BAB V PENGARUH DAKWAH SUNAN GUNUNG JATI DI KESULTANAN CIREBON A. Dalam Bidang Politik Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati selama 89 tahun, banyak perubahan kebijakan yang menyangkut agama, sosial, politik, dan budaya serta merasakan berbagai situasi dari mulai masa-masa sulit hingga kejayaan dan kewibawaan. 1 Kesultanan Cirebon dibawah kekuasaan Sunan Gunung Jati memiliki peran besar dalam pengislaman Jawa Barat dan sekitarnya. Bahkan hingga Kesultanan Banten terbentuk setelah wafatnya Sunan Gunung Jati, Banten masih memandang Kesultanan Cirebon sebagai saudara tuanya. Seperti telah dipaparkan di bab sebelumnya bahwa salah satu media dakwah Sunan Gunung Jati adalah dengan jalur struktural, dengan kata lain jalur politik. Meskipun Sunan Gunung Jati mendirikan Kesultanan Cirebon dengan menitik beratkan pada dakwah Islam, peran politik Sunan Gunung Jati juga sangat berpengaruh terhadap Islamisasi di Jawa Barat bahkan Pulau Jawa. Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon dikenal menjalin persahabatan, terlihat saat kehadiran para mubaligh dari Jawa Tengah yang sudah lebih dulu bergelar Sunan pada pengangkatan Syarif Hidayatullah sebagai tumenggung. Pengangkatan Sunan Gunung Jati seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, disertai juga dengan pengangkatannya sebagai Penata Gama di Tanah Sunda.
1
RH. Unang Sunardjo, Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809. (Bandung: Tarsito, 1983), hlm. 70.
92
93
Salah satu riwayat yang patut dikenang dalam sepak terjang Sunan Gunung Jati dalam bidang politik adalah ketika penyerangan ke Banten dan penguasaan Sunda Kelapa. Saat menjalankan pemerintahannya, suatu saat datang Raden Patah ke Keraton Pakungwati untuk mengabarkan kekalahan Malaka di tangan Portugis. Karena itu Demak telah mengirim bala bantuan untuk mempertahankan pelabuhan Banten dan Sunda Kelapa selanjutnya yang dipimpin Dipati Unus. 2 Selanjutnya Kesultanan Cirebon mengirim bantuan untuk mempertahankan Sunda Kelapa. Akhirnya pada waktu yang sudah ditentukan, yaitu setelah pengangkatan Sultan Trenggono, pasukan yang dipmpin Fatahillah diberangkatkan ke Cirebon untuk selanjutnya mendapat bantuan Cirebon untuk mempertahankan Sunda Kelapa dari Portugis. Pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang diketuai Fatahillah dan Dipati Unus sampai di Banten pada tahun 1526 M. 3 Kenyataannya, menurut riwayat dalam buku Sejarah Daerah Jawa Barat bahwa pasukan gabungan Demak dan Cirebon yang dipimpin Fatahillah bukan hanya menghadapi Portugis, tetapi juga menghadapi pasukan dari Pajajaran. Hal ini mungkin diketahui sebelumnya bahwa pasukan Cirebon tidak dipimpin langsung oleh Sunan Gunung Jati, karenanya Raja Pajajaran Prabu Siliwangi menerima tawaran Portugis untuk bekerja sama agar menekan perkembangan islam di Tanah Sunda. 4 Menurut 2
M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. (Jakarta: CV. Suko Rejo Bersinar, 2001), hlm. 28. 3
