Page 1 of 13 Tulisan ini dipersiapkan dan dimuat dalam buku pameran tunggal Haris Purnomo Alien nation di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 28 September – 07 Oktober 2007
Kelompok ‘Kepribadian Apa’ (‘Pipa’): Dari Sebuah Mandala Kecil ke Haris Purnomo Oleh Ashadi Siregar
Bukan perupa, bukan pula kritikus atau penulis seni rupa, apa urusannya manakala sekarang saya nimbrung dalam kesempatan pameran Haris Purnomo perupa yang meniti karir tahun 70an? Memang secara pribadi saya kenal sejumlah perupa dari Yogyakarta, khususnya yang berkeliaran di Malioboro di tahun-tahun itu. Sebagai sesama gelandangan, pergaulan intens di antara orang yang biasa disebut (atau menyebut dirinya) seniman Malioboro lebih seperempat abad yang lalu, banyak yang dapat dicatat sebagai anekdot untuk obrolan di waktu luang. Tetapi tentunya bukan di sini tempatnya. Saya ingin membuat catatan tentang kondisi politik yang pernah melingkupi dunia seni rupa, yaitu saat sekelompok perupa muda pada tahun '70an menghadapi kekuasaan yang memberangus karya seni. Di tahun-tahun itu boleh disebut konsolidasi kekuasaan totalitarian, era yang mementukan sehingga ke depan Soeharto dapat berkuasa puluhan tahun. Di sini Orde Baru (Orba) yang dicetuskan tahun 1966, berhenti. Kalau ada yang menganggap tahun '80an seterusnya masih membawa semangat Orba, boleh menangisi kebebalannya. Karena berikutnya tidak perlu berharap lagi akan janji-janji modernisasi, demokratisasi dan semacamnya, sebab yang diperlukan hanyalah menjaga wilayahnya masing-masing agar tidak terkooptasi ke dalam totalitarian Soeharto. Boleh dibilang ini sekadar catatan seorang penyaksi yang berada di pinggir, tetapi selalu terusik dalam melihat kekuasaan eksesif terhadap karya seni ataupun intelektual (termasuk jurnalisme). Pembredelan atau pemberangusan karya seni atau intelektual dapat terjadi sepanjang masa. Bukan mustahil orang Indonesia sebenarnya mengulangi roda masa lalu. Tidak beranjak dari sikap fasistis dengan monopoli wacana, menolak suatu wacana dengan memusnahkan, bukan dengan memperkaya wacana tandingan. Dalam eforia reformasi sekarang, polisi tidak mengambil peranan aktif dalam menghadapi peristiwa kebudayaan, sebaliknya perilaku otoritarian datang dari sekelompok orang yang merasa dirinya sebagai 'penegak moral' untuk memberangus suatu pameran seni rupa.1 Suatu pameran seni rupa, sebagaimana kegiatan kesenian dan intelektual, pada dasarnya adalah penghadiran wacana. Menolak suatu wacana, dengan pemusnahan berupa pembakaran atau yang 'ringan' ya, pemberangusan karya lukisan, naskah, buku, dan lainnya, lazim terjadi dalam kekuasaan eksesif otoritarianisme. Suatu wacana hanya dapat dihadapi dengan wacana pula dalam masyarakat, ini berada dalam wilayah kebudayaan, bukan dengan tindakan politis apalagi kekerasan fisik. Catatan sejarah peradaban manusia boleh menjadi pelajaran betapa kerugian dialami bersama, manakala kekerasan menjadi budaya dalam masyarakat dan negara, muncul dengan kekuasaan eksesif yang memusnahkan karya seni dan intelektual.
Page 2 of 13 Begitu polisi di masa kini masih melanjutkan tindakan otoritarian atas peristiwa kebudayaan, sebenarnya polisi tidak berubah, dia hanya bertukar 'majikan'. Jika semula otoritarian bersumber dari negara, kemudian oleh kekuasaan yang bersifat kuasi negara dari masyarakat. Polisi memang tidak dapat diharapkan wacana kesenian dalam menghadapi wacana kesenian lainnya. Pertarungan wacana dapat masuk ke negara jika suatu karya dipermasalahkan secara hukum. Wacana estetika dilihat dalam azas legalitas di lembaga peradilan, sehingga muncul sebagai diskusi publik dalam tuntutan dan pembelaan hukum yang melahirkan wacana tentang obyek yang diadili. Bahan penutup aurat di foto Sophia Latjuba2 atau Anjasmara3 boleh diukur dan diperdebatkan dalam konteks syahwat penilai, tapi urusan estetika di foto itu tentulah akan menjadi wacana dalam kebudayaan. Seyogianya reaksi dan impuls biologis tidak dijadikan dasar untuk menilai sesuatu karya seni atau intelektual, kalau memang begitu kuat dorongannya, letakkanlah itu dalam kaitan laki-bini mono- atau poligami, terserah. Tetapi kalau polisi semata-mata menjadi instrumen bagi kelompok masyarakat atau absen atas perilaku kelompok yang mengambil cara-cara destruktif secara fisik atas karya seni dan intelektual, bersiaplah menghadapi penghancuran diversitas wacana, untuk hidup dalam dimensi tunggal dari kekuasaan sektarian. Pernah di suatu masa dan tempat, tidak ada gejolak dalam masyarakat, tetapi suatu kegiatan seni rupa membuat kalang kabut aparat kepolisian. Akibatnya, pameran berlangsung tidak sesuai rencana, sebab kemudian ditutup paksa oleh polisi.4 Ada yang menganggap pembredelan itu karena karya-karya yang dipamerkan mencerminkan sikap destruktif, brutal, atau setidaknya sarkastis. Kalaupun ada aksi kekerasan seperti menyobek atau bahkan membakar karya (sendiri), perlu dilihat signifikansi sebagai penghadiran suatu wacana. Sepanjang tidak sebagai ancaman terjadi kebakaran, mengapa pula polisi sibuk? 