KEJAHATAN BERMOTIF KEBENCIAN (HATE CRIME) TERHADAP JEMAAT AHMADIYAH (STUDI KASUS DI CIKEUSIK) Daniel Victor Rajagukguk, Bambang Widodo Umar Kriminologi FISIP UI
[email protected]
Abstrak Skripsi ini dilatarbelakangi oleh fenomena hate crime yang terjadi di Indonesia. Kasus terhadap Ahmadiyah di Cikeusik yang terjadi pada 6 Februari 2011 adalah satu contoh hate crime yang terjadi Di Indonesia. Masalah penolakan tokoh agama setempat terhadap keyakinan Ahmadiyah telah menimbulkan kejadian bentrokan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan alasan kebencian di Cikeusik terhadap Ahmadiyah, dan kaitannya dengan terjadinya hate crime di Cikeusik. Kerangka teoritis yang dipakai untuk menggambarkan permasalahan ini adalah konsep hate crime dan tingkah laku kolektif Smelser. Penelitian ini merupakan Studi Kasus terhadap Ahmadiyah di Cikeusik. Penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam yang dilakukan di Cikeusik. Wawancara dilakukan terhadap 5 orang informan yang merupakan warga asli Cikeusik. Data yang dikumpulkan menunjukkan adanya kebencian tokoh agama terhadap Ahmadiyah. Selain itu dukungan/ keberpihakan yangditunjukkan oleh aparatur yang ada di Cikeusik juga menentukan terjadinya hate crime.
Crime Motivated Hartred (Hate Crime) to Jemaat Ahamadiyah (Chase Studi in Cikeusik Village) Abstract This thesis is based on hate crime phenomenon that occures in Indonesia. That crime case happened to Ahmadiyah in Cikeusik on 6 February 2011. The rejection by the religion figure onto Ahmadiyah has caused the clash itself. This thesis is purposed to explain the reason of hatred in Cikeusik towards Ahmadiyah, and the relationship within the hate crime that happened in Cikeusik. Theoritical frame that used to show this problem is hate crime concept and collective behaviour by Smelser. This thesis is Case Study of Ahmadiyah in Cikeusik. This thesis uses interview in Cikeusik. The interview were held towards 5 native informants. The data retrieval shows that there is hatred by the religion figure towards Ahmadiyah. Beside that, the supports were shown by the aparatur in Cikeusik also determined the hate crime occured. Keywords: Hate Crime, MultiReligion, Collective Behavior
Pendahuluan Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk. Hal tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Furnivall dalam bukunya “Netherlands India: A Study of
Plural
Economy” (1967). Furnivall menggambarkan kenyataan masyarakat Indonesia dalam
Kejahatan bermotif..., Daniel Victor, FISIP UI, 2014
perbedaan warga masyarakat secara horizontal yang terdiri atas berbagai suku dan agama, semuanya itu membentuk kebudayaan nasional Indonesia. Tidak hanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, Indonesia juga merupakan negara hukum dan berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa, hal tersebut tertanam dalam nilai Pancasila yang menjadi ideologi bangsa 1. Salah satu ciri dari negara hukum ialah mengakui dan menjamin adanya hak asasi manusia, dan salah satu hak asasi manusia yang penting untuk dijamin keberadaannya ialah hak untuk beragama. Namun, pada kenyataannya konflik antar pemeluk agama/ keyakinan tumbuh menyertai suasana integrasi dalam kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal ini kita temui dalam masyarakat Indonesia tidak lain kaena ciri khas dari masyarakat majemuk, yakni terdapat segmentasi kedalam kelompok- kelompok, sering mengalami konflik, dan ada dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lain. Oleh karenanya tidak aneh bila dinegara ini banyak ditemui kelompok identitas dalam masyarakat, seperti ormas yang bernuansa kedaerahan atau organisasi yang berdasarkan pada agama. Banyaknya kelompok identitas ini, membawa pengaruh yang kurang baik dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu dapat dilihat dari semakin banyaknya kelompok masyarakat yang memaksakan keyakinannya (agama) kepada orang lain dan tidak menghargai keyakinan atau kepercayaan yang dianut oleh orang lain2. Berbagai tindakan pelanggaran kebebasan beragama lewat tindakan- tindakan intoleransi berupa penyerangan dan penyegelan kerap dialami dan menargetkan kelompokkelompok tertentu yang ada di Indonesia. Table 1. Daftar Individu/ Organisasi yang Menjadi Korban Tindakan Pelanggaran Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan Tahun 2008 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Individu/ Kelompok Korban Ahmadiyah Individu Al Qidayah Al Islamiyah Aliran Keagamaan dan Keyakinan AKKBB Kader PDS Dunia Usaha/ Korporasi Lain-lain Jemaat Gereja Jemaat Thariqat Satariyah Sahid Jamaah Syi’ah Komunitas Salamullah Nursyahdin dan Pengikutnya
Jumlah 238 48 4 15 1 2 2 10 15 2 2 5 2
1
