1
Kedudukan Foto Sebagai Alat Bukti Dalam Pembuktian Tindak Pidana Oleh: Fedrianto Abstrac Teknologi dan telekomunikasi berkembangan sangat pesat. Perkembangan teknologi telah merubah kehidupan dan hukum suatu negara. Contoh bidang fotografi (photografer) tidak lagi menggunakan kamera biasa (single lense reflector) yang hasil fotonya masih standar tapi sudah berubah menjadi foto warna dan terkomputerisasi dengan kamera digital yang hasilnya lebih baik. Disamping kemudahan dan kepraktisan yang ditawarkan teknologi digital, ternyata teknologi tersebut melahirkan perbuatan yang dapat digolongkan ke dalam tindak pidana. Contohnya merekayasa foto untuk pencemaran nama baik seseorang. Foto direkayasa seolah-olah objek yang terdapat dalam foto tersebut adalah benar adanya. Dari latar belakang tersebut timbul permasalahan yang hendak diteliti, yakni: a) bagaimanakah kedudukan foto sebagai alat bukti dalam pengaturan hukum pidana Indonesia, b) bagaimanakah keabsahan foto sebagai alat bukti di pengadilan. Penulisan tesis ini, yang dilakukan melalui penelitian hukum normatif dengan melakukan penelitian bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil penelitian menunjukan bahwa: a) kedudukan foto dalam hukum pidana Indonesia menempati dua posisi, pertama, sebagai alat bukti yang masuk dalam pengkatagorian bukti yang sudah ada, artinya tidak berdiri sendiri, kedua, foto sebagai alat bukti baik dalam bentuk cetak atau dalam bentuk data elektronik merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, b) Foto di pengadilan dapat berkedudukan sebagai barang bukti dan barang bukti. Foto tidak dapat berdiri sendiri, sangat terkait dengan alat bukti yang lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Guna perbaikan kedepan, maka perlu dilakukan pembuat aturan atau undang-undang tentang pembuktian. Hal ini mengingat hukum pembuktian dalam hukum pidana di Indonesia menyebar-nyebar, sehingga menyulitkan bagi pencari keadilan dalam mendapatkan keadilan..
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkembangan telekomunikasi dan komputer serta penggabungan kedua hal tersebut membuat komunikasi menjadi lebih cepat dan mengubah model konfigurasi komunikasi konvensional. Orang dapat berkomunikasi tidak lagi dalam bentuk mengirimkan surat melalui sarana dan jasa pos. Singkat kata dunia telah dilipat, sehingga batas tidak lagi jadi kendala.1 Hal di atas sejalan dengan pandangan Paul Vrilio, mengemukan bahwa saat ini dunia tengah mengalami percepatan yang luar biasa, menurutnya kecepatan menjadi ciri kemajuan sehingga ia membentuk kemajuan-kemajuan dalam tempo tinggi. Semua serba cepat, instan, masyarakat menjadi baign percepatan dan percepatan itu sendiri, akibatnya perubahan tidak dapat dideteksi, para futurology sudah tidak dapat
1
Yasraf Amir Piliang. 2006. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra, hal. 43.
2
meramalkan masa depan sebab masa depan selalu membawa sesuau yang mengejutkan.2 Bidang fotografi juga mendapat imbas dari perkembangan teknologi dan telekomunikasi. Sekarang orang yang melakukan kegiatan fotografi (photografer) tidak lagi menggunakan kamera biasa (single lense reflector) yang hasil fotonya masih standar tapi sudah berubah menjadi foto warna dan terkomputerisasi dengan kamera digital yang hasilnya lebih baik. Media penyimpanan foto tidak hanya dalam bentuk klise namun penyimpanan foto sudah berbentuk digital yang disimpan dalam komputer. Singkat kata bidang fotografi telah berbentuk sistem elektronik. Sistem elektronik adalah sistem komputer dalam arti luas, yang tidak hanya mencakup perangkat keras dan perangkat lunak komputer, tetapi juga mencakup jaringan telekomunikasi dan/atau sistem komunikasi elektronik. Perangkat lunak atau program komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang instruksi tersebut. Hal tersebut terlihat dari perkembangan media penyimpanan foto yang terdiri dari dua bentuk yakni hardcopy (sudah dalam bentuk cetakan di atas kertas) atau softcopy (dalam bentuk data dalam komputer yang disimpan dalam media penyimpan seperti: hardisc, flasdisc, CD, atau disket). Perkembangan kamera mempermudah pekerjaan dari fotographer itu sendiri. Kamera yang merupakan alat (tool) untuk mengambil objek dapat digabungkan dengan komputer. Keunggulan komputer berupa kecepatan dan ketelitiannya dalam menyelesaikan pekerjaan telah membantu seorang fotographer untuk mengedit foto menjadi lebih bagus dan indah. Dengan terkoneksinya kamera ke komputer membawa keuntungan yang sangat banyak diantaranya: 1. Membantu memberikan data yang lebih aktual; 2. Mengurangi kesalahan yang mungkin terjadi; 3. Memberikan informasi yang lebih baik untuk pengambilan keputusan; 4. Mengurangi waktu dan tenaga yang diperlukan untuk mengerjakan hal yang sama berulang-ulang; 2
Paul Virilio. 1977. Speed & Politics, New York: Semiotex, hal. 46, dalam Anthon F. Susanto. 2005. Semiotika Hukum Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna. Bandung: PT Refika Aditama, hal. 114
