Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat Majemuk Indonesia 1 Parsudi Suparlan (Universitas Indonesia)
Abstract This article will discuss legal and social discrimination against Chinese ethnic group in Indonesia and will show that the ethnic Chinese has been categorised as The Other since Chinese people are believed to have come from foreign country (China) and maintain their identity as different from other Indonesian ethnic groups. The discussion is focused on the essence of Indonesia as a multicultural society based on ethnicities as social force to develop social interactions within social, economy and political structures at the personal, social and state levels.
Pendahuluan Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau bhinneka tunggal ika, yaitu sebuah masyarakat negara yang terdiri atas sukubangsa2 yang dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, penekanan keanekaragaman adalah pada sukubangsa dan kebudayaan sukubangsa. Setiap masyarakat sukubangsa secara turun temurun mempunyai 1
Tulisan ini merupakan revisi dari makalah yang dipresentasikan dalam panel ‘Ethnic Chinese and Multicultural Society’, pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3: ‘Membangun Kembali Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika”: Menuju Masyarakat Multikultural’, 16–19 Juli 2002, Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali. 2
Atas permintaan penulis, kata ‘sukubangsa’ dalam artikel ini ditulis menjadi satu kata yang mengacu pada kata ethnic dalam bahasa Inggris.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
dan menempati wilayah yang diakui sebagai hak ulayatnya. Di tempat itulah sumber-sumber daya mereka dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka. Masyarakat majemuk seperti Indonesia, tidak hanya beranekaragam corak dan kebudayaan sukubangsanya secara horizontal. Mereka juga secara vertikal berjenjang dalam kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial politiknya (Suparlan 1979). Banyak orang Indonesia tidak menyadari bahwa dalam masyarakat Indonesia terdapat golongan dominan dan minoritas. Hal itu terwujud dalam tindakan-tindakan yang dilakukan dalam berbagai interaksi, baik interaksi individual maupun kategorial. Di lain pihak, baik tingkat nasional—seperti posisi orang Cina yang minoritas dibandingkan dengan pribumi— maupun pada tingkat masyarakat lokal—seperti posisi orang Sakai yang minoritas dibanding-
23
kan dengan posisi orang Melayu yang dominan di Riau—(Suparlan 1995). Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, keanekaragaman sukubangsa telah menghasilkan potensi konflik antarsukubangsa dan antara pemerintah dengan suatu masyarakat sukubangsa. Potensi-potensi konflik tersebut merupakan sebuah permasalahan yang ada bersamaan dengan keberadaan corak sukubangsa yang majemuk. Sumber permasalahan ini terletak pada siapa atau golongan mana yang paling berhak atas sumber-sumber daya yang ada di wilayah-wilayah kedaulatan dan kekuasaan sistem nasional atau pemerintah pusat. Pertanyaan mengenai siapa yang paling berhak atas sumber-sumber daya tersebut muncul karena sumber-sumber daya tersebut ada di wilayah-wilayah hak ulayat masingmasing sukubangsa. Padahal, Indonesia sebagai sebuah bangsa secara de jure dan de facto baru ada setelah proklamasi 17 Agustus 1945 yang berarti lebih muda dibandingkan dengan keberadaan masyarakat-masyarakat sukubangsa. Hal itu menyebabkan pemerintahan nasional berada dalam posisi sulit dan dilematis untuk mengakui, mengambil alih, dan memonopoli sumber-sumber daya yang ada dalam hak ulayat sukubangsa. Oleh karena itu, hubungan antara pemerintah nasional dengan masyarakat sukubangsa menjadi permasalahan yang krusial dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik kepentingan atas sumber-sumber daya tersebut terjadi pada tingkat nasional dan lokal. Kesukubangsaan yang muncul dalam interaksi sosial adalah sebuah kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar. Hal itu menjadi acuan ampuh dalam upaya kohesi sosial dan solidaritas di antara sesama anggota sukubangsa dalam persaingan dan perebutan sumbersumber daya yang secara adat menjadi hak
24
