ISSN 2088 – 026X
Jurnal
Kimia dan Kemasan Journal of Chemical and Packaging Vol. 35 No. 1 April 2013
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN IKLIM DAN MUTU INDUSTRI
BALAI BESAR KIMIA DAN KEMASAN J. Kimia Kemasan
Vol. 35
No. 1
Hal. 1 - 70
Jakarta April 2013
ISSN 2088 – 026X
Terakreditasi No : 526/AU1/P2MI-LIPI/04/2013
ISSN 2088 – 026X Vol. 35 No.1 April 2013
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN (JOURNAL OF CHEMICAL AND PACKAGING) Terakreditasi Nomor : 526/AU1/P2MI-LIPI/04/2013 Jurnal Kimia dan Kemasan memuat hasil penelitian dan telaah ilmiah bidang kimia dan kemasan yang belum pernah dipublikasikan. Jurnal Kimia dan Kemasan terbit dua nomor dalam setahun (April dan Oktober)
Penanggungjawab Officially incharge Ketua Chairman Wakil Vice Chairman
Kepala Balai Besar Kimia dan Kemasan Head of Center for Chemical and Packaging Kepala Bidang Sarana Riset dan Standardisasi Head Field for Research Facilities and Standardization
Dewan Redaksi Editorial board
DR. Rahyani Ermawati (Biokimia/Biochemistry, BBKK) Ir. Emmy Ratnawati (Kimia lingkungan/Environmental chemistry, BBKK) Ir. Hendartini, MSc (Kemasan/Packaging, BBKK) Dra. Yemirta, M.Si (Kimia/Chemistry, BBKK) Retno Yunilawati, SSi, MSi (Kimia/Chemistry, BBKK) Arie Listyarini, SSi, MSi (Polimer/Polymer, BBKK)
Mitra Bestari Peer Reviewer
Prof. DR. Slamet, MT (Kimia/Chemistry, Universitas Indonesia) Drs. Sudirman, MSc, APU (Kimia/Chemistry, BATAN) DR. Etik Mardliyati (Biokimia/Biochemistry, BPPT) DR. Rike Yudianti (Polimer/Polymer, LIPI) DR. Sunit Hendrana (Polimer/Polymer, LIPI)
Redaksi Pelaksana Managing editor
Silvie Ardhanie Aviandharie, ST, MT Chicha Nuraeni, ST Agustina Arianita Cahyaningtyas, ST
Alamat (Address) Balai Besar Kimia dan Kemasan Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No. 1, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur Telepon : (021) 8717438, Fax : (021) 8714928, Email :
[email protected]
Isi Jurnal Kimia dan Kemasan dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)
ISSN 2088 – 026X Vol. 35 No.1 April 2013
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN (JOURNAL OF CHEMICAL AND PACKAGING) Terakreditasi Nomor : 526/AU1/P2MI-LIPI/04/2013
Daftar Isi Pengaruh Laju Transmisi Uap Air Polymer Blend Polibutilen Suksinat (PBS) dan Linear Low Density Polyethylene (LLDPE) Terhadap Umur Simpan Sup Krim Instan Rasi ..…................................................................................................................................
1–5
Wiwik Pudjiastuti, Arie Listyarini, Muhammad Idham Rizki Potensi Penerapan Polimer Nanokomposit Dalam Kemasan Pangan ………………..
6 – 19
Agus Sudibyo dan Tiurlan F.Hutajulu Pemanfaatan Pati Biji Durian (Durio zibethinus Murr.) dan Pati Sagu (Metroxylon sp.) Dalam Pembuatan Bioplastik ……………..………….............………......…………….
20 – 29
Melanie Cornelia, Rizal Syarief, Hefni Effendi, Budi Nurtama Peningkatan Stabilitas Emulsi Krim Nanopartikel Untuk Mempertahankan Kelembaban Kulit ...............……………..……………..………………..……......……………
30 – 36
Dwinna Rahmi, Retno Yunilawati, Emmy Ratnawati Sintesis dan Karakterisasi Nano Zero Valent Iron (NZVI) dengan Metode Presipitasi
37 – 44
Siti Wardiyati, Adel Fisli, dan Saeful Yusuf Fotodegradasi Fenol Dengan Katalis TiO2 P25 Berpenyangga Batu Apung …………
45 – 51
Agung Sri Hendarsa, Jessica Tanuwijaya, Catur Nitya V.N., Heri Hermansyah dan Slamet Pengaruh Radiasi Berkas Elektron dan Kimia Pada Pembuatan Glukosa dari Tandan Kosong Sawit ….............…...…………………......…………..................................
52 – 57
Darsono, Sugiarto Danu, Made Sumarti Kardha, dan Harsojo Aktivasi Zeolit Secara Fisika dan Kimia Untuk Menurunkan Kadar Kesadahan (Ca dan Mg) Dalam Air Tanah ………………………......………….……………......………….....
58 – 64
Novi Nur Aidha Karakteristik Dinamik Sistem Koloid Magnetik Berbasis Nanopartikel Oksida FeChitosan ………………………......…............................……….……………......…………..... Mujamilah dan Grace Tj. Sulungbudi
65 – 70
ISSN 2088 – 026X Vol. 35 No.1 April 2013
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN (JOURNAL OF CHEMICAL AND PACKAGING) Terakreditasi Nomor : 526/AU1/P2MI-LIPI/04/2013
Kata Pengantar Jurnal Kimia dan Kemasan Volume 35 Nomor 1 April 2013 ini terbit dengan sembilan artikel yang merupakan terbitan pertama di tahun 2013. Penelitian dan pengembangan bahan polimer dengan cara memadukan bahan pengisi yang tepat, melalui interaksi matriks bahan pengisi dan strategi formula baru untuk pembuatan polimer nanokomposit mempunyai potensi untuk diterapkan dalam kemasan pangan. Oleh karena itu tiga artikel pertama pada terbitan ini menyajikan tentang kemasan yang ramah lingkungan, dua penelitian tentang laju transmisi uap air polimer blend dari polibutilen suksinat (PBS) dan linear low density polyethylene (LLDPE) serta pengaruhnya terhadap umur simpan sup krim instan rasi dan penelitian tentang pemanfaatan pati biji durian dan pati sagu dalam bentuk bioplastik serta satu tinjauan tentang potensi penerapan nanokomposit dalam kemasan pangan. Enam artikel lainnya berasal dari berbagai disiplin ilmu, diantaranya tiga artikel tentang penerapan teknologi nano yaitu satu artikel tentang peningkatan stabilitas emulsi krim lemak padat nanopartikel, artikel tentang nano zero valent iron dengan metode presipitasi serta satu lagi artikel tentang karakteristik dinamik sistem koloid magnetik berbasis nanopartikel oksida Fe – chitosan. Materi lainnya yaitu tiga artikel tentang aktivasi zeolit untuk mengurangi kesadahan air (Ca, Mg), fotodegradasi fenol dengan katalis TiO2 P25 berpenyangga batu apung dan artikel tentang pengaruh radiasi berkas elektron dan kimi pada pembuatan glukosa dari tandan kosong sawit Ke sembilan topik bahasan dalam terbitan ini semoga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan bagi para pembaca.sekalian. Akhir kata redaksi sangat bersyukur atas makalah yang masuk dari berbagai latar belakang disiplin ilmu dan seiring dengan bertambahnya waktu, redaksi berharap akan semakin banyak makalah yang masuk untuk dapat diterbitkan dalam Jurnal Kimia dan Kemasan ini. Kritik dan saran untuk peningkatan kualitas penerbitan jurnal ini sangat kami harapkan.
DEWAN REDAKSI
PENGARUH LAJU TRANSMISI UAP AIR POLYMER BLEND POLIBUTILEN SUKSINAT (PBS) DAN LINEAR LOW DENSITY POLYETHYLENE (LLDPE) TERHADAP UMUR SIMPAN SUP KRIM INSTAN RASI (EFFECT OF WATER VAPOUR TRANSMISSION RATE OF POLYMER BLEND OF POLYBUTYLENE SUCCINAT (PBS) AND LINEAR LOW DENSITY POLYETHYLENE (LLDPE) ON THE SELF LIFE OF CREAM SOUP INSTANT RASI)
Wiwik Pudjiastuti1, Arie Listyarini1, dan Muhammad Idham Rizki2 1)
Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian RI Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur 2) Fakultas Teknologi Pertanian-Universitas Padjadjaran Bandung E-mail:
[email protected]
Received : 17 September 2012; revised : 24 September 2012; accepted : 29 April 2013
ABSTRAK Penelitian tentang pengaruh Laju Transmisi Uap Air (WVTR) dari biopolimer blend Polibutilen Suksinat (PBS) dan Linear Low Density Polyethylene (LLDPE) terhadap umur simpan sup krim instan rasi telah dilakukan pada berbagai komposisi campuran PBS/LLDPE. Persentase komposisi campuran PBS/LLDPE yang digunakan untuk mengemas sup krim instan rasi berturut-turut adalah 30/70%, 50/50%, dan 70/30%, dengan nilai WVTR berturutturut adalah 9,06 g/m 2 hari; 16,92 g/m2 hari; dan 25,08 g/m2 hari. Dengan menggunakan metode kadar air kritis diperoleh umur simpan terpanjang dari sup krim instan rasi adalah 13 hari yang dikemas dalam campuran PBS/LLDPE 30/70%. Kata kunci : Laju transmisi uap air, Polibutilen suksinat, dan Linier Low Density Polyethylene
ABSTRACT Effect of Water Vapour Transmission Rate (WVTR) of polymer blend of Polybutylene Succinat (PBS) and Linear Low Density Polyethylene (LLDPE) on the self life of cream soup instant rasi have been evaluated on several composition of PBS/LLDPE blend. Percentage of PBS/LLDPE blend composition used to package cream soup 2 2 instant rasi was 30/70%, 50/50%, and 70/30%, with WVTR value of 9.06 g/m .day, 16.92 g/m .day, and 2 25.08 g/m .day respectively. By using critical water content method, the maximum self life of the cream soup instant rasi was 13 days by using (PBS/LLDPE) blend with percent composition of 30/70%. Key words : Water Vapour Transmission Rate, Polybutylene succinat, and Linear Low Density Polyethylene
PENDAHULUAN Salah satu fungsi kemasan dalam produk pangan yaitu melindungi produk yang dikemas dari berbagai kerusakan, sehingga kualitas produk dapat dipertahankan dan memperpanjang umur simpan. Menurut Tung dkk (2001), umur simpan merupakan konsep yang kompleks yang bergantung pada sifat-sifat dasar dari produk makanan, teknologi pengawetan yang digunakan, dan kondisi lingkungan produk pangan tersebut digunakan. Pengemasan memegang peranan penting dalam memelihara kualitas dan umur simpan suatu produk pangan,
dimana menjadi bagian utuh dalam sistem pengawetan pangan. Umur simpan atau masa kadaluarsa merupakan suatu parameter ketahanan produk selama penyimpanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kadar air dan aktivitas air (aw) sangat berpengaruh dalam menentukan umur simpan dari produk pangan, karena faktor-faktor ini akan mempengaruhi sifat-sifat fisik (kekerasan dan kekeringan) dan sifat-sifat fisiko kimia, perubahan-perubahan kimia (pencoklatan non enzimatis), kerusakan mikrobiologis dan
Pengaruh Laju Transmisi Uap Air…… Wiwik Pudjiastuti dkk
1
perubahan enzimatis terutama pangan yang tidak diolah (Winarno dan Jenie 1983). Penentuan umur simpan suatu produk pangan dilakukan dengan mengamati produk pangan selama penyimpanan hingga terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen dalam selang waktu tertentu. Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa perubahan mutu pangan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor mutu tersebut. Oleh karena itu, dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut. Sup krim instan rasi merupakan salah satu produk pangan instan yang pada penentuan umur simpannya sangat bergantung pada aktivitas air dan kadar air. Hal ini disebabkan karena produk sup krim instan rasi memiliki sifat hidrofilik (sifat mudah mengikat air), tidak memiliki lapisan sel yang tidak permeabel sebelum digunakan yang dapat menghambat laju pembasahan, dan rehidrasi produk akhir tidak menghasilkan produk yang menggumpal dan mengendap (Hartono dan Widiatmo 1993). Untuk itu diperlukan suatu bahan pengemas dengan permeabilitas terhadap uap air rendah sehingga mampu memperpanjang umur simpan produk sup krim instan rasi. Upaya lain yang saat ini sedang berkembang pesat adalah penggunaan polimer yang bersifat biodegradable. Menurut Matsumura (2005), material polimer biodegradable sudah banyak dikembangkan berdasarkan berbagai macam faktor, seperti struktur polimer, modifikasi kimia/enzimatik, blending, dan perlakuan mekanik. Faktor-faktor tersebut sangat berhubungan dengan mekanisme biodegradasinya. Beberapa jenis polimer biodegradable yang sudah banyak diproduksi di dunia diantaranya adalah asam polilaktat (PLA), polihidroalkanates (PHAs), polibutilen suksinat (PBS), dan polimer biodegradable sintetik lainnya, serta polimer berbahan baku pati, seperti jagung, kentang, dan sagu. Salah satu polimer biodegradable sintetik adalah polibutilen suksinat atau PBS. PBS diproduksi dari hasil reaksi polikondensasi glikol seperti etilen glikol dan butanediol-1,4, dengan asam dikarboksilat alifatik seperti asam suksinat dan asam adipat (Fujimaki 1997). PBS yang dikenal dengan nama Biodegradable Aliphatic Polyester (“Bionolle”) ini bersifat termoplastik dengan titik leleh sekitar 90ºC sampai 120ºC (serupa dengan LDPE), temperatur transisi gelas sekitar -45ºC sampai 10ºC (antara PE dan PP), nilai tensile strength yang berkisar antara nilai tensile strength PP dan PE, serta nilai
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 1-5
stiffness (kekakuan) berkisar antara nilai kekakuan yang dimiliki oleh LDPE dan HDPE. PBS dapat diproses dengan menggunakan mesin proses poliolefin pada temperatur 160ºC sampai 200ºC menjadi berbagai macam produk (Fujimaki 1997). Permasalahan utama yang muncul dari biopolimer polibutilen suksinat menurut Fujimaki (1997) pada kemasan pangan adalah masih diperlukan pengembangan penelitian untuk memperbaiki sifat fisik dan mekanik yang dimiliki oleh biopolimer ini, seperti misalnya ketahanan pada gas oksigen. Untuk meningkatkan sifatsifat tersebut, salah satu upayanya adalah membuat polimer blend dengan mencampur PBS dengan polimer lain yang mempunyai sifat yang diinginkan. Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui umur simpan produk sup krim instan rasi yang dikemas menggunakan biopolimer blend (PBS/PE) pada berbagai komposisi. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Penelitian Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji/resin plastik polibutilen suksinat, biji/resin plastik poli etilen (LLDPE), dan sup krim instan rasi. Sedangkan alat yang digunakan meliputi rheomix single screw extruder, blown film climatic chamber, alat uji WVTR, neraca analitik, oven, dan peralatan gelas. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif (explanatory research). Perlakuan dalam penelitian ini yaitu penyimpanan sup krim instan rasi yang dikemas menggunakan biopolimer blend (PBS-LLDPE) dengan komposisi sebagai berikut: A : LLDPE murni B : Biopolimer blend (PBS-LLDPE) dengan komposisi PBS 30% C : Biopolimer blend (PBS-LLDPE) dengan komposisi PBS 50% D : Biopolimer blend (PBS-LLDPE) dengan komposisi PBS 70% E : PBS murni. Proses pencampuran dilakukan dengan menggunakan polylab rheomix merk Haake. Biopolimer blend yang telah dicampur dibuat dalam bentuk kantong plastik menggunakan single screw extruder dan blown film. Kantong plastik yang dihasilkan digunakan untuk pengujian sifat fisik, mekanik, sifat barrier (WVTR), dan mengemas sup krim instan rasi
2
yang selanjutnya dilakukan pengujian untuk penentuan umur simpan. Penentuan umur simpan dilakukan dengan metode kadar air kritis menggunakan alat climatic chamber. HASIL DAN PEMBAHASAN Laju Transmisi Uap Air/WVTR Laju transmisi uap air merupakan suatu pengukuran kemudahan suatu bahan untuk dilalui uap air tanpa memperhitungkan ketebalan bahan dan perbedaan tekanan udara di dalam dan di luar bahan. Hasil dari pengujian laju transmisi uap air disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1, dapat dilihat LLDPE murni memiliki nilai laju transmisi uap air terendah yaitu sebesar 8,31 g/m2 hari, PBS murni memiliki nilai laju transmisi uap air tertinggi yaitu sebesar 2 150,62 g/m hari, serta campuran biopolimer blend (PBS-LLDPE) yang memiliki nilai laju transmisi uap air yang semakin tinggi seiring dengan meningkatnya komposisi PBS pada 2 campuran tersebut, yaitu sebesar 9,06 g/m hari, 2 2 16,92 g/m hari, dan 25,08 g/m hari. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat pula bahwa biopolimer blend (PBS-LLDPE) dengan komposisi PBS 30% memiliki laju transmisi uap air yang paling rendah dibandingkan komposisi 2 campuran lainnya, yaitu sebesar 9,06 g/m hari. Biopolimer blend (PBS-LLDPE) pada komposisi PBS sebesar 30% ini memiliki nilai laju transmisi uap air yang sedikit lebih tinggi daripada laju transmisi uap air LLDPE murni yaitu sebesar
2
8,31 g/m hari. Hal ini berarti jika plastik ini digunakan untuk mengemas produk pangan, maka akan terjadi penambahan berat sebanyak 9,06 g pada produk makanan yang dikemas setiap harinya. Hal serupa juga dapat dilihat pada biopolimer blend (PBS-LLDPE) dengan komposisi PBS sebesar 50% dan 70%, dimana jika plastik tersebut digunakan untuk mengemas produk makanan, maka akan terjadi penambahan berat sebesar 16,92 g dan 25,08 g setiap harinya. Bertambahnya berat produk makanan yang dikemas ini disebabkan karena uap air yang berdifusi melewati dinding plastik sehingga terjadi transfer uap air dari lingkungan ke produk makanan. Faktor yang menyebabkan uap air dapat berdifusi adalah kerapatan yang dimiliki oleh plastik. Biopolimer blend (PBS-LLDPE) dengan komposisi PBS sebesar 30% memiliki kerapatan plastik yang tinggi daripada campuran lainnya, akan tetapi masih dibawah kerapatan yang dimiliki LLDPE murni. Kerapatan plastik yang tinggi akan membuat uap air sulit menembus dinding plastik tersebut dan membuat plastik tersebut memiliki nilai laju transmisi uap air yang rendah (Suparno 1993). Semakin rendah laju transmisi uap air yang melewati dinding plastik maka bahan pangan yang dikemas didalamnya akan memiliki umur simpan yang lebih lama. Laju transmisi uap air biopolimer blend (PBS-LLDPE) pada berbagai komposisi ini masih lebih rendah daripada laju transmisi uap air beberapa jenis biopolimer. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Hasil pengamatan laju transmisi uap air Jenis plastik
Tebal (mm)
Luas 2 (m )
LLDPE Murni PBS Murni PBS/LLDPE ( 30/70%) PBS/LLDPE ( 50/50%) PBS/LLDPE ( 70/30%)
0,06 0,03 0,07 0,09 0,10
0,005 0,005 0,005 0,005 0,005
Perubahan berat perhari (g/hari) 0,042 0,757 0,045 0,085 0,125
WVTR 2 (g/ m hari) 8,31 150,62 9,06 16,92 25,08
Tabel 2. Perbandingan nilai laju transmisi uap air beberapa biopolimer dengan hasil penelitian Jenis biopolimer (a)
Poly (lactic acid) (PLA) Polyhydroxyalkanoates (PHB) (a) Polycaprolactone (PCL) (a) Polyesteramide (PEA) (a) Polybutylene Succinate (PBS) (a) Aromatic copolyesters (PBAT) (b) PBS murni (b) Biopolimer blend (PBS-LLDPE) komposisi PBS 30% (b) Biopolimer blend (PBS-LLDPE) komposisi PBS 50% (b) Biopolimer blend (PBS-LLDPE) komposisi PBS 70% (a)
Nilai laju transmisi uap air 2 (g/m hari) 172 21 177 680 330 550 150,62 9,06 16,92 25,08
Sumber: (a) Averous (2011), (b) Hasil Penelitian (2011)
Pengaruh Laju Transmisi Uap Air…… Wiwik Pudjiastuti dkk
3
Umur Simpan Sup Krim Instan Rasi Pada penentuan suatu umur simpan metode kadar air kritis pada produk yang akan dikemas yaitu sup krim instan rasi, perlu diketahui nilai kadar air awal, kadar air kritis, dan kadar air kesetimbangan, sedangkan pada plastik yang akan digunakan untuk mengemas juga terlebih dahulu dilakukan uji global migrasi untuk dinyatakan bahwa plastik tersebut aman untuk mengemas produk pangan. Hasil pengujian kadar air awal, kadar air kritis, dan kadar air kesetimbangan disajikan pada Tabel 3. Pengukuran kadar air bahan pangan ini penting sekali dalam menentukan daya awet dari bahan pangan. Hal ini karena kadar air dapat mempengaruhi sifat fisik seperti pengerasan atau penggumpalan pada produk bubuk atau serbuk (Buckle et.al 1987). Berdasarkan Tabel 3, kandungan air pada sup krim instan rasi cukup rendah yaitu 4,26%, kadar air tersebut telah sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (1999) untuk kadar air produk sup krim instan yaitu maksimal 8%. Hasil nilai kadar air kritis sup krim instan rasi dapat dilihat pada Tabel 3, dimana kadar air kritis sup krim instan rasi adalah 10,93%. Menurut Syarief, Santausa, dan Isyana (1989), kadar air kritis adalah kadar air produk dimana secara organoleptik sudah tidak dapat diterima oleh konsumen. Parameter kritis untuk produkproduk bubuk dan tepung adalah penggumpalan. Kadar air kesetimbangan merupakan suatu keadaan dimana produk sup krim instan rasi sudah mengalami kejenuhan dan tidak akan mengalami penambahan kadar air.
Berdasarkan Tabel 3, nilai kadar air kesetimbangan sup krim instan rasi adalah sebesar 55,60%. Interaksi molekul air dengan sup krim instan rasi terjadi karena adanya perbedaan kadar air sup krim instan rasi dan RH lingkungan (climatic chamber). Transfer uap air dari lingkungan ke sampel atau sebaliknya akan terjadi selama penyimpanan tertentu sampai terjadi kondisi kesetimbangan. Proses difusi akan terjadi hingga tekanan uap air bahan sama dengan tekanan uap air lingkungannya. Proses difusi dapat terjadi secara adsorpsi dan desorpsi. Proses adsorpsi adalah proses penyerapan uap air oleh bahan dari lingkungan, sedangkan proses desorpsi adalah proses pelepasan uap air bahan ke lingkungan (Man 1997). Pada pengamatan kadar air kesetimbangan yang terjadi penyerapan uap air oleh bahan dari lingkungan, hal tersebut disebabkan sup krim instan rasi memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan kadar air yang ada dalam lingkungan (ERH). Parameter lain yang dibutuhkan selain kadar air awal, kadar air kritis, dan kadar air kesetimbangan dalam menentukan umur simpan sup krim instan rasi pada metode kadar air kritis adalah dengan mengetahui nilai K atau konstanta laju pertambahan kadar air. Nilai K merupakan slope dari ln (Me-M) dan waktu dalam grafik penyimpanan sup krim instan rasi yang dikemas menggunakan berbagai macam komposisi biopolimer blend (PBS-LLDPE) hingga sup krim instan rasi tersebut mencapai kadar air kritis.
Tabel 3. Data pengujian beberapa parameter sup krim instan rasi dan umur simpan sup krim instan rasi setelah pengemasan Sup krim instan rasi sebelum pengemasan Kadar air (%, b/k) Pengujian I II Kadar air awal Kadar air kritis Kadar air kesetimbangan
4,29 10,51 55,18
4,23 11,36 56,03
Sup krim instan rasi setelah pengemasan Laju transmisi Jenis plastik Nilai K rata- rata uap air 2 (g/m hari) LLDPE murni 8,31 0,010 PBS/LLDPE ( 30/70%) 9,06 0,011 PBS/LLDPE ( 50/50%) 16,92 0,031 PBS/LLDPE ( 70/30%) 25.08 0,046 PBS murni 150,62 0,236
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 1-5
Rata-rata kadar air (%, b/k) 4,26 10,93 55,60 Umur simpan sup krim instan rasi yang dikemas (hari) 14 13 5 3 0,6
4
KESIMPULAN Laju transmisi uap air (WVTR) polimer blend (PBS-LLDPE) semakin kecil dengan bertambahnya komposisi LLDPE pada campuran. Nilai WVTR pada komposisi 30/70, 2 50/50, dan 70/30 berturut-turut adalah 9,06 g/m 2 2 hari, 16,92 g/m hari, dan 25,08 g/m hari dengan nilai laju transmisi uap air LLDPE dan PBS murni adalah 8,31 g/m2 hari dan 150,62 g/m2 hari. Semakin kecil nilai WVTR dari polimer blend maka umur simpan sup krim instan rasi yang dikemas semakin panjang. Umur simpan maksimal dari sup krim instan rasi adalah 13 hari yang dikemas dalam campuran PBS-LLDPE dengan komposisi 30/70. DAFTAR PUSTAKA Budiman, N. 2003. Polimer biodegradable. http://smk3ae.wordpress.com/2008/08/ 20/polimer-biodegradable/. (Diakses pada : 21 Desember 2010) Donhowe, I.G. dan O. Fennema. 1994. Edible films and coatings : characteristics, formation, definitions, and testing method. Dalam Krochta, J.M., E.A.Baldwin, dan M.O. NisperosCarriedo. Edible coatings and film to improve food quality. Bazel : Technomic Publishing Company, Inc. Ellis, M. J. 1994. The methodology of self life determination. Dalam C. M. D. Man dan A. A. Jones. Self life evaluation foods. hal 27. London : Blackie Academic & Professional. Floros, J.D. dan V. Gnanasekharan. 1993. Self life prediction of packaged food : chemical, biological, physical, and nutrional aspect. New York : Charalambous, G. (ed.) Elsevier. Fujimaki, T. 1997. Processability and properties of aliphatic polyester, ‘BIONOLLE’, synthesized by polycondensation reaction. Polymer Degradation and Stability 59. Hartono, A. dan M.C. Widiatmoko. 1993. Emulsi dan pangan instan Berlesitin. Yogyakarta : Andi Offset. Herudiyanto, M.S. 2008. Teknologi pengemasan pangan. Bandung : Widya Padjadjaran. Labuza, T. P. 1982. Self life dating of foods. Connecticut, Westport : Food Nutrition Press Inc. Labuza, T. P. dan M. L. Schmidl. 1985. Accelerated self life testing of food. West Prt CT : Food and Nutrition Press.
Latief, R. 2001. Teknologi kemasan plastik biodegradable. Dalam : Makalah falsafah sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor. Man, J. M. de. 1997. Kimia makanan. Penerjemah Kosasih Padmawinata. Bandung : Institut Teknologi Bandung. Massey, L.K. 2004. Film properties of plastics and elastomers. Norwich : Plastics Design Library. Matsumura, S. 2005. Mechanism of biodegradation. Dalam : R. Smith. Biodegradable polymers for industrial applications. New York : CRC Press. Nikham, F. Yoshii. dan K. Makuuchi. 2000. Studi perbandingan degradasi secara enzimatik campuran CPP/BIONOLLE dan CPP/PCL dengan Modic. Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi. Nolan-ITU. 2002. Environment Australia: biodegradable plastic-development and environment impact. Melbourne: Nolan-ITU Pty Ltd. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No: HK 00.05.55.6497. 2007. Pranamuda, H. 2001. Pengembangan plastik biodegradabel berbahan baku pati tropis. http://bersihplanet.multiply.com/journal ?&page_start=20 (Diakses pada 21 Desember 2010) Shah, V. 2007. Handbook of plastics testing and failure analysis. New Jersey : WileyIntersience. Suparno. 1993. Struktur kimia dan fisik plastik. Dalam : Editor Sudarmadji. Pengemasan bahan makanan dengan plastik. Bahan Kursus Singkat Pengemasan Bahan Makanan dengan Plastik. Yogyakarta : Fak. Teknologi Pertanian UGM. Syarief, R. dan Y. Halid. 1993. Teknologi penyimpanan pangan. Bandung : Penerbit Aecan. Tung, M.A., I.J. Britt, dan S. Yada. 2001. Packaging considerations. Dalam: Eskin, N.A.M dan D.S. Robinson. Food self life stability. Chemical, Biochemical and Microbiological Changes. Boca Ranton, London, New York and Washington, D.C. : CRC Press LLC : p.129 -145. Vegt, A. K.van der. 2005. From polymers to plastics. VSSD. ISBN: 9071301621
Pengaruh Laju Transmisi Uap Air…… Wiwik Pudjiastuti dkk
5
POTENSI PENERAPAN POLIMER NANOKOMPOSIT DALAM KEMASAN PANGAN (POTENTIAL APPLICATIONS OF POLYMERIC NANO-COMPOSITES IN FOOD PACKAGING)
Agus Sudibyo dan Tiurlan F.Hutajulu Balai Besar Industri Agro (BBIA) Kementerian Perindustrian Jl. Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122 E-mail:
[email protected] Received : 13 Februari 2013 ; revised : 28 Februari 2013; accepted : 29 April 2013
ABSTRAK Hingga saat ini bahan yang digunakan untuk kemasan pangan merupakan bahan yang tidak mudah diurai dan menimbulkan permasalahan terhadap lingkungan. Sifat permeabilitas dan mekanis serta hambatannya yang rendah terhadap uap dan gas yang dimiliki oleh matriks polimer, telah mendorong ketertarikan dalam strategi baru untuk mengembangkan perbaikan sifat-sifat tersebut. Penelitian dan pengembangan bahan polimer dengan cara memadukan bahan pengisi yang tepat, melalui interaksi matriks bahan pengisi dan strategi formula baru untuk pembuatan polimer nanokomposit mempunyai potensi untuk diterapkan dalam kemasan pangan. Partikel nano secara proporsional mempunyai luas permukaan lebih besar dibandingkan dengan bentuk skala mikronya, sehingga lebih sesuai digunakan sebagai matriks bahan pengisi untuk menjaga kinerja bahan nanokomposit yang dihasilkan. Pada tulisan ini, beberapa potensi penerapan bahan polimer nanokomposit dalam kemasan pangan telah dibahas, termasuk : bahan nanokomposit untuk kemasan dan teknologi pembuatannya, nanokomposit tanah liat-polimer sebagai bahan kemasan yang mempunyai sifat penghambat terhadap uap dan gas yang tinggi, partikel nano perak, dan partikel lain yang berpotensi sebagai antimikroba dalam kemasan pangan, sebagai integrator dan sensor nano serta sebagai material nanokomposit yang berbasis pengujian untuk mengidentifikasi dan mendeteksi bahan-bahan yang dianalisis pada produk pangan (misalnya : gas, uap, dan bakteri patogen penyebab keracunan). Kata kunci : Nanokomposit, Polimer, Kemasan pangan
ABSTRACT Currently materials used for food packaging are generally non-degradable and therefore generating environmental problems. Inherent permeability of polymeric materials to gases and vapors, and poor barrier and mechanical properties of biopolymers have boosted interest in developing new strategies to improve those properties. Research and development in polymeric materials coupled with appropriate fillers, matrix filler interaction and new formulation strategies to develop forming polymeric nanocomposites have potential applications in food packaging. Nano-particles have proportionally larger surface area than their microscale, which favors the filler matrix interaction and the performance of the resulting materials. In this article, several potential applications of polymeric nanomaterials in food packaging are reviewed, including : nanocomposites for packaging and its preparation technology, polymer/clay nanocomposites as high barrier packaging materials, silver and other nanoparticles as potent antimicrobial agents in food packaging, and nanosensor and nanomaterials based on assays for the detection and identification of food relevant analytes (gases, vapors and food-borne pathogens) . Keywords : Nanocomposites, Polymers, Food packaging
PENDAHULUAN Pada beberapa tahun terakhir ini, permintaan konsumen terhadap produk pangan yang diolah dengan prinsip minimal (minimally processed), mudah disajikan dan/atau siap santap (ready-to-eat) dalam keadaan segar, serta adanya pengaruh globalisasi perdagangan pangan dan distribusi dari pengolahan yang terpusat merupakan salah satu tantangan utama
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 6-19
yang dihadapi oleh industri pangan untuk meningkatkan jaminan mutu dan keamanan pangan. Sebagai konsekuensinya, akhir-akhir ini banyak kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan secara ekstensif oleh industri pangan untuk mengembangkan teknik/teknologi pengolahan pangan secara non-thermal (tanpa proses pemanasan) seperti penggunaan
6
teknologi PEF (Pulse Electric Field), HHP (Hydraulic High Pressure), IR (Infra Red), UV (Ultra Violet) and US (Ultra Sonic) sebagai pengganti untuk pengolahan pangan secara thermal (menggunakan panas) agar diperoleh produk pangan yang masih segar dengan umur simpan produk yang lebih panjang (lama). Namun, beberapa jenis teknologi pengolahan pangan non-thermal tersebut, meskipun kemungkinannya kecil dapat menyebabkan adanya kontaminasi pada pangan; teknologi tersebut juga relatif memerlukan energi yang intensif tinggi dan perlu menggunakan peralatan yang sangat mahal, sehingga implementasinya secara komersial masih terbatas. Oleh karena itu, perlu dicari pemecahannya dengan cara lain agar produk pangan yang dibutuhkan konsumen berdasarkan kriteria di atas dapat dipenuhi, tetapi juga dengan biaya yang kompetitif. Salah satu teknologi yang dapat membantu untuk tujuan tersebut adalah pengembangan penggunaan teknologi kemasan pangan untuk meminimisasi terjadinya susut produk pangan, sekaligus menjamin produk pangan tetap terjaga keamanan pangan dan mutunya. Saat ini, dengan berkembangnya teknologi nano dengan membuat material/ bahan menjadi berukuran atau berskala nano, maka penggunaan teknologi nano untuk pengembangan kemasan pangan yang dapat menjamin keamanan pangan dan mutu produk, menjadi menarik perhatian dan berpengaruh besar terhadap industri kemasan pangan. Sebagai contoh, adanya inovasi pada skala nano dan aplikasi teknologi nano pada senyawa polimer membuka peluang baru untuk perbaikan tidak hanya pada sifat-sifat polimer yang bersangkutan, tetapi juga tehadap biaya pembuatannya yang lebih efisien (Sorrentino et al. 2007). Bahkan inovasi teknologi nano telah dikembangkan dalam bentuk aplikasi untuk mendeteksi bakteri pathogen, pengemas/ kemasan aktif, kemasan antimikroba dan penghambat formasi terbentuknya racun telah banyak dikembangkan implementasinya pada senyawa atau bahan komposit nano polimer (Emamifar et al. 2010; 2011; Brody et al. 2008). Mengingat kemasan pangan penting untuk melindungi produk pangan dari pengaruh lingkungan yang dapat menyebabkan adanya kerusakan pada produk pangan seperti : panas, cahaya, uap air, oksigen, kotoran, partikel debu, emisi gas dan lain-lain; maka dalam tulisan ini akan dibahas tentang polimer nano-komposit dalam kemasan pangan dan teknologi pembuatannya serta potensi penerapan komposit nano polimer dalam kemasan pangan.
