ISSN 2088 – 026X
Jurnal
Kimia dan Kemasan Journal of Chemical and Packaging Vol. 37 No. 1 April 2015
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN BADAN PENGKAJIAN KEBIJAKAN IKLIM DAN MUTU INDUSTRI
BALAI BESAR KIMIA DAN KEMASAN J. Kimia Kemasan
Vol. 37
No. 1
Hal. 1 - 66
Jakarta April 2015
Terakreditasi No : 526/AU1/P2MI-LIPI/04/2013
ISSN 2088 – 026X
ISSN 2088 – 026X Vol. 37 No.1 April 2015
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN (JOURNAL OF CHEMICAL AND PACKAGING) Terakreditasi Nomor : 526/AU1/P2MI-LIPI/04/2013 Jurnal Kimia dan Kemasan memuat hasil penelitian dan telaah ilmiah bidang kimia dan kemasan yang belum pernah dipublikasikan. Jurnal Kimia dan Kemasan terbit dua nomor dalam setahun (April dan Oktober) Penanggungjawab Officially incharge
Kepala Balai Besar Kimia dan Kemasan Head of Center for Chemical and Packaging
Ketua Dewan Redaksi Chief Editor
DR. Rahyani Ermawati (Biokimia/Biochemistry)
Dewan Redaksi Editorial board
Ir. Emmy Ratnawati (Kimia lingkungan/Environmental chemistry)
Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jl. Balai Kimia No.1. Pekayon Kalisari, Pasar Rebo. Jakarta Timur 13069. Kotak Pos. 6916 JATPK.
Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jl. Balai Kimia No.1. Pekayon Kalisari, Pasar Rebo. Jakarta Timur 13069. Kotak Pos. 6916 JATPK.
DR. Dwinna Rahmi (Kimia/Chemistry) Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jl. Balai Kimia No.1. Pekayon Kalisari, Pasar Rebo. Jakarta Timur 13069. Kotak Pos. 6916 JATPK
Dra. Yemirta, M.Si (Kimia/Chemistry) Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jl. Balai Kimia No.1. Pekayon Kalisari, Pasar Rebo. Jakarta Timur 13069. Kotak Pos. 6916 JATPK.
DR. Sidik Herman (Inovasi Desain/Design Inovation) Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jl. Balai Kimia No.1. Pekayon Kalisari, Pasar Rebo. Jakarta Timur 13069. Kotak Pos. 6916 JATPK
Retno Yunilawati, SSi, MSi (Kimia/Chemistry) Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jl. Balai Kimia No.1. Pekayon Kalisari, Pasar Rebo. Jakarta Timur 13069. Kotak Pos. 6916 JATPK.
Arie Listyarini, SSi, MSi (Polimer/Polymer) Balai Besar Kimia dan Kemasan, Jl. Balai Kimia No.1. Pekayon Kalisari, Pasar Rebo. Jakarta Timur 13069. Kotak Pos. 6916 JATPK.
Prof. DR. Slamet, MT (Kimia/Chemistry)
Mitra Bestari Peer Reviewer
Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424. email :
[email protected] (h-index : 3 scopus)
Drs. Sudirman, MSc, APU (Kimia/Chemistry) Gedung 71-Batan, Kawasan Puspiptek, Serpong . email :
[email protected] (h-index : 1 scopus)
DR. Etik Mardliyati (Biokimia/Biochemistry) BPPT Gd II Lt 16, Jl MH Thamrin 8 Jakarta. email :
[email protected]
DR. Rike Yudianti (Polimer/Polymer) Pusat Penelitian Fisika LIPI, Jalan Cisitu No.21/154D Bandung. email :
[email protected] (h-index : 4)
DR. Mochamad Chalid, S.Si, M. Sc,Eng (Polimer/Polymer) Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok email :
[email protected] (h-index : 3)
Redaksi Pelaksana
Silvie Ardhanie Aviandharie, ST, MT Agustina Arianita Cahyaningtyas, ST Bumiarto Nugroho Jati, ST.MT Novi Nur Aidha, ST Anna Fitrina, ST
Alamat (Address) Balai Besar Kimia dan Kemasan Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No. 1, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur Telepon : (021) 8717438, Fax : (021) 8714928, E-mail :
[email protected] Isi Jurnal Kimia dan Kemasan dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)
ISSN 2088 – 026X Vol. 37 No.1 April 2015
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN (JOURNAL OF CHEMICAL AND PACKAGING) Terakreditasi Nomor : 526/AU1/P2MI-LIPI/04/2013
Daftar Isi Pemanfaatan Ampas Inti Sawit (Palm Kernel Mill/PKM) Sebagai Media Fermentasi Saccharomyces Cerevisiae Sebagai Penghasil β-Glukan..........................................
1–8
Retno Yunilawati, Dwinna Rahmi, Silvie Ardhanie Aviandharie, dan Syamsixman Rekayasa Alat Konversi Biomassa Dari Bahan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menjadi Bio Oil Bahan Bakar cair.....................................................................................
9 – 18
Mangala Tua Marpaung dan Yemirta Karakteristik Dan Struktur Mikro Gel Campuran Semirefined Carrageenan dan Glukomanan........................................................................................................................
19 – 28
Adrianus O W Kaya, Ani Suryani, Joko Santoso, dan Meika Syahbana Rusli Pemanfaatan Polimer Hybrid TMSPMA dan Phosphor Organik Sebagai Bahan Luminesensi Untuk Solid State Lighting Planar…………................................................
29 – 36
Fitrilawati, Norman Syakir, Agustin P. Mastiti, Utami Yuliani, dan Annisa Aprilia Isomerisasi Eugenol Menjadi Isoeugenol Dengan Metode Sonikasi.............………..…
37 – 44
Arief Riyanto, Retno Yunilawati, Dwinna Rahmi, Novi Nur Aidha, dan Emmy Ratnawati Pembuatan Komposit Polipropilena-Bentonit Untuk Plastik Biodegradable...……………………………………………………………………...……………
45 – 52
Deswita, Ari Handayani, dan Evi Yulianti Sifat Fisis dan Mekanis Komposit High Density Polyethylene (HDPE) Hydroxyapatite (HAp) dengan Teknik Iradiasi Gamma…………………………………………………………………………......……….……...
53 – 60
Sulistioso Giat S, Sudirman, Devi Indah Anwar, F.Lukitowati, dan Basril Abbas Application of Phase Change Material (PCM’s) To Preserve The Freshness of Seafood Products.............……………...…………..………………….................................... Wiwik Pudjiastuti, Arie Listyarini, and Arief Riyanto
61 – 66
ISSN 2088 – 026X Vol. 37 No.1 April 2015
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN (JOURNAL OF CHEMICAL AND PACKAGING) Terakreditasi Nomor : 526/AU1/P2MI-LIPI/04/2013
Kata Pengantar Jurnal Kimia dan Kemasan Volume 37 Nomor 1 April 2015 ini terbit dengan delapan artikel yang merupakan terbitan pertama di tahun 2015. Materi untuk terbitan kali ini memuat artikel penelitian di bidang kimia dan kemasan. Di bidang kimia terdapat lima artikel, dua artikel yang membahas pemanfaatan limbah kelapa sawit untuk mendapatkan produk yang mempunyai nilai tambah serta rekayasa alatnya. Artikel pertama membahas tentang Pemanfaatan Ampas Inti Sawit (Palm Kernel Mill/PKM) Sebagai Media Fermentasi Saccharomyces Cerevisiae Sebagai Penghasil βGlukan untuk menghasilkan β-glukan. Artikel kedua membahas tentang Rekayasa Alat Konversi Biomassa Dari Bahan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menjadi Bio Oil Bahan Bakar Cair. Artikel ketiga membahas tentang Karakteristik dan Struktur Mikro Gel Campuran Semirefined Carrageenan dan Glukomanan, artikel keempat membahas tentang Pemanfaatan Polimer Hybrid TMSPMA dan Phosphor Organik Sebagai Bahan Luminesensi Untuk Solid State Lighting Planar dan artikel kelima tentang Isomerisasi Eugenol Menjadi Isoeugenol dengan Metode Sonikasi. Di bidang kemasan artikel hasil penelitian yang disajikan ada tiga artikel, yaitu artikel keenam membahas tentang Pembuatan Komposit Polipropilenaa-Bentonit Untuk Plastik Biodegradable, artikel ketujuh membahas tentang Sifat Fisis dan Mekanis Komposit High Density Polyethylene (HDPE)-Hydroxyapatite (HAp) dengan Teknik Iradiasi Gamma, serta artikel terakhir atau kedelapan membahas tentang Application of Phase Change Materials (PCM’s) to Preserve The Freshness of Seafood Products. Kedelapan topik bahasan dalam terbitan ini semoga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan para pembaca sekalian. Akhir kata redaksi sangat bersyukur atas makalah yang masuk dari berbagai latar belakang disiplin ilmu. Seiring dengan bertambahnya waktu, redaksi berharap akan semakin banyak dan beragam makalah yang masuk untuk dapat diterbitkan dalam Jurnal Kimia dan Kemasan ini. Kritik dan saran untuk peningkatan kualitas penerbitan jurnal ini sangat kami harapkan.
DEWAN REDAKSI
PEMANFAATAN AMPAS INTI SAWIT (PALM KERNEL MILL/PKM) SEBAGAI MEDIA FERMENTASI SACCHAROMYCES CEREVISIAE SEBAGAI PENGHASIL β-GLUKAN (PALM KERNEL MILL/PKM AS MEDIUM IN FERMENTATION OF SACCHAROMYCES CEREVISIAE TO PRODUCE β-GLUCAN)
Retno Yunilawati, Dwinna Rahmi, Silvie Ardhanie Aviandharie, dan Syamsixman Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No.1 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Received : 6 Februari 2015; revised : 13 Februari 2015; accepted : 24 Februari 2015
ABSTRAK Beta glukan adalah polisakarida dari monomer glukosa yang mempunyai ikatan β-(1,3) dan β-(1,6)-glukosida, sebagai komponen utama polisakarida pada mikroorganisme seperti bakteri, jamur, dan khamir. Saccharomyces cerevisiae (S. cerevisiae) merupakan jenis khamir yang dapat dikembangkan untuk menghasilkan β-glukan. Pertumbuhan dan metabolisme S.cerevisiae dalam media fermentasi memerlukan sumber karbon yang berasal dari glukosa. Pada penelitian ini dilakukan pemanfaatan ampas inti sawit (Palm Kernel Mill / PKM) yang mengandung 48% karbohidrat untuk menggantikan glukosa dalam media fermentasi S.cerevisiae melakukan hidrolisis ampas inti sawit menggunakan asam (HCl) dan basa (NH 4OH). Hidrolisis berlangsung optimal dengan konsentrasi HCl 5% yang menghasilkan glukosa sebesar 48,67% dan konsentrasi NH 4OH 2% yang menghasilkan glukosa sebesar 55,08%. Hasil analisis menggunakan spektrokfotometer infra merah menunjukkan bahwa spektrum inframerah dari ekstrak β-glukan S.cerevisiae yang ditumbuhkan dalam media fermentasi PKM memiliki pola yang sama dengan spektrum inframerah ekstrak β-glukan S.cerevisiae yang ditumbuhkan dalam media fermentasi glukosa. Kata kunci : β-glukan, S.cerevisiae, Palm Kernel Mill
ABSTRACT Beta glucan is a polysaccharide of glucose monomers linked by β-(1,3) and β-(1,6)-glucose bonds, which is the main component polysaccharides in microorganisms such as bacteria, fungi, and yeasts. Saccharomyces cerevisiae (S. cerevisiae) is a type of yeast that can be developed to produce β-glucan. S. cerevisiae metabolism in the fermentation medium requires carbon source derived from glucose. In the current research was conducted utilization of Palm Kernel Mill (PKM) containing 48% carbohydrate to replace the glucose in the S.cerevisiae fermentation medium by hydrolysis using acid (HCl) and base (NH 4OH). Hydrolysis takes place optimally with 5% HCl concentration that produces glucose by 48.67% and 2% NH 4OH concentration that produces glucose by 55.08%. The analysis results using infrared spectrophotometer showed that the infrared spectrum of β-glucan S.cerevisiae extract were grown in fermentation media PKM has the same pattern with the infrared spectrum β-glucan S.cerevisiae extract were grown in glucose fermentation media. Keywords : β-glucan, S.cerevisiae, Palm Kernel Mill
PENDAHULUAN Beta glukan (β-glukan) adalah polisakarida yang disusun dari monomer glukosa yang dihubungkan oleh ikatan β-(1,3) dan β-(1,6)-glukosida. Polimer β-glukan memiliki kemampuan untuk membentuk gel sehingga digunakan dalam industri pangan. β-glukan berbentuk butiran kristal seperti pati, bersifat
tidak larut dalam air, tetapi mudah dilarutkan dalam larutan alkali, dan dapat membentuk gel 0 jika dipanaskan pada suhu di atas 54 C. β-glukan banyak digunakan dalam berbagai industri, seperti industri farmasi, makanan, makanan ternak, dan kosmetik (Suphantharika et al. 2003). β-glukan juga memiliki sifat anti
Pemanfaatan Ampas Inti Sawit (PKM)……..Retno Yunilawati dkk
1
tumor, anti mikroba, aktivitas anti oksidan, dan absorpsi mikotoksin (Chen and Seviour 2007). β-glukan merupakan komponen utama dari polisakarida yang terdapat pada dinding sel mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme, seperti khamir dan jamur/cendawan dan juga sereal seperti gandum, mempunyai nilai ekonomi tinggi karena mengandung β-glukan (Widyastuti et al. 2011). β-glukan yang diperoleh dari dinding sel khamir diketahui memberikan efek terapi yang efektif dengan efek samping ringan dan bahkan aman digunakan serta dikonsumsi. Saccharomyces cerevisiae (S. cerevisiae) merupakan jenis khamir yang diketahui dapat mensintesis β-glukan dari dinding selnya. Struktur dinding sel S.cerevisiae mengandung protein yang terikat dengan gula sebagai glikoprotein dan manoprotein, serta mengandung manan, kitin, dan polisakarida jenis β-1,3-glukan dan β-1,6-glukan yang berfungsi memperkuat struktur sel dan sebagai cadangan makanan (Kwiatkowski et al. 2009). Komposisi utama dinding sel S.cerevisiae adalah manoprotein, β-glukan, kitin, dan lipid. S. Cerevisiae sebagai sumber β-glukan, karena β-glukan dari S.cerevisiae memiliki berbagai sifat khas yang tidak ditemukan pada sumber β-glukan lainnya (Nguyen et al. 1998). β-glukan yang terdapat dalam S.cerevisiae sekitar 55% sampai dengan 65%, yang terdiri dari rantai panjang β-1,3 glukan (Gambar 1) dan rantai pendek β-1,6 glukan. β-glukan yang diekstraksi dari khamir menghasilkan β-glukan yang lebih murni karena mengandung sedikit sekali protein dan kontaminan-kontaminan lain. Pertumbuhan dan metabolisme khamir di dalam media memerlukan nutrisi yang mengandung unsur makro terdiri dari karbon, nitrogen, dan oksigen, serta unsur mikro terdiri dari vitamin dan mineral. Sebagai sumber karbon di dalam media biasanya digunakan glukosa. Kusmiyati et al. (2007) pernah mengganti gukosa dengan molase untuk media pada produksi β-glukan S.cerevisiae yang dapat meningkatkan produksi bobot kering S.cerevisiae dan kadar β-glukan. Pada penelitian ini, akan diteliti ampas inti sawit yang dihaluskan (Palm Kernel Mill / PKM) dari PKC kelapa sawit untuk media fermentasi dalam produksi kadar β-glukan S. cerevisiae mengingat dalam PKM masih banyak terdapat glukosa. Penggunaan PKM sebagai pengganti glukosa untuk fermentasi S.cerevisiae dalam produksi β-glukan belum pernah dilakukan. Palm Kernel Cake (PKC) adalah produk samping ekstraksi minyak inti sawit dari buah sawit (Elaeis guineensis jacq). PKC
mengandung komponen utama karbohidrat sekitar 48% dan komponen lain berupa protein, serat, minyak, air, dan abu dengan komposisi seperti terlihat pada Tabel 1. Kandungan karbohidrat yang masih cukup tinggi dalam PKC yang dapat dipecah menjadi glukosa, memungkinkan untuk menjadi pengganti glukosa dalam media tumbuh S.cerevisiae. Palm Kernel Cake (PKC) dapat dihancurkan menjadi Palm Kernel Mill (PKM). Selama ini Palm Kernel Mill dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan sebagai limbah pengolahan kelapa sawit belum dimanfaatkan secara optimal, sedangkan kandungan karbohidratnya masih tinggi sebagai penghasil glukosa. Penelitian ini akan memanfaatkan Palm Kernel Mill dengan menjadikannya sebagai pengganti glukosa untuk media fermentasi S. cerevisiae yang dapat menghasilkan β-glukan. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Palm Kernel Mill (PKM) yang diperoleh dari PTPN VII Lam pung, S.cerevisiae yang diperoleh dari Balai Penelitian Veteriner Bogor, asam klorida (HCl), ammonium hidroksida (NH4OH), media YPG (Yeast Pepton Glucose padat dengan komposisi pepton 2%, yeast ekstrak 1%, glukosa 2%, dan agar 2%), BPW (Buffered Pepton Water), MgSO4, ammonium sulfat, air, NaOH 2%, dan etanol.
Gambar 1. Rumus bangun β-1,3-glukan
Tabel 1. Komposisi Palm Kernel Cake (PKC) No.
Komponen
Jumlah (%)
1 2 3 4 5 6
Karbohidrat Protein Serat Minyak Air Abu
48 19 13 5 11 4
Sumber : Albuquerque et.al. 2012
J. Kimia dan Kemasan, Vol. 37 No. 1 April 2015: 1-8
2
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari seperangkat alat refluks, autoclave, cawan petri, shaker, inkubator, centrifuge, spektrofotometer infra merah, dan spektrofotometer massa,
Tabel 2. Komposisi variabel media untuk produksi S.cerevisiae Jenis bahan
Variabel media A (kontrol)
Metode Hidrolisis PKM Dan Penetapan Kandungan Glukosa Hidrolisis dilakukan menggunakan dua cara, yaitu hidrolisis menggunakan asam dan hidrolisis menggunakan basa. Untuk hidrolisis menggunakan asam, sebanyak 5 gram PKM dimasukkan dalam labu didih, ditambahkan 250 mL larutan HCl (dengan variasi konsentrasi 3%, 5%, 7%, dan 10%) kemudian dilakukan reflux selama 3 jam. Untuk hidrolisis menggunakan basa, digunakan larutan NH4OH 2% 250 mL (dengan variasi konsentrasi 2%, 5%, 7%, dan 10%) dengan cara yang sama seperti hidrolisis menggunakan asam. Setelah selesai dilakukan hidrolisis, pada masing-masing produk hidrolisis dilakukan penetapan kadar glukosa. Produksi β-glukan Dalam Media Fermentasi Yang Mengandung PKM Kultur S.cerevisiae diremajakan dalam cawan petri dalam media YPG (Yeast Pepton Glucose) padat dengan komposisi pepton 2%, yeast ekstrak 1%, glukosa 2%, dan agar 2%. Media disterilkan terlebih dahulu dan diinkubasi pada suhu 36 ⁰ C selama 48 jam. Satu ose kultur S.cerevisiae ditumbuhkan dalam media sesuai komposisi (Tabel 2). Biakan dalam media diinkubasikan selama 48 jam pada suhu 36 ⁰ C dalam shaker dengan kecepatan 150 rpm. Pada penelitian ini, produksi S.cerevisiae dilakukan dengan 3 variabel media, yaitu media kontrol (menggunakan glukosa, namun tanpa penambahan PKM), kemudian menggunakan media tanpa mengandung glukosa namun ditambah PKM hasil hidrolisis asam (HCl), serta menggunakan media tanpa mengandung glukosa namun ditambah PKM hasil hidrolisis basa (NH4OH). Konsentrasi asam (HCl) dan basa (NH4OH) yang digunakan adalah asam dan basa yang mampu menghidrolisis PKM menghasilkan glukosa dengan kadar tertinggi. Masing-masing media diambil sebanyak 250 mL, disterilisasi selama 20 menit dalam autoclave kemudian didinginkan. Setelah dingin, masukkan 10 mL biakan S.cerevisiae hasil pembenihan ke dalam masing-masing media,
Glukosa BPW MgSO4 Ammonium sulfat
2% 2% 2 g/L 7 g/L
B (+ PKM hidrolisis asam) 2% 2 g/L 7 g/L
C (+PKM hidrolisis basa) 2% 2 g/L 7 g/L
kemudian inkubasi selama 7 hari pada suhu 27 ⁰ C dan 150 rpm. Setelah itu, sel dipanen dengan cara disentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm pada suhu 15 ⁰ C selama 10 menit. Selanjutnya dinding sel dihancurkan dengan cara 100 mL sel S.cerevisiae hasil sentrifugasi diambil padatannya dan supernatannya dibuang. Padatan dilarutkan dalam NaOH 2% dan disonikasi pada suhu rendah selama 10 menit. Setelah itu, dilakukan kembali sentrifugasi ulang sehingga didapatkan ekstrak β-glukan dan kemudian dianalisis menggunakan spektrofotometer infra merah dan spektrofotometer massa.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hidrolisis PKM Dan Kandungan Glukosa PKM Yang Sudah Dihidrolisis Proses hidrolisis PKM yang dilakukan pada taHAp ini bertujuan untuk memecahkan gula kompleks menjadi gula sederhana (glukosa). Secara umum, proses hidrolisis polisakarida dapat dilakukan secara kimia dan biologi. Hidrolisis secara kimia dapat dilakukan menggunakan larutan asam atau basa (Koba dan Ishikazi 1990), sedangkan secara biologi dilakukan dengan menggunakan enzim (Cervero et al. 2010). Hidrolisis menggunakan enzim lebih ramah lingkungan namun memerlukan biaya yang lebih mahal. Pada penelitian ini, hidrolisis PKM dilakukan secara kimia menggunakan larutan asam klorida (HCl) dan larutan ammonium hidroksida (NH4OH) dengan beberapa variasi konsentrasi. Kandungan glukosa dari PKM yang telah dihidrolisis menggunakan HCl dan NH4OH secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 3 dan untuk melihat kenaikan/penurunannya, digambarkan pada Gambar 2.
Pemanfaatan Ampas Inti Sawit (PKM)……..Retno Yunilawati dkk
3
Tabel 3. Kandungan glukosa PKM hasil hidrolisis HCl dan NH4OH Konsentrasi HCl (%)
Glukosa (%)
Konsentrasi NH4OH (%)
Glukosa (%)
2
35,24
2
55,08
5
48,67
5
32,64
7
25,38
7
22,64
10
18,50
10
24,20
Gambar 2. Hubungan antara konsentrasi asam/basa dengan kandungan glukosa pada hidrolisis PKM
Pada hidrolisis menggunakan HCl, kenaikan konsentrasi HCl hingga 5% dapat meningkatkan kandungan glukosa PKM terhidrolisis. Kenaikan konsentrasi HCl hingga 5% menyebabkan lebih banyak ion hidrogen yang terbentuk dalam larutan sehingga mengakibatkan reaksi hidrolisis berjalan semakin cepat. Oleh karenanya, pemecahan ikatan glukosida akan meningkat yang menyebabkan polisakarida terkonversi menjadi glukosa (Mosier et al. 2002). Namun, pada peningkatan konsentrasi HCl hingga 10% justru terjadi penurunan kandungan glukosa PKM terhidrolisis. Konsentrasi asam yang terlalu tinggi dapat menyebabkan deformasi glukosa menjadi furfural dan dihidroksimetil furfural (Mosier et al. 2002) sehingga jumlah glukosa akan berkurang. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa konsentrasi HCl yang optimal untuk hidrolisis PKM adalah sebesar 5% yang dapat menghasilkan PKM terhidrolisis dengan kandungan glukosa 48,67%.
Pada hidrolisis menggunakan NH4OH, didapatkan hasil bahwa dengan konsentrasi yang rendah (2%) sudah dapat menghidrolisis PKM hingga dihasilkan glukosa sebanyak 55,08%. Kenaikan konsentrasi NH4OH untuk hidrolisis, menyebabkan turunnya kandungan glukosa PKM terhidrolisis. Hal ini disebabkan karena molekul glukosa sangat cepat dihancurkan oleh larutan alkali dengan konsentrasi tinggi di dalam larutan yang panas. Produksi β-glukan S. cerevisiae Dalam Media Fermentasi Yang Mengandung PKM Penelitian produksi β-glukan S. cerevisiae sudah banyak dilakukan dengan media fermentasi mengandung glukosa. Glukosa merupakan sumber karbon yang merupakan nutrisi makro yang sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan dan metabolisme khamir. Penggunaan PKM sebagai pengganti glukosa untuk fermentasi S.cerevisiae dalam produksi β-glukan belum pernah dilakukan. Penggunaan sumber glukosa lain yang sudah pernah dilakukan, antara lain penggunaan molase dalam fermentasi S.cerevisiae penghasil β-glukan (Kusmiyati et al. 2007 ). Kandungan glukosa dalam PKM terhidrolisis ditunjukkan pada Tabel 3, memungkinkan untuk menjadi pengganti glukosa dalam pertumbuhan dan metabolisme S.cerevisiae yang merupakan sumber β-glukan. PKM yang digunakan untuk proses fermentasi ini adalah PKM yang sudah dihidrolisis oleh asam (HCl) dan basa (NH4OH) dengan konsentrasi optimal yang dapat meghasilkan glukosa tertinggi (Tabel 3), yaitu HCl 5% dan NH4OH 2 %. Hasil Identifikasi β-glukan S.cerevisiae Dengan Menggunakan Spetrofotometer Infra Merah Metode analisis menggunakan spektrofotometer inframerah merupakan suatu metode yang mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada daerah panjang gelombang 0,75 µm sampai dengan 1.000 µm atau pada bilangan -1 -1 gelombang 13.000 cm sampai dengan 10 cm . Spektroskopi inframerah sangat berguna untuk analisis kualitatif atau identifikasi dari senyawa organik karena setiap senyawa organik menghasilkan spektrum yang khas, yang sesuai dengan gugus fungsi yang dimilikinya. Absorbsi sinar infra merah oleh senyawa organik menghasilkan suatu spektrum yang dapat diidentifikasi dengan membandingkannya dengan spektrum yang menjadi referensi.
J. Kimia dan Kemasan, Vol. 37 No. 1 April 2015: 1-8
4
Identifikasi menggunakan spektrum infra merah lebih mudah digunakan dan sensitif terhadap perubahan dalam komposisi ekstrak dinding sel S. cerevisiae (Zimkus et al. 2011). Pola spektrum inframerah dari ekstrak β-glukan S.cerevisiae yang ditumbuhkan pada media kontrol dan media PKM ditampilkan pada Gambar 3. Ketiganya memiliki pola spektrum yang mirip. Berdasarkan pola spektrumnya, terdapat beberapa gugus fungsi utama yang mencirikan senyawa β-glukan seperti dipaparkan pada Tabel 4. Identifikasi gugus fungsi pada Tabel 4 dilakukan dengan membandingkan spektrum referensi β-glukan S.cerevisiae hasil penelitian Zimkus et al. (2011) yang sudah diverifikasi. Gugus fungsi pada Tabel 4. menggambarkan struktur senyawa glukan, dimana ikatan spesifik β-1,3 glukan terletak pada bilangan gelombang -1 -1 1084 cm sampai 1150 cm . Selain itu terdapat gugus fungsi lain, yaitu CH2, C-H, dan C-O pada -1 bilangan gelombang 1300 cm sampai -1 1500 cm (Synytsya and Novak 2014) yang terdapat pada cincin glukosa, kemudian O-H yang terikat pada tiap cincin glukosa pada -1 panjang gelombang 3200 cm sampai -1 3600 cm . Ikatan spesifik β-1,3 glukan terdapat pada ketiga ekstrak β-1,3 glukan S.cerevisiae, yaitu S.cerevisiae yang ditambahkan pada media kontrol (mengandung glukosa), media PKM hidrolisis HCl, dan media PKM hidrolisis NH4OH. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa PKM dapat menggantikan glukosa sebagai media S.cerevisiae untuk memproduksi β-glukan. Beberapa gugus fungsi utama dari pola spektrum mencirikan senyawa β-glukan seperti dipaparkan pada Tabel 4.
C=O O-H
Ikatan β 1,3
C-O
C=O Ikatan β 1,3
O-H
Gambar 3. Pola spektrum infra merah β-glukan pada media kontrol dan media PKM
Tabel 4. Bilangan gelombang spektrum inframerah ekstrak β-glukan S.cerevisiae C-O -1
C=O Ikatan β 1,3 O-H
Bilangan gelombang (cm )
Gugus fungsi/ikatan
1084 sampai 1150
β 1,3 glukan
3200 sampai 3600
O-H
1300 sampai 1500
CH2,C-H,C-O
1650
C=O
Pemanfaatan Ampas Inti Sawit (PKM)……..Retno Yunilawati dkk
5
Hasil Identifikasi β-glukan S.cerevisiae dengan Menggunakan Spetrofotometer Massa Spektrometri massa merupakan suatu metode analisis instrumental yang digunakan untuk identifikasi dan penentuan struktur dari komponen sampel dengan cara menunjukkan massa relatif dari molekul komponen dan massa relatif hasil pecahannya (m/z). Spektrum massa ekstrak β-glukan S.cerevisiae yang ditumbuhkan
pada media PKM dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5. Kedua spektrum menunjukkan pola fragmentasi yang sama, yang menunjukkan bahwa senyawa keduanya memiliki struktur yang sama. Puncak paling tinggi terdapat pada m/z 199. Puncak paling tinggi ini disebut sebagai puncak dasar, yang menunjukkan ion fragmen yang paling banyak terbentuk, atau karena ia merupakan ion yang stabil.
