ISSN 2088 – 026X
Jurnal
Kimia dan Kemasan Journal of Chemical and Packaging
Vol. 34 No. 2 Oktober 2012
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN IKLIM DAN MUTU INDUSTRI
BALAI BESAR KIMIA DAN KEMASAN
J. Kimia Kemasan
Vol. 34
No. 2
Hal. 237 - 305
Jakarta Oktober 2012
ISSN 2088 – 026X
Terakreditasi B No : 325/Akred-LIPI/P2MBI/04/2011
ISSN 2088 – 026X Vol. 34 No.2 Oktober 2012
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN (JOURNAL OF CHEMICAL AND PACKAGING)
Terakreditasi dengan Predikat B Nomor : 325/Akred-LIPI/P2MBI/04/2011
Jurnal Kimia dan Kemasan memuat hasil penelitian dan telaah ilmiah bidang kimia dan kemasan yang belum pernah dipublikasikan. Jurnal Kimia dan Kemasan terbit dua nomor dalam setahun (April dan Oktober)
Penanggungjawab Officially incharge Ketua Chairman Wakil Vice Chairman
Kepala Balai Besar Kimia dan Kemasan Head of Center for Chemical and Packaging Kepala Bidang Sarana Riset dan Standardisasi Head Field for Research Facilities and Standardization
Dewan Redaksi Editorial board
DR. Rahyani Ermawati (Biokimia/Biochemistry, BBKK) Ir. Emmy Ratnawati (Kimia lingkungan/Environmental chemistry, BBKK) Ir. Hendartini, MSc (Kemasan/Packaging, BBKK) Dra. Yemirta, M.Si (Kimia/Chemistry, BBKK) Retno Yunilawati, SSi, MSi (Kimia/Chemistry, BBKK) Arie Listyarini, SSi, MSi (Polimer/Polymer, BBKK)
Mitra Bestari Peer Reviewer
Prof. DR. Slamet, MT (Kimia/Chemistry, Universitas Indonesia) Drs. Sudirman, MSc, APU (Kimia/Chemistry, BATAN) DR. Etik Mardliyati (Biokimia/Biochemistry, BPPT) DR. Rike Yudianti (Polimer/Polymer, LIPI) DR. Sunit Hendrana (Polimer/Polymer, LIPI)
Redaksi Pelaksana Managing editor
Silvie Ardhanie Aviandharie, ST, MT Chicha Nuraeni, ST Agustina Arianita Cahyaningtyas, ST
Alamat (Address) Balai Besar Kimia dan Kemasan Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No. 1, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur Telepon : (021) 8717438, Fax : (021) 8714928, Email :
[email protected]
Isi Jurnal Kimia dan Kemasan dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)
ISSN 2088 – 026X Vol. 34 No.2 Oktober 2012
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN (JOURNAL OF CHEMICAL AND PACKAGING)
Terakreditasi dengan Predikat B Nomor : 325/Akred-LIPI/P2MBI/04/2011
Daftar Isi Isolasi Metil Sinamat dari Minyak Atsiri Laja Gowah (Alpinia malaccensis (Burm.f.)) ………….............………...…………..………………….............……...……
237 – 242
Arief Riyanto, Retno Yunilawati, dan Chicha Nuraeni Effect Of Liquid Natural Rubber Addition To The Mechanical Properties Of Elastomeric Thermoplastic / Polyethylene Polyblend ….…………..............……
243 – 248
Deswita Sudirman, Aloma Karo Karo and Dian Iramani Potensi Titania Nanotube Array dan Aplikasinya Dalam Produksi Hidrogen dan Pengolahan Limbah …………………….............………...…………..…………
249 – 262
Ratnawati dan Slamet Pengaruh Penambahan Pati Bengkoang Terhadap Karakteristik Fisik dan Mekanik Edible Film …........………...…………..…………….......………...…........
263 – 271
Melanie Cornelia, Nuri Arum Anugrahati, Christina Pengaruh Radiasi Gamma Terhadap Sifat Mekanik UHMWPE Untuk Tibial Tray …...………….............………...…………..………………….............………...….
272 – 281
Sulistioso Giat Sukaryo, Nurul Laili Arifin, Sudaryo, Sudirman Pengaruh Formulasi Edible Film dari Karagenan Terhadap Sifat Mekanik dan Barrier …………...…….......…………….......………...……..................…...…….
282 – 286
Guntarti Supeni Pengolahan Biodiesel dari Biji Nyamplung (Calophyllum Inophyllum L) Dengan Cara Purifikasi Kering …...................……...……..................…...……......
287 – 294
Rizal Alamsyah dan Enny Hawani Lubis Tinjauan Tentang Dekomposisi Spinodal Pada Campuran Biner Polimer ……
295 – 303
Krisna Lumban Raja Indeks Kata Kunci …………...………...……….......………...……..................…...
304
Indeks Pengarang …………...……….......…………….……...……..................…...
305
ISSN 2088 – 026X Vol. 34 No.2 Oktober 2012
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN (JOURNAL OF CHEMICAL AND PACKAGING)
Terakreditasi dengan Predikat B Nomor : 325/Akred-LIPI/P2MBI/04/2011
Kata Pengantar Jurnal Kimia dan Kemasan Volume 34 Nomor 2 Oktober 2012 ini terbit dengan delapan artikel yang merupakan terbitan kedua di tahun 2012. Sembilan artikel ini kami sajikan dari berbagai bidang disiplin ilmu. Empat artikel melaporkan tentang kemasan, dua diantaranya tentang kemasan layak santap. Disusul dengan dua artikel berkaitan dengan bidang energi yaitu Produksi Biodiesel dari Biji Nyamplung dan Produksi Hidrogen dengan Menggunakan Titania Nanotube Array. Pembahasan material Ultra-High Molecular Weight Polyethylene digunakan dalam ortopedi sebagai bantalan (tibial tray) pada sendi lutut buatan juga disajikan dalam artikel kali ini. Satu artikel terkait dengan isolasi minyak atsiri dan artikel terakhir tentang material polimer Materi tentang bahan kemasan mendominasi artikel dalam edisi ini baik kemasan yang layak santap atau edible film dengan memanfaatkan sumber bahan yang melimpah seperti pati dari bengkoang, tapioka dan karagenan. Formulasi pada pembuatan edible film untuk diaplikasikan pada kemasan makanan lebih difokuskan untuk mendapatkan formulasi yang memenuhi persyaratan karakteristik fisik dan mekanik terbaik. Redaksi sangat bersyukur atas makalah yang masuk dari berbagai latar belakang disiplin ilmu. Seiring bertambahnya waktu, redaksi berharap akan semakin banyak makalah yang masuk untuk dapat diterbitkan dalam Jurnal Kimia dan Kemasan ini. Kritik dan saran untuk peningkatan kualitas penerbitan jurnal ini sangat diharapkan.
Dewan Redaksi
ISOLASI METIL SINAMAT DARI MINYAK ATSIRI LAJA GOWAH (Alpinia malaccensis (Burm.f.)) ISOLATION OF METHYL CINNAMATE FROM Alpinia malaccensis (Burm.f.)’s ESSENTIAL OIL Arief Riyanto, Retno Yunilawati, dan Chicha Nuraeni Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No.1 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Received 19 September 2012; revised 28 September 2012; accepted 2 Oktober 2012
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian isolasi metil sinamat dari minyak laja gowah (Alpinia malaccensis (Burm.f.)) dengan metode distilasi menggunakan alat spinning band distillation column. Metil sinamat merupakan senyawa ester dari asam sinamat, dengan rumus molekul C10H10O2. Distilasi dilakukan secara batch pada kondisi tekanan vakum dengan variabel volume distilat dan suhu fraksi distilat. Distilasi batch minyak laja gowah menghasilkan fraksi ringan 25%, fraksi metil sinamat 75%, dan residu 5%. Pada tekanan operasi 40 torr, fraksi metil sinamat o dengan kemurnian 98% lebih mudah dihasilkan ketika suhu kolom bagian atas mencapai 115 C. Kata kunci : Metil sinamat, Minyak laja gowah, Spinning band distillation column
ABSTRACT In this research has been studied the isolation of methyl cinnamate from laja gowah oil (Alpinia malaccensis (Burm.f.)) using distillation methode by a spinning band distillation column. Methyl cinnamate is ester from cinnamic acid with molecular formula C10H10O2. Distillation has been done in batch system under vacuum with the variables of volume of distillate and temperature of distillate fraction. Distillation batch of laja gowah oil produces 25% of light fractions, 75% of methyl cinnamate fraction, and 5% of residue. At the operating pressure o of 40 torr, the fraction of methyl cinnamate with a purity more than 98% was easily obtained at 115 C of above column. Key words : Methyl Cinnamate, Alpinia malaccensis (Burm.f.), Spinning band distillation column
PENDAHULUAN Metil sinamat merupakan senyawa ester dari asam sinamat dengan rumus molekul C10H10O2. Berat molekul 162,185 g/gmol, 3 dengan berat jenis 1,092 g/cm . Titik didih o o o 261 C sampai 262 C, dan titik leleh 34 C sampai o 38 C. Metil sinamat dapat larut dalam alkohol dan tidak larut dalam air. Metil sinamat dapat disintesa dari senyawa asam sinamat melalui proses esterifikasi dengan senyawa metanol. Suryana et al. (2008) mensintesa sinamaldehid menjadi metil ester melalui oksidasi dilanjutkan dengan esterifikasi. Metil sinamat juga dapat diperoleh dari proses biologis tumbuhan tertentu. Salah satu tumbuhan yang mengandung metil sinamat adalah dari genus Alpinia, misalnya Alpinia galanga, Alpinia malaccensis, dan Alpinia rafflesia.
Minyak laja gowah merupakan hasil ekstraksi bagian tanaman Alpinia malaccensis atau lebih dikenal dengan nama laja gowah atau lengkuas hutan/liar. Taksonomi tanaman menggolongkan tanaman ini dalam famili jahejahean (Zingiberaceae). Tanaman ini berkerabat dekat dengan lengkuas (bumbu) dan lengkuas merah. Alpinia malaccensis memiliki sinonim Galanga malaccensis dan Catimbium malaccensis. Beberapa daerah mempunyai sebutan yang berbeda pada tanaman ini antara lain bunglai laki-laki (Melayu), saya (Aceh), sesuk atau susuk (Lampung), laja gowah (Sunda), laawase wakan (Seram), lawasa malaka, duhu (Maluku).
Isolasi Metil Sinamat …………………... Arief Riyanto dkk
237
Masyarakat di daerah Jawa dan Maluku memanfaatkan tanaman ini sebagai obat dan bumbu. Rimpangnya digunakan sebagai obat bisul dan luka. Di Ambon, digunakan untuk memelihara tenggorokan agar suara tetap bagus, selain itu juga sering digunakan sebagai obat sakit perut dan obat kuat. Buah tanaman dapat dimakan, dan digunakan sebagai bumbu masak atau dikeringkan sebagai teh. Selain itu digunakan untuk mencegah muntah. Kulit buah dimanfaatkan untuk mewangikan rambut dan cucian. Perdagangan minyak atsiri khususnya minyak laja gowah masih sedikit dilakukan karena daya serap pasar yang masih rendah, terutama permintaan bahan tersebut di perdagangan internasional masih sedikit. Harga minyak laja gowah di tingkat pengumpul berkisar antara 250-400 ribu rupiah. Minyak laja ini potensial sebagai bahan baku untuk mendapatkan metil sinamat. Dari pengamatan di berbagai website perusahaan perdagangan minyak atsiri, metil sinamat hasil isolasi dari minyak laja gowah dikenal dengan natural methyl cinnamate dengan harga di kisaran satu setengah juta rupiah per kilogram. Minyak laja gowah dihasilkan dari proses ekstraksi bagian tanaman baik daun, batang maupun rimpangnya. Muchtaridi et al.(2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa rendemen minyak atsiri pada rimpang basah 0,25% (v/b), rimpang semi kering 0,42% (v/b) dan rimpang kering 1,33% (v/b). Penelitian lain menyatakan rendemen minyak atsiri pada batang 0,7% (v/b), daun 0,25% (v/b), dan rimpang 1,22% (v/b) dengan metode ekstraksi distilasi uap (Muchtaridi et al. 2008). Senyawa yang terdapat pada minyak laja gowah dapat digolongkan pada beberapa jenis senyawa yaitu golongan hidrokarbon, alkohol, ketone, ester, eter, asam lemak, aromatik, dan karboksilat. Dari 8 golongan senyawa tersebut yang terbanyak adalah dari golongan senyawa ester (batang dan rimpang) serta hidrokarbon (daun). BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain minyak laja gowah (Alpinia malaccensis) yang berasal dari PT. Sumber Multi Atsiri - Cianjur, etanol 96% sebagai pelarut dan pencuci, metanol p.a sebagai pelarut pada analisa Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC/MS), es batu sebagai pendingin pada sistem vakum. Peralatan yang digunakan antara lain spinning band distillation column tipe 9400 B/R
Instrument (Lab. Riset Kimia – Balai Besar Kimia dan Kemasan) yang dilengkapi dengan unit pendingin (chiller) dan unit vakum seperti pada Gambar 1, GC/MS Agilent 6890 Series, waterbath Memmert dan peralatan gelas.
Gambar 1. Spinning band distillation column
Metode Distilasi dilakukan secara batch pada kondisi tekanan vakum. Parameter pengukuran meliputi laju pemanasan awal (40%), temperatur o band mulai berputar (27 C), laju pemanasan setiap fraksi distilat (70% dan 80%), refluk (6), volume umpan, minyak laja gowah (3000 mL), tekanan sistem (40 torr), temperatur pendingin o o (15 C sampai 30 C). Sedangkan yang menjadi variabel adalah volume distilat dan suhu fraksi distilat. HASIL DAN PEMBAHASAN Spinning band distillation adalah teknik pemisahan (distilasi) suatu komponen dari campuran dengan menggunakan pita berpilin (seperti skrup) untuk menciptakan jumlah plate teoritis yang tinggi. Umumnya pita berpilin terbuat dari teflon atau logam. Beberapa keuntungan penggunaan spinning distillation dibandingkan dengan kolom distilasi lain yaitu efisiensi yang tinggi dan bahan yang tertinggal rendah. Spinning band memberikan efisiensi paling tinggi pada tinggi kolom yang sama, sehingga memberikan derajat kemurnian distilat yang paling baik. Kehilangan bahan yang nilainya tinggi dalam kolom pada akhir distilasi bisa diminimalisir, sehingga pembersihan kolom antar proses distilasi-pun juga diminimalisir. Selain itu, kolom pada spinning band distillation mempunyai ruang bebas yang besar sehingga penurunan tekanan sepanjang kolom kecil. Hal ini sangat berguna pada pemisahan komponen yang sangat sensitif terhadap panas.
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 237 - 242
238
Analisa bahan baku Hasil analisa bahan baku menggunakan GC/MS disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 2. Hasil analisa hanya mendeteksi 6 komponen, lebih sedikit jika dibandingkan dengan hasil penelitian Muchtaridi et al. (2008) yakni terdapat 31 komponen dalam minyak laja gowah. Hal ini berhubungan dengan perbedaan parameter yang digunakan pada analisa. Selain itu, bahan baku yang digunakan merupakan minyak hasil penyulingan dalam skala besar dan umumnya masih menggunakan alat yang sederhana, sehingga kemungkinan terjadinya komponen yang hilang selama proses besar. Tabel 1. Hasil analisa komponen senyawa penyusun minyak laja gowah Konsentrasi (%)
*NP (%)
-pinene
Nama komponen
4,26
96
-pinene 1,8-cineole D-fenchone
3,68
97
8,75 1,20 1,26
96 95 91
80,86
96
-terpineol Methyl cinnamate
*NP = tingkat kemiripan yang direkomendasikan oleh library (%)
Pada Gambar 2 terlihat bahwa metil sinamat relatif mudah dipisahkan dengan melihat retention time yang terpisah relatif lama dengan komponen yang lain karena pada dasarnya kromatografi gas menggunakan prinsip pemisahan berdasarkan pada titik didih komponen.
Fraksinasi minyak laja gowah Profil temperatur terhadap waktu distilasi Distilasi dilakukan pada tekanan 40 torr sampai dengan 50 torr sesuai dengan tekanan terendah yang dapat dicapai oleh pompa vakum. Suhu lingkungan pada saat proses dilakukan o o berkisar antara 27 C sampai 30 C. Dari hasil pencatatan suhu terhadap waktu proses (Gambar 3), kurva suhu terhadap waktu dapat dibagi menjadi 5 area (fraksi). Jika dilihat dari profil kromatogram dan titik didih masing-masing komponen dalam minyak laja gowah maka fraksi I sampai dengan fraksi III merupakan fraksi ringan yang sedikit mengandung metil sinamat. Pada fraksi I dan fraksi II terdapat satu atau dua komponen mayoritas yang memiliki titik didih yang berdekatan, ditandai dengan kurva datar pada area tersebut. Kurva datar menunjukkan suhu yang relatif tetap, sedangkan kurva dengan kemiringan yang tinggi menunjukkan komponen yang beragam dengan jumlah yang sedikit, seperti ditunjukkan pada area III (fraksi III). Area fraksi IV yang merupakan fraksi metil sinamat menunjukkan kurva yang datar, dengan o o jangkauan suhu antara 112 C sampai 125 C. Kesimpulan ini juga berdasarkan pada titik didih metil sinamat yang relatif tinggi dibandingkan dengan komponen penyusun yang lain serta konsentrasi yang tertinggi juga dibandingkan dengan komponen lain. Area/ fraksi V merupakan residu, yang terdapat pada pot/flask.
Gambar 2. Kromatogram minyak laja gowah
Isolasi Metil Sinamat …………………... Arief Riyanto dkk
239
Suhu kolom atas 160
III
II
I
140
Suhu pot V
IV
Suhu, oC
120 100 80 60 40 20 0 0
30
60
90
120
150
180
210
Waktu, menit
Gambar 3. Profil pergerakan suhu terhadap waktu proses
a.
Fraksi I
b.
c.
Fraksi II
Residu
Gambar 4. Kromatogram fraksi distilat berdasarkan pada volume
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 237 - 242
240
analisa konsentrasi metil sinamat pada masingmasing fraksi. Dari Tabel 3, suhu kolom bagian atas o (130 C) lebih tinggi dibandingkan pada suhu o kolom bagian atas (125 C) pada Tabel 2. Ini terjadi karena tekanan sistem yang tidak stabil. Tekanan operasi yang lebih tinggi masih ditolerir sepanjang bahan tidak mengalami degradasi karena pengaruh panas.
Fraksi I
Fraksi II
Residu
Gambar 5. Distilat hasil fraksinasi berdasarkan pada volume
Fraksinasi berdasarkan volume distilat Fraksi-fraksi distilat ditentukan berdasarkan komposisi komponen minyak laja gowah dan titik didih masing-masing komponen. Oleh karena itu, fraksi I (ringan) ditentukan sebesar 25% (v/v); sedangkan fraksi II (berat atau metil sinamat) 70%. Residu ditentukan sebesar 5%. Tabel 2 menunjukkan volume distilat yang didapat dan konsentrasi metil sinamat pada masing-masing fraksi beserta dengan jangkauan suhu distilat (suhu kolom bagian atas). Gambar 4 menunjukkan kromatogram hasil analisa GC/MS pada masing-masing fraksi distilat dan residu, sedangkan hasil fraksi distilat secara visual dapat dilihat pada Gambar 5. Fraksi metil sinamat mempunyai kandungan metil sinamat sampai dengan 98,55%. Pada perdagangan internasional umumnya mempersyaratkan komposisi metil sinamat minimal 98,00%. Hal ini berarti dengan karakteristik minyak laja gowah yang sama, maka untuk mengambil fraksi metil sinamat bisa dilakukan setelah 25% volume awal distilat keluar. Fraksi residu masih cukup banyak mengandung metil sinamat yakni sebesar 66,25%. Meskipun demikian, proses distilasi harus dihentikan untuk mencegah pengerakan pada bagian pot/flask yang dapat menyebabkan overheating dan membahayakan peralatan maupun operator, mengingat pot/flask terbuat dari gelas. Jika kristal yang terjadi menyumbat saluran uap pada kondensor, maka terjadi kenaikan tekanan dan suhu yang tidak terkontrol pada bagian flask dan kolom. Pengambilan distilat ke luar sistem vakum akan menyebabkan gangguan tekanan pada sistem, sehingga suhu kolom bagian atas (distilat) akan terganggu pula (berfluktuatif) sesuai dengan kondisi tekanan. Pada Tabel 3 disajikan hasil distilat berdasarkan suhu kolom bagian atas (distilat) beserta hasil
Tabel 2. Fraksi distilat dan kandungan metil sinamat pada masing-masing fraksi Distilat
Vol.(%)
Konsentrasi metil sinamat (%)
Temp.(oC)
F. Ringan F. Metil sinamat Residu
25.00 69.17
8.82 98.55
23 – 105 105 – 125
5.83
66.25
> 125
Tabel 3. Fraksi distilat berdasarkan pada suhu kolom atas (distilat) Distilat
**)
Temperatur (oC)
**)
Kandungan metil sinamat (%)
F1
-100
0
F2
100 – 115
18.79
F3
115 - 120
-
F4
120 – 125
-
F5
125 – 127
100.00
F6
127 – 130
-
Residu + 130 tidak semua fraksi dianalisa GC/MS
-
Kristalisasi metil sinamat Fraksinasi minyak laja gowah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan fraksinasi minyak atsiri lain seperti minyak sereh wangi, minyak nilam, dan minyak cengkeh. Kristalisasi merupakan fenomena yang terjadi pada proses ini, jika kondisi operasi pada unit-unit terjadi ketidaksesuaian. Kemungkinan kristalisasi terjadi pada kondensor dan pada saluran penampung distilat. Kontak distilat fraksi metil sinamat dengan udara pada tekanan atmosferis dapat memicu terjadinya kristalisasi. Demikian juga adanya goncangan dapat memicu terjadinya kristal. Bentuk kristal metil sinamat beraneka ragam sesuai dengan konsentrasi metil sinamat dalam larutan. Pada konsentrasi yang relatif rendah, kristal berbentuk seperti bintang-bintang dan pada konsentrasi tinggi membentuk semacam jarum yang terus tumbuh menjadi batang kristal. Gambar 6 menunjukkan proses terbentuknya kristal, ketika distilat diberi bibit kristal.
Isolasi Metil Sinamat …………………... Arief Riyanto dkk
241
Gambar 6. Proses pembentukan kristal ketika distilat fraksi metil sinamat diberi bibit kristal
KESIMPULAN Isolasi metil sinamat dari minyak laja gowah dengan metode distilasi menggunakan alat spinning band distillation column menghasilkan derajat kemurnian yang mencapai lebih dari 98%. Distilasi batch minyak laja gowah menghasilkan 4 (empat) fraksi distilat yang mempunyai beda titik didih yang signifikan dan fraksi residu yakni fraksi ringan sebesar 25% (v/v), fraksi metil sinamat 75% (v/v), dan residu 5% (v/v). Pada tekanan operasi 40 torr, fraksi metil sinamat mulai didapat ketika suhu kolom o bagian atas mencapai suhu 115 C. DAFTAR PUSTAKA Claus, E.P. 1961. Pharmacognosy. Ed ke-4. USA: Lea & Febiger. Earle,R.L. 1969. Unit Operations in Food Processing. Pergamon Press. Oxford. McCabe, W. L. and Smith, J. C. 1976. Unit Operations of Chemical Engineering (3rd ed.). McGraw-Hill. Muchtaridi, Arifin Sutasli, Nurdjannah Azinar, Ida Musfiroh. 2004. Karakteristik kimia minyak atsiri rimpang laja gowah (Alpinia malaccensis (Burm f.)). Bionatura: jurnal ilmu-ilmu hayati dan fisik 6(3): 272-282. Muchtaridi, Ikhsan Rambia, Ida Musfiroh, 2008. Kadar metil sinamat dari batang, daun dan rimpang tumbuhan laja gowah (Alpinia malaccensis (Burm f.)) dengan GC/MS. dipresentasikan di Seminar Nasional Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran, 16 September 2008. Sinaga, E. tt. Alpinia galanga (L.) Willd. Pusat Penelitian dan pengembangan Tumbuhan Obat UNAS/P3TO UNAS Suryana, A., Ngadiwiyana, Ismiyarta. 2009. Sintesis metil sinamat dari sinamaldehida dan uji aktivitas sebagai bahan aktif tabir surya. Laporan Penelitian. Universitas Diponegoro.
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 237 - 242
242
EFFECT OF LIQUID NATURAL RUBBER ADDITION TO THE MECHANICAL PROPERTIES OF ELASTOMERIC THERMOPLASTIC / POLYETHYLENE POLYBLEND PENGARUH PENAMBAHAN KARET ALAM CAIR TERHADAP SIFAT MEKANIK POLYBLEND TERMOPLASIK ELASTOMER / POLIETILEN
Deswita1, Sudirman1,2, Aloma Karo Karo1 and Dian Iramani3 1
Center for Technology of Nuclear Industry Materials-National Nuclear Energy Agency Indonesia Gedung 71-BATAN, Kawasan Puspiptek,Serpong 15314,Indonesia 2 Department of Chemistry, University of of Indonesian Kampus Baru UI, Depok 3 Centre for the Application Isotopes and Radiation Technology-National Nuclear Energy Agency Indonesia Jl. Lebak Bulus Raya No.49, Jakarta 12070, Indonesia E-mail:
[email protected] Received 17 September 2012; revised 28 September 2012; accepted 23 Oktober 2012
ABSTRACT Addition of liquid natural rubber (LNR) to elastomeric thermoplastic (ETP)/polyethylene (PE) polyblend has been done. The aim of this research is to study the effect of LNR addition to the ETP /PE polyblend using blending process. The blending process was done by mixing of ETP and PE with composition of 30% and 70% by weight respectively. LNR was added to the ETP /PE with composition of 3%, 5%, and 7% by weight, to form composite materials, refer as PLB-3, PLB-5 and PLB-7. The density of the specimen was measure by picno-meter, the mechanical properties were tested by Stograph R-1, the thermal property was analyzed by Differential Thermal Analysis (DTA) and the microstructure was observed by Scanning Electron Microscope (SEM). The result shows o o that the melting point of ETP/PE poly-blend increased from near 140 C to near 160 C with addition of LNR, but decomposition temperature decreased. Likewise, the mechanical properties of ETP/PE poly-blend exhibit the improvement after being added LNR. The mechanical properties show a rigid structure with the highest tensile -2 strength of 191 Kg.m , and referred as the most optimum composition ETP/PE poly-blend. This condition is reached with addition of 5% by weight LNR showing regular and homogenous microstructure. It can be concluded that the addition of LNR could improve miscibility of ETP/PE, so that a better quality was obtained. Key words : Elastomeric thermoplastic, Polyethylene, Liquid natural rubber, Polyblend
ABSTRAK Penambahan karet alam cair (Liquid Natural Rubber/LNR) ke poli-campuran termoplastik elastomer (elastomeric thermoplastic ETP) / polietilen (PE) telah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh penambahan LNR ke ETP/PE poli-campuran menggunakan proses blending. Proses blending dilakukan dengan mencampur ETP dan PE dengan komposisi masing-masing 30% dan 70% berat. Kemudian LNR ditambahkan ke ETP/PE dengan komposisi 3%, 5%, dan 7%berat untuk membentuk material komposit, merujuk sebagai, PLB-3 PLB-5 dan PLB-7. Densitas spesimen diukur dengan piknometer, sifat mekanik diuji oleh Stograph R-1, Sifat termal dianalisis dengan Differential Thermal Analysis (DTA) dan strukturmikro diamati dengan Scanning Electron Microscope (SEM). Hasilnya menunjukkan bahwa titik leleh polyblend ETP/PE o o meningkat dari 140 C ke 160 C dengan penambahan LNR, tetapi suhu dekomposisi turun. Demikian juga, sifat mekanik ETP/PE polyblend menunjukkan perbaikan setelah ditambahkan LNR. Sifat mekanis menunjukkan -2 struktur kaku dengan kekuatan tarik tertinggi 191 kg.m , dan disebut sebagai komposisi ETP/PE polyblend yang paling optimal. Kondisi ini dicapai dengan penambahan 5 %berat LNR dengan memperlihatkan strukturmikro teratur dan homogen. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penambahan LNR dapat meningkatkan miscibility dari ETP/PE sehingga diperoleh kualitas yang baik. Kata kunci : Termoplastik elastomer, Polietilen, Karet alam cair, Polyblend
Effect of Liquid Natural Rubber Addition …………………... Deswita dkk
243
INTRODUCTION Elastomeric thermoplastic (ETP) represent one of plastic polymer type made from natural rubber and have excess compared to other polymer type, namely do not need crosslink agent, more simple process, nature of better physical and recycle-able (Dahlan, Khairul Zaman A and Ibrahim 2002; Ismail and Suryadiansyah 2002; Sudirman, et al. 2000). Indonesia is one of natural rubber producer, with production of about 1.4 million ton per year. The usage of ETP have especial upon which at car, weapon and plane industry, on that account production of ETP very according to be developed in Indonesia so that can improve natural rubber added (Olk, Pena and Ralf 2004; Deswita et al., 2002). Currently, the common uses of materials based on ETP/PE reinforced rubber, glass or plastics have broad, propen applications include boats, automobiles, baths, hot tubs, water tanks, roofing, pipes, cladding, casts, external door skins, and sport equipments sectors (Fink 2010). Even more specifically are very attractive for aircraft and aerospace structural parts. However, much of the technology is new and not presented formally in secondary or undergraduate education, and the technology of advanced composites manufacture is continually evolving (Osha, 2010). Usually ETP are less stable to high temperature and more flexible than other plastic materials and have very low mechanical properties, which are very soft and very brittle in the dry state, so as to be used in industry, such as for cars and aircraft industry accessories are not allowed. However, the ETP is very lightweight and easy to make in a variety of forms. For this purpose, the mechanical properties of the material must be high (Envis 2003; Halimatudahliana, Nasir and Ismail 2001). One way to improve the mechanical properties and hardness of these materials is to form composite materials. By adding other polymer/copolymer such as polyethylene (PE) which may form a ETP/PE poly-blend they can be improved. In this research, ETP/PE polyblend was added with Liquid Natural Rubber (LNR) as a compatibilizer to form ETP/PE Polyblend-LNR composite materials. In point of view, compatibility among the phases is playing an important role which can be deceived by missing a material of compatibilizer to improve adhesion among the phases. The materials of compatibilizer can be expected to improved homogenity and nature of physics as well as mechanical properties, yielded a preeminent
polyblend (Deswita et al. 2008; Mahsuri, Marini and Sudirman 2005; Mashuri et al. 2008; Deswita et al. 2008; Utama et al. 1995). This research studied the influence of addition liquid natural rubber (LNR) as compatibilizer with variation composition to polyblend of natural rubber based ETP/PE. From this research a better ETP having nature of physical and mechanical properties is expected for materials industry. MATERIAL AND METHOD Material Material for this research are polyethylene (PE) and liquid natural rubber (LNR). Method ETP resulted from -irradiation process was mixed with polyethylene (PE) with comparison % of weight 70:30. The mixing than were added by LNR with composition of 0%, 3%, 5% and 7% by weight, later they called as PLB0, PLB-3, PLB-5 and PLB-7 respectively (Deswita et al. 2008; Halimatudahliana, Nasir and Ismail 2001). Materials containing of TPE, PE and LNR were then inserted into a Haake (RHEOMIX 3000/3010) owning capacities 250 g o processing at 130 C for 10 minute, for each LNR variation composition (Mahsuri, Marini and Sudirman 2005). The process was confined by pressing use a hydraulic hot press at pressure of -2 150 Kg.cm followed by hydraulic cold press at pressure of 16 ton.
Figure
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 243 - 247
1.
Synthesis and characterization of ETP/PE/LNR composite materials with LNR composition varation.
244
Examination of the specimen was conducted covers mechanical test using Stograph R-1 for tensile, yield strength and elongation at break. The microstructure of the specimen was observed by SEM (Scanning Electron Microscope), while the thermal property was measured by Differential Thermal Analysis (DTA). Synthesis and characterization of ETP/PE polyblend is mentioned schematically in Figure 1. RESULT AND DISCUSSION Thermal Properties The thermal property of the materials was measured using Differential Thermal Analysis (DTA). The purpose of this measurement is to determine the transition temperature for the conversion of the precursor to ETP/PE polyblend phase which is demonstrated in Figure 2. Based on this Figure 2, it can be seen that there are two different endothermic peaks of each specimens. o The first endothermic peak is near 140 C o for origin specimen (PLB-0), near 161 C for o o PLB-3, 163 C for PLB-5, and 165 C for PLB-7. These peaks give information about melting point of these materials. The second o endothermic peak is near 526 C for PLB-0, near o o 495 C for PLB-3 and near 493 C for PLB-5 and PLB-7, respectively. These endothermic peaks represent the decompositiontemperature of each of the specimens. It can be seen that the melting
point of poly-blend materials increased with addition of LNR to 7% by weight. However, the decomposition temperature of polyblend with LNR content is lower than that of poly-blend origin. This phenomenon indicates that the content of LNR in the ETP/PE polyblend influenced to changes in the thermal properties of both the melting point and decomposition temperature, see Figure 2. To know the mechanical properties, including yield, tensile and elongation break, the specimen were tested using Stograph R-1 apparatus. Physical Properties The result of density measurement is demonstrated at Table 1. It can be seen that the density of polyblend increases with increasing LNR addition. The origin sample (PLB-0) without content LNR, the density is very low only about -3 0.40 g.cm , and then the density increased to -3 about 0.75 g.cm with increasing the content of 7% by weight LNR. The increasing of sample density can be assumed as increasing of molecular packing due to the missibility improvement. To determine the effect of density on yield and tensile strength, all the specimens were tested the mechanical and physical properties using Stograph R-1 equipment. While the density of the specimen and variation of the LNR concentration was observed using SEM.