PEMBAHASAN Polimer Nano-Komposit Dalam Kemasan Pangan Dan Teknologi Pembuatannya Komposit nano oleh Azeredo et al. (2008) didefinisikan sebagai suatu material multi-fase yang berasal dari kombinasi dua komponen atau lebih, yaitu : pertama, suatu komponen matriks sebagai suatu fase kontinu dan kedua, fase dimensional nano sebagai fase tidak kontinyu yang berukuran satu dimensi ukuran nano dengan diameternya kurang dari 100 nm. Beberapa jenis komposit telah dikembangkan dengan cara memperkuat senyawa komposit tersebut ke polimer untuk meningkatkan sifat ketahanannnya terhadap panas, mekanis dan hambatan lainnya. Namun kebanyakan materimateri komposit yang sudah diperkuat ini masih ada kelemahan pada kedua sisi antar muka komponen-komponen tersebut (Azeredo 2009). Sebagai hasilnya, bagi industri polimer termasuk industri kemasan pangan masih tetap perlu mengembangkan material lain yang lebih baik untuk kemasan pangan. Salah satu material terakhir yang dapat menjawab masalah di atas adalah pembuatan komposit polimer lalu dikembangkan menjadi komposit nano polimer (Duncan 2011). Polimer nano-komposit adalah campuran antara senyawa polimer dengan bahan pengisi (filler) senyawa organik atau anorganik dalam bentuk geometri tertentu (Misalnya dalam bentuk serat/fiber, flakes, spheres dan particulate). Bila bahan pengisi (filler)nya ini mengandung partikel nano, maka akan menghasilkan sutau bahan matriks komposit nano polimerik (Alexandre dan Dubois 2000). Menurut Luduena et al. (2007), dinyatakan bahwa polimer nano-komposit mempunyai keunggulan interaksinya yang lebih antara senyawa (bahan) polimer dengan bahan pengisinya daripada komposit konvensional. Hal ini disebabkan karena larutan dispersi yang didalamnya terdapat partikel nano yang seragam menyebabkan luas area antar muka matriks bahan pengisi menjadi luas dan besar, sehingga akan mengubah sifat mobilitas/pergerakan molekuler, tingkah laku yang lebih fleksibel serta sifat-sifat thermal dan mekanis materialnya. Bahan pengisi atau filler yang digunakan dalam pembuatan matriks polimer nanokomposit dapat mencakup tanah liat (clay) dan platelet silikat nano, partikel silika (SiO2) (Wu et al. 2002; Vladimirov et al. 2007), nanotube carbon (Zhoe et al. 2004; Chen et al. 2005; Zing et al. 2006; Kim et al. 2008; Prashantha et al. 2009), grafen atau graphene, kristal nano pati
Potensi Penerapan Polimer Nanokomposit…… Agus Sudibyo dan Tiurlan F.Hutajulu
7
(Chen et al. 2008; Kristo dan Biliaderis 2007); serat nano berbasis sellulosa (Azeredo et al. 2009; Azeredo et al. 2010; Dufresne et al. 2000; Podsiadlo et al. 2005 dan Oksman et al. 2006); partikel nano khitin dan khitosan (Lu et al. 2004; Srinpayo et al. 2005; De Moura et al. 2009) dan senyawa anorganik lainnya (Zhang and Rong 2003). Bahan pengisi yang mempunyai nisbah atau ratio perbandingan yang tinggi, yaitu antara bahan pengisi yang mempunyai dimensi tinggi dengan bahan pengisi yang dimensinya paling rendah adalah merupakan sifat penting dari komposit nano polimer; karena bahan pengisi yang mempunyai aspek perbandingan lebih tinggi akan mempunyai area permukaan spesifik yang lebih tinggi pula, sehingga bahan tersebut menyediakan pengaruh penguatan yang lebih baik (Azizi-Samir et al. 2005; Dalmas et al. 2007). Disamping itu, pengaruh terhadap penguatan kembali partikel nano atau nanoreinforcement sendiri, suatu wilayah antar muka yang mobilitasnya turun di sekitar masingmasing bahan pengisi nano akan menghasilkan persekutuan jaringan antar muka pada komposit yang berperan penting dalam memperbaiki sifatsifat komposit nano (Qiao dan Brinson 2009). Untuk kandungan bahan pengisi yang bersifat stabil, penurunan terhadap ukuran partikel akan meningkatkan jumlah partikel bahan pengisi, dan membawa mereka saling mendekat satu
Proses
dengan lainnya; sehingga lapisan antar muka yang berasal dari partikel-partikel berdekatan akan saling meliputi dan mengubah sifat bulk (kamba)nya menjadi lebih signifikan (Jordan et al. 2005). Ada tiga metode yang umum digunakan untuk membuat komposit nano polimer, yaitu cara pelarutan/pemecahan, teknik polimerisasi interlamellar atau polimerisasi in situ, dan pengolahan dengan cara pencairan atau peleburan (melting processing). Cara pelarutan/pemecahan dapat digunakan untuk membentuk bahan/material komposit nano saling tersusup dan terkelupas (exfoliated). Pada cara ini, komposit tanah liat (clay) dikembungkan dalam suatu pelarut. Kemudian ditambahkan larutan polimer dan molekulmolekul polimer akan memperluas area di antara lapisan-lapisan bahan pengisi. Pelarut yang didapat (solvent) diuapkan dengan cara evaporasi (Emamifar 2011). Untuk cara kedua, yaitu teknik polimerisasi interlamellar atau polimerisasi secara alamiah (in situ), menggembungkan bahan pengisi dengan absorpsi dari larutan monomernya. Setelah bahan monomer tersebut dipenetrasikan ke dalam di antara lapisanlapisan silikat, maka polimerisasi akan diinisasi oleh panas, radiasi atau penyatuan (inkorporasi) dari inisiator pemulanya.
Tabel 1. Teknologi proses pembuatan komposit nano polimer dan sistemnya (*) Sistem Prosedur
Pelarutan melalui proses penyisipan/ interkalasi prapolimer atau monomer
Tanah liat (clay) dengan asam polilaktik, HDPE (High Density Poly Ethilene), PVA (Poly Vynil Acide)
- Digunakan untuk melapis m ateri yang diperkuat dalam polimer yang mengalami penyisipan (interkalasi) - Terutama untuk pelapisan silikat yang mengalami penyisipan/interkalasi dengan polimer/prapolimer dalam pelarutan - Menggunakan pelarut, dimana senyawa polimer/prapolimer (mono-mer) dapat larut dan lapisan silikat dapat menggelembung
Polimerisasi penyisipan secara alamiah (in situ)
Tanah liat (clay) montmorillorate dengan N6/ Poly Chloro Lactic/Epoksi
- Penyarungan lapisan silikat dalam cairan atau larutan monomer sehingga membentuk polimer di antara lembar penyisipan/interkalasi - Polimerisasi dilakukan dengan panas atau irradiasi, dengan adanya difusi dari iniator yang sesuai atau dengan suatu katalis tetap melalui proses pertukaran kation di dalam antar lapisan, sebelum dilakukan tahap penggelembungan
Penyisipan/interkalasi secara peleburan
Montmorillonate dengan poli stirene, poli propilen, poli vinil propelin, tanah liat (clay) Poly Vinyl Phenyl Hydroksi (PVPH)
- Penguatan dan pemanasan campuran polimer dan bahan pelapis yang digunakan di atas titik pelunakan dari polimer secara statis atau di bawah pemotongan; - Terjadi difusi ikatan polimer dari pelelehan polimer kamba ke dalam serambi/bilik di antara kelompok lapisan selama proses penguatan
Sintesis dalam Baki (Template)
Tanah liat (clay) Hektorit dengan Poly Vinyil Phenyl Rubber (PVPR), Hectorite Poly Montmorillonate Clay (HPMC)
- Pembentukan secara alamiah (in situ) struktur lapisan materi inorganik dalam larutan/air yang berisi polimer; - Polimer yang larut dalam air bertindak sebagai tempat penampung (baki) untuk pembentukan formasi lapisan-lapisan ; - Banyak digunakan untuk sintesis Low Density Hektorit komposit nano, tetapi masih sedikit digunakan untuk melapisi silikat.
(*) Sumber : Camargo et al. (2009)
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 6-19
8
Tabel 2. Keuntungan dan keterbatasan penggunaan teknologi yang digunakan di atas dalam pembuatan komposit nano polimer (*) Proses Keuntungan Keterbatasan Pelarutan melalui proses penyisipan/ interkalasi atau prapolimer (monomer)
- Sintesis komposit nano yang disipkan berdasarkan polimer dengan polarisasi rendah atau tanpa polarisasi sam a sekali; - Penyisipan larutan dispersi yang homogen dari bahan pengisi
Polimerisasi penyisipan secara alamiah (in situ)
Prosedurnya mudah berdasarkan dispersi dari bahan pengisi dalam prekursor polimer
Penyisipan peleburan
Sintesis (Template)
dengan
dalam
Di dalam industri diperlukan pelarut dalam jumlah yang besar atau banyak
- Sulit mengendalikan proses intra-serambi atau antar bilik ; - Penggunaan terbatas
polimerisasi
cara
- Tidak berbahaya terhadap lingkungan ; - Penggunaan polimer tidak sesuai untuk cara lain ; - Cocok/sesuai untuk proses industri polimer
Terbatas penggunaannya terhadap senyawa poli-olefin ; yang merepresentasikan penggunaan terbesar dari polimer
Baki
- Skala produksi besar - Prosedur mudah
- Keterbatasan dalam penggu-naannya, berdasarkan polimer yang mudah larut dalam air; - Dapat terkontaminasi oleh produk sampingan lain
(*) Sumber : Camargo et al. (2009)
Metode/cara peleburan atau cara ketiga merupakan cara yang biasa (umum) dipakai sebagai akibat karena kurangnya bahan pelarut (solvent). Dalam hal ini, pada cara peleburan, bahan pengisi komposit nano direaksikan atau disatukan dengan polimer yang sudah dilebur, lalu dibentuk ke dalam material akhir (Brody et al. 2008). Informasi secara lengkap dan ringkas tentang metode/cara dan teknologi pembuatan sistem polimer berdasarkan komposit nano disajikan pada Tabel 1; sedangkan keuntungan dan keterbatasan dalam pembuatan senyawa komposit nano polimer menggunakan teknologi atau cara di atas disajikan pada Tabel 2. Potensi Penerapan Polimer Nano-Komposit Dalam Kemasan Pangan Potensi penerapan polimer nano-komposit dalam kemasan pangan sebenarnya cukup luas, namun secara garis besar pada prinsipnya mencakup 4 (empat) hal sebagai berikut : (1) Aplikasi komposit nano polimer tanah liat, (2) Aplikasi polimer matriks nano-komposit, (3) Aplikasi polimere nano-komposit sebagai bahan antimikroba dan (4) Aplikasi polimer nanokomposit sebagai alat sensor dan pendeteksi gas pada kerusakan pangan. Aplikasi Polimer Nano-Komposit Tanah liat Aplikasi polimer nano-komposit-tanah liat untuk kemasan pangan pertama kali diilhami hasil temuan dan teori yang dikembangkan oleh Nielsen (1967) tentang sistem permeabilitas pada bahan komposit nano tanah liat-polimer yang menunjukkan dapat mencapai kurang dari 1 persen; kemudian diperkuat oleh hasil temuan penelitian Adame dan Beall (2009) yang
menyatakan bahwa biostruktur polimer yang digabung/dipadu dengan tanah liat nano dapat mengurangi/meminimisasi atau pembatasan gas atau uap pada lapisan tipis biopolimer. Selanjutnya, banyak hasil penelitian lain melaporkan pula bahwa tanah liat nano efektif dalam mengurangi gas oksigen untuk masuk ke dalam kemasan (Koh et al. 2008; Lotti et al. 2008) dan permeabilitas uap air (Jawahar dan Balasubramanian 2006; Lotti et al. 2008). Polimer nano-komposit tanah liat dilaporkan pula dapat memperbaiki sifat kekuatan mekanis biopolimer (Cyras et al. 2008), membuat komposit nano tanah liat-polimer tersebut menjadi lebih memungkinkan dapat dikerjakan dengan mudah (Weiss et al. 2006). Manfaat lain dari polimer nano komposit tanah liat dalam kemasan pangan adalah terhadap kinerja berbagai jenis polimer yang lebih baik karena adanya partikel nano tanah liat, termasuk meningkatnya transisi gelas/glass trancisition (Peterson dan Oksman, 2006/ serta suhu degradasi thermal polimer (Bertini et al. 2006). Karena bahan pengemas dari polimer nano-komposit tanah liat biasanya relatif tidak mahal untuk diproduksi dalam skala industri; maka telah terdapat sejumlah perusahaan industri kemasan yang memproduksi material/bahan tersebut secara komersial. Beberapa perusahaan industri tersebut adalah Nanocor yang menghasilkan beragam jenis polimer nano-komposit tanah liat dalam bentuk pelet; dan terdapat beberapa produk yang telah bermerk seperti Aegis (Honeywell Polymers), Durethan (Lanxess Deutschands), Imperm (Color Matrix Corp.), Tuff (Nylon Corporation of America) dan Nano-seal (Nano Park Inc.) (Duncan 2011). Bahkan perusahaan
Potensi Penerapan Polimer Nanokomposit…… Agus Sudibyo dan Tiurlan F.Hutajulu
9
industri Nanocor Inc. dan perusahaan industri Southern Clay Products, Inc. melakukan kerjasama dalam memperoduksi bahan kemasan plastik dari bahan polimer nanokomposit dicampur tanah liat jenis montmorillonite sehingga menghasil;kan kemasan plastik polimer yang lebih ringan, lebih kuat, lebih tahan panas serta mampu memperbaiki dan meningkatkan hambatan terhadap gas, uap air dan senyawa volatil yang mudah menguap (Moraru et al. 2003). Pada umumnya secara komersial produkproduk polimer nano-komposit tanah liat saat ini diperdagangkan untuk tujuan penerapan khusus; termasuk di dalamnya pada beberapa industri makanan dan minuman. Kemasan polimer nano-komposit tanah liat misalnya menjadi populer/terkenal untuk digunakan pada industri manufaktur minuman bir, seperti pada perusahaan minuman bir Miller Brewing Company (Lagaron dan Lopez-Rubio 2010), yang dimanfaatkan sebagai bahan dalam pembuatan botol plastik dengan sifat mempunyai hambatan tinggi terhadap transmisi gas oksigen dan karbon dioksida. Berbagai jenis/tipe polimer nano-komposit tanah liat telah dikembangkan untuk memenuhi persyaratan aplikasi khusus. Sebagai contoh saat ini beberapa polimer nano-komposit tanah liatr (poli-laktida) telah dapat diperoleh secara komersial (Alexadre dan Dubois 2000) dan diaplikasikan sebagai ablatif (ablatives) serta sebagai komposit yang mudah didegradasi (Ray et al. 2003; Ray dan Okamoto 2003; Mohanty et al. 2003). Hal ini mencakup Nylon-6 (misal : Durethan LDPU/Low Density Poly-Urythane) yang diproduksi oleh Bayern Food Package dan polipropilen untuk kemasan pangan. Polimer nano-komposit tanah liat yang sudah diproduksi secara komersial dan target masing-masing pasar disajikan pada Tabel 3. Perusahaan industri Nanocor Inc. dan Mitsubitshi Chemical di New York berhasil mengembangkan suatu produk kemasan dengan merk Imperm, yaitu suatu produk komposit nano-polimer nilon MXD 6 yang dapat memperbaiki dan meningkatkan kemampuan yang lebih baik terhadap sifat hambatan penahan gas, uap air dan senyawa volátil yang digunakan pada kemasan lapisan tipis dan botol plastik dari PET/Polietilen tetrakhlorida (Brody 2006; 2007). Kemasan dari bahan/material polimer nano-komposit tanah liat ternyata juga mampu digunakan sebagai bahan pelapis untuk menghambat gas oksigen dalam proses ekstrusi pembuatan botol plastik di industri manufaktur untuk produk jus dari buah-buahan, produk susu dan hasil olahannya, bir dan minuman berkarbonat. Bahkan dapat digunakan pula sebagai suatu lapisan komposit nano tanah liatpolimer dalam lapisan berganda tipis kemasan
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 6-19
botol plastik untuk memperkuat dan memperpanjang umur simpan/daya simpan (shelf life) berbagai produk olahan pangan seperti: produk olahan daging, keju, konfeksioneri, serealia dan produk siap saji yang dikemas plastik khusus untuk proses pemanasan (Brody 2007; Moraru et al. 2003). Aplikasi Matriks Polimer Nano-Komposit Aplikasi matriks polimer nano-komposit untuk kemasan pangan dimulai sejak serat sellulosa diketahui sebagai senyawa polimer alami yang tinggi kekuatannya. Disamping itu, sellulosa mempunyai keunggulan, yaitu : murah atau kompetitif, mudah diperoleh, ramah lingkungan dan menggunakan enerji yang rendah dalam proses pabrikasinya (Podsiadlo et al. 2005). Proses dan teknologi pembuatan komposit nano matriks polimer sendiri pada prinsipnya berdasarkan 2 jenis penguatan kembali nano (nano-reinforcements), yakni serat sellulosa-mikrofibril dan serat rambut atau whiskers (Azizi-Samir et al. 2005). Hal ini disebabkan karena penguatan kembali nano serat sellulosa dilaporkan telah dapat menghasilkan pengaruh yang sangat besar terhadap perbaikan sifat modulus matriks polimer (Bhatnagar dan Sain 2005; Wu et al. 2007). Bahkan serat sellulosa sangat efektif untuk memperbaiki sifat modulus dan kekuatan polimer, khususnya pada suhu di atas suhu transisi gelas dari matriks polimer yang bersangkutan (Dufresne et al. 2000). Dalam hal ini, ikatan senyawa sellulosa yang berasal dari tanaman atau hewan disintesa membentuk mikrofibril atau serat nano, yang dibundel dalam suatu molekul yang diperpanjang dan distabilisasi melalui ikatan hidrogen (Azizi-Samir et al. 2005; Wang dan Sain 2007). Mikrofibril mempunyai diameter berukuran nano (2 nm sampai 20 nm; tergantung asal bahan sellulosa) dan panjang dalam rentang mikrometer (Oksman et al. 2006). Setiap mikrofibril dibentuk oleh agregasi elemen-elemen fibril sehingga membentuk struktur dalam bentuk kristalin dan amorf. Bagian kristal ini dapat diisolasi dengan beberapa perlakuan menghasilkan serat rambut halus (whiskers) yang dikenal dengan nama nanorods atau balok mikrokristal sellulosa (Azizi-Samir et al. 2004, Dujardin et al. 2003) dengan rentang panjang dari 500 nm hinggá 1 μm sampai 2 μm dan diameter 8 nm sampai 20 nm atau kurang (Lima dan Barsoli 2004) sehingga menghasilkan aspek perbandingan (ratio) yang tinggi. Namun serat rambut halus sellulosa hinggá saat ini belum dapat dibuat secara komersial, kecuali serat sellulosa mikrokristalin (SMK) yang sudah dapat dibuat secara komersial.
10
Tabel 3. Polimer nano-komposit tanah liat komersial dan target pasar yang dituju (*) Pemasok dan Nama dagang Bahan pengisi Matriks resin Target pasar yang dituju (merk) nano Bayer AG (Durethan LDPU/Low Density Poly Urethane)
Nylon 6
Tanah liat organik (Organoclay)
Untuk Hambatan pada lapisan tipis
Clariant
PP (Poli propilen)
Tanah liat organik (Organoclay)
Untuk Kemasan
Honey Well
Nylon-6 Barrier nylon
Tanah liat organik (Organoclay)
-
Nanocor (Imperm)
Nylon 6,12
Tanah liat organik (Organoclay)
Manfaat ganda
Manfaat ganda (multipurpose) Botol dan lapisan tipis
(*) Sumber : Camargo et al. (2009)
Dalam hal ini, sellulosa mikrokristalin dibentuk dari partikel-partikel sellulosa yang sudah terhidrolisis dan berisi mikrokristalin dalam jumlah yang banyak bersama-sama area tempat amorf-nya (Peterson dan Oksman 2006 a). Proses untuk mendapatkan sellulosa mikrokristalin ini dilakukan dengan cara menghilangkan pada bagian area/daerah amorf berdasarkan perusakan oleh asam sehingga meninggalkan area kristalin yang kurang mudah diakses dalam bentuk kristal-kristal murni dengan ukuran panjang 200 nm sampai 400 nm dan mempunyai ukuran nilai aspek perbandingan 10 serta derajat polimerisasi kurang lebih 140 – 400; tergantung pada sumber asal sellulosa dan prosedur perlakuannya (Wu et al. 2007). Potensi penerapan matriks polimer nanokomposit yang cukup menarik ádalah dalam pengembangan kemasan plastik berbasis pati untuk produk pangan yang mudah didegradasi secara alamiah. Namun, sifat kerapuhan pati memerlukan penggunaan bahan plasticisers seperti senyawa polimer poliol yang dapat memperbaiki sifat fleksibelitas pati (Azeredo 2009). Menurur Lima dan Borsali (2004), penambahan serat rambut halus polimer dalam sistem pati dapat memperkuat sifat-sifat thermomekanis, mengurangi sensitivitas terhadap uap air dan menjaga sifat kemampuan biodegradasinya. Perbaikan sifat komposit nano matriks polimer untuk kemasan pangan dengan cara/teknologi penguatan kembali (reinforcement) serat nano sellulosa telah dilakukan pula oleh Svagan et al. (2009). Dengan adanya serat-serat kristalin dalam komposit nano matriks polimer dapat meningkatkan sifat kemampuan turtositas (turtoisity) dalam bahan sehingga berdampak pada lebih lambatnya proses diffusi dan akhirnya lebih menurunkan sifat permeabilitasnya (Sanchez-Garcia et al. 2008). Aplikasi Polimer Nano-Komposit Sebagai Bahan Antimikroba Potensi penerapan polimer nano-komposit sebagai bahan antimikroba dalam kemasan
pangan menarik untuk dikembangkan sejak bahan berukuran nano diketahui mempunyai nisbah/ ratio perbandingan permukaan terhadap isi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan tersebut pada skala usuran mikro. Bahan/ material komposit nano secara umum diketahui telah digunakan sebagai lapisan tipis antimikroba pada kemasan pangan berdasarkan penggunaan partikel perak (Ag) yang telah diketahui dengan baik sebagai bahan beracun yang kuat pada berbagai jenis mikroorganisme (Liau et al. 1997), dengan keunggulan mempunyai stabilitas pada suhu tinggi dan sifat volatilitasnya yang rendah (Kumar dan Munstedt 2005). Perak atau Argentum (Ag) juga telah lama digunakan sebagai bahan antimikroba pada penyimpanan produk makanan dan minuman (Duncan 2011). Mekanisme polimer nano-komposit sebagai bahan antimikroba dalam lapisan tipis untuk kemasan pangan berdasarkan penggunaan partikel nano perak (Ag) digambarkan dalam beberapa keterangan mekanisme yang berbeda sebagai berikut : (1) Adanya adhesi pada permukaan sel, dan terjadinya perusakan/ degradasi dari lipopolisakarida sehingga membentuk formasi “pits” didalam membran, lalu meningkatkan sifat permeabilitas yang lebih besar (Sandi dan Salopek-Sandi 2004), (2) Adanya penetrasi ke dalam sel bakteri lalu merusak DNA bakteri (Li et al. 2008), (3) Melepaskan partikel ion Ag+ antimikroba sebagai akibat terputusnya/ terlepasnya dari partikel-partikel nano perak atau Ag (Morones et al. 2005). Mekanisme berikutnya ádalah konsisten dengan pendapat/temuan Kumar dan Munstedt (2005) yang dinyatakan bahwa partikel ion Ag+ yang sudah terlepas dari partikel nano perak dapat bereaksi dengan gugus/kelompok thiol dalam senyawa protein, sehingga menyebabkan bakteri menjadi terinaktifasi, mengalami kondensasi molekul DNA dan kehilangan kemampuan untuk bereplikasi (Emamifar et al. 2010). Beberapa mekanisme aktifitas antimikroba dari bahan komposit nano dapat dilihat pada Gambar 1.
Potensi Penerapan Polimer Nanokomposit…… Agus Sudibyo dan Tiurlan F.Hutajulu
11
. Gambar 1. Beberapa mekanisme aktifitas antimikroba yang digunakan oleh bahan komposit nano (Sumber: Emamifar, 2010)
Meskipun ada perbedaan pendapat atau pemikiran tentang mekanisme aktifitas antimikroba dari bahan nano-komposit pada Gambar 1 tersebut; tetapi secara kuantitatif toksisitas partikel nano perak terhadap berbagai jenis bakteri dari hasil penelitian ke penelitian lain yang dilakukan, ternyata diketahui bahwa aktifitas antimikroba tersebut tergantung pada beberapa faktor. Misalnya, daya racun atau toksisitas partikel nano perak (Ag) meningkat secara signifikan bila diameter partikel nano-nya menurun (Morones et al. 2005) karena partikel nano yang berukuran lebih kecil mempunyai area permukaan yang relatif lebih besar untuk melepaskan ion Ag+ dan mempunyai efisiensi pengikatan protein yang lebih tinggi dan melewatkan melalui pori-pori dalam membran bakteri yang lebih mudah (Duncan 2011). Bentuk partikel nano berpengaruh penting terhadap aktifitas antimikroba; misalnya partikel nano perak (Ag) dalam bentuk triangular mempunyai sifat bakterisidal yang lebih baik dari pada bentuk bola (spherical) atau bentuk batang/balok untuk melawan bakteri Escherichia coli. Selain itu, hal ini berhubungan pula dengan variasi persentase keberadaan masing-masing bentuk partikel nano yang dimilki (Morones et al. 2005). Fenomena ini diduga terjadi karena adanya permukaan yang luas sehingga mempunyai efisiensi pengikatan terhadap gugus sulfur dari komponen selular, beban permukaan partikel nano perak, kelarutan, dan derajat aglomerasi (Sondi dan Salopek-Sondi 2004), penutupan bagian permukaan atau surface coating (Kvitek et al. 2008), serta mempengaruhi juga terhadap sifat-sifat antimikroba dan sinergisitas partikel nano perak dengan keberadaan senyawa kimia yang ada (misalnya senyawa ampicilin) untuk memperkuat pengaruh bakterisidal.
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 6-19
Bahan polimer nano-komposit perak sebagai bahan antimikroba untuk kemasan pangan belum banyak diproduksi secara komersial, namun bahan tersebut telah dibuat dan dihasilkan oleh beberapa peneliti, dan efektifitas antimikrobanya telah dilaporkan. Sebagai contoh Damm et al. (2008) membuat bahan kemasan pangan dari komposit nano polimer untuk menguji keefektifan sebagai bahan antimikroba dengan cara membandingkan antara polimer nano-komposit poliamida 6/perak nano dengan bentuk mikrokompositnya. Hasilnya menunjukkan bahwa polimer nano-komposit dengan kandungan perak yang rendah lebih baik dalam meningkatkan efektifitasnya untuk melawan bakteri E. coli dari pada bentuk mikro-komposit dengan kandungan partikel perak yang lebih tinggi. Lebih lanjut Damm et al. (2007) melaporkan bahwa kemasan pangan dari bahan komposit nano polimer seperti poliamida 6 yang diisi dengan 2% (bobot/bobot) partikel nano perak, efektif melawan bakteri E. coli, meskipun setelah dibenamkan/direndam dalam air selama 100 hari. Bahkan menurut Hu dan Fu (2003) dinyatakan bahwa partikel nano perak (Ag) dapat mengabsorbsi dan menguraikan gas etilen sehingga berkontribusi memberikan pengaruh dalam memperpanjang masa simpan buah dan sayuran. Li et al. (2009) juga melaporkan penerapan komposit nano polimer lapisan tipis untuk kemasan pangan jenis poli-etilen (PE) dengan partikel nano perak yang dapat memperlambat proses pematangan (senescence) buah Jujube di China. Selain itu, penerapan komposit nano polimer untuk kemasan pangan sebagai bahan antimikroba dengan cara pelapisan (coating) yang mengandung partikel nano perak, ternyata juga efektif untuk menurunkan pertumbuhan atau
12
perkembangbiakan mikroba serta meningkatkan daya simpan asparagus. Potensi penerapan komposit nano polimer perak (Ag) sebagai bahan antimikroba dalam studi yang sejenis menunjukkan bahwa asparagus segar yang dilapis dengan lapisan tipis partikel nano perak-komposit nano polivinil pirolidon mempunyai masa simpan yang lebih lama hingga 25 hari bila disimpan pada suhu 2ºC. Disamping itu, asparagus tersebut tidak mengalami terjadinya susut bobot, lebih berwarna hijau dan tekstur yang lebih empuk serta mempunyai kandungan pertumbuhan mikroorganisme (bakteri psikotropik, jamur dan khamir/yeast) yang rendah selama periode waktu penyimpanan. Partikel nano lain selain partikel nano perak yang dapat berfungsi sebagai antimikroba dalam bahan komposit nano polimer ádalah partikel nano Titanium dioksida (TiO2). Titanium dioksida sendiri dikenal sebagai senyawa yang tidak beracun bagi manusia dan lembaga FDA (Food and Drug Administration) di Amerika Serikat telah menyetujui penggunaan dan pemanfaatannya dalam bahan pangan, obatobatan, kosmetik dan diijinkan sebagai bahan yang diperbolehkan kontak langsung dengan bahan pangan serta diketahui mempunyai pengaruh sebagai bakterisidal dan fungisidal. Pengaruh bakterisidal dan fungisidal dari Titanium dioksida (TiO2) adalah pada bakteri E. coli, Salmonella choleraensis, Vibrio parahaemolyticus, Listeria monocytogenes, Pseudomonas aeruginosa, Staphyllococcus aereus dan Penicilium expansum (Emamifar 2008). Dalam kemasan pangan, partikel nano Titanium diosksida digunakan sebagai disinfeksi fotokatalistik untuk pelapisan permukaan plastik polimer telah diteliti oleh Fujishima et al. (2000). Proses fotokatalitik Titanium dioksida (TiO2) ternyata dapat meningkatkan peroksidasi senyawa fosfolipid tidak jenuh ganda pada sel membran mikroba dan dapat digunakan untuk menonaktifkan beberapa jenis bakteri patogen yang bisa mengkontaminasi pada pangan (Kim et al. 2005; Robertson et al. 2005). Hasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh Chawengkijwanich dan Hayata (2008) dalam mengembangkan penggunaan bubuk Titanium dioksida untuk tujuan pelapisan pada bahan pengemas lapisan tipis (plastik) menunjukkan bahwa kemasan lapisan tipis atau plastik tersebut mampu mereduksi/mengurangi terjadinya kontaminasi E. coli pada permukaan pangan bentuk padat dan dapat digunakan untuk mengurangi risiko pertumbuhan mikroba pada produk segar hasil pertanian yang baru dipetik.
Aplikasi Polimer Nano-Komposit Sebagai Alat Sensor dan Pendeteksi Gas pada Kerusakan Pangan Penggunaan polimer nano-komposit sebagai alat sensor dalam kemasan pangan diketahui setelah partikel-partikel nano dari berbagai hasil penelitian menunjukkan dapat bersifat reaktif dalam bahan kemasan yang dikenal dengan sensor nanonya dan sanggup merespon terhadap perubahan lingkungannya, misalnya : suhu dan kelembaban di dalam ruang penyimpanan, tingkat paparan gas oksigen, tingkat kerusakan/degradasi produk dan kontaminasi mikroba (Bouwmeester et al. 2009). Sebagai contoh pengintegrasian matriks komposit nano polimer dalam kemasan pangan sebagai alat sensor yang dapat mendeteksi senyawa-senyawa kimia, bakteri patogen dan toksin/racun dalam bahan pangan sehingga bermanfaat untuk membantu penetapan umur simpan produk pangan yang lebih akurat dan menyediakan informasi status kondisi kesegaran pangan yang lebih realistis (Liao et al. 2005). Menurut Hongda Chen dari USDA (United States Department of Agriculture) di Washington, DC yang dikutip oleh Nachay (2007) dinyatakan bahwa sensor berdasarkan nano dalam kemasan pangan berfungsi untuk mendeteksi adanya bakteri patogen, bakteri perusak pangan, kontaminan kimia, produk/bahan pangan rusak serta untuk melacak asal komposisi (ingredien) atau produk melalui rantai pengolahan pangan telah dikembangkan dan telah dikomersialisasikan aplikasinya. Bahkan peneliti dari Georgia Tech Packaging Research Centre di Atlanta-USA menyatakan bahwa alat sensor berdasarkan nano dalam kemasan pangan mempunyai beberapa keunggulan, misalnya dalam hal kecepatan dan tingginya masukan selama proses deteksi, mudahnya penggunaan dan biaya yang kompetitif, berkurangnya energi/tenaga yang diperlukan dan mudah didaur ulang serta tidak memerlukan molekulmolekul exogenous ataupun label (Nachy 2007). Karena fungsinya sebagai alat sensor dan pendeteksi gas pada kerusakan pangan, maka kemasan pangan dengan matriks komposit nano polimer tersebut sering disebut sebagai ” Kemasan pangan cerdas komposit nano” atau ”nanocomposites smart food packaging”. Kemasan pangan cerdas komposit nano ini didifinisikan sebagai suatu sistem yang dapat merasakan beberapa sifat kepemilikan dari pangan yang dikemas dan menggunakan beberapa mekanisme untuk mendaftar dan mengirimkan informasi tentang status kondisi mutu dan keamanan produk pangan yang dikemas terkini (Azeredo et al. 2010).
Potensi Penerapan Polimer Nanokomposit…… Agus Sudibyo dan Tiurlan F.Hutajulu
13
Beberapa contoh kemasan pangan cerdas dari komposit nano polimer yang berfungsi sebagai alat sensor dan pendeteksi gas pada kerusakan pangan, misalnya timetemperature intergrators (TTI) dan pendeteksi gas yang dihasilkan dari bahan pangan yang mudah rusak. Lebih lanjut Azeredo et al. (2010) menyatakan bahwa Time-Temperature Indicators atau Integrators (TTI) ini didisain untuk memonitor, mencatat dan menterjemahkan apakah suatu produk pangan tertentu diketahui aman untuk dikonsumsi, berdasarkan sejarah/riwayat suhu yang dimilikinya. Dalam hal ini, khususnya bila bahan pangan disimpan pada kondisi di luar kondisi optimal yang ditetapkan. Misalnya bila ada produk pangan yang harus disimpan pada kondisi beku tetapi tidak disimpan pada suhu yang sesuai; maka indikator time-temperaturenya akan muncul karena produk pangan tersebut disimpan pada ruangan yang tidak sesuai dengan kondisi suhu optimal yang dibutuhkan dan waktu paparannya. Hal ini ditandai dan dikomunikasikan ke konsumen dalam bentuk perkembangan perubahan warna yang dimilikinya. Contohnya kemasan pangan merk Timestrip mengembangkan sistem kemasan pangan untuk produk pangan yang harus disimpan di tempat yang dingin (chilled foods) berdasarkan kerja partikel nano emas (Au), yang akan menunjukkan warna merah pada indikatornya bila disimpan di atas suhu beku; sebaliknya pada kondisi beku akan berakibat terjadinya ketidakbalikan aglomerasi partikel nano emas sehingga akan kehilangan warna merahnya (Robinson dan Morrison 2010). Contoh aplikasi matriks komposit nano polimer dalam ”kemasan pangan cerdas komposit nano”, yang berfungsi sebagai alat pendeteksi gas yang dihasilkan dari bahan pangan rusak adalah pengembangan alat sensor komposit nano polimer yang berisi karbon hitam dan senyawa polianilin yang dikembangkan oleh Arshak et al. (2007) guna mendeteksi dan mengidentifikasi bakteri patogen yang menghasilkan gas spesifik dan akan terespon polanya untuk masing-masing jenis mikroorganisme yang berbeda. Hasilnya, alat sensor yang dibuat dan dikembangkan oleh Arshak et al (2007) tersebut menunjukkan mampu mengidentifikasi bakteri patogen Bacillus cereus, Vibrio parahaemolyticus dan Salmonella sp berdasarkan pola tanggapan spesifik yang dihasilkan. Kraft Food sebuah perusahaan Korporasi Multi Nasional pangan di Amerika Serikat bekerja sama dengan para peneliti di Rutgers University, New Jersey telah mengembangkan alat sensor sensitif pendeteksi gas yang diberi nama ”electronic tounge” untuk disatukan dan diintegrasikan dalam kemasan pangan. Alat ini
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 6-19
berisi suatu alat pengurai dari sensor nano yang sangat sensitif sekali terhadap gas yang dilepaskan oleh mikroorganisme perusak pangan, sehingga menghasilkan adanya perubahan warna yang mengidentifikasikan bahwa produk pangan tersebut telah rusak atau membusuk (Joseph dan Morrison 2006). Pengembangan kemasan pangan khususnya sebagai ”kemasan cerdas komposit nano” pada kemasan vakum dan kemasan berisi gas Nitrogen telah dilakukan pula berdasarkan kerja sensor gas O2 yang bersifat irreversible guna menjamin tidak adanya gas oksigen dalam sistem kemasan pangan yang bebas oksigen. Sebagai contoh Lee et al. (2005) telah mengembangkan suatu alat pengukur warna Colorometric yang diperkuat dengan sinar UV (Ultra Violet) untuk mendeteksi adanya gas oksigen (O2) menggunakan partikel nano Titanium dioksida guna memfotosintesis dan mereduksi indikator Methylene Blue (MB) dengan tri-ethanolamin dalam media enkapsulasi polimer menggunakan lampu sinar UV A. Dalam kondisi terkena irradiasi sinar UV, maka sensor akan menunjukkan warna putih dan tetap tak berwarna hingga terpapar oleh adanya gas oksigen; dibandingkan dengan warna biru aslinya yang masih tetap dalam kondisi memulihkan, jadi warna pada kemasan tipis menunjukkan akan tidak berwarna atau berwarna putih jika tidak terkena paparan oksigen, sebaliknya bila terkena paparan gas oksigen akan berwarna biru. Contoh kemasan cerdas polimer nanokomposit lainnya untuk menyensor gas oksigen (O2) guna menjamin tidak adanya oksigen dalam sistem kemasan pangan yang bebas oksigen, telah dibuat dan dikembangkan oleh Mills dan Hazafy (2009). Mereka menggunakan dan memanfaatkan kristal nano SnO2 sebagai fotosintaiser dalam sebuah indikator O2 yang terdiri dari donor elektron yang dikorbankan (gliserol), pewarna redoks Methylene Blue dan mengenkapsulasi dengan polimer hidroksizyethil sellulosa. Adanya paparan ke sinar UV B mengakibatkan adanya aktivasi (photobleaching) dari indikator dan terjadi foto reduksi dari pewarna Methylene Blue oleh partikel-partikel nano SnO2. KESIMPULAN Penerapan teknologi nano melalui pengembangan dan aplikasi polimer nanokomposit dalam kemasan pangan telah menunjukkan potensi yang besar untuk memberikan arah perubahan penting pada sektor kemasan. Komposit nano mampu memberikan harapan pengembangan penggunaan polimer lapisan tipis/plastik yang bersifat mudah diurai (biodegradable), sejak ditemukan adanya teknologi proses penguatan
14
kembali nano yang bisa memperbaiki semua kinerja pada biopolimer, sehingga menjadikannya bersifat lebih kompetitif dibandingkan dengan polimer sintetis, dapat memperkuat sifat mekanis polimer, sifat thermal dan hambatan terhadap gas. Beberapa jenis partikel nano yang dipadukan dan dintegrasikan dalam matriks polimer nano-komposit dapat dimanfaatkan sebagai penyedia bahan aktif dan/atau sebagai bahan yang memiliki sifat ”cerdas” atau ”smart” dalam susunan materi kemasan pangan, seperti : sebagai bahan kemasan antimikroba, perintang/penghambat masuknya gas oksigen ke dalam kemasan pangan, sebagai alat sensor terhadap keberadaan gas O2 dan sebagai pendeteksi gas serta sebagai indikator adanya kerusakan pangan akibat terpaparnya gas oksigen. Namun, hingga kini masih menyisakan persoalan/permasalahan penting yang perlu diperhatikan dan dikaji dalam penerapan teknologi nano khususnya pada penerapan polimer nano-komposit untuk kemasan pangan, yaitu masalah keamanannya. Di satu sisi, sifat-sifat dan keamanan materi/bahan dalam bentuk kamba (bulk) telah diketahui dengan baik dan jelas, di sisi lain, bahan/material berukuran nano kadang-kadang dapat memunculkan sifat-sifat yang berbeda dengan sifat bahan dalam bentuk skala makronya sehingga menimbulkan kekuatiran bahwa bahan dalam bentuk berukuran nano tersebut akan mudah/bebas bergerak dalam tubuh; sedangkan bahan dalam ukuran nano mempunyai permukaan yang lebih luas dapat meningkatkan sifat reaktifitas bahan tersebut meskipun mereka dalam bentuk kumpulan agregat yang besar pada kondisi umumnya. Disamping itu, masih terbatasnya data ilmiah yang diperlukan tentang informasi migrasi struktur nano dari bahan kemasan ke dalam bahan pangan. Oleh karena itu, penelitian yang lebih mendalam dan rinci untuk mengevaluasi potensi toksisitas produk teknologi nano seperti halnya keamanan lingkungan penggunanya masih diperlukan. DAFTAR PUSTAKA Adame, D. and G.W. Beall. 2009. Direct Measurement Of The Constrained Polymer Region In Polyamide/Clay Nanocomposites And The Implications For Gas Diffution. Applied Clay Science 42: 54 –552. Alexandre,M. and P. Dubois. 2000. Polymerlayered Silicate Nanocomposites: Preparation, Properties And Uses Of A New Class Materials. Materials Science and Engineering 28(1): 1-63. Arshak, K., C. Adley, E. Moore, C. Cunniffe, M. Campion, and J. Harris. 2007.
