BAB VI CIREBON SEPENINGGAL SUNAN GUNUNG JATI A. Akhir Hayat Sunan Gunung Jati Purwaka Caruban Nagari menyebutkan bahwa Sunan Gunung Jati lahir pada tahun 1448 M, wafat pada 1568 M dalam usia 120 tahun. 1 Jenazahnya dikebumikan dipuncak Gunung Sembung/Astana Agung Gunung Jati Cirebon dan Falatehan/Fadhilah Khan, adik Sunan Gunung Jati dikebumikan juga disana. Dalam manuskrip tradisi Cirebon dan menurut penelitian H.J. De Graff ada ketidak cocokan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati, tetapi menulis menemukan beberapa pernyataan yang menguatkan bahwa Sunan Gunung Jati bukanlah tokoh yang disebut Tagaril/ki Bagus Paseh/Faletehan yang disebut De Graff. Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun (1448-1568) dimakamkan di Giri Nur Cipta Rengga (Kompleks Astana Gunung Sembung, sekitar lima kilometer arah utara kota Cirebon), setelah delapan puluh sembilan tahun berkhidmat membangun Kerajaan Cirebon yang berdaulat dan berwibawa. 2 Sepeninggal
Sunan
Gunung
Jati,
keturunannya
kemudian
melanjutkan
pemerintahan di Kesultanan Cirebon. Selain makamnya, masih banyak peninggalan Sunan Gunung Jati yang dalam segi fisik maupun non-fisik memiliki filosofis yang berkesinambungan antara budaya Hindu dan budaya Islam. Pengislaman yang dilakukan Sunan Gunung Jati di Cirebon hingga Banten 1
Prodjokusumo, Taufik Abdullah, dkk., Sejarah Umat Islam Indonesia. (Jakarta: PP MUI, 1991), hlm. 78. 2
Zaenal Masduqi, Cirebon Dari Kota Tradisional Ke Kota Kolonial. (Cirebon: CV. Pangger, 2011), hlm. 14.
109
110
mengindikasikan adanya toleransi dari Sunan untuk menghargai kebudayaan Hindu sehingga lebih mudah dijalani masyarakat pada masa transisi. B. Cirebon Pasca Islamisasi Sepeninggal Sunan Gunung Jati, Kesultanan Cirebon beberapa kali mengalami goncangan karena penerusnya yang terbilang masih cukup muda. Akan tetapi penulis membatasi materi dan hanya akan memaparkan hasil Islamisasi Kesultanan Cirebon dibawah Sunan Gunung Jati. Islamisasi yang dilakukan Sunan Gunung Jati telah dijelaskan diatas melalui metode yang bijaksana dan penuh hikmah. Seperti dijelaskan dalam buku Sejarah Umat Manusia bahwa Islamisasi di Asia Tenggara khususnya di Indonesia tidak dilakukan dengan kekuatan senjata, melainkan dengan penganutan sukarela dari penguasa setempat yang diikuti oleh masyarakat dibawahnya. Orang-orang Indonesia menyelaraskan penganutan mereka terhadap Islam dengan pelestarian budaya India yang mereka peroleh selama masa pra-Islam. 3 Islamisasi yang di Kesultanan Cirebon melalui jalur toleransi yang yang telah dilakukan Sunan Gunung Jati mencapai sebuah kesimpulan yang ditemukan penulis bahwa ada dua poin yang melandasi Islamisasi di Cirebon. Seperti dikutip dari pendapat Siddique yang menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati dimasukkan kedalam anak bangsa kaum santri sebagai legitimasi dari peran, fungsi, dan kedudukan esensial Sunan Gunung Jati sebagai panatagama. 4 Poin pertama 3
Toynbee, Arnold, Sejarah Umat Manusia. terj. Agung Prihantoro, dkk. Dari judul asli, Mankind and Mother Earth A Narrative of The World. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). Hlm. 661. 4
Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati, (Ciputat: Salima, 2012). Hlm. 256.