3
5. Mengerjakan suatu pekerjaan dengan tanpa henti dan mengenal lelah, mencatat dan mengolah data dengan cepat, tepat, cermat dan lengakap. Namun di samping kemudahan dan kepraktisan yang ditawarkan teknologi digital, ternyata teknologi tersebut melahirkan perbuatan yang dapat digolongkan ke dalam tindak pidana. Hal tersebut terjadi karena peranan manusia yang menggunakan teknologi, “The man behind the machine”. Contohnya merekayasa foto untuk pencemaran nama baik seseorang. Foto direkayasa seolah-olah objek yang terdapat dalam foto tersebut adalah benar adanya. Hal ini sejalan dengan yang diungkap Asosiasi Teknologi Informasi Kanada pada Kongres Industri Informasi Internasional 2000 di Quebec, menyatakan bahwa: “information technology touches every aspect of human life and so can electronically enabled crime”3. Artinya, informasi teknologi menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia dan dapat menjadi kemungkinan kejahatan secara elektronik. Kasus selebriti yang foto bugilnya disebarkan melalui internet, seperti Ayu Azhari dan Rama Azhari, sempat diungkapkan oleh media massa. Foto yang awalnya orangnya berpakaian direkayasa sehingga foto tersebut menjadi tidak berpakaian. Kasus rekayasa foto dengan modus mengganti kepala seseorang dengan kepala orang di foto lain, seperti Pasha Ungu dengan Alisa Subandono.4 Rekayasa foto dapat merugikan orang jika ia tidak pernah melakukan hal tersebut. Nama baik dari seseorang dikebiri dari tindakan rekayasa foto tersebut. Media untuk menyebarkan foto rekayasa yang merusak nama baik seseorang yang biasanya melalui media foto, pamplet, stiker dan media internet. Namun pada media internet paling banyak digunakan sebagai media untuk menyebarkan foto rekayasa bertujuan untuk merusak nama baik seseorang. Alasan digunakannya media internet untuk menyebarkan foto rekayasa yang merusak nama baik seseorang adalah karena media internet tersebut dapat diakses siapapun tanpa ada batasan. Artinya seseorang dapat saja memasukkan (upload) data ke internet tanpa ada orang yang membatasinya. Sekalipun penggunaan teknologi fotografi membawa dampak pada muculnya berbagai bentuk kejahatan baru tetapi kita tidak dapat dengan serta merta menghindarkan penggunaan teknologi ini dalam kehidupan sehari-hari. Karena jika 3
Barda Nawawi Arief. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan. Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 136. 4 Foto bugil artis.http://www.hukumonline.com/berita.html, diakses tanggal 2 Januari 2010
4
kita menghindari masuknya arus teknologi, maka kita akan tetap terkukung oleh keterbelakangan, layaknya katak dalam tempurung. Perbuatan merekayasa foto dengan maksud merusak nama baik seseorang, khususnya kalangan selebriti perlu dilakukan antisipasi guna melindungi hak-hak individu. Untuk melindungi hak-hak individu tersebut Negara yang berhak melakukannya. Negara dapat melindungi hak individu tersebut karena negara memiliki alat untuk melindungi, dan memiliki seperangkat hukum. Untuk melindungai hak-hak individu tersebut, upaya yang paling efektinya adalah dengan sarana hukum. Alasan digunakannya sarana hukum adalah karena sarana ini memiliki alat yang berfungsi sebagai pemaksa bagi seseorang yang melanggarnya. Singkat kata penegakan hukum5 perlu dilakukan secara lebih baik. Tindakan penegakan hukum terbagi dua macam yakni tindakan pencegahan (preventif) maupun tindakan pemberantasan (represif). Salah satu ketentuan yang mengatur bagaimana caranya aparat penegak hukum melaksanakan tugas di bidang represif, adalah hukum acara pidana yang mempunyai tujuan yaitu untuk mencari dan mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tetapt dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku dan guna menentukan terbuktinya bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan. Ditilik dalam KUHP mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik diatur pada Pasal 310 sampai Pasal 321. Dalam Pasal 310 KUHP menyebutkan, “Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan…”. Foto merupakan salah satu alat untuk melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik seseorang dan internet merupakan salah satu alat untuk menyiarkan dan mempertunjukkan pada umum. Menggunakan sarana hukum untuk melindungi hak-hak individu dengan menempuh proses hukum mulai dari penyidikan sampai ke pengadilan (peradilan pidana). Keputusan hakim menentukan orang bersalah atau tidak berdasarkan suatu alat bukti. 5
Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan nilai yang mantap dan mengejewantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (“sebagai social engineering), memelihara dan mempertahankan (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup. Lihat Soerjono Soekanto. 1983. Penegakan Hukum. Bandung: Binacipta, hal. 13.