Gambar 4. Spektrum massa ekstrak β-glukan S. cerevisiae yang ditumbuhkan pada media PKM yang dihidrolisis HCl
Gambar 5. Spektrum massa ekstrak β-glukan S.cerevisiae yang ditumbuhkan pada media PKM yang dihidrolisis NH4OH
J. Kimia dan Kemasan, Vol. 37 No. 1 April 2015: 1-8
6
KESIMPULAN Penggunaan PKM terhidrolisis asam (HCl 5%) maupun basa (NH4OH 2%) dalam fermentasi S.cerevisiae dapat menggantikan fungsi glukosa untuk memproduksi β-glukan. Spektrum infra merah dari ekstrak β-glukan S.cerevisiae yang ditumbuhkan dalam media fermentasi PKM memiliki pola yang sama dengan spektrum inframerah ekstrak β-glukan S.cerevisiae yang ditumbuhkan dalam media fermentasi glukosa. Untuk penelitian selanjutnya, perlu dilakukan analisis β-glukan secara kuantitatif. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Balai Besar Kimia dan Kemasan dan Korea Institute of Industrial Technology yang telah memberikan dana untuk penelitian ini, serta para staf laboratorium yang telah membantu penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Albuquerque, N.I., D.A. de Araujo Guimaraes, H.L.Tavares Dias, P.C. Teixera, and J.A. Moreira. 2012. Use of Palm Kernel Cake (Elaeis guineensis and Orbignya phalerata), co-products of the biofuel industry, in collared peccary (Pecari tajacu) feeds. Biofuel co-product as livestock feed : 263-273. Cervero, J.A., P.A. Skovgaard, C. Felby, H.R. Sorensen, and H.Jorgesen. 2010. Enzymatic hydrolysis and fermentation of palm kernel press cake for production of bioethanol. Enzyme and microbial technology 46: 177-184. Chen, J., and R. Seviour. 2007. Medicinal importance of fungal beta-(1-3), (1-6)glucans. Mycol Res 111(6):635-652. Hunter, K.W., R.A. Gault, and M.D. Berner. 2002. Preparation of microparticulate ß-Glucan from Saccharomyces cerevisiae for use in immune potentiation. Letters in applied microbiology 35 (4): 267-269. Jun, T.Y., I.I. Muhamad, dan S. Shaharuddin. 2013. Alternative source of beta-glucan from oil palm (elaeis guineensis) trunk fiber. Jurnal teknologi 64(2): 63–68. Koba, Y. and A. Ishizaki. 1990. Chemical Composition of Palm Fiber And Its Feasibility as Cellulosic Raw Material· for Sugar Production. Agriculture,
biology and chemistry 54 (5): 11831187. Kusmiyati, S.R.Tamat, S.Nuswantara, dan N. Isnaini. 2007. Produksi dan penetapan kadar ß-glukan dari tiga galur saccharomyces cerevisiae dalam media mengandung molase. Jurnal ilmu kefarmasian indonesia: 7-16. Kwiatkowski, S., U. Thielen, P. Glenny, and C. Moran, 2009. A study of Saccharomyces cerevisiae cell wall glucans. The journal institute of brewing & distilling 115 (2):151-158. Lee, M., C.J. Moon, and J.H. Lee. 2001. Purification of soluble β-Glucan with immuno-enhancing activity from the cell wall of yeast. Journal of bioscience,biotechnology and biochemistry 65: 837- 841. Mosier, N.S., C.M. Ladisch, and M.R.Ladich. 2002. Characterization of acid catalytic domains for cellulose hydrolysis and glucose degradation. Biotechnology and bioengineering 6(79): 610-618. Najafpour, G., A. Ideris, S. Salmanpour, and M. Norouzi. 2007. Acid Hydrolysis Of Pretreated Palm Oil Lignocellulosic Wastes. IJE Transactions B: applications 20(2):147-156 Naruemon, M., S. Romanee, P. Cheunjit, H. Xiao, L.A. McLandsborough, and Pawadee. 2013. Influence of additives on Saccharomyces cerevisiae β-glucan production. International food research journal 20 (4): 1953-1959. Nguyen, T.H., G.H. Fleet, and P. Rogers. 1998. Composition of the cell walls of several yeast species. Applied microbiology and biotechnology. 50(2): 206-212. Petravic-Tominac, V., V. Zechner-Krpan, S. Grba, S. Srecec, I. Panjkota-Krbavcic, and L. Vidovic. 2010. Biological Effects of Yeast ß-Glucans. Agriculturae conspectus scientificus 75: 149–58. Rodiansono, U.B.I. Utami, N. Widyastuti, N. Wulandari, dan I. Risnawati. 2013. Hidrolisis lignoselulosa dari tandan kosong kelapa sawit menggunakan katalis asam karboksilat. Sains dan Terapan Kimia 7 (1): 60-71. Suphantharika, M., P. Khunrae, P. Thanardkit, and C. Ver duyn. 2013. Preparation of spent brewer’s yeast b-glucans with a potential application as an immunostimulant for black tiger shrimp, Penaeus monodon. Bioresources technology. 88: 55–60.
Pemanfaatan Ampas Inti Sawit (PKM)……..Retno Yunilawati dkk
7
Synytsya, A. and M. Novak. 2014. Structural analysis of glucans. Analysis of Translational Medicine 2(2):17-31. Thontowi, A., Kusmiati, dan S. Nusantara. 2007. Produksi β-Glukan Saccharomyces cerevisiae dalam Media dengan Sumber Nitrogen Berbeda pada Air-Lift Fermentor. Biodiversitas 8 (4): 253256.
Widyastuti, N., T. Baruji, R. Giarni, H. Isnawan, dan P.W Donowati. 2011. Analisa Kandungan Beta-Glukan Larut Air dan Larut Alkali Dari Tubuh Buah Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) dan Shiitake (Lentinus edodes). Jurnal sains dan teknologi indonesia 13 (3): 182-191.
J. Kimia dan Kemasan, Vol. 37 No. 1 April 2015: 1-8
8
REKAYASA ALAT KONVERSI BIOMASSA DARI BAHAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT MENJADI BIO OIL BAHAN BAKAR CAIR (MANUFACTURING OF BIOMASS CONVERSION EQUIPMENT FROM EMPTY PALM FRUIT BUNCHES INTO LIQUID FUEL)
Mangala Tua Marpaung dan Yemirta Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian RI Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Received : 28 Februari 2015; revised : 23 Maret 2015; accepted : 25 Maret 2015
ABSTRAK Rekayasa alat konversi biomassa menjadi bahan baku cair melalui uji coba skala laboratorium, desain awal reaktor, serta desain rinci masing-masing komponen. Dari hasil uji coba laboratorium, dapat disimpulkan bahwa 50 gram biomassa berupa butiran dapat berubah menjadi gas dengan pemanasan 600 ⁰ C. Setelah melewati cyclone dan kondensor gas yang terbentuk akan berubah fase menjadi bio oil. Dari desain awal dirancang reaktor dengan menggunakan pemanas burner yang beroperasi pada suhu 500 ⁰ C sampai dengan 600 ⁰ C. Pada desain rinci dilakukan pembuatan rancangan flow proses dan desain masing-masing komponen yang terdiri atas reaktor utama, cyclone, kondensor, tangki penampung bio oil, tangki pendingin, dan screw conveyor. Kata kunci : Biomassa, Bio oil, Cyclone
ABSTRACT Tool feedstock conversion of biomassa into liquid was done in the stage of laboratory scale testing, preliminary design of the reactor as well as detailed design of each component. From the results of laboratory tests, it can be concluded that 50 grams of biomass in the form of granules can be turned into gas by heating to 600 ⁰ C, after passing through the cyclone and the condenser gas that is formed will be transformed into a bio oil phase. From the initial design was designed using a heating burner reactor operating at a temperature of 500 ⁰ C until 600 ⁰ C. On the manufacturing was conducted detailed design of flow and processes design of each component comprising the main reactor, cyclone, condensers, tanks bio oil, coolant tank, and screw conveyor. Keywords : Biomassa, Bio oil, Cyclone
PENDAHULUAN Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar dan diantaranya yang belum banyak dimanfaatkan adalah biomassa. Biomassa merupakan salah satu sumber energi yang mengandung lignoselulosa yang ditengarai merupakan sumber bahan bakar bio bernilai kalor tinggi. Pemanfaatan biomassa sebagai bahan energi di Indonesia masih sangat rendah dan masih menggunakan teknologi pembakaran untuk mendapatkan panas yang digunakan baik untuk pemasakkan maupun untuk pembangkit uap. Isroi (2004) menyatakan bahwa dari potensi energi biomassa Indonesia sebesar 50.000 MW ekuivalen, baru sebesar 320 MW ekuivalen yang telah dimanfaatkan atau hanya 0,64%, baik sebagai bahan bakar rumah
tangga maupun bahan bakar untuk pembangkit tenaga dan panas di industri. Sumber biomassa di Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan penghasil energi adalah seperti limbah hasil pertanian, hasil perkebunan, hasil hutan, limbah industri pengolahan, dan limbah kota atau pasar. Jumlah limbah padat kelapa sawit yang dihasilkan dari perkebunan merupakan sumber biomassa yang sangat potensial dan mengandung bahan lignoselulosa yang tinggi, cocok sebagai sumber bahan bakar cair. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2014), luas perkebunan kelapa sawit Indonesia pada tahun 2013 mencapai 10.465.020 ha dan pada tahun 2014 mencapai 10.956.231 ha dengan laju pertumbuhan
Rekayasa Alat Konversi Biomassa…………………Mangala T.M dan Yemirta
9
sebesar 4,69%. Tempurung dan serabut sawit telah dimanfaatkan di pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) yang digunakan sebagai bahan bakar padat pada pembangkit uap (boiler). Sementara itu, proporsi tandan sawit kosong dapat mencapai separuh dari limbah padat tersebut, dalam setiap panen tandan sawit akan dihasilkan satu pelepah daun sawit, yang selama ini hanya digunakan sebagai pakan ternak dan jumlahnya masih sangat kecil. Pemanfaatan kedua jenis limbah sawit ini terkendala oleh teknologi pengolahan yang relatif murah dalam penyiapan bahan dan perlu proses untuk menurunkan kandungan air yang masih cukup tinggi. Dalam perkembangan konversi biomassa menjadi bahan bakar, proses kimia termal lebih banyak digunakan dibandingkan dengan proses biokimia. Hal ini disebabkan waktu proses secara termal lebih singkat dibandingkan dengan proses biokimia dan juga efisiensi konversi yang pada umumnya diperoleh dari proses termal lebih baik, yaitu antara 60% sampai dengan 80% (The Japan Institute of Energy 2008). Menurut Bridgewater (2004), bagian penting dari proses pirolisis cepat untuk menghasilkan bio oil dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut : 1. Suhu dan laju pemanasan yang tinggi pada saat reaksi dan biasanya menggunakan bahan biomassa yang halus. 2. Mengatur suhu reaksi sekitar 500 ⁰ C dan suhu fase penguapan pada 400 ⁰ C sampai dengan 450 ⁰ C. 3. Proses pirolisis di dalam reaktor memerlukan waktu yang pendek, tidak lebih dari dua detik. 4. Untuk menghasilkan bio oil, dilakukan dengan pendinginan terhadap gas-gas pirolisis secara tiba-tiba. Oleh karena itu, pada kegiatan penelitian ini akan difokuskan pada metode proses konversi kimia termal dengan teknologi pirolisis cepat (fast pyrolysis). Melihat akan kebutuhan bahan bakar di dalam negeri yang terus meningkat sementara pasokan bahan bakar fosil semakin terbatas dan terus menurun, oleh karena itu perlu dicari suatu teknologi yang mampu menghasilkan energi alternatif dengan memanfaatkan limbah padat yang bersumber dari bahan biomassa seperti tandan kosong dan pelepah daun kelapa sawit.
J. Kimia Kemasan, Vol.37 No. 1 April 2015: 9-18
Dengan demikian pengembangan teknologi untuk peralatan proses konversi biomassa menjadi bahan bakar cair perlu segera dilakukan. BAHAN DAN METODE Pada kegiatan penelitian ini, ada beberapa rangkaian alat proses yang diperlukan dan metode yang digunakan, diantaranya : Bahan Sebagai kebutuhan alat utama yaitu perancangan alat, pabrikasi alat, perakitan, dan instalasi, sedangkan untuk alat pembantu dibutuhkan antara lain unit komputer dengan perangkat lunak Auto CAD, printer, mesin pemotong pelat baja 1 unit, mesin pemotong baja profil 1 unit, mesin las 1 unit, mesin roll pelat baja 1 unit, mesin drilling baja (vertikal) 1 unit, kunci pas 1 set, dan forklift 1 unit. Metode Kegiatan penelitian ini melakukan uji coba skala laboratorium, desain, pembuatan rangkaian unit konversi kapasitas kecil (skala laboratorium), dan pembuatan unit konversi skala pilot plant, yang terdiri dari : a. Uji Coba Skala Laboratorium Peralatan laboratorium yang digunakan untuk uji coba terdiri dari reaktor dari bahan kaca dengan diameter 25 mm dan panjang 300 mm, heating furnace dengan menggunakan pemanas listrik 3000 watt 1 phase dan panjang furnace 300 mm, cyclone dari bahan kaca sebagai pemisah gas dan butiran abu, kondensor double pipe dari bahan kaca untuk mendinginkan fase gas panas menjadi cairan, tangki produk yang terbuat dari bahan glass erlenmeyer sebagai penampung cairan bio oil, serta pompa kompresor berfungsi untuk memompakan kembali fase gas yang tidak mampu terkondensasi untuk dimasukkan kembali ke dalam reaktor. b. Desain Awal Reaktor dirancang dengan alat pemanas (heating furnace) yang akan dioperasikan pada suhu 450 ⁰ C sampai dengan 600 ⁰ C. Menurut skema dekomposisi termal (Gambar 1), semua bahan biomassa akan terpirolisis pada suhu 300 ⁰ C sampai dengan 600 ⁰ C (de Wild et al. 2008).
10
Gambar 1. Skema dekomposisi termal (de Wild et al. 2008)
c. Desain Rinci Untuk melakukan proses pirolisis cepat dengan kapasitas bahan baku biomassa 10 kg/jam dan menggunakan energi panas, maka perlu dibuat desain rinci dari masing-masing alat. Ada beberapa jenis komponen alat yang dibutuhkan pada proses pirolisis sesuai dengan Gambar 2. Selanjutnya dilakukan pembuatan desain untuk setiap komponen baik ukuran, bentuk, dan model agar semua komponen dapat terpasang sesuai dengan rencana kapasitas. HASIL DAN PEMBAHASAN
ke dalam reaktor yang dihubungkan dengan heating furnace (kolom pemanas) dengan suhu sekitar 600 ⁰ C. Biomassa tersebut terpirolisis menjadi fase gas, segera keluar dari reaktor dan masuk menuju cyclone, untuk memisahkan fase gas terhadap butiran biomassa yang ikut melayang. Selanjutnya fase gas dimasukkan ke dalam kondensor hingga berubah menjadi cairan bio oil. Sisa gas yang tidak mampu terkondensasi disedot dengan menggunakan pompa kompresor dan dialirkan kembali ke dalam reaktor pemanas yang berfungsi sebagai gas recycle. Cairan (berupa bio oil) yang keluar dari ujung kondensor masuk ke dalam tangki pengumpul bio oil.
a. Hasil Uji Coba Skala Laboratorium Sebanyak 50 gram biomassa dimasukkan
Gambar 2. Komponen alat pada proses pirolisis
Rekayasa Alat Konversi Biomassa…………………Mangala T.M dan Yemirta
11
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pirolisis cepat dengan sistem fluidized bed. Gas nitrogen dialirkan ke dalam pipa untuk dipanaskan hingga mencapai suhu 450 ⁰ C sampai dengan 600 ⁰ C, kemudian dimasukkan ke dalam reaktor dan bertemu dengan bahan baku sehingga terjadi proses pirolisis (Froment and Bischoff 1979). b. Desain Awal (Alat) De Wild et al. (2008) menyebutkan bahwa laju dekomposisi primer dari biomassa tergantung pada sifat-sifat panas (termal) dari komponen utama dan kontribusinya pada dekomposisi panas (thermal decomposition). Hemiselulosa terdekomposisi pada suhu 225 ⁰ C sampai dengan 325 ⁰ C, selulosa pada suhu 325 ⁰ C sampai dengan 375 ⁰ C, dan lignin terdekomposisi secara perlahan-lahan pada suhu 250 ⁰ C sampai dengan 500 ⁰ C. Peningkatan laju pemanasan menyebabkan kisaran suhu degradasi komponen menjadi sempit dan suhu proses meningkat secara progresif. Apabila suhu sudah cukup tinggi, laju degradasi secara signifikan dicapai secara simultan oleh semua komponen. Untuk itu dirancang reaktor dengan pemanas burner yang dioperasikan pada suhu 450 ⁰ C sampai dengan 600 ⁰ C. c. Desain Rinci Perancangan alat pirolisis untuk kapasitas pilot plant digunakan semua bahan yang terbuat dari baja berupa stainless steel 304 dan baja biasa seperti dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan Steel (2007), SS 304 memiliki keunggulan dapat meminimalkan chromium
carbide yang diakibatkan pengelasan dan mengurangi korosi intergranular, serta memang aplikasinya yang banyak digunakan untuk alatalat proses industri bahan kimia. Detail ukuran dan bahan yang digunakan yaitu untuk reaktor utama, bahan plat SS 304 tebal (t) 3 mm dengan penampang kubus ukuran 300 x 300 mm dan tinggi (h) 1500 mm dengan menggunakan burner LPG sebagai sumber panasnya. Cyclone terbuat dari bahan plat SS 304 tebal (t) 1,5 mm diameter utama (d) 200 mm dan panjang (l) 1000 mm. Kondensor terbuat dari bahan pipa SS 304 SCH 10 dengan diameter (d) utama 6” dan tinggi (h) 1.500 mm. Tangki penampung bio oil yang terpasang langsung di bawah kondensor terbuat dari bahan plat SS 304 tebal (t) 2 mm dengan diameter (d) 400 mm dan panjang (l) 400 mm. Pompa kompresor berfungsi untuk memompakan kembali fase gas yang tidak mampu terkondensasi untuk dimasukkan kembali ke dalam reaktor, penggeraknya elektromotor 3 phase, 1 Hp, 380 V dengan kapasitas pemompaan (Q) 105 liter/menit. Tangki air pendingin terbuat dari bahan plat SS 304 tebal (t) 2 mm dengan diameter (d) 700 mm dan tinggi (h) 900 mm. Pompa sirkulasi air pendingin single phase, 220 V, 125 W kapasitas pemompaan (Q)15 liter/menit. Tabung nitrogen yaitu untuk persediaan gas nitrogen yang berfungsi sebagai gas inner ke dalam reaktor utama. Selanjutnya masing-masing komponen didesain ukuran, bentuk, dan model agar semua komponen dapat terpasang sesuai dengan rencana kapasitas.
Gambar 3. Desain rinci konstruksi pirolisis
J. Kimia Kemasan, Vol.37 No. 1 April 2015: 9-18
12
1) Reaktor Utama Reaktor utama berfungsi sebagai ruang tempat proses pirolisis biomassa. Pada reaktor ini terjadi kontak antara bahan baku dengan transfer panas langsung, tidak boleh terbakar menghasilkan nyala, dengan cara membatasi jumlah udara sedikit mungkin masuk ke dalam reaktor. Sistem reaktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah reaktor metode fluidized bed. Sistem fluidized bed yang pertama dikembangkan oleh Fritz Winkler di Jerman pada tahun 1920 (Tavoulareas 1991). Sumber energi panas berasal dari burner dengan menggunakan bahan bakar gas LPG. Sisa gas panas akan digunakan untuk memanaskan inner gas nitrogen melalui pipa spiral yang dipasang kompak dengan dinding luar reaktor dan diteruskan melewati ruang bakar utama agar mendapatkan panas yang lebih tinggi. Kemudian melalui jalur screw conveyor bahan biomassa dimasukkan melalui hopper di atas conveyor dan langsung jatuh masuk ke ruang bakar utama yang terdiri dari pipa-pipa api bersuhu tinggi. Gas hasil pirolisis akan melayang ke atas dalam waktu yang cukup panjang, agar bahan biomassa yang baru masuk ke ruang bakar harus terpirolisis sempurna dan dibantu dengan gas inner yang bersuhu tinggi. Gas pirolisis yang terbentuk dalam waktu cepat meninggalkan reaktor dan segera didinginkan di dalam kondensor, yang sebelumnya harus melewati cyclone agar gas pirolisis dapat dipisahkan dari butiran debu yang ikut terbawa. Ukuran utama dari reaktor utama adalah panjang (p) 300 mm, lebar (l) 300 mm, dan tinggi (t) 1.500 mm. Bahan reaktor (Gambar 4) terbuat dari bahan plat SS 304 dengan tebal (t) 3 mm yang bersinggungan langsung dengan bahan biomassa. Sedangkan dinding luar yang bersinggungan dengan sisa gas panas pembakaran terbuat dari bahan plat ST 37 dengan tebal (t) 2 mm serta sirip jalur pembuangan gas panas dari bahan plat strip ST 70. Selanjutnya reaktor dibungkus dengan isolasi glass wool untuk menahan panas agar sedikit mungkin panas yang terbuang ke udara bebas. 2) Cyclone Cyclone berfungsi untuk memisahkan fase gas dengan butiran debu yang ikut terbawa oleh gas di dalam ruang bakar dan selanjutnya menuju ke ruang kondensor. Menurut Perry dan Green (1998), penentuan dimensi cyclone menggunakan rumus empiris sehingga dapat
diketahui proporsi cyclone separator. Gambar 5 menunjukkan proporsi cyclone separator. Berdasarkan proporsi cyclone separator dirancang konstruksi cyclone seperti pada Gambar 5. Ukuran utama cyclone (Gambar 6) adalah diameter slinder (d) 200 mm dan tinggi (h) 600 mm. Bahan utama cyclone adalah dari bahan plat SS 304 dengan tebal (t) 1,5 mm.
Gambar 4. Konstruksi reaktor
Gambar 5. Cyclone separator proportions
Rekayasa Alat Konversi Biomassa…………………Mangala T.M dan Yemirta
13
Gambar 6. Konstruksi cyclone
Gambar 7. Konstruksi kondensor
3) Kondensor Kondensor berfungsi untuk mengubah fase gas dari hasil pembakaran setelah melewati cyclone untuk menjadi fase cair dengan cara penurunan suhu gas tersebut melalui pipa pendingin di dalam shell kondensor. Parameter yang harus diperhatikan dalam mendesain kondensor adalah laju aliran gas, suhu gas masuk, suhu air pendingin, dan panas spesifik dari gas yang diinginkan serta konduktivitas termal dari bahan kondensor (Cengel 2002). Ukuran utama dari kondensor (Gambar 7) adalah diameter luar shell (d) 6 mm dan tingginya (h) 1500 mm. Bahan utama kondensor adalah dari bahan pipa SS 304 SCH 10. Gambar 8. Konstruksi tangki penampung bio oil
4) Penampung Bio Oil Penampung bio oil berfungsi untuk menampung semua fase yang telah mencair dari kondensor lalu dialirkan langsung ke dalam tangki penampung bio oil (Gambar 8) dan pada sisi bagian atas akan terdapat penampung gas yang tidak mampu terkondensasi untuk dialirkan kembali ke dalam reaktor utama. Ukuran utama tangki penampung bio oil adalah diameter tangki (d) 400 mm dan tingginya (h) 500 mm. Bahan utama penampung bio oil adalah dari bahan plat SS 304 dengan tebal (t) 2 mm.
J. Kimia Kemasan, Vol.37 No. 1 April 2015: 9-18
5) Tangki Air Pendingin Tangki air pendingin berfungsi untuk menampung air pendingin yang akan disirkulasikan berulang-ulang ke dalam kondensor agar terjadi pendinginan sempurna di dalam kondensor. Air yang keluar dari kondensor langsung ditumpahkan ke atas permukaan air di dalam tangki dengan bentuk spray agar proses pendingin air terhadap udara lebih baik. Konstruksi tangki air pendingin dapat dilihat pada Gambar 9.
14
Ukuran utama tangki air pendingin oil (Gambar 9) ini adalah diameter tangki (d) 800 mm dan tingginya (h) 900 mm. Bahan utama tangki air pendingin adalah dari bahan plat SS 304 SCH 10, dengan tebal (t) 3 mm.
Gambar 9. Konstruksi tangki air pendingin
6) Screw Conveyor Screw conveyor berfungsi sebagai alat untuk memasukkan bahan biomassa menuju ruang bakar melalui mekanisme screw yang berputar sebagai pembawa bahan biomassa mulai dari ujung hopper menuju ujung screw. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mendesain suatu screw conveyor antara lain jenis material, ukuran maksimum dari butiran, volume butiran, kapasitas pemindahan bahan, dan jarak material yang akan dipindahkan (Thomas Conveyor 2002). Ukuran utama dari screw conveyor (Gambar 10) adalah pipa rumah screw diameter (d) 88 mm dan panjang screw (l) 500 mm. Bahan dari ruang screw conveyor terbuat dari bahan pipa SS 304 SCH 10, 3“. Bahan blade screw, plat ST37 tebal (t) 5 mm. Bahan poros screw, ST 41, 1“. Jarak (s) helix blade 50 mm dan diameter luar blade screw (do) 85 mm.
Gambar 10. Konstruksi screw conveyor
Rekayasa Alat Konversi Biomassa…………………Mangala T.M dan Yemirta
15
Setiap peralatan dijelaskan dalam bentuk gambar teknis yang detail untuk memastikan komunikasi gambar yang bisa diterima dan dimengerti oleh tiap bengkel pabrikasi. Secara mekanis peralatan atau komponen akan berfungsi sesuai dengan desain awal. Akan tetapi beberapa peralatan hanya dapat digerakkan sesuai dengan perintah yang diprogram, karena hampir semua peralatan tersebut dihubungkan dengan listrik. Sistem kontrol yang akan dibuat dan dipesan sesuai dengan jumlah peralatan yang dihubungkan dengan listrik seperti burner, elektromotor, dinamo pompa, dan sistem kontrol suhu yang dapat diatur di dalam reaktor. Untuk mengontrol burner hidup dan mati secara otomatis (apabila suhu di dalam reaktor turun maka burner akan menyala atau hidup dan demikian juga sebaliknya apabila suhu di dalam reaktor telah mencapai suhu yang sudah diatur maka burner akan mati), dilakukan oleh thermo control yang mendapat data melalui sensor thermocouple (Gambar 11). Semua hasil desain peralatan dan komponen yang sudah ditetapkan di atas dilanjutkan dengan pembuatannya dan kemudian dipasang. a) Pabrikasi Komponen Dan Peralatan Dengan tersedianya bahan konstruksi dan juga peralatan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan di atas dan tertuang dalam gambar teknis, maka proses pabrikasi dikerjakan di bengkel Balai Besar Kimia dan Kemasan (BBKK). Mulai dari memotong besi, rolling, dan mengelas (las biasa maupun las stainless steel).
Semua pembuatan sub komponen dirakit dan langsung dicoba fungsional untuk menjadi satu bagian komponen. b) Melaksanakan Perakitan Komponen Serta Melakukan Uji Coba Komponen Bagian Setiap komponen yang sudah selesai dipabrikasi, selanjutnya dilakukan perakitan dan instalasi sesuai dengan urutan rangkaian yang telah ditetapkan di dalam gambar lay out proses. Instalasi dilakukan terhadap pemasangan rangkaian pipa gas nitrogen, pipa gas LPG, pipa recycle gas, pipa air, dan pipa bio oil. Kemudian dilakukan percobaan per bagian (uji coba fungsional) untuk melihat apakah bisa bergerak atau berputar, jalur pipa gas dan pipa minyak yang bocor, apabila kurang baik agar dapat langsung disempurnakan (Gambar 12). c) Melaksanakan Perakitan Akhir Supaya burner dapat menyala dengan sempurna, maka diperlukan rangkaian pasokan gas LPG yang disatukan ke dalam suatu gas header untuk menyeimbangkan tekanan gas LPG sebelum menuju gas burner dengan menggunakan selang khusus yang bertekanan tinggi. Dengan maksud untuk menjaga keselamatan penggunaan peralatan dari resiko kebakaran (Gambar 13). Pada taHAp perakitan akhir (final assembling) adalah memasang panel box control untuk menyambung perintah dari panel box listrik menuju ke masing-masing peralatan yang dihubungkan dengan menggunakan kabel listrik dan juga kabel sensor lainnya (Gambar 14).
Gambar 11. Instalasi burner LPG dan sistem termostat pada pipa lorong api
J. Kimia Kemasan, Vol.37 No. 1 April 2015: 9-18
16
KESIMPULAN Rekayasa alat konversi biomassa dari bahan tandan kosong kelapa sawit menjadi bio oil membutuhkan rangkaian alat yang terdiri dari reaktor, cyclone, kondensor, penampung bio oil, tangki pendingin air, dan screw conveyor. Dari uji coba yang dilakukan dengan metode fast pirolisys didapatkan kondisi proses sebagai berikut besar butiran bahan biomassa minimun 60 mesh, kadar air maksimum 10%, suhu pirolisis yang ideal selama proses di dalam reaktor utama antara 500 ⁰ C sampai dengan 600 ⁰ C, dan waktu yang diperlukan dalam pirolisis tidak lebih dari 2 detik. Gambar 12. Uji coba fungsional atau per bagian
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada laboratorium kemasan bahan dan ritel Balai Besar Kimia dan Kemasan (BBKK) sebagai tempat pelaksanaan penelitian. DAFTAR PUSTAKA
Gambar 13. Instalasi tabung gas LPG menuju ke burner
Gambar 14. Rangkaian panel box control ke setiap peralatan dan komponen lainnya
Bridgewater, A. V. 2004. Biomass fast pyrolysis (review paper). Journal termal science 8 (2) : 21 - 49. Cengel, Y. A. 2002. Heat transfer : A practical nd approach. 2 Ed. New York : Mc Graw Hill. de Wild, P. J. , H. den Uil, J.H. Reith, J.H.A. Kiel, and H.J. Heeres. 2008. Biomass valorisation by staged degasification a new pyrolysis-based thermochemical conversion option to produce value-added chemicals from lignocellulosic biomass. Journal of analytical and applied Pyrolysis 85 : 124 - 133. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Luas areal produksi dan produktivitas perkebunan di Indonesia. http://www.pertanian.go.id/Indikator/t abel-3-prod-lsareal-prodvitas-bun.pdf (Accessed November 14, 2014). Froment, G.F. and K.B. Bischoff. 1979. Chemical reactor analysis and design. New York : John Wiley and Sons Inc. Isroi. 2008. Energi terbarukan dari limbah pabrik kelapa sawit. http://isroi.com/2008/02/25/energidari-limbah-sawit/comment-page-1/ (Accessed April 3, 2013). Perry, R.H. and D.W. Green. 1998. Perry’s th chemical engineers handbook. 7
Rekayasa Alat Konversi Biomassa…………………Mangala T.M dan Yemirta
17
International Ed. New York : Mc Graw Hill. Steel, A.K. 2007. Product data sheet 304/304L stainless steel UNS S30400/UNS S30403. Ohio : AK Steel Corporation. Tavoulareas, S. 1991. Fluidized-bed combustion technology. Annual reviews Inc 16 : 25-27.
J. Kimia Kemasan, Vol.37 No. 1 April 2015: 9-18
The Japan Institute of Energy. 2008. Buku panduan biomassa Asia : panduan untuk produksi dan pemanfaatan biomassa. Japan : Kementrian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Thomas Conveyor Company. 2002. Thomas conveyor engineering guide. Texas : Thomas conveyor company.
