Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil) Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007
Vol. 2 ISSN : 1858 - 2559
KEARIFAN LOKAL YANG TERKANDUNG DALAM SASTRA MISTIK JAWA Hawasi Fakultas Sastra Universitas Gunadarma, Jakarta Jl.Margonda Raya No.100 Depok E-mail:
[email protected] ABSTRACT The aim of this research is intended as an attempt to disclose the meaning of local wisdom value and its relevance to the context of modernity. The meaning and the relevance will be analyzed according to the notion of Javananese Mystical Literature. This research is useful to actualize mystical transformation, especially for Javanese ethics to face the problems of contemporary human life. The concept of Javanese mystical literature in this research is analyzed by philosophy of religion approach. The following methods are applied in this research, that are historical continuity, analysis and synthesis, interpretation, and description. Results of this research show that value of local wisdom contained in Javanese mystical literature relate to the attempt to formulate the religion meaning for Javanese as reflected in their life in the form of ethics. The local wisdoms found in Javanese mystical literature were influenced by Sufism (Islamic mysticism). The local wisdoms are intended to realize the unification of man with God, brotherhood among the people, and harmony with nature. Key words: Local wisdom, Sufism, Javanese literature
PENDAHULUAN Kesusastraan, baik lisan maupun tulisan, merupakan dokumen kemanusiaan. Sebagai dokumen kemanusiaan, kesusastraan terikat pada masyarakatnya. Hubungan antara kesuasatraan dan masyarakatnya, menurut Swingewood ada dua macam pendekatan. Pertama, memandang kesusastraan sebagai a mirror, atau sebuah cermin, suatu masyarakat. Kedua, menekankan pada kesuasastraan itu sendiri sebagai produksi pengarang yang terikat pada situasi sosialnya (Laurenson, 1972:13, 17). Atas dasar itulah maka kesusastraan dianggap sebagai suatu cara untuk menjabarkan berbagai kondisi manusiawi. Dalam hubungan ini kesusastraan membuka peluang bagi representasi dunia manusia yang memberikan peluang untuk terjadinya percakapan. Hal ini bertalian erat dengan kenyataan eksistensial, bahwa “adasebagai manusia’ selalu merupakan “adabersama” demikian Martin Heidegger berujar. Dalam hal ini kesusastraan menjadi gelanggang manifestsi berbagai kondisi manusiawi, dan oleh karenanya mampu mementaskan representasi aneka ragam penghayatan manusia. Demikianlah maka beralasan kiranya untuk menilai karya kesusastraan sebagi cermin yang memberikan kemungkinan dipantulkannya subjektifitas; atau dengan kata lain, menjadi layar tempat diproyeksikannya pengalaman psikis manusia yang mengandung makna dan pesan (Hassan, 1989: 64). Karya Sastra yang tinggi, menurut Iqbal (1966:xvi) ialah karya sastra yang mampu membangun kekuatan rohani dan memberi semangat untuk menjalani hidup.
D34
Dengan kata lain karya sastra yang adiluhung adalah karya sastra yang mampu menawarkan kearifan-kearifan hidup dan religiusitas. Melalui karya sastralah kesadaran sejarah dan penghayatan religius ditanamkan secara mendalam di lubuk kalbu, dan melalui karya sastra pula nilai-nilai, pandangan hidup dan gambaran dunia (weltanschaung) disebarkan ke khalayak luas (Hadi W.M., 2000: 3-4). Ungkapan yang senada juga dinyatakan oleh Paul Goodman dengan sangat lugas, seperti yang dikutip oleh budayawan sekalugus Sejarawan Kuntowijoyo, tentang puisi, dengan demikian termasuk sastra, “Inilah cara bagi saya untuk mengabdi kepada Tuhan dan tanah air” (Kuntowijoyo, 2006: 31). Dalam khasanah sastra Jawa dapat dilihat hadirnya sastra yang menggelorakan perasaan cinta ketuhanan serta semangat profetik yang bermuara pada penghayatan intensitas