KERENTANAN EKOLOGI DAN STRATEGI PENGHIDUPAN RUMAH TANGGA PETANI DI PANTAI UTARA INDRAMAYU
ALI YANSYAH ABDURRAHIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Kerentanan Ekologi dan Strategi Penghidupan Rumah Tangga Petani di Pantai Utara Indramayu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2015 Ali Yansyah Abdurrahim NIM I353120071
ii
RINGKASAN ALI YANSYAH ABDURRAHIM. Kerentanan Ekologi dan Strategi Penghidupan Rumah Tangga Petani di Pantai Utara Indramayu. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN, SATYAWAN SUNITO, dan I MADE SUDIANA. Pedesaan Pantai Utara (Pantura) Indramayu sejak dulu dikenal sebagai daerah pertanian padi sawah yang subur dan lumbung padi nasional. Iklim yang sesuai, topografinya yang landai, dan pasokan air irigasi yang mengalir sepanjang tahun dikenal menjadi faktor yang mendukung lahan-lahan sawah di Pantura Indramayu dapat ditanam tiga kali dalam setahun. Namun, Desa Karangmulya yang juga berada di Pantura Indramayu justru menunjukkan kondisi sebaliknya. Desa yang berada di ujung jaringan irigasi Rentang dan Jatiluhur ini mempunyai kerentanan yang sangat tinggi terhadap kekeringan dan banjir. Lahan-lahan sawah di desa ini hanya mampu ditanami padi dengan optimal sekali dalam setahun. Meskipun perubahan iklim terbukti meningkatkan kerentanan ekologi, penelitian ini menemukan bahwa ketidakmampuan pemerintah mengelola kedua jaringan irigasi tersebut menjadi faktor utama tingginya kerentanan ekologi di desa. Kerentanan ekologi yang menekan dan mengguncang penghidupan direspons setiap rumah tangga dari semua lapisan sosial dengan membangun modal sosial yang kuat. Modal sosial yang kuat memberikan akses pada setiap rumah tangga untuk meningkatkan kapasitas aset penghidupan lainnya, yaitu modal alam, modal fisik, modal finansial, dan modal insani. Dengan kombinasi kelima aset penghidupan tersebut, rumah tangga di desa menjalankan berbagai aktivitas penghidupan yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga strategi penghidupan, yaitu pertanian, non-pertanian, dan migrasi, untuk mempertahankan keberlanjutan penghidupannya. Pertanian menjadi basis utama penghidupan rumah tangga di Desa Karangmulya. Strategi ini menjadi yang terbanyak dilakukan oleh seluruh rumah tangga. Pendapatan dari pertanian digunakan untuk menjalankan strategi penghidupan non-pertanian. Selain itu, strategi migrasi ke Korea juga menjadi strategi penghidupan yang penting, terutama bagi rumah tangga lapisan bawah buruh. Beberapa rumah tangga lapisan bawah buruh, bahkan mampu melakukan mobilisasi sosial vertikal dengan menggunakan pendapatan migrasinya untuk menyewa dan menggadai lahan sawah rumah tangga lain. Hal ini menunjukkan bahwa setiap rumah tangga dari semua lapisan sosial berupaya menghadapi dan beradaptasi dengan kerentanan ekologi yang mengganggu penghidupannya dengan tetap memelihara atau bahkan meningkatkan kapasistas aset penghidupannya serta mengkombinasikan aset penghidupan yang dimiliki dan diaksesnya ke dalam berbagai bentuk strategi penghidupan untuk mempertahankan keberlanjutan penghidupannya. Modal sosial yang kuat yang dimiliki seluruh rumah tangga menjadi faktor kunci terpeliharanya resiliensi dan keberlanjutan penghidupan setiap rumah tangga di desa. Kata kunci: kerentanan, banjir, kekeringan, iklim, strategi penghidupan, modal sosial, penghidupan berkelanjutan
iii
SUMMARY ALI YANSYAH ABDURRAHIM. Ecological Vulnerability and Farmer Households Livelihood Strategies in North Coast of Indramayu. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN, SATYAWAN SUNITO, dan I MADE SUDIANA. Rural North Coastal Areas of Java (North Coast) specifically the regency of Indramayu has long been known as a main paddy growing area of Java and it is considered as main national grain growing region. Some supporting factors such as suitable climate, supportive topography sloping, and adequate supply of water irrigation flowing throughout the year have been known as key factors helping rice-fields keep in existence in Indramayu. However, Karangmulya Village which is also located in the northern coastal region of Indramayu actually shows the opposite. The village is located at the end of the irrigation network which face a very high susceptibility to drought and floods. Most of rice-field existing in the area can only grow rice with optimally once a year. Although climate change proven to increase ecological vulnerability, the study found that the government's inability to manage the irrigation network has been considered to be a major factor in the village high ecological vulnerability . Ecological vulnerability as faced by the farm households are responded actively through buildingstrong social capital structure. Strong social capital gives access to every household to increase the capacity of other livelihood assets, namely natural capital, physical capital, financial capital, and human capital. With the combination of the five livelihood assets as conceptualized bt Scoones and Ellis, the households in the village run various livelihood activities. The livelihood activities can be categorized into three livelihood strategies, namely: agriculture, non-farm activities, and out-migration, in order to sustain their livelihood. Agriculture became the main economic-base of household livelihood in the Karangmulya Village. This strategy is performed mostly by the fram households. Agricultural income is also used to support the non-agricultural livelihood strategies and vice versa. In addition, the out-migration strategy to Korea or other overseas countries also became an important livelihood strategy, especially for the household having more labor force in the family. Some farm households labor, showed their capability to achieve vertical mobility using migration income for rent and pawn wetland other households. This shows that every household of all social layers sought to cope and adapt to ecological vulnerability that usually disrupt the livelihoods while maintaining or even improving the capacity of livelihood assets. They usually combine strategies by using livelihood assets owned by and are accessible to farm household to sustain their livelihood. Finally, it is recognized that strong social capital owned by the whole farm household has become a key factor maintaining the resilience and sustainability of the livelihoods for every household in the village. Keywords: vulnerability, flooding, drought, climate, social capital, livelihood strategies, sustainable livelihoods
iv
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
v
KERENTANAN EKOLOGI DAN STRATEGI PENGHIDUPAN RUMAH TANGGA PETANI DI PANTAI UTARA INDRAMAYU
ALI YANSYAH ABDURRAHIM
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
vi
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Titik Sumarti
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Titik Sumarti Dr Ir Naresworo Nugroho, MS
vii
Judul Tesis : Kerentanan Ekologi dan Strategi Penghidupan Rumah Tangga Petani di Pantai Utara Indramayu Nama : Ali Yansyah Abdurrahim NIM : I353120071 Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Arya Hadi Dharmawan Ketua
Dr Satyawan Sunito Anggota
Prof Dr I Made Sudiana Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Arya Hadi Dharmawan
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: (tanggal pelaksanaan ujian tesis)
Tanggal Lulus: (tanggal penandatanganan tesis oleh Dekan Sekolah Pascasarjana)
viii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Kerentanan Ekologi dan Strategi Penghidupan Rumah Tangga Petani di Pantai Utara Indramayu berhasil diselesaikan. Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pembangunan ketahanan pangan, peningkatan resiliensi penghidupan rumah tangga petani, dan pengembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan harapan Kementerian Riset dan Teknologi yang memberikan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pascarjana pada Program Studi Sosiologi PedesaanSekolah Pascarsajana IPB. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Arya Hadi Dharmawan, Dr Satyawan Sunito, dan Prof Dr I Made Sudiana sebagai pembimbing yang telah membimbing sepenuh hati, serta Dr Titik Sumarti sebagai penguji yang telah menyampaikan banyak saran dan masukan bagi penyempurnaan karya ilmiah ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Pengelola Karyasiswa Kementerian Riset dan Teknologi yang telah memberikan beasiswa, Kepala Pusat Penelitian Kependudukan-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) beserta seluruh teman-teman staf peneliti dan staf non-peneliti di berbagai satuan kerja di LIPI yang telah memberikan dukungan penuh, serta semua pihak yang telah membantu penulis selama pengumpulan dan analisis data, di antaranya teman-teman dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Pemerintah Kabupaten Indramayu, serta seluruh pengurus kelompok tani, perangkat desa, dan seluruh petani di Desa Karangmulya yang telah menjadi responden dan narasumber. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada Siti Maryam—perempuan yang tak kenal lelah menyemangati suaminya untuk menyelesaikan karya ilmiah ini, dan Azzura Syah Alfarisy—anak semata wayang yang tulus memanjatkan do'a dan kecupan sayang untuk ayahnya untuk bisa segera lulus, serta seluruh keluarga atas semua dukungan yang diberikan.
Bogor, Januari 2015
Ali Yansyah Abdurrahim
ix
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1! PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah
1! 1! 9!
2! TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan 2.2 Perkembangan Kerangka Penghidupan 2.3 Perkembangan Penelitian Terkini dengan PendekatanPenghidupan 2.4 Kerangka Penelitian 2.5 Definisi Operasional
10 10 11 15 21 25
3! METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Pendekatan dan Paradigma Penelitian 3.3 Pengumpulan dan Prosedur Analisis Data
28! 28! 29! 34!
4! ANALISIS KERENTANAN EKOLOGI LOKASI PENELITIAN 4.1 Potret Desa Persawahan di Kecamatan Pantai 4.2 Perkembangan Sejarah Desa: Menelusuri Jejak Kerentanan
37! 37! 44
5! ANALISIS ASET PENGHIDUPAN DAN AKSESNYA 5.1 Modal Sosial 5.2 Modal Alam 5.3 Modal Fisik 5.4 Modal Finansial 5.5 Modal Insani (Sumber Daya Manusia)
52 53 59 61 64 67
6 ANALISIS STRATEGI PENGHIDUPAN DAN PENDAPATAN 6.1 Strategi Penghidupan Rumah Tangga 6.2 Analisis Pendapatan Rumah Tangga
73 73 94
7! ANALISIS OUTCOME PENGHIDUPAN BERKELANJUTAN
104
8 KONSEPTUALISASI SOSIOLOGI KERENTANAN EKOLOGI DAN DINAMIKA PENGHIDUPAN PEDESAAN
114
9! SIMPULAN DAN SARAN 9.1 Simpulan 9.2 Saran
129! 129! 130!
DAFTAR PUSTAKA
134!
LAMPIRAN
142
RIWAYAT HIDUP
152
x
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Tabel 3.1 Perbedaan pendekatan kuantitatif dan kualitatif 30! Tabel 3.2 Keterangan responden survei rumah tangga 35! Tabel 3.3 Tahapan proses penelitian 36! Tabel 4.1 Jumlah hari dan curah hujan di Kec. Kandanghaur 2012 41 Tabel 4.2 Shocks dan dampaknya terhadap produksi padi di salah satu blok sawah di Desa Karangmulya 42 Tabel 4.3 Kondisi ketahanan pangan rumah tangga di Desa Karangmulya 45 Tabel 5.1 Institusi dan organisasi sosial dalam sistem penghidupan masyarakat 56 Tabel 5.2 Keanggotaan dan manfaat kelompok tani yang diperoleh rumah tangga 58 Tabel 5.3 Aset lahan sawah yang dimiliki dan diakses rumah tangga 59 Tabel 5.4 Keterangan asal lahan sawah yang dimiliki 60 Tabel 5.5 Keterangan akses yang dimiliki rumah tangga terhadap lahan sawah milik orang lain 61 Tabel 5.6 Modal fisik yang dimiliki rumah tangga 64 Tabel 5.7 Modal finansial yang dimiliki dan dapat diakses rumah tangga 66 Tabel 5.8 Karakteristik sumber daya manusia rumah tangga 69 Tabel 6.1 Strategi pertanian yang dijalankan rumah tangga 75 Tabel 6.2 Aksi adaptasi yang dilakukan dalam strategi pertanian 77 Tabel 6.3 Strategi diversifikasi penghidupan non-pertanian yang dijalankan rumah tangga 84 Tabel 6.4 Strategi migrasi yang dilakukan rumah tangga 87 Tabel 6.5 Keterangan negara, jenis kelamin, aktivitas penghidupan yang dilakukan rumah tangga dalam strategi migrasi internasional 88 Tabel 6.6 Keterangan negara, jenis kelamin, aktivitas penghidupan yang dilakukan rumah tangga dalam strategi migrasi dalam negeri 91 Tabel 6.7 Pendapatan yang dihasilkan rumah tangga dari berbagai aktivitas penghidupan 95 Tabel 7.1 Tindakan yang dilakukan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan apabila kekurangan stok pangan 111 Tabel 8.1 Inti definisi kapital sosial menurut beberapa ahli 121
xi
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Gambar 3.1 Triangulasi penelitian Gambar 4.1 Lahan sawah yang mengalami kekeringan tahun 2014 Gambar 4.2 Banjir yang melanda Desa Karangmulya 2014 Gambar 4.3 Zonasi tipe hujan di wilayah Kabupaten Indramayu Gambar 4.4 Tren perubahan awal dan panjang musim kemarau di Indramayu 1981-2009 Gambar 4.5 Tren perubahan awal dan panjang musim hujan di Indramayu 1981-2009 Gambar 5.1 Pentagon aset penghidupan rumah tangga setiap lapisan sosial tanpa akses yang diberikan modal sosial Gambar 5.2 Pentagon aset penghidupan rumah tangga setiap lapisan sosial dengan akses yang diberikan modal sosial Gambar 6.1 Persentase aktivitas penghidupan dan pendapatan rumah tangga lapisan atas Gambar 6.2 Persentase aktivitas penghidupan dan pendapatan rumah tangga lapisan menengah Gambar 6.3 Persentase aktivitas penghidupan dan pendapatan rumah tangga lapisan bawah pemilik Gambar 6.4 Persentase aktivitas penghidupan dan pendapatan rumah tangga lapisan bawah penggarap Gambar 6.5 Persentase aktivitas penghidupan dan pendapatan rumah tangga lapisan bawah buruh Gambar 6.6 Persentase strategi (aktivitas) penghidupan rumah tangga setiap lapisan sosial Gambar 6.7 Perbandingan pendapatan rumah tangga setiap lapisan sosial Gambar 8.1 Skema sosiologi kerentanan ekologi dan penghidupan Gambar 8.2 Skema hubungan lahan dan mobilitas sosial Gambar 8.3 Ilustrasi network of trust Gambar 8.4 Pentagon aset penghidupan dan akses Gambar 8.5 Ilustrasi peran modal sosial dalam menjaga resiliensi penghidupan rumah tangga
32! 39! 40! 41 43 44 71 72 97 97 98 99 100 101 102 114 117 120 122 123
xii
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Lampiran 1 Kuesioenr survei penghidupan rumah tangga Lampiran 2 Peta bagan persil Desa Karangmulya Lampiran 3 Skema jaringan irigasi yang menuju Desa Karangmulya Lampiran 4 Lokasi penelitian
142 149 150 151
xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Iklim, topografi, dan kondisi ekologi wilayah Pantai Utara (Pantura) Indramayu sangat sesuai untuk pertanian padi sawah (Lindbald 1998). Sabuk pantai (the coastal belt) membentuk suatu dataran rendah yang terbentang dari laut ke bukit-bukit di bawah Gunung Ciremai. Sungai Cimanuk mengalir melintasi dataran ini menyediakan air irigasi (sekaligus sarana perhubungan utama dengan daerah pedalaman). Kondisi ini menyebabkan wilayah Pantura Indramayu memiliki tanah yang subur dan sangat cocok dijadikan sawah (Padmo 1998). Pemerintah Kabupaten Indramayu (2014) dan Puspitawati et al. (2007) dengan bersumberkan naskah Babad Dermayu menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 di wilayah Pantura Indramayu sudah ada perkampungan (pedukuhan) pertanian dengan penghidupan utamanya pertanian padi sawah. Berbagai dokumen resmi Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda menjelaskan bahwa di Pantura Indramayu, penanaman padi sawah telah meluas sejak awal abad ke-17. Bahkan di akhir abad ke-18, kehidupan desa yang mapan menjadi fenomena yang terdapat di wilayah yang menjadi bagian dari Karesidenan Cibinong (F de Haan 1910 dalam Padmo 1998). Padmo (1998) yang mengutip Fernando (1982) menyebutkan pada 1830, rasio sawah terhadap tanah sudah mencapai 15:1. Selama 1813–1830 terjadi peningkatan luas lahan sawah di Pantura Indramayu (dan juga Cirebon) dari 19,178.2 ha menjadi 21,559.2 ha. Selain disebabkan oleh iklim, topografi, dan kondisi ekologi, peningkatan luas lahan sawah juga disebabkan oleh perpindahan penduduk dari Jawa Tengah ke wilayah ini. Dengan peningkatan luas lahan, sawah-sawah di wilayah ini menghasilkan produksi padi lebih dari cukup untuk penduduknya. Pada 1820-an, padi dan beras dikirim ke daerah lain di Jawa dan juga ke pulau-pulau luar Jawa. Perang Jawa yang terjadi di Jawa Tengah meningkatkan permintaan padi dari wilayah ini. Padi dan beras dikumpulkan dari desa-desa oleh para pedagang di tingkat kecamatan dan kemudian dibawa ke Pelabuhan Indramayu dan Pelabuhan Cirebon untuk dikapalkan dan dikirim oleh para pedagang dari Cina, Arab, dan Eropa ke daerahdaerah lain di Jawa dan di luar Jawa. Pada 1824, di Pelabuhan Indramayu dan Cirebon dilaporkan ada 872 kapal yang berlabuh dan 712 kapal yang bertolak (Jaarverslag Cirebon 1824 dalam Padmo 1998). Selain lewat laut, perdagangan padi juga dilakukan lewat darat sejak awal abad ke-17 ketika Indramayu dan Cirebon menjadi bagian dari Kerajaan Mataram. Ekspor beras dari Pantura Indramayu juga tidak hanya dilakukan ke daerah lain di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), tetapi juga dilakukan ke negara lain. Prince (1998) menyebutkan pada paruh kedua tahun 1911, karena kenaikan harga beras di pasar dunia akibat panen buruk di Cina dan Jepang, Pemerintah Hindia
Belanda menaikkan ekspor beras. Namun, karena persediaan beras dalam negeri juga tidak mencukupi kebutuhan penduduk, Pemerintah Hindia Belanda atas saran Departemen Pertanian memutuskan untuk melarang ekspor beras untuk sementara waktu sejak 23 September 1911. Untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi padi Indramayu, Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1912 membangun jaringan irigasi Rentang yang diawali dengan pembangunan bendung Rentang di Sungai Cimanuk. Jaringan irigasi Rentang mulai berfungsi mengairi 91,000 hektar lahan sawah pada tahun 1916. Wilayah Pantura Indramayu pun tetap menjadi lumbung padi dan pengekspor beras terbesar di Jawa (56 persen) (Ed Frank 1979 dalam Kalo 1983 dalam Hartoyo 1986). Selain itu, sejak 1880, Pemerintah Hindia Belanda sebetulnya juga merencanakan pembangunan Bendungan Jatiluhur yang salah satu fungsinya untuk mengairi areal persawahan di Pantura Indramayu bagian barat. Selama masa Revolusi Hijau yang dilakukan Pemerintahan Orde Baru dan dirintis oleh IPB 1963/1964, Kabupaten Indramayu pun tetap menjadi lumbung padi dan daerah andalan produksi padi nasional (Fakultas Pertanian IPB 1992). Mulai tahun 1969, Pemerintahan Orde Baru memperbaiki dan merevitalisasi irigasi Rentang. Selain itu, Pemerintahan Orde Baru juga mulai mengaktifkan Bendungan Jatiluhur pada tahun 1967. Bendungan yang mula dibangun pada 1957 oleh Pemerintahan Orde Lama ini mengairi 240,000 Ha lahan sawah yang di antaranya adalah sawah-sawah di Pantura Indramayu bagian Barat melalui jaringan irigasi upper Jatiluhur (PJT II 2014). Sampai saat ini, status dan peran Indramayu sebagai lumbung padi terus dipertahankan, bahkan terus ditingkatkan melalui berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah (lihat Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2012 dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 22 Tahun 2010; lihat juga Bappenas 2010). Setiap tahun, Indramayu dituntut untuk mempertahankan statusnya sebagai lumbung padi dan meningkatkan produksi padi. Pada tahun 2012, misalnya, Kabupaten Indramayu ditargetkan memproduksi padi 1.3 juta ton dan tahun 2013 naik 10 persen menjadi 1.43 juta ton. Uraian di atas memaparkan dengan sangat jelas bahwa dengan kondisi iklim, topografi, dan ekologi yang cocok untuk pertanian padi sawah telah menjadikan wilayah Pantura Indramayu sejak dulu sampai sekarang menjadi lumbung padi nasional. Namun, kondisi tersebut, ibarat dua sisi mata uang, menjadikan wilayah Pantura Indramayu mempunyai kerentanan ekologi yang tinggi. Berbagai hasil penelitian dan dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah menunjukkan hal tersebut. Pramudia (2002), misalnya, menyampaikan bahwa wilayah Indramayu memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap kekeringan dan penurunan produksi, terutama pada tahun el-nino. Utomo (2013) menyampaikan wilayah di Indramayu didominasi oleh wilayah yang memiliki potensi rawan banjir tinggi (32,7 persen) dan rawan banjir sangat tinggi (62,4 2
persen). Kalsim (2007) yang merujuk berbagai data, di antaranya data Kementerian Pertanian, menyebutkan Kabupaten Indramayu sebagai daerah yang sangat rawan kekeringan (dan juga banjir). Siregar dan Crane (2011) menyebutkan sebagian besar air tanah permukaan di wilayah Pantura Indramayu memiliki tingkat salinitas yang tinggi sehingga tidak bisa digunakan untuk mengairi sawah di musim kemarau. Dokumen resmi pemerintah yang diterbitkan BNPB (2011) menyebutkan bahwa Kabupaten Indramayu merupakan wilayah yang mempunyai tingkat kerentanan sangat tinggi terhadap kekeringan dan banjir. BMKG melalui hasil analisis yang dilakukan Sucahyono dan Aldrian (2012) menyebutkan wilayah Pantura Indramayu (terutama wilayah pertanian di Kecamatan Kandanghaur, Juntinyuat, dan Losarang) sebagai wilayah yang sangat rentan terhadap kekeringan dan banjir. Bappenas dan Kementan (2010) melaporkan bahwa intensitas dan frekuensi kekeringan dan banjir mengalami peningkatan dan akan terus mengalami peningkatan sebagai akibat dampak perubahan iklim. Laporan ini mengkonfirmasi hasil penelitian yang disampaikan IPCC (2001, 2007), UNDP (2007), ADB (2009) yang menyebutkan Indonesia, terutama wilayah persawahan di Pantai Utara Jawa (termasuk Indramayu) menjadi daerah yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim. Dalam dokumen Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim (RAN-API) yang diterbitkan Bappenas (2014), Indramayu kembali disebutkan sebagai salah satu wilayah paling rentan terkena dampak perubahan iklim, terutama kekeringan, banjir, dan penurunan produksi padi. BPS Kabupaten Indramayu (2006, 2009, 2012, 2013) menyebutkan bahwa pada tahun 2005, 2008, 2011, dan 2012 terjadi penurunan luas panen yang disertai penurunan produksi sebagai akibat banjir dan kekeringan. Dalam kerangka penghidupan yang disampaikan Carney (1998), Chambers dan Conway (1991), DFID (1999, 2004), Ellis (2000), Scoones (1998, 2009), banjir dan kekeringan merupakan tekanan dan goncangan yang meningkatkan kerentanan ekologi suatu wilayah dan mengancam penghidupan masyarakat pedesaan, terutama rumah tangga petani padi yang sangat tergantung kepada belas kasihan alam yang banyak ulahnya (Scott 1976). Setiap rumah tangga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat dituntut untuk bisa menghadapi (coping) dan menyesuaikan (adaptasi) dengan berbagai tekanan (stressors) dan goncangan (shocks) tersebut serta memelihara kapabilitas dan aset penghidupan yang dimilikinya dengan melakukan berbagai strategi penghidupan yang mampu menjamin penghidupannya dan generasi berikutnya. Kerangka ini sangat menekankan keberlanjutan penghidupan masyarakat (sistem sosial) dan keberlanjutan sumber daya alam (sistem ekologi) (lihat juga Dharmawan 2009). 1.2 Perumusan Masalah Strategi penghidupan dilakukan dengan cara mengkombinasikan berbagai aset (sumber daya) penghidupan yang tersedia. Carney (1998), Ellis (2000), dan
3
Scoones (1998, 2009) mengelompokkan berbagai aset penghidupan ke dalam lima bentuk modal yaitu modal sosial (social capital), modal alami (natural capital), modal fisik (physical capital), dan modal insani (human capital). Karena kondisi masyarakat pedesaan sudah tidak homogen dan rumah tangga-rumah tangga (sebagai anggota masyarakat) cenderung terstratifikasi ke dalam berbagai lapisan sosial (Bernstein et al. 1992 dan Leach et al. 1997 dalam Ellis 2000), maka asetaset penghidupan dimiliki oleh setiap rumah tangga dengan kuanitas dan kualitas yang berbeda. Rumah tangga lapisan atas (kaya) biasanya memiliki kelima aset (modal) penghidupan dengan lengkap dan sempurna. Namun sebaliknya, rumah tangga lapisan bawah (miskin) biasanya hanya bisa mengandalkan tenaga sebagai aset (modal) penghidupannya. Scott (1976) mengemukakan bahwa di wilayah-wilayah dengan kerentanan ekologi tinggi, rumah tangga lapisan bawah seringkali hanya memiliki tenaga sebagai satu-satunya faktor produksi yang melimpah. Rumah tangga bawah akan terpaksa melakukan aktivitas-aktivitas yang memerlukan banyak pekerjaan dengan hasil yang sangat kecil, sampai kebutuhan minimalnya terpenuhi. Hal tersebut bisa berupa aktivitas buruh tani, pemanfaatan waktu senggang dengan membuat kerajinan tangan, menjadi tukang (buruh bangunan), serta berjualan di pasar dan di rumahnya. Aktivitas-aktivitas inilah yang yang mereka dapat lakukan untuk memanfaatkan kelebihan tenaga kerja. Keterbatasan aset penghidupan yang dimiliki rumah tangga lapisan bawah membatasi kemampuan dan pilihan strategi penghidupan yang bisa dilakukannya. Dalam kondisi seperti ini, meskipun sama-sama tinggal di wilayah dengan kerentanan ekologi tinggi, rumah tangga lapisan bawah mempunyai kerentanan penghidupan yang lebih tinggi dibanding rumah tangga lapisan atas dan lapisan menengah. DFID (2004) menyebutkan rendahnya kapasitas aset yang dimilikinya menyebabkan sebagian besar rumah tangga lapisan bawah tidak mampu mempersiapkan, mengatasi, dan bangkit dari permasalahan yang ditimbulkan oleh banjir dan kekeringan. Meningkatnya intensitas dan frekuensi kekeringan dan banjir menghabiskan waktu rumah tangga lapisan bawah untuk terus mengatasi dan memperbaiki dampak yang ditimbulkan dari kejadian banjir dan kekeringan yang terus berulang. Penelitian di dua puluh empat negara menunjukkan peningkatan kerentanan ekologi yang kemudian meningkatkan kerentanan penghidupan rumah tangga bawah. Banjir 1998 di Bangladesh yang merendam dan merusak lahanlahan pertanian, misalnya, menyebabkan sebagai rumah tangga mengalami kerawanan pangan dan beralih pekerjaan dari petani menjadi buruh serabutan untuk tetap mempertahankan penghidupan. Bahkan, rumah tangga miskin mengatasinya dengan mengurangi konsumsi pangan dan menjual sebagian aset penghidupan yang dimilikinya (DFID 2004). Hal ini tentunya mengurangi resiliensi rumah tangga tersebut terhadap tekanan dan guncangan di masa yang akan datang. 4
Pavoola (2008) menemukan bahwa perubahan iklim dalam bentuk peningkatan variabilitas iklim dan juga tekanan lainnya telah meningkatkan kerentanan ekologi dan mengganggu kegiatan budidaya pertanian yang merupakan aktivitas penghidupan utama rumah tangga di Morogoro, Tanzania. Untuk mempertahankan penghidupannya, rumah tangga petani melakukan berbagai strategi penghidupan dalam bentuk intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, diversifikasi penghidupan, dan migrasi. Namun, Pavoola (2008) menemukan fakta bahwa tidak semua dapat melakukan strategi untuk mempertahankan penghidupannya. Tidak adanya akses terhadap lahan menjadi penyebab ketidakmampuan rumah tangga bawah (miskin) melakukan strategi yang mampu mempertahankan penghidupannya. Intervensi pemerintah yang dilakukan melalui peningkatan kapasitas aset penghidupan, seperti investasi infrastruktur (modal fisik), reformasi institusi sosial (modal sosial), program kesehatan dan pendidikan (modal insani), serta pemberian akses terhadap lahan (modal alam), pasar dan finansial (modal finansial) dan pekerjaan, terbukti mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuan rumah tangga bawah untuk mempertahankan penghidupannya. Mc Dowell dan Hess (2012) menemukan bahwa perubahan iklim dan berbagai tekanan lainnya telah meningkatkan kerentanan ekologi yang berdampak pada penurunan ketahanan pangan dan kualitas penghidupan rumah tangga di Bolivia. Semua rumah tangga petani dituntut untuk melakukan strategi mempertahankan penghidupannya. Namun, hanya rumah tangga petani yang beraset dan berakses luas yang mampu mempertahankan penghidupannya, bahkan beberapa rumah tangga atas (kaya) berhasil melakukan akumulasi kekayaannya. Sementara itu, rumah tangga petani bawah (miskin) yang beraset dan berakses sangat terbatas tidak mampu mempertahankan penghidupannya. Aset penghidupan yang menjadi kunci keberhasilan adalah lahan dan air (modal alam); tenaga kerja, pendidikan, dan kesehatan (modal insani), institusi sosial (modal sosial), dan modal finansial. Oleh karena itu, menurut Mc Dowell dan Hess (2012), intervensi terpenting yang harus dilakukan adalah pembentukan institusi sosial (modal sosial) yang dapat memberikan akses rumah tangga petani bawah terhadap berbagai aset penghidupan kunci. Uraian di atas memaparkan bahwa pentingnya aset dan akses terhadap aset tersebut. Dengan aset dan akses yang dimilikinya, rumah tangga lapisan atas dapat melakukan berbagai aktivitas untuk mempertahankan penghidupannya, bahkan mengakumulasi kekayaan (aset penghidupannya). Sementara itu, pemberian akses kepada rumah tangga lapisan bawah untuk mendapatkan dan memanfaatkan aset penghidupan yang dibutuhkannya terbukti mampu meningkatkan kapasitas dan kemampuannya untuk melakukan berbagai aktivitas yang dapat mempertahankan penghidupannya. Selain akses terhadap berbagai aset penghidupan, akses yang
5
diberikan untuk mendapatkan pekerjaan (aktivitas penghidupan) membantu rumah tangga lapisan bawah mempertahankan penghidupannya. Akses diberikan melalui institusi sosial produksi yang menjadi bagian dari modal sosial. Agrawal (2008) menemukan besarnya peran institusi sosial (modal sosial) dalam berbagai aktivitas yang dilakukan rumah tangga di lima belas negara, termasuk Indonesia, untuk mempertahankan penghidupannya dari kerentanan yang disebabkan dampak perubahan iklim. Osbahr et al. (2008) juga menemukan peran penting institusi sosial indigenous berupa resiprositas (modal sosial) dalam mewujudkan penghidupan berkelanjutan di Mongolia. Dengan modal sosial yang kuat, rumah tangga dan komunitas di Mongolia dapat menghadapi peningkatan kerentanan ekologi berupa banjiir dan kekeringan serta mempertahankan penghidupannya. Di Indonesia, berbagai penelitian tentang sosiologi penghidupan yang dilakukan oleh Sajogyo sejak tahun 1970-2006 (Sajogyo 2006), Geertz (1963), Collier et al. (1974, 1996); Hayami dan Kikuchi (1987); Pincus (1996); Breman dan Wiradi (2004); Dharmawan (2007) menunjukkan peran penting institusi sosial produksi, seperti bawon dan patronklien, sebagai modal sosial yang dapat memberikan akses terhadap rumah tangga lapisan bawah untuk mendapatkan manfaat dari aset penghidupan yang dimiliki rumah tangga lapisan atas dan mempertahankan penghidupannya. Scott (1976) mengemukakan bahwa pola-pola resiprositas, kedermawanan sosial, ikatan patron-klien, dan berbagai institusi sosial produksi, seperti institusi sewa lahan, institusi bawon, dan lain-lain tumbuh dan berkembang dengan kuat sebagai modal sosial di wilayah-wilayah yang kerentanan ekologinya tinggi. Modal sosial tersebut menjadi pengaturan-pengaturan sosial yang memberikan akses terhadap semua rumah tangga di desa atas penghidupan yang diperoleh dari kekayaan (aset-aset penghidupan) yang terdapat di desa. Keterbatasan sumber daya dan ancaman kekurangan pangan yang disebabkan kegagalan panen akibat banjir dan kekeringan yang datang hampir setiap tahun menjadi pemicu kuatnya modal sosial di wilayah-wilayah pedesaan dengan kerentanan ekologi tinggi. Berbagai tekanan dan goncangan mempunyai efek redistributif tertentu. Rumah tangga petani atas (kaya) diharapkan menjadi dermawan, mensponsori perayaanperayaan desa, melakukan selametan sesering mungkin, menolong kerabat dan tetangga yang sedang dalam kesulitan, banyak bersedekah kepada tempat-tempat suci dan tempat-tempat ibadah. Berbagai kegiatan tersebut mengandung makna sebagai bentuk asuransi-asuransi sosial yang terselubung. Modal sosial dalam berbagai bentuk jaringan dan institusi sosial produksi seringkali menjadi peredam-kejutan selama masa-masa sulit dalam kehidupan petani. Seorang petani akan akan dibantu oleh sanak-saudaranya, kawankawannya, pelindung (patron) yang berpengaruh untuk mengatasi masa-masa sulit akibat jatuh sakit atau panen yang gagal. Ikatan patron-klien merupakan suatu bentuk asuransi sosial yang terdapat di kalangan petani Indonesia dan negaranegara lainnya di Asia Tenggara. 6
Hayami dan Kikuchi (1987) mengemukakan bahwa di kebanyakan desa di Asia, termasuk Indonesia, ikatan sosial (modal sosial) yang tumbuh dari kenyataan bahwa orang desa hidup bersama di dalam satu lokasi yang sama dan harus bekerja sama dengan berbagai cara demi keamanan dan kelangsungan hidup mereka. Modal sosial di pedesaan pertanian tumbuh secara alamiah karena saling ketergantungan secara ekologis dalam proses-proses pertanian. Kebutuhan akan air irigasi bagi sawahnya akan menyebabkan setiap rumah tangga petani menjalani interaksi sosial dengan rumah tangga petani lainnya. Seorang petani atau satu rumah tangga petani merupakan unit sosial produksi yang terlalu kecil untuk mendatangkan dan mengatur air irigasi. Faktor utama lain yang mendorong kerja sama antar rumah tangga petani adalah permintaan tenaga kerja yang sangat tergantung pada musim dalam produksi pertanian. Peningkatan permintaan tenaga kerja dapat muncul tiba-tiba dan tidak bisa diprediksi yang disebabkan oleh ketidakpastian cuaca yang berubah-berubah dan kondisi ekologis lainnya, bahkan dalam masa-masa puncak rumah tangga petani pemilik lahan sawah seringkali kekurangan tenaga kerja. Tindakan secara kolektif diperlukan untuk mengatasi ketidakpastian dalam produksi. Hubungan saling tolong-menolong, seperti pertukaran tenaga dan pertukaran faktor-faktor lainnya menjadi berkembang. Menyewa atau mempekerjakan seorang buruh tani di desa, meskipun bersifat tidak tetap, cenderung menjadi bagian yang rumit, yang menyangkut berbagai hubungan tukar-menukar. Hubungan seperti itu memungkinkan para rumah tangga lapisan atas pemilik lahan sawah (majikan) menggantungkan diri pada persediaan buruh tani yang berasal dari rumah tangga lapisan bawah yang ada di desa untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja pada masa-masa puncak permintaan. Hayami dan Kikuchi (1987) menambahkan bahwa di dalam masyarakat petani, mereka yang tidak punya lahan (modal alam) pun merasa berhak menggarap lahan, seperti melalui institusi sewa dan mendapatkan bagian dari hasil panennya, seperti melalui institusi bawon. Rumah tangga lapisan atas yang menyewakan lahan sawahnya atau mempekerjakan anggota rumah tangga lapisan bawah seringpula menjadi pelindung (patron) terhadap penyewa dan buruh tani (klien), seperti memberikan pinjaman untuk keperluan produksi maupun konsumsi, memberikan hadiah-hadiah pada waktu melahirkan atau ketika anggota rumah tangga meninggal dunia, membantu menyelesaikan permasalahanpermasalahan penyewa dan buruh tani yang berhubungan dengan orang-orang di luar desa. Si penyewa dan buruh tani membalasnya dengan kesetiaan dari dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk membantu di rumah majikan ketika ada pesta. Pertukaran dalam ikatan patron-klien merupakan jalinan rumit, saling menguntungkan, berkelanjutan, dan baru bisa terhapus dalam jangka panjang. Bentuk hubungan patron-klien, misalnya dalam instiusi bawon, yang banyak seginya dan bertahan lama ini memberikan keuntungan dalam proses pemantauan rangkaian produksi pertanian. Semua pihak akan berusaha untuk
7
berlaku jujur dan tidak saling menipu karena apabila satu pihak berlaku tidak jujur akan membahayakan seluruh perangkat hubungan yang sudah terjalin Institusi bawon akan meningkatkan moral para buruh panen dan mengurangi biaya pemantauan karena kegiatan kerja mereka (memanen) akan dibayar dengan bagian dari hasil. Kembali pada kerangka penghidupan yang disusun Carney (1998), Chambers dan Conway (1991), Scoones (1998, 2009), DFID (1999, 2004), dan Ellis (2000), kerangka tersebut sejak awal sudah menekankan pentingnya akses setiap rumah tangga terhadap aset dan aktivitas (strategi) penghidupan. Ellis (2000) mendefinisikan penghidupan sebagai sekumpulan aset, aktivitas, dan akses yang mempengaruhi suatu rumah tangga mendapatkan dan mempertahankan penghidupannya. Akses diberikan melalui institusi sosial produksi yang dilahirkan, disepakati, dan dijalankan untuk mengatur interaksi sosial antar rumah tangga dalam mengelola dan memanfaatkan berbagai aset penghidupan. Institusi sosial produksi merupakan bagian dari modal sosial yang dimiliki oleh setiap rumah tangga (Coleman 1988, Putnam 1993, Fukuyama 1999, DFID 1999, Ellis 2000). Berbagai aset penghidupan yang dimiliki dan dapat diakses dikombinasikan ke dalam berbagai strategi penghidupan. Scoones (1998, 2009) mengelompokkan strategi penghidupan yang dijalankan rumah tangga pedesan ke dalam tiga kelompok, yaitu (1) pertanian, (2) diversifikasi penghidupan nonpertanian, dan (3) migrasi. Masing-masing strategi penghidupan dijalankan melalui berbagai aktivitas penghidupan oleh setiap anggota rumah tangga yang sudah mampu bekerja. Oleh karena itu, sebagian besar rumah tangga menjalankan lebih dari satu strategi penghidupan. Chambers dan Conway (1991) mengemukakan bahwa setiap rumah tangga dari semua lapisan sosial harus berupaya menghadapi dan beradaptasi dengan kerentanan ekologi dengan tetap memelihara/meningkatkan kapasitas aset penghidupannya serta mengkombinasikan aset penghidupan yang dimiliki dan diaksesnya ke dalam berbagai bentuk strategi penghidupan untuk mempertahankan keberlanjutan penghidupannya. Carney (1996), Scoones (1998, 2009), DFID (1999), Ellis (2000) terwujudnya penghidupan berkelanjutan bagi rumah tangga dan masyarakat dapat dilihat dari (1) adanya kesempatan bekerja dan berusaha, (2) pencapaian well-being [kesejahteraan], (3) adaptasi dan resiliensi penghidupan, (4) pemenuhan pangan, dan (4) keberlanjutan sumber daya alam. Sementara itu, Dharmawan (2007:184-185) mengemukakan bahwa (1) dalam kondisi dan situasi apapun, setiap rumah tangga akan mempertahankan status kehidupannya dan sebisa mungkin melanjutkan eksistensinya penghidupannya; (2) setiap rumah tangga membangun mekanisme survival melalui kelompok/komunitas sesuai konteks sosio-budaya-eko-geografi dan lokalitas; (3) ada kekuatan infrastruktur (institusi sosial) dan kekuatan suprastruktur (tata nilai) serta struktur sosial (pola hubungan sosial) dalam 8
membentuk bentuk strategi nafkah; dan (4) hingga batas tertentu, strategi penghidupan rumah tangga akan mempengaruhi dinamika kehidupan sosial masyarakat; begitu pun sebaliknya. Dari uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai pertanyaan utama sebagai berikut: “Di tengah-tengah kerentanan ekologi, bagaimana setiap rumah tangga dari berbagai lapisan sosial di Pantura Indramayu menjalankan strategi penghidupannya? 1.3 Tujuan Penelitian Dari uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, penelitan ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Menganalisis kerentanan ekologi desa di Pantura Indramayu 2. Menganalisis aset penghidupan yang bisa dimiliki dan diakses rumah tangga melalui institusi sosial yang dijalankan organisasi sosial tradisional-informal dan modern-formal 3. Menganalisis strategi penghidupan rumah tangga dari semua lapisan sosial yang ada di desa 4. Menganalisis outcome penghidupan yang dihasilkan dari strategi penghidupan rumah tangga. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi penyusunan Rencana Aksi Adaptasi Daerah Perubahan Iklim (RAD-PI) Kabupaten Indramayu dan program pemerintah lainnya. Dengan analisis kerentanan tingkat desa dan strategi penghidupan yang dilakukan setiap rumah tangga di tingkat desa akan membantu pemerintah menentukan bentuk kegiatan aksi adaptasi prioritas dan program pendukung lainnya yang dianggap paling penting (KLH, 2013).
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan Konsep penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihoods) menjadi perdebatan penting dalam pembangunan dan menjadi isu yang terus dibicarakan dalam berbagai literatur dan forum ilmiah sejak dua dasawarsa akhir abad 20 sampai memasuki dasawarsa kedua abad 21 ini (lihat Scoones 1998, 2009; Solesbury 2003). Konsep penghidupan berkelanjutan secara resmi mulai dibicarakan pada tahun 1987 dalam The World Commision on Environment and Development Report (atau sering juga disebut the ‘Bruntdland Commisions’ report) yang berjudul Our Common Future. Pendekatan penghidupan berkelanjutan lahir mengikuti perkembangan penggunaan pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam kebijakan dan agenda politik pembangunan dunia. Dalam laporan tersebut, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai: Development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. It contains within it two key concepts: the concept of ‘needs’, in particular the essential needs of the world’s poor, to which overriding priority should be given; and the idea of limitations imposed by the state of technology and social organisation on the environment’s ability to meet present and future needs (World Commission on Environment and Development 1987a:43 dalam Solesbury 2003).
Dalam laporan tersebut disebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, sebagai berikut: 1. Sistem politik yang menjamin penduduk mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi secara efektif dalam pengambilan keputusan 2. Sistem ekonomi yang mampu menghasilkan surplus dan pengetahuan teknis secara mandiri dan berkelanjutan 3. Sistem sosial yang menyediakan solusi untuk ketegangan yang timbul dari pembangunan yang harmonis 4. Sistem produksi yang respek terhadap kewajiban melestarikan dasar ekologi untuk pembangunan 5. Sistem teknologi yang dapat mencari solusi baru secara terus menerus. 6. Sistem internasional yang menumbuhkan pola perdagangan dan keuangan yang berkelanjutan 7. Sistem administrasi yang fleksibel yang memiliki kapasitas untuk koreksi diri. Pendekatan pembangunan berkelanjutan kemudian diadopsi oleh United Nations Development Programme (UNDP) dalam Human Development Report pertamanya pada tahun 1990. Dalam dua laporan tersebut disebutkan bahwa hal penting dari pendekatan sustainable livelihoods adalah (1) fokus pada orangorang miskin dan kebutuhan mereka, (2) pentingnya partisipasi masyarakat, (3)
10
penekanan pada kemandirian dan keberlanjutan, dan (3) permasalahan ekologi. Konsep ini kemudian menjadi tema yang sangat kuat dalam kebijakan dan politik pembangunan internasional, seperti yang dilihat pada Konferensi Lingkungan PBB 1992 di Rio, Brazil; World Summit for Social Development 1995, dan World Food Summit 1996 (Solesbury 2003). Selanjutnya, Chambers dan Conway (1992), dua orang scholars dari Institute of Development Studies (IDS), membangun definisi penghidupan berkelanjutan yang kemudian dikenal secara luas, dirujuk, dan diadopsi oleh scholars lain dan juga lembaga donor pembangunan, seperti DFID. Definisi penghidupan berkelanjutan yang dimaksud adalah A livelihoods comprises the capabilities, assets (stores, resources, claims and access) and activities required for a means of living; a livelihoods is sustainable which can cope with and recover from stress and shocks, maintain or enhance its capabilities and assets, and provide sustainable livelihoods opportunities for the next generation; and which contributes net benefits to other livelihoodss at the local and global levels and in the short and long-term (Chambers dan Conway, 1992: 7). Inti dari definisi tersebut adalah penghidupan berkelanjutan berarti harus mampu (1) melakukan coping dan beradaptasi dengan goncangan (shock) dan tekanan (stress); (2) memelihara kapasitas dan aset-aset yang dimiliki; dan (3) menjamin penghidupan untuk generasi berikutnya. Konsep ini menghubungkan dari tiga konsep, yaitu kemampuan, keadilan (equity), dan keberlanjutan (sustainability). Lewat konsep penghidupan berkelanjutan, Chambers dan Conway (1992) menawarkan kerangka untuk kebijakan pembangunan, yaitu: 1. Meningkatkan kemampuan adaptasi dan pemanfaatan sumberdaya dan kesempatan yang beragam dalam menghadapi perubahan dan ketidakpastian. 2. Meningkatkan keadilan dengan prioritas diberikan pada peningkatan kemampuan, aset, dan akses komunitas dan rumah tangga yang lebih miskin, termasuk kaum minoritas dan perempuan. 3. Meningkatkan keberlanjutan sosial dengan meminimalisasi kerentanan komunitas dan rumah tangga miskin dengan mengurangi tekanan dan guncangan dari luar serta melalui penyediaan program jaring pengaman sosial. 2.2 Perkembangan Kerangka Penghidupan Setelah Chambers dan Conway (1992) membangun konsep dan penghidupan berkelanjutan, berbagai organisasi akedemik, organisasi riset, dan lembaga donor mengembangkan dan mempraktikan konsep tersebut dalam berbagai program yang dilakukannya. misalnya OXFAM dan Care International. Berbagai penelitian yang menguji pendekatan sustainable livelihoods dilakukan oleh berbagai scholars dari berbagai lembaga riset, seperti International Institut for Sustainabile Development (IISD), Society for International Development (SID), International Institute for Environment and Development (IIED), Overseas 11
Development Institute (ODI), International Development Studies (IDS)University of Sussex, Overseas Development Administration (ODA), Overseas Development Group (ODG)-University of East Anglia, dan lain-lan. Sebagian besar penelitan dengan pendekatan sustainable livelihoods yang dilakukan IDS, ODA, dan ODG mendapat dukungan dari Departement for International Development (DFID). Sementara itu, lembaga donor yang mengaplikasikan konsep penghidupan berkelanjutan, di antaranya, adalah OXFAM dan Care International (lihat Solesbury 2003). Uraian mengenai perkembangan kerangka penghidupan disampaikan pada uraian di bawah ini. Kerangka Penghidupan Pedesaan Berkelanjutan IDS (IDS’s Sustainable Rural Livelihoods Framework)
Gambar 2.1 Kerangka penghidupan pedesaan berkelanjutan IDS Sumber: Scoones (1998)
Kerangka pertama yang akan diuraikan adalah kerangka penghidupan berkelanjutan IDS (IDS’s Sustainable rural livelihoods) yang disusun oleh Scoones (1998). Kerangka ini digunakan untuk menganalisis bagaimana penghidupan yang berkelanjutan, dalam konteks yang berbeda—diantaranya: sejarah, politik, kondisi makro-ekonomi, terms of trade, iklim, demografi, agroekologi, dan diferensiasi sosial—, dicapai melalui akses ke berbagai sumber daya kehidupan (modal alam, ekonomi, manusia, sosial, dan lainnya) yang dikombinasikan dalam berbagai aktivitas strategi penghidupan (intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, diversifikasi penghidupan, dan migrasi). Pusat atau inti dari kerangka ini adalah analisis berbagai faktor institusi dan organisasi, baik 12
formal dan informal yang mempengaruhi atau menjadi determinasi terwujudnya penghidupan yang berkelanjutan (Scoones 1998). Pertanyaan penting yang ingin dijawab adalah apa saja sumberdaya penghidupan, faktor institusi dan organisasi, serta strategi penghidupann yang penting dalam mendukung atau menghambat tercapainya penghidupan berkelanjutan bagi rumah tangga dan komunitas yang berbeda? Kerangka ini mempunyai lima elemen dasar yang saling berinteraksi, yaitu konteks, sumberdaya, institusi, strategi, dan outcome (Gambar 2.1 & Tabel 2.1) Tabel 2.1 Elemen, unsur, dan analisis kerangka penghidupan berkelanjutan IDS Elemen Dasar Situasi (contexts), kondisi (conditions), dan kecenderungan (trends) Sumberdaya penghidupan (livelihoods resources)
Unsur-unsur Sejarah, politik, kondisi makroekonomi, pasar (terms of trade), iklim (climate), agro-ekologi (agro-ecology), demografi, diferensiasi sosial. Modal alam, modal ekonomi/finansial, Modal sumberdaya manusia, modal sosial, dll.
Proses Kelembagaan (Institutional Processes) dan Struktur Organisasi (Organisational Structures)
Institusi dan organisasi
Strategi Penghidupan (Livelihoods Strategies) Wujud Penghidupan Berkelanjutan (Sustainable Livelihoods Outcomes)
Intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, diversifikasi penghidupan, migrasi Outcomes penghidupan yang berkelanjutan: (1) peningkatan jumlah hari kerja, (2) pengurangan kemiskinan, (3) peningkatan kesejahteraan dan kemampuan, (4) peningkatan adaptasi penghidupan dan kelentingan (resilience), dan (5) kepastian kelestarian/keberlanjutan sumberdaya alam Sumber: Scoones (1998)
Analisis Situasi, kondisi, dan kecenderungan serta penilaian pengaturan kebijakan sumberdaya penghidupan: kompromi (tradeoffs), kombinasi, rangkaian (sequences), dan kecenderungan (trends) Institusi dan organisasi yang mempengaruhi akses terhadap sumberdaya penghidupan dan komposisi strategi penghidupan Menganalisis strategi penghidupan Menganalisis hasil (outcomes)
13
Kerangka Penghidupan Berkelanjutan DFID (DFID’s Sustainable Livelihoods Frameworks) Kerangka penghidupan berkelanjutan DFID dibangun oleh para peneliti yang bekerja di lembaga tersebut, termasuk Diana Carney yang pada waktu itu (1998) menjabat sebagai sekertaris. Oleh karena itu, kerangka penghidupan berkelanjutan DFID mengadopsi kerangka penghidupan yang sebelumnya dibangun oleh Carney (1998) (lihat Gambar 2.2). Kerangka ini menyajikan faktorfaktor utama yang mempengaruhi penghidupan masyarakat dan hubungan di antara faktor-faktor tersebut. Penghidupan dibentuk dan dipengaruhi oleh banyak faktor dan kekuatan yang berbeda dan selalu berubah, termasuk kerentanan. Kerangka ini berpusat pada orang, baik rumah tangga maupun komunitas. Analisis dilakukan dengan melakukan investigasi terhadap aset yang dimiliki rumah tangga atau komunitas, tujuan/hasil (outcome) penghidupan yang dicari, dan strategi penghidupan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Umpan balik yang penting dari kerangka ini adalah transformasi struktur dan proses; konteks kerentanan; tujuan/hasil (outcomes) penghidupan; dan aset penghidupan.
Gambar 2.2 Kerangka penghidupan perkelanjutan DFID Sumber: Carney 1998 dan DFID 1999.