5
Pembuktian merupakan satu aspek yang memegang peran sentral dalam proses peradilan. Pada kasus pidana, nasib terdakwa akan ditentukan pada tahap ini, jika tidak cukup alat bukti, terdakwa akan dinyatakan tidak bersalah dan harus dibebaskan,6 begitupun sebaliknya. Hal tersebut sejalan dengan yang dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebuutkan tentang adanya keyakinan hakim. Pada kasus perdata, tahap pembuktian para pihak diberikan kesempatan untuk menunjukkan kebenaran terhadap fakta-fakta hukum sebagai pokok sengketa. Hakim yang memeriksa dan memutuskan perkara berdasarkan pada alat bukti diajukan para pihak yang bersengketa. Dalam ranah hukum pidana, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 184 ayat (1) menentukan secara ’limitatif’ alat bukti yang sah menurut undang-undang, yaitu keterangan saksi (minimal 2 orang saksi); keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa. Di luar alat bukti itu maka tidak dibenarkan alat bukti yang lain digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip minimal pembuktian dalam hukum pidana - seperti telah diatur dalam pasal 183 KUHAP - menyatakan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia (hakim) memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Ada beberapa kemungkinan yang patut mendapat perhatian, selama ini hampir tidak bisa dibuktikan kemampuan pengadilan menyelesaikan persoalan pihak yang bersengketa. Pengadilan selalu kebingungan manakala hakim dihadapkan kepada perkara dengan dasar hukum tidak jelas (dalam peraturan perundang-undangan). Pada posisi ini hakim persis seperti orang buta tengah memegang gaja, akibatnya hakim lebih banyak bicara dan menetapkan perosalan-persoalan yang sepele. Sehingga hakim lebih
peduli
menyelesaikan
perkara
berdasarkan
rule
of
law
daripada
menyelesaikannya dengan benar dan adil. Sisi lain, adanya kepercayaan (dan tampaknya dipegang teguh oleh para hakim) bahwa hanya kepentingan-kepentingan yang pernah sajalah yang akan diakui dan diproses. Ini berarti, kebutuhan baru yang tengah dicarikan perlindungannya ke 6
Moeljatno. Hukum Acara Pidana, Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum UGM, hal. 132. dikutip dari Ratna Nurul Afiah. 1988. Barang Bukti Dalam Proses Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, hal. 14.
6
pengadilan akan mudah ditolak begitu saja oleh pengadilan dengan pernyataan bahwa salah satu pihak tidak dapat mengemukakan dasar (dalil)-nya. Begitu halnya dalam penggunaan foto dalam pembuktian. Pengadilan bersedia memeriksa perkara bila salah satu pihak dapat mengemukakan dasar-dasar dan menunjukkan pada waktu yang lalu memang pernah ada pengadilan yang bersedia memeriksa perkara dengan alat bukti foto yang tengah diajukan. Hakim harus memutus atau melakukan interprestasi, itulah esensi utama. Hakim tidak saja dituntut untuk memahami hukum yang telah dipositifkan, tetapi lebih dari sekedar itu hakim harus pula memahami makna yang terkandung di balik hukum yang telah diprositifkan tersebut (asas, nilai-nilai dan lain-lain). Melihat fakta hukum dan isu hukum di atas yang membuat penulis tertarik untuk menulis tesis berkaitan dengan alat bukti berbentuk foto. Foto merupakan dunia fotografer yang perkembangannya sangat maju mulai dari teknologi sampai teknik melakukan rekayasa gambar. 2. Permasalahan Dalam tulisan ini untuk memberikan arahan dalam pembahasan nantinya, dibuat suatu rumusan masalah, yakni sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kedudukan foto sebagai alat bukti dalam pengaturan hukum pidana Indonesia? 2. Bagaimanakah keabsahan foto sebagai alat bukti yang diakui pengadilan? 3. Metode Penelitian a. Tipe dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dimaksudkan sebagai penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.7 Penggunaan metode yuridis normatif bersifat kualitatif dalam penelitian ini didasarkan pada berbagai alasan sebagai berikut: Pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan yang dinamis antara teori, konsep-konsep, dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada yang dikumpulkan. Kedua, data yang akan dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat 7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hal. 13-14.
7
dasar yang berbeda antara satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifir. Ketiga, sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (holistic). Sementara itu penelitian ini juga bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan undang-undang (state approach)8, dan pendekatakan analitis (analitycal approach)9. Pendekatan undang-undang sebagai upaya menganalisisis bahan hukum yang ada. Sedangkan pendekatakan analitis adalah upaya analisisis tentang asas hukum, kaidah hukum, sistem hukum dan berbagai konsep mengenai pembuktian. b. Dokumentasi Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan metode dokumentasi. Metode dokumentasi adalah suatu cara mengumpulkan bahan hukum yang bersumber dari tulisan.10 Bahan hukum tersebut diklasifikasikan atas: a. Bahan hukum primer Bahan hukum perundang-undangan, dalam hal ini adalah UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitan UndangUndang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder merupakan karya ilmiah dari ahli hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer seperti karya ilmiah tentang pembuktian foto menjadi alat bukti, dan bahan-bahan yang diperoleh dari tulisan-tulisan yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti seperti koran, majalah, makalah-makalah dalam seminar dan symposium serta internet.
