KNOWLEDGE SHARING DI KOPERASI SAE PUJON Nur Huda. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Sosiologi, Universitas Indonesia. Email:
[email protected] ABSTRAKSI Berangkat dari permasalahan klasik Industri Susu di Indonesia, penelitian ini bertujuan untuk memberikan sebuah bahasan teoritis mengenai proses knowledge sharing yang terjadi di Koperasi SAE Pujon sebagai sebuah organisasi ekonomi masyarakat pedesaan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan teori-teori mengenai network, tacit knowledge dan explicit knowledge. Penelitian ini menemukan bahwa aktifitas sharing knowledge yang terjadi di Koperasi SAE Pujon dapat dikategorisasikan menjadi aktifitas formal, semi-formal dan informal. Keberadaan common knowledge, social cohesion dan ties di kalangan peternak sapi Pujon melahirkan kemauan untuk meluangkan waktu dan tenaga melakukan knowledge sharing dengan anggota yang lainnya. Kendati demikian, hal ini tidak lantas membuat proses knowledge sharing berjalan dengan maksimal, sifat subsisten, kurangnya kemauan untuk bertanya atau mencari pengetahuan, serta tidak maksimalnya peran Ketua Kelompok dalam Struktur Jaringan merupakan beberapa hal yang menjadi kendala.
Kata Kunci: Organisasi, Ekonomi, Pedesaan, Knowledge Sharing, Social cohesion, jaringan, tacit knowledge, explicit knowledge ABSTRACT This qualitative research focus on the upper course condition of Indonesian’s milk industry. Using an organizational approach, common knowledge, ties, social cohesion, network structure, tacit knowledge and explicit knowledge concepts, this research tries to provide not only a description, but also an explanation on knowledge sharing process in Koperasi SAE Pujon. The result indicates that knowledge sharing activities in Koperasi SAE Pujon could be classified into Formal Activities, Semi-Formal Activities, and Informal Activities. Common knowledge, social cohesion and ties among Pujon’s Farmers emerges the possibility of knowledge sharing process to happen. However, the knowledge sharing process doesn’t necessarily works well due to the subsistence nature of Pujon’s farmers, the lack of eagerness to look for farming knowledge, and the ineffective role of Farmer Group’s Chief on the network structure.
Keywords: Organization, Economic, Rural, Knowledge Sharing, Social Cohesion, Network, Tacit Knowledge, Explicit Knowledge
1 Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
2
PENDAHULUAN Studi mengenai Koperasi dan Industri Susu di Indonesia memang bukan menjadi kajian yang populer pada saat ini. Penelitian mengenai ranah kajian ini memang banyak di lakukan pada masa orde baru maupun masa awal reformasi passca penandatanganan
Letter of Intent (LOI) antara Pemerintah Indonesia dan IMF tahun 1997 sebagai suatu tahapan legalitas dan pertanda dimulainya liberalisasi industri susu dimana pemerintah akan menghilangkan pengaturan rasio penyerapan susu peternak lokal dengan susu impor sehingga importir dapat secara bebas mengimpor susu (Nordin, 2006). Studi mengenai ranah kajian ini juga lebih banyak bersifat makro dengan menempatkan Koperasi Susu semata sebagai bagian dari struktur institusi ekonomi yang lebih besar (Lihat Nordin, 2006 dan Suharyono, 1991) atau menekankan pada pola umum keadaan koperasi di Indonesia (Mulawarman, 2007). Disisi yang lain, studi tentang Network dan Knowledge Management saat ini cukup populer menjadi fokus perhatian dari berbagai kalangan praktisi maupun akademisi (Aulawi et al., 2009). Organisasi-organisasi telah menyadari bahwa untuk mampu bersaing dalam kondisi pasar yang berkembang secara cepat, dibutuhkan pengembangan kompetensi dan knowledge yang ada di dalam organisasi (Orr dan Persson, 2003 dalam Aulawi et al., 2009) Kendati demikian, studi ini lebih banyak memfokuskan pada studi organisasi rasional masyarakat perkotaan seperti misalnya Knowledge Transfer pada sebuah organisasi riset di Amerika tengah (Reagens dan McEvily, 2003), perusahaan jasa telekomunikasi (Aulawi et al., 2009) dan ataupun Forum seperti Forum Obrolan Ringan
Investor (ORI) (Putra, 2011). Penelitian ini ingin mencoba untuk memberikan sebuah sajian yang berbeda dengan memberikan pembahasan yang mendalam mengenai potret keadaan pada bagian hulu Industri Persususan menggunakan kacamata Network Structure dan Knowledge Management. Jika pada studi-studi terdahulu penelitian mengenai Network Structure dan Knowledge Management lebih banyak berfokus pada organisasi masyarakat perkotaan, peneliti ingin membawa konsep dan teori tersebut ke dalam sebuah ranah lain yaitu organisasi masyarkat pedesaan yang tentunya mempunyai karakteristik yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan studi-studi pendahulu. Selain itu, penelitian ini juga berupaya untuk memberikan sebuah persepsi baru dalam melihat femomena permasalahan industri susu di Indonesia dengan memfokuskan secara spesifik pada sebuah organisasi koperasi
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
3
susu. Demi mencegah agar pembahasan yang diberikan lebih fokus dan tidak meluas, penelitian ini akan memfokuskan pada dua pertanyaan utama yaitu bagaimanakah proses knowledge sharing yang terjadi dan bagaimanakah struktur jaringan yang ada menjembatani proses tersebut.
