KERJASAMA INDONESIA – MALAYSIA DALAM BIDANG PENDIDIKAN ANAK TKI DI SABAH
Oleh Jurusan Pembimbing
: Shylvia Windary : Hubungan Internasional : Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, MA (IR) INTISARI
Penelitian ini menganalisa tentang kerjasama pendidikan anak-anak TKI di Sabah, menyangkut atas kemudahan pelayanan pendidikan bagi anak-anak Indonesia yang berada di Sabah, di mana mereka sangat sulit mendapat akses pendidikan dan berbagai kemudahan penunjang baik itu secara formal maupun informal. Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan metode wawancara dan studi kepustakaan. Dalam merealisasikan program pendidikan anak TKI dan penanggulangan masalah TKI, pemerintah Indonesia dihadapkan dengan berbagai kendala. Permasalahan yang menjadi kendala berasal dari TKI seperti kepemilikan dokumen imigrasi, dan keterbatasan jumlah guru untuk ditempatkan di sekolah-sekolah Indonesia dan pusat belajar seperti community learning centre (CLC) dan Humana Learning Centre (HLC). Melihat permasalahan tersebut, pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan pemerintah Malaysia untuk menyelesaikan masalah pendidikan anak TKI di Sabah. Kerja sama kedua negara menghasilkan sebuah kesepakatan program kerja yang melibatkan beberapa lembaga pemerintah dan non-pemerintah. Langkah awal dalam perkembangan kerja sama, pemerintah Indonesia telah menjalankan beberapa program seperti legalisasi dan itsbat nikah (penetapan pernikahan). Program ini bertujuan untuk melegalisasikan TKI yang berstatus non ilegal yang tidak mempunyai dokumen imigrasi dengan memberikan izin dan dokumen resmi yang di sahkan oleh pemerintah Indonesia. Dokumen ini nantinya berguna sebagai kelengkapan administrasi untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Selain itu, pemerintah juga telah mendirikan Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) yang menjadi sekolah inti yang membawahi keberadaan Community Learning Centre (CLC) yang terdapat di Sabah. Selain itu, SIKK juga memfasilitasi program paket A, B, dan C dalam sebagai salah satu bentuk ujian nasional bagi anak-anak TKI yang bersekolah di pusat pendidikan non-formal. Dalam meningkatkan kualitas pendidikan pemerintah Indonesia juga mengirimkan tenaga pendidik yang di tempatkan di beberapa pusat belajar di Sabah. Dengan adanya Nota Kesepahaman sebagai Kerangka Legal Kerjasama maka, pemerintah terus meningkatkan pelayanan pendidikan untuk anak-anak TKI di Sabah. Nota kesepahaman akan menjadi payung dalam program kerjasama dengan Malaysia di bidang pendidikan khususnya pelayanan pendidikan anak-anak TKI di Sabah. Kata kunci : TKI, Pendidikan anak TKI, Nota kesepahaman kerja sama pendidikan Indonesia dan Malaysia. xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hubungan Indonesia dan Malaysia mempunyai cakupan yang sangat luas, semuanya berkaitan dengan kepentingan nasional masyarakat masing-masing. Indonesia dan Malaysia mempunyai hubungan sejarah, budaya, dan kekerabatan yang sangat erat. Sekalipun demikian, hubungan kedua negara bertetangga ini seringkali mengalami pasang surut dan berhadapan dengan berbagai macam tantangan. Termasuk ke dalam tantangan ini adalah bagaimana meningkatkan kerja sama kedua negara sebagai langkah strategis yang harus dibina melalui berbagai cara. Dalam tesis ini penulis akan berfokus pada kerja sama Indonesia dan Malaysia dalam bidang pendidikan, khususnya pendidikan anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berada di Sabah. Penulis menganggap topik ini penting untuk diteliti berkaitan dengan prioritas pemerintah Indonesia dalam hal kemudahan pelayanan pendidikan bagi anak-anak Indonesia yang berada di Sabah, di mana mereka sangat sulit mendapat akses pendidikan dan berbagai kemudahan penunjang baik itu secara formal maupun informal. Kerja sama dalam bidang pendidikan antara kedua negara telah berlangsung sejak tahun 1970-an, di antaranya meliputi pertukaran pelajar, beasiswa, dan pengaturan visa.1 Kerja sama ini menindaklanjuti nota kesepakatan kerja sama dalam bidang pendidikan dengan mengadakan pertukaran pelajar, seminar dan diskusi, serta penelitian bersama yang sering diselenggarakan oleh perguruan-perguruan tinggi di kedua negara. Bagi Indonesia, kerja sama dengan Malaysia dalam bidang pendidikan akan sangat 1
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Kerja Sama Bilateral Kementerian Luar Negeri,
, diakses tanggal 31 Februari 2012.
1
menguntungkan, terlebih mengingat amanat Pembukaan UUD 1945 bahwa pemerintah Indonesia berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam konteks ini adalah memberikan fasilitas pendidikan kepada anakanak Indonesia yang tinggal di dalam maupun di luar negeri. Berbagai faktor yang mendorong tingginya minat para TKI untuk bekerja di Malaysia ternyata membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan pendidikan anak mereka. Sabah merupakan daerah tujuan utama para TKI, khususnya yang berasal dari Indonesia bagian timur untuk mencari penghidupan. Berdasarkan data Konsulat Republik Indonesia di Tawau, sekitar 21.627 anak TKI di Sabah belum memperoleh fasilitas pendidikan; hanya sekitar 8.000 anak yang dapat menikmati pendidikan secara nonformal.2 Jumlah ini belum termasuk anak dari TKI ilegal. Minimnya sarana pendidikan serta tuntutan perekonomian memaksa anak-anak TKI untuk bekerja membantu orang tua demi memenuhi kebutuhan keluarga. Sebelumnya, perusahaan tempat TKI bekerja bersama dengan lembaga non pemerintah Humana telah mendirikan pusat kegiatan belajar mengajar (PKBM) di beberapa daerah perkebunan di mana banyak terdapat TKI. PKBM ini merupakan lembaga pendidikan nonformal yang hanya memberikan pengetahuan sebatas baca dan tulis serta pengetahuan keterampilan. Sayangnya, PKBM tidak memberikan fasilitas lebih lanjut bagi anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi yang membutuhkan surat keterangan lulus dari sekolah formal. Selain permasalahan di atas, kurikulum pembelajaran pada PKBM ini lebih dititikberatkan pada kurikulum Malaysia. Akibatnya, anak-anak TKI tidak mengenal sejarah Indonesia dan lagu kebangsaan Indonesia. Ini sangat memprihatinkan bagi kemajuan bangsa Indonesia mengingat masa depan Indonesia berada di tangan anak-anak 2
Data mencakup wilayah kerja Konsulat Republik Indonesia Tawau, 13 November 2012.