8
Jhony Ibrahim. 2006. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Cet II. Malang: Bayumedia Publising, hal. 302. 9 Ibid, hal. 310. 10 Metode dokumentasi disebut juga dengan istilah teknik documenter atau studi documenter. Ade Saptomo. 2004. Metode dan Jalan Dalam Bidang Ilmu Sosial. Padang: Kopertis Wilayah X, hal. 6-8.
8
c. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup: 1) Bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. contohnya adalah misalnya, abstrak perundang-undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedi hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum, dan seterusnya. 2) Bahan-bahan primer, sekunder dan penunjang (tersier) di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat, dan lainnya, yang oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitiannya.11 c. Alat Pengumpul Bahan Hukum Alat untuk mengumpulkan bahan hukum yang bersumber dari tulisan adalah pedoman dokumentasi yang membuat garis-garis besar kategori yang dicari.12 Setelah garis-garis besar kategori yang dicari dibuat, bahan-bahan yang terkumpul dikelompokan dan ditempatkan sesuai dengan kategori-kategori yang ada. d. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Pengolahan bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan dan artikel diuraikan dan disajikan dalam penulisan yang sistematis guna menjawab permasalahan penelitian. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang ada dianalisis untuk melihat foto sebagai alat bukti tindak pidana sehingga dapat membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum yang berguna dalam penentuan telah terjadinya suatu tindak pidana. 11
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit, hal. 33. Ibid. Pedoman studi kepustakaan menurut PM Hadjon beranjak dari rumusan masalah yang fokusnya kepada kartu. Kartu itu berguna untuk mengumpulkan setiap ide, usul atau argumentasi yang berasal dari studi kepustakaan. Ada tiga macam kartu untuk studi kepustakaan, yaitu kartu abstrak, kartu kutipan, dan kartu analisis (bias saja tiga macam catatan tersebut dibuatkan satu kartu. Philipus M. Hadjon. Merancang dan Menulis Hukum Normatif (teori dan filsafat), hal 6 (tidak diterbitkan). 12
9
B. PEMBAHASAN 1. Kedudukan Foto Sebagai Alat Bukti Dalam Pengaturan Hukum Pidana Indonesia Foto telah mendapat kedudukan sebagai alat bukti dalam pengaturan hukum pidana di Indonesia. Foto diakui sebagai alat bukti dalam pengaturan hukum pidana di Indonesia tidak hanya foto yang tersipan dalam bentuk data elektronik (soft) tetapi juga dalam bentuk yang telah jadi (di-print atau dicetak). Hal tersebut dapat kita lihat dalam beberapa undang-undang yakni: Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 08 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; Undangundang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi; Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; Setidaknya dari kedelapan undang-undang tersebut tergambar atau dapat diketahui bahwa ada dua pandangan mengenai pengaturan foto sebagai alat bukti baik dalam bentuk cetakan atau masih dalam bentuk data elektronik. Pandangan pertama, adalah bahwa alat bukti foto itu masuk dalam pengkatagorian bukti yang sudah ada, artinya tidak berdiri sendiri. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pandangan kedua, menyatakan bahwa foto sebagai alat bukti baik dalam bentuk cetak atau dalam bentuk data elektronik merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, hal tersebut terlihat dalam tujuh undangundang, yaitu: Undang-undang Nomor 08 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; Undangundang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; Undangundang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi; Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
10
Pengaturan hukum dalam berbagai peraturan perundang-undangan di atas berlangsung
ditata
dan
diatur
oleh
sesuatu
yang
disebut
sebagai
logic
(logika/sistem/hukum). Hukum dilihat sebagai yang bersifat mekanis dan mengatur dirinya sendiri melalui rule dan logika. Hal tersebut sesuai dengan pandangan dari Donald Black dan Dragan Milovanovic.13 Berbagai peraturan perundang-undangan yang membahas mengenai alat bukti elektronik terutama foto sebagai alat bukti merupakan keinginan-keinginan hukum dari badan pembuat undang-undang. Hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum untuk menyelenggarakan keadilan dan ketertiban. Keadilan dapat digambarkan sebagai suatu keadilan keseimbangan yang membawa ketentraman di dalam hati dan jika dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan keguncangan karena perkembangan teknologi. 2. Keabsahan Foto Sebagai Alat Bukti di Pengadilan a. Foto Sebagai Alat Bukti Pembuktian merupakan satu aspek yang memegang peranan sentral dalam suatu proses peradilan. Pada kasus pidana, nasib terdakwa akan ditentukan pada tahap ini, jika tidak cukup alat bukti, terdakwa akan dinyatakan tidak bersalah dan harus dibebaskan, begitupun sebaliknya. Para pihak yang mampu menunjukkan alat bukti sah dan menyakinkan, cenderung akan menuai kemenangan, demikian pula sebaliknya. Bagi hakim, tahap pembuktian merupakan tahap yang amat berpengaruh secara signifikan untuk menjatuhkan vonis. Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara memperhatikan dengan sungguh–sungguh alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Tidak sembarang alat bukti bisa diterima hakim. Alat bukti itu tergolong sah menurut undang-undang yang dipakai oleh Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Rumit dan sulit untuk mengungkap suatu tindak pidana bilamana tidak diperoleh alat-alat bukti. Bahkan, masyarakat bisa beranggapan, misalnya, pada kasus pencemaran nama baik melalui foto. Sudah jelas itu merupakan foto seseorang yang melakukan suatu tindak pidana, tetapi tidak dihukum? Dalam anggapan itu ada perbedaan persepsi atau pemahaman antara masyarakat umum dengan para teknokrat hukum. Inti soal teknis di sini perlu dijembatani. Persepsi pemahaman perlu di