mereka. Dampak lain dari pengaktifan dan penggunaan kesukubangsaan dalam kehidupan sosial adalah ditegaskannya batas-batas kesukubangsaan oleh masyarakat sukubangsa setempat berkenaan dengan penguasaan hak. Batas-batas tersebut di antaranya adalah siapa yang tergolong asli pribumi setempat, siapa yang pribumi setempat tetapi tidak asli, siapa yang pendatang, dan siapa yang asing. Penggolongan ini berdampak pada perlakuan sosial, politik, dan ekonomi berupa tindakantindakan diskriminasi dari yang paling ringan (digolongkan sebagai pribumi tetapi tidak asli sehingga mempunyai posisi minoritas) sampai dengan yang terberat (orang Cina, yang digolongkan sebagai asing). Dampak lain adalah munculnya ideologi kesukubangsaan. Sadar atau tidak, akan melandasi corak kegiatan dari sistem nasional. Ide bahwa orang Cina itu asing lebih dominan dibandingkan dengan anggapan dan kenyataan bahwa mereka warganegara Indonesia. Oleh karena itu, walaupun orang Cina sudah menjadi warganegara Indonesia tetapi tetap saja didiskriminasi secara hukum dan sosial. Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa diskriminasi secara legal atau hukum dan sosial terhadap orang Cina di Indonesia adalah produk dari interaksi antara dominannya ideologi kesukubangsaan orang Indonesia pribumi pada tingkat nasional dengan kesukubangsaan Cina sebagai asing, dalam konteks-konteks persaingan dan perebutan sumberdaya. Uraian dalam tulisan ini akan mencakup pembahasan mengenai hakikat masyarakat majemuk dan dominannya ideologi kesukubangsaan. Selain itu juga membahas tentang kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial yang muncul dan digunakan dalam interaksi, masalah pribumi asli sebagai lawan dari tidak asli dan asing dan berbagai dampak diskriminatifnya.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Kesukubangsaan dalam masyarakat majemuk Gejala sosial yang tidak terlihat di dalam kehidupan sehari-hari tetapi mendasar dan mendalam di dalam kehidupan anggota sukubangsa-sukubangsa di Indonesia adalah jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan. Dalam kehidupan orang Indonesia, sukubangsa adalah sebuah ide, kenyataan, dan ideologi yang mempunyai kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar ataupun dibendung. Bila kita mendefinisikan sukubangsa sebagai sebuah kategori atau golongan sosial askriptif (Barth 1969), maka sukubangsa adalah sebuah pengorganisasian sosial mengenai jatidiri yang askriptif ketika anggota sukubangsa mengaku sebagai anggota suatu sukubangsa karena dilahirkan oleh orang tua dari sukubangsa tertentu atau dilahirkan di dan berasal dari sesuatu daerah tertentu. Jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan tidak dapat dibuang atau diganti. Hal ini berbeda dengan jati diri lain yang diperoleh seseorang dalam berbagai struktur sosial. Kesukubangsaan tetap melekat dalam diri seseorang sejak kelahirannya. Meskipun jatidiri sukubangsa dapat disimpan atau tidak digunakan dalam interaksi, tetapi tidak dapat dibuang atau dihilangkan. Dalam setiap interaksi, jatidiri akan nampak karena adanya atribut-atribut yang digunakan oleh pelaku dalam mengekspresikan jatidirinya sesuai dengan hubungan status atau posisi masing-masing (Suparlan 1999a). Dalam hubungan antarsukubangsa, atribut kesukubangsaan adalah ciri-ciri fisik atau rasial, gerakan-gerakan tubuh atau muka, dan ungkapan-ungkapan kebudayaan, nilai-nilai budaya serta keyakinan keagamaan. Seseorang yang dilahirkan dalam keluarga suatu sukubangsa mau tidak mau harus hidup dengan berpedoman pada kebudayaan sukubangsanya sebagaimana yang digunakan orangtua dan
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
keluarga dalam merawat dan mendidiknya. Pada gilirannya ia menjadi manusia sesuai dengan konsepsi kebudayaan tersebut. Sadar atau tidak, seseorang akan hidup dengan berpedoman pada kebudayaan sukubangsanya. Proses pembelajarannya terjadi sejak masa anak-anak hingga dewasa. Ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus hidup menurut kebudayaan sukubangsa orang tuanya. Dia harus tahu, memahami, dan meyakini, serta menggunakan kebudayaan tersebut sebagai pedoman bagi kehidupannya dalam menghadapi dan menginterpretasi lingkungan, dan untuk dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada bagi kelangsungan hidupnya. Dalam perspektif ini, seseorang seperti ‘dipaksa’ mulai sejak kelahirannya, maka kebudayaan sukubangsa juga bercorak askriptif seperti kesukubangsaannya. Kebudayaan sukubangsa bagi anggota sukubangsa adalah sebuah pedoman bagi kehidupan primordial atau yang pertama dan utama dipelajari dan diyakini kebenarannya dalam kehidupan mereka. Pembelajaran kebudayaan yang juga ‘dipaksakan’ adalah pelajaran agama dari orangtua, keluarga, dan komunitas sukubangsa tersebut. Agama adalah teks suci yang berisikan petunjuk-petunjuk Tuhan tentang sesuatu yang wajib diikuti, yang sebaiknya dihindari, dan yang dilarang untuk dilakukan menjadi operasional dalam kehidupan manusia. Hal itu terejawantahkan melalui dan ada dalam kebudayaan manusia dan pranata-pranata sosial masyarakatnya. Dengan kata lain, petunjuk-petunjuk Tuhan tersebut diinterpretasi dan dipahami dengan menggunakan acuan kebudayaan, untuk dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan yang tidak bertentangan dengan kebudayaan yang sudah ada. Sebaliknya, sebagian besar nilai-nilai budaya yang sudah ada itu disesuaikan dengan