transendental.hal ini bida dilihat dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh Zoetmulder (1991), Simuh (1988), MagnisSuseno (1996), Hutomo (2001), Mulder (2001), dan Sudardi (2003). Selain itu, sastra Jawa juga mengandung ajaran-ajaran kearifan hidup dan moralitas seperti yang terefleksikan dan termanifestasikan dalam bentuk tembangtembang, serat, suluk serta cerita kentrung. Sastra di sini telah ikut berperan sebagai media pencerahan dan dakwah seperti yang telah di lakukan oleh Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Yosodipuro, Mangkunegara IV, dan Ronggowarsito. Sebagai produk sejarah dan tradisi, Sastra Jawa telah dan sedang mengalami pengaruh dari berbagai macam tradisi yang berasal dari agama, terutama Hindu
Kearifan Lokal yangTerkandung…… Hawasi
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil) Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007
dan Islam. Dalam makalah ini penulis membatasi pembahasan tentang sastra Jawa yang telah dipengaruhi oleh agama Islam, dalam hal ini tasawuf. Pengaruh Agama Islam dalam Sastra Jawa Di Jawa, kesusastraan Jawa Kuno yang merupakan warisan zaman Hindu, dapat dikenal kembali pada masa kemudian disebabkan usaha para sastrawan Muslim seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Jasadipura I dan II untuk memelihara dan menyalinnya kembali dalam bentuk baru (Asy’ari,1998:3). Tradisi penulisan sastra sebagai wadah untuk menyampaikan ajaran dan panutan hidup sudah dimulai jauh-jauh sebelum Mataram Islam yang disebut-sebut sebagai era kejayaan sastra Jawa madya. A.Teew, sebagaimana sarjana-sarjana Belanda pada umumnya, condong membagi kebudayaan Indonesia menjadi tiga kelompok utama. Pertama, kebudayaan masyarakat yang belum dipengaruhi agama Hindu dan Islam, dan belum mengenal budaya tulis, seperti Nias, Mentawai, Dayak, Toraja dan lain-lain. Kedua, kebudayaan yang kuat dipengaruhi kebudayaan Hindu, khususnya Bali dan Jawa, dan tipis pengaruh Islamnya. Ketiga, kebudayaan masyarakat yang sangat dipengaruhi Islam seperti Melayu (Hadi W.M., 1998: 13). Dari ketiga corak kebudayaan itu yang harus dipandang paling khas dan istimewa, menurut Abdul hadi W.M., adalah kebudayaan Jawa yang terpaut Hinduisme. Walaupun pengaruh Islam sebenarnya cukup besar bagi perkembangan kebudayaan Jawa, termasuk pengaruh tasawufnya (Hadi W.M., 1998: 13). Taufik Abdullah (1997) telah mengkritik pandangan yang meletakkan Islam sebagai outsider dalam perkembangan kebudayaan dan masyarakat Jawa. Pandangan demikian, menurut Taufik Abdullah, sebenarnya merupakan hasil konstruksi pengetahuan yang dibuat oleh Belanda setelah berakhirnya Perang Diponegoro (1825-1830). Sejak masa itu ikhtiar untuk memisahkan Islam dari kebudayaan Jawa dijalankan secara begitu sistematik, terutama melalu penulisan buku sejarah, antropologi dan hasil penelitian filologi. Sejak itu pula gagasan Kesusastraan Jawa Tradisional sebagaimana dipahami oleh para sarjana dan penulis Eropa dan Indonesia mulai berkembang. Kecenderungan mengesampingkan Islam dalam penelitian karya-karya mistikal Jawa nampak pula dalam tulisan-tulisan Drewes. Misalnya; disertasinya (1928) tentang tiga guru tarekat di Jawa yang melakukan
Kearifan Lokal yang Terkandung…… Hawasi
Vol. 2 ISSN : 1858 - 2559
