PEMAKNAAN SAPI SONOK BAGI MASYARAKAT MADURA
SKRIPSI
Disusun oleh : Ferry Yuliansyah NIM: 071014005
DEPARTEMEN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA Semester Genap 2015/2016
PEMAKNAAN SAPI SONOK BAGI MASYARAKAT MADURA Oleh: Ferry Yuliansyah Abstrak Masyarakat luar hanya mengenal Madura dari sisi kekerasan maupun kereligiusannya. Di satu sisi, Madura merupakan entitas yang sebenarnya kaya akan seni dan tradisi. Salah satu kesenian yang sebenarnya populer di kalangan masyarakat Madura adalah kesenian Sapi Sonok, dimana sepasang sapi betina diperlakukan secara “manja” oleh pemiliknya dengan perlakuanperlakuan khusus yang berbeda dengan sapi biasa, sehingga menarik untuk dikaji bagaimana masyarakat Madura memaknai sapi tersebut. Untuk menganalisa fenomena ini peneliti menggunakan teori interaksionisme simbolik dari Blumer. Metodelogi yang digunakan adalah kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Penentuan subyek penelitian menggunakan teknik snow ball dengan pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam. Dalam penelitian ini, berdasarkan data yang didapat dari hasil wawancara, dapat diketahui bahwa sapi memiliki makna pemersatu bangsa, dan makna kebanggaan.
Kata kunci: Madura, Masyarakat Madura, Sapi Sonok, Makna, Interaksionisme simbolik
A.
Pendahuluan Masyarakat Madura merupakan masyarakat yang memiliki berbagai jenis
kebudayaan, namun demikian tidak banyak masyarakat luar yang mengetahui akan hal itu. Masyarakat luar biasanya mengenal masyarakat Madura dengan Carok-nya yang memang dikenal sebagi budaya yang khas, unik, dan, identitas budayanya itu dianggap sebagai jati diri individual maupun komunal etnik Madura dalam berperilaku dan berkehidupan. Masyarakat Madura memang sangat memegang teguh Carok. Carok adalah pemulihan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, tanah, dan, wanita.1 Ada ungkapan dalam masyarakat Madura “Lebbi Bagus Pote Tolang atembang Pote Mata” (Lebih baik putih tulang, daripada putih mata) yang mengandung makna “lebih baik mati daripada hidup menanggung malu”. Selain dikenal dengan Carok-nya, masyarakat Madura juga dikenal dengan tingkat religiusitasnya. Masyarakat Madura memang dikenal sebagai Masyarakat yang sangat memegang teguh nilai-nilai keislaman. Madura sebenarnya adalah entitas yang memiliki banyak ragam tradisi dan budaya di dalamnya. Sejauh ini penelitian-penelitian tentang Madura hanya berkutat pada masalah konflik, agama, maupun ekonomi. Sangat jarang menemukan sumber-sumber buku yang menjelaskan Madura dari segi seni maupun budaya yang ada di dalamnya. Madura sebenarnya memiliki seni budaya yang sangat menarik untuk dikaji. Bahkan, sebenarnya kebudayaan ini sudah dikenal dimancanegara, ini terbukti dalam perhelatannya selalu ada turis yang datang untuk menonton. Budaya itu biasa disebut dengan Sapi Sonok. Kebudayaan yang satu ini berbeda dengan kebudayaan kerapan sapi, meskipun sama-sama menggunakan sapi sebagai objeknya. Bedanya, jika kerapan sapi diadu kekuatan dan keperkasaannya dalam berlari,
1
Lihat dalam A. Latief Wiyata, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta, 2006), hal. 47
maka sapi sonok diadu kecantikan dan keanggunannya. Sapi tidak dipacu dan ditunggangi. Ia malah diiring dengan musik dan tari-tarian saronen
2
yang merupakan sebuah musik khas yang
memang biasa digunakan untuk mengiring sapi sonok.3 Sapi-sapi ini dirawat agar bulunya bagus, badannya sintal dan bisa berjalan serempak bersama pasangannya seperti pasukan yang sedang baris berbaris.