NETWORK AND KNOWLEDGE SHARING PROCESS Secara sederhana knowledge sharing dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan berbagi pengetahuan antar individu-individu di dalam sebuah kelompok (Bartolomew, 2005). Terdapat tiga komponen utama dalam prosesnya yaitu “knowledge” atau pengetahuan yang disalurkan, “source” atau individu-individu yang berperan sebagai pihak yang memiliki pengetahuan dan “recipient” yang merupakan individu-individu yang akan menerima pengetahuan yang akan dibagi atau disalurkan oleh source. Knowledge sharing adalah sebuah proses yang sangat menguntungkan bagi si penerima (recipients) dan “berbiaya” bagi si pemilik pengetahuan (source) (Reagans, 2003). “Berbiaya” yang dimaksudkan dalam hal ini, dalam bentuk paling minimalnya adalah waktu dan tenaga yang harus dikeluarkan oleh source dalam membantu recipient untuk dapat mengerti pengetahuan yang dibagi. Semakin lancar proses transfer, maka semakin sedikit pula “biaya” yang harus dikeluarkan. Menurut Reagens, kelancaran sebuah proses knowledge sharing dipengaruhi oleh setidaknya tiga faktor utama yaitu: 1.) “common knowledge”. Dua individu yang bekerja di posisi atau bidang yang sama, berasal dari bidang pendidikan yang sama, mempunyai latar belakang yang sama, atau di dalam sebuah jaringan komunikasi informal yang sama dan sepadan secara struktur cenderung mempunyai common knowledge yang sama (Reagans, 2003). Common knowledge tersebut dapat berasal dari bermacam-macam sumber, baik formal maupun informal. 2.) kekuatan ikatan dari hubungan interpersonal (tie strength). Hansen (1999) dalam Reagen (2003) berpendapat bahwa ikatan yang kuat antar individu (strong ties) dapat menjembatani transfer dari pengetahuan yang kompleks (complex knowledge), sementara ikatan yang lemah (weak ties) lebih banyak menjembatani transfer dari pengetahuan yang sederhana (simple knowledge). 3.) “network structure” yang mengacu pada pola-pola struktural dari hubungan-hubungan sosial yang terjadi diantara para aktor. Terdapat dua bagian
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
4
utama dari sebuah struktur jaringan yaitu Kohesi (cohesion) dan Lingkup Jaringan (range). Jika tie strength yang lebih melihat pada kedekatan personal dari kedua pihak yang melakukan transfer pengetahuan (source dan recipient), kohesi lebih menekankan pada kedekatan dua pihak yang melakukan transfer pengetahuan tersebut dikarenakan adanya pihak ketiga yang dekat dengan mereka berdua. Pihak ketiga ini tentu saja dapat berjumlah satu orang, dua orang ataupun lebih. Kohesi sosial mempunyai pengaruh yang positif terhadap transfer pengetahuan, terutama karena ia mempengaruhi keinginan (willingness) dari masing-masing individu untuk meluangkan waktu dan tenaganya demi membantu recipient agar dapat memahami pengetahuan yang ia bagi. Adanya kohesi sosial ini tidak dapat dilepaskan dari “reputasi” individu dan nilai serta norma yang memandu perilaku individu dan membentuk sebuah nilai kerjasama/kooperatif. TACIT AND EXPLICIT KNOWLEDGE Transfer pengetahuan memakan waktu dan tenaga, ia akan memakan lebih banyak lagi waktu dan tenaga ketika pengetahuan yang ditransfer lebih sukar untuk disalurkan. Tacitness atau ketacitan merupakan derajat sejauh mana sebuah pengetahuan itu sulit untuk dikodifikasi ataupun diartikulasikan. Ketika sebuah pengetahuan bersifat Tacit, maka pengetahuan tersebut menjadi lebih susah untuk dirumuskan, diartikulasikan ataupun dikodifikasikan. Oleh karena itulah ia kemudian menjadi lebih sulit juga untuk disalurkan sehingga dibutuhkan upaya yang lebih besar untuk dapat tersalurkan dengan baik dari source kepada reciptient. Menurut Gagasan Polanyi, Tacit Knowledge merupakan pengetahuan manusia yang sifatnya sangat personal dan sulit untuk diformulasikan sehingga sulit untuk dibagi dan dikomunikasikan dengan individu lain. Terdapat dua dimensi dari Tacit Knowledge, yaitu 1.) Dimensi Teknis (Technical Dimension) yang meliputi berbagai macam hal yang bersifat keahlian (skill) informal dan personal tentang bagaimana cara melakukan sesuatu atau bisa dikenal dengan “know-how”. Dan 2.) Dimensi Kognitif (Cognitive Dimension) yang merupakan berbagai hal yang sulit dirumuskan dan membentuk cara kita memahami dunia
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
5