18
KARAKTERISTIK DAN STRUKTUR MIKRO GEL CAMPURAN SEMIREFINED CARRAGEENAN DAN GLUKOMANAN (CHARACTERISTIC AND MICROSTRUCTURE OF MIXED GEL OF SEMIREFINED CARRAGEENAN AND GLUCOMANNAN)
Adrianus O W Kaya1, Ani Suryani2, Joko Santoso3, dan Meika Syahbana Rusli2 1)
Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura Ambon 2) Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor 3) Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor E-mail :
[email protected] Received : 30 September 2014; revised : 16 Oktober 2014; accepted : 20 Oktober 2014
ABSTRAK Karagenan dan glukomanan merupakan komponen pembentuk gel, karena memiliki pengaruh sinergis yang menghasilkan gel yang memiliki kekuatan tinggi, elastis, dan sineresis rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan struktur mikro gel kombinasi semirefined carrageenan dan glukomanan pada berbagai perbandingan. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap dan dilanjutkan dengan uji Tukey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan campuran semirefined carrageenan dan 2 glukomanan 1:1 memiliki nilai kekuatan gel dan kekerasan tertinggi yaitu sebesar 3.649,09 g/cm dan 701,72 g, perbandingan 1:3 memiliki nilai sineresis yang rendah dibandingkan dengan perbandingan lainnya yaitu sebesar 7,36%, sedangkan nilai rigiditas tertinggi diperoleh perbandingan 2:1 yaitu sebesar 4.282,45 g/cm. Struktur mikro gel yang dihasilkan untuk semua perlakuan berbeda satu sama lainnya yaitu untuk perbandingan 1:1 memiliki struktur yang kompak dan padat. Peningkatan penambahan glukomanan akan menghasilkan gel yang lebih elastis dan cenderung lebih lembut daripada struktur matriks gel yang tidak kompak dan menggumpal serta memiliki rongga yang cukup banyak seperti ada perbandingan 1:2, 1:3, dan 1:4 sedangkan penambahan semirefined carrageenan menghasilkan gel yang keras dan kaku serta terlihat dari struktur gel yang lebih padat dan kompak dengan rongga yang terlihat pada perbandingan 2:1, 3:1, dan 4:1. Kata kunci : Semirefined carrageenan, Glukomanan, Mikro gel
ABSTRACT Carrageenan and konjac glucomanan produce a gellous material with the characterisics of high gel strength, elastic texture, and low syneresis. This research was aimed to find out characteristic and structure of gel micro which combined from semirefined carrageenan and glucomannan. The data collected were analyzed using ANOVA and continued by Tukey test. The result showed that comparison ratio of 1:1 have the highest value of 2 gel strength and hardness of 3.649,09 g/cm ; 701,72 g, comparison ratio of 1:3 have low syneresis is 7,36 %, meanwhile comparison ratio of 2:1 have the rigidity is 4.282,45 g/cm. Micro structure of gel which is produced from all treatment are different from each others, that the comparison ratio of 1:1 having the structure of being compact and solid. The increased of glucomannan will produce a soft gel with more ductile that shown in 1:2, 1:3, and 1:4, while the increased of semirefined carrageenan produce a hard, rigid, and compact gel that shown in 2:1, 3:1, and 4:1. Keywords : Semirefined carrageenan, Glucomannan, Micro gel
PENDAHULUAN Karagenan merupakan komponen yang diperoleh dari hasil ekstraksi rumput laut merah dengan menggunakan air panas (hot water) atau
larutan alkali pada suhu tinggi (85 °C sampai dengan 90 °C) (Glicksman 1983). Imeson (2000) mengemukakan bahwa karagenan merupakan
Karateristik dan Struktur Mikro Gel………………………Adrianus O.Y. Kaya dkk
19
polisakarida berantai linier dengan berat molekul yang tinggi. Rantai polisakarida tersebut terdiri dari ikatan berulang antara gugus galaktosa dengan 3,6-anhidrogalaktosa (3,6 AG), keduanya baik yang berikatan dengan sulfat maupun tidak, dihubungkan dengan ikatan glikosidik α-(1,3) dan β-(1,4). Karagenan dijual dalam bentuk bubuk, warnanya bervariasi dari putih sampai kecoklatan bergantung dari bahan mentah dan proses yang digunakan. Karagenan merupakan galaktan sulfat yang diekstrak khusus dari jenis rumput laut merah, seperti Eucheuma dan Gigartina (Bixler dan Jhondro 2006) dan biasanya diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok utama, yaitu kappa carrageenan, iota carrageenan, dan lambda carrageenan, dengan struktur kimia yang berbeda mengakibatkan gel yang dihasilkan juga khas dalam larutan garam KCl (Imeson 2000). Karagenan memiliki kemampuan untuk membentuk gel secara thermo reversible sehingga banyak dimanfaatkan sebagai pembentuk gel, pengental, dan bahan penstabil di berbagai industri seperti pangan, farmasi, kosmetik, percetakan, dan tekstil (Velde et al. 2002; Campo et al. 2009). Selanjutnya dikemukakan oleh Campo et al. (2009), karagenan dikelompokkan berdasarkan strukturnya menjadi enam jenis yaitu kappa, iota, lambda, mu, nu, dan theta, keenam karagenan tersebut mempunyai sifat kimia dan fisik yang berbeda tergantung jumlah dan letak gugus sulfatnya yang bervariasi. Karagenan memiliki kemampuan untuk membentuk gel secara thermo reversible atau larutan kental jika ditambahkan ke dalam larutan garam sehingga banyak dimanfaatkan sebagai pembentuk gel, pengental, dan bahan penstabil di berbagai industri seperti pangan, farmasi, kosmetik, percetakan, dan tekstil (Velde et al. 2002; Campo et al. 2009). Semirefined carrageenan (SRC) adalah salah satu produk karagenan dengan tingkat kemurnian lebih rendah dibandingkan refined carrageenan, karena masih mengandung gugus sulfat yang mengakibatkan kemampuan pembentuk gelnya lebih rendah dan biasanya dibuat dalam bentuk tepung atau bubuk dan chip atau kepingan (Anggadiredja et al. 2010). Konjak glukomanan (KGM) diekstrak dari akar umbi tanaman konjak Amorphophallus konjac (Khanna and Tester 2006) dan telah digunakan secara umum dan diakui sebagai bahan makanan aman (GRAS) serta obat tradisional di China dan Jepang (Chua et al. 2010). KGM dianggap sebagai bahan makanan non kalori, karena salah satu manfaat utama sebagai serat untuk membantu proses
pencernaan, yang efektif dalam pengurangan berat badan, modifikasi metabolisme mikroba usus, dan pengurangan kolesterol (Chua et al. 2010). Konjak larut dalam air panas atau air dingin, kekentalannya tinggi dengan pH antara 4,0 sampai 7,0, berfungsi sebagai bahan pembentuk gel, pengental, pengemulsi, dan penstabil. Berdasarkan sifat tersebut diharapkan konjak dapat digunakan sebagai pencampur untuk meningkatkan elastisitas karagenan (Atmaka et al. 2013). Manfaat lain adalah untuk meningkatkan kesehatan yang secara luas digunakan dalam makanan, suplemen diet untuk perlakuan pencegahan obesitas, minuman dan farmasi, untuk pengentalan, tekstur, pembentukan gel, dan penjernihan air (Chua et al. 2010; Keithley and Swanson 2005; Vasques et al. 2008). Glukomanan memiliki sifat yang dapat menurunkan tegangan permukaan gel campuran kappa karagenan dan glukomanan sehingga terbentuk gel yang lebih elastis dan menurunkan sifat kerapuhan gel karagenan sehingga gel lebih kuat. Campuran karagenan dan konjak dapat menghasilkan gel yang baik karena terdapat hubungan yang sinergis dalam proses pembentukan gel sehingga dapat menghasilkan gel dengan kekuatan gel yang tinggi dan tekstur yang baik serta elastis (Imeson 2000; Penroj et al. 2005; Verawaty 2008; Yu et al. 2011). Johnson (2007) yang diacu dari Widjanarko (2008) mengatakan bahwa sebagai bahan pembentuk gel, konjak memiliki kemampuan yang unik untuk membentuk gel reversible, dan gel irreversible pada kondisi yang berbeda. Larutan konjak tidak akan membentuk gel karena gugus asetilnya mencegah rantai panjang glukomanan untuk saling bertemu satu sama lain. Akan tetapi, konjak dapat membentuk gel dengan pemanasan sampai 85 °C dengan kondisi basa (pH 9 sampai dengan pH 10). Gel ini bersifat tahan panas (irreversible) dan tetap stabil dengan pemanasan ulang pada suhu 100 °C atau bahkan pada suhu 200 °C. Selanjutnya dikemukakan oleh Yu et al. (2011), konjak dan karagenan akan melarut dan membentuk gel dengan baik pada suhu 80 °C. Aplikasi penggunaan semirefined carrageenan (SRC) yang dikombinasikan dengan glukomanan dalam pembuatan gel masih terbatas dan sangat diperlukan untuk mendapatkan data yang lengkap tentang karakteristik dan struktur mikro gel. Hal tersebut sangat penting dalam pemanfaatan gel campuran semirefined carrageenan dan glukomanan baik dalam bidang pangan maupun non pangan berdasarkan karateristik dan
J. Kimia dan Kemasan, Vol. 37 No. 1 April 2015 : 19-28
20
struktur mikro yang dihasilkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik dan struktur mikro gel hasil kombinasi semirefined carrageenan dan glukomanan. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas semirefined carrageenan (SRC) (diperoleh dari PT Ocean Fresh, Bandung, Jawa Barat), glukomanan (diperoleh dari PT Cottonii Sejahtera, Makasar, Sulawesi Selatan), dan akuades. Alat yang digunakan terdiri atas texture analyzer merek STEVENS-LFRA, Scanning Electron Microscopy (SEM) tipe Jeol, JSM-5310LV Japan, kompor listrik, termometer air raksa, pengaduk gelas, sudip, gelas kimia, cetakan plastik, dan timbangan analitik. Metode Metode pembuatan gel campuran semirefined carrageenan dan glukomanan adalah metode eksperimen. Pembuatan gel campuran semirefined carrageenan dan glukomanan (SRC : glukomanan) dengan variasi campuran sebagai berikut 1:1; 1:2; 1:3; 1:4; 2:1; 3:1; dan 4:1. Penentuan formulasi pembuatan gel campuran semirefined carrageenan dan glukomanan berdasarkan pada hasil penelitian Kriatsakriangkrai and Pongsawatmanit (2005), Penroj et al. (2005), dan Verawaty (2005). TaHApan selanjutnya adalah gel hasil campuran semirefined carrageenan dan glukomanan yang dihasilkan dianalisis beberapa parameter untuk mengetahui karakteristik gel yang dihasilkan. Adapun parameter yang dianalisis terdiri dari kekuatan gel, rigidity, kekerasan, syneresis, dan struktur mikro gel. Proses selanjutnya adalah pembuatan gel campuran semirefined carrageenan dan glukomanan yang dimulai dengan pemanasan akuades dalam gelas kimia pada suhu kurang lebih 80 °C sampai dengan 85 °C kemudian semirefined carrageenan dan glukomanan yang telah dicampur sampai homogen dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam gelas kimia yang berisi akuades yang telah dipanaskan kemudian diaduk selama kurang lebih 5 menit sampai terbentuk gel, kemudian gel yang terbentuk dituang ke dalam cetakan plastik dan dibiarkan pada suhu ruang selama kurang lebih 2 jam sampai gel yang dicetak berbentuk sesuai cetakan. Adapun prosedur pembuatan gel campuran semirefined carrageenan dan glukomanan seperti terlihat pada Gambar 1.
Kekuatan, Kekerasan, Dan Rigidity Gel (Demars dan Ziegler 2001) Metode analisis karakteristik gel campuran semirefined carrageenan dan glukomanan yang dihasilkan adalah sebagai berikut kekuatan gel, kekerasan gel, dan rigidity gel (Demars and Ziegler 2001). Analisis dilakukan dengan menggunakan texture analyzer. Jarum penusuk memiliki ukuran luas 2 0,1923 cm pada kecepatan 0,5 mm/detik sampai kedalaman 20 mm, apabila posisi jarum penusuk telah berada di tengah permukaan gel, alat texture analyzer diaktifkan sampai jarum menembus permukaan gel. Evaluasi hasil pengukuran dilakukan dengan membaca grafik yang dihasilkan. Persamaan kekuatan, kekerasan, dan rigidity gel adalah sebagai berikut : …(1)
…(2) …(3)
Bahan pembentuk gel (SRC +glukomanan) dicampur hingga homogen
Air dipanaskan sampai suhu kurang lebih 80 °C - 85 °C
Pencampuran bahan pembentuk gel
Pengadukan kurang lebih 5 menit sampai terbentuk gel
Dinginkan di suhu ruang selama + 2 jam
Gel
Gambar 1. Prosedur pembuatan gel campuran semirefined carrageenan dan glukomanan
Karateristik dan Struktur Mikro Gel………………………Adrianus O.Y. Kaya dkk
21
Matriks Gel (Yuliani et al. 2007) Analisis matriks gel menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy). Sampel (gel) dipotong sebesar 2 mm sampai dengan 3 mm bagian sisi dalamnya kemudian dipreparasi (mendapatkan sampel dalam bentuk kering), kemudian ditempatkan di atas stubs (dudukan sampel), lalu dilapisi dengan emas menggunakan alat gold sputter coater selama 30 menit dengan ketebalan pelapisan sebesar o o 400 A sampai dengan 500 A. Sampel yang telah dilapisi ditempatkan ke dalam mikroskop SEM lalu diamati pada voltase akselerasi 20 kV. Gambar yang diperoleh direkam dan dicetak. Gambar yang dihasilkan selanjutnya diukur diameter rongga atau pori dari setiap matriks gel. Syneresis (AOAC 1995) Syneresis yang terjadi selama penyimpanan diamati dengan menyimpan gel pada suhu ruang selama 24 jam. Syneresis dihitung dengan mengukur kehilangan bobot selama penyimpanan lalu dibandingkan dengan berat awal gel. Syneresis dinyatakan dengan rumus : Syneresis (%) =
…(4)
Rancangan Percobaan Dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan untuk menganalisis data hasil penelitian menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor yaitu perbandingan bahan pembentuk gel dengan ulangan 3 kali (Steel and Torrie 1993). Apabila hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji Tukey yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana saja yang memberikan
pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter yang diukur atau dianalisis. HASIL DAN PEMBAHASAN Kekuatan Gel Kekuatan gel merupakan kemampuan gel dalam menahan beban per satuan luas. Hasil analisis kekuatan gel pada berbagai perbandingan campuran bahan pembentuk gel dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil analisis kekuatan gel akibat perlakuan variasi perbandingan bahan pembentuk gel berkisar 2 antara 1508,6 g/cm sampai dengan 2 3649,09 g/cm . Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan variasi perbandingan bahan pembentuk gel berpengaruh nyata terhadap kekuatan gel. Hasil uji lanjut dengan menggunakan uji Tukey menunjukkan bahwa perlakuan variasi perbandingan bahan pembentuk gel berbeda satu dengan lainnya terhadap nilai kekuatan gel. Peningkatan nilai kekuatan gel terjadi akibat adanya efek sinergis antara semirefined carrageenan dan glukomanan yang menghasilkan gel dengan kekuatan gel yang tinggi dan syneresis yang rendah. Peningkatan proporsi glukomanan dalam pembuatan gel mengakibatkan kekuatan gel semakin kecil atau menurun. Hal tersebut disebabkan karena glukomanan memiliki kemampuan menyerap air yang sangat besar mengakibatkan jumlah air bebas yang ada dalam gel meningkat karena syneresis yang terjadi rendah atau kecil. Kondisi tersebut menyebabkan gel mengandung air yang cukup besar menyebabkan tekstur gel yang dimiliki gel juga lebih lunak. Gel dengan tektur yang lunak akan mempunyai kemampuan menahan beban lebih kecil sehingga kekuatan gel yang dimiliki juga rendah.
Gambar 2. Pengaruh perbandingan campuran bahan pembentuk gel terhadap kekuatan gel
J. Kimia dan Kemasan, Vol. 37 No. 1 April 2015 : 19-28
22
Peningkatan kekuatan gel karena terjadi efek sinergis antara glukomanan dan karagenan, sedangkan penurunan kekuatan gel karena adanya kekakuan dalam rantai seperti jumlah tipe dan posisi gugus sulfat mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam pembentukan gel, karena akan menghambat pembentukan dan pengumpulan double helix yang selanjutnya menurunkan kekuatan gel (Glicksman 1983). Dikemukakan oleh Akesowan (2002), meningkatnya nilai gel strength disebabkan glukomanan yang teradsorbsi pada permukaan junction zone (zona ikatan) karagenan yang teragregasi, sehingga menyebabkan terjadinya penggabungan karagenan dan glukomanan. Penambahan glukomanan dalam gel agar maupun kappa karagenan berguna untuk meningkatkan kekuatan dan elastisitas gel (Tako and Nakamura 1988; Goycoolea et al. 1995). Kekerasan Hasil analisis kekerasan gel akibat perlakuan variasi perbandingan bahan pembentuk gel berkisar antara 291,77 gf sampai dengan 701,71 gf. Hasil analisis kekerasan gel pada berbagai perbandingan campuran bahan pembentuk gel dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan variasi perbandingan bahan pembentuk gel berpengaruh nyata terhadap kekerasan gel. Hasil uji lanjut dengan menggunakan uji Tukey menunjukkan bahwa perlakuan variasi perbandingan bahan pembentuk gel berbeda satu dengan lainnya terhadap nilai kekerasan gel. Kekerasan gel meningkat sejalan dengan meningkatnya nilai kekuatan gel. Gel yang
dihasilkan oleh kappa karagenan dicirikan oleh gel dengan tekstur yang keras dan rigit. Tingginya nilai kekerasan gel disebabkan karena peningkatan penambahan jumlah semirefined carrageenan yang mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah agregat yang terbentuk karena adanya pembentukan pilinan ganda atau double helix. Semakin banyak pilinan ganda atau double helix yang terbentuk, maka ikatan silang antara pilinan ganda atau double helix akan menghasilkan agregat dalam jumlah banyak yaitu berupa jala-jala yang sangat kuat sehingga mengakibatkan ruang antar molekul menjadi kecil dan air bebas yang ada dalam gel terdorong keluar membuat struktur gel berubah menjadi semakin keras. Di sisi lain peningkatan proporsi glukomanan akan mengakibatkan kekerasan gel semakin menurun karena tekstur gel semakin lunak atau lembek. Glukomanan mempunyai kemampuan menyerap air yang sangat besar mengakibatkan jumlah air bebas yang ada dalam gel juga meningkat. Kondisi tersebut menyebabkan gel mengandung air yang cukup besar, sehingga tekstur gel yang dimiliki lebih lunak. Lee et al. (2008) menyatakan bahwa jumlah zona ikatan atau junction zone dapat menjadi satu alasan tingginya tingkat syneresis. Jumlah zona ikatan yang lebih banyak dapat menyebabkan peningkatan syneresis. Hal ini disebabkan pembentukan double helix dan pembentukan agregat yang terus terjadi selama penyimpanan sehingga ikatan rantai gel semakin banyak dan rapat, sedangkan rongga antar ikatan menjadi semakin sempit yang mengakibatkan air yang tidak terikat terdorong ke luar.
Gambar 3. Pengaruh perbandingan campuran bahan pembentuk gel terhadap kekerasan gel
Karateristik dan Struktur Mikro Gel………………………Adrianus O.Y. Kaya dkk
23
Zhou et al. (2013) mengemukakan bahwa penambahan glukomanan akan mempengaruhi sifat tekstur dari bahan seperti kekerasan dan kekenyalan. Glicksman (1983) menyatakan bahwa pembentukan agregat yang terus berlanjut selama penyimpanan dapat menjadi penyebab terjadinya syneresis. Pembentukan agregrat ini menyebabkan gel menjadi mengkerut (shrinked) sehingga cenderung memeras air keluar dari dalam gel. Rigidity Hasil analisis rigidity gel akibat perlakuan variasi perbandingan bahan pembentuk gel dengan berbagai variasi berkisar antara 1271,9 g/cm sampai dengan 4282,45 g/cm. Hasil analisis rigidity gel pada berbagai perbandingan campuran bahan pembentuk gel dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan variasi perbandingan bahan pembentuk gel berpengaruh nyata terhadap rigidity gel. Hasil uji lanjut dengan menggunakan uji Tukey menunjukkan bahwa perlakuan variasi perbandingan bahan pembentuk gel berbeda antara satu dengan lainnya terhadap nilai rigidity gel. Rigidity merujuk kepada elastisitas suatu produk, dengan semakin tinggi nilai rigidity maka produk yang dihasilkan semakin tidak elastis atau kaku, demikian pula sebaliknya. Setiap perbandingan bahan pembentuk gel memiliki kekuatan gel dan syneresis yang saling berbeda, kedua faktor tersebut turut mempengaruhi kestabilan gel dalam mempertahankan penguapan zat cair sehingga turut mempengaruhi elastisitas atau kekakuan gel.
Gel yang dihasilkan oleh kappa karagenan dicirikan oleh gel dengan tekstur yang keras dan rigid. Tingginya nilai rigidity gel disebabkan karena peningkatan penambahan proporsi semirefined carrageenan sehingga mengakibatkan peningkatan kekakuan gel. Kondisi tersebut disebabkan karena jumlah agregat yang terbentuk berupa jala-jala yang memiliki ikatan yang sangat kuat mengakibatkan tekstur gel menjadi keras dan rigid. Hal tersebut mengakibatkan elastisitas gel semakin rendah karena gel semakin mengkerut dan mudah pecah atau hancur. Molekul glukomanan mempunyai kemampuan menyerap air yang sangat besar mengakibatkan jumlah air bebas yang terkandung dalam gel juga meningkat. Kondisi tersebut menyebabkan tekstur gel menjadi lebih lunak. Peningkatan jumlah glukomanan akan mengakibatkan elastisitas gel juga meningkat karena kemampuan glukomanan dalam menurunkan tegangan permukaan dari molekul semirefined carrageenan, hal tersebut didukung oleh pernyataan Zhou et al. (2013) mengemukakan bahwa penambahan glukomanan akan mempengaruhi sifat tekstur dari bahan seperti kekerasan dan kekenyalan. Fungsi glukomanan yang mirip dengan serat mengakibatkan air terserap ke dalam molekul glukomanan sehingga meningkatkan kemampuan glukomanan dalam mengikat air (Chua et al. 2010; Takigami 2000). Berdasarkan hal tersebut maka rigidity gel juga akan mengalami perubahan seiring dengan penambahan proporsi glukomanan dalam pembuatan gel yaitu rigidity atau kekakuan gel akan semakin berkurang.
Gambar 4. Pengaruh perbandingan campuran bahan pembentuk gel terhadap rigidity gel
J. Kimia dan Kemasan, Vol. 37 No. 1 April 2015 : 19-28
24
Kappa karagenan memiliki tipe gel yang rigid atau mudah pecah yang dicirikan dengan tingginya syneresis yaitu adanya aliran cairan pada permukaan gel. Aliran ini berasal dari pengerutan gel sebagai akibat meningkatnya gumpalan pada daerah penghubung (Anonim 1977), selanjutnya dikemukakan bahwa kemampuan membentuk gel dari kappa karagenan terjadi pada saat larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin, karena mengandung gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa. Proses ini bersifat reversible. Adanya perbedaan jumlah, tipe, posisi sulfat, serta adanya ion-ion akan mempengaruhi proses pembentukan gel. Ion monovalent yaitu K, NH4, Rb, dan Cs membentuk gel. Kappa karagenen membentuk gel yang keras, kuat, dan elastis (Anonim 1977). Syneresis Hasil analisis syneresis gel akibat perlakuan variasi perbandingan bahan pembentuk gel berkisar antara 7,36% sampai dengan 16,35%. Hasil analisis persen syneresis gel pada berbagai perbandingan campuran bahan pembentuk gel dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan variasi perbandingan bahan pembentuk gel berpengaruh nyata terhadap syneresis gel. Hasil uji lanjut dengan menggunakan uji Tukey menunjukkan bahwa perlakuan variasi perbandingan bahan pembentuk gel berbeda satu dengan lainnya terhadap nilai syneresis gel. Peningkatan jumlah semirefined carrageenan mengakibatkan terjadinya peningkatan nilai syneresis gel, hal tersebut dapat diakibatkan oleh terjadinya pembentukan pilinan ganda atau double helix dalam jumlah yang cukup banyak dan diikuti oleh terjadinya ikatan silang antara pilinan ganda atau double
helix yang terbentuk menghasilkan sejumlah agregat berupa jala-jala yang saling berikatan dengan sangat kuat. Semakin banyak pilinan ganda atau double helix yang terbentuk, maka ikatan silang antara pilinan ganda yang terbentuk menghasilkan jala-jala yang semakin banyak dan saling berikatan dengan kuat mengakibatkan gel yang terbentuk semakin padat dan keras karena ruang antar molekul semakin sempit atau kecil, sehingga air bebas yang ada di dalam gel didorong atau terdesak keluar dari gel, kondisi seperti ini juga mengakibatkan gel kekurangan air dan semakin keras tekatus gel tersebut Glukomanan mempunyai sifat yang mirip dengan serat yaitu dapat menyerap air dalam jumlah yang besar. Peningkatan proporsi glukomanan dapat menurunkan tegangan permukaan dari molekul semirefined carrageenan pada zona penghubung atau junction zone, sehingga nilai syneresis gel menjadi rendah atau kecil, kondisi tersebut disebabkan karena molekul glukomanan mampu menyerap air bebas yang ada dalam gel sehingga proses syneresis berupa keluarnya air bebas menjadi lebih kecil. Menurut Kriatsakriangkrai and Pongsawatmanit (2005), persen syneresis tertinggi pada perbandingan glukomanan : karagenan = 0 : 4, sedangkan syneresis terendah pada proporsi 3 : 1, selanjutnya dikemukakan bahwa dengan peningkatan penambahan glukomanan akan menurunkan tingkat syneresis gel. Syneresis tergantung pada konsentrasi kation-kation yang ada dan harus dicegah dalam jumlah yang berlebihan (Anonim 1977). Lee et al. (2008) menyatakan bahwa jumlah zona ikatan dapat menjadi satu alasan tingginya tingkat syneresis.
Gambar 5. Pengaruh perbandingan campuran bahan pembentuk gel terhadap persen syneresis
Karateristik dan Struktur Mikro Gel………………………Adrianus O.Y. Kaya dkk
25
Jumlah zona ikatan (junction zone) yang lebih banyak dapat menyebabkan peningkatan syneresis. Hal ini disebabkan pembentukan helix dan pembentukan agregat yang terus terjadi selama penyimpanan sehingga ikatan rantai gel semakin banyak dan rapat, sedangkan rongga antar ikatan menjadi semakin sempit yang mengakibatkan air yang tidak terikat terdorong ke luar. Glicksman (1983) menyatakan bahwa pembentukan agregat yang terus berlanjut selama penyimpanan dapat menjadi penyebab terjadinya syneresis. Pembentukan agregrat ini menyebabkan gel menjadi mengkerut (shrinked) sehingga cenderung memeras air keluar dari dalam sel. Imeson (2000) juga menyatakan bahwa diantara ketiga jenis karagenan, kappa, iota, dan lambda, hanya kappa karagenan yang akan mengalami syneresis jika berada dalam bentuk gel.
Glukomanan
1 SRC : 2 Glukomannan
2 SRC : 1 Glukomannan
Struktur Mikro Gel Glukomanan, Semirefined Carrageenan (SRC), Dan Kombinasi Antara Semirefined Carrageenan (SRC) Dengan Glukomanan Pengamatan struktur mikro gel yang dilakukan dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang struktur mikro gel hasil kombinasi semirefined carrageenan dengan glukomanan. Hasil analisis struktur mikro glukomanan, semirefined carrageenan (SRC), dan kombinasi antara SRC dan glukomanan dengan perbandingan yang bervariasi dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) dapat dilihat pada Gambar 6.
Semirefined carragenan (SRC)
1 SRC : 3 Glukomannan
3 SRC : 1 Glukomannan
1 SRC : 1 Glukomannan
1 SRC : 4 Glukomannan
4 SRC :1 Glukomannan
Gambar 6. Struktur mikro gel glukomanan, SRC, dan campuran keduanya pada berbagai variasi perbandingan Keterangan gambar : TYPE JSM-5000, MAG X35, ACCV 20kV, WIDTH 3.77m
J. Kimia dan Kemasan, Vol. 37 No. 1 April 2015 : 19-28
26
Hasil analisis struktur mikro gel kombinasi semirefined carrageenan dengan glukomanan memperlihatkan bahwa untuk perbandingan 1:1 mempunyai struktur yang kompak dan padat. Hal tersebut disebabkan karena terdapat efek sinergis yang terjadi dari proses pencampuran kedua bahan pembentuk gel tersebut. Efek sinergis tersebut terjadi karena molekul glukomanan terabsorpsi ke permukaan junction zone atau zona penghubung dari molekul semirefined carrageenan menghasilkan gel dengan kekuatan gel yang tinggi, syneresis rendah, dan tekstur gel yang padat dan kompak. Peningkatan jumlah glukomanan akan menghasilkan gel yang lebih lembek karena fungsi glukomanan yang mirip serat sehingga mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam mengikat air yang mengakibatkan struktur gel yang dihasilkan terlihat menggumpal karena proses syneresis berupa penguapan air bebas yang terjadi sangat kecil. Polisakarida seperti karagenan jika dicampurkan dengan konjak, maka akan terjadi interaksi yang sinergis. Sinergisme tersebut akan menghasilkan gel dengan tekstur yang lebih elastis serta kekuatan gel yang tinggi, memperbaiki kapasitas pengikatan uap air, mengubah tekstur gel menjadi lebih elastis dan kenyal, serta memungkinkan penggunaan untuk berbagai kepentingan fungsional yang lebih besar dan tekstur untuk formulasi (BeMiller and Whistler 1996; Bubnis 2000; Chua et al. 2010; Imeson 2000; Takigami 2000; Penroj et al. 2005; Verawaty 2010; dan Yu 2011). KESIMPULAN Perbandingan bahan pembentuk gel 1:1 memiliki nilai kekuatan gel dan kekerasan gel tertinggi yaitu masing-masing sebesar 2 3.649,09 g/cm dan 701,72 g serta nilai rigidity sebesar 3962,13 g/cm. Perbandingan bahan pembentuk gel 1:3 memiliki nilai syneresis yang rendah dibandingkan dengan perbandingan lainnya yaitu sebesar 7,36%. Struktur mikro gel perbandingan 1:1 memiliki struktur yang kompak dan padat. Peningkatan jumlah glukomanan akan menghasilkan gel yang lebih elastis dan cenderung lebih lembut dengan struktur matriks gel yang tidak kompak dan menggumpal serta memiliki rongga yang cukup banyak, seperti pada variasi perbandingan 1:2; 1:3; dan 1:4, sedangkan peningkatan jumlah semirefined carrageenan menghasilkan gel yang keras dan kaku dengan struktur gel yang lebih padat dan kompak dengan rongga yang sedikit, seperti terlihat pada variasi campuran perbandingan 2:1; 3:1; dan 4:1.
DAFTAR PUSTAKA Akesowan, A. 2002. Viscosity and gel formation of a konjac flour from amorphophallus oncophyllus. http://www.jounal.au.edu (diakses pada tanggal 28 oktober 2014). Anggadiredja, J.T., S. Istini, A. Zatnika, dan Suhaimi. 1986. Manfaat dan pengolahan rumput laut. Jakarta : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Anonim. 1977. Carrageenan. USA : Marine colloids division, FMC. Corporation. AOAC. 1995. Official methods of analysis of the association of official analitycal chemist. DC : Washington DC, Inc. Atmaka, W., E. Nurhartadi, dan M. M Karim. 2013. Pengaruh penggunaan campuran karagenan dan konjak terhadap karakteristik permen jelly temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Jurnal Teknosains Pangan 2 (2) : 66-74. BeMiller, J. N. and R. L. Whistler. 1996. Carbohydrates in food chemistry. New York : Marcel Dekker Inc. Bixler, H.J. and K.D. Jhondro. 2000. Philippine natural grade or semi refined carrageenan. Dalam Philips, G.O. and P. A. Williams (eds). Handbook of hydrocolloids. England : Wood head publishing : 425-441. Bubnis, W.A. 2000. Carrageenan. http://www.fmcbiopolymer.com (diakses pada tanggal 28 oktober 2014). Campo, V.L., D.F. Kawano, D.B.S. Junior, and I. I. Carcalho. 2009. Carrageenans: Biological Properties, Chemichal Modifiactions and structural Analysis. Carbohydrate Polymer 77 : 167-180. Chua, M., T. C. Baldwin, T. J. Hocking, and K. Chan. 2010. Traditional uses and potential health benefits of amorphophallus konjac K. Koch ex N.E.Br. Journal of ethnopharmacology 128 : 268-278 Demars, L. L. and G. R. Ziegler. 2001. Texture and structure of gelatine/pectine based gummy confection. Food hydrocolloids 15(4-6): 643-653. Glikcsman. 1983. Food hydrocolloids. Vol. I. Florida : CRC Press Boca Raton. Goycoolea, F. M., R. K. Richardson, E.R. Morris, and M. J. Gidley. 1995. Effect of locust bean gum and konjac glucomannan on the conformation and rheology of
Karateristik dan Struktur Mikro Gel………………………Adrianus O.Y. Kaya dkk
27
agarose and k-carrageenan. Journal of biopolymers 36 : 643-658. Imeson, A. P. 2000. Carrageenan. Dalam : Phillips, G. O. and P. A. Williams (eds.). Handbook of hydrocolloids. New York : CRC Press. Katsuraya, K., K. Okuyama, K. Hatanaka, R. Oshima, T. Sato , and K. Matsuzaki. 2003. Constitution of konjac glucomannan : chemical analysis and 13C NMR spectroscopy. Carbohydrate Polymers 53 : 183-189. Keithley, J. and B. Swanson. 2005. Glucomannan and obesity: A critical review. Alternative therapies in health and medicine 11 : 30-34. Khanna, S. and R. Tester. 2006. Influence of purified konjac glucomannan on the gelatinisation and retrogradation properties of maize and potato starches. Food hydrocolloids 20 : 567–576. Kritsanakriangkrai, V. and R. Pongsawatmanit. 2005. Influence of glucomannan and pH on properties of kappa carrageenan th Gel. 31 congress on science and technology of Thailand at Suranaree. Bangkok : University of Technology Bangkok. Lee, J.S., Y.L. Lo, and F.Y. Chye. 2008. Effect of + 2+ + K , Ca , and Na on gelling properties of Eucheuma cottonii. Sains Malaysiana 37 (1) : 71-77. Penroj, P., J.R. Mitchell, S.E. Hill, and W. Ganjanagunchorn. 2005. Effect of konjac glucomannan deacetylation on the properties of gels formed from mixtures of kappa carrageenan and konjac glucomannan. Carbohydrate Polymer 59 : 367 – 376. Steel, R.D. and J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan prosedur statistik suatu pendekatan biometrik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Takigami, S. 2000. Konjac Mannan. Dalam : Phillips, G.O. dan P. A. Williams (eds.).
Handbook of hydrocolloids. New York : CRC Press. Tako, M. and S. Nakamura. 1988. Synergistic interaction between agarose and D galacto-D-mannan in aqueous media. Journal agriculture and biology chemistry 52 : 1071-1072. Velde, F.V.D. and D. Ruiter GA. 2005. Carrageenan. Dalam : Polysaccharides and polyamides in the food industry. Vol 1. Weinheim : Wiley-VCH Verlag GmbH and Co. KGaA. Vasques, C.A.R., S. Rossetto, G. Halmenschlager, R. Linden, E. Heckler, and M.S.P. Fernandez. 2008. Evaluation of the pharmacotherapeutic efficacy of Garcia cambogia plus Amorphophallus konjac for the treatment of obesity. Phytotheraphy Research 22 : 1135-1140. Verawaty. 2008. Pemetaan tekstur dan karakteristik gel hasil kombinasi karagenan dan konjak. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Widjanarko, S.B. 2008. Bahan pembentuk gel. http://simonbwidjanarko.files.wordpres s.com (diakses pada tanggal 28 Oktober 2014). Yu, W., L.W. Yuan, and J.H. Xin. 2011. Gel properties of k-carrageenan and synergistic effect of k-carrageenan and konjac gum. Advanced material research 398 : 1389-1393. Yuliani, S. dan S. Suyanti. 2007. Pengaruh laju alir umpan dan suhu inlet spray drying pada karateristik mikrokapsul oleoresin jahe. Jurnal parcapanen 4(1): 18-26. Zhou, Y., H. Cao, M. Hou, S. Nirasawa, E. Tatsumi, T.J. Foster, and Y. Cheng. 2013. Effect of Konjac Glucomannan on physical and sensory properties of noodles made from low-protein wheat flour. Food Research Interntional 51: 879-885.
J. Kimia dan Kemasan, Vol. 37 No. 1 April 2015 : 19-28
28
PEMANFAATAN POLIMER HYBRID TMSPMA DAN PHOSPHOR ORGANIK SEBAGAI BAHAN LUMINESENSI UNTUK SOLID STATE LIGHTING PLANAR (APPLICATION OF HYBRID POLYMER OF TMSPMA AND ORGANIC PHOSPHOR AS LUMINESENCE MATERIAL FOR PLANAR SOLID STATE LIGHTING)
Fitrilawati, Norman Syakir, Agustin P. Mastiti, Utami Yuliani, dan Annisa Aprilia Laboratorium Material Maju, Program Studi Fisika, Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran Jl. Raya Jatinangor KM 21, Kabupaten Sumedang E-mail :
[email protected] Received : 7 Oktober 2015; revised : 23 Oktober 2015; accepted : 27 Oktober 2015
ABSTRAK Lampu Solid State Lighting (SSL) planar, diharapkan dapat menghasilkan distribusi cahaya yang lebih baik, dibandingkan dengan lampu fluoresensi biasa. Berbeda dengan lampu SSL biasa, pada SSL panel lebar (planar) digunakan pendekatan kopling cahaya (Light Wave Coupling-LWC) sehingga memerlukan sistem light guiding, yaitu cahaya pengeksitasi dikopling ke dalam substrat sebagai media pandu gelombang. Untuk aplikasi lampu SSL planar dengan pendekatan LWC diperlukan lapisan pengkonversi warna emisi yang berukuran lebar dengan karakteristik yang sesuai dengan perangkat preparasi dan media pandu gelombang. Media pandu gelombang yang akan digunakan adalah Light Guide Plate (LGP), dari PMMA (polymethyl methacrylate). Pada penelitian ini dikembangkan bahan luminesensi berbasis polimer hybrid trimethoxysilylpropyl methacrylate (TMSPMA), yang dimodifikasi dengan teknik kopolimerisasi dan phosphor organik. Khusus pada bahan prekursor poli(TMSPMA) dilakukan uji kelarutan yang menunjukkan bahan prekursor polimer hybrid poli(TMSPMA) beserta kromofor organiknya dapat larut dengan baik pada pelarut polar. Dari hasil tersebut dipilih pelarut yang tepat sehingga pembuatan lapisan tipis dari bahan luminesensi organik dapat dilakukan secara sederhana dengan teknik screen printing. Lapisan tipis yang dihasilkan dengan teknik tersebut dapat mengemisikan cahaya ke seluruh permukaan secara merata sehingga memiliki potensi untuk pengembangan model lampu SSL planar. Kata kunci : Polimer hybrid, Solid State Lighting, Poli(TMSPMA), Light Wave Coupling (LWC)
ABSTRACT Planar Solid State Lighting (SSL) expectedly giving a better lighting compared to ordinary fluorescent lamps. In comparasion to common SSL, in a wide panel (planar) SSL it is used a light coupling approach (Light Wave Coupling-LWC), so the system requires a guiding light and the excitation light integrated in substrate coupled to a wave guide media. Therefore a wide panel SSL using LWC approach required emission color converter layer which has suitable characteristics with a preparation equipments and wave guides medium. Light Guide Plate (LGP) will be used as a wave guide medium is PMMA (polymethyl methacrylate). This study will develop a hybrid polymer based luminescence materials trimethoxysilylpropyl methacrylate (TMSPMA) modified with copolymerization technique and organic phosphor. We conducted solubility test on a pure poly(TMSPMA) precursor and found that the precursor along with organic chromophores can dissolve well in polar solvents. By using the appropriate solvent we can prepare thin layers of the luminesence material using simple screen printing technique. The prepared screen printing film emitted light relatively uniform and show a prospect as wide panel SSL model. Keywords : Hybrid polymer, Solid State Lighting, Poly(TMSPMA), Light Wave Coupling (LWC)
PENDAHULUAN Perkembangan cukup signifikan telah berlangsung pada teknologi lampu, baik yang
diaplikasikan pada perangkat elektronik hingga mainan anak-anak. Salah satunya adalah lampu
Pemanfaatan Polimer Hybrid TMSPMA…………………..Fitrilawati dkk
29
berbahan dasar semikonduktor, SSL (Solid State Lighting) yang dikenal dengan nama lampu LED (Light Emitting Diode). Lampu SSL (LED) merupakan solusi untuk mengatasi kekurangan lampu Tube Lamp (TL) dan Cathode Fluorescence Lamp (CFL) (Crawford et al. 2013). Pada dasarnya lampu TL dan CFL telah dinyatakan lebih hemat apabila dibandingkan dengan lampu pijar, namun masih terdapat kekurangan yaitu tidak ramah pada lingkungan dan kesehatan dikarenakan memiliki emisi berupa polutan gas merkuri dan sinar Ultraviolet (UV) (Zukaukas et al. 2002; Held 2009). Penemuan SSL/LED dirasakan dapat menyiasati kekurangan teknologi lampu sebelumnya. Selain itu, penggunaan LED dirasakan lebih efisien karena membutuhkan daya relatif lebih rendah dan ketahanan lebih lama dibandingkan dengan lampu CFL dan TL. Walaupun demikian, lampu LED masih memiliki beberapa kekurangan diantaranya adalah harga lebih mahal akibat biaya produksi cukup besar. Dalam penelitian sebelumnya telah dilakukan studi penggunaan bahan phosphor organik dengan medium pendispersi berupa polimer hybrid sebagai bahan konversi panjang gelombang untuk prototipe lampu SSL (Fitrilawati dkk 2011). Pengembangan aplikasi lampu SSL dapat menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan eksitasi langsung (Direct Path Excitation-DPE) dan pendekatan kopling cahaya (Light Wave Coupling-LWC) (Tsao 2004; Steckl et al. 2005). Untuk mendapatkan prototipe lampu SSL berbentuk planar dapat dilakukan dengan pendekatan LWC, sehingga diperlukan lapisan pengkonversi panjang gelombang yang berukuran lebar beserta karakteristik yang sesuai dengan perangkat preparasi dan media pandu gelombang. Media pandu gelombang dapat berupa Light Guide Plate (LGP) yang umumnya terbuat dari PMMA (polymethyl methacrylate) (Travis et al. 2009; Travis et al. 2011). Lampu SSL planar diharapkan dapat menghasilkan distribusi pencahayaan dalam ruang yang lebih baik dibandingkan dengan lampu fluorescent biasa. Pada makalah ini akan dikaji pembuatan lapisan tipis bahan pengkonversi warna (emisi) yang terbuat dari polimer hybrid trimethoxysilylpropyl methacrylate (TMSPMA), yang dimodifikasi dengan phosphor organik. Lapisan tipis tersebut dipreparasi dengan menggunakan teknik screen printing, setelah
sebelumnya dilakukan uji kelarutan dengan beberapa jenis pelarut. Uji kelarutan dari bahan luminesensi yang dikembangkan ini merupakan taHAp untuk merealisasikan lampu SSL panel lebar dengan pendekatan LWC dengan menggunakan media pandu gelombang LGP yang umumnya terbuat dari resin akrilik. Lapisan tipis tersebut kemudian diharapkan dapat diaplikasikan sebagai model lampu SSL planar yang terintegrasi dengan sumber cahaya pengeksitasi dan media pandu gelombang, sehingga dapat mentransmisikan cahaya dengan distribusi penerangan yang lebih luas di dalam ruang. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan luminesensi dibuat dari polimer hybrid organik-anorganik poli(TMSPMA) yang dimodifikasi dengan kromofor organik DCM (mengikuti prosedur penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu sebagai bahan konversi warna emisi dengan pendekatan eksitasi langsung dan berdimensi kecil 2 (< 2 cm )) (Fitrilawati dkk 2011; Syakir dkk 2011). Polimer hybrid jenis ini telah banyak diteliti, salah satunya adalah dalam studi pembuatan grating (kisi) untuk aplikasi photopumped laser (Hidayat et al. 2012). Preparasi prekursor polimer hybrid berasal dari monomer 3-trimethoxysilylpropyl methacrylate (TMSPMA) yang dilarutkan pada etanol dan akuades dengan perbandingan 1 : 4 : 8 (monomer : etanol : akuades), selanjutnya penambahan katalis yaitu HCl sebesar 0,01% dari akuades yang digunakan. Proses preparasi menggunakan metode sol-gel dan selanjutnya pembentukan ikat silang molekul anorganik pada prekursor polimer hybrid tersebut dilakukan dengan menggunakan metode fotopolimerisasi. Dalam proses fotopolimerisasi diperlukan senyawa fotoinisiator dan bantuan energi foton yang berasal dari cahaya Ultraviolet (UV). Fotoinisiator yang digunakan adalah irgacure, dengan komposisi berat sebesar 1% terhadap gel polimer hybrid. Untuk pembuatan prekursor kopolimer hybrid organik-anorganik, digunakan kombinasi dari monomer TMSPMA dan monomer triethoxymethylsilane (TEMS) yang memiliki struktur molekul seperti diperlihatkan pada Gambar 1.
J. Kimia dan Kemasan, Vol. 37 No. 1 April 2015 : 29-36
30
(a)
(b)
Gambar 1. Struktur monomer trimethoxysilylpropyl methacrylate (TMSPMA) (a) dan triethoxymethylsilane (TEMS) (b)
Metode Pembuatan Bahan Lapisan Luminesensi Untuk pembuatan prekursor terlebih dahulu monomer dilarutkan dengan etanol sehingga didapatkan larutan monomer yang homogen. Untuk membentuk kopolimer hybrid, kedua monomer yang telah larut dalam etanol dicampur terlebih dahulu, kemudian ditetesi dengan akuades sedikit demi sedikit sambil diaduk menggunakan pengaduk magnetik. Proses yang terakhir yaitu pemberian HCl sebagai katalis. Pengadukan terus dilakukan pada suhu 50 ⁰ C hingga didapatkan larutan gel bening. Kromofor organik DCM yang digunakan sebesar 0,2% dari massa prekursor. Kromofor DCM dilarutkan terlebih dahulu sebelum dicampur ke dalam prekursor polimer/kopolimer hybrid. Berkaitan dengan kepentingan aplikasi sebagai SSL panel lebar yang terintegrasi dengan Light Guide Plate (LGP), maka dilakukan pula uji kelarutan prekursor polimer/kopolimer hybrid beserta kromofor organiknya menggunakan berbagai macam variasi pelarut. Beberapa jenis pelarut yang digunakan yaitu kloroform, isopropanol, metanol, dan etanol. Uji pelarut ini berkaitan dengan karakteristik perangkat screen printing dan media pandu gelombang. Pembuatan Lapisan Tipis Bahan Luminesensi TaHAp awal pembuatan lapisan tipis berukuran lebar menggunakan teknik yang sederhana yaitu screen printing atau solution casting. Pada teknik screen printing, digunakan perangkat yang serupa dengan cetakan sablon yaitu terdiri dari papan kayu dengan kain/jaring khusus. Beberapa taHApan persiapan pada teknik ini adalah pembuatan pola pada screen, penyiapan larutan “tinta” bahan pengkonversi warna emisi yang terbuat dari bahan prekursor polimer hybrid dan kromofor organik DCM, dilanjutkan pada proses pengeringan dan fotopolimerisasi. Karakterisasi yang dilakukan pada hasil preparasi bahan luminesensi diantaranya yaitu identifikasi spektrum FTIR pengukuran absorbansi, uji mekanik, dan pengamatan secara visual pada uji kelarutan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Preparasi Prekursor Polimer/Kopolimer Hybrid Lapisan tipis polimer hybrid dibuat dengan menggunakan teknik spin coating dan tampak bening transparan. Untuk kepentingan identifikasi FTIR, lapisan tipis polimer hybrid dibuat di atas substrat silikon. Untuk mengetahui pengaruh keberadaan TEMS, maka dilakukan pengujian FTIR pada lapisan tipis poli(TMSPMA) dan poli(TMSPMA-TEMS) (kopolimer hybrid) dengan variasi komposisi antar keduanya. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Gambar 2a, yang menunjukkan bahwa kedua polimer memiliki gugus struktur yang sama. Hal tersebut dikarenakan kedua monomer memiliki gugus yang serupa. Kedua polimer memiliki rantai utama (backbone) yang sama yaitu Si-O-Si. Perbedaan antara kedua gugus monomer penyusun polimer tersebut tersebut terletak pada gugus C=O. Pada kopolimer, kedua gugus tersebut diharapkan bergabung sehingga kehadiran gugus C=O dan C=C dapat diidentifikasi melalui perbedaan intensitas C=O dan C=C pada kopolimer poli(TMSPMA-TEMS). Perbandingan rasio antara gugus C=O dan C=C pada kurva FTIR menunjukkan bahwa polimer hybrid poli(TMSPMA) memiliki rasio lebih banyak dibandingkan kopolimer hybrid poli(TMSPMA-TEMS). Hasil tersebut mengindikasikan penambahan monomer TEMS pada monomer TMSPMA telah mengurangi banyaknya gugus akrilat. Spektrum UV-Vis dari film kopolimer hybrid dengan berbagai komposisi monomer dengan menggunakan pelarut kloroform diperlihatkan pada Gambar 2b. Pada film kopolimer terdapat dua puncak yaitu pada daerah sekitar 214 nm dan 300 nm. Spektrum tersebut tampak berbeda dengan spektrum absorbsi film homopolimer poli(TMSPMA) yang hanya memiliki puncak pada 233 nm. Perbandingan kurva absorbsi kopolimer dengan homopolimer mengidentifikasi puncak disekitar 300 nm berasal dari kopolimer. Secara spesifik dapat dikatakan puncak absorbsi pertama berasal dari molekul TMSPMA dan puncak absorbsi kedua berasal dari molekul TEMS. Pengaruh komposisi monomer pada kopolimer
Pemanfaatan Polimer Hybrid TMSPMA…………………..Fitrilawati dkk
31
Sebaliknya kandungan TMSPMA yang kecil pada kopolimer menyebabkan ketahanan gores semakin kecil, yang menunjukkan bahwa sampel semakin lunak. Uji mekanik pada setiap perbandingan kopolimer hybrid menginformasikan terbentuknya kopolimer. Penambahan gugus TEMS telah berhasil mengurangi kekerasan dan kekakuan poli(TMSPMA).
terhadap sifat mekanik diukur melalui uji kekerasan menggunakan skala Mohs. Hasil uji Mohs untuk sampel kopolimer hybrid poli(TMSPMA-TEMS) diperlihatkan pada Tabel 1. Dari data tersebut dapat diinterpretasikan bahwa semakin banyak kandungan monomer TMSPMA pada kopolimer hybrid maka ketahanan gores semakin besar, yang menunjukkan bahwa bahan semakin keras.
(a)
(b) Gambar 2. (a) Spektrum FTIR kopolimer hybrid poli(TMSPMA-TEMS) dengan variasi perbandingan antar keduanya, (b) Spektrum absorbsi kopolimer hybrid.
Tabel 1. Data skala Mohs untuk masing-masing komposisi kopolimer Kopolimer 1:1 2:1 3:1 4:1 TMSPMA
Skala Mohs 1 2 2 2 3
Keterangan Talc Gypsum Gypsum Gypsum Calcite
J. Kimia dan Kemasan, Vol. 37 No. 1 April 2015 : 29-36
32
Hasil Uji Kelarutan Uji kelarutan prekursor poli(TMSPMA) dilakukan dengan menggunakan empat jenis pelarut yaitu kloroform yang bersifat non-polar serta pelarut metanol, etanol, dan isopropanol yang bersifat polar. Hasil uji kelarutan prekursor poli(TMSPMA) diperlihatkan pada Tabel 2, sedangkan hasil uji kelarutan inisiator diperlihatkan pada Tabel 3. Berdasarkan hasil pengujian tersebut diketahui bahwa prekursor poli(TMSPMA) dan inisiator lebih cepat larut pada pelarut non-polar (kloroform) dan metanol, serta lebih lambat larut pada pelarut isopropanol dan etanol. Pada dasarnya secara visual, bentuk lapisan tipis poli(TMSPMA) yang dibuat dengan pelarut polar serupa dengan yang dibuat menggunakan pelarut kloroform. Untuk mengetahui keberhasilan proses sintesis polimer hybrid dilakukan indentifikasi spektrum FTIR yang diperlihatkan pada Gambar 3. Masing-masing lapisan tipis memiliki bilangan gelombang yang identik, dengan gugus -Si-O-Si- terbentuk pada kisaran bilangan -1 gelombang 1115 cm sampai dengan -1 1116 cm , yang berasal dari rantai anorganik prekursor polimer hybrid. Keberadaan ikatan
-Si-O-Si- menandakan bahwa proses sol-gel yang dilakukan telah berhasil membuat propagasi dari bagian anorganik pada prekursor polimer hybrid. Spektrum -Si-O-Si- yang lebar menunjukkan rantai yang terbentuk cukup panjang. Ikatan rangkap C (C=C) mengalami perubahan pada proses fotopolimerisasi, dimana akan terjadi setelah fotoinisiator ditambahkan ke dalam larutan prekursor polimer hybrid. Dengan bantuan cahaya, inisiator berubah menjadi radikal dan menyerang ikatan C=C yang menyebabkan satu radikal satu ikatan rangkap C terputus. Berdasarkan spektrum FTIR pada Gambar 3, terlihat bahwa intensitas C=C masih cukup besar. Hal ini mengindikasikan belum terjadinya proses fotopolimerisasi pada bagian organik secara sempurna dan menyeluruh. Selain itu, jika dilakukan normalisasi spektrum terhadap puncak vibrasi C=O, secara kualitatif dapat dikatakan tidak tampak adanya korelasi antara besar polaritas pelarut terhadap transmisi. Namun khusus untuk vibrasi C=C akan lebih besar untuk pelarut yang memiliki polaritas yang lebih besar relatif terhadap pelarut kloroform.
Tabel 2. Hasil pengujian kelarutan prekursor poli(TMSPMA) Pelarut
Massa prekursor
Volume pelarut
Massa total
C (% w/w)
Keterangan
Kloroform
1,5 gram
1,5 ml
3,7 gram
40,5%
***
Isopropanol
1,5 gram
1,5 ml
2,7 gram
56,2%
**
Etanol
1,5 gram
1,5 ml
2,7 gram
56,2%
**
Metanol
1,5 gram
1,5 ml
2,7 gram
56%
***
Keterangan: pengamatan dilakukan secara visual ***)sangat mudah larut; **)mudah larut; *)agak sulit larut
Tabel 3. Hasil pengujian kelarutan inisiator dengan konsentrasi perbandingan massa prekursor dan volume 3 pelarut sebesar 0,07 gram/cm Pelarut
Massa prekursor
Volume pelarut
Massa total
C (% w/w)
Keterangan
Kloroform
1,5 gram
1,5 ml
3,7 gram
40,5%
***
Isopropanol
1,5 gram
1,5 ml
2,7 gram
56,2%
**
Etanol
1,5 gram
1,5 ml
2,7 gram
56,2%
**
Metanol
1,5 gram
1,5 ml
2,7 gram
56%
***
Keterangan: pengamatan dilakukan secara visual ***)sangat mudah larut; **)mudah larut; *)agak sulit larut
Pemanfaatan Polimer Hybrid TMSPMA…………………..Fitrilawati dkk
33
Berdasarkan Tabel 4, yaitu identifikasi spektrum FTIR setelah dinormalisasi terhadap ikatan C=O, penggunaan pelarut metanol memiliki karakteristik yang mirip dengan menggunakan pelarut kloroform. Dengan demikian, pelarut metanol dapat digunakan untuk aplikasi SSL planar, mengingat kesesuaian jenis pelarut dengan perangkat preparasi dan jenis bahan LGP. Hasil Desain Awal SSL Planar Untuk kepentingan aplikasi, maka diperlukan desain awal model lampu SSL planar dengan pembuatan lapisan menggunakan teknik screen printing, seperti yang terlihat pada Gambar 4. Bahan luminesensi organik, salah satunya adalah DCM akan dimasukkan dalam medium pendispersi polimer hybrid dan digunakan sebagai “tinta” untuk pembuatan lapisan tipis dengan teknik screen printing.
Kemampuan pembuatan lapisan tipis bahan pengkonversi yang berukuran besar dengan teknik screen printing sangat diperlukan karena teknik ini biasa digunakan pihak industri berkaitan dengan prosesnya yang mudah dan biayanya murah. Lapisan tipis poli(TMSPMA) yang mengandung kromofor DCM (Gambar 4b) dapat mengemisikan cahaya ke seluruh permukaan relatif secara merata dan sudah dapat memperlihatkan potensi aplikasi sebagai model SSL planar. Namun lapisan tipis yang dihasilkan masih memerlukan perbaikan, salah satunya berupa homogenitas ketebalan yang masih belum sempurna. Beberapa perbaikan yang perlu dan akan dilakukan adalah penggunaan filter untuk memisahkan larutan polimer dan pengotor serta perbaikan kebersihan lingkungan untuk meminimalkan kotoran yang dapat mempengaruhi kualitas lapisan.
Gambar 3. Spektrum FTIR dari lapisan tipis poli(TMSPMA) dipreparasi menggunakan berbagai macam jenis pelarut
Tabel 4. Transmitansi FTIR dari lapisan tipis poli(TMSPMA) yang dibuat dengan menggunakan berbagai jenis pelarut setelah dinormalisasi pada vibrasi ikatan C=O Identifikasi gugus C-H (asimetris)
Kloroform 12,12
C-H (simetris)
24,24
C=O
%T Isopropanol 21,75
Etanol 14,04
Metanol 11,04
34,98
23,82
22,11
0,20
0,20
0,2
0,20
C=C
13,76
23,43
30,24
15,15
Si –O– CH3
1,32
3,63
2,3
2,11
Si –O– Si
0,18
0
0
0
J. Kimia dan Kemasan, Vol. 37 No. 1 April 2015 : 29-36
34
(a)
(b)
Gambar 4. (a) Lapisan tipis polimer hybrid yang dibuat dengan teknik screen printing, (b) Desain awal lampu SSL planar
KESIMPULAN Penelitian ini telah berhasil mengembangkan bahan luminesensi yang menggunakan matriks polimer/kopolimer hybrid dan phosphor organik. Hasil kajian kelarutan polimer hybrid poli(TMSPMA) memungkinkan untuk pembuatan lapisan tipis dengan menggunakan teknik screen printing dan LGP. Hasil ini sangat penting karena sebelumnya pada pembuatan lapisan tipis bahan luminesensi tersebut selalu digunakan pelarut kloroform, padahal perangkat screen dan media pandu gelombang LGP yang berbasis akrilik tidak dapat bertahan pada pelarut kloroform. Selain itu, pada studi ini telah diperlihatkan lapisan tipis yang dibuat dengan teknik tersebut dapat mengemisikan cahaya ke seluruh permukaan relatif secara merata sehingga memiliki potensi untuk pengembangan model lampu SSL planar. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Penelitian Desentralisasi (Penelitian Unggulan Tinggi) Tahun Anggaran 2013 DIPA UNPAD nomor kontrak 023.04.2/189726/2013 tanggal 5 Desember 2012 dan Penelitian Desentralisasi (Penelitian Unggulan Tinggi) Tahun Anggaran 2014, DIPA UNPAD nomor: 023.04.2.189726/2014 tanggal 5 Desember 2013. DAFTAR PUSTAKA Crawford, M.H., J.J. Wierer, A.J. Fischer, G.T. Wang, D.D. Koleske, G.S. Subramania, M.E. Coltrin, and J.Y. Tsao. 2013. Solid state lighting: toward smart and ulta-efficeint materials, devices, lamps and systems. Photonics Vol. 3: Photonics
Technology and Instrumentation. America : John Wiley&Son. Fitrilawati, N., L. Syakir, Y. Pebriani, S. Handayani, S. Hidayat, T. Saragi, R. Siregar, P.Pitriana, dan R. Hidayat. 2011. Pengembangan phosphor organik sebagai bahan konversi warna emisi untuk aplikasi lampu SSL. Jurnal material dan energi indonesia 1 (3) : 188-195. Held, G. 2009. Introduction to light emitting diode technology and application. Boca Raton. FL : CRC Press. Hidayat, R., S. Hidayat, Fitrilawati, M. Herman, O. Tjia, A. Fujii, and M. Ozaki. 2012. Distributed feedback grating fabricated from hybrid polymer precursor gel by employing short-pulse laser interference for photo-pumped laser application. Polymer advanced technology 23 : 1264-1270. Steckl, J., J. Heikenfeld, and S.C. Allen. 2005. Light wave coupled flat panel display and solid-state lighting using inorganic/organic materials. IEEE/OSA Journal of display technology 1 : 157166. Syakir, N., Y.S. Handayani, dan Fitrilawati. 2011. Pengaruh panjang gelombang eksitasi terhadap koordinat warna emisi pada bahan konversi warna berbasis polimer hybrid. Jurnal Material dan Energi Indonesia 1 (3) : 173-179. Travis, A., T. Large, N. Emerton, and S. Batchieche. 2009. Collimated light from a waveguide for a display backlight. Optics Express 17 (22) : 19714 19719. Travis, A., T.A. Large, N. Emerton, and S.N. Bathiche. 2013. Wedge optics in flat panel displays. Proceedings of the IEEE 101 (1) : 45 – 60.
Pemanfaatan Polimer Hybrid TMSPMA…………………..Fitrilawati dkk
35
Tsao, Y. 2004. Solid-state lighting: lamps, chips, and materials for tomorrow. IEEE circuits & devices 20 : 28-37.
Zukaukas, M.S. Shur, and R. Gaska. 2002. Introduction to Solid State Lighting. New York : Wiley- Interscience.
J. Kimia dan Kemasan, Vol. 37 No. 1 April 2015 : 29-36
36
ISOMERISASI EUGENOL MENJADI ISOEUGENOL DENGAN METODE SONIKASI (ISOMERISATION OF EUGENOL TO ISOEUGENOL USING SONICATION METHOD)
Arief Riyanto, Retno Yunilawati, Dwinna Rahmi, Novi Nur Aidha, dan Emmy Ratnawati Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No.1 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Received : 4 Februari 2015; revised : 25 Februari 2015; accepted : 4 Maret 2015
ABSTRAK Isoeugenol merupakan senyawa turunan eugenol yang banyak digunakan di industri farmasi, kosmetik, perisa makanan dan minuman. Konversi eugenol menjadi isoeugenol dilakukan melalui reaksi isomerisasi. Isomerisasi eugenol dapat dilakukan secara konvensional dengan pemanasan pada suhu tinggi, namun tidak efisien sehingga dilakukan dengan metode pemanfaatan gelombang mikro yang memerlukan energi cukup besar. Pada penelitian ini dilakukan isomerisasi dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik agar dihasilkan metode yang lebih efisien. Isomerisasi berjalan optimal pada kondisi amplitudo 70% dan 40 menit, menggunakan pelarut etanol, dan dengan perbandingan berat katalis RhCl 3 terhadap eugenol sebesar 1 : 2000. Pada kondisi tersebut dihasilkan isoeugenol total hampir 100% dengan komposisi cis isoeugenol sekitar 8,23% dan trans isoeugenol sekitar 91,76%. Kata kunci : Eugenol, Isoeugenol, Katalis RhCl3
ABSTRACTS Isoeugenol is an eugenol derivatives are widely used in the pharmaceutical industries, cosmetics, food and beverage flavor. Conversion of eugenol to isoeugenol made through isomerization reaction. Eugenol isomerization can be done conventionally by heating at high temperature and method use micro wave which required large of energy. In this research, the isomerization is done by using ultrasonic waves in order to produce more efficient method. Isomerization optimal at 70% amplitude condition, within 40 minutes, use ethanol, and the weight ratio of the catalyst RhCl3 eugenol of 1 : 2000. In these conditions produced nearly 100% isoeugenol in total with the composition of 8.23% isoeugenol cis and trans approximately 91.76%. Keywords : Eugenol, Isoeugenol, RhCl3 catalyst
PENDAHULUAN Indonesia memiliki luas areal tanaman cengkeh terluas di dunia, yaitu sekitar 241.800 ha atau lebih dari 70% luas areal tanaman cengkeh di dunia. Sentra produksi minyak cengkeh terdapat di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatra Barat, Bali, dan Sulawesi Selatan. Produksi minyak cengkeh Indonesia pada tahun 2007 sekitar 2.500 ton dengan perkiraan pemakaian dunia sekitar 3.500 ton / tahun. Minyak cengkeh terdiri dari beberapa komponen yaitu eugenol, metil eugenol, eugenol asetat, dan caryophylene (Priyosetyoko et al. 2014). Komponen terbesar
(80% berat sampai 90% berat) minyak cengkeh adalah eugenol atau 3-(4-hidroksi-3-metoksifenil) propena. Pada eugenol terdapat gugus-gugus fungsi yang dapat diubah secara kimia, pada prinsipnya eugenol merupakan bahan awal yang sangat berguna bagi sintesis senyawa-senyawa yang lebih bermanfaat. Salah satu turunan dari eugenol adalah senyawa isoeugenol, yang merupakan bahan dasar dalam industri farmasi, kosmetika, serta industri perisa untuk makanan dan minuman.
Isomerisasi Eugenol Menjadi Isoeugenol……………..Arief Riyanto dkk
37
Prinsip transformasi eugenol menjadi isoeugenol adalah reaksi isomerisasi, dimana ikatan rangkap pada gugus alkenil pindah ke posisi konyugasi dengan ikatan rangkap pada cincin benzena eugenol (Sharma et al. 2006). Isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol merupakan reaksi katalitik yang membutuhkan panas dan katalis, baik katalis basa dan katalis logam transisi. Reaksi isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol ditunjukkan pada Gambar 1. Reaksi isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol secara konvensional, menggunakan katalis basa kuat pada suhu yang tinggi dan waktu yang lama. Metode ini tidak efisien sehingga kemudian berkembang metode menggunakan pemanasan gelombang mikro (microwave). Dengan metode panas gelombang mikro dapat mempercepat waktu reaksi isomerisasi hingga beberapa kali (Mulyono dan Hidayat 2006; Setyarini 2010). Namun metode pemanasan gelombang mikro ini membutuhkan energi yang tinggi sehingga apabila diterapkan pada skala besar belum efisien. Oleh karena itu, perlu dicari metode lain yang lebih efisien. Salah satu metode yang belum dilakukan adalah metode sonikasi, yaitu metode yang memanfaatkan energi gelombang ultrasonik. Sonikasi merupakan aplikasi dari penggunaan energi gelombang ultrasonik (energi suara) untuk berbagai aplikasi. Beberapa pemanfaatan ultrasonik pada industri antara lain adalah thermoplastic welding, ekstraksi, kristalisasi, floatasi, pengeringan, degassing, defoaming, cutting, drilling, soldering, filtrasi, homogenisasi (pengadukan atau pencampuran), desolusi, dan deagregasi serbuk. Sonikasi berarti memberi perlakuan ultrasonik pada suatu bahan dengan kondisi tertentu, sehingga bahan tersebut mengalami reaksi kimia akibat perlakuan tersebut (Ingole and Khedkar 2012). Proses sonikasi dilakukan dengan cara menggunakan gelombang ultrasonik dengan rentang frekuensi 20 kHz sampai 10 MHz ke dalam medium. Energi yang diberikan gelombang ultrasonik akan menggetarkan partikel dalam medium hingga bisa memecah ikatan antar molekul (Roshana et al. 2011). Getaran yang ditimbulkan oleh energi gelombang ultrasonik diharapkan akan dapat memindahkan ikatan rangkap pada gugus alkenil pindah ke posisi konyugasi dengan ikatan
rangkap pada cincin benzena eugenol sehingga eugenol terkonversi menjadi isoeugenol. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain eugenol (PT. Indesso Aroma), etanol teknis, katalis RhCl3, metanol (grade kromatografi), dan standar isoeugenol (PT.Indesso Aroma). Peralatan yang digunakan terdiri dari sonikator (QSonica Sonicators/QSS), peralatan gelas yang biasa digunakan di laboratorium, refraktometer, dan Gas Chromatography Spectrophotometer Massa (GCMS) Agilent 6890. Metode Eugenol sebagai bahan baku terlebih dahulu dianalisis untuk mengetahui sifat fisis dan komposisi senyawa kimia yang ada di dalamnya. Analisis yang dilakukan meliputi bobot jenis, indeks bias, kelarutan dalam alkohol, dan komposisi senyawa kimia. Setelah itu dilakukan proses konversi menggunakan sonikasi dengan melihat pengaruh pelarut, perbandingan jumlah katalis, amplitudo, dan waktu sonikasi. Kondisi pada proses sonikasi ditentukan dari percobaan pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya. Pengaruh Pelarut Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol. Eugenol sebanyak 25 g ditambahkan katalis RhCl3 dengan perbandingan berat katalis RhCl3 : eugenol = 1 : 2000 tanpa pelarut. Di tempat lain disiapkan pula eugenol sebanyak 25 g ditambahkan katalis RhCl3 yang telah dilarutkan dalam etanol dengan perbandingan berat katalis RhCl3 : eugenol = 1 : 2000. Kemudian dilakukan sonikasi pada amplitudo 50 selama 20 menit. Hasil reaksi yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan GCMS untuk mengetahui komposisinya. Pengaruh Jumlah Katalis Eugenol sebanyak 25 g ditambahkan katalis RhCl3 yang telah dilarutkan dalam etanol dengan perbandingan berat katalis RhCl3 : eugenol = 1 : 2000.
Gambar 1. Reaksi isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol
J. Kimia Kemasan, Vol.37 No. 1 April 2015 : 37-44
38
Di tempat lain disiapkan pula eugenol sebanyak 25 g ditambahkan katalis RhCl3 yang telah dilarutkan dalam etanol dengan perbandingan berat katalis RhCl3 : eugenol = 1 : 3000. Kemudian dilakukan sonikasi pada amplitudo 70 dengan beberapa variasi waktu (5 menit, 10 menit, 20 menit, dan 40 menit). Hasil reaksi yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan GCMS untuk mengetahui komposisinya.
Aroma) dapat dilihat pada Tabel 1. Spesifikasi eugenol yang diperdagangkan di Indonesia sampai saat ini belum diatur oleh Standar Nasional Indonesia (SNI), sehingga produsen memproduksi sesuai kemampuan masing-masing dan umumnya disesuaikan dengan spesifikasi permintaan pembeli. Hasil analisis menggunakan GCMS menunjukkan bahwa senyawa eugenol memiliki puncak pada waktu retensi 22,3 menit (Gambar 2).
Pengaruh Amplitudo Dan Waktu Sonikasi Eugenol sebanyak 25 g ditambahkan katalis Rh yang telah dilarutkan dalam etanol dengan perbandingan berat katalis RhCl3 : eugenol = 1 : 2000. Kemudian dilakukan sonikasi pada amplitudo 50 dan 70 dengan beberapa variasi waktu (5 menit, 10 menit, 20 menit, dan 40 menit). Hasil reaksi yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan GCMS untuk mengetahui komposisinya.
Konversi Eugenol Menjadi Isoeugenol Proses pembuatan isoeugenol merupakan reaksi isomerisasi yang sebenarnya hanya menggeser posisi ikatan rangkap pada grup alkenil ke posisi konjugasi pada cincin benzena (Sharma et al. 2006). Pergeseran ikatan rangkap pada reaksi isomerisasi dapat dilihat pada Gambar 3. Dilihat struktur eugenol dan isoeugenol pada Gambar 3, eugenol lebih polar daripada isoeugenol, hal ini dikarenakan adanya ikatan rangkap gugus propenil yang tidak terkonjugasi pada struktur eugenol. Isoeugenol bersifat kurang polar, karena ikatan rangkap pada gugus propenilnya terkonjugasi dengan benzena.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Bahan Baku (Eugenol) Hasil analisis sifat fisis eugenol yang digunakan untuk penelitian (dari PT. Indesso
Tabel 1. Hasil analisis sifat-sifat fisis eugenol (PT. Indesso) No 1 2 3 4
Karakteristik o
Hasil pengujian o
Bobot Jenis 20 C/20 C n Indeks bias ( D20) Kadar Air (%b/b) Kelarutan dalam etanol o 70% pada suhu 20 C
Metode pengujian
1,07 1,54 0,01 1:1 jernih seterusnya jernih
SNI 06-2387-2006 SNI 06-2387-2006 ASTM D-95 SNI 06-2387-2006
A b u n d a n c e
T IC : S A M
P L E
E U G E N O L
D IL
1 0 0 .D \ d a ta .m s
2 .6 e + 0 8
2 .4 e + 0 8
2 .2 e + 0 8
2 e + 0 8
1 .8 e + 0 8
1 .6 e + 0 8
1 .4 e + 0 8
1 .2 e + 0 8
1 e + 0 8
8 e + 0 7
6 e + 0 7
4 e + 0 7
2 e + 0 7
5 .0 0
1 0 .0 0
1 5 .0 0
2 0 .0 0
2 5 .0 0
3 0 .0 0
3 5 .0 0
4 0 .0 0
4 5 .0 0
5 0 .0 0
5 5 .0 0
6 0 .0 0
T im e - - > Gambar 2. Kromatogram eugenol (PT. Indesso Aroma) yang dianalisis menggunakan GCMS
Isomerisasi Eugenol Menjadi Isoeugenol……………..Arief Riyanto dkk
39
Gambar 3. Pergeseran ikatan rangkap eugenol, cis-isoeugenol, dan trans-isoeugenol
Isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol tingkat komersial dilakukan dengan cara mereaksikan dengan basa kuat seperti KOH dan NaOH sebagai katalis (Kadarrohman 1994) dapat juga menggunakan katalis hidrostalsit seperti Mg, Al yang merupakan katalis padat bersifat basa (Kishore and Kannan 2002). Reaksi isomerisasi umumnya dilakukan pada suhu tinggi (140 °C sampai 190 °C) dan waktu reaksi yang lama yaitu 5 jam sampai 7 jam. Penggunaan katalis KOH untuk isomerisasi eugenol telah dilakukan Kadarohman (1999) dan didapatkan total isoeugenol sebesar 93,71%. Penggunaan teknologi gelombang mikro dapat mempersingkat waktu secara signifikan. Hasil penelitian Mulyono dan Hidayat (2006) menunjukkan waktu reaksi isomerisasi hanya memerlukan waktu 15 menit sampai 20 menit yaitu 15 kali sampai 20 kali lebih cepat dari pemanasan konvensional dan Soesanto (2006)
menggunakan gelombang mikro dengan katalis rhodium menghasilkan total konversi mencapai 95,3%. Penggunaan energi gelombang ultrasonik untuk isomerisasi eugenol dalam penelitian ini dapat meningkatkan hasil konversi. Isomerisasi dilakukan menggunakan katalis rhodium dalam bentuk RhCl3, dengan variabel pelarut, jumlah katalis, amplitudo, dan waktu. Isoeugenol yang terbentuk dianalisis menggunakan GCMS dengan isoeugenol dari PT.Indesso Aroma digunakan sebagai pembanding. Hasil analisis isoeugenol PT. Indesso Aroma menggunakan GCMS dapat dilihat pada Gambar 4 yang memperlihatkan cis isoeugenol pada waktu retensi 24,5 menit dan trans isoeugenol pada waktu retensi 26,3 menit.
A b u n d a n c e
T IC : S A M P L E
IS O
E U G E N O L D IL 1 0 0 .D \ d a ta .m s
2 .2 e + 0 8
2 e + 0 8
1 .8 e + 0 8
1 .6 e + 0 8
1 .4 e + 0 8
1 .2 e + 0 8
1 e + 0 8
8 e + 0 7
6 e + 0 7
4 e + 0 7
2 e + 0 7
5 .0 0
1 0 .0 0
1 5 .0 0
2 0 .0 0
2 5 .0 0
3 0 .0 0
3 5 .0 0
4 0 .0 0
4 5 .0 0
5 0 .0 0
5 5 .0 0
6 0 .0 0
T im e - - >
Gambar 4. Kromatogram isoeugenol PT Indesso (pembanding) yang dianalisis menggunakan GCMS
J. Kimia Kemasan, Vol.37 No. 1 April 2015 : 37-44
40
Pengaruh Pelarut Terhadap Isomerisasi Pada penelitian ini sebagai pelarut digunakan etanol dengan pertimbangan etanol akan mudah menguap selama proses sonikasi. Penggunaan pelarut etanol juga pernah dilakukan untuk isomerisasi eugenol menggunakan gelombang mikro dengan katalis rhodium (Hidayat et al. 2007 ). Untuk melihat pengaruh pelarut etanol ini, dilakukan analisis reaktan (eugenol) dan hasil reaksi (isoeugenol) seperti ditampilkan pada Tabel 2. Sonikasi dilakukan pada amplitudo 50% dengan waktu reaksi 20 menit. Dari Tabel 2. terlihat bahwa penggunaan pelarut secara signifikan mempengaruhi hasil isoeugenol. Pelarut berfungsi untuk melarutkan katalis RhCl3 sehingga bidang kontak antara reaktan dengan katalis menjadi semakin besar. Selain itu karena sifat eugenol yang viskositasnya relatif besar sehingga efek pelarut juga akan menurunkan viskositas dari eugenol. Semakin kecil viskositasnya maka kontak antara reaktan dengan katalis semakin besar. Berdasarkan persamaan Arhenius yaitu konstanta kecepatan reaksi, dimana dipengaruhi oleh faktor suhu, frekuensi tumbukan, dan energi aktivasi. Dalam hal ini, pelarut berfungsi untuk meningkatkan frekuensi tumbukan. Persamaan Arhenius dapat dilihat pada persamaan dibawah ini :
…(1) K = konstanta A = Faktor frekuensi Ea=energi aktivasi R = konstanta konstanta gas (8 314 J/K gas (8.314 J/K-mol) T = Suhu Persamaan tersebut logaritma dapat ditulis :
dalam
bentuk
…(2) Pengaruh Jumlah Katalis Hasil reaksi isomerisasi eugenol pada perbandingan katalis yang berbeda ditampilkan pada Tabel 3. Perbandingan yang digunakan adalah perbandingan berat. Satu bagian (berat) katalis berbanding dengan 2000 bagian (berat) eugenol. Pada penelitian Soesanto (2006), ratio katalis yang digunakan pada kisaran 1:400 hingga 1:1250. Dalam penelitian ini,
Tabel 2. Hasil konversi isomerisasi menggunakan katalis RhCl3 tanpa pelarut dan dengan pelarut. Pelarut Tanpa pelarut Etanol
Eugenol sisa (%) 71,68 32,47
Cis 5,85
Isoeugenol (%) Trans Isoeugenol total 22,46 28,31
14,48
51,62
66,10
Tabel 3. Hasil konversi isomerisasi metode sonikasi pada perbandingan jumlah katalis RhCl3 Perbandingan katalis 1 : 2000
1 : 3000
Amplitudo (%)
Waktu (menit)
Eugenol sisa (%)
70
5
70
Isoeugenol (%) cis
trans
total
4,59
9.56
83.97
93,53
10
2,56
12.02
83.47
95,49
20
2,58
12.16
83.35
95,51
40
0
8.24
91.76
100
5
5,39
10,04
82,36
92,40
10
5,77
10,92
82,17
93,09
20
5,78
12,33
81,61
93,94
40
5,64
10,02
84.15
94,17
Keterangan : Amplitudo A% berarti menggunakan amplitudo sebesar A% dari amplitudo maksimal yang dapat dicapai oleh alat sonikasi yang digunakan
Isomerisasi Eugenol Menjadi Isoeugenol……………..Arief Riyanto dkk
41
pada percobaan awal dengan penggunaan 1:2000 telah mendapatkan hasil yang signifikan sehingga digunakan ratio yang lebih rendah lagi pada percobaan selanjutnya (1 : 3000). Pada Gambar 5. terlihat bahwa konversi eugenol yang ditandai dengan persentase isoeugenol pada penggunaan ratio katalis 1:2000 lebih tinggi dibandingkan pada ratio katalis 1:3000. Dapat dipahami bahwa semakin banyak katalis maka tumbukan yang terjadi antara molekul katalis dengan molekul eugenol lebih besar sehingga kemungkinan terjadinya isomerisasi semakin besar. Gambar 6. memperlihatkan terjadinya peningkatan konversi eugenol menjadi isoeugenol pada penggunaan ratio katalis 1:3000 ke 1:2000. Pada menit ke 20, justru terjadi penurunan, namun dari tren grafik yang ada, seharusnya terjadi peningkatan. Secara umum, semakin besar jumlah katalis semakin besar pula konversi eugenol menjadi isoeugenol. Pengaruh Amplitudo Dan Waktu Sonikasi Hasil konversi eugenol pada beberapa variasi amplitudo dan waktu reaksi dapat dilihat pada Tabel 4. Pada amplitudo 50%, waktu 5 menit, dan 10 menit tidak ada data karena
terjadi kerusakan sampel yang cepat teroksidasi, sedangkan pada amplitudo 70%, waktu 60 menit tidak dilakukan karena campuran suhunya sudah sangat tinggi, disebabkan karena energi gelombang ultrasonik yang menghasilkan panas dan terakumulasi dalam campuran. Gambar 7. menunjukkan hubungan konversi eugenol dengan waktu reaksi pada amplitude 50% dan 70%. Pada amplitudo 50% persentase isoeugenol dalam campuran pada waktu reaksi 20 menit pada kisaran 65% dan terus naik sampai pada menit ke 40. Dari menit ke 40 sampai dengan 60, kenaikan tidak signifikan lagi dan relatif tetap. Kemungkinan terjadi kesetimbangan reaksi sehingga komposisi senyawa dalam campuran tidak berubah, sedangkan pada amplitudo 70%, konversi eugenol menjadi isoeugenol mencapai hampir 100% pada menit ke 40, dengan kromatogram hasil analisis ditampilkan pada Gambar 8. Perubahan tidak terlalu signifikan dari menit ke 5 sampai dengan menit ke 40. Oleh karena itu jika teknologi pemisahan atau pemurnian isoeugenol tersedia akan lebih baik waktu reaksi pada 5 menit karena konversinya telah cukup tinggi.
Gambar 5. Hubungan antara komposisi isoeugenol dengan waktu reaksi pada amplitudo 70% dengan variabel perbandingan katalis dengan eugenol
Gambar 6. Peningkatan konversi eugenol terhadap peningkatan ratio katalis (1:3000 : 1:2000)
J. Kimia Kemasan, Vol.37 No. 1 April 2015 : 37-44
42
Tabel 4. Hasil konversi isomerisasi metode sonikasi pada beberapa variasi amplitudo dan waktu sonikasi Isoeugenol (%) Amplitudo Waktu Eugenol transIsoeugenol (menit) sisa (%) cis-isoeugenol isoeugenol total 50 5 50 10 32,47 14,48 51,62 66,10 50 20 50 50 70 70 70 70
40 60 5 10 20 40
4,90 3,93 4,59 2,56 2,58 0
17,25 17,28 9.56 12.02 12.16 8.23
74,81 77,75 83.97 83.47 83.35 91.76
92,06 95,03 93,53 95,49 95,51 99,99
Keterangan : Amplitudo A% berarti menggunakan amplitudo sebesar A% dari amplitudo maksimal yang dapat dicapai oleh alat sonikasi yang digunakan
Gambar 7. Hubungan konversi eugenol dengan waktu reaksi pada amplitudo 50% dan 70%.
Gambar 8. Kromatogram isoeugenol hasil sonikasi menggunakan katalis RhCl 3 dengan pelarut etanol pada amplitudo 70% selama 40 menit
Isomerisasi Eugenol Menjadi Isoeugenol……………..Arief Riyanto dkk
43
KESIMPULAN Isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol yang dilakukan menggunakan metode sonikasi telah menghasilkan metode yang paling optimal, yaitu pada kondisi amplitudo 70%, waktu 40 menit, pelarut etanol, dan dengan perbandingan berat katalis RhCl3 terhadap eugenol sebesar 1 : 2000. Pada kondisi tersebut dihasilkan isoeugenol total hampir 100% dengan komposisi cis isoeugenol sekitar 8,23% dan trans isoeugenol sekitar 91,76%. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT. Indesso Aroma yang telah menyediakan bahan berupa eugenol dan isoeugenol untuk penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Hidayat, T., dan E. Mulyono, 2006. Konversi eugenol dari minyak daun cengkeh menjadi isoeugenol dengan pemanasan gelombang mikro. Prosiding seminar nasional himpunan kimia indonesia. 12 September 2006. Hidayat, T., E. Mulyono, dan S. Yuliani, 2007. Pengaruh katalis rhodium dan konsentrasi pelarut etanol pada sintesis isoeugenol dari eugenol minyak daun cengkeh dengan gelombang mikro. Prosiding seminar nasional dan pameran perkembangan teknologi tanaman obat dan aromatika. Bogor, 6 September 2007. Ingole, N.W. and S.V. Khedkar. 2012. The ultrasound reactor technology-a technology for future. International journal of advanced engineering research and studies 2:72-75. Kadarrohman, A. 1994. Mempelajari mekanisme dan kontrol reaksi isomerisasi eugenol menjadi isoeugenol. Tesis, Program
J. Kimia Kemasan, Vol. 37 No. 1 April 2015: 37-44
Studi MIPA, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Kadarrohman, A., H. Sastrohamidjojo, dan M. Muchalal. 1999. Study of the complex reaction pathway of eugenol isomerization. Makalah Seminar Nasional Kimia Organik di Gotel Jayakarta Yogyakarta, September 1999. Kishore, D. and S. Kannan. 2002. Isomerization of eugenol and safrole over Mg-Al Hydrotalcite, a solid base catalyst. Green Chemistry 4:607-610. Muchalal, M. 2005. Effects of ethylene glycol and KOH in the formation of 2methoxy-4-propylphenol on eugenol isomerization reaction. Indo. J. Chem., 5 (1), 66 – 70. Priyosetyoko, Sudarmin, dan E. Cahyono. 2014. Transformasi eugenol menjadi isoeugenol asetat melalui isomerisasi dan asetilasi. Indo. J. Chem. Sci, 3(3): 228-232. Roshana, A.H., S.M. Kazemzadeha, M.R. Vaezia, and A. Shokuhfar. 2011. The effect of sonication power on the sonochemical synthesis of titania nanoparticles. Journal of Ceramic Processing Research. 12 (3), pp. 299303. Setyarini, I.S. 2010. Isomerisasi eugenol menggunakan Mg/Al-hidrotalsit dengan radiasi gelombang mikro. Skripsi – Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Soesanto, H. 2006. Pembuatan isoeugenol dari eugenol menggunakan pemanasan gelombang mikro. Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian, Bogor. Sharma, S.K., V. K. Srivastama, and R.V. Jasra. 2006. Selective double bond isomerization of allyl phenyl ethers catalyzed by ruthenium Metal complexes. J. Mol. Catal. A-Chem, 245 200-209.
44
PEMBUATAN KOMPOSIT POLIPROPILENA-BENTONIT UNTUK PLASTIK BIODEGRADABLE (SYNTHESIS OF BENTONITE – POLYPROPYLENE COMPOSITE USED FOR BIODEGRADABLE PLASTIC)
Deswita, Ari Handayani, dan Evi Yulianti Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir, BATAN Kawasan Puspitek, Serpong 15314, Tangerang Selatan E-mail :
[email protected] Received : 29 Juni 2013; revised : 20 Nopember 2013; accepted : 12 Februari 2014
ABSTRAK Pembuatan komposit polipropilena-bentonit sebagai plastik biodegradable telah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari sifat mekanis dan biodegradasi bahan komposit dari bahan dasar polipropilena dengan filler bentonit dan penambahan agent 3-aminopropyl triethoxysilane (3-APE) sebagai coupling. Karakterisasi sampel dilakukan dengan peralatan Strograph-R1 untuk uji mekanis, Scanning Electron Microscope/Energy Dispersive Spectrophotometry (SEM/EDS) untuk pengamatan struktur mikro dan uji biodegradasi dilakukan dengan cara pemendaman dalam tanah. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kekuatan tarik bahan komposit polipropilena-bentonit tanpa penambahan coupling 3-APE turun seiring dengan penambahan filler bentonit. Penurunan kekuatan tarik ini disebabkan oleh filler bentonit terdistribusi tidak homogen dan cenderung teraglomerasi di dalam bahan. Penambahan coupling agent 3-APE menyebabkan filler bentonit terdistribusi lebih homogen di dalam bahan dan menghasilkan peningkatan kekuatan tarik pada komposit polipropilena-bentonit. Uji biodegradasi di dalam tanah selama 3 minggu menunjukkan bahwa komposit polipropilena-bentonit mengalami perubahan warna dan pengurangan nilai kekuatan tarik. Kata kunci : Polipropilena, Bentonit, Coupling, Plastik biodegradable
ABSTRACT The synthesis of bentonite-polypropylene composite biodegradable plastic materials has been done. The purpose of this research is to study the mechanical and biodegradation properties of a composite with a polypropylene base material and bentonite filler, and addition of 3-aminopropyl triethoxysilane (3-APE) as a coupling agent. Characterization of the samples was done by Strograph-R1 for mechanical testing, Scanning Electron Microscope/Energy Dispersive Spectrophotometry (SEM/EDS) for the observation of the microstructure and biodegradation test by buried in soil. The results showed that the tensile strength of bentonite-polypropylene composite without the addition of 3-APE coupling decrease with the addition of bentonite filler. Decrease in tensile strength is caused by the bentonite filler was not distributed homogeneously and tend to be agglomerated in the material. With the addition of 3-APE coupling agent, the bentonite filler was distributed more homogeneously in the materials and produce increasing a tensile strength of polypropylene-bentonite composite. Test biodegradation in the soil for 3 weeks showed that the polypropylene-bentonite composite become discolored and the tensile strength was decreased. Keywords : Polypropylene, Bentonite, Coupling, Biodegradable plastic
PENDAHULUAN Plastik telah banyak digunakan dalam b e r b a g a i j e n i s p r o d u k u n t u k m em e n u h i keperluan hidup manusia, mulai dari kantong plastik sampai komponen berteknologi tinggi. Bahan plas tik banyak digunak an k arena mempunyai keunggulan dari sifatnya yang
ringan, transparan, tahan air, serta harganya pun relatif murah sehingga terjangkau oleh semua kalangan masyarakat. Disamping sifat unggulnya, plastik masih mempunyai sifat-sifat yang kurang menguntungkan yaitu tidak mudah hancur karena lingkungan, baik oleh cuaca
Pembuatan Komposit Polipropilena-Bentonit………….Deswita dkk
45
hujan (air) dan panas matahari (suhu) ataupun mikroba yang hidup dalam tanah. Kalaupun dapat diuraikan, waktu yang diperlukan sangat lama (Gunawan 2008; Deswita 2010). Pertumbuhan penggunaan plastik di negara maju mencapai 4%, di Indonesia harusnya lebih tinggi lagi karena kebutuhan masih sekitar 10 kg/orang per tahun sementara di negara maju mencapai 50 kg/hari per tahun. Seiring dengan peningkatan penggunaan bahan plastik yang semakin pesat, maka banyak plastik yang diproduksi, berarti banyak juga plastik yang dibuang/terbuang. Hal ini menyebabkan banyaknya timbunan limbah plastik. Membakar limbah plastik mungkin menjadi pilihan selama ini, tetapi hal ini bisa membahayakan. Bahan kimia berbahaya seperti asam klorida dan hidrogen sianida dihasilkan dalam pembakaran plastik (Kartini et al. 2002). Selain dibakar, pilihan lain adalah dengan mendaur ulang plastik. Namun, hal ini juga memiliki banyak kendala seperti dalam pengumpulan dari berbagai macam jenis plastik yang berbeda dan juga tidak semua plastik dapat didaur ulang serta biaya pengolahan limbah begitu tinggi sehingga akan mempengaruhi biaya produksi. Oleh sebab itu, sekarang digunakan bahan alternatif lain untuk membuat material polimer yang ramah lingkungan (biodegradable). Polimer (plastik) biodegradable yang digunakan berasal dari monomer yang biodegradable, seperti polylactic acid (PLA), polyhydroxyalkanates (PHAs), dan trigliserida. Namun, polimer (plastik) biodegradable ini biaya produksinya sangat mahal (Averous 2012). Mengingat hal tersebut diatas, maka dilakukan penelitian pembuatan komposit polimer sebagai bahan baku untuk industri plastik. Komposit polimer merupakan perpaduan antara dua atau lebih bahan yang mempunyai jenis dan sifat yang berbeda, serta sifat akhir komposit yang berbeda dengan sifat komponen penyusunnya. Komposit yang tersusun dari bahan polimer sebagai matriks dan bahan organik/anorganik sebagai pengisi (filler) yang dicampurkan ke dalam matriks, akan menghasilkan komposit dengan sifat akhir yang sangat tergantung pada karakteristik polimer serta distribusi bahan pengisi dalam matriks (Leong et al. 2003). Penambahan filler akan berdampak pada peningkatan sifat kekerasan, kemudahan proses, dan lebih mudah terdegradasi (Muller 2005; Nasrullah 2002; Othman et al. 2004). Filler yang digunakan adalah bentonit berukuran diameter rata-rata 0,34 µm yang memiliki sifat inert, berbentuk serbuk yang sangat halus, dan banyak terdapat di alam.