PLB-0
PLB-3 PLB-5 PLB-7
Figure 2. DTA curve from specimens PLB-0, PLB-3, PLB-5 and PLB-7
Effect of Liquid Natural Rubber Addition …………………... Deswita dkk
245
Mechanical Properties The mechanical properties, including yield and tensile strength and also elongation break of the specimens were tested using Stograph R-1 equipment that avaliable at PTBIN-BATAN. The the mechanical test result was shown in Table 1 for specimen PLB-0, PLB-3, PLB-5 and PLB-7. Based on the Table 1, it is seen that the mechanical properties of ETP/PE polyblend increase with increasing amount of LNR addition. The specimen with 5% weight of LNR addition (PLB-5) shows yield and tensile strength -2 -2 values of 106 Kg.cm and 91 Kg.cm respectively. This means that the PLB-5 specimen has most rigid specimen compared to the othes. It is shown that high tensile and yield
strength values of the PLB-5 specimen represent the optimum variation composition of ETP/PE/LNR polyblend composite materials. To determine visually the surface shape of tested materials, further specimens were observed by SEM, as shown in Figure 3. Microstructure The microstructure of pure polyblend without LNR content (PLB-0) is shown in Figure 3(a), while microstructure of polyblend with LNR content of 3% (PLB-3), 5% (PLB-5) and 7% (PLB-7) by weight were mentioned in Figures 3(b), 3(c) and 3(d), respectively.
Table 2. Result of mechanical test Table 1. Result of density test No
Specimens
Density -3 (g.cm )
4
PLB-0
0.4023
5
PLB-3
0.4785
6
PLB-5
0.5189
7
PLB-7
0.7546
Specimen
Yield
Tensile -2
Strength (Kg.cm )
EB (%)
PLB-0
61
56
164
PLB-3
102
182
660
PLB-5
106
191
650
PLB-7
105
181
600
a
b
c
d
Figure. 3. SEM micrograph of poly-blend ETP/PE with variation composition of LNR from specimen (a). PLB-0, (b). PLB-3, (c). PLB-5 and (d). PLB-7.
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 243 - 247
246
According to Figure 3, it is demonstrated that the specimen PLB- 0 (Figure 3(a)) has very low mechanical property, see Table 2. The microstructure changed with addition of LNR to the matrix PE/TPE polyblend, Figures 3(b), 3(c) and 3(d). It means that the materials formed PE/ETP polyblend–LNR composite materials as called PLB. It is obvious that the specimen of PLB-3 and PLB-7 (Figures 3(b) and 3(d)) have irregular and abundant microstructure, where as for specimen of PLB-5 shows more regular and homogeneous microstructure (Figure 3(c)). This condition represents that addition of 5% weight of LNR has optimum composition of ETP/PE polyblend–LNR composite materials. It can be concluded that mixing between ETP/PE polyblend and 5% weight of LNR as compatibilizer may form homogenous and high grain ordered composite materials having high mechanical properties. CONCLUSION Based on the result of this research, it can be concluded that the process of TPE/PE polyblend with mixture of LNR 0%, 3%, 5% and 7% by weight have succeeded to be conducted. The mixing materials may form TPE/PE polyblend–LNR composite materials. The density of TPE/PE polyblend–LNR composite materials shows higher density and melting point then the TPE/PE poly-blend origin materials, but the decomposition temperature decreased. The mechanical properties of TPE/PE polyblend origin materials increased with increasing filler LNR for all variation composition. The highest mechanical property is reached for 5% weight of LNR filler content. This condition represents the optimum composition of ETP/PE/LNR polyblend showing regular and homogenous microstructure. ACKNOWLEDGEMENT The author would like to thank to the Head of Center for Technology of Nuclear Industry materials. That way also thanks to Mrs. Anik S who assist for blending and mechanical test. This work has been supported by Blok Grant Research 2009. REFERENCES Dahlan, H.M, M.D Khairul Zaman A, and A Ibrahim.2002. Liquid Natural Rubber (LNR) as a Compatibilser in NR/LLDPE Blends—II: The Effects of Electron Beam (EB) Irradiation, Radiation
Physics and Chemistry, Volume 64, Issues 5-6: 429-436. Deswita, Aloma Karo karo, Sudirman, and Indra Gunawan. 2008. Modifikasi Polietilen Sebagai Polimer Biodegradable Untuk Bahan Kemasan, Indonesian Journal of Science Materials, Special Edition, 4347. Deswita, Aloma Karo karo, Sudirman, and Indra Gunawan.2002. Pengaruh Penambahan Filter Jerami Terhadap Sifat Mekanik dan Termal Komposit Berbasis Polipropilene, Prosiding Pertemuan Ilmiah IPTEK Bahan ’02, P3IB-BATAN, Serpong: 225-228. Deswita, Sudirman, Aloma Karo karo, and Indra Gunawan. 2008. Pengaruh Penambahan Liquid Natural Rubber Pada Polyblend Elastomer Termoplastik-Polipropilen, Jurnal Sains Materi Indonesia, Vol.9 No.2, ISSN 1411-1098: 156-160. Deswita, Sudirman, Aloma Karo karo, Sugik Sugiantoro, and Ari Handayani. 2006. Pengembangan Elastomer Thermoplastik Berbasis Karet Alam dengan Polietilen dan Polipropilen untuk Bahan Industri, Indonesian Journal of Materials Science, Vol.8 No.2: 52-57. Envis. Indian Center for Plastic in Environmental, India, 2003. Fink, J.K. 2010. "Handbook of Engineering and Specialty Thermoplastic: Polyolefins and styrenics." Scrivener Publishing: 35. Halimatudahliana, Nasir M, and Ismail H. 2001. Compatibilizing Effect of Ionomer on Mechanical Properties of Polystyrene and Polypropylene Blend, National Symposium on Polymeric Material 2000, USM: 211-215 Ismail, H, and Suryadiansyah. 2002. Thermoplastic Elastomeric Based On Polypropylene/Natural Rubber and Polypropylene/Recycle Rubber Blends, Polymer Testing, Volume 21, Issue 4: 389-395. Mahsuri, Ana Marini, and Sudirman. 2005. Pengaruh Anti Oksidan terhadap Kestabilan Sifat Fisis Bahan Polipaduan Polipropilena-Karet Alam: I. Studi Morfologi dan Sifat Mekanik, Jurnal Fisika and Aplikasinya, Department Physical, FMIPA-ITS, Volume 1, Nomor 2:050203-1-050203-5 Mashuri, Kristiawan Setia H, Darminto, Aloma K.K, and Sudirman. Pengaruh Irganok 245 Terhadap Kristalinitas dan Kestabilan Mekanik Polipaduan Polipropilen-Natural Rubber, Jurnal
Effect of Liquid Natural Rubber Addition …………………... Deswita dkk
247
Sains Materi Indonesia, Vol.9 No.3 Juni 2008, ISSN 1411-1098, hal. 208-213. Olk, Olaf Pena, and Ralf H. 2004. Method For Anchoring an Elastomeric Into a Thermoplastic During Injection Molding, US Patent 20040222254, Osha. Polymer Matrix Materials: Advanced C32omposites. 2010: 29-32. Sudirman, Ari Handayani, Tri Darwinto, Teguh YSP, Anik Sunarni, and Isni Marlijanti. 2000. Struktur mikro dan Sifat Mekanik Komposit Elastomer TermoplastikTimbal Oksida, J. Mikroskopi dan Mikroanalisis, Vol 3 No 1: 17-20. Utama, Marga, Kadarijah, Herwinarni, Made Sumarti, and F.X Marsongko. 1995. Pembuatan Elastomer Termoplastik Karet Alam dengan Metode Polimerisasi Iradiasi, National Symposium – Indonesian Polymer Association, Jakarta.
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 248 - 247
248
POTENSI TITANIA NANOTUBE ARRAY DAN APLIKASINYA DALAM PRODUKSI HIDROGEN DAN PENGOLAHAN LIMBAH (PROSPECT OF TITANIA NANOTUBE ARRAY AND ITS APPLICATION ON HYDROGEN PRODUCTION AND WASTE TREATMENT) Ratnawati dan Slamet Departemen Teknik Kimia, Universitas Indonesia Kampus Depok E-mail:
[email protected] Received 17 September 2012; revised 25 September 2012; accepted 23 Oktober 2012
ABSTRAK Titania (TiO2) merupakan salah satu material fotokatalis yang banyak diteliti dewasa ini kerena mempunyai banyak keunggulan dan aplikasi. Secara umum TiO2 masih memiliki kelemahan karena luas permukaannya yang + rendah, tingginya laju rekombinasi elektron dan hole (e dan h ), serta besarnya nilai energi band gap. SintesisTiO2 dengan morfologi nanotube array (TNTAs) secara anodisasi menarik banyak para peneliti karena meningkatkan luas permukaan TiO2, dan mengefektifkan penyerapan foton dan transport elektron pada proses + fotokatalisis. Untuk mengurangi laju rekombinasi e dan h serta memperkecil nilai energi band gap, modifikasi TiO2 nanotube dengan dopan logam maupun non logam tertentu juga sering dilakukan agar fotokatalis tersebut memberikan kinerja yang lebih baik. Tinjauan ini difokuskan pada kemajuan terkini dari TiO2 nanotube, terutama dalam hal sintesis TNTAs secara anodisasi, modifikasi TNTAs, serta potensi aplikasinya dalam produksi hidrogen dan pengolahan limbah. Kata kunci: TiO2, Nanotube array, Fotokatalis, Pengolahan limbah
ABSTRACT Recently, Titania (TiO2) is one of the most investigated photocatalyst material, with many advantages and applications. However, in general TiO2 still has drawbacks since its low surface area, high rate of recombination + electron-hole (e and h ) and high the band gap energy value. SynthesisTiO2 nanotube arrays (TNTAs) by anodizing process attractsmany researchers because it increases the surface area of TiO2, and provides a good + photon absorption and electron transport in photocatalysis. To reduce the rate of recombination e and h as well as the band gap energy, modify TiO2 nanotubes with certain metallic and non-metallic dopants also can be done as it gives a good performance. This review focuses on the recent advances in TiO 2 nanotube, especially in the synthesis of TNTAs by anodizing process, modify TNTAs with variety of dopans, as well as its potential applications on hydrogen production and waste treatment. Key words: TiO2, Nanotube array, Fotocatalyst, Waste treatment
PENDAHULUAN Dewasa ini material berstruktur nano seperti nanotube banyak diminati oleh para peneliti karena mempunyai sifat yang unik dibandingkan dengan nanopartikel sehingga banyak publikasi yang mereview dan melaporkan hasil penelitian mereka tentang sintesis, modifikasi serta aplikasinya. Salah satu sifat yang penting dan unik dari nanotube adalah pada transfer elektron dan hole dalam semikonduktor serta transport foton yang dipengaruhi oleh ukuran, struktur geometri dan morfologi dari material tersebut. Ketika ukuran
partikel menjadi kecil (skala nano) tidak hanya luas permukaan spesifik naik secara signifikan, akan tetapi sifat elektronik seperti transfer elektron, modifikasi permukaan juga berubah sehingga akan lebih efektif dalam aplikasinya. Adapun skenario dalam mensintesis TiO2 nanotube adalah: metode template, proses solgel, proses hidrotermal dan proses anodisasi (Ou dan Lo 2007). Dari skenario tersebut, semikonduktor TiO2 nanotube array (TNTAs) banyak diminati karena lebih dari 1000 paper dipublikasi dalam tiga tahun terakhir (Roy et al.
Potensi Titania Nanotube Array …………………... Ratnawati dan Slamet
249
2011). Hal ini dikarenakan TNTAs mempunyai luas permukaan spesifik yang tinggi, efek penyerapan foton serta transport elektron yang lebih baik, biaya pembuatannya murah serta mempunyai banyak aplikasi (Prakasam et al. 2007). Aplikasi tersebut antara lain sebagai fotokatalis pada: produksi energi alternatif hidrogen (H2), degradasi limbah (organik, logam berat, pestisida) baik yang ada di air maupun udara, solar sel, aplikasi swa bersih dan anti kabut serta aplikasi fotokatalisis lainnya (Muhamed et al. 2011). Fotokatalisis merupakan suatu proses kombinasi antara proses fotokimia dan katalis, yaitu suatu proses sintesis secara kimiawi dengan melibatkan cahaya sebagai pemicu dan katalis sebagai pemercepat proses transformasi tersebut. Semikonduktor bisa berfungsi sebagai fotokatalis karena terdapatnya daerah energi kosong yang disebut celah pita energi (energy band gap, Eg), yang terletak antara batas pita konduksi dan pita valensi yang jika diiluminasi dengan foton dengan energi setara atau lebih besar dari Eg menyebabkan elektron dalam pita valensi akan tereksitasi ke pita konduksi (eCB ) + + dan menimbulkan lubang positif (hole tau h ) + pada pita valensi (hνB ).Tiga kemungkinan yang + akan terjadi pada pasangan eCB + hνB ini yaitu: sebagian pasangan berekombinasi di dalam partikel (volume recombination), sebagian pasangan berekombinasi di permukaan (surface recombination) atau pada bulk dan sebagian kecil pasangan elektron-hole dapat bereaksi masing masing dengan species donor (D) dan aseptor (A) yang teradsorb di permukaan partikel. Elektron pada pita konduksi yang mencapai permukaan partikel akan mereduksi substrat (A) yang teradsorb atau pelarut pada permukaan partikel, sedangkan hole pada pita valensi akan mengoksidasi substrat (D) yang teradsorb baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pembentukan radikal hidroksil (Gambar 1a). Dibandingkan dengan semikonduktor lain, TiO2 banyak diteliti karena lebih dari 40.000 publikasi dalam 10 tahun terakhir ini (Roy et al. 2011). Hal ini dikarenakan TiO2 mempunyai banyak kelebihannya antara lain: mempunyai aktivitas fotokatalisis yang tinggi, stabil, tidak beracun, tahan terhadap korosi, melimpah jumlahnya, relatif murah dan mempunyai banyak aplikasi (Yan et al. 2011). TiO2 memiliki tiga fasa kristal yaitu anatase, rutile dan brookite. Anatase dan rutile yang memiliki struktur tetragonal telah secara luas dipelajari untuk berbagai aplikasi fotokatalisis. Untuk meningkatkan kinerja sebagai fotokatalis telah banyak dilakukan rekayasa TiO2 yang salah satunya adalah
mengubah ukuran katalis menjadi berukuran nano yang dalam aplikasinya TiO2 bisa dipakai dalam bentuk serbuk maupun film. Dalam dua bentuk tersebut, TiO2 bisa bermorfologi nanopartikel maupun nanotube (array dan non array). Metoda anodisasi untuk memproduksi TiO2 nanotube array menarik untuk diteliti karena mempunyai kelebihan antara lain: nanotube tersusun sendiri (self-organized), berorentasi tegak, rapi, seragam dengan ukuran/morfologi yang bisa didisain dengan mengontrol voltase, pH, waktu, jenis dan konsentrasi larutan elektrolit pada proses anodisasi (Muhamed et al. 2011). Peningkatan kinerja katalis TiO2 dapat pula dilakukan dengan memodifikasi nanotube dengan dopan non logam Y seperti N, B, C, F, S, I maupun logam X seperti Pt, Ni, Cu, Zn, Zr, Fe sehingga terbentuk nano-komposit X-Y-TiO2. Tujuan dari modifikasi dengan dopan non logam adalah agar TiO2 mempunyai daya serap yang tinggi terhadap sinar tampak sehingga lebih responsif terhadap sinar matahari sebagai sumber foton. Hal ini dikarenakan TiO2 mempunyai energy band gap Eg = 3,2 eV untuk kristal anatase dan Eg = 3 eV untuk rutile sehingga hanya responsif terhadap sinar yang mempunyai λ < 400 nm. Nilai Eg untuk beberapa oksida logam bisa dilihat pada Gambar 1b.
Gambar 1 a. Mekanisme fotokatalisis
Gambar 1b. Struktur band elektronik untuk beberapa logam/logam oksida
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 248 - 261
250
Fungsi dopan logam selain sebagai electron trapper yang bisa menekan laju - + rekombinasi e /h juga berfungsi sebagai pusat aktif sehingga akan bersinergi dalam aplikasinya. Aplikasi TiO2 sebagai fotokatalis antara lain dalam hal produksi H2 dari air dan senyawa turunan biomasa dimana bahan ini digunakan tidak hanya berfungsi sebagai bahan baku tetapi juga berfungsi sebagai donor elektron yang bisa meningkatkan efisiensi reaksinya (Luo et al. 2008). Aplikasi lain adalah untuk mendekomposisi /mendegradasi material/polutan organik. Review ini difokuskan pada kemajuan terkini dalam hal sintesis TNTAs secara anodisasi agar didapatkan luas permukaan spesifik yang tinggi, memodifikasi-nya agar rekombinasi elektronhole bisa dikurangi dan berespon positif terhadap sinar tampak serta potensi aplikasinya dalam produksi hidrogen dan pengolahan limbah. MORFOLOGI NANOTUBE
TiO2
NANOPARTIKEL
DAN
Morfologi nanomaterial mulai berkembang sejalan dengan perkembangan nanoteknologi. Dalam aplikasinya, TiO2 bisa dipakai dalam bentuk serbuk maupun film dan dalam dua bentuk tersebut, TiO2 bisa bermorfologi nanopartikel maupun nanotube (array dan non array). Dari morfologi tersebut, titania nanotube array (TNTAs) mempunyai banyak keunggulan dibanding dengan morfologi lain sehigga mendapatkan banyak perhatian dari para peneliti. Morfologi TiO2 Nanopartikel Nanopartikel merupakan partikel yang -9 mempunyai ukuran < 100 nm (1 nm = 10 m). Sifat material dengan ukuran nano sangat berbeda secara signifikan dari atomnya juga dari partikel besarnya. Kelebihan partikel yang berdemensi nano adalah mempunyai luas permukaan interaksi yang tinggi dan makin
a
banyak partikel yang berinteraksi, ikatannya menjadi makin kuat sehingga menyebabkan sifat mekaniknya bertambah (Muhamed et al. 2011). Kelebihan yang lain adalah mempunyai luas permukaan spesifik yang tinggi sehingga banyak diaplikasikan sebagai fotokatalis heterogen, lebih fleksibel dalam aplikasinya serta mudah dalam preparasinya. Namun morfologi nanopartikel yang random menyebabkan efisiensi penyerapan foton dan kecepatan transport elektron hasil induksi foton kurang optimal dan apabila digunakan dalam bentuk serbuk, akan ada kesulitan dalam pemisahan katalis dari suspensi serta cenderung menggumpal terutama pada konsentrasi tinggi. Contoh morfologi ini adalah TiO2 Degussa P25 yang bisa dilihat pada Gambar 2a. Morfologi TiO2 Nanotube Titania nanotube adalah TiO2 dengan morfologi yang terdiri dari tube tube yang mempunyai diameter (D), tebal (t) dan panjang (L) dengan ukuran nano tertentu dimana ukuran ini bisa dikontrol dengan mengatur variabel proses. Morfologi ini dapat disintesis dalam dua bentuk, yaitu dalam bentuk non array dan bentuk array yang berupa matriks nanotube yang tersusun sendiri (self-organized). Bentuk non array dapat diproduksi antara lain dengan metode hidrotermal, sedang dalam bentuk array dapat diproduksi dengan metode template dan anodisasi. Beberapa peneliti sebelumnya telah mensintesis TiO2 nanotubes dengan metode hidrotermal karena mempunyai keunggulan prosedur pengerjaan yang sederhana, bersifat fleksibel, mudah mendapatkan morfologi nanotube, mudah dimodifikasi, fisibel untuk aplikasi yang luas serta cocok untuk produksi dengan kapasitas besar (Ou dan Lo 2007). Akan tetapi metode ini mempunyai kelemahan dalam hal waktu sintesis yang relatif lama dan perlu kondisi operasi pada tekanan dan suhu tinggi serta susah untuk mendapatkan ukuran yang seragam (Li et al. 2009).
b
c
Gambar 2. Bentuk morfologi TiO2 nanopartikel
(a) TiO2 nanotube non array; (b) TNTAs tampak dari atas; (c) TNTAs tampak dari samping (insert c).
Potensi Titania Nanotube Array …………………... Ratnawati dan Slamet
251
Proses template mempunyai kelebihan bahwa skala nanotube yang dihasilkan dapat dikontrol dengan template yang digunakan, tetapi proses ini sulit dilakukan. Proses anodisasi mempunyai kelebihan antara lain nanotube nya tersusun rapi dengan aspect ratio (L/D) yang tinggi dan fisibel untuk aplikasi yang luas. Sayangnya proses ini juga mempunyai kelemahan antara lain mempunyai keterbatasan dalam produksi masal (Ou dan Lo 2007). Morfologi TiO2 nanotube ini bisa dilihat pada Gambar 2b dan 2c. Komparasi Morfologi TiO2 Nanopartikel dan Nanotube (Array Dan Non Array) Gambar 2a menunjukkan morfologi TiO2 nanopartikel Degussa P25, sedang morfologi TiO2 nanotube non array dengan proses hidrotermal bisa dilihat pada gambar 2b dan TNTAs dengan proses anodisasi bisa dilihat pada Gambar 2c. Dari Gambar 2 terlihat bahwa untuk aplikasi fotokatalisis morfologi nanotube array mempunyaikelebihan dibanding dengan morfologi yang lain karena : Morfologi nanotube array yang seragam, rapi dan tegak lurus dengan lubang tubenya terbuka pada bagian atas yang tumbuh di logam Ti akan membantu dalam transport elektron sehingga akan meningkatkan aktifitas fotokatalisis karena rekombinasi elektron – hole bisa dicegah (Roy et al. 2011). Morfologi nanotube array mudah dalam penyerapan energi foton (Prakasam et al. 2007). Morfologi nanotube array dapat dengan mudah diisi dengan bahan organik /anorganik berukuran nano untuk membentuk nanokomposit untuk beberapa aplikasi (Muhamed dan Rohani 2011). Transport elektron dan penyerapan foton pada morfologi bentuk film berisi TiO2 nanopartikel dibandingkan dengan morfologi bentuk film yang berisi TiO2 nanotube non array dan morfologi TNTAs dapat dilihat pada Gambar 3.
(a)
Dari Gambar 3 terlihat bahwa morfologi TNTAs akan memberikan kemudahan dalam hal transport elektron dan penyerapan foton yang optimal sehingga akan meningkatkan kinerja dalam proses fotokatalisis. Pada Gambar 3 (a) bagian dalam partikel tidak terkena foton dan difusi elektronnya rendah, sedangkan Gambar 3 (b) walaupun bagian dalam terkena foton akan tetapi kurang optimal dibanding dengan Gambar 3 (c) karena posisi tubenya yang tidak teratur. Dari fenomena tersebut, pada review ini hanya akan dibahas tentang sintesis, modifikasi dan potensi aplikasi TNTAs dalam produksi hidrogen dan pengolahan limbah. SINTESIS TiO2 NANOTUBE ARRAY Anodisasi pada lembaran titanium/Ti dilakukan menggunakan dua elektroda yang tercelup dalam larutan elektrolit dalam sel elektrokimia. Sebagai katoda digunakan logam inert platina, Pt dan sebagai anoda digunakan logam Ti (Gambar 4).
Gambar 4. Skema alat proses anodisasi untuk sintesis TNTAs yang dilengkapi dengan a) anoda Ti, b) katoda Pt, c) larutan elektrolit, d) magnetik stirrer dan e) power supply
(b)
(c)
Gambar 3. Transport elektron dan penyerapan foton pada morfologi bentuk film TiO2 nanopartikel (a) dibandingkan dengan morfologi TiO2 nanotube non array (b) dan morfologi TNTAs (c)
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 248 - 261
252
Logam Ti akan teranodisasi menghasilkan lapisan TiO2 ketika potensial listrik dihidupkan dan pada logam Pt akan dihasilkan gelembung gas H2. Larutan elektrolit yang digunakan adalah yang larutan berbasis asam dan zat organik yang mengandung ion florida atau klorida. Variabel seperti waktu, jenis dan konsentrasi larutan elektrolit (kandungan air), pH, konsentrasi ion flor dan potensial anodisasi merupakan parameter kunci terbentuknya TNTAs. Setelah proses anodisasi selesai, TiO2 O yang amorph akan dikalsinasi pada suhu 450 C O selama 3 jam atau pada suhu 500 C selama 2 jam untuk mendapatkan struktur kristal anatase yang stabil. Secara umum material berstruktur amorph dapat diubah menjadi berstruktur kristal o bila dikalsinasi pada 300-500 C untuk anatase o dan diatas 550 C untuk rutile. Kalsinasi dengan gas yang berbeda seperti udara, N2, O2 atau campuran N2/H2 akan memberikan rasio anatase/rutile yang berbeda dari TiO2 (Roy et al. 2011).
Skema diagram (Gambar 5) dan mekanisme pembentukan TiO2 nanotube array (TNTAs) dalam larutan elektrolit yang mengandung ion F dapat diterangkan sebagai berikut (Bai et al. 2008). 1. Mula mula permukaan logam tertutupi lapisan oksida dari Ti (pembentukan lapisan oksida TiO2) (Gambar 5a). 2. Lapisan oksida tersebut kemudian mengalami pelarutan karena adanya HF dalam larutan elektrolit sehingga lapisan oksida hilang dan dignti oleh lapisan yang terdiri dari pori-pori kecil (Gambar 5b) dimana pori-pori kecil yang letaknya berdekatan akan terintegrasi menjadi pori-pori besar (Gambar 5c).
Mekanisme reaksi anodisasi dan pembentukan nanotube array Reaksi terbentuknya TiO2 dengan proses anodisasi dapat dituliskan sebagai berikut (Bai et al.2008): Pada Anoda terjadi reaksi oksidasi Ti (reaksi pembentukan lapisan film TiO2) yaitu: 4+ Ti Ti + 4e atau (1) + 2H2O 2[O] +4e + 4H (2) Ti + 2[O]TiO2 Atau overall reaksi menjadi + Ti + 2H2O TiO2 + 4H +4e
(3) (4)
Logam Ti mempunyai kereaktifan yang tinggi terhadap O2 sehingga dihasilkan lapisan oksida yang stabil. Pada katoda Pt, terjadi reaksi reduksi sehingga dihasilkan gas H2 dengan reaksi: + 4H + 4e 2H2 (5) Pada awal proses anodisasi, pelarutan lapisan film TiO2 dalam larutan elektrolit yang mengandung ion F (disolusi kimia) mendominasi sehingga mengakibatkan terbentuknya lubang kecil dan bertindak sebagai nuclei dalam pembentukan pori. Pembentukan lubang kecil ini berdasarkan reaksi: + 2TiO2 + 6 F- + 4H (TiF6 ) + 2H2O (6) Munculnya pori dan ruang kosong (void) di permukaan lapisan/film TiO2 merupakan langkah awal terbentuknya nanotube (Bai et al. 2008) dan tingkat keasaman yang tinggi pada dasar tube membantu untuk menggores pori menjadi struktur tube.
Gambar 5. Skema diagram evolusi pembentukan TiO2 nanotube array (diprint ulang dengan ijin dari ref. Bai et al. 2008).
Potensi Titania Nanotube Array …………………... Ratnawati dan Slamet
253
3. Dengan adanya pelarutan, terbentuknya poripori besar merupakan langkah awal pembentukan tube. Karena pori-pori tersebut sempit dan tingkat keasaman yang rendah pada dasar pori oleh ion H+ maka hal ini akan membantu terjadi penggoresan pori membentuk struktur tube (Gambar 5d). 4. Dengan bertambahnya waktu, pembentukan nanotube array yang sempurna akan terbentuk diikuti bertambahnya panjang tube (Gambar 5e). Sintesis dari TNTAs dengan proses anodisasi pertama kali dilaporkan oleh Gong et al. (2001). Penelitian selanjutnya difokuskan bagaimana mengontrol variabel-variabel proses anodisasi yang berpengaruh agar diperoleh morfologi nanotube dengan perbandingan panjang, (L) dan diameter, (D) yang besar. Karakteristik TiO2 Nanotube Array Karakteristik TNTAs yang dihasilkan dari proses anodisasi meliputi panjang, diameter, tebal serta halus dan tidaknya dinding tube yang dihasilkan. Karakteristik tersebut bisa dikontrol dengan parameter proses seperti besarnya potensial anodisasi, pH, waktu, jenis dan komposisi larutan elektrolit, metoda pengadukan dan suhu. Berdasarkan panjang TNTAs dan elektrolit yang digunakan pada proses anodisasi, perkembangan metode anodisasi dapat dibagi dalam 3 kelompok (Sang et al. 2011): 1. Generasi pertama, TNTAs diproduksi dengan larutan elektrolit yang mengandung HF dan hasilnya adalah disolusi kimia TiO2 terjadi dalam larutan elektrolit dengan kecepatan tinggi sehingga panjang nanotube yang dihasilkan hanya sampai 500 nm. 2. Generasi kedua adalah nanotube dengan panjang sampai dengan beberapa mikrometer dengan perbandingan L/D mendekati 50 yang dibentuk dengan cara mengatur perbedaan pH dalam tube. 3. Generasi ketiga adalah nanotube yang diproduksi dalam sistem larutan organik untuk mendapatkan nanotube yang lebih panjang. Sistim larutan organik yang digunakan adalah larutan elektrolit berbasis gliserol, Dimetil sulfoksida (DMSO), formamide (FA) dan N-metil formamide (NMF) dan etilen glikol. Parameter Yang Berpengaruh Pada Proses Anodisasi Untuk mendapatkan TNTAs yang bisa meningkatkan efisiensi dalam proses fotokatalisis dan pengaruh beberapa parameter proses akan dipaparkan sebagai berikut.
