ISSN 2088 – 026X
Jurnal
Kimia dan Kemasan Journal of Chemical and Packaging Vol. 36 No. 1 April 2014
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN IKLIM DAN MUTU INDUSTRI
BALAI BESAR KIMIA DAN KEMASAN J. Kimia Kemasan
Vol. 36
No. 1
Hal. 147 - 214
Jakarta April 2014
ISSN 2088 – 026X
Terakreditasi No : 526/AU1/P2MI-LIPI/04/2013
ISSN 2088 – 026X Vol. 36 No.1 April 2014
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN (JOURNAL OF CHEMICAL AND PACKAGING) Terakreditasi Nomor : 526/AU1/P2MI-LIPI/04/2013 Jurnal Kimia dan Kemasan memuat hasil penelitian dan telaah ilmiah bidang kimia dan kemasan yang belum pernah dipublikasikan. Jurnal Kimia dan Kemasan terbit dua nomor dalam setahun (April dan Oktober) Penanggungjawab Officially incharge
Kepala Balai Besar Kimia dan Kemasan Head of Center for Chemical and Packaging
Ketua Dewan Redaksi Chief Editor
DR. Rahyani Ermawati (Biokimia/Biochemistry)
Dewan Redaksi Editorial board
Ir. Emmy Ratnawati (Kimia lingkungan/Environmental chemistry)
Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jl. Balai Kimia No.1. Pekayon Kalisari, Pasar Rebo. Jakarta Timur 13069. Kotak Pos. 6916 JATPK.
Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jl. Balai Kimia No.1. Pekayon Kalisari, Pasar Rebo. Jakarta Timur 13069. Kotak Pos. 6916 JATPK.
DR. Dwinna Rahmi (Kimia/Chemistry) Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jl. Balai Kimia No.1. Pekayon Kalisari, Pasar Rebo. Jakarta Timur 13069. Kotak Pos. 6916 JATPK
Dra. Yemirta, M.Si (Kimia/Chemistry) Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jl. Balai Kimia No.1. Pekayon Kalisari, Pasar Rebo. Jakarta Timur 13069. Kotak Pos. 6916 JATPK.
Retno Yunilawati, SSi, MSi (Kimia/Chemistry) Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jl. Balai Kimia No.1. Pekayon Kalisari, Pasar Rebo. Jakarta Timur 13069. Kotak Pos. 6916 JATPK.
Arie Listyarini, SSi, MSi (Polimer/Polymer) Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jl. Balai Kimia No.1. Pekayon Kalisari, Pasar Rebo. Jakarta Timur 13069. Kotak Pos. 6916 JATPK.
Prof. DR. Slamet, MT (Kimia/Chemistry)
Mitra Bestari Peer Reviewer
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424. email : slam
[email protected] (h-index : 3 scopus)
Drs. Sudirman, MSc, APU (Kimia/Chemistry) Gedung 71-Batan, Kawasan Puspiptek, Serpong . email :
[email protected] (h-index : 1 scopus)
DR. Etik Mardliyati (Biokimia/Biochemistry) BPPT Gd II Lt 16, Jl MH Thamrin 8 Jakarta. email :
[email protected]
DR. Rike Yudianti (Polimer/Polymer) Pusat Penelitian Fisika LIPI, Jalan Cisitu No.21/154D Bandung. email :
[email protected] (h-index : 4)
DR. Mochamad Chalid, S.Si, M. Sc,Eng (Polimer/Polymer) Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok email :
[email protected] (h-index : 3)
Redaksi Pelaksana
Silvie Ardhanie Aviandharie, ST, MT Agustina Arianita Cahyaningtyas, ST Bumiarto Nugroho Jati, ST.MT Novi Nur Aidha, ST Anna Fitrina, ST
Alamat (Address) Balai Besar Kimia dan Kemasan Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No. 1, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur Telepon : (021) 8717438, Fax : (021) 8714928, Email :
[email protected] Isi Jurnal Kimia dan Kemasan dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)
ISSN 2088 – 026X Vol. 36 No.1 April 2014
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN (JOURNAL OF CHEMICAL AND PACKAGING) Terakreditasi Nomor : 526/AU1/P2MI-LIPI/04/2013
Daftar Isi Perolehan Kembali Seng Dari Limbah Industri Galvanis Sebagai Seng Asetat ...........
147 – 154
Siti Agustina, Nastiti Siswi Indrasti, Suprihatin, dan Nurul Taufiqu Rochman Pembuatan Komposit Akrilamida-g-Bagas Sebagai Absorben Menggunakan Radiasi Berkas Elektron …………………………………………......………......………….....
155 – 162
Akhmad Rasyid Syahputra dan Darsono Kajian Potensi Lignin Untuk Penanganan Logam Berat Cr (VI) ...................................
163 – 172
Yuris, Chandrawati Cahyani, dan Atikah Identifikasi Fasa Dan Sifat Magnetik Nanopartikel Besi Oksida Teriradiasi ………….
173 – 182
Saeful Yusuf, Yosef Sarwanto, dan Wildan Z.L Kopolimerisasi Cangkok Dan Karakterisasi Lembaran Kitosan Teriradiasi ………..…
183 – 190
Gatot Trimulyadi Rekso Ekstraksi Dan Karakterisasi Serbuk Nano Pigmen Dari Daun Tanaman Jati (Tectona grandis linn. F) ……………………………………………………………………...……………
191 – 196
Riahna br Kembaren, Sesotya Putriliniar, Nurwenda Novan Maulana, Radyum Ikono, dan Nurul Taufiqu Rochman Sintesis Bahan Dasar Tibial Tray Berbasis HDPE Yang Diperkuat Dengan Iradiasi Gamma …………………………………………………………………………......……….…….
197 – 206
Sulistioso Giat S, Armi Wulanawati, Deswita dan Sudirman
Fotodegradasi (Degradasi Abiotik) Kantong Plastik Belanja Polietilena Yang Mengandung Aditif Oxo Degradable ...............……………...…………..………………….. 207 – 214 Arie Listyarini dan Wiwik P
ISSN 2088 – 026X Vol. 36 No.1 April 2014
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN (JOURNAL OF CHEMICAL AND PACKAGING) Terakreditasi Nomor : 526/AU1/P2MI-LIPI/04/2013
Kata Pengantar Jurnal Kimia dan Kemasan Volume 36 Nomor 1 April 2014 ini terbit dengan delapan artikel yang merupakan terbitan pertama di tahun 2014. Materi untuk terbitan kali ini memuat artikel penelitian di bidang kimia dan kemasan. Di bidang kimia terdapat tujuh artikel, tiga artikel membahas pemanfaatan limbah untuk mendapatkan produk yang mempunyai nilai tambah, yaitu artikel pertama membahas tentang Perolehan Kembali Seng Dari Limbah Industri Galvanis Sebagai Seng Asetat. Seng dross merupakan hasil samping dari industri pelapisan logam (galvanis) dengan proses hot-dip yang mempunyai kandungan seng cukup tinggi. Hasil samping ini dapat digunakan sebagai bahan baku seng asetat yang pemanfaatannya bisa sebagai bahan tambahan makanan, supplemen, obatobatan, precursor dan pelega tenggorokan. Artikel kedua membahas tentang Pembuatan Komposit Akrilamida-g-Bagas Sebagai Absorben Menggunakan Radiasi Berkas Elektron, dan artikel ketiga membahas tentang Kajian Potensi Lignin Untuk Penanganan Logam Berat Cr (VI). Empat artikel lain di bidang kimia yaitu artikel keempat tentang Identifikasi Fasa Dan Sifat Magnetik Nanopartikel Besi Oksida Teriradiasi, artikel kelima tentang Kopolimerisasi Cangkok Dan Karakterisasi Lembaran Kitosan Teriradiasi, artikel keenam tentang Ekstraksi Dan Karakterisasi Serbuk Nano Pigmen Dari Daun Tanaman Jati (Tectonagrandislinn. F), dan artikel ketujuh tentang Sintesis Bahan Dasar Tibial Tray Berbasis HDPE Yang Diperkuat Dengan Iradiasi Gamma. Disamping ketujuh artikel tersebut, terdapat artikel hasil penelitian di bidang kemasan yang disajikan, yaitu artikel kedelapan yang membahas tentang Fotodegradasi (Degradasi Abiotik) Kantong Plastik Belanja Polietilena (PE) Yang Mengandung Aditif Oxo-Degradable. Penelitian ini dilakukan karena begitu maraknya kantong plastik polietilen yang diklaim dapat terdegradasi oleh cahaya dan untuk mengkaji fotodegradasi plastik oxo yang ditemukan di supermarket atau pasar lokal di Indonesia dibandingkan dengan plastik PE tanpa aditif oxo. Kedelapan topik bahasan dalam terbitan ini semoga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan bagi para pembaca sekalian. Akhir kata redaksi sangat bersyukur atas artikel yang masuk dari berbagai latar belakang disiplin ilmu. Seiring dengan bertambahnya waktu, redaksi berharap akan semakin banyak dan beragam artikel yang masuk untuk dapat diterbitkan dalam Jurnal Kimia dan Kemasan ini. Kritik dan saran untuk peningkatan kualitas penerbitan jurnal ini sangat kami harapkan.
DEWAN REDAKSI
PEROLEHAN KEMBALI SENG DARI LIMBAH INDUSTRI GALVANIS SEBAGAI SENG ASETAT (ZINC RECOVERY FROM WASTE OF GALVANIZED INDUSTRY TO PRODUCE ZINC ACETATE) Siti Agustina1,2, Nastiti Siswi Indrasti2, Suprihatin2, dan Nurul Taufiqu Rochman3 1)
Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian RI Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur 2) Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor 3) Pusat Penelitian Metalurgi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia E-mail :
[email protected] Received : 10 Maret 2014; revised : 11 April 2014 ; accepted : 14 April 2014
ABSTRAK Seng dross merupakan hasil samping dari industri pelapisan logam (galvanis) dengan proses hot-dip dan mempunyai kandungan seng yang cukup tinggi. Hasil samping ini dapat digunakan sebagai bahan baku seng asetat. Seng asetat digunakan sebagai bahan tambahan makanan, suplemen, obat-obatan, precursor, dan pelega tenggorokan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kembali seng dari seng dross untuk menghasilkan seng asetat. Seng asetat tersebut akan digunakan sebagai precursor. Proses ekstraksi seng dross dilakukan dengan asam asetat glasial pada kondisi proses, yaitu waktu ekstraksi 1 jam, 2 jam, dan 3 jam, suhu ekstraksi 130 ºC, 150 ºC, dan 170 ºC, serta konsentrasi asam asetat glasial 20%, 40%, dan 60%. Hasil ekstraksi berupa seng asetat dianalisis untuk mengetahui kadar seng dan karakteristik kristal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi proses ekstraksi yang terbaik diperoleh pada suhu 130 ºC, konsentrasi asam asetat glasial sebesar 60%, dan waktu proses ekstraksi selama 1 jam. Seng asetat yang diperoleh mengandung 75,39% seng dan kristal seng asetat mempunyai intensitas 5800 counts. Kata kunci : Industri pelapisan logam, Seng dross, Perolehan kembali seng, Ekstraksi seng, Seng asetat
ABSTRACT Zinc dross is one of by products from galvanized metal industry using hot-dip process. It contains high concentration of zinc. This by product can be converted into zinc acetate that can be used for various purposes, such as food additive, supplement, precursors, medicines, and throat lozenge. This research aimed to study the zinc recovery from zinc dross. It can be use as precursor. The recovered zinc was then used to produce zinc acetate. The zinc extraction process was conducted under various operating conditions, covering extraction times of 1 hour, 2 hour, and 3 hour, extraction temperature of 130 ºC, 150 ºC, and 170 ºC, and glacial acetic acid concentration of 20%, 40%, and 60%. Zinc content and the characteristics of zinc acetate crystal were used as parameters for evaluation of the extraction process condition. Research results showed that the best condition for extraction process was identified at a temperature of 130 ºC, a glacial acetic acid concentration of 60% and an extraction time of 1 hour. The produced zinc acetate has a zinc concentration of 75.39% and an intensity of 5800 counts. Key words : Galvanized metal industry, Zinc dross, Zinc recovery, Zinc extraction, Zinc acetate
PENDAHULUAN Industri galvanis semakin berkembang seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan produk industri berbahan baku logam. Industri berbahan baku logam (misalnya seng) umumnya melibatkan proses pelapisan
untuk mencegah terjadinya korosi (Sugiyarto dan Suyanti 2010). Jenis produk industri galvanis diantaranya adalah bahan konstruksi, perkakas elektronik, bahan transportasi, dan baja ringan untuk perumahan. Industri galvanis
Perolehan Kembali Seng…………………………………………Siti Agustina dkk
147
dengan metode hot-dip menghasilkan produk utama berupa bahan besi yang dilapisi seng. Industri ini juga menghasilkan limbah industri, berupa abu seng dan seng dross. Abu seng mengandung seng dan besi yang berasal dari endapan pada proses pelapisan logam, sedangkan seng dross mengandung seng berupa partikel yang mengapung pada bak proses pelapisan seng. Seng dross mengandung kadar seng 90% sampai dengan 98% (Peter et al. 2011). Industri galvanis menghasilkan seng dross sebanyak 10% sampai dengan 25% dari jumlah seng yang digunakan dalam pelapisan logam tersebut (Rao 2006, Prasad 2008). Produksi bersih dapat diterapkan untuk industri galvanis sistem hot-dip, misalnya melalui proses perolehan kembali seng dari seng dross. Berbagai keuntungan dapat diperoleh dari penerapan pendekatan ini, antara lain mengurangi biaya produksi, mengurangi limbah yang dihasilkan, dan meningkatkan produktivitas (Indrasti dan Fauzi 2009). Hasil samping dari industri galvanis berupa seng asetat dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, misalnya sebagai bahan tambahan makanan, suplemen, obat-obatan, precursor, dan pelega tenggorokan (Gang and Rob 2010). Perolehan kembali logam seng dapat dilakukan melalui proses pirometalurgi atau proses hidrometalurgi. Kedua proses tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelemahan utama dari proses pirometalurgi adalah energi yang dibutuhkan tinggi, membutuhkan alat pengumpul debu (electric precipitator), dan sistem pembersih gas. Keberadaan garam-garam klorida dan fluorida menyebabkan korosi. Proses hidrometalurgi lebih ramah lingkungan dan ekonomis, terutama untuk perolehan kembali seng dalam skala kecil (Rao 2006). Proses hidrometalurgi efektif dan fleksibel tergantung pada sifat dan komposisi bahan. Proses hidrometalurgi dapat menggunakan berbagai jenis bahan kimia, misalnya asam sulfat (Barakat 1999, Langova 2010, Ligiane et al. 2007, Drovak 2005), asam fopinik (Ali et al. 2006), amonium klorida (Ren et al. 2010), tributil fosfat (Carrera et al. 2008), atau asam klorida (Sugiyarto dan Suyanti 2010). Proses perolehan seng melibatkan tahapan proses pengendapan, pertukaran ion atau ekstraksi pelarut, dan elektrolisis atau kristalisasi (Jha et al. 2000). Faktor yang mempengaruhi proses ini adalah pH, laju pengadukan, dan suhu (Ren et al. 2010). Dibandingkan dengan logam lainnya, logam seng memiliki banyak keunggulan, antara lain memiliki daya energi tinggi, bisa didaur
ulang, aman, dan tidak menyisakan emisi. Selain dapat digunakan untuk pelapisan logam, seng juga dapat digunakan dalam berbagai jenis industri, seperti industri karet, kosmetik, obatobatan, pelapis lantai, plastik, percetakan, tinta, baterai, tekstil, peralatan listrik, bahan kimia, solder, cat, dan industri pertanian (Widowati dkk 2008). Logam seng bersifat relatif lunak dan sangat reaktif terhadap asam untuk menghasilkan garam seng. Sebagian besar garam seng dapat larut dalam air (Sugiyarto dan Suyanti 2010). Seng asetat merupakan garam seng yang dapat larut di dalam air dan di dalam alkohol. Seng asetat dapat digunakan sebagai bahan tambahan makanan (food supplement) untuk peternakan sapi perah (Putra 2006), bahan obat-obatan untuk penderita diare (Suryani 2008), bahan suplemen untuk penderita Tubercolusis (TBC) (Yulianti 2006), bahan pelega tenggorokan (Widowati dkk 2008), precursor untuk menghasilkan nano seng oksida (Akwalia 2011). Pada penelitian ini bertujuan untuk recovery seng dari limbah industri galvanis (seng dross) untuk dibuat menjadi seng asetat. Seng asetat tersebut akan digunakan sebagai precursor. Dengan penelitian ini diharapkan seng dross yang selama ini diekspor ke negara lain dapat dimanfaatkan untuk pembuatan seng asetat, sehingga dapat memenuhi kebutuhan seng asetat dalam negeri yang selama ini masih impor. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seng dross dari hasil samping industri galvanis dengan proses hot-dip dari kawasan Cikarang, asam asetat glasial (Merck), asam nitrat (Merck), larutan standar seng, seng asetat (Merck), akuades, dan bahan kimia untuk analisis. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengecil partikel (crusher), gunting, saringan, peralatan gelas, oven, pemanas listrik, magnetic stirrer, pendingin tegak, stopwatch, neraca analitik, pengaduk, termometer, saringan gooch, Atomic Absorption Spectrofotometer (AAS), X-Ray Diffraction (XRD). Metode Penelitian dilakukan dalam 3 tahap, yaitu tahap pengecilan seng dross, tahap proses ekstraksi, dan tahap analisa hasil
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 147-154
148
Tahap Pengecilan Partikel Seng dross dipanaskan menjadi bentuk lempengan, kemudian lempengan digunting, dan selanjutnya seng dikecilkan ukurannya, sehingga menghasilkan partikel kecil berukuran 100 mesh. Serbuk seng kemudian disaring untuk memperoleh ukuran partikel seragam.
Proses Ekstraksi Seng Dross dengan Asam Asetat Glasial Proses ekstraksi seng dross dengan asam asetat glasial menghasilkan garam seng berupa seng asetat dan gas hidrogen sesuai dengan persamaan reaksi berikut: Zn+2CH3COOHZn(CH3COO)2+H2 ....(1)
Tahap Proses Ekstraksi. Partikel seng dross diekstraksi dengan asam asetat glasial melalui pemanasan menggunakan sistem pendingin tegak. Pada proses ini digunakan beberapa variabel, yaitu waktu ekstraksi 1 jam, 2 jam, dan 3 jam, suhu ekstraksi 130 ºC, 150 ºC, dan 170 ºC, serta konsentrasi asam asetat glasial 20%, 40%, dan 60%. Hasil ekstraksi yang diperoleh dipisahkan antara endapan kristal yang terbentuk dan cairan dengan cara penyaringan. Tahap Analisis Hasil Ekstraksi Kristal seng asetat yang terbentuk dianalisis dengan menggunakan AAS untuk mengetahui konsentrasi seng yang terdapat di dalam kristal seng asetat. Selain itu, kristal seng asetat dikarakterisasi menggunakan XRD untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi kristal seng asetat yang terbentuk. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lingkungan Balai Besar Kimia dan Kemasan. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Seng Dross Seng dross yang merupakan hasil samping dari industri galvanis dengan sistem hot-dip dianalisis terlebih dahulu dengan menggunakan AAS untuk mengetahui kandungan logam yang terdapat di dalam seng dross. Hasil analisis seng dross dapat dilihat pada Tabel 1. Terlihat pada tabel tersebut bahwa kandungan seng dalam seng dross mencapai 96,57%. Kadar Pb dan Fe masingmasing 1,98% dan 2,04%. Kadar logam-logam lain seperti Cd, Al, Ni. Bi, dan Sn tidak signifikan. Selanjutnya partikel seng dross dianalisis dengan menggunakan XRD, yang bertujuan untuk mengetahui kristalinitas seng dross. Hasil analisis dengan XRD disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa seng dross mempunyai kandungan seng yang cukup tinggi dan kristalnya dalam bentuk hexagonal. Pada Gambar 1 terlihat seng dross mempunyai derajat 2 theta pada posisi 36º, 38º, 43º, 54º, 70º, dan 78º. Intensitas seng dross adalah sebesar 620 counts.
Tingkat perolehan seng asetat, dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, waktu, pH, dan konsentrasi (Barakat 1999, Ligiane et al. 2007). Pada proses ekstraksi seng dross dan asam asetat glasial dapat menghasilkan kristal seng asetat atau tidak, tergantung pada suhu, waktu, dan konsentrasi asam asetat glasial yang diterapkan. Pada kondisi tertentu reaksi dapat menghasilkan seng asetat berbentuk kristal, pada kondisi lain tidak dapat menghasilkan seng asetat dalam bentuk kristal. Pada kondisi ini seng asetat berada dalam bentuk larutan. Kondisi proses ekstraksi seng dross dan asam asetat glasial yang menghasilkan seng asetat berbentuk kristal dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa pada kondisi proses ekstraksi seng dross dengan asam asetat glasial pada konsentrasi asam asetat glasial 20% baik pada suhu 130 ºC, 150 ºC, atau 170 ºC dengan waktu proses 1 jam, 2 jam, dan 3 jam tidak menghasilkan seng asetat dalam bentuk kristal. Demikian juga kondisi proses pada konsentrasi asam asetat 40% pada suhu 130 ºC, 150 ºC, dan 170 ºC dengan waktu proses 1 jam juga tidak menghasilkan seng asetat yang berbentuk kristal. Hal ini disebabkan oleh karena pada konsentrasi asam asetat 20% dan 40% dengan waktu proses 1 jam tidak mencukupi untuk terbentuknya kristal seng asetat dan seng asetat masih dalam bentuk larutan. Tabel 1. Kadar berbagai jenis logam dalam seng dross No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis logam Pb Cd Fe Al Ni Bi Sn Zn
Perolehan Kembali Seng…………………………………………Siti Agustina dkk
Satuan (%) 1,98 <0,001 2,04 <0,001 <0,01 <0,001 <0,01 96,57
149
Hasil analisis kandungan kadar seng dalam seng asetat pada proses ekstraksi pada suhu 130 ºC dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar tersebut menunjukkan bahwa kandungan seng dalam seng asetat yang tertinggi adalah kondisi proses ekstraksi dengan konsentrasi asam asetat glasial 60% dan waktu proses selama 1 jam. Proses pada kondisi tersebut menghasilkan seng asetat dengan kandungan seng dalam mencapai 75,39%.
Hasil analisis kandungan kadar seng dalam seng asetat pada kondisi proses ekstraksi suhu 150 ºC dapat dilihat pada Gambar 3. Pada Gambar 3 tersebut menunjukkan bahwa kandungan kadar seng dalam seng asetat yang tertinggi adalah pada konsentrasi asam asetat glasial 60% dan waktu proses selama 3 jam, yaitu sebesar 68,14%.
Gambar 1. Hasil analisis XRD pada seng dross
Tabel 2. Bentuk seng asetat yang dihasilkan dari proses ekstraksi seng dross dan asam asetat glasial Suhu (ºC)
Waktu (jam)
130
1
20 Tidak mengkristal
40 Tidak mengkristal
60 Kristal
2
Tidak mengkristal
Kristal
Kristal
3
Tidak mengkristal
Kristal
Kristal
1
Tidak mengkristal
Tidak mengkristal
Kristal
2
Tidak mengkristal
Kristal
Kristal
3
Tidak mengkristal
Kristal
Kristal
1
Tidak mengkristal
Tidak mengkristal
Kristal
2
Tidak mengkristal
Kristal
Kristal
3
Tidak mengkristal
Kristal
Kristal
150
170
Konsentrasi asam asetat (%)
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 147-154
150
75.39
80 70 Kadar seng (%)
60 46.98 43.3
50
45.54 36.29
40
1 JAM 2 JAM
30
3 JAM
20 10
0 0 0
0
0 20%
40% 60% Konsentrasi asam asetat glasial (%)
Gambar 2. Kadar seng hasil ekstraksi pada suhu 130 ºC dan berbagai konsentrasi asam asetat glasial dan waktu ekstraksi
80 68.14
70
Kadar seng (%)
60 50 38.07
40
28.09
30
35.24 30.19
2 JAM
20 10
1 JAM
3 JAM 0
0
0
0 20%
40% 60% Konsentrasi asam asetat glasial (%)
Gambar 3. Kadar seng hasil ekstraksi pada suhu 150 ºC dan berbagai konsentrasi asam asetat dan waktu ekstraksi
Hasil analisis kandungan seng dalam seng asetat pada proses ekstraksi dengan suhu 170 ºC dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar tersebut menunjukkan bahwa kandungan kadar seng dalam seng asetat yang tertinggi pada proses ekstraksi dengan konsentrasi asam asetat 60% dengan waktu proses selama 1 jam, yaitu sebesar 49,63%. Berdasarkan data diatas diketahui bahwa kondisi proses yang terbaik untuk perolehan kembali seng dari seng dross adalah pada suhu 130 ºC, konsentrasi asam asetat glasial 60%, dan waktu ekstraksi selama 1 jam. Pada kondisi ini proses akan
menghasilkan seng asetat yang mempunyai kandungan kadar seng sebesar 75,39%. Proses ekstraksi logam seng dan larutan asam asetat glasial menghasilkan seng asetat berbentuk kristal. Proses ini mempunyai beberapa tahapan. Tahap pertama adalah logam seng larut dalam larutan asam asetat glasial menjadi larutan seng asetat, ini terjadi pada konsentrasi asam asetat glasial 20% dan suhu 130 ºC, 150 ºC dan 170 ºC selama 1 jam. Tahap kedua adalah dengan penambahan waktu proses selama 2 jam dan 3 jam serta penambahan konsentrasi larutan asam asetat glasial yaitu sebesar 40% dan 60%,
Perolehan Kembali Seng…………………………………………Siti Agustina dkk
151
mengakibatkan larutan seng asetat melampaui kesetimbangan larutannya, sehingga larutan seng asetat menjadi larutan sangat jenuh (supersaturasi). Kondisi supersaturasi adalah kondisi dimana konsentrasi padatan dalam larutan melebihi konsentrasi jenuh larutan tersebut (Fachry et al. 2008). Tahap ketiga adalah proses kristalisasi, pada tahap ini larutan super jenuh (supersaturasi) seng asetat membentuk inti-inti kristal seng asetat. Pembentukan inti-inti kristal ini dipengaruhi oleh pengadukan dan sirkulasi ulang dari larutan, sehingga kristalnya tumbuh menjadi banyak. Menurut Fachry (2008) pembentukan inti kristal yang terjadi secara spontan disebabkan karena tercapainya kondisi supersaturasi disebut pembentukan inti kristal homogen. Pembentukan
ini dipengaruhi oleh pengadukan, mechanical shock, friksi, dan tekanan ekstrem. Karakterisasi Kristal Seng Asetat Pada Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan hasil karakterisasi kristal seng asetat hasil penelitian dan seng asetat komersial dengan menggunakan XRD. Gambar 5 menunjukkan kristal seng asetat hasil penelitian, mempunyai posisi derajat 2 theta pada 12º, 16º, 20º, 22º, dan 25º. Intensitas sebesar = 5800 counts. Gambar 6 merupakan hasil karakterisasi kristal seng asetat komersial, mempunyai posisi derajat 2 theta pada 12º, 16º, 19º, 20º, 22º, dan 25º. Intensitas sebesar = 2350 counts.
60
40 30
49.6347.51
Kadar seng(%)
50
40.51 33.28
34.12
1 JAM 2 JAM 3 JAM
20 10 0
0
0
0
0 20%
40% 60% Konsentrasi asam asetat glasial (%)
Gambar 4. Kadar seng hasil ekstraksi pada suhu 170 ºC dan berbagai konsentrasi asam asetat glasial dan waktu ekstraksi
Gambar 5.Hasil analisis XRD seng asetat hasil penelitian
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 147-154
152
Gambar 6. Hasil analisis XRD seng asetat komersial
Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa seng asetat hasil penelitian dan seng asetat komersial mempunyai derajat 2 theta yang sama, tetapi seng asetat hasil penelitian mempunyai intensitas lebih tinggi dibandingkan dengan seng asetat komersial. Ini menunjukkan seng asetat hasil penelitian lebih banyak jumlah sinar yang didifraksikan. KESIMPULAN Industri galvanis dengan proses hot-dip menghasilkan produk samping berupa seng dross yang mengandung seng hingga 96,57%. Seng tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembuatan seng asetat dengan menggunakan proses hidrometalurgi, melalui tahapan proses ekstraksi dengan pelarut asam asetat glasial. Kondisi proses terbaik teridentifikasi pada suhu 130 ºC, konsentrasi asam asetat glasial 60%, dan waktu reaksi selama 1 jam. Pada kondisi tersebut dapat dihasilkan seng asetat dengan kadar seng 75,39%. Analisis XRD kristal dari seng asetat yang dihasilkan penelitian ini mempunyai intensitas 5800 counts, lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas seng asetat komersial yang hanya 2350 counts. Seng asetat hasil penelitian ini dapat diteliti lebih lanjut untuk mendukung pengembangan agroindustri, seperti sebagai bahan tambahan makanan (supplement) peternakan sapi atau sebagai precursor nano seng oksida sebagai bahan kemasan.
DAFTAR PUSTAKA Akwalia, P. R. 2011. Sintesis dan karaterisasi nano partikel zinc oxide dengan menggunakan metode sol-gel berdasarkan pH. Skripsi. Departemen Fisika. Fakultas Sains and Teknologi. Universitas Airlangga, Surabaya. Indonesia Ali, A. M. I., I. M. Ahmad, and J. A. Doud. 2006. Cyanex 272 for extraction and recovery of zinc from aqoues wave solution using a mixer settler unit. Journal separation and purification technology 47 : 135-140. Barakat, M. A. 1999. Recovery of metal values from zinc solder dross. Journal waste management 19 : 503-507. Carrera, J. A., E. Bringas, M. F. San Roman, and I. Ortiz. 2009. Selective membrane alternative to the recovery of zinc from hot-dip galvanizing effluents. Journal of membrane science 326 (2) : 672-680. Dvorak, P. and J. Jandova. 2005. Hydrometallurgical recovery of zinc from hot dip galvanizing ash. Journal hydrometallurgy 77 (1-2) : 29-33. Fachry, A. R., J. Tumanggor, dan N. P. E. Yuni. 2008. Pengaruh waktu kristalisasi dengan proses pendinginan terhadap pertumbuhan kristal amonium sulfat dari larutannya. Jurnal Teknik Kimia 15 (2) : 9-16. Gang, K. and W. Rob. 2010. Toward cleaner production of hot dip galvanizing
Perolehan Kembali Seng…………………………………………Siti Agustina dkk
153
industry in China. Journal of cleaner production 18 : 1092-1099. Indrasti, N. Siswi, dan M. A. Fauzi. 2009. Produksi bersih. Bogor : IPB Press. Jha, M. K., V. Kumar, and R. J. Singh. 2000. Review of hydrometallurgical recovery of zinc from industrial wastes. Journal resources, conservation & recycling 33 : 1-22. Ligiane, R., Morais, and A. Carlos. 2007. Recovery of zinc and cadmium from industrial waste by leaching/cementation. Journal minerals engineering 20 (9) : 956-958. Maaβ, P., P. Peiβker, and C. Ahner. 2011. Hand book of hot dip galvanization. London: John Wiley&Sons. Putra, S. 2006. Perbaikan mutu pakan yang disuplementasi seng asetat dalam upaya meningkatkan populasi bakteri dalam protein mikroba di dalam rumen, kecernaan, bahan kering, dan nutrien ransum sapi bali bunting. Majalah peternakan 9 (1). Rao, S. 2006. Resources recovery and recycling from metallurgical wastes. Journal waste management 7: 1-557. Ren, X., Q. Wei, S. Hu, and S. Wei. 2010. The recovery of zinc from hot galvanizing slag in an-exchange membrane electrolysis reactor. Journal of hazardous materials 181 (1-3) : 908914.
