KAWIN PAKSA SEBAGAI ALASAN TERJADINYA PERCERAIAN (Analisa Putusan PA Tangerang Perkara Nomor 940/Pdt.G/ 2009/PA.Tng)
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
NURAIDA NIM: 106044101433
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “KAWIN PAKSA SEBAGAI ALASAN TERJADINYA PERCERAIAN (Analisa Putusan PA Tangerang Perkara Nomor 940/Pdt.G/2009/PA. Tng)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah(S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama. Jakarta, 31 Agustus 2010 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP.1955 0505 198203 1012 PANITIA UJIAN 1.Ketua
:Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA NIP. 1950 0306 197603 1001
(................................)
2.Sekretaris
:Kamarusdiana, S.Ag, MH NIP. 1972 0224 199803 1003
(................................)
3.Pembimbing :Drs.H.A. Basiq Djalil, SH, MA NIP. 1950 0306 197603 1001
(................................)
4.Penguji I
:Kamarusdiana, S.Ag, MH NIP. 1972 0224 199803 1003
(.................................)
5.Penguji II
:Dra. Maskufa, M.Ag NIP. 1968 0703 199403 2002
(.................................)
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “KAWIN PAKSA SEBAGAI ALASAN TERJADINYA PERCERAIAN (Analisa Putusan PA Tangerang Perkara Nomor 940/Pdt.G/2009/PA. Tng)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah(S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama. Jakarta, 31 Agustus 2010 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP.1955 0505 198203 1012 PANITIA UJIAN 1.Ketua
:Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA NIP. 1950 0306 197603 1001
(................................)
2.Sekretaris
:Kamarusdiana, S.Ag, MH NIP. 1972 0224 199803 1003
(................................)
3.Pembimbing :Drs.H.A. Basiq Djalil, SH, MA NIP. 1950 0306 197603 1001
(................................)
4.Penguji I
:Dra. Maskufa, M.Ag NIP. 1968 0703 199403 2002
(................................)
5.Penguji II
:Kamarusdiana, S.Ag, MH NIP. 1972 0224 199803 1003
(.................................)
KAWIN PAKSA SEBAGAI ALASAN TERJADINYA PERCERAIAN (Analisa Putusan PA Tangerang Perkara Nomor 940/Pdt.G/ 2009/PA.Tng)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: NURAIDA NIM: 106044101433 Dibawah Bimbingan
Drs.H.A. Basiq Djalil, SH, MA. NIP: 1950 0306 1976 0310 01
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431H / 2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Agustus 2010
Nuraida
KATA PENGANTAR
G¡+Ýo ¯2Ù{´ ¯2lµo Assallamu’allikum. Wr. wb Segala puji bagi Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Penguasa alam semesta yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis terutama dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam kita sanjungkan kepada pemimpin revolusioner umat islam tiada lain yakni junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan keluarga, serta para sahabat yang telah banyak berkorban dan menyebarkan dakwah Islam. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak membantu dan memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis hingga terselesaiakannya skripsi ini. Dengan
demikian
dalam
kesempatan
yang
berharga
ini
penulis
mengugkapkan rasa hormat serta ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada Bapak: 1. Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. Ketua Program Studi Akhwal Al-Syakhsiysah, sekaligus pembimbing skripsi penulis. Yang telah meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan
dan
motivasi
kepada
penulis
dalam
rangka
menyelesaiakan skripsi ini, dan Kamarusdiana, S.Ag, MH. Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah. 4. Para Narasumber dan Staff Lembaga Pengadilan Agama Tangerang. Yang telah memberikan penulis izin dan membantu meluangkan waktunya untuk melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian khususnya Dra. Ai Jamilah, M.H. Yang telah memberikan informasi kepada penulis. 5. Seluruh Staff Pengajar (dosen) Prodi Ahwal Al Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum yang telah banyak menyumbang ilmu dan memberikan motivasi sepanjang penulis berada di sini. Selain itu, para Pimpinan dan Staff Perpustakaan baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. 6. Teristimewa buat Ayahanda Wagino dan Ibunda Suwarni tercinta. Yang telah merawat dan mengasuh serta mendidik dengan penuh kasih sayang dan memberikan pengorbanan yang tak terhitung nilainya baik dari segi moril maupun materil. Serta Kakanda Suwandi S.Pd, Adinda Nur Fita Iriani dan Kiki Septiani. Terimakasih atas segala doanya, kesabaran, jerih payah, serta nasihat yang senantiasa
memberikan
semangat
tanpa
ii
jemu
hingga
ananda
dapat
menyelesaiakan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan doa, sungguh jasamu tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan. 7.
Teman-teman senasib dan seperjuangan konsentrasi Peradilan Agama angkatan 2006. Terkhusus buat Khalisah Mulyani, Naylatul Hidayah, Pipih Muhafilah, Rika Delfayona, Jamilah, Umu Kulsum, Jumiatil Huda, Milky Barokah, Wadihah, Istiarini Cahya Ningsih, Silvy Lutfiyanti, Lukmanul Hakim , Idam A.R, M.Taqiyuddim Al-Qisty, Lutfi (AKI), dan
lainnya yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, trimakasih atas bantuannya dalam penulisan skripsi ini, dan kebersamaan yang tercipta selama penulis belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberi warna dan memeriahkan hari-hari waktu kuliah, semoga persahabatan kita tak kan pernah memudar walau waktu dan jarak memisahkan. 8. Rekan-rekan di organisasi kampus dan primodial seperti SaunG, IRMAFA, Himpunan Pelajar Mahasiswa Pelalawan (HIPMAWAN) Jakarta, Serumpun Mahasiswa Riau (SEMARI) Banten, serta rekan-rekan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Yang selalu berbagi ilmu dan pengalamannya dengan penulis. Trimaksih atas motivasi dan dukungannya. 9. Terkhusus buat sahabat-sahabatku Umi Kalsum, Titin Nurhayati, Rhohmatillah, Lilis Marina Anggraini, Aminah, Lara Restiyani, Elida Hayati, Ana Riyansih, Jumiyatil Huda, Halsariki Nasution, Feny Andrian, Zainul Ulum, Ronaldo Bafit. Terimakasih atas motivasi dan kebersamaan yang telah terjalin selama di
iii
Perantauan, semoga persahabatan kita tak kan pernah memudar hingga rambut memutih. 10. Penghuni Love House Mi Calzoum, Rohayati, Bety Kurniyati dan Reta Puspita Sari. Trimakasih atas Pengertian, Perhatian dan Motivasinya. 11. Keluarga besar IKAPDH (Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Darel Hikmah) Jakarta yang tak dapat disebut satu persatu. Terimakasih atas perhatian, dorongan, dan do’a serta kebersamaan yang telah terjalin selama ini. Semoga segala kebaikan dan bantuan tersebut diterima sebagai amal baik disisi Allah SWT. Dan memperoleh pahala yang berlipat ganda (amin). Penulis meyadari bahwa skripsi ini banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun perlu kiranya diberikan demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Maka akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya, dan pembaca pada umumnya. -Amin Ya Rabbal A’lamin-
Jakarta, Agustus 2010
Penulis
iv
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………………………………………………………..i DAFTAR ISI……………………………………………………….....................v BAB I:
BAB II:
PENDAHULUAN………………………………………………1 A.
Latar Belakang Masalah .................. 1
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah 4
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 5
D.
Studi Review .................................................... 6
E.
Metode Penelitian .................................... 9
F.
Sistematika Penulisan ...................... 12
KAJIAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN………..14 A.
Pengertian Perkawinan ...................... 14
B.