Tercantum dalam Pancasila yang telah disepakati oleh PPKI pada 8 Agustus 1945 sebagai dasar negara dalam pembukaan UUD 1945. Dalam sila pertama berbunyi “”keTuhanan yang Maha Esa” 2 Santoso, Tulus. 2010. Hate Crime di Indonesia, kasus Ahmadiyah. Jurnal Kriminologi Indonesia. Hal 14-15
Kejahatan bermotif..., Daniel Victor, FISIP UI, 2014
14. 15. 16
Pelajar Ahmadiyah Pengikut Bihara Umat Budha Budha Jumlah
17 2 2 367
Tindakan kriminal yang dilakukan kepada individu, properti, ataupun sekelompok masyarakat, yang dimotivasi baik sepenuhnya ataupun sebagian oleh bias dari penyerang terhadap suatu ras, agama, kecacatan, orientasi seksual, asal negara/ etnis disebut sebagai hate crime3. istilah ini pertama muncul ditahun 1980 untuk mengklasifikasikan sebuah insiden rasil di Howard Beach, New York. Mokhtar Ben Barka, dalam jurnal berjudul Religion, Religius Fanaticism, and Hate Crime in the US, menjelaskan kejadian- kejadian hate crime yang terjadi dimana korban diserang karena kepercayaan agama mereka. Yang pertama, Charles Goldmark beserta isteri dan kedua anak laki lakinya dibunuh dirumahnya oleh seorang pemuda anggota dari group ekstremis bernama the Duck Club yang membenci orang Yahudi. Pemuda tersebut melakukan pembunuhan itu karena yakin bahwa Charles adalah seorang Yahudi. Kasus yang kedua adalah kekerasan yang menimpa Daniel Romano, seorang Satanis. Ia diserang ketika sedang berjalan dengan menggunakan jaket hitam dan salib terbalik di jalanan New York oleh dua remaja yang tidak senang dengan satanism karena ajarannya yang mereka nilai kejam. Dan kasus ketiga adalah penembakan terhadap Sodhi, seorang Sikh yang biasa menggunakan sorban. Pria ini ditembak setelah kejadian teror 11 September 2001, pembunuhnya menyatakan bahwa ia menembak Sodhi karena ia salah mengasumsikannya sebagai muslim. Demikian beberapa contoh kasus yang diuraikan Mokhtar Ben Barka dalam jurnal yang ditulisnya, dimana kejahatan ini terjadi karena prasangka para pelaku terhadap identitas orang yang menjad target mereka. Di Indonesia, hate crime kerap terjadi terhadap Ahmadiyah, Kristen, Syiah, dan minoritas agama lain. Salah satunya, yang paling tragis adalah kekerasan dan penolakan yang dialami komunitas Ahmadiyah. Semenjak fatwa MUI 2005, kelompok- kelompok Islamis menggerakkan massa dan menyerbu sekolah Ahmadiyah di Parung, Bogor. begitu pun dialami komunitas Ahmadiyah di Lombok Timur dan di Provinsi Jawa Barat (Manis Lor, Tasikmalaya, Garut, Ciaruteun, dan Sadasari)4. Setelah SKB 2008 diterbitkan, sebanyak 21 masjid Ahmadiyah di Indonesia ditutup secara paksa. Pada 2 Juni 2009, sebuah masjid milik
3 4
Barka, Mokhtar Ben. 2006. Religion Fanaticm and Hate Crime in the United States. Editions Belin. Hal 107 Laporan Human Rights Watch Mengenai Pelanggaran Atas Nama Agama di Indonesia Tahun 2013. Hal 12
Kejahatan bermotif..., Daniel Victor, FISIP UI, 2014
Jamaah Ahmadiyah di Kebayoran Lama sengaja dibakar oleh orang tak dikenal pada saat subuh. Penolakan terhadap Ahmadiyah mencapai puncak dan mendapat perhatian masyarakat luas pada tragedi hate crime yang terjadi tanggal 6 Februari 2011 di Cikeusik. Ketika itu sekelompok besar masyarakat mengambil tindakan sendiri untuk membubarkan Ahmadiyah di Umbulan, Cikeusik. Dalam berita liputan 6 SCTV5, setelah kejadian Cikeusik, diberitakan bahwa sikap berbeda yang dimiliki kelompok Ahmadiyah di Cikeusik tidak disenangi dan meresahkan. Dalam berita tersebut dituliskan bagaimana para tetangga disekitar rumah Ahmadiyah kurang mengenal para pengikut Ahmadiyah ini karena tertutup. Aktifitas Ahmadiyah pun dipaparkan dalam berita tersebut meresahkan warga, dimana sejak Ramadhan 2010, Ahmadiyah di Cikeusik melaksanakan Shalat Fardhu dirumahnya, terpisah dari warga Cikeusik, termasuk Shalat Tarawih dan Shalatt Idul Fitri. Proses penolakan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik sudah berlangsung sejak lama, hal itu karena perbedaan keyakinan yang dianutnya. Islam mengakui nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, dan Ahmadiyah mengakui adanya nabi setelah nabi Muhammad. ajakan- ajakan kepada Ahmadiyah untuk bertobat, himbauan untuk melakukan ibadah bersama, dan berbagai upaya dialog ada dilakukan di Cikeusik. Namun, hal tersebut tidak membuahkan hasil, yaitu pembubaran Ahmadiyah. Penolakan masyarakat Cikeusik yang disertai dengan perilaku dan sikap yang cenderung kearah kebencian terhadap keberadaan Ahmadiyah di lingkungan mereka menimbulkan permasalahan, karena hal tersebut membuahkan suatu tragedi hate crime terhadap Ahmadiyah. Hipotesa yang dimiliki penulis ialah, bahwa terdapat kebencian di Cikeusik terhadap Ahmadiyah. Melalui Studi Kasus yang dilakukan di Cikeusik ini bertujuan untuk menjelaskan alasan kebencian di Cikeusik terhadap Ahmadiyah. Dan selanjutnya dengan menggunakan kerangka pemikiran Smelser tingkah laku kolektif masyarakat Cikeusik akan diuraikan sehingga terjadinya hate crime pada Februari 2011 lalu.
