BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
Menurut sumber-sumber sejarah, di awal perkembangannya, Kota Cirebon berkait erat dengan Sunan Gunung Jati, seorang tokoh Walisongo yang berperan dalam proses Islamisasi di daerah Jawa Barat. Beliau juga merupakan salah satu penguasa awal di Kerajaan Cirebon. Berdirinya Kasultanan Cirebon berkait erat dalam rangkaian munculnya kerajaan-kerajaan Islam dan kota-kota di pantai utara Jawa, khususnya Kerajaan Demak, Banten dan Kota Jakarta. Beberapa kerajaan dan kekuatan politik yang muncul di pantai utara Jawa tersebut dalam rangka memberi dukungan terhadap proses Islamisasi yang berlangsung di Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya, yang terjadi di sekitar abad ke-16 hingga ke-17 Masehi (Abdurachman, 1982. Graff, 1985). Cirebon, sebagai sebuah kota, tentu tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui sebuah proses yang panjang. Oleh karena itu sangat mungkin banyak
faktor yang mempengaruhi, dan
menyebabkan Cirebon muncul sebagai kota dengan ciri-ciri khasnya. Hal ini dapat dilihat misalnya pada pola jalan yang sejajar dengan garis pantai, dan adanya pola perkampungan berlandaskan pada etnik, profesi, jabatan, ataupun agama.
1
Kota sering pula dikaitkan dengan budaya menulis, artinya setua apapun sebuah kota pasti penduduknya mengenal tulisan dan juga digunakan untuk membakukan pranata sosial yang digunakan sebagai landasan kehidupan sosial masyarakat sebuah kota (Wiryomartono, 1995: 18-20). Ini yang membedakan antara kota dengan desa, karena hingga sekarang desa lebih banyak menggunakan pranata yang tidak tertulis, yang tidak mungkin digunakan
pada
masyarakat
yang
kompleks
di
perkotaan.
Kebudayaan India, Islam, Cina, dan Eropa sebagai kebudayaan yang cukup maju banyak ditemukan dalam kebudayaan Jawa dalam bentuk akulturasi. Oleh karena itu, sangat wajar apabila di Jawa pada masa lalu banyak tumbuh kota-kota, sebab kota itu sendiri sebenarnya mencerminkan sebuah kebudayaan atau peradaban yang cukup tinggi (Tjandrasasmita, 2000 : 11). Sejak pertengahan abad ke-17 sampai dengan pertengahan abad ke-18, Kota Cirebon dikuasai pemerintahan tradisional (pribumi). Bukti eksistensi kekuasaan pribumi di Cirebon terlihat pada arsitektur kota yang bercirikan kota Islam dan dapat digolongkan dalam kategori kota kerajaan (kota praindustri), yang bersifat konsentris berpusat pada kekuasaan raja di keratonkeraton dikelilingi oleh perkampungan atas dasar etnik, jabatan dan profesi (Tjandrasasmita, 1985). pertumbuhan
kota
Cirebon berada
Dalam perkembangannya, di
tangan
orang-orang 2
Belanda, yang telah membawa kebudayaan modern (industri). Di samping orang-orang Belanda, di Cirebon ada pula orang-orang Cina dengan budayanya tersendiri. Sebelum dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, daerah Cirebon berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh/Pajajaran, sehingga kebudayaan Sunda juga memberi warna pada Kota Cirebon (Rochani, 2008). Kondisi seperti ini juga mewarnai bentuk tata ruang kota. Oleh sebab itu Kota Cirebon di masa
lampau
menjadi
mempunyai unsur Eropa yang
unik, karena
sekaligus
di samping
berintegrasi dengan
unsur-unsur tradisional Jawa, Sunda dan Islam, juga terdapat elemen budaya Cina. Selama
ini peninggalan-peninggalan
bangunan-bangunan perlindungan
mengenai
terutama
di Kota Cirebon telah
mendapat
dari masyarakat dan pemerintah.
Langkah
selanjutnya tentu
kuno
sejarah
diperlukan untuk mengungkap
latar belakang
lebih
jauh
munculnya bangunan-bangunan
tersebut, yang didasari baik oleh kebijakan-kebijakan mengenai tata kota dan bangunan yang dikeluarkan
oleh pemerintah
kerajaan maupun pemerintah kolonial Belanda. Walaupun modernisasi juga telah melanda Kota Cirebon sejak masa kolonial, namun institusi tradisional keraton-keraton sebagai pusat kebudayaan kota ternyata masih berfungsi dengan baik. Dalam proses modernisasi ini, tampaknya pemerintah 3
kolonial
memang
tidak
serta
merta
mengubah
atau
menghilangkan unsur-unsur tradisional lokal di kota ini, tetapi memadukannya
dalam
proses
perencanaan
kota.
Kebijakan
tentang perencanaan kota seperti ini tampaknya memang sengaja dijalankan oleh pemerintah kolonial terhadap perencanaan kotakota di kawasan Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Adanya alun-alun, rumah bupati, dan sebuah masjid agung sebagai
pusat
kota
yang
dikelilingi
oleh
perkampungan-
perkampungan tradisional dan beberapa bangunan kolonial, hingga sekarang masih banyak dijumpai di banyak kota di Jawa, beberapa di antaranya sepenuhnya merupakan hasil perencanaan para arsitek pemerintah kolonial. Kota Semarang dirancang tetap berpusat pada alun-alun, Masjid Besar Kauman dan rumah bupati (Kanjengan), dikelilingi
juga
oleh
dijumpai
pasar
perkampungan
(Pedamaran/Johar),
seperti
Kampung
yang
Gendingan,
Sayangan, Jagalan, Kauman, Plampitan, Pekojan dan Pecinan. Di samping itu, jalan-jalan besar dan bangunan-bangunan berciri kolonial, sebagai fenomena moderen juga bertebaran di kota ini (Soekirno, 1956; Priyanto, 1999). Perhatian yang cukup besar juga diberikan oleh pemerintah kolonial kepada kota-kota yang memiliki istana raja atau keraton, seperti Kota Cirebon, Surakarta, Yogyakarta, dan Denpasar. Tentunya kota-kota ini sudah berkembang sebelum orang-orang 4
Belanda datang ke Indonesia, dan pemerintah kolonial tidak banyak mengintervensi perencanaan lokal yang sudah ada. Kawasan Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta disebut termasuk daerah voorstenlanden, yaitu daerah yang diberi otonomi lebih luas di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, termasuk dalam perencanaan kota. Oleh karena itu, unsur-unsur lokal cukup menonjol di kedua kota tersebut. Kota Cirebon tidak diberi otonomi seperti di Surakarta dan Yogyakarta, walaupun usianya jauh lebih tua dari kedua kota tersebut. Oleh karena itu, apa yang tarjadi di sana pada jaman kolonial, merupakan persoalan-persoalan yang sangat menarik untuk dikupas dalam penelitian ini. Modernisasi yang berlangsung di Kota Cirebon pada jaman kolonial
memang
cukup
gencar,
dibuktikan
dengan
dicanangkannya kota ini sebagai gemeente pada tahun 1906. Artinya kota ini dipandang cukup penting, terutama untuk menyalurkan
kepentingan-kepentingan
pemerintah
kolonial,
khususnya di bidang politik dan ekonomi. Oleh karena itu, Kota Cirebon diberikan status kota praja atau kota besar (gemeente), seperti halnya Kota Semarang dan Kota Surabaya. Walaupun status
kota
besar
telah
diberikan
kepada
kota
ini,
dan
perencanaan kota sepenuhnya berada di tangan pemerintah kolonial, namun unsur-unsur lokal masih dipertahankan, seperti
5
keberadaan keraton dan beberapa unsur lokal lainnya yang berintegrasi dengan bangunan-bangunan kolonial di kota. Untuk mempelajari Kota Cirebon jaman dahulu, di samping harus melihat tata ruang, arsitektur bangunan dan pola jalan yang masih tersisa, juga dapat dilakukan dengan mempelajari toponim-toponim yang masih dapat dijumpai sebagai unsur lokal. Toponim atau nama tempat (kampung) selalu muncul pada setiap kota praindustri, sebab susunan toponim tersebut melukiskan suatu bentuk pembagian tata ruang kawasan di perkotaan. Pada jaman kolonial Belanda di Kota Cirebon sudah mulai dibuat perencanaan teknis, namun toponim-toponim itu juga masih ada, sebab modernisasi tidak menyentuh semua unsur kota. Hal ini menunjukkan bahwa di satu sisi telah terjadi modernisasi, tetapi di sisi lain unsur-unsur lokal masih tetap berfungsi dengan baik. Buktinya toponim-toponim di Kota Cirebon banyak digunakan sampai sekarang untuk nama kampung, jalan, gang atau nama suatu kawasan, misalnya Kampung Pajunan dan Kampung Pekalangan. Untuk meneliti keterkaitan antara aspek sosial budaya yang ada dengan struktur tata ruang dan bangunan di Kota Cirebon pada jaman dahulu, harus dilihat
pola interaksi sosial antar
individu dan antar kelompok pada masa itu. Dalam interaksi ini muncul lintasan simbol-simbol yang tampak di dalam artefak 6
arsitektural keruangan ataupun bangunan. Pesan-pesan simbolik muncul dari interaksi sosial akhirnya memunculkan bentuk dan kondisi yang khas dalam arsitektur Kota Cirebon pada masa itu.
1.2.
Rumusan Masalah Cirebon merupakan salah satu kota tua, maka untuk dapat
memahami secara lebih mendalam baik morfologi maupun sistem perencanaan Kota Cirebon, perlu diketahui aspek-aspek filosofis dan konseptual yang melandasinya. Penelitian berfokus pada perkembangan Kota Cirebon dari masa awal pembentukan hingga akhir jaman kolonial Belanda. Pada masa awal Kota Cirebon tumbuh sebagai kota kerajaan atau kota praindustri di jaman perkembangan Islam, sedangkan pada masa kolonial dapat dikatakan bahwa Kota Cirebon mengalami modernisasi, karena mendapat pengaruh dari kebudayaan Eropa. Proses integrasi antara kebudayaan lokal dan kebudayaan asing dapat diamati melalui karya arsitektur dan tata ruang kota. Di samping itu, pada masa ini terjadi perubahan orientasi pusat kota dari pusat pemerintahan tradisional keraton ke kawasan pelabuhan. Cirebon bukanlah kota seperti Jakarta, Semarang ataupun Surabaya, yang sebagian besar bagiannya dirancang pada jaman pemerintahan
kolonial
Belanda.
Jauh
sebelum
orang-orang
Belanda datang ke Indonesia, kota ini sudah ada, sebagai pusat
7
kerajaan yang istana-istananya masih ada yaitu
Keraton
Kasepuhan,
Keraton
sampai sekarang,
Kanoman,
dan
Keraton
Kacirebonan. Oleh karena itu, sistem perencanaan Kota Cirebon yang
dikembangkan
oleh
pemerintah
kolonial
pada
masa
kemudian memadukan unsur-unsur lokal-tradisional tersebut. Beberapa permasalahan penelitian yang diajukan adalah : 1. Bagaimana proses terbentuknya morfologi Kota Cirebon dari masa awal perkembangannya pada masa kerajaan hingga masa akhir pemerintahan kolonial Belanda ? 2. Apa saja faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terbentuknya dan perkembangan morfologi Kota Cirebon tersebut ? 3. Simbol-simbol apa saja yang muncul dalam bentuk konfigurasi yang terpancar dari morfologi tersebut pada tata ruang dan arsitektur bangunan di kota Cirebon di masa lampau ? 1.3.