Seperti layaknya model yang hemdak melenggang di catwalk, sapi-sapi itu didandani dengan selempang keemasan di leher serta dada. Di leher sapi juga dipasang pangonong, yaitu kayu perangkai sapi yang diukir indah dengan perpaduan warna merah dan kuning emas. Sapi-sapi unggul dari berbagai penjuru pulau Madura itu bersiap mengikuti kontes sapi sonok, ajang silaturahim para pemilik sapi di Madura yang dikembangkan menjadi kontes sapi sejak tahun 1951.
Penilaian pada kontes Sapi Sonok disamping keindahan berjalan juga pakaian yang dipakai pasangan sapi juga yang menentukan keserasian pasangan sapi ketika sampai di garis finish, kaki depan kedua pasangan Sapi Sonok tersebut harus bersamaan naik ke atas altar yang terbuat dari kayu dan hal itu yang menentukan bagus tidaknya sapi dalam kontes tersebut. Setelah mencapai garis finish para pemilik sapi langsung menari dengan para sinden untuk meluapkan kegembiraan dan tidak lupa memberi sawer kepada para sinden yang menari mendampingi pasangan sapi kebanggaannya
2
Helene Bouvier, Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, terj. Rahayu S. Hidayat, Jean Couteau (Jakarta, 2002), hal. 55-61. Memberikan penejelasan yang sangat gamblang apa itu saronen sebagai orkes dan penggunaanya, juga memuat unusur-unsur analisis musikal di dalamnya. 3 URNA (Jurnal Seni Rupa) 2012, ISSN 2301-8135, vol .1, no. 2, hal 141
Orang-orang di luar Madura biasa menyebut kontes ini tak ubahnya Fashion show. Hanya saja, aktornya adalah sepasang sapi. Dan semua sapi yang ikut berlaga dalam kontes ini harus berjenis kelamin betina. Dikatakan Sapi Sonok karena dalam kontes ini, sapi dilepas digaris finis, diiring berjalan di lintasan, dan kemudian harus finis dengan masuk (nyono’) di bawah sebuah gapura. Di garis finis ini, sapi-sapi dituntut bisa mengangkat kakinya secara bersamaan dan meletakkannya di sebuah kayu melintang. Kayu tersebut sebelumnya dibuat lebih tinggi dari lintasan. Yang paling anggun dan serempak berjalan, serta paling cepat meletakkan kakinya di papan melintang di bawah gapura, adalah sapi yang memang sudah sangat terlatih dan secara ekonomis sapinya akan otomatis makin tinggi nilainya.
Menurut penuturan bapak Achmad Zawawi (budayawan Madura), kesenian Sapi Sonok terlahir dari kebiasaan atau budaya tani masyarakat Madura. Masyarakat Madura yang mayoritas adalah para petani, yang tentu saja menggantungkan hidupnya dari hasil lahan pertanian. Kebiasaan masyarakatnya menggunakan jasa sapi pada saat mengolah tanah pertanian dengan cara membajak. Sapi-sapi yang digunakan dalam proses pengolahan tanah pertanian ini umumnya adalah sapi-sapi betina yang disandingkan satu sama lain (berpasangan) untuk menarik nangghale (alat membajak ladang). Berawal dari kebiasaan ini sapi-sapi betina itu tampak nilai gunanya. Kekompakan pada saat menarik nangghale itulah yang kemudian menjadi dasar kesamaan atau kekompakan dalam langkah-langkah sapi betina pada Kesenian Sapi Sonok.
Kebiasaan lainnya yang menjadi penanda terbentuknya Kesenian Sapi Sonok adalah kebiasaan para petani memandikan atau membersihkan tubuh sapi yang dilakukan setelah selesai membajak. Sapi-sapi dimandikan di kali dekat ladang, digosok sampai tampak bersih kemudian diikatkan pada sepasang kayu atau pohon di sebelah kiri dan kanan sapi. Sapi-sapi
tersebut seperti dipajang, dan sipemilik sapi mengamatinya.4 Kebiasaan-kebiasaan yang mengarah
pada
terbentuknya
Kesenian
Sapi
Sonok
juga
disempurnakan
dengan
dilangsungkannya kebiasaan memajang sapi-sapi para petani sekitar. Bentuk kegiatan ini, menurut penuturan H. Zainuddin dan H. Hatib (tokoh Kesenian Sapi Sonok Waru dan Pasean Pamekasan), mereka biasa menyebutnya dengan Sapi Taccek.
Sapi Taccek disini pada intinya sekadar memajang sapi pada sebatang penyangga atau potongan pohon bambu, tanpa perlengkapan atau aksesoris. Kebiasaan ini sebenarnya dilatar-belakangi oleh prosesi pemajangan sapi yang dalam posisi berdiri tegap, keindahan tubuh dan warna kulit yang mengkilap (Ensiklopedi Pamekasan; 2010). Sapi Taccek inilah yang juga menjadi cikal-bakal terbentuknya Kesenian Sapi Sonok. Dari aktivitas atau kebiasaan para petani yang spontanitas itulah kemudian kesenian ini menemukan bentuknya. Maka seiring berjalannya waktu, kesenian ini dikenal dengan Kesenian Sapi Sonok.
Daya tarik pada Kesenian Sapi Sonok ini adalah terdapat pada “kecantikan” sapisapi. Artinya sapi-sapi yang dilombakan merupakan sapi-sapi betina pilihan, tampak sehat, berbadan bagus, dengan warna kulit mengkilat. Dan lebih menarik lagi, sapi-sapi betina ini didandani layaknya seorang peragawati. Hampir di sekujur tubuh sapi dilengkapi dengan aksesoris dengan warna yang mencolok (merah, kuning, hijau, keemasan).
Sebelum acara
inti dimulai, para pemilik sapi mengiringi langkah gemulai sapi sambil menari. Suasananya tampak semakin semarak karena langkah gemulai Sapi Sonok ini diiringi dengan musik tradisional Madura bernama Saronen5. Keberadaan atau kepemilikan akan sapi, telah
4
DR. FarahdillaKutsiyah, S.Pt., M.p., Sapi Sonok & Karapan Sapi: Budaya Ekonomi Kreatif Masyarakat Madura (Yogyakarta, 2015) 5 Op chit, Bouvier hal. 61
memunculkan beragam perilaku atau aktivitas dan kreativitas yang lainnya. Sapi pada akhirnya sedemikian “dihargai”. Sapi dicintai
dipelihara, dirawat, bahkan “didandani” demi
memunculkan sebuah nilai yang lebih lagi. Sapi kemudian tak cukup membantu dalam proses pengulahan ladang atau sekadar ditaruh di dalam kandang.
Sapi-sapi yang digelar dalam prosesi Kesenian Sapi Sonok adalah sapi-sapi yang benar-benar memiliki banyak kelebihan. Artinya kualitas sapi sudah benar-benar tertangkap dari aspek visualisasi postur atau bentuk tubuh sapi. Sapi yang berkualitas dalam Kesenian Sapi Sonok bukan sekadar bobot tubunya yang ideal (tidak kurus atau tidak terlalu gemuk, kulit mengkilat, memiliki mata dan tanduk yang bagus, dsb), akan tetapi kualitas pasangan Sapi Sonok itu diketahui juga dari keserasiannya dalam melangkah. Jika dalam melangkah terjadi semacam ketidakserasian (tidak kompak) maka sapi-sapi tersebut belum bisa dikatakan berkualitas.
B.
Fokus Penelitian Bagaimana masyarakat Madura memaknai Sapi Sonok sebagai bagian dari kehidupan mereka?
C.
Kerangka Teoritik Dalam penelitian ini peneliti memilih teori interaksionisme simbolis Herbert
Blumer karena dalam teori interaksionisme simbolik Blumer yang merujuk pada karakter interaksi khusus yang berlangsung antar manusia. Seseorang tidak langsung memberi respon pada tindakan orang lain, tetapi didasari oleh pengertian yang diberikan kepada tindakan itu6.
6
Margaret M. Poloma, Sosologi Kontemporer, terj. YASOGAMA (Jakarta, 2013), hal. 263
Interaksi manusia antar individu maupun dalam kelompok dijembatani oleh simbol-simbol penafsiran yang ditemukan pada makna tindakan orang lain.7 Bagi Blumer (1969: 2), interaksionisme simbolis bertumpu pada tiga premis: 1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka, 2. Makna terebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain, 3. Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial berlangsung. Aktor memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan, dan menstransformir makna dalam hubungannya dengan situasi dimana dia ditempatkan dan arah tindakannya. 8 Menurut Poloma, interaksionoisme simbolis Blumer mengandung sejumlah root images atau ide-ide dasar. 1. Masyarakat terdiri dari manusia yang saling berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi, 2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi non simbolis mencakup stimulus-respon yang sederhana, seperti halnya batukuntuk membersihkan tenggorokan seseorang. Interaksi simbolis mencakup “penafsiran tindakan”. Bila dalam pembicaraan seseorng pura-pura batuk ketika tidak setuju dengan pokok-pokok persoalan yang disampaikan oleh pembicara, batuk tersebut menjadi simbol yang berarti, yang dipakai untuk menyampaikan penolakan. Bahasa tentu saja merupkan simbol berarti yang paling umum, 3. Obyek-obyek tidak mempunyai makna yang instrinsik, makna lebih merupakan produk interaksi simbolis. Obyek-obyek tersebut diklasifikasikan dalam tiga katagori yang luas:
7 8
Ibid. Ibid. hal. 260
(a) obyek fisik, seperti meja, tanaman, atau mobil; (b) obyek sosial, seperti ibu, guru, menteri, atau teman; (c) obyek abstrak, seperti nilai-nilai, hak, dan juga peraturan. Blumer sendiri membatasi obyek sebagai “segala sesuatu yang berkaitan dengannya”. Dunia obyek “diciptakan, disetujui, ditransformir, dan dikesampingkan” lewat interaksi simbolis, 4. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek, 5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri, 6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok, hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai “organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia. Sebagian besar tindakan-tindakan bersama tersebut dilakukan berulang-ulang dan stabil,melahirkan apa yang disebut sebagai kebudayaan dan aturan sosial. D.
Metode Penelitian Kajian ini merupakan termasuk pada penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
dapat diartikan sebagai penelitian yang mampu menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti. Penggunaan tipe penelitian pada kajian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai suatu bidang tertentu. Pada penelitian ini, peneliti memilih Kecamatan Waru, Kabupaten Pamekasan sebagi setting penelitian, atas dasar, Kecamatan Waru merupakan pusat dari kesenian Sapi Sonok se-Madura, sehingga bisa diasumsikan dengan mengambil setting pada tempat ini sudah bisa memberikan gambaran yang komprehensif tentang Sapi Sonok.
Subjek pada penelitian ini ditentukan secara sow ball. Hal ini dikarenakan peneliti tidak memiliki kenalan sama sekali tentang para pemilik Sapi Sonok, sehingga peneliti terlebih dahulu meminta bantuan kepada seseorang yang bisa “menyambungkan” peneliti kepada pemilik Sapi Sonok. Dari informan pertama inilih selanjutnya peneliti meminta rekomendasi informan selanjutnya. Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah lima orang subyek dengan kategori jenis kelamin, pekerjaan, usia, dan lama atau tidaknya tergabung dalam paguyuban Sapi Sonok. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam atau indept interview dengan menggunakan pedoman wawancara untuk lebih menyelami tentang makna yang berkaitan dengan topik penelitian. E.