pemberontakan terhadap Belanda pada abad ke-19. Dalam kajiannya itu Drewes merasa lebih perlu mengkaitkan ajaran tiga guru tarekat di atas dengan tradisi Jawa Hindu, bukan dengan tawasuf (Abdullah, 1997). Kendati demikian, Woodword, seorang antropolog yang meneliti tradisi kraton Yogyakarta dalam disertasinya (1989) melihat bahwa pandangan hidup Jawa, sebagaimana tercermin dalam kesusastraan tradisionalnya, hanya dapat dijelaskan dengan cara membandingkan dengan sejarah dan pemikiran yang muncul dalam tradisi dunia Islam yang lain. Lebih jauh Nancy Florida juga menyebutkan bahwa naskah-naskah lama yang disimpan dalam Museum Radya Pustaka, Surakarta, jauh lebih banyak yang berciri Islam dibanding yang berciri Hindu (Abdullah, 1997). Pengaruh Islam terhadap sastra Jawa mulai terasa pada masa Jawa Baru, khususnya di masa Mataram (Sudardi, 2003: 77). Pada masa sebelumnya pengaruh tersebut tidak begitu nyata dan muncul secara sporadis. Dalam kondisi sosio-kultural pada saat itu muncuk dua gejala yang saling berkaitan (Abdullah, 1991: 21). Pertama, renungan tasawuf, yang mempersoalkan hubungan manusia dengan Hakekat yang tertinggi dan Abadi. Kedua, perumusan sistem otoritas serta landasan kekuasaan. Dalam konteks kekuasaan, Kraton atau kesultanan adalah alat legitimasi yang otoritatif dalam penyebaran agama Islam, termasuk pengembangan seni dan sastra sebagai tradisi. Setiap karya seni dan sastra yang dicipta, dalam sastra mistik Jawa, dalam kaitan dengan tradisi selalu bertujuan merealisasikan Yang Satu. Di sini tradisi ditempatkan sebagai roh kebudayaan, dan bukan sebagai fenomena atau produk kebudayaan (lihat Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, Jakarta: Gramedia, 1983). Seyyed Hosein Nasr pernah berkata bahwa tradisi tidak hanya berarti sekumpulan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan, namun tradisi lebih merupakan seperangkat prinsip yang berkaitan dengan wahyu atau ilham darimana satu masyarakat atau individu terdorong melahirkan berbagai bentuk ekspresi budaya, termasuk seni dan sastra, pemikiran filsafat dan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Dalam tradisi terdapat asas dan sumber tunggal yang merupakan jantung hidupnya suatu peradaban dan kebudayaan, yaitu pengetahuan tentang hakiIilikinya dianggap belum njawani atau during Jawa Orang yang beradab ini telah menjadi bijaksana, atau sudah mampu menempatkan diri di tengah masyarakat. Orang sudah berbudaya apabila dalam pergaulannya
D35
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil) Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007
mampu menunjukkan tata cara yang patut, berbicara dengan kata yang tepat, dan menghormati hierarki sosial yang ada atau dengan kata lain orang seperti ini telah melakukan transformasi diri dari during Jawa ke wis Jawa (Rosmaria, 2006: 85). Ungkapan untuk menunjukkan pentingnya keluruhan budi dalam hidup sering dimanifestasikan pula dalam bentuk karya sastra sebagai media dalam mmenyampaikan ajaran tentang pentingnya kesejatian hidup (sejatining urip)Dalam sastra Jawa setiap karya sastra tertulis disebut Serat yang berarti tulisan (Sudardi, 2003: 77). Serat berdasarkan isinya dapat dibagi menjadi beberapa jenis: lelampahan; yang berisi kisa-kisah petualangan, babad, berisi cerita sejarah, piwulang; berisi ajaran etika dan mistik. Pada masa pujangga-pujangga lama dalam sastra Jawa Klasik, sastra diproyeksikan sebagai sesuatu yang membawa ajaran moral (Widijanto, 1998: 19). Sastra dianggap sebagai seni untuk panutan hidup yang dikemas dalam estetika bahasa. Bahkan seorang pujangga atau pengarang pada masa itu diyakini sebagai pembawa dan pengemban Kalam Tuhan. Karena itulah unsur didaktis dan padagogis sangat kental terpatri pada karya sastra Jawa Klasik, seperti tercermin dalam bait-bait pada Serat Wedhatama di bawah ini: Mingkar-mingkuring angkara Akarana karenan Mardi siwi Sinawung resmining kidung Sinuba sinukarta Mrih katarta pakartining Ngelmu luhung Kang tumrap ing tanah Jawa Agama ageming aji (terdorong rasa senang mendidik putra putri serta untuk dapat menjauhi sifata serakah, loba dan tamak digubahlah kidung yang indah yang berisi ilmu luhur dan panutan hidup bagai mereka masyarakat Jawa dimana agama menjadi pegangan hidup).(Widiyanto, 1998: 20).