Proyek Penulisan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Sejarah Daerah Jawa Barat. (Jakarta: Depdikbud, 1978), hlm. 29. 4
Ibid.,
94
Dadan Wildan dalam bukunya Sunan Gunung Jati perjanjian antara Portugis dan Pajajaran, meskipun terlihat sama-sama menguntungkan tetapi sebenarnya tetap merugikan bagi Pajajaran. Meskipun begitu, gabungan pasukan Demak dan Cirebon akhirnya dapat memukul mundur pasukan Pajajaran dan mengusir Portugis dari Sunda Kelapa pada tahun 1527 M. Selain penaklukan Sunda Kelapa oleh gabungan pasukan Demak dan Cirebon, ada dua pertempuran lagi yang terjadi pada masa pengembangan Kesultanan Cirebon dibawah Sunan Gunung Jati. Pertempuran itu antara lain menghadapi pasukan yang dipimpin Arya Kiban dari negeri Rajagaluh yang dipimpin Prabu Cakraningrat. Adapun pertempuran ketiga terjadi diwilayah Talaga, sebuah kerajaan kecil di selatan Majalengka. 5 Pertempuran ini terjadi saat Sunan Gunung Jati sedang berdakwah didaerah Talaga yang kemudian diserang oleh pasukan Arya Salingsingan yang kemudian dimenangkan oleh Sunan Gunung Jati. Beberapa aspek keberhasilan pemerintahan dan politik Sunan Gunung jati adalah sebagai berikut: 1. Wilayah bawahan Kerajaan Cirebon hingga tahun 1530 M sudah meliputi separuh dari Previnsi Jawa Barat sekarang –termasuk Provinsi Banten- dengan jumlah penduduk saat itu kurang lebih 600.000 orang yang sebagian besar masih beragama non-Islam. 2. Pelabuhan-pelabuhan penting di pantai utara Jawa Barat seluruhnya sudah dapat dikuasai oleh Kesultanan Cirebon.
5
Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati, (Ciputat: Salima, 2012), hlm. 250.
95
3. Masjid Jami (Masjid Agung Sang Ciptarasa) di Ibu Kota, masjid-masjid diberbagai wilayah bawahannya, serta langgar-langgar di pelabuhan telah selesai dibangun. 4. Keraton Pakungwati, kediaman resmi Sunan Gunung Jati, sudah disesuaikan dengan fungsi dan posisinya sebagai bangunan utama pusat pemerintahan kerajaan yang berdasarkan Islam. 5. Tembok keliling keraton berikut beberapa pintu gerbang, pangkalan perahu kerajaan, pos-pos penjaga keamanan, istal kuda kerajaan, bangunan untuk kereta kebesaran kerajaan, dan pedati-pedati untuk mengangkut barang, serta sitiinggil, bangunan untuk pengadilan (pancaniti), dan alun-alun telah selesai dibangun dan diperindah. 6. Tembok keliling ibukota meliputi areal seluas kurang lebih 50 hektar dengan beberapa pintu gerbang dan pos jagabaya telah selesai dibangun dan dikerjakan selama kurang-lebih tiga tahun. 7. Jalan besar utama menuju Pelabuhan Muara Jati dan jalan menuju ibukota serta jalan-jalan dari ibukota menuju wilayah bawahannya telah selesai dibangun. 8. Pasukan jagabaya jumlahnya sudah cukup banyak, organisasinya sudah ditata dengan komandan tertingginya dipegang oleh seorang tumenggung jagabaya. 6 Sunan Gunung Jati telah melakukan penyeragaman gelar gunan memudahkan penyelenggaraan pemerintahan di pusat maupun wilayah bawahan
6
ibid., hlm. 250-251.
96
Kesultanan Cirebon. Pemerintahan yang dibangun pun diatur dengan rapi, seperti yang tertulis dalam buku Sunan Gunung Jati yaitu sebagai berikut: Misalnya untuk kepala persekutuan masyarakat terkecil yang penduduknya paling banyak 20 somah (kepala keluarga) dipimpin oleh Ki Buyut, beberapa unit Kabuyutan yang merupakan sebuah dukuh/desa dipimpin oleh seorang Kuwu, beberapa orang Kuwu dipimpin oleh Ki Gedhe (Ki Ageng untuk istilah di Jawa Tengah), beberapa orang Ki Gedhe dipimpin oleh Bupati, Adipati, atau Tumenggung. Para Ki Gedha, Bupati, Adipati, Tumenggung wajib menghadiri rapat bulanan atau seba keliwonan di ibukota Negara setiap hari Jumat Kliwon bertempat di Masjid Agung Sang Ciptarasa. Rapat ini dipimpin oleh Sunan Gunung Jati sendiri sebagai Kepala Negara. 7 Dari penjelasan diatas diketahui bahwa Sunan Gunung Jati telah menyusun pemerintahan yang bersifat desentralisasi. Strategi politik Sunan Gunung Jati dalam mengembangkan Kesultanan Cirebon dalam pengamatan Soenardjo8 adalah asas desentralisasi yang berpola pemerintahan kerajaan pesisir, dimana pelabuhan menjadi bagian yang sangat penting dan pedalaman menjadi unsur penunjang vital. 9 Faktor inilah yang mendorong Kesultanan Cirebon cepat berkembang dalam segi pemerintahannya dibawah Sunan Gunung jati. B. Dalam Bidang Agama Sumber-sumber tradisi terutama naskah babad seperti Babad Cerbon dan Purwaka Caruban Nagari menyebutkan bahwa pendiri kerajaan Islam Cirebon
7
Ibid., hlm. 251.
8
Seorang penulis yang berasal dari birokrat, jabatan terakhirnya adalah Pembantu Gubernur Wilayah III (Residen) Cirebon (1991-1995), yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kuningan, Jawa Barat (1978-1983). 9
Dadan Wildan, op. cit., hlm. 250-251.
97
adalah Sunan Gunung Jati. 10 Meskipun begitu, sebenarnya sebelum Kesultanan Cirebon berdiri, sudah ada penyiar Islam di Cirebon yakni Syekh Datuk Kahfi/Syekh Idlofi Mahdi. Beliaulah yang mendirikan Pesantren di daerah Gunung Jati, yang kelak diteruskan oleh Sunan Gunung Jati. Akan tetapi, karena kondisi politik Cirebon saat itu masih kuat dipengaruhi ajaran Hindu-Budha maka tidak terjadi pengislaman yang maksimal diseluruh Cirebon. Seperti dijelaskan di bab sebelumnya, menurut Babad Cerbon, Pesantren Gunung Jati terletak di Dukuh Pesambangan, sekitar lima kilometer sebelah utara kota Cirebon sekarang ini. Sedangkan kota Cirebon sekarang ini dahulunya bernama Lemah Wungkuk, suatu Desa Ki Gedhe Pengalang-alang/Ki Alang-alang membuat pemukiman masyarakat Muslim. 11 Dalam perkembangan selanjutnya, Ki Gedhe Alang-alang diangkat oleh Raja Pajajaran sebagai kepala daerah dengan gelar Kuwu Cerbon. Gelar
Kuwu
Walangsungsang
dari
Cakrabuana/Cakrabumi.
Cerbon Ki
kemudian
Gedhe
Karena
dinobatkan
Alang-alang
perdagangan
di
dengan
kepada
Pangeran
gelar
Pangeran
Pelabuhan
Muara
Jati
berkembang pesat, maka dari itu Pangeran Cakrabuana mendirikan Keraton bernama Dalem Agung Pakungwati. Perkembangan Negeri Caruban dibawah Pangeran Cakrabuana cepat terdengar sampai Pajajaran, oleh karena itu Prabu
10
Susanto Zuhdi, Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah). (Jakarta: CV . Putra Sejati Raya, 1997), hlm. 39. 11
Susanto Zuhdi, loc. cit.