2
ini. Adapun sekolah Indonesia yang berada di Malaysia tidak dapat dijangkau oleh anakanak TKI karena biaya yang tinggi dan lokasi yang sangat jauh dari pemukiman mereka. Untuk mengatasi hal tersebut, sebenarnya ada peluang bagi anak-anak TKI untuk bersekolah di sekolah Malaysia. Pada prinsipnya, pemerintah Malaysia dapat menerima pelajar asing yang akan belajar di sekolah-sekolah Malaysia, baik sekolah kebangsaan (sekolah negeri) maupun sekolah swasta, sepanjang calon siswa dapat memenuhi ketentuan persyaratan yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan. Beberapa persoalan yang kadang-kadang sulit dipenuhi oleh pelajar warga negara Indonesia untuk mendapatkan pelayanan pendidikan antara lain dokumen pribadi anak, status keimigrasian orang tua, tempat tinggal dan ketersediaan tempat. Sebelum tahun 2002, misalnya, para TKI masih bebas bekerja dan menyekolahkan anak mereka di sekolah Malaysia tanpa dokumen. Tetapi, setelah pemerintah Malaysia mengeluarkan Akta Perburuhan Tahun 2001 dan Akta Pendidikan Tahun 2001, kegiatan mereka dibatasi. Semua pekerja dan pelajar asing harus memiliki dokumen lengkap. 3 Pada umumnya, anak-anak warganegara Indonesia yang tinggal di ladang-ladang perkebunan kelapa sawit, perkebunan teh, dan pabrik-pabrik tidak memiliki dokumen perjalanan yang sah seperti paspor, visa masuk, dan ijin tinggal. Status keimigrasian orang tua mereka kebanyakan unskilled workers. Tempat tinggal mereka berubah-ubah dan tidak mempunyai alamat yang tetap. Di samping itu, tempat tinggal mereka berjarak jauh dari sekolah. Jarak tempuh dari tempat tinggal ke sekolah umumnya memerlukan waktu dua atau tiga jam. Transportasi umum sangat jarang, dan sekalipun ada mereka tidak mampu membayar biaya transpor. Ketersediaan sekolah juga menjadi persoalan bagi pelajar warga negara Indonesia. Selain itu, sikap para orang tua yang kurang
3
D. Bachtiar, Mengurangi Kebuntuan Penanganan PRT Migran Indonesia di Malaysia, Dialog Interstakeholders Kerja sama Migrant CARE and ILO, 17 Desember 2009, p. 3.
3
menyadari arti penting dan manfaat pendidikan bagi anak-anaknya juga sering menjadi kendala. Persoalan-persoalan tersebut tidak dapat diselesaikan oleh para siswa dan orang tua mereka. Inilah yang menyebabkan anak-anak warganegara Indonesia yang menjadi TKI di Sabah tidak memperoleh pelayananan pendidikan yang memadai. Buruknya kualitas dan sarana pendidikan di kalangan TKI merupakan resiko yang harus ditanggung pemerintah Indonesia. Sehubungan dengan itu, Indonesia merasa perlu untuk bekerja sama dengan Malaysia dalam menyikapi masalah kurangnya fasilitas pelayanan pendidikan tersebut melalui nota kesepahaman (Memorandum of Understanding, MOU) dan tindak lanjutnya terhadap perkembangan pendidikan anak-anak bangsa Indonesia.
B. Pertanyaan Penelitian Melihat permasalahan keterbatasan pendidikan untuk anak TKI sebagaimana telah disampaikan di atas, penulis mengajukan pertanyaan penelitian: bagaimana pemerintah Indonesia berupaya menanggulangi permasalahan pendidikan anak TKI, khususnya di Sabah?
C. Reviu Literatur Latar belakang hubungan kerja sama yang terjalin antara Indonesia-Malaysia membuat penulis tertarik untuk meneliti kondisi anak-anak TKI yang berada di Sabah. Sabah merupakan daerah tujuan TKI yang umumnya berasal dari Indonesia bagian timur. Banyaknya TKI yang bekerja di Sabah, dengan taraf perekonomian yang masih jauh dari cukup, ternyata diiringi dengan banyaknya anak-anak mereka yang belum mendapatkan pendidikan. Minimnya pengetahuan orang tua atas pentingnya pendidikan telah memberikan dampak negatif terhadap anak-anak mereka. Dalam banyak kasus, anak4
anak TKI ini cenderung mengutamakan membantu orang tua mereka di perkebunan daripada pergi ke sekolah. Untuk melihat fenomena yang terjadi di kalangan TKI tersebut, beberapa peneliti dan pengamat pendidikan anak-anak Indonesia telah melakukan riset terhadap pendidikan anak-anak TKI di Sabah. Dalam penelitian ini penulis mereviu tiga tulisan tentang kondisi anak-anak TKI di Sabah. Tulisan pertama oleh Abas Basori, staf Konsulat Jendral Republik Indonesia di Kota Kinabalu, Sabah; tulisan kedua oleh Aminullah, mantan guru kontrak anak-anak TKI pada tahun 2009-2011; dan tulisan ketiga dari Mailila Ardarini, mahasiswa pascasarjana UGM. Yang pertama, tulisan dari Abas Basori tentang pelayanan pendidikan untuk anakanak WNI yang berada di Sabah. Dalam tulisannya Abas memberikan informasi jumlah anak-anak TKI usia sekolah yang belum mendapatkan pendidikan yang layak pada tahun 2010.4 Abas kemudian menjelaskan bagaimana agar anak-anak warga negara Indonesia yang berada di Sabah bisa mendapatkan pendidikan yang wajar. Ia juga memberikan gambaran pentingnya pendidikan bagi anak-anak Indonesia, baik yang berada di dalam maupun di luar negeri. Dijelaskan pula beberapa hak dasar bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan, khususnya ditinjau dari hukum internasional dan hukum nasional, di mana setiap warga negara yang merdeka mempunyai peraturan dan perundang-undangan tersendiri yang berlaku berdasarkan yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi persona. Abas juga menegaskan bahwa setiap negara wajib memberikan pelayanan pendidikan bagi warga negara yang berada di wilayah teritorialnya, sedangkan negara lain tidak dapat memaksakan kehendaknya di bidang pendidikan negara pertama. Selain 4