Kerangka Analisis Micro-policy Penghidupan Pedesaan Frank Ellis (2000) Kerangka analisis micro-policy penghidupan pedesaan disusun oleh Ellis (2000) dengan mengadopsi kerangka penghidupan pedesaan berkelanjutan yang telah disusun oleh Scoones (1998) dan Carney (1998). Kerangka ini bertujuan untuk mempermudah para pengambil keputusan dan pelaksana kebijakan dalam menyusun kebijakan pembangunan pedesaan. Dengan mengidentikasi komponenkomponen utama dalam penghidupan pedesaan, yaitu aset (A), proses yang mempengaruhi (B), dan aktivitas (D dan E), dalam berbagai konteks, baik tren maupun goncangan yang tiba-tiba (C), Ellis (2000) ingin membantu para pengambil keputusan dan pelaksana kebijakan menyusun kebijakan pembangunan
14
pedesaan yang dapat menghadirkan ketahanan penghidupan (livelihood security) dan kelestarian lingkungan (environmental sustainability) (F). A Livelihood platform
B Access modified by Social relations Gender Class Age Ethnicity
Assets Natural capital Physical capital Human capital Financial Social capital
Institutions Rules and customs Land tenure Markets in practice
Organisations Associations NGOs Local admin State agencies
C In context of Trends Population Migration Technological change Relative prices Macro policy Nat econ trend World econ trends
D Resulting in
E Composed of
F With effects on
NR-based activities Collection Cultivation (food) Cultivation (non-food) Livestock Non-farm NR
Livelihood security Income level Income stability Seasonality Degrees of risk
Livelihood strategies
Shocks Drought Floods Pests Diseas Civil war
Non-NRbased Rural trade Other services Rural manufacture Remittances Other transfers
Environment sustainability Soils and land quality Water Rangeland Forests Biodiversity
Gambar 2.3 Kerangka analisis micro-policy penghidupan pedesaan Sumber: Ellis (2000)
2.3 Perkembangan Penelitian Terkini dengan Pendekatan Penghidupan Saat ini, banyak penelitian yang menganalisis peningkatan kerentanan ekologi pedesaan yang disebabkan oleh berbagai trends, shock,dan permasalahan yang bersifat musiman dan strategi yang dilakukan masyarakat pedesaan dengan menggunakan pendekatan dan kerangka penghidupan. Beberapa sintesis hasil penelitian terdahulu yang telah disampaikan di beberapa jurnal internasional ditampilkan dalam bagian ini (lihat Tabel 2.2). Semua penelitian tersebut menyampaikan bahwa saat ini telah terjadi peningkatan kerentanan di pedesaan yang disebabkan oleh berbagai trends, shock, dan seasonality, terutama disebabkan oleh dampak perubahan iklim.
15
Tabel 2.2 Daftar penelitian terdahulu yang disintesis Nama Peneliti dan tahun terbit
Judul Penelitian
Jouni Pavoola (2008)
Livelihoods, vulnerability, and adaptation to climate change
Julia Z McDowell, Jeremy J Hess (2012)
Accessing adaptation: multiple stressors on livelihoods in the Bolivian highlands under a changing climate. Climate adaptation, local institutions, and rural livelihoods: A comparative study of herder communities in Mongolia and Inner Mongolia, China Effective livelihood adaptation to climate change disturbance: scale dimensions of practice in Mozambique
Jun Wang, Daniel G. Brown, Arun Agrawal (2013) Henny Osbahr, Chasca Twyman, W. Neil Adger, David S.G. Thomas (2008) Stephanie Amaru, Netra B. Chhetri (2013)
Climate adaptation: institutional response to environmental constrains, and the need for increased flexibility, participation, and integration of approaches
Nama Jurnal Internasional, Edisi, dan Halaman Envioronmental Science dan Policy: 642-654 Global Environmental Change 22: 342-352 Global Enviromental Change 23: 16731683 Geoforum 39: 19511964
Applied Geography 39: 128-139.
Peningkatan kerentanan tersebut mengganggu aset dan sistem penghidupan di pedesaan sehingga masyarakat pedesaan, baik di tingkat komunitas maupun rumah tangga dituntut melakukan respons penghidupan atau adaptasi untuk menghadapinya. Ada yang menyatakan bahwa respons penghidupan yang dilakukan merupakan bagian dari adaptasi; namun ada juga yang menyatakan bahwa tindakan adaptasi yang dilakukan sebagai upaya menghadapi perubahan iklim merupakan bagian dari strategi penghidupan masyarakat pedesaan. Apabila kita merujuk pada konsep penghidupan pedesaan, semuanya benar. Dalam uraian sebelumnya, Chambers dan Conway (1992) menekankan pentingnya beradaptasi terhadap perubahan dan ketidakpastian yang disebabkan oleh shock dan stress. Sementara itu, Scoones (1998) dalam kerangkanya memasukkan berbagai aktivitas adaptasi yang dilakukan dalam merespons dampak perubahan iklim ke dalam strategi penghidupan. Selain itu, Scoones juga memasukan peningkatan kapasitas adaptasi penghidupan sebagai salah satu outcome penghidupan berkelanjutan yang harus dicapai setiap rumah tangga. Pavoola (2008) melakukan penelitian di Morogoro, Tanzania. Aspek yang dilihat dari penelitiannya adalah penghidupan, kerentanan, dan adaptasi perubahan iklim. Dalam artikel yang dipublikasikan di Jurnal Environmental Science and Policy tahun 2008, Pavoola menyebutkan bahwa perubahan iklim dalam bentuk 16
variabilitas iklim dan juga tekanan lainnya telah meningkatkan kerentanan ekologi dan mengganggu kegiatan budidaya pertanian yang merupakan penghidupan utama rumah tangga di Morogoro. Adaptasi perubahan iklim pun dilakukan oleh rumah tangga pertanian melalui strategi penghidupan dalam bentuk ekstensifkasi dan intensifikasi pertanian, diversifikasi penghidupan, dan migrasi untuk mendapatkan akses terhadap lahan, pasar, dan pekerjaan.
Gambar 2.4 Kerangka penelitian Pavoola (2008) Keterangan: Hasil sintesis
Di lokasi penelitiannya, Pavoola menemukan fakta bahwa tidak semua rumah tangga berhasil melakukan adaptasi. Beberapa rumah tangga yang rentan secara fisik dan sosial gagal melakukan adaptasi. Kerentanan rumah tangga disebabkan oleh akses lahan yang terbatas. Beberapa rumah tangga yang rentan juga disebabkan karena rumah tangga tersebut berkepala keluarga seorang perempuan. Kerentanan yang besar mengurangi kapasitas adaptasi rumah tangga tersebut. Intervensi pemerintah yang dilakukan melalui kebijakan investasi infrastruktur, reformasi institusi, penguatan sumber daya manusia (kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan), serta pemberian akses terhadap lahan, pasar, dan pekerjaan yang secara akumulasi dapat menghadirkan partisipasi pasar terbukti mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas adaptasi rumah tangga petani sehingga berhasil melakukan adaptasi. Kerangka penelitian Pavoola dapat dilihat pada Gambar 2.4. Mc Dowell dan Hess (2012) melakukan penelitian adaptasi perubahan ikim dengan pendekatan penghidupan dan akses. Perubahan iklim dan tekanantekanan non-iklim, seperti orientasi pasar (komersialisasi) telah berdampak pada peningkatan kerentanan, berupa penurunan ketahanan pangan dan kualitas 17
penghidupan rumah tangga. Atas tekanan-tekanan tersebut, semua rumah tangga petani dituntut untuk melakukan strategi atau beradaptasi agar dapat mempertahankan penghidupannya. Namun, temuan di lapangan menemukan hanya petani kaya yang beraset dan berakses luas yang mampu beradaptasi dan mempertahankan kekayaannya, bahkan beberapa rumah tangga kaya berhasil melakukan akumulasi sehingga semakin kaya. Sementara itu, petani miskin yang beraset dan berakses sangat terbatas gagal beradaptasi dan tetap miskin, bahkan beberapa menjadi semakin miskin. Beberapa aset utama yang menjadi kunci keberhasilan strategi adaptasi adalah lahan, air, tenaga kerja, pendidikan, kesehatan, modal sosial, dan modal finansial. Kemampuan petani kaya dan ketidakmampuan petani miskin dalam mengakses sumber daya tersebut menjadi salah faktor determinan perbedaan hasil yang dicapai. Oleh karena itu, menurut Mc Dowel dan Hess, upaya terpenting yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas adaptasi petani miskin adalah dengan melakukan intervensi kebijakan kelembagaan yang memberikan akses petani miskin yang lebih luas terhadap berbagai aset kunci (lihat Gambar 2.5).
Gambar 2.5 Kerangka peneltian Mc Dowell dan Hess (2012) Keterangan: Hasil sintesis
Wang et al. (2013) melakukan penelitian dengan penekanan pada peran institusi lokal dalam mendukung praktik adaptasi yang mewujudkan livelihoods outcomes masyarakat pedesaan, baik di tingkat rumah tangga dan komunitas. Wang et al. mengadopsi kerangka Agrawal (2008) yang membagi institusi lokal ke dalam tiga tipe, yaitu public, civic, dan private. Ketiga tipe institusi tersebut memberikan intervensi eksternal, berupa informasi, teknologi, dana, dan kepemimpinan, kepada rumah tangga dan komunitas. Intervensi eksternal yang dilakukan sangat mempengaruhi berbagai aksi adaptasi yang dikelompokkan ke dalam lima kelompok, yaitu mobility, storage, diversifiaction, communal pooling, 18
dan exchange. Kerangka yang dinamakan dengan “Adaptation, Institutions, and Livelihoods Framework” ini merupakan sintesis dari 300 kasus aksi adaptasi di 15 negara, termasuk Indonesia, yang digambarkan dalam database Strategi Coping UNFCC (lihat Gambar 2.6).
Gambar 2.6 Kerangka penelitian Wang et al. (2013) —mengadopsi Agrawal and Perrin (2008) Osbahr et al. (2008) melakukan penelitian tentang adaptasi penghidupan terhadap perubahan iklim yang efektif. Menurut Osbahr et al. (2008), perubahan iklim global telah menyebabkan peningkatan kerentanan pedesaan di Mozambique sebagai akibat peningkatan intensitas dan frekuensi variabilitas iklim, seperti banjir, kekeringan, dan badai. Kondisi ini berdampak pada kelembagaan dan penghidupan pedesaan. Coping dan adaptasi pun dilakukan oleh rumah tangga dan komunitas di Mozambique dengan melakukan strategi penghidupan dalam bentuk diversifikasi penghidupan dan pertanian dengan collective dual land-use systems. Institusi indegenous/non formal berupa resporisitas yang kuat di dalam komunitas sangat membantu rumah tangga dan komunitas mewujudkan adaptasi yang efektif dan komunitas yang resilien. Di sisi lain, pemerintah, LSM internasional, dan jaringan ilmuwan sosial menganggap bahwa dampak perubahan iklim telah mengancam ketahanan pangan dan agenda pembangunan berkelanjutan. Melihat kondisi ini, mereka kemudian melakukan intervensi dengan memanfaatkan institusi indigenous/non-formal resporisitas yang dimiliki komunitas. Mereka melakukan reorganisasi institusi sosial dengan melakukan formalisasi resiprositas. Selain itu, untuk semakin meningkatkan kapasitas adaptasi, mereka juga memfasilitasi inovasi dan mengintervensi adaptasi penghidupan yang dilakukan rumah tangga dan komunitas. Hasilnya proses untuk
19
mewujudkan adaptasi yang efektif dan komunitas yang resilien menjadi lebih cepat (lihat Gambar 2.8).
Gambar 2.8. Kerangka penelitian Osbahr et al. (2008) Keterangan: Hasil sintesis
Amaru dan Chhetri (2013) melakukan penelitian adaptasi perubahan iklim dengan fokus terhadap respons kelembagaan dengan latar belakang terjadinya perubahan iklim yang mengganggu kegiatan pertanian sebagai aktivitas penghidupan utama di pedesaan. Oleh karena itu, masyarakat pedesaan, terutama petani harus melakukan adaptasi kelembagaan untuk menghadapi dan mengurangi dampak perubahan iklim. Menurutnya, Adaptasi terhadap dampak perubahan ikilm adalah proses dinamis yang dibentuk oleh kelembagaan, budaya, dan konteks sosial ekonomi. Upaya untuk beradaptasi dengan perubahan iklim mungkin terjadi pada banyak skala dan dapat dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan dan tidak terjadi dalam ruang hampa kelembagaan. Globalisasi telah meningkatkan pertukaran pengetahuan di seluruh ruang, sejumlah besar lembaga telah terlibat dalam langkah-langkah adaptasi di berbagai skala. Dari banyaknya kasus yang dijadikan sampel penelitian, Amaru dan Chhetri mengidentifikasi empat jenis langkah-langkah adaptasi yang berbeda dan memilih salah satu kasus yang mewakili masing-masing tipe. Dari kasus-kasus terpilih, mereka kemudian menilai berbagai peran lembaga dalam melakukan inovasi. Dari temuan-temuan yang dihasilkan, mereka meneyrankan dua hal mengenai tindakan adaptasi yang harus dilakukan agar lebih berhasill, yaitu (1) perlunya partisipasi yang luas, fleksibilitas, dan integrasi berbagai stakeholder untuk melakukan respons cepat dan efektif, dan (2) kebutuhan untuk mentransfer kepemimpinan (leadership) dan tanggung jawab (responsibility) dari langkahlangkah adaptasi kelembagaan yang terpimpin ke langkah-langkah adaptasi
20
berbais masyarakat sehingga adaptasi bisa berlanjut ke masa depan. Temuan ini menunjukkan bahwa jenis tindakan adaptasi yang dilaksanakan secara top-down kemungkinan tidak mendukung ketahanan lokal dalam jangka panjang dan tindakan adaptasi yang dilksanakan secara bottom-up memerlukan beberapa tingkat kolaborasi dari atas untuk memaksimalkan efektivitas tindakan yang dilakukan (lihat Gambar 2.13). Amaru dan Chhetri merujuk pada Klein, Schipper, & Dessai (2005), menyebutkan adaptasi terhadap perubahan iklim terjadi pada berbagai skala, di tingkat lokal atau regional dengan tindakan yang diambil dalam upaya untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan dan dapat dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan termasuk petani, lembaga-lembaga publik, masyarakat, masyarakat sipil (LSM), dan sektor swasta. Beberapa elemen penting dari langkah-langkah adaptasi yang sukses meliputi kepemimpinan, sumber daya, pertukaran informasi dan komunikasi antara para pemangku kepentingan, dan pandangan dan keyakinan yang kompatibel. Sebuah upaya yang berkelanjutan untuk beradaptasi menuntut keterlibatan aktif dari berbagai pemangku kepentingan sehingga teknologi yang bersifat lokal-spesifik dapat digunakan sebagi inovasi untuk beradaptasi dengan perubahan iklim.
Gambar 2.9 Kerangka penelitian Amaru & Chhetri (2013) Keterangan: Hasil sintesis
2.4 Kerangka Penelitian Setelah memahami latar belakang penyusunan pendekatan penghidupan berkelanjutan, mempelajari perkembangan kerangka penghidupan, dan mensintesis beberapa hasil penelitian terbaru, peneliti memutuskan untuk menyusun kerangka penelitian penghidupan baru yang mengadaptasi dari
21
kerangka-kerangka penelitian penghidupan Scoones (1998), Carney (1998), dan Ellis (2000) dan memperhatikan hasil-hasil penelitian terdahulu yang telah disintesis. Kerangka penelitian penghidupan ini menekankan pada tiga analisis utama, yaitu aset, akses, dan aktivitas. Skema kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10 Kerangka penelitian Mengikuti kerangka yang telah disusun, penelitian diawali dengan analisis kerentanan ekologi di lokasi penelitian yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor iklim dan faktor non-iklim. Faktor iklim terdiri dari dampak yang disebabkan oleh perubahan iklim dan variabilitas iklim. Faktor non-iklim yang disebabkan oleh kondisi ekologi lokasi penelitian yang berada di dataran rendah, hilir DAS Cimanuk, ujung saluran irigasi Rentang dan upper Jatiluhur, perubahan ekologi lokasi penelitian yang disebabkan oleh deforestasi hulu sepanjang DAS Cimanuk, degradasi lingkungan sepanjang saluran irigasi, kerusakan fisik saluran irigasi; serta perubahan kebijakan irigasi. Kondisi kerentanan ekologi sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas aset penghidupan di suatu masyarakat, terutama menyebabkan rendahnya kapasitas modal alam (lahan sawah dan air) di lokasi penelitian. Jaringan irigasi yang ada di desa tidak berfungsi dengan baik. Posisinya yang berada di akhir saluran irigasi menyebabkan lahan-lahan persawahan hanya dapat mengandalkan air hujan untuk pengairannya. Di musim hujan, saluran irigasi yang melintasi areal persawahan desa terisi air dan dapat mengairi lahan-lahan sawah, bahkan seringkali karena debit air yang masuk berlebih lahan-lahan sawah di desa terendam air dan merusak tanaman padi. Namun, apabila hujan tidak turun dalam tiga atau empat minggu saja saluran irigasi akan mengering dan seringkali 22
menyebabkan penurunan produksi secara signifikan. Tak jarang, rumah tangga pemilik lahan sawah mengalami kerugian yang besar dan rumah tangga buruh kehilangan kesempatan bekerja. Ketahanan pangan dan finansial semua rumah tangga pun mengalami tekanan dan goncangan. Di sisi lain, seperti yang telah disampaikan pada pendahuluan dan uraian tinjauan pustaka di atas, keterbatasan akan air irigasi akan mendorong lahirnya modal sosial yang kuat. Kesulitan dan perasaan saling membutuhkan yang disebabkan kerentanan ekologi ditambah dengan faktor sejarah, tradisi, dan kekerabatan melahirkan interaksi sosial, ikatan kerja sama, dan saling tolong menolong yang kuat. Berbagai institusi sosial produksi untuk mengatasi keterbatasan aset penghidupan pun bermunculan untuk mendukung kegiatan produksi pertanian di lahan sawah, mulai dari penyediaan air irgasi, persiapan tanam, pelaksanaan tanam, sampai ke pemanenan. Institusi sosial produksi bawon yang dinaungi hubungan patron-klien antara rumah tangga petani atas pemilik lahan sebagai patron dengan rumah tangga bawah buruh sebagai klien terus dijalankan untuk menjaga terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok penghidupan semua pihak. Rumah tangga lapisan atas membutuhkan tenaga kerja (modal insani) untuk menjamin tersedianya air untuk mengairi lahan-lahan sawah mereka dan tersedianya tenaga kerja untuk semua rangkaian produksi padi. Sementara itu, rumah tangga lapisan bawah membutuhkan kesempatan kerja untuk menjamin kepastian pendapatan, baik uang maupun hasil produksi tanaman, untuk mempertahankan penghidupannya. Institusi bawon memberikan kesempatan kepada rumah tangga bawah untuk mendapatkan manfaat dari lahan sawah (modal alam) milik rumah tangga atas. Hubungan ini kemudia menjadi hubungan rumit, detail, dan meluas ke seluruh aspek kehidupan. Patron harus menjamin kebutuhan pokok para kliennya selama terjadi masa-masa krisis ketika para klien tidak bisa mendapatkan pendapatan yang cukup, misalnya ketika terjadi banjir dan kekeringan. Para patron harus bersedia memberikan pinjaman uang (modal finansial), meminjamkan aset fisiknya (modal fisik), dan menjamin proses pendidikan sekolah (modal insani). Hubungan ini adalah salah satu bentuk modal sosial yang sangat kuat yang terjadi desa. Modal sosial ini memberikan akses bagi semua rumah tangga yang ada di desa untuk memanfaatkan aset penghidupan yang tersedia di desa. Modal sosial ini akan terus kuat dan dipertahankan selama semua pihak memerlukannya dan merasa mendapat manfaat. Aset-aset penghidupan dalam berbagai bentuk modal yang telah dimiliki atau diakses kemudian dikombinasikan oleh setiap rumah tangga menjadi berbagai bentuk aktivitas strategi penghidupan. Mengikuti Scoones (1998, 2009), berbagai bentuk aktivitas tersebut dikelompokkan ke dalam tiga akitvitas strategi penghidupan, yaitu (1) intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, (2) diversifikasi penghidupan (non-pertanian), dan (3) migrasi (dalam dan luar negeri). Analisis mengenai bentuk-bentuk aktivitas strategi penghidupan rumah tangga ini merupakan aktivitas keempat dari penelitian ini. 23
Selanjutnya, berbagai aktivitas strategi penghidupan yang dijalankan setiap rumah tangga ini harus dianalisis dengan analisis outcomes apakah mewujudkan penghidupan berkelanjutan yang mampu menjamin keberlanjutan penghidupan rumah tangganya. Aktivitas strategi penghidupan sebuah rumah tangga mampu mewujudkan penghidupan berkelanjutan apabila lima indikator berikut terpenuhi: (1) kesempatan bekerja dan berusaha, (2) pencapaian kesejahteraan, (3) peningkatan kapasitas adaptasi dan resiliensi penghidupan, (4) pemenuhan kebutuhan pangan, dan (5) terjaminnya keberlanjutan/kelestarian sumber daya alam bagi generasi berikutnya. Hasil-hasil penelitian sebelumya menunjukkan tidak semuanya dapat terwujud dengan baik, misalnya, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan hanya bisa dicapai oleh rumah tangga lapisan atas melalui akumulasi pendapatan. Bagi rumah tangga menengah hanya bisa memperkuat atau melakukan konsolidasi aset-aset penghidupannya. Bagi rumah tangga bawah sebagian besar hanya bisa bertahan (survival) dan tidak jatuh ke jurang kemiskinan yang semakin dalam. Namun, tidak menutup kemungkinan ada beberapa rumah tangga dari berbagai lapisan yang mengalami mobilisasi sosial vertikal, baik ke atas maupun ke bawah. Begitu pun dengan ketahanan pangan, rumah tangga kaya karena mendapatakan hasil panen yang banyak tentunya bisa menyimpan sebagian padinya di rumah sehingga tidak akan kekurangan pangan. Namun, bagi rumah tangga petani tidak berlahan biasanya tidak mempunyai stok pangan yang cukup di rumahnya. Mereka mengandalkan pembelian eceran atau pinjaman dan pemberian dari tetangganya dan patronnya yang lebih kaya. Hasil atau outcome ini kemudian dianalisis untuk dijadikan masukan bagi penentu dan pelaksana kebijakan pembangunan pedesaan. Di akhir, peneliti melakukan analisis sosiologi untuk mengkonseptualisasi kerentanan ekologi dan dinamika penghidupan pedesaan yang terjadi di lokasi penelitian. Selain mengacu pada kerangka penghidupan yang disampaikan Chamber and Conway (1991), Scoones (1998), Carney (1998), DFID (1999), dan Ellis (2000), analisis juga dilakukan dengan mengacu kepada statement of belief mengenai kerangka teoretikal sosiologi penghidupan yang disampaikan oleh Dharmawan (2007:184-185), sebagai berikut: 1. Dalam kondisi dan situasi apapun, setiap individu atau rumah tangga selalu berupaya untuk mempertahankan status kehidupannya dan sebisa mungkin melanjutkan eksistensinya hingga lintas generasi melalui berbagai cara (strategi) bertahan hidup melalui manipulasi sumbersumber penghidupan yang tersedia di hadapannya. 2. Setiap individu [atau rumah tangga] membangun mekanisme-mekanisme survival melalui kelompok maupun komunitas sesuai konteks sosiobudaya-eko-geografi dan lokalitas di mana individu [atau rumah tangga] tersebut berada. 3. Ada kekuatan infrastruktur (kelembagaan/institusi sosial) dan kekuatan suprastruktur (tata nilai) serta struktur sosial (pola hubungan sosial) 24
yang menyebabkan bentuk strategi nafkah yang dibangun individu maupun kelompok individu [atau rumah tangga] tidak selalu seragam di setiap lokalitas. 4. Hingga batas tertentu, strategi nafkah yang dibangun oleh individu dan rumah tangga akan mempengaruhi dinamika kehidupan sosial pada aras masyarakat. Sebaliknya dinamika kehidupan masyarakat akan menentukan strategi yang dibangun di tingkat individu dan rumah tangga. Statement of belief tersebut disusun berdasarkan disertasi Dharmawan (2001) yang mencerminkan hibriditas pendekatan konfliktual-Marxistik dan pendekatan eco-developmentalism-oriented serta skripsi, tesis, dan disertasi IPB yang mengkaji penghidupan pedesaan di Indonesia dengan mengakomodasi ideide ekologi dan konteks budaya-lokalitas yang kental. 2.5 Definisi Operasional Aktivitas strategi penghidupan rumah tangga = kegiatan rumah tangga yang dilakukan dengan mengkombinasikan aset-aset penghidupan yang dimiliki atau dapat diakses dalam rangka meningkatkan pendapatan, kesejahteraan, resiliensi penghidupan, ketahanan pangan, dan menjamin keberlangsungan sumber daya alam untuk generasi selanjutnya. Aset penghidupan = (1) modal alam (lahan dan air); (2) modal fisik (bangunan, jaringan irigasi, jalan, mesin dan alat pertanian, alat transportasi, alat komunikasi, dll); (3) modal manusia (anggota rumah tangga yang bisa bekerja, kemampuan bekerja, pendidikan, dan kesehatan); (4) modal finansial (tabungan, aliran uang masuk ke rumah tangga, dan pinjaman yang bisa diperoleh rumah tangga); (5) modal sosial (jaringan dan ikatan sosial, keanggotaan dalam kelompok, aturan-aturan bersama, dan relasi sosial). yang dimiliki, diakses, dan dapat digunakan untuk melakukan aktivitas strategi penghidupan. Bawon = Sistem panen yang memberi peluang bagi semua anggota masyarakat, meskipun tidak punya sawah, tidak menggarap sawah, dan tidak bekerja di sawah, untuk ikut serta menderep (memanen) dan mendapat bagian tertentu, yaitu 1 bagian untuk penderep dan 5 bagian pemilik/penggarap lahan. Bikin nasi dari beras ketan dan dikasih kunyit. Di atasnya ditaburi gula merah dan parutan kelapa. Disimpen di sawah Ceblokan = Sistem yang memaksa untuk ikut tandur (dan mungkin kegiatan lainnya) sebagai syarat bisa ikut derep. Ini bertujuan untuk menjamin agar yang bersangkutan bisa ikut derep. culik tanam = membuat persemaian padi sebelum musim tanam rending (musim pertama di musim hujan) selesai (panen).
25
26
Desa persawahan = sebuah desa administrasi yang proporsi wilayahnya sebagian besar berupa lahan sawah dan mayoritas mata pencaharian masyarakatnya sebagai petani padi sawah. Geropyokan tikus = Gotong royong membasmi hama tikus. Gleduk cengkuk =segera menanam ketika tanda-tanda musim hujan (gledek) dating. Institusi sosial = atau disebut juga lembaga; merupakan aturan (formal maupun informal, tertulis atau tidak) yang menjadi pranata dalam mengatur interaksi antar rumah tangga di dalam suatu masyarakat, termasuk interaksi untuk mendapatkan dan mengelola sumber daya (aset penghidupan) dan interaksi dalam aktivitas strategi penghidupan (pembagian kerja). Kerentanan = kondisi lingkungan eksternal wilayah tempat tinggal suatu masyarakat yang dipengaruhi oleh shocks, trends, dan permasalahan seasonality dan memberikan pengaruh bagi kondisi aset penghidupan. Labu macul = Bikin nasi uduk dalam kuali keci, terasi+ikan+pete dibakar dikasih sambal, disimpen di sawah. Hakikatnya adalah bersedekah dan minta doa kepada tetangga dan “klien”. Labu panen = Bikin nasi kuning, sayur kuah, dan pelengkap lainnya sebelum panen. Mapag sri = Syukuran menjelang panen musim rendeng. Biasanya selalu ada pementasan wayang kulit. Pelaksanaannya diselenggarakan pemerintahan desa dengan dukungan pembiayaan dari petani. Mapag tamba = Menyiramkan air do’a “penolak bala-hama” di batas desa/dusun. Mbuburi = Bikin bubur merah dan bubur putih. Dituangkan dalam satu wadah di dalam “takir” daun pisang yang diikat ujung-ujung di ujung bambu kuning yang ditegakkan di setiap penjuru sawah. Merah artinya tanah. Putih artinya air. Kuning artinya padi menguning. Musim gadu = musim tanam padi kedua (di musim kemarau). Musim rendeng = musim tanam padi pertama (di musim hujan). Organisasi sosial = pelaksana dari institusi atau lembaga. Patron-klien = Hubungan patron (bapak buah) dan klien (anak buah) terjalin antara rumah tangga pemilik lahan lapisan atas dengan rumah tangga penggarap dan buruh tani. Pemilik lahan luas memerlukan tenaga untuk menggarap sawahnya yang luas. Sebaliknya, penggarap membutuhkan lahan dan buruh tani membutuhkan pekerjaan. Pemilik lahan sawah akan memprioritaskan klien-nya sebagai buruh macul dan tandur untuk ikut dalam derep sistem bawon. Hubungan biasanya tidak hanya selesai pada hubungan kerja, namun berlanjutkan pada aktivitas lainnya, seperti si klien akan memprioritaskan tenaganya apabila si patron membutuhkan dan sebaliknya si patron tidak segan memberikan pinjaman kepada si klien apabila diminta.
Penghidupan (livelihood) = lebih dari sekedar pendapatan, terdiri dari aset (modal alam, fisik, manusia, finansial, dan sosial), aktivitas (strategi penghidupan), dan akses terhadap aset dan aktivitas (dibentuk oleh relasi sosial, lembaga, dan organisasi) yang secara bersama dijalankan oleh rumah tangga untuk mencapai kehidupan yang diinginkannya. Penghidupan berkelanjutan = penghidupan yang mampu melakukan coping dan beradaptasi dengan goncangan (shock) dan tekanan (stress); memelihara kapasitas dan aset-aset yang dimiliki; dan menjamin penghidupan untuk generasi berikutnya. Perubahan iklim = berubahnya iklim menuju ke arah (yang diindikasikan dengan perubahan pola dan intensitas berbagai parameter iklim, seperti suhu, curah hujan, angin, kelembaban, tutupan awan, dan penguapan (evaporasi). Pranata mongso = penentuan masa tanam berdasarkan penegetahuan dan kondisi local. Raksa bumi = pamong desa yang bertanggung jawab dalam urusan pertanian, termasuk pengairan lintas desa. Relasi sosial = merujuk pada posisi rumah tangga di dalam masyarakat yang dibentuk oleh gender, kasta, kelas (lapisan sosial), umur, etnisitas, kekerabatan, dan agama. Remi = Kegiatan mengambil padi “sisa” dari proses perontokan padi. Ini merupakan salah satu jaminan keamanan nafkah dan pangan yang ada di desa. Biasanya dilakukan oleh buruh wanita yang sudah tua, yang tidak kuat lagi ikut derep-bawon atau yang tidak punya pasangan derep-bawon karena janda. Hasil remi dari gebotan 100-200 kg/bahu, sedangkan dari gerabagan hanya dapat 10-20 kg. Kondisi ini menyebabkan buruh tani yang melakukan remi semakin jarang. Rumah tangga = unit sosial terkecil bagian dari komunitas yang berbagi tempat tinggal atau tungku yang sama dan secara bersama-sama berupaya melakukan strategi penghidupan untuk keberlanjutan penghidupan rumah tangganya. Sedekah bumi = Berdoa bersama sambil bersedakah bagi alam dan sesama petani-buruh tani sebelum tanam musim rendeng. Dilakukan di level dusun. Bikin tumpeng komplit raksasa, biayanya ditanggung renteng oleh seluruh rumah tangga di satu dusun. Senggang = Kegiatan mengambil padi yang keluar dari malai yang tumbuh dari padi yang dipotong (dipanen). Biasanya hanya terjadi pada lahan yang diberakan. Biasanya dilakukan oleh rumah tangga lapisan menengah ke bawah sebagai salah satu jaminan keamanan pangan. Tebasan = Sistem panen dengan menjual padi yang masih tegak di sawah kepada para pedagang dengan mempekerjakan tenaga panen yang dibayar dengan upah tertentu. Tenaga derep biasanya dibawa sendiri oleh penebas. Ulu-ulu = petugas yang ditunjuk desa dan kelompok tani untuk memelihara saluran irigasi yang ada di desa. Variabilitas iklim = perubahan suhu udara, peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrim, keteraturan pola menjadi kacau.
27
28
BAB III METODE
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Karangmulya, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu. Lokasi penelitian berada di wilayah Pantai Utara Jawa dan merupakan bagian dari DAS Cimanuk. Lokasi dipilih secara purposive (sengaja) dengan alasan sebagai berikut: 1. Komposisi wilayah lokasi penelitian didominasi lahan padi sawah: 85 persen dari luas wilayah (BPS Kabupaten Indramayu 2012), 2. Mata pencaharian utama masyarakat di lokasi penelitian adalah sektor pertanian padi sawah: 99,5 persen (Kemendagri 2014), 3. Telah terjadi perubahan sosial di lokasi penelitian dan sekitarnya. a. Perubahan sosial desa-desa di DAS Cimanuk dan desa-desa di Pantai Utara Jawa ditunjukkan hasil penelitian yang dilakukan sejak zaman Hindia Belanda, masa Orde Lama, masa Orde Baru, dan sampai masa Orde Reformasi (Collier et al. 1974, 1996; Hayami dan Kikuchi 1987; Pincus 1996; Breman dan Wiradi 2004; dan berbagai tulisan Sajogyo yang dikembangkan dari laporan penelitian yang dihasilkan SAE dari hasil penelitian IPS 1968-1973 dan SDP 1975-1982). Desa-desa tersebut telah menjadi "laboratorium sosial" para ilmuwan sosial, baik lokal maupun mancanegara. Belum lagi, jika ditarik ke skala wilayah lebih luas, yaitu Pulau Jawa. Dari desa-desa di Pulau Jawa lahir banyak mahakarya hasil penelitian ilmu sosial (misalnya, Boeke 1953, Geertz 1963; dan berbagai bunga rampai tulisan Sajogyo dari 1970-2006 dalam Sajogyo 2006). Perubahan dipicu oleh perubahan kondisi politik, ekonomi, dan kebijakan pembangunan pertanian-pedesaan, khususnya modernisasi pertanian melalui revolusi hijau. b. Lokasi desa yang berada hanya 4-6 km dari Jalan Raya Pantura dan pusat kecamatan (kantor pemerintahan dan pasar) memberikan akses yang sangat mudah dan terbuka terhadap berbagai hal, termasuk migrasi masuk dan migrasi keluar. 4. Telah terjadi perubahan ekologi di lokasi penelitian dan sekitarnya yang ditunjukkan berbagai hasil penelitian dan dokumen pemerintah. a. Perubahan ekologi 1720-1870 akibat kolonialisme dan sistem tanam paksa (Breman 2010) b. Perubahan ekologi 1916-1986 akibat kerusakan lingkungan DAS Cimanuk (Hartoyo 1986). c. Perubahan ekologi 1980-2010 akibat perubahan iklim (BMKG dalam Pramudia 2002, Septicorini 2009, Sucahyono dan Aldrian 2011, Cahyadi et al 2013) 28
i.
Dokumen RAN-API 2014 (Bappenas 2014) menetapkan Indramayu masuk ke dalam 50 wilayah paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. ii. Pelaksanaan Sekolah Lapang Iklim sejak 2003-2014 sebanyak tiga kali sebagai salah satu program adaptasi perubahan iklim dan dijadikannya lokasi penelitian sebagai salah satu lokasi program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ICCTF menunjukkan lokasi penelitian telah mengalami dampak perubahan iklim. 5. Dengan komposisi sawah terbesar adalah tadah hujan serta berada di ujung jaringan irigasi dan jalur saluran pembuang banjir, Pemerintah Kabupaten Indramayu menetapkan desa ini sebagai wilayah paling rentan kekeringan dan kebanjiran. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Maret-Juli 2014 yang bertepatan dengan akhir musim tanam rendeng-pertengahan musim tanam. Peneliti datang ketika lokasi penelitian baru saja mengalami banjir besar dan pulang ketika mengalami kekeringan yang menyebabkan puso di hampir seluruh persawahan di lokasi penelitian. Penelitian bertepatan pula dengan pelaksanaan pemilihan umum anggota legislatif dan menjelang pemilihan umum presiden sehingga mendapatkan suasana asli mengenai kondisi politik di lokasi penelitian. Penelitian bertepatan pula dengan pelaksanaan piala dunia sehingga sangat membantu pelaksanaan wawancara informan dan diskusi kelompok sampai dini hari. Peneliti sebetulnya bukan pertama kalinya datang ke lokasi penelitian. Pada tahun 2010-2011, peneliti melakukan penelitian aksi bersama LIPI, BMKG, Kementerian Pertanian, dan ICCTF di mana peneliti menjadi koordinator wilayah Kabupaten Indramayu untuk pelaksanaan Sosialisasi Informasi Perubahan Iklim. Pada tahun 2012, peneliti melakukan penelitian CSSI-LIPI. Selama kurun waktu 2010-2014, peneliti telah mengunjungi lokasi penelitian lebih dari 10 kali kunjungan. Catatan lapangan dan data primer tiga survei yang pernah dilaksanakan sebelumnya sangat membantu memperkaya dan membandingkan perubahan sosial dan ekologi pada waktu penelitian tesis dilakukan. 3.2 Pendekatan dan Paradigma Penelitian Menurut Neuman (2013), penelitian ilmu sosial adalah untuk, mengenai, dan dilakukan oleh manusia. Penelitian sosial dapat membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai permasalahan sosial sekaligus dapat juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru dan mungkin juga mengubah seseorang, kelompok, komunitas, ataupun bangsa memandang dunia. Ada dua pendekatan yang berkembang dalam penelitian sosial, yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Kedua pendekatan mempunyai karakteristik yang berbeda. Perbedaan karakteristik antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif dapat dilihat pada Tabel 3.1
29
Tabel 3.1 Perbedaan pendekatan kuantitatif dan kualtitatif Pendekatan Kuantitatif Pendekatan Kualitatif Mengukur fakta-fakta objektif Membentuk kenyataan sosial, makna budaya Berfokus pada variabel Berfokus pada proses, peristiwa interaktif Keandalan sebagai faktor utama Keontetikan sebagai faktor utama Bebas menilai Menilai saat ini dan eksplisit Memisahkan teori dan data Teori dan data bercampur Konteksnya tidak saling Dibuat tergantung situasi tergantung Kasus, subjek banyak Kasus, subjek sedikit Analisis tatistika Analisis tematik Peneliti tidak memihak Peneliti terlibat Tahapan proses penelitian Tahapan proses penelitian 1. Pilih topik 1. Menyadari adanya persoalan sosial 2. Fokus pertanyaan 2. Menerapkan perspektif 3. Merancang penelitian 3. Merancang penelitian 4. Mengumpulkan data 4. Mengumpulkan data 5. Menganalisis data 5. Menganalisis data 6. Menginterpretasikan data 6. Menginterpretasikan data 7. Memberitahu orang lain 7. Memberitahu orang lain Sumber: Neuman (2013: 19-23)
Masing-masing pendekatan banyak digunakan secara terpisah oleh seluruh peneliti sosial di dunia. Kedua belah pihak berusaha memahami dan menjelaskan kehidupan sosial dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang seringkali menciptakan miskomunikasi dan kesalahpahaman di antara kedua belah pihak. Perdebatan pengakuan yang pendekatan A adalah benar dan B adalah salah terus mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam penelitian sosial. Dengan menonjolkan kelebihan pendekatannya dan menyoroti kelemahan pendekatan yang lain, kedua belah pihak terus berdebat seakan tanpa ujung. Namun, di antara kedua belah pihak yang hanya menggunakan pendekatan tunggal dalam penelitiannya, ada juga peneliti yang mengkombinasikan kedua penelitian dalam memahami dan menjelaskan permasalahan yang ditelitinya. Penggunaan kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif dimaksudkan untuk saling melengkapi dan menutupi kekurangan yang dimiliki dari setiap pendekatan. Dengan mengkombinasikan dua pendekatan, seluruh rangkaian proses penelitian diharapkan dapat berjalan secara komprehensif dan menghasilkan hasil penelitian yang holistik. Pengkombinasian pendekatan kuantitatif dan kualitatif menambah kompleksitas dan lebih memakan waktu, namun memberikan keuntungan yang dapat membangun kekuatan yang saling melengkapi (Neuman 2013: 186). “Kebanyakan peneliti mengembangkan keahlian dalam salah satu pendekatan, tetapi kedua pendekatan [kuantitatif dan kualitatif] ini memiliki
30
kekuatan yang saling melengkapi. Penelitian yang menggabungkan keduanya cenderung lebih kaya dan lebih komprehensif. Pencampuran keduanya terjadi dalam beberapa cara: (1) dengan mengunakan kedua pendekatan secara berurutan atau (2) dengan menggunakan kedua pendekatan secara paralel atau bersamaan” (Neuman 2013: 187) Penggunaan kedua pendekatan ini diwujudkan dalam penggunaan prinsip triangulasi (penyertigaan) dalam pelaksanan penelitian. Dengan penggunaan prinsip triangulasi, peneliti sosial lebih banyak belajar mengamati permasalahan dari berbagai perspektif dibanding hanya melihat dari satu perspektif tunggal. Menurut Neuman (2013: 186), dengan menggunakan prinsip triangulasi yang melihat sesuatu hal dari beberapa sudut pandang bisa meningkatkan keakuratan. Peneliti sosial bisa menggunakan beberapa jenis triangulasi, seperti triangulasi ukuran, triangulasi pengamat, triangulasi teori, dan triangulasi metode. Prof. Sajogyo dan Dr. Gunawan Wiradi merupakan contoh dari peneliti sosial Indonesia yang mengkombinasikan kedua pendekatan dan menerapkannya ke dalam prinsip triangulasi di berbagai penelitiannya. Hasilnya, mereka berdua berhasil menghasilkan berbagai mahakarya dalam ilmu sosiologi pedesaan dan studi agraria di Indonesia yang mendunia (Dharmawan 2007, Wiradi et al. 2009). Sajogyo menggunakan kombinasi dari empat ganda (combination of ‘multiples’) dalam melakukan berbagai penelitian dalam Studi Dinamika Pedesaan yang dilakukan Survei Agro-Ekonomi (SAE)—sebuah lembaga penelitiann antar departemen di pemerintahan—untuk merumuskan kebijakan pembangunan pedesaan—selama kurun waktu 1975-1981 (Wiradi et al. 2000). Kombinasi dari empat ganda (combination of ‘multiples’) yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Multiple theoritical perspective. Peneliti harus menggunakan berbagai perspektif teori dalam seluruh rangkain proses penelitian. 2. Multiple observers. Peneliti ketika mengumpulkan data di lapangan harus berfungsi bukan sekedar enumerator survei. 3. Multiple sources of data. Peneliti harus menggunakan berbagai sumber data dari berbagai sumber, dari mulai tingkatan/satuan individu, interaksi antar individu, dan organisasi. Dengan demikian, data dan informasi dapat dianalisis dalam tiga tingkat, yaitu tingkat agregrat, tingkat interaksi, dan tingkat kolektivitas. 4. Multiple methodologies dalam pengumpulan data. Peneliti harus menggunakan berbagai teknik metode, seperti wawancara survei, life histories, wawancara dengan pihak ketiga, wawancara kelompok, observasi berpartisipasi, dan lan-lain untuk mengumpulkan berbagai sumber data dari berbagai sumber. Wiradi et al. (2009) menggunakan triangulasi (penyetigaan) dalam mempelajari keadaan pedesaan secara intensif, berulang, dan eksploratif. Baginya, triangulasi artinya penyetigaan terhadap tiga dimensi utama, yaitu (1) komposisi
31
tim peneliti yang terdiri minimal dari tiga orang anggota yang disiplin ilmunya berbeda-beda; (2) satuan observasi dipilih secara sengaja melalui tiga jenis strata, kategori, ataupun kelas; dan (3) penggunaan metode, alat, atau teknik pengumpulan data secara segitiga: data sekunder, wawancara, dan pengamatan langsung. Setelah mempelajari berbagai pendekatan dan memahaminya lewat karyakarya yang menggunakan pendekatan tunggal maupun pendekatan kombinasi dan dikaitkan dengan permasalahan penelitian yang ingin dijawab dan tujuan penelitian yang ingin dicapai, peneliti memutuskan menggunakan kombinasi kedua pendekatakan (mix-methods) secara paralel atau bersama. Dengan mengadaptasi konsep triangulasi yang dijalankan Neuman, Sajogyo, dan Wiradi, peneliti menerapkan triangulasi ke dalam tiga dimensi utama penelitian ini (lihat Gambar 3.1), yaitu: 1. Analisis penelitian dilakukan dengan tiga analisis penghidupan, yaitu asetakses-aktivitas. 2. Satuan atau unit observasi pengumpulan data terdiri dari tiga unit yang berbeda, yaitu responden, informan, dan kelompok (group). 3. Metode atau teknik pengumpulan data dilakukan secara segi tiga, yaitu wawancara, pengamatan, dan data sekunder. Untuk wawancara dibagi lagi ke dalam tiga kategori, yaitu wawancara survei terhadap responden, wawancara mendalam terhadap informan, dan wawancara semi terstruktur terhadap group/kelompok yang ada di masyarakat melalui diskusi kelompok. Aset
Akses Analisis Penghidupan
Aktivitas Data sekunder
Wawancara
Kelompok
Responden
Metode
Unit
Pengamatan
Informan
Gambar 3.1 Triangulasi penelitian Sebagai bricoleur,1 peneliti harus menentukan dan memahami paradigma penelitian yang dilakukannya. Peneliti tidak bisa lagi tidak tahu menahu atau 1
Bricoleur adalah “seorang manusia serba bisa atau seorang yang mandiri dan professional” (Levi-Strauss 1996, hlm. 17 dalam Denzin & Lincoln 2009). Bricoleur memunculkan brikolase, yaitu “serangkaian praktik yang disatupadukan dan disusun rapi
32
berpura-pura tidak tahu atas paradigma penelitian yang dilakukannya. Paradigma didefinisikan sebagai keyakinan dasar yang membimbing tindakan. Paradigma menentukan pandangan peneliti sebagai bricoleur. Oleh karena itu, peneliti harus memahami asumsi-asumsi dasar ontologis, epsitemologis, dan metodologis dari paradigma penelitian yang dilakukannya (Denzin & Lincoln 2009). Paradigma penelitian menjelaskan sekaligus menuntun peneliti mengenai apa yang hendak dilakukan dan apa saja batasan-batasan dari penelitiannya (Guba & Lincoln 2009). Guba dan Lincoln menjelaskan, sampai saat tulisannya ditulis, ada empat paradigma penelitian yang menjadi pilihan dalam memantapkan dan membimbing jalannya penelitian, yaitu positivisme, post-postivisme, teori kritis, dan konstruktivisme. Berkaca pada pilihan paradigma yang disodorkan Guba & Lincoln (2009), penelitian ini menggunakan konstruktivisme sebagai paradigma penelitiannya. Ontologis dari paradigma konstruktivisme adalah relativitis. Realitas bisa dipahami dalam bentuk kontruksi mental yang beragam yang berdasarkan kondisi sosial dan pengalaman, berciri lokal dan spesifik, serta bentuk dan isinya tergantung pada individu atau kelompok individu yang memiliki konstruksi tersebut. Dari sisi epistemologis, paradigma konstruktivisme bersifat transaksional, dialogis, dan subjektivis. Peneliti dan objek penelitian (tineliti) terhubung secara timbal balik sehingga hasil-hasil penelitian terciptakan secara literal seiring dengan berjalannya proses penelitian. Sedangkan dari sisi metodologi, paradigma konstruktivisme bersifat hermeneutis dan dialektis. Hal ini menunjukkan bahwa konstruksi hanya dapat diciptakan dan disempurnakan melalui interaksi antara dan di antara peneliti dengan objek yang ditelitinya (tineliti). Konstruktivisme memandang peneliti sebagai pelaksana dan fasilitator penelitian. Hal ini menjadi pembeda dengan paradigma lain yang cenderung menyeret peneliti ke dalam peran yang lebih otoriter. Konstruktivisme menyertakan nilai-nilai partisipasi dalam penelitian. Suara partisipan yang penuh semangat/empati adalah suara peneliti yang secara aktif terlibat dalam upaya membangun konstruksi ataupun rekonstruksi. Denzin dan Lincoln (2009) menyatakan bahwa paradigma konstruktivisme dalam mengumpulkan dan menginterpretasikan hasil temuannya berdasarkan sifat layak dipercaya (trustworthiness) dan otensitas (authenticity). Menurut Dharmawan (2007), paradigma konstruktivisme memang menjadi paradigma yang digunakan dalam penelitian-penelitian penghidupan yang dilakukan oleh para ilmuwan Eropa, seperti Chambers and Conway, Bebbington and Baterbury, Carney, Scoones, dan Ellis, dan belakangan juga dilakukan oleh para ilmuwan penghidupan di Bogor, seperti Sajogyo dan murid-muridnya .
sehingga menghasilkan solusi bagi persoalan dalam solusi nyata” (Denzin dan Lincoln 2009, hlm 3).
33
3.3 Pengumpulan dan Prosedur Analisis Data Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap informan, wawancara semiterstruktur melalui diskusi kelompok dan pengamatan partisipatif yang melibatkan masyarakat desa (lihat Ellis 2000: 196-197). 1. Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan kunci, di antaranya: perwakilan rumah tangga dari semua lapisan, tokoh masyarakat desa, tokoh pemuda, tokoh perempuan, perangkat desa, perangkat Kecamatan Kandanghaur, Kepala UPTD Pertanian Kecamatan Kandanghaur, mantri dan pengamat air-Dinas PSDA, stakeholders di Dinas Pertanian, stakeholders di Dinas PSDA, Komisi Irigasi dan Komisi Iklim, dan stakeholders ICCTFBMKG. Wawancara dilakukan secara terbuka untuk menggali hal-hal penting yang tidak bisa diperoleh dengan teknik yang lain. Wawancara juga dilakukan berdasarkan hasil pengumpulan data sebelumnya yang diperoleh melalui survei, diskusi kelompok, dan pengamatan. Wawancara juga dilakukan terhadap beberapa petani di luar desa dan di luar kecamatan yang berbeda karakter agro-ekologinya (persawahan irigasi teknis) dari berbagai lapisan. 2. Diskusi kelompok dilakukan beberapa kali di beberapa kelompok tani, gabungan kelompok tani, paguyuban petani pengguna air dari empat kecamatan di sekitar lokasi penelitian. Diskusi dilakukan dengan panduan pertanyaan yang dibuat semi-terstruktur. Materi diskusi yang dilakukan di antaranya, adalah menyusun materi pertanyaan untuk survei rumah tangga; menentukan stratifikasi (lapisan) sosial masyarakat dan proporsi masingmasing lapisan; menganalisis penghidupan secara partisipatif; menyusun matriks perkembangan/sejarah/lintasan waktu secara partisipatif; menyusun kalender musim dan kalender sejarah secara partisipatif; menyusun peta secara partisipatif; membuat skor dan menyusun ranking secara partisipatif; membuat diagram venn secara partisipatif; dan melakukan validasi data terhadap hasil penelitian sementara. 3. Pengamatan berperan serta. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan melakukan transect walk ditemani satu atau dua orang masyarakat desa. Peneliti menyusuri perkampungan di desa dan di luar desa, persawahan di desa dan di luar desa, saluran irigasi Rentang sejauh 10 km, dan saluran irigasi Jatiluhur sejauh 12 km. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survei rumah tangga. Survei dilakukan terhadap 80 rumah tangga dari tiga lapisan sosial yang berbeda. Penentuan tiga lapisan beserta kriteria dan proporsinya dilakukan melalui diskusi kelompok pertama yang melibatkan Gapoktan (ketua-ketua kelompok tani), perwakilan petani dari berbagai lapisan, perangkan desa/tokoh masyarakat, tokoh perempuan, dan tokoh pemuda (lihat Tabel 3.2).
34
Tabel 3.2 Keterangan responden survei rumah tangga
10 30 20 20 20 100 Sumber: Diskusi kelompok Desa Karangmulya 2014
Total
Total
Pemilik lahan luas > 1,0 Ha Pemilik lahan sedang 0,35 - 1,0 Ha Pemilik lahan sempit < 0,35 Ha Penggarap lahan orang lain Buruh tani
Kemped
Atas Menengah Bawah
Kriteria
Sukamelang
Lapisan Rumah Tangga
Proporsi (%)
Jumlah Sampel (n)
5 15 10 10 10 50
3 9 6 6 6 30
8 24 16 16 16 80
Data yang telah berhasil dikumpulkan kemudian diproses, diinterpretasikan, dan disajikan dengan melibatkan beberapa orang informan kunci. Pada akhir penelitian lapangan dilakukan validasi berbagai temuan dan data melalui diskusi kelompok. Validasi data dan proses melengkapi data terus dilakukan sampai akhir penyusunan tesis melalui komunikasi (lewat telepon dan internet) dengan masyarakat desa. Selain itu, validasi data dan perbaikan laporan hasil penelitian terus dilakukan melalui diskusi dengan ekspert dari LIPI dan BMKG serta tentunya dengan komisi pembimbing dan seminar hasil 6 Oktober 2014 yang juga dihadiri oleh puluhan mahasiswa SPs-IPB. Peneliti juga mempresentasikan hasil penelitian pada forum Konferensi Internasional Sosiologi Pedesaan (International Conference of Rural Sociology) 22-23 Oktober 2014 sebagai upaya untuk memvalidasi data dan menyempurnakan laporan penelitian menjadi sebuah tesis yang baik. Rangkaian tahapan penelitian dan keterlibatan tineliti (masyarakat desa), experts (ahli), dan komisi pembimbing dapat dilihat pada Tabel 3.3.