1. Pengaruh potensial anodisasi Potensial anodisasi mempengaruhi panjang dan diameter nanotube yang dihasilkan. Gong et al. (2001) melaporkan dibawah 10 V belum ada nanotube yang terbentuk dan baru terbentuk lapisan porous. Efek potensial pada anodisasi dengan larutan H3PO4/NaF dilaporkan bahwa pada rentang 5 – 20 Volt, dihasilkan nanotube dengan diameter yang semakin besar secara linier (Mohapatra et al. 2007). Pada anodisasi dengan larutan elektrolit gliserol/NH4F, semakin besar potensial anodisasi (pada rentang 30-60 V) dihasilkan diameter yang semakin besar (90-150 nm) karena potensial anodisasi yang besar menaikkan oksidasi dari Ti dan juga desolusi kimia sehingga akan menaikkan ukuran nanotube sebelum kesetimbangan tercapai (Hassan et al. 2009). Besarnya potensial anodisasi dalam pembuatan TiO2 nanotube array tergantung dari karakteristik larutan elektrolit .Untuk larutan elektrolit encer pembentukan nanotube berkisar pada harga potensial 10 – 30 V dan optimal pada 20-30 V. Untuk larutan elektrolit berbasis organik rentangnya lebih lebar yaitu: untuk gliserol (30 60 V), DMSO (10 - 70 V) dan etilen glikol (20 65 V). 2. Pengaruh pH Pada pH dibawah 1 (rendah), tingginya laju disolusi dan laju pertumbuhan nanotubes dalam elektrolit asam menghasilkan nanotubes yang pendek antara 500-600 nm (Roy et al. 2011) meskipun waktu anodisasinya lama (Gong et al. 2001). Pada pH netral akan dihasilkan nanotube dengan panjang 2-4 μm karena disolusi kimia berkurang, sedangkan pada pH yang tinggi akan dihasilkan nanotube yang panjang karena disolusi kimia yang rendah. Akan tetapi pada pH yang tinggi diperlukan waktu lama untuk pembentukan nanotube karena kecepatan pertumbuhan nanotubenya rendah. 3. Pengaruh waktu anodisasi Bai et al. (2008) melaporkan bahwa anodisasi dengan larutan elektrolit berisi 0,5 % berat HF diperlukan waktu 30 menit dilakukan untuk mendapatkan bentuk nanotube yang sempurna. Panjang tube merupakan fungsi dari waktu anodisasi dalam larutan elektrolit gliserol + 0,5 % berat NH4F dan 1M (NH4)2SO4 + 0,5 % o NH4F pada 20 V, 20 C (Macak et al. 2006) dan hasilnya adalah untuk larutan elektrolit gliserol semakin lama waktu anodisasi (sampai 18 jam), semakin panjang tube yang dihasilkan secara linier (mencapai 6,1 μm). Dibandingkan dengan larutan elektrolit encer (NH4)2SO4, pada satu jam pertama diperoleh panjang tube 2,5 μm akan
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 248 - 261
254
tetapi setelah itu panjang tube konstan sampai waktu 18 jam. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa untuk larutan elektrolit encer, panjang tube dipengaruhi oleh waktu sampai pada kondisi tertentu kemudian panjang yang dihasilkan tidak bertambah. Untuk larutan elektrolit gliserol, panjang nanotube berkorelasi linier sampai dengan 18 jam dan tube yang dihasilkan lebih panjang dari larutan elektrolit encer. 4. Pengaruh jenis dan konsentrasi larutan elektrolit (kandungan air) Jenis larutan elektrolit seperti H3PO4/NH4F dan H3PO4/NaF tidak mempengaruhi panjang dan diameter tube (Mohapatra et al. 2007). Untuk larutan elektrolit encer, pembentukan nanotube sensitif terhadap potensial anodisasi, sedangkan pada larutan elektrolit berbasis organik (gliserol, etilen glikol) kekentalan akan mempengaruhi dimensi nanotube dan besarnya potensial anodisasi hanya berpengaruh kecil (Wang et al. 2008). Larutan elektrolit kental akan menghasilkan nanotube yang lebih panjang dan smooth (Macak et al. 2005). Untuk larutan elektrolit yang kental (kadar airnya kecil), mobilitas ion flor dihambat sehingga disolusi kimia dan etching ke TiO2 menjadi berkurang dan hal ini akan menghasilkan nanotube yang panjang dan diameter yang kecil. Kandungan air mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan kecepatan etching (kecepatan disolusi kimia). Berdasarkan reaksi disolusi 2kimia, [TiF6] yang terbentuk sangat larut dalam air sehingga apabila kandungan air rendah maka disolusi kimia menjadi kecil. Dengan kata lain, kandungan air mempunyai 2 efek yaitu dibutuhkan pada pembentukan oksida pada dasar tube dan dapat mempercepat disolusi dari lapisan nanotube. Efek yang lain adalah kandungan air yang rendah (larutan kental) akan menghasilkan dinding tube yang smooth/halus, sedangkan kandungan air yang tinggi menyebabkan dinding tube menjadi ripple/tidak rata. Hal ini disebabkan pada kandungan air yang tinggi, kecepatan disolusi kimia pada dinding tube lebih besar dari kecepatan terbentuknya tube pada substrat Ti sehingga dinding tube yang tidak rata merupakan disolusi yang terus menerus (Roy et al. 2011). -
5. Pengaruh konsentrasi ion Flor (F ) Panjang nanotube berbanding lurus dengan konsentrasi ion flor dalam larutan elektrolit. Jika konsentrasi ion flor rendah (< 0,05 %berat) hanya lapisan oksida yang terbentuk, dan apabila konsentrasi ion flor tinggi (> 1 %berat) tidak ada lapisan oksida terbentuk
4+
karena semua Ti yang terbentuk secara cepat akan bereaksi dengan ion flor yang berlebih 2membentuk [TiF6] yang larut. Pada konsentrasi ion flor yang cukup (0,1-1% berat), kompetisi pembentukan lapisan oksida dan disolusi kimia terjadi sehingga pembentukan nanotube bisa diamati (Roy et al. 2011). 6. Pengaruh jenis pengadukan Anodisasi Ti dengan larutan elektrolit kental seperti etilen glikol dan gliserol dilaporkan menghasilkan nanotube lebih panjang dibanding dengan larutan encer, akan tetapi membutuhkan waktu yang lama (Macak et al. 2006). Untuk itu perlu usaha untuk memperpendek waktu dengan memberi pengadukan pada proses andisasi dengan menggunakan magnetik stirrer atau dengan pengadukan ultrasonik (Mohapatra et al. 2007). Proses pengadukan dengan bantuan ultrasonik akan meningkatkan aliran masa melalui permukaan nanotube (meningkatkan mobilitas dari ion dalam larutan elektrolit) sehingga akan meningkatkan kecepatan pembentukan nanotube. Kualitas nanotube yang lebih bagus juga dihasilkan melalui pengadukan ultrasonik karena transfer masa dalam proses tersebut seragam. Mohapatra et al. (2007) melaporkan anodisasi dengan larutan elektrolit H3PO4/NaF dengan bantuan ultrasonik dapat mengurangi waktu lebih dari 50% dibanding pengadukan dengan magnetik stirer dengan hasil nanotube yang lebih panjang, kompak ( berdekatan satu dengan yang lain) dan teratur. 7. Pengaruh suhu Anodisasi dengan larutan elektrolit encer 0 pada suhu rentang 0-25 C tidak begitu berpengaruh terhadap morfologi nanotube, tetapi pada suhu yang lebih tinggi pembentukan nanotube akan semakin cepat. Sedangkan pada larutan elektrolit kental, pada suhu rendah akan dihasilkan diameter nanotube yang kecil karena pada suhu rendah pergerakan ion F tertekan sehingga pembentukan TiO2 menjadi rendah dan menghasilkan diameter yang rendah juga (Wang et al. 2009). MODIFIKASI TiO2 NANOTUBE ARRAY Untuk semikonduktor TiO2, maksimum tepi pita valensinya (HOMO) berasal dari orbital 2p oksigen (O2) dan minimum tepi pita konduksinya (LUMO) berasal dari orbital 3d titanium (Ti), dengan nilai energi band gap TiO2 sebesar 3,2 eV untuk kristal anatase dan 3 eV untuk rutile. Dengan nilai band gap tersebut maka TiO2 hanya berespon terhadap sinar UV (mempunyai panjang gelombng < 400 nm) yang
Potensi Titania Nanotube Array …………………... Ratnawati dan Slamet
255
dalam spektrum sinar matahari hanya terdapat 5%. Agar dalam aplikasinya mempunyai dampak yang positif terutama dalam fotokatalisis maka perlu usaha agar TiO2 berespon baik terhadap sinar tampak (45% dari sinar matahari) yang mempunyai panjang gelombang berkisar antara 400-800nm. Salah satu usaha tersebut adalah dengan memodifikasi struktur elektronik fotokatalis TiO2 yang bisa menurunkan nilai energi band gapnya yaitu dengan memberikan dopan non logam. Sedangkan pemberian dopan logam bertujuan agar rekombinasi elektron-hole bisa dikurangi. Hasil menunjukkan bahwa pemberian dopan baik logam maupun non logam menaikkan efisiensi TiO2 dan pemberian dopan lebih dari satu memberikan aktifitas fotokatalis yang lebih bagus. Penambahan Dopan Logam Penambahan dopan logam pada semikonduktor TiO2 selain berfungsi sebagai electron trapping sehingga rekombinasi elektronhole bisa dicegah juga berfungsi untuk menurunkan band gap (Yoong et al. 2009). Tetapi apabila konsentrasi dopan lebih besar dari kebutuhan optimum maka terjadi rekombinasi elektron-hole pada permukaan TiO2 (cenderung menjadi pusat rekombinasi) karena beberapa dopan logam tidak bisa masuk dalam kisi-kisi TiO2 (Liu et al. 2009). Menurut Hussain et al. (2011), penambahan dopan logam bisa menaikkan luas permukaan sehingga aktifitas fotokatalitik menjadi bagus. Tetapi jika kebanyakan, justru akan terjadi aglomerasi yang mengurangi luas permukaan. Akibat lain adalah shielding effect dari TiO2 sehingga penyinaran foton menjadi kurang bagus. Untuk menjadi electron trapper, logam harus mempunyai beberapa kriteria yaitu: 1. Mempunyai electron work function lebih besar dari TiO2 (4,6 eV). Elektron work function merupakan energi minimum yang dibutuhkan untuk mengambil elektron dari permukaan padatan atau energi yang diperlukan untuk memindahkan elektron dari kondisi vakum ke tingkat energi Fermi. Semakin besar perbedaan electron work function dari logam dengan TiO2, semakin meningkatkan efisiensi elektron trap dan transfer. 2. Mempunyai tingkat energi Fermi yang lebih kecil dari TiO2 sehingga elektron akan berpindah dari pita konduksi ke logam yang terdeposit pada permukaan TiO2 sementara hole tetap pada pita valensi. 3. Mempunyai potensial reduksi lebih positif dari pita konduksi TiO2 yaitu terletak dibawah potensial reduksi pita konduksi TiO2
Logam yang akan menjadi dopan lebih baik berada pada golongan yang sama dengan Ti dengan jari-jari yang tidak terlalu jauh berbeda sehingga memungkinkan dopan masuk kedalam matrik Ti. Sebagai contoh Zr mempunyai jari jari atom 2,16 A, sedangkan Ti jari-jarinya 2 A dan mereka sama sama berada pada golongan 4 dari (Liu et al. 2009). Menurut Yi et al. (2010) dan Liu et al. (2009) morfologi nanotube tidak berpengaruh setelah pemberian dopan dan struktur kristal TiO2 dipengaruhi oleh temperatur kalsinasi. Konsentrasi dopan mempunyai harga optimal agar dopan tidak menjadi pusat rekombinasi. Pemberian dopan Zr pada TNTAs sangat stabil yang artinya Zr tidak terleaching pada saat diaplikasikan. Penambahan Dopan Non Logam Asahi et al. (2001) menemukan bahwa ketika orbital p dari dopan N bercampur dengan orbital 2p dari O dari TiO2 nanopartikel (TNP), tepi pita valensi bergeser ke atas sehingga mempersempit band gap TiO2. Disamping itu, subsitusi dopan N terhadap O paling efektif di antara dopan non logam lainnya karena orbital p menempati tepi atas pita valensi maksimum TiO2 sehingga band gap N-TiO2 menjadi sempit tanpa meningkatkan rekombinasi. Penambahan Dopan Logam dan Non Logam Penambahan dopan non logam Y maupun logam X sehingga terbentuk nano-komposit X-YTiO2 bertujuan untuk meningkatkan daya serap terhadap sinar tampak serta menekan laju - + rekombinasi e /h . Produksi H2 dari biomassa secara fotokatalisis menggunakan komposit Pt/(B,N)-TiO2 nanotube secara hidrotermal (TNT) dilakukan oleh Luo et al. (2009). Prekursor yang digunakan adalah urea sebagai sumber dopan N dan asam borat sebagai sumber dopan B. Pemberian dopan B dilaporkan mengurangi pertumbuhan ukuran partikel dan pemberian dopan B dan N bisa menurunkan band gap. Modifikasi komposit Pt/(B,N)-TiO2 menghasilkan H2 paling banyak secara signifikan dibandingkan dengan Pt/TiO2, Pt/B-TiO2, Pt/N-TiO2. Degradasi rodamin B menggunakan TNTAs dengan dopan N dan Zr meningkatkan aktifitas fotokatalisnya (Liu et al. 2010). Produksi H2 dari gliserol dan air secara fotokatalisis menggunakan komposit Pt/N-TiO2 nanotube secara hidrotermal juga dilakukan oleh Anny et al. (2010) dengan prekursor TiO2 degussa P25. Pemberian dopan dilakukan dengan metoda impregnasi untuk dopan N dan cara fotodeposisi untuk dopan Pt.
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 248 - 261
256
Pemberian dopan N menurunkan energi band gap sampai 2,69 eV, sedang pemberian dopan Pt dan N hanya menurunkan sampai 2,91 eV. Hal ini disebabkan banyak dopan N yang diberikan hilang (leaching) pada saat pemberian dopan Pt. Untuk penyempurnaan hasil, penelitian serupa dilakukan dengan pemberian dahulu dopan Pt secara fotodeposisi dilanjutkan dengan pemberian dopan N dengan metoda impregnasi dalam larutan NH4OH (Valentina et al. 2011). Efek penambahn dopan Pt pada NTiO2 nanotube terhadap produksi H2 adalah 4,5 x dibanding N-TiO2 nanotube, 5,6 x dibanding TiO2 nanotube dan 13,5 x dibanding TiO2 degussa P25. Pemberian dopan logam, non logam dan gabungan dopan logam dan non logam pada TiO2 nanopartikel (TNP), TNT maupun TNTAs beserta aplikasinya bisa dilihat pada Tabel 1 dan hasil menunjukkan bahwa kinerja fotokatalis menjadi lebih baik setelah diberi dopan. POTENSI APLIKASI TiO2 NANOTUBE ARRAY Dalam aplikasinya TNTAs dapat digunakan sebagai fotokatalis dalam produksi hidrogen dan degradasi limbah. TNTAs ini
sangat berpotensi untuk aplikasi tersebut mengingat banyaknya kelebihan yang dipunyai oleh semikonduktor ini. Produksi Hidrogen Salah satu aplikasi semikonduktor TiO2 adalah sebagai fotokatalis pada produksi hidrogen (H2) yang merupakan salah satu jenis energi alternatif yang ramah lingkungan (Daskalaski et al. 2008) dan saat ini banyak dibutuhkan di banyak industri terutama fuel cell. Proses yang potensial dan efektif untuk diaplikasikan dalam produksi H2 dari turunan biomasa (etanol, methanol, gliserol, metana) dan air adalah fotokatalisis yang memanfaatkan energi foton dengan katalis TiO2 . TiO2 memenuhi syarat untuk menjadi fotokatalis pada produksi H2 dari air (water splitting) dan gliserol. Ketika TiO2 menyerap foton dengan energi lebih besar dari energi band gapnya, akan dihasilkan elektron di pita konduksi dan hole di pita valensi yang akan digunakan dalam reaksi redoks dimana molekul air akan dioksidasi oleh hole membentuk O2 dan ion hidrogen (Persamaan 10) dan elektron akan mereduksi ion hidrogen membentuk gas H2 (Persamaan 11).
Tabel 1. Beberapa jenis dopan yang dimodifikasikan dalam TiO2 dan aplikasinya sebagai fotokatalis Jenis dopan
Contoh dopan
Aplikasi
Referensi
Logam
Pt pada TNT Cu pada Degussa P-25, TNP
Water splitting H2 dari air, Reduksi CO2
Zr pada TNTAs Zn pad TNTAs Ag pada TNTAs Fepada TNTAs Cr pada TNT
Degradasi Rhodamine B Degradasi MB Degradasi MB Degradasi fenol, fotoreduksi CO2 Degradasi MO, asetaldehid
Khan et al. 2008 Young et al. 2009, Slamet et al. 2005 Liu et al. 2009 Yi et al. 2010 Sun et al. 2009 Sun et al. 2008 Hussain et al. 2009
Non logam
N pada TNP, TNTAs, C pada TNTAs
Logan dan non logam
Produksi H2
B pada TNTAs
Degradasi atrazine, MO
F pada TNT S pada TNP IO3- pada Degussa P25 C dan N pada TNP N dan F pada TNTAs N dan S pada TNTAs N, F dan I pada TNTAs Pt/(B,N)-TiO2 (TNP) N dan Zr pada TNTAs
Degradasi metal orange Degradasi MO dan asetaldehid Degradasi monocrotophos Degradasi sulfanilamide Degradasi MB Degradasi MB Produksi H2 Degradasi Rhodamine B
Pt/N-TiO2 degussa P25
Produksi H2
Potensi Titania Nanotube Array …………………... Ratnawati dan Slamet
Asahi, et al. 2001, Lin et al. 2009, dan Sang et al. 2011), Mohapatra et al. 2007, Jia et al. 2010, Milad et al. 2011 dan Sang et al. 2011 Lu et al. 2008 dan Su et al. 2008 Yu et al. 2007 Asahi et al. 2001 Anandan et al. 2009 Wang et al. 2011 Li et al. 2009 Yan et al. 2011 Lei et al. 2007 Luo et al. 2009. Liu et al. 2010 Slamet et al. 2011, Anny dkk. 2010, Valentina dkk, 2011
257
Hole juga akan mengoksidasi gliserol menjadi CO2 dan H2. Untuk mencapai reaksi ini, posisi relatif energetic dari pita konduksi dan pita valensi sangat penting. Posisi pita konduksi TiO2 + harus lebih negatif dari potensial reduksi H /H2 (0 V versus normal hydrogen electrode, NHE) dan pita valensi TiO2 harus lebih positif dari potensial oksidasi O2/H2O (1,23 V versus NHE) sehingga secara termodinamika reaksi ini bisa terjadi (Gambar 2). Secara kinetika (kecepatan produksi H2) faktor faktor yang berpengaruh antara lain: pemisahan muatan, mobilitas serta umur elektron – hole hasil induksi foton (Nah et al. 2010). Namun karena Eg dari TiO2 3,2 eV untuk anatase, katalis ini hanya berespon pada sinar UV sehingga untuk berespon positif terhadap sinar tampak pemberian dopan bisa dilakukan. Beberapa penelitian melaporkan produksi hidrogen dengan bahan baku gliserol secara fotokatalitik dengan katalis TiO2 Degussa P25 (Daskalaki et al. 2008). Gombac et al. (2009) melaporkan bahwa produksi hidrogen secara fotokatalitik dari etanol dan gliserol mengalami peningkatan. Gliserol tersebut selain teroksidasi oleh hole yang menghasilkan H2, juga berfungsi sebagai sacrificial agent yang berfungsi sebagai donor elektron yang bisa mengurangi rekombinasi sehingga bisa meningkatkan aktifitas fotokatalisis reduksi air menjadi H2. Proses oksidasi reduksi tersebut secara simultan akan bersinergi sehingga akan menghasilakn H2 secara efektif. Adapun reaksi water splitting air menjadi H2 dan gliserol menjadi H2 dapat dituliskan sebagai berikut: +
-
TiO2 h + e (9) + + H2O + 2h 0,5O2 + 2H (10) + 2H + 2e H2 (11) C3H8O3 + 3H2O 3CO2 + 7H2 (12) Dari stoikiometri reaksi tersebut, 1 mol gliserol akan menghasilkan 7 mol H2 dan yield ini tentunya lebih besar dari produksi H2 secara water splitting. Dari aspek termodinamika, perubahan energi bebas Gibbs produksi H2 dari o gliserol (∆G = -48,73 kJ/mol) lebih rendah dari o water splitting (∆G = + 228,64kJ/mol) sehingga reaksi akan mudah terjadi. Disamping itu, perubahan entalpi reaksi pembentukan H2 dari o gliserol (∆H = 127,67 kJ/mol) dan perubahan o entalpi reaksi pembentukan water splitting (∆H = 238,41 kJ/mol) nilainya lebih rendah sehingga dibutuhkan energi yang lebih rendah untuk produksi H2 dari gliserol. Karena reaksi produksi H2 dari gliserol ini bersifat endotermik maka semakin tinggi suhu reaksi, semakin besar pula konversinya. Disamping itu kecepatan produksi
H2 dipengaruhi oleh konsentrasi gliserol, pH dan banyaknya katalis (Daskalaki et al. 2008). Reaksi fotokatalisis untuk produksi H2 dari gliserol memerlukan logam sebagai cocatalyst yang berfungsi sebagai electron trapper yang meminimalisasi rekombinasi dan sebagai katalis termal yang berpengaruh pada laju reaksi dan selektifitas produk. Menurut Daskalaki et al.(2008), reaksi pembentukan H2 dari gliserol secara fotokatalisis memerlukan suhu operasi yang rendah, menggunakan katalis Pt/TiO2 dengan kondisi optimal yang diperoleh pada kandungan Pt 0,1-0,5 % berat dan laju reaksi akan semakin meningkat seiring dengan naiknya 0 temperatur dari 40 sampai 60-80 C dan pada kondisi netral atau basa. Peningkatan kinerja proses fotokatalitik dalam produksi H2 dari gliserol dilaporkan juga oleh Luo et al. (2009) dengan menambahkan dopan N dan B dalam TiO2 yang disintesis dengan proses hidrotermal. Dalam laporannya, gliserol mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai bahan baku dan donor elektron (sacrificial agent) dan hasil penelitian menyatakan bahwa gliserol dapat menghasilkan banyak hidrogen dibanding turunan biomasa yang lain seperti glukosa dan sukrosa. Produksi H2 dari asam propionat menggunakan TiO2 yang disintesis dengan metoda sol gel berdopan Pt (metode impegnasi) menunjukkan bahwa hasil optimum diperoleh pada konsentrasi Pt 1% (Wei et al. 2012), sedangkan produksi H2 dari air dengan TiO2 (metoda hidrotermal) dengan dopan Pt (metode ion exchange) dengan dan tanpa sacrificial agent metanol memberikan hasil 14,6 dan 2,3 μmol H2/jam dan secara signifikan menurunkan band gap 2,48eV (Khan et al. 2008). Slamet et al. (2010) memproduksi H2 secara fotokatalitik dengan TiO2 (hasil proses hidrotermal) dari gliserol dan air. Wu et al. (2011) menggunakan TNTAs yang didopan N untuk produksi H2 dari air. Produksi hidrogen dari air dengan katalis TNTAs yang didopan dengan N atau C menghasilkan 2 282 μL/jam cm H2 (Sang et al. 2010). Penelitian lain yang memproduksi H2 dari air menggunakan katalis TNTAs adalah Mohapatra et al. (2006) dan hasil menunjukkan TNTAs yang dikalsinasi dengan gas N2 memberikan photocurrent density yang lebih bagus dibandingkan dengan yang dianeling dengan O2, sedangkan TNTAs yang didopan dengan C digunakan oleh Park et al. (2006) untuk memproduksi H2 dari air dan photocurrent menunjukkan C/TNTAs 20x lebih bagus dari pada TiO2 Degussa P25. Penambahan zat organik seperti metanol, etilen glikol dan gliserol untuk mengurangi
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 262 - 270
258
rekombinasi pada produksi H2 dari air diteliti oleh Mohapatra et al. (2008) dan hasil menunjukkan etilen glikol merupakan zat organik paling bagus mengurangi rekombinasi. Dari uraian tersebut di atas, TNTAs mempunyai potensi yang bagus dalam produksi hidrogen dengan bahan baku air maupun turunan biomassa. Gliserol, methanol dan etanol merupakan senyawa turunan biomassa yang secara fotokatalisis akan menghasilkan hidrogen dengan konversi tinggi karena material tersebut selain sebagai sacrificial agent juga sebagai bahan baku. Gliserol dan metanol yang merupakan produk samping pembuatan biodiesel melalui transesterifikasi minyak nabati mempunyai kemurnian rendah, sehingga seiring dengan perkembangan industri biodiesel material ini cenderung menjadi limbah sehingga perlu penanganan lebih lanjut. Sedangkan etanol yang merupakan hasil fermentasi selulosa/ lignoselulosa juga bisa menghasilkan H2 dengan efisiensi tinggi tanpa menghasilkan emisi gas yang berbahaya. Karena penelitian mengenai pemanfaatan TNTAs untuk fotokatalis pada produksi hidrogen dari air dan limbah senyawa turunan biomasa (gliserol, methanol dan etanol) secara simultan masih sangat terbatas, maka agar mempunyai efek sinergi dalam memproduksi hidrogen dan pengolahan limbah, penelitian tentang produksi hidrogen dari air dan limbah senyawa turunan biomassa menjadi sangat penting. Pengolahan Limbah Dalam aplikasi TiO2 sebagai fotokatalis untuk pengolahan limbah, elektron hasil eksitasi akan mereduksi logam berat sedangkan hole atau radikal bebas hidroksil (hasil oksidasi OH oleh hole) akan mengoksidasi polutan organik menjadi CO2 dan H2O. Proses fotokatalitis dengan limbah jamak seperti logam berat dan polutan organik akan memberikan nilai konversi yang lebih tnggi karena adanya proses fotooksidasi dan fotoreduksi secara bersamaan. Hal ini dikarenakan keberadaan zat organik bisa berfungsi sebagai hole scavenger yang menangkap hole sehingga bisa mengurangi laju rekombinasi. Aerasi pada pengolahan limbah secara fotokatalisis juga sering dilakukan agar . elektron bereaksi dengan O2 membentuk O2 . . . Hole, OH dan O2 merupakan oksidator kuat sehingga akan mengoksidasi spesikimia lainnya yang mempunyai potensial oksidasi lebih kecil. Dalam oksidasi hole dengan zat organik akan dihasilkan CO2 dan H2O atau CO2 dan H2. Contoh reaksi yang terjadi pada pengolahan 6+ limbah jamak fenol dan Cr secara fotokatalisis dapat dituliskan sebagai berikut:
+
-
TiO2 h + e + C6H5OH + h CO2 + H2O 6+ 3+ Cr + 3e Cr
(13) (14) (15)
Pembuatan TNTAs dengan pemberian dapan logam Zr secara insitu untuk aplikasi degradasi rhodamin B sebagai model polutan telah dipelajari dan hasil menunjukkan peningkatan efisiensi fotokatalitik dibanding dengan yang tidak didopan (Liu et al. 2009). Disamping itu penggunaan kembali katalis tersebut sampai 20 kali masih memberikan aktifitas fotokatalis yang baik. TNTAs yang didopan dengan Ag juga digunakan untuk degradasi polutan metilen biru dan katalis yang didopan memberikan hasil yang lebih baik (Sun et al. 2009). Pemberian dopan N dengan mengalirkan gas ammonia (thermal treatment) selama 30-120 menit pada TNTAs memberikan efek fotokatalisis yang bagus pada degradasi methyl orange karena menyebabkan nilai band gap menyempit sehingga berespon positif terhadap sinar tampak (Lin et al. 2009). Fotodegradasi rhodamine B dengan katalis N-Zr-TNTAs menunjukkan bahwa pemberian codoped pada katalis meningkatkan efisiensi fotokatalisis baik penyinaran dengan sinar UV maupun sinar tampak (Liu et al. 2010). Degradasi polutan dengan TNTAs yang didopan dengan logam maupun non logam menunjukkan bahwa pemberian dopan bisa meningkatkan efisiensi fotokatalitiknya antara lain dengan dopan N dan S untuk degradasi metilen biru (Yan et al. 2011), dopan N dan F untuk degradasi metilen biru (Li et al. 2009). Pemberian dopan B untuk degradasi PCP, atrazine (Lu et al. 2008) dan metyl orange (Su et al. 2008) dengan TNTAs menunjukkan hasil yang baik. REKOMENDASI KEDEPAN
UNTUK
PENELITIAN
Dari review ini, TNTAs yang disintesis secara anodisasi dan dimodifikasi dengan pemberian dopan logam maupun non logam untuk membentuk nanokomposit merupakan fotokatalis yang sangat potensial dan efektif untuk produksi hidrogen maupun pengolahan limbah karena memberikan aktifitas yang baik. Namun perlu dipilih kondisi proses anodisasi yang optimum serta jenis, metode preparasi dan konsentrasi dopan yang tepat agar memberikan aktifitas yang baik dalam aplikasinya. Aplikasi TNTAs untuk pengolahan limbah sudah cukup banyak dilakukan, sedangkan aplikasi TNTAs untuk produksi H2 masih terbatas pada water spitting.
Potensi Titania Nanotube Array …………………... Ratnawati dan Slamet
259
Produksi H2 dari limbah senyawa turunan biomassa seperti gliserol, methanol dan etanol dengan katalis TNTAs belum banyak dilakukan sehingga kondisi opimum proses perlu dicari. Oleh sebab itu, untuk penelitian selanjutnya mengenai pengembangan nanokomposit X-YTNTAs untuk produksi hidrogen secara fotokatalitik dari air dan limbah senyawa turunan biomassa secara simultan perlu dilakukan. Hasil penelitian ini tentunya akan memberikan kontribusi signifikan dalam menanggulangi krisis energi dan pengolahan limbah itu sendiri. KESIMPULAN Pemanfaatan TiO2 dengan morfologi nanotube array (TNTAs) sebagai fotokatalis banyak diminati para peneliti pada tahun-tahun terakhir ini karena mempunyai banyak keunggulan dan aplikasinya yang luas. Untuk meningkatkan efisiensi dalam aplikasinya, TNTAs yang disintesis secara anodisasi dapat dimodifikasi dengan pemberian dopan non logam agar fotokatalis lebih responsif terhadap sinar tampak dan dopan logam untuk mengurangi laju rekombinasi elektron–hole. Dalam review ini sintesis, modifikasi dan potensi aplikasi dari TNTAs untuk produksi hidrogen dan pengolahan limbah telah dipaparkan. Hasil review menunjukkan bahwa morfologi TNTAs memberikan kinerja yang efektif sebagai fotokatalis sehingga mempunyai potensi yang baik untuk produksi hidrogen dari air dan limbah senyawa turunan biomassa secara simultan serta untuk mendegradasi polutan. DAFTAR PUSTAKA Anandan S, Kathiravan K., Murugesan V., Ikuma Y. 2009. Anionic (IO3) non-metal Doped TiO2 Nanoparticles for the Photocatalytic Degradation of Hazardous Pollutan in Water. Catal. Commun. 10: 1014-1019. Anny, 2010. Sintesis dan Uji Kinerja Fotokatalis Pt-N-TiO2 Nanotube untuk Aplikasi Produksi Hidrogen dari Air. Skripsi. Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia, Depok. Asahi R., Morikawa T., Ohwaki T., Aoki K., Taga Y. 2001. Visible-Light Photocatalysis in Nitrogen-Doped Titanium Oxides. Science, 293:269–71. Bai J., Zhou B., Li L., Liu Y. 2008. The Formation Mechanism of Titania Nanotube arrays in Hydroflouric Acid Electrolyte. J. Mater. Sci. 43: 1880-1884. Daskalaki, V. M., Kondarides, D. I. 2008. Efficient Production of Hydrogen by Photo Induced Reforming of Glycerol at
Ambient Conditions. Catal. Today. 144: 75-80. Gombac V., Sordelli L., Montini T., Delgano J.J., Adamski A., Adami G., Cargnello M., Bernal S., Fornasiero P. 2009. CuOxTiO2 Photocatalyst for H2 Production from Ethanol and Glycerol Solutions. J. Phys. Chem. A., 114 (11): 3916-25. Gong D., Grimes C.A., Varghese O.K., Hu W.C., Singh R.S., Chen Z., Dickey E.C. 2001. Titanium Oxide Nanotube Arrays Prepared by Anodic Oxidation. J. Mater. Res. 16: 3331. Hassan F.M.B., Nanjo H., Kanakubo M., Ishikawa I., Nishioka M. 2009. Effect of Ultrasonic waves on the Formation of TiO2 Nanotube by Electrochemical Anodization of Titanium in Glycerol and NH4F. e-J. Surf. Sci. Nanotech. :84-88. Hussain, S.T., Siddiqa, A. 2011. Iron and Chromium Doped Titanium Dioxide Nanotube for the Degradation of Environmental and Industrial Pollutans.Int. J. Environt. Sci. Tech, 8(2): 351-362. Jia F., Yao Z., Jiang Z., Li C.X. 2011. Preparation of Carbon Coated TiO2 Nanotubes Film and its Catalytic Application for H2 Generation. Catal.Comun.12: 497-501. Khan M.A., Akhtar M.S., Woo S.I., Yang O.B. 2008. Enhanced Photoresponse Under Visible Ligh in Pt Ionized TiO2 Nanotube for the Photocatalytic Splitting of Water. Catal. Commun.10:1-5. Lei L., Su Y., Zhou M., Zhang X., Chen X. 2007. Fabrication of Multi metal-Doped TiO2 Nanotube by Anodization in Mixed Aciid Solution. Material Research Bulletin. 42: 2230-2236 Li Q., Shang K.J. 2009. Self Organized Nitrigen ang Fluorine Co-Doped Titanium Oxide Nanotube Arrays with Enhanced Visible Ligh Photocataliytic Perfoemance. Environ. Sci. Technol. 43:8923-8929. Lin D., Guo-xi C., Ying M.A., Xiao-lin J., Guo-tian YE., Shao-kang G. 2009. Enhanced Photocatalityc Degradation Properties of Nitrogen-Doped Titania Nanotube Array. Trans. Nonferrous Met. Soc. China.19: 1583-1587 Liu H., Liu, G., Zhou, Q. 2009. Preparation and Characterization of Zr Doped TiO2 Nanotube Arrays on the Titanium Sheet and Their Enhance Photocatalitic Activity. J. Solid State Chem. 182: 32383242 Liu H., Liu G., Shi X. 2010. N/Zr-codoped TiO2 Nanotube array: Fabrication,
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 262 - 270
260
Characterization, and Enhanced Photocatalitic Activity. Colloids and Surface A: Physicochem. Eng. Aspects. 363: 35-40. Luo N., Jiang Z., Shi H., Cao F., Xiao T. Edwards P.P. 2009. Photo-catalytic Conversion of Oxygenated Hydrocarbons to Hydrogen over Heteroatom-Doped TiO2 Catalysts. Int. J. Hydrogen Energy, 34: 125-129. Lu N., Zhao H., Li J., Quan X., Chen S. 2008. Characterization of Boron-Doped TiO2 Nanotube Arrays Prepared by Electrochemical Method and its Visible Ligh Activity. Sep.and Purif. Technol. 62:668-673. Macak, J. M., Schmuki P. 2006. Anodic Growth of Self-Organized Anodic TiO2 Nanotubes in Viscuos Electrolytes. Electochim. Acta, 52: 1258-1264. Macak J.M., Tsuchiya H., Taveira L., Aldabergerova S., Schmuki P. 2005. Smooth Anodic TiO2 Nanotubes. Angew. Chem. Int. Ed. 44:7463-7465. Milad A.M., Kassim M.B., Daud W.R. 2011. Fabrication of Carbon Doped TiO2 Nanotubes via Insitu Anodization of Tifiol in Acidic Medium. World Academy of Science, Enginnering and Technology. 74:171-175. Mohammed A.E.L, Rohani S. 2011. Modified TiO2 Nanotube Arrays (TNTAs): Progressive Strategies towards Visible Light Responsive Photoanode, a Review. Energy Environ. Sci., 4:10651086. Mohapatra S.K., Raja K.S., Mahajan V.K., Misra,M. 2008. Efficient Photoelectrolysis of Water Using TiO2 Nanotube Arrays by Minimizing Recombination Losses with Organic Addities. J. Phys. Chem. 112: 1100711012. Mohapatra S.K., Misra M., Mahajam V.K., Raja K.S. 2006. A Novel Method for the Shynthesis of Titania Nanotube Using Sonoelectrochemical Method and its Application for Photoelectrochemical Splitting of Water. J. Catal. 246: 362-369 Mohapatra S.K., Misra M., Mahajam V.K., Raja K.S. 2007. A Novel Methode fot the Synthesis of Titania Nanotube using Sonoelectrochemical Metode and its application for Photoelectrochemical Splitting of Water. J. Catal. 246: 362-369 Nah. Y.C., Paramasivan I., Schmuki, P. 2010. Doped TiO2 and TiO2 Nanotube: Synthesis and Applications. Chem. Phys. Chem. 11: 2698-2713
Ou H.H., Lo S.L. 2007. Review of Titania Nanotubes Synthesized via the Hydrothermal Treatment: Fabrication, Modification, and Application. Sep. Purif. Technol. 58: 179–191. Park J.H., Kim S., Bard A.J. 2006. Novel Carbon Doped TiO2 Nanotube Array with High Aspect Ratios for Efficient Solar Water Spitting. Nano Letters. 6(1): 24-28 Prakasam, H.E., Shankar K., Paulose M., Varghese O K., Gimes C.A. 2007. A New Benchmark for TiO2 Array Growth by Anodization. J. Phys. Chem. C. 111: 7235-7241. Roy P., Berger S., Schuki P. 2011. TiO2 Nanotube: Synthesis and Aplications. Angew.Chem.Int Ed. 50: 2904-2939. Sang L., Zhi-yu Z., Gung-mei B., Chun-xu D., Chong-fang M. 2011. A Photochemical Investigation of the Hydrogen-evolving Doped TiO2 Nanotube Arrays Electrode. Int. J. Hydrogen Energy, xxx, 1-6. Sreekatan S., Lockman Z., Hazan R., Tashibi M., Tong LK., Muhamed A.R.2009. Influence of Electrolite pH on TiO2 Nanotube Fomation by Ti Anodization. J. Alloys and Compound. 485: 478-483. Slamet, Nasution, H. W., Purnama, E., Kosela, S. & Gunlazuardi, J. 2005. Photocatalytic Reduction of CO2 on Copper-Doped Titania Catalysts Prepared by Improved-Impregnation Method. Catal. Commun. 6: 313-319. Slamet, Setiadi, Kusrini E., Anny, Afrozi A.S. 2010. Produksi Hidrogen dari Gliserol dan Air Secara Fotokatalitik. Simposium Nasional RAPI IX, ISSN 1412-9612. Slamet, Anny, Setiadi 2011. Photocatalitic Hydrogen Generation from Glycerol and Water using Pt Loaded N –Doped TiO2 Nanotube. Int. J. Eng. & Tech. 11, issue 03. Slamet, Eliana, M. Bismo, S. 2008. Modifikasi Zeolit Alam Lampung Dengan Fotokatalis TiO2 Melalui Metoda Sol Gel dan Aplikasinya Untuk Penyisihn Fenol. Jurnal Teknologi. Edisi No 1. Tahun XXII ISSN 0215-1685. Slamet, Bismo, S., Arbianti, R. 2007. Modifikasi Zeolit Alam dan Karbon Aktif dengan TiO2 serta Aplikasinya sebagai Bahan Adsorben dan Fotokatalis untuk Degradasi Polutan Organik. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Universitas Indonesia. Depok. Slamet, Bismo, S., Firdaus, F., Jabbar, A. Putera, A. 2010. Performance Test of a Novel Tubular V- Collector for Phenol Removal from Aqueous Solutions over
Potensi Titania Nanotube Array …………………... Ratnawati dan Slamet
261
TIO2 -Activated Carbon Composites. J. World App. Sci. 8 (6): 672-679. Su Y., Han S., Zhang X., Chen X., Lei L. 2008. Preparation and Visible–Ligh-Driven Photoelectrocatalitic Properties of Boron-Doped TiO2 Nanotubes. Mat. Chem. and Phys. 110:239-246. Sun L., Li J., Wang C., Li S., Lai Y., Chen H., Lin C. 2009. Ultrasound Aided Photochemical Synthesis of Ag Loaded TiO2 Nanotube Arrays to Enhance Photocatalytic Activity. J. Hazardous Mat. 171, 1045-1050 Sun W., Zhang S., Liu Z., Wang C, Mao Z. 2008. Studies on Enhanced Photocatalitic Hydrogen Evolution Over Pt/PEG Modified TiO2 Photocatalyst. Int. J. of Hydrogen Energy. 1112-1117. Valentina, 2011, Optimasi Kinerja Komposit PtN-TiO2 Nanotube Untuk Aplikasi Produksi Hidrogen. Skripsi, Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia, Depok. Wang D., Zhou F., Liu Y., Liu W. 2008. Synthesis and Characterization of Anatase TiO2 Nanotubes with Uniform Diameter from Titanium Powder. Mat. Let., 62, 1819-1822. Wang J., Lin Z. (2009). Anodic Formation of Ordered TiO2 Nanotube Arrays: Effect of Electrolite Temperature and Anodizaton Potential. J. Phys. Chem.C., 113, 4026-4030. Wang P., Zhou T., Wang R., Lim T.T. 2011. Carbon Sensitized and Nitrogen-Doped TiO2 for Photocatalytic Degradation of Sulfanilamide under Visible-ligh Irradiation. Wat. Res. 45: 5015-5026 Wei L.F., Zheng X.J., Zhang Z H, Wei Y.J., Xie B., Wei M.B., Sun X.L. 2012. A Systematic Study of Photocatalitic H2 Production from Propionic Acid Solution over Pt/TiO2 Photocatalyst. Int. J. Energy Res.36:75-86. Wu H., Zhang Z. 2011. High Photoelectrochemical Water Splitting performance on Nitrogen Doped Double Wall TiO2 Nanotube Array Electrode. Int. J. Hydrogen Energy. 36: 13481-13487. Xiaobo Chen, Samuel S.Mao. 2007. Titanium Dioxide Nanomaterials: Synthesis, Properties, Modifications, and Applications. Chemical Reviews,107: 2891-2959. Yan G., Zhang M., HOu J., Yang J. 2011. Photoelectrochemicl and Photocatalytic Properties of N+S Co-Doped TiO2 Nanotube Array Films Under Visible
Light Irradiation. Mat. Chem. Phys. 129:553-557. Yi Z., Hui S.D., Hong L., Ming D.M., Xia L.C., Long K.H. 2010. Preparation and 2+ Photoelectric Effect on Zn -TiO2 Nanotube Arrays, Trans. Nonferrous Met.Soc.China, 20: 2320-2325. Ying Y., Wu H.H., Zhu B.L., Wang S.R., Huang W.P., Wu S.H., Zhang S.M. 2008. Preparation, Characterization and Photocatalitic Activities of F-doped TiO2 Nanotubes. Catal Lett. 121: 165-171. Yoong L.S.,Chong, F.K., Duta B.K. 2009. Development of Cooper-Doped TiO2 Photocatalyst for Hydrogen Production Under Visible Ligh. Energy XXX, 1-10. Yu Y., Wu H-H., Zhu B.L., Wang S.R., Huang W.P., Wu S.H., Zhang S.M. 2008. Preparation, Characterization and Photocatalitic Activities of F-Doped TiO2 Nanotubes. Catal. Lett. 121:165-171.