13
Otje Salman dan Anthon F. Susanto. 2005. Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Bandung: PT Refika Aditama, hal. 50-51
11
samakan terlebih dahulu mengenai bahan-bahan dasar untuk alat bukti dan perbedaannya dengan alat bukti itu sendiri. Foto merupakan salah satu bahan dasar dari alat bukti hukum pidana di Indonesia.14 Karena di dalam foto terkandung informasi. Namun informasi belum bisa sebagai alat bukti hukum, karena itu, informasi hanya merupakan penerangan atau pemberitahuan15 tentang peristiwa atau kejadian atau mengenai pelaku peristiwa dan orang-orang yang mungkin menjadi korban atau saksi. Berita itu masih diperlu diterangkan sendiri oleh orang yang melihat, mendengar, atau mengalaminya langsung. Pemberitaan dan pencatatan keterangan model wawancara bergaya untuk keperluan media pers, masih berbeda lagi dengan keperluan untuk hukum acara. Keterangan tentang adanya berita itu harus dibuat lagi ke dalam berita acara yang otentik di dahadapan pejabat berwenang, supaya keterangann itu bisa dinilai kemudian dengan meminta pertanggung jawaban sebagaimana adanya dari para pemberi keterangan. Dengan itu, berarti masih ada pekerjaan lanjut oleh penyelidik dan penyidik untuk melakukan pengolahan dan pengkondisian agar kualitas informasi itu menjadi barang bukti dan alat bukti. Karena itu, bukanlah berarti bahwa suatu informasi menjadi kurang penting dalam mengungkap kebenaran hukum. Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) alat bukti menurut undang-undang, yaitu: keterangan saksi (harus 2 orang saksi), keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Di luar alat bukti itu tidak dibenarkan untuk membuktikan kesalahan terdakwa kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 183 KUHAP dituliskan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah dan Hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana
benar-benar
terjadi
dan
bahwa
terdakwalah
yang
bersalah
melakukannya. Bila tidak adanya alat bukti sah yang cukup atau tidak mempunyai nilai yuridis yang tidak mampu meyakinkan Hakim, seringkali menyulitkan penyidik, sehingga penyidik dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)
14
Lihat Pasal 26 A Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001; Pasal 27 Undang-undang Terorisme; Pasal 73 dan Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; Pasal 29 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; Pasal 5 UUITE; Pasal 24 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi; Pasal 272 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009; Pasal 86 Undang-undang Narkotika. 15 Lihat Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasionaol. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, hal 544
12
maupun Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP), bahkan Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas jika perkara sudah dimejahijaukan. Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) lahir untuk menjawab mengenai pembuktian secara elektronik. Materi penting dalam UU ITE adalah pengakuan terhadap perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Perluasan yang dimaksud adalah pengakuan terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik beserta hasil cetakannya sebagai alat bukti sah di Pengadilan, sehingga sekarang ini alat bukti di Pengadilan bertambah satu yang sebelumnya belum ada. Beberapa hal yang perlu diketahui dalam UU ITE khususnya Pasal 5 mengatur tentang: 1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elekronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. 2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. 3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. 4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk : a. surat yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat pejabat pembuat akta. Pasal 6 UU ITE menyatakan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elekronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Dalam sudut pandang hukum informasi dan komunikasi, suatu proses pemeriksaan dan/atau pembuktian sebenarnya hanyalah mekanisme hukum untuk membuat jelas suatu perbuatan hukum dan peristiwa hukum. Objektifnya adalah forum untuk menghadirkan semua informasi yang terkait dengan hal itu dalam semua media sepanjang hal itu valid. Di sini hakim seharusnya menggunakan kecerdasannya untuk tidak terkunci kepada penamaan media penyimpan informasi itu sendiri secara konvensional (kertas), melainkan harus melihat dan memperhatikan sejauh mana
13
keunikan setiap media itu, sehingga ia akan memperoleh informasi untuk mendapat keyakinannya. Majelis hakim tak boleh hanyut oleh pemikiran yang menyatakan bahwa Pasal 184 KUHAP bersifat limitatif (artinya, alat bukti yang dikenal hanya ada 5), di luar itu tak ada lagi kecuali untuk tindak pidana tertentu. Oleh karena kepentingan hukum dalam proses pembuktian menghendaki fleksibilitas, sepatutnya hakim berprinsip, seharusnya semua informasi dapat dihadirkan dan/atau diterima di pengadilan sepanjang informasi itu relevan dengan kasus dan terjamin validitasnya, serta diperoleh dengan cara-cara yang sesuai hukum. Prinsip ini dianut oleh negara maju, meski dalam penerapannya mereka juga membuat prosedur-prosedur khusus untuk itu dengan pemikiran real evidence, hearsay evidence, derived evidence, dan sebagainya. Hakim harus jeli melihat bahwa memang tak semua informasi langsung dipercaya validitasnya, tetapi juga jangan langsung menampiknya sebagai sesuatu yang bernilai secara hukum.