98
Siliwangi Kemudian memberi gelar pada Pangeran Cakrabuana yang merupakan putranya dengan Nama Sri Mangana. Dalam kitab Purwaka Caruban Nagari dijelaskan bahwa setelah waktu yang ditentukan, Sunan Gunung Jati dinikahkan dengan putrinya Nyai Pakungwati. Pernikahan antara Sunan Gunung Jati dan Nyai Pakungwati juga menandakan pengangkatan Sunan Gunung Jati menggantikan Pangeran Cakrabuana. Sunan Gunung Jati kemudian mendapat gelar Panetep Panata Gama Saerat Sunda dari para wali setanah Jawa yang berkuasa diseluruh Jazirah Sunda dan bersemayam di Negara Caruban sebagai pengganti Syekh Nurul Jati/Syekh Datuk Kahfi yang telah wafat. Sunan Gunung Jati sebagai Kepala Negara Cirebon bergelar “Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep panata Agama Awliya Allaoh Kutubid Jaman Kholfatur Rasululloh S.A.W.”. 12 Penjelasan gelar Sunan Gunung Jati, menurut Pak Elang Haryanto yang merupakan Pemandu Senior Keraton Kasepuhan Cirebon, bahwa Sunan Gunung Jati selain sebagai Kepala Negara mendapat tanggung jawab juga sebagai ulama yang sejajar dengan para wali Tanah Jawa sebagai penyebar agama Islam ditanah Sunda. Lebih dari itu, sebagai salah satu anggota Walisongo, Sunan Gunung Jati mendapat kelebihan sebagai Wali Kutub. 13
12
P. S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon. (Jakarta: Depdikbud, 1978),
hlm. 21. 13
Qutb atau Kutubid Zaman dalam gelar Sunan Gunung Jati menunjukkan bahwa ia telah sampai pada tingkatan Qutb yang merupakan tingkatan kemanusiaan yang sempurna (lihat Dadan Wildan, 2012: 249).
99
Dalam buku Sejarah Cirebon, peran Sunan Gunung Jati pada akhirnya mencapai
puncaknya
dimana
mampu
mengislamkan
seluruh
Negara
Pajajaran/Jawa Barat dan berhasil membantu mengokohkan Kesultanan Demak dari pengaruh Hindu-Budha peninggalan Majapahit. Oleh karena itu, pada waktu yang telah ditentukan, para Wali setanah Jawa mengangkat Sunan Gunung Jati menjadi pemimpin Walisongo dan menobatkannya sebagai Wali Kutub. 14 Maksud penobatan gelar ini menurut pemandu senior Keraton Kasepuhan Cirebon Elang Haryanto, dinilai dari kemampuan Sunan Gunung Jati yang mahsyur hingga keluar Cirebon, bahkan seantero Nusantara. Sunan Guung Jati diangkat menjadi Wali Kutub bagian Masrik/Timur setelah cukup lama wafat Wali Kutub dari wilayah Magrib/Barat, Syekh Abdul Qodir Jaelani di Baghdad. Gelar Wali Kutub yang disandang Sunan Gunung Jati menggambarkan besarnya pengaruh pengislaman beliau. Oleh karena itu dalam buku Sunan Gunung Jati peran Sunan Gunung Jati dalam pengislaman Jawa Barat sangat besar hingga disebut propagandis Islam di Jawa Barat (the propagator Islam in West Java). Sebagai Sultan, beliau juga berperan sebagai Penata Agama Islam yang menandai berdirinya kekuatan Islam di Jawa Barat. Keraton Dalem Agung Pakungwati
merupakan
tempat
dimana
Sunan
Gunung
Jati
mengatur
pemerintahan yang bernafaskan Islam. Sebelumnya, telah diceritakan bahwa Sunan Gunung Jati memerdekakan diri dari Pajajaran dengan menghentikan bulubekti/upeti yang diberikan setiap tahun. Sebenarnya hal ini sangat membuat Prabu Siliwangi gusar, oleh karena itu 14
P. S. Sulendraningrat, op. cit., hlm. 31.
100
Prabu Siliwangi memerintahkan beberapa pasukannya untuk memperingatkan Sunan Gunung Jati. Dalam buku Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon dijelaskan pemimpin pasukan ini adalah tumenggung Jagabaya dengan sekitar enam puluh orang bawahannya. Akan tetapi usaha ini gagal, sebaliknya dengan izin Allah Tumenggung Jagabaya malah berbalik masuk Islam berikut para pasukannya. Dalam kitab Purwaka Caruban Nagari bahkan pangeran Raja Sengara/Kian Santang yang merupakan paman dari Sunan Gunung Jati yang ikut dalam penyerangan ke Cirebon singgah di Cirebon dan kemudian pergi Haji. Dengan bertambahnya beberapa orang warga Pajajaran, semakin besarlah pengaruh Cirebon bagi negeri-negeri di wilayah Pajajaran seperti Surantaka, Japura, Wanagiri, Galuh, Talaga, dan negeri asal Padukuhan Caruban, Singapura yang telah melebur menjadi bagian Kesultanan Cirebon. 15 Pengaruh Cirebon dari awal perkembangan Kesultanan Demak memang berjalan beriringan dimana perkumpulan Walisongo juga terjadi karena inisiatif para ulama Islam untuk memperkuat Islam ditanah Jawa. dengan berdirinya Kesultanan Demak di Jawa Tengah dan berdirinya kekuatan Islam di Jawa Barat, maka pengislaman terjadi secara merata diseluruh Pulau Jawa. Hingga saat ini kita bisa melihat fakta bahwa di Jawa Islam adalah agama yang dianut sebagian besar masyarakatnya, khususnya di Cirebon. Akan tetapi Islam Jawa tidak seutuhnya seperti Islam dari negeri asalnya. Islam Jawa memiliki ciri khas, dimana antara Islam dan kebudayaan Hindu-Budha terlihat saling berkaitan. Fakta ini mengindikasikan bahwasannya Islamisasi yang dilakukan para ulama dilakukan secara bijaksana. 15
M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, op. cit., hlm. 26.
101
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ilmu tasawuf sering disangkutpautkan dengan metode berdakwah Walisongo, dalam hal ini Sunan Gunung Jati. Pada masa pencarian ilmu, dari kitab-kitab tradisi Cirebon, Sunan Gunung Jati belajar ilmu tasawuf
di Baghdad, sepulangnya dari mempelajari tasawuf pergi ke
Nusantara untuk memenuhi hasratnya sebagai penyiar Islam ditanah kelahiran ibunya Syarifah Muda’im/Nyai Lara Santang. 16 Karena tradisi sebelum Islam masuk merasuk dalam kehidupan masyarakat Cirebon maka strategi Sunan Gunung Jati sangat halus, yaitu melalui ajaran yang bersifat menutup secara perlahan ajaran sebelumnya dengan ajaran Islam. Bahkan dalam naskah tradisi Cirebon tidak jarang ditemukan metode Islamisasi Sunan Gunung Jati berbau mistik. Melalui ilmu tasawuf ini dalam buku Islam Jawa dijelaskan mudahnya Islam masuk kedalam struktur kebudayaan Jawa sebab Islam dipeluk oleh keraton sebagai basis Negara teokratik. Sunan Gunung Jati sendiri selain berperan sebagai ulama, beliau juga dipercaya sebagai sufi. Darinya pengislaman di Cirebon dibentuk dalam atmosfer Jawa melalui jalan sufisme (Islam mistik) sebagai dasar dakwah yang efisien diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan. 17 Meskipun sulit dibuktikan secara keilmuan, tetapi ada banyak bukti yang menampakkan keberadaan akulturasi sebagai indikasi ajaran sufisme ini terjadi pada masa
16
Aria Carbon, Purwaka Tjaruban Nagari. terj. P. S. Sulendraningrat, (Jakarta: Bhratara, 1972), hlm. 17. 17
Woodward, Mark R, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, terj. Harius Salim dari judul asli, Islam in Jawa: Normative Piety and Misticsm in The Sultanate of Yogyakarta. (Yogyakarta: LKis, 1999), hlm. 5.
102
pengislaman Cirebon. Dari bentuk keraton sendiri terlihat adanya gapura berbentuk candi bentar, Masjid Agung Sang Ciptarasa yang juga memiliki gapura, dsb. 18 Bentuk pemerintahan Kesultanan Cirebon menggambarkan adanya transformasi dari era kerajaan Hindu-Budha (Pajajaran) kearah Kesultanan (Kesultanan Cirebon). Misi pemerintahan yang melekat dalam bentuk Kesultanan merupakan perwujudan antara sistem pengelolaan Negara dengan misi dakwah agama Islam, sehingga aspek-aspek pemerintahan, pengendalian masyarakat, dan pengembangan agama menyatu menjadi bagian yang tidak terpisahkan. 19 Maka dari itu, perkembangan Kesultanan Cirebon sendiri sudah menjadi dengan misi dakwah Sunan Gunung Jati. Selain itu, gaya kepemimpinan Sunan Gunung Jati dalam buku Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra seperti halnya yang diturunkan para wali lainnya yang khas Islam yaitu konsep imamah dan ukuwah. Dalam buku Sunan Gunung Jati, ada tiga aspek penting di Kesultanan Cirebon, menurut Shiddique ketiga aspek penting ini meliputi tiga lingkaran konsentrasi dengan keraton sebagai pusatnya yaitu negaragueng (inti wilayah), mancanegara (Negara sahabat), dan pasisir (provinsi). 20 Keraton Dalem Agung Pakungwati memegang peranan penting dalam dakwah Islam yang dilakukan Sunan Gunung Jati. Bahkan dalam kitab-kitab tradisi Cirebon, Keraton
18
Wawancara dengan Elang Haryanto, 23 April 2014. Keraton Kasepuhan
Cirebon. 19 20
Dadan Wildan, op. cit., hlm. 248. Ibid., hlm. 252.
103
Pakungwati memiliki sarana yang mendukung dalam kegiatan dakwah dan perdagangan. C. Dalam Bidang Ekonomi Seperti telah dijelaskan sebelumnya, perkembangan Kesultanan Cirebon dipengaruhi oleh pembangunan sarana-prasarana pendukung, perluasan Dalem Agung Pakungwati, pendirian Masjid Agung Sang Ciptarasa, hingga dibangunnya sarana jalan yang mendukung perdagangan di Kesultanan Cirebon. Dalam buku Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon dijelaskan maraknya perdagangan di Cirebon tidak hanya perdagangan antar penduduk, tetapi perdagangan internasional banyak dilakukan. Terlebih ketika Sunan Gunung Jati memperluas Pelabuhan Muara Jati, banyak pedagang asing terutama dari Tiongkok yang melakukan perdagangan di Cirebon. Pedagang-pedagang Tiongkok benyak berdatangan ke Cirebon terutama karena adanya pernikahan antara Sunan Gunung Jati dengan Putri Kaisar Tiongkok. Putri Kaisar Tiongkok ini bernama Ong Tien yang kemudian diganti dengan nama Nyai Ratu Rara Sumanding. 21 Sebelumnya telah dijelaskan tentang pernikahan-pernikahan Sunan Gunung Jati termasuk pernikahannya dengan Putri Ong tien. Pernikahan Sunan Gunung Jati dan Putri Ong Tien dalam tradisi Cirebon sebenarnya kurang dapat dipercaya. Akan tetapi dari fakta yang ada, kita bisa melihat pengaruh budaya Tiongkok yang menjalar di Keraton Kasepuhan hingga sekarang. Dari Putri Tiongkok inilah perluasan Keraton Pakungwati Cirebon 21
M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, op. cit., hlm. 27.