Manfaat dan Tujuan Penelitian
1.3.1. Manfaat Penelitian Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
gambaran yang komprehensif mengenai seluk beluk morfologi dan perkembangan Kota Cirebon, khususnya dalam kaitannya dengan aspek urban symbolism. Melalui penelitian ini, maka aspek historis dan arkeologis akan lebih terungkap dan diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi penelitian lain tentang sejarah ataupun arkeologi perkotaan. Kota Cirebon merupakan kota yang cukup 8
tua, sebab kota ini sudah ada sejak jaman perkembangan Islam, yang hingga sekarang terus berkembang sebagai kota moderen. Pada jaman kolonial Belanda kota ini merupakan salah satu kota besar di Indonesia, sebab didukung oleh peran daerah penyangga (hinterland) yang subur dan menghasilkan komoditas perkebunan yang diekspor ke luar negeri melalui Pelabuhan Cirebon. Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu landasan konseptual yang mengandung unsur historis dan arkeologis bagi perencanaan dan penyusunan kebijakan Kota Cirebon ke depan. Dengan memahami aspek historis dan kultural secara komprehensif, diharapkan dapat tercapai perencanaan dan kebijakan kota yang lebih baik, lebih akurat dan lebih humanis. 1.3.2. Tujuan Penelitian Berdasarkan
latar
belakang
permasalahan
yang
telah
diuraikan di atas, ma-ka sebagai tujuan penelitian ini adalah mengetahui pola perkembangan tata ruang dan morfologi Kota Cirebon, meliputi pula berbagai faktor yang berpengaruh. Adapun tujuan khusus penelitian ini : 1. Untuk mengetahui terbentuknya morfologi dan elemen-elemen Kota Cirebon dari masa awal perkembangannya pada masa kerajaan hingga masa akhir pemerintahan kolonial Belanda.
9
2. Untuk
menggali
dan
mengungkap
faktor-faktor
yang
berpengaruh terhadap morfologi dan perkembangan Kota Cirebon tersebut. 3. Untuk menemukan simbol-simbol apa saja yang muncul dalam bentuk
konfigurasi
berkembangnya
yang
terpancar
elemen-elemen
kota
dari
morfologi
yang
dan
membentuk
kekhasan Kota Cirebon.
1.4.
Kajian Pustaka
1.4.1.
Batasan Pengertian dan Konsep-konsep
1.4.1.1. Batasan Pengertian Berkenaan
dengan
judul
penelitian
“Morfologi
dan
Konfigurasi Simbol Kota Cirebon dari Masa Kerajaan Hingga Akhir Masa Kolonial Belanda” berikut permasalahannya, ada beberapa batasan
pengertian
dan
konsep-konsep
penting
yang
perlu
dijelaskan untuk memahami persoalan-persoalan yang dibahas dalam penelitian. Morfologi berasal dari bahasa Inggris morphology: noun [uncountable] 1 (biology) branch of biology dealing with the form and structure of animals and plants; 2 (linguistic) study of the morphemes of a language and of how they are combined to make words (Hornby, 1974: 549). Dalam kamus Bahasa Indonesia „morfologi‟ dalam linguistik adalah cabang linguistik tentang
10
morfem
dan
kombinasinya,
dalam
biologi
adalah
ilmu
pengetahuan tentang bentuk luar dan susunan makhluk hidup, dalam geologi struktur luar dari batu-batuan dalam hubungan dengan perkembangan ciri topografis. Dalam kaitannya dengan aspek perkotaan, maka konsep morfologi berkaitan dengan bentuk dan struktur kota, yang terdiri atas elemen-elemen kota yang muncul dan terbentuk, serta didorong oleh beberapa faktor. Faktor pembentuk morfologi kota adalah faktor lingkungan, politik, ekonomi, dan kebudayaan (Balai Bahasa, 2001: 755). Dalam studi perkotaan, menurut Zaidulfar (2002: 29-30) morfologi kota merupakan studi yang komprehensif menyangkut beberapa aspek yang diwujudkan melalui artikulasi ruang kota seperti struktur dan bentuk kota. Morfologi kota tidak saja berhubungan dengan bentuk fisik dan geometrik struktur material secara umum, tetapi juga menjelaskan fenomena yang terjadi di belakangnya. Penjelasan tentang fenomena tersebut berhubungan dengan hal yang lebih abstrak seperti hubungan struktural antara fenomena, kegiatan, konsep dan ide, yang kemudian menghasilkan fungsi, model dan prototipe. Selanjutnya pendekatan morfologi kota merupakan pendekatan yang berkaitan langsung dengan ekspresi dan eksistensi ruang perkotaan, yang dapat diamati dari penampilan kota secara fisik. Pendekatan morfologi kota akan terbuka kemungkinan untuk menjelaskan kondisi faktual sebuah 11
kota melalui perspektif sejarahnya. Eksplorasi perubahan spasial sejak awal tumbuhnya sampai kemudian, akan menjelaskan tentang perkembangan bentuk dan struktur kota tersebut, atau dengan kata lain bagaimana kondisi kota dipengaruhi oleh perkembangan masa lalunya. Konsep tentang “konfigurasi simbol”
terdiri dari dua kata
dasar yaitu „konfigurasi” dan “simbol”. Kofigurasi adalah struktur atau susunan, berasal dari bahasa Inggris configuration (noun [countable]) shape or outline; method of arrangement; example the configuration of the earth‟s surface. (Hornby, 1974: 178). Simbol adalah lambang yang dibuat oleh manusia sendiri sebagai media komunikasi, yang sifatnya konvensional dan arbitrary (Spradley, 1972;
Poerwadarminta,
“konfigurasi
simbol”
2007).
adalah
Secara
keseluruhan
simbol-simbol
yang
arti
tersusun
membentuk suatu konfigurasi, tiap simbol berintegrasi dengan yang
lainnya
saling
melengkapi
membentuk
suatu
jalinan
konfigurasi yang khas. Dalam kaitannya dengan aspek perkotaan sering disebut dengan Urban Symbolism, menurut Nas (1993; 1-12; 2006: 1-20) adalah simbol-simbol yang muncul diperkotaan dalam bentuk fisik dapat berupa fenomena alam atau benda buatan manusia seperti
patung-patung,
arsitektur
(tata
ruang
dan
bangunan) atau non-fisik seperti seni tradisi, seni musik, nama jalan, lagu, puisi ataupun motif pakaian. Lebih lanjut Nas 12
mengatakan bahwa kota adalah tempat yang berlipat ganda mengandung makna dan simbol-simbol, antara lain dengan adanya patung-patung, festival, nama-nama jalan dan arsitektur. Kadang-kadang sisi simbolik kota ini sangat kuat melebihi realita, sehingga dapat disebut dengan hypercity. Studi urban symbolic ecology dan hypercity adalah studi yang berhubungan dengan produksi, konsumsi dan distribusi simbol-simbol dan maknamakna di ruang kota. Secara keseluruhan maka judul penelitian ”Morfologi dan Konfigurasi Simbol Kota Cirebon Dari masa Kerajaan Hingga Akhir Masa Kolonial Belanda” dapat dijelaskan sebagai :
studi yang
komprehensif menyangkut beberapa aspek yang diwujudkan melalui artikulasi ruang kota seperti struktur dan bentuk kota dari masa kerajaan hingga masa kolonial, serta konfigurasi pesanpesan simbolik yang disampaikan para penguasa, pejabat dan seluruh warga Kota Cirebon sejak jaman kerajaan hingga akhir masa kolonial Belanda. Adapun konsep-konsep yang terkait dengan masalah ini selain aspek-aspek makna-makna simbol dari pesan-pesan, adalah konsep modernisasi, sebab ide-ide dan simbol-simbol yang berkaitan dengan konsep modernisasi yang dibawa oleh orang-orang Eropa itu sangat kuat dan membawa dampak
yang
perkembangan
sangat Kota
signifikan Cirebon.
terhadap Untuk
perubahan
membahas
dan
secara 13
komprehensif
perubahan
dan
perkembangan
kota
tersebut,
diperlukan pendekatan morfologi kota, yang intinya membahas tentang
kota
dari
aspek
pembentukan,
perencanaan
dan
perubahannya yang langsung berkaitan dengan ekspresi dan eksistensi ruang perkotaan, serta perjalanan sejarahnya. Kata ”Cirebon” sendiri sebenarnya tidak hanya berkenaan dengan nama kota itu, tetapi dalam sejarahnya Cirebon juga pernah menjadi nama sebuah karesidenan ataupun kabupaten, bahkan hanya untuk menyebut pelabuhan seperti dilakukan oleh Tome Pires dan para pedagang VOC. Sebagai sebuah kota secara administratif Cirebon baru ditegaskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda ketika menetapka Cirebon debagai gemeente pada tahun 1906. Kata Kota Cirebon sendiri bukan berarti untuk menyebut kota dengan batasbatas administratif secara tegas, tetapi lebih barmakna pada proses-proses terbentuknya kota (urban) itu. Adapun konsep-konsep yang terkait dengan masalah ini selain aspek-aspek makna-makna simbol, juga tentang konsep modernisasi, yaitu berkenaan dengan ide-ide dan simbol-simbol yang dibawa oleh orang-orang Eropa ke Indonesia (HindiaBelanda) yang sangat kuat dan membawa dampak yang sangat signifikan terhadap perubahan dan perkembangan Kota Cirebon. Konsep
“modernisasi”
juga
harus
dijelaskan
dalam
penelitian ini, sebab membahas simbol-simbol dan maknanya di 14
Kota Cirebon sangat erat kaitannya dengan proses perubahan sosial budaya dan modernisasi. Modernisasi berasal dari kata asing “modernization”, noun [uncountable] being modern (Hornby, 1974: 544). Modernisasi adalah proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini (Balai Bahasa, 2001: 751). Dalam permasalahan perkotaan, konsep modernisasi atau pembaharuan adalah suatu proses perubahan kota dari kondisi yang lama menuju suatu kondisi yang baru. Berkenaan dengan penelitian ini, konsep modernisasi atau pembaharuan itu merujuk pada suatu kebudayaan baru, kebudayaan industri atau kebudayaan barat yang datang dibawa masuk ke Indonesia oleh orangorang Eropa. Kebudayaan moderen memang sering diartikan sebagai
kebudayaan
industri,
untuk
membedakan
dengan
kebudayaan pra-industri, atau kebudayaan lama. Titik tolaknya pada adanya revolusi industri di Inggris, yang menyebabkan pula terjadinya perubahan sosial budaya di Eropa dan berpengaruh ke seluruh dunia. Dalam studi perkotaan, kota modern juga sering dikaitkan
dengan
adanya
pengaruh
budaya
industri
dan
kapitalisme, serta aspek efisiensi dan inefisiensi dalam kehidupan perkotaan (Sjoberg, 1960; Schrool, 1984; Beauregard, 2004). Dalam kaitannya dengan modernisasi yang terjadi di Kota Cirebon
di
masa
lampau,
maka
seberapa
jauh
pengaruh 15
kebudayaan Eropa yang dibawa oleh orang-orang Belanda ke Cirebon berdampak terhadap kebudayaan lokal. Modernisasi tidak harus
berarti
perubahan
total
dari
kebudayaan
lama
ke
kebudayaan baru, tetapi bagaimana kebudayaan baru tersebut dapat berintegrasi secara baik dengan kebudayaan lokal di Cirebon khususnya. Walaupun demikian modernisasi juga ada unsur negatifnya apabila diterapkan secara berlebihan (ultra modern), misalnya tekanan-tekanan VOC ataupun pemerintah kolonial ketika menerapkan sistem kapitalisme dan politik liberal. 1.4.1.2. Pengertian Kota Istilah „kota‟ sering digunakan untuk membedakannya dengan istilah „desa‟, walaupun keduanya sebenarnya merupakan kompleks
permukiman
(settlement)
masyarakat,
yang
sering
disebut sebagai urban, city, town, dan village. Di dalam bahasa Indonesia urban dan city sering diartikan sebagai kota, sedangkan town sering diartikan sebagai kota kecil yang sebenarnya masih kabur batasannya bila dihubungkan dengan kota dan desa (village). Konsep urban dan city sendiri yang sering diartikan sebagai „kota‟ masih perlu dibedakan, seperti yang diutarakan oleh Charles Redman (1976: 215) mengenai urbanism dan
city bahwa urban
atau urbanism dapat dipandang sebagai suatu proses yang
16