Sanjay,
P. 2008. Zinc dross problem in galvanising and its use to produce electrolytic zinc powder. In : International Seminar on Coated Steels (ISCS-2008) : Prospect, Problem and Potential of Coated Steels. Jamshedpur Sarka, L. and D. Matysek. 2010. Zinc recovery from steel-making wastes by acid pressure leaching and hematite precipitation. Journal hydrometallurgy 10 (3-4) : 171-173. Sugiyarto, K.H. dan R.D. Suyanti. 2010. Kimia anorganik logam. Yogyakarta : Graha Ilmu. Suryani, R.D. dan A. Rosalina. 2008. Perbandingan kadar seng plasma diare akut gizi baik dan gizi buruk anak usia 6 bulan – 2 tahun. Sari pediatric 10 (3). Techobanoglous, G., T. Hillary, and A. V. Samuel. 1993. Integrated solid waste management. New York : Mc Graw Hill. Widowati, W., A. Sastiono, dan R. Jusuf. 2008. Efek toksik logam. Yogyakarta : Penerbit Andi. Yulianti, S. R. 2006. Efek suplementasi ion zinc pada pengobatan tuberculosis paru terhadap perubahan P 100 latensi vep. Tesis. Departemen Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Depok. Indonesia.
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 147-154
154
PEMBUATAN KOMPOSIT AKRILAMIDA-g-BAGAS SEBAGAI ABSORBEN MENGGUNAKAN RADIASI BERKAS ELEKTRON (FABRICATION OF ACRYLAMIDE-g-BAGASSE COMPOSITE AS AN ABSORBENT USING ELECTRON BEAM RADIATION) Akhmad Rasyid Syahputra dan Darsono Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi – BATAN Jl. Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta Selatan E-mail :
[email protected] Received : 28 Maret 2014; revised : 01 April 2014; accepted : 03 April 2014
ABSTRAK Salah satu limbah padat dari pabrik gula adalah bagas. Sisa penggilingan gula merupakan bagas yang cukup besar sehingga diperlukan proses lebih lanjut agar limbah tersebut tidak merusak lingkungan. Tujuan studi ini adalah membuat absorben dari limbah bagas dan mengamati perubahan sifat fisik dan kimianya. Pembuatan absorben dilakukan dengan menggunakan radiasi mesin berkas elektron. Proses iradiasi dilakukan dengan variasi dosis 15kGy, 30 kGy, 45 kGy dan 60 kGy. Sifat fisik absorben dapat diamati dengan menggunakan hasil persentase fraksi gel. Sifat kimia absorben diamati dari perbedaan spektrum infra merahnya pada saat sebelum dan sesudah ditambahkan monomer. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dosis radiasi yang semakin tinggi pada absorben akan meningkatkan sifat fisik (persentase fraksi gel). Analisis menggunakan spektra Fourier Transform Infra Red (FTIR) menunjukan perbedaan puncak-puncak serapan bagas sebelum dan sesudah ditambahkan monomer. Spektrum Differential Scanning Calorymetry (DSC) komposit hasil iradiasi menunjukkan bahwa iradiasi menyebabkan perubahan titik lebur. Kata kunci : Absorben, Bagas, Mesin berkas elektron
ABSTRACT One of the solid waste from sugar mills is a bagasse. Result of sugar mills is a large enough bagasse waste which needs further processing so that it doesn’t harm environment. The purposes of this study are making absorbent from bagasse and observing changes in physical and chemical properties. Manufacture of absorbent performed using electron beam machine. Irradiation dose variation is done with 15 kGy, 30 kGy, 45 kGy and 60 kGy. The physical properties of absorbent can be observed by using the result of gel fraction percentage. Absorbent chemical properties can observed infra red spectrum difference between before and after monomer added. Increasing radiaton dose will improve the physical (gel fraction percentage). Analysis using FTIR spectra showed different of absorption peaks before and after monomer adding. Differential Scanning Calorymetry (DSC) spectra of irradiated composite showed that irradiation affected melting point. Key words : Absorbent, Sugarcane bagasse, Electron beam machine
PENDAHULUAN Melimpahnya produksi tebu di Indonesia mencapai 34,5 juta ton/tahun dan bisa menghasilkan bagas sebanyak 10,4 juta ton/tahun. Bagas sisa yang tidak terpakai di pabrik gula mencapai 279.322 ton/tahun sehingga dapat dimanfaatkan untuk penelitian di berbagai bidang (Pressa 2003). Data statistik menunjukan, potensi bagas di Indonesia cukup besar, pada tahun 2002 luas tanaman tebu di Indonesia 395.399,44 ha, tersebar di pulau
Sumatera seluas 99.383,8 ha, pulau Jawa seluas 265.671,82 ha, pulau Kalimantan seluas 13.970,42 ha dan pulau Sulawesi seluas 16.373,4 ha. Setiap hektar tanaman tebu diperkirakan mampu menghasilkan 100 ton bagas. Maka potensi bagas nasional yang dapat tersedia dari total luas tanaman tebu mencapai 39.539.944 ton per tahun (Fauzi 2005). Bagas merupakan limbah padat dari pengolahan industri gula tebu yang volumenya mencapai
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014: 155-162
155
30-40% dari tebu giling. Saat ini perkebunan tebu rakyat mendominasi luas areal perkebunan tebu di Indonesia. Bagas termasuk biomassa yang mengandung lignoselulosa sangat dimungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi sumber energi alternatif seperti bioetanol atau biogas. Bagas memiliki kandungan selulosa 52,7 %, hemiselulosa 20,0 %, dan lignin 24,2 % (Samsuri et.al 2005). Bagas adalah bahan sisa berserat dari batang tebu yang telah mengalami ekstraksi dan banyak mengandung parenkim serta tidak tahan disimpan karena mudah terserang jamur (Muharam 1995). Bagas merupakan hasil samping dari proses ekstraksi cairan tebu dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pabrik, bahan industri kertas, papan partikel dan media untuk budidaya jamur untuk pupuk (Slamet 2004). Tujuan penelitian ini adalah memperoleh suatu komposit yang dibuat dari bagas dan polimer akrilamida yang dapat diaplikasikan sebagai penyerap air dan ion logam berat. Komposit adalah suatu material yang terbentuk dari kombinasi dua atau lebih material. Komposit hasil perpaduan bagas dan akrilamida ini diharapkan mempunyai sifat mekanik dan karakteristik yang berbeda dari material pembentuknya. Akrilamida (C3H5NO) merupakan senyawa kimia berwarna putih, tidak berbau, berbentuk padat dan mudah larut dalam air. Akrilamida dalam larutan bersifat stabil pada suhu kamar dan tidak berpolimerisasi secara spontan. Penelitian pembuatan komposit bagas dan akrilamida ini mempelajari tentang sifat swelling dari polimer tersebut dengan memanfaatkan bagas karena bahan ini mudah didapat, harganya murah dan ramah lingkungan. Bagas sangat potensial menjadi superabsorben karena banyak mengandung gugus hidroksil. Molekul bagas terikat sedemikian rupa sehingga berstruktur heliks yang lebih lentur dan lebih mudah mengembang. Polimer superabsorben berbasis bagas dapat memiliki kemampuan superabsorben dalam menyerap air dengan jumlah besar dan memiliki sifat fisik yang kuat. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bagas diperoleh dari PT. Pabrik Gula Rajawali Paliman Cirebon, natrium hidroksida, asam klorida, akrilamida yang diperoleh dari Merck, dan air suling. Peralatan yang digunakan meliputi saringan bagas, gelas kimia, cawan petri, pipet, penangas air, batang pengaduk, magnetic strirrer, hot plate, lemari asam, oven, timbangan, blender, mesin berkas elektron GJ-2, kantong plastik, Fourier transform infra red
(FTIR) dan Differential Scanning Calorimetry (DSC). Metode a. Pembuatan Komposit Absorben Akrilamida-g-Bagas (AAmB) Bagas tebu dicuci dengan air kemudian dibilas dengan air suling dan dikeringkan selama 2 hari. Bagas kering dihaluskan menggunakan blender lalu disaring menggunakan saringan 80 mesh.Hasil saringan dimasukkan ke dalam oven suhu 100 °C selama 12 jam. Bagas 80 mesh ditimbang sebanyak 20 gram. Selanjutnya ditambahkan 400 mL NaOH dengan konsentrasi 15% (1:20) (Andriyanti et.al 2012). Campuran o diaduk dan dipanaskan pada suhu 100 C selama 4 jam dan volumenya dijaga jangan sampai berkurang. Selanjutnya, padatan disaring menggunakan saringan 325 mesh sambil dicuci sampai filtratnya jernih (pH netral). Hasil saringan dikeringkan pada suhu 100 °C selama 24 jam. Bagas yang sudah dicuci, ditimbang 8 gram dan ditambah HCl 0.1 M 80 ml (1:10), kemudian diaduk dan dipanaskan pada suhu 100 °C selama 1 jam. Campuran dicuci menggunakan air suling hingga pH nya netral lalu dikeringkan di dalam oven. Bagas kering sebanyak 1 gram ditambahkan 5 gram akrilamida dan 10 ml air. Setelah itu, diaduk dan dipanaskan pada suhu 90 °C selama 2 jam. Campuran dikemas dalam plastik untuk diiradiasi dengan dosis 15 kGy, 30 kGy, 45 kGy, dan 60 kGy. Sampel direndam dalam air panas 80 °C selama 2 jam untuk menghilangkan homopolimer, kemudian dikeringkan. Fraksi Gel (%) =
X 100 %………. (1)
W2 = Berat sampel setelah perendaman (g) W1 = Berat sampel awal (g) b. Penentuan Fraksi Gel Absorben Bagas Sampel hasil radiasi masing-masing dipotong ukuran 2 x 2 cm sebanyak 3 buah dan dikeringkan pada suhu 70°C selama 24 jam, lalu ditimbang hingga berat konstan (W1). Sampel kering dimasukkan ke dalam kasa kemudian direndam dalam wadah yang berisi akuades ° sambil diaduk pada suhu 70 C selama 24 jam untuk menghilangkan zat-zat yang tidak larut. ° Selanjutnya sampel dikeringkan pada suhu 70 C dan ditimbang hingga berat konstan (W2). c. Penentuan Daya serap air Daya serap air absorben AAmB ditentukan dengan cara merendamnya dalam air suling ° pada suhu (25 ± 0.1) C di dalam waterbath. Air
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 155-162
156
yang terserap dihitung dengan menimbang berat total setelah perendaman variasi waktu. Gel yang mengembang ditimbang menggunakan neraca analitis. Daya serap air AAmB dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : % daya serap air =
X 100 % ……….(2)
W2 = Berat sampel setelah menyerap air (g) W1 = Berat sampel sebelum menyerap air (g) d.
Analisis sampel menggunakan FTIR (Fourier Transform Infra Red) FTIR digunakan untuk mengkarakterisasi gugus fungsi senyawa kimia tertentu pada absorben bagas yang diiradiasi. Spektra FTIR dihasilkan dari panjang gelombang 4000-400 -1 cm . Sampel digiling dan dicampur dengan bubuk KBr kering dan ditempatkan pada sampling cup. Spektra FTIR diperoleh pada akrilamida murni untuk dibandingkan dengan AAmB. Analisis sampel menggunakan DSC (Differential Scanning Calorimeter) Titik lebur sampel dianalisis menggunakan alat DSC-60, Shimadzu, alat ini digunakan untuk menentukan sifat panas dari senyawa kontrol dan komposit yang telah diiradiasi. Berat komposit yang digunakan untuk pengukuran spektrum DSC adalah 5.0 ± 0.1 mg. Masingmasing sampel dipanaskan mulai suhu 30°C sampai 600°C dan dengan laju alir 10°C/menit. HASIL DAN PEMBAHASAN Bagas Polimer superabsorben adalah polimer yang dapat menyerap dan mempertahankan cairan dalam jumlah besar yang relatif terhadap massanya (Horie et.al 2004). Polimer penyerap air yang mengalami crosslinking diklasifikasikan sebagai hidrogel (Kabiri 2003). Bagas tebu termasuk ke dalam tanaman biomassa yang tersusun dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan sejumlah kecil garam mineral (Klemm 2005). Secara kimia, selulosa adalah polimer alam hidroglukosa yang terikat pada atom karbon 1 dan 4 ikatan β-glikosidik. Struktur selulosa dibentuk oleh ikatan hidrogen antara gugusgugus hidroksil (Canetieri et.al 2007). Keberadaan selulosa inilah yang menjadikan bagas sebagai salah satu biomassa yang mempunyai kemampuan menyerap ion logam. Proses penyerapannya dapat terjadi secara
kimia maupun fisika. Secara kimia dengan pertukaran ion H dari gugus OH selulosa dengan ion logam berat. Sedangkan secara fisika dengan adanya struktur selulosa yang kaku mengakibatkan adanya adsorpsi Van Der Waals yaitu, gaya antara molekul terserap dengan material penyerap (Kolev 2002). Fraksi Gel AamB Variasi fraksi gel absorben bagas pada pengaruh iradiasi berkas elektron disajikan pada Tabel 1. Fraksi gel menggambarkan kekuatan ikatan silang/pencangkokan yang terbentuk akibat dari iradiasi berkas elektron terhadap bahan bagas dengan polimer akrilamida. Data Tabel 1 memperlihatkan bahwa, monomer akrilamida memiliki harga fraksi gel yang lebih rendah dibandingkan dengan harga fraksi gel AAmB. Nilai fraksi gel dengan dosis radiasi 15 kGy, 30 kGy dan 45 kGy mengalami peningkatan rata-rata 8 %, hal ini dapat diasumsikan bahwa dengan dosis radiasi tersebut akrilamida dapat tercangkok dengan baik. Pemanasan pada suhu 90 °C selama 2 jam juga membantu terjadinya proses grafting pada campuran akrilamida dan bagas. Akrilamida bereaksi dengan alkohol polimerik seperti selulosa dan pati dan menghasilkan kopolimer cangkok. Kopolimer cangkok dilakukan dengan cara mencangkokan polimer lain, dalam hal ini bagas sebagai polimer alam, dengan akrilamida (Farid 2011). Campuran polimer ini menggabungkan sifat yang berguna dari akrilamida yang mempunyai sifat hidrofilik, untuk membantu peran bagas (selulosa) yang sifatnya hidrofobik. Sifat unggul dari bagas pun dapat meningkatkan sifat fisik akrilamida sehingga memiliki harga fraksi gel yang tinggi. Soebianto dkk. (2005), menyatakan bahwa proses pencangkokan akan berlangsung baik pada dosis radiasi 30 kGy dan 50 kGy, tetapi pada dosis 50 kGy akan terlihat lebih baik hasilnya. Pada dosis serap tinggi, di atas 50 kGy kemungkinan kerusakan struktur mikro polimer akan semakin tinggi (degradasi polimer). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1, walaupun harga fraksi gel dosis 60 kGy meningkat dibandingkan dengan akrilamida murni, tetapi pada dosis 60 kGy polimer mengalami degradasikarena harga fraksi gelnya menurun dibandingkan dengan harga fraksi gel pada suhu 45 kGy. Degradasi polimer dapat terjadi pada dosis tinggi (20-1000 kGy) (Czikovsky 2003).
Pembuatan Komposit Akrilamida-G-Bagas……Akhmad Rasyid Syahputra dan Darsono
157
Tabel 1. Fraksi Gel Akrilamida dan AAmB Dosis 15 30 45 60 akrilamida
Fraksi (%) 92.60 95.01 97.31 94.07 85.01
Polimer mengalami degradasi diperkirakan karena proses pencangkokan sudah tidak mencapai bagian dalam substrat. Pada akrilamida homopolimerisasi akan terjadi lebih cepat karena akrilamida mengalami proses propagasi yang cepat, sehingga monomer tidak mampu lagi berdifusi ke dalam substrat. Hal ini diduga proses pencangkokan hanya terjadi pada bagian permukaan, sehingga menurunkan harga fraksi gel polimer (Stuart 2004). Karakterisasi FTIR Pengukuran spektrum FTIR ditujukan untuk mempelajari perubahan struktur kimia akibat pengaruh dosis iradiasi pada absorben AAmB. Pada Tabel 2 disajikan data puncak serapan akrilamida dan AamB. Hasil spektrum AAmB hampir serupa dengan apa yang dilaporkan M.
Farid yang menggunakan sampel akrilamida -1 tergrafting. Serapan 1500 cm adalah regang CN pada struktur akrilamida (Stuart 2004). Gambar 1 menunjukan absorbansi ikatan regang OH berkurang cukup besar akibat dari proses penambahan NaOH. Pita serapan sekitar 1400 cm-1 cenderung berkurang dengan adanya penambahan NaOH (Sang 2005). Panjang -1 gelombang 1700 cm merupakan serapan khas untuk gugus karbonil pada akrilamida dan AAmB. Gambar 1 memperlihatkan timbul serapan baru pada panjang gelombang 2927.1 -1 cm yang merupakan karakter dari C-H aldehid dari selulosa (bagas). Daerah panjang gelombang C=O 1713.83 cm-1 dan N-H amida primer 3735.31 cm-1 melemah diakibatkan karena adanya pengaruh regang C=O dan O-H aldehid bebas alkohol dari struktur bagas. Perubahan-perubahan di atas memperkuat dugaan, bahwa terjadi pencangkokan (grafting) antara akrilamida dan bagas. Serapan baru yang timbul dan tidak terlalu berubahnya spektrum di daerah finger print dari masingmasing senyawa menunjukan pencangkokan terjadi pada permukaan serat dan tidak merusak struktur dasar akrilamida maupun selulosa (Soebianto dkk. 2005).
Tabel 2. Puncak Serapan FTIR Akrilamida dan AAmB Bilangan Gelombang -1 Akrilamida (cm ) 1348.3 1507.83 1457.28 1713.83 2348.43 2900 3735.31
Bilangan Gelombang AAmB -1 (cm ) 1348 1528.65 1400 1706.11 2530.36 2927.1 3508.67
% T
(a)
Deskripsi CH bending, selulosa HCH dan OCH bending C-N stretching, CH2 selulosa C=O stretching C-H stretching C-H aldehid stretching N-H amida primer
%T (b) 2350.36
1507.43
2348.43 3735.31
2927.10
1337.69
1706.11
3508.67 1713.83 4000
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
4000 3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1/cm
1/c m Gambar 1. Spektrum FTIR kontrol (a) dan komposit AAmB hasil radiasi (b) J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014: 155-162
158
Pengaruh dosis iradiasi terhadap daya serap air absorben AAmB Kesetimbangan derajat serap air pada hidrogel atau komposit diketahui bergantung pada ikatan silang dan masa jenis polimer maupun konsentrasi polimer itu sendiri setelah menjadi gel atau komposit (Okay 2000). Kemampuan menyerap air absorben bergantung pada struktur dan komposisinya. Pengaruh waktu perendaman terhadap daya serap air absorben komposisi 1/20 (b/v) yang diiradiasi dari dosis 15 kGy hingga 60 kGy disajikan pada Gambar 2. Secara umum, terlihat bahwa dengan meningkatnya dosis radiasi dari 15 kGy sampai 60 kGy, kemampuan komposit dalam menyerap air meningkat. Peningkatan signifikan terlihat pada waktu penyerapan selama 2 jam, sebesar 20% air terserap lebih banyak dibandingkan dengan 4-24 jam, hal ini mengindikasikan bahwa komposit absorben AAmB dapat menyerap air dengan waktu singkat. Menurut hasil pengamatan, komposit dapat menyerap air pada saat pertama direndam (± 5 menit, asumsi 0 jam) dengan daya serap sekitar 8%. Komposit dengan dosis radiasi 60 kGy sebenarnya mempunyai daya serap air paling tinggi pada waktu 24 jam, yaitu sebesar 572 %, akan tetapi data hasil fraksi gel pada dosis tersebut menurun sehingga diasumsikan terjadi biodegradasi. Jumlah gugus hidrofilik komposit absorben AAmB lebih banyak dari pada akrilamida (kontrol) sehingga daya serap air absorben AAmB lebih tinggi dari kopolimer akrilamida. Gugus fungsional pada bagas (selulosa) adalah gugus hidroksil. Gugus ini
dapat berinteraksi satu sama lain dengan gugus -O, -N, dan -S membentuk ikatan hidrogen dan dapat berinteraksi dengan air, gugus –OH pada akrilamida juga yang menyebabkan permukaan selulosa bersifat hidrofilik. Penggunaan bagas pada polimer akrilamida dapat berfungsi sebagai pengisi untuk memperkuat ikatan silang atau pencangkokan yang dibantu dengan iradiasi berkas elektron. Sifat menyerap air pada hidrogel dan komposit yang terikat silang dengan senyawa pengikat silang yang berbeda berubah sesuai dengan struktur senyawa pengikat silangnya, ketika senyawa tersebut masuk ke dalam sistem hidrogel dan komposit, diketahui bahwa terdapat beberapa perbedaan pada daya serap airnya, karena molekul senyawa yang hidrofobik terletak diantara rantai-rantai monomer (Karadag & Saraydin 2002). Karakterisasi DSC Kurva DSC dari komposit AAmB memperlihatkan sebuah puncak endotermik seperti yang ada pada Gambar 3. Puncak endotermik adalah puncak khas dari senyawasenyawa termoreversibel (Park et al. 2008) dan diasumsikan sebagai titik lebur (Tm) (Sobral et al. 2003). Kurva AAmB menunjukan 2 puncak endotermik yang berhubungan dengan entalpi dari dehidrasi dan dekomposisi selulosa (Pereira et al. 2011). Termogram pada seluruh komposit hasil radiasi pada rentang suhu 30-100°C sebuah puncak endotermik muncul akibat dari proses evaporasi air (Shaikh et al. 2009).
Berat Total (g)
6 Kontrol 15 kGy
4
30 kGy 45 kGy 2 60 kGy
0 0
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24 26
Waktu Penyerapan (jam) Gambar 2. Hubungan waktu daya serap air dan berat AAmB variasi dosis radiasi
Pembuatan Komposit Akrilamida-G-Bagas……Akhmad Rasyid Syahputra dan Darsono
159
(a)
DSC mW
(b)
DSC mW 2.00
0.00
15 kGy
0.00 -10.00
30 kGy Bagas 45 kGy
-2.00 Akrilamida
-20.00
60 kGy
-4.00 -30.00 -0.00
100.00
200.00
300.00 Temp [C]
400.00
500.00
-0.00
100.00
200.00
300.00 Temp [C]
400.00
500.00
Gambar 3. Kurva DSC kontrol (a) dan komposit AAmB variasi dosis iradiasi (b)
Pada yang mengandung selulosa (LeVan 1998). Kurva DSC komposit AAmB menunjukan beberapa puncak endotermik, pertama pada suhu 90°C yang timbul akibat proses penguapan molekul-molekul air (Pereira et al. 2009). Puncak yang kedua pada suhu 300°C merupakan puncak baru yang lebih lebar yang dapat diasumsikan telah terjadinya proses pencangkokan atau ikatan silang antara bagas dan akrilamida sehingga dapat meningkatakan titik lebur akrilamida apabila menggunakan bagas sebagai bahan pengisi. Pada kurva kontrol dapat dilihat bahwa akrilamida mempunyai titik lebur pada suhu 180°C sedangkan bagas mempunyai titik lebur pada suhu 350°C. Suhu 200-400°C menunjukan terjadi proses dekomposisi hemiselulosa sedangkan pada suhu di atas 400°C terjadi proses dekomposisi atau dapat dianalisis terjadinya dekomposisi lignin dan pembentukan abu (Lacerda et al. 2009). Puncak yang muncul pada suhu 350°C merupakan puncak tipikal senyawa selulosa (Reh et al. 1986). Kurva DSC pada kontrol menunjukan puncak eksotermik pada suhu 350°C dimana terjadi proses oksidasi selulosa menjadi levoglukosan, air, karbon monoksida dan karbon dioksida. KESIMPULAN Komposit AAmB dapat dibentuk melalui proses radiasi berkas elektron dan dilihat melalui analisis fraksi gel, DSC, dan FTIR. Nilai fraksi gel komposit AAmB dengan dosis radiasi 15, 30, 45, dan 60 kGy naik rata-rata sebesar 8%.Iradiasi berkas elektron secara umum meningkatkan daya serap air komposit AAmB pada dosis radiasi 15, 30, 45, dan 60 kGy.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drs. Erizal yang telah memberikan masukan pada penelitian ini dan seluruh operator fasilitas iradiasi mesin berkas elektron yang telah membantu proses iradiasi sampel komposit AAmB. DAFTAR PUSTAKA Andriyanti, W., Suyanti, dan Ngasifudin. 2012. Pembuatan dan Karakterisasi Polimer Superabsorben Dari Bagas. Dalam : Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Teknologi Akselerator dan Aplikasinya. Vol. 13. Januari 2012 : 17. Yogyakarta. Canetieri, E., G.J.M. Rocha, J.R. De Carvalho, Silva, J.B.A. 2007. Optimization of acid hydrolysis from the hemicellulosic fraction of Eucalyptus grandis residue using response surface methodology. Bioresource Technology, p. 422-8. Czikovsky, T. 2003. Degradation Effects in Polymers. Proceedings of Advances in Radiation Chemistry of Polymers. Notre Dame. Indiana. USA. 91-102. Farid, M. 2011. Pengukuran Derajat Grafting Akrilamida Pada Matriks Polisakarida Dengan Spektrometri Inframerah. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Fauzi, A. 2005. Pemanfaatan Bagas Untuk Bahan Baku Pulp dan Kertas Masih Hadapi Kendala. Siaran Pers Nomor : S. 563/II/PIK-1/2005. Pusat Penerangan Kementerian Kehutanan. Jakarta. Horie, K., M. Báron, R. B. Fox, J. He, M. Hess, J. Kahovec, T. Kitayama, P. Kubisa,
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 155-162
160
E. Maréchal, W. Mormann, R. F. T. Stepto, D. Tabak, J. Vohlídal, E. S. Wilks, And W. J. Work. 2004. Definitions of terms relating to reactions of polymers and to functional polymeric materials (IUPAC Recommendations). Pure and Applied Chemistry 76 (4): 889–906. Kabiri, K. 2003. Synthesis of fast-daya serap air superabsorbent hydrogels: effect of crosslinker type and concentration on porosity and absorption rate. European Polymer Journal 39 (7): 1341–1348. Karadag, E. and D. Saraydin. 2002. Swelling of Superabsorbent Acrylamide/Sodium Acrylate Hydrogels Prepared Using Multifunctional Crosslinkers. Turk J Chem. 863-875. Klemm, D., B. Heublein, H.P Fink, A. Bonh, 2005. Cellulose: fascinating biopolymer and sustainable raw material. Angewandte Chemie International Edition, v. 44, n.22, p. 3358-3393. Kolev, F.L., K.D. Danov, P.A. Kralchevsky, G. Broze, A. Mehreteab. 2002. Comparison of the Van Der Waals and Frumkin Adsorption Isotherms for Sodium Dodecyl Sulfate at Various Salt Concentrations. Langmuir. 18, 9106-9109. Lacerda, L. G., R. A. Rafael, and M. D. Ivo. 2009. Braz. Arch. Boil. Technol. Vol. 52. LeVan, S. L. 1998. Thermal Degradation. In: Schniewind. A. P. Concise Encylopedia of Wood and WoodBased Materials. Elmsford, NY: Pergamon Press. 271 – 273 Muharam. 1995. Pengaruh Ukuran Partikel dan Kerapatan Lembaran Terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Papan Partikel Bagas. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Okay, O. and S.B. Sarisik,. 2000. Swelling Behavior of Poly (Acrylamide-CoSodium Acrylate) Hydrogels in Aquoeus Salt Solutions : Theory versus Experiments. European Polymer Journal 36 (2000). 393-399. Elsevier. Park, J.W., W.S., Whiteside, and S.Y. Cho, 2008. Mechanical and water vapor barrier properties of extruded and heat-pressed gelatin films. LWT-Food Sci. Technol. 41;4, 692-700.
Pereira, P.H.F., and M.L.C.P Da Silva. 2009. Estudo da Adsorcao de Surfactante Cationico na Matriz Inorganica Fosfato de Niobio Hidratado. Quim. Nova 32(1). 7-11. Pereira, P.H.F., J.C.V. Herman, O. H. C. Maria, and L.C.P. Maria. 2011. Novel Cellulose Hybrid Material from Sugarcane Bagasse. BioResources 6(1). 867-878. Pressa, P.S.S., S. Mahmudsyah, T. Yuwonoi. 2003. Studi Pemanfaatan Biomassa Bagas Sebagai Bahan Bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap Di Asembagus Kabupaten Situbondo. Jawa Timur. Reh, U., K. Gunda, , and L. Ingolf. 1986. Use of Differential Scanning Calorimetry for Structural Analysis of Fungally Degraded Wood. Appl. Environ. Microbiol. 1101-1106. Samsuri, M., B. Prasetya, E. Hermiati, T. Idiyanti, K. Okano, Syafwina, Y. Honda, and T. Watanabe. 2005. Pretreatments for Ethanol Production from Bagasse by Simultaneous Saccharification and Fermentation. p. 288– 294. In W. Dwianto (Ed.). Towards Ecology and Economy Harmonization of Tropical Forest Resources. Proceedings of the 6th International Wood Science Symposium, Bali, 29–31 August 2005. Sang Youn Oh, Dong Il Yoo, Younsook Shin, Gon Seo. 2005. FTIR Analysis of Cellulose Treated with Sodium Hydroxide and Carbon Dioxide. Carbohydrate Research 340 (3) : 417428. Elsevier Ltd. Shaikh, H. M., Pandere, K. V., Nair, Gresshma, and Varma, A. J. 2009. Utilization of sugarcane bagasse cellulose for producing cellulose acetates: Novel use of residual hemicellulose as plasticizer. Carbohydrate Polymer 76(1). 23-29. Slamet. 2004. Tebu. Warung Informasi Teknologi. Kementerian Riset Dan Teknologi. Indonesia. Sobral, P. J. A., A.M.Q.B Habitante, and E. S. Monterrey-Quintero. 2003. Effect Of The Conditioning Time on Gelatin Phase Transitions. Brazil Journal Food Technol. 6. 2. 327-331. Soebianto, Y., S. Ambyah, P.S. Ratna, A. Chatib. 2005. Karakteristik Pencangkokan Asam Akrilat dan
Pembuatan Komposit Akrilamida-G-Bagas……Akhmad Rasyid Syahputra dan Darsono
161
Akrilamida Pada Serbuk Selulosa dengan Inisiasi Sinar Gamma. Symposium Nasional Polimer V. Bandung. Indonesia. 177-184.