Hasil Penelitian Berdasarkan temuan data di lapangan, dapat diketahui bahwa Sapi Sonok
merupakan sebuah kebudayaan yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu, bahkan menurut pemaparan para informan, Sapi Sonok sudah ada sejak sebelum mereka lahir. Dengan kata lain Sapi Sonok sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sejak pertama kali mengenal kehidupan. Pengenalan pertama kali mereka akan Sapi Sonok, tentu saja berawal dari ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan atau orang yang memang sudah lebih dahulu mengenal Sapi Sonok dari pada mereka. Dari proses interaksi inilah akhirnya orang yang tidak mengenal Sapi Sonok akhirnya menjadi tahu apa itu Sapi Sonok. Saat proses interaksi berlangsung, aktor melakukan penilaian-penilaian terhadap sesuatu yang terjadi pada diri mereka. Dari penilaian-penilaian itulah akhirnya timbul anggapananggapan akan “objek” eksternal mereka. Anggapan-anggapan inilah yang membuat mereka
membayangkan atau merencakan apa ke depannya, yang pada akhirnya juga mempengaruhi tindakan mereka terhadap objek tersebut. Dari situlah akhirnya sang aktor memiliki pandangan akan sesuatu tersebut. Masyarakat terdiri dari manusia yang saling berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi. Ide dasar pertama ini bisa dilihat pada fenomrna Sapi Sonok, dimana setiap para pemilik Sapi Sonok saling melakukan tukar pikiran berkaitan dengan sapi-sapi mereka. Pemilik sapi yang berkualitas, biasanya akan memberikan masukan-masukan pada pemilik lain guna meningkatkan kualitas sapi-sapi mereka, mulai cara perawatan yang benar, jamu yang sesuai, maupun informasi terkini tentang Sapi Sonok. Kesamaan hobi akan Sapi Sonok yang ada dalam diri mereka inilah, yang pada akhirnya menghasilkan kesepakatan untuk membuat suatu organisasi paguyuban. Keseuaian tindakan mereka ini bisa dilihat berdasar wawancara dengan bapak H. Zainuddin, dimana pada tahun 1995-2000 awal kesenian Sapi Sonok hampir punah, dikarenakan pada tahun-tahun sebelumnya Sapi Sonok dilombakan, bukan dikonteskan, padahal pada awalnya Sapi Sonok hanya sekedar kontes. Dalam perlombaan-perlombaan tersebut banyak indikasi kecurangan yang terjadi yang menjadi biang terjadinya konflik, untuk menghindari konflik inilah akhirnya banyak orang yang memutskan untuk berhenti memelihara Sapi Sonok, bahkan menurut penuturannya, pada saat itu di Pamekasan hanya ada enam belas pasang Sapi Sonok. Hal inilah yang membuat para tokoh sepuh dalam kesenian Sapi Sonok membentuk sebuah paguyuban dan “memformulasikan” ulang kesenian Sapi Sonok kembali pada asalnya, yaitu tidak dilombakan, tapi hanya sekedar dikonteskan. Akhirnya banyak orang yang kembali menekuni kesenian ini seperti saat ini. Inilah proses interaksi yang terjadi dalam kesenian Sapi Sonok.
Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi non simbolis mencakup stimulus-respon yang sederhana, seperti halnya batuk untuk membersihkan tenggorokan seseorang. Interaksi simbolis mencakup “penafsiran tindakan”. Bila dalam pembicaraan seseorang pura-pura batuk ketika tidak setuju dengan pokok-pokok persoalan yang disampaikan oleh pembicara, batuk tersebut menjadi simbol yang berarti, yang dipakai untuk menyampaikan penolakan. Bahasa tentu saja merupkan simbol berarti yang paling umum. Kontes Sapi Sonok merupakan sebuah pertunjukan dimana sapi-sapi berjenis kelamin betina dihiasi, didandani, dan sapi-sapi tersebut bisa melangkah seirama dengan sapi-sapi yang menjadi pasangannya. Untuk bisa melangkah secara berirama, tentu saja sapi-sapi tersebut dilatih cara berjalannya. Banyak perlakuan-perlakuan “manja” yang diberikan pada sapi-sapi tersebut. Dalam kesenian Sapi Sonok ini, peneliti menemukan data, bahwa tiga informan adalah orang yang pada masa lalunya merupakan orang yang berkiprah pada Kerapan Sapi, namun mereka memutuskan untuk berhenti