eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (3): 589-604 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2013
KEBIJAKAN MILITER AMERIKA SERIKAT DI KAWASAN ASIA PASIFIK 2009-2012 KHAIRUNNISA1 NIM. 0902045157
Abstract Post 9/11 terrorist attack, US military foreign policy focused on facilitating establishment of democracy in Middle East as a fundamental base in Global War on Terrorism. This policy had been implemented till the war in Iraq was ended in August 2010 and followed by the transition process in Afghanistan government which started in early 2011. After that, US closed its military bases and withdrew its military personnel from Middle East Region gradually. In November 2011, US government announced that US would change its military foreign policy focus where Asia Pacific region became the main priority. The result indicates that this policy is made due to the rising of China and its possibility of becoming a potential hegemony which can endanger US position in Asia Pacific. In supporting its objective to do power projection, China has been developing its military power with high technology and wide range of attack capacity that possible to create anti-access/ area denial (A2/AD) towards Sea Lines of Communication (SLOCs) in Asia Pacific. It cause China estimated as a potential threat to the security and freedom of access in SLOCs which is vital for US interest. This situation leads US to project and strengthen its military power through creating and enhancing its military alliances with Asia Pacific countries. Key Words: United States Military Foreign Policy, Sea Lines of Communications (SLOCs), Asia Pacific Region, and the Rising of China
Pendahuluan Merespon terhadap serangan teroris 11 September 2001, AS di bawah pemerintahan George Walker Bush menetapkan War on Terror sebagai agenda utama dalam kebijakan luar negerinya. Hal ini menyebabkan AS aktif terlibat dalam upaya memerangi terorisme, pemerintahan otoriter, dan penegakan hak asasi manusia di seluruh kawasan dunia, khususnya di kawasan Timur Tengah. Selama kurang lebih 10 tahun AS telah mengerahkan kekuatan militernya, khususnya dalam hal operasi perdamaian dan stabilitas di Irak dan Afghanistan. 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013: 589-604
Mencapai dua periode masa pemerintahan, presiden Bush digantikan oleh Barrack Hussein Obama yang resmi menjabat sebagai presiden Amerika Serikat pada Januari 2009. Berbeda dengan Bush yang cenderung memfokuskan implementasi kebijakan militernya di kawasan Timur Tengah, Obama sejak awal masa kepemimpinannya telah melakukan berbagai pendekatan dengan negara aliansinya di Asia Pasifik melalui kunjungan maupun dialog kerjasama keamanan antar pemerintah khususnya di sub-kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Hal ini disebabkan negara-negara Asia cenderung menjadi second front dalam kerangka kebijakan militer luar negeri AS pasca terjadinya serangan 9/11 sehingga mempengaruhi posisi AS di kawasan Asia Pasifik. (Hoadley & Ruland, 2006) Upaya untuk memperkuat hubungan aliansi AS di kawasan Asia Pasifik sejalan dengan berlangsungnya demokratisasi di kawasan Timur Tengah. Berakhirnya perang Irak pada Agustus 2010 dan dimulainya proses transisi dalam pemerintahan Afghanistan di awal tahun 2011 menyebabkan AS menutup basis militer dan menarik mundur pasukannya secara bertahap dari wilayah negara tersebut. Pengurangan kekuatan militer AS di Timur Tengah semakin menguatkan indikasi perubahan strategi dalam kebijakan militer AS untuk mengalihkan fokus kebijakan militernya ke kawasan Asia Pasifik. Hal ini kemudian dipertegas oleh Obama dalam pidato kunjungannya di Australia pada November 2011 bahwa kawasan Asia Pasifik akan menjadi prioritas dalam kebijakan militer AS. (www.whitehouse.gov, 2011) Sejak empat dekade terakhir, negara-negara Asia Pasifik mengalami perkembangan signifikan khususnya dalam bidang ekonomi dan militer yang kemudian memunculkan kawasan Asia Pasifik sebagai suatu pusat kecenderungan aktivitas dunia internasional.(www.apfed.net) Kemajuan signifikan yang dialami negara-negara Asia Pasifik berdampak terhadap konstelasi politik dan keamanan di kawasan tersebut. Terjadi peningkatan masalah keamanan yang dihadapi negara-negara Asia Pasifik, salah satunya ialah meningkatnya klaim kedaulatan atas wilayah perairan di Laut China Timur dan Laut China Selatan hingga menjadi potensi konflik yang cukup mengkhawatirkan bagi negara kawasan. Konflik wilayah perairan ini terjadi selaras dengan persaingan peningkatan kekuatan maritim antar negara Asia Pasifik, khususnya China, Jepang, dan India. Diantara negara-negara yang tengah membangun kekuatan maritim mereka tersebut, China cenderung dianggap sebagai negara yang memiliki potensi konflik paling dominan yang dapat mengganggu stabilitas kawasan. (Prabhakar, Ho, & Bateman, 2006) Situasi tersebut menguatkan kebijakan pemerintah AS untuk mengerahkan kekuatan militernya ke kawasan Asia Pasifik sebagai misi militer utama. Dan penelitian ini akan menganalisis latar belakang Pemerintah AS memprioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam kebijakan militernya tahun 2009-2012.