35
Tabel 3.3 Tahapan proses penelitan Tahapan proses penelitian 1. Menyadari adanya persoalan sosial + penentuan topik 2. Menyusun pertanyaan penelitian + menerapkan perspektif 3. Merancang penelitian
4. Mengumpulkan data
5. Menganalisis data 6. Menginterpretasikan data 7. Memberitahu orang lain a. Paper seminar b. Paper jurnal c. Laporan akhir (Tesis)
36
Tineliti (masyarakat desa)
---- Pertanyaan survei Kriteria dan proporsi responden Sumber data Enumerator Transect walk Validasi data Validasi data Validasi data
-------
Partisipasi/Keterlibatan Experts
Komisi pembimbing
LIPI, Kemenristek: proposal awal
---
LIPI: penyusunan kuesioner
BMKG: data variabilitas iklim Pemkab Indramayu: sumber data LIPI, BMKG
LIPI: validasi data
IPB, LIPI, Kemenristek, IPB, LIPI, Kemenristek IPB, LIPI, Kemenristek
---
BAB IV ANALISIS KERENTANAN EKOLOGI LOKASI PENELITIAN
“Ada daerah-daerah di mana posisi penduduk pedesaan ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak kecil sekalipun sudah cukup untuk menenggelamkannya” (Tawney 1966 dalam Scott 1976). Desa Karangmulya! Itulah jawaban yang terlontar dari dua orang pejabat penting di Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu ketika ditanya mengenai daerah yang memiliki kerentanan tertinggi di Kabupaten Indramayu. Menurut mereka, letaknya yang berada di ujung jaringan irigasi membuatnya menjadi daerah yang setiap tahun menjadi langganan banjir dan kekeringan. Kondisi ini menyebabkan persawahan di Desa Karangmulya, faktanya, menjadi sawah tadah hujan yang hanya bisa ditanami dengan optimal satu kali dalam setahun. Data Kementerian Dalam Negeri (2004) juga menunjukkan bahwa desa ini berpredikat sebagai “Desa Swadaya”. Menurut Permen Nomor 12 Tahun 2007 yang menjadi panduan dalam menentukan predikat desa, desa swadaya artinya desa yang perkembangan pembangunannnya paling lambat dan merupakan desa miskin. Gambaran awal mengenai desa ini sepertinya sangat tepat digambarkan dengan pernyataan Tawney (1966) dalam James C. Scott (1976) yang ditulis di awal bab ini. Mengikuti kerangka penelitian yang telah disusun, analisis pertama dari tesis ini adalah analisis kerentanan Desa Karangmulya, Kecamatan Kandanghaur sebagai lokasi penelitian dengan memperhatikan shocks, trends, dan persoalan seasonality yang mempengaruhinya. Analisis dilakukan berdasarkan data sekunder dan data primer yang dikumpulkan melalui wawancara mendalam, focus group discussion, dan pengamatan lapangan. 4.1 Potret Desa Persawahan di Kecamatan Pantai Desa Karangmulya merupakan salah satu desa dari tiga belas desa yang ada di Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu (selanjutnya Desa Karangmulya akan ditulis “desa” atau “Karangmulya” secara bergantian). Luas wilayah desa mencapai 385 ha yang terdiri dari 347 ha lahan sawah, pemukiman (pekarangan dan bangunan) 32 ha, kuburan 1.5 ha, dan lainnya 4.5 ha. Proporsi lahan sawah yang mencapai 90 persen menjadikan desa ini disebut sebagai “desa persawahan” dalam tipologi profil desa (Kemendagri 2014). Tipologi ini berbeda dengan sebagian desa lainnya yang ada di Kecamatan Kandanghaur yang menyandang “desa nelayan”. Sebagai informasi, Kecamatan Kandanghaur dikategorikan sebagai “kecamatan pantai” oleh BPS (2013) karena sebagian besar wilayahnya berbatasan langsung dengan pantai. Jarak Karangmulya ke pantai sebetulnya tidak terlalu jauh, hanya beberapa kilometer (km) saja, terhalang oleh 37
1-2 desa tetangga. Desa yang berlokasi di koordinat 108.110977 LS/LU-6.411101 BT/BB berbatasan langsung dengan Desa Karanganyar di sebelah Utara, Desa Rancahan di sebelah Selatan, Desa Santing di sebelah Barat, dan Desa Wirakanan di sebelah Timur. Desa Langganan Kekeringan, Banjir, dan Serangan Hama-Penyakit Tanaman Di atas kertas dokumen DPUP Kabupaten Indramayu (1999), persawahan Karangmulya terhubung dengan enam jaringan irigasi, termasuk dua jaringan irigasi terbesar di Pantai Utara (Pantura), yaitu jaringan irigasi Rentang yang berasal dari DAS Cimanuk dan jaringan irigasi Salamdarma yang berasal dari Waduk Jatiluhur. Keempat jaringan irigasi lainnya berasal dari Bendung Cibelerang, Bendung Sumurwatu, Bendung Cipondoh, dan Bendung Lalanang. Sehingga, wajar apabila BPS Kabupaten Indramayu (2013b) mencatat persawahan Karangmulya berdasarkan pengairannya terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu sawah irigasi setengah teknis sebanyak 92 ha, irigasi sederhana 131 ha, dan tadah hujan 124 ha. Namun, gambaran tentang tipe persawahannya nampaknya hanya berlaku di atas kertas atau mungkin saja berlaku di musim hujan saja. Dalam kenyataannya, hasil survei dan observasi menunjukan bahwa seluruh lahan sawah di desa adalah sawah tadah hujan karena jaringan irigasi hanya bisa berfungsi di musim hujan, itupun kalau curah hujannya tinggi (hasil yang sama terlihat dari hasil survei LIPI 2011, 2013). Oleh karena itu, persawahan di Karangmulya hanya bisa ditanam secara optimal satu kali saja, yaitu di musim hujan atau dalam bahasa lokal disebut musim rendeng. Untuk musim tanam kedua atau disebut dengan musim gadu, masyarakat Karangmulya tidak bisa lagi mengandalkan pengairan dari jaringan irigasi. Posisinya yang berada di akhir semua jaringan irigasi memaksa petani Karangmulya tidak lagi mendapatkan pasokan air yang cukup untuk mengairi sawah-sawah mereka. Saluran-saluran irigasi yang melintasi Karangmulya hanya berfungsi di musim hujan. Kekeringan menjadi pemandangan biasa yang bisa dilihat oleh siapa saja yang datang ke Karangmulya di musim kemarau. Kunjungan saya pada bulan Juni-Juli 2014 membuktikan kembali apa yang sebetulnya saya pernah lihat di bulan Agustus-September 2012 ketika kekeringan melanda seluruh persawahan di Karangmulya. Bagi masyarakat Karangmulya, hujan adalah berkah yang luar biasa di musim kemarau.
38
Gambar 4.1. Lahan sawah yang mengalami kekeringan tahun 2014 Hujan yang menjadi berkah dan sangat dinanti di musim kemarau ternyata tidak selalu berlaku di musim hujan. Setiap musim hujan datang terutama di puncak musim hujan (akhir Januari-Februari), masyarakat Karangmulya harus waspada dengan banjir yang datang dengan tiba-tiba. Posisinya yang berada di akhir enam jaringan irigasi yang sebetulnya berfungsi sebagai saluran pembuang menjadikan Karangmulya sangat rentan terhadap banjir. Banjir terakhir datang pada akhir Januari 2014 (lihat Gambar 4.2). Beruntung, kondisi tanaman padi pada saat itu berada pada fase pembibitan dan awal tanam sehingga tidak membuat puso (gagal panen di atas 75 persen). Namun, tidak jarang, banjir datang ketika fase akhir. Tanaman padi yang siap panen diterjang banjir sehingga tanaman padi rusak, biji padi terendam, dan menurunkan kualitas hasil panen. Banjir seringkali datang dengan tiba-tiba dan merendam puluhan hektar lahan sawah yang mau besoknya mau dipanen, seperti yang terjadi pada tahun 2011. Petani pun merugi, harapan hasil panen yang melimpah sirna dalam waktu singkat. Kondisi batang tanaman yang rebah mempersulit proses panen dan perontokan. Penjemuran pun harus dilakukan dengan ekstra tenaga untuk mengurangi kadar air agar padi yang telah dirontokkan bisa disimpan lama atau dijual dengan harga bagus. Namun, pengamatan saya pada waktu itu menunjukkan hasil di luar harapan. Air banjir yang merendam biji padi terlanjur merusak kualitas padi sehingga harga jual padi tersebut menjadi turun drastis. Selain banjir, serangan organisme pengganggu tanaman, baik hama maupun penyakit kerap mengancam tanaman padi di Karangmulya. Mengenai permasalahan jaringan irigasi, pejabat kabupaten yang bertanggung jawab terhadap pengairan di seluruh Indramayu, termasuk di Karangmulya membenarkan bahwa saat ini saluran pengairan yang melintasi Karangmulya tidak berfungsi sebagai saluran irigasi teknis. Saluran-saluran yang ada hanya menjadi saluran pembuang. Bahkan, dalam aturan penggolongan pembagian air, air dari jaringan irigasi Rentang, misalnya, tidak memperhitungkan Karangmulya sebagai wilayah yang harus diairi secara regular. Kondisi debit
39
air di Bendung Rentang saat ini hanya mampu mengairi persawahan sampai pintu air BT-9, itupun debit airnya jauh dari standar yang seharusnya. Sebagai informasi, jarak BT-19 ke Karangmulya sekitar 15 km. Menurutnya, sumber utama pengairan ke Karangmulya sebetulnya hanya berasal dari Bendung Rentang-DAS Cimanuk melalui jaringan irigasi Rentang (Saluran Induk Barat) yang masuk ke Saluran Sekunder Plasah dan dari Bendung Salamdarma-Jaringan Waduk Jatiluhur yang masuk Saluran Sekunder Tipar. Dua saluran sekunder tersebut, termasuk Kali Bojong yang tidak tertulis di Skema Jaringan Irigasi, saat ini hanya berfungsi sebagai saluran pembuang saja: air hanya akan “dibuang” ketika saluran air dan persawahan air di atasnya sudah terairi dan apabila debit air sangat berlebihan dan diduga akan meluap maka air akan serta merta dialirkan ke saluran pembuang yang ada di Karangmulya. Maka, kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan menjadi bencana yang senantiasa menghampiri masyarakat Karangmulya.
Gambar 4.2 Banjir yang melanda Desa Karangmulya 2014 (Sumber: Kelompok Tani Desa Karangmulya 2014)
40
Gambar 4.3 Zonasi tipe hujan di wilayah Kabupaten Indramayu Sumber: Sucahyono dan Aldrian (2012)
Sucahyono dan Aldrian (2012), ahli iklim dari BMKG, yang secara khusus telah menganalisis iklim di seluruh wilayah Indramayu menunjukkan bahwa wilayah Karangmulya beserta wilayah yang berada di Zona Tipe Hujan 3 dan 5 sangat rentan terhadap ketersediaan air (lihat Gambar 4.3). Karangmulya dan seluruh di wilayah di zona 3 dan 5 relatif lebih berpotensi mengalami kekeringan pada musim kemarau dan sebaliknya akan mengalami curah hujan yang berlebihan pada musim hujan. Untuk contoh jumlah hari dan curah hujan di Karangmulya (bagian dari Kecamatan Kandanghaur) dalam setahun dapat dilihat pada Tabel 4.1. Dalam tabel tersebut terlihat bahwa puncak musim hujan terjadi pada bulan Januari dan puncak musim kemarau terjadi pada bulan Juli dan Agustus. Tabel 4.1 Jumlah hari dan curah hujan di Kecamatan Kandanghaur 2012 Bulan Hari Hujan Curah Hujan Januari 14 384 Februari 12 45 Maret 11 181 April 5 58 Mei 3 31 Juni 4 57 Juli Agustus September 1 5 Oktober 1 7 November 6 71 Desember 11 288 Jumlah/Rata-rata 68 113 Sumber: BPS Kab. Indramayu (2013)
41
Tabel 4.2 Shocks dan dampaknya terhadap produksi padi di salah satu blok sawah di Desa Karangmulya Tahun Musim tanam (MT) Shocks Dampak terhadap produksi MT I Serangan HPT Penurunan produksi 25-50% 2002 MT II Kekeringan Gagal panen MT III Kekeringan Tidak tanam MT I Serangan HPT Penurunan produksi 25-50% 2003 MT II Kekeringan Gagal panen MT III Kekeringan Tidak tanam Panen normal 2004 MT I MT II Kekeringan Gagal panen MT III Kekeringan Tidak tanam Panen normal 2005 MT I MT II Kekeringan Gagal panen MT III Kekeringan Tidak tanam 2006 MT I Serangan HPT Penurunan produksi 25-50% MT II Kekeringan Tidak tanam Kekeringan MT III Tidak tanam Serangan HPT Penurunan produksi 25-50% 2007 MT I Kekeringan MT II Tidak tanam MT III Kekeringan Tidak tanam 2008 MT I Panen normal MT II Kekeringan Tidak tanam MT III Kekeringan Tidak tanam Serangan HPT Penurunan produksi 25-50% 2009 MT I Kekeringan MT II Tidak tanam Kekeringan MT III Tidak tanam Banjir Panen normal 2010 MT I Kekeringan MT II Gagal panen Kekeringan MT III Tidak tanam Banjir Panen normal 2011 MT I Kekeringan MT II Tidak tanam MT III Kekeringan Tidak tanam MT I Panen normal 2012 MT II Serangan HPT Gagal panen MT III Kekeringan Tidak tanam Panen normal 2013 MT I MT II Serangan HPT Gagal panen MT III Kekeringan Tidak tanam 2014 MT I Banjir Panen normal MT II Kekeringan Gagal panen Sumber: Wawancara dengan salah satu ketua kelompok tani
Selain rentan terhadap kekeringan dan banjir, Desa Karangmulya juga sangat rentan terhadap serangan hama-penyakit tanaman. Kementerian Pertanian (2014) dalam kalender tanam terpadu musim tanam II 2014 menyatakan kondisi persawahan di Karangmulya dan sekitarnya “sangat rentan” terhadap banjir, 42
kekeringan, dan serangan hama-penyakit tanaman (HPT), seperti wereng batang coklat, tikus sawah, penggerek batang padi, blast, dan kresek. Data kejadian shocks dan dampaknya terhadap penurunan produksi dapat dilihat pada Tabel 4.2. Pengaruh Perubahan Iklim dan Degradasi Lingkungan Kerentanan terhadap banjir, kekeringan, dan serangan HPT semakin meningkat seiring dampak perubahan iklim global yang meningkatkan variabilitas dan anomali iklim. Sucahyono dan Aldrian (2012) yang melakukan analisis perubahan iklim di wilayah Indramayu dengan data curah hujan series dari tahun 1981-2009 mengemukakan bahwa Karangmulya dan sekitarnya menjadi semakin rentan terhadap kondisi iklim. Musim kemarau menjadi sangat kering, datangnya semakin awal, dan periodenya semakin panjang (Gambar 4.4). Sebaliknya, pada musim hujan, kecenderungan awal musim hujan terjadi lebih lambat/mundur dan periodenya makin pendek (gambar). Hasil survei LIPI, ICCTF, dan BMKG (2011) menunjukkan bahwa 92.9 persen petani Karangmulya (dan juga Juntinyuat) merasakan pergeseran musim hujan dan kemarau; perubahan intensitas dan frekuensi hujan (85.7 persen); perubahan temperatur udara yang semakin panas (42.9 persen); dan intensitas angin yang bertambah kencang (35.7 persen). Kondisi ini berdampak pada aktivitas pertanian padi sawah: mengacaukan waktu tanam (100 persen), mengganggu produksi (61.5 persen), meningkatkan biaya pengunaan obat-obatan (53.8 persen); dan mengganggu pengairan (46.2 persen).
Gambar 4.4 Tren perubahan awal (kiri) dan panjang (kanan) musim kemarau di Indramayu 1981-2009 Sumber: Sucahyono dan Aldrian (2012)
Selain karena intensitas dan frekuensi hujan, masalah pengairan yang mengakibatkan tidak optimalnya jaringan irigasi di Karangmulya juga disebabkan oleh faktor non-hujan. Degradasi hutan, alih fungsi daerah tangkapan hujan menjadi daerah terbangun, kerusakan fisik sarana-prasarana pengairan, persoalan tata kelola (perubahan kebijakan pengairan dari pusat ke daerah, ego masingmasing pemerintah daerah, dualisme pengelolaan jaringan irigasi, janji politik),
43
dan lain-lain semakin memperparah permasalahan air yang berujung makin meningkatnya kerentanan masyarakat Karangmulya terhadap banjir dan kekeringan.
Gambar 4.5 Tren perubahan awal (kiri) dan panjang (kanan) musim hujan di Indramayu 1981-2009 Sumber: Sucahyono dan Aldrian (2012)
Salinitas Tinggi Jaraknya yang hanya beberapa kilometer dari bibir pantai dan ketinggiannya yang kurang dari 100 m dari permukaan laut menyebabkan tingkat salinitas air tanah cukup tinggi di wilayah ini (Siregar and Crane 2011). Bahkan, sebagian besar areal persawahan, tingkat salinitasnya sangat tinggi sehingga air tanahnya tidak bisa dipompa untuk untuk mengairi tanaman padi maupun tanaman hortikultura. Hanya sebagian kecil areal persawahan saja yang tingkat salinitasnya sedikit lebih rendah sehingga masih bisa menggunakan air tanah yang dipompa untuk budidaya tanaman timun suri dan semangka. Terkait air tanah untuk kebutuhan air minum dan aktivitas domestik rumah tangga lainnya, karena tingginya tingkat salinitas, beberapa rumah tangga melakukan pengeboran yang cukup dalam sampai 50-110 m untuk mendapatkan air tanah yang tawar dan berkualitas baik. Namun, karena biaya pembuatan sumur bor dalam cukup mahal, sebagian rumah tangga lebih memilih menggunakan air minum dalam kemasan atau air minum isi ulang sebagai sumber utama air minum. Air sumur hanya dipakai untuk keperluan memasak, mandi, cuci, dan keperluan domestik lainnya. 4.2 Perkembangan Sejarah Desa: Menelusuri Jejak Kerentanan Kondisi Desa Karangmulya yang sangat rentan terhadap banjir dan kekeringan, yang berujung pada produksi padi sawah, rasanya bertolak belakang dengan pandangan umum terhadap Kabupaten Indramayu sebagai lumbung padi nasional yang kaya sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda sampai rezim pemerintahan saat ini. Bahkan, seperti yang telah disampaiak dalam Bab I, sejak 44
zaman kerajaan-kerajaan, Indramayu sudah tercatat sebagai lumbung padi yang mampu menyediakan padi bagi masyarakatnya dan masyarakat di luar Indramayu (Pemerintah Kabupaten Indramayu 2014, Padmo 1998). Yang terbaru adalah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 dan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2012 yang isinya, di antaranya, menetapkan Indramayu sebagai lumbung padi nasional. Lewat dua peraturan tersebut, Indramayu ditugaskan untuk tetap mempertahankan status dan perannya sebagai lumbung padi nasional. Artinya, seluruh persawahan di Indramayu harus mampu menghasilkan padi sebanyak-banyaknya, bukan hanya untuk mencukupi masyarakat lokal, tetapi juga harus mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional. Pada tahun 2012, misalnya, Indramayu ditargetkan harus mampu memproduksi 1.3 juta ton padi gabah kering giling (GKG) dan tahun 2013 naik 10 persen menjadi 1.43 jutan ton padi GKG. Tabel 4.3. Kondisi ketahanan pangan rumah tangga di Desa Karangmulya (dalam Persen) Ketahanan pangan
Atas (n=8)
Menyediakan stok pangan (padi/beras) di rumah untuk satu tahun (2013-2014) Tingkat kecukupan stok pangan untuk satu tahun (2013-2014) Pernah kekurangan stok pangan pada tahun 2000-2014
Lapisan Sosial Bawah Bawah Menengah Pemilik Penggarap (n=24) (n=16) (n=16)
Bawah Buruh (n=16)
100
77.8
54.5
55.6
14.3
100
61.8
36.4
22.2
0
0
71.4
100
88.9
100
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
Namun, fakta yang ada menunjukkan kondisi yang sangat ironis. Karangmulya yang hanya berjarak 4-6 km dari Jalan Raya Pantura dan 8-12 km dari pusat pemerintahan dan ekonomi Kecamatan Kandanghaur; serta mempunyai saluran irigasi yang tersambung dengan 6 jaringan irigasi menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Jangankan untuk menjadi lumbung padi nasional, banjir dan kekeringan menjadi “lonceng kematian”, selalu mengancam perut ribuan orang yang tinggal di Karangmulya. Data resmi terbaru (BPS Kab. Indramayu 2013b) menunjukkan bahwa pada musim tanam kedua (musim gadu) tahun 2012 seluruh tanaman padi di Karangmulya mengalami puso. Dari 325 ha lahan sawah yang ditanami, tidak ada 1 ha pun yang berhasil dipanen. Semuanya puso-mati karena kekeringan. Padahal, puluhan juta rupiah, uang petani dan juga tenaga yang sudah dikeluarkan untuk menanam dan memelihara padi. Puluhan juta pula harapan petani untuk sekadar bisa makan dari hasi panen musim rendeng sirna. “Lonceng kematian” kembali berdering keras sepanjang delapan bulan di sebuah desa persawahan yang berada di sebuah “kabupaten berpredikat lumbung padi nasional”. Data pada tabel 4.2 menunjukkan kejadian penurunan produksi dan
45
kegagalan panen yang terjadi hampir setiap tahun. Hal ini berakibat buruk pada ketahanan pangan sebagian besar rumah tangga di Desa Karangmulya. Pada Tabel 4.3 terlihat sebanyak 90 persen rumah tangga tidak dapat menyediakan stok pangan (beras) yang cukup. Bahkan, dalam kurun waktu tahun 2000-2014, rumah tangga-rumah tangga tersebut pernah mengalami kekurangan pangan. Semua rumah tangga di lapisan bawah pemilik dan bawah buruh pernah mengalami kekurangan stok pangan dalam kurun waktu tersebut. Mungkin kondisi ini yang menyebabkan desa ini tidak beranjak bangkit dari “status desa swadaya”;; sebuah label prestasi terendah yang disematkan bagi desa miskin yang potensinya rendah dan laju perkembangannya sangat lambat (lihat Profil Desa 2014 dan Permen Nomor 12 Tahun 2007). Mungkin kondisi ini pula yang menyebabkan bantuan beras miskin (raskin) menjadi permasalahan yang selalu muncul setiap tahun. Validitas rumah tangga yang berhak, distribusi, pemotongan, dan pungutan-pungutan liar di sekitar raskin menjadi isu yang tidak pernah selesai diperbincangkan di desa ini. Sungguh ironis bagi sebuah desa yang berada di kabupaten yang sejak dulu dianggap sebagai lumbung padi. Kalau memang dalam Babad Dermayu dan beberapa dokumen Pemerintahan Kolonial Belanda menyebutkan wilayah desa ini menjadi bagian yang disebut “lumbung padi nasional”, penting untuk mengkaji kapan desa ini menjadi desa yang paling rentan. Sesuai dengan kerangka penelitian, hal ini dapat dilihat dengan menganalisis tren sejarah pembentukan dan perkembangan desa. Hasil analisis tren sejarah juga bermanfaat sebagai dasar untuk menganalisis relasi sosial dan institusi sosial yang menjadi faktor berpengaruh dalam akses setiap rumah tangga terhadap berbagai aset penghidupan. Masa Kerajan-kerajaan: Awal Kelahiran Karangmulya Tidak ada dokumen resmi yang mencatat sejarah Karangmulya secara khusus. Oleh karena itu, tulisan mengenai sejarah Karangmulya dilakukan melalui penelusuran mengenai cerita tidak tertulis dari mulut ke mulut yang dilestarikan melalui proses sosialiasi antar generasi di masyarakat Karangmulya. Cerita mengenai Karangmulya yang diperoleh melalui beberapa diskusi kecil dan juga beberapa wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh masyarakat Kandanghaur dikompilasi sekaligus dikonfirmasi dengan beberapa data sekunder yang sedikit banyak membahas mengenai wilayah Indramayu, DAS Cimanuk, dan lain-lain di mana Karangmulya menjadi bagiannya. Tanggal 7 Oktober 1527 merupakan titik awal yang paling diingat oleh masyarakat Indramayu secara keseluruhan karena pada tanggal inilah yang dipilih Pemerintah Kabupaten Indramayu sebagai hari jadi Indramayu. Pada tanggal ini, Arya Wilarodra yang saat itu menjadi kepanjangan tangan Kerajaan Sunda Galuh dalam menguasai wilayah DAS Cimanuk di Indramayu menyatakan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda Galuh. Namun, jauh sebelum itu (tidak ingat tahunnya), Ki Banyak Wangi, seorang utusan Kerajaan Sunda Galuh yang ditugaskan untuk 46
mencari “pohon kestuba atau sekarpetak”, adalah orang yang pertama kali bermukim di Karangmulya setelah ia menemukan pohon kestuba atau sekar petak di wilayah Karangmulya. Sebagai informasi, saat ini pohon yang dimaksud masih ada, dipelihara, dan diyakini sebagai pohon berkah dan perlindungan (lihat Gambar). Selain pohon tersebut, di Karangmulya masih terdapat “sumur purba” dan “kolam purba” yang tidak pernah kering. Keduanya dipercaya sebagai sumber air sejak awal Ki Banyak Wangi dan pengikutnya bermukim di Karangmulya.Tahun 1615, Indramayu dikuasai Kerajaan Mataram. Sejak saat itu, kebudayaan Jawa mulai masuk seiring masuknya orang-orang dari Jawa ke Indramayu, termasuk ke Karangmulya menyatu dengan keturunan Ki Banyak Wangi. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda: Hak Pemilikan Lahan dan Sawah Irigasi Teknis di Karangmulya Tahun 1681, Indramayu mulai dikuasai Belanda. Tahun 1806-1811 oleh Daendels dimasukan ke dalam prefektur Cirebon Utara. Tahun 1822, Bapak Tua Bar yang masih keturunan Ki Banyak Wang diberikan hak pemilikan atas lahan oleh Bupati Wira Semangun (lihat juga Aass 1980). Sejak itulah Bapak Tua Bar sebagai pemimpin Karangmulya bersama masyarakat sudah menerapkan lembaga-lembaga yang mengatur penggunaan sumber daya dan aktivitas penghidupan di Karangmulya yang berlandaskan tolong menolong dan berbagi pendapatan, seperti raksa bumi, ulu-ulu, dan sistem panen dengan bawon. Tahun 1912, Pemerintahan Kolonial Belanda membangun jaringan irigasi Rentang yang diawali dengan membuat bendung Rentang di DAS Cimanuk. Jaringan irigasi berfungsi sejak 1916. Sistem irigasi Rentang mengairi persawahan di wilayah Indramayu dengan baik, termasuk persawahan Karangmulya. Kegiatan pertanian padi sawah di Karangmulya menjadi sangat optimal. Sawah-sawah di Karangmulya menjadi paling subur dan produktif. Pada saat itu, Indramayu, termasuk Karangmulya menjadi pengekspor beras terbesar di Jawa (56 persen) (Ed Frank 1979 dalam Kalo 1983 dalam Hartoyo 1986). Saat itu, banyak buruh tani datang dari daerah lain, seperti dari (Kecamatan) Arahan, Losarang, Sukra, Gabuswetan, Bongas, Plumbon, Indramayu, dan Loh Bener untuk ikut derep dengan sistem bawon terbuka. Daerah-daerah yang saat ini menjadi daerah yang paling subur airnya, seperti Gabuswetan dan Bongas saat itu belum dialiri air dari jaringan irigasi. Saat itu belum jaringan irigasi dari Waduk Jatiluhur. Sistem bawon yang diterapkan oleh pemilik lahan di Karangmulya, termasuk oleh Kakek Sarjun, telah mengundang orang-orang di luar desa untuk datang mencari rezeki ke Karangmulya. Kakek Sarjun adalah keturunan Bapak Tua Bar yang memiliki sawah paling luas pada saat itu. Ia adalah kakek-buyut dari Abah Acong dan Waryono yang saat ini memiliki sawah cukup luas dan menjadi bagian dari lapisan atas masyarakat Karangmulya.
47
Masa Pendudukan Jepang dan Pemberontakan DI/TII: Dari Sawah Irigasi Teknis ke Sawah Tadah Hujan Pendudukan Jepang dan pemberontakan DI/TII merupakan titik waktu terburuk bagi kegiatan pertanian padi sawah di Karangmulya. Keduanya dikenang sebagai kejadian yang menyebabkan perubahan luar biasa bagi masyarakat Karangmulya. Sejak zaman pendudukan Jepang (1942-1945), jaringan irigasi Rentang yang mengalirkan air ke Karangmulya menjadi rusak. Hutan-hutan dan daerah tangkapan air di daerah Priangan yang merupakan hulu dari DAS Cimanuk—sumber air untuk bendung dan jaringan irigasi yang mengalir ke Karangmulya dialihfungsikan untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya Jepang. Hal ini menyebabkan degradasi lingkungan: sedimentasi dan berkurangnya debit air menyebabkan air irigasi yang datang ke Karangmulya jauh berkurang. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya pemberontakan DI/TII (1949-1962) yang melakukan pembukaan hutan di wilayah Indramayu untuk dijadikan areal persawahan untuk menghidupi mereka. Pemberontak mengarahkan air irigasi ke areal persawahan baru yang dikuasi mereka dan menutup aliran air ke wilayahwilayah yang tidak dikuasainya, seperti Karangmulya. Sejak saat itulah wilayah persawahan Karangmulya menjadi wilayah sawah tadah hujan. Pada masa inilah, sebagian keluarga Karangmulya pindah ke daerah yang persawahannya memiliki pasokan air yang cukup, seperti Kecamatan Gabuswetan, Bongas, dan Kroya. Selain pindah ke daerah sekitar yang tidak terlalu jauh, sebagian lagi pindah ke daerah-daerah di Subang, Karawang, Bekasi, dan juga Banten. Ada kemungkinan daerah Subang yang dimaksud adalah “Desa Subang Utara” yang menjadi lokasi penelitian Hayami dan Kikuchi, Pincus, Breman, dan Wiradi. Perlu penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya. Masa Orde Baru: Pembagian Golongan Irigasi Data yang dirilis oleh pemerintah, hingga akhir 1968 kondisi jaringan irigasi Rentang menurun, dari areal sawah yang ada di wilayah rentang (91,000 ha) hanya 15,000 ha saja yang menerima air secara teratur, sisanya berubah menjadi sawah setengah teratur atau sawah tadah hujan, termasuk daerah Karangmulya yang berada di ujung jaringan irigasi Rentang. Oleh karena itu, mulai tahun 1969, sejalan dengan PELITA, dengan didanai World Bank jaringan irigasi Rentang diperbaiki. Alokasi air diatur dengan membagi wilayah-wilayah persawahan ke dalam empat golongan (gol I-IV) serta golongan banjir inlaat dan tadah hujan. Celakanya, wilayah persawahan desa Karangmulya hanya menjadi golongan banjir inlaat dan tadah hujan dengan pola tanam utama padi-bera-bera. Saluran yang melintasi areal persawahan desa Karangmulya hanya menjadi saluran pembuang. Upaya pemerintah untuk mengairi persawahan Karangmulya dari jaringan irigasi Jatiluhur pun tidak berhasil. Air yang dialirkan ke dari Jatiluhur melalui Bendung Salamdarma hanya mampu mengairi sawah-sawah sebelum 48
Karangmulya, seperti Eretan, Bongas, Curug, Gabus, dan terakhir di Lebiah. Saluran Sekunder Tipar yang mengairi persawahan Karangmulya hanya terisi air pada musim hujan saja. Jadi, selama Orde Baru (sampai 1997), semua areal persawahan mendapatkan jatah pengairan sesuai dengan jadwal golongan. Persawahan di Karangmulya sesuai dengan golongannya hanya menjadi sawah tadah hujan yang ditanami sekali setahun pada musim hujan saja. Selain, mengatur pembagian golongan irigasi, sejak tahun 1978 pemerintah juga memperkenalkan benih padi modern dan paket usaha tani yang lainnya, seperti pupuk dan pestisida serta traktor pada tahun 1986, dengan harapan sawah-sawah di Karangmulya dapat ditanam lebih dari satu kali dalam setahun. Namun, kondisi air tidak memungkinkan. Jadi, sampai akhir Orde Baru, sawahsawah di Karangmulya hanya optimal ditanami padi sawah sekali dalam setahun. Itupun akan berhasil panen apabila kondisi musim hujannya normal, tidak mengalami el-nino (musim kemarau panjang). Masa Reformasi dan Otonomi Daerah: Pengalihan Urusan Pertanian dan Irigasi ke Pemerintah Daerah Menambah musim tanam dan tugas tambahan untuk ulu-ulu Runtuhnya rezim Orde Baru, runtuh pula sistem pemerintahan dan pembangunan terpusat, termasuk untuk pembangunan pertanian dan pengelolaan jaringan irigasi. Mulai saat itu, tata kelola pengairan termasuk pengaturan jaringan irigasi Rentang. Pengaturan dan penjadwalan aliran air dari saluran induk ke saluran-saluran sekunder berdasarkan golongan yang ditetapkan dan dijalankan selama Orde Baru menjadi tidak berfungsi. Semua masyarakat di semua daerah persawahan ingin menanam padi sebanyak-banyaknya, termasuk Desa Karangmulya. Lebih-lebih, para tokoh masyarakat dan petani-petani tua yang pernah merasakan kejayaan Karangmulya ketika air irigasi mengalir sepanjang tahun ke sawah-sawah mereka terus disosialisasikan ke tokoh-tokoh pemuda dan petani-petani muda. Romantisme kejayaan pertanian dan harapan untuk mengembalikan kejayaan itu membuat para tokoh masyarakat, pemuda, bersama seluruh anggota masyarakat meminta pemerintah daerah untuk mengalirkan air ke Karangmulya dan merubah penggolongan air. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Gayung bersambut, keinginan masyarakat Karangmulya akhirnya mendapatkan izin dari Bupati (incumbent) yang saat itu hendak mencalonkan kembali menjadi bupati untuk periode berikutnya. Sejak saat itulah, siapa pun yang datang ke Karangmulya untuk mendulang suara politik, baik untuk kepentingan pemilihan Bupati, Gubernur, dan Presiden maupun pemilihan DPRD kabupaten, DPRD provinsi, dan DPR pusat, diminta komitmennya agar air bisa mengalir sepanjang tahun di sawah-sawah Karangmulya. Air menjadi komoditas politik yang ditukar dengan suara politik di bilik suara. Celakanya, ternyata hal yang sama juga diminta oleh masyarakat desa
49
perawahan yang lainnya, baik yang selama ini mendapatkan aliran air sepanjang tahun maupun yang tadah hujan, seperti Karangmulya. Fenomena ini akhirnya menimbulkan “patologi sosial” baru. Oknum-oknum mantri air dan petugas pintu yang selama Orde Baru taat menjalankan prosedur pembagian air sesuai golongan yang ditetapkan (meskipun dirasakan tidak adil oleh masyarakat yang berada di ujung saluran irigasi), sejak saat itu berubah menjadi makhluk yang bernama “preman air”. Di tangan mereka lah, air bisa datang atau tidak ke saluran-saluran sekunder di tiap desa/wilayah. Karena semuanya menginginkan air, sementara airnya terbatas, maka hukum ekonomi menjadi mutlak berlaku. Air yang tadinya hanya menjadi komoditas politik sekarang menjadi komoditas dagang strategis bagi para oknum tersebut. Untuk mendatangkan air ke persawahan Karangmulya, masyarakat harus mengeluarkan biaya 5-12 juta rupiah. Embung Kali Bojong. Tahun 2003, terinspirasi konsep adaptasi yang disampaikan pada Sekolah Lapang Iklim (SLI), kelompok tani bersama unsurunsur pemerintahan desa (kepala desa, raksa bumi, ulu-ulu) dan masyarakat menjadikan Kali Bojong sepanjang 1.3 km—yang merupakan sungai alam yang hanya berfungsi (ada airnya) di musim hujan saja—menjadi embung air dengan pendanaan secara swadaya. Kali Bojong yang tadinya memiliki kedalaman 1 m dan lebar 2 m menjadi embung bertanggul 6 m dengan kedalaman sungai 4 m dan lebar 24 m. Tahun 2005, ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla (pemerintahan Presiden SBY) datang ke desa untuk melihat gagal panen akibat kekeringan, kelompok tani bersama unsur-unsur pemerintahan desa (kepala desa, raksa bumi, ulu-ulu) dan masyarakat mengajukan peningkatan kemampuan penampungan embung air Kali Bojong. Keinginan masyarakat Karangmulya pun dipenuhi. Tak lama setelah itu, BBWS Cimanuk-Cisanggarung membangun embung Kali Bojong menjadi bendungan kecil dengan panjang 2 km, kedalaman 6 m, dan lebar 50 m. Sejak saat itu sampai terjadinya banjir pada awal tahun 2011, sawah-sawah yang ada disekitar Kali Bojong dapat ditanami dua kali dalam setahun. Kali Bojong menjadi tempat penampungan air di musim kemarau dan pengendali banjir di musim hujan. Namun, banjir yang cukup besar melanda Karangmulya pada awal tahun 2011 merusak pintu air dan tembok bendungan embung kali Bojong. Akibatnya, Kali Bojong tidak bisa berfungsi dengan baik. Puso atau gagal panen yang sangat luas di persawahan Karangmulya pada tahun 2012 dan 2014 menjadi bukti tidak berfungsinya Kali Bojong. Ikhtisar Desa Karangmulya merupakan desa persawahan tadah hujan yang memiliki kerentanan sangat tinggi. Hampir setiap tahun, kekeringan dan banjir selalu mengancam dan hadir di desa ini. Kekurangan stok pangan menjadi permasalahan setiap tahun bagi sebagian besar rumah tangga. Penelusuran sejarah
50
pembentukan dan perkembangan desa ternyata menemukan bahwa kerentanan ini muncul sejak tidak optimalnya fungsi jaringan irigasi. Sebelumnya desa ini merupakan desa yang sangat subur dan mendapatkan pengairan sepanjang tahun dari jaringan irigasi Rentang yang mulai beroperasi tahun 1916. Namun, sejak pendudukan Jepang 1942 dan pemberontakan DI/TII, pasokan air dari jaringan irigasi Rentang tidak lagi sampai ke sawah-sawah sepanjang tahun. Revolusi hijau ala Orde Baru yang salah satunya melaksanakan modernisasi sistem irigasi tetap tidak mampu menyediakan pasokan air yang cukup pada musim-musim keamarau. Jaringan irigasi Rentang yang diperbaiki dan jaringan irigasi Jatiluhur yang baru selesai dibangun akhir 1967 tetap tidak bisa mengembalikan kondisi pengairan sebelum tahun 1942. Lokasinya yang berada di ujung kedua jaringan irigasi terbesar di Pantura Jawa Barat hanya mampu menetapkan saluran-saluran sekunder yang melintasi persawahan Desa Karangmulya sebagai saluran pembuang banjir. Akibatnya, persawahan Desa Karangmulya menjadi langganan kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan. Kondisi ini semakin diperparah oleh dampak perubahan iklim yang meningkatkan variabilitas iklim dan frekuensi maupun intensitas banjir dan kekeringan.
51
BAB V ANALISIS ASET PENGHIDUPAN DAN AKSESNYA
Setelah menganalisis konteks kerentanan, analisis dilanjutkan dengan menganalisis aset penghidupan dan akses rumah tangga terhadap aset-aset tersebut. Hal ini sesuai dengan pengertian penghidupan (livelihood) yang dimaknai dalam penelitian ini sebagai aset penghidupan (modal alam, fisik, manusia/insani, finansial, dan sosial) yang dimiliki/diakses dan dikombinasikan rumah tangga ke dalam berbagai aktivitas strategi penghidupan untuk menjamin keberlanjutan hidupnya. Analisis dilakukan terhadap rumah tangga dari berbagai lapisan sosial. Pemetaan masyarakat ke dalam berbagai lapisan sosial membantu untuk melihat perbedaan kuantitas dan kualitas aset yang dimiliki atau diakses oleh rumah tangga di setiap lapisan sosial. Kemampuan memiliki atau mengakses aset penghidupan akan menentukan strategi penghidupan yang dilakukan dan outcome yang dihasilkannya. Strategi penghidupan dijalankan dengan mengkombinasikan berbagai aset penghidupan, bukan hanya satu aset saja. Jadi, semakin banyak aset penghidupannya, semakin mudah suatu rumah tangga menentukan pilihan strategi penghidupan yang terbaik. Berbagai penelitian terdahulu (misalnya, White 1991, Sajogyo 2006) menunjukkan bahwa dengan banyakanya aset yang dimiliki, strategi penghidupan rumah tangga lapisan atas (kaya) menghasilkan akumulasi pendapatan yang kemudian digunakan untuk menambah atau mengakumulasi aset penghidupannya. Sementara itu, rumah tangga lapisan menengah dan bawah (miskin), dengan keterbatasan aset yang dimilikinya, hanya menghasilkan strategi konsolidasi dan survival (bertahan hidup). Lapisan sosial Menurut informasi yang diperoleh melalui diskusi yang menghadirkan pimpinan-pimpinan kelompok tani, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, tokoh pemuda, petani pemilik, petani penggarap, dan buruh tani, masyarakat Desa Karangmulya terstratifikasi ke dalam tiga lapisan sosial, yaitu lapisan atas, lapisan menengah, dan lapisan bawah. Pemilikan modal alam berupa lahan sawah menjadi penentu lapisan sebuah rumah tangga. Semakin luas lahan sawah yang dimiliki, semakin tinggi lapisan sosial rumah tangga tersebut; tidak peduli apakah mereka punya pekerjaan atau penghidupan lain. Yang menarik, lapisan bawah distratifikasi lagi ke dalam tiga sub lapisan. Berikut adalah pelapisan sosial masyarakat Desa Karangmulya: 1. Lapisan atas merupakan rumah tangga yang memiliki luas lahan ≥ 1 ha atau 10,000 m. Jumlahnya mencapai 10 persen dari jumlah penduduk desa.
52
2. Lapisan menengah merupakan rumah tangga yang memiliki luas lahan 0.35 – 0.99 ha atau 3,500 – 9,900 m. Jumlahnya mencapai 30 persen dari jumlah penduduk desa. 3. Lapisan bawah. Jumlahnya mencapai 60 persen dari jumlah penduduk desa. Lapisan ini distratifikasi lagi menjadi tiga sub lapisan, yaitu a. Lapisan bawah pemilik lahan merupakan tumah tangga yang memiliki lahan (sempit) < 0,35 ha atau 3,500 m. Jumlahnya mencapai 20 persen dari jumlah penduduk desa. b. Lapisan bawah penggarap lahan orang lain merupakan rumah tangga yang tidak memiliki lahan. Jumlahnya mencapai 20 persen dari jumlah penduduk desa. c. Lapisan bawah buruh tani merupakan rumah tangga yang tidak memiliki lahan dan tidak menggarap sawah orang lain. Jumlahnya mencapai 20 persen dari jumlah penduduk desa. 5.1 Modal Sosial Modal sosial didefinisikan beragam oleh berbagai ahli. Fukuyama (1995, 1997, 1999, 2001) mendefiniskan modal sosial sebagai sebuah institusi sosial yang mampu meningkatkan hubungan kerja sama antar individu atau antar rumah tangga. Institusi yang dimaksud adalah nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma-norma yang menyusun modal sosial dapat berkisar dari norma timbal balik (norm of reciprocity) antara dua teman sampai ke yang lebih komplek, menggunakan doktrin agama/religi, seperti konfusiusisme. Hal ini harus terjadi instan dalam hubungan aktual manusia (norma timbal balik berpotensi terdapat pada semua orang). Fukuyama menyebutkan bahwa trust, networks, dan civil society sebagai nilai yang terasosiasi dengan modal sosial. Trust (kepercayaan) dibangun oleh kekerabatan, kolektivitas, etnisitas, dan keterampilan. Networks (jaringan) merupakan sebentuk modal sosial yang memiliki hubungan antar manusia melalui norma-norma dan nilai-nilai bersama. Ellis (2000) merujuk pengertian modal sosial yang disampaikan beberapa ahli, seperti Moser (1998), Scott (1976), Platteau (1991), Berry (1998), Putnam et al. (1989), Narayan and Pritchett (1999), dan Bebbington (1999) untuk menjelaskan modal sosial dalam kerangka penghidupan. Moser (1998) dalam Ellis (2000), misalnya, mendefiniskan modal sosial sebagai resiprositas yang berlaku antar rumah tangga di dalam sebuah komunitas yang didasari kepercayaan yang diperoleh dari ikatan sosial yang kuat. Resiprositas merupakan akar dari moral ekonomi dan asuransi/jaminan sosial masyarakat (Scott 1976, Platteau 1991 dalam Ellis 2000). Swift (1998) dalam Ellis (2000) menjelaskan modal sosial sebagai jaringan yang dibentuk dalam relasi antar rumah tangga, baik horisontal maupun vertikal. Putnam et al. (1993) dalam Ellis (2000) lebih menekankan modal sosial sebagai kelompok sosial horizontal yang membawa individu dan rumah tangga dalam masyarakat mencapai tujuan bersama, misalnya kelompok
53
tani. Dari hasil sintesisnya terhadap berbagai definisi, Ellis menyampaikan bahwa modal sosial adalah modal yang diperoleh rumah tangga dari relasi sosial, institusi sosial, dan organisasi sosial yang ada, berlaku, dan dijalankan di masyarakat. Definisi yang lebih operasional dijelaskan oleh Carney (1998) dan DFID (1999). Menurutnya, modal sosial dibangun melalui (1) networks and connectedness (jaringan dan ikatan sosial), baik vertikal (patron-klien) maupun horizontal (sambatan), misalnya dalam bentuk kerja sama dan gotong royong; (2) keanggotaan kelompok formal dan informal dengan aturan dan sanksi yang jelas dan dipengaruhi oleh sistem nilai dan norma; (3) relationship of trust, reciprocity, and exchanges (hubungan kepercayaan, resprositas, dan pertukaran) yang memfasilitasi kerja sama, mengurangi biaya transaksi, dan menjadi dasar terbentuknya jaminan sosial informal bagi rumah tangga lapisan miskin. Mereka menyebutkan modal sosial sebagai bentuk dari relasi sosial, insitusi sosial, dan organisasi sosial. Oleh karena itu, membahas modal sosial berarti membahas relasi sosial, insitusi sosial, dan organisasi sosial. Uraian sejarah Desa Karangmulya serta hasil pengamatan, diskusi, dan wawancara mendalam menunjukkan bahwa masyarakat Desa Karangmulya merupakan masyarakat agraris yang terbentuk sejak ratusan tahun yang lalu dengan ikatan kekerabatan yang sangat kuat. Mereka memandang dan menilai pertanian padi sawah sebagai budaya bukan sekedar budidaya. Sejarah perkembangan desa dan Indramayu secara keseluruhan menggambarkan dengan baik hal ini. Ki Banyak Wangi yang pertama kali bermukim di Karangmulya dan Arya Wiralodra bersama istrinya Nyi Dermayu yang dikenal sebagai pendiri Indramayu sudah mengajarkan nilai-nilai ini. Di samping mengajarkan teknik budidaya padi, mereka juga mengajarkan nilai-nilai budaya dalam setiap tahapan proses budidaya padi. Bagi mereka, padi bukan hanya sekedar dinilai sebagi biji tanaman yang mampu membuat mereka kenyang dan tetap hidup. Bagi mereka, padi adalah wujud “sang pencipta” yang datang ke bumi untuk memberikan manfaat bagi manusia. Padi adalah wujud Dewi Sri-sang hyang yang memberi makan bagi manusia. Padi akan tumbuh dengan subur dan memberikan hasil yang baik ketika dipelihara dan diperlakukan dengan baik. Sebagai wujud sang hyang, maka semua orang di desa berhak mendapatkan padi. Dengan ikatan kekerabatan, cara pandang, dan sistem nilai tersebut mereka menjalankan hubungan dan interaksi sosial sesama anggota masyarakat dengan prinsip resiprositas dan prinsip pertukaran yang cukup kuat. Hal ini semakin diperkuat dengan kerentanan lingkungan yang cukup tinggi. Ketersediaan air yang terbatas membuat lahan-lahan sawah hanya mampu ditanami dengan optimal hanya sekali dalam setahun. Upaya menanam di musim kedua, seringkali mengalami kegagalan karena kekeringan. Kegiatan menanam di musim hujan pun tidak lepas dari ancaman banjir dan serangan hama-penyakit tanaman. Data-data sebelumnya menunjukkan masyarakat Desa Karangmulya seringkali menghadapi kenyataan penurunan hasil panen disebabkan banjir dan 54
ledakan hama-penyakit tanaman. Permasalahan ini membuat mereka mempunyai rasionalitas “utamakan selamat”. Di awal-awal musim hujan, misalnya, mereka harus melakukan strategi “geleduk cengkuk”, yaitu begitu ada geleduk (geledek) mereka harus segera mengolah lahan untuk musim tanam pertama. Kemudian, apabila ingin menanam di musim tanam kedua, mereka harus melakukan strategi “culik tanam”, yaitu membuat persemaian ketika padi di musim pertama masih menguning dan belum dipanen. Kedua strategi ini dilakukan agar padi-padi mereka masih bisa diairi dengan cukup. Lambat sedikit mengolah lahan di awal musim pertama akan menghilangkan kesempatan tanam untuk musim kedua. Lambat sedikit mempersiapkan persemaian untuk musim kedua akan mengancam keberlangungan hidup tanaman padi karena menjelang akhir musim tanam kedua, biasanya pasokan air irigasi sudah tidak ada lagi. Mereka juga harus menanam dengan serentak untuk menghindari ledakan serangan hama-penyakit. Lahan sawah yang tidak ditanam secara serentak (mengikuti sawah-sawa lain) menjadi sasaran empuk tikus dan hama-penyakit lainnya. Bisa dibayangkan, lahan-lahan sawah yang proporsinya mencapai 85 persen dari luas wilayah desa pada saat bersamaan membutuhkan tenaga kerja atau buruh tani yang jumlahnya tidak sedikit. Pada kondisi seperti ini, rumah tangga lapisan atas sangat membutuhkan banyak tenaga kerja dari rumah tangga lapisan bawah. Adanya buruh tani yang bekerja di sawahnya menjadi “juru selamat” yang berhasil menyelamatkan sawahnya sehingga bisa ditanam dan diambil hasil panennya. Di sisi lainnya, para buruh tani dari lapisan bawah yang tidak berlahan memang sangat membutuhkan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan. Lebih dari itu, para buruh tani juga menginginkan kehidupannya tetap berjalan sepanjang tahun, bukan hanya sekedar dapat uang dari bekerja di sawah ketika para pemilik lahan membutuhkannya. Mereka membutuhkan “juru selamat” yang membuat perut mereka tetap kenyang, anak-anak mereka bisa bersekolah, ada yang memperhatikan ketika sakit, dan tetap dapat mengikuti kegiatan-kegiatan sosial di masyarakat. Keinginan keduanya bertemu dalam ikatan vertikal yang disebut ikatan patron-klien. Ikatan asosiasional yang tidak hanya berhenti sesaat ketika transaksi pembayaran upah kerja selesai dilaksanakan. Ikatan patron-klien melekat ke dalam relung kehidupan kedua belah pihak. Ikatan kekerabatan, prinsip resiprositas dan pertukaran, perasan saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok terakumulasi dalam berbagai institusi yang menjadi pranata yang mengatur interaksi antar rumah tangga dari semua lapisan, berkaitan dengan strategi penghidupan (aktivitas produsksi) di pertanian maupun di luar pertanian. Institusi-institusi sosial produksi masih bisa ditemukan dengan mudah di Desa Karangmulya. Secara umum, institusi-institusi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu:
55
1. Institusi yang mengatur hubungan petani pemilik dan penggarap lahan sebagai manusia dengan sang pencipta, sebagai bentuk berdo’a dan bersyukur; dan juga dengan buruh tani dan tetangga sebagai bentuk resiprositas. 2. Institusi yang mengatur hubungan antar rumah tangga dari semua lapisan sosial dalam tahapan kegiatan budidaya padi. 3. Institusi yang mengatur keuangan dan pinjam meminjam. Tabel 5.1 Institusi dan organisasi sosial dalam sistem penghidupan masyarakat Institusi
Organisasi Organisasi formal informal 1. Hubungan petani pemilik dan penggarap dengan “sang pencipta” sebagai bentuk berdo’a dan bersyukur; dan juga dengan buruh tani dan tetangga sebagai bentuk resiprositas Sedekah bumi Berdo’a bersama dan selametan di Kelompok tani, Ulu-ulu, raksa tingkat desa sebelum memulai musim pemerintah desa bumi tanam pertama. Labu macul Berdo’a dan bersedekah di tingkat Patron-klien, rumah tangga sebelum mengolah lahan ketetanggaan sawah. Labu tandur Berdo’a dan bersedekah di tingkat Patron-klien, rumah tangga sebelum melakukan ketetanggaan tandur Mapag tamba Berdo’a bersama di tingkat desa untuk Kelompok tani, Ulu-ulu, raksa menolak bala dan melindungi tanaman pemerintah desa bumi dari serangan HPT Mbuburi Berdo’a di tingkat rumah tangga untuk Patron-klien, menolak bala dan melindungi tanaman ketetanggaan dari serangan HPT Mapag sri Berdo’a bersama dan selametan di Kelompok tani, Ulu-ulu, raksa tingkat desa menjelang panen raya pemerintah desa bumi musim pertama. Labu panen Berdo’a dan bersedekah di tingkat Patron-klien, rumah tangga menjelang panen. ketetanggaan 2. Hubungan antar lapisan sosial dalam tahapan kegiatan budidaya padi Geleduk Pengolahan lahan segera di awal musim Kelompok tani, Ulu-ulu, raksa cengkuk hujan, untuk musim tanam pertama. penyuluh bumi Culik tanam Mempercepat tanam untuk musim kedua Kelompok tani, Ulu-ulu, raksa dengan membuat persemaian sebelum penyuluh bumi panen musim pertama. Irigasi Pemeliharaan jaringan irigasi, Kelompok tani, Ulu-ulu, raksa penyediaan pasokan air, dan pemerintah bumi pengendalian banjir desa, mantri air Tandur Penanaman bibit padi dari persemaian Kelompok kerja ke lahan sawah tandur Bawon Sistem pemanenan padi yang Patron-klien, memberikan kesempatan kepada seluruh kekerabatan, masyarakat untuk ikut memanen dan ketetanggaan mendapatkan hasil 1/6 dari total hasil pasangan bawon panen. Ceblokan Tandur + penyiangan + pemanenan padi Patron-klien, dengan sistem bawon. kekerabatan, ketetanggaan pasangan bawon Remi Pengambilan padi dari sisa-sisa Kekerabatan,
56
Keterangan
perontokan padi Pengambilan padi yang tumbuh setelah panen. Sewa sawah Penyewaan lahan sawah dengan sistem Kelompok tani “yarnen” pembayaran setelah panen. Gadai sawah Pengalihan hak pengelolaan lahan sawah Pemerintahan sementara dengan cara memberikan desa uang gadai. 3. Institusi yang mengatur keuangan dan pinjam meminjam Pranata pinjam Aturan pinjam-meminjam modal usaha Kelompok tani, modal usaha tani untuk budidaya padi dan sayuran KUR Bank tani Pranata pinjam Aturan pinjam-meminjam modal kerja LPK Al-Amin modal kerja ke untuk persiapan ke Korea Korea Pranata pinjam Aturan pinjam-meminjam beras untuk beras kebutuhan konsumsi di masa paceklik Senggang
Arisan
Semacam tabungan dalam satu kelompok tertentu yang diperoleh anggotanya secara giliran.
ketetanggaan Kekerabatan, ketetanggaan Patron-klien
Patron-klien Patron-klien, kekerabatan Patron-klien, kekerabatan, ketetanggaan Kelompok arisan.