mengarah pada kompleksitas bentuk masyarakat, tidak hanya di kota tetapi dapat pula terjadi di desa. Dalam hal ini kota (city) dapat dipandang memiliki tingkat urbanisasi atau kompleksitas yang lebih tinggi dari pada desa. Akan tetapi, yang sangat penting dari suatu kota adalah kompleksitas dan bentuk integrasinya. Menurut Louis Wirth, kota adalah sebuah permukiman permanen dengan individu-individu yang heterogen dengan jumlah yang besar dan padat pada suatu kawasan yang luasnya terbatas, berbeda dengan desa, kampung atau permukiman lainnya. Menurut Wirth (1980), dalam mendefinisikan kota (city), struktur fisik merupakan faktor yang mengkondisikan atau menjadi syarat dasar bagi pertumbuhan organisasi sosial melalui serangkaian proses yang berkesinambungan : pertama, perluasan mekanisme antara populasi, teknologi dan lingkungan akan mempengaruhi pengelompokan dan spesialisasi tenaga kerja. Kedua, hal tersebut akan menimbulkan deferensiasi, stratifikasi sosial dan pemusatan politik. Ketiga kondisi yang kompleks tersebut dapat dipahami secara bersama-sama di dalam organisasi sosio politik kota dan terabstraksi dalam ide-ide serta nilai-nilai yang terpola sebagai perilaku dan kepribadian masyarakat kota (collective urban personalities). Dalam kesempatan lain, Wirth (2005: 5-10) mendefinisikan kota : 17
“as combination of three key variables – size, density and heterogeneity or diversity of population. He proposed a theory that, the more intense were the three variables, the more urban the place would be. For example, the larger the population, the more formal, secondary and tertiary social relations would there be replacing the primary relations of a traditional community, the more anonymous would the crowds be. The greater density would accentuate the effects of anonymity and also produces a blasé attitude due to the need to turn out excessive stimulation. Greater density produces greater tolerance of strangers but also greater stress – both attributes of city living. Heterogeneity also creates tolerance because there are so many different people interacting. Menurutnya, kota merupakan kombinasi tiga variabel, yang mencakup
ukuran/jumlah,
kepadatan
dan
heterogenitas
penduduk. Semakin intens ketiga variable tersebut akan semakin urban yang terjadi. Lebih besar jumlah penduduk menyebabkan hubungan-hubungan sosial semakin formal, semakin sekunder, semakin tertier, dan semakin meminggirkan hubungan primer dari komunitas tradisional. Lebih padat penduduk menyebabkan lebih besar toleransi kepada orang-orang asing, walaupun juga akan lebih besar tekanan. Heterogenitas juga menciptakan toleransi sebab
banyak
perbedaan
ketika
orang-orang
berinteraksi
Tjandrasasmita, 2000:10-11). Sifat-sifat yang paling signifikan dan sering digunakan secara
luas
untuk
mendefinisikan
kota
adalah
kepadatan
penduduk, teknologi yang tidak terikat pada pertanian serta kompleksitas organisasi sosial. Kompleksitas dan heterogenitas gaya kehidupan kota dapat dilihat dari struktur fisik, kompleksitas 18
artefak
(secara
arkeologis),
areal
permukiman
dan
konteks
lingkungannya (Wirth, 1980 : 43; Tjandrasasmita, 2000:10-11). Kota juga dapat dipandang sebagai hasil adaptasi sekelompok manusia dalam jumlah yang cukup besar terhadap lingkungan budaya dan alamnya. Oleh karena itu, kota dapat diamati dari dua sudut pandang secara eksternal dan internal. Secara ekternal proses muncul dan tumbuhnya kota adalah hasil dari interaksi antara sekelompok individu terhadap lingkungan yang lebih luas, baik meliputi lingkungan alam, sosial, politik, ekonomi maupun budaya. Suatu kota dimungkinkan tumbuh dan berkembang karena surplus wilayah yang menyangganya, dan adanya penumpukan surplus di kota yang memungkinkan kota memiliki daya tarik dan kemampuan memberikan berbagai kesempatan dan pilihan hidup. Daerah-daerah penyangga kota sering disebut hinterland, biasanya berupa desa-desa sebagai penghasil bahanbahan makanan atau lumbung bahan mentah serta pusat cadangan man power yang dibutuhkan oleh kota-kota. Ciri kota umumnya adalah non-agraris, dan berfungsi sebagai pusat pengelolaan, pusat dominasi atau pusat kelembagaan dalam hubungannya dengan daerah-daerah hinterland. Namun kaitannya dengan aspek urbanisasi, yang dimaksudkan tidak hanya menyangkut masalah migrasi dari desa ke kota, tetapi adalah proses-proses
19
perilaku individu atau kelompok individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan kota (Nurhadi 1986: 108-132). Secara internal kota merupakan suatu organisasi sosial yang kompleks, terdiri atas sejumlah besar individu dengan berbagai strategi hidup yang umumnya tidak terlalu terikat dengan
kegiatan
menyebabkan
pertanian.
munculnya
Kompleksitas
aglomerasi
kota
masyarakat
sering atau
menajamnya perbedaan sosial atas dasar perbedaan profesi, pendapatan, status, ras, dan bahasa. Pada kota-kota kuna di Jawa hal
ini
sering
menimbulkan
pengelompokan
pada
pola
permukimannya atas dasar perbedaan ataupun persamaan sosial tersebut.
Kelompok-kelompok
pemukim
kota
baik
secara
individual maupun kelompok merupakan elemen-elemen struktur sosial kota yang akan berinteraksi secara fungsional sebagai wujud dari mekanisme kehidupan kota dalam mempertahankan eksistensinya. Hasil ataupun media interaksi sosial tersebut terwujud dalam bentuk sistem nilai dan simbol-simbol yang berdemensi
ruang
dan
waktu,
dalam
hal
ini
terbentuklah
tradisi-tradisi dalam wujud sistem perilaku, artefak dan arsitektur bangunan di perkotaan. Oleh karena itu, dalam kajian perkotaan, antara sistem perilaku, artefak (peralatan) dan karya arsitektur (aspek simbolik keruangan) terjalin kesatuan pengertian yang
20
tidak dapat saling dilepaskan satu dengan lainnya (Nurhadi 1986: 108-132). Dalam
kajian
perkotaan,
maka
karya-karya
arsitektur
merupakan suatu bentuk kemajuan teknologi di bidang pemanfaatan ruang dan bangunan. Berdasarkan atas pertimbangan kepentingan dan nilai-nilai, maka muncul stratifikasi ruang, dan hal ini erat kaitannya dengan hak (status) dan kemampuan materiil
individu
atau
kelompok
untuk
memperoleh
ruang
permukiman tertentu yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan dan pelapisan sosial dalam masyarakat perkotaan. Oleh karena itu,
struktur
jenjang-jenjang kepentingan,
keruangan struktural sistem
kota
(kuno)
masyarakat
nilai
dan
berhubungan yang
dengan
dilandasi
makna-makna
oleh
simbol.
Perkembangan suatu kota merupakan perubahan dari faset satu ke lainnya. Dalam skala makro, proses tersebut merupakan suatu bentuk adaptasi manusia terhadap lingkungan eksternalnya, adapun dalam skala mikro merupakan proses yang menyeluruh menyertakan semua komponen dalam jajaran organisasi sosial yang ada di kota itu (Nurhadi 1986: 108-132). 1.4.2. Kerangka Teoretis 1.4.2.1. Kota Praindustri Seperti
dikatakan
oleh
Sjoberg
(1960)
bahwa
kota
praindustri adalah kota yang berkembang di dunia ini sebelum 21
terjadinya revolusi industri di Inggris. Kota Cirebon merupakan kota yang berkembang sejak abad ke-15 hingga menjadi kota modern. Mengikuti pendapat Sjoberg (1960) tentang perbedaan dan prasyarat terbentuknya kota-kota pra-industri dan juga kategorisasi dari Uka Tjandrasasmita, tampaknya kondisi ekologi memang merupakan prasyarat munculnya suatu kota. Hal ini dibuktikan dengan munculnya kota-kota lama di daerah-daerah yang kondisi geografisnya cocok untuk mengembangbiakkan tanaman, binatang (ternak), dan kegiatan perdagangan, sehingga dapat menunjang populasi yang lebih besar dan teknologi yang ada. Masalah lain yang perlu dipertimbangkan untuk kemajuan teknologi
masyarakat
kota
adalah
lingkungan
yang
sesuai,
sedangkan faktor penunjang utama bagi bertahannya suatu kota ialah adanya sumber air. Sumber-sumber air selain untuk konsumsi, dapat pula untuk mendorong teknologi irigasi dan juga merupakan prasarana penunjang bagi berkembangnya teknologi transportasi (air) untuk kegiatan perdagangan barang-barang kebutuhan, diperlukan
konsolidasi oleh
sosial
masyarakat
ataupun kota
yang
(Sjoberg,
lainnya, 1960:
yang
108-110;
Tjandrasasmita, 1985: 760-775).
22
Walaupun ekologi mempengaruhi muncul dan tumbuhnya kota-kota, namun proses-proses atau kontak-kontak sosial itulah yang sebenarnya aktif menunjang perkembangan teknologi dan struktur sosial, yang dilandasi oleh kondisi-kondisi ekologi yang cocok. Kemajuan teknologi dapat dilihat di antaranya pada kemajuan teknologi irigasi (sistem pengairan), teknologi alat transportasi atau komunikasi. Selanjutnya kemajuan teknologi akan berpengaruh ke segala bidang, meliputi perdagangan, penggunaan mata uang, pembentukan modal, pembagian kerja, penciptaan peralatan, pengadaan prasarana jalan, dan pendirian bangunan-bangunan, yang semuanya menunjukkan kompleksitas suatu kota (Sjoberg, 1960: 108-110). Sjoberg menjelaskan bahwa organisasi sosial yang kompleks dan
ditunjang
oleh
struktur
kekuasaan
yang
berkembang
merupakan prasyarat bagi terbentuknya kota pra-industri. Kostof (1991)
berkeyakinan
bahwa
tumbuhnya
kota
lebih
banyak
didorong oleh aspek politik dan kekuasaan, perencanaan kota dan bangunan-bangunan di kota sangat dipengaruhi oleh kekuasaan. Kompleksitas
sosial
ini
merupakan
wujud
dari
semakin
meningkatnya kegiatan ekonomi, termasuk di dalamnya semakin meningkatnya gerakan arus barang dan jasa sebagai akibat penumpukan
surplus
dari
daerah
hinterland
di
kota
dan 23
masuknya barang dan jasa dari kota lain. Dalam hal ini struktur kekuasaan (politik) memang dibutuhkan untuk mengawasi atau mengelola kompleksitas sosial dengan tujuan mencapai efektivitas dan efisiensi ekonomi. Oleh karena itu, terciptalah pembagian dan spesifikasi bidang pekerjaan, meliputi bidang pengawasan dan pengelolaan sesuai dengan profesi atau jabatan masing-masing individu atau kelompok pemukim di kota. Lebih jauh lagi hal itu yang akan menyebabkan pula terjadinya stratifikasi penggunaan ruang di kota. Dalam penempatan ruang-ruang (bangunan) serta sarana (jalan) penghubung, sering terjadi semata-mata tidak hanya dalam hubungan fungsional satu dengan lainnya dalam struktur keruangan kota, akan tetapi sering pula dilengkapi dengan unsur-unsur yang bersifat simbolik atau religio-magis, sebagai tanda regalia, baik adanya struktur sosial maupun keruangan (Sjoberg, 1960: 108-110; Kostof, 1991: 31-34).) Gejala yang paling menonjol di dalam struktur sosial pada kota pra-industri adalah dikotomi antara lapisan atas dan lapisan bawah dalam stratifikasi sosial. Perilaku sosial, cara bertindak, berbicara, dan berpakaian, ditentukan sekali oleh keanggotaan individu di dalam status-status tertentu, serta diawasi oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini menyebabkan mobilitas sosial tidak banyak terjadi, sebab setiap individu akan terlahir di dalam suatu kedudukan sosial tertentu dan tidak banyak memiliki kesempatan 24
untuk pindah ke status baik di atas maupun di bawahnya. Anggota-anggota lapisan atas berpengaruh pada masyarakat kota dan desa-desa di sekitarnya (daerah hinterland) dan menempati kedudukan-kedudukan tinggi di dalam struktur hirarki yang timbul
di
dalam
pemerintahan,
masyarakat,
birokrasi
yaitu
militer
di
dan
dalam birokrasi
birokrasi agama.