590
Kebijakan Militer Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik 2009-2012 (Khairunnisa)
Kerangka Dasar Teori 1. Kepentingan Nasional dan Internasional Konsep kepentingan nasional dinilai penting karena kebijakan luar negeri suatu negara cenderung mengacu kepada nilai atau tujuan yang terdapat dalam kepentingan nasionalnya. Menurut Morgenthau, kepentingan nasional setiap negara ialah mengejar kekuasaan, yaitu apa saja yang bisa membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini bisa diciptakan melalui teknik-teknik paksaan maupun kerja sama. (Mas'oed, 1990) Berdasarkan pemikiran Morgenthau, dalam mendefinisikan kepentingan suatu negara terdapat dua jenis kepentingan, yakni kepentingan “nasional” dan kepentingan “internasional” (Rosenau, 1969). Kepentingan nasional terdiri dari enam jenis, yaitu Primary interest, Secondary interest, Permanent interest, Variable interest, General interest, dan Specific interest. Sedangkan kepentingan internasional terdiri atas tiga jenis, yaitu Identical interest, Complementary interest, dan Conflicting interest. Mengacu kepada spesifikasi keutamaan relatif tujuan serta kepentingan nasional berdasarkan pemikiran Neuchterlein, maka dapat diklasifikasikan ke dalam empat tingkat atau intensitas kepentingan (Snow & Brown, 2000), yakni survival interest, vital interest, major interest, dan peripheral interest. Menganalisis kebijakan AS untuk memprioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam kebijakan militernya disebabkan AS ingin melindungi kepentingan nasionalnya terkait kebebasan akses jalur perairan strategis Asia Pasifik. Kepentingan AS tersebut bertentangan dengan China yang menginginkan power projection di wilayah yang sama (conflicting interest). Kondisi pertentangan kepentingan dan peningkatan kekuatan militer China yang signifikan mengakibatkan pemerintah AS perlu mengerahkan kekuatan militernya untuk melindungi kepentingan nasionalnya dari kecenderungan potensi ancaman China. 2. Konsep Balance of Power Sistem perimbangan kekuatan timbul disebabkan adanya pertentangan kepentingan nasional antara suatu negara dengan negara lainnya. Kondisi saat suatu negara berusaha untuk memperoleh power yang lebih besar dalam upaya pencapaian kepentingan nasionalnya dapat mengakibatkan negara lain merasa terancam atas kebijakan tersebut. Negara yang merasa terancam cenderung memberikan reaksi dengan membangun kondisi balance of power agar dapat membendung pengaruh ataupun dominasi dari negara lain. John Mearsheimer menggambarkan perilaku negara tersebut kedalam tiga kategori, yaitu buckpassing, bandwagoning, dan balancing. (Paul, Wirtz, & Fortmann, 2004)
591
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013: 589-604
Strategi ketiga dalam balance of power yang dikemukakan oleh Mearsheimer adalah balancing. Strategi ini dilakukan oleh negara yang memiliki kekuatan besar untuk mengimbangi pengaruh potensial hegemon. Melalui balancing, negara berkekuatan besar secara langsung bertanggung jawab dalam mencegah timbulnya potensi hegemon yang dapat membahayakan balance of power. Beberapa tindakan yang termasuk dalam upaya balancing, seperti ancaman secara eksplisit terhadap potensial hegemon, pembentukan aliansi yang bersifat defensif yang ditujukan untuk mengimbangi potensial hegemon, maupun balancing secara internal dimana negara balancer akan memperkuat kekuatan militernya melalui peningkatan produksi senjata militer ataupun perluasan cakupan pengaruh kekuatan militernya. Perilaku balancing suatu negara digambarkan ke dalam tiga pola (Paul, Wirtz, & Fortmann, 2004), yaitu Hard Balancing, Soft Balancing, dan Assymetric Balancing. Konsep balance of power digunakan untuk menjelaskan latar belakang pemerintah AS memprioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam kebijakan militernya dan bentuk hubungan antara AS dengan negara-negara Asia Pasifik lainnya, seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, Thailand, maupun Filipina terkait keberadaan China yang dikhawatirkan akan mendominasi dan menganggu perimbangan kekuatan dan kepentingan mereka di kawasan tersebut. Metodologi Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah eksplanatif dimana penulis menjelaskan latar belakang pemerintah AS memprioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam kebijakan militernya. Data-data yang disajikan ialah data sekunder yang diperoleh melalui telaah pustaka dan literatur-literatur, seperti buku maupun internet. Teknik analisis data yang digunakan adalah network analysis dan illustrative method. Hasil Penelitian Kebijakan pemerintah AS untuk memprioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam kebijakan militernya tahun 2009-2012 dilatarbelakangi oleh kepentingan yang dimilikinya di kawasan tersebut. Kepentingan nasional AS di kawasan Asia Pasifik yang mendasari perubahan dalam kebijakan militernya merupakan wujud dari pencapaian vital interest dan conflicting interest, serta upaya AS untuk menjadi balancer dari kekuatan-kekuatan militer yang tumbuh di kawasan Asia Pasifik. Kepentingan Nasional Amerika Serikat dalam Persaingan Penguasaan Jalur SLOCs di Asia Pasifik Jalur transportasi perairan atau yang lebih dikenal dengan Sea Lines of Communictions (SLOCs) Asia Pasifik memiliki nilai strategis bagi perkembangan ekonomi dan militer Amerika Serikat. Di kawasan Asia Pasifik, terdapat beberapa 592
Kebijakan Militer Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik 2009-2012 (Khairunnisa)