Wedhatama adalah buku atau serat karya Mangkunegara IV yang sangat terkenal bagi masyarakat Jawa. Kata Wedhata berasal dari kata “wedha” artinya pengetahuan dan “tama’ artinya keutamaan atau kebaikan (Lagiman, 2000: 45). Ia berbentuk tembang atau syair yang dilagukan (Sekar macapat) yang banyak mengungkapkan gambaran tentang Tuhan, manusia, dan nilai moral, sampai tujuan akhir kehidupan manusia dalam tataran Manunggaling Kawula Gusti atau mistisisme Jawa. Hal tersebut juga bisa kita temukan dalam
D36
Vol. 2 ISSN : 1858 - 2559
Wirid Hidayatjati karya Ronggowarsito (Zoetmulder (1991), Simuh (1988). Dalam sebuah geguritan (nyayian) yang bermakna luhur, disebutkan demikian: ’Hananing cipta rasa karsa, datan salah wahyaning lampah, padhang jagade yen nyumurupana, marang gambaraning bathara ngaton’ (keberadaan manusia dilengkapi dengan cipta, rasa, dan karsa, tidaklah berlawanan dengan perjalanan kehidupan, manusia akan menemukan keselamatan,manakala ia mampu melihat alam semesta sebagai manifestasi kehadiran Tuhan) (Imam S., 2005:195-196). Nyayian atau geguritan tersebut jelas sekali mengandung nilai filsafat yang tinggi, yang dalam tradisi filsafat Islam disebut hikmah; suatu perpaduan antara cipta (akal), rasa (intuisi/kalbu), dan karsa (amal). Ajaran manunggaling kawula Gusti dalam Serat Centini terdapat dalam syair yang berbunyi:’Suksmo rimbag wutuh den tingali, sausike yo suksmo bloko. Wujude suksmo tan pae. Wus tan kenging binastu, Woring jati Kawulo lan Gusti, Moho Gusti akulo’ (Sukma itu dalam perasaan tampaknya utuh. Segala gerakgeriknya adalah ciptaan sukmanya sendiri. Kenyataannya sukma itu tak dapat dibedabedakan dari diri sendiri. Sudah tak dapat dielakkan. Sebenarnya telah berkumpul hamba dan Tuhan, yaitu Tuhan Maha Besar dan hamba-Nya (Imam S., 2005: 197). Dalam sebuah tradisi sastra lisan yang bernama kentrung (lihat Hutomo, 2001) terdapat bait-bait yang didendangkan oleh sang dalang pada awal pertunjukan, misalnya: “Ya la illallaha illollah, Ekal benang wong mas Pangeran // Ya la illallaha illollah, Ya Mohammad ya Rasolollah // Gelang alit among sing mungging driji, Aja lali nek momong rogo.
Artinya:”Ya Allah, benang jahit benang mas milik Allah. Ya Allah, ya Muhammad ya Rosulullah. Cincin terpasang di jari, jangan lupa memelihara diri” (Hutomo, 2001: 162). Meskipun seni sastra kentrung disajikan dengan nuansa menghibur, namun sang dalang selalu menyelibkan pesan-pesan religius agar selalu ingat dan waspada dalam hidup, atau dalam ungkapan singkat yaitu eling lan waspada. Pada pertunjukan kentrung dengan cerita Sarahwulan disebutkan nama-nama Allah, Pangeran, atau Gusti Allah, sebagai Pencipta manusia di bumi. Dia itu satu, tidak dua. Aadapun manusia hidup di dunia hanya sebentar, atau menurut bahasa kentrung “teng ndonya mampir sedela”. Manusia pasti pulang
Kearifan Lokal yangTerkandung…… Hawasi
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil) Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007
kembali ke asa;usulnya, yaitu ke zat Yang Maha Mutlak, atau Tuhan. Untuk mengenal Tuhan manusia harus kenal pada dirinya, sebab dengan kenal pada dirinya manusia akan mengenal Tuhannya. Di dalam bahasa kentrung hal ini diungkapkan dengan kata-kata:”ancur kaca wong pasemone / yan ancure mono kaca benggala / aja ngilo kacane amba / pan ngiloa mono ragane dhewe / dadi weruh ala beike”, artinya secara harfiah, “cermin kaca sebagai lambing, cermin kaca maha besar, janganlah bercermin sebab kacanya besar, tetapi bercerminlah pada diti sendiri, sehingga akan tahu buruk dan baik yang ada di dalam diri’ (Hutomo, 2001: 176). Hubungan Individu dan Masyarakat Dalam etika Jawa berpusat pada pribadi orang yang berpadu dengan kepekaan terhadap kehormatan diri. Seseorang bergantung pada pandangan orang lain. Status yang disandangnya tergantung pada usaha pribadi yang dilakukan oleh seseorang dalam mewujudkan pengharapan-pengharapannya. Sebagai contoh adalah Serat Pepali karya Ki Ageng Selo berisi nasehat-nasehat bagaimana seharusnya menjalani hidup dan menempatkan diri pada lingkungan untuk mencapai kebahagiaan hidup: “Sapa-sapa kang agawe becik Nora wurung mbenjang manggih arja Tekeng sakturun-turune Yen sira dadi agung Amarintah marang wong cilik Aja seaya-daya Mundhak ora tulus Nggonmu dadi pangauban Aja nacah, merentaha kang patitis Ngganggoa tepa-tepa Poma-poma anak putu mami Aja sira nggungake akal Wong akal ilang baguse Dipun idep wong bagus Bagus dudu sendhangan Dudu rupa iku Bagus iku nyatanira Yen dinulu asih semune prakarti Pratap solah prasaja (Barang siapa berbuat baik Tiada urung kelak menemui bahagia Sampai kamu menjadi penguasa Memerintah rakyat kecil Jangan sewenang-wenang Nantinya takkan langgeng Kamu menjadi penguasa Janganlah sembarangan, memerintahlah yang tepat Pakailah perhitungan Ingat-ingatlah anak cucuku Jangan kamu menyombongkan akalmu
Kearifan Lokal yang Terkandung…… Hawasi
Vol. 2 ISSN : 1858 - 2559
Orang berakal hilang tampannya Ketampanan bukanlah harta benda Dan bukan pakaian Bukan pula paras wajah Tampan itu sebenarnya Menimbulkan rasa sayang, memikat hati Tingkah laku yang wajar (tidak dibuat-buat) (Widijanto, 1998: 20).