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 262 - 270
262
PENGARUH PENAMBAHAN PATI BENGKOANG TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK DAN MEKANIK EDIBLE FILM THE EFFECT OF ADDING YAM STARCH TOWARDS PHYSICAL AND MECHANICAL CHARACTERISTIC OF EDIBLE FILM Melanie Cornelia 1), Nuri Arum Anugrahati2), Christina 3) Jurusan Teknologi Pangan, Universitas Pelita Harapan Jl. M. H. Thamrin Boulevard 1100, Lippo Karawaci, Tangerang E-mail:
[email protected] Received 27 Agustus 2012; revised 14 September 2012; accepted 24 September 2012
ABSTRAK Kegunaan edible film sebagai kemasan primer makanan semakin meningkat. Pati bengkoang dan tapioka dapat digunakan sebagai sumber pati dalam pembuatan edible film. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan konsentrasi tapioka dan gliserol dan menentukan jenis asam lemak yang menghasilkan karakteristik fisik dan mekanik terbaik dari edible film dengan penambahan pati bengkoang. Pembuatan edible film dilakukan dengan menambahkan variasi konsentrasi tapioka dan gliserol dan dengan menambahkan 1% pati bengkoang. Pati bengkoang dapat menghasilkan edible film dengan elongasi yang cukup baik karena kandungan amilosa yang cukup tinggi yaitu 23%. Pengaruh variasi konsentrasi tapioka dan gliserol terhadap ketebalan, lightness, kuat tarik, persen pemanjangan, dan laju transmisi uap air diamati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi tapioka dan gliserol berpengaruh signifikan terhadap ketebalan, kuat tarik, persen pemanjangan, dan laju transmisi uap air. Peningkatan konsentrasi tapioka hingga 2% dan konsentrasi gliserol dari 0,5% hingga 1% dapat meningkatkan ketebalan dan persen pemanjangan. Peningkatan konsentrasi tapioka dan gliserol juga meningkatkan kuat tarik dan laju transmisi uap air. Edible film terbaik dihasilkan dari konsentrasi tapioka 2% dan gliserol 0.5%, dalam penelitian ini jenis asam lemak yang digunakan adalah asam lemak stearat dan asam lemak oleat. Hasilnya menunjukkan bahwa jenis asam lemak juga berpengaruh signifikan terhadap lightness, kuat tarik, persen pemanjangan, dan laju transmisi uap air. Asam lemak stearat memberi pengaruh lebih baik pada karakteristik edible film dibandingkan dengan asam lemak oleat. Asam lemak stearat meningkatkan kuat tarik seiring dengan penurunan elongasi. Penambahan asam lemak stearat dapat menurunkan laju transmisi uap air edible film dari pati bengkoang walaupun dengan penurunan persen pemanjangan. Kata kunci : Edible film, Pati bengkoang, Asam lemak, Kuat tarik, Persen pemanjangan
ABSTRACT Utilization of edible film as primary food packaging has been increasing in a recent year. Yam starch and tapioca can be used as source of starch for making edible film. The objectives of this research were to determine the concentration of tapioca and glycerol and also to determine types of fatty acid for making edible film made from yam starch with the best physical and mechanical characteristic by adding yam starch. In this research tapioca and glycerol with some various concentration were added into mixture of edible film made from 1% yam starch. Yam starch could give better elongation in edible film due to high amylase content (23%). The effect of tapioca and glycerol concentration was observed on thickness, lightness, tensile strength, elongation, and water vapor transmission rate. The result showed that interaction between tapioca and glycerol concentration significantly affect thickness, tensile strength, elongation, and water vapor transmission rate while the tapioca and glycerol independently affect the lightness. Increasing concentration of tapioca to 2% and glycerol from 0.5% to 1% increased the thickness and elongation as well as the tensile strength and water vapor transmission rate. The best edible film was made from 2% tapioca and 0.5% glycerol. Two types of fatty acids were added to the best formulation of edible film were also evaluated. The result showed that types of fatty acid affect the lightness, tensile strength, elongation, and water vapor transmission rate. Stearic acid has good effect for edible film characteristic than oleic acids. Stearic acids increase the tensile strength while elongation decreases. Addition of stearic acid can decrease the water vapor transmission rate of edible film contain yam starch although the elongation decreases. Key words : Edible film, Yam starch, Fatty acid, Tensile strength, Elongation
Pengaruh Penambahan Pati Bengkoang …………………... Melanie Cornelia
263
PENDAHULUAN Edible film merupakan salah satu bahan pengemas yang dapat digunakan sebagai alternatif plastik pada kemasan bahan dan produk pangan. Pemanfaatan edible film sebagai bahan pengemas pada makanan segar dan olahan semakin meningkat dengan banyaknya penelitian mengenai edible film tersebut (Baker et al., 1994). Menurut Krochta dan De Mulder-Johnston (1997), edible film dapat berfungsi sebagai barrier terhadap perpindahan massa (seperti kelembaban, oksigen, lipida, dan zat terlarut) sehingga dapat mempertahankan mutu dan umur simpan bahan atau produk pangan. Sumber pati yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan edible film diantaranya adalah pati bengkoang dan tapioka. Pati bengkoang dapat menghasilkan edible film dengan elongasi yang cukup baik karena kandungan amilosa yang cukup tinggi yaitu 23%. Edible film dari tapioka mempunyai karakteristik kuat tarik yang cukup baik tetapi kekurangannya adalah persen pemanjangan yang kurang baik dan transmisi uap air yang cukup tinggi (Matsui et al., 2004). Menurut Chillo et al. (2008), gliserol merupakan plasticizer yang ditambahkan dalam pembuatan edible film. Gliserol berfungsi untuk mengurangi kekakuan pada edible film sehingga film yang dihasilkan lebih fleksibel. Menurut Chen et al. (2009), edible film berbasis polisakarida pada umumnya memiliki sifat penghalang uap air yang kurang baik. Penambahan komponen hidrofobik seperti asam lemak diharapkan dapat memperbaiki sifat ketahanan terhadap uap air dan menghasilkan karakeristik edible film dari pati bengkoang yang lebih baik. Tujuan penelitian adalah menentukan konsentrasi tapioka dan gliserol serta jenis asam lemak yang dapat menghasilkan edible film dengan karakteristik fisik dan mekanik terbaik yang dihasilkan dari penambahan 1% pati bengkoang. . BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang dibutuhkan adalah pati bengkoang, tapioka, CMC, gliserol (food grade), asam lemak stearat (food grade), asam lemak oleat (food grade), dan akuades. Bengkoang diperoleh dari Pasar Sinpasa Gading Serpong, Tangerang. Bahan kimia yang dibutuhkan untuk analisis adalah bahan pro analyst yang meliputi Na-tiosulfat 0,1 N, asam perklorat 52%, K2SO4, HgO, H3BO3, Al(OH)3 atau Pb-asetat, aseton,
benzena, NaOH 1,5 N, H2SO4 0,3 N, KI 20%, H2SO4 26,5%, NaOH 0,1 N, BaCl2. Selain itu larutan Fehling A, larutan Fehling B, indikator pati, indikator phenolphthalein, buffer pH 4 dan pH 7, dan silica gel juga digunakan dalam proses analisis. Alat yang digunakan untuk ekstraksi pati adalah blender, beaker glass, kain saring, ayakan 80 mesh, dan cabinet dryer. Alat yang digunakan dalam pembuatan edible film adalah beaker glass, timbangan analitik, gelas ukur, heater, magnetic stirrer, termometer, timbangan analitik, plat (38,5 cm x 27,3 cm x 1,5 cm), dan cabinet dryer. Alat yang digunakan untuk analisis adalah pipet, tanur, tabung kondensor, oven, aluminium foil, desikator, cabinet dryer, heater, tabung reaksi, kertas saring, cawan penguapan, cawan pengabuan, labu erlenmenyer, buret, corong, batu didih, alat ekstraksi Soxhlet, dan alat Kjeldahl. Alat yang digunakan untuk uji fisik dan mekanik edible film adalah Lloyds instrument, mikrometer, kromameter (Minolta Cr-400), desikator, dan timbangan analitik. Rancangan percobaan penelitian tahap I adalah rancangan acak lengkap 2 faktor yang disusun 3 level x 2 level dengan 4 kali pengulangan. Uji statistik yang digunakan adalah one way annova. Rancangan percobaan penelitian selanjutnya disusun 1 faktor x 2 level dengan 4 kali pengulangan. Statistik yang digunakan adalah Independent T-Test. Metode Proses Ekstraksi Pati Bengkoang (Hasbullah, 2000) Proses ekstraksi diawali dengan bengkoang dikupas kemudian dicuci. Bengkoang yang telah dikupas kemudian dihancurkan (ditambah air 1:1) menjadi bubur bengkoang. Bubur bengkoang yang dihasilkan kemudian disaring dan diambil cairan pastanya. Cairan pasta tersebut diendapkan selama 4-5 jam. Pasta bengkoang hasil pengendapan dikeringkan pada suhu 50°C selama 8 jam kemudian dihancurkan dan diayak (80 mesh). Proses Pembuatan Edible Film dari Pati Bengkoang dengan Konsentrasi Tapioka dan Gliserol yang Berbeda Edible film dibuat dengan konsentrasi tapioka dan gliserol yang berbeda. Proses pembuatan edible film dari pati bengkoang dapat dilihat pada Gambar 1 dan formulasi pembuatan edible film dapat dilihat pada Tabel 1.
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 262 - 270
264
Tapioka*) (1%, 2%, dan 3%) ↓ Pelarutan dalam air (200 mL) ↓ Pemanasan pada suhu 64°C dengan pengadukan konstan ↓ Penambahan pati bengkoang dan CMC (dry mix) ↓ Pengadukan konstan selama 5 menit ↓ Penambahan gliserol**) (0,5% dan 1%) ↓ Pengadukan konstan selama 1 menit ↓ Pencetakan pada plat dengan ukuran 38,5 cm x 27,3 cm x 1,5 cm ↓ Pengeringan dengan cabinet dryer pada suhu 60°C selama 8 jam ↓ Edible film Gambar 1. Proses pembuatan edible film dari pati bengkoang. (Sumber: Budiman (2011) dengan modifikasi) Keterangan: *), **) sesuai perlakuan pada Tabel 1
Tabel 1. Formulasi pembuatan edible film (Sumber: Budiman (2011) dengan modifikasi) Bahan
Jumlah
Pati bengkoang Tapioka CMC Gliserol
1% Sesuai perlakuan 0,4% Sesuai perlakuan
Proses Pembuatan Edible Film dari Pati Bengkoang dengan Jenis Asam Lemak yang Berbeda Edible film dengan konsentrasi tapioka dan gliserol terbaik ditambahkan dengan jenis asam lemak yang berbeda yaitu asam lemak stearat dan oleat. Proses pembuatan edible film dari pati bengkoang dengan jenis asam lemak yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2 dan formulasi pembuatan edible film dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Formulasi pembuatan edible film (Sumber: Budiman (2011) dengan modifikasi) Bahan Pati bengkoang Tapioka CMC Gliserol Asam lemak stearat atau oleat
Jumlah 1% Konsentrasi terbaik 0,4% Konsentrasi terbaik 0,1%
Tapioka ↓ Pelarutan dalam air (200 mL) ↓ Pemanasan pada suhu 64°C dengan pengadukan konstan ↓ Pengadukan konstan selama 3 menit ↓ Penambahan pati bengkoang dan CMC (dry mix) ↓ Pengadukan konstan selama 5 menit ↓ Penambahan gliserol ↓ Pengadukan konstan selama 1 menit ↓ Penambahan asam lemak stearat atau oleat ↓ Pengadukan selama 6 menit ↓ Pencetakan pada plat dengan ukuran 38,5 cm x 27,3 cm x 1,5 cm ↓ Pengeringan dengan cabinet dryer pada suhu 60°C selama 8 jam ↓ Edible film Gambar 2. Proses pembuatan edible film dari pati bengkoang dengan jenis asam lemak stearat dan oleat (Sumber: Budiman (2011) dengan modifikasi)
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Konsentrasi Tapioka dan Gliserol terhadap Karakteristik Fisik Edible Film dari Pati Bengkoang Pembuatan edible film dari pati bengkoang dilakukan dengan 3 konsentrasi tapioka yang berbeda yaitu 1%, 2%, 3% dan 2 konsentrasi gliserol yang berbeda yaitu 0,5% dan 1%. Karakteristik fisik edible film yang diuji meliputi ketebalan dan lightness. Ketebalan Gambar 3 dapat dilihat bahwa konsentrasi gliserol 0,5% atau 1% meningkatkan ketebalan edible film seiring dengan peningkatan konsentrasi tapioka sampai 2%. Konsentrasi tapioka yang semakin tinggi menunjukkan jumlah padatan terlarut yang lebih banyak. Jumlah padatan terlarut pada edible film yang semakin banyak menghasilkan edible film yang semakin tebal. Peningkatan konsentrasi pati menyebabkan peningkatan ketebalan film (McHugh dan Krochta, 1994). Peningkatan konsentrasi gliserol dari 0,5% ke 1% tidak mempengaruhi ketebalan edible film dengan konsentrasi tapioka 2% dan 3% (Gambar 3). Hal
Pengaruh Penambahan Pati Bengkoang …………………... Melanie Cornelia
265
tersebut disebabkan pada konsentrasi tapioka yang lebih tinggi menunjukkan jumlah padatan terlarut lebih banyak sehingga pengaruh dari konsentrasi gliserol tidak terlihat. Gliserol merupakan jenis plasticizer yang bersifat hidrofilik sehingga pada konsentrasi yang tinggi dapat berinteraksi dengan air menghasilkan edible film yang lebih tebal (Chen dan Lai, 2008).
Menurut Chen et al. (2009), tingkat lightness yang tinggi kemungkinan dapat berhubungan dengan amilopektin pada tapioka yang relatif tinggi dan amilosa yang rendah yang mengakibatkan swelling-solubility yang lebih tinggi. Hal tersebut menyebabkan film yang dihasilkan memiliki nilai lightness yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil analisis ANOVA konsentrasi gliserol berbeda signifikan terhadap lightness edible film. Gambar 5 menunjukkan konsentrasi gliserol 0,5% menghasilkan lightness yang lebih tinggi dibandingkan edible film dengan konsentrasi gliserol 1%.
Gambar 3. Pengaruh konsentrasi tapioka dan gliserol terhadap ketebalan edible film dari pati bengkoang. Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada p<0,05.
Lightness Gambar 4 menunjukkan peningkatan lightness edible film pada konsentrasi tapioka 1% dan 2%. Peningkatan konsentrasi tapioka dari 2% sampai 3% tidak berpengaruh terhadap lightness edible film yang dihasilkan. Hal tersebut kemungkinan dapat dipengaruhi oleh konsentrasi tapioka dan proses gelatinisasinya.
Gambar 4. Pengaruh konsentrasi tapioka terhadap lightness edible film dari pati bengkoang. Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada p<0,05.
Gambar 5. Pengaruh konsentrasi gliserol terhadap lightness edible film dari pati bengkoang. Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang
berbeda menunjukkan beda nyata pada p<0,05.
Pengaruh Konsentrasi Tapioka dan Gliserol terhadap Karakteristik Mekanik Edible Film dari Pati Bengkoang Karakteristik mekanik merupakan parameter penting dalam menentukan sifat edible film. Karakteristik mekanik yang diuji adalah kuat tarik, persen pemanjangan, dan laju transmisi uap air. Kuat Tarik Gambar 6 memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi tapioka nilai kuat tarik edible film dari pati bengkoang juga semakin tinggi sedangkan peningkatan gliserol menyebabkan penurunan nilai kuat tarik edible film. Edible film pada konsentrasi tapioka 3% mempunyai nilai kuat tarik yang paling tinggi sebesar 25,68 MPa. Hal tersebut disebabkan jumlah padatan terlarut yang lebih banyak membuat ikatan silang pada polimer pati yang terbentuk semakin rapat sehingga diperlukan gaya yang lebih besar untuk menarik edible film hingga putus. Semakin rendah konsentrasi pati
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 262 - 270
266
maka ikatan intermolekuler yang terbentuk menjadi kurang kuat dibandingkan dengan konsentrasi pati yang tinggi (Bastioli, 2005). Hasil tersebut juga sesuai dengan pernyataan Krochta et al. (1994), bahwa kuat tarik dari suatu edible film akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi pati yang ditambahkan.
Gambar 6. Pengaruh konsentrasi tapioka dan gliserol terhadap kuat tarik edible film dari pati bengkoang. Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada p<0,05.
Edible film pada konsentrasi gliserol 1% menghasilkan kuat tarik yang lebih rendah dibandingkan edible film dengan konsentrasi gliserol 0.5% (Gambar 6). Hal tersebut disebabkan semakin banyak konsentrasi gliserol yang berkontribusi pada edible film membuat struktur polimer pada pati tidak kokoh sehingga kemampuan interaksi antarmolekul menurun. Hasil tersebut sesuai dengan Chang (2006) yang melaporkan bahwa semakin tinggi konsentrasi gliserol yang berfungsi sebagai plasticizer maka nilai kuat tarik edible film akan semakin menurun. Menurut Han (2004), gliserol bersifat hidrofilik akan melemahkan struktur dari ikatan hidrogen pada pati sehingga cenderung menurunkan kemampuan interaksi antarmolekul. Persen Pemanjangan Gambar 7 menunjukkan peningkatan konsentrasi tapioka hingga 2% meningkatkan persen pemanjangan film seiring dengan peningkatan gliserol dari 0.5% hingga 1%. Hal yang berbeda terjadi pada konsentrasi tapioka 3% dengan persen pemanjangan yang mengalami penurunan. Konsentrasi pati yang tinggi menyebabkan persen pemanjangan menjadi lebih rendah. Persen pemanjangan paling tinggi terdapat pada edible film yang dihasikan dengan konsentrasi tapioka 2% seperti yang terlihat
pada Gambar 7. Hal tersebut disebabkan pada konsentrasi tapioka 2% jumlah padatan terlarut pada edible film diiringi dengan gliserol 1% dan pati bengkoang 1% dapat meregangkan ikatan polimer pada pati sehingga edible film yang dihasilkan lebih fleksibel. Peregangan ikatan polimer pati yang dipengaruhi oleh gliserol dan pati berperan dalam peningkatan persen pemanjangan. Menurut Djaprie (1995), semakin tinggi konsentrasi pati yang ditambahkan maka struktur edible film menjadi lebih padat dan mudah dipecah atau dirusak. Gambar 7 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi gliserol maka persen pemanjangan yang dihasilkan juga semakin tinggi. Persen pemanjangan tertinggi terdapat pada konsentrasi gliserol 1%. Hal tersebut dapat disebabkan konsentrasi plasticizer yang semakin tinggi dapat memperbanyak jumlah ikatan polimer-plasticizer yang terbentuk sehingga fleksibilitas edible film meningkat yang ditandai dengan persen pemanjangan yang semakin tinggi. Alasan tersebut didukung oleh Janssen dan Moscicki (2009) yang menyatakan peningkatan gliserol sebagai plasticizer dapat menambah kemampuan fleksibilitas edible film sehingga meningkatkan nilai persen pemanjangan.
Gambar 7. Pengaruh konsentrasi tapioka dan gliserol terhadap persen pemanjangan edible film dari pati bengkoang Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada p<0.05
Laju Transmisi Uap Air Gambar 8 menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi tapioka seiring dengan peningkatan konsentrasi gliserol maka laju transmisi uap air juga semakin tinggi. Tapioka merupakan golongan polisakarida dan bersifat hidrofilik. Sifat hidrofilik tersebut membuat edible film memiliki laju transmisi uap air yang tinggi seiring dengan peningkatan jumlah tapioka yang ditambahkan. Hal tersebut didukung oleh Irianto
Pengaruh Penambahan Pati Bengkoang …………………... Melanie Cornelia
267
et al. (2006) yang melaporkan bahwa bahan yang bersifat hidrofilik akan meningkatkan laju transmisi uap air pada edible film.
Gambar 8. Pengaruh konsentrasi tapioka dan gliserol terhadap laju transmisi uap air edible film dari pati bengkoang. Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada p<0,05.
Laju transmisi uap air edible film yang meningkat dengan meningkatnya konsentrasi gliserol (Gambar 8) dapat disebabkan gliserol yang merupakan plasticizer yang bersifat hidrofilik. Sifat hidrofilik yang dimiliki gliserol memicu meningkatnya laju transmisi uap air. Hal tersebut didukung oleh Al-Hassan dan Norziah (2012) yang melaporkan bahwa plasticizer yang bersifat hidrofilik seperti gliserol dan sorbitol dapat menyebabkan laju transmisi uap air menjadi tinggi pada edible film berbasis hidrokoloid. Penentuan Edible Film dengan Karakteristik Terbaik pada Tahap I Penentuan konsentrasi tapioka dan gliserol terbaik untuk edible film dari pati bengkoang didasarkan pada karakteristik edible film tersebut. Parameter utama pada tahap I yang menentukan edible film dari pati bengkoang adalah karakteristik mekanik. Karakteristik mekanik tersebut adalah kuat tarik dan persen pemanjangan. Konsentrasi tapioka dan gliserol yang dijadikan sebagai faktor berpengaruh terhadap kuat tarik dan persen pemanjangan edible film. Menurut Mali et al. (2005) dan Fama et al. (2005), pati dan gliserol berpengaruh pada karakteristik mekanik pada edible film. Konsentrasi tapioka 2% dan gliserol 0,5% dipilih sebagai konsentrasi terbaik karena kuat tarik yang cukup tinggi yaitu 19,73 MPa dan persen pemanjangan yang cukup baik yaitu 2,21%
dibandingkan dengan konsentrasi tapioka 3% dan gliserol 0,5% namun tapioka 3% dan gliserol 0,5% tidak dipilih sebagai konsentrasi terbaik karena memiliki laju transmisi uap air dan ketebalan yang cukup tinggi. Oleh karena itu edible film dengan karakteristik fisik dan mekanik terbaik pada tahap I adalah edible film dengan konsentrasi tapioka 2% dan gliserol 0,5%. Hasil Penelitian Tahap II Penelitian tahap II membuat edible film dengan konsentrasi terbaik pada tahap I dengan penambahan 2 jenis asam lemak. Tujuan penelitian tahap II adalah menentukan jenis asam lemak yang menghasilkan edible film dari pati bengkoang dengan karakteristik fisik dan mekanik terbaik. Pengaruh Jenis Asam Lemak terhadap Karakteristik Fisik Edible Film dari Pati Bengkoang Pembuatan edible film pada tahap II dilakukan dengan konsentrasi tapioka 2% dan gliserol 0,5% dengan asam lemak stearat dan asam lemak oleat. Karakteristik fisik edible film yang diuji pada tahap II adalah ketebalan dan lightness. Ketebalan Gambar 9 menunjukkan bahwa edible film yang dihasilkan dengan penambahan asam lemak stearat dan asam lemak oleat memiliki ketebalan yang sama. Asam lemak stearat dan asam lemak oleat tidak mempengaruhi ketebalan edible film dari pati bengkoang.
Gambar 9. Pengaruh jenis asam lemak terhadap ketebalan edible film dari pati bengkoang. Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada p<0,05.
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 262 - 270
268
Lightness Gambar 10 menunjukkan lightness pada edible film dengan penambahan asam lemak oleat lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak stearat. Nilai lightness yang tinggi menunjukkan tingkat transparansi yang tinggi pada edible film. Penambahan asam lemak ke dalam film yang terbuat dari hidrokoloid dapat menurunkan tingkat transparansi edible film.
Gambar 10. Pengaruh jenis asam lemak terhadap lightness edible film dari pati bengkoang. Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada p<0,05.
Pengaruh Jenis Asam Lemak terhadap Karakteristik Mekanik Edible Film dari Pati Bengkoang Karakteristik mekanik pada edible film merupakan parameter penting dalam menentukan karakteristik dari edible film tersebut. Kuat Tarik Gambar 11 menunjukkan bahwa kuat tarik pada edible film dengan penambahan asam stearat lebih tinggi daripada edible film dengan penambahan asam lemak oleat.
Gambar 11. Pengaruh jenis asam lemak terhadap kuat tarik edible film dari pati bengkoang.
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada p<0,05.
Asam stearat memiliki sifat hidrofobik lebih tinggi sehingga penambahan asam stearat pada edible film berpengaruh terhadap struktur dari film yang dihasilkan. Struktur polimer matriks pada edible film menjadi lebih kuat ketika berikatan dengan struktur hidrofobik dari asam lemak stearat. Hal tersebut menyebabkan kuat tarik pada edible film yang ditambahkan asam stearat lebih tinggi. Hal tersebut didukung oleh Fernandez et al. (2007) yang melaporkan bahwa penambahan asam lemak stearat menghasilkan edible film dengan kuat tarik yang lebih tinggi.Edible film dengan penambahan asam lemak oleat memiliki nilai kuat tarik yang lebih rendah jauh dibandingkan edible film dengan penambahan asam lemak stearat seperti yang terlihat pada Gambar 11. Asam lemak oleat merupakan asam lemak tak jenuh dengan sifat hidrofilik yang lebih tinggi daripada asam lemak stearat. Asam lemak oleat yang bergabung dengan ikatan polimer pati bengkoang dan tapioka menghasilkan edible film yang lebih rapuh dibandingkan dengan asam lemak stearat. Hal tersebut disebabkan asam lemak oleat mempunyai sifat hidrofilik lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak stearat. Asam lemak oleat menyebabkan diskontinuitas matriks polimer edible film yang berdampak pada penurunan kekuatan kohesi polimer sehingga kuat tarik menjadi lebih rendah (Jimenez et al., 2012). Persen pemanjangan Gambar 12 menunjukkan bahwa persen pemanjangan pada edible film dengan penambahan asam oleat lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan asam lemak stearat. Hal tersebut dapat disebabkan asam oleat yang memiliki sifat polaritas lebih tinggi dibandingkan asam lemak stearat sehingga lebih dapat berikatan dengan gliserol dan bertindak sebagai plasticizer dalam matriks pati yang membuat edible film menjadi lebih fleksibel sebaliknya persen pemanjangan pada edible film yang ditambahkan asam lemak stearat mengalami penurunan. Asam lemak stearat yang berbentuk padat tersebar dalam matriks polimer pati secara makro sehingga distribusi partikel kurang baik. Hal tersebut juga dapat disebabkan oleh sifat hidrofobik yang dimiliki oleh asam lemak stearat yang memicu distribusi partikel pada matriks polimer pati yang tidak merata. Fleksibilitas dari edible film yang dihasilkan ditandai dengan persen pemanjangan yang semakin tinggi (Jimenez, 2012).
Pengaruh Penambahan Pati Bengkoang …………………... Melanie Cornelia
269
Gambar 12. Pengaruh jenis asam lemak terhadap Pemanjangan edible film dari pati bengkoang. Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada p<0,05.
Laju Transmisi Uap Air Gambar 13 menunjukkan bahwa laju transmisi uap air edible film dengan penambahan asam oleat lebih tinggi daripada edible film yang ditambahkan asam lemak stearat. Hal tersebut menunjukkan bahwa asam oleat kurang baik dalam menurunkan laju transmisi uap air edible film dari pati bengkoang dan tapioka.
Gambar 13. Pengaruh jenis asam lemak terhadap laju transmisi uap air edible film dari pati bengkoang. Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada p<0.05
Asam lemak stearat adalah asam lemak jenuh dengan rantai hidrokarbon terpanjang. Asam lemak stearat memiliki mobilitas rantai yang rendah. Sifat hidrofobik dari asam lemak stearat dapat mengurangi laju transmisi uap air
dari edible film berbasis polisakarida (Ayranci dan Tunc, 2001). Asam lemak oleat merupakan asam lemak tak jenuh yang memiliki sifat polaritas lebih tinggi dibandingkan dengan asam stearat. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 13 yang menunjukkan laju transmisi uap air dari edible film dengan penambahan asam lemak oleat lebih tinggi daripada asam lemak stearat. Edible film dari pati bengkoang kemungkinan memiliki sifat polaritas yang lebih tinggi dapat mengurangi kekuatan kohesif antar rantai polimer sehingga memicu difusi molekul air. Menurut Fabra et al. (2008) interaksi yang kuat dari kelompok polar asam oleat dan air menyebabkan molekul asam oleat masuk ke matriks polimer film dan menyebabkan gaya tarik menarik antara molekul. Gaya tarik-menarik tersebut menyebabkan kohesif antarrantai polimer menurun. Penentuan Edible Film dengan Karakteristik Terbaik pada Tahap II Penentuan edible film dari pati bengkoang dengan karakteristik terbaik pada tahap II didasarkan pada karakteristik mekanik yaitu laju transmisi uap air. Perlakuan asam lemak yang ditambahkan pada edible film bertujuan untuk memperbaiki karakteristik laju transmisi uap air sehingga karakteristik laju transmisi uap air dijadikan sebagai penentu jenis asam lemak terbaik pada tahap II. Menurut Ayranci dan Tunc (2001), tujuan utama penambahan asam lemak adalah menurunkan laju transmisi uap air. Edible film yang ditambahkan asam lemak stearat memiliki laju transmisi uap air yang lebih rendah dibandingkan dengan edible film yang ditambahkan asam lemak oleat. Penambahan asam lemak stearat dan asam lemak oleat menghasilkan edible film dengan ketebalan hampir sama sehingga ketebalan tidak dipengaruhi oleh jenis asam lemak. Edible film yang ditambahkan asam lemak stearat memiliki kuat tarik yang lebih tinggi dan persen pemanjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan edible film yang ditambahkan asam lemak oleat. Oleh karena itu edible film dengan karakteristik fisik dan mekanik terbaik pada tahap II adalah edible film dari pati bengkoang dengan penambahan asam lemak stearat. KESIMPULAN Edible film dari pati bengkoang memiliki karakteristik fisik dan mekanik terbaik pada konsentrasi tapioka 2% dan gliserol 0,5%. Edible film tersebut memiliki kuat tarik dan persen
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 262 - 270
270
pemanjangan yang cukup baik walaupun laju transmisi uap airnya kurang baik. Penambahan asam lemak stearat dapat memperbaiki laju transmisi uap air edible film dari pati bengkoang walaupun disertai dengan penurunan persen pemanjangan. DAFTAR PUSTAKA Al-Hassan A. A. and M. H. Norziah. 2012. Starch-gelatin edible films: Water vapor permeability and mechanical properties as affected by plasticizers. Food Hydrocolloid 26 (1): 108-117. Ayranci E. and Tunc S. 2001. The effect of fatty acid content on water vapor and carbon dioxide transmission of cellulose-based edible film. Food Chemistry 72 (2): 231236. Baker, R., E. Baldwin and M. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible coatings and films for processed foods. In Journal M. Krochta, E. A. Baldwin, & M. O. NisperosCarriedo (Eds.), Edible Coatings and Films to Improve Food Quality pp. 89– 104. New York: Technomic Publishing Co., Inc. Chang, Y. P., A. Abd Karim, and C. C. Seow. 2006. Interactive plasticizing– antiplasticizing effects of water and glycerol on the tensile properties of tapioca starch films. Food Hydrocolloid 20 (1): 1-8. Chen, C. H. and L. S. Lai. 2008. Mechanical and water vapor barrier properties of tapioca starch decolorized hsian-tsao leaf gum films in the presence of plasticizer. Food Hydrocolloids 22 (8): 1584-1595. Chen, C. H, W. S. Kuo, and L. S. Lai. 2009. Effect of surfactants on water barrier and physical properties of tapioca starch/decolorized hsian-tsao leaf gum films. Food Hydrocolloids 23 (3): 714721. Fabra, M. J., P. Talens, and A. Chiralt. 2008. Tensile properties and water vapor permeability of sodium caseinate film containing oleicacid-beeswax mixtures. Journal of Food Engineering 85 (3): 393400 Fernandez, L., E. D. Apodaca, M. Cebrian, M. C. Villaran, and J. I. Mate. 2007. Effect of the unsaturation degree and concentration of fatty acids on the properties of WPI-based edible films. Euro Food Res Technol 224: 415-420. Fama,LRojas, S. Goyanes, and L. Gerschenson. 2005. Mechanical properties of tapiocastarch edible films containing sorbates.