seperti kepercayaan, idealisme, nilai, schemata dan mental models-mental models yang lainnya. Sementara Explicit Knowledge merupakan pengetahuan yang terkodifikasi dan dapat dirumuskan serta disalurkan melalui sistem bahasa yang formal dan sistematis. Pengetahuan ini bersifat discrete atau ‘digital’, ia disimpan di dalam berbagai bentuk seperti arsip, database, dan pemustakaan. Oleh karena karena itulah, pengetahuan jenis ini dapat dikomunikasikan dan disalurkan dengan baik kepada individu lain. Explicit Knowledge juga dapat ditemui dalam berbagai macam bentuk seperti data laporan, spesifikasi, buku pedoman, dll. Di Negaranegara barat, secara umum pengetahuan jenis ini lebih banyak ditekankan daripada Tacit Knowledge. Salah satu hal yang perlu dicatat dalam melihat pandangan Polanyi adalah Polanyi berpendapat bahwa Tacit Knowledge dan Explicit Knowledge bukan merupakan dua hal yang terpisah antara satu dengan yang lainnya, melainkan semua pengetahuan mempunyai sisi Tacit dan Explicit di dalamnya. Apa yang membedakan antara keduanya adalah sisi mana yang lebih dominan dari pengetahuan tersebut. Berikut adalah bagan mengenai gagasan Polanyi tentang pengetahuan (Grant 2007):
Sumber: Kenneth A Grant. Tacit Knowledge Revisited – We Can Still Learn from Polanyi
Sedikit berbeda dengan gagasan Polanyi, Ikujiro Nonaka lebih menekankan
pada
penggunaan
Tacit
Knowledge
dalam
upaya
proses
pembentukan pengetahuan (Knowledge Creation) di dalam sebuah organisasi bisnis. Nonaka melihat bahwa dalam proses penciptaan pegetahuan tersebut,
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
6
sebuah pengetahuan dapat berubah-ubah bentuk dari tacit ke explicit dan sebaliknya. Tacit knowledge dikarakteristikkan sebagai sebuah pengetahuan yang bersifat “analog” atau (parallel processing of continuous complex variables) sementara explicit knowledge lebih mengacu pada karakteristik diskontinuitas tersendiri yang lebih bersifat “digital” (Nonaka, 1994). Nonaka percaya bahwa pada dasarnya berbagai permasalahan dan juga solusinya sudah diketahui secara diam-diam (tacitly) oleh individu-individu (Nonaka, 1991). Proses penciptaan pengetahuan organisasi sendiri meliputi empat model konversi pengetahuan (Nonaka’s Four Modes of Knowledge Conversion) yaitu Sosialisasi, Eksternalisasi, Kombinasi, dan Internalisasi. Keempat model tersebut dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut: Empat model konversi pengetahuan Nonaka
Sumber: Nonaka, Ikujiro. Organizational Knowledge Creation
METODE Objek kajian dari penelitian ini adalah Koperasi SAE Pujon yang terletak di yang merupakan koperasi penghasil susu terbesar di Indonesia. Koperasi SAE Pujon membawahi 10 desa yang menjadi wilayah kerjanya. Dari 10 desa tersebut Koperasi SAE Pujon memiliki 21 pos penampungan susu. Jumlah anggota saat ini 9.200 orang dan yang aktif 5.200 orang. Jumlah sapi yang ada 20.031 ekor dengan jumlah produksi rata-rata per hari mencapai 92.000 liter. Koperasi yang sudah berdiri semenjak 1962 ini juga merupakan pemasok lokal utama dari perusahaan susu internasional asal Swiss, Nestle, semenjak 1975. Salah satu permasalahan utama di kalangan peternak sapi Pujon adalah masih rendahnya produktifitas dan
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
7
kualitas susu terkait dengan teknik beternak yang digunakan. Keterbatasan kapasitas pelatihan tentang teknik beternak susu menyebabkan proses knowledge sharing menjadi sebuah bagian yang vital bagi produksi susu di Pujon. Penelitian ini adalah sebuah studi kasus dengan pendekatan kualitatif yang dilakukan pada pertengahan tahun 2011. Unit analisis atau satuan yang akan diteliti (Babbie, 1998: 201) dari penelitian ini adalah Kelompok, yaitu Kelompok Peternak Sapi di Koperasi SAE Pujon sebagai sebuah organisasi ekonomi masyarakat pedesaan, sementara unit observasinya adalah individu karena individu dalam hal ini merupakan satuan darimana data akan diperoleh (Babbie, 1998: 202). Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan dari awal tahun 2011 hingga pertengahan tahun 2011. Pengumpulan data primer dilakukan melalui penelitian lapangan dengan menggunakan teknik observasi partisipatoris dan wawancara mendalam. Penelitian lapangan dilakukan sebanyak dua kali dalam jangka waktu 2 bulan, yaitu pada awal Maret 2011 dan akhir Maret hingga awal April 2011. Pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling dimana informan dipilih dengan tujuan tertentu terkait dengan topik penelitian. Beberapa pihak yang akan menjadi informan kunci dalam penelitian ini dintaranya adalah anggota kopersi bukan pengurus, pengurus koperasi, pengawas koperasi, kepala daerah Pujon, tokoh masyarakat setempat, staff karyawan dan ketua kelompok ternak. Total informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 12 orang. Pemilihan informan sendiri dilakukan secara snowball dengan menggunakan beragam pertimbangan seperti bidang kerja di Koperasi, lama keterlibatan di Koperasi, dll. AKTIVITAS KNOWLEDGE SHARING DI KOPERASI SAE PUJON Aktifitas Knowledge sharing disini meliputi semua kegiatan yang berkaitan dengan penyaluran pengetahuan mengenai teknik dan cara-cara beternak dari Nestle hingga sampai kepada para peternak sapi di Pujon. Aktifitas ini dapat dikategorikan menjadi setidaknya tiga macam yaitu aktifitas formal, semi formal, dan informal.