25
nilai-nilai keagamaan yang diyakini kebenarannya. Agama biasanya menggantikan sebagian atau seluruh nilai-nilai budaya yang menjadi inti dan yang mengintegrasikan keutuhan dari suatu kebudayaan sukubangsa. Dengan demikian, nilai-nilai budaya suatu sukubangsa diperkuat posisi dan daya paksanya untuk mewujudkan keteraturan hidup yang adil dan beradab karena telah dimuati berbagai sanksi sakral yang ada dalam agama yang diyakini. Nilai-nilai budaya yang sakral atau nilai-nilai keagamaan adalah sesuatu yang primordial bagi setiap anggota sukubangsa. Coraknya sama dengan corak primordial kesukubangsaan. Setiap anggota masyarakat dilahirkan, dididik dan dibesarkan dalam suasana askriptif primordial kesukubangsaannya. Dalam suasana tersebut pembedaan antara siapa ‘saya’, siapa ‘dia/kamu’, dan antara siapa ‘kami’ siapa ‘mereka’ jelas batas-batasnya, selalu diulang dan dipertegas. Dalam ruang lingkup batasbatas kesukubangsaaan ini, stereotip dan prasangka berkembang dan menjadi mantap dalam suatu kurun waktu hubungan antarsukubangsa yang tidak terbatas. Akibatnya banyak saling salah pengertian dalam komunikasi antarsukubangsa, sehingga semakin lebarnya jarak dan mantapnya batas-batas hubungan antara dua sukubangsa atau lebih. Akibat lebih lanjut adalah terwujudnya tindakan-tindakan diskriminatif dalam hak dan kewajiban oleh sukubangsa yang dominan terhadap mereka yang tergolong lemah dan nonpribumi atau minoritas di dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Apa yang dikemukakan Thung Ju Lan (1999b) mungkin dapat dilihat sebagai sebuah contoh konflik antara pribumi setempat dengan orang Cina yang tidak pernah tuntas. Corak stereotip dan prasangka terhadap minoritas dan nonpribumi juga nampak dalam berbagai kebijaksanaan pemerintahan nasional.
26
Gejala ini dapat dipahami dengan memperhatikan bahwa para pejabat atau penguasa dalam sistem nasional yang berasal dari berbagai sukubangsa yang dominan di Indonesia yang secara sadar atau tidak mengaktifkan kesukubangsaan mereka dalam berbagai kebijakan dan keputusan-keputusan sosial, ekonomi, dan politik untuk kepentingan nasional maupun lokal. Oleh karena itu, seringkali ideologi kesukubangsaan pejabat tersebut terwujud dalam berbagai kebijakan secara primordial untuk memperoleh dukungan sosial, ekonomi, dan politik dari masyarakat sukubangsanya atau kelompok agamanya. Dengan kata lain, sesungguhnya masyarakat Indonesia majemuk mempunyai sistem nasional yang askriptif dan primordial secara kesukubangsaan. Dalam perspektif ini, tidak seorang pun yang dapat menjadi orang Indonesia tanpa harus menjadi anggota salah satu sukubangsa dan yang digolongkan sebagai pribumi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila program asimilasi atau pembauran yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru gagal berantakan (Thung Ju Lan 1999a). Walaupun orang Cina telah berganti nama menjadi nama Jawa, Sunda, atau Batak, mereka tetap saja digolongkan sebagai orang asing dan bukan yang pribumi. Begitu pula kasus orang Cina yang telah beragama Islam. Mereka tetap saja digolongkan sebagai orang Cina, dan bahkan keislamannya dicurigai oleh sebagian orang hanya sebagai sebuah strategi bisnis agar lebih leluasa dan menguntungkan di bawah label Islam. Di samping itu, kegagalan program pembauran karena konsep itu sendiri juga tidak jelas. Orang Cina mau dibaurkan atau diasimilasikan ke dalam masyarakat Indonesia atau masyarakat sukubangsa? Apakah yang namanya pembauran itu hanya sekadar ganti nama atau ganti agama? Dalam kenyataannya, ada kondisi yang kontradiktif. Program asimilasi disponsori pe-
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
merintah Indonesia yang beberapa waktu lalu masih mendiskriminasi secara hukum orangorang Cina dengan memberi kode khusus di KTP berdasarkan identifikasi kecinaan mereka. Ada dugaan bahwa berdasarkan kode tersebut pejabat pemerintah setempat dapat melakukan berbagai tindakan diskriminatif dan pemerasan. Sampai sekarang masih terdapat ketentuan hukum yang mewajibkan seorang anak Cina, yang orang tuanya adalah warga negara Indonesia, harus aktif memohon kewarganegaraan Indonesia kepada pemerintah. Bila tidak, maka ia digolongkan sebagai warga negara asing atau tidak berkewarganegaraan.
Kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial Tidak dapat disangkal bahwa kesukubangsaan dapat dilihat sebagai kekuatan sosial untuk menciptakan terwujudnya kohesi sosial di antara sesama anggota sukubangsa. Kohesi sosial ini dapat diaktifkan dan diarahkan sebagai solidaritas sosial yang berkekuatan paksa diberlakukannya suatu kebijakan politik atau ekonomi, memenangkan persaingan memperebutkan sumber daya, atau menghancurkan kelompok sukubangsa lain yang menjadi lawan. Kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial tidak dapat ditawar atau diremehkan (non negotiable) pada saat terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial. Pada satu sisi, kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial mirip dengan keyakinan keagamaan. Keyakinan keagamaan pada waktu terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial juga tidak dapat ditawar atau diremehkan. Keduaduanya mempunyai potensi merusak yang sama besarnya di dalam konflik antarsukubangsa atau antarkeyakinan keagamaan. Tetapi dari sisi lain, kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan tidaklah sama. Kesukubangsaan mempunyai efektivitas kekuatan sosial dalam
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
batas-batas sesama anggota sukubangsa, sedangkan keyakinan keagamaan mempunyai jangkauan solidaritas sosial hanya dalam salah satu segmen masyarakat sukubangsa, dalam suatu masyarakat sukubangsa, atau di luar batas masyarakat tersebut. Sebagai kekuatan sosial, kesukubangsaan beroperasi dalam batas-batas wilayah sukubangsa tempat anggota sukubangsa itu hidup. Di pihak lain, keyakinan agama beroperasi dalam batas-batas wilayah para penganutnya, yaitu dalam sebagian, keseluruhan, atau mencakup dua atau lebih wilayah kehidupan sukubangsa yang berbeda. Karena itu kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan dapat saling memperkuat atau memperlemah jatidiri dan potensi kekuatan masing-masing, dalam hubungan antarsukubangsa ataupun dalam hubungan antar keyakinan keagamaan. Bruner (1974) pada waktu membahas teorinya mengenai ‘hipotesa kebudayaan dominan’ sebenarnya berbicara mengenai kesukubangsaan sebagai sebuah kekuatan sosial politik (lihat Suparlan 1999). Salah satu kekuatan itu adalah kemampuannya untuk menentukan macam mata pencaharian yang dapat dikerjakan oleh pendatang dari sukubangsa lain. Bila pelanggaran dilakukan maka konflik antar sukubangsa dapat terwujud, seperti dalam kasus Kalimantan Barat dan Ambon (Suparlan 2000a, 2000b, 2001). Di masa lampau, hanya di kota-kota besar terdapat kehidupan masyarakat yang kesukubangsaannya beranekaragam. Tetapi sekarang, hampir seluruh wilayah Indonesia heterogen secara sukubangsa. Anggota berbagai sukubangsa dan daerah telah hidup berdampingan dalam komunitas sukubangsa setempat. Hubungan antarsukubangsa pun menjadi lebih intensif daripada di masa lampau. Hal ini menyebabkan berbagai masalah pengakomodasian perbedaan budaya antara pendatang dengan penduduk setempat karena hampir
27
semua pendatang mempunyai kebudayaan ekonomi yang lebih maju dan agresif. Masalah hubungan antara pendatang dengan masyarakat setempat terpusat pada masalah kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber daya. Tingkat agresivitas pendatang adalah masalah yang paling kritikal dalam persaingan untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang ada. Hal itu karena masyarakat setempat melihat diri mereka sebagai tuan rumah serta pemilik sumber-sumber daya alam yang ada di wilayah hak ulayat mereka sedangkan para pendatang dilihat sebagai tamu. Komunitas dan masyarakat sukubangsa setempat yang mayoritas dan dominan menekankan penggunaaan prinsip ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’ sebagai acuan yang harus dijadikan pedoman oleh para pendatang. Secara langsung atau tidak, komunitas dan masyarakat sukubangsa setempat mendiskriminasi para pendatang dalam hak dan kewajiban berkenaan dengan upaya eksploitasi, penguasaan, dan pendistribusian sumber-sumber daya yang ada. Ketika prinsip tersebut tidak lagi ditaati oleh para pendatang, anggota masyarakat setempat dapat memberi peringatan atau melaporkannya kepada polisi setempat. Tetapi ketika pelanggaran telah melampaui kelaziman hubungan ‘tamu-tuan rumah’, anggota komunitas dan masyarakat setempat mengaktifkan dan menggunakan kesukubangsaan untuk mengorganisasi diri mereka sebagai satuan-satuan perang, seperti yang telah terjadi di Kalimantan Barat, Ambon, dan Kalimantan Tengah. Orang Cina yang telah dan terus datang selama berabad-abad ke berbagai tempat di Indonesia menempati posisi sebagai tamu dalam prinsip itu tadi. Oleh karena itu, di masa lampau hampir dapat dikatakan tidak ada konflik antara masyarakat sukubangsa setempat dengan orang Cina. Hubungan kawin-mawin antara orang-orang Cina dengan perempuan
28
pribumi setempat telah memungkinkan berubahnya status ‘tamu’ menjadi kerabat. Perubahan status ini telah memungkinkan keturunan mereka juga mempunyai hak atas tanah dari kelompok kerabat setempat. Di antara orang Cina yang hidup relatif bebas dari posisinya sebagai tamu adalah komunitas orang Cina di Singkawang. Nenek moyang mereka telah datang ke tempat tersebut dan sekitarnya karena tertarik pada adanya emas di Monterado dan Mandor. Mereka datang dan menetap di Singkawang sebelum orang Melayu atau Dayak menetap di daerah tersebut. Mereka merupakan komunitas yang berdiri sendiri berdasarkan atas kesukubangsaan dan asal daerah mereka di Cina. Mereka menjalin hubungan baik di antara sesama komunitas tersebut, di samping dengan kesultanan Sambas dan masyarakat Dayak yang ada di sekeliling Singkawang. Sekarang, mereka diperlakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai warga negara Indonesia keturunan asing. Namun, berbagai peraturan kewarganegaraan yang dibelakukan terhadap orangorang Cina di Indonesia juga diberlakukan terhadap mereka. Bila dahulu posisi mereka di Singkawang seperti pribumi, tetapi sekarang mereka seperti tamu di wilayah orang Melayu dan Dayak.
