KEADAAN DAN MASALAH PENYULUH AGAMA DI INDONESIA SERTA CARA-CARA PENERAPAN PRINSIP PERUBAHAN PERILAKU DAN SOSIAL BUDAYA Makalah Mata Kuliah: Ilmu Penyuluhan Dosen Pengampu: Ali Murtadho, M.Pd
Disusun oleh : Istiqomah
(1601016051)
Fitro Twinada
(1601016003)
Vini Agil Virgiani
(1601016038)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2017 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyuluhan berasal dari kata berasal dari kata suluh yang berarti obor atau menerangi keadaan yang gelap. Kata menerangi bermakna sebagai petunjuk bagi masyarakat dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari mengerti menjadi lebih mengerti lagi.1 Namun, penerangan yang dilakukan tidaklah sekedar "memberi penerangan", tetapi penerangan yang dilakukan harus terus menerus dilakukan sampai segala sesuatu yang diterangkan benar-benar dipahami, dihayati, dan dilaksanakan oleh masyarakat.2 Penyuluhan menurut Prayitno dan Erman Amti (dalam Juhanda,2002:16) adalah pelayanan yang dilaksanakan dari manusia, untuk manusia dan oleh manusia. Dari manusia artinya pelayanan itu berdasarkan hakikat keberadaan manusia dengan segenap dimensi kemanusiaannya. Untuk manusia, dimaksudkan bahwa pelayanan tersebut diselenggarakan demi tujuan-tujuan yang agung, mulia dan positif bagi kehidupan kemanusiaan menuju manusia seutuhnya, baik manusia sebagai individu maupun sebagai kelompok. Oleh manusia mengandung pengertian penyelenggara kegiatan itu adalah manusia dengan segenap derajat, martabat dan keunikan masing-masing yang terlibat didalamnya. Arti penyuluhan secara khusus ini adalah suatu proses pemberian bantuan baik kepada individu atau kelompok dengan menggunkan metode-metode psikologis agar yang bersangkutan dapat keluar dari masalahnya dengan kekuatan sendiri, baik bersifat preventif, kuratif, korektif, maupun development. Terlihat dari pengertian tersebut arti penyuluhan itu luas, maka untuk menjaga kerancuan biasanya ada yang tetap menggunakan istilah konseling saja untuk hal yang khusus (di dunia pendidikan atau lembaga pelayanan konseling) dan penyuluhan untuk aktivitas umum.3
1
Robert L. Gibson dan Marianne H. Mitchell, Bimbingan dan Konseling, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hlm. 43. Pudji Muljono, Learning Society, Penyuluhan dan Pembangunan Bangsa, Jurnal Penyuluhan, Maret 2007, Vol. 3, No. 1, hlm. 59. 3 Isep Zainal Arifin, Bimbingan Penyuluhan Islam Pengembangan Dakwah Melalui Psikoterapi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, Hal. 50. 2
2
Penyuluh adalah orang yang memberikan bantuan kepada seseorang atau sekelompok orang secara terus menerus dan sistematis agar orang atau sekelompok tersebut menjadi pribadi yang mandiri (Sukardi, 1995). Sedangkan menurut Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 54/KEP/MK. WASPAN/9/ Tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya, Pasal 1, menyebutkan bahwa yang dimaksud penyuluh agama adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan bimbingan atau penyuluhan agama dan pembangunan kepada masyarakat melalui bahasa agama.4 Secara keilmuan, kondisi dakwah pada masa sekarang ini diibaratkan seperti “benang kusut” yang sulit sekali untuk diluruskan dan dikelola dengan baik. Aktivitas dakwah berjalan secara stagnan dari waktu ke waktu dan belum mengalami perubahan yang signifikan. Dakwah tidak dilakukan dari filosofi dakwah yang jelas, belum ada parameter yang dijadikan alat ukur dari keberhasilan dakwah yang dilakukan, kode etik dalam berdakwah belum terumuskan secara operasional, kurang adanya sinergitas antar organisasi dakwah, dan belum adanya perhatian dari pemerintah terhadap aktivitas dakwah yang dilakukan oleh para da’i.5 Melihat situasi tersebut, banyak sekali problematika yang melibatkan penyuluh agama profesional dalam masalah tersebut. Oleh karena itu, pemakalah menyajikan uraian tentang keadaaan dan masalah penyuluh agama di Indonesia serta cara menerapkan prinsip perubahan perilaku dan sosial budaya. Uraian ini diharapkan dapat menjadi dasar pembahasan tentang masalah penyuluh agama dan cara penerapannya sesuai yang telah dimaksudkan, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan pendalaman dan pengembangan keterampilannya dalam pembahasan dan pelatihan tersendiri. B. Rumusan Masalah 1.
Bagaimana keadaan dan masalah yang dihadapi oleh penyuluh agama di Indonesia?
2.
Bagaimana cara menerapkan prinsip penyuluhan pada perubahan perilaku dan sosial budaya?
4
Agus Mulyono, Pemberdayaan Penyuluh Agama dalam Peningkatan Pelayanan Keagamaan di Kota Medan, Jurnal Multikultural dan Multireligius, 2014, Vol. 13, No. 2, hlm. 162-163. 5 Abdul Basit, Tantangan Profesi Penyuluh Agama Islam dan Pemberdayaannya, Jurnal Dakwah, 2014, Vol. XV, No. 1, hlm. 158.