dikarenakan adanya kekerasan dan seringnya timbul konflik dalam kebudayaan tersebut. Sedangkan kedua informan yang lain, meskipun mereka tidak pernah memelihara sapi kerap, mereka juga menolak terhadap adanya kekerasan pada hewan, dan kelima informan juga memiliki tujuan yang sama dalam memelihara Sapi Sonok, yaitu untuk menambah teman dan menjalin silaturahim dengan para pemilik sapi yang lain. Ini artinya mereka memelihara Sapi Sonok sebagai bentuk penolakan mereka terhadap kekerasan pada hewan dan juga bisa diartikan sebagai budaya pemersatu. Dikatakan sebagai budaya pemersatu dikarenakan dengan adanya kesenian ini, orang yang tidanya hanya mengenal masyarakat di sekitar lingkungan mereka, dengan memelihara Sapi Sonok mereka bisa mengenal orang se-Madura lewat paguyuban-paguyuban yang ada. Ketika mereka sudah
saling mengenal satu sama lain, apalagi tergabung dalam paguyuban yang sudah ada, sengat kecil kemungkinan untuk terjadinya konflik, dan hal ini tidak ditemukan dalam kebudayaan Sapi Kerap. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek. Menurut mead (1934/1962: 134) dengan cara merefleksikan-dengan mengembailkan pengalaman individu
pada
dirinya
sendiri-keseluruhan proses
sosial
menghasilkan pengalaman individu yang terlibat di dalamnya; dengan cara demikian, individu bisa menerima sikap orang lain terhadap dirinya, individu secara sadar mampu menyesesuaikan dirinya sendiri terhadap proses sosial dan mampu mengubah proses yang dihasilkan dalam tindakan sosial tertentu dilihat dari sudut penyesuaian dirinya terhadap tindakan sosial itu. Kesenian Sapi Sonok merupakan sebuah kesenian yang sudah sejak lama ada dalam masyarakat Madura. Setiap individu yang lahir pasca adanya kesenian ini pastilah akan mengalami proses internalisasi dalam dirinya. Mereka mulai mengenal lingkungan mereka lewat sosialisasi yang ada dalm lingkungannya. Salah satu tujuan dari sosialisasi ini adalah untuk mengenalkan budaya pada generasi yang lebih muda, karena setiap masyarakat pastilah menginginkan budayanya lekang. Sosialisasi inilah yang pada akhirnya menumbuhkan rasa tanggung jawab dari generasi selanjutnya untuk tetap melanggengkan kebudayaan tersebut. Dengan kata lain, mereka sadar bahwa mereka sebagai orang Madura (obyek) yang mempunyai kewajiban untuk melestarikan budaya yang sudah diwariskan oeh nenek moyang mereka. Hal ini terbukti berdasarkan data yang peneliti temukan di lapangan, informan menyadari bahwa kesenian Sapi Sonok merupakan budaya yang harus tetap dilestarikan dan tidak boleh punah karena merupakan warisan leluhur. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Lewis dan Smith (1980: 24), sebagaimana dikutip oleh
Soeprapto (2002) bahwa perspektif ini memahami individu sendiri sebagai agen yang secara eksistensial bebas yang bisa menerima, menolak, memodifikasi, atau sebaliknya, ‘menegaskan’ norma-norma, peran-peran, kepercayaan-kepercayaan masyarakat, dan sebagainya sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan rencana-rencana mereka sendiri pada waktu itu. Dalam lapangan ditemukan bahwa aktor sebelum memutuskan untuk memelihara Sapi Sonok, sang aktor terlebih dahulu melakukan pertimbangan-pertimbangan rasional yang sekiranya bermanfaat bagi mereka, dengan demikian keputusan mereka dalam memelihara Sapi Sonok tentu saja berlandaskan alasan-alasan yang rsional dari mereka. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok, hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai “organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia. Sebagian besar tindakan-tindakan bersama tersebut dilakukan berulang-ulang dan stabil, melahirkan apa yang disebut sebagai kebudayaan dan aturan sosial. Dalam kesenian Sapi Sonok sendiri, sebenarnya terdapat satu lagi kesenian yang selalu menjadi pengiring bahkan sudah dianggap sebagai satu kesatuan dari kesenian Sapi Sonok itu sendiri. Kesenian tersebut adalah musik Saronen, sebuah permainan musik tradisional yang sebenarnya juga dapat dijumpai di daerah lain, tapi sudah dianggap sebagai ciri khas Madura. Ini merupakan penyesesuaian dari dua tingkah laku yang berbeda yang memang sudah berjalan sejak lama, dan pada akhirnya melahirkan kebudayaan Sapi Sonok itu sendiri, yang memang tidak bisa lepas dari permainan Saronen ini. Menurut Blumer, tindakan manusia bukan disebabkan olen beberapa ”kekuatan luar” (seperti yang dimaksudkan oleh kaum fungsionalis-struktural), tidak pula disebabkan oleh ”kekuatan dalam” (seperti yang dinyatakan oleh kaum reduksionis-psikologis). Blumer (1969: 80) menyanggah
individu
bukan
dikelilingi
lingkungan
obyek-obyek
potensial
yang
mempermainkannya dan membentuk perilakunya. Tetapi individulah yang membentuk obyekobyek itu – misalnya berpakaian atau mempersiapkan diri untuk karir profesional – individu sebenarnya sedang merancang obyek-obyek yang berbeda, memberinya makna,, menilai kesesuaiannya dengan tindakan, dan mengambil keputusa berdasarkan penilaian tersebut (Poloma, 2003: 260-261). Dengan demikian, manusia merupakan aktor yang sadar dan refleksif, yang menyatukan obyek-obyek yang diketahuinya melalui apa yang disebut Blumer (1969: 81) sebagai Self-Indication. Self-indication merupakan proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu, menilaiya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Sapi Sonok merupakan sebuah kebudayaan yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu, bahkan menurut pemaparan para informan, Sapi Sonok sudah ada sejak sebelum mereka lahir. Dengan kata lain Sapi Sonok sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sejak pertama kali mengenal kehidupan. Pengenalan pertama kali mereka akan Sapi Sonok, tentu saja berawal dari ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan atau orang yang memang sudah lebih dahulu mengenal Sapi Sonok dari pada mereka. Dari proses interaksi inilah akhirnya orang yang tidak mengenal Sapi Sonok akhirnya menjadi tahu apa itu Sapi Sonok. Saat proses interaksi berlangsung, aktor melakukan penilaian-penilaian terhadap sesuatu yang terjadi pada diri mereka. Para informan memeliliki penilaian yang berbeda-beda akan kesenian Sapi Sonok, namun demikian secara umum penilaian merekan pada kesenian ini adalah penilaian ekonomi, sosial, dan budaya. Yang dimaksud dengan penilaian ekonomi di sini adalah bahwa para informan terlebih dahulu melakukan pertimbangan-pertimbangan ekonomis sebelum memutuskan untuk memelihara Sapi Sonok. Dengan kata lain setelah mereka
mengatahui apa rugi dan untungnya menggeluti kesenian ini bagi mereka, mereka baru memutuskan akan memelihara Sapi Sonok apa tidak. Sedangkan yang dimaksud dengan pertimbangan sosial adalah mereka menyadari bahwa dengan memelihara Sapi Sonok mereka bisa mendapatkan “keluarga” baru bagi mereka. Seperti yang diketahui, bahwa banyaknya masyarakat yang terjun dalam kesenian ini, menandakan bahwa kesenian ini sudah mendapat tempat di hati masyarakat, ini juga menunjukkan kesadaran masyarakat Madura untuk tetap melestarikan kesenian dari leluhurnya. Supaya kesenian ini tetap lestari, maka diperlukan sebuah wadah yang berfungsi untuk melestarikan kasenian ini, maka dibentukklah paguyubanpaguyuban yang tersebar di beberapa tempat di masing-masing kabupaten yang ada di Madura. Antar paguyuban saling berinteraksi dengan paguyuban yang lain dengan cara diadakannya kontes Sapi Sonok secara rutin setiap bulan yang diselenggarakan secara bergantian
oleh