Namun demikian untuk mendapatkan kekuatan tarik bahan komposit yang optimum, filler yang digunakan harus terdistribusi secara homogen di dalam matriks, karena kekuatan tarik ditentukan oleh karakterisitik dan interaksi filler. Adhesi antar muka dan kekuatan tarik komposit dapat dinaikkan dengan menambahkan suatu zat yang berfungsi sebagai penggandeng (coupling agent) filler dengan matriks. Bahan 3-aminopropyl triethoxysilane (3-APE) merupakan salah satu coupling agent silane yang berbahan dasar silikon. Bentonit sebagai filler juga mengandung silika (Si), diharapkan dapat terbentuk ikatan antara filler dengan matriks polipropilena. Variasi jumlah volume coupling agent yang ditambahkan dimaksudkan agar diperoleh jumlah volume yang tepat untuk ditambahkan dalam komposit dengan hasil kuat tarik yang maksimal. Pada penelitian ini dibuat dua bahan komposit yaitu polipropilena-bentonit dan polipropilena-bentonit-coupling agent 3-APE. Polipropilena yang digunakan adalah tipe melt flow (MF) 35 dan 10 sebagai matriks, bentonit sebagai filler, dan 3-APE sebagai coupling agent. Bahan komposit yang diperoleh berbentuk pelat film yang kemudian dikarakterisasi meliputi uji kuat tarik (tensile strength), kuat luluh (yield strength), dan perpanjangan putus (elongation break) dengan alat strograph-R1, uji kekerasan dengan alat shore A, peralatan Scanning Electron Microscope (SEM) untuk mengamati struktur mikro dan uji degradasi. BAHAN DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah polipropilena (PP) tipe melt flow (MF) 10 dan 35 atau dikenal sebagai PP10 dan PP35, diperoleh dari PT. Tri Polyta Cilegon, Banten. Bentonit (katalog Aldrich), 3-APE, H2N(CH2)3Si(OC2H5)3 atau 3-APE dengan kemurnian 99% (katalog Aldrich). Metode Pembuatan komposit polipropilenabentonit dilakukan dengan cara memasukkan polipropilena ke dalam sebuah labo plastomill (model 30R150), diaduk beberapa saat, kemudian dimasukkan bentonit secara bertaHAp. Proses pencampuran (blending) dilakukan pada suhu 180 C dengan kecepatan putar 40 rpm selama 10 menit. Variasi komposisi perbandingan (dalam persen berat) antara PP (tipe MF 35 dan MF 10) dengan bentonit
J. Kimia dan Kemasan, Vol.37 No.1 April 2015 : 45-52
46
dilakukan berturut-turut adalah 70:30; 60:40; 50:50; 40:60; dan 30:70. Pembuatan bahan komposit polipropilenabentonit-3APE dilakukan dengan cara mencampur bentonit dengan 3-APE yang telah diencerkan dalam etanol. Setiap 20 g bentonit, dicampurkan 3-APE dengan variasi penambahan 10 ml, 20 ml, 30 ml, dan 40 ml dan dikeringkan di dalam oven. Kemudian polipropilena (MF 35 dan MF 10) dicampur dengan bentonit yang telah dicampur dengan coupling agent 3-APE, untuk perbandingan komposisi masing-masing PP35 dan PP10 dengan bentonit 50:50. Polipropilena dimasukkan ke dalam labo plastomill, diaduk beberapa saat kemudian dimasukkan bentonit secara bertaHAp. Proses pencampuran dibiarkan selama beberapa saat. Bahan komposit PP35 dan PP10-bentonit dan komposit PP35 dan PP10-bentonit- 3-APE hasil dari pencampuran, selanjutnya dibuat dalam bentuk plat film. Alat cetak film dimasukkan ke dalam mesin pengepres panas kemudian dimasukkan ke dalam mesin pengepres dingin. Film yang dihasilkan kemudian diuji menggunakan peralatan Strograph-R1 untuk mengetahui sifat mekanis meliputi kuat tarik, perpanjangan putus, digunakan Scanning Electron Microscope (SEM) untuk mengamati struktur mikro sampel dan Alat Shore A Zwick ISO/R 868 digunakan untuk mengetahui kekerasan sampel. TaHAp pengujian biodegradable dilakukan dengan uji dalam tanah dan uji dalam ruangan (sebagai perbandingan). Setiap 3 minggu sekali sampel diambil untuk ditimbang berat dan diuji sifat mekanisnya.
Hal ini disebabkan karena polipropilena PP10 memiliki derajat kristalinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan polipropilena PP35. Semakin besar derajat kristalinitas maka keteraturan atom-atom pada struktur molekul semakin tinggi, sehingga kompatibilitas semakin besar dan menyebabkan kekuatan tarik PP10 tinggi. Selain itu, terbentuknya adhesi antar muka (interface) antara polipropilena dengan bentonit lemah yang disebabkan karena bentonit sebagai filler merupakan lempung hidrofilik dengan layer silikat termasuk hidroksi polar sedangkan polimer polipropilena merupakan matriks hidrofob material non polar, jadi keduanya sangat sulit terdispersi secara homogen (Sarkar 2008). Hal ini telah diamati pada penelitian terdahulu, yaitu pembuatan bahan komposit polipropilena menggunakan filler talk, CaCO3, kaolin, dan serbuk kayu gergaji (Stevens 2001; Syuada 2008), sehingga jelas bahwa banyaknya penambahan filler bentonit membuat komposit PP-bentonit cenderung menjadi bersifat getas, mudah patah (Wisojodharmo 2003). Adhesi antar muka dan kekuatan tarik komposit dapat dinaikkan dengan menambahkan suatu zat yang berfungsi sebagai penggandeng (coupling agent) filler dengan matriks. Pada penelitian ini, digunakan 3-APE yang merupakan coupling agent silane yang berbahan dasar silikon. Variasi jumlah volume yang tepat untuk mendapatkan bahan komposit dengan hasil kuat tarik yang maksimal, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji kekuatan tarik bahan komposit (PP10 dan PP35)-bentonit ditunjukkan pada Gambar 1. Kurva Gambar 1. menunjukkan bahwa kekuatan tarik bahan dasar PP10 dan PP35 sebelum dibentuk bahan komposit 2 masing-masing diperoleh sekitar 364 kg/cm dan 2 300 kg/cm . Namun setelah dibentuk bahan komposit dengan kandungan filler bentonit bervariasi dari 30% sampai 70%, kekuatan tarik dari kedua bahan tersebut cenderung mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya komposisi filler bentonit, baik untuk dari bahan PP10 maupun bahan PP35. Berdasarkan kurva Gambar 1, kekuatan tarik komposit polipropilena-bentonit untuk polipropilena, PP10 lebih tinggi dibandingkan dengan kuat tarik komposit polipropilena PP35.
Gambar 1. Kurva hubungan antara kuat tarik terhadap persentase komposisi filler bentonit
Pembuatan Komposit Polipropilena-Bentonit………….Deswita dkk
47
Gambar 2. Kurva hubungan antara kekuatan tarik komposit PP35-bentonit terhadap kandungan coupling agent 3-APE. Perbandingan PP35 : bentonit adalah 50% : 50%.
Berdasarkan kurva Gambar 2. menunjukkan bahwa kekuatan tarik bahan komposit PP35-bentonit cenderung meningkat dengan menggunakan coupling agent 3-APE hingga komposisi 0,1; namun kemudian turun seiring dengan penambahan coupling agent 3-APE yang lebih besar. Hal ini sangat mungkin menunjukkan adanya ikatan antar muka coupling agent dengan filler dan matriks yang baik, sehingga menyebabkan kekuatan tarik meningkat. Kekuatan tarik yang tertinggi 2 diperoleh sekitar 219 kg/cm , untuk perbandingan kandungan PP35 : bentonit adalah 50% : 50% dengan volume kandungan coupling agent 3-APE sekitar 0,1%. Gambar 3a. menunjukkan kurva hubungan antara komposisi filler bentonit terhadap kekerasan dari masing-masing polipropilena yang digunakan. Pada Gambar kurva 3a. terlihat bahwa kedua bahan komposit PP10-bentonit dan PP35-bentonit, kekerasan meningkat seiring dengan penambahan filler. Banyaknya filler bentonit membuat kepadatan dalam komposit meningkat, sehingga meningkatkan kekerasan bahan. Pada komposit PP35(50)%-bentonit(50%)3-APE(0,05%), kekerasan bahan komposit mengalami sedikit penurunan. Namun kemudian, kekerasan bahan komposit cenderung naik kembali dengan penambahan 3-APE hingga 0,2% (lihat Gambar 3b). Berdasarkan Gambar 3, kekerasan (hardness) bahan komposit PP35-bentonit yang optimum, dengan komposisi 50% : 50%, setelah dicampur dengan 3-APE sebesar 0,1% diperoleh sekitar 93 (shore) sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan kekerasan bahan komposit PP35-bentonit tanpa 3-APE sebesar 94 (shore) (lihat Gambar 3a).
(a)
(b) Gambar 3. Grafik pengaruh komposisi filler bentonit terhadap kekerasan bahan komposit a) PP10 dan 35-bentonit, b) PP35(50%)bentonit(50%)-3APE(0,1%)
Morfologi Komposit Polipropilena-Bentonit Struktur mikro polipropilena MF 10 dan MF 35 atau disingkat PP10 dan PP35 hasil pengamatan dengan SEM ditunjukkan pada Gambar 4a dan Gambar 4b. Berdasarkan Gambar 4a dan Gambar4b, tampak bahwa morfologi PP10 dan PP35 yang berperan sebagai matriks memperlihatkan fase kontinyu yang tunggal. Penambahan filler bentonit ke bahan polipropilena dengan membentuk bahan komposit pilipropilena-bentonit, morfologi bahan dasar semula terlihat mengalami perubahan yang signifikan (lihat Gambar 4c sampai dengan Gambar 4e). Gambar 4c sampai dengan Gambar 4e memperlihatkan distribusi filler bentonit (warna putih) di dalam bahan komposit dengan matriks PP MF 10 dan PP MF 35 dengan ratio kandungan PP : bentonit adalah 50%:50% (Gambar 4c dan Gambar 4d), sedang Gambar 4e dengan pemakaian coupling 3-APE 0,1%.
J. Kimia dan Kemasan, Vol.37 No.1 April 2015 : 45-52
48
Berdasarkan foto SEM dari Gambar 4c dan Gambar 4d, terlihat bahwa filler bentonit terdistribusi tidak homogen, membentuk fase diskontinyu dan cenderung mengalami aglomerasi di dalam bahan komposit PP10-bentonit (Gambar 4c) dan PP35-bentonit (Gambar 4d). Tampak pada Gambar 4c dan Gambar 4d, masih banyak filler bentonit berukuran antara 5 µm sampai 10 µm dan lebih besar bila dibandingkan dengan filler bentonit yang terdistribusi di dalam bahan komposit PP35-bentonit dengan coupling 3-APE yang berukuran lebih kecil dari 5µm (lihat Gambar 4e). Dari hasil pengujian ini jelas bahwa besarnya ukuran partikel filler bentonit yang terdistribusi di dalam bahan komposit tersebut menyebabkan bahan menjadi keras, namun ikatan permukaan antara filler dengan matriks menjadi lemah sehingga akibatnya, kuat tarik
bahan secara keseluruhan rendah, dan bahan menjadi keras dan getas. Hasil pengamatan dengan SEM/EDS menunjukkan bahwa unsur silicon (Si) meningkat dari sekitar 3,9% menjadi sekitar 6,5% di dalam komposit. Demikian pula unsur oksigen (O) juga meningkat dari 26% menjadi 45%. Sebaliknya, unsur karbon (C) berkurang cukup signifikan dari sekitar 68% menjadi sekitar 45% setelah ditambahkan 3-APE. Unsurunsur lain seperti Na, Al, Na, P, Cl, dan Fe tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pengujian biodegradable dilakukan dengan cara disimpan di dalam ruangan (kontrol) selama 6 minggu dan ditimbun dalam tanah selama 3 minggu dan 6 minggu. Pada rentang waktu dari 3 minggu sampai 6 minggu, secara visual sampel sudah mengalami degradasi warna menjadi memudar seperti pada Gambar 5b dan Gambar 5c.
(b)
(a)
(c) (d) (e) Gambar 4. Morfologi SEM a) PP10, b) PP 35, komposit c) PP10-bentonit, d) PP35-bentonit, dan e) PP35(50%)-bentonit(50%)-3 APE 0,1%
(5a)
(5b)
(5c)
(5d)
(5e)
(5f)
Gambar 5. Uji biodegradable terhadap bahan komposit PP-bentonit setelah dilakukan penimbunan a) control, b) 3 minggu, c) 6 minggu dan komposit PP35(50%)-bentonit(50%)-3 APE(0,1%) setelah dilakukan penimbunan d) control, e) 3 minggu, f) 6 minggu
Pembuatan Komposit Polipropilena-Bentonit………….Deswita dkk
49
Degradasi berat seharusnya menyebabkan berat sampel berkurang, akan tetapi dalam hal ini justru menyebabkan sampel bertambah lebih berat. Hal ini disebabkan karena filler bentonit yang digunakan merupakan bahan absorben yang dapat mengikat air. Namun demikian, proses degradasi akan berdampak terhadap perubahan kekuatan tarik, seperti ditunjukkan pada Gambar 6. Kurva perubahan sifat mekanis bahan komposit PP10-bentonit, PP35-bentonit, dan PP35-bentonit dengan coupling 3-APE ditunjukkan pada Gambar 6. Berdasarkan kurva kuat tarik pada Gambar 6 menunjukkan bahwa kekuatan tarik bahan komposit baik PP10-bentonit maupun PP35-bentonit mengalami penurunan, setelah ditimbun selama 3 minggu sampai 6 minggu (lihat Gambar 6a dan Gambar 6b). Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu penimbunan, maka bahan akan semakin terdegradasi. Namun pada sampel kontrol yang didiamkan dalam ruangan, sampel tidak mengalami perubahan warna atau warna tetap sama. Demikian pula untuk komposit PP35-bentonit yang menggunakan 3-APE seperti pada Gambar 6c, kuat tarik bahan komposit berkurang seiring dengan bertambahnya komposisi kandungan coupling, setelah ditimbun selama 3 minggu sampai 6 minggu. Berdasarkan kurva hasil uji kuat tarik tersebut di atas, jelas bahwa penimbunan di dalam tanah selama 3 minggu dan 6 minggu menyebabkan bahan komposit PP10 dan PP35 dengan filler bentonit telah mengalami proses degradasi, terutama pada komposit PP35 dengan filler bentonit yang menggunakan coupling 3-APE. Hal ini karena plastik dan komposit sensitif terhadap perubahan lingkungan, kekuatan tarik (tensile strength) berubah-ubah sesuai dengan kondisi lingkungannya, oleh uap air atau kelembaban. Dari kurva hasil uji kekerasan Gambar 7a dan Gambar 7b, terlihat bahwa komposit PP10 dan PP35 dengan filler bentonit mengalami penurunan cukup tajam terhadap sampel awal, setelah ditimbun di dalam tanah selama 3 minggu sampai 6 minggu. Namun untuk komposit PP35-bentonit yang menggunakan coupling 3-APE, kekerasan bertambah untuk komposisi coupling rendah yaitu 0,05%. Setelah 3 minggu ditimbun, kekerasannya sedikit mengalami penurunan untuk kandungan coupling 3-APE sebesar 0,1% dan setelah ditimbun selama 6 minggu untuk kandungan coupling 3-APE 0,15% dan 0,20% kekerasan mengalami penurunan terhadap sampel awal (lihat Gambar 7c).
(6a)
(6b)
(6c) Gambar 6. Kurva pengaruh komposisi filler bentonit vs kuat tarik a) komposit PP10-bentonit, b) komposit PP35-bentonit, dan c) pengaruh komposisi coupling 3-APE vs kuat tarik komposit PP35 (50%) bentonit (50%) - 3 APE
J. Kimia dan Kemasan, Vol.37 No.1 April 2015 : 45-52
50
Namun seiring dengan bertambahnya filler bentonit dalam komposit, kekerasan semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh filler bentonit yang bersifat sebagai absorben sehingga dapat menyerap mineral dan air dari dalam tanah, yang bisa meningkatkan kekerasan bahan.
Gambar kurva pada Gambar 7 terlihat naik turun kurang stabil, hal ini disebabkan oleh kekerasan yang tidak bisa diukur dengan tepat dan juga disebabkan distribusi ukuran dalam komposit yang kurang merata. Dari hasil uji mekanis tersebut di atas menunjukkan bahwa komposit dari matriks polipropilena, PP10, dan PP35 dengan filler bentonit serta menggunakan coupling agent 3-APE telah mengalami proses degradasi setelah ditimbun dalam tanah selama 3 minggu dan 6 minggu. Hal ini diperlihatkan oleh semakin menurunnya kuat tarik dan kekerasan bahan komposit polipropilena-bentonit dengan ataupun tanpa pemakaian coupling agent 3-APE. Namun Kekuatan tarik bahan pada sampel kontrol yang didiamkan dalam ruangan selama 3 minggu sampai 6 minggu hampir sama dengan kekuatan tarik awal. KESIMPULAN
(7a)
(7b)
Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan dan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa bahan komposit berbasis matriks polipropilena tipe melt flow 10 (PP10) dan melt flow 35 (PP35) dengan filler bentonit serta menggunakan coupling agent 3-APE telah berhasil dibuat. Sifat mekanis komposit PP10 dan PP35 dengan filler bentonit cenderung turun dengan bertambahnya kandungan bentonit, namun kekerasan bahan komposit tersebut bertambah. Pengaruh penambahan filler bentonit dalam komposit dapat diketahui bahwa semakin banyak filler yang ditambahkan, maka sifat mekanisnya semakin menurun, kekerasan semakin meningkat dan bahan akan semakin mudah terdegradasi. Komposit dengan PP MF 10 mempunyai kekuatan tarik yang lebih tinggi daripada komposit dengan PP MF 35. Pengaruh penambahan coupling agent dalam komposit dapat meningkatkan kekuatan tarik dan mempercepat terjadinya degradasi. Kekuatan tarik maksimal diperoleh pada penambahan coupling agent komposisi 0,1% w/w. DAFTAR PUSTAKA
(7c) Gambar 7. Kurva pengaruh komposisi filler bentonit vs kekerasan a) komposit PP10-bentonit, b) komposit PP35-bentonit, dan c) pengaruh komposisi coupling 3-APE vs kekerasan komposit PP35 (50%) bentonit (50%) – 3 APE
Gunawan, I., Deswita, A. Karo-Karo, dan Sudirman. 2008. Sintesis dan karakterisasi komposit high density polyethylene-pati tapioka. Jurnal Sains Materi, Desember : 5-8. Deswita, A. Karo-Karo, G.T. Sulungbudi, dan Sudirman. 2010. Sintesis dan karaterisasi polipropilena dengan filler
Pembuatan Komposit Polipropilena-Bentonit………….Deswita dkk
51
tepung tapioka untuk bahan kemasan. Jurnal Sains Materi Indonesia 12 (1) : 24-29. Kartini, R., H. Darmasetiawan, A. Karo-Karo, dan Sudirman. 2002. Pembuatan dan karakterisasi komposit polimer berpenguat serat alam. Jurnal Sains Materi Indonesia 3 (3) : 30-38. Averous, L. and E. Pollet. 2012. Environmental silicate nano-biocomposites. green energy and technology. SpringerVerlag London : 13-39. Leong, W.Y., M.B. Abu Bakar, Z.A. Mohd Ishak, A. Arifin, and B. Pukanszky. 2003. Comparison of the mechanical properties and interfacial interaction between talc, kaolin, and calcium carbonate filled polypropylene composite. Journal of Applied Polymer Science 91:3315-3326. Lever, A. F. 1971. The plastic manual. The Scientific press London. Muller, R. J. 2005. Biodegradability of polymer : regulation and methods for testing. Gesellschaft fur Biotechnologische Forschung mbH, Braunschweig, Germany. 365-374. Nasrullah, F. 2002. Pemanfaatan limbah serbuk kayu gergaji sebagai filler pada komposit poliester. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Syahkuala, Aceh. Indonesia. Othman, N., H. Ismail, and M. Jaafar. 2004. Preliminary study on application of bentonite as a filler in polypropylene composites, Polymer-plastics technology and engineering, 43: 713-730. Pasaribu, N. 2004. Berbagai ragam pemanfaatan polimer. Jurusan Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Sumatera Utara, Medan. Indonesia. Sarkar, M., K. Dana, S. Ghatak, and A. Banerjee. 2008. Polypropylene-clay composite prepared from indian bentonite. Bull. Mater. Sci 31: 23-28. Stevens, M. 2001. Kimia polimer, diIndonesiakan oleh Iis Sopyan dan Pradnya Paramita, Jakarta. Indonesia. Syuhada, R. Wijaya, Jayatin, dan S. Rohman. 2009. Modifikasi bentonit (clay) menjadi organoclay dengan penambahan surfaktan. Jurnal Nanosains dan Nanoteknologi, 2(1) : 48-51. Wisojodharmo, L. A. 2003. Pembuatan pengemas plastik ramah lingkungan (biodegradable) dari bahan campuran pati tapioka-polietilen. Prosiding Seminar Seknologi untuk negeri, 1:361-370.
J. Kimia dan Kemasan, Vol.37 No.1 April 2015 : 45-52
52
SIFAT FISIS DAN MEKANIS KOMPOSIT HIGH DENSITY POLYETHYLENE (HDPE) – HYDROXYAPATITE (HAp) DENGAN TEKNIK IRADIASI GAMMA (PHYSICO AND MECHANICAL PROPERTIES OF HIGH DENSITY POLYETHYLENE (HDPE)-HYDROXYAPATITE (HAp) COMPOSITES USING GAMMA IRRADIATION TECHNIQUES)
Sulistioso Giat S1, Sudirman1, Devi Indah Anwar2, F.Lukitowati3, dan Basril Abbas3 1)
Pusat Sains dan Teknologi Bahan Maju (PSTBM) – BATAN, Serpong 2) Universitas Muhammadiyah, Sukabumi 3) Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR)-BATAN E-mail :
[email protected]
Received : 5 Januari 2015; revised : 23 Januari 2015; accepted : 29 Januari 2015
ABSTRAK High Density Polyethylene (HDPE) sebagai polimer sintetis dengan kerapatan komposit yang tinggi dan hydroxyapatite (HAp) merupakan komponen tulang yang penting. Komposit HDPE yang berfungsi sebagai matriks dengan HAp selayaknya dapat membentuk tulang sintetik. Komposit HDPE-HAp dengan rasio 2/1 : 3/1 : 4/1 (b/b,%) dikompaksi dan dipanaskan pada suhu 180 °C, selanjutnya diuji efektivitas radiasi gamma pada dosis 25 kGy dan 50 kGy. Komposit hasil iradiasi diukur kekerasan, perubahan struktur kimia, morfologi, sifat termal, dan kristalinitas menggunakan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), Scanning Electron Microscope (SEM), Differential Scanning Calorimetry (DSC), dan X-Ray Diffraction (XRD). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa kekerasan komposit meningkat dari nilai 65 shore A hingga 69,5 shore A dengan waktu pemanasan 1 jam, 2 jam, dan 86 shore A dengan dosis radiasi 50 kGy untuk sampel komposit HDPE-HAp (2:1). Berdasarkan pengamatan dengan SEM menunjukkan permukaan komposit yang kompak dan HAp terikat secara fisik berdasarkan pengukuran dengan XRD dan DSC. Pengukuran FTIR menunjukkan tidak terjadinya perubahan spektrum komposit hasil iradiasi. Iradiasi gamma dapat meningkatkan sifat mekanis komposit HDPE-HAp. Kata kunci : HDPE, HAp, Iradiasi gamma, Tulang sintetik
ABSTRACT High Density Polyethylene (HDPE) is high density of synthetic polymer and hydroxyapatite (HAp) as important bone component, the composite of them will made a synthetic bone, with HDPE as matrix and HAp as filler. HDPE/HAp composite with composition variation as follows 2/1 : 3/1 : 4/1 (b/b,%) compacted and heating at temperature 180 °C, and then gamma irradiated at dose 25 kGy and 50 kGy. Characterized of these composite sample, was covering of hardness, chemical structure, morphology, thermal property, and degree of crystalinity, using Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), Scanning Electron Microscope (SEM), Differential Scanning Calorimetry (DSC), dan X-Ray Diffraction (XRD). The result shows increasing hardness from 65 shore A to 69,5 Shore A by heating 1 hours, 2 hours, and 86 Shore A after irradiated by 50 kGy, for sample at composition HDPE:HAp (2:1). By SEM investigated, appear HAp physically bundle with matrix. Analysis by XRD revealed phase of HAp and from DSC analysis the melting point of the sample increase. From FTIR analysis, shows there is no change of composite spectrum after irradiated. The conclusion is gamma iradiation can increase of mechanical property without change of chemical structure. Keywords : HDPE, HAp, Gamma irradiation, Synthetic bone
Sifat Fisis dan Mekanis High Density Polyethylene………………….Sulistioso dkk
53
PENDAHULUAN Penelitian dengan topik mengenai pengembangan material implan berbasis polimer sebagai biomaterial untuk prostetik, berkembang sejalan dengan semakin meningkatnya penelitian dan pengembangan biomaterial. Aplikasi komposit polimer di bidang medis salah satunya digunakan sebagai bone plate dan screw, untuk fiksasi tulang yang retak dan meregenerasi tulang yang patah kembali pada kondisi semula dengan mempertahankan bentuknya selama penyembuhan (Kohoe S 2008; Darmawati et al. 2008). Hydroxyapatite (HAp) dengan rumus molekul Ca10(PO4)6(OH)2 yang digunakan pada penelitian ini, disintesis dari sisik ikan dan memiliki dimensi panjang dengan kisaran 20 nm hingga 40 nm, lebar 20 nm dan tebal 1,5 nm hingga 5 nm, berbentuk jarum (needle like). HAp merupakan komponen mineral yang berperan penting pada tulang dan gigi. HAp dapat dibuat dari bahan organik atau bahan alam, mempunyai kimiripan sifat kimia dengan tulang. HAp berbasis bahan alam telah terbukti bersifat biocompatible, bioaktif, dan osteokonduktif serta ketersediaan bahan bakunya melimpah (Wang 2004). HDPE (High Density Polyethylene) merupakan salah satu jenis polimer dengan kerapatan tinggi bersifat fleksibel, tahan benturan, tahan suhu rendah, bahkan tahan suhu air beku yang potensial sebagai kandidat matriks pada pembuatan komposit pengganti tulang. Selain itu, HDPE tahan terhadap bahan kimia dan harganya yang ekonomis. Oleh karena itu, gabungan (blend) HAp dengan
HDPE diharapkan dapat membentuk tulang sintetik (Sulistioso et al. 2012; Janaki et al. 2008). Sintesis komposit HDPE-HAp dilakukan dengan metode kompaksi dan pemanasan yang selanjutnya diradiasi sinar gamma pada dosis tertentu, dengan tujuan meningkatkan kekerasan dari komposit. Radiasi berfungsi sebagai pemecah rantai polimer dan penghasil radikal bebas yang dapat menyebabkan pembentukan ikatan silang (cross linking) antara molekul polietilen. Oleh karena itu dengan meningkatnya dosis iradiasi, sifat mekanik komposit diharapkan meningkat (Sulistioso et al. 2012). Demikian juga dengan penambahan hydroxyapatite diharapkan kekerasan komposit HDPE/HAp akan naik, selain itu penambahan HAp juga ditujukan untuk menaikkan sifat biokompatibilitas. Pada penelitian ini dilakukan iradiasi pada komposit HDPE-HAp menggunakan sinar gamma dengan dosis 25 kGy dan 50 kGy. Gambar morfologi dari HAp yang digunakan pada penelitian ini, yang difoto dengan Transmission Electron Microscopy (TEM), ditampilkan pada Gambar 1. Karakterisasi komposit HDPE-HAp hasil sintesis, analisis fase dengan XRD, dan identifikasi gugus fungsi yang terbentuk pada sampel dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), untuk analisis sifat termal komposit digunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC), serta analisis sifat mekanik dilakukan dengan uji kekerasan dengan shore skala A.
Gambar 1. Foto hydroxyapatite nano partikel menggunakan TEM
J. Kimia dan Kemasan, Vol.37 No.1 April 2015 : 53-60
54
BAHAN DAN METODE
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahan High Density Polyethylene (HDPE) dan hydroxyapatite berukuran nanometer.
Uji Kekerasan Shore A Sifat mekanik komposit HDPE-HAp menentukan kualitas dari aplikasi komposit tersebut. Pada penelitian ini dilakukan studi pengaruh waktu pemanasan, rasio HDPE : HAp dan radiasi sinar gamma terhadap sifat mekanik komposit. Analisis sifat mekanik sampel ekivalen dengan hasil kekerasan, yang diperoleh dari uji kekerasan menggunakan alat Zwick shore A, nilai kekerasan ditampilkan pada Gambar 2. Terlihat bahwa dengan meningkatnya rasio HAp terhadap HDPE disertai meningkatnya waktu pemanasan, kekerasan komposit HDPE-HAp meningkat. Nilai kekerasan pada pemanasan selama 2 jam, memberikan nilai kekerasan sampel komposit lebih besar, pada semua rasio komposit dibandingkan pemanasan 1 jam. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya ikatan antar molekul HDPE dan HAp sebagai filler terikat di antara molekul-molekul HDPE, sehingga mengakibatkan berkurangnya porositas bahan dan menyebabkan komposit menjadi lebih kompak. Iradiasi sinar gamma terhadap sampel komposit HDPE-HAp, dilakukan pada rasio komposisi HDPE : HAp (2:1), karena pada rasio ini menunjukkan kekerasan yang paling tinggi. Grafik perbandingan nilai kekerasan dengan dosis radiasi ditampilkan pada Gambar 3. Terlihat bahwa dengan meningkatnya dosis iradiasi dari 0 kGy hingga 50 kGy, kekerasan komposit HDPE-HAp (2:1) meningkat dari 78 shore A hingga 86 shore A.