Rukun Dan Syarat Perkawinan 18
C.
Dasar Hukum Perkawinan ............ 22
D.
Tujuan Dan Hikmah Perkawinan ........................................ 25
BAB III:
TINJAUAN UMUM TENTANG KAWIN PAKSA……….32 A.
Pengertian Kawin Paksa .................. 32
v
B.
Jenis-Jenis Wali dan Peran Wali Dalam Perkawinan
33
C.
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kawin Paksa
.............. 42
D.
Kawin Paksa Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif
BAB IV:
....... 46
ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TANGERANG PERKARA Nomor 940/Pdt.G/2009/PA. Tng………………..55 A.
Duduk Perkara ............................................. 55
B.
Profil Pihak-Pihak Yang Terkait 57
C.
Pemeriksaan Perkara 59
Dalam Persidangan
D.
Pertimbangan Majelis Hakim
E. BAB V:
Hukum
.......................................62
Analisa Penulis ................................................ 66
PENUTUP…………………………………………………………....80 A.
Kesimpulan ........................................................... 80
B.
Saran.................................................................................. 81
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 83 LAMPIRAN-LAMPIRAN
vi
1.
Lembar Pengesahan 86.....................
Seminar Proposal Skripsi 2. n Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi 3.
Permohona ......87
Surat Permohonan Data ............................ 88
dan Wawancara 4.
Surat Keterangan Wawancara 89
5.
Pedoman Wawancara ........................... 90
6.
Hasil Wawancara .................................... 91
7. Nomor 940/Pdt.G/2009/PA. Tng
vii
Putusan Perkara 94
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan sebuah lembaran kehidupan baru bagi setiap insan yang melakukannya. Ia adalah aktivitas kemanusiaan dengan makna luas dan berdimensi ibadah. Pernikahan yang dilakukan manusia merupakan naluri Ilahiyah untuk berkembang biak melakukan regenerasi yang akan mewarisi tugas mulia dalam rangka mengemban amanat Allah sebagai Khalifah di muka bumi. 1 Allah menjadikan perkawinan yang diatur menurut Syariat Islam sebagai penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri, yang diberikan oleh Islam khusus untuk manusia diantara mahluk-mahluk lainnya. 2 Islam memberikan kesamaan hak terhadap laki-laki dan perempuan dalam memilih pendamping hidup masing-masing, dan Islam tidak pernah memberikan power berupa hak maupun kewajiban kepada orang tua untuk memaksa anaknya dalam menikah, melainkan islam memberikan suatu peran bagi orang tua dalam berlakon sebagai penasehat, pemberi arahan dan petunjuk dalam masalah memilih calon pasangan anaknya dan tidak berhak 1
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar MAdzhab, (Jakarta: Pt. Prima Heza Lestari, 2006), h.2. 2
Mahmud Al- Shabbagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), h.23.
1
orang tua memaksa anaknya baik laki-laki maupun perempuan untuk menikah dengan orang yang tidak mereka inginkan atau bukan pilihan mereka. 3 Nikah adalah keistimewaan dan masalah pribadi setiap orang, sehingga pemaksaan orang tua atau salah satu orang tua terhadap anaknya untuk nikah dengan orang yang tidak diinginkannya adalah tidak benar, karena itu merupakan perbuatan dzalim dan melanggar hak-hak orang lain. Wanita dalam islam mempunyai kebebasan mutlak dalam menerima atau menolak orang yang datang mempersuntingnya sehingga orang tua tidak mempunyai hak apalagi kewajiban dalam memaksanya karena kehidupan berumah-tangga tidak akan berjalan mulus bahkan akan merusak pernikahan apabila pernikahan tersebut didasari oleh paksaan dan kepura-puraan. 4 Keluarga sakinah akan membawa terciptanya masyarakat yang baik. Keluarga yang bahagia juga akan berdampak baik bagi lingkungan masyarakat. Untuk menciptakan keluarga yang sejahtera, tentram, dan damai diperlukan persiapan yang matang sejak dari sebelum perkawinan sampai kepada berlangsungnya akad nikah. Selain itu juga tujuan dari pernikahan yaitu untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga; sejahtera artinya terciptanya ketenangan
3
Fikar, “Kawin Paksa” artikel diakses 18 April 2010 dari http://luluvikar.wordpress.com.
4
Fikar, “Kawin Paksa” artikel diakses 18 April 2010 dari http://luluvikar.wordpress.com
2
lahir dan batin disebabkan terpenuhin kehidupan lahir batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar angggota keluarga. 5 Kekerasan terhadap anak semakin marak terjadi. Tidak sedikit pemberitaan-pemberitaan di media tentang prilaku kekerasan dengan korbannya seorang anak. Motif dan modusnya bisa beraneka ragam. Baik berupa kekerasan fisik maupun mental-psikis. Ironisnya pelaku kekerasan terhadap anak ini biasanya adalah orang terdekat baik itu saudara, teman, tetangga bahkan orang tua sendiri. Biasanya mereka berdalih atas dasar kasih sayang akan tetapi berujung penderitaan sang anak. Tidak terkecuali diantaranya merampas kebebabasan hak anak untuk memilih pasangan hidup anaknya sendiri. Kasus penjodohan paksa merupakan bentuk kekerasan terhadap anak. Karena efeknya dapat lebih parah ketimbang kekerasan fisik. Walaupun terkadang, kawin paksa berakhir dengan kebahagiaan dalam rumah tangga, tetapi tidak sedikit yang berakibat pada ketidakharmonisan bahkan perceraian. Itu semua akibat ikatan perkawinan yang tidak dilandasi cinta kasih, namun berangkat dari keterpaksaan semata. 6
5
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama “Ilmu Fiqh” (Departeman Agama,1985), h.62. 6
Fahmina Institute Cirebon, “Pernikhan Paksa: Presektif Fikih dan kekerasan Terhadap Anak” artikel diakses pada 18 April 2010 dari http://www.fahmina.or.id/penerbitan/warkah-al-basyar/5.html.
3
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.7 Dalam perkawinan adanya ikatan lahir dan batin, yang berarti bahwa dalam perkawinan itu perlu adanya ikatan tersebut kedua-duanya. Antara suami isteri harus saling cinta mencintai satu dengan yang lain, tidak adanya paksaan dalam perkawinan. Bila perkawinan dengan paksaan, tidak adanya rasa cinta kasih satu dengan yang lain, berarti bahwa dalam perkawinan tersebut tidak adanya ikatan batin. Kedua ikatan tersebut di atas, yaitu ikatan lahir dan batin keduanya dituntut dalam perkawinan. Bila tidak ada salah satu, maka ini akan menimbulkan persoalan dalam kehidupan pasangan tersebut. Kawin paksa, pada umumnya tidak dapat bertahan lama, sehingga perceraian biasanya merupakan hal yang sering terjadi. Berdasarkan latar belakang diatas penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut, yang akan penulis tuangkan dalam skripsi dengan judul “KAWIN PAKSA SEBAGAI ALASAN TERJADINYA PERCERAIAN (Analisa Putusan PA Tangerang Perkara Nomor 940/Pdt.G/ 2009/PA.Tng)”.
7
Undang-undang RI No 1 tahun 1974 Tentang Perkawianan dan Kompilasai Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h.2.
4
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar dalam pembahsan skripsi ini lebih terarah dan tidak meluas, penulis membatasi pada masalah perceraian yang disebabkan adanya kawin paksa oleh orang tua. Dengan objek penelitian di Pengadilan Agama Tangerang. 2. Perumusan Masalah Dalam aturan formal yang berlaku, tidak tercantum adanya kawin paksa sebagai alasan perceraian. Akan tetapi pada kenyataannya perceraian dapat terjadi karena adanya kawin paksa yang dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya. Hal tersebut yang ingin penulis telusuri dalam penulisan skripsi ini. Dan untuk memudahkan pembahasan, rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1.