Anggota-anggota lapisan bawah memegang fungsi rendahan dalam birokrasi-birokrasi
itu,
misalnya
menjadi
pedagang,
petani,
tukang, dan prajurit (Schrool, 1984 : 53-60; Kostof,1991: 33). Struktur permukiman
sosial atau
tersebut
tercermin
perkampungan
merupakan
tempat
melakukan
aktivitas
tinggal di
di
kaum
di
kota-kota.
elit
dan
gedung-gedung
dalam
pola
Pusat
kota
tempat
mereka
pemerintahan
atau
pusat-pusat agama. Lapisan bawahan bermukim di sekitar pusat itu,
dan
biasanya
berkelompok
menurut
etnik
atau
mata
pencahariannya. Kegiatan rumah tangga dan kegiatan mata pencaharian sering belum terpisah tempatnya, sebab sering kegiatan mereka masih berskala rumah tangga, baik kegiatan perdagangan
maupun
pertukangan
(kerajinan
tangan).
Oleh
karena itu, untuk memenuhi kebutuhan akan barang-barang di kota yang cukup besar, maka mereka mengelompok pada pekampungan-perkampungan berdasarkan pekerjaan-pekerjaan tertentu. 25
Lebih lanjut Sjoberg (1960: 183-187) mengatakan bahwa kegiatan ekonomi kota pra-industri kurang ekspansif, hal ini disebabkan
anggota-anggota
mempertahankan
posisi
yang
lapisan
atas
senantiasa
menguntungkan
bagi
akan
seluruh
anggota keluarganya. Mereka senantiasa mengadakan pembedaan dengan kelas-kelas di bawahnya melalui tanda-tanda khusus yang diciptakannya. Calon-calon petugas untuk menempati kedudukan di dalam masyarakat dipilih berdasarkan kriteria yang sifatnya spesifik, artinya kriteria penilaian itu tidak berdasarkan atas tuntutan kebutuhan fungsi atau profesionalisme, akan tetapi melalui hubungan- hubungan yang spesifik, misalnya hubungan interpersonal, ikatan-ikatan kekerabatan atau status-status sosial tertentu. Masyarakat kota menganggap bahwa posisi, hak dan kewajiban sangat tergantung kepada kelompok kerabat atau kedudukan mereka dalam kelompok-kelompok itu. Kelompok kerabat yang berfiliasi pada status-status tertentu ini merupakan kesatuan yang terpenting untuk sosialisasi dan enkulturasi. Birokrasi
pemerintahan
yang
sangat
hirarkik
sebagai
cerminan dari deferensiasi masyarakat merupakan sarana bagi kaum elit untuk menjalankan pemerintahan di kota. Walaupun demikian keputusan-keputusan yang diambil oleh kaum elit sering tidak
mengacu
pada
peraturan-peraturan
yang
bebas
dari
kepentingan perorangan, akan tetapi lebih berafiliasi pada pribadi 26
penguasa yang bersangkutan. Maka dari itu, tokoh-tokoh (elit) sering lebih penting dari peraturan-peraturan yang ada, sehingga keputusan-keputusan yang diambil cenderung lebih mengacu pada
kepentingan
perorangan
atau
golongan
dari
pada
kepentingan orang banyak. Hal ini sering merupakan sarana yang bernilai
simbolik
untuk
mengesahkan
atau
memperkokoh
kedudukan-kedudukan sosial dalam masyarakat yang sangat hirarkik itu (Schrool, 1984: 60-65). Struktur keagamaan, kepercayaan, kebudayaan, tradisi atau hal-hal yang bersifat religio-magis, sering merupakan unsur-unsur dominan yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat kota pra-industri. Kondisi ini memang sengaja diciptakan oleh kaum elit kota untuk mengintegrasikan kondisi masyarakat yang heterogen-majemuk itu. Kaum elit keagamaan atau elit yang menguasai
bidang
kebudayaan
atau
hal-hal
yang
bersifat
religio-magis sangat dekat hubungannya dengan elit-elit politik. Bahkan menurut Tjandrasasmita (1985), kaum elit politik di Jawa terutama raja memegang penuh kekuasaan atas politik, ekonomi, agama dan kebudayaan. Hal ini menyebabkan pula kota-kota terutama ibukota kerajaan tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan saja, tetapi
juga menjadi pusat kebudayaan,
keagamaan dan perekonomian bagi wilayah-wilayah administratif
27
atau kerajaan yang dikuasai oleh raja atau para penguasa di kota (Tjandrasasmita, 1985: 760-775). Perluasan kegiatan politik dan penempatan elit-elit politik di daerah-daerah administratif di luar kota, dilengkapi pula dengan struktur politik yang stabil di kota dengan komunikasi dan pengawasan yang cukup berkembang, sehingga dapat mendorong terwujudnya kota sebagai suatu kerajaan atau imperium yang besar (Kostof, 1992: 33). Kota Majapahit, Demak, Banten, Cirebon, dan Plered misalnya, telah banyak yang runtuh dan tinggal puing-puingnya saja, tetapi dahulu merupakan pusat-pusat kota kerajaan
yang
Keruntuhan
memiliki
kota-kota
wilayah ini
administratif
umumnya
cukup
luas.
disebabkan
oleh
ketidakstabilan atau semakin lemahnya struktur politik atau ekonomi. Di samping hal itu, dapat pula disebabkan oleh bencana alam, atau lemahnya pranata kebudayaan meliputi agama dan kepercayaan yang sering menjadi tempat berlindung masyarakat kota. Diperkirakan runtuhnya kota Majapahit atau
Plered tidak
semata-mata akibat kekalahan perang melawan musuh, namun adanya kepercayaan bahwa kota atau keraton yang telah kalah atau dimasuki oleh musuh atau terkena bencana alam yang dahsyat, akan sangat tabu untuk digunakan lagi dan harus segera dipindahkan. Hal ini telah menyebabkan kota itu runtuh sama
28
sekali karena ditinggalkan oleh penguasa ataupun musuh yang berhasil mendudukinya (Hendro, 1999). Kota-kota kerajaan tradisional dan feodal sebagai pusat kekuasaan dengan struktur birokrasinya, memerlukan lokasilokasi tertentu, baik untuk tempat tinggal maupun kegiatan masyarakatnya, yang diperuntukkan bagi raja, kaum bangsawan, pejabat birokrasi pemerintah, golongan elit agama, para pedagang, perwakilan asing, para tukang, pegawai-pegawai istana, dan prajurit.
Maka
dari
itu,
di
kota
tumbuh
perkampungan-
perkampungan (sub-urban), seperti Kedaton, Kesatriyan, Pekojan, Pecinan, Kauman, Kademangan, Pajundan, Pajeksan, Pagongan, Pabean,
Pasuketan,
Patangpuluhan,
Pandean,
Pamitran,
Kemasan,
Jagalan,
Mangkubumen,
dan
Panyutra, Wirogunan.
Nama-nama tempat tersebut menunjukkan ciri permukiman kota tradisional, dan masih dapat dijumpai pada kota-kota ataupun bekas kota di Jawa dan di Indonesia pada umumnya, seperti di Kota
Banten,
Cirebon,
Demak,
Surakarta,
Yogyakarta,
dan
Kartasura. (Tjandrasasmita 1985: 760-775). Alun-alun,
bangunan
(keraton/kabupaten) selalu
suci
dan
istana
penguasa
menjadi pusat kota. Pada jaman
Kadiri dan Majapahit, alun-alun disebutnya sebagai wanguntur dan kawasan bangunan suci serta tempat tinggal para pendeta disebut sebagai pahoman. Pola terpusatnya alun-alun, bangunan 29
suci dan istana penguasa ini banyak ditemukan pada kota-kota kuno ataupun kota-kota kerajaan di masa kini di kawasan Asia Tenggara, misalnya pada pusat kota Bangkok, Kota Yogyakarta, atau kota Surakarta. Mungkin pola seperti itu ada kaitannya dengan konsep kosmologi Hindu-Budha yang memang sangat luas pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara. Menurut Gunawan Tjahjono (1989) alun-alun berasal dari kata „alun‟ yang artinya lautan
yang
mengelilingi
Gunung
Mahameru
seperti
yang
digambarkan dalam konsep kosmologi Hindu-Budha. Robert Von Heine Geldern (1968) juga menegaskan bahwa sifat kota-kota yang konsentris dan bentuk atap tumpang pada masjid-masjid kuno di Jawa menunjukkan kuatnya pengaruh konsep kosmologi itu, yaitu sebagai manifestasi dari kesejajaran dan keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos yang dicita-citakan manusia untuk kesejahteraan kehidupannya di dunia. Kondisi seperti ini ditegaskan oleh Rapoport (1983) bahwa unsur-unsur religius atau keramat yang senantiasa melingkupi struktur kota-kota kuno, karena hal itu memang sesuai dengan pola-pola kehidupan masyarakat masa lalu yang masih lekat sekali dengan kehidupan keagamaan. Ia juga menunjukkan bahwa banyak kota-kota di dunia ini yang awalnya merupakan pusatpusat kegiatan upacara keagamaan, dan hal-hal yang bersifat religio-magis,
menjadi
sangat
efektif
untuk
menata
suatu 30
masyarakat termasuk dalam mengorganisasikan kota atau tempat tinggalnya. Oleh karena itu, sangat logis apabila bersatunya alunalun, bangunan suci (masjid) dan istana penguasa di pusat kotakota seperti banyak terlihat di Jawa, sebenarnya merupakan suatu keputusan politik dengan memanfaatkan unsur-unsur agama, karena
agama
memang
sering
digunakan
sebagai
tempat
berlindung bagi masyarakat (Sjoberg, 1960). Alun-alun, bangunan suci (masjid) dan istana penguasa yang ada di pusat kota itu juga dapat diinterpretasikan sebagai bersatunya antara penguasa (istana), rakyat (alun-alun) dan agama (masjid), sebagai suatu simbol strategi politik penguasa untuk mengatur rakyatnya (Suroyo, 1988). Untuk lebih mengefektifkan pemerintahannya, penguasa sering mensejajarkan dirinya dengan dewa atau Tuhan dan membuat pelapisan atau kesejangan sosial yang tinggi atas rakyat yang diperintahnya. Hal ini dilakukan dengan penciptaan simbolsimbol politik misalnya kultus dewa-raja, atau pemakaian gelar sebagai penguasa dunia alam semesta, pemakaian gelar-gelar pada
keturunan-keturunannya
masyarakat
umumnya
yang
yang
membedakan
sekaligus
juga
dengan
menciptakan
hambatan-hambatan dalam mobilitas sosial. Dalam hal ini tentu saja menyebabkan penguasa sangat kuat dan dominan posisinya dalam masyarakat. Rakyat benar-benar di bawah kekuasaan 31
penguasa, dan berada dalam tatanan yang sangat struktural. Artinya status-status sosial yang berafiliasi pada ascribed status lebih dipentingkan dalam tatanan masyarakat dari pada yang berafiliasi
pada
achieved
status.
Gelar-gelar
jabatan
dan
kebangsawanan lebih penting dari pada prestasi-prestasinya. Pengaruh penguasa juga sangat terasakan di dalam tata ruang kota-kota tradisional (pra-industri) terutama pada kota-kota di Jawa pedalaman (yang masyarakatnya lebih homogen). Hal itu tampak
dalam
bentuk
toponim-toponim
dan
karya-karya
arsitektur, yang makin ke pusat ditempati oleh golongan strata atas dan makin ke pinggiran ditempati oleh golongan strata bawah (Schrool, 1984: 84-95). Hampir semua kota di Indonesia pada awalnya muncul sebagai kota pra-industri,
hal ini diketahui dari kondisi pusat-
pusat kota lamanya berbentuk konsentris, yang tersusun menurut pelapisan sosial yang ada di kota, semakin ke pinggiran semakin rendah status sosial permukiman penduduknya. Pusat kota terdiri dari
alun-alun,
dikelilingi
oleh
rumah
penguasa
permukiman
(raja/bupati)
penduduk
dan
dalam
masjid, bentuk
perkampungan yang tersusun menurut jabatan, ras/etnik, profesi dan fenomena-fenomena lama lainnya.
32
1.4.2.2. Kota Modern Kota-kota
modern
umumnya
dibangun
dengan
suatu
perencanaan teknis atau perencanaan tata ruang kota yang dibuat oleh
ahli-ahli
perencanaan
kota
yang
berlatar
pendidikan
perguruan tinggi. Oleh karena itu, para perencana atau perancang kota akan mempertimbangkan segala aspek kepentingan atau kebutuhan kota baik yang berlatar politik, ekonomi, sosial maupun
kebudayaan.