111
adalah Islamisasi yang dilakukan Sunan Gunung Jati melalui proses yang sangat toleran terhadap budaya lama yaitu budaya Hindu-Budha sehingga cepat dirasuki masyarakat. Poin kedua adalah kenyataan bahwa Sunan Gunung Jati adalah Sultan pertama di Cirebon, berperan sebagai Raja dan Ulama mempercepat Islamisasi yang diusahakan di Cirebon karena kekuasaan yang disandang Sunan Gunung Jati sangat sarat akan legitimasi seorang penguasa terhadap bawahannya. Kesultanan Cirebon seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam perspektif Berger dan Luckmann memiliki tiga aspek penting yaitu aspek ekonomi, politik, dan aspek lembaga kerajaan Islam. Keraton Kasepuhan sebagai pusat konsentrasi memegang peranan penting dalam perkembangannya, dari keraton pembangunan diperluas ke daerah-daerah sekitarnya. Oleh karena itu, dalam buku Sunan Gunung Jati peninggalan pemerintahan Sunan Gunung Jati sarana-prasarana Kesultanan Cirebon antara lain berupa kematangan dalam sarana perdagangan dan transportasi. Telah terpenuhinya kerajaan pesisir dengan berdirinya keraton sebagai pusat pemerintahan, telah dibangunnya Masjid Agung sebagai tempat utama syiar Islam, dan adanya pelabuhan Muarajati sebagai andalan peningkatan ekonomi, kesemuanya didukung oleh transportasi yang memadai. 5 Terpenuhinya sarana dalam persdagangan dilatarbelakangi juga oleh kenyataan adanya hubungan erat dengan kerajaan Demak di Jawa Tengah dan Kesultanan Banten di bagian Barat. Selain itu, pengaruh Kesultanan Cirebon sepeninggal Gunung Jati yang dilimpahkan kepada cicitnya Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Pada masa5
Dadan Wildan, op. cit., hlm. 253.
112
masa ini juga pengaruh Cirebon dalam seni bangunan meninggalkan jejak dalam ragam seni hias bangunan, sebut saja Keraton Kasepuhan, Masjid Agung , dan Makam Sunan Gunung Jati yang memiliki gaya khas Islam masa transisi. C. Peninggalan-Peninggalan Kesultanan Cirebon Pada masa Kesultanan Cirebon berdiri, selama 89 tahun Sunan Gunung Jati membangun kekuatan Islam dengan berbagai upaya. Dalam hal pemerintahan, ekonomi, hingga masalah sosial budaya Sunan Gunung Jati melandasinya dengan upaya dakwah Islam. Setelah wafatnya Sunan Gunung Jati, ada begitu banyak peninggalan saat Islamisasi Cirebon. Berbagai peninggalan ini oleh penulis dibagi menjadi dua bagian yaitu bangunan antara lain Keraton Kasepuhan, Masjid Agung Sang Ciptarasa, dan makam Sunan Gunung Jati yaitu Astana Gunung Jati. Peninggalan lainnya adalah yang masih dirayakan yaitu Maulid Nabi Muhammad S.A.W. yang dalam tradisi Cirebon dirayakan dengan iring-iringan panjang jimat. 1. Bangunan Peninggalan Sunan Gunung Jati a. Keraton Kasepuhan Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan peninggalan yang sangat penting bagi berkembangnya Islam di Jawa Barat (lihat lampiran 2, gambar 2.1). Seperti yang telah kita ketahui bahwa Keraton Kasepuhan adalah Dalem Agung Pakungwati, dimana Pangeran Cakrabuana membangun dan mendirikan Negeri Carbon. Setelah tahta Pangeran Cakrabuana diturunkan kepada menantu sekaligus keponakannya, Sunan Gunung Jati, perluasan dilakukan hingga berbentuk seperti saat ini.
113
Letak Keraton Kasepuhan disebelah selatan alun-alun kerajaan, sebuah tempat lapang dimana masyarakat saat itu dikumpulkan untuk beberapa upacara ataupun untuk berdakwah. Susunan pusat ibu kota Kerajaan Cirebon –yang masih bisa disaksikan hingga sekarangmerupakan prototype awal dari karakteristik pusat kota di Indonesia yang bercorak Islam yang menjadi model tata kota keraton-keraton Islam di Nusantara. 6 Secara umum, unsur-unsur keraton di Kesultanan Cirebon adalah alun-alun sangkala buana yang sekarang dikenal dengan nama alun-alun Kebumen, disebelah selatannya adalah Keraton Kasepuhan, sebelah baratnya adalah Masjid Agung Sang Ciptarasa, dan bagian timur terdapat kegiatan ekonomi yaitu pasar Kasepuhan tapi saat ini sudah dipindahkan kesebelah utara alun-alun. Keraton Kasepuhan memiliki bagian-bagian yang menampilkan unsur-unsur dakwah yang tersirat. Dalam buku Sunan Gunung Jati dijelaskan bahwa bagian depan Keraton Kasepuhan terdapat siti inggil 7 . Dalam buku Sejarah Daerah Jawa Barat, dijelaskan bawha ada pertemuan/audiensi yang dilakukan raja dengan para pejabat atau masyarakat umum guna menyampaikan laporan-laporan mengenai peemerintahan, ekonomi, dll. Tempat beraudiensi di Banten disebut dipangga, sedangkan ditempat lain yaitu di Jogja dan Surakarta dinamakan
6 7
Dadan Wildan, op. cit., hlm. 250.
