, karena HAp akan menjadi pemicu untuk tumbuhnya tulang baru, jika HAp di permukaan sangat rapat (hard coated), maka peluang untuk tumbuhnya tulang baru sangat kecil, karena tidak ada ruang gerak bagi saraf – saraf dan pembuluh darah di permukaan tulang. Pada boneplate yang tidak dilapisi dengan biomaterial berpori, biasanya akan lama terjadinya penumbuhan tulang baru, dan bisa terjadi memar di sekitar tulang yang patah.
Gambar 5. Tampang permukaan sampel baja KS– 01 yang telah dilapisi HAp; (A) dengan perbesaran 4 kali; (B) dengan perbesaran 50 kali
Walaupun dari gambar penampang permukaan, lapisan HAp tampak berpori, tapi di bagian dalam yang bersentuhan langsung dengan logam (Gambar 6) merupakan lapisan yang rapat (solid), hal ini menunjukkan kekuatan ikatan, semakin rapat lapisan di bagian dalam maka semakin kuat ikatannya. Tetapi ada juga kelemahan dari permukaan HAp yang berpori, karena lapisan HAp tersebut akan menyatu dengan tulang yang b aru t u mbuh, m ak a akiba tnya bonepl at e tersebut sulit untuk dilepas. Padahal boneplate hanya didesain untuk fixasi tulang yang patah,
Lapisan HAp
Lapisan Nitrida
Basemetal KS-01
Gambar 6. Tampang lintang sampel baja KS – 01 yang telah dilapisi HAp
Pelapisan Hidroksiapatit pada Logam KS-01…………………... Sulistioso dkk
93
Gambar 7. Pola difraksi sampel KS – 01
400
H156
HAP
350
In t e n s i t a s ( a r b . u n it )
kemudian dilepas lagi, setelah tulang tumbuh dan kembali pada posisi semula, dalam jangka waktu antara 3 – 5 tahun. Gambar 7 adalah gambar pola difraksi dari sampel KS-01sebelum dilapisi dengan HAp. Tampak hanya dua puncak yang muncul, dan hanya satu yang dominan, hal ini disebabkan karena plat difraksi dari base metal diambil dalam kondisi sampel berbentuk plat yang telah melalui reduksi, sehingga terjadi orientasi terarah (preferred orientation). Gambar 8 adalah pola difraksi dari lapisan HAp dipermukaan sampel, tampak bahwa fasa HAp belum terbentuk sempurna, masih ada fasa AKA dan AKB, karena pemanasan yang dilakukan hanya sampai o 550 C. Tapi keberadaan fasa AKA dan AKB bukan merupakan toksik bagi tubuh manusia, karena AKA dan AKB, termasuk apatit yang biokompatibel dengan tubuh. Pola difraksi yang muncul seluruhnya adalah fasa dari lapisan atau fasa dari apatit, sedangkan fasa dari base metal (sampel) tidak muncul, hal ini disebabkan karena lapisan yang terjadi pada sampel cukup tebal dan rapat dibagian dalam, sehingga sinar – X tidak dapat menembus sampai ke base metal. Agar didapat HAp dengan kemurnian tinggi, maka pemanasan pada saat pembentukan HAp harus dilakukan sampai temperatur 1000oC selama paling sedikit 6 jam, akan tetapi karena HAp dilapiskan pada material yang mudah terkorosi (walaupun sudah dilapisi dengan nitrida) maka proses nitridasi hanya o dilakukan pada temperatur 525 C.
300 AK A
250 200 150
AKA
HAp
HAp HAp
100
HAp
HAp
AK B HAp HAp
50 0 10
20
30
40
Sudut 2 /
50
60
70
80
o
Gambar Pola XRD serbuk hidroksiapatit dengan konsentrasi H3 PO 4 1M
o
Gambar 8. Pola difraksi HAp pada pemanasan 550 C
KESIMPULAN 1. Nitridasi pada suhu 525oC, selama 3 jam, sangat efektif untuk meningkatkan ketahanan korosi dari baja KS – 01. 2. Baja KS – 01 yang bukan baja tahan karat, dapat dilapisi dengan HAp menggunakan metode sol-gel setelah dinitridasi. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Apatite. http://www.ipnl.in2p3.fr/cfi/apatite_3d.gi (diakses 12 Juni 2009) Aoki, H. 1991. Science and medical application of hydroxyapatite. Institute For Medical and Dental Engineering. Tokyo Medical and Dental University. Betts, F., Blumenthal, N.C., Dosher, A.S. 1981. Bone Mineralization. J. Cryst. Growth 53: 63-73 Kayin B. 2009. Bone Plate. http://www.biomed.edu.tr (diakses 12 Juli 2009) Kim, H.W, Y.H.Koh, L.H. Li, S. Lee, and H.E.Kim. 2003. Hydroxyapatite coating on titanium substrate with titania buffer layer processed by sol gel method. Biomaterials 25: 2533-2538. Kumar, A.R. and S. Kalainthan. 2008. Growth and characterization of nano-crystalline hydroxyapatite at physiological conditions. Crist. Res Techol 43: 640644.
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 90-95
94
Muflihah, S. 2004. Nitridasi bahan stainless steel dan ketahanannya terhadap korosi pada temperatur tinggi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Myung, S.T., M. Kumagai, K. Ichii, K. Aoki, Yasuyuki, Katada and H. Yashiroa. 2009. Nitridation of type 304 stainless steel as bipolar plate for proton exchange membrane fuel cells. Science (1): 1-2. Oktavia D. 2009. Menyambung tulang dengan logam. http://padang-today.com/ (diakses 10 Juni 2009) Rajabi, A.H, A. Behnamghader, A. Kazemzadeh, and F. Moztarzadeh. 2007. Synthesis and characterization of nano-crystalline hydroxyapatite powder via sol gel method. Material and energy 15:149151. Setiawan, Dedi. 2009. Pengaruh nitridasi terhadap ketahanan korosi stainless steel aisi 316l dalam cairan tubuh tiruan. Tesis. Jurusan Fisika. FMIPA. ITS. Thamaraiselvi, T.V. and S. Rajeswari. 2005. Electro chemical behaviour of alkali treated and hydroxyapatite coated 316 LUM. Trends biomater. artif. organs 18: 2. Vazquez, C.G., C.P. Barba, N. Mungia. 2005. Stoichiometric hydroxyapatite obtained by precipitation and sol gel processes. Revista mexicana de fisica 51: 284293 Vijayalaksmi, U. and S. Rajeswari. 2006. Preparation and characterization of microcrystalline hydroxyapatite using sol gel method. Trends biomater.artif. organs 19: 57-62. Wang, L., S. Jia, and J. Suna. 2005. Effect of nitriding time on the nitrided layer of AISI 304 austentic stainless steel. Surface and coating technology 200: 5067-5070. China.
Pelapisan Hidroksiapatit pada Logam KS-01…………………... Sulistioso dkk
95
SINTESIS NANOPARTIKEL MAGNETIT DENGAN METODE DEKOMPOSISI TERMAL (MAGNETITE NANOPARTICLE SYNTHESIS BY THERMAL DECOMPOSITION METHODS)
Rahyani Ermawati dan Emmy Ratnawati Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia 1, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail:
[email protected] Received 25 Maret 2011; accepted 11 April 2011
ABSTRAK Sintesis nanopartikel besi oksida, khususnya magnetit (Fe3O4) telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini disebabkan antara lain oleh adanya sifat supermagnetis yang dimiliki menyebabkan nanopartikel magnetit mendatangkan manfaat dalam aplikasinya. Masalah yang ada dalam sintesis nanopartikel oksida logam Fe3O4 adalah cara untuk memperoleh nanopartikel yang nondisperse dan tidak teraglomerasi dimana persyaratan ini diperlukan dalam aplikasi nanopartikel magnetit di berbagai bidang. Pada penelitian ini dilakukan sintesis nanopartikel Fe3O 4 (magnetit) secara bottom-up dengan metode dekomposisi termal. Nanopartikel yang diperoleh dikarakterisasi dengan menggunakan alat PSA (Particle Size Analyzer), Benchtop microscope, SEM (Scanning Electron Microscope), kemudian dilakukan interpretasi terhadap hasil yang didapatkan. Dari hasil karakterisasi dapat disimpulkan bahwa proses dekomposisi termal dari Fe(III) acetylacetonate hingga 280oC menghasilkan Fe3O 4 dengan distribusi ukuran partikel nano yang beragam. Diameter partikel Fe3O4 yang terbentuk berukuran 50,0 nm hingga 53,9 nm. Bilangan distribusi tertinggi berada pada diameter 50,0 nm sebesar 69,27%, dengan diameter partikel rata-rata sebesar 51,3 nm. Kata Kunci: Sintesis nanomaterial, Magnetit (Fe3O4), Dekomposisi termal
ABSTRACT Synthesis of Ferri oxide magnetite (Fe3O4) has been developed in recent years. The superparamagnetic properties on magnetite nanoparticle were widely used in industrial application. Problem in the synthesis of metal oxide nanoparticles is agglomeration of nanoparticles whereas dispersion of nanoparticles as a necessary requirement in a variety of applications. Synthesis of magnetite nanoparticle by bottom-up method using thermal decomposition was carried out in this research. Then the magnetic nanoparticle was characterized by using SEM (Scanning Electron Microscope) and PSA (Particle Size Analyzer). Based on the analysis, the result o concludes that the process of thermal decomposition of Fe (III) acetylacetonate up to 280 C produced Fe3O4 nanoparticle with varying size distribution. The diameter size of particle Fe3O4 have range from 50,0 nm to 53,9 nm. The number of distribution was 50,0 nm about 69,27% and mean of particle size was 51,3 nm. Key words: Nanomaterial synthesis, Magnetite (Fe3O4), Thermal decomposition
PENDAHULUAN Penelitian material menemukan area baru yang sangat mendasar dengan digunakannya orde ukuran nanometer (10-9 m) sebagai penyusun terkecil material fungsional. Ukuran atau dimensi yang semakin kecil tersebut memberikan implikasi yang sangat luas dalam pengembangan metode penelitian material yang
berakibat makin bertambah banyaknya penemuan pemanfaatan nanomaterial untuk kehidupan. Berkaitan dengan kebutuhan nanoteknologi, nanomaterial dapat memiliki wujud yang berbeda-beda seperti nanopowder, nanotube atau karena penyusunnya sehingga disebut nanokeramik, nanopolimer dan nano-
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 96-101
96
komposit, atau dapat pula karena memiliki fungsi-fungsi yang spesifik seperti nanoelektronik, nanomedika, nanofotonik dan nanomagnetik. Pengembangan nanoteknologi telah menjadi daya tarik baik bagi ilmuwan maupun pemerintah dengan melakukan kegiatan penelitian, termasuk pembuatan atau sintesis material nano. Pemanfaatan material berukuran nano menjanjikan peluang untuk menciptakan teknologi baru yang penerapannya diharapkan mampu membawa perubahan infrastruktur yang dramatis. Material nano merupakan susunan materi yang berukuran 1 nanometer hingga 100 nanometer (Brydson and Hammond 2005) menunjukkan karakteristik unik yang disebabkan oleh ukuran tersebut. Nanomaterial dapat dibuat dengan dua pendekatan, yaitu top – down (memperkecil) dan bottom – up (memperbesar). Ada tiga cara yang dikenal untuk membuat nanomaterial dengan pendekatan top – down, yaitu penggilingan (milling), litografi dan machining. Sedangkan pendekatan bottom – up menggunakan cara Vapour Phase Deposition (VPD), deposisi dengan plasma, epitaksi berkas molekular (Molecular Beam Epitaxy, MBE), fasa basah, koloidal, sol-gel dan elektrodeposisi. Studi dan sintesis tentang nanopartikel besi oksida, khususnya magnetit (Fe3O4) telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini disebabkan adanya sifat supermagnetis yang dimiliki menyebabkan nanopartikel magnetit mendatangkan manfaat dalam berbagai aplikasi di beberapa bidang. Di bidang medis, nanopartikel magnetit yang bersifat biocompatible dapat digunakan sebagai agent dalam bioimaging yaitu Magnetic Resonance Imaging (MRI) contrast agent, agent dalam Drug Delivery System baik dengan cara conjungation ataupun encapsulation agent dalam hyperthermia, misalnya untuk membunuh sel tumor secara thermogenesis dan agen dalam cell labelling. Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan nanopartikel magnetit di bidang medis adalah rasio antara luas permukaan dan volume partikel yang besar serta kemudahan untuk diakses ke jaringan tubuh. Aplikasi di bidang teknologi antara lain sebagai ferrofluid dalam rotary shaft scaling, oscillation dumping, dan position sensing dan sebagai material pada magnetic storage devices, magnetic refrigeration system. Aplikasi lainnya adalah sebagai pemisah logam dalam pengolahan limbah cair, sebagai lipida protein detector, katalis, enzym
immobilizator dan biosensor. Nanopartikel Fe3O4 demikian luas manfaatnya dalam sains dan teknologi, sehingga pengembangan material baru ini sangatlah dibutuhkan baik menyangkut eksplorasi bahan baku, pengembangan metode sintesis, metode karakterisasi maupun aplikasinya. Dalam pengembangan metode diharapkan dapat dikembangkan metode sintesis yang menghasilkan produk berskala nano yang monodisperse dan tak teraglomerasi. Sifat monodisperse dibutuhkan untuk kemudahan aplikasinya. Sedangkan sifat tak teraglomerasi dibutuhkan agar diperoleh domain tunggal dari perilaku partikel-partikel tersebut. Nanomaterial dapat diketahui sifat-sifatnya melalui tahapan yang disebut karakterisasi. Sifat-sifat itu diantaranya adalah ukuran (dimensi) butir atau kristalnya, kelistrikan, kemagnetan dan kelarutannya yang dapat diungkap melalui pengukuran atau pengamatan menggunakan alat yang sesuai. Pada penelitian ini akan dilakukan sintesis nanopartikel khususnya secara bottom-up, untuk partikel Fe3O4 (magnetit). Nanopartikel yang diperoleh dikarakterisasi dengan menggunakan alat PSA (Particle Size Analyzer), Benchtop microscope semi SEM (Scanning Electron Microscope), kemudian dilakukan interpretasi terhadap hasil yang didapatkan. BAHAN METODE Bahan Bahan yang dipakai pada penelitian ini adalah: Fe(III) acetylacetonate; 1,2 dodecanediol; oleic acid; diphenylether; etanol; hexane Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : labu leher tiga, condenser, magnetic stirrer, hot plate, termometer, oil bath, beaker glass, pipet tetes, alumunium foil, N2 container tube, gelas ukur, erlenmeyer, sentrifusa, alat timbang, spatula, SEM (Scanning Electron Microscope), PSA (Particle Size Analyzer). Metode Sebanyak 0,7085 gram Fe(III) acetylacetonate (2 mmol); 2,0387 gram 1,2 – dodecanediol (10 mmol); 2 mL asam oleat (6 mmol); 2 mL oleylamine (6 mmol) dan 20 mL diphenylether dimasukkan ke dalam labu leher tiga untuk direflux dan di-stirrer selama 30 menit o pada suhu 220 C. Kemudian, larutan dipindahkan ke dalam erlenmeyer dan didinginkan hingga suhu kamar dengan pengaliran N2. Setelah terbentuk larutan berwarna coklat kehitaman, ditambahkan 200 mL etanol dan
Sintesis Nanopartikel Magnetit .................. Rahyani Ermawati dan Emmy Ratnawati
97
didiamkan 1 jam hingga 2 jam pada suhu kamar untuk pengendapan. Setelah terbentuk endapan berwarna coklat kehitaman, larutan disaring dengan Whatman 40. Endapan yang didapat dilarutkan kembali dengan heksana sehingga terbentuk lagi larutan berwarna coklat kehitaman. Larutan dibagi dua dan ditambahkan 2 mL etanol, kemudian disentrifusa 30 menit dengan 2000 rpm hingga 3000 rpm. Selanjutnya dilakukan pengukuran dengan PSA (Particle Size Analyzer) untuk mengetahui ukuran partikel. Sedangkan endapan yang terbentuk dicuci dengan etanol dan dikeringkan dan dilakukan pengukuran dengan SEM (Scanning Electrone Microscope) untuk mengetahui deskripsi morfologi. Proses sintesis magnetit (Fe3O4) dengan o labu leher tiga pada suhu 280 C selama kurang lebih 1 jam 45 menit di atas magnetic stirrer d eng an di ali ri gas N 2 da pat dili hat pada Gambar 1. Reaksi proses pembuatan nanopartikel magnetit adalah sebagai berikut: CH3COCH=C(O)CH3]2Fe + (HO)2 CH (CH2)10 CH3
Dari data PSA diperoleh ukuran partikel besi yang telah dibuat dapat dilihat pada Tabel 1.
Gambar 1. Proses sintesis magnetit (Fe3O4)
Fe3O4 ...... (1)
CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH dan oleylamine HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 2. Hasil sintesis nanopartikel magnetit (Fe3O4)
Hasil sintesis berupa larutan yang hitam pekat, seperti tampak pada Gambar 2, bersifat magnetik, larut dalam asam dan tidak larut dalam air, sifat-sifat ini sesuai dengan sifat-sifat Fe3O4. Analisa PSA Particle Size Analyzer melakukan pengukuran particle size menggunakan prinsip Dynamic Light Scattering. Dalam pengukuran ini yang diukur adalah gerak Brownian partikel dalam medium dan mengkorelasikannya dengan ukuran partikel tersebut. Adapun prinsip kerjanya yaitu dengan mengiluminasikan cahaya laser dan menganalisa fluktuasi intensitas dari cahaya yang terhambur oleh partikel. Pada penelitian ini pelarut yang digunakan (heksana) yang mempunyai refractive index 1,37 dan viscositas 0,29.
Gambar 3. Gambar distribusi nanopartikel besi
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 96-101
98
Tabel 1. Ukuran partikel besi dengan pengukuran PSA
Dari Tabel 1. terlihat bahwa nanopartikel besi yang telah dibuat mempunyai ukuran 50 nm hingga 53,9 nm kurang lebih 99%. Sedangkan
dari Gambar 1, distribusi nanopartikel besi yang dihasilkan berada pada ukuran 50 nm.
Sintesis Nanopartikel Magnetit .................. Rahyani Ermawati dan Emmy Ratnawati
99
Tabel 2. Rata-rata ukuran nanopartikel besi
Tabel 2 memperlihatkan bahwa nanopartikel besi yang dihasilkan mempunyai ukuran rata-rata 51,3 nm dengan standar deviasi 40,8. Pembuatan nanopartikel magnetit (Fe3O4) dengan metode dekomposisi termal dilakukan o hingga temperatur mencapai 280 C dengan menggunakan precursor Fe(III) acetylacetonate 2 mmol. Proses dekomposisi termal dari Fe(III) o acetylacetonate hingga 280 C menghasilkan sumber besi (Fe) dan monomer oksigen untuk menumbuhkan inti Fe3O4 dengan distribusi ukuran nanopartikel yang beragam. Penambahan dodecanediol berfungsi sebagai growth agent sedangkan asam oleat dan oleylamine ditambahkan untuk menstabilkan larutan dan mencegah terjadinya penggumpalan atau difusi yang tidak terkontrol. Diphenylether berfungsi sebagai pelarut. Campuran yang berwarna coklat kemerahan direflux dan distirrer agar bercampur sempurna dan homogen hingga mencapai temperatur 280oC selama kurang lebih 1 jam 45 menit. Aliran gas N2 secara kontinyu dilakukan untuk mencegah terjadinya oksidasi. Selama pertumbuhan inti Fe3O4, molekulmol ekul asam oleat dan oleylamine akan menstabilkan pertumbuhan partikel-partikel nano dan mencegah terjadinya agregasi partikel yang disebabkan adanya gaya Van der Waals dan o gaya magnetik. Pemanasan hingga 280 C menghasilkan larutan emulsi coklat kehitaman yang pekat, kental dan lengket sehingga larutan sulit untuk dipindahkan dari labu leher tiga ke dalam erlenmeyer. Penambahan 200 ml etanol akhirnya dilakukan dalam labu leher tiga dan dalam kurun waktu kurang lebih 20 menit, terjadi pengendapan larutan yang cukup banyak. Filtrat yang di pisahkan ditambahkan lagi dengan 200 ml etanol dan didiamkan selama kurang lebih 1 jam dengan harapan masih akan terjadi
Gambar
4.