Apakah kawin paksa dapat dijadikan sebagai alasan perceraian?
2.
Bagaimana kawin paksa dalam hukum Islam dan hukum positif?
3.
Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara kawin paksa sebagai pemicu terjadinya perceraian?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin penulis capai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
5
a. Untuk mengetahui kebolehan perceraian dengan adanya kawin paksa. b. Untuk mengetahui kawin paksa dalam hukum Islam dan hukum positif. c. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut.
2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah: a. Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam Hukum Perkawinan di Indonesia. b. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat dalam menjawab perkembangan hukum islam dan hukum positif di Indonesia. c. Secara pragmatis, hasil penelitian ini menjadi bahan utama penyusunan penulisan skripsi sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah pada fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. D. Tinjauan Kajian ( Review ) Terdahulu Dalam studi review yang penulis lakukan, penulis menemukan beberapa skripsi yang berkaitan dengan skripsi yang akan ditiliti oleh penulis yaitu:
6
1. Judul skripsi: Intervensi orang tua sebagai faktor pemicu perceraian (Studi Analisa putusan No. 248/Pdt.G/2007/PA.Jakbar). Disusun oleh: Eva Muslimah (1040442011463). Tahun: 2009 Dalam skripsi ini menjelaskan bahwa latar belakang pemicu terjadinya perceraian disebabkan karena orang tua terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga anaknya, dikarenakan suami istri tersebut masih tinggal satu atap dengan mertua, sehingga mertua merasa berhak mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Skripsi ini membahas seputar bagaimana pemeriksaan perkara serta pertimbangan hakim, dan intervensi orangtua sebagai faktor pemicu ketidakharmonisan dalam rumah tangga. 2. Judul skripsi: Perselisihan Terus Menerus Antara Suami Istri Akibat Turut Campur Orang Tua Sebagai Dasar Alasan Perceraian( kajian terhadap putusan pengadilan agama jakarta timur No. 1164/pdt. G/2008/ PA JT) Disusun Oleh: Ahmad Sauqi (106044101386). Tahun: 2010 Dalam skripsi ini menjelaskan bahwa latar belakang terjadinya perceraian disebabkan karena orang tua tergugat turut campur dalam urusan rumah tangga anaknya, dan tergugat lebih mementingkan orang tuanya daripada istrinya, sehingga tujuan perkwinan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mwaddah, warrahmah tidak tercapai dan berujung pada perceraian. Fokus skripsi ini membahas bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif mengenai turut campur orang tua terhadap rumah tangga anak, dan
7
bagaimana pertimbangan hakim dalam menyelesaikan dan memutus perkara tersebut. 3. Judul skripsi: Problem Nikah Mut’ah di Desa Cimacan Kecamatan Cipanas Kabuaten Cianjur. Disusun oleh: Selvi Oktaviani (105044201466). Tahun: 2009 Dalam skripsi ini menjelaskan bahwa banyak pernikahan mut’ah yang terjadi di daerah ini, dengan menyerahkan maskawin yang disepakati calon pengantin wanita yang dapat menyejahterahkan kehidupannya, dan rata-rata wanita didesa ini kawin lebih dari satu kali. Fokus skripsi ini membahas faktor apa saja yang melatar belakangi masyarakat Desa Cimacan melakukan Nikah Mut’ah dan dampak setelah malakukannya. Perbedaan anatara tiga skripsi ini dengan skripsi yang penulis angkat adalah sebagai berikut: 1. Dalam skripsi bagian pertama menjelaskan bahwa faktor utama pemicu terjadinya perceraian karena orangtua terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga anaknya, dikarenakan anak masih tinggal bersama mertua. Sedangkan skripsi penulis membahas tentang kawin paksa yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian. 2. Pada skirpsi yang kedua membahas perceraian yang terjadi karena orangtua tergugat turut campur dalam urusan rumah tangga anaknya, dan tergugat lebih mementingkan orang tuanya daripada istrinya. Sedangkan
8
masalah yang penulis teliti lebih fokus kepada adanya paksaan dalam sebuah pernikahan. 3. Dalam skiripsi yang ketiga membahas tentang kawin mut’ah yang terjadi di Desa Cimacan, mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya kawin mut’ah dan dampak setalah melakukannya. Sedangkan skripsi penulis membahas tentang kawin paksa yang dilakukan orangtua terhadap anaknya. E. Metode Penelitian Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka penulis menggunakan beberapa metode antara lain : 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah dengan memakai metode penelitian hukum normatif, 8 yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 9 2. Jenis Penelitian Adapun jenis penelitian setelah penulis melihat data yang dibutuhkan dalam judul skripsi ini, maka termasuk dalam kategori penelitian kualitatif
8
Jhony Ibrahim, Teory Dan Metodolgi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), Cet.III, h. 57 9
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. (Jakarta : CV Rajawali, 1985), h.14.
9
lebih khususnya dengan menggunakan penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejalanya. Adapun tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk menggambarkan suatu objek secara sistematis. 10 3. Sumber Data Dalam penelitian ini akan digunakan data primer dan data sekunder. Di bawah ini akan dirinci satu per satu apa saja yang termasuk ke dalam data primer dan data sekunder. a. Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti, 11 yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. 12 Dalam hal ini berupa berkas putusan perkara prceraian yang didapatkan dari Pengadilan Agama Tangerang yang seduah berkekuatan hukum tetap yakni putusan cerai gugat dengan nomor perkara: 940/pdt.g/2009/Pa.Tng. Selain itu juga data primer diperoleh lewat interview (wawancara) terhadap hakim yang memeriksa perkara ini, kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang dikaji.
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986) h. 43.
11
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), h.5.
12
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), Cet. VII, h.113.
10
b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadits, buku-buku ilmiah, jurnal-jurnal, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta Peraturan lai nnya yang dapat mendukung skripsi ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Dokumentasi. b. Interview atau wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi, 13 yakni tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langung antara pewawancara dengan pihakpihak yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini yaitu hakim yang memeriksa perkara cerai gugat. Disini penulis menggunakan wawancara terstruktur yang tentunya dipersiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada Majelis hakim yang
13
Rianto Adi, Metodologi Penelitian, h.72.
11
diwawancarai. Dengan tujuan agar memperoleh data yang lengkap untuk kesempurnaan skripsi ini. 5. Teknik Analisis Data Metode data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas dari data yang sudah diperoleh berupa putusan pengadilan dan mengambil isinya dengan menggunakan metode content analysis.
Data
kemudian
dianalisis
dan
diinterpretasikan
dengan
menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti. Adapun untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.” F. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai berikut : Bab pertama berisi pendahuluan; Pada bagian pendahuluan ini berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinajauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
12
Bab kedua berisi kajian teoritis tentang kawin paksa; Dalam bab ini menjelaskan sekilas tentang pegertian perkawianan, dasar hukum perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan. Bab ketiga berisi tinjauan umum tentang kawin paksa; Dalam bab ini penulis memaparkan tentang kawin paksa meliputi pengertian kawin paksa, peran wali dalam perkawinan, serta penyebab terjadinya kawin paksa dan pandangan hukum islam dan hukum positif terhadap kawin paksa yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian. Bab keempat berisi tentang analisis terhadap perkara cerai talak nomor 940/Pdt.G/2009/PA.Tng;
Didalam bab ini penulis melakukan analisis
terhadap putusan tersebut, dimulai dari duduk perkara, profil pihak-pihak yang terkait, pemeriksaan perkara dalam persidangan, pertimbangan hukum majelis hakim dalam memeriksa perkara ini dan analisa penulis. Bab kelima merupakan penutup; Pada bab penutup ini berisi kesimpulan sebagai jawaban atas masalah yang dirumuskan, dan saran-saran. Penulis juga melampirkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang dianggap penting.