Siti berarti tanah, inggil berarti tinggi, jadi secara harfiah siti inggil merupakan tanah tinggi atau panggung. (lihat Dadan Wildan, 2012: 259)
114
sitiinggil atau sitiluhur. 8 Keberadaan siti inggil merupakan bentuk keterbukaan para pejabat kerajaan dalam mengemukakan pendapat dan memberi laporan dengan bermusyawarah. Bangunan sitiinggil Keraton Kasepuhan dibangun pada 1425 M. Dalam buku Sunan Gunung Jati bangunan sitiinggil terdiri dari beberapa bangunan tidak berdinding, antara lain bangunan pendawa lima yang memiliki lima tiang yang melambangkan rukun Islam merupakan tempat berkumpul para pengawal sultan. Semar kenandu bangunan bertiang dua melambangkan dua kalimat syahadat sebagai tempat duduk penasehat sultan. Malang semirang posisinya disebelah semar kenandu berfungsi sebagai tempat duduk sultan saat melihat ke arah alun-alun atau saat mengadili terdakwa yang dituntut hukuman mati. Mande karesmen adalah tempat dibunyikannya gamelan sekaten pada tanggal 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah, serta mande pengiring yang berfungsi sebagai tempat pengiring sultan atau tempat hakim ketika menyidangkan terdakwa yang dihukum mati. Selain sitiinggil, bangunan lain yang memiliki filosopis lainnya adalah jembatan yang menghubungkan keraton dengan dunia luar yaitu kreteg pengrawit 9 . Jembatan ini mengandung makna bahwa setiap orang yang hendak masuk kedalam keraton harus memiliki tujuan yang baik.
8 9
M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, op. cit., hlm. 107.
Kreteg berarti perasaan dan rawit berarti lembut atau halus. (lihat Dadan Wildan, 2012: 260)
115
Bangunan Keraton Kasepuhan sebagai media dakwah memiliki berbagai makna filosopis disetiap bangunannya, sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa keraton juga digunakan sebagai sarana dakwah yang dilakukan Sunan Gunung Jati. b. Masjid Agung Sang Ciptarasa Masjid Agung Sang Ciptarasa terletak di sebelah barat alun-alun Keraton Kasepuhan Cirebon (lampiran 2, gambar 2.7). Sebelumnya, Masjid Agung Sang Ciptarasa dikenal juga dengan nama Masjid Pakungwati karena pendirian masjid ini atas prakarsa istri Sunan Gunung Jati yaitu Nyai Pakungwati. Masjid Agung Sang Ciptarasa selain sebagai tempat beribadah, berfungsi juga sebagai berbagai ritual keagamaan Islam dan dakwah yang dilakukan Sunan Gunung Jati. Sebelumnya telah dijelaskan mengenai sejarah pembangunan Masjid Agung Sang Ciptarasa. Maka bagian ini penulis hanya memaparkan beberapa bagian masjid yang merupakan peninggalan Sunan Gunung Jati. Dalam buku Sunan Gunung Jati ada bagian-bagian tertua dari Masjid Agung Sang Ciptarasa diantaranya bagian inti masjid yang berhias pola bunga teratai, terdapatnya soko guru yang terbuat dari soko tatal. Selanjutnya pada bagian mihrab terdapat ukiran berbentuk bunga teratai yang menurut cerita dilkus langsung oleh Sunan Gunung Jati, berada persis didepan tempat imam berdiri melambangkan hayyun ila rahin (hidup tanpa ruh). Selanjutnya dalam Masjid Agung ini terdapat tiga
116
buah ubin didepan imam simbol ajaran Islam yang bertanda khusus yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. c. Astana Gunung Jati Pada
tahun
1568
M,
Kesultanan
Cirebon
berduka
atas
berpulangnya Sultan pertama Cirebon yang telah berjasa besar dalam Islamisasi di Jawa Barat umumnya, Cirebon Khususnya yaitu Sunan Gunung Jati. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Sunan Gunung Jati dimakamkan di Astana Gunung Sembung, sekitar lima kilo meter dari keraton. Sesungguhnya ada dua klaster komplek makam yang satu sama lain berdekatan, dipisahkan oleh jalan raya Cirebon-Jakarta. 10 Dalam buku Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra dijelaskan bahwa kedua klaster itu menempati dua bukit yaitu bukit Gunung Sembung ditempati oleh makammakam keluarga Kesultanan Cirebon keturunan Sunan Gunung Jati, dan bukit Amparan Jati yang ditempati oleh para penyebar Islam di Cirebon pra-Sunan Gunung Jati (lihat lampiran 3). Dijelaskan sebelumnya bahwa Bukit Amparan Jati/Gunung Jati merupakan tempat Syekh Datuk Kahfi menyebarkan Islam dengan mendirikan pesantren. Selanjutnya Syarifah Muda’im, ibunda Sunan Gunung Jati yang diperkenan kan tinggal di dekat Amparan Jati, bersama Sunan Gunung Jati menyebarkan Islam sampai ke Bukit Sembung.