SLOCs yang memegang peranan vital sebagai jalur arterial dalam perdagangan internasional, seperti Laut China Selatan, serta chokepoints di sub-kawasan Asia Tenggara yang terdiri dari selat-selat. Laut China Selatan merupakan jalur paling strategis dalam aktivitas perdagangan sumber energi yang memanjang sekitar 1800 mil dari Sumatera hingga Taiwan dan menghubungkan Samudera Pasifik dan Hindia. Jutaan minyak bumi yang ditujukan ke Jepang, Korea Selatan, dan China harus melalui Laut China Selatan sebelum mencapai negara tersebut. Sedangkan, wilayah perairan rimland di sub-kawasan Asia Tenggara yang meliputi Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar juga merupakan jalur penghubung yang memiliki peran signifikan dalam aktivitas pengiriman sumber-sumber energi dari dalam maupun keluar kawasan Asia Pasifik. Wilayah perairan rimland Asia Tenggara atau dikenal dengan nama choke points merupakan jalur perairan penting yang terhubung langsung dengan Laut China Selatan, perairan Pasifik, dan Samudera Hindia. Bagi ekonomi dan perdagangan AS, SLOCs Asia Pasifik memiliki peran yang siginifikan dikarenakan hubungan dagang berskala besar yang dimiliki AS dengan negara-negara Asia Pasifik. Kawasan Asia Pasifik telah menjadi pasar impor terbesar pertama dan merangkap merupakan penyedia terbesar bagi sumber energi AS dimana kawasan ini berada dalam peringkat pertama dengan kuota impor terbesar bagi AS. Selain itu, kawasan Asia Pasifik merupakan sebagai pasar ekspor terbesar kedua setelah Amerika Utara bagi produk AS mencapai 23,5% di tahun 2010. Volume ekspor dan impor AS ke negara kawasan Asia Pasifik mencapai lebih dari 20% dari total volume ekspor impor AS di dunia. (www.fas.org) Keberadaan negara Asia Pasifik sebagai mitra ekspor impor perdagangan AS mengharuskan AS untuk melalui jalur SLOCs dalam pengiriman barang ataupun sumber energi yang berasal maupun menuju ke negara-negara di Asia Pasifik, seperti China, Jepang, Korea Selatan, India, Singapura, Indonesia, Thailand, maupun Vietnam. Perkembangan ekonomi signifikan yang dialami negara-negara Asia Pasifik mengakibatkan posisi kawasan ini diprediksikan akan menjadi lebih penting dan esensial bagi ekonomi Amerika Serikat, sebagaimana meningkatnya kuantitas dalam jalur perdagangan di SLOCs Asia Pasifik, khususnya Laut China Selatan dan Selat Malaka. Pemerintahan Obama telah berupaya membentuk Trans Pacific Partnership (TPP) dan membuat negara-negara Asia menjadi pusat dalam National Export Initiative AS. Oleh karena itu, stabilitas ekonomi Amerika Serikat bergantung pada keamanan SLOCs sebagai jalur penghubung vital dalam perdagangan, pemenuhan kebutuhan energi, dan barang hasil produksi. Tidak hanya untuk aspek ekonomi, tetapi juga pada aspek militer dimana jalur SLOCs memiliki peran signifikan bagi militer AS yang menempatkan personilnya di wilayah Teluk Persia dan Samudera Hindia. Dalam beberapa dekade terakhir, 593
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013: 589-604
pengiriman tentara ataupun bantuan militer AS ke negara-negara Timur Tengah dalam rangka menegakkan demokrasi dan perang terhadap teorisme dilakukan melalui jalur SLOCs Asia. SLOCs Asia Pasifik merupakan rute tersingkat yang dapat dilalui oleh kapal-kapal pengangkut asal Amerika untuk menuju Samudera Hindia hingga Teluk Persia. Apabila stabilitas jalur SLOCs terganggu atau mengalami penutupan (block), maka kapal dagang ataupun kapal militer AS akan mengalami kerugian dari segi waktu dan biaya yang cukup besar dalam proses pengiriman karena kapal angkutan yang ada harus mengambil jalur yang lebih jauh melalui Australia untuk mencapai Samudera Hindia. Terganggunya stabilitas SLOCs kawasan akan berdampak buruk terhadap proses pengiriman personil atau senjata militer yang melalui SLOCs baik menuju ataupun berasal dari Amerika Serikat, Australia, Jepang, Korea Selatan, India, China, dan negara-negara Asia Tenggara. Akses luas terhadap perairan SLOCs di kawasan Asia Pasifik pada dasarnya bukan hanya kepentingan AS, tetapi juga bagi negara-negara Asia Pasifik yang cenderung bergantung terhadap jalur tersebut. Kepentingan ini mengakibatkan beberapa negara, seperti China, Jepang, dan India mengambil kebijakan untuk meningkatkan kekuatan maritimnya secara signifikan untuk memperluas pengaruhnya terhadap penguasaan jalur SLOCs. Tercatat hingga tahun 2006 China menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan kekuatan angkatan laut militer terbesar di kawasan Asia Pasifik. Modernisasi dan pengembangan kekuatan maritim China dilatarbelakangi oleh kebutuhan China atas pemenuhan sumber energi dalam jumlah besar yang ditransfer melalui jalur SLOCs. Kepentingan China tersebut tertulis dalam dokumen pertahanannya bahwa kawasan yang memanjang dari Laut Kuning melalui Laut China Timur dan Selat Taiwan hingga Laut China Selatan merupakan garis depan strategis bagi pertahanan China. Dominasi terhadap perairan tersebut akan memberikan China kesempatan untuk memperluas lingkup kekuasaannya (power projection) dan menegaskan pengaruhnya terhadap akses perairan SLOCs yang menghubungkan Samudera Pasifik dan Hindia. Akan tetapi, pencapaian tujuan China terhambat oleh posisi geografis, dimana di bagian Selatan wilayah kekuasaan China dibatasi oleh Selat Malaka dan negara-negara ASEAN, serta bagian utara dibatasi oleh Jepang dan Korea Selatan (Selat Korea/ Tsushima). Oleh karena itu, perluasan kekuasaan dengan menghilangkan batasbatas geografis tersebut menjadi prioritas bagi pemerintah China. Dalam dokumen National Defense White Paper 2008, pemerintah China secara eksplisit menyatakan adanya keinginan China untuk mengupayakan perluasan kapasitas dan kekuasaannya hingga kawasan Pasifik dan sekitarnya. Sebagai langkah pertama, militer China akan mengembangkan kekuatan maritim modern yang mampu memiliki pengaruh hingga First Chain of Islands (Jepang-Taiwan 594