Sumber: Data primer penelitian 2014
Institusi sosial produksi yang dilakukan melalui berbagai organisasi sosial menjadi modal sosial yang memberikan akses terhadap berbagai aset penghidupan lainnya (modal alam, modal fisik, modal finansial, dan modal insani). Selain itu, merujuk pada pengertian modal sosial, peneliti juga memperhitungkan peran kelompok tani sebagai modal sosial dalam penghidupan di Desa Karangmulya. Kelompok tani yang dibentuk dan berkembang sejak puluhan tahun yang lalu telah menjadi modal sosial yang memberikan akses signifikan bagi peningkatan kapasitas aset penghidupannya. Pada tabel 5.2 di bawah ini disajikan mengenai keanggotan dan manfaat yang diperoleh dari kelompok tani. Dari tabel tersebut terlihat bahwa kepengurusan kelompok tani sebagian besar dipegang oleh rumah tangga lapisan atas. Hal ini menyebabkan berbagai bantuan, program, dan kegiatan lebih dahulu diperoleh lapisan atas. Bantuan benih, misalnya, dapat dinikmati oleh seluruh rumah tangga lapisan atas. Namun, untuk lapisan sosial di bawahnya, tidak semuanya bisa mendapatkan bantuan tersebut. Terlebih, rumah tangga lapisan bawah buruh tani. Karena tidak mempunyai atau memiliki lahan sawah, lapisan bawah buruh tani tidak bisa menjadi anggota kelompok tani. Padahal, merekalah lapisan yang paling rentan di desa. Persyaratan pemilikan dan penguasaan lahan yang ditentukan pemerintah sebagai syarat menjadi anggota kelompok tani telah membatasi akses mereka secara formal terhadap apapun yang berkaitan dengan kegiatan kelompok tani.
57
Tabel 5.2 Keanggotaan dan manfaat kelompok tani yang diperoleh rumah tangga (dalam persen) Modal sosial
Atas (n=8)
Keikutsertaan dalam institusi sosial produksi Kelompok tani Pengurus - Anggota - Tidak Manfaat kelompok tani - Modal usaha - Benih - Pupuk bersubsidi - Sewa alsintan - Penyuluhan - SLI - SLPHT/SLPTT - Informasi iklim dari media - Tanam serentak - Pengairan di musim gadu - Pemeliharaan saluran irigasi
Lapisan Sosial Bawah Bawah Menengah Pemilik Penggarap (n=24) (n=16) (n=16)
Bawah Buruh (n=16)
100
100
100
100
100
50 50 0
11.1 83.3 5.6
16.7 75.0 8.3
10 80 10
100
40 100 100 100 100 40 40 40 100 20 20
29.4 72.2 94.4 83.3 72.2 16.7 16.7 16.7 77.8 16.7 16.7
0 63.6 90.9 90.9 27.3 9.1 9.1 0 81.8 0 0
10 40 80 60 40 20 10 10 90 10 10
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
Namun, meskipun demikian, beberapa buruh tani yang diwawancara, mengemukakan bahwa mereka juga seringkali ikut dengan kesadaran sendiri atau diajak oleh pengurus untuk ikutan kegiatan-kegiatan kelompok di luar pemberian bantuan. Dalam kegiatan penyuluhan, SLI, SLPHT, misalnya, mereka seringkali ikut. Namun, ketika ada pembagian uang transport yang mensyaratkan laporan formal, mereka tidak boleh menerimanya. Menurut salah satu ketua kelompok tani, para ketua kelompok tani sebetulnya ingin melibatkan buruh tani, termasuk diberikan bantuan. Namun, hal ini berkaitan dengan aturan formal dari pemerintah, apalagi masalah pertanggungjawaban pemberian bantuan, baik dalam bentuk barang maupun uang. Menurutnya, gara-gara memberikan bantuan kepada bukan anggota kelompok tani yang tidak terdaftar, beberapa pengurus kelompok tani di sebuah kecamatan, akhirnya menjadi tersangka dan sekarang dipenjara. Atas kejadian itu, para ketua kelompok tani sekarang menjadi lebih berhati-hati. Menurutnya, jangan sampai niat baik, berujung petaka. Dengan kenyataan seperti ini, rumah tangga lapisan bawah buruh tani hanya bisa mengandalkan modal sosial dalam institusi sosial produksi yang dijalankan oleh organisasi informal, seperti sistem panen bawon yang memberi kesempatan kepada mereka ikut memanen dan mendapatkan padi sebanyak 1/6 dari padi yang berhasil dipanen. Untuk keselamatan penghidupannya, mereka membina hubungan baik dengan rumah tangga lapisan atas yang memiliki lahan sawah luas melalui ikatan patron-klien. Selain mengharapkan bawon dan upah
58
kerja mengelola sawahnya, mereka juga menggantungkan perut, kesehatan, dan pendidikan anggota rumah tangganya pada sang patron. 5.2 Modal Alam Sesuai dengan karakteristik wilayahnya yang merupakan desa persawahan, aset atau modal alam yang terpenting adalah lahan sawah dan air irigasi untuk mengairi sawah. Hal ini juga dipengaruhi oleh suprastruktur sosial (sistem nilai dan cara pandang) masyarakat Desa Karangmulya yang menilai dan memandang kegiatatan pertanian padi sawah bukan hanya sebagai budi daya, namun juga sebagai budaya (bisa dilihat banyaknya institusi tradisi-budaya dalam kegiatan padi sawah pada Tabel 5.1). Suprastruktur sosial inilah yang kemudian menjadikan kepemilikan lahan sawah menjadi penentu struktur sosial (lapisan sosial) masyarakat. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, semakin luas lahan sawah yang dimiliki, semakin tinggi lapisan sosial sebuah rumah tangga. Dalam tabel 5.3 dapat dilihat setiap rumah tangga lapisan atas memiliki lahan sawah ratarata 25,869 m2, rumah tangga lapisan menengah 8,350 m2, rumah tangga lapisan bawah pemilik 2,689 m2, dan rumah tangga lapisan bawah penggarap 0 m2. Yang menarik adalah ada satu rumah tangga yang saat ini tercatat sebagai rumah tangga lapisan bawah buruh tani (rumah tangga tidak berlahan) ternyata pada waktu disurvei menyebutkan bahwa sebetulnya masih memiliki lahan sawah sebanyak 7,000 m2, namun saat ini masih digadaikan ke rumah tangga lain. Transaksi gadai dilakukan sudah cukup lama sehingga masyarakat desa menyangka rumah tangga tersebut sudah tidak mempunyai lahan sawah lagi dan langsung dikategorikan sebagai rumah tangga lapisan bawah buruh tani. Padahal, ketika lahan sawahnya belum digadaikan, masyarakat memandang rumah tangga tersebut sebagai lapisan menengah. Tabel 5.3 Aset lahan sawah yang dimiliki dan diakses rumah tangga Lahan sawah
Atas (n=8)
Rata-rata Luas Lahan - Lahan milik sendiri (m2) - Lahan milik orang lain (m2) - Total lahan (m2) Pengairan - Kecukupan pasokan irigasi musim rendeng (%) - Kecukupan pasokan irigasi musim gadu (%) - Air dalam tanah sawah bisa dipantek dan dipakai (%) Kemudahan dijangkau - Dapat dijangkau dg mobil (%) - Dapat dijangkau dg motor (%)
Lapisan Sosial Bawah Bawah Menengah Pemilik Penggarap (n=24) (n=16) (n=16)
Bawah Buruh (n=16)
25,869 2,188 28,056
8,350 1,871 10,221
2,689 1,831 4,521
0 6,213 6,213
438 0 438
100
100
100
90.9
-
0
0
0
0
-
16.7
22.2
7.7
8.3
-
16.7 50.0
5.6 72.2
0 83.3
10 60
-
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
59
Fakta sosial ini semakin menunjukkan bahwa luas kepemilikan lahan sangat menjadi penentu posisi rumah tangga dalam lapisan sosial. Sebaliknya, bagi rumah tangga lapisan bawah buruh tani (tidak berlahan) bisa naik kelas (mobilisasi sosial) dengan segera ketika mereka mampu memiliki lahan sawah. Pada Tabel 5.4 terlihat bahwa 12.5 persen rumah tangga lapisan atas, 12.5 persen rumah tangga lapisan menengah, dan 6.7 persen rumah tangga bawah pemilik dipastikan rumah tangga-rumah tangga yang mengalami kenaikan kelas (mobilisasi sosial). Ini terlihat dari asal lahan sawah mereka yang seluruhnya diperoleh dengan cara membeli lahan sawah orang lain. Begitu pun dengan sebagian rumah tangga yang lahan sawahnya sebagian besar diperoleh dengan cara membeli lahan sawah orang lain merupakan rumah tangga yang berusaha meningkatkan status sosialnya. Tabel 5.4 Keterangan asal lahan sawah yang dimiliki (dalam persen) Asal lahan sawah yang dimiliki Seluruhnya beli Sebagian besar beli Sebagian besar warisan Seluruhnya warisan
Atas (n=8) 12.5 37.5 12.5 37.5
Lapisan Sosial Bawah Bawah Menengah Pemilik Penggarap (n=24) (n=16) (n=16) 12.5 6.7 0 4.2 0 0 37.5 6.7 0 45.8 86.7 0
Bawah Buruh (n=16) 0 0 0 100
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
Meskipun semua rumah tangga ingin memiliki lahan sawah, namun dengan harga yang menurut mereka cukup mahal (Rp 250 juta per bahu), tidak semuanya sanggup membeli. Selain itu, banyak rumah tangga yang tidak mau menjual lahan sawahnya. Oleh karena itu, bagi mereka yang tidak sanggup membeli atau punya uang, namun tidak ada lahan yang mau dijual, mereka bisa menguasai/menggarap lahan-lahan sawah milik orang lain melalui institusi sewa dan gadai (lihat Tabel 5.2 dan 5.3). Penguasaan lahan sawah orang lain ini ternyata dilakukan oleh semua lapisan rumah tangga. Bahkan, bagi Rumah tangga lapisan bawah penggarap, semua lahan yang digarapnya adalah lahan milik orang lain. Selain itu, hampir dari setengah luas lahan yang dikuasai dan digarap rumah tangga lapisan bawah pemilik adalah lahan milik orang lain. Harga pasaran (normal) untuk sewa lahan adalah 2 ton padi per bahu per tahun (dibayar dengan padi atau dikonversi ke dalam uang sesuai harga padi saat itu: 7-8 juta). Harga tersebut jauh lebih murah dari harga sewa lahan sawah irigasi teknis di kecamatan tetangga (Kecamatan Bongas) yang mencapai Rp 20 juta per tahun (harus dibayar dengan uang di muka). Selain murah, sebagian besar perjanjian sewa lahan di Desa Karangmulya dilakukan dengan sistem sewa “yarnen”—dibayar setelah panen. Hal ini memberi kesempatan kepada rumah tangga lapisan bawah untuk bisa menggarap lahan sawah. Modal sosial yang kuat yang dipengaruhi oleh prinsip resiprositas dan pertukaran juga memberikan
60
kemudahan apabila terjadi gagal panen akibat kekeringan, banjir, dan serangan HPT. Sementara itu, untuk gadai, rumah tangga yang mau menggadai harus memberikan uang “pinjaman” Rp 60 juta untuk dua tahun. Transaksi atau perjanjian gadai biasanya dilakukan secara tertulis serta disaksikan dan dicatat aparat pemerintahan desa. Setelah dua tahun, mereka bisa mengakhiri atau melanjutkan perjanjian gadai. Berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam, uang gadai biasanya tidak dikenakan bunga. Gambaran mengenai hal ini dapat dilihat pada tabel 5.5 di bawah ini. Tabel 5.5 Keterangan akses yang dimiliki rumah tangga terhadap lahan sawah milik orang lain Akses terhadap lahan sawah milik orang lain Gadai (m2) Sewa (m2) - Pembayaran sewa setelah panen (%) - Menunda pembayaran sewa apabila gagal panen (%)
Atas (n=8) 438 1,750
Lapisan Sosial Bawah Bawah Menengah Pemilik Penggarap (n=24) (n=16) (n=16) 354 0 131 1,517 1,831 6,081
Bawah Buruh (n=16) 0 0
66.7
94.1
100
100
0
83.4
73.3
61.5
90.9
0
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
Pada Tabel 5.5 di atas juga terlihat tidak adanya satupun penguasan lahan milik orang lain yang dilakukan melalui institusi bagi hasil. Rupanya dengan kerentanan lingkungan yang tinggi, pemilik lahan dan penggarap lebih sepakat menggunakan institusi sewa “yarnen” dan gadai. Kedua institusi ini dianggap mengurangi risiko untuk kedua belah pihak. Dengan sistem sewa “yarnen”, rumah tangga pemilik lahan yang menyewakan lahannya pasti akan mendapatkan sejumlah hasil tertentu dan rumah tangga penyewa lahan dapat membayar sewa lahan setelah panen dengan jumlah yang pasti. 4.3 Modal Fisik Modal fisik terdiri dari dua kategori, yaitu (1) infrastruktur fisik dasar yang dapat memenuhi kebutuhan dasar dan menjadikan rumah tangga lebih produktif dan (2) benda dan peralatan yang dapat digunakan rumah tangga melakukan produksi (aset produktif) atau meningkatkan produktivitas kerja. Beberapa infrastruktur dasar yang dimakusd adalah bangunan rumah tinggal, pasokan air bersih, sanitasi, listrtik, dan energi bersih. Sementara itu, aset produktif bisa dicontohkan oleh gudang atau bangunan rumah yang digunakan untuk menyimpan hasil panen atau dijadikan tempat usaha; alat dan mesin yang digunakan langsung dalam aktivitas produksi (traktor, sprayer, trasher); kendaraan yang digunakan untuk aktivitas produksi atau menunjang aktivitas kerja (mobil, sepeda motor, sepeda); media elektronik yang digunakan untuk komunikasi dan mendapatkan informasi yang dapat meningkatkan produktivitas usaha dan kineja
61
usaha (HP, komputer/laptop, televisi); semua benda ataupun infrastruktur yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan kinerja rumah tangga. Secara umum, kondisi rumah-rumah di Desa Karangmulya adalah rumah permanen dan setengah permanen (lihat Tabel 5.6). Semua rumah sudah beratapkan genteng dan hampirnya semuanya berdinding dari tembok semen. Yang membedakan adalah luas dan jenis lantai. Rata-rata luas lantai rumah lapisan atas mencapai 94.2 m2 dengan sebagian besar berlantai keramik, dua kali lipat dari luas lantai rumah lapisan bawah yang sebagian besar berlantai bukan keramik. Dari status kepemilikan, rumah-rumah yang ditempati saat ini sebagian besar adalah rumah milik sendiri. Bahkan, untuk rumah tangga lapisan atas dan menengah, semuanya adalah rumah milik sendiri. Beberapa rumah tangga lapisan bawah, baik pemilik, penggarap, maupun buruh, memang masih ada yang menempati rumah bukan miliknya. Namun, semuanya ditempati dengan tidak dipungut bayaran. Mereka diberikan akses untuk menempati rumah-rumah tersebut dengan gratis atas dasar ikatan kekerabatan dan patron-klien. Untuk akses air bersih, semua lapisan sosial belum ada yang bisa dilayani air bersih dari PDAM (perusahaan daerah air minum). Padahal, kualitas air di desa tidak begitu baik. Dekatnya jarak dengan pantai menyebabkan air tanah berasa agak asin (payau). Namun, karena tidak ada plihan air PDAM, untuk keperluan memasak, mereka menggunakan air tanah (air sumur) yang sebagian besar diambil dengan cara dipompa. Sebagian kecil, rumah tangga lapisan atas ada juga yang menggunakan air minum isi ulang untuk keperluan memasak. Baru kemudian, untuk keperluan minum, sebagian besar menggunakan air minum isi ulang dan air minum dalam kemasan. Untuk jamban (tempat buang air), belum semua lapisan memilikinya sendiri. Hanya rumah tangga lapisan atas yang semuanya memiliki jamban sendiri. Sebagian kecil rumah tangga lapisan menengah dan bawah masih ada yang belum memiliki jamban sendiri. Biasanya mereka membangun jamban bersama untuk dua atau tiga rumah yang saling berdekatan. Untuk listrik, semua rumah yang ditempati sudah diterangi dan dapat menggunakan listrik. Namun, beberapa rumah tangga lapisan bawah masih menggunakan sambungan listrik dari tetangga yang lebih kaya atau rumah tangga yang sama-sama lapisan bawah. Rumah-rumah yang mengambil aliran listrik dari tetangganya tersebut kemudian ikut membayar tagihan listrik dengan proporsional. Namun beberapa rumah tangga lapisan kaya, dengan alasan ikatan patron-klien dan kekerabatan, tidak melibatkan rumah tangga bawah yang dialiri listrik dalam pembayaran. Selain nilainya tidak begitu besar, aliran listrik gratis juga bagian dari resiprositas yang diberikan kepada klien dan kerabatnya. Untuk penggunaan bahan bakar memasak, semuanya sudah bisa menggunakan kompor gas berbahan bakar LPG. Hal ini disebabkan adanya program konversi minyak tanah ke gas yang dilakukan pemerintah beberapa tahun 62
lalu. Namun demikian, selain menggunakan LPG, beberapa rumah tangga lapisan menengah dan bawah ada juga yang mengkombinasikannya dengan tungku kayu bakar. Masih adanya kayu bakar yang bisa dipungut dari ranting-ranting pohon yang kering menjadi alasan masih digunakannya tungku kayu bakar. Untuk aset-aset yang bergerak, tingkat (jumlah) kepemilikannya cukup beragam. Beberapa rumah tangga memang menjadikan barang-barang tersebut sebagai aset produktif yang menghasilkan pendapatan, seperti traktor dan mobil pik-up yang disewakan kepada petani lain, sepeda motor yang digunakan untuk mengojek, serta lemari es untuk menjual es batu dan minuman dingin. Namun, sebagian lainnya hanya menggunakannya untuk meningkatkan produktivitas strategi penghidupannya. Dengan mempunyai sepeda motor, rumah tangga tersebut menjadi lebih mudah dalam mengangkut input produksi dan hasil panen, mempercepat mobilitas ke lahan sawah maupun tempat bekerja, dan memperluas jangkauan tempat melakukan strategi penghidupan, misalnya bisa ikut panen di daerah yang tidak bisa dijangkau dengan hanya berjalan kaki. Begitu pun dengan TV, HP, dan laptop/komputer yang digunakan oleh beberapa rumah tangga untuk mendapatkan informasi terkait cuaca dan pemasaran hasil panen. Beberapa jenis aset yang harganya cukup mahal dan tidak semuanya memerlukan, seperti mobil dan laptop/komputer, hanya dimiliki oleh sebagian kecil rumah tangga saja. Namun, untuk aset yang bisa dijangkau dan memang sangat diperlukan, seperti sepeda motor dan HP, hampir semua rumah tangga dari semua lapisan memilikinya. Yang membedakan adalah jumlah dan kualitasnya. Setiap rumah tangga lapisan atas, misalnya, mempunyai motor rata-rata sebanyak 2.5 buah dan HP 3 buah. Sedangkan, setiap rumah tangga lapisan bawah buruh, mempunyai rata-rata sepeda motor sebanyak 0.9 buah dan HP 1.6 buah. Bagi rumah tangga yang tidak memiliki aset-aset tersebut bisa meminjam aset-aset tersebut dengan sistem sewa maupun gratis. Mobil pik-up milik rumah tangga A (lapisan menengah), misalnya, bisa disewa rumah tangga lain yang memerlukannya. Mobil A tersebut memang sengaja dibeli dari tabungan hasil bekerja di Korea untuk diusahakan (sewa). Namun, mobil pik-up milik rumah tangga B (lapisan atas) bisa dipinjam siapa pun untuk keperluan sosial (misalnya, mengantar orang sakit ke rumah sakit) dengan gratis. Mobil B tersebut memang sengaja disiapkan untuk keperluan sosial masyarakat desa oleh pemiliknya yang merupakan salah satu orang paling kaya di desa. Begitu pun dengan HP. Dulu pada waktu HP masih mahal dan belum semua orang memiliki seperti ini, rumah tangga kaya yang memiliki HP menjadi tumpuan (perantara) komunikasi para rumah tangga dengan anggotanya yang bekerja di luar desa atau luar negeri.
63
Tabel 5.6 Modal fisik yang dimiliki rumah tangga Modal fisik
Atas (n=8)
Lapisan Sosial Bawah Bawah Menengah Pemilik Penggarap (n=24) (n=16) (n=16)
Bawah Buruh (n=16)
Bangunan rumah tinggal - Milik sendiri (%) - Atap genteng (%) - Dinding tembok (%) - Lantai keramik (m2) - Luas lantai (m2)
100 100 100 85.7 94.2
100 100 100 81 71
93.3 100 100 40 50.3
85.7 100 92.9 28.6 58.2
81.8 100 100 18.8 48.3
Air minum (%) - Air kemasan/ulang (%) - Air sumur (%)
57.1 42.9
75 25
60 40
50 50
63.6 36.4
14.3 85.7 100 100 100
0 100 95.2 100 85.7
0 100 93.3 80 78.6
0 100 85.7 78.6 85.7
0 100 81.8 81.8 72.7
0.5 0.75 0.125 0.29 0.29 2.57 1.4 1 3 1.57
0.125 0.625 0.21 0.1 0.56 1.26 1.1 0.2 1.3 1
0 0.625 0 0 0.4 1.27 0.8 0.07 0.8 0.27
0.0625 0.375 0 0 0.66 0.83 0.92 0.09 1.5 0.33
0 0 0 0 0.36 0.9 0.73 0 1.6 0.45
Air memasak (%) - Air kemasan/ulang (%) - Air sumur (%) Jamban sendiri (%) PLN meteran (%) LPG memasak (%) Jumlah Aset bergerak - Traktor (no.) - Sprayer (no.) - Trasher (no.) - Mobil (no.) - Sepeda (no.) - Sepeda motor (no.) - TV (no.) - Komputer/laptop (no.) - HP (no.) - Lemari es (no.)
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
4.4 Modal Finansial Modal finansial merupakan sumber daya finansial yang dapat digunakan rumah tangga untuk melaksanakan strateg penghidupan dan mencapai tujuan penghidupannya. Modal finansial mencakup (1) ketersediaan uang atau barang yang dapat dicairkan dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan penghidupan, seperti simpanan uang di rumah, tabungan di bank maupun di perorangan, emas perhiasan, hewan ternak yang bisa dijual kapan saja dengan cepat, serta pinjaman yang dapat diperoleh dengan cepat; dan (2) aliran uang yang rutin diterima, seperti remitans dari luar dan dalam negeri. Pada Tabel 5.7 terlihat untuk memenuhi kebutuhan modal usaha tani (aktivitas bertani), sebagian besar rumah tangga lapisan atas menggunakan modal sendiri, sebagian kecil lainnya menggunakan pinjaman bank dan kombinasi dari keduanya, dan tidak menggunakan uang pinjaman dari perseorangan. Setengah tumah tangga lapisan atas pernah meminjamkan uang kepada rumah tangga lainnya. Sementara itu, rumah tangga menengah sebagian besar menggunakan 64
modalnya sendiri, disusul pinjaman dari perseorangan, pinjaman bank, dan kombinasinya. Sedangkan, rumah tangga bawah, baik pemilik maupun penggarap, sangat mengandalkan pinjaman dari perseorangan. Modal sendiri dan pinjaman dari bank hanya digunakan oleh sebagian kecil rumah tangga bawah. Hal ini menandakan bahwa pinjaman dari perseorangan (rumah tangga lain) memberikan peranan besar terhadap penghidupan masyarakat pedesaan, bahkan jauh lebih besar dari pinjaman bank. Bahkan, untuk rumah tangga lapisan bawah buruh yang tidak mempunyai lahan garapan pun, semuanya pernah meminjam uang kepada perseorangan. Banyaknya persyaratan dan rumitnya proses kredit bank menyebabkan masyarakat desa lebih memilih meminjam dari perseorangan, terkecuali rumah tangga atas. Adanya persyaratan agunan menjadi perbedaan mendasar atas akses yang dimiliki oleh rumah tangga atas dengan rumah tangga bawah. Dengan kepemilikan lahan sawah yang luas, rumah tangga atas bisa dengan mudah meminjam di bank. Namun, sedikitnya luas lahan yang dimiliki atau bahkan tidak ada, menjadikan rumah tangga lapisan bawah sangat sulit mendapatkan pinjaman dari bank. Untunglah, masih kuatnya ikatan kekerabatan, persaudaraan antar tetangga, dan patron-klien mampu menjadi solusi susahnya akses rumah tangga bawah terhadap pinjaman bank. Di desa, jenis pinjaman mempunyai pranata atau aturan yang berbeda. Pinjaman yang sifatnya untuk keperluan kesehatan, misalnya, biasanya tidak dipungut bunga. Namun, untuk pinjaman yang akan digunakan untuk keperluan usaha, biasanya dikenakan bunga (uang lebih yang harus dibayarkan). Untuk usaha tani padi, misalnya, dikenakan dua aturan, yaitu (1) bunga 30 persen untuk pinjaman selama 2-3 bulan dan (2) bunga 50 persen untuk pinjaman selama 5-6 bulan. Pinjaman dengan skema pertama diberikan setelah pemupukan dan dibayar setelah panen. Pinjaman dengan skema kedua diberikan sebelum tanam dan dibayar setelah panen. Apabila gagal panen karena kekeringan, banjir, atau serangan HPT, sebagian rumah tangga pemberi pinjaman masih memberikan keringanan untuk menunda pembayaran, baik dengan tambahan bunga maupun tanpa tambahan bunga. Namun, ada juga pinjaman modal usaha yang diberikan tanpa bunga. Biasanya, skema tanpa bunga dilakukan oleh rumah tangga atas teradap rumah tangga bawah yang menggarap lahan sawahnya. Pinjaman tanpa bunga juga (seolah-olah) diberikan oleh rumah tangga yang menjadi tengkulak sayuran kepada rumah tangga penanam sayuran. Pranata atau aturan yang berbeda juga berlaku bagi pinjaman yang digunakan untuk modal persiapan dan keberangkatan ke Korea. Pinjaman yang diberikan paling sedikit Rp 18.5 juta dan paling banyak Rp 25 juta. Rp 18.5 juta merupakan biaya resmi yang harus dikeluarkan seorang migran Korea selama pelatihan, seleksi, sampai keberangkatan ke Korea. Karena harus mengeluarkan biaya untuk selametan dan juga bekal selama bulan pertama di Korea biasanya jumlah yang dipinjam lebih dari Rp 18.5 juta. Jumlahnya yang sangat besar,
65
berisiko tinggi, dan jangka waktu pembayaran yang cukup lama (20-30 bulan) menjadikan pinjaman ini dikenakan bunga sangat tinggi, yaitu 100 persen. Di desa sendiri tercatat ada dua orang yang memang dikenal sebagai “donatur” untuk “modal ke Korea”. Keduanya berada di satu perusahaan yang sama dan menjadi bagian dari responden berstatus lapisan atas. Tabel 5.7 Modal finansial yang dimiliki dan dapat diakses rumah tangga (dalam persen) Modal Finansial
Atas (n=8)
Modal usaha tani padi sawah - Modal sendiri - Pinjam bank - Pinjaman dari perseorangan - Modal sendiri & pinjam bank - Pinjaman bank & perseorangan - Modal sendiri & pinjam perseorangan Pernah meminjam/meminjamkan kepada perorangan Pernah menolak/ditolak pinjaman perorangan Pernah mengalami kesulitan ketika mengajukan pinjaman bank Tabungan dan investasi - Tabungan uang di rumah - Tabungan uang di bank - Tabungan uang di perorangan - Emas dan perhiasan - Hewan ternak Aliran uang dari remitans - Remitans dari luar negeri - Remitans dari dalam negeri
Lapisan Sosial Bawah Bawah Menengah Pemilik Penggarap (n=24) (n=16) (n=16)
Bawah Buruh (n=16)
60 20 0 20 0
42.9 19 23.8 0 14.3
8.3 16.7 66.7 0 0
16.7 25 50 0 0
0 0 0 0 0
0
0
8.3
8.3
0
50
72.7
83.3
81.8
100
33.3
25
18.2
45.5
100
20
15.4
12.5
0
0
50 50 33.3 83.3 50
33.3 17.6 11.8 35.4 5.9
9.1 18.2 9.1 18.2 27.3
10 0 0 11.1 11.1
0 0 0 0 0
25 0
12.5 4.2
6.25 18.75
12.5 12.5
37.5 6.25
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
Menurut “donatur” tersebut, dasar pertimbangan yang diberikan untuk memberikan pinjaman adalah prestasi calon migran dan ikatan sosial antara dirinya dengan rumah tangga calon migran tersebut. Calon migran yang berhasil lolos tes dan dipastikan berangkat serta orang tuanya (rumah tangga secara keseluruhan) mempunyai ikatan yang baik, bisa kekerabatan, pertemanan, dan patron-klien merupakan syarat calon migran yang diberikan pinjaman modal. Salah satu donatur menceritakan bahwa sebelumnya dia memberikan pinjaman pada siapa pun, termasuk masyarakat luar desa dan luar kecamatan. Namun, ternyata anaknya (calon migran) bermasalah sehingga baru sebulan di Korea sudah dipulangkan ke Indonesia. Karena sistem pembayarannya adalah dicicil setiap bulan dari gaji yang diterima, maka donatur tersebut tidak pernah menerima cicilan pembayaran sedikit pun dari peminjam tersebut. Kejadian tersebut menjadi 66
pelajaran bagi donatur tersebut. Apalagi dalam pinjam meminjam perseorangan tidak ada agunan apapun yang dijaminkan. Kedua belah pihak hanya mengandalkan kepercayaan yang terbentuk dari ikatan-ikatan sosial yang terjalin. Meskipun terlihat seperti “rentenir”, namun bagi rumah tangga yang dipinjamkan skema pinjaman perseorangan yang dikenakan bunga merupakan jaminan sosial atas kelangsungan penghidupannya. Bagi mereka, selain beratnya persyaratan dan rumitnya proses, meminjam uang dari bank juga dikenakan bunga yang sama saja, bahkan ada yang lebih tinggi. Meminjam uang dari bank juga dianggap sangat berisiko dan merugikan apabila terjadi gagal panen. Pihak bank tidak mau mengerti dengan kondisi kegagalan panen. Bagi bank apabila telat membayar akan dikenakan denda bunga tambahan dan apabila tidak sanggup membayar agunan lahan sawahnya akan diambil alih. Hal ini jelas berbeda dengan perseorangan yang lebih fleksibel dan penuh rasa kekeluargaan. 5.5 Modal Insani (Sumber Daya Manusia) Di tingkat rumah tangga, modal insani atau sering juga disebut sebagai sumber daya manusia dapat dilihat dari jumlah (kuantitas) dan kualitas kepala ruamh tangga dan anggota rumah tangga. Dari segi jumlah (kuantitas), yang dilihat adalah ukuran rumah tangga (banyaknya seluruh anggota rumah tangga, termasuk kepala rumah tangga). Sedangkan, dari segi kualitas yang dilihat adalah keterampilan, pendidikan, dan kesehatan. Pada Tabel 5.8 dapat dilihat faktor ukuran dan umur, pendidikan formal, dan pelatihan. Dalam pertanyaan survei sebetulnya ditanyakan juga kondisi kesehatan kepala rumah tangga (KRT) dan juga anggota rumah tangga (ART), namun hasil survei tidak menunjukkan kondisi kesehatan yang signifikan yang menyebabkan anggota rumah tangga tersebut tidak bisa melakukan aktivitas penghidupan, misalnya sakit flu pada saaat wawancara. Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk tidak memunculkan hasil survei untuk faktor kesehatan. Dengan kata lain, semua rumah tangga memiliki kondisi kesehatan yang baik dan mampu untuk melakukan aktivitas-aktivitas penghidupan. Dari bagian ukuran rumah tangga terlihat bahwa kisaran rata-rata anggota rumah tangga di setiap lapisan tidak begitu berbeda, yaitu berjumlah 2.9 s.d. 3.9. Rumah tangga lapisan bawah justru memiliki jumlah anggota rumah tangga terkecil, yaitu 2.9 anggota per rumah tangga. Ini menggambarkan situasi yang menunjukkan pandangan masyarakat agraris pada umumnya yang beranggapan “banyak anak banyak rezeki” tidak lagi diyakini di Karangmulya. Ini juga menandakan keberhasilan program keluarga berencana (KB) di Karangmulya. Ini juga mengurangi beban yang harus diberi makan oleh setiap rumah tangga. Dengan jumlah ini, tekanan penduduk terhadap lahan pertanian menjadi berkurang. Namun, di sisi lain, kondisi seperti ini menjadi tanda bahwa setiap rumah tangga di desa tidak bisa lagi mengandalkan jumlah (kuantitas) anggota rumah tangganya untuk melakukan aktivitas penghidupan dan menghasilkan
67
pendapatan. Bahkan, bagi aktivitas pertanian padi sawah yang selama ini membutuhkan banyak tenaga kerja, terutama pada saat tandur dan panen, dalam jangka menengah dan jangka panjang akan kekurangan tenaga kerja. Kemudian, sex rasio yang menunjukkan 100 di Karangmulya menunjukkan bahwa rasio jumlah laki-laki dan perempuan yang ada di desa adalah sama. Namun begitu, rasio yang sedikit berbeda ditunjukkan oleh sex rasio lapisan menengah (80), yang artinya jumlah anggota perempuan lebih banyak; dan sex rasio lapisan bawah pemilik (140), yang artinya jumlah anggota laki-laki lebih banyak. Sex rasio lapisan menengah ternyata berbanding lurus dengan persentase KRT perempuan lapisan menengah yang memiki nilai lebih besar daripada lapisan lainnya dan juga kondisi masyarakat desa pada umumnya. Hasil survei menunjukkan rumah tangga KRT perempuan adalah rumah tangga janda. Menurut Freeman dan Ellis, biasanya rumah tangga dengan KRT perempuan lebih rentan terhadap permasalahan-permasalahan ekonomi dan berada di lapisan bawah. Namun, kondisi di Desa Karangmulya menunjukkan sebaliknya: mereka berada dalam lapisan menengah. Dari segi umur, dengan kategori usia produktif 15 – 64 tahun, kepala rumah tangga di semua lapisan berada pada kategori usia produktif. Bahkan, untuk lapisan bawah buruh, rata-rata umur kepala rumah tangganya adalah 48.5 persen. Dari segi kekuatan fisik, usia ini masih dianggap mampu untuk melakukan aktivitas pertanian dan berbagai aktivitas penghidupan lainnya. Untuk faktor pendidikan formal, setengahnya rumah tangga di Desa Karangmulya tidak tamat SD. Dengan kata lain, mereka mengenyam pendidikan formal < 6 tahun. Rendahnya pendidikan formal sangat berpengaruh pada aktivitas penghidupan yang dipilih, terutama aktivitas penghidupan yang mensyaratkan ijazah pendidikan formal. Bahkan, untuk lapisan menengah, bawah pemilik, dan bawah penggarap persentasenya lebih dari 50 persen. Kepala rumah tangga yang mampu menyelesaikan kuliah hanya ada pada lapisan menengah. Itupun persentasenya sangat kecil, yaitu hanya 4.3 persen, sisanya 56.5 persen tidak tamat SD, 17.4 persen tamat SLPT, dan 17.4 persen tamat SLTA. Meskipun tidak ada yang sampai ke jenjang kuliah, namun secara umum, pendidikan lapisan atas relatif lebih baik, yaitu sebanyak 37.5 persen tamat SLTA. Untuk pendidikan non formal, berbagai pelatihan yang dilakukan melalui kelompok tani, seperti penyuluhan rutin, sekolah lapang iklim (SLI), sekolah lapang pengendalian hama dan penyakit tanaman (SLPHT), dan informasi perubahan iklim melalu berbagai media, bisa menjadi tambahan pengetahuan untuk meningkatkan keterampilan rumah tangga dalam melakukan aktivitas bertani. Pada Tabel 5.8 terlihat KRT lapisan atas sangat mendominasi pelatihanpelatihan yang pernah ada di desa. Sebaliknya, rumah tangga lapisan bawah buruh tani tidak ada satu pun yang pernah terlibat. Seperti yang telah dibahas dalam bagian institusi di atas, rumah tangga yang bisa menjadi anggota kelompok tani adalah rumah tangga yang mempunyai lahan garapan, baik milik sendiri maupun 68
milik orang lain. Namun demikian, fakta sebenarnya sebagian KRT lapisan bawah buruh juga tetap mendapat pengetahuan dari berbagai pelatihan tersebut, baik sebagai peserta tidak resmi (di luar yang terdaftar resmi) maupun yang mendapat informasi dari KRT yang ikut (tepo seliro). Kondisi yang menggembirakan datang dari pendidikan anggota rumah tangga di luar KRT. Hasil survei menunjukkan semua anggota rumah tangga usia sekolah tidak ada satu pun yang tidak bersekolah. Bahkan, ada beberapa anggota rumah tangga lapisan atas yang sedang berkuliah. Tabel 5.8 Karakteristik sumber daya manusia rumah tangga Karakteristik Sumber Daya Manusia Ukuran dan Umur Banyaknya ART (no.) Sex Rasio ART (L:P) KRT Perempuan (%) Umur KRT (no.) Umur Total ART (no)
Pendidikan KRT (%) - Tidak tamat SD (%) - Tamat SD (%) - Tamat SLTP (%) - Tamat SLTA (%) - Tamat kuliah (%) Pendidikan ART (%) - Belum sekolah (%) - Tidak tamat SD (%) - Sedang SD (%) - Tamat SD (%) - Sedang SLTP (%) - Tamat SLTP (%) - Sedang SLTA (%) - Tamat SLTA (%) - Sedang kuliah (%) - Tamat kuliah (%) Pelatihan KRT - Penyuluhan (%) - SLI (%) - SLPHT/SLPTT (%) - Informasi iklim dari media (%)
Atas (n=10)
Lapisan Sosial Bawah Bawah Menengah Pemilik Penggarap (n=30) (n=20) (n=20)
Bawah Buruh (n=20)
DESA (n=60)
3.4 1.1 0.0 53.5 38.5
3.5 0.8 4.2 51.2 35.8
3.8 1.4 0.7 51.9 37.6
3.9 1.0 0.0 46.7 30.1
2.9 1.1 0.1 48.5 29.0
3.6 1.0 0.1 50.1 33.6
37.5 12.5 12.5 37.5 0.0
56.5 17.4 17.4 4.3 4.3
57.1 35.7 7.1 0.0 0.0
62.5 25.0 12.5 0.0 0.0
31.3 56.3 0.0 12.5 0.0
50.6 29.9 7.8 10.4 1.3
0.0 22.2 11.1 22.2 0.0 7.4 3.7 29.6 3.7 0.0
7.4 33.3 4.9 18.5 2.5 13.6 1.2 16.0 0.0 2.5
4.7 34.9 2.3 30.2 7.0 9.3 2.3 9.3 0.0 0.0
11.1 30.2 4.8 23.8 6.3 11.1 4.8 7.9 0.0 0.0
10.0 13.3 11.7 40.0 1.7 10.0 0.0 13.3 0.0 0.0
7.7 27.4 6.6 26.6 3.6 10.9 2.2 13.9 0.4 0.7
100 40 40
72.2 16.7 16.7
27.3 9.1 9.1
40 20 10
-
-
40
16.7
0
10
-
-
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
69
Ikhtisar Uraian di atas menunjukkan bahwa setiap rumah tangga dari berbagai lapisan sosial mempunyai kuantitas dan kualitas aset penghidupan yang berbedabeda. Seperti yang diilustrasikan oleh Gambar 5.1, rumah tangga lapisan atas mempunyai aset penghidupan yang terlengkap dan mendekati sempurna dibanding rumah tangga lapisan sosial lainnya. Bahkan, untuk kepemilikan modal alam yang terdiri dari luas lahan sawah yang dimiliki jumlahnya sangat timpang dibandingkan rumah tangga lainnya, seperti rumah tangga bawah penggarap dan buruh yang tidak memiliki modal alam sama sekali. Luas kepemilikan lahan sawah memang menjadi penentu lapisan/status sosial suatu rumah tangga. Semakin luas kepemilikannya, semakin tinggi lapisan sosialnya. Bagi masyarakat Desa Karangmulya, pelapisan sosial merupakan hal yang wajar dan memang seharusnya terjadi. Bagi mereka, setiap rumah tangga memang mempunyai kedudukan/status (struktur) dan fungsi masing-masing. Dengan perbedaan struktur dan fungsi yang dimilikinya, mereka dituntut harus bisa saling berbagi tugas/peran, kemampuan, dan sumber daya (aset) yang dimiliki oleh masing-masing rumah tangga. Norma dan etika moral inilah yang senantiasa ditanamkan oleh para orang tua kepada anak cucunya sejak desa ini bangun oleh Ki Banyak Wangi dan terus direproduksi oleh Bapak Tua Bar dan anak cucunya yang sekarang ini menjadi para orang tua tersebut (lihat bagian sejarah dalam Bab IV). Ikatan sosial masyarakat desa yang kuat dan sudah terbentuk sejak lama serta ditambah kondisi (konteks) ekologi yang sangat rentan, terutama terkait dengan sumber daya air menjadikan masyarakat terus mempertahankan nilai-nilai kekerabatan sosial, prinsip resiprositas, dan prinsip pertukaran. Ini pula yang menyebabkan modal sosial menjadi modal yang dimiliki oleh seluruh rumah tangga secara hampir merata. Modal sosial yang terlembagakan dalam institusi sosial produksi telah memberikan akses terhadap aset penghidupan yang tidak dimiliki. Berbagai institusi sosial produksi tersebut, setidaknya dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu (1) institusi yang mengatur hubungan rumah tangga petani sebagai manusia dengan tuhan (habluminallah), dengan buruh tani (habluminannas), dan dengan alam (habluminallam) melalui berbagai ritual tradisi budaya religi; (2) institusi yang mengatur hubungan antar rumah tangga dalam tahapan kegiatan budidaya padi; dan (3) institusi yang mengatur keuangan dan pinjam meminjam antar rumah tangga. Berbagai insitusi sosial produksi tersebut dijalankan secara terpisah maupun bersama-sama oleh organisasi asli (informal) yang sudah terbentuk sejak kelahirannya dan belakangan ada yang juga dijalankan bersama-sama oleh organsisasi modern (formal) yang dibentuk oleh pemerintah. Institusi penyediaan air irigasi, misalnya, diorganisasikan oleh ulu-ulu dan raksa bumi (organisasi asliinformal) kelompok tani, pemerintah desa, dan mantri air (organisasi modernformal). Berbagai institusi sosial tersebut juga mampu menghadirkan akses 70
terhadap aset penghidupan yang dibutuhkan rumah tangga tersebut. Institusi sewa sawah “yarnen” yang dilatarbelakangi oleh patron-klien (organisasi asli-informal) dan dicatat oleh kelompok tani (organisasi modern-formal) memberikan kesempatan kepada rumah tangga yang tidak mempunyai modal alam lahan sawah untuk bisa mengakses atau menggarap lahan sawah. Begitu pun, untuk akses terhadap aset penghidupan yang lainnya. M.Insani 5.0 4.0 3.0 2.0
M.Sosial
1.0
M.Alam
RT Atas RT Menengah RT B.Pemilik
0.0
RT B.Penggarap RT B.Buruh M.Finansial
M.Fisik
Gambar 5.1 Pentagon aset penghidupan rumah tangga setiap lapisan sosial tanpa akses yang diberikan modal sosial Sumber: Analsis data primer survei rumah tangga 2014
Oleh karena itu, meskipun secara umum rumah tangga lapisan atas memiliki aset penghidupan yang lebih banyak dari lapisan lainnya. Namun, asetaset penghidupan tersebut dapat diakses oleh rumah tangga lain yang lapisan sosialnya lebih berada di bawahnya. Begitu pun sebaliknya, rumah tangga lapisan atas bisa mengakses modal insani tenaga kerja untuk menggarap lahan, tandur, dan panen dari rumah tangga lapisan bawah melalui institusi tandur, bawon, dan lain-lain. Untuk akses terhadap pendidikan dan kesehatan, saat ini, sudah tidak menjadi masalah. Pembangunan infrastruktur sekolah-sekolah baru, baik formal (SD, SMP, SMA/SMK, perguruan tinggi) maupun formal (majelis taklim, madrasah diniyah, pesantren) di sekitar desa dan kebijakan wajib pendidikan sekolah dasar (SD-SMA) gratis telah memberi kesempatan kepada seluruh rumah tangga untuk mengakses pendidikan dengan baik. Pembangunan infrastruktur kesehatan dan adanya jaminan kesehatan nasional dan daerah juga sangat membantu akses semua rumah tangga terhadap kesehatan. Apalagi, di desa ini selalu tersedia mobilnya salah satu rumah tangga lapisan atas yang bisa digunakan kapan saja untuk keperluan sosial dengan gratis. Peran modal sosial dalam memberikan akses terhadap peningkatan aset penghidupan dapat dilihat pada Gambar 5.2. Pada gambar tersebut terlihat peran modal sosial sangat signifikan pada akses rumah tangga buruh penggarap terhadap
71
modal alam dan akses seluruh rumah tangga terhadap modal finansial. Modal sosial menjaga resiliensi seluruh rumah tangga, terutama rumah tangga bawah yang memiliki keterbatasan aset penghidupan yang lainnya. Meskipun begitu, rumah tangga atas merupakan rumah tangga yang mampu memanfaatkannya. Dengan modal sosial yang kuat dan melahirkan institusi sosial, rumah tangga lapisan atas mampu menyempurnakan aset penghidupannya M.Insani 5.0 4.0 3.0 2.0
M.Sosial
M.Alam
1.0
RT Atas RT Menengah RT B.Pemilik
0.0
RT B.Penggarap RT B.Buruh
M.Finansial
M.Fisik
Gambar 5.2 Pentagon aset penghidupan rumah tangga setiap lapisan sosial dengan akses yang diberikan modal sosial Sumber: Analsis data primer survei rumah tangga 2014
72
BAB VI ANALISIS STRATEGI PENGHIDUPAN DAN PENDAPATAN
Dalam kerangka penghidupan, berbagai aset penghidupan yang dimiliki atau berhasil diakses rumah tangga pedesaan dikombinasikan ke dalam tiga strategi penghidupan, yaitu pertanian (intensifikasi-ekstensifikas), diversifikasi penghidupan non-pertanian, dan migrasi (Scoones 1998, 2009). Menurut Ellis (2000), strategi penghidupan terdiri dari berbagai aktivitas penghidupan. Ini berarti dalam satu strategi penghidupan terdapat berbagai aktivitas penghidupan. Strategi diibaratkan sebagai “kategori” dan aktivitas sebagai “sub-kategori”. Ellis menyebutkan kerangka penghidupan yang disampaikan Scoones sebagai konfigurasi dari “aset-akses-aktivitas penghidupan”. Mengikuti kerangka penghidupan yang disampaikan oleh Scoones dan Ellis, bab ini akan menganalisis strategi penghidupan yang dijalankan rumah tangga dalam berbagai bentuk aktivitas penghidupan. Analisis didasarkan pada hasil analisis Bab V yang telah membahas aset penghidupan dan akses terhadap aset penghidupan yang dihadirkan oleh institusi dan organisasi sosial. Peran institusi dan organisasi sosial dalam membantu rumah tangga menjalankan aktvitas penghidupan ikut dianalisis dalam bab ini. Analisis dilakukan pada tingkat rumah tangga di semua tingkatan lapisan sosial. Semua aktivitas penghidupan yang dilakukan oleh semua anggota rumah tangga, termasuk kepala rumah tangga, ikut dianalisis. Oleh karena itu, bisa dipastikan hampir semua rumah tangga mempunyai aktivitas penghidupan lebih dari satu. 6.1 Strategi Penghidupan Rumah Tangga 6.1.1 Strategi Pertanian Sebagai masyarakat desa persawahan, seluruh rumah tangga di Desa Karangmulya memliki ketergantungan yang sangat tinggi dengan lahan sawah. Apalagi, seperti yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, masyarakat desa menilai dan memandang pertanian padi sawah bukan hanya sebagai budi daya, namun juga sebagai budaya. Namun, keterbatasan air irigasi dan variabilitas iklim menyebabkan mereka tidak bisa menanam padi sepanjang tahun. Ancaman kekeringan, banjir, dan serangan HPT membuat mereka dalam aturan resmi hanya bisa menanam padi dengan optimal satu kali saja di musim hujan atau disebut dengan musim tanam rendeng. Hal ini dibenarkan oleh pejabat pemerintahan Kabupaten Indramayu di dinas yang berwenang mengurusi pertanian dan dinas yang berwenang mengurusi pengairan. Namun, keterbatasan keadaan dan kerentanan ekologi yang tinggi ini tidak membuat masyarakat desa menyerah. Mereka melakukan strategi intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian melalui berbagai aktivitas penghidupan Dari 73
hasil survei yang ditampilkan dalam Tabel 6.1 dapat dilihat bahwa strategi pertanian dilakukan dalam berbagai aktivitas penghidupan yang dikategorikan ke dalam lima sub-sektor aktivitas penghidupan, yaitu (1) tanaman padi, (2) tanaman hortikultura, (3) peternakan, (4) jasa pertanian, (5) pemungutan hasil alam. Kategori ini mengacu pada Sensus Pertanian 2013 yang dilakukan oleh BPS. Subsektor Tanaman Padi Masih Menjadi Pilihan Utama Kategori (sub-sektor) tanaman padi masih menjadi aktivitas penghidupan terbanyak yang dilakukan oleh seluruh rumah tangga. Usaha tani atau budidaya padi sawah dilakukan oleh semua rumah tangga lapisan atas, bawah pemilik, dan bawah penggarap. Untuk rumah tangga menengah, ada satu rumah tangga yang memang sengaja menyewakan lahan sawahnya kepada orang lain karena fokus menjalankan usaha dagangnya. Selain mengarap lahannya sendiri, sebagian kecil rumah tangga atas dan menengah juga menyewakan lahannya rumah tangga lain melalui institusi sosial sewa “yarnen”. Hal ini memberikan kesempatan kepada rumah tangga yang tidak mempunyai lahan sawah, seperti rumah tangga bawah penggarap untuk melakukan usaha tani padi sawah. Seperti yang bisa dilihat pada Tabel 6.1, seluruh (100 persen), rumah tangga bawah penggarap yang tidak punya lahan bisa melakukan usaha tani di lahan milik orang lain. Sebagai informasi, sewa lahan sawah di Desa Karangmulya tidak dibayar dengan uang, namun dibayar dengan padi. Setiap tahunnya, rumah tangga yang menyewa lahan sawah harus memberikan padi sebanyak 2 ton (2,000 kg) per bahu lahan yang disewanya. Selain dengan sewa, ekstensifikasi lahan sawah juga dilakukan dengan cara menggadai sawah milik orang lain. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, karena uang yang harus disediakan lumayan banyak, yaitu Rp 60 juta per bahu untuk dua tahun gadai, institusi ini lebih banyak dimanfaatkan oleh rumah tangga atas untuk menambah luas lahan garapannya atau rumah tangga bawah dan menengah yang mempunyai anggota rumah tangga migran ke Korea. Dengan remitans sekitar Rp 10-12 juta per bulan, mereka mampu mengumpulkan uang untuk menggadai sawah orang lain, sekaligus melakukan mobilisasi sosial vertikal ke atas (naik kelas/lapisan sosial). Pembahasan mengenai migrasi dan manfaatnya bagi penghidupan akan dibahas pada sub-bab selanjutnya. Meskipun dalam hitungan teknis lahan-lahan sawah di desa hanya bisa ditanami padi satu kali saja dalam setahun, namun rasionalitas petani yang ingin mempertahankan/menyelamatkan penghidupan rumah tangganya (Scotts 1976) dan juga sekaligus ingin meningkatkan penghidupan ke tingkat yang lebih baik, membuat mereka memaksimalkan manfaat lahan sawah yang dimiliki dan dikuasainya. Bagi rumah tangga penyewa, sistem sewa yang mewajibkan petani penyewa membayar sewa dengan jumlah yang tetap apapun kondisinya (meskipun kalau gagal panen ada penundaan pembayaran) menuntut petani
74
penyewa untuk bisa menghasilkan sebanyak-banyaknya dari sawahnya yang disewa satu tahun. Tabel 6.1 Strategi pertanian yang dijalankan rumah tangga (dalam persen) Aktivitas Penghidupan TANAMAN PADI Usaha tani Buruh panen (bawon) Buruh tandur Buruh tani non tandur Remi Senggang Persewaan lahan sawah TANAMAN HORTIKULTURA Tanaman Sayuran Tanaman Timunsuri Tanaman Semangka PETERNAKAN Ternak Ayam Ternak Kambing JASA PERTANIAN Persewaan traktor Buruh operator traktor Buruh operator gerabagan PEMUNGUTAN HASIL ALAM Pengumpul bunga kamboja Pembuatan garam
Atas (n=8)
Lapisan Sosial Bawah Bawah Menengah Pemilik Penggarap (n=24) (n=16) (n=16)
Bawah Buruh (n=16)
DESA (n=60)
100 0 0 0 0 0 13
96 21 0 17 0 29 4
100 81 19 25 13 44 0
100 94 13 25 6 25 0
0 94 25 63 25 25 0
79 60 11 28 9 28 3
13 13 0
46 4 8
25 25 0
25 31 6
0 0 0
25 14 4
13 0
4 4
6 0
0 0
0 0
4 1
0 0 0
4 0 0
0 0 6
0 13 13
0 25 6
1 8 5
0 13
0 0
0 0
0 0
6 0
1 1
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
Berbagai upaya adaptasi pun dilakukan oleh para petani, baik di tingkat masyarakat (komunitas) maupun di tingkat rumah tangga. Di tingkat masyarakat, misalnya, pembuatan embung Kali Bojong dan penguatan lembaga irigasi. Seperti yang telah disampaikan pada Bab IV, tahun 2003 masyarakat desa bersama kelompok tani dan pemerintahan desa menjadikan Kali Bojong sepanjang 1.3 km, sungai alam yang hanya terairi air ketika musim hujan dan ada pasokan air dari saluran irigasi tersier, menjadi embung dengan pendanaan secara swadaya. Selain dari kas desa, pungutan setiap rumah tangga pemilik dan penggarap lahan sawah, serta bantuan para donatur, pendanaan juga diperoleh dari para buruh migran yang sedang mencari penghidupan di luar negeri. Bantuan dan kerja gotong royong tersebut menyulap kali dengan kedalaman 1 m dan lebar 2 m menjadi embung dengan tinggi tanggul mencapai 6 m, kedalaman 4 m, dan lebar 24 m. Embung Kali Bojong menjadi semakin besar dan kuat fungsinya setelah pada tahun 2005-2006 dibangun pemerintah menjadi bendungan kecil dengan
75
panjang 2 km, kedalaman 6 m, dan lebar 50 m. Embung tersebut menjadi penampungan air di musim kemarau dan pengendali banjir di musim hujan. Sejak saat itu, lahan-lahan sawah yang ada di dekat embung Kali Bojong dapat ditanami padi dua kali dalam setahun. Namun, banjir yang cukup besar di awal 2011 telah menjebol pintu air dan tembok bendungan. Akibatnya, fungsi embung Kali Bojong menjadi kurang optimal, kapasitas penampungan air pun menjadi sangat sedikit. Sejak kejadian itu, hanya lahan-lahan sawah terdekatlah yang bisa memanfaatkan air yang dibendung di embung tersebut. Adanya embung dan lahirnya kebijakan otonomi daerah yang mengalihkan kewenangan pengairan dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten dianggap sebagai peluang untuk mengembalikan pasokan air irigasi, terutama dari jaringan irigasi Rentang seperti dulu (lihat Bab IV). Masyarakat desa kemudian memperkuat fungsi institusi irigasi (yang sebetulnya sejak dulu sudah ada). Organisasi kelompok tani, raksa bumi, dan ulu-ulu yang tadinya hanya bekerja di tingkat desa dengan menunggu datangnya air ke saluran-saluran irigasi sekunder yang melintasi persawahan desa ditugaskan pemerintahan desa dan masyarakat untuk menjemput air langsung dari saluran induk barat-jaringan irigasi Rentang. Sejak saat itulah, ketiga organisasi sosial tersebut menjalankan institusi irigasi di desa. Ketika masyarakat membutuhkan air, mereka dituntut untuk mampu mendatangkannya dan ketika air berlebih seperti di musim hujan, mereka harus mampu mengendalikannya agar tidak banjir. Untuk kepentingan ini, desa menganggarkan anggaran khusus dan setiap rumah tangga pemilik atau penggarap juga membayar iuran rutin musiman dan iuran insidental setiap kali mendatangkan air. Di tingkat rumah tangga, aksi adaptasi pun dilakukan dengan berbagai macam tindakan, seperti (1) menyesuaikan/mempercepat awal musim tanam rendeng (gleduk cengkuk), (2) mempercepat persemaian musim tanam gadu (culik tanam), (3) menambah keanekaragaman jenis tanaman yang ditanam dalam satu musim, (4) menyesuaikan varietas tanaman padi, (5) meningkatkan pengendalian HPT, (6) memompa air dari saluran irigasi terdekat di musim gadu, (7) membuat sumur pantek untuk mengairi lahan sawah di musim gadu, (8) memanfaatkan tanda-tanda alam dalam setiap tahapan budi daya, (9) memanfaatkan informasi cuaca/iklim yang disampaikan BMKG, dan (10) memanfaatkan informasi kalender tanam (KATAM) yang dikeluarkan Kementerian Pertanian. Aksi adaptasi tersebut hanya dilakukan oleh rumah tangga yang pada saat disurvei sedang menjalankan usaha tani tanaman padi sawah dan tanaman hortikultura. Oleh karena itu, rumah tangga bawah buruh tidak melakukan aksi adaptasi. Informasi mengenai aksi adaptasi rumah tangga setiap lapisan sosial dapat dilihat pada Tabel 6.2. Pada Tabel 6.2 terlihat bahwa aksi menyesuaikan/mempercepat awal musim tanam rendeng atau disebut dengan gleduk cengkuk dan menyesuaikan varietas tanaman padi merupakan aksi yang paling banyak dilakukan oleh rumah 76