Pribumi dan nonpribumi posisi orang Cina Konsep asli yang dibedakan dari nonasli dan pribumi lawan nonpribumi merupakan konsep-konsep penting dalam kehidupan masyarakat sukubangsa di Indonesia. Dengan mengacu pada konsep-konsep tersebut, berbagai bentuk keteraturan sosial diciptakan dan dimantapkan. Di dalam keteraturan sosial tersebutlah tercakup hubungan antara mereka yang dominan dan yang minoritas. Dalam hubungan dominan-minoritas tersebut terdapat
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
berbagai bentuk diskriminasi oleh yang dominan terhadap yang minoritas. Di masa lampau, para pendatang di sebuah masyarakat sukubangsa pada umumnya cenderung hidup dan menetap di daerah perkotaan. Di daerah perkotaan itulah mereka dapat menyesuaikan diri secara lebih baik sebagai tenaga buruh atau pedagang, seperti yang dilakukan oleh orang Cina dan Arab dalam sejarah migrasi mereka di kepulauan Nusantara. Dengan demikian, tidak perlu berurusan dengan hak-hak ulayat atau adat berkenaan dengan pengolahan dan pemilikan atas tanah atau hutan yang menjadi hak prerogatif masyarakat sukubangsa setempat. Di antara orang Cina di Indonesia ada yang datang dan menetap di daerah pedesaan atau perkebunan milik orang-orang Belanda di jaman penjajahan Belanda, seperti yang terjadi di Depok, Tangerang, atau daerah lainnya. Sebagian besar dari mereka telah melebur atau terasimilasi menjadi orang setempat, karena meninggalkan ciri-ciri kesukubangsaan Cinanya: berganti menjadi beragama Islam, saling kawin dan beranak pinak dengan anggota masyarakat setempat, dan mengadopsi jatidiri sukubangsa setempat dan kebudayaannya. Sebagian lainnya masih tetap mempertahankan kecinaannya. Mereka tetap mempertahankan keyakinan Konghucu yang menekankan pentingnya hubungan ritual dengan leluhur, penggunaan bahasa asalnya di Cina di dalam keluarga dan kehidupan mereka sehari-hari, dan hidup dalam lingkungan komunitas mereka sendiri. Hal tersebut menjadi pendorong dan penstimuli bagi dipertahankan dan dikembangkannya kebudayaan asal Cina mereka yang askriptif dan primordial. Di Jakarta, mereka dikenal sebagai Cina Benteng. Di daerah perkotaan Jawa, mereka cenderung mengelompok dalam komunitas mereka sendiri. Wilayah tersebut dikenal dengan nama Pecinan, yang biasanya bukan hanya menjadi tempat tinggal
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
tetapi juga menjadi tempat bisnis grosir dan berbagai kegiatan perdagangan eceran serta pelayanan jasa-jasa lainnya yang menjadi mata pencaharian spesialisasi mereka. Di zaman pemerintahan Hindia Belanda, orang Cina, bersama dengan orang Arab, secara hukum digolongkan sebagai Orang Timur Asing. Oleh karena itu, hukum yang diberlakukan kepada mereka bukan hukum Belanda atau hukum adat dari pribumi. Mereka tidak tergolong sebagai Belanda maupun pribumi. Mereka adalah Orang Asing dari Timur. Mereka berhak mengajukan diri menjadi warganegara Belanda, sehingga hukum yang diberlakukan kepada mereka sama dengan yang diberlakukan terhadap orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Sebagian dari mereka yang berhasil dalam bisnis dapat membiayai sekolah anakanak mereka di sekolah Belanda, sehingga menghasilkan generasi Cina yang berpendidikan Barat dan cenderung menjadi Kristen. Sebagian dari mereka inilah yang kemudian memanfaatkan kesempatan untuk menjadi warganegara Belanda. Di Kalimantan Barat, terutama di Pontianak, Singkawang, dan sekitarnya terdapat komunitas-komunitas orang Cina. Di perkotaan, mereka hidup dari berdagang dan berbagai kegiatan jasa dan buruh, sedangkan di pedesaan mereka bertani, menangkap ikan, di samping menjadi pedagang dan buruh. Mereka mengelompok dalam komunitas-komunitas asal mereka di Cina, mempertahankan kebudayaan dan bahasa asal mereka, di samping beradaptasi dengan kebudayaan Melayu setempat. Mereka juga mempertahankan keyakinan Konghucu dan pemujaan ritual kepada nenek moyang, walaupun di masa Orde Baru mereka menyembunyikan keyakinan tersebut dengan label agama Budha. Orang-orang Cina di Indonesia menikmati masa-masa yang relatif tenang sampai tahun 1960, yaitu sampai dengan ketika pemerintah
29