b. Foto Terkait Dengan Keterangan Ahli Keterangan ahli dirumuskan oleh KUHAP Pasal 1 butir 28 sebagai keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Kualitasnya sebagai alat bukti hukum harus sebagai pernyataan yang diberikan di sidang pengadilan (Pasal 186 KUHAP). Dengan demikian, tidak termasuk sebagai keterangan ahli bilamana hanya berupa kutipan (citation) sebagai referensi dari buku literatur, perpustakaan ataupun pernyataan di suatu seminar maupun pertemuan ilmiah. Karena itu, keterangan ahli di sini bukan dimaksudkan sebagai rujukan pembenar konstruksi teoritis ilmiah sebagaimana dalam penelitian ilmu teoritis yang lazim dan umumnya berlaku. Kualitas keterangan ahli yang berkategori alat bukti tidak bisa dilepaskan dari keharusan adanya sumpah (Pasal 161 KUHAP) sebagaimana yang juga diharuskan kepada saksi biasa. Bedanya, saksi ahli tidak harus bertitik tolak dari alat indera penglihatan, pendengaran, dan pengalaman sendiri terhadap peristiwa, melainkan dia harus memberikan opini, analisis dan konstruksi pendapatnya berdasarkan keahlian yang dimiliki. Sumpah yang diucapkan ahli pun tidak ditujukan terhadap keahliannya, tetapi sebagai pemberi keterangan di sidang (Pasal 160 (3) KUHAP). Keterangan ahli
14
bisa juga diberikan pada saat penyidikan dan dimuat ke dalam BAP, juga dengan sumpah, tetapi kualitas alat bukti yang bernilai hukum adalah yang diberikan di persidangan pengadilan. Oleh sebab itu, di dalam praktiknya pernah ada ahli yang mencabut keteranganya pada saat penyidikan, dengan alasan ketika di dalam penyidikan dia belum paham benar posisi kasus, tetapi itu baru menjadi jelas baginya setelah beberapa kali persidangan berlangsung. Akan tetapi, siapakah atau bagaimana kategori ahli? KUHAP tidak lagi memberikan penjelasan khusus. Itu berarti dianggap sudah diketahui, namun di dalam KUHAP Belanda Pasal 343 dirumuskan bahwa keterangan ahli adalah pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya tentang sesuatu apa yang diminta pertimbangannya. Ukuran keahlian itu adalah karena sudah mempelajari ilmu pengetahuan yang ada hubungan sebagai ilmu dengan hukum acara pidana. Namun, bagaimanakah pengetahuan itu dipelajari, sampai tahap mana? Cukuplah hanya dari kursus saja, atau sebagai praktisi saja, ataukah sekedar title akademis/kesarjanaan semata-mata, walaupun dia tak pernah mempraktikan ilmunya atau tidak juga mengajar sebagai dosen? Dalam alat bukti berupa foto baik itu cetak maupun digital tentunya ahli yang menguasai dibidang fotografi dan komputer. Untuk menentukan suatu foto asli atau tidak dalam bidang fotografi dan komputer ada dikenal dengan ilmu forensik komputer. Menurut Thornton sebagaimana dikutip oleh Casey dan Seglem, Ilmu forensic adalah ilmu yang dilaksanakan berdasarkan hukum dalam penyelesaian konflik. Sedangkan forensik komputer adalah seni dan ilmu menerapkan ilmu komputer untuk membantu proses hukum.16 Agar keterangan ahli forensik terjamin objektivitas dan validitasnya, maka alatalat yang digunakan dalam memeriksa harus tersertifikasi. Bagaimana mungkin menganalisis foto hanya dengan mengandalkan aplikasi umum multimedia tanpa standarisasi dan jaminan produk yang baik (tak ada garansi fitness for particular purpose). Oleh karena itu, ahli forensik harus menggunakan aplikasi khusus dengan standarisasi yang jelas, ia harus mengetahui dan dapat menerangkan bagaimana alatalatnya itu bekerja, sehingga sampai pada suatu keterangan yang berguna bagi hukum. 16
Eogham Casey dan Seglem. 2002. Handbook of Computer Crime Investigation (Forensic Tools and Technology). United States of America: Academic Pres, hal. 8. yang dikutip dalam Petrus Reinhard Golese. 2008. Seputar Kejahatan Hacking Teori dan Studi Kasus. Jakarta: Yayasan Pengembang kajian Ilmu Kepolisian, hal 74
15
Di dalam keterangan ahli tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepada keterangan ahli. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli tersebut. Akan tetapi, hakim dalam mempergunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian, harus benarbenar bertanggung jawab, atas landasan moral demi terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum.17 Masih sering terjadi salah paham tentang bagaimana memperlakukan keberadaan informasi dengan medianya. Kehadiran informasi memang tak lepas dari suatu media, dan setiap media tentu punya karakter dan keunikan tersendiri. Oleh karena itu, sepatutnya hakim memperhatikan bagaimana mekanisme informasi itu dilekatkan (fiksasi) pada suatu media, baik pada kertas (cetak) maupun media elektronik (analog maupun digital). Pengakuan atas foto dalam bentuk digital sebagai bukti melalui dua proses. Pertama, harus mengakui hardware (seperti kamera dan komputer) yang mengandung informasi digital. Kedua, harus membedakan antara informasi yang tidak relevan dan data digital yang dapat digunakan memperkuat bahwa suatu kejahatan telah dilakukan antara kejahatan dan pelakunya. Setelah dikenal itu foto tersebut harus dijaga bentuk aslinya. Hal itu dikarenakan hukum