Tinjauan Teoritis Hate crime
5
Http://m.liputan6.com/news/read/3195560/cikeusik-bukan-basis-ahmadiyah
Kejahatan bermotif..., Daniel Victor, FISIP UI, 2014
Perkataan hate crime secara implisit mengandung dua kata, yaitu kata hate dan crime. ada beberapa tafsir tentang arti benci (hate), dan semua merujuk pada satu hal: ketidaksukaan. Gaylin (2003, p. 28) mencoba untuk melihat dan memahami kebencian dalam 3 komponen utama, yaitu : 1. Hatred is clearly and most obviously and emotion, an intense Emotion, that is, a passion. To better understand hatred, it is helpful to have some sophisticated understanding of human emotions the irrational underpinnings of human behavior and the darker side of the human spirit. 2. Hatred is more than an emotion. It is also a psychological condition; a disorder of perception; a form of quasidelusional thinking. Therefore, to understand the condition of hatred, one must understand the nature of a delusion, a symptom of several mental desease. One must examine the meaning of the paranoid shift that is central to the think of hating individual and a culture of hatred. This examination will lead us into the somewhat bizzare world of symptom formation. 3. Finally, hatred requires an attachment. Like love, it needs an object. The choise of an object-also like love-may be rational or irrational. Obsessive hatred is by definition irrational. The choise of the victim is more often dictated by the unconscious needs and the personal history of the hater than by the nature, or even the actions, of the hated. Terjemahan bebas : 1. kebencian dengan jelas dan terutama sekali menyangkut masalah emosi, emosi yang kuat, yang selanjutnya mengarah pada amarah. Untuk memahami rasa benci dengan lebih baik, akan berguna jika memiliki pemahaman yang baik mengenai emosi manusia, alasan yang tidak logis dari perilaku manusia dan sisi yang lebih gelap dari jiwa manusia. 2. kebencian lebih dari sekedar emosi. Kebencian juga merupakan kondisi psikologis; persepsi yang kacau; angan angan semu. Oleh karena itu, untuk mengetahui keadaan benci, seseorang harus memahami khayalan yang alami dari gejala penyakit mental yang berat. Seseorang harus menguji maksud dari paranoid shift itu penting untuk berpikir membenci individu dan budaya dari benci. Pengujian ini akan menuntun kita ke dunia yang agak ganjil dari gejala yang dibentuk. 3. akhirnya, kebencian membutuhkan tambahan. Seperti cinta yang memerlukan objek. Pemilihan objek juga seperti cinta, bisa logis dan tidak logis. Obsessive hatred adalah pendefinisian irasional. Pemilihan korban lebih sering atas ketidaksadaran dan sejarah pribadi pelaku dari pada terjadi dengan sendirinya, atau tindakan dari benci tersebut.