LWT 38 (6): 631-639. Han, C., Y. Zhao, S. W. Leonard, and M. G. Traber. 2004. Edible coatings to improve storability and enhance nutritional value of fresh and frozen strawberries (Fragaria × ananassa) and raspberries (Rubus ideaus). Post Harvest Biology and Technology 33 (1): 67-78. Irianto, H. E., Darmawan, M., dan Mindarwati, E. 2006. Pembuatan edible film komposit karaginan, tepung tapioka, dan lilin lebah (bees wax). Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 2 (1): 93-101. Janssen, L. P. B. M and Moscicki, L. 2009. Thermoplastic Starch: A Green Material forVarious Industries. Weinheim: WileyVCH. Jimenez, A., M. J. Fabra, P. Talens, dan A. Chiralt. 2012. Effect of re-crystallization on tensile, optical and water vapor barrier properties of corn starch films containing fatty acids. Food Hydrocolloid 26 (1): 302-310. Krochta, J. M. and C. De Mulder-Johnston. 1997. Edible and biodegradable polymer films: challenges and opportunities. Food Technology 51 (2): 61-74 Mali, S., M. V. E. Grossmann, M. A. Garcia, M. A. Martino, M. N., and N. E. Zaritzky. 2005. Mechanical and thermal properties of yam starch films. Food Hydrocolloid 19 (1): 157-164. Matsui, K.N.,F.D.S. Larotonda,S.S. Paes,D.B. Luiz, A. T. N. Pires, and J. B. Laurindo. 2004. Cassava bagasse-Kraft paper composites: analysis of influence of impregnation with starch acetate on tensile strength and water absorption properties. Carbohydrates Polymers 55 (3): 237-243. Suryadi M. O. Aplikasi Pati Ganyong dan Gliserol sebagai Edible Coating pada Stroberi (Fragaria ananasa). Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan, UPH, Tangerang, 2011. Wang, X., X. Sun, H. Liu, M. Li, and Z. Ma. 2011. Barrier and mechanical properties of carrot puree films. Food and Bioproducts Processing 89 (2): 149-156.
Pengaruh Penambahan Pati Bengkoang …………………... Melanie Cornelia
271
PENGARUH RADIASI GAMMA TERHADAP SIFAT MEKANIK UHMWPE UNTUK TIBIAL TRAY The Effect of Gamma Radiation on The Mechanical Properties of UHMWPE for Tibial Tray
Sulistioso Giat Sukaryo1 , Nurul Laili Arifin2 , Sudaryo2, Sudirman 1,3 1
Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN)-BATAN Kawasan Puspiptek, Serpong 15314, Tangerang Selatan 2 Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir (STTN)-BATAN,Yogyakarta 3 Jurusan Kimia, FMIPA-UI,Kampus UI Baru, Depok E-mail:
[email protected] Received 17 September 2012; revised 21 September 2012; accepted 23 Oktober 2012
ABSTRAK Dalam ortopedi UHMWPE sering digunakan sebagai bantalan materi (tibial tray) pada sendi lutut buatan. Namun dalam penggunaannya, keausan bahan UHMWPE merupakan salah satu faktor utama yang memperpendek umur pakai sendi lutut buatan sehingga diperlukan metode untuk meningkatkan sifat mekanik UHMWPE. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh radiasi sinar gamma terhadap sifat mekanik dan tingkat keausan dari UHMWPE sehingga dapat memenuhi kualifikasi bahan baku pembuatan tibial tray serta mengetahui dosis optimum yang diperlukan UHMWPE agar diperoleh bahan yang tahan terhadap keausan dan memiliki sifat mekanik yang lebih baik. Pembuatan tibial tray dilakukan dengan metode molding pressure dengan radiasi gamma. Pembuatan film UHMWPE dilakukan dengan hot press pada 170 °C selama 3 menit dan 2 o tekanan 200 kg/cm . Kemudian film tersebut dipanaskan ke dalam furnace pada 128 C selama 100 menit dan diradiasi dengan irradiator karet alam (IRKA) pada dosis 0 kGy, 50 kGy, 100 kGy, 125 kGy dan 150 kGy. Berdasarkan hasil karakterisasi sifat tibial tray dengan XRD, FT-IR, alat uji tarik, alat uji kekerasan, dan alat uji keausan, dapat disimpulkan bahwa efek radiasi terhadap polimer UHMWPE adalah terbentuknya ikatan silang dan degradasi bahan. Sehingga, semakin tinggi dosis radiasi dihasilkan sifat bahan yang semakin keras serta tahan terhadap aus. Selain itu, dapat diketahui bahwa dosis 100 kGy merupakan dosis optimal untuk meningkatkan sifat mekanik bahan Kata kunci : UHMWPE, Tibial tray, Hot press, Radiasi gamma, Ikatan silang, Degradasi, Dosis radiasi.
ABSTRACT Orthopedic UHMWPE is as often used bearing material (tibial tray) on the artificial knee joint. However, wearing and tearing of UHMWPE material is one of the major factors that shorten the life of an artificial knee joint as the necessary methods to improve the mechanical properties of UHMWPE. This study aims to determine the effect of gamma radiation on the mechanical properties and the wearing rate of UHMWPE determine the qualifications of tbial tray raw material as well as optimum dose required to obtain the wearing and tearing-resistant material with a good mechanical properties UHMWPE films was prepared by hot press at a 170 °C for 3 minutes and a 2 o pressure of 200 kg/cm Film was then heated in a furnace at 128 C for 100 minutes and irradiated with natural rubber irradiator (IRKA) at doses of 0 kGy, 50 kGy, 100 kGy, 125 kGy, and 150 kGy. Based on the characterization of tibial tray properties by XRD, FT-IR, tensile tester, hardness tester, and wear tester was concluded that the effects of radiation on UHMWPE polymer is structural crosslinking and degradation of materials. The higher dose of radiation results in the harder and wearing-resistant material. In addition, the optimum dose (100 kGy) improved the mechanical properties of materials . Key words : UHMWPE, Tibial tray, Hotpress, Gamma radiation, Crosslinking, Degradation, Radiation dose.
PENDAHULUAN Ultra-High Molecular Weight Polyethylene (UHMWPE) merupakan polimer yang stabil terhadap bahan kimia, tahan terhadap abrasi
dan penyobekan. Sejak tahun 1970, UHMWPE juga telah digunakan dalam ortopedi sebagai bantalan (tibial tray) pada sendi lutut buatan.
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 271 - 280
272
Namun, dalam penggunaannya, keausan yang disebabkan oleh pengaruh gesekan material UHMWPE merupakan salah satu faktor utama yang memperpendek umur pakai sendi lutut buatan (Fang, Hsu and Sengers 2003). Telah banyak penelitian yang melaporkan bahwa pembuatan tibial tray dari Ultra High Molecular Weight Polyethylene (UHMWPE) dengan memodifikasi sehingga dapat meningkatkan ketahanan mekaniknya, diantaranya pemanasan dengan iradiasi sinar gamma, radiasi berkas elektron (electron beam) (McKellop, et al. 1999), serta metode molding pressure tanpa iradiasi (Wang and Ge 2007). Metode molding pressure memiliki beberapa keuntungan, antara lain: Metode ini tidak membutuhkan tambahan mesin pencetak seperti pada proses pembuatan UHMWPE secara konvensional (Steven 2003). Pemberian suhu di atas titik leleh o UHMWPE pada (Talat = 170 C), dapat menurunkan titik viskositas pelelehan (melt viscocity) UHMWPE sehingga dapat meningkatkan pergerakan rantai polimer, meningkatkan kekerasan dalam UHMWPE dan memudahkan proses pencetakan UHMWPE (Wang and Ge 2007; Steven 2003). Pemberian 2 tekanan (sebesar 200 kg/cm ) pada metode ini, menyebabkan pemanasan menjadi merata ke seluruh bagian UHMWPE sehingga dapat mengurangi adanya gelembung udara yang terjebak (Retno 2011). Pada metode iradiasi dapat menghasilkan radikal bebas yang dapat menyebabkan pembentukan ikatan silang (crosslinking) dan pemecah rantai (degradasi) polimer antara molekul polietilen yang berdekatan. Pembentukan ikatan silang dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja penggunaan Polietilen (PE). Laboratorium hip simulator telah melakukan tes pakai dan menunjukkan bahwa ada penurunan tingkat keausan dengan adanya peningkatan derajat crosslinked PE (Steven 2003). Ikatan silang dapat dilakukan melalui iradiasi sinar gamma, yang pada umumnya bersumber dari kobalt (Co-60), dengan penetrasi ke UHMWPE yang tidak terbatas. Dosis radiasi merupakan salah satu variabel yang dapat mempengaruhi sifat mekanik polimer. Dengan peningkatan dosis radiasi (D), maka terjadi penurunan tingkat keausan secara signifikan pada dosis 100 kGy hingga 150 kGy, dan terus mengalami penurunan hingga batas tertentu (Lewis 2001) Kekerasan UHMWPE semakin meningkat seiring bertambahnya dosis radiasi pada kisaran 0 kGy hingga 500 kGy dengan nilai kekerasan 64-68 shore (Rosario and Silva 2006).
Selain itu, hasil pengujian menunjukkan bahwa tingkat keausan metode Slab Compression Molded (SCM) dengan iradiasi polimer (60 kGy) adalah sekitar 63% lebih rendah dari metode SCM standar (30 kGy) (John, Kenneth and Poggie 2003). Hal ini menandakan bahwa melalui cara iradiasi, dapat meningkatkan sifat mekanik dan kimia material (Abt, et al. 2003). Namun, J-integral (ukuran ketangguhan patah) akan mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya dosis, sehingga hal ini membuat situasi yang tidak diinginkan. Keterkaitan antara dosis serap radiasi terhadap sehat mekanik UHMWPE menunjukkan hubungan yang paradoksial serta ketergantungan sigmoidal yang perlu diteliti. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan serbuk Ultra High Molecular Weight Polyethylene (UHMWPE) dengan berat molekul sebesar (3-6 juta) g/mol merek Sigma-Aldrich USA, alumunium foil dan kertas transparansi. Alat yang digunakan meliputi : iradiator, cetakan plat berbentuk kotak dengan ukuran (20 2 x 20) cm , alat tekan panas (hotpress-hydraulics type = pj16h; kapasitas = 16 ton dan No.serial = 39326) dan alat tekan dingin (coldpress). Peralatan uji keausan meliputi: pengaus (terbuat dari alumina ), beban pengaus, dan holder sampel. Alat pencetak dumbell, mikrometer sekrup, Peralatan uji sifat mekanik merek Toyoseiki, Hardness tester (Zwick ISO/R 868), Furnace, gunting, alat FT-IR dan alat XRD merek Shimadzu Difractometer XD-610. Metode Pembuatan Film UHMWPE Cetakan plat berbentuk persegi ukuran 2 (20 x 20) cm dengan dan tebal 0,5 mm diisi serbuk UHMWPE sebanyak 12 gram. Kemudian dikompaksi pada suhu 170 °C pada tekanan 2 sebesar 200 kg/cm dan ditahan selama 3 menit. Setelah itu, sampel dikeluarkan dari alat tekan panas (hotpress) dan dimasukkan ke dalam alat tekan dingin (coldpress) selama 10 menit kemudian dikeluarkan dari cetakan. Hasil dari proses ini, berupa film UHMWPE berbentuk 2 persegi ukuran (20 x 20) cm dengan ketebalan 0,5 mm. Pembuatan Sampel Tibial Tray Film UHMWPE dipotong berbentuk lingkaran dengan diameter 35 mm sebanyak 12 buah. Hasil potongan film tersebut dijadikan satu dan dilapisi dengan alumunium foil.
Pengaruh Radiasi Gamma …………………... Sulistioso Giat Sukaryo dkk
273
Selanjutnya potongan film tersebut dipanaskan o ke dalam furnace dengan suhu 128 C selama 100 menit. Iradiasi UHMWPE dengan Sinar Gamma Sampel dimasukkan ke dalam ampul kemudian diiradiasi dengan sinar gamma (γ) menggunakan sumber yang berasal dari 60 radioisotop Co . Iradiasi dilakukan dengan alat Iradiator Karet Alam (IRKA) dengan dosis 50 kGy, 100 kGy, 125 kGy, dan 150 kGy pada laju dosis 9,9 kGy/jam. Sampel yang diradiasi berbentuk film uji tarik sesuai ASTM D1822L dan film UHMWPE yang telah dibentuk tibial tray. Karakterisasi a. Kekerasan Uji kekerasan dilakukan dengan cara sampel diukur ketebalannya (tebal minimal 6 mm). Sampel diletakkan pada tempat yang rata kemudian dilakukan uji kekerasan dengan alat uji keras shore A untuk 1 kg. Setiap uji dilakukan selama 15 detik, skala uji kekerasan shore A berkisar antara 0 hingga 100. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Nilai kekerasan shore A dikonversi ke dalam shore (Retno 2011). b. Keausan Film UHMWPE dipotong dengan ukuran 2 (10 x 20) mm dan tebal 2 mm. Kemudian, sampel UHMWPE ditimbang beratnya. Setelah itu, sampel yang akan diuji dimasukkan ke dalam holder, diberi beban gesek dan digesekkan pada permukaan pengaus dengan waktu, beban dan kecepatan pengausan yang telah ditentukan. Hasil penggesekan bahan ini pengurangan massa bahan akibat kontak antar permukaan. Penentuan tingkat keausan pada bahan berdasarkan volume keausan material. Semakin besar volume keausan maka semakin tinggi bahan yang terlepas dari sampel. Besarnya volume keausan sampel dapat ditentukan dengan Persamaan (1)
c. Kekuatan Tarik Film UHMWPE diukur kekuatan tariknya dengan alat uji kekuatan tarik (Tensile Strength). Film UHMWPE dicetak di alat pencetak dumbel sehingga berbentuk dog bone yang sesuai standar ASTM D1822L. Dumbell memiliki ukuran panjang (Lo) = 69 mm, lebar sebesar (Wo) = 10 mm, lebar bagian tengah sebesar (Wc) = 3 mm
dengan panjang (D) = 27 diperlihatkan pada Gambar 1.
mm,
seperti
Gambar 1. Spesimen Dumbell ASTM D 1822 L
Film diukur ketebalannya terlebih dahulu dengan mikrometer sekrup. Setelah itu, film dijepit diantara kedua pendulum dalam alat Toyoseiki. Sampel ditarik sampai putus dengan kecepatan konstan 100 mm/menit sehingga dapat diketahui besarnya gaya maksimum dan persen perpanjangan putus sampel saat putus. Pengukuran dilakukan sebanyak lima kali ulangan (Retno 2011). d. Penentuan Derajat Kristalinitas Pengukuran derajat kristalinitas dengan XRD, dilakukan dengan cara sampel UHMWPE 2 ukuran tertentu (± 2 x 2) cm ditempelkan pada spesimen holder dengan perekat ganda yang kemudian diletakkan pada goniometer dan dirotasikan pada sudut difraksi (2θ) antara10° hingga 30°. Polimer UHMWPE merupakan jenis polimer semikristalin sehingga ada dua jenis puncak yang terlihat dalam difraktogram hasil XRD, yaitu puncak yang tajam dan puncak yang lebar. Puncak yang tajam adalah daerah kristalin, sedangkan puncak yang lebar adalah daerah amorf. Derajat kristalinitas sampel dapat ditentukan melalui difraktogram hasil XRD berdasarkan luasan puncak tersebut dengan menggunakan Persamaan (2) (Retno 2011):
Dimana: Dk = Derajat kristalinitas (%) 2 Akristalin = Luas daerah kristalin (cm ) 2 Aamorf = Luas daerah amorf (cm ) Penentuan Gugus Fungsi Analisis sampel dilakukan dengan cara UHMWPE dalam bentuk film dikarakterisasi dengan spektroskopi FT-IR. Pengujian dilakukan -1 pada bilangan gelombang 4000 cm hingga 400 -1 cm . Estimasi Indexs Oksidasi Total (Iox) sesuai ISO 5834-4, dilakukan dengan cara analisis
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 271 - 280
274
-1
spektrum FT-IR pada daerah 1200 cm hingga -1 2000 cm dan peak tertinggi di rentang daerah tersebut (dalam hal ini dipilih pada peak -1 1365cm ). Kemudian dicari dan dicatat %transmitan peak pada daerah dengan tingkat oksidasi tertinggi (berdasarkan literatur pada -1 -1 rentang 1650 cm hingga 1850 cm ). Sesuai dengan ISO 5834-4, persamaan yang digunakan adalah Persamaan (3) (Magda, Alexandra, and Herman 2009) Total Oxidation Indexs (IOx)
…(3)
Sedangkan untuk penentuan trans-vinilen index dianalisis dengan cara dilakukan pengamatan keberadaan gugus fungsi transvinilen (CH=CH2) yang terdapat pada spektrum FT-IR sebelum dan setelah iradiasi gamma. Berdasarkan referensi, gugus fungsi trans-vinilen terdapat pada daerah bilangan -1 -1 gelombang 800 cm hingga 1000 cm (Greer, King and Chan 2003). HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan secara visual, efek penyerapan sinar gamma pada dosis tinggi terhadap materi (UHMWPE) adalah terjadinya perubahan warna tibial (seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2).
Pada dosis 125 kGy hingga 150 kGy, tibial berubah warna dari putih menjadi putih buram. Adanya perubahan warna pada polimer menunjukkan bahwa untuk dosis tersebut polimer telah mengalami degradasi. Peristiwa 60 degradasi diakibatkan oleh Coyang memancarkan sinar gamma berenergi rata-rata 1250 MeV. Karena Eγ > Epemutus ikatan (Energi pemutus 1 ikatan adalah ± 20 eV), artinya efek radiasi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya pemutusan ikatan (Basuki 2000). Akibat pemutusan ikatan berakibat terbentuknya radikal polimer. Radikal polimer (R.) dengan oksigen dapat bereaksi dengan mudah membentuk radikal peroksi polimer (ROO) (Wiwik, Subono and Rahmat 1994). Kemudian, radikal bebas peroksi bereaksi dengan hidrogen dan membentuk hidroperoksida yang tidak stabil dan menurunkan produk menjadi oksidasi, terutama keton dan ester (Wang and Ge 2007). Keberadaan produk tersebut dapat dibuktikan melalui spektrum FTIR hasil iradiasi UHMWPE pada dosis 125 kGy hingga 150 kGy. Produk oksidasi hasil iradiasi sinar gamma berupa spesies karbonil yang terletak -1 pada bilangan gelombang 1710 cm hingga -1 1740 cm . Hidroperoksida dan alkohol pada -1 -1 3450 cm hingga 3350 cm sedangkan eter dan kelompok –C-O-C- terletak pada bilangan -1 -1 gelombang 1100 cm hngga 1400cm (Magda, Alexandra, and Herman 2009).
Gambar 2. Perubahan warna tibial polimer UHMWPE
Pengaruh Radiasi Gamma …………………... Sulistioso Giat Sukaryo dkk
275
Gambar 3 memperlihatkan spekturm FT-IR dari gugus fungsi oksidasi dari hasil iradiasi UHMWPE. Apabila besarnya tingkat oksidasi dari Indexs Oksidasi Total (Iox) dilakukan perhitungan secara kuantitatif berdasarkan ISO 5834-4 maka didapatkan bahwa untuk dosis 125 kGy dan 150 kGy adalah 3,66 dan 4,13.
Gambar 3. Spektrum F-IR dari hasil oksidasi UHMWPE.
Pengaruh Dosis Radiasi Gamma Terhadap Kekerasan dan Derajat Kristalinitas UHMWPE a. Kekerasan Bahan Radiasi sinar-γ dapat mempengaruhi kekerasan polimer UHMWPE. Berdasarkan hasil pengujian kekerasan, dapat diketahui bahwa besarnya dosis radiasi berbanding lurus terhadap nilai kekerasan polimer UHMWPE (Shore A) diperlihatkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Hubungan dosis radiasi terhadap nilai kekerasan
Selain itu, berdasarkan hasil pengukuran terdahulu diketahui bahwa nilai kekerasan polimer UHMWPE terletak pada kisaran 38 - 46 (shore D) dan nilai kekerasan terbesar terjadi pada dosis 150 kGy yaitu 46 (shore D) dengan peningkatan kekerasan sebesar 21%. Nilai tersebut mendekati hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa nilai kekerasan UHMWPE semakin tinggi seiring bertambahnya dosis iradiasi dan berada pada kisaran (45,36 46,39) shore D. Terjadinya peningkatan kekerasan bahan seiring meningkatnya dosis dapat dikarenakan beberapa faktor. Semakin tinggi dosis iradiasi, maka semakin banyak radikal yang terjadi dan menyebabkan kenaikan jumlah reaksi terminasi antara ikatan rangkap pada rantai utama terhadap sisa rantai monomer yang masih aktif. Reaksi ini menghasilkan kenaikan jumlah ikatan silang. Semakin banyak rantai yang terbentuk setiap satuan waktu maka semakin banyak pula jumlah ikatan rantai yang terjadi dan selanjutnya meningkatkan kekerasan (Marsongko 1997). Peristiwa terjadinya ikatan silang pada polimer UHMWPE hasil radiasi ditandai dengan keberadaan produk hasil ikatan silang yaitu kehadiran cis-vinilen dan trans-vinilen (dalam fasa amorf) dan trans-vinilen (dalam fasa kristalin) (Steven 2003). Pada spektrum FT-IR, keberadaan trans-vinilen terletak pada daerah -1 bilangan gelombang 964,3372 cm . Berdasarkan puncak spektrum FT-IR, diperoleh bahwa tinggi puncak UHMWPE pada dosis.150 kGy lebih tinggi daripada dosis 125 kGy. Sedangkan untuk film UHMWPE yang belum diradiasi (0 kGy), tidak menunjukkan adanya puncak FT-IR yang terbentuk. Hal ini berarti, ikatan silang yang terbentuk pada dosis 150 kGy lebih banyak daripada dosis 125 kGy, untuk dosis 0 kGy,belum terbentuk ikatan silang. Hal ini seperti diperlihatkan pada Gambar 5. Pengaruh dosis radiasi terhadap kekerasan polimer UHMWPE ditandai dengan tingkat kristalinitas bahan. Kristalinitas sangat berguna bagi polimer. Semakin meningkat kristalinitas suatu polimer, maka polimer tersebut memiliki ketahanan terhadap pelarut dan membuat polimer menjadi kaku dan lebih kuat b. Kristalinitas Bahan Kristalinitas suatu polimer dapat dinyatakan melalui derajat kristalinitas. Hanya polimer yang mempunyai fasa semi kristalin yang dapat ditentukan harga derajat kristalinitasnya (Sudirman 1994). Polimer UHMWPE merupakan polimer yang bersifat semi kristalan. Hal ini ditunjukan dari hasil pengukuran dengan XRD ..
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 271 - 280
276
Gambar 5. Spektrum FT-IR dari trans-vinilen
Gambar 6. Difaktogram XRD dari UHMWPE
Berdasarkan hasil pengamatan pada difaktogram UHMWPE, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6, memperlihatkan bahwa pada polimer UHMWPE diperoleh daerah amorf dan daerah kristalin. Gambar 7 memperlihatkan hubungan dosis radiasi dengan derajat kristalinitas dari UHMWPE dengan dosis 0 kGy hingga-100 kGy. Dari Gambar 7 tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan derajat kristalinitas tertinggi terletak pada dosis 100 kGy yaitu sebesar 7,89 %. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Kim and Nho 2009) bahwa semakin tinggi dosis radiasi, maka semakin tinggi derajat kristalinitasnya. Namun, peningkatan derajat kristalinitas pada dosis tersebut tidak terjadi secara signifikan, artinya peningkatan kekerasan bahan hanya meningkat 1 satuan shore A atau shore D.
Gambar 7. Hubungan dosis dadiasi (kGy) terhadap derajat kristalinitas UHMWPE
Pengaruh Radiasi Gamma …………………... Sulistioso Giat Sukaryo dkk
277
Sedangkan untuk dosis 125 kGy hingga150 kGy memperlihatkan kristalinitas UHMWPE mengalami penurunan. Penurunan derajat kristalinitas dikarenakan terjadinya degradasi. Proses degradasi melalui oksidasi mengakibatkan terjadinya migrasi radikal dari fasa kristalin ke bagian permukaan amorf (Suliwarno 1997) Namun, penurunan derajat kristalinitas bahan pada dosis 125 kGy hingga 150 kGy tidak berpengaruh terhadap kekerasan bahan. Hal ini dikarenakan, penurunan derajat kristalinitas pada dosis tersebut sangat kecil yaitu 0,15 % hingga 5,6 % dari dosis semula. Pengaruh Radiasi terhadap Hasil Uji Tarik Berdasarkan hasil pengukuran, nilai modulus elastisitas polimer UHMWPE yang telah diradiasi pada dosis 0 kGy hingga 150 kGy terletak pada jangkauan 28,052 MPa hingga 142,203 MPa dan dari hasil uji tarik diketahui bahwa semakin tinggi dosis maka semakin besar modulus elastisitas suatu polimer UHMWPE. Modulus elastisitas yang meningkat diakibatkan oleh laju tegangan yang tinggi. Sehingga renggangannya mengecil dan bahan mudah patah (Suliwarno 1997). Selain itu, modulus dari polimer semikristal dipengaruhi oleh derajat kristalinitas polimer. Nilai modulus elastisitas berbanding lurus dengan derajat kristalinitas. Selain itu, kenaikan dosis juga berdampak pada tegangan dan % perpanjangan putus polimer UHMWPE. Semakin tinggi dosis nilai tegangan luluh polimer UHMWPE dan % perpanjangan putus bahan mengalami penurunan. Kenaikan dosis iradiasi menurunkan perpanjangan putus bahan diakibatkan adanya kenaikan jumlah ikatan silang.
Gambar
8. Hubungan dosis modulus elastisitas
radiasi
terhadap
Jika film ditarik/direnggangkan, rantai polimer yang tidak berikatan silang relatif mudah bergerak satu terhadap yang yang lain sehingga menghasilkan renggangan yang tinggi sebelum putus. Apabila jumlah ikatan silang antara rantairantai polimer ini meningkat, rantai polimer menjadi tidak mudah bergerak satu dengan yang lain, sehingga nilai perpanjangan putusnya mengalami penurunan (Wiwik, Subono,and Rahmat. 1994). Tegangan luluh bahan hasil pengujian tarik terletak pada kisaran 29 MPa hingga 41 MPa. Nilai tersebut sesuai dengan ISO 5834-2 (standar produk untuk implant) sebesar > 19 MPa. Nilai tegangan maksimum dan % perpanjangan putus hasil radiasi diperlihatkan pada Gambar 9 dan Gambar 10.
Gambar 9. Hubungan dosis radiasi (kGy) terhadap tegangan maksimum (MPa)
Gambar 10. Hubungan dosis radiasi (kGy) terhadap % perpanjangan putus.
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 271 - 280
278
Pengaruh Radiasi terhadap Keausan UHMWPE Berdasarkan hasil uji keausan yang tertera pada Gambar 11 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis maka semakin meningkat ketahanan bahan terhadap terjadinya keausan (akibat perilaku mekanik). Dalam hal ini ketahanan aus ditandai dengan volume keausan bahan yang terlupas semakin menurun saat dilakukan penggesekan. Nilai penurunan volume keausan terbesar terjadi pada dosis 125 kGy sebesar 28,11%. Sedangkan untuk dosis 50 kGy dan 100 kGy, peningkatan ketahanan aus sebesar 11,1% dan 22,21%. Permukaan yang keras dan licin akan meningkatkan ketahanan aus UHMWPE. Secara kualitatif, hasil uji keausan diamati morfolgi permukaannya dengan mikroskop optik. Berdasarkan hasil pengamatan, yang tertera pada Gambar 12, kerusakan terparah terjadi pada dosis 0 kGy. Pada dosis tersebut bahan tibial tray mengalami pengelupasan dan terdapat goresan di permukaannya. Pengelupasan inilah, yang dinamakan delaminasi sedangkan goresan pada permukaan dinamakan abrasi. Sedangkan untuk dosis 50 kGy hingga 125 kGy, jumlah goresan bahan pada permukaan semakin berkurang.
Terjadinya pengelupasan dan goresan pada bahan diakibatkan oleh adanya keausan adhesif (Adhesive wear) yaitu keausan yang terjadi akibat kontak permukaan antara UHMWPE dengan bahan penggesek (alumina). Kemudian, interaksi ini mengakibatkan proses adhesif dan mengakibatkan terjadinya pelepasan bahan UHMWPE (ditandai dengan terjadinya pengurangan massa bahan).
Gambar 11. Hubungan dosis radiasi (kGy) terhadap -03 3 volume keausan x10 (cm )
Gambar 12. Hasil uji aus tibial tray pada dosis : (a). 0 kGy, (b) 50 kGy (c) 100 kGy dan (d) 125 kGy.
Pengaruh Radiasi Gamma …………………... Sulistioso Giat Sukaryo dkk
279
Tabel 1. Sifat mekanik dari HDPE dan UHMWPE Property Tensile Modulus of Elasticity (GPa) 2 Tensile Yield Strength (N/mm ) 2 Tensile Ultimate Strength (N/mm ) 2 Tensile Ultimate Elongation (N/mm ) Degree of Crystallinity (%)
HDPE 0,4-4,0 26-33 22-31 10-1200 60-80
UHMWPE 0,8-1,6 21-28 39-48 350-525 39-75
Tabel 2. Hasil pengujian terhadap Tibial Tray UHMWPE No.
Dosis (kGy)
Tegangan Luluh (MPa)
Kekerasan (Shore A)
%perpanjangan Putus
Derajat Kristalinitas (%)
Volume -3 Keausan x 10 3 (cm )
1. 2. 3.
0 50 100
41,61 36,86 30,71
89 90 91
113,1 107,55 43,1
34,71 34,76 37,46
0,957 0,851 0,744
4. 5.