13
BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Pernikahan Dalam kamus al-Munawwir kamus Arab-Indonesia kata nikah berasal dari kata ﺢ – ِﻧ َﻜﺤًﺎ ُ ﺢ – َﻳﻨْ ِﻜ َ َﻧ َﻜyang artinya mengawini. Sedangkan kata “az-zawaj” sendiri terambil dari kata
ج – َﺗﺰْ ِوﻳْﺠًﺎ ُ ج – ُﻳ َﺰوﱢ َ َز ﱠوyang
berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperistri. 1 Dalam bahasa Indonesia kata nikah diartikan “kawin” yaitu membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. 2 Definisi nikah menurut syara’ adalah melakukan akad (perjanjian) antara calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan “pergaulan” sebagaimana suami istri dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan etika agama. 3 Kata nakaha dan zawaj inilah yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits nabi. Kata nakaha banyak terdapat dalam al-Quran dengan arti kawin dalam surat An-Nisa ayat 3: 1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, 1984), h.1560. 2
Departemen Dinas Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), cet III, h. 456 3
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), Cet.I, h. 17.
14
☺ ( ٣: ) ا ﻟﻨﺴﺎء. Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(Q.S.An-Nisa:3)
☺
(٣٢:) ا ﻟﻨﻮر Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hambahamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. An-Nur:32) Kata zawaja dalam al-Qur’an teradapat pada surat Al-Ahzab ayat 37
☺ ☺
⌧ (٣٧:)اﻻﺣﺰاب
15
Artinya: Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya . dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (Q.S.Al-Ahzab:37). Para ulama fiqh sependapat bahwa nikah itu adalah akad yang yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan terhadap faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer. 4 Dari definisi yang diberikan oleh ulama tersebut hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan yaitu kebolehan melakukan hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan. Sehingga Ulama kontemporer memperjelas jangkauan definisi tersebut. Diantaranya yang disebutkan oleh Dr. Ahmad Ghandur dalam bukunya alAhwal al-syakhisyah fi al-Tasri’ al- Islamy, bahwa nikah adalah akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban. 5 Dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, perkawinan ialah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ atau melakukan hubungan setubuh dengan seorang wanita, atau melakukan wath’, dan berkumpul
4
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami, dan Perselingkuhan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h.80. 5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakaht dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2007, cet ke 2, h. 39
16
dengan wanita sepanjang wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab ketrunan, atau sepersusuan. 6 Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 1 menyebutkan, bahwa perkawinan adalah “Ikatan Lahir batin antara seoarang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari rumusan tersebut mengandung beberapa hal yang perlu diperhatikan: Pertama: “seorang wanita dengan seorang pria”, mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara kelamin yang berbeda. Yang menolak perkawinan sesama jenis yang telah dilegalkan oleh beberapa Negara barat. Kedua: “ sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah hidup bersama. Ketiga: “bedasarkan ketuhanan yang maha esa” menunjukkan bahwa prkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama. 7 Disamping definisi yang diberikan oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatas, Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 2 memberikan definisi lain yang tidak mengurangi arti-arti definisi UU 6
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Waadillatuhu, (Damasyiq: Daar al-Fikr, 1998),
7
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h. 48
h.29.
17
tersebut namun bersifat menambah penjelasan, dengan rumusan sebagai berikut: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mistaqon gholiidhon untuk mentaati perintah Allah dan melaksankannya merupakan ibadah.i” Ungkapan akad yang sangat kuat atau mistaqon ghollidhon merupakan penjelasan dari ungkapan ikatan lahir batin yang terdapat dalam Undang-Undang yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Dan ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksankannya merupakan ibadah menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah. Menurut hemat penulis dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan wahana bagi umat manusia untuk mempertahankan eksistensinya dalam bingkai rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah agar tercapainya tujuan perkawinan tersebut. B. Rukun Dan Syarat Perkawinan Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dengan hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus ada. Dalam suatu acara
18
perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkwinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan ulama yang perbedaan ini tidak bersifat substansial. Perbedaan di antara pendapat tersebut disebabkan oleh karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu. Semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan adalah: Akad perkawinan, laki-laki yang akan kawin, perempuan yang akan kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atas mas kawin. Ulama Hanafiyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang berlaku antara pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu. Oleh karena itu, yang menjadi rukun perkawinan oleh golongan ini hanyalah akad nikah yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan, sedangkan yang lainnya seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan kepada syarat perkawinan. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan perkawinan disini adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinn dengan segala unsurnya, bukan hanya akad nikah itu saja. Sehingga rukun perkawinan adalah segala hal yang harus terwujud dalam suatu perkawinan, yaitu: a. Calon mempelai laki-laki. b. Calon mempelai perempuan. c. Wali dari mempelai perempuan.
19
d. Dua orang saksi. e. Ijab dan qobul. 8 Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk kedalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian, mahar itu termasuk kedalam syarat perkawinan. Adapun syarat-syarat perkawinan terbagi kedalam dua kategori yakni: 1. Syarat untuk suami: a. Laki-laki itu bukan muhrim dari calon istri. b. Atas kemauan sendiri atau tidak terpaksa. c. Jelas orangnya. d. Tidak sedang melakukan ihram haji. 9 2. Syarat untuk istri: a. Tidak terhalang menurut ketentuan syara’, seperti: tidak bersuami, bukan muhrim dan tidak dalam keadaan iddah. b. Atas ketentuan sendiri / merdeka. c. Jelas orangnya. d. Tidak sedang melaksankan ihram haji. 10 Adapun undang-undang perkawinan menetapkan bahwa syaratsyarat perkawinan diatur dalam pasal 6 s.d pasal 11 undang-undang No 1 8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan, h.61. 9 Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan Perkawinan), (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 15 10
Ibid, h. 15
20
Tahun 1974 tentang perkawinan, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: 1. Terdapat persetujuan dari kedua mempelai. 2. Terdapat pernyataan izin dari orangtua/wali bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun. 3. Umur calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan memmempelai wanita sudah mencapai 19 tahun 4. Antara kedua calon mempelai tidak ada hubungan darah yang dilarang kawin. 5. Tidak terikat hubungan perkawinan dengan orang lain. 6. Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami istri yang sama, yang hendak dikawini. 7. Bagi seorang wanita (janda) tidak dapat kawin lagi sebelum masa tunggu berakhir. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur tentang rukun perkawinan dalam pasal 14 yaitu dalam suatu perkawinan harus ada: 1. Calon suami. 2. Calon istri. 3. Wali nikah. 4. Dua orang saksi. 5. Ijab dan Kabul.
21
C. Dasar Hukum Perkawinan Perkawinan atau pernikahan itu adalah sunnatullah artinya perintah Allah dan Rasulnya, tidak hanya semata-mata keinginan manusia atau hawa nafsunya saja karenanya seseorang yang telah berumah tangga berarati ia telah mengerjakan sebagian dari syariat (aturan) Agama Islam. 11 Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Nikah harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam kehidupan. 12 Oleh karenanya nikah disyariatkan berdasarkan dalil al-Qur’an dan al-Hadits, adapun ayat yang menunujukkan syariat nikah adalah Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa ayat 3:
☺ ٣:) ا اﻧﺴﺎء ( Arinya, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu 11
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah), (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h.3 12
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, (Jakarta: Qolbun Salim, 2007), h.86
22
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”(Q.S. An-Nisa:3). Dan Hadits Riwayat Bukhari yakni:
ب َم ِ ﺸﺒَﺎ ﺸ َﺮ اﻟ ﱠ َ ْ ﻳَﺎ َﻣﻌ: ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا َ ﷲ ِ لا ُ ْﺳﻮ ُ ل ﻟَﻨَﺎ َر َ ﷲ ﻗَﺎ ِ ﻋﺒْ ِﺪ ا َ ْﻋﻦ َ ْج َو َﻣﻦ ِ ْﻦ ِﻟﻠْ َﻔﺮ ُﺼ َ ْﺼ ِﺮ َو َاﺣ َ ﺾ ِﻟﺎْ َﺑ ﻏ ﱡ َ ع ِﻣﻨْ ُﻜ ُﻢ اﻟﺒَﺎ َء َة َﻓﻠْ َﻴ َﺘ َﺰ ﱠوجْ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َا َ اﺳْ َﺘﻄَﺎ 13
(ﻄﻊْ َﻓ َﻌَﻠﻴْ ِﻪ ﺑِﺎﻟﺼﱠﻮْمِ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻟ ُﻪ وِﺟَﺎءٌ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى ِ ﻟَﻢ َﻳﺴْ َﺘ
Artinya: “wahai pemuda, barang siapa yang telah ,merasa sanggup untuk berumah tangga, maka hendaklah ia kawin. Sesungguhnya kawin itu dapat melindungi penglihatan dan lebih memelihara kehormatan. Dan siapa belum sanggup, hendaknya ia berpuasa, karena puasa itu adalah sebagai perisai/benteng (dapat menundukkan nafsu birahi), (H.R. Bukhari). Dari ayat dan hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa; Pernikahan atau perkawinan itu adalah perintah Allah dan rasulnya (aturan Agama islam) disebut juga dengan Sunnatullah. Perkawinan adalah sesuatu yang dasarnya suci dan mulia pada sisi Allah maupun pada sisi manusia, karena itu seseorang yang telah berumah tangga hendaklah menghargai dan memuliakan perkawinannya. 14 Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal
13
Al-Bukhari,Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, Sahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Fikr), h. 56 14
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah), (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h.5.
23
dari perkawinan itu adalah mubah atau boleh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melangsungkan akad perkawinan disuruh oleh agama, ketika akad perkawinan telah berlangsung, maka pergaulan laki-laki dengan perempuan menjadi mubah. Oleh karena itu, meskipun perkawinan itu asalnya adalah mubah, namun dapat berubah menurut ahkamul khamsah (hukum yang lima) menurut perubahan kedaan: 15 1. Wajib Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram. 2. Haram Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan kewajiban lahir seperti member nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan kewajiban batin seperti mencampuri istri. 3. Sunnah Nikah disunnahkan bagi orang yang sudah mampu tetapi dia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam hal ini maka nikah lebih baik karena hidup sendiri tidak diajarkan dalam Islam. 4. Mubah
15 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h.11.
24
Bagi orang yang tidak berhalangan untuk menikah dan dorongan nikah belum membahyakan dirinya, ia belum wajib nikah dan tidak haram bila tidak menikah. 5. Makruh Bagi orang yang tidak punya kesanggupan untuk menikah, sehingga dikhawatirkan jika menikah ia tidak sanggup mencapai tujuan perkawinan, maka sebaiknya ia tidak melakukan perkawinan. 16 D. Tujuan Dan Hikmah Pernikahan 1. Tujuan perkawinan Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan mempunyai tujuan yang sangat sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan syariat agama. 17 Perkawinan sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat guna
melangsungkan
kehidupan
umat
manusia
serta
untuk
mempertahankan eksistensi kemanusiaan dimuka bumi ini. Ia sangat disenangi oleh setiap pribadi manusia dan merupakan hal yang fitrah bagi setiap makhluk tuhan. Dengan perkawinan akan tercipta suatu masyarakat kecil dalam bentuk keluarga dan akan lahir beberapa suku dan bangsa. 18
16
kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h.24. 17
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), Cet.I, h.19. 18
Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Khalid bin Ali Al-Anbari, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta: Pustaka Al-Kautasar, 1993), h. 14.
25
Tujuan dari perkawinan, dapat dilihat dari tiga sumber yaitu menurut al-qur’an, al-hadits dan akal. Pertama, menurut Al-Qur’an dalam surat al-a’raf ayat 189, menyatakan bahwa tujuan Tujuan perkawinan adalah untuk bersenangsenang, yang merupakan unsur untuk mendukung sehat rohani dan jasmani. Selain itu tujuan yang hakiki dalam sebuah pernikahan adalah mewujudkan mahligai rumah tangga yang sakinah yang selau dihiasi dengan mawaddah dan rahmat. sebagaimana yang tercantum dalam surat Ar-Ruum ayat 21
☯ ☺ (١٢ :)اﻟ ّﺮ وم.
⌧
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Ar-Rum:21). Sakinah artinya tenang agar manusia dapat merasakan ketenangan dan ketentraman dari perjodohan yang telah ditentukan oleh Tuhan. Mawaddah yaitu membina “rasa cinta”, namum mawaddah saja kurang menjamin kelangsungan dalam berumah tangga, karena mawadah adalah rasa cinta yang bergejolak syarat dengan kecemburuan. Sehingga rahmah atau “sayang” sangat dibutuhkan dalam berumah tangga, yang harus
26
dimiliki oleh kedua belah pihak dengan sikap saling pengertian dan bersedia mengorbankan unsur kepentingan pribadinya serta saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing pihak. Seiring perjalanan hidup manusia, maka rahmah akan semakin bertambah dan mawadah akan berkurang sehingga tujuan sakinah dapat tercapai. 19 Kedua, menurut hadits ada dua hal yang dituju dari suatu perkawinan yaitu untuk menundukkan pandangan dan menjaga faraj (kemaluan), oleh sebab itu Nabi menganjurkan berpuasa bagi yang belum sanggup kawin. dan tujuan yang terpenting yaitu sebagai kebanggaan nabi di hari kiamat kelak. Karena dalam jumlah umat yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar, tentunya kuantitas umat tersebut disertai dengan kualitas yang bagus 20 . Sebagaimana yang tercantum dalam Hadits Nabi:
ﻦ ِ ب َﻣ ِ ﺸﺒَﺎ ﺸ َﺮ اﻟ ﱠ َ ْ ﻳَﺎ َﻣﻌ: ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا َ ﷲ ِ لا ُ ْﺳﻮ ُ ل ﻟَﻨَﺎ َر َ ﷲ ﻗَﺎ ِ ﻋﺒْ ِﺪ ا َ ْﻋﻦ َ ْج َو َﻣﻦْ َﻟﻢ ِ ْﻦ ِﻟﻠْ َﻔﺮ ُﺼ َ ْﺼ ِﺮ َو َاﺣ َ ﺾ ِﻟﺎْ َﺑ ﻏ ﱡ َ ع ِﻣﻨْ ُﻜ ُﻢ اﻟﺒَﺎ َء َة َﻓﻠْ َﻴ َﺘ َﺰ ﱠوجْ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َا َ اﺳْ َﺘﻄَﺎ 21
(ﻄﻊْ َﻓ َﻌَﻠﻴْ ِﻪ ﺑِﺎﻟﺼﱠﻮْمِ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻟ ُﻪ وِﺟَﺎءٌ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى ِ َﻳﺴْ َﺘ
Artinya: “wahai pemuda, barang siapa yang telah ,merasa sanggup
untuk
berumah
tangga,
maka
hendaklah
ia
kawin.
Sesungguhnya kawin itu dapat melindungi penglihatan dan lebih
19
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, (Jakarta: Qolbun Salim, 2007), h. 87-88 20
Ibid, h.89
21 Al-Bukhari,Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, Sahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Fikr), h. 56
27
memelihara kehormatan. Dan siapa belum sanggup, hendaknya ia berpuasa, karena puasa itu
adalah sebagai perisai/benteng (dapat
menundukkan nafsu birahi). (HR. Bukhari).
Ketiga, menurut akal sehat yang sederhana, tujuan perkawinan adalah untuk melestarikan dan memakmurkan kehidupan di muka bumi yang cukup luas ini dengan keliling 40.000 Km, dan berdiameter 25.000 Km. Dengan demikian untuk dapat meningkatkan jumlah manusia guna merawat bumi dan seisinya harus dengan perkawinan. Karena bumi ini Allah nyatakan untuk kita (manusia). Hikmah perkawinan juga dimaknai sebagai sarana ketertiban kehidupan manusia yang erat kaitannya dengan persoalaan nasab. Sebab apabila seorang anak dilahirkan melalui perkawinan yang sah, maka akan menjadi jelas nasabnya dan tidak menimbulkan bencana. Dan tujuan perkawinan
yang lain untuk
ketertiban dalam hal warisan. Melalui prosedur perkawinan yang tertib maka permasalahan ahli waris dapat diselsaikan dengan tertib pula. 22 Tujuan perkawinan juga diatur oleh undang-undang hal ini ditegaskan dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dalam pasal 1 disebutkan: “ perkawinan ialah Ikatan Lahir batin antara seoarang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”, dan Kompilasi Hukum Islam
22
Ibid, h. 90
28
(KHI), dalam pasal 3 disebutkan: “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”. Oleh sebab itu perkawinan merupakan sebuah gerbang untuk membentuk keluarga bahagia yang memiliki tujuan sangat mulia yang tidak hanya menggabungkan dua insan namun juga menghubungkan dua keluarga besar yang dapat memperteguh rasa cinta antara keluarga sehingga terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah untuk selama-lamanya hingga kematian yang memisahkan. 2. Hikmah Perkawinan Perkawianan merupakan suatu ketentuan-ketentuan dari Allah di dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum, menyeluruh dan berlaku tanpa terkecuali baik bagi manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. 23 Perkawinan yang terjadi pada mahluk hidup, baik tumbuhan , binatang, maupun manusia, adalah untuk keberlangsungan dan pengembangbiakan mahluk yang bersangkutan. 24 Hikmah perkawinan menurut ajaran Islam adalah untuk memelihara manusia daripada pekerjaan maksiat, yang membahayakan diri, harta dan pikiran. 25
23
Abdul Qadir djailani, Keluarga sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), h. 41
24
Mahmud Al-Shabbagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda karya, 1991), h. 1 25
Amir taat nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam, Tuntutan Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), Cet. 3, h.31.
29
Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan seluruh umat manusia. Adapun hikmah pernikahan adalah: 26 a. Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan naluri seks, dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang dan mata terpelihara dari melihat yang haram. b. Nikah merupakan jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia, serta memelihara nasab yang oleh islam sangat diperhatikan. c. Untuk menjalin kerjasama antara suami dan istri dalam pembagian tugas rumah tangga. d. Perkawinan dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan masyarakat, karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyayangi merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia. e. Latihan memikul tanggung jawab. Perkawinan merupakan pelajaran dan latihan praktis bagi pemikulan tanggung jawab dan pelaksanaan segala kewajiban yang timbul dari pertanggungjawaban tersebut. 27 f. Masyarakat dapat diselamatkan dari bermacam-macam penyakit seperti sipilis, penyakit keturunan yang dapat mengancam orang-oarng 26
Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, h.51.
27 M. Ali hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: prenada kencana, 2003), h.
30
dewasa dan anak-anak, yang dapat menjalar dengan cepat, yang terjangkit diantara anggota masyarakat akibat perzinahan, pergaulan yang keji dan haram. 28 Sehingga penyakit-penyakit tersebut dapat dihindari dengan adanya perkawinan.
28
Abdullah Nasheh, Hikmah Perkawinan, dalam Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), h.45
31
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KAWIN PAKSA A. Pengertian Kawin Paksa Kata
paksa dalam kamus bahasa Indonesia artinya mengerjakan
sesuatu yang harus dilakukan walaupun tidakmau, dengan cara mamaksa atau kekerasan (menekan,mendesak). 1 Kawin paksa dalam literatur arab disebut juga dengan istilah ijbar, kata ijbar berasal dari kata ajbara-yujbiru-ijbaaran. Kata ini memiliki arti yang sama dengan akraha, dan alzama. Artinya pemaksaan atau mengharuskan dengan cara memaksa dan keras. 2 Yang di maksud dengan ijbar yaitu hak dari orangtua untuk menikahkan anak perempuannya tanpa meminta persetujuan dari anaknya tersebut. Jadi kawin paksa adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk keluarga sebagai suami istri dengan adanya paksaan dari orangtua tanpa memperhatikan izin dari seseorang yang berada dibawah perwaliannya.
1
Deparetemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h.638 2
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, 1984), h.164
32
B. Jenis-Jenis Wali dan Peran Wali Dalam Perkawinan 1. Definisi Wali Secara etimologi wali mempunyai arti pelindung, penolong atau penguasa. 3 Orang yang berhak menikahkan perempuan adalah wali yang bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai wali. Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur ulama seperti Imam Syafi’i dan Imam Malik, mengatakan bahwa wali itu adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah bukan dari ibu. 4 Susunan wali yang harus didahulukan menurut Imam Syafi’I adalah sebagai berikut: 1) Ayah, Ayahnya ayah (kakek) dan seterusnya keatas. 2) Saudara laki-laki yang sekandung (seayah dan seibu). 3) Saudara laki-laki seayah. 4) Anak laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang sekandung.
3
Abdul Mujib dkk, dalam Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih munakahat, kajian fikih nikah lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h 89 4
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 90
33
5) Anak laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang seayah, dan seterusnya sampai ke bawah. 6) Paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung. 7) Paman yang bersaudara dengan ayah seayah. 8) Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung. 9) Saudara sepupu atau anak lak-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah, dan seterusnya sampai kebawah. 5 Susunan wali yang harus didahulukan menurut Imam Maliki adalah sebagai berikut: 1) Ayah. 2) Al-Washi (orang yang menerima wasiat dari ayah untuk menjadi wali). 3) Anaknya yang laki-laki, meskipun anak yang bersangkutan hasil dari perzinahan. 4) Cucu laki-laki. 5) Saudara laki-laki yang sekandung. 6) Saudara laki-laki yang seayah. 7) Anak laki-laki dari saudara sekandung. 8) Anak laki-laki dari saudara yang seayah.
5Mohammad
Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), Cet.I, h.69-70.
34
9) Kakek yang seayah. 10) Paman yang sekandung dengan ayah. 11) Anak laki-laki dari paman yang sekandung dengan ayah. 12) Paman yang seayah dengan ayah. 13) Anak laki-lalki dari paman yang seayah dengan ayah. 14) Ayah dari kakek. 15) Pamannya ayah. 16) Orang yang mengasuh perempuan yang bersangkutan. 6 Susunan wali yang harus didahulukan menurut Imam Hanafi adalah sebagai berikut: 1) Anak laki-laki, cucu laki-laki, dan seterusnya sampai kebawah. 2) Ayah, kakek (ayah dari ayah), dan seterusnya sampai keatas. 3) Saudara laki laki yang sekandung. 4) Saudara laki laki yang seayah. 5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung. 6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah, dan seterusnya sampai kebawah. 7) Paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung. 8) Paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah.
6
Ibid, h.70.
35
9) Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung,dan setrusnya kebawah. Seandainya waliwali yang disebutkan diatas tidak ada semuanya, maka yang berhak menjadi wali adalah garis keterunan perempuan yang sesuai dengan susunannya. 7 2. Jenis-jenis wali Wali memegang peranan penting terhadap kelangsungan suatu pernikahan. Menurut Imam Syai’i dan Imam Malik bahwa keberadaan wali adalah termasuk salah satu rukun nikah. Suatu pernikahan tanpa dihadiri oleh wali dari pihak perempuan adalah tidak sah atau batal. 8 Sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi: 9
(ح اِﻻ ﺑﻮَﻟِﻲ)روﻩ اﻟﺒﺨﺎرى َ ﺳّﻠ َﻢ ﻻ ﻧِﻜﺎ َ ﷲ ﻋﻠﻴ ِﻪ و ُ ﺻّﻠﻰ ا َ ﷲ ِ لا ُ ﺳﻮ ُ ل َر َ ﺳﻰ ﻗَﺎ َ ﻋﻦْ َا ِﺑﻲ ُﻣﻮ َ
Artinya: “Dari Abu Musa r.a yang berkata bahwa RAsulullah SAW bersabda, “Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya wali”. (HR. Bukhari). Adapun wali nikah ada empat jenis, yaitu: 1. Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Adapun wali nasab terbagi menjadi dua, yaitu:
7
Ibid, h.71.
8
Ibid, h. 60. 9Al-Bukhori,
Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, Sahih Al-Bukhari,(Beirut: Dar
Al-Fikr), h. 95
36
a. Wali nasab biasa yaitu wali nasab yang tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa menikahkan tanpa izin atau persetujuan dari wanita yang bersangkutan. Dengan kata lain wali ini tidak mempunyai kewenangan menggunakan hak ijbar. b. Wali mujbir adalah wali nasab yang berhak memaksakan kehendaknya untuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa meminta ijin kepada wanita yang bersangkutan. hak yang dimiliki oleh wali mujbir disebut dengan hak ijbar. 2. Wali hakim, yang dimaksud dengan wali hakim ialah wali nikah dari hakim atau qadhi. Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah Pemerintah (sulthan), Pemimpin (Khalifah), Penguasa (Roish), atau qadhi nikah yang diberi wewenang dari kepala Negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim. 10 3. Wali tahkim yaitu wali yang diangkat oleh calon suami atau calon istri. Wali tahkim terjadi apabila wali nasab tidak ada, wali nasab ghaib, tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah.
10
Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, h. 97
37
4. Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya, yaitu majikannya sendiri. Adapun maksud budak disini adalah wanita yang dibawah kekuasaannya/hamba sahaya. 11 Adapun yang dimaksud dalam penelitian disini ialah pada wali mujbir. Yang telah diuraikan sebelumnya yaitu wali nasab yang mempunyai hak untuk menikahkan terhadap seseorang yang ada dibawah perwaliannya dengan tanpa izin dan persetujuan anaknya. a. Wali mujbir menurut syafi’i adalah ayah, kakek dan terus keatas, wali mujbir mempunyai kedudukan istimewa karena boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan belum baligh. Juga boleh menikahkan anak perempuannya yang sudah dianggap dewasa dan masih perawan tanpa minta izin terlebih dahulu kepada anak yang bersangkutan. 12 Imam syafi’i mengacu pada hadits Nabi SAW: 13
ﺟﻬﺎ َأ ُﺑﻮْهَﺎ ُ ﺴ َﻬﺎ ِﻣﻦْ َوِﻟ ّﻴﻬﺎ َواﻟِْﺒﻜْ ُﺮ ُﻳ َﺰ ﱢو ِ ْﻖ ِﺑ َﻨﻔ ﺣﱡ َ ﺐ َأ ُ َاﻟ ّﺜ ﱢﻴ
Artinya:“perempuan janda lebih berhak pada dirinya sendiri dibandingkan walinya, sedangkan perempuan yang masih perawan dinikahkan oleh ayahnya”. ( HR. An-Nasa’i dan daruquthni).
11
Ibid, h. 99
12
Mohamad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan, h.77.
13
Sunan Darutqutni , Kitab Nikah, juz 3, h.240
38
Hadits ini menunjukan seorang ayah dibolehkan menikahkan anak perempuannya yang masih perawan tanpa harus minta izin terlebih dahulu kepada anak yang bersangkutan. b. Wali mujbir menurut Imam Hambali adalah ayah dan washi, bila kedua orang ini tidak ada maka yang berhak menyandang wali mujbir adalah hakim dengan syarat bahwa perempuan yang bersangkutan sudah layak dinikahkan. Kedudukan dan fungsi wali mujbir sama dengan imam syafi’i. 14 c. Wali mujbir menurut Imam Malik adalah ayah. Orang lain dapat diangkat menjadi wlai mujbir apabila teah mendapat wasiat dari bapak. Wasiat yang diucapkan itu harus ada bukti baik secara tertulis maupun lisan yang diucapkan dengan adanya dua orang saksi. Adapun Fungsi dari wali mujbir ini adalah boleh menikahkan perempuan yang kurang waras baik masih kecil maupun sudah menginjak dewasa. Terhadap perempuanperempuan yang masih perawan atau sudah janda dan masih berusia muda, wali ini juga dibolehkan menikahkan dengan laki-laki yang menjadi pilihannnya, tetapi haknya tidak mutlak dan mengandung syarat tertentu. Apalagi terhadap perawan yng memiliki pribadi matang dan bisa menafkahi dirinya senidri, atau terhadap janda yang berusia tua, wali ini tidak boleh
14
Mohamad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan, h. 79.
39
menikahkan dengan laki-laki pilihannya sendiri tanpa minta izin terlebih dahulu dari mereka. 15 d. Wali mujbir menurut Imam Hanafi adalah setiap orang yang tercantum dalam strukturisasi wali, mereka semua bisa disebut wali mujbir. Fungsi wali mujbir hanya terbatas pada anak-anak kecil baik laki-laki maupun perempuan, baik terhadap orang gila yang
masih kecil maupun sudah
dewasa. 16 Karena itu seorang ayah atau kakek boleh menikahkan anak perempuan yang masih kecil dan belum baligh meskipun tanpa minta izin dari yang bersangkutan. Demikian juga para wali selain ayah dan kakek boleh menikahkan anak perempuan yang masih kecil atau dibawah umur dengan syarat laki-laki yang menjadi calon suaminya harus setaraf dan sebanding setatusnya dengan dia dimata masyarakat yang ada dilingkungan sekitarnya, serta membayar mas kawin yang dinilai pantas. 17 Adapun perempuan yang sudah dewasa dan bisa menentukan baik buruk sesuatu, baik perempuan itu masih perawan atau sudah janda boleh menikahkan dirinya sendiri dengan laki-laki yang dicintai tanpa memerlukan wali lagi, dengan syarat calon suaminnya memilki status yang sama
15
Ibid, h.80.
16
Ibid, h.80-81.
17
Ibid, h.81.
40
dengannya. Tetapi kalau suaminya memiliki status tidak sama dan sering terjadi percekcokan dalam menjalani persoalan kehidupan rumah tangganya, maka walinya berhak menggugat cerai kepada suaminya. Rasulullah SAW bersabda:
ﻲ َﺛ ﱢﻴﺐٌ َﻓ َﻜ ِﺮ َهﺖْ ذ ﻟﻚ ﻓﺎءﺗﺖ رﺳﻮ ل اﷲ َ ﺟﻬﺎ و ِه َ ن ا َﺑﺎ هَﺎ َز ﱠو ﺧ َﺬ ا ٍم ا ﱠ ِ ﺖ ِ ْﺧﻨْﺴﺎ َء ِﺑﻨ َ ْﻋﻦ َ 18
(ﺣﻬَﺎ)رواﻩ اﻟﺒﺨﺎ رى اﻧﺴﺎء اﺑﻮ دود و ﻣﺎﻟﻚ َ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ َﻓ َﺮ َﱠد ِﻧﻜﺎ
Artinya:“Dari khansa’ binti khadam sesungguhnya ayahnya (khansa’) telah menikahkan dia sedangkan dia seoarang janda dan dia tidak menyukai hal semacam itu. Kemudian dia datang kepada rasulullah saw, maka beliau menolak pernikahan itu”. ( HR. bukhari, an-nasa’i, abu daud dan malik). Adapun yang dimaksud dengan ijbar adalah hak seorang ayah keatas unntuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang bersangkutan, dengan syarat-syarat tertentu, syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tidak ada permusuhan antara wali dengan perempuan (calon pengantin wanita). 2. Calon suami sekufu dengan calon istri. 3. Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilangsungkan akad nikah. 19
18
Sunan Nasai, Kitab Nikah, juz 3, hal 282
19
Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, h.102
41
4. Tidak dinikahkan dengan laki-laki yang cacat baik cacat fisik maupun psiskis sehingga perjalanan rumah tangganya tidak harmonis dan sering terjadi percekcokan. 20 Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, hak ijbar gugur. Sebenarnya ijbar bukan harus diartikan paksaan, tetepi lebih cocok diartikan pengarahan. Wali yang tidak mujbir adalah: 1. Wali selain ayah, kakek dan terus keatas. 2. Perwaliannya terhadap wanita-wanita yang sudah dewasa dan baligh dan mendapat persetujuan dari yang bersangkutan. 3. Bila calon pengantin wanitanya janda, izinnya harus jelas baik secara lisan atau tulisan 4. Bila calon pengantin wanitanya masih gadis cukup dengan diam 21 C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kawin Paksa Kawin paksa hingga saat ini masih saja diperdebatkan, hal ini disebabkan oleh kekeliruan penempatan hak dan kewajiban yang dapat dijadikan sebagai faktor utama munculnya kawin paksa, antara lain : 1. Kekeliruan dalam menempatkan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dan anak terhadap orang tuanya yang mana sering kali rancu
20
Mohamad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan, h. 79
21
Tihami dan Sohari , Fikih Munakahat, h. 102
42
dalam penerapannya sehingga hak kadang dijadikan sebagai kewajiban dan kewajiban dijadikan sebagai hak bahkan kadang pula menuntut akan kewajiban, lupa dan tidak menghiraukan akan hak-hak orang lain dan sebaliknya. 2. Restu dijadikan sebagai kewajiban mutlak orang tua dalam menentukan pasangan anaknya. 3. Adanya pemikiran bahwa orang tua hanya akan memberikan yang terbaik bagi anaknya, dan tak akan pernah melihat anaknya terlantar maupun disakiti oleh orang lain yang membuat mereka terlalu memaksakan kehendak mereka sendiri tanpa menghiraukan perasaan anaknya yang tanpa sadar mereka telah dengan tidak sengaja melukai dan menyakiti hati anaknya. 22 4. Nilai dan norma juga merupakan faktor penyebab adanya kawin paksa. Baik agama sebagai sebuah keyakinan maupun budaya yang masih kokoh. Seperti kewajiban orang tua untuk mencarikan pasangan hidup sang anak, begitu juga dengan stigma terhadap perempuan yang tidak laku, telah mendorong orang tua untuk mencarikan sekuat tenaga teman hidupnya. 23
22
Perihal Kawin Paksa, diakses pada 10 Juni 2010 dari http// kawin paksa atriki al-ta 97’s
blog.html. 23
Miftahul Huda, Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, (Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009), h.78
43
5.Adannya kebiasaan atau tradisi menjodohkan anak, seperti halnya di lingkungan pesantren, antara kiyai satu dengan yang lainnya saling menjodohkan anaknya. yang menyebabkan anak enggan menolak demi menghormati orang tuanya. Hal semacam ini sering terjadi karena beberapa alasan. Pertama, orang tua merasa memiliki anaknya sehingga merasa berhak memaksa anak menikah dengan siapapun. Kedua, rendahnya pengertian orang tua terhadap kemungkinan dampak buruk yang bisa menimpa si anak, buah hatinya sendiri. Ketiga, alasan ekonomi. Alasan ini menjadi faktor dominan dalam beberapa kasus yang terjadi di beberapa daerah. 24 Kawin paksa tak jarang dapat menimbulkan efek negatif bagi anak, hal ini yang menyebabkan anak enggan dikawinkan dengan pilihan orangtua, diantaranya: 1. Dari segi psikologis, kawin paksa dapat menganggu kesehatan fisik dan psikis, anak merasa tertekan dan takut. 2. Dari segi ekonomis, Apabila suami istri sudah bekerja keduanya samasama mampu dan tidak saling menggantungkan diri sehingga pengeluaran keuangan dalam keluarga seakan-akan masih bersifat
24
Rahima, Menilai Kawin Paksa:Prespektif fihq dan Perlindungan Anak, diakses pada 10 Juni 2010 dari http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=502:suplement7&catid=49:suplemen&Itemid=319,
44
individual. Hal ini memunculkan terciptanya suasana keluarga yang mengarah disharmonis. 3. Dari segi sosial, sulitnya untuk beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar karena persoalan intern dalam keluarga yang diakibatkan oleh perkawinan paksa. 25 4. Dari segi seksual, hubungan seksual menjadi tidak sehat karena tidak ada rasa cinta dan hasrat, dilakukan hanya dengan keterpaksaan. 5. Hubungan keluarga menjadi tidak harmonis karena tidak sepaham dalam berkomunikasi yang disebabkan oleh keegoisan masing-masing. 6. Orang tua ikut andil dalam urusan rumah tangga anak, misalnya ekonomi, orang tua masih membiyai kebutuhan anak yang menyebabkan suami tidak bertanggung jawab dalam kebutuhan keluarganya. 26 Kawin paksa yang dilakukan orangtua terhadap anaknya tidak selalu berdampak negatif, hal ini dapat dilihat dari sisi positifnya mengapa orangtua melakukan hal tersebut, diantaranya: 1. Adanya keinginan orang tua untuk menyambung silaturrahmi dengan kerabatnya. 2. Untuk memperbaiki keturunan dan pendidikan. 25
Miftahul Huda, Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, (Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009), h.88-96. 26
Wawancara pribadi dengan pelaku kawin paksa, Ciputat, 12 Agustus 2010.
45
3. Agar hartanya tetap terjaga dan apabila jatuh ke tangan orang lain yang kurang dipercaya khawatir akan tidak terpelihara dengan baik. 4. Adanya hutang budi orang tua kepada orang lain atau kerabatnya, sehingga dengan adanya pernikahan dengan pilihan orangtuanya hutang budi tersebut dapat terbalaskan. 27 D. Kawin Paksa Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif Di dