Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
KEBERHASILAN KEBUNTINGAN PADA SAPI MADURA MELALUI PENERAPAN KAWIN ALAM (The Success of Conception in Madura Cattle Through the Application of Natural Mating) Jauhari Efendy, Mariyono Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2 Grati Pasuruan, Jawa Timur Email:
[email protected]
ABSTRACT Currently, the natural breeding programme in cattle is used by some farmers on the island of Madura. In some areas, Madura bulls is still needed as a precaution against pregnancy failure in the AI program. The purpose of this research was to investigate the effectiveness of natural mating on Madura cattle in fourlivestock farmer groups in the region of Pamekasan Madura. The research method was a survey observation on the application of natural mating using eight Madura bulls. The parameters observed were: (i) the number of cows that were mated; and (ii) service per conception (S/C). Data were analyzed using descriptive statistics. The Madura bulls were introduced from the District of Waru, Pasean and Pakong which is the center of bulls with good quality. The results shows that cows mated by Madura bulls from January to December 2012 was 328 head, or on average males mating 3-4 cows per month. S/C, was 261 head of cows (79.57%) were successfully pregnant by only one mating. Key Words: Madura Cattle, Natural Mating, Service Per Conception (S/C) ABSTRAK Saat ini program kawin alam pada sapi Madura masih dijadikan alternatif oleh sebagian peternak di Pulau Madura. Pada beberapa wilayah layanan IB keberadaan pejantan sapi Madura terpilih masih dibutuhkan sebagai langkah antisipasi terjadinya kegagalan kebuntingan pada program IB. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efektivitas kawin alam dalam mengatasi terjadinya kegagalan kebuntingan pada sapi Madura yang sebelumnya telah di IB minimal 2 kali. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Pamekasan, Madura, Provinsi Jawa Timur yang berlangsung dari bulan Januari sampai Desember 2012. Metode penelitian adalah observasi terhadap aplikasi kawin alam menggunakan 8 ekor pejantan sapi Madura terpilih introduksi Loka Penelitian Sapi Potong dan 328 ekor sapi Madura induk dan calon induk. Parameter yang diamati: (i) jumlah sapi betina yang dikawin; dan (ii) service per conception (S/C). Data hasil penelitian dianalisis menggunakan statistik deskriptif. Pejantan sapi Madura yang diintroduksikan berasal dari Kecamatan Waru, Pasean dan Pakong yang merupakan wilayah penghasil bibit berkualitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi Madura (induk dan calon induk) yang dikawin oleh pejantan sapi Madura terpilih sebanyak 328 ekor atau rata-rata perekor pejantan mengawini 3-4 ekor sapi betina/bulan. Rendahnya jumlah kawin alam disebabkan ternak yang dikawinkan dengan pejantan sapi Madura hanyalah sapi-sapi yang gagal bunting setelah sebelumnya di-IB minimal dua kali. Berdasarkan perhitungan S/C, sebanyak 261 ekor (79,57%) sapi betina berhasil bunting hanya dengan satu kali kawin. Kata Kunci: Sapi Madura, Kawin Alam, Service Per Conception (S/C)
PENDAHULUAN Performans reproduksi pejantan sapi Madura baik sebagai donor semen beku dalam program inseminasi buatan (IB) maupun untuk melayani kawin alam sangat berperan dalam meningkatkan produktivitas dan keberhasilan
konservasi sapi Madura di Pulau Madura (Affandhy et al. 1995). Sampai saat ini beberapa kalangan masyarakat (peternak) di Pulau Madura masih menghendaki adanya perkawinan alam menggunakan pejantan unggul sapi Madura terutama pada wilayah sentra pengembangan sapi sonok seperti di
85