Characterization Of Polymer Nanocomposite Sensors For Quantification Of Bacterial Cultures. Sensors and Actuators B 126: 226– 231. Azizi-Samir, MAS; Alloin, F., Sanchez, JY and Dufresne, A. 2004. Cellulose Nanocrystalss Reinforced Polyoxyethylene. Polymer 45: 4149– 4157. Azizi-Samir, M.A.S., F. Alloin, and A. Dufresne. 2005. Review Of Recent Research Into Cellulosic Whiskers, Their Properties And Their Application In Nanocomposite Field. Biomacromolecules 6: 612 – 626. Bertini, F., M.Canetti, G.Audisio, G.Costa, and L.Falqui.2006. Characterization And Thermal Degradation Of Polypropylene-Montmorillonite Nanocomposites. Polymer Degradation and Stability 91: 600 – 605. Bhatnagar, A. and M.Sain. 2005. Processing Of Cellulose Nano-Fiber-Reinforced Composites. J. of reinforced plastics and composites 24 (12) : 1259 – 1268. Bin, Y.; M. Mine, A.Koganemaru, X. Jiang and M.Matsuo. 2006. Morphology And Mechanical And Electrical Properties Of Oriented PVA-VGCF And PVAMWPA Composites. Polymers 47: 1308–1317. Bouwmeester, H., S.Dekkers, M.Y.Noordam, W.I. Hagens, A.S.Bulder and C.De Heer. 2009. Review Of Health Safety Aspects Of Nanotechnolgies In Foof Production. Regulatory Toxicology and Pharmacology 53 (1) : 52 – 62. Brody, AL. (2006). “Nano and food packaging technologies convergen”. Food Technology 60 (3) : 92 – 94. Brody, AL. 2007. Nanocomposites Technology In Food Packaging. Food Technology 61(10) : 80–85. Brody, AL., B.Bugusu, J.H. Han, C.K.Sand, and T.H. Mc.Hugh, TH. 2008. Innovative food packaging solutions. Journal of Food Science 73(8): 107–116. Camargo, P.H.C, K.G.Satyanarayana, and F.Wypych. 2009. Nanocomposites : Synthesis, Structure, Properties And New Application Opportunities. Material Research 12 (1) : 1 – 39. Chawengkijwarich, C. and Y.Hayata. 2008. Development Of TiO2 Powder-Coated Food Packaging Film And Its Ability To Inactive Escherichia Coli In Vitro And In Actual Tests. International Journal of Food Microbiology 123(3) : 288 – 292. Cher, Y., X.Cao, P.R.Chang, and M.A.Huneault. 2008. Comparative Study On The Films Of Polyvinyl Alcohol/Pea Starch
Potensi Penerapan Polimer Nanokomposit…… Agus Sudibyo dan Tiurlan F.Hutajulu
15
Nanocrystals And Polyvinyl Alcohol/Native Pea Starch. Carbohydrate Polymers 73 : 8–17. Cyras, VP, L.B.Manfredi, M.T.Tan-That, and A.Vazquez. 2008. Physical And Mechanical Properties Of Thermoplastics Starch/Montmorillonite Nanocomposite Film. Carbohydrate Polymers 73: 55-63. Dalmas, F., J.Y.Cavaille, C.Gauthier, L.Chazeau,and R.Dendievel.2007. Viscoelatis Behaviour And Electrical Properties Of Flexible Nanofiber Filled Polymer Nanocomposites : Influence Of Processing Conditions. Composite Science and Technol 67 : 829 -839. Damm, C., H.Munstedt and A.Rosch. 2007. Long-Term Antimicrobial Polyamide 6/Silver-Nanocomposites. Journal of Materials Science 42 (15) : 6067 – 6073. Damm, C., H.Munstedt and A.Rosch. 2008. The Antimicrobial Efficacy Of Polyamide 6/Silver Nano- And Microcomposites. Material Chemistry and Physics 108 : 61 – 66. De Azeredo, H.M.C. 2009. Nanocomposites For Food Packaging Applications. Food Research International 42(9): 12401253. De Azeredo, H.M.C., L.H.C. Mattoso and T.H. Mc.Hugh. 2008. Nanocomposites in Food Packaging. Dalam: T.H. Mc.Hugh. Advances In Diverse Industrial Applications Of Nanocomposites: 213-231. De Azeredo, H.M.C., L.H.C. Mattoso. D. Wood, T.G. Williams, R.J. Avena-Bustillos, and T.H. Mc.Hugh. 2009. Nanocomposite Edible Films From Mango Puree Reinforced With Cellulose Nanofibers. Journal of Food Sci 74 (5): N31 – N35. De Azeredo, H.M.C., L.H.C. Mattoso, R.J. Avena-Bustillos, G. Ceotto-Filho, M.L. Munford, D. Wood, and T.H. Mc.Hugh. 2010. Nanocellulose Reinforced Chitosan Composite Films As Affected By Nanofiller Loading And Plasticizer Content. J. of Food Sci 75(1): N1–N7. De Moura, M.R., F.A Aouada, R.J. AvenaBustillos, T.H.Mc.Hugh, J.M.Krochta, and L.H.C.Mattoso. 2009. Improved Barrier And Mechanical Properties Of Novel Hydroxyl Propyl Methylcellulose Edible Films With Chitosan/Tripolyphosphate Nanofibrils. Journal of Food Engineering 92:448453. Dujardin, E., M.Blaseby and S. Mann. 2003. Synthesis Of Mesophorous Silica By Sol-Gel Mineralization Of Cellulose
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 6-19
Nanorodnematic Suspensions. Journal of Materials Chemistry 13 (4) : 696 – 699. Dufresne, A., D.Dupeyre and M.R.Vignon. 2000. Cellulose Microfibrils From Potato Tuber Cells : Processing And Characterization Of Starch-Cellulose Microfibril Composites. Journal of Applied Polymer Science 76 (14) : 2080 – 2092. Duncan, T.V.,2011. Applications Of Nanotechnology In Food Packaging And Food Safety : Barrier Materials, Antimicrobials And Sensors. J. of Colloid and Interface Science 363 : 1 – 24. Emamifar, A. 2008. Application Of Antimicrobial Polymer Nanocomposites In Food Packaging. Advances in nanocomposites Technology 299 – 318. Emamifar, A., M.Kadivar, M.Shahedi, and S.Solaimanianzad. 2010. Evaluation Of Nanocomposites Packaging Containing Ag And Zno On The Shelf Life Of Fresh Orange Juice. Innovative Food Science and Emerging Technologies 11 (4) : 742 – 748. Emamifar, A., M.Kadivar, M. Shahedi, and S.Solaimanianzad. 2011. Effect Of Nanocomposite Packaging Containing Ag And ZnO On Inactivation Of Lactobacillus Plantarum In Orange Juice. Food Control 22(3): 408 – 413. Fujishima, A., T.N.Raoand, D.A.Tryk. 2000. Titanium Dioxide Photocatalysis. Journal of Photochemistry and Phytobiology C : Phytochemistry Reviews 1 (1) : 1 – 21. Hu, AW and Z.H.Fu. 2003. Nanotechnology And Its Applications In Packaging And Packaging Machinery. Packaging Engineering 24 : 22 – 24. Jawahar, P. and M.Balasubramanian. 2006. Preparation And Properties Of Polyester Based Nanocomposite Gel Coat Systems. Journal of Nanomaterilas. 4 article 1 D : 21656 – 21663. Jia, X., Y.Li, Q.Cheng, S.Zhang, and B.Zhang. 2007. Preparation And Properties Of Polyvinyl Alcohol/Silica Nanocomposites Drived From Copolymerization Of Vinyl Silica Nanoparticles And Vinyl Acetate. European Polymer Journal 43 : 1123 – 1131. Jordan, J., K.I.Jacob,R.Tannebaum, M.A.Sharaf, and I.Jasiuk. 2005. Experimental trends in polymer nanocomposites : A review. Materials Science and Engineering. 393 (1-2) : 1 – 11.
16
Joseph,
T. and M.J.Morrison. 2006. Nanotechnology in agriculture and food.
. [Diakses 12 Desember 2012]. Kim, J.Y.,S.H.Han and S.Hang. 2008. Effect Of Modified Carbon Nanotube On The Properties Of Aromatic Polyester Nanocomposites. Polymer 49 : 3335 – 3345. Kim, T.Y., Y.H. Lee, K.H.Park, S.J.Kim, and S.Y. Cho. 2005. A Study Of Photocatalysis Of Tio2 Coated Onto Chitosan Beads And Activated Carbon. Research on Chemical Intermediates 31 (4) : 343 – 358. Koh, H.C., J.S.Park, M.A.Jeong, H.Y.Hwang, Y.T.Hong and S.Y.Ha. 2008. Preparation And Gas Permeation Properties Of Biodegradable Polymer/Layered Silicate Nanocomposite Membranes. Desalination 233 : 201 – 209. Kristo, E. and C.G.Beliaderis,. 2007. Physical Properties Of Starch NanocrystalReinforced Pollutant Films. Carbohydrate Polymer 72 : 146 – 158. Kumar, R. and H. Munstedt. 2005. Silver Ion Release From Antimicrobial Polyamide/Silver Composites. Biomaterials. 26 : 2081 – 2088. Kvitek, L., A.Paracek, J.Soukupova, M.Kolar, R.Vecerova, and R.Prucek, 2008. Effect Of Surfactants And Polymers On Stability And Antibacterial Activity Of Silver Nanoparticles. The Journal of Physical Chemistry C 112 (15) : 5825 – 5834. Lagaron, J.M. and A.Lopez-Rubio. 2009. Latest developments and future trends in food packaging and biopacking. In Innovation in Food Engineering : New Techniques and Products; ed. by Passos, ML and Ribeiro, CP. CRC Press, Boca Raton, FL-USA : 485 - 508. Lee, S.K., M.Sheridian, and A.Mills. 2005. Novel UV-Activated Colourimetric Oxygen Indicators. Chemistry of Materials 17 (10) : 2744 – 2751. Li, H., F.LI, L.Wang, J.Sheng, Z.Xin and L.Zhao 2009. Effect of nano-packing on preservation quality of Chinese jjube (Ziziphus jujube Mill, Vor. enermis) (Bunge, Rehd). Food Chemistry 114 (2) : 547 – 552. Li, Q., S.Mahendra, D.Y.Lyon, L.Brunet, M.V.Liga, D.Li, and P.J.Alvarez. 2008. Antimicrobial Nanomaterials For Water Disinfection And Microbial Control :
Potential Applications And Implications. Water Research 42 (18) : 4591 – 4602. Liau, S.Y., D.C.Read, W.J.Pugh, J.R.Furr and A.D.Russell. 1997. Interaction Of Silver Nitrate With Readily Identifiable Groups : Relationship To The Antibacterial Action Of Silver Ions. Letters in Applied Microbiology 25 : 279 – 284. Liao, F., C.Chen, and V.Subramanian. 2005. Organic TFTs as gas sensors for electronic nose applications. Sensors and Actuators B : Chemical 107 (2) : 849 – 855. Lima, M.D. and R.Barsoli. 2004. Rodlike cellulose microcrystals : Structure, properties and applications. Macromolecular Rapid Communications 25(7) : 771 – 787. Lotti, C., C.S Issac, M.C.Branciforti, R.M.N.Alves, S.Liberman and R.E.S. Bretas. 2008. Rheological, Mechanical And Transport Properties Of Blown Films Of High Density Polyethylene Nanocomposite. European Polymer Journal 44 : 1346 – 1357. Lu, Y., L.Weng, and L.Zhang, L. 2004. Morphology And Properties Of Soy Protein Isolate Thermoplastics Reinforced With Chitin Whiskers. Biomacromolecules 5 : 1046 – 1052. Luduena, L.N., V.A.Alvarez and A.Vasquez. 2007. Processing And Microstructure Of PCL/Clay Nanocomposites. Material Science and Engineering 56 A : 121 – 129. Mills, A. and D.Hazafi. 2009. Nanocrystalline SnO2-based; UV B-activated, Colourimetric oxygen indicator. Sensor and Actuators B : Chemical 136(2) : 344 – 349. Mohanty, A.K., L.T.Drzal and M.Mirsa. 2003. Nano Reinforcement Of Bio-Based Polymers – The Hope And The Reality. Polymeric Materials Science and Engineering 88 : 60 – 62. Moraru, C.I., C.P.Panhapakesan, Q.Huang, P.Takhistov, S. Liu, and J.L.Kokini. 2003. Nanotechnology : A new frontier in Food Science. Food Technology 57 : 24 – 29. Morones, J.R., J.L.Elechiguerra, A. Camacho, K. Holt, J.B.Kouri, and J.T.Ramirez. 2005. The bactericidal effect of silver nanoparticles. Nanotechnology 16 (10) : 2346 – 2353. Nachay, K. 2007. Analyzing Nanotechnology. Food Technology 61 (1) : 34 – 36. Nielsen, LE. 1967. Models for the permeability of filled polymer systems. J. of Macromolecular Science, Part A : Material Sci. and Processing 80 (1) : 93 – 98.
Potensi Penerapan Polimer Nanokomposit…… Agus Sudibyo dan Tiurlan F.Hutajulu
17
Oksman, K., A.P.Matthew, D.Bondenson and I. Kvein, I. 2006. Manufacturing process of cellulose whiskers/polylactic acid nanocomposites. Composite Science and Technol 66(15) : 2776 – 2784. Peterson, L. and K.Oksman. 2006. Biopolymer based nanocomposites : comparing layered silicate and microcrystalline cellulose as nanoreinforcement. Composite Science and Technology 66 : 2187 – 2196. Podsiadlo, P.; S.Y.Choi, B.Shim, J.Lee, M.Cuddihy and N.A.Kotov. 2005. Molecularly Engineered Nanocomposites : Layer By Layer Assembly Of Cellulose Nanocrystals. Biomacromolecules 6 : 2914 – 2918. Prasantha, K., J.Saulestin, M.F.Lacrampe, P.Krawczak, G.Dupin and M.Claes. 2009. Masterbatch-based multi-walled carbon nanotube filled polypropylene nanocomposites : Assessment of rheological and mechanical properties. Composite Science and Technology 69: x1 – x12. Qiao, R. and L.C.Brinson, LC. 2009. Simulation of interphase percolation and gradients in polymer nanocomposites. Composite Science and Technology 69 (3-4) : 491 499. Ray,SS., K.Yamada, M.Okamoto, and K.Ueda. 2003. New polylactide-layered silicate nanocomposite 2 : Concurement improvements of material properties, biodegradability and melt rheology. Polymer 44 (3) : 857 – 866. Ray, SS and M. Okamoto.2003. Biodegradable polylactide and its nanocomposites : opening a new dimensions for plastics and composites. Macromolecular Rapid Communications 24 (14) : 815 – 840. Robertson, JMC., P.K.J.Robertson, and L.A.Lawton. 2005. A comparison of the effectiveness of TiO2 photocatalysis and UV A photolysis for the destruction of three pathogenic microorganisms. Journal of Phytochemistry and Phytobiology A : Chemistry 175 (1) : 51 – 56. Robinson, DKR and M.J.Morrison. 2010. Nanotechnologies For Food Packaging : Reporting The Science And Technology Research Trends. Observactory NANO: 111 –118. Sanchez-Garcia, MD., E.Gimenez and J.M.Lagaron. 2008. Morphology And Barrier Properties Of Solvent Cast Composites Of The Thermoplastic Biopolymers And Purified Cellulose Fibers. Carbohydrate Polymers 71 : 235 – 244.
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 6-19
Sondi, I. and B.Salopek-Sondi, B. 2004. Silver nanoparticles as antimicrobial agent : A case study on E. coli as model for Gram negative bacteria. Journal of Colloid Interface Science 275: 177 – 182. Sorrentino, A., G.Gorrasi, and V.Victoria. 2007. Potential Perspectives Of Bionano Composites For Food Packaging Applications. Trends in Food Science and Technology 18 (2): 84 – 95. Sriupayo, J., P. Suphapol, J.Blackwell and R.Rujiravant. 2005. Preparation And Characterization Of X-Chitinn WhiskersReinforced Chitosan Biocomposite Films With Or Without Heat Treatment. Carbohydrate Polymers 62 : 130 – 136. Svagan, AJ., M.S.Hendenqvist and L.Berglund. 2009. Reduced Water Vapour Sorption In Cellulose Nanocomposites With Starch Matrix. Composites Science and Technology 69 (3): 500 – 506. Tang, S., P.Zou, H.Xiong and H.Tang. 2008. Effect Of Nano-Sio2 On The Performance Of Starch/Polyvinyl Alcohol Blend Films. Carbohydrate Polymers 72 : 521 – 526. Vladimirov, V., C.Betchev, A.Vassiliou, G.Papageorgion and D.Bikiaris. 2006. Dynamic Mechanical And Morphological Studies Of Isostatic Polypropylene/Fumed Silica Nanocomposites With Enhanced Gas Barriers. Composites Science and Technology 66 : 2935 – 2944. Wang, B. and M.Sain. 2007. Isolation Of Nanofibers From Soybean Source And Their Reinforcing Capability On Synthetic Polymers. Composites Science and Technology 67 (11) : 2521 – 2527. Weiss, J., P.Takhistov and D.J.Mc.Clements. 2006. Functional Materials In Food Nanotechnology. Journal of Food Science 7 (9) : R.107 – R.117. Wu, CL., M.Q. Zhang, M.Z.Rong and K.Frederick. 2002. Tensile Performance Improvement Of Low NanoparticlesFilled-Poly-Propylene Composites. Composites Science and Technology 62: 1327 – 1340. Wu, Q., M.Hendriksson, X.Liu and L.A.Berglund. 2007. A High Strength Nanocomposite Based On Microcrystalline Cellulose And Polyurethane. Biomacromolecules 8 : 3687 – 3692. Zeng, H., C. Gao, Y. Wang, P.C.Watts, H.Kong and X.Cui. 2006. In Situ Polymerization Approach To Multiwalled Carbo Nanotubes-Reinforced Nylon 1010 Composites : Mechanical Properties And Crystallization Behaviour. Polymers 47 : 113 – 122.
18
Zhang, M.Q. and M.Z.Rong. 2003. Performance Improvement Of Polymers By The Addition Of Grafted Nano-Inorganic Particles. Chinese J. of Polymer Sci. 21 (6): 587 – 602. Zhou, X., E.Shin, K.W. Wang and C.E. Bakis. 2004. Cellulose Fibrils For Polymer Reinforcement. Advanced Engineering Materials 6 (9) : 754 – 761.
Potensi Penerapan Polimer Nanokomposit…… Agus Sudibyo dan Tiurlan F.Hutajulu
19
PEMANFAATAN PATI BIJI DURIAN (Durio zibethinus Murr.) DAN PATI SAGU (Metroxylon sp.) DALAM PEMBUATAN BIOPLASTIK (THE UTILIZATION OF DURIAN SEED STARCH (Durio zibethinus Murr.) AND SAGO STARCH (Metroxylon sp.) IN MAKING OF BIOPLASTIC)
Melanie Cornelia1, Rizal Syarief2, Hefni Effendi3, Budi Nurtama4 1)
2-4)
Doctoral Student of Bogor Agricultural University Supervisors , Natural Resources and Environmental Management, Bogor Agricultural University E-mail: [email protected] Received : 22 Maret 2013 ; revised : 12 April 2013; accepted : 29 April 2013
ABSTRAK Bioplastik adalah plastik yang dapat didegradasi oleh mikroba yang ada di dalam tanah karena adanya kandungan pati di dalamnya. Bioplastik diharapkan merupakan salah satu solusi dari masalah lingkungan yang disebabkan oleh penumpukan sampah kantong plastik belanja yang menjadi beban lingkungan. Secara komersial sudah ada bioplastik yang diproduksi dengan variasi jumlah penambahan pati singkong atau pati jagung, namun kendalanya adalah harga produk masih mahal jika dibandingkan dengan harga kantong plastik konvensional pada umumnya, karena tepung dan pati tersebut masih dibutuhkan di sektor pangan dan energi. Pada penelitian ini bioplastik dibuat dengan menggunakan pati yang diekstraksi dari biji durian yang selama ini merupakan limbah, untuk dicampur dengan biji plastik LDPE pada variasi konsentrasi pati 0% sampai 50%. Sebagai pembanding dipakai pati dari empulur sagu, sehingga karakteristik fisik seperti warna dan sifat mekanik dari bioplastik seperti kekuatan tarik, perpanjangan putus, dan kekerasan dapat dibandingkan. Uji penurunan berat bioplastik dilakukan dengan pemendaman di dalam tanah selama 8 minggu. Hasil uji Anova menunjukkan perlakuan jenis pati dan konsentrasi pati yang ditambahkan tidak beda nyata (p>0,05) terhadap kehilangan berat plastik. Analisis SEM dilakukan untuk membandingkan rongga diantara molekul pati dengan polimer plastik pada perbesaran 2500x yang menyebabkan kekuatan mekanik plastik menjadi berkurang dan rapuh ketika ditarik. Pati biji durian 10% terbukti optimal dapat digunakan sebagai substitusi polimer tanpa penambahan aditif dalam pembuatan bioplastik, dengan karakteristik mekanik yang dapat dibandingkan dengan pati sagu dan pati singkong, namun memiliki laju degradasi yang lebih rendah. Kata kunci : Bioplastik, Low density poly ethylene, Pati biji durian, Pati sagu, Kekuatan tarik, Perpanjangan putus
ABSTRACT Bioplastics are a plastic that are able to be degradated by microbes in the soil due to its starch content. Bioplastics is expected to be solution of environmental problems caused by the plastic shopping bags waste which became an environmental burden. Commercially, bioplastics already being produced with the variation of percentage cassava or corn starch addition. However the problem regarding such matter is the price of the product is still expensive compared to conventional plastic bags, because the starches are still needed in food and energy sectors. In this study, bioplastic is made from extracted durian seeds starch to be mixed with LDPE plastic ores, with the variation addition of starch concentration by 0% until 50%. For comparison, starch from sago is used, so that the physical characteristics such as color and mechanical properties such as tensile strength, elongation, and hardness can be compared. Decreasing of bioplastic weight were evaluated with burial in soil for 8 weeks. Anova test results showed that types of starch and percentage of starch are added, give no significant difference (p> 0.05) on weight loss of plastic. SEM analysis was conducted to compare the cavity between starch molecules and plastic polymer at 2500x magnification, which causes plastic strength reduced and becomes brittle when being pulled. Addition of 10% durian seed starch is proven as optimal polymer substitution without additives in making bioplastics, with mechanical characteristics that can be compared with sago and cassava starch, but has a lower degradation rate. Key words : Bioplastic, strength
Durian seeds starch, Elongation, Low density poly ethylene, Sago starch, Tensile
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 20-29
20
PENDAHULUAN Biji plastik merupakan senyawa polimer organik yang berasal dari minyak bumi yang sudah mengalami proses polimerisasi, polikondensasi, dan poliadisi dari monomermonomernya, sehingga dapat dibentuk sesuai dengan bentuk yang diinginkan (Coles et al. 2003). Plastik dipilih sebagai bahan baku kantong belanja karena plastik memiliki banyak kelebihan, diantaranya ringan, relatif murah, fleksibel, tahan terhadap air, dan praktis (Gunawan et al. 2007). Selain memiliki keunggulan, plastik juga memiliki kelemahan, karena bahan baku plastik berasal dari sumber daya yang tak terbarukan dan tidak ramah lingkungan, sehingga limbah plastik sulit sekali terurai oleh mikroorganisme yang akhirnya menimbulkan pencemaran lingkungan (Sanjaya dan Puspita 2012). Manusia berusaha untuk mengatasi pencemaran lingkungan akibat limbah plastik dengan membuat bioplastik (Subowo dan Pujiastuti 2003). Bioplastik adalah plastik yang dibuat dari campuran biji plastik yang dicampur dengan pati jagung, pati tapioka, atau jenis pati yang lain. Bioplastik dalam penelitian ini didefinisikan sebagai plastik yang dibuat dari campuran biji plastik dengan pati dari limbah biji durian agar diperoleh plastik ramah lingkungan yang harga jualnya lebih murah. Selain itu pencampuran antara pati dengan biji plastik juga dapat meningkatkan nilai ekonomis dari pati itu sendiri. Pencampuran antara polimer alami dan polimer sintetis membuat produk yang dihasilkan lebih mudah didegradasi oleh mikroorganisme di dalam tanah. Bioplastik dapat dicetak secara manual menggunakan mesin tekan panas (hot press) atau menggunakan mesin moulding (Subowo dan Pujiastuti 2003). Penelitian tentang bioplastik berkembang sangat pesat di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang (Sanjaya dan Puspita 2012). Proses degradasi bioplastik dipengaruhi oleh jenis pati yang digunakan, konsentrasi pati yang ditambahkan, dan kondisi lingkungan pemendaman (Syamsu et al. 2008). Pati adalah salah satu polimer alami yang tersusun dari struktur bercabang yang disebut amilopektin dan struktur lurus yang disebut amilosa. Pati dapat diperoleh dengan cara mengekstrak dari tanaman yang kaya akan karbohidrat seperti sagu, singkong, jagung, gandum, dan ubi jalar. Pati juga dapat diekstrak dari biji buah-buahan seperti pada biji nangka, biji alpukat, dan biji durian. Biji durian yang selama ini dianggap limbah oleh manusia karena kurang pemanfaatannya ternyata dapat digunakan sebagai bahan dalam pembuatan bioplastik.
Selain biji durian, empulur tanaman sagu juga dapat digunakan sebagai bahan pembuat bioplastik. Ketersediaan tanaman sagu di Indonesia paling banyak dibandingkan tanaman padi ataupun jagung. Setiap tahun Indonesia mampu menghasilkan sagu sebesar 6,5 juta ton, tetapi pemanfaatan sagu sendiri masih rendah hanya sekitar 6% dari ketersediaan yang ada (Christianty 2009). Durian (Durio zibethinus Murr.) adalah buah musiman yang paling populer di Asia Tenggara, khususnya Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Filipina (Mirhosseini dan Tabatabaee 2012). Di Indonesia durian merupakan tanaman yang dibudidayakan, durian termasuk familia bombaceae, genus Durio, dan spesies Durio zibethinus Murr. yang tumbuh di daerah tropik (Mirhosseini dan Tabatabaee 2012). Menurut Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (2011) menyatakan bahwa produksi durian rata-rata terjadi peningkatan dari 17.405 ton pada tahun 1999 menjadi 741.831 ton pada tahun 2003 dan pada akhir tahun 2011 menjadi 883.969 ton. Pemanfaatan biji durian masih terbatas, karena hanya sepertiga dari buah durian yang bisa dimakan, sedangkan biji (20% sampai 25%) dan kulit biasanya dibuang. Biji durian memiliki kandungan pati yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai alternatif pengganti bahan yang memerlukan sifat-sifat pati. Pati merupakan karbohidrat yang berasal dari tanaman sebagai hasil fotosintesis, yang disimpan dalam bagian tertentu tanaman sebagai cadangan makanan. Sifat pati tergantung pada jenis tanaman serta tempat penyimpanannya. Terdapat dua jenis pati yang sering digunakan di industri yaitu pati alami dan pati modifikasi. Pati alami (native starch) adalah pati yang dihasilkan dari sumber umbi-umbian dan belum diolah atau mengalami perubahan sifat fisik dan kimia. Proses pembuatan bioplastik dari pati dapat berlangsung dengan teknik casting atau proses termoplastik (Aguilera et al. 2011). Tujuan umum dari penelitian ini adalah menghasilkan ekstrak pati biji durian dan membuat bioplastik dengan variasi penambahan masing-masing konsentrasi pati sagu dan pati biji durian. Tujuan khusus penelitian ini adalah mempelajari karakteristik bioplastik yang dibuat dari campuran biji plastik LDPE dengan penambahan pati biji durian dan penambahan pati sagu sebagai pembanding, melihat pengaruh jenis pati, dan variasi konsentrasi pati yang ditambahkan terhadap kualitas fisik, mekanik, dan tingkat degradasi bioplastik.
Pemanfaatan Pati Biji Durian…… Melanie Cornelia dkk
21
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan selama 7 (tujuh) bulan mulai dari bulan Agustus 2012 sampai dengan bulan Februari 2013 di daerah Karawaci, Tangerang, Propinsi Banten. Bahan Bahan utama yang digunakan yaitu biji durian varietas montong dari penjual durian di Jalan Raya Legok Tangerang, biji plastik LDPE kualitas komersial, dan pati sagu merk ”ALINI”. Peralatan yang digunakan adalah blender, pisau, gelas ukur, kain saring, oven, loyang, timbangan analitik, mesin rheomix, mesin hot press, dan beaker glass. Peralatan analisis yang digunakan adalah neraca analitik, pot berisi tanah humus, jangka sorong, termometer, higrometer, Material Testing Machine “Lloyd”, Texture Analyzer “TA.XT.Plus”, dan Scanning Electron Microscope (SEM).
Metode Alur kerja penelitian terdiri dari ekstraksi pati biji durian dan pembuatan bioplastik yang dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. Perhitungan rendemen dan analisis proksimat seperti kadar air, kadar abu, kandungan protein, kandungan lemak, karbohidrat, dan kadar pati dilakukan terhadap pati biji durian yang dihasilkan. Analisis kadar amilosa dan amilopektin juga dilakukan dalam penelitian ini untuk mendapatkan kualitas pati yang dihasilkan. Analisis yang sama dilakukan terhadap pati sagu yang akan digunakan sebagai bahan untuk mensubstitusi biji plastik LDPE. Selanjutnya masing-masing pati biji durian dan pati sagu dicampur dengan biji plastik LDPE, sesuai dengan perlakuan menjadi poliblend menggunakan mesin Rheomix. Kombinasi perlakuan dalam pembuatan poliblend dapat dilihat pada Tabel 1.
Biji buah durian Kulit biji dikupas Biji dipotong menggunakan pisau Biji dicuci sampai bebas lendir Biji ditimbang Biji ditambahkan air dengan perbandingan 1:10 Biji dihancurkan menggunakan blender selama 5 menit Pati yang terbentuk diendapkan selama 24 jam Dekantasi air diatas endapan Endapan dicuci menggunakan akuades dan diendapkan kembali selama 24 jam Endapan pati diletakkan dalam loyang Endapan pati dikeringkan dalam oven suhu 50°C selama 24 jam Endapan pati yang telah kering dihaluskan menggunakan blender kering Pati biji durian Gambar 1. Diagram alir ekstraksi pati biji durian (modifikasi Jufri et al. 2006)
Tabel 1. Kombinasi jenis pati dan variasi konsentrasi pati Jenis pati
Konsentrasi penambahan pati (%)
Total perlakuan
0%
10%
30%
50%
Biji durian
Y11
Y12
Y13
Y14
Y.1
Sagu
Y21
Y22
Y23
Y24
Y.2
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 20-29
22
Biji plastik LDPE Penimbangan biji plastik LDPE sesuai dengan perlakuan Penimbangan pati sesuai dengan perlakuan Pencampuran biji plastik dengan pati menggunakan mesin Rheomix ( t = 140°C, 50 rpm selama 10 menit) Poliblend Pencetakan poliblend dengan mesin hot press ( t = 190°C, 10 bar selama 18 menit) Bioplastik Gambar 2. Diagram alir pembuatan bioplastik (modifikasi Subowo dan Pujiastuti 2003)
Rancangan percobaan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor, yaitu kombinasi jenis pati yang digunakan dan variasi penambahan konsentrasi pati dengan model matematika sebagai berikut: Yij = i + j + (ij + ij ……..(1) dimana: Yij : kualitas bioplastik dengan menggunakan pati i dan konsentrasi j : nilai rataan populasi i : pengaruh akibat perlakuan sumber pati yang digunakan taraf ke-i j : pengaruh akibat konsentrasi pati taraf ke-j ()ij : pengaruh interaksi faktor taraf ke-i dengan faktor taraf ke-j ij : pengaruh galat dari perlakuan ke-i yang memperoleh perlakuan ij HASIL DAN PEMBAHASAN Biji durian memiliki berat minimal 35 gram karena memiliki daging biji yang banyak ketika biji dikupas (Hutapea 2010). Pati hasil ekstraksi biji durian berupa serbuk halus berwarna putih dengan rendemen 19,36%. Komposisi kimia dari pati biji durian dan pati sagu dapat dilihat pada Tabel 2. Adanya protein dalam pati durian yang cukup tinggi dapat menginduksi terjadinya reaksi pencoklatan sehingga bioplastik yang terbuat dari pati durian warnanya lebih gelap dari bioplastik yang terbuat dari pati sagu.
Pati disusun oleh molekul yang lurus (amilosa) yang membuat pati membentuk gel ketika dipanaskan dan molekul yang bercabang (amilopektin) yang membuat pati memiliki sifat lengket. Rasio amilosa dan amilopektin bervariasi untuk setiap jenis pati. Pati tapioka memiliki rasio amilosa dan amilopektin 15:69; pati kentang 21:79; sedangkan pati sagu 23:63 (Tongdang 2008). Pati biji durian hasil ekstraksi memiliki rasio 14:74 yang hampir sama dengan pati tapioka, sehingga memungkinkan untuk dijadikan bahan baku dalam pembuatan plastik biodegradable (bioplastik). Pati memiliki ikatan asetal yang mudah sekali untuk diuraikan oleh mikroorganisme. Kelemahan dari komposit polietilena-pati adalah penambahan pati dapat menurunkan kekuatan tarik dari komposit polietilena-pati (Gunawan et al. 2008). Pembuatan Bioplastik-LDPE (Low Density Poly Ethylene) Pembuatan bioplastik dari campuran pati biji durian dengan biji plastik LDPE dan juga pati sagu dengan biji plastik LDPE sesuai dengan diagram alir pada Gambar 2, dengan variasi konsentrasi pati 0% sampai 50%. Penambahan pati untuk pembuatan bioplastik bisa dilakukan mulai dari pati 15% sampai 80% (Chinnaswamy dan Hanna 1996). Pati sagu, pati biji durian, dan biji plastik LDPE sulit untuk bercampur secara manual pada suhu ruang karena perbedaan
Tabel 2. Analisis kimia pati biji durian dan pati sagu Analisis Karbohidrat (%) Rasio amilosa/amilopektin Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Air (%) *) Granula pati Sumber:
*)
Pati biji durian 83,92 14/74 4,76 0,38 0,25 10,71 8 µm sampai 10 µm
Pati sagu 88,94 23/63 0,35 0,04 0,26 10,34 20 µm sampai 60 µm
Pati singkong **) 93,33 15/69 0,06 8,62 -
Soebagio et al. 2009 dan **) Theresia 2003
Pemanfaatan Pati Biji Durian…… Melanie Cornelia dkk
23
polaritas antara pati sagu dan pati biji durian yang bersifat polar, sedangkan biji plastik LDPE bersifat non polar. Pada penelitian ini pencampuran antara pati dan biji plastik LDPE dilakukan menggunakan alat rheomix dengan suhu 140ºC dan kecepatan putar motor 50 rpm selama 10 menit. Hasil pencampuran biji plastik dengan pati disebut poliblend (Subowo dan Pujiastuti 2003) yang ukurannya akan diperkecil menjadi bentuk pelet. Ada empat komposisi pencampuran pati dan biji plastik LDPE yang dipakai dalam pembuatan poliblend, baik untuk pati sagu maupun pati biji durian (Tabel 1), yaitu %pati : %LDPE adalah 0:100; 10:90; 30:70; dan 50:50. Selanjutnya poliblend dicetak menggunakan mesin hot press pada suhu 190ºC, tekanan 10 bar, selama 18 menit, dan dihasilkan lembaran bioplastik dengan diameter 20 cm dan ketebalan 0,79 cm. Hasil cetakan poliblend durian (D) dan sagu (S) dapat dilihat pada Gambar 3. Terlihat bahwa poliblend yang dibuat dari pati biji durian memiliki warna yang lebih coklat daripada poliblend yang dibuat dari pati sagu, baik dalam penambahan 10%, 30%, dan 50%. Hasil Uji Warna dan Uji Pendam Bioplastik Bioplastik yang dihasilkan diukur indeks putihnya menggunakan kromameter dan diperoleh hasil dengan rentang nilai indeks putih berkisar 7,66 sampai 98,36 (rentang warna coklat sampai ke warna putih). Tingkat indeks putih dapat dilihat pada Gambar 4. Tujuan uji warna adalah untuk melihat rentang indeks dari
LDPE
bioplastik yang dihasilkan. Perlakuan jenis pati dan variasi konsentrasi pati serta interaksi antara jenis dan konsentrasi pati berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap indeks putih bioplastik (hasil uji Anova). Hasil uji lanjut dengan metode Tukey HSD menunjukkan indeks putih bioplastik pati biji durian berbeda nyata dengan indeks putih bioplastik pati sagu pada perlakuan yang sama. Bioplastik pati biji durian memiliki warna yang lebih coklat dari bioplastik pati sagu karena pati biji durian yang dipakai belum mengalami proses bleaching dan pemurnian (ditunjukkan dengan adanya kandungan protein yang tinggi pada pati). Adanya protein ini dapat memicu terjadinya reaksi maillard (Tongdang 2008). Sedangkan pati sagu yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu komersial yang telah mengalami proses bleaching dan pemurnian, sehingga warna bioplastik yang dihasilkan lebih cerah. Penurunan berat merupakan salah satu indikasi terjadinya proses degradasi bioplastik yang dinyatakan dalam persen kehilangan berat selama dipendam dalam tanah. Pada penelitian ini bioplastik dipendam dalam tanah yang telah diletakkan dalam pot selama 8 minggu dengan kedalaman 10 cm dari permukaan tanah. Pot diletakkan di laboratorium agar suhu dan kelembaban tanah dapat dikontrol. Bioplastik yang dipendam ditimbang setiap minggu untuk diketahui perubahan beratnya. Selama pemendaman bioplastik tidak mengalami perubahan warna yang menunjukkan bahwa tidak terjadi reaksi kimia (Aidzan 2009).
LDPE-D10%
LDPE-S30%
LDPE-S10%
LDPE-D50%
LDPE-D30%
LDPE-S50%
Gambar 3. Poliblend bioplastik (sumber: dokumentasi pribadi)
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 20-29
24
Jenis dan variasi konsentrasi pati tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kehilangan berat, artinya persen penurunan berat bioplastik pati biji durian tidak berbeda nyata dibandingkan dengan bioplastik pati sagu (Gambar 5). Uji mikrobiologi menunjukkan bahwa jumlah mikroba yang ada di dalam tanah semakin bertambah. Spesies-spesies dominan yang terdapat pada polietilena adalah Bacillus sp., Staphylococcus sp., Streptococcus sp., Pseudomonas sp., Moraxella sp., Aspergillus niger, dan A. flavus. Mikroba-mikroba tersebut umumnya terdapat pada permukaan plastik polietilena dan memanfaatkan polietilena sebagai sumber karbon untuk metabolisme mereka (Vijaya dan Reddy 2008).
Hasil Uji Kekuatan Mekanik Bioplastik Uji kuat tarik, uji perpanjangan putus, dan modulus elastisitas (modulus Young) dilakukan dengan menggunakan Mat.Testing Machine, sedangkan kekerasan bioplastik dengan menggunakan Texture Analyzer TAT/X2. Modulus Young adalah perbandingan besaran kekuatan tarik dan perpanjangan putus. Modulus Young berkaitan dengan nilai elastisitas dari bioplastik (Askeland et al. 2010), makin banyak pati yang ditambahkan akan membuat modulus Young bioplastik menjadi berkurang. Gambar 6 dan 7 menunjukkan bahwa bioplastik pati sagu memiliki nilai kekuatan tarik dan kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bioplastik pati biji durian. Ini disebabkan
Gambar 4. Grafik indeks putih bioplastik Keterangan: notasi huruf yang berbeda di belakang angka menunjukkan beda nyata (p<0,05)
Gambar 5. Grafik persen kehilangan berat selama uji pendam Keterangan: notasi huruf yang berbeda di belakang angka menunjukkan beda nyata (p<0,05)
Pemanfaatan Pati Biji Durian…… Melanie Cornelia dkk
25
Gambar 6. Kekuatan tarik terhadap jenis pati Keterangan: notasi huruf yang berbeda di belakang angka menunjukkan beda nyata (p<0,05)
Gambar 7. Kekerasan terhadap jenis pati Keterangan: notasi huruf yang berbeda di belakang angka menunjukkan beda nyata (p<0,05)
pati sagu memiliki ukuran granula pati lebih besar, sehingga memiliki gaya adhesi antara pati dan polimer yang kuat sehingga nilai kekuatan tariknya besar (Moura 2006). Data penelitian penambahan pati singkong 15% dalam pembuatan bioplastik menyebabkan penurunan kekuatan tarik sebesar 37,3% dibandingkan dengan resin LLDPE murni (Theresia 2003). Makin tinggi persen pati yang ditambahkan maka kompatibilitas campuran berkurang, terjadi pelemahan gaya adhesi antara molekul pati dengan molekul plastik sehingga plastik berubah menjadi rapuh dan keelastisitasan bioplastik berkurang. Penambahan komponen pati diatas 20% membuat plastik menjadi rapuh (Aidzan et al. 2009).
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 20-29
Gambar 8 menunjukkan jenis pati dan variasi konsentrasi pati berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap perpanjangan putus bioplastik. Interaksi antara jenis pati dan variasi konsentrasi pati berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap perpanjangan putus bioplastik. Hasil uji lanjut dengan metode Tukey HSD menunjukkan bahwa perpanjangan putus pada perlakuan LDPE-pati biji durian konsentrasi 30% dan 50% berbeda dengan perlakuan LDPE-pati sagu konsentrasi 10% serta berbeda dengan konsentrasi 0%. Gambar 9 menunjukkan modulus Young bioplastik pati sagu lebih besar daripada bioplastik pati durian. Menurut Moura (2006) bioplastik pati sagu (granula pati besar) memiliki kekuatan tarik dan regangan tarik yang lebih
26
Gambar 8. Persen perpanjangan putus terhadap jenis dan konsentrasi pati Keterangan : notasi huruf yang berbeda di belakang angka menunjukkan beda nyata (p<0,05)
Gambar 9. Modulus Young terhadap jenis dan konsentrasi pati Keterangan : notasi huruf yang berbeda di belakang angka menunjukkan beda nyata (p<0,05)
tinggi daripada bioplastik pati biji durian. Karena modulus Young dipengaruhi oleh kekuatan tarik dan regangan tarik, maka semakin besar nilai kekuatan tarik dan regangan tarik maka modulus Young semakin besar dan benda semakin elastis. Jenis pati tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap modulus Young, namun variasi konsentrasi pati berpengaruh nyata (p<0,05). Interaksi tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap modulus Young dari bioplastik. Hasil uji lanjut dengan metode Tukey HSD menunjukkan bahwa modulus Young bioplastik pada konsentrasi pati 10% berbeda dengan perlakuan konsentrasi pati 50%. Analisis SEM Struktur morfologi bioplastik dianalisis menggunakan SEM. Hasil analisis SEM dengan perbesaran 2500x (Gambar 10) menunjukkan
bahwa penyebaran granula pati meningkat seiring dengan tingginya konsentrasi pati dalam campuran. Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa semakin tinggi persen pati ditambahkan, semakin banyak penyebaran granula pati di dalam polimer plastik. Terlihat pencampuran merata (Gambar 10c dan 10d) pada penambahan pati durian dan pati sagu 10%, berbeda dengan Gambar 10e dan 10f penambahan pati 50%. Penambahan pati 10% dianggap merupakan konsentrasi yang optimal pada pembuatan bioplastik tanpa penambahan zat aditif. Adanya rongga di antara molekul pati dengan polimer plastik ditunjukkan pada perbesaran 2500x. Celah ini yang menyebabkan kekuatan mekanik plastik menjadi berkurang karena membuat plastik menjadi rapuh ketika ditarik (Aht-Ong dan Charoenkungthum 2002).
Pemanfaatan Pati Biji Durian…… Melanie Cornelia dkk
27
(a) LDPE
(b) Pati biji durian
(c) LDPE-D10%
(d) LDPE-S10%
(e) LDPE-D50%
(f) LDPE-S50%
Gambar 10. Struktur morfologi LDPE, pati biji durian, dan bioplastik
KESIMPULAN Pati yang diperoleh dari ekstrak biji durian menggunakan pelarut air, berpotensi, dan dapat dimanfaatkan sebagai campuran bahan untuk membuat bioplastik yaitu plastik ramah lingkungan (biodegradable). Karakteristik mekanik bioplastik yang dihasilkannya hampir sama dengan bioplastik dari pati sagu dan pati singkong. Penampakan fisik bioplastik yang terbuat dari pati biji durian terlihat lebih gelap daripada bioplastik yang terbuat dari pati sagu karena adanya protein dalam pati biji durian cukup tinggi yang dapat menginduksi terjadinya reaksi pencoklatan. Bioplastik pati biji durian dan bioplastik pati sagu yang dipendam dalam tanah akan mengalami pengurangan berat akibat terjadi proses degradasi oleh mikroba di dalam tanah, namun keduanya tidak berbeda nyata. Potensi pati ini diharapkan dapat dipakai untuk membuat kantong plastik belanja ramah lingkungan sehingga produknya dapat dijual dengan harga yang lebih murah, karena pati biji durian merupakan limbah namun keberadaannya juga mudah diperoleh. Kantong plastik ramah lingkungan dengan memakai pati dari limbah biji-bijian diharapkan dapat diproduksi skala industri, agar masyarakat mulai tertarik menggunakan kantong plastik belanja jenis ini, sehingga dampak negatif sampah kantong plastik belanja terhadap lingkungan dapat diminimalisasi. DAFTAR PUSTAKA Aguilera, J. M., R. Simpson, J. W. Chanes, D. B. Aguirre. 2011. Food engineering intefaces. New York: Springer. Aht-Ong, D. dan K. Charoenkongthum. 2002. Thermal properties and moisture
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 20-29
absorption of LDPE/banana starch biocomposite films. Journal of Metal, Material, and Minerals. 12(1): 1-10. Aidzan, W., R. A. Ali, J. Jamaluddin, dan I. I. Mohammad. 2009. Development of polyethylene sago based biofilm via blown film molding technique. Faculty of Chemical and Natural Resources. Malaysia. Askeland, D. R., P. P. Fulay, dan W. J. Wright. 2010. The science and engineering of materials 6th edition. USA: Cengange Learning. Badan Pusat Stastistik (BPS). 2011. Produksi buah-buahan menurut provinsi (ton). Jakarta. Chinnaswamy, R. dan M. A. Hanna. 1996. Biodegradable polymer. USA. Christianty, M.U. 2009 .Produksi biodegradable plastic melalui pencampuran pati sagu termoplastis dan compatibilized linear low density polyethylene. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Coles, R., D. McDowel, dan M. J. Kirwan. 2003. Food packaging technology. Iowa: Blackwell Publishing. Gunawan, I., Deswita, Aloma, dan Sudirman. 2007. Modifikasi polyethylene sebagai polimer komposit biodegradable untuk bahan kemasan. Jurnal Sains Materi Indonesia (edisi khusus): 37-42. Gunawan, I., Deswita, Aloma, dan Sudirman. 2008. Sintesis dan karakterisasi komposit high density polyethylenepati tapioka. Jurnal Sains Materi Indonesia (1): 5-8. Hutapea, P. 2010. Pembuatan tepung biji durian (Durio Zibethinus Murr) dengan variasi perendaman dalam air kapur dan uji
28
mutunya. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara. Jufri, M., R. Dewi, A. Ridwan, dan Firli. 2006. Studi kemampuan pati biji durian sebagai bahan pengikat dalam tablet ketoprofen secara granulasi basah. Majalah Ilmu Kefarmasian 3(2): 78-86. Mirhosseini, H., and Tabatabaee Amid, B. 2012. A review study on chemical composition and molecular structure of newly plant gum exudates and seed gums. Food Res. Int. (46): 387–398. Moura, R. A. 2006 .The effect of physical aging, starch particle size, and starch oxidation on thermal-mechanical properties of poly (lactic acid)/starch composites. An abstract of a Dissertation Sanjaya, I. G. dan T. Puspita. 2012. Pengaruh penambahan khitosan dan plasticizer glicerol pada karakteristik plastik biodegradable dari pati limbah kulit singkong. Tesis. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November. Soebagio, B., Sriwidodo, dan A. Aditya. 2009. Pengujian sifat fisikokimia pati biji durian (Durio zibethinus Murr) alami dan modifikasi secara hidrolisa asam. Tesis. Bandung : UniversitasPadjajaran. Subowo, W. S. dan S. Pujiastuti. 2003. Plastik yang terdegradasi secara alami (biodegradable) terbuat dari LDPE dan pati jagung terlapis. Journal of Applied Polymer Science (42): 2691-2701. Syamsu, K., K. Setyowati, dan A. A. Khoiri. 2008. Pengaruh penambahan pemlastis (polietilen glikol 400, dietilen glikol, dan dimetil ftalat) terhadap proses biodegradasi bioplastik poli βhidroksialkanoat pada media cair dengan udara terlimitasi. Jurnal Teknologi Pertanian 4(1): 1-11. Theresia, V. 2003. Aplikasi dan karakterisasi sifat fisik-mekanik plastik biodegradable dari campuran LLDPE dan tapioka. Tesis. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Tongdang, T. 2008. Some properties of starch extracted from three thai aromatic fruit seeds. Journal of Starch 60(3-4): 199207. Vijaya, C. dan R. M. Reddy. 2008. Impact of soil composting using municipal solid waste biodegradation of plastics. Indian Journal of Biotechnology (7): 235-239.
Pemanfaatan Pati Biji Durian…… Melanie Cornelia dkk
29
PENINGKATAN STABILITAS EMULSI KRIM NANOPARTIKEL UNTUK MEMPERTAHANKAN KELEMBABAN KULIT (INCREASING STABILITY OF NANOPARTICLE CREAM EMULSION FOR PROTECTION OF SKIN MOISTURE)
Dwinna Rahmi, Retno Yunilawati, Emmy Ratnawati Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian RI Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail : [email protected] Received : 21 September 2012 ; revised : 28 September 2012; accepted : 29 April 2013
ABSTRAK Salah satu produk teknologi nano dibidang kosmetika dan farmasi adalah krim nanopartikel.Telah diperoleh krim nanopartikel dengan teksturnya yang halus yang dapat meningkatkan stabilitas emulsi dan meningkatkan sifat kelembaban kulit. Pada penelitian ini krim nanopartikel dibuat dengan proses ultrasonikasi dengan bahan baku asam stearat, cetil alkohol, cetil stearil alkohol, gliserin, air, dan emulsifier. Stabilitas emulsi krim nanopartikel meningkat 5% dibanding krim biasa. Stabilitas krim berkaitan dengan umur simpan produk. Berdasarkan hasil sintesis, diperoleh ukuran partikel 54,6 nm sampai 91,8 nm. Sedangkan aplikasi pada berbagai losion kulit krim nanopartikel terbukti dapat menghambat penguapan air kulit sebesar 15% sampai 40% untuk mempertahankan kelembaban kulit. Kata kunci : Krim nanopartikel, Teknologi nano, Stabilitas emulsi, Sifat mempertahankan kelembaban kulit
ABSTRACT One of nanotechnology products in cosmetic and pharmacy fielt is nanoparticle cream. A fine texture of nanoparticle cream was obtained to increase the emulsion stability of cream for skin moisture protection. In this research, nanoparticle cream was prepared by using ultrasonic agitation to homogenize of stearic acid, cetyl alcohol, cetyl stearyl alcohol, glycerin, demineral water, and emulsifier. Emulsion stability of nanoparticle cream increased about 5% compared with konvensional cream. Moreover, size of nanoparticle cream product was obtained about 54.6 nm until 91.8 nm. This product could hinder evaporate of water content in the skin about 15% until 40% and protect moisture of skin. Key words: Nanoparticle cream, Nanotechnology, Emulsion stability, Moisture protection of skin
PENDAHULUAN Nanoteknologi merupakan teknologi yang dapat diterapkan di berbagai bidang. Dibidang kosmetik fokus kepada sistem koloid (colloidal system) termasuk nanoemulsi, nanosuspensi dan nanopartikel. Produk nanopartikel mulai dikembangkan pada awal tahun 1990 sebagai alternatif sistem pembawa untuk emulsi, liposom, dan polimer nanopartikel (Pardeike 2009). Pada perkembangannya penerapan produk nano semakin luas ke bidang kosmetik seperti krim nanopartikel. Beberapa metoda pembuatan nanopartikel untuk krim antara lain high speed homogenization (HSH, ultrasound, high pressure homogenization (HPH), solvent emulsification (SE), solvent injection/solvent displacement dan membrane contractor (Muller dkk 2007). Penerapan nanopartikel dibidang kosmetik akan lebih baik apabila menggunakan bahan-bahan alam seperti asam lemak
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 30-36
essensial seperti fatty acid atau fatty alcohol. Pada umumnya kosmetik dan produk-produk perawatan diri terdiri dari empat bahan utama yang berperan sebagai surfaktan, emulsifier, agen penstabil produk dan sebagai emollient atau pelembab (Hambali, Z., et al. 2005). Menurut Ahlin et al., krim nanopartikel dapat dibuat dari trimiristin, tripalmitin, tristearin, trigliserida dan gliserol dan emulsifiernya menggunakan poroxamer, witepsol dan dynason. Krim merupakan kosmetik yang dipakai sehari-hari yang berfungsi melindungi kulit dari sinar UV (daerah tropis sinar UV lebih kuat) dan juga sebagai pelembab. Krim yang baik adalah krim yang terbuat dari bahan-bahan alam yang tidak memiliki efek samping. Pada umumnya krim dibuat dengan cara pencampuran bahan dengan sistem homogenisasi menggunakan
30
mixer. Kestabilan campuran dipengaruhi oleh kehomogenan campuran. Pada penelitian ini, dianalisa pengaruh ukuran partikel terhadap kestabilan emulsi serta menentukan pengaruhnya kepada sifat mempertahankan kelembaban kulit (Hambali, Z., et al. 2005). BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang dipakai adalah asam stearat, cetil alkohol, cetil stearil alkohol, gliserin, olive oil, yang diperoleh dari PT. Indokimika Jayatama Indonesia (Ecogreen Oleochemicals Indonesia). Air demineral dan emulsifier dari Bratachem Indonesia. Alat yang digunakan adalah Mixer merk Labortechnik dipakai untuk pembuatan krim konvensional dan alat Ultrasonic Processor merk Chrom Tech. dipakai sebagai reaktor untuk menghasilkan krim nanopartikel, Particle Size Analizer (PSA). Metode Proses Pembuatan Krim Fasa lemak yaitu asam stearat, cetil alkohol dan cetil stearil alkohol disiapkan lalu o dicairkan dengan water bath pada suhu 70 C. Sementara itu fasa cair yaitu gliserin dan air o demineral juga dipanaskan pada suhu 55 C. Homogenkan fasa cair dengan memasukkan fase lemak sedikit demi sedikit menggunakan alat mixer. Penghomogenan dilakukan dengan motor pengaduk pada kecepatan 1000 rpm menghasilkan krim biasa. Lanjutkan homogenisasi menggunakan alat ultrasonik dengan diameter getaran < 10 mm untuk menjadikan nanopartikel (selanjutnya disebut krim nanopartikel). Produk krim nanopartikel dimasukkan kedalam wadah kaca yang sudah dibersihkan dan disterilkan. Terakhir tutup dan simpan didalam pendingin. Stabilitas Emulsi Stabilitas emulsi diukur dengan cara memasukkan sampel ke dalam suatu wadah dan ditimbang beratnya. Wadah dan bahan tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan 0 suhu 45 C selama 1 jam kemudian dimasukkan 0 ke dalam pendingin bersuhu 0 C selama 1 jam dan dikembalikan lagi ke dalam oven bersuhu 0 45 C selama 1 jam. Pengamatan dilakukan terhadap kemungkinan terjadinya pemisahan air dari emulsi. Bila terjadi pemisahan, emulsi dikatakan tidak stabil dan tingkat kestabilannya dihitung berdasarkan persentase fasa terpisahkan terhadap emulsi keseluruhan. Stabilitas emulsi dihitung berdasarkan rumus berikut : Stabilitas Emulsi (SE) (%) : (Berat fasa yang tersisa/Berat total bahan emulsi) x 100%.
Aplikasi untuk Mempertahankan Kelembaban Kulit Cara uji sifat mempertahankan kelembaban kulit dilakukan dengan metoda yang mengacu pada review dalam jurnal (Muller et.al. 2007) dengan cara menempatkan kertas saring kasar yang dibasahi sampai jenuh kedalam cawan petri. Sementara itu disiapkan kertas saring whatman, olesi permukaan kertas dengan krim yang sudah ditimbang. Tutupkan kertas saring pada cawan petri yang sudah diisi kertas saring basah. Siapkan juga blanko yaitu cawan dengan kertas saring yang tidak diolesi krim. Sebelum ditaruh di ruang AC dan dibawah sinar matahari masing-masing cawan ditimbang beratnya. Setiap satu jam cawan ditimbang lagi untuk mengetahui pengurangan air yang terkandung didalam kertas saring basah. Peningkatan Krim Pasar Terhadap krim pasar dilakukan proses homogenisasi menggunakan alat ultrasonik dengan diameter getaran < 10 mm untuk menjadikan nanopartikel. Proses pembuatan menggunakan variable dengan waktu 30 menit, 60 menit, 90 menit, dan 120 menit. Untuk mengetahui pengaruh waktu terhadap ukuran partikel yang dihasilkan maka dilakukan analisa ukuran partikel. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Produk Krim Sifat fisik krim seperti tekstur dilihat dengan menggunakan electro magnetic microscope (SEM). Perbandingan tekstur krim biasa dan krim nanopartikel ditampilkan pada Gambar 1. Terlihat bahwa kehomogenan tekstur krim biasa lebih sedikit dibanding krim nanopartikel yang terlihat lebih merata. Distribusi dan Ukuran Partikel Produk Krim Distribusi dan ukuran partikel di analisa dengan menggunakan particle size analyzer (PSA). Tabel 1 dan Gambar 2 menampilkan distribusi dan ukuran partikel krim biasa dengan variabel waktu homogenisasi. Ukuran partikel a)
b)
Gambar 1. Hasil analisa produk krim dengan SEM a) biasa dan b) nanopartikel
Peningkatan Stabilitas Emulsi Krim Nanopartikel …… Dwinna Rahmi dkk
31
terkecil di peroleh setelah waktu proses 120 menit sebesar 1492,0 nm sampai 2375,0 nm. Walaupun sudah diproses selama 120 menit dengan kecepatan pengadukan 1000 rpm, ukuran partikel emulsi lebih dari 1000 nm. Diketahui yang dinamakan partikel nano adalah lebih kecil 100 nm. Seperti dijelaskan diatas bahwa nanopartikel dapat diperoleh dengan mixer. Pada Tabel 1 dapat dilihat setelah dilakukan homogenisasi selama 60 menit ukuran partikel naik. Hal ini disebabkan karena tingkat kestabilan krim masih rendah atau mungkin karena terjadi aglomerasi. Setelah dilakukan homogenisasi selama 90 menit terjadi penurunan ukuran partikel sebesar 30%. Sedangkan penurunan ukuran partikel setelah 90% dan 120% hanya sebesar 0,5%. Distribusi ukuran partikel krim nanopartikel ditampilkan pada Tabel 2 dan
Gambar 3. Dari hasil diatas terlihat bahwa ukuran partikel dengan waktu proses dibawah 60 menit dengan alat PSA masih berukuran 1000 nm. Hasil optimal yaitu 54,6 nm sampai 91,8 nm diperoleh setelah diproses selama 90 menit. Sementara homogenisasi yang dilakukan lebih dari 90 menit menjadikan partikel teraglomerasi kembali sehingga ukuran partikelnya menjadi lebih besar. Diperoleh penurunan ukuran partikel sebesar 30 kali dengan menggunakan metoda nanoteknologi yaitu ultrasonikasi. Krim nanopartikel yang dihasilkan pada penelitian ini merupakan ukuran optimal krim yaitu diatas 40 nm (54,6 nm sampai 91,8 nm). Dengan ukuran partikel lebih dari 40 nm (Sonavage dkk 2008) dapat membatasi kerja krim hanya pada kulit tidak masuk ke membran dibawah kulit.
Tabel 1. Distribusi ukuran partikel produk krim biasa No.
Waktu Homogenisasi (menit)
Ukuran partikel (nm)
1.
30
2488,6 – 3986,4
2.
60
28437,6 – 4859,5
3.
90
1439,8 – 2573,4
4.
120
1492,0 – 2375,0
Gambar 2. Hasil pengujian PSA untuk krim biasa untuk proses 30 menit
Tabel 2. Distribusi ukuran partikel produk krim nanopartikel No.
Waktu homogenisasi (menit)
Ukuran partikel (nm)
1.
30
1440,0 – 2572,0
2.
60
1105,0 – 2030,4
3.
90
54,6 – 91,8
4.
120
150,8 – 1887,8
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 30-36
32
Gambar 3. Hasil pengujian PSA untuk krim nanopartikel untuk proses 90 menit
Stabilitas emulsi (%) 99 98 97 96 95 94 93 92 91 90
Krim Biasa
Krim Nanopartikel
Gambar 4. Perbandingan stabilitas emulsi produk krim biasa dan krim nanopartikel
Stabilitas Emulsi Stabilitas emulsi merupakan kestabilan suatu bahan dimana emulsi yang terdapat dalam bahan tidak mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lain dan membentuk lapisan yang terpisah. Emulsi yang baik memiliki sifat tidak berubah menjadi lapisan-lapisan, tidak berubah warna dan tidak berubah konsistensinya selama penyimpanan. Menurut Suryani et.al. (2000), emulsi yang tidak stabil dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain komposisi bahan yang tidak tepat, tidak sesuainya rasio antara fase terdispersi dan fase pendispersi, pemanasan, dan penguapan yang berlebihan, jumlah dan pemilihan emulsifier yang tidak tepat, pembekuan, guncangan mekanik atau getaran, ketidakseimbangan densitas, reaksi antara dua atau lebih komponen dalam sistem dan penambahan asam atau senyawa elektrolit. Pada penelitian ini, diamati pengaruh kehomogenan partikel dimana semakin kecilnya ukuran partikel semakin homogen emulsi nyang diperoleh. Kestabilan emulsi krim nanopartikel lebih tinggi 5% yaitu sebesar 95% dibandingkan dengan krim biasa yaitu sebesar 90% (Gambar
4). Hal ini disebabkan oleh partikel krim nanopartikel lebih homogen dan lebih menyatu. Aplikasi untuk Mempertahankan Kelembaban Kulit Sifat mempertahankan kelembaban kulit dipengaruhi oleh rendahnya tingkat penguapan air di kulit. Hasil pengujian dapat dilihat pada Gambar 5 (dibawah sinar matahari) dan Gambar 6 (didalam ruang AC). Dihasilkan bahwa krim nanopartikel dapat menghambat penguapan air pada kulit yang berarti dapat lebih mempertahankan kelembaban kulit. Pada Gambar 5 dan 6 terlihat jelas porsentase penguapan air setelah memakai krim nanopartikel jauh lebih sedikit dibanding krim biasa dan blanko. Pada Gambar 6 terlihat bahwa tingkat penguapan dengan memakai krim nanopartikel lebih kecil bila dibandingkan dengan krim biasa dan blanko. Hal ini berarti bahwa dalam pemakaian di ruangan AC, krim nanopartikel bersifat dapat lebih menahan penguapan air pada kulit sehingga nilai penguapannya lebih kecil dibandingkan dengan pemakaian dibawah sinar matahari.
Peningkatan Stabilitas Emulsi Krim Nanopartikel …… Dwinna Rahmi dkk
33
6
14
Krim Nanopartikel Krim Biasa Blanko
12 Penguapan Air / %
5 Penguapan Air / %
Krim Nanopartikel Krim Biasa Blanko
4
3
10 8 6
2
4 1
0
2
1
2
3
4
5
6
7
Waktu / Jam
Gambar 5. Pengaruh pemakaian krim dibawah sinar matahari terhadap kelembaban (penguapan air)
0 0
1
2
3
4
5
6
7
Waktu / Jam
Gambar 6. Pengaruh pemakaian krim di ruangan AC terhadap kelembaban (penguapan air)
Gambar 7. Hasil pengujian PSA produk krim pasar sebelum proses
Hasil Uji Metode dengan Produk Krim Pasar Penelitian ini juga melakukan peningkatan produk krim pasar menjadi krim nanopartikel. Produk pasar yg dipilih adalah produk krim dengan komposisi bahan baku hampir sama dengan bahan baku krim nanopartikel yang dibuat pada penelitian ini. Terhadap krim pasar dilanjutkan dengan proses nano dengan ultrasonikasi lalu krim sebelum dan sesudah diproses diuji ukuran partikel dengan menggunakan PSA. Gambar 7 merupakan hasil uji PSA untuk krim pasar sebelum ditingkatkan, hasilnya diketahui ukuran partikel krim pasar sebesar 548,2 nm sampai 975 nm (diatas 100 nm). Pada Tabel 3 dan Gambar 8 menunjukkan distribusi ukuran partikel setelah ditingkatkan menjadi nanopartikel. Krim nanopartikel diperoleh setelah dilakukan homogenisasi setelah 90 menit. Hal ini menunjukkan bahwa produk krim pasar dapat
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 30-36
ditingkatkan mutunya menjadi nanopartikel dengan waktu homogenisasi lebih dari 90 menit untuk mendapatkan partikel nano, sehingga sifat produknya juga akan lebih baik. Aplikasi untuk Mempertahankan Kelembaban Kulit dengan Produk Pasar Krim pasar dengan ukuran partikel 548,2 nm sampai 975 nm dapat diproses menjadi krim nanopartikel dengan ukuran 63,4 nm sampai 114,4 nm. Sama seperti hasil diatas, kemampuan mempertahankan penguapan air krim pasar meningkat 20% sampai 40% setelah diproses menjadi krim pasar nanopartikel. Untuk membandingkan kemampuan krim pasar sebelum ditingkatkan dan setelah ditingkatkan selama 90 menit dalam menahan penguapan air, maka dilakukan uji penguapan air untuk krim pasar seperti dan hasilnya di tampilkan pada Gambar 9.
34
Tabel 3. Pengaruh waktu homogenisasi terhadap ukuran partikel krim pasar No.
Waktu ultrasonikasi (menit)
Ukuran partikel (nm)
1. 2. 3. 4. 5.
0 30 60 90 120
548,2-975 183,5 – 310,7 152,6 – 255,6 72,4 – 132,2 63,4 – 114,4
Gambar 8. Hasil pengujian PSA produk krim pasar setelah proses selama 90 menit
14
Blanko Krim Biasa Krim Nanopartikel
Penguapan Air / %
12 10 8 6 4 2
0
1
2
3
4
5
6
7
Waktu / Jam
Gambar 9. Pengaruh pemakaian krim dibawah sinar matahari terhadap kelembaban (penguapan air)
Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa penguapan air untuk krim pasar sesudah ditingkatkan lebih rendah dibandingkan dengan krim pasar sebelum ditingkatkan dan kontrol, hasil ini lebih menegaskan bahwa partikel yang berukuran nano lebih dapat menahan penguapan air. Hal ini menunjukkan bahwa produk krim pasar dapat ditingkatkan mutunya dengan cara melanjutkan dengan proses menjadi partikel nano.
dengan krim biasa. Dari hasil uji terhadap krim pasar diperoleh bahwa krim pasar dapat ditingkatkan mutunya dengan proses nano sehingga memperoleh krim dengan ukuran partikel dari 548 nm menjadi 72,4 nm. Hasil uji penguapan air lebih kecil sehingga meningkatkan kelembaban kulit.
KESIMPULAN
Kami ucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Kepala Balai Besar Kimia dan Kemasan serta Pejabat Pembuat Komitmen, sehingga dapat terlaksananya penelitian ini, begitu pula kepada anggota tim penelitian dan
Krim nanopartikel dapat dibuat dengan proses ultrasonikasi. Penguapan air dan stabilitas emulsi krim nanopartikel lebih baik dibandingkan
UCAPAN TERIMA KASIH
Peningkatan Stabilitas Emulsi Krim Nanopartikel …… Dwinna Rahmi dkk
35
semua pihak yang telah turut berpartisipasi sampai tersusunnya tulisan ini DAFTAR PUSTAKA Angka, S.L., Maggy T, dan Suhartono. 2000. Bioteknologi hasil laut. Cetakan pertama. Bogor : Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Anonim. 1995. Farmakope Indonesia (Edisi IV). Jakarta : Departemen Kesehatan RI : h. 413. ASTM D 882-2002. Standard test method for Tensiles properties of thin plastics sheeting. ASTM E 96-2000. Standard test methods for water vapor transmission of materials. Bloomfield, M. M. 1996. Chemistry and living th organism. 6 ed. Canada : John Willey & Son Inc. Carriedo, M.N. 1994. Edible coating and film based on polysaccarides. Dalam: Edible coating and film to improve food quality. Pensylvania: A Technomic Publishing Company Inc.: p. 305-335. Doty, M.S. 1987. The production and uses of Eucheuma in : studies of seven commercial seaweeds resources. Ed. Dalam : MS. Doty, J.F.Caddy and B. Santelices. FAO Fish. Tech. Paper No. 281. Rome : p.123 – 161. Fardiaz, D. 1989. Hidrokoloid. Bogor : Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan,Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Gennadios, A. , Hanna M. A., and Kurt L. B. 1997. Application of edible coatings on meats, poultry and seafoods, a review. Lebsnm. Wiss.u.Technol 30(4): 337350. Glicksman, M. 1983. Gum technology in the food industry. New York : Academic Press. Gontard, N., Guilbert S. 1993. Water and glycerol as plasticizers effect mechanical and water vapor barrier properties of edible wheat gluten film. J. Food Scie 57: 190-195. Gontard, N., Guilbert S. 1994. Biopackaging:technology and properties af edible and/or biodegradable material of agricultural origin. Dalam: M.Mathlouthi (Ed). Food and preservation. Glasglow: Blackie Academic and Professional : p. 159 – 181. Guilbert, S. 2001. A survey on protein based materials for food, agriculture and biolotechnological uses. In active biopolymer films and coating for food and biolotechnological uses. Dalam :
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 30-36
Park,H.J., R.F.Testin, M.S.Chinnan, and J.W.Park (Ed). Material and PreCongres Short Course of IUFoST. Korea : Korea University Seoul. Guiseley, K.B., Stanley N.F., Whitehouse P.A. 1980. Carrageenan. Dalam: David R.L (editor). Hand book of water soluble gums and resins. New York, Toronto, London: Mc Graw Hill Book Company. Imeson, A. 2000. Carrageenan . Dalam : Philips Williams PA (editor). Handbook of hydrocolloids. USA : Div. Corp. Springfield. Ketaren, S. 1986. Pengantar teknologi minyak dan lemak pangan. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Krochta, J.M., Baldwin E.A., Nisperos-Carriedo M.O. 1994. Edible coatings and films to improve food quality. USA : Technomic Publication. Co. Inc. Shah, V. 1998. Handbook of plastics testing technology (2 nd ed). New York : John Wiley & Sons. Inc. :p. 14. Sonti, S. 2003. Consumer perseption and application of edible coatings on freshcut fruits and vegatables. Louisiana : Department of Food Science Louisiana State University. Suryaningrum, T.D. 1988. Kajian sifat-sifat mutu komoditi rumput laut budidaya jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Stevens, M.P. 2001. Kimia polimer. Jakarta : Pradnya Paramita. Towle, G.A. 1973. Carrageenan. Dalam: Whistler RL (editorial). Industrial gums. Second edition. New York : Academik Press. Winarno, F.G. 1992. Kimia pangan dan gizi. Jakarta : PT Gramedia. Winarno, F.G. 1996. Teknologi pengolahan rumput laut. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
36
SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANO ZERO VALENT IRON (NZVI) DENGAN METODE PRESIPITASI (SYNTHESIS AND CHARACTERIZATION OF NANO ZERO VALENT IRON (NZVI) BY PRECIPITATION METHOD) Siti Wardiyati, Adel Fisli, dan Saeful Yusuf Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir, BATAN Kawasan Puspiptek, Serpong 15314, Tangerang Selatan E-mail: [email protected] Received : 22 Februari 2013 ; revised : 28 Maret 2013; accepted : 29 April 2013
ABSTRAK Teknologi NZVI (Nano Zero Valent Iron) menjadi pilihan yang tepat untuk rehabilitasi lingkungan dan remediasi situs yang terkontaminasi, karena dengan NZVI logam berat seperti Pb, As, Cr, Cd, Cu, dan senyawa organik dapat dengan mudah dipisahkan dari dalam air. Selain itu, bahan baku untuk pembuatan NZVI berupa zat besi relatif murah,tidak beracun, dan ramah lingkungan. Untuk mempelajari teknologi NZVI telah dilakukan sintesis dan karakterisasi NZVI dengan metode presipitasi menggunakan prekusor FeSO4.7H2O dan reduktor natrium borohidrat (NaBH4). Tujuan percobaan ini adalah membuat NZVI yang stabil, mempunyai ukuran kecil (dibawah 100 nm), dan tidak menggumpal. Untuk mencapai tujuan tersebut, pada proses sintesis NZVI ditambahkan surfaktan CTAB sebagai pelapis NZVI yang dihasilkan. Penambahan surfaktan yang tepat akan memberikan hasil optimal. Pada percobaan ini hasil optimal dicapai pada penambahan CTAB 1,4 g per 4,1703 g Fe2SO4.7H 2O dan ukuran partikel NZVI yang dihasilkan berkisar 8 nm. Kata kunci : Zero Valent Iron, Nanopartikel, Presipitasi
ABSTRACT Nano Zero Valent Iron (NZVI) technology is becoming popular choice for treatment of environmental rehabilitation and remediation of contaminated sites, due to NZVI heavy metals such as Pb, As, Cr, Cd, Cu, and organic compounds can be easily separated from the water. Besides, the raw material for synthesis of iron NZVI are relatively inexpensive, non toxic, and environmentally friendly. To study NZVI technology synthesis and characterization of NZVI has been carried out by precipitation method using a precursor FeSO4.7H 2O and reducing natrium borohydrate (NaBH4). The purpose of this experiment is to synthesize a stable NZVI, has a small size (below 100 nm) and do not agglomerate. To achieve these goals in the process of synthesis NZVI added surfactant of CTAB as a coating NZVI generated. The addition of the appropriate surfactant will provide optimal results, in this experiment the optimum results achieved on the addition of CTAB 1.4 g per 4.1703 g Fe2SO4.7H 2O and the resulting particle size ranges NZVI 8 nm. Key words : Zero Valent Iron, Nanoparticle, Precipitation
PENDAHULUAN Permasalahan limbah industri semakin menjadi lebih kompleks dengan bertambahnya keragaman produk industri dewasa ini. Upayaupaya untuk meminimalkan kuantitas dan toksisitas limbah industri saat ini sedang dikembangkan, mengingat sifat racunnya yang melekat pada limbah industri sangat membahayakan bagi kehidupan manusia maupun lingkungan. Salah satu upaya yang sedang dikembangkan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut diantaranya
pengembangan bahan adsorben Nano Zero Valent Iron (NZVI). Nano Zero Valent Iron (NZVI) merupakan bahan yang menjanjikan dan memainkan peran sangat penting dalam rehabilitasi lingkungan dan remediasi situs yang terkontaminasi oleh logamlogam berat seperti Pb, As, Cr, Cd, dan lain-lain. Logam-logam berat tersebut dapat dengan mudah dipindahkan dari dalam atau badan air dengan menggunakan NZVI (Allabaksh et al. 2010). Di negara Eropa dan Amerika telah
Sintesis dan Karakterisasi Nano Zero Valent Iron …… Siti Wardiyati dkk
37
dilakukan pembuatan dan uji coba NZVI untuk remediasi tanah dan air dalam tanah yang terkontaminasi, dengan tujuan utama untuk menghilangkan kontaminan senyawa khlor seperti pestisida dan senyawa organik atau logam-logam berat (Mueller et al. 2012). Di negara USA treatment dengan NZVI merupakan metode treatment yang telah digunakan, sedangkan di negara Eropa metode treatment dengan NZVI ini masih merupakan pemikiran jangka panjang, mengingat biaya operasional yang relatif tinggi. NZVI yang dikembangkan di USA adalah bimetallic particles dan emulsified NZVI. Reaksi remediasi yang terjadi antara NZVI 0 atau Fe dengan kontaminan khlor ditunjukkan pada reaksi 1, sedangkan dengan logam berat seperti Pb ditunjukkan pada reaksi 2 berikut ini (Muller and Nowack 2010) : 0
2+
R-Cl + Fe + H2O → R-H + Fe 2+ 0 0 2+ Pb + Fe → P b + Fe
+ Cl− +OH ...(1) …(2)
NZVI berbasis partikel nano umumnya dibuat dengan mereduksi Fe (II) atau Fe (III) dalam fase air dengan menggunakan natrium borohidrida secara presipitasi, meskipun dengan metode lain seperti metode mikro emulsi, metode sonikasi, dan metode sol-gel bisa dilakukan (Allabaksh et al. 2010). Pembuatan NZVI dengan metode presipitasi umumnya menggunakan bahan prekusor FeSO4.7H2O dan reduktor natrium borohidrat (NaBH4), dengan reaksi 3 sebagai berikut (Panturu et al. 2010) : +2 (aq)
4 Fe
+NaBH4
(aq)
+ 3H2O
→ 4Fe(s) + H3BO3(aq)+ + + 7H + Na ...(3)
0
Sebagian Fe yang terbentuk pada reaksi + 2+ 3 bereaksi dengan H membentuk Fe seperti yang ditunjukkan pada reaksi 4 berikut ini : +
Fe + 2H → Fe
2+
+ H2 ↑
…(4)
Reaksi (4) diatas bisa dihindari dengan penggunaan NaBH4 berlebihan dan precipitate yang terbentuk segera dipisahkan, dicuci, dan 0 dikeringkan. Mengingat Fe tidak stabil atau mudah teroksidasi, maka pada proses pembuatan perlu dilakukan penambahan bahan penstabil berupa surfactant. Ada beberapa surfactant yang bisa digunakan, salah satu diantaranya adalah Cethyl Methyl Ammonium Bromide (CTAB). Surfaktan akan berfungsi sebagai coating, sehingga partikel NZVI yang terbentuk tidak bergabung (beraglomerasi) dan kontak langsung dengan oksigen (udara luar)
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 37-44
berkurang, sehingga diperoleh NZVI yang stabil. Selain itu, untuk menekan oksidasi pada proses sintesis dialiri gas N2 (untuk mengusir oksigen terlarut) dan pengeringan dilakukan dengan menggunakan fresh dryer atau desicator vacuum. Tujuan utama dari penelitian ini adalah membuat NZVI yang stabil (tidak mudah teroksidasi), tidak teraglomerasi, dan mempunyai ukuran kecil (dibawah 100 nm), yang siap digunakan untuk proses remediasi air dalam tanah yang terkontaminasi oleh logamlogam berat dan limbah warna. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan kimia yang digunakan pada percobaan adalah ferrosulfat (FeSO4.7H2O) produk Merk, natrium borohidrat (NaBH4) produk Aldrich, Cethyl Methyl Ammonium Bromide (CTAB) produk Merck, ethanol, NH4OH, dan gas N2UHP. Alat Alat yang digunakan over head stirrer buatan Cole-Parmer, magnetic stirrer IKA, centrifuge buatan Selecta, desicator, pompa vacuum, peristaltic pump buatan Watson Marlow, timbangan analitik, dan peralatan gelas. Alat karakterisasi yang digunakan adalah X-Ray Difraktometer (XRD), Vibrating Sample Magnetometer (VSM), Scanning Electron Microscope (SEM), dan Thermal Electron Microscope (TEM). Metode Dibuat larutan Fe2SO4..7H2O 0,1 M sebanyak 150 ml (4,1703 g Fe2SO4..7H2O dilarutkan ke dalam 150 ml air dingin, suhu o o berkisar 2 C sampai 3 C) dalam erlenmeyer 750 ml. Tambahkan larutan CTAB sebanyak 100 ml dengan konsentrasi bervariasi ( 0,0 g; 0,7 g; 1,4 g; 2,8 g; dan 4,75 g). Dalam beker lain dibuat larutan 0,5 M NaBH4 sebanyak 100 ml (1,892 g NaBH4 dilarutkan ke dalam 100 ml air dingin) dengan ditambah NH4OH 25% sebanyak 5 ml. Proses reduksi dilakukan dengan penambahan larutan NaBH4 (yang telah dialiri gas N2 untuk menghilangkan oksigen terlarut) secara pelanpelan dengan kecepatan sekitar 10 ml/menit ke dalam larutan Fe2SO4..7H2O yang sedang diaduk dan dialiri gas N2. Untuk menjaga agar suhu tetap dingin, digunakan water batch berisikan batu es. Dengan penambahan larutan NaBH4 ke dalam larutan Fe2SO4..7H2O, larutan yang semula berwarna putih kebiruan berubah menjadi hijau dan akhirnya berwarna hitam yang
38
merupakan NZVI (Allabaksh et al. 2010). Precipitate yang terbentuk segera dipisahkan, dicuci dengan air (untuk menghilangkan garam terlarut), dan alkohol (untuk menghilangkan air yang menyertainya) kemudian selanjutnya dikeringkan dalam desicator vacuum 24 jam. Hasil NZVI siap dikarakterisasi dengan XRD untuk mengetahui fase yang terbentuk dan TEM untuk mengetahui ukuran partikel. Proses pembuatan atau sintesis NZVI dapat dilihat pada Gambar 1. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola difraksi NZVI hasil sintesis dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2A adalah pola
difraksi NZVI hasil sintesis tanpa penambahan CTAB, sedangkan Gambar 2B adalah pola difraksi NZVI hasil sintesis dengan penambahan CTAB. Dari kedua pola difraksi tersebut terlihat 0 o adanya puncak Fe pada nilai 2 theta sekitar 45 o (pada Gambar 2A dan 2B) dan 65 (pada Gambar 2B). Untuk membuktikan apakah fase yang terbentuk dari hasil sintesis tersebut merupakan NZVI perlu dibandingkan dengan NZVI hasil sintesis peneliti lain seperti Giasuddin et al. 2007 dan Kanel et al. 2005 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Dari Gambar 2 dan Gambar 3 terlihat adanya kesamaan difraktogram NZVI hasil percobaan dengan NZVI hasil penelitian lain, dengan demikian membuktikan bahwa fase
Gambar 1. Foto proses pembuatan NZVI secara presipitasi dengan penambahan stabilizer Cethyl Methyl Ammonium Bromide
[A] Fe
(A)
(a) (b) Gambar 2. Pola difraksi NZVI hasil sintesis tanpa CTAB (a) dan dengan CTAB (b) hasil percobaan
Sintesis dan Karakterisasi Nano Zero Valent Iron …… Siti Wardiyati dkk
39
(a)
a)
(b)
a)
Gambar 3. Pola difraksi NZVI hasil sintesis Kanel et al.2005 (a) dan Giasuddin et al.2007 (b)
yang terbentuk dari percobaan adalah Fe0 atau NZVI. Dengan melihat bentuk difraktogram NZVI baik dari percobaan atau dari pustaka o menunjukkan bahwa Fe tidak berdiri sendiri akan tetapi selalu diikuti oleh Fe3O4 atau Fe2O3 yang melapisi, hal ini sesuai dengan pernyataan Martin et al. 2008 dalam pustaka Giasuddin et al. 2007 yang menyatakan bahwa partikel NZVI biasanya dalam bentuk bola dan memiliki struktur core-shell, dimana Fe0 berada di tengah-tengah dan Fe3O4 atau Fe2O3 berada di permukaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 (Efecan 2008 dan Huey et al. 2008). 0 Jumlah Fe yang ada di core semakin lama jumlahnya berkurang karena teroksidasi. Untuk memperlambat terjadinya oksidasi, maka pada proses sintesis perlu ditambahkan surfactant, pada percobaan ini digunakan CTAB. Fungsi surfactant selain memperlambat terjadinya oksidasi juga memperkecil ukuran dan nanopartikel yang terbentuk tidak teraglomerasi. Untuk membuktikan bahwa adanya
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 37-44
surfactant dapat memperlambat terjadinya oksidasi atau menambah kestabilan NZVI yang terbentuk, dapat dilihat dari perubahan difraktogram NZVI dengan fungsi waktu. Perubahan pola difraksi NZVI yang dihasilkan terhadap fungsi waktu ditunjukkan pada Gambar 5(a) dan 5(b). Gambar 5(a) menunjukkan perubahan pola difraksi NZVI hasil sintesis tanpa penambahan surfactant CTAB dan Gambar 5(b) menunjukkan perubahan pola difraksi NZVI hasil sintesis dengan penambahan CTAB. Pada Gambar 5 terlihat jelas bahwa pada jangka waktu yang sama dari proses sintesis ke penyimpanan untuk NZVI tanpa CTAB telah mengalami oksidasi yang ditandai dengan o timbulnya puncak pada 2 theta 35 yang merupakan puncak Fe3O4 atau Fe2O3, sedangkan NZVI dengan penambahan CTAB pada jangka waktu yang sama belum mengalami perubahan. Hasil ini sama dengan yang dilakukan oleh Huey et al. 2008 seperti yang ditunjukan pada Gambar 6.
40
Fe3O4/Fe2O3 Fe
(a) (b)
a)
a) CTAB (b) Gambar 4. Skematis bentuk core shell NZVI tanpa CTAB (a) dan dengan Keterangan : ---● = surfaktan
Setelah bln
2
(a)
a)
fresh
(b)
a) dan dengan CTAB (b) terhadap fungsi waktu Gambar 5. Pola difraksi NZVI tanpa CTAB (a)
Meskipun demikian, dengan penambahan CTAB 0 menurunkan magnetisasi Fe yang terbentuk, hal ini ditunjukkan pada sifat magnet hasil
karakterisasi dengan VSM yang ditunjukkan pada Gambar 7.
Sintesis dan Karakterisasi Nano Zero Valent Iron …… Siti Wardiyati dkk
41
Pada Gambar 7(a) menunjukkan tinggi magnetisasi Fe0 hasil sintesis tanpa menggunakan CTAB mencapai 68 emu/g, 0 sedangkan Fe hasil sintesis dengan menggunakan CTAB hanya mencapai 47 emu/g. Penurunan sifat magnetisasi ini terjadi karena 0 adanya lapisan CTAB pada permukaan Fe yang terbentuk. Nilai magnetisasi ini lebih 0 rendah bila dibandingkan dengan Fe (tertulis Fe0 atau Fe3O4) yang dihasilkan Huey et al. 2008 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8.
Untuk mengetahui besar ukuran NZVI hasil sintesis dilakukan pengukuran dengan menggunakan Transmission Electron Microscopy (TEM). Ukuran partikel untuk NZVI adalah salah satu parameter yang paling penting yang mengontrol karakteristik dispersi dari partikel (Allabaksh et al. 2010). Pengaruh penambahan surfactant CTAB terhadap ukuran partikel ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 6. Pola difraksi NZVI fresh dan setelah 2 bulan dari sintesis (Huey et al. 2008)
(b)
(a) 0
0
Gambar 7. Kurva histerisis Fe (a) dan Fe -CTAB (b)
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 37-44
42
Gambar 8. VSM nanopartikel Fe atau Fe3O4 dilapisi oleh CTAB, HMDS, and TMAH
(a)
(b)
(d)
(c)
(e)
Gambar 9. Struktur mikro NZVI hasil sintesis dengan variasi jumlah CTAB dengan menggunakan TEM (a) tanpa CTAB; (b) 0,7 g CTAB; (c) 1,4 g CTAB; (d) 2,8 g CTAB; dan (e) 4,7 g CTAB ( −−− = 100 nm)
Pada Gambar 9(a) terlihat bahwa dengan tidak adanya penambahan CTAB pada proses
sintesis, NZVI yang terbentuk bersifat aglomerasi atau bergabung antara partikel yang
Sintesis dan Karakterisasi Nano Zero Valent Iron …… Siti Wardiyati dkk
43
satu dengan lainnya, ukuran partikel berkisar 45 nm. Pada Gambar 9(b) terlihat dengan penambahan 0,7 g CTAB per 4,1703 g Fe2SO4.7H2O, sifat aglomerasi mulai berkurang dan ukuran partikel menjadi lebih kecil yaitu berkisar 22 nm sampai 25 nm. Untuk penambahan CTAB 1,4 g (Gambar 9(c)) terlihat hasilnya lebih bagus, karena aglomerasi tidak begitu tampak dan ukuran partikel semakin kecil yaitu berkisar 7 nm sampai 8 nm. Berkurangnya ukuran partikel ini disebabkan karena dengan adanya CTAB akan memperlambat pertumbuhan partikel, sehingga ukuran partikel yang terbentuk menjadi lebih kecil. Penambahan CTAB diatas 1,4 g per 4,1703 g Fe2SO4.7H2O, memberikan hasil kurang baik, ini ditunjukkan pada Gambar 9(d) dan 9(e). Penambahan CTAB diatas 1,4 g terlihat bahwa NZVI yang terbentuk tidak sempurna karena pemakaian CTAB yang berlebih akan menghasilkan busa yang berlebih pula sehingga akan menghalangi pertemuan antara Fe2SO4 dengan NaBH4 yang mengakibatkan reaksi tidak berjalan dengan sempurna. Hasil optimum pada percobaan ini dicapai pada penambahan CTAB 1,4 g per 4,1703 g Fe2SO4.7H2O karena nanopartikel Fe0 yang dihasilkan mempunyai sifat stabil terhadap udara, ukuran berkisar 8 nm, dan tidak teraglomerasi. KESIMPULAN Telah berhasil disintesis NZVI dengan menggunakan prekusor Fe2SO4.7H2O, reduktor natrium borohidrate (NaBH4) dan surfactant Cethyl Methyl Ammonium Bromide (CTAB). Sintesis NZVI tanpa penambahan surfactant (CTAB) memberikan hasil NZVI yang mudah teroksidasi, teraglomerasi, dan ukuran partikel yang dihasilkan berkisar 40 nm sampai 50 nm. Sedangan sintesis NZVI dengan penambahan surfactant CTAB memberikan hasil NZVI yang tidak mudah teroksidasi, tidak teraglomerasi, dan ukuran partikel mencapai kisaran 8 nm. Penambahan CTAB optimum pada percobaan ini terjadi pada penambahan CTAB 1,4 g per 4,1703 g Fe2SO4.7H2O, akan tetapi penelitian ini masih perlu dikaji lagi untuk meningkatkan nilai magnetisasi NZVI yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA Allabaksh, M.B., B.K. Mandal, M.K. Kersala, K.S. Kumar, and P.S. Reddy. 2010. Preparation of stable zero valent iron nanoparticles using different chelating agents. J. Chem. Pharm. Res. 2(5): 67-74. Mueller, N.C., J. Braun, J. Bruns, M. Cernik, P. Rissing, D. Rickerby, and B. Nowack. 2012. Application of nanoscale zero valent iron (NZVI) for groundwater remediation in Europe. Environ. Sci. Pollut. Res 19: 550–558. Muller, N.C. and B. Nowack. Nano zero valent iron-the solution for water and soil remediation. Observatory nano focus report 2010. Panturu, R. L., G. Jinescu, E. Panturu, A. F. Olteanu, and R. Radulescu. 2010. Synthesis and characterization of zero valent iron intended to be used for decontamination of radioactive water. U.P.B. Sci. Bull series C 72 (4): 208218. Giasuddin, A. M., S. R. Kanel, and H. Choi. 2007. Nanoscale zerovalent iron and its effect on arsenic removal. Environ. Sci. Technol. 41: 2022-2027. Kanel, S.R., B. Manning, L. Charlet, and H. Choi. 2005. Removal of arsenic(III) from groundwater by nanoscale zero-valent iron. Environ. Sci. Technol. 39: 12911298. Efecan, N. 2008. Characterization of the adsorption behaviour of aqueous Cd (II) and Ni ions on nanoparticle of zero valent iron. Thesis. Engineering and Science of İzmir Institute of Technology. İZMİR. Huey, A., G. Zhang, D. Cullen, and I. Baker. 2008. Synthesis and characterization of iron composite nanoparticle for cancer therapy. Recearch Experience for Undergraduates Program.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang terkait pada kegiatan penelitian ini. Penelitian ini dibiayai dari dana DIPA Pusat Teknologi Bahan Industri NuklirBATAN Serpong tahun Anggaran 2011.
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 37-44
44
FOTODEGRADASI FENOL DENGAN KATALIS TiO2 P25 BERPENYANGGA BATU APUNG (PHOTOCATALYTIC DEGRADATION OF PHENOL OVER TiO2 P25 SUPPORTED ON PUMICE STONE)
Agung Sri Hendarsa1,2, Jessica Tanuwijaya1, Catur Nitya V.N.2, Heri Hermansyah1 dan Slamet1* 1)
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia PT Aozora Agung Perkasa, Water Management & Engineering Company, Jakarta, 12310, Indonesia
2)
Email : [email protected] Received : 28 Maret 2013 ; revised : 19 April 2013; accepted : 29 April 2013
ABSTRAK Modifikasi fotokatalis TiO2 dengan batu apung sebagai penyangga untuk mendegradasi senyawa fenol telah dilakukan. Batu apung yang sudah mengalami perlakuan awal dilapisi oleh sol TiO2, yang berasal dari prekursor TiO2 P25, dengan menggunakan metode dip coating. Komposit TiO2-batu apung tersebut dikarakterisasi dengan SEM-EDS dan BET, kemudian diaplikasikan untuk mendegradasi fenol dengan menggunakan reaktor batch yang dilengkapi oleh lampu merkuri 250 W. Konsentrasi fenol dianalisis dengan Spektrofotometer UV-Vis. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa penambahan udara pada sistem reaksi dapat meningkatkan kinerja katalis komposit. Pengaruh tersebut lebih nyata pada komposit dengan loading TiO2 rendah (2,5%) yang mencapai sekitar 5 kali lipat. Pada katalis 2,5%TiO2-batu apung, laju alir udara optimal dicapai pada 100 ml/menit, dengan tingkat degradasi terhadap 10 ppm fenol mencapai 100% selama 2,5 jam. Sementara itu pada katalis 25%TiO2batu apung, waktu yang dibutuhkan untuk degradasi fenol sampai batas baku mutu (0,5 ppm) pada konsentrasi awal fenol 10 ppm, 50 ppm, 100 ppm, dan 1000 ppm masing-masing adalah 3 jam; 5,7 jam; 6,9 jam; dan 16,9 jam. Kata kunci: Fenol, Fotokatalisis, TiO2, Batu apung
ABSTRACT Modification of TiO2 photocatalyst with pumice as support for phenol degradation has been investigated. Treated pumice was coated by TiO2 sol which from TiO 2 P25 as precursor using deep coating method. The composite of TiO2-pumice characterized by SEM-EDS, BET, and then evaluated for phenol degradation using batch reactor, completed with mercury lamp 250W. The concentration of phenol was analyzed by UV-Vis spectrophotometer. The experiment results showed that the addition of air in reaction system could enhance the performance of composite catalyst. This effect was more significant for composite with low loading of TiO 2 (2.5%) that reached around 5 times. The optimum rate of air was reached at 100 mL/min with degradation rates for phenol 10 ppm reached 100% for 2.5 hours. Meanwhile on the 25%TiO2-pumice catalyst, the time required for phenol degradation until standard limited concentration (0.5 ppm) at initial phenol concentration 10 ppm, 50 ppm, 100 ppm, and 1000 ppm are 3 hours, 5.7 hours, 6.9 hours, and 16.9 hours, respectively. Key words: Phenol, Photocatalysis, TiO2, Pumice
PENDAHULUAN Fenol merupakan polutan organik yang sering ditemukan pada air limbah. Salah satu industri yang menghasilkan polutan fenol adalah konsentrasi cukup tinggi. Berdasarkan data limbah cair industri migas dari Santos (Sampang) Pty Ltd. di lapangan Grati, Pasuruan,
industri minyak dan gas (migas) (Villasenor et al. 2002). Limbah cair industri migas menghasilkan limbah cair yang mengandung fenol dengan konsentrasi fenol yang terkandung pada limbah cair tersebut mencapai 3,41 mg/L (Agung Sri
Fotodegradasi Fenol Dengan Katalis TiO2 P25 …… Agung Sri Hendarsa dkk
45
Hendarsa et al. 2013). Sedangkan, batas baku berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51/MENLH/10 /1995 adalah 0,5 mg/L. Beberapa teknologi telah dilakukan dalam mendegradasi polutan organik pada limbah cair. Secara rinci, ada tiga jenis metode konvensional yang sering digunakan dalam mengolah limbah cair, yaitu secara fisika, kimia, dan biologi. Metode fisika yaitu adsorpsi, filtrasi, dan reverse osmosis. Metode kimia yaitu ion exchange dan ekstraksi, sedangkan, metode biologi yaitu proses aerob dan anaerob (Mozia et al. 2005). Namun, kekurangan dari ketiga metode ini adalah menghasilkan secondary waste dan tidak ekonomis (Martin et al. 2003, Stylidi et al. 2003). Belakangan ini, beberapa penelitian telah menginvestigasi proses yang memiliki potensi dalam mengoksidasi polutan organik tanpa menghasilkan secondary waste, yaitu Advanced Oxidation Processes (AOPs) (Azbar et al. 2004). Proses ini menggunakan gugus hidroksil radikal untuk mengoksidasi polutan organik. Karakteristik gugus hidroksil radikal adalah sangat reaktif dan tidak stabil sehingga polutan dapat dioksidasi. Proses fotokatalis adalah salah satu AOPs yang dapat mengoksidasi polutan organik menjadi CO2 dan air (Esplugas 2001). Proses fotokatalis adalah proses yang menggunakan bantuan cahaya dan katalis (semikonduktor) untuk melangsungkan atau mempercepat transformasi kimia (Hermann 1999). Semikonduktor TiO2 adalah salah satu semikonduktor yang efisien dan sering digunakan karena memiliki kinerja yang baik (Barakat et al. 2004). Namun, metode ini tidak efektif apabila konsentrasi polutan terlalu tinggi karena rendahnya daya adsorpsi pada fotokatalis (Tryba et al. 2006). Proses adsorpsi adalah proses yang memiliki kelebihan dalam adsorpsi polutan dengan konsentrasi tinggi, tetapi proses ini tidak dapat mendegradasi polutan menjadi senyawa yang tidak berbahaya. Dengan kekurangan dan kelebihan dari proses adsorpsi dan fotokatalisis, dilakukan kombinasi antara kedua proses tersebut. Penelitian Mei et al. (2003) menunjukkan bahwa degradasi fenol pada katalis dengan media penyangga lebih tinggi dibandingkan dengan katalis tanpa media penyangga. Salah satu media penyangga yang dapat digunakan adalah batu apung. Penelitian Rachel et al. (2002) menunjukkan bahwa keunggulan dari batu apung adalah memiliki banyak pori sehingga penyerapan fenol hanya membutuhkan waktu yang singkat. Pada penelitian ini, batu apung berasal dari Lyon dan Prancis, yang sudah berbentuk pelet. Metode yang digunakan untuk mengkombinasi katalis pada batu apung adalah metode dip coating. Komposisi utama dari
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 45-51
limbah cair bagi kegiatan industri di Indonesia pumice ini adalah mineral silikat amorf. Silika sendiri adalah substrat yang potensial untuk struktur kristal anatase (Chuan et al. 2004). TEOS dapat digunakan sebagai sumber SiO2 yang berfungsi sebagai perekat antara TiO2 dengan preparatnya (Slamet dkk 2009) karena komposisi utama batu apung dan TEOS adalah silika. Disamping itu, penelitian Rao menunjukkan bahwa permukaan yang berporous seperti batu apung dapat diimpregnasi dengan TiO2 dan digunakan sebagai immobilized photocatalyst (Rao et al. 2003). Beberapa parameter yang mempengaruhi dari kinerja katalis TiO2 yaitu pH, jumlah katalis, laju alir udara, dan konsentrasi awal polutan. Menurut San et al. (2002), semakin banyak jumlah katalis, maka semakin meningkat tingkat degradasi 4-nitrofenol, tetapi menurun apabila jumlah katalis melewati keadaan optimum. Penelitian ini dilakukan pada katalis TiO2 yang berbentuk aqueous solution, sedangkan pengaruh jumlah loading katalis yang berpenyangga batu apung terhadap degradasi fenol belum diteliti. Disamping itu, pengaruh laju alir dapat meningkatkan kinerja katalis dalam mendegradasi fenol (Lam et al. 2009). Penelitian ini dilakukan pada katalis TiO2 yang diimobiliasi pada activated carbon. Pada penelitian ini, akan disintesis komposit katalis TiO2 berpenyangga batu apung. Komposit ini akan dievaluasi kinerjanya dalam mendegradasi fenol dengan menggunakan reaktor batch. Penelitian ini akan menginvestigasi pengaruh laju alir udara dan jumlah katalis dalam batu apung terhadap kinerja komposit. Disamping itu, dilakukan pengaruh konsentrasi awal fenol untuk mengetahui waktu penyisihan fenol. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenol (Merck Pro Analyst), katalis yang digunakan adalah TiO2 P25 dengan 2 luas permukaan BET 53,6 m /g, komposisi anatase 79,23% dan ukuran kristal anatase 20 nm serta rutile 23 nm (Slamet dkk 2008), dan batu apung. Metode Sintesis Katalis TiO2 Berpenyangga Batu Apung dan Karakterisasi Batu apung sebanyak 20 g dipotong sampai berdiameter 4 mm sampai 6 mm kemudian dibersihkan dengan ultrasonic bath selama 30 menit sebanyak 3 kali. Katalis TiO2 P25 Degussa yang digunakan sebanyak 5 g
46
dalam 100 ml air dan ditambahkan TEOS (Tetra Ethil Ortosilikat) dari Aldrich sebanyak 2,3 mL. Metode coating yang digunakan adalah metode dip coating sebanyak 5 kali. Setelah itu, batu apung yang telah terlapiskan katalis dikalsinasi ° pada 400 C selama 1 jam. Karakterisasi SEM-EDS dilakukan dengan menggunakan alat JEOL-JSM6510LA untuk mengetahui morfologi dan komposisi batu apung yang dilapisi katalis. Karakterisasi BET dilakukan dengan menggunakan alat Quantachrome Nova 1200E pada suhu 300°C untuk mengetahui luas permukaan komposit. Uji Kinerja Fotokatalis Kinerja katalis TiO2 P25 yang berpenyangga batu apung diuji dengan melarutkan serbuk fenol (Merck Pro Analysis) dalam 300 mL air. Pengujian ini dilakukan pada kotak uji tertutup, yang berlapis alumunium foil. Di bagian penutup kotak uji terdapat lampu merkuri PHILIPS HPL-N 250 W sebesar 165 2 μm/cm pada permukaan batu apung. Reaktor dilengkapi dengan magnetic stirer yang dinyalakan selama uji kinerja agar reaksi dapat berlangsung secara merata. Kotak uji juga dilengkapi dengan blower untuk mengontrol suhu di dalam kotak uji selama pengujian. Untuk mengetahui pengaruh laju udara, reaktor
dialirkan udara dari tabung udara tekan. Hasil penelitian dianalisis dengan spektrofotometer UV/vis dengan menggunakan alat Spectroquant Pharo 300 dan parameter yang diukur adalah konsentrasi fenol. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Katalis Karakterisasi SEM-EDS bertujuan untuk membandingkan struktur dan komposisi antara batu apung tanpa katalis dan dengan katalis TiO2 P25. Gambar 1 menunjukkan perbedaan morfologi antara batu apung tanpa katalis dan dengan katalis TiO2. Pada perbesaran 500x, morfologi dari kedua batu apung sudah terlihat perbedaan, dimana batu apung dengan katalis memiliki pori yang rapat. Namun, perbesaran ini belum memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Pada perbesaran 3000x, diperoleh perbedaan yang sangat signifikan. Pada batu apung tanpa katalis, terlihat permukaan batu apung yang memilki banyak rongga, sedangkan pada batu apung dengan katalis, jumlah rongga menurun karena katalis TiO2 yang mengisi pori dari batu apung tersebut secara merata.
Gambar 1. Hasil SEM batu apung : a. tanpa katalis perbesaran 500 kali, b. tanpa katalis perbesaran 3000 kali, c. dengan fotokatalis TiO2 P25 perbesaran 500 kali, d dengan fotokatalis TiO2 P25 perbesaran 3000 kali.
Fotodegradasi Fenol Dengan Katalis TiO2 P25 …… Agung Sri Hendarsa dkk
47
Berdasarkan karakterisasi EDS pada Tabel 1, diperoleh komposisi dari kedua batu apung tersebut. Tabel 1 menunjukkan komposisi batu apung tanpa katalis dan dengan katalis. Batu apung tanpa katalis memiliki unsur %massa silika (Si) yang paling besar yaitu 40,12% dan %massa Al yaitu 9,62%. Namun, pada hasil batu apung dengan menggunakan katalis TiO2, diperoleh %massa titania mencapai 44,12% dan %massa silika mengalami penurunan menjadi 14,78%. Penurunan silika ini disebabkan oleh titania yang menutupi silika. Berdasarkan hasil karakterisasi SEM-EDS menunjukkan bahwa metode dip coating dapat digunakan untuk melapisi permukaan batu apung dengan katalis. Metode ini dapat melapisi permukaan batu apung secara merata. Karakterisasi BET dapat digunakan untuk membandingkan pengaruh penggunaan penyangga. Jumlah loading katalis dalam komposit sebanyak 2,5% TiO2. Hasil karakterisasi BET dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Tabel 1, luas permukaan meningkat 2 pada TiO2-batu apung awal dari 1,321 m /g 2 menjadi 4,699 m /g. Kenaikan luas permukaan diakibatkan dari keberadaan katalis pada batu apung sehingga meningkatkan luas permukaan pada komposit. Namun, penambahan katalis TiO2 seharusnya tidak menyebabkan perubahan Tabel 1. Hasil SEM-EDS pada batu apung %massa Dengan katalis TiO2
Jenis atom
Tanpa katalis
O
31,79
31,25
Al Si
9,62 40,12
2,50 14,78
Ti
-
44,12
Fe Pb
6,42 2,34
1,68 5,68
Na K
2,80 5,49
-
Ca
1,42
-
yang signifikan. Hal ini dikarenakan jumlah katalis yang menempel pada komposit hanya sekitar 0,76% dari jumlah loading. Penyebab lainnya adalah batu apung tanpa katalis tidak mengalami proses pemanasan seperti pada batu apung yang dilapisi katalis yang mengalami o proses pemanasan pada suhu 400 C, sehingga kemungkinan batu apung masih mengandung air dan beberapa pengotor, yang dapat memperkecil luas permukaan dari batu apung. Pengaruh Laju Alir Udara dan Loading TiO2 dalam Komposit Pengaruh laju alir udara bertujuan untuk mengetahui laju udara optimum untuk mendegradasi fenol. Pengaruh ini diamati dengan menggunakan variasi laju udara sebesar 0 mL/menit, 50 mL/menit, 100 mL/menit, dan 200 mL/menit. Disamping itu, pengaruh loading TiO2 dalam komposit bertujuan untuk mengetahui hubungan antara loading TiO2 dengan laju udara. Pengaruh ini diamati dengan menggunakan variasi loading TiO2 sebesar 2,5% TiO2 dan 25% TiO2. Pada Gambar 2 terlihat bahwa semakin meningkat laju udara, tingkat degradasi fenol semakin meningkat. Namun, tingkat degradasi fenol menurun apabila laju alir udara terlalu tinggi. Penyisihan fenol tanpa menggunakan laju alir udara sebesar 35,5%, sedangkan penyisihan fenol dengan menggunakan laju udara 50 mL/menit sebesar 50,4% dan meningkat sampai 100% pada penambahan laju udara 100 mL/menit. Selanjutnya, penurunan tingkat degradasi fenol pada laju alir udara 200 mL/menit menjadi 52,3%. Penambahan laju udara dapat meningkatkan penyisihan fenol. Hal ini
Tabel 2. Propertis katalis TiO2 dan komposit Deskripsi
Luas Permukaan 2 (m /g)
TiO2 P25*
53,6
Batu Apung
1,321
TiO 2 P25-Batu Apung
4,699
Gambar 2.
Efek variasi laju udara terhadap efisiensi degradasi fenol (Vfenol = 300 mL, Batu apung = 20 g, loading TiO 2 = 2,5% TiO2, dan t =163 menit).
*Slamet dkk (2008)
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 45-51
48
dikarenakan udara yang mengandung oksigen berfungsi sebagai electron scavenger yang dapat mengurangi terjadinya rekombinasi yang cepat antara elektron dan hole (Hermann 1999) juga keberadaan oksigen terlarut dalam air menjadi anion oksigen yang akan bereaksi dengan elektron untuk membentuk OH. Namun, apabila laju udara melebihi optimum, maka penyisihan polutan akan menurun. Hal ini dikarenakan keberadaan gelembung udara yang menutupi permukaan komposit dan waktu tinggal udara yang cepat. Peningkatan laju udara menyebabkan terbentuknya gelembung udara yang berukuran besar di permukaan limbah sehingga gelembung tersebut menutupi permukaan katalis dan menghalangi penyerapan energi foton oleh katalis (Lam et al. 2009). Gelembung udara tersebut dapat menutupi permukaan katalis yang ada di pori batu apung seperti terlihat pada Gambar 1. Disamping itu, menurut Slamet dkk (2008), penurunan kinerja dikarenakan waktu tinggal dissolve oxygen yang pendek sehingga kontak antara TiO2, foton, dan fenol kurang optimal. Oleh karena itu, laju alir udara yang optimum adalah 100 mL/menit. Gambar 3 menunjukkan profil pengaruh loading TiO2 terhadap degradasi fenol. Proses penyisihan fenol pada katalis TiO2 P25 sebesar 25% TiO2 tanpa laju alir dan dengan laju alir udara adalah 88% dan 94%. Hal ini menunjukkan bahwa apabila jumlah katalis yang digunakan banyak, maka penambahan laju alir udara tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Namun, pada jumlah katalis yang sedikit, penambahan laju alir udara dapat meningkatkan degradasi fenol sebesar 5 kali. Oleh karena itu, ada dua opsi yang dapat dipilih untuk mendapatkan kondisi yang optimum. Opsi
pertama adalah menggunakan loading TiO2 yang tinggi, tetapi tanpa laju air alir udara. Opsi kedua adalah menggunakan loading TiO2 yang sedikit, tetapi menggunakan laju alir udara. Pengaruh Konsentrasi Awal Fenol Pengaruh konsentrasi awal fenol bertujuan untuk memprediksi waktu penyisihan fenol sampai batas baku mutu (0,5 ppm). Pengaruh ini diamati dengan variasi konsentrasi awal fenol 5 ppm, 10 ppm, 50 ppm, 100 ppm, dan 1000 ppm. Gambar 4 dan 5 menunjukkan semakin tinggi konsentrasi awal fenol, maka tingkat degradasi awal fenol semakin menurun. Pada dasarnya, peningkatan konsentrasi polutan menyebabkan peningkatan laju degradasi. Namun, jumlah OH tetap, sedangkan, jumlah fenol yang perlu didegradasi semakin banyak sehingga jumlah fenol yang dapat didegradasi menurun (Lam et al. 2009). Disamping itu, menurut Konstantinou et al. (2004), konsentrasi fenol yang tinggi dapat mengadorpsi energi foton sehingga menurunkan aktivitas dari TiO2. Oleh karena itu terjadi penurunan kinerja dari komposit pada konsentrasi tinggi. Hal ini dapat dilihat efisiensi degradasi fenol dalam waktu 2,5 jam, dimana terjadi penurunan efisiensi degradasi fenol. Penurunan kinerja komposit berhubungan erat dengan waktu kinerja penyisihan fenol. Berdasarkan dari hasil data, waktu untuk mencapai batas baku mutu dengan konsentrasi awal fenol sebesar 10 ppm, 50 ppm, 100 ppm, dan 1000 ppm adalah 3 jam; 5,7 jam; 6,9 jam; dan 16,9 jam. Oleh karena itu, dibutuhkan waktu yang lebih lama pada konsentrasi awal yang tinggi.
2,5%
25%
Gambar 3.
Efek variasi loading TiO2 terhadap efisiensi degradasi fenol (V fenol = 300 mL, Batu apung = 20 g, dan t =163 menit).
Gambar 4. Efek variasi konsentrasi awal fenol terhadap efisiensi degradasi fenol (Vfenol = 300 mL, Loading TiO2 = 25% TiO2, dan Batu apung = 20 g, Tanpa Aerasi, t= 165 menit)
Fotodegradasi Fenol Dengan Katalis TiO2 P25 …… Agung Sri Hendarsa dkk
49
awal fenol 10 ppm, 50 ppm, 100 ppm, dan 1000 ppm masing-masing adalah 3 jam, 5,7 jam, 6,9 jam, dan 16,9 jam. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didukung oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Penelitian Prioritas Nasional Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (PENPRINAS MP3EI 2011-2025), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian Strategis Nasional No. 209/SP2H/PL/Dit.Litabmas/III/2012. DAFTAR PUSTAKA Gambar 5.
Pengaruh variasi konsentrasi awal fenol terhadap degradasi fenol (Vfenol = 300 mL, Loading TiO 2 = 25% TiO2, dan Batu apung = 20 g, Tanpa Aerasi).
Pada proses degradasi fenol, hole akan bereaksi dengan air membentuk gugus hidroksil radikal dan elektron mereduksi oksigen. Gugus hidroksil radikal akan mengoksidasi fenol (atau komponen organik) dan menghasilkan CO2 dan H2O (Zermeno et al. 2011). Berikut ini merupakan mekanisme dari proses degradasi fenol (Slamet dkk 2008) : TiO2 + h (UV) C6H5-OH O2 + e + O2 + H + HO2 + H + e H2O2 + e + OH + h C6H5-OH(ads) + OH C6H5-(OH)2(ads) Produk antara
-
+
TiO2(eCB + hVB ) C6H5-OH(ads) O2 HO2 H2O2 OH + OH OH C6H5-(OH)2(ads) Produk antara CO2 + H2O
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
KESIMPULAN Penambahan udara pada sistem reaksi dapat meningkatkan kinerja katalis komposit. Efek tersebut lebih signifikan pada komposit dengan loading TiO2 rendah (2,5%) yang mencapai sekitar 5 kali lipat. Pada komposit dengan loading TiO2 rendah (2,5%TiO2-batu apung), laju alir udara optimal dicapai pada 100 ml/menit, dengan tingkat degradasi terhadap 10 ppm fenol mencapai 100% selama 2,5 jam. Sementara itu dengan menggunakan komposit loading TiO2 tinggi (25%TiO2-batu apung), waktu yang dibutuhkan untuk degradasi fenol sampai batas baku mutu (0,5 ppm) pada konsentrasi
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 45-51
Agung Sri Hendarsa, Heri Hermansyah, Slamet. A Novel photobiodegradation technology for hydrocarbon wastewater treatment. IJET Vol. 13 Issue 1 (2013) 1-6. Azbar, N. and Kestigliu Yonar K.. Comparison of various advanced oxidation processes and chemical treatment methods for COD and color removal from a polyester and acetate fiber dyeing effluent,Chemos., 55 (2004) 35-43. Barakat M. A., H. Schaeer, G. Hayes G, S.I. Shah. Photo-catalytic degradation of 2chlorophenol by Co-doped TiO2 nanoparticles. App. Catal. B: Env., 57 (2004) 23–30. Chuan, X. Y., M. Hirano,, and M. Inagaki. Preparation and photocatalytic performance of anatase-mounted natural porous silica, pumice, by hydrolysis under hydrothermal conditions. Appl. Catal. B: Environ., 51 (2004) 255-260. Esplugas, Santiago. Comparisson of different advanced oxidation processes for phenol degradation. Water Res., 36 (2001) 1034-1042. Hermann, J.M. Heterogenous photocatalysis fundamental and aplication to the removal of various type of aqueous Pollutans. Catal. Today, 53 (1999) 115-129. Kementrian Negara Lingkungan Hidup, (2006),”Pengolahan bahan dan limbah berbahaya dan beracun”. Konstantinou, K., T. A. Albanis. TiO2-assisted photocatalytic degradation of azo dyes in aqueous solution kinetic and mechanistic investigations. A review. Appl. Catal. B: Environ., 49 (2004) 114.
50
Lam, Sze-Mun, Jin-Chung Sin, and Abdul Rahman Mohamed. Parameter Effect on Photocatalytic Degradation of Phenol using TiO2-P25/Activated Carbon (AC).J.Chem.Eng., 27 (2009) 1109-1116. Martin, M. J., A. Artola, M.D. Balageur, and M. Rigola. Activated carbons developed from surplus sewage sludge for the removal of dyes from dilute aqueous solutions, Chem. Eng. J., 94 (2003), 231-239. Mei, F. C., M.Y.Qin, H.X. Gang, S.Y. Ping, L. X. Jun, and L. F. Bai. Adsorption and photocatalytic degradation of phenol over TiO2/ACF. J. Trans. of Nonferrous Met. Soc. of China,13(2003) 453-456. Mozia, S., M. Tomaszewska, A. W., Morawski. A new photocatalytic membran reactor (PMR) for removal of azo-dye Acid Red 18 from water.Appl. Catal., 59 (2005) 133-139. Rachel, A., B. Lavedrine, M. Subramanyam, and P. Boule. Use of porous lavas as supports of photocatalysts.Catal.Commun.,3(2002) , 165-171. Rao, K., Subba, V., Rachel, A., Subrahmanyam, M., and Boule, P. Immobilization of TiO2 on pumice stone for the photocatalytic degradation of dyes and dye industry pollutants. Appl. Catal. B: Environ., 46 (2003) 77-85. San, N., A. Hatipoglu, G. Kocturk, and Z. Cinar.Photocatalytic degradation of 4nitrophenol in aqueous TiO 2 suspensions: Theoretical prediction of the intermediates. J.Photochem.and Photobiol.A:Chemi. 146 (2002), 189197. Slamet, Indar Kustiningsih, Jayanudin, Desi Usmanizar, and Eti Yulianti. (2008). Degradasi Senyawa Fenol dengan Metode Fotokatalisis Menggunakan Reaktor Annular UV-C. Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses, Universitas Diponegoro, Semarang. Slamet, Raisuli, R. F., and Tristantini, D. (2009). Disinfeksi bakteri E.coli secara fotokatalitik dengan katalis komposit TiO2-karbon aktif berpenyangga batu apung. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia. Universitas Indonesia, Depok. Stylidi, M., D.I. Kondarides, and X.E. Verykios. Pathways of solar light-induced photocatalytic degradation of azo dyes
in aqueous TiO2 suspensions. Appl. Catal. B: Environ., 40 (2003) 271-274. Tryba, B., M. Toyoda, and M. Inagaki.Ironmodifiend Carbon-coated TiO2 for adsorption and decomposition of phenol in water.Appl. Catal.BEnviron.,50 (2006) 177-183. Villasenor, J., P. Reyes, and G. Pecchi. Catalityc and Photocatalytic Ozonation of Phenol on MnO2 Supported Catalysts.Catal. Today., 76 (2002) 121-131. Zermeno, Brenda B., Moctezuma, E., and Alamila, Ricardo Garcia. (2011). Photocatalytic Degradation of Phenol and 4-chlorophenol with Titania, Oxygen, and Ozone. Sustain. Environ. Res., 21, 299-305. Indonesia Environmental Regulation Standard, Kep-51/MenLH/10/1995
Fotodegradasi Fenol Dengan Katalis TiO2 P25 …… Agung Sri Hendarsa dkk
51
PENGARUH RADIASI BERKAS ELEKTRON DAN KIMIA PADA PEMBUATAN GLUKOSA DARI TANDAN KOSONG SAWIT (SYNTHESIS OF GLUCOSE FROM PALM EMPTY FRUIT BUNCH USING EFFECT OF ELECTRON RADIATION WASTE AND CHEMICAL) Darsono, Sugiarto Danu, Made Sumarti Kardha, dan Harsojo Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi – BATAN Jl. Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta-Selatan E-mail: [email protected] Received : 5 April 2013 ; revised : 19 April 2013; accepted : 29 April 2013
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian pembuatan glukosa dari tandan kosong sawit (TKS) dengan 2 tahap, yaitu perlakuan pendahuluan iradiasi berkas elektron dilanjutkan dengan alkali dan asam, diikuti dengan proses sakarifikasi. Serat TKS kering diiradiasi menggunakan berkas elektron pada variasi dosis 0, 200, dan 400 kGy. Hasil iradiasi berkas elektron selanjutnya digiling dan diayak untuk mendapatkan butiran berukuran antara 40/60 mesh. Perlakuan pendahuluan dengan NaOH dilakukan pada suhu 121⁰C selama 30 dan 60 menit, sedangkan perlakuan dengan H2SO4 dilakukan pada suhu 121⁰C selama 30 menit dengan menggunakan otoklaf. Sakarifikasi dilakukan menggunakan enzim amilase dan selubiase. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada dosis iradiasi 0, 200 dan 400 kGy dengan perlakuan NaOH 0, 4, 8, dan 16% telah menghasilkan glukosa maksimum 14,0% sampai 14,2%. Perlakuan H 2SO4 dengan konsentrasi 1, 2, dan 4% menghasilkan glukosa sekitar 6% sampai 8,5%. Kata kunci: Iradiasi, Berkas elektron, Sakarifikasi, Glukosa
ABSTRACT Research on preparation of glucose from palm empty fruit bunch (PEFB) was carried out in 2 steps, that was electron beam, alkaline and acid pretreatment, followed by saccharification prosses. Dried PEFB fiber was irradiated using an electron beam at the doses variation of 0, 200 and 400 kGy. The results of electron beam irradiation further milled and sieved to obtain particle sizes 40/60 mesh. NaOH pretreatment was performed at 121⁰C for 30 and 60 minutes, whereas pretreatment with H2SO4 was performed at temperature of 121⁰ C for 30 minutes using an autoclave. Saccharification was done using amylase and selubiase enzymes . The results obtained indicate that at irradiation doses of 0, 200, and 400 kGy with NaOH treatment of 0, 4, 8 and 16 %, the maximum glucose yield was 14.0% until 14.2%. The use of H2SO4 treatment of 1, 2, and 4%, glucose yield around 6% until 8.5%. Key words: Irradiation, Electron beam, Saccharification, Glucose.
PENDAHULUAN Sejak Oktober 2005 Indonesia dilanda krisis bahan bakar minyak, harga bahan bakar yang berasal dari minyak bumi meningkat hingga tiga kali lipat. Ketergantungan minyak dapat merugikan karena selain potensinya yang akan habis juga tidak terbarukan dan menyebabkan pencemaran udara yang cukup tinggi. Oleh karena itu perlu dicari bahan bakar alternatif yang salah satunya adalah bioetanol (Irawati 2006). Menurut Brunce and Palfreman (1998) bietanol dapat diproduksi dari sumber daya yang dapat diperbarui seperti biomassa yang dikategorikan ke dalam bahan-bahan yang
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 58-64
berbasis gula (gula tebu, bit, dan sorgum manis), pati (jagung, gandum, beras), serta ubiubian (kentang, singkong, ubi jalar) dan lignoselulosa (kayu, jerami, bagas, dan sebagainya). Bahan baku berbasis gula dan pati memang lebih mudah pada proses pembuatan etanol, akan tetapi penggunaan bahan baku tersebut bersaing dengan pemanfaatannya yang lebih utama yaitu sebagai sumber bahan makanan. Penggunaan bahan baku lignoselulosa, selain lebih murah, potensinya lebih besar dan tidak bersaing dengan pemanfaatan lain.
52
Salah satu bahan yang mengandung lignoselulosa adalah tandan kosong sawit (TKS). TKS merupakan limbah padat terbesar pada industri kelapa sawit, yaitu 25% sampai 27% dari buah segar (Subiyanto et al. 2004, Peni 1995). Oleh karena itu perlu diupayakan pemanfaatan limbah TKS menjadi produk yang lebih berguna, misalnya etanol (Sudiyani et al 2008). TKS mengandung lignoselulosa tinggi, dengan komponen utama adalah selulosa (44,14%), hemiselulosa (19,28%), dan lignin (16,19%). Selulosa merupakan komponen terbesar di antara tiga komponen dan sangat potensial dipakai sebagai bahan baku untuk produksi bietanol. TKS mempunyai potensi untuk digunakan sebagai sumber glukosa melalui proses hidrolisis dengan asam atau enzim. Larutan gula yang dihasilkan selanjutnya dapat dikonversi menjadi berbagai produk seperti etanol, aseton, butanol atau melalui biopolimer yang mempunyai nilai lebih tinggi (Brenner et al 1979). Faktor-faktor struktur kristalin, bobot molekul yang tinggi, dan ikatan hidrogen, serta kandungan lignin pada lignoselulosa menyebabkan reaktifitasnya menjadi rendah pada proses hidrolisis dan fermentasi (Darnoko 1992). Faktor-faktor penghambat tersebut perlu dihilangkan atau dikurangi dengan perlakuan pendahuluan. Perlakuan pendahuluan tersebut dapat dilakukan dengan cara enzimatik dan kimia. Selain dengan proses-proses kimia, fisika, dan panas, setiap proses mempunyai keunggulan dan kelemahan (Yang and Wyman 2008, Hendriks and Zeeman 2009). Selain dengan proses-proses tersebut, perlakuan pendahuluan pada pembuatan glukosa dan bioetanol dapat dilakukan dengan teknik radiasi. Beberapa penelitian pembuatan bioetanol berbasis lignoselulosa dengan bantuan radiasi telah dilakukan, misalnya penggunaan iradiasi bekas elektron dan sinar-gamma pada jerami, sekam padi, dan kulit jagung dapat meningkatkan hidrolisis selulosa secara signifikan (Della Rossa et al. 1983). Sebagai contoh, penggunaan radiasi berkas elektron dapat memecah rantai (degradasi) dan mengubah struktur mikro serat nanas (Cannabis Sativa L) sehingga meningkatkan hidrolisis dan fermetasi (Shin and Sung 2008). Penggunaan berkas elekton pada perlakuan pendahuluan TKS untuk proses degradasi dapat memecah ikatan hidrogen pada selulosa sedang penggilingan menurunkan bobot molekul dan kristalinitas (Sugiarto Danu et al. 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh iradiasi berkas elektron, konsentrasi NaOH dan H2SO4 pada proses hidrolisis untuk menghasilkan glukosa. Percobaan dilakukan dengan variasi dosis iradiasi 0, 200, dan 400 kGy, konsentrasi NaOH 0, 4, 8, dan 16% dan H2SO4 1, 2, dan 4%. Sakarifikasi dilakukan
menggunakan enzim amilase dan selubiase. Parameter yang diukur adalah kelarutan TKS dalam NaOH, H2SO4, dan kadar glukosa yang dihasilkan diukur menggunakan alat refraktometer. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Serat TKS diperoleh dari PTP VIII, Pandeglang, Banten. H2SO4, NaOH, natrium sitrat, amonium sitrat, enzim selulosa dengan nama dagang meiselase produksi PT. Meiji, dan selubiase dari PT. Dipa Jakarta. Buffer natrium sitrat pH 5,5 dibuat dengan mencampur natrium sitrat 0,05 M dan asam sitrat 0,05 M. Peralatan yang digunakan adalah mesin berkas elektron (2 MeV, 10 mA), penggiling, ayakan, otoklaf, water bath yang dilengkapi dengan orbital shaker, dan Master Refractometer merk Atago. Metode a. Persiapan Sampel Serat TKS dicuci, dipotong sepanjang 1 cm sampai 2 cm kemudian dikeringkan. Potongan dikemas dalam plastik, kemudian diiradiasi berkas elektron pada dosis 200 kGy dan 400 kGy. Sampel hasil iradiasi selanjutnya digiling dan diayak. Sebagian sampel dilakukan pemasakan menggunakan larutan NaOH 4, 8 dan 16%, serta H2SO4 dengan konsentrasi 1, 2 dan 4%. Pemasakan dilakukan pada suhu 121⁰C menggunakan alat otoklaf, waktu pemasakan menggunakan NaOH adalah 30 menit dan 60 menit, sedangkan H 2SO4 waktunya 30 menit. Kelarutan TKS dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : % Kelarutan =
W1 – W2 X 100% W1 W1 = berat kering serat tandan kosong sawit W2= berat sampel setelah pemasakan.
b. Pembuatan Larutan Buffer Dengan pH 5,5 Larutan buffer pH 5,5 dibuat dari campuran asam sitrat 0,05 M sebanyak 76 ml dan natrium sitrat 0,05 M sebanyak 435 ml. Campuran tersebut diukur pHnya menggunakan pH meter. c. Proses Sakarifikasi (Hidrolisis) Serat TKS ditimbang sebanyak 1 gram, dimasukkan dalam tabung reaksi dan ditambah enzim selulosa 20 FPU dan selubiase 100 CBU kemudian ditambah larutan buffer 7 ml. Kemudian diletakkan dalam water bath yang dilengkapi dengan orbital shaker, dengan suhu 0 pemanasan 50 C dan shaker digerakkan dengan kecepatan 80 rpm. Waktu inkubasi divariasi selama 0, 4, 8, 12, 24, dan 48 jam.
Pengaruh Radiasi Berkas Elektron Dan Kimia …… Darsono dkk
53
d. Pengukuran Kadar Glukosa Penetapan kadar glukosa dilakukan dengan menggunakan alat refraktometer. Sampel hasil sakarifikasi disaring, kemudian diteteskan 2 tetes sampai 3 tetes di permukaan lensa. Dari ujung lubang diamati dan akan terlihat batas antara gelap dan terang pada suatu skala yang menunjukkan nilai Brix. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh dosis iradiasi dan perendaman menggunakan larutan NaOH terhadap kelarutan TKS ditampilkan pada Tabel 1. Larutan NaOH mengekstraksi lignin dan sebagian hemiselulosa serta selulosa yang terdegradasi dalam TKS. Kelarutan TKS oleh NaOH menunjukkan tingkat degradasi oleh iradiasi berkas elektron. Semakin tinggi tingkat degradasi semakin tinggi kelarutannya. Iradiasi meningkatkan kelarutan dalam NaOH 4% dari 33,01% (0 kGy) menjadi 67,38% (200 kGy) dan 77,18% (400 kGy). Data tersebut menunjukkan kelarutan TKS meningkat hampir 2 kali atau sekitar 200% pada dosis iradiasi 200 kGy dan 230% (400 kGy) bila dibandingkan dengan dosis 0 kGy. Kenaikan konsentrasi NaOH dari 4% menjadi 8% meningkatkan kelarutan TKS dari 33,01% menjadi 39,64% (0 kGy) dan 67,38% menjadi 76,24% (200 kGy). Data tersebut mengisyaratkan bahwa TKS pada dosis iradiasi 200 kGy nilai kelarutannya pada perendaman NaOH 4% dan 8 % tidak jauh berbeda. Perendaman dalam NaOH 16% pada dosis 400 kGy kelarutannya meningkat dari 77,10% menjadi 86,96%. Perlakuan asam menggunakan larutan H2O2 pada batas kelarutan zat ekstraktif maksimum 60,42% (Dawson and Boopathy 2003). Kelarutan yang Tabel 1. Pengaruh dosis iradiasi dan konsentrasi NaOH terhadap kelarutan pada suhu 0 perendaman 121 C Dosis (kGy)
Kelarutan, % Konsentrasi NaOH, % 30 menit
60 menit
32.01 67.38 77.18
33.00 68.05 77.68
0 200
4
400
8
400
39.64 76.24 77.74
39.70 76.90 78.00
39.90 79.44 86.96
38.95 79.97 88.00
0 200 400
Tabel 2. Pengaruh dosis iradiasi terhadap kelarutan TKS dengan perendaman H2SO pada suhu 121⁰C selama 30 menit Dosis, kGy
0 200
sangat tinggi akan mempengaruhi pada proses selanjutnya, karena yang larut bukan hanya lignin tetapi sebagian selulosa akan larut dalam alkali. Pada percobaan ini kenaikan waktu perendaman dari 30 menit menjadi 60 menit tidak tampak pengaruhnya. Penelitian lain (Foldvary Tacacs and Ojonarovits 2003) menunjukkan bahwa iradiasi dan alkali meningkatkan kelarutan selulosa dalam serat kapas (katun). Lignin lebih mudah dihilangkan dengan alkali dan selulosa lebih mudah digiling menjadi partikel yang lebih kecil setelah iradiasi dengan berkas elektron (Sugiarto et al. 2012). Perlakuan dengan alkali menyebabkan larutnya hemiselulosa dan sebagian lignin dalam biomassa ( Mosier et al. 2005). Lignin merupakan komponen kimia kayu yang selalu bergabung dengan selulosa dan bukan merupakan karbohidrat, melainkan didominasi gugus aromatik. NaOH yang digunakan dapat mengekstrak karbohidrat berbobot molekul rendah dan merusak selulosa. Besarnya bahan yang terlarut dalam NaOH dapat digunakan sebagai indikator tingkat degradasi kayu akibat pelapukan, panas, radiasi, cahaya, oksidasi, dan sebagainya. Pengaruh dosis iradiasi terhadap hasil perendaman dengan H2SO4 disajikan pada Tabel 2. Larutan asam menghidrolisis fraksi hemiselulosa dan mendegradasi sebagian glukosa. Radiasi menyebabkan degradasi komponen-komponen tersebut sehingga menyebabkan kelarutannya meningkat. Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada umumnya iradiasi berkas elektron dan konsentrasi H2SO4 meningkatkan kelarutannya dan paling tinggi diperoleh pada dosis 400 kGy dan konsentrasi H2SO4 4% yaitu sebesar 36,68%. Perlakuan pendahuluan iradiasi berkas elektron dan perendaman NaOH 4% lebih baik bila dibandingkan dengan perendaman menggunakan H2SO4 4%. Sakarifikasi menggunakan enzimatik terhadap sampel kontrol tanpa perlakuan kimia menghasilkan glukosa sekitar 5% (0 kGy); 6,5% (200 kGy); dan 6,7% (400 kGy), hal ini
16
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 58-64
0 200 400 0 200 400 0 200 400
Konsentrasi H2SO4 ,% 1
2
4
Kelarutan, % 21.03 25.25 28.24 26.03 25.25 35.78 26.12 27.64 36.68
54
menunjukkan bahwa glukosa yang dihasilkan masih rendah, sehingga diperlukan proses lebih lanjut. Untuk meningkatkan kadar glukosa dilakukan kombinasi iradiasi dan perlakuan kimia sehingga diperoleh glukosa yang lebih tinggi. Proses perlakuan awal dilakukan dengan tujuan untuk mengecilkan ukuran, menghilangkan lignin, memecah selulosa dan hemiselulosa, serta menurunkan derajat kristalinitas sehingga dapat meningkatkan luas bidang kontak sampel pada saat sakarifikasi. Pengaruh dosis iradiasi dan waktu sakarifikasi pada sampel hasil perendaman NaOH terhadap glukosa disajikan pada Gambar 1. Pada perlakuan perendaman NaOH 4%, menunjukkan bahwa kenaikan dosis iradiasi dan waktu inkubasi (sakarifikasi) meningkatkan konsentrasi glukosa yang dihasilkan. Pada perlakuan tersebut konsentrasi glukosa adalah sekitar 14%. Tetapi, pada konsentrasi NaOH 8% dan 16%, dosis 400 kGy, kadar glukosa yang dihasilkan mengalami penurunan menjadi sekitar 6,7%. Hal ini disebabkan pada dosis iradiasi 400 kGy dan konsentrasi NaOH 8% dan 16% nilai kelarutan sangat tinggi yaitu sekitar 86% sampai 88%. Kelarutan yang tinggi diduga sebagian selulosa larut sehingga pembentukan glukosa saat sakarifikasi kurang efektif. Dari hasil percobaan tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi optimum adalah pada dosis iradiasi 200 kGy, konsentrasi NaOH 4% dengan waktu pemasakan selama 30 menit pada suhu 121 ºC dan waktu sakarifikasi 48 jam. Glukosa hasil sakarifikasi secara enzimatik pada sampel iradisai berkas elektron dengan perlakuan perendaman menggunakan asam sulfat 1, 2, dan 4% disajikan pada Gambar 2. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa kenaikan dosis iradiasi, konsentrasi H2SO4, dan waktu sakarifikasi tidak begitu besar pengaruhnya. Secara umum terlihat bahwa glukosa yang dihasilkan masih rendah, baik dengan perendaman H2SO4 1% maupun 2%. Hasil hidrolisis diperoleh glukosa 5% sampai 6% (0 kGy), 5% sampai 6% (200 kGy), dan 5% sampai 6,4% (400 kGy). Pada konsentrasi H2SO4 4% sedikit meningkat dari 5% menjadi 7,6% (0 kGy), 5% sampai 8,2% (200 kGy), dan 5% sampai 8,5% (400 kGy). Hasil percobaan menunjukkan bahwa kombinasi iradiasi berkas elektron dan NaOH menghasilkan glukosa lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan perendaman dengan asam.
Gambar 1. Pengaruh dosis iradiasi terhadap kadar glukosa pada TKS dengan perendaman NaOH 30 menit, suhu121ºC.
Pengaruh Radiasi Berkas Elektron Dan Kimia …… Darsono dkk
55
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih atas peran serta Sdr Santoso Prayitno, SST dan Mamat Yasin dalam penyiapan sampel TKS serta Sdr Jumsah, Marapendi Hasibuan SST., dan Bilter Sinaga atas layanan iradiasi berkas elektron. DAFTAR PUSTAKA
Gambar 2.
Pengaruh dosis iradiasi dan waktu sakarifikasi terhadap kadar glukosa.
KESIMPULAN Iradiasi berkas elektron pada umumnya meningkatkan kelarutan TKS dalam larutan NaOH dan H2SO4. Kombinasi iradiasi dosis 200 kGy dan NaOH 4% pada sakarifikasi menggunakan enzim selulosa dan selubiose dengan waktu inkubasi selama 48 jam menghasilkan glukosa sebesar 14%, sedang dengan larutan H2SO4 4% menghasilkan glukosa maksimum sebesar 8,5%.