5 Tindakan dari seniman atas karyanya sendiri tentulah sebagai suatu peristiwa yang dianggapnya bermakna. Jika ditanya makna itu, biasanya seniman akan menolak menjelaskannya, sebab tugasnya adalah menghadirkan karya. Untuk menangkap wacana dan maknanya, sudah memasuki wilayah kritikus dan pengirias. Namun berbagai penampilan perupa, baik seni peristiwa (happening arf) atau karya instalasi disikapi dengan cara oleh sejumlah budayawan. Suatu reaksi kalau berhenti sebagai anekdot, guyonan di antara seniman di kopi, tentulah mengasyikkan. Perupa semacam Bonyong Munni Ardhi atau Wienardi, hidup penuh olok-olok antar teman, kontras dengan keseriusan Hendro Wiyanto misalnya. Berbeda dengan komentar negatif budayawan entah seniman atau kritikus yang dipungut oleh media pers, belum tentu memiliki signikansi dalam kaitan estetika, tetapi akan menjadi dasar bagi kekuasaan. Dari situ tindakan aparat memperoleh pembenaran (justifikasi), sebagai respon terhadap karakter dari karya-karya yang ditampilkan. Dakwaan bahwa suatu karya seni merupakan ancaman atau gangguan terhadap ketertiban umum, sudah tidak asing kedengaran. Penguasa resmi negara atau tidak resmi dari masyarakat, dapat menggunakan dalih bersifat sekuler semacam ketertiban umum, atau moral seksual, atau keilahian seperti melindungi keimanan umat. Tetapi semua pemberangusan karya seni dan intelektual oleh aparat negara maupun kelompok masyarakat sebenarnya dapat dikembalikan kepada kepentingan dalam praktik kekuasaan. Apa yang dialami kelompok orang muda perupa tahun 70-an tidaklah berdiri sendiri. Bisa panjang daftar dari praktik represi kekuasaan terhadap kegiatan kesenian dan intelektual. Cara yang 'kasar' antara lain dengan menyusupkan agen provokator guna mengacaukan acara sehingga aparat keamanan punya alasan untuk menghentikan suatu kegiatan.6 Jadi tidak perlu melakukan pelarangan preventif, karena tindakan represif dapat berlangsung seolah dengan justifikasi. Semua perkara yang dialami oleh seniman pada masa rezim Soeharto, tidak perlu dicari-cari penyebabnya dari substansi karya-karyanya. Persoalannya sederhana, yaitu apakah seniman dalam eksistensi sosialnya berada dalam paradigma yang sama
Page 3 of 13 dengan penguasa Orba, ataukah sebagai dissident. Penentuan untuk kategori di dalam dan di luar didemonstrasikan melalui acara "kebulatan tekad" sebagai instrumen Orba.7 Kategori berada di dalam atau di luar sistem kekuasaan Orba, menjadi titik tolak dalam menghadapi seluruh aktivitas warga di ruang publik (public sphere). Ini bukan soal estetika, sebab sejak kapan pula polisi atau aparat militer berkepentingan dan mau berpikir soal itu? Peristiwa-peristiwa kesenian dan karya yang muncul tentunya menjadi urusan kritikus seni. Biarlah mereka yang mencatat pencapaian yang sudah diwujudkan dalam jagat (realm) estetika. Pada sisi lain, betapa kerugian dalam dunia kesenian karena sebagian (besar) energi harus terbuang dalam menghadapi kekuasaan Orba. Pengerangkengan kreativitas dengan dalih apapun selamanya tidak membawa kemanfaatan. Dengan kata lain, melarang suatu karya (bahkan karya 'buruk' sekalipun) tidak berarti akan melahirkan (kalau ada yang dapat disebut) karya yang 'bagus' lainnya. 'Membunuh' Pramudya Ananta Toer tokh tidak dapat melahirkan sastrawan sekaliber dia. Mempeributkan "sastra selangkangan' seperti dunia mau kiamat, tidak pula memacu lahirnya karya sastra sedahsyat ciptaan Naguib Mahfouz, sastrawan Arab penerima hadiah Nobel. Lalu mengapa selalu muncul sikap permusuhan terhadap kreativitas dalam berbagai bentuk dan alasan? Permusuhan alas kreativitas ini jika datang dari kalangan seniman sendiri, mungkin bersumber dari kecenderungan preferensi atau psikologis yang lumrah adanya. Sebatas hanya kebisingan di media massa, tidaklah perlu dipusingkan. Media yang mendefinisikan berita sebagai komoditas, akan mengekspos kontroversi yang sensasional, tidak akan tertarik dengan bahasan pencapaian estetika.8 Baru jadi soal jika sikap ini terbentuk disadari atau tidak, sebagai hasil dari pendidikan Ideologi' Orba yang bersifat fasis-militeristis yang berlanjut. Sikap ini manakala diadopsi dalam masyarakat, mewujud dengan pengeliminasian atau pemusnahan orang dan wacana yang tidak menjadi bagian 'kami', sebagai implementasi sikap sektarian dan inklusifitas yang dapat ditemukan dalam berbagai dimensi kehidupan. Kondisi yang melingkupi mudah memahaminya pada era Soeharto, jika diketahui bahwa berbagai peristiwa hanya sebagai proses Orba yang bergimnastik dalam mengonsolidasi kekuasaan. Jangankan pelarangan tampilan seni, bahkan ratusan ribu nyawa manusia gampang saja dilenyapkan, lainnya dikucilkan dari seluruh aspek kehidupan di ruang publik. Penggunaan kekuasaan Orba yang eksesif, oleh sebagian orang berusaha dihilangkan secara bersengaja dari ingatan, tetapi sebagian lagi akibat amnesia sejarah yang diidap bersama. Baik yang bersengaja maupun amnesia dasarnya buah dari keberhasilan hegemoni Orba. Rezim Soeharto telah berakhir, tetapi fasisme tetap berbiak masyarakat. Orang boleh bersikap apolitis, tetapi siapakah yang bisa menghindari kekuasaan Orba yang merasuki seantero bangsa. Persoalannya harus dihadapi secara paradigmatis, apakah masih merasa berdiri di dataran yang sama, ataukah berada di luar. Sebagian merasa perlu menjadi bagian dari Orde Baru (Orba) karena meyakini bahwa rezim ini akan membawa pembaruan/modernisasi dan demokrasi. Tetapi yang lain, kendati bersetuju dalam menumbangkan Orde Lama (Orla) demi modernisasi dan demokratisasi, tetap menjaga kewaspadaan dalam menghadapi rezim baru ini. Bagaimana boleh yakin seratus persen pada rezim yang membangun kekuasaan dengan jalan mengeliminasi (fisik dan sosial) ratusan ribu (ada yang bilang jutaan) rakyatnya? Karenanya warga di ruang publik dalam menjalani kehidupan perlu memilih di antara dua cara, dengan penerimaan ataukah penolakan dalam alam pikiran atas keberadaan rezim Orba. Penerimaan mutlak ini dilakukan dengan sepenuhnya bekerja sebagai agen Orba, baik bersifat total maupun dengan dalih akan bersikap kritis guna