Foto SEM produk Fe3O4 partikel dengan panjang bar adalah 1 mm
nano skala
pengendapan. Hasilnya terjadi endapan yang cukup kemudian ke dalam endapan tersebut ditambahkan lagi dengan heksana, asam oleat dan oleylamin. Analisa SEM Analisa dengan menggunakan SEM pada prinsipnya adalah menggunakan elektron yang direfleksikan dari permukaan preparat atau sampel untuk menghasilkan gambar. Dimana gambar yang dihasilkan berupa gambar tiga dimensi. Analisa morfologi partikel dilakukan dengan SEM. Pada Gambar 4 tampak bahwa partikel Fe3O4 yang disintesis menunjukkan morfologi yang jelas dan masih berupa aglomerat. KESIMPULAN 1. Proses dekomposisi termal dari Fe(III) o acetylacetonate hingga 280 C menghasilkan Fe3O4 dengan distribusi ukuran nanopartikel
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 96-101
100
yang beragam. 2. Diameter partikel Fe3O4 yang terbentuk berukuran 50,0 nm hingga 53,9 nm. Bilangan distribusi tertinggi berada pada diameter 50,0 nm dengan distribusi 69,27%, sehingga diameter partikel rata-rata sebesar 51,3 nm. DAFTAR PUSTAKA Berry, C. 2009. Progress in functionali-zation of magnetic nanoparticles for applications in biomedicine. Journal of physics dapplied physics 42(22): 2240. Brydson, R.M and C. Hammond. 2005. Genetic methodologies for nano-technology characterization. Nano-scale science and technology. John Wiley & Sons. Gözüak, F., Y. Köseoğlu, A. Baykal, and H. Kavas. 2009. Synthesis and characterization of CoxZn1−xFe2O 4 magnetic nanoparticles via a PEGassisted route. Journal of magnetism and magnetic materials 321 (14): 2170-2177 Guin, D. and S.V. Manorama. 2008. Room temperature synthesis of nearly monodispersed Fe3O4 nanoparticles. Materials letters 62: 3139-42. Obaidat, I.M., B Issa, and Y. Haik. 2011. The role of aggregation of ferrite nanoparticles on their magnetic properties. Journal of nanoscience and nanotechnology 11(5): 3882-3888. Singh, J. 2004. Modern physics for engineers. Weinheim: Wiley–VCH Verlag GmbH & Co.
Sintesis Nanopartikel Magnetit .................. Rahyani Ermawati dan Emmy Ratnawati
101
EFEK WAKTU MILLING TERHADAP KARAKTERISASI PARTIKEL KAPUR ALAM DENGAN MENGGUNAKAN X-RAY DIFFRACTION (EFFECT OF MILLING TIMES FOR CHARACTERIZATION OF NATURAL LIMESTONE PARTICLE USING X-RAY DIFFRACTION)
Indra Gunawan1, Saeful Yusuf1, Sudirman1,2 dan Wiwik Pudjiastuti3 1
Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir - BATAN Kawasan Puspiptek Cisauk Tangerang Selatan 15314 2 Jurusan Kimia, FMIPA – Universitas Indonesia Kampus Baru UI, Depok 3 Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No.1 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail:
[email protected] Received 4 Maret 2011; accepted 11 April 2011
ABSTRAK Telah dilakukan karakterisasi partikel kapur alam akibat variasi waktu milling dengan X-Ray Diffraction (XRD). Kapur alam yang awalnya digerus dengan mortar dan diayak sehingga didapatkan serbuk berukuran 400 mesh. Kapur alam hasil ayakan kemudian dilakukan penggilingan dengan High Energy Milling (HEM) pada variasi waktu penggilingan 3 jam, 6 jam, 9 jam, 12 jam, 15 jam, dan 18 jam. Pada setiap selang waktu tersebut dilakukan karakterisasi dengan menggunakan XRD. Hasil pola difraksi dipelajari dengan menggunakan pencocokan dengan kartu Hanawalt dan diambil kesimpulan bahwa kapur alam terdiri dari Ca(OH)2 dan CaCO3. Sedangkan ukuran partikel dipelajari dengan mengamati pelebaran pola difraksi menggunakan metode Scherrer. Hasil perhitungan dengan metode Scherrer menghasilkan ukuran partikel Ca(OH)2 menjadi mengecil dari 1125 nm pada waktu milling 3 jam menjadi 473,7 nm pada waktu milling 18 jam atau terjadi penurunan ukuran partikel sebesar 57,9%. Sedangkan untuk partikel CaCO 3 pengecilan ukuran partikel terjadi dari 9000 nm pada waktu milling 3 jam menjadi 600 nm pada waktu milling 18 jam atau terjadi penurunan ukuran partikel sebesar 93,3%. Kata kunci : Kapur alam, Nanopartikel, High Energy Milling (HEM), X-Ray Diffraction (XRD), Metode Scherrer
ABSTRACT The characterization of natural limestone due to milling times variation have been done using X-Ray Diffraction (XRD). Starting materials of natural limestone was grinded by mortar and sifted by 400 mesh sieve. The resulting material of this natural limestone then milled using High Energy Milling (HEM) at various milling times of 3, 6, 9, 12, 15 and 18 hours. At the interval time of milling, the sample was taken to be characterized by using XRD. The diffraction pattern was examined and compared with Hanawalt card to identify the phase contents in the materials. The identification shows that the natural limestone contains Ca(OH)2 and CaCO3. However the particles size was studied by broadening peaks inspections and calculations with Scherrer method. The result of the calculation shows that particle size of Ca(OH)2 decreased from 1125 nm at 3 hours milling to 473.7 nm at 18 hours milling or there is 57.9% of decreasing particle size. Meanwhile for CaCO 3 particle, there is a decreasing particle size from 9000 nm at 3 hours milling to 600 nm at 18 hours milling or the percentage decreasing particle is 93.3%. Key words : Natural limestone, Nanoparticle, High Energy Milling (HEM), X-Ray Diffraction (XRD), Scherrer method
PENDAHULUAN Batu kapur dapat terjadi dengan beberapa cara yaitu secara organik, mekanik atau kimia.
Sebagian besar batu kapur yang terdapat di alam terjadi secara organik, jenis ini berasal dari
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 102-106
102
pengendapan rumah kerang dan siput, ganggang atau berasal dari kerangka binatang koral. Batu kapur dapat berwarna putih susu, abu tua, abu muda, coklat bahkan hitam, tergantung keberadaan mineral pengotornya. Mineral karbonat yang umum ditemukan berasosiasi dengan batu kapur adalah aragonit (CaCO3) yang merupakan mineral metastabil karena pada kurun waktu tertentu dapat berubah menjadi kalsit. Batu kapur banyak digunakan di berbagai industri untuk keperluan tertentu seperti di industri kimia, batu kapur perlu diproses terlebih dahulu dengan cara pembakaran sehingga menjadi kapur tohor (CaO) atau kapur padam Ca(OH)2. Selain itu kapur dapat juga dimanfaatkan untuk dibuat sebagai bahan baku nutrisi ternak yang dikenal dengan kalsium hidrofosfat (CaHPO4). Penggunaan batu kapur yang lain adalah untuk bahan campuran bangunan, industri karet dan ban, kertas dan lain-lain. Di industri polimer batu kapur digunakan sebagai aditif untuk menstabilkan, memodifikasi dan meningkatkan performa polimer. Penambahan aditif atau bahan pengisi seperti TiO2, SiO2, talc, ZnO2 dan CaCO3 ke dalam polimer akan memperbaiki sifat-sifat fisika. Bahan pengisi alam yang sering digunakan adalah kalsium karbonat, karena kelimpahannya di alam. Bahan pengisi ini telah ditambahkan ke dalam matrik polimer seperti: poli vinil klorida, poli propilen, elastomer dan poli ester rantai tak jenuh. Bahan pengisi lain yang juga telah banyak digunakan adalah partikel tanah liat seperti kaolinit dan metakaolin. Penambahan bahan pengisi dalam ukuran nano telah banyak dilakukan karena pendekatan ini menarik yaitu daerah antar muka (interface) antara bahan pengisi dan matrik dapat mencapai beberapa ratus meter persegi, sehingga menghasilkan peningkatan interaksi antar muka dan sifat material secara makroskopik. Bahan komposit dengan bahan pengisi ukuran nano yang kemudian dinamakan nanokomposit telah banyak dipelajari karena memiliki sifat-sifat gabungan yang tidak umum (Lorenzo 2002; Wan 2003; Chabert 2004). Sifat-sifat yang nyata berbeda dari bahan dasarnya diperoleh sebagai konsekuensi dari luas muka yang bertambah besar jika digunakan bahan pengisi dari bahan nano (Chen 2004). Bahan pengisi ukuran nano yang digunakan adalah montmorillonite (Wang 2004), silika (Garcia 2004) dan karbonat (Mishra 2005),
dimana bahan pengisi ini akan meningkatkan kekuatan, modulus dan keuletan. Pembuatan partikel nano bisa dilakukan secara fisika maupun kimia. Cara fisika adalah paling mudah dan sederhana yaitu dengan melakukan penggerusan di dalam alat seperti ball mill. Sedangkan cara kimia bisa dilakukan dengan berbagai metode seperti evaporasi gas, presipitasi dan sol-gel. Milling atau penggilingan adalah suatu proses mekanik untuk menghancurkan suatu bahan dengan alat yang bekerja berputar sehingga ukuran butiran akan semakin kecil. Penggilingan ini dapat menghancurkan struktur mineral dan dihasilkan partikel nano dengan luas muka yang meningkat. Milling merupakan proses mekanik untuk menghancurkan suatu bahan menjadi partikel yang lebih kecil dengan suatu alat yang berputar. Proses milling ini merupakan proses penghalusan secara fisika, kapur alam digerus dengan menggunakan High Energy Milling (HEM) seri 8000 M. Prinsip kerja alat HEM ini adalah menghancurkan suatu bahan atau memperkecil ukuran partikel dengan mencampurnya secara homogen. Bahan ditempatkan dalam wadah yang di dalamnya terdapat bola-bola logam untuk menggiling bahan menjadi lebih kecil. Perbandingan berat antara bahan dengan bola adalah 1 : 2. Perbandingan ini berpengaruh terhadap ukuran partikel yang dihasilkan. Wadah kemudian ditempatkan dalam alat milling dan dijepit dengan kuat. Waktu penggilingan dapat dipilih. Setelah alat dihidupkan wadah tadi akan berputar bolak-balik sehingga bahan dapat tercampur dan bola-bola logam bekerja untuk menghaluskan bahan menjadi lebih halus lagi. Ball milling telah digunakan oleh industri sejak dahulu untuk melakukan pengurangan ukuran suatu bahan. Sekarang ini bahan dengan struktur mikro dan sifat-sifat baru dapat diperoleh dengan menggunakan proses high energy ball milling. Ada tiga metode yang secara umum dapat digunakan untuk membedakan kelakuan partikel serbuk selama proses milling, yaitu: mechanical alloying (MA), mechanical milling (MM) dan mechanochemical synthesis (MS). Beberapa keuntungan memproses bahan menjadi nanopartikel dengan menggunakan HEM adalah: ukuran beraneka ragam yang bagus, skala besar dan biaya murah. Oleh karena itu proses HEM sangat sesuai untuk memproduksi bahan nanopartikel skala besar. Makalah ini merupakan studi awal untuk membuat bahan pengisi kapur alam berukuran
Efek Waktu Milling terhadap Karakterisasi …………………... Indra Gunawan dkk
103
nanometer dengan menggunakan alat High Energy Milling (HEM). Tujuan penelitian untuk adalah mengetahui hubungan antara waktu penggerusan terhadap ukuran partikel karbonat. Penelitian di bidang teknologi nano membutuhkan alat karakterisasi canggih seperti: Transmission Electron Microscope (TEM), Scanning Electron Microscope (SEM), Atomic Force Microscope (AFM), Scanning Tunneling Microscope (STM) dan beberapa fasilitas spektroskopis. Ketiadaan alat seperti AFM dan kesulitan yang tinggi jika menggunakan TEM tidak berarti akan membatasi penelitian di bidang teknologi nano. Satu cara untuk melakukan karakterisasi struktur nano adalah dengan menggunakan X-Ray Difraction (XRD) melalui metode Scherrer. Ukuran partikel nano ditentukan dengan mempelajari pola pelebaran puncak intensitas yang diukur dari data difraksi sinar-X (XRD), dengan menggunakan persamaan Scherrer (Abdullah, 2008).
Gambar 1. Pola difraksi yang diperoleh dari bahan kapur alam
011 001
BAHAN DAN METODE Bahan Bahan-bahan yang digunakan adalah kapur alam, air demineralisasi, dan etanol. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah HEM seri 8000 M dan XRD merk Phillips PW 2213/20. Metode Kapur alam dihaluskan dengan mortar dan diayak dengan ayakan sampai ukuran 400 mesh. Kapur hasil ayakan dicuci dengan air demineralisasi dan dikeringkan di oven pada 110 oC. Setelah kapur kering kemudian digerus dengan HEM pada variasi waktu milling 3, 6, 9, 12, 15 dan 18 jam. Cuplikan diambil pada tiap interval waktu milling dan dikarakterisasi dengan XRD.
012
Gambar 2. Pola difraksi Ca(OH) 2 standar dari Merck
104
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil karakterisasi kapur alam dengan metode XRD ditunjukkan pada Gambar 1. Pada Gam bar 1 dit unj uk ka n pol a dif raksi yang diperoleh dari bahan kapur alam yang digunakan di penelitian ini. Gambar 2 adalah pola difraksi dari Ca(OH) 2 standar dari Merck. Sedangkan Gambar 3 adalah pola difraksi dari CaCO 3 derajat pro analisis standar dari Merck. Ca(OH)2 memiliki nama mineral portlandite adalah kristal h ek s ag on a l . F asa kri st al p o rt l an d i t e i n i
113
202
012 1
2
0
Gambar 3. Pola difraksi CaCO 3 derajat pro analisis standar dari Merck
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 102-106
104
Hasil eksperimen menunjukkan semakin kecil ukuran kristal semakin lebar pola difraksi yang diperoleh. Kristal dengan ukuran besar dan orientasinya tunggal akan menghasilkan puncak yang tinggi dan tajam menyerupai garis. Sebaliknya kristal yang kecil akan menghasilkan puncak yang melebar, hal ini disebabkan oleh kristal dengan ukuran kecil memiliki jumlah bidang difraksi lebih terbatas. Oleh karena itu pelebaran puncak difraksi dapat memberikan informasi tentang ukuran kristal. Ukuran kristalin ditentukan dengan menggunakan persamaan Scherrer, hasilnya dicatat di Tabel 1 dan Gambar 5. Persamaan Scherrer dapat dituliskan sebagai berikut : Gambar 4. Pola difraksi dari kapur alam pada variasi waktu milling
dengan, t = ukuran partikel K = konstanta, nilainya 0,87 – 1 (biasanya dianggap 1) λ = panjang gelombang sinar-X B = FWHM pada 2θ Tabel 1. Hubungan ukuran kristalin terhadap waktu milling Waktu Milling (jam)
Ukuran Kristalin Ca(OH)2 (nm)
Ukuran Kristalin CaCO3 (nm)
3
1125
9000
6
1000
4500
9
562,5
1800
12
562,5
1500
15
692,3
1500
18
473,7
600
u ku ra n p artik el, n m
ditunjukkan dengan pola difraksi yang tajam dan tinggi pada sudut 2θ = 34,153; 18,073 dan 47,193 bersesuaian dengan refleksi bidang 011, 001 dan 012. Sedangkan CaCO3 memiliki nama mineral kalsit berstruktur kristal heksagonal. Puncak difraksi CaCO3 terlihat pada sudut 2θ = 29,430; 39,398; 43,130 dan 23,052 bersesuaian dengan refleksi bidang 104, 113, 202 dan 012. Pola difraksi kapur alam yang digunakan pada penelitian ini memiliki puncakpuncak pada sudut 2θ = 18,073; 23,052; 29,430; 34,153; 39,398; 43,130 dan 47,193. Puncakpuncak ini adalah milik Ca(OH)2 dan CaCO3, sehingga disimpulkan bahwa kapur alam yang digunakan di penelitian ini adalah gabungan dari kedua senyawa tersebut. Gambar 4 menunjukkan pola XRD yang dicatat untuk kapur alam sebelum dilakukan proses milling (0 jam) dan berturut-turut untuk waktu milling 3 jam, 6 jam, 9 jam, 12 jam, 15 jam dan 18 jam. Gambar 4 juga menunjukkan penurunan intensitas puncak pola XRD dari bahan awal (waktu milling 0 jam). Hal ini menunjukkan bahwa kandungan fase awal tergerus menjadi partikel lebih kecil selama proses waktu milling. Efek pelebaran pola difraksi yang terjadi menunjukkan partikel kapur alam berisikan jumlah besar dari lattice Ca(OH)2 dan CaCO3 akibat penggerusan dengan High Energy Milling. Hal ini dapat juga terjadi karena ukuran partikel semakin mengecil pada waktu milling semakin lama. Metode Scherrer dapat memperkirakan ukuran kristalin selain ukuran partikel. Partikel yang besar terdiri dari banyak kristalin, tetapi partikel nano mungkin hanya terdiri dari satu kristal.
t = Kλ/B cos θB ................................(1)
10000 Ca(OH)2 CaCO3
8000 6000 4000 2000 0 0
5
10
15
20
waktu milling , jam
Gambar 5. Pengaruh waktu milling terhadap ukuran partikel Ca(OH) 2 dan CaCO3 yang dihitung dengan menggunakan persamaan Scherrer
Efek Waktu Milling terhadap Karakterisasi …………………... Indra Gunawan dkk
105
Dari Tabel 1 yang kemudian digambarkan dengan Gambar 5 terlihat jelas bahwa ukuran partikel Ca(OH)2 maupun CaCO3 menjadi mengecil dari 1125 nm pada waktu milling 3 jam menjadi 473,7 nm pada waktu milling 18 jam untuk Ca(OH)2, atau terjadi penurunan ukuran partikel sebesar 57,9%. Sedangkan untuk partikel CaCO3 pengecilan ukuran partikel terjadi dari 9000 nm pada waktu milling 3 jam menjadi 600 nm pada waktu milling 18 jam, atau terjadi penurunan ukuran partikel sebesar 93,3%. KESIMPULAN 1. Dari pola difraksi sinar-X disimpulkan bahwa kapur alam terdiri dari senyawa kalsium hidroksida atau Ca(OH)2 dan kalsium karbonat atau CaCO3. 2. Dengan menggunakan persamaan Scherrer dapat dihitung ukuran kristalit penyusun kapur alam tersebut dari pelebaran puncak yang terjadi, menunjukkan bahwa ukuran partikel Ca(OH)2 mengecil dari 1125 nm pada waktu milling 3 jam menjadi 473,7 nm pada waktu milling 18 jam, atau terjadi penurunan ukuran partikel sebesar 57,9%. Sedangkan untuk partikel CaCO3 pengecilan ukuran partikel terjadi dari 9000 nm pada waktu milling 3 jam menjadi 600 nm pada waktu milling 18 jam, atau terjadi penurunan ukuran partikel sebesar 93,3%.