104
banyak menggunakan hiasan dinding dari porselin buatan Tiongkok. 22 Diantara peninggalannya, banyak hiasan berbentuk guci yang masih tersimpan sampai saat ini di Keraton Kasepuhan Cirebon. Perubahan ekonomi lain yang menandai era kekuasaan Sunan Gunung Jati adalah diberlakukannya sistem pajak yang adil. Pajak yang diberlakukan di Kesultanan Cirebon menitik beratkan pada keikhlasan wajib pajak sesuai aturan, tujuannya adalah agar tidak memberatkan rakyatnya. 23 Sistem ini tidak memberatkan rakyat kecil sehingga adanya keterikatan yang makin kuat di dalam Kesultanan Cirebon sendiri. Tidak seperti upeti, menurut Pak Elang Haryanto, hasil dari pajak ini nantinya akan dikembalikan untuk kebaikan masyarakat sendiri pula, baik untuk memperbaiki sarana-prasarana mapun untuk upacaraupacara kenegaraan. Mengutip perspektif Berger dan Luckann dalam buku Sunan Gunung Jati, Kesultanan Cirebon memiliki tiga aspek penting yakni aspek Kesultanan Cirebon yang religius, aspek ekonomi dan politik, dan aspek lembaga kerajaan (kesultanan) Islam sebagai religious institution (institusi religi). Dijelaskan dalam buku yang sama, sejak tiga tahun penobatan Sunan Gunung Jati sebagai tumenggung menurut Sunardjo terdapat berbagai perubahan yang pesat di Cirebon, antara lain : 24
22
Ibid., hlm. 27.
23
Wawancara dengan Elang Haryanto, 23 April 2014, Keraton Kasepuhan
Cirebon. 24
Dadan Wildan, op. cit., hlm. 253.
105
1. Telah terpenuhinya prasarana dan sarana fisik suatu kerajaan pesisir yang ditandai dengan berdirinya keraton sebagai tempat kegiatan resmi kepala Negara (susuhunan) dan pusat pemerintahan yang letaknya tidak jauh dari sungai Kriyan, masjid Agung sebagai tempat ibadah dan tempat merumuskan program-program syiar agama Islam, pelabuhan utama Muara Jati sebagai andalan peningkatan perekonomian, jalan raya yang menghubungkan pusat pemerintahan dengan pusat perdagangan dan perguruan agama, dan pasar sebagai pusat perdagangan di wilayah Pesambangan dan sekitar pelabuhan. 2. Telah dikuasainya daerah-daerah belakang (hinterland) yang dapat diharapkan mensuplai bahan pangan termasuk daerah penghasil garam, daerah yang cukup vital bagi income negeri pesisir dengan luas yang memadai. 3. Telah adanya sejumlah pasukan (lasykar) yang dipimpin oleh para panglima (tumenggung) yang bisa dipercaya loyalitasnya. 4. Adanya penasihat disejumlah dibidang pemerintahan dan para pimpinan wilayah (gedeng) yang loyal. 5. Terjalinnya hubungan antarnegara yang sangat erat antara Cirebon dan Demak yang setiap waktu dapat saling membantu dalam membangun pertahanan. 6. Mendapat dukungan penuh dari para wali di Pulau Jawa. 7. Tidak terdapat indikasi adanya ancaman dari Kerajaan Pajajaran. Pada bahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa konsep pengembangan Kesultanan Cirebon berasas desentralisasi kerajaan pesisir, dimana pelabuhan menjadi bagian penting dan pedalaman menjadi unsur pendukung yang vital. Untuk kegiatan pemerintahan, dijelaskan dalam buku Sunan Gunung Jati titik
106