Kejahatan bermotif..., Daniel Victor, FISIP UI, 2014
Meski kita dapat memahaminya seperti itu, Jacob dan Potter menyebutkan dalam bukunya, Hate Crime : Criminal Law and Identity Politics, bahwa hate crime tidak sepenuhnya berbicara tentang kebencian, tetapi tentang bias atau prasangka. Pada dasarnya keberagaman definisi hate crime mengacu pada kejahatan yang dimotivasi oleh prasangka (prejudice). Rupert Brown menjelaskan prasangka sebagai setiap sikap, emosi atau perilaku terhadap anggota suatu kelompok, yang secara langsung atau tidak langsung menyiratkan sikap negatif atau antipati terhadap kelompok itu. Prasangka inilah yang menciptakan jarak antar masyarakat sehingga memicu tindak hate crime, dan dianggap sebagai asumsi, keyakinan, atau pendapat yang digunakan sebagai dasar suatu tindakan (Jacobs & Potter, 1998). Berikut definisi hate crime oleh The Anti-Defamination League, hate crime adalah setiap kejahatan yang dilakukan karena siapa korban sebenarnya atau anggapan ras, warna kulit, agama, keturunan, asal negara, kecacatan, jenis kelamin, atau orientasi seksual. (Robinson, 2007) Dalam bukunya, Hating Hate : Policy of Hate Crime Legislation 2000, Beverly S. McPhail menyampaikan bahwa hate crime merupakan perilaku kejahatan dengan motif bias. McPhail menyatakan, motif biaslah yang menyebabkan hate crime berbeda dengan tindak kejahatan lainnya, karena ia didasari pada prasangka atau kecurigaan. Menurut McPhail, istilah hate crime lebih menggambarkan sebuah tipe kejahatan ketimbang sebuah tindak kejahatan yang melanggar hukum pidana. Dengan kata lain, istilah hate crime cenderung menjadi sebuah konsep ketimbang definisi legal. Tindakan membunuh misalnya, adalah tindakan yang melanggar hukum pidana, tapi latar belakang seseorang melakukan tindak pembunuhan itulah yang kemudian menjadi tipe dari kejahatan itu sendiri.6 Sebagai upaya untuk menjelaskan perilaku kejahatan bias ini, maka dibuatlah pengkategorian pelaku menjadi 4 kelas (Mc Devitt, Levin & Bernett)7: 1. Sekedar iseng (mencari sensasi). Para pencari sensasi biasanya anak
muda/
remaja yang melakukan kejahatan sebagai sebuah latihan keperkasaan dan untuk memperoleh penerimaan maupun status diantara rekan mereka. Pencari sensasi ini melakukan aksi vandalisme ataupun destruction kecil kecilan terhadap kelompok lain atau individu yang dianggap berbeda atau lebih rendah. Menurut para ahli, selama bias atau 6
kebencian terhadap
Beverly A, McPhail. 2009. Hating Hate: Policy Implication of Hate Crime of Legislation.Polandia. hal 16 Kercher, Glen, Claire Nolasco, dan Ling Wu. 2008. Hate Crimes. Sam Houston State University : Crime Victims Institute, Criminal justice center. Hal 7 7
Kejahatan bermotif..., Daniel Victor, FISIP UI, 2014
korban ini tidak berakar kuat pada para pencari sensasi, jenis pelaku kejahatan ini bisa dihalangi dari melakukan tindak
kejahatan bias dimasa depan jika ada dukungan sosial
yang kuat untuk men-deflect kekerasan (melalui program pendidikan tentang keberagaman) dan jika terjadi, diberikan penghukuman sosial terhadap tindakan tersebut. 2. Mempertahankan wilayah kekuasaan. Pelaku kejahatan difensive ini kejahatan bias untuk mempertahankan wilayah mereka
melakukan
terhadap orng luar yang dianggap
sebagai ancaman atau pengacau. Mereka meyakini bahwa orang luar atau penyusup tidak berhak atas hak- hak yang sama dan cara hidup yang sama seperti yang mereka nikmati diwilayah mereka. Pelaku kejahatan ini biasanya tidak tergabung dalam kelompok kebencian yang terorganisir, tapi mereka mencari bantuan dari kelompok kebencian untuk melaksanakan kejahatan mereka. Pelaku
kejahatan ini juga biasanya tidak memiliki sejarah kriminal,
tetapi melakukan kejahatan biasnya dengan “mengirim pesan” kepada para korban bahwa mereka tidak diterima. 3. Melakukan misi suci. Mereka yang melakukan misi ini benar benar berkomitmen dengan prejudice mereka sedemikian rupa sehingga menjadi tujuan untuk membersihkan dunia dari para korban yang sudah mereka
targetkan itu. Pelaku kejahatan ini biasanya sakit
secara mental dan psikologis, dan memandang korban mereka sebagai iblis, bukan manusia, dan binatang. Pelaku semacam ini mungkin juga bergabung dengan kelompok kebencian terorganisir seperti Ku Klux Klan atau The National Alliance, atau mereka mungkin juga bertindak sendiri seperti yang Timothy McVeigh lakukan ketika ia mengebom gedung federal Murrow di Oklahoma. 4. Membalas dendam. Para pelaku pembalasan bertindak sebagai respon terhadap apa yang sebenarnya atau yang dianggap hate crime yang atau seseorang yang menjadi bagian dari
dilakukan
terhadap
kelompok
kelompok mereka. Para pelaku itu melakukan
balas dendam setelah melihat anggota kelompok lain telah menyerang seseorang yang sesuai dengan ciri mereka. Dalam hate crime pembalasan dendam ini, kebenaran dari peristiwa sebenarnya seringkali tidak relevan dan pembalasan para bertindak hanya berdasar rumor dan belum memverifikasi
pelaku kebencian ini terkadang ketepatansebenarnya
tentang