Indonesia memutuskan untuk membedakan antara warga negara Indonesia dan warganegara asing, dan antara yang ingin tetap tinggal di Indonesia dan yang ingin kembali ke negeri leluhurnya RRC. Secara sosial, tidak jelas adanya diskriminasi terhadap Cina sebagai golongan, walaupun secara individual hal itu bisa terjadi. Pada waktu terjadi G 30S/PKI, orang-orang Cina dituduh terlibat di dalam kup tersebut, karena keterlibatan Baperki dalam PKI. Banyak di antara mereka ditangkap militer, dibunuh massa, dan hilang atau melarikan diri ke luar Indonesia. Sebagian dari orang-orang Cina di Kalimantan Barat adalah pendukung presiden Sukarno, yang dituduh terlibat G 30S/PKI. Mereka melakukan perlawanan dan membentuk pasukan-pasukan di daerah perbatasan Kalimantan Barat. Pada tahun 1968, perlawanan mereka dapat ditumpas militer dengan menggunakan pasukan Dayak yang mengaktifkan tradisi ‘mangkok merah’ yang telah dilarang di zaman penjajahan Belanda. Saya mencatat dari seorang informan orang Dayak mengenai digunakannya kembali kekuatan kamang tariu yang menggunakan mangkok merah untuk solidaritas sosial di antara orang Dayak untuk menghancurkan dan mengalahkan musuh (Suparlan 2000a). Pada masa Orde Baru, pemerintah memberlakukan berbagai peraturan sebagai cara untuk mengontrol orang Cina di Indonesia. Peraturanperaturan tersebut dapat dilihat sebagai diskriminasi hukum terhadap mereka karena dianggap asing dan diragukan kesetiaan mereka terhadap negara dan bangsa Indonesia. Secara sosial, tindakan-tindakan diskriminatif dalam bidang hukum diikuti oleh anggota-anggota masyarakat pribumi yang berkepentingan untuk menguasai atau mengambil alih kekuasaan orang-orang Cina dalam bidang bisnis dan perdagangan.
30
Dampak dari tindakan-tindakan diskriminatif tersebut adalah pemalakan, pemerasan, pembakaran dan penghancuran rumah dan pertokoan. Orang Cina tidak memperoleh perlindungan hukum dan keamanan sewajarnya. Sebagai golongan minoritas, mereka menjadi kambing hitam atas berbagai kekacauan ekonomi baik nasional maupun lokal. Puncak kemarahan masyarakat Jakarta atas kebobrokan ekonomi Indonesia terhadap orang Cina terjadi pada tanggal 13–14 Mei 1998 (lihat Suparlan 2000b). Tidak dapat disangkal bahwa dalam peristiwa ini terlibat berbagai pihak sebagai provokator, tetapi bukti-bukti untuk itu tidak cukup untuk mengungkapkannya. Bila kita perhatikan dengan sungguhsungguh, sebetulnya terdapat kontradiksi antara kebijaksanaan diskriminasi yang dilakukan Presiden Soeharto, pejabat-pejabat sipil, dan ABRI terhadap orang Cina (lihat: Nuranto 1999, Wibowo 1999). Soeharto dan penguasa Orde Baru lainnya telah menggunakan sejumlah orang Cina sebagai bankir dan pelaksana perusahaan-perusahaan mereka. Dalam posisi tersebut orang-orang Cina telah memperoleh berbagai keistimewaan dan fasilitas yang menyebabkan mereka secara mencolok menjadi konglomerat bersamaan dengan posisi informal yang mereka miliki dalam pemerintahan. Mereka adalah individu-individu dan bukan kategori atau golongan. Namun, bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, kemunculan individu-individu konglomerat Cina pada tingkat pusat maupun daerah dipandang sebagai kemunculan orang Cina—sebagai sebuah golongan askriptif— merupakan hasil kong kali kong dengan para pejabat Orde Baru. Hal itu menyebabkan mereka menyimpulkan bahwa orang Cina sebagai kategori adalah konglomerat. Kekayaan mereka yang berlimpah dianggap hasil korupsi dan
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
pemanipulasian kekuasaan para pejabat yang mereka dorong untuk memonopoli pengeksploitasian sumber-sumber daya alam dan ekonomi Indonesia. Kambing hitam memang ciri-ciri kategorikal, bukan ciri-ciri individual atau perorangan. Oleh karena itu, semua orang yang bercirikan Cina— dengan segala atribut kecinaannya—digolongkan sebagai kambing hitam yang konglomerat dan jahat, sehingga harus dihancurkan agar kehidupan ekonomi Indonesia menjadi lebih baik. Dalam kasus ini, secara tidak disadari, orang Indonesia telah menggolongkan orang Cina di Indonesia sebagai sebuah sukubangsa, yaitu sebuah golongan sosial yang askriptif berdasarkan prinsip pengakuan