Stuart,
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 155-162
B. 2004. Infrared Spectroscopy: Fundamentals and Applications. Philadelphia. Saunders College Publishing
162
POTENSI LIGNIN UNTUK PENANGANAN LOGAM BERAT Cr(VI) (LIGNIN POTENTIALS TO REMOVAL OF Cr(VI)) Yuris*, Chandrawati Cahyani, dan Atikah Jurusan Kimia, Fakultas Kimia dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya *E-mail:
[email protected] Received :26 Januari 2014; revised :07 April 2014; accepted : 07 April 2014
ABSTRAK Lignin telah diisolasi dari lindi hitam dengan pengasaman menggunakan H 2SO4 10% pada pH 2 dan diperoleh lignin yang memiliki gugus fungsi mirip Indulin-AT. Lignin memiliki sifat tidak larut dalam air dan larut dalam basa. Logam berat Cr(VI) merupakan salah satu logam berat yang bersifat toksik tinggi dan sangat larut dalam air sehingga dapat terdistribusi kemana-mana. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji potensi lignin untuk penanganan logam berat Cr(VI), kajian difokuskan pada variasi pH 2-10 dan konsentrasi lignin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pH campuran 2, penggunaan lignin sebesar 2000 ppm sebanyak 25 mL mampu menyisihkan Cr(VI) sebesar 85,83% dari konsentrasi awal Cr(VI) 25 ppm sebanyak 10 mL menjadi 1,012 ppm. Penambahan konsentrasi lignin pada pH < 5 menaikkan penyisihan Cr(VI) karena terjadi proses adsorbsi dan kopresipitasi melalui mekanisme oklusi sedangkan pada pH > 5, penambahan konsentrasi lignin hanya menaikkan penyisihan Cr(VI) relatif sedikit dibanding pada pH < 5 karena peristiwa kopresipitasi tidak terjadi seiring dengan mulai larutnya lignin. Kata kunci: Lignin, Koprespitasi, Adsorpsi, Oklusi
ABSTRACT Lignin has been isolated from black liquor with acidification by using H 2SO4 10% on pH 2. The lignin obtained will have similarity to functional groups of Indulin-AT standard lignin. Lignin is insoluble in water but soluble in alkaline solvents. Chromium (VI) is one of toxic heavy metals, which is so insoluble in water that can be distributed everywhere. The purpose of this study is assess the potential of lignin to removal of Cr(VI), while the focus of the study is on pH variation and lignin concentration. The results showed that, in pH of mixture 2, a 25 mL of 2000 ppm lignin was able to remove up to 85.83 % Cr(VI) from a 10 mL Cr(VI) with initial concentration of 25 ppm to 1.012 ppm. The addition of lignin concentration at pH < 5 increase the removal of Cr(VI) due to adsorption and co-precipitation process through occlusion mechanism, whereas at PH > 5, the addition of lignin concentration will raise Cr(VI) removal in relatively small scale, as co-precipitation did not occur in line with lignin dissolution. Key word: Lignin, Coprecipitation, Adsorption, Occlusion
PENDAHULUAN Sekitar 47% dari senyawa organik dalam lindi hitam adalah lignin (Lewis & Lantzi dalam Hermingway et al., 1988). Salah satu industri yang menghasilkan limbah cair yang mengandung logam berat adalah industri elektroplating. Limbah cair perlu dikelola dan ditangani terlebih dahulu agar tidak mengganggu lingkungan dan kehidupan di sekitarnya. Salah satu logam berat yang berbahaya adalah krom, terutama yang bervalensi +6 yang sangat larut dalam air. Agar pemanfaatan lignin dapat dilakukan secara optimal maka perlu diketahui dan
dipahami secara mendalam melalui eksperimen tentang potensi lignin untuk penanganan logam berat Cr(VI) pada berbagai pH dan konsentrasi. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan alternatif penanganan logam berat Cr(VI), dimana bahan yang digunakan merupakan bahan yang berasal dari limbah yang tidak diinginkan. Air yang mengandung ion Cr(III) akan menimbulkan masalah karena dapat berubah menjadi Cr(VI) oleh proses oksidasi. Logam Cr(VI) bersifat toksik, dalam metabolisme tubuh akan menghalangi atau mampu menghambat
Potensi Lignin Untuk Penanganan Logam Berat Cr(VI)…………….Yuris dkk
163
kerja dari enzim benzopiren hidroksilase (enzim yang berfungsi menghambat pertumbuhan kanker yang disebabkan oleh asbestos). Penghalangan kerja enzim benzopiren hidroksilase dapat mengakibatkan perubahan kemampuan pertumbuhan sel, sehingga sel-sel menjadi tumbuh secara liar dan tidak terkontrol, atau lebih dikenal dengan istilah kanker (Palar, 1994). Bergantung pada pH, Cr di atas pH 6 2berada sebagai spesi CrO4 sedangkan pada 2rentang pH 1 hingga pH 6, HCrO4 dan Cr2O7 berada pada kesetimbangan. Pada pH di bawah 1 spesies yang utama adalah H2CrO4. Penambahan asam menyebabkan kesetimbangan bergeser kearah Cr2O72- dan penambahan basa menyebabkan kesetimbagan 2bergeser ke CrO4 . 1. Teori Lignin merupakan komponen makromolekul kayu ketiga. Gugus-gugus fungsi sangat mempengaruhi reaktivitas lignin, terdiri dari hidroksil fenolik, hidroksil benzilik dan gugus karbonil. Polimer lignin mengandung gugusgugus metoksil yang karakteristik, gugus hidroksil fenol, dan beberapa gugus aldehida ujung dalam rantai samping (Sjostrom, 1995). Jumlah gugus metoksil dalam lignin bergantung pada sumber lignin dan proses isolasi yang digunakan. Kandungan gugus metoksil pada kayu daun jarum sebesar 14-15% sedangkan pada kayu daun lebar sebesar 20-21% (Cahyani, 1999). Lignin dapat diperoleh dari proses pemasakan serbuk kayu menggunakan larutan NaOH. Polimer lignin akan terdegradasi dan kemudian larut dalam larutan pemasak. Lignin merupakan komponen terbesar yang terdapat dalam larutan sisa pemasak, karena itu proses isolasi lignin lebih memungkinkan. Berbagai teknik isolasi telah dipelajari, tetapi pada prinsipnya sama yaitu diawali dengan proses pengendapan padatan. Menurut Sjostrom (1995), isolasi lignin dibedakan pada tiga metode yaitu isolasi dengan pengasaman yang menggunakan pereaksi anorganik seperti H2SO4 pekat atau HCl pekat, isolasi dengan metode Cellulolytic Enzyme Lignins (CEL), dan Milled Wood Lignin (MWL). Pengendapan lignin dari lindi hitam yang diperoleh dari hasil pemasakan terjadi sebagai akibat adanya reaksi kondensasi pada unit-unit penyusun lignin yang semula larut akan mengalami repolimerisasi dan membentuk molekul yang lebih besar. Sjostrom (1995) mengemukakan bahwa isolasi yang dilakukan pada pH rendah menghasilkan rendemen lignin yang tinggi.
2. Mekanisme adsorpsi Salah satu metode yang digunakan untuk menghilangkan zat pencemar dari air limbah adalah adsorpsi (Rios et al. 1999 dan Saiful et al. 2005). Adsorpsi merupakan terjerapnya suatu zat (molekul atau ion) pada permukaan adsorben. Mekanisme penjerapan tersebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu, jerapan secara fisika (fisisorpsi) dan jerapan secara kimia (kemisorpsi). Adsorpsi dari larutan adalah penyisihan suatu adsorbat dari larutan dengan penempelan pada permukaan substrat yang berada dalam suspense “aqueous”, pada pH tertentu (Cahyani, 1999). Adsorpsi dalam larutan biasanya terjadi pada antar muka cair-gas, caircair atau cair-padat. Pada antar muka cair-padat terdapat sistem 3 komponen, yaitu yang diadsorpsi (solut atau terlarut), yang mengadsorpsi (adsorben, padat) dan pelarut (cairan), dimana interaksi yang terjadi tidak hanya antara solut-adsorben, solut-pelarut, pelarut-adsorben tetapi juga solut-solut (Tamamushi, 1983 dalam Cahyani 1999). Struktur molekul polimer lignin terdiri atas sistem aromatik yang tersusun atas unit-unit fenil propana. Adsorpsi logam-logam oleh polimer terjadi melalui proses penyerapan yang melibatkan gugus-gugus fungsional yang terikat pada makromolekul seperti protein, polisakarida, lignin, khitin dan, khitosan. Gugus fungsional dimaksud meliputi gugus-gugus karboksilat, hidroksil, imidazol, sulfohidril, dan fosfat. 3. Mekanisme kopresipitasi Beberapa peneliti menunjukkan bahwa proses kopresipitasi merupakan mekanisme penting pada penyisihan ion dalam larutan. Crawford (1996) menyatakan bahwa adsorpsi dan kopresipitasi memperbaiki tingkat pemisahan logam berat dari larutannya dibanding cara presipitasi biasa (Crawford, 1996). Menurut Crawford, proses kopresipitasi cenderung lebih efektif dalam pemisahan ion logam berat dari larutan air, dibanding proses adsorpsi. Pada proses kopresipitasi, adsorben ditambahkan dalam bentuk larutannya, selanjutnya adsorben padat terbentuk bersamaan dengan penyerapan bahan terlarut (solute) melalui proses oklusi selama pengaturan pH larutan, sehingga suatu campuran endapan terbentuk, karena selain adsorpsi akan terjadi juga kopresipitasi bahan terlarut bersamaan dengan pembentukan partikel adsorben.
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014: 163-172
164
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan adalah Spektrofotometer UV-Vis Shimadzu, pH-meter Orion, timbangan analitik Mettler AE.50, pengaduk magnet Heidolp MR 1000, FTIR-8000 PC Shimadzu, kertas saring Whatman 42, alat sentrifugasi, dan alat-alat gelas. Bahan yang digunakan adalah lignin hasil isolasi dari lindi hitam, NaOH p.a dari Merck, H2SO4 96-98 % p.a dari Merck, Larutan HNO 3 65% p.a dari Merck, H3PO4 85% p.a dari Merck, difenilkarbazid (DPC) 0,25%, padatan K2Cr2O7 p.a dari Merck, akuades. Metoda 1. Preparasi lignin dan penentuan kondisi optimum Serbuk kayu dimasak dengan larutan pemasak NaOH 5%. Hasil pemasakan diperoleh filtrat yang berwarna hitam (lindi hitam). Dari lindi hitam, diendapkan ligninnya dengan pengasaman menggunakan H2SO4 10% sampai pH 2. Larutan ditiris secara perlahan dan disaring mengunakan Whatman 42. Lignin dicuci dengan akuades sampai pH netral, kemudian o dikering dalam oven temperatur 90 C dan disimpan dalam desikator. Lignin yang diperoleh dianalisis menggunakan FTIR. Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan dengan pengukuran absorbansi 15 mL larutan standar Cr(VI) 0,6 ppm yang telah ditambah dengan H2SO4 sampai pH 1+0,3. Ditambahkan 0,5 mL DPC. Kemudian didiamkan selama 5-10 menit dan diukur absorbansinya pada λ 400nm–800 nm dengan running menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Penentuan kestabilan kompleks Crdifenilkarbazon dilakukan dengan cara, sebanyak 10 mL larutan Cr(VI) 0,8 ppm yang telah ditambah H2SO4 sampai pH 1+0,3 ditambahkan 0,5 mL DPC. Larutan didiamkan, ukur absorbansi dengan spektrofotometer UVVis pada λ maksimum dimulai pada menit ke-3 sampai menit ke-13 dengan rentang 1 menit. Pembuatan kurva standar dilakukan dengan cara, sebanyak 25 mL larutan Cr(VI) masing-masing konsentrasi 0,3 ppm, 0,4 ppm, 0,5 ppm, 0,6 ppm, 0,7 ppm, 0,8 ppm, dan 1,0 ppm tambahkan H2SO4 sampai pH 1+0,3. Kemudian ditambahkan 0,5 mL DPC dan didiamkan selama +9 menit. Ukur absorbansi masing-masing larutan dengan spektrofotometer UV-Vis pada λ 542 nm. Kurva standar Cr(VI) dibuat berdasarkan persamaan regresi linear Y = aX.
2. Penyisihan Cr(VI) oleh lignin dengan 3 cara pengaturan pH 1) Lignin (pH 13) + larutan Cr(VI) (pH 2) Tambahkan larutan lignin 600 ppm ke dalam larutan Cr(VI) hingga dicapai berbagai variasi pH (2-10). Tiap-tiap pH campuran disentrifugasi, diambil 1 mL bagian atas dan diencerkan dalam labu takar 25 mL. Amati banyaknya Cr(VI) yang tersisih menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan pereaksi DPC yang diukur pada λ 542 nm. 2)
Larutan Cr(VI) (pH 2) + lignin (pH 13) Tambahkan larutan Cr(VI) 25 ppm ke dalam larutan lignin 600 ppm hingga dicapai berbagai variasi pH (2-10). Tiap-tiap pH campuran disentrifugasi, diambil 1 mL bagian atas dan diencerkan dalam labu takar 25 mL. Amati banyaknya Cr(VI) yang tersisih menggunakan spektrofotometer UV dengan pereaksi DPC yang diukur pada λ 542 nm 3)
Campur larutan Cr (VI) dan larutan lignin Campur 25 mL larutan Cr(VI) 25 ppm (pH 2) dan 25 mL larutan lignin 600 ppm (pH 13) dan atur pH campuran menjadi 2-10 menggunakan H3PO4. Pada masing-masing pH, campuran disentrifugasi, dipipet 1 mL, diencerkan menjadi 25 mL. Amati penyisihan Cr(VI) menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan pereaksi DPC yang diukur pada λ 542 nm. 3. Pengaruh konsentrasi lignin terhadap penyisihan Cr(VI) Campur 10 mL larutan Cr(VI) 25 ppm (pH 2) dan 25 mL larutan lignin pH 13 masingmasing konsentrasi 900 ppm, 1000 ppm, 1500 ppm, dan 2000 ppm. Atur pH campuran menjadi 2-8 dengan menambahkan H3PO4. Pada masing-masing pH dan konsentrasi lignin, campuran disentrifugasi, dipipet 1 mL, diencerkan menjadi 10 mL. Amati banyaknya Cr(VI) yang tersisih menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan pereaksi DPC yang λ 542 nm. Analisis data Untuk mendapatkan persen penyisihan Cr(VI) menggunakan rumus (1) dan persamaan kurva standar. % Penyisihan
Ms Cr(VI) 1 - Ms Cr(VI) 2 x 100 % Ms Cr(VI) 1
….(1)
Keterangan:
Ms Cr(VI)1 = Massa Cr(VI) awal Ms Cr(VI)2 = Massa Cr(VI) dalam supernatan
Potensi Lignin Untuk Penanganan Logam Berat Cr(VI)…………….Yuris dkk
165
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Preparasi lignin dan persamaan kurva standar Hasil isolasi menunjukkan bahwa kadar lignin yang merupakan perbandingan antara berat lignin (gram) yang diperoleh dengan volume larutan (mL) lindi hitam yang diisolasi yaitu sebesar 1,941% (b/v). Analisis FTIR terhadap lignin hasil isolasi diperoleh spektrum seperti Gambar 1 berikut. Pada Gambar 1 menunjukkan adanya serapan spesifik dari gugus fungsi lignin yaitu pada daerah 1326,93 cm-1 yang merupakan vibrasi cincin sringil sebagai prazat penyusun lignin dan diperkuat oleh munculnya serapan -1 pada 1124,42 cm sebagai deformasi C-H aromatis tipe sringil. Menurut Hergert (1971) dalam Fengel (1995), serapan khas guaiasil dan siringil (vibrasi cincin) masing-masing terdapat pada bilangan gelombang sekitar 1270-1330 cm 1 . Dominasi gugus –OH ditandai dengan puncak
serapan yang sangat karakteristik pada daerah -1 3444,63 cm sebagai vibrasi ulur –OH. Sedangkan rentangan C=O terkonjugasi dengan cincin aromatis muncul pada daerah 1676,03 -1 cm . Sesuai dengan penelitian Sucipto (2009) bahwa komponen kimia lignin isolat dari lindi hitam memiliki ciri yang mirip dengan lignin standar indulin-AT. Kurva standar yang diperoleh ditunjukkan pada Gambar 2 dengan persamaan Y = 0,7011X 2 dan R = 0,9979. 2. Kemampuan Lignin terhadap penyisihan Cr(VI) menggunakan 3 cara pengaturan pH Hasil penyisihan Cr(VI) yang diperoleh dari 3 metode pengaturan pH yang digunakan ditunjukkan pada Gambar 3 berikut. Berdasarkan Gambar 3, metode pengaturan pH dengan mencampur antara larutan lignin dan larutan Cr(VI) memberikan penyisihan Cr(VI) sebesar 57,12% pada pH 2.
Gambar 1. Spektrum infra merah lignin hasil isolasi
Gambar 1. Spektrum infra merah lignin hasil isolasi
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014: 163-172
166
60
0,7
55 50
0,6 y ==0,7011x 0,7011x 2 R 2 ==0,9979 R 9979
Penyisihan Cr(VI), %
Absorbansi
0,5 0,4 0,3 0,2
40 35 30 25 20 15 10 5
0,1 0,0 0,0
m eto d e 1 m eto d e 2 m eto d e 3
45
0
0,1 0,2
0,3 0,4
0,5 0,6
0,7 0,8
0,9 1,0
2
1,1
3
4
5
6
7
8
9
pH
Konsentrasi Cr(VI), ppm
Gambar 2. Kurva Standar Cr(VI)
Gambar 3. Penyisihan Cr(VI menggunakan 3 cara pengaturan pH
3. Pengaruh pH terhadap penyisihan Cr(VI) oleh lignin
menyebutkan, pada pH 5 atau lebih tinggi partikel lignin bermuatan negatif. Mekanisme penyisihan yang mungkin terjadi adalah adsorpsi dan kopresipitasi. Peristiwa adsorpsi diduga terjadi karena gugus fungsi lignin yaitu hidroksil mengalami protonasi sehingga bermuatan positif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Cahyani (1999) bahwa i.e.p (isoelectric point) dari lignin adalah 2,3, yang berarti bahwa pada pH di bawah i.e.p lignin bermuatan positif. Reaksi protonasi yang terjadi seperti Gambar 5 sebagai berikut. Cr(VI) pada larutan asam antara pH 2 sampai dengan pH 6 terbentuk spesi HCrO4- dan 2Cr2O7 sehingga memungkinkan terjadi interaksi gugus OH terprotonasi dengan anion Cr(VI) melalui interaksi elektrostatik dan pembentukan ikatan silang (cross linking). Diduga mekanisme interaksi elektrostatik yang terjadi dapat dilihat pada Gambar. 6. Memungkinkan juga terjadi ikatan silang melalui mekanisme reaksi yang dapat dilihat pada Gambar 7.
Penggunaan larutan lignin 500 ppm menunjukkan terjadi penyisihan Cr(VI) pada pH 2 sebesar 56,45%. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 4 menunjukkan bahwa, penyisihan Cr(VI) oleh lignin semakin kecil seiring dengan bertambahnya pH campuran, sesuai dengan penelitian Albadarin A.B (2011). Hal ini disebabkan karena dengan bertambahnya pH jumlah gugus –OH yang terprotonasi berkurang sehingga interaksi elektrostatik –OH terprotonasi dengan spesi Cr(VI) berkurang. 2Disamping itu, semakin besar pH jumlah CrO4 semakin banyak dibanding HCrO4 sehingga gaya tolakan menjadi lebih besar. Semakin besarnya pH juga menaikkan jumlah ion OH-, adanya ion OH- akan berkompetisi dengan anion Cr(VI) untuk berinteraksi dengan lignin dan menyebabkan proses deprotonasi yang menyebabkan lignin bermuatan negatif. Cahyani (1999) 60 55
[lignin] 5 00 ppm [C r(VI)] 25 ppm
50 Penyisihan Cr(VI), %
45 40 35 30 25 20 15 10 5 2
3
4
5
6
7
8
9
10
pH
Gambar 4. Pengaruh pH terhadap penyisihan Cr(VI)
Potensi Lignin Untuk Penanganan Logam Berat Cr(VI)…………….Yuris dkk
167
10
CH2
CH2
CH2 OH
OH
CH2
CH2 CH2
CH
CH
CHO
OCH3
...
CH
CH2
CH
OH2+
OCH3 OH
...
CHO OH2
+
CH2
O
+ 4 H+
CH2
CH2
CH CH3O
CH2
O
OH2+ CH2
OH
OH
CH3O
OH2+
CH2
OH
CH2 O
CH
O CH3O
CH3O O
CH2
...
O
CH2
O
...
Lignin
O
Lignin terprotonasi
Gambar 5. Reaksi protonasi lignin
OH O
Cr
O OH
OCH2
OH2+
CH2
CH2 OH2+
CH2
OH2 +
CH2 OCH3
CH
CH
CHO
O
CH
...
OH2+
OCH3 OH
CH -
HCrO 4
CHO
...
OH2+
CH3O -
O
CH2 CH2
O
CH3 O O
CH2
CH
+ 4HCrO4
O
O-
+
CH2
...
CH2 CH2
-
Cr
CH2
OH
OH2+
CH3O
HCrO4 OH2
CH2 CH2
O
OH2 +
CH
O
CH3O
CH2
CH2
O
O
...
O
Gambar 6. Mekanisme interaksi elektrostatik
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014: 163-172
168
CH2
OH2+
CH2
OH2+
CH2
OH2+
CH2 OCH3
OH2+
CH2 CH
CH2
CHO
CH
CH3O O
...
C2rO72-
...
+ 2 C2rO72-
O
OH ...
OH2+ O
CH2 CH2
O
CH2
OCH3
CH CHO
CH
CH2
CH
CH2
CH3 O
CH2
CH2
CH2
OH
OH2+ O
C2rO72OH2 +
CH2
CH3 O
OH2+
CH CH3 O O
...
O
CH2
O
Gambar 7. Mekanisme pembentukan ikatan silang (cross linking)
Gambar 8. Spektrum infra merah lignin setelah berinteraksi dengan Cr(VI)
Proses kopresipitasi melalui mekanisme oklusi, yaitu molekul kecil terjebak di dalam ruang intra partikel terjadi karena lignin yang merupakan polimer 3 dimensi yang pada pH rendah mengalami repolimerisasi membentuk struktur yang melingkar melalui ikatan antara unit-unit lignin sehingga terbentuk pori atau ruang intra partikel yang menyebabkan ion HCrO4 teroklusi (terjebak) dalam ruang tersebut dan mengalami kopresipitasi seiring dengan mulai mengendapnya lignin
Peristiwa adsorpsi dan kopresipitasi melalui interaksi elektrostatik, crosslinking serta oklusi dibuktikan oleh hasil FTIR dari endapan lignin setelah berinteraksi dengan Cr(VI) sesuai dengan Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8, terlihat bahwa terjadi interaksi lignin dan spesi Cr(VI) dengan adanya serapan yang hilang pada daerah 1676 -1 -1 -1 cm , 1326,93 cm , dan 831,26 cm . Ditunjukkan juga muncul serapan kuat di daer -1 ah 520,74 cm sebesar 51% T yaitu vibrasi kisi Cr–O (James E.A and Dhanpat R., 1990).
Potensi Lignin Untuk Penanganan Logam Berat Cr(VI)…………….Yuris dkk
169
Adanya mekanisme protonasi dan crosslinking ditunjukkan oleh hilangnya spektrum jari pada -1 pita serapan 1800-2000 cm yang menunjukkan senyawa fenolik dan pelebaran serapan pada -1 daerah 3425,24 cm diduga karena peristiwa crosslinking yang menyebabkan vibrasi –OH terstabilkan. 4. Pengaruh konsentrasi lignin terhadap penyisihan Cr(VI) Variasi konsentrasi terhadap penyisihan Cr(VI) pada pH 2-8, diperoleh Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9, terdapat peningkatan jumlah Cr(VI) yang tersisihkan dengan bertambahnya konsentrasi lignin. Teramati, pada pH < 5 terdapat kecenderungan persen penyisihan naik seiring dengan naiknya konsentrasi lignin hal ini diduga karena dengan bertambahnya lignin maka tersedia permukaan lignin terprotonasi yang lebih luas untuk
berinteraksi dengan anion Cr(VI). Kemungkinan lain adalah, semakin tinggi konsentrasi lignin maka akan meningkatkan jumlah ruang intra partikel sehingga meningkatkan proses oklusi dan terkopresipitasi. Terlihat pada pH larutan 2, terjadi kenaikan persen penyisihan sebesar 59,92% pada konsentrasi 800 ppm (1:80) menjadi 85,83% ketika konsentrasi lignin 2000 ppm (1:200). Sedangkan Pada pH > 5, kenaikan konsentrasi lignin tidak terlalu berpengaruh terhadap penyisihan Cr(VI), terlihat pada pH 6 dengan konsentrasi lignin 900 ppm mampu menyisihkan Cr(VI) sebesar 42,83% naik sebesar 2,96% menjadi 45,79% ketika konsentrasi lignin 2000 ppm. Hal yang sama juga teramati pada pH 8, yaitu menyisihkan Cr(VI) sebanyak 24,00% pada konsentrasi lignin 1000 ppm menjadi 24,97% ketika konsentrasi lignin 2000 ppm (naik 0,97%).
90 80
Penyisihan Cr(VI), %
70 60
pH 2 pH 3 pH 4 pH 5 pH 6 pH 7 pH 8
50 40 30 20 800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
Konsentrasi, ppm
Gambar 9. Variasi konsentrasi lignin terhadap penyisihan Cr(VI)
KESIMPULAN Dari hasil percobaan diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Cara pengaturan pH terbaik adalah mencampur terlebih dahulu antara larutan lignin dengan larutan Cr(VI) kemudian diatur pH campuran. Cara ini mampu menyisihkan Cr(VI) sebesar 85,83% dari konsentrasi Cr(VI) 25 ppm sebanyak 10 mL menjadi 1,012 ppm dengan penggunaan lignin
sebesar 2000 ppm sebanyak 25 mL pada pH campuran 2. 2. Kemampuan lignin terhadap penyisihan Cr(VI) semakin berkurang dengan bertambahnya pH. Sedangkan penambahan konsentrasi lignin pada pH < 5 dapat menaikkan penyisihan Cr(VI) karena terjadi proses adsorbsi dan kopresipitasi melalui mekanisme oklusi sedangkan pada pH > 5 peristiwa kopresipitasi tidak terjadi.
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014: 163-172
170
DAFTAR PUSTAKA Achmadi,
S.S. 1990. Kimia Kayu. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Albadarina, A.B., A.H. AlMuhtaseb, N.A. Aliaqtah. 2011. Biosorption of toxic chromium from aqueous phase by lignin: mechanism, effect of other metal ions and salts, Chemical Engineering Journal 169 :20–30 American Public Health Association (APHA). 1976. Standard methods for the examination of water and wastewater, 4th edition, APHA, Washington DC, p1193 Aroua. M.K., F.M.Zuki, N.M and Sulaiman. Removal of chromium ions from aqueous solutions by polymerenhanced ultrafiltration. Kuala Lumpur, Malaysia :Department of Chemical Engineering, Faculty of Engineering, University of Malaya. Cahyani, C. 1999. Adsorpsi, Kopresipitasi dan Flotasi untuk Penyisihan Lignin dari Larutannya. Disertasi. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Indonesia. Casey,J.P. 1980. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. 3rd edition Vol. I A. New York: Willey Interscience Publisher. Celik, A., and Dermibas, A. 2005. Removal of heavy metal ions from aqueous solution via adsorption onto modified lignin from pulping wastes, Energy Sources Part A: Recovery, Utilization and Environmental. 27: 1167-1177. Chang, L.Y. 2001. “Chrome Reduction and Heavy Metals Removal From Wastewater – A Pollution Prevention Approach”, WM’01 Conference, Tucson. Crawford, R.J. 1995. Adsorption and Coprecipitation of Heavy Metals.PhD Thesis. Departement of Physical Chemistry, The University of Melbourne. Australia. Dence, C.W and S.Y.Lin. 1992. Method in Lignin Chemistry. Spinger-Verlag. Berlin: Spinger series in wood series pp 33-61 Ekman, K.H., and J.J Lindberg. 1960. On the origin of the infra-red bands in the 1720 cm-1 region in lignins, Pap. Puu ,42. 21-22
Fengel, D., dan G. Wegener. 1995. Kayu; Kimia, Ultrastruktur dan Reaksi-reaksi. Yogjakarta: Gajah Mada University Press. Gilligan, J. J. 1974. The Organic Chemicals Industries. Dalam Pyle, J. L., Chemistry and Technology Backlash. New York : Prentice-Hall, Inc. Hemingway, R.W and H.C. Anthony. 1988. Adhesives from Renewable Resources, ACS Symposium, New Orleans, Washington DC. Judoamidjojo, R.M., E.E. Said and Hartono. 1989. Biokonversi. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Karl Freudengerg, 1971. Lignins: Occurrence, Formation, Structure and Reactions, Wiley-Interscience. New York: John Wiley & Sons, Inc. Kim H, M.K hill and A.L. Fricke. 1987. Preparation of Kraft Lignin from Black Liqour. Tappi Journal 12: 112-115. Kozlowski, C.A., and W. Walkowiak. 2002. Removal of chromium(VI) from aqueous solutions by polymers inclusion membranes, Water Res. 36 4870–4876. Malik, J., A. Santoso dan Rahman. 2007. Sari Hasil Penelitian Mangium (Acacia mangium Willd). Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Tasikmalaya. http://www.dephut.go.id: diakses tanggal 12 Desember 2012. Moore P., S. Kettle. and R. Wilkins. 1966. The kinetics of formation of blue peroxychromic acid in aqueous solution. Inorg. Chem. 5 : 466–467. Saha, B., and C. Orvic. 2010. Biosorbents for Hexavalent Chromium Elimination from Industrial and Municipal effluenst, Coord. Chem. Rev. 254: 2959-2972 Saltzman, E.B. 2003. Microdetermination of Chromium with Diphenylcarbazide by Permanganate Oxidation, Improved Method of Oxidation and Color Development. Ohio : Devision of Occupational Health, Public Health Service, Federal Security Agency, Cincinnati 2. Sarkanen, K.V., and C.H. Luding. 1971. Lignin: Occurrence, Formation, Structure and Reaction. New York : Wiley Interscience.
Potensi Lignin Untuk Penanganan Logam Berat Cr(VI)…………….Yuris dkk
171
Sjostrom, Eero. 1995. Kimia Kayu, Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisi kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Stevenson, F. J. 1994. Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reactions. 2nd Ed. New York : John Wiley & Sons. Inc. Vinodhini, V., and N. Das. 2009. Mechanism of Cr (VI) Biosorption by Neem Sawdust, American-Eurasian. Journal of Scientific Research 4 (4): 324-329. Vogel. 1985. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro Dan Semimikro. Edisi ke lima. Jakarta : PT. Kalaman Media Pusaka. Wu, Y., Zhang , X. Guo, and H. Huang. 2008. Adsorption of chromium(III) on lignin.
Journal of Hazardous Materials 151: 134–142 Xia, L., E. Akiyama, G. Frankel and R. McCreerya. 2000. Storage and Release of Soluble Hexavalent Chromium from Chromate Conversion Coatings Equilibrium Aspects of CrVI Concentration. Journal of The Electrochemical Society 147 (7): 25562562. Zink, S., R. Schoenberg and M.Staubwasser. 2010. Isotopic fractionation and reaction kinetics between Cr(III) and Cr(VI) in aqueous media. Journal Geochimica et Cosmochimica Acta. 74 : 5729–5745.
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014: 163-172
172
IDENTIFIKASI FASA DAN SIFAT MAGNETIK NANOPARTIKEL BESI OKSIDA TERIRADIASI (IDENTIFICATION OF PHASE AND MAGNETIC PROPERTIES OF IRRADIATED IRON OXIDE NANOPARTICLES) Saeful Yusuf, Yosef Sarwanto, dan Wildan Z.L. Pusat Sains dan Teknologi Bahan Maju, Badan Tenaga Nuklir Nasional Kawasan Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan 15340 E-mail:
[email protected] Received : 28 Maret 2014; revised : 11 April 2014; accepted : 14 April 2014
ABSTRAK Makalah ini membahas tentang perubahan fasa nanopartikel magnetik oksida besi setelah mengalami iradiasi dalam reaktor nuklir. Perubahan fasa dianalisis dalam kaitannya dengan perubahan sifat magnetik yang terjadi. Nanopartikel yang digunakan merupakan hasil proses ko-presipitasi baik dalam bentuk oksida besi murni (OB) maupun yang permukaannya telah dimodifikasi dengan asam nitrat, asam sitrat maupun asam oleat dan membentuk sistem ferrofluid (FF). Nanopartikel awal ini telah dianalisis memiliki fasa gabungan magnetit/maghemit (Fe3O4/γ-Fe2O 3). Proses iradiasi dilakukan di Reaktor Serba Guna GAS-BATAN pada 13 -2 -1 fasilitas sistem rabbit dengan fluks neutron sekitar ± 1x10 ncm detik , selama 5 menit, 10 menit dan 30 menit. Nanopartikel besi oksida hasil iradiasi dikarakterisasi dengan Difraktometer Sinar-X untuk mendapatkan data tentang perubahan fasa dari nanopartikel. Sifat magnetik dianalisis dari kurva histeresis hasil pengukuran dengan Vibrating Sample Magnetometer. Secara umum hasil analisis menunjukkan bahwa iradiasi mengakibatkan terjadinya perubahan sebagian fasa besi oksida dari fasa magnetit/maghemit menjadi fasa hematit dengan hasil akhir penurunan sifat magnetik nanopartikel. Nano partikel besi oksida yang dilapisi penstabil asam nitrat atau asam sitrat memiliki ketahanan iradiasi yang lebih baik dibandingkan besi oksida yang dilapisi asam oleat. Kata kunci : Nanopartikel magnetik, Besi oksida, Iradiasi, Fasa, Sifat magnetik
ABSTRACT This paper discusses the phase change of magnetic iron oxide nanoparticles after irradiated in a nuclear reactor . Phase changes were analyzed in relation with the changes of magnetic properties. Nanoparticles used is the result of co-precipitation process in the form of pure iron oxide (OB) and after surface modification with nitric acid, citric acid and oleic acid which forming a system of ferrofluid (FF). The initial nanoparticles have been analyzed to have a combined phase of magnetite / maghemite ( Fe3O4/γ-Fe2O3). Irradiation process carried out in the 13 -2 -1 Rabbit system Facility of RSG - GAS BATAN at thermal neutron flux ± 1 x 10 n.cm .s for 5 minutes, 10 minutes and 30 minutes. Irradiated nanoparticles were then characterized by X-ray Diffractometer to obtain data on phase changes of nanoparticles. The magnetic properties were analyzed fron the hysteresis curve measurement results with Vibrating Sample Magnetometer. In general, the analysis shows that irradiation resulted in a change part of iron oxide phase from magnetite / maghemite into haematite phase with the end result showed as a decrease in the magnetic properties of nanoparticles. Ionically nanoparticle surface
modification were analyzed is able to control these changes. Keywords : Magnetic nanoparticle, Iron oxide, Irradiation, Phase, Magnetic properties
PENDAHULUAN Nanopartikel magnetik menjadi fokus berbagai penelitian karena bahan ini memiliki potensi aplikasi yang luas mencakup bidang katalis (Schätz et al. 2010), biomedis (Scarberry 2008, Frey et al. 2009), penyimpan data (Lee
2011), serta remediasi lingkungan (Koehler 2009, Hu et al. 2011). Dalam proses aplikasi ini kemampuan bahan yang dapat dimanipulasi secara magnetik dieksplorasi dan dikombinasikan dengan ukuran partikel dalam
Identifikasi Fasa Dan Sifat Magnetik………………….Saeful Yusuf dkk
173
skala nano memberikan potensi miniaturisasi, peningkatan efisiensi dan efektifitas serta sensitivitas metoda yang dikembangkan. Mengacu pada potensi ini, salah satu prospek aplikasi nanopartikel magnetik yang banyak dikembangkan dalam bidang biomedis adalah sebagai agen dalam metoda separasi unit biologi (virus, bakteri, sel, dan lain-lain) secara magnetik. Dalam proses diagnostik in-vitro ini, nanopartikel magnetik yang bertindak sebagai agen separasi magnetik akan dikonjugasikan dengan bahan organik (enzim antigen, protein maupun target DNA) sehingga dapat dikenali dan berinteraksi dengan unit biologi penyebab masalah kesehatan, memisahkan/menseparasi unit biologi yang dimaksud dan selanjutnya unit biologi tersebut yang telah berinteraksi/ tergabung dengan sistem nanopartikel magnetik akan dapat diidentifikasi. Untuk mengidentifikasi hasil separasi ini beberapa metoda berbasis sensor fenomena magnetik dikembangkan (Zhu et al. 2014 dan Zhang et al. 2013), fluoresen (Rodrigues et al. 2014) dan quantum dot berbasis CdTe (Nabiyyi et al. 2014). Tantangan untuk terus meningkatkan sensitivitas yang berarti memberikan potensi diagnosis lebih dini permasalahan kesehatan, membuat penelitian dan pengembangan metoda diagnosis in-vitro ini tetap penting untuk dilakukan. Salah satu prospek metoda yang dapat dikembangkan adalah metoda assay berbasis radioaktifitas atau dengan metoda RIA (Radioimmunoassay). Metoda ini telah lama dikenal dapat memberikan sensitifitas deteksi yang sangat tinggi. Namun demikian, sulitnya penyiapan, proses aplikasi dan penanganan limbah dari bahan ini menjadi kendala bagi pengguna umum. Penggabungan metoda ini dengan proses separasi magnetik yang memberikan metoda MARIA (Magnetic Radioimmunoassay), memberikan salah satu solusi untuk kemudahan proses aplikasi. Hingga saat ini metoda ini dikembangkan masih berbasis bahan magnetik berukuran mikro dan penandaan dilakukan dengan menambahkan tracer radioaktif pada bahan organik yang terkonjugasi pada partikel magnetic (Ning et al. 2007 dan Sallam et al. 2011). Salah satu arah pengembangan metoda MARIA yang dilakukan adalah mengembangkan agen separasi magnetik berbasis nanopartikel yang telah diiradiasi. Besi oksida merupakan bahan yang bersifat magnet dan dapat dibuat dalam ukuran nano. Sedangkan unsur Fe dengan isotop 58Fe memiliki penampang lintang reaksi penangkapan neutron termal (n,) sekitar 1,31 barn sehingga mampu membentuk inti
59
radioaktif Fe bila ditembak dengan neutron termal (IAEA 1990). Proses iradiasi neutron pada nanopartikel magnetik berbasis besi oksida akan membentuk bahan bersifat radioaktif yang 59 memancarkan sinar gama. Waktu paruh Fe selama 44,5 hari sangat mencukupi untuk proses separasi. Selanjutnya sinar gama yang dipancarkan bahan radioaktif 59Fe dapat dideteksi dengan detektor/ probe sinar gamma. Dengan pengembangan ini diharapkan dapat diperoleh agen separasi magnetik dengan kemampuan separasi yang lebih akurat karena ukurannya yang kecil sekaligus agen identifikasi dengan sensitifitas yang tinggi. Penelitian ini merupakan langkah awal dalam pembuatan agen separasi unit biologi (virus, bakteri, sel, dan lain-lain) metode MARIA. Nanopartikel magnetik besi oksida dibuat, kemudian diiradiasi dengan neutron termal pada berbagai kondisi antara lain kering dan basah dengan penstabil yang bervariasi di fasilitas system rabbit Reaktor G.A. Siwabessy. Nano partikel besi oksida hasil iradiasi diamati fasanya menggunakan X-ray Diffractometer (XRD). Selanjutnya pengaruh iradiasi neutron terhadap perubahan sifat magnetik yang terjadi diamati dengan alat Vibrating Sample Magnetometer (VSM). Dengan memahami radioaktifitas bahan yang terbentuk, perubahan fasa, perubahan sifat pada permukaan bahan dan perubahan sifat magnet yang merupakan parameter kunci dalam menilai kemampuan nanopartikel magnetik sebagai agen separasi maka akan memberikan masukan untuk langkah berikutnya dalam pembuatan agen separasi unit biologi metode MARIA. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan antara lain FeCl3.6H2O (sigma aldrich), FeCl 2.4H2O (sigma aldrich), NH4OH (Merck), HNO3 (Merck), asam oleat (sigma aldrich), dan asam sitrat (sigma aldrich) Metode 1. Penyiapan Nanopartikel Magnetik Besi Oksida Nanopartikel besi oksida dibuat dengan metoda mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mujamilah (2011). Bahan prekursor berupa larutan garam klorida Fe(II) dan Fe(III) dengan perbandingan mol 1:2 ditambahkan larutan NH4OH hingga pH = 10. Presipitat dicuci, disentrifugasi, diredispersi dalam air. Setelah larutan cuci bebas klorida, diperoleh presipitat berupa besi oksida (OB)
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014: 173-182
174
berukuran nanometer. Modifikasi permukaan besi oksida dilakukan dengan mendispersikan nanopartikel dalam beberapa tipe bahan penstabil sehingga terbentuk koloid nanopartikel besi oksida yang stabil ferrofluid (FF). Penstabil yang digunakan meliputi asam nitrat, asam sitrat dan asam oleat yang masing-masing akan membentuk ferrofluid dengan kode sampel masing-masing FF-N, FF-S dan FF-O. 2. Iradiasi Nanopartikel Magnetik Iradiasi dilakukan dalam keadaan sampel ferrofluid masih lembab yang diperoleh dari pengeringan sampel koloid. Bahan-bahan ini dimasukkan ke dalam vial polyethilene yang telah dibersihkan dari kontaminan menggunakan asam nitrat dan air bebas mineral. Sampel diiradiasi pada fasilitas system rabbit di Reaktor GA Siwabessy PRSG-BATAN yang memiliki 13 fluks neutron thermal sekitar ±1 x 10 n cm 2 -1 detik dengan waktu iradiasi yang bervariasi yaitu 5 menit, 15 menit dan 30 menit. 3. Karakterisasi Nanopartikel Magnetik Sampel nanopartikel magnetik yang telah diperoleh dikarakterisasi fasanya dengan XRD Phillip PW1710 sedangkan sifat magnetik dianalisis dengan VSM OXFORD 1.2T. Kedua kegiatan karakterisasi tersebut dilakukan di Pusat Sains Teknologi Bahan Maju-BATAN dan dikerjakan setelah radioaktifitas bahan meluruh hingga batas aman. HASIL DAN PEMBAHASAN Nanopartikel Besi oksida Ketika nanopartikel besi oksida yang telah disintesis dengan proses ko-presipitasi diiradiasi dengan neutron termal, maka akan terjadi reaksi (n,) sebagai berikut : 58
59
18
19
Fe + n O+ n
Fe + …… O + ……
(1) (2)
Dari kedua reaksi di atas terlihat bahwa 59 19 terbentuk inti Fe dan O yang bersifat radioaktif, yang mana radioaktifitasnya akan 58 berbanding langsung dengan jumlah inti Fe 18 dan O yang diiradiasi, fluks neutron thermal, penampang lintang reaksi penangkapan neutron (th dan RI) dan lama iradiasi (tir). Selanjutnya 59 19 inti-inti Fe dan O akan meluruh membentuk
inti stabil dengan memancarkan sinar- dan sinar-seperti ditunjukkan pada persamaan (3) dan (4). Sinar-yang dipancarkan tersebutlah yang akan dideteksi dengan probe sinar- 59
59
19
19
Fe O
Co + - + …… F + - + ……
(3) (4)
Keberadaan inti radioaktif 19O sangat singkat sekali dengan t1/2 hanya 26,91 detik, selain itu penampang lintang termal (th ) dan integralnya (RI) juga sangat kecil yaitu masing-masing 0,00016 dan 0,00081 barn sehingga radioaktifitasnya akan segera hilang ketika bahan besi oksida dikeluarkan dari reaktor. Demikian juga dengan unsur H dan C relatif tidak teraktivasi oleh neutron termal. Sedangkan inti radioaktif 59Fe memiliki t1/2 yang relatif lebih lama yaitu 44,5 hari di samping memiliki penampang lintang termal (th ) dan integral (RI) yang relatif besar seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Profil spektrum sinar- dan data aktifitas nano partikel besi oksida hasil iradiasi ditunjukkan pada Gambar 1 dan Tabel 2. Dari 59 spektrum sinar-isotop Fe teridentifikasi pada energi 142, 65 keV, 192,35 keV, 1099,25 keV dan 1291,60 keV. Pada spektrum tersebut 51 teridentifikasi pula isotop Cr (unsur Cr) pada 60 energi 320,08 keV dan Co (unsur Co) pada energi 1173,24 keV dan 1332,50 keV sebagai impuritis Fe3O4 yang digunakan pada penelitian ini dan merupakan unsur-unsur golongan transisi. Pada Tabel 2 ditunjukkan data aktifitas besi oksida hasil iradiasi. Aktifitas besi oksida ini 59 dihitung berdasarkan aktifitas Fe saja. Iradiasi dilakukan dalam keadaan sampel kering (OBK) dan dalam keadaan masih lembab (OBB) dengan variasi waktu iradiasi. Walaupun isotop 59 Fe memiliki t1/2 yang relatif panjang, namun iradiasi selama 5 menit telah mampu mengaktifkan unsur Fe di dalam sampel. Dari Tabel 2 terlihat bahwa baik untuk cuplikan kering maupun basah, aktifitas cuplikan hasil iradiasi bertambah besar dengan bertambahnya waktu iradiasi, aktifitastir-30 > aktifitastir-15 > aktifitastir-5. Cuplikan kering memiliki radioaktifitas yang lebih besar dibanding cuplikan basah, sebagai contoh perbandingan adalah aktifitasOBK30 > aktifitasOBB30.
Identifikasi Fasa Dan Sifat Magnetik………………….Saeful Yusuf dkk
175
Tabel 1 : Data nuklir dari isotop Isotop target
No
58
2
58
O dan
Fe (IAEA TECDOC 1990)
Kelimpahan isotop
th (barn)
RI (barn)
O
0,0020
0,00016
0,00081
19
Fe
0,0028
1,31
1,28
59
18
1
18
Isotop yg terbentuk
t1/2
E (keV)
Kelimpahan (%)
O
26,91 (detik)
197,14
95,90
1356,84
50,40
Fe
44,5 (hari)
142,65
1,02
192,35
3,08
1099,25
56,50
1291,60
43,20
Gambar 1. Spektrum sinar-dari besi oksida
Tabel 2. Kondisi iradiasi dan hasil pengukuran itas bahan besi oksida dalam keadaan kering (OBK) dan dalam keadaan lembab (OBB) No
Kode
Berat (mg)
tir (menit)
Aktifitas (cps)
Error (cps)
1
OBK5
99.735
5
41
1,8
2
OBK15
102.518
15
99
2,1
3
OBK30
108.627
30
236
3,3
4
OBB5
88.516
5
1.87
0,07
5
OBB15
135.542
15
21
0,4
6
OBB30
106.964
30
137
1,9
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014: 173-182
176
Hal ini mudah dipahami karena pada cuplikan kering jumlah inti Fe yang diiradiasi lebih banyak dibanding cuplikan basah yang mengandung banyak molekul H2O. Dari pengamatan secara visual terhadap vial yang digunakan sebagai wadah sampel pada saat iradiasi menunjukkan bahwa iradiasi selama 30 menit dalam keadaan basah (lembab) tidak menimbulkan kerusakan pada vial tersebut. Pola difraksi sinar-X nanopartikel besi oksida yang disintesis dengan proses kopresipitasi baik sebelum iradiasi (B) yang dibandingkan dengan Fe3O4/-Fe2O3 acuan (A) ditampilkan pada Gambar-2. Analisis pada pola tersebut menunjukkan hadirnya puncak-puncak yang teridentifikasi sebagai fasa Fe3O4/-Fe2O3 (magnetit). Pada difraktogram terlihat adanya penurunan derajat kristalinitas bahan disertai meningkatnya intensitas latar (background). Pada Gambar 3 ditunjukkan pola Difraksi Sinar-X nanopartikel besi oksida
sesudah iradiasi selama 30 menit untuk sampel OBK (gambar-B), sampel OBB (gambar-C) dibandingkan terhadap Fe3O4/-Fe2O3 (magnetit) acuan (gambar-A). Pada pola difraksi sampel hasil iradiasi muncul puncak kontaminan yang teridentifikasi sebagai fasa Fe3O4/-Fe2O3 (hematit) akibat oksidasi lanjut dalam proses iradiasi, disamping terjadinya penurunan derajat kristalinitas. Hal ini mengakibatkan penurunan sifat magnetik seperti yang terukur pada kurva histeresis magnetik untuk besi oksida yang ditampilkan pada Gambar 4. Pada sampel OBK, terjadi penurunan sifat magnetik yang cukup besar akibat proses radiasi dibandingkan sampel OBB. Hal ini menunjukkan adanya proteksi oksidasi lanjut partikel besi oksida oleh ikatan FeO-OH pada permukaan sampel dan terjaganya kenaikan temperatur bahan OBB akibat gamma heating selama proses radiasi, dimana hal tersebut tidak terjadi pada OBK.
Gambar 2. Pola difraksi sinar-X nanopartikel besi oksida yang disintesis dengan proses kopresipitasi sebelum diiradiasi dibandingkan Fe3O4/-Fe2O3 acuan
Gambar 3. Pola Difraksi Sinar-X nanopartikel besi oksida sesudah iradiasi selama 30 menit untuk sampel kering (B), sampel basah (C) dibandingkan terhadap Fe3O4/-Fe2O3 acuan (A).
Identifikasi Fasa Dan Sifat Magnetik………………….Saeful Yusuf dkk
177
(a)
(b)
Gambar 4. Kurva histeresis nanopartikel sebelum dan sesudah iradiasi selama 30 menit. Iradiasi dilakukan pada sampel OBK (a) dan sampel OBB (b)
Koloid Nanopartikel Besi Oksida (Ferrofluid) Dari bahan besi oksida ini dapat dilanjutkan proses pembuatan ferrofluid dengan menambahkan bahan penstabil atau polimer yang dapat memodifikasi bahan baik secara kovalen maupun ionik yang memberikan permukaan non-polar maupun polar (Mujamilah 2011). Secara umum ada dua tipe ferrofluid yaitu berbasis air dan berbasis minyak. Untuk ferrofluid berbasis air, nanopartikel akan terdispersi secara stabil dalam larutan berbasis air. Untuk ferrofluid berbasis minyak, nanopartikel akan terdispersi secara stabil dalam larutan berbasis minyak. Dalam kegiatan ini diteliti 3 bahan ferrofluid yaitu 2 bahan ferrofluid berbasis air dengan modifier asam nitrat (FF-N) dan asam sitrat (FF-S), serta 1 bahan ferrofluid berbasis minyak dengan modifier asam oleat (FF-O). Hasil karakterisasi XRD dan VSM untuk sampel FF-N, FF-S dan FF-N hasil iradiasi selama 30 menit ditampilkan pada Gambar 5-6. Identifikasi fasa pada pola difraksi sinar-X
kembali menunjukkan hadirnya kontaminan Fe2O3 selain fasa utama Fe3O4/-Fe2O3 pada FF-O (Gambar-5c) yang terkonfirmasi oleh data penurunan nilai magnetisasi saturasi dari 68,7 emu/gram menjadi 47 emu/gram setelah iradiasi selama 30 menit (Gambar-6c). Fasa pada ferrofluid berbasis air (asam nitrat dan asam sitrat) cenderung tetap (Gambar 5a dan 5b) yang terkonfirmasi oleh data pengukuran sifat magnetik (Gambar 6a dan 6b). Mengacu pada tipe bahan penstabil atau modifier, data-data hasil pengukuran dan analisis di atas menunjukkan kemampuan ikatan ionik asam nitrat dan asam sitrat pada permukaan partikel besi oksida lebih mampu melindungi terjadinya proses oksidasi yang mengubah Fe3O4/-Fe2O3 (magnetit) menjadi fasa Fe3O4/-Fe2O3 (hematit) akibat proses iradiasi neutron, dibanding ikatan gugus asam oleat pada permukaan partikel. Struktur molekul ketiga bahan tersebut ditampilkan pada Gambar 7 (The Merck Chemical Database 2014).
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014: 173-182
178
(a)
(b)
(c)
Gambar 5. Pola difraksi sinar-X nanopartikel magnetik setelah iradiasi 30 menit : (a).Ferrofluid-nitrat FF-N; (b). Ferrofluid-sitrat FF-S ; (c). Ferrofluid-oleat FF-O
Identifikasi Fasa Dan Sifat Magnetik………………….Saeful Yusuf dkk
179
a
b
c
Gambar 6. Kurva histeresis magnetik nanopartikel setelah iradiasi 30 menit : (a). Ferrofluid-nitrat FF-N ; (b). Ferrofluid-sitrat FF-S ; (c). Ferrofluid-oleat FF-O
Gambar 7. Struktur molekul asam nitrat, asam sitrat dan asam oleat
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014: 173-182
180
Dari gambaran struktur pada Gambar 7 dapat dipahami bahwa ikatan besi oksida pada asam nitrat dan asam sitrat yang berantai pendek akan lebih kuat dibanding ikatan asam oleat yang merupakan rantai panjang dan non polar. Kestabilan ikatan dan sifat permukaan ini juga terkonfirmasi dengan adanya kemampuan pada bahan ferrofluid berbasis air untuk kembali terdispersi dalam pelarutnya pasca iradiasi tanpa mengalami penggumpalan. Kemampuan ini sangat penting agar ferrofluid dapat diproses lebih lanjut untuk pembentukan nanopartikel magnetik bertanda. Dari hasil analisis ini dapat disampaikan bahwa ferrofluid terutama dari tipe dengan ikatan ionik yang kuat dapat diiradiasi dengan baik tanpa menimbulkan perubahan sifat permukaan dan sifat magnetik yang berarti. Kestabilan sifat permukaan ini juga menjadikan ferrofluid bertanda ini menjadi lebih mudah untuk diproses lebih lanjut dengan pelapisan bahan organik menjadi nanopartikel magnetik bertanda. KESIMPULAN Proses iradiasi neutron terhadap besi 59 oksida menghasilkan isotop radioaktif Fe yang memancarkan sinar- yang dapat digunakan dalam identifikasi proses separasi metode MARIA. Nano partikel besi oksida yang dilapisi penstabil/pelarut, memiliki ketahanan radiasi neutron relatif lebih baik dibandingkan tanpa pelapis. Pada besi oksida tanpa pelapis terjadi perubahan fasa magnetit menjadi fasa hematit disertai penurunan yang signifikan dari sifat magnet. Besi oksida yang dilapisi penstabil asam nitrat atau asam sitrat memiliki ketahanan iradiasi yang lebih baik dibandingkan besi oksida yang dilapisi asam oleat. Nanopartikel besi oksida hasil iradiasi yang mengandung pelarut air dan asam nitrat atau asam sitrat memiliki kestabilan sifat permukaan sehingga relatif mudah didispersikan kembali pasca iradiasi dibanding pelarut asam oleat. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini terselenggara dengan dukungan dana dari program insentif PKPP2011 dengan kontrak No. 08/SEK/IPKPP/PPK/III/ 2011. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak Kemenristek RI sebagai pemberi dana, manajemen BATAN untuk dukungan fasilitas khususnya manajemen PSTBM-BATAN dan PRSG-BATAN, Dra. Mujamilah M.Sc. sebagai Penanggung Jawab Kegitan Penelitian serta rekan-rekan lain yang terlibat dalam kegiatan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Hu, X, Juan Yang, Jingdong Zhang. 2011. Magnetic loading of TiO2/SiO2/Fe3O4 nanoparticles on electrode surface for photoelectrocatalytic degradation of diclofenac. Journal of Hazardous Materials.196: 220– 227 IAEA. 1990. IAEA-TECDOC-564: Practical Aspects Of Operating Neutron Activation Analysis Laboratory, Vienna, International Atomic Energy Agency Koehler, F.M. 2009. Magnetic EDTA: Coupling heavy metal chelators to metal nanomagnets for rapid removal of cadmium, lead and copper from contaminated water. Chem Commun. 32 (32): 4862–4864 Lee, J. 2011. Electrical memory features of ferromagnetic CoFeAlSi nano-particles embedded in metal-oxidesemiconductor matrix. Thin Solid Films. 19 (18):6160-6163 Mujamilah. 2011. Laporan Teknis Program Insentif PKPP TA 2011, Jakarta, Kemenristek Nabiyyi,A,I,. 2014. Luminol/CsTe quantum dots/sodium periodate system in conjunction with response-surface methodology for chemiluminometric determination of some tetracyclines. J. of Luminescence. 151, 57-65 Ning,W,D,. 2007. Magnetic Microparticle Radioimmunoassay for the Determination of Estriol in Human Serum, Chinese Journal of Analytical Chemistry. 35(9),1241-1245 Rodrigues, S, S, M,. 2014. Fluorescence enhancement of CdTe MPA-capped quantum dots by glutathione for hydrogen peroxide determination. Talanta. 122:157-165 Sallam, Kh. M., R. R. Sheha, A. A. El-Zahhar. 2011. Development of solid phase radioimmunoassay system using new polymeric magnetic micro-spheres”, J. of Radioanalytical and Nuclear Chemistry. 290(2):339-345 Scarberry, K.E. 2008. Magnetic NanoparticlePeptide Conjugates for in Vitro and in Vivo Targeting and Extraction of Cancer Cells. J.American Chemical Society, 130 (31):10258–10262 Schätz, Alexander, O. Reiser, W.J. Stark. 2010. Nanoparticles as Semi-Heterogeneous Catalyst Supports. Chem Eur J. 16 (30): 8950–8967
Identifikasi Fasa Dan Sifat Magnetik………………….Saeful Yusuf dkk
181
Zhu, L., Yuhua Cao, Guangqun Cao. 2014. Electrochemical sensor based on magnetic molecularly imprinted nanoparticles at surfactant modified magnetic electrode for determination of bisphenol A. Biosensors and Bioelectronics. 54: 258-261
Zhang, Z,. 2013. A sensitive and selective molecularly imprinted sensor combined with magnetic molecularly imprinted solid phase extraction for determination of dibutyl phthalate. Biosensors and Bioelectronics. 49,367373.
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014: 173-182
182
KOPOLIMERISASI CANGKOK DAN KARAKTERISASI LEMBARAN KITOSAN TERIRADIASI (GRAFT COPOLYMERIZATION AND CHARACTERIZATION OF CHITOSAN IRRADIATED SHEET)
Gatot Trimulyadi Rekso Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi-BATAN Jl. Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta-Selatan E-mail :
[email protected] Received 10 Maret 2014:; revised :04 April 2014; accepted : 07 April 2014
ABSTRAK Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi hasil kopolimerisasi cangkok lembaran kitosan dengan asam akrilat 60 yang teriradiasi sinar gamma Co. Lembaran kitosan diiradiasi pada kondisi atmosfer udara dan suhu kamar. Selanjutnya lembaran kitosan dimasukkan dalam larutan monomer asam akrilat pada variasi konsentrasi 10% (v/v), 20% (v/v), 30% (v/v), dan 40% (v/v) dengan waktu reaksi 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, dan 5 jam serta suhu 50 °C, 60 °C, 70 °C, dan 80 °C. Reaksi kopolimerisasi cangkok dilakukan dalam aliran nitrogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil kopolimerisasi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi monomer asam akrilat dan suhu reaksi. Kondisi optimal kopolimerisasi adalah pada dosis total radiasi 12 kGy dengan konsentrasi asam akrilat 30% dan suhu reaksi 70 °C serta waktu reaksi selama 3 jam. Hasil kopolimerisasi cangkok yang diperoleh sebesar 45,8%. Telah terjadinya kopolimerisasi cangkok pada lembaran kitosan ditunjukkan dengan adanya perubahan pada spektrum infra merah dengan munculnya gugus karbonil yang diukur dengan Fourier Transform Infra Red (FTIR). Sifat termalnya yang ditentukan dengan Differential Scanning Calorimetry (DSC) menunjukkan bahwa terjadi perubahan titik leleh sebesar 2,3 °C dan muncul puncak baru pada 343,5 °C. Kata kunci : Radiasi, Kopolimerisasi, Kitosan, Asam akrilat
ABSTRACT Studies on radiation induced graft copolymerization of acrylic acid onto chitosan sheet and its characterization 60 has been carried out. The irradiation of samples chitosan sheet was carried out in Co gamma irradiation source. The chitosan sheet was irradiated in presence of atmospheric oxygen at room temperature. An acrylic acid monomer solution in various concentration of 10% (v/v), 20% (v/v), 30% (v/v), and 40% (v/v) was then introduced into irradiated chitosan sheet and the graft copolymerization was carried out in a nitrogen atmosphere at reaction periods of 1 hour, 2 hours, 3 hours, 4 hours, and 5 hours and at temperatures of 50 °C, 60 °C, 70 °C, and 80 °C. The results showed that the percentage of grafting increased with increasing acrylic acid concentration and temperature. The optimum conditions for the copolymerization is achieved at a total radiation dose of 12 kGy, with acrylic acid concentration of 30%, temperature of 70 °C and reaction period of 3 hours. The yield of graft copolymerization was 45.8%. The presence of acrylic acid on chitosan was demonstrated by Fourier Transform Infra Red (FTIR) spectrum. Thermal properties were measured by Differential Scanning Calorimetry (DSC) the melting point decrease 2.3 °C and new peak appeared at 343.5 °C. Keywords : Radiation, Copolymerization, Chitosan sheet, Acrylic acid
PENDAHULUAN Pemanfaatan energi radiasi pada modifikasi polimer telah banyak diteliti dan diaplikasikan. Kemampuan radiasi pengion untuk memproduksi radikal bebas telah menjadikan radiasi pengion sebagai bagian
penting dalam modifikasi polimer (Saraydin et al. 2004). Untuk mendapatkan polimer jenis baru, seperti polimer alam atau sintetik yang bersifat hidrofobik dapat dibentuk sifat hidrofiliknya
Kopolimerisasi Cangkok…………………..Gatot Trimulyadi Rekso
183
dengan teknik mencangkokkan monomer hidrofilik (Wasikiewiez et al. 2005). Kitosan adalah hasil deasetilasi dari kitin yang merupakan polimer alam, banyak terdapat pada kulit udang dan kepiting sebagai N-asetilD-glukosamin (Karmas 1982). Sifat paling khas kitosan adalah kemampuannya membentuk kompleks logam dengan gugus amino sebagai donor elektron sehingga dapat diaplikasikan sebagai adsorben pengompleks (Angka et al. 2000, Johnson 1982). Agar kemampuan kitosan mengikat logam lebih tinggi maka perlu dilakukan modifikasi antara lain dengan mencangkokkan gugus fungsi sehingga produk baru dapat berfungsi ganda, selain sebagai pengkompleks dapat juga berfungsi sebagai adsorben penukar ion (Fei et al. 2000). Modifikasi kitosan secara kimia relatif sulit dilakukan karena kelarutan kitosan yang rendah dan untuk mendapatkan hasil yang optimal sistem harus dalam fasa homogen serta diperlukan katalis tertentu yang relatif mahal (Nagasawa et al. 2004). Oleh karena itu akan diteliti modifikasi kitosan dengan teknik iradiasi. Modifikasi kitosan menggunakan teknik iradiasi merupakan metode yang paling efisien. Daya tembus radiasi yang tinggi memungkinkan pembentukan pusat aktif yang merata di seluruh bagian sehingga produk akan lebih homogen, selain itu prosesnya dapat berlangsung dalam fasa heterogen dan tidak memerlukan bahan tambahan inisiator maupun katalis (Wasikiewiez et al. 2006). Penelitian yang akan dilakukan yaitu modifikasi lembaran kitosan dengan mencangkokkan monomer hidrofilik asam akrilat dengan teknik iradiasi sehingga dihasilkan produk baru yaitu kitosan-g-Aac. Pemeriksaan yang dilakukan pada penelitian ini adalah hasil kopolimerisasi cangkok meliputi hasil pencangkokan (%), homopolimer yang terbentuk (%) secara gravimetri, gugus fungsi dengan FTIR, dan sifat termal dengan DSC. BAHAN DAN METODE Persiapan Sampel Lembaran Kitosan Bahan penelitian yang digunakan adalah limbah kulit udang putih (Peneaus Merguensis) yang diperoleh dari Desa Gebang, Cirebon. Kulit udang dengan bobot kurang lebih 5 kg yang telah kering dan telah dibersihkan dari kotorankotoran yang masih melekat, sehingga diperoleh kulit udang yang bersih dan selanjutnya dikeringkan dalam oven vakum pada suhu 50 °C. Setelah itu, dilakukan isolasi untuk
memperoleh kitin melalui tahap deproteinasi dan demineralisasi (Knoor 1984). Kitin yang telah diperoleh kemudian dilakukan proses deasetalisasi dengan proses refluks menggunakan larutan natrium hidroksida 50% (w/w) selama 3 jam pada suhu 50 °C. Hasil yang diperoleh kemudian dicuci dan dibilas dengan menggunakan akuades sampai dengan pH mendekati netral. Pembuatan lembaran film dilakukan dengan melarutkan 15 g kitosan dalam 500 mL asam asetat glasial 1%, pada suhu 50 °C selama 60 menit. Kemudian larutan kitosan dituangkan ke media cetak (kaca) dengan ukuran 10 cm x 10 cm dan dikeringkan dalam oven vakum pada suhu 50 °C. Proses Iradiasi Sebelum proses kopolimerisasi, iradiasi lembaran kitosan dilakukan dalam atmosfer udara. Sampel dalam ampul yang telah disiapkan diiradiasi dengan menggunakan sinar gamma dengan sumber Co-60 di PATIR BATAN, Pasar Jumat, Jakarta. Dosis total yang digunakan pada percobaan ini adalah 15 kGy dengan laju dosis 7,2 kGy/jam. Proses Kopolimerisasi Cangkok Pada lembaran kitosan yang telah diiradiasi, selanjutnya ditambahkan larutan monomer asam akrilat dengan variasi konsentrasi 10% (v/v), 20% (v/v), 30% (v/v), dan 40% (v/v). Sebagai pelarut asam akrilat digunakan larutan air dan metanol dengan perbandingan 7 : 3. Kemudian campuran ini dipanaskan dalam pemanas air pada suhu 50 °C, 60 °C, 70 °C, dan 80 °C dengan kondisi atmosfer nitrogen dibiarkan bereaksi selama rentang waktu 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, dan 5 jam. Lembaran kitosan yang telah dicangkok, kemudian dipisahkan dari larutan monomer dengan pencucian menggunakan air hangat untuk menghilangkan monomer dan homopolimer yang masih menempel. Setelah itu direndam dalam air suling selama 24 jam, kemudian dibilas lagi dengan menggunakan air hangat. Proses pembersihan dilanjutkan dengan ekstraksi menggunakan soklet dengan pelarut metanol selama 24 jam secara terus menerus. Kemudian dikeringkan dalam oven vakum pada suhu 50 °C selama 8 jam. Penentuan hasil kopolimerisasi cangkok (%) serta homopolimer yang terbentuk (%) ditentukan dengan menggunakan metode gravimetri.
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014: 183-190
184
Penentuan Hasil Kopolimerisasi Cangkok Hasil kopolimerisasi cangkok ditentukan berdasarkan perbedaan berat lembaran kitosan setelah kopolimerisasi cangkok dibandingkan dengan berat lembaran kitosan mula-mula. Rumus yang digunakan : Hasil kopolimerisasi cangkok (%) 100%
……(1)
Keterangan: W1 = berat kering lembaran kitosan awal (g) W2 = berat lembaran kitosan kering setelah kopolimerisasi dan dibersihkan serta dihilangkan homo polimernya (g) W3 = berat kering setelah reaksi pencangkokan (g) Penentuan homo polimer yang terbentuk : Homo Polimer (%) = HC + GL
……(2)
HC
= homo polimer di sampel = x100%
GL
= gel di larutan =(
Wa
⁄
Pengaruh Konsentrasi Monomer dan Waktu Reaksi Pengaruh konsentrasi monomer asam akrilat dalam pelarut air - metanol dengan perbandingan berat 7 : 3 dievaluasi dengan waktu reaksi selama 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, dan 5 jam terhadap hasil kopolimerisasi cangkok, ditunjukkan pada Gambar 1. Kopolimerisasi cangkok asam akrilat pada kitosan menunjukkan hasil kopolimerisasi cangkok meningkat dengan bertambahnya konsentrasi asam akrilat dan waktu reaksi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa meningkatnya konsentrasi monomer berarti jumlah monomer ke dalam matriks kitosan akan bertambah besar, disamping itu kemungkinan tumbukan antara molekul monomer dengan radikal kitosan yang terbentuk akan meningkat pula. Akan tetapi pada konsentrasi diatas 30% peningkatan hasil kopolimerisasi cangkok relatif rendah, hal ini dikarenakan terbentuknya homo polimer yang lebih tinggi sehingga meningkatkan viskositas larutan yang menyebabkan hambatan difusi monomer ke dalam matriks lembaran kitosan (Radoslaw et al. 2003)
) x100%
= berat awal monomer dipergunakan (g)
100
Asam akrilat 10 %
yang
Pengujian Menggunakan Spektrofotometer FTIR Lembaran kitosan dan kitosan yang telah dikopolimerisasi sebanyak kurang lebih 2 mg, kemudian dimasukkan ke dalam tempat sampel dan selanjutnya dilakukan pengukuran absorbsi pada daerah panjang gelombang infra merah dengan spektrofotometer FTIR untuk mengetahui gugus-gugus fungsi yang terdapat pada sampel yang diperiksa. Pengujian dilakukan untuk kitosan dan kitosan yang telah dikopolimerisasi cangkok. Pengujian Sifat Termal Dengan DSC Sampel (2,0 g sampai dengan 3,0 g) dimasukkan ke dalam mangkuk alumunium, selanjutnya ditekan dan dipadatkan dengan alat pres. Kemudian diperiksa sifat termalnya pada selang suhu 50 ºC sampai dengan 500 ºC dengan kecepatan pemanasan 10 ºC/menit. Pengujian dilakukan pada serbuk kitosan dan kitosan yang telah dikopolimerisasi cangkok.
H asil pen can gko kan (% )
=
HASIL DAN PEMBAHASAN
Asam akrilat 20 %
80
Asam akrilat 30 %
60
Asam akrilat 40 %
40 20 0 0
1
2
3
4
5
Lamanya waktu reaksi (jam)
Gambar 1. Hubungan antara hasil kopolimerisasi yang terbentuk pada berbagai konsentrasi asam akrllat dan waktu reaksi tertentu
Kopolimerisasi Cangkok…………………..Gatot Trimulyadi Rekso
185
6
Hubungan antara homo polimer yang terbentuk dengan waktu reaksi pada berbagai konsentrasi monomer asam akrilat yang digunakan ditunjukkan pada Gambar 2. Kenaikan suhu reaksi menyebabkan meningkatnya mobilitas monomer untuk menuju pusat aktif, disamping itu juga derajat pengembangan matrik polimer akan lebih besar (Zhai et al. 2003). Dengan demikian, meningkatnya suhu akan meningkatkan laju difusi monomer ke dalam matriks polimer yang mengandung radikal kitosan, yang berarti akan meningkatkan pula laju kopolimerisasi cangkok monomer ke kitosan. Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa pada suhu diatas 70 ºC, kenaikan suhu pada 80 ºC tidak menunjukkan kenaikan hasil kopolimerisasi cangkok yang terlalu besar. Hal ini disebabkan karena kenaikan suhu meningkatkan mobilitas radikal monomer yang terbentuk dan mendorong untuk terbentuknya homo polimer sehingga larutan lebih cepat mengental, yang mengakibatkan kesulitan monomer untuk menuju pusat aktif kitosan
(Zhan et al. 2004). Pada suhu 70 ºC dan 80 ºC diatas waktu 3 jam terjadi penurunan hasil kopolimerisasi cangkok karena homo polimer yang terbentuk lebih dominan dan larutan sudah mengental. Energi Aktivasi Kopolimerisasi Cangkok Asam Akrilat Dari pengaruh suhu dan lamanya kopolimerisasi cangkok pada Gambar 3 dapat ditentukan energi aktifasi reaksi kopolimerisasi cangkok berdasarkan persamaan : –Ea/RT
Rp = A e penurunan persamaan menjadi : Log Rp = -Ea / 2,303 RT + C …..(3) Untuk menghitung energi-energi aktivasi kopolimerisasi cangkok dibuat kurva hubungan antara kecepatan kopolimerisasi cangkok Rp sebagai ordinat dan 1/T sebagai absis (Zang et al. 2007). Hasil yang diperoleh dapat terlihat pada Gambar 5.
100 Temp 50 C
AAC 10%
80
hasil pencangkokan (%)
H o m o p o lim e r t e rb e n tu k (% )
100
AAC 20 % AAC 30 %
60
AAC 40 %
40 20 0 0
1 60
2 120
3 180
4 240
5 300
Temp 70 C
60
Temp 80 C
40 20 0
6 360
0
1
2
3
4
5
6
Lamanya waktu reaksi (Jam)
Waktu reaksi (jam) Gambar 2. Hubungan antara homo polimer asam akrilat yang terbentuk pada berbagai konsentrasi asam akrllat dan waktu reaksi tertentu
Temp 60 C
80
Gambar 3. Hubungan antara hasil kopolimerisasi yang terbentuk pada berbagai suhu reaksi dan waktu reaksi tertentu
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014: 183-190
186
Homopolimer yang terbentuk (%)
50 Temp 50 C 40 Temp 60 C Temp 70 C
30
Temp 80 C 20 10 0 0
60
120
180
240
lamanya reaksi ( menit)
Gambar 4. Hubungan antara homo polimer asam akrilat yang terbentuk dengan lamanya reaksi pada berbagai suhu reaksi
1.4
log R p
1.2 1 0.8
Linear Regression - simple weighting Correlation Coefficient (r) = -0.9536 Variable Value Std. Err. ntercept 10.8567 2.2175 Slope -3356.9637 749.3879
0.6 0.4 0.002
0.0024 1/T
0.0028
0.0032
K
Gambar 5. Hubungan antara log Rp dan 1/T
Energi aktifasi kopolimerisasi cangkok asam akrilat : Ea = - 2,303 x slope x R …..(4) = - 2,303 x (- 3356,9637) x 1,98 kalori/mol = 15,30 kkal/mol Dari hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa energi aktivasi kopolimerisasi lembaran kitosan dengan asam akrilat sebesar 15,30 kkal/mol. Pengujian Dengan Spektrofotometer FTIR Pengujian sifat serapan gelombang infra merah dengan FTIR dilakukan pada sampel
kitosan yang belum dan yang telah dikopolimerisasi dengan asam akrilat dengan hasil kopolimerisasi cangkok sebesar 45,8% yang merupakan hasil kopolimerisasi cangkok tertinggi dan ditunjukkan pada Gambar 6. Pada Gambar 6, spektrum FTIR untuk lembaran kitosan dapat dilihat puncak serapan yang tinggi pada 2118 cm-1 dan 1363 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus metil dan pada -1 daerah 3485 cm menunjukkan adanya gugus hidroksil. Pita serapan yang khas dengan intensitas yang kuat pada spektrum kitosan -1 terdapat pada daerah 2875 cm yang menunjukkan adanya gugus N-H. Pada kitosan yang telah dikopolimerisasi cangkok dengan asam akrilat muncul puncak -1 baru pada daerah 1760 cm yang menunjukkan adanya gugus karbonil dengan intensitas rendah sesuai dengan hasil kopolimerisasi cangkok yang rendah juga. Hal ini menandakan bahwa monomer asam akrilat telah tercangkokkan pada kitosan. Pengujian Sifat Termal Menggunakan DSC Dalam penelitian ini, pengujian sifat termal dilakukan pada sampel kitosan yang belum dikopolimerisasi dan kitosan yang telah dikopolimerisasi dengan asam akrilat dengan hasil pencangkokkan sebesar 45,8% dan ditunjukkan pada Gambar 7. Pada Gambar 7 menunjukkan kitosan mempunyai suhu dekomposisi yang lebih tinggi (278,8 ºC) dibandingkan dengan kitosan yang telah dikopolimerisasi (276,5 ºC) untuk hasil pencangkokkan 45,8%. Penurunan tersebut, diduga disebabkan oleh hasil interaksi radiasi foton gamma dengan kitosan yang merusak struktur fase kristalin kitosan (Chen et al. 2004). Selain itu, dengan semakin besarnya hasil pencangkokan berarti kitosan mengalami pengembangan (swelling) akibat difusi monomer ke pusat aktif kitosan. Hal tersebut menyebabkan susunan molekul kitosan tidak dapat kembali ke bentuk susunan semula, sehingga fase kristalinnya menjadi berkurang. Pada kitosan yang ditambahkan asam akrilat muncul puncak-puncak endotermis baru pada suhu 342,5 ºC. Puncak endotermis baru tersebut kemungkinan berasal dari reaksi dehidrasi gugus karboksilat yang berdampingan dalam kitosan-asam akrilat. Reaksi dehidrasi gugus karboksilat akibat pemanasan ditunjukkan pada Gambar 8 (Dafader et al. 2006). Dengan munculnya puncak baru tersebut telah membuktikan bahwa telah terjadi reaksi kopolimerisasi antara kitosan dengan asam akrilat.
Kopolimerisasi Cangkok…………………..Gatot Trimulyadi Rekso
187
Gambar 6. Spektrum infra merah lembaran kitosan dan kitosan kopolimer
278,6oC
Kitosan kopolimer 276,5oC
kitosan
342,5oC
Gambar 7. Termogram DSC kitosan dan kitosan kopolimer
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014: 183-190
188
H
O
H
NH2
O
NH2
-H2O
O
O CH
O 2
CH
n
O CH
n
O 2
CH CH
O
2
CH
O C OH OH
2
CH
2
CH CH
C
CH O
O C O
2
C O
Gambar 8. Reaksi dehidrasi gugus karboksilat yang berdampingan akibat pemanasan
KESIMPULAN Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa kopolimerisasi cangkok asam akrilat pada kitosan menunjukkan hasil kopolimerisasi cangkok yang meningkat dengan bertambahnya konsentrasi asam akrilat, waktu, dan suhu reaksi. Waktu reaksi yang optimum adalah 3 jam dengan konsentrasi asam akrilat 30% (v/v) dan suhu 70ºC. Energi aktivasi kopolimerisasi lembaran kitosan dan asam akrilat adalah 15,30 kkal/mol. Hasil pengukuran serapan infra merah dengan menggunakan FTIR menunjukkan monomer asam akrilat telah tercangkokkan dengan ditandai munculnya puncak serapan gugus karbonil pada daerah 1760 cm-1. Pada pengujian sifat termal dengan menggunakan DSC menunjukkan adanya penurunan titik leleh sebesar 2,3ºC pada lembaran kitosan yang dikopolimerisasi. DAFTAR PUSTAKA Angka,
S.L. dan M.T.Suhartono. 2000. Bioteknologi hasil laut. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Chen, P., W. Zhang, W. Luo, and Y. Fang. 2004. Synthesis of superabsorbent polymers by irradiation and their application in agriculture. J. Appl. Polym. Sci. 93: 1748-1755. Dafader, N.C., M.E. Haque, F. Akhtar, and M. U. Ahmad. 2006. Study on grafting of different types of acrylic monomers onto natural rubber by γ-rays. Radiat. Phys. Chem. 75: 168-172. Fei, B., R.A. Wach, H. Mitomo, F. Yoshii, and T. Kume. 2000. Hydrogel of biodegradable
cellulose derivatives irradiation induced crosslinking of CMC. J. Appl. Polym. Sci. 78: 278-283. Johnson. 1982. Chemistry and biochemistry of marine food product. Connecticut: AVI Publishing. Karmas, E. 1982. Meat, poultry and seafood technology. USA: Noyes Data Corporation. Knorr, D. 1984. Use of continues polymer in food. Food Technology 42: 593-595. Nagasawa, N., T. Yagi, T. Kume, and F. Yoshii. 2004. Radiation crosslinking of carboxymethyl starch. Carbohydrate Polymers 58: 109-113. Saraydin, D., E. Karadag, Y. Isikver, N. Sahinef, and O. Guven. 2004. The influence of preparation methods on the swelling and network properties of acrylamide hydrogel with crosslinkers. J. Macromol. Sci. A Pure Appl. Chem. 41: 419-431. Wasikiewicz, J. M., F. Yoshii, N. Nagasawa, R.A. Wach, and H. Mitomo. 2005. Degradation of chitosan and sodium alginate by gamma radiation, sonochemical, and ultraviolet methods. Radiat. Phys. Chem 73: 287295. Wasikiewicz, J. M., H. Mitomo, N. Nagasawa, T. Yagi, M. Tamada, and F. Yoshii. 2006. Radiation crosslinking of biodegradable carboxymethylchitin and carboxymethylchitosan. Journal of Applied Polymer Science 102: 758767. Zhai, M., F. Yoshii, and T. Kume. 2003. Radiation modification of starch based plastic sheets. Carbohydrate Polymers 52: 311-317.
Kopolimerisasi Cangkok…………………..Gatot Trimulyadi Rekso
189
Zhan, F. L., M. Z. Liu, M. Y. Guo, and L. Wu. 2004. Preparation of superabsorbent polymer with slow-release phosphate fertilizer. Journal of Applied Polymer Science 92: 3417-3421
Zhang, J., Q. Wang, and A. Wang. 2007. Synthesis and characterization of chitosan-g-poly (acrylic acid)/attapulgite superabsorbent composites. Carbohydrate Polymers 68: 367-374.
1
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014: 183-190
190
EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI SERBUK NANO PIGMEN DARI DAUN TANAMAN JATI (TECTONA GRANDIS LINN. F) (EXTRACTION AND CHARACTERIZATION OF NANO PIGMENT POWDER FROM TEAK (TECTONA GRANDIS LINN. F) LEAVES) Riahna br Kembaren1, Sesotya Putriliniar 1,2, Nurwenda Novan Maulana1,3, Kiki Yulianto1,3, Radyum Ikono1,4, Nurul Taufiqu Rochman1,5, Etik Mardliyati1,6 1
Nano Center Indonesia, Komplek Puspiptek Serpong Departemen Kimia, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 3 Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Teknologi Sumbawa, Sumbawa Besar 4 Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Universitas Teknologi Sumbawa, Sumbawa Besar 5 Pusat Penelitian Metalurgi LIPI, Komplek Puspiptek, Serpong 6 Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT, Komplek Puspiptek, Serpong 2
E-mail :
[email protected] Received : 19 April 2013; revised : 03 Oktober 2013; accepted : 07 Oktober 2013
ABSTRAK Tanaman Jati (Tectona grandis linn. F) umumnya hanya dimanfaatkan bagian kayunya untuk industri meubel, namun bagian lain seperti daun kurang dimanfaatkan. Daun jati terutama bagian pucuk daun muda dapat menghasilkan pigmen. Produksi serbuk nano pigmen dari daun jati dan karakterisasi serbuk nano pigmen tersebut belum dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan nano pigmen dari pucuk daun jati muda dalam bentuk serbuk dengan menggunakan persentase filler yang berbeda dan melakukan karakterisasi serbuk nano pigmen jati tersebut. Pucuk daun jati muda diberi perlakuan mekanik dengan penggerusan kemudian disaring, larutan yang diperoleh diukur partikelnya dengan Particle Size Analyzer (PSA), dan dikeringkan dengan penambahan filler maltodekstrin 5% dan 10%. Serbuk yang diperoleh dihitung rendemen, ukuran partikel, dan kelarutan dalam air. Warna merah yang dihasilkan dari filtrat pucuk daun jati muda berasal dari zat warna antosianin yang terkandung dalam daun jati muda. Ekstrak dari pucuk daun jati muda memiliki ukuran dengan kisaran 87,8- 318,1 nm dengan ukuran rata-rata 109,2 nm. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak tersebut merupakan produk nano di alam. Penambahan filler dengan konsentrasi berbeda berpengaruh terhadap warna, rendemen, ukuran partikel serbuk, dan kelarutan pigmen serbuk dalam air. Kata Kunci: Jati; Pigmen; Antosianin; Nano
ABSTRACT Teak plant (Tectonagrandis Linn.F) is widely used, mostly for its wood, in furniture industry. However, other parts such as leaves, are still underutilized. Teak leaves, especially the young shoots are able to produce pigment. Production of teak leaves nano pigments powder and pigment powder characterization has not been carried out. The purpose of this study was to produce nano pigment powder from young teak leaf using different filler percentage, and to characterize the pigment powder. Young teak leaf was treated with mechanical grinding and then filtered. The particle size analyzer (PSA) in solution obtained was measured with PSA. The solution was then dried with addition of 5% and 10% maltodextrin filler. The powder obtained was calculated for the yield, particle size, and solubility in water. The red color of young teak leaf filtrate derived from anthocyanin pigments contained in the young leaves of teak. Extract of young shoots have a size ranging from 87.8 nm to 318.1 nm with an average size of 109.2 nm. This suggests that the extract is a natural product in nanoscale. The addition of filler with different concentrations affected the color, yield, particle size of the powder, and the pigment solubility in water. Keywords: Teak; Pigment; anthocyanin; Nano
Ekstraksi Dan Karakterisasi Serbuk Nano Pigmen…………Riahna br Kembaren dkk
191
PENDAHULUAN Tanaman jati (Tectona grandis linn. F.) adalah jenis tanaman pohon tropis dengan distribusi yang luas di Asia Tenggara seperti Thailand, Laos, Burma, dan Indonesia. Di Indonesia, pulau Jawa adalah sentra penanaman jati. Tanaman jati juga tumbuh dengan baik di Bali dan Sumbawa. Potensi pemanfaaatan jati sangat besar di Indonesia. Pengelolaan hutan jati dilakukan oleh PT Perhutani yang mengelola hutan jati seluas 2,6 juta HA, namun pada umumnya pemanfaatan jati tersebut hanya pada bagian kayu dalam bentuk log untuk kebutuhan industri terutama industri furniture. Bagian lain dari jati seperti daun kurang dimanfaatkan secara efektif. Daun jati muda memiliki kandungan beberapa senyawa pigmen terutama antosianin. Senyawa antosianin ini memberikan warna merah, ungu, hingga merah gelap. Antosianin merupakan senyawa flavonoid yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan (Ariviani 2010). Pemanfaatan daun jati sebagai sumber pigmen dapat meningkatkan nilai ekonomis dan nilai guna daun tersebut. Pemanfaatan kandungan senyawa antosianin pada daun jati akan menghasilkan pigmen alami yang aman bagi kesehatan maupun lingkungan. Pigmen sering dijumpai di pasaran dalam bentuk serbuk atau larutan, namun pigmen dalam bentuk serbuk memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan larutan, yaitu lebih awet, ringan, volumenya lebih kecil sehingga dapat mempermudah dalam pengemasan dan pengangkutan atau distribusi. Pada produksi bahan yang berbentuk serbuk sering ditambahkan bahan pengisi (filler). Penambahan bahan pengisi perlu dilakukan untuk menurunkan kecenderungan bubuk melekat pada dinding pengering pada alat pengering (spray drying). Bahan yang dapat digunakan sebagai filler salah satunya adalah maltodekstrin. Maltodekstrin merupakan gula tidak manis dan berbentuk tepung berwarna putih dengan sifat larut dalam air. Maltodekstrin biasa digunakan sebagai filler dalam sediaan farmasi atau pangan (Hayati, et.al 2011). Perbedaan persentase filler yang digunakan dapat mempengaruhi karakteristik dari serbuk pigmen tersebut. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan nano pigmen dari pucuk daun jati muda dalam bentuk serbuk dengan menggunakan persentase filler maltodekstrin yang berbeda dan melakukan karakterisasi serbuk pigmen jati tersebut. Manfaat penelitian ini adalah untuk memproduksi nano pigmen alami dan
mengetahui karakteristik pigmen yang terdapat dalam daun jati sehingga dapat digunakan sebagai sumber pigmen alami. Ukuran nanometer dari suatu partikel menyebabkan mampu melewati biological barrier, memperbaiki tingkat penerimaan jaringan tubuh dan meningkatkan penyerapan dan transportasi seluler (Sozer dan Kokini, 2009). BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Bahan yang digunakan adalah pucuk daun jati muda yang diperoleh dari taman di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong. Air, maltodekstrin dan butiran silika (silika gel). Alat yang digunakan adalah mortar, gelas kaca, kertas saring, kain saring, gelas ukur, spray drying, tabung reaksi, aluminium foil, dan pipet tetes. Metode 1. Rendemen volume ekstrak dari daun muda Pucuk daun jati muda dicuci dengan air terlebih dahulu, setelah itu pucuk daun ditimbang, kemudian digerus hingga halus dan menghasilkan cairan. Hancuran dari daun jati diperas dan disaring kemudian ditampung dalam wadah gelas kaca. Cairan atau larutan hasil gerusan yang telah dikumpulkan dihitung volumenya, lalu dihitung rendemen volume larutan dari setiap gram sampel pucuk daun jati muda yang digunakan. Setelah tahap tersebut, larutan dibungkus dengan aluminum dan disimpan dalam freezer. 2. Pengeringan ekstrak daun jati Larutan hasil perasan dikeringkan menggunakan alat pengering spray drying di laboratorium LABTIAP BPPT Puspiptek Serpong. Pada pengeringan tersebut dilakukan penambahan filler maltodekstrin dengan persentase 5% dan 10% ke dalam larutan o tersebut. Suhu inlet yang digunakan 180 C, o suhu exhaust 109 C dengan kecepatan pompa 3.5 liter/menit. Setelah proses pengeringan selesai, serbuk ditimbang dan dilakukan perhitungan rendemen. Serbuk yang dihasilkan dengan penambahan filler maltodekstrin 5% dan 10% diamati warna yang dihasilkan. Serbuk tersebut kemudian disimpan dalam wadah yang mengandung butiran silika.
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 191-196
192
3. Pengukuran diameter ukuran partikel Larutan hasil dari penggerusan dan pemerasan diukur diameter partikelnya menggunakan Particle Size Analyzer (PSA) merk Beckman Coulter yang dilakukan di Nano Center Indonesia di Puspiptek, Serpong. Karakterisasi dengan PSA dilakukan pada suhu 25oC menggunakan pelarut air, indeks bias 1.3328, dan derajat viskositas 0.8878 cP. Setelah proses pengeringan dengan alat pengering spray drying, serbuk diukur ukuran diameter partikelnya dengan instrumen PSA.
Bagian daun yang digunakan pada penelitian ini adalah pucuk daun jati muda. Penggunaan pucuk daun jati muda tersebut menghasilkan warna yang lebih merah jika dibandingkan dengan daun tua dikarenakan kandungan pigmen antosianin yang lebih tinggi. Selain itu jaringan pucuk daun jati muda yang belum mengeras dan memiliki kandungan air yang lebih tinggi menyebabkan bagian daun tersebut lebih mudah digerus. 2.
4. Pengukuran kecepatan larut serbuk (Resuspensi serbuk) Serbuk yang diperoleh dari pengeringan dengan penambahan maltodekstrin 5% dan 10% dilarutkan dalam media air, lalu dihitung waktu yang dibutuhkan oleh serbuk untuk larut sempurna.
Ukuran partikel ekstrak Hasil dari pengukuran ukuran partikel menggunakan particle size analyzer (PSA) pada ekstrak pucuk daun jati muda diperoleh ukuran diameter partikel dengan kisaran 87.8- 318.1 nm, dengan ukuran rata-rata 109.2 nm. Hasil PSA tersebut dapat dilihat pada gambar 2. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak pucuk daun jati muda merupakan produk nano di alam.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Rendemen ekstrak dari pucuk daun jati muda Pucuk daun jati muda yang diberi perlakuan mekanik dengan penggerusan menyebabkan pengeluarkan cairan atau larutan berwarna merah kecoklatan dari sampel daun tersebut (Gambar 1). Warna merah kecoklatan yang dihasilkan dari filtrat daun jati muda berasal dari zat warna antosianin yang dikandung daun muda jati (Artati, et.al 2009). Pigmen antosianin terdapat dalam cairan sel tumbuhan, senyawa ini berbentuk glukosida dan menjadi penyebab warna merah kecoklatan. Ketika diberi perlakuan mekanik dengan penggerus, sel pada jaringan pucuk daun jati muda mengalami kerusakan rusak atau pecah sehingga cairan dalam sel keluar, dan menghasilkan filtrat yang berwarna merah. Dari 10 gram pucuk daun jati muda yang digunakan dapat diperoleh 7 ml cairan atau larutan berwarna merah kecoklatan sehingga rendemen ekstrak adalah 70% v/b.
Gambar 1.
Hasil penggerusan daun jati menjadi pigmen cair berwarna merah.
Gambar 2.
Grafik hasil pengukuran ekstrak dari Pucuk Daun Jati Muda dengan PSA
3.
Pengeringan Pada pengeringan dengan penambahan maltodekstrin 5% diperoleh serbuk pigmen berwarna merah. Bobot serbuk pigmen yang didapatkan adalah 4.264 gram dan rendemen yang diperoleh adalah 3.05% b/v. Rendemen serbuk pigmen yang diperoleh cukup rendah, hal ini dapat dikarenakan konsentrasi padatan terlarut pada ekstrak pucuk daun jati muda rendah dan kandungan air yang tinggi, sehingga ketika dikeringkan, air menguap dan menyebabkan penyusutan bobot (Sembiring 2009). Pada pengeringan dengan penambahan maltodekstrin 10% diperoleh serbuk pigmen dengan bobot sebesar 9.275 gram dan rendemen yang diperoleh adalah 6.63% b/v.
Ekstraksi Dan Karakterisasi Serbuk Nano Pigmen…………Riahna br Kembaren dkk
193
Rendemen serbuk yang diperoleh dengan penambahan maltodekstrin 10% lebih tinggi dibandingkan maltodekstrin 5% karena jumlah padatan terlarut yang lebih banyak akibat penambahan konsentrasi maltodekstrin yang lebih tinggi. Penambahan maltodekstrin dengan konsentrasi yang berbeda tersebut juga berdampak kepada tingkat warna pada serbuk pigmen. Serbuk dengan penambahan maltodekstrin 10% memiliki tingkatan warna yang lebih rendah yaitu sedikit merah jika dibandingkan dengan serbuk dengan penambahan maltodekstrin 5% (Gambar 3). Pemberian (bahan pengisi) filler yang lebih tinggi dapat menutupi warna tersebut sehingga intensitas warna menurun. Serbuk yang diperoleh disimpan dalam wadah yang mengandung butiran silika dengan tujuan memperpanjang umur simpan dan mencegah serbuk higroskopis. Bahan pengisi (filler) berfungsi melapisi komponen antosianin tersebut dan mempercepat proses pengeringan sehingga mencegah dan mengurangi kerusakan antosianin akibat panas. Selain itu penambahan filler meningkatkan jumlah total padatan pada ekstrak. Dari hasil pengeringan, terbukti bahwa spray drying mampu menghasilkan serbuk yang kering dan bentuk yang baik.
4.
Ukuran Partikel Serbuk Serbuk pigmen yang telah diperoleh kemudian diukur diameter ukuran partikel menggunakan PSA dan didapatkan ukuran diameter partikel ekstrak jati setelah dikeringkan dalam bentuk serbuk dengan filler 5% adalah 265.1- 950.9 nm, dengan ukuran rata-rata 331.4 nm (Gambar 4). Ukuran diameter partikel ekstrak jati setelah dikeringkan dalam bentuk serbuk dengan penambahan maltodekstrin 10% adalah 323.3-1231.1 nm, dengan ukuran rata-rata 405.5 nm (Gambar 5) Ukuran serbuk dengan penambahan filler 10% lebih besar dibandingkan dengan filler 5%. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan filler dapat meningkatkan ukuran partikel serbuk, namun penambahan filler tidak menambah ukuran partikel dalam jumlah yang signifikan (masih dalam ukuran nanometer). Distribusi ukuran diameter partikel nano pigmen yang diperoleh cukup luas, hal ini disebabkan oleh adanya agregasi partikel nano pigmen dan bahan pengisi, beberapa partikel nano pigmen dan bahan pengisi berinteraksi satu sama lain (Kim,et al. 2006). Upaya yang dapat dilakukan untuk menghomogenkan distribusi ukuran diameter partikel nano pigmen adalah dengan penambahan konsentrasi surfaktan, ultrasentrifugasi, dan penggunaan tekanan tinggi.
(b) (a) Gambar 3 .a) Serbuk pigmen dengan filter maltodekstrin 5%, b) Serbuk pigmen maltodekstrin 10%
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 191-196
194
partikel yang lebih kecil lebih cepat larut dalam air. Perbedaan konsentrasi filler yang digunakan juga berpengaruh terhadap warna yang dihasilkan oleh larutan pigmen ketika serbuk pigmen tersebut dilarutkan dalam media air. Larutan dari serbuk pigmen dengan penambahan maltodekstrin 5% memiliki intensitas warna merah yang lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan maltodekstrin 10% (Gambar 6). Warna putih pada maltodekstrin dapat menurunkan intensitas warna dari ekstrak pucuk daun jati muda.
Gambar 4. Grafik hasil pengukuran ekstrak dari Pucuk Daun Jati Muda dengan penambahan filler 5%
(a)
(b)
Gambar 6. Larutan dari serbuk pigmen dengan (a) maltodekstrin 5% dan (b) maltodekstrin 10%.
Gambar 5. Grafik hasil pengukuran ekstrak dari Pucuk Daun Jati Muda dengan penambahan filler 10%
5. Laju kelarutan serbuk pigmen Sebanyak 0.1 gr serbuk pigmen dengan penambahan maltodekstrin 5% setelah ditambahkan 3 ml aquadest membutuhkan waktu 37 detik oleh serbuk untuk larut dengan sempurna. Pada serbuk pigmen dengan penambahan maltodekstrin 10% setelah dilarutkan dalam aquadest membutuhkan waktu 52 detik untuk dapat larut dengan sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan filler dan konsentrasi filler berpengaruh terhadap kelarutan serbuk dalam media air. Selain itu, ukuran partikel serbuk juga memiliki pengaruh terhadap kelarutan dalam media air. Semakin kecil partikel serbuk tersebut, semakin mudah terdispersi dalam air karena ukuran partikel pada ukuran submikro atau nano dapat meningkatkan tingkat dispersi serbuk dalam air (Hoang, et.al 2011). Oleh karena hal tersebut, Serbuk pigmen dengan maltodekstrin 5% yang memiliki ukuran
KESIMPULAN Daun jati muda memiliki kandungan antosianin dan dapat diproduksi menjadi serbuk pigmen. Penambahan filler maltodekstrin 5% menghasilkan serbuk pigmen dengan tingkatan warna yang lebih tinggi, ukuran partikel serbuk yang lebih kecil dan kelarutan dalam air yang lebih cepat namun rendemen yang lebih rendah jika dibandingkan serbuk pigmen dengan penambahan filler maltodekstrin 10%. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui kadar antosianin di dalam pigmen dan juga aplikasi pigmen pada objek makanan, pupuk, dan lainnya sehingga proses optimasi bisa dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Anselman, R. 2001. Nanoparticles and nanolayers in commercial applications. 2001. Journal of Nanoparticle Research 3 : 329-336. Ariviani, S. 2010. Total antosianin ekstrak buah salam dan korelasinya dengan
Ekstraksi Dan Karakterisasi Serbuk Nano Pigmen…………Riahna br Kembaren dkk
195
kapasitas anti peroksidasi pada sistem linoelat. AGROINTEK 4(2) : 121-127. Ati, N.H., P. Rahayu, S. Notosoedarmo dan L. Limantara. 2006. Komposisi dan Kandungan Pigmen Tumbuhan Pewarna Pigmen Alami Tenun Ikat di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur.Indo. J. Chem. 6(3): 325-331. Ariviani, S. 2010. Total antosianin ekstrak Buah salam dan Korelasinya dengan kapasitas anti peroksidasi pada sistem linoelat. AGROINTEK 4:121-127. Hayati, S.N, H. Herdian, E. Damayanti, L. Istiqomah dan Julendra H. 2011. Profil asam amino ekstrak cacing tanah (LUMBRICUS RUBELLUS) Terenkapsulasi dengan metode spray drying. Jurnal Teknologi Indonesia 34: 1-7. Hoang, L. C., R. Fougere dan Y.Wache. 2011. Increase in stability and change in supramolecular structure of β-carotene through encapsulation into poly lactic acid nanoparticles. Food Chemistry 124: 42-49. Kim, D.G., Y.I. Jeong, C.Y. Choi, S. H.Roh, S.K. Kang, M.K. Jang and J.W. Nah. 2006.
Retinol-encapsulated low molecular water soluble chitosan nanoparticles. International Journal of Pharmaceutics 319: 130-138. Reis C.P., R.J. Neufeld, A.J. Ribeiro and F. Veiga. 2006. Nanoencapsulation I. Methods for preparing of drug loaded polymeric nanoprticles. Nanomedicine (2): 8-21 Sembiring, B. 2009. Pengaruh konsentrasi bahan pengisi dan cara pengeringan terhadap mutu ekstrak kering sambiloto. Bul. Littro 20(2): 173-181. Sozer, N , J.L. Kokini . 2009. Nanotechnology and its application in the food sector. Cell Press 27(2): 82-89. Tachaprutinum, A., T. Udomsup, C. Luadthong and S. Wanichwecharungruang. 2009. Preventing the thermal degradation of Astaxanthin through nanoencapsulation. International Journal of Pharmaceutics 374 : 119124. Yuan, J., S. Zhou, B. You and L. Wu . 2005. Organic pigment particles coated with collodial nano-silica particles via layerby-layer assembly. Chem. Mater. 17(14): 3587-3594.
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 191-196
196
SINTESIS BAHAN DASAR TIBIAL TRAY BERBASIS HDPE YANG DIPERKUAT DENGAN IRADIASI GAMMA (SYNTHESIS OF TIBIAL TRAY BASED ON HDPE REINFORCED BY GAMMA IRRADIATION) Sulistioso Giat S.1, Armi Wulanawati2, Deswita1 dan Sudirman1 1
Pusat Teknologi Bahan Industri – BATAN 2 Departemen Kimia – FMIPA IPB Email :
[email protected]
Received: 17 September 2013; Revised: 16 Desember 2013; Accepted: 19 Desember 2013
ABSTRAK Tibial tray yang sudah komersil dibuat dari Polimer Ultra High Molecular Weight Polyethylene (UHMWPE) tetapi harganya sangat mahal. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan polimer High Density Polyethylene (HDPE) untuk pembuatan tibial tray karena harganya yang lebih murah dan memiliki kemiripan sifat dengan UHMWPE. HDPE dibuat dengan dua metode, yaitu metode hot press dan pemanasan tanpa tekanan (PTT). UHMWPE dengan metode hot press digunakan sebagai pembanding. Metode hot press dilakukan pada suhu 180 °C dan diberi tekanan sebesar 200 kg/cm 2. Sedangkan metode pemanasan tanpa tekanan (PTT) dilakukan di dalam oven pada suhu 180°C. Film tipis UHMWPE dan sampel HDPE yang dihasilkan dari kedua metode tersebut, kemudian diiradiasi sinar gamma dengan variasi dosis 0, 100, 200, 300 dan 500 kGy. Karakterisasi mencakup analisis morfologi dengan Scanning Electron Microscope (SEM), uji kekerasan, kekuatan tarik, dan derajat kristalinitas. Semakin tinggi dosis radiasi, maka kekerasan dan derajat kristalinitas semakin meningkat, tetapi kekuatan tarik semakin menurun. Dosis radiasi untuk sampel HDPE yang optimum , adalah 100 kGy untuk HDPE yang dibuat dengan metoda hot press, pada kondisi ini HDPE mempunyai kekuatan mekanik mendekati nilai kekuatan mekanik UHMWPE, sedangkan HDPE yang dibuat dengan metode PTT kekuatan mekaniknya masih dibawah kekuatan mekanik HDPE yang dibuat dengan metoda hot press Kata kunci: Tibial tray, UHMWPE, HDPE, Hot press, Iradiasi sinar gamma. ABSTRACT Tibial tray that has been commercially made of Ultra High Molecular Weight Polyethylene (UHMWPE) but very expensive. Therefore, this study used High Density Polyethylene (HDPE) for tibial tray materials ,because HDPE more cheaper and have similar properties to UHMWPE. HDPE is made by two methods, the firstv methods is Hot press and the second method of heating without pressure (PTT), as a comparison is made UHMWPE by hot 2 press method. Hot press method performed at a temperature of 180 °C and pressure of 200 kg/cm . While the method of heating without pressure (PTT) is done in the oven at a temperature of 180°C. Thin-film samples of UHMWPE and HDPE samples from both methods, and then irradiated with gamma ray dose variation of 0 kGy, 100 kGy, 200 kGy, 300 kGy and 500 kGy. Characterization included analysis of morphology by SEM, hardness test, tensile test, and degree of crystallinity. The higher dose of radiation, then the hardness and the degree of crystallinity increases, but the tensile strength and decreases. Radiation dose to the optimum HDPE samples, is 100 kGy for HDPE made with hotpress method, in this condition the mechanical strength of HDPE has a value close to the mechanical strength of UHMWPE, while HDPE is made with PTT methods of mechanical strength is still below the mechanical strength of HDPE is prepared by the method Hotpress Key words: Tibial tray, UHMWPE, HDPE, Hot press, Gamma ray irradiation.
PENDAHULUAN Peradangan sendi lutut (osteoarthritis) merupakan penyakit yang sering menyerang orang-orang usia lanjut di atas 40 tahun baik laki-laki maupun perempuan sehingga perlu
adanya upaya untuk mengembalikan fungsi normal dari sendi tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan adalah operasi penggantian sendi lutut menggunakan sendi lutut tiruan
Sintesis Bahan Dasar Tibial Tray……………Sulistioso Giat S dkk
197
(Wang 2007). Operasi ini membutuhkan polimer sebagai komponen tibial tray. Tibial tray adalah salah satu komponen dari total sendi lutut tiruan. Komponen ini terdiri dari suatu bidang datar (tray) yang menjadi landasan tempurung lutut (knee cap) dan komponen pembatas antara permukaan tempurung lutut (knee cap) komponen tibial (Gambar 1) dan bahan yang digunakan sebagai tibial tray harus memiliki sifat kekuatan mekanik dan juga sebagai biomaterial. Sifat-sifat utama biomaterial adalah biokompatibel, tahan terhadap korosi, biofungsional, memiliki kemampuan proses, dan ketersediaan yang baik (Batista 2004) Material Ultra High Molecular Weight Polyethylene (UHMWPE) telah digunakan di bidang ortopedi sebagai tibial tray selama lebih dari 40 tahun. Telah banyak penelitian yang melaporkan pembuatan tibial tray dari UHMWPE dengan memodifikasi metode agar dapat meningkatkan ketahanan mekaniknya, di antaranya metode pemanasan dengan iradiasi sinar gamma atau dengan berkas elektron (electron beam) juga metode molding pressure tanpa iradiasi gamma (Wang 2007). Permukaan yang halus dari UHMWPE dapat menghasilkan gesekan yang rendah dengan material lain sehingga dapat meningkatkan ketahanan mekaniknya (Rosario dan Silva 2006) Berdasarkan data kekerasan, UHMWPE mempunyai kekerasan semakin meningkat seiring bertambahnya dosis iradiasi pada kisaran 0 kGy sampai dengan 500 kGy dengan nilai kekerasan 64-68 shore D. Selain faktor tersebut, pemberian tekanan dalam metode molding pressure dapat meningkatkan kekerasan UHMWPE (Wang 2007). Data penelitian lain menyatakan bahwa keausan UHMWPE hasil metode pemanasan dengan iradiasi sinar gamma akan menurun dengan kenaikan dosis radiasi tapi kekerasan semakin meningkat. Kemiripan sifat High Density Polyethylene (HDPE) dengan UHMWPE mengakibatkan perlunya modifikasi metode, seperti metode hot press dan metode pemanasan tanpa tekanan (PTT) dengan iradiasi sinar gamma terhadap permukaan HDPE agar HDPE dapat digunakan sebagai tibial tray. Dari hasil penelitian ini, diperoleh gambaran penggunaan HPDE dengan metode hot press dan metode pemanasan dapat digunakan sebagai pengganti UHMWPE untuk diaplikasikan sebagai tibial tray. Gambar 1 menunjukkan anatomi tibial tray yang merupakan bagian total sendi lutut tiruan.
Knee Cap
Tibial tray Komponen Tibial
Gambar 1. Sendi lutut tiruan total
BAHAN DAN METODE Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk UHMWPE dengan berat molekul 3 g/mol sampai dengan 6 juta g/mol dari Aldrich dan butiran HDPE produksi PT. Samsung. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah hot press, cold press, dumbel punch, mikrometer sekrup, alat uji kekuatan tarik, alat uji kekerasan Zwick shore A, Difraksi sinar-X (XRD), Scanning Electron Microscope (SEM), dan alat Iradiator Panorama Serbaguna (IPRASENA). Metode Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan, yaitu tahap pertama yang terdiri dari pembuatan film tibial tray dari UHMWPE dan HDPE dengan metode hot press dan metode pemanasan tanpa tekanan (PTT) , kemudian diiradiasi sinar gamma, serta dilakukan juga analisis mikrostrukturnya dengan SEM. Tahap kedua adalah pengujian sifat mekanik, meliputi uji kekerasan, kekuatan tarik, dan analisis fasa serta derajat kristalinitas dengan XRD. Pembuatan Film Tibial Tray. Metode Hot Press Cetakan berbentuk persegi dengan panjang sisi 20 cm dan tebal 0,5 mm digunakan. Kemudian serbuk UHMWPE sebanyak 12 gram diletakan di bagian tengah cetakan dan dimasukkan dalam alat tekanan panas dan dipanaskan dengan suhu tinggi sebesar 180 °C selama 3 menit. Kemudian 2 ditekan dengan tekanan sebesar 200 kg/cm dan dipertahankan selama 3 menit. Setelah itu, sampel dikeluarkan dari alat tekan panas dan
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 197-206
198
dimasukkan ke dalam alat tekan dingin selama 10 menit kemudian dikeluarkan dari wadah cetakan. Sampel berbentuk persegi tersebut dibuat sebanyak 7 buah. Sampel-sampel kemudian dicetak di alat pencetak dumbel sehingga berbentuk dumbel yang sesuai standar American Society for Testing and Materials (ASTM) D 1822 L sebanyak 25 buah film uji kekuatan tarik dan perpanjangan putus, dan ada juga yang dipotong berbentuk persegi dengan panjang sisi 3,5 cm sebanyak 60 buah film untuk uji kekerasan. Hal yang sama juga dilakukan terhadap film HDPE. Metode Pemanasan Tanpa Tekanan (PTT) Satu buah tabung kaca disiapkan lalu dilapisi dengan alumunium foil pada bagian bawah dan dalam tabung. Tabung tersebut diisi HDPE sebanyak 10 gram. Cetakan besar berbentuk kotak disiapkan kemudian dilapisi dengan alumunium foil hingga seluruh cetakan tertutup. Cetakan tersebut diisi sedikit demi sedikit secara merata dengan HDPE sebanyak 60 gram sehingga bagian dasar wadah tertutup. Tabung kaca dan wadah cetakan yang telah diisi HDPE dipanaskan di atas titik lelehnya pada suhu 180 °C selama 4 jam di dalam tanur. Setelah dipanaskan, sampel tersebut didinginkan secara perlahan pada suhu ruang sehingga sampel keras. Sampel yang berada di dalam tabung dipotong-potong berbentuk lingkaran berdiameter 3 cm sebanyak 5 bagian sehingga bobot masing-masing film sebesar 2 gram dengan tebal 6 mm untuk uji kekerasan. Sampel yang berada dalam wadah kotak dicetak dengan alat pencetak dumbel sehingga berbentuk dumbel yang sesuai standar ASTM D 1822 L sebanyak 25 buah film untuk uji kekuatan tarik dan perpanjangan putus. Iradiasi Sinar Gamma Film HDPE dan UHMWPE dimasukkan ke dalam ampul kemudian diiradiasi dengan sinar gamma (γ) dengan sumber yang berasal dari 60 isotop Co . Iradiasi dilakukan dalam media udara dengan alat Iradiator Panorama Serbaguna (IPRASENA) selama selang waktu dan jarak tertentu dari sumber radiasi. Ragam dosis yang digunakan dalam metode ini, yaitu 0 kGy, 100 kGy, 200 kGy, 300 kGy, dan 500 kGy. Analisis Struktur Mikro Permukaan dengan SEM Film HDPE atau UHMWPE dengan ukuran tertentu ditempelkan pada cell holder
kemudian dilapisi emas dalam keadaan vakum selama waktu dan kuat arus tertentu dengan ion coater. Setelah itu, film diamati dengan SEM pada tegangan tertentu. Gambar yang dihasilkan berupa gambar topografi dengan segala tonjolan, lekukan, dan lubang pada permukaan. Gambar tersebut dapat diamati di layar monitor dengan perbesaran tertentu. Uji Kekerasan (ASTM D2240) Ketebalan film diukur dengan mikrometer. Film diletakkan di atas meja atau tempat yang rata kemudian alat uji kekerasan Zwick shore A diletakkan di atas sampel. Lalu baja seberat 1 kg diletakkan di atas alat tersebut selama 15 detik kemudian diukur nilai kekerasannya. Besarnya nilai kekerasan ditentukan dari nilai skala yang ditunjuk oleh jarum yang bergerak dalam alat tersebut. Nilai skala uji kekerasan shore A berkisar antara 0 sampai dengan 100. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Nilai kekerasan shore A dikonversi ke dalam shore D. Uji Kekuatan Tarik dan Perpanjangan Putus (ASTM D1822-L) Film dibentuk dumbel dengan ukuran panjang sebesar 63,5 mm, lebar sebesar 10 mm, dan lebar bagian tengah dumbel sebesar 3 mm. Film diukur ketebalannya terlebih dahulu dengan mikrometer sekrup sebanyak 3 kali ulangan. Kemudian bagian tengah dumbel ditandai dengan dua titik yang berjarak 1 cm. Setelah itu, film dijepit diantara kedua pendulum dalam alat Toyoseiki. Tanda dua titik di bagian tengah dumbel dipastikan berada di tengah kedua pendulum tersebut untuk pengukuran perpanjangan putus. Kemudian sampel ditarik sampai putus dengan kecepatan konstan 100 mm/menit sehingga dapat diketahui besarnya gaya maksimum dan panjang sampel saat putus. Pengukuran dilakukan sebanyak lima kali ulangan. Kekuatan tarik dan persentase perpanjangan putus dihitung menggunakan Persamaan 1 dan Persamaan 2.
=
.............................................................(1)
Keterangan: 2 = kekuatan tarik (kg/cm ) = gaya maksimun (kg) 2 = luas penampang sampel (cm ) = × 0,3 ̅ = rataan ketebalan sampel (cm)
Sintesis Bahan Dasar Tibial Tray……………Sulistioso Giat S dkk
199
% =
∆
×
% ........................................(2)
Keterangan: % = persentase perpanjangan putus (%) ∆ = pertambahan panjang sampel (cm) = (cm) – (cm) = panjang sampel saat putus (cm) = panjang sampel awal (cm) Analisis Derajat Kristalinitas dengan XRD Film HDPE atau UHMWPE dengan ukuran tertentu ditempelkan pada spesimen holder XRD dengan perekat ganda yang kemudian diletakkan pada goniometer dan dirotasikan pada sudut (2θ) 15° sampai dengan 30° selama waktu tertentu. Hasil yang diperoleh berupa difraktogram dan dapat diamati di layar monitor. Derajat kristalinitas dapat ditentukan dari difraktogram melalui Persamaan 3.
=
×
% ..………....(3) Keterangan: = derajat kristalinitas (%) 2 = luas daerah kristalin (cm ) 2 = luas daerah amorf (cm )
HASIL dan PEMBAHASAN Tibial tray UHMWPE dan HDPE yang dihasilkan dari kedua metode menunjukkan ciriciri fisik permukaan yang berbeda. Ada perbedaan warna yang mencolok pada kedua polimer tersebut sebelum dan sesudah diiradiasi sinar gamma. HDPE hasil metode pemanasan dan hot press sebelum diiradiasi berwarna putih pekat, sedangkan UHMWPE hasil metode hot press berwarna putih yang sedikit transparan. Setelah diiradiasi, warna UHMWPE dan HDPE berubah menjadi warna coklat. Warna coklat pada UHMWPE masih sedikit transparan dan tidak pekat, seperti HDPE. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa HDPE mempunyai sifat tahan terhadap suhu, keras, buram, dan kurang tembus cahaya (Sulchan dan Endang 2007). Oleh karena itu, HDPE memiliki warna yang lebih pekat dibandingkan dengan UHMWPE baik sebelum maupun sesudah diiradiasi.
Iradiasi sinar gamma mengubah sifat-sifat fisik permukaan polimer secara signifikan baik warna maupun struktur permukaannya. Iradiasi ini menyebabkan molekul yang tereksitasi akan terdisosiasi menjadi radikal bebas, yaitu spesi reaktif yang berperan pada terjadinya degradasi dan ikatan silang ketika polimer dipapari dengan radiasi gamma. Pembentukan radikal bebas menjadi sumber terjadinya perubahan struktur kimia dan perubahan sifat-sifat polimer. Perubahan warna polimer dari putih menjadi coklat menunjukkan adanya ikatan silang dan degradasi. Warna coklat pada HDPE hasil metode hot press lebih pekat dibandingkan dengan UHMWPE karena HDPE lebih mudah mengalami degradasi. Degradasi pada HDPE tersebut diperkuat dengan adanya perubahan struktur permukaan yang signifikan pada dosis 0 kGy dan 500 kGy. Scanning Electron Microscope (SEM) digunakan untuk mengamati perubahan struktur dari permukaan polimer akibat iradiasi sinar gamma. HDPE hasil metode hot press pada dosis 0 kGy terlihat kasar karena masih terdapat banyak butiran di permukaan (Gambar 2a), sedangkan pada dosis 500 kGy butiran-butiran sedikit berkurang (Gambar 2b). Perubahan yang sama juga terjadi pada HDPE hasil metode pemanasan, tetapi butiran yang terdapat di permukaan pada dosis 0 kGy dan 500 kGy masih lebih banyak. Permukaan UHMWPE pada dosis 0 kGy tampak halus dan licin dibandingkan dengan HDPE, tetapi masih terlihat adanya sedikit butiran (Gambar 3a). Seiring bertambahnya dosis iradiasi, maka butiran pada permukaan UHMWPE yang diberi dosis 500 kGy sangat sedikit, juga terlihat lebih halus dan licin (Gambar 3b). Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa permukaan yang licin dan halus dari UHMWPE dapat menghasilkan gesekan yang rendah dengan material lain sehingga dapat meningkatkan ketahanan mekaniknya. Butiran yang terdapat di permukaan menunjukkan adanya sisa gelembung udara yang terjebak di dalam polimer akibat proses pemanasan pada suhu tinggi (Ivanov 1992). Metode hot press adalah metode kompaksi yang dilakukan pada suhu tinggi untuk menghasilkan suatu proses pemadatan polimer yang sempurna (Rusianto 2009). Metode pemanasan merupakan metode yang dilakukan pada suhu tinggi, tetapi tidak diberi tekanan.
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 197-206
200
Gambar 2. Hasil SEM permukaan HDPE metode hot press perbesaran 1000 kali pada dosis 0 kGy (a) dan 500 kGy (b)
Gambar 3. Hasil SEM permukaan UHMWPE metode hot press perbesaran 500 kali pada dosis 0 kGy(a) dan 500 kGy (b)
Pemberian tekanan sebesar 200 kg/cm2 pada metode hot press setelah pemanasan yang tidak berlangsung lama menyebabkan
pemanasan menjadi merata ke seluruh bagian UHMWPE sehingga sangat sedikit gelembung udara yang terjebak di dalamnya dibandingkan dengan HDPE. Hal ini berbeda pada metode pemanasan karena pada metode tersebut, pemanasan yang berlangsung lama di dalam tanur masih kurang merata ke seluruh bagian HDPE sehingga gelembung udara yang terjebak masih banyak. Oleh karena itu, butiran pada permukaan HDPE hasil metode pemanasan lebih banyak dibandingkan dengan butiran HDPE dan UHMWPE yang dihasilkan dari metode hot press. Pada metode pemanasan, terjadi gelembung udara yang terjebak didalam polimer HDPE. Gelembung udara dapat berperan sebagai penangkap radikal bebas saat iradiasi sehingga menghambat terbentuknya ikatan silang. Selain itu, proses iradiasi sinar gamma yang berlangsung dalam media udara juga semakin memicu terbentuknya degradasi karena oksigen juga dapat menghambat terbentuknya ikatan silang dengan cepat. Gambar 4 menunjukkan proses degradasi yang terjadi dalam media udara saat diiradiasi gamma. UHMWPE yang dihasilkan dari metode hot press memiliki gelembung udara terjebak yang sangat sedikit sehingga lebih dominan untuk membentuk ikatan silang (Gambar 5). HDPE hasil metode hot press juga membentuk ikatan silang, seperti pada UHMWPE, tetapi ikatan silang yang terbentuk sangat sedikit. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya gelembung udara yang terjebak pada HDPE sehingga semakin tinggi dosis iradiasi yang diberikan, maka semakin berkurang ikatan silang yang terbentuk dan lebih mudah terdegradasi dibandingkan UHMWPE. Kekerasan adalah ketahanan suatu material terhadap gaya penekanan dari material lain yang lebih keras. Penekanan tersebut dapat berupa mekanisme penggoresan, pantulan, dan indentasi dari material keras terhadap suatu permukaan benda uji (Yuwono 2009). Kekerasan merupakan salah satu sifat bahan yang sangat penting dan sudah sering digunakan sebagai indikator untuk ketahanan aus polimer (Wang 2007). Pengukuran kekerasan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kekerasan dengan meningkatnya dosis iradiasi baik pada UHMWPE maupun HDPE dan nilai kekerasan yang dihasilkan UHMWPE lebih besar dibandingkan dengan HDPE (Gambar 6). Lampiran 2 menunjukkan perhitungan nilai kekerasan UHMWPE dan HDPE dari kedua metode.
Sintesis Bahan Dasar Tibial Tray……………Sulistioso Giat S dkk
201
Nilai kekerasan UHMWPE berada pada kisaran 45.36-46.39 shore D dan nilai tersebut mendekati hasil penelitian sebelumnya bahwa nilai kekerasan UHMWPE semakin tinggi seiring bertambahnya dosis iradiasi dan berada pada kisaran 64-68 shore D (Rosario and Silva 2006). Nilai kekerasan UHMWPE yang lebih besar dibandingkan dengan HDPE disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktornya adalah ikatan silang. Ikatan silang yang terbentuk di fase amorf UHMWPE cukup banyak sehingga UHMWPE lebih kuat dalam mempertahankan ikatan silang yang terbentuk dengan stabil agar tidak cepat berkurang atau terdegradasi, sedangkan HDPE hasil metode hot press tidak cukup kuat dalam mempertahankan ikatan silang yang terbentuk sangat sedikit di fase amorf. HDPE hasil metode pemanasan memiliki nilai kekerasan yang paling kecil karena HDPE tersebut tidak terbentuk ikatan silang dan sangat mudah terdegradasi pada kisaran dosis yang digunakan.
Gambar 4. Pemutusan rantai atau degradasi (Kim dan Nho 2009)
Gambar 5. Pembentukan ikatan silang (Kim dan Nho 2009)
Gambar 6. Nilai kekerasan dari UHMWPE dan HDPE. = UHMWPE, = HDPE, (+) metode hot press, dan (-) metode pemanasan
Berat molekul juga mempengaruhi nilai kekerasan UHMWPE dan HDPE. Berat molekul yang sangat tinggi pada UHMWPE menyebabkan ikatan silang yang terbentuk di fase amorf lebih banyak sehingga rantai polimer juga lebih panjang, sedangkan berat molekul HDPE yang lebih kecil dari UHMWPE menyebabkan ikatan silang yang terbentuk dari hasil metode hot press sangat sedikit sehingga rantai polimer lebih pendek dan pada HDPE metode pemanasan tidak terbentuk ikatan silang sehingga rantai polimernya sangat pendek.. Oleh karena itu, terbentuknya rantai polimer yang panjang pada UHMWPE membuktikan bahwa nilai kekerasan UHMWPE lebih besar dan lebih kuat dalam mempertahankan wilayah ikatan silang dibandingkan dengan HDPE. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa metode molding pressure dapat mengurangi koefisien gesekan dan meningkatkan kekerasan dalam UHMWPE. Namun, kekerasan HDPE hasil metode hot press masih mendekati dengan kekerasan UHMWPE. Kekerasan UHMWPE dan HDPE meningkat seiring bertambahnya dosis iradiasi karena polimer tersebut juga mengalami degradasi. Kenaikan kekerasan yang tidak signifikan disebabkan oleh proses degradasi berlangsung secara perlahan pada kisaran dosis 100 kGy sampai dengan 500 kGy. Kenaikan kekerasan yang tidak signifikan juga menyebabkan derajat kristalinitas kedua polimer meningkat tidak signifikan. Derajat kristalinitas adalah derajat kemungkinan terbentuknya
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 197-206
202
susunan kristal dalam bentuk rantai (Bambang 2011). Kristalinitas merupakan sifat penting pada polimer yang menunjukkan ikatan antar rantai molekul. Sifat kristalinitas yang tinggi menyebabkan tegangan yang tinggi dan kaku (Agusnar 2004). Difraksi sinar-X (XRD) digunakan untuk menentukan derajat kristalinitas polimer. Polimer UHMWPE dan HDPE merupakan jenis polimer semikristalin sehingga ada dua jenis puncak yang terlihat dalam difraktogram hasil XRD, yaitu puncak yang tajam dan puncak yang lebar. Puncak yang tajam menggambarkan daerah kristalin, sedangkan puncak yang lebar menggambarkan daerah amorf. Semakin berkurangnya intensitas daerah amorf, maka semakin besar derajat kristalinitasnya. Difraktogram hasil XRD menunjukkan pola difraksi yang sama baik UHMWPE maupun HDPE dari kedua metode. Peningkatan derajat kristalinitas tidak signifikan seiring
bertambahnya dosis iradiasi pada kisaran 100 kGy sampai dengan 500 kGy. Persentase derajat kristalinitas UHMWPE metode hot press pada dosis 0 kGy sebesar 52,07% (Gambar 7(a)), sedangkan pada 500 kGy sebesar 59,70% (Gambar 7(b)). Banyaknya ikatan silang pada daerah amorf UHMWPE membuat intensitas daerah amorf masih lebih tinggi dan memiliki puncak yang lebih lebar dari HDPE sehingga nilai kekerasannya lebih besar dan derajat kristalinitasnya lebih kecil dibandingkan dengan HDPE dari kedua metode. Persentase derajat kristalinitas HDPE hasil metode hot press semakin meningkat dan lebih besar dari UHMWPE, yaitu 67,11% pada dosis 0 kGy (Gambar 8(a)) dan 68,75% pada dosis 500 kGy (Gambar 8(b)). Kenaikan derajat kristalinitas juga terjadi pada HDPE hasil metode pemanasan dan memiliki nilai paling besar, yaitu 69,96% pada dosis 0 kGy (Gambar 9(a)) dan 79,15% pada dosis 500 kGy (Gambar 9(b)).
Gambar 7. Difraktogram UHMWPE metode hot press dan iradiasi 0 kGy (a) dan 500 kGy (b).
Gambar 8. Difraktogram HDPE metode hot press dan iradiasi 0 kGy (a) dan 500 kGy (b).
Sintesis Bahan Dasar Tibial Tray……………Sulistioso Giat S dkk
203
Gambar 9.
Difraktogram HDPE metode pemanasan dan iradiasi 0kGy (a) dan 500 kGy (b)
Derajat kristalinitas HDPE hasil metode pemanasan memiliki persentase yang paling besar dibandingkan dengan UHMWPE. HDPE hasil metode hot press nilai kekerasannya paling kecil dengan daerah amorf sangat sedikit sehingga sangat mudah terdegradasi. Degradasi akibat energi sinar gamma yang sangat besar tidak hanya menyerang atau memutuskan ikatan C-C di daerah kristalin saja, melainkan juga memutuskan ikatan C-C di daerah amorf. Dengan demikian, daerah amorf lebih cepat berkurang dan cepat menjadi kristalin. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa semakin tinggi dosis radiasi, maka semakin tinggi derajat kristalinitasnya (Kim and Nho 2009). Selain itu, faktor jenis ikatan dan struktur rantai juga mempengaruhi kristalinitas polimer (Agusnar 2004). Rantai polimer yang sangat pendek pada HDPE hasil metode pemanasan menyebabkan semakin cepat polimer tersebut menjadi kristalin dibandingkan dengan HDPE dan UHMWPE hasil metode hot press Uji tarik suatu bahan dapat memberikan informasi mengenai sifat mekanik, seperti kuat tarik dan perpanjangan putus. Patahan sampel hasil uji tarik ada dua macam, yaitu perpatahan ulet dan getas (Yuwono 2009). Uji kuat tarik menunjukkan bahwa terjadi penurunan kuat tarik dengan meningkatnya dosis iradiasi baik UHMWPE maupun HDPE dari kedua metode. Semakin tinggi dosis iradiasi sinar gamma, maka semakin menurun nilai kuat tariknya. Berat molekul juga mempengaruhi kekuatan tarik dan perpanjangan putus pada polimer (Egen dan Zentel 2004). Berat molekul yang sangat besar pada UHMWPE
menyebabkan rantai polimer hasil iradiasi sinar gamma menjadi lebih panjang. Berat molekul HDPE yang lebih kecil mengakibatkan rantai polimer HDPE lebih pendek dari UHMWPE, namun rantai polimer HDPE hasil metode pemanasan masih lebih pendek dari HDPE hasil metode hot press. Rantai polimer yang panjang dari UHMWPE menyebabkan nilai kuat tariknya lebih besar dari HDPE hasil metode hot press dan rantai polimer HDPE hasil metode pemanasan yang sangat pendek menyebabkan nilai kuat tariknya paling kecil (Gambar 10). Seiring meningkatnya dosis iradiasi, maka rantai polimer semakin lama semakin pendek karena adanya degradasi sehingga nilai kekuatan tariknya semakin lama semakin menurun. Penurunan kuat tarik terjadi secara tidak signifikan karena kenaikan kekerasan dan derajat kristalinitas juga tidak signifikan, serta degradasi terjadi secara perlahan pada kisaran dosis yang digunakan. Pengukuran persentase perpanjangan putus juga menunjukkan hal yang sama, yaitu semakin meningkatnya dosis iradiasi yang diberikan, maka semakin berkurang persentase perpanjangan putusnya dan polimer semakin getas. UHMWPE getas pada dosis 500 kGy, HDPE hasil metode hot press mulai getas pada dosis 200 kGy, dan HDPE hasil metode pemanasan mulai getas pada dosis 100 kGy (Gambar 11). Terjadinya kegetasan dapat dilihat dari persentase perpanjangan putus yang bernilai 0%. Berdasarkan hasil tersebut, UHMWPE mengalami perpatahan ulet sehingga lebih kuat dan tangguh, serta tidak mudah getas dibandingkan dengan HDPE.
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 197-206
204
memiliki nilai kuat tarik paling kecil sehingga HDPE tersebut sangat mudah getas. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahawa semakin kecil kekuatan tarik dan perpanjangan putusnya, maka polimer semakin getas seiring bertambahnya dosis iradiasi. KESIMPULAN
Gambar 10. Nilai kekuatan tarik A = UHMWPE, = HDPE, (-) metode hot press, dan (-) metode pemanasan.
Gambar 11. Nilai persentase perpanjangan putus. = UHMWPE, = HDPE, (-) metode hot press, dan (-) metode pemanasan.
Persentase perpanjangan putus yang diperoleh UHMWPE menurun dari 350 ke 0 % pada kisaran dosis 0 kGy sampai dengan 500. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan Penelitiuan sebelumnya bahwa persentase perpanjangan putus UHMWPE menurun dari 248 ke 30% pada kisaran dosis radiasi 0 kGy sampai dengan 500 kGy sehingga kekuatan tariknya juga menurun. Ikatan silang yang cukup banyak dimiliki oleh UHMWPE menyebabkan polimer tersebut lebih kuat dalam mempertahankan kuat tarik dengan stabil sehingga tidak cepat terdegradasi dan menjadi kristalin. Oleh karena itu, UHMWPE mulai getas pada dosis 500 kGy. Hal ini berbeda dengan HDPE dari kedua metode. HDPE hasil metode hot press memiliki ikatan silang yang sangat sedikit sehingga HDPE hasil metode ini kurang kuat dalam mempertahankan kuat tarik dan mulai getas pada dosis 200 kGy. HDPE hasil metode pemanasan tidak terbentuk ikatan silang dan sangat kristalin. Kristalinitas yang tinggi menyebabkan HDPE hasil metode pemanasan
Modifikasi permukaan polimer UHMWPE dengan metode hot press dengan iradiasi sinar gamma lebih baik dalam meningkatkan ketahananan mekanik tibial tray dibandingkan dengan HDPE dengan metode hot press maupun metode pemanasan. Polimer HDPE yang dihasilkan dari metode hot press berhasil mempertahankan ikatan silang yang terbentuk dan meningkatkan ketahanan mekanik tibial tray pada dosis iradiasi optimum 100 kGy, sedangkan polimer HDPE yang dibuat dengan metode pemanasan menunjukkan hasil yang tidak direkomendasi untuk digunakan. Nilai ketahanan mekanik HDPE hasil metode hot press yang mendekati UHMWPE membuat HDPE dapat digunakan sebagai tibial tray dengan metode tersebut. DAFTAR PUSTAKA Agusnar,
H. 2004. Penentuan derajat kristalinitas larutan kitin dengan variasi waktu penyimpanan menggunakan difraksi sinar-x (XRD). Sains Kimia 8: 43-45. American Society for Testing and Materials. 2010. ASTM Standard: D1822-06: Tensile-Impact Energy to Break Plastics and Electrical Insulating Materials. Philadelphia. American Society for Testing and Materials. 2010. ASTM Standard: D2240-05: Rubber Property-Durometer Hardness. Philadelphia. Bambang, E. 2011. Pengaruh variasi temperatur pada proses plastic injection molding jenis RN. 350 dengan bahan baku polypropylene murni, campuran polypropylene, polyethylene, dan polystyrene. Skripsi. Universitas Sumatera Utara, Medan. Indonesia. Batista, G., M. Ibarra, J. Ortiz, and M.Villegas. 2004. Engineering biomechanics of knee replacement. Engineering Mechanics 1: 1-12. Egen, M. and Zentel R. 2004. Surfactant-free emulsion polymerization of various methacrylates; towards monodisperse
Sintesis Bahan Dasar Tibial Tray……………Sulistioso Giat S dkk
205
colloids for polymer opals. Macromolecule Chemistry Physical 205: 1479-1488. Kim, S and Nho Y.C. 2009. Controlling of Degradation Effects in Radiation Processing of Polymers. Wina : IAEA Pr. Rosario, S.C. and Silva L.G.A. 2006. Characterization of the virgin and recycled ultra high molecular weight polyethylene irradiated [thesis]. Brazil: Cidade University.
Rusianto, T. 2009. Hot pressing metalurgi serbuk alumunium dengan variasi suhu pemanasan. Teknologi 2: 89-95. Sulchan, M. dan Endang N.W. 2007. Keamanan pangan kemasan plastik dan Styrofoam Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang. Indonesia. Wang, S.G. 2007. The mechanical property and tribological behavior of UHMWPE: effect of molding pressure. Wear 263: 949-956. Yuwono, A.H. 2009. Karakterisasi Material Pengujian Merusak (Destructive Testing). Jakarta: UI Pr.
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 197-206
206
FOTODEGRADASI (DEGRADASI ABIOTIK) KANTONG PLASTIK POLIETILENA YANG MENGANDUNG ADITIF OXO-DEGRADABLE (PHOTODEGRADATION (ABIOTIC DEGRADATION) OF POLYETHYLENE BAG CONTAINING OXO-DEGRADABLE ADDITIVES) Arie Listyarini dan Wiwik Pudjiastuti Balai Besar Kimia dan Kemasan Kementerian Perindustrian Jakarta E-mail :
[email protected] Received : 28 Maret 2014; Revised : 02 April 2014; Accepted : 10 April 2014
ABSTRAK Penelitian fotodegradasi kantong polietilena (PE) yang mengandung aditif oxo-degradable dilakukan karena begitu maraknya kantong plastik polietilena yang diklaim dapat terdegradasi dengan cahaya di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fotodegradasi plastik oxo yang ditemukan di supermarket atau pasar lokal di Indonesia dan dibandingkan dengan plastik PE tanpa aditif oxo. Plastik oxo didegradasi dalam UV chamber o 2 ATLAS pada suhu 50 C dengan kontrol iradiasi 0,78 ± 0,02 W/m .nm pada panjang gelombang lampu UV 340 nm sesuai ASTM D 5208. Perubahan sifat fisik yaitu nilai kuat tarik dan elongasi saat putus diperiksa pada rentang waktu 0 jam sampai dengan 250 jam. Perubahan struktur kimia diperiksa dengan Fourier Transform Infra Red (FT-IR) dan dibandingkan struktur sebelum dan sesudah diberikan paparan iradiasi sinar UV. Rata-rata plastik yang mengandung aditif oxo-degradable mencapai nilai elongasi saat putus kurang dari 5% setelah dipapar sinar UV selama 120 jam sampai dengan 140 jam. Hasil penelitian menunjukkan nilai elongasi saat putus merupakan parameter yang paling sensitif dalam fotodegradasi ini. Nilai kuat tarik turun sebanding dengan lama paparan sinar UV. Spektrum keton karbonil dan ester karbonil ditemukan pada spektrum FT-IR plastik oxo setelah diberi paparan UV 250 jam. Kata kunci: Fotodegradasi, Plastik oxo-degradable, Polietilena (PE), UV Chamber ATLAS, Sifat fisik
ABSTRACT Research on photodegradation of polyethylene bags containing oxo degradable additives is being done because of its widespread use by supermarket and local shops in Indonesia, and the cleaim that it can be degraded by light. The aim of this research is to assess the photodegradation of oxo-plastic which was found in local shop in Indonesia and compared with PE without oxo-degradable additives. Degrradation of oxo-plastic was investigated 2 using ATLAS UV chamber at 50 °C with control irradiance at 0.78 ± 0.02 W/m at 340 nm as per ASTM D 5208. The physical properties changes, such as tensile strength and elongation at break, were determined by universal testing machine at UV exposure for 0 hour to 250 hours until it was brittle or can not be determined anymore. The structural changes before and after UV exposure was determined by FT-IR. The results showed that polyethylene film containing oxo-degradable additives reach less than 5% elongation at break after 120 hours to 140 hours UV exposure. Experimental results showed that elongation at break was the most sensitive parameter to the fotodegradation. Tensile strengths value decreased by increasing time of UV exposure. Spectrum of carbonyl ketones and carbonyl esters was found in FT-IR spectrum of oxo-plastic after 250 hours of UV exposure. Key words: Photodegradation, Oxo-plastic, Polyethylene (PE), ATLAS UV Chamber, Physical properties
PENDAHULUAN Penggunaan produk-produk plastik terutama dari poliolefin sebagai kemasan sekali pakai meningkat siginifikan pada saat ini karena sifat mekanik yang baik, ringan, dan dapat dipakai berulang kali. Seiring meningkatnya kebutuhan plastik, masalah sampah juga
meningkat karena poliolefin tidak mudah terurai pada kondisi lingkungan alami. Pengolahan sampah tradisional termasuk daur ulang, insinerasi, dan pemendaman digunakan untuk mengatasi sampah plastik ini. Salah satu jenis poliolefin yang dapat didegradasi adalah
Fotodegradasi (Degradasi Abiotik)……………Arie Listyarini dan Wiwik Pudjistuti
207
poliolefin dengan aditif oxo-degradable (Ammala et al. 2011). Saat ini, hampir semua pusat grosir, supermarket atau toko menggunakan kantong plastik PE oxo-degradable sebagai kantong belanja. Penambahan aditif oxo-degradable pada pembuatan kantong plastik PE membuat kantong plastik ini diklaim sebagai plastik oxodegradable yang dapat hancur dengan paparan cahaya. Beberapa produsen plastik oxodegradable mengklaim setelah dua tahun, plastik akan terurai sebanyak 90 %. Kehadiran plastik oxo-degradable pada pasar Indonesia membawa wacana baru masyarakat tentang plastik biodegradable. Teknologi pembuatan plastik oxodegradable ini sebenarnya bukan teknologi baru tetapi kehadirannya pertama kali pada tahun 80an masih diragukan (Davis 2006), dan dipertanyakan tentang potensi toksisitas dari aditifnya dan kemungkinan efek negatif pada proses daur ulang polimer konvensional (Kyrikou et al. 2007; Roy et al. 2011). Penambahan aditif oxo-degradable diharapkan plastik PE akan mudah dihancurkan dengan adanya cahaya. Oleh sebab itu dilakukan penelitian degradasi plastik PE oxodegradable dengan menggunakan iradiasi UV dalam UV chamber ATLAS sebagai akselerasi kondisi sinar dan panas lingkungan dan dibandingkan dengan plastik PE konvensional tanpa penambahan aditif oxo-degradable. BAHAN DAN METODE Bahan Pada penelitian ini digunakan tiga buah kantong plastik dengan aditif oxo-degradable dari tiga produsen yang berbeda di Indonesia dan kantong belanja plastik PE konvensional tanpa penambahan aditif oxo-degradable. Metode Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut: a. Paparan iradiasi sinar UV dalam UV chamber ATLAS Kantong plastik PE oxo-degradable dengan kantong plastik PE konvensional dipotong berbentuk persegi panjang dengan ukuran 25 cm x 7,5 cm sehingga dapat dimasukkan ke dalam tempat sampel chamber ATLAS UV 2000. Ketebalan masing-masing kantong plastik dicari yang seragam yaitu sekitar 18 µm. Kondisi paparan adalah pada suhu 50 oC 2 dengan iradiasi sebesar 0,78 ± 0,02 W/m .nm dan menggunakan lampu UV dengan panjang
gelombang 340 nm. Siklus paparan dalam penelitian ini adalah 20 jam lampu UV dan 4 jam kondensasi. Lama maksimal paparan adalah 250 jam sesuai dengan ASTM D 5208. b. Karakterisasi Masing-masing sampel diperiksa kuat tarik dan elongasi saat putus dengan Universal Testing Machine (UTM) Strograph-M1 Toyoseiki o pada kondisi pengujian 23 ± 2 C RH 50 ± 5% sesuai American Society for Testing and Materials (ASTM) D 882 dengan variasi waktu paparan UV 0, 24, 48, 72, 144, 168 dan 192 dan 250 jam. Struktur kimia sampel sebelum paparan UV dan perubahan sesudah paparan UV diperiksa dengan Fourier Transform Infra Red (FT-IR) Agilent Cary 600. HASIL DAN PEMBAHASAN Kantong plastik dengan label oxodegradable dipaparkan dengan sinar UV iradiasi 0,78 ± 0,02 W/m2.nm dan suhu 50 oC menunjukkan penurunan nilai kuat tarik seperti halnya penurunan elongasi saat putus diperlihatkan pada Gambar 1. Nilai elongasi karena penurunannya yang signifikan menjadi parameter yang paling sensitif untuk degradasi dengan iradiasi UV. Hasil ini, yang juga diamati oleh Jeon et al. (2014) adalah karakteristik dari degradasi polimer yang tidak hanya dengan iradiasi UV tetapi juga dengan iradiasi gamma (Yashchuk et al. 2012). Penurunan elongasi saat putus berbagai plastik oxo-degradable yang digambarkan pada Gambar 2. Pada Gambar 2 ini diperoleh dua perbedaan profil degradasi yang teramati. Sampel A menunjukkan peningkatan elongasi saat putus selama 48 jam perlakuan yang diamati, diikuti dengan penurunan elongasi saat putus yang cepat. Hal ini dapat disebabkan karena adanya plastisisasi yang diberikan oleh rantai-rantai berat molekul rendah yang dihasilkan pada tahap pertama fotodegradasi atau degradasi abiotik ini (Yashchuk et al. 2012). Di sisi lain, sampel lain memiliki penurunan yang dramatis walaupun dengan dosis rendah sinar UV. Hal ini sangat berbeda oleh karena perbedaan sifat fisika-kimia dalam material kantong belanja plastik tersebut. Nilai elongasi semua sampel plastik oxo-degradable mencapai nilai kurang dari 5% setelah diberi paparan iradiasi UV sekitar 120 jam. Menurut ASTM D 3826, suatu plastik disebut polietilena fotodegradable bila nilai elongasinya kurang dari 5 % setelah diberi paparan iradiasi UV selama 250 jam.
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 207-214
208
550
520
Elongasi (%), Kuat tarik (kgf/cm2)
500
468 elongasi saat putus
450
kuat tarik
400 350 300 250
209
200
181
150
108
101
80,1
100 50
19,4
6,57
4,86
68,6 3,29
65,7 2,62
57,6 2,12
0 0
24
48
72
120
144
168
192
Waktu irradiasi UV (jam)
Elongasi saat putus (%)
Gambar 1. Degradasi mekanik/fisik dari plastik oxo-degradable dari pusat grosir (sampel A) Indonesia setelah iradiasi UV pada 0,78 ± 0,02 W/m2.nm, 50 oC 700
sampel A
600
sampel B sampel C
500
PE konvensional 400 300 200 100 0 -100
0
100
200
300
Waktu irradiasi UV (jam)
Gambar 2. Elongasi saat putus vs waktu iradiasi UV pada 0,78 ± 0,02 W/m2.nm, 50 oC. untuk beberapa kantong plastik oxo-degradable pasar lokal Indonesia
Karena semua sampel yang diperiksa kecuali untuk kantong belanja plastik PE konvensional setelah waktu paparan iradiasi selama 120 jam telah mencapai elongasi < 5 % maka dapat dikatakan sebagai polietilena fotodegradable. Untuk kantong plastik PE konvensional nilai elongasi setelah diiradiasi UV selama 250 jam mengalami penurunan hanya 50 % dari nilai awalnya yaitu dari 552 % menjadi 217 %. Perbandingan nilai kuat tarik dari semua sampel kantong plastik dapat dilihat pada Gambar 3. Nilai kuat tarik rata-rata semua sampel baik sampel A, B, dan C yang diuji mengalami penurunan sekitar 30 % dari nilai awal ketika nilai elongasi plastik sudah kurang
dari 5 % atau rapuh. Profil yang didapatkan pada penurunan kuat tarik kantong belanja plastik oxo-degradable hampir sama semua yaitu mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya waktu iradiasi sinar UV. Penurunan kuat tarik ini tidak sesignifikan penurunan nilai elongasi saat putus. Seperti halnya penurunan nilai elongasi saat putus, sampel kantong belanja plastik PE konvensional mengalami penurunan yang lebih rendah dibandingkan dengan penurunan nilai kuat tarik plastik oxo-degradable. Plastik seperti pada Gambar 4 a dan 4 b bisa dilihat kenampakkan menjadi rapuh atau brittle ketika mendapat paparan iradiasi UV sampai 250 jam.
Fotodegradasi (Degradasi Abiotik)……………Arie Listyarini dan Wiwik Pudjistuti
209
2
o
Gambar 3. Kuat tarik vs. waktu iradiasi UV pada 0,78 ± 0,02 W/m .nm, 50 C. untuk beberapa kantong plastik oxo-degradable pasar lokal Indonesia
(b)
(a)
Gambar 4. (a) Visual kantong plastik oxo-degradable sebelum diiradiasi UV dan (b) sesudah iradiasi UV pada 2 o 0,78 ± 0,02 W/m .nm, 50 C selama 250 jam
Perubahan struktur kimia yang terjadi selama degradasi dipelajari dengan menggunakan spektrum FT-IR. Untuk mengetahui perbandingan spektrum FT-IR digunakan kantong belanja plastik PE konvensional dan kantong plastik oxodegradable dari produsen yang sama. Spektrum kedua sampel tersebut sebelum diberikan iiradiasi UV dapat dilihat pada Gambar 5 a dan 5 b. Puncak-puncak pada kedua spektrum kantong belanja plastik menunjukkan gugusgugus yang ada pada struktur kimia sampel tersebut. Karena berbahan dasar sama ditemukan puncak yang sama di antara keduanya yaitu pada daerah bilangan -1 gelombang sekitar 2900 cm sampai dengan -1 2800 cm yang merupakan daerah C-H yang ditunjukkan kembali pada puncak yang terjadi di
-1
bilangan gelombang sekitar 1430 cm sampai -1 dengan 1465 cm . Puncak-puncak pada spektrum secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1. Perbedaan yang diperoleh pada spektrum terdapat pada puncak di bilangan gelombang -1 -1 1795 cm dan 875 cm . Kedua puncak ini dihasilkan karena adanya penambahan aditif oxo-degradable pada proses pembuatan kantong belanja plastik sehingga ditemukan pada spektrum kantong belanja plastik oxodegradable sedangkan di kantong belanja plastik PE konvensional tidak ditemukan. Puncak pada bilangan gelombang 1795 cm-1 diperkirakan adalah gugus karbonil (C=O) (Skoog 2007). Adanya gugus karbonil pada pada plastik oxo-degradable dapat menjadi inisiator proses degradasi secara fotodegradasi (Chiellini 2006).
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 207-214
210
(5a)
(5b)
Gambar 5. Spektrum FT-IR (a) kantong belanja plastik PE konvensional dan (b) kantong belanja plastik oxo-degradable sebelum iradiasi UV
Fotodegradasi (Degradasi Abiotik)……………Arie Listyarini dan Wiwik Pudjistuti
211
Tabel 1. Perbandingan nilai puncak pada spektrum FT-IR sampel kantong belanja plastik PE konvensional dan kantong belanja plastik oxo-degradable sebelum diiradiasi UV (Skoog 2007) No
-1
Bilangan gelombang (cm ) dan gugus yang ditunjukkan
Kantong belanja plastik PE konvensional 1. 2926 2. 2849 C-H alkana, alkena (olefin) 3. 1463 4. 729 Kantong belanja plastik oxo-degradable 1. 2851 2. 1434 C-H alkana, alkena (olefin) 3. 718 4. 1795 C=O 5. 875 Puncak tidak teridentifikasi
Spektrum FTIR kedua kantong plastik ditunjukkan pada Gambar 6 a dan 6 b. Kantong belanja plastik PE konvensional tidak menunjukkan perubahan pada puncak-puncak yang terjadi. Hal ini menjelaskan tidak terdapat reaksi yang menyebabkan perubahan struktur kimia pada PE. Fotodegradasi hanya menyebabkan penurunan sifat mekanik/fisik karena adanya pemutusan rantai PE menjadi berat molekul yang lebih rendah (Vijayvargia 2014). Kantong belanja plastik oxo-degradable mengalami penurunan intensitas pada puncak di -1 -1 bilangan gelombang 875 cm dan 718 cm dan adanya puncak baru pada daerah bilangan -1 gelombang sekitar 1715 cm yang ditunjukkan pada anak panah Gambar 6 b. Penurunan intensitas ini menunjukkan gugus yang memberikan puncak pada daerah bilangan -1 -1 gelombang 875 cm dan 718 cm ini ada yang bereaksi membentuk senyawa baru walaupun masih ditemukan rantai PE. Berdasar hal ini,
dibutuhkan proses degradasi lebih lanjut untuk kantong belanja plastik oxo-degradable selain fotodegradasi yaitu degradasi biotik untuk melengkapi proses degradasi (Yashchuk 2012). Ketidakstabilan poliolefin pada proses fotodegradasi dapat dipastikan karena kehadiran gugus karbonil dan gugus hidroperoksida yang terbentuk selama proses pembuatan produk poliolefin (Ammala 2011). Gambar 7 menggambarkan beberapa produk yang terbentuk sebagai hasil pada proses fotodegradasi PE. Gugus hidroperoksida (-CHOOH) adalah produk utama oksidasi dan tidak stabil secara panas atau fotolitik. Gugus ini terdekomposisi menghasilkan dua radikal, yang masing-masing berperan pada proses reaksi berantai. Kehadiran gugus karbonil menunjukkan reaksi oksidasi telah berlangsung dan juga berarti bahwa material menjadi rentan untuk terjadi proses degradasi selanjutnya (Ammala 2011; Chiellini 2006; Klaus 2007).
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 207-214
212
(6a)
(6b)
Gambar 6. Spektrum FT-IR (a) kantong belanja plastik PE konvensional dan (b) kantong belanja plastik oxo2 o degradable sesudah iradiasi UV pada 0,78 ± 0,02 W/m .nm, 50 C selama 250 jam
Gambar 7. Mekanisme reaksi radikal polietilena (Chiellini 2006)
Fotodegradasi (Degradasi Abiotik)……………Arie Listyarini dan Wiwik Pudjistuti
213
KESIMPULAN Elongasi saat putus merupakan parameter yang sensitif untuk menunjukkan bahwa proses fotodegradasi telah berlangsung yang ditunjang oleh spektrum FT-IR. Pada kantong belanja plastik oxo-degradable menunjukkan nilai elongasi < 5 % setelah diberikan paparan sinar UV selama 250 jam sedangkan untuk plastik PE konvensional nilai elongasi saat putusnya masih menunjukkan nilai yang tinggi yaitu sekitar 217 %. Pembentukan gugus karbonil pada fotodegradasi kantong belanja plastik oxodegradable ditunjukkan adanya puncak di bilangan gelombang 1715 cm-1 pada spektrum FT-IRnya yang tidak dijumpai pada spektrum FT-IR kantong belanja plastik PE konvensional. Reaksi fotodegradasi merupakan reaksi oksidasi yang merupakan tahap awal untuk degradasi polietilena selanjutnya hingga polietilena dengan sempurna didegradasi dan menjadi habis di lingkungan. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis haturkan untuk laboratorium kemasan bahan dan ritel Balai Besar Kimia dan Kemasan (BBKK) sebagai tempat pelaksanaan penelitian dan laboratorium instrumen BBKK untuk penggunaan FT-IR. DAFTAR PUSTAKA Ammala, A., Stuart Bateman, Katherine Dean, Eustathios Petinakis, Parveen Sangwan, Susan Wong, Qiang Yuan, Long Yu, Colin Patrick, KH Leong. 2011. An overview of degradable and biodegradable polyolefins. Progress in Polymer Science. 36.: 1015 – 1049. American Society for Testing and Materials. 2010. ASTM D 5208-01: Standard Practice for Fluorescent Ultraviolet (UV) Exposure of Photodegradable Plastics. Philladelphia. American Society for Testing and Materials. 2010. ASTM D 882-10: Standard Test Method for Tensile Properties of Thin Plastic Sheeting. Philladelphia. American Society for Testing and Materials. 2010. ASTM D 3826-02: Standard Practice for Determining Degradation
End Point in Degradable Polyethylene and Polypropylene Using a Tensile Test. Philladelphia. Chiellini,E., A Corti, S D”Antone dan R Baciu. 2006. Oxo-biodegradable carbon backbone polymers – Oxidative degradation of polyethylene under accelerated test conditions. Polymer Degradation and Stability 91: 2739 – 2747. Davis, G. 2006. The characterisation of two different degradable polyethylene (PE) sacks. Materials Characterization. 57: 314 – 320. Jeon, Hyun Jeong dan Mal Nam Kim. 2014. Degradation of linear low density polyethylene (LLDPE) exposed to UVirradiation. European Polymer Journal. 52: 146 – 153. Klaus, Jakub. 2007. Oxo-degradable poliethylene films. Master Thesis. Faculty of Technology Tomas Bata University, Zlin. Kyrikou, I., Demetres Briassoulis, Miltiadis Hiskakis dan Epineia Babou. 2011. Analysis of photo-chemical degradation behaviour of polyethylene mulching film with pro-oxidants. Polymer Degradation and Stability 96: 2237 – 2252. Roy, P., M Hakkarainen, I Varma dan A Albertsson. 2011. Degradable polyethylene: Fantasy or reality. Environmental Science and Technology. 45 (10): 4217 – 4227. Skoog, D.A., F James Holler dan Stanley R Crouch. 2007. Principles of Instrumental Analysis. Edisi 6. Thomson Brooks/Cole. USA. Vijayvargia, R., Bhadoria AKS dan Ajay Kumar Nema. 2014. Photo and biodegradation performance of polyethylene blended with photodegradable additive ferrocene (Part-I). Int. Journal of Applied Sciences and Engineering Research 3: 153 – 170. Yashchuk, O., FS Portillo, EB Hermida. 2012. Degradation of polyethylene film samples containing oxo-degradable additives. Procedia Materials Science: 439 – 445.
J. Kimia Kemasan, Vol. 36 No. 1 April 2014 : 207-214
214
Vol. 36 No. 1 April 2014 ISSN 2088 – 026X
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN
PEDOMAN PENULISAN KTI JURNAL KIMIA DAN KEMASAN 1. Sistematika Penulisan 1.1. Naskah dalam bentuk Makalah Lengkap (full paper) atau Original Research meliputi unsurunsur sebagai berikut: 1.1.1. Judul 1.1.2. Nama, alamat penulis, dan email 1.1.3. Abstrak (memuat latar belakang secara ringkas, tujuan, metode, hasil serta kesimpulan) 1.1.4. Kata kunci 1.1.5. Pendahuluan (antara lain latar belakang, perumusan masalah, tujuan, teori, ruang lingkup penelitian, dan hipotesis [opsional]). 1.1.6. Bahan dan metode (waktu dan tempat, bahan dan alat, metode/cara pengumpulan data, metode analisis data) 1.1.7. Hasil dan pembahasan (memuat data atau fakta yang diperoleh dari penelitian dan ulasan tentang hasil, termasuk tabel dan gambar) 1.1.8. Kesimpulan 1.1.9. Saran (optional) 1.1.10. Ucapan terima kasih (optional) 1.1.11. Daftar pustaka (minimal 10 daftar pustaka, 80% acuan primer/jurnal, referensi kemutakhiran 5-10 tahun terakhir) 1.2. Naskah dalam bentuk Ulasan (review) meliputi unsur-unsur sebagai berikut: 1.2.1. Judul 1.2.2. Nama, alamat penulis, dan email 1.2.3. Abstrak 1.2.4. Kata kunci 1.2.5. Pendahuluan 1.2.6. Pembahasan 1.2.7. Kesimpulan 1.2.8. Ucapan terima kasih (optional) 1.2.9. Daftar pustaka (minimal 25 daftar pustaka, 80% acuan primer/jurnal, referensi kemutakhiran 5-10 tahun terakhir) 2. Standar Umum Penulisan 2.1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris 2.2. Judul, abstrak, da kata kunci harus ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). 2.3. Ditulis menggunakan MS Word pada kertas ukuran A4, font Arial ukuran 10, spasi 1, batas atas 3 cm, batas bawah 2 cm, batas kiri 3 cm, batas kanan 2.1 cm, multiple pages mirror margin, section start continous, header&footer different odd & even, header 2 cm, dan footer 2 cm. 2.4. Judul, abstrak, dan kata kunci ditulis dalam format satu kolom. Sedangkan bagian-bagian naskah selanjutnya ditulis dalam dua kolom dengan format justified, first line indent 1 cm, arial 10, spasi 1, dan jarak antar kolom 0.6 cm. 2.5. Penyebutan istilah diluar bahasa Indonesia atau Inggris ditulis dengan huruf cetak miring (italic). 2.6. Jumlah halaman maksimal 10 halaman.
