Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
KERAGAAN USAHA TERNAK KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN AKHMAD HAMDAN¹ , E.S. ROHAENI¹ dan BESS TIESNAMURTI² ¹Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pertanian, Banjarmasin Jl. Pangeran M. Noor Sempaja PO Box 1018 Banjarbaru 70700 ²Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jl. Pajajaran Kav – E 59, Bogor
ABSTRAK Suatu kajian tentang usaha ternak kerbau rawa di Propinsi Kalimantan Selatan telah dilakukan dengan melaksanakan survei di kawasan sentra pengembangan kerbau rawa. Lokasi pengkajian adalah Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Selatan (HSS) dan Barito Kuala (Batola). Data yang diperoleh meliputi jumlah pemilihan ternak, alokasi tenaga kerja untuk penggembalaan dan ketersediaan hijauan pakan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa rataan jumlah pemilikan kerbau tertinggi ditemui di Kabupaten HSS, HSU, HST dan Batola, berturut-turut adalah 77, 34, 39 dan 20 ekor. Sementara itu perbandingan antara ternak jantan dan betina dewasa tertinggi dicapai di Batola (1:8) diikuti oleh HSU (1:7); HST (1:6,6) dan HSU (1:6,3). Perbandingan jantan dan betina dewasa penting untuk diperhatikan mengingat bahwa hal tersebut akan berakibat pada keberhasilan perkawinan dan perbanyakan. Analisis usaha kerbau rawa menunjukkan nilai R/C tertinggi di Batola (2,48), diikuti oleh HSU (2,31); HST (1,87) dan HSS (1,79). Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi usaha ternak kerbau menjanjikan dalam berbagai persentase nilai keuntungan. Kata kunci: Kerbau rawa, usaha ternak, keragaan
PENDAHULUAN Kalimantan Selatan merupakan salah satu propinsi yang ada di Pulau Kalimantan dengan luas wilayah 37.377 km2 yang terdiri atas 11 kabupaten dan 2 kota, luas lahan rawa mencapai 181.169 ha atau 4,85% dari luas wilayah dengan jumlah penduduk 3.201.962 jiwa (BIRO PUSAT STATISTIK KALIMANTAN SELATAN, 2004). Lahan rawa yang dimiliki merupakan rawa lebak yang sebagian besar tidak dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian dikarena-kan hampir sepanjang tahun tergenang air. Kondisi alam ini dimanfaatkan oleh penduduk yang sudah turun temurun berdomisili di lokasi tersebut dengan cara beternak kerbau yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan kerbau rawa. Kerbau rawa merupakan salah satu komoditas bidang peternakan spesifik lokasi yang dimiliki Propinsi Kalimantan Selatan dan tersebar terutama di 6 (enam) wilayah Kabupaten yaitu Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Selatan (HSS) dan Barito Kuala (Batola). Ternak kerbau disamping berpotensi
sebagai penghasil daging dan sumber pendapatan bagi peternak yang mengusahakannya (DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN, 2004), juga sebagai salah satu obyek wisata alam yang unik (DINAS PARIWISATA KALIMANTAN SELATAN, 1996). Populasi ternak kerbau di Kalimantan Selatan tahun 2004 tercatat 38.488 ekor dengan kontribusi produksi berupa daging sebesar 819.040 kg atau setara dengan 15,72% dari total produksi daging ternak besar (DISNAK PROPINSI KALIMANTAN SELATAN, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa ternak kerbau di Kalimantan Selatan mempunyai peran yang cukup besar dalam pemenuhan kebutuhan daging. Menurut SADERI et al. (2004), fungsi ekonomi pemeliharaan ternak kerbau rawa masih terbatas sebagai tabungan untuk memupuk modal dan pariwisata. Produktivitas ternak kerbau sebagai ternak potong dirasakan masih rendah jika dibandingkan dengan tingkat pemotongan yang cenderung selalu meningkat setiap tahun. Minimnya informasi potensi dan peluang usaha ternak khususnya kerbau rawa antara lain menyebabkan produktivitas ternak kerbau rawa
197
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
di Kalimantan Selatan rendah. Diketahui bahwa perkembangan populasi ditentukan oleh beberapa faktor yaitu kelahiran, kematian, pemotongan, pemasukan dan pengeluaran. Khusus ternak kerbau rawa, saat ini perkembangannya hanya dari 3 (tiga) faktor yaitu kelahiran, kematian dan pemotongan (DEWAN PIMPINAN PUSAT PERHIMPUNAN PETERNAK SAPI dan KERBAU INDONESIA, 1994). Survei bertujuan memberikan informasi usaha ternak kerbau rawa di Kalimantan Selatan, meliputi potensi wilayah, data peternak, pemilikan ternak, dinamika populasi, tatalaksana pemeliharaan, permasalahan dan tenaga kerja. Selanjutnya informasi ini dapat digunakan sebagai landasan bagi pemegang kebijakan, khusunya bagi Pemerintah Daerah di dalam pengembangan ternak kerbau rawa di Kalimantan Selatan. Peningkatan produktivitas tentunya akan berdampak kepada peningkatan pendapatan peternak yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). MATERI DAN METODOLOGI Survei dilaksanakan di kawasan sentra pengembangan kerbau rawa yang meliputi Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Selatan (HSS) dan Barito Kuala (Batola). Pengumpulan data dilakukan dengan survei dan wawancara terhadap 43 orang responden secara acak. Data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara, meliputi data peternak, pemilikan ternak, tatalaksana pemeliharaan, permasalahan dan tenaga kerja. Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait dan studi literatur yang meliputi; potensi wilayah, dinamika populasi dan penyakit. Data yang diperoleh dilakukan tabulasi dan dianalisa secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Data peternak meliputi data umur peternak, pengalaman beternak, pekerjaan utama dan tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 1.
198
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa rataan umur peternak kerbau rawa di Kalimantan Selatan termasuk dalam golongan umur produktif, yaitu 42 tahun, dimana rataan umur tertinggi adalah peternak di Kabupaten HSU dan terendah di Kabupaten HST. Menurut MUNIR (2003), kisaran umur produktif adalah 15 – 54 tahun karena pada kisaran ini produktivitas kerja tinggi yang umumnya teralokasi untuk beragam aktifitas usahatani. Pekerjaan utama peternak sebagian besar adalah beternak kerbau (59,14%) diikuti sebagai nelayan (28,83%), pedagang (13,78%) dan PNS (4,79%). Kenyataan ini menunjukkan bahwa ternak kerbau rawa merupakan sumber penghasilan utama bagi sebagian besar keluarga petani ternak disamping usahatani lain. Dinamika populasi ternak kerbau rawa di 4 (empat) kabupaten dalam kurun waktu yang berbeda ditampilkan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir terlihat trend populasi kerbau rata-rata meningkat di setiap kabupaten lokasi survei, dimana peningkatan tertinggi terdapat di Kabupaten Batola mencapai 10,94% dan terendah di Kabupaten HST 1,76%. Menurut laporan ROHAENI et al. (2005), rendahnya peningkatan populasi kerbau di Kabupaten HST disebabkan semakin berkurangnya areal padang peng-gembalaan, sehingga peternak mengurangi jumlah pemeliharaan ternaknya karena kesulitan untuk mendapatkan hijauan/pakan. Peningkatan populasi kerbau di Kabupaten Batola sangat didukung potensi padang penggembalaan yang luas sehingga penyediaan hijauan tidak mengalami masalah. Ternak kerbau yang dipelihara oleh peternak umumnya adalah milik sendiri, namun demikian sebagian peternak disamping menguasai milik sendiri juga ada yang memelihara ternak milik orang lain sebagai gaduhan dan sebagian kecil lagi hanya sebagai penggaduh saja. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui rataan pemilikan ternak kerbau di lokasi survei disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa rataan jumlah pemilikan ternak kerbau rawa berkisar 20 – 77 ekor, dimana rataan pemilikan tertinggi berada di Kabupaten HSS yang mencapai 77 ekor.
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Tabel 1. Karakteristik peternak menurut kabupaten dan propinsi Rata-rata Kab. HSU
Kab. HST
Kab. HSS
Kab. Batola
Kalimantan Selatan
Umur peternak (tahun)
47
39
42
40
42,00
Pengalaman beternak (tahun)
22
22
20
15
19,75
53,8 45,5 7,7 7,7
50 25 0 25
72,7 18,2 0 9,1
60,0 26,7 6,7 13,3
59,14 28,83 4,79 13,78
61,5 15,4 7,7 7,7 5
100 0 0 0 3
72,7 18,2 9,1 0 4
60,0 40,0 0,0 6,7 3
73,57 18,39 4,20 3,59 3,75
Keterangan
Pekerjaan utama (%): a. Beternak b. Nelayan c. PNS d. Dagang Tingkat pendidikan (%): a. Sekolah Dasar b. SLTP c. SMU d. Perguruan Tinggi Tanggungan keluarga (orang)
Tabel 2. Perkembangan populasi kerbau rawa di Kabupaten HSU, HST, HSS dan Batola Propinsi Kalimantan Selatan 2001
No.
Kabupaten
1. 2. 3. 4.
Hulu Sungai Utara (HSU) Hulu Sungai Tengah (HST) Hulu Sungai Selatan (HSS) Barito Kuala (Batola)
2005 ekor
6.897 1.726 2.906 519
7.846 1.974 3.136 894
Rataan pertumbuhan % 3,65 1,76 2,15 10,94
Sumber: DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN (1993)
Tabel 3. Rataan jumlah pemilikan ternak kerbau (ekor) Jantan
Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) Hulu Sungai Tengah (HST) Hulu Sungai Selatan (HSS) Barito Kuala (Batola) Total Persentase
Dewasa 3 2 5 1 11 6,3
Muda 1 1 3 1 6 3,4
Tingginya rataan pemilikan ternak kerbau rawa ini karena daerah ini merupakan sentra pengembangan ternak kerbau rawa yang diprogramkan oleh Pemerintah Daerah, disamping ketersediaan hijauan pakan yang terdapat dilahan rawa cukup tinggi. Sementara FORD (1992), melaporkan bahwa ternak kerbau di Indonesia umumnya diusahakan oleh petani skala kecil, terutama di Pulau Jawa. Melihat kenyataan bahwa terdapat ternak dewasa, muda dan anak dalam kepemilikan per
Betina Anak 1 1 3 1 6 3,4
Dewasa 19 14 33 8 74 42,3
Muda 8 14 16 5 43 24,6
Jumlah Anak 7 7 17 4 35 20,0
39 39 77 20 175 100
peternak menandakan reproduksi berjalan dengan normal, keadaan ini menunjukkan bahwa perbandingan jantan dan betina adalah bervariasi antara 1:6,3 untuk HSU; 1:7,0 untuk HST; 1:6,6 untuk HSS dan 1:8 untuk Batola. Perbandingan jantan dan betina penting diperhatikan karena menentukan keberhasilan proses perkawinan dan kelangsungan reproduksi. Akan tetapi perlu pula diingat bahwa pejantan yang digunakan hendaknya pejantan dengan kualitas unggul, sehingga
199
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
akan meningkatkan mutu ternak dalam populasi. Pergiliran pejantan yang tidak berhubungan saudara menjadi salah satu alternatif pencegahan perkawinan silang dalam. MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERNAK Tatalaksana pemeliharaan ternak kerbau rawa di empat lokasi survei tidak jauh berbeda dan dikerjakan secara ekstensif, yaitu menggembala ternak di padang penggembalaan lahan rawa dan malam hari kerbau beristirahat di atas kalang (ekstensif) seperti terlihat pada Gambar 1. Pada Gambar 1 tampak bahwa kalang merupakan bangunan terbuat dari kayu yang disusun sedemikian rupa di atas rawa. Kalang digunakan sebagai tempat untuk kerbau
beristirahat di malam hari, juga tempat bagi kerbau betina melahirkan dan merawat anak sebelum siap untuk dilepas berenang mencari makan khususnya pada saat air dalam. Sesuai dengan kondisi alam yang berawarawa, maka pemeliharaan kerbau rawa sangat dipengaruhi oleh musim. Pada saat air dalam (musim hujan) aktivitas kerbau dimulai di atas kalang, kerbau diturunkan dari kalang untuk mencari makan sejak pagi hari yaitu dimulai sekitar jam 7 hingga jam 9 pagi dan dinaikkan kembali ke atas kalang pada sore hari yaitu dimulai dari jam 4 hingga jam 6 sore hari, kecuali anak kerbau yang berumur di bawah 5 bulan (belum bisa berenang) tetap berada diatas kalang. Kemampuan kerbau untuk berenang mencari makan berkisar 2 – 3 jam kemudian kerbau diistirahatkan ke atas kalang atau di tempat yang lebih tinggi selama ± 3 jam dan digembalakan kembali hingga sore hari.
Gambar 1. Gambar kalang dan aktivitas kerbau rawa
Pada saat musim kemarau kalang tidak digunakan lagi. Aktivitas kerbau sepenuhnya berada di padangan, peranan peternak sangat sedikit sebatas mengontrol keberadaan, kesehatan, kelahiran dan kematian serta menjaga hubungan antara peternak dan kerbau agar tetap dekat jangan sampai menjadi liar (tetap jinak). Upaya yang dilakukan peternak
200
adalah dengan membuat kandang untuk tempat istirahat kerbau di malam hari. Kandang ini lebih diperuntukkan kepada ternak kerbau yang berstatus sebagai kepala jalan (tetua) agar ternak kerbau yang lain tidak berkeliaran terlalu jauh. Pemeliharaan kerbau di musim kemarau lebih mudah dan curahan waktu pemeliharaan juga lebih pendek dibandingkan
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
pada saat air dalam (musim hujan), peternak hanya 2 kali seminggu mengontrol keberadaan ternaknya. SADERI et al. (2004) menyebutkan bahwa pemeliharaan kerbau rawa sangat dipengaruhi oleh musim, yaitu pada musim hujan/air dengan cara digembalakan di rawa dan sore hari dikandangkan dalam kalang, sedangkan pada musim kemarau kerbau digembalakan di padang gembala. Menurut FORD (1992) bahwa secara fisik kondisi alam di Indonesia memungkinkan untuk pengembangan ternak kerbau secara ekstensif, selanjutnya disebutkan pula bahwa lahan yang luas memungkinkan untuk pemeliharaan kerbau secara ranch (penggembalaan) untuk memproduksi daging (COCKRILL, 1974a). Terhadap kerbau jantan, pemeliharaan umunya dilakukan hingga kerbau berumur ± 4 tahun, setelah itu biasanya langsung dijual, karena kerbau jantan dianggap tidak
menghasilkan kalau terus dipelihara. Kerbau jantan yang sudah tua dianggap tidak mampu lagi untuk mengawini kerbau betina, sehingga lebih dititik beratkan sebagai sumber pendapatan untuk mencukupi kebutuhan keluarga peternak. Berbeda dengan kerbau betina, dimana pemeliharaan dilakukan selama kerbau tersebut masih mampu melahirkan (menghasilkan anak) bahkan ada kerbau betina yang berumur > 35 tahun dan tetap dipelihara peternak. Penyapihan terhadap anak kerbau umumnya dilakukan oleh peternak, penyapihan dilakukan secara alami, apabila induk bunting kembali, maka induk akan melakukan penyapihan sendiri terhadap anaknya, yaitu setelah anak berumur sekitar 1,5 tahun. Curahan tenaga kerja untuk penggembalaan ternak kerbau rawa pada lokasi survei ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Rataan curahan waktu tenaga kerja untuk penggembalaan Rata-rata
Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) Hulu Sungai Tengah (HST) Hulu Sungai Selatan (HSS) Barito Kuala (Batola)
HOK/tahun
Jam/hari
Hari/bulan
Bulan/tahun
Jam/tahun
1,1 3,4 5,0 5,0
30 30 30 30
12 12 12 12
401,5 1241 1825,0 1825,0
Alokasi tenaga kerja Pada Tabel 4 diketahui bahwa curahan tenaga kerja untuk penggembalaan ternak kerbau rawa pada lokasi survei tidak jauh berbeda, yaitu dilakukan setiap hari dan hanya dilakukan oleh kaum pria dengan alokasi penggunaan tenaga kerja sekitar 365 HOK per tahun. Curahan tenaga kerja wanita lebih banyak kepada pekerjaan rumah tangga dan sebagian waktunya untuk membantu kaum lelaki di usahataninya. Rataan curahan tenaga kerja untuk menggembala adalah 3,6 jam sehari dengan curahan tenaga kerja terendah dilakukan oleh peternak di Kabupaten HSU yaitu 1,1 jam sehari dan tertinggi oleh peternak di Kabupaten HSS dan Batola yaitu 5 jam sehari. Perbedaan ini lebih disebabkan oleh faktor air, dimana pada saat musim hujan (air dalam) padang penggembalaan banyak yang tenggelam dalam waktu yang relatif lebih lama
365 365 365 365
dan dalam, sehingga menggembala dilakukan hampir sepanjang hari dimulai sekitar jam 8 pagi (menurunkan kerbau dari kalang) hingga jam 4 sore (memasukkan kerbau ke atas kalang). Keadaan ini berlangsung sekitar 2 – 4 minggu guna membiasakan kerbau terhadap kondisi dan padang penggembalaan baru. Bila kerbau sudah terbiasa dan kenal dengan penggembalaan yang baru maka kerbau tidak harus ditunggui lagi. Ketersediaan hijauan pakan ternak Daya dukung lahan dari suatu wilayah dalam penyediaan hijauan pakan yang disajikan pada Tabel 5. Terlihat bahwa ketersediaan hijauan pakan di padang penggembalaan kerbau rawa relatif cukup dengan rataan berkisar 1,7 – 13 ton/ha/tahun pada musim kemarau dan 11,9-19,0 ton/ha/tahun pada musim hujan. Jenis hijauan
201
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
pakan ternak yang terdapat pada padang penggembalaan didominasi rumput alam seperti rumput (kumpai) jariwit, pepedasan,
galunggung, kangkung, hiring-hiring, sumpilang, kumpai batu, kumpai miyang, kumpai juluk dan lain-lain.
Tabel 5. Rataan ketersediaan hijauan pakan di lahan rawa Estimasi produksi (ton/ha/tahun) Kabupaten
Estimasi ketersediaan (ton/ha/tahun) MK
MH
Hulu Sungai Utara (HSU)
1,7
19,0
20,7
Hulu Sungai Tengah (HST)
3,6
11,9
15,5
Hulu Sungai Selatan (HSS)
3,3
-
3,3
Barito Kuala (Batola)
13,0
-
13,0
Keterangan: MK: musim kering; MH: musim hujan
Terbatasnya ketersediaan hijaun pakan antara lain disebabkan areal padang penggembalaan yang semakin terbatas akibat pergeseran penggunaan lahan penggembalaan menjadi lahan usahatani dan pemukiman, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. ROHAENI et al. (2005) menyebutkan bahwa areal padang penggembalaan kerbau rawa di Kalimantan Selatan semakin terbatas dan berkurang akibat bertambahnya jumlah penduduk, pergeseran penggunaan lahan menjadi lahan usahatani, sehingga perlu dicarikan alternatif dengan cara pengaturan areal padang penggembalaan, menanam hijauan pakan ternak dan pemberian pakan alternatif berbasis pakan lokal disamping perbaikan manajemen pemeliharaan (dari ekstensif ke semi intensif). Pencegahan penyakit Penyakit yang sering menyerang kerbau rawa antara lain disebabkan oleh parasit dan bakteria. ROHAENI et al. (2005) menyebutkan bahwa tingkat kematian tertinggi terjadi pada anak kerbau (gudel) yaitu 47,39%, bakalan (22,27%) dan dewasa (30, 34%). Kematian ini disebabkan karena beberapa penyakit atau ciri yaitu cacingan, lumpuh, sakit perut, kerusakan pada hati (hati hancur) akibat cacing hati. Akan tetapi informasi ini tidak didukung dengan analisis laboratorium. Kejadian penyakit di salah satu lokasi survei yang disebabkan oleh parasit saluran pencernaan seperti terlihat pada Gambar 2.
202
Pada Gambar 2 memperlihatkan serangan parasit cacing pada saluran pencernaan yang menyebabkan organ pencernaan menjadi rusak. Keadaan ini menyebabkan gangguan kesehatan ternak. Balai Penyidik Penyakit Hewan (BPPH) dan Sub Balitvet Banjarbaru (BPPH dan SUB BALITVET, 1991) melaporkan bahwa penyakit parasit yang sering menyerang kerbau rawa antara lain parasit darah (Tripanosoma evansi, Babesia bigemina, Theleria orientalis, Anaplasma marginale dan microfilaria), parasit saluran pencernaan dan parasit hati (ditemukan jenis cacing Paramphistomum sp., dan Fasciola sp.), penyakit ektoparasit (lalat, nyamuk, caplak dan kutu) dan ditemukan pula bakteri E. Coli (BPPH dan SUB BALITVET, 1991). Sementara PUTU et al. (1994) melaporkan ditemukan adanya kuman Pasteurella multocida yang dikenal sebagai penyebab penyakit ngorok (SE) pada kerbau rawa.
Gambar 2. Kejadian penyakit parasit cacing pada kerbau rawa
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Analisis usaha ternak kerbau rawa Analisis usaha ternak kerbau rawa berdasarkan hasil wawancara dengan responden ditampilkan pada Tabel 6. Hasil analisis usaha ternak kerbau rawa di empat Kabupaten (HSU, HST, HSS dan Batola)
menunjukkan bahwa nilai R/C nya lebih dari 1, sehingga dianggap layak untuk dikembangkan karena masih menguntungkan. Keuntungan ini baru diperoleh setelah masa pemeliharaan selama 4 tahun.
Tabel 6. Analisis usaha ternak kerbau di Kabupaten HSU, HST, HSS dan Batola (2005) No
Uraian
I.
Biaya A.Saprodi: Anak kerbau umur 1 tahun 10 ekor @ Rp 1.500.000 – Rp. 2.000.000 Pakan/rumput segar jika membeli pada musim hujan (air dalam) Obat-obatan/vitamin B. Kalang/ancak & kandang; 1. Kalang 2. Kandang 3. Biaya pemeliharaan kalang/4tahun 4. Biaya kandang keliling lahan pemeliharaan dan pengembalaan 5. Biaya kerusakan lahan usahatani C. Tenaga kerja: 1. Mengeluarkan dan memasukan kerbau ke kalang/kandang mengawasi kerbau di padang penggembalaan, memelihara anak kerbau yg baru lahir, serta membersihkan kalang 2. Jaga malam 3. Jaga siang 4. Upah tangkap/angkut D. Lain-lain 1. Administrasi desa/surat jalan 2. Sumbangan 3. Pajak Penerimaan Harga kerbau asal 10 ekor Harga anak 8 ekor
II
III
Pendapatan
IV
R/C
HSU 35.420.000
Nilai (Rp) HST HSS 48.760.000 50.842.000
Batola 33.060.000
20.000.000
20.000.000
15.000.000
20.000.000
-
12.000.000
24.000.000
-
200.000
250.000
-
-
4.600.000 800.000 1.400.000 -
4.650.000 640.000 1.200.000 -
3.345.000 310.000 800.000 -
4.650.000 640.000 1.000.000 -
-
-
-
-
8.000.000
9.700.000
6.667.000
6.000.000
-
-
-
250.000
20.000 200.000 200.000 82.000.000 70.000.000 12.000.000
20.000 100.000 200.000 91.000.000 75.000.000 16.000.000
20.000 100.000 600.000 91.000.000 75.000.000 16.000.000
20.000 500.000 82.000.000 70.000.000 12.000.000
47.780.000
42.240.000
40.158.000
48.940.000
2,31
1,87
1,79
2,48
Nilai R/C yang tinggi dijumpai di Kabupaten Batola (2,48) antara lain didukung oleh padang pengembalaan yang luas sementara populasi kerbau relatif rendah yaitu sekitar 800 ekor. Keadaan ini tentunya mendukung adanya potensi pakan/hijauan yang cukup sehingga pertumbuhan dan perkembangan ternak cukup baik. Demikian pula nilai R/C
yang dihasilkan di Kabupaten HSU (2,31) yang cukup tinggi didukung oleh luasan padang penggembalaan yang cukup dan kurangnya persaingan penggunaan lahan menjadi areal tanam. Lain halnya yang terjadi di Kabupaten HST dan HSS dimana lokasi pengembangan kerbau rawa termasuk dalam wilayah ramai, dekat jalan dan sangat bersaing penggunaan
203
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
DAFTAR PUSTAKA
lahannya dengan komoditas lain seperti perikanan, tanaman pangan dan hortikultura. Keadaan ini menyebabkan arah pola pengembangan ternak kerbau yang berbeda antar kabupaten yang perlu diupayakan oleh pemerintah dalam rangka pengembangan usaha ternak kerbau. Untuk Kabupaten HST dan HSS, pola pengembangan dapat dilakukan secara semi intensif atau bahkan intensif dari berbagai aspek baik bibit, pakan dan manajemen, sedangkan untuk Kabupaten HSU dan Batola pola pengembangannya dapat saja secara semi intensif namun perlu perbaikan dari segi peningkatan kualitas bibit pejantan, pengelolaan padang penggembalaan. Sementara untuk Kabupaten HSU ditambahkan perbaikan kualitas pakan atau pakan tambahan. Harga kerbau di Kabupaten HSS dan HST lebih tinggi dari pada Kabupaten HSU dan Batola. Tingginya harga kerbau tersebut diperkirakan karena Kabupaten HSS dan HST merupakan pusat perdagangan barang keperluan hidup masyarakat sehari-hari untuk wilayah Benua Enam (Hulu Sungai). Sebagai pusat perdagangan, otomatis posisi tawar pemilik lebih tinggi dengan melihat peminat yang tentu lebih banyak, membuat harga juga menjadi lebih tinggi.
DINAS PETERNAKAN PROPINSI KALIMANTAN SELATAN. 1993. Laporan Tahunan Banjarbaru.
KESIMPULAN
DIREKTORAT JENDRAL PETERNAKAN. 2005. Statistik Peternakan.
Kerbau rawa di Kalimantan Selatan merupakan sumber pendapatan utama yang dapat diandalkan bagi peternak yang mengusahakannya. Pemeliharaan kerbau rawa umumnya dilakukan secara ekstensif dan merupakan salah satu usaha yang menguntungkan (zero cost), kecuali pembuatan dan perbaikan kalang. Ketinggian air pada saat musim hujan dan kekeringan pada saat kemarau panjang merupakan kendala yang selalu dihadapi oleh peternak setiap tahun. Keadaan ini menyebabkan ternak kekurangan pakan dan rentan terhadap serangan penyakit, yang berakibat pada penurunan produktivitas. Perlu upaya dari pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk melakukan penataan terhadap tataguna lahan padang penggembalaan, pendampingan dan pembinaan terhadap usaha kerbau rawa sehingga produktivitas dapat ditingkatkan.