Page 4 of 13 memperbaiki dari dalam. Agen-agen Orba inilah, berada di dalam kekuasaan atau di luar, berniat atau tidak, sebagai penyangga kekuasaan fasis-militer lebih 30 tahun. Sedang pada sisi lain, penolakan dalam alam pikiran ini akan memelihara otonomi betapapun terbatas dan kecilnya ruang kebebasan yang dapat dijaga. Dua sisi, otonomi dan independensi bagi seseorang hanya dapat dipahami jika didefinisikan sebagai 'jagat kecil' yang berhadapan dengan 'jagat besar' ruang publik. Bagaimana seseong menghidupkan 'jagat kecil’ny, akan tercermin dalam kediriannya dalam kehidupan di 'jagat besar'. Otonomi dan independensi pada satu sisi, diwujudkan dengan kehidupan publik yang bebas, tidak digerakkan oleh arus dominasi kekuasaan negara maupun pasar. Pada sisi lain, bersumber dari nilai kultural yang menghargai kehidupan manusia, empati dan toleransi, yang digerakkan atas dinamika dalam kehidupan warga masyarakat. Dalam skala besar atau kecil, seseorang dalam peristiwa kebudayaan pada dasarnya menunjukkan 'jagat kecil'nya untuk ikut dalam 'jagat besar' sembari mengambil kemanfaatan, ataukah masih tetap menggeliat dalam perlawanan kendati bak semut yang diinjak sepatu lars tentara. Ruang publik dengan dinamika otonomi dan independensi warga dihancurkan selama Orba. Dalam arus utama (mainstream) Orba, institusi sosial digerakkan atas dominasi kekuasaan negara. Proses institusionalisasi negara dalam kebudayaan, masuk melalui institusi komunikasi publik dan dunia pendidikan, sebagai bagian dari konsolidasi kekuasaan rezim Orba yang ditandai dengan mengambil kekuasaan yang semula terdistribusi pada berbagai institusi, untuk memusat pada satu tangan, dalam hal ini militer dan Presiden Soeharto. Militer dan Soeharto sama sekali tidak menoleransi prinsip demokrasi yaitu pembagian kekuasaan (power sharing). Dapat dilihat antara lain dari pengendalian parlemen, pengurangan jumlah dan penentuan kepengurusannya partai politik yang boleh ikut Pemilihan Umum, serta pengaturan segenap aspek kehidupan masyarakat melalui berbagai asosiasi profesi/kerja dan niaga dalam sistem korporatisme negara. Pengendalian dimulai dengan konsolidasi internal institusi negara, dengan peranan yang besar dari Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Ini adalah organ utama dari rezim Soeharto, pada awalnya berfungsi untuk membersihkan institusi negara dari anasir Orla yang terdiri atas Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Soekarnois. Pembersihan anasir ini bagi pendukung Orba dipandang perlu, apa pun ongkosnya demi membangun masa depan. Tetapi kemudian metode pembersihan tidak berhenti. Setelah membereskan kekuasaan internal, melalui pemilu 1971 dengan 'politik buldoser' yang dijalankan Menteri Dalam Negeri ke wilayah pedesaan untuk mendapat suara untuk Golkar, dominasi dapat dilakukan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawatan Rakyat.9 Sejumlah seniman dan intelektual memerotes pelaksanaan pemilu. Protes terhadap pemilu ini hanya menjadi riak kecil, sebab bagian terbesar dari pendukung Orba masih tetap menyakini tujuan modernisasi dan demokratisasi yang akan diwujudkan setelah pemilu. Berikutnya pengendalian semakin meluas dan intensif atas seluruh aspek kehidupan, sebagaimana ciri sistem totalitarian fasis-militer. Pengendalian dilakukan selain dengan format yang ditentukan atas setiap institusi, terutama dengan 'akreditasi'terhadap person yang akan memiliki peran dalam institusi. 'Akreditasi' pada tahap pertama bukan atas kapabilitas, tetapi dalam konteks keamanan dan politik stabilitas Orba, yaitu dengan persyaratan adanya surat lolos skrining Kopkamtib dari pusat sampai daerah. Skrining ini sangat massif, menjangkau seluruh aspek kehidupan masyarakat melalui pengendalian atas institusi-institusi masyarakat, termasuk dalam kebudayaan. Penggunaan kekuasaan yang eksesif seakan mendapat justifikasi dengan adanya Peristiwa 15 Januari 1974, huru-hara massal yang oleh pemerintah Orba disebut 'Malapetaka Limabelas Januari' (Malari, berasosiasi pada malaria, penyakit yang menyebabkan demam tinggi). Sebagaimana diketahui, fenomena '15 Januari' ini
Page 5 of 13 berlangsung dalam dua dimensi, pertama adalah gerakan intelektual kalangan mahasiswa yang mengeritik strategi ekonomi Orba yang bertumpu pada modal dan bantuan asing serta merebaknya korupsi, dan kedua adalah huru-hara oleh massa yang meluluh-lantakkan sebagian kota Jakarta. Peristiwa huru-hara itu menjadi catatan sejarah yang tidak terungkap secara terang, dan pertaliannya dengan gerakan mahasiswa di kampus tidak pula pernah ditunjukkan. Pada saat Dewan Mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Jakarta melakukan apel bersama di Universitas Trisakti 15 Januari 1974, huru-hara telah terjadi secara sporadis, tersebar di antero lokasi, sebelum massa mahasiswa keluar dari tempat berkumpulnya. Lebih menimbulkan tanda tanya lagi, sebab tidak ada pelaku maupun penggerak huru-hara itu yang ditangkap dan diadili. Ada sejumlah orang anggota ormas tertentu ditangkap tetapi tidak diteruskan ke pengadilan. Yang diadili hanya sejumlah aktivis kampus yang vokal dalam berbagai diskusi dan seminar. Padahal, kalau intel tentara dan polisi bekerja, tidak sulit mengidentifikasi kordinator dan penggerak massa perusak.10 Dan yang jelas, adanya huru-hara itu menyebabkan dinamika intelektual kritis khususnya gerakan anti korupsi dan oposisi atas strategi ekonomi pertumbuhan, berikutnya dapat dihentikan. Berbarengan itu Soeharto melalui militer memiliki justifikasi untuk mengggunakan tangan besi dalam menjalankan kekuasaan. Pada ranah intelektual, akibat peristiwa '15 Januari' pemerintah Orba membredel sebelas suratkabar dan majalah berita. Represi atas media pers berlangsung berkesinambungan. Pembredelan massal terjadi lagi tahun 1978, dan kemudian tahun 1994. Akibat represi ini pers Indonesia harus menyesuaikan diri dengan proses konsolidasi kekuasaaan rezim Orba. Adapun kondisi yang terjadi pada ranah komunikasi publik ini hanyalah ikutan atas pengendalian atas segenap institusi sosial. Pada periode singkat yang dijalani sebagai bulan-madu Orba dengan janji-janji demokratisasi, belum begitu terasa represi dalam kehidupan masyarakat. Berbagai aktivitas warga masyarakat (sepanjang 'bersih' dari anasir PKI) masih dapat dilakukan tanpa harus melalui sekrining dan perijinan institusi militer. Berbeda halnya dengan kegiatan komunikasi publik, seperti pertunjukan untuk penonton di gedung khusus, biasanya memerlukan perijinan. Itupun dapat diakali dengan mengadakan kegiatan di lingkungan kampus, sehingga tidak memerlukan otorisasi dari aparat kepolisian dan militer. Sampai kemudian dunia kampus pun tidak lagi dapat menjadi 'suaka' bagi person dan karya kreatif yang tidak ditoleransi penguasa Orba. Sebagian orang boleh jadi tidak pernah bersinggungan secara langsung dengan tangan kekuasaan, atau bahkan dapat menikmati berkah dari bulan madu Orba. Sampai tahun 1974, berbagai gerakan intelektual masih ditoleransi sebab masih ada Jenderal Soemitro yang dikenal sebagai militer-intelektual menjabat Panglima Kopkamtib.11 Pada pasca-Malari, Jenderal Soemitro tersingkir dalam percaturan rivalitas kekuasaan, kemudian mengundurkan diri dan pensiun dini pada usia 49 tahun. Sejak itu militer-intelektual yang berada di dalam tubuh rezim Orba satu per satu disingkirkan. Bahkan beberapa tahun kemudian, Jenderal HR Dharsono yang dikenal sebagai pemikir dan konseptor Orba untuk modernisasi, pun diadili dan dijebloskan ke penjara. Dan Orba akhirnya sepenuhnya digerakkan oleh rezim militer-fasis Soeharto. Bagi yang mau melihat dan sensitif terhadap kekuasaan, akan merasakan perubahan ibarat dissolve-in penerapan politik represi ala fasls-militer Orba. Kerasnya represi dapat dilihat dari 'batupaP (milestone) berupa pemilu, dan penetapan Soeharto sebagai calon tunggal untuk Presiden. Karenanya sepanjang puluhan tahun sesungguhnya di MPR tidak pernah ada pemilihan presiden.12 Tuar biasa rekayasa berita itu. ; Dimanakah gerangan intel yang menyaru wartawan itu ' sekarang?'Kepastian akan kekuasaan secara absolut bagi Soeharto adalah setiap kali berhasil merekayasa proses calon tunggal sebagai Presiden sehingga tidak perlu ada pemilihan di MPR. Dengan
Page 6 of 13 cara lain 'batupal' rekayasa kekuasaan Soeharto dapat dilihat pada tahun 1972 pemaksaan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dengan dana non-budgeter, tahun 1974 dengan adanya Malari, tahun 1975 penciutan jumlah partai politik, dan tahun 1978 pemantapan kekuasaan totalitarian melalui penyingkiran lawan-lawan politik (terutama jenderal-jenderal pendiri Orba). Setiap momen menjadi dasar membersihkan saingan politik bagi Soeharto. Tetapi sekaligus sebagai pintu bagi kalangan elit yang ingin dekat padanya. Magnet kekuasaan totalitarian Soeharto sedemikian kuat daya pukaunya. Sementara kalangan elit senantiasa berharap agar direkrut ke dalam kekuasaan. Karena tiada jalan lain bagi pendamba kekuasaan kecuali menanti 'didapuk' Soeharto. Rektor atau budayawan kepingin masuk ke birokrasi puncak atau setidaknya dilirik oleh Soeharto, akan bermain dalam setiap momen terjadi di lingkungannya, dan berusaha dekat dengan lingkaran dalam (inner circle) Soeharto. Kalau ada yang menganggap dengan dekat ke Soeharto dapat mempengaruhi dan memberi pandangan yang baik, agaknya kesombongan, atau dalih bagi motif keuntungan. Soeharto adalah figur luar biasa yang dilahirkan jaman. Tiada siapa dan apapun yang dapat mempengaruhinya, sebaliknya setiap person atau momen akan menjadi instrumen guna memperbesar kekuasaan yang berpusat dirinya.13 Grafik kekuasaan yang eksesif itu menaik pada 'batupal' selama 32 tahun, sampai terjungkal dari puncak yang tinggi untuk menggelundung ke titik nadi. ‘Batupal’ pada dasarnya menjadi penunjuk perjalanan, untuk seberapa jauh/dekat ke batas pencapaian. Tetapi disitulah tragedi kekuasaan Soeharto, dia tidak memiliki kota tujuan, kecuali bermain guna mempertahankan dan menikmati kekuasaan. Bahwa kekuasaannya digunakan penumpukan kekayaan buat sanak keluarga dalamnya, hanyalah ikutan. Rezim totalitarian Orba pada akhirnya runtuh tahun 1998 dalam suatu adegan dramatis, saat Presiden Soeharto lengser keprabon dan Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab) Jenderal Wiranto bertegak gagah dan berwajah tegang menyatakan komitmen untuk tetap melindungi Soeharto. Entah apa dan bagaimana yang harus dilakukan Jenderal Wiranto untuk memenuhi komitmennya dalam era berikutnya yang berbanding terbalik dengan kondisi Orba. Dari pengendalian bersifat totalitarian, untuk kemudian sama sekali lepas dari kendali penguasa negara. Siapa saja bisa menghujat Soeharto, bahkan pejabat yang tadinya menjadi bawahan Soeharto. Apakah dalam kondisi semacam ini ada orang yang merindukan stabilitas ala pengendalian fasis-militer, tentunya tidak perlu dipersoalkan disini. Kelompok 'Kepribadian Apa' hadir pada periode Orba yang keras terhadap kegiatan intelektual pada akhir tahun 70-an. Soal ini dapat ditempatkan dalam kerangka besar yang berlangsung di ruang publik Orba. Untuk itu dilihat melalui strategi pengendalian yang dijalankan dalam stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi dengan rekayasa ditujukan atas realitas sosial, yang dapat dipilah antara realitas keras (hard reality) dan realitas lunak (soft reality). Realitas keras adalah kehidupan bersifat empiris dalam interaksi manusia, bersifat fisik dan materiil. Sedangkan realitas lunak adalah kehidupan dalam alam pikiran, penghayatan simbol dan nilai-nilai. Setelah tahun 1978, realitas keras sepenuhnya dikendalikan Soeharto karena eliminasi saingan politiknya dari realitas keras politik dipandang telah rampung. Jenderal-jenderal senior yang mengembangkan gagasan Orba telah tersingkir. Kekuatan politik resmi hanya tiga, terdiri atas dua partai politik yang pimpinannya ditentukan oleh pemerintah, dan satu organisasi sebagai mesin politik birokrasi pemerintahan. Tangan besi dan berdarah Soeharto dalam menghabisi PKI dan Orla masih dapat diterima oleh sementara pendukung Orba. Tetapi ketika tokoh-tokoh senior penggagas Orba disingkirkan secara sosial dan politik, bahkan 'dimatikan' sumber-sumber ekonominya,
Page 7 of 13 bagaimana mungkin membayangkan bahwa demokratisasi sebagai cita-cita Orba masih ada? Peristiwa-peristiwa yang menyusul berikutnya tidak lain dari pengendalian realitas lunak, melalui hegemoni wacana. Komunikasi publik dikendalikan dengan kooptasi atas organisasi profesi kewartawanan. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sekaligus menjadi ketua bidang media massa Golongan Karya (Golkar).14 Berbarengan intensifikasi pengendalian alam pikiran terutama di lingkungan intelektual muda, dengan infiltrasi kekuasaan negara ke dalam institusi pendidikan. Politik penindasan ranah intelektual ini sebagai ekstensifikasi dari kekuasaan totalitarian. Sebab setelah efektif dalam dominasi atas realitas keras (politik), dengan sendirinya akan melangkah pada hegemoni kebenaran. Ini hukum besi yang mengikuti kekuasaan fasis. Represi ke kampus mendapat justifikasi sebab pada saat yang sama tumbuh radikalisasi di kalangan aktivis kampus. Awal tahun 1978 menjelang Sidang Umum MPR, puluhan Dewan Mahasiswa selndonesia yang dimotori oleh mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) membuat gerakan perlawanan terhadap Soeharto. Setelah MPR kembali metetapkan Soeharto sebagai presiden, maka diangkat menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) yang tidak kenal kompromi menjalankan pembersihan kampus, sekaligus dapat mengeluarkan argumen berbau rasionalisasi akademik dan filosofis. Di masa ini boleh dibilang Deppen dan Dep P dan K merupakan 'office' yang sama. Dari Deppen keluar istilah akselerasi pembangunan untuk menampung propaganda modernisasi dan demokratisasi ala Orba. Sedang di lingkungan Dep P dan K dikenal istilah normalisasi kehidupan kampus (NKK) berupa pengendalian seluruh aspek ko-kurikuler di lingkungan perguruan tinggi, dengan membersihkan kampus dari anasir mahasiswa atau dosen yang dipandang dissident.15 Pembersihan dengan pelumpuhan oposisi terhadap Soeharto di kampus sukses dituntaskan pada periode Daoed Joesoef. Sementara pada kabinet berikutnya Menteri P dan K adalah Nugroho Notosusanto seorang sejarawan militer, dan hegemoni wacana dijalankan melalui seluruh institusi pendidikan dari tingkat dasar sampai tinggi, berupa tafsir tunggal dari sejarah revolusi yang berfokus pada Soeharto dan dekonstruksi Soekarno dan pendiri republik lainnya.16 Jadi begitulah, perupa muda yang menabalkan diri sebagai kelompok 'Pipa' berada di tengah pusaran arus besar kekuasaan. Jelas bahwa keberadaan karya-karya mereka sebagai suatu wacana dapat dipersoalkan dari sisi estetika. Tetapi dalam konteks kekuasaan Orba, pemaknaan suatu wacana tidak bersangkut-paut estetika. Karenanya represi dari polisi terhadap pameran mereka sulit dipahami. Boleh jadi kegusaran bertambah besar manakala menghadapi pimpinan di kampusnya, sebab tidak memperoleh tafsir akademik atas karya-karyanya. Yang berbicara hanya bahasa kekuasaan. Yogyakarta dalam mandala tradisional adalah garis lurus secara visual dari Sitihinggil keraton hingga Tugu, dan dari Pantai : Gunung Merapi di utara dalam garis imajiner. Mandala bukan sekadar tempat secara fisik (habitat), melainkan suatu ruang yang memiliki daya melindungi bagi segenap aspek kehidupan, termasuk dalam dunia kreatif. Selama berada dalam mandala ini, percayalah bakal selamat. Kalau ada wabah penyakit, ancaman marabahaya, keraton akan mengeluarkan dan mengirapkan pusaka-pusaka atau membuat slametan. Setiap warga Ngayogyakarto akan merasa terlindungi dalam mandala ini. Tetapi di Yogyakarta tahun 70an, anak-anak muda yang tidak berada dalam mandala tradisional, membangun mandalanya sendiri.
Page 8 of 13 Siapakah anak-anak muda itu? Mereka adalah anak-anak di 'sekolah' alam, suatu 'sekolah' yang rtidak dibatasi dinding kelas. Inilah yang menjadi ciri Yogyakarta sampai ke era ‘70an. Boleh dikata setiap orang muda datang ke Yogya, tujuan pertama adalah untuk bersekolah formal. Lulusan SMP di daerah yang berharap agar jalan seleksi masuk ke universitas lebih lancar, mencari SMA yang dipandang dapat memberikan tataran pembelajaran yang sesuai. Begitu pula tamatan SMA dari daerah yang merasa mampu bersaing, mengejar universitas yang ada di Yogyakarta. Tetapi banyak di antaranya kemudian menemukan dirinya ternyata tidak berkesesuaian di ruang-ruang kelas, sehingga tidak meneruskan pendidikan formal. Tersebutlah Gampingan, lokasi kampus Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) ‘Asri’. Tarik garis lurus ke timur bertemu dengan Galeri Seni Sono, kemudian Maliboro garis lurus ke utara, dan ke selatan alun-alun kraton. Jika berdiri di bundaran di ujung selatan jalan Malioboro, secara visual akan terentang jalan lurus ke barat dan utara. Inilah mandala bagi anak-anak muda tahun 70an. Adapun kemudian nama 'Asri'yang historis itu pun lenyap karena STSRI 'Asri' menjadi bagian Institut Seni Indonesia (ISI) yang berkampus di Bantul nun di selatan. Galeri Senisono pun diruntuhkan, seluruh kawasan menjadi bagian Gedung Agung, bekas hunian dan kantor gubernur Hindia Belanda.17 Secara fisik mandala milik anak-anak muda sirna. Apakah ada yang perlu ditangisi?
Page 9 of 13 Mandala yang pernah ada itulah yang menjadi kampus bagi banyak orang muda. Disini orang-orang muda saling mengasuh, memperkembangkan diri. Frustrasi yang di dapat dari dunia sekolahan formal, seolah dibasuh di ruang ini. Di sadari atau tidak, mandala ini pada dasarnya berada dalam ruang imajiner yang lebih besar. Tetapi malangnya, lingkup imajiner ini bukan sebagai mandala yang melindungi, tetapi suatu sistem yang mengancam. Kalau mau mengambil nilai positif dari kondisi ini adalah kemauan untuk memperkembangkan diri sebagai anak-anak alam. Membayangkan 'menjadi' harus bertumpu kepada proses personal yang berlangsung atas diri seseorang. Alat ukurnya tidak ditentukan oleh suatu kekuasaan dan struktur tertentu, melainkan dari kedirian pelaku dengan karya-karyanya di tengah lingkungannya. Pada tahap pertama dalam lingkaran kecil dari rekan semandala yang mengakui keberadaan dan karakter karya yang dihasilkan. Pengakuan ini boleh saja dieksplisitkan, tetapi yang paling utama adalah kesadaran dalam kejujuran dunia dalam (inner world) untuk mengakui keberadaan suatu karya seseorang. Dari interaksi semacam ini setiap orang akan menemukan dirinya 'menjadi'. Seseorang 'menjadi' manakala keberadaan diri dan karyanya sebagai suatu jagat hadir dalam lingkungan yang lebih luas, masyarakat yang menerimanya. Jagatnya tidak ditentukan oleh jenjang dalam struktur yang ditempati. Dengan kata lain, keberartiannya lahir dari dirinya sendiri, untuk kemudian lingkungan mengakuinya. Pengakuan ini bersifat kultural, tidak memerlukan legitimasi negara. Seorang perupa, penyair, novelis, penari, pemusik, dalang pewayangan, atau apa saja pelaku kreatif, tidak perlu mempertanyakan posisinya dalam struktur formal, baik dengan gelar dalam institusi pendidikan maupun jenjang dalam institusi negara atau ekonomi. Kedirian dan karyanyalah yang menghadirkan dirinya sebagai institusi. Manakala institusionalisasi negara masuk ke wilayah kreatif, bersiaplah untuk menerima kematian dalam karya seni. Ketegangan (kegelisahan dan frustrasi) agaknya akan senantiasa mendera seseorang yang tidak memiliki lagi ruang yang dipercayainya akan melindunginya. Berbeda dengan orang yang berada dalam ruang dari tradisi, memperoleh rasa 'slamet' ini dari mandala yang melingkupinya.18 Proses pengembangan dan aktualisasi diri bagi perupa kelompok 'Pipa' jelas tidak mendapat tempat di kampus resmi yang notabene menjadi bagian dari institusionalisasi rezim Orba. Karenanya mandala Malioboro menjadi kampus, dan tempat pameran sebagai outlet. Kegelisahan ini pada dasarnya barang langka. Dunia sekolah formal mengajarkan sistem dan teknik. Kegelisahan harus diburu sendiri. Pendidikan kesenian semakin bersifat formal dengan basis sistem kurikulum yang diakreditasi oleh negara. Kurikulum adalah sistem untuk memeroses peserta didik agar sesuai dengan format yang standarnya ditentukan. Dengan kata lain, sistem berkaitan dengan standar proses dan output yang berasal dari otoritas negara. Output dalam pendidikan formal adalah manusia yang diproses agar sesuai dengan format dalam standar sistemik.