3. Cara Penulisan Judul 3.1. Judul mencerminkan inti tulisan, diketik dengan huruf capital cetak tebal (bold), diletakkan ditengah-tengah (centered) dengan menggunakan font Arial 14, spasi 1. 3.2. Apabila judul ditulis dalam bahasa Indonesia, maka dibawahnya ditulis ulang dalam bahasa Inggris, dan sebaliknya. Diketik dengan huruf capital cetak tebal (bold), diletakkan ditengahtengah (centered) dengan menggunakan font Arial 11, spasi 1. 3.3. Apabila KTI menggunakan bahasa Indonesia, maka judul dalam bahasa Inggris ditulis dengan huruf cetak miring (italic), sedangkan judul dalam bahasa Indonesia ditulis tidak dengan huruf cetak miring, dan sebaliknya. 4. Cara Penulisan Nama, Alamat, dan Email 4.1. Nama penulis diketik di bawah judul, ditulis lengkap tanpa menyebutkan gelar, diletakkan di tengah-tengah (centered), diketik dengan huruf regular, menggunakan font Arial 12, spasi 1. 4.2. Alamat penulis (nama dan alamat instansi tempat bekerja) ditulis lengkap di bawah nama penulis, diletakkan di tengah-tengah (centered), diketik dengan huruf regular, menggunakan font Arial 10, spasi 1. 4.3. Alamat Pos-el (e-mail) ditulis di bawah alamat penulis, diletakkan di tengah-tengah (centered), diketik dengan huruf regular, menggunakan font Arial 10, spasi 1. 4.4. Jika penulis terdiri lebih dari satu orang, maka harus ditambahkan kata penghubung “dan” (bukan lambang “&”). 4.5. Jika penulis lebih dari satu orang dan berbeda instansi maka dituliskan angka superscript di belakang nama berdasar angka urutan instansi 4.6. Jika alamat penulis lebih dari satu, maka harus diberi tanda angka superscript dan diikuti alamat sekarang. 5. Cara Penulisan Abstrak dan Kata Kunci 5.1. Abstrak ditulis dalam satu paragraf, ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), menggunakan font Arial 9, spasi 1, format justified. 5.2. Abstrak dalam bahasa Indonesia paling banyak 250 kata, sedangkan abstract dalam bahasa Inggris paling banyak 200 kata. 5.3. Penempatan abstrak disesuaikan dengan bahasa yang digunakan dalam KTI. Apabila KTI menggunakan bahasa Indonesia, maka abstrak didahulukan dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf cetak regular (tidak dengan huruf cetak miring), sedangkan abstract dalam bahasa Inggris ditulis dengan huruf cetak miring (italic), dan sebaliknya. 5.4. Kata abstrak (abstract) ditulis dengan huruf kapital cetak tebal (bold), menggunakan font Arial 10. 5.5. Abstrak dalam bahasa Indonesia diikuti kata kunci dalam bahasa Indonesia, sedangkan abstract dalam bahasa Inggris diikuti keywords dalam bahasa Inggris. 5.6. Kata kunci ditulis menggunakan font Arial 9. 5.7. Kata kunci terdiri dari minimal tiga kata. 6. Cara Penulisan Bab (heading) 6.1. Bab, ditulis dengan format huruf kapital, rata kiri, bold, font Arial 10, spasi 1. 6.2. Sub Bab (Jika ada) ditulis dengan format huruf capitalize each word, rata kiri, bold, font Arial 10, spasi 1. 7. Cara Penyajian Tabel 7.1. Judul tabel ditampilkan di bagian atas tabel, rata kiri halaman, menggunakan font Arial 9. 7.2. Tulisan “Tabel”, “Nomor”, dan judul tabel ditulis dengan format huruf sentence case. 7.3. Gunakan angka Arab (1,2,3,dst) untuk penomoran judul tabel. 7.4. Tabel ditampilkan rata kiri halaman. 7.5. Jenis dan ukuran font untuk isi tabel menggunakan Arial ukuran 8-9 dengan spasi 1. 7.6 Tabel yang dicantumkan tanpa menggunakan vertical line, hanya menggunakan horizontal line pada bagian judul dan bagian bawah tabel. 7.7. Pencantuman sumber atau keterangan diletakkan di bawah tabel, rata kiri, italic, menggunakan font Arial 8.
8. Cara Penulisan Gambar 8.1. Gambar dapat dalam bentuk grafik, matriks, foto, diagram, dan sejenisnya ditampilkan di tengah halaman (centered). 8.2. Judul gambar ditulis di bawah gambar, menggunakan font Arial 9, ditempatkan rata kiri gambar. 8.3. Tulisan “Gambar”, “Nomor”, dan judul tabel ditulis dengan format huruf sentence case. 8.4. Gunakan angka Arab (1,2,3,dst) untuk penomoran judul gambar. 8.5. Pencantuman sumber atau keterangan diletakkan di bawah judul gambar, rata kiri, italic, menggunakan font Arial 8. 9. Cara dan Contoh Penulisan Kutipan (Sitasi) 9.1. Penulisan kutipan (Sitasi) menggunakan metode Chicago Style 9.1.1. Nama belakang atau nama keluarga pengarang pertama, kedua dan ketiga. Untuk karya yang ditulis oleh lebih dari 3 (tiga) orang pengarang, gunakan "et al." atau “dkk” setelah nama belakang pengarang pertama (hanya pengarang pertama yang disebutkan). 9.1.2. Tahun terbit. Antara nama pengarang atau badan korporasi dengan tahun terbit hanya dibatasi dengan satu spasi (tanpa tanda baca lainnya). 9.1.3. Jika dalam satu paragraph/kalimat menggunakan lebih dari 1(satu) kutipan/sitasi maka digunakan tanda penghubung berupa (;) Contoh : a. Menurut Catur (2012), penambahan pelarut berpengaruh kepada …. b. ……….. akan berpengaruh kepada kecepatan reaksi (Catur 2012). c. ………..akan berpengaruh kepada kecepatan reaksi (Catur 2012; Winarno 2009; Raffi, et al. 2007)) 10. Cara dan Contoh Penulisan Daftar Pustaka 10.1. Urutan dalam daftar pustaka ditulis sesuai dengan urutan huruf abjad nama penulis yang dikutip dalam naskah (berdasarkan alfabetis). 10.2. Daftar pustaka ditulis sesuai dengan metode Chicago Style. 10.3. Berikut adalah contoh cara penulisan daftar pustaka dari berbagai sumber yang berbeda. 10.2.1. Jurnal dengan volume dan nomor Pengarang. Tahun. Judul naskah. Nama jurnal. Volume (nomor) : Halaman Setiap huruf awal nama jurnal ditulis dengan huruf kapital. Contoh : Obaidat, I.M., B. Issa, and Y. Haik. 2011. The role of aggregation of ferrite nanoparticles on their magnetic properties. Journal of nanoscience and nanotechnology 11 (5) : 3882-3888. 10.2.2. Buku (satu orang pengarang) Pengarang. Tahun. Judul buku. Edisi. Kota : Penerbit Contoh : Suprapto, H. 2004. Petani bangkit: napak tilas perjuangan kaum tani Indonesia. Jakarta : Kuntum Satuhu. 10.2.3. Buku (dua atau tiga orang pengarang) Pengarang. Tahun. Judul buku. Edisi. Kota : Penerbit Contoh : Domsch, K.H., W. Garns, and T.H. Anderson. 1980. Compendium of soil fungi. Vol. 1. London : Academic Press. 10.2.4. Buku (lebih dari tiga orang pengarang) Pengarang. Tahun. Judul buku. Edisi. Kota : Penerbit Contoh : Lim, M.S., Y.D. Yun, C.W. Lee, S.C. Kim, S.K. Lee, and G.S. Chung. 1991. Research status and prospects of direct seeded rice in Korea. Los Banos: IRRI. 10.2.5. Skripsi, Tesis, dan Disertasi Pengarang. Tahun. Judul skripsi/tesis/disertasi. Skripsi/tesis/disertasi. Nama perguruan tinggi, Kota. Negara. Contoh : Raffi, M. 2007. Synthesis and characterization of metal nanoparticles. PhD Dissertation. Pakistan Institute of Eng. And Applied Sciences, Islamabad. Pakistan
10.2.6. Artikel dalam Prosiding Pengarang. Tahun. Judul artikel. Dalam : Penulis. Judul buku/prosiding. Kota : Penerbit : Halaman Contoh : Afifah, N. dan E. Sholichah. 2009. Pemanfaatan virgin coconut oil (VCO) dalam sediaan hand body lotion dan uji stabilitasnya. Dalam : Prosiding seminar nasional Teknik Kimia Universitas Parahyangan : 178 – 184. 10.2.7. Website Pengarang. Tahun. Judul artikel. URL yang terdiri dari protocol/site/path/file. Tanggal akses Contoh : Wolman, David. 2008. Fossil feces is earliest evidence of an America humans. http://news.nationalgeographic.com/news/2008/04/080403first-americans.html. (Accessed April 4, 2008) Pranamuda, H. 2001. Pengembangan plastik biodegradable berbahan baku pati tropis. http://bersihplanet.multiply.com/journal. (diakses pada 21 Desember 2010)
.
Redaksi akan memberikan cetak cuplik kepada penulis sebanyak lima (5) eksemplar
PEDOMAN PENULISAN NASKAH 21 cm
Header 2 cm
Top 3 cm
SINTESIS NANOPARTIKEL PERAK (Arial, 14 pt, Bold) Arial, 14 pt, 1 baris
(SYNTHESIS OF SILVER NANOPARTICLE) (Arial, 11 pt, Bold, Italic) Arial, 14 pt, 1 baris
Rahyani Ermawati dan Siti Naimah (Arial, 12 pt) Arial, 12 pt, 1 baris
Left 3 cm
Right 2,1 cm
Balai Besar Kimia dan Kemasan, Departeman Perindustrian RI Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur Arial, 10 pt, 1 baris
E-mail:
[email protected] 2 baris (10 pt)
ABSTRAK (Arial, 10 pt, Bold) (1 baris, 9 pt) Indonesia berpeluang untuk mengembangkan nanoteknologi dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam ………(justify, Arial, 9 pt, spasi single)……………………………………….………. (1 baris, 9 pt) Kata kunci : Nanopartikel, Bottom-up, Reduksi kimia, Particle Size Analyzer (PSA), Scanning Electron Microscope (SEM) (1 baris, 9 pt) ABSTRACT (Arial, 10 pt, Bold) (1 baris, 9 pt) Indonesia has a chance in develop the nanotechnology using the natural resources and it will give added value in high price……………… (justify, Arial, 9 pt, spasi single)……………..……………... (1 baris, 9 pt) Key words : Nanoparticles, Bottom-up, Chemical reduction…………………………………
2 baris (9 pt) PENDAHULUAN (1 baris, 10 pt)
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan Ms Word dan jumlah halaman maksimal 10 halam an. Naskah disusun dalam 5 subjudul, yaitu PENDAHULUAN, BAHAN DAN METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN dan DAFTAR PUSTAKA. Penulisan kutipan di dalam teks menggunakan nam a penulis, bukan nomor, dan nama penulis atau korporasi yang dikutip harus tercantum di dalam daftar pustaka. Judul Judul harus singkat, jelas dan menggambarkan isi naskah. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Abstrak atau Kata Kunci Abstrak m emuat latar belakang secara ringkas, tujuan, metode, hasil serta kesimpulan suatu penelitian. Footer 2 cm
Abstrak berbahasa Inggris dan bahasa Indonesia dan di bawah dicantumkan kata kunci paling banyak 5 (lima) kata terpenting dalam naskah. Pendahuluan Pendahuluan mencakup latar belakang, tujuan, ruang lingkup penelitian, temuan terdahulu yang akan dikembangkan, disanggah, hipotesis dan pendekatan umum. BAHAN DAN METODE Berisi penjelasan ringkas tetapi rinci tentang bahan, metode, rancangan percobaan dan rancangan analisis data, waktu dan tempat penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN
0,6 cm
Memuat data atau fakta yang diperoleh dari penelitian. Data atau fakta penting yang tidak dapat dinarasikan dengan jelas dapat disajikan dalam bentuk tabel, gambar ataupun ilustrasi lain. Pembahasan merupakan ulasan tentang hasil, menjelaskan makna hasil penelitian, kesesuaian dengan hasil atau penelitian terdahulu dan peran hasil tersebut terhadap pemecahan masalah yang disebutkan dalam pendahuluan. Simbol Matematis Simbol atau persam aan dikemukakan secara jelas.
Bottom 2 cm
matematis
harus
29,7 cm
Awal paragraf menjorok ke dalam 1 cm. Semua kalimat ditulis dengan huruf Arial 10 pt, jarak baris 1 spasi. Format penulisan terdiri dari 2 kolom dengan jarak kolom 0,6 cm. Kertas : A4 Multiple pages : Mirror margin Top : 3 cm Bottom : 2 cm Left (Inside) : 3 cm Right (Outside) : 2,1 cm Section start : Continous Header & Footer : Different Odd & Even Header : 2 cm Footer : 2 cm
Tabel Tabel diberi nomor urut sesuai dengan keterangan di dalam teks. Setiap tabel diberi judul yang singkat dan jelas diletakkan di atas tabel, sehingga setiap tabel dapat dipandang berdiri sendiri sedangkan untuk gambar atau grafik judulnya diletakkan di bawah gambar/ grafik. Singkatan kata perlu diberi catatan kaki atau keterangan. Keterangan tabel diletakkan di bawah tabel. Pengolahan Naskah Redaksi melakukan penilaian, koreksi dan perbaikan. Kriteria penilaian meliputi : kebenaran isi, tingkat keaslian, kejelasan uraian dan kesesuaian dengan misi publikasi. Redaksi akan mengembalikan naskah kepada penulis untuk diperbaiki sesuai dengan saran redaksi dan naskah yang tidak dapat diterbitkan akan diberitahukan. Ulasan dan tinjauan ilmiah Ulasan sebaiknya merupakan tinjauan mengenai masalah yang terkini (up to date) dari industri kimia, kemasan, cemaran, rancang bangun dan perekayasaan. KESIMPULAN Ditulis dengan ringkas hasil-hasil yang didapat. DAFTAR PUSTAKA Daftar Pustaka disusun menurut abjad dan ditulis sesuai penulisan daftar pustaka dengan metode Chicago Style.
Vol. 36 No. 1 April 2014
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN
ISSN 2088 – 026X
1,2
LEMBAR ABSTRAK 2
2
Siti Agustina , Nastiti Siswi Indrasti , Suprihatin , dan 3 Nurul Taufiqu Rochman 1) Balai Besar Kimia dan Kem asan, Kementerian Perindustrian RI Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur 2) Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor 3) Pusat Penelitian Metalurgi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia E-mail :
[email protected] Perolehan Kembali Seng Dari Limbah Industri Galvanis Sebagai Seng Asetat J. Kimia Kemasan April 2014, Vol. 36 No. 1 : 147Seng dross merupakan hasil samping dari industri pelapisan logam (galvanis) dengan proses hot-dip dan mempunyai kandungan seng yang cukup tinggi. Hasil samping ini dapat digunakan sebagai bahan baku seng asetat. Seng asetat digunakan sebagai bahan tambahan makanan, suplem en, obat-obatan, precursor, dan pelega tenggorokan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kembali seng dari seng dross untuk menghasilkan seng asetat. Seng asetat tersebut akan digunakan sebagai precursor. Proses ekstraksi seng dross dilakukan dengan asam asetat glasial pada kondisi proses, yaitu waktu ekstraksi 1 jam, 2 jam, dan 3 jam, suhu ekstraksi 130 ºC, 150 ºC, dan 170 ºC, serta konsentrasi asam asetat glasial 20%, 40%, dan 60%. Hasil ekstraksi berupa seng asetat dianalisis untuk mengetahui kadar seng dan karakteristik kristal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi proses ekstraksi yang terbaik diperoleh pada suhu 130 ºC, konsentrasi asam asetat glasial sebesar 60%, dan waktu proses ekstraksi selama 1 jam. Seng asetat yang diperoleh m engandung 75,39% seng dan kristal seng asetat mempunyai intensitas 5800 counts. Kata kunci : Industri pelapisan logam, Seng dross, Perolehan kembali seng, Ekstraksi seng, Seng asetat
Akhm ad Rasyid Syahputra dan Darsono Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi – BATAN Jl. Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta Selatan E-mail :
[email protected],
[email protected] Pembuatan Komposit Akrilamida-g-Bagas Sebagai Absorben Menggunakan Radiasi Berkas Elektron J. Kimia Kemasan April 2014, Vol. 36 No. 1 : Salah satu limbah padat dari pabrik gula adalah bagas. Sisa penggilingan gula merupakan bagas yang cukup besar sehingga diperlukan proses lebih lanjut agar limbah tersebut tidak merusak lingkungan. Tujuan studi ini adalah membuat absorben dari limbah bagas dan mengamati perubahan sifat fisik dan kimianya. Pembuatan absorben dilakukan dengan menggunakan radiasi mesin berkas elektron. Proses iradiasi dilakukan dengan variasi dosis 15kGy, 30 kGy, 45 kGy dan 60 kGy. Sifat fisik absorben dapat diamati dengan menggunakan hasil persentase fraksi gel. Sifat kimia absorben diamati dari perbedaan
spektrum infra merahnya pada saat sebelum dan sesudah ditambahkan monomer. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dosis radiasi yang semakin tinggi pada absorben akan meningkatkan sifat fisik (persentase fraksi gel). Analisis menggunakan spektra Fourier Transform Infra Red (FTIR) menunjukan perbedaan puncak-puncak serapan bagas sebelum dan sesudah ditambahkan monomer. Spektrum Differential Scanning Calorymetry (DSC) komposit hasil iradiasi menunjukkan bahwa iradiasi menyebabkan perubahan titik lebur. Kata kunci : Absorben, Bagas, Mesin berkas elektron
Yuris, Chandrawati Cahyani, Atikah Jurusan Kimia, Fakultas Kimia dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya E-mail:
[email protected] Potensi Lignin Untuk Penanganan Logam Berat Cr(VI) J. Kimia Kemasan April 2014, Vol. 36 No. 1 : Lignin telah diisolasi dari lindi hitam dengan pengasaman menggunakan H2 SO4 10% pada pH 2 dan diperoleh lignin yang memiliki gugus fungsi mirip Indulin-AT. Lignin memiliki sifat tidak larut dalam air dan larut dalam basa. Logam berat Cr(VI) merupakan salah satu logam berat yang bersifat toksik tinggi dan sangat larut dalam air sehingga dapat terdistribusi kemana-mana. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji potensi lignin untuk penanganan logam berat Cr(VI), kajian difokuskan pada variasi pH 2-10 dan konsentrasi lignin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pH campuran 2, penggunaan lignin sebesar 2000 ppm sebanyak 25 mL mampu menyisihkan Cr(VI) sebesar 85,83% dari konsentrasi awal Cr(VI) 25 ppm sebanyak 10 mL menjadi 1,012 ppm. Penambahan konsentrasi lignin pada pH < 5 menaikkan penyisihan Cr(VI) karena terjadi proses adsorbsi dan kopresipitasi melalui mekanisme oklusi sedangkan pada pH > 5, penambahan konsentrasi lignin hanya menaikkan penyisihan Cr(VI) relatif sedikit dibanding pada pH < 5 karena peristiwa kopresipitasi tidak terjadi seiring dengan mulai larutnya lignin. Kata kunci: Lignin, Kopresipitasi, Adsorpsi, Oklusi
Saeful Yusuf, Yosef Sarwanto dan Wildan Z.L. Pusat Sains dan Teknologi Bahan Maju, Badan Tenaga Nuklir Nasional Kawasan Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan 15340 E-mail:
[email protected] Identifikasi Fasa Dan Sifat Magnetik Nanopartikel Besi Oksida Teriradiasi J. Kimia Kemasan April 2014, Vol. 36 No. 1 : -
Makalah ini membahas tentang perubahan fasa nanopartikel magnetik oksida besi setelah mengalami iradiasi dalam reaktor nuklir. Perubahan fasa dianalisis dalam kaitannya dengan perubahan sifat magnetik yang terjadi. Nanopartikel yang digunakan merupakan hasil proses ko-presipitasi baik dalam bentuk oksida besi murni
(OB) maupun yang permukaannya telah dimodifikasi dengan asam nitrat, asam sitrat maupun asam oleat dan membentuk sistem ferrofluid (FF). Nanopartikel awal ini telah dianalisis memiliki fasa gabungan magnetit/maghemit (Fe3O4 /γ-Fe2O3). Proses iradiasi dilakukan di Reaktor Serba Guna GAS-BATAN pada fasilitas sistem rabbit dengan fluks neutron sekitar ± 13 -2 -1 1x10 ncm detik , selama 5 menit, 10 menit dan 30 menit. Nanopartikel besi oksida hasil iradiasi dikarakterisasi dengan Difraktometer Sinar-X untuk mendapatkan data tentang perubahan fasa dari nanopartikel. Sifat magnetik dianalisis dari kurva histeresis hasil pengukuran dengan Vibrating Sample Magnetometer. Secara umum hasil analisis menunjukkan bahwa iradiasi mengakibatkan terjadinya perubahan sebagian fasa besi oksida dari fasa magnetit/maghemit menjadi fasa hem atit dengan hasil akhir penurunan sifat magnetik nanopartikel. Nano partikel besi oksida yang dilapisi penstabil asam nitrat atau asam sitrat memiliki ketahanan iradiasi yang lebih baik dibandingkan besi oksida yang dilapisi asam oleat. Kata kunci : Nanopartikel magnetik, Besi oksida, Iradiasi, Fasa, Sifat magnetik
Gatot Trimulyadi Rekso Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi-BATAN Jl. Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta-Selatan E-mail :
[email protected] Kopolimerisasi Cangkok Dan Karakterisasi Lembaran Kitosan Teriradiasi J. Kimia Kemasan April 2014, Vol. 36 No. 1 : Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi hasil kopolimerisasi cangkok lembaran kitosan dengan asam 60 akrilat yang teriradiasi sinar gamma Co. Lembaran kitosan diiradiasi pada kondisi atmosfer udara dan suhu kamar. Selanjutnya lembaran kitosan dimasukkan dalam larutan monomer asam akrilat pada variasi konsentrasi 10% (v/v), 20% (v/v), 30% (v/v), dan 40% (v/v) dengan waktu reaksi 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, dan 5 jam serta suhu 50 °C, 60 °C, 70 °C, dan 80 °C. Reaksi kopolimerisasi cangkok dilakukan dalam aliran nitrogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil kopolimerisasi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi monomer asam akrilat dan suhu reaksi. Kondisi optimal kopolimerisasi adalah pada dosis total radiasi 12 kGy dengan konsentrasi asam akrilat 30% dan suhu reaksi 70 °C serta waktu reaksi selama 3 jam. Hasil kopolimerisasi cangkok yang diperoleh sebesar 45,8%. Telah terjadinya kopolimerisasi cangkok pada lembaran kitosan ditunjukkan dengan adanya perubahan pada spektrum infra merah dengan munculnya gugus karbonil yang diukur dengan Fourier Transform Infra Red (FTIR). Sifat termalnya yang ditentukan dengan Differential Scanning Calorimetry (DSC) menunjukkan bahwa terjadi perubahan titik leleh sebesar 2,3 °C dan muncul puncak baru pada 343,5 °C. Kata kunci : Radiasi, Kopolimerisasi, Kitosan, Asam akrilat
1
1,2
Riahna br Kembaren , Sesotya Putriliniar , Nurwenda 1,3 1,3 1,4 Novan Maulana , Kiki Yulianto , Radyum Ikono , Nurul 1,5 1,6 Taufiqu Rochm an , Etik Mardliyati 1 Nano Center Indonesia, Komplek Puspiptek Serpong 2 Departemen Kimia, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
3
Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Teknologi Sumbawa, Sumbawa Besar 4 Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Universitas Teknologi Sumbawa, Sumbawa Besar 5 Pusat Penelitian Metalurgi LIPI, Komplek Puspiptek, Serpong 6 Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT, Komplek Puspiptek, Serpong E-mail :
Ekstraksi Dan Karakterisasi Serbuk Nano Pigmen Dari Daun Tanaman Jati (Tectona Grandis Linn. F) J. Kimia Kemasan April 2014, Vol. 36 No. 1 : -
Tanaman Jati (Tectona grandis linn. F) umumnya hanya dimanfaatkan bagian kayunya untuk industri meubel, namun bagian lain seperti daun kurang dimanfaatkan. Daun jati terutama bagian pucuk daun muda dapat menghasilkan pigmen. Produksi serbuk nano pigmen dari daun jati dan karakterisasi serbuk nano pigmen tersebut belum dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan nano pigmen dari pucuk daun jati muda dalam bentuk serbuk dengan menggunakan persentase filler yang berbeda dan melakukan karakterisasi serbuk nano pigmen jati tersebut. Pucuk daun jati muda diberi perlakuan m ekanik dengan penggerusan kemudian disaring, larutan yang diperoleh diukur partikelnya dengan Particle Size Analyzer (PSA), dan dikeringkan dengan penambahan filler maltodekstrin 5% dan 10%. Serbuk yang diperoleh dihitung rendemen, ukuran partikel, dan kelarutan dalam air. Warna merah yang dihasilkan dari filtrat pucuk daun jati muda berasal dari zat warna antosianin yang terkandung dalam daun jati muda. Ekstrak dari pucuk daun jati muda memiliki ukuran dengan kisaran 87,8- 318,1 nm dengan ukuran rata-rata 109,2 nm. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak tersebut merupakan produk nano di alam. Penambahan filler dengan konsentrasi berbeda berpengaruh terhadap warna, rendem en, ukuran partikel serbuk, dan kelarutan pigmen serbuk dalam air. Kata Kunci: Jati, Pigmen, Antosianin, Nano
1
2
1
Sulistioso Giat S. , Armi Wulanawati , Deswita 1 Sudirman 1 Pusat Teknologi Bahan Industri – BATAN 2 Departemen Kimia – FMIPA IPB E-mail :
[email protected]
dan
Sintesis Bahan Dasar Tibial Tray Berbasis HDPE Yang Diperkuat Dengan Iradiasi Gamma J. Kimia Kemasan April 2014, Vol. 36 No. 1 : Tibial tray yang sudah komersil dibuat dari Polimer Ultra High Molecular Weight Polyethylene (UHMWPE) tetapi harganya sangat mahal. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan polimer High Density Polyethylene (HDPE) untuk pembuatan tibial tray karena harganya yang lebih murah dan memiliki kemiripan sifat dengan UHMWPE. HDPE dibuat dengan dua metode, yaitu metode hot press dan pemanasan tanpa tekanan (PTT). UHMWPE dengan metode hot press digunakan sebagai pembanding. Metode hot press dilakukan pada suhu 180 °C dan diberi 2 tekanan sebesar 200 kg/cm . Sedangkan metode pemanasan tanpa tekanan (PTT) dilakukan di dalam oven pada suhu 180°C. Film tipis UHMWPE dan sampel HDPE yang dihasilkan dari kedua metode tersebut, kemudian
diiradiasi sinar gamma dengan variasi dosis 0, 100, 200, 300 dan 500 kGy. Karakterisasi mencakup analisis morfologi dengan Scanning Electron Microscope (SEM), uji kekerasan, kekuatan tarik, dan derajat kristalinitas. Semakin tinggi dosis radiasi, maka kekerasan dan derajat kristalinitas semakin meningkat, tetapi kekuatan tarik semakin menurun. Dosis radiasi untuk sampel HDPE yang optimum , adalah 100 kGy untuk HDPE yang dibuat dengan metoda hot press, pada kondisi ini HDPE mempunyai kekuatan mekanik mendekati nilai kekuatan mekanik UHMWPE, sedangkan HDPE yang dibuat dengan metode PTT kekuatan mekaniknya masih dibawah kekuatan mekanik HDPE yang dibuat dengan metoda hot press Kata kunci: Tibial tray, UHMWPE, HDPE, Hot press, Iradiasi sinar gamma.
Arie Listyarini dan Wiwik Pudjiastuti Balai Besar Kimia dan Kemasan Perindustrian Jakarta E-mail :
[email protected]
Kementerian
Fotodegradasi (Degradasi Abiotik) Kantong Plastik Polietilena Yang Mengandung Aditif Oxo-Degradable J. Kimia Kemasan April 2014, Vol. 36 No. 1 : Penelitian fotodegradasi kantong polietilena (PE) yang mengandung aditif oxo-degradable dilakukan karena
begitu maraknya kantong plastik polietilena yang diklaim dapat terdegradasi dengan cahaya di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fotodegradasi plastik oxo yang ditemukan di superm arket atau pasar lokal di Indonesia dan dibandingkan dengan plastik PE tanpa aditif oxo. Plastik oxo didegradasi dalam UV o chamber ATLAS pada suhu 50 C dengan kontrol iradiasi 2 0,78 ± 0,02 W/m .nm pada panjang gelombang lampu UV 340 nm sesuai ASTM D 5208. Perubahan sifat fisik yaitu nilai kuat tarik dan elongasi saat putus diperiksa pada rentang waktu 0 jam sampai dengan 250 jam. Perubahan struktur kimia diperiksa dengan Fourier Transform Infra Red (FT-IR) dan dibandingkan struktur sebelum dan sesudah diberikan paparan iradiasi sinar UV. Rata-rata plastik yang mengandung aditif oxo-degradable mencapai nilai elongasi saat putus kurang dari 5% setelah dipapar sinar UV selama 120 jam sampai dengan 140 jam. Hasil penelitian menunjukkan nilai elongasi saat putus merupakan parameter yang paling sensitif dalam fotodegradasi ini. Nilai kuat tarik turun sebanding dengan lama paparan sinar UV. Spektrum keton karbonil dan ester karbonil ditemukan pada spektrum FT-IR plastik oxo setelah diberi paparan UV 250 jam. Kata
kunci:
Fotodegradasi, Plastik oxo-degradable, Polietilena (PE), UV Chamber ATLAS, Sifat fisik
UCAPAN TERIMA KASIH
Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari sebagai reviewer yang telah menelaah dan memberi masukan serta rekomendasi dalam rangka menjaga mutu jurnal ini sesuai kaidah-kaidah karya tulis ilmiah. Adapun namanama mitra bestari sebagai berikut :
NO
NAMA
1
Drs. Sudirman, MSc, APU
2
DR. Rike Yudianti
3
Prof. DR. Slamet, MT
4
DR. Etik Mardliyati
5
DR. Mochamad Chalid, S.Si,M. Sc, Eng
INSTANSI BATAN LIPI UI BPPT UI
ISSN 2088 – 026X
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN
Volume 36 Nomor 1 April 2014 DAFTAR ISI Perolehan Kembali Seng Dari Limbah Industri Galvanis Sebagai Seng Asetat ……..
147 – 154
Siti Agustina, Nastiti Siswi Indrasti, Suprihatin, dan Nurul Taufiqu Rochman Pembuatan Komposit Akrilamida-g-Bagas Sebagai Absorben Menggunakan Radiasi Berkas Elektron ……………………………………...……………………………………….......
155 – 162
Akhmad Rasyid Syahputra dan Darsono Potensi Lignin Untuk Penanganan Logam Berat Cr (VI) ...................... .........................
163 – 172
Yuris, Chandrawati Cahyani, dan Atikah Identifikasi Fasa Dan Sifat Magnetik Nanopartikel Besi Oksida Teriradiasi ………......
173 – 182
Saeful Yusuf, Yosef Sarwanto, dan Wildan Z.L Kopolimerisasi Cangkok Dan Karakterisasi Lembaran Kitosan Teriradiasi .................
183 – 190
Gatot Trimulyadi Rekso Ekstraksi Dan Karakterisasi Serbuk Nano Pigmen Dari Daun Tanaman Jati (Tectona Grandis Linn. F) ……………………………..……………………………….............................
191 – 196
Riahna br Kembaren, Sesotya Putriliniar, Nurwenda Novan Maulana, Radyum Ikono, dan Nurul Taufiqu Rochman Sintesis Bahan Dasar Tibial Tray Berbasis HDPE Yang Diperkuat Dengan Iradiasi Gamma ……………..……..................……..……………..…………………………...…..………
197 – 206
Sulistioso Giat S, Armi Wulanawati, Deswita, dan Sudirman Fotodegradasi (Degradasi Abiotik) Kantong Plastik Polietilena Yang Mengandung Aditif Oxo Degradable ………………………………….....……………………..………………. Arie Listyarini dan Wiwik P
207 – 214