mempersyaratkan agar bukti harus otentik dan tidak berubah. Aspek utama dari foto sebagai bukti adalah mengumpulkannya dengan tidak merusaknya. Alat dan teknik khusus sangat berguna dalam menjaga dan mengumpulkan foto dalam bentuk digital dengan baik sehingga bukti itu dapat diterima pengadilan. c. Dilema Foto Sebagai Alat Bukti Di Pengadilan Materi penting dalam UU ITE adalah pengakuan terhadap perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Perluasan yang dimaksud adalah pengakuan terhadap informasi elektronik sebagai alat bukti. Artinya, kini telah bertambah satu lagi alat bukti yang dapat digunakan di pengadilan. Informasi elektronik dapat menjadi alat bukti yang dapat berdiri sendiri sebagaimana ditegaskan di dalam pasal 5 ayat (1) UU ITE, bahwa Informasi
17
M. Yahya Harahap. 2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, hal. 304
16
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Informasi Elektronik merupakan satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya (Pasal 1 angka 1 UU ITE). Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang siber (cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian, subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Foto sebagai bukti elektronik ini memiliki karakter yang unik, yaitu bentuknya yang elektronik, dapat digandakan dengan mudah, dan sifatnya yang mudah untuk dirubah. Atas dasar itu penanganannya pun harus hati-hati, karena penanganan yang tidak hati-hati menyebabkan bukti elektronik tersebut menyebabkan bukti itu menjadi benalu sendiri bagi aparat penegak hukum. Artinya malah membuat pelaku menjadi tidak terbukti karena kesalahan prosedur dalam penanganan. Penanganan dan dan penyitaan bukti elektronik pada intinya adalah bagaimana bukti elektronik itu dapat dihadirkan ke muka persidangan secara autentik dan dapat direpresentasikan atau tidak rusak. Perubahan
paradigma
dari
masyarakat
industri
menjadi
masyarakat
informasi membawa perubahan penting dalam bidang hukum. Dahulu belum dikenal istilah hukum telematika (cyberlaw) namun atas perkembangan konvergensi telekomunikasi, media dan informatika, istilah cyberlaw dikenal dan menjadi salah suatu bidang hukum yang berkembang pesat.
17
Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa konvergensi tersebut (baca: internet)
hanya
merupakan
medianya
saja,
sementara
aktivitas-aktivitas di
dalamnnya adalah sama sehingga tidak perlu ada hukum yang baru. Pendekatan tersebut “memaksa” kita menjadi “aplikator” hukum yang ada. Namun pendekatan “aplikasi” itu tidak lah cukup, perlu ada pendekatan baru yaitu pendekatan “formulatif” untuk menjawab permasalahan yang timbul akibat konvergensi tersebut. Salah satu pendekatan aplikatif yang perlu di lakukan adalah mengenai keberlakuan bukti elektronik di pengadilan sebagai alat bukti. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan dengan media internet, atau dalam cyberspace, meninggalkan jejak-jejak elektronik. Misalkan pada saat kita mengakses sebuah website, akan tertinggal jejakjejak elektronik di komputer kita yang namanya log file, atau lebih mudah lagi, apa yang kita akses melalui browser pasti meninggalkan jejak paling tidak di komputer si pengguna yang dikenal dengan history. Sehingga pemanfaatan internet tersebut baik untuk tujuan yang baik atau tujuan yang jahat dalam hal ini dijadikan sebagai media, alat atau sarasan kejahatan, tercatat atau meninggalkan jejak elektronis. Tinggal bagaimana para aparat hukum menggali serta menangani jejak-jejak elektronis itu sebagai bukti untuk membuat terang sebuah tindak pidana yang dilakukan. Setidaknya ada tiga pertanyaan yang harus dijawab dalam membahasa masalah bukti elektronik tersebut. Pertama, apakah bukti elektronik diterima dipengadilan sebagai alat bukti. Kedua, Permasalahan yang perlu dicarikan solusinya kemudian, apakah bukti elektronik tersebut dijadikan alat bukti tersendiri atau dimasukan dalam hukum acara yang ada.Hukum acara perdata dan pidana memang belum mengenal adanya bukti elektronik sebagai alat bukti, misalkan saja Pasal 184 Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Disebutkan alat bukti menurut pasal itu ada lima yaitu (i) keterangan saksi, (ii) ahli, (iii) surat, (iv) petunjuk, dan (v) keterangan terdakwa. Hanya hukum acara Mahkamah Konstitusi yang mengakui bukti elektronik sebagai alat bukti sebagai mana tertuang dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dirumuskan alat bukti dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi adalah (i) surat atau tulisan, (ii) keterangan saksi, (iii) keterangan ahli, (iv) keterangan para pihak, (v) petunjuk, dan (vi) alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu.Permasalahan ketiga yang perlu dijawab kemudian adalah bagaimana penanganan serta prosedur penyitaan yang
18