204
BADAN LITBANG PERTANIAN. 2004. Rencana Strategis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2005-2009. Departemen Pertanian. Jakarta. BIRO PUSAT STATISTIK PROPINSI KALIMANTAN SELATAN. 2004. Kalimantan Selatan Dalam Angka. Banjarmasin. COCKRILL, W.R. 1974. The buffaloes of Indonesia, In: W. ROSS COCKRILL (Editor), The Husbandry and Health of the Domestic Buffalo. F.A.O, Rome, pp.276-312. DEWAN PIMPINAN PUSAT PERHIMPUNAN PETERNAK SAPI dan KERBAU INDONESIA. 1996. Prospek Pengembangan Kerbau di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Lokakarya Bioteknologi/ Pemantapan Kebijaksanaan Pemuliabiakan Ternak Kerbau. Direktorat Jenderal Peternakan. Banjarmasin 3-4 Januari 1994. DINAS PARIWISATA PROPINSI KALIMANTAN SELATAN. 1996. Upaya Pengembangan Kerbau Rawa sebagai Obyek Wisata Agro di Kalimantan Selatan. Makalah disampaikan dalam rangka : Diskusi Kerbau Rawa sebagai Obyek Wisata Agro. Banjarbaru 25 Maret 1996.
FORD, B.D. 1992. Swamp Buffaloes in Larg Scale Ranching System. Buffalo Production. School of Agriculture and Forestry, The University of Melbourne, Parkville, Victoria 3052. Austalia. KUSNADI, U., D.A. KUSUMANINGRUM, R.S. GAIL SIANTURI dan E. TRIWULANNINGSIH. 2005. Fungsi dan Peranan Kerbau dalam Sistem Usahatani di Propinsi Banten. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hlm: 316-322. MUNIER, F.F. 2003. Karakteristik Sistem Pemeliharaan Ternak Ruminansia Kecil di Lembah Palu Sulawesi Tengah. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. RIANTO, E., Y. HEYANTO dan M. ARIFIN. 2005. Penampilan Produksi Kerbau Lumpur Jantan Muda yang Diberi Pakan Ampas Bir sebagai Pengganti Konsentrat. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner,
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Pusat Penelitian dan Peternakan. Hlm: 299-305.
Pengembangan
ROHAENI, E.S., A. DARMAWAN, R. QOMARIAH, A. HAMDAN dan A. SUBHAN. 2005. Inventarisasi dan Karakterisasi Kerbau Rawa Sebagai Plasma Nutfah di Kalimantan Selatan. Laporan Akhir. BPTP Kalimantan Selatan. Banjarbaru. Badan Litbang Pertanian. SADERI, D. I., E. S. ROHAENI, A. DARMAWAN, A. SUBHAN dan A. RAFIEQ. 2004. Profil Pemeliharaan Kerbau Rawa di Kalimantan Selatan. (Studi Kasus di Desa Bararawa dan Desa Tampakang, Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara). Laporan. BPTP Kalimantan Selatan.
SARIUBANG, M. D. PASAMBE dan A. ELLA. 2003. Kajian Reproduksi dan Produksi Kerbau Lumpur di Kabupaten Tana Toraja Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hlm: 60-63. PUTU, I. G., M. SABRANI, M. WINUGROHO, T. CHANIAGO, SANTOSO, TARMUDJI, A.A. SUPRIYADI dan P. OKTAPIANA. 1994. Peningkatan Produksi dan Reproduksi Kerbau Kalang pada Agroekosistem Rawa di Kalimantan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak Bogor Bekerjasama dengan P4N.
205