characterization of poly(ethylene terephtalate) / calcium carbonate nanocomposites. J. Mat. Sci., 37 : 23512358. Mishra, S. and S.G. Shimpi. 2003. Comparison of nano CaCO3 and fly ash filled with styrene butadiene rubber on mechanical and thermal properties. J. Sci. Ind. Res. 64 : 744-751. Wan C.X., Qiao, Zhang Y. 2003. Effect of epoxy resin on morphology and physical properties of PVC/organophylic montmorillonite composites. J. Appl. Polym. Sci. 89: 2164-2191. Wang Y.Q., Y.P. Wu, H.F. Zhang, L.Q. Zhang, B. Wang, and Z.F. Wang. 2004. Free volume of montmorillonite/styrene butadiene rubber nanocomposites estimated by positron annihilation lifetime spectroscopy, Macromol. Rapid Commun. 25: 1973-1978.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. and Khairurrijal. 2008. Derivation of scherrer relation using an approach in basic physic course. J. nano saintek., 1: 28-32. Chabert, E., M. Bornet, E.B. Lami, J.Y. Cavaille, R. Dendievel, C. Gauthier, J.L. Putaux, and A. Zaoui. 2004. Interaction and viscoelastic behavior of polymer nanocomposites. Mat. Sci. & Eng. A. 381: 320-330. Chen, N., C. Wan, and Y. Zhang. 2004. Effect of nano CaCO3 on mechanical properties of PVC and PVC/blendex blend. Polym. Test 23: 169-174. Garcia M., Van Vliet G., Jain S., Schrauwen B.A.G., Sarkissov A., Van Zyl W.E., Boukamp B. 2004. Polypropylene/SiO2 Nanocomposites with Improve Mechanical Properties. Rev. Adv. Mater. Sci. 6 :169-175. Lorenzo M.I., M.F. Errico, and M. Avella. 2002. Thermal and morphological
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 102-106
106
PENGARUH WAKTU REAKSI DAN SUHU PADA PROSES OZONASI TERHADAP PENURUNAN WARNA, COD DAN BOD AIR LIMBAH INDUSTRI TEKSTIL (EFFECT OF REACTION TIME AND TEMPERATURE IN OZONATION PROCESS TO REDUCE COLOUR, COD AND BOD FOR WASTE WATER FROM TEXTILE INDUSTRIES)
Emmy Ratnawati Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No.1, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Received 25 Maret 2011; accepted 11 April 2011
ABSTRAK Air limbah industri tekstil pada umumnya bersifat alkali, berbau, berwarna, panas dan mempunyai TSS, BOD dan COD yang tinggi. Oleh karena itu selain berwarna, air limbah industri tekstil mengandung bahan-bahan organik dan logam berat yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Proses ozonasi merupakan metode alternatif untuk mengolah lair limbah industri tekstil terutama untuk menghilangkan warna dasar biru, hitam dan merah yang dengan pengolahan secara kimia dan biologi tidak maksimal dapat dihilangkan. Penelitian dengan proses ozonasi pada air limbah industri tekstil telah dilakukan dengan menggunakan alat ozon generator atau pembangkit ozon dengan sistem corona discharge, flowrate (jumlah aliran sumber gas O2) yang optimal sebesar o o o o o o 3 liter/menit, variabel suhu 30 C, 40 C, 50 C, 60 C, 70 C dan 80 C dengan variabel waktu proses 0 menit, 15 menit, 30 menit, 45 menit dan 60 menit. Kondisi optimum proses ozonasi dicapai pada variabel suhu 50oC dan waktu proses 60 menit dengan hasil uji effluent untuk warna, dapat diturunkan dari 5640 mg/L PtCo menjadi 332 mg/L PtCo atau efisiensi sebesar 94,1%. Selain dapat menghilangkan warna, proses ozonasi dapat menurunkan nilai COD dan BOD air limbah dengan nilai COD dari 780 mg/L menjadi 210 mg/L atau penurunan (removal) sebesar 73,1% dan BOD dari 410 mg/L menjadi 108 mg/L atau penurunan (removal) sebesar 73,6%. Nilai ini masih diatas Baku Mutu Air Limbah yaitu COD 100 mg/L dan BOD 75 mg/L. Kata kunci: Ozonasi, Waktu Reaksi, Suhu, Penurunan warna, Air limbah industri tekstil
ABSTRACT Textile industry waste water normally alkaline, smell, colored, warm and high content of TSS, BOD and COD. Instead of colored, textile industry waste water content of organic material and dangerous heavy metals for human and environment. Ozonation process is an alternative method for textile waste water to remove the basic color of blue, black and red in which can not be maximal by chemical and biological treatment. Research on the textile industry waste water by ozonation had been done by ozone generator corona discharge system, flowrate on 3 litre/minutes, temperature variable 30oC, 40oC, 50oC, 60oC, 70oC and 80oC with time process variable at 0, o 15, 30, 45 and 60 minutes. The optimum ozonation process reach at temperature variable 50 C at 60 minutes with effluent result color decreasing from 5640 mg/L PtCo to 332 mg/L PtCo or at 94,1% efficiency. Instead of removing color, ozonation process can reduce COD and BOD waste water, COD from 780 mg/L to 210 mg/L or removal at 73,1%, and BOD from 410 mg/L to 108 mg/L or removal at 73,6 %. This value is still over than waste water standard requirement i.e COD 100 mg/L and BOD 75 mg/L. Key words : Ozonation, Reaction time, Color decreasing, Textile industry waste water
PENDAHULUAN Kemajuan industri yang sangat pesat akan berdampak pada limbah industri yang
semakin bertambah baik jumlah maupun volumenya. Akibatnya limbah yang dibuang
Pengaruh Waktu Reaksi dan Suhu …………………… Emmy Ratnawati
107
ke lingkungan akan semakin berat, di pihak lain kemampuan alam untuk menerima beban limbah terbatas sehingga bisa dipastikan bahwa self purification oleh alam saat ini telah terlampaui. Terdapat berbagai jenis limbah industri, tergantung pada bahan baku dan bahan penolong serta proses produksi yang digunakan. Oleh karena itu masing-masing industri memerlukan pemecahan masalah tersendiri untuk dapat mencapai baku mutu air limbah yang ditetapkan. Industri tekstil merupakan industri yang dalam prosesnya menggunakan air dalam jumlah yang sangat banyak. Air limbah industri tekstil pada umumnya bersifat alkali, berbau, berwarna, panas dan mempunyai TSS, BOD dan COD yang tinggi. Oleh karena itu selain berwarna, air limbah industri tekstil mengandung bahanbahan organik dan logam berat yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Pada umumnya pengolahan air limbah industri tekstil yang banyak dilakukan adalah pengolahan secara koagulasi, sedimentasi dengan mengguna-kan bahan kimia serta proses biologi aerob. Proses biologi ini memerlukan waktu yang relatif lama karena melibatkan reaksi biokimia bertahap yang merupakan hasil metabolisme mikroorganisme dan lumpur aktif. Pengolahan air limbah dengan proses kimia dan biologi tersebut belum mem-berikan hasil yang maksimal terutama untuk penurunan warna . Pada beberapa industri yang telah melakukan pengolahan air limbah mengalami kesulitan dalam proses penurunan warna terutama untuk warna dasar merah, biru dan hitam. Untuk mengatasi masalah ini perlu metode alternatif yang lebih efisien dalam mengolah air limbah industri tekstil yaitu dengan proses ozonasi. Proses ozonasi merupakan proses oksidasi lanjutan yang menggunakan radikal hidroksil (OH). Proses ozonasi ini biasa digunakan dalam pengolahan air minum disamping untuk mengolah air limbah. Selain ozon (O3) bahan lain yang digunakan dalam proses oksidasi lanjutan adalah hidrogen peroksida (H2O2), ultraviolet (UV),
dan Photocatalytic (UV /Katalis TiO2 ). Pada pengolahan air limbah industri, proses oksidasi lanjutan dapat menghilangkan sianida, pestisida, senyawa halogen, kloroform, tetrakloroetien, bromoklorometana, anthrazine, simazine, Methyl Tertiary Buthyl Ether (MTBE), N – nitroso Di Methyl Amine (NDMA), menurunkan BOD dan COD. Penerapan oksidasi lanjutan pada pencemaran udara dapat menghilangkan bau, Volatile Organic Matter (VOC), NO2 dan SO2, sedangkan pada pengolahan limbah padat (sludge) oksidasi lanjutan dapat menguraikan kandungan organik dalam sludge dan tanah. Proses ozonasi ini lebih efisien dibandingkan dengan proses kimia dan biologi karena dapat mengurangi jumlah sludge yang terbentuk oleh penggunaan bahan kimia yang banyak, dapat membunuh organisme karena pada proses ozonasi digunakan zat yang bersifat desinfektan sehingga mikroorganisme tidak dapat hidup, menghemat lahan karena proses ozonasi hanya memerlukan reaktor ozonator dan kompresor, hemat energi karena memerlukan energi yang cukup kecil dan air limbah yang telah diolah (effluent) memungkinkan untuk digunakana kembali (reuse) untuk proses produksi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode alternatif pengolahan air limbah industri tekstil terutama untuk menghilangkan warna dengan cara memutus ikatan chromophor (ikatan warna) sehingga menjadi CO2 dan air, menurunkan kadar COD dan BOD dengan cara penguraian senyawa organik dengan radikal hidroksil dan menghilangkan bau dengan memutus ikatan aromatik dengan variabel waktu ozonasi dan suhu. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air limbah industri tekstil di Jababeka Indikator pH, oksigen, pereaksi untuk uji COD dan BOD. Alat-alat yang digunakan antara lain :
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 107-112
108
Ozone generator tipe corona discharge, merupakan pembangkit ozon dengan sistem corona discharge. Kontaktor ozon dan diffusernya. Filter udara, berfungsi untuk menghilangkan kadar air dalam gas sehingga tidak merusak ozon generator. Flowmeter untuk mengetahui jumlah aliran ozon dengan satuan liter per menit. Selang sebagai penghubung antara sumber udara, ozon generator, flowmeter dan diffuser. Reaktor limbah kapasitas 100 liter. Pompa dan pipa ventury, berfungsi untuk aliran recycle limbah dan recycle ozon apabila terlepas ke udara. Tabung oksigen dan regulatornya. Termometer, spektrofotometer, pH meter, peralatan gelas dan peralatan pengujian untuk COD dan BOD.
Metode Uji yang dilakukan terhadap air limbah industri tekstil meliputi pH, COD, BOD dan warna. Regulator tabung oksigen diatur pada tekanan sebesar 2 kg/cm2. Flowrate juga diatur untuk mendapatkan flowrate yang optimal dengan melakukan percobaan pada flowrate 1 liter/menit, 3 liter/menit dan 5 liter/menit selama 0 sampai 6 jam. Kedalam air limbah sebanyak 100 liter diallirkan ozon dengan flowrate (jumlah aliran sumber gas O2) sebesar flowrate efektif yang diperoleh dari percobaan sebelumnya, kemudian dilakukan proses ozonasi sesuai dengan variabel yang telah ditentukan yaitu suhu 30 0C, 40 0C, 500C, 60 0C, 70 0C dan 80 0C, waktu 0 menit, 15 menit, 30 menit, 45 menit dan 60 menit, sedangkan untuk pH adalah pH asli air limbah yaitu sebesar 7,42. Tahap selanjutnya adalah mencari pengaruh waktu reaksi proses ozonasi terhadap perubahan konsentrasi warna untuk suhu yang berbeda
dan menghitung efisiensi penurunan warna untuk mendapatkan kondisi optimum untuk waktu reaksi dan suhu setelah diuji konsentrasi warnanya dengan menggunakan spektrofotometer. Setelah diketahui kondisi optimum untuk waktu reaksi dan suhu dilakukan pengujian terhadap nilai COD , BOD dan pH dari air limbah yang telah diolah dengan proses ozonasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan flowrate (jumlah aliran sumber gas O2) yang optimal Tahap pertama perlu dicari kondisi optimal untuk jumlah output ozon yang tepat untuk konsentrasi yang optimal. Percobaan penentuan flowrate (jumlah aliran sumber gas O2) dilakukan pada flowrate 1 liter/menit, 3 liter/menit dan 5 liter/menit selama 0 sampai 6 jam. Kondisi tekanan tabung oksigen sebesar 2 kg/cm2, volume air limbah 100 liter pada suhu kamar (27 oC). Hasil percobaan penentuan flowrate (jumlah aliran sumber gas O2) dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1. Tabel 1. Penentuan flowrate (jumlah aliran sumber gas O2) optimal berdasarkan penurunan warna air limbah pada proses ozonasi 0 jam sampai 6 jam Waktu ozonas i (jam)
Konsentrasi warna pada flow 1 L/mnt (PtCo)
Konsentrasi warna pada flow 3 L/mnt (PtCo)
Konsentrasi warna pada flow 5 L/mnt (PtCo)
0
5640
5640
5640
0,5
5380
5240
5440
1,0
5320
4660
5120
1,5
5130
4400
4980
2,0
4980
4350
4790
2,5
4570
3830
4670
3,0
4300
3630
4280
3,5
4230
3300
3870
4,0
4100
3280
3770
4,5
3940
3050
3450
5,0
3750
2770
3380
5,5
3730
2750
3280
6,0
3350
2490
2990
Pengaruh Waktu Reaksi dan Suhu …………………… Emmy Ratnawati
109
Gambar
1.
Pengaruh flowrate terhadap grafik penurunan warna air limbah setelah proses ozonasi selama 0 sampai 6 jam pada beberapa flowrate yang berbeda
Pengaruh flowrate terhadap penurunan warna air limbah setelah proses ozonasi selam 0 sampai 6 jam Dari Tabel 1, 2 dan Gambar 1 dapat dilihat bahwa flowrate (jumlah aliran gas O2) yang optimal adalah pada flowrate 3 liter/ menit yaitu dengan efisiensi sebesar 52%, sementara efisiensi untuk flowrate 1 liter/ menit sebesar 34% dan untuk flowrate 5 liter/menit sebesar 47%. Oleh karena itu untuk penelitian selanjutnya menggunakan flowrate optimal sebesar 3 liter/ menit Pengaruh waktu reaksi dan suhu terhadap perubahan konsentrasi warna pada proses ozonasi Pengolahan air limbah yang berdasarkan reaksi kimia akan berlangsung dengan baik apabila kondisi proses kondusif untuk berlangsungnya proses tersebut. Tabel 2. Efisiensi penurunan warna pada beberapa flowrate setelah proses ozonasi selama 6 jam Parameter
Efisiensi penurunan warna setelah ozonasi 6 jam (%).
Flowrate 1 L/jam
34
Flowrate 3 L./ jam
52
Flowrate 5 L./ jam
47
Menurut Hawley (1985) dalam Condensed Chemical Dictionary kondisi proses tersebut adalah suhu, waktu /lama reaksi, pH dan kelarutan. Untuk pH ditunjukkan bahwa ozon mampu bekerja pada pH 2 sampai 12. Oleh karena itu pada penelitian ini pH tidak dibuat variabel dan menggunakan pH asli air limbah yaitu sebesar 7,42. Hal ini dilakukan untuk mengurangi penggunaan bahan kimia yang ditambahkan untuk mengatur pH. Berdasarkan sifat fisiknya kelarutan ozon dalam air limbah dipengaruhi oleh suhu air limbah tersebut. Kelarutan ozon yang lebih besar dalam air limbah secara otomatis akan meningkatkan konsentrasinya sehingga kemampuan oksidasinya akan semakin meningkat. Air limbah industri tekstil yang baru keluar dari proses produksi pada umumnya mempunyai suhu sekitar 60oC hingga 80oC, karena air limbah tersebut berasal dari proses pencelupan warna dan proses pencucian yang memerlukan suhu tinggi. Suhu mempunyai peranan yang penting dalam pengolahan air limbah industri tekstil. Pada pengolahan air limbah secara kimia fisika dan biologi pertama kali dilakukan penurunan suhu hingga mencapai 30oC, baru dilakukan proses pengolahan. Pada penelitian pengolahan air limbah industri tekstil secara ozonasi ini juga dilakukan proses ozonasi dengan berbagai variabel suhu untuk mendapatkan suhu yang optimum.. Hasil analisa air limbah industri tekstil adalah pH awal sebesar 7,42, COD 1250 mg/L dan warna sebesar 5640 mg/L PtCo. Dari hasil percobaan pengaruh waktu proses ozonasi 0 menit, 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan 60 menit terhadap perubahan konsentrasi warna air limbah dengan variabel suhu 30oC, 40oC, 50oC, 60oC, 70oC dan 80oC terjadi penurunan warna air limbah seperti dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 2. Pada Tabel 3 dan Gambar 2 dan Tabel 4 dapat dilihat adanya pengaruh suhu terhadap penurunan warna pada proses ozonasi air limbah industri tekstil.
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 107-112
110
Tabel 3. Hasil analisa warna dari proses ozonasi air limbah dengan variabel waktu reaksi dan suhu yang berbeda. Warna air limbah setelah proses ozonasi (mg/L PtCo)
Menit 0
30 C
0
0
40 C
50 C
600 C
0
70 C
0
80 C
0
5640
5640
5640
5640
5640
5640
15
2750
2050
1620
1860
2415
2090
30
1340
900
685
985
1135
1245
45
693
524
397
553
670
760
60
492
379
332
454
555
670
Gambar 2. Grafik perubahan konsentrasi warna untuk waktu reaksi proses ozonasi dan suhu yang berbeda.
Tabel 4. Data efisiensi penurunan warna setelah proses ozonasi selama 60 menit pada suhu 0 0 yang berbeda (30 C – 80 C) Suhu 0 ( C) 30 40 50 60 70 80
Warna awal (mg/L Pt Co) 5640 5640 5640 5640 5640 5640
Warna setelah 1 jam (mg/L Pt Co) 492 379 332 454 555 670
Efisiensi (%) 91,2 93,2 94,1 91,9 90,1 88,1
Pada suhu 30 o C deng an wa ktu reaksi 60 menit terjadi penurunan warna dari 5640 mg/L PtCo menjadi 492 mg/L PtCo dengan efisiensi penurunan warna sebesar 91%. Pada suhu 40 o C dengan waktu reaksi 60 menit terjadi penurunan warna dari 5640 mg/L PtCo menjadi 379 mg/L PtCo dengan efisiensi penurunan warna sebesar 93%. Pada suhu 50 o C
dengan waktu reaksi 60 menit terjadi penurunan warna dari 5640 mg/L PtCo menjadi 332 mg/L PtCo dengan efisiensi penrunan warna sebesar 94%. Pada suhu 60oC dengan waktu reaksi 60 menit terjadi kenaikan warna dibandingkan dengan ozonasi pada suhu 50oC, yaitu dari 5640 mg/L PtCo menjadi 454 mg/L PtCo dengan efisiensi 92%. Pada suhu 70oC dengan waktu reaksi 60 menit terjadi kenaikan warna dibandingkan dengan ozonasi pada suhu 60oC dari 5640 mg/L PtCo menjadi 555 mg/L PtCo dengan efisiensi 90%. Pada suhu 80oC dengan waktu reaksi 60oC terjadi kenaikan warna dibandingkan dengan ozonasi pada suhu 70oC yantu dari 5640 mg/L PtCo menjadi 670 mg/L PtCo dengan efisiensi 88%. .Hal ini disebakan oleh zat warna yang terurai kembali pada suhu 60oC, 70oC dan 80oC. Oleh karena itu suhu optimum pada proses ozonasi adalah suhu 50oC dengan waktu reaksi 60 menit dengan efisiensi penurunan warna sebesar 94%. Dengan kondisi optimum ini maka air limbah yang akan diolah memerlukan penurunan suhu 10 oC sampai 30oC apabila air limbah yang keluar dari proses produksi bersuhu antara 60oC hingga 80oC. Pengaruh suhu setelah proses ozonasi 60 menit (1 jam) terhadap perubahan nilai COD dan BOD. Setelah melalui proses ozonasi selama 60 menit, air limbah yang telah diolah diuji nilai COD dan BOD nya pada suhu 30oC sampai 80oC, seperti dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil uji COD dan BOD setelah proses ozonasi selama 60 menit.