A. Basori, Pelayanan Pendidikan Anak TKI di Sabah, Konsulat Jenderal Republik Indonesia, , diakses pada 20 April 2012.
5
dari hukum internasional, sebagai dasar, Abas juga menulis bahwa Perserikatan Bangsabangsa (PBB) mencanangkan Millenium Development Goals yang salah satu tujuannya adalah pemberantasan buta huruf anak-anak di dunia, sehingga pada tahun 2015 seluruh anak-anak di dunia terbebas dari buta huruf. Pentingnya pendidikan bagi anak TKI di Sabah dapat diletakkan dalam konteks ini. Berbagai masalah yang dihadapi anak-anak Indonesia menjadi sorotan utama dalam tulisan Abas. Misalnya, ketika Abas memberikan gambaran pelayanan pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Malaysia terhadap warganegara asing yang berdomisili di wilayahnya. Pemerintah Malaysia memberikan pelayanan pendidikan untuk warganegara asing yang tinggal secara legal dan mempunyai tempat tinggal. Selain itu, pemerintah Malaysia mendirikan sekolah-sekolah hanya untuk warga negara Malaysia, sedangkan warga negara asing harus menunggu sampai adanya ketersediaan tempat. Peraturan yang ditetapkan pemerintah Malaysia untuk bersekolah di sekolah kebangsaan serta sekolahsekolah swasta mewajibkan anak-anak warga asing mempunyai dokumen pribadi dan status keimigrasian. Persayaratan semacam ini membuat sulit anak-anak TKI yang berada di daerah perkebunan, di mana mereka tidak mempunyai dokumen-dokumen dan status keimigrasian mereka tidak terdaftar. Dalam tulisan yang kedua, Aminullah lebih berfokus kepada kondisi anak-anak TKI yang berada di perkebunan. Gambaran kondisi anak-anak TKI yang terdapat di tulisan Aminullah tidak jauh berbeda dengan yang ada di tulisan Abas. Kesulitan bagi anak-anak TKI dalam mendapatkan pendidikan yang layak merupakan topik yang ditonjolkan dalam tulisan Aminullah. Ia mengangkat profil seorang anak TKI yang terlahir di Sabah, berikut contoh salah satu perkebunan yang memberikan pendidikan
6
nonformal bagi anak-anak TKI yang berada di perkebunan tersebut.5 Perkebunan tempat orang tua anak tersebut telah menyediakan lembaga pendidikan yang bekerjasama dengan NGO Humana dalam pengentasan anak-anak TKI dari buta huruf. Banyaknya perkebunan yang terdapat di daerah Sabah tidak diikuti dengan penyediaan layanan pendidikan bagi anak-anak TKI yang bekerja di perkebunan tersebut. Menurut Aminullah ada beberapa perusahaan perkebunan yang tidak mau bekerja sama dengan Humana dalam pendirian pusat pendidikan. Sulitnya perizinan untuk bersekolah akhirnya memaksa anak-anak TKI untuk hidup dalam dunia buta huruf. Menurut Aminullah, jarak antarperkebunan dan biaya yang harus dikeluarkan untuk transportasi menuju sekolah dinilai cukup mahal bagi kebanyakan TKI, belum lagi ditambah biaya pendidikan bagi anak-anak mereka. Ini membuat anak-anak tidak mendapatkan pendidikan yang layak untuk masa depan mereka. Aminullah juga menyayangkan bahwa pendidikan yang didapat oleh anak-anak TKI tidak sepenuhnya dijalankan berdasarkan kurikulum yang dipakai di Indonesia. Ini disebabkan sekolah harus mengikuti peraturan pusat PKBM Humana yang berada di Sabah. Selain proses belajar tersebut, Aminullah juga menulis beberapa janji Konsulat Jenderal Republik Indonesia untuk menyediakan pelayanan pendidikan yang sewajarnya bagi anak-anak TKI yang berada di perkebunan. Di antaranya, janji untuk pendirian Sekolah Menengah Pertama (SMP) bagi anak-anak TKI yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sebagai jalan yang tepat untuk menjadikan mereka sebagai penerus generasi bangsa Indonesia. Diungkapkan oleh Aminullah bahwa pendirian SMP terbuka merupakan langkah awal solusi yang sedang diusahakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Selain itu, pengiriman guru kontrak juga
5
Aminullah, Keterbatasan Pendidikan Bagi Anak TKI di Sabah Malaysia, Balai Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal, Regional III Makasar, 2011.
7
memberikan harapan lain bagi sekolah untuk memajukan mutu pendidikan bagi anakanak TKI. Berbeda dengan Abas dan Aminullah, Mailila Ardarini lebih memfokuskan tesisnya pada efektifitas dari implemtasi nota kesepahaman Indonesia dan Malaysia tentang TKI serta tim advokasi TKI di Indonesia.6 Mailila menulis bahwa nota kesepahaman yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia tidak efektif dalam menyelesaikan permasalahan TKI legal dan ilegal. Ini menjadi penting, terlebih sejak diberlakukannya akta keimigrasian pada tahun 2002 oleh pemerintah Malaysia sehingga TKI yang tidak mempunyai dokumen resmi terpaksa dipulangkan. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Malaysia memberikan pengaruh besar bagi pemerintah Indonesia untuk membuat kebijakan baru menyangkut keberadaan TKI dengan membentuk nota kesepahaman TKI dengan pemerintah Malaysia. Menurut Mailila, tidak efektifnya implementasi nota kesepahaman setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, kelemahan isi nota kesepahaman, di mana terjadi perbenturan antara kondisi yang sebenarnya dengan nota kesepahaman yang dihasilkan. Ketika masyarakat menginginkan nota kesepahaman yang berisikan mekanisme yang lebih cepat dan murah serta perlindungan terhadap TKI, khususnya TKI ilegal, yang justru terjadi para pembuat kebijakan menyusun nota kesepahaman yang isinya tidak mencerminkan kepentingan para TKI. Nota kesepahaman tersebut cenderung memihak Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), juga hak majikan dan agen untuk memegang paspor para pekerja sehingga menyulitkan para TKI untuk meloloskan diri dari kondisi-kondisi yang menindas atau untuk bernegosiasi mengenai kondisi kerja yang lebih baik dan pembayaran penuh upah mereka. Selain itu, nota kesepahaman tidak 6
M. Ardarini, Efektifitas Implementasi MoU Indonesia-Malaysia dan Tim Advokasi Tentang TKI di Indonesia, tesis tidak diterbitkan, Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2005.