masing-masing pauyuban yang ada, dan stiap paguyuban mengadakan kontes, maka paguyuban yang lain wajib mengirim minimal satu pasang Sapi Sonok untuk mengikuti kontes tersebut. Dari interaksi inilah akhirnya Sapi Sonok bisa membentuk sebuah jaringan sosial yang pada akhirnya menyatukan masyarakat Madura. Sedangkan yang dimaksud dengan penilaian budaya adalah, bahwa para informan sadar bahwa kesenian Sapi Sonok ini merupakan warisan para nenek moyang yang harus mereka lestarikan dan jangan sampai punah. Dari penilaian-penilaian itulah akhirnya timbul anggapan-anggapan akan “objek” eksternal mereka. Para informan menganggap dengan adanya kesenian Sapi
Sonok ini, masyarakat bisa bersatu dan saling mengenal
masyarakat Madura yang lain. Hal ini bisa dilihat dari alasan para informan yang memutuskan untuk memelihara Sapi Sonok salah satunya adalah untuk menambah teman dan menjalin silaturahim dengan masyarakat Madura yang berasal dari daerah lain. Selain itu, berdasarkan pemaparan dai informan bahwa yang menggeluti kesenian ini merupakan orang yang secara
perekonomian berada pada kelas menengah ke atas. Dengan kata lain bahwa kesenian ini memiliki prestis tersendiri dalam masyarakat. Dari situlah akhirnya sang aktor memiliki pandangan akan Sapi Sonok sebagai sabuah kesenian yang bisa memberikan keuntungan secara ekonomi dan sosial bagi mereka, dan pada akhirnya mereka memutuskan untuk memelihara Sapi Sonok dalam kehidupan mereka. F.
Kesimpulan 1.
Sapi Sonok adalah simbol pemersatu bangsa. Dalam kesenian ini terkandung nilai-nilai persatuan yang dianut oleh masyarakat Madura, dimana dengan memlihara Sapi Sonok mereka akan mengenal masyarakat Madura yang “lain” yang juga menganut nilai-nilai yang sama dengan mereka, dan nilai-nilai yang sama itulah yang bisa menghindarkan mereka dari konflik. Sapi Sonok juga membentuk sebuah jaringan sosial melalui paguyuban-paguyuban yang tersebar di setiap kabupaten yang ada di Madura yang saling berhubungan satu sama lain. Interaksi yang dijalin oleh paguyuban-paguyuban inilah yang bisa mengikat rasa kekeluargaan di antara para anggota paguyuban-paguyuban yang ada.
2. Sapi Sonok mengandung makna prestis di dalamnya. Dimana para pemilik sapi adalah orang-orang yang memang secara ekonomi berada dalam kalangan atas, dimana dalam setiap kontesnya terdapat adu gengsi antar pemilik di dalamnya. G.
Saran 1. Dikarenakan penelitian ini jauh dari kata sempurna, maka perlu ada penelitian lanjutan terkait tema yang sama dengan menggunakan landasan teori lain, sehingga memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terkait kesenian Sapi Sonok.
2. Dikarenakan minimnya penelitian tentang kebudayaan Madura, diperlukan adanya penelitian lain yang mengkaji kebudayaan-kebudayaan yang ada di Madura, karena dalam kenyataannya Madura memang kaya akan budaya warisan nenek moyang, sehingga pemahaman orang luar terhadap Madura lebih konprehensif, tidak hanya pada ranah kekerasan dan keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku : Azwar, Sifuddin. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bouvier, Helene. 2002. Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat
Madura.
Jakarta: YOI. Craib, Ian. 1986. Teori-teori Sosial Modern. Jakarta: Rajawali. Goodman, Douglas J dan Ritzer, George. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. Kutsiyah, Farahdilla. 2015. Sapi Sonok & Karapan Sapi: Budaya Ekonomi Kreatif Masyarakat Madura. Yogyakarta: Plantaxia Latief, A. Wiyata. 2006. Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKIS. Poloma, Margaret M. 2013. Sosologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers. Rtzer, George. 2011. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali
Pers.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern (Edisi Kedelapan 2012). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soeprapto, H.R. Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik. Malang: Averroes Press. Suyanto, Bagong dan Sutinah (ed). 2010. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana
Journal: URNA (Jurnal Seni Rupa) 2012, ISSN 2301-8135, vol .1, no. 2, hal 141. Ensklopedi: Ensiklopedi Pamekasan; 2010.