Page 10 of 13 Anak-anak muda tahun 70an masih beruntung, sebab sistem kurikulum belum seketat tahun-tahun belakangan ini. Begitu pula masih ditemukan guru-guru kesenian yang tidak menjadi bagian sistem kekuasaan negara. Boleh jadi kegelisahan yang dialami oleh kelompok ini bersifat intuitif. Tetapi dapat djelaskan jika ditempatkan dalam arus besar dari rezim Orba. Sebagian cendekiawan atau ilmuwan dapat melihat dan membuat analisis tentang dominasi dan hegemoni penyeragaman yang melindas, tetapi boleh jadi secara teknokratis akan mengambil keuntungan darinya. Sebaliknya, tidak perlu dengan analisis yang dakik-dakik, sejumlah perupa muda merasakan (saya ulangi: MERASAKAN) dalam proses kreatifnya. Kalau disebut 'merasakan' tentulah berbeda dengan 'rasa' yang mendasari karya-karya tradisi dalam mandala 'slamet'. 'Rasa' bagi seniman modern sebagai kegelisahan yang tidak perlu dirasionalisasikan, menjadi pendorong bagi elan penciptaan. Dan ciptaan itulah yang berbicara. Mungkin tidak disadari penyebabnya, tetapi yang muncul adalah karya-karya yang lahir dari sikap memberang. Karenanya karya-karya bagaikan hasil dari para pemberang. Sayangnya saya tidak punya dokumentasi dari pameran ‘Pipa' anno 70an itu. Hanya mengandalkan daya memori yang tua, setidaknya saya ingat bermacam-macam bentuk mulai dari yang secara vulgar menampilkan keberangannya seperti memajang tiruan kotoran, dan dengan cara subtil melukis sampai bersifat hiperrealis. Agaknya tidak perlu nyakan, keberangan terhadap apa, tetapi semangat yang tidak tertangkap oleh seniman lainnya terutama yang mapan, meluncas dari karya-karya perupa 'Pipa' 70an. Dalam seperempat abad lebih, bagaimana perjalanan anggota kelompok 'Pipa'? Pada tahun 70an usia mereka berkisar 20an. Sekarang tentunya di atas setengah abad, kalau jadi pegawai sudah pantas pensiun. Tetapi sebagai pekerja kreatif yang dipersoalkan bukan usia, tetapi elan yang menggerakkan proses kreatifnya. Saya tidak beruntung sebab tidak punya kesempatan melihat karya-karya eks 'Pipa' setelah tahun 70an, dan tidak pula tahu siapa saja yang masih tetap sebagai perupa. Kegelisahan macam apa yang dipunyainya? Dengan pameran Haris Purnomo, setidaknya saya tahu bahwa dia tetap hadir sebagai perupa. Bagaimana pencapaiannya setelah puluhan tahun ini, mudah-mudahan para pengamat seni rupa dapat menceritakannya. Jelas bahwa mandala yang dihuninya berbeda, begitu pula ancaman yang melingkupinya. Sumber ancaman bagi seniman modern datang dari negara dan pasar, melalui berbagai dimensi seperti lingkungan hidup, gender, pengabaian hak hidup, dan seterusnya. Tugas Anda sebagai penyaksi karyanya untuk menafsirkan. Saya hanya menawarkan cara 'membaca', ketika saya bertanya-tanya 'apa maunya seniman ini?' saya selalu berusaha 'menayuh' karya itu dari mana datangnya, sebab jiwa setiap karya adalah respon terhadap ancaman yang di 'rasa'kan kreatornya. Untuk itu saya berniat mengajak Anda untuk menangkap elan kreatifnya, antara mandala yang dihuninya dan ruang imajiner yang mengancamnya, apakah tercermin dalam karya-karyanya? Apakah dia membuat negasi karena memberang, apakah yang keluar kemudian menjadi lebih subtil? Selamat berpameran bagi Haris Purnomo. Ashadi Siregar dilahirkan di Pematangsiantar, 1945, bermukim di Yogyakarta sejak 1964. Tahun 70-an dikenal sebagai penulis novel. Kini pengajar pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan Program Kajian Budaya dan Media Sekolah Pasca Sarjana, keduanya di Universitas Gadjah Mada, serta di Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Selain itu mengelola Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogya (LP3Y) sebuah organisasi yang bergerak dalam pengembangan jurnalisme dan pelatihan jurnalis.
Page 11 of 13 Catatan : 1. Front Pembela Islam (FPI) berunjuk rasa dan melaporkan ke polisi atas foto yang dipamerkan di CP Biennale Urban/Culture yang berlangsung September-Oktober 2005 di Jakarta. Jim Supangkat selaku kurator pameran terpaksa menutup karya yang dipermasalahkan. 2. Bilboard iklan sabun mandi yang menggunakan Sophia Latjuba sebagai model dicat hitam oleh sekelompok orang dari ormas Islam garis keras. Begitu pula iklan dan poster iklan yang menggunakan model perempuan tidak berbusana formal Islam, dicat hitam di Banda Aceh. Vandalisme terhadap media ini mengeras untuk masalah seks setelah reformasi. Ini lanjutan dari pola Kejaksaan Agung pada era Orba yang mencat hitam bagian teks media cetak (suratkabar dan majalah) impor yang dipandang sensitif bagi politik Soeharto. 3. Sebagai model karya fotografi dalam pameran CP Biennale Urban/Culture 2005. 4. Pameran seni rupa Kelompok 'Kepribadian Apa' ('Pipa') bulan September 1977 di Galeri Senisono, Yogyakarta ditutup/dihentikan sebelum waktunya oleh polisi. Dua tahun kemudian, Agustus 1979, kelompok yang sama kembali mengadakan pameran seni rupa dengan karya-karya yang menarik minat khalayak. Tetapi beberapa karya juga tidak boleh ditampilkan dalam pameran. 5. Dalam malam pembukaan pameran 'Pipa', 1977 seorang perupa membakar sesuatu (saya lupa obyeknya) di halaman gedung Senisono, Yogyakarta. 6. Tahun 1978 pembacaan puisi oleh Rendra di Taman Ismail Marzuki dirusuhi oleh pelemparan bom amoniak ke panggung. Hari berikutnya Rendra ditahan, dan tanpa pengadilan mendekam di penjara selama beberapa waktu bersama sejumlah aktivis kampus. Rendra menjuluki kumpulan puisinya sebagai Pamflet Penyair, dengan semangat yang tidak berbeda dengan sajak-sajak pamflet awal Orba. Tetapi budayawan pendukung rezim Orba melancarkan kampanye negatif terhadap puisi Rendra dengan menuduh sebagai karya-karya ala seniman Lekra, sayap kebudayaan Partai Komunis Indonesia. Ini pemikiran teknokratis yang merasuk di kalangan budayawan, sebab sajak pamflet hanya sah jika ditujukan pada Orla, bukan pada kekuasaan Orba. Dukungan absolut terhadap Orba menyebabkan para budayawan kelompok ini menutup mata atas makna substansial dalam sajak-sajak pamflet Rendra. 7. Terutama menjelang Pemilu tahun 1977, mobilisasi seniman dan cendekiawan dengan menyatakan 'kebulatan tekad' untuk menyukseskan pemilu, bahasa lain untuk menjadi bagian dari Golkar. Sejumlah seniman dan budayawan menjadi agen pengumpul tandatangan person pendukung pernyataan. Artis penyanyi dan penghibur lainnya yang tidak ikut dalam Artis Safari, sayap hiburan Golkar, dib/acW/sfdan tidak diperkenankan muncul di TVRI sebagai satu-satunya stasiun televisi. 8. Kontroversi pada pameran senirupa CP Biennale Urban/Culture setelah media hiburan sensasional semacam infotainment televisi dan tabloid mengekspos selebriti yang menjadi model nude karya fotografi. Kalau modelnya buruh bangunan antah berantah, tentulah tidak diberitakan dalam infotainment, dan kelompok yang meributkannya tidak akan pernah tahu adanya pameran yang penting itu. 9. Pemaksaan terhadap voter terutama di pedesaan agar mencoblos Golkar dalam pemilu melahirkan gerakan Golongan Putih (Golput) dengan motor penggeraknya Arief Budiman, yang berkampanye pemerotesan pemilu dengan mencoblos bagian putih kertas suara. Gagasan Arief ditentang oleh Mahasiswa Indonesia, koran terbitan Bandung yang dikenal sebagai pembawa suara intelektual muda. Sebab dalam pemilu 1971, koran ini sebagai pendukung Golkar, dan ironisnya dalam kaitan dengan Malah koran Mahasiswa Indonesia dibredel.