3
BAB II PEMBAHASAN
A. Keadaan dan Masalah yang dihadapi oleh Penyuluh Agama di Indonesia U. Samsudin (1977) mengartikan penyuluhan sebagai sistem pendidikan non-formal tanpa paksaan dalam rangka menjadikan seseorang sadar dan yakin bahwa sesuatu yang dianjurkan akan membawa ke arah perbaikan dari hal-hal yang dikerjakan atau dilakukan sebelumnya. Berdasarkan arti penyuluhan itu, maka Penyuluhan Agama dapat diartikan sebagai sistem pendidikan nonformal dan tanpa paksaan mengenai ajaran agama dengan tujuan menjadikan seseorang atau umat sadar dan yakin bahwa sesuatu yang dianjurkan akan membawa ke arah perbaikan dari hal-hal yang dikerjakan atau dilakukan sebelumnya. Penyuluhan Agama dapat pula diartikan sebagai suatu sistem pendidikan non-formal bersifat praktis untuk seseorang atau umat, sehingga mereka memiliki kesadaran, keyakinan dan mampu melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan seharihari (learning by doing).6 Tantangan bagi penyuluh agama Islam semakin hari bukan semakin ringan, melainkan semakin menantang dan kompleks. Para penyuluh agama Islam dihadapkan dengan berbagai perubahan yang terjadi pada masyarakat Islam dan juga pada kehidupan manusia secara global. Akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pola pikir dan tingkah laku masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia mengalami perkembangan yang amat signifikan. Misalnya saja dalam belajar agama Islam. Sekarang ini, belajar agama Islam tidak lagi menjadi otoritas seorang ulama. Dimana saja, kapan saja dan dengan berbagai cara orang bisa belajar agama Islam. Masyarakat sekarang ini tidak hanya mengandalkan ulama sebagai sumber satusatunya untuk mendapatkan pengetahuan keagamaan. Masyarakat bisa memanfaatkan televisi, radio, surat kabar, hand phone, video, cd-room, buku, majalah dan buletin. Bahkan, internet sekarang ini menjadi media yang begitu mudah dan praktis untuk mengetahui berbagai persoalan keagamaan, dari masalah masalah ringan seputar ibadah sampai dengan persoalan yang pelik sekalipun, semua sangat mudah untuk diketahui dan didapatkan. “mbah google” seringkali dijadikan sebagai sumber dan rujukan utama untuk mendapatkan pengetahuan keagamaan.
6
Enjang AS, Dasar-Dasar Penyuluhan Islam, Jurnal Ilmu Dakwah, Desember 2009, Vol. 4, No. 14, hlm 731.
4
Berbeda dengan era agraris, peran ulama dan tokoh agama begitu kuat dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat. Pendapat dan sikap mereka ditiru, didengarkan dan dilaksanakan. Masyarakat rela berkorban dan mau datang ke tempat pengajian yang jaraknya jauh sekalipun, hanya karena cintanya mereka kepada para ulama dan ingin mendapatkan taushiyah yang dapat dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan yang baik dan benar. Dengan khusyu, tawadlu’, dan memiliki semangat yang tinggi, mereka mendengarkan apa yang diucapkan oleh ulama dan berupaya secara maksimal melaksanakan apa yang telah disampaikannya. Selain itu, penyuluh agama Islam juga dihadapkan pada tantangan yang berkaitan dengan pembenahan moralitas bangsa Indonesia. Berbagai kasus moralitas yang mendera bangsa ini kian hari kian memprihatinkan, diantaranya: korupsi, penyalahgunaan narkoba, HIV/AIDS, perusakan lingkungan dan perilaku seks bebas di kalangan pelajar dan mahasiswa. Padahal bangsa Indonesia dikenal sebagai negara yang penduduk muslimnya terbesar di dunia dan sebagai penyuplai jumlah jama’ah haji terbesar di dunia. Korupsi adalah suatu permasalahan besar yang merusak keberhasilan pembangunan nasional. Korupsi menyebabkan ekonomi di Indonesia menjadi berbiaya tinggi, politik yang tidak sehat dan moralitas yang terus menerus merosot. Demikian juga, penyalahgunaan narkoba di Indonesia yang semakin hari semakin meningkat. Kemudian dalam hal moralitas di kalangan pelajar, juga sangat memprihatinkan.7 Menjadi seorang petugas dakwah atau penyuluh agama di era yang terbilang serba sulit ini terutama dalam artian memenuhi tuntutan hidup duniawi, kiranya penyuluh agama terbilang menghadapi dilema yang cukup sulit apalagi di wilayah tugas yang terbilang masih rendah tingkat penghargaannya terhadap peran agama dalam masyarakat. Sementara penyuluh agama dituntut oleh tugas yang termasuk pelik sehubungan dengan kondisi masyarakatnya yang dihadapkan pada dimensi per soalan kehidupan. Di sisi lain penghargaan jabatan penyuluh agama yang diberikan oleh pemerintah masih terbilang belum memadai, belum lagi sebagian penyuluh agama masih dalam posisi petugas honorer yang sangat berbeda statusnya dengan tenaga kependidikan (guru) yang sudah beranjak lebih makmur alias sejahtera, karena tunjangan profesi sudah merambah menyentuh tenga kependidikan honorer. Berkaitan dengan masalah di atas penyuluh agama dihadapkan pertama masalah penghargaan yang kurang memadai dari pemerintah, terlebih lagi dari masyarakat yang tergolong 7
Abdul Basit, Op.Cit., hlm. 165-170.
5
tertinggal dibanding masyarakat yang kebanyakan di perkotaan, sementara itu kebanyakan penyuluh agama menempati tugas di pedesaan. Kedua profesionalitas penyuluh agama masih terbilang rendah dalam arti kata sebagian penyuluh agama diangkat bukan dari basis lulusan dari fakultas dakwah, akibatnya penyuluh agama belum didukung oleh kompetensi pedagogi dan professional yang memadai. Realitas kebanyakan penyuluh agama diangkat dari basis yang berbeda dari tugasnya bahkan ada penyuluh agama karena hobbi menjadi dasar pengangkatannya dengan pertimbangan dari pada kosong. Sebaliknya terdapat beberapa alumni dakwah yang diangkat menjadi petugas KUA atau Naib. Ketiga era teknologi sebagai tantangan besar baik sebagai efek maupun ekses dari berkembangnya teknologi di dunia maya, sebagian masyarakat begitu gandrung terhadap media teknologi ini tetapi tidak sadar akan bahayanya, disisi lain menurut Ziauddin Sardar ( 1988 ) sebagian dunia Islam gagap akan manfaat teknologi ini. Disadari atau tidak para