rumor tersebut. Tingkah Laku Kolektif Dalam menjelaskan tingkah laku kolektif Smelser menyebutkan terdapat enam faktor penentu bagi munculnya tingkah laku kolektif yang bekerja melalui proses nilai tambah. Keenam faktor tersebut menjadi satu melalui proses akumulasi yang hasil akhirnya tidak
Kejahatan bermotif..., Daniel Victor, FISIP UI, 2014
sekedar merupakan penjumlahan dari faktor faktor tersebut tetapi merupakan suatu unit gejala yang kualitasnya melebihi keenam faktor. Demikian ke enam faktor yang dijelaskan Smelser dalam buku yang ia tulis, Theory Of Collective Behavior. 8 Pertama, pendorong struktural, yaitu kondisi struktural masyarakat yang mempunyai potensi bagi timbulnya tingkah laku kolektif. Kondisi struktural masyarakat seperti ketidakadilan sosial, kesenjangan sosial, konflik, persaingan merupakan faktor kondusif bagi munculnya tingkah laku kolektif. Faktor ini bila berdiri sendiri tidak akan melahirkan tingkah laku kolektif; Kedua, ketegangan struktural yaitu suatu kondisi adanya kelompok masyarakat yang mengalami ketegangan yang berkaitan dengan kondisi struktural masyarakat. Misalnya sebagai akibat adanya kesenjangan terdapat kelompok masyarakat yang merasa tersisihkan dibandingkan kelompok masyarakat lain yang lebih beruntung. Meskipun dalam masyarakat dapat diidentifikasi adanya ketegangan struktural yang berasal dari adanya faktor struktural yang kondusif bagi tingkah laku kolektif, namun keadaan itu saja belum akan melahirkan tingkah laku kolektif karena memerlukan kondisi lanjutan; Ketiga, pertumbuhan dan penyebarluasan kepercayaan umum yaitu suatu proses ketiga ketegangan struktural menjadi bermakna bagi para calon pelaku tindakan kolektif. Ketegangan sturktural sudah dirasakan sebagai realitas kemudian disebarluaskan menjadi kepercayaan umu, dan selanjutnya diidentifikasi sumber sumber ketegangan maupun cara cara yang tepat untuk mengatasi ketegagan tersebut yaitu hanya melalui tingkah laku kolektif. Kendatipun faktor penentu sudah sampai dengan tahapan ini, namun bagi munculnya tingkah laku kolektif masih diperlukan adanya kondisi khusus yaitu faktor pencetus. Keempat, faktor faktor pencetus merupakan faktor situasional yaitu adanya suatu peristiwa yang menegaskan pendorong struktural, ketegangan struktural dan kepercayaan umum tentang sumber ketegangan yang memicu timbulnya tingkah laku kolektif. Faktor tersebut bila tidak dilatar belakangi tiga faktor sebelumnya tidak akan menghasilkan tingkah laku kolektif. Namun demikian pun keempat faktor diatas sudah terakumulasi belum akan melahirkan tingkah laku kolektif. Untuk terjadinya tingka laku kolektif masih memerlukan faktor berikutnya; Kelima, mobilisasi pemeran serta untuk bertindak yaitu kondisi lanjutan bila tahap satu hingga empat diatas terjadi supaya tingkah laku kolektif dapat terlaksana. Disini peran
8
Smelser, Neil J. 1962. Theory Of Collective Behavior. New York : The free press. Hal 15-17
Kejahatan bermotif..., Daniel Victor, FISIP UI, 2014
pimpinan tingkah laku kolektif untuk memobilisasi orang dan menggerakkan kolektifa adalah penting; Dan keenam, bekerjanya pengendalian sosial memegang peran penting bagi penghindaran terjadinya tingkah laku kolektif dalam setiap tahapan proses tersebut diatas. Bila pranata pengendalian sosial mampu mengintervensi tahapan tahapan faktor penentu tingkah laku kolektif diatas, maka timbulnya tingkah laku kolektif dapat dihindarkan. Dalam konteks tingkah laku kolektif apa yang terjadi pada Ahmadiyah di Cikeusik secara lebih khusus dapat dikategorikan sebagai kekerasan kolektif. Charles Tilly (1969) mengkategorikan kekerasan kolektif dalam tiga kategori, yaitu : kekerasan kolektif primitif, kekerasan kolektif reaksioner, dan kekerasan kolektif modern. Kekerasan kolektif primitif yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang tidak bersifat politis dan tidak luas lingkupnya, terbatas pada komunitas lokal saja. Tindakan kekerasan yang biasanya terjadi dalam kategori ini adalah keributan, kekerasan yang dilakukan oleh kelompok pengamanan masyarakat, kekerasan dalam bentuk main hakim sendiri oleh kelompok masyarakat, interaksi saling membenci antar kelompok agama yang berbeda. Kategori kedua adalah kekerasan kolektif reaksioner, dalam kekerasan ini cirinya adalah dilakukan oleh sekelompok kecil warga masyarakat yang melakukan protes secara kekerasan terhadap cara cara pemegang kekuasaan melakukan tugasnya. Misalnya orang tua murid yang memrotes pungutan liar yang dilakukan oleh sekolah. Yang membedakannya dari kekerasan kolektif primitif adalah bahwa kekerasan kolektif reaksioner adalah suatu bentuk kritik atau perlawanan terhadap sistem, sedangkan kekerasan kolektif primitif merupakan bentuk persaingan antar kelompok. Kategori yang ketiga adalah, kekerasan kolektif modern, biasanya mempunyai tujuan yang jelas dan diorganisasi untuk tujuan politik dan ekonomi. Contoh dari kekerasan kolektif modern
adalah
pemogokan
buruh
yang
dilakukan
dengan
tindakan
kekerasan,
pengambilalihan kekuasaan yang sah, perang gerilya, terorisme dan sebagainya.9 Kekerasan kolektif yang dilakukan dalam konteks apa yang terjadi terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, dalam kategori Tilly tersebut diatas dapat dikatakan sebagai kekerasan kolektif primitif.