10
Susanto Zuhdi, Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi Ilmiah). (Jakarta: CV . Putra Sejati Raya, 1997), hlm. 143.
117
Disanalah awal mula perkembangan Islam dan berdirinya Kesultanan Cirebon. 2. Upacara Maulid Nabi Muhammad S.A.W. di Keraton Kasepuhan Cirebon Pada bab IV telah dijelaskan mengenai peringatan Maulid Nabi yang dirayakan masyarakat Cirebon. Sebagai salah satu media dakwah, kebudayaan Hindu memeringati hari besar diubah menjadi memeringati hari lahir Nabi Muhammad S.A.W. Dengan begitu, secara halus masyarakat Cirebon yang sebelumnya lekat dengan budaya Hindu perlahan tertarik masuk Islam. Apalagi dengan media gamelan sekaten, dimana sebagai tiket masuknya diharuskan membaca dua kalimat syahadat (lihat lampiran 4, gambar 4.1). Dalam naskah-naskah tradisi Cirebon dijelaskan bahwa pertama kali perayaan Maulid Nabi diperingati secara besar-besaran adalah ketika Sunan Gunung Jati dinobatkan sebagai wali kutub pada tahun 1970 M. Dikisahkan saat itu Sunan Gunung Jati selalu didampingi murid setianya yaitu Raden Said yang lebih kita kenal Sunan Kalijaga. Menurut buku Sejarah Cirebon setelah Sunan Kalijaga diberi pengertian oleh Sunan Gunung Jati bahwa dakwah Islam tetap harus mengindahkan adat setempat agar masyarakat tertarik mempelajarinya maka dibuatlah sandiwara yang diiringi gong sekati atau gamelan Sukahati. Oleh karena itu Sunan Gunung Jati menempatkan gamelan di Masjid Agung atau Mande Karesmen tatkala menyambut Maulid Nabi Muhammad S.A.W. 11 Pada masa Sunan Gunung Jati tujuannya adalah
11
“Gamelan di Masjid Menyambut Mauludan di Kasepuhan”, Buana Minggu, 6 Oktober 1991.
118
memanggil masyarakat Cirebon agar tertarik pada musik gamelan, untuk masuk melihatnya cukup dengan mengucap dua kalimat syahadat dan secara otomatis mengikuti dakwah hingga usai acara. Masyarakat Cirebon mengenal perayaan Maulid Nabi dengan istilah “Iring-Iringan Panjang Jimat”. Upacara Iring-Iringan Panjang Jimat ini merupakan pawai allegorie yang menggambarkan kelahiran seorang anak yatim yang kelak menjadi Rasul Allah, yaitu Nabi Muhammad S.A.W. 12 Meskipun tidak digambarkan secara harfiah, tetapi penggambaran kelahiran ini tersirat dalam “sandywara” iring-iringan Panjang Jimat yang diartikan oleh Lurah Keraton Kasepuhan yang dikutip dari buku Sejarah Cirebon “sandy” adalah sembunyi dan “wara” adalah wejangan/nasehat. Sedangkan sekaten merupakan keramaian selama acara Maulid Nabi. 13 Jadi dalam tradisi Cirebon setiap tujuh hari menjelang tanggal 12 Rabi’ul awal yaitu tanggal 5 Rabi’ul awal telah ada keramaian di alun-alun Keraton Kasepuhan Cirebon. Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, sekaten merupakan penabuhan gamelan sekati untuk menarik perhatian masyarakat Cirebon, tujuannya terutama untuk media dakwah Islam. Saat ini, acara sekaten yang dirayakan di Cirebon identik dengan pasar malam yang digelar di alun-alun Keraton Kasepuhan Cirebon. Pasar mala mini menjadi penanda
12
Wawancara dengan Tatang Subandi, 22 april 2014, Keraton Kasepuhan
Cirebon. 13
P. S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon. (Jakarta: Depdikbud, 1978), hlm. 87-88.
119
akan datangnya perayaan Maulid Nabi, puncaknya adalah ketika iring-iringan Panjang Jimat pada puncak acara Maulid Nabi. Bagaimanapun kita mengartikannya, upacara Maulid Nabi ini merupakan salah satu bentuk penghormatan ulama besar Cirebon terhadap Rasullullah S.A.W. Pada masanya bertahta, bahkan Sunan Gunung Jati beserta para wali lainnya setanah Jawa mampu berfikir sedemikian rupa sehingga Islam dapat berkembang pesat hingga saat ini, salah satu media dakwahnya adalah upacara Maulid Nabi. Dari pemikiran-pemikiran yang efisien dan bijaksana, Sunan Gunung Jati mampu secara bijaksana berperan aktif dalam mengembangkan Islam di Jawa Barat umumnya, di Cirebon khususnya.