125 150
29,2 29,13
92 95
26,32 18,15
35,37 35,31
0,688 -
Penentuan Dosis Optimum Persyaratan bahan untuk tibial tray adalah keras, tahan aus, dan tidak getas. Pada penelitian ini hasil yang paling optimum didapat pada dosis 100 kGy. Pemilihan ini didasarkan pada hasil uji tarik, persentase peningkatan nilai kekerasan dan penurunan volume keausan bahan, namun % perpanjangan putus. Dalam aplikasinya tibial tray akan bergesekan dengan knee cap yang terbuat dari paduan logam. Hasil keseluruhan pengujian terhadap tibial tray UHMWPE dapat dilihat pada Tabel1. Dari Tabel 2, untuk dosis 50 kGy memperlihatkan kekerasan meningkat sebesar 1,12 % dan ketahanan aus meningkat sebesar 11,1 %. Sedangkan tegangan luluh menurun sebesar 11,41 %. Sedangkan untuk dosis 100 kGy, menunjukkan bahwa kekerasan bahan meningkat sebesar 2,25 %, ketahanan aus meningkat sebesar 22,21% dan bahan berada pada rentang peningkatan derajat kristalinitas tertinggi sebesar 7,89 %. Pada dosis ini tegangan maksimum bahan turun sebesar 26,2% yang menyebabkan juga terjadinya penurunan elastisitas bahan. Namun, nilai tegangan maksimum pada dosis 100 kGy telah memenuhi standar ISO 5834-2 (standar produk untuk implant) sebesar > 19 MPa. Pada dosis 125 kGy hingga150 kGy, terjadi peningkatan kekerasan lebih tinggi dari dosis 100 kGy. Tapi pada kedua dosis ini, nilai persentase perpanjangan putus sudah sangat rendah atau dapat diartikan bahwa bahan sudah getas, dikarenakan oleh bahan telah mengalami
degradasi. Selain itu, jika ditinjau dari aspek ekonomis, kedua dosis ini lebih membutuhkan biaya yang lebih mahal daripada dosis 100 kGy. KESIMPULAN Semakin tinggi dosis radiasi maka dapat dihasilkan sifat UHMWPE hasil hotpressing yang semakin keras dan tahan terhadap aus. Dosis optimum yang dipakai untuk meningkatkan sifat mekanik bahan terletak pada dosis 100 kGy. Pada dosis 125 kGy hingga150 kGy, terjadi persentase perpanjangan putus sudah sangat rendah atau dapat diartikan bahwa bahan sudah getas, dikarenakan oleh bahan telah mengalami degradasi DAFTAR PUSTAKA Abt, N. A., Schneider, W., Schon, R., dan Rieker, C. B., 2003. Crosslinked and Thermally Treated Ultra-High Molecular Weight Polyethylene for Joint Replacements, ASTMSTP 1445, S. M. Kurtz, R. Gsell, and J. Martell, Eds.p. 228-238, ASTM International, West Conshohocken, PA. Basuki, K. T., 2000. Diktat Kuliah Kimia Radiasi, BATAN: PATN Fang H., Hsu S. M., dan Sengers J. V.2003, Ultra-High Molecular Weight Polyethylene Wear Particle Effects on Bioactivity, NIST Special Publication 1002,
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 271 - 280
280
Greer, K. W., King, R. S., dan Chan, F. W., 2003, "The Effects of Raw Material, Irradiation Dose, and Irradiation Source on Crosslinking of UHMWPE," Crosslinked and Thermally Treated Ultra-High Molecular Weight Polyethylene for Joint Replacements, ASTMSTP 1445, S. M. Kurtz, R. Gsell, and J. Martell, Eds., p 209-219, ASTM. International,West Conshohocken, PA,. John, St., Kenneth. R., dan Poggie, R. A., 2003, "Characterization of the Wear Performance of Crosslinked UHMWPE and Relationship to Molding Procedures," Crosslinked and Thermally Treated Ultra-High Molecular Weight Polyethylene for Joint Replacements, ASTM STP 1445, S. M. Kurtz, R. Gsell, and J. Martell, Eds., p. 220-226, ASTM International, West Conshohocken, PA. Kim, S , Nho, Y.C., 2009, Controlling of Degradation Effects in Radiation Processing of Polymers, Austria, IAEA Pr. Lewis, G., 2001, Properties of crosslinked ultrahigh-molecular-weight polyethylene, Biomaterials, 22 ,p 371- 401. Magda , R., Alexandra, M., dan Herman, M., 2009, Characterization and Accelerated Ageing of UHMWPE Used in Orthopedic Prosthesis by Peroxide, materials ISSN 1996-1944,(2), p. 562-576, Department of Metallurgical and Materials Engineering, Laboratory of Biomaterials and Tissue Engineering Marsongko, 1997, Pengaruh Radiasi Berkas Elektron pada Sifat Lapisan Campuran uretan akrilat-tripopilen Glikol diakrilat, BATAN, Jakarta. McKellop, H., Shen, F., Lu, Bin., Campbell, P., and Salovey, R.1999.Development Of An Extremely Wear-Resistant Ultra High Molecular Weight Polyethylene For Total Hip Replacements.USA Retno, W., 2011, Modifikasi Permukaan Polimer UHMWPE DAN HDPE dengan Iradiasi Sinar Gamma untuk Meningkatkan Kekuatan Mekanik Tibial Tray, Skiripsi, Bogor , Dept.Fisika- FMIPA-IPB Rosario, S.C dan Silva, L.G.A., 2006, Characterization of the virgin and recycled ultra high molecular weight polyethylene irradiated [thesis]. Brazil, Cidade University Steven, K. M., 2003, The UHMWPE handbook, ultra-high molecular weight polyethylene total joint replacement. Principal
Engineer, Exponent, Inc,Philadelphia, PA. Sudirman, 1994, Pengaruh Radiasi Netron Cepat pada Sifat Fisik dan Mekanik PE dan Polistiren, BATAN, Jakarta. Suliwarno A, 1997, Studi Degradasi PP Iradiasi pada Kondisi Lingkungan, Jakarta, BATAN. Wang S, Ge. S, 2007, The mechanical property and tribological ehaviour of UHMWPE, effect of molding pressure. Wear 263, p, 949-956 Wiwik S, Subono, dan Rahmat, S., 1994, Pengkajian Pelapukan Polimer oleh Cuaca. Puslitbang Fisika Terapan, LIPI, Bandung.
Pengaruh Formulasi Edible Film…………………... Guntarti Supeni
281
PENGARUH FORMULASI EDIBLE FILM DARI KARAGENAN TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN BARRIER (EFFECT OF FORMULATION EDIBLE FILM FROM CARRAGENAN TO MECHANICAL AND BARRIER PROPERTIES)
Guntarti Supeni Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Received 19 September 2012; revised 28 September 2012; accepted 2 Oktober 2012
ABSTRAK Edible film adalah film yang terbuat dari satu atau beberapa jenis bahan pangan (food grade) dan dapat dikonsumsi tanpa menimbulkan pengaruh yang membahayakan. Karagenan merupakan sumber daya alam yang potensial, seiring dengan meningkatnya kepedulian konsumen terhadap lingkungan. Oleh karena itu penelitian pembuatan kemasan layak santap (edible film) dari karagenan perlu untuk dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh formulasi pada karakteristik edible film dari karagenan untuk kemasan makanan. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pada penambahan 3% gliserol, semakin besar jumlah karagenan yang digunakan, maka semakin tebal edible film yang dihasilkan dengan kuat tarik dan elongasi yang semakin turun. Sedangkan pada hasil uji Water Vapor Transmission Rate (WVTR), semakin besar jumlah karagenan yang digunakan, WVTR yang dihasilkan semakin rendah. Dari hasil analisis sidik ragam, ada perbedaaan yang nyata antara rata-rata hasil pengujian dari kelima persentase karagenan. Kata kunci : Edible film, Karagenan, Water vapor transmission rate, Gliserol
ABSTRACT Edible film is a film made of one or several types of food grade materials, and can be consumed without causing harmful effects. Carrragenan is a potential natural resources, with increasing consumer concern for the environment, it is necessary to study the making of edible film from carrageenan. The purpose of this research is to study the effect of formulations on the characteristic of edible film from carrragenan for food packaging. From the results are concluded that the increasing carrageenan concentration resulted increasing in the thickness of edible film by adding a fix glycerol concentration at 3% coresponding to getting down tensile strength and elongation. In the result of Water Vapor Transmission Rate (WVTR) test increasing amount of carrageenan causes decreasing WVTR. The analysis of variance, there were significant differences between the average test results of five percentage carrageenan. Key words: Edible film, Carragenan, Water vapor transmission rate, Glycerol
PENDAHULUAN Edible film merupakan lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk untuk melapisi makanan (coating) atau diletakkan diantara komponan makanan (film) yang berfungsi sebagai penghalang (barrier) terhadap perpindahan massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipida, zat terlarut) dan atau sebagai pembawa aditif serta untuk meningkatkan penanganan suatu makanan (Krochta 1992). Edible film memiliki keuntungan sifat dibanding bahan kemasan biasa karena dapat
meningkatkan daya simpan bahan pangan dan dapat meningkatkan nilai gizi bahan pangan yang dikemas, namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut karena lembaran film yang dihasilkan masih mempunyai nilai permeabilitas terhadap uap air dan gas oksigen yang besar. Nilai permeabilitas sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sifat kimia polimer, struktur dasar polimer, dan sifat komponen. Semakin tinggi tingkat kepedulian konsumen terhadap lingkungan, terutama terhadap sampah plastik sebagai pembungkus
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 281 - 285
282
produk pangan yang sulit diurai dan didaur ulang serta menimbulkan masalah pencemaran, memberikan tantangan baru bagi para pengolah produk pangan untuk untuk memanfaatkan edible film. Edible film dihasilkan dari edible biopolymer dan aditif tara pangan (food grade). Pembentukan film biopolimer dapat dari protein, polisakarida (karbohidrat dan gum), atau lipid (Gennadios et al. 1997). Karagenan merupakan senyawa yang termasuk kelompok polisakarida galaktosa hasil ekstraksi dari rumput laut. Sebagian besar karagenan mengandung natrium, magnesium, dan kalsium yang dapat terikat pada gugus ester sulfat dari galaktosa dan kopolimer 3,6-anhydro-galaktosa. Karagenan merupakan hidrokoloid yang potensial untuk dibuat edible film, karena sifatnya yang kaku dan elastis, dapat dimakan, dan diperbarui (Carriedo 1994). Hidrokoloid memiliki kelebihan antara lain kemampuan yang baik melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida, dan lipid serta sifat mekanis yang diperlukan. Karagenan dibedakan berdasarkan kandungan sulfatnya menjadi dua fraksi yaitu kappa karagenan yang mengandung sulfat kurang dari 28% dan iota karagenan jika lebih dari 30% (Doty 1987). Selanjutnya Winarno (1996) membagi karagenan menjadi 3 fraksi berdasarkan unit penyusunnya yaitu kappa, iota, dan lambda karagenan, kappa karagenan dihasilkan dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii, iota karagenan dihasilkan dari Eucheuma spinosum, sedangkan lambda karagenan dari Chondrus crispus, Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh formulasi pada pembuatan edible film dari karagenan untuk kemasan makanan. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari karagenan jenis kappa (diperoleh di toko Setia Guna, Bogor), akuades, dan gliserol teknis. Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain neraca analitik, hot plate, pengaduk magnet, fleksiglas, dan alat uji untuk sifat mekanik dan barrier. Metode Penelitian ini diawali dengan memanaskan campuran 1,5 gram karagenan dalam 100 ml pelarut. Pemanasan dilakukan dalam suhu 90ºC. Setelah mendidih, ditambahkan gliserol sebanyak 3 mL dan tetap dipanaskan selama 15 menit sampai campuran
homogen. Kemudian dilakukan tahapan pembuatan lembaran film dengan menggunakan fleksiglas. Selanjutnya lakukan dengan cara yang sama untuk setiap formulasi yang yang telah ditentukan. Lembaran film yang terbentuk kemudian diuji ketebalan, sifat mekanik, dan sifat barrier. Sifat mekanik yang diuji adalah kuat tarik dan elongasi sesuai ASTM D 882-2002, sedangkan sifat barrier adalah WVTR (Water Vapor Transmission Rate) sesuai ASTM E 96-2000. Selain itu ditunjang juga dengan data sekunder yang didasarkan pada bahan-bahan pustaka dan sumber lainnya. Data hasil pengujian kekuatan mekanik dan barrier diolah dengan metode statistik. HASIL DAN PEMBAHASAN Ketebalan film dipengaruhi oleh banyaknya total padatan dalam larutan dan ketebalan cetakan. Dengan cetakan yang sama, film yang terbentuk akan lebih tebal apabila volume larutan yang dituangkan ke dalam cetakan lebih banyak. Demikian juga total padatan dengan jumlah yang lebih banyak akan membuat edible film menjadi lebih tebal. Hasil pengukuran ketebalan tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan peningkatan rata-rata ketebalan film dengan semakin besarnya jumlah karagenan yang digunakan. Hasil ketebalan edible film dengan menggunakan karagenan 1,5% adalah 0,0259 mm, sedangkan pada karagenan dengan variasi terbesar yaitu karagenan 3,5% menghasilkan ketebalan 0,0446 mm. Semakin besar jumlah karagenan yang digunakan, maka ketebalan edible film yang dihasilkan semakin besar, seperti terlihat pada Gambar 1. Kuat tarik adalah tegangan regangan maksimal contoh sampai putus. Kuat tarik edible film yang dihasilkan dari karagenan mempunyai kecenderungan untuk naik kemudian turun dimana nilai tertinggi dari kuat tariknya adalah 2 477,38 kgf/cm (Gambar 2). Kuat tarik edible film yang mendapat tambahan gliserol memiliki kecenderungan untuk turun, ini dikarenakan adanya pengaruh interaksi antar hidrokoloid. Interaksi yang terjadi adalah antara ikatan hidrogen. Interaksi terganggu gerak dari molekul yang semakin elastis karena gliserol merupakan plasticizer. Namun yang terjadi kuat tarik tertinggi bukan pada penggunaan gliserol yang rendah, hal ini mungkin terjadi karena ketebalan film tidak merata. Persentase elongasi menentukan kemampuan film untuk meregang (Krochta 1994), sehingga dapat dikatakan bahwa persentase elongasi menentukan keelastisan
Pengaruh Formulasi Edible Film…………………... Guntarti Supeni
283
suatu edible film. Adanya interaksi antar molekul karagenan mengakibatkan edible film semakin elastis dan tingkat elongasi dari edible film akan bertambah besar. Hasil uji elongasi edible film dengan menggunakan karagenan 1,5% adalah 23% sedangkan pada karagenan dengan variasi terbesar adalah 13%. Semakin besar jumlah karagenan yang digunakan, maka elongasi edible film yang dihasilkan semakin kecil, seperti terlihat pada Gambar 3. Transmisi uap air sangat dipengaruhi oleh RH, suhu, ketebalan, jenis, dan sifat bahan pembentuk edible film. Umumnya edible film yang terbuat dari hidrokoloid mempunyai nilai transmisi uap air yang tinggi. Hal ini disebabkan karena bahan tersebut merupakan polimer polar dan mempunyai jumlah ikatan hidrogen yang
besar, sehingga menghasilkan penyerapan air. Akibatnya, penyerapan air tersebut akan mengganggu interaksi rantai intramolekuler, yang kemudian diikuti dengan peningkatan difusifitas dan mampu menyerap uap air dari udara (Krochta et al. 1994). Hasil uji WVTR edible film dengan menggunakan karagenan 2 1,5% adalah 705,5736 gr/m /24jam, sedangkan pada karagenan dengan variasi terbesar adalah 2 649,0608 gr/m /24jam. Seharusnya semakin besar jumlah karagenan yang digunakan, maka WVTR edible film yang dihasilkan semakin kecil, seperti terlihat pada Gambar 4, namun pada penggunaan karagenan 3,0% menghasilkan WVTR yang tertinggi, hal ini kemungkinan disebabkan ketebalan yang tidak merata.
Gambar 1. Pengaruh kadar karagenan terhadap tebal pada edible film
Gambar 2. Pengaruh kadar karagenan terhadap kuat tarik pada edible film
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 281 - 285
284
Gambar 3. Pengaruh kadar karagenan terhadap elongasi pada edible film
Gambar 4. Pengaruh kadar karagenan terhadap WVTR pada edible film
Dari pengolahan data statistik menggunakan metode analisis sidik ragam diperoleh hasil Fhitung (198,16) > Ftabel (3,24), berarti ada perbedaaan yang nyata antara ratarata hasil pengujian dari kelima persentase karagenan. KESIMPULAN Dari penelitian pembuatan edible film dari karagenan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa s e m a k i n b e s a r j u m l a h k a r a g e n a n ya n g digunakan dengan menambahkan gliserol sebagai plasticizer dengan variabel tetap yaitu 3%, maka semakin tebal edible film yang dihasilkan, sedangkan kuat tarik semakin turun, begitu pula elongasi semakin turun. Sedangkan
pada hasil uji WVTR, semakin besar jumlah k aragenan yang digunak an, W VTR yang dihasilkan semakin rendah. Dari analisis sidik ragam, diperoleh hasil adanya perbedaaan yang nyata antara rata-rata hasil pengujian dari kelima persentase karagenan. Kondisi proses pembuatan edible film dari karagenan yang optimal adalah dengan menggunakan persentase karagenan sebesar 3%. Hal ini dikarenakan kuat tariknya lebih besar ( 477,38 2 kgf/cm ). UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Kepala Balai Besar Kimia dan Kemasan serta Pejabat Pembuat Komitmen, sehingga dapat terlaksananya penelitian ini,
Pengaruh Formulasi Edible Film…………………... Guntarti Supeni
285
begitu pula kepada anggota tim penelitian dan semua pihak yang telah turut berpartisipasi sampai tersusunnya tulisan ini DAFTAR PUSTAKA Angka, S.L., Maggy T, dan Suhartono. 2000. Bioteknologi hasil laut. Cetakan pertama. Bogor : Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Anonim. 1995. Farmakope Indonesia (Edisi IV). Jakarta : Departemen Kesehatan RI : h. 413. ASTM D 882-2002. Standard test method for Tensiles properties of thin plastics sheeting. ASTM E 96-2000. Standard test methods for water vapor transmission of materials. Bloomfield, M. M. 1996. Chemistry and living th organism. 6 ed. Canada : John Willey & Son Inc. Carriedo, M.N. 1994. Edible coating and film based on polysaccarides. Dalam: Edible coating and film to improve food quality. Pensylvania: A Technomic Publishing Company Inc.: p. 305-335. Doty, M.S. 1987. The production and uses of Eucheuma in : studies of seven commercial seaweeds resources. Ed. Dalam : MS. Doty, J.F.Caddy and B. Santelices. FAO Fish. Tech. Paper No. 281. Rome : p.123 – 161. Fardiaz, D. 1989. Hidrokoloid. Bogor : Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan,Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Gennadios, A. , Hanna M. A., and Kurt L. B. 1997. Application of edible coatings on meats, poultry and seafoods, a review. Lebsnm. Wiss.u.Technol 30(4): 337350. Glicksman, M. 1983. Gum technology in the food industry. New York : Academic Press. Gontard, N., Guilbert S. 1993. Water and glycerol as plasticizers effect mechanical and water vapor barrier properties of edible wheat gluten film. J. Food Scie 57: 190-195. Gontard, N., Guilbert S. 1994. Biopackaging:technology and properties af edible and/or biodegradable material of agricultural origin. Dalam: M.Mathlouthi (Ed). Food and preservation. Glasglow: Blackie Academic and Professional : p. 159 – 181.
Guilbert, S. 2001. A survey on protein based materials for food, agriculture and biolotechnological uses. In active biopolymer films and coating for food and biolotechnological uses. Dalam : Park,H.J., R.F.Testin, M.S.Chinnan, and J.W.Park (Ed). Material and PreCongres Short Course of IUFoST. Korea : Korea University Seoul. Guiseley, K.B., Stanley N.F., Whitehouse P.A. 1980. Carrageenan. Dalam: David R.L (editor). Hand book of water soluble gums and resins. New York, Toronto, London: Mc Graw Hill Book Company. Imeson, A. 2000. Carrageenan . Dalam : Philips Williams PA (editor). Handbook of hydrocolloids. USA : Div. Corp. Springfield. Ketaren, S. 1986. Pengantar teknologi minyak dan lemak pangan. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Krochta, J.M., Baldwin E.A., Nisperos-Carriedo M.O. 1994. Edible coatings and films to improve food quality. USA : Technomic Publication. Co. Inc. Shah, V. 1998. Handbook of plastics testing nd technology (2 ed). New York : John Wiley & Sons. Inc. :p. 14. Sonti, S. 2003. Consumer perseption and application of edible coatings on freshcut fruits and vegatables. Louisiana : Department of Food Science Louisiana State University. Suryaningrum, T.D. 1988. Kajian sifat-sifat mutu komoditi rumput laut budidaya jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Stevens, M.P. 2001. Kimia polimer. Jakarta : Pradnya Paramita. Towle, G.A. 1973. Carrageenan. Dalam: Whistler RL (editorial). Industrial gums. Second edition. New York : Academik Press. Winarno, F.G. 1992. Kimia pangan dan gizi. Jakarta : PT Gramedia. Winarno, F.G. 1996. Teknologi pengolahan rumput laut. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 286 - 293
286
PENGOLAHAN BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum Inophyllum L) DENGAN CARA PURIFIKASI KERING (BIODIESEL PRODUCTION FROM NYAMPLUNG SEEDS (Calophyllum Inophyllum L) WITH DRY PURIFICATION METHODS)
Rizal Alamsyah dan Enny Hawani Lubis Balai Besar Industri Agro (BBIA), Kementerian Perindustrian Jl. Ir. H. Juanda No.11 Bogor E-mail :
[email protected] Received 24 Juli 2012; revised 5 September 2012; accepted 12 September 2012
ABSTRAK Tanaman nyamplung atau hutaulo merupakan tanaman yang tumbuh di banyak tempat di Indonesia. Tanaman ini menghasilkan biji yang mempunyai kadar minyak yang tinggi dan dapat diubah menjadi biodiesel. Salah satu masalah dalam proses purifikasi (pencucian) biodiesel kasar adalah kebutuhan air dan energi yang tinggi untuk pemanasan air tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan purifikasi/pencucian kering biodiesel dan menggantikan metode pencucian dengan air dan proses pengeringan. Percobaan dilakukan dengan mereaksikan minyak nyamplung dengan metanol (MeOH) pada suhu 65ºC menggunakan katalis NaOH 1% dari berat minyak. Rasio molar minyak nyamplung dan metanol adalah 1 : 11,5. Pencucian kering biodiesel kasar dilakukan dengan penambahan cleaning agent (CA), arang aktif (AA), dan campuran cleaning agent dan arang aktif (AACA). Pencucian kering dilakukan dengan mereaksikan biodiesel kasar dengan CA (1%, 3%, dan 5%), AA (1%, 3%, dan 5%), AACA (1%, 3%, dan 5%) dilanjutkan dengan penyaringan vakum. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan campuran CA dan AA (5%) ke dalam biodiesel menunjukkan hasil terbaik dalam memperoleh kandungan fatty acid methyl ester (FAME) sesuai SNI sebesar 96,5%. Kata kunci : Biji nyamplung, Biodiesel, Pencucian kering, Purifikasi, FAME
ABSTRACT Nyamplung or hutaulo plant grows in many area in Indonesia especially in coastal area. Seed produced from this plant contains high oil which can be converted into biodiesel. One of problem in the current technology for biodiesel purification is the requirement for high energy in washing crude biodiesel which used a lot of water. Purpose of this research is to design dry washing treatment for crude biodiesel purification instead of conventional purification (water purification and drying). The experiments were conducted by reacting nyamplung o oil (Calophyllum inophyllum L) with methanol (MeOH) at 65 C, using natrium hydroxide (NaOH) as catalyst. Molar ratio of oil and MeOH was 1 : 11.5 and natrium hydroxide (NaOH) used was 1% of palm oil weight. Dry washing of crude biodiesel was done by addition of cleaning agent (CA), activated carbon (AA), and mixture of cleaning agent and activated carbon (AACA). Dry washing was conducted by reacting crude biodiesel with CA (1%, 3%, and 5%), AA (1%, 3%, and 5%), AACA (1%, 3%, and 5%), and vacuum filtering. The experiments show that addition cleaning agent and activated carbon mixture (5%) into crude biodiesel demonstrated the best condition to reach Indonesian Nasional Standard for fatty acid methyl ester content (FAME) e.g. 96.5%. Key words : Nyamplung plant, Biodiesel, Dry washing, Purification, FAME
PENDAHULUAN Biji nyamplung atau biji hutaulo yang berasal dari pohon atau tanaman nyamplung atau kosambi merupakan tanaman yang banyak dijumpai di pinggir pantai. Biji nyamplung mengandung sumber minyak nabati cukup tinggi dan dapat digunakan sebagai bahan bakar. Kandungan minyak biji nyamplung adalah sekitar 75% menurut Dweek dan Meadow
(2002), sedangkan menurut Heyne (2006) dan Soerawidjaja (2001) masing-masing adalah 40% sampai 73% dan 73%. Sejauh ini biji nyamplung belum dimanfaatkan secara maksimal oleh penduduk setempat di Indonesia. Tanaman nyamplung atau kosambi merupakan tanaman yang tersebar luas di Indonesia mulai Sumatera Barat, Riau, Jambi,
Pengolahan Biodiesel Dari Biji Nyamplung …. Rizal Alamsyah dan Enny Hawani Lubis
287
Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Maluku, hingga Nusa Tenggara Timur. Tanaman nyamplung di Indonesia berproduksi dua kali dalam satu tahun, yaitu bulan Februari sampai Maret dan bulan Agustus sampai September, sedang di Hawai bulan April sampai Juni dan bulan Oktober sampai Desember (Friday dan Okano 2006). Tanaman ini sebenarnya dapat dijadikan biofuel dan biodiesel dan menghasilkan gliserol yang berkualitas tinggi serta kandungan komponen aktifnya. Upaya pengolahan biji nyamplung menjadi biodiesel dan pemanfaatan hasil ikutannya dirasakan perlu dilakukan karena terkait dengan kebijakan pembangunan pemerintah dalam hal diversifikasi energi baru dan terbarukan (renewable energy), menghasilkan teknologi tepat guna, serta untuk memenuhi kebutuhan energi lokal sehingga dapat mengurangi pemakaian bahan bakar yang berasal dari minyak bumi (PerPres Thn 2006). Didukung dengan konsumsi bahan bakar yang setiap tahunnya terus meningkat. Total kebutuhan bahan bakar solar Indonesia sendiri di tahun 2011 adalah 21,2 juta kilo liter, sedangkan produksi domestik hanya 18,34 juta kilo liter. Sudah bisa dipastikan kebutuhan untuk tahuntahun ke depan akan meningkat lagi. Di lain pihak persediaan minyak dunia diperkirakan akan habis dalam kurun waktu 36,5 tahun terhitung sejak 2002 (Walisiwicz 2003). Kemungkinan Indonesia juga akan mengalami hal yang sama dengan cadangan minyak hanya cukup untuk memenuhi konsumsi selama 18 tahun mendatang (Prihandana dan Hendroko 2008). Oleh sebab itu penggunaan energi yang berbasis bahan bakar asal fosil perlu dikurangi dengan cara mengoptimalkan penggunaan energi yang terbarukan dan mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Upaya ini juga akan menunjang program penanaman pohon nyamplung sebagai penghasil biji nyamplung sehingga tercapainya penanaman lahan kritis dan marjinal. Proses pembuatan minyak mentah biji nyamplung menjadi biodiesel adalah proses esterifikasi dan trans esterifikasi, proses ini merupakan proses alkoholis yang menggunakan metanol sebagai reaktan. Pada kondisi kadar asam lemak bebas kurang dari 2% maka pemakaian metanol berkisar antara 5% sampai 10% (Sudrajat 2008). Metanol dalam reaksi esterifikasi maupun trans esterifikasi digunakan dalam jumlah berlebih untuk mendapatkan k onvers i m ak s im um . Min yak m entah bij i nyamplung banyak mengandung gum, fopolipid, dan zat ikutan lain yang menyebabkan proses
pembuatan biodiesel kurang maksimal. Proses ekstraksi biji nyamplung, metode degumming, dan konsentrasi metanol yang baik diharapkan mampu menghasilkan biodiesel berbasis biji nyamplung yang lebih maksimal (Hambali et al. 2006). Produksi biodiesel dapat dilakukan melalui reaksi trans esterifikasi minyak nabati dengan metanol ataupun esterifikasi langsung asam lemak hasil minyak nabati dengan metanol. Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi ester, untuk mereaksikan minyak dengan alkohol menggunakan katalis, dan katalis yang cocok untuk proses esterifikasi tersebut adalah zat berkarakter asam kuat, seperti asam sulfat, asam sulfonat organik atau resin penukar kation asam kuat (Soerawidjaja 2006). Dalam pengolahan biodiesel, pencucian biodiesel kasar sejauh ini dilakukan dengan pencucian menggunakan air dalam jumlah cukup banyak, disamping itu energi juga harus diberikan untuk memanaskan air hingga mencapai suhu 80ºC sampai 90ºC. Untuk mengurangi pemakaian jumlah energi yang berlebih maka perlu dilakukan alternatif pengolahan biodiesel yang lebih efisien. Salah satu solusi adalah dengan menerapkan pencucian biodiesel kasar hasil pengolahan dengan pencucian tanpa air (pencucian kering). Penelitian ini bertujuan untuk mengolah biji nyamplung menjadi biodiesel dengan cara esterifikasi dan trans esterifikasi, pencucian biodiesel kasar dengan cara kering, dan untuk menganalisis karakteristik atau mutu biodiesel yang dihasilkan. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji nyamplung atau biji hutaulo yang diperoleh dari Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian terdiri dari metanol (98%), NaOH, H2SO4, cleaning agent, dan arang aktif. Peralatan yang digunakan terdiri dari reaktor trans esterifikasi (static-mixer, kapasitas 20 liter), alat press (jackpress tekanan 20 ton), blender, kertas saring Whatman 42 dan seperangkat alat proses biodiesel antara lain corong pisah, gelas piala, gelas ukur, termometer (skala 100ºC), corong, statif, labu dasar bulat leher 3, kondensor, neraca analitik, buret, pipet tetes, pompa vakum, dan Viscometer Ostwald.
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 286 - 293
288
Metode Penelitian ini dibagi menjadi 4 tahap yaitu pengolahan biji nyamplung menjadi minyak, pembuatan biodiesel kasar (crude biodiesel) dengan cara esterifikasi-trans esterifikasi, purifikasi biodiesel dengan cara kering, dan analisis mutu biodiesel (karakterisasi mutu). Pada pengolahan biji nyamplung menjadi minyak, proses yang diterapkan terdiri dari tahap-tahap sortasi, pengeringan, pengepresan, degumming, dan netralisasi. Secara garis besar tahapan penelitian dapat dilihat dalam Gambar 1. Proses esterifikasi dilakukan menggunakan metanol teknis 98% dan katalis H2SO4 1% terhadap berat bahan pada suhu 60ºC dengan menggunakan static mixer. Proses trans esterifikasi dilakukan dengan mereaksikan antara trigliserida (TG) terhadap metanol (MeOH) dengan molar rasio 11,5 : 1 dengan katalis NaOH 1% berat dan dipanaskan pada suhu 65ºC. Pencucian kering biodiesel kasar dilakukan dengan penambahan cleaning agent (CA), arang aktif (AA), dan campuran cleaning agent dan arang aktif (AACA). Pencucian kering dilakukan dengan mereaksikan biodiesel kasar dengan CA (1%, 3%, dan 5%), AA (1%, 3%, dan 5%), dan AACA (1%, 3%, dan 5%). Parameter mutu yang diamati untuk produk biodiesel yang dihasilkan adalah parameter utama seperti yang tercantum dalam SNI 04-7182-2006 yang terdiri dari kandungan metil ester (AOCS 1995), viskositas metode Ostwald (ASTM D445 1998), densitas metode piknometer (Ketaren 1986), angka asam lemak
bebas (AOCS 1993), dan gliserol bebas (AOCS Official Method Ca 14-56 1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan Biji Nyamplung Menjadi Minyak Nyamplung Pengolahan biji nyamplung menjadi minyak biji nyamplung dilakukan melalui tahapan sortasi yang dilanjutkan dengan pengulitan, pengecilan ukuran (pengirisan), pengeringan di oven, dan pengepresan. Minyak hasil pengepresan yang diperoleh sebesar 450 ml dari 650 g berat kering nyamplung. Selanjutnya dilakukan proses degumming. Tujuan proses degumming adalah untuk memisahkan minyak dari getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat, residu air, dan resin. Proses degumming dilakukan pada suhu 80ºC dengan penambahan asam fosfat 2% (b/b) dari berat bahan baku, sehingga akan terbentuk senyawa fosfatida yang mudah dipisahkan dari minyak, kemudian dipisahkan antara minyak dan fosfatida. Selanjutnya minyak yang terbentuk dibiarkan satu malam, endapan yang terjadi dipindahkan, kemudian dicuci dengan air hangat pada suhu 65ºC. Setelah proses degumming, minyak mengalami perubahan warna dari warna hijau kehitaman menjadi kuning kemerahan. Hal ini disebabkan pigmen warna dominan pada minyak yaitu khlorofil mengalami kerusakan selama proses degumming sehingga pigmen menjadi berwarna kuning kemerahan.
Gambar 1. Rancangan pembuatan dan purifikasi biodiesel dari biji nyamplung
Pengolahan Biodiesel Dari Biji Nyamplung …. Rizal Alamsyah dan Enny Hawani Lubis
289
Rendemen rata-rata minyak setelah degumming adalah 97,35% (b/b). Gum (getah dan lendir), yang menyebabkan kekentalan pada minyak nyamplung, hilang saat proses degumming sehingga bilangan asam dan viskositas menurun menjadi 30,10% dan 23,92 cST. Untuk kadar air sedikit mengalami peningkatan dari 0,30% menjadi 0,37%, hal ini dapat disebabkan masih terdapat air yang tertinggal setelah proses pencucian. Pengolahan Minyak Nyamplung Menjadi Biodiesel (Proses Esterifikasi – Esterifikasi – Trans esterifikasi (EET)) Setelah minyak nyamplung dipisahkan getahnya, selanjutnya dianalisis kadar asam lemak bebasnya (FFA). Karena kadar FFA minyak nyamplung lebih besar dari 20%, maka proses pengolahan minyak nyamplung menjadi biodiesel melalui proses EET (Esterifikasi – Esterifikasi – Trans esterifikasi) agar kadar FFA serendah mungkin. Hasil pengukuran kadar FFA minyak dari biji yang diproses dengan pengeringan oven adalah 28,87%, sehingga perlu dilakukan proses EET. Proses esterifikasi dilakukan dengan menambahkan metanol teknis 98% dan menggunakan katalis H2SO4 1% terhadap berat bahan, dipanaskan pada suhu 60ºC dengan menggunakan static mixer. Setiap 2 jam diambil sampel sebanyak 5 ml, kemudian dicuci dengan air panas suhu 60ºC, serta dianalisis FFAnya. Bila FFA masih lebih besar dari 5, maka pemanasan dilanjutkan kembali hingga FFA mengalami penurunan. Setelah 8 jam FFA masih di atas 5, maka dilanjutkan esterifikasi yang kedua hingga FFA<5% untuk selanjutnya dilakukan proses trans esterifikasi dengan NaOH 1%. Hasil proses EET berupa biodiesel (fase atas) dan gliserol (fase bawah). Hasil analisis FFA biodiesel yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 1. Purifikasi dengan Pencucian Kering Proses pencucian dengan air dibutuhkan energi yang cukup besar dan total kebutuhan air untuk pencucian biodiesel 1 Liter adalah 15 Liter. Pada pencucian ini, kebutuhan energi panas yang disuplai oleh heater ternyata sebanding dari tahapan reaksi esterifikasi-trans esterifikasi dan pengeringan. Kalor pada tahap pencucian digunakan untuk menaikkan suhu air pencuci hingga 80ºC. Pencucian dilakukan sebanyak 6 kali dengan setiap kali pencucian dibutuhkan 2,5 liter air, sehingga total air yang dibutuhkan untuk pencucian adalah 15 liter. Waktu yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu air dari suhu
Tabel 1. Hasil analisis asam lemak bebas (FFA) No 1 2
3
4
Perlakuan Degumming 1 jam Esterifikasi 1 2 jam 4 jam 6 jam 8 jam Esterifikasi 2 1 jam 3 jam 5 jam 7 jam Esterifikasi 3 2,5 jam 4 jam
Kadar FFA 33,04 10,53 8,55 8,32 7,72 6,90 6,67 5,97 5,55 5,85 4,50
kamar menjadi suhu 80ºC adalah 30 menit / 2,5 Liter air. Sehingga waktu total untuk memanaskan air yang digunakan untuk 6 kali pencucian adalah 3 jam. Ditambah lagi dengan energi biologis yang disuplai dari seorang operator yang bekerja selama 3 jam untuk pencucian ini. Di dalam penelitian ini pencucian biodiesel kasar tidak lagi digunakan air akan tetapi biodiesel kasar dicampur dengan cleaning agent (CA), arang aktif (AA), dan campuran cleaning agent dan arang aktif (AACA) dilanjutkan dengan penyaringan sehingga pencucian kering menghemat waktu proses. Analisis Mutu Biodiesel Parameter mutu yang diamati untuk produk biodiesel yang dihasilkan adalah parameter utama seperti yang tercantum dalam SNI 04-7182-2006 yang terdiri viskositas, massa jenis, kandungan metil ester, gliserol bebas dan gliserol total. Viskositas Karakteristik viskositas biodiesel setelah pencucian kering tampak seperti dalam Gambar 2. Nilai viskositas kinematika merupakan pengukuran terhadap gaya gesek atau hambatan dari laju alir suatu cairan pada suhu tertentu. Viskositas biodiesel pada suhu 40ºC dalam persyaratan SNI 04-7182-2006 adalah 2,3 cSt sampai 6,0 cSt. Hasil analisis pencucian kering menggunakan CA, AA, dan AACA dengan konsentrasi 1%, 3%, 5% dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil analisis pencucian kering dengan berbagai bahan kimia menunjukkan bahwa untuk CA 1% (8,10 cSt), CA 3% (6,06 cSt), AA 1% (8,54 cSt), AA 3% (10,59 cSt), dan AACA 5% (6,278 cSt) menunjukkan nilai > 6 melebihi
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 286 - 293
290
standar yaitu 2,3 cSt sampai 6 cSt, hasil tersebut tidak memenuhi standar SNI 04-7182-2006, hal ini kemungkinan disebabkan belum terkonversinya trigliserida menjadi asam lemak metil ester, dan mungkin juga masih ada digliserida dan monogliserida. Sedang viskositas yang memenuhi persyaratan SNI adalah proses pencucian kering yang menggunakan cleaning agent 5% menunjukkan nilai sebesar 5,62 cSt, menggunakan arang aktif menunjukkan nilai sebesar 5,76 cSt sedangkan pencucian kering menggunakan campuran cleaning agent dan arang aktif AACA 1% adalah 5,99 cSt, AACA 3% adalah 5,91 cSt, AACA 5% adalah 4,28 cSt. Viskositas biodiesel dipengaruhi oleh kandungan trigliserida yang tidak ikut bereaksi dan komposisi asam lemak penyusunnya. Viskositas yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi akan mengurangi daya pembakaran dan dapat menyebabkan konsumsi bahan bakar
meningkat. Viskositas berpengaruh terhadap efektifitas metil ester sebagai bahan bakar. Massa Jenis Biodiesel Massa jenis biodiesel dalam persyaratan 3 SNI 04-7182-2006 adalah 0,85 g/cm sampai 3 0,89 g/cm . Hasil analisis pencucian kering menggunakan CA menunjukkan nilai antara 3 3 0,8912 g/cm sampai 0,8916 g/cm tidak memenuhi persyaratan SNI, pencucian kering menggunakan AA menunjukkan nilai antara 3 3 0,8904 g/cm sampai 0,8924 g/cm juga belum memenuhi persyaratan SNI. Sedang pencucian kering menggunakan campuran arang aktif dan cleaning agent yang memenuhi persyaratan adalah AACA 3% menunjukkan nilai 0,8892 3 g/cm dan AACA 5% menunjukkan nilai 0,8888 3 g/cm . Pada Gambar 3 dapat dilihat massa jenis biodiesel nyamplung hasil percobaan.