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Kecamatan Waru dan Pasean, Kabupaten Pamekasan. Tingginya preferensi peternak terhadap kawin alam karena dua alasan yaitu: 1) Pertama pejantan yang digunakan sebagai pemacek dapat diketahui dan dilihat secara langsung performansnya dan 2) Alasan kedua secara alamiah ternak memiliki kebebasan hidup di alam bebas, sehingga dengan sikap alamiahnya ini perkembangbiakannya terjadi secara normal mendekati sempurna dan ternak jantan mampu mengetahui ternak betina yang birahi. Dengan demikian sedikit kemungkinan terjadinya keterlambatan perkawinan yang dapat merugikan peningkatan populasi (Direktorat Budidaya Ternak 2011). Disisi lain, dalam beberapa dekade terakhir banyak peternak sapi di Pulau Madura tertarik untuk melakukan perkawinan silang secara tidak terkontrol antara induk sapi Madura dengan semen sapi impor seperti Limousin dan Simmental. Dalam jangka panjang, program persilangan tersebut pada kondisi peternakan dengan input biaya rendah (low input production) sebenarnya tidak dapat meningkatkan produksi secara lestari, bahkan dapat menurunkan masa produktivitas dari ternak yang bersangkutan (Hammond dan Galal 2000). Mutu genetik inferior merupakan salah satu faktor dominan yang menyebabkan penurunan produktivitas ternak sapi potong akibat tidak adanya sistem pemuliaan yang konsisten dan terarah. Perhatian akan pentingnya pemuliaaan (culling and selction) dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak ruminansia besar khususnya sapi potong dan kerbau masih sangat rendah. Hal ini dapat terlihat dengan kurangnya jumlah pejantan berkualitas yang digunakan sebagai pemacek baik dalam perkawinan alam maupun IB (Situmorang dan Gede 2004). Dengan demikian introduksi pejantan sapi Madura terpilih pada wilayah pembibitan rakyat merupakan langkah yang tepat dan strategis guna mengatasi meluasnya program perkawinan silang sapi Madura yang pada akhirnya justru akan mengancam kemurnian dari sapi Madura tersebut. Idealnya aplikasi kawin alam dilakukan di wilayah yang belum terlayani atau minim layanan IB. Namun demikian, di wilayah IB pun kawin alam sebetulnya masih tetap dibutuhkan mengingat sampai saat ini tingkat
86
keberhasilan program IB di beberapa daerah masih relatif rendah. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efektivitas kawin alam dalam mengatasi terjadinya kegagalan kebuntingan pada sapi Madura yang sebelumnya telah di-IB minimal dua kali. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di tiga wilayah kecamatan di Kabupaten Pamekasan, Madura, Provinsi Jawa Timur, yaitu Kecamatan Waru (Desa Waru Timur pada Kelompok Tani– Ternak Pancong Jaya, Desa Waru Barat pada Kelompok Tani-Ternak Sari Murni), Batumarmar (Desa Bujur Timur pada Kelompok Tani-Ternak Sanggar Tani) dan Kecamatan Pasean (Desa Tlonto Raja pada Kelompok Tani-Ternak Abadi). Penentuan lokasi berdasarkan pertimbangan bahwa tiga wilayah kecamatan tersebut merupakan penghasil bibit sapi Madura serta merupakan daerah layanan IB. Introduksi pejantan sapi Madura terpilih dijadikan sebagai alternatif apabila sapi mengalami gagal bunting setelah beberapa kali di-IB. Waktu penelitian dari bulan Januari sampai Desember 2012. Materi yang digunakan adalah pejantan sapi Madura terpilih introduksi dari Loka Penelitian Sapi Potong sebanyak delapan ekor berumur antara 2,5-3 tahun dan 328 ekor sapi Madura induk/calon induk yang dipelihara oleh peternak rakyat. Sapi induk/calon induk yang kawin dengan pejantan sapi Madura tidak terbatas hanya pada sapi-sapi milik anggota kelompok tani-ternak, tetapi juga mencangkup sapi milik masyarakat sekitar di luar anggota kelompok. Metode penelitian yang digunakan adalah observasi terhadap aplikasi kawin alam pada sapi Madura induk dan calon induk yang sebelumnya telah di IB. Sistem kawin alam yang diaplikasikan adalah sapi induk/calon induk yang estrus dan siap kawin dibawa ke tempat pejantan. Parameter yang diamati adalah: 1. Jumlah sapi betina yang kawin 2. Service per conception (S/C) (jumlah pelayanan (kawin) per kebuntingan). Data dianalisis deskriptif.