8
memuat standar-standar minimum untuk kondisi kerja, termasuk gaji minimum yang ditetapkan, jam kerja, pembayaran gaji yang teratur, hari libur dan tempat kerja yang aman serta tidak adanya jaminan kebebasan berorganisasi bagi pekerja. Nota kesepahaman juga gagal memberikan mekanisme solusi bagi pekerja dan merumuskan sanksi-sanksi bagi majikan dan agen tenaga kerja yang melakukan pelecehan. Kedua, birokrasi yang panjang sangat merugikan TKI. Efektivitas dari nota kesepahaman sangat dipengaruhi oleh kinerja birokrasi. Permasalahan yang dihadapi ketika berbicara tentang TKI adalah birokrasi yang cenderung panjang dan “berbelitbelit” dalam rekrutmen maupun pengiriman TKI ke Malaysia. Kondisi tersebut memaksa para calon TKI untuk lebih memilih menjadi TKI ilegal. Biaya yang mahal serta prosedur yang sangat lama merupakan alasan utama bagi calon TKI untuk lebih memilih menjadi TKI ilegal. Hal ini juga dipengaruhi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengurusan keberangkatan TKI, yaitu PJTKI dan taikong (calo) yang sangat diuntungkan dalam pengiriman TKI ke Malaysia. PJTKI dan taikong mempunyai kepentingan dengan mencari keuntungan sebesar-besarnya dari pengiriman TKI. Tidak peduli apakah pengiriman itu legal maupun illegal, mereka berkepentingan untuk mengirimkan TKI sebanyak-banyaknya dan mendapat keuntungan yang besar. Walaupun di dalam nota kesepahaman telah dijabarkan dengan jelas pola rekruitmen yang baru dalam pengiriman TKI, dengan harapan mengurangi jumlah TKI ilegal, tetapi para PJKTI “nakal” dan taikong tidak peduli. Tampak jelas bahwa implementasi nota kesepahaman tidak efektif, karena ada pihak-pihak tertentu yang bersikap tidak peduli dan justru diuntungkan dengan nota tersebut. Mailila beragumen bahwa aparat pemerintah Indonesia juga merupakan pihak yang diuntungkan dengan birokrasi yang panjang sehingga penyalahgunaaan wewenang oleh mereka dalam implementasi nota kesepahaman semakin besar. Aparat pemerintah yang 9
seharusnya dapat mengimplementasikan kebijakan dengan baik ternyata melakukan banyak penyimpangan. Dengan demikian, sekalipun produk hukumnya sudah tepat, tetapi bila para pelaksananya tidak mempunyai kredibilitas yang baik dan melakukan banyak penyelewengan, maka sebuah kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif. Walaupun dalam nota kesepahaman sudah dijelaskan tentang bagaimana pola rekruitmen yang benar sesuai keputusan bersama antara Indonesia dan Malaysia, tetapi bila aparat pemerintah sebagai pelaksana dan penanggungjawab pelaksanaan nota kesepahaman melakukan kecurangan, misalnya meminta uang pelicin untuk kelancaran pemberangkatan TKI, maka nota kesepahaman tidak akan dapat berjalan dengan efektif. Selain nota kesepahaman yang bermasalah, Mailila juga menjelaskan bahwa Tim Advokasi juga tidak dapat berjalan efektif karena dua hal. Pertama, rendahnya kinerja pemerintah dalam perlindungan terhadap TKI. Untuk masalah TKI ilegal, pemerintah Indonesia kurang peka terhadap masalah perlindungan TKI dan juga masalah Tim Advokasi. Pemerintah Indonesia sering menganggap bahwa TKI yang berangkat secara ilegal adalah kesalahan dan kebodohan mereka sendiri, mengapa sampai bisa dibujuk dan ditipu oleh PJTKI. Yang terjadi sesungguhnya, TKI berstatus ilegal bukan hanya karena kurangnya kelengkapan dokumen saat keberangkatan, tetapi juga karena dokumen tersebut dipegang majikan sehingga saat mereka tidak tahan dengan pekerjaannya dan melarikan diri maka dengan sendirinya mereka akan menjadi ilegal. Dengan pernyataan bahwa TKI itu berangkat dengan cara ilegal, pihak Kementerian Tenaga Kerja seolaholah lepas tangan atas penderitaan yang dialami oleh para TKI. Akibatnya, perlindungan yang diberikan pun cenderung asal-asalan, terbukti dengan masih adanya TKI yang mendapatkan hukuman mati maupun hukuman penjara di luar negeri karena dituduh melakukan tindak kriminal.