Kebijakan Militer Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik 2009-2012 (Khairunnisa)
dan Filipina Selatan). Pada tahun 2020, tujuan China adalah mengembangkan kekuatan maritim dalam lingkup kawasan yang dapat mencapai Second Chain of Islands hingga mencapai posisi kekuatan maritim dunia di tahun 2040. Sebagai resikonya, China kemudian mengembangkan strategi maritim dari green water navy menuju blue water navy. (www.carlisle.army.mil) Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa ada suatu bentuk adanya persaingan dalam upaya pencapaian kepentingan yang cukup siginifikan khususnya antara AS dengan China. AS dan China memiliki kepentingan yang serupa yakni pengaruh yang besar di jalur SLOCs Asia Pasifik. Sasaran kepentingan yang sama mengakibatkan timbulnya kondisi pertentangan kepentingan antara AS dengan China (conflicting interest). Pertentangan kepentingan antara AS dan China mengakibatkan kepentingan AS di kawasan ini menjadi semakin vital dalam upaya pencapaiannya. Hal ini ditunjukkan dengan strategi pengerahan kekuatan militer dalam melindungi kepentingan nasionalnya melalui pembentukan kerjasama keamanan dan penguatan hubungan aliansi militer dengan negaranegara Asia Pasifik. Perluasan pengaruh China mengkhawatirkan pemerintah AS karena selain dapat membahayakan pencapaian kepentingan nasionalnya juga ditakutkan China akan menjadi potensial hegemoni dan menyaingi pengaruh besar AS di kawasan. Oleh karena itu, pemerintah AS mengambil kebijakan untuk memprioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam kebijakan militernya. Melalui pengerahan kekuatan militer ke kawasan ini diharapkan pemerintah AS mampu membendung perluasan pengaruh China yang dikhawatirkan akan berdampak terhadap stabilitas kawasan secara keseluruhan dan kepentingan nasional AS pada khususnya. Kepentingan Amerika Serikat untuk Menjadi Penyeimbang di Kawasan Asia Pasifik Sejak berakhirnya Perang Dingin, kekuatan ekonomi dan militer AS di kawasan Asia Pasifik cenderung semakin melemah, salah satunya dapat dilihat melalui pemotongan anggaran belanja untuk program kesejahteraan dan misi militernya. Anggaran pertahanan AS yang mencapai angka sekitar US$ 331 juta pada tahun 1987 menurun signifikan hingga US$ 226 juta di tahun 1996. (Acharya, 2003) Penurunan anggaran belanja militer menguatkan fakta terjadinya pengurangan kekuatan dan pengaruh AS secara berkelanjutan di kawasan Asia Pasifik. Pengurangan kehadiran militer AS secara signifikan di kawasan Asia Pasifik menimbulkan peluang bagi negara lain untuk menancapkan pengaruh dan hegemoninya di kawasan. Hal ini juga menimbulkan ketidakpastian akan potensi konflik maupun ancaman keamanan karena perlombaan peningkatan kekuatan militer yang terus berkembang mengakibatkan negara-negara Asia Pasifik kemudian mengalami dilema keamanan serta terganggunya balance of power di kawasan. 595
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013: 589-604
Stabilitas Asia Pasifik menjadi semakin sulit untuk diprediksikan seiring dengan perkembangan kekuatan militer secara signifikan yang dialami oleh beberapa negara, seperti China, Korea Utara, India, maupun Jepang. Perkembangan negaranegara tersebut mendapat perhatian khusus dari pemerintah AS karena dikhawatirkan dapat menimbulkan potensi ancaman terhadap stabilitas keamanan kawasan. Berdasarkan peta perimbangan kekuatan militer kawasan Asia Pasifik dari Defense of Japan tahun 2009, China merupakan negara dengan kekuatan militer terbesar di kawasan melebihi kekuatan militer Jepang, Korea Utara, Korea Selatan dan kekuatan AS di Pasifik. Penguasaan kekuatan militer secara signifikan oleh suatu negara menjadi suatu potensi ancaman ketika negara-negara lain di kawasan tidak cukup kuat untuk mengimbangi kekuatan negara tersebut. Gambar 1. Peta Perimbangan Kekuatan Militer Kawasan Asia Pasifik
Sumber: Defense of Japan 2009 Publication (http://www.mod.go.jp/e/publ/w_paper/pdf/2009/04Part1_Overview.pdf)
China yang muncul sebagai kekuatan militer terbesar menunjukkan kecenderungan potensi ancaman terhadap stabilitas kawasan, khususnya jalur SLOCs. Peningkatan signifikan dalam anggaran belanja militer China sejalan dengan modernisasi persenjataan militernya dimana pemerintah China terus mengembangkan investasinya dalam program-program militer yang bertujuan untuk meningkatkan dan memperluas lingkup power projection-nya. Pada tahun 2009, China merupakan negara dengan program pengembangan land-based ballistic dan cruise missile yang paling aktif di dunia. Dalam laporan China Military Power tahun 2009 yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan AS, China tengah mengembangkan Armed Anti-Ship Ballistic Missiles (ASBMs) yang 596
Kebijakan Militer Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik 2009-2012 (Khairunnisa)