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
8
Aktifitas formal yang dimaksudkan dalam hal ini adalah aktifitas-aktifitas knowledge sharing yang memang secara langsung difasillitasi oleh Koperasi SAE Pujon ataupun Nestle. Terdapat setidaknya tiga macam pelatihan formal yg terjadi di Pujon, yaitu 1.) Pelatihan dari Nestle yang dilakukan rutin setiap enam bulan sekali pada awal dan pertengahan tahun. 2.) Pelatihan dari Koperasi yang terdiri atas pelatihan yang bersifat rutin setiap bulan dan pelatihan yang bersifat tentatif. Aktifitas semi formal mengacu pada aktifitas-aktifitas yang terjadinya tidak dapat dilepaskan dari aspek struktur organisasi koperasi, namun teknisnya tidak benar-benar diatur dalam peraturan tertulis organisasi. Aktifitas ini meliputi sosialisasi mengenai teknik beternak oleh Ketua Kelompok Ternak dan sosialisasi oleh para peserta pelatihan kepada anggota kelompoknya. Sementara aktifitas yang bersifat informal meliputi aktifitas-aktifitas knowledge transfer mengenai teknik dan cara beternak yang terjadi tidak melalui cara, mekanisme ataupun sarana yang ditentukan oleh Koperasi. Aktifitas ini terjadi lebih dikarenakan interaksi yang terjadi diantara anggota maupun antara anggota dengan karyawan koperasi dalam keseharian mereka. Beberapa contoh sederhana dari aktifitas ini adalah obrolan mengenai teknik memelihara sapi yang terjadi pada kesempatan-kesempatan tertentu seperti misalnya saat satu atau lebih anggota bertemu anggota lain di warung, toko, kantor koperasi, jalan, ladang tempat mencari rumput, pos susu, rumah salah seorang anggota, dll.
Terdapat setidaknya enam aktor utama dalam aktifitas tersebut yaitu Nestle, Jajaran Manajemen Koperasi dan Tim Swakarsa Koperasi, Ketua Kelompok, Peserta Pelatihan dan Anggota. Dalam prosesnya para aktor ini berperan sebagai source dan recipients. Pada pelatihan yang dilaksanakan oleh Nestle, Tim BB dan MB dari Nestle merupakan source dan para peserta pelatihan merupakan recipient. Source dan recipient dalam konteks ini adalah kelompok dan kelompok di dalam sebuah hubungan yang bersifat subjek-objek. Dikatakan demikian karena melalui sebuah proses seminar, Tim BB dan MB (source) menjadi subjek yang membagikan (share) pengetahuan mengenai teknik dan cara beternak sapi perah kepada para peserta pelatihan, yaitu kelompok perwakilan koperasi susu Jawa Timur
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
9
(recipient) yang bertindak sebagai objek. Selain itu, kedua kelompok yang terlibat dalam proses ini berada pada sebuah posisi yang tidak setara. Dikatakan demikian karena selain bertindak sebagai penyelenggara acara, Tim pelatihan dari Nestle juga bertindak sebagai pihak yang menguasai pengetahuan. Disamping itu, para peserta pelatihan juga mempunyai pandangan bahwa Nestle—dalam hal ini adalah perwakilannya yang melakukan pelatihan—adalah pihak yang bukan hanya lebih tahu, melainkan juga baik dan dihormati sebagaimana sempat disinggung pada bab sebelumnya. Sementara pada pelatihan yang diberikan di Koperasi secara rutin, proses penyaluran pengetahuan dilakukan lebih secara musyawarah dan bukan seminar murni seperti halnya pada pelatihan yang diberikan oleh Nestle. Dalam hal ini Tim Swakarsa sebagai pemberi pelatihan bertindak sebagai source, sementara para perwakilan kelompok peternak bertindak sebagai recipient. Source dan recipient dalam hal ini merupakan dua kelompok yang berada dalam posisi hubungan subjek-objek. Dikatakan demikian karena disini Tim Swakarsa merupakan pihak yang berinisiatif mensosialisasikan masalah dan membagikan pengetauan (share) kepada para perwakilan kelompok meskipun dalam aktifitas ini para perwakilan kelompok sedikit lebih vokal jika dibandingkan pada pelatihan oleh Nestle. Source dan recipient dalam aktifitas ini berada pada posisi yang tidak setara namun dengan gap yang tidak sejauh gap pada pelatihan oleh Nestle. Hal ini dikarenakan meskipun Tim Swakarsa merupakan penyelenggara acara, pihak yang menguasai pengetahuan, dianggap lebih tahu dan cukup dihormati oleh peserta pelatihan, mereka adalah orang yang dekat dengan para peserta pelatihan. Tim Swakarsa merupakan kelompok yang tumbuh dan besar di Pujon seperti hanya para peserta. Dalam pelatihan bersifat tentatif yang dilakukan oleh koperasi, proses aliran pengetahuan lebih berjalan sepihak dari tim swakarsa kepada para anggota. Hal ini berarti bahwa source (tim swakarsa) dan recipient (para peternak yang melapor atau diberi kunjungan) merupakan kelompok yang berada dalam sebuah hubungan subjek-objek yang tidak setara. Disini source (tim swakarsa) berada pada posisi subjek karena mereka lah yang aktif untuk berbagi pengetahuan atau
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
10
dalam kerangka tahapan Nonaka bisa disebut sebagai sebuah betuk Sosialisasi. Dilaksanakannya pelatihan ini sendiri sudah berarti bahwa anggota memiliki sebuah permasalahan yang tidak dapat mereka selesaikan dengan kemampuan mereka sendiri sehingga membutuhkan bantuan dari Tim Swakarsa. Hal ini berarti bahwa dalam proses tersebut kelompok tim penyuluh (source)—yang meskipun memiliki latar belakang yang hampir sama dengan recipient—berada pada posisi lebih tinggi dalam konteks permasalahan tersebut. Hal yang hampir sama dapat kita lihat dalam aktifitas semi formal dimana ketua kelompok dan peserta pelatihan yang memberikan pengetahuannya kepada anggota yang lainnya. Ketua kelompok dan peserta pelatihan merupakan source, sementara anggota yang melakukan aktifitas knowledge sharing dengan mereka merupakan recipient. Dalam konteks ini aktifitas knowledge sharing dilakukan dilakukan antara individu dengan individu dalam posisi subjek-objek yang tidak setara. Ketua