beratnya adalah dalam hal pengembangan dakwah diseluruh wilayah Tanah Sunda yang didukung perekonomian yang menitik beratkan pada perdagangan dengan berbagai negeri seperti Campa, Malaka, India, dan Arab. Tidak heran peran politik Sunan Gunung Jati selalu bertalian dengan misi dakwah Islam dan ekonomi. D. Dalam Bidang Sosial Budaya Cirebon dibawah Sunan Gunung Jati menjadi salah satu kesultanan pertama dari sedikit pusat penyiaran Islam di Jawa yang sekaligus tumbuh menjadi pusat agama Islam, kekuatan politik, dan perkembangan sosial budaya.25 Kesultanan Cirebon berdiri diatas kekuatan Islam yang melalui proses panjang, tidak serta merta berdiri. Lebih dari itu, berdirinya Kesultanan Cirebon di Tanah Sunda bukan tanpa perjuangan, dimana daerah Sunda merupakan daerah bawahan Kerajaan Hindu Pajajaran, termasuk wilayah Cirebon. Oleh karena itu, berdirinya kerajaan Islam didaerah yang telah lama menganut budaya Hindu-Budha adalah karena faktor strategi dakwah yang efisien. Pada
bab sebelumnya, penulis telah memaparkan metode dan sarana
dakwah yang digunakan Sunan Gunung Jati dalam pengislaman Jawa Barat umumnya, Cirebon khususnya. Metode dakwah yang menitik beratkan pada hikmah dan sufisme/mistik Islam yang darinya didapat berbagai peninggalan yang terkesan sebagai akulturasi antara budaya Hindu-Budha dengan budaya Islam. Peninggalan-peninggalan masa pengislaman Sunan Gunung Jati memiliki ciri khas masa transisi dari Hindu ke Islam, oleh karena itu bisa terlihat dalam berbagai aspek, baik dari bangunan maupun kesenian. 25
Ibid., hlm. 254.
107
Salah satu aspek sosial budaya yang sampai saat ini dapat dilihat adalah simbol kosmis yang berasal dari Hindu dan simbol yang berasal dari Islam. Simbol kosmis diwujudkan dalam bentuk payung sutra berwarna kuning dengan kepala naga. 26 Penggambaran payung kuning berkepala naga merupakan simbol kosmis yang menggambarkan perlindungan raja kepada rakyatnya. Simbol yang berasal dari Islam, dalam buku Sunan Gunung Jati dijelaskan terbentuk dalam berbagai acara yang menggambarkan tahapan hidup manusia mencapai Tuhan yaitu, syariat, tarekat, marefat, dan hakekat. Tradisi Cirebon yang mengandung kedua unsur tersebut diatas masih sering dijumpai saling melengkapi dalam satu upacara, salah satunya acara sekaten. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai upacara sekaten yang merupakan salah satu metode dakwah Sunan Gunung Jati. Perlu diketahui, upacara Maulid Nabi Muhammad S.A.W. tidak hanya dilakukan , melainkan diseluruh kerajaan Islam di Jawa dan salah satunya di Kesultanan Cirebon. Sebagai media dakwah, peran upacara sekaten saat ini masih dilakukan, bedanya saat ini upacara sekaten dilakukan dengan tujuan pariwisata bagi Cirebon. Meskipun begitu, simbol-simbol yang mengiringi upacara sekaten sebagai pesan dakwah tersirat masih dilestarikan. Pengaruh Hindu juga ada pada bentuk bangunan Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon. Bangunan Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon diarsiteki oleh Raden sepat, seorang bekas arsitek keraton Majapahit. Bentuk bangunan yang mengandung unsur kehinduan adalah dari Gapura masjid yang berbentuk 26
Ibid., hlm. 254.
108
Candi Bentar. Selain itu, bentuk Candi Gapura Paduraksa Kembar juga terdapat dalam bangunan Masjid Agung Cirebon. 27 Hal ini makin menguatkan bukti bahwa pada proses keislaman yang terjadi di Cirebon tidak berdiri sendiri, melainkan saling memiliki kesinambungan. Dari bukti-bukti inilah penulis meyakini bahwa pengislaman yang dilakukan Sunan Gunung Jati tidak sematamata melalui jalan kekerasan, tetapi lebih ke jalur hikmah, bijaksana, dan menjunjung tinggi toleransi.
27
Cirebon.
Wawancara dengan Elang Haryanto, 23 April 2014. Keraton Kasepuhan