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 58-64
Brenner, W., Ruug, B., and Aron, J., (1979). Radiation pretreatment for optimation the sugar yield in the acid hydrolysis of waste sellulose, Radiat. Phys. Chem., 14:299-308 Brunce, Palfryman, (1998). Forest Products Biotechnology, Taylor and Francis Ltd., London. Darnoko, (1992). Potensi limbah lignosellulosa kelapa sawit. Berita Penelitian Perkebunan Medan, 2:85-95 Dawson, L. and Boopthy, R., (2008) Cellulosic ethanol production sugarcane bagasse without enzymatic saccharification, Biore-sources, 3 (2): 452 - 460. Della Rosa, A.M, Dela Mines, A. S., Banzon, R.B., and Simbul Nuguid, Z.F , (1983).Radiation pretreatment of cellulose for energy production, Radiat. Phys.Chem. 22 (3-5):901-906. Foldvary, C. M. , Tacacs, E., Ojonarovits, L., (2003). Effect of high Energy radiation and alkali treatment on the properties of cellulose, Rad. Phys. Chem., 67 : 505- 508. Hendriks and Zeeman, G.E., (2009) Pretreatments to enhance the digestibility of lignosellulosic biomass, Bioresource Tech.100 (1):10-18. Irawati,D., (2006). Pemanfaatan serbuk kayu untuk produksi etanol, Thesis FMIPA, nstitut Teknologi Bogor. Mosier, N., Wymand, B., Dale, R., LANDER, Y.Y. M, Holt Zapple and Ladislh, (2005). Features of promoting treatment of lignocellulosic biomass, Bioresources Tech., 96 (6) : 673-686. Peni, S.P., Tandan kosong sawit untuk kertas kraf, Trubus, 311, 1995, hal. 52-54. SHIN, S.J., and SUNG,S.J., Improving, (2008). Enzymatic hydrolysis of industrial hemp, (Cannabis sativa L.) by electron beam irradiation Radiat. Phys. Chem. 77 (9): 1034-1038 Subiyanto, B., Subiyakto, B., Sudiyono, Gopar, M., and MUNAWAR, S.S. (2004). Pemanfaatan limbah kosong tandan sawit Dari Industri pengolahan kelapa sawit untuk papan partikel dengan perekat penol formaldehida,
56
Journal Ilmu dan Teknology kayu tropis 2, (2): 99-102. Sudiyani, Y., Alawiyah, S., and Sembiring, K.C., (2008) Alkali pretreatmant and Enzimatic saccarification of oil palm empty fruit brunch, Proc. Int. Sem. Chem., 3:643-647. Sugiarto Danu, Harsojo, Darsono, Made Sumarti, K., Marsongko dan oktaviani (2012). Electron beam degradation of oil Palm empty fruit bunch, International Journal of Environment and Bioenergy, 3 (3) :168-179 Yang, B., and Wyman, (2008) Pretreatments : The key to unlocking low-cost cellulosic ethanol, Biofuel, Bioprod. 2:26-40
Pengaruh Radiasi Berkas Elektron Dan Kimia …… Darsono dkk
57
AKTIVASI ZEOLIT SECARA FISIKA DAN KIMIA UNTUK MENURUNKAN KADAR KESADAHAN (Ca dan Mg) DALAM AIR TANAH (ACTIVATION OF ZEOLITE BY PHYSICAL AND CHEMICAL METHODS TO REDUCE THE HARDNESS (Ca and Mg) OF GROUNDWATER) Novi Nur Aidha Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl . Balai Kimia 1, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail : [email protected] Received : 19 Maret 2013 ; revised : 16 April 2013; accepted : 29 April 2013
ABSTRAK Zeolit merupakan bahan adsorber yang memiliki kemampuan untuk menyerap logam dalam air. Penelitian ini membandingkan daya adsorbsi zeolit alam yang berasal dari Malang dan Blitar untuk menurunkan kadar kesadahan air tanah. Zeolit diaktivasi terlebih dahulu sebelum digunakan, proses aktivasi yang dilakukan secara fisika dan kimia. Metode aktivasi secara fisika dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel 80 mesh dan o kalsinasi pada suhu 300 C selama 2 jam. Proses aktivasi secara kimia, zeolit direndam dalam pelarut asam yaitu HCl dengan variasi konsentrasi 0,1 N; 0,25 N; 0,5 N; 0,75 N; dan 1 N selama 80 menit. Setelah proses aktivasi, air tanah dialirkan melewati zeolit yang sudah dimasukkan dalam pipa kolom. Analisis kadar kesadahan (Mg dan Ca) dilakukan sebelum air tanah dialirkan ke pipa kolom berisi zeolit dan sesudah dialirkan menggunakan alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi HCl maksimal adalah 1% dengan persentase penurunan kadar Ca pada zeolit asal Blitar sebesar 78,99% dan zeolit asal Malang sebesar 68,49%. Sedangkan persentase penurunan kadar Mg pada zeolit Blitar 49,91% dan pada zeolit Malang sebesar 42,13%. Kata kunci : Zeolit, Zeolit alam, Kesadahan, Aktivasi zeolit, Pertukaran ion
ABSTRACT Zeolite is an adsorbent material that has an ability to absorb metals in the water. In this study, comparison of the natural zeolite from Malang and Blitar after activation by physical and chemical methods for reducing hardness of groundwater was conducted. Activation method for physically treatment used for reduced the zeolite particle size o to 80 mesh and calcined at temperature 300 C for 2 hours. The activation method for chemical treatment conducted by soaked the zeolite in an acidic solvent with various concentrations of HCl 0.1 N, 0.25 N, 0.5 N, 0.75 N, and 1 N for 80 minutes with frequently stirring. After the activation processess, groundwater was flowed through the activated zeolite that has been filled in the column pipe. Hardness analysis (calcium and magnesium) was done before and after the groundwater flowed into the pipe column contains activated zeolite by AAS. The results showed that the maximum concentration of HCl 1% with the percentage decrease in the calcium content 78.99% for zeolite from Blitar and 68.49% from Malang, while the percentage decrease in the magnesium content 49.91% for zeolite Blitar and 42.13% for zeolite Malang. Key words : Zeolite, Natural zeolite, Hardness, Zeolite activation, Ion exchanger
PENDAHULUAN Air tanah pada umumnya memiliki tingkat kesadahan yang tinggi karena adanya kontak langsung dengan batuan kapur yang mengandung Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg). Penghilangan kesadahan dengan proses pemanasan air tanah dapat membentuk garam yang tidak larut dan mengendap. Garam ini dapat berpengaruh terhadap kadar garam kalsium dalam urin sehingga menyebabkan
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 58-64
penyakit batu saluran kemih (Izhar dan Darmoatmodjo 2007). Dampak kesehatan lain apabila kadar air sadah melebihi batas maksimum (500 mg/l) adalah penyumbatan pembuluh darah jantung (cardiovasculer deseasae) (Nurullita dkk 2010). Air tanah juga digunakan dalam proses produksi di industri. Persyaratan kesadahan air pada proses industri untuk kesadahan Ca dan
58
Mg harus nol karena dapat menimbulkan kerak pada sistem peralatan yang mengganggu proses pemanasan dan juga merusak peralatan (Marsidi 2001). Syarat mutu bahan-bahan inorganik yang diperbolehkan pada air bersih sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang persyaratan kualitas air minum disajikan pada Tabel 1. Permasalahan kesadahan air tanah dialami di daerah Surabaya. Surabaya merupakan daerah industri dan padat penduduk, disamping itu timbul berbagai masalah pencemaran air tanah. Berdasar Pantauan Dinas Pemda Jatim menurut Peraturan Pemerintah no 82 tentang Pengelolaan Kualias Air dan Pengendalian Pencemaran Air, saat ini kualitas air Surabaya semakin menurun dari kualitas I menjadi kualitas II. Di dalam peraturan tersebut kualitas air dibagi menjadi IV kelas, semakin tinggi kelasnya semakin buruk kualitas airnya. Penurunan kualitas ini disebabkan berbagai pencemaran dari limbah domestik atau rumah tangga 60%, limbah industri 30 % dan limbah pertanian 10%. Berkurangnya jumlah air yang diproduksi dari sumber mata air juga menjadikan kualitas air menurun. Dari 117 mata air yang ada hanya tersisa 53 sumber, untuk itu penelitian ini menggunakan air tanah Surabaya (Redaksi Surabaya Kita 2010) Salah satu bahan mineral alam yang sangat melimpah di Indonesia adalah zeolit. Zeolit umumnya didefinisikan sebagai kristal alumina silika yang berstruktur tiga dimensi, yang terbentuk dari tetrahedral alumina dan silika dengan rongga-rongga di dalam yang berisi ion-ion logam, biasanya alkali atau alkali tanah dan molekul air yang dapat bergerak bebas. Secara empiris, rumus molekul zeolit adalah Mx/n.(AlO2)x.(SiO2)y.xH2O (Marsidi 2001). Zeolit digunakan sebagai adsorben karena memiliki struktur kristal alumina silika dengan rongga-rongga yang berisi ion-ion
logam. Aktivitas zeolit alam cenderung rendah karena masih banyak pengotor, untuk itu perlu dilakukan aktivasi (Las dkk 2011). Proses aktivasi zeolit dapat dilakukan dengan metode secara fisika dan kimia. Aktivasi secara fisika dapat dilakukan dengan cara memperkecil ukuran untuk memperluas permukaan dan pemanasan pada suhu tinggi. Aktivasi secara kimia dilakukan dengan penambahan asam yang mengakibatkan + terjadinya pertukaran kation dengan H (Lestari 2010). Proses pertukaran ion sering digunakan karena metode ini sangat sederhana, tidak menghasilkan limbah buangan padat dan dapat dilakukan proses regenerasi dengan cara aktivasi (Marsidi 2001). Rahman dan Hartono melaporkan bahwa zeolit alam mampu menurunkan kadar logam pada air tanah dengan memperkecil ukuran butirannya menjadi 33 mm (Rahman dan Hartono 2004). Suriawan dan Nindhia sebelumnya melaporkan bahwa penambahan asam sulfat akan memperbesar porositas sehingga keaktifan zeolit meningkat (Suriawan dan Nindhia 2010). Berdasar penelitian Pardoyo dkk penambahan asam HCl dengan konsentrasi 4M, 6M, 8M, dan 10M pada zeolit yang ditambahkan + ion Ca 700 ppm, semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan semakin tinggi pula daya adsorbsi zeolit. Pada penelitian tersebut sampel zeolit yang digunakan berasal dari Bayah, Kabupaten Lebak provinsi Banten (Pardoyo dkk 2009) Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivasi zeolit dengan cara mengaktivasi zeolit alam dari Blitar dan Malang dengan cara fisika dan kimia dalam menurunkan kadar kesadahan (Ca dan Mg) pada air tanah dengan lokasi di Surabaya. Hasil penelittian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat teknologi adsorbsi menggunakan zeolit. BAHAN DAN METODE
Tabel 1. Bahan-bahan inorganik (yang kemungkinan dapat menimbulkan keluhan pada konsumen) (Permenkes 2002) Parameter 1
Ammonia Alumunium Klorida Copper Kesadahan Hidrogen sulfida Besi Mangan pH Sodium Sulfate Total padatan terlarut Seng
2
Kadar Maksimum yang diperbolehkan 3
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
1.5 0.2 250 1 500 0.05 0.3 0.1 6,5 – 8,5 200 250 1000 3
Satuan
Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah zeolit yang berasal dari Malang Selatan dan Blitar, asam klorida (HCl) dengan variasi konsentrasi 0,1 N; 0,25 N; 0,5 N; 0,75 N; dan 1 N, serta akuades. Air tanah yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Surabaya. Peralatan yang digunakan antara lain instrumen AAS merk Shimadzu, neraca merk Mettler Toledo , oven merk Shimadzu, botol akuades, batang pengaduk, beaker glass, kertas pH, ayakan, gelas arloji, pipet volume, karet penghisap
Aktivasi Zeolit Secara Fisika Dan Kimia …… Novi Nur Aidha
59
Metode Aktivasi Zeolit Metode aktivasi zeolit dilakukan dalam tiga tahapan. Tahapan pertama yaitu memperkecil ukuran butiran dengan cara menggerus zeolit alam dan mengayaknya dengan ayakan ukuran 80 mesh (0.177 mm). Tahapan kedua adalah proses aktivasi secara kimia dilakukan dengan penambahan asam klorida (HCl) dengan variasi konsentrasi konsentrasi 0,1 N, 0,25 N, 0,5 N, 0,75 N dan 1 N selama 80 menit sambil diaduk. Setelah itu dilakukan pencucian menggunakan akuades hingga pH netral Tahapan ketiga dilakukan kalsinasi dalam oven pada suhu 300oC selama 2 jam. Setiadi dan Pertiwi melaporkan bahwa proses kalsinasi yang dilakukan pada zeolit alam asal Malang o suhu yang digunakan adalah 300 C sampai o 600 C cukup efektif dan tidak merusak struktur awal zeolit (Setiadi dan Pertiwi 2007)
maksimum selanjutnya menghubungkan selang absorbansi dengan sampel dan membaca absorbansi yang tampak pada layar SSA. Setelah data absorbansi didapat dimasukkan pada persamaaan garis linear pada kurva Kalibrasi, sehingga diperoleh kadar Ca dan Mg dengan satuan mg/L. HASIL DAN PEMBAHASAN Zeolit mempunyai kemampuan untuk mengadsorbsi Mg dan Ca yang ada di air tanah. Daya adsorbsi zeolit dapat ditingkatkan dengan proses aktivasi. Pada penelitian ini tahapan aktivasi dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel zeolit menjadi 80 mesh dengan tujuan untuk memperluas permukaan yang dapat meningkatkan keaktifan dari zeolit alam. Selanjutnya dilakukan aktivasi dengan penambahan asam yaitu HCl dengan variasi konsentrasi 0,1 N; 0,25 N; 0,5 N; 0,75 N; dan 1 N untuk mengamati pengaruh konsentrasi HCl terhadap penurunan kadar kesadahan dalam sampel air tanah. Penambahan asam mengakibatkan terjadinya pertukaran kation + dengan H sehingga memperbesar rongga dalam kerangka zeolit dan meningkatkan daya adsorbnya. Setelah dicuci dengan akuades, o zeolit dikalsinasi pada suhu 300 C. Hasil analisa awal (air tanah sebelum perlakuan) menggunakan instrumen SSA diketahui kadar Ca air tanah yang berasal dari Surabaya adalah 141,41 mg/l dan Mg 40,65 mg/l (Tabel 2). Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa konsentrasi HCl 1N dapat menurunkan persentase penurunan kadar Ca tertinggi yaitu sebesar 78,99% untuk zeolit asal Blitar, sedangkan untuk zeolit asal Malang sebesar 68,49%. Berdasarkan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa zeolit asal Blitar mempunyai daya adsorb terhadap Ca lebih tinggi dibanding dengan zeolit asal Malang.
Proses Adsorbsi Kalsium dan Magnesium (Ca dan Mg) Gambar 1 adalah desain peralatan untuk proses adsorpsi untuk penelitian ini. Sampel air tanah dialirkan melalui pipa aliran (No. 4) dari tangki feed (No.1) masuk ke kolom adsorpsi (No. 5) dengan bantuan pompa dan membuka semua valve 3A dan menutup valve 3B. Setelah melewati kolom adsorpsi (No. 5) air sampel akan keluar dan ditampung dalam penampung (No. 8) untuk dianalisa. Metode Analisa Ca dan Mg Menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) Metode analisa dengan menggunakan SSA, pertama yaitu memasang lampu SAA dengan lampu katoda Ca dan Mg, kemudian menyalakan SSA dan mendiamkan selama 10 menit sampai 20 menit. Setelah itu mengatur tekanan udara, gas Asetilen, serta panjang gelombang, dimana untuk Ca adalah 422,7 nm dan Mg adalah 285,2 nm. Lalu lampu pembakar dinyalakan untuk mendapatkan respon yang 3
3A
Keterangan :
3B 3
1.
Tangki umpan / feed
2.
Pompa air
3.
Valve
4.
Pipa aliran
5.
Pipa Kolom
6.
Stop kontak
7.
Penyangga pipa kolom
8.
Tangki Penampung
4
5 4
3A
3
2
3B 3
1 7 8 6
Gambar 1. Diagram peralatan penelitian
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 58-64
60
Sedangkan untuk kadar Mg pada Tabel 3 menunjukkan bahwa konsentrasi HCl 1N dapat menurunkan persentase penurunan kadar Mg tertinggi yaitu sebesar 49,91% untuk zeolit asal Blitar, sedangkan zeolit asal Malang sebesar 34,74%. Tabel 2 dan 3 menunjukkan bahwa
penambahan HCl sebesar 0.1% sudah dapat menurunkan kadar Ca dan Mg. Ada kecenderungan bahwa semakin tinggi konsentrasi HCl maka semakin tinggi persentasi penurunan kadar Ca dan Mg.
Tabel.2 Kadar Ca dan Mg dalam air tanah sebelum proses adsorbsi Parameter
Hasil (mg/l)
Kalsium (Ca) Magnesium (Mg)
141,41 40,65
Tabel.3 Persentase penurunan kadar Ca dengan variasi konsentrasi HCl pada zeolit Blitar dan Malang Asal Zeolite
Blitar
Malang
Konsentrasi HCl (N)
Kadar Ca Akhir (mg/l)
Persentase Penurunan Ca (%)
1,00 0,75
29,70 31,07
78,99 78,03
0,50
34,89
75,32
0,25
38,62
72,69
0,10
40,64
71,26
1,00
44,55
68,49
0,75
45,42
67,88
0,50
49,21
65,20
0,25
52,75
62,70
0,10
54,86
61,20
*)
Keterangan : *) Kadar Ca akhir : kadar Ca dalam air tanah setelah proses filtrasi dengan menggunakan zeolit o Aktivasi fisik : memperkecil ukuran butiran mesh 80 (0,177mm) dan kalsinasi 300 C Tabel 4. Persentase penurunan kadar Mg dengan variasi konsentrasi HCl pada zeolit Blitar Dan Malang Kadar Mg Persentase Asal Konsentrasi *) Penurunan Mg Akhir Zeolite HCl (N) (%) (mg/l) 1 20,36 49,91 0,75 22,76 44,12 0,5 25,14 38,13 Blitar 0,25 25,97 36,09 0,1 28,32 30,33
Malang Malang
1 0,75 0,5 0,25 0,1
26,52 24,83 29,69 31,51 32,03
34,74 38,90 26,95 22,47 21,21
Keterangan : *) Kadar Mg Akhir : Kadar Mg dalam air tanah setelah proses filtrasi dengan menggunakan zeolit Aktivasi fisik : memperkecil ukuran butiran mesh 80 (0,177mm) dan kalsinasi 300oC.
Aktivasi Zeolit Secara Fisika Dan Kimia …… Novi Nur Aidha
61
Berdasar syarat mutu Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang persyaratan kualitas air minum, kadar Ca dan Mg awal yang diperoleh sudah memenuhi baku mutu yaitu tidak melebihi 500 mg/l. Hal ini dikarenakan sampel air yang diambil adalah air PDAM yang sebelumnya sudah melalui perlakuan terlebih dahulu. Penelitian ini hanya untuk mengetahui pesentase penurunan kadar Ca dan Mg setelah perlakuan menggunakan zeolit alam yang sudah diaktivasi Konsentrasi optimum HCl belum didapatkan untuk penurunan kadar Ca dan Mg secara maksimal. Rahman dan Hartono melaporkan bahwa zeolit alam mampu menurunkan kadar logam air tanah dengan memperkecil ukuran butirannya menjadi 33 mm. Sedangkan pada penelitian ini ukuran butiran zeolit diperkecil menjadi 80 mesh (0,177 mm). Ukuran ini lebih memperluas permukaan zeolit sehingga daya adsorbsi zeolit lebih meningkat. Kandungan logam Ca dan Mg mengalami penurunan karena mengalami pertukaran ion antara kation-kation dari zeolit dengan proton dari HCl. Mekanisme adsorpsi yang terjadi 2+ 2+ antara ion Ca dan Mg dalam zeolit yaitu air sadah yang mengalir dalam kolom melewati zeolit akan dengan ion H+ yang ada dalam rongga zeolit. Pertukaran ion tersebut terjadi secara terus menerus sampai kation yang ada dalam zeolit habis atau dengan kata lain zeolit mengalami kejenuhan (Lestari 2010). Pada penelitian Marsidi 2001, regenerasi zeolit menggunakan NaCl, sedangkan pada penelitian ini menggunakan HCl, sehingga mekanisme reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: H2Z + Ca H2Z + Mg
Tabel 5. Jenis mineral zeolit dan komposisi kimia zeolit asal Malang dan Blitar. Asal Zeolit Jenis Mineral
+
CaZ + 2 H + MgZ + 2 H
Sedangkan mekanisme reaksi regenerasi zeolit adalah sebagai berikut: CaZ + 2 HCl MgZ + 2 HCl (Marsidi, 2001)
Berdasar penelitian Pardoyo dkk, penambahan asam HCl dengan konsentrasi 4M, 6M, 8M, dan 10M pada zeolit yang ditambahkan + ion Ca 700 ppm, dapat meningkatkan daya adsorbsi zeolit dengan kecenderungan semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan semakin tinggi pula daya adsorbsinya (Pardoyo dkk 2009). Sedangkan pada penelitian ini aktivasi secara kimia menggunakan HCl dengan variasi konsentrasi 0,1 N; 0,25 N; 0,5 N; 0,75 N; dan 1 N sudah dapat menurunkan kadar Ca dan Mg pada air tanah sebesar 61.33% sampai 78.99% untuk Ca dan 21,21% sampai 49,91% Mg. Hal ini membuktikan bahwa konsentrasi asam rendah, sudah dapat menurunkan kesadahan air jika proses aktivasi zeolit dikombinasi dengan aktivasi secara fisika. Hasil penelitian ini menunjukkan pula bahwa zeolit yang berasal dari Blitar mempunyai kemampuan yang lebih besar dibanding zeolit Malang dalam menurunkan kadar kesadahan Ca dan Mg yang terdapat pada air tanah. Perbedaan daya serap kesadahan Ca dan Mg asal Blitar dan Malang karena struktur zeolit berbeda. Berdasar penelitian yang telah dilakukan oleh Muhaji dan Mulyani, jenis mineral dan komposisi kimia zeolit asal Malang dan Blitar berbeda. Zeolit Malang merupakan mineral mordenit dan zeolit Blitar merupakan mineral klinoptilotit dengan perbedaan komposisi kimianya disajikan pada Tabel 5 (Muhaji dan Mulyani 2007).
H2Z + CaCl H2Z + MgCl
Suriawan dan Nindhia sebelumnya melaporkan bahwa penambahan asam sulfat akan memperbesar porositas sehingga keaktifan zeolit meningkat (Suriawan dan Nindhia 2010) Sedangkan pada penelitian ini digunakan asam klorida yang sifat kekuatan asamnya lebih rendah dari H2SO4. Penggunaan asam HCl lebih aman bagi lingkungan dan lebih murah.
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 58-64
Malang
Blitar
Modernit Na8 (Al8Si40 O96 )24 H2O
Klinoptilotit Na4K4(Al8 Si40O96) 24 H2O
Komposisi Kimia (%) Malang
Blitar
75,95
76,67
Alumina (Al2O3)
12,45
13,58
Besi (Fe2 O3)
oksida
0,15
0,16
Kalsium (CaO)
oksida
3,11
2,08
Magnesium oksida (MgO)
0,48
0,45
Titan (TiO2 )
oksida
1,20
2,23
Natrium (Na2O)
oksida
1,12
1,10
Kalium (K2 O)
oksida
0,07
1,09
5,46
5,49
Silika (SiO2)
Kadar air (H2O)
62
Perbedaan komposisi antara zeolit Malang dan Blitar disebabkan karena letak geologis kedua zeolit tersebut berbeda.dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Hal ini berpengaruh terhadap proses pembentukan zeolit dan kandungan mineral di dalamnya yaitu perbandingan unsur Si/Al atau silika/alumino sebagai unsur pembangun utama struktur kerangka zeolit. Sifat dari masing-masing zeolit ditentukan dari unsur utama dari zeolit (Setiawan 2006). Hal ini diperkuat oleh Lestari dan Yuanita yang menyatakan bahwa zeolit dengan kadar silika tinggi akan stabil pada suhu tinggi bersifat hidrofobik (dan lipofilik), lebih stabil pada suhu tinggi dan lebih stabil pada kondisi asam kuat, sedangkan zeolit dengan kadar silika rendah lebih stabil pada suhu rendah, bersifat hidrofobik dan mudah rusak pada pH kurang dari 4 (Lestari 2010) Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa penelitian lebih lanjut masih diperlukan dengan menambahkan variabel konsentrasi HCl yang dibuat diatas 1 N sampai didapatkan konsentrasi yang optimum. Selain itu, penelitian dengan memberikan perlakuan lama waktu perendaman seharusnya perlu juga dibuat variasinya untuk mendapatkan waktu perendamaan HCl yang optimum termasuk penelitian lainnya seperti jenis ukuran butiran zeolit, waktu, kecepatan alir dan penggunaan zeolit yang berasal dari daerah lainnya yang mempunyai struktur yang berbeda dengan zeolit Blitar maupun zeolit Malang. KESIMPULAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada proses aktivasi zeolit gabungan metode fisika dan kimia dapat meningkatkan penurunan kadar kesadahan pada air tanah. Semakin meningkatnya kadar HCl yang digunakan semakin tinggi daya absorbs zeolit terhadap Ca dan Mg. Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa persentase penurunan kadar Ca dan Mg tertinggi didapat pada konsentrasi HCl sebesar 1N baik pada zeolit asal Blitar dan Malang. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan dengan menambahkan konsentrasi HCl di atas 1 N agar diketahuinya konsentrasi optimal penggunaan zeolit untuk menurunkan kadar Ca dan Mg. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada teman-teman yang turut serta dalam penelitian ini, kepada Iwan Setiawan dan Haryanto selaku tim yang membantu di lapangan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Puspita Lisdiyanti, M.Chem, atas saran dan bimbingan dalam menyelesaikan penulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA Izhar, M Dody, K, Haripurnomo K, dan S. Darmoatmodjo. 2007. Hubungan Antara Kesadahan Air Minum, Kadar Kalsium dan Sedimen Kalsium Oksalat Urin. Berita Kedokteran Masyarakat 23(4):200209.` Las, T., F. Firdiyono, dan A. Hendrawan. 2011. Adsorpsi Unsur Pengotor Larutan Natrium Silikat Menggunakan Zeolit Alam Karangnunggal. Valensi 2(2): 368-378. Lestari, Dewi Yuanita. 2010. Kajian Modifikasi Dan Karakterisasi Zeolit Alam Dari Berbagai Negara. Prosiding seminar Nasional Kimia dan pendidikan, Tema: “Profesionalisme Peneliti dan Pendidik dalam Riset dan Pembelajaran yang Berkualitas dan Berkarakter”, Universitas Yogyakarta, 30 Oktober 2010 Marsidi, R. 2001. Zeolit Untuk Mengurangi Kesadahan Air. Jurnal Teknologi Lingkungan 2(1): 1-10. Muhaji dan Mulyani, 2007. Pengaruh Proses Pembentukan Endapan Batuan Terhadap Kualitas Zeolit Alam, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Surabaya. Surabaya. Nurullita, U., A. Rahayu, dan M. Z. Arifin. 2010. Pengaruh Lama Kontak Karbon Aktif Sebagai Media Filter Terhadap Persentase Penurunan Kesadahan CaCO3 Air Sumur Artesis. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia 6: 48-56. Pardoyo, L. dan A. Darmawan. 2009. Pengaruh Perlakuan HCl Pada Kristalinitas Dan Kemampuan Adsorbsi Zeolit Alam + Terhadap Ion Ca . Jurnal Sains dan Matematika (JSM) 17(2): 100-104. Rahman, A. dan B. Hartono. 2004. Penyaringan Air Tanah Dengan Zeolit Alami Untuk Menurunkan Kadar Besi dan Mangan. Makara Kesehatan 8(1): 1-6. Redaksi Surabayakita, Akibat Limbah, Kualitas Air Kali Menurun, 28 Juli 2010, 07:21. (http://www.surabayakita.com/index.ph p/option=com_content&view=article&id =742:akibat-limbah-kualitas-air-kalisurabaya-turun-kelas, diakses 7 Mei 2013) Republik Indonesia, 2002. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor. 907/MEK/VII/2002 tentang Peryaratan Kualitas air Minum. Setiadi, dan Astri Pertiwi. 2007 Preparasi dan Karakterisasi Zeolit Alam Untuk Konversi Senyawa ABE Menjadi Hidrokarbon. Prosiding Konggres Dan
Aktivasi Zeolit Secara Fisika Dan Kimia …… Novi Nur Aidha
63
Simposium Nasional Kedua MKICS : 1-6. Setiawan, D. 2006. Karakterisasi Beberapa Zeolit Alam Dalam Kaitannya Dengan 134 Penyerapan Radionuklida Cesium (134Cs).Jurnal Bionatura. 8(2):122-138 Suriawan, M. C. Vahindra, dan T. G. T. Nindhia. 2010. Studi Hubungan Struktur Mikro dan Keaktifan Zeolit Alam Akibat Proses Pengasaman. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin CakraM 4(2): 129-131.
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 58-64
64
KARAKTERISTIK DINAMIK SISTEM KOLOID MAGNETIK BERBASIS NANOPARTIKEL OKSIDA Fe-CHITOSAN (DYNAMIC CHARACTERISTICS OF MAGNETIC COLLOIDAL SYSTEM BASED ON Fe OXIDE NANOPARTICLES AND CHITOSAN) Mujamilah dan Grace Tj. Sulungbudi Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan 15340 E-mail: [email protected] Received : 26 Maret 2013 ; revised : 9 April 2013; accepted : 29 April 2013
ABSTRAK Karakteristik dinamik dari sistem koloid berbasis nanopartikel magnetik oksida Fe dan chitosan yang meliputi ukuran partikel dan magnetik telah dipelajari. Sistem koloid diencerkan dalam medium cairan infus NaCl 0,9% sebagai medium simulasi cairan yang biokompatibel dengan cairan tubuh. Diperoleh sampel dengan variasi konsentrasi hingga pengenceran 100 kali. Hasil analisis distribusi ukuran partikel dengan Particle Size Analyzer (PSA) menunjukkan terjadinya aglomerasi nanopartikel dalam sistem koloid dengan distribusi aglomerasi yang cenderung menyempit untuk koloid yang lebih encer dengan ukuran rata-rata cenderung stabil pada ukuran ~80 nm. Stabilisasi koloid terbentuk sebagai resultan kompetisi antara gaya gravitasi pada aglomerat dan interaksi elektrostatik antar aglomerat. Hasil pengukuran zeta potential menunjukkan nilai rendah untuk koloid yang sangat pekat ataupun sangat encer. Pengenceran juga akan sangat mempengaruhi responsivitas magnetik dari koloid terhadap medan luar. Hasil pengukuran kurva histeresis dengan Vibrating Sample Magnetometer (VSM) menunjukkan semakin encer koloid semakin dominan fasa diamagnetik dari medium cair dispersan yang akan memberikan efek medan balik dan menurunkan nilai magnetisasi total. Dua hasil analisis ini menunjukkan penggunaan koloid yang terlalu pekat akan menimbulkan aglomerasi partikel yang cukup besar, sedangkan penggunaan koloid yang terlalu encer akan menurunkan responsivitas magnetik nanopartikel. Dua kondisi ini tidak diharapkan dalam proses aplikasi koloid di bidang biomedis terutama untuk proses in-vivo seperti untuk proses drug delivery ataupun proses hyperthermia. Kata kunci : Nanopartikel oksida Fe, Kitosan, Koloid, Sifat magnetik ABSTRACT Dynamic characteristics of colloidal systems based on Fe oxide magnetic nanoparticles and chitosan which include particle size and magnetic characteristics have been studied. Colloidal system was diluted in 0.9% NaCl intravenous fluids as a biocompatible medium fluid simulated for body fluids giving varied concentration of colloidal system with maximum dilution of 100 times. Particle size distribution analyzed with Particle Size Analyzer (PSA) facillity shows the agglomeration of nanoparticles in colloidal systems with aggregation distribution tends to narrowed for a more dilute colloid but the average size nearly stable at ~ 80 nm size range. Colloid stabilization apparent as the resultant of competition between the force of gravity on the agglomeration and electrostatic interactions between the agglomerates. Results of zeta potential measurements showed low values for highly concentrated or very dilute colloid. Dilution will also greatly affect the responsiveness of magnetic colloids to the applied external magnetic field. Colloid hysteresis curve measured by Vibrating Sample Magnetometer (VSM) showed that the more dilute the colloid, the more dominant the diamagnetic phase born from liquid medium dispersant which will give reverse field effect and lowers the value of the total magnetization. These two dynamic characteristics indicate that the use of highly concentrated colloids will cause substantial particle agglomeration, while the use of very dilute colloids will reduce the responsiveness of magnetic nanoparticles. These two conditions are both not expected in the application process of colloid in the field of biomedical especially for the in-vivo application such as drug delivery and hyperthermia process. Key words : Fe oxide nanoparticle, Chitosan, Colloid, Magnetic property
PENDAHULUAN Nanopartikel magnetik biasanya digunakan dalam bentuk koloid. Untuk sistem koloid nanopartikel magnetik berbasis Fe dikenal
istilah ferrofluid (FF) yaitu koloid yang dibentuk dari serbuk nanopartikel Fe atau oksida Fe yang tersebar secara homogen dan stabil dalam
Karakteristik Dinamik Sistem Koloid Magnetik …… Mujamilah dan Grace Tj. Sulungbudi
65
media fluida berbasis air atau minyak. Perilaku nanopartikel magnetik dalam sistem fluida merupakan salah satu faktor untuk mengetahui mekanisme kerja nanopartikel dalam berbagai aplikasi. Salah satu aplikasi nanopartikel magnetik yang banyak dikembangkan adalah di bidang biomedis. Nanopartikel magnetik berbasis besi dan oksidanya dikembangkan sebagai contrast agent MRI (Qiao et al. 2009 ; Mohammadi-Samani et al. 2013), agen separasi unit biologi (Xua et al. 2011), untuk proses hyperthermia (Khandar et al. 2011) dan sebagai agen pembawa obat (drug carrier) (Kong et al. 2012). Pada aplikasi ini nanopartikel magnetik dilapis dengan bahan organik biokompatibel dan diredispersikan dalam fluida berbasis air sehingga terbentuk sistem koloid yang stabil dalam pH, suhu dan sifat kimiawi cairan tubuh. Konsentrasi koloid juga divariasikan sesuai kebutuhan aplikasi. Karakteristik nanopartikel (ukuran partikel dan sifat magnetik) dapat berubah tergantung tahapan pembentukan dan aplikasinya. Secara umum diharapkan dengan makin kecilnya ukuran partikel, koloid akan lebih stabil karena rendahnya gaya gravitasi pada partikel sehingga partikel tidak mudah mengendap. Namun disisi lain, ukuran yang sangat kecil akan memberikan permukaan yang lebih luas yang selanjutnya akan meningkatkan potensi interaksi antar partikel (Roduner 2006). Dengan kondisi ini partikel nano akan cenderung membentuk aglomerasi dan meningkatkan ukuran asli nanopartikel dan pada akhirnya dapat mempengaruhi kestabilan koloid. Demikian pula sifat magnetik nanopartikel dapat berubah karena terjadinya proses aglomerasi ini serta perubahan jarak dan efek dilusi oleh larutan dispersan. Dalam aplikasi biomedis terkait dengan sistem jaringan dalam tubuh, selain mempengaruhi kestabilan koloid, ukuran nanopartikel juga menjadi salah satu parameter penting yang akan berpengaruh pada fungsi aplikasi yang diharapkan. Untuk aplikasi in-vivo, misalkan sebagai contrast agent MRI, drug carrier atau dalam proses hyperthermia, koloid berbasis nanopartikel ini akan diinjeksikan dan mengalir dalam pembuluh darah hingga sistem kapilernya. Dari struktur pembuluh darah diketahui bahwa, pada dinding pembuluh terdapat pori yang merupakan media transportasi-pertukaran zat-zat yang diangkut dalam darah dengan tissue/cairan sekitar pembuluh darah (Brashear-Kaulfers 2007). Ukuran pori ini akan bervariasi tergantung pada tipe pembuluh dan tipe tissue yang dilalui, namun secara umum lebih kecil dari 15 nm untuk sistem pembuluh non-sinusoidal dan ~ 60 nm untuk sistem pembuluh sinusoidal dalam bentuk phagocytosis (Sarin 2010). Sedangkan diameter rata-rata dari pembuluh darah terkecil
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 65-70
atau sistem kapiler adalah 8 µm (Freitas Jr. 1999). Dari informasi di atas, data ukuran partikel dan sifat magnetik yang terbentuk dalam sistem koloid penting untuk diketahui sebelum koloid dapat digunakan dalam proses aplikasi in-vivo. Untuk sampel kering, dua karakteristik ini biasanya diukur dengan Transmission Electron Microscope (TEM) dan Magnetometer. Proses pengeringan sebelum pengukuran ini dapat mengakibatkan perubahan pada permukaan nanopartikel baik hilangnya bagian organik maupun perubahan sifat fisiko-kimia permukaan sehingga data yang diperoleh tidak menggambarkan kondisi sampel koloid yang sebenarnya. Hasil analisis ukuran partikel dengan teknik Photon Correlation Spectroscopy (PCS) pada sistem ferrofluid berbasis oksida Fe dan dextran (Ahmadi et al. 2013) menunjukkan adanya aglomerasi yang terbentuk pada koloid yang besarnya akan bergantung pada konsentrasi koloid. Diperoleh juga bahwa data TEM hanya memberikan data ukuran untuk 1 unit nanopartikel dan tidak terpengaruh oleh konsentrasi. Informasi lebih detail dari morfologi, ukuran dan distribusi nanopartikel diperoleh dari pengukuran dengan metoda Small Angle Neutron Scattering (SANS) dengan neutron terpolarisasi pada sistem ferrofluid (Bonini et al. 2007). Dari pengukuran ini dapat dianalisis struktur dan ukuran core partikel berupa nanopartikel magnetik dan shell partikel berupa lapisan organik pada permukaan nanopartikel serta struktur agregat yang terbentuk antar struktur core-shell ini saat koloid diberi medan magnet luar. Namun makalah-makalah ini tidak membahas efek konsentrasi koloid pada karakteristik magnetik koloid. Pada makalah ini disampaikan hasil analisis karakteristik nanopartikel oksida Fe yang dilapisi kitosan dalam sistem koloid berbasis air. Analisis dilakukan baik pada kurva magnetisasi maupun pada kurva hasil pengukuran dengan Particle Size Analyzer (PSA). Pengukuran dilakukan pada konsentrasi partikel yang bervariasi yang diperoleh dengan pengenceran koloid dengan medium salin (kadar 0,9% NaCl) untuk mengetahui pengaruh konsentrasi pada dinamika koloid dan pembentukan aglomerasi. Kestabilan koloid yang terbentuk pada berbagai konsentrasi ini juga dianalisis dari nilai Zeta Potential. Karakteristik dinamik ini selanjutnya dianalisis dalam kaitannya dengan karakteristik statik hasil analisis pada sampel serbuk kering maupun koloid sejenis lainnya. BAHAN DAN METODE Nanopartikel magnetik oksida Fe yang dianalisis dalam penelitian ini (FF-chitosan)
66
dibuat dengan metode kopresipitasi yang selanjutnya dalam keadaan basah didispersikan dalam larutan kitosan/asam asetat dengan metode sonikasi dan membentuk sistem koloid stabil (Mujamilah 2011). Koloid awal (original) ini memiliki densitas 35 mg/mL. Koloid diencerkan dalam medium saline (cairan infus NaCl 0.9%) dengan pengenceran 10 kali (P10) dan 100 kali (P100). Karakteristik sifat magnetik koloid dianalisis dari kurva histeresis magnetik yang diukur pada suhu ruang menggunakan VSM (Vibrating Sample Magnetometer) OXFORD 1.2T. Untuk pengukuran ini sampel koloid sebanyak 20 µL ditempatkan dalam wadah tabung gelas dan selanjutnya dipasangkan pada probe PEEK yang sesuai. Data sampel yang diperoleh dikoreksi dengan data probe PEEK dan gelas yang bersifat diamagnetik. Nilai magnetisasi setelah dinormalisir terhadap 1 gram FF-kitosan ditampilkan. Data distribusi ukuran dinamis partikel dan kestabilan koloid ditentukan dengan menggunakan fasilitas MALVERN Zetasizer Nano ZS. Pengukuran ini menggunakan metode Dynamic Light Scattering dengan sistem backscattering 173. Fasilitas ini juga dapat digunakan untuk menganalisis kestabilan koloid setelah proses pengenceran dengan mengukur nilai zeta potential menggunakan teknik interferometric M3-PALS (Phase Analysis Light Scattering) dengan sebelumnya diukur nilai pH nya. Sifat magnetik dan ukuran partikel koloid dianalisis dikaitkan dengan hasil pengukuran dalam bentuk kering baik dengan VSM untuk sifat magnetik maupun TEM untuk ukuran nanopartikel.
pengulangan pengukuran (Ahmadi et al. 2013). Secara grafis dinamika ukuran partikel untuk sistem FF-kitosan ditampilkan pada Gambar 3. Dinamika pada sistem koloid ini secara umum dapat dijelaskan dari konsep interaksi antar partikel dan antara partikel dengan medium.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Ukuran Partikel Kurva distribusi nanopartikel magnetik sebagai fungsi diameter nanopartikel pada 3 sampel dengan konsentrasi yang berbeda ditampilkan pada Gambar 1 dengan tiap pengukuran dilakukan pengulangan 3 kali. Secara umum grafik menunjukkan distribusi ukuran partikel pada kisaran ukuran rata-rata ~ 80 nm, dan cenderung sedikit mengecil sebanding dengan makin encernya koloid dengan distribusi ukuran yang menyempit. Ukuran ini sebanding dengan data TEM nanopartikel magnetik setelah pelapisan dengan kitosan seperti yang ditampilkan pada Gambar 2. Sebelum pelapisan, nanopartikel magnetik tersebar secara merata dengan ukuran <10 nm. Tinjauan pada data pengulangan pengukuran, terlihat adanya dinamika terhadap waktu yang berbeda untuk masing-masing nilai konsentrasi FF-kitosan. Data ini berbeda untuk sistem FFdextran dimana ukuran partikel cenderung menurun cukup signifikan dengan turunnya konsentrasi meski lebih stabil hingga 10x
Gambar
1.
Kurva distribusi ukuran dinamis nanopartikel dengan variasi konsentrasi koloid (angka 1, 2 dan 3 menunjukkan urutan pengulangan pengukuran)
(a)
(b)
Gambar 2. Foto TEM nanopartikel magnetik sebelum pelapisan (a) dan setelah pelapisan (b) (Marker menunjukkan skala 100 nm)
Karakteristik Dinamik Sistem Koloid Magnetik …… Mujamilah dan Grace Tj. Sulungbudi
67
Gambar 3. Variasi ukuran dinamis nanopartikel dan nilai Zeta Potential koloid sebagai fungsi konsentrasi koloid
(a)
(b)
Gambar 4. Model skematik ikatan antara nanopartikel pada sistem : (a). FF-kitosan (Hong et al. 2010) dan (b). FF-dextran (Ravikumar et al. 2012)
Pada sistem koloid FF-kitosan, interaksi antara partikel-kitosan-medium dispersan terjadi dalam bentuk ikatan hidrogen antara oksigen pada nanopartikel oksida Fe dengan hidrogen pada gugus amino (-NH2) dari kitosan dan ikatan hidrogen antara gugus OH- kitosan dengan medium air seperti yang ditampilkan secara skematis pada Gambar 4(a) (Hong et al. 2010). Ikatan yang kedua ini cenderung lebih kuat dibanding ikatan yang pertama. Pada konsentrasi nanopartikel tinggi, interaksi magnetik antar partikel menjadi lebih dominan dibanding gaya-gaya ikatan tersebut, sehingga aglomerat nanopartikel terukur pada pengukuran pertama dan menyisakan nanopartikel yang lebih kecil dan stabil pada pengukuran ke-3. Pada sampel pengenceran 10 kali, interaksi magnetik antar partikel berkompetisi secara lebih seimbang dengan gaya-gaya ikat tersebut sehingga ukuran partikel menjadi lebih stabil. Pada pengenceran selanjutnya, kuat interaksi dan gaya-gaya ikat yang terjadi cenderung melemah dengan makin turunnya
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 65-70
unit yang berinteraksi dan efek dilusi oleh medium air yang lebih dominan. Kestabilan diperoleh dari hasil kompetisi antara viskositas medium dan gaya gravitasi pada tiap unit atau aglomerat partikel. Berbeda dengan sistem koloid FF-kitosan, pada sistem koloid FF-dextran aglomerasi nanopartikel oksida besi terlapis dextran dan stabilisasi koloid terjadi melalui mekanisme interaksi van der Waals, interaksi magnetik, interaksi bridging dan gaya tolak repulsif (Ravikumar et al. 2012). Dua mekanisme pertama bersumber pada interaksi antara gugus bebas pada nanopartikel magnetik dengan gugus bebas pada dextran. Skema interaksi antara nanopartikel oksida Fe dengan dextran ditampilkan pada Gambar 4(b). Interaksi ini memberi potensi ikatan yang cukup kuat antara nanopartikel oksida Fe dengan dextran. Dua mekanisme lain lebih banyak terkait dengan sifat interaksi permukaan pelapis dextran dengan medium dispersan yang akan mempengaruhi mempengaruhi viskositas koloid. Dengan
68
mengacu pada mekanisme-mekanisme ini, stabilisasi koloid FF-dextran cenderung lebih stabil dengan waktu maupun ukuran aglomerat seperti yang disampaikan pada literatur (Ahmadi et al. 2013). Karakteristik kestabilan ini tergambarkan pada data zeta potential (lihat Gambar 3 pada sumbu sekunder). Zeta potential (dalam mV) adalah potensial/tegangan elektrostatik yang terjadi pada bidang permukaan partikel baik akibat interaksi antar muatan pada permukaan partikel maupun dengan lingkungan medium sekitar partikel. Mengacu pada definisi ini, maka perubahan nilai zeta (sesuai grafik pada Gambar 3) mendukung asumsi mekanisme pembentukan aglomerasi partikel pada FF-kitosan seperti yang telah dibahas diatas. Nanopartikel oksida Fe terlapis kitosan berinteraksi dengan medium air via gugus hidroksil (-OH) yang cenderung bermuatan positif karena hidrogen memiliki elektronegativitas yang relatif lebih rendah dibanding oksigen dan memberikan permukaan nanopartikel yang bermuatan positif (Hong et al. 2010). Besar dan jarak antar muatan pada permukaan ini yang akan bertanggung jawab pada terjadinya interaksi elektrostatik sebagai sumber potensial zeta. Data pengukuran potensial zeta koloid yang mendekati nol untuk seluruh nilai pH pada sistem FF-dextran, menunjukkan stabilisasi koloid lebih dominan disebabkan oleh gaya-gaya non-ionik dan non elektrostatik (Ravikumar et al. 2012). Karakteristik Magnetik Kurva histeresis magnetik sampel FFkitosan awal baik dalam bentuk kering maupun koloid dengan normalisasi per gram massa FFkitosan, ditampilkan pada Gambar 5. Nilai magnetisasi sampel kering lebih tinggi dibandingkan nilai dalam koloid. Perbedaan ini dianalisis disebabkan adanya perubahan pada lapisan kitosan saat pengeringan sehingga fraksi magnetik oksida Fe lebih besar dibanding pada kondisi basah. Hal lain yang menyebabkan pengurangan adalah adanya fraksi medium berbasis air yang bersifat diamagnetik pada sampel koloid yang akan memberikan efek medan balik pada medan magnet luar yang diberikan dan pada akhirnya akan mengoreksi nilai magnetisasi. Koreksi fraksi air ini menjadi lebih jelas terlihat pada sampel dengan konsentrasi nanopartikel lebih rendah dan fraksi air tinggi seperti yang ditampilkan pada Gambar 6. Kurva magnetisasi untuk sampel dengan pengenceran 100 kali (sampel P100) dengan jelas menampakkan kurva dengan gradien negatif seperti pada kurva sistem diamagnetik namun tetap menampakkan hadirnya nilai magnetisasi dari nanopartikel magnetik pada kurva di medan rendah. Nilai magnetisasi total nanopartikel
magnetik setelah koreksi momen negatif medium, cenderung lebih rendah dengan pengenceran ini. Hal ini merupakan konsekuensi wajar dari adanya efek dilusi oleh medium air yang akan menurunkan kuat interaksi antar nanopartikel. Secara umum, perubahan kurva magnetisasi akibat koreksi medium ini menunjukkan terjadinya perbedaan respon magnetik total koloid dengan konsentrasi yang berbeda. Kondisi ini penting untuk dipertimbangkan pada aplikasi nanopartikel magnetik sebagai drug carrier dimana nanopartikel akan mengalami pengenceran dalam darah atau cairan tubuh. Medan magnetik luar pengendali akan juga menghadapi respon negatif sistem medium cairan tubuh yang berbasis air ini yang dapat menurunkan efektifitas pengiriman obat pada target yang ditentukan. Demikian pula untuk proses hipertermik, koreksi ini akan mengoreksi daya termal yang dapat dibangkitkan oleh nanopartikel magnetik.
Gambar 5. Kurva Histeresis FF-kitosan awal (original) (sampel dalam bentuk kering dan dalam bentuk koloid)
Gambar 6. Kurva Histeresis Koloid FF-kitosan pada Berbagai Konsentrasi Nanopartikel Magnetik. Data Dinormalisir per Gram Massa FF-kitosan dan Nilai Magnetisasi Saturasi FF-kitosan (Original)
Karakteristik Dinamik Sistem Koloid Magnetik …… Mujamilah dan Grace Tj. Sulungbudi
69
KESIMPULAN Nanopartikel magnetik oksida Fe terlapis kitosan dalam sistem koloid cenderung membentuk aglomerasi dengan distribusi aglomerat yang menyempit untuk koloid yang lebih encer. Stabilisasi koloid lebih dominan dipengaruhi oleh perubahan distribusi ukuran partikel atau aglomerat yang terkait dengan kuat lemahnya interaksi antar partikel. Pengenceran juga mempengaruhi responsivitas magnetik dari koloid terhadap medan luar dimana makin encer koloid makin dominan fasa diamagnetik dari medium cair dispersan yang memberikan efek medan balik dan menurunkan nilai magnetisasi total. Dua hasil analisis ini menunjukkan penggunaan koloid yang terlalu pekat akan menimbulkan aglomerasi partikel yang cukup besar, sedangkan penggunaan koloid yang terlalu encer akan menurunkan responsivitas magnetik nanopartikel. DAFTAR PUSTAKA Qiao, R., C. Yang, and M. Gao. 2009. Superparamagnetic iron oxide nanoparticles: from preparations to in vivo MRI applications. Journal of Materials Chemistry 19 : 6274–6293 Mohammadi-Samani, S., R. Miri, M. Salmanapour, N. Khalighian, S. Sotoudeh and N. Erfani. 2013. Preparation and assessment of chitosan-coated superparamagnetic Fe3O4 nanoparticles for controlled delivery of methotrexate. Research in Pharmaceutical Sciences 8(1): 25-33 Xua, H., Z.P. Aguilar, L. Yang, M. Kuang, H. Duan, Y. Xiong, H. Wei and A. Wang. 2011. Antibody conjugated magnetic iron oxide nanoparticles for cancer cell separation in fresh whole blood. Biomaterials 32(36): 9758-9765 Khandar, A.P., R.M. Ferguson, and K.M. Krishnan. 2011. Monodispersed magnetite nanoparticles optimized for magnetic fluid hyperthermia: Implications in biological systems. Journal of Applied Physics 109: 1-3 Kong, S.D., J. Lee, S. Ramachandran, B.P. Eliceiri, V.I. Shubayev, R. Lal, and S. Jin. 2012. Magnetic targeting of nanoparticles across the intact blood– brain barrier. Journal of Controlled Release 164(1): 49-57 Roduner, E. 2006. Size matters: why nanomaterials are different. Chemical Society 35: 583-592 Brashear-Kaulfers, R.,. 2007. Anatomy Physiology Biology 141. University of Hawaii. Unpublished.
J. Kimia Kemasan, Vol.35 No.1 April 2013 : 65-70
Sarin, H. 2010. Physiologic upper limits of pore size of different blood capillary types and another perspective on the dual pore theory of microvascular permeability. Journal of Angiogenesis Research 2(14): 1-19. Freitas Jr., R.A. 1999. Nanomedicine, Volume I : Basic Capabilities. Landes Bioscience: Georgetown. Ahmadi, R., H. R. M. Hosseini, A. Masoudi, H. Omid, R. Namivandi-Zangeneh, M. Ahmadi, Z. Ahmadi and N. Gu. 2013. Effect of concentration on hydrodynamic size of magnetite-based ferrofluid as a potential MRI contrast agent. Colloids and Surfaces A: Physicochemical Engineering Aspects 424-113-117. Bonini, M., A. Wiedenmann and P. Baglioni. 2007. Study of ferrite ferrofluids by small-angle scattering of polarized neutrons. Journal of Applied Crystallography 40: s254-s258 Mujamilah. 2011. Litbang Nanopartikel Magnetik untuk MARIA (Magnetic Radio Immuno Assay). Laporan Teknis Program Insentif PKPP Kemenristek RI. Tidak diterbitkan. Hong, S., Y. Chang and I. Rhee. 2010. Chitosan-coated Ferrite (Fe3O4) Nanoparticles as a T2 Contrast Agent for Magnetic Resonance Imaging. Journal of the Korean Physical Society 56(3): 868-873 Ravikumar C., S. Kumar and R. Bandyopadhyaya. 2012. Aggregation of dextran coated magnetic nanoparticles in aqueous medium: Experiments and Monte Carlo simulation. Colloids and Surfaces A: Physicochemical Engineering Aspects 403: 1 – 6.
70
PEDOMAN PENULISAN NASKAH 21 cm
Header 2 cm
Top 2 cm
SINTESIS NANOPARTIKEL PERAK (Arial, 14 pt, Bold) Arial, 14 pt, 1 baris
(SYNTHESIS OF SILVER NANOPARTICLE) (Arial, 11 pt, Bold, Italic) Arial, 14 pt, 1 baris
Rahyani Ermawati dan Siti Naimah (Arial, 12 pt) Arial, 12 pt, 1 baris
Left 3 cm
Right 2,1 cm
Balai Besar Kimia dan Kemasan, Departeman Perindustrian RI Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur Arial, 10 pt, 1 baris
E-mail: [email protected] 2 baris (10 pt)
ABSTRAK (Arial, 10 pt, Bold) (1 baris, 9 pt) Indonesia berpeluang untuk mengembangkan nanoteknologi dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam ………(justify, Arial, 9 pt, spasi single)……………………………………….………. (1 baris, 9 pt) Kata kunci : Nanopartikel, Bottom-up, Reduksi kimia, Particle Size Analyzer (PSA), Scanning Electron Microscope (SEM) (1 baris, 9 pt) ABSTRACT (Arial, 10 pt, Bold) (1 baris, 9 pt) Indonesia has a chance in develop the nanotechnology using the natural resources and it will give added value in high price……………… (justify, Arial, 9 pt, spasi single)……………..……………... (1 baris, 9 pt) Key words : Nanoparticles, Bottom-up, Chemical reduction…………………………………
2 baris (9 pt) PENDAHULUAN (1 baris, 10 pt)
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan Ms Word dan jumlah halaman maksimal 10 halaman. Naskah disusun dalam 5 subjudul, yaitu PENDAHULUAN, BAHAN DAN METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN dan DAFTAR PUSTAKA. Penulisan kutipan di dalam teks menggunakan nam a penulis, bukan nomor, dan nama penulis atau korporasi yang dikutip harus tercantum di dalam daftar pustaka. Judul Judul harus singkat, jelas dan menggambarkan isi naskah. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Abstrak berbahasa Inggris dan bahasa Indonesia dan di bawah dicantumkan kata kunci paling banyak 5 (lima) kata terpenting dalam naskah. Pendahuluan Pendahuluan mencakup latar belakang, tujuan, ruang lingkup penelitian, temuan terdahulu yang akan dikembangkan, disanggah, hipotesis dan pendekatan umum. BAHAN DAN METODE Berisi penjelasan ringkas tetapi rinci tentang bahan, metode, rancangan percobaan dan rancangan analisis data, waktu dan tempat penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN
0,6 cm
Memuat data atau fakta yang diperoleh dari penelitian. Data atau fakta penting yang tidak dapat dinarasikan dengan jelas dapat disajikan dalam bentuk tabel, gambar ataupun ilustrasi lain. Pembahasan merupakan ulasan tentang hasil, menjelaskan makna hasil penelitian, kesesuaian dengan hasil atau penelitian terdahulu dan peran hasil tersebut terhadap pemecahan masalah yang disebutkan dalam pendahuluan. Simbol Matematis Simbol atau persam aan dikemukakan secara jelas.
Abstrak atau Kata Kunci Abstrak m emuat latar belakang secara ringkas, tujuan, metode, hasil serta kesimpulan suatu penelitian. Footer 2 cm
Bottom 2 cm
matematis
harus
29,7 cm
Awal paragraf menjorok ke dalam 1 cm. Semua kalimat ditulis dengan huruf Arial 10 pt, jarak baris 1 spasi. Format penulisan terdiri dari 2 kolom dengan jarak kolom 0,6 cm. Kertas : A4 Multiple pages : Mirror margin Top : 2 cm Bottom : 2 cm Left (Inside) : 3 cm Right (Outside) : 2,1 cm Section start : Continous Header & Footer : Different Odd & Even Header : 2 cm Footer : 2 cm
Tabel Tabel diberi nomor urut sesuai dengan keterangan di dalam teks. Setiap tabel diberi judul yang singkat dan jelas diletakkan di atas tabel, sehingga setiap tabel dapat dipandang berdiri sendiri sedangkan untuk gambar atau grafik judulnya diletakkan di bawah gambar/ grafik. Singkatan kata perlu diberi catatan kaki atau keterangan. Keterangan tabel diletakkan di bawah tabel. Pengolahan Naskah Redaksi melakukan penilaian, koreksi dan perbaikan. Kriteria penilaian meliputi : kebenaran isi, tingkat keaslian, kejelasan uraian dan kesesuaian dengan misi publikasi. Redaksi akan mengembalikan naskah kepada penulis untuk diperbaiki sesuai dengan saran redaksi dan naskah yang tidak dapat diterbitkan akan diberitahukan. Ulasan dan tinjauan ilmiah Ulasan sebaiknya merupakan tinjauan mengenai masalah yang terkini (up to date) dari industri kimia, kemasan, cemaran, rancang bangun dan perekayasaan. KESIMPULAN Ditulis dengan ringkas hasil-hasil yang didapat. DAFTAR PUSTAKA Daftar Pustaka disusun menurut abjad dan ditulis sesuai penulisan daftar pustaka dengan metode Chicago Style. Buku : Penulis. Tahun. Judul Buku. Edisi. Kota: Penerbit. Contoh : Winarno F.G dan Ivone E.F. 2009. Nanoteknologi Bagi Industri Pangan dan Kemasan. Mbrio Press. Jurnal : Penulis. Tahun. Judul Naskah. Nam a Jurnal. Volume (nom or) : Halaman. Contoh : Obaidat, I.M., B Issa, and Y. Haik. 2011. The role of aggregation of ferrite nanoparticles on their magnetic properties. Journal of nanoscience and nano-technology 11(5): 3882-3888. Disertasi atau tesis : Penulis. Tahun. Judul disertasi/ tesis. Disertasi/Tesis. Nam a perguruan tinggi, Kota. Negara. Contoh : Raffi, M. 2007. Synthesis and Characterization of Metal Nanoparticles. PhD Dissertation. Pakistan Institute of Eng. and Applied Sciences, Islamabad. Pakistan.
Artikel dalam buku atau prosiding : Penulis. Tahun. Judul naskah. Dalam : Penulis. Judul buku/ prosiding. Kota : Penerbit : Halaman Contoh : Afifah, N. dan E. Sholichah. 2009. Pemanfaatan virgin coconut oil (VCO) dalam sediaan hand body lotion dan uji stabilitasnya. Dalam: Prosiding seminar nasional Teknik Kimia Universitas Parahyangan: 178 -184.
Redaksi akan memberikan cetak cuplik kepada penulis sebanyak 5 eksemplar
Vol. 35 No. 1 April 2013
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN
ISSN 2088 – 026X
1
LEMBAR ABSTRAK 1
Wiwik Pudjiastuti , Arie Listyarini , dan Muhammad Idham 2 Rizki 1) Balai Besar Kimia dan Kem asan, Kementerian Perindustrian RI Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur 2) Fakultas Teknologi Pertanian-Universitas Padjadjaran Bandung E-mail: [email protected] Pengaruh Laju Transmisi Uap Air Polimer Blend Polibutilen Suksinat (PBS) dan Linear Low Density Polyethylene (LLDPE) Terhadap Umur Simpan Sup Krim Instan Rasi J. Kimia Kemasan April 2013, Vol. 35 No. 1 : 1-5 Penelitian tentang pengaruh Laju Transmisi Uap Air (WVTR) dari biopolimer blend Polibutilen Suksinat (PBS) dan Linear Low Density Polyethylene (LLDPE) terhadap umur simpan sup krim instan rasi telah dilakukan pada berbagai komposisi campuran PBS/LLDPE. Persentase komposisi campuran PBS/LLDPE yang digunakan untuk mengemas sup krim instan rasi berturut-turut adalah 30/70%, 50/50%, dan 70/30%, dengan nilai WVTR 2 2 berturut-turut adalah 9,06 g/m hari; 16,92 g/m hari; dan 2 25,08 g/m hari. Dengan menggunakan metode kadar air kritis diperoleh umur simpan terpanjang dari sup krim instan rasi adalah 13 hari yang dikemas dalam campuran PBS/LLDPE 30/70%. Kata kunci : Laju transmisi uap air, Polibutilen suksinat, Linier low density polyethylene
Agus Sudibyo dan Tiurlan F.Hutajulu Balai Besar Industri Agro (BBIA) Perindustrian Jl. Ir. H. Juanda No. 11, Bogor 16122 E-mail: [email protected] Potensi Penerapan Kemasan Pangan
Polimer
Kementerian
Nanokomposit
Dalam
J. Kimia Kemasan April 2013, Vol. 35 No. 1 : 6-19 Hingga saat ini bahan yang digunakan untuk kemasan pangan merupakan bahan yang tidak mudah diurai dan menimbulkan permasalahan terhadap lingkungan. Sifat permeabilitas dan mekanis serta hambatannya yang rendah terhadap uap dan gas yang dimiliki oleh matriks polimer, telah mendorong ketertarikan dalam strategi baru untuk mengembangkan perbaikan sifat-sifat tersebut. Penelitian dan pengembangan bahan polimer dengan cara memadukan bahan pengisi yang tepat, melalui interaksi matriks bahan pengisi dan strategi formula baru untuk pembuatan polimer nanokomposit mempunyai potensi untuk diterapkan dalam kem asan pangan. Partikel nano secara proporsional mempunyai luas permukaan lebih besar dibandingkan dengan bentuk skala mikronya, sehingga lebih sesuai digunakan sebagai matriks bahan pengisi untuk menjaga kinerja bahan nanokomposit yang dihasilkan. Pada tulisan ini, beberapa potensi penerapan bahan polimer nanokomposit dalam kemasan pangan telah dibahas, termasuk : bahan nanokomposit untuk kemasan dan teknologi pembuatannya, nanokomposit tanah liat-polimer sebagai bahan kemasan yang mempunyai sifat penghambat terhadap uap dan gas yang tinggi, partikel nano perak,
dan partikel lain yang berpotensi sebagai antimikroba dalam kemasan pangan, sebagai integrator dan sensor nano serta sebagai material nanokomposit yang berbasis pengujian untuk mengidentifikasi dan mendeteksi bahanbahan yang dianalisis pada produk pangan (misalnya : gas, uap, dan bakteri patogen penyebab keracunan). Kata kunci : Nanokomposit, Polimer, Kemasan pangan
1
2
3
Melanie Cornelia , Rizal Syarief , Hefni Effendi , Budi 4 Nurtama 1) Doctoral Student of Bogor Agricultural University 2-4) Supervisors , Natural Resources and Environmental Management, Bogor Agricultural University E-mail: [email protected] Pemanfaatan Pati Biji Durian (Durio zibethinus Murr.) dan Pati Sagu (Metroxylon sp.) Dalam Pembuatan Bioplastik J. Kimia Kemasan April 2013, Vol. 35 No. 1 : 20-29 Bioplastik adalah plastik yang dapat didegradasi oleh mikroba yang ada di dalam tanah karena adanya kandungan pati di dalamnya. Bioplastik diharapkan merupakan salah satu solusi dari masalah lingkungan yang disebabkan oleh penumpukan sampah kantong plastik belanja yang menjadi beban lingkungan. Secara komersial sudah ada bioplastik yang diproduksi dengan variasi jumlah penambahan pati singkong atau pati jagung, namun kendalanya adalah harga produk masih mahal jika dibandingkan dengan harga kantong plastik konvensional pada umumnya, karena tepung dan pati tersebut masih dibutuhkan di sektor pangan dan energi. Pada penelitian ini bioplastik dibuat dengan menggunakan pati yang diekstraksi dari biji durian yang selam a ini merupakan limbah, untuk dicampur dengan biji plastik LDPE pada variasi konsentrasi pati 0% sampai 50%. Sebagai pembanding dipakai pati dari empulur sagu, sehingga karakteristik fisik seperti warna dan sifat mekanik dari bioplastik seperti kekuatan tarik, perpanjangan putus, dan kekerasan dapat dibandingkan. Uji penurunan berat bioplastik dilakukan dengan pemendaman di dalam tanah selama 8 minggu. Hasil uji Anova menunjukkan perlakuan jenis pati dan konsentrasi pati yang ditambahkan tidak beda nyata (p>0,05) terhadap kehilangan berat plastik. Analisis SEM dilakukan untuk membandingkan rongga diantara molekul pati dengan polimer plastik pada perbesaran 2500x yang menyebabkan kekuatan mekanik plastik menjadi berkurang dan rapuh ketika ditarik. Pati biji durian 10% terbukti optimal dapat digunakan sebagai substitusi polimer tanpa penambahan aditif dalam pembuatan bioplastik, dengan karakteristik mekanik yang dapat dibandingkan dengan pati sagu dan pati singkong, namun memiliki laju degradasi yang lebih rendah. Kata kunci : Bioplastik, Low density poly ethylene, Pati biji durian, Pati sagu, Kekuatan tarik, Perpanjangan putus
Dwinna Rahmi, Retno Yunilawati, Emmy Ratnawati Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian RI Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail : [email protected]
Peningkatan Stabilitas Emulsi Krim Nanopartikel Untuk Mempertahankan Kelembaban Kulit J. Kimia Kemasan April 2013, Vol. 35 No. 1 : 30-36 Salah satu produk teknologi nano dibidang kosmetika dan farmasi adalah krim nanopartikel.Telah diperoleh krim nanopartikel dengan teksturnya yang halus yang dapat meningkatkan stabilitas emulsi dan meningkatkan sifat kelembaban kulit. Pada penelitian ini krim nanopartikel dibuat dengan proses ultrasonikasi dengan bahan baku asam stearat, cetil alkohol, cetil stearil alkohol, gliserin, air, dan emulsifier. Stabilitas emulsi krim nanopartikel meningkat 5% dibanding krim biasa. Stabilitas krim berkaitan dengan umur simpan produk. Berdasarkan hasil sintesis, diperoleh ukuran partikel 54,6 nm sampai 91,8 nm. Sedangkan aplikasi pada berbagai losion kulit krim nanopartikel terbukti dapat menghambat penguapan air kulit sebesar 15% sampai 40% untuk mempertahankan kelembaban kulit. Kata kunci : Krim nanopartikel, Teknologi nano, Stabilitas emulsi, Sifat mempertahankan kelembaban kulit
Modifikasi fotokatalis TiO2 dengan batu apung sebagai penyangga untuk mendegradasi senyawa fenol telah dilakukan. Batu apung yang sudah mengalami perlakuan awal dilapisi oleh sol TiO2, yang berasal dari prekursor TiO2 P25, dengan menggunakan metode dip coating. Komposit TiO2 -batu apung tersebut dikarakterisasi dengan SEM-EDS dan BET, kemudian diaplikasikan untuk mendegradasi fenol dengan menggunakan reaktor batch yang dilengkapi oleh lampu merkuri 250 W. Konsentrasi fenol dianalisis dengan Spektrofotometer UV-Vis. Hasil eksperimen m enunjukkan bahwa penambahan udara pada sistem reaksi dapat meningkatkan kinerja katalis komposit. Pengaruh tersebut lebih nyata pada komposit dengan loading TiO 2 rendah (2,5%) yang mencapai sekitar 5 kali lipat. Pada katalis 2,5%TiO2 -batu apung, laju alir udara optimal dicapai pada 100 ml/menit, dengan tingkat degradasi terhadap 10 ppm fenol mencapai 100% selama 2,5 jam. Sementara itu pada katalis 25%TiO 2-batu apung, waktu yang dibutuhkan untuk degradasi fenol sampai batas baku mutu (0,5 ppm) pada konsentrasi awal fenol 10 ppm, 50 ppm, 100 ppm, dan 1000 ppm masingmasing adalah 3 jam; 5,7 jam; 6,9 jam; dan 16,9 jam. Kata kunci: Fenol, Fotokatalisis, TiO2 , Batu apung
Siti Wardiyati, Adel Fisli, dan Saeful Yusuf Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir, BATAN Kawasan Puspiptek, Serpong 15314, Tangerang Selatan E-mail: [email protected]
Darsono, Sugiarto Danu, Made Sumarti Kardha, dan Harsojo Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi – BATAN Jl. Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta-Selatan E-mail: [email protected]
Sintesis dan Karakterisasi Nano Zero Valent Iron (NZVI) dengan Metode Presipitasi
Pengaruh Radiasi Berkas Elektron dan Kimia Pada Pembuatan Glukosa dari Tandan Kosong Sawit
J. Kimia Kemasan April 2013, Vol. 35 No. 1 : 37-44
J. Kimia Kemasan April 2013, Vol. 35 No. 1 : 52-57
Teknologi NZVI (Nano Zero Valent Iron) menjadi pilihan yang tepat untuk rehabilitasi lingkungan dan remediasi situs yang terkontaminasi, karena dengan NZVI logam berat seperti Pb, As, Cr, Cd, Cu, dan senyawa organik dapat dengan mudah dipisahkan dari dalam air. Selain itu, bahan baku untuk pembuatan NZVI berupa zat besi relatif murah,tidak beracun, dan ramah lingkungan. Untuk mempelajari teknologi NZVI telah dilakukan sintesis dan karakterisasi NZVI dengan m etode presipitasi menggunakan prekusor FeSO4 .7H2O dan reduktor natrium borohidrat (NaBH4 ). Tujuan percobaan ini adalah membuat NZVI yang stabil, mempunyai ukuran kecil (dibawah 100 nm), dan tidak menggumpal. Untuk mencapai tujuan tersebut, pada proses sintesis NZVI ditambahkan surfaktan CTAB sebagai pelapis NZVI yang dihasilkan. Penambahan surfaktan yang tepat akan memberikan hasil optimal. Pada percobaan ini hasil optimal dicapai pada penambahan CTAB 1,4 g per 4,1703 g Fe2SO4 .7H2O dan ukuran partikel NZVI yang dihasilkan berkisar 8 nm.
Telah dilakukan penelitian pembuatan glukosa dari tandan kosong sawit (TKS) dengan 2 tahap, yaitu perlakuan pendahuluan iradiasi berkas elektron dilanjutkan dengan alkali dan asam, diikuti dengan proses sakarifikasi. Serat TKS kering diiradiasi menggunakan berkas elektron pada variasi dosis 0, 200, dan 400 kGy. Hasil iradiasi berkas elektron selanjutnya digiling dan diayak untuk mendapatkan butiran berukuran antara 40/60 mesh. Perlakuan pendahuluan dengan NaOH dilakukan pada suhu 121⁰C selama 30 dan 60 menit, sedangkan perlakuan dengan H2SO4 dilakukan pada suhu 121⁰C selama 30 menit dengan menggunakan otoklaf. Sakarifikasi dilakukan menggunakan enzim amilase dan selubiase. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada dosis iradiasi 0, 200 dan 400 kGy dengan perlakuan NaOH 0, 4, 8, dan 16% telah menghasilkan glukosa maksimum 14,0-14,2%. Perlakuan H2SO4 dengan konsentrasi 1, 2, dan 4% menghasilkan glukosa sekitar 6 – 8,5%. Kata
Kata kunci : Zero Valent Iron, Nanopartikel, Presipitasi
1,2
1
Agung Sri Hendarsa , Jessica Tanuwijaya , Catur Nitya 2 1 1* V.N. , Heri Hermansyah dan Slamet 1) Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia 2) PT Aozora Agung Perkasa, Water Management & Engineering Company, Jakarta, 12310, Indonesia Email : [email protected] Fotodegradasi Fenol Dengan Berpenyangga Batu Apung
Katalis
TiO2
J. Kimia Kemasan April 2013, Vol. 35 No. 1 : 45-51
P25
Kunci:
Iradiasi, Glukosa
Berkas
elektron,
Sakarifikasi,
Novi Nur Aidha Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl . Balai Kimia 1, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail : [email protected] Aktivasi Zeolit Secara Fisika dan Kimia Untuk Menurunkan Kadar Kesadahan (Ca dan Mg) Dalam Air Tanah J. Kimia Kemasan April 2013, Vol. 35 No. 1 : 58-64 Zeolit merupakan bahan adsorber yang memiliki kemampuan untuk menyerap logam dalam air. Penelitian ini membandingkan daya adsorbsi zeolit alam yang berasal dari Malang dan Blitar untuk menurunkan kadar
kesadahan air tanah. Zeolit diaktivasi terlebih dahulu sebelum digunakan, proses aktivasi yang dilakukan secara fisika dan kimia. Metode aktivasi secara fisika dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel 80 mesh o dan kalsinasi pada suhu 300 C selama 2 jam. Proses aktivasi secara kimia, zeolit direndam dalam pelarut asam yaitu HCl dengan variasi konsentrasi 0,1 N; 0,25 N; 0,5 N; 0,75 N; dan 1 N selam a 80 menit. Setelah proses aktivasi, air tanah dialirkan melewati zeolit yang sudah dimasukkan dalam pipa kolom. Analisis kadar kesadahan (Mg dan Ca) dilakukan sebelum air tanah dialirkan ke pipa kolom berisi zeolit dan sesudah dialirkan menggunakan alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi HCl maksimal adalah 1% dengan persentase penurunan kadar Ca pada zeolit asal Blitar sebesar 78,99% dan zeolit asal Malang sebesar 68,49%. Sedangkan persentase penurunan kadar Mg pada zeolit Blitar 49,91% dan pada zeolit Malang sebesar 42,13%. Kata Kunci : Zeolit, Zeolit alam, Kesadahan, Aktivasi zeolit, Pertukaran ion Mujamilah dan Grace Tj. Sulungbudi Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan 15340 E-mail: [email protected] Karakteristik Dinamik Sistem Koloid Magnetik Berbasis Nanopartikel Oksida Fe-Chitosan J. Kimia Kemasan April 2013, Vol. 35 No. 1 : 65-70 Karakteristik dinamik dari sistem koloid berbasis nanopartikel magnetik oksida Fe dan chitosan yang meliputi ukuran partikel dan magnetik telah dipelajari. Sistem koloid diencerkan dalam medium cairan infus NaCl 0,9% sebagai medium simulasi cairan yang biokompatibel dengan cairan tubuh. Diperoleh sampel dengan variasi konsentrasi hingga pengenceran 100 kali. Hasil analisis distribusi ukuran partikel dengan Particle Size Analyzer (PSA) menunjukkan terjadinya aglomerasi nanopartikel dalam sistem koloid dengan distribusi aglom erasi yang cenderung menyempit untuk koloid yang lebih encer dengan ukuran rata-rata cenderung stabil pada ukuran ~80 nm. Stabilisasi koloid terbentuk sebagai resultan kompetisi antara gaya gravitasi pada aglomerat dan interaksi elektrostatik antar aglomerat. Hasil pengukuran zeta potential menunjukkan nilai rendah untuk koloid yang sangat pekat ataupun sangat encer. Pengenceran juga akan sangat mempengaruhi responsivitas m agnetik dari koloid terhadap medan luar. Hasil pengukuran kurva histeresis dengan Vibrating Sample Magnetometer (VSM) menunjukkan sem akin encer koloid semakin dominan fasa diamagnetik dari m edium cair dispersan yang akan memberikan efek medan balik dan menurunkan nilai magnetisasi total. Dua hasil analisis ini menunjukkan penggunaan koloid yang terlalu pekat akan menimbulkan aglomerasi partikel yang cukup besar, sedangkan penggunaan koloid yang terlalu encer akan menurunkan responsivitas magnetik nanopartikel. Dua kondisi ini tidak diharapkan dalam proses aplikasi koloid di bidang biomedis terutama untuk proses in-vivo seperti untuk proses drug delivery ataupun proses hyperthermia. Kata kunci : Nanopartikel oksida Fe, Kitosan, Koloid, Sifat magnetik
UCAPAN TERIMA KASIH
Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari sebagai reviewer yang telah menelaah dan memberi masukan serta rekomendasi dalam rangka menjaga mutu jurnal ini sesuai kaidah-kaidah karya tulis ilmiah. Adapun nama-nama mitra bestari sebagai berikut :
NO
NAMA
INSTANSI
1
Drs. Sudirman, MSc, APU
BATAN
2
DR. Rike Yudianti
LIPI
3
DR. Sunit Hendrana
LIPI
4
Prof. DR. Slamet, MT
UI
5
DR. Etik Mardliyati
BPPT
ISSN 2088 – 026X
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN
Volume 35 Nomor 1 April 2013 DAFTAR ISI
Pengaruh Laju Transmisi Uap Air Polimer Blend Polibutilen Suksinat (PBS) dan Linear Low Density Polyethylene (LLDPE) Terhadap Umur Simpan Sup Krim Instan
1–5
Rasi ..………...………………...………………...………………...………………...…………….. Wiwik Pudjiastuti, Arie Listyarini, Muhammad Idham Rizki Potensi Penerapan Polimer Nanokomposit Dalam Kemasan Pangan …...……………
6 – 19
Agus Sudibyo dan Tiurlan F.Hutajulu Pemanfaatan Pati Biji Durian (Durio zibethinus Murr.) dan Pati Sagu (Metroxylon sp.) Dalam Pembuatan Bioplastik ….………................………………………………………….
20 – 29
Melanie Cornelia, Rizal Syarief, Hefni Effendi, Budi Nurtama Peningkatan
Stabilitas
Emulsi
Krim
Nanopartikel
Untuk
Mempertahankan
Kelembaban Kulit ……………………..................……..……………..………………..………
30 – 36
Dwinna Rahmi, Retno Yunilawati, Emmy Ratnawati Sintesis dan Karakterisasi Nano Zero Valent Iron (NZVI) dengan Metode Presipitasi..
37 – 44
Siti Wardiyati, Adel Fisli, Saeful Yusuf Fotodegradasi Fenol Dengan Katalis TiO2 P25 Berpenyangga Batu Apung .............
45 – 51
Agung Sri Hendarsa, Jessica Tanuwijaya, Catur Nitya V.N., Heri Hermansyah dan Slamet Pengaruh Radiasi Berkas Elektron dan Kimia Pada Pembuatan Glukosa dari Tandan Kosong Sawit ……………….......………………………….............……………….................
52 – 57
Darsono, Sugiarto Danu, Made Sumarti Kardha, Harsojo Aktivasi Zeolit Secara Fisika dan Kimia Untuk Menurunkan Kadar Kesadahan (Ca dan Mg) Dalam Air Tanah …………………………………………………………………........
58 – 64
Novi Nur Aidha Karakteristik Dinamik Sistem Koloid Magnetik Berbasis Nanopartikel Oksida FeChitosan …………………………………………………………………..…………………........ Mujamilah dan Grace Tj. Sulungbudi
65 – 70