10
Kedua, penyelewengan oleh aparat pemerintah dalam perlindungan terhadap TKI. Bila kinerja dari aparat pemerintah sebagai pelaksana rendah, maka kebijakan juga tidak dapat diimplementasikan dengan efektif. Dalam konteks pelaksanaan perlindungan TKI memang telah dibentuk Tim Advokasi untuk membela para TKI, termasuk di Malaysia. Dengan dibentuknya Tim Advokasi, perlindungan terhadap TKI diharapkan dapat berlangsung secara maksimal. Tetapi, pada kenyataannya banyak penyelewengan yang dilakukan oleh aparat pemerintah sendiri untuk memenuhi kepentingannya mereka. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan penyelewengan dana untuk perlindungan dan advokasi TKI oleh aparat pemerintah yang seharusnya bertanggungjawab akan pemanfaatan dana tersebut. Dari penelitian yang dilakukan Mailila, bisa ditarik kesimpulan bahwa pemerintah telah berupaya untuk mengurangi jumlah TKI ilegal yang berada di Malaysia, khususnya di Sabah, tetapi upaya itu tidak berlangsung dengan baik. Status ilegal memberikan dampak buruk terhadap keberadaan para TKI dan status kewarganegaraan anak-anak mereka. Dengan menyoroti upaya pemerintah Indonesia dalam menanggulangi masalah keberadaan TKI ilegal, diharapkan jumlah TKI ilegal yang tidak memiliki dokumen kemigrasian akan berkurang. Bila itu terjadi, dampak lanjutannya adalah bahwa program pelayanan pendidikan yang sudah dirancang pemerintah Indonesia untuk anak-anak TKI dapat berjalan dengan lancar. Ketiga tulisan memberikan informasi yang penting bagi keberadaan TKI di Malaysia. Abas Basori melihat peran pemerintah dalam pelayanan pendidikan bagi anakanak TKI; Aminullah lebih memfokuskan pada kondisi anak-anak TKI dengan akses minim akan sarana dan prasarana pendidikan; dan Mailila Ardarini menjelaskan ketidakefektifan nota kesepahaman dengan Malaysia menyangkut akta keimigrasian tahun 2002 dan lemahnya Tim Advokasi TKI. Dalam tesis ini penulis mencoba 11
melengkapi ketiga tulisan tersebut dengan lebih memfokuskan pada usaha yang telah dan yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menindaklanjuti kerja sama dengan pemerintah Malaysia dalam menyelesaikan permasalahan pendidikan bagi anakanak TKI yang berada di Sabah. Kerja sama yang sudah terjadi selama enam tahun telah memberikan dampak yang positif ataupun negatif yang dapat menjadi acuan bagi pemerintah Indonesia ataupun Malaysia dalam memberikan pelayanan pendidikan bagi anak-anak TKI. Dengan melihat usaha yang sudah atau yang akan dilakukan oleh pemerintah, penulis dapat menganalisis perkembangan pendidikan anak TKI sehingga mereka bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi dan penyamarataan tingkat pendidikan wajib belajar dengan anak-anak dalam negeri dapat tercapai. Selain itu, penulis juga akan menganalisis perkembangan beberapa aspek pendidikan, khususnya sarana pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum serta tingkat kelulusan siswa-siswi di Sekolah Indonesia di Kota Kinabalu, Sabah. Ini penting untuk mengetahui tingkat keberhasilan upaya pemerintah dan bagaimana kondisi pendidikan anak-anak TKI akan berpengaruh kepada bukan saja masa depan mereka, tetapi juga kualitas kehidupan orang tua mereka. Penulis juga akan menganalisis kurangnya pelayanan pendidikan bagi anak-anak TKI yang tidak mempunyai dokumen resmi keimigrasian. Ketiadaan dokumen resmi dari banyak TKI ilegal telah mempersulit pendaftaran sekolah dan izin tinggal bagi anak-anak mereka. Dengan adanya kerja sama, Indonesia dan Malaysia diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan dokumen keimgrasian tersebut sehingga memberikan kemudahan bagi anak-anak TKI yang ingin bersekolah di sekolah Indonesia ataupun di sekolah Malaysia.
12
D. Kerangka Teori Untuk mengkaji sebuah hubungan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Malaysia dalam pendidikan anak-anak TKI, diperlukan seperangkat konsep dan teori yang tepat sebagai alat analisis. Di sini penulis akan menggunakan konsep kerja sama internasional dan teori kebijakan publik. 1. Kerja sama internasional Menurut K.J. Holsti, kerja sama internasional dapat didefinisikan dalam lima aspek. Pertama, pandangan bahwa dua atau lebih kepentingan, nilai atau tujuan saling bertemu dan dapat menghasilkan sesuatu, dipromosikan atau dipenuhi oleh semua pihak sekaligus. Kedua, pandangan atau harapan dari suatu negara bahwa kebijakan yang diputuskan oleh negara lainnya akan membantu negara itu untuk mencapai kepentingan dan nilai-nilai. Ketiga, persetujuan atau masalah-masalah tertentu antara dua negara atau lebih dalam rangka memanfaatkan persamaan kepentingan atau benturan kepentingan. Keempat, aturan resmi atau tidak resmi mengenai transaksi di masa depan yang dilakukan untuk melaksanakan persetujuan. Yang terakhir, transaksi antarnegara untuk memenuhi persetujuan mereka.7 Dalam kerja sama Indonesia dan Malaysia yang terkait dengan pendidikan anak TKI di Sabah, dari kelima definisi kerja sama yang memberikan implikasi penting bagi penelitian ini adalah poin ketiga, di mana kerja sama dimaknai sebagai persetujuan atau masalah-masalah tertentu antara dua negara atau lebih dalam rangka memanfaatkan persamaan kepentingan memberikan pelayanan pendidikan anak-anak TKI yang berada di Sabah. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Indonesia mengadakan kesepakatan kerja sama dengan 7
K.J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka Untuk Analisis, Jilid II, terjemahan oleh M. Tahrir Azhari, Erlangga, Jakarta 1988, pp.652-653.
13
Malaysia dalam bidang pendidikan anak-anak TKI, baik formal maupun informal, guna memberikan pelayanan pendidikan yang mereka butuhkan. Hal itu diwujudkan dalam bentuk nota kesepahaman dengan Malaysia yang telah ditandatangani pada tanggal 10 Agustus 1998. Nota ini memuat beberapa kerja sama yang dilakukan Indonesia dan Malaysia dalam bidang pendidikan. Robert O Keohane dan Joseph S Nye, dalam Transnationalism Relations and World Politics, menjelaskan hubungan transnasional berkaitan erat dengan interdependensi dan pentingnya peran institusi internasional dalam masalah nasional maupun internasional. Kerja sama antara Indonesia dan Malaysia menggambarkan ketergantungan (interdependensi) antara kedua negara, yakni menjalin hubungan yang lebih bersahabat dan kooperatif dalam mencapai kemakmuran bersama. Dari konsep interdependensi diatas, muncul suatu teori yang berkaitan disebut Complex Interdependence atau Interdependensi Kompleks. Konsep ini dikonstruksikan oleh Keohane dan Nye dalam memberikan pandangan baru mengenai suatu tipe politik dunia yang mereka anggap ideal. Interaksi transnasional sebagai bagian dari interdependensi kompleks dapat dipahami melalui gambar berikut:8
8
R.O. Keohane, J.S. Nye, International Organization, Vol.25, No.3, The MIT Press, Summer, 1971, pp: 329-349