penyuluh agama masih cukup tertinggal bahkan tidak memilikinya sehingga sulit mengikuti perkembangan dunia yang makin jauh meninggalkan kita. Sementara itu, menurut Kapusdiklat Depag menyatakan bahwa aparat Depag pada umumnya dan khususnya PAI masih menghadapi persoalan sikap mental dan pengetahuan serta keterampilan, seperti: 1) budaya kerja lemah, kurang inisiatif dan lebih banyak menunggu perintah, dan kurang kesungguhan dalam pekerjaan, 2) pengetahuan dan kesadaran terhadap tugas dan misi institusi masih kurang, 3) sikap amanah dan saling percaya (trust) lemah, 4) budaya pamrih berlebihan, 5) orientasi pada pencapaian hasil dalam pelaksanaan tugas masih kurang, 6) kurang orientasi pada kepuasan jama‟ah sasaran/binaan (customer), akibat kepekaan dan empati terhadap keutuhan stakehorders yang masih rendah, 7) minat untuk menambah pendidikan formal meningkat, tetapi belum diikuti kesadaran pemanfaatan pengetahuan baru dalam menjalankan tugas, 8) lebih banyak tenaga yang kurang memiliki keahlian (unskilled), 9) gagap teknologi, tetapi semangat untuk pengadaan teknologi baru tinggi, dan 10) pemanfaatan informasi baru dalam pelaksanaan tugas masih rendah. Kemudian, permasalahan terakhir dalam penyuluhan adalah kultur atau budaya. Dalam hal masalah budaya ini, ada dua aspek yang menonjol, yaitu budaya internal kepenyuluhan dan budaya masyarakat. Khusus menyangkut budaya kepenyuluhan, sementara ini masih dihadapkan dengan budaya paternalis dan struktural. Komunikasi antara penyuluh dan atasan dibangun berdasarkan pola hubungan yang ketat antara atasan dan bawahan. Para penyuluh diposisikan sebagai pelaksana teknis yang wajib menjalankan apa saja kebijakan atasan dengan dibingkai loyalitas pada atasan, 6
bukan loyalitas pada profesi atau pekerjaan. Sedangkan budaya pada masyarakat, program penyuluhan dihadapkan pada budaya global yang cenderung pragmatis, materialis dan ada kecenderungan kurang memandang penting persoalan agama bagi kehidupan.8 Secara detail, beberapa problem penyuluhan yang perlu dicermati secara kritis antara lain sebagai berikut :9 1. Penentuan program-program penyuluhan masih bersifat sentralistik. Sejak diterapkannya otonomi daerah, Kanwil Depag propinsi dan Kandepag Kabupaten/Kota memang diberi kesempatan untuk membuat perencanaan program yang akan dimasukkan di dalam Daftar Isian Kegiatan (DIK) dan Daftar Isian Proyek (DIP) dalam setiap tahun anggaran melalui rapat kerja daerah (Rakerda). Tetapi, kesempatan itu baru sebatas usulan. Pada akhirnya, ketentuan program mana yang akan dijalankan, yaitu di masukkan di dalam DIK/DIP tetap berada di pusat. 2. Kemampuan perencanaan program-program penyuluhan yang kreatif, inovatif dan proyektif di tingkat Kanwil dan Kandepag masih lemah. 3. Pengelolaan sumber daya penyuluh belum efektif. 4. Lemahnya pemahaman para penyuluh terhadap konsep dasar penyuluhan, pendekatan penyuluhan, teknik-teknik penyuluhan dan teori-teori penyuluhan. 5. Implementasi pelaksanaan penyuluhan cenderung bersifat formalistik dan strukturalistik. 6. Para penyuluh agama belum memahami secara komprehensif pedoman operasional penyuluhan, misalnya menyangkut petunjuk teknis jabatan fungsional, materi bimbingan dan penyuluhan, pedoman identifikasi potensi wilayah, pedoman identifikasi kebutuhan sasaran, pedoman penilaian angka kredit, dan pedoman-pedoman lainnya. 7. Metode pelaksanaan penyuluhan lebih cenderung bersifat konvensional, belum partisipatif dan transformatif. 8. Belum efektifnya pelaksanaan pelaporan dan evaluasi program yang dapat menjadi dasar pengembangan program secara berkelanjutan. 9. Kemampuan penyuluh dalam hal penguasaan teknologi pendukung masih lemah.
8
Badaruddin, Dakwah Informatif dan Transformatif Penyuluh Agama, Jurnal Ilmu Dakwah dan Pembangunan Komunitas, Januari 2013, Vol. VIII, No. 1, hlm. 62-64. 9 Ibid., hlm. 64-65.
7
10. Frekuensi dan kesempatan pengembangan dan pelatihan yang sangat terbatas dan belum efektif. 11. Belum adanya peluang atau kesempatan pemfasisilitasian, khususnya pembiayaan (beasiswa) untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi. 12. Belum adanya biaya operasional pelaksanaan penyuluhan di lapangan. 13. Belum dimanfaatkannya perangkat teknologi informasi dan komunikasi yang memadai untuk mendukung proses penyuluhan. 14. Lemahnya data base seputar kelompok sasaran penyuluhan.
Masalah di atas menjadi tantangan bagi penyuluh agama apakah masih bisa tetap bertahan untuk menjalankan tugas dan fungsinya dalam menyiarkan ajaran agama dan melaksanakan tugas yang mulia ini atau sebaliknya meninggalkannya sama sekali dan beralih ke profesi lain. Kiranya perlu di carikan solusinya dengan baik sehinnga missi Rasul dapat berjalan sesuai dengan harapan. Merespon permasalahan penyuluh agama diatas kiranya perlu dilakukan upaya mencarikan solusi yang lebih tepat, meliputi :10 1. Mempertimbangkan peningkatan penghargaan jabatan fungsional penyuluh agama baik oleh pemerintah maupun masyarakat. 2. Memperhatikan alumni Fakultas Dakwah sebagai solusi peningkatan kualitas penyuluh agama, bukan mengangkat semua alumni PTAI yang bukan dari Fakultas Dakwah. 3. Memberikan diklat praktis terhadap penyuluh agama tentang pemanfaatan media teknologi dalam kegiatan dakwah.
Itulah sebagian dari fakta-fakta yang menunjukkan bahwa bangsa ini secara moralitas sedang sakit parah dan membutuhkan penanganan yang serius. Oleh karena itu, diperlukan partisipasi dari berbagai pihak untuk mengatasi persoalan bangsa tersebut. Salah satunya dari para penyuluh agama Islam. Mereka perlu bekerja keras, cerdas dan profesional dalam menangani berbagai tantangan. Untuk maksud tersebut, maka para penyuluh agama Islam perlu diberdayakan dan mendapatkan dukungan kuat dari masyarakat dan pemerintah.11
10 11
Ibid., hlm. 66. Abdul Basit, Op.Cit., hlm. 170.
8
B. Cara Penerapan Prinsip Penyuluhan Pada Perubahan Perilaku dan Sosial Budaya
1.
