KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN AREN DAN PERANAN HASIL GULA AREN BAGI PENDAPATAN RUMAHTANGGA MASYARAKAT KASEPUHAN (Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)
Oleh: ANDRA DWIANA NOVIANTRI I34070042
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ii
ABSTRAK ANDRA DWIANA NOVIANTRI . Local Institutional of Palm Sugar Utilization and The Role of Palm Sugar For Livelihood Income (Study in Sirna Resmi Village, Cisolok, Sukabumi). Supervised by SATYAWAN SUNITO. Indonesia has a large forest with a lot of potential tangible products, timber products and non-timber products. For communities living around the forest, the forest and everything surround it, is not just a commodity for them but also part of their lives. Some communities are still hold the indigenous social institutional system as the directional guidance of their usage, processing and management of natural resources (agriculture and forest). Generally, the usage and processing of sugar palm by Kasepuhan community using traditional method by simple tools. The knowledge of local community and local institutional of Kasepuhan community regarding utilization and processing of sugar palm in generally is obtained by inheriting from generation to generation. The purposes of this research are (1) to know the history of sugar palm utilization, the ownership and accessibility of sugar palm trees, as well as the process of extraction and production of palm sugar and the people involved, (2) to analyze the institutional changes in the utilization of sugar palm products in line with the commercialization of palm sugar in Kasepuhan community, (3) to analyze the role of palm sugar for livelihood income. The research used qualitative approach supported by quantitative data with descriptive analysis. Respondents were purposely selected from three kampoong with total number of 34 respondents. Keywords: sugar palm, palm sugar, local institutional, livelihood income, Kasepuhan community
iii
RINGKASAN ANDRA DWIANA NOVIANTRI. Kelembagaan Lokal dalam Pemanfaatan Aren dan Peranan Hasil Gula Aren Bagi Pendapatan Rumahtangga Masyarakat Kasepuhan (Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat). Di bawah bimbingan SATYAWAN SUNITO. Masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan memanfaatkan hasil hutan, baik kayu maupun non kayu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Prikehidupan masyarakat adat hutan umumnya bersifat tradisional, dimana taat terhadap norma-norma dan nilai-nilai tradisional masih dianut secara turun temurun, seperti yang dilakukan masyarakat Kasepuhan. Masyarakat Kasepuhan merupakan salah satu dari sekian banyak masyarakat adat lokal yang hidup di sekitar hutan. Masyarakat Kasepuhan yang berada di Desa Sirna Resmi ini merupakan masyarakat adat yang masih mempertahankan kebudayaan mereka dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, salah satunya aren. Aren biasanya tumbuh di kebun talun yang dikelola oleh masyarakat. Aren tumbuh dengan sendirinya karena persemaiannya dilakukan oleh musang. Masyarakat memanfaatkan tanaman aren, mulai dari air nira, buah, dan batangnya. Air nira yang dihasilkan biasanya dibuat gula semut oleh para penyadap aren. Pada awalnya masyarakat hanya membuat gula semut untuk dikonsumsi sendiri, namun seiring dengan berjalannya waktu masyarakat mengkomersialisasikan gula semutnya tersebut dengan menjualnya guna memberikan pendapatan rumahtangga mereka untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui sejarah pemanfaatan aren, dilihat dari apa saja yang dapat dimanfaatkan dari pohon aren dan perkembangannya dari waktu ke waktu, pemilikan dan penguasaan pohon aren, serta proses ekstraksi dan produksi aren dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, (2) mengetahui perubahan kelembagaan dalam pemanfaatan aren seiring dengan perkembangan komersialisasi produk gula aren di masyarakat Kasepuhan, dimulai dari awal dari perkembangan komersialisasi produk gula aren, pengaruhnya terhadap bentuk dan kualitas gula aren, serta kendala yang dihadapi dalam mengkomersialisasikan produk gula aren tersebut, serta (3)
iv
mengkaji peranan pemanfaatan aren terhadap ekonomi rumahtangga bagi penyadap aren di Kasepuhan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua penyadap aren. Jumlah responden sebanyak 34 orang yang diambil secara purposive dari tiga dusun. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif. Metode penelitian dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan dan responden, dengan panduan pertanyaan yang sebelumnya telah dibuat serta hasil observasi selama di lapangan. Data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner, yang kemudian diolah dengan menggunakan Microsoft Excel untuk memperoleh persentase pendapatan yang diperoleh responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan lokal masih berperan di dalam pemanfaatan aren yang dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan. Pemanfaatan masih dilakukan penyadap aren sesuai aturan adat yang berlaku. Peranan hasil gula aren bagi pendapatan rumahtangga penyadap aren ditunjukkan oleh hasil pendapatan responden yang diperoleh dari gula aren lebih berkontribusi terhadap pendapatan rumahtangga dibanding hasil pertanian lainnya. Berkaitan dengan kepemilikan pohon aren– paling tidak di salah satu dusun– komersialisasi gula aren membawa serta fenomena transfer kepemilikan pohon aren yang masih berproduksi melalui mekanisme jual-beli. Di lain pihak, komersialisasi aren berdampak terhadap perubahan kelembagaan lokal antara lain dalam kepemilikan pohon aren dan adanya perubahan peran perempuan. Selain itu, komersialisasi aren dapat memberi kesempatan pada penduduk untuk mengkhususkan diri pada produksi gula aren untuk pasar yang menunjukkan bahwa spesialisasi di bidang pemanfaatan aren mulai tumbuh di masyarakat Kasepuhan.
v
KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN AREN DAN PERANAN HASIL GULA AREN BAGI PENDAPATAN RUMAHTANGGA MASYARAKAT KASEPUHAN Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)
Oleh: ANDRA DWIANA NOVIANTRI I34070042
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
vi
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh :
Nama NRP Program Studi Judul Skripsi
: : : :
Andra Dwiana Noviantri I34070042 Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Kelembagaan Lokal Dalam Pemanfaatan Aren dan Peranan Hasil Gula Aren Bagi Pendapatan Rumahtangga Masyarakat Kasepuhan (Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Satyawan Sunito NIP. 19520326 199 103 1 001
Mengetahui, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua
Dr.Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal Pengesahan:
vii
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN AREN DAN PERANAN HASIL GULA AREN BAGI PENDAPATAN RUMAHTANGGA MASYARAKAT KASEPUHAN” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Desember 2011
Andra Dwiana Noviantri I34070042
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Andra Dwiana Noviantri yang dilahirkan pada tanggal 9 November 1989 di Kota Bogor, Jawa Barat. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dengan ayah bernama Ucep Wihardja dan Ibu bernama Ai Rosmiati. Penulis memulai pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri Polisi 5 Bogor. Setelah tamat, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Bogor pada tahun 2001-2004 dan Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Bogor pada tahun 2004-2007. Di bangku SMP, penulis mulai aktif berorganisasi dengan masuk menjadi anggota Paskibra Pancamanah selama 2 tahun. Selain itu, penulis yang juga tertarik dengan seni aktif menjadi anggota organisasi Seni Musik Angklung. Begitu pula dengan di bangku SMU, penulis pernah menjadi anggota organisasi Paduan Suara dan menjadi anggota dari Karya Ilmiah Remaja (KIR). Penulis mengikuti pendaftaran masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI saat duduk di bangku pendidikan SMU, dan akhirnya lulus seleksi untuk masuk IPB pada tahun 2007. Di IPB penulis mengambil studi Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis pernah menjadi anggota dalam organisasi kemahasiswaan IPB. Diantaranya sebagai anggota Gentra Kaheman pada tahun 2009-2010, yang merupakan organisasi di bawah BEM KM IPB yang bergerak dalam seni, dan menjadi anggota Badan Pengawas Himpro Himasiera. Disamping itu, penulis juga pernah aktif dalam kepanitian kegiatan kemahasiswaan di IPB, diantaranya dalam Masa Perkenalan Departemen (MPD) Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada tahun 2009 dan kegiatan Job Fair IPB 2011. Di luar kampus, penulis terlibat menjadi pengurus di WASILAS (Wadah Silaturahmi Alumni Muslim) SMA Negeri 2 Bogor masa periode 2009-2010 di bidang Pengembangan Sumberdaya Manusia.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi berjudul ―Kelembagaan Lokal Dalam Pemanfaatan Aren dan Peranan Hasil Gula Aren Bagi Pendapatan Rumahtangga Masyarakat Kasepuhan (Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)‖. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kelembagaan lokal yang diterapkan oleh masyarakat adat Kasepuhan dalam pemanfaatan aren. Tujuan lainnya ialah menganalisis pengaruh yang terjadi akibat komersialisasi produk aren bagi kelembagaan dan peranan hasil gula aren bagi pendapatan rumahtangga masyarakat Kasepuhan. Peneliti mengetahui bahwa karya ini belumlah sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga skripsi ini dapat menghasilkan laporan yang bermanfaat bagi banyak pihak, khususnya bagi Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2011
Penulis
x
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan pertolongan-Nya dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul ‖Kelembagaan Lokal Dalam Pemanfaatan Aren dan Peranan Hasil Gula Aren Bagi Pendapatan Rumahtangga Masyarakat Kasepuhan (Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)‖ ini. Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak. Untuk itulah penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada para pihak yang telah terlibat langsung maupun tidak langsung dalam proses penulisan dan penyelesaian skripsi ini, yaitu: 1. Dr. Satyawan Sunito sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan bimbingan, arahan dan sarannya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini 2. Ir. Fredian Tonny, MS selaku dosen penguji utama ujian skripsi dan Dr. Ir. Anna Fatchiya, MSi selaku dosen penguji akademik. Terima kasih atas saran dan kritiknya sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. 3. Mamah dan Apa, serta kakak dan adik-adik tercinta yang tak pernah henti mendoakan dan memberi semangat kepada penulis selama studi di IPB, termasuk selalu mengingatkan kepada saya untuk menyelesaikan tulisan ini 4. Ripna Tri Cahyani dan Diah Maulany, teman yang senantiasa mendengarkan, mendukung, memberikan semangat dan menginspirasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini 5. Syifa, Konny, Puput, dan Arsyad, teman satu bimbingan yang selalu saling mengingatkan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan tulisan ini, (semangat!) 6. Ima, teman sepergalauan yang saling memberi semangat selama proses penyelesaian skripsi ini dari mulai uji petik, ujian skripsi (sidang), sampai revisi. Ira, Anggi, Ma‘rifat, Vivi, Wina, Annas, Arni, Hirma, dan temanteman seperjuangan KPM 44 yang selalu memberikan tawa dan ceria yang menjadi penyemangat disaat semua berkutat dengan penelitiannya masingmasing. Sukses untuk kita semua ya!
xi
7. Moko, Saleh, dan Mia. Terimakasih sharing-nya, perjalanan bersama ke tempat penelitian yang sangat menyenangkan 8. Masyarakat Kasepuhan Desa Sirna Resmi, Abah Asep dan keluarga, terimakasih atas izin yang diiberikan untuk melakukan penelitian di desa ini 9. Keluarga Bapak Amil Buchori, Pak Omid, Ustadz Zaenal, dan Pak Asep Sofian yang membantu penulis dan mengantarkan ke sana kemari di lokasi penelitian dan informasi yang diberikan yang tentunya sangat membantu dalam penulisan skripsi ini 10. Teman baru dari Korea, Sojin eonni atas perjalanan bersama untuk penelitian di Desa Sirna Resma ini dan waktu yang menyenangkan di lokasi penelitian 11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, Desember 2011
Penulis
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xvi BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah Penelitian .......................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 4 1.4 Kegunaan Penelitian........................................................................ 5
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS ................................................................ 6 2.1 Definisi Kelembagaan ..................................................................... 6 2.2 Hasil Hutan ..................................................................................... 8 2.2.1 Hasil Hutan Bukan kayu ....................................................... 9 2.2.2 Komersialisasi Hasil Hutan Bukan Kayu ........................... 10 2.3 Penguasaan dan Akses Sumberdaya Hutan .................................. 11 2.4 Masyarakat Adat ........................................................................... 12 2.4.1 Interaksi Masyarakat Adat dengan Hutan .......................... 14 2.4.2 Aspek Tanah pada Masyarakat Lokal Sekitar Hutan .......... 15 2.5 Rumahtangga Masyarakat di Sekitar Hutan .................................. 17 2.6 Kerangka Pemikiran ...................................................................... 18 2.7 Hipotesis Penelitian....................................................................... 20 2.8 Definisi Operasional...................................................................... 20
BAB III
METODE PENELITIAN................................................................... 22 3.1 Lokasi dan Waktu ......................................................................... 22 3.2 Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 22 3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data .......................................... 24
BAB IV
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN ............................................ 25 4.1 Geografis Desa .............................................................................. 25 4.2 Demografi Desa ........................................................................... 26 4.3 Masyarakat Kasepuhan ................................................................. 29 4.4 Bentuk-bentuk Sumberdaya Hutan dan Pertanian Masyarakat Kasepuhan ..................................................................................... 32 4.4.1 Huma ................................................................................... 34 4.4.2 Hutan ................................................................................... 35 4.4.3 Kebun atau Talun ................................................................ 36 4.4.4 Sawah .................................................................................. 37 4.5 Karakteristik Rumahtangga Pemanfaat Aren di Masyarakat Kasepuhan ..................................................................................... 38
xiii
BAB V
KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN AREN .. 45 5.1 Sejarah Pemanfaatan Aren ............................................................ 45 5.2 Pola Penguasaan Aren dan Akses Terhadap Pohon Aren ............. 46 5.3 Aturan-Aturan dalam Pemanfaatan Sumberdaya .......................... 50 5.4 Aturan Adat dalam Pemanfaatan Aren ......................................... 51 5.5 Ekstraksi dan Produksi Aren ......................................................... 52 5.6 Ikhtisar........................................................................................... 58
BAB VI
KOMERSIALISASI AREN DAN PERANAN AREN BAGI MASYARAKAT KASEPUHAN ....................................................... 60 6.1 Komersialisasi Aren ...................................................................... 60 6.2 Pengaruh Komersialisasi bagi Kelembagaan Lokal ..................... 61 6.2.1 Perubahan pada Kepemilikan Pohon ................................... 61 6.2.2 Perubahan Peran Perempuan dalam Produksi aren ............. 62 6.3 Peranan Aren bagi Pendapatan Rumahtangga ............................... 64 6.4 Ikhtisar........................................................................................... 73
BAB VII
KESIMPULAN ................................................................................... 75 7.1 Kesimpulan ................................................................................... 75 7.2 Saran .............................................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 78 LAMPIRAN .............................................................................................................. 82
xiv
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
Tabel 1.
Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data, dan Metode Analisis Data24
Tabel 2.
Luas Wilayah Desa Sirna Resmi Menurut Penggunaan Lahan ............ 26
Tabel 3.
Jumlah Penduduk Desa Sirna Resmi Berdasarkan Kategori Usia ........ 27
Tabel 4.
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan di Desa Sirna Resmi.................................................................................. 28
Tabel 5.
Jumlah Sarana Pembangunan Menurut Jenis Sarana di Desa Sinar Resmi .................................................................................................... 29
Tabel 6.
Jumlah dan Persentase Pemilik Pohon Aren Menurut Proses Penyadapan dan Kategori Jumlah Pohon Aren ................................... 67
Tabel 7.
Pendapatan Terbesar (%) dari Beragam Sumber Pertanian dan Non Pertanian yang Diperoleh Petani Gula Aren ......................................... 70
Tabel 8.
Kontribusi pendapatan Komoditi Pertanian dan Non Pertanian Berdasarkan Penguasaan Aren ............................................................. 71
Tabel 9.
Jumlah Petani Gula Aren Berdasarkan Pendapatan yang Diperoleh dari Tiap Komoditi dan Jumlah Pohon Aren yang Dimiliki ........................ 72
xv
DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar 1.
Halaman Pola Ekstraksi yang Relatif Tidak Merusak Antara Hutan dan Masyarakat............................................................................................ 16
Gambar 2.
Kerangka Pemikiran ............................................................................. 19
Gambar 3.
Konsep Tilu Sapamulu, Dua Sakarupa, dan Hiji Eta Keneh................ 30
Gambar 4.
Penjelasan dari Konsep Tilu Sapamulu, Dua Sakarupa, dan Hiji Eta Keneh .................................................................................................... 31
Gambar 5.
Tata Guna Lahan Versi Masyarakat Kasepuhan .................................. 33
Gambar 6.
Rangkaian Bentuk Pemanfaatan Lahan dalam Siklus Ngahuma.......... 34
Gambar 7.
Sebaran Usia Responden ...................................................................... 39
Gambar 8.
Sebaran Tingkat Pendidikan Responden .............................................. 40
Gambar 9.
Sebaran Mata Pencaharian Sampingan Responden .............................. 41
Gambar 10. Sebaran Jumlah Anggota RT ................................................................ 42 Gambar 11. Sebaran Luas Lahan Garapan ............................................................... 43 Gambar 12. Sebaran Tingkat Pendapatan ................................................................ 44
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian .......................................................................... 82 Lampiran 2. Daftar Responden ................................................................................. 83 Lampiran 3. Luas Lahan Garapan, Jumlah Pohon Aren dan Pendapatan yang Diperoleh Responden ........................................................................... 84 Lampiran 4. Persentase Pendapatan yang Diperoleh Masyarakat dari Masing-Masing Komoditi..................................................................... 85 Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian ........................................................................ 86
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kawasan hutan
terluas di dunia. Hutan merupakan sumber kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Manfaat dan fungsi hutan dapat berupa produk hasil hutan yang nyata (tangible), baik kayu maupun bukan kayu seperti rotan, madu, buah-buahan, kulit, daging satwa, dan sebagainya, serta produk hasil hutan yang tidak nyata (intangible) seperti pengaturan tata air, kesuburan tanah, lingkungan hidup, rekreasi (wisata alam) serta manfaat lainnya baik langsung maupun tidak langsung (Suharjito 2000). Keberadaan hutan memiliki arti penting sebagai sumberdaya hayati yang dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung guna memenuhi hajat hidup orang banyak, sehingga hutan dijadikan sebagai modal dasar dalam mendukung perekonomian nasional (LAKIP Dephut 2007). Oleh sebab itu hutan mendapat perhatian khusus terutama dalam pengelolaan dan pemanfaatannya sehingga diharapkan dapat dinikmati seoptimal mungkin dengan tetap mengacu pada pemanfaatan yang lestari (Nurapriyanto et al 2005). Fungsi dari keberadaan hutan dapat memberikan manfaat, baik berupa barang dan jasa bagi kehidupan manusia dan seluruh kehidupan di muka bumi ini. Menurut Nielson (1996), sebagaimana yang dikutip oleh Gardner dan Engelman (1999) dalam Suhendang (2002), fungsi hutan dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu untuk: (1) menghasilkan kayu industri seperti untuk papan, kertas, kemasan, dan lain-lain, (2) menghasilkan kayu bakar dan arang, (3) menghasilkan hasil hutan bukan kayu, (4) menyediakan lahan untuk pemukiman manusia, (5) menyediakan lahan untuk pertanian, (6) memberikan perlindungan terhadap siklus air dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pengendali erosi, (7) tempat penyimpanan karbon, (8) pemeliharaan keanekaragaman hayati dan habitat, dan (9) obyek ekoturisme dan rekreasi alam. Bagi masyarakat yang hidup di sekitar hutan, nilai hutan dan segala isinya bukan sekedar komoditi melainkan sebagai bagian dari sistem kehidupan mereka
2
sehingga pemanfaatannya tidak didasari pada kegiatan eksploitatif. Masyarakat memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan sehari dan dalam skala yang kecil sehingga pola pemanfaatan ini mampu memelihara keseimbangan dan keberlanjutan sumberdaya hutan. Keberadaan masyarakat adat hutan umumnya bersifat tradisional, dimana taat terhadap norma-norma dan nilai-nilai tradisional masih dianut secara turun temurun. Sebagai masyarakat yang erat interaksinya dengan hutan, masyarakat lokal mempunyai dan mengembangkan pranata budaya yang juga terkait dengan hutan (Gunawan 1998). Kebudayaan masyarakat yang berkaitan erat dengan hutan ini, membuat hutan dipandang tidak semata-mata memenuhi fungsi ekonomi tetapi juga mempunyai fungsi sosial budaya dan religius. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) banyak diusahakan oleh penduduk asli dan masyarakat adat di dalam dan sekitar hutan karena beberapa hal, antara lain: (1) HHBK mudah diperoleh dan tidak membutuhkan teknologi rumit untuk mendapatkannya, (2) HHBK dapat diperoleh dengan gratis—asalkan ada kemauan, (3) HHBK mempunyai nilai ekonomi yang penting, baik sebagai alat barter maupun sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan (Gunawan et al 1998). Pemanfaatan HHBK oleh masyarakat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya memanen dari hutan tanaman, memungut dari hutan alam, serta membuat dan menjual barang-barang kerajinan atau mengolah hasil hutan bukan kayu menjadi suatu bahan makanan. Banyak orang di sekitar hutan menggantungkan kelangsungan hidupnya pada sumberdaya hutan, termasuk diantaranya merupakan masyarakat adat lokal atau indigenous groups (Gardner dan Engelman 1999)1. Desa Sirna Resmi merupakan salah satu desa adat yang berada di selatan Kawasan Ekosistem Halimun. Secara administrasi, Desa Sirna Resmi berada di Kecamatan Cisolok, Kab. Sukabumi. Desa Sirna Resmi memiliki kebudayaan yang masih dipertahankan sampai saat ini, tidak hanya dalam seni budaya, aturan adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan juga masih 1
Endang Suhendang (2002), Pengantar Ilmu Kehutanan halaman 92. Diperkirakan dari 500 juta orang yang tinggal di sekitar hutan tropika di seluruh dunia, 150 juta diantaranya merupakan anggota masyarakat lokal yang menggantungkan kelangsungan hidupnya kepada sumberdaya hutan.
3
dipertahankan sampai saat ini. Salah satu sumber daya alam yang relatif mudah didapatkan, baik di dalam hutan maupun di kebun-kebun yang dikelola oleh masyarakat Kasepuhan adalah aren. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rimbawan Muda Indonesia atau RMI pada tahun 2003, menyebutkan bahwa sejarah pengolahan pohon aren menjadi gula aren tidak bisa dilepaskan dari peradaban sejarah masyarakat Sunda. Sekepal gula aren yang dibawa bersama dengan bekal nasi dan lauk pauk lainnya oleh petani di tanah Sunda merupakan tambahan energi yang menyegarkan setelah seharian lelah bekerja di sawah atau di ladang. Gula aren selalu menjadi sumber pemanis yang lebih disukai oleh masyarakat lokal meskipun terdapat kesulitankesulitan dalam penyadapan getah dan pengolahan gula. Getah disadap dari bunga aren melalui pemangkasan pucuk dan pemerasan bunga. Sejumput gula aren yang menemani hangatnya teh dan kopi di malam hari, menjadi ritual masyarakat dalam mengisi waktu senggang sambil bercengkerama antarwarga, membicarakan perkembangan yang terjadi di lingkungan mereka. Begitu pula yang masih dilakukan oleh masyarakat adat di Desa Sirna Resmi. Pohon aren yang tumbuh di Desa Sirna Resmi, dengan segala manfaatnya menjadikan pohon aren sangat ―dihormati‘ di masyarakat Kasepuhan. Hal ini dapat dilihat dari doa-doa mantra yang harus dikuasai dalam memanfaatkan pohon aren. Pengelolaan yang terkait dengan nilai-nilai dan norma tradisional masih dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan. Di sisi lain, adanya komersialisasi gula aren menjadi hal yang tidak dapat dibendung. Perkembangan komersialisasi aren dan semakin berkembangnya usaha pengolahan sagu aren berdampak pada semakin berkurangnya pohon aren di Desa Sirna Resmi (RMI 2003). Untuk mengetahui fakta yang terjadi di lapangan mengenai komersialisasi produk aren, perlu dilakukan penelitian yang mengkaji kelembagaan dalam pengelolaan aren serta komersialisasi produk aren—khususnya gula aren, dan peranan hasil gula aren bagi pendapatan rumahtangga masyarakat adat Kasepuhan.
4
1.2
Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan aspek kelembagaan serta proses ekstraksi dan produksi gula
aren di masyarakat Kasepuhan, maka fokus dari penelitian ini akan adalah: (1) Bagaimana kelembagaan dalam pemanfaatan aren di masyarakat Kasepuhan dilhat dari sejarah pemanfaatan aren, apa saja yang dapat dimanfaatkan dari pohon aren dan perkembangannya dari waktu ke waktu, kepemilikan dan penguasaan pohon aren, serta proses ekstraksi dan produksi aren dan pihakpihak yang terlibat di dalamnya? (2) Bagaimana
kelembagaan
dalam
pemanfaatan
aren
berubah
dengan
perkembangan komersialisasi dari gula aren pada masyarakat Kasepuhan? (3) Bagaimana peranan pemanfaatan aren, terutama hasil gula aren terhadap pendapatan rumahtangga bagi petani aren di masyarakat Kasepuhan? 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:
(1) Mengetahui sejarah pemanfaatan aren, dilihat dari apa saja yang dapat dimanfaatkan dari pohon aren dan perkembangannya dari waktu ke waktu, pemilikan dan penguasaan pohon aren, serta proses ekstraksi dan produksi aren dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. (2) Mengetahui perubahan kelembagaan dalam pemanfaatan aren seiring dengan perkembangan komersialisasi produk gula aren di masyarakat Kasepuhan, dimulai dari awal dari perkembangan komersialisasi produk gula aren, pengaruhnya terhadap bentuk dan kualitas gula aren, serta kendala yang dihadapi dalam mengkomersialisasikan produk gula aren tersebut. (3) Mengetahui peranan pemanfaatan aren, terutama hasil gula aren terhadap pendapatan rumahtangga bagi petani aren di masyarakat Kasepuhan.
5
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada berbagai
pihak, antara lain civitas akademik dan masyarakat mengenai kelembagaan masyarakat Kasepuhan dalam mengelola aren, dari pemanfaatkan aren dan perkembangannya dari waktu ke waktu, penguasaan pohon aren, serta proses ekstraksi dan produksi aren dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Selain itu penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai ada tidaknya perubahan yang terjadi pada kelembagaan dalam pemanfaatan aren seiring dengan perkembangan komersialisasi produk gula aren di masyarakat Kasepuhan, serta peranan hasil aren terhadap pendapatan rumahtangga bagi masyarakat Kasepuhan.
6
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1
Definisi Kelembagaan Kartodihardjo (1999) mendefinisikan kelembagaan sebagai suatu sistem
yang kompleks, rumit, abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya, dan adat istiadat. Menurut Schmid (1987) dalam Kartodihardjo et al (2004), kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang mana mereka telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan, serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan / atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu. Kelembagaan dicirikan oleh tiga hal utama: (1) hak-hak kepemilikan yang berupa hak atas benda materi maupun non materi. (2) batas yuridiksi, dan (3) aturan representasi. Hak-hak kepemilikan mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum adat atau tradisi yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi. Batas yuridiksi menentukan apa dan siapa yang tercakup dalam suatu masyarakat. Konsep ini dapat berarti suatu batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga atau kelompok masyarakat sehingga batas ini berperan dalam mengatur alokasi sumberdaya. Aturan representasi merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan. Perangkat aturan ini biasanya diatur oleh hukum adat yang berlaku di masyarakat adat setempat. Menurut Koentjaraningrat (1997), kata ―kelembagaan‖ atau social institution menunjuk kepada sesuatu yang bersifat mantap (established) yang hidup (constitued) di dalam masyarakat. Suatu kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku (ways) yang hidup pada suatu kelompok orang; merupakan
7
sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola; berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial tradisional dan modern, atau bisa berbentuk tradisional dan modern; dan berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial. Kelembagaan mengandung dua aspek, yaitu aspek kultural dan aspek struktural. Dalam aspek kultural terdapat nilai, aturan, norma, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain. Sementara aspek struktural berisi struktur, peran, hubungan antar peran, integrasi antar bagian, struktur umum, perbandingan stuktur tekstual dengan struktur riil, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek solidaritas, keanggotaan, pola kekuasaan, dan lain-lain. Kedua aspek ini bersama-sama membentuk dan menentukan perilaku seluruh orang dalam kelembagaan tersebut dan merupakan komponen pokok dalam setiap kelompok sosial (Syahyuti 2006). Masih dalam Syahyuti (2006), secara sederhana sesuatu hubungan sosial dapat disebut sebagai sebuah kelembagaan apabila memiliki empat komponen, yaitu adanya: 1. Komponen person, yaitu orang-orang yang terlibat di dalam satu kelembagaan dapat diidentifikasi dengan jelas. 2. Komponen kepentingan, yaitu orang-orang tersebut diikat oleh satu kepentingan atau tujuan sehingga di antara mereka terpaksa harus saling berinteraksi dan membentuk jaringan sosial. 3. Komponen
aturan.
Setiap
kelembagaan
mengembangkan
seperangkat
kesepakatan yang dipegang secara bersama, sehingga seseorang dapat menduga apa perilaku orang lain dalam lembaga tersebut. 4. Komponen struktur. Setiap orang memiliki posisi dan peran, yang harus dijalankannya secara benar. Orang tidak bisa mengubah posisinya dengan kemauan sendiri. Terkait dengan komponen kepentingan, individu-individu terikat dalam suatu jaringan sosial. Granoveter (1992) dalam Damsar (1997) menyebutkan bahwa kelembagaan atau institusi yang berhubungan dengan ekonomi dikonstruksi dengan mobilisasi sumber-sumber melalui jaringan sosial yang dibangun dengan pertimbangan latar belakang masyarakat, politik, pasar, dan
8
teknologi. Dalam perilaku ekonomi tersebut melekat konsep kepercayaan. Kepercayaan tersebut muncul bukan secara tiba-tiba, melainkan terbentuk dari proses hubungan antar pribadi yang sudah lama terlibat dalam perilaku ekonomi secara bersama. Kuat
lemahnya suatu ikatan jaringan sosial tersebut
mempengaruhi akses dan kesempatan individu tersebut untuk mengetahui ketersediaan pekerjaan atau akses terhadap sumberdaya. 2.2
Hasil Hutan Menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999, hasil hutan adalah benda-
benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Hasil hutan dimaksud terdiri dari: a. Hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, rotan, bambu, rerumputan, tanaman obat, jamur, getah-getahan, bagian atau yang dihasilkan tetumbuhan; b. Hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa elok, serta bagian atau yang dihasilkan hewan hutan; c. Benda non hayati yang secara ekologi merupakan suatu kesatuan ekosistem dengan organ hayati penyusun hutan seperti air, udara bersih dan sehat serta barang lain tetapi tidak termasuk barang tambang; d. Jasa yang diperoleh dari hutan seperti jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa perburuan dan jasa lainnya; e. Hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan mentah yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis dan pulp. Hasil hutan yang sering dimanfaatkan masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu. Hasil hutan berupa kayu memberikan nilai ekonomis yang tinggi. Nilai ekonomis ini membuat pengelolaan hutan lebih menitikberatkan pada produk kayu. Bahkan eksploitasi hutan pun terjadi karena keuntungan yang dapat diraih dari hasil hutan kayu memberikan devisa bagi Negara. Sedangkan hasil hutan bukan kayu dapat berupa hasil nabati (flora) dan hasil hewani (fauna). Direktorat Jenderal Kehutanan (1976) membagi HHBK nabati ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok rotan, kelompok bambu, dan kelompok bahan ekstraktif seperti resin, minyak atsiri,
9
minyak lemak, bahan pewarna, bahan penyamak, bahan karet, getah-getahan dst. Sedangkan HHBK hewani dapat berasal dari jenis-jenis hewan dan berbagai macam serangga seperti madu, sutra, dst. 2.2.1
Hasil Hutan Bukan kayu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah hasil hutan hayati baik nabati
maupun hewani dan turunannya yang berasal dari hutan kecuali kayu (Permenhut No. 35 Tahun 2007). HHBK yang sudah biasa dikomersilkan diantaranya cendana, gaharu, sagu, rotan, aren, sukun, bambu, sutera alam, madu, jernang, kemenyan, kayu putih, kayu manis, kilemo, pinang, ylang-ylang, gemor, masohi, aneka tanaman hias, dan tanaman obat, serta minyak atsiri. Hasil hutan tersebut dapat dikatakan sebagai HHBK unggulan. HHBK unggulan adalah jenis hasil hutan bukan kayu yang memiliki potensi ekonomi yang dapat dikembangkan budidaya maupun pemanfaatannya di wilayah tertentu sesuai kondisi biofisik setempat guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Berbagai manfaat dapat diperoleh dari HHBK ini antara lain; sandang, papan, pewangi, pewarna, pemanis, penyamak, pengawet, bumbu dapur, perekat, kerajinan, bahan obat-obatan, kosmetik dan bahan aneka industri lainnya. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No 35 tahun 2007, jenis komoditi HHBK digolongkan ke dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu kelompok hasil hutan dan tanaman dan kelompok hasil hewan. Kelompok Hasil Hutan dan Tanaman terdiri dari (a) Kelompok Resin, (b) Kelompok minyak atsiri, (c) Kelompok minyak lemak, (d) Kelompok karbohidrat, (e) Kelompok buah-buahan, (f) Kelompok tannin, (g) Bahan pewarna, (h) Kelompok getah, (i) Kelompok tumbuhan obat, (j) Kelompok tanaman hias, (k) Kelompok palma dan bambu, dan (l) Kelompok alkaloid. Sedangkan untuk Kelompok Hasil Hewan terdiri dari Kelompok Hewan buru, Kelompok Hasil Penangkaran (arwana irian, buaya, kupu-kupu, rusa), dan Kelompok Hasil Hewan (burung walet, kutu lak, lebah, ulat sutera) Berbagai jenis tanaman penghasil HHBK merupakan tanaman serbaguna yang dapat memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat setempat dan manfaat lingkungan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Sedangkan
10
pemanfaatan jenis HHBK hewani selama ini masih terbatas pada beberapa jenis hewan dan fokus pengelolaannya masih berorientasi untuk keperluan konservasi (Surat Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial tentang Arahan Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu). Hasil hutan baik berupa kayu dapat memberikan nilai ekonomis yang tinggi. Nilai ekonomis ini membuat pengelolaan hutan lebih menitikberatkan pada produk kayu. Bahkan eksploitasi hutan pun dapat terjadi karena keuntungan yang dapat diraih dari hasil hutan kayu memberikan devisa bagi Negara. Hasil hutan bukan kayu pun memiliki nilai ekonomis. Namun jika dibandingkan, tentu saja hasil hutan berupa kayu dinilai lebih menguntungkan daripada hasil hutan bukan kayu. Walau demikian, hasil hutan bukan kayu terbukti lebih bernilai dibandingkan hasil kayu dalam jangka panjang (Balick dan Mendelsohn 1992 dalam Oka dan Achmad 2005) 2.2.2
Komersialisasi Hasil Hutan Bukan Kayu Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu merupakan salah satu alternatif
pemanfaatan hutan dari yang memiliki keunggulan komparatif. Pengembangan HHBK diharapkan dapat menekan penurunan fungsi hutan akibat pemanfaatan hasil hutan berupa kayu yang kurang mempertimbangkan aspek-aspek pemanfaatan lestari (Nurapriyanto et al 2005). Menurut Wollenberg dan Ingles, 1999), HHBK lebih banyak dimanfaatkan untuk mensuplai pendapatan rumahtangga masyarakat lokal hutan serta sebagai cadangan pangan. Bersamaan dengan konsumsi yang semakin meningkat terhadap produk hutan, aktivitas untuk masyarakat lokal dalam memanfaatkan hasil hutan untuk mendapatkan pendapatan dari pemasaran hasil hutan pun banyak dilakukan. Kelompok HHBK mencakup berbagai jenis sumberdaya hutan yang dimanfaatkan untuk kepentingan rumahtangga maupun perdagangan. Nilai hasil hutan bukan kayu juga berpotensi membuka pasar baru bagi produk hasil hutan dan cukup memiliki nilai untuk dikomersialisasikan (Neumann dan Hirsch 2000). Salah satunya produk dari aren, seperti gula aren dan produk turunannya. Aren merupakan salah satu hasil hutan non kayu dari kelompok karbohidrat dan buahbuahan (Peraturan Menteri Kehutanan No 35 Tahun 2007). Produk dari aren ini
11
dimanfaatkan masyarakat lokal sebagai salah satu sumberdaya yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Beberapa masyarakat lokal hutan yang ada di Indonesia masih mengelola hasil hutan secara tradisional, salah satunya masyarakat Kasepuhan di Jawa Barat. Dalam laporan CIFOR (Kusters dan Belcher 2004). disimpulkan bahwa semakin banyak HHBK yang dieksploitasi untuk mata pencaharian, maka akan semakin sedikit kontribusinya bagi konservasi hutan. Pemungutan yang dilakukan secara komersial cenderung akan mengakibatkan kepunahan. Sebaliknya, produksi HHBK menimbulkan dampak konservasi yang positif pada skala tata ruang dengan menyediakan alternatif kegiatan pertanian dan penggunaan lahan lainnya yang lebih ramah lingkungan. 2.3
Penguasaan dan Akses Sumberdaya Hutan Penguasaan
sumberdaya
dapat
menentukan
kinerja
pengelolaan
sumberdaya hutan. Menurut Kartodihardjo (1999) dalam Sudarmalik, et al (2006), penguasaan sumberdaya menentukan bentuk kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya. Kelembagaan tersebut secara langsung berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan. Sistem pengelolaan sumberdaya hutan tersebut dibagi menjadi tiga bentuk kepemilikan, yaitu: 1. Private Property Right (hak kepemilikan pribadi) 2. State Property Right (hak kepemilikan negara) 3. Common Property Right (hak kepemilikan bersama) Ribot dan Peluso (2003) dalam Kartodihardjo (2006) menawarkan konsep akses sebagai suatu kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu, yang dibedakan dengan mendapatkan manfaat yang diperoleh dari adanya hak (property rights). Hak merupakan klaim terhadap sumberdaya, yang mana klaim tersebut dapat ditegakkan dan didukung oleh masyarakat dan negara melalui hukum atau konvensi. Mempunyai akses berarti mempunyai kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari suatu sumberdaya tertentu yang dapat dilakukan karena adanya kekuasaan untuk itu. Kekuasaan yang dimaksud dapat terwujud melalui berbagai mekanisme, proses, maupun hubungan-hubungan sosial sehingga akan terdapat kumpulan atau jaringan kekuasaan yang memungkinkan seseorang atau
12
lembaga
mempunyai
kemampuan
untuk
mempengaruhi
praktek-praktek
implementasi di lapangan. Dalam dinamika akses atas sumberdaya hutan memiliki jejak sejarah yang panjang
dan
harus
dilihat
sebagai
sebuah
rangkaian
panjang
dan
berkesinambungan. Peluso (2006) menyatakan bahwa akses hutan yang dimiliki masyarakat dalam rangka membuka lahan akses hasil hutan, dan cara-cara yang ditempuh perseorangan atau rumahtangga untuk memperoleh dan melestarikan penguasaan atas petak tanah yang telah dibuka. Kano (1982) dalam Peluso (2006) mengemukakan bahwa dalam suatu desa umumnya terdapat lahan tidur yang bersifat komunal. Lahan tidur tersebut dapat dikuasai dengan beberapa cara. Pertama, orang luar yang bukan penduduk tidak dapat mengubah lahan tidur menjadi lahan pertanian tanpa seizin kepala desa. Orang luar boleh mengakses lahan hanya selama mereka giat mengolahnya, bila pindah atau menelantarkan lahan tersebut dan mati maka mereka kehilangan hak atas tanah tersebut. Orang luar juga tidak punya hak transfer dan lahan akan kembali menjadi milik desa bila orang tersebut pergi. Kedua, akses orang luar terhadap hasil hutan yang terdapat di lahan tidur sangat terbatas. Beberapa desa melarang orang luar mengakses hasil hutan. Namun dalam prakternya, penduduk desa dari luar sering diperbolehkan masuk dan dibebaskan mengakses dengan gratis produk yang mereka kumpulkan. Sementara itu, penduduk desa boleh mengumpulkan dan menggunakan hasil hutan dari lahan tidur sesukanya. Akan tetapi, terdapat pengecualian, misalnya pada pohon aren. Pohon aren yang berada di lahan tidur biasanya dibagi untuk semua penghuni desa yang melakukan kewajiban kerja (Kano 1982 dalam Peluso 2006). Sifat hak atas aren yang demikian dikarenakan pohon aren yang tumbuh secara liar. Selain itu, hak atas pohon buah yang ditanam di lahan yang sudah dikonversikan menjadi lahan pertanian tapi lalu menjadi hutan kembali atau menjadi lahan tidur, dapat diturunkan kepada ahli waris si penanam. 2.4
Masyarakat Adat Istilah "masyarakat lokal" menunjuk pada warga masyarakat yang berada
dan bertempat tinggal di dalam dan di sekitar lingkungan hutan, meliputi: (1) kelompok masyarakat yang tidak mempunyai hubungan historis dan hukum
13
dengan lingkungan hutan tetapi datang dan menempatinya; (2) kelompok masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dan historis dengan lingkungan hutan yang bersangkutan seperti masyarakat hukum adat (Mutakin dan Gurniwan, 2003). Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, pasal 5 menyatakan bahwa berdasarkan statusnya, hutan terdiri dari hutan negara dan hutan hak, dimana hutan negara dapat berupa hutan adat. Hutan adat tersebut ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya, masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya (Santosa 2007). Maksud dari diakui keberadaan masyarakat adat ini berarti harus memenuhi unsur: a.
masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban;
b.
ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c.
ada wilayah hukum adat yang jelas;
d.
ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
e.
masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Bila lima unsur tersebut terpenuhi, ada tahapan lain yang wajib ditempuh,
yaitu pengukuhan keberadaan masyarakat adat melalui Peraturan Daerah (Perda). Peraturan Daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Masyarakat adat dalam mengatur kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan hutan untuk pemenuhan berbagai keperluan hidup sesungguhnya telah berlangsung sejak mereka hadir dan hidup di suatu wilayah. Pemanfaatan hutan masyarakat hukum adat umumnya dalam bentuk pemanfaatan lahan hutan untuk usaha pertanian, sumber kayu bangunan, kayu bakar, obat-obatan tradisional serta tempat kegiatan binatang liar (Yeny 2007). Sistem pemanfaatan tradisional tersebut diperkuat dengan aturan-aturan adat yang dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat hukum adat bersangkutan yang dikenal dengan kearifan lokal.
14
2.4.1
Interaksi Masyarakat Adat dengan Hutan Usaha
pemanfaatan
hasil
hutan
meliputi
kegiatan
penanaman,
pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan. Menurut Colfer et al (1999), terdapat empat faktor yang berkaitan dengan interaksi masyarakat dengan hutan, yaitu: kedekatan dengan hutan, ketergantungan, pengetahuan lokal, dan dan integrasi hutan dan budaya. Faktor-faktor tersebut dipandang sangat penting dan terkait dengan kesejahteraan manusia serta terhadap potensi kontribusi positif dan negatif masyarakat terhadap pengelolaan hutan. 1) Kedekatan dengan hutan Kedekatan yang dimaksud adalah kedekatan jarak dengan hutan. Masyarakat yang tinggal di dekat hutan memiliki potensi dampak cukup penting terhadap hutan, termasuk masyarakat adat. Masyarakat yang memiliki akses ke dalam hutan akan menguntungkan jika dilibatkan dalam pengelolaan hutan sehingga ketika mereka tidak merasa diikutsertakan dan juga memiliki kemampuan, secara langsung atau tidak langsung akan menyebabkan kerusakan hutan. 2) Ketergantungan Di kawasan hutan terdapat masyarakat yang hidupnya bergantung pada barang dan jasa yang didapat dari hutan. Masyarakat dapat berburu, mengumpulkan makanan, obat dan serat, atau melakukan agroforestry. Kebutuhan masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan harus dipadukan ke dalam pengelolaan hutan secara lestari. Hasil hutan berperan penting dalam kehidupan masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang kebanyakan masih menganut sistem ekonomi subsisten. 3) Pengetahuan Lokal Masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, memiliki pengetahuan unik dan berguna berdasarkan pengalaman lokal jangka panjang mereka. Pengetahuan ini dapat mengenai binatang dan perilakunya, tumbuhan dan pengelolaannya, penggunaan bermacam hasil hutan, teknik pemrosesan hasil hutan, dan sebagainya, pengetahuan lokal ini sangat bernilai dan mendukung fungsi penting dalam integrasi yang menguntungkan antara masyarakat setempat dengan pengelolaan hutan. Selain itu, pengetahuan yang mereka miliki juga
15
dapat merupakan salah satu aturan adat yang memang berlaku di daerah setempat sehingga ketentuan adat tersebut harus dipatuhi oleh masyarakat. 4) Integrasi Hutan dan Budaya Budaya atau cara hidup erat kaitannya dengan lingkungan, dan ini berlaku juga pada masyarakat hutan2. Mungkin ada tempat-tempat keramat di dalam hutan, sistem-sistem simbolis yang memberi arti bagi kehidupan dan erat dengan perasaan masyarakat tentang diri mereka, fungsi keamanan dari tumbuhan hutan selama musim paceklik, dan hubungan-hubungan lainnya. Terkait dengan ketergantungan masyarakat dengan hutan, Sardjono et al (1998) mengindentifikasi bentuk interdependensi hutan dan masyarakat, yang salah satunya merupakan pola ekstraksi. Pola ekstraksi ini dijumpai pada kelompok masyarakat tradisional yang lokasinya tidak langsung berdekatan dengan industri. Pemanfaatan sumberdaya sebatas kebutuhan dan dikendalikan etika dan norma yang berlaku. Pandangan bahwa lingkungan sosial merupakan bagian dari ekosistem yang lebih luas mendorong pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana dan hati-hati. Untuk lebih melihat bagaimana hubungan hutan dengan masyarakat dalam pola ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 1. 2.4.2
Aspek Tanah pada Masyarakat Lokal Sekitar Hutan Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat lokal, baik
ditinjau dari aspek kepercayaan dan kesejarahan (pada masyarakat tradisional) ataupun secara umum bagi kepentingan sosial ekonomi dalam kehidupan seharihari (Sardjono 1998). Berkaitan dengan hal tersebut, Soekanto (1981) dalam Sardjono (1998) mengemukakan bahwa dimana ada suatu masyarakat (persekutuan hidup) yang menduduki suatu tempat untuk menjalankan hidupnya. Di dalam masyarakat tersebut juga terdapat hukum atau aturan, dimana mereka berhak untuk menguasai tanah, air, beserta pohon-pohon yang ada sebagai ‘hak untuk menguasai sepenuhnya‘. Menurut Abdurrachman (1978), dalam Sardjono (1998), hak persekutuan atas tanah tersebut biasanya memiliki istilah lokal sesuai wilayah adatnya. Hak atas tanah yang menyangkut keseluruhan adat inilah yang dinamakan dengan hak ulayat. 2
Terdapat suatu teori yang disebut ‗penentuan oleh lingkungan‘ yang menyatakan bahwa budaya sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan dimana budaya ini berkembang.
16
EKOSISTEM F+M Tanaman Mineral
Hewan
Mikro organisme
Keluarga Individu
Kelompok
Iklim
MASYARAKAT
HUTAN Budaya
Air Topografi
Ekonomi
Pendidikan
Tanah
Prasarana/ Pemukiman
Kesehatan
F+M
(Keterangan: F=Fungsi, M=Manfaat) Sumber: Sardjono et al (1998)
Gambar 1. Pola Ekstraksi yang Relatif Tidak Merusak Antara Hutan dan Masyarakat Masih dalam dalam Sardjono (1998), Abdurrachman (1978) dan Soekanto (1981) juga menyatakan meskipun hak ulayat mendasarkan pada pengelolaan tanah untuk kepentingan bersama, akan tetapi memungkinan setiap warga yang ingin mendapatkan manfaat atas sebidang tanah sepanjang diketahui dan memperoleh izin dari kepala masyarakat hukum adat setempat. Hak perorangan tersebut merupakan hak milik, dan akan menjadi hak ulayat kembali jika tanahtanah itu ditinggalkan dan tidak diurus selama beberapa tahun. Pemanfaatan hasil pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat adat disamping dapat memenuhi kebutuhan masyarakat juga untuk menopang kelangsungan kelembagaan adat itu sendiri.
17
2.5
Rumahtangga Masyarakat di Sekitar Hutan Rumahtangga merupakan lembaga dasar yang melakukan pengaturan
konsumsi dan produksi, alokasi tenaga kerja dan sumberdaya sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup anggota rumahtangga (Purnomo 2006). Manig (2001) dalam Dharmawan (2001) menyatakan bahwa sebagai suatu unit sosial ekonomi rumahtangga memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: (a) alokasi sumberdaya yang memungkinkan untuk memuaskan kebutuhan rumahtangga, (b) jaminan terhadap berbagai tujuan rumahtangga, (c) produksi barang dan jasa, (d) membuat keputusan atas penggunaan pendapatan dan konsumsi, (e) fungsi hubungan sosial dan hubungan dengan masyarakat luar, dan (f) reproduksi sosial dan material dan keamanan sosial terhadap anggota rumahtangga. Bagi masyarakat sekitar hutan, hasil hutan merupakan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan. Purwanto (1988) dalam Andajani (1997) juga menyatakan bahwa masyarakat sekitar hutan secara umum hidupnya banyak bergantung pada hasil usaha tani, dan sebagian diantaranya memanfaatkan hasil hutan. Faktor pembatas usaha tani yang berkaitan dengan meningkatnya jumlah penduduk umumnya mendorong manusia ke arah ketergantungan yang lebih besar terhadap hutan dan hasil hutan. Kebanyakan masyarakat sekitas hutan menyadari bahwa mereka akan merasa diuntungkan apabila
mengelola
sumberdaya
hutan
secara
berkelanjutan
daripada
mengeksploitasinya. Sistem-sistem tradisional dari pengelolaan sumberdaya yang digunakan masyarakat lokal seringkali lebih efektif dan berkelanjutan. Masyarakat tidak akan memanfaatkan hasil hutan kecuali secara ekonomi akan memberikan tambahan pendapatan bagi rumahtangga (McNeely 1992 dalam Andajani 1997). Pendapatan tersebut terutama didapat dari hasil hutan bukan kayu. Pendapatan rumahtangga diartikan sebagai keuntungan yang akan diterima dari hasil aktivitas nafkah atau cara hidup yang dilakukan oleh rumahtangga. Untuk mencapai tujuan rumahtangga, diperlukan sumberdaya, aset atau modal yang dimiliki rumahtangga atau disebut dengan sumber nafkah. Sumberdaya mengacu pada semua hal yang dapat dimanfaatkan atau tidak oleh rumahtangga, aset merupakan semua hal yang dapat dimanfaatkan rumahtangga, dan modal merupakan semua hal yang dimiliki dan dapat diakses oleh rumahtangga.
18
2.6
Kerangka Pemikiran Aren sebagai produk hasil hutan bukan kayu menjadi salah satu produk
hutan yang masih dimanfaatkan sampai sekarang oleh masyarakat Kasepuhan. Pemanfaatan dan pengelolaan aren ini dipedomani oleh aturan-aturan adat yang masih melekat dalam masyarakat Kasepuhan sebagai masyarakat adat. Kelembagaan ini ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya, dan adat istiadat (Kartodihardjo 1999). Dalam kaitannya dengan pemanfaatan aren ini, Schmid (1987) dalam Kartodihardjo et al (2004) menyatakan tentang aturan hubungan antar individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya, hak-hak yang diberikan termasuk hak kepemilikan dan hak untuk mengakses sumberdaya, serta dan kewajiban yang harus dilakukan. Kelembagaan ini mengandung aspek kultural dan struktural yang pada akhirnya membentuk dan menentukan perilaku masyarakat (Syahuti 2006) dalam hal pemanfaatan aren ini seperti nilai, aturan, norma, kepercayaan, struktur, peran, hubungan antar peran, pola kekuasaan, dan lain-lain. Pada awalnya, masyarakat hanya mengolah gula aren untuk digunakan sebagai bahan makanan dan tambahan sehari-hari. Namun, bersamaan dengan konsumsi yang meningkat terhadap produk gula aren membuat masyarakat memanfatkan aren tersebut untuk mendapatkan pendapatan dari pemasaran gula aren. Tak dapat dipungkiri bahwa komersialisasi gula aren tersebut berkontribusi terhadap pendapatan rumahtangga para petani aren di Kasepuhan. Adanya usaha hasil hutan non-kayu berupa gula aren
ini yang dilakukan oleh masyarakat
Kasepuhan ini diduga berpengaruh terhadap kelembagaan yang telah ada, misalnya dalam perubahan proses produksi, penguasan dan pemilikian pohon aren, serta hubungan kerja diantara pihak-pihak, dan bahkan bisa saja komersialisasi dapat berdampak pada struktur pendapatan petani. Berdasarkan asumsi-asumsi yang telah dipaparkan di atas maka dapat ditarik garis merah yang membentuk kerangka pemikiran yang terdiri dari tiga konsep bagi penelitian ini. Ketiga konsep tersebut adalah kelembagaan, komersialisasi gula aren, dan pendapatan rumahtangga petani. Masing-masing konsep tersebut diturunkan menjadi variabel-variabel, dan kemudian hubungan
19
dari konsep-konsep dan variabel-variabel tersebut dapat digambarkan menjadi sebuah bagan kerangka pemikiran sebagai berikut. KELEMBAGAAN status penguasaan pohon aren akses pada pohon aren aturan-aturan adat dalam pengelolaan aren jaringan sosial dalam pemanfaatan aren aspek produksi dan ekstraksi nira aren
A R E N
PENDAPATAN RUMAHTANGGA Jumlah pohon aren Pendapatan dari aren Posisi komoditas aren dibanding komoditas lain yang dikelola oleh masyarakat
KARAKTERISTIK RUMAHTANGGA PETANI DI SEKITAR HUTAN
Usia Tingkat pendidikan Mata pencaharian Jumlah anggota RT Luas lahan Tingkat pendapatan
Keterangan gambar: : saling mempengaruhi : berpengaruh : kuantitatif Gambar 2. Kerangka Pemikiran
KOMERSIALISASI GULA AREN - Spesialisasi - Perbesaran skala usaha - Perubahan akses pada pohon aren
20
2.7
Hipotesis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan merumuskan beberapa hipotesis berikut:
(1) Komersialisasi akan menumbuhkan spesialisasi dan akumulasi pohon aren ke dalam penguasaan dan pemilikan pihak-pihak tertentu (2) Status penguasaan aren dan akses terhadap pohon aren mempengaruhi pendapatan hasil gula aren yang diperoleh 2.8 a.
Definisi Operasional Aren adalah salah satu hasil hutan bukan kayu dari kelompok karbohidrat dan buah-buahan (Permenhut No. 35 Tahun 2007)
b.
Kelembagaan adalah suatu sistem perilaku yang hidup pada suatu kelompok orang; merupakan sesuatu yang stabil, mantap, dan berpola; berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; dan berfungsi untuk mengefisienkan kehidupan sosial (Koentjaraningrat 1997)
c.
Rumahtangga adalah lembaga dasar yang melakukan pengaturan konsumsi dan produksi, alokasi tenaga kerja dan sumberdaya sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup anggota rumahtangga (Purnomo 2006). Untuk mengukur nilai pemanfaatan dari hasil hutan dapat dilihat dari karakteristik rumahtangga petani di sekitar hutan yang terdiri dari: 1. Usia, yaitu jumlah tahun yang dihitung sejak lahir sampai sekarang. 2. Tingkat pendidikan, yaitu jenjang pendidikan menurut sekolah yang pernah ditamatkan. 3. Mata pencaharian kepala keluarga, yaitu pekerjaan tetap yang dilakukan oleh kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan seharihari. 4. Jumlah anggota keluarga, yaitu jumlah seluruh orang yang berada di dalam satu rumahtangga dan menjadi tanggungan kepala keluarga. 5. Luas lahan yang digarap, yaitu jumlah keseluruhan lahan yang dimiliki maupun milik orang lain yang digarap oleh responden.
21
6. Pendapatan adalah jumlah rata-rata rupiah yang didapat dari hasil pertanian, baik dari hasil sawah, huma, dan kebun talun (kapulaga dan aren), serta dari hasil yang didapat dari non pertanian. d.
Komersialisasi adalah perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008). Komersialisasi gula aren adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadikan aren sebagai suatu barang dagangan melalui proses ekstraksi dan produksi. Komersialisasi gula aren dikatakan mempengaruhi ekonomi rumahtangga diukur dari jumlah persentase pendapatan yang diperoleh petani aren dari hasil gula aren dari satu rumahtangga.
22
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Lampiran 1). Lokasi tersebut dipilih dengan alasan masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi memanfaatkan hasil hutan, yaitu aren dan mengkomersialisasikan hasil gula aren tersebut dalam bentuk gula semut. Penelitian dilaksanakan dalam waktu enam bulan, mulai bulan April sampai September. 3.2
Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung oleh data
kuantitatif. Metode penelitian dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan dan responden, dengan panduan pertanyaan yang sebelumnya telah dibuat serta hasil observasi selama di lapangan. Pendekatan kualitatif ini dilakukan untuk mengkaji kelembagaan yang ada dalam pengelolaan aren di Desa Sirna Resmi. Data kuantitatif didapat dari hasil survei yang dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara yang dilakukan kepada informan dan responden serta informasi-informasi yang dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner. Data sekunder didapat dari pihak lain yang terkait dengan lokasi penelitian berupa dokumentasi dan hasil studi literatur lain seperti hasil penelitian tesis dan jurnal-jurnal penelitian. Pengumpulan data dilakukan melalui dua tahap yaitu : a. Tahap Pertama Pada tahap ini dilakukan observasi lapangan dan identifikasi kelompok masyarakat adat serta pengumpulan informasi keadaan umum dari masyarakat adat Kasepuhan. Disamping pengambilan data-data pendukung lainnya dari instansi terkait berupa sejarah masyarakat adat, data monografi, serta literatur relevan lainnya. Penentuan lokasi penelitian dan jumlah responden juga
23
dilakukan pada tahap ini sehingga dari hasil turun lapang ini diharapkan telah mencukupi untuk membuat daftar pertanyaan yang terarah untuk pengumpulan data primer sesuai dengan tujuan penelitian. Dari tahap ini, maka lokasi penelitian yang telah dipilih yaitu tiga dusun, yaitu Dusun Cimapag, Dusun Cicemet, dan Dusun Cikaret. b. Tahap Kedua Pada tahap kedua, dilakukan survei melalui wawancara dengan responden yang dipilih dari ketiga dusun dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Disamping itu survei lapang kedua ini dilakukan untuk melengkapi data-data lainnya yang diperlukan dalam analisis data. Unit analisis rumahtangga digunakan dalam penelitian ini. Karena dalam pengelolaan aren di masyarakat Kasepuhan biasanya dikelola oleh keluarga, sehingga pendapatan yang diperoleh dari penjualan hasil produk aren masih berskala rumahtangga. Responden dipilih secara sengaja (purposive) yaitu dengan mengambil responden yang melakukan kegiatan pengelolaan aren dengan unit analisis rumahtangga dari tiga dusun yang ada di desa lokasi penelitian, yaitu Dusun Cikaret, Dusun Cimapag, dan Dusun Cicemet. Responden yang diambil sebanyak 34 orang dari tiga dusun, yaitu 9 responden dari Dusun Cikaret, 10 responden dari Dusun Cimapag, dan 15 responden dari Dusun Cicemet. Ketiga dusun tersebut dipilih karena di lokasi tersebut pemilik pohon dan penyadap aren mudah ditemukan dan jumlahnya cukup banyak dibandingkan dusun yang lain. Selain itu, berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan yang juga bertindak sebagai pengumpul gula semut, ketiga dusun tersebut memang dusun yang paling banyak jumlah penyadap arennya. Metode ini dilakukan berdasarkan pertimbangan yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mencari responden yang memiliki pohon aren, baik yang menyadapnya sendiri maupun yang memarokan pohon arennya kepada orang lain untuk disadap. Responden yang dipilih adalah responden yang memiliki pohon aren agar dapat mengetahui status kepemilikannya dan akses penyadap aren terhadap pohon aren. Peranan aren bagi ekonomi rumahtangga masyarakat Kasepuhan dianalisis dengan data kuantitatif berupa perolehan pendapatan yang diterima oleh setiap rumahtangga. Setelah itu, data kuantitatif dilihat dari masing-masing pendapatan
24
yang diperoleh dari hasil pertanian, yatu hasil sawah, huma, dan kebun talon serta pendapatan dari non pertanian. dan kemudian dipersentasekan untuk melihat perbandingan pendapatan yang diperoleh. Keseluruhan dari masing-masing pendapatan tersebut kemudian dihitung sejauh mana pendapatan yang diperoleh dari gula aren berperan dalam ekonomi rumahtangga masyarakat Kasepuhan dibanding pendapatan lainnya yang diperoleh dari sawah, huma, kapol dan non pertanian. 3.3
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kualitatif dianalisis secara deskriptif dengan penyajian data dan
penarikan kesimpulan. Sedangkan data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan tabel silang, kemudian data diterjemahkan dalam bentuk uraian, penjelasan, dan kesimpulan. Berikut ini matriks keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data, dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian. Tabel 1. Matriks Keterkaitan Tujuan, Sumber Data, dan Metode Analisis Data No
Tujuan Penelitian
1.
Mengidentifikasi kelembagaan lokal dan sejarah pemanfaatan aren di masyarakat Kasepuhan Menganalisis perkembangan komersialisasi dari gula aren pada masyarakat Kasepuhan dan pengaruhnya bagi kelembagaan Menganalisis peranan pemanfaatan aren terhadap pendapatan rumahtangga bagi petani aren
2.
3.
Sumber Data
Metode Analisis Data Data primer dan Analisis deskriptif sekunder. Data primer dan sekunder
Data primer
Tabel frekuensi, tabel silang, dan analisis deskriptif
25
BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 4.1
Geografis Desa Desa Sirna Resmi merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan
Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Desa ini berada di sekitar hutan dan merupakan desa yang terisolasi bila ditinjau dari jarak desa dengan pusat pemerintahan atau ibukota kabupaten dan kecamatan. Jarak Desa Sina Resmi dengan ibukota Kabupaten sekitar 23 km dalam satu jam, sedangkan jarak Desa Sina Resmi dengan Kecamatan sekitar 33 km yang dapat ditempuh selama satu setengah jam dengan menggunakan kendaraan bermotor. Perjalanan menuju Desa Sirna Resmi tidak begitu sulit, dan rute transportasinya pun mudah. Dari Bogor dapat ditempuh selama kurang lebih tujuh jam dengan menggunakan bis Bogor-Pelabuhan Ratu. Dari Pelabuhan Ratu terdapat kendaraan mobil bis kecil (Elf) sampai Desa Cicadas. Namun jumlah kendaraan tersebut masih terbatas, sehingga mobil tersebut bisa ditemukan pada jam-jam tertentu. Dari Cicadas perjalanan selanjutnya ditempuh dengan menggunakan ojek sampai berhenti tepat di depan Imah Gede Kasepuhan Sinar Resmi. Adapun batas-batas wilayah desa ini adalah sebagai berikut: Sebelah utara
: Desa Sirnagalih, Gn.Malang, Kecamatan Cibeber
Sebelah selatan
: Desa Cicadas, Sirnarasa, Kecamatan Cisolok, Cikakak
Sebelah timur
: Desa Cihamerang, Kecamatan Kalapanunggal
Sebelah barat
: Desa Cicadas, Kecamatan Cisolok
Luas wilayah Desa Sirna Resmi adalah 4.917 Ha yang sebagian besar merupakan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), yaitu sekitar 81 persen dari wilayah desa atau 4.000 Ha. Curah hujan di wilayah ini cukup tinggi dan bervariasi antara 2.120 – 3.250 mm/tahun. Suhu rata-rata pun cukup sejuk dengan kisaran 20 sampai 30 derajat Celcius. Hal ini juga
26
dipengaruhi oleh lokasi desa yang berada di dataran tinggi dengan ketinggian tanah 600-1.200 m dari permukaan laut, dengan tingkat kemiringan lereng berkisar antara 25-45 persen. Tabel 2. Luas Wilayah Desa Sirna Resmi Menurut Penggunaan Lahan Jenis Lahan Pemukiman Persawahan Perkebunan Kuburan Pekarangan Taman Perkantoran Prasarana Umum lainnya Talun Taman Nasional
Luas Penggunaan (Ha) 36,00 300,00 0 3,00 15,00 0 0,10 2,10 560,80 4.000,00
Total
4.917,00
Sumber: Data Desa Sirna Resmi 2010
4.2
Demografi Desa Jumlah penduduk di Desa Sirna Resmi adalah 5.313 jiwa, yang terdiri dari
2.619 jiwa penduduk laki-laki dan dan 2.694 jiwa penduduk perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1.537 KK dan kepadatan penduduk 925 jiwa/km (Data Desa Sirna Resmi 2010). Desa Sirna Resmi sendiri terdiri dari tujuh dusun yaitu Sinar Resmi, Cibongbong, Cikaret, Cimapag, Situmurni, Cicemet, dan Sukamulya. Desa Sirna Resmi memiliki tiga kelompok masyarakat yang merupakan bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul, yaitu Kasepuhan Sinar Resmi, Kasepuhan Cipta Gelar, dan Kasepuhan Cipta Mulya. Setiap warga bebas untuk menentukan Kasepuhan yang akan mereka ikuti. Namun, pada dasarnya ketiga Kasepuhan tersebut berasal dari satu keturunan yang sama dengan Kasepuhan Sinar Resmi sebagai wilayah pusat. Para pengikut Kasepuhan memiliki sebutan incu putu yang tersebar di seluruh Desa Sirna Resmi dan di luar desa. Adapun jumlah penduduk berdasarkan usia yang ada di Desa Sirna Resmi dapat dilihat pada Tabel 3.
27
Tabel 3. Jumlah Penduduk Desa Sirna Resmi Berdasarkan Kategori Usia Usia (Th)
Laki-laki (orang)
Perempuan (orang)
Jumlah (orang)
0-4
181
146
327
5-9
324
316
640
10-14
254
252
506
15-19
230
225
455
20-24
206
226
432
25-29
201
237
438
30-34
178
233
411
35-39
214
208
422
40-44
180
224
404
45-49
199
206
405
50-54
120
131
251
55-59
63
64
127
60-64
80
78
158
≥ 65
189
148
337
Jumlah
2.619
2.694
5.313
Sumber: Data Desa Sirna Resmi 2010
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa penduduk Kasepuhan memiliki jumlah usia produktif yang cukup tinggi, yaitu 3.503 jiwa atau sebesar 65.93 %. Sedangkan sisanya merupakan penduduk usia belum produktif dan non produktif masing-masing 1.473 jiwa (27,72 %) dan 337 jiwa (6.34 %) dengan Rasio Beban Tanggungan (RBT) sebesar 517 jiwa. Untuk tingkat pendidikan, rata-rata penduduk hanya bersekolah sampai tingkat SD (41 %), lainnya ada yang sampai SMP (8.7 %), SMA (3.5 %) bahkan perguruan tinggi meskipun jumlahnya tidak banyak (1.2 %). Sampai saat ini jumlah penduduk Desa Sirna Resmi yang mengenyam pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4.
28
Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan di Desa Sirna Resmi
Tingkat Pendidikan
Laki-laki (orang)
Perempuan (orang)
Persentase (%)
Jumlah (orang)
Belum sekolah
105
110
215
11.5
TK / Play Group
116
109
225
12.1
Tidak Pernah Sekolah
38
37
75
4.0
Tidak Pernah Sekolah
129
121
250
13.4
45
40
85
4.6
382
381
763
41.0
Tamat SMP / Sederajat
82
80
162
8.7
Tamat SMA / Sederajat
37
28
65
3.5
Tamat D-1 / Sederajat
3
1
2
0.1
Tamat D-2 / Sederajat
3
1
3
0.2
Tamat D-3 / Sederajat
9
8
17
0.9
949
916
1.862
100.0
Tidak Tamat SD Tamat SD / Sederajat
Total Sumber: Data Desa Sirna Resmi 2010
Sebagian besar penduduk di Sirna Resmi beragama Islam dan mayoritas berasal dari etnis Sunda. Mata pencaharian pokoknya penduduk Sirna Resmi adalah bekerja sebagai petani. Hal ini dikarenakan sumber penghidupan utama penduduk dominan berasal dari sektor pertanian dan juga menjadi tradisi bagi masyarakat adat Sinar Resmi. Kegiatan masyarakat sehari-hari ditunjang berbagai fasilitas yang cukup memadai. Program pembangunan desa dari pemerintah telah memberikan pembangunan bagi sektor publik. Apabila dana dari pemerintah tidak mencukupi maka secara swadaya bergotong-royong membangun sarana desa. Selain itu, penduduk desa sudah menggunakan listrik untuk penerangan dan keperluan lain seperti televisi, radio, bahkan DVD Player. Fasilitas keagamaan berupa mesjid dan mushola serta fasilitas pendidikan yaitu gedung sekolah dasar semua sudah menggunakan listrik. Berikut adalah tabel mengenai sarana dan prasarana pembangunan di Desa Sinar Resmi.
29
Tabel 5. Jumlah Sarana Pembangunan Menurut Jenis Sarana di Desa Sinar Resmi No Jenis Sarana Pembangunan 1. Agama a. Masjid b. Mushola c. Sarana Lainnya 2. Pendidikan a. Pendidikan Umum 1. Pendidikan Dasar 2. SLTP 3. SLTA b. Pendidikan Khusus 1. Pondok Pesantren 2. Madrasah 3. Sarana Pendidikan Non Formal 3.
4.
Sarana Perhubungan a. Jalan b. Jembatan Komunikasi Jumlah Komunikasi
Jumlah 7 buah 8 buah -
6 gedung, 42 guru, 682 murid 1 gedung, 8 guru, 65 murid
1 gedung, 8 guru, 21 murid 2 gedung, 13 guru, 212 murid SL-AEP : 14 kelompok PAUD : 7 kelompok 12 ruas 20 buah 1 jenis, 1 buah
Sumber : Data Desa Sirna Resmi 2010
Komunikasi dengan handphone sudah dapat dilakukan dari desa ini. Di Sirna Resmi sudah ada tower milik operator telepon seluler XL sejak tahun 2006 lalu. Dalam bidang informasi, media utama adalah televisi. Media cetak, seperti koran, hanya dapat diperoleh di Pelabuhan Ratu. Siaran televisi dapat dinikmati sepanjang hari, tergantung pada ketersediaan listrik. 4.3
Masyarakat Kasepuhan Masyarakat yang tinggal di Desa Sirna Resmi merupakan bagian dari
komunitas masyarakat Kasepuhan Banten Kidul. Masyarakat ini masih menjalankan pola perilaku sosio-budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik budaya pada abad ke-18 (Asep 2000 dalam Hanafi et al 2004). Desa Sirna Resmi juga merupakan wilayah pusat pemerintahan dari masyarakat Kasepuhan. Desa Sirna Resmi ini merupakan pusat dari tiga Kasepuhan, yaitu Kasepuhan Sinar Resmi, Kasepuhan Cipta Mulya, dan Kasepuhan Cipta Gelar. Masing-masing Kasepuhan memiliki pemimpin yang disebut Abah, yang tinggal
30
bersama keluarganya di Imah Gede. Para pengikut atau incu putu dari masingmasing Kasepuhan tersebar di Desa Sirna Resmi dan luar desa, bahkan tersebar juga di Kabupaten Bogor, Lebak, dan Sukabumi . Masyarakat Kasepuhan masih menjalankan kehidupan sehari-hari dengan pola hidup yang terkerangka dalam serangkaian upacara adat dengan tata caranya masing-masing. Mereka masih menganut filosofi tatali paranti karuhun yang memiliki makna bahwa mereka mengikuti dan menaati serta mematuhi tuntutan rahasia hidup seperti yang dilakukan karuhun atau nenek moyang mereka. Filosofi tersebut menjadi landasan moral dan etik serta pelaksanaannya bukan hanya terbatas pada tataran religius, namun tercermin juga dalam institusi sosial, sistem kepemimpinan, dan tata cara berinteraksi dengan alam (Hanafi et al 2004). Dalam tatali paranti karuhun dijabarkan juga tentang keyakinan masyarakat Kasepuhan yang telah dipengaruhi oleh Islam. Terdapat tiga aspek yang harus selalu diperhatikan dalam kehidupan masyarakat yaitu tilu sapamulu, dua sakarupa, dan hiji eta keneh.
Ucap Nagara Raga
Tekad
Lampah
Buhun
Syara
Nyawa
Papakean
Sumber: Hanafi et al 2004
Gambar 3. Konsep Tilu Sapamulu, Dua Sakarupa, dan Hiji Eta Keneh Konsep tilu sapamulu terdiri dari tekad, ucap dan lampah, buhun, nagara, dan syara, serta nyawa, raga, dan papakean. Tekad, ucap dan lampah merupakan cerminan ucapan dan tingkah laku yang harus berlandaskan niat yang dapat dipertanggungjawabkan, yang secara kemanusiaan keadaan trsebut merupakan
31
gambaran yang terdiri atas unsur jiwa (nyawa), raga, dan perilaku yang harus selaras (papakean). Maksud dari papakean atau pakaian mengandung makna bahwa masyarakat Kasepuhan memiliki kebudayaan tersendiri yang mereka jaga dan lindungi sehingga makna pakaian disini berarti merupakan cerminan akhlak dan sikap mental. Simbol tersebut akan memperlihatkan jati diri masyarakat yang berupa aturan, adat, dan agama. Sedangkan aspek buhun (kepercayaan adat), nagara (negara) dan syara (agama) merupakan peleburan yang menunjukkan bahwa sikap terbuka dan pengakuan masyarakat Kasepuhan terhadap perubahan bernegara (dari kerajaan menjadi negara Indonesia) dan hadirnya keyakinan yang lain yaitu Islam (Hanafi 2004). Lebih jelasnya, aspek-aspek dalam tatali paranti karuhun tersebut digambarkan sebagai berikut. 1. Tilu Sapamulu Tekad
Ucap
Lampah
Buhun
Nagara
Syara
Nyawa
Raga
Papakean
2. Dua Sakarupa Nyawa dan Raga
= Makhluk Hidup Telanjang
Nyawa dan Papakean
= Makhluk Goib
Raga dan Papakean
= Mayat Telanjang
3. Nu Hiji Eta-Eta Keneh Nyawa + Raga + Papakean
= Makhluk Hidup Berpakaian
Sumber: Hanafi et al 2004
Gambar 4. Penjelasan dari Konsep Tilu Sapamulu, Dua Sakarupa, dan Hiji Eta Keneh Dalam masyarakat Kasepuhan terdapat dua struktur kepemimpinan, yaitu kepemimpinan adat dan kepemimpinan formal. Pemimpin masyarakat adat, yang disebut abah, memegang peranan sentral dalam merumuskan, mengajarkan, dan menegakkan aturan-aturan (khususnya aturan tidak tertulis) yang berlaku sehari-
32
hari dalam masyarakat (Suharjito dan Saputro 2008). Selain itu, untuk tingkat kampung peranan pemimpin adat tersebut diwakili oleh kokolot lembur. Berbagai kegiatan sehari-hari, musiman, ataupun tahunan mengacu pada tataran adat misalnya dalam bidang pertanian (mulai dari persiapan lahan sampai seren taun), siklus hidup manusia (kelahiran, khitanan, pernikahan, kematian), dan acara keagamaan. Pemimpin yang kedua yaitu Kepala Desa dan Kepala Dusun yang berperan dalam urusan pemerintah desa. Adanya kepala desa dan kepala dusun berperan sebagai jembatan bagi masyarakat desa/kampung dengan pemerintah kabupaten, provinsi, dan nasional. Program-program pembangunan seperti program pertanian, kesehatan, pendidikan, dan lainnya, yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dapat dilaksanakan oleh masyarakat melalui peran pemerintah desa. Selan itu, kerjasama dengan pemimpin adat dan perangkatnya pun merupakan hal yang penting dalam pelaksanaan program-program pembangunan tersebut. 4.4
Bentuk-bentuk Sumberdaya Hutan dan Pertanian Masyarakat Kasepuhan Lahan yang ada di masyarakat Kasepuhan merupakan bagian dari hutan
lindung, karena seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa sebagian besar wilayahnya merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Dalam penentuan luas lahan di desa ini tidak ada ukuran yang universal, karena masyarakat setempat memiliki ukuran tersendiri untuk mengukur luasan lahan, baik untuk sawah, huma, kebun, maupun pekarangan. Luasan lahan diukur dengan ukuran patok yang setara dengan 400 meter persegi. Pola kepemilikan lahan biasanya bersifat warisan dan karena adanya hubungan pernikahan. Ketika anaknya menikah, setiap orangtua sudah menyiapkan lahan untuk anaknya untuk dimanfaatkan. Pola penggunaan lahan umumnya digunakan untuk sawah, pekarangan dan kebun. Untuk lahan pertanian biasanya digarap sendiri oleh pemiliknya, namun tidak menutup kemungkinan juga lahan tersebut digarap oleh orang lain yang tidak memiliki lahan sendiri (buruh tani atau penggarap). Sistem pengelolaan dalam penggarapan lahan tersebut antara lain maro, ngepak, dan gade (gadai).
33
Maro adalah sistem pembagian hasil dengan membagi dua hasil panen bagi pemilik dan penggarap lahan setelah dipotong modal. Ngepak menggunakan sistem pembagian 4:1, yang artinya dari hasil lima ikat padi dibagi empat ikat untuk pemilik lahan dan satu ikat untuk penggarap. Untuk sistem ngepak ini, pemilik lahan menjadi penyedia input produksi pertanian mulai dari lahan itu sendiri, benih, pupuk, alat, dan lainnya. Sedangkan penggarap hanya menyediakan tenaga saja untuk bekerja. Sistem pengelolaan lainnya yaitu gade atau gadai, yaitu penggarap membayar jaminan (sewa) sesuai dengan kesepakatan antara penggarap dengan pemilik lahan. Lahan yang digadai dapat diambil kembali oleh pemilik lahan setelah jaminan tersebut telah dikembalikan. Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam sistem ini penggarap ‗meminjam‘ lahan dari pemilik lahan untuk digarap. Penggunaan lahan yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan dapat dilihat dalam gambar berikut. Lahan
Lahan basah
Lahan kering
Sawah
Huma
Hutan
Hutan garapan/talun
Hutan tutupan
Hutan titipan Sumber: Saepudin 2005
Gambar 5. Tata Guna Lahan Versi Masyarakat Kasepuhan Dari gambar tersebut dapat dijabarkan bahwa tataguna lahan yang ada di Kasepuhan terbagi menjadi dua, yaitu lahan basah yang digunakan untuk lahan sawah, dan lahan kering. Keduanya merupakan lahan yang sengaja dibuka oleh
34
masyarakat dari hutan sampalan atau hutan garapan. Lahan dibuka ketika masyarakat akan membuka huma. Namun apabila sumber air dirasa cukup banyak untuk mengairi lahan mereka, biasanya masyarakat akan membuka sawah. Sawah yang banyak ditemukan di Kasepuhan adalah sawah tadah hujan. 4.4.1
Huma Huma merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pertanian di
masyarakat Kasepuhan. Di dalam hal huma, masyarakat menggunakan lahan kering atau ladang untuk budidaya padi dan dicampur dengan tanaman palawija atau sayuran (tumpangsari) dan tanaman kayu-kayuan yang dilakukan secara bergilir dalam jangka waktu tertentu. Bagi masyarakat Kasepuhan kegiatan ngahuma ini merupakan suatu hal yang penting dalam perjuangan hidup mereka sebagai suatu kelompok sosial. Selain itu, ngahuma juga merupakan suatu tradisi untuk melanjutkan tatali paranti karuhun. Umumnya huma dikelola untuk jangka waktu satu sampai tiga tahun. Setelah jangka waktu tersebut, biasanya petani membuka huma baru atau membuka kembali huma yang telah lama ditinggalkan selama beberapa tahun sebelumnya (ICRAF 2003). Siklus ngahuma melibatkan beberapa bentuk penggunaan ladang, yaitu huma, jami, reuma, kebun atau talun, dan masa istirahat atau kosong (Suharjito dan Saputro 2008). Siklus tersebut dapat dilihat pada gambar sebagai berikut.
Huma
Jami (sekitar 1-2 tahun)
Istirahat selama satu tahun untuk membusukkan kayu
Reuma (sekitar dua tahun)
Kebun atau talun (5-8 tahun)
Pembukaan kebun untuk huma
Sumber: Suharjito dan Saputro 2008
Gambar 6. Rangkaian Bentuk Pemanfaatan Lahan dalam Siklus Ngahuma
35
Hutan atau semak yang ditebang dan dibersihkan untuk dijadikan huma atau ladang. Huma tersebut ditanami padi varietas lokal dan juga jenis tanaman lain yang ditumpangsarikan dengan jagung, singkong, ubi jalar, dan kacangkacangan. Padi dipanen satu tahun sekali sedangkan sayur-sayuran dipanen sekitar 3-4 kali setahun. Setelah panen, masyarakat memutuskan untuk berladang kembali atau tidak dengan melihat kondisi tanah dan air yang ada. Apabila air mencukupi, maka masyarakat akan mengubah lahan tersebut menjadi sawah. Namun, apabila air tidak mencukupi, maka lahan akan diubah menjadi jami untuk satu atau dua tahun dengan menanam tanaman tahunan. Setelah digunakan sebagai jami, ada dua alternatif yang dipakai, pertama dengan membiarkan lahan tidak dipotong dan dibersihkan sehingga semak dibiarkan tumbuh. Semak belukar yang dibiarkan selam 3-4 tahun disebut dengan reuma ngora, sedangkan semak yang dibiarkan lebih dari 4 tahun disebut reuma kolot (hutan sekunder). Lahan akan tertutup secara alami sebagai hutan sekunder dengan pepohonan tinggi. Alternatif yang kedua yaitu dengan menggunakan lahan untuk kebun setelah jami dipanen. Di kebun ini tanaman tahunan ditanam untuk kebutuhan sehari-hari, seperti buah-buahan dan pohon-pohon yang pertumbuhannya cepat seperti bambu dan rotan. Setelah lahan digunakan untuk berkebun selama beberapa tahun, maka pohon-pohon yang ditanam semakin tinggi. Pada lapisan bawah dari talun terus ditanami tanaman tahunan sehingga dengan adanya pohonpohon tersebut, kanopi pohon menjadi tertutup dan keadaan ini disebut dengan talun. Masyarakat biasanya menanam buah-buahan seperti pisang, durian, juga menyadap air nira dari pohon aren. Pengambilan air nira ini tidak hanya dikonsumsi sendiri, tetapi juga untuk dijual ke pasar. 4.4.2
Hutan Bagi masyarakat Kasepuhan, pemanfaatan hutan diklasifikasikan menjadi
tiga kategori, yaitu leuweung tutupan atau leuweung kolot, leuweung titipan dan leuweung sampalan (Adimihardja 1992 dalam ICRAF 2003). Leuweung tutupan atau leuweung kolot adalah hutan tua yang biasa dicirikan oleh hutan yang masih lebat dengan berbagai jenis pohon besar dan kecil yang tumbuh secara alami dan rimbun. Leuweung tutupan merupakan kawasan yang berada pada dataran paling
36
tinggi dan memiliki lereng yang cukup curam. Kawasan ini juga berfungsi sebagai daerah resapan air serta merupakan penyedia air bagi masyarakat Kasepuhan. Leuweung titipan merupakan hutan yang dianggap keramat oleh masyarakat Kasepuhan. Masyarakat tidak boleh memungut hasilnya dan memanfaatkannya kecuali atas izin sesepuh girang yang sebelumnya telah mendapatkan wangsit atau ilapat dari nenek moyang atau karuhun. Pemanfaatan hutan ini dapat dibuka untuk dicadangkan menjadi pemukiman atau lahan garapan3. Bagi masyarakat Kasepuhan, leuweung titipan ini merupakan titipan dari para nenek moyang atau karuhun yang harus dijaga kelestarian dan keasliannya. Di dalam leuweung titipan biasanya terdapat tempat keramat. Leuweung sampalan adalah hutan yang dapat dipungut hasilnya dan dimanfaatkan oleh masyarakat, namun tetap dalam batas-batas aturan adat. Masyarakat dapat membuka lahan untuk huma, sawah, kebun atau talun, menggembala ternak, atau mengambil kayu bakar. Biasanya hutan ini letaknya tidak jauh dari pemukiman penduduk. 4.4.3
Kebun atau Talun Talun adalah bekas kawasan ladang atau huma, yang kemudian digarap
dengan ditanami berbagai tanaman keras, buah-buahan dan palawija. Tanaman pada kebun talun biasanya diwariskan secara turun temurun sehingga tanaman yang dikembangkan merupakan tanaman tahunan. Pohon buah-buahan seperti manggis, nangka, rambutan, pisang, kelapa, jengkol, petai dan aren banyak dijumpai di kebun talun. Selain itu masyarakat juga biasa menanam tanaman kayu. Kayu yang biasanya ditanam antara lain jengjeng/sengon (Albazia falcataria), manglid/cempaka (Elmerrillia spp.), mani’i/surian (Toona sureni Merr.), tisuk (Hibiscus macrophyllus), pasang (Quercus spp.), dan lain-lain. Selain digunakan sebagai bahan baku membuat rumah, kayu biasanya dijual oleh warga. Kayu dapat dipanen setelah empat sampai enam tahun, dan dijual per satuan meter kubik dengan harga Rp 400.000,00 sampai Rp 600.000,00 atau Rp 40.000,00 per pohon. Luasan kebun dan talun yang digunakan untuk lahan pohon
3
Kuswanda, 1999 dalam ICRAF, 2003 menyatakan konsep yang membedakan hutan titipan menjadi dua, yaitu hutan titipan yang berhubungan dengan hal-hal keramat sehingga perlu dipertahankan dan hutan awisan yang digunakan sebagai hutan cadangan.
37
aren relatif kecil (0,59%) bila dibandingkan dengan tata guna lahan lainnya (RMI 2003). 4.4.4
Sawah Lahan sawah yang ada di wilayah Kasepuhan merupakan pengembangan
dari pemanfaatan lahan ladang atau huma yang telah dilakukan sebelumnya oleh masyarakat. Biasanya lahan ladang yang dikembangkan menjadi lahan sawah ini adalah bekas ladang yang dianggap memiliki pengairan yang cukup sehingga cocok bila dijadikan lahan sawah. Meskipun begitu, menurut Asep (2000) dalam ICRAF (2003), sistem pertanian sawah bukan merupakan pola tradisional masyarakat Kasepuhan, melainkan hanya merupakan proses adaptasi terhadap tekanan populasi yang semakin kuat dan berkurangnya lahan garapan. Walaupun tidak dianjurkan oleh karuhun, sistem pertanian ini dapat memenuhi jaminan subsistensi masyarakat Kasepuhan, bahkan secara ekonomis hasil panen sawah lebih menguntungkan daripada hasil huma. Uniknya, penanaman padi yang dilakukan masyarakat Kasepuhan baik di sawah maupun di huma hanya dilakukan satu kali dalam setahun, sesuai dengan anjuran karuhun mereka. Kegiatan bertani di sawah umumnya dipandu oleh pembacaan terhadap kedudukan konstelasi bintang kidang dan karti dengan dasar perhitungan yang menggunakan bulan Islam (RMI 2000). Dasar perhitungan tersebut adalah sebagai berikut: a. Tanggal kereti turun beusi, tanggal kidang turun kujang, tilem kidang turun kungkang, yang bermakna warga Kasepuhan harus sudah mempersiapkan alatalat untuk bertani. b. Kidang ngarangsang ti wetan, kerti ngarangsang ti kulon/kidang kerti pahareup-hareup yang merupakan tanda musim kemarau yang lama, ini dijadikan tanda saat membakar ranting dan daun di huma. c. Kerti mudun, kidang matang mencrang di tengah langit yang berarti tiba saat menanam padi di huma (ngaseuk). d. Kidang medang turun kungkang artinya bintang kidang dan kerti mulai hilang dari pandangan, yang biasanya menandakan akan datang kungkang (hama padi).
38
e. Kerti kidang ka kulon, konstelasi ini menjadi tanda datangnya musim hujan. Panen biasanya dilakukan mulai dari bulan April. Setelah dipanen, padi dipocong atau diikat lalu dijemur dengan menggunakan bambu atau disebut dengan dilantay. Dari dua ikat padi basah menjadi satu ikat padi kering. Setelah kering, padi dimasukkan ke dalam leuit atau lumbung padi. Hasil padi yang diperoleh masyarakat disisihkan untuk dimasukkan ke dalam Leuit Kasepuhan atau leuit girang. Untuk per 50 ikat padi, biasanya warga memasukkan 1 ikat ke dalam leuit girang. Ada kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat Kasepuhan bahwa siapa yang menggarap lahan pertanian dan bermatapencaharian sebagai petani, tentu hidupnya tidak akan kekurangan. Kebutuhan untuk makan setiap hari akan dapat dicukupi dari hasil taninya. Kalaupun tidak cukup dapat meminjam padi kepada leuit girang (Rahmawati et al 2008). Namun kebanyakan warga merasa bahwa kebutuhan makan mereka sudah tercukupi untuk setahun dari hasil panen bahkan lebih sehingga masih ada sisa padi di leuit rumahtangga masing-masing. Oleh karena itu mereka tidak perlu lagi meminjam padi ke leuit girang. 4.5
Karakteristik
Rumahtangga
Pemanfaat
Aren
di
Masyarakat
Kasepuhan Akses terhadap pemanfaatan hasil hutan dan penggarapan lahan untuk usaha tani, dipandang dari individu petani (rumahtangga) didasarkan atas pertimbangan keuntungan dan nilai manfaat. Rambo (1984) dalam Sudarmanto (1996) menyatakan bahwa nilai pemanfaatan hasil hutan dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi rumahtangga petani sekitar hutan. Untuk mengetahui nilai pemanfaaatan aren bagi masyarakat Kasepuhan diukur dari data karakteristik sosial ekonomi yang diperoleh dari penelitian ini, antara lain: 1.
Tingkat Usia Tingkat usia rata-rata dari responden berkisar antara 20-80 tahun.
Berdasarkan sebaran normal usia responden dikelompokan menjadi lima yaitu: (1) < 30 tahun, (2) 30-40 tahun, (3) 40-50 tahun, (4) 50-60 tahun, dan (5) > 60 tahun. Sebaran responden berdasarkan tingkat usia dapat dilihat pada Gambar 7.
39
3%
18%
21%
32% 26%
<30 tahun 30-40 tahun 40-50 tahun 50-60 tahun > 60 tahun
Gambar 7. Sebaran Usia Responden
Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa sebaran usia responden hampir merata pada selang umur 30 sampai 80 tahun. Hal tersebut dikarenakan rata-rata masyarakat mulai bekerja dan berumahtangga pada usia menjelang 20 tahun. Setelah memulai rumahtangga, kepala keluarga mulai mencari cara untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada di sekitarnya guna memenuhi kebutuhan rumahtangga sehari-hari, salah satunya memanfaatkan aren bagi rumahtangga yang memiliki pohon aren dan memiliki kemampuan untuk menyadapnya. Sebaran umur terbanyak pada usia > 60 tahun sebesar 32 % dan sebaran umur paling sedikit pada usia < 30 tahun sebesar 3 %. Dari data yang diperoleh, responden yang sudah berusia di atas 60 tahun pun masih dapat menyadap arennya sendiri, yaitu Bapak OP (70 tahun) dan Bapak NH (77 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa proses penyadapan aren lebih banyak dilakukan kelompok petani yang berusia tua. Namun, satu hal yang pasti adalah proses penyadapan aren terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup para penyadap aren setelah berumahtangga.
40
2.
Tingkat Pendidikan Gambaran secara umum kualitas sumberdaya manusia dapat dilihat dari
tingkat pendidikan yang telah ditempuh oleh responden. Tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 8.
15% 26% 6%
Tidak Tamat SD Tamat SD Tidak Tamat SMP Tamat SMP 53%
Gambar 8. Sebaran Tingkat Pendidikan Responden
Rata-rata responden hanya sekolah sampai bangku sekolah dasar yaitu sebesar 85%. Dari persentase tersebut, 26% tidak tamat SD dan 59% diantaranya menyelesaikan sekolahnya sampai tamat. Sedangkan sisanya sebesar 21% dapat melanjutkan pendidikan samapi jenjang SMP. Namun yang menyelesaikan pendidikannya sampai tamat SMP hanya sebesar 15% dan 6% lainnya tidak tamat SMP. Kurangnya fasilitas pendidikan serta akses ke sekolah yang jauh membuat masyarakat memilih untuk fokus pada kegiatan bertani. Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh terhadap pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan adaptasi dan adopsi terhadap teknologi dan perubahan, salah satunya dalam teknologi proses pembuatan gula aren yang masih tradisional. 3.
Mata Pencaharian Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi memiliki mata pencaharian utama
sebagai petani. Hasil dari pertanian tersebut ditujukan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari. Namun, karena responden dari penelitian ini adalah penyadap aren, maka untuk memenuhi kebutuhan lainnya mereka mempunyai pendapatan dari
41
pekerjaan sampingan lainnya seperti, buruh tani, kuli angkut, ojek, tukang kayu dan berdagang. Sebaran mata pencaharian sampingan responden terdapat pada Gambar 9.
7% 13%
Beternak
40% 13%
Tukang Kayu Berdagang Buruh Tani Kuli Angkut
20% 20%
Ojek
Gambar 9. Sebaran Mata Pencaharian Sampingan Responden
Berdasarkan Gambar 9, dari 34 responden terdapat 17 orang responden yang mata pencahariannya petani dan penyadap aren. Sedangkan 17 orang responden lainnya bekerja sampingan sebagai buruh tani sebesar 13%, kuli angkut sebesar 13%, tukang ojek 7%, beternak sebesar 40%, serta tukang kayu dan berdagang memiliki persentase yang sama sebesar 20%. Pekerjaan sampingan selain penyadap aren ini dilakukan untuk menambah pendapatan karena pohon aren tidak selalu menghasilkan banyak nira untuk diolah menjadi gula aren. 4.
Jumlah Anggota Rumahtangga Rata-rata jumlah seluruh orang yang berada di dalam satu rumahtangga
dan menjadi tanggungan kepala keluarga responden berkisar antara 2 sampai 5 orang. Jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap pendapatan per kapita yang diperoleh masing-masing anggota rumahtangga. Dari data primer diperoleh sebaran jumlah tanggungan keluarga yang dapat dilihat pada Gambar 10.
42
12% 14% 2 orang 3 orang
26%
4 orang 5 orang
47%
Gambar 10. Sebaran Jumlah Anggota RT
Berdasarkan Gambar 10, mayoritas responden memiliki jumlah anggota rumahtangga 3 sampai 4 orang, yaitu sebesar 26% dan 47%. Untuk 12% responden yang jumlah tanggungan keluarganya hanya 2 orang biasanya merupakan pasangan suami-istri yang sudah sepuh dan anaknya-anaknya sudah menikah dan berumahtangga. Sedangkan
responden yang memiliki jumlah
tanggungan 5 orang sebesar 14%. Jumlah tanggungan keluarga ini berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan rumahtangga dari hasil penjualan gula aren, dan hasil dari komoditi lainnya. 5.
Luas Lahan Garapan Setiap responden memiliki lahan garapan, baik lahan yang dimiliki sendiri
maupun milik orang lain yang digarap oleh responden. Berdasarkan gambar tersebut, seluruh responden rata-rata memiliki lahan garapan yang kurang dari 0.5 ha. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh responden merupakan rumahtangga petani dengan kepemilikan lahan skala yang kecil. Sebaran luas lahan garapan yang dimiliki responden adalah sebagai berikut.
43
3%
< 0.5 ha > 0.5 ha
97%
Gambar 11. Sebaran Luas Lahan Garapan
Berdasarkan total lahan garapan tersebut, lahan garapan sawah dan huma merupakan sumber pendapatan utama yaitu dari hasil padi yang diperoleh. Pendapatan tambahan berupa uang biasanya diperoleh dari hasil buruh kerja tani dan hasil panen dari lahan lainnya sepeti talun, dan pekerjaan sampingan non pertanan lainnya. Berdasarkan pengamatan di lapangan, lahan yang mereka miliki adalah lahan yang diwariskan oleh orang tua sehingga orang tua yang memiliki jumlah anak yang banyak maka masing-masing anak mendapat porsi yang kecil. Meskipun memiliki lahan yang sempit tetapi masyakat masih dapat menggarap lahan komunal yaitu huma. 6.
Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan dilihat dari tingkat perolehan dari kegiatan mata
pencaharian masyarakat yang diukur dalam uang. Pengukuran tingkat pendapatan dikelompokkan berdasarkan per kapita yaitu pendapatan rumahtangga dibagi dengan jumlah tanggungan dalam keluarga. Tingkat Pendapatan dikelompokan dalam tiga kategori yaitu (1) tinggi (>Rp 750.000), (2) sedang (Rp 350.000- Rp 750.000), (3) rendah (
44
29% 18%
< Rp 350.000 Rp 350.000- Rp 750.000 > Rp 750.000
53%
Gambar 12. Sebaran Tingkat Pendapatan
Berdasarkan Gambar 12, persebaran tingkat pendapatan responden ratarata berada di tingkat Rp 350.000-Rp 750.000. Hal ini terkait dengan pemanfaatan aren yang lebih banyak dimanfaatkan responden sebagai sumber pendapatan berupa uang melalui hasil gula aren. Tingkat pendapatan yang diterima dari memanfaatkan aren akan mempengaruhi perilaku masyarakat desa tersebut dalam pengembangan pemanfaatan aren itu sendiri. Pemanfaatan aren yang memiliki persentase besar memberikan kontribusi yang besar pula terhadap struktur pendapatan rumahtangga penyadap aren sehingga perlu suatu langkah untuk membudidayakan aren agar terjaga dan terjamin kelestariannya karena selama ini aren yang dimanfaatkan masyarakat merupakan aren yang tumbuh karena bantuan musang.
45
BAB V KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN AREN
5.1
Sejarah Pemanfaatan Aren Pohon aren banyak tumbuh di kebun-kebun milik masyarakat Kasepuhan
atau biasa disebut talun. Kebun talun sendiri merupakan bagian dari leuweung sampalan, yaitu hutan yang dapat dimanfaatkan dan dipungut hasilnya oleh masyarakat, namun tetap dalam batas-batas aturan adat. Kebun talun termasuk ke dalam rangkaian bentuk pemanfaatan lahan dengan siklus ngahuma. Pohon aren ini tumbuh sendiri karena adanya musang yang menyebarkan benih aren melalui kotorannya, dan untuk menumbuhkannya perlu waktu selama sepuluh tahun. Pohon aren dimanfaatkan oleh masyarakat Kasepuhan sejak awal mula masyarakat Kasepuhan terbentuk, sehingga pemanfaatan aren sendiri tumbuh bersamaan dengan munculnya masyarakat Kasepuhan. Masyarakat memposisikan pohon aren sebagai pohon yang cukup istimewa karena seluruh bagian dari pohon aren bermanfaat. Karena manfaat yang banyak inilah, orangtua atau kolot di masyarakat Kasepuhan menanamkan nilainilai yang baik pada anak-anaknya yaitu ‗hirup kudu siga tangkal kawung’ yang artinya ‗sebagai manusia hidup harus seperti pohon aren yang memiliki banyak manfaat dan dapat berguna bagi orang lain‘. Secara turun temurun kokolot kampung memberikan wejangannya agar selalu melestarikan pohon-pohon aren yang ada di kampung mereka. ‗Jeujeuhken kaung tina kahirupan urang, eweuh kaung – eweung kaberkahan jeung kahirupan urang ka hareup‘ yang artinya ‗jadikan pohon aren sebagai bagian dari kehidupan, jika tidak ada pohon aren maka tidak ada pula berkah di masa yang akan datang, demikian ungkapan yang selalu disampaikan kepada generasi mendatang di Desa Sirna Resmi. Semua bagian pohon aren dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, antara lain air nira untuk gula aren dan cuka, buah aren (kolang kaling) untuk dikonsumsi sebagai makanan, akarnya untuk obat tradisional, daun muda/janur untuk pembungkus kertas rokok, dan batangnya untuk membuat sagu aren serta berbagai macam peralatan dan bangunan. Masyarakat memanfaatkan air niranya
46
untuk dijadikan gula aren dalam bentuk gula cetak/kojor. Namun seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat mulai mengolah gula aren dalam bentuk gula semut. Awalnya aren merupakan salah satu hasil hutan atau kebun yang dimanfaatkan masyarakat Kasepuhan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, seiring berjalannya waktu hasil aren pun ternyata memiliki nilai ekonomis sehingga masyaarakat Kasepuhan pun mulai memanfatkan aren sebagai sumber pendapatan bagi rumah tangga. Mata pencaharian utama masyarakat Kasepuhan yang umumnya adalah petani padi, baik sawah maupun huma. Oleh karena itu, menyadap aren merupakan pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan untuk menambah pendapatan mereka berupa uang. Selain itu, mereka juga memperoleh pendapatan dari menjual hasil kebun lain seperti sayur, buahbuahan, dan kayu serta pekerjaan lainnya sebagai tukang ojek dan kuli. Penyadap aren di Sirna Resmi menyadap aren di pagi dan sore hari. Penyadapan dilakukan oleh kepala keluarga atau anggota keluarga laki-laki yang memang memiliki ‗keahlian‘ karena dalam penyadapan nira aren tidak hanya keahlian teknis yang diperlukan oleh setiap penyadap nira dalam pengelolaan pohon aren agar menghasilkan nira, tetapi juga penguasaan keahlian spiritual. Setelah disadap, nira dimasak di atas tungku kayu. Untuk tugas memasak nira agar menjadi gula aren dilakukan oleh para istri. Gula aren lalu dicetak dengan menggunakan cetak kelapa dan dibungkus dengan pelepah daun aren atau daun kelapa, dan gula disimpan di atap rumah atau para. Dari dua gula cetak yang dijadikan satu, akan membentuk satu hulu atau satu kepala, dan dari lima hulu gula akan membentuk satu kojor gula. Gula cetak ini akan bertahan lama sampai dua tahun. Jika gula cetak tersebut disimpan dalam jangka waktu yang lama, maka dari satu hulu atau satu kepala gula cetak akan muncul telur gula di dalamnya. Telur gula ini merupakan gula berwarna putih yang terbentuk dari hasil endapan gula cetak. 5.2
Pola Penguasaan Aren dan Akses Terhadap Pohon Aren Pohon aren yang tumbuh di kebun atau talun milik masyarakat Kasepuhan
bukan merupakan hasil budidaya, melainkan tumbuh dengan sendirinya karena bantuan musang. Umumnya kepemilikan lahan di masyarakat adat merupakan
47
lahan yang dimiliki oleh komunitas adat berupa lahan komunal, sehingga setiap anggota komunitas memiliki hak untuk menguasai dan mengelola lahan. Begitu juga dengan kepemilikan lahan yang ada di Kasepuhan. Lahan yang ada di wilayah Kasepuhan bersifat komunal dan sebagian anggota komunitas berhak untuk menggarap lahan (Mardiyaningsih, 2010). Dalam pola pengelolaannya harus tetap menuruti aturan adat, dimana hak garap yang dimiliki anggota komunitas dapat dialihkan kepada anggota komunitas lain dengan sistem bagi hasil. Anggota komunitas berhak menggarap lahan tersebut dan dapat mengaksesnya, asalkan ia masih mengelolanya dengan baik. Wilayah desa yang sebagian besar berada di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ini menyebabkan akses masyarakat atas lahan tersebut mulai terbatas. Masyarakat yang ingin menggarap lahan sulit untuk mendapat akses karena ada batas-batas yang telah ditetapkan oleh pihak Taman Nasional, terutama setelah diterbitkannya Keputusan Menteri Kehutanan No. 175 Tahun 2003 tentang perubahan fungsi kawasan Perhutani menjadi bagian dari kawasan TNGHS, termasuk di dalamnya pemukiman dan lahan garapan penduduk Desa Sirna Resmi, terutama di Dusun Cicemet. Surat Keputusan perluasan kawasan taman nasional ini menyebabkan hilangnya akses masyarakat Kasepuhan untuk menggarap lahan pertanian. Sebelum tahun 2003, masyarakat Kasepuhan menggarap lahan di kawasan Perhutani. Ketika itu, mereka masih memiliki akses untuk menggarap lahan meskipun harus membayar pajak kepada Perhutani sebesar 10% dari hasil tani. Masyarakat yang ingin menggarap lahan harus mendapatkan izin dari Negara dengan memiliki SPPT atau Surat Peringatan Pajak Terhutang, yang berfungsi sebagai surat untuk membayar pajak tanah. Biaya pajak SPPT ini dibagi menjadi dua kelas berdasarkan luasan lahan, yaitu Rp 25000 per 10000 meter persegi dan Rp 15000 per 10000 per meter persegi. Setelah memiliki SPPT, maka warga dapat menggarap lahan tersebut dan berhak atas lahan tersebut dan dapat menggarapnya secara individu. Hak garap individu ini berlaku untuk semua lahan garapan, baik sawah, huma, dan talun. Hak garap lahan ini dapat diwariskan turun temurun. Terkadang SPPT digunakan oleh masyarakat sebagai alat transaksi
48
keuangan. Surat pajak ini biasanya dijadikan jaminan dalam mendapatkan kredit motor. Pohon aren yang dimanfaatkan oleh penduduk adalah pohon aren tumbuh di kebun talun milik penduduk. Aturan kepemilikan pohon aren sendiri didasarkan pada kepemilikan lahan dimana pohon aren tersebut tumbuh. Jadi dapat dikatakan, ketika pohon aren tersebut tumbuh di lahan atau kebun milik salah satu warga, berarti kepemilikan pohon aren tersebut dimiki oleh warga yang bersangkutan dan pemilik lahan tersebut berhak untuk memanfaatkan pohon aren itu. Sistem kepemilikan pohon aren dapat diwariskan bersamaan dengan diwariskannya lahan talun. Kepemilikan atas pohon aren hanya dapat dialihkan dengan cara menjual pohon tersebut kepada pihak lain. Tidak semua pemilik aren menyadap arennya sendiri. Hal ini terkait dengan aturan adat dalam pemanfaatan aren yang menyatakan bahwa aren tidak bisa disadap oleh sembarang orang. Ketika pemilik pohon tersebut tidak memiliki ‘keahlian‘ untuk menyadap aren, maka pemilik tersebut akan memberikan hak penyadapan aren tersebut kepada pihak lain, baik keluarga atau kerabat yang memang memiliki keahlian dalam menyadap aren melalui sistem bagi hasil atau maro. Seperti yang dikemukakan oleh salah satu responden, Bapak AD (35 tahun): ”Saya mah tidak bisa nyadap aren. Pohonnya banyak di talun, tapi disadap ku batur (disadap orang lain). Paling saya dapat gula 5 kg dalam seminggu buat di rumah.” Sistem bagi hasil atau maro dalam pemanfaatan aren banyak ditemukan di lokasi penelitian. Pemilik dan penyadap aren sudah memiliki perjanjian dalam pembagian hasil dari pengolahan nira menjadi gula aren. Berdasarkan informasi yang didapat, pemilik dan penyadap aren biasanya membagi hasil arennya dengan membagi hasil yang didapat dalam satuan hari. Ada beragam bentuk bagi hasil yang dilakukan oleh pemilik pohon aren dan penyadap, antara lain: Bagi hasil 6:1 yaitu dalam tujuh hari penyadap memperoleh bagian dari hasil gula aren selama enam hari dan pemilik pohon hanya satu hari, bagi hasil 4:1 yaitu dalam lima hari penyadap memperoleh bagian dari hasil gula aren selama empat hari dan pemilik pohon hanya satu hari,
49
bagi hasil 3:1 yaitu dalam empat hari penyadap memperoleh bagian dari hasil gula aren selama tiga hari dan pemilik pohon hanya satu hari, dan bagi hasil berselang dua hari sekali atau 2:1 yaitu dalam tiga hari penyadap memperoleh bagian dari hasil gula aren selama dua hari dan pemilik pohon hanya satu hari. Sebenarnya tidak ada latar belakang tertentu dari pembagian hasil tersebut. Pemilik pohon hanya ingin pohon arennya dapat dimanfaatkan, meskipun oleh kerabat maupun orang lain. Oleh karena itu, para pemilik pohon yang tidak dapat menyadap aren lebih baik membiarkan pohonnya disadap orang lain agar lebih bermanfaat, sesuai dengan keyakinan masyarakat yang memposisikan pohon aren sebagai pohon yang istimewa karena manfaatnya yang banyak. Selain itu, rasa kekeluargaan masyarakat yang cukup tinggi dengan sesama anggota komunitas membuat para pemilik pohon aren memberikan seluruh hasil pohon arennya kepada penyadap dan mereka hanya mendapatkan bagian yang lebih sedikit. Namun, pemilik pohon justru merasa senang jika pohon yang mereka miliki disadap orang lain daripada dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa memanfatkan hasil dari pohon aren tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Bapak ZA (40 tahun): ”Pohon kawung (aren) saya banyak di talun, ratusan malah. Ada yang masih kecil dan ada yang sudah besar. Tapi pohon banyak gitu mah susah nyadapnya, mending diparo saja ke orang, biar lebih bermanfaat. Kalau bagi hasilnya mah ga seberapa, paling 3 sampai 5 kg, yang penting gula cukup untuk di rumah buat masak sama ngopi.” Kepemilikan pohon aren dapat dialihkan dengan dua cara. Pertama, karena warisan dari keluarga secara turun temurun (sesuai dengan kepemilikan lahan kebun yang digarap), dan kedua karena adanya jual beli pohon aren. Sebenarnya menurut aturan adat yang berlaku, pohon aren tidak dapat diperjualbelikan kecuali jika pohon aren tersebut tidak lagi memproduksi nira. Pohon aren yang sudah tidak memproduksi nira tersebut biasanya dijual untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku sagu aren. Akan tetapi, pada kenyataannya beberapa pemilik aren menjual pohon arennya, bahkan yang masih muda dan belum mengeluarkan nira. Pohon tersebut dijual karena alasan bahwa pemiliknya
50
tidak bisa menyadap pohon tersebut, sehingga ia menjualnya kepada orang lain. Alasan lainnya yaitu karena lokasi pohon aren tersebut jauh dari tempat tinggal si pemilik. Seperti yang dikemukakan oleh Pak JT (60 tahun): “Sebenarnya saya mempunyai banyak pohon aren yang tumbuh sendiri di kebun milik saya. Hanya saja, saya tidak menyadap pohon aren tersebut sehingga saya menyuruh adik saya untuk menyadap pohon tersebut. Lagipula pohonnya ada di kampung sebelah, jadi saya suruh adik saya saja yang nyadap.” 5.3
Aturan-Aturan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Sebagai masyarakat adat yang masih memegang teguh nilai-nilai adat dan
budayanya, masyarakat Kasepuhan memiliki tata cara berinteraksi dengan alam, terutama dalam kegiatan bercocok tanam seperti aturan-aturan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hasil pertanian dan hutan. Untuk pertanian sendiri, masyarakat Kasepuhan memiliki aturan dalam menjalankan pertanian. Mereka tidak hanya menjadikannya sebagai usaha memenuhi kebutuhan hidup, tetapi dijadikan sebagai bentuk kesadaran dalam menjalankan aturan adat yang memang harus dipatuhi. Bertani atau ngahuma merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap anggota masyarakat Kasepuhan. Selain itu, sebagian besar masyarakat juga menanam padi dengan sistem sawah. Sawah tadah hujan merupakan sawah yang banyak ditemukan di Desa Sirna Resmi karena mereka mengandalkan air hujan sebagai sumber air bagi tanaman padi mereka. Kegiatan ngahuma dijalankan dengan bersungguh-sungguh dan masih terikat dengan ritual-ritual tertentu dari mulai penanaman sampai dengan pemanenan. Untuk kegiatan ngahuma sendiri dimulai dari nyacar sampai seren taun, sedangkan untuk kegiatan di sawah dimulai dari ngababad (membersihkan lahan) sampai ngaleuit (memasukkan padi ke dalam lumbung). Hasil dari padi yang mereka peroleh digunakan untuk kebutuhan pangan masing-masing keluarga atau rumah tangga selama satu tahun. Aturan adat melarang masyarakat Kasepuhan menjual hasil padi mereka. Namun, ada beberapa anggota masyarakat yang menjual padinya walaupun sedikit untuk menambah pendapatan dengan syarat jumlah padi yang mereka miliki ada kelebihan dan kebutuhan pangan mereka untuk satu tahun dapat terpenuhi.
51
5.4
Aturan Adat dalam Pemanfaatan Aren Setiap penyadap aren di Desa Sirna Resmi memiliki mata pencaharian
utama sebagai petani, terlepas dari status mereka apakah memiliki lahan sawah atau huma atau tidak memiliki lahan sawah atau huma4. Aren tumbuh sendiri di kebun talun karena adanya bantuan musang. Terkait dengan pemanfaatan pohon aren, terdapat aturan adat yang harus dipatuhi oleh masyarakat Kasepuhan, antara lain: 1.
Sebelum memanfaatkan pohon aren, perlu menguasai doa-doa mantra. Seorang pemanjat pohon aren harus memahami sisi gaib pohon itu. Berbagai mantra harus dibacakan ketika hendak memanjatnya. Begitu pula ketika pohon aren akan ditebang. Masyarakat mempercayai, apabila menebang pohon aren tanpa membacakan mantra-mantra terlebih dahulu, niscaya kabendon (kutukan dari karuhun/sesepuh terdahulu) dapat menimpa si penebang.
2.
Aren tidak bisa disadap oleh sembarang orang. Menurut kepercayaan masyarakat Kasepuhan, hanya orang-orang yang bertangan dingin yang dapat menyadap aren. Jika aren disadap oleh orang yang bertangan panas, maka air nira akan berkurang bahkan tidak akan keluar lagi.
3.
Penyadap aren harus memiliki hati yang bersih, dan ketika melakukan penyadapan harus dilakukan dengan hati yang senang atau suasana hati yang baik. Ketika penyadap aren sedang menghadapi masalah, sebaiknya tidak melakukan penyadapan karena pohon aren bisa ―marah‖. Pohon aren yang marah biasanya akan mandul atau tidak akan mengeluarkan air niranya lagi.
4.
Penyadap aren tidak boleh menjual air nira dalam bentuk cair atau mentah melainkan harus dalam bentuk gula aren. Salah seorang responden, AR (60 tahun), mengaku pernah mendapatkan kabendon. Saat itu, air nira yang dihasilkan pohon arennya hanya sedikit. Untuk mengolahnya menjadi gula aren pun tidak seberapa hasilnya. Beliau pun menjual air nira tersebut di Pelabuhan Ratu. Ternyata keesokan harinya beliau tidak dapat berbicara, dan hal tersebut terjadi selama dua hari. Setelah menyadari bahwa itu bentuk
4
Petani yang tidak memiliki lahan biasanya mendapatkan padi dari hasil bekerja sebagai buruh tani.
52
kutukan karena melanggar aturan adat, maka beliau mendatangi ‗orang pintar‘. Pak AR pun harus melakukan syukuran untuk pembersihan atau beberes agar kutukan/kabendon tersebut hilang. Aturan-aturan ini bersifat tidak tertulis dan kebanyakan penyadap aren masih meyakini bahwa dengan mematuhi aturan tersebut maka pohon aren yang mereka miliki akan terus membawa berkah bagi masyarakat Kasepuhan. 5.5
Ekstraksi dan Produksi Aren Sebelum dilakukan penyadapan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
seperti persiapan peralatan yang akan digunakan, kesiapan pohon yang akan disadap dan pengetahuan mengenai cara penyadapan, yang dapat mempengaruhi mutu nira yang akan dihasilkan. Alat-alat yang digunakan untuk menyadap nira sebagian besar merupakan hasil buatan sendiri yang bahan bakunya berasal dari kebun atau pekarangan, atau membelinya di pasar. Peralatan tersebut antara lain: a.
Paninggur, yaitu alat untuk memukul-mukul lengan pohon aren yang akan disadap dengan tujuan untuk memperlancar keluarnya air nira,
b.
Peso sadap, berfungsi untuk memotong ujung lengan pohon aren,
c.
Lodong, bambu panjang berbentuk silinder yang digunakan untuk menampung air nira,
d.
Sigai, yaitu tangga yang terbuat dari bambu dan digunakan untuk menaiki pohon aren,
e.
Jeuntas atau tali yang terbuat dari bambu, yang berfungsi sebagai pijakan penyadap saat menyimpan, menyadap, dan mengambil lodong, dan
f.
Bedog, digunakan untuk membuka pelepah aren. Penyadapan dapat dilakukan pada pohon aren yang sudah berumur 10-12
tahun dan setelah bunga jantan mekar (tua). Ciri-ciri bunga jantan yang sudah tua dan siap untuk disadap dapat dilihat dari beberapa tahapan sebagai berikut : a.
Barenghor, yaitu bagian lengan aren terlihat sudah mekar dan bagian dalam bunga (benang sari) berwarna kuning.
b.
Humangit, yaitu tercium bau dari lengan aren yang sangat tajam. Apabila kita berada di bawah pohon aren aroma tersebut tercium, tetapi apabila berada di atas pohon aren, aroma tersebut tidak tercium sama sekali.
c.
Jeugang, yaitu keluar getah yang sangat lengket di sekitar tandan lengan.
53
d.
Lumejar, yaitu bagian lengan sudah berwarna hijau tua, hitam atau ungu kehitaman.
Sebelum pohon bisa diambil niranya, perlu dilakukan proses-proses yang memiliki tahapan: 1. Pembersihan lengan pohon aren atau tandan. Persiapan penyadapan dimulai dengan membersihkan batang pohon aren dari ijuk dan membuka pelepahnya, kemudian memasang sigai dan memasang jeuntas. 2. Ninggur, yaitu memukul-mukul lengan pohon aren yang merupakan tempat keluarnya air nira. Dalam proses meninggur ini juga dilakukan beberapa doa khusus berupa pujian atau kata-kata baik yang ditujukan kepada pohon aren agar air niranya keluar. Proses ninggur ini dilakukan dengan melakukan pukulan sebanyak 3 sampai 7 kali, sampai lengan pohon aren tersebut berwarna kehitaman. Pohon aren baru dapat ditinggur apabila sudah memiliki tiga lengan/tandan atau setelah keluar bunga jantannya dan berbuah. Dalam sebulan, biasanya penyadap meninggur dilakukan satu samapi dua kali dalam seminggu 3. Mengayun-ayun lengan aren. Ini dilakukan untuk memancing air nira keluar. Biasanya dilakukan berulang kali agar pori-pori yang ada di lengan aren membesar dan air nira dapat terpancing keluar lebih banyak. Proses mengayun ini dilakukan sebelum dan sesudah meninggur, dan setiap kalinya dilakukan sebanyak 20-30 kali ayunan. 4. Dipagas atau magas, yaitu memotong ujung tandan bunga jantan dengan menggunakan pisau sadap, kemudian dibiarkan 1-3 hari sampai niranya keluar. Apabila dari tandan bunga jantan tersebut keluar buih/busa, maka buih yang keluar harus dibersihkan dengan cara tandan bunga jantan disayat tipis menggunakan pisau sadap kemudian digosok dengan ijuk. Buih ini dapat menyebabkan nira menjadi asam. Selanjutnya, setelah tandan bunga jantan bersih dari buih, tandan bunga jantan tersebut dibungkus dengan daun waluh gede/labu dan didiamkan kembali selama 1-3 hari. Pembungkusan ini dikenal dengan istilah dipoko. Jika setelah dipoko banyak nira yang keluar, maka tandan bunga jantan tersebut sudah bisa untuk disadap.
54
5. Setelah air nira keluar, para penyadap mulai menaruh lodong atau wadah bambu berbentuk silinder panjang untuk mengumpulkan air nira tersebut. Sebelum ditaruh, lodong dicuci terlebih dahulu dengan air yang mengalir, kemudian diasapi dengan menggunakan bara api sampai lodong terasa panas dan kering. Selanjutnya dimasukkan raru atau bahan pengawet untuk mencegah agar nira tidak menjadi asam. Biasanya bahan pengawet tersebut berasal dari daun-daunan, akar, atau kulit pohon, seperti daun jambu air, daun atau manggis. Untuk mencegah masuknya kotoran seperti debu dan semut, biasanya celah diantara tangkai bunga aren dan mulut lodong disumbat dengan ijuk. Sedangkan untuk mencegah masuknya air hujan, di atas mulut lodong diberi atap dari ijuk atau karung. Namun bila air hujan masih dapat masuk ke dalam lodong dapat diatasi dengan cara membuang airnya, karena air hujan tidak bercampur dengan nira. Dari satu lengan pohon aren dapat menghasilkan air nira dalam jangka waktu lima sampai tujuh bulan, tergantung panjang tandan, jumlah ruas pada tandan dan kesuburan pohonnya. Biasanya lengan pertama merupakan lengan yang paling banyak mengeluarkan air nira. Jumlah lengan pohon aren beragam, tergantung pada ketinggian pohon. Para penyadap aren biasanya berangkat pagi hari untuk mengambil air nira yang sudah terkumpul di dalam lodong yang sebelumnya diberi akar nangka atau akar kawao sebagai bahan pengawet yang berfungsi sebagai pencegah pengasaman pada air nira. Selain dengan itu bahan pengawet lain yang dapat digunakan yaitu kulit manggis dan kapur sirih. Nira yang telah dikumpulkan tersebut kemudian diolah di atas api tungku kayu bakar selama 5–8 jam pada ruangan khusus atau disebut dengan imah gula. Ruang tersebut letaknya tak jauh dari kebun talun, berukuran 3 x 4 meter persegi dan dipenuhi peralatan dapur untuk mengolah gula aren. Untuk mengolahnya menjadi gula cetak, air nira terus dimasak sampai menyusut (ngacaah), lalu mengental dan berwarna kekuning kuningan. Saat nira mulai mendidih (ngaguruh), di permukaannya akan terdapat buih. Buih ini sebaiknya dibuang dengan menggunakan alat penciduk agar diperoleh gula yang tidak berwarna gelap (hitam), kering dan tahan lama. Selanjutnya, gula yang
55
sudah matang siap dicetak dalam cetak-cetak kelapa yang sudah dibersihkan dan dibiarkan hingga mengeras, lalu siap dikemas dengan menggunakan pelepah daun aren. Sedangkan pengolahan nira aren menjadi gula semut sedikit agak berbeda. Proses pembuatannya dimulai dengan menyaring nira agar bersih dari kotoran, kemudian dimasak di atas tungku selama 5–8 jam dengan terus diaduk sampai mengental kecoklat-coklatan. Selama pengadukan, adonan aren ditambah minyak kelapa dengan perbandingan satu sendok makan minyak kelapa untuk ± 25 liter nira. Setelah masak, nira didinginkan sambil terus diaduk perlahan-lahan. Kemudian, diamkan beberapa saat agar mengembang. Pengadukan diulangi lagi dengan cepat menggunakan kayu pengaduk untuk memperoleh butiran-butiran berbentuk pasir/kristal. Setelah itu butiran tersebut diayak dengan menggunakan ayakan untuk memperoleh butiran-butiran pasir yang seragam sebelum akhirnya dikemas dalam kantong-kantong plastik dan siap dijual. Dahulu masih ada pembagian kerja dalam pengolahan nira menjadi gula aren, dimana kepala keluarga atau anggota keluarga laki-laki menyadap aren, dan istri atau ibu memasak nira di rumah. Namun, saat ini pembagian kerja tersebut sudah tidak lagi ditemukan karena para ibu atau istri lebih banyak bertugas untuk memasak makanan di dapur dan mengurus rumahtangga sehingga peran untuk memasak nira kini dilakukan oleh penyadap langsung di imah gula yang letaknya tak jauh dari talun. Setelah masyarakat mulai mengenal gula semut dan mengkomersialisasikannya, peran perempuan dalam pengolahan gula aren semakin berkurang. Hal ini menandakan bahwa komersialisasi komoditi gula aren membuat pengolahan gula aren lebih banyak dilakukan oleh kaum lelaki karena bidang pengetahuan yang mereka miliki, baik keahlian secara spritual dalam pemanfaatan aren maupun pengetahuan nilai ekonomi dari gula aren itu sendiri setelah berkembangnya komersialisasi gula semut di masyarakat Kasepuhan. Biasanya para petani aren menjual hasil gula arennya kepada pengumpul. Para pengumpul pun rata-rata hanya menerima gula aren dalam bentuk gula semut. Hal ini dikarenakan nilai jual gula semut yang lebih tinggi dibanding gula cetak. Bahkan gula semut ini juga dipasok ke kota-kota besar di luar Sukabumi, bahkan sampai ke Jakarta. Selain itu dapat dikonsumsi langsung oleh konsumen, gula semut ini juga diolah sebagai bahan baku untuk pembuatan makanan dan
56
minuman di pabrik-pabrik besar. Menurut salah satu informan, Pak OM (36 tahun), salah satu produk Brown Coffee menggunakan gula aren yang diproduksi di Kasepuhan ini. Selain itu produk minuman lain seperti bandrek atau minuman jahe juga menggunakan bahan baku gula semut ini. Masyarakat Kasepuhan memang lebih memilih gula semut untuk dikomersialisasikan dibandingkan gula cetak. Menurut para responden, hal ini dikarenakan gula aren dapat ‗menghasilkan‘. Sebenarnya gula cetak pun sama, hanya saja peminatnya tidak banyak dan mereka hanya membuat gula cetak jika ada pesanan saja. Selain itu, pembuatan gula semut ini juga dilakukan atas insruksi dari pemerintah daerah setempat agar menjadikan gula aren sebagai komoditi utama yang diproduksi di Desa Sirna Resmi. Gula semut biasanya dijual kepada pengumpul dengan kisaran harga Rp 7.000,00 sampai Rp 10.000,00 per kilogram. Untuk gula cetak dijual langsung kepada konsumen dengan harga Rp 15.000,00 sampai Rp 25.000,00 per kojor. Kojor ini merupakan satuan ukuran yang digunakan masyarakat Kasepuhan untuk gula cetak. Satu kojor sama dengan lima hulu atau kepala. Masing-masing hulu terdiri dari dua cetak gula yang direndengkan menjadi satu. Gula cetak juga dapat dijual per hulu seharga Rp 3.000,00-5.000,00. Selanjutnya mengenai pembagian kerja yang terjadi dalam pemasaran gula aren dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Pemilik dan penyadap aren Penyadap aren yang ada di Kasepuhan masih mengolah gula aren dalam skala kecil, yaitu skala rumahtangga. Dalam satu rumahtangga yang memiliki pohon aren, penyadapan bisa dilakukan oleh kepala keluarga itu sendiri, anak lakilakinya, atau adik laki-laki, keponakan laki-laki, dan menantu laki-laki yang memang memiliki keahlian menyadap aren. Memasak gula aren pun langsung dilakukan oleh orang yang menyadap aren. Namun, tidak menutup kemungkinan anggota keluarga perempuan untuk memasak gula aren. Akan tetapi hal ini sudah jarang ditemukan di Kasepuhan karena kaum perempuan lebih fokus pada urusan bertani dan urusan di memasak dapur untuk menyediakan makanan bagi seluruh anggota keluarga. Pembagian tugas keluarga dalam penyadapan aren masih dilakukan oleh salah satu responden yaitu Bapak AN (74 tahun). Beliau hanya bertugas memasak gula aren, sedangkan anak laki-lakinya bertugas menyadap nira
57
dari pohon aren yang ia miliki tanpa adanya pembagian hasil gula aren. Lain halnya dengan Bapak IR (55 tahun) yang niranya disadap dan dimasak oleh anaknya, namun dengan memakai sistem maro dimana ada pembagian hasil gula aren. 2. Pengumpul Pengumpul berperan mengumpulkan gula aren yang diperoleh dari penyadap aren. Pengumpul merupakan pihak yang menjembatani pemasaran gula semut dari dalam desa ke luar desa sehingga gula semut dari Kasepuha dapat dipasarkan ke kota-kota besar. Pengumpul gula aren dapat dikatakan sebagai pihak yang paling penting dari pemasaran gula aren ini, karena tanpa adanya pengumpul gula aren di tiap-tiap kampung para penyadap tidak dapat memasarkan ke luar desa. Lagipula jarak yang harus ditempuh dari satu dusunh ke dusun lain sangat jauh, sehingga para penyadap lebih memilih untuk menjual gula semutnya melalui pengumpul gula semut. Sedangkan pengumpul sagu aren hanya dapat ditemukan di tiap desa, sehingga untuk pemasaran sagu aren agak sulit ditelusuri karena lokasinya yang sangat jauh. Untuk saat ini, kebanyakan pohon aren yang sudah tidak berproduksi dibiarkan saja sampai pohon tersebut mati dan tumbang dengan sendirinya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa terdapat kelembagaan berupa aturan-aturan adat mengenai pemanfaatan sumberdaya yang ada di Desa Sirna Resmi, khususnya masyarakat Kasepuhan dalam pemanfaatan dan pengelolaan aren masih tetap terjaga. Kelembagaan dari segi kepemilikan pohon aren ditentukan berdasarkan tempat tumbuhnya pohon aren di kebun talun milik warga, dan kepemilikan tersebut dapat diwariskan turun temurun dalam suatu keluarga. Kepemilikan pohon aren juga dapat dipindahkan kepada orang lain melalui sistem jual-beli pohon aren, meskipun hal tersebut bertentangan dengan aturan adat yang berlaku di masyarakat Kasepuhan. Hal garap untuk memanfaatkan aren pun dapat diberikan kepada orang lain melalui sistem maro atau bagi hasil. Selain itu, kelembagaan yang terdapat dalam pengelolaan aren ini yaitu adanya peran pengumpul gula semut sebagai pihak yang menjembatani penyadap aren dengan konsumen untuk memasarkan hasil gula semut yang dihasilkan. Menurut penelitian RMI tahun 2003 lalu, terdapat koperasi KUB Karya Bakti
58
yang yang mengumpulkan gula aren dari perajin aren bagi empat desa, yaitu Desa Sirna Resmi, Desa Cicadas, Desa Sirnagalih, dan Desa Cikadu. Akan tetapi, saat ini koperasi tersebut sudah tidak berjalan lagi karena peran pengumpul gula semut diambil alih oleh para pengumpul gula semut yang jumlahnya semakin banyak, dan setidaknya setiap kampung memiliki satu sampai dua pengumpul gula aren. Penyebab lainnya yaitu adanya jaringan sosial yang terbentuk karena adanya hubungan informal sesama anggota komunitas Kasepuhan. Kepercayaaan yang terbangun dari hubungan antar individu yang sudah terjalin lama, dan terlibat dalam perilaku ekonomi berpengaruh terhadap pemasaran gula aren itu sendiri. Eksistensi koperasi yang diharapkan dapat menjadi fasilitator para penyadap aren menjual hasil arennya kepada konsumen ternyata tidak berjalan sesuai harapan. Hubungan yang sudah terjalin erat antara penyadap aren dengan pengumpul sebelumnya membuat penyadap lebih memilih untuk menjual hasil gula semutnya kepada para pengumpul daripada ke koperasi. 5.6
Ikhtisar Pemanfaatan aren dilakukan sejak awal komunitas Kasepuhan terbentuk,
sehingga pohon aren merupakan bagian dari keberadaan masyarakat Kasepuhan dari dulu hingga sekarang. Manfaat yang dimiliki pohon aren dari seluruh bagianbaginannya membuat pohon aren sangat ‗dihormati‘ oleh masyarakat Kasepuhan. Bahkan masyarakat Kasepuhan secara turun menurun memberikan wejangan dan filosofi yang berkaitan dengan pohon aren yaitu agar hidup dengan memberi banyak manfaat seperti pohon aren dan selalu melestarikan pohon aren agar membawa berkah bagi kehidupan masyarakat Kasepuhan. Pohon aren yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah pohon aren tumbuh di kebun talun milik masyarakat karena adanya musang yang menyebarkan benih aren melalui kotorannya. Aturan kepemilikan pohon aren sendiri didasarkan pada kepemilikan lahan dimana pohon aren tersebut tumbuh, sehingga ketika pohon aren tersebut tumbuh di lahan atau kebun milik salah satu warga, berarti kepemilikan pohon aren tersebut dimiki oleh warga yang bersangkutan dan pemilik lahan tersebut berhak untuk memanfaatkan pohon aren itu. Sistem kepemilikan pohon aren dapat diwariskan bersamaan dengan diwariskannya lahan talun. Kepemilikan atas pohon aren hanya dapat dialihkan dengan cara menjual
59
pohon tersebut kepada pihak lain. Namun, jika pemilik pohon tersebut tidak memiliki ‘keahlian‘ untuk menyadap aren, maka pemilik tersebut akan memberikan hak penyadapan aren tersebut kepada pihak lain, baik keluarga atau kerabat yang memang memiliki keahlian dalam menyadap aren melalui sistem bagi hasil atau maro. Dalam pemanfaatan pohon aren, terdapat aturan adat yang harus dipatuhi oleh masyarakat Kasepuhan, antara lain harus menguasai doa-doa atau mantra pada saat akan memanfaatkan pohon aren maupun menebangnya; penyadapan tidak boleh dilakaukan oleh sembarang orang dan harus dilakukan dengan hati yang bersih dan senang; serta tidak boleh menjual nira dalam bentuk cair, maelainkan harus diolah dulu menjadi gula aren. Para penyadap aren dan masyarakat Kasepuhan masih meyakini bahwa dengan mematuhi aturan tersebut maka pohon aren yang mereka miliki akan terus membawa berkah bagi masyarakat Kasepuhan. Proses ekstraksi dan produksi gula aren seluruhnya dilakukan oleh penyadap aren tanpa ada pembagian kerja dengan kaum perempuan. Berbeda dengan dahulu, perempuan masih memiliki peran dalam proses memasak gula aren. Namun saat ini pembagian kerja tersebut sudah tidak ditemukan lagi karena para ibu atau istri hanya bekerja di sawah, ladang atau huma dan mengurus rumahtangga. Kebanyakan penyadap mengolah gula aren menjadi gula semut, sedangkan gula kojor atau cetak hanya dibuat jika ada pesanan. Gula semut tersebut kemudian dijual kepada pengumpul dengan harga Rp 7.000,00 sampai Rp 10.000,00 per kilogram. Untuk gula cetak dijual seharga Rp 15.000,00 sampai Rp 25.000,00 per kojor atau dijual per hulu seharga Rp 3.000,00 sampai Rp 5.000,00. Sebelumnya pernah dibentuk koperasi yang bernama KUB Karya Bakti untuk mengumpulkan gula semut bagi empat desa, yang salah satunya Desa Sirna Resmi. Akan tetapi, koperasi tersebut tidak bertahan lama dan akhirnya ditutup. Tidak berjalannya koperasi gula aren yang pernah ada di Desa Sirna Resmi dikarenakan adanya pengumpul gula aren yang lebih mendominasi. Selain itu, hubungan yang sudah terjalin erat antara penyadap aren dengan pengumpul sebelumnya membuat penyadap lebih memilih untuk menjual hasil gula semutnya kepada para pengumpul daripada ke koperasi.
60
BAB VI KOMERSIALISASI AREN DAN PERANAN AREN BAGI MASYARAKAT KASEPUHAN
6.1
Komersialisasi Aren Gula aren pada awalnya hanya diolah menjadi gula cetak dan
dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Pengolahan gula aren di Kasepuhan sejak dulu sampai sekarang masih dilakukan secara tradisional. Seiring berjalannya waktu, masyarakat pun mulai menjual hasil gula cetak tersebut untuk memperoleh pendapatan. Pengolahan nira menjadi gula semut mulai banyak dilakukan sejak tahun 2002. Pada saat itu, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sukabumi melakukan sosialisasi kepada para petani aren untuk mengolah nira menjadi gula semut. Pembuatan gula semut pun masih dilakukan secara tradisional. Adanya gula semut ini menambah keragaman produk dari pohon aren, selain itu juga mengisi segmen pasar yang baru dengan potensi penggunaan bagi industri pangan yang luas. Nilai ekonomi gula semut memang dapat dikatakan lebih tinggi dibanding gula cetak biasa. Karena itu, gula semut dapat dijadikan sebagai salah satu komoditas unggulan dengan Kecamatan Cisolok sebagai salah satu lokasi sentra industri gula semut di Kabupaten Sukabumi. Pada tahun 2005, TNGHS dan JICA (Japan Internasional Cooperation Agency) yang juga bekerjasama dengan LSM Latin (Lembaga Alam Tropika Indonesia) pernah membuat suatu program atau proyek Model Kampung Konservasi atau MKK, yang salah satu kegiatannya adalah kegiatan pemberian bibit aren dan tanaman kayu yang bekerjasama dengan Dinas Kehutan. Program ini dilakukan di Dusun Cimapag, Desa Sirna Resmi. Akan tetapi program tersebut tidak berjalan dengan baik sehingga tidak ada kelanjutan yang berarti dari seluruh pihak yang terkait dalam program tersebut. Selain peminat yang banyak, gula semut juga digunakan oleh industriindustri makanan yang ada di kota-kota besar. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sukabumi tidak hanya melakukan sosialisasi saja, tapi
61
juga memberikan bantuan berupa peralatan untuk memasak gula seperti wajan besar,
pengaduk,
dan
lain-lain.
Bahkan
Pemerintah
Daerah
setempat
mencanangkan Program Budidaya Aren dengan memberikan bantuan sebanyak 6000 bibit pohon aren yang diberikan kepada tiga desa di Kecamatan Cisolok, yang salah satunya Desa Sinar Resmi pada tahun 2007 melalui Dinas Perkebunan Pemkab Sukabumi. Bibit yang diberikan merupakan jenis unggul lokal dan baru mulai akan berproduksi pada tahun 2014 nanti dan diperkirakan mencapai produksi puncak ketika pohon sudah berusia 20 tahun. 6.2
Pengaruh Komersialisasi bagi Kelembagaan Lokal
6.2.1
Perubahan pada Kepemilikan Pohon Kelembagaan lokal
yang dimiliki
masyarakat
Kasepuhan dalam
pemanfaatan aren berupa aturan yang bersifat lisan dan turun temurun. Selain pohon aren yang memang dianggap pohon istimewa karena memberikan manfaat yang banyak bagi masyarakat, dalam menyadap pohon aren pun ada aturan-aturan yang harus dipatuhi seperti proses yang dilakukan sebelum penyadapan, siapa saja yang bisa menyadap aren, pengolahan nira menjadi gula aren, serta penjualan pohon aren. Masyarakat masih memegang aturan-aturan adat yang berkenaan dengan pengelolaan dan pengolahan gula aren dan mematuhinya. Pengaruh komersialisasi tidak banyak mengubah kelembagaan lokal yang memang sudah ada. Namun perubahan yang terjadi adalah dalam penjualan pohon aren yang berkaitan dengan kepemilikan pohon aren, dan perubahan peran perempuan dalam pengolahan nira menjadi gula aren. Sebenarnya aturan penjualan pohon aren memang ada dalam aturan adat, dimana pohon aren tidak boleh dijual, dan hanya dapat dijual jika sudah tidak mengeluarkan air nira atau sudah tidak berproduksi. Pohon aren yang sudah ‗mandul‘ tersebut biasanya dijual kepada para pembuat sagu aren. Berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, ternyata jual-beli pohon aren yang masih muda dan berproduksi banyak dilakukan di Dusun Cimapag. Beberapa responden mengaku bahwa selain menyadap pohon sendiri, mereka juga membeli banyak pohon aren dari orang lain dan kemudian menyadapnya. Sebenarnya, pergantian kepemilikan pohon akibat penjualan pohon aren ini berkaitan dengan aturan adat yang menyatakan bahwa pohon aren tidak bisa disadap oleh
62
sembarang orang. Pergantian kepemilikan pohon lebih banyak ditemukan di Dusun Cimapag. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari salah seorang informan, jumlah pohon yang banyak membuat pemilik pohon tidak bisa menyadap seluruh pohon yang dimilikinya, baik pemilik tersebut memiliki maupun tidak memiliki keahlian menyadap aren sehingga ia memutuskan untuk menjual pohon yang ia miliki. 6.2.2
Perubahan Peran Perempuan dalam Produksi aren Dahulu masih ada pembagian kerja dalam pengolahan nira menjadi gula
aren, dimana kepala keluarga atau anggota keluarga laki-laki menyadap aren, dan istri atau ibu memasak nira dan membungkus gula aren di rumah. Namun, saat ini pembagian kerja tersebut sudah tidak lagi ditemukan karena para ibu atau istri lebih banyak bertugas untuk memasak makanan di dapur dan mengurus rumahtangga sehingga peran untuk memasak nira kini dilakukan oleh penyadap langsung di imah gula yang letaknya tak jauh dari talun. Savitri (2007) manyatakan bahwa di beberapa budaya dan etnis, kaum perempuan memiliki pengetahuan khusus dalam bertani, pengobatan, dan manajemen sumberdaya merupakan sesuatu yang khusus bagi mereka. Perbedaan bentuk pengetahuan ini berkaitan dengan peranan gender yang terbentuk karena aturan adat. Kaum lakilaki
dan
perempuan
mengakumulasikan
melakukan pengetahuan
aktivitasnya mereka
sehari-hari, diberbagai
dan bidang
mereka dan
mengembangkannya keahlian mereka di bidang yang berbeda-beda. Setelah
masyarakat
mulai
mengenal
gula
semut
dan
mengkomersialisasikannya, peran perempuan dalam pengolahan gula aren semakin berkurang. Perempuan yang dulu memiliki peran dalam proses memasak dan membungkus gula aren, sekarang tidak lagi dilakukan. Penyebabnya adalah karena kaum perempuan tidak memiliki pengetahuan dalam pengolahan gula semut, disamping termpat memasak gula yang letaknya jauh dari rumah. Hal ini menandakan bahwa komersialisasi komoditi gula aren membuat pengolahan gula aren lebih banyak dilakukan oleh kaum lelaki karena bidang pengetahuan yang mereka miliki, baik keahlian secara spritual dalam pemanfaatan aren maupun pengetahuan nilai ekonomi dari gula aren itu sendiri setelah berkembangnya komersialisasi gula semut di masyarakat Kasepuhan (transfer knowledge).
63
Peranan perempuan dalam pembuatan gula cetak memang masih ada walaupun jumlahnya hanya sedikit dan sudah tidak banyak ditemukan. Namun, hal tersebut menjadi pengecualian jika ada acara-acara adat yang skalanya cukup besar. Setiap ada pelaksanaan acara-acara adat dalam skala besar, kaum perempuan, atau canoli5 memiliki peranan penting dalam proses memasak di imah gede. Komersialisasi gula aren ini juga mengarah kepada spesialisasi ekonomi. Penyadap aren memang merupakan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Namun, dengan adanya komersialisasi gula semut ini membuat jumlah para penyadap aren yang semakin bertambah dan perkembangan teknologi dalam pengolahan nira dimana para penyadap lebih memilih mengolah nira menjadi gula semut dibandingkan menjadi gula cetak. Kemudian hal ini berlanjut pada peningkatan efisiensi dan produktivitas yang semakin tinggi, yang ditunjukkan dengan adanya kegiatan jual-beli pohon aren yang ditemukan di salah satu kampung serta sistem bagi hasil atau maro yang dilakukan di masyarakat Kasepuhan. Dari segi skala usaha, komersialisasi tidak mengubah skala usaha pengolahan gula aren itu sendiri karena sejak dahulu sampai saat ini, proses pengolahan nira menjadi gula aren masih dilakukan dalam skala kecil, yaitu skala rumahtangga. Anwar (1998) dalam Kay (2003) menyatakan bahwa penentuan pilihan kelembagaan yang tepat akan mengatur penggunaan atau alokasi sumberdaya secara efisien, adil, dan merata serta aktivitas ekonomi yang berkelanjutan. Langkah awal yang diambil dapat melalui pembagian pekerjaan sehingga setiap pekerja dapat bekerja secara profesional dengan produktivitas tinggi. Peningkatan pembagian kerja selanjutnya akan mengarah pada spesialisasi ekonomi, sedangkan spesialisasi yang berlanjut akan mengarah pada peningkatan efisiensi dan produktivitas yang semakin tinggi. Spesialisasi ini dilakukan oleh kaum lelaki yang memang mampu menyadap aren dan memiliki akses terhadap pohon aren, baik memiliki pohonnya maupun menyadap pohon yang dimiliki orang lain dengan cara memaro atau dengan membeli pohon aren. Jika dikaitkan dengan penjualan pohon aren yang terjadi di Dusun Cimapag, dapat dikatakan bahwa 5
Tukang yang bertugas memasak di imah gede yang langsung bertanggungjawab kepada ambu (istri abah).
64
perpindahan kepemilikan aren ini merupakan salah satu upaya awal yang dilakukan untuk mengatur alokasi penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agar lebih efisien. Pemilik pohon menilai bahwa pohon aren yang masih berproduksi lebih baik dijual kepada pihak lain yang memang dapat memanfaatkan pohon aren tersebut daripada hanya didiamkan saja tumbuh di kebun talunnya. Begitu pula dengan pemilik pohon yang memarokan pohonnya epada orang lain. Mereka lebih memilih pohonnya disadap orang lain dan menghasilkan untuk orang lain daripada pohon tersebut didiamkan begitu saja padahal pohon tersebut berpotensi menghasilkan banyak gula aren. 6.3 Peranan Aren bagi Pendapatan Rumahtangga Aren termasuk salah satu tanaman yang multiguna karena semua bagian dari tanaman ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kasepuhan. Dari satu tanaman aren dapat menghasilkan gula aren (nira), injuk (dari serabutnya), kolang-kaling (buah aren), dan sagu aren (aci kawung) dari batangnya. Sejak dahulu, pemanfaatan aren yang dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan merupakan bentuk usaha yang dilakukan sebagai salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga sehari-hari. yaitu dengan menggunakan gula aren sebagai bumbu masak dan bahan pemanis untuk minuman. Pemanfaatan aren ini dilakukan dalam skala rumahtangga, dimana masing-masing keluarga yang memiliki pohon aren di lahan mereka dan mengolah hasil dari pohon aren tersebut. Semua bagian dari pohon aren dapat dimanfaatkan. Hanya saja, dari masing-masing bagian pohon aren tersebut tidak semua dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan seperti air nira. Misalnya untuk buah aren atau kolang-kaling yang hanya dijual ketika bulan Ramadhan tiba. Ketika pohon sudah tidak memproduksi air nira maka pohon ditebang dan dimanfaatkan batangnya sebagai bahan baku untuk membuat sagu aren. Dalam membagi alokasi tenaga kerja untuk menyadap pohon aren ini, hanya dilakukan oleh anggota keluarga laki-laki saja, baik bapak sebagai kepala keluarga, atau anak laki-laki atau sanak saudara lain yang memang tinggal bersama dalam satu rumahtangga, dan tentu saja memiliki ‘keahlian‘ dalam menyadap. Semua proses pembuatan gula aren dilakukan oleh satu orang saja. Dari mulai meninggur, menyadap, dan memasak gula aren dilakukan langsung
65
oleh penyadap tersebut tanpa melibatkan anggota keluarga lain. Biasanya setelah mengambil lodong yang telah berisi air nira dengan memanjat pohon aren, para penyadap tersebut langsung memasaknya di imah gula atau sebuah rumah kayu yang memang merupakan tempat khusus untuk memasak air nira untuk diolah menjadi gula aren. Seorang penyadap aren biasanya menyadap aren di pagi hari. Setelah memasaknya menjadi gula aren, mereka akan pergi ke sawah atau ke huma untuk bertani, yang merupakan mata pencaharian utama mereka, baik petani yang memiliki lahan sendiri maupun hanya sebagai buruh tani atau maro sawah milik orang lain. Sore harinya mereka akan menyadap aren kembali. Untuk pengambilan nira di sore hari, tidak semua penyadap langsung memasak nira tersebut. Biasanya nira dimasak sebentar atau diwedangkeun, baru dimasak dan diolah menjadi gula aren bersama hasil nira yang diambil keesokan paginya, tanpa ada campur tangan anggota keluarga lain. Dari hasil pembuatan gula cetak atau kojor biasanya masyarakat menggunakannya sebagai bumbu masak dan bahan pemanis untuk makanan dan minuman. Selain itu, gula cetak juga dijual per kojor ke pasar terdekat dan ke tetangga sekitar. Setelah adanya pengembangan produk gula aren menjadi gula semut dari Pemerintah Daerah setempat, masyarakat mulai beralih untuk mengolah nira menjadi gula semut. Terlebih lagi dengan adanya pengumpul gula semut di desa, membuat para penyadap lebih mudah untuk menjual hasil gula semutnya ke luar desa. Pembuatan gula cetak pun semakin jarang karena masyarakat lebih memilih membuat gula semut setiap harinya untuk memperoleh pendapatan berupa uang. Sedangkan pembuatan gula cetak hanya dilakukan apabila ada pesanan. Masyarakat Kasepuhan sangat menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam, terutama pada yang ditanam di huma dan sawah. Huma termasuk ke dalam lahan kering yang digunakan masyarakat untuk menanam padi di ladang, tanaman palawija dan tanaman keras seperti kayu-kayuan. Karena bentuk awalnya adalah reuma, sehingga apabila akan digarap dan ditanami, lahan ini harus dibuka dan dibersihkan dulu. Kepemilikan lahan huma berdasarkan garis keturunan yang jelas. Rata-rata setiap kepala keluarga memiliki huma sebesar 1
66
patok atau setara dengan 400 m2 atau 0,04 ha. Biasanya sebelum menanam padi di sawah, masyarakat Kasepuhan menanam padi terlebih dahulu di huma. Pengelolaannya dan pemanfaatan hasil pertanian baik dari huma maupun sawah dilakukan dalam suatu kelembagaan yang dikenal dengan sistem leuit atau lumbung padi. Hasil padi yang diperoleh dari sawah tersebut biasanya disimpan di dalam leuit untuk kebutuhan makan selama satu tahun. Bahkan banyak masyarakat yang merasa bahwa simpanan padi mereka lebih dari cukup dan biasanya sisa dari panen sebelumnya tetap disimpan dan diakumulasikan hasilnya dengan hasil tahun yang sekarang. Masing-masing kepala keluarga memiliki minimal 1 buah leuit untuk menyimpan padi mereka. Pengelolaan talun tidak seintensif sawah atau huma dan biasanya letaknya di dekat perkampungan dengan hak kepemilikan yang jelas dan tetap. Pemilik talun baru datang ke talun apabila akan memanfaatkan atau memanen buah atau kayu yang tumbuh di talun tersebut. Jenis tumbuhan yang tumbuh di talun umumnya terdiri dari pohon kayu dan pohon buah. Beberapa tumbuhan hasil talun dapat dijual dan cukup untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari seperti hasil dari aren berupa gula aren dan kapulaga (atau masyarakat setempat menyebutnya dengan sebutan kapol) yang dijual melalui pengumpul. Sedangkan tanaman kayu yang ada di talun biasanya adalah mani’i, jengjeng, manglid, tisuk, dan lain-lain. Data primer dalam penelitian ini pendapatan yang diperoleh dipilih dari komoditi pertanian yaitu hasil padi, baik dari hasil padi sawah maupun huma, serta hasil kebun talun yaitu kapulaga (kapol) dan aren. Kapol sendiri dipilih karena waktu produksi dari tanaman kapol ini tidak memakan waktu lama, yaitu dapat dipanen sebulan sekali sampai tiga bulan sekali. Sedangkan hasil kebun talun lainnya seperti kayu, sayur dan buah-buahan waktu panennya tidak tentu dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperoleh pendapatan dari komoditi tersebut. Sumber pendapatan lain diperoleh dari pekerjaan sampingan responden yang di luar pertanian. Luasan lahan yang digarap dan pendapatan yang diperoleh responden dari masing-masing komoditi dapat ditunjukkan dalam tabel yang terdapat dalam lampiran.
67
Seluruh responden yang ditemui di lapang memiliki pohon aren sendiri. Setiap rumahtangga yang ada di masyarakat Kasepuhan memiliki lahan masingmasing. Meski tidak semua memiliki lahan yang luas, tetapi dalam satu rumahtangga setidaknya memiliki lahan yang dapat ditanami. Jumlah pohon yang dimiliki oleh responden beragam, baik yang belum berproduksi maupun yang sudah berproduksi niranya. Tabel 6 menunjukkan jumlah pohon aren yang dimiliki responden dari tiga dusun yang ada Desa Sirna Resmi. Tabel 6. Jumlah dan Persentase Pemilik Pohon Aren Menurut Proses Penyadapan dan Kategori Jumlah Pohon Aren Jumlah Pohon Aren (batang)
Proses Penyadapan ≤5 Disadap Sendiri Disadap Orang Lain
6-10
> 10
Total Tidak terhitung
15 (68.18 %)
2 (50 %)
2 (66.67 %) 2 (40 %)
21 (61.76 %)
Anggota Keluarga
3
(13.64 %)
1 (25 %)
1 (33.33 %) 2 (40 %)
7 (20.59 %)
Diparokan
4
(18.18 %)
1 (25 %)
Total
22 (100 %)
-
4 (100 %) 3 (100 %)
1 (20 %)
6 (17.65 %)
5 (100 %)
34 (100 %)
Sumber: Data Primer 2011
Secara umum, dari 34 responden terdapat 21 orang atau 61.76 % yang menyadap sendiri pohon arennya, 7 responden atau 20.59 % yang pohon arennya disadap oleh anggota keluarga, dan sisanya 6 responden atau 17.65 % diparokan kepada orang lain. Dari jumlah keseluruhan pohon yang dimiliki, tidak seluruhnya disadap karena bergantung dari usia pohon dan jumlah nira yang dihasilkan pohon tersebut. Selain itu, kemampuan menyadap dari penyadap dan usia pemilik pohon juga mempengaruhi jumlah pohon yang disadap. Kategori responden yang menjawab tidak terhitung jumlah pohon arennya merupakan responden yang jumlah pohonnya arennya banyak dan tidak terhitung. Dari total 5 responden, hanya 3 responden yang menyatakan jumlah pohon yang disadap, sedangkan 2 responden lain tidak menyebutkan jumlah pohon yang disadap secara pasti. Dari 3 responden yang menyebutkan jumlah pohon yang disadap, 1 responden menyadap
68
2 pohon miliknya sendiri. Sedangkan 2 responden lainnya memiliki pohon aren yang disadap oleh orang lain, 1 responden diparo dengan sistem bagi 2:5 dari 4 pohon aren dan satu yang lainnya tidak dengan bagi hasil—melainkan 5 pohon dibiarkan disadap oleh keponakannya yang memang ada hubungan keluarga. Namun secara keseluruhan, dari kelima responden yang memiliki banyak pohon aren (yang jumlahnya tidak terhitung), terdapat 3 orang yang pohon arennya disadap orang lain dan 2 orang lainnya disadap sendiri. Untuk responden yang memiliki lebih dari 10 pohon aren terdapat 3 orang. Salah satu responden memiliki 40 pohon aren yang usianya masih muda dan hanya beberapa yang dapat disadapnya sendiri (responden tidak menyebutkan jumlahnya), sedangkan 2 responden lain memiliki 12 pohon aren yang disadap oleh anaknya tanpa sistem bagi hasil dan 15 pohon aren yang disadap sendiri oleh pemiliknya. Responden yang memiliki pohon aren kurang dari sama dengan lima (≤5 pohon) hampir seluruhnya disadap niranya, baik disadap sendiri, disadap anggota keluarga lain, maupun diparokan kepada orang lain. Empat responden yang memiliki jumlah pohon aren 6 sampai 10 pohon terdiri dari 2 responden yang menyadap pohonnya sendiri dan 2 responden yang pohonnya disadap orang lain. Sedangkan yang memiliki pohon kurang dari sama dengan 5 terdapat 16 responden yang menyadap pohonnya sendiri dan 6 responden lainnya memarokan pohonnya. Berdasarkan informasi yang diperoleh pada Tabel 6, dapat dikemukakan bahwa semakin banyak pohon yang dimiliki, maka semakin banyak responden yang membiarkan pohonnya disadap atau diusahakan oleh pihak lain dan semakin sedikit jumlah pohon aren yang dimiliki, maka semakin banyak responden yang menyadap pohonnya sendiri. Dalam hal pihak lain yang mengusahakan atau ikut menyadap, maka persentase responden yang penyadapan pohonnya dilakukan oleh kerabat memiliki nilai yang cukup besar. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa hubungan kekerabatan masih mempunyai peranan besar bagi responden di dalam memberikan akses sumberdaya, khususnya terhadap sumberdaya pertanian. Aturan antara kepemilikan pohon dan tanah saling berhubungan, namun dalam sistem maro tidak terlalu dipermasalahkan. Pohon yang sengaja disadap
69
orang lain atau diparokan oleh pemiliknya bertujuan agar pohon tersebut dapat dimanfaatkan baik oleh penyadap yang memang tidak memiliki pohon maupun anggota keluarga yang meneruskan usaha gula aren keluarga. Kepemilikan baru akan berpindah apabila ada transaksi jual-beli pohon aren. Meskipun begitu, dari seluruh responden tidak ditemukan responden yang memperoleh pohon aren dari hasil jual-beli dengan pihak lain. Selain itu, banyaknya pohon yang disadap bergantung pada kemampuan fisik penyadap dan kemampuan berproduksi dari pohon aren itu sendiri. Oleh karena itu, komersialisasi pada produk gula aren tidak terlalu berpengaruh pada ritual dalam penyadapan nira. Berdasarkan hasil yang didapat di lapangan, peranan hasil gula aren bagi pendapatan rumahtangga dapat ditentukan dari dua faktor. Pertama, dari segi kepemilikan pohon aren serta orang yang menyadapnya, dan kedua seberapa banyak pohon aren yang disadap. Namun, jika dibandingkan dengan sumber pendapatan lain yang diperoleh, pendapatan rumahtangga penyadap aren lebih bertumpu pada hasil gula aren dibanding hasil kebun lainnya yang berupa tanaman buah-buahan atau sayuran. Hal ini dikarenakan aren tetap bisa dipanen setiap hari meskipun bergantung jumlah air nira yang keluar. Untuk hasil tanaman lain yang diperoleh dari kebun talun seperti buah-buahan dan sayuran sifatnya memang yang lebih cepat panen dan waktu produksinya tidak memakan waktu yang lama, namun berkala. Kayu yang ditanam di talun pun baru bisa dipanen jika umur tanaman kayu sudah 6 tahun, dan dijual dengan harga Rp 400.000,00 per satuan ukuran m3 kayu yang ada di lahan kebun talun. Ekonomi uang sudah menjadi bagian dominan dari kehidupan ekonomi rumahtangga bagi masyarakat Kasepuhan. Komersialisasi pertanian meningkat, baik dari aren maupun kapol. Bila dulu ciri ekonomi pertanian rumahtangga petani lebih subsisten, dengan sedikit sumberdaya yang disisihkan untuk produksi untuk pasar. Kini, produksi untuk pasar – setidaknya untuk sebagian penduduk desa – sudah menempati posisi dominan. Persentase pendapatan yang diperoleh oleh responden dari hasil sawah dan huma, kapol, aren, dan non pertanian secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 7.
70
Tabel 7. Pendapatan Terbesar (%) dari Beragam Sumber Pertanian dan Non Pertanian dari Petani Gula Aren
Persentase Pendapatan Terbesar
Jumlah Responden
%
Padi
2
5.9
Aren
29
85.3
Kapol
1
2.9
Non Pertanian
2
5.9
Total
34
100
Sumber: Data Primer 2011
Faktor kepemilikan serta orang yang menyadap pohon aren berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh responden. Baik pemilik pohon yang memarokan pohonnya maupun pemilik pohon yang menyadap pohonnya sendiri memiliki pendapatan terbesar dari aren. Pemilik pohon yang memarokan pohon arennya sebesar 84.6% dari 13 responden dan sedangkan yang menyadapnya sendiri sebesar 85.7% dari 21 responden. Secara keseluruhan, para pemilik pohon aren memiliki persentase pendapatan terbesar dari hasil gula aren, yaitu sebanyak 29 responden atau sebesar 85.3%. Responden lainnya memperoleh persentase pendapatan
terbesar dari padi dan non pertanian masing-masing sebanyak 2
responden yaitu sebesar 5.9%, dan dari hasil kapol sebesar 2.9%. Berdasarkan faktor kepemilikan dan penyadapannya pohon aren, pendapatan yang diperoleh responden dari hasil gula aren sangat berkontribusi bagi pendapatan rumahtangga. Tabel 8 menunjukkan bahwa pola penyadapan pohon aren mempengaruhi jumlah pendapatan yang diperoleh dari gula aren. Pemilik pohon yang menyadap pohonnya sendiri memperoleh pendapatan terbesar dari aren sebanyak 62.1%. Sedangkan pemilik pohon yang memarokan pohon arennya hanya sebanyak 37.9%. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa jumlah pendapatan aren yang diperoleh dari memarokan tersebut dipengaruhi sistem bagi hasil yang ditentukan pemilik dan penyadap. Dalam banyak kasus bagi-hasil, penyadap mendapat bagian yang lebih besar daripada pemilik pohon. Namun, hal ini tidak
71
berpengaruh banyak. Karena meskipun mendapat bagian sedikit, perolehan persentase pendapatan dari gula aren tersebut tetap menjadi yang terbesar dibandingkan hasil pendapatan dari komoditi lainnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa
penguasaan
pohon
aren—khususnya
dalam
proses
penyadapan mempengaruhi jumlah pendapatan responden. Tabel 8. Kontribusi pendapatan Komoditi Pertanian dan Non Pertanian Berdasarkan Penguasaan Aren
Persentase Pendapatan
Penguasaan pohon aren Pemilik pohon aren
Padi
-
Aren Kapol Non Pertanian Total
Pemilik dan Penyadap 2
(9.5%)
Total 2 (5.9%)
11 (84.6%)
18 (85.7%)
29 (85.3%)
1 (7.7%)
-
1 (2.9%)
1 (7.7%)
1 (4.8%)
2 (5.9%)
13 (100%)
21 (100%)
34 (100%)
Sumber: Data Primer 2011
Faktor yang kedua adalah jumlah pohon aren yang dimiliki. Besarnya pengaruh dari jumlah pohon aren terhadap kontribusi pendapatan dari gula aren terhadap total pendapatan, dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah pohon tidak mempengaruhi banyaknya pendapatan yang diperoleh. Dari total 29 responden yang memperoleh pendapatan terbesar dari hasil gula aren, sebanyak 21 responden atau 74.4% hanya memiliki pohon aren kurang dari lima dan atau memiliki 5 pohon. Sedangkan sisanya memiliki lebih dari enam pohon, bahkan tak terhitung jumlah pohon arennya. Hal ini disebabkan hasil yang diperoleh dari gula aren bergantung pada beberapa hal, yaitu berproduksi atau tidaknya nira, umur pohon, dan jumlah nira yang dihasilkan dari tiap-tiap pohon. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa jumlah pohon aren yang disadap tidak selalu mempengaruhi hasil pendapatan gula aren yang diperoleh responden. Jumlah pohon aren yang sedikit ini juga berkorelasi
72
dengan sedikitnya jumlah sumber lain yang dimiliki oleh responden. Dengan kata lain, mereka hanya memiliki sedikit sumberdaya lain yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh pendapatan berupa uang sehingga pendapatan utama rumahtangga mereka diperoleh dari hasil gula aren. Tabel 9. Jumlah Petani Gula Aren Berdasarkan Pendapatan yang Diperoleh dari Tiap Komoditi dan Jumlah Pohon Aren yang Dimiliki Jumlah pohon aren yang dimiliki
Pendapatan dari Komoditi
≤5 (8%)
Total
6-10
> 10
Tak terhitung
-
-
-
2 (5.9%)
Padi
2
Aren
21 (84%)
4 (100%)
2 (100%)
2 (66.7%)
29 (85.3%)
Kapol
-
-
-
1 (33.3%)
1 (2.9%)
-
-
-
2 (5.9%)
3 (100%)
34 (100%)
Non Pertanian
2 (8%)
Total
25 (100%)
4 (100%)
2 (100%)
Sumber: Data Primer 2011
Faktor kepemilikan dan siapa yang menyadap aren sangat berpengaruh pada pendapatan rumahtangga yang diperoleh masyarakat. Berdasarkan hasil dari data yang diperoleh, pendapatan yang diterima dari gula aren lebih berkontribusi terhadap pendapatan rumahtangga pada responden yang menyadap pohon arennya sendiri. Ketika seseorang menyadap pohon aren miliknya sendiri dan pohon yang berproduksi jumlahnya banyak, maka pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan aren memiliki persentase yang besar. Berbeda halnya dengan seseorang yang memiliki pohon aren dalam jumlah banyak, namun penyadapannya diserahkan kepada orang lain. Karena adanya pembagian hasil yang lebih menguntungkan bagi penyadap, maka pemilik pohon aren tidak seberapa mendapatkan hasil penjualan gula arennya. Meskipun jumlahnya pohon yang banyak, namun keuntungan hasil penjualan gula aren lebih banyak didapat oleh penyadap aren dibandingkan pemilik pohon aren. Hal ini juga dikarenakan perbandingan pembagian hasil gula aren yang diperoleh lebih besar didapat penyadap aren dibanding pemilik pohon aren. Jika pembagian hasil antara pemilik pohon aren dan penyadap aren 1 : 6, maka dalam satu bulan pemilik pohon hanya
73
mendapatkan hasil penjualan gula aren selama 4-5 hari saja, sedangkan sisanya menjadi hak penyadap aren tersebut. Tidak semua pemilik pohon aren tersebut menjual hasil gula aren kepada pengumpul, karena jumlah yang diperoleh sedikit atau tidak seberapa sehingga mereka lebih memilih untuk mengkonsumsinya untuk kebutuhan sehari-hari. Pendapatan yang diperoleh dari hasil gula aren lebih berpengaruh terhadap pendapatan harian masyarakat. Meskipun hasil gula aren yang diperoleh berbedabeda setiap harinya, namun penyadap aren selalu memiliki pendapatan dari hasil penjualan gula aren tersebut. Jika dibandingkan dengan hasil pendapatan lainnya dari talun yaitu kayu dan buah-buahan seperti pisang dan kapol, hasil dari aren lebih berkontribusi dalam pendapatan rumahtangga yang diperoleh penyadap aren. 6.5
Ikhtisar Peranan aren bagi rumahtangga masyarakat Kasepuhan dilihat dari nilai
pemanfaatan hasil hutan dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi rumahtangga petani sekitar hutan. Untuk mengetahui nilai pemanfaaatan aren bagi masyarakat Kasepuhan diukur dari data karakteristik sosial ekonomi yang terdiri dari beberapa aspek yaitu: usia, tingkat pendidikan, mata pencaharian tambahan, jumlah anggota keluarga, luas lahan yang digarap, dan pendapatan dari hasil gula aren. Dari seluruh responden hanya 1 responden yang memiliki total lahan garapan lebih dari 0,5 ha, sedangkan sisanya kurang dari 0.5 ha. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh responden merupakan rumahtangga petani dengan kepemilikan lahan skala yang kecil. Meski begitu, kecukupan pangan mereka selama setahun sudah tercukupi karena jumlah tanggungan keluarga yang dimiliki tiap rumahtangga hanya 2 sampai 5 orang. Peranan hasil gula aren bagi pendapatan rumahtangga dapat ditentukan dari dua faktor. Pertama, dari segi kepemilikan pohon aren serta orang yang menyadapnya, dan kedua seberapa banyak pohon aren yang disadap. Faktor kepemilikan dan siapa yang menyadap aren sangat berpengaruh pada pendapatan rumahtangga yang diperoleh masyarakat. Pengolahan gula aren di Kasepuhan sejak dulu sampai sekarang masih dilakukan secara tradisional. Seiring berjalannya waktu, masyarakat pun mulai menjual hasil gula cetak dan gula semut untuk memperoleh pendapatan. Peminat
74
yang banyak membuat masyarakat Kasepuhan mulai mengkomersialisasikan produk gula aren. Komersialisasi gula aren ini juga mengarah kepada spesialisasi ekonomi. Dari segi skala usaha, komersialisasi tidak mengubah skala usaha pengolahan gula aren itu sendiri karena sampai saat ini proses pengolahan nira menjadi gula aren masih dilakukan dalam skala rumahtangga.
75
BAB VII KESIMPULAN
7.1
Kesimpulan Pemanfaatan aren di masyarakat Kasepuhan Sukabumi dilakukan secara
tradisional dan telah mempunyai sejarah panjang didalam pemanfaatan sumberdaya alam oleh penduduk. Masyarakat Kasepuhan sebagai komunitas masyarakat adat masih memegang teguh atuan-aturan adat yang berlaku mengenai pemanfaatan sumberdaya alam seperti hutan, sawah, huma, dan kebun atau talun dimana di dalamnya terdapat tanaman aren. Kelembagaan dalam pemanfaatan aren mengatur perihal kepemilikan pohon aren, pengelolaan pohon aren dan pemanfaatannya, serta aturan-aturan adat dalam pemanfaatan pohon aren. Masyarakat memanfaatkan aren dengan mengolah air niranya menjadi gula aren. Pada awalnya masyarakat mengolahnya menjadi gula cetak atau gula kojor. Namun seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat pun mulai mengolahnya menjadi gula semut. Kegiatan tersebut semakin diperkuat dengan adanya sosialisasi dari Dinas Perindustrian Pemerintah Daerah Sukabumi dengan menjadikan gula aren sebagai komoditas unggulan di Desa Cisolok, Kabupaten Sukabumi sehingga dengan adanya keputusan pemerintah tersebut komersialisasi gula aren pun mulai dilakukan di Desa Cisolok. Adanya komersialisasi gula aren tidak berpengaruh terhadap kelembagaan adat—dalam hal ini aturan-aturan dalam penyadapan nira di masyarakat Kasepuhan yang masih dipatuhi para penyadap aren. Namun, komersialisasi mengubah beberapa aspek kelembagaan lainnya antara lain: 1. Kepemilikan pohon aren, yang dapat dilihat dari adanya penjualan pohon aren yang ditemukan terutama di salah satu dusun, yaitu di Dusun Cimapag. Jual-beli pohon aren ini hanya sebatas pada kepemilikan pohon saja, dan tidak berpengaruh banyak terhadap hak penggarapan lahan secara keseluruhan. 2. Perubahan peran perempuan. Dahulu perempuan memiliki peranan dalam pengolahan gula aren. Akan tetapi, setelah adanya komersialisasi komoditi
76
gula semut yang berkembang di Kasepuhan membuat peran perempuan berubah dan seluruh kegiatan produksi gula aren sepenuhnya dilakukan oleh kaum laki-laki. Komersialisasi aren dapat memberi kesempatan pada penduduk untuk mengkhususkan diri pada produksi gula aren untuk pasar. Dengan kata lain hal ini menunjukkan bahwa spesialisasi di bidang pemanfaatan aren mulai tumbuh di masyarakat yang ditandai dengan bertambahnya jumlah penyadap dan pengumpul gula semut yang menggeser peran koperasi gula semut. Namun dari segi skala usaha, komersialisasi tidak mengubah skala usaha pengolahan gula aren itu sendiri karena sejak dahulu sampai saat ini proses pengolahan nira menjadi gula aren masih dilakukan dalam skala rumahtangga dan masih dilakukan secara tradisional. Secara
keseluruhan—dari
segi
kontribusi
terhadap
pendapatan
rumahtangga responden, hasil pendapatan dari aren sangat menempati posisi paling tinggi dibandingkan pendapatan lainnya seperti dari kapol, padi, dan non pertanian. Hasil ini didapat berdasarkan analisis terhadap kepemilikan dan proses penyadap pohon aren (disadap sendiri atai diparokan) dan jumlah pohon yang diimiliki. Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil analisis yang menggunakan table silang dan table frekuensi yaitu pendapatan hasil gula aren dari seluruh responden diipengaruhi oleh faktor kepemilikan pohon dan proses penyadapan. Sedangkan faktor jumlah pohon tidak selalu berpengaruh karena hasil gula yang diproduksi bergantung pada berproduksi tidakknya air nira, umur pohon aren, dan jumlah nira yang dihasilkan tiap-tiap pohon. 7.2
Saran Pengelolaan aren yang dilakukan para petani aren di masyarakat
Kasepuhan belum menuju pada arah pembudidayaan dikarenakan pohon aren yang tumbuh di talun masyarakat masih bergantung pada musang sebagai hewan yang sangat berperan dalam penyebaran aren. Namun, justru dengan adanya hal tersebut membuat kelembagaan lokal yang ada di dalam masyarakat Kasepuhan khususnya dalam pemanfaatan aren masih kuat dengan tetap mematuhi aturanaturan adat masyarakat Kasepuhan dan diharapkan kelembagaan lokal tersebut masih dapat dipertahankan.
77
Pemanfaatan hasil aren memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan rumahtangga penyadap aren. Hal ini dipenggaruhi dengan masuknya komersialisasi gula semut yang mulai disosialisasikan pemerintah daerah setempat beberapa tahun yang lalu. Namun, dengan adanya komersialisasi gula aren berpengaruh terhadap kelembagaan lokal, yaitu adanya jual beli pohon aren dan perubahan peran perempuan dalam proses produksi gula aren. Komersialisasi memang tak dapat dihindari karena secara ekonomi komersialisasi dapat memberikan peningkatan ekonomi bagi masyarakat Kasepuhan. Akan tetapi, ada baiknya jika
produksi aren ini lebih menitikberatkan pada
konservasi yang
positif pada skala tata ruang dengan menyediakan alternatif kegiatan pertanian dan penggunaan lahan lainnya yang lebih ramah lingkungan. Karena seperti yang kita ketahui bahwa fungsi dari pohon aren antara lain sebagai pengawet sumberdaya alam, terutama tanah, sebagai penyerap dan pengikat air terbesar, dan untuk penghijauan. Selain itu, mengutip dari Kusters dan Belcher (2004), jika semakin banyak HHBK—dalam hal ini aren—yang dieksploitasi untuk mata pencaharian, maka akan semakin sedikit kontribusinya bagi konservasi hutan, dan pemungutan yang dilakukan secara komersial cenderung akan mengakibatkan kepunahan.
78
DAFTAR PUSTAKA
Andajani Sri. 1997. Studi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa di Sekitar Hutan Dalam Pemanfaatan dan Penyusunan Alternatif Pengembangannya di Daerah Penyangga Taman Nasional Siberut. [tesis]. Bogor [ID]: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Colfer C. J. P et al. 1999. Siapa yang Perlu Dipertimbangkan? Menilai Kesejahteraan Manusia dalam Pengelolaan Hutan Lestari. Perangkat Kriteria dan Indikator No. 8. Bogor [ID]: CIFOR. Cooney Daniel. 2007. HHBK yang Menjanjikan, Jalan Menuju Keberhasilan? Online Library Polex, Our Policy Blog. [internet]. Bogor [ID]: CIFOR [diakses: 7 April 2011: 22.57] Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Jakarta [ID]: PT. Raja Grafindo Persada. Departemen Kehutanan. 2008. Laporan Akuntabilitas Kinerja Departemen Kehutanan Rahun 2007. Jakarta [ID]: Departemen Kehutanan. Dharmawan AH. 2001. Farm Household Livelihood Strategies and SosioEconomic Changes In Rural Indonesia. [thesis/dissertation]. Kiel [DE]: Vauk KG. El Ibrahim. 2009. Keragaan Kelembagaan Adat Agroforestri Dusun. [tesis]. Bogor [ID]: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Gunawan, R Juni Thamrin dan Endang Suhendar. 1998. Industrialisasi Kehutanan dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Adat (Kasus Kalimantan Timur). Bandung [ID]: Akatiga. Justian Kay. 2003. Analisis tataguna Lahan dan Ekonomi Kelembagaan Mengarah Kepada Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. [tesis]. Bogor [ID]: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Kartodihardjo Hariadi. 1999. Masalah Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam Produksi. Bogor [ID]: Pustaka Latin. Kartodihardjo Hariadi. 2006. Masalah Kapasitas Kelembagaan dan Arah Kebijakan Kehutanan: Studi Tiga Kasus (Problem of Institutional Capacity and Direction of Forestry Policy: Three Case Study). Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 3: 14-25. [internet]. www.kelembagaandas.wordpress.com [ diakses: 8 April 2011: 02.36] Koentjaraningrat. 1997. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta [ID]: PT Gramedia Pustaka Utama.
79
Kusters Koen dan Brian Belcher. 2004. Forest Products, Livelihoods and Conservation: Case Studies of Non-Timber Forest Product System Volume 1: Asia. Bogor [ID]: CIFOR. Mardiyaningsih et al. 2010. Dinamika Sistem Penghidupan Masyarakat TaniTradisional dan modern di Jawa Barat. [internet]. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Volume 04 No. 01: 115-145 [diakses: 13 Maret 2011: 17.23 ] Mutakin dan Gurniwan R. Kamil Pasya. 2003. Dinamika Masyarakat Indonesia. Jakarta [ID]: Departemen Pendidikan Nasional. Neumann Roderick. P dan Eric Hirsch. 2000. Commercialisation of Non-Timber Forest Products: Review and Analysis of Research. Bogor [ID]: CIFOR. Nurapriyanto Iga et al. 2005. Sistem Pengusahaan Beberapa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Alur Tataniaganya di Jayapura, Papua. Info Sosial Ekonomi: Volume 5 No.2 Halaman 135-144. Oka Ngakan Putu dan Amran Achmad. 2005. Kontribusi Hasil Hutan Bukan Kayu Terhadap Penghidupan Masyarakat Hutan: Studi Kasus Di Dusun Pampli, Kabupaten Luwu Utara. [internet]. www.ejournal.unud.ac.id. [diakses: 18 November 2010: 14.51] Peluso Nancy Lee. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa Editor: Noer Fauzi/ Penerjemah: Landung Simatupang. Jakarta [ID]: Konphalindo. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: 35 / Menhut-II/2007 tentang Hasil hutan Bukan Kayu. Departemen Kehutanan. [internet]. [diakses: 15 Maret 2011: 23.18] Purnomo Agustina Multi. 2006. Strategi Rumahtangga Desa Sekitar Hutan Studi Kasus Peserta PHBM di Kab. Kuningan Provinsi Jawa barat. [tesis]. Bogor [ID]: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Rahmawati Rita et al. 2008. Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan: Adaptasi, Konflik dan Dinamika Sosio-Ekologis. [internet]. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 2 No. 2 hal. 151-190 [diakses pada 23 Mei 2011: 21.09] Riyanto Budi. 2006. Hukum Kehutanan dan Sumberdaya Alam Menuju Smart Regulation. Bogor [ID]: Bunga Rampai. Saepudin R. Januari. 2005. Etnobotani Pada Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul Kab. Sukabumi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor [ID]: Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Santosa, Andri. 2007. Nyanghulu Ka Hukum Nyanghunjar Ka Nagara: Sebuah Upaya Masyarakat Cibedug Memperoleh Pengakuan. Bogor [ID]: RMI.
80
Sardjono Mustofa Agung 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik, dan Kelestarian Sumberdaya. Yogyakarta [ID]: Debut Press. Savitri Laksmi Adriani. 2007. Uncover The Concealed Link: Gender & EthnicityDivided Local Knowledge On The Agro-Ecosystem Of A Forest Margin A Case Study Of Kulawi And Palolo Local Knowledge In Central Sulawesi, Indonesia. [inaugural-dissertation]. Witzenhausen [DE]: Universität Kassel. Singarimbun M dan Sofyan Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta [ID]: Pustaka LP3ES Indonesia. Sudarmanto. 1996. Analisis Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Desa di Sekitar Hutan Dalam Pemanfaatan Hasil Hutan dan Prospek Pengembangannya. [tesis]. Bogor [ID]: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Suharjito Didik, Aziz Khan, Wibowo A Djatmiko, Martua T Sirait, dan Santi Evelyna. 2000. Studi Kolaboratif FKMM: Karakteristik Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Bogor [ID]: Pustaka Kehutanan Masyarakat. Suharjito D dan Gunanto E. Saputro. 2008. Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Pada Masyarakat Kasepuhan, Bantel Kidul. [internet]. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan Vol. 5 No. 4 halaman 317-335 [diakses pada 23 Mei 2011: 21.17] Suhendang Endang. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor [ID]: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Surat Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial tentang Arahan Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Tahun 2008. [internet]. [diakses: 15 Maret 2011: 21.21] Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian: Penjelasan Tentang Konsep, Istilah, Teori dan Indikator Serta Variabel. Jakarta [ID]: Bina Rena Pariwara. Syahyuti. 2009. Konsep Operasional Kelembagaan. dalam Analisis Kelembagaan. [internet]. www.kelembagaandas.wordpress.com [diakses: 9 Maret 2011: 07.43] Tim Perangkat Kriteria dan Indikator. 1999. Acuan Generik Kriteria dan Indikator CIFOR. Bogor [ID]: CIFOR. Wahyuni Ekawati S. 2010. Pedoman Teknik Penulisan Laporan Studi Pustaka. Bogor [ID]. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat FEMA IPB.
81
Wollenberg Eva and Andrew Ingles. 1998. Incomes from the Forest: Methods for the Development and Conservation of Forest Products for Local Communities. Bogor [ID]: CIFOR. Yeny Irma et al. 2005. Kajian Hukum Adat Suku Mooi dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam di Sorong. Info Sosial Ekonomi : Volume 5 No.3 Halaman 283-295.
LAMPIRAN
83
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
Sumber: http://maps.google.co.id
84
Lampiran 2. Daftar Responden
No. Responden
Nama Responden
Usia (tahun)
Tingkat Pendidikan Terakhir
Mata Pencaharian
Luas Lahan (m2)
Jumlah Anggota RT (orang)
1.
Ir
55
SD
Petani
2400
3
2.
As
41
SD
Petani
2000
4
3.
Om
51
SMP
petani-penyadap
5600
4
4.
Ed
55
SD
petani-penyadap
4900
4
5.
Nh
50
SD
petani-penyadap
3200
5
6.
Ad
74
SMP
Petani
2400
4
7.
Sh
65
SD
Petani
3400
3
8.
Mh
50
SD
Petani
3000
3
9.
Ar
74
SD
3200
3
10.
Ae
35
SD
11.
Rd
56
SD
Petani petani- tukang ojeg Petani
2400
4
12.
Pn
50
SD
Petani
1400
3
13.
Ap
28
SD
buruh tani
400
2
14.
Uk
52
SD
petani-penyadap
800
4
15.
Am
35
SD
Petani
1200
3
16.
Mr
30
SD
petani-penyadap
1600
4
17.
An
50
SD
petani-penyadap
3600
5
18.
Sb
35
SD
petani-penyadap
2000
4
19.
Sd
55
SD
petani-penyadap
2400
3
20.
Nw
48
SMP
petani-penyadap
1600
4
21.
Nr
60
SD
petani-penyadap
2400
2
22.
Yd
50
SD
petani-penyadap
1600
3
23.
Kr
55
SD
petani-penyadap
1600
4
24.
Sn
40
SD
petani-penyadap
1600
4
25.
Sp
55
SD
petani-penyadap
1600
3
26.
Su
40
SD
petani-penyadap
1600
5
27.
Ah
40
SMP
petani-penyadap
1600
4
28.
Kw
45
SD
petani, buruh
1200
4
29.
Sk
47
SMP
Petani
2400
5
30.
So
80
SMP
Petani
4100
2
31.
Op
70
SD
petani-penyadap
3200
3
32.
Nh
77
SD
petani-penyadap
4800
2
33.
Od
55
SMP
Petani
2800
4
34.
Ag
55
SD
petani-penyadap
3200
4
Sumber: Data Primer 2011
400
4
85
Lampiran 3. Luas Lahan Garapan, Jumlah Pohon Aren dan Pendapatan yang Diperoleh Responden Luas Lahan (m2)
Sawah
Huma dan Talun
Jumlah Pohon Aren yang Disadap
2000
400
1200
3. 4.
No. Responden
Pendapatan yang diperoleh Sumber Pendapatan Lainnya
Padi per tahun
Aren
Kapol
(ikat)
per bulan (kg)
per bulan (kg)
-
220
150
300
800
6
82
180
10
Pisang , kayu dan ternak.
3600
2000
-
350
210
20
Ternak
4800
100
5
183
240
5
2800
400
6
320
450
10
Ternak dan usaha dagang gorengan
6.
2000
400
3
192
150
8
Kayu, ternak
7.
2400
1000
12
90
150
6
8.
2400
600
5
130
150
13
1. 2.
5.
2400
800
10
280
90
-
Kayu Usaha barangbarang kerajinan
10.
400
0
4
60
150
20
Ngojek
11.
1600
800
5
180
150
5
Usaha warung
12.
800
600
1
90
150
20
13.
400
0
5
30
150
3
400
400
2
65
450
10
800
400
3
110
10 kojor
-
9.
1200
400
5
120
15 kojor
-
Usaha warung Usaha mebel/ perkakas kayu Usaha mebel/ perkakas kayu Ternak dan buruh tani
17.
2400
1200
15
250
60
20
Kuli pikul
18.
1600
400
2
160
180
-
19.
2000
400
5
180
300
10
20.
1200
400
3
120
180
30
21.
2000
400
2
180
240
20
22.
1600
0
2
120
240
10
23.
1600
0
3
130
180
15
24.
1600
0
3
100
3 kojor
15
25.
1600
0
2
120
120
10
26.
1600
0
3
120
180
10
27.
1600
0
7
150
300
17
28.
1200
0
1
80
60
6
14. 15. 16.
29.
2000
400
-
220
180
5
30.
4000
100
5
256
300
-
31.
2400
800
3
360
150
-
32.
800
4000
2
370
150
-
33.
2000
800
2
420
90
-
34.
2800 400 4 282 150 (Ket: tanda (-) digunakan karena responden tidak menyebutkan jumlah pasti pohon yang disadap) Sumber: Data Primer 2011
Kuli pikul Usaha mebel/ perkakas kayu
86
Lampiran 4. Persentase Pendapatan yang Diperoleh Masyarakat dari Masing-Masing Komoditi Hasil Padi No. Responden
Nama Responden
(Sawah dan Huma) %
Kapol (kapulaga) %
Aren %
Sumber pendapatan lain (non pertanian)
Keterangan
%
1.
Ir
10.89
53.47
35.64
0.00
2.
As
8.35
3.67
87.98
0.00
3.
Om
24.48
5.03
70.49
0.00
4.
Ed
13.53
1.33
85.14
0.00
5.
Nh
12.42
1.40
83.85
2.33
6.
Ad
20.41
3.06
76.53
0.00
7.
Diparokan
Sh
10.82
2.60
86.58
0.00
8.
Mh
14.50
5.22
80.29
0.00
9.
Ar
36.55
0.00
56.40
7.05
Diparokan
10.
Ae
6.17
7.41
74.07
12.35
Diparokan
11.
Rd
17.34
1.73
69.36
11.56
12.
Pn
10.20
8.16
81.63
0.00
13.
Ap
3.41
1.23
81.74
13.62
14.
Uk
18.41
10.20
20.40
50.99
Diparokan
15.
Am
19.64
0.00
26.79
53.57
Diparokan dan diolah menjadi gula kojor
16.
Mr
48.78
0.00
29.27
21.95
Diparokan dan diolah menjadi gula kojor
17.
An
37.65
10.84
43.37
8.13
18.
Sb
15.63
0.00
84.38
0.00
19.
Sd
10.87
2.17
86.96
0.00
20.
Nw
10.99
9.89
79.12
0.00
21.
Nr
12.82
5.13
82.05
0.00
22.
Yd
9.17
2.75
88.07
0.00
23.
Kr
12.40
5.15
82.44
0.00
24.
Sn
50.25
27.14
22.61
0.00
25.
Sp
16.39
4.92
78.69
0.00
26.
Su
14.29
3.43
82.29
0.00
27.
Ah
9.08
3.71
87.21
0.00
28.
Kw
20.53
5.54
73.92
0.00
29.
Sk
19.96
1.63
78.40
0.00
30.
So
15.09
0.00
84.91
0.00
31.
Op
28.57
0.00
57.14
14.29
32.
Nh
33.94
0.00
66.06
0.00
33.
Od
49.30
0.00
50.70
0.00
34.
Ag
28.14
0.00
71.86
0.00
Sumber: Data Primer 2011
Gula kojor
Diparokan
87
Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian
Penyadap Aren
Pohon Aren
Menyadap Aren
88
Peralatan Untuk Menyadap Aren
Lodong
Sigai
Paninggur
89
Proses Pembuatan Gula Semut
1. Memasak nira
2. Kandungan air dalam mulai menyusut
3. Nira yang sudah mengental
4. Gula yang mulai mengering
5. Gula menjadi kering dan berbentuk bubuk gula
6. Gula dihaluskan dan siap dikemas
90
Proses Pembuatan Gula Cetak
1. Nira yang sudah mengental
2. Menyiapkan cetakan gula yang terbuat dari cetak kelapa
3. Gula dimasukkan ke dalam cetakan
4. Gula yang sudah dicetak mulai mengering
5. Gula yang sudah mengering dikeluarkan dari cetakan
6. Gula dikemas dengan dibungkus daun kelapa