14
Keterangan : …... : Politik dalam negeri ----: Politik antar negara ___ : Interaksi transnasional G : Government ( Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia) S : Society (anak-anak TKI) IGO : Intern Government Organization INGO : Intern Non Government Organization
Masyarakat suatu negara, dapat berhubungan langsung dengan masyarakat negara lain dan organisasi pemerintah maupun non pemerintah dapat melakukan hubungan langsung dengan masyarakat suatu negara melalui pemerintah pusat, walaupun hal tersebut tidak begitu vital, Politik domestik digambarkan sebagai interaksi antara pemerintah suatu negara (G) dengan masyarakat (S) sedangkan konstilasi hubungan politik antar negara digambarkan sebagai hubungan vital oleh pemerintah. Dalam kasus ini, interaksi transnasional yang terjadi adalah antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia. Dalam pola hubungan transnasional di atas, pemerintah pusat disimbolkan (G) sedangkan anak-anak TKI disimbolkan (S). Pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia saling berhubungan menjalin kerja sama untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak TKI, selain kerja sama antara kedua negara, pemerintah Indonesia maupun Malaysia juga dapat melakukan hubungan transnasional
15
dengan lembaga pemerintah maupun lembaga nonpemerintah dan berbagai aktoraktor lainnya. Menurut Keohane dan Nye, negara sebagai aktor utama yang memiliki kemampuan dalam mencapai tujuan. Kemudian munculah suatu kondisi interaksi yang melibatkan para aktor internasional. Keberhasilan interaksi ini dipengaruhi juga oleh keadaan geografis, kebijakan domestik negara itu sendiri serta perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Interaksi serta organisasi
transnasional membawa lima dampak utama secara langsung maupun tidak langsung bagi hubungan internasional dan politik antar negara. Kelima dampak tersebut adalah: (1) perubahan prilaku ,(2) pluralisme internasional, (3) meningkatnya hubungan dependensi dan interdependensi antar negara, (4) meningkatnya kemampuan suatu negara untuk mempengaruhi negara lain, dan (5) munculnya autonomous actor dalam menentukan kebijakan luar negeri.9 Pertama, interaksi transnasional memungkinkan adanya perubahan prilaku. Dalam masalah pendidikan anak-anak TKI di Sabah, pemerintah Malaysia telah membuat suatu kebijakan atas kepemilikan dokumen resmi keimigrasian bagi pekerja migran. Kebijakan tersebut adalah Akta Perburuhan Tahun 2001 dan Akta Pendidikan Tahun 2001, kegiatan mereka dibatasi. Semua pekerja dan pelajar asing harus memiliki dokumen lengkap.10 Untuk bisa bersekolah, umumnya setiap anak harus mempunyai dokumen-dokumen negara seperti akte kelahiran, kartu identitas orang tua, paspor, dan lain-lain. Dengan status orang tua sebagai tenaga kerja ilegal yang dokumen keimigrasiannya tidak lengkap,
9
R.O. Keohane, J.S. Nye, International Organization, Vol.25, No.3, The MIT Press, Summer, 1971, pp: 329-349. 10
D. Bachtiar, Mengurangi Kebuntuan Penanganan PRT Migran Indonesia di Malaysia, Dialog Interstakeholders Kerja sama Migrant CARE and ILO, 17 Desember 2009, p. 3.
16
secara otomatis anak-anak mereka tidak mempunyai kewarganegaraan. Hal ini mempersulit anak-anak tenaga kerja migran khususnya TKI dalam proses pendaftaran sekolah di Sabah. Kedua, dengan adanya hubungan transnasional maka akan timbul hubungan antar kelompok kepentingan dalam struktur internasional. Adanya organisasi-organisasi non pemerintah akan menstimulasi hubungan-hubungan baru
dengan
organisasi
serupa
sehingga
akan
berdampak
terhadap
internasionalisasi kebijakan domestik. Pemerintah Indonesia sebagai aktor yang berpengaruh terhadap pelayanan pendidikan, menjalin kerja sama dengan pemerintah Malaysia dan organisasi-organisasi non pemerintah yang terkait. Kerja sama ini menghasilkan sebuah kesepakatan dalam merealisasikan program pelayanan pendidikan bagi anak-anak TKI di Sabah. Keterlibatan Malaysia dalam program tersebut, memudahkan pemerintah Indonesia dalam menjalin kerja sama dengan lembaga non pemerintah yang terlebih dahulu memberikan pelayanan pendidikan untuk anak-anak pekerja migran. Hubungan yang terjadi antara pemerintah Indonesia maupun Malaysia dan lembaga non pemerintah, menghasilkan sebuah interaksi yang berdampak terhadap kebijakan yang menguntungkan untuk semua pihak. Ketiga, adanya hubungan dependensi dan interdependensi suatu negara. Hubungan yang dimaksud di sini yaitu saling ketergantungan antara negara yang melakukan kerja sama, termasuk disini lembaga nonpemerintah. Saling ketergantungan dalam pelayanan pendidikan untuk anak TKI di Sabah, terjadi antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia serta lembaga non pemerintah. Indonesia merasa perlu menjalin kerja sama dengan pemerintah Malaysia guna mempermudah dalam menjalankan program pendidikan yang 17
sudah di rancang. Melalui ijin pemerintah Malaysia, pemerintah Indonesia bisa mendirikan sekolah untuk anak-anak TKI yang berada di Kinabalu. Sedangkan bagi anak-anak yang berada di daerah perkebunan yang jauh dari pusat pendidikan, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan lembaga belajar yang terlebih dahulu memberikan pendidikan untuk anak-anak TKI di perkebunan. Lembaga non pemerintah ini berperan sebagai penghubung antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan perkebunan dimana para TKI bekerja, Selain itu, perusahaan perkebunan juga menjadi fasilitator dalam menyediakan sarana belajar seperti ruang kelas dan fasilitas lainnya. Keempat, meningkatnya kemampuan suatu negara dalam mempengaruhi negara lain. Dengan meningkatnya saling ketergantungan antara negara yang menjalin hubungan transnasional, maka akan semakin mudah bagi pemerintah negara tersebut untuk memperluas pengaruhnya. Posisi Malaysia sebagai negara tujuan TKI, mempunyai pengaruh yang besar terhadap keberlangsungan nasib TKI di Malaysia, khususnya di Sabah. Pemerintah Malaysia mempunyai kontrol atas aktor yang terlibat dalam pelayanan pendidikan anak-anak TKI di Sabah. Beberapa kebijakan yang diberlakukan pemerintah Malaysia khususnya kepemilikan dokumen resmi keimigrasian, mengakibatkan banyaknya TKI ilegal yang dipulangkan ke Indonesia. Hal ini tidak berlaku di Sabah dikarenakan pemulangan akan mengakibatkan banyaknya perusahaan perkebunan yang akan menanggung kerugian, menyangkut proses perekrutan kembali tenaga kerja baru. Dalam proses pelayanan pendidikan anak-anak TKI, Malaysia memberikan ijin kepada pemerintah Indonesia dalam pendirian pusat belajar, termasuk pusat belajar yang didirikan oleh lembaga non pemerintah.
18
Serta efek yang terakhir, yaitu munculnya aktor-aktor seperti; organisasi transnasional,
serikat
buruh,
perusahaan
multinasional
dan
sebagainya.