berbasis pada kerangka CSS-5 (DF-21). Dalam salah satu media di tahun 2011, China menyatakan konfirmasi kebenaran bahwa negara tersebut tengah mengembangkan sebuah Anti-Ship Ballistic Missile (ASBM) yang dikembangkan dari jenis DF-21 (CSS) Medium-Range Ballistic Missile (MRBM). ASBMs China atau DF-21D (CSS-5 Mod 5) ditujukan untuk meningkatkan kapabilitas militer China (People Liberation Army) dengan kemampuan untuk menempatkan atau melancarkan “terminal sensitif sebagai penetrasi peluru tembakan” dan untuk “menghancurkan pesawat-pesawat induk milik musuh, kontrol pusat pesawat induk tersebut, dan berbagai objek militer vital lainnya”. Misil tersebut memiliki lingkup jangkauan hingga 1.500 km yang dilengkapi dengan kemampuan untuk melakukan maneuver, dan ketika dihubungkan dengan sistem kontrol maupun komando militer, maka misil tersebut mampu untuk melakukan serangan terhadap kapal-kapal besar maupun kapal induk yang berada di wilayah Samudera Pasifik.(www.defense.gov) Kemampuan militer tersebut memungkinkan China untuk menciptakan Anti-Access/ Area Denial (A2/AD) diperairan Laut China Selatan hingga mencapai Samudera Pasifik yang tentu berbahaya bagi kebebasan akses perairan dalam jalur perdagangan internasional. Anti Access/ Area Denial (A2/AD) dapat terbentuk melalu kemampuan senjata militer misil balistik dengan jangkauan jarak luas yang dimiliki China. Daya jangkau misil balistik tersebut memungkinkan China untuk melakukan block (penutupan) akses bagi negara lain, khususnya di perairan Laut China Selatan. Disamping karena negara lain di Asia Pasifik tidak memiliki kemampuan setara dengan misil balistik china, A2/AD merupakan suatu bentuk investasi yang dimiliki China untuk dapat menyaingi negara yang lebih kuat secara militer, khususnya AS. Kemampuan militer China juga memungkinkan China bersifat pre-emptive ataupun coercive dalam menghadapi krisis stabilitas keamanan kawasan yang mungkin terjadi dalam perkembangannya terkait berbagai sengeketa wilayah teritorial, khususnya di wilayah Asia Timur dan Tenggara sebagian besar di dominasi oleh China. Hingga saat ini, sengketa teritorial tersebut masih belum terselesaikan secara menyeluruh, bahkan beberapa sengketa telah mencapai tahapan krisis. Hal ini tentu akan meningkatkan posisi China dalam penyelesaian sengketa kawasan ataupun penguasaan akses perairan, dimana China dapat melakukan penekanan secara diplomatis dalam upaya mengurangi ketegangan sengketa demi pencapaian kepentingan nasionalnya. Dalam sengketa klaim kedaulatan wilayah, China menunjukkan agresifitasnya dalam menangani masalah tersebut. China terlibat dihampir semua sengketa wilayah yang ada di kawasan Asia Pasifik, seperti sengketa pulau Senkaku antara China-Jepang, sengketa China-Taiwan, klaim sepihak China atas wilayah Aksai 597
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013: 589-604
Chin dan Arunachal Pradesh yang ditentang oleh pemerintah India, serta sengketa Laut China Selatan antara China, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, dan Taiwan. Untuk sengketa Laut China Selatan khususnya, beberapa negara yang terlibat hanya mengklaim bagian tertentu dari perairan tersebut, sedangkan China mengklaim hampir keseluruhan wilayah perairan Laut China Selatan sebagai kedaulatan teritorialnya. Dalam upaya memperjuangkan klaimnya tersebut, China mengeluarkan beberapa kebijakan militer, seperti latihan militer live-fire yang disertai patroli berkala kapal militer China di perairan Laut China Selatan untuk menegaskan komitmennya atas klaim kedaulatan wilayah perairan tersebut. Pemerintah China juga melakukan penangkapan atas kapal nelayan asal Vietnam dan Filipina yang berlayar dan menangkap ikan di perairan tersebut, serta menganggu proses eksplorasi minyak oleh kapal Vietnam di wilayah perairan Laut China Selatan. (www.fas.org) Upaya China semakin agresif dengan menempatkan tiga kapalnya di Scarborough Shoal sejak April 2012 lalu yang dianggap melanggar batas teritorial Filipina. Pemerintah Filipina meminta China menarik mundur kapalnya dari perairan tersebut, akan tetapi tidak mendapat tanggapan positif oleh pemerintah China. Dalam menghadapi sikap China, pemerintah Filipina kemudian mengajukan masalah ini untuk ditangani oleh Mahkamah Internasional yang kemudian ditolak secara tegas oleh pemerintah China.(www.thejakartapost.com) Upaya penyelesaian yang berlarut-larut serta agresifitas China dalam menghadapi masalah tersebut menunjukkan keengganan pemerintah China menyelesaikan sengketa Laut China Selatan dan menerima klaim beberapa bagian perairan tersebut oleh negara lain. Peningkatan kekuatan maritim yang signifikan dan perilaku agresif pemerintah China menjadikan China sebagai “potensi ancaman” terhadap stabilitas kawasan Asia Pasifik. Kecenderungan China untuk menjadi hegemoni di kawasan Asia Pasifik dapat membahayakan dan mengganggu kondisi balance of power yang esensial bagi kebebasan akses perairan SLOCs serta perkembangan ekonomi negara-negara Asia Pasifik dan Amerika Serikat yang cenderung bergantung pada akses SLOCs tersebut. Sebagai hegemoni Asia Pasifik bukan tidak mungkin China akan mendominasi akses jalur perairan SLOCs ataupun menetapkan ketentuan tertentu yang harus dipatuhi oleh negara lain yang lebih lemah daripada China untuk dapat mengakses jalur perairan SLOCs. Kondisi tersebut tentu akan melemahkan posisi negara selain China serta membatasi akses SLOCs bagi mereka. Hal inilah yang mendasari pemerintah AS mengeluarkan kebijakan untuk memprioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam kebijakan militernya. AS memiliki kepentingan vital untuk menjadi penyeimbang (balancer) dan membatasi perluasan pengaruh China di kawasan Asia Pasifik.
598
Kebijakan Militer Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik 2009-2012 (Khairunnisa)
Strategi militer AS di kawasan Asia Pasifik tergolong kedalam strategi soft balancing yang cenderung dilakukan oleh negara yang memiliki kekuatan besar untuk mencegah munculnya negara yang berpotensi menjadi hegemoni dan mengganggu kondisi balance of power di suatu kawasan tertentu. Kebijakan militer AS dilakukan melalui pembentukan koalisi non-ofensif dengan negaranegara Asia Pasifik yang memiliki kepentingan dan pehamaman bersama atas China sebagai potensial hegemon. Adanya persamaan pandangan mengenai China sebagai “potensi ancaman” terhadap balance of power di kawasan kemudian membuat negara-negara Asia Pasifik mendukung kehadiran AS di kawasan, khususnya negara-negara yang terlibat sengketa teritorial dengan China, seperti Jepang, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, maupun India. Kehadiran militer AS diperlukan sebagai counterbalance untuk meningkatkan posisi bargaining mereka dalam upaya penyelesaian yang tengah diupayakan. Pertimbangan negaranegara Asia Pasifik mengacu pada kekuatan militer yang mereka miliki cenderung lebih lemah jika dibandingkan dengan China yang terus mengalami peningkatan dan modernisasi. Keberadaan AS dengan kekuatan militernya diperhitungkan dapat mengimbangi dan membendung perkembangan pesat kekuatan militer China di kawasan Asia Pasifik. Walaupun pada saat ini China dengan kekuatan besarnya yang terus mengalami peningkatan pesat tersebut bukanlah sebuah ancaman, akan tetapi di masa depan, tanpa adanya kekuatan penyeimbang (counterbalancer), China memiliki kemungkinan besar untuk menjadi ancaman keamanan bagi negara sekitarnya. Penegasan dan pernyataan resmi perubahan fokus kebijakan ke kawasan Asia Pasifik baru dikeluarkan oleh pemerintahan Obama pada akhir tahun 2011, akan tetapi sejak Obama menjabat sebagai Presiden AS telah ada suatu upaya pendekatan dan penguatan hubungan aliansi keamanan secara bilateral dengan negara-negara Asia Pasifik. Pasca pidato Presiden Barrack Obama, Departemen Pertahanan Amerika Serikat kemudian mengeluarkan dokumen resmi Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense pada Januari 2012 yang semakin menguatkan komitmen AS untuk memprioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam kebijakan militernya. Dalam dokumen tersebut terdapat rencana pembentukan Joint Force di kawasan Asia Pasifik dianggap perlu untuk meningkatkan kapabilitas kekuatan militer AS dan aliansinya untuk dapat menjalankan misi-misi militer utama, salah satunya ialah mencegah pembentukan Anti-Access/ Area Denial (A2/AD) yang dapat membatasi akses di wilayah perairan internasional oleh negara tertentu, seperti China maupun Iran. Dalam dokumen yang dikeluarkan oleh militer AS pada April 2012 Army Strategic Planning Guidance bahwa strategi effective deterrence akan menjadi strategi AS dalam menghadapi tantangan serta potensi ancaman di abad ke-21. Effective deterrence memerlukan pasukan militer yang berkualitas dengan adanya kapabilitas dan kapasitas yang memadai, serta mampu menjalankan misi secara 599
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013: 589-604
internasional dengan tetap menjaga kepentingan nasional AS. Dalam implementasinya, kebijakan militer AS cenderung difokuskan ke sub-kawasan Asia Timur, Asia Tenggara, Pasifik, serta area pesisir di Asia Selatan. a. Asia Timur Kerjasama militer AS dengan negara-negara di sub-kawasan Asia Timur telah terjalin sejak lama, dalam hal ini Jepang, Korea Selatan, serta Taiwan. Kerjasama keamanan antara AS dengan Jepang telah dimulai sejak tahun 1960 dengan landasan Treaty of Mutual Cooperation and Security. Sejak kekalahannya dalam Perang Pasifik, Jepang merupakan pondasi keamanan penting bagi AS di subkawasan Asia Timur. Pada April 2012 pemerintah Jepang menyatakan persetujuan atas kebijakan relokasi 9.000 personil angkatan laut AS dimana sekitar 4.700 personil angkatan laut akan ditempatkan di basis militer Guam, 1.800 personil militer di Hawaii, dan 2.500 personil yang sifatnya rotasional akan ditempatkan di Australia. Kebijakan relokasi ini sejalan dengan keinginan kedua negara dalam upaya meningkatkan kehadiran militer AS di kawasan Asia Pasifik yang “more geographically distributed, operationally resilient, and politically sustainable”. (www.fas.org) Kerjasama keamanan antara AS dengan Korea Selatan (Republic of Korea/ ROK) telah terjalin sejak 1953 dibawah Mutual Security Agreement yang mana sebanyak 28.500 personil militer AS ditempatkan di basis militernya di Korea Selatan. Sejak Juni 2009, terjadi perkembangan signifikan dalam kerangka kerjasama keamanan AS-Korea Selatan dengan diumukannya Joint Vision for the Alliance oleh Presiden Obama dan Lee yang menegaskan aliansi keamanan antara AS dan Korea Selatan. Pada pertengahan tahun 2010, AS mengirimkan kapal induk dan pesawat F-22 serta mengadakan latihan gabungan militer dalam skala besar dengan militer Korea Selatan untuk menunjukkan komitmen kuat AS terhadap keamanan Korea Selatan dan Asia Pasifik. Pemerintah AS dan Korea Selatan mengeluarkan Strategic Alliance 2015 pada September 2010 yang semakin menguatkan kerjasama keamanan AS-Korea Selatan. Dalam dokumen tersebut dijelaskan mengenai Operational Control (OPCON) Agreement serta konsekuensi bahwa AS akan mengirimkan sekitar 28.000 pasukan militernya ke Korea Selatan jika terjadi perang antara Korea Selatan dengan Korea Utara. (www.fas.org) b. Asia Tenggara Sub-kawasan Asia Tenggara memegang peranan signifikan dalam kebijakan militer AS di kawasan Asia Pasifik. Latihan gabungan militer multinasional antara militer AS dengan militer Thailand dan beberapa negara Asia lainnya dilakukan secara rutin di Thailand setiap tahunnya yang dikenal dengan nama Cobra Gold Exercise. Latihan gabungan terbesar ini menunjukkan komitmen AS dan Thailand sebagai aliansinya terhadap keamanan dan stabilitas kawasan Asia Pasifik karena 600
Kebijakan Militer Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik 2009-2012 (Khairunnisa)
ditujukan untuk meningkatkan keamanan kawasan Asia Pasifik secara umum. (http://www.state.gov) Pemerintah AS juga mengadakan latihan gabungan militer Exercise Balikatan dengan pasukan militer Filipina yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan daya respon militer kedua negara dalam menjalankan misi militer di tingkat yang lebih luas pada awal tahun 2012. Pemerintah AS kemudian mengadakan dialog lebih lanjut dengan pemerintah Filipina terkait rencana penempatan littoral combat ship milik AS di perairan Filipina. (www.carlisle.army.mil) Selain itu, AS juga merencakan penempatan surveillance aircraft yang sifatnya rotasional di wilayah Filipina serta intensitas latihan gabungan militer yang lebih tinggi. (www.fas.org) Walaupun masih dalam bentuk rancangan kerjasama, akan tetapi sinyal positif dari pemerintah Filipina semakin terlihat dengan dikeluarkannya Joint Statement of the United States-Philippines Ministrial Dialogue pada April 2012. Rencana tersebut dinilai sebagai strategi AS dalam meningkatkan kehadiran kekuatan militernya di kawasan Asia Pasifik. Pada Maret 2012, pemerintah AS dan Singapura mencapai kesepakatan kerjasama keamanan baru dimana AS akan menempatkan dua hingga empat Littoral Combat Ship (LCS) di pangkalan angkatan laut Singapura yang sifatnya rotasional. LCS merupakan kapal perang dengan ukuran relatif kecil dan ditujukan untuk beroperasi di wilayah pesisir yang tidak terlalu luas. Dilengkapi dengan flight deck dan hangar, LCS merupakan kapal tempur yang efisien dan berkecepatan tinggi dengan daya tampung hingga 75 orang.(www.naval-technology.com) Penempatan LCS AS akan menguatkan kerjasama keamanan antara kedua belah pihak serta memungkinkan AS untuk mengontrol lalu lintas maritim di perairan Selat Malaka, Indonesia yang memegang peranan penting sebagai salah satu Sea Lines of Communication (SLOC) bagi transportasi barang maupun sumber energi ke berbagai negara di Asia. Selain itu, AS melakukan berbagai upaya dalam rangka menguatkan hubungannya dengan negara non-aliansi, seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam, Cambodia, Laos, serta Myanmar. c. Pasifik Australia dan New Zealand merupakan merupakan mitra penting dalam upaya perluasan pengaruh AS di kawasan Asia Pasifik. Pada November 2011, dicapai kesepakatan penempatan permanen 2.500 personil angkatan laut AS di fasilitas militer Darwin, Australia. Mekanisme penempatan pasukan tersebut akan dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama dilaksanakan pada April 2012 dimana AS mengirimkan sekitar 250 personil angkatan lautnya ke fasilitas militer Darwin. Setiap sekitar 6 bulan sekali, AS akan melakukan pengiriman personil angkatan laut ke Australia hingga mencapai angka 2.500 personil militer untuk membentuk Marine Corps Personnel dan jika memungkinkan Marine Air Ground Task Force pada tahun 2015.(www.fas.org) Personil angkatan laut AS yang 601
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013: 589-604
berada di Australia akan bersifat rotasional di wilayah perairan Pasifik dan Asia Tenggara, termasuk di dalamnya SLOCs utama di Indonesia dan Filipina, yakni Selat Lombok, Selat Sunda, Selat Makassar, Laut Timur, dan Laut Andura, serta akses langsung ke Samudera Hindia. Selain itu, pada tahun 2010 AS melakukan pendekatan kembali dengan New Zealand Declaration of Wellington 2010 yang semakin menguat dengan disepakatinya Washington Declaration 2012. Dalam dokumen kerjasama tersebut terangkum kesepakatan untuk kerjasama yang lebih luas antara AS dan New Zealand, khususnya dalam bidang maritim di perairan Pasifik. d. Asia Selatan Kerjasama keamanan AS di sub-kawasan Asia Selatan cenderung fokus dengan kerjasama keamanan yang dibentuk AS dengan India. AS dan India membentuk Defense Policy Group (DPG) yang menjadi inti dalam kerjasama keamanan bilateralnya. Pada tahun 2010, U.S. Pacific Command (USPACOM) mengadakan latihan militer gabungan tahunan dengan Indian Integrated Defense Staff (IIDS). Dalam implementasinya, angkatan laut AS dan India mengadakan latihan gabungan angkatan laut sebanyak empat kali dalam setahun, meliputi latihan militer dengan menggunakan meriam ledak pemusnah (spitting cobra), latihan menyelam dan tindakan penyelamatan (salvex), latihan gabungan tahunan untuk meningkatkan kualitas taktis, teknik, dan prosedur militer (Malabar), dan latihan mengembangkan kemampuan operasi militer di darat dan perairan (habu nag). (www.defense.gov) Salah satu misi militer utama AS adalah untuk mencegah mencegah pembentukan Anti-Access/ Area Denial (A2/AD) yang dapat membatasi akses di wilayah perairan internasional oleh China, seperti yang tercantum dalam dokumen Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense. Kemampuan militer China yang dianggap mampu menciptakan A2/AD membuat pemerintah AS mengambil strategi militer untuk memperkuat dan memperluas akses militernya diperairan Asia Pasifik terkait kepentingan AS terhadap SLOCs di kawasan tersebut. Penempatan personil militer AS yang bersifat rotasional di pangkalan militer Australia dan basis militer AS di Guam akan memperluas akses bagi militer AS terhadap perairan SLOCs Asia Pasifik yang semakin diperkuat dengan perjanjian kerjasama keamanan untuk akses perairan yang lebih luas dengan negara-negara Asia Pasifik. Selain itu, kebijakan AS untuk menempat dua hingga empat LCS di wilayah perairan Selat Malaka pada dasarnya adalah strategi AS untuk melindungi jalur vital dalam perdagangan internasional dari potensi dominasi China.
602
Kebijakan Militer Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik 2009-2012 (Khairunnisa)
Kesimpulan Kebijakan AS untuk memprioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam kebijakan militernya (2009-2012) merupakan upaya yang dilakukan pemerintah AS untuk melindungi kepentingan nasionalnya di kawasan Asia Pasifik. Stabilitas ekonomi dan keamanan AS bergantung terhadap akses perairan jalur SLOCs Asia Pasifik yang merupakan penghubung vital bagi AS dan mitra dagang dan partner militernya di Asia maupun Teluk Persia. Terganggunya stabilitas keamanan SLOSs kawasan dapat berpengaruh buruk terhadap ekonomi dan militer AS maupun negara-negara Asia Pasifik. Oleh karena itu, terjaganya keamanan dan kebebasan akses jalur perdagangan tersebut bersifat vital bagi AS. Dalam perkembangannya, munculnya China sebagai “potensi ancaman” di kawasan menimbulkan kekhawatiran AS dan negara-negara Asia Pasifik yang menginginkan terjaganya balance of power di kawasan. China yang memiliki kepentingan besar terhadap SLOCs terkait pemenuhan kebutuhan energi melalui jalur tersebut berupaya melakukan power projection di perairan Asia Pasifik. Peningkatan kekuatan militer China disertai dengan agresifitasnya dalam menghadapi sengketa teritorial di kawasan membahayakan stabilitas keamanan SLOCs Asia Pasifik. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah AS mengambil kebijakan militer soft balancing untuk membatasi pengaruh China dan mencegah munculnya hegemoni China di kawasan. Referensi Buku Acharya, Amitav. 2003. Regionalism and Multilateralism: Essays on Cooperative Security in the Asia Pacific. Singapore: Eastern University Press. Hoadley, Stephen and Jurgen Ruland. 2006. Asian Security Reassessed. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies Publications. Mas’oed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES. Paul, T.V., James J. Wirtz, and Michel Fortmann. 2004. Balance of Power: Theory and Practice in the 21st Century. California: Stanford University Press. Prabhakar, Lawrence W., Joshua H. Ho, and Sam Bateman. 2006. The Evolving Maritime Balance of Power in the Asia Pacific”. Singapore: Institute of Defense and Strategic Security dan World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. Snow, Donald M and Eugene Brown. 2000. International Relations: The Changing Contours of Power. New York: Addison Wesley Longman, Inc.
603
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 3, 2013: 589-604
Internet “ANNUAL REPORT TO CONGRESS: Military Power of the People’s Republic of China 2009” dalam situs “Joint statement US-Thailand” dalam situs “Littoral Combat Ship (LCS), United States of America” dalam situs http://www.naval-technology.com/projects/littoral/ diakses pada 7 Maret 2013. “Part I: Overview of the Asia-Pacific Region” pada situs http://www.apfed.net/pub/apfed1/final_report/pdf/overview.pdf diakses pada 22 November 2012. “Philippines taking S. China Sea fight to tribunal” dalam situs http://www.thejakartapost.com/news/2013/01/22/philippines-taking-schina-sea-fight-tribunal.html diakses pada 7 Maret 2013. “Pivot to the Pacific? The Obama Administration’s “Rebalancing” Toward Asia” www.fas.org/sgp/crs/natsec/R42448.pdf diakses pada 7 November 2012. “Remarks By President Obama to the Australian Parliament” pada http://www.whitehouse.gov/the-press-office/2011/11/17/remarkspresident-obama-australian-parliament diakses pada 18 November 2012. “Report to Congress on U.S.-India Security Cooperation” dalam situs http://www.defense.gov/pubs/pdfs/20111101_NDAA_Report_on_US_Indi a_Security_Cooperation.pdf diakses pada 26 November 2012. “The Reassertion of the United States in the Asia-Pacific Region” dalam situs http://www.carlisle.army.mil/USAWC/parameters/Articles/2012spring/Str uye_de_Swielande.pdf diakses pada 8 November 2012. “The U.S. Military Presence in Okinawa and the Futenma Base Controversy” dalam situs www.fas.org/sgp/crs/natsec/R42645.pdf diakses pada 7 November 2012. “U.S.-ROK STRATEGIC ALLIANCE 2015” dalam situs asiafoundation.org/resources/pdfs/CUSKPNewsletter29SepWEB.pdf diakses pada 26 November 2012. “U.S.-South Korea Relations” dalam situs www.fas.org/sgp/crs/row/R41481.pdf diakses pada 25 November 2012. http://www.state.gov/r/pa/prs/ps/2012/06/192397.htm# www.defense.gov/pubs/pdfs/China_Military_Power_Report_2009.pdf diakses pada 10 November 2012.
604