dilakukan oleh aparat penegak hukum terkait bukti elektronik ini. Hal ini dimaksudkan agar bukti elektronik yang dapat dari proses penyidikan dan penyelidikan dapat mempunyai nilai pembuktian dimata hukum. Pertanyaan paling mendasar terhadap alat bukti elektronik adalah sejauh mana cara kita memastikan otentifikasinya atau keasliannya. Secara sederhana, otentifikasi dilakukan terhadap alat bukti elektronik dengan memastikan terlebih dahulu apakah alat bukti elektronik tersebut dihasilkan dari sumber yang benar. Terkait dengan hal ini, maka otentifikasi sedapat mungkin mendapat pernyataan kebenaran dari orang dan/atau institusi yang mengeluarkannya atau yang mengelola komputer tersebut. Oleh karena itu, dalam untuk mencari penalaran dalam hukum untuk membahas mengenai foto digital sebagai alat bukti dalam membuat terang tindak pidana dan untuk menetapkan seseorang bersalah atau tidak. Di Amerika, berdasarkan Federal Rule of Evidence, ditentukan bahwa bukti elektronik (komputer) berbeda dari bukti tertulis. Rule 1001-3 menyatakan “If data are stored by computer or similar device, any print out or other output readable by sight, show to reflect data accurately is an original. Masalah yang muncul ada pada pihak yang harus menunjukkan bahwa bukti benar-benar merefleksikan data secara akurat. Harus dibuktikan bahwa bukti adalah apa yang diklaim dan belum diubah sejak disimpan pada tempat penyimpanan (custody). Jika tidak, maka bukti akan dianggap tidak dapat diterima.18
C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: a. Dari delapan undang-undang dapat disimpulkan bahwa ada dua pandangan mengenai pengaturan foto sebagai alat bukti baik dalam bentuk cetakan atau masih dalam bentuk data elektronik. Pandangan pertama, adalah bahwa alat bukti foto itu masuk dalam pengkatagorian bukti yang sudah ada, artinya tidak berdiri sendiri yakni: Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak 18
Debra Littlejhon Shinder. 2002. Scense of the Cybercrime. United States of Amerika: Syngress Publishing, hal 551. yang dikutip dalam Petrus Reinhard Golese. 2008. Op.cit, hal 73.
19
Pidana Korupsi. Pandangan kedua, menyatakan bahwa foto sebagai alat bukti baik dalam bentuk cetak atau dalam bentuk data elektronik merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, hal tersebut terlihat dalam tujuh undang-undang, yaitu: Undang-undang Nomor 08 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; Undangundang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi; Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; b. Foto di pengadilan dapat berkedudukan sebagai barang bukti dan alat bukti. Foto tidak dapat berdiri sendiri, sangat terkait dengan alat bukti yang lainnya yakni keterangan ahli. Untuk menentukan asli atau tidaknya suatu foto ditentukan dari keterangan ahli. 2. Saran Sebagai saran, dalam pembahasan yang telah dilakukan penulis berpendapat sebaiknya segera membuat suatu buku tentang pembuktian. Karena mengenai hukum pembuktian dalam hukum pidana di Indonesia menyebar-nyebar, sehingga menyulitkan bagi pencari keadilan dalam mendapatkan keadilan.
20
DAFTAR PUSTAKA Ade Saptomo. 2004. Metode dan Jalan Dalam Bidang Ilmu Sosial. Padang: Kopertis Wilayah X Andi Hamzah. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia _____. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika A. Gumilang. 1993. Kriminalistik Pengetahuan Tentang Teknik dan Taktik Penyidikan. Bandung: Angkasa Ahmad M. Ramli, Pager Gunung dan Indra Apriadi. 2007. Menuju Kepastian Hukum di Bidang Informasi dan Transaksi Elektronik. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Bambang Poernomo. 1986. Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia. Jogjakarta: Liberty Barda Nawawi Arief. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan. Bandung: Citra Aditya Bakti Edmon Makarim. 2003. Kompilasi Hukum Telematika. Jakarta: Rajagrafindo Persada Gerson W. Bawengan. 1977. Penyidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, Jhony Ibrahim. 2006. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Cet II. Malang: Bayumedia Publising Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku Di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid 2. Jakarta: Sinar Grafika Moeljatno. 2000. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta Otje Salman dan Anthon F. Susanto. 2005. Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Bandung: PT Refika Aditama R. Soesilo. 1974. Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminal. Bogor: Politeia Ratna Nurul Afiah. 1988. Barang Bukti Dalam Proses Pidana. Jakarta: Sinar Grafika Sajipto Rahardjo. 1984. Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologi. Bandung: Sinar Baru Subekti. 1995. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita Sunaryati Hartono, 1991. Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti
21
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Soerjono Soekanto. 1983. Penegakan Hukum. Bandung: Binacipta
Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 08 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Undangundang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Internet Foto bugil artis.http://www.hukumonline.com/berita.html, diakses tanggal 2 Januari 2010