Sintesis Komposit HDPE-HAp Metode Kompaksi dan Pemanasan HDPE dan HAp dibuat dengan komposisi 2:1; 3:1; 4:1 (% w/w) dan dimasukkan ke dalam cetakan berbentuk silinder dengan diameter 15 mm masing-masing 5 g. Kemudian sampel tersebut dikompaksi dengan tekanan 2 4000 kg/cm , setelah itu dipanaskan dalam furnace pada suhu 180 °C dengan waktu pemanasan 60 menit dan 120 menit. Iradiasi Gamma Komposit HDPE-HAp Sampel HDPE-HAp diradiasi dengan radiasi sinar gamma (γ) dengan sumber yang berasal dari radioisotop Co60. Iradiasi dilakukan dengan alat Iradiator Karet Alam (IRKA) dengan dosis 25 kGy dan 50 kGy pada laju dosis 7,5 kGy/jam. Uji Kekerasan Sampel komposit HDPE-HAp diletakan di atas meja atau tempat yang rata kemudian alat uji kekerasan shore A diletakan di atas sampel. Beban seberat 1 kg diletakkan di atas alat tersebut selama 15 detik, nilai kekerasannya ditunjukan pada skala, jika jarum jam penunjuk sudah mencapai posisi stabil. Analisis Fase dengan XRD Analisis fase dari sampel komposit HDPE/HAp menggunakan XRD pada rentang sudut difraksi (2θ) dari 10° sd 70°. Karakterisasi Termal dengan DSC Sifat termal sampel komposit HDPE-HAp dianalisis dengan Differential Scanning Calorimetry (DSC). Sampel di scanning dari suhu ruang hingga suhu 250 °C dengan heating rate 20°C/menit.
80
Nilai kekerasan (shore A)
Metode
1 jam 60
2 jam
40
20
0 0
Analisa Gugus Fungsi dengan FTIR Bahan dasar HDPE, HAp, dan komposit HDPE-HAp sebelum dan setelah iradiasi di karakterisasi menggunakan FTIR. Pengujian dilakukan pada bilangan gelombang -1 -1 4000 cm sampai dengan 400 cm .
1
2
3
4
5
Rasio HDPE/HAp (%b/b)
Gambar 2. Nilai kekerasan komposit terhadap rasio HDPE-HAp pada pemanasan 1 jam dan 2 jam
Sifat Fisis dan Mekanis High Density Polyethylene………………….Sulistioso dkk
55
Nilai kekerasan (shore A)
100 1 jam
80
2 jam 60 40 20 0 0
25
50
Dosis (kGy)
Gambar 3. Pengaruh dosis iradiasi terhadap nilai kekerasan komposit HDPE-HAp (2:1) pada pemanasan 1 jam dan 2 jam
Hal ini diasumsikan terjadi akibat terbentuknya ikatan taut silang (cross linking) antar alkil radikal polimer dengan meningkatnya dosis iradiasi hingga 50 kGy, sehingga ikatan rantai HDPE menjadi lebih kuat dan kekerasan komposit meningkat. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan Silvo et al. (2002) yang menyatakan bahwa kekerasan permukaan polimer polietilena meningkat dengan meningkatnya dosis radiasi. Analisis Fase dengan XRD Karakterisasi XRD digunakan untuk menganalisis fase dan derajat kristalinitas komposit HDPE-HAp sebelum dan setelah iradiasi gamma. Berdasarkan pola difraktogram pada Gambar 4 menunjukan fase spesifik untuk polimer HDPE pada sudut 2θ = 21.5°, 23.95°, dan 26.05°. Hal ini sesuai dengan penelitian Kim et al. (2010) bahwa fase HDPE spesifik pada
2θ = 21.44°, 23.83°, serta Jaggi et al. (2012) pada 2θ = 26, 44° dan 21.39°, 23.56°, dan 36,13°. Pola XRD dari fase HAp (Gambar 4) adalah pada sudut 2θ = 25.85°, 26.22°, 32.1°, 36.4°, dan 39,85°. Data ini sesuai dengan database Joint Committee Powder Diffraction Standards (JCPDS) nomor 50-0584. Pola difraksi komposit HDPE-HAp (2:1) setelah iradiasi sinar gamma pola difraksi dari sampel ditunjukan pada Gambar 5. Fase HDPE menunjukan penurunan intensitas seiring dengan meningkatnya dosis radiasi. Penurunan intensitas pola difrasi HDPE pada 3850 cps, 3773 cps, dan 2892 cps disebabkan oleh terjadinya ikatan silang (cross linking) pada rantai polimer HDPE sehingga mengalami perubahan fase dan fase kristalin menjadi fase amorf. Pada pola difraksi sampel setelah iradiasi tampak bahwa fase kristalin dari HDPE intensitasnya menurun, hal disebabkan karena fase amorfnya meningkat. Sedangkan pada fase HAp tidak mengalami perubahan pola difraksi. Hal ini disebabkan karena HAp merupakan senyawa biokeramik yang stabil. Penentuan derajat kristalinitas menggunakan metode gunting timbang yang ditampilkan pada Gambar 6, menunjukkan bahwa terjadi penurunan derajat kristalinitas komposit HDPE-HAp. Penurunan derajat kristalinitas tersebut disebabkan oleh terjadinya cross linking pada HDPE yang menyebabkan terjadinya perubahan fase HDPE dari fase kristalin ke fase amorf.
Gambar 4. Pola difraksi sinar - X sampel HDPE/HAp (2:1)
J. Kimia dan Kemasan, Vol.37 No.1 April 2015 : 53-60
56
Derajat kristalinitas (%)
Gambar 5. Pola difraksi komposit HDPE-HAp setelah diradiasi (a) 0 kGy; (b) 25 kGy; (c) 50 kGy
60
40
20
0 0
25
50
Dosis (kGy)
Gambar 6. Derajat kristalinitas terhadap dosis radiasi
Analisis Termal dengan DSC Karakterisasi DSC dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan HAp dan dosis radiasi terhadap titik leleh dan entalpi peleburan polimer HDPE. Analisis termal sampel komposit dilakukan dengan alat DSC pada rentang suhu 25 °C sampai 180 °C. Grafik yang dihasilkan oleh DSC dari sampel komposit HDPE-HAp, memberikan data nilai titik leleh dan entalpi peleburan ditampilkan pada Gambar 7a, Gambar 7b, Gambar 7c, Gambar 7d, dan Tabel 1. Terlihat bahwa penambahan filler HAp dan iradiasi sinar gamma pada sampel komposit HDPE-HAp tidak menghasilkan perubahan pada titik leleh, hal ini disebabkan karena filler HAp tidak berinteraksi secara kimia dengan HDPE, maka keberadaan HAp tidak berkontribusi pada sifat termal dari HDPE. Sehingga titik lebur yang terukur hanya titik lebur HDPE (Tabel 1). Demikian juga dengan entalpi peleburan, perubahan pada nilai entalpi peleburan dipengaruhi oleh sifat kritalinitas dari HDPE, setelah sampel komposit HDPE-HAp diiradiasi, maka terjadi ikatan silang (cross linking) yang
menyebabkan struktur HDPE menjadi semikristalin. Struktur semikristalin akibat iradiasi menjadikan nilai kekerasan HDPE naik (Tabel 2). Karena ikatan rantai HDPE menjadi semakin pendek sehingga terjadi interlock (saling mengunci) maka partikel-partikel HDPE semakin sulit untuk bergulir, maka kekerasannya menjadi naik. Keberadaan filler HAp, walaupun tidak berinteraksi secara kimia dengan HDPE, namun berkontribusi pada kenaikan nilai kekerasan komposit HDPE-HAp karena butir butir HAp akan menyusup diantara rantai polimer, menjadikan penghalang untuk rantai polimer dapat bergerak dengan bebas. Keberadaan pencampuran HAp juga meningkatkan biokompatibilitas sampel komposit HDPE-HAp. Entalpi peleburan menunjukkan besarnya energi yang dibutuhkan untuk mengubah fase suatu zat dari wujud padat ke wujud cair. Entalpi peleburan (ΔH) mengalami penurunan dengan berkurangnya derajat kristalinitas. Entalpi peleburan (ΔH) dari komposit HDPE/HAp setelah diiradiasi mengalami penurunan, hal ini
Sifat Fisis dan Mekanis High Density Polyethylene………………….Sulistioso dkk
57
disebabkan oleh fase kristalinitas HDPE berkurang akibat adanya ikatan silang (cross linking). Energi yang digunakan untuk merusak susunan partikel dengan fase kristalin lebih tinggi daripada energi yang dibutuhkan untuk merusak fase amorf. Susunan partikel berhubungan dengan ikatan antar partikel. Ikatan antar partikel kristal lebih kuat daripada ikatan partikel amorf sehingga memerlukan energi yang lebih tinggi untuk memutuskan ikatannya. Semakin tinggi derajat kristalinitasnya, maka semakin besar energi yang dibutuhkan untuk mengubah bahan tersebut dari padat menjadi cair (Jaggi et al. 2012; Yulindo 2008). Ekivalen dengan proses iradiasi yang menyebabkan terjadinya ikatan silang, sehingga kekerasan HDPE naik, maka nilai entalpi peleburan dari sampel komposit setelah diiradiasi yang menurun, menunjukkan derajat kristalinitas yang menurun (Gambar 7c,
Gambar 7d), diikuti dengan kenaikan nilai kekerasan. Karakterisasi Gugus Fungsi dengan FTIR Karakterisasi FTIR bertujuan untuk mengetahui gugus fungsi pada komposit HDPEHAp yang terbentuk dengan adanya radiasi sinar gamma. Molekul HDPE memiliki vibrasi yang spesifik yaitu pada bilangan gelombang -1 -1 -1 -1 2915 cm , 2850 cm , 1467 cm , dan 720 cm (Yulindo 2008; Ayidin 2010) sedangkan gugus fungsi yang teridentifikasi pada HAp diantaranya 3adalah gugus fosfat (PO4 ) pada bilangan 1 1 gelombang 1024 cm sampai 1092 cm , gugus 2karbonat (CO3 ) pada bilangan gelombang -1 -1 1420 cm dan 1456 cm , dan gugus hidroksil (OH ) pada bilangan gelombang sekitar -1 -1 3576 cm dan 632 cm (Arunseshan et al. 2013; Maisara et al. 2011). Pita vibrasi komposit HDPE-HAp ditampilkan pada Tabel 2.
(A)
(B)
(C) (D) Gambar 7. Termogram hasil pengukuran menggunakan DSC (A) HDPE; (B) HDPE-HAp dosis radiasi 0 kGy; (C) HDPE-HAp dosis radiasi 25 kGy; (D) HDPE-HAp dosis radiasi 50 kGy
J. Kimia dan Kemasan, Vol.37 No.1 April 2015 : 53-60
58
Ikatan silang (cross linking) rantai HDPE dapat diamati pada spektrum FTIR (Gambar 8). Spektrum FTIR vibrasi ulur simetri C-H pada panjang gelombang 2924.60 cm dan vibrasi asimetri C-H pada panjang gelombang 2846.9947 cm berubah menjadi 2913.5142 cm dan 2849.7663 cm. Selain pengaruh radiasi Gamma, spektrum FTIR juga memberikan
informasi sifat reaksi antara komposit HDPEHAp. Spektrum FTIR menyatakan bahwa filler HAp terikat oleh matrik HDPE secara fisika. Hal ini dapat terlihat pada puncak khas masingmasing spektrum HAp dan HDPE dan tidak ditemukan pita serapan baru sebagai molekul baru yang terbentuk.
Tabel 1. Hasil analisis termal komposit HDPE pemberian radiasi pada dosis 0 kGy sampai 50 kGy Rasio HDPE/HAp (5 b/b) HDPE 2:1 2:1 2:1
o
Dosis iradiasi (kGy)
Titik leleh ( C)
0 0 25 50
131,20 131.54 131.97 131.97
Entalpi peleburan (∆H, kJ/g) 198.4266 163.7271 160.3506 149.6546
Tabel 2. Pita-pita vibrasi pada komposit HDPE/HAp Bilangan gelombang -1 (cm ) 2924.60 2913.5 2846.99 2844.22 1596.98 1475.03 1466.71 1037.11 1039.88 829.24 837.55 715.59 721.14 632.45 629.68
Dosis Radiasi (kGy) 0 50 0 50 50 0 50 0 50 0 50 0 50 0 50
Vibrasi
Molekul
Ulur simetri C-H
HDPE
Ulur asimetri C-H Ulur asimetri CO3
2-
HAp HDPE
Ulur C=C Ulur asimetri PO4
HDPE
3-
Tekuk simetri CO3
2-
HAp HAp
Goyang (CH2)n
HDPE
OH luar bidang
HAp
Gambar 8. Spektrum FTIR 0 kGy dan 50 kGy
Sifat Fisis dan Mekanis High Density Polyethylene………………….Sulistioso dkk
59
KESIMPULAN Sintesis komposit HDPE-HAp dilakukan dengan metode kompaksi cold compressing dan pemanasan. Rasio komposit HDPE-HAp adalah 2:1; 3:1; dan 4:1 (% w/w). Rasio HDPE-HAp 2:1 memiliki sifat bahan yang lebih keras dengan dosis radiasi 50 kGy. Pola difraktogram XRD o o o HDPE pada sudut 2θ = 21.5 , 23.95 , dan 26.05 o o o o dan HAp 25.85 , 26.22 , 32.1 , 36.4 , dan o 39,85 . Adanya filler HAp dan radiasi gamma tidak memberikan pengaruh secara signifikan pada titik leleh HDPE, karena interaksi filler HAp dengan matriks HDPE bersifat reaksi fisika, tetapi entalpi mengalami penurunan dari 198.4266 J/g menjadi 149.6546 J/g. Penurunan entalpi sampel sesuai dengan penurunan derajat kristalinitas HDPE akibat sampel mengalami cross linking, sehingga mengalami perubahan fase dari fase kristal menjadi fase semi kristalin. Dari hasil data XRD dan FTIR menunjukkan ikatan filler HAp dengan matrik HDPE hanya bersifat ikatan fisik saja. DAFTAR PUSTAKA Arunseshan, C., S. Suresh, and D. M. Arivuoli. 2013. Synthesis and characterization of nano-hydroxyapatite (n-HAp) using the wet chemical technique. International Journal of Physical Sciences 8(32): 1639-1645. Ayidin, E. 2010. Biodegradable polymerhydroxyapatite nanocomposites for bone plate applications. Middle East Technical University: Doctor of Philosophy in Biotechnology Department. Darmawati M.Y., O. Bretcanu, and A.R. Boccaccini. 2008. Polymer-bioceramic composite for tissue engineering scaffold. Journal Material Sciences. 43: 4433-4442.
Jaggi H.S., Y. Kumar, B. Satapathy, A.R. Ray, and A. Patnaik. 2012. Analytical interpretations of structural and mechanical response of high density polyethylene/hydroxyapatite biocomposites. Journal Materials and Design. (36): 757–766. Janaki, K., S. Elamathi, and D. Sangeetha. 2008. Development and characterization of polymer ceramics composites for orthopedics applications. Trends Biomaterial Artif.Organs : 169-178. Kehoe , S. 2008. Optimisation of hydroxyapatite (HAp) for orthopaedic application via the chemical precipitation technique. School of Mechanical and Manufacturing Engineering Dublin City University. Maisara, S.M., Arsad, P.M. Lee, and L.K. Hung. 2011. Synthesis and characterization of hydroxyapatite nanoparticles and βTCP particles. 2nd International Conference on Biotechnology and food science IPCBEE. Silvo, L.D., M.J. Dalby, and W. Bonfield. 2002. Osteoblast behaviour on HA/PE surface with different HA volumes. Biomaterials. 23: 101–107. Sulistioso G. S., D. Ramadhani, M. Christina, N. Marnada. 2012. Pengaruh Radiasi Gamma terhadap sifat HDPE untuk Tibial tray. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 8 (2): Yulindo, Y. 2008. Migrasi Dioktil Ftalat dan Etilen Glikol ke dalam Stuktur Poliuretan dengan Memanjang Rantai Diamina Aromatik dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Material. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Wang, M. 2004. Bioactive Ceramic-Polimer Composites for Tissue Replacement. Biomaterials Engineering and processing. School of Mechanical and Production Engineering. Nanyang Tech. University Singapore.
J. Kimia dan Kemasan, Vol.37 No.1 April 2015 : 53-60
60
APPLICATION OF PHASE CHANGE MATERIALS (PCM’S) TO PRESERVE THE FRESHNESS OF SEAFOOD PRODUCTS (APLIKASI PHASE CHANGE MATERIALS (PCM’S) UNTUK MEMPERTAHANKAN KESEGARAN PRODUK MAKANAN LAUT)
Wiwik Pudjiastuti, Arie Listyarini, and Arief Riyanto Center for Chemical and Packaging Ministry of Industry Jl. Balai Kimia No.1, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia E-mail :
[email protected] Received : 27 Januari 2015; revised : 27 Maret 2015; accepted : 30 Maret 2015
ABSTRACT The application of Phase Change Materials (PCMs) as one of latent heat energy storage materials in smart cold system has been investigated for preserving a freshness of seafood products. In this investigation, PCMs was installed on Expanded Polystyrene (EPS) box system as insulated container. The freshness of the seafood product was shown by the time of keeping temperature during storage or distribution. Keeping temperature time of smart cold system using PCMs was compared to conventional cold system using ice cubes. The result shows that EPS box system using PCMs can prolonged the keeping temperature time and reached colder temperature than the conventional one. Microbiology test of products was monitored to prove that products occured no changes in quality. Keywords : Phase Change Materials (PCMs), EPS box
ABSTRAK Aplikasi Phase Change Materials (PCMs) sebagai salah satu material penyimpan energi laten pada sistem pendingin digunakan untuk mempertahankan kesegaran produk. Pada penelitian ini, PCMs diterapkan pada sistem kotak expanded polistirena (EPS) sebagai kontainer berinsulasi. Kesegaran produk ditunjukkan oleh tercapainya waktu suhu simpan selama penyimpanan atau distribusi. Waktu suhu penyimpanan dari sistem pendingin yang menggunakan PCMs lebih rendah dibandingkan dengan pendinginan konvensional yang menggunakan es balok. Hasil ini menunjukkan bahwa sistem kotak EPS yang menggunakan PCMs dapat memperpanjang waktu suhu simpan dan mencapai suhu yang lebih rendah dibandingkan sistem pendingin konvensional. Uji mikrobiologi dilakukan untuk membuktikan tidak terjadinya perubahan pada kualitas produk. Kata kunci : Phase Change Materials (PCMs), Kotak EPS
INTRODUCTION Indonesia is a tropical country with o o ambient temperature ranging from 20 C to 38 C all the year. Whereas, kinds of perishable food produced are fisheries, dairy products etc. These kind of products are needed to be preserved in low temperature which can ruined by high temperature. Indonesia is one of the largest producer of fisheries products because it has a very extensive marine areas, one of the potential of marine fisheries is blue fin trevally and shrimp. In the period 2008 until 2012 the development of fish production in Indonesian reachs 5,502,622 tons in 2008 and 5,435,632 tons in 2012 (anonymous 2015).
Perishable products have a shelf life of relatively limited. As long their shelf life, value of the perishable products continuously declined that causes a loss. Loss of the quality and quantity of seafood products starting from production to retail reach to 20% in developing countries and 10% in developed countries (Aung et al. 2014). Besides efficient and effective, the process of transportation and distribution chain of perishable products should be able to supply maintain shelf life, as well as the quality of the product. Management temperature contribute significant maintain for shelf life, quality, and the
Application Off Phase Change Materials (PCMs)………………Wiwik Pudjiastuti dkk
61
safety of perishable products (Margeirsson 2009; Margeirsson 2011). In the perishable products, temperature stability is able to minimize the risk of decay due to the slowness the growth of the microorganisms. In addition to the economical, the stability of the temperature also has a safety for perishable products. Frozen food or cold system transportation and storage in an exellent method to preserve the taste, texture, nutritional value, and safety of food. Therefore, storage and transportation of food at low temperatures play an important role in the cold chain (Oro et al. 2012). Generally, frozen food must be kept below -18 °C and the temperature should be maintained below the commercial system using ice cubes. It is well known that temperature fluctuations during the storage in ice cubes could cause negative dramatic effect to the quality of the frozen food. PCMs (Phase Change Materials) is a material with a high melting heat, melt and freeze at a certain temperature and has the ability to remove or produce a high enough energy. PCMs fairly broad application, especially for the cooling process. PCMs has a melting point range from -33 °C to 101 °C with various applications such as TEA-16, ethylene glycol, n-Dodecane, and water that can be applied to protect the freshness of frozen / chilled products with melting points ranging from -16 ºC, o -11.5 ºC, -9.6 °C, and 0 C (Zalba et al. 2001; Sharma et al. 2009; Meng 2008; Agyenim et al 2010). It is widely known that PCMs can absorb large amount of heat during melting at almost constant temperature (Oro 2012; Manish et al 2013; Zsembinszki et al 2013). Insulated containers equipped with PCMs could enhance the quality of the transportation of sensitive temperature products, allowing flexibility to the cold chain management. Oro et al (2012) placed PCMs panels in freezer to improve thermal performance of freezers and studied thermal
(a)
Box 1
analysis of a low temperature storage unit using PCMs without refrigeration system. Storage and transport of sensitive temperature products at the final steps of the cold chain could be enhances in order to improve the quality of food at this last stage in refrigerated or non refrigerated systems. In order to study the benefits of insulated containers equipped with PCMs, seafood products such as blue fin trevally fish and frozen shrimp was storaged in its and compare with conventional cold system that using ice cubes. The temperatures change of seafood products and PCMs was observed and recorded during storage or distribution. Microbiology test of products was monitored to prove that products occured no changes in quality. MATERIAL AND METHOD Material Blue fin trevally fish, frozen shrimp, phase o o change materials (PCMs) -4 C and -12 C was supplied by KITECH, Expanded Polystyrene 3 (EPS) Box with density of 18.892 g/cm , ice cube, thermocouples, data acquistion unit, and PC for data analysis. Method Blue fin trevally fish or shrimp was enter o into boxes of 30 kg each. PCMs -4 C was mounted to each of the 3 (three) pieces of PCMs to box 1 and box 2, and 12 (twelve) kg of ice cubes in box 3 with configuration as shown in Figure 1 and Figure 2 for fish but for shrimp o using PCMs -26 C. Then thermocouple inserted on fish inside each box, thermocouple at once use for direct observation temperature of fish. Trials discontinued if the temperature already reaches o 0 C because at that temperature occure the quality decrease of fish. The EPS box during trial can be shown in Figure 3.
(b)
Box 2
(c)
Box 3
Figure 1. (a) PCMs configuration in box 1; (b) PCMs configuration in box 2; (c) ice cubes in box 3
J. Kimia dan Kemasan, Vol.37 No.1 April 2015 : 61-66
62
Figure 2. Blue fin trevally fish in EPS boxes
Figure 3. EPS boxes during trials
RESULT AND DISCUSSION This research was used blue fin trevally fish and shrimp because this product is one of marine products comodity for export and requires certain conditions during storage and distribution to maintain its quality. Based on observations in Figure 4 shown that the box 1, box 2, and box 3 can storage and keep fish at temperatures below 0 °C for more than 25 hours. However, there was the difference between three boxes. In the box 1, o the temperature of pile of fish reaches -4 C, o while box 2 only reaches -2 C. The configuration of PCMs in box 1 is better than box 2. In box 1, heat absorption of fish and space in the box by PCMs were equitable distributed. Heat air that has been absorbed by the PCM will move naturally (natural convection) downward. Because fish was arranged compactly, the movement of cold air was obstructed by piles of fish. In the box 1, one of the PCMs module is placed in the middle of the box. Therefore, the temperature at the center of the pile of fish in box 1 can achieve lower
temperature than the box 2. Comparing the box 1 which is using PCMs with the box 3 using the ice cubes as its cooler, the results shown that box using PCMs can maintain the temperature colder than box using ice cubes. Box 1 using PCMs can maintain temperature at o o -4 C to -5 C for 25 hours while box 3 that using ice cubes only maintain temperature at o -3 C for 25 hours. This conclude that PCMs can substitute ice cubes to keep the freshness of the seafood and better than ice cubes. To examine any changes on the quality of the stored fish using PCMs or ice cubes tested on microbial contamination has been done. Microbial contamination test results can be seen in the Table 1. Microbiology test results in Table 1 shows that after storage in insulated containers equipped with PCMs occured no changes in quality. Before being used the PCMs is freeze at the temperature of -30 °C for 15 hours. Frozen shrimp either during transportation and long term storage should be kept at a maximum o temperature of -18 C. Using EPS box with
Application Off Phase Change Materials (PCMs)………………Wiwik Pudjiastuti dkk
63
PCMs is expected to achieve these conditions in a long time. Box 1 using PCMs on the Figure 5 can be seen that PCMs can maintain the temperature of frozen shrimp at -18 °C for 18 hours. In comparison, frozen shrimp stored in EPS box with ice cubes can maintain o temperature at -18 C only for 6 hours. Box 2 using PCMs with difference configuration as box 1 shown that temperature can be reached higher than box 1 but still lower than box 3 using
ice cubes. So the EPS box with PCM can be used as a transport container shrimp with a considerable distance. The freshness of the shrimp still maintains, it can be seen from the appearance or visual before and after storage. Shrimp still looks fresh and there are no signs of decay. The results showed that no significant increase on microbial contamination, it can be seen in Table 2.
Figure 4. Temperature changes in the PCM and ice cube trials for distribution of blue fin trevally fish (from thermocouple reading)
Table 1. Microbiology testing result of blue fin trevally fish No
Microbial contamination parameter
1.
Total plate (TPC)
2.
E-coli
3.
Salmonella
count
Test result Unit
Early/Before storage 3
After storage with PCM 3,1 x 10
3
With ice cube 3
col/g
7,7 x 10
APM/g
<3
<3
<3
<2
-
Negative
Negative
Negative
Negative
J. Kimia dan Kemasan, Vol.37 No.1 April 2015 : 61-66
3,7 x 10
Requirement SNI 01.2729.12006 Max. 5,0 x 10
5
64
oC
Temperature,
0,00 -2,00 0 -4,00 -6,00 -8,00 -10,00 -12,00 -14,00 -16,00 -18,00 -20,00 -22,00 -24,00 -26,00 -28,00 -30,00 -32,00 -34,00
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Period, Hours Box 1
Box 2
Box 3
Figure 5. Temperature changes in the PCM and ice cube trials for distribution of shrimp
Table 2. Test result of microbial contamination of frozen shrimp Test result No
Microbial contamination parameter
Unit
1.
Total Plate Count (TPC)
col/g
2.
E Coli
APM/g
3.
salmonella
-
Early/Before storage 8,8 x 10
4
After storage 4,5 x 10
5
Requirements SNI 01-2705.12006 Max. 5,0 x 10
<3
<3
<2
Negative
Negative
Negative
CONCLUSION EPS box using PCMs as cold system for storage or distribution of fish and shrimp can keep in its temperature up to approximately more than 25 hours for fish and 15 hours for shrimp. PCMs better than ice cubes for maintaining temperature during storage or distribution of fresh fish, frozen shrimp, and other seafood products. PCMs can also reuse until many times as long as module of PCMs are not damage while ice cubes only for once. REFERENCES Agyenim, F., N. Hewitt, P. Eames, and M. Smyth. 2010. A review of materials, heat transfer and phase change problem formulation for latent heat thermal energy storage systems (LHTESS). Renewable and Sustainable Energy Reviews. Vol. 14. (2): 615 – 628. Aung, M.M. and Y.S. Chang. 2014. Temperature management for the quality assurance
5
of a perishable food supply chain. Food Control 40:198 – 207. Mai, N., B. Margeirsson, S. Maregeirsson, S. Bogason, and S. Arason. 2012. Temperature mapping of fresh fish supply chains-air and sea transport. Journal of food process engineering 35 (4): 622 – 656. Margeirsson, B., R. Gospavic, H. Palsson, S. Arason, and V. Popov. 2011. Experimental and numerical modelling comparison of thermal performance of expanded polystyrene and corrugated plastic packaging for fresh fish. International journal of refrigeration 34(2):573 – 585. Meng, Q. and J.Hu. 2008. A poly(ethylene glycol)-based smart phase change materials. Solar Energy Materials & Solar Cells 92: 1260 – 1268 Oro, E., L. Miro, M.M. Farid, and L.F. Cabeza. 2012. Improving thermal performance of freezers using phase change materials. International journal of refrigeration 35:984 – 991. Oro, E., L. Miro, M.M. Farid, and L.F. Cabeza.
Application Off Phase Change Materials (PCMs)………………Wiwik Pudjiastuti dkk
65
2012. Thermal analysis of a low temperature storage unit using phase change materials without refrigeration system. International journal of refrigeration 35: 1709 – 1714. Rathod, M.K. and J.Banerjee. 2013. Thermal stability of phase change materials used in latent heat energy storage systems: A review. Renewable and sustainable energy reviews 18: 246 – 258. Schossig, P. 2007. Phase Change Materials For Thermal Energy Storage Applications. .Institute Solare Enery Systeme, Freiburg, Jerman Sharma, A., V.V. Tyagi, C. R Chen, and D. Buddhi. 2009. Review on thermal energy storage with phase change materials and applications. Renewable and sustainable energy reviews 13 (2) : 318-345.
Zalba, B., J.M. Marin, L.F. Cabeza, H. Mehling. 2003. Review on thermal energy storage with phase change : materials, heat transfer analysis and application. Applied thermal engineering 23: 251 – 283. Zsembinszki, G., C. Sole, A. Castell, G. Perez, and L.F. Cabeza. 2013. The use of phase change materials in fish farms: A general analysis. Applied energy 109: 488 – 496. Anonymous.2015. Volume produksi perikanan tangkap di laut menurut jenis ikan dan provinsi.http://statistik.kkp.go.id/index.p hp/statistik/c/5/1/0/0/Statistik P e r i k a n a n T a n g k a p PerairanLaut/?perairan_id=&subentitas id=18~1&view_data=1&tahun_start=20 05&tahun_to=2012&tahun=2015&filter =Lihat+Data+%C2%BB. (Accessed M a r c h 2 0 , 2 0 1 5 ) .