menggunakan
statistik
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil pejantan sapi madura Pada aplikasi kawin alam pemilihan pejantan unggul secara genetik dan bebas penyakit reproduksi menjadi sangat penting untuk meningkatkan produktivitas ternak baik secara kuantitas maupun kualitas (Situmorang dan Gede 2004). Disamping itu, penilaian performans pejantan diperlukan antara lain untuk mengetahui kondisi kaki, testis, penis, internal genetalia (melalui palpasi rektal), kualitas semen dan cacat Hubungan antara lingkar testis (scrotum) dilaporkan oleh Reddy et al. (1996). Pejantan sapi Madura yang diintroduksi pada empat kelompok tani-ternak di wilayah Kabupaten Pamekasan berumur antara 24-28 bulan (I-1 sampai I-2). Ternak berasal dari Kecamatan Waru, Pasean dan Pakong yang merupakan wilayah sentra pengembangan sapi sonok dimana peternaknya sangat memperhatikan performans dan kualitas sapi. Beberapa keuntungan penggunaan pejantan dari wilayah setempat adalah bisa mendapatkan anak sapi (pedet) dengan kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungannya (Situmorang dan Gede 2004). Disamping itu, sapi Madura sebagai plasma nutfah indigenous merupakan salah satu kekayaan nasional yang perlu dipertahankan keberadaannya (Hartono 2012). Profil dan data fisik pejantan sapi Madura yang diintroduksi
oleh Loka Penelitian Sapi Potong disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 3735/Kpts/HK.040/11/2011 tentang Penetapan Rumpun Sapi Madura maka pejantan sapi Madura terpilih yang diintroduksi pada empat kelompok tani-ternak di Kabupaten Pamekasan Madura termasuk dalam kategori kelas II dan telah memenuhi syarat sebagai pejantan (pemacek). Dalam surat keputusan tersebut dinyatakan bahwa pejantan sapi Madura pada kisaran umur 24-36 bulan dengan kategori II memiliki ukuran eksterior minimal seperti lingkar dada, tinggi gumba, panjang badan dan lingkar scrotum masing-masing 184, 132, 142 dan 25 cm (Badan Standardisasi Nasional 2013). Pemanfaatan pejantan sapi madura terpilih sebagai pemacek Tingkat pemanfaatan pejantan sebagai pemacek didasarkan pada perhitungan jumlah sapi betina yang kawin dan bunting (Tabel 2). Jumlah sapi betina yang kawin dengan pejantan sapi Madura terpilih dari bulan Januari sampai Desember 2012 sebanyak 328 ekor; atau rata-rata per ekor pejantan mengawini 3-4 ekor sapi betina per bulan. Jumlah kawin alam di empat lokasi (kelompok tani-ternak) ini relatif sedikit apabila dibandingkan dengan populasi sapi betina (induk dan calon induk) yang dimiliki oleh
Tabel 1. Ukuran tubuh dan kondisi scrotum pejantan sapi Madura introduksi Tinggi badan (cm)
Panjang badan (cm)
Lingkar dada (cm)
Lingkar scrotum (cm)
Bentuk scrotum
0381
127
137
169
28
Normal
0382
131
140
171
32
Normal
0371
132
142
170
30
Normal
0372
130
139
169
29
Normal
0383
131
142
170
30
Normal
0385
130
142
172
31
Normal
0373
131
139
170
29
Normal
0374
130
140
171
29
Normal
No. Pejantan
0381 dan 0382: Kelompok Tani–Ternak Pancong Jaya 0371 dan 0372: Kelompok Tani–Ternak Sanggar Tani 0383 dan 0385: Kelompok Tani–Ternak Sari Murni 0373 dan 0374: Kelompok Tani–Ternak Abadi
87
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Tabel 2. Jumlah sapi betina yang dikawini pejantan sapi Madura tahun 2012 Bulan
Nomor pejantan 0381
0382
0371
0372
0383
0385
0373
0374
Januari
-
5
4
4
5
2
4
1
Pebruari
4
2
3
2
5
1
5
2
Maret
3
4
4
5
7
3
5
1
April
-
7
3
4
7
3
2
1
Mei
4
2
3
2
2
3
4
2
Juni
4
5
3
3
4
4
3
3
Juli
3
2
4
1
6
3
3
2
Agustus
3
3
2
1
8
2
3
1
September
2
4
2
3
7
3
4
2
Oktober
4
7
2
3
6
3
4
1
Nopember
6
7
1
1
7
3
2
3
Desember
5
5
6
5
4
4
4
4
Jumlah (ekor)
38
53
37
34
67
33
43
23
Rata-rata ekor/bulan)
3,67
4,36
2,82
2,64
5,73
2,64
3,55
1,73
seluruh anggota kelompok dan masyarakat di sekitarnya yaitu kurang lebih 950 ekor. Rendahnya jumlah kawin alam disebabkan wilayah tersebut merupakan daerah layanan IB yang sudah eksis sejak tahun 1992 dengan jumlah akseptor yang cukup tinggi. Kawin alam baru digunakan oleh peternak apabila sapi betina miliknya gagal bunting setelah di-IB minimal dua kali. Namun demikian, sasaran dan target utama dalam penelitian ini bukan semata-mata pada banyaknya sapi betina yang kawin dengan pejantan sapi Madura terpilih, tetapi untuk mengurangi jumlah sapi betina yang mengalami kegagalan kebuntingan pada program IB. Dengan demikian peternak terhindar dari timbulnya kerugian yang lebih besar baik waktu, biaya dan tenaga. Service per conception (S/C) Service per conception pada sapi Madura sebagian besar (79,57%) adalah satu kali. Artinya, sebanyak 261 ekor sapi betina berhasil bunting hanya dengan satu kali kawin. Menurut Chenoweth (1981) salah satu faktor penentu keberhasilan sapi pejantan mengawini
88
sapi betina adalah dengan mempertahankan kondisi tubuh dalam keadaan prima. Hal ini disebabkan karena sapi pejantan harus memproduksi semen yang berkualitas dan mempunyai libido yang tinggi serta kondisi fisik yang memungkinkan untuk mendeteksi birahi dan mengawini betina. Hasil penelitian O’Marry dan Dyer (1978) maupun Hafez (1993) menunjukkan sekitar 95% perkawinan pada ternak sapi potong yang terjadi di Amerika Serikat dan Australia adalah secara alam. Sementara itu, penerapan kawin IB pada ternak yang sama mengalami kegagalan kebuntingan walaupun sudah di-IB lebih dari 2 kali. Fenomena ini cukup menarik mengingat semua persyaratan teknis IB sudah terpenuhi. Demikian juga inseminator yang menangani pada umumnya memiliki kemampuan teknis yang baik dan berpengalaman. Terjadinya kegagalan kebuntingan pada kasus ini diduga disebabkan oleh (i) kurang tepatnya waktu inseminasi akibat jauhnya jarak tempuh ditambah lagi dengan kondisi medan yang cukup sulit untuk menuju lokasi sapi betina, sehingga terjadi keterlambatan serta (ii) kualitas semen (straw) yang kurang baik.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Tabel 3. Service per conception sapi Madura
No. Pejantan
Jumlah betina yang dikawin (ekor)