Prinsip-Prinsip Penyuluhan Adapun prinsip penyuluhan mencakup:12 a. Minat dan kebutuhan. Penyuluhan akan efektif jika selalu mengacu kepada minat dan kebutuhan masyarakat. Harus dikaji, apa yang benar-benar menjadi minat dan kebutuhan setiap individu maupun segenap warga masyarakatnya, sesuai dengan sumberdaya, serta minat dan kebutuhan yang perlu mendapat prioritas dipenuhi terlebih dahulu. b. Keragaman budaya. Penyuluhan harus memperhatikan keragaman budaya. Perencanaan penyuluhan harus selalu disesuaikan dengan budaya lokal. Perencanaan penyuluhan yang seragam untuk seluruh wilayah akan menemui hambatan pada keragaman budaya. c. Perubahan budaya. Setiap kegiatan penyuluhan akan mengakibatkan perubahan budaya. Kegiatan penyuluhan harus dilaksanakan dengan bijak dan hati-hati agar perubahan yang terjadi tidak menimbulkan kejutan-kejutan. Penyuluh perlu memperhatikan nilai-nilai budaya lokal seperti tabu, kebiasaan-kebiasaan, dll. d. Kerjasama dan partisipasi. Penyuluhan akan efektif jika mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk selalu bekerja sama dalam melaksanakan program penyuluhan yang dirancang. e. Demokrasi dalam penerapan ilmu. Penyuluh harus memberi kesempatan pada masyarakat untuk menawar setiap ilmu alternatif yang ingin diterapkan, penggunaan metode penyuluhan, dan pengambilan keputusan yang akan dilakukan masyarakat sasarannya. f. Belajar sambil bekerja. Penyuluhan harus diupayakan agar masyarakat dapat belajar sambil bekerja atau belajar dari pengalaman yang ia kerjakan. Penyuluhan menyampaikan informasi atau konsep-konsep teoritis dan memberi kesempatan pada sasaran untuk mencoba memperoleh pengalaman melalui pelaksanaan kegiatan secara nyata. g. Penggunaan metode yang sesuai. Penyuluhan harus dilakukan dengan penerapan metode yang selalu disesuaikan dengan kondisi (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi, dan nilai sosial budaya) sasarannya. Suatu metode tidak efektif dan efisien diterapkan untuk semua kondisi sasaran.
12
Saerozi, Pengantar Bimbingan dan Penyuluhan Islam, Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015, hlm. 128-130.
9
h. Kepemimpinan. Penyuluhan harus mampu menumbuhkan dan mengembangkan kepemimpinan lokal atau memanfaatkan pemimpin lokal yang telah ada untuk membantu kegiatannya. i. Spesialis yang terlatih. Penyuluh harus benar-benar orang yang telah memperoleh latihan khusus tentang sesuatu yang sesuai dengan fungsinya sebagai penyuluh. Penyuluh yang disiapkan untuk menangani kegiatan khusus akan lebih efektif dibanding yang disiapkan untuk melakukan beragam kegiatan (meski masih terkait dengan pertanian). j. Segenap keluarga. Penyuluhan harus memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit sosial. Dalam hal ini terkandung pengertian-pengertian: (1) Penyuluhan harus dapat mempengaruhi segenap anggota keluarga, (2) Setiap anggota keluarga memiliki peran/pengaruh dalam pengambilan keputusan, (3) Penyuluhan harus mampu mengembangkan pemahaman bersama. (4) Penyuluhan mengajarkan pengelolaan keuangan keluarga, (5) Penyuluhan mendorong keseimbangan antara kebutuhan keluaga dan kebutuhan usahatani, (6) Penyuluh harus mampu mendidik anggota keluarga yang masih muda, (7) Penyuluh harus mengembangkan kegiatan-kegiatan keluarga, (8) Memperkokoh kesatuan keluarga, baik masalah sosial, ekonomi, maupun budaya, dan (9) Mengembangkan pelayanan keluarga terhadap masyarakatnya. k. Kepuasan. Penyuluhan harus mampu mewujudkan tercapainya kepuasan. Kepuasan akan sangat menentukan keikutsertaan sasaran pada program-program penyuluhan selanjutnya. Adapun prinsip penyuluhan agama itu sendiri antara lain:13 a. Mengerjakan, kegiatan penyuluhan harus sebanyak mungkin melibatkan masyarakat untuk menerapkan atau mengerjakan sesuatu. Karena dengan mengerjakan, masyarakat akan mengalami proses belajar (menggunakan pikiran, perasaan dan keterampilannya) maka mereka akan terus mengingatnya, paling tidak mereka akan mengingatnya lebih lama karena mereka mengerjakan sendiri. b. Akibat, kegiatan penyuluhan harus memberikan akibat atau pengaruh yang baik atau bermanfaat. Karena dengan perasaan senang ataupun tidak senang akan mempengaruhi semangatnya dalam mengikuti kegiatan belajar dimasa yang akan datang.
13
Samsul Munir Amin, Bimbingan dan Konseling Islam, Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 332.
10
c. Asosiasi, setiap kegiatan penyuluhan harus dikaitkan dengan kegiatan lain. Setiap orang cenderung mengaitkannya dengan kegiatan atau peristiwa lain. Misal, melihat cangkul maka orang akan mengingat akan persiapan lahan yang baik. melihat tanaman yang subur mereka akan ingat akan usaha-usaha pemupukan.
Terdapat pula beberapa prinsip dalam Penyuluhan Agama yang dapat dijadikan sebagai patokan kerja:14 a. Penyuluhan Agama harus diselenggarakan berdasarkan keadaan dan fakta nyata dilapangan. b. Kegiatan Penyuluhan Agama ditujukan kepada seluruh masyarakat (umat) beragama. c. Penyuluhan Agama seharusnya dilakukan atas dasar kepentingan dan kebutuhan sasaran (objek penyuluhan). d. Penyuluhan Agama merupakan pendidikan yang bersifat demokratis, tanpa paksaan untuk menumbuhkan rasa kesadaran dan keyakinan. e. Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat (umat) diperlukan adanya kerjasama antara Penyuluhan Agama, lembaga dakwah dan lembaga-lembaga lainnya yang terkait. f. Rencana kerja Penyuluhan Agama disusun berdasarkan kebutuhan dan kenyataan yang ada di lingkungan masyarakat (umat). g. Penyuluhan Agama harus bersifat luwes dan menyesuaikan diri pada situasi dan kondisi sasaran. h. Metode dan media yang paling baik untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat (umat) untuk berubah adalah menggunakan audi-visual. i. Evalusi hasil Penyuluhan Agama harus didasarkan atas perubahan-perubahan dalam bentuk kegiatan keagamaan masyarakat (umat).