kelompok dan peserta pelatihan merupaka subjek yang berbagi pengetahuan, sementara anggota yang diberi tahu atau bertanya berada pada posisi objek. Baik dalam aktifitas yang melibatkan ketua kelompok maupun peserta pelatihan, ketua kelompok dan peserta pelatihan (source) berada dalam posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan recipient. Sementara pada aktifitas informal dimana anggota berbagi informasi dengan anggota yang lainnya melalui sebuah obrolan, kita dapat melihat bahwa para anggota yang memberikan pengetahuan tersebut merupakan source dan para anggota yang lainnya yang menerima pengetahuan merupakan recipient. Disini interaksi yang terjadi lebih bersifat timbal balik dalam pengertian recipient dari sebuah informasi dapat menjadi source atas informasi lain dalam satu waktu interaksi. Oleh karena itulah, source dan recipient dalam hal ini adalah individu yang berada pada posisi subjek-subjek yang lebih setara. Dikatakan demikian karena selain peran source dan recipient yang tidak tetap, dalam prosesnya, baik dalam aktifitas knowledge sharing yang melibatkan hanya dua aktor ataupun lebih, pihak-pihak yang terlibat merupakan pihak yang aktif menyampaikan informasi. Salah satu hal yang perlu untuk dicatat adalah dalam konteks kasus aktifitas informal ini, adalah kedekatan interpersonal yang memungkinkan ia
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
11
untuk terjadi, baik itu berupa kedekatan wilayah (ruang), ikatan keluarga, pertemanan, ataupun kedekatan-kedekatan lain yang membentuk sebuah jaringan informal. Dalam gagasan Polanyi, masing-masing dari teknik dan cara beternak tersebut memiliki dimensi tacit dan explicit. Pengetahuan mengenai cara perawatan ternak dan cara pemberian makan termasuk dalam Dimensi Teknis (Technical dimension) dari Tacit knowledge yang meliputi berbagai macam hal yang bersifat keahlian (skill) dan sangat terkait dengan pengetahuan mengenai bagaimana cara melakukan sesuatu atau biasa dikenal dengan “know-how”. Oleh karena itulah sisi tacit dari pengetahuan ini lebih besar. Sementara pengetahuan seperti komposisi pakan ternak ataupun pola pemberian pakan ternak merupakan bentuk pengetahuan yang dimensi explicitnya lebih dominan karena lebih bersifat discrete. Sementara dalam gagasan Nonaka, pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat berbentuk tacit dan dapat pula berbentuk explicit. Ketika pengetahuan tersebut berhasil diformulasikan dan disampaikan kepada pihak lain dalam bentuk simbol-simbol bahasa, maka pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan yang explicit. Dalam Empat Model Konversi Pengetahuan Nonaka, Explicit knowledge ini lahir dalam fase eksternalisasi. Sementara itu, ketika pengetahuan tersebut ada dan masih berada di dalam kepala pemilik pengetahuan dan belum atau tidak dapat dirumuskan menggunakan simbol-simbol bahasa, maka pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan yang tacit. Hal ini berarti bahwa di dalam sebuah aktifitas knowledge sharing, terjadi proses perumusan pengetahuan atau pembentukan Explicit knowledge dari Tacit knowledge si pemilik pengetahuan (source). Dalam konteks pelatihan yang diberikan oleh Nestle, source dan recipient merupakan dua pihak yang cukup berbeda secara latar belakang, asal, maupun bidang kerja. Hal ini menunjukkan bahwa diantara keduanya tidak terdapat sebuah common knowledge. Hal ini dapat kita lihat misalnya dari intensitas umpan balik (feedback) yang diberikan oleh para peserta pada saat dilaksanakannya seminar yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
12
pelatihan yang diberikan oleh koperasi kepada para anggota. Sementara pada aktifitas Knowledge sharing yang lainnya—pelatihan rutin dan tentatif yang diberikan oleh koperasi, ketua kelompok, maupun antar anggota—kita dapat melihat bahwa selain antusiasme yang tinggi yang dapat kita lihat dalam kegiatankegiatan tersebut, umpan balik yang diberikan oleh para recipient juga mempunyai intensitas yang labih tinggi. Hal ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari aspek latar belakang, kebudayaan, karakter umum, bidang kerja dan tingkat pendidikan yang relatif sama. Dalam konteks pelatihan yang diberikan oleh Nestle, hubungan antara source dan recipient antara keduanya merupakan hubungan formal profesional dengan ikatan yang lemah (weak ties) dalam definisi Reagans karena tidak ada ikatan yang bersifat personal maupun emosional. Disini agaknya formalitas hubungan antara keduanya telah menjadi sebuah aspek tersendiri yang turut mendukung proses Knowledge sharing yang terjadi. Mengenai seberapa besar pengaruh dari formalitas hubungan tersebut jika dibandingkan dengan pengaruh dari ikatan emosional antara kedua belah pihak, tentunya dibutuhkan sebuah penelitian lanjutan. Sementara pada aktifitas knowledge sharing lainnya yang terjadi di internal Koperasi SAE Pujon, baik yang bersifat formal, semi formal, maupun informal, para aktor yang terlibat memiliki keterikatan emosional yang kuat antara satu dengan yang lainnya. Para aktor yang terlibat tersebut tinggal bersama di sebuah wilayah dengan karakteristik kebudayaan—misalnya bahasa dan keseharian—yang relatif seragam. Sebagian dari mereka bahkan memiliki hubungan kekeluargaan antara satu dengan yang lainnya. Khusus dalam konteks Knowledge sharing informal yang terjadi diantara para anggota, aktifitas tersebut bahkan mereka lakukan tanpa adanya kewajiban ataupun ketentuan tertentu yang ditentukan oleh Koperasi SAE Pujon. Kendati demikian aktifitas-aktifitas tersebut tetap dapat berjalan secara efektif—dalam pengertian informasi berhasil disalurkan dari source kepada recipient—meskipun dalam frekuensi yang tidak begitu besar.