Catatan frekuensi kawin IB sebelumnya
Service per conception (S/C) 1 kali
2 kali
Jumlah (ekor)
Persentase (%)
Jumlah (ekor)
Persentase (%)
2 kali (ekor)
3 kali (ekor)
>3 kali (ekor)
0381
38
35
92,11
3
7,90
9
19
10
0382
53
44
83,02
9
17,00
12
34
7
0371
37
35
94,59
2
5,40
20
11
6
0372
34
33
97,06
1
2,90
11
19
4
0383
67
60
89,55
7
10,40
25
32
7
0385
33
29
87,88
4
12,10
7
20
6
0373
43
39
90,70
4
9,30
19
14
9
0374
23
19
82,61
4
17,39
5
14
4
Pakan dan suplemen (jamu) pejantan sapi Madura Dalam pemeliharaan sapi pejantan (pemacek), faktor pakan menjadi kunci utama untuk menghasilkan performans yang optimal disamping kebutuhan terhadap kenyamanan lingkungan hidup. Pemberian pakan seimbang akan menghasilkan pertumbuhan yang baik dan kesehatan ternak menjadi terjaga; sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok (maintenance) dan berproduksi. Disamping itu, pemberian suplemen berupa jamu juga dilakukan pada sapi pejantan (pemacek) dengan harapan untuk mempertahankan dan meningkatkan libido serta kualitas semen. Jenis pakan dan jamu sapi Madura pejantan yang diberikan di empat kelompok tani-ternak disajikan pada Tabel 4. Secara umum pakan hijauan yang rutin diberikan pada sapi Madura pejantan terdiri atas rumput gajah dan rumput lapang dengan rasio 50 : 50, 40 : 60 atau 60 : 40 tergantung ketersediaan di lokasi (musim). Dedak padi diberikan pada pagi hari sekitar jam 06.3007.00 sebelum diberi pakan hijauan. Pada beberapa lokasi, kadang-kadang dedak padi dicampur dengan limbah rumah tangga dalam bentuk comberan. Pakan suplemen atau jamu yang diberikan pada sapi Madura pejantan di empat kelompok tani-ternak di Kabupaten Pamekasan Madura
relatif berbeda dengan di beberapa tempat pada umumnya yaitu adanya campuran minuman bir. Menurut peternak, formulasi dan komposisi jamu yang diberikan tersebut sudah berlangsung secara turun-temurun. Adanya campuran minuman bir pada jamu sapi Madura pejantan diyakini dapat menghangatkan tubuh ternak sehingga dapat melancarkan aliran darah yang pada akhirnya berdampak pada meningkatnya stamina tubuh dan libido. Temu kunci (Boesenbergia pandurata) merupakan salah satu bahan tanaman dari jenis temu-temuan yang biasa diberikan sebagai campuran jamu pada sapi Madura pejantan. Temu kunci mengandung minyak atsiri (borneol, kamfer, sineol, ethil-alkohol), pati, saponin dan favonoid. Beberapa jenis minyak atsiri mengandung bahan aktif sehingga memiliki aktivitas sebagai obat untuk mengatasi penyakit tertentu (Agusta 2000). Menurut Syamsuhidayat dan Hutapea (1991) rimpang temu kunci berkhasiat sebagai obat cacing dan penambah nafsu makan. Penggunaan kunyit tidak hanya sebatas sebagai bumbu untuk menambah rasa dan memberi warna, tetapi juga sebagai bahan baku minuman sehat seperti kunyit asam atau kunyit instan. Komponen aktif dalam kunyit yang berperan adalah kurkuminoid yang memberikan warna kuning dan bersifat sebagai antioksidan (Winarti dan Nurdjanah 2005).
89
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Tabel 4. Beberapa jenis bahan pakan dan suplemen (jamu) pada sapi Madura pejantan Jenis pakan/suplemen Pakan: Rumput gajah + rumput lapang
Jumlah 25-30 kg
Dedak padi +limbah rumah tangga (sisa nasi, sisa sayuran, ikan, dan lain-lain) Jamu: Telur ayam 3 butir+ minyak arsani (10 ml)+bir cap ayam (250 ml) Pakan: Rumput gajah + rumput lapang
5 kg
Dedak padi
3-4 kg
Jamu: Telur ayam 3 butir+bir cap ayam (250 ml) Pakan: Rumput gajah + rumput lapang
Frekuensi pemberian
Keterangan
2 kali (pagi dan sore hari) 1 kali (pagi hari)
Kelompok Tani-Ternak Pancong Jaya; Desa Waru Timur Kecamatan Waru
-
2-3 jam setelah mengawini betina atau 2 kali seminggu jika tidak mengawini
25-30 kg
2 kali (pagi dan sore hari) 1 kali (pagi hari)
-
25-30 kg
Kelompok Tani-Ternak Sari Murni; Desa Waru Barat Kecamatan Waru dan Sanggar Tani; Desa Bujur Timur Kecamatan Batumarmar
2-3 jam setelah mengawini betina atau 2 kali seminggu jika tidak mengawini 2 kali (pagi dan sore hari) 1 kali (pagi hari)
Kelompok Tani-Ternak Abadi; Desa Tlonto Raja Kecamatan Pasean
Dedak padi Jamu: Telur ayam 3 butir+ temu kunci/kunyit (0,25 kg) +degan (3 buah)/bir cap ayam (250 ml)
2-3 jam setelah mengawini betina atau 2 kali seminggu jika tidak mengawini
KESIMPULAN Introduksi pejantan sapi Madura terpilih dapat memperbaiki kinerja reproduksi berupa keberhasilan kebuntingan pada sapi Madura induk dan calon induk. Dari sejumlah 328 ekor sapi betina, sebanyak 261 ekor (79,57%) berhasil bunting hanya dengan satu kali kawin. Dengan demikian, peternak terhindar dari kerugian biaya, waktu dan tenaga serta mendapatkan pedet (turunan) dengan kualitas atau mutu genetik yang baik.
Affandhy L, Yusran MA, Maksum K. 1995. Studi libido dan produksi semen sapi madura jantan dewasa dengan skor kondisi tubuh tinggi pada pelbagai tingkatan energi ransum. J Ilmiah Penelitian Ternak Grati. 4(1). Badan Standardisasi Nasional. 2013. Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 3735/Kpts/HK.040/11/2011 Tentang Penetapan Rumpun Sapi Madura. Diterbitkan oleh Badan Standardisasi Nasional Tahun 2013. Bibit Sapi Potong Bagian 2: Sapi Madura.
DAFTAR PUSTAKA
Chenoweth PJ. 1981. Libido and mating behaviour in bulls, boars and rams. Theriogenology. 16:155.
Agusta A. 2000. Minyak atsiri tumbuhan tropika. Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Direktorat Budidaya Ternak. 2011. Pedoman intensifikasi kawin alam (INKA). Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Jakarta.
90
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Hafez ESE. 1993. Reproduction in farm animals. 6th Ed. Lea & Febiger Philadelphia, USA. Hartono B. 2012. Peran daya dukung wilayah terhadap pengembangan usaha peternakan sapi Madura. J Ekonomi Pembangunan. 13:316-326. Hammond K, Galal S. 2000. Developing breeding strategies for lower input animal production environments. An Introduction. ICAR Technical Series 3:13-20.
for increased or decreased blood serum IGF-I concentration in Angus Beef Cattle. J Anim Sci Suppl. 74:108. Syamsuhidayat SS, Hutapea JR. 1991. Inventarisasi tanaman obat Indonesia (I). Departemen Kesehatan RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta.
O’Marry CC, Dyer AJ. 1978. Commercial beef cattle production, 2nd Ed. Lea and Febiger Philadelphia, USA.
Situmorang P, Gede IP. 2004. Peningkatan efisiensi reproduksi melalui perkawinan alam dan pemanfaatan inseminasi buatan (IB) untuk mendukung program pemuliaan. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi, Bengkulu 9-10 September 2003.
Reddy M, Davis ME, Simmen RCM. 1996. Correlated response in scrotal circumferences, semen trends and reproductive due to selection
Winarti C, Nurdjanah N. 2005. Peluang tanaman rempah dan obat sebagai sumber pangan fungsional. J Litbang Pertanian. 24:47-55.
91