Tugas Penyuluhan Agama dianggap berhasil jika pengaruh dari kegiatan itu telah banyak menimbulkan perubahan pada aspek pemahaman, keyakinan, kesadaran dan cara berperilaku sasaran, serta terwujudnya kehidupan beragama yang dinamis dan harmonis.
14
Enjang AS, Op.Cit., hlm. 749-750.
11
2.
Penyuluhan Sebagai Proses Perubahan (Transformatif) Menurut Slamet dalam Mardikanto (1993), tujuan yang sebenarnya dari penyuluhan adalah
terjadinya perubahan perilaku sasarannya. Hal ini merupakan perwujudan dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung dengan indera manusia. Dengan demikian, penyuluhan dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) di kalangan masyarakat agar mereka tahu, mau, mampu melaksanakan
perubahan-perubahan
demi
tercapainya
peningkatan
produksi,
pendapatan/keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakat yang ingin dicapai melalui pembangunan pertanian. Dengan kata lain, Slamet (2001) mendefinisikan penyuluhan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah, sehingga mau meninggalkan kebiasaan yang lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang berakibat pada kualitas kehidupan yang lebih baik. 15 Istilah penyuluhan seringkali diasosiasikan dengan penerangan atau propaganda oleh khalayak, padahal makna penyuluhan tidaklah sedangkal itu. Penyuluhan dapat dipandang sebagai sebuah ilmu dan tindakan praktis. Sebagai sebuah ilmu, pondasi ilmiah penyuluhan adalah ilmu tentang perilaku (behavioural science). Di dalamnya ditelaah pola pikir, tindak, dan sikap manusia dalam menghadapi kehidupan. Jadi, subyek telaah ilmu penyuluhan adalah manusia sebagai bagian dari sebuah sistem sosial, obyek materi ilmu penyuluhan adalah perilaku yang dihasilkan dari proses pendidikan dan atau pembelajaran, proses komunikasi dan sosial. Sebagai sebuah ilmu, penyuluhan merupakan organisasi yang tersusun dari bangunan pengetahuan dan pengembangan ilmu. Ilmu penyuluhan mampu menjelaskan secara ilmiah transformasi perilaku manusia yang dirancang dengan menerapkan pendekatan pendidikan orang dewasa, komunikasi, dan sesuai dengan struktur sosial, ekonomi, budaya masyarakat, dan lingkungan fisiknya.16 Secara semantik istilah transformatif diartikan sebagai perubahan sosial. Menurut Amrullah Ahmad, penyuluhan sebagai proses perubahan sosial disebut juga sebagai penyuluhan agama dalam kapasitasnya sebagai pendamping pembangunan atau pendampingan untuk perubahan sosial (transformasi sosial) dengan bahasa agama, yaitu mendampingi masyarakat untuk bersama-
15 16
Pudji Muljono, Op.Cit., hlm. 60. Siti Amanah, Makna Penyuluhan dan Transformasi Perilaku Manusia, Jurnal Penyuluhan, Desember 2007, Vol. 4,
No. 1, hlm. 63.
12
sama menemukan persoalan hidup, potensi, refleksi, dan solusi program sehingga kehidupan masyarakat muslim mengalami kemajuan dan perubahan nasib menuju kesejahteraan hidup. Menurut Jalaluddin Rahmad, bahwa perubahan sosial atau transformatif sosial diupayakan melalui rencana, desain yang tersusun rapi, dan ditetapkan tujuan dan strateginya. Amrullah Ahmad mengatakan bahwa transformatif sosial Islam adalah sistem tindakan nyata bersama masyarakat yang menawarkan alternatif model pemecahan masalah dalam bidang sosial, ekonomi dan lingkungan dalam perspektif Islam. Dijelaskan lebih lanjut oleh Amrullah Ahmad (2008) bahwa transformatif sosial Islam tidak hanya mengandalkan kegiatan penyuluhan verbal (konvensional) yaitu memberikan materi-materi agama kepada masyarakat, yang memposisikan penyuluh agama sebagai penyebar pesan-pesan keagamaan, tetapi menginternalisasikan pesanpesan keagamaan ke dalam kehidupan riil masyarakat dengan cara melakukan pendampingan masyarakat secara langsung. Dengan demikian, maka penyuluhan agama tidak hanya untuk memperkukuh aspek religiusitas masyarakat, melainkan juga memperkukuh basis sosial untuk mewujudkan transformasi sosial. Dengan penyuluhan yang transformatif, para penyuluh diharapkan memiliki fungsi ganda, yakni melakukan aktivitas penyebaran materi keagamaan dan melakukan pendampingan masyarakat dalam pembangunan. Penyuluhan agama merupakan rekonstruksi masyarakat sesuai dengan ajaran Islam, dan semua bidang kehidupan, dan kegiatan penyuluhan Islam dengan berbagai metode dan teknik pengembangannya juga merupakan sarana dalam mengajak masyarakat mengelola suber daya alam, pertanian, perikanan untuk memberikan hasil yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Seorang penyuluh menjadikan penyuluhan sebagai kegiatan integral dari kehidupannya secara utuh yang dapat menentukan arah kehidupan masa depan dan nasibnya dalam rangka menunaikan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Dalam penyuluhan agama tidak boleh menggunakan paksaan, tidak boleh menyesatkan, tidak boleh memutarbalikkan ke benaran dan juga tidak mengelabui masyarakat perlu keterbukaan, kejujuran dan rasa tanggung jawab. Penyuluh Islam berbicara tentang kemaslahatan, kesejahteraan, dan perubahan nasib masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim. Aturan permainan yang ada merupakan refleksi dari mayoritas dan etika yang harus bersumber pada tuhid agar lebih terarah dan bermuara pada kesejahteraan dan kedamaian di muka bumi.