Perubahan
yang
mendasar
yang
membedakan antara kota tradisional dan moderen adalah aspek ekonomi, yang bersumber dari jumlah dan pergerakan barang dan jasa di sebuah kota. Meningkatnya jumlah dan pergerakan barang dan jasa memerlukan sarana prasarana yang representatif, antara lain
berupa
lokasi-lokasi
dan
jalan-jalan
guna
menunjang
penumpukan dan pergerakan baik barang maupun jasa, berikut sarana pengaturnya. Semuanya akhirnya memerlukan penataan ruang kota utamanya untuk penyediaan fasilitas perekonomian kota, diikuti fasilitas lainnya, misalnya bidang politik, sosial dan kebudayaan. Perencanaan suatu kota, menurut Shirvani (1984), adalah bagian dari proses perencanaan yang berkaitan dengan kualitas fisik spasial dari suatu lingkungan. Untuk memberikan makna pada ungkapan ruang, harus dikaitkan dengan nilai ruang tertentu. Nilai ruang sangat berkaitan dengan organisasi ruang, 33
hubungan ruang dan bentuk ruang. Untuk mengkaji makna dari setiap bentuk fisik arsitektural kota, tidak dapat terlepas dari sejarah
pembentukan
kota
tersebut.
Catanese
(1986:1-45)
menyatakan pentingnya masa lalu dalam merencanakan dan merancang suatu kota. Dalam hal ini, kota memiliki suatu nilai yang banyak diwarnai oleh berbagai aspek di antaranya adalah ungkapan budaya dari penghuninya yang pada akhirnya akan memberikan identitas pada suatu kota. Budihardjo (1997) juga menyebutkan bahwa identitas suatu kota pada hakekatnya merupakan jejak peradaban yang ditampilkan sejarah suatu kota. Secara morfologis, kota-kota yang berkembang di Indonesia memiliki
keberagaman
bentuk
arsitektural
yang
sangat
dipengaruhi oleh keberagaman budaya sebagai bagian dari suatu proses sejarah dan perkembangannya. Oleh karena itu, makna dan ekspresi dari masing-masing kota di Indonesia sedikit banyak akan berbeda satu dengan yang lainnya. a. Struktur Tata Ruang Ruang sebagai salah satu komponen arsitektur menjadi penting dalam studi ini, karena fungsinya sebagai wadah dari kegiatan manusia. Perilaku dioperasionalisasikan sebagai kegiatan manusia yang membutuhkan setting atau wadah kegiatan yang berupa ruang. Berbagai kegiatan manusia saling berkaitan dalam
34
satu sistem kegiatan. kegiatan
tersebut
Dengan demikian, wadah-wadah berbagai
juga
terkait
dalam
suatu
sistem
pula.
Keterkaitan wadah-wadah kegiatan inilah yang membentuk tata ruang yang merupakan bagian dari bentuk arsitektur (Haryadi dan Setiawan, 1995: 53-76). Tatanan
ruang
memiliki
makna
tertentu
pada
suatu
masyarakat, yang kemudian akan membentuk sebuah struktur ruang. Hal ini dapat diartikan bahwa tatanan yang sama tetapi memiliki makna yang berbeda akan memiliki struktur yang berbeda pula. Dengan demikian, ruang dalam sebuah kawasan akan selalu memiliki makna yang unik, sebab hal ini sangat tergantung merasakan.
pada
masyarakat
Hubungan
antara
yang
mengatur,
ruang
dan
melihat,
budaya
dan
tidaklah
sederhana, tetapi sangat kompleks dan sangat tergantung pada determinasi pada sosio-kultural yang berkembang dan yang ada di setiap tempat (Rapoport, 1983). Menurut Markus (1993), ruang akan mudah dipahami apabila ada hubungan antara dua relasi antar penghuni suatu tempat dan lingkungan sekitar. Melalui gambaran ini, masingmasing masyarakat memiliki sistematika ruang sendiri, karena ruang memiliki logika sosial kultural sendiri-sendiri, guna melihat tatanan
ruang
beserta
maknanya
harus
dilakukan
dengan
pengamatan dan merasakan pengalamannya pada objek yang
35
diamati dan dikaji, baik dengan cara melihat, mendengar ataupun merasakan. Konsep sebuah kawasan dapat diartikan sebagai suatu bentuk pemahaman mengenai kawasan yang terkait dengan situasi, masalah ataupun fenomena tentang kawasan tersebut dan dihayati oleh masyarakatnya. Menurut Rossi (1982), konsep kawasan merupakan abstraksi yang berkaitan dengan ruang kota dan hal ini menghasilkan beberapa elemen yang spesifik lebih jelas, tetapi kawasan juga bisa dikenali dari elemen historis yang terjadi pada waktu tertentu dengan sebuah artefak kota yang penting. Beberapa aspek kawasan yang bisa diterangkan adalah hubungan antara ide spasial dari kawasan dan sosiologi alamiah kawasan, sehingga hal ini mengarahkan pada konsep dari kawasan yang pada akhirnya akan memberikan image atau citra yang spesifik bagi kawasan tersebut. Menurut Lynch (1990: 85-120), citra suatu kota yang terkait dengan bentukan fisik, dapat diklasifikasikan menjadi lima elemen yaitu : paths (jalan setapak), edges (batas pinggiran), districts (kawasan), nodes (spot area), serta landmark (tetenger). Masingmasing elemen dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Path : adalah route dari sirkulasi baik minor maupun mayor yang
digunakan manusia untuk
bergerak atau merupakan
lorong panjang untuk melakukan suatu gerakan, hal itu
36
mungkin jalan, jalan setapak, rel kereta api atau kanal. Path di dalam perencanaan kota merupakan salah satu penghubung antara satu fungsi dengan fungsi yang lain, dan jaringan jalan merupakan jaringan pathways untuk seluruh kota. 2. Edges : merupakan batas linier suatu kawasan. Beberapa kota ada yang tidak memiliki batas wilayah yang jelas, dan sering menyatu dengan wilayah yang lain. Beberapa bentuk fisik edges adalah : bibir pantai, jalan kereta api, atau pun dinding pembatas kawasan. 3. Districts : merupakan area kota yang sangat luas. Suatu kota terdiri atas beberapa komponen dari kawasan sekitarnya atau suatu daerah: ada pusat kota, kota atas, kota bawah, kawasan industri, kawasan perumahan, ataupun lingkungan kampus. Daerah-daerah tersebut dibedakan secara signifikan dan kadang-kadang tidak sama sekali. 4. Nodes : merupakan titik-titik aktivitas yang strategis di sepanjang jalur ataupun di persimpangan-persimpangan jalan di suatu kawasan. Meskipun nodes ini kecil di dalam image suatu kota namun node ini dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan. Node dapat berupa open space ataupun public square. 5. Landmarks : merupakan tetenger yang
dapat dijadikan
sebagai tanda bagi kawasan setempat. Adanya landmarks
37
kawasan diharapkan akan memudahkan seseorang untuk mengenali kawasan tersebut. b. Ruang dan Budaya Manusia Rapoport
(1977)
mendefinisikan
ruang
sebagai
suatu
keterpaduan yang bersifat struktural dari elemen-elemen fisik dan manusia yang ada di dalamnya, hubungan ini memiliki suatu pola tertentu. Selanjutnya Rapoport menjelaskan tentang pentingnya aturan-aturan yang berupa nilai-nilai dan norma-norma karena akan membuat suatu tempat berbeda satu sama lain. Dalam pandangan Rapoport, aturan akan menentukan pilihan, dan pilihan yang konsisten menghasilkan gaya tertentu. Aturan bersumber pada fungsi pengatur yang terikat erat dengan kompleksitas budaya masyarakat setempat yang dipengaruhi oleh antara lain faktor ekonomi dan agama. Sementara
itu,
komunitas
atau
masyarakat
menurut
Ishomudin (2005) biasanya memuat tiga hal yakni : kelompok dalam suatu ruang tertentu, suatu kelompok yang memiliki sifat yang sama serta suatu kelompok yang dibatasi oleh identitas dan budaya yang sama dan dibentuk oleh hubungan sosial yang kental. Nordberg dan Schultz (1979: 47-90) menjelaskan tentang ‟genius loci‟ (local genius), yang muncul dari budaya setempat,
38
menjadi bagian dari kehidupan komunitasnya, dan menyebabkan suatu ‟place‟ menjadi hidup dan berkarakter. Schultz juga menjelaskan
mengenai
place,
yang
keterpaduan dari berbagai unsur
dianggapnya
merupakan
serta hasil totalitas dari
substansi bentuk, tekstur, dan warna yang terpadu dengan karakter lingkungan. Lebih jauh Trancik (1990) mengemukakan bahwa teori ‟place‟ merupakan perpaduan antara manusia, budaya, sejarah serta lingkungan alam. Inti teori place adalah pemahaman bahwa ‟place‟ merupakan perubahan dari bentuk fisik setelah berintegrasi dengan karak-ter budaya dan manusia. Setiap place
adalah
unik
dan
memuat
karakter
tertentu
dalam
lingkungannya. Karakter ini terdiri atas benda padat yang mengandung bahan material, bentuk, warna, tekstur serta nilainilai kultural yang tidak terlihat. Karakter bentuk fisik suatu kota dapat dikenali melalui elemen-elemen dasar lingkungan, seperti bentuk ruang dan kualitas nilai dan makna suatu tempat. Pemahaman makna tentang nilai-nilai melalui dimensi simbolik, fungsional, emosional, historik, budaya, dan politik (Purwanto, 1996), serta keunikankeunikan dan karakteristik suatu tempat akan memperkuat suatu identitas kota. Karakter spesifik
yang membentuk identitas,
merupakan suatu pengalaman bentuk dan kualitas ruang kota, yang disebut sebagai sense of place. Sense of place ini kemudian 39
akan memberikan image yang spesifik dari suatu kota. Karakter yang paling menonjol dari sebuah kota dapat dilihat pada kawasan pusat kota, karena
perkembangan suatu kota diawali pada inti
(core) kota yang mempunyai beberapa fungsi kegiatan kota, seperti pusat pemerintahan, pusat jasa perdagangan, pusat rekreasi dan sosial budaya (Yunus, 2004: 23-44). c. Morfologi Kota Morfologi
dalam
perencanaan
kota,
tidak
hanya
berhubungan dengan segi fisik dan bentuk-bentuk geometrik saja, tetapi lebih dari pada itu, yaitu untuk menerangkan fenomenafenomena yang terjadi. Menurut Moneo (1978), untuk melihat fenomena dari suatu bentuk, maka tidak hanya dikaji dari segi fisiknya saja, tetapi harus dihubungkan dengan fungsi model dan prototipe. Menurut Rose (1979), untuk mempelajari morfologi tidak hanya dengan melihat wujud fisik saja, tetapi harus mengaitkan dengan ide-ide yang ada dibalik bentuk tersebut, serta faktor-faktor yang turut mempengaruhi terjadinya bentuk-bentuk tersebut. Sebuah kota akan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, menyangkut aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi, dan fisik. Morfologi sebagai suatu pendekatan, tidak
saja
berguna
untuk
menjelaskan
perubahan
kota,
khususnya yang berkaitan dengan penggunaan lahan, tetapi juga
40
merupakan pendekatan yang berkaitan langsung dengan ekspresi ruang kota, menyoroti eksistensi ruang perkotaan, yang diamati dari penampilan kota secara fisik (Zaidulfar, 2002 : 17). Eksprersi keruangan kota dapat digolongkan menjadi empat macam kenampakan utama dan enam kenampakan kombinasi (Russwurm
dalam
Yunus,
2000:
130-132),
yaitu
bentuk
konsentris (uni nodal concentric), bentuk simpul multi (constellation multy), bentuk memanjang (linear), bentuk terserak (dispersed), bentuk
konsentris
bersimpul
multi,
bentuk
konsentris
memanjang, bentuk konsentris terserak, bentuk memanjang bersimpul multi, bentuk bersimpul multi terserak, dan bentuk linear terserak (Gambar no. 1.1.). Hal ini sebagian terjadi melalui proses tertentu yang dipengaruhi oleh faktor fisik dan nonfisik. Faktor fisik berkaitan dengan keadaan topografi, geomorfologi, perairan, dan tanah. Faktor nonfisik antara lain berkaitan dengan penduduk kota, yaitu jumlahnya, kegiatannya (politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi), tingkat urbanisasi, perencanaan tata ruang, zoning dan peraturan pemerintah. Selain itu, sirkulasi sarana transportasi, pusat-pusat perrtumbuhan dengan fungsi khusus (industri dan perumahan) mempunyai peranan yang besar pula dalam membentuk variasi ekspresi keruangan kenampakan kota (Zaidulfar, 2002 : 21).
41
Gambar no. 1.1. Ekspresi keruangan bentuk-bentuk kota (Yunus, 1999 : 132)
Pendekatan
morfologi
memberikan
pandangan
untuk
melihat kota dengan konsepsi yang lebih lengkap, sebagai tempat yang ditransformasikan bagi kehidupan yang lebih manusiawi, sehingga kota adalah sebuah tatanan yang chaotic richness, sebuah collage dan sebuah dialektika antara yang lama dan yang baru. Kota bukanlah sebuah dialektika akibat perbedaan atau pemisahan antara lama dan baru, tetapi yang satu diikat bersama dengan yang lain, sehingga kota merupakan konsentrasi dari ruang-ruang publik dan kekayaan bentuk yang dimilikinya. Kota merupakan dialektika antara bangunan dan ruang kota, solid dan void, sehingga ruang privat dan publik tak lagi terlihat eksklusif
42
sebagai akibat dari kegiatan politik, sosial dan ekonomi, tetapi sebagai akibat tujuan budaya yang rasional (Krier, 1978: 190-192). Kota dapat dilihat dari bentuk dan pola ruang kota. Setiap daerah perkotaan memiliki pola yang berbeda, dan dalam pola akan terlihat komposisi block dan lay out jalan. Sebuah kota dapat berbentuk geometris teratur atau tidak beraturan, Kostof (1991) menyebut hal yang demikian sebagai ”bentuk kota”. Selanjutnya ia mengungkapkan, terdapat dikotomi dalam bentuk perkotaan yang didasarkan atas bentuk geometris kota yaitu : (1) Planned City (regular/geometris/grid), City/organik/deformasi
dan grid).
(2)
Unplanned
Bentuk
yang
City pertama
(Irregular banyak
dijumpai di Eropa pada abad pertengahan dengan pengaturan yang selalu regular dengan disain berbetuk geometrik. Di sini kota akan tampak dengan keteraturan dan kebebasan akses. Konsep perencanaan ini merupakan esensi pemikiran modern yang didasarkan pada rasional-fungsional dan universal. Namun dalam hal ini, bentuk yang dilihat memang dapat dibaca pesannya, tetapi menjadi tak dimengerti pada saat bergerak di dalamnya, karena setiap bagiannya cenderung sama, sebagai hasil bentuk hubungan geometris. Bentuk yang kedua banyak terjadi, khususnya pada kotakota yang berkembang secara tradisional, dan sering disebut dengan “growth city”.
Bentuk kota organik ini menurut Kostof 43
(1991) terbentuk secara spontan, tidak terencana, pola tidak teratur (irregular) atau nongeometrik. Lynch (1984) berpendapat bahwa model “organic city” atau kota biologi menempatkan kota sebagai tempat tinggal yang hidup dan memiliki ciri-ciri kehidupan yang membedakannya dari sekedar mesin, mengatur diri sendiri dan dibatasi dengan ukuran dan batas yang optimal, struktur internal dan perilaku yang khas. Menurut Lynch, bentuk fisik kota organik merupakan gagasan dari pola radial, unitnya terbatas, memiliki focused center, memiliki lay out non geometrik yang cenderung romantis, dan pola yang membentuk garis bengkok tak teratur, material yang alami, kepadatan penduduk sedang hingga rendah, serta biasanya dekat dengan alam. Komunitas dalam kota organik akan terpisah ke dalam unit-unit spasial dan sosial, setiap unit akan berdiri sendiri dan mempunyai fungsi yang berbeda.
Gambar no. 1.2.
Gambar no. 1.3.
44
Hillier, Hanson dan Peponis (1987: 160-181) mengemukakan bahwa pola irregular city sebagai deformasi pola grid. Dengan bentuk yang tidak teratur irregular city memang tidak dimengerti pesannya, namun menjadi difahami dengan baik pada saat orang bergerak di dalamnya. Produk morfologi kota merupakan hasil evolusi sejarah kehidupan yang menurut Kostof (1991) ditentukan oleh dua keputusan, yaitu pertama keputusan perencana kota (planned settlement) yang dapat dilakukam melalui suatu kelembagaan baik secara
otoriter
ataupun
demokratis.
Kedua
adalah
faktor
perkembangan kota (unplanned settlement) yang ditentukan oleh proses keputusan semua aktor pembangunan kota yang beragam, yang dapat berada di luar sekenario perencanaan kota formal. Kostof (1991) melihat sepanjang sejarah semua kota yang dirancang secara deterministik tidak dapat mempertahankan bentuk aslinya. Kedua keputusan tersebut memang selalu hadir dalam morfologi kota, namun biasanya yang satu lebih dominan dari yang lainnya. 1.4.2.3. Simbolisme Perkotaan Kota dapat diartikan sebagai sebuah wadah bagi manusia untuk berkumpul, berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Intensitas kegiatan ini sebenarnya juga merupakan suatu hal yang men-
45
dorong muncul dan berkembangnya sebuah kota. Oleh karena itu, baik bentuk, struktur maupun kompleksitas kota adalah cerminan dari perilaku ataupun interaksi sosial warga kota. Dalam kaitannya dengan pengertian simbol, maka manusia sebagai homo simbolysm akan menggunakan simbol-simbol yang diciptakannya
sendiri
sebagai
media
utamanya
dalam
berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Adanya variabel waktu dan intensitas interaksi sosial dari sebuah komunitas, akhirnya memunculkan jalinan pesan-pesan simbolik yang membentuk suatu konfigurasi. Dalam kaitannya dengan masalah perkotaan, Peter JM Nas (1993: 1-12) menjelaskan bahwa kota dicirikan oleh suatu konfigurasi khas simbol-simbol yang terjadi sebagai hasil ekspresi kreatif komunitas kota, dan merekfleksikan ciri-ciri dan problem-problemnya
dan
komponen-komponennya,
misalnya
trauma masa lalu, kesulitan-kesulitan masa sekarang, serta ekspetasi, dan harapannya ke depan. Tidak hanya sebagai cermin citra, simbol kota (urban simbolism) adalah suatu demensi utama dari komunitas kota. Kesepakatan dapat muncul di dalam konfigurasi-konfigurasi simbolik dari berbagai kota, itu dapat diterima
pada
beberapa
tingkatan
simbolisme
dari
ibukota
misalnya yang diwarnai oleh peran nasionalnya. Studi „urban simbolism‟ dimaksudkan untuk membantu konsentrasi pada
46
analisis masalah yang membentuk landasan konfigurasi yang berbeda dari simbol-simbol kota. Konsep Peter Nas tersebut di atas diambil dari penelitiannya di kota Denpasar Bali. Di sana ia melihat adanya simbol-simbol lokal berpadu harmonis dengan simbol-simbol modern di seantero kota.
Menurutnya,
ada
tiga
sistem
yang
terkait
dengan
perkembangan kota Denpasar dan aspek simboliknya, yaitu sistem kepercayaan
tradisional,
sistem
pemerintahan,
dan
sistem
pariwisata modern. Interaksi dari ketiganya telah membuat suatu kekayaan konfigurasi simbol di kota yang tampak dinamis. Hal itu semua merupakan suatu dorongan yang kuat untuk meciptakan kembali secara tipikal kebudayaan dan sistem simbol tradisional Bali untuk memperkuat basis ekonomi kota, pulau dan negara. Ini membuat Denpasar sebagai suatu tempat spesial dan citra kota yang lebih kuat di Bali secara keseluruhan. Gambaran
tentang
Denpasar, yang tampak di mata wisatawan, diperkuat oleh citra positif (eksotik) Bali dengan pantai-pantai pasirnya dan puranya (Nas, 1995: 225-238). Menurut Peter JM Nas (1993: 14-16), bahwa simbol adalah suatu bentuk yang terkait dengan suatu makna spesifik. Ia mengembangkan
sembilan
konsep
dalam
kaitannya
dengan
klasifikasi data dalam sebuah penelitian tentang simbol di perkotaan, yaitu :
47
a. Tipe of symbol-carriers, yaitu tipe atau kategori simbol seperti arca, lukisan, lagu-lagu, puisi, bangunan dan sebagainya. b. Symbolic element, yaitu dalam setiap kategori pembawa simbol (symbol-carriers) mempunyai elemen-elemen. c. Symbolic domains, bahwa simbol dapat dihubungkan dengan domain
aktivitas
ekonomi,
nasionalisme,
kemerdekaan,
kebebasan, pendidikan, kebudayaan dan sebagainya. d. Symbolic value or power, tidak semua simbol mudah dibaca dan mempunyai tekanan atau kekuatan yang sama. Ini dapat diapresiasikan pada peranan simbol, bagaimana simbol itu digunakan
oleh
masyarakat,
penerimaan
wisatawan
dan
sebagainya. e. Symbolic ecology, pendistribusian (penempatan) simbol di dalam tata ruang kota. f. Levels and symbols, simbol-simbol dapat dikelompokkan pada tingkatan-tingkatan, internasional, nasional, regional, kota, desa, lokal, personal. g. Formal and informal meaning, simbol dikaitkan dengan maknamakna formal, tetapi makna-makna informal sering muncul pula. h. The dynamics of symbol, simbol diciptakan, disebarkan dan diedarkan,
tetapi
dapat
pula
suatu
ketika
hilang
dari
48
posisinya, seperti hilangnya nama-nama jalan di Eropa Timur, diganti dengan nama baru misalnya. i. Functions of symbol, simbol adalah instrumen komunikasi di dalam suatu kelompok, untuk legitimasi kepemimpinan dan untuk mengkontrol masyarakat. Freek Colombijn menerapkan konsep urban simbolism di kota Padang di jaman kolonial awal abad 20, dan menurutnya bahwa
simbol-simbol
memang
mampu
menyatukan
dan
meggerakkan penduduk untuk beraktivitas sesuai dengan simbolsimbol yang diyakininya. Adanya atap-atap rumah bergonjong, masjid-masjid,
monumen-monumen
kota,
semuanya
menunjukkan simbol-simbol dari demensi yang berbeda tetapi cukup dominan di kota Padang, mewakili unsur-unsur etnik, agama dan politik moderen (Colombijn, 1994). Dalam
pandangan
bidang
semiotika,
simbol
sering
dikategorikan sebagai salah satu bentuk tanda, selain bentuk tanda lainnya yaitu indeks dan ikon. Dalam pandangan ini semiotika termasuk dalam ranah pendekatan strukturalisme, sebab pendekatan ini awalnya muncul dari bidang ilmu Linguistik, ilmu tentang kebahasaan dan strukturnya. Kajian tentang simbol ini kemudian semakin muncul dalam kajian tentang kebudayaan, dan
simbol
menjadi
semakin
berperan
untuk
menjelaskan
fenomena sosial kebudayaan dan tidak lagi menjadi bagian dari
49
tanda, tetapi bersama-sama digunakan dalam kehidupan sosial (Hidayat, 2004: 77-85). Para ahli sering menganggap semiotika sebagai sebuah pendekatan, metode atau model analisis berkenaan dengan tanda (sign) dan pemaknaannya (signification), dan bukan merupakan bidang ilmu, sebab semiotik bersifat lintas disiplin, seperti halnya filsafat dan logika. Oleh karena itu semiotika dapat dimanfaatkan oleh berbagai bidang ilmu seperti ilmu arsitektur, kedokteran, seni, sinematografi, linguistik, komunikasi, keagamaan, hukum, antropologi,
dan
arkeologi.
Sudah
sejak
lama
para
ahli
mempelajari tanda-tanda berkenaan dengan aspek kehidupan sosial, namun baru pada awal abad ke-20 tanda-tanda ini dilihat dan dianalisis menggunakan pendekatan, metode atau model semiotika. Tokoh-tokoh penting yang mengawali pendekatan semiotika ini adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913) di Swis dan Charles Sanders Peirce (1834-1914) di Amerika Serikat (Hidayat, 2004: 77-85). Saussure
(1988)
menjelaskan
bahwa
„tanda‟
sebagai
kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang, yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan „bentuk‟ atau „ekspresi‟, dan bidang
petanda/tinanda/yang
ditandai
(signified)
untuk
menjelaskan „konsep‟ atau „makna‟. Cara mengkombinasikan tanda dan aturan yang melandasinya memungkinkan untuk
50
dihasilkannya makna sebuah teks atau fenomena. Oleh karena hubungan antara sebuah penanda dan petanda bukanlah terbentuk secara alamiah, melainkan hubungan yang terbentuk berdasarkan konvensi, maka sebuah penanda pada dasarnya membuka berbagai peluang petanda atau makna (Hidayat, 2004: 77-85). Dalam bidang semiotika tersebut, Roland Barthes (1967) mengembangkan dua tingkatan pertandaan (staggered systems), yang memungkinkan untuk menghasilkan makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi (denotation) dan tingkat konotasi (connotation). „Denotasi‟ adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda/tinanda, atau
antara
tanda
dan
rujukannya
pada
realitas,
yang
menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti, misalnya foto wajah seseorang. „Konotasi‟ adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda/tinanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung
dan
kemungkinan).
tidak Ia
pasti
(terbuka
menciptakan
makna
terhadap lapis
berbagai
kedua,
yang
terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya (tanda) „bunga‟ mengkonotasikan „kasih sayang‟ atau (tanda) „tengkorak‟
mengkonotasikan
„bahaya‟.
Walaupun
demikian
Barthes juga melihat adanya makna yang lebih dalam tingkatnya,
51
dan
lebih
bersifat
konvensional,
yaitu
berkaitan dengan „mitos‟ ataupun „kultus‟
makna-makna
yang
(Bartes, 1967: 108;
Piliang, 2004: 95).
Tanda : Denotasi
Konotasi
Mitos
Tingkatan makna „tanda‟ Mitos sering dikaitkan dengan melegitimasikan agama atau kepercayaan, misalnya tentang cerita mitologi dewa-dewi atau cerita tentang roh-roh halus. Walaupun demikian di dunia politik, mitos juga sering untuk melegitimasikan ideologi atau kekuasaan. Baik dalam aspek agama atau politik, mitos berkaitan dengan kepercayaan tentang kebenaran agama atau politik tertentu. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Ahimsa-Putra (1995: 124) bahwa mitos sering merupakan sumber kebenaran atau alat untuk pembenaran. Sesuatu yang perlu dibenarkan melalui mitos ini dapat berupa ideologi, tradisi, kebudayaan, bahkan agama. Oleh karena itu membangun mitos dapat diartikan pula sebagai membangun
kepercayaan
tentang
kebenaran,
walaupun
kebenaran yang dibangun sering bukan kebenaran yang rasional. Dalam suatu interaksi sosial, simbol-simbol yang berbentuk mitos ini memang harus disampaikan melalui pesan-pesan, baik secara langsung oleh pemilik simbol ataupun secara tidak langsung melalui media-media sosial, benda, bangunan dan sebagainya.
52
Dalam kaitannya dengan kajian perkotaan ataupun urban design, di samping sebagai media berkomunikasi dan berinteraksi sosial bagi masyarakat kota, simbol juga merupakan media untuk berintegrasi sosial. Oleh karena itu, simbol-simbol di kota dalam bentuk konfigurasi, dengan adanya variabel waktu, akan dipahami sebagai identitas bersama bagi masyarakat sebuah kota. Sifat-sifat simbol yang arbitrary dan terbentuk atas hasil konvensi dari sebuah
masyarakat,
hal
ini
telah
membuat
kebudayaan
masyarakat yang terdiri dari sistem simbol menjadi unik atau khas, karena dimungkinkan oleh adanya jalinan komponen dalam sistem simbol yang berpola khas. Para ahli sering menyebut sifat khas kebudayaan ini sebagai suatu pola atau etos kebudayaan. Geertz
menjelaskan
bahwa
etos
suatu
masyarakat
adalah
karakter, moral, kualitas, irama dan gaya hidup yang tercermin di dalam
perilakunya,
sedangkan
Koentjaraningrat
mengartikan
bahwa etos (ethos) adalah watak khas. Kondisi inilah yang kemudian mendorong terbentuknya komunitas atau masyarakat sebuah kota dengan identitas, kebudayaan dan konfigurasi simbol-simbolnya di kota yang khas dan dipahami bersama-sama oleh warga sebuah kota (Geertz, 1973: 127; Rapopport, 1977). Adapun
simbol-simbol
yang
muncul
dalam
bentuk
konfigurasi di perkotaan di bingkai oleh waktu. Artinya konfigurasi simbol
akan
berubah-ubah
sesuai
masanya,
menyesuaikan
dengan perubahan-perubahan masyarakat di perkotaan. Dalam
53
penelitian ini, konfigurasi pesan-pesan simbolik di Kota Cirebon akan tercermin dalam tata ruang dan arsitektur bangunan, dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tahapan sejarah, yaitu masa kerajaan, masa kolonial abad ke-19 dan masa kolonial abad ke-20. Arsitektur tradisional Jawa, neo klasik, art deco dan indis, akan mewarnai bentuk konfigurasi simbol di Kota Cirebon yang sesuai dengan jamannya.
1.7. Metode Penelitian 1.7.1.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mencoba memberikan gambaran tentang persoalan
arsitektural
perubahannya
dari
perkembangannya
dan waktu
hingga
arkeologis ke
akhir
waktu, jaman
Kota dari
Cirebon
dan
masa
awal
pemerintah
kolonial
Belanda, dalam kaitannya dengan masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Di samping itu, penelitian ini juga mencoba memecahkan masalah dengan melihat dan mengetahui kedalaman makna hubungan antar faktor atau gejala-gejala dalam prespektif ruang dan waktu. Batasan penelitian dalam lingkup spasial dan temporal yaitu meliputi kawasan pusat kota (lama) Cirebon dari sekitar kawasan keraton-keraton hingga ke kawasan pelabuhan, pada kurun waktu antara sekitar awal terbentuknya Kota Cirebon sekitar abad ke-16
54
hingga akhir masa Pemerintah Kolonial Belanda pertengahan abad ke-20. Setelah VOC berkuasa hingga akhir abad ke-18, berangsurangsur pengaruh kekuasaan politik Kerajaan Cirebon surut, dan pada masa Pemerintah Kolonial Belanda awal abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20, otoritas politik dan ekonomi Kota Cirebon sepenuhnya berada di tangan orang-orang Belanda tersebut. Pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, sejalan dengan difungsikan-nya Pelabuhan Cirebon sebagai pelabuhan besar (ekspor-impor), tampak adanya perubahan orientasi pusat kota dari kawasan keraton ke kawasan pelabuhan.
Selanjutnya
pada awal abad ke-20, sejalan dengan ditetapkannya Kota Cirebon sebagai kota praja (gemeente), berangsur-angsur pusat orientasi kota pindah lagi dari pelabuhan ke kawasan pusat pemerintahan kota praja. Dalam poses perubahan, integrasi ataupun interaksi sosial di kota muncul lintasan energi dan pesan-pesan simbolik dalam bentuk konfigurasi, yang tampak dalam arsitektur, tata ruang,
artefak
pengalaman
ataupun
sejarah,
feature,
sebagai
kesulitan-kesulitan
manifestasi
yang
dihadapi
dari dan
harapan-harapan masyarakat Kota Cirebon pada waktu itu.
1.7.2. Model dan Pendekatan
55
Dalam lingkup keilmuan, bidang ilmu arkeologi adalah bidang utama dalam pendekatan masalah. Untuk itu model penjelasan akan menggunakan model “interpertif simbolik” seperti yang ditawarkan oleh Clifford Geertz (1973). Model ini bertujuan mengorientasikan kembali penjelasan kausal perilaku manusia menjadi strategi untuk menemukan interpretasi dan makna dalam tindakan
manusia.
Pendekatan
interpretif
ini
lebih
sering
menggunakan kajian ideografik, yaitu kajian mengenai satu kasus tunggal yang dapat menghasilkan pandangan teoritis dan maknamakna. Makna-makna disampaikan melalui penggunaan simbolsimbol yang berlaku bagi nilai-nilai, kode-kode dan aturan-aturan. Pandangan ini tidak menolak adanya dunia materi,
tetapi
berkeyakinan bahwa cara terbaik untuk memahami dunia materi, sosial dan kebudayaan manusia, yaitu dengan mendengarkan cara orang-orang yang hidup dalam suatu masyarakat menjelaskan dan memahami institusi, adat dan kebiasaan mereka. Model pendekatan Geertz ini memang lebih berkembang dalam bidang ilmu antropologi, namun demikian, ilmu arkeologi juga sering dianggap sebagai salah satu bidang khusus dari disiplin antropologi yang amat luas cakupannya. Oleh karena itu sangat memungkinkan data arkeologi diinterpretasikan melalui pendekatan
antropologi
atau
pendekatan
perilaku
dengan
menekankan pada sisi-sisi humanisnya. Walaupun data-data 56
arkeologis itu sudah jauh dari manusia pendukungnya karena terkendala oleh kesenjangan waktu masa kini dan masa lampau, namun estetika dan keunikan karya artefak arkeologis itu masih memancarkan nuansa simboliknya, yang masih dapat dipahami dan diapresiasi makna dan fungsinya lintas waktu. Di samping itu, untuk lebih memberikan pemahaman pada aspek humanismenya pada metode interpretif ini, dalam penelitian ini
digunakan
pendekatan
pemahaman
atas
karya.
Dalam
perkembangannya pendekatan pemahaman atas karya ini cukup relevan
penggunaannya
dalam
ilmu-ilmu
humaniora,
tidak
terpaku pada karya-karya teks, tetapi semua hasil karya manusia yang bermakna, baik individual maupun kelompok, baik itu berupa persepsi, respon, apresiasi ataupun hasil kreativitasnya dalam bentuk benda-benda hasil kebudayaan. Ilmu-ilmu alam menggunakan metode-metode pemahaman tentang objek-objek natural,
sedangkan
karya
memerlukan
pemahaman
atau
interpretif simbolik, yaitu pendekatan yang memposisikan karya sebagai karya, bukan hanya sekedar sebagai fakta atau objek penelitian, yang membutuhkan bentuk pemahaman yang lebih halus dan komprehensif. Sebuah “karya” selalu ditandai dengan sentuhan manusia, karena karya selalu berarti karya manusia (atau Tuhan). Untuk menggunakan kata “objek” (penelitian) yang berkaitan dengan sebuah karya, akan mengaburkan perbedaan 57
penting, karena seseorang harus melihat karya tidak sebagai objek atau fakta, tetapi sebagai karya. Memang metode-metode „analisis sains‟ dapat diaplikasikan pada karya, namun dengan melakukan hal ini, karya diperlakukan sebagai sesuatu yang bisu, seperti objek alam. Sejauh karya-karya itu sebagai objek, maka memang dapat dipertanggung-jawabkan bagi metode-metode sains dari pada
interpretasi.