Demikianlah, Serat Pepali Ki Ageng Selo tersebut berisi suatu pesan moral yang mendalam, bahkan mempunyai pesan profetik kepada manusia sebagai tuntunan dalam bermasyarakat berupa kekuatan untuk mawas diri dari segala sifat yang bisa merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan. Manusia, pada masa karya sastra kapujanggan diajak untuk melihat dirinya secara integral sehingga akan memancar suatu perbawa akibat dari pandanganya yang menyeluruh dalam menangkap realitas. Sastra kapujanggan meletakkan peran manusia sejajar dengan peran semesta dan suasana yang terbentuk dalam karya sastra masa itu yang terarah pada suasana batin yang sakral dan profetik yang bermuara pada pertanyaan mengenai diri serta hubungannya dengan tatanan kosmis dan Pencipta. Dalam hal, misalnya terlihat dalam Suluk Wujil, yang juga merupakan produk satra kapujanggan: “Ya marma lunga ngikis ing wengi angulati sarahsaning tunggal sampurnaning langkah kabeh sing pandhita sunduning angulati sarining urip wekasing jati wenang suruping raditya wulan reming netra kalawan suruping pati wekasing ona-ora”. (Sesungguhnya diam-diam hamba pergi menyusuri malam berusaha mencari rahasia tunggal untuk mencari kesempurnaan segala tata laku para pendeta telah hamba kunjungi mencari hakekat hidup akhir kuasa sejati akhir utara selatan akhir bilamana matahari dan bulan terbenam akhir bilamana mata terkatup dan akhir adatiada). (Widijanto, 1998: 21).
Terlihat bahwa dalam Suluk Wujil manusia diajak untuk menyadari tentang hakikat sangkan paraning dumadi, yaitu manusia yang telah memiliki kesadaran transcendental atau menjadi manusia religius, homo religiusus hinga hal tersebut termanifestasikan dalam pola kehidupan sehari-hari serta simbol-simbol yang merujuk kepada sesuatu yang bersifat metafisik.
D37
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil) Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007
Ajaran Tasawuf Cinta Inti ajaran tasawuf cinta bisa ditemukan dalam ajaran Sunan Bonang. Ajaran tasawuf Cinta Sunan Bonang ini, menurut Abdul Hadi W.M.(2000: 99), mirip dengan ajaran Jalaluddin Rumi. Sebagai doktrin kerohanian ajaran ini didasarkan pada sebuah hadis qudsi, yang dipercaya oleh para sufi sebagai keterangan lanjut dari ayat al-Qur’an tentang asas penciptaan manusia dan makhluk-makhluk lain di alam semesta. Bunyi hadis tersebut, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta untuk dikenal, maka Aku mencipta…”Cinta Tuhan kepada ciptaan-Nya itu terjelma dalam sifat-sifat-Nya, khususnya sifat al-rahman dan al-rahim (Maha Pengasih dan Maha Penyayang) dalam kalimat Basmalah. Kalau Tuhan mencipta segala sesuatu dengan cinta, maka jalan kembali kepada-Nya ialah dengan cinta pula. Cinta di sini sering diartikan sebagai iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada perintah-Nya. Untuk mencapai keadaan demikian, seseorang mesti sanggup memfanakan ego rendahnya dan masuk ke dalam kebakaan. Dengan hilangnya ego rendah (diri yang hina, hawa nafsu) ini maka segala perbuatan manusia dapat dikendalikan oleh Cinta Ilahi (lihat Titus Burckhardt, Mengenal Ajaran Kaum Sufi, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, hlm. 38-52). Dalam sebuah puisinya Sunan Bonang menulis: “Jadikan dirimu Cinta sejati Maka kau akan mengenal hakikat dunia Hadapkan wajahmu dalam keheningan Ke wajah Cinta” (Hadi W.M., 2000: 99).