Gambar 2. Viskositas biodiesel hasil pencucian kering
Gambar 3. Grafik rerata massa jenis biodiesel nyamplung
Pengolahan Biodiesel Dari Biji Nyamplung …. Rizal Alamsyah dan Enny Hawani Lubis
291
Perbedaan massa jenis biodiesel berkaitan dengan komposisi asam lemak dan tingkat kemurnian biodiesel (Mittelbach dan Remschmidt 2004) yang menunjukkan reaksi trans esterifikasi belum sempurna dan masih banyak mengandung trigliserida yang tidak ikut bereaksi. Peningkatan massa jenis juga menunjukkan penurunan rantai karbon dan peningkatan ikatan rangkap. Massa jenis biodiesel biasanya lebih besar dari petrodiesel. Hal ini disebabkan bobot molekul metil ester lebih besar dari petrodiesel. Menurut Prihandana (2006) massa jenis berhubungan dengan nilai kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin diesel persatuan volume bahan bakar. Massa jenis bahan bakar motor diesel dapat menunjukkan sifat serta kinerja seperti kualitas penyalaan, daya, konsumsi, sifat-sifat pada suhu rendah, dan pembentukan asap. Metil Ester Kadar metil ester (FAME atau fatty acid methyl ester) menunjukkan jumlah ester murni dalam biodiesel ester alkil. Gambar 4
menunjukkan nilai kadar ester yang diamati pada biodiesel dengan menggunakan CA, AA, dan AACA dengan konsentrasi yang berbedabeda. Hasil penelitian menunjukkan nilai kadar metil ester yang dihasilkan memenuhi SNI biodiesel yaitu lebih besar dari 96,5%. Hal ini menunjukkan bahwa trigliserida minyak nyamplung berhasil dikonversi menjadi biodiesel. Gliserol Bebas dan Gliserol Total Gliserol bebas biodiesel dalam persyaratan SNI 04-7182-2006 adalah maksimum 0,02%. Hasil analisis pencucian kering menggunakan CA menunjukkan nilai antara 0,03562% sampai 0,03565%. Pencucian AA 1%, 2%, dan 3% rata-rata menunjukkan nilai 0,011% sampai 0,118% memenuhi persyaratan SNI. Sedang pencucian kering menggunakan AACA 3% dan 5% antara 0,019614 sampai 0,01535 memenuhi persyaratan SNI. Pada Gambar 5 dan Gambar 6 disajikan hasil analisis gliserol bebas dan gliserol total untuk seluruh perlakuan.
Gambar 4. Grafik rerata metil ester biodiesel nyamplung
Gambar 5. Grafik rerata gliserol bebas biodiesel nyamplung
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 286 - 293
292
Gambar 6. Grafik rerata gliserol total biodiesel nyamplung
Gliserol total biodiesel dalam persyaratan SNI 04-7182-2006 adalah maksimum 0,24%. Hasil penelitian yang menunjukkan nilai tertinggi dan tidak memenuhi persyaratan SNI yaitu menggunakan AA 5%, hal ini mungkin proses trans esterifikasi berlangsung tidak sempurna, sedangkan untuk proses lainnya nilai gliserol total memenuhi persyaratan karena berada di bawah standar SNI yaitu antara 0,02% sampai 0,1982%. KESIMPULAN Pencucian biodiesel kasar dengan cara kering melalui penambahan cleaning agent (CA), arang aktif (AA), dan campuran cleaning agent dan arang aktif (AACA) dan penyaringan mampu menggantikan pencucian dengan air. Sifat fisika kimia biodiesel nyamplung hasil purifikasi tanpa air hampir seluruhnya memenuhi persyaratan SNI 04-7182-2006. Kadar metil ester rata-rata lebih besar dari 99% menunjukkan bahwa proses trans esterifikasi memenuhi persyaratan SNI. Untuk viskositas ada beberapa perlakuan yang tidak memenuhi persyaratan SNI (2 cps sampai 6 cps). Kadar gliserol bebas biodiesel dengan pencucian kering pada perlakuan AACA 2% dengan kadar gliserol 0,019% dan perlakuan AACA 3% dengan kadar gliserol 0,015% memenuhi standard SNI 04-7182-2006 dengan nilai maksimum 0,02%. Hampir seluruh hasil percobaan menghasilkan kadar gliserol total antara 0,02% sampai 0,1982% dan memenuhi standard gliserol total SNI 04-7182-2006 dengan nilai maksimum 0,24%. DAFTAR PUSTAKA AOCS (American Oil Chemist’ Society). 1993. Official method and recommended
practices of the American oil chemist society. Washington : AOCS Press. AOCS (American Oil Chemist Society). 1995. Official method and recommended practices of the American oil chemist th society. 4 ed AM. Champangen USA : Oil Chemist Society. ASTM (American Standard Technical Material). 1998. Standard test method of petroleum productcs. In : Annual book of ASTM standards. ASTM Philadelphia 5,1:p. 76-79,845-847. ASTM (American Standard Technical Material). 2005. Standard test method for density, relative density (specipic gravity), or Api gravity of crude petroleum and liquid petroleum products by hydrometer methods ASTM Philadelphia. BSN (Badan Standardisasi Nasional). 1998. Cara uji minyak dan lemak. Jakarta : Standar Nasional Indonesia (SNI) 047182-2006 BSN. Dweek, A.C. dan Meadows T. 2002. Tanamu (Calophyllum inophyllum) the Africa, Asia Polynesia and Pasific Panacea. International J. Cos. Sci. 24:1-8 Friday, J.B. dan Okano D. 2006. Species profiles for pasific island agroforestry callophyllum inophyllum. www.tradutionaltree.org. (accessed Desember 10, 2008) Hambali, E., Suryani A., Dadang, Hariyadi, Hanafie H., Reksowardjojo I.K., Rivai M., Ihsanur M., Suryadarma P., Prawitasari T., Prakoso T. dan Purnama W. 2006. Jarak pagar tanaman penghasil biodesel. Jakarta : Penebar Swadaya : Hal 132 Heyne, K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Jilid ke-2. Terjemahan Badan Penelitian dan Pengembangan Hasil
Pengolahan Biodiesel Dari Biji Nyamplung …. Rizal Alamsyah dan Enny Hawani Lubis
293
hutan. Departemen Kehutanan Jakarta. Ketaren, S. 1986. Pengantar teknologi minyak dan lemak pangan. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Mulyadi, A.H., Syafila, M., Setiadi, T., dan Esmiralda. 2007. Kajian biodegradasi limbah cair industri biodiesel pada kondisi anaerob dan Aerob”. PROC ITB Sains dan Tek 39(A): 165-178. PERPRES No. 5. 2006. Kebijakan energi nasional (target Pemerintah bidang konversi energi melalui pemanfaatan sumber energi alternatif) Prihandana, R., Hendroko R. dan Nuramin M. 2006. Menghasilkan biodiesel murah, mengatasi polusi dan kelangkaan BBM. Jakarta : Agromedia Pustaka. Prihandana, R. dan Hendroko, R. 2008. Energi hijau, pilihan bijak menuju negeri mandiri energi. Jakarta : Penebar Swadaya. Soerawidjaya, T. H. 2002. Perbandingan bahan bakar cair alternatif pengganti solar. Makalah disajikan pada Pertemuan Forum Biodisel Indonesia ke-7. BPPT. Jakarta. Soerawidjaya, T.H. 2006. Fondasi-fondasi ilmiah dan keteknikan dari teknologi pembuatan biodiesel. Dalam : Handout seminar nasional biodiesel sebagai energi alternatif masa depan, Yogyakarta. Sudrajat, H. R. 2008. Memproduksi biodiesel jarak pagar. Jakarta : Penebar Swadaya : Hal.107.
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 294 - 302
294
TINJAUAN TENTANG DEKOMPOSISI SPINODAL PADA CAMPURAN BINER POLIMER REVIEW OF SPINODAL DECOMPOSITION IN BINARY POLYMER MIXTURES
Krisna Lumban Raja Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) – BATAN Jl. Lebak Bulus Raya No.49, Pasar Jumat, Jakarta Selatan email:
[email protected] Received 2 Agustus 2012; revised 17 September 2012; accepted 28 September 2012
ABSTRAK Tujuan makalah adalah memaparkan asal usul dekomposisi spinodal campuran biner polimer atas latar belakang minat pada aplikasi campuran Polisulfon Polivinilpirolidon yang mengalami dekomposisi spinodal sehingga membuat materi gradien menjadi membran hemodialisis. Pembahasan mencakup termodinamika pencampuran, transisi fasa, diagram fasa dan kinetika separasi fasa. Menghitung termodinamika campuran adalah menghitung fungsi entalpi, entropi, dan energi bebasnya. Mencampur dua polimer adalah untuk mendapat sifat baik dari keduanya, namun sulit karena alasan entropi. Variabel kontrol supaya tercampur biasanya suhu dan komposisi. Polimer tergolong materi padat lunak mempunyai sifat istimewa dapat bergabung. Informasi energi bebas terendah karenanya belum cukup menerangkan tipe struktur yang dapat diperolehnya. Dibahas transisi fasa sistem dua cairan tak dapat bersatu di seluruh proporsi pada suhu tinggi namun terpisah menjadi dua fasa bila suhu diturunkan. Diagram fasa menjadi dapat dihitung mempunyai komponen kurva binodal, spinodal, daerah stabil, metastabil, dan tidak stabil. Dekomposisi spinodal terjadi pada daerah tidak stabil dengan difusi terbalik disebabkan oleh lereng potensial kimia. Pola yang diciptakan acak namun berskala karakteristik. Kata kunci: Dekomposisi spinodal, Pencampuran, Transisi fasa.
ABSTRACT To understand the forms and patterns in nature, a perpetual series of observations have been conducted. There is always a physical reason behind the shape being observed. This article aims to explain the pedigree of spinodal decomposition in binary polymer mixtures for the background of interest on the application of Polysulfone Polyvinylpyrrolidone mixtures that experiences spinodal decomposition to make gradient material become a hemodialysis membrane. It covers the thermodynamics of mixing, phase transition, phase diagrams, and kinetics of phase separation. To calculate thermodynamics of mixing is to calculate its entalphy, entropy, and free energy functions. Blending two polymers will hopefully have some properties of both, however it is difficult because of the entropy. The variables to control them are usually temperature and composition. Polymers are classified to soft condensed matter and have self assembling feature. Therefore, information regarding the lowest free energy is not sufficient to explain the types of structure one can obtain. Precisely interesting structures are formed in the process which is not yet in equilibrium. A phase transition was discussed in two liquids which are miscible in all proportions at high temperature, but separate into two distinct phases when the temperature is lowered. The phase diagram can be calculated which have components of binodal, and spinodal curves, stable, metastable, and unstable regions. Spinodal decomposition occurs in the unstable region with uphill diffusion due to the gradient of chemical potential. Patterns created by it are random, but have a characteristic length of scale. Keywords: Spinodal decomposition, Mixing, Phase transition.
PENDAHULUAN Bahan atau material dalam memenuhi keperluan manusia di dunia ini, terbagi dalam logam dan paduannya, keramik, polimer dan komposit. Dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia, ke-4 jenis bahan, digunakan bisa
dalam sendiri atau gabungan diantara ke-4 jenis bahan. Untuk gabungan bahan tersebut, umumnya ada bahan yang mayoritas (matriks) dan pengisi (filler) sebagai minoritas dalam jumlah. Logam dan paduannya, ditunjukkan
Tinjauan Tentang Dekomposisi Spinodal…. Krisna Lumban Raja
295
pada besi, stainless steel, alumunium, seng dan sebagainya dalam bentuk berbagai rupa. Keramik, ditunjukkan pada gelas, mangkok, piring, berlian, komponen roket antariksa dan sebagainya dalam berbagai bentuk. Polimer, ditunjukkan pada ember, perabot rumah tangga, bangku, jok mobil, penahan panas (insulasi panas), karpet, komponen automotif dan sebagainya dalam berbagai bentuk. Dalam polimer, bila campuran polimer satu dengan polimer lainnya digabung, disebut polipaduan (immiscible dan miscible). Komposit merupakan gabungan dari ke-4 jenis bahan, seperti komposit polimer merupakan gabungan antara polimer (matriks) dengan pengisi (filler), seperti bemper mobil dan bangku mikromini (campuran polimer dengan serat). Komposit berbasis keramik, seperti kaca tahan pukul (campuran keramik dengan polimer tertentu) dan seterusnya. Polimer sekarang ini dipakai hampir diseluruh bahan untuk memenuhi kebutuhan manusia, karena ringan, murah dan elastis. Dahulu bemper mobil dari logam, sekarang digantikan komposit polimer, kacamata dari keramik sekarang dari polimer (polikarbonat), sebagian besar komponen mobil digantikan atau subtitusi dari bahan polimer. Untuk memahami proses pencampuran antara komponen penyusun berbentuk polimer dalam bentuk immiscible atau miscible, perlu memahami tentang termodinamika pencampuran, transisi fasa, diagram fasa dan kinetika separasi fasa. Pada sistem pencampuran polimer akan berlaku juga prinsip hukum termodinamika, dimana sistem akan menyusun kepada konfigurasi yang memiliki energi bebas minimun (Kittel, C., Kroemer, H. 1980). Sedangkan dekomposisi spinodal digambarkan dari transisi fasa dari campuran dua polimer PolisulfonPolivinil Pirolidon (PSf-PVP) yang dapat diaplikasikan sebagai membran hemodialisis (Mahliçli, F. Y. 2007, Chakrabarty, B., et.al. 2008, Ahmed S.F. 2010, Chandrasekaran N. 2010) Pada termodinamika pencampuran yang terdiri dari pencampuran ideal atau pencampuran non ideal, dalam pembahasannya biner polimer. Sedangkan transisi fasa diterangkan pada materi padat lunak mengingat polimer tergolong materi tersebut. Diagram Fasa adalah bagian yang menerangkan cara merumuskan energi bebas pencampuran, energi bebas pemisahan, kurva binodal, spinodal, suhu kritis, komposisi stabil, metastabil, dan tidak stabil yang merupakan komponen untuk membangun diagram fasa. Pada bagian kinetika separasi fasa, diterangkan adanya dua mekanisme separasi fasa dan dekomposisi
spinodal. Bagian dekomposisi spinodal menerangkan adanya difusi terbalik atau difusi uphill pada dekomposisi spinodal. Termodinamika Pencampuran Menghitung termodinamika suatu campuran adalah menghitung fungsi-fungsi termodinamika pencampuran yaitu entalpi, entropi, dan energy bebas Gibbs campuran tersebut. Menurut ilmu Kimia, campuran ideal atau larutan ideal adalah suatu campuran di mana entalpi larutan atau energi kontak adalah nol. Semakin mendekat ke nol entalpi larutan, semakin menjadi ideal sifat larutan tersebut. Sama halnya, suatu campuran ideal adalah campuran yang koefisien aktivitasnya sama dengan satu. Koefisien aktivitas adalah koefisien yang mengukur pergeseran dari sifat ideal. Konsep larutan ideal bersifat fundamental dalam termodinamika dan aplikasinya. Sifat ideal pada larutan analog dengan sifat ideal pada gas, dengan perbedaan yang penting yaitu bahwa interaksi intermolekul dalam cairan adalah kuat dan tidak dapat dengan mudah diabaikan seperti dapat diabaikan pada gas ideal. Menggantikan hal itu diasumsikan bahwa kekuatan interaksi rata-rata diantara molekul-molekul dalam larutan adalah sama. Secara formal, untuk suatu campuran molekul A dan B, interaksi diantara molekul berbeda, UAB, dan molekul sama, UAA dan UBB , harus berkekuatan rata-rata sama yakni 2UAB=UAA+UBB dan interaksi pada jangkauan yang lebih panjang haruslah nol, atau paling tidak dapat diabaikan. Bila gaya molekul adalah sama diantara AA, AB, dan BB, yaitu UAB=UAA=UBB, maka larutan tersebut otomatis disebut ideal. Bila molekul-molekul secara kimia hampir identik, seperti pada 1-butanol dan 2-butanol, maka larutan tersebutpun akan ideal. Hal ini karena energi interaksi di antara A dan B adalah sama, yang membuat tidak ada perubahan energi (entalpi) secara keseluruhan. Semakin tidak serupa sifat dasar A dan B, larutan tersebut semakin menyimpang dari ideal. Persamaan termodinamika untuk perubahan energi bebas Gibbs pada proses pencampuran, sesuai dengan Persamaan (1).
Gm H m TS m
(1)
Persamaan ini berlaku untuk temperatur T dan tekanan di luar konstan. Perubahan yang dinyatakan dengan Δ, adalah nilai energi bebas G untuk larutan, dikurangi dengan nilai G untuk komponen murninya dalam keadaan terpisah. ΔHm dan ΔSm masing-masing adalah kenaikan entalpi dan entropi pencampuran.
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 294 - 302
296
Sedangkan untuk larutan ideal, persamaan energi bebas pencampuran sesuai dengan Persamaan (2):
Gm ,mix RT xi ln xi Dimana:
(2)
i
R = Konstanta gas xi = Fraksi mol dari komponen i pada
larutan. Bila entalpi larutan ideal adalah nol, maka perubahan dalam energi bebas Gibbs pada pencampuran, bergantung pada entropi pencampuran seperti Persamaan (3):
S mix R xi ln xi
(3)
i
Untuk larutan yang terdiri dari dua komponen yaitu zat A dan zat B, diperlihatkan sesuai dengan Persamaan (4):
Gm ,mix RT ( x A ln x A x B ln x B )
dan kacau, entropi polimer tersebut sangat tinggi. Namun karena polimer amorf, awalnya tidak teratur maka tidak mungkin membuat untuk lebih tidak teratur bila dicampur dengan polimer lain. Karena itu pencampuran polimer dengan polimer menjadi tidak diperkenan. Hanya sedikit pasangan polimer yang dapat bercampur (polipaduan miscible). Sebagian besar membentuk polipaduan immiscible. Hal ini bergantung pada parameter suhu dan komposisi. Cukup banyak pasangan polimer yang dapat bercampur hanya bila ada jumlah yang lebih besar pada satu polimer daripada polimer yang lain. Akan ada suatu daerah komposisi dimana dua polimer tidak akan tercampur. Bila ada 2 (dua) polimer yaitu polimer A dan polimer B, dimana komposisi kurang dari 30% polimer B, dan sebaliknya hingga komposisi lebih dari 70% polimer B. Komposis antara 30% dan 70% polimer B, campuran berpisah fasa menjadi dua fasa, seperti diperlihatkan pada Gambar 1.
(4)
yaitu perubahan energi bebas Gibbs per-mol larutan ideal. Bila diperhatikan energi bebas pencampuran ini adalah selalu negatif (karena setiap xi adalah positif dan setiap lnxi harus menjadi negatif). Berarti larutan ideal selalu tercampur sempurna (completely miscible). Penyimpangan dari keidealan dapat dilukiskan oleh penggunaan fungsi-fungsi Margules atau koefisien aktivitas. Sebuah parameter Margules tunggal cukup untuk menggambarkan sifat-sifat larutan bila penyimpangan dari keidealan adalah sederhana; larutan demikian dinamakan regular. Berlawanan dengan larutan ideal, dimana volume adalah aditif atau merupakan penjumlahan sederhana dari volume komponen cairan murni dan pencampuran selalu sempurna, pada larutan non-ideal volume larutan secara umum tidaklah aditif. Demikian pula dengan kelarutan pada larutan non-ideal tidak terjadi pada seluruh daerah komposisi. Untuk campuran polimer dalam bentuk polipaduan akan berbeda dengan komposit berbasis polimer Ikawa, T.; et.al. 1975, Ting, E. P.; et.all. 1980, Pearce, E.M. et al. 1984, Coleman, M. M. et.al. 1991). Pencampuran polietilen dan polipropilen, yang keduanya bersifat hidrokarbon non polar tetapi kedua polimer tersebut tidak bercampur. Hal ini dikarenakan tinjauan dari entropi bahwa bila sesuatu berubah, ia akan berubah dari keadaan teratur ke keadaan tidak teratur. Bila polimer tersebut oleh dirinya sendiri, seluruh rantainya sudah saling menjerat secara acak
Gambar 1. Kurva energi bebas pencampuran ∆Gmix fungsi dari jumlah relatif komponen B untuk suatu campuran polimer A dan polimer B. (Coleman, M. M., et.al. 1991).
Dalam hal ini B menyatakan jumlah relatif dari satu komponen terhadap komponen yang lain dalam campuran, jadi kita gunakan B menggantikan % B. Dari Gambar 1, menunjukkan bahwa kedua komposisi ini energi bebasnya lebih rendah daripada energi bebas pada komposisi yang lain (Coleman, M. M., et.al., 1991). Transisi Fasa Polimer adalah materi yang termasuk soft condensed matter (materi padat lunak) yaitu materi yang berbeda dengan cairan atau padatan kristal. Materi padat lunak seringkali mempunyai morfologi dengan struktur yang tidak sederhana. Sifat luar biasa pada struktur ini
Tinjauan Tentang Dekomposisi Spinodal…. Krisna Lumban Raja
297
yakni kemampuan menaruh diri sendiri secara bersama-sama tanpa ada bantuan dari luar untuk membentuk susunan yang sangat rumit, yang disebut sifat berkumpul sendiri atau self assemble. Memahami sifat ini berarti memahami transisi fasa serta kinetikanya (Jones 2002). Ada 2 (dua) struktur, yaitu struktur yang pada dasarnya sudah dalam kesetimbangan, dan struktur non-kesetimbangan yang terjadi mengikuti perubahan. Struktur mengumpul sendiri non kesetimbangan seringkali terjadi bersamaan dengan transisi fasa. Bila beberapa parameter luar (suhu) diubah, struktur yang mempunyai energi bebas terendah dapat mengubah karakternya secara tidak kontinyu. Sehingga perubahan kualitatif dari struktur dapat terjadi sebagai respon dari perubahan kuantitatif yang menjadi parameter kontrol. Dalam banyak kasus struktur yang menarik terbentuk pada proses ini, dan walaupun struktur ini belum pada kesetimbangan, secara efektif mereka dapat dibekukan, misalnya dengan mendinginkan cairan melalui suatu transisi gelas.
bebas F U TS maka diperoleh energi bebas pencampuran, seperti Persamaan (5).
Fmix A ln A B ln B A B . k BT
Persamaan (5) diatas menyatakan energi bebas pencampuran fungsi dari konsentrasi pencampuran yang bergantung pada parameter tunggal tak berdimensi , yang menggambarkan kekuatan interaksi energi diantara komponen penyusunnya. Untuk mengerti sifat fasa campuran dapat dilihat dari bentuk kurva energi terhadap perubahan komposisi dengan membuat variasi nilai , seperti ditunjukkan pada Gambar 3 [19]. Dari Gambar 3, menunjukkan bahwa untuk nilai negatif dari , kurvanya mempunyai suatu minimum tunggal pada A B 0.5 , sementara untuk nilai-nilai dua minimal, dan satu A B 0.5 .
HASIL DAN PEMBAHASAN Diagram Fasa Menggunakan model tersebut dapat dihitung diagram fasa yaitu keadaan setimbang dari sistem yang merupakan fungsi dari suhu dan komposisi. Selanjutnya diagram fasa ini dipakai sebagai dasar untuk menjelaskan secara teori mekanisme terjadinya pemisahan fasa (Jones 2002), dengan tujuannya untuk penentuan energi bebas pencampuran. Dari Gambar 2, terlihat ada 2 (dua) zat A dan zat B, dalam keadaan terpisah atau keadaan tak tercampur sehingga energi bebasnya sebagai FA+FB. Juga untuk campuran A + B, maka energi bebasnya sebagai FA+B, sehingga energi bebas pencampuran sebesar Fmix FA B ( FA FB ) . Diketahui bahwa energi bebas pencampuran bergantung dari komposisi dan suhu dari bahan penyusunnya (Jones 2002). Untuk sederhana, diasumsikan pencampuran terjadi pada T , p tetap dan dibuat pV 0 , artinya perubahan volume dapat diabaikan. Mengingat G=U+pV-TS dan F=U-TS maka G F . Dengan kata lain energi bebas yang sesuai untuk hal ini adalah energi bebas Helmholtz F daripada energi bebas Gibbs, G . Bila digunakan persamaan energi
(5)
2
didapatkan maksimum pada
Bila volume suatu campuran memiliki fraksi voluma awal dari dan
A
serta
1
A adalah 0
B 1 . Bila campuran ini
berpisah menjadi suatu volume fraksi volume
V0 yang
V1 dengan
V2 dengan fraksi dan B dengan
dan volume
2 , maka 0V0 V11 V2 2 ,
volume
A
sehingga
diperoleh
Persamaan (6).
0 11 2 2 bila proporsi relatif dari kedua fasa
2 mengikuti Persamaan (7) 1 2 1
(6)
1 dan (7)
Maka energi total sistem fasa terpisah adalah Fsep 1 Fmix (1 ) 2 Fmix ( 2 ) , dan diperoleh Persamaan (8).
Fsep
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 294 - 302
0 2 0 Fmix (1 ) 1 Fmix ( 2 ). 1 2 1 2
(8)
298
Gambar 2. Energi bebas pencampuran. Di sebelah kiri ada dua zat A dan B dalam keadaan tak tercampur, sementara di sebelah kanan mereka membentuk suatu campuran yang mendalam sampai skala molekul. Energi bebas pencampuran adalah perubahan dalam energi bebas yang berjalan dari satu keadaan ke keadaan lain.
k B T sebagai fungsi dari komposisi untuk berbagai nilai dari , sebagaimana diberikan oleh Persamaan (5) bersama dengan asumsi inkompresibilitas A B 1
Gambar 3. Energi bebas pencampuran dibagi interaksi parameter
Gambar 4. Energi bebas pencampuran sebagai fungsi dari komposisi untuk campuran fasa satu dan fasa dua. (a) Komposisi awal fasa ini,
Fsep ,
0
fasa berpisah menjadi fasa dua
1
dan
2 : energi bebas total dari kedua
selalu lebih tinggi daripada energi bebas komposisi awal
F0
jadi campuran stabil
dan (b) campuran dengan komposisi antara 1 dan 2 dapat merendahkan energi bebas mereka dengan pemisahan menjadi fasa dua pada komposisi-komposisi tersebut.
Tinjauan Tentang Dekomposisi Spinodal…. Krisna Lumban Raja
299
Gambar 5. Energi bebas pencampuran sebagai fungsi dari komposisi, menunjukkan perbedaan diantara komposisi yang metastabil seperti pada
a , dan komposisi yang tidak stabil seperti pada b .
Dari Gambar 4(a) memperlihatkan bahwa komposisi awal 0 berpisah fasa menjadi dua fasa 1 dan 2. Energi bebas total dari kedua fasa ini, Fsep, yang diberikan oleh Persamaan (8), garis lurus yang menghubungkan F(1) dan F(2) sehingga diperoleh fraksi volume sebesar 0. Energi bebas dihasilkan dari pemisahan fasa menjadi tiap pasangan fraksi volume 1 dan 2 adalah selalu lebih tinggi dari energi bebas komposisi awal F0, artinya campuran yang terbentuk menunjukkan stabil. Dari Gambar 4(b), menunjukkan bahwa puncak menggambarkan ada beberapa komposisi awal yang dapat membawa kepada merendahkan energi bebas bila pada komposisi itu terjadi pemisahan fasa. Jelas bahwa komposisi pembatas yang membatasi daerah ini untuk pemisahan fasa adalah komposisikomposisi yang dihubungkan oleh tangensial bersama, 1 dan 2 . Komposisi-komposisi ini dikenal sebagai komposisi coexisting, dan tempat komposisi-komposisi ini bila suhu diubah, dan karenanya parameter interaksi juga berubah, dan disebut sebagai kurva coexisting atau binodal. Fungsi energi bebas positif
atau
negatif.
Pada
d 2 F / d 2 dapat komposisi
b ,
pemisahan fasa menjadi dua komposisi yang dekat ke b menghasilkan penurunan energi bebas dari
Fb ke Fb' . Pada komposisi ini,
sistem tidak stabil terhadap fluktuasi kecil dalam komposisi, dan akan segera mulai berpisah fasa. Komposisi ini tidak stabil. Tetapi pada komposisi a perubahan kecil dalam komposisi, mengalami peningkatan dalam energi bebas dari
diatasi untuk mencapai minimum energi global berkaitan dengan pemisahan fasa, dan sebagai hasilnya komposisi ini adalah metastabil. Jelas batas stabilitas lokal didefinisikan oleh kondisi bahwa kurva d F / d 0 ; tempat titik-titik ini dikenal sebagai spinodal. Akhirnya diketahui bahwa suhu kritis TC 2
2
memisahkan dua jenis keadaaan, bila campuran selalu stabil maka kurva dari fungsi energi bebas adalah selalu positif. d F / d Sebaliknya keadaan pada komposisi pemisahan 2
fasa, untuk daerah
2
d 2 F / d 2 adalah negatif dalam
tertentu.