Parameter
Awal (suhu 0 70 C,0 menit)
Setelah proses ozonasi selama 60 menit 0
Suhu ( C) 30
30
3 0
30
30
30
COD (mg/L)
780
65 1
41 5
2 1 0
37 0
41 0
42 0
BOD (mg/L)
410
35 0
22 0
1 0 8
18 0
25 5
37 0
Pengaruh Waktu Reaksi dan Suhu …………………… Emmy Ratnawati
111
dicapai setelah dilakukan pengolahan lanjutan seperti aerasi. Dari Tabel 5 untuk uji COD dan BOD setelah dilakukan proses ozonasi terhadap air limbah selama 60 menit atau 1 jam terjadi penurunan nilai COD dan BOD yang optimal pada suhu ozonasi 50oC yaitu sebesar 210 mg/L untuk COD dan 108 mg/L untuk BOD, yang mana nilai ini masih diatas Baku Mutu Limbah Cair yang ditetapkan sesuai KEPMENLH No 51 tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair untuk Kegiatan Industri yaitu COD sebesar 100 mg/L dan BOD sebesar 75 mg/L, sedangkan untuk warna tidak ada dalam Baku Mutu tetapi secara visual effluent hasil proses ozonasi sudah tidak berwarna. Nilai pH setelah proses ozonasi pada kondisi optimal tersebut adalah sebesar 7,88, sedikit mengalami kenaikan dari pH awal sebesar 7,42 sehingga tidak perlu dilakukan re-netralisasi. Kenaikan nilai pH ini disebabkan terbentuknya radikal OH dalam setiap reaksi ozon yang berlangsung. KESIMPULAN 1. Proses ozonasi dapat menghilangkan warna yang terlarut dalam air limbah industri tekstil seperti warna merah, biru atau hitam yang tidak dapat dihilangkan apabila menggunakan poses pengolahan secara kimia dan biologi. 2. Kondisi optimum proses ozonasi terjadi pada suhu 50oC selama 60 menit yang dapat menurunkan warna air limbah dari 5640 mg/L PtCo menjadi 332 mg/L PtCo atau efisiensi sebesar 94,1%. 3. Selain dapat menghilangkan warna, proses ozonasi dapat menurunkan nilai COD dan BOD air limbah setelah melalui oroses ozonasi optimum pada suhu 50oC, selama 60 menit dengan nilai COD dari 780 mg/L menjadi 210 mg/L atau penurunan (removal) sebesar 73,1% dan BOD dari 410 mg/L menjadi 108 mg/L atau penurunan (removal) sebesar 73,6%. Nilai ini masih diatas Baku Mutu Air Limbah yaitu COD 100 mg/L dan BOD 75 mg/L, yang dapat
DAFTAR PUSTAKA Anto, T.S. 2007. Sistem kompak pengolahan air limbah dengan metode AOP menggunakan teknologi plasma bedah teknis. Kementerian Lingkungan Hidup. Bowman, R.H. 2003. Ozone – peroxide advanced oxidation, water treatment system for treatment of chlorinated solvent and 1,4 dioxane. Applied process technology. Brandhuber, P. 2006. Detecting hydrogen peroxide concentration in advanced oxidation treatmant process. Waterscapes 17 (1). Canada. Gessner, G.H. 1985. The condensed chemical th dictionary 10 edition, Mc Graw Hill. th Jerome, M. 1991. Water treatment handbook 6 edition, Vol. 1. Degreemont France. Kirk, B.E. and D.R. Othmer. 1964. Ozone. encyclopedia of chemical technology IV. New York: Interscience Encyclopedia Inc. Kobayashi, N. 2003. Advanced oxidation process for wastewater treatment, nippon kika kankyo kogaku sogo shipujiumu koen kunbunshu Vol. 9, Japan. Lewis, S.R.J. 2001. Hewley’s condensed th chemical dictionary, 14 Edition. New York: John Wiley & Sons Inc. nd Lund, H.F. 2001. Recycling hand book, 2 Edition, USA: Mc. Graw Hill. McCabe, W., J. Smith, and P. Harriott. 1993. Unit operation of chemical engineering 5th edition. Singapore: Mc.Graw Hill. Metcalf and Eddy. 1991. Wastewater engineering treatment, disposal, reuse rd 3 edition. USA: Mac Graw Hill. Smith, L., J. Means, and E. Barth. 1995. Recycling and reuse of industrial wastes. USA: Battelle Memorial Institute.
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 107-112
112
BIOSORPSI LOGAM BERAT Cr (VI) DARI LIMBAH INDUSTRI PELAPISAN LOGAM MENGGUNAKAN BIOMASSA Saccharomyces cerevisiae DARI HASIL SAMPING FERMENTASI BIR (BIOSORPTION OF HEAVY METAL Cr (VI) FROM ELECTROPLATING INDUSTRY BY USING OF Saccharomyces cerevisiae BIOMASS FROM FERMENTATION WASTE IN BEER INDUSTRY)
Siti Naimah dan Rahyani Ermawati Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No 1, Pekayon Pasar Rebo, Jakarta E-mail:
[email protected] Received 18 Maret 2011; accepted 11 April 2011
ABSTRAK Limbah cair industri pelapisan logam mengandung logam berat terlarut Cr (VI) dalam konsentrasi tinggi dan berpotensi untuk mencemari lingkungan. Limbah cair industri pelapisan logam umumnya dihasilkan dalam jumlah relatif banyak dan bersifat sangat toksik. Untuk mencegah timbulnya masalah akibat limbah tersebut diperlukan suatu metode pengolahan yang sesuai dengan karakteristik limbah tersebut. Dalam penelitian ini metode biosorpsi diteliti untuk menyisihkan logam berat Cr (VI) tersebut dari limbah industri pelapisan logam yang terlarut, dengan menentukan kondisi optimum proses, tingkat penyisihan dan kualitas hasil pengolahan yang dapat dicapai. Biosorpsi merupakan metode alternatif yang dapat digunakan dalam mengatasi pencemaran lingkungan yang berasal dari industri yang mengandung logam berat. Biosorpsi ion logam Cr (VI) oleh biomassa Saccharomyces cerevisiae dilakukan pada variasi waktu kontak dan konsentrasi awal ion logam tersebut. Metode yang digunakan adalah metode batch dan konsentrasi ion logam Cr (VI) sebelum dan sesudah biosorpsi diukur dengan spektrofotometer serapan atom (SSA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat penyisihan Cr sekitar 76%, yaitu dari 100,28 mg/L menjadi 24,7 mg/L yang dapat dicapai pada kondisi waktu kontak 3 jam. Meskipun presipitasi dapat menurunkan konsentrasi logam berat terlarut cukup signifikan dengan dua kali pengolahan, tetapi konsentrasi logam Cr (VI) hasil olahan terlarut masih belum memenuhi ambang batas baku mutu untuk industri pelapisan logam sebesar 1,0 mg/L sehingga masih memerlukan penanganan lebih lanjut. Kata Kunci: Biosorpsi, Kromium, Saccharomyces cerevisiae, Adsorpsi, Pelapisan logam
ABSTRACT Liquid waste from electroplating industry contains high concentration of heavy metal Cr (VI) and has potential to pollute the environment. The liquid waste generated by electroplating industry is generally big quantity and extremely toxic. It is urgently need to find out an appropiate method to reduce the problems according to the liquid chracteristics. In this research work, precipitated and adsorbtion methods were evaluated to remove Cr (VI) from liquid industrial waste, covering determination of optimum process conditions, levels of removal and achievable treated waste quality. Biosorption is an alternative technique which can be used in solving environmental pollution coming from waste containing heavy metals. Biosorption of Cr (VI) ion using biomass of Saccharomyces cerevisiae at various contact time and initial concentration of Cr (VI) has been investigated. Biosorption was performed by a batch method and concentration of ions before and after absorption were measured by atomic absoption spectrophotometer (AAS). Results showed that Cr (VI) removal of 76%, from 100.28 mg/L to 24.7 mg/L was obtained by contact time 3 hours. Although heavy metal removal using precipitated was siginificant, but the concentration of heavy metal in the treated waste was still high and need for further treatment with the quality standard requirement of electroplating industry. Key words: Biosorption, Chromium, Sacharomyces cerevisiae, Adsorption, Electroplating
Biosorpsi Logam Berat Cr (VI) …………………… Siti Naimah dan Rahyani Ermawati
113
PENDAHULUAN Salah satu polutan yang mendapat perhatian dalam pengelolaan lingkungan adalah logam berat. Pembuangan limbah terkontaminasi oleh logam berat ke dalam sumber air bersih (air tanah atau air permukaan) menjadi masalah utama pencemaran karena sifat toksik dan tak terdegradasi secara biologis (non biodegradable). Jenis logam berat yang tergolong memiliki tingkat toksisitas tinggi antara lain Hg, Cd, Cu, Ag, Ni, Pb, As, Pb, CR, Sn, Zn, dan Mn (Kapoor et al. 1999). Pencemaran lingkungan oleh logam berat merupakan masalah yang serius saat ini karena sifat akumulasi logam tersebut dalam rantai makanan dan resistensinya di dalam ekosistem. Logam berat dapat berasal dari berbagai kegiatan industri seperti metalurgi, tekstil, baterai, penambangan, keramik dan lain sebagainya. Berbeda dengan logam biasa, logam berat biasanya menimbulkan efek khusus pada manusia. Salah satu sumber polutan logam berat adalah limbah cair yang berasal dari industri pelapisan logam. Limbah cair ini mempunyai nilai pH ekstrim rendah (1-5) dan kadar logam berat Cr terlarut sangat tinggi (konsentrasi Cr 540 mg/L). Logam ini dapat menyebabkan terjadinya keracunan yang menyebabkan pembengkakan pada hati (Palar 1994). Batas toleransi logam kromium dalam tubuh adalah 0,05 mg/L. Limbah cair ini hingga saat ini penanganannya hanya dengan proses kimia di mana sangat banyak membutuhkan bahan kimia dan memerlukan penanganan lebih lanjut untuk lumpur yang dihasilkan. Dari sisi jumlah limbah cair yang dihasilkan oleh suatu industri pelapisan logam sangat banyak dan bersifat sangat toksik. Secara kolektif dan dalam kurun waktu lama dapat berdampak nyata pada lingkungan apabila tidak dikelola secara memadai. Limbah industri pelapisan logam tergolong dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dan memerlukan penanganan secara khusus. Berbagai penelitian telah dilakukan dalam upaya pengolahan limbah Cr (VI) dengan penghilangan ion logam, di antaranya dengan metode oksidasi – reduksi, pengendapan, adsorpsi, pemadatan, rekoveri elektrolitik dan pertukaran ion. Aplikasi dari beberapa proses, kadang terbatas karena metode-metode tersebut memiliki kekurangan seperti pengikatan logam yang tidak sempurna, membutuhkan banyak bahan kimia dan energi,
serta menghasilkan produk endapan dan air beracun sebagai hasil samping. Masalah pencemaran logam oleh ion logam berat merupakan suatu tantangan dan biosorpsi merupakan solusi dari permasalahan tersebut (Viera & Valesky 2000). Biosorpsi merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan penghilangan logam berat melalui pengikatan pasif pada biomassa tumbuhan atau mikroorganisme yang tidak hidup dari larutannnya dalam air dan merupakan salah satu metode alternatif untuk menghilangkan ion logam berat dalam air limbah karena biayanya murah dan ketersediaan biosorbennya mudah dan melimpah. Berbagai biosorben telah diteliti untuk menghilangkan logam berat dari larutannya. Palar (1994) melaporkan bahwa fungi, bakteri dan ragi telah digunakan sebagai biosorben logam-logam berat seperti Cr, Co, Ni, Zn, Ag, Au, Pb, Th, dan U dengan kapasitas absorbsi bervariasi dari 0,4 mg/g hingga 450 mg/g. Beberapa macam fungi yaitu Aspergillus digunakan sebagai biosorben logam berat Pb (Wang et al. 2005). Sedangkan Pavasant, et.al. (2005) menggunakan makroalgae untuk +2 +2 +2 +2 menghilangkan Cu , Cd , Pb dan Zn , dan kitosan digunakan sebagai biosorben ion Pb+2. Biosorben lain yang digunakan untuk menghilangkan logam berat adalah tumbuhan macrophyte (Wang et al. 1995). Pembuatan bir yang ada di pasaran menggunakan fungi dari jenis Saccharomyces cerevisiae untuk merubah malt menjadi alkohol dengan menggunakan proses fermentasi. Selama ini hasil samping proses fermentasi pada pembuatan bir tersebut tidak digunakan tetapi hanya dibuang sebagai limbah dan tidak dimanfaatkan dan dikategorikan sebagai hasil samping yang bernilai ekonomi sangat rendah. Dalam keadaan terbuka, ampas bir sudah mengeluarkan bau tak sedap dan akan mengeluarkan gas. Bau tak sedap ini muncul akibat terjadinya proses pembusukan ampas bir yang amat cepat. Ampas bir mengandung protein 25,9% dan serat kasar 15%. Tingginya protein dan serat kabohidrat serta kadar air inilah yang mempermudah aktifitas mikroba pengurai. Proses penguraian dapat bersifat aerob (membutuhkan oksigen) atau bersifat anaerob (tidak membutuhkan oksigen). Ampas bir menghasilkan bau yang sangat khas berupa H2S dan NH3 serta berbagai bau menyengat
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 113-117
114
lainnya. Meskipun disimpan dalam tempat khusus, bau tak sedap ini tetap sulit dibendung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapasitas biosorpsi biomassa Saccharomycess cerevisiae yang berasal dari hasil samping fermentasi industri pembuatan bir untuk mengkat ion Cr (VI) dalam larutan limbah industri pelapisan logam. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kemampuan biosorben ini dalam larutan yang terkontaminasi oleh ion logam Cr (VI).
Analisa morfologi sel khamir
Blank
Khamir
Dengan mikroskop
Dengan SEM
Limbah bir
Gambar 1. Limbah bir dan karakteristiknya
Tabel 1. Konsentrasi total krom pada pelapisan logam
limbah
BAHAN DAN METODE Bahan Biomassa hasil samping fermentasi industri pembuatan bir, limbah pelapisan logam yang belum diolah, air suling, NaOH 50%, HNO3 pekat, K2Cr2O7, H2SO4, HgSO4, AgSO4, kalium hidrogen ptalat, barium klorida, natrium sulfat, alkohol 70%, buffered peptone water (peptone, NaCl, dinatrium hidrogen fosfat, kalium dihidrogen fosfat, dan air suling), potato dextrose agar (infusion from white potatoes, dextrose, agar dan air suling), asam tartrat 10%, dan antibiotik Streptomycine. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstruder, oven, jar test, kertas saring, lampu spiritus, cawan petri (100x15) mm, botol pengencer steril, pipet steril ukuran 1 ml dan 10 ml steril, lemari inkubasi (suhu 25ºC), mikroskop, timbangan analitik (Toledo, kapasitas 100 g), penangas air oven, tanur, desikator, labu Erlenmeyer 250 mL, cawan porselen, tabung sentrifusa, sentrifusa (Type H-103N), gelas piala 250 mL, gelas ukur, pH meter (Horiba F-22), pengaduk magnet, corong, pemanas listrik, Atomic Absorbtion Spectrophotometer (AAS) SHIMADZU 6501, Scanning Electron Microscope (SEM) JOEL-JED-2200 yang beroperasi pada 20kV. Metode Persiapan Biosorben Hasil samping industri fermentasi bir yang digunakan diambil dari satu industri di Bekasi, Jakarta. Setelah diendapkan kurang lebih satu malam, supernatan dibuang. Endapan yang ada o dikeringkan dalam oven 80 C selama 24 jam. S e l a m a p r o se s p e n g e r i n g a n i ni t e rj a di penurunan persen berat sebesar 66%. Setelah berbentuk pasta biosorben kemudian dibentuk pelet dengan menggunakan alat ekstruder
Parameter Cr
Pengambilan Mg/L I II 597,4 433,3
rata-rata III 515,13
515,28
sehingga berbentuk seperti tablet dengan tujuan agar biosorben tahan lama. Hal ini disebabkan jika tidak dibentuk pelet, hasil samping limbah bir tersebut akan terus terjadi fermentasi dan menimbulkan terbentuknya gas. Penentuan Waktu Kontak Optimum Biosorpsi Ion Cr (VI) Karakteristik limbah pelapisan logam yang diambil dengan waktu yang berbeda sebanyak tiga kali, setelah dianalisa dengan AAS hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1. Limbah pelapisan logam dimasukkan ke dalam 3 labu Erlenmeyer masing-masing 500 mL. Selanjutnya dilakukan penambahan biosorben kering ke dalam masing-masing labu Erlenmeyer dengan variasi berat : 2,5 g; 5 g; dan 7,5 g; masing-masing larutan tersebut diaduk dengan menggunakan seperangkat alat jar test pada kecepatan 250 rpm selama 60 menit. Larutan kemudian disaring dan supernatannya didestruksi terlebih dahulu sebelum dianalisis dengan menggunakan AAS. HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Waktu Kontak Optimum Biosorpsi Ion Cr (VI) oleh Biomassa Saccharomyces Cerevisiae Salah satu faktor yang mempengaruhi biosorpsi adalah waktu kontak. Waktu kontak optimum menunjukkan waktu yang digunakan oleh biosorben untuk mengadsorpsi dalam jumlah maksimum ion logam yang dapat diikat. Waktu kontak optimum dari biosorpsi ion logam
Biosorpsi Logam Berat Cr (VI) …………………… Siti Naimah dan Rahyani Ermawati
115
Cr (VI) oleh biomassa Saccharomyces cerevisiae ditentukan dengan menghitung biosorpsi sebagai fungsi waktu. Pada penentuan waktu kontak biosorpsi optimum untuk mengikat ion Cr (VI), digunakan 7,5 g biomassa S. cerevisiae yang masing-masing dicampur dengan 500 mL limbah pelapisan logam pada konsentrasi 100,28 mg/L dengan waktu pengadukan 3 jam. Biosorpsi sebagai fungsi waktu ditunjukkan pada Tabel 2. Dari Tabel 2, hubungan antara efektivitas biosorpsi terhadap waktu, menunjukkan bahwa biosorpsi Cr (VI) berlangsung dengan cepat. Proses biosorpsi maksimum dicapai pada kontak selama 3 jam dengan berat biosorpsi 7,5 g. Hal ini menunjukkan bahwa makin lama waktu yang digunakan maka akan semakin banyak zat terlarut yang dapat teradsorpsi, nama jumlah mencapai batas maksimum dan menurun pada waktu kontak 4 jam. Hal ini disebabkan karena permukaan biosorben (biomassa S. cerevisiae) telah tertutupi oleh lapisan Cr (VI) yang teradsorpsi. Dalam penelitian ini, waktu kontak selama 3 jam dengan berat biosorben sebanyak 7,5 g merupakan waktu kontak optimum dimana ion Cr (VI) teradsorpsi optimum. Meskipun presipitasi dapat menurunkan konsentrasi logam berat terlarut cukup signifikan, tetapi konsentrasi logam Cr (VI) hasil olahan terlarut masih belum memenuhi ambang batas baku mutu untuk industri pelapisan logam, sehingga efluen yang telah diolah dengan biomassa S. cerevisiae masih memerlukan penanganan lebih lanjut. Hasil Penentuan Biomassa S.cerevisiae Yang Telah Dibentuk Menjadi Pelet Biomassa S. cerevisiae dalam bentuk basah setelah dibuat pelet dengan pengeringan, berat kering menyusut sekitar 66 % dari berat basah. Kemudian pelet tersebut diamati kelarutan dalam air. Lamanya biomassa S. cerevisiae yang berbentuk pelet tersebut larut dan kondisi pelet selama disimpan dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 memperlihatkan bahwa semakin kecil kadar air biomassa S.cerevisiae yang berbentuk pelet semakin lama kelarutannya dalam air. Biomassa S.cerevesiae yang telah berbentuk pelet tersebut kondisinya stabil selama waktu penyimpanan 8 bulan.
Hasil Analisa Biomassa S.cerevisiae Setelah Kontak dengan Limbah Pelapisan Logam Menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) Biomassa S.cerevisiae setelah kontak dengan limbah pelapisan logam dianalisa dengan menggunakan SEM. Dari analisa dengan SEM-EDX terlihat bahwa biomassa S.cerevisiae yang belum digunakan untuk mengolah limbah Cr tidak terlihat adanya ion Cr yang diikat, tetapi setelah biomassa S. cerevisiae digunakan untuk mengolah limbah Cr dan diamati dengan SEM terlihat adanya ion Cr yang diikat Gambar 2. Hal ini menunjukkan bahwa biomassa S cerevisiae mereduksi ion Cr yang ada di limbah pelapisan logam dengan cara mengikat pada dinding sel. Ozer et al. 2003 menyebutkan bahwa S cerevisiae mempunyai potensi sebagai biosorben logam berat, hal ini dikarenakan mempunyai material dinding sel sebagai sumber pengikat logam yang tinggi mudah didapatkan karena banyak digunakan dalam proses fermentasi, sehingga menyebabkan konsentrasi Cr akan berkurang. Tabel 2. Biosorpsi ion Cr (VI) terhadap waktu kontak dengan biomassa S. cerevisiae (Konsentrasi Cr (VI)= 100,28 mg/L) Konsentrasi Cr
1
2
3
4
Zat Organik Rata-rata (mg/L)
2,5
28,9
43,2
55,6
50,7
600
5
48,4
46,4
32,2
42,2
7,5
36,2
34,07
24,7
51,6
Berat Biosorben (g)
Waktu (jam)
Tabel 3. Performa biomassa S cerevisiae setelah berbentuk pelet Jenis Pelet
Suhu (o C)
Waktu (jam)
Kadar Air (%)
Kelarutan Waktu Pelet Kontak (menit) (menit)
Kondisi Pelet Setelah 8 Bulan
serbuk
120
24
7,11
15
15-30
stabil
pelet 1
80
1
12,2
20
30-60
stabil
pelet 2
80
2
10,12
30
30-60
stabil
pelet 3
80
3
5,41
60
30-60
stabil
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 113-117
116
Wang, X-S., dan Y. Qin. 2006. Biosorption of heavy metal by Saccharomyces cerevisiae: A review. Biotechnology Advances: 427- 451. Laboratory of Environmental Technology Tsinghua University. Beijing.
Cr
SEBELUM
SESUDAH
a
b
Gambar 2. Hasil analisa SEM biomass S. Cerevisiae sebelum (a) dan sesudah (b) kontak dengan limbah pelapisan logam.
KESIMPULAN 1.
2.
Biomassa Saccharomyces cerevisiae yang berasal dari hasil samping proses pengolahan bir yang dikeringkan dapat digunakan sebagai biosorben ion logam Cr (VI) sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan pengolahan alternatif untuk penyisihan logam berat. Waktu kontak dan berat optimum biosorpsi S. cerevisiae terhadap ion Cr adalah 3 jam dengan berat 7,5 gram.
DAFTAR PUSTAKA Blackley, D.C. 1983. Synthetic rubbers: their chemistry and technology. London: Applied Science publishers. Kapoor, A. T. Vararaghavan, and D.R. Cullimore. 1999. Bioresource Technology: 70 - 95. Ozer, A. 2003. Comparative of the biosorption of Pb (II), Ni (II) and Cr (VI) Ions onto S. cerevisiae: Determination of Biosorption Heats. J. Hazard Material : 317-26. Palar, H. 1994. Pencemaran dan toksikologi logam berat. Yogyakarta: Bina Rupa Aksara. Pavasant, P., R. Apiratikul, V. Sungkhum, P. Suthiparinyanont, S. Wattanachira, and T. Marhaba. 2005. Bioressour. Technol. 97: 250 - 253. Vieira, R.H.S.F. and B. Volesky. 2000. Biosorption: a solution to pollution. International Microbiol. 3 : 17-24.
Biosorpsi Logam Berat Cr (VI) …………………… Siti Naimah dan Rahyani Ermawati
117
JENIS-JENIS BAHAN BERUBAH FASA DAN APLIKASINYA (PHASE CHANGE MATERIALS AND ITS APPLICATIONS)
Wiwik Pudjiastuti Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No. 1 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Received 25 Maret 2011; accepted 11 April 2011
ABSTRAK Bahan berubah fasa yang disebut sebagai bahan penyimpan panas laten adalah bahan yang mempunyai kemampuan untuk melepaskan energi panas yang sangat tinggi dalam waktu yang cukup lama tanpa mengalami perubahan suhu. Berdasarkan titik leleh dan panas peleburan latennya, bahan berubah fasa diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu bahan organik dan anorganik serta satu jenis lagi yang merupakan kombinasi keduanya. Yang termasuk bahan organik adalah kelompok parafin dan non parafin. Sedangkan bahan anorganik umumnya berupa hidrat garam dan logam (metallic). Seiring cepatnya perkembangan masyarakat dan kebutuhan akan energi terbarukan, penggunaan bahan berubah fasa menjadi sangat luas. Penggunaan ini meliputi aplikasi untuk bangunan, perlindungan dan transportasi produk yang peka terhadap suhu, ice storage dan beberapa aplikasi lain seperti green house dan cold storage. Kata kunci : Bahan berubah fasa, Bahan penyimpan panas laten, Titik leleh, Panas peleburan laten
ABSTRACT Phase change materials (PCMs) are known as latent heat storage material with releasing high thermal energy in a long time without changing in temperature. Based on melting point and latent heat of fusion, PCMs are classified into 2 (two) groups i.e. organic and inorganic materials and one combination between them. Organic materials are described as parafin and non parafin materials. Inorganic materials are classified as salts hydrates and metallics. With the rapid development of the society and demands for renewable energi, the used of PCMs become wide area of applications. These used are in the building applications, conservation and transport of temperature sensitive materials, ice storage, and some other applications such as green house and cold storage. Key words : Phase change materials, Latent heat storage materials, Melting point, Latent heat of fusion
PENDAHULUAN Bahan-bahan berubah fasa atau selanjutnya dikenal sebagai Phase Change Materials (PCMs) yang juga seringkali disebut sebagai bahan-bahan penyimpan panas laten adalah bahan yang mempunyai kemampuan untuk melepaskan energi panas yang sangat tinggi dalam jangka waktu yang cukup lama tanpa perubahan suhu (Meng 2008). Perpindahaan energi panas terjadi saat bahan berubah bentuk dari padat ke cair atau cair ke padat. Hal ini dinamakan perubahan bentuk atau perubahan fasa. Awalnya pada PCMs padat-cair ini terjadi hal seperti bahan penyimpan konvensional
dimana energi yang dilepaskan sesuai panas yang diserap. Tidak seperti halnya bahan penyimpan energi konvensional, PCMs dapat menyerap dan melepaskan panas mendekati suhu konstan. PCMs dapat melepaskan panas lebih 4-5 kali setiap satuan volume dibandingkan bahan penyimpan energi konvensional seperti air atau batu (Sharma et al. 2009). PCMs merupakan satu cara penyimpanan energi panas yang paling efisien. PCMs dapat digunakan untuk penyimpanan energi dan kontrol suhu. PCMs menjadi menarik karena mempunyai kelebihan yaitu perbandingan yang
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 118-123
118
cukup tinggi antara panas yang dilepaskan dengan variasi suhu. Dengan cepatnya perkembangan sosial masyarakat, kebutuhan energi akan semakin meningkat. Pada saat yang bersamaan, terjadi krisis sumber energi tak terbarukan (Wang 2008). Karena itu penelitian tentang energi terbarukan banyak mendapat perhatian dan menjadi topik utama penelitian di seluruh dunia. Klasifikasi PCMs Secara luas PCMs diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu organik dan anorganik. Pengelompokan ini didasarkan pada titik leleh dan panas peleburan laten. Namun karena tidak ada satu bahan yang dapat memenuhi seluruh sifat yang diinginkan, maka dikembangkan juga PCMs yang merupakan kombinasi antara 2 kelompok bahan (Sharma et al. 2009). PCMs organik PCMs organik dapat berupa alifatik atau organik lain. Umumnya PCMs organik mempunyai rentang suhu rendah. PCMs organik mahal dan mempunyai rata-rata panas laten per satuan volume serta densitas rendah. Sebagian besar PCMs organik mudah terbakar di alam. PCMs organik dapat dibedakan sebagai parafin dan non parafin. Parafin Parafin terdiri dari campuran sebagian besar rantai lurus n-alkana CH3-(CH2)-CH3. Kristalisasi dari rantai (CH3)- melepaskan sejumlah panas laten. Titik leleh dan panas peleburan laten meningkat dengan semakin panjangnya rantai. Kualitas parafin sebagai bahan penyimpan panas peleburan disebabkan oleh rentang suhunya yang cukup luas. Beberapa titik leleh dan panas peleburan laten parafin dapat dilihat pada Tabel 1. Non Parafin PCMs dari bahan non parafin merupakan PCMs yang banyak ditemui dengan variasi sifat yang cukup banyak. Masing-masing bahan ini mempunyai karakteristik/sifat khusus tidak seperti parafin yang mempunyai sifat hampir sama. Jenis ini merupakan kategori terbanyak dari PCMs. Di antara bahan-bahan non parafin tersebut yang paling banyak adalah jenis ester, asam lemak, alkohol dan jenis-jenis glikol (Abbat et al. 1981; Buddhi & Sawhney 1994).
Tabel
1.
Titik leleh dan panas peleburan laten beberapa jenis parafin
Titik leleh( °C) 14 5,5 15 10 16 16,7 17 21,7 18 28,0 19 32,0 20 36,7 21 40,2 22 44,0 23 47,5 24 50,6 25 49,4 26 56,3 27 58,8 28 61,6 Sumber : Sharma et al. 2009 Jumlah atom C
Panas peleburan laten (kJ/kg) 228 205 237,1 213 244 222 246 200 249 232 255 238 256 236 253
Tabel 2. Titik leleh dan panas peleburan laten beberapa non parafin Titik leleh (°C) Formic acid 7,8 Caprilic acid 16,3 Glycerin 17,9 α-Lactic acid 26 Methyl palmitat 29 phenol 41 Bee wax 61,8 Gyolic acid 63 Azobenzene 67,1 Acrylic aci d 68,0 glutaric acid 97,5 Catechol 104,3 Quenon 115 Benzoic acid 124 benzamide 127,2 oxalate 54,3 Alpha naphtol 96 Sumber : Sharma et al. 2009 Material
Panas laten (kJ/kg) 247 149 198,7 184 205 120 177 109 121 115 156 207 171 167 169,4 178 163
Kelompok ini seringkali dibedakan lagi menjadi kelompok asam lemak dan organik nonparafin lain. Bahan-bahan ini umumnya mudah menyala dan tidak boleh dibiarkan pada suhu tinggi, dekat nyala dan bahan pengoksidasi. Gambaran dari PCMs non parafin dapat dilihat pada Tabel 2, sedangkan PCMs asam lemak dapat dilihat pada Tabel 3. PCMs anorganik PCMs anorganik diklasifikasikan sebagai hidrat (salt hydrate) garam dan logam (metallic). PCMs jenis ini tidak terlalu dingin dan panas peleburan tidak akan berkurang selama perputaran.
Jenis-jenis Bahan Berubah Fasa …………………… Wiwik Pudjiastuti
119
Tabel 3. Titik leleh dan panas peleburan laten beberapa asam lemak Titik leleh (°C) Acetic acid 16,7 Poly ethylene glycol 20-25 Capric acid 36 Eladic acid 47 Lauric acid 49 Pentadecanoic acid 52,5 Tristearin 56 Mirystic acid 58 Palmatic acid 55 Stearic acid 69,4 acetamiide 81 Sumber : Sharma et al. 2009 Material
Panas laten (kJ/kg) 184 146 152 218 178 178 190 199 163 199 141
Hidrat Garam Hidrat garam dapat dilihat sebagai campuran garam anorganik dengan air membentuk padatan Kristal tertentu dari formula umum AB.nH2O. Perubahan bentuk padat-cair dari hidrat garam merupakan sebuah proses dehidrasi dari hidrasi garam. Hidrat-hidrat garam biasanya meleleh menjadi sebuah hidrat garam dengan mol air yang sangat kecil. AB.nH2O → AB.mH2O + (n-m)H2O …(1) atau menjadi bentuk anhidrat, AB.nH2O →
AB + nH2O
………(2)
Pada titik lelehnya, kristal-kristal hidrat terpecah menjadi garam anhidrat dan air atau ke dalam hidrat yang lebih rendah dan air. Hidrat–hidrat garam merupakan jenis PCMs yang paling penting dan banyak dipelajari pada sistem penyimpanan energi. Sifat-sifat yang paling menonjol dari PCMs jenis ini adalah: panas peleburan laten per-satuan volume tinggi, konduktivitas panas relatif tinggi (hampir dua kali parafin) dan perubahan volume selama meleleh kecil. PCMs jenis ini juga tidak terlalu korosif, kompatibel dengan plastik dan hanya beberapa jenis yang beracun. Banyak jenis hidrat garam yang harganya tidak terlalu mahal untuk digunakan sebagai penyimpan panas. Pada Tabel 4 dapat dilihat beberapa jenis PCMs dari hidrat garam. Logam (Metallic) Jenis ini juga mencakup logam dengan titik leleh rendah dan campuran logam. PCMs jenis ini belum banyak menjadi perhatian sebab sangat berat. Namun, jika volume menjadi perhatian, jenis ini menjadi pilihan karena
mempunyai panas peleburan laten per-satuan volume yang tinggi. Di samping itu mereka juga mempunyai konduktivitas panas tinggi sehingga tidak diperlukan tambahan bahan pengisi yang berat. Daftar beberapa bahan metallic dapat dilihat pada Tabel 5. PCMs kombinasi PCMs kombinasi adalah sebuah kompoisisi dengan lelehan terendah dari dua komponen atau lebih, masing-masing meleleh dan membeku membentuk campuran dari komponen-komponen kristal selama proses kristalisasi (George 1989). PCMs jenis ini hampir selalu meleleh dan membeku tanpa pemisahan karena mereka membeku menjadi sebuah campuran kristal, memberikan sedikit kesempatan pada komponen-komponennya untuk memisahkan diri. Pada saat meleleh kedua komponen mencair secara berurutan dengan pemisahan yang tidak diinginkan.
Tabel 4. Titik leleh dan panas peleburan laten beberapa hidrat garam Titik leleh( °C) K2 HPO4 .6H2O 14,0 FeBr3 .6H2O 21,0 Mn(NO3 )2.6H2O 25,5 FeBr3 .6H2O 27,0 CaCl2 .12H2 O 29,8 LiNO3.2H2 O 30,0 LiNO3.3H2 O 30 Na2 O3.10H2O 32,0 Na2 SO4.10H2O 32,4 KFe(SO4)2.12H2 0 33 CaBr2.6H2 O 34 LiBr2.2H2 O 34 Zn(NO3)2.6H2O 36,1 Sumber : Sharma et al. 2009 Material
Panas laten (kJ/kg) 109 105 148 105 174 296 267 241 173 138 124 134 223
Tabel 5. Titik leleh dan panas peleburan laten beberapa metallics Material
Titik leleh (°C)
Gallium-gallium 29,8 Antimony eutectic Gallium 30,0 Cerrolow eutectic 58 Bi-Cd-In eutectic 61 Cerrobend eutectic 70 Bi-Pb-In eutectic 70 Bi-In eutectic 72 Bi-Pb-tin eutectic 96 Bi-Pb eutectic 125 Sumber : Sharma et al. 2009
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 118-123
Panas laten (kJ/kg) 80,3 90,9 25 32,6 29 25 -
120
Tabel
6.
Daftar PCMs anorganik
kombinasi
organik-
Tabel 7. Aplikasi PCMs No,
Material CaCl2.6H2O+CaBr2 .6H2 O Triethylethane+water+urea CaCl2+MgCl2+6H2O NH3 CONH2+ NH3 CONH2 Naphtalene+benzoic acid Freezer salt Freezer salt Freezer salt Sumber : Sharma et al. 2009
Titik leleh (°C) 14,4 13,4 25 27 67 -50 -23 -16
Panas laten (kJ/kg) 140 160 95 163 123,4 325 330 330
HASIL DAN PEMBAHASAN Aplikasi PCMs Secara umum aplikasi PCMs ditunjukkan pada Tabel 7. Aplikasi-aplikasi ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama yaitu perlindungan panas dan penyimpanan. Perbedaan kedua aplikasi tersebut berkaitan dengan konduktivitas panas dari bahan. Dalam beberapa hal perlindungan panas dibutuhkan nilai konduktivitas panas rendah, sedangkan pada sistem penyimpanan nilai tersebut dapat menimbulkan masalah karena dapat mengeluarkan energi yang memadai tetapi tidak mempunyai kapasitas yang memadau untuk membuang energi secara cepat. Bangunan Penggunaan PCMs untuk penyimpan panas pada bangunan merupakan aplikasi pertama yang dipelajari, bersamaan dengan tangki penyimpan. Aplikasi pertama dari PCMs ini dijelaskan di literatur untuk penggunaan sebagai pemanas dan pendingin pada bangunan. Hal yang sangat penting dalam aplikasi PCMs pada bangunan adalah faktor keamanan. Satu hal yang menjadi kelemahan adalah memiliki berat termal rendah. Mereka juga cenderung mengalami fluktuasi yang tinggi sehingga memerlukan pemanasan dan pendinginan yang tinggi. Aplikasi PCMs untuk bangunan, karena kemampuannya untuk membuat variasi suhu yang halus, sangat menjanjikan (Mehling 2002) Aplikasi PCMs dalam bangunan dapat mempunyai dua tujuan yaitu memanfaatkam sumber panas alam yaitu energi panas matahari pemanasan atau dingin malam untuk pendinginan serta memanfaatkan sumber panas atau dingin. Pada dasarnya ada tiga cara untuk menggunakan PCMs sebagai pemanas atau pendingin bangunan, yaitu: PCMs dalam dinding
Aplikasi
1 2 3
Penyimpan panas dari energi matahari Penyimpan pasif pada bioclimstic building Pendingin pada bank es Pemanas dan sanitasi air panas dalam 4 ruang dengan dengan peralatan computer atau elektrik Perlindungan panas pada makanan selama 5 transportasi, es krim, makanan produk agro, produk susu, 6 Green house 7 Perlindungan panas untuk elektronik 8 Aplikasi medis (transpor darah, vaksin) 9 Pendingin mesin Sumber : Zalba et al. 2003
bangunan, PCMs dalam komponen bangunan lain selain dinding, dan PCMs dalam unit pemanas atau pendingin. Penggunaan PCMs untuk melepaskan dingin sudah dikembangkan untuk air conditioning (AC) dimana dingin diambil dari udara pada malam hari dan dikeluarkan pada saat yang paling panas di siang hari. Konsep ini dikenal sebagai pendinginan bebas. Aplikasi lain PCMs pada bangunan adalah refrigerator thermoelectric. Perlindungan dan Transportasi Produk Yang Peka Terhadap Suhu Jika produk makanan ditransportasikan, suhu makanan tersebut harus dijaga di atas suhu tertentu atau bila produk beku harus dihindari defrosting. Situasi yang sama berlaku untuk aplikasi medis. Kedua aplikasi tersebut sangat pas dengan menggunakan PCMs sebab PCMs mempunyai kemampuan untuk melepaskan panas dan dingin dalam rentang yang hanya beberapa derajat. Komponen elektronik cenderung mengalami kerusakan sangat cepat jika dioperasikan pada suhu di atas suhu kritisnya. Aplikasi PCMs untuk produk ini sangat menjanjikan terutama karena PCMs dapat beraksi secara pasif tanpa memerlukan sumber energi tambahan. Aplikasi yang lain adalah pada mesin engine dan mesin-mesin hidraulik seperti kendaraan bermotor. Dalam aplikasi ini pelepasan panas dipanaskan dengan cairan pendingin karena mesin sedang jalan. Ketika mesin berhenti, panas dilepaskan dan dapat digunakan untuk pemanas awal pada mesin saat menyala baru. Sebagai contoh nyata, untuk aplikasi ini, Balai Besar Kimia dan Kemasan bekerja sama dengan KITECH, Korea telah melakukan
Jenis-jenis Bahan Berubah Fasa …………………… Wiwik Pudjiastuti
121
penelitian dengan menggunakan PCMs yang diproduksi oleh KITECH. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa PCMs yang digunakan mampu mempertahankan suhu produk selama transportasi kira-kira 18-22 jam. Ice storage Aplikasi ini dapat dilihat dalam berbagai bentuk seperti bulat, es dalam pipa yang mengandung air dengan glikol, atau pada evaporator (ASHR AE 1999). Bentuk-bentuk ini digunakan oleh berbagai pabrikan dan merek dagang seperti Sedical, Ciat, Baltimore Aircool, atau Calmac. Aplikasi lain Cold storage juga banyak dikembangkan untuk aplikasi-aplikasi lain seperti mendinginkan sayuran, pre-cooling udara masuk pada turbin gas, atau menjaga suhu dalam ruangan yang berisi peralatan komputer atau elektrik. Demikian juga penggunaan PCMs untuk menghemat energi pada green house telah banyak dipelajari. Penggunaan PCMs pada pembangkit tenaga matahari juga sudah diteliti. Demikian juga penggunaan PCMs sebagai insulasi pada pakaian. KESIMPULAN Teknologi Phase Change Materials merupakan teknologi baru dan sangat menarik untuk dikembangkan. Berbagai jenis PCMs telah diulas dalam tulisan ini termasuk sifat-sifat yang dimiliki masing-masing bahan tersebut terutama bila dilihat dari titik leleh dan panas latennya. Dengan berbagai sifat yang dimiliki, PCMs dapat diaplikasikan untuk berbagai keperluan manusia terutama untuk mengantisipasi krisis energi tak terbarukan yang sudah mulai melanda dunia sehingga PCMs menjadi satu alternatif pilihan. Aplikasi-aplikasi PCMs tersebut antara lain adalah untuk bangunan, ice storage, perlindungan dan transportasi produk yang rentan terhadap suhu, green house, dan lain-lain. DAFTAR PUSTAKA Abbat, A. 1981. Development of modular heat exchanger with an integrated latent heat storage. Report number BMFT FBT 81-050. Germany Ministry of Science and Technology. Bonn. Alkan, C., Ahmet Sari. 2008. Fatty acid/poly (methyl methacrylate) (PMMA) blends
as form-stable phase change materials for latent heat thermal energy storage. Solar Energy 82: 118-124. Buddhi, D. and R.L Sawhney. 1994. Proceedings on thermal energy storage and energy conversion. School of Energy and Environmental Studies. Devi Ahilya University. Indore. India. Bruno, F. 2005. Using phase change materials (PCMs) for space heating and cooling in building. presented at the 2004 AURAH. Diaconu, B.M., S. Varga, A.C. Oliviera. 2009. Experimental assessment of heat storage properties and heat transfer characteristics of phase change materials slurry for air conditioning application. Applied Energy 87 (2): 620-628. George, A. 1989. Handbook of thermal design, in: Guyer C, editor. Phase change thermal storage materials. Mc. Graw Hill Book Co. Peck, J.H , Kim Jeong Yeol, Wiwik Pudjiastuti. 2008. Development of Cold Roll Box (CRB) Type Distribution System Using Phase Change Materials (PCMs) to Preserve Refrigerated/ Chilled Cargo. Disampai-kan pada joint researcher workshop Korea-Vietnam-Indonesia. Ho Chi Min. Li, W.D. and E.Y. Ding. 2007. Preparation and characterization of cross-linking PEG/ MDI/PE copolymer as solid-solid phase change heat storage material, Solar Energy Materials and Solar Cells 91: 764-768. Meng, Q. and Jinlian Hu. 2008. A poly(ethylene glycol)-based smart phase change material. Solar Energy Materials and Solar Cells 92: 1260-1268. Sharma, A., V.V. Tyagi, C.R. Chen, D. Buddhi. 2009. Review on thermal energy storage with phase change materials and applications. Renewable and Sustainable Energy Review 13: 318345. Shukla, A., D. Buddhi, R.L. Sawhney. 2008. Thermal cycling test of few selected inorganic and organic phase change materials. Renewable Energy 33: 2606-2614. Elsevier Ltd. Wang, W., X. Yang, Y. Fang, J. Ding. 2008. Preparation and performance of form stable polyethylenen glycol/silicon
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 118-123
122
dioxide composites as solid-liquid phase change materials. Applied Energy 87 (5): 1529-1534. Ye Hong and Ge Xin-shi. 2000. Preparation of polyerthylene-parafin compound as a form-stable solid-liquid phase change material. Solar Energy Materials and Solar Cells 64: 37-44. Zalba, B., J.M. Marin, L.F. Cabeza, H. Mehling. 2003. Review on thermal energy storage with phase change: materials, heat transfer analysis and applications. Applied Thermal Engineering 23: 251283.
Jenis-jenis Bahan Berubah Fasa …………………… Wiwik Pudjiastuti
123
ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI DAN KARAKTERISASI MUTU BIODIESEL DARI BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas Linn) (ESTERIFICATION - TRANSESTERIFICATION AND CHARACTERIZATION OF BIODIESEL QUALITY FROM Jatropha curcas Linn)
Rizal Alamsyah, Enny Hawani Lubis dan Nobel Christian Siregar Balai Besar Industri Agro (BBIA), Kementerian Perindustrian Jl. Ir. H. Juanda No.11 Bogor E-mail :
[email protected] Received 25 Maret 2011; accepted 11 April 2011
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengolah minyak jarak pagar yang diperoleh dari biji jarak pagar (Jatropha curcas Linn) menjadi biodiesel, mempelajari pengaruh penambahan antioksidan Butylated Hidroxy Toluene (BHT) pada tahap pemurnian terhadap mutu biodesel yang dihasilkan dan menentukan kondisi optimum proses pembuatan biodiesel dari biji jarak pagar skala laboratorium. Minyak jarak pagar diekstraksi dengan cara pengempaan jackpress 50 ton pada kondisi suhu 60°C selama 1 jam. Konversi trigliserida (TG) menjadi metil ester dari asam lemak jarak pagar dilakukan dengan esterifikasi dan transesterifikasi pada suhu 60°C, menggunakan metanol 98% katalis NaOH 0,5%. Butylated Hidroxy Toluene (BHT) ditambahkan untuk mempertahankan keasaman minyak jarak dengan konsentrasi sebesar 0,3%. Hasil percobaan menunjukkan hasil pengepresan minyak biji jarak mencapai 35,47%. Sintesa TG menjadi asam lemak metil ester (biodiesel) mencapai 96%. Nilai bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan masing-masing sebesar 0,404 mg KOH/g; 95,36 mg I/100 g ; 180,397 mg KOH/g, sementara viskositas kinematik biodiesel jarak pagar masih tinggi, yaitu 11,245 cSt pada suhu 40°C. Indeks setana dan titik nyala adalah 44 dan 147°C. Nilai paramater tersebut masih sesuai dengan standar SNI 04-7182-2006, kecuali viskositas yang masih diatas ambang batas yang diijinkan (2,3-6,0 cSt) dan angka setana yang belum memenuhi persyaratan minimal yang ditetapkan (minimal 51). Kata kunci : Jatropha curcas, Biodiesel, Esterifikasi, Transesterifikasi, Butylated Hidroxy Toluene (BHT)
ABSTRACT The research was aimed to process physical nut (Jatropha curcas Linn) seed into biodiesel. Investigation on the effect of addition an antioxidant of Butylated Hydroxy Toluene (BHT) on purification step toward biodiesel quality and obtaining the optimum condition to biodisel process from physical nut seed at laboratory scale. Jatropha o curcas oil was extracted with 50 ton pressure of jack press at 60 C. Convertion of trigliseride (TG) into fatty acid methyl ester (FAME/biodiesel) with esterification and ensterification process oil was conducted through o esterification and transesterification process at 60 C by reacting jatropha oil with methanol 98 %, and NaOH 0.1 % as catalyst. Butylated Hydroxy Toluene (BHT) was used to maintain acidity of jatropha oil with concentration of 0,3 %. The results indicated that mechanical extraction of jatropha oil using jack press gave maximum yield of 35,47%, meanwhile convertion TG into fatty acid methyl ester or biodiesel was 96.5 %. The experiment results also showed that biodiesel produced has characteristics as follow: acid number was 0,404 mg KOH/g, iodine value was 95,36 mg I/100 g, saponification number was 180,397 mg KOH/g, whereas kinematic viscosity of o biodiesel was still high i.e 11.245 cSt at 400 C. Cetane index and flash point were 44 and 1470C. The biodiesel parameter is still in accordance with Indonesian Standard SNI 04-7182-2006 except viscosity and cetane number. Keyword : Jatropha curcas, Biodiesel, Esterification, Transesterification, Butylated Hidroxy Toluene (BHT)
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 124-130
124
PENDAHULUAN Biodiesel adalah sumber alternatif pengganti bahan bakar diesel yang berasal dari minyak nabati, lemak hewan dan minyak jelantah. Secara kimia, biodiesel adalah mono alkil ester (misal: fatty acid methyl ester/ FAME) yang diproses dengan metode transesterifikasi antara trigleserida yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek terutama metanol (Krawczyk 1996; Tapasvi et al., 2005; Ma dan Hanna 1999) atau kombinasi esterifikasi-transesterifikasi (Goebitz 1999) untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel. Biodiesel dapat digunakan dalam bentuk murni, atau dalam bentuk campuran dengan minyak solar untuk mesin diesel. Penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar untuk mesin diesel mempunyai beberapa keuntungan antara lain bisa mengurangi ketergantungan terhadap pasar minyak dunia, menjadikan substitusi bahan bakar solar (biosolar) dan bisa mengurangi emisi gas buang kendaraan (Wirawan et al. 2008; Carraretto et. al. 2004) Jarak pagar (Jatropha Curcas Linn) merupakan tanaman yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini dapat bertahan di daerah kering dan memiliki kandungan minyak non-edible sekitar 35% (Goebitz 1999). Dibandingkan dengan tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biodiesel seperti biji bunga matahari, jarak kepyar, dan kacang tanah, maka tanaman jarak pagar ini tidak dapat dimakan atau beracun sehingga nilai ekonomi dari tanaman ini mutlak diperoleh dari pemanfaatannya sebagai biodiesel. (Mittelbach and Remschmidt 2004; Knothe 2005) Proses pembuatan biodiesel dengan menggunakan katalis yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan katalis basa dengan cara mereaksikan minyak jarak dengan metanol dan NaOH sebagai katalis. Reaksi minyak nabati dengan metanol fraksi ringan dapat memutuskan trigliserida dari rantai karbon panjang yang terdapat pada minyak nabati dan hal ini menyebabkan viskositasnya bisa berkurang. Proses pemindahan alkohol dari ester oleh alkohol lain adalah merupakan tahapan tiga reaksi reversibel. Tahap pertama merupakan konversi trigliserida menjadi digliserida kemudian konversi kedua digliserida menjadi monogliserida, selanjutnya monogliserida menjadi gliserin, proses ini disebut
transesterifikasi. (Kusdiana dan Saka 2000; Joelianingsih 2008). Proses transesterifikasi mensyaratkan kadar keasaman minyak sebelum diproses harus rendah (< 1). Kriteria tersebut sulit dipenuhi minyak jarak pagar (Jatropha curcas Linn), karena keasamannya tinggi (Goebitz, 1999). Dalam penelitian ini digunakan antioksidan Butylated Hidroxy Toluene (BHT) untuk mempertahankan kadar keasaman minyak sampai menjadi biodiesel (Sudrajat 2006). Penambahan antioksidan dilakukan pada tahap pemurnian.Selama ini masyarakat menganggap minyak jarak yang dihasilkan dari pengepresan biji jarak pagar dapat digunakan langsung sebagai pengganti bahan bakar fosil (solar). Tingginya kandungan asam lemak bebas dalam biji jarak pagar dapat menyebabkan kerusakan pada mesin (Sudrajat 2006). Tujuan penelitian ini adalah : (1) Untuk mengolah minyak jarak pagar yang diperoleh dari biji jarak pagar (Jatropha curcas Linn) menjadi biodiesel; (2) Mempelajari pengaruh penambahan antioksidan Butylated Hidroxy Toluene (BHT) pada tahap pemurnian terhadap mutu biodesel yang dihasilkan; (3) Mendapatkan kondisi optimum untuk proses pembuatan biodiesel dari biji jarak pagar skala laboratorium. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan baku dan bahan kimia yang dipergunakan dalam pembuatan biodiesel adalah minyak jarak yang diekstrak dari bahan baku jarak pagar dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah metanol, NaOH, KOHalkohol, BHT, HCl, NaHCO3, indikator fenolftalein, indikator metil merah, aquades dan bahan pereaksi untuk uij laboratorium. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya, jack press yang dilengkapi dongkrak dengan kapasitas 50 ton, erlenmeyer 5L (pyrex), gelas piala 5L (pyrex), gelas ukur 1L (pyrex), buret 50ml (pyrex), eksikator, oven Memmert, alat vakum, corong pemisah 1000 mL (pyrex), termometer, piknometer, viscosimeter Brookfield dengan model RV, pipet tetes, pipet volumetrik, labu estrans 2L (Pyrex) dan perangkat gelas lainnya.
Esterifikasi-Transesterifikasi …………………… Rizal Alamsyah dkk
125
Biji Jarak
Minyak Jarak Murni
Sortasi Penambahan BHT dengan pemanasan 95°C Penimbangan
Pengeringan dengan Oven pada suhu 110°C, selama 1 jam
Esterifikasi pada suhu 60°C selama 2 jam
Pengepresan dengan tekanan 50 ton
Transesterifikasi pada suhu 70°C – 80°C
Pencucian dengan air panas pada suhu 90°C
Minyak Jarak Kasar
Degumming dengan penambahan H2PO4 2% dan disentrifugasi
Pengeringan pada suhu 110°C
Biodiesel
Pemanasan hingga suhu 70°C
Gambar 1. Proses pengolahan biji jarak pagar menjadi minyak jarak pagar
Metode Ekstraksi Minyak Jarak Jatropha curcas Buah jarak pagar dikeringkan di dalam oven pada suhu 110°C selama 1 jam. Buah yang telah dikeringkan kemudian dikupas untuk memisahkan biji dari kulit buah. Selanjutnya kulit biji dipisahkan dari daging biji, dihaluskan dengan menggunakan mesin giling dan diayak dengan ukuran partikel berdiameter 1-2 mm. Ekstraksi minyak jarak pagar dilakukan dengan
menimbang 3 kilogram biji jarak halus dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 60°C selanjutnya ditekan dengan menggunakan jack press. Minyak jarak kasar yang diperoleh dimurnikan dengan proses degumming diikuti penambahan antioksidan Butylated Hidroxy Toluen (BHT) masing-masing 0,3% (b/b) dan 0,1% (b/b) kedalam 2 gelas piala 500 ml yang masing-masing telah diisi dengan 250 g minyak jarak hasil pemurnian dan dipanaskan diatas pemanas air pada suhu 95°C.