membutuhkan
Namun
bentuk
sebagai
pemahaman
karya, yang
karya-karya lebih
halus
itu dan
komprehensif, tentu saja mencakup pula data arkeologi sebagai hasil-hasil karya manusia masa lampau (Geertz, 1973; Hodder, 1989; Palmer, 2003: 7-8; Syaifudin, 2005). Ilmu arkeologi sering dikategorikan dalam lingkup bidang ilmu
humaniora,
menggunakan
maka
pendekatan
kegiatan
arkeologis
interpretif
untuk
dapat
pula
memecahkan
persoalan kebudayaan ataupun karya manusia masa lampau. Oleh karena itu, data arkeologis yang ditemukan oleh seorang peneliti, baik yang berupa artefak, monumen ataupun feature harus dianggap atau dibaca sebagai sebuah karya manusia. Kritik senantiasa selalu dilakukan terhadap benda temuan arkeologis untuk menentukan keasliannya. Selanjutnya bangunan atau artefak dapat mulai dibaca dan dipahami sebagai hasil karya manusia,
mulai
dari
bentuknya,
bagian-bagiannya,
bahan
dasarnya, dan jenis kerusakannya apabila tidak utuh. Apabila 58
kemudian dikaitkan dengan berbagai aspek secara kontekstual, maka bangunan atau artefak sebagai hasil karya manusia tersebut juga akan dapat bercerita banyak dan menyampaikan pesanpesan yang bermakna simbolik, baik konteksnya dengan benda, lingkungan atau feature di lokasi penemuan artefak. Hal yang terpenting
di
dalam
proses
penelitian
arkeologis
dengan
menggunakan pendekatan interpretif, adalah selalu bertanya secara kontekstual terus menerus, untuk mengetahui secara kritis tentang sesuatu ataupun makna-makna yang tersembunyi di balik munculnya fenomena sebuah benda atau artefak karya manusia tersebut. Artinya artefak tersebut supaya dapat bercerita dari berbagai versi atau pendekatan, termasuk mengungkap fungsi dan makna artefak tersebut. Fungsi ataupun makna artefak dapat berubah seiring dengan perkembangan waktu, artinya baik fungsi ataupun makna dari sebuah artefak dapat bergeser sesuai dengan kepentingan manusia tatkala artefak tersebut masih berfungsi untuk keperluan hidup manusia. Namun yang terpenting, benda atau artefak sebagai
hasil
karya
manusia,
memang
selayaknya
diinterpretasikan dan dipahami sebagai karya, artinya aspekaspek
makna
dikedepankan.
simbolis, Untuk
historis
dapat
lebih
dan
humanitisnya
banyak
lagi
harus
memperoleh
informasi yang sangat terbatas dalam penelitian arkeologis ini, 59
maka pendekatan emik dan etik secara bersama dilakukan dalam penelitian ini (Palmer, 2003; Holder, 1989; Fetterman, 2010).
1.7.3. Teknik Pengumpulan dan Interpretasi Data Studi pustaka merupakan langkah yang paling awal dalam penelitian, untuk menperoleh konsep, teori ataupun data awal yang sangat diperlukan dalam penelitian. Konsep ataupun teori perancangan kota (urban design) misalnya, merupakan teori yang sangat diperlukan dalam penelitian. Pencarian data seperti arsip, naskah dan peta-peta kuno, juga merupakan bagian dari studi pustaka. Studi pustaka juga digunakan sebagai sumber untuk studi komparasi dalam menjelaskan fenomena-fenomena yang sama atau memiliki kemiripan dengan subjek/objek kajian penelitian, tetapi berbeda lokasi atau periodisasi waktunya. Studi komparasi ini penting dan perlu dilakukan mengingat aspek kajian adalah aspek historis-arkeologis. Harus dimengerti bahwa sebagai akibat dari besarnya kesenjangan waktu atas data historis-arkeologis yang diteliti, menyebabkan cukup sulit memperoleh informasi terutama dari informan yang hidup sejaman dengan subjek/objek penelitian. Di samping itu studi komparasi ini dapat digunakan untuk
memperkaya
informasi
sebagai
bahan
interpretasi.
Walaupun demikian aspek kesinambungan sejarah merupakan
60
aspek yang penting dalam studi komparatif, sebab makna-makna budaya akan terbentuk melalui proses sejarah. Kota-kota yang tumbuh dan berkembang di Indonesia hingga sekarang, termasuk Kota Cirebon, muncul pada periode yang relatif sama yaitu pada jaman perkembangan Islam karena pengaruh dari kebudayaan Islam itu sendiri. Selanjutnya pengaruh kebudayaan modern dari Eropa pada jaman kolonial Belanda turut mewarnai. Tahapan
pengumpulan
data
yang
dilakukan
meliputi
pengumpulan data arkeologis melalui observasi terhadap situs, bangunan kuno, artefak, toponim, lingkungan, ataupun elemen kota lainnya, untuk mengetahui pola tata ruang, baik bentuk dan karakteristik tata ruang maupun arsitektur bangunan.
Keraton Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan merupakan fokus pengamatan, yang memuat bangunan-bangunan dan feature dari masa awal Kota Cirebon. Lokasi-lokasi, elemen-elemen dan bentuk-bentuk bangunan, merupakan data yang akan diinterpretasikan makna-maknanya maupun aspek simboliknya. Di samping itu elemen kota yang bebentuk toponim (nama perkampungan) khususnya yang ditemukan di sekitar Keraton Kasepuhan dan Kanoman juga digunakan sebagai data untuk melihat pola, struktur dan orientasi-oreientasi Kota Cirebon pada masa kerajaan.
61
Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari merupakan naskah penting sebagai data menyangkut sejarah dan berdirinya kota dan keraton
di
Cirebon.
kesinambungan
budaya
Dari
kitab
antara
ini
Keraton
diketahui
adanya
Kasepuhan
dengan
Keraton Demak dan Keraton Majapahit. Naskah lain seperti Babad Cirebon juga digunakan sebagai data. Data-data arkeologis yang ditemukan di Kota Cirebon dari jaman VOC sangat minim. Namun melalui peta-peta kuno dan data-data sejarah, maka pola tata ruang Kota Cirebon pada masa itu juga dapat diprediksikan, walaupun tidak mendetail. Peta kota Cirebon tertua dari abad ke-18 diperoleh dari koleksi Atlas of Mutual Heritage koleksi Universiteit Bibliotheek Leiden. Baru memasuki era kolonial awal abad ke-19, kondisi Kota Cirebon lebih kompleks karena sudah dijumpai bangunanbangunan kuno dan kawasan-kawasan penting seperti kawasan pelabuhan, kawasan pusat karesidenan dan lain-lain. Jalan Post Weg yang dibangun pada awal abad ke-19 juga merupakan data infrastruktur penting yang dibangun pada masa itu. Gedung Karesidenan Cirebon dan Gereja Santo Yusuf merupakan data bangunan dari abad ke-19, dan peta abad ke-19 dari Th.S. Raffles. Pada jaman kolonial Belanda abad ke-20, cukup banyak peninggalannya yang dapat digunakan sebagai data, antara lain berupa bangunan, kawasan dan jalan raya. Bangunan-bangunan 62
dari abad ke-20 di antaranya Bank Indonesia (Java Bank), Bank Mandiri (Escomto Bank) dan pabrik rokok BAT yang memiliki gaya arsitektur khusus. Peta dan data sejarah juga sangat membantu untuk menginterpretasikan struktur dan perencanaa Kota Cirebon pada masa awal abad ke-20. Di samping itu juga digunakan peta dari abad ke-20 koleksi Asia Mayor. Data
sejarah
dari
abad
ke-20
yang
penting
adalah
Gedenkboek der Gemeente Cheribon 1906-1931, yaitu berupa buku laporan administratif sejak ditetapkannya pemerintahan Gemeente Cheribon dari tahun 1906 hingga laporan ini ditulis tahun 1931. Berbagai aspek teknis dan administrasi pemerintahan Gemeente Cheribon dilaporkan secara lengkap dalam buku ini, oleh karenanya buku ini merupakan sumber sejarah yang penting. Wawancara
juga
dilakukan
terhadap
tokoh-tokoh
masyarakat yang mengetahui dan memahami fenomena-fenomena tertentu yang diperlukan sebagai data, misalnya untuk mengetahui sejarahnya, fungsi teknis, fungsi sosial ataupun arti simbolik suatu benda atau bangunan. Wawancara penting dilakukan kepada
keluarga
Keraton
Kasepuhan,
Kanoman
maupun
Kacirebonan tentang bangunan-bangunan yang ada di dalam keraton. Para juru kunci dan sesepuh Masjid Sang Ciptasara dan Masjid Merah juga merupakan informan penting, di samping warga kota lainnya yang mengetahui seluk-beluk Kota Cirebon. 63
Semua data yang telah dikumpulkan melalui berbagai pendekatan
di
atas
selanjutnya
akan
diklasifikasikan,
diinterpretasikan, dihubung-hubungkan antara data satu dengan yang lainnya. Selanjutnya data-data tersebut dikaitkan dengan sumber-sumber pustaka atau sumber sekunder dalam proses interpretasi dan ditulis untuk disajikan secara diskriptif sebagai laporan hasil penelitian. Seperti telah dijelaskan di atas tentang model pendekatan masalah, maka hasil penelitian ataupun penjelasan-penjelasan yang disajikan berfokus pada interpretasi atas makna-makna terhadap data yang dapat dijaring.
64
Simbol-simbol apa saja yang muncul dalam bentuk konfigurasi yang terpancar dari morfologi, tata ruang dan arsitektur bangunan di kota Cirebon tersebut ?
Apa saja faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terbentuknya morfologi dan perkembangan kota Cirebon tersebut ?
Bagaimana proses terbentuknya morfologi kota Cirebon dari masa awal hingga akhir masa kolonial Belanda ?
Permasalahan :
Perubahan orientasi kota
sistem politik dan ekonomi kota
Perubahan
di warnai unsur tradisional-moderen
Bentuk kota Crebon yang
Cirebon dari Masa Islam hingga jaman Kolonial
Perkembangan kota
Latar Belakang :
INPUT
KISI-KISI PENELITIAN
Arkeologis Sejarah Arsitektur Antropologi Urban Desain
Pendekatan
Metodologi : Arkeologis Intr Simbolik
grasi simbol
- Teori inte-
canaan Kota
- Teori Peren-
Teori yang mendukung: - Teori kota praindustri - Teori Morfologi Kota
Variabel Bebas 1. Perkembangan sistem politik & ekonomi 2. Perkembangan ekspor impor 3. Perkembangan Kebudayaan dan agama 4. Lingkungan fisiografis 5. Lingkungan sosial 6. Perkembangan pelabuhan 7. Perkembangan infrastruktur lainnya
Variabel Tergantung 1. Morfologi kota 2. Struktur tata ruang kota 3. Arsitektur bangunan kota 4. Simbol-simbol kota
PROSES
Analisis dilakukan terhadap : - Sistem politik dan budaya - Perubahan orientasi kota - Morfologi dan perencanaan kota - Pesan-pesan Simbolik tata ruang kota - Konfigurasi simbol arsitektur
Data yg dibutuhkan terkait dengan: - Peta-peta lama Kota Cirebon - Data Arkeologi - Data Sejarah - Data Tata Kota Cirebon - Arsitektur bangunan kota - Naskah lama - Data geofisiografis
MORFOLOGI DAN KONFIGURASI SIMBOL KOTA CIREBON DARI MASA KERAJAAN HINGGA MASA KOLONIAL BELANDA
OUTPUT
65
BAGAN SISTEMATIKA PENULISAN BAB I PENDAHULUAN Pokok-pokok Masalah
Latar Belakang Masalah
Manfaat Penelitiann
BAB II AWAL PERKEMBANGAN KOTA CIREBON Lintasan Sejarah
Perkembangan Kota dan Keraton
Perkemb Pola Permukiman
Tujuan Penelitiann
Kajian Pustaka
Metode Penelitian
BAB III PERKEMBANGAN KOTA CIREBON MASA KOLONIAL BELANDA Perkembangan Kota Abad ke-19
Perkembangan Kota Abad ke-20
Penduduk
BAB IV MORFOLOGI KOTA CIREBON DARI MASA KERAJAAN HINGGA AKHIR MASA KOLONIAL Aspek Perencanaan Kota
Faktor Pendorong Pembentukan Kota Kond.Lingk. Geografis
Pengr.Perkemb. Islam
Perkemb.Ekspo,Impor & Pelabuhan
Kota Kosmis Kota Benteng
Kota Kolonial Ab 19 Kota Praja Ab ke-20
BAB V ASPEK-ASPEK SIMBOLIK DI KOTA CIREBON DARI MASA KERAJAAN HINGGA AKHIR MASA KOLONIAL BELANDA Simbol-simbol pada Sisten Tata Ruang Kota Masa Kerajaan
Masa VOC
Masa Kol Ab ke-19
Simbol-simbol pada Arsitektur Bangunan Kota
Masa Kol Ab ke-20
Arst Masa Kerajaan
Arst kot Benteng g
Arst Kol Ab Ke-19
Kebebasan sn Arst Ab20
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 66