Titik
kritis
karenanya
didefinisikan oleh kondisi d F / d 0 , dan ini adalah titik pada pertemuan kurva coexistence dan garis spinodal. Mengetahui hubungan ini antara bentuk energi bebas pencampuran sebagai fungsi dari komposisi dan sifat fasa campuran, akan menggambarkan campuran tersebut stabil, tidak stabil, atau metastabil, seperti yang diberikan oleh Persamaan 5. Diagram fasa yang dihasilkan ditunjukkan dalam Gambar 6. Dari Gambar 6, Untuk parameter interaksi lebih kecil dari dua maka campuran tersebut merupakan misibel sempurna pada berbagai komposisi. Bila parameter interaksi dengan kurang dari nol, ini berarti bahwa pencampuran adalah disukai secara energi. Bila parameter interaksi bernilai antara nol dan dua, berarti pencampuran mempunyai entropi yang besar. Untuk mendapatkan prediksi bermanfaat kelakuan fasa dari model ini yang dapat dibandingkan dengan eksperimen, karena parameter interaksi bergantung pada suhu. 3
3
Fa ke Fa' . Terdapat barier energi yang perlu
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 294 - 302
300
Gambar 6. Diagram fasa campuran larutan yang mempunyai energi bebas pencampuran dijelaskan oleh model larutan reguler (Persamaan 5)
Interpretasi paling sederhana dari model ini yaitu interaksi AA , BB , dan AB dan karena bergantung pada suhu maka terjadi perubahan untuk harga 1 / T . Dalam hal ini AA ,
BB , AB masing-masing adalah energi interaksi antara dua tetangga molekul A, antara dua tetangga molekul B, dan antara sebuah molekul A bertetangga dengan sebuah molekul B. Dalam kasus sederhana ini, didapatkan bahwa suatu campuran akan berpisah fasa pada suhu rendah, namun akan membentuk fasa tunggal pada suhu lebih tinggi. Hal ini untuk mengharapkan bahwa fasa tunggal lebih tidak teratur daripada fasa terpisah Namun interaksi yang meningkatkan dapat termasuk interaksi yang lebih spesifik seperti ikatan hidrogen dan gaya van der Waals, dan biasanya tidak dapat diinterpretasikan hanya dengan ungkapan perubahan energi, karena perlu diperhatikan besaran entropinya. Kinetika Separasi Fasa Perbedaan antara komposisi tidak stabil dan komposisi metastabil menggambarkan mekanisme separasi fasa. Dalam bagian tidak stabil pada diagram fasa, separasi fasa terjadi dengan perubahan yang kontinyu dalam komposisi, dengan proses fluktuasi konsentrasi yang ada dalam setiap campuran pada kesetimbangan termal. Proses ini dikenal sebagai dekomposisi spinodal. Sebaliknya, bila suatu campuran murni dalam daerah metastabil pada diagram fasa, dengan komposisi yang besar kemudian bertumbuh ukurannya. Proses
ini dikenal sebagai nukliasi homogen. Bila pada fasa baru ternukliasi dengan energi aktivasi lebih rendah daripada nukliasi yang homogen. Keadaan ini disebut sebagai nukliasi heterogen (Jones 2002). Dekomposisi spinodal terjadi bila komposisi mengakibatkan penurunan energi bebas sehingga sistem menjadi tidak stabil. Akibat dari dekomposisi spinodal komponen penyusun mengalir dari daerah dengan konsentrasi rendah ke daerah dengan konsentrasi tinggi. Ini merupakan kebalikan dari situasi yang normal, hal mana kita berpikir materi berdifusi dari daerah berkonsentrasi tinggi ke daerh berkonsentrasi rendah. Proses ini kadang dikenal sebagai difusi uphill, yang terjadi akibat adanya potensial kimia. Potensial kimia berkaitan dengan turunan pertama energi bebas terhadap konsentrasi, untuk turunan kedua energi bebas terhadap konsentrasi adalah positip maka daerah dengan konsentrasi tinggi mempunyai potensial kimia tinggi dan difusi adalah normal, arah downhill. Tetapi dalam daerah spinodal turunan kedua energi bebas terhadap konsentrasi adalah negatif, gradien potensial kimia mempunyai tanda berlawanan terhadap gradien konsentrasi, dan material mengalir dari daerah dengan konsentrasi rendah ke daerah dengan konsentrasi tinggi – difusi uphill. Gambar 7, memperlihatkan bahwa setiap fluktuasi dalam komposisi akan bertumbuh, akhirnya menuntun ke suatu domain separasi fasa pada komposisi coexisting. Tetapi, tidak semua fluktuasi konsentrasi bertumbuh dengan laju yang sama. Untuk pertumbuhan dari
Tinjauan Tentang Dekomposisi Spinodal…. Krisna Lumban Raja
301
fluktuasi berpanjang-gelombang yang panjang melibatkan difusi molekul pada jarak yang panjang sehingga relatif lambat. Sedangkan untuk fluktuasi dengan panjang-gelombang pendek bertumbuh, maka akan menciptakan sejumlah besar antar muka (interface), yang akan mengkonsumsi energi sangat banyak. Karena itu ada ukuran fluktuasi konsentrasi yang optimal yang bertumbuh paling cepat. Pola-pola yang diciptakan oleh dekomposisi spinodal adalah acak, namun mempunyai panjang skala karakteristik (Jones 2002).
Perhitungan termodinamika campuran ideal dua komponen untuk energi bebas, persamaan (4), analog dengan pada gas ideal dengan perbedaan yang terpenting adalah interaksi intermolekul dalam campuran diasumsikan sama. Perhitungan termodinamika campuran biner polimer untuk energi bebas, persamaan (5), bedanya dengan campuran ideal dua komponen adalah pada parameter tunggal tak berdimensi, , yang menggambarkan interaksi di antara komponen. Dekomposisi spinodal pada campuran biner polimer adalah campuran pada komposisi campuran tertentu dan suhu campuran T tertentu mempunyai energi bebas Helmholts pencampuran,
Fmix , di mana
2 Fmix 0. 2
Dalam hal ini campuran dalam keadaan tidak stabil, dan setiap fluktuasi kecil pada komposisi akan bertumbuh dengan pertambahan waktu (diperkuat), serta mengalami difusi uphill dengan panjang gelombang difusi moderat dan membentuk struktur dengan domain berskala menengah antara atomik dan makroskopik. DAFTAR PUSTAKA Ahmed
Gambar 7. Fluktuasi konsentrasi dari suatu skala panjang menengah (intermediate) khusus bertumbuh paling cepat dalam dekomposisi spinodal. Dalam (b), Suatu fluktuasi berpanjang-gelombang panjang bertumbuh relatif lambat, sama halnya jarak-jarak material harus berdifusi dari palung ke puncak adalah relatif besar. Dalam (c). Terlalu banyak antar muka (interface) baru tercipta, dengan konsekuensi energi bebas bersesuaian yang besar; fluktuasi ini tidak bertumbuh sama sekali. Panjang skala menengah (a) bertumbuh paling cepat dan mendominasi pola separasi fasa.
KESIMPULAN Untuk memahami proses pencampuran antara komponen penyusun berbentuk polimer dalam bentuk immiscible atau miscible, perlu memahami tentang termodinamika pencampuran, transisi fasa, diagram fasa dan kinetika separasi fasa.
S.F. 2010. Preparation and Characterization of Hollow Fiber Nanofiltration Membranes, Thesis, Master of Science in Chemical Engineering, University of Technology. Chakrabarty, B., Ghoshal, A.K., and Purkait, M.K. 2008. Preparation, characterization and performance studies of polysulfone membranes using PVP as an additive, Journal of Membrane Science., 315 (1-2) 36-47. Chandrasekaran N. 2010. Miscibility, Morphology and Biocompatibility Studies of Novel Hemodialysis Membranes with Enhanced Antioxidant and Anti-inflammatory Properties, Dissertation, Polymer Engineering, University of Akron. Coleman, M. M., Graf, J. F. and Painter, P. et al., 1991. Specific Interactions and the Miscibility of Polymer Blends, Technomic, p.20. Ikawa, T.; Abe, K.; Honda, K.; and Tsuchida, E. 1975. J. Polym. Sci., Polym. Chem. Ed., 13, 1505. Jones, R.A.L., 2002. Soft Condensed Matter, p.25, 28-31, 32-33, Oxford University Press.
J. Kimia Kemasan, Vol. 34 No.2 Oktober 2012 : 294 - 302
302
Kittel, C., Kroemer, H. 1980. Thermal Physics, p.314, W.H. Freeman and Company New York. Mahliçli, F. Y. 2007. Preparation and Characterization of Hemodialysis Membranes, Thesis, Chemical Engineering, İzmir Institute of Technology, İzmır. Pearce, E. M.; Kwei, T. K. and Min, B. Y. 1984. J. Macromol. Sci. Chem. 21, 1181. Perrot P. A to Z of Thermodynamics. ISBN 0-19856556-9. Photo by Hoffman, S. 1997. Apetic-Revista Mexicana de apicultura Mexico. Ting, E. P.; Pearce, E. M. and Kwei, T. K. 1980. J. Polym. Sci. Polym. Lett. Ed., 18, 201. Toth, L.F. 1964. Regular figures Pergamon Press Book, Macmillan, New York Velázquez Sánchez, M.E. 2002. Spinodal decomposition in thin films of binary
[1] [2] [3] [4] [5]
[6]
polymer blends. Proefschrift. Universiteitsdrukkerij Technische Universiteit Eindhoven, Eindhoven http://courses.chem.psu.edu/chem451/Lectu re16b_simplemix_large_s04.pdf http://en.wikipedia.org/wiki/Ideal_solution http://www.en.wikipedia.org/wiki/Flory– Huggins_solution_theory http://pslc.ws/macrog/blend.htm IUPAC,Compendium of Chemical Terminology (2nd ed.). (the "Gold Book") (1997) [Online corrected version: (2006–) "ideal mixture"] http://www.fisicavolta.unipv.it/mihich/Lecture 16.ppt
Tinjauan Tentang Dekomposisi Spinodal…. Krisna Lumban Raja
303
PEDOMAN PENULISAN NASKAH 21 cm Header 2 cm
Top 3,4 cm
SINTESIS NANOPARTIKEL PERAK (Arial, 14 pt, Bold) Arial, 14 pt, 1 baris
(SYNTHESIS OF SILVER NANOPARTICLE) (Arial, 11 pt, Bold, Italic) Arial, 14 pt, 1 baris
Rahyani Ermawati dan Siti Naimah (Arial, 12 pt) Arial, 12 pt, 1 baris
Left 3 cm
Right 2,1 cm
Balai Besar Kimia dan Kemasan, Departeman Perindustrian RI Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur Arial, 10 pt, 1 baris
E-mail:
[email protected] 2 baris (10 pt)
ABSTRAK (Arial, 10 pt, Bold)
(1 baris, 9 pt) Indonesia berpeluang untuk mengembangkan nanoteknologi dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam ………(justify, Arial, 9 pt, spasi single)……………………………………….………. (1 baris, 9 pt) Kata kunci : Nanopartikel, Bottom-up, Reduksi kimia, Particle Size Analyzer (PSA), Scanning Electron Microscope (SEM) (1 baris, 9 pt) ABSTRACT (Arial, 10 pt, Bold) (1 baris, 9 pt) Indonesia has a chance in develop the nanotechnology using the natural resources and it will give added value in high price……………… (justify, Arial, 9 pt, spasi single)……………..……………... (1 baris, 9 pt) Key words : Nanoparticles, Bottom-up, Chemical reduction…………………………………
2 baris (9 pt) PENDAHULUAN (1 baris, 10 pt)
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan Ms Word dan jumlah halaman maksimal 10 halaman. Naskah disusun dalam 5 subjudul, yaitu PENDAHULUAN, BAHAN DAN METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN dan DAFTAR PUSTAKA. Penulisan kutipan di dalam teks menggunakan nama penulis, bukan nomor, dan nama penulis atau korporasi yang dikutip harus tercantum di dalam daftar pustaka. Judul Judul harus singkat, jelas dan menggambarkan isi naskah. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Abstrak atau Kata Kunci Abstrak memuat latar belakang secara ringkas, tujuan, metode, hasil serta kesimpulan suatu penelitian. Footer 2 cm
Abstrak berbahasa Inggris dan bahasa Indonesia dan di bawah dicantumkan kata kunci paling banyak 5 (lima) kata terpenting dalam naskah. Pendahuluan Pendahuluan mencakup latar belakang, tujuan, ruang lingkup penelitian, temuan terdahulu yang akan dikembangkan, disanggah, hipotesis dan pendekatan umum. BAHAN DAN METODE Berisi penjelasan ringkas tetapi rinci tentang bahan, metode, rancangan percobaan dan rancangan analisis data, waktu dan tempat penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN
0,6 cm
Memuat data atau fakta yang diperoleh dari penelitian. Data atau fakta penting yang tidak dapat dinarasikan dengan jelas dapat disajikan dalam bentuk tabel, gambar ataupun ilustrasi lain. Pembahasan merupakan ulasan tentang hasil, menjelaskan makna hasil penelitian, kesesuaian dengan hasil atau penelitian terdahulu dan peran hasil tersebut terhadap pemecahan masalah yang disebutkan dalam pendahuluan. Simbol Matematis Simbol atau persamaan dikemukakan secara jelas.
Bottom 2 cm
matematis
harus
29,7 cm
Awal paragraf menjorok ke dalam 1 cm. Semua kalimat ditulis dengan huruf Arial 10 pt, jarak baris 1 spasi. Format penulisan terdiri dari 2 kolom dengan jarak kolom 0,6 cm. Kertas : A4 Multiple pages : Mirror margin Top : 2 cm Bottom : 2 cm Left (Inside) : 3 cm Right (Outside) : 2,1 cm Section start : Continous Header & Footer : Different Odd & Even Header : 2 cm Footer : 2 cm
Tabel Tabel diberi nomor urut sesuai dengan keterangan di dalam teks. Setiap tabel diberi judul yang singkat dan jelas diletakkan di atas tabel, sehingga setiap tabel dapat dipandang berdiri sendiri sedangkan untuk gambar atau grafik judulnya diletakkan di bawah gambar/ grafik. Singkatan kata perlu diberi catatan kaki atau keterangan. Keterangan tabel diletakkan di bawah tabel. Pengolahan Naskah Redaksi melakukan penilaian, koreksi dan perbaikan. Kriteria penilaian meliputi : kebenaran isi, tingkat keaslian, kejelasan uraian dan kesesuaian dengan misi publikasi. Redaksi akan mengembalikan naskah kepada penulis untuk diperbaiki sesuai dengan saran redaksi dan naskah yang tidak dapat diterbitkan akan diberitahukan. Ulasan dan tinjauan ilmiah Ulasan sebaiknya merupakan tinjauan mengenai masalah yang terkini (up to date) dari industri kimia, kemasan, cemaran, rancang bangun dan perekayasaan. KESIMPULAN Ditulis dengan ringkas hasil-hasil yang didapat. DAFTAR PUSTAKA Daftar Pustaka disusun menurut abjad dan ditulis sesuai penulisan daftar pustaka dengan metode Chicago Style. Buku : Penulis. Tahun. Judul Buku. Edisi. Kota: Penerbit. Contoh : Winarno F.G dan Ivone E.F. 2009. Nanoteknologi Bagi Industri Pangan dan Kemasan. Mbrio Press. Jurnal : Penulis. Tahun. Judul Naskah. Nama Jurnal. Volume (nomor) : Halaman. Contoh : Obaidat, I.M., B Issa, and Y. Haik. 2011. The role of aggregation of ferrite nanoparticles on their magnetic properties. Journal of nanoscience and nano-technology 11(5): 3882-3888. Disertasi atau tesis : Penulis. Tahun. Judul disertasi/ tesis. Disertasi/Tesis. Nama perguruan tinggi, Kota. Negara. Contoh : Raffi, M. 2007. Synthesis and Characterization of Metal Nanoparticles. PhD Dissertation. Pakistan Institute of Eng. and Applied Sciences, Islamabad. Pakistan.
Artikel dalam buku atau prosiding : Penulis. Tahun. Judul naskah. Dalam : Penulis. Judul buku/ prosiding. Kota : Penerbit : Halaman Contoh : Afifah, N. dan E. Sholichah. 2009. Pemanfaatan virgin coconut oil (VCO) dalam sediaan hand body lotion dan uji stabilitasnya. Dalam: Prosiding seminar nasional Teknik Kimia Universitas Parahyangan: 178 -184.
Vol. 34 No. 2 Oktober 2012 ISSN 2088 – 026X
Arief Riyanto, Retno Yunilawati, dan Chicha Nuraeni Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No.1 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Isolasi Metil Sinamat dari Minyak Atsiri Laja Gowah (Alpinia malaccensis (Burm.f.)) J. Kimia Kemasan Oktober 2012, Vol. 34 No. 2 : 237 – 242 Telah dilakukan penelitian isolasi metil sinamat dari minyak laja gowah (Alpinia malaccensis (Burm.f.)) dengan metode distilasi menggunakan alat spinning band distillation column. Metil sinamat merupakan senyawa ester dari asam sinamat, dengan rumus molekul C10H10O2. Distilasi dilakukan secara batch pada kondisi tekanan vakum dengan variabel volume distilat dan suhu fraksi distilat. Distilasi batch minyak laja gowah menghasilkan fraksi ringan 25%, fraksi metil sinamat 75%, dan residu 5%. Pada tekanan operasi 40 torr, fraksi metil sinamat dengan kemurnian 98% lebih mudah dihasilkan ketika suhu kolom bagian atas mencapai 115oC. Kata kunci : Metil sinamat, Minyak laja gowah, Spinning band distillation column Deswita1, Sudirman1,2, Aloma Karo Karo1 and Dian Iramani3 1 Center for Technology of Nuclear Industry MaterialsNational Nuclear Energy Agency Indonesia Gedung 71-BATAN, Kawasan Puspiptek,Serpong 15314,Indonesia 2 Department of Chemistry, University of of Indonesian Kampus Baru UI, Depok 3 Centre for the Application Isotopes and Radiation Technology-National Nuclear Energy Agency Indonesia Jl. Lebak Bulus Raya No.49, Jakarta 12070, Indonesia E-mail :
[email protected] Effect Of Liquid Natural Rubber Addition To The Mechanical Properties Of Elastomeric Thermoplastic / Polyethylene Polyblend J. Kimia Kemasan Oktober 2012, Vol. 34 No. 2 : 243 – 248 Addition of liquid natural rubber (LNR) to elastomeric thermoplastic (ETP)/polyethylene (PE) polyblend has been done. The aim of this research is to study the effect of LNR addition to the ETP /PE polyblend using blending process. The blending process was done by mixing of ETP and PE with composition of 30% and 70% by weight respectively. LNR was added to the ETP /PE with composition of 3%, 5%, and 7% by weight, to form composite materials, refer as PLB-3, PLB-5 and PLB-7. The density of the specimen was measure by picno-meter, the mechanical properties were tested by Stograph R-1, the thermal property was analyzed by Differential Thermal Analysis (DTA) and the microstructure was observed by Scanning Electron Microscope (SEM). The result shows that the melting point of ETP/PE poly-blend increased from near 140oC to near 160oC with addition of LNR, but decomposition temperature decreased. Likewise, the mechanical properties of ETP/PE poly-blend exhibit the improvement after being added LNR. The mechanical properties show a rigid structure with the highest tensile strength of 191 Kg.m-2, and referred as the most optimum composition ETP/PE poly-blend. This condition is reached with addition of 5% by weight LNR
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN
LEMBAR ABSTRAK showing regular and homogenous microstructure. It can be concluded that the addition of LNR could improve miscibility of ETP/PE, so that a better quality was obtained. Key words : Elastomeric thermoplastic, Polyethylene, Liquid natural rubber, Polyblend Ratnawati dan Slamet Departemen Teknik Kimia, Universitas Indonesia Kampus Depok E-mail:
[email protected] Potensi Titania Nanotube Array dan Aplikasinya Dalam Produksi Hidrogen dan Pengolahan Limbah J. Kimia Kemasan Oktober 2012, Vol. 34 No. 2 : 249 – 262 Titania (TiO2) merupakan salah satu material fotokatalis yang banyak diteliti dewasa ini kerena mempunyai banyak keunggulan dan aplikasi. Secara umum TiO2 masih memiliki kelemahan karena luas permukaannya yang rendah, tingginya laju rekombinasi elektron dan hole (e- dan h+), serta besarnya nilai energi band gap. SintesisTiO2 dengan morfologi nanotube array (TNTAs) secara anodisasi menarik banyak para peneliti karena meningkatkan luas permukaan TiO2, dan mengefektifkan penyerapan foton dan transport elektron pada proses fotokatalisis. Untuk mengurangi laju rekombinasi e- dan h+ serta memperkecil nilai energi band gap, modifikasi TiO2 nanotube dengan dopan logam maupun non logam tertentu juga sering dilakukan agar fotokatalis tersebut memberikan kinerja yang lebih baik. Review ini difokuskan pada kemajuan terkini dari TiO2 nanotube, terutama dalam hal sintesis TNTAs secara anodisasi, modifikasi TNTAs, serta potensi aplikasinya dalam produksi hidrogen dan pengolahan limbah. Kata kunci : TiO2, Nanotube array, Fotokatalis, Pengolahan limbah Melanie Cornelia 1), Nuri Arum Anugrahati2), Christina 3) Jurusan Teknologi Pangan, Universitas Pelita Harapan Jl. M. H. Thamrin Boulevard 1100, Lippo Karawaci, Tangerang E-mail:
[email protected] Pengaruh Penambahan Pati Bengkoang Karakteristik Fisik dan Mekanik Edible Film
Terhadap
J. Kimia Kemasan Oktober 2012, Vol. 34 No. 2 : 263 – 271 Kegunaan edible film sebagai kemasan primer makanan semakin meningkat. Pati bengkoang dan tapioka dapat digunakan sebagai sumber pati dalam pembuatan edible film. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan konsentrasi tapioka dan gliserol dan menentukan jenis asam lemak yang menghasilkan karakteristik fisik dan mekanik terbaik dari edible film dengan penambahan pati bengkoang. Pembuatan edible film dilakukan dengan menambahkan variasi konsentrasi tapioka dan gliserol dan dengan menambahkan 1% pati bengkoang. Pati bengkoang dapat menghasilkan edible film dengan elongasi yang cukup baik karena kandungan amilosa yang cukup tinggi yaitu 23%. Pengaruh variasi konsentrasi tapioka dan gliserol terhadap ketebalan, lightness, kuat tarik, persen pemanjangan, dan
laju transmisi uap air diamati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi tapioka dan gliserol berpengaruh signifikan terhadap ketebalan, kuat tarik, persen pemanjangan, dan laju transmisi uap air. Peningkatan konsentrasi tapioka hingga 2% dan konsentrasi gliserol dari 0,5% hingga 1% dapat meningkatkan ketebalan dan persen pemanjangan. Peningkatan konsentrasi tapioka dan gliserol juga meningkatkan kuat tarik dan laju transmisi uap air. Edible film terbaik dihasilkan dari konsentrasi tapioka 2% dan gliserol 0.5%, dalam penelitian ini jenis asam lemak yang digunakan adalah asam lemak stearat dan asam lemak oleat. Hasilnya menunjukkan bahwa jenis asam lemak juga berpengaruh signifikan terhadap lightness, kuat tarik, persen pemanjangan, dan laju transmisi uap air. Asam lemak stearat memberi pengaruh lebih baik pada karakteristik edible film dibandingkan dengan asam lemak oleat. Asam lemak stearat meningkatkan kuat tarik seiring dengan penurunan elongasi. Penambahan asam lemak stearat dapat menurunkan laju transmisi uap air edible film dari pati bengkoang walaupun dengan penurunan persen pemanjangan. Kata kunci : Edible film, Pati bengkoang, Asam lemak, Kuat tarik, Persen pemanjangan
Pengaruh Formulasi Edible Film dari Karagenan Terhadap Sifat Mekanik dan Barrier J. Kimia Kemasan Oktober 2012, Vol. 34 No. 2 : 282 – 286 Edible film adalah film yang terbuat dari satu atau beberapa jenis bahan pangan (food grade) dan dapat dikonsumsi tanpa menimbulkan pengaruh yang membahayakan. Karagenan merupakan sumber daya alam yang potensial, seiring dengan meningkatnya kepedulian konsumen terhadap lingkungan. Oleh karena itu penelitian pembuatan kemasan layak santap (edible film) dari karagenan perlu untuk dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh formulasi pada karakteristik edible film dari karagenan untuk kemasan makanan. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pada penambahan 3% gliserol, semakin besar jumlah karagenan yang digunakan, maka semakin tebal edible film yang dihasilkan dengan kuat tarik dan elongasi yang semakin turun. Sedangkan pada hasil uji Water Vapor Transmission Rate (WVTR), semakin besar jumlah karagenan yang digunakan, WVTR yang dihasilkan semakin rendah. Dari hasil analisis sidik ragam, ada perbedaaan yang nyata antara rata-rata hasil pengujian dari kelima persentase karagenan. Kata
kunci:
Edible film, Karagenan, transmission rate, Gliserol
Water
vapor
Sulistioso Giat Sukaryo1, Nurul Laili Arifin2, Sudaryo2, Sudirman 1,3 1 Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN)-BATAN Kawasan Puspiptek, Serpong 15314, Tangerang Selatan 2 Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir (STTN)-BATAN,Yogyakarta 3 Jurusan Kimia, FMIPA-UI,Kampus UI Baru, Depok E-mail:
[email protected]
Rizal Alamsyah dan Enny Hawani Lubis Balai Besar Industri Agro (BBIA), Kementerian Perindustrian Jl. Ir. H. Juanda No.11 Bogor E-mail :
[email protected]
Pengaruh Radiasi Gamma UHMWPE Untuk Tibial Tray
Pengolahan Biodiesel dari Biji Nyamplung (Calophyllum Inophyllum L) Dengan Cara Purifikasi Kering
Terhadap
Sifat
Mekanik
J. Kimia Kemasan Oktober 2012, Vol. 34 No. 2 : 272 – 281
J. Kimia Kemasan Oktober 2012, Vol. 34 No. 2 : 287 – 294
Dalam ortopedi UHMWPE sering digunakan sebagai bantalan materi (tibial tray) pada sendi lutut buatan. Namun dalam penggunaannya, keausan bahan UHMWPE merupakan salah satu faktor utama yang memperpendek umur pakai sendi lutut buatan sehingga diperlukan metode untuk meningkatkan sifat mekanik UHMWPE. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh radiasi sinar gamma terhadap sifat mekanik dan tingkat keausan dari UHMWPE sehingga dapat memenuhi kualifikasi bahan baku pembuatan tibial tray serta mengetahui dosis optimum yang diperlukan UHMWPE agar diperoleh bahan yang tahan terhadap keausan dan memiliki sifat mekanik yang lebih baik. Pembuatan tibial tray dilakukan dengan metode molding pressure dengan radiasi gamma. Pembuatan film UHMWPE dilakukan dengan hot press pada 170 °C selama 3 menit dan tekanan 200 kg/cm2. Kemudian film tersebut dipanaskan ke dalam furnace pada 128 oC selama 100 menit dan diradiasi dengan irradiator karet alam (IRKA) pada dosis 0 kGy, 50 kGy, 100 kGy, 125 kGy dan 150 kGy. Berdasarkan hasil karakterisasi sifat tibial tray dengan XRD, FT-IR, alat uji tarik, alat uji kekerasan, dan alat uji keausan, dapat disimpulkan bahwa efek radiasi terhadap polimer UHMWPE adalah terbentuknya ikatan silang dan degradasi bahan. Sehingga, semakin tinggi dosis radiasi dihasilkan sifat bahan yang semakin keras serta tahan terhadap aus. Selain itu, dapat diketahui bahwa dosis 100 kGy merupakan dosis optimal untuk meningkatkan sifat mekanik bahan.
Tanaman nyamplung atau hutaulo merupakan tanaman yang tumbuh di banyak tempat di Indonesia. Tanaman ini menghasilkan biji yang mempunyai kadar minyak yang tinggi dan dapat diubah menjadi biodiesel. Salah satu masalah dalam proses purifikasi (pencucian) biodiesel kasar adalah kebutuhan air dan energi yang tinggi untuk pemanasan air tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan purifikasi/pencucian kering biodiesel dan menggantikan metode pencucian dengan air dan proses pengeringan. Percobaan dilakukan dengan mereaksikan minyak nyamplung dengan metanol (MeOH) pada suhu 65ºC menggunakan katalis NaOH 1% dari berat minyak. Rasio molar minyak nyamplung dan metanol adalah 1 : 11,5. Pencucian kering biodiesel kasar dilakukan dengan penambahan cleaning agent (CA), arang aktif (AA), dan campuran cleaning agent dan arang aktif (AACA). Pencucian kering dilakukan dengan mereaksikan biodiesel kasar dengan CA (1%, 3%, dan 5%), AA (1%, 3%, dan 5%), AACA (1%, 3%, dan 5%) dilanjutkan dengan penyaringan vakum. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penambahan campuran CA dan AA (5%) ke dalam biodiesel menunjukkan hasil terbaik dalam memperoleh kandungan fatty acid methyl ester (FAME) sesuai SNI sebesar 96,5%.
Kata kunci : UHMWPE, Tibial tray, Hot press, Radiasi gamma, Ikatan silang, Degradasi, Dosis radiasi
Krisna Lumban Raja Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) – BATAN Jl. Lebak Bulus Raya No.49, Pasar Jumat, Jakarta Selatan email:
[email protected]
Guntarti Supeni Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected]
Kata kunci : Biji nyamplung, Biodiesel, Pencucian kering, Purifikasi, FAME
Tinjauan Tentang Dekomposisi Spinodal Pada Campuran Biner Polimer
J. Kimia Kemasan Oktober 2012, Vol. 34 No. 2 : 295 – 303 Tujuan makalah adalah memaparkan asal usul dekomposisi spinodal campuran biner polimer atas latar belakang minat pada aplikasi campuran Polisulfon Polivinilpirolidon yang mengalami dekomposisi spinodal sehingga membuat materi gradien menjadi membran hemodialisis. Pembahasan mencakup termodinamika pencampuran, transisi fasa, diagram fasa dan kinetika separasi fasa. Menghitung termodinamika campuran adalah menghitung fungsi entalpi, entropi, dan energi bebasnya. Mencampur dua polimer adalah untuk mendapat sifat baik dari keduanya, namun sulit karena alasan entropi. Variabel kontrol supaya tercampur biasanya suhu dan komposisi. Polimer tergolong materi padat lunak mempunyai sifat istimewa dapat bergabung. Informasi energi bebas terendah karenanya belum cukup menerangkan tipe struktur yang dapat diperolehnya. Dibahas transisi fasa sistem dua cairan tak dapat bersatu di seluruh proporsi pada suhu tinggi namun terpisah menjadi dua fasa bila suhu diturunkan. Diagram fasa menjadi dapat dihitung mempunyai komponen kurva binodal, spinodal, daerah stabil, metastabil, dan tidak stabil. Dekomposisi spinodal terjadi pada daerah tidak stabil dengan difusi terbalik disebabkan oleh lereng potensial kimia. Pola yang diciptakan acak namun berskala karakteristik. Kata kunci : Dekomposisi spinodal, Pencampuran, Transisi fasa
Indeks Kata Kunci Jurnal Kimia dan Kemasan Vol.34, No.1 dan No.2, 2012 A Asam lemak, 263 B Biji nyamplung, 287 Biodiesel, 287 C Cangkang telur, 219 CO, 207 Curcuma heyneana Val. & v. Zijp, 187
M Masker anti polutan, 207 Merkuri, 225 Metil sinamat, 237 Minyak laja gowah, 237 N Nanotube array, 249 NOx, 207
E Edible film, 199, 263, 282 Elastomeric thermoplastic, 243
P Pati bengkoang, 263 Pencampuran, 295 Pencucian kering, 287 Pengolahan limbah, 249 Persen pemanjangan, 263 Polyblend, 243 Polyethylene, 243 Porogen kitosan, 219 Precipitated calcium carbonate (PCC), 231 Purifikasi, 287
F FAME, 287 Fotokatalis, 249, 231
R Radiasi gamma, 192, 272
D Degradasi, 272 Dekomposisi spinodal, 295 Distilasi air- uap, 187 Dosis radiasi, 272
G Gliserol, 282 H HC, 207 Hidroksiapatit, 219 Hot press, 272 I Ikatan silang, 272 Industri penyamakan kulit, 231 K Kaemferia pandurata Roxb, 187 Karagenan, 282 Karbon aktif, 231 Katalis komposit, 207 Kitosan, 192, 199, 219 Kosmetik, 225 Krom, 231 Kuat tarik, 263 L Liquid natural rubber, 243
S Sifat fisik, 192 Sifat mekanik, 192 Sol-gel, 219 Spinning band distillation column, 237 T Tapioka termodifilkasi, 199 Temugiring, 187 Temukunci, 187 Tibial tray, 272 TiO2, 231, 249 TiO2-AC-ZAL, 207 Transisi fasa, 295 U UHMWPE, 272 V Verifikasi, 225 W Water vapor transmission rate, 282
304
Indeks Pengarang Jurnal Kimia dan Kemasan Vol.34, No.1 dan No.2, 2012 A Aloma Karo Karo, 243 Annisa Lestari, 225 Arief Riyanto, 237 Armi Wulanawati, 219 Ayu Romawati, 219 B Basril Abbas, 192 Bumiarto Nugroho Jati, 231
S Silvie Ardhanie A., 231 Siti Naimah, 231 Slamet, 207, 249 Sudaryo, 272 Sudirman, 192, 243, 272 Sulistioso Giat Sukaryo, 272, 219 Suryo Irawan, 199
C Chicha Nuraeni, 187, 237 Christina, 263 D Deswita, 192, 219, 243 Dian Iramani, 243 E Emil Budianto, 192 Enny Hawani Lubis, 287 Erizal, 192 G Guntarti Supeni, 199, 282 I Ikha Muliawati, 207 Irma Rumondang, 225 K Krisna Lumban Raja, 295 M Melanie Cornelia, 263 Muhamad Ibadurrohman, 207 N Nuri Arum Anugrahati, 263 Nurul Laili Arifin, 272 R Rahyani Ermawati, 231 Ratnawati, 249 Retno Yunilawati, 187, 237 Rizal Alamsyah, 287
305
UCAPAN TERIMA KASIH
Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari sebagai reviewer yang telah menelaah dan memberi masukan serta rekomendasi dalam rangka menjaga mutu jurnal ini sesuai kaidah-kaidah karya tulis ilmiah. Adapun nama-nama mitra bestari sebagai berikut :
NO
NAMA
INSTANSI
1
Drs. Sudirman, MSc, APU
BATAN
2
DR. Rike Yudianti
LIPI
3
DR. Sunit Hendrana
LIPI
ISSN 2088 – 026X
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN
Volume 34 Nomor 2 Oktober 2012 DAFTAR ISI Isolasi Metil Sinamat dari Minyak Atsiri Laja Gowah (Alpinia malaccensis (Burm.f.))
237 – 242
Arief Riyanto, Retno Yunilawati, dan Chicha Nuraeni Effect Of Liquid Natural Rubber Addition To The Mechanical Properties Of Elastomeric Thermoplastic / Polyethylene Polyblend ….………….........……………….
243 – 248
Deswita Sudirman, Aloma Karo Karo and Dian Iramani Potensi Titania Nanotube Array dan Aplikasinya Dalam Produksi Hidrogen dan Pengolahan Limbah …………………….............………...…………..………………..………
249 – 262
Ratnawati dan Slamet Pengaruh Penambahan Pati Bengkoang Terhadap Karakteristik Fisik dan Mekanik Edible Film …........………...…………..…………….......………...……........……..……………
263 – 271
Melanie Cornelia, Nuri Arum Anugrahati, Christina Pengaruh Radiasi Gamma Terhadap Sifat Mekanik UHMWPE Untuk Tibial Tray …....
272 – 281
Sulistioso Giat Sukaryo, Nurul Laili Arifin, Sudaryo, Sudirman Pengaruh Formulasi Edible Film dari Karagenan Terhadap Sifat Mekanik dan Barrier…………………... ……….......…………….......………...……..................…...…….......
282 – 286
Guntarti Supeni Pengolahan Biodiesel dari Biji Nyamplung (Calophyllum Inophyllum L) Dengan Cara Purifikasi Kering …………………... ............................……...……..................…...…….......
287 – 294
Rizal Alamsyah dan Enny Hawani Lubis Tinjauan Tentang Dekomposisi Spinodal Pada Campuran Biner Polimer ………….....
295 – 303
Krisna Lumban Raja Indeks Kata Kunci …………...……….......…………….......………...……..................…...…
304
Indeks Pengarang …………...……….......…………….......………...……..................…...…
305