Keterbatasan pendidikan anak-anak TKI di Sabah, menjadi peluang dalam mencapai suatu kepentingan bagi organisasi-organisasi tertentu baik nasional maupun internasional. Saat ini ada tiga lembaga pendidikan swasta yang ikut memberikan pelayan pendidikan untuk anak-anak TKI di Sabah. Dari tiga lembaga ini, salah satunya berada di bawah koordinasi Borneo Child Aid Society yang didirikan pada tahun 1991 dengan sponsor salah satu LSM Eropa dan selanjutnya dikelola oleh Humana Holland sampai tahun 1998. LSM ini akhirnya diambil alih oleh perusahaan Malaysia Hap Seng Consolidate’s melalui Yayasan Luak Gek Poh.11 Sedangkan sisanya lembaga swasta nasional yang peduli terhadap pendidikan anak-anak TKI di daerah perbatasan termasuk di Sabah. Kedua lembaga ini bernama Yayasan Peduli Pendidikan Anak Indonesia (YPPAI) dan Yayasan Pemberdaya Mutiara Serat Bangsa (YPMSB) yang samasama berpusat di Indonesia. 2. Teori kebijakan publik Tema besar tesis ini adalah meneliti upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah pendidikan anak TKI di Sabah. Sebagai alat bantu analisis penulis juga menggunakan teori kebijakan publik, dalam hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Thomas Dye dalam bukunya Understanding Public Policy.12 Dalam konteks ini, penulis akan membahas isu yang diteliti melalui inovasi kebijakan, tujuan kebijakan publik, aktor rasional, dan efektivitas kebijakan publik. 11
Borneo Child Aid Society, Education for Plantation Children, Lahad Datu, 2009.
12
T.R. Dye, Understanding Public Policy, 3rd edn, Prentice Hall, Englewood Cliffs, 1978.
19
a. Inovasi kebijakan Dye menjelaskan bahwa kebijakan publik suatu negara dipengaruhi oleh kebijakan publik negara lain. Respon terhadap kebijakan negara lain disebut oleh Dye sebagai inovasi kebijakan. Dalam permasalahan pendidikan anak TKI, Malaysia mengeluarkan Akta Perburuhan dan Akta Pendidikan tahun 2001 sehingga anak-anak TKI yang tidak memiliki dokumen lengkap tidak diperbolehkan bersekolah di sekolah Malaysia. Hal ini menyebabkan banyak anak-anak TKI, khususnya TKI ilegal yang berada di perkebunan, tidak mendapatkan pendidikan. Kebijakan Malaysia menjadi pemicu bagi pemerintah Indonesia untuk mulai memikirkan inovasi kebijakan. Dengan membentuk nota kesepahaman kerja sama pendidikan dengan Malaysia, permasalahan pendidikan anak-anak TKI diharapkan
dapat
diselesaikan.
Beberapa program
yang telah
dicanangkan melalui nota tersebut diharapkan dapat membantu mengatasi masalah pendidikan anak-anak TKI di Malaysia. b. Tujuan kebijakan publik Melanjutkan konsep inovasi kebijakan, ketika suatu negara telah dipengaruhi oleh inovasi kebijakan negara lain, pada saat yang sama negara yang dipengaruhi tersebut harus segera melakukan respon dengan membuat inovasi kebijakan yang baru. Dengan kata lain, negara ini harus melakukan perbaikan secara internal maupun eksternal melalui kebijakan programprogram baru sebagai upaya respon balik. Dye menambahkan bahwa harus ada tindakan dan tujuan yang ingin dicapai. Tujuan sangat penting dalam 20
kebijakan sebagai upaya untuk mengukur sampai sejauh mana keberhasilan atau efektifitas yang telah dicapai negara melalui instrumen yang ada dalam skema sistem politik seperti birokrasi, kelompok kepentingan, karakteristik elit, dan level konflik. Dye menambahkan bahwa tindakan dan tujuan dicapai melalui kebijakan yang rasional. Pembentukan nota kesepahaman kerja sama dengan Malaysia memberi kemudahan bagi pemerintah Indonesia untuk menindaklanjuti masalah pendidikan anak TKI. Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia haruslah berdasarkan program yang telah dicanangkan dalam nota kesepahaman kerja sama dengan Malaysia sehingga tercapai tujuan kedua negara dan memberi keuntungan bagi semua pihak yang terlibat. c. Aktor rasional dalam pembentukan kebijakan Model aktor rasional didasarkan pada gagasan terdapatnya rasionalitas komprehensif dari perilaku yang ideal. Proses pembuatan keputusan yang rasional digambarkan sebagai proses yang memerlukan informasi yang selengkap-lengkapnya tentang pilihan-pilihan yang ada mengenai tujuan, saran untuk mencapai tujuan itu, dan kemungkinan konsekuensi dari masingmasing pilihan.13 Menurut Dye tindakan dan tujuan dicapai melalui tindakan-tindakan rasional. Rasional diartikan sebagai tindakan yang paling efesien. Untuk melakukan tindakan yang efesien, ada beberapa hal yang harus diperhatikan: memahami value preferences di masyarakat, memahami pilihan kebijakan, memahami konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan dan menetapkan pilihan kebijakan yang paling efesien. Selain itu, ditambahkan oleh Robert Axelrod 13
M. Mas’oed, Studi Hubungan Internasional:Tingkat Analisis dan Teorisasi, Pusat Antar Universitas Studi Sosial, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1989, p. 22.
21
bahwa tindakan rasional harus didasarkan pada kalkulasi biaya dan keuntungan.14 Ketika keputusan didasarkan pada perhitungan biaya dan keuntungan, maka keputusan yang diambil adalah keputusan yang paling menguntungkan. Kemudian menurut Yehzkel Dror, untuk menghasilkan kebijakan yang rasional pembuat kebijakan harus mengetahui semua nilainilai utama yang ada pada masyarakat, mengetahui semua pilihan kebijakan yang tersedia, mengetahui semua konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan, menghitung rasio antara tujuan dan nilai sosial yang dikorbankan bagi setiap pilihan kebijakan, dan memilih pilihan kebijakan yang paling efesien.15 Berdasarkan teori pemikiran rasional, maka pemerintah Indonesia berusaha untuk membentuk kebijakan yang dianggap tepat dan paling efektif yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Pemerintah Indonesia mengusulkan dibentuknya nota kesepahaman dengan pemerintah Malaysia terkait pendidikan anak-anak TKI yang berada di Malaysia agar ada kesepakatan dan perjanjian yang saling menguntungkan antara kedua negara. Kebijakan tersebut dianggap ideal dan rasional oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia mempunyai kepentingan terhadap pemberian pelayanan pendidikan untuk anak-anak Indonesia baik yang berada di dalam maupun luar negeri sehingga bekerja sama dengan Malaysia adalah kebijakan yang dipandang rasional. d. Efektivitas kebijakan publik Setelah kebijakan rasional tercapai, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengukur efektifitas dari kebijakan publik yang merupakan pilihan yang rasional tersebut. Merilee Grindle menjelaskan bahwa efektifitas 14 15
R.M. Axelrod, The Evolution of Cooperation, Basic Books, New York, 2006, p. 18 dan 174. Y. Dror, Public Policy Making Reexamined, Chandler Publishing, Scranton, 1968, p. 12.