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
13
NETWORK STRUCTURE DAN KNOWLEDGE SHARING DI KOPERASI SAE PUJON Struktur jaringan yang dimaksudkan dalam hal ini merupakan struktur jaringan khusus yang menjadi media dari proses penyaluran pengetahuan di dalam organisasi koperasi SAE Pujon. Artinya, dalam hal ini struktur jaringan yang dimaksudkan mempunyai cakupan yang lebih luas daripada sekedar struktur formal organisasi. Kohesi sosial yang terbentuk di masyarakat peternak pujon berakar pada dua sumber utama yaitu nilai dan norma kebudayaan masyarakat Pujon serta nilai dan norma dari Koperasi SAE Pujon. Reputasi, nilai dan norma kerjasama, ketiganya berasal dari dua sumber tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa struktur jaringan yang menjadi media bagi transfer pengetahuan memang mempunyai cakupan yang lebih luas dari sekedar struktur formal organisasi. Meskipun organisasi juga mempunyai nilai dan normanya, namun hal ini tidak dapat dilepaskan dari konteks masyarakat dimana organisasi tersebut hidup. Nilai dan norma dari organisasi dan masyarkat ini dapat saling bertentangan ataupun saling mendukung seperti dapat kita lihat pada pembahasan singkat diatas. Range dalam konteks Koperasi SAE Pujon dapat dilihat secara Institusional, Organisasional, dan Sosial. Secara institusional, koperasi SAE Pujon berada dalam institusi ekonomi. Di dalam institusi ini, Koperasi SAE Pujon hidup bersama dengan beberapa organisasi dan perorangan lainnya seperti Nestle, para pemasok bahan kebutuhan pembuatan pakan, GKSI, koperasi susu lain serta lembaga-lembaga pemerintah yang terkait. Organisasi dan perorangan ini, antara satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh nilai dan norma ekonomi yang terwujud dalam bentuk hubungan kerjasama ekonomi diantara mereka. Disini batasan yang ada lebih berupa keberadaan hubungan ekonomi dalam bidang persusuan antara organisasi-organisasi dan perorangan tersebut dan bukan batasan geografis tertentu. Secara organisasional, batas yang membatasi lingkup jaringan organisasi Koperasi SAE Pujon tentu saja adalah keanggotaan baik sebagai anggota maupun karyawan Koperasi SAE Pujon. Khusus untuk para anggota koperasi, sebagaimana telah ditentukan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Koperasi, hanya masyarakat Pujon saja yang berhak dan diperbolehkan untuk menjadi anggota koperasi. Hal ini berarti bahwa dalam perkembangannya,
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
14
secara tidak langsung batas administrasi Kecamatan Pujon merupakan batas maksimal dari lingkup ini. Di dalam lingkup organisasional ini tentu saja terdapat dan berkembang nilai-nilai dan norma organisasi khas Koperasi SAE Pujon, mulai dari yang paling tinggi tatarannya yaitu Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Koperasi, peraturan-peraturan turunannya seperti yang dapat kita temukan di pos penampungan susu maupun kantor koperasi, ketentuan-ketentuan lain yang tidak tertulis. Sementara secara sosial, lingkup jaringan di organisasi Koperasi SAE Pujon dibatasi oleh kehidupan sosial dari para anggota dan karyawan koperasi. Dengan kata lain, lingkup jaringan ini meliputi masyarakat yang hidup di wilayah Kecamatan Pujon. Menarik disini adalah bahwa secara geografis masyarakat Pujon—dalam pengertian persebaran tempat tinggal dan tempat beraktifitas— terletak cukup jauh dari masyarakat kecamatan lainnya seperti Batu, Blitar, ataupun Ngantang. Sedikit banyak topografi wilayah di pinggiran Pujon yang berbukit-bukit merupakan aspek utama yang paling berpengaruh dalam hal ini. Disini nilai dan norma sosial dari kebudayaan masyarakat Pujon merupakan perekat utama yang mempersatukan warga pujon di dalam lingkup jaringan ini. Kendati demikian, hal ini bukan berarti bahwa tidak ada interaksi social maupun budaya yang terjadi antara masyarakat Pujon dengan masyarakat kecamatan tetangganya. Kombinasi antara range dengan social cohesion inilah yang membentuk struktur jaringan yang menjembatani terjadinya proses knowledge sharing di dalam lingkup masyarakat Pujon. Secara sederhana struktur jaringan di Koperasi SAE Pujon yang terkait dengan proses Knowledge sharing yang terjadi dapat digambarkan sebagai berikut:
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
15
Formal dan Semi Formal Informal Formal dan semi formal Informal
Kelompok I
Kelompok II
Knowledge Peserta pelatihan, Tim Swakarsa Dan Karyawan Koperasi Kelompok III
Kelompok IV
