Kemuning di Langit Senja Oleh: Umi H. Wirasakti Copyright © 2015 by Nida Dwi Karya Publishing
Penerbit
Nida Dwi Karya Publishing
Desain Sampul: Umi H. Wirasakti Canva
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
Entah kenapa aku begitu menyukai senja. Sedari kecil selalu mencari kemuning di langit sore, memandanginya lama, dan setelahnya seolah tubuhku terisi energi yang begitu dahsyat, yang datang entah dari mana. Kinarsih
2
DAFTAR ISI
1. Mimpi Yang Sirna
12
2. Lelaki Berwajah Dingin
23
3. Ketika Cinta
35
4. Pertentangan
52
5. Lamaran
68
6. Keputusan
81
7. Pernikahan
94
8. Semanis Madu
110
9. Kucari Ridho-Mu
118
10. Ada yang Berubah
128
11. Neraka Dunia
137
12. Hadirnya Sang Buah Hati
149
13. Kiamat Sughra
158
14. Burung Yang Kembali Pulang
175
15. Titik Nadir
190
16. Mendung Tak Berarti Hujan
197 3
17. Awan Yang Selalu Mendung
213
18. Ke Negeri Orang
233
19. Tragedi di Negeri Singa
266
20. Belahan Dunia Lain
291
21. Keliling Dunia
318
22. Ketika Layang-layangku Terhempas
336
Tentang Penulis
364
4
New York, 2015
Udara begitu dingin, meski pemanas ruangan sudah dinyalakan. Ini awal Januari, tahun baru, musim dingin belum lagi berlalu, menebarkan hawa yang begitu menggigit, menusuk sampai ke sumsum tulang. Salju di luar masih turun perlahan, berbutir-butir, berdesir-desir. Langit New York putih, jalanan putih, pepohonan putih, atap-atap rumah pun putih. Seakan dunia ini hanya terdiri dari satu warna, putih. Kubuka pesan-pesan masuk di facebook. Banyak nama yang tidak kukenal, teman-teman baru. Kuabaikan saja, kecuali satu, Maya. Oh my dearest friend…I miss you so much. Sudah hampir sebulan aku tidak bertemu muka, hanya lewat sms dan telepon saja. Maya, ia adalah sahabat sedari kecilku, yang memberi pengaruh terbesar dalam hidupku. Sudah banyak yang kami lewati bersama, dalam suka dan duka. Pesannya singkat saja; “Jangan lama-lama liburannya ya Non…ntar lupa balik pula. Pekerjaan sudah menanti. Miss you so…” Kubalas;
5
“Iya Neng…miss you too ” Aku tersenyum simpul. Dari dulu karakternya tidak pernah berubah. Dia begitu gigih, selalu bersemangat dalam melakukan setiap pekerjaan, dan cenderung perfeksionis. Itulah kenapa, usaha yang kami bangun bersama bisa berkembang demikian pesat. Aku bersyukur dikaruniai seorang sahabat seperti dia. Aku keluar dari facebook dan kumatikan laptop, kemudian beranjak ke tepi jendela kamar. Huahh…udara begitu dingin, pemanas ruangan seakan tak berfungsi. Kugosok-gosok dan kutangkupkan tangan di depan dada. Tatapan mataku menembus keluar kaca jendela kamar yang mengembun. Kulihat anak-anak sedang bermain salju dengan Ayahnya, asyik sekali, udara yang tak bersahabat sama sekali tak dipedulikan. Aku dan keluarga kecilku sedang berlibur di New York, libur tahun baru. Sudah seminggu kami di sini. Ini adalah rumah salah satu keluarga suami Maya, Tante Inne, perempuan
paruh
baya
yang
melajang
sepanjang
hidupnya. Oh, tidak, kabarnya ia pernah menikah satu kali, tapi hanya setahun. Setelahnya entah kenapa ia betah hidup sendirian. Ah, jalan hidup seseorang memang tidak bisa diterka. Semua bergantung pada Sang Sutradara 6
kehidupan, Allah Azza Wajalla. Di tangan-Nya, nasib kita telah ditentukan, bahkan sejak lima puluh ribu tahun yang lalu, sebelum bumi diciptakan. Seperti juga aku. Begitu banyak hal yang telah aku lalui dalam hidup. Suka, duka, sedih, bahagia, kecewa, kemudian hancur, lalu membangun kembali kepingan hati yang terserak, menutup luka yang demikian perih, semua datang silih berganti, yang pada akhirnya menjadi pengalaman
berharga
dalam
perjalanan
hidupku.
Kepingan kenangan itu seketika menyeretku kembali ke masa silam…, masa di mana aku mulai mengenal kerasnya hidup.
7
Keping 1 Mimpi yang Sirna
Penghujung musim hujan, Juni 1997. Hujan baru saja berhenti menyapa bumi subuh tadi. Dingin. Kulirik jam yang menempel di dinding kamar,
masih pukul enam
pagi. Di tanah kelahiranku, Bumiayu, yang terletak di kaki gunung Slamet, suhu udara di pagi hari begitu dingin menusuk
tulang.
Suara
burung
bercericit
merdu,
membangunkan setiap insan yang masih asyik dibuai mimpi, meringkuk di atas kasur. Selepas subuh seperti biasa, aku seharusnya membantu Ibu di dapur. Namun sedari tadi aku hanya leyeh-leyeh1 di atas ranjang. Namaku Kinarsih, orang biasa memanggilku Kinar. Aku baru saja lulus SMP, umurku belum lagi genap lima belas tahun. Hatiku sedang dirundung kebimbangan. Ibu belum juga mengajakku bicara soal sekolah. Sebenarnya aku ingin sekali melanjutkan sekolah ke SMA, tapi aku tak berani membicarakannya lebih dulu. Ingin bicara ke Bapak, tapi beliau ada di Jakarta, merantau mencari sesuap nasi untuk kami. Aku tak bisa bicara langsung. 1
8
Berbaring santai
Bicara soal Bapak, beliau bukanlah Ayah kandungku. Ayahku yang sebenarnya sudah meninggal ketika umurku baru saja menginjak dua tahun. Setelah aku berumur empat tahun, Ibu akhirnya dipersunting laki-laki lajang yang menjadi Ayahku sekarang. Meski beliau Ayah tiriku, tapi perlakuannya
padaku
melebihi seorang Ayah
kandung. Sikapnya begitu lembut, penuh kasih sayang, tanpa meninggalkan aura ketegasan yang memang terpancar secara lahiriah dari wajahnya. Kulihat Ibu sangat berbahagia
bersanding
dengannya.
Akupun
turut
merasakannya. Sampai akhirnya kami dikaruniai anggota keluarga baru, adik-adikku, Ikhsan dan Hikmah. Aku segera bangun dari tempat tidur. Belum sempat kulangkahkan kakiku, suara Ibu memanggil dari dapur terdengar cempreng, dengan bahasa ngapak khas Bumiayu yang begitu kentara. “Kinaar…! Kemarilah, bantu Ibu. Jangan tiduran terus, anak gadis malas-malasan di pagi hari kuwe mentak ora ilok2!” “Ya Bu…Ini Kinar sudah mau keluar kamar…”
2
Itu tidak bagus (orang Sunda menyebutnya Pamali)
9
Aku menyahut dengan volume suara tak kalah keras, kemudian melangkah keluar kamar menuju dapur. Setelah sampai di dapur, kulihat Ibu sedang memasak beras di panci, yang akan ditanak menjadi nasi. “Mau masak apa pagi ini, Bu?” “Biasa, lodeh kangkung, sama tempe goreng,” jawab Ibu lirih tanpa menoleh ke arahku. Penduduk sini menyebut segala jenis tumisan sayur dengan lodeh. Seperti lodeh labu, lodeh kangkung, lodeh kacang panjang, dan segala macam sayuran lainnya. “Itu, kamu siangi
kangkungnya.” ujar beliau sambil
menunjuk ke arah setumpuk kangkung. Kira-kira tiga ikat. Aku langsung mengambil baskom di rak piring, mengambil kursi kecil dari kayu, duduk di atasnya dan mulai menyiangi kangkung-kangkung itu. Sejenak aku terdiam, dalam hati aku berkata, inilah saatnya aku tanyakan pada Ibu soal sekolah. Kukuatkan hati dan berdehem sebelum memulai bicara. “Oh ya Bu, Kinar boleh melanjutkan sekolah ke SMA kan?” Wajahku tidak berpaling dari kangkung-kangkung itu. Lama Ibu tidak menjawab. Aku jadi gelisah.
10
“Nok, Ibu sama Bapak sudah ndak sanggup lagi membiayai sekolah yang lebih tinggi, kamu kursus njahit saja ya Nok? Kalau mau, Ibu akan mbobok3 celengan untuk biaya kursus kamu, mudah-mudahan cukup.” ujar Ibu dengan panggilan sayang khas Bumiayu bagi anak perempuan, Nok. Aku hanya diam, kecewa mendengar jawaban Ibu. Sifat Ibu memang sangat berkebalikan dengan Bapak. Ibu begitu tegas, cenderung keras terhadap anak-anaknya. Apa yang dikatakan beliau adalah sabda yang mau tidak mau harus kami patuhi. Sebenarnya aku ingin sekali melanjutkan sekolah. Teman-temanku hampir semuanya sudah mendaftar di berbagai SMA di kecamatan ini. Sepupuku, Aini, juga sudah
dapat
persetujuan Pakde
dan
Bude untuk
melanjutkan sekolah. Begitu juga Maya, sahabat dekatku sekaligus tetanggaku. “Yah Ibu, semua teman Kinar sudah daftar ke SMA Bu. Kinar pengen juga seperti mereka. Kinar mohon Bu, nanti biaya sekolah biar Kinar sendiri yang cari, entah itu jualan
3
Memecah
11
atau apa lah Bu…,” suaraku memelas, “Ya Bu?” Aku mengulangi. “Ah, kowe kiye loh, mbok ya aja ngotot kaya kuwe Nok...4, Ibu ini sudah banting tulang cari uang buat kamu sama dua adikmu, tapi penghasilan Ibu tetap saja ndak cukup kalo ndak dibantu Bapak yang nyupir taksi. Sudah untung kamu bisa sekolah sampai SMP. Sudah! Jangan terlalu tinggi melihat ke atas, Nok. Percaya sama Ibu, rejeki itu ndak harus dicari dengan sekolah SMA lebih dulu. Asal kamu punya kemauan, Insya Allah jadi orang.” Panjang lebar Ibu berujar dengan intonasi yang terdengar tegas, membuat hatiku meluluh. Aku hanya bisa meredam kekecewaan dalam hati. Mataku memanas, bulir hangat itu hampir saja jatuh ke pipi. Kuletakkan kangkung dan pisau sekenanya. Segera aku beranjak meninggalkan Ibu yang sibuk mengiris bawang. Aku tak peduli apa yang dikatakan
Ibu
selanjutnya.
Kumasuki
kamar
dan
kubanting tubuhku di atas kasur, lalu mulai menangis dalam dekapan bantal. ***
4
Kamu ini loh, jangan bersikeras begitu Nak.
12
Keinginan dan mimpi-mimpiku akhirnya harus kuredam juga. Pada akhirnya dengan cara apapun aku membujuk Ibu, beliau tetap bergeming. Keputusannya tak bisa diubah. Meski aku tahu sebagian besar sifat Ibu, baru sekarang aku menyadari, betapa keras kepalanya wanita yang melahirkanku itu. Meski kesal, aku tak bisa memungkiri kata hati. Aku kasihan melihat Ibu pontangpanting mencari nafkah demi membantu Bapak untuk membiayai hidup kami. Beliau rela turun naik ke dusundusun di kaki gunung menjual barang-barang kelontong dengan keranjang. Satu digendong, satu dijinjing. Yah, meskipun sudah berlelah-lelah, tetap saja penghasilannya tidak bisa dibilang cukup. Terkadang Ibu harus memutar otak cari utangan kesana kemari jika dagangannya sedang tidak laku dan kiriman uang dari Bapak belum juga datang. Mengingat semua itu, mataku meremang, bulir hangat mulai mengalir di pipi, Ibu…maafkanku.
Aku
sudah
terlalu
egois.
Tidak
seharusnya aku memaksakan kehendakku, hal itu justru menyakiti hatimu. Aku baru tahu isi hati Ibu sebenarnya, ketika suatu subuh aku tanpa sengaja mendengar isak tangis di selasela dzikir panjang yang Ibu lantunkan. Itu terjadi setelah 13
malamnya kami berdebat panjang. Aku menjawab semua kata-kata Ibu dengan suara keras. Aku menyesal setelahnya, sungguh menyesal. Mestinya aku menerima keadaan keluargaku dengan legawa5. Untuk mengurangi kegelisahan, aku mendatangi rumah Maya yang letaknya tak jauh dari rumahku, kami masih satu blok. Ketika sampai di sana, cuma adiknya yang bungsu, Fatima yang bisa aku temui. Ia sedang menonton televisi. Keluarganya termasuk keluarga besar. Saudara Maya semuanya ada tujuh. Maya sendiri anak ke lima. “Maya
kemana
dek?”
tanyaku
langsung setelah
mengucapkan salam. Aku langsung duduk di sebelahnya. “Nggak tau Mbak,” Ia menjawab tak kalah singkat. Sebelum aku membuka mulut ia melanjutkan, “Oh iya aku lupa, tadi Mbak Maya bilangnya mau ke warung. Ada yang harus dibeli.” “Oh ya sudah, nanti Mbak ke sini lagi aja.” “Nggak tunggu dulu aja Mbak? Paling sebentar lagi juga pulang,” ujarnya. Aku baru saja akan menjawab tahu-tahu Maya sudah muncul di pintu pagar. “Tuh udah datang Mbak.” 5
Menerima dengan lapang dada.
14
“Iya dek. Makasih.” Maya terlihat sumringah melihat keberadaanku di sini. Tangannya menenteng kantung plastik putih, entah apa yang ia beli. Ia tutup kembali pintu depan dan menyapaku. “Hai Kinar, sudah lamakah?” Senyumnya mengembang, manis sekali. “Ayo duduk di kursi, kok ngesot di situ?” Sedari tadi aku memang duduk di karpet bersama Fatima yang sedang asyik menonton drama Korea. “Ah nggak apa-apa May, di bawah aja, lebih adem.” “Oh ya sudah. Aku ke kamar dulu ya?” pamitnya. Kemudian ia ke kamar membawa barang belanjaannya. Tak lama kemudian ia keluar kamar dengan baju yang sudah terganti. “Biasa Nar, kebutuhan perempuan, hehe…” ujarnya seolah tahu apa yang ada di benakku. Aku langsung tahu maksudnya. “Nar, kita ke tepi sungai yuk. Lebih enak ngobrol di sana,” ajaknya. “Sekalian refreshing, biar otak nggak sumpek.” Aku menurut saja. Kami lalu melangkah keluar dan berbelok ke arah utara desa. Kampung kami di apit dua sungai, satu di wilayah selatan dan satu lagi di wilayah utara. Yang kami tuju ini adalah sungai di bagian utara, 15
lebih dekat dari rumah kami. Suasana di sana lebih sepi, pemandangannya juga lebih bagus. Di sanalah kami menghabiskan masa kecil, bermain-main di tepi sungai, mandi berenang-renang dan membangun istana mini dari batu kerikil di tepiannya. Aku tersenyum bernostalgia. Ahh…udara begitu hangat. Kutarik napas perlahan, merasakan setiap jengkal kenangan yang berkelebat satu demi satu. Kami duduk di atas dataran tinggi di tepi sungai. Dari sini kami leluasa memandangi seluruh panorama yang begitu mempesona. Aliran sungai yang mengalir tenang di bawah kami, hamparan sawah yang menguning, serta deretan bukit yang menghijau. Juga, gumpalan awan putih yang berarak pelan. Oh, semua demikian melenakan. Aku melirik ke samping, kulihat Maya sedang asyik dengan lamunannya. Tentu saja ia mengingat masa-masa kecil kami, aku yakin itu. “May, tempat ini tenang sekali ya?” Aku buka percakapan. Ia terlihat baru tersadar dari lamunan. “Aku masih ingat betapa kita tak tahu malu, mandi berenang-renang tanpa sehelai benang pun melekat di tubuh. Laki-laki dan perempuan.” 16
Tiba-tiba ia tertawa. Mungkin terdengar lucu, tapi bukan itu maksudku. Aku hanya menyampaikan kekonyolan yang bila diingat membuatku sedikit malu. “Iya, namanya juga anak kecil Nar. Mana tahu lawan jenis kita? Yang ada main, main, dan main,” Ia tersenyum kecil. “Ohya, kamu mau sekolah SMA di mana? Sudah daftar?” Aku terdiam mendengar pertanyaannya. Ada rasa sedih menjalari hati. Wajahku berubah murung. “Kenapa Nar?” Ekspresi Maya terlihat kaget, tanpa dibuat-buat. “Aku tidak akan melanjutkan sekolah.” jawabku menggeleng-gelengkan kepala lemah. “Tapi kenapa?” “Ibu tidak setuju. Katanya tidak ada biaya.” Mataku berkaca-kaca. Betapa meredam mimpi-mimpi itu butuh keikhlasan seluas samudera. Dadaku nyeri mengingat semua itu. Impian melanjutkan sekolah seperti teman-temanku yang lainnya harus kandas. Apa yang bisa diperbuat gadis kecil sepertiku? Oh nasib. Inilah jalan hidup yang harus kutempuh.
17
Raut muka Maya terlihat memelas. Ia merengkuh bahuku lembut. Lalu berkata lirih, “Oh seandainya saja ada yang bisa kulakukan untuk menolongmu, Kinar.” Dadaku sesak, akhirnya aku terisak pelan. Maya tepuktepuk bahuku seolah menenangkan bayi yang sedang menangis pilu. Awan putih masih berarak, ketika tersibak, terlihat langit yang biru. Beberapa burung alap-alap terbang di atas bukit mencari mangsa. Kami berdua sama memandang di kejauhan. Pikiranku melayang-layang tak tentu arah. Sementara Maya terkadang menghembuskan napas berat, entah apa yang ia pikirkan. Yah, kutahu, inilah jalan yang ditentukan Allah untukku. Meski kecewa karena mimpiku telah sirna, tapi semua harus kuterima dengan lapang dada. Seperti kata para ustadz, yang dikutip dari firman-Nya; apa yang terbaik menurut kita belum tentu menurut Allah, dan apa yang buruk menurut kita, belum tentu menurut-Nya. Maka, dengan keluasan hati, kucoba menerima semua dengan keikhlasan hati, karena bagaimanapun, Allah Azza Wajallalah yang mempunyai kehendak. Aku hanya tinggal menuruti segala titah-Nya tanpa perlu berurai air mata. 18
19