22
sebuah kebijakan publik dapat dikatakan baik jika sistem politik yang menjalankannya telah menghasilkan outcomes sesuai dengan tujuan kebijakan yang telah ditentukan.16 Untuk mencapai outcomes yang diharapkan menjadi penting untuk melihat bagaimana implementasi dari kebijakan publik itu dalam sistem politik yang berlaku. Implementasi sebuah kebijakan publik sangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu content of policy dan content of implementation. Jika penerimaan outcomes berdampak pada perubahan sikap individu dan kelompok, maka kebijakan publik berjalan dengan sukses. Grindle menambahkan bahwa ketika outcomes yang dihasilkan telah sesuai dengan tujuan kebijakan, maka kebijakan publik telah berjalan dengan sukses. Dengan adanya kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam pendidikan anak-anak TKI di Sabah, maka kedua negara telah menyepakati sebuah kebijakan yang sama-sama menguntungkan. Dalam pelayanan pendidikan anak TKI, efektivitas dari sebuah kebijakan bisa dilihat dari, antara lain, semakin berkurangnya jumlah anak TKI yang tidak bersekolah. Selain itu, kesuksesan dari kebijakan tersebut juga ditandai dengan meningkatnya mutu pendidikan anak-anak TKI, yang dilihat dari peningkatan kelulusan dari pusat-pusat belajar yang disediakan pemerintah Indonesia,
tersedianya
sarana
dan
prasarana
belajar-mengajar,
serta
teratasinya kekurangan tenaga pendidik di setiap pusat belajar.
16
M.S. Grindle, Politics and Policy Implementation in the Third World, Princeton University Press, New Jersey, 1980, p. 6.
23
E. Argumen Utama Dengan mengacu pada penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Abas, Aminullah dan Mailila dan teori kerja sama internasional oleh Holsti, serta hubungan transnasional oleh Keohane dan Nye dan teori kebijakan publik oleh Dye maka penulis menyimpulkan sebuah argumen bahwa pemerintah Indonesia berupaya menanggulangi permasalahan pendidikan anak-anak TKI di Sabah melalui, peran pemerintah Indonesia dan lembagalembaga pemerintah serta memanfaatkan peran lembaga Internasional. Peran pemerintah Indonesia diwujudkan dalam tiga bentuk, pertama, merancang nota kesepahaman sebagai kerangka legal kerja sama dengan Malaysia. kedua, menyelesaikan masalah dokumen resmi keimigrasian TKI ilegal melalui legalisasi dan itsbat nikah dan ketiga, membangun Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK). Selain itu, peran besar NGO juga memberi manfaat dalam tiga hal, pertama mengupayakan diplomasi dan mendesak perusahaan perkebunan untuk menyediakan sarana dan prasarana untuk proses belajar mengajar. Kedua, menyediakan tenaga pengajar, dan ketiga mengupayakan dana bantuan untuk proses pendidikan lewat lembaga Internasional lainnya.
F. Metode Penelitian Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan metode wawancara dan studi kepustakaan. Untuk yang pertama, penulis melakukan wawancara dengan Kepala Bidang Hubungan Luar Negeri di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang bertanggung jawab dalam pembentukan nota kesepahaman pendidikan dengan Malaysia; kepala salah satu NGO nasional yang ikut terlibat dalam pemberian pelayanan pendidikan anak TKI di Sabah; dan kepala perusahaan sebuah perkebunan tempat TKI bekerja guna mendapatkan data menyangkut sarana dan prasarana yang disediakan oleh 24
perusahaan dalam mendukung pendidikan anak-anak TKI. Sementara itu, dokumen nota kesepahaman, buku-buku, artikel jurnal, surat kabar, dan informasi dari Internet juga akan digunakan sebagai sumber analisis kasus yang diteliti.
G. Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari lima bab. Setelah Bab I ini, Bab II akan mendeskripsikan kerja sama Indonesia dan Malaysia dalam bidang pendidikan. Yang termasuk di dalamnya adalah latar belakang, fungsi, dan tujuan, serta bentuk dan perkembangan kerja sama Indonesia dan Malaysia. Uraian dalam bab ini penting sebagai pengantar untuk melanjutkan fokus kajian lebih lanjut. Bab III akan mendiskusikan perkembangan pendidikan anak TKI di Sabah, Malaysia. Uraian dalam bab ini meliputi keberadaan dan kepentingan TKI di Malaysia, khususnya Sabah, serta kendala-kendala yang dihadapi pemerintah Indonesia. Sebagai aktor rasional, pemerintah Indonesia harus menetapkan pilihan kebijakan yang dianggap terbaik dalam menangani permasalahan yang muncul dari keberadaan TKI, termasuk di dalamnya soal pendidikan bagi anak-anak mereka. Penulis menilai bahwa kendala yang ada dalam kerja sama pelayanan pendidikan bagi anak-anak TKI ini membuat usaha pemerintah tidak berjalan dengan optimal. Inilah inti dari Bab IV yang mengevaluasi kerja sama Indonesia dan Malaysia dalam penanggulangan masalah pendidikan anak TKI di Sabah. Dalam konteks ini, akan dibahas tentang upaya pemerintah Indonesia mengatasi persoalan dokumen keimigrasian yang tidak dimiliki oleh banyak TKI dan anak-anak mereka serta upaya dari lembaga non pemerintah yang ikut memberikan pelayanan kepada anak TKI di Sabah. Dalam bab ini juga di bahas mengenai persoalan nota kesepahaman sebagai kerangka legal dalam kerja sama kedua negara serta evaluasi dari kerja sama Indonesia dan Malaysia dalam 25
pendidikan anak TKI di Sabah. Bab V yang berisikan kesimpulan dan inferens dari kasus yang diteliti, akan menutup tesis ini.
26