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
16
Kop Sae
Dalam bagan tersebut kita dapat melihat bahwa pengetahuan dari Nestle masuk dan menyebar di kalangan masyarakat Pujon melalui tiga jenis aktifitas yaitu formal, semi formal dan informal. Di dalam bagan tersebut kita juga dapat melihat bahwa unit satuan yang paling kecil adalah kelompok anggota dimana saat ini terdapat 59 kelompok dengan rata-rata jumlah anggota dari masing-masing kelompok mencapai 140 orang. Dengan demikian, jika struktur tersebut digambarkan dalam sebuah bentuk piramida maka akan terbentuk sebuah piramida yang rendah dengan bagian bawah yang sangat menggelembung. Bentuk piramida seperti ini dapat berarti bahwa jarak antara bagian puncak dan dasar piramida cukup dekat sehingga persebaran informasi secara vertikal dari atas ke bawah menjadi cepat. Di sisi yang lain hal ini juga dapat diartikan sebagai dibutuhkan waktu yang cukup banyak untuk informasi dapat mengebar secara horizontal. Aktifitas Knowledge sharing yang bersifat formal dalam hal ini memang telah mampu menjangkau seluruh kelompok anggota. Kendati demikian aktivitas ini hanya dapat menjangkau sebagian kecil saja dari keseluruhan anggota koperasi. Beberapa hal utama yang menjadi kendala dalam hal ini adalah keterbatasan kuota untuk jumlah peserta pelatihan dan adanya kriteria tertentu untuk dapat dipilih oleh ketua kelompok sebagai peserta pelatihan. Aktifitas yang bersifat formal ini kemudian didukung oleh aktivitas semi formal dan informal yang terjadi sehingga memungkinkan terjadinya persebaran pengetahuan yang lebih luas secara horizontal. Peran ketua kelompok dalam konteks struktur jaringan menjadi sebuah posisi yang vital menjembatani proses knowledge sharing di koperasi SAE Pujon. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang menjadi kendala sehingga ia belum bisa berjalan maksimal. Pertama adalah jumlah anggota yang agaknya tidak proporsional dan terlalu banyak. Kedua adalah posisi ketua kelompok yang lebih dilihat sebagai “Si tukang menyebarkan pakan” ketimbang orang yang “penting” atau “dihormati” seperti misalnya tim swakarsa. Jabatan ketua kelompok memang kurang begitu popular di kalangan peternak sapi Pujon. Hal ini dapat kita lihat
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
17
dari keengganan peternak untuk mendirikan kelompok ternak yang terlihat dari sedikitnya jumlah kelompok yang ada dan besarnya jumlah anggota masingmasing kelompok. Padahal syarat untuk mendirikan kelompok menurut AD/ART Koperasi hanya 75 anggota. Selain itu, mereka yang berada pada posisi ketua kelompok juga cenderung diisi oleh mereka yang berlatar belakang ekonomi dan pendidikan rendah yang mencari pekerjaan tambahan. Keterbatasan kemampuan dan sumberdaya dari ketua kelompok juga turut berpengaruh dalam hal ini. Selain itu, faktanya tidak semua ketua kelompok dan peserta pelatihan melakukan aktifitas ini. Disini kita dapat melihat bahwa ketiga jenis aktifitas tersebut saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Jika hanya mengandalkan aktifitas Knowledge sharing yang bersifat formal maka proses knowledge transfer tidak akan berjalan dengan maksimal. Para peternak sapi Pujon sendiri, dalam hal ini telah memiliki keempat aspek tersebut. Sebagai sebuah kelompok masyarakat, para anggota Koperasi SAE Pujon berada dalam lingkup range yang sama baik secara institusional, organisasional, maupun sosial. Selain itu masyarakat Pujon juga memiliki sebuah common knowledge, ikatan antar individu yang kuat dan social cohesion yang kuat sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Manifestasi dari aspek-aspek itu sendiri dapat kita lihat dari berjalanya aktifitas knowledge sharing yang bersifat semi formal dan informal meskipun dengan keterbatasannya masing-masing. Konsepsi Reagans tentang “willingness” sendiri memang lebih banyak mengacu pada kemauan dari individu untuk memberikan pengetahuan yang ia punya kepada pihak lain dan bukan kemauan dari individu untuk bertanya kepada individu
lain
dalam
upaya
untuk
mendapatkan
pengetahuan.
Reagans
menyebutkan bahwa “kemauan” dalam gagasannya tentang Knowledge sharing sebagai “willingness of individuals to devote time and effort to assisting others”. Setidaknya dalam kasus ini, Knowledge sharing sebagai sebuah aktifitas interaksi timbal balik yang melibatkan lebih dari satu individu, tentunya tidak hanya melibatkan aspek kemauan untuk memberi dan menerima, melainkan juga meminta.