Page 12 of 13 10. Sedikit peristiwa ini tersingkap dari buku Jenderal Soemitro yang menyebutkan bahwa kerusuhan digerakkan Ali Moertopo dan massa Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI). Tetapi keterangan ini sebagai memoar bersifat subyektif, masih memerlukan verifikasi historiogfrafi. (Lihat: Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74, Sebagaimana dituturkan kepada Heru Cahyono, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta 1999). 11. Pertunjukan teater Mastodon dan Burung Kondor karya Rendra semula mendapat hambatan perijinan dari polisi. Tetapi Jenderal Soemitro memberi ijin sehingga pergelaran dapat dilangsungkan di Istora Senayan, Jakarta dan beberapa kota lainnya menjelang terjadinya Malari 1974. 12. Secara pribadi saya mengalami metode halus melalui media pers, menjelang Sidang Umum MPR tahun 1978. Seorang wartawan mengaku dari salah satu media pers berwawancara, menanyakan pendapat saya tentang proses demokratis dalam kepresidenan Soeharto.Tetap segar dalam ingatan jawaban saya: "Bagaimana kita masih berharap ada demokrasi, kalau setiap kali sidang MPR Soeharto merekayasa agar tidak ada saingannya. MPR tidak pernah memilih presiden." Kemudian, di berbagai media pers yang memuat berita dari Kantor Berita Antara tertulis bahwa saya berpendapat tidak ada yang layak untuk dipilih sebagai presiden selain Soeharto. Luar biasa rekayasa berita itu. Dimanakah gerangan intel yang menyaru wartawan itu sekarang? 13. Ada angggapan bahwa Soeharto di bawah pengaruh isterinya, Siti Hartinah (Ibu Tien). Dari sisi lain dapat dilihat bahwa setiap respon atau reaksi elit politik dan ekonomi terhadap gagasan atau kepentingan Ibu Tien menjadi dasar bagi Soeharto untuk menilai orang yang dapat digunakannya (jika menguntungkan} atau harus disingkirkannya (yang menolak). Gosip politik menyebutkan bahwa sejumlah jenderal kepercayaannya telah memperingatkan Soeharto agar menghentikan tindakan-tindakan Ibu Tien. Tetapi Soeharto tetap membiarkan bahkan menjadikan pula anak-anaknya yang terjun ke bisnis sebagai instrumen untuk menilai mana pejabat negara yang dapat dipakai atau harus disingkirkan. Bagi Soeharto sebagai seorang penghayat kebatinan yang suka hidup sederhana, dia tidak memerlukan kenikmatan dari kekayaan materi, sebab hanya kekuasaan yang dapat memabukkannya. 14. Kooptasi atas media pers sangat efektif sebab Soeharto mengangkat Ali Moertopo sebagai Menteri Penerangan dalam kabinet 1978 -1983. Untuk tiga periode berikutnya diangkat Harmoko, semula ketua PWI sebagai Menpen. 15. NKK diterapkan dengan tangan besi di lingkungan perguruan tinggi antara lain dengan pembubaran Dewan Mahasiswa dan skrining politis terhadap dosen oleh Menteri P dan K Daoed Joesoef pada masa kabinet 1978 - 1983. Sejumlah aktivis kampus Jakarta dan Yogyakarta dipenjarakan beberapa bulan, sedang aktivis ITB diadili dan mendekam beberapa tahun di penjara. Pada masa ini dikenal 2 tipe pimpinan PT, pertama yang sedia 'pasang badan' melindungi anak didiknya dari jangkauan cakar penguasa, dan kedua adalah pimpinan yang menggunakan peluang untuk 'unjuk muka' pada Soeharto. Karenanya di berbagai kampus, rektor yang ingin 'dipandang' Soeharto, tega memecat mahasiswa yang menjadi aktivis bahkan terhadap mahasiswa yang tidak ikut dalam gerakan anti Soeharto 1978. 16. Tafsir tunggal dalam sejarah ini kembali dihidupkan oleh Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sekarang dengan dalih adanya tuntutan kelompok Islam. 17. Tahun '90 kebijakan menjadikan lahan eks Senisono sebagai kawasan Gedung Agung, hanyalah sebagai pelengkap dari hegemoni agar seluruh dunia simbolik dituntaskan dalam kendali rezim. Manakala sejumlah seniman/budayawan yang protes berusaha menahan kebijakan itu, antara lain dengan menemui Menteri
Page 13 of 13 Sekretaris Negara (saat itu) Moerdiono. Apakah karena memang percaya bahwa akal sehat masih diperhatikan rezim Soeharto, ataukah ada motif lain, wallahualam. Saya pribadi ikut protes sebatas untuk menyatakan wacana, tetapi tidak pernah bersetuju apalagi ikut untuk audensi pada pejabat. 18. Seniman tradisi yang mengalami kooptasi untuk menjadi bagian dalam akselerasi pembangunan konteks hegemoni rezim Orba, umumnya mengikuti setiap kebijakan dari Deppen dan Dep P dan K tanpa kontroversi. Karena setiap kali dapat kembali ke mandala tradisi yang tidak mungkin diinfiltrasi oleh rezim negara, tidak ada ketegangan bagi seniman ini. (Tetapi ini kesimpulan sembrono, sebab saya tidak cukup masuk ke lingkungan seniman tradisional).