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 124-130
126
Proses esterifikasi dilakukan dengan pencampuran metanol 20% dan HCl 1% masingmasing dari bobot minyak kemudian dicampur dan dimasukkan dalam labu estrans dan dipanaskan sampai mencapai suhu 60°C lalu yang telah dilengkapi dengan kondensor, pengaduk magnetik, dan termometer. Minyak dimasukkan ke dalam labu estrans yang berisi campuran metanol dengan HCl lalu dipanaskan sampai 60°C selama 2 jam sambil dilakukan pengadukan. Esterifikasi-transesterifikasi (Estrans) dan transesterifikasi langsung (trans) dilakukan dengan dua kali ulangan (duplo). Pada tahap transesterifikasi, katalis NaOH sebanyak 0,5% (dari bobot minyak) dicampur dengan metanol 20% (dari bobot minyak), lalu dipanaskan sampai mencapai 60°C. Pada labu estrans dimasukkan ± 100 ml minyak jarak pagar dan dipanaskan sampai suhu 60°C. Pada tahap ini diperoleh metil ester yang masih bercampur dengan sisa katalis dan gliserol. Kemudian pencucian dilakukan setelah tahap transesterifikasi dengan menggunakan corong pemisah. Biodiesel yang dihasilkan dicuci dengan air panas dan setelah itu diuapkan kadar airnya dengan pompa vakum. Diagram alir proses pengolahan biji minyak jarak pagar menjadi biodiesel ditunjukkan pada Gambar 1. Analisis Analisis biodiesel yang dilakukan untuk mengetahui kualitas biodiesel yang dihasikan pada penelitian ini ditujukan untuk parameter utama yang terdiri dari : massa jenis biodiesel (ASTM 2005), viskositas (ASTM 2010), angka setana (ASTM 2002), titik nyala (ASTM 2002), angka asam (AOCS 1995), dan bilangan iodium (AOCS 1995). Disamping itu dianalisis juga parameter lain yang terdiri dari asam lemak bebas, kadar air, dan bilangan penyabunan. Analisis minyak jarak pagar kasar terdiri atas analisis kadar air (ASTM 2006), massa jenis (ASTM 2005), viskositas (ASTM 2010), asam lemak bebas (AOAC 1984) bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan ester dan bilangan iod (AOCS 1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Analisis Minyak Pada ekstrak minyak jarak kasar (crude oil) dilakukan analisis pendahuluan, dan didapatkan bahwa kadar air (0,59%), asam lemak bebas atau FFA (1,59%), bobot jenis (0,901), bilangan penyabunan (203,9), bilangan iod (83,451 g I/100g), bilangan asam (2,34) dan viskositas kinematik (34,5 cSt). Dapat dilihat
bahwa hasil analisis minyak jarak pagar kasar (crude oil) ini sebagian memenuhi standar yang dipersyaratkan SNI Biodiesel (BSN 2006). Minyak jarak pagar yang dihasilkan mempunyai keasaman yang tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya perlakuan awal terhadap biji jarak pagar selama penyimpanan, penanganannya kurang baik, antara lain adanya pemanasan dan kontak dengan udara luar. Kondisi awal yang kurang terjaga menyebabkan enzim hidrolase dalam biji jarak pagar menjadi aktif dan menjadi asam-asam lemak. Tingginya asam lemak bebas (FFA) pada minyak jarak pagar kasar (crude oil) menyebabkan perlu dilakukan pemurnian. Pada penelitian ini tahap pemurnian yang dilakukan adalah dengan cara degumming. Pada proses ini semua senyawa lain dalam minyak akan mengendap. Tahap berikutnya adalah penambahan BHT dengan konsentrasi 0,2% 0,3%. Penambahan antioksidan BHT ini dimaksudkan untuk mempertahankan keasaman minyak antara < 0,6 mg-KOH/g agar tidak merusak mesin (Sudradjat 2005). Minyak jarak pagar mempunyai viskositas lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya (Soerawidjaya 2002). Viskositas minyak jarak pagar kasar (crude oil) adalah 34,5 cSt, hal ini disebabkan kandungan trigleserida yang terdapat dalam biji jarak pagar. Nilai ini jauh melebihi standar yang diinginkan untuk bahan bakar yakni 2,3 cSt sampai 6,0 cSt (SNI Biodiesel 04-7182-2006). Kadar air pada minyak jarak pagar kasar adalah 0,59%, nilai ini relatif tinggi, nilai standar biodiesel untuk kadar air maksimal 0,05%. Kandungan air dalam minyak dapat menghidrolisis minyak menjadi gliserol dan asam lemak. Reaksi ini akan dipercepat dengan adanya asam, basa, dan enzim-enzim. Hidrolisis minyak meningkatkan kandungan asam lemak bebas dalam minyak. Bilangan Iod pada minyak jarak pagar kasar adalah 83,451 gI2/100g. Nilai bilangan iod merupakan parameter yang penting karena digunakan untuk menyatakan derajat ketidakjenuhan suatu minyak. Bilangan penyabunan pada minyak jarak pagar kasar adalah 20,9 mg KOH/g. Esterifikasi – Transesterifikasi (Estrans) dan Transesterifikasi langsung (Trans) Proses esterifikasi - transesterifikasi (estrans) merupakan proses pembuatan biodiesel (metil ester). Minyak jarak pagar yang telah dimurnikan dengan penambahan asam phospat mempunyai nilai keasaman yang cukup tinggi, sehingga perlu diturunkan dengan cara
Esterifikasi-Transesterifikasi …………………… Rizal Alamsyah dkk
127
esterifikasi yang mana asam lemak bebas bereaksi dengan akohol membentuk ester (Swern 1964). Interaksi asam lemak dengan metanol bersifat reversibel dan lambat. Setelah diesterifikasi, dilanjutkan proses transesterifikasi yaitu reaksi ester untuk menghasilkan ester baru yang mengalami penukaran posisi asam lemak dengan mengkonversi trigleserida menjadi metil ester dengan cara mereaksikannya dengan katalis basa (NaOH). Transesterifikasi menghasilkan sedikit metil ester dan gliserol dalam jumlah besar. Hal ini kemungkinan disebabkan kecepatan pengadukan. Semakin tinggi kecepatan pengadukan akan meningkatkan pergerakan molekul dan menyebabkan terjadinya tumbukan dengan frekuensi yang lebih sering. Pada awal terjadinya reaksi, pengadukan akan menyebabkan terjadinya difusi antara minyak sampai terbentuk metil ester, dengan semakin banyak metil ester yang terbentuk menyebabkan pengadukan semakin kecil, sehingga terbentuk kesetimbangan. Proses transesterifikasi dapat menurunkan viskositas minyak jarak pagar yang sangat tinggi. Dalam penelitian ini dilakukan dua kali transesterifikasi sebagai perbandingan, yaitu transesterifikasi pertama yang merupakan kelanjutan dari proses esterifikasi dan kedua adalah transesterifikasi langsung tanpa proses esterifikasi terlebih dahulu. Karakteristik biodiesel yang hasil percobaan menunjukkan bahwa metil ester yang diperoleh dari proses estrans dan transesterifikasi langsung (trans) tidak berbeda jauh.
bilangan penyabunan, dan kadar air. Secara garis besar hasil pengujian tersebut disajikan dalam Tabel 1. Menurut standar biodiesel nilai massa jenis biodiesel jarak pagar adalah maksimal 0,90 mg/ml. Pada penelitian ini nilai densitas untuk proses estrans dan transesterifikasi langsung dengan konsentrasi BHT 0%, 0,2%, 0,3% di bawah standar yang ditetapkan yaitu 0,872 – 0,891 mg/ml. Penggunaan konsentrasi BHT yang berbeda-beda dimaksudkan untuk mengetahui hubungan berbagai konsentrasi BHT dengan parameter biodiesel. Hubungan massa jenis dengan konsentrasi BHT ditunjukkan pada Gambar 2. Pada penelitian ini viskositas yang dihasikan untuk proses estrans konsentrasi BHT 0,2% adalah 5,719 cSt untuk konsentrasi BHT 0,3% adalah 11,245 cSt, BHT 0% adalah 6,323 cSt. Pada proses transesterifikasi langsung konsentrasi BHT 0,2% adalah 8,179 cSt, konsentrasi BHT 0,3% adalah 11,245 cSt, BHT0% adalah 9,634 cSt.
Karakteristik Biodiesel Karakteristik biodiesel utama yang diamati dan dianalisa terdiri dari masa jenis, viskositas, bilangan asam, bilangan iod, titik nyala, FFA,
Gambar 2. Hubungan konsentrasi dengan massa jenis
Tabel 1. Hasil analisis metil ester jarak pagar hasil penelitian dan SNI biodiesel (SNI 04-7182-2006). No
Parameter
1 2 3 4 5
Massa jenis pada 40 °C Viskositas kinematik pd 40 °C Angka setana Titik nyala (mangkok tertutup) Bilangan asam
6 7
Satuan
Metil Ester Jarak Pagar 887 11,3 44 147 0,404
Standar SNI 04-7182-2006 850 – 890 2,3 – 6,0 min. 51 min. 100 maks.0,8
kg/m3 mm2/s (cSt) 0 C mg-KOH/g %-massa Bilangan iodium 94,3 maks. 115 (g-I 2/100 g) Kadar air % 0,05 Maks. 0,05 Catatan dapat diuji terpisah dengan ketentuan kandungan sedimen maksimum 0.01 %-vol
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 124-130
128
Hanya proses estrans konsentrasi BHT 0,2% yang memenuhi standar SNI yang berada pada kisaran 2,3 cSt sampai 6,0 cSt, kemungkinan untuk proses yang lainnya kurang sempurnanya dalam penguapan air sehingga kemungkinan masih banyak air yang tinggal dalam minyak jarak. Standar SNI 04-7182-2006 mengharuskan bilangan asam biodiesel tidak lebih dari 0,80 mg KOH/g. Pada penelitian ini nilai bilangan asam tidak melebihi standar, tetapi pada proses estrans dengan konsentrasi BHT 0,2% nilai bilangan asamnya lebih dari 1%. Bilangan iod pada proses estrans memenuhi standard yakni untuk konsentrasi BHT 0,2% dan BHT 0,3% masing-masing adalah 88,1012 dan 95,3601. Sedangkan bilangan iod untuk proses transesterifikasi dengan konsentrasi BHT 0,2% dan BHT 0,3% adalah 86,1705 dan 88,1081. Bilangan iod standard untuk biodiesel adalah maksimal 115 (BSN 2006). Biodiesel jarak pagar memiliki titik nyala (flash point) sebesar 147°C untuk contoh minyak dengan proses transesterifikasi langsung pada konsentrasi anti oksidan 0,2%. Biodiesel dengan titik nyala minimal 100°C (BSN 2006) memenuhi standar biodiesel. Dibandingkan titik nyala petrodiesel (72°C) titik nyala biodiesel jarak pagar lebih tinggi, sehingga penggunaannya relatif lebih aman dan lebih mudah. Berdasarkan analisis FFA pada konsentrasi BHT 0%, 0,2% dan 0,3% menunjukkan kandungan asam lemak bebas tidak melebihi standar untuk minyak estrans dan transesterifikasi langsung pada konsentrasi BHT 0,3% yang bernilai 0,151 tetapi pada konsentrasi 0,2% pada proses estrans lebih dari 1% dan pada transesterifikasi langsung masih dibawah standar. Konsentrasi BHT 0,2% kurang efektif untuk proses estrans. Bilangan penyabunan yang dihasilkan adalah 180 mg KOH/g minyak. Bilangan penyabunan ini berkaitan dengan besarnya massa molekul rata-rata minyak, semakin besar molekul minyak maka nilai bilangan penyabunan semakin kecil. Melalui kombinasi dengan analisa bilangan asam dan kandungan gliserol total, maka bilangan penyabunan yang diperoleh dapat dipergunakan untuk menentukan kadar ester di dalam biodiesel. Kadar air untuk biodiesel maksimal 0,05%, tetapi pada penelitian ini kandungan air biodiesel telah memenuhi syarat yang ditentukan yaitu sebesar 0,07%.
KESIMPULAN Pada penelitian ini biji jarak pagar memiliki rendemen sebesar 35,47%, hasil ini diperoleh dengan mengekstrak secara mekanis menggunakan pompa hidraulik kapasitas tekan 50 ton pada suhu 60oC. Proses pembuatan biodiesel melalui tahap esterifikasi-transesterifikasi dengan konsentrasi BHT 0,3% mempunyai nilai yang memenuhi standar biodiesel kecuali pada parameter viskositas (11,245 cSt) yang melebihi nilai standar yang ditetapkan dan angka setana (44) yang lebih rendah dari nilai yang dipersyaratkan. Untuk konsentrasi BHT 0,2% mempunyai nilai viskositas 5,7 cSt, nilai keasamannya lebih besar dari standar biodiesel yaitu 1,06%. Pada proses transesterifikasi langsung secara umum memenuhi standar biodiesel kecuali pada parameter viskositas. Penambahan antioksidan Butylated Hydroxy Toluene (BHT) cukup efektif dalam mempertahankan minyak. DAFTAR PUSTAKA AOAC
AOAC
AOCS
ASTM
ASTM
(Association of Official Analitycal Chemist). 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analitycal Chemist. Fourteenth edition. AOAC Virginia. USA. (Association of Official Analitycal Chemist). 1995. Official Methods of Analysis of AOAC International 16th Edition. AOAC. Washington, DC. (American Oil Chemists Society). 1995. Official Method and Recommended Practices of the American Oil Chemists Society,4th Ed., Am. Oil Chemists Society, Champaign, USA. (American Standard Technical Material). 2005. Standard test method for density, relative density (specific gravity), or API gravity of crude petroleum and liquid petroleum products by hydrometer methods.. ASTM Philadelphia. (American Standard Technical Material). 2006. Standard test method for water and sediment in middle distillate fules by centrifuge. ASTM Philadelphia.
Esterifikasi-Transesterifikasi …………………… Rizal Alamsyah dkk
129
ASTM (American Standard Technical Material). 2010. Standard test method for kinematic viscosity of transparent and opaque liquids (and calculation of dynamic viscosity). ASTM Philadelphia. BSN (Badan Standardisasi Nasional). 2006. Indonesian National Standard on Biodiesel, SNI No. 04-7182-2006. Goebitz GM, Mittelbach M, Tabri M. 1999. Exploitation of The Tropical Oil Seed Plant Jatropha curcas L, Bioresourece Technology 67 : 73–82 Joelianingsih. 2008. Biodiesel Production From Palm Oil In A Bubble Column Reactor By Non-Catalytic Process. Dissertation. Bogor Agricultural University. Bogor. Knothe G. 2005. Introduction : What is biodiesel ? The biodiesel handbook ed by . In Knothe G. Gerpen, J.V. , Krahl J. editors. Champaign Illinois: AOCS Press : 1-3. Krawczyk T. 1996. Biodiesel-alternative fuel makes inroads but hurdles remain. INFORM 7 (8): 800-815. Kusdiana and Saka S. 2001. Kinetics of transesterification in rapeseed oil to biodiesel fuel as treated in supercritical methanol. Fuel 2001;80:693–8. Ma F, and Hanna MA. 1999. Biodiesel production. A review. Bioresource Technology 1999;70:1-15. Mittelbach, M. and C. Remschmidt. (2004). Biodiesel: The comprehensive handbook. 1st Ed. Boersedruck Ges.m.b.H. Vienna. Soerawidjaja, T. 2005. Membangun Industri Biodiesel di Indonesia. Balai Besar Kimia dan Kemasan. Jakarta. Sudradjat, HR. 2006. Keasaman Biodiesel Dari Minyak Jarak Pagar Dapat Merusak Seluruh Mesin Di Indonesia. Pusat Litbang Hasil Hutan. Bogor. Swern. D. 1964. Balleys Industrial Oils and Fat Product. Vol. II. Interscience Publisher. Inc., New York. Tapasvi, D. , Wiesenborn, D, Gustafson, C. 2005. Process model for biodiesel production from various feedstocks. Transaction of the ASAE 48 (6): 2215 2221 Wirawan, S.S., A.H. Tambunan, M. Djamin, and H. Nabetani. 2008. The Effect of Palm Biodiesel Fuel on the Performance and Emission of the Automotive Diesel
Engine. Agricultural Engineering International: the CIGR e-journal. Manuscript EE 07 005. Vol. X. April.
Jurnal Kimia dan Kemasan, Vol. 33 No.1 April 2011 : 124-130
130
PEDOMAN PENULISAN NASKAH 21 cm
Header 2 cm
Top 3,4 cm
SINTESIS NANOPARTIKEL PERAK (Arial, 14 pt, Bold) Arial, 14 pt, 1 Spasi
(SYNTHESIS OF SILVER NANOPARTICLE) (Arial, 11 pt, Bold, Italic) Arial, 14 pt, 1 Spasi
Rahyani Ermawati dan Siti Naimah (Arial, 12 pt) Arial, 12 pt, 1 Spasi
Left 3 cm
Right 2,1 cm
Balai Besar Kimia dan Kemasan, Departeman Perindustrian RI (Arial, 10 pt) Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur (Arial, 10 pt) Arial, 10 pt, 1 Spasi
E-mail:
[email protected] 2 Spasi (10 pt)
ABSTRAK (Arial, 10 pt, Bold) (1 spasi, 9 pt) Indonesia berpeluang untuk mengembangkan nanoteknologi dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam ………(justify, Arial, 9 pt, spasi single)……………………………………….………. (1 spasi, 9 pt) Kata kunci : Sintesis, Nanopartikel, Bottom-up, Reduksi kimia, Particle Size Analyzer (PSA), Scanning Electron Microscope (SEM) (1 spasi, 9 pt) ABSTRACT (Arial, 10 pt, Bold) (1 spasi, 9 pt) Indonesia has a chance in develop the nanotechnology using the natural resources and it will give added value in high price……………… (justify, Arial, 9 pt, spasi single)……………..……………... (1 spasi, 9 pt) Key words : Synthesis, Nanoparticles, Bottom-up, Chemical reduction…………………………………
3 Spasi (9 pt)
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah ditulis dengan Ms Word, 1 spasi, font Arial, size 10 dan jumlah halaman maksimal 10 halaman. Naskah disusun dalam 5 subjudul, yaitu PENDAHULUAN, BAHAN DAN METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN dan DAFTAR PUSTAKA. Penulisan kutipan di dalam teks menggunakan nama penulis, bukan nomor, dan nama penulis atau korporasi yang dikutip harus tercantum di dalam daftar pustaka. Judul Judul harus singkat, jelas dan menggambarkan isi naskah. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Footer 2 cm
Abstrak atau Kata Kunci Abstrak memuat latar belakang secara ringkas, tujuan, metode, hasil serta kesimpulan suatu penelitian. Abstrak berbahasa Inggris dan bahasa Indonesia dan di bawah dicantumkan kata kunci paling banyak 10 kata terpenting dalam naskah. Pendahuluan Pendahuluan mencakup latar belakang, tujuan, ruang lingkup penelitian, temuan terdahulu yang akan dikembangkan, disanggah, hipotesis dan pendekatan umum. BAHAN DAN METODE Berisi penjelasan ringkas tetapi rinci tentang bahan, metode, rancangan percobaan dan rancangan analisis data, waktu dan tempat penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Memuat data atau fakta yang diperoleh dari penelitian. Data atau fakta penting yang tidak dapat 0,6 dinarasikan dengan jelas dapat disajikan dalam cm bentuk tabel, gambar ataupun ilustrasi lain. Pembahasan merupakan ulasan tentang hasil, menjelaskan makna hasil penelitian, kesesuaian dengan hasil atau penelitian terdahulu dan peran hasil tersebut terhadap pemecahan masalah yang disebutkan dalam pendahuluan. Simbol Matematis Simbol atau persamaan dikemukakan secara jelas.
Bottom 2 cm
matematis
harus
29,7 cm
PENDAHULUAN (1 spasi, 10 pt) Awal paragraf menjorok ke dalam 1 cm. Semua kalimat ditulis dengan huruf Arial 10 pt, spasi single. Format penulisan terdiri dari 2 kolom dengan jarak kolom 0,6 cm. Kertas : A4 Multiple pages : Mirror margin Top : 3,4 cm Bottom : 2 cm Left (Inside) : 3 cm Right (Outside) : 2,1 cm Section start : Continous Header & Footer : Different Odd & Even Header : 2 cm Footer : 2 cm
Tabel Tabel diberi nomor urut sesuai dengan keterangan di dalam teks. Setiap tabel diberi judul yang singkat dan jelas diletakkan di atas tabel, sehingga setiap tabel dapat dipandang berdiri sendiri sedangkan untuk gambar atau grafik judulnya diletakkan di bawah gambar/ grafik. Singkatan kata perlu diberi catatan kaki atau keterangan. Keterangan tabel diletakkan di bawah tabel. Pengolahan Naskah Redaksi melakukan penilaian, koreksi dan perbaikan. Kriteria penilaian meliputi : kebenaran isi, tingkat keaslian, kejelasan uraian dan kesesuaian dengan misi publikasi. Redaksi akan mengembalikan naskah kepada penulis untuk diperbaiki sesuai dengan saran redaksi dan naskah yang tidak dapat diterbitkan akan diberitahukan. Ulasan dan tinjauan ilmiah Ulasan sebaiknya merupakan tinjauan mengenai masalah yang terkini (up to date) dari industri kimia, kemasan, cemaran, rancang bangun dan perekayasaan. KESIMPULAN Ditulis dengan ringkas hasil-hasil yang didapat. DAFTAR PUSTAKA Daftar Pustaka disusun menurut abjad dan ditulis sesuai penulisan daftar pustaka dengan metode Chicago Style. Buku : Penulis. Tahun. Judul Buku. Edisi. Kota: Penerbit. Contoh : Winarno F.G dan Ivone E.F. 2009. Nanoteknologi Bagi Industri Pangan dan Kemasan. Mbrio Press. Jurnal : Penulis. Tahun. Judul Naskah. Nama Jurnal. Volume (nomor) : Halaman. Contoh : Obaidat, I.M., B Issa, and Y. Haik. 2011. The role of aggregation of ferrite nanoparticles on their magnetic properties. Journal of nanoscience and nano-technology 11(5): 3882-3888. Disertasi atau tesis : Penulis. Tahun. Judul disertasi/ tesis. Disertasi/Tesis. Nama perguruan tinggi, Kota. Negara. Contoh : Raffi, M. 2007. Synthesis and Characterization of Metal Nanoparticles. PhD Dissertation. Pakistan Institute of Eng. and Applied Sciences, Islamabad. Pakistan.