tangga di semua lapisan. Gleduk cengkuk secara harfiah diartikan “ketika ada gledek/petir, petani langsung mengolah sawah”. Aksi ini dilakukan di awal musim tanam rendeng (musim tanam pertama) agar petani bisa segera tandur sehingga bisa menghindari dampak negatif dari banjir yang rutin terjadi. Umur tanaman yang tepat menyebabkan tanaman tersebut akan tetap hidup dan tidak rusak ketika terkena banjir. Selain itu, semakin cepat mengawali masa tanam rendeng, semakin cepat pula tanaman tersebut dipanen dan lahan sawahnya bisa segera diolah untuk musim tanam gadu. Hampir seluruh rumah tangga melakukan aksi ini. Tabel 6.2 Aksi adaptasi yang dilakukan dalam strategi pertanian (dalam persen) Aksi adaptasi
Atas (n=8)
Aksi adaptasi yang berhasil - Menyesuaikan/mempercepat awal musim tanam rendeng - Menyesuaikan varietas tanaman padi - Menganekaragamkan jenis tanaman dalam satu musm tanam - Mempercepat persemaian musim tanam gadu - Meningkatkan pengendalian HPT - Memompa air dari saluran irigasi - Membuat sumur pantek - Memanfaatkan tanda alam - Memanfaatkan informasi cuaca/iklim - Memanfaatkan informasi KATAM - Memanfaatkan informasi ketua kelompok tani
Lapisan Sosial Bawah Bawah Menengah Pemilik Penggarap (n=24) (n=16) (n=16)
Bawah Buruh (n=16) -
100
81.3
90.9
100
100
81.3
90.9
100
-
25
37.5
27.3
22.2
-
50 100 50 25 75
37.5 68.8 37.5 6.3 43.8
27.3 81.8 9.1 0 27.3
66.7 77.8 33.3 0 44.4
-
75
50
36.4
55.6
-
25
0
9.1
0
-
100
62.5
54.5
88.9
-
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
Keputusan cepat dan tepat untuk mengawali musim tanam rendeng memberi kesempatan kepada rumah tangga petani untuk bisa menanam dua kali, yaitu musim tanam rendeng. Untuk menghindari kekeringan di musim rendeng, rumah tangga petani harus melakukan aksi mempercepat persemaian musim tanam gadu (culik tanam). Aksi ini dilakukan dengan membuat persemaian ketika padi (di musim rendeng) sudah mulai menguning. Aksi culik tanam ini sangat penuh risiko. Seringkali para petani salah memperhitungkan cuaca/iklim dan pasokan irigasi ke depan sehingga pada akhirnya padi yang dihasilkan produktivitasnya sangat rendah atau bahkan gagal panen, seperti musim gadu 2014 ini. Aksi culik tanam juga harus melibatkan petani-petani lainnya, terutama yang berada pada hamparan yang sama. Tidak terjadinya aksi culik tanam secara serentak menyebabkan tanam tidak serentak akibatnya lahan-lahan sawah yang tumbuh tidak serentak akan diserang oleh HPT, sepert tikus. Selain itu, tidak
77
semua lahan sawah di Desa Karangmulya bisa ditanami padi pada musim gadu, sekalipun dengan aksi culik tanam. Terkecuali curah hujan tinggi sampai pertengahan tahun seperti tahun 2013, hanya lahan-lahan sawah yang dekat dari embung Kali Bojong yang dipastikan bisa ditanami di musim rendeng. Oleh karena itu, aksi culik tanam ini hanya berhasil dilakukan (dalam artian menghasilkan produksi yang normal) oleh sebagian rumah tangga petani saja. Kondisi ini juga berlaku bagi aksi memompa air dari saluran irigasi. Hanya lahan-lahan sawah yang dekat dengan embung Kali Bojong dan saluran irigasi sekunder yang bisa melakukan aksi ini. Selain itu, perlunya pompa air, pipa atau selang, dan bahan bakar juga menjadi pertimbangan tidak semua petani mau dan mampu melakukannya. Hanya setengah rumah tangga lapisan atas, sepertiga lapisan menengah dan bawah penggarap, dan kurang dari sepersepuluh lapisan bawah pemilik yang melakukannya. Berbeda dengan aksi culik tanam dan memompa air dari saluran irigasi, aksi penyesuaian varietas tanaman padi merupakan aksi yang banyak dilakukan oleh hampir semua rumah tangga petani dari semua lapisan. Para petani menyesuaikan varietas tanaman padi sesuai dengan kondisi lahan, pasokan irigasi, curah hujan, musim, dan prediksi serangan HPT. Ada beberapa varietas padi yang dominan dan dianggap unggul oleh para petani, seperti IR, Ciherang, Mekonga, Kebo, dan Rambo. Benih-benih padi tersebut diperoleh dengan membeli dari kios-kios pertanian dan dari sesama petani yang mampu membenihkan padi sendiri. Kelembaban yang tinggi, tergenangnya air pada musim hujan, anomali cuaca, dan kesalahan waktu pelaksanaan culik tanam di sisi lain juga ternyata menyebabkan peningkatan populasi hama-penyakit tanaman (HPT). Wereng barang coklat, tikus sawah, penggerek batang padi, blast, dan kresesk merupakan beberapa jenis HPT yang paling mengancam budi daya tanaman padi di Desa Karangmulya. Tabel 4.2 pada Bab IV menunjukkan setidaknya ada tujuh kali ledakan serangan HPT selama kurun waktu 2002-2014 yang menyebabkan penurunan produksi secara signifikan. Bahkan, ledakan serangan HPT di tiga tahun terkahir (2012-2013) berturut-turut menyebabkan kegagalan panen. Kondisi ini menuntut petani melakukan aksi peningkatan pengendalian HPT. Namun, nampaknya hanya rumah tangga atas saja yang semuanya berhasil menjalankannya. Untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi kerugian akibat gagal panen padi, sebagian rumah tangga dari semua lapisan melakukan aksi penganekaragaman/penambahan jenis tanaman dalam satu musim melalui tumpangsari. Tidak semua lahan sawah yang dimiliki atau disewa ditanami padi. Ada pare (paria), terong, dan tanaman sayuran lainnya yang juga ditanam di lahan sawah mereka di musim yang sama dengan musim tanam padi. Tanaman sayuran ini menjadi tanaman pelengkap dan sumber penghasilan tambahan bagi rumah tangga tersebut. 78
Beberapa rumah tangga yang memilki sumur pantek dengan kualitas air yang layak (tidak terlalu asin) menjadikan usaha tanaman sayurannya sebagai aktivitas penghidupan yang kontinyu dilakukan sepanjang tahun, seperti yang dilakukan beberapa rumah tangga di Blok Kemped. Aksi penggunaan sumur pantek juga dilakukan oleh beberapa rumah tangga petani yang menanam tanaman semangka dan timun suri. Biasanya mereka hanya menanam dua jenis tanaman tersebut di sawah yang tidak ditanami padi di musim gadu. Aksi lain yang tidak kalah penting adalah memanfaatkan tanda alam, memanfaatkan informasi iklim dari BMKG, dan memanfatkan informasi kalender tanam dari Kementan. Tidak seperti petani daerah persawahan irigasi teknis yang tidak perlu memperhatikan waktu atau peralihan musim, para petani di Desa Karangmulya harus senantiasa bisa memperhitungkan dan mengambil keputusan cepat dengan melakukan ketiga aksi tersebut. Pemanfaatan tanda-tanda alam sebetulnya merupakan pengetahuan lokal yang secara turun temurun digunakan oleh para petani di Desa Karangmulya. Setidaknya ada tiga kondisi alam yang biasa dijadikan indikator oleh para petani desa untuk menentukan kondisi cuaca atau iklim, yaitu (1) arah hembusan angin, (2) suhu air sungai/irigasi, (3) pergerakan/perilaku burung dan tanaman. Penjelasan ketiganya adalah sebagai berikut: 1. Arah hembusan angin a. Angin dari arah barat pertanda masuk musim hujan b. Angin dari arah timur pertanda puncak musim hujan dan berpotensi banjur c. Angin dari arah utara atau angin laut pertanda mau masuk peralihan musim dari musim hujan ke kemarau d. Angin dari arah selatan atau angin kumbang pertanda masuk musim kemarau i. Kumbang daya pertanda masih ada hujan turun. ii. Kumbang timur pertanda puncak musim kemarau, tidak ada hujan. 2. Suhu air kali/irigasi a. Air kali dipegang terasa hangat pertanda masih akan datang hujan. b. Air kali dipegang terasa dingin pertanda hujan tidak akan datang. 3. Pergerakan/perilaku burung dan tanaman a. Burung cablak, branjangan, dan apung datang ke desa pertanda datangnya musim kemarau. b. Burung alap-alap terbang menuju utara (laut) pertanda datangnya musim kemarau. c. Kepiting sawah (yuyu/keuyeup) membikin rumah pertanda datangnya musim kemarau. d. Buah randu rontok pertanda musim kemarau.
79
Pengetahuan lokal ini dipadukan dengan informasi cuaca/iklim dan kalender tanam sebagai referensi dalam mengambil keputusan. Namun, keterbatasan kemampuan dan akses rumah tangga ditambah dampak perubahan iklim global yang membuat iklim dan cuaca lokal menjadi tidak menentu menyebabkan ketiga aksi ini hanya berhasil dilakukan oleh sebagian rumah tangga, terutama rumah tangga atas. Bahkan, aksi pemanfaatan informasi kalender tanam dari Kementan hanya dilakukan oleh sedikit rumah tangga atas dan tidak sama sekali oleh lapisan menengah dan bawah penggarap. Dari Tabel 6.2 dan uraian di atas terlihat bahwa rumah tangga lapisan atas merupakan rumah tangga yang paling banyak berhasil melakukan aksi adaptasi. Kepemilikan dan akses terhadap aset yang lebih banyak dan lebih baik menjadi penentu kemampuan dan keberhasilan aksi adaptasi. Posisi kepengurusan kelompok tani yang ditempati oleh sebagian besar rumah tangga atas juga ikut mempengaruhi hasil akhir dari aksi adaptasi. Berbagai program pemerintah untuk meningkatkan kapasitas adaptasi petani menghadapi kerentanan ekologis datang melalui kelompok tani, misalnya sekolah lapang iklim (SLI), sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT), sekolah lapang pertanian tanaman pangan terpadu (SLPTT), dan program partisipatif sosialisasi perubahan iklim (lihat juga Bab V). Kondisi ini menyebabkan rumah tangga atas yang menjadi pengurus dipastikan menjadi petani yang pertama kali mendapatkan manfaat dari programprogram pemerintah. Bawon, Remi, dan Senggang Bagi rumah tangga yang tidak mempunyai lahan milik ataupun garapan untuk diusahakan, aktivitas penghidupan yang dilakukan dalam sub-sektor ini adalah dengan menjadi buruh panen (bawon), buruh tandur, buruh tani non-tandur dan non-panen serta melalui aktivitas remi dan senggang. Bawon adalah sistem panen yang memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk bisa ikut memanen padi di sawah orang lain dan mendapatkan bagian hasil panen yang disebut “bawon”. Sistem bawon merupakan insitusi sosial yang menunjukkan kepedulian dan prinsip resiprositas petani pemilik/penggarap terhadap kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan Collier et al. (1974), sistem bawon menunjukkan adanya pola hubungan patron-klien antara pemilik sawah dengan buruh tani yang tidak punya lahan. Sementara itu, remi merupakan aktivitas yang dilakukan dengan mengambil sisa-sisa padi setelah dirontokan dan senggang merupakan aktivitas yang dilakukan dengan mengambil padi yang tumbuh dari malai setelah di panen. Hasil survei menunjukkan bahwa hampir semua panen terakhir di Desa Karangmulya dilakukan dengan sistem bawon (95 persen bawon, 3 persen kombinasi bawon dan tebasan, dan 2 persen dilakukan sendiri). Kondisi ini memberikan kesempatan kepada banyak rumah tangga untuk ikut memanen dan mendapatkan bawon. Selain diikuti oleh hampir semua rumah tangga lapisan 80
bawah, bawon juga diikuti oleh sebagian rumah tangga lapisan menengah yang memiliki lahan yang cukup luas. Proporsi bawon yang berlaku di Desa Karangmulya dari dulu sampai sekarang adalah 1 : 5 (satu bagian untuk tenaga panen dan lima bagian untuk pemilik/penggarap lahan). Artinya, apabila mendapatkan hasil panen 6 ton, maka tenaga panen mendapatkan bagian bawon 1 ton dan pemilik/penggarap mendapatkan bagian 5 ton. Bagian bawon 1 ton tersebut kemudian dibagi lagi secara proporsional berdasarkan prestasi dan beban kerjanya. Pembagian bawon dilakukan di rumah pemilik/penggarap dan tenaga panen berkewajiban mengantarkan padi yang telah dirontokkan ke rumah pemilik/penggarap sawah. Panen dengan sistem bawon dilakukan oleh 10-25 pasang tenaga panen. Biasanya pasangan bawon adalah suami-istri. Oleh karena itu, perempuan yang belum/tidak menikah atau janda tidak dapat ikut bawon karena tidak punya pasangan. Di Desa Karangmulya, secara umum, memberlakukan sistem bawon terbuka untuk panen musim rendeng. Artinya, siapa pun boleh ikut bawon. Namun, pemilik/penggarap sawah akan mengutamakan kerabat, tetangga, dan buruh tani yang menjadi kliennya sebelum memberi kesempatan kepada tenaga panen lainnya. Terbukanya sistem bawon ini juga memberi kesempatan kepada masyarakat luar desa untuk ikut memanen di lahan-lahan sawah Desa Karangmulya. Di musim tanam gadu, beberapa pemilik sawah memberlakukan sistem bawon tertutup atau sering juga disebut ceblokan. Artinya, hanya orang yang ikut tandur yang boleh ikut panen. Hal ini dilakukan agar para pemilik lahan bisa memperoleh tenaga kerja tandur. Seperti disampaikan sebelumnya, untuk menghindari kekurangan air, petani umumnya melakukan “culik tanam”. Petani membuat persemaian dan mengolah lahan sawah pada waktu menjelang panen musim pertama (musim rendeng). Kondisi ini menyebabkan pelaksanaan tandur bersamaan dengan pelaksanaan panen raya (bawon) sehingga terjadi kelangkaan tenaga kerja (buruh tandur). Kelangkaan semakin bertambah karena biasanya setelah panen raya, banyak rumah tangga pemilik lahan menggelar hajatan dan selametan sehingga banyak buruh tani (buruh tandur) yang ikut bekerja di hajatan dan selametan ataupun hanya sebatas menghadiri undangan hajatan dan selametan tersebut. Kondisi kelangkaan tenaga kerja ini menjadikan posisi tawar buruh tani menjadi tinggi. Meskipun tidak terucap langsung, buruh tani hanya akan mau tandur apabila ada jaminan dia akan ikut panen. Berbeda dengan ceblokan di desa-desa persawahan irigasi teknis yang tidak membayar buruh tandurnya, ceblokan di Desa Karangmulya tetap membayar buruh tandur dengan tarir normal sesuai dengan upah pasaran. Bagi pemilik lahan yang tidak mau terikat (ingin menerapkan sistem bawon terbuka ketika panen nanti), mereka membayar upah tenaga kerja tandur lebih mahal dibandingkan tarif normal. Misalnya, apabila upah tandur borongan
81
di musim rendeng Rp 500 ribu per bahu, maka upah tandur borongan di musim gadu menjadi Rp 600 ribu per bahu. Berbeda dengan bawon, remi hanya dilakukan oleh sebagian kecil rumah tangga bawah saja. Berkurangnya rumah tangga yang melakukan remi sejalan dengan berkurangnya penggunaan gebotan sebagai alat perontok padi. Saat ini, penggunaan gebotan banyak digantikan oleh gerabagan atau trasher. Penggunaan trasher lebih disenangi oleh pemilik/penggarap lahan maupun tenaga panen (penderep-bawon) karena keunggulan dan kecepatannya. Dengan menggunakan trasher, tenaga bawon tidak lagi dibebankan untuk merontokkan sehingga waktu memanen lebih cepat dan mengurangi beban tenaga bawon. Dari segi hasil, penggunaan trasher lebih efektif dan memberikan hasil akhir yang lebih banyak, yaitu selisih 100-200 kg padi per bahu dibandingkan dengan gebotan. Efektivitas trasher dengan tenaga mesin ini disebabkan sedikitnya biji padi yang tidak berhasil dirontokkan. Hal ini berbeda dengan gebotan yang masih menggunaan tenaga manusia sehingga masih banyak biji padi yang tidak berhasil dirontokkan. Biji padi yang masih tersisa inilah yang sebetulnya menjadi berkah bagi buruh-buruh tani perempuan. Mereka bisa mendapatkan hasil remi sebanyak 100-200 kg padi per bahu dari pemanenan yang dirontokkan dengan gebotan. Namun, mereka hanya bisa mendapatkan hasil remi sebanyak 10-20 kg padi per bahu dari pemanenan yang menggunakan trasher. Selain itu, remi memang dikhususkan untuk memberi kesempatan kepada para orang tua yang tidak mampu ikut bawon atau para janda yang tidak punya pasangan bawon sehingga jumlah rumah tangga yang ikut remi pun sedikit. Untuk senggang, karena memberikan hasil yang cukup lumayan, aktivitas ini selain dilakukan oleh rumah tangga lapisan bawah juga dilakukan oleh sebagian kecil rumah tangga lapisan menengah. Berbeda dengan remi yang hanya boleh dilakukan oleh buruh perempuan tua atau janda, senggang boleh dilakukan siapa saja. Meskipun beberapa rumah tangga pemilik/penggarap yang diwawancarai menyebutkan bahwa biji padi yang tumbuh setelah panen bukan lagi hak dari pemilik/penggarap, namun fakta di lapangan memperlihatkan sebagian pemilik lahan, termasuk rumah tangga lapisan menengah, masih ada yang ikut aktivitas senggang. Hasilnya yang bisa mencapai 500 kg per bahu membuat beberapa rumah tangga menengah lebih memilih menyenggang sendiri daripada diberikan kepada rumah tangga lain. Bagi rumah tangga lain yang ingin menyenggang sawah orang lain harus memastikan terlebih dahulu bahwa pemilik/penggarap sawah tidak akan menyenggang sendiri. Setelah itu, rumah tangga yang berniat menyenggang harus memberi tanda dan menunggui sawah tersebut agar tidak disenggang oleh rumah tangga lain. Bagi masyarakat Desa Karangmulya, berbagai aktivitas penghidupan yang diatur oleh institusi sosial, seperti sistem sewa “yarnen”, bawon, remi, dan senggang, menjadi jaminan sosial bagi penghidupan seluruh masyarakat desa. 82
Semua aktivitas yang berkaitan dengan lahan sawah menjadi nafas kehidupan masyarakat desa. Rumah tangga yang mempunyai lahan memberikan kesempatan kepada rumah tangga lain untuk mendapatkan manfaat dari lahan sawahnya, baik melalui sewa lahan, bekerja di sawahnya (tandur, dll), bawon, senggang, dan remi. B Beberapa rumah tangga yang sudah punya lahan sawah pun, seperti rumah tangga lapisan menengah, tetap bekerja keras melakukan aktivitas bawon, senggang, dan juga buruh tani non tandur. Untuk aktivitas penghidupan di subsektor lainnya dilakukan dalam berbagai bentuk aktivitas lainnya. Menanam sayuran, timunsuri, dan semangka menjadi aktivitas penghidupan subsektor tanaman hortikultura. Beternak ayam dan kambing menjadi aktivitas penghidupan subsektor peternakan. Menyewakan traktor, bekeja sebagai operator traktor, dan bekerja sebagai operator gerabagan/trasher menjadi aktivitas penghidupan subsektor jasa pertanian. Mengumpulkan bunga kamboja dan membuat garam menjadi aktivitas penghidupan subsektor pengumpulan hasil alam. Meskipun bentuknya cukup beragam, namun aktivitas penghidupan di subsektor selain tanaman pangan ini hanya dilakukan oleh sedikit rumah tangga. Bahkan, banyak aktivitas penghidupan yang hanya dilakukan oleh satu lapisan sosial saja. Hal ini membuktikan bahwa aktivitas penghidupan di subsektor tanaman padi masih menjadi yang paling banyak dilakukan dalam strategi penghidupan pertanian. 6.1.2 Strategi Diversifikasi Penghidupan Non-Pertanian Untuk mempertahankan dan meningkatkan penghidupannya, selain menjalankan aktivitas penghidupan utama di sektor pertanian, sebagian masyarakat Desa Karangmulya juga melakukan strategi diversifikasi penghidupan non-pertanian. Mengikuti Survei Pertanian 2013 BPS, mereka melakukan berbagai aktivitas penghidupan penghidupan yang dikelompokkan ke dalam lima subsektor, yaitu (1) perdagangan dan penyediaan makan minum, (2) industri pengolahan hasil pertanian, (3) konstruksi, (4) transportasi, dan (5) lainnya. Dari kelima sub-sektor tersebut, perdagangan dan penyediaan makan minum merupakan sub-sektor yang paling banyak dijalankan oleh masyarakat desa, terutama membuka warung. Warung-warung kecil dengan sangat mudah ditemukan di desa ini. Kecuali rumah tangga lapisan bawah pemilik, aktivitas penghidupan dengan membuka warung ini dijalankan oleh semua lapisan sosial dengan persentase yang cukup beragam. Mudah dan murahnya modal untuk membuka usaha warung menjadikan aktivitas penghidupan ini paling banyak dipilih oleh masyarakat desa. Biasanya warung merupakan usaha sambilan yang dijalankan oleh sang istri dan anak, tanpa melibatkan tenaga kerja bayaran. Warung akan ditutup apabila semua anggota rumah tangga tersebut dalam waktu bersamaan mempunyai agenda yang lebih penting. Ketika pada musim panen raya yang memberikan kesempatan kepada semua orang untuk ikut bawon, anggota rumah tangga yang sudah bisa dan mampu memanen lebih memilih ikut bawon
83
dan warungnya akan ditutup. Warung akan dibuka lagi pada sore atau malam hari setelah selesai memanen. Begitu pun, apabila ada undangan hajatan atau selametan, mereka akan lebih memilih menghadiri undangan tersebut dan menutup warungnya. Tabel 6.3 Strategi diversifikasi penghidupan non-pertanian yang dijalankan rumah tangga (dalam persen) Aktivitas Penghidupan PERDAGANGAN DAN PENYEDIAAN MAKAN MINUM Perdagangan beras Warung Toko Usaha makanan Jual pakaian keliling Jual hasil tani keliling Jual mainan keliling INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN Penggilingan padi Buruh penggilingan KONSTRUKSI Pertukangan Buruh bangunan TRANSPORTASI Sewa mobil Ojek LAINNYA PNS Pegawai Sekolah Swasta LPK Al-Amin
Atas (n=8)
Lapisan Sosial Bawah Bawah Menengah Pemilik Penggarap (n=24) (n=16) (n=16)
Bawah Buruh (n=16)
DESA (n=60)
13 25 13 0 13 0 0
0 17 4 4 0 0 0
0 0 0 0 0 6 0
0 6 0 6 0 0 6
0 13 0 6 0 0 0
1 11 3 4 1 1 1
13 0
0 4
0 6
0 6
0 6
1 5
13 0
0 4
0 0
13 0
0 6
4 3
0 0
8 0
0 0
0 0
0 6
3 1
0 0 25
4 0 0
0 6 0
0 6 0
0 0 0
1 1 3
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
Bedanya warung dengan toko adalah luasnya tempat jualan dan banyaknya barang yang dijual. Tempat usaha toko biasanya jauh lebih besar daripada warung. Barang-barang yang dijualnya pun jauh lebih banyak dan lebih lengkap. Dengan kebutuhan modal yang tidak sedikit, toko hanya mampu dijalankan oleh sebagian kecil rumah tangga lapisan atas dan menengah saja Selain itu, yang membedakan toko dengan warung adalah pengelolaanya. Toko biasanya tidak lagi dijadikan usaha sambilan dan dikelola dengan seadanya. Selain melibatkan istri dan anak, toko biasanya juga melibatkan tenaga kerja khusus yang dibayar untuk mengelola toko dan melayani pembeli. Oleh karenan itu, toko-toko yang ada biasanya jam operasionalnya konsisten. Dengan adanya tenaga kerja yang
84
menjaga tokonya, rumah tangga tersebut masih bisa menjalankan aktivitas penghidupan yang lain dan juga aktivitas sosial. Untuk sub-sektor industri pengolahan hasil pertanian, jumlahnya masih sangat terbatas, yaitu hanya industri penggilingan padi saja. Industri ini dimiliki oleh sebagian kecil rumah tangga atas dengan tenaga kerja pabrik berasal dari lapisan menengah dan semua lapisan bawah. Sub-sektor yang dijalankan oleh hampir semua lapisan adalah subsektor konstruksi. Meningkatnya pembangunan rumah baru dan renovasi rumah yang dilakukan oleh rumah tangga yang anggota rumah tangganya bekerja sebagai buruh migran di Korea menyebabkan kebutuhan akan bahan bangunan dan tenaga kerja meningkat. Usaha pembuatan batu bata dan usaha pembuatan kusen yang dilakukan sebagian kecil rumah tangga di Desa Karangmulya pun ikut kebagian rezeki dari Korea. Dua rumah tangga yang melakukan aktivitas penghidupan yang berhasil di wawancara menyebutkan peningkatan permintaan kusen-kusen rumah. Aktivitas penghidupan ini dijalankan sesuai orderan sepulang dari sawah atau di waktuwaktu tidak melakukan aktivitas di sawah. Sementara itu, rumah tangga yang melakukan usaha pembuatan batu bata menyebutkan bahwa usaha ini hanya dilakukan pada musim kemarau saja di saat lahan-lahan sawah tidak bisa lagi ditanami apapun. Selain karena faktor waktu, hal ini disebabkan karena bahan baku tanah untuk membuat bata harus diambil dari sawah yang kering. Bagian tanah yang diambil adalah bagian yang lebih muncul ke atas alias lebih rata. Oleh karena itu, pengambilan tanah tidak akan merusak lahan sawah. Untuk subsektor transportasi nampaknya hanya sedikit rumah tangga yang menjalankan aktivitas penghidupan ini. Pertama, satu rumah tangga menengah yang menyewakan mobil pik-upnya untuk mengangkut sayuran dari desa ke pasar-pasar di kota besar. Kedua, satu rumah tangga bawah buruh yang menjadikan motornya sebagai sarana untuk mengojek. Keduanya adalah rumah tangga mantan buruh. Yang membedakan adalah yang punya mobil merupakan mantan buruh migran di Korea, sedangkan yang hanya mampu membeli motor untuk mengojek merupakan mantan buruh migran di Yaman. Perbedaan gaji yang sangat besar antara bekerja di Korea dan Yaman menyebabkan perbedaan investasi yang dilakukan. Pembahasan mengenai hal ini akan dibahas lebih lengkap pada bagian strategi migrasi. Untuk subsektor lainnya, terdiri dari PNS, pegawai sekolah swasta, dan usaha LPK Al-Amin. Subsektor ini juga hanya dijalankan oleh sedikit rumah tangga di lapisan atas, menengah, dan bawah pemilik. Syarat pendidikan formal dan kemampuan berjejaring dengan pihak-pihak di luar desa menjadi penghalang bagi rumah tangga lainnya untuk melakukan aktivitas penghidupan di subsektor ini. LPK Al-Amin yang didirikan pada tahun 2004 oleh H. Waryono (Abah Acong) dan dibantu oleh Waryono ini mempunyai peran yang sangat signifikan dalam membantu banyak anggota masyarakat Desa Karangmulya untuk bisa berangkat bekerja di Korea. Ada puluhan masyarakat desa yang sudah berangkat
85
ke Korea dan jika digabung dengan masyarakat di luar desa jumlahnya mencapai ratusan orang. Keduanya merupakan bagian dari rumah tangga lapisan atas. 6.1.3 Strategi Migrasi Migrasi, menurut Scoones (1998, 2009), merupakan strategi penghidupan yang dilakukan dengan rekayasa spasial atau perubahan ruang. Rumah tangga atau anggota rumah tangga yang melakukan strategi ini menjalankan aktivitas penghidupannya di luar desa dengan cara melakukan mobilisasi, baik permanen, temporer, dan sirkuler. Dalam kerangka penghidupan, migrasi dilakukan dengan mengkombinasikan aset insani/sumber daya manusia (keterampilan, pendidikan, pengetahuan); serta aset-aset lainnya, seperti aset finansial (biaya pelatihan, tabungan atau pinjaman untuk berangkat), aset fisik (sarana untuk mobilisasi), aset sosial (jaringan, kepercayaan), dan aset alam (kondisi dan kepemilikan lahan). Migrasi, menurut Ellis dan Freeman (2005: 5-7), memberikan peran penting bagi penghidupan banyak rumah tangga di daerah yang miskin dan rentan. Migrasi yang dilakukan oleh anggota rumah tangga sebagai tenaga kerja (aset insani/sumber daya manusia) menghasilkan remitans yang dapat meningkatkan aset-aset penghidupan rumah tangga yang pada akhirnya akan mengurangi kemiskinan rumah tangga. Remitans yang dihasilkan juga dapat mengurangi atau menurunkan risiko dari aktivitas penghidupan utama rumah tangga pedesaan (pertanian) yang sangat diperngaruhi musim (iklim/cuaca) yang kemudian mengurangi kerentanan. Berkurangnya tingkat kemiskinan dan kerentanan secara bersama-sama akan meningkatkan penghidupan rumah tangga dan masyarakat pedesaan lainnya. Ellis dan Freeman yang merangkum beberapa hasil penelitian terdahulu (Tiffan et al. 1994, Carter 1997, Hoddinot 1994) menunjukkan bahwa peningkatan penghidupan terjadi setelah remitans yang diterima rumah tangga tersebut (1) diinvestasikan dengan cara membeli atau menyewa lahan (ekstensifikasi), (2) dibelikan input produksi pertanian yang berkualitas, termasuk alat-alat dan mesin (intensifikasi) sehingga dapat menghasilkan produksi yang optimal, (3) diinvestasikan untuk modal/aset yang dapat menghasilkan aktivitas penghidupan non-pertanian, seperti alat transportasi, kios warung/toko, mesin penggilingan, dan (4) diinvestikan untuk pendidikan generasi yang akan datang, misal untuk menyekolahkan anak atau membantu kegiatan pendidikan di desa. Lipton (1980:4) yang juga dirujuk oleh Effendi (1986:4) mengemukakan adanya perbedaan antara migrasi yang dilakukan oleh yang rumah tangga lapisan atas (kaya) dengan migrasi yang dilakukan oleh rumah tangga lapisan bawah (miskin). Rumah tangga kaya, meskipun jarang yang terkaya, biasanya berusaha melindungi kekayaannya (aset) dan mampu untuk menanggung semua anggota rumah tangganya untuk tetap tinggal di desa atau mengirim anggota ke luar desa. Rumah tangga kaya ini cenderung tertarik ke luar desa (pulled out) dengan 86
dibiayai oleh keuntungan yang diperoleh dari kelebihan (surplus) produksi pertanian di desa. Oleh karena itu, mereka dari rumah tangga kaya kebanyakan berpendidikan tinggi dan bekerja/berusaha dengan pendapatan yang cukup lumayan. Sementara itu, rumah tangga miskin, meskipun jarang yang termiskin, adalah rumah tangga yang tidak mempunyai kekayaan (aset) yang mampu menanggung semua anggota keluarga untuk tetap tinggal di desa atau pun mengirim ke luar desa. Mereka dari rumah tangga miskin ini melakukan migrasi karena didorong ke luar (pushed-out) dalam rangka membantu ekonomi rumah tangga. Mereka enderung berpendidikan rendah sehingga jenis pekerjaan yang dilakukannya adalah pekerjaan yang berpenghasilan jauh lebih kecil dibandingkan pekerjaan yang diperoleh migran dari rumah tangga kaya. Aktivitas migrasi yang diperhitungkan dan dianalisis dalam penelitian ini dibatasi pada aktivitas penghidupan non-pertanian di luar Kabupaten Indramayu yang dilakukan semua anggota rumah tangga, baik bekerja maupun berusaha, yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan total rumah tangga. Hal ini dibuktikan dengan adanya pengiriman remitans dalam kurun waktu Mei 2013April 2014. Aktivitas penghidupan pertanian yang dilakukan di desa-desa tetangga, sebelumnya, sudah dimasukkan ke dalam strategi pertanian dan aktivitas penghidupan non-pertanian yang juga dilakukan di desa-desa tetangga sudah dimasukkan ke dalam strategi diversifikasi penghidupan non pertanian. Dengan pembatasan seperti ini, strategi penghidupan migrasi dibagi menjadi dua aktivitas, yaitu aktivitas migrasi domestik (dalam negeri) dan aktivitas migrasi internasional (luar negeri). Tabel 6.4 Strategi migrasi yang dilakukan rumah tangga (dalam persen) Aktivitas Penghidupan MIGRASI Migrasi luar negeri Migrasi dalam negeri
Atas (n=8) 25 0
Lapisan Sosial Bawah Bawah Menengah Pemilik Penggarap (n=24) (n=16) (n=16) 13 4
6 19
13 13
Bawah Buruh (n=16)
DESA (n=60)
38 6
18 9
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
Pada Tabel 6.4 dapat dilihat bahwa jumlah rumah tangga yang anggotanya melakukan aktivitas penghidupan migrasi sebetulnya jumlahnya tidak terlalu banyak. Untuk seluruh rumah tangga dari semua lapisan sosial terlihat hanya ada 18 persen rumah tangga yang mempunyai aktivitas penghidupan migrasi di luar negeri dan 9 persen rumah tangga yang mempunyai aktivitas migrasi di dalam negeri. Migrasi luar negeri (internasional) Aktivitas penghidupan migrasi luar negeri dilakukan beberapa rumah tangga di semua lapisan. Rumah tangga lapisan bawah buruh dan lapisan atas
87
menyumbang persentase terbesar dengan angka masing-masing 38 persen dan 25 persen. Artinya, lebih dari sepertiga rumah tangga bawah buruh melakukan aktivitas migrasi ke luar negeri dan seperempat rumah tangga atas juga melakukan hal yang sama. Meskipun sama-sama migrasi ke luar negeri, perbedaan mendasar terletak dari negara tempat migrasi, jenis kelamin, jenis pekerjaan, dan pendapatan. Namun, untuk pendapatan akan dibahas di bagian selanjutnya. Semua rumah tangga atas menjalani aktivitas migrasinya di Korea, ada yang bekerja sebagai tenaga kerja kontrak di pabrik dan ada yang menjalankan usaha. Sementara itu, rumah tangga lapisan bawah cukup beragam, ada yang di Korea, Taiwan, Hongkong, Arab Saudi, Oman, dan Abu Dhabi-Uni Emirat Arab. Semuanya menjalankan aktivitas penghidupan dengan status sebagai pekerja. Untuk yang di Korea, semuanya bekerja sebagai tenaga kerja kontrak pabrik. Untuk yang di negara-negara jazirah Arab dan Hongkong, semuanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Untuk yang bekerja di Taiwan, ada yang bekerja sebagai tenaga kerja kontrak pabrik, tenaga kerja restoran, dan ada juga yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Untuk lebih lengkapnya bisa dilihat pada Tabel 6.5. Tabel 6.5 Keterangan negara, jenis kelamin, aktivitas penghidupan yang dilakukan rumah tangga dalam strategi migrasi internasional (dalam persen) Rumah Tangga Atas Menengah
Bawah pemilik Bawah penggarap Bawah buruh
No. Kuesioner 3 5 12 14 57 24 73 74 42 44 45 48 76 80
Korea Korea
Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki
Taiwan Korea Korea Taiwan Arab Saudi Korea Oman Hongkong Abu Dhabi-UAE Korea Taiwan Korea
Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Perempuan Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki
Negara
Aktivitas Penghidupan Tenaga kerja pabrik Usaha PJTKI (jaringan LPK Al-Amin) Tenaga kerja restoran Tenaga kerja pabrik Tenaga kerja pabrik Tenaga kerja pabrik Pembantu rumah tangga Tenaga kerja pabrik Pembantu rumah tangga Pembantu rumah tangga Pembantu rumah tangga Tenaga kerja pabrik Pembantu rumah tangga Tenaga kerja pabrik
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
Pada Tabel 6.5. di bawah juga dapat dilihat bahwa semua anggota rumah tangga lapisan atas yang migrasi adalah laki-laki, sedangkan anggota rumah tangga bawah didominasi oleh perempuan. Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi aktivitas penghidupan yang dilakukan dan remitans yang bisa dikirim. Laki-laki bekerja sebagai tenaga kerja pabrik dan perempuan sebagian besar bekerja sebagi pekerja rumah tangga. Seorang anggota rumah tangga yang bekerja sebagai tenaga kerja pabrik di Korea biasanya mengirimkan remitans 88
sebesar Rp 120 juta per tahun, sedangkan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga biasanya hanya mengirimkan Rp 12 juta per tahun. Perbedaan yang sangat signifikan. Perbedaan remitans yang sangat signifikan diawali dengan perbedaan persyaratan dan tahapan proses yang harus dijalani antara bagi yang mau bekerja sebagai tenaga kerja pabrik di Korea dengan yang mau bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Persyaratan utama ke Korea adalah pendidikan minimal SMA, lolos ujian bahasa Korea, dan lolos medical check-up. Semua tahapan proses rekruitmen dilakukan langsung oleh orang Korea langsung dengan difasilitasi BNP2TKI. Semua ujian-ujian dilakukan dengan ketat dan tidak ada celah untuk rekayasa. Tidak ada lagi peran PJTKI (Perusahaan Jasa Pengerah Tenaga Kerja Indonesia) yang sangat menentukan dan bisa merekayasa data seperti untuk keberangkatan kerja ke negara-negara Arab. Ketatnya dan banyaknya persyaratan, terutama pendidikan minimal SMA dan kemampuan bahasa Korea, membatasi kesempatan hanya bagi yang memiliki ijazah SMA, lolos ujian bahasa Korea, dan tentunya biaya yang harus dikeluarkan. Dengan persyaratan ini, calon tenaga kerja setidaknya harus mempersiapkan diri setidaknya satu tahun. Mereka harus mengikuti pelatihan bahasa Korea secara rutin dan intensif di lembaga-lembaga pelatihan bahasa Korea dengan biaya yang tidak sedikit. Sebagai gambaran, biaya pelatihan bahasa Korea selama enam bulan di LPK Al-Amin sebesar Rp 2.2 juta. Itu pun tidak menjamin calon tenaga kerja lolos ujian bahasa Korea. Selain biaya pelatihan bahasa Korea Rp 2.2 juta, masih banyak biayabiaya lain yang harus dikeluarkan. Total biaya resmi yang harus dikeluarkan untuk persiapan sampai dengan pemberangkatan Januari-Juni 2014 mencapai Rp 17.5 juta dengan perincian sebagai berikut (Data LPK A-Amin) : 1. Pelatihan bahasa Korea selama 6 bulan : Rp 2,200,000. 2. Biaya ujian bahasa Korea di BNP2TKI : Rp 250,000. 3. Paspor : Rp 700,000. 4. SKCK : Rp 250,000. 5. Medical check-up : Rp 350,000. 6. Sending data : Rp 2,000,000. 7. Visa kerja : Rp 6,700,000. 8. Tiket Jakarta-Korea : Rp 2,500,000. Menurut rumah tangga yang anaknya bekerja di Korea, selain biaya di atas, mereka juga harus mengeluarkan biaya-biaya tambahan lainnya sebesar Rp 7.5 juta untuk ongkos-ongkos selama persiapan, selamatan sebelum berangkat, dan uang jajan anaknya untuk sebulan pertama di Korea. Jadi, total biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 25 juta. Bagi rumah tangga lapisan atas yang mempunyai tabungan dari surplus produksi padi atau keuntungan usaha lainnya, jumlah sebesar ini bisa diperoleh dengan mencairkan tabungan atau meminjam ke bank dengan mengagunkan
89
lahannya. Namun, bagaimana dengan rumah tangga bawah yang hanya memiliki lahan sedikit dan tidak bisa mengakses bank atau tidak punya lahan sama sekali sehingga tidak punya akses terhadap perbankan? Sebagai informasi, tidak semua bank mau membiayai pinjaman untuk keberangkatan tenaga kerja ke luar negeri. Hanya ada satu bank saja, yaitu BRI melalui KUR TKI. Syaratnya pun lumayan banyak (selain agunan) seperti sertifikat lulus pelatihan, sertifikat lulus tes bahas Korea, surat panggilan preliminary (surat tanda diterima kerja di Korea). Padahal, seperti telah disampaikan di atas, pelatihan bahasa, ujian bahasa korea, tes kesehatan, dan paspor memerlukan biaya yang cukup besar juga. Seperti yang telah dibahas sedikit di atas, pendapatan dan remitans yang lumayan besar telah menarik (pulled out) minat hampir semua lapisan rumah tangga untuk bisa bekerja ke Korea. Apalagi, bagi rumah tangga bawah yang tidak memiliki lahan dan usaha lainnya yang bisa menahan anggota rumah tangganya untuk melakukan aktivitas penghidupan di desa (pulled out), hal ini bisa membantu perekonomian dan penghidupan rumah tangga. Bahkan, selanjutnya bisa meningkatkan status sosial rumah tangganya. Oleh karena itu, mereka akan berusaha untuk bisa bekerja di Korea. Beberapa rumah tangga bawah yang punya lahan sedikit ada yang menggadaikan lahan sawahnya untuk mendapatkan modal persiapan dan keberangkatan. Namun, beberapa lagi dan semua rumah tangga bawah yang tidak punya lahan memanfaatkan institusi sosial pinjam meminjam yang ada dalam organisasi kekerbatan dan patron-klien. Mereka meminjam kepada kerabat dan patron-klien dengan bunga 100 persen. Pinjaman akan dicicil setiap bulan setelah rumah tangga tersebut menerima remitans. Bagi mereka, meskipun bunganya tinggi, namun institusi ini menjembatani mereka untuk meningkatkan penghidupan mereka. Sementara itu, dibandingkan dengan ke Korea, persyaratan, tahapan proses, dan biaya yang dibutuhkan untuk bekerja ke negara lainnya, relatif lebih ringan, lebih mudah, dan lebih murah. Biasanya pendidikan minimalnya hanya SLTP dan tidak perlu persyaratan lainnya. Mereka yang punya keinginan bisa langsung mendaftar ke PJTKI tanpa biaya yang tinggi. Meskipun sebetulnya ada keharusan menguasai bahasa asing (bahasa di negara tujuan) dan keterampilan khusus (sesuai jenis pekerjaannya), namun semuanya bukanlah persyaratan awal. Setelah mendaftar, calon tenaga kerja tersebut akan diasramakan untuk diberikan pelatihan bahasa dan keterampilan di balai latihan kerja yang dimiliki PJTKI. Semua biaya persyaratan dan kelengkapan dokumen administrasi, seperti SKCK, paspor, visa kerja, dan tiket ditanggung oleh PJTKI. PJTKI juga seringkali membantu “merekayasa” data dan informasi supaya calon tenaga kerja yang sebagian besar perempuan tersebut bisa berangkat. Mudah dan rendahnya biaya yang harus dikeluarkan berbanding lurus juga dengan murah dan rendahnya pendapatan bersih yang bisa mereka terima dan remitans yang bisa diterima rumah tangganya di desa. Gaji mereka masuk melalui PJTKI sehingga setiap bulan atau setiap periode gajian, gaji mereka akan dipotong 90
terlebih dahulu oleh PJTKI. Biaya pelatihan (termasuk akomodasi dan makanminum selama di asrama), biaya dokumen kelengkapan, biaya tiket, dan biayabiaya “rekayasa” lainnya ternyata dibebankan sepenuhnya kepada tenaga kerja dan dihitung sebagai pinjaman yang berbunga tinggi. Akibatnya mereka hanya mendapatkan pendapatan bersih yang sangat sedikit. Menurut mereka yang bekerja sebagai pembantu di negara-negara Arab, paling-paling setiap bulannya mereka hanya mendapatkan gaji bersih Rp 2 jutaan-an sehingga dalam setahun mereka hanya bisa mengirimkan remitans sebanyak Rp 12 juta saja. Ketika ditanya berapa sebetulnya gaji mereka (sebelum dipotong PJTKI), tidak ada satu pun yang tahu. Bagi mereka, yang penting mereka bisa berangkat dan bekerja ke Korea. Prosesnya mudah dan tidak perlu ribet mempersiapkan dokumen kelengkapan dan tiket. Semuanya disiapkan PJTKI. Meskipun gaji yang diterimanya sedikit, sebagian besar tenaga kerja, termasuk para pembantu rumah tangga, rata-rata kembali lagi ke sana untuk bekerja. Mereka hanya pulang selama 1-2 bulan saja setiap 2 tahun. Kontrak kerja dengan PJTKI rata-rata dilakukan untuk dua atau empat tahun dan bisa diperpanjang. Bagi mereka yang pernah bekerja di luar negeri, meskipun jadi pembantu rumah tangga, bekerja di luar negeri, selain memberikan manfaat ekonomi bagi penghidupan rumah tangga juga memberikan kepuasan lain. Alasan inilah sepertinya yang membuat para TKI dan TKW tidak ada kapok-kapoknya bekerja di luar negeri, meskipun hanya menjadi pembantu bergaji kecil. Migrasi Dalam Negeri (Domestik) Seperti yang ditunjukkan Tabel 6.4, rumah tangga yang melakukan aktivitas penghidupan di luar Kabupaten Indramayu jumlahnya hanya sedikit, bahkan lebih sedikit dari aktivitas penghidupan migrasi internasional. Dari seluruh lapisan yang ada di desa saja hanya mencapai 9 persen dengan persentase terbanyak dicapai oleh rumah tangga bawah pemilik yang mencapai 19 persen. Bahkan, untuk lapisan atas, tidak ada satu pun rumah tangga yang melakukannya. Tabel 6.6 Keterangan kota, jenis kelamin, aktivitas penghidupan yang dilakukan rumah tangga dalam strategi migrasi dalam negeri (dalam persen) Rumah Tangga Menengah Bawah pemilik
Bawah penggarap Bawah buruh
No. Kuesioner 61 25 66 67 69 70 77
Kota Serang Jabodetabek Sumatera Jabodetabek Batam Jabodetabek Jabodetabek
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki
Aktivitas Penghidupan Tenaga kerja pabrik Tenaga kerja pabrik Usaha perdagangan Usaha perdagangan Penghibur Tenaga kerja pabrik Usaha perdagangan
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
91
Pada Tabel 6.6 dapat dilihat kota tujuan migrasi, jenis kelamin, dan aktivitas penghidupan yang dilakukan oleh rumah tangga dari berbagai lapisan sosial. Dari tabel tersebut terlihat anggota rumah tangga laki-laki merupakan anggota yang paling banyak melakukan migrasi dengan daerah tujuan terbanyak, yaitu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Di kota-kota tersebut sebagian besar dari mereka melakukan aktivitas bekerja di pabrik, berdagang, dan ada satu orang yang menjalani aktivitas penghidupan dengan menjadi wanita penghibur di Batam. Para anggota rumah tangga yang sebagian besar adalah anaknya ini rutin mengirimkan remitans ke desa untuk membantu penghidupan rumah tangganya. Setidaknya setiap tahun, terutama lebaran, mereka pulang ke desa. Dibandingkan dengan bekerja di luar negeri, terutama di Korea, penghasilan yang didapatkan memang jauh lebih sedikit Berkurangnya rumah tangga yang menjalankan aktivitas penghidupan di luar Kabupaten Indramayu juga disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, saat ini, dengan pendapatan dan remitans yang lebih tinggi, rumah tangga di Desa Karangmulya lebih memilih melakukan aktivitas migrasi di luar negeri, terutama ke Korea. Apalagi setelah adanya kebijakan wajib sekolah gratis sampai SMA, semua anak-anak dari semua lapisan rumah tangga hampir semuanya bersekolah sampai tingkatan SMA. Adanya institusi yang memberikan pinjaman modal untuk persiapan dan keberangkatan ke Korea memberi kesempatan kepada siapa saja, termasuk rumah tangga bawah untuk berangkat bekerja di Korea. Kedua, saat ini, kesempatan bekerja dan berusaha di desa dan sekitarnya cukup banyak. Ketiga, saat ini, upah bekerja di desa dan sekitarnya lebih besar daripada upah bekerja di luar desa dan sekitarnya (di dalam negeri). Keempat, saat ini, hampir semua rumah tangga memiliki sepeda motor dan handphone sehingga mempermudah mobilitas dan komunikasi untuk bekerja dan berusaha di desa dan sekitar desa. Di sektor pertanian, keberhasilan adaptasi petani secara kolektif di tingkat komunitas maupun adaptasi di tingkat rumah tangga untuk mengurangi kerentanan terhadap kekeringan, banjir, dan serangan HPT mampu meningkatkan banyaknya musim tanam padi (dari hanya satu kali menjadi dua kali), produktivitas padi, dan keanekaragaman jenis usaha tani non-padi. Keberhasilan adaptasi, terutama, terjadi pada lahan-lahan sawah yang dekat dengan bendungan Kali Bojong. Selain itu, dalam waktu yang bersamaan, pemerintah juga menaikkan harga dasar pembelian gabah yang kemudian menaikkan harga pasaran pembelian gabah di tingkat petani. Petani pun bisa menjual padi hasil panennya dengan harga yang cukup tinggi. Keberhasilan adaptasi dan kenaikan harga padi semakin memberikan keuntungan yang menagan rumah tangga atas, menengah, pemilik, dan penggarap lahan untuk tetap menggarap sawahnya di desa. Harga jual padi pada tahun 2013-2014 mencapai Rp 3,800 – 4,200 per kg pada panen musim rendeng dan Rp 4,300 – 4,600 per kg pada panen musim gadu. Analisis usaha tani padi 2013-2014 yang dilakukan menunjukkan dari satu bahu 92
sawah yang ditanami dapat menghasilkan keuntungan bersih Rp 12,595,000 s.d. Rp 18,900,000 dari hasil penjualan 4.5 ton padi (setelah dipotong bawon) pada musim tanam rendeng dan Rp 9,495,000 s.d. Rp 10,545,000 dari hasil penjualan 3.5 ton padi (setelah dipotong bawon) pada musim tanam gadu. Beberapa rumah tangga yang rajin, bahkan mendapatkan tambahan penghasilan dari usaha tanaman sayuran, semangka, dan timunsuri. Kondisi ini menyebabkan, sebagian besar rumah tangga pemilik lahan luas tidak lagi tertarik untuk melakukan aktivitas. Sebelum produktivitas dan harga jual padi bagus seperti ini, banyak rumah tangga yang bermigrasi musiman dengan menanam semangka di lahan-lahan sawah di luar Kabupaten Indramayu. Rumah tangga lapisan atas berperan sebagai pemodal dan rumah tangga lapisan bawah berperan sebagai buruh taninya. Hasil dan keuntungan yang bagus (ditambah kelangkaan tenaga kerja karena para buruh tani umurnya semakin menua dan sudah banyak yang meninggal), upah kerja buruh tani pun saat ini mencapai Rp 50 ribu per setengah hari (sabedug) di musim tanam rendeng dan Rp 60 ribu di musim tanam gadu. Upah sebesar ini membuat mereka lebih memilih tetap tinggal dan bekerja di desa. Selain itu, adanya sepeda motor mempermudah mereka untuk bekerja sebagai buruh tani di lahan-lahan sawah luar desa (di desa-desa tetangga) dan tetap pulang ke rumah setiap hari. Selain itu, institusi bawon yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk ikut memanen dan mendapatkan padi (bawon) menjadi faktor yang menarik mereka tetap tinggal di desa. Sebagai hitung-hitungannya, tenaga panen akan mendapatkan bagian 0.9 ton bawon per bahu. Artinya, ada Rp 3,420,000 s.d. Rp 3,780,000 pada musim rendeng dan Rp 3,010,000 s.d Rp 3,220,00 yang bisa diperoleh kelompok penderep (tenaga panen) dari setiap satu bahu lahan sawah yang dipanennya. Adanya handphone mempermudah pertukaran informasi waktu panen dengan para penderep dari desa lain. Adanya sepeda motor mempermudah mereka untuk mengangkut padi hasil panen dan segera menuju ke lahan sawah lainnya yang ada di desa serta menjangkau lahan sawah di desa-desa tetangga. Dengan adanya sepeda motor, mereka juga bisa pulang setiap hari meskipun sudah larut malam dan bisa berangkat ke sawah, terutama yang jauh, sepagi mungkin. Banyaknya pembangunan dan renovasi rumah tinggal sebagai dampak tingginya remitans dari Korea telah membuka kesempatan bekerja dan berusaha di sektor konstruksi. Para tukang dan buruh bangunan yang biasanya merantau ke kota-kota besar saat ini lebih memilih bekerja di desa karena banyaknya peluang bekerja di desa. Upah yang diterima pun sama, bahkan ada yang lebih tinggi daripada bekerja di kota-kota besar. Rumah tangga yang tadinya bekerja sebagai karyawan kusen di kota-kota besat lebih memilih membuat usaha sendiri di rumahnya.
93
6.2 Analsisis Pendapatan Rumah Tangga Seperti yang ditelah disampaikan di atas, strategi penghidupan setiap rumah tangga dilakukan melalui berbagai aktivitas berusaha atau bekerja. Dalam subsektor tanaman padi, misalnya, rumah tangga lapisan atas melakukannya melalui usaha tani di lahan sawahnya dan rumah tangga lapisan bawah buruh melakukannya melalui bekerja menjadi buruh tani atau buruh panen (bawon) di lahan sawah rumah tangga atas. Atas usahanya, rumah tangga atas akan mendapatkan hasil panen yang bisa dikonsumsi dan dijual untuk mendapatkan uang. Keuntungan akan diperoleh apabila terjadi surplus produksi, yaitu hasil panen yang diperoleh lebih besar dari biaya input produksi yang dikeluarkan. Begitu pun dengan rumah tangga bawah buruh, mereka akan mendapatkan upah kerja memelihara sawah berupa uang dan padi yang menjadi bagiannya setelah melakukan panen dengan sistem bawon. Padi tersebut bisa dikonsumsi dan dijual untuk mendapatkan uang. Padi dan uang hasil berusaha dan bekerja inilah yang disebut sebagai pendapatan. Idealnya, semakin banyak dan giat berusaha dan bekerja, semakin banyak pula pendapatan yang diterima. Dalam kerangka penelitian penghidupan, semakin banyak pendapatan yang diterima rumah tangga, semakin terjamin keberlanjutan penghidupan rumah tangganya. Dari pendapatan yang diterimanya, rumah tangga bisa melakukan strategi akumulasi, konsolidasi, atau sekedar survival. Akumulasi dilakukan rumah tangga dengan pendapatan relatif besar melalui penambahan aset penghidupan yang kemudian bisa menambah ragam aktivitas strategi penghidupan dan menerima tambahan pendapatan. Konsolidasi dilakukan rumah tangga dengan pendapatan relatif sedang melalui pemantapan aset penghidupan yang dimiliki. Dengan strategi survival, rumah tangga tersebut akan berusaha untuk melindungi aset penghidupannya agar bisa melakukan aktivitas strategi penghidupan secara normal. Sementara itu, survival dilakukan rumah tangga dengan pendapatan relatif kecil atau pas-pasan. Pendapatan yang diterimanya hanya cukup untuk bertahan hidup dan tidak mungkin bisa digunakan untuk menambah aset penghidupan. Biasanya, strategi akumulasi dilakukan oleh rumah tangga lapisan atas. Konsolidasi oleh rumah tangga lapisan menengah. Akumulasi oleh rumah tangga lapisan bawah. Di Desa Karangmulya, pendapatan tidak selamanya diperoleh dalam bentuk uang secara langsung, terutama untuk subsektor tanaman padi. Panen padi dengan sistem bawon yang berlaku di desa menyebabkan rumah tangga pemilik atau penggarap lahan sawah akan mendapatkan pendapatan berupa padi sebanyak 5/6 dari total hasil panen. Tenaga panen pun tidak bayar dengan uang, namun dengan sejumlah padi yang menjadi bagiannya. Seluruh tenaga panen akan mendapatkan 1/6 dari total hasil panen. Selain itu, pembayaran sewa lahan pun dilakukan dengan padi bukan dengan uang. Selain tanaman padi, usaha ternak kambing pun menerapkan bagi hasil dalam bentuk non-uang.
94
Tabel 6.7 Pendapatan yang dihasilkan rumah tangga dari berbagai aktivitas penghidupan Aktivitas Penghidupan
Atas (n=8)
Pertanian (Rp) % Tanaman padi (Rp) % Tanaman hortikultura (Rp) % Peternakan (Rp) % Jasa pertanian untuk tanaman padi (traktor, trasher) (Rp) % Pemungutan hasil alam non budidaya % Diversifikasi penghidupan non-pertanian (Rp) % Perdagangan dan penyediaan makan minum (Rp) % Industri pengolahan hasil pertanian (Rp) % Konstruksi (Rp) % Transportasi (Rp) % Lainnya (PNS, swasta, pengelola LPK) (Rp) % Remitance-migrasi (Rp) % Remitans luar negeri (Rp) % Remitans dalam negeri(Rp) % Total pendapatan Mei 2013-April 2014 (Rp) % Pendapatan/bulan (Rp) Pendapatan/bulan /kapita (Rp) Jumlah ART (No.)
75,425 38.7 62,550 32.1 1,625 0.8 8,750 4.5
Lapisan Sosial Bawah Bawah Menengah Pemilik Penggarap (n=24) (n=16) (n=16) 35,298 16,220 31,730 69.6 82.6 67.6 28,526 14,220 27,729 56.2 72.4 59 5,563 1,906 3,313 11 9.7 7.1 1,042 94 0 2.1 0.5 0
Bawah Buruh (n=16) 6,837 28.4 4,856 20.2 0 0 0 0
DESA (n=60) 29,089 55 24,174 45.8 2,875 5.4 1,206 2.3
0 0
167 0.3
0 0
688 1.5
1,306 5.4
449 0.8
2,500 1.3
0 0
0 0
0 0
675 2.8
385 0.7
79,356 40.7
7,167 14.2
2,250 11.4
2,794 6
2,641 10.9
11,623 22
24,606 12.6
2,784 5.5
375 1.9
981 2.1
850 3.5
3,737 7.1
9,000 4.6 3,750 1.9 0 0
300 0.6 1,000 2 1,583 3.1
750 3.8 0 0 0 0
750 1.6 1,063 2.3 0 0
1,141 4.7 50 0.2 600 2.5
1,518 2.9 898 1.7 595 1.1
42,000 21.6 40,000 20.5 40,000 20.5 0 0
1,500 3 8,250 16.3 8,000 15.8 250 0.5
1,125 5.7 1,175 6 750 3.8 425 2.2
0 0 12,463 26.5 9,375 6.5 3,088 20
0 0 14,538 60.5 14,313 59.6 225 0.9
4,875 9.2 12,111 23 11,288 21.4 823 1.6
194,781 100 16,232
50,714 100 4,226
19,645 100 1,637
46,987 100 3,916
24,018 100 2,001
52,823 100 4,402
4,774
1,208
431
1,004
690
1,223
3.4
3.5
3.8
3.9
2.9
3.6
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
95
Untuk mempermudah perhitungan, semua pendapatan yang diperoleh rumah tangga dikonversi ke dalam uang (rupiah) menyesuaikan dengan harga jual produk (padi atau kambing) yang berlaku pada saat rumah tangga tersebut mendapatkan pendapatan dalam bentuk non-uang. Untuk padi berkisar antara Rp 3,800 sd. Rp 4,200 untuk panen musim rendeng dan Rp 4,300 s.d Rp 4,600 untuk panen musim gadu. Secara umum, seperti yang ditampilkan Tabel 6.7, pendapatan rumah tangga yang ada di Desa Karangmulya setengahnya (55 persen) masih disumbang oleh strategi penghidupan pertanian dengan rata-rata pendapatan Rp 29 juta-an per tahun per rumah tangga. Sumbangan pendapatan kedua diperoleh dari strategi penghidupan migrasi (23 persen) sebesar Rp 12 juta-an per tahun per rumah tangga dan ketiga diperoleh dari strategi diversifikasi penghidupan non-pertanian (22 persen) sebesar Rp 11 juta-an per tahun per rumah tangga. Dari pendapatan berbagai aktivitas penghidupan tersebut terkumpul pendapatan tahunan rata-rata setiap rumah tangga di Desa Karangmulya sebesar Rp 52,823,000 atau sebesar Rp 4,402,000 per rumah tangga per bulan. Artinya, dengan jumlah rata-rata anggota rumah tangga 3.6 orang (semua anggota dari semua kelompok umur), pendapatan per kapita masyarakat Desa Karangmulya mencapai Rp 1,223,000. Dengan jumlah pendapatan sebesar ini, pendapatan rumah tangga bulanan bisa dikatakan cukup besar. Namun, apabila dilihat per lapisan rumah tangga, persentase kontribusi pendapatan dan jumlah pendapatan tiap strategi (sektor) sangat beragam. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkat kepemilikan rumah tangga dan kemampuan rumah tangga mengakses aset penghidupan. Pendapatan Rumah Tangga Lapisan Atas Rumah tangga lapisan atas merupakan rumah tangga dengan pendapatan rumah tangga terbesar, yaitu mencapai Rp 194,781,000 per tahun atau Rp 16,232,000 per bulan. Dengan kepemilikan lahan sawah yang cukup luas, semua rumah tangga atas melakukan aktivitas penghidupan di subsektor tanaman padi dan juga beberapa di subsektor lainnya. Dari aktivitas penghidupan pertanian, rumah tangga atas memperolah pendapatan rata-rata tahunan cukup besar, yaitu sebesar Rp 75,425,000. Namun, jumlah ini masih kalah dibandingkan dengan pendapatan dari aktivitas strategi penghidupan non-pertanian yang mencapai Rp 79,356,000. Selain kedua strategi di atas, rumah tangga atas juga memperoleh pendapatan remitans dari Korea Rp 40,000,000. Perbedaannya dengan lapisan lainnya yang mendapatkan remitans dari para buruh migran, remitans terbesar diperoleh dari usaha yang mengurusi buruh migran di Korea. Apabila dipersentasekan, kontribusi strategi pertanian, diversifikasi penghidupan, dan migrasi masing-masing sebesar 38.7 persen, 40.7 persen, dan 20.5 persen (lihat Gambar 6.1).
96
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% MIGRASI NON-PERTANIAN PERTANIAN
Aktivitas 8.2 37.7 54.1
Pendapatan 20.5 40.7 38.7
Gambar 6.1 Persentase aktivitas penghidupan dan pendapatan rumah tangga lapsian atas Sumber: Analsis data primer survei rumah tangga 2014
Pendapatan Rumah Tangga Lapisan Menengah Meskipun lahan yang dimilikinya lebih sedikit dari lapisan atas, kontribusi pendapatan pertanian rumah tangga lapisan menengah mencapai 69.6 persen dengan jumlah sebesar Rp 35,298,000 per tahun. Rumah tangga menengah juga merupakan rumah tangga terbesar yang mendapatkan pendapatan dari aktivitas usaha sayuran dan usaha penggilingan padi. Kontribusi kedua disumbang oleh pendapatan dari aktvitas penghidupan migrasi yang mencapai 16.3 persen dengan jumlah Rp 8,250,000. Kontribusi ketiga disumbang oleh pendapatan dari aktivitas penghidupan non-pertanian 14.2 persen dengan jumlah Rp 7,167,000. Dari berbagai aktivitas penghidupan yang dijalankan rumah tangga menengah memperoleh pendapatan rata-rata tahunan Rp 50,714,000 atau Rp 4,226,000 per bulan. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% MIGRASI NON-PERTANIAN PERTANIAN
Aktivitas 5.7 15.1 79.3
Pendapatan 16.3 14.2 69.6
Gambar 6.2 Persentase aktivitas penghidupan dan pendapatan rumah tangga lapisan menengah Sumber: Analsis data primer survei rumah tangga 2014
97
Pendapatan Rumah Tangga Lapisan Bawah Pemilik Rumah tangga lapisan bawah pemilik merupakan lapisan bawah yang masih memiliki lahan sawah meskipun luasnya sangat sedikit. Dari lahan sawah yang dimilikinya, rumah tangga ini mendapatkan pendapatan Rp 16,220,000 per tahun atau sebanyak 82.6 persen dari total pendapatan. Pendapatan dari aktivitas penghidupan di sektor pertanian ini memberi kontribusi terbesar. Kontribusi kedua dan kedua disumbang berturut-turut oleh pendapatan dari aktivitas penghidupan non-pertanian dan migrasi, masing-masing, sebanyak 11.4 persen dan 6 persen dengan jumlah sebanyak Rp 2,250,000 dan Rp 1,175,000. Dari berbagai aktivitas penghidupan tersebut rumah tangga bawah memperoleh pendapatan rata-rata tahunan Rp 19,645,000 atau Rp 1,637,000 per bulan. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% MIGRASI NON-PERTANIAN PERTANIAN
Aktivitas 5.7 15.1 79.3
Pendapatan 16.3 14.2 69.6
Gambar 6.3 Persentase aktivitas penghidupan dan pendapatan rumah tangga lapisan bawah pemilik Sumber: Analsis data primer survei rumah tangga 2014
Pendapatan Rumah Tangga Lapisan Bawah Penggarap Meskipun tidak memiliki lahan sawah, dengan institusi sewa lahan sawah orang lain, rumah tangga lapisan ini mampu menggarap sawah untuk ditanami padi dan juga hortikultura. Ditambah dengan aktivitas bawon dan bekerja sebagai buruh, aktivitas penghidupan di sektor pertanian mampu memberikan pendapatan rata-rata tahunan sebesar Rp 31,730,000. Jumlah pendapatan sebesar ini memberikan kontribusi sebanyak 67.6 persen dari total pendapatan. Kontribusi pendapatan kedua diberikan dari aktivitas penghidupan migrasi yang mencapai Ru 12,463,000 atau 26.5 persen dari total pendapatan. Kontribusi terkecil diberikan oleh aktivitas penghidupan non-pertanian yang hanya Rp 2,794,000 per tahun atau hanya 6 persen dari total pendapatan.
98
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% MIGRASI NON-PERTANIAN PERTANIAN
Aktivitas 6.3 8.9 84.8
Pendapatan 26.5 6.0 67.6
Gambar 6.4 Persentase aktivitas penghidupan dan pendapatan rumah tangga lapisan bawah penggarap Sumber: Analsis data primer survei rumah tangga 2014
Pendapatan Rumah Tangga Lapisan Bawah Buruh Rumah tangga lapisan bawah buruh merupakan lapisan rumah tangga yang tidak memiliki lahan sawah maupun sekedar menggarap lahan sawah orang lain. Dengan kondisi seperti ini, rumah tangga bawah buruh hanya bisa mendapatkan pendapatan dari lahan sawah melalui aktivitas bekerja saja. Bekerja sebagai buruh tani, buruh pacul, buruh tandur, buruh semprot, dan buruh menyiangi menjadi aktivitas penghidupan yang dipilih untuk mendapatkan pendapatan berupa uang dari lahan sawah. Selain itu, kesempatan untuk ikut panen dengan sistem bawon di desa maupun di desa-desa tetangga memberi kontribusi pendapatan berupa padi. Namun, meskipun semuanya melakukan aktivitas pertanian tersebut, jumlah pendapatan dan kontribusinya untuk total pendapatan rumah tangga relatif lebih kecil dibanding dengan kontribusi aktivitas penghidupan migrasi. Nilainya rupiahnya pun jauh lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan sektor pertanian yang diperoleh lapisan rumah tangga lain. Rumah tangga lapisan bawah buruh memperoleh pendapatan rata-rata tahunan dari aktivitas penghidupan pertanian hanya sebesar Rp 6,837,000 atau 28.4 persen dari total pendapatan. Pendapatan terbesar justru diterima dari aktivitas penghidupan migrasi yang mencapai Rp 14,538,000 per tahun atau 60.5 persen dari total pendapatan. Dari aktivitas penghidupan non-pertanian pun tak banyak yang dapat diperoleh. Keterbatasan modal atau aset membuat, aktivitas penghidupan non-pertanian yang dilakukan hanya menghasilkan pendapatan yang sedikit, yaitu sebesar Rp 2,641,000 per tahun atau 10.9 persen dari total pendapatan.
99
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% MIGRASI NON-PERTANIAN PERTANIAN
Aktivitas 12.6 10.6 76.9
Pendapatan 60.5 10.9 28.4
Gambar 6.5 Persentase aktivitas penghidupan dan pendapatan rumah tangga lapisan bawah buruh Sumber: Analsis data primer survei rumah tangga 2014
Ikhtisar Mengikuti kerangka penghidupan, uraian di atas memaparkan bahwa aktivitas penghidupan rumah tangga di Desa Karangmulya dilakukan dalam tiga strategi, yaitu pertanian, diversifikasi penghidupan non-pertanian, dan migrasi (lihat Gambar 6.6). Aktivitas penghidupan dilakukan oleh setiap rumah tangga dengan mengkombinasikan aset penghidupan yang dimiliki dan dapat diaksesnya. Aktivitas-aktivitas penghidupan di sektor pertanian, terutaman subsektor tanaman padi merupakan aktivitas penghidupan yang dilakukan oleh semua rumah tangga. Rumah tangga atas, menengah, bawah pemilik, dan bawah penggarap yang menguasai lahan sawah semuanya mendapatkan penghidupan dari lahan sawah yang mereka kuasai. Bagi rumah tangga bawah buruh, meskipun tidak mempunyai dan menggarap lahan sawah, mereka semuanya masih tetap bisa mendapatkan penghidupan dari berbagai aktivitas penghidupan di subsektor tanaman padi dengan bekerja mendapatkan upah maupun ikut mendapatkan padi melalui institusi bawon, remi, dan senggang. Selain adanya bawon, remi, dan senggang yang merupakan institusi sosial (penghidupan) asli (non-formal/tradisional) yang memberi kesempatan kepada seluruh masyarakat untuk melakukan aktivitas penghidupan di subsektor tanaman pangan, upaya-upaya adapatasi yang dilakukan secara kolektif maupun di tingkat rumah tangga juga ikut memberikan kontribusi. Dengan berbagai upaya adaptasi yang dilakukan, lahan-lahan sawah di Desa Karangmulya, terutama yang dekat dengan bendungan embung Kali Bojong, menjadi bisa ditanam dua kali dalam setahun dengan produktivitas yang lebih baik. Upaya adaptasi juga menambah keanekaragaman tanaman yang ditanam. Meskipun tidak semuanya berhasil,
100
penambahan musim tanam, keanekaragaman tanaman, dan produktivitas hasil telah meningkatkan keuntungan berusaha dan banyaknya kesempatan bekerja. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Atas
Menenga h
B. Pemilik
MIGRASI
8.2
5.7
6.5
NON-PERTANIAN
37.7
15.1
PERTANIAN
54.1
79.3
B. Penggara B. Buruh p
Desa
6.3
12.6
7.6
4.7
8.9
10.6
12.5
88.9
84.8
76.9
79.9
Gambar 6.6 Persentase strategi (aktivitas) penghidupan rumah tangga setiap lapisan sosial Sumber: Analsis data primer survei rumah tangga 2014
Surplus produksi yang diterima dan juga dorongan untuk bertahan dan meningkatkan penghidupan rumah tangga membuat sebagian rumah tangga dari berbagai lapisan sosial melakukan strategi diversifikasi penghidupan nonpertanian. Aktivitas yang dijalankan menyesuaikan dengan aset penghidupan yang dimiliknya. Dengan surplus produksi dan aset penghidupan yang dimilikinya, rumah tangga atas menjadi lapisan yang paling banyak melakukan aktivitas diversifikasi penghidupan, seperti membuka usaha perdagangan beras, toko, penggilingan padi, pertukangan, jualan pakaian keliling, dan lembaga pelatihan bahasa Korea. Bahkan, beberapa aktivitas memerlukan modal (aset) yang cukup besar sehingga, aktivitas ini hanya bisa dilakukan oleh rumah tangga atas, seperti usaha penggilingan padi dan lembaga pelatihan bahasa Korea (LPK). Meskipun seperti itu, apabila dilhat dengan teori struktural fungsional, aktivitas penghidupan yang hanya bisa dilakukan oleh rumah tangga atas ternyata memberi manfaat (fungsi) bagi rumah tangga lapisan di bawahnya. Usaha penggilingan padi, misalnya, mampu menyerap tenaga kerja (buruh) dari semua lapisan rumah tangga di bawahnya. Begitu pun dengan lembaga pelatihan bahasa Korea, meskipun hanya mampu dijalankan oleh rumah tangga lapisan atas, namun usahanya (organisasi formal) ini ditambah dengan institusi sosial yang berlaku di masyarakat desa mampu meningkatkan kapasitas modal finansial rumah tangga yang berniat melakukan aktivitas penghidupan migrasi di luar negeri. Selain itu, usaha LPK ini
101
juga membantu persiapan lainnya, penempatan, dan pembimbingan selama di Korea. Apa yang dilakukan LPK ini telah membuat cukup banyak anggota rumah tangga dari semua lapisan dapat bekerja di Korea. Dengan pendapatan yang tinggi, mereka yang bekerja di Korea kemudian mengirimkan remitans yang tinggi pula. Selain mampu memperbaiki penghidupan rumah tangga, aliran uang dari remitans ini mampu menggerakan dan meningkatkan penghidupan pedesaan secara keseluruhan. 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 0 Atas MIGRASI
40,000 NON-PERTANIAN 79,356 PERTANIAN 75,425
Meneng ah
B. B. Penggar Pemilik ap
B. Buruh
Desa
8,250
1,175
12,463
14,538
12,111
7,167
2,250
2,794
2,641
11,623
35,298
16,220
31,730
6,837
29,089
Gambar 6.7 Perbandingan pendapatan rumah tangga setiap lapisan sosial Sumber: Analsis data primer survei rumah tangga 2014
Sementara itu, dari uraian analisis pendapatan rumah tangga dari masingmasing lapisan sosial yang kemudian dibandingkan satu sama lain diperoleh beberapa poin-poin penting (lihat Gambar 6.7), sebagai berikut: 1. Pendapatan tertinggi diperoleh oleh rumah tangga lapisan atas dan pendapatan rumah tangga terendah diperoleh oleh rumah tangga bawah lapisan bawah pemilik. 2. Terdapat ketimpangan pendapatan antara rumah tangga lapisan atas yang memiliki pendapatan tertinggi dengan rumah tangga lapisan bawah pemilk yang memiliki pendapatan terendah. Pendapatan rumah tangga atas sepuluh kali dari pendapatan rumah tangga bawah pemilik. 3. Aktivitas penghidupan pertanian yang dilakukan oleh semua rumah tangga di desa ternyata tidak lagi memberikan kontribusi pendapatan terbesar bagi rumah tangga atas dan rumah tangga bawah buruh. Rumah tangga bawah pemilik yang memperoleh kontribusi pendapatan terbesar dari pertanian justru menjadi rumah tangga dengan total pendapatan terkecil.
102
4. Diversifikasi penghidupan non-pertanian sebetulnya dilakukan oleh rumah tangga dari semua lapisan, namun ternyata kontribusi pendapatan yang dihasilkannya tidak terlalu signifkan. Hanya rumah tangga lapisan atas yang mampu memperoleh pendapatan yang cukup siginifikan, bahkan melebihi jumlah dan kontribusinya melebihi pendapatan pertanian. 5. Migrasi, terutama migrasi, yang juga dilakukan oleh rumah tangga dari semua lapisan ternyata memberikan jumlah pendapatan dan kontribusi yang cukup lumayan. Bahkan, bagi rumah tangga lapisan bawah buruh, bawah penggarap, dan menengah, jumlah dan kontribusi pendapatan dari aktivitas penghidupan migrasi lebih besar dari jumlah dan kontribusi pendapatan aktivitas non-pertanian. Bahkan, rumah tangga lapisan buruh memperoleh pendapatan yang cukup besar, yaitu sebesar Rp 14,538,000 per tahun. Jumlah sebesar ini memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi total pendapatan rumah tangga lapisan bawah, yaitu sebesar 60.5 persen.
103
BAB VII ANALISIS OUTCOME PENGHIDUPAN BERKELANJUTAN
Mengacu pada kerangka penelitian, berbagai aktivitas strategi penghidupan yang dilakukan rumah tangga dengan mengkombinasikan berbagai aset penghidupan harus mampu mewujudkan penghidupan berkelanjutan, baik bagi rumah tangga maupun bagi masyarakat Desa Karangmulya. Chambers and Conway (1991) mengemukakan bahwa penghidupan berkelanjutan harus mampu (1) beradaptasi dengan berbagai tekanan dan goncangan, (2) memelihara kapabilitas dan aset-aset penghidupan yang dimiliki, (3) menjamin penghidupan untuk generasi berikutnya. Merujuk pada Carney (1996), Scoones (1998, 2009), DFID (1999), terwujudnya penghidupan berkelanjutan bagi rumah tangga dan masyarakat dapat dilihat dari (1) adanya kesempatan bekerja dan berusaha, (2) pencapaian well-being [kesejahteraan], (3) adaptasi dan resiliensi penghidupan, (4) pemenuhan pangan, dan (4) keberlanjutan sumber daya alam. Kesempatan bekerja dan berusaha Analisis strategi penghidupan pada Bab VI menunjukkan bahwa semua rumah tangga mempunyai kesempatan bekerja dan berusaha untuk memperoleh pendapatan yang bisa mempertahankan keberlanjutannya. Bekerja dan berusaha dilakukan dalam berbagai aktivitas penghidupan di sektor pertanian, nonpertanian, dan migrasi. Selain mengkombinasikan aset penghidupan yang dimiliki, aktivitas bekerja dan berusaha dilakukan dengan mengkombinasikan aset penghidupan milik rumah tangga lain yang dapat diakses melalui berbagai institusi sosial produksi (modal sosial). Institusi sosial produksi (modal sosial) terbukti memperbesar kapasitas aset penghidupan setiap rumah tangga. Institusi sosial produksi (modal sosial) yang kuat menjadi faktor terwujudnya resilensi penghidupan setiap rumah tangga. Selain itu, institiusi sosial juga terbukti menjadi semen sosial yang mengikat keharmonisan kehidupan di desa Karangmulya. Well-being (Kesejahteraan) Merujuk pada Scoones (1998) dan DFID (1999), well-being (kesejahteraan) merupakan salah satu outcome yang dihasilkan dari penghidupan berkelanjutan. Well-being (kesejahteraan) diperoleh rumah tangga (1) melalui penghargaan diri yang diperoleh setiap rumah tangga dan anggotanya, (2) kesadaran sosial yang menjadikan setiap rumah tangga adalah bagian dari masyarakat dapat ikut serta dalam kegiatan masyarakat, (3) keamanan setiap anggota rumah tangga, keamanan fisik rumah tinggal dan aset-aset penghidupan yang dimiliki, (4) status kesehatan dan pendidikan, (5) akses terhadap berbagai
104
pelayanan publik, (6) hak untuk berpolitik, (6) hak untuk memelihara tradisi budaya, dan lain-lain. Di Desa Karangmulya apa yang diuraikan di atas sebagai kriteria tercapainya penghidupan keberlanjutan sepertinya memang terwujud. Institusi sosial asli yang melekat pada modal sosial setiap rumah tangga dan mewarnai setiap interaksi antar rumah tangga, termasuk dalam melakukan aktivitas strategi penghidupan, sangat membantu setiap rumah tangga mencapai kesejahteraannya. Beberapa uraian analisis pada Bab V, Bab VI, dan juga analisis pendapatan di atas menunjukkan adanya pembagian peran yang cukup jelas dan dilakukan secara sadar oleh setiap rumah tangga. Dalam aktivitas penghidupan subsektor pertanian tanaman padi yang sebagian besar membentuk ikatan patron-klien antara rumah tangga pemilik lahan sawah dengan rumah tangga pekerja terlihat terciptanya kriteria ini. Pemilik lahan akan memberikan penghargaan kepada setiap buruh tani yang bekerja di sawahnya dengan upah layak dan disepakati oleh kedua belah pihak. Penghargaan pemilik kepada buruh juga meluas kepada seluruh aspek penghidupan yang lain, seperti bantuan untuk kesehatan dan pendidikan anggota rumah tangga buruh. Keduanya pun sama-sama menjaga keamanan fisik setiap anggota rumah serta keamanan rumah tinggal dan aset penghidupan keduanya. Dalam aktivitas penghidupan migrasi, kehadiran rumah tangga atas yang menjalankan usaha lembaga pelatihan bahasa Korea dapat membantu memfasilitasi keberangkatan anggota rumah tangga dari semua lapisan untuk bisa berangkat ke Korea. Hambatan mahalnya biaya persiapan keberangkatan yang bisa membatasi kesempatan rumah tangga bawah untuk melakukan aktivitas migrasi ke Korea dipecahkan oleh peran rumah tangga atas yang mau meminjamkan uang yang cukup besar tanpa jaminan agunan apapun melalui institusi yang disepakati kedua belah pihak. Institusi inilah yang kemudian berlaku selama aktivitas migrasi tersebut masih berlaku dan menjadi jaminan bagi keduanya. Dari aktivitas migrasi ke Korea tersebut, keduanya pun dapat mewujudkan atau bahkan meningkatan well-being (kesejahteraan) rumah tangganya masing-masing. Begitu pun dalam aktivitas penghidupan lainnya dan aktivitas lainnya. Berbagai aktivitas tradisi budaya yang terkait dengan tahapan budidaya padi di sawah juga berhasil menghadirkan well-being bagi seluruh rumah tangga. Selain adanya do’a dan rasa syukur yang disampaikan pada sang pencipta, berbagai tradisi budaya ini juga memperkuat hubungan baik antara seluruh lapisan rumah tangga di desa. Ada pembagian peran yang cukup adil dan perwujudan nilai-nilai resiprositas di balik upacara yang dilakukan. Untuk kesehatan dan pendidikan, selain saat ini sudah difasilitasi oleh pemerintah, jauh sebelum itu, masyarakat Desa Karangmulya telah berhasil menghadirkan hal ini dengan baik. Dengan ikatan kekerabatan sosial dan resiprositas, setiap rumah tangga yang sakit, terutama yang menjadi tetangganya,
105
kerabatnya, patronnya, dan kliennya mendapatkan dukungan moral maupun materil. Bahkan, seperti yang disampaikan pada Bab V dan VI, salah seorang rumah tangga kaya secara khusus menyediakann mobil pik-up nya untuk digunakan dengan gratis untuk keperluan kesehatan. Untuk hak politik setiap rumah tangga pun dapat terwujud dengan baik. Ikatan patron-klien memang sangat terlihat pengaruhnya di permukaan dalam menentukan keputusan politik rumah tangga. Beberapa klien, misalnya, berusaha menanyakan pada patronnya mengenai pilihan politik yang harus diambil dalam pemilihan legislatif 2014. Beberapa patron memang terlibat aktif menjadi bagian dari tim sukses beberapa calon legislatif. Hasilnya, calon-calon legislatif yang didukung oleh patron tersebut memang berhasil mendapatkan suara yang cukup signifikan sehingga berhasil memperoleh tiket ke legislatif. Ketika saya konfirmasi kepada kedua belah pihak, baik patron maupun klien, menyatakan bahawa itu kebetulan saja. Sang patron tidak memaksa dan sang klien pun tidak merasa dipaksa. Ada yang menarik dalam pemilihan presiden. Kondisi yang sama pada waktu kampanye tetap terjadi. Sang patron menjadi bagian dari tim sukses salah satu calon presiden dan sang klien pun sering menanyakan pilihan yang harus dipilih oleh rumah tangganya. Yang menarik, berbeda dengan pemilihan anggota legislatif, yang semuanya sama dengan pilihan sang patron, pada pemilihan presiden nampak perbedaan yang cukup terbuka di permukaan. Banyak di antara para klien meminta izin kepada patron-nya untuk memilih calon presiden yang berbeda. Sang patron pun dengan mudah mempersilakannya. Menurut sang patron, pilihan politik pada pemilu presiden adalah hak dari setiap rumah tangga sang klien. Apabila mereka meminta saran, sang patron akan memberikan saran yang sesuai dengan pilihannya. Tapi, apabila berbeda tidak akan mempengaruhi hubungan patron-klien yang selama ini terjadi. Apalagi, menurut sang patron, siapa pun presidennya sebetulnya tidak berpengaruh langsung terhadap pembangunan desanya. Berbeda dengan anggota legislatif. Setiap anggota legislatif punya wilayah (daerah pemilihan) yang jelas sehingga sangat menentukan pembangunan desanya. Apabila seoran anggota legislatif mendapatkan suara yang signifikan dari desanya, anggota legislatif tersebut dipastikan akan mendahulukan pembangunan desanya. Kesadaran dan kebebasan politik diperoleh masyarakat Desa Karangmulya dari sistem pemilihan kepala desa (kuwu) yang rutin dilakukan. Hajatan politk tingkat desa tersebut secara langsung memberi pelajaran bahwa “meskipun bersaudara tapi boleh berbeda secara politik” dan “meskipun berbeda secara politik, namun tetap bersaudara”. Adaptasi Penghidupan Pengalaman hidup dan menjalankan penghidupan selama ratusan tahun di desa yang mempunyai kerentanan sangat tinggi telah membentuk masyarakat 106
yang harus selalu siap beradaptasi dengan berbagai stresses (tekanan) dan shock (goncangan). Berbagai institusi sosial pun tercipta untuk mengatur interaksi sosial antar rumah tangga sebagai anggota masyarakat, termasuk dalam aktivitas strategi penghidupan rumah tangga yang melibatkan penggunaan berbagai aset penghidupan. Berbagai aktivitas strategi penghidupan pun dicoba menyesuaikan kondisi iklim dan cuaca yang berubah-ubah (terutama yang berkaitan dengan air), kondisi permintaan pasar (terutama untuk tanaman hortikultura), kondisi perekonomian desa (seperti akibat dari peningkatan remitans) serta kebijakan pemerintah (seperti kebijakan mengenai kesempatan bekerja di luar negeri dan program adaptasi iklim). Rumah tangga yang mempunyai lahan sawah di dekat bendungan embung kali Bojong, misalnya, melakukan intensifikasi pertanian dengan menanam padi menjadi dua kali dalam setahun setelah adanya bendungan embung Kali Bojong. Rumah tangga yang jauh dari bendung embung Kali Bojong, namun mempunyai sumur pantek, lebih memilih menanam tanaman hortikultura yang membutuhkan sedikit air di musim keduanya (menjelang kemarau). Tanaman timunsuri lebih dipilih ketika menjelang bulan Ramadhan. Sedangkan, tanaman semangka lebih dipilih ketika musim kedua tersebut tidak berdekatan dengan bulan Ramadhan. Namun, bagi sebagian rumah tangga yang jauh dengan bendung embung Kali Bojong dan juga tidak mempunyai sumur pantek, menjadikan gundukan tanah sawahnya yang tidak rata sebagai bahan baku pembuatan bata merah. Sebagian lagi yang tidak bisa melakukan aktivitas pertanian di desa melakukan aktivitas pertaniannya di lahan sawah desa-desa tetangga, seperti menyewa lahan selama satu musim untuk menanam timunsuri atau semangka dan jadi buruh tani, termasuk ikut bawon di desa lain. Banyaknya kesempatan aktivitas penghidupan subsektor konstruksi di desa sebagai akibat dari meningkatnya remitans dari Korea, saat ini, membuat rumah tangga yang biasanya melakukan migrasi bekerja membangun rumah di Jakarta lebih memilih bekerja di desa. Selain upahnya sama, bahkan beberapa lebih besar, dengan bekerja di desa, mereka bisa pulang ke rumah setiap hari dan menjalankan interaksi sosial dengan anggota masyarakat yang lain. Karena tinggal di desa, mereka pun masih bisa melakukan aktivitas bawon, terutama ketika panen raya. Begitu pun dengan perkembangan strategi migrasi selalu beradaptasi menyesuaikan dengan perkembangan perekonomian dan kebijakan pemerintah. Dulu, pada era 1980-an ketika perekonomian nasional meledak akibat booming minyak sehingga di Jakarta didirikan pusat-pusat hiburan, seperti di Jatinegara, sebagian besar remaja perempuan pergi ke Jakarta menjadi wanita penghibur di pusat-pusat hiburan tersebut. Salah satu tokoh masyarakat masih ingat ketika tahun 1985, sebanyak 24 dari 25 remaja perempuan dari di kampungnya pergi ke Jakarta setelah selesai mengaji di mushola. Pada waktu itu, bekerja sebagai wanita penghibur di Jakarta menjadi sebuah kebanggaan dan meningkatkan martabat
107
kelaurga (rumah tangga). Selama menjadi wanita penghibur atau ketika pulang ke desa, mereka tetap menjalankan ritual keagamaan seperti biasanya. Bagi mereka dan juga seluruh masyarakat desa pada waktu itu, bekerja menjadi wanita penghibur tidak-lah berdosa, bahkan dianggap sebagai pahlawan bagi keluarga (rumah tangga) yang sedang mengalami kesulitan ekonomi dan pangan akibat kekeringan dan banjir yang sering menggagalkan panen padi di desa. Begitu pun dengan para remaja lelaki, mereka juga melakukan migrasi ke Jakarta. Sebagian besar masih menjalankan aktivitas pertanian, seperti menggarap sawah dan menanam semangka di Karawang, Bekasi, dan Serang. Sebagian lagi yang cukup berpendidikan (lulus SD atau SMP) terserap di pabrik-pabrik di Jabodetabek. Sebagian lagi berusaha dan bekerja di sektor-sektor informal, seperti pedagang asongan, tukang gali sumur, tukang pantek, dan juga preman di beberapa titik di Jakarta, seperti di Jatinegara, Kampung Rambutan, dan Pulo Gadung.Adanya bis di jalur pantura dan kereta api (pada waktu itu, bahkan ada kereta api jurusan Serang) mempermudah mobilisasi mereka. Pada awal tahun 1990-an, orientasi migrasi berubah dari bekerja di Jakarta menjadi bekerja di luar negeri. Kebijakan pemerintah yang membuka kesempatan bekerja di luar negeri, terutama di Malaysia dan Arab Saudi, dengan gaji yang lebih besar dan kebanggaan pengalaman ke luar negeri menjadi faktor yang merubah orientasi migrasi. Laki-laki yang menjadi TKI bekerja sebagai sopir dan montir. Perempuan yang menjadi TKW bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kebijakan pemerintah yang menutup tempat-tempat hiburan di Jakarta dan maraknya madrasah-madrasah diniyah di desa juga ikut merubah orientasi migrasi masyarakat Desa Karangmulya. Beberapa alumni wanita penghibur ikut menjadi TKW dan beberapa lagi, terutama laki-laki yang pulang kampung, menjalankan aktivitas di sektor pertanian di lahan-lahan sawah irigasi teknis baru di Subang. Aliran irigasi yang mengalir dari Jaringan Irigasi Jatiluhur ke wilayah Pantura, termasuk beberapa daerah Subang, telah merubah lahan-lahan sawah di daerah yang tadinya tadah hujan menjadi sawah irigasi teknis. Akibatnya, permintaan tenaga kerja (buruh tani) pun meningkat. Selain itu, pada tahun 1990an usaha tani semangka di desa mengalami puncak-puncak kejayaan. Selain di desa, sebagian besar rumah tangga di desa juga melakukan usaha tani semangka di luar desa, terutama pada musim kemarau di desa. Pada saat itu, banyak rumah tangga yang menjadi kaya dari semangka dan merubah gaya hidup. Usaha tani semangka terus mengalami kejayaan sampai terjadinya pergantian pemerintahan yang membuka kran impor buah-buahan dari luar negeri pada akhir tahun 1990-an. Kondisi ini diperparah dengan krisis ekonomi nasional yang menutup berbagai usaha di kota-kota besar. Rumah tangga dan anggota rumah tangga yang tadinya merantau kembali ke desa menjadi petani padi sawah. Pergantian pemerintahan dan gaya pembangunan dari sentralistik ke desentralistik dijadikan peluang bagi mereka untuk mengembalikan kejayaan pertanian desa. 108
Di awal tahun 2000-an, dengan berbagai cara, termasuk memperkuat institusi irigasi, dan lobi-lobi politik dengan pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif), beberapa remaja perantauan dengan didukung statusnya sebagai rumah tangga atas dan menengah (kepemilikan lahan sawah warisan orang tua) menjelma menjadi tokoh masyarakat. Dimulai dengan mendapatkan kembali aliran air irigasi untuk musim tanam kedua, meskipun harus membayar ke preman air, sampai keberhasilan membangun bendungan embung Kali Bojong telah membuat sebagian lahan sawah dapat menanam padi sawah sampai dua kali. Ditambah dengan harga jual padi yang cukup lumayan membuat banyak perantauan kembali ke desa dan mengintensifkan tanaman padinya. Kesempatan bekerja bagi rumah tangga buruh pun meningkat. Pengaruh yang signifikan juga terjadi ketika pada tahun 2004 lahirnya kesempatan bekerja di Korea. Berbeda dengan bekerja di negara-negara Arab, Malaysia, Hongkong, dan Taiwan yang melibatkan PJTKI dan tanpa pesyaratan ketat, bekerja di Korea langsung ditangani oleh Departemen Tenaga Kerja dan memerlukan kemampuan bahasa Korea. Tidak adanya peran PJTKI membuat gaji yang diterima menjadi sangat besar bila dibandingkan dengan gaji bekerja di negara yang melibatkan PJTKI. Persyaratan kemampuan bahasa Korea juga memberi peluang kepada dua orang rumah tangga atas untuk membuka LPK AlAmin dan menciptakan institusi pinjaman modal berangkat ke Korea. Sejak saat itulah, banyak rumah tangga yang memberangkat anggotanya ke Korea. Remitans yang dikirim pun jauh lebih besar dan mampu meningkatkan penghidupan rumah tangganya dan juga perekonomian desa secara umum. Sayangnya, kesempatan bekerja ke Korea, saat ini, terbatas pada anggota rumah tangga yang berijazah SMA dan berjenis kelamin laki-laki. Untuk syarat pertama sebetulnya tidak menjadi masalah. Program wajib belajar gratis sampai SMA dan pembangunan sekolah-sekolah di sekitar desa telah membuka kesempatan pendidikan sampai SMA kepada semua lapisan rumah tangga, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, untuk syarat kedua-lah yang tidak bisa dipenuhi oleh anggota rumah tangga perempuan. Oleh karena itu, sampai saat ini, bekerja di negara-negara selain Korea yang masih melibatkan peran PJTKI tetap menjadi pilihan meskipun pendapatan yang diterimanya jauh lebih kecil dan remitans yang dikirimnya pun jauh lebih kecil. Adanya pilihan beragam aktivitas penghidupan yang lebih menguntungkan dan ditambah dengan pendidikan formal yang dapat diakses semua lapisan rumah tangga juga sangat mengurangi jumlah anggota perempuan yang bekerja sebagai wanita penghibur. Dari seluruh penduduk desa (pada saat survei) yang berjumlah 3,224 jiwa tinggal tersisa 21 jiwa atau 0.0065 persen yang berprofesi sebagai wanita penghibur dan sebagian besar umurnya sudah tua. Mereka yang terpaksa masih melakukannya sebagian besar adalah para janda yang tidak mempunyai suami dan tidak tamat SD. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa pekerjaan tersebut dilakukan sebagai pekerjaan sampingan ketika tidak ada pekerjaan di
109
sawah. Sebagian lagi menyatakan karena sudah terjebak dengan jeratan utang kepada para mucikari sehingga sebelumnya utangnya lunas, mereka tidak bisa keluar dari pekerjaannya sebagai wanita penghibur. Dari uraian di atas sangat terlihat adaptasi-adaptasi aktivitas penghidupan yang dilakukan oleh rumah tangga berbagai lapisan sosial di desa. Namun, apapun bentuk adaptasi yang dilakukan oleh rumah tangga semuanya dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan penghidupan rumah tangganya dan berharap terwujudnya penghidupan berkelanjutan. Semuanya berkeinginan untuk bisa melakukan akumulasi penghidupan untuk meningkatkan status sosialnya. Namun, ternyata tidak semua adaptasi penghidupan yang dilakukan berhasil dan dilakukan di jalan yang positif (dilihat dari etika). Beberapa berhasil mampu menaikkan status sosialnya (mobilitas sosial vertikal) melalui peningkatan luas lahan yang dimiliki dan digarapnya, namun ada juga yang malah mengalami penurunan kelas (lapisan) sosial, seperti yang terlihat pada Tabel 5.4 di Bab V. Pada tabel tersebut terlihat sebagian rumah tangga mengalami kenaikan kelas (lapisan) sosial melalui pembelian lahan sawah. Surplus produksi, keuntungan usaha, dan remitans yang dihasilkan dari aktivitas penghidupan mereka menjadi modal bagi mereka untuk mengakumulasi lahan sawahnya dan berujung pada peningkatan kelas (lapisan) sosial. Pada tabel tersebut juga terlihat penurunan kelas (lapisan) sosial yang dialami oleh satu orang rumah tangga dari lapisan menengah menjadi lapisan bawah buruh tani. Penurunan terjadi ketika masyarakat tidak lagi memandang rumah tangga tersebut sebagai lapisan menengah akibat rumah tangga tersebut telah lama gagal menebus kembali lahan sawahnya yang digadaikan kepada rumah tangga lain. Pemenuhan kebutuhan pangan Hasil survei menunjukkan bahwa semua rumah tangga mendahulukan padi yang diperolehnya (baik hasil panen usaha tani maupun bawon, senggang, dan remi) untuk keamanan konsumsi rumah tangganya selama setahun. Bagi masyarakat desa, adanya stok padi atau beras di rumah membuat rumah tangganya tenang. Meskipun demikian, hasil survei yang ditampilkan Tabel 4.3 pada Bab IV menunjukkan hanya rumah tangga atas saja yang stok pangannya cukup untuk satu tahun. Sebagian rumah tangga lainnya menyatakan stok pangan yang ada di rumah tidak cukup untuk satu tahun. Selain dijual untuk mendapatkan uang, padi yang diperoleh oleh sebagian rumah tangga lapisan menengah dan bawah memang jumlahnya tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan selama setahun, terutama di tahun-tahun terjadinya kegagalan panen. Pada Tabel 7.1 terlihat tindakan-tindakan yang dilakukan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan apabila terjadi kekurangan. Bagi rumah tangga yang masih mempunyai pendapatan rutin atau tabungan tentunya tidak terlalu menjadi masalah. Mereka bisa membeli beras di warung, toko, ataupun penggilingan. Namun, bagi yang tidak, tentunya ini menjadi 110
masalah yang memicu kelaparan dan mengancam keberlangsungan hidup rumah tangga. Untunglah, di desa ini ada dua jaminan sosial yang dapat memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga, yaitu program raskin (beras miskin) yang merupakan program pemerintah dan institusi sosial asli yang mengatur pinjaman beras ke rumah tangga lain (tetangga/kerabat/patron). Tabel 7.1 Tindakan yang dilakukan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan apabila kekurangan stok pangan Ketahanan pangan
Atas (n=8)
Pemenuhan kebutuhan pangan apabila kekurangan - Beli - Dipinjami/diberi tetangga, kerabat, patron - Raskin
Lapisan Sosial Bawah Bawah Menengah Pemilik Penggarap (n=24) (n=16) (n=16)
Bawah Buruh (n=16)
0
28.6
18.2
44.4
37.5
0 0
50 71.4
54.6 100
55.5 88.9
87.5 100
Sumber: Data primer survei rumah tangga 2014
Pada Tabel 7.1 terlihat semua rumah tangga bawah pemilik dan bawah buruh serta sebagian besar rumah tangga bawah penggarap yang memanfaatkan program raskin. Namun, yang menarik adalah adanya 71.4 persen rumah tangga menengah yang juga memanfaatkan raskin. Menurut penjelasan aparat pemerintahan desa, di Desa Karangmulya program “raskin” (beras miskin) dimodifikasi menjadi program “rasta” (beras rata). Artinya, semua rumah tangga dari semua lapisan sosial diberikan hak untuk mengajukan penerimaan beras setiap bulannya apabila memang tidak mempunyai stok beras yang cukup di rumah. Menurutnya, ketika terjadi kegagalan panen, semua rumah tangga di desa sangat rentan terhadap kekurangan panagn, termasuk lapisan menengah. Jaminan sosial yang kedua adalah institusi sosial asli yang mengatur pinjaman beras ke rumah tangga lain. Institusi ini berlaku sejak dulu. Rumah tangga yang memang kekurangan beras atau padi dapat meminjam kepada tetangga, kerabat, maupun patron yang masih mempunyai beras atau padi. Mereka kemudian mengembalikan berasnya dengan beras yang dibeli atau menunggu sampai panen musim berikutnya. Meskipun istilahnya pinjam, sebagian besar rumah tangga, terutama rumah tangga atas, seringkali mengikhlaskan (memberikan) beras tersebut kepada tetangga, kerabat, atau klien yang benarbenar membutuhkannya dan tidak mampu mengembalikannya. Pengamatan selama di desa, rumah tangga atas selalu mempunyai persediaan beras atau padi yang memang disiapkan untuk dipinjamkan atau diberikan kepada tetangga, kerabat, atau klien yang membutuhkannya. Jadi dengan institusi bawon, senggang, remi, dan institusi pinjam beras yang merupakan institusi sosial asli masyarakat desa dan juga program raskin dari pemerintah yang kemudian dengan
111
prinsip resiprositas menjadi program rasta telah menjadi jaminan sosial ketahanan pangan seluruh rumah tangga di desa. Keberlanjutan Sumber Daya Alam Lahan sawah, air irgasi, dan sumber daya alam lainnya menjadi aset penghidupan terpenting bagi penghidupan masyarakat Desa Karangmulya. Keberlanjutan sumber daya alam tersebut akan menjamin keberlanjutan penghidupan untuk generasi berikutnya. Hal ini disadari betul oleh masyarakat desa. Terlebih, bagi masyarakat desa, lahan sawah bukan sekedar aset penghidupan, namun sebagai “bumi” yang dianugerahkan sang Maha Pencipta untuk memberikan manusia. Sistem nilai dan cara pandang yang diwariskan para leluhur pendiri desa tersebut dan juga ajaran agama Islam tentang habluminalam yang melengkapi habluminallah dan habluminannas dituangkan dalam penghormatan yang sangat tinggi terhadap lahan sawah, air, dan sumber daya alam lainnya. Berbagai ritual tradisi budaya, seperti sedekah bumi yang masih dilakukan di tingkat desa dan juga tingkat rumah tangga dalam setiap tahapan proses budidaya padi mencerminkan pentingnya keberlanjutan sumber daya alam, tidak serakah, dan ingat pada sesama (rumah tangga lainnya). Hal ini pula-lah yang mendasari lapisan sosial sebuah rumah tangga di Desa Karangmulya. Lapisan sosial ditentukan oleh luasnya kepemilikan lahan sawah, bukannya oleh pendapatan atau kepemilikan aset lainnya. Semakin luas lahan yang dimilikinya, semakin tinggi lapisan sosialnya, dan semakin tinggi pula tanggung jawab sosialnya. Rumah tangga pemilik lahan membagi padi yang dihasilkannya melalui panen dengan sistem bawon. Hasil panennya pun disisihkan untuk kepentingan umum dan kebutuhan rumah tangga lainnya yang membutuhkan. Rumah tangga pemilik lahan pun harus menyediakan makanan yang disajikan dalam setiap ritual tradisi budaya. Berbagai acara selamatan yang menyediakan makanan bagi banyak rumah tangga lainnya di desa sering dilakukan. Semua lapisan rumah tangga pun berusaha melakukan akumulasi kepemilikan luas lahan untuk meningkatkan lapisan sosialnya. Pendapatan dari usaha atau pekerjaan ditabungkan untuk kemudian dibelikan sawah. Remitans hasil bekerja di luar negeri pun ditabung untuk kemudian digunakan menggadai atau membeli lahan sawah. Oleh karena itu, tidak heran hasil survei menunjukkan setengah dari rumah tangga sampel mendapatkan lahan sawah yang sekarang dimilikinya dengan cara membeli dari orang lain. Secara kebetulan, lahan-lahan sawah di desa selalu diberakan pada musim ketiga. Artinya, lahan-lahan sawah tersebutkan diistirahatkan dan tidak ditanami apapun. Menurut tokoh petani, ajaran bera sawah memang diajarkan dari dulu oleh para sesepuh pendiri desa biar lahan sawahnya tetap sehat dan subur. Entah kebetulan atau tidak, pada saat panen musim rendeng 2014, produktivitas tanaman 112
padi di Desa Karangmulya mencapai 4-5 ton per hektar. Jauh lebih besar dibandingkan dengan produktivitas tanaman padi di desa-desa tetangga yang ditanami tiga kali setahun tanpa bera, yaitu hanya mencapai 0.5 – 2 ton per hektar. Aktivitas penghidupan lainnya yang tergantung dengan sumber daya alam, seperti pembuatan batu bata, tetap mengindahkan keberlanjutan sumber daya alam. Aktivitas ini hanya dijalankan ketika musim kemarau dan lahan sawah diberakan. Hal ini berhubungan dengan tanah yang menjadi bahan baku pembuatan bata merah. Berbeda dengan di daerah lain, tanah yang menjadi bahan baku bata merah di Desa Karangmulya adalah tanah lebih yang posisinya lebih atas dibanding permukaan lainnya. Sistem pengambilan seperti ini bahkan disenangi oleh petani yang tanah sawahnya diambil karena lahan sawah menjadi rata sehingga air yang masuk ke sawah pun merata dan produktivitas padi pun menjadi meningkat dengan merata.
113
BAB VIII KONSEPTUALISASI SOSIOLOGI KERENTANAN EKOLOGI DAN DINAMIKA PENGHIDUPAN PEDESAAN
Desa Karangmulya merupakan desa persawahan di Pantai Utara Indramayu yang memiliki kerentanan ekologi yang sangat tinggi. Hampir setiap tahun, desa ini tidak luput dari kekeringan dan banjir. Kedua peristiwa tersebut tidak jarang menyebabkan penurunan produksi dan gagal panen. Kekurangan stok pangan menjadi permasalahan setiap tahun bagi sebagian besar rumah tangga di desa ini. Pemerintah Kabupaten Indramayu pun menyatakan bahwa desa ini sebagai desa paling rentan di wilayah Kabupaten Indramayu. Hal ini pula-lah yang menyebabkan pemerintah pusat dengan berpedoman pada Permen No. 12 Tahun 2007 menilai desa ini sebagai “Desa Swadaya”, sebuah predikat terendah untuk sebuah desa. Artinya, Desa Karangmulya merupakan desa miskin yang laju pembangunannya sangat lambat.
Gambar 8.1 Skema sosiologi kerentanan ekologi dan penghidupan (diadaptasi dari kerangka penelitian) Penelusuran sejarah menemukan bahwa kerentanan ekologi (banjir dan kekeringan) muncul akibat terganggunya fungsi jaringan irigasi sejak pendudukan Jepang 1942 dan pemberontakan DI/TII (1949-1962). Sebelumnya, terlebih sejak beroperasinya irigasi Rentang 1916, lahan persawahan di desa ini mendapatkan pasokan air irgasi sepanjang tahun. Program revolusi hijau ala Orde Baru yang memperbaiki jaringan irigasi Rentang, membangun jaringan irigasi Jatiluhur, membagi wilayah persawahan ke dalam empat golongan tetap tidak mampu
114
menyediakan pasokan air irigasi yang cukup untuk musim tanam kedua, apalagi ketiga. Wilayah persawahan Desa Karangmulya hanya menjadi golongan tadah hujan dan banjir inlaat. Akibatnya, ketika musim kemarau, lahan sawah di Desa Karangmulya lebih dahulu mengalami kekeringan dan ketika musim hujan lebih dahulu mengalami kebanjiran. Kerentanan ekologi = ketidakmampuan pemerintah menyediakan air irigasi yang cukup, berlanjut, dan dapat dikontrol Kerentanan memang menjadi semakin meningkat akibat variabilitas iklim yang semakin tidak menentu dan anomali iklim yang meningkat. Namun, penelitian ini menemukan bahwa akar permasalahannya adalah ketidakmampuan pemerintah memperbaiki jaringan irigasi Rentang dan mengoptimalkan jaringan irigasi Jatiluhur yang keduanya berakhir di Desa Karangmulya. Revolusi hijau yang dimulai 50 tahun lalu (1963/1964) dan digadang-gadang mampu “merevolusi pertanian” melalui peningkatan produksi dan produktivitas lahan sawah ternyata tidak terbukti di desa yang sejak abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-20 menjadi lumbung padi. Revolusi hijau dilakukan dengan memaksakan intensifikasi input produksi berupa bibit unggul, pupuk kimia, pestisida, dan mekanisasi pertanian, tanpa menghadirkan air irigasi yang cukup, berlanjur, dan dapat dikontrol. Padahal, menurut Asnawi (1988), green revolution tidak akan berhasil tanpa adanya blue revolution. Tersedianya air irgasi yang cukup dan terkontrol tidak saja merupakan input kunci untuk meningkatkan produksi padi, tetapi juga merupakan unsur yang vital untuk efektifnya penggunaan teknologi yang lebih baik, yaitu varietas unggul yang berdaya hasil tinggi dan berumur pendek serta pupuk kimia dan pestisida. Akibatnya, berbeda dengan desa-desa lainnya di Indramayu, bahkan beberapa desa tetangga yang mendapatkan aliran air irigasi teknis sebagai buah dari revolusi hijau sehingga menjadi desa yang mengalami revolusi pertanian, desa ini malah mengalami “kemandegan (involusi) pertanian”. Bahkan, beberapa petani yang mengalami masa-masa kejayaan desa mengatakan situasi sekarang berada pada “kemunduran pertanian”. Status “Desa Swadaya” yang berarti desa miskin dan terbelakang (lambat dan tidak maju) seakan menjadi justifikasi atas hal ini. Revolusi hijau nampaknya malah memberikan dampak pada peningkatan serangan hama penyakit-tanaman padi. Diskusi kelompok yang melibatkan seluruh rumah tangga petani dari semua lapisan, misalnya, menyebutkan wereng batang coklat menjadi hama yang muncul dan tidak bisa dikendalikan setelah budidaya pertanian padi menggunakan pestisida sesuai saran dari penyuluh revolusi hijau. Temuan ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya dan dokumen resmi pemerintah yang hanya menjadikan faktor iklim, baik variabilitas maupun perubahan iklim, sebagai penyebab kerentanan ekologi desa ini, tanpa berhasil menemukan akar permasalahannya. Akibatnya, berbagai program yang 115
dilakukan tidak komprehensif dan tidak menyentuh akar permasalahan. Berbagai tekonologi terus didatangkan dan diajarkan. Akibatnya, sesuai dengan tesis Asnawi (1988) di atas, budidaya pertanian tetap mandeg. Dengan kondisi kerentanan ekologi yang sangat tinggi dan berlangsung puluhan tahun ini, masyarakat Desa Karangmulya sebagai masyarakat yang telah terbentuk dan tinggal ratusan tahun di desa dituntut untuk mampu bertahan dan terus melanjutkan penghidupannya melalui berbagai strategi penghidupan. Strategi penghidupan dilakukan di tingkat rumah tangga sebagai bagian dari masyarakat yang berfungsi sebagai unit konsumsi dan unit produksi. Strategi penghidupan dilakukan dengan mengkombinasikan aset penghidupan yang dimilikinya dan juga yang dapat diaksesnya. Setiap rumah tangga memiliki aset penghidupan yang berbeda-beda. Rumah tangga lapisan atas merupakan rumah tangga yang memiliki aset penghidupan paling lengkap dan paling berkualitas. Kepemilikan lahan sawah (modal alam) sebagai penentu status sosial rumah tangga Pelapisan sosial rumah tangga ditentukan dari luasnya kepemilikan lahan sawah. Semakin luas lahan sawahnya, semakin tinggi lapisan sosial rumah tangga tersebut. Atas dasar itu, ada enam lapisan sosial yang terdapat di Desa Karangmulya, yaitu (1) lapisan atas, (2) lapisan menengah, (3) lapisan bawah pemilik, (4) lapisan bawah penggarap, dan (5) lapisan bawah buruh. Hasil survey menunjukkan bahwa rumah tangga lapisan atas memiliki luas lahan 25,869 m2, jauh lebih luas dibandingkan rumah tangga lapisan lainnya. Rumah tangga lapisan menengah, misalnya, memiliki 8,350 m2 dan rumah tangga lapisan bawah pemiliki hanya memiliki 2,689 m2. Lapisan-lapisan tersebut tidak eksklusif dan sangat longgar. Rumah tangga atas selain menggarap lahan sawah sendiri juga menyewa lahan sawah orang lain untuk digarap dan juga menyewakan sebagian lahan sawahnya untuk digarap rumah tangga lain. Rumah tangga lapisan menengah selain menggarap lahan sawahnya sendiri juga menjadi buruh tani. Rumah tangga bawah buruh juga bisa seketika naik kelas (lapisan) sosial apabila dia mampu menggarap atau bahkan membeli lahan sawah. Begitu pun, dengan rumah tangga menengah bisa dengan cepat turun kelas (lapisan) apabila lahan sawah yang dimilikinya dijual. Namun, hasil penelitian menunjukkan hanya ada 1.25 persen rumah tangga yang turun kelas, sisanya sebagian besar naik kelas dan sebagiannya lagi berhasil mempertahankan kelasnya (lihat Gambar 8.2).
116
Gambar 8.2 Skema hubungan lahan dan mobilitas sosial Pembagian lapisan (struktur) dan peran (fungsi) sosial yang tidak eksklusif ini sudah lama diterapkan sejak awal pendirian desa. Bagi masyarakat desa, pelapisan (struktur) sosial hanya digunakan untuk membagi peran (fungsi) sosial yang lebih jelas di masyarakat. Rumah tangga lapisan atas, misalnya, dituntut memikul peran sosial yang lebih banyak. Rumah tangga atas harus menyediakan cadangan beras yang dapat dipinjam rumah tangga lapisan di bawahnya. Rumah tangga atas harus menyumbang bahan makanan yang lebih banyak untuk tradisi budaya sedekah bumi. Rumah tangga atas harus menyumbang lebih banyak untuk pembangunan mesjid. Rumah tangga atas harus sering melakuan selametan yang mengundang banyak rumah tangga untuk makan di rumahnya. Rumah tangga atas harus mau membukakan pintu setiap saat bagi rumah tangga lain yang membutuhkan. Kondisi ini sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Scott (1976) dan Hayami dan Kikuchi (1987) mengenai ciri masyarakat desa Asia Tenggara yang tinggal di daerah yang rentan secara ekologis. Menurut mereka, pertukaran tenaga kerja, penggunaan harta benda komunal untuk biaya hidup anak yatim atau janda, hadiah-hadiah yang diberikan oleh patron pada kelahiran seorang anak atau kematian seorang ayah, dan penurunan sewa pada tahun kegagalan panen merupakan pola yang melembaga (terinstitusionalisasi). Sejauh seorang patron (rumah tangga kaya dengan lahan yang luas) melindungi para kliennya (penyewa lahan dan buruh tani dari rumah tangga miskin) di dalam masyarakat desa terhadap kesulitan ekonomi dan pangan pada tahun-tahun yang buruk, patron tersebut akan dianggap sebagai pelindung yang baik. Hayami dan Kikuchi (1987), meskipun seringkali para petani di desa egois dengan selalu berusaha mencari keuntungan pribadi seperti yang disampaikan Popkin (1979). Namun, para petani 117
akan tetap mempertahankan sikap altruistiknya sejauh keuntungan altruismenya melebihi biaya untuk bertingkah laku sebagai altruis. Orang desa akan melanggarnya apabila mereka melihat peluang bahwa keuntungan karena pelanggaran itu melebihi biayanya. Modal sosial memberikan akses yang memelihara resiliensi penghidupan rumah tangga pedesaan Modal sosial merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah, yang berasal dari orang-orang yang membentuk hubungan sosial dan jaringan yang didasarkan atas prinsip “… trust, mutual reciprocity, and norm of action”. Modal sosial lahir dari ratusan sampai ribuan interaksi antar orang setiap hari (Syahyuti, 2008). Berbagai tulisan tentang modal sosial pun lahir dari pengamatan dan penelitian yang dilakukan terhadap ribuan interaksi sosial tersebut. Tak ayal, sampai saat ini, definisi modal sosial sangat beragam, bahkan ada yang saling menegasikan. Ancok (2003) membagi pandangan para pakar dalam mendefinisikan konsep modal sosial ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama menekankan pada jaringan hubungan sosial (social net-work), sedangkan kelompok kedua lebih menekankan pada karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial. Syahyuti (2008) mengamini bahwa telah terjadi banyak perbedaan batasan antar ahli tentang modal sosial. Menurut Syahyuti, beberapa ahli menekankan pentingnya trust, sebagian social network, dan sebagian social networks. Namun, ada juga yang menekankan ketiganya sekaligus, misalnya Putnam (1993). Penulis pun mencoba melakukan penelusuran berbagai literatur untuk mencari definisi modal sosial. Hasilnya memang benar, berbagai ahli menuliskan definisi yang berbeda dari modal sosial. Beberapa saling mendukung, namun beberapa saling mengkritik. Coleman (1988; 1999) mendefinisikan modal sosial sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja sama, demi mencapai tujuan bersama, di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Burt (1992) mendefinisikan modal sosial sebagai kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial lainnya. Cohen dan Prusak (2001) mendefiniskan modal sosial sebagai setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat aksi bersama yang dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Brehm dan Rahn (1997) mendefinisikan modal sosial sebagai jaringan kerja sama di antara warga masyarakat yang memfasilitasi solusi dari permasalahan yang dihadapi mereka. Pennar (1997) mendefinisikan modal sosial sebagai jaringan hubungan sosial yang mempengaruhi perilaku individual yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
118
Kalau kembali pada Ancok (2003), berbagai definisi yang dituliskan pada paragraf di atas dapat menggambarkan pendapat kelompok pertama yang menekankan pada jaringan hubungan sosial (social net-work). Namun, pendapat ini berbeda, bahkan ditentang oleh Fukuyama dan berbagai ahli yang “bergabung” pada kelompok kedua yang lebih menekankan pada karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial. Menurut Fukuyama (1995), modal sosial adalah kemampuan individu untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dalam berbagai kelompok dan berbagai organisasi. Fukuyama (1997) mendefinisikan modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka. Pada tahun 2001, Fukuyama kembali menegaskan adanya kesalahan dari ahli-ahli lain dalam mendefinisikan modal sosial. Menurut Fukuyama (2001), meskipun modal sosial telah memiliki beragam definisi, beberapa di antaranya menunjukkan manifestasi modal sosial dibandingkan modal sosial itu sendiri. Fukuyama (2001) mendefinisikan modal sosial sebagai norma informal instan yang mendorong kerja sama antar dua individu atau lebih. Normanorma yang menyusun modal sosial dapat berkisar dari norma timbal balik (norm of reciprocity) antara dua teman sampai ke yang lebih komplek, menggunakan doktrin agama/religi, seperti konfusiusisme. Hal ini harus terjadi instan dalam hubungan aktual manusia (norma timbal balik berpotensi terdapat pada semua orang). Dengan definisi ini, trust, jejaring (network), masyarakat madani, dan sejenisnya yang berhubungan dengan modal sosial, semuanya adalah epiphenominal, muncul sebagai hasil dari modal sosial, tetapi tidak menyusn modal sosial itu sendiri. Selain itu, norma-norma tersebut harus mendorong kerjasama dalam grup sehingga sangat berhubungan dengan nilai-nilai tradisional, seperti kejujuran, menjaga komtmen, melaksanakan kewajban dengan baik, dan sebagainya. Untuk mempermudah memahami definisi modal sosial, Fukuyama (2001) menggambarkannya melalui konsep the radiust of trust. Semua grup yang menyusun modal sosial memiliki radius trust tertentu, yaitu lingkaran dimana norma-norma kooperatif beroperasi. Jika modal sosial suatu grup menghasilkan eksternalitas positif, radius trust lebih besar dibandingkan keanggotaan grup. Suatu masyarakat modern dapat dipandang sebagai seri radius trust konsentrik dan saling tumpang tindih (lihat Gambar 8.3). Di antara dua orang ahli modal sosial, Bowles dan Gintis (2001) adalah yang sependapat dengan Fukuyama. Mereka mendefinisikan modal sosial sebagai berikut “Social capital refers to trust, concern for one’s associates, a willingness to live by the norms of one’s community and topunish those who do not”.
119
Gambar 8.3 Ilustrasi network of trust Sumber: Fukuyama (2001)
Yang menarik, sementara para ahli terus berdebat, World Bank ternyata sangat tertarik dengan peranan dan implementasi modal sosial dalam pengentasan kemiskinan di negara-negara berkembang. World Bank (1998) menyebutkan modal social sebagai “… a society includes the institutions, the relationships, the attitudes and values that govern inetractions among people and contribute to economic and social development. Modal sosial berperan sebagai perekat yang mengikat semua orang dalam masyarakat. Menurut World Bank (1998), (i) modal sosial berada dalam seluruh keterkaitan ekonomi, sosial, politik, dan hubungan sosial yang mempengaruhi bagaimana pasar dan negara bekerja dan begitu juga sebaliknya: pasar dan negara juga akan membentuk modal sosial di masyarakat; (ii) hubungan yang stabil antar aktor dapat mendorong keefektifan dan efisiensi, baik perilaku kolektif maupun individual; (iii) modal sosial dalam satu masyarakat dapat diperkuat, namun membutuhkan sumber daya tertentu untuk memperkuatnya; dan (iv) agar tercipta hubungan sosial dan kelembagaan yang baik, anggota masyarakat harus mendukungnya. Selain membaca langsung dari berbagai naskah aslinya, buku berjudul Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik yang ditulis Lawang (2004) membantu peneliti memahami modal sosial dalam perspektif sosiologi. Menurut Lawang (2004), hampir semua definisi tentang modal sosial menempatkan modal sosial sebagai variabel independen. Artinya, kapital sosial merupakan penyebab dari suatu tindakan individual atau tindakan kolektif, termasuk rumah tangga, yang memungkinkan suatu daya guna dan daya hasil tercapai. Lawang membuat ikhtisar mengenai inti definisi modal sosial menurut beberapa ahli, seperti yang tersaji dalam Tabel 8.1.
120
Tabel 8.1 Inti definisi kapital sosial menurut beberapa ahli Ahli
Tertambat pada
Coleman
Struktur sosial: hubungan sosial, institusi sosial.
Putnam
Institusi sosial.
Fukuyama Bank Dunia
Agama, filasafat
Turner
Hubungan sosial, Kekuatan pola organisasi yang diciptakan individu Struktur sosial Kekuatan sosial komunitas. mikro, meso, dan makro Sumber: Lawang (2004)
Lawang
Modal sosial (variabel independen) Fungsi kewajiban, harapan, layak percaya, saluran, norma, sanksi, jaringan, organisasi Jaringan, norma, kepercayaan Kepercayaan, nilai Institusi, norma, hubungan
Variabel dependen Tindakan aktor atau aktor dalam badan hukum. Keberhasilan ekonomi, demokrasi. Tindakan sosial Potensi perkembangan ekonomi Potensi perkembangan ekonomi Efisiensi dan efektifitas dalam mengatasi masalah.
Kembali pada kerangka penghidupan yang menjadi framework dalam penelitian ini, DFID (1999) mengemukakan bahwa modal sosial terdiri dari: (1) jaringan dan ikatan, baik vertikal (patron-klien) maupun horisontal (antara individu/rumah tangga yang senasib atau mempunyai tujuan yang sama) yang meningkatkan kepercayaan dan kemampuan orang-orang untuk bekerja sama dan saling memberikan akses melalui berbagai institusi sosial produksi; (2) heanggotaan dalam kelompok yang memiliki aturan, norma, dan sanksi yang disetujui bersama, serta (3) hubungan kepercayaan, resiprositas, dan pertukaran yang memfasilitasi kerja sama, memberikan akses, mengurangi biaya transaksi, dan menjad basis untuk jaring pengaman sosial bagi rumah tangga miskin. DFID (1999) dan juga Scoones (1998), Ellis (2000) menekankan bahwa modal sosial yang terwujud dalam institusi sosial produksi dapat memberikan akses kepada setiap rumah tangga untuk meningkatkan kapasitas aset penghidupan lainnya. Dengan mengurangi biaya transaksi dalam produksi, modal sosial dapat meningkatkan pendapatan dan jumlah uang yang bisa ditabung (modal finansial). Modal sosial dapat membantu mengurangi pembonceng/penumpang gelap (free rider) yang menjadi masalah dalam pengelolaan common resources (modal alam) dan memelihara infrastruktur publik (modal fisik). Jaringan sosial (modal sosial) memfasilitasi penyebaran informasi yang dapat meningkatkan pengetahuan seseorang atau rumah tangga (modal insani).
121
Hasil penelitian ini juga menunjukkan dan membuktikan peran penting modal sosial. Modal sosial terbukti memberikan akses kepada semua rumah tangga untuk meningkatkan kapasitas aset penghidupannya. Pada Gambar 8.4 dapat terlihat pentagon aset penghidupan masing-masing rumah tangga. Dengan adanya akses, kapasitas aset penghidupan setiap rumah tangga mengembang/meningkat (lihat warna merah). Sebaliknya, tanpa akses, kapasitas aset penghidupan setiap rumahtangga akan mengkerut (lihat warna biru). Apabila dilihat secara detail, pada gambar tersebut terlihat bahwa modal sosial merupakan modal yang paling melimpah dan paling kuat yang dimiliki oleh setiap rumah tangga. Kerentanan ekologi yang membatasi sumber daya air serta menekan dan mengguncang penghidupan setiap rumah tangga direspons dengan membangun modal sosial yang dapat memelihara resiliensi dan keberlanjutan penghidupannya.
RT Bawah Pemilik
Aset dan akses per rumah tangga 4.9 M.Sosial
Tanpa akses
M.Insani 5.0 3.1 4.0 3.3 3.0 2.0 1.0 0.9 0.5 0.0 1.2 2.6
Dengan akses M.Finansial
RT Atas 5.0 5.0 M.Sosial
M.Finansial 5.0
4.65.0 5.0 4.6M.Alam 5.0 M.Fisik 5.0
RT Menengah
4.9 M.Sosial
M.Insani 5.0 4.0 3.7 4.0 3.0 2.0 1.0 1.9 1.5 0.0 1.9 2.8
M.Finansial
M.Fisik
RT Bawah Penggarap
5.0 5.0 5.0 M.Insani 5.04.5 4.0 4.5 3.5 4.0 4.2 3.5
5.0 4.2
2.8 3.1
M.Alam
M.Alam
M.Insani 5.0 3.2 4.0 3.4 3.0 2.0 4.9 M.Sosial M.Alam 1.0 0.01.1 0.0 0.6 2.0 2.9 3.3 M.Finansial M.Fisik
RT Bawah Buruh
3.8 M.Sosial
M.Insani 3.7 4.0 3.5 3.0 2.0 1.0 0.1 0.0 0.0 0.0 1.8
3.6 3.8 M.Fisik
M.Finansial
M.Alam
2.6 2.8 M.Fisik
Gambar 8.4 Pentagon aset penghidupan dan akses Keterangan: Hasil analisis
122
• RT atas pali lengkap; RT buruh paling sedikit. • Ke mpanga pada modal (lahan sawa • Modal sosia rela f mera melahirkan sosial. • Ins tusi sos produksi me akses pe aset & jaring pengaman s • Tanpa akses kapasitas as bawah men
Ilustrasi peran modal sosial dalam bentuk institusi sosial produksi dapat dilihat pada Gambar 8.5. Pada gambar tersebut terlihat dengan adanya institusi sosial produksi yang dicontohkan dengan institusi bawon, rumah tangga bawah (miskin) yang tidak memiliki lahan sawah (modal alam) dapat mengakses lahan sawah milik rumah tangga atas (kaya), ikut memanen, dan mendapatkan bagian padi. Rumah tangga atas pun mendapat akses terhadap tenaga kerja panen (modal insani) dan mengurangi biaya pengawasan sehingga bisa meningkatkan pendapatan (modal finansial). Sebagai timbal baliknya, rumah tangga bawah sebagai klien juga berkewajiban ikut serta dalam semua proses produksi padi, dari mulai membantu menyediakan air irigasi, persiapan tanam, dan pelaksanaan tanam. Klien juga berkewajiban membantu rumah tangga atas apabila dibutuhkan, misalnya membantu hajatan atau syukuran yang diselenggarakan rumah tangga atas. Sejahtera Resilien karena keayaan (modal alam, fisik, finansial) Petani kaya (RT atas)
Petani dg patron-klien (menjadi lebih sejahtera) Bawon
Bawon
Resilien karena modal sosial & peningkatan kapasitas modal alam, fisik, & finansial
Individual Petani semakin miskin
Tanpa bawon
Tidak resilien karena semua modal lemah
Kolektivitas
Petani miskin (RT bawah) Resilien karena modal sosial
Tidak Sejahtera
Gambar 8.5 Ilustrasi peran modal sosial dalam menjaga resiliensi penghidupan rumah tangga petani Selain memberikan akses melalui bawon, rumah tangga atas juga sebagai patron berkewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga bawah yang menjadi kliennya. Rumah tangga atas memberikan pinjaman beras atau uang (mdoal finansial) ketika rumah tangga atas membutuhkannya, memberikan hadiah ketika melahirkan anak, memberikan santunan ketika anggota rumah tangganya meninggal, meminjamkan aset fisiknya (modal fisik), menyebarkan informasi,
123
dan memastikan anak-anaknya dapat menempuh pendidikan dengan baik (modal insani). Tidak sedikit, rumah tangga atas juga kemudian memberikan akses untuk menggarap lahan sawah dengan biaya sewa yang murah dan dibayar setelah panen serta ditambah pinjaman modal produksi. Bahkan, apabila terjadi gagal panen, sang patron juga memberikan kebijakan untuk menunda pembayaran sewa sampai panen berikutnya yang menghasilkan. Dengan adanya institusi sosial produksi yang dijalankan melalui ikatan/hubungan patron-klien ini, rumah tangga bawah yang tadinya miskin dapat meningkatkan kapasitas aset penghidupannya sehingga meningkatkan kemampuan dan taraf penghidupannya menjadi lebih sejahtera dari sebelumnya. Sementara itu, rumah tangga atas pun tidak kehilangan kekayaannya. Rumah tangga atas mendapatkan kepastian tenaga kerja dan keamanan dari para klien yang berada di sekitarnya. Selain itu, semakin banyaknya klien yang tergantung pada sang patron akan menambah pengaruh dan status sosial rumah tangga atas tersebut. Pertanian masih menjadi strategi penghidupan yang penting Hasilnya, rumah tangga di Desa Karangmulya melakukan tiga strategi penghidupan, yaitu (1) pertanian, (2) diversifikasi penghidupan non-pertanian, dan (3) migrasi, melalui berbagai aktivitas penghidupan. Strategi pertanian, terutama subsektor tanaman padi, dilakukan oleh semua lapisan rumah tangga. Berbagai aktivitas dilakukan sesuai struktur dan fungsinya masing-masing. Rumah tangga atas dan menengah menjalankan usaha tani tanaman padi dan rumah bawah buruh bekerja sebagai buruh tani. Selain menjalankan usaha tani sendiri, rumah tangga atas dan menengah juga menyewakan sebagian lahan yang dimilikinya kepada rumah tangga lain sehingga rumah tangga tersebut dapat menjalankan usaha tani tanaman padi. Selain tanaman padi, beberapa rumah tangga juga menjalankan usaha tani tanaman hortikultura, baik ditanam secara tumpang sari maupun secara khusus di musim tanam kedua dan ketiga. Aksi adaptasi yang dilakukan untuk mengurangi kerentanan dan risiko kegagalan panen dalam sepuluh tahun terkakhir telah membuat banyak rumah tangga di desa meningkatkan aktivitas penghidupan tanaman padi dan hortikultura. Selain tanaman padi dan hortikultura, beberapa rumah tangga juga melakukan aktivitas penghidupan pertanian yang lain, yaitu peternakan, jasa pertanian, dan pemungutan hasil alam. Strategi penghidupan yang kedua, diversifikasi penghidupan pertanian, dilakukan dengan dorongan untuk mempertahankan dan meningkatkan penghidupan rumah tangganya. Dengan memanfaatkan aset penghidupan dan surplus produksi (keuntungan) yang dihasilkan berbagai aktivitas pertanian, sebagian rumah tangga dari semua lapisan sosial melakukan berbagai aktivitas penghidupan non-pertanian. Dengan aset penghidupan yang lebih besar dan surplus produksi yang diperolehnya, rumah tangga atas menjadi rumah tangga 124
yang paling banyak melakukan aktivitas ini. Usaha penggilingan padi, perdagangan beras, toko, pertukangan, dan lembaga pelatihan Korea merupakan beberapa aktivitas yang dilakukan. Berbagai aktivitas usaha yang dijalankan rumah tangga lapisan atas juga memberi kesempatan kepada rumah tangga lain untuk ikut melakukan aktivitas penghidupan sebagai pengelola, tenaga kerja, dan mitra. Strategi penghidupan yang ketiga, migrasi, dilakukan di luar Kabupaten Indramayu. Strategi ini dilakukan oleh rumah tangga dari semua lapisan sosial. Namun, meskipun sama-sama melakukan migrasi, terdapat alasan yang berbeda yang melatar belakangi migrasi yang dilakukan. Rumah tangga lapisan atas cenderung melakukan migrasi karena tertarik ke luar desa (pulled out) dengan dibiayai oleh keuntungan yang diperoleh dari surplus (keuntungan) produksi pertanian ke desa. Sementara itu, rumah tangga bawah yang tidak memiliki lahan melakukan migrasi karena didorong ke luar (pushed-out) dalam rangka membantu ekonomi rumah tangga. Berdasarkan lokasi aktivitas penghidupannya, strategi migrasi dikelompokkan menjadi dua, yaitu migrasi internasional (luar negeri) dan migrasi domestik (dalam negeri). Migrasi internasional lebih banyak dipilih dibandingkan migrasi domestik. Korea, Taiwan, Hongkong, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Oman merupakan negara-negara yang menjadi tujuan migrasi. Sepuluh tahun terakhir ini Korea menjadi negara tujuan utama aktivitas migrasi internasional yang dilakukan anggota rumah tangga. Ketimpangan pendapatan dan berbagi kesempatan Strategi penghidupan yang dilakukan melalui berbagai aktivitas nafkah, secara umum, menghasilkan outcome penghidupan berkelanjutan bagi rumah tangga di Desa Karangmulya. Pendapatan, well-being (kesejahteraan), adaptasi penghidupan, ketahanan pangan, dan keberlanjutan sumber daya alam dihasilkan secara komprehensif dan saling melengkapi oleh setiap rumah tangga untuk menghadirkan penghidupan berkelanjutan. Pendapatan dalam bentuk uang dan juga hasil panen, misalnya padi, diterima oleh rumah tangga dari berbagai aktivitas yang dilakukannya. Secara umum, pendapatan dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi pendapatan bagi setiap rumah tangga meskipun bagi rumah tangga atas dan bawah pemilik kontribusinya lebih kecil dari pendapatan lain. Rumah tangga atas dengan aset penghidupan yang lebih lengkap dan kemampuan memanfaatkan modal sosial dengan baik menjadi rumah tangga yang menghasilkan pendapatan terbesar di desa. Surplus/keuntungan dari aktivitas usaha tani diakumulasikan menjadi modal bagi aktivitas penghidupan non-pertanian bermodal besar dan menghasilkan untung yang besar. Surplus/keuntungan dari aktivitas penghidupan pertanian kemudian digunakan kembali untuk modal usaha tani, baik dengan cara
125
intensifikasi pada lahan yang sudah ada maupun ekstensfikasi dengan membeli lahan sawah milik orang lain. Meskipun pendapatan rumah tangga pemilik lahan jauh lebih tinggi, hal ini tidak membuat rumah tangga lain merasa dirugikan. Mereka menganggap bahwa apa yang dilakukan rumah tangga atas menjalankan usaha tani dan juga usaha non-pertanian mempunyai risiko yang jauh lebih besar daripada hanya menjadi buruh. Risiko kegagalan panen dan kerugaian selalu mengintai setiap saat. Selain itu, adanya institusi sosial, seperti bawon dan juga yang lainnya menjadi media saling berbagi pendapatan dan menjadi perekat keharmonisan semua rumah tangga di desa. Begitu juga dengan aktivitas lain. Pendapatan yang tertinggi diperoleh oleh rumah tangga yang lebih berani mengambil risiko dan mengeluarkan aset penghidupannya sebagai input produksi dalam bekerja dan berusaha. Rumah tangga yang melakukan aktivitas migrasi internasional di Korea, misalnya, mendapatkan pendapatan lebih tinggi dibanding rumah tangga lain yang hanya malas berdiam diri di rumah. Untuk pergi ke Korea, anggota rumah tangga tersebut harus melakukan persiapan dan memenuhi persyaratan yang tidak mudah. Anggota rumah tangga tersebut harus mampu menyelesaikan pendidikan SMA, mengikuti pelatihan bahasa Korea sedikitnya selama enam bulan, dan lulus tes bahasa Korea. Banyak waktu dan peluang yang dikorbankan untuk mempersiapkan hal-hal tersebut. Belum lagi, biaya yang harus dikeluarkan. Untunglah, beberapa tahun terakhir ini fasilitas dan akses pendidikan gratis sampai SLTA diterapkan di Kabupaten Indramayu. Sekolah-sekolah dari mulai tingkat SD, SLTP, SLTA, dan juga perguruan tinggi dibangun di sekitar desa mereka. Setidaknya dengan fasilitas pendidikan yang dekat dan biaya gratis sampai SLTA, semua anggota rumah tangga usia sekolah dari semua lapisan sosial bisa bersekolah sampai tingkat SLTA. Kemudian, untuk biaya persiapan, mulai dari pelatihan bahasa sampai tingat keberangkatan, sudah terbangun institusi sosial yang mengatur pinjaman khusus untuk membiayai persiapan keberangkatan anggota rumah tangga yang ingin berangkat ke Korea. Institusi tersebut terbukti berhasil memberikan keuntungan (pendapatan), baik untuk anggota rumah tangga yang berangkat bekerja ke Korea maupun rumah tangga atas yang membantu memberikan pinjaman. Sebagian pendapatan yang diperoleh rumah tangga atas pun sebagian dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui bantuan-bantuan, seperti penyediaan mobil gratis untuk kepentingan sosial masyarakat dan bantuan dana untuk fasilitas umum. Institusi ini dilahirkan dan disepakati untuk menjembatani keterbatasan aset finansial yang dimiliki oleh rumah tangga yang ingin anggotanya melakukan aktivitas migrasi ke Korea. Bila dibandingkan dengan aturan yang diterapkan PJTKI dalam membantu anggota masyarakat melakukan aktivitas migrasi internasional, institusi ini jauh lebih menguntungkan bagi pelaku aktivitas migrasi. Hal ini bisa terlihat dari remitans yang dikirimkan mereka ke rumah 126
tangga di desa. Dalam setahun, anggota rumah tangga yang bekerja di pabrik di Korea mengirimkan setidaknya Rp 120 juta, sedangkan yang bekerja di pabrik di Taiwan hanya mengirimkan Rp 12 juta. Banyaknya potongan yang tidak transparan oleh PJTKI menyebabkan gaji bersih yang diterima menjadi sangat kecil. Bahkan, sebagian dari mereka tidak mengetahui gaji yang sebenarnya. Well-being (kesejahteraan) berhasil diwujudkan dari strategi penghidupan yang dilakukan dan institusi sosial yang berlaku di masyarakat. Keduanya telah terbukti menghadirkan (1) penghargaan diri bagi setiap rumah tangga dan anggotanya, (2) kesadaran sosial yang menjadikan setiap rumah tangga sebagai bagian dari masyarakat dapat ikut serta dalam kegiatan masyarakat, (3) keamanan setiap anggota rumah tangga, keamanan fisik rumah tinggal dan aset-aset penghidupan yang dimiliki, (4) status kesehatan dan pendidikan, (5) akses terhadap berbagai pelayanan publik, (6) hak untuk berpolitik, serta (6) hak untuk memelihara tradisi budaya. Untuk adaptasi penghidupan, uraian pada Bab VI dan VII sudah cukup jelas memaparkan bagaimana setiap rumah tangga melakukan adaptasi (penyesuaian) pada aktivitas penghidupan yang dilakukannya. Setiap rumah tangga di Desa Karangmulya sudah cukup pandai memilih aktivitas penghidupan sesuai dengan musim (cuaca/iklim). Aktivitas penghidupan juga disesuaikan dengan kondisi perekonomian dan kebijakan pemerintah. Aktivitas penghidupan yang mampu dikerjakan serta menghasilkan pendapatan dan kesejahteraan yang lebih tinggi akan terus dijalankan, namun yang tidak akan disesuaikan atau diganti dengan aktivitas penghidupan yang baru. Ketahanan pangan pun selalu diwujudkan oleh setiap rumah tangga di Desa Karangmulya. Setiap musim hujan tiba, seluruh rumah tangga yang memiliki atau menyewa lahan sawah menanami lahan sawahnya dengan tanaman padi. Berbagai institusi sosial dalam bentuk ritual tradisi budaya pun dilakukan berkali-kali dari sebelum menggarap sampai setelah panen sebagai wujud doa dan syukur kepada Sang Pencipta agar padi yang ditanamnya bisa tumbuh subur dan dapat dipanen. Ketika waktunya panen tiba, seluruh rumah tangga turun ke sawah dan ikut memanen untuk mendapatkan padi (bawon) sesuai dengan bagiannya. Selain itu, ada institusi remi yang memberi kesempatan kepada perempuan tua dan janda yang tidak bisa ikut bawon untuk tetap mendapatkan padi. Institusi senggang pun sengaja diciptakan dan tetap dipelihara untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mendapatkan padi. Padi yang diperoleh tersebut sebagian besar disimpan di rumah sebagai stok pangan rumah tangga. Begitu pun dengan bagian panen yang diperoleh rumah tangga pemilik. Mereka akan mengutamakan stok pangan yang cukup bagi rumah tangganya terlebih dahulu sebelum dijual. Bahkan, semua rumah tangga lapisan atas menyiapkan stok pangan yang bisa dipinjam oleh tetangga, kerabat, dan kliennya yang dibutuhkan di saat paceklik. Selain institusi asli, program beras miskin (raskin) dari pemerintah yang dengan prinsip resiprositas dimodifikasi menjadi program 127
beras rata (rasta) sehingga memberi kesempatan kepada rumah tangga lain yang sebetulnya membutuhkan beras, namun tidak terdata, untuk bisa mendapatkan beras. Karena sejak kelahirannya, masyarakat desa persawahan ini sangat tergantung dengan sumber daya alam (lahan sawah, air, cuaca) sosial, maka sudah dipastikan seluruh rumah tangga akan mengelola sumber daya alam tersebut secara berkelanjutan. Suprastruktur sosial mengenai padi dan lahan sawah; struktur sosial yang ditentukan oleh kepemilikan lahan sawah; dan berbagai institusi sosial (infrastruktur sosial) yang bertujuan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan turut memastikan bahwa strategi penghidupan yang dilakukan rumah tangga di Desa Karangmulya mewujudkan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Benang merah Temuan penelitian yang telah disampaikan di atas membuktikan teoretikal sosiologi penghidupan yang disampaikan oleh Chambers dan Conway (1991), Scoones (1998), Carney (1998), DFID (1999), dan Ellis (2000), dan juga Dharmawan (2007:184-185), sebagai berikut: 1. Dalam kondisi dan situasi apapun, setiap individu atau rumah tangga selalu berupaya untuk mempertahankan status kehidupannya dan sebisa mungkin melanjutkan eksistensinya hingga lintas generasi melalui berbagai cara (strategi) bertahan hidup melalui manipulasi sumbersumber penghidupan yang tersedia di hadapannya. 2. Setiap individu [atau rumah tangga] membangun mekanisme-mekanisme survival melalui kelompok maupun komunitas sesuai konteks sosiobudaya-eko-geografi dan lokalitas di mana individu [atau rumah tangga] tersebut berada. 3. Ada kekuatan infrastruktur (kelembagaan/institusi sosial) dan kekuatan suprastruktur (tata nilai) serta struktur sosial (pola hubungan sosial) yang menyebabkan bentuk strategi nafkah yang dibangun individu maupun kelompok individu [atau rumah tangga] tidak selalu seragam di setiap lokalitas. 4. Hingga batas tertentu, strategi nafkah yang dibangun oleh individu dan rumah tangga akan mempengaruhi dinamika kehidupan sosial pada aras masyarakat. Sebaliknya dinamika kehidupan masyarakat akan menentukan strategi yang dibangun di tingkat individu dan rumah tangga.
128
BAB IX PENUTUP 9.1 Kesimpulan Dari hasil analisis yang telah disampaikan pada Bab V-VIII, peneliti menyimpulkan beberapa hal, sebagai berikut: 1. Desa Karangmulya yang berada di ujung jaringan irigasi Rentang dan Jatiluhur mempunyai kerentanan yang sangat tinggi terhadap kekeringan dan banjir. Ketidakmampuan pemerintah mengelola kedua jaringan irigasi tersebut menjadi faktor penyebab utamanya. 2. Kerentanan ekologi yang menekan dan mengguncang penghidupan direspons setiap rumah tangga dari semua lapisan sosial dengan membangun modal sosial yang kuat. Modal sosial yang kuat memberikan akses pada setiap rumah tangga untuk meningkatkan kapasitas aset penghidupan lainnya (modal alam, modal fisik, modal finansial, dan modal insani) sehingga dapat memelihara resiliensi dan keberlanjutan penghidupannya. 3. Pertanian menjadi basis utama penghidupan rumah tangga di Desa Karangmulya. Pertanian menjadi strategi penghidupan yang terbanyak dilakukan oleh seluruh rumah tangga. Pendapatan dari pertanian digunakan untuk menjalankan strategi penghidupan non-pertanian. Selain itu, strategi migrasi ke Korea juga menjadi strategi penghidupan yang penting, terutama bagi rumah tangga lapisan bawah buruh. Beberapa rumah tangga lapisan bawah buruh, bahkan mampu melakukan mobilisasi sosial vertikal dengan menggunakan pendapatan migrasinya untuk menyewa dan menggadai lahan sawah rumah tangga lain. 4. Setiap rumah tangga dari semua lapisan sosial berupaya menghadapi dan beradaptasi dengan kerentanan ekologi yang mengganggu penghidupannya dengan tetap memelihara atau bahkan meningkatkan kapasistas aset penghidupannya serta mengkombinasikan aset penghidupan yang dimiliki dan diaksesnya ke dalam berbagai bentuk strategi penghidupan untuk mempertahankan keberlanjutan penghidupannya.
129
8.2 Saran Dari kesimpulan di atas, peneliti ingin menyampaikan beberapa saran kepada pemerintah untuk mengurangi kerentanan ekologi Desa Karangmulya dan meningkatkan penghidupan masyarakatnya. Tanpa bermaksud mengeneralisir, saran ini mungkin saja berlaku untuk desa-desa lain yang mempunyai kerentanan ekologi yang tinggi seperti di Desa Karangmulya. Berikut merupakan saran-saran yang dimaksud: 1. Pemerintah harus segera melakukan revitalisasi dan optimalisasi jaringan irigasi Rentang dan Jatiluhur untuk mengurangi kerentanan Desa Karangmulya. Hasil penelitian menunjukkan akar permasalahan kekeringan dan banjir yang terjadi hampir setiap tahun adalah tata kelola kedua jaringan irigasi tersebut. Lokasinya yang berada di ujung kedua jaringan irigasi terbesar di Pantura Jawa Barat tersebut jangan dijadikan alasan ketidakmampuan pemerintah mengurangi intensitas dan frekuensi kekeringan dan banjir. Setidaknya, pemerintah harus bisa menyelesaikan permasalahan yang ditemukan selama penelitan, sebagai berikut: Hilir a. Penyempitan dan pendangkalan saluran. b. Banyaknya infrastruktur saluran irigasi dan pintu air yang rusak, baik karena faktor umur bangunan maupun sengaja dibobol. c. Banyaknya mesin-mesin pompa air liar dan tidak terkendali di sepanjang saluran irigasi. d. Berkuasanya preman air yang terdiri dari oknum mantri air dan penjaga pintu. Preman air inilah yang menentukan air sampai atau tidak ke Desa Karangmulya. Di musim kemarau, masyarakat Desa Karangmulya harus mengeluarkan biaya Rp 5-12 juta untuk sekali mendatangkan air ke bendungan embung Kali Bojong. e. Rusaknya pintur air dan tembok bendungan embung Kali Bojong. Hulu dan Tengah a. Deforestasi dan degradasi lingkungan di bagian hulu dan tengah. b. Kewenangan pengaturan air yang dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (kabupaten/kota) membuat pengelolaan jaringan irigasi dilakukan secara parsial dan mementingkan kebutuhan daerah masing-masing. Bendungan Rentang yang berada di Kabupaten Majalengka, misalnya, membuat Pemerintahan Kabupaten Majalengka lebih mendahulukan terpenuhinya pasokan air untuk persawahan di daerah terlebih dahulu. Akibatnya, pasokan air ke jaringan irigasi Rentang yang melewati wilayah persawahan irigasi menjadi berkurang.
130
2.
3.
4.
5.
6.
c. Perum Jasa Tirta II sebagai pengelola waduk Jatiluhur dan jaringan irigasi Jatiluhur diminta untuk meningkatkan pasokan air bagi lahanlahan sawah di Indramayu. Masyarakat Desa Karangmulya mengetahui bahwa pipa-pipa besar yang berjumlah cukup banyak dan melintasi lahan persawahannya adalah pipa-pipa air yang mengalirkan air dari jaringan irigasi Jatiluhur ke kilang-kilang minyak milik Pertamina dan perusahaan lainnya. Masyarakat berpendapat bahwa tidak sampainya air ke lahan persawahan mereka disebabkan oleh pasokan air yang berlebihan ke kilang-kilang tersebut. Apabila dibiarkan terus akan dikhawatirkan memicu perusakan pipa-pipa air tersebut. Pemerintah harus segera mencari sumber air baru, membangun bendungan baru, atau membangun saluran irigasi baru yang bisa memasok air dengan cukup sepanjang tahun. Pengamatan di lapangan pada musim kemarau menunjukkan bahwa air sebetulnya mengalir deras sepanjang tahun di beberapa saluran irigasi dan sungai alam yang melintasi desa-desa tetangga. Pemerintah harus terus melanjutkan program-program adaptasi iklim yang telah dirintis sejak 2003 secara berkelanjutan. Program-program harus dilakukan secara komprehensif dan terencana, baik program soft-adaptasi maupun program hard-adaptasi. Meskipun tetap memberikan manfaat, program-program selama ini yang hanya bersifat insidental, jangka pendek, dilakukan secara parsial, dan tanpa kelanjutan yang jelas terbukti belum mampu menyelesaikan permasalahan kerentanan di Desa Karangmulya. Pemerintah harus mengubah aturan keanggotaan kelompok tani. Keanggotaan kelompok tani jangan hanya dibatasi untuk para petani pemilik atau penggarap saja. Buruh tani yang jumlahnya cukup banyak di desa harus dianggap sebagai bagian penting dari pertanian dan diberi kesempatan untuk menjadi anggota kelompok tani. Hal ini dilakukan agar semua rumah tangga dari semua lapisan dapat mengakses seluruh program pemerintah yang dilakukan di desa. Selama ini, hampir semua program dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten masuk ke desa melalui kelompok tani. Pemerintah harus terus meningkatkan kualitas program pendidikan dan kesehatan, baik fasilitas maupun pelayanan, yang dapat diakses dengan mudah dan gratis untuk seluruh lapisan sosial. Peningkatan akses terhadap pendidikan dan kesehatan terbukti meningkatkan kapasitas modal insani rumah tangga, termasuk rumah tangga lapisan bawah. Peningkatan kapasitas ini membuat setiap rumah tangga bisa memilih strategi penghidupan yang lebih baik. Berbagai bantuan yang diberikan pemerintah secara langsung untuk meningkatkan kapasitas aset penghidupan rumah tangga seringkali dinilai salah sasaran dan menimbulkan kecemburuan sosial. Pemerintah seharusnya melakukan penelitian terlebih dahulu secara spesifik di tingkat desa sesaat sebelum bantuan diberikan. Data rumah tangga sasaran yang menjadi dasar pemberian bantuan seringkali bersifat makro dan tidak up to date.
131
7. Adanya potensi subsektor tanaman hortikultura dan peternakan harus dijadikan peluang untuk meningkatkan penghidupan masyarakat Desa Karangmulya. Pemerintah harus lebih memberi perhatian pada kedua subsektor ini. Informasi dan data dari Dinas Pertanian, Peternakan, dan Perkebunan Kabupaten Indramayu menunjukkan bahwa Desa Karangmulya bukan menjadi daerah sasaran pembangunan pertanian hortikultura dan peternakan. Pembangunan harus dilakukan secara komprehensif dari mulai sarana-prasarana input produksi, proses produksi, pemasaran, dan juga kapasitas petani dan peternaknya. Petani dan peternak seringkali mengeluhkan ketidakpastian pasar. Keberhasilan produksi seringkali tidak didukung oleh kepastian pasar, akibatnya harga jual produknya turun dan petani/peternak merugi. 8. Untuk meningkatkan penghidupan rumah tangga, pemerintah harus menciptakan peluang tambahan aktivitas penghidupan yang bisa dilakukan di desa, baik lewat usaha maupun bekerja. Banyaknya waktu luang rumah tangga, terutama pada musim kemarau, harusnya bisa dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas nafkah yang menghasilkan pendapatan tambahan. Penciptaan industri kreatif rumahan berbasis sumber daya lokal, seperti makanan tradisional berbahan baku beras, bisa menjadi program yang dapat dilakukan pemerintah. Apalagi, Desa Karangmulya berada dekat dengan jalur Pantura yang ramai dilewati oleh ribuan kendaraan setiap harinya sehingga produk yang dihasilkannya bisa dijual dengan mudah dan dijadikan oleh-oleh khas Indramayu. 9. Aktivitas migrasi internasional dilakukan banyak rumah tangga dari semua lapisan sejak dulu. Aktivitas ini menjadi strategi rumah tangga untuk mempertahankan dan meningkatkan penghidupannya. Namun, dari berbagai aktivitas migrasi yang dilakukan, bekerja di Korea merupakan satu-satunya aktivitas migrasi yang menghasilkan pendapatan yang tinggi. Remitans yang dikirim rutin setiap bulan mampu meningkatkan penghidupan rumah tangga dan menggerakan perekonomian desa. Hal ini jauh berbeda dengan aktivitas migrasi ke negara lain. Selain pendapatannya kecil dan remitans yang dikirimkan kecil sehingga tidak mampu meningkatkan penghidupan rumah tangga, apalagi menggerakkan perekonomian desa, aktivitas ini juga tidak luput dari masalah. Mulai dari penipuan oleh calo dan PJTKI di dalam negeri sampai pelecehan dan pelanggaran hak-hak pekerja di luar negeri, baik oleh majikannya maupun oleh PJTKI. Pemerintah harus mengevaluasi sistem rekruitmen dan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri yang melibatkan PJTKI. Sistem rekruitmen dan pengiriman tenaga kerja ke Korea yang dilakukan langsung oleh pemerintah (BNP2TKI) tanpa melibatkan PJTKI patut dicontoh dan diadopsi untuk rekruitmen dan pengiriman tenaga kerja ke negara lainnya.
132
10. Intervensi apa pun dari organisasi sosial modern-formal, baik pemerintah (sektor publik) maupun swasta (sektor private), harus melibatkan organisasi tradisional-informal yang sudah menjalankan institusi sosial produksi (modal sosial) sejak lama. Hal ini perlu dilakukan agar intervensi yang dilakukan selaras dengan institusi sosial produksi asli (modal sosial) yang telah terbukti menjadi semen sosial dan menjamin keberlanjutan penghidupan rumah tangga yang ada di desa.
133
DAFTAR PUSTAKA
Aass S. 1980. Relevansi Teori Makro Chayanov untuk Kasus Pulau Jawa (terejemahan), di dalam Tjondronegoro SMP, Wiradi G (Ed.). 2004. Dua Abad Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, edisi revisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. [ADB] Asian Development Bank. 2009. The Economics of Climate Change in Southeast Asia: a Regional Review. Mandaluyong City: ADB. Agrawal A, Perrin N. 2008. Climate Adaptation, Local Institutions, and Rural Livelihoods. TFRI WP#081-6. School of Natural Resources and Environment, University of Michigan. Amaru S, Chhetri NB. 2013. Climate Adaptation: Institutional Response to Environmental Constrains, and The Need for Increased Flexibility, Participation, and Integration of Approaches. Applied Geography 39: 128-139. Ancok, Djamaludin. 2008. Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: UGM. ________________. 1997. Managing Change Through Leadership Development Program: Social Psychological Approach. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, vol 12, No. 3, 21-30 Tahun 1997. Asnawi S. 1988. Peranan dan Masalah Irigasi dalam Mencapai dan Melestarikan Swasembada Beras. Prisma (2/XVIII): 3-26. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Kajian Evaluasi Revitalisasi Pertanian dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Petani. Jakarta: Bappenas _____________. 2014. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim. Jakarta: Bappenas. [Bappenas] dan [Kementan] Kementerian Pertanian. 2010. Roadmap Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta: Bappenas dan Kementerian Pertanian. [BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2011. Indeks Rawan Bencana Indonesia. Jakarta: BNPB.
134
Boeke JH. 1953. Economic Policy of Dual Societies as Exemplified by Indonisia. Diterjamahkan dalam Sajogyo (Ed.). 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Bowles, Samuel dan Gintis, Herbert. 2001. Schooling in Capitalist America Revisited. http://www.umass.edu/preferen/gintis/soced.pdf [BPS Kabupaten Indramayu] Badan Pusat Statistik Kabupaten Indramayu. 2006. Kabupaten Indramayu dalam Angka 2005. Indramayu: BPS Indramayu. _____________. 2009. Kabupaten Indramayu dalam Angka 2008. Indramayu: BPS Indramayu. _____________. 2012. Kabupaten Indramayu dalam Angka 2011. Indramayu: BPS Indramayu. _____________. 2013a. Kabupaten Indramayu dalam Angka 2012. Indramayu: BPS Indramayu. _____________. 2013b. Kecamatan Kandanghaur dalam Angka 2012. Indramayu: BPS Indramayu. Brehm, Rahn. 1997. Individual-level evidence for the cuases and consequences of social capital. Artikel. American Journal of Political Sciences, 41 (3), 999. Breman J. 2010. Koloniaal Profijt van Onvrije Arbeid. Amsterdam: Amsterdam University. Breman J, Wiradi G. 2004. Masa Cerah dan Masa Suram di Pedesaan Jawa. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Burt. 1997. The Contingent Value of Social Capital. Administrative Science Quarterly. Vol 42, 339-365. Cahyadi R, Sucahyono D, Surtiari GAK, Miranda TI, Abdurrahim AY. 2012. Peranan Sekolah Lapang Iklim dan Program Sosialisasi Informasi Perubahan Iklim dalam Menanggulangi Kemiskinan Petani dan Nelayan Akibat Dampak Perubahan Iklim (Ringkasan Hasil Penelitian). Jakarta: LIPI. Carney D. 1998. Sustainable Rural Livelihoods: What contribution can we make? London: Department for International Development (DFID). Chamber R and Conway. 1992. Sustainable Rural: Practical Concepts for The 21st Century. IDS Discussion Paper 296. Brighton: IDS.
135
Cohen D, Prusak L. 2001. In Good Company. Harvard Business School Press, Boston. Coleman S. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. The American Journal of Sociology, Vol. 94, Supplement: Organizations and Institutions: Sociological and Economic Approaches to the Anlaysis of Social Stucture, pp. S95-S120. The University of Chicago Press. ______________. 1990. Foundations of Social Theory. Cambridge: Harvard University Press. ______________. 1999. Social Capital in the Creation of Human Capital. Cambridge: Harvard University Press. Collier WL, Soentoro, Wiradi G. & Makali. 1974. Agricultural Technology and Institutional Change in Java. Madison: University of Wisconsin. Collier WL, Santoso K, Soentoro, Wibowo H. 1996. Pendekatan Baru dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa: Kajian Pedesaan Selama 25 Tahun. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Denzin NK, Lincoln YS (Ed.). 2009. Handbook of Qualitative Research, Edisi Bahasa Indonesia (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dharmawan AH. 2001. Farm Household Livelihood Strategies and Rural SocioEconomic Change in Rural Indonesia. Kiel: Wissenchafts Verlag Vauk. __________. 2007. Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan: Pandangan Sosiologi Nafkah (Livelihood Sociology) Mazhab Barat dan Mazhab Bogor. Sodality. Agustus 2007, p 169-192. [DFID] Department for International Development. 1999. Sustainable Livelihoods Guidance Sheets. London: DFID. [DPUP] Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Kabupaten Indramayu. 1999. Skema Jaringan Irigasi Inrdramayu. Indramayu: DPUP Kabupaten Indramayu. Ellis F. 2000. Household Strategies and Diversity in Developing Countries. Oxford: Oxford University Press. Fakultas Pertanian IPB. 1992. Tahun 1963 Perguruan Tinggi Menjawab Tantangan Masalah Pangan. Bogor: Fakultas Pertanian IPB.
136
Fukuyama. 1995. Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity, New York: the Free Press. _________. 1997. Social Capital and the Modern Capitalist Economy: Creating a High Trust Workplace. Stern Business Magazine, Vol 4. No. 1. _________. 1999. Social Capital and Civil Society. IMF Working Paper. IMF Instiute. _________. 2001 . Social Capital, Civil Society, and Development. Third World Quarterly, Vol 22, No 1, pp 7-20. Geertz C. 1963. Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesia. Berkeley: University of California Press. Hartoyo S. 1986. Keadaan Penggunaan Faktor-faktor Produksi Usahatani Padi Sawah di Daerah Irigasi Rentang, Kabupaten Indramayu Musim Tanam Tahun 1985: Kasus di Petak Tersier Tg 5 dan Dr 6 Ka. Bogor: Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hayami Y, Kikuchi M. 1987. Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. New York: Cambridge University Press. _________. 2007. Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson, Eds., Cambridge: Cambridge University Press. Kalsim DK. 2007. Kekeringan dan Berbagai Permasalahannya. Diskusi Panel Ahli IPB 8 September 2007 di Bogor. Tidak dipublikasikan. [Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri-RI. 2014. Profil Desa Karangmulya, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu. Jakarta: Kemendagri. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup-RI. 2013. Pengembangan Konsep Indeks Kerentanan Nasional. Disampaikan di Bogor, 21 Februari 2013. Tidak dipublikasikan.
137
Lawang RMZ. 2004. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik. Depok: FISIP UI Press. Linbald J. 1998. Tema-tema Kunci dalam Sejarah Ekonomi Modern Indonesia, dalam Linbald J (ed.) Sejarah Ekonomi Modern Indonesia, hal. 1-54. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2011. Hasil Survey Rumah tangga Program Sosialisasi Perubahan Iklim LIPI, ICCTF, dan BMKG Tahun 2011. Tidak dipublikasikan. ________. 2013. Hasil Survey Rumah Tangga Penelitian Kompetitif CSSI di Indramayu. Tidak dipublikasikan. McDowell JZ, Hess JJ. 2012. Accessing Adaptation: Multiple Stressors on Livelihoods in The Bolivian Highlands Under a Changing Climate. Global Environmental Change 22: 342-352. Neuman WL. 2013. Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatakan Kualitatif dan Kuantitatif, Edisi 7 (Terjemahan). PT Indeks, Jakarta. Osbahr H, Twyman C, Adger WN, Thomas DSG. 2008. Effective Livelihood Adaptation to Climate Change Disturbance: Scale Dimensions of Practice in Mozambique. Geoforum 39: 1951-1964. Pavoola J. 2008. Livelihoods, Vulnerability, and Adaptation to Climate Change in Morogoro, Tanzania. Environmental Science & Policy: 642-654. Padmo S. 1998. Perkembangan Kesempatan Kerja Nonpertanian di Karesidenan Cirebon 1830-1930, dalam Linbald J (ed.) Sejarah Ekonomi Modern Indonesia, hal. 131-158. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Pemerintah Kabupaten Indramayu. 2014. Sejarah Indramayu. Indramayu: Pemerintah Kabupaten Indramayu. http://www.indramayukab.go.id/profile/53-sejarah-indramayu.html Pennar. 1997. The Ties That Lead to Prosperity. Business wee, Dec. 155. Pp 153155. Pincus JR. 1996. Class Power and Agrarian Change: Land and Labour in Rural West Java. New York: ST Martin’s Press. [PJT II] Perum Jasa Tirta II-Jatilhur. 2014. General View of Jasa Tirta II Public Corporation. Disampiakan di Purwakarta, 16 Januari 2014. Tidak dipublikasikan.
138
Popkin SL. 1979. The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam. Berkeley: University of California Press. Pouliotte, Jennifer, Barry Smit, dan Lisa Waterhoff . 2009. Adaptation and Development: Livelihoods and Climate Change in Subadrnad, Bangladesh. Climate and Development 1 (2009) 31-46. Pramudia A. 2002. Analisis Sensitvitas Tingkat Kerawanan Produksi Padi di Pantai Utara Jawa Barat terhadap Kekeringan dan El-Nino. Tesis. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Prince G. 1998. Kebijakan Ekonomi di Indonesia 1900-1942, dalam Linbald J (ed.) Sejarah Ekonomi Modern Indonesia, hal. 131-158. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Putnam, RD. 1993. The Prosperus Community: Social Capital and Public Life. The American Prospect, Vol. 13, halaman 35-42. Puspitawati H, Herawati T, Harashani H. 2007. Kajian Budaya Masyarakat Pantai Utara dan Kesenjangan Gender Bidang Pendidikan di Jawa Barat. Bandung: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Sajogyo. 1973. Modernization without Development in Rural Java. Paper at FAO-Seminar in Bangkok 1973, kemudian terbit di Jurnal of Social Sciences, Universitas Bangladesh 1982. _______. 2006. Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Petani dan Perdesaan sebagai Kasus Uji). Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta. Scoones I. 1998. Sustainable Rural Livelihoods: Framework for Analysis. IDS Working Paper 72. Sussex: IDS ________. 2009. Livelihoods Perspectives and Rural Development. The Journal of Peasant Studies, 36:1, 171-196. Scotts JC. 1976. The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. New Haven: University Press. _________. 1985. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. New Haven: University Press. Septicorini EP. 2009. Identifikasi Fenomena ENSO dan IOD terhadap Dinamika Waktu Tanam Padi di Daerah Jawa Barat: : Studi Kasus Kabupaten Indramayu dan Kabupaten. Tesis. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
139
Siregar PR, Crane TA. 2011. Climate Information and Agricultural Practice in Adaptation to Climate Variability: The Case of Climate Field Schools in Indramayu, Indonesia. Culture, Agriculture, Food and Environment, Vol. 33, No. 2. Solesbury W. 2003. Sustainable Livelihoods: A Case Study of the Evolution of DFID Policy. Overseas Development Institute, London. Sucahyono D dan Aldrian E. 2012. Perubahan Iklim, dalam Hidayati D dan Aldrian E (ed.). Perubahan Iklim: Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Adaptasi Petani dan Nelayan Melalui Radio, hal 19-96. Bogor: PT Sarana Komunikasi Utama bekerja sama dengan LIPI, BMKG, dan ICCTF. Syahyuti. 2008. Peran Modal Sosial (Social Capital) dalam Perdagangan Hasil Pertanian. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 26 No 1, Juli 2008 : 32-43.
Thomas DSG, Twyman 2005. Equity and Justice in Climate Change Adaptation Among Natural-Resources-Dependent Societies. Global Environmental Change 15, 115-124. [UNDP] United National Development Program. 2007. The Other Half of Climate Change: Why Indonesia Must Adapt to Protect Its Poorest People. Jakarta: UNDP Indonesia Country Office. Utomo WY. 2013. Analisis Potensi Rawan (Hazard) dan Risiko (Risk) Bencana Banjir dan Longsor (Studi Kasus Provinsi Jawa Barat). Tesis. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wang J, Brown DG, Agrawal A. 2013. Climate Adaptation, Local Institutions, and Rural Livelihoods: A Comparative Study of Herder Communities in Mongolia and Inner Mongolia, China. Global Enviromental Change 23: 1673-1683. Wiradi G, White B, Collier WL, Soentoro, Makali, Manning C. 2009. Ranah Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraris. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. White B. 1991. Economic Diversification and Agrarian Change in Rural Java 1900-1990. In: Alexander P, Boomgard P, White B (Ed.). In the Shadow of Agriculture: Non-farm Activities in the Javanese Economy, Past and Present, pp. 41-70. Amsterdam: Royal Tropical Institute.
140
World Bank. 1998. “The Initiative on Defining, Monitoring, dan Measuring Social Capital: Text of Proposal Approved for Funding”. Social Capital Initiative Working Paper No. 2. The World Bank, Social Development Family, Environmentally and Socially Sustainalble Development Network. June 1998.
141
Lampiran 1. Kuesioner Survei Survei Penghidupan Rumah Tangga Pedesaan 2014 Desa Karangmulya, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu
Penelitian Tesis Peneliti LIPI-Karyasiswa Kementerian Riset dan Teknologi di Program Studi Sosiologi Pedesaan-Sekolah Pascasarjana IPB 101 102 103 104
I. KETERANGAN RESPONDEN Nama Kepala Rumah Tangga Dusun/RT/RW Blok Sawah Kelompok Tani
No.
Nama anggota rumah tangga
(1) 1
(2)
II. KETERANGAN PETUGAS Pewawancara 201 202 203
Pemeriksa
Nama Tanggal Pelaksanaan Tanda Tangan
III. KETERANGAN DEMOGRAFI ANGGOTA RUMAH TANGGA (HUMAN CAPITAL) Hub dg Jenis Umur Ijazah Kursus/ pelatihan/ penyuluhan yg Kondisi KRT kelamin (thn) Sekolah/ diikuti (yg berkaitan dg kesempatan kesehatan yg (Kode) 1. L STTB bekerja dan berusaha, misal kursus menghambat 2. P tertinggi Bahasa Korea, penyuluhan pertanian, sekolah/bekerja (kode) SLI, kursus memasak, dll) 1. Ada Sebutkan jumlah dan uraikan 2. Tidak (3) (4) (5) (6) (7) (8)
Ket
2 3 4 5 6 7 8
No ART > 10 thn
(9)
IV. KETERANGAN AKTIVITAS PENGHIDUPAN & PENDAPATAN ANGGOTA RUMAH TANGGA (Aktivitas yang menghasilkan pendapatan uang maupun dalam bentuk hasil panen selama setahun yang lalu) Musim Gadu 2013 Musim Kemarau 2013 MH - Rendeng 2013/2014 (April-Agustus 2013) (Agustus-Nov 2013) (Des 2013-April 2014) Pekerjaan/ Kod Pendapatan Pekerjaan/ Kod Pendapatan Pekerjaan/ Kod Pendapatan Usaha Rp Usaha Rp Usaha Rp (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18)
Total Pendapatan Kode Kolom (3) 1. Kepala Rumah Tangga (KRT) 2. Istri/suami 3. Anak 4. Menantu
!
5. Cucu 6. Orang tua/mertua 7. Famili lain 8. Pembantu RT 9. Lainnya
Kode Kolom (7) 1. Tidak tamat belajar 2. Tamat SD/Sedearajat 3. Tamat SLTP/Sederajat 4. Tamat SLTA/Sederajat
5. Tamat D1/D2 6. Tamat Akademi/D3 7. Tamat D4/S1 6. Tamat S2/S3
Kode Kolom (12), (14), (17) 1a. Usaha di sektor pertanian 1b. Kerja/buruh di sektor pertanian 2a. Usaha di luar sektor pertanian 2b. Kerja/buruh di luar sektor pertanian 3. Remi/ngasak 4. Senggang
142!
V. RINGKASAN PENDAPATAN SELURUH ANGGOTA RUMAH TANGGA DALAM SETAHUN TERAKHIR APRIL/MEI 2013 - APRIL 2014 Rincian (Rp) Jumlah (Rp) 1A. Usaha sektor pertanian a. b. c. 1B. Upah/gaji buruh/karyawan di sektor pertanian a. b. 2A. Usaha di luar sektor pertanian a. b. 2B. Upah/gaji buruh/karyawan di luar sektor pertanian a. b. 3. Remitance dan Transfer a. Kiriman dari b. Kiriman dari 4. Pendapatan lainnya a. Pendapatan pensiun b. Pendapatan dari sewa lahan c. Raskin d. Remi e. Senggang JUMLAH PENDAPATAN VI. KETERANGAN TANDUR DAN PANEN (DALAM SETAHUN TERAKHIR: APRIL/MEI 2013 - APRIL 2014) 601
602 603 604 605 606 607 608 609 610 611 612 613
614 615
616 617
!
Varietas padi yang digunakan? Musim hujan Musim kemarau Nama varietas Keunggulan Sumber benih padi yang digunakan? 1. Bantuan pemerintah; 2. Bantuan swasta; 3. Beli dari kios; 4. Beli antar petani; 4. Hasil persilangan sendiri Berapa orang buruh tandur yang terlibat dalam proses tandur sawah anda? Dari mana asal sebagian besar buruh tandur anda? 1. Dalam desa; 2. Luar desa, sebutkan daerahnya Bagaimana sistem anda membayar buruh tandur anda? 1. Upah perorangan; 2. Upah borongan satu kelompok; 3. Ceblokan (bayar full biar ikut panen) Apakah anda kesulitan mencari buruh tandur pada masa tanam serentak yang ditentukan? 1. Ya; 2. Tidak Setujukan bila di Desa Karangmulya digunakan mesin tandur transplanter? 1. Ya; 2. Tidak Alasannya: Panen. Berapa orang buruh panen yang terlibat dalam memanen sawah anda? Dari mana asal sebagian besar buruh panen anda? 1. Dalam desa; 2. Luar desa, sebutkan Alasan memilih kelompok panen? 1. Tetangga; 2. Kerabat; 3. Yang penting bisa panen dengan baik Apakah anda kesulitan mencari buruh panen pada masa panen raya? 1. Ya; 2. Tidak Setujukan bila di Desa Karangmulya digunakan mesin panen combine harvesting? 1. Ya; 2. Tidak Alasannya: Bagaimana sistem pemanen tanaman padi yang terakhir anda gunakan? 1. Panen menggunakan tenaga derep yang dibayar dengan sistem bawon (1/6) 2. Panen menggunakan tenaga kerja yang dibayar dengan upah harian 3. Ditebaskan Jika ditebaskan, apa alasan utamanya? 1. Lebiih menguntungkan; 2. Tidak repot; 3. Perlu uang lebih cepat; 4. Lainnya Menurut anda, sistem mana yang paling menguntungkan dan ingin anda lakukan di masa yang akan datang? 1. Panen menggunakan tenaga derep yang dibayar dengan sistem bawon (1/6) 2. Panen menggunakan tenaga kerja yang dibayar dengan upah harian 3. Ditebaskan Alat yang digunakan dalam merontokkan padi pada panen setahun terakhir? 1. Trasher/gerabagan; 2. Gebotan/manual Alat yang ingin digunakan/dipilih dalam merontokkan padi pada panen berikutnya? 1. Trasher/gerabagan; 2. Gebotan/manual
143!
618 619 620
701 702 703 704 705 706 707 708 709 710 711
801 802
Apakah lahan sawah anda di-“senggang” sendiri? mengambil padi yang tumbuh setelah dipotong. 1. Ya; 2. Tidak! disenggangkan kepada orang lain Jika Tidak, apa alasan anda? 1. Malas untuk menunggu; 2. Berbagi dg orang lain; 3. Pamali; 4. Lainnya Jika Tidak, siapa yang “menyenggang”? 1. Kerabat; 2 Tetangga; 3. Dari desa lain VII. KETERANGAN RUMAH Status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati? 1. Milik sendiri; 2. Sewa/kontrak; 3. Bebas sewa/dipinjamkan; 4. Rumah dinas; 5. Lainnya Jenis atap terluas? 1. Beton; 2. Genteng; 3. Sirap; 4. Seng; 5. Asbes; 6. Ijuk/rumbia; 7. Lainnya Jenis dinding terluas? 1. Tembok; 2. Kayu; 3. Bambu; 4. Lainnya Jenis lantai bangunan tempat tinggal yang terluas? 1. Keramik/marmer/; 2. Ubin/tegel/teraso; 3. Semen; 4. Kayu/papan; 5. Bambu; 6. Tanah/lainnya Luas lantai bangunan tempat tinggal Sumber air minum yang utama 1. Air kemasan/isi ulang; 3. Sumur pompa/sumur bor; 4. Sumur timba 8. Lainnya Sumber air untuk masak yang utama 1. Air kemasan/isi ulang; 3. Sumur pompa/sumur bor; 4. Sumur timba 8. Lainnya Penggunaan fasilitas tempat buang air besar (jamban) yang utama 1. Jamban sendiri; 2. Jamban bersama (beberapa rumah tangga); 3. Jamban umum; 4. Tidak ada jamban Sumber penerangan yang utama 1. Listrik PLN (meteran sendiri); 2. Listrik PLN (nyantol ke tetangga); 3. Petromak, cempor; 4. Lainnya Jenis bahan bakar untuk memasak yang utama 1. Listrik; 2. Gas/elpiji; 3. Minyak tanah; 4. Arang; 5. Kayu bakar; 6. Lainnya Apakah rumah tangga ini memiliki barang-barang sebagai berikut? Isikan kode 1 jika memiliki, kode 2 jika tidak memiliki Kode Jumlah Kode Jumlah Kode i. sepeda iii. televisi v. lemari es ii. sepeda motor iv. laptop/komputer vi. HP VIII. KETERANGAN LAHAN SAWAH Status kegiatan pertanian sawah (jawaban boleh dari satu) 1. Pemilik digarap sendiri; 2. Pemilik digarap orang lain; 3. Penggarap sawah orang lain; 4. Buruh tani Luas Lahan yang dikuasai (dimiliki/digarap) dalam setahun yang lalu Milik sendiri yang digarap sendiri Milik sendiri yang disewakan kepada orang lain (lanja) Milik sendiri yang digarap orang lain dengan sistem bagi hasil Milik sendiri yang digadaikan kepada orang lain a. JUMLAH LAHAN MILIK SENDIRI
2
m 2 m 2 m 2 m 2 m
m
2
Jumlah
Total (m
2)
2
803 804 805 806 807 808 809 810 811 812 813
!
Milik orang lain yang disewa m 2 Milik orang lain yang digadai m 2 Milik orang lain yang digarap dengan sistem bagi hasil m 2 b. JUMLAH LAHAN MILIK ORANG LAIN YANG DIGARAP m Apabila anda menyewa/menyewakan sawah, bagaimana sistem bayarnya? 1. Bayar di awal; 2. Bayar setelah panen; 3. Lainnya Apabila bayar setelah panen, bagaimana kalau terjadi gagal panen? 1. Harus tetap bayar pada waktu setelah panen; 2. Boleh bayar nanti ketika panen berikutnya Apakah jika dipompa, air tanah di bawah lahan sawah anda bisa dimanfaatkan untuk mengairi sawah? 1. Bisa 2. Tidak Jika tidak, apa alasannya? 1. Debit airnya sedikit. 2. Debit air banyak, namun asin. 3. Debit air sedikit dan asin Apabila dalam kondisi NORMAL, bagaimana pola tanam lahan sawah anda? 1. Padi-Padi-Padi 2. Padi-Padi-Palawija 3.Padi-Padi-Bera; 4. Padi-Bera-Bera Apa nama saluran irigasi yang terdekat dengan sawah anda? Berapa jarak lahan sawah anda ke saluran air irigasi terdekat? Apakah pasokan air irigasi pada musim tanam rendeng cukup untuk mengairi sawah anda? 1. Cukup 2. Tidak cukup Apakah pasokan air irigasi pada musim tanam gadu cukup untuk mengairi sawah anda? 1. Cukup 2. Tidak cukup Apakah sawah anda bisa dijangkau dengan kendaraan atau alat angkut sarana maupun hasil pertanian? 1. Bisa dengan mobil 2. Bisa dengan motor dan sepeda 3. Tidak bisa Apakah Bapak/Ibu mempunyai memiliki alat-alat produksi/mesin pertanian sebagai berikut ? 1. Ya; 2; Tidak Kode Jumlah Kode Jumlah i. Traktor iii. Trasher/gerabagan ii. Sprayer
m
2
144!
901 903 904
905
906 910
911 912 913
IX. KETERANGAN SUMBER DAYA FINANSIAL Sumber pembiayaan dalam usaha pertanian padi? 1. Modal sendiri; 2. Pinjaman dari bank; 3. Pinjaman dari lembaga keuangan non-bank, sebutkan …………… 4. Pinjaman dari perseorangan, sebutkan…………………… Apakah anda pernah meminjam/meminjamkan uang kepada perseorangan? 1. Pernah; 2. Tidak Bagaimana perjanjian kreditnya!Dengan bunga/ada kelebihan, sebutkan 1. Harian ! pinjam Rp 1 juta bunganya Rp 10.000 per hari 2. Uang dipinjamnkan setelah pemupukan 1! Pinjam Rp 1.000.00--bayar Rp 1.300.000 (2-3 bulan) 3. Uang dipinjamkan sebelum tanam! Pinjam Rp 1.000.00 kembali Rp 1.500.000 (5-6 bulan) Jika dibayar setelah panen, bagaimana kalau terjadi gagal panen? 1. Peminjam tetap harus membayarnya, tidak boleh menunda pembayaran 2. Peminjam boleh menunda pembayaran dengan bunga/kelebihan ditambah 3. Peminjam boleh menunda pembayaran tanpa penambahan bunga/kelebihan Selain wajib membayar, apakah yang dipinjamkan wajib setia bekerja/menggarap sawah pemberi pinjaman? 1. Ya; 2. Tidak Apakah pernah menolak/ditolak meminjam/meminjamkan uang kepada perseorangan? 1. Pernah; 2. Tidak pernah Alasannya Apakah pernah mengajukan fasiltas kredit ke bank? 1. Pernah; 2. Tidak pernah Jika pernah, apakah pernah mengalami kesulitan dalam memperoleh fasilitas kredit bank? 1. Pernah; 2. Tidak pernah Apakah punya tabungan/simpanan yang di bisa digunakan untuk keperluan usaha pertanian maupun keperluan rumah tangga lainnya dalam bentuk berikut? 1. Ya; 2. Tidak i. Tabungan di rumah iv. Tabungan di orang lain (perorangan) ii. Tabungan di bank v. Emas dan perhiasan iii. Tabungan di lembaga keuangan non bank vi. Hewan ternak X. KETERANGAN SOLIDARITAS DAN SUMBER DAYA SOSIAL
1001 1003
1004
1005
1006
Apakah menjadi bagian dari Kelompok Tani? 1. Pengurus aktif; 2. Pengurus pasif; 3. Anggota aktif; 4. Anggota pasif; 5.Tidak Apakah berpartisipasi atau mendapat manfaat kegiatan-kegiatan yang difasilitasi kelompok tani? 1. Ya; Tidak i. Meminjam/mendapatkan modal usaha tani viii. Mengikuti SLPHT ii. Mendapatkan benih ix. Mendapatkan informasi iklim dari radio/talkshow iii. Mendapatkan pupuk bersubsidi x. Melaksanakan tanam serentak iv. Mendapat fasiltias sewa alat mesin pertanian xi. Mendatangkan air di musim kemarau v. Mendapatkan penyuluhan rutin dari PPL/POPT xii. Memelihara Kali Bojong/ledeng vi. Mengikuti SLI xiii. Mengukur dan mencatat curah hujan vii. Mengikuti SLPTT Seberapa sering berkumpul & mendiskusikan berbagai permasalahan pertanian dengan sesama petani a. >10 kali dalam satu musim tanam; b. 5-9 kali dalam satu musim tanam c. 2-4 kali dalam satu musim tanam; d. 1 kali dalam musim tanam e. tidak pernah Apakah mengikuti kegiatan organisasi/lembaga/kelompok lainnya? Misal, HKTI, Ormas, Parpol, dll Nama Posisi Manfaat untuk Manfaat lainnya organisasi/kelompok/ 1. Pengurus aktif; 2. Pengurus pasif; kegiatan pertanian lembaga 3. Anggota aktif; 4. Anggota pasif 1. Ya; 2. Tidak i. ii. iii. Arisan yang anda ikuti Nama kelompok arisan i. ii.
!
Jumlah peserta
Byk Pertemuan/ periode
Nama kelompok arisan
Jumlah peserta
Byk pertemuan/ periode
iii. iv.
145!
1007
814
1101
1102 1103 1104 1105
1106 1107
Gotong Royong yang ada dan keterlibatan anda Kegiatan gotong royong 1. Tenaga dalam 2. Uang 3. Keduanya 4. Tidak berpartisipasi i. Geropyokan tikus
Tenaga 2. Uang 3. Keduanya 4. Tidak berpartisipasi vi. Pembangunan/pemeliharaan mesjid vii. Hajatan pernikahan/sunatan viii. Mengobati/menjenguk orang sakit ix. Peristiwa kematian
ii. Pemeliharaan saluran air iii. Sedekah bumi iv. Mapag tamba v. Mapag sri Selametan dalam kegiatan pertanian apa saja yang masih dilakukan rumah tangga anda? 1. Ya; 2; Tidak Labu macul Mbuburi Labu tandur Labu panen XI. KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA Penggunaan hasil panen atau upah/bawon panen tanaman padi selama setahun yang lalu (persen)? Total harus 100% Dijual % Diberikan kepada pihak lain % Untuk makan rumah tangga sendiri % Lainnya (pakan ternak, dll) % Ketersediaan pangan rumah tangga selama setahun yang lalu Apakah di rumah mempunyai persedian pangan (padi/beras)? 1. Ya; 2. Tidak Jika Ya, apakah persediaan pangan selama setahun yang lalu cukup? 1.Ya; 2. Tidak Cukup Apakah pada kurun waktu 2000-2014 rumah tangga anda pernah terjadi mengalami kekurangan ketersediaan pangan? 1. Ya! Tahun bulan ; 2. Tidak Jika pernah, dari mana tambahan persediaan pangan diperoleh? Tulis 1 jika Ya; 2 jika Tidak i. Membeli iv. Raskin ii. Pinjam ke tetangga v. Lainnya iii. Pinjam ke kerabat Bagaimana cara menanggulangi sedikitnya ketersediaan pangan di rumah 1. Mengurangi porsi makan; 2. Mengurangi frekuensi makan 3. Memilih makanan yang lebih murah; 4. Beralih pada makanan lainnya Apakah rumah tangga anda melakukan diversifikasi (penganekaragaman) pangan harian (mengganti nasi dengan jagung, ketela pohon, ubi, dll) 1. Ya, setiap minggu; 2. Ya, sering; 3. Ya, jarang; 4. Tidak XII. KETERANGAN GAGAL PANEN, SERANGAN HAMA, KEKERINGAN DAN BANJIR
1201
1202
1203
!
Apakah dalam kurun waktu 2000-2014 telah terjadi hal-hal berikut? 1. Ya; 2. Tidak i. Pergeseran datangnya awal musim hujan/kemaru iv. Peningkatan kejadian dan intensitas banjir ii. Perubahan panjang/lama musim hujan/kemarau v. Peningkatan serangan hama/OPT iii. Peningkatan kejadian dan intensitas kekeringan vii. Iklim/cuaca susah diprediksi Upaya yang dilakukan 1. Y 1. Lebih banyak berhasil 2. Tidak 2. Lebih banyak gagal Menggeser musim tanam Mengganti varietas padi yang tahan banjir/kekeringan Melakukan diversifikasi jenis tanaman pada satu musim Menyesuaikan jenis tanaman tergantung musim Melakukan culik tanam untuk musim gadu Meningkatkan intensitas dan anggaran pengendalian OPT Memompa air dari saluran irigasi Membuat sumur pantek Upaya pemanfaatan tanda-tanda alam atau informasi cuaca/iklim dalam kegiatan pertanian Uraian 1. Ya 2 Tidak i. Memanfaatkan tanda alam yang diajarkan oleh orang tua/orang pintar ii. Memanfaatkan kemampuan memprediksi cuaca/iklim yang diperoleh dari SLI iii. Memanfaatkan informasi cuaca/iklim BMKG dari radio, tv, dan media lainnya iv. Memanfaatkan informasi masa tanam dari KATAM (Kalender Tanam) Kementan v. Memanfaatkan informasi masa tanam dari Ketua Kelompok Tani
1. Lebih banyak tepat 2. Lebih banyak salah
146!
1204
1205 1206
1207
1208
Apabila terjadi banjir, kekeringan, dan/atau ledakan OPT yang menyebabkan kesulitan/kekurangan pendapatan, apa yang anda lakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan/atau modal usaha baru? 1. Ya; 2. Tidak (Tandai yang utama) i. Menjual hasil panen sebelumnya viii. Meminjam uang kepada kelompok tani ii. Menjual hewan ternak ix. Meminjam uang kepada pemilik sawah iii. Menjual emas/perhiasan x. Meminjam uang kepada bank iv. Menjual benda lainnya, sebutkan xi. Mencari pekerjaan/usaha lain di desa, sebutkan.. v. Mencairkan tabungan xii. Mencari pekerjaan/usaha lain ke luar desa, sebutkan…. vi. Meminjam uang kepada perorangan xiii. Lainnya… vii. Meminjam uang kepada kerabat xiv. Lainnya… Apakah kekeringan menyebabkan kekurangan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga (minum/masak dan MCK) 1. Ya; 2. Tidak Upaya apa yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air bersih tersebut? 1. Memperdalam sumur sendiri; 2. Meminta air dari sumur tetangga 3. Mengambil air dari sumur umum 4. Membeli air dari … 5. Lainnya…. Dampak banjir Januari-Februari 2014 pada kegiatan pertanian dan rumah tangga anda Pertanian Keterangan Aset-kebutuhan rumah tangga i. Luas sawah yang terendam viii. Rumah yang terendam ii. Luas tanaman padi yang rusak ix. Barang-barang yang rusak iii. Penurunan produksi x. Kesulitan air bersih iv. Kerusakan aset/sarana produksi xi. Nilai kerusakan/biaya perbaikan v. Nilai kerusakan/biaya perbaikan xii. Korban meninggal vi. Ternak yang mati xiii. Korban sakit vii. Nilai ternak xiv. Biaya pengobatan viii. Lainnya xv. Lainnya Dampak kekeringan Mei-Juni 2014 pada kegiatan pertanian dan rumah tangga anda Pertanian i. ii. iii. iv. v.
1305 1306 1307 1308 1309 1310 1311 1312
902
!
Keterangan
Luas sawah yang kekeringan Luas tanaman padi yang mati Penurunan produksi Biaya produksi yang hilang Potensi hasil yang hilang
XIII. KETERANGAN KEGIATAN PERTANIAN DI MASA DATANG Apabila suatu saat air irigasi mengalir sepanjang tahun sehingga anda bisa menanam kapan saja, apakah anda akan tetap melaksanakan tanam serentak? 1. Ya; 2.Tidak Apakah anda tidak tergoda untuk melakukan tanam semaunya sendiri mengingat apabila panen raya harga padi biasanya jatuh dan pertimbangan ketersediaan tenaga kerja? 1. Bisa saja tergoda; 2.Tidak Ketika suatu saat air sudah tersedia sepanjang tahun, apakah peran kelompok tani dan raksa bumi masih mampu mengawal tanam serentak? 1. Ya; 2.Tidak Apabila suatu saat air irigasi mengalir sepanjang tahun, apakah peran raksa bumi dan Ulu-ulu masih diperlukan di masa yang akan datang? 1. Ya; 2. Tidak Apakah saat ini anda menyewa/menyewakan lahan sawah dengan biaya (lebih) murah untuk menanam semangka/timun/palawija/hortikultura atau bahkan meminjam/meminjamkannya di musim kemarau? 1. Ya; 2. Tidak Apabila suatu saat air irigasi mengalir sepanjang tahun, apakah pemilik lahan masih mau menyewakan lahan sawah dengan biaya (lebih) murah atau bahkan meminjamkannya di musim kemarau? 1. Ya; 2. Tidak Apakah anggota rumah tangga yang sekarang masih kecil/sekolah di masa yang akan datang mau bekerja/berusaha di sektor pertanian? 1. Ya; 2. Tidak Menurut anda sendiri, apakah anda berharap anggota rumah tangga yang masih kecil/sekolah bekerja/berusaha di sektor pertanian? 1. Ya; 2. Tidak Apa alasannya Jika anda menanam sayuran atau hortikultura, sumber modal terbesar dari mana? 1. Modal sendiri; 2. Modal tengkulak 3. Pinjam dari perseorangan; 4. Pinjam dari bank
147!
1401 1402 1403 1404 1405 1406 1407
1408 1411 1412
1413
IV. KETERANGAN ANGGOTA RUMAH TANGGA YANG SEDANG ATAU PERNAH BEKERJA/BERUSAHA DI LUAR DESA DALAM JANGKA WAKTU LAMA Nama anggota RT dan umur Jenis Pekerjaan Sistem kerja: 1. Pekerja tetap; 2. Kontrak; 3. Pekerja lepas (free lance); 4. Lainnya Berangkat sejak Rencana pulang pada Keberangkatan yang ke berapa Syarat keterampilan yang harus dimiliki 1. Bahasa Inggris; 2. Bahasa Korea/Arab; 3. Terampil …. 4.Terampil … Biaya persiapan s.d berangkat ke tempat tujuan Dana persiapan sampai dengan keberangkatan diperoleh dari? 1. Ya; 2. Tidak i. Tabungan v. Menjual lahan sawah ii. Menjual emas/perhiasan vi. Meminjam dari Bank iii. Menjual motor vii. Meminjam dari perorangan, siapa iv. Menggadaikan lahan sawah viii. Lainnya Berapa gaji yang diterima per bulan? Berapa uang (Rp) yang dikirim ke rumah? Uang yang diterima digunakan untuk apa? 1. Ya; 2 Tidak (Tandai yang paling utama) i. Kebutuhan sehari-hari rumah tangga vi. Membeli sawah ii. Membeli perhiasan vii. Mencicil pinjaman hutang iii. Membeli kendaraan bermotor viii. Menabung iv. Merenovasi/membangun rumah ix. Membuka toko v. Menggadai sawah x. Lainnya Siapa yang menyuruh untuk berangkat dan bekerja di luar 1. Sendiri; 2. Orang tua atau anggota rumah tangga lainnya; 3. Lainnya
1414 Faktor pendorong bekerja di luar desa
1. Ya; 2. Tidak
Urutan
1. Ya; 2. Tidak
Urutan
i. Tidak punya lahan sawah untuk melakukan usaha tani ii. Luas lahan sawah yang dimiliki sangat terbatas iii. Sering terjadi kekeringan/banjir sehingga kesempatan berusaha/bekerja menjadi tidak optimal iv. Keuntungan usaha/upah bekerja di pertanian sangat rendah dan tidak setimpal dengan tenaga yang dikeluarkan dan tingginya risiko v. Tidak mempunyai modal yang cukup untuk menjalankan usaha tani sehingga dengan bekerja di luar, harapannya dapat memperoleh modal untuk usaha tani di masa yg akan datang vi. Lainnya 1415 Faktor penarik bekerja di luar desa
1416 1417 1418 1419
1420
i. Penghasilan yang besar dan pasti iii. Kesuksesan tetangga/kerabat yang pernah atau sedang bekerja di luar iv. Diajak oleh orang/lembaga/perusahaan pengerah tenaga kerja/LPK Al Amin v. Lainnya Apakah penghasilan atau kiriman dari yang bersangkutan mampu memperbaiki kehidupan rumah tangga 1. Ya; 2. Tidak Apakah setelah pulang, anggota rumah tangga tersebut akan kembali lagi bekerja di sana? 1. Ya; 2. Tidak Sampai umur berapa akan bekerja di sana Sumber untuk modal keberangkatan berikutnya i. Tabungan v. Menjual lahan sawah ii. Menjual emas/perhiasan vi. Meminjam dari Bank iii. Menjual motor vii. Meminjam dari perorangan, siapa iv. Menggadaikan lahan sawah viii. PJTKI Apabila memutuskan tidak akan berangkat dan melakukan pekerjaan tersebut lagi, apa alasannya? Uraian i. ii. iii. iv. v. vi. vii.
1421 1422
!
1. Ya; 2. Tidak
Urut
Penghasilan yang diterima tidak sebanding dengan pengeluarannya Faktor keamanan dan risiko di tempat bekerja Pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan keterampilan yang dimiliki Pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan norma-norma yang diyakini masyarakat di desa Faktor umur Tempat bekerja di sana sudah tutup Lainnya
Apakah anda akan mengaja tetangga/kerabat untuk mengikuti jejak bekerja di luar 1. Ya; 2. Tidak Apakah ketika kembali lagi ke desa, mau bekerja/berusaha di sektor pertanian? 1. Ya; 2. Tidak
148!
CATATAN TAMBAHAN SURVEI RUMAH TANGGA
!
149!
! Lampiran 2 Peta bagan persil Desa Karangmulya Sumber: Sekretaris Desa Karangmulya (diperbarui 2014)
!
!
!
149!
!
Lampiran 3 Skema jaringan irigasi yang menuju Desa Karangmulya Sumber: DPUP Kabupaten Indramayu (1999) diperbarui 2014
150! !
Lampiran 4 Lokasi penelitian Sumber: Breman (2010) dan Google Earth (2014)
!
151!
RIWAYAT HIDUP Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan pendidik H. Agus Sirozudin dan Hj. Maliah yang dilahirkan di Ibukota Kabupaten Ciamis, Jawa Barat pada 13 Mei 1982 Pendidikan formalnya, dari mulai SD sampai dengan SMA, diselesaikan di sekolah negeri di Kota Ciamis. Selama sekolah, penulis juga aktif mengikuti berbagai kegiatan organisasi ekstrakurikuler. Prestasi akademik dan berbagai pengalaman organisasi, seperti OSIS dan Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) SMA Negeri 1 Ciamis, menghantarkan penulis mendapatkan Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tanpa tes (PMDK) pada tahun 2001 di Program Studi S1 Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Pertanian, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Kesenangannya untuk belajar berorganisasi, membuat penulis aktif mengikuti organisasi intrakampus, seperti Majelis Permusyawaratan Mahasiswa KM-IPB, dan organisasi ekstra-kampus, seperti Himpunan Mahasiswa Islam. Setelah lulus dan mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada 2005, penulis aktif menjadi asisten dosen di Departemen Manajemen, Fakultas Ekolonomi dan Manajemen IPB serta guru di SMA Antam Bina Insani, Bogor. Kecintaannya pada dunia penelitian membuat penulis tertarik untuk bergabung menjadi PNS peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sejak akhir 2008, penulis menjadi peneliti di Bidang Ekologi Manusia, Pusat Penelitian Kependudukan LIPI yang berkantor di Jakarta. Tidak kurang dari dua puluh penelitian dilakukan penulis, baik yang dilakukan dalam skema penelitian LIPI, seperti DIPA PPK-LIPI (tematik), kompetitif, insentif, ICIAR-LIPI, COMPRESS-LIPI, dan COREMAPLIPI maupun kerja sama dengan lembaga lain, seperti Pusat Studi Bencana IPB, Departemen SKPM IPB, Puslitbang BPN, BMKG, BNPB, Kemenristek, UNSECO, UNDP, dan lain-lain. Dari berbagai penelitian tersebut dihasilkan lebih dari sepuluh publikasi ilmiah dalam bentuk buku, artikel bunga rampai, dan jurnal ilmiah nasional. Selain melakukan penelitian, penulis juga aktif menjadi asisten dosen mata kuliah Ekologi Manusia di Departemen SKPM, Fakultas Ekologi Manusia IPB serta mengikuti beberapa seminar nasional dan internasional. Ketertarikannya untuk meningkatkan kemampuan akademik dalam ilmuilmu yang mempelajari sistem sosial (manusia) dan ekologi (lingkungan) menghantarkannya untuk melanjutkan studi pascasarjana di Program Studi S2 Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascsarjana IPB sejak tahun 2012 dengan Beasiswa dari Kementerian Riset dan Teknologi. Tugas belajar yang diberikan dituntaskan penulis dengan menyelesaikan tesis yang berjudul "Kerentanan Ekologi dan Strategi Penghidupan Rumah Tangga Petani di Pantai Utara Indramayu" dan mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif akhir sebesar 3.87 (skala 4). Saat ini, penulis tinggal di Pakuan Regency, Kota Bogor bersama Siti Maryam—istri yang setia menjadi pendamping hidup dan Azzura Syah Alfarisy— anak laki-laki yang selalu tulus mendo'akan. Penulis bisa dihubungi melalui email di alamat
[email protected] dan
[email protected].
!
152!