9
Moyer, EK. 1983. Violence, dalam Sanford H. Kadish (Editor), Encyclopaedia of Crime and Justice. Volume 4, New York: The free press. Hal 1619-1620
Kejahatan bermotif..., Daniel Victor, FISIP UI, 2014
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian, berupa studi kasus yang dilakukan di Cikeusik melalui wawancara dan observasi di lingkungan tersebut. Peneliti melakukan Wawancara untuk memperoleh data primer berupa keterangan yang diperoleh dari tokoh agama, tokoh masyarakat setempat, dan beberapa pelaku yang terlibat dalam kejadian bentrokan. Wawancara menggunakan panduan wawancara yang sudah disiapkan sebelumnya dan data yang dikumpulkan adalah seputar pengetahuan dan pendapatnya terhadap ahmadiyah, tuntutan terhadap pengikut ahmadiyah, cerita singkat mengenai kejadian bentrokan dan peranannya dalam bentrokan. Peneliti menjadikan Kasus Cikeusik sebagai studi kasus karena bentrok yang sempat terjadi pada februari 2011 lalu. Dalam bentrokan ini jatuh korban yang cukup banyak, baik itu dari kelompok Ahmadiyah ataupun kelompok massa Muslim. Bahkan terdapat tiga orang korban meninggal dunia, yang ketiga tiganya ini merupakan jamaah Ahmadiyah. Meski serangan terhadap kelompok Ahmadiyah sebelumnya telah terjadi cukup banyak diberbagai tempat, studi kasus di Cikeusik ini dipilih oleh peneliti karena kelompok Ahmadiyah di Cikeusik yang kecil (hanya satu keluarga saja) yaitu 25 orang10, dan letak geografisnya yang berada pada masyarakat homogen, yang memiliki nuansa keagamaan yang tinggi. Mayoritas masyarakat di Cikeusik
adalah Islam Sunni. Keunikan dari kasus ini
terletak pada dukungan pejabat lokal pada pertemuan pertemuan yang diadakan oleh kelompok yang membenci Ahmadiyah (tokoh agama). Melalui wawancara dan observasi tersebut, analisis ditujukan pada alasan (mendalami motif dari religious hate crime di Cikeusik ini) dan bagaimana hate crime berupa tingkah laku kolektif bisa terjadi di Cikeusik.
Alasan Kebencian Terhadap Jemaat Ahmadiyah Kebencian yang sudah lama ditujukan pada Ahmadiyah dilandaskan oleh beberapa alasan. Di Cikeusik, kebencian terhadap Ahmadiyah sudah ditunjukkan sejak tahun 1985, melalui tindakan tegas dan kasar yang diberikan oleh aparat pemerintah setempat terhadap Jemaah ini. Alasan kebencian masyarakat Cikeusik terhadap Jemaat Ahmadiyah adalah sebagai berikut. Pertama, dimata masyarakat, terkhusus tokoh agama muslimnya, Ahmadiyah
10
Umar, Bambang Widodo. Naskah Saksi Ahli persidangan kasus Cikeusik. Hal 7
Kejahatan bermotif..., Daniel Victor, FISIP UI, 2014
dinilai sebagai ajaran sesat. hal hal yang berbeda dan mengusik ritual yang biasanya membuat masyarakat tidak senang dengan Jemaah Ahmadiyah ini. alasan utama yang membuat masyarakat marah (inti emosional dari kebencian) terhadap Ahmadiyah adalah aqidah/ nilai nilai dasar ahmadiyah yang dinilai menyimpang dari yang di puja oleh masyarakat Cikeusik, khususnya nilai nilai dasar Islam, karena Ahmadiyah mengakui dirinya juga sebagai Islam. Perbedaan aqidah tersebut ialah, perbedaan tentang keimanan akan adanya nabi sesudah nabi Muhammad, yakni seorang nabi yang diyakini sudah datang dalam rupa Mirza Ghulam Ahmad. Mereka meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Al- mahdi bagi umat islam, Al-masih bagi umat Kristen, dan avatar Krishna. Alasan kedua adalah Ahmadiyah lestari dan bertahan di Cikeusik. Meskipun jumlah pengikut Ahmadiyah yang ada di Cikeusik sangat sedikit dan hanya terpusat disatu tempat saja, namun keberadaan mereka merupakan ancaman bagi masyarakat setempat, terutama menjadi ancaman yang merusak keberlangsungan Islam yang ada di CIkeusik. Dimana Ahmadiyah sudah ada di Cikeusik sejak tahun 1980 dan semakin berkembang di tahun 2009. Hal tersebut menghawatirkan para tokoh agama di Cikeusik, karena dengan adanya, aktif, dan berkembangnya Ahmadiyah di lingkungan mereka menunjukkan ketidakberdayaan mereka dalam mempertahankan keutuhan pengajaran di lingkungan Cikeusik. Keberadaan dan keaktifan Ahmadiyah tersebut ditandai dengan adanya warga lain yang ikut Ahmadiyah selain Suparman yang sudah