Artikel dalam buku atau prosiding : Penulis. Tahun. Judul naskah. Dalam : Penulis. Judul buku/ prosiding. Kota : Penerbit : Halaman Contoh : Afifah, N. dan E. Sholichah. 2009. Pemanfaatan virgin coconut oil (VCO) dalam sediaan hand body lotion dan uji stabilitasnya. Dalam: Prosiding seminar nasional Teknik Kimia Universitas Parahyangan: 178 -184.
Vol. 33 No. 1 April 2011 ISSN 2088 – 026X
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN
LEMBAR ABSTRAK
Retno Yunilawati, Yemirta dan Yesy Komalasari Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No.1 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Penggunaan Emulsifier Stearil Alkohol Etoksilat Derivat Minyak Kelapa Sawit Pada Produk Losion Dan Krim J. Kimia Kemasan April 2011, Vol. 33 No. 1 : 83 – 89 Sintesis surfaktan stearil alkohol etoksilat dari bahan baku stearil alkohol derivat minyak kelapa sawit telah dilakukan dan produk yang dihasilkan memiliki spesifikasi yang dapat digunakan sebagai emulsifier untuk produk kosmetik Losion dan krim. Pada penggunaan beberapa variasi konsentrasi stearil alkohol etoksilat (0,5%, 1%, 1,5%, 2% dan 2,5%) dalam losion dan krim. Losion dengan konsentrasi stearil alkohol etoksilat 0,5% hingga 1,5% menunjukkan emulsi yang baik, dan pada konsentrasi di atas1,5% terjadi emulsi terpisah, sedangkan pada krim, hingga konsentrasi stearil alkohol etoksilat 2,5%, masih tetap menghasilkan emulsi yang baik. Variasi konsentrasi stearil alkohol etoksilat tidak mempengaruhi pH losion dan krim. Viskositas losion semakin menurun dengan semakin besarnya konsentrasi stearil alkohol etoksilat. Stabilitas emulsi losion juga menurun dengan semakin besarnya konsentrasi stearil alkohol etoksilat, sebaliknya pada krim, stabilitas emulsinya semakin naik dengan semakin besarnya konsentrasi stearil alkohol etoksilat. Analisa cemaran mikroba pada losion yang meliputi angka lempeng total, Staphylococcus aureus, Psudomonas aeruginosa dan Candida albicans, menunjukkan hasil yang sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam Keputusan Dirjen POM No.HK.00.06.4.02894 tentang persyaratan cemaran mikroba pada kosmetika. Kata kunci : Stearil alkohol etoksilat, Emulsifier, Losion, Krim
1
2
Sulistioso G.S. , Setyanto T. , Henny 3 1 Susanti dan A.Sitompul 1 Pusat Teknologi Bahan Industri – BATAN Puspiptek, Tangerang selatan 2 Dept. Fisika – FMIPA IPB 3 Dept. Kimia – FMIPA IPB E-mail :
[email protected] Pelapisan Hidroksiapatit Metoda Sol – Gel
Pada Logam
3
fasa HAp, dan fasa lainnya adalah fasa apatit kelompok A dan fasa apatit kelompok B. Kata kunci : Nitridasi, Baja KS – 01, Hidroksiapatit, Sol – Gel
Rahyani Ermawati dan Emmy Ratnawati Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia 1, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail:
[email protected] Sintesis Nanopartikel Magnetit Dengan Metode Dekomposisi Termal J. Kimia Kemasan April 2011, Vol. 33 No. 1 : 96 – 101 Sintesis nanopartikel besi oksida, khususnya magnetit (Fe3 O4) telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini disebabkan antara lain oleh adanya sifat supermagnetis yang dimiliki menyebabkan nanopartikel magnetit mendatangkan manfaat dalam aplikasinya. Masalah yang ada dalam sintesis nanopartikel oksida logam Fe3O4 adalah cara untuk memperoleh nanopartikel yang nondisperse dan tidak teraglomerasi dimana persyaratan ini diperlukan dalam aplikasi nanopartikel magnetit di berbagai bidang. Pada penelitian ini dilakukan sintesis nanopartikel Fe3O4 (magnetit) secara bottom-up dengan metode dekomposisi termal. Nanopartikel yang diperoleh dikarakterisasi dengan menggunakan alat PSA (Particle Size Analyzer), Benchtop microscope, SEM (Scanning Electron Microscope), kemudian dilakukan interpretasi terhadap hasil yang didapatkan. Dari hasil karakterisasi dapat disimpulkan bahwa proses dekomposisi termal dari Fe(III) o acetylacetonate hingga 280 C menghasilkan Fe3O4 dengan distribusi ukuran partikel nano yang beragam. Diameter partikel Fe3 O4 yang terbentuk berukuran 50,0 nm hingga 53,9 nm. Bilangan distribusi tertinggi berada pada diameter 50,0 nm sebesar 69,27%, dengan diameter partikel rata-rata sebesar 51,3 nm.
Purwaningsih , Kata
Kunci:
Sintesis nanomaterial, Dekomposisi termal
1
KS-01
Dengan
J. Kimia Kemasan April 2011, Vol. 33 No. 1 : 90 – 95 Telah dilakukan pelapisan hidroksiapatit (HAp) pada logam baja KS-01 buatan PT. Krakatau Steel. Sebelum dilapisi dengan HAp, baja KS-01 dinitridasi dengan metode nitridasi o gas pada temperatur 525 C selama 3 jam. Tujuan pelapisan HAp pada permukaan sampel adalah untuk meningkatkan ketahanan korosi karena baja KS-01 adalah logam yang rentan terhadap korosi. Hasilnya lapisan FeN di permukaan sampel dapat menaikkan ketahanan korosi sehingga sampel dapat dilapisi dengan HAp, menggunakan metode sol – gel. Hasil pelapisan pada permukaan sampel menunjukkan lapisan yang homogen. Analisis difraksi sinar-X pada permukaan logam menunjukkan fasa yang dominan adalah
1
Magnetit
(Fe3 O4),
1,2
Indra Gunawan , Saeful Yusuf , Sudirman dan Wiwik 3 Pudjiastuti 1 Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir - BATAN Kawasan Puspiptek Cisauk Tangerang Selatan 15314 2 Jurusan Kimia, FMIPA – Universitas Indonesia Kampus Baru UI, Depok 3 Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No.1 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail:
[email protected] Efek Waktu Milling Terhadap Karakterisasi Partikel Kapur Alam Dengan Menggunakan X-Ray Diffraction J. Kimia Kemasan April 2011, Vol. 33 No. 1 : 102 – 106 Telah dilakukan karakterisasi partikel kapur alam akibat variasi waktu milling dengan X-Ray Diffraction (XRD). Kapur alam yang awalnya digerus dengan mort ar dan diayak sehingga didapatkan serbuk berukuran 400 mesh. Kapur alam hasil ayakan kemudian dilakukan penggilingan dengan
High Energy Milling (HEM) pada variasi waktu penggilingan 3 jam, 6 jam, 9 jam, 12 jam, 15 jam, dan 18 jam. Pada setiap selang waktu tersebut dilakukan karakterisasi dengan menggunakan XRD. Hasil pola difraksi dipelajari dengan menggunakan pencocokan dengan kartu Hanawalt dan diambil kesimpulan bahwa kapur alam terdiri dari Ca(OH) 2 dan CaCO3. Sedangkan ukuran partikel dipelajari dengan mengamati pelebaran pola difraksi menggunakan metode Scherrer. Hasil perhitungan dengan metode Scherrer menghasilkan ukuran partikel Ca(OH)2 menjadi mengecil dari 1125 nm pada waktu milling 3 jam menjadi 473,7 nm pada waktu milling 18 jam atau terjadi penurunan ukuran partikel sebesar 57,9%. Sedangkan untuk partikel CaCO3 pengecilan ukuran partikel terjadi dari 9000 nm pada waktu milling 3 jam menjadi 600 nm pada waktu milling 18 jam atau terjadi penurunan ukuran partikel sebesar 93,3%. Kata kunci : Kapur alam, Nanopartikel, High Energy Milling (HEM), X-Ray Diffraction (XRD), Metode Scherrer
Emmy Ratnawati Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No.1, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Pengaruh Waktu Reaksi dan Suhu Pada Proses Ozonasi Terhadap Penurunan Warna, COD dan BOD Air Limbah Industri Tekstil J. Kimia Kemasan April 2011, Vol. 33 No. 1 : 107 – 112 Air limbah industri tekstil pada umumnya bersifat alkali, berbau, berwarna, panas dan mempunyai TSS, BOD dan COD yang tinggi. Oleh karena itu selain berwarna, air limbah industri tekstil mengandung bahan-bahan organik dan logam berat yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Proses ozonasi merupakan metode alternatif untuk mengolah lair limbah industri tekstil terutama untuk menghilangkan warna dasar biru, hitam dan merah yang dengan pengolahan secara kimia dan biologi tidak maksimal dapat dihilangkan. Penelitian dengan proses ozonasi pada air limbah industri tekstil telah dilakukan dengan menggunakan alat ozon generator atau pembangkit ozon dengan sistem corona discharge, flowrate (jumlah aliran sumber gas O 2) yang o o optimal sebesar 3 liter/menit, variabel suhu 30 C, 40 C, o o o o 50 C, 60 C, 70 C dan 80 C dengan variabel waktu proses 0 menit, 15 menit, 30 menit, 45 menit dan 60 menit. Kondisi o optimum proses ozonasi dicapai pada variabel suhu 50 C dan waktu proses 60 menit dengan hasil uji effluent untuk warna, dapat diturunkan dari 5640 mg/L PtCo menjadi 332 mg/L PtCo atau efisiensi sebesar 94,1%. Selain dapat menghilangkan warna, proses ozonasi dapat menurunkan nilai COD dan BOD air limbah dengan nilai COD dari 780 mg/L menjadi 210 mg/L atau penurunan (removal) sebesar 73,1% dan BOD dari 410 mg/L menjadi 108 mg/L atau penurunan (removal) sebesar 73,6%. Nilai ini masih diatas Baku Mutu Air Limbah yaitu COD 100 mg/L dan BOD 75 mg/L. Kata kunci : Ozonasi, Waktu Reaksi, Penurunan warna, Air limbah industri tekstil
Siti Naimah dan Rahyani Ermawati Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No 1, Pekayon Pasar Rebo, Jakarta E-mail:
[email protected] Biosorpsi Logam Berat Cr (Vi) Dari Limbah Industri Pelapisan Logam Menggunakan Biomassa Saccharomyces Cerevisiae Dari Hasil Samping Fermentasi Bir
J. Kimia Kemasan April 2011, Vol. 33 No. 1 : 113 – 117 Limbah cair industri pelapisan logam mengandung logam berat terlarut Cr (VI) dalam konsentrasi tinggi dan berpotensi untuk mencemari lingkungan. Limbah cair industri pelapisan logam umumnya dihasilkan dalam jumlah relatif banyak dan bersifat sangat toksik. Untuk mencegah timbulnya masalah akibat limbah tersebut diperlukan suatu metode pengolahan yang sesuai dengan karakteristik limbah tersebut. Dalam penelitian ini metode biosorpsi diteliti untuk menyisihkan logam berat Cr (VI) tersebut dari limbah industri pelapisan logam yang terlarut, dengan menentukan kondisi optimum proses, tingkat penyisihan dan kualitas hasil pengolahan yang dapat dicapai. Biosorpsi merupakan metode alternatif yang dapat digunakan dalam mengatasi pencemaran lingkungan yang berasal dari industri yang mengandung logam berat. Biosorpsi ion logam Cr (VI) oleh biomassa Saccharomyces cerevisiae dilakukan pada variasi waktu kontak dan konsentrasi awal ion logam tersebut. Metode yang digunakan adalah metode batch dan konsentrasi ion logam Cr (VI) sebelum dan sesudah biosorpsi diukur dengan spektrofotometer serapan atom (SSA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat penyisihan Cr sekitar 76%, yaitu dari 100,28 mg/L menjadi 24,7 mg/L yang dapat dicapai pada kondisi waktu kontak 3 jam. Meskipun presipitasi dapat menurunkan konsentrasi logam berat terlarut cukup signifikan dengan dua kali pengolahan, tetapi konsentrasi logam Cr (VI) hasil olahan terlarut masih belum memenuhi ambang batas baku mutu untuk industri pelapisan logam sebesar 1,0 mg/L sehingga masih memerlukan penanganan lebih lanjut. Kata Kunci: Biosorpsi, Kromium, Saccharomyces cerevisiae, Adsorpsi, Pelapisan logam
Wiwik Pudjiastuti Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No. 1 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur. E-mail :
[email protected] Jenis-Jenis Bahan Berubah Fasa dan Aplikasinya J. Kimia Kemasan April 2011, Vol. 33 No. 1 : 118 – 123 Bahan berubah fasa yang disebut sebagai bahan penyimpan panas laten adalah bahan yang mempunyai kemampuan untuk melepaskan energi panas yang sangat tinggi dalam waktu yang cukup lama tanpa mengalami perubahan suhu. Berdasarkan titik leleh dan panas peleburan latennya, bahan berubah fasa diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu bahan organik dan anorganik serta satu jenis lagi yang merupakan kombinasi keduanya. Yang termasuk bahan organik adalah kelompok parafin dan non parafin. Sedangkan bahan anorganik umumnya berupa hidrat garam dan logam (metallic). Seiring cepatnya perkembangan masyarakat dan kebutuhan akan energi terbarukan, penggunaan bahan berubah fasa menjadi sangat luas. Penggunaan ini meliputi aplikasi untuk bangunan, perlindungan dan transportasi produk yang peka terhadap suhu, ice storage dan beberapa aplikasi lain seperti green house dan cold storage. Kata kunci : Bahan berubah fasa, Bahan penyimpan panas laten, Titik leleh, Panas peleburan laten
Rizal Alamsyah, Enny Hawani Lubis dan Nobel Christian Siregar Balai Besar Industri Agro (BBIA), Kementerian Perindustrian Jl. Ir. H. Juanda No.11 Bogor 16122 E-mail :
[email protected]
Esterifikasi-Transesterifikasi dan Karakterisasi Mutu Biodiesel Dari Biji Jarak Pagar (Jatropha Curcas Linn) J. Kimia Kemasan April 2011, Vol. 33 No. 1 : 124 – 130 Penelitian ini bertujuan untuk mengolah minyak jarak pagar yang diperoleh dari biji jarak pagar (Jatropha curcas Linn) menjadi biodiesel, mempelajari pengaruh penambahan antioksidan Butylated Hidroxy Toluene (BHT) pada tahap pemurnian terhadap mutu biodesel yang dihasilkan dan menentukan kondisi optimum proses pembuatan biodiesel dari biji jarak pagar skala laboratorium. Minyak jarak pagar diekstraksi dengan cara pengempaan jackpress 50 ton pada kondisi suhu 60°C selama 1 jam. Konversi trigliserida (TG) menjadi metil ester dari asam lemak jarak pagar dilakukan dengan esterifikasi dan transesterifikasi pada suhu 60°C, menggunakan metanol 98% katalis NaOH 0,5%. Butylated Hidroxy Toluene (BHT) ditambahkan untuk mempertahankan keasaman minyak jarak dengan konsentrasi sebesar 0,3%. Hasil percobaan menunjukkan hasil pengepresan minyak biji jarak mencapai 35,47%. Sintesa TG menjadi asam lemak metil ester (biodiesel) mencapai 96%. Nilai bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan masing-masing sebesar 0,404 mg KOH/g; 95,36 mg I/100 g ; 180,397 mg KOH/g, sementara viskositas kinematik biodiesel jarak pagar masih tinggi, yaitu 11,245 cSt pada suhu 40°C. Indeks setana dan titik nyala adalah 44 dan 147°C. Nilai paramater tersebut masih sesuai dengan standar SNI 04-7182-2006, kecuali viskositas yang masih diatas ambang batas yang diijinkan (2,3-6,0 cSt) dan angka setana yang belum memenuhi persyaratan minimal yang ditetapkan (minimal 51). Kata kunci :
Jatropha curcas, Biodiesel, Esterifikasi, Transesterifikasi, Butylated Hidroxy Toluene (BHT)
UCAPAN TERIMA KASIH
Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari sebagai reviewer yang telah menelaah dan memberi masukan serta rekomendasi dalam rangka menjaga mutu jurnal ini sesuai kaidah-kaidah karya tulis ilmiah. Adapun nama-nama mitra bestari sebagai berikut :
NO
NAMA
INSTANSI
1
Drs. Sudirman, MSc, APU
2
DR. Rike Yudianti
LIPI
3
DR. Sunit Hendrana
LIPI
BATAN
ISSN 2088 – 026X
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN
Volume 33 Nomor 1 April 2011 DAFTAR ISI
Penggunaan Emulsifier Stearil Alkohol Etoksilat Derivat Minyak Kelapa Sawit pada Produk Losion dan Krim ….……………………………………….............……………………
83 – 89
Retno Yunilawati, Yemirta dan Yesy Komalasari Pelapisan Hidroksiapatit Pada Logam KS-01 dengan Metoda Sol – Gel .........…………
90 – 95
Sulistioso G.S., Setyanto T., Henny Purwaningsih, Susanti dan A.Sitompul Sintesis Nanopartikel Magnetit dengan Metode Dekomposisi Termal .........…………...
96 – 101
Rahyani Ermawati dan Emmy Ratnawati Efek
Waktu
Milling
Terhadap
Karakterisasi
Partikel
Kapur
Alam
Dengan
Menggunakan X-Ray Diffraction …………………….............…………………………………
102 – 106
Indra Gunawan, Saeful Yusuf, Sudirman dan Wiwik Pudjiastuti Pengaruh Waktu Reaksi dan Suhu Pada Proses Ozonasi terhadap Penurunan Warna, COD dan BOD Air Limbah Industri Tekstil ………………………….............…...…
107 –112
Emmy Ratnawati Biosorpsi Logam Berat Cr (VI) dari Limbah Industri Pelapisan Logam Menggunakan Biomassa Saccharomyces Cerevisiae dari Hasil Samping Fermentasi Bir ……………
113 – 117
Siti Naimah dan Rahyani Ermawati Jenis-Jenis Bahan Berubah Fasa dan Aplikasinya …………………………………………
118 – 123
Wiwik Pudjiastuti Proses Esterifikasi-Transesterifikasi dan Karakterisasi Mutu Biodiesel dari Biji Jarak Pagar (Jatropha Curcas Linn) …………………………………………………………... Rizal Alamsyah, Enny Hawani Lubis dan Nobel Christian Siregar
124 - 130