dan diakui secara sosial, berdasarkan atas sejumlah atribut yang menjadi ciri-cirinya. Sebagai sebuah sukubangsa, orang Cina mempunyai ciri-ciri fisik yang berbeda dari sukubangsa-sukubangsa pribumi, kecuali di Minahasa atau di beberapa tempat di Kalimantan dan Sulawesi Tengah. Bahasa lisan dan tulis, ungkapan-ungkapan, nilai-nilai budaya, dan keyakinan keagamaan mereka juga berbeda dari sukubangsa-sukubangsa ‘pribumi’. Mereka dengan mudah dilihat dan diperlakukan sebagai orang ‘asing’ dalam kehidupan masyarakat sukubangsa setempat dengan mengacu pada diskriminasi hukum yang dibuat pemerintah Indonesia. Kegiatan mereka yang terpusat pada perdagangan, industri, dan berbagai pelayanan jasa yang kurang/tidak digeluti anggota masyarakat sukubangsa setempat, telah membuat mereka menjadi sebuah sukubangsa yang nampak berbeda. Di sisi lain, mereka juga menciptakan batas-batas sukubangsa di antara mereka berdasarkan asal daerah dan strata sosial ekonomi. Mereka juga menciptakan dan memantapkan batas-batas sukubangsa dengan masyarakat sukubangsa di tempat mereka
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
hidup. Jarak sosial dan budaya dengan masyarakat sukubangsa setempat lebih dipertegas ketika keyakinan keagamaan mereka memperbolehkan memakan daging babi yang bertentangan dengan keyakinan Islam masyarakat sukubangsa setempat. Walaupun terjadi batas-batas sukubangsa antara orang Cina dengan sukubangsa setempat—kecuali berkeyakinan keagamaan yang sama—tetapi hubungan simbiotik secara indvidual dan kelompok telah terjadi selama ini. Hubungan simbiotik yang ada dalam kehidupan ekonomi atau pasar, sesuai dengan tesis Furnivall (1948), sebenarnya rapuh karena tidak didukung oleh hubungan sosial dan budaya yang dimantapkan melalui pranata-pranata sosial yang ada dalam masyarakat setempat. Kerapuhan ini diperkuat oleh pandangan kesukubangsaan dari pemerintah yang melihat orang Cina sebagai satuan sukubangsa pendatang walaupun mereka telah menjadi warganegara Indonesia. Pandangan kesukubangsaan ini diwujudkan dalam bentuk perundangan yang diskriminatif berkenaan dengan status kewarganegaraan mereka: seorang anak Cina dari orang tua yang warganegara Indonesia masih harus secara aktif memohon pemberian kewarganegaraan Indonesia kepada pemerintah, sedangkan anak orang Arab tidak diharuskan melakukan hal itu. Pendiskriminasian orang Cina pada masyarakat lokal sebenarnya tidak separah diskriminasi yang dilakukan pemerintah Melalui hubungan simbiotik seperti di atas, kategori Cina dikenal dan disahkan keberadaannya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lokal yang bersangkutan. Selama ini mereka dikenal sebagai orang Cina atau Cine dalam kehidupan orang Jakarta, orang Cino dalam kehidupan orang Melayu Riau, orang Cine menurut orang Melayu Kalimantan Barat, wong Cino menurut kata orang Jawa. Bahkan orang
31
Jawa memiliki sebutan piyantun Cinten (priyayi Cina), untuk orang Cina yang berpenampilan sebagai terpelajar atau priyayi, seperti dokter, misalnya. Menarik untuk diperhatikan adalah gejala kemunculan konsep Tionghoa yang sekarang diaktifkan oleh tokoh-tokoh Cina, terutama di Jakarta. Mereka dengan tegas menolak disebut orang Cina, dan menuntut untuk dipanggil dengan sebutan orang Tionghoa atau Chinese (dari bahasa asing yang artinya juga orang Cina). Saya tanyakan mengapa mereka tidak mau disebut orang Cina, padahal sejak dahulu mereka disebut orang Cina. Jawabannya, karena kata Cina merupakan kata penghinaan, karena mereka sering diteriaki ‘Cina, lu!’. Kemudian, mengapa mereka ingin disebut orang Tionghoa? Jawabannya, karena kata Tionghoa berarti orang dari Kerajaan Tengah atau Pusat Kerajaan di Cina. Dengan kata lain, mereka minta diperlakukan sebagai orang kerajaan atau penguasa dari Cina yang datang dan hidup di Indonesia. Jadi, mereka itu orang asing, bukan orang Cina yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lokal. Ciri keasingan mereka juga ditegaskan kembali dalam pengidentifikasian diri sebagai orang Chinese, sebutan yang biasa ditujukan kepada orang Cina dari luar Indonesia. Sebagai catatan penutup, patut dicatat bahwa orang Cina di Indonesia, yang warga negara Indonesia, ingin diperlakukan sebagai orang Indonesia baik secara hukum maupun secara sosial dan budaya. Mereka ingin diperlakukan sama oleh sukubangsa manapun, tanpa diskriminasi walaupun mereka keturunan asing yang bukan pribumi Indcnesia. Namun di pihak lain, mereka tidak mau disederajatkan secara sosial dan budaya dengan sukubangsa-sukubangsa di Indonesia. Mereka menuntut diperlakukan sebagai orang asing yang terhormat yang lebih tinggi daripada