13
Penyuluhan Islam tidak menerima sekularisasi karena meremehkan nilai-nilai agama dan memandang agama sebagai masa lalu yang tidak punya peran dalam kehidupan publik, sementara penyuluhan Islam merupakan komitmen dalam mengembangkan manusia untuk mampu mengelola sumber daya yang dikaruniakan Allah SWT berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Penyuluh Islam sebagai suatu profesi merupakan amanah yang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya. Amanah tersebut tidak boleh disalahgunakan, misalnya untuk memperkaya diri sendiri atau menguntungkan golongannya saja dan menelantarkan kepentingan umum, sehingga amanah harus terus mengarahkan penggunaan profesi. Profesi penyuluh agama Islam mengandung pertanggungjawaban secara moril terhadap tugas-tugasnya atara lain peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya secara amanah. Kesadaran akan tanggung jawab sangat menentukan penyelenggaraan penyuluhan Islam yang berkualitas tinggi. Dimana tanggung jawab tersebut bukan hanya terhadap insitusi atau kelembagaan yang bersangkutan tetapi juga di hadapan Allah yaitu mahkamah yang paling adil. Kesadaran akan tanggung jawab yang kuat memiliki kendali diri yang juga kuat. Kegiatan penyuluhan Islam juga berprinsip persamaan diatara manusia yang melampaui batas-batas etnis, rasial, agama, latar belakang sosial, keturunan dan sebagainya. Penyuluhan Islam harus menghindari gaya konfrontatif yang penuh dengan konflik, melainkan pengembangan saling pengertian dan membangun kerjasama keduniaan seoptimal mungkin dalam menunaikan tugastugas penyuluhan sebagai khaliah di muka bumi.17 Penyuluh agama Islam yang lebih bermutu, yang mampu menjalankan tugas dengan sebaikbaiknya, dengan materi penyuluhan yang mampu menjawab persoalan masyarakat, media dan pendekatan yang tepat menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga bimbingan dan penyuluhan berdaya guna dan berhasil guna membawa PERUBAHAN kearah yang lebih baik yang di ridhoi dan diberkati oleh Allah Swt. Untuk itu diperlukan adanya rencana yang matang sebagai pedoman dalam pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan agama kepada masyarakat, Allah berfirman dalam al Qur'an Suroh Ali Imran ayat 104 sebagai berikut:
َُوف َويَ ْنهَوْ نَ ع َِن ْال ُم ْن َك ِر ۚ َوأُو َٰلَئِكَ هُ ُم ْال ُم ْفلِحُون ِ َو ْلتَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم أُ َّمةٌ يَ ْد ُعونَ إِلَى ْالخَ ي ِْر َويَأْ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”
17
Saerozi, Op.Cit., hlm. 142-145.
14
Dari ayat di atas mengisyaratkan bahwa dakwah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup dan kehidupan manusia dan memerlukan orang yang siap menjalani hidupnya berada di jalan suci dan mulia mengajak manusia kepada jalan menyeruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran, maka seorang penyuluh akan merasakan nikmat dan manisnya perjuangan dengan tekad : Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik".(QS. Yusuf : 108)18
3.
Beberapa Pendekatan Dalam Penyuluhan Islam Sebagai Proses Perubahan Sosial Al-Qur'an mengakui bahwa fenomena segala sesuatu di alam semesta itu terus berubah,
termasuk masyarakatnya. Berbicara tentang perubahan sosial (Sosial Change), berarti kita sedang membicarakan tentang penyuluhan Islam yang juga menghendaki adanya perubahan sosial masyarakat dalam bidang pembangunan masyarakat untuk kesejahteraan di dunia dan akhirat. Pendekatan dalam upaya perubahan sosial pada umumnya ada tiga macam pendekatan yaitu:19 a. Pendekatan Konservatif Pendekatan ini mengarah kepada pelestarian adat istiadat, pemeliharaan berbagai takhyul dan meremehkan perubahan dan modernisasi karena dianggap dapat merusak tradisi tanpa mau meninjau kembali substansi yang lebih esensial. b. Pendekatan Radikal-Revolusioner Pendekatan ini mengarah kepada pencabutan tradisi sampai ke akar-akarnya, dan menganggap pelestarian tradisi sebagai penyebab stagnasi sosial. Perubahan sosial yang diupayakan secara radikal dan cara-cara kekerasan jelas bertentangan dengan budaya Indonesia dan Agama Islam. c. Pendekatan Reformis Pendekatan ini merupakan jalan tengah antara konservatisme dan radikalisme yang menekankan perubahan secara perlahan-lahan pada tingkat teoritisnya, namun sering pada kenyataannya tidak dapat berjalan sesuai yang diharapkan karena kekuatan internal dan eksternal.
18
Muhammad Nuh Hasibuan, Peran Penyuluh Agama dalam Permberdayaan Majelis Taklim Kaum Ibu dalam Meningkatkan Pemahaman dan Pengamalan Agama, dikutip dari https://sumut.kemenag.go.id 19 Saerozi, Op.Cit., hlm. 145-149.
15
Perbandingan terhadap pendekatan dalam mewujudkan perubahan sosial masyarakat yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu : Pertama, menekankan kepada perubahan mental dan orintasi manusianya. Kedua, pelestarian sebagian besar wadah dan format tradisi yang sudah berurat berakar dan turun temurun, tetapi dengan mengubah isi dan substansinya secara revolusioner. Semangat dan arah tradisi tersebut diperbaharui dan diluruskan sehingga tidak membuat shock masyarakat. Ketiga, perubahan sosial secara bertahap yang sangat jelas dalam sejarah hukum Islam bagaiaman Allah menurunkan hukum-Nya secara perlahan-lahan dan bertahap. Penyuluhan Islam yang sasaranya adalah perubahan perilaku manusia, pelaku Islam hendaknya juga melakukan pendekatan-pendekatan yang berjenjang seperti yang diuraikan di atas. Seorang penyuluh harus cukup cerdas untuk menentukan kepan perubahan secara bertahap dimulai dan diawali dengan perubahan mental. Memulai hubungan dalam penyuluhan Islam sangat menentukan terjadinya perubahan yang diharapkan. penumbuhan hubungan yang akrab dan saling percaya merupakan langkah awal dengan mengembangkan sikap empati, penghargaan, kepekaan dan kesegaraan. Oleh karena itu perlu pengembangan pemahaman diri seorang penyuluh agar dapat tercipta hubungan dalam proses yang dinamis dan terjadi komunikasi timbal balik. Hubungan dalam penyuluhan Islam yang berkembang kemudian adalah bagaimana seorang penyuluh memiliki kemampuan dan keterampilan dalam membantu masyarakat memperluas dan mengembangkan kesadaran tentang dirinya sendiri dan masalah-masalah yang dialaminya. Pengembangan keterampilan penanggapan dan pengarahan merupakan proses penyuluhan. Pendekatan dalam penyuluhan Islam dalam upaya perubahan sosial, menurut Mas’ud ada lima macam pendekatan yaitu: 1) Pendekatan Modeling Pendekatan modeling atau kharisma telah dilakukan oleh para walisongo dalam proses perubahan masyarakat Islam di Jawa. Lewat kharisma yang dipancarkan oleh walisongo yang dipersonifikasikan oleh para auliya dan kiyai, telah terjunjung tinggi dari masa ke masa. Model walisongo yang diikuti para ulama di kemudian hari telah menunjukkan integrasi antara pemimpin agama dan masyarakat yang membawa mereka pada kepemimpinan yang protektif dan efektif. Modeling dalam bentuk kepemimpinan kharismatik pada diri seorang 16
penyuluh Islam dapat mempengaruhi masyarakat / khalayak untuk mengikuti seorang tokoh pemimpin atau tokoh anutan dalam masyarakat, merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa yang mementingkan paternalism dan patron-client relation yang sudah mengakar dalam budaya Jawa. 2) Pendekatan Substantif Bukan Kulit Luar Agar Islam mudah difahami oleh masyarakat Jawa pesisiran pada waktu itu, maka Walisongo dalam memberikan penyuluhan agama mengutamakan pendekatan substantif, yaitu ajaran Tauhid sebagai materi pokok, dengan menggunakan elemen-elemen non-Islam. Pendekatan seperti ini dikatakan oleh Abdurrahman Mas’ud (2002) adalah a matter of approach atau means, alat untuk mencapai tujuan yang tidak mengurangi substansi dan signifikansi ajaran yang diberikan. Dengan kata lain, wisdom, dan mau’idhoh hasanah adalah cara yang dipilih sesuai dengan ajaran al-Qur’an (an-Nahl, 125). 3) Pendekatan yang tidak Deskriminatif Pendekatan Walisongo dalam memberikan penyuluhan agama pada masyarakat Jawa dilakukan dengan tidak diskriminatif. Dengan cara ini, terungkap dalam istilah populer Sabdo Pandito Ratu yang berarti menyatunya pemimpin agama dan pemimpin negara. Dengan kata lain, dikotomi atau gap antara ulama dan raja tidak mendapatkan tempat dalam ajaran dasar Walisongo. Ajaran ini adalah warisan Sunan Kalijaga, tokoh yang mewariskan sistem kabupaten di Jawa yang tipikal dengan komponen-komponen kabupaten, alun-alun, dan Masjid Agung. Ajaran ini dikemudian hari dipopulerkan oleh Sultan Agung. 4) Pendekatan yang Understandable and Applicable Pendekatan yang dilakukan oleh Walisongo selaras dengan ajaran Nabi SAW yaitu wa khatibunnas ’ala qadri ’uqulihim. Cara pendekatan seperti ini pula yang diterapkan Sunan Kalijaga melalui media wayang yang memasyarakat. Ajaran rukun Islam, dengan demikian, dapat
ditemukan
dalam
cerita
pewayangan
seperti
syahadatain
yang
sering
dipersonifikasikan dalam tokoh Puntadewa. Puntadewa yang memiliki pusaka Jamus Kalimasada (Kalimasada: Kalimat Syahadat) digambarkan sebagai raja yang adil tulus ikhlas bekerja untuk kesejahteraan rakyatnya, yakni pemimpin yang konsisten antara kata dan perbuatannya.
17
5) Pendekatan Kasih Sayang Bagi Walisongo, membangun masyarakat Islam adalah tugas dan panggilan agama. Walisongo memperlakukan masyarakat /Khalayak dengan kasih sayang, memberi mereka makanan dan pakaian hingga mereka dapat menjalankan syariat Islam, dan memegang teguh ajaran agama tanpa keraguan.
Ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang penyuluh agama yang profesional yaitu:20 Pertama, kompetensi substantif berkenaan dengan kemampuan penyuluh agama dalam penguasaan terhadap pesan-pesan atau materi-materi yang akan disampaikan kepada objek dakwah. Dalam hal ini, penyuluh agama harus memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas tentang Islam baik yang menyangkut akidah, syari’ah maupun muamalah. Materimateri pokok tersebut dikemas dalam bahasa yang mudah dipahami dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial serta memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Penyuluh agama jangan merasa puas dan cukup dengan keilmuan yang dimilikinya sekarang. Ilmu senantiasa mengalami perkembangan sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat yang notabene mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman dan situasi yang terus berubah dari waktu ke waktu, bahkan dari menit ke menit. Ruang lingkup perubahan dalam masyarakat amat luas. Ia dapat mengenai nilai, norma, pola perilaku, organisasi, lembaga sosial, kekuasaan, interaksi sosial dan sebagainya. Kedua, kompetensi metodologis berkenaan dengan kemampuan dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah secara efektif dan efisien. Penyuluh agama yang memiliki kompetensi metodologis ditandai dengan kemampuan berkomunikasi yang baik, mengenal kebutuhan objek dakwah, menggunakan teknologi informasi, dan memiliki kemampuan dalam melakukan riset terhadap audiensnya. Ketiga, kompetensi sosial ditandai dengan adanya kesadaran sosial dan keahlian sosial dalam diri penyuluh agama. Karakteristik saleh sosial digambarkan dalam pribadinya yang pemurah dan bijak terhadap setiap kenyataan yang dihadapinya serta memiliki sikap simpati dan empati. Dia tidak hanya sibuk dengan aktivitas keagamaannya dalam mencari pahala Tuhan, tapi juga sibuk dengan beramal bagi masyarakat. Selain kesadaran sosial, penyuluh agama juga dapat mengambil 20
Abdul Basit, Op.Cit., hlm. 172-174.
18
peran dalam bentuk keahlian sosial. Keahlian sosial diwujudkan dalam bentuk kemampuan membangun tim dan menjalin interaksi secara konstruktif. Dengan kemampuan ini, dalam diri penyuluh agama akan tumbuh sikap kepemimpinan yang baik, keahlian dalam hubungan interpersonal, intim dan dapat dipercaya, mampu mengatur konflik, dan aktif mendengar berbagai keluhan dan masukan serta berbagai keahlian sosial lainnya. Keempat, kompetensi personal lebih menekankan pada kemampuan yang berkenaan dengan moralitas dan kemampuan intelektual. Secara moralitas, penyuluh agama hendaknya memiliki performance dan sikap yang menarik. Penyuluh agama harus memiliki kesadaran pada dirinya bahwa dirinya merupakan seorang prominent figure di kalangan masyarakat karenanya segala tutur kata, sikap, dan perilakunya menjadi sorotan dari seluruh masyarakat. Sedangkan kemampuan intelektual akan mengantarkan penyuluh agama pada kemampuan beradaptasi dengan perkembangan yang terjadi, seperti pemanfaatan teknologi informasi dalam setiap kegiatan dakwah. Disamping itu dengan kemampuan intelektual, penyuluh agama memiliki kreativitas dalam menjalani aktivitas kedakwahan dan dalam mempersiapkan masa depan. Kemudian untuk memudahkan proses pemberdayaan para penyuluh fungsional yang kompeten dan profesional diperlukan keberpihakan pemerintah untuk melakukan kerjasama dengan Fakultas/Jurusan Dakwah. Pemerintah bersama dengan Fakultas/ Jurusan Dakwah dapat mendesign model kurikulum, kompetensi yang ingin dicapai, ketrampilan dan akhlak yang harus dimiliki, serta indikator-indikator lain yang amat diperlukan bagi para penyuluh yang profesional. Produk dari hasil kerjasama tersebut selanjutnya dimanfaatkan untuk menjadi tenaga penyuluh yang fungsional di Kementerian Agama atau instansi-instansi lain yang terkait seperti BNN, BKKBN, Kementerian Informasi dan komunikasi, Kementerian sosial, dan sebagainya. Pemberdayaan profesi penyuluh agama dapat dilakukan dengan memperkuat posisi dan peran organisasi dakwah menjadi organisasi yang mandiri dan profesional. Organisasi dakwah Islam yang dijadikan sebagai media dan basis penguatan sumber daya insani para penyuluh agama Islam, keberadaannya belum bisa dibanggakan. Organisasi dakwah Islam masih terjebak pada masalah-masalah ubudiyah dan ritual keagamaan yang bersifat normatif serta terkadang masuk pada wilayah politik yang abu-abu. Penguatan pada basis pemberdayaan ekonomi dan ketrampilan masyarakat kurang mendapatkan perhatian dari para aktivis organisasi. Padahal salah satu kekuatan dari organisasi dakwah adalah kemampuannya dalam membangun relasi antar berbagai
19
instansi dan juga mampu menggerakkan masyarakat menuju masyarakat yang mandiri dan sejahtera. Implikasinya, para penyuluh agama Islam belum terbina secara kompeten dalam menghadapi perubahan dan perkembangan masyarakat yang begitu cepat. Mereka para aktivis organisasi dalam melakukan dakwahnya masih terkesan berjalan sendiri-sendiri, kurang terprogram, dan belum ada evaluasi yang berkesinambungan. Untuk itulah, peran organisasi dakwah Islam perlu direformasi menuju organisasi yang modern dan profesional. Organisasi dakwah perlu memiliki peta wilayah garapan masing-masing sehingga mudah untuk membaca kelemahan dan potensi pada masing-masing wilayah, sekaligus dapat menentukan strategi atau metode yangtepat untuk disampaikan kepada mereka. Kemudian orientasi gerakan dakwah yang dilakukan oleh organisasi dakwah hendaknya dirubah dari orientasi yang bersifat verbal dan top down menuju pada orientasi gerakan yang bersifat riset dan aksi yang disesuaikan dengan kebutuhan mad’u.21
21
Ibid., hlm. 175-176.
20
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan Penyuluh agama Islam dihadapkan pada tantangan yang berkaitan dengan pembenahan
moralitas bangsa Indonesia. Berbagai kasus moralitas yang mendera bangsa ini kian hari kian memprihatinkan, diantaranya: korupsi, penyalahgunaan narkoba, HIV/AIDS, perusakan lingkungan dan perilaku seks bebas di kalangan pelajar dan mahasiswa. Padahal bangsa Indonesia dikenal sebagai negara yang penduduk muslimnya terbesar di dunia dan sebagai penyuplai jumlah jama’ah haji terbesar di dunia. Ada empat cara yang harus dimiliki oleh seorang penyuluh agama yang profesional yaitu: Pertama, kompetensi substantif berkenaan dengan kemampuan penyuluh agama dalam penguasaan terhadap pesan-pesan atau materi-materi yang akan disampaikan kepada objek dakwah. Dalam hal ini, penyuluh agama harus memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas tentang Islam baik yang menyangkut akidah, syari’ah maupun muamalah. Kedua, kompetensi metodologis berkenaan dengan kemampuan dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah secara efektif dan efisien. Ketiga, kompetensi sosial ditandai dengan adanya kesadaran sosial dan keahlian sosial dalam diri penyuluh agama. Keempat, kompetensi personal lebih menekankan pada kemampuan yang berkenaan dengan moralitas dan kemampuan intelektual. Pendekatan dalam upaya perubahan sosial pada umumnya ada tiga macam pendekatan yaitu: pendekatan konservatif, pendekatan radikal-revolusioner, dan pendekatan reformis.
B.
Saran Demikian makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para
pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas. Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sekian. 21
DAFTAR PUSTAKA
Amanah, Siti. Desember 2007. Makna Penyuluhan dan Transformasi Perilaku Manusia. Jurnal Penyuluhan. Vol. 4. No. 1. Amin, Samsul Munir. 2010. Bimbingan dan Konseling Islam. Jakarta: Amzah. Arifin, Isep Zainal. 2009. Bimbingan Penyuluhan Islam Pengembangan Dakwah Melalui Psikoterapi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. AS, Enjang. Desember 2009. Dasar-Dasar Penyuluhan Islam. Jurnal Ilmu Dakwah. Vol. 4. No. 14. Badaruddin. Januari 2013. Dakwah Informatif dan Transformatif Penyuluh Agama. Jurnal Ilmu Dakwah dan Pembangunan Komunitas. Vol. VIII. No. 1. Basit, Abdul. 2014. Tantangan Profesi Penyuluh Agama Islam dan Pemberdayaannya, Jurnal Dakwah. Vol. XV. No. 1. Gibson, Robert L. dan Marianne H. Mitchell. 2011. Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Muhammad Nuh Hasibuan. Peran Penyuluh Agama dalam Permberdayaan Majelis Taklim Kaum Ibu
dalam
Meningkatkan
Pemahaman
dan
Pengamalan
Agama.
dikutip
dari
https://sumut.kemenag.go.id Muljono, Pudji. Maret 2007. Learning Society, Penyuluhan dan Pembangunan Bangsa. Jurnal Penyuluhan. Vol. 3. No. 1. Mulyono, Agus. 2014. Pemberdayaan Penyuluh Agama dalam Peningkatan Pelayanan Keagamaan di Kota Medan. Jurnal Multikultural dan Multireligius. Vol. 13. No. 2. Saerozi. 2015. Pengantar Bimbingan dan Penyuluhan Islam. Semarang: Karya Abadi Jaya.
22