J. Kimia dan Kemasan, Vol.37 No.1 April 2015 : 61-66
66
Vol. 37 No. 1 April 2015 ISSN 2088 – 026X
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN
PEDOMAN PENULISAN KTI JURNAL KIMIA DAN KEMASAN 1. Sistematika Penulisan 1.1. Naskah dalam bentuk Makalah Lengkap (full paper) atau Original Research meliputi unsurunsur sebagai berikut: 1.1.1. Judul 1.1.2. Nama, alamat penulis, dan email 1.1.3. Abstrak (memuat latar belakang secara ringkas, tujuan, metode, hasil serta kesimpulan) 1.1.4. Kata kunci 1.1.5. Pendahuluan (antara lain latar belakang, perumusan masalah, tujuan, teori, ruang lingkup penelitian, dan hipotesis [opsional]). 1.1.6. Bahan dan metode (waktu dan tempat, bahan dan alat, metode/cara pengumpulan data, metode analisis data) 1.1.7. Hasil dan pembahasan (memuat data atau fakta yang diperoleh dari penelitian dan ulasan tentang hasil, termasuk tabel dan gambar) 1.1.8. Kesimpulan 1.1.9. Saran (optional) 1.1.10. Ucapan terima kasih (optional) 1.1.11. Daftar pustaka (minimal 10 daftar pustaka, 80% acuan primer/jurnal, referensi kemutakhiran 5-10 tahun terakhir) 1.2. Naskah dalam bentuk Ulasan (review) meliputi unsur-unsur sebagai berikut: 1.2.1. Judul 1.2.2. Nama, alamat penulis, dan email 1.2.3. Abstrak 1.2.4. Kata kunci 1.2.5. Pendahuluan 1.2.6. Pembahasan 1.2.7. Kesimpulan 1.2.8. Ucapan terima kasih (optional) 1.2.9. Daftar pustaka (minimal 25 daftar pustaka, 80% acuan primer/jurnal, referensi kemutakhiran 5 tahun terakhir) 2. Standar Umum Penulisan 2.1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris 2.2. Judul, abstrak, da kata kunci harus ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). 2.3. Ditulis menggunakan MS Word pada kertas ukuran A4, font Arial ukuran 10, spasi 1, batas atas 3 cm, batas bawah 2 cm, batas kiri 3 cm, batas kanan 2.1 cm, multiple pages mirror margin, section start continous, header&footer different odd & even, header 2 cm, dan footer 2 cm. 2.4. Judul, abstrak, dan kata kunci ditulis dalam format satu kolom. Sedangkan bagian-bagian naskah selanjutnya ditulis dalam dua kolom dengan format justified, first line indent 1 cm, arial 10, spasi 1, dan jarak antar kolom 0.6 cm. 2.5. Penyebutan istilah diluar bahasa Indonesia atau Inggris ditulis dengan huruf cetak miring (italic). 2.6. Jumlah halaman maksimal 10 halaman. 3. Cara Penulisan Judul 3.1. Judul mencerminkan inti tulisan, diketik dengan huruf capital cetak tebal (bold), diletakkan ditengah-tengah (centered) dengan menggunakan font Arial 14, spasi 1.
3.2. Apabila judul ditulis dalam bahasa Indonesia, maka dibawahnya ditulis ulang dalam bahasa Inggris, dan sebaliknya. Diketik dengan huruf capital cetak tebal (bold), diletakkan ditengahtengah (centered) dengan menggunakan font Arial 11, spasi 1. 3.3. Apabila KTI menggunakan bahasa Indonesia, maka judul dalam bahasa Inggris ditulis dengan huruf cetak miring (italic), sedangkan judul dalam bahasa Indonesia ditulis tidak dengan huruf cetak miring, dan sebaliknya. 4. Cara Penulisan Nama, Alamat, dan Email 4.1. Nama penulis diketik di bawah judul, ditulis lengkap tanpa menyebutkan gelar, diletakkan di tengah-tengah (centered), diketik dengan huruf regular, menggunakan font Arial 12, spasi 1. 4.2. Alamat penulis (nama dan alamat instansi tempat bekerja) ditulis lengkap di bawah nama penulis, diletakkan di tengah-tengah (centered), diketik dengan huruf regular, menggunakan font Arial 10, spasi 1. 4.3. Alamat Pos-el (e-mail) ditulis di bawah alamat penulis, diletakkan di tengah-tengah (centered), diketik dengan huruf regular, menggunakan font Arial 10, spasi 1. 4.4. Jika penulis terdiri lebih dari satu orang, maka harus ditambahkan kata penghubung “dan” (bukan lambang “&”). 4.5. Jika penulis lebih dari satu orang dan berbeda instansi maka dituliskan angka superscript di belakang nama berdasar angka urutan instansi 4.6. Jika alamat penulis lebih dari satu, maka harus diberi tanda angka superscript dan diikuti alamat sekarang. 5. Cara Penulisan Abstrak dan Kata Kunci 5.1. Abstrak ditulis dalam satu paragraf, ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), menggunakan font Arial 9, spasi 1, format justified. 5.2. Abstrak dalam bahasa Indonesia paling banyak 250 kata, sedangkan abstract dalam bahasa Inggris paling banyak 200 kata. 5.3. Penempatan abstrak disesuaikan dengan bahasa yang digunakan dalam KTI. Apabila KTI menggunakan bahasa Indonesia, maka abstrak didahulukan dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf cetak regular (tidak dengan huruf cetak miring), sedangkan abstract dalam bahasa Inggris ditulis dengan huruf cetak miring (italic), dan sebaliknya. 5.4. Kata abstrak (abstract) ditulis dengan huruf kapital cetak tebal (bold), menggunakan font Arial 10. 5.5. Abstrak dalam bahasa Indonesia diikuti kata kunci dalam bahasa Indonesia, sedangkan abstract dalam bahasa Inggris diikuti keywords dalam bahasa Inggris. 5.6. Kata kunci ditulis menggunakan font Arial 9. 5.7. Kata kunci terdiri dari minimal tiga kata. 6. Cara Penulisan Bab (heading) 6.1. Bab, ditulis dengan format huruf kapital, rata kiri, bold, font Arial 10, spasi 1. 6.2. Sub Bab (jika ada) ditulis dengan format huruf capitalize each word, rata kiri, bold, font Arial 10, spasi 1. 7. Cara Penyajian Tabel 7.1. Judul tabel ditampilkan di bagian atas tabel, rata kiri halaman, menggunakan font Arial 9. 7.2. Tulisan “Tabel”, “Nomor”, dan judul tabel ditulis dengan format huruf sentence case. 7.3. Gunakan angka Arab (1,2,3,dst) untuk penomoran judul tabel. 7.4. Tabel ditampilkan rata kiri halaman. 7.5. Jenis dan ukuran font untuk isi tabel menggunakan Arial ukuran 8-9 dengan spasi 1. 7.6 Tabel yang dicantumkan tanpa menggunakan vertical line, hanya menggunakan horizontal line pada bagian judul dan bagian bawah tabel. 7.7. Pencantuman sumber atau keterangan diletakkan di bawah tabel, rata kiri, italic, menggunakan font Arial 8. 8. Cara Penulisan Gambar 8.1. Gambar dapat dalam bentuk grafik, matriks, foto, diagram, dan sejenisnya ditampilkan di tengah halaman (centered). 8.2. Judul gambar ditulis di bawah gambar, menggunakan font Arial 9, ditempatkan di tengah halaman (centered).
8.3. Tulisan “Gambar”, “Nomor”, dan judul tabel ditulis dengan format huruf sentence case. 8.4. Gunakan angka Arab (1,2,3,dst) untuk penomoran judul gambar. 8.5. Pencantuman sumber atau keterangan diletakkan di bawah judul gambar, rata kiri, italic, menggunakan font Arial 8. 9. Cara dan Contoh Penulisan Kutipan (Sitasi) 9.1. Penulisan kutipan (Sitasi) menggunakan metode Chicago Style 9.1.1. Nama belakang atau nama keluarga pengarang pertama, kedua dan ketiga. Untuk karya yang ditulis oleh lebih dari 3 (tiga) orang pengarang, gunakan "et al." atau “dkk” setelah nama belakang pengarang pertama (hanya pengarang pertama yang disebutkan). 9.1.2. Tahun terbit. Antara nama pengarang atau badan korporasi dengan tahun terbit hanya dibatasi dengan satu spasi (tanpa tanda baca lainnya). 9.1.3. Jika dalam satu paragraph/kalimat menggunakan lebih dari 1(satu) kutipan/sitasi maka digunakan tanda penghubung berupa (;) Contoh : a. Menurut Catur (2012), penambahan pelarut berpengaruh kepada …. b. ……….. akan berpengaruh kepada kecepatan reaksi (Catur 2012). c. ………..akan berpengaruh kepada kecepatan reaksi (Catur 2012; Winarno 2009; Raffi et al. 2007) 10. Cara dan Contoh Penulisan Daftar Pustaka 10.1. Urutan dalam daftar pustaka ditulis sesuai dengan urutan huruf abjad nama penulis yang dikutip dalam naskah (berdasarkan alfabetis). 10.2. Daftar pustaka ditulis sesuai dengan metode Chicago Style. 10.3. Berikut adalah contoh cara penulisan daftar pustaka dari berbagai sumber yang berbeda. 10.2.1. Jurnal dengan volume dan nomor Pengarang. Tahun. Judul naskah. Nama jurnal. Volume (nomor) : Halaman Setiap huruf awal nama jurnal ditulis dengan huruf kapital. Contoh : Obaidat, I.M., B. Issa, and Y. Haik. 2011. The role of aggregation of ferrite nanoparticles on their magnetic properties. Journal of nanoscience and nanotechnology 11 (5) : 3882-3888. 10.2.2. Buku (satu orang pengarang) Pengarang. Tahun. Judul buku. Edisi. Kota : Penerbit Contoh : Suprapto, H. 2004. Petani bangkit: napak tilas perjuangan kaum tani Indonesia. Jakarta : Kuntum Satuhu. 10.2.3. Buku (dua atau tiga orang pengarang) Pengarang. Tahun. Judul buku. Edisi. Kota : Penerbit Contoh : Domsch, K.H., W. Garns, and T.H. Anderson. 1980. Compendium of soil fungi. Vol. 1. London : Academic Press. 10.2.4. Buku (lebih dari tiga orang pengarang) Pengarang. Tahun. Judul buku. Edisi. Kota : Penerbit Contoh : Lim, M.S., Y.D. Yun, C.W. Lee, S.C. Kim, S.K. Lee, and G.S. Chung. 1991. Research status and prospects of direct seeded rice in Korea. Los Banos: IRRI. 10.2.5. Skripsi, Tesis, dan Disertasi Pengarang. Tahun. Judul skripsi/tesis/disertasi. Skripsi/tesis/disertasi. Nama perguruan tinggi, Kota. Negara. Contoh : Raffi, M. 2007. Synthesis and characterization of metal nanoparticles. PhD Dissertation. Pakistan Institute of Eng. And Applied Sciences, Islamabad. Pakistan 10.2.6. Artikel dalam Prosiding Pengarang. Tahun. Judul artikel. Dalam : Penulis. Judul buku/prosiding. Kota : Penerbit : Halaman
Contoh : Afifah, N. dan E. Sholichah. 2009. Pemanfaatan virgin coconut oil (VCO) dalam sediaan hand body lotion dan uji stabilitasnya. Dalam : Prosiding seminar nasional Teknik Kimia Universitas Parahyangan : 178 – 184. 10.2.7. Website Pengarang. Tahun. Judul artikel. URL yang terdiri dari protocol/site/path/file. Tanggal akses Contoh : Wolman, David. 2008. Fossil feces is earliest evidence of an America humans. http://news.nationalgeographic.com/news/2008/04/080403first-americans.html. (Accessed April 4, 2008) Pranamuda, H. 2001. Pengembangan plastik biodegradable berbahan baku pati tropis. http://bersihplanet.multiply.com/journal. (diakses pada 21 Desember 2010)
.
Redaksi akan memberikan cetak cuplik kepada penulis sebanyak lima (5) eksemplar
PEDOMAN PENULISAN NASKAH 21 cm
Header 2 cm
Top 3 cm
SINTESIS NANOPARTIKEL PERAK (Arial, 14 pt, Bold) Arial, 14 pt, 1 baris
(SYNTHESIS OF SILVER NANOPARTICLE) (Arial, 11 pt, Bold, Italic) Arial, 14 pt, 1 baris
Rahyani Ermawati dan Siti Naimah (Arial, 12 pt) Arial, 12 pt, 1 baris
Left 3 cm
Right 2,1 cm
Balai Besar Kimia dan Kemasan, Departeman Perindustrian RI (Arial, 10 pt) Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur Arial, 10 pt, 1 baris
E-mail:
[email protected] (Arial, 10 pt) Arial, 10 pt, 1 baris
Received : ; revised : ; accepted : (Arial, 9 pt) 2 baris (10 pt)
ABSTRAK (Arial, 10 pt, Bold) (1 baris, 9 pt) Indonesia berpeluang untuk mengembangkan nanoteknologi dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam ………(justify, Arial, 9 pt, spasi single)……………………………………….………. (1 baris, 9 pt) Kata kunci : Nanopartikel, Bottom-up, Reduksi kimia, Particle Size Analyzer (PSA), Scanning Electron Microscope (SEM) (Arial, 9 pt) (1 baris, 9 pt) ABSTRACT (Arial, 10 pt, Bold) (1 baris, 9 pt) Indonesia has a chance in develop the nanotechnology using the natural resources and it will give added value in high price……………… (justify, Arial, 9 pt, spasi single)……………..……………... (1 baris, 9 pt) Key words : Nanoparticles, Bottom-up, Chemical reduction (Arial, 9 pt)
2 baris (9 pt) PENDAHULUAN (1 baris, 10 pt) ringkas, tujuan, metode, hasil serta kesimpulan suatu penelitian. Abstrak berbahasa Inggris dan bahasa Indonesia dan di bawah dicantumkan kata kunci paling banyak 5 (lima) kata terpenting dalam naskah.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan Ms Word dan jumlah halaman maksimal 10 halaman. Naskah disusun dalam 5 subjudul, yaitu PENDAHULUAN, BAHAN DAN METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN dan DAFTAR PUSTAKA. Penulisan kutipan di dalam teks menggunakan nama penulis, bukan nomor, dan nama penulis atau korporasi yang dikutip harus tercantum di dalam daftar pustaka.
Berisi penjelasan ringkas tetapi rinci tentang bahan, metode, rancangan percobaan dan rancangan analisis data, waktu dan tempat penelitian.
Judul Judul harus singkat, jelas dan menggambarkan isi naskah. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Abstrak atau Kata Kunci Abstrak memuat latar belakang secara Footer 2 cm
Pendahuluan Pendahuluan mencakup latar belakang, tujuan, ruang lingkup penelitian, temuan terdahulu yang akan dikembangkan, disanggah, hipotesis dan pendekatan umum. BAHAN DAN METODE
HASIL DAN PEMBAHASAN Memuat data atau fakta yang diperoleh dari 0,6 penelitian. Data atau fakta penting yang tidak dapat cm dinarasikan dengan jelas dapat disajikan dalam bentuk tabel, gambar ataupun ilustrasi lain. Pembahasan merupakan ulasan tentang hasil, menjelaskan makna hasil penelitian, kesesuaian dengan hasil atau penelitian terdahulu dan peran hasil tersebut terhadap pemecahan masalah yang disebutkan dalam pendahuluan. Simbol Matematis Simbol atau persamaan dikemukakan secara jelas. Bottom 2 cm
matematis
harus
29,7 cm
Awal paragraf menjorok ke dalam 1 cm. Semua kalimat ditulis dengan huruf Arial 10 pt, jarak baris 1 spasi. Format penulisan terdiri dari 2 kolom dengan jarak kolom 0,6 cm. Kertas : A4 Multiple pages : Mirror margin Top : 3 cm Bottom : 2 cm Left (Inside) : 3 cm Right (Outside) : 2,1 cm Section start : Continous Header & Footer : Different Odd & Even Header : 2 cm Footer : 2 cm
Tabel Tabel diberi nomor urut sesuai dengan keterangan di dalam teks. Setiap tabel diberi judul yang singkat dan jelas diletakkan di atas tabel, sehingga setiap tabel dapat dipandang berdiri sendiri sedangkan untuk gambar atau grafik judulnya diletakkan di bawah gambar/ grafik. Singkatan kata perlu diberi catatan kaki atau keterangan. Keterangan tabel diletakkan di bawah tabel. Pengolahan Naskah Redaksi melakukan penilaian, koreksi dan perbaikan. Kriteria penilaian meliputi : kebenaran isi, tingkat keaslian, kejelasan uraian dan kesesuaian dengan misi publikasi. Redaksi akan mengembalikan naskah kepada penulis untuk diperbaiki sesuai dengan saran redaksi dan naskah yang tidak dapat diterbitkan akan diberitahukan. Ulasan dan tinjauan ilmiah Ulasan sebaiknya merupakan tinjauan mengenai masalah yang terkini (up to date) dari industri kimia, kemasan, cemaran, rancang bangun dan perekayasaan. KESIMPULAN Ditulis dengan ringkas hasil-hasil yang didapat. DAFTAR PUSTAKA Daftar Pustaka disusun menurut abjad dan ditulis sesuai penulisan daftar pustaka dengan metode Chicago Style.
Vol. 36 No. 1 April 2015 ISSN 2088 – 026X
Retno Yunilawati, Dwinna Rahmi, Silvie Ardhanie Aviandharie, dan Syamsixman Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No.1 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Pemanfaatan Ampas Inti Sawit (Palm Kernel Mill/PKM) Sebagai Media Fermentasi Saccharomyces Cerevisiae Sebagai Penghasil β-Glukan J. Kimia Kemasan April 2015, Vol. 37 No. 1 : 1 - 8 Beta glukan adalah polisakarida dari monomer glukosa yang mempunyai ikatan β-(1,3) dan β-(1,6)-glukosida, sebagai komponen utama polisakarida pada mikroorganisme seperti bakteri, jamur, dan khamir. Saccharomyces cerevisiae (S. cerevisiae) merupakan jenis khamir yang dapat dikembangkan untuk menghasilkan β-glukan. Pertumbuhan dan metabolisme S.cerevisiae dalam media fermentasi memerlukan sumber karbon yang berasal dari glukosa. Pada penelitian ini dilakukan pemanfaatan ampas inti sawit (Palm Kernel Mill /PKM) yang mengandung 48% karbohidrat untuk menggantikan glukosa dalam media fermentasi S.cerevisiae melakukan hidrolisis ampas inti sawit menggunakan asam (HCl) dan basa (NH4OH). Hidrolisis berlangsung optimal dengan konsentrasi HCl 5% yang menghasilkan glukosa sebesar 48,67% dan konsentrasi NH4OH 2% yang menghasilkan glukosa sebesar 55,08%. Hasil analisis menggunakan spektrokfotometer infra merah menunjukkan bahwa spektrum inframerah dari ekstrak β-glukan S.cerevisiae yang ditumbuhkan dalam media fermentasi PKM memiliki pola yang sama dengan spektrum inframerah ekstrak β-glukan S.cerevisiae yang ditumbuhkan dalam media fermentasi glukosa. Kata kunci : β-glukan, S.cerevisiae, Palm Kernel Mill
Mangala Tua Marpaung dan Yemirta Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian RI Jl. Balai Kimia I Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Rekayasa Alat Konversi Biomassa Dari Bahan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menjadi Bio Oil Bahan Bakar Cair J. Kimia Kemasan April 2015, Vol. 37 No. 1 : 9 - 18 Rekayasa alat konversi biomassa menjadi bahan baku cair melalui uji coba skala laboratorium, desain awal reaktor, serta desain rinci masing-masing komponen. Dari hasil uji coba laboratorium, dapat disimpulkan bahwa 50 gram biomassa berupa butiran dapat berubah menjadi gas dengan pemanasan 600 ⁰ C. Setelah melewati cyclone dan kondensor gas yang terbentuk akan berubah fase menjadi bio oil. Dari desain awal dirancang reaktor dengan menggunakan pemanas burner yang beroperasi pada suhu 500 ⁰ C sampai dengan 600 ⁰ C. Pada desain rinci dilakukan pembuatan rancangan flow proses dan desain masing-masing komponen yang terdiri atas reaktor utama, cyclone, kondensor, tangki penampung bio oil, tangki pendingin, dan screw conveyor.
JURNAL KIMIA DAN KEMASAN
LEMBAR ABSTRAK Kata kunci : Biomassa, Bio oil, Cyclone
Adrianus O W Kaya1, Ani Suryani2, Joko Santoso3, dan Meika Syahbana Rusli2 1) Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura Ambon 2) Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor 3) Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor E-mail :
[email protected] Karakteristik Dan Struktur Mikro Gel Semirefined Carrageenan Dan Glukomanan
Campuran
J. Kimia Kemasan April 2015, Vol. 37 No. 1 : 19 - 28 Karagenan dan glukomanan merupakan komponen pembentuk gel, karena memiliki pengaruh sinergis yang menghasilkan gel yang memiliki kekuatan tinggi, elastis, dan sineresis rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan struktur mikro gel kombinasi semirefined carrageenan dan glukomanan pada berbagai perbandingan. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap dan dilanjutkan dengan uji Tukey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan campuran semirefined carrageenan dan glukomanan 1:1 memiliki nilai kekuatan gel dan kekerasan tertinggi yaitu sebesar 3.649,09 g/cm 2 dan 701,72 g, perbandingan 1:3 memiliki nilai sineresis yang rendah dibandingkan dengan perbandingan lainnya yaitu sebesar 7,36%, sedangkan nilai rigiditas tertinggi diperoleh perbandingan 2:1 yaitu sebesar 4.282,45 g/cm. Struktur mikro gel yang dihasilkan untuk semua perlakuan berbeda satu sama lainnya yaitu untuk perbandingan 1:1 memiliki struktur yang kompak dan padat. Peningkatan penambahan glukomanan akan menghasilkan gel yang lebih elastis dan cenderung lebih lembut daripada struktur matriks gel yang tidak kompak dan menggumpal serta memiliki rongga yang cukup banyak seperti ada perbandingan 1:2, 1:3, dan 1:4 sedangkan penambahan semirefined carrageenan menghasilkan gel yang keras dan kaku serta terlihat dari struktur gel yang lebih padat dan kompak dengan rongga yang terlihat pada perbandingan 2:1, 3:1, dan 4:1. Kata kunci : Semirefined carrageenan, Glukomanan, Mikro gel
Fitrilawati, Norman Syakir, Agustin P. Mastiti, Utami Yuliani, dan Annisa Aprilia Laboratorium Material Maju, Program Studi Fisika, Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran Jl. Raya Jatinangor KM 21, Kabupaten Sumedang E-mail :
[email protected] Pemanfaatan Polimer Hybrid Tmspma Dan Phosphor Organik Sebagai Bahan Luminesensi Untuk Solid State Lighting Planar J. Kimia Kemasan April 2015, Vol. 37 No. 1 : 29 - 36
Lampu Solid State Lighting (SSL) planar, diharapkan dapat menghasilkan distribusi cahaya yang lebih baik, dibandingkan dengan lampu fluoresensi biasa. Berbeda dengan lampu SSL biasa, pada SSL panel lebar (planar) digunakan pendekatan kopling cahaya (Light Wave Coupling-LWC) sehingga memerlukan sistem light guiding, yaitu cahaya pengeksitasi dikopling ke dalam substrat sebagai media pandu gelombang. Untuk aplikasi lampu SSL planar dengan pendekatan LWC diperlukan lapisan pengkonversi warna emisi yang berukuran lebar dengan karakteristik yang sesuai dengan perangkat preparasi dan media pandu gelombang. Media pandu gelombang yang akan digunakan adalah Light Guide Plate (LGP), dari PMMA (polymethyl methacrylate). Pada penelitian ini dikembangkan bahan luminesensi berbasis polimer hybrid trimethoxysilylpropyl methacrylate (TMSPMA), yang dimodifikasi dengan teknik kopolimerisasi dan phosphor organik. Khusus pada bahan prekursor poli(TMSPMA) dilakukan uji kelarutan yang menunjukkan bahan prekursor polimer hybrid poli(TMSPMA) beserta kromofor organiknya dapat larut dengan baik pada pelarut polar. Dari hasil tersebut dipilih pelarut yang tepat sehingga pembuatan lapisan tipis dari bahan luminesensi organik dapat dilakukan secara sederhana dengan teknik screen printing. Lapisan tipis yang dihasilkan dengan teknik tersebut dapat mengemisikan cahaya ke seluruh permukaan secara merata sehingga memiliki potensi untuk pengembangan model lampu SSL planar.
Pembuatan Komposit Polipropilena-Bentonit Untuk Plastik Biodegradable
Kata kunci : Polimer hybrid, Solid State Lighting, Poli(TMSPMA), Light Wave Coupling (LWC)
Kata kunci : Polipropilena, Bentonit, Coupling, Plastik biodegradable
Arief Riyanto, Retno Yunilawati, Dwinna Rahmi, Novi Nur Aidha, dan Emmy Ratnawati Balai Besar Kimia dan Kemasan, Kementerian Perindustrian Jl. Balai Kimia No.1 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur E-mail :
[email protected] Isomerisasi Eugenol Menjadi Isoeugenol Dengan Metode Sonikasi
J. Kimia Kemasan April 2015, Vol. 37 No. 1 : 45 - 52 Pembuatan komposit polipropilena-bentonit sebagai plastik biodegradable telah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari sifat mekanis dan biodegradasi bahan komposit dari bahan dasar polipropilena dengan filler bentonit dan penambahan agent 3-aminopropyl triethoxysilane (3-APE) sebagai coupling. Karakterisasi sampel dilakukan dengan peralatan Strograph-R1 untuk uji mekanis, Scanning Electron Microscope/Energy Dispersive Spectrophotometry (SEM/EDS) untuk pengamatan struktur mikro dan uji biodegradasi dilakukan dengan cara pemendaman dalam tanah. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kekuatan tarik bahan komposit polipropilenabentonit tanpa penambahan coupling 3-APE turun seiring dengan penambahan filler bentonit. Penurunan kekuatan tarik ini disebabkan oleh filler bentonit terdistribusi tidak homogen dan cenderung teraglomerasi di dalam bahan. Penambahan coupling agent 3-APE menyebabkan filler bentonit terdistribusi lebih homogen di dalam bahan dan menghasilkan peningkatan kekuatan tarik pada komposit polipropilena-bentonit. Uji biodegradasi di dalam tanah selama 3 minggu menunjukkan bahwa komposit polipropilena-bentonit mengalami perubahan warna dan pengurangan nilai kekuatan tarik.
Sulistioso Giat S1, Sudirman1, Devi Indah Anwar2, F.Lukitowati3, dan Basril Abbas3 1) Pusat Sains dan Teknologi Bahan Maju (PSTBM) – BATAN, Serpong 2) Universitas Muhammadiyah, Sukabumi 3) Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR)-BATAN E-mail :
[email protected] Sifat Fisis Dan Mekanis Komposit High Density Polyethylene (HDPE) – Hydroxyapatite (HAp) Dengan Teknik Iradiasi Gamma
J. Kimia Kemasan April 2015, Vol. 37 No. 1 : 37 - 44 J. Kimia Kemasan April 2015, Vol. 37 No. 1 : 53 - 60 Isoeugenol merupakan senyawa turunan eugenol yang banyak digunakan di industri farmasi, kosmetik, perisa makanan dan minuman. Konversi eugenol menjadi isoeugenol dilakukan melalui reaksi isomerisasi. Isomerisasi eugenol dapat dilakukan secara konvensional dengan pemanasan pada suhu tinggi, namun tidak efisien sehingga dilakukan dengan metode pemanfaatan gelombang mikro yang memerlukan energi cukup besar. Pada penelitian ini dilakukan isomerisasi dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik agar dihasilkan metode yang lebih efisien. Isomerisasi berjalan optimal pada kondisi amplitudo 70% dan 40 menit, menggunakan pelarut etanol, dan dengan perbandingan berat katalis RhCl3 terhadap eugenol sebesar 1 : 2000. Pada kondisi tersebut dihasilkan isoeugenol total hampir 100% dengan komposisi cis isoeugenol sekitar 8,23% dan trans isoeugenol sekitar 91,76%. Kata kunci : Eugenol, Isoeugenol, Katalis RhCl3
Deswita, Ari Handayani, dan Evi Yulianti Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir, BATAN Kawasan Puspitek, Serpong 15314, Tangerang Selatan E-mail :
[email protected]
High Density Polyethylene (HDPE) sebagai polimer sintetis dengan kerapatan komposit yang tinggi dan hydroxyapatite (HAp) merupakan komponen tulang yang penting. Komposit HDPE yang berfungsi sebagai matriks dengan HAp selayaknya dapat membentuk tulang sintetik. Komposit HDPE-HAp dengan rasio 2/1 : 3/1 : 4/1 (b/b,%) dikompaksi dan dipanaskan pada suhu 180 °C, selanjutnya diuji efektivitas radiasi gamma pada dosis 25 kGy dan 50 kGy. Komposit hasil iradiasi diukur kekerasan, perubahan struktur kimia, morfologi, sifat termal, dan kristalinitas menggunakan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), Scanning Electron Microscope (SEM), Differential Scanning Calorimetry (DSC), dan XRay Diffraction (XRD). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa kekerasan komposit meningkat dari nilai 65 shore A hingga 69,5 shore A dengan waktu pemanasan 1 jam, 2 jam, dan 86 shore A dengan dosis radiasi 50 kGy untuk sampel komposit HDPE-HAp (2:1). Berdasarkan pengamatan dengan SEM menunjukkan permukaan komposit yang kompak dan HAp terikat secara fisik berdasarkan pengukuran dengan XRD dan DSC. Pengukuran FTIR menunjukkan tidak terjadinya perubahan spektrum komposit hasil iradiasi. Iradiasi gamma dapat meningkatkan sifat mekanis komposit HDPE-HAp.
Kata kunci : HDPE, HAp, Iradiasi gamma, Tulang sintetik
Application Of Phase Change Materials (PCM’s) To Preserve The Freshness Of Seafood Products
installed on Expanded Polystyrene (EPS) box system as insulated container. The freshness of the seafood product was shown by the time of keeping temperature during storage or distribution. Keeping temperature time of smart cold system using PCMs was compared to conventional cold system using ice cubes. The result shows that EPS box system using PCMs can prolonged the keeping temperature time and reached colder temperature than the conventional one. Microbiology test of products was monitored to prove that products occured no changes in quality.
J. Kimia Kemasan April 2015, Vol. 37 No. 1 : 61 - 66
Key words : Phase Change Materials (PCMs), EPS box
Wiwik Pudjiastuti, Arie Listyarini, and Arief Riyanto Center for Chemical and Packaging Ministry of Industry Jl. Balai Kimia No.1, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Indonesia E-mail :
[email protected]
The application of Phase Change Materials (PCMs) as one of latent heat energy storage materials in smart cold system has been investigated for preserving a freshness of seafood products. In this investigation, PCMs was
UCAPAN TERIMA KASIH
Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari sebagai reviewer yang telah menelaah dan memberi masukan serta rekomendasi dalam rangka menjaga mutu jurnal ini sesuai kaidah-kaidah karya tulis ilmiah. Adapun namanama mitra bestari sebagai berikut :
NO
NAMA
1
Drs. Sudirman, MSc, APU
2
DR. Rike Yudianti
3
Prof. DR. Slamet, MT
4
DR. Etik Mardliyati
5
DR. Mochamad Chalid, S.Si, M.Sc, Eng
INSTANSI BATAN LIPI UI BPPT UI