Sunan Bonang dianggap melebihi Wali Songo yang lain dalam hal penulisan karya sastra. Terdapat banyak tembang Suluk di Jawa yang berasal dari abad-16 dipercaya sebagai karya atau memuat ajaran Sunan Bonang. Salah satu karya terkenal Sunan Bonang adalah Suluk Wujil. Karya-karyanya yang lain adalah Suluk Bentur, Suluk Regol, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk Latri, Suluk Jebeng, Kidung Bonang dan lain-lain. Salah satu hikmah yang dikemukakan Sunan Bonang dalam Suluk Wijil dan masih relevan hingga kini dapat dikutip di sini dalam bentuk terjemahan bebasnya sebagai berikut: “Aku tidak pantas disebut seorang Sufi sejati Apabila mengharap imbalan uang semata Dari hasil menulsi kitab sastra Apabila aku melakukannya juga Tidak perlu aku menjalankan ilmu suluk Barang siapa menharap imbalan uang Untuk pengetahuan yang ditulisnya
D38
Vol. 2 ISSN : 1858 - 2559
Ia hanya memuaskan diri sendiri Dan berpura-pura mengerti segala perkara Ia bagaikan bangau di tepi sungai Duduk diam tidak bergerak seinci pun Pandangan matanya tajam berpura-pura saleh Di hadapan ikan-ikan calon mangsanya Ya, bagaikan telur yang warnanya putih di luar Namun isinya bercampur warna kuning” (Hadi W.M., 2000: 105-106).
Dalam bait-bait syair yang lain dalam Serat Wujil, Sunan Bonang melukiskan: “Matahari terbenam, malam pun tiba Wujil menumpuk potongan kayu Membuat perapian untuk memanaskan Tempat pesujudan sang syekh Di tepi pantai sunyi di Bonang Desa itu gersang Bahan makanan tidak banyak Hanya ombak dan gelombang laut Memukul-mukul batu karang Angker di sekelilingnya … “Ingat ya Wujil, waspadalah kau! Hidup di dunia ini Jangan sekali-kali gegabah Insyaflah bahwa kau Bukan Yang Haqq Dan Yang Haqq bukan kau Barang siapa mengenal hakikat dirinya Dia akan mengenal Tuhan Yang merupakan asal usul kejadiannya” (Hadi W.M., 2000: 106).
Peranan Sunan Bonang juga terlihat dalam seni gamelan. Tak ada nama wali yang diabadikan dalam nama alat musik Jawa selain Sunan Bonang. Berkat inovasinya gamelan Jawa, sebagaimana dikenal sekarang, mengalami perubahan mendasar secara estetis dan berbeda dari gamelan Majapahit yang perkembangannya dilanjutkan oleh gamelan Bali. Gamelan Jawa sangat kontemplatif dan meditatif, sejalan dengan estetika sufi. Etika Jawa Sebagai Kebijaksanaan Hidup Pada prinsipnya, orang Jawa menginginkan keselarasan di dalam kehidupan di masyarakat. Hal ini dilakukan dengan mencegah timbulnya konflik-konflik yang melibatkan dirinya dan dengan menghormati kedudukan dan pangkat orang yang terdapat di dalam masyarakat. Latar belakang anggapan ini adalah keselarasan dalam masyarakat berhubungan erat dengan keselarasan kosmis (Rosmaria SW, 2006) 89). Alam, masyarakat dan individu saling tergantung. Untuk menjamin keselamatan manusia tidak boleh mengganggu keselarasan masyarakat. Namun demikian, keselarasan tersebut dapat sempurna apabila diimbangi
Kearifan Lokal yangTerkandung…… Hawasi
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil) Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007
dengan keselarasan batin. Maka manusia harus mengontrol hawa nafsunya dengan mengembangkan sikap sepi ing pamrih. Dengan bersikap demikian, manusia dapat tenang dan setia memenuhi kewajiban-kewajibannya sesuai pangkat dan nasibnya atau rame ing gawe. Melalui sikap demikian, manusia mencapai suatu keadaan psikis yang disebut slamet, maksudnya ketenangan batin dan ketentraman hidup (Magnis-Suseno, 1985: 196). Etika Jawa memberi tekanan utama pada standar-standar norma tertentu yang disebut sebagai keutamaan-keutamaan.. Keutamaan-keutamaan ini membangun kehendak untuk selalu menjaga keselarasan dalam masyarakat dengan menjauhi konflik dan menunjukkan hormat (unggah-ungguh). Salah satu buku Islam berbahasa Jawa tertua yang ada hubungannya dengan mistik ialah buku yang ditulis oleh Drewes, berjudul: Een Javaanse Primbon uit de Zestiende Eeuw (1954). Buku ini memberi petunjuk cara hidup yang etis-religius. Ajaran ini pun rupanya terdapat di dalam pendahuluan cerita Sarahwulan, misalnya ajaran tentang kesediaan menolong orang lain. Hal ini terungkap di dalam kata-kata: -
“duduh dalan wong kesasar”. “paring uwot mono wonge nyebrang’, “paring teken wonge kelunyon,” “paring khudung mono wonge kudanan”, “paring sandhong wong kemlaratan,” “paring pandhang wong keluwen”.
Artinya, “orang tersesat harap ditunjukkan jalan”, “membuatkan jembatan bagi orang yang akan menyeberang”, “memberi tongkat kepada orang yang berjalan di tempat licin”, “memberi makan pada orang miskin”, “memberi makan pada orang lapar” (Hutomo, 2001: 180-181). Ajaran tentang kesabaran diungkapkan di dalam kata-kata,”Timba badhar mono tali wange/lamun pedhot wong pelunturi/ja sembung mono tampare’ sawa/sembunga mono sabar dirasa”. Artinya, “Timba rusak sebab talinya, bila yang putus tali yang dipergunakan untuk menimba air, maka janganlah disambunglah dengan kesabaran”. Maksud ungkapan ini adalah bahwa segala sesuatu itu harap dihadapi dengan kesabaran. Dalam dimensi mistik Islam Jawa hal ini selalu dikaitkan dengan Gusti Allah yang dalam Islam disebutkan bahwa sesunggunya Allah mencintai orang-orang yang sabar. Dalam merespon kebobrokan moral zaman yang dialaminya, batinya memberontak dan tidak menyukai tindak-tanduk manusia pada zamannya. Ronggowarsito menamai zaman yang dialaminya itu sebagai zaman edan. Hal ini diungkapkannya dalam Serat Kalatidha:
Kearifan Lokal yang Terkandung…… Hawasi
Vol. 2 ISSN : 1858 - 2559
“Amenangi zaman edan/ewuh-aya ing pambudi/melu edan nora tahan/yen tan melu anglakoni/baya kaduman milik/kaliren wekasanipun/Dilalah karsa Allah/begja-begjane kang lali/luwih begja kang eling lawan waspada/. Terjemahan bebasnya adalah: “Mengalami zaman gila, sukar-sulit (dalam) akal-ikhtiar. Turut gila tidak tahan, kalau tak turut menjalaninya, tidak kebagian milik, kelaparanlah akhirnya. Takdir kehendak Allah, sebahagia-bahaginya yang lupa, lebih bahagia yang sadar serta waspada” (Simuh, 1988: 45). Ungkapan di atas mensifati segolongan orang atau pemimpin yang mengambil kesempatan di tengah kesempitan dalam zaman edan, yang menjadi hamba nafsu dan hamba harta. Di samping itu juga memberi pelajaran kepada manusia agar berpegang teguh pada takdir dan kemurahan Tuhan. Bahwa percaya pada takdir dan kemurahan Tuhan, bila dihayati secara positif, merupakan pegangan dalam menghadapi atau kalatidha atau zaman edan yang akan berganti dengan zaman keemasan. Akhirul Kalam marilah kita resapi tembang Tombo Ati, sebuah tembang yang digubah oleh Kanjeng Sunan Kalijaga serta liriknya diadaptasi dari Sayidinna ’Ali Bin Abi Thalib. Sebuah tembang yang sarat makna religius, terlebih-lebih bagi manusia modern yang telah kehilangan dimensi spiritualnya (lihat Hawasi, Agama dan Krisis Manusia Modern, Epigram, 2003:137-143). Sebuah tembang yang bisa mengajak manusia modern untuk merenungkan tentang makna filsafat Jawa tentang sangkan paraning dumadi (hakikat darimana kita berasal dan akan kemana kita kembali). ’Tombo Ati itu ono limo perkoro Kaping pisan moco Qur’an samaknane Kaping pindo solat wengi lakonono Kaping telu wong kang soleh kumpulonono Kaping papat wetengiro ingkang luwe Kaping lima zikir wengi ingkang suwe Sala wa wijine sopo biso ngelakoni Insya Allah Gusti Pengeran nigijabahi’ (Emha Ainun Nadjib, lagu album Tombo Ati, 2000).
KESIMPULAN Kearifan yang terdapat pada sastra Jawa banyak dipengaruhi oleh agama Islam, dalam hal ini tasawuf yang bersinergi dengan nilai-nilai mistik kebatinan Jawa yang bermuara pada ajaran-ajaran tentang pengetahuan (makrifat) dan Cinta serta Etika atau ajaran moral. Kearifan-kearifan yang terdapat dalam sastra mistik Jawa selalu berbicara tentang hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan masyarakat, serta manusia dengan alam.
D39
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil) Auditorium Kampus Gunadarma, 21-22 Agustus 2007
Hubungan-hubungan tersebut didasarkan atas landasan harmoni dan keseimbangan. Manusia harus mengadakan hubungan yang selaras, untuk menghindari konflik terbuka. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan (hikmah) dan penguasaan diri dan emosi. Untuk pengendalian diri, maka seseorang dituntut untuk memperkuat dimensi batin atau spiritualnya. Namun semakin dengan menggeliatnya modernisasi dan urbanisasi yang menimpa Pulau Jawa, masyarakat Jawa dihadapkan pada tantangan, berupa masturbasi budaya dan bergesernya tatanan moral dan keagamaan. Maka, seperti yang diuangkapkan oleh Franz Magnis-Suseno (1996) diperlukan suatu etika yang dapat membantu individu secara eksplisit dalam perkembangan ekonomi moral, adalam kesanggupannya untuk atas nama tanggung jawab sendiri mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan suara hatinya sendiri yang berpedoman pada prinsipprinsip universal dan personal. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik.”Museum dan Dialog Ilmu Pengetahuan”. Pidato Kebudayaan menyambut pembukaan Bayt al-Qur’an dan Mesum Istiqlal,Jakarta 20 April 1997. ______________. ’Pemikiran Islam di Nusantara dalam Perspektif Sejarah’, dalam Prisma No.3 Maret 1991 hlm. 1627. Asy’ari, Abuhasan. “Asia Tenggara, Islam dan Kesusastraan”, dalam Ulumul Qur’an, No.1/VIII/1998, hlm. 3. Burckhardt, Titus. Mengenal Ajaran Kaum Sufi. Terj. Azyumardi Azra dan Bachtiar Effendi dari An Introduction to Sufi Doctrine. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984. Hadi W.M.,Abdul. Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000 _______________. Sastra Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985. _______________. “Kembali ke Akar Tradisi: Sastra Transendental dan Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia”,
D40
Vol. 2 ISSN : 1858 - 2559
dalam Ulumul Qur’an, Vol.III No.3, 1992, hlm. 12-29. Hardjowirogo, Marbangun. Manusia Jawa. Jakarta: CV Haji Masagung, 1989. Hassan, Fuad. Renungan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Hawasi. “Agama dan Krisis Manusia Modern”, dalam Epigram Politeknik Negeri Jakarta, Vol. 3 No.2 Oktober 2005, hlm.137-143. Hutomo, Suripan Sadi. Sinkretisme Jawa-Islam. Yogyakarta: Bentang, 2001. Imam S., Suwarno. Konsep Tiuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa. Jakarta: 2005. Kuntowijoyo. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2006. Lagiman. Filsafat Jawa. Diktat Kuliah Jurusan Filsafat FIB UI 2000. Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996. Mulder, Niels. Ruang Batin Masyarakat Indonesia.Transl. Wisnu Hardana dari inside Indonesian Society: An Interpretation of Cultural Change in Java.Yogyakarta: LKiS, 2001. Nadjib, Emha Ainun. Lagu album Tombo Ati. 2000. Rendra. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia, 1983. Rosmaria S.W. “Kesatuan dan Harmoni dalam Masyarakat Jawa”, dalam Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, Vol. VIII. No. 1, 2006, hlm. 8294. Simuh. Mistik Islam Kejawen raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI Press, 1988. Sudardi, Bani. Sastra Sufistik.Solo: Tiga Serangkai, 2003. Teew, A. Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1982. Widijanto, Tjahjono. “Sastra Kita Zaman Kapujanggan hingga Kapitalisme: dari Sifistik ke Kapitalistik”, dalam Ulumul Qur’an, No.1/VIII/1998, hlm. 19-26.
Kearifan Lokal yangTerkandung…… Hawasi