sejak lama ikut Ahmadiyah, Suparman menolak ajakan untuk kembali bergabung dengan islam dan memilih mengurus Ahmadiyah, ada tempat ibadah sendiri yang dimiliki oleh Ahmadiyah yang berupa rumah. Dan ada aliran dana yang mendukung kegiatan mereka. Dan alasan yang ketiga, adalah ritual Ahmadiyah terpisah dari masyarakat Islam Cikeusik yang beribadah di Masjid. hal tersebut menampikan rasa iri terhadap Ahmadiyah, karena dengan mekukan ritual agama secara terpisah jemaat ini menjadi terlihat eksklusif dan menutup dirinya. sebagai kelompok yang kecil, Ahmadiyah membangun tempatnya sendiri untuk beribadah dan melakukan ritual agama yang terpisah dari lingkungan disekitarnya. Hal tersebut (3 alasan yang saya uraikan diatas) merupakan alasan yang memicu rasa benci masyarakat Banten Selatan dan khususnya Cikeusik terhadap Ahmadiyah. Minimnya interaksi dan pemahaman yang terbangun akan Ahmadiyah tanpa interaksi yang cukup itu mengakibatkan munculnya prasangka terhadap pengikutnya yang ada di Cikeusik. Sementara prasangka terus muncul terhadap Jemaah Ahmadiyah, jarak yang tercipta antara masyarakat Cikeusik dengan pengikut Ahmadiyah semakin jauh. Temuan temuan yang didapakan ini
Kejahatan bermotif..., Daniel Victor, FISIP UI, 2014
merupakan temuan motif agama/ keyakinan yang menyebabkan bagaimana akhirnya sekelompok masyarakat melakukan hate crime terhadap Ahmadiyah.
Proses Kebencian Terhadap Ahmadiyah Menjadi Kekerasan Terhadap Pengikutnya Smelser menuliskan uraian faktor yang menolong dalam menjelaskan tingkah laku kolektif, ia menyebutkan terdapat enam faktor penentu bagi munculnya tingkah laku kolektif yang bekerja melalui proses nilai tambah. Terkait bagaimana sampai terjadi kekerasan kolektif terhadap Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik dapat juga dijelaskan melalui keenam faktor tersebut. Pertama adalah pendorong struktural, diantara beragam situasi yang kondusif dalam memunculkan tingkah laku kolektif salah satu situasi yang terjadi di Cikeusik ini adalah suasana persaingan. Kedua ketegangan struktural, akibat dari suasana persaingan di Cikeusik terdapat kelompok masyarakat yang sangat menginginkan dominasinya terjaga dan keutuhannya tidak dirusak (tokoh agama). Ketiga kondisi pertumbuhan dan penyebarluasan kepercayaan umum, dimana ketegangan strukrural yang terjadi didalam masyarakat menjadi hal yang bermakna bagi warga Cikeusik karena kelompok Ahmadiyah yang dibenci ini dianggap menjadi masalah yang urgent untuk segera dibubarkan. Keempat yaitu faktor faktor pencetus yang mempertegas pendorong struktural, ketegangan struktural, dan pertumbuhan penyebaran kepercayaan umum, dan juga muncul karena dilatarbelakangi oleh ketiga hal tersebut. Kelima adanya mobilisasi warga Cikeusik untuk bertindak, dan terakhir atau yang keenam adalah perhatian terhadap pengendalian sosial yang memiliki peran penting untuk timbul atau tidaknya tingkah laku kolektif. Dari keenam faktor tersebut terlihat bahwa, faktor lingkungan dan keyakinan yang dimiliki masyarakat Cikeusik merupakan indikator yang kuat dalam menyebakan terjadinya hate crime. masyarakat mayoritas Islam yang memiliki tingkat pengaruh keagamaan Islam yang kuat dalam keyakinan yang dibangunnya, sehingga ketika ada hal yang ditentang (sesat) dan dianggap merusak keyakinan yang sudah ada, memunculkan reaksi geram, benci dan prasangka negatif terhadap pengikutnya. Hal tersebutlah yang ditekankan para tokoh agama terhadap kelompok Ahmadiyah, sehingga masyarakat banyakpun ikut melakukan dukungan terhadap pembubaran kelompok tersebut tanpa memandang ada manusia yang memiliki hak kebebasan didalamnya. Hal tersebut dapat saja dicegah apabila aparat dapat menyikapinya dengan baik, namun keberpihakan aparat yang tidak sejalan dengan amanatnya membuka ruang ruang bagi
Kejahatan bermotif..., Daniel Victor, FISIP UI, 2014
kekerasan verbal terhadap kelompok Ahmadiyah. Hal ini menjadi bagian yang mendukung terjadinya kekerasan kolektif yang bermotifkan hate crime terhadap satu kelompok keyakinan di suatu lingkungan (Ahmadiyah di Cikeusik).
Kesimpulan Hate crime yang terjadi di Cikeusik bermotif keyakinan. Aksi- aksi penolakan yang ditunjukkan oleh tokoh agama di Cikeusik terhadap jemaat Ahmadiyah menunjukkan adanya kebencian yang sudah berlangsung lama terhadap Ahmadiyah di Cikeusik dan diikuti oleh masyarakat. Kebencian tersebut telah mendorong berbagai bentuk pelanggaran dan diskriminasi terhadap pengikut Ahmadiyah yang bertahan dan tinggal di Cikeusik. Kebencian yang sudah ada sejak kurang lebih 20 tahun silam didasari oleh keyakinan mereka yang berbeda. Aqidah yang dimiliki Ahmadiyah dinilai sesat dan menyimpang dari Islam. Perbedaan aqidah tersebut menonjol terlihat antara Ahmadiyah dengan Islam Sunni yaitu soal keimanan kenabian dan kitab. Para tokoh agama di Cikeusik menyebutkan Ahmadiyah sebagai kelompok sesat. Keberadaan Ahmadiyah di Cikeusik menimbulkan beragam perasaan bagi para tokoh agama yang mengarah kepada kebencian, yaitu amarah, menganggap Ahmadiyah sebagai suatu ancaman, dan rasa iri. Perasaan tersebut muncul karena keberadaan dan keaktifan Ahmadiyah yang ada di Cikeusik. Prejudice buruk terhadap Ahmadiyah ini menjadi penggerak bagi tingkah laku kolektif yang terjadi dalam masyarakat. Terjadinya tingkah laku kolektif ini melalui proses yang sangat kompleks. Dimana Penjelasan Smelser mengenai faktor penentu bagi munculnya tingkah laku kolektif yang bekerja melalui proses nilai tambah menolong untuk menguraikan kompleksitas dari proses kebencian ini menjadi kekerasan. Faktor faktor yang asalnya dari situasi lingkungan yang menumbuhsuburkan kebencian terhadap Ahmadiyah yang bertentangan pandangan keyakinan di Cikeusik, dan faktor dari luar, yakni peranan pengendalian sosial yang memihak, telah menyebabkan terjadinya hate crime di Cikeusik .
Saran Berdasarkan simpulan diatas, berkaitan dengan permasalahan penolakan tokoh agama setempat terhadap Ahmadiyah karena alasan kebencian terhadap keyakinannya yang berbeda, maka peneliti menyarankan prasangka terhadap suatu keyakinan perlu dihapuskan, karena hal
Kejahatan bermotif..., Daniel Victor, FISIP UI, 2014
tersebut melanggar Hak Asasi Manusia, yakni hak seseorang untuk bebas dalam menentukan keyakinan yang dianut. Berdasarkan simpulan diatas juga, maka peneliti memberikan saran kepada Kepala negara, Kepala Kepolisian, dan pemerintah di daerah, dibutuhkannya pengendalian sosial yang baik (polisi, camat, dan aparat negara lainnya) dalam mencegah terjadinya hate crime. pengendalian sosial yang baik ini ditandai dengan sumber daya aparat yang berkualitas, yakni tidak memihak, dan profesional dalam menjalankan perannya tanpa terpengaruhi oleh kelompok masyarakat yang berkepentingan dalam suatu konflik atau suasana kebencian. Ringkas soal saran bagi penelitian selanjutnya dan sara saran aplikatif
Daftar Referensi Beverly A, McPhail. 2009. Hating Hate: Policy Implication of Hate Crime of Legislation.Polandia. Furnivall, J.S. 1967. Netherlands India: A Study of Plural Economy. New York : Cambridge University press Kercher, Glen, Claire Nolasco, dan Ling Wu. 2008. Hate Crimes. Sam Houston State University : Crime Victims Institute, Criminal justice center. Smelser, Neil J. 1962. Theory Of Collective Behavior. New York : The free press. Hal 15-17 Moyer, EK. 1983. Violence, dalam Sanford H. Kadish (Editor), Encyclopaedia of Crime and Justice. Volume 4, New York: The free press. Barka, Mokhtar Ben. 2006. Religion Fanaticm and Hate Crime in the United States. Editions Belin. Santoso, Tulus. 2010. Hate Crime di Indonesia, kasus Ahmadiyah. Jurnal Kriminologi Indonesia. HRW. Laporan Human Rights Watch Mengenai Pelanggaran Atas Nama Agama di Indonesia Tahun 2013. Umar, Bambang Widodo. 2011. Naskah Saksi Ahli persidangan kasus Cikeusik.
Kejahatan bermotif..., Daniel Victor, FISIP UI, 2014