32
orang Indonesia lainnya, yaitu sebagai orang dari pusat kerajaan Cina. Ada baiknya tokohtokoh dan cendekiawan Cina memikirkan sungguh-sungguh tuntutan untuk disebut sebagai orang Tionghoa atau Chinese bila mereka tidak ingin diperlakukan sebagai orang asing dan tidak ingin didiskriminasi. Ada baiknya mereka belajar dari pengalaman orang Cina di Amerika (Suparlan 2002). Mereka dapat belajar bagaimana orang Cina di Amerika yang semula didiskriminasi secara hukum dan sosial secara bertahap menjadi bagian dari masyarakat Amerika yang sama hak dan kewajibannya dengan setiap orang Amerika lainnya. Jadi, bukan justru mengaktifkan dan menunjukkan diri sebagai orang Tionghoa atauChinese yang asing, yang pada gilirannya hanya akan mengasingkan dan mendiskriminasikan mereka secara hukum dan sosial. Masyarakat Indonesia yang majemuk, yang menekankan pentingnya kesukubangsaan, akan selalu menempatkan orang Cina sebagai orang asing walaupun mereka berstatus sebagai WNI. Upaya-upaya secara sosial, ekonomi, dan politik dari orang Cina di Indonesia dalam menunjukkan bahwa mereka itu bagian dari masyarakat Indonesia adalah yang utama. Hal ini menuntut dilakukannya kajian-kajian mendalam baik oleh para cendekiawan dan tokoh Cina di Indonesia maupun oleh ilmuwan sosial yang mempunyai perhatian mengenai hal itu. Mengingat corak masyarakat Indonesia yang menekankan kesukubangsaan dan afinitas, secara hipotetis mungkin ada dua isu dapat didiskusikan, yaitu: apakah orang Cina di Indonesia harus diperlakukan sebagai sebuah sukubangsa, atau sebagai bagian dari sukubangsa-sukubangsa setempat di mana mereka itu telah dan sedang hidup di dalam masyarakatnya.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Referensi Bruner, E.M. 1974 ‘The Expression of Ethnicity in Indonesia’, dalam A.Cohen (peny.) Urban Ethnicity. London: Tavistock. Hlm.251–288. Furnivall, J.S. 1944 Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge University Press. Nuranto, N. 1999 ’Kebijakan Terhadap Bisnis Etnis Cina Di Masa Orde Baru’, dalam I. Wibowo (peny.) Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia. Hlm.50–74 Suparlan, P. 1979 ‘Ethnic Groups of Indonesia’, The Indonesian Quarterly 7(2):55–75. 1995 Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia yang Majemuk. Jakarta: Yayasan OBOR. 1999a ‘Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar-Sukubangsa’, dalam I. Wibowo (peny.) Retrospeksi dan RekontekstualisasiMasalah Cina. Jakarta: Gramedia. Hlm.149–173. 1999b ‘Kemajemukan, Hipotesa Kebudayaan Dominan, dan Kesukubangsaan’, Jurnal Antropologi Indonesia 23(58):13–20. 2000a ‘Kerusuhan Sambas’, Jurnal Polisi Indonesia (2):71–85. 2000b ‘Ethnic and Religious Conflicts in Indonesia’, dalam M. Leigh (peny.) Proceedings of the Sixth Bienneal Borneo Research Conference. Kucing, Sarawak: Institute of East Asian Studies, University of Malaysia. Hlm.97–128. 2001 ‘Kerusuhan Ambon’, Jurnal Polisi Indonesia (3):1–30. 2002 Orang Cina Amerika. Makalah untuk Seminar Orang Cina di Amerika. Kajian Wilayah Amerika, UI, 6 Juni. Taher, T. 1997 Masyarakat Cina: Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa Indonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat. Thung Ju Lan 1999a ‘Tinjauan Kepustakaan tentang Etnis Cina di Indonesia’, dalam I. Wibowo (peny.) Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia. Hlm.3–23. 1999b ‘Masalah Cina: Konflik Etnis yang Tak Kunjung Padam’, Jurnal Antropologi Indonesia 23(58):21–35. Wibowo, I. 1999 ‘Pendahuluan’, dalam I.Wibowo (peny.) Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina. Jakarta: Gramedia. Hlm.ix–xxxi.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
33