Meskipun
bukan
tidak
mungkin
namun
cukup
sulit
untuk
membayangkan sebuah aktifitas Knowledge sharing semi formal dan informal
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
18
yang tidak diawali oleh sebuah kegiatan bertanya dari salah seorang aktor. Menurut peneliti, selain common knowledge, ties, dan social cohesion dalam lingkup range jaringan tertentu, kemauan untuk bertanya ini tidak dapat dilepaskan dari kepentingan dan pandangan dari aktor atas pengetahuan yang dimiliki oleh aktor lain. KESIMPULAN Lalu
bagaimanakah
hubungan
antara
Network
structure
dengan
Knowledge sharing dalam konteks penelitian ini? Senada dangan hasil penelitian dari Reagans, penelitian ini juga menemukan bahwa network structure juga mendukung berlangsungnya aktifitas Knowledge sharing yang terjadi di masyarakat Pujon. Sebagaimana telah diebutkan sebelumnya, berjalannya aktifitas Knowledge sharing yang bersifat semi formal dan informal di masyarakat Pujon memang tidak dapat dilepaskan dari aspek keberadaan network structure bersama dengan common knowledge dan strong ties diantara mereka. Keberadaan Network structure, common knowledge dan strong ties di masyarakat pujon telah melahirkan kemauan untuk bekerja sama dan berbagi pengetahuan—dalam pengertian kemauan untuk memberikan pengetahuan yang mereka miliki— diantara mereka yang dapat dilihat dari aktifitas semi formal dan informal yang terjadi. Sebagai sebuah kelompok masyarakat yang lahir, tinggal, tumbuh dan berkembang di wilayah yang sama masyarakat Pujon memiliki sebuah common knowledge. Selain itu, masyarakat Pujon juga memiliki kohesi sosial (social cohesion) dan ikatan yang kuat (strong ties) diantara para anggotanya baik di dalam lingkup jaringan (range) secara institusional, organisasional, maupun sosial. Hal-hal tersebut membentuk sebuah struktur jaringan yang kemudian melahirkan kemauan (willingness) untuk rela meluangkan waktu dan tenaganya dalam melakukan Knowledge Sharing dengan anggota yang lainnya. Selain itu, hal ini juga didukung dengan nilai-nilai dan karakteristik masyarakat pedesaan Pujon. Tanpa adanya hal-hal tersebut, aktifitas Knowledge Sharing yang bersifat semi formal dan informal tidak akan terjadi. Kendati demikian hal ini tidak lantas membuat proses Knowledge Sharing berjalan dengan maksimal, salah satu penyebabnya adalah kurangnya kemauan untuk bertanya atau mencari
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
19
pengetahuan dari sebagian masyarakat Pujon. Selain itu, beberapa kendala yang lainnya adalah sifat subsisten dari kegiatan beternak mereka, diletakkannya beternak sapi sebagai sekedar penghasilan tambahan, serta sifat yang lebih suka hal yang instan dan tidak suka banyak aturan (kompleks). REFERENCES Amin, Ash dan Joanne Roberts Community. 2008. Economic Creativity and Organization. Oxford: Oxford Press. Babbie, Earl. 1998. The Practice of Social Research 8th Edition. Belmont, CA: Wadsworth. Bartolomew, David. 2005. Sharing knowledge. David Bartholomew Associetes (DBA) DiMaggio, Paul. 1988. The Twenty-First-Century Firm : Changing Economic Organization in Internal Perspective. Princeton: Princeton University Press Gintis, Herbert. 2004. Moral Sentiments and Material Interests : The Foundations of Cooperation in Economic Life. Cambridge: The MIT Press. Handel, Michael J. 2003. The Sociology of Organizations : Classic, Contemporary, and Critical Reading. Madison: SAGE Publication Neumann, William Lawrence. 2003. Social Research Method : Qualitative and Quantitative Approaches Fifth Edition. United State Of America: Pearson Education Aulawi, Hilmi. et al., ed. 2009. hubungan knowledge sharing behavior dan individual innovation capability. Jurnal Teknik Industri, Vol. 11, No. 2, Desember 2009, pp. 174-187 Bechina AA and Bommen T. 2006. Knowledge sharing Practices: Analysis of a Global Scandinavian Consulting Company. The Electronic Journal of Knowledge Management Volume 4 Issue 2, pp 109 - 116, available online at www.ejkm.com Duguid, Paul. 2008. ‘The Art of Knowing’: Social and Tacit Dimensions of Knowledge and the Limits of the Community of Practice. A Journal from Springer. Grant, Kenneth A. 2007. Tacit Knowledge Revisited – We Can Still Learn from Polanyi. Electronic Journal of Knowledge Management Volume 5 Issue 2 2007 (173 -180)
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013
20
Joshi, K. D. dan Joe Brooks. 2004. Knowledge Flows: Knowledge Transfer, Sharing and Exchange in Organizations. Proceedings of the 37th Hawaii International Conference on System Sciences Kohengkul, Supaporn. 2009. Influences of strategies, knowledge sharing and knowledge transfer on the success of university-school collaboration in research and development. The 90th Anniversary of Chulalongkorn University Fund Meilinah, Sugiarti. 2007. Indonesia Dairy Product Annual 2007: Gain Report. USDA Foreign Agricultural Service. Mulawarman, Aji Dedi. 2007. Mengembangkan Kompetensi Inti dan Konsep Bisnis Koperasi: Digali dari realitas masyarakat Indonesia. Makalah dalam Diskusi Panel Kajian Koperasi: Peluang dan Prospek Masa Depan. Kementrian Negara Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah. Universitas Negeri Malang. 10 Desember 2007. Müller-Prothmann, Tobias. 2006. Social Network Analysis: A Practical Method to Improve Knowledge sharing. Berlin: Pumacy Technologies AG. Nonaka, Ikujiro. 1994. A Dynamic Theory of Organizational Knowledge Creation Norris, Donald M. dkk. 2003. A Revolution in Knowledge sharing Powell, Walter W. 1988. The Capitalist Firm in the Twenty-First Century: Emerging Patterns in Western Enterprise Reagans, Ray dan Bill McAvily. 2003. Network structure and Knowledge Transfer: The Effects of Cohesion and Range. Administrative Science Quarterly, 48: 240–267 Sethi, Rajiv dan E. Somanathan. 2004. Norm Compliance and Strong Reciprocity. A Paper from www.columbia.edu/rs328/pubs.htm Stillwell, William D. 2001. Tacit Knowledge And The Work Of Ikujiro Nonaka: Adaptations of Polanyi in a Business Context. A paper from www.missouriwestern.edu Nurdin, Agus. 2006. Analisa Sumber-Sumber Pertumbuhan Produksi Susu Segar Peternakan Sapi Perah di Indonesia Suharyono. 1991. Kemampuan Koperasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (studi kasus koperasi di daerah kotamadya dan kabupaten malang) Putra, Bisma Astrea. 2011. Jaringan Sosial Investor Online Trading Sebagai Bentuk Strategi Organisasi : Studi Pada Jaringan Sosial Obrolan Ringan Investor “ORI”
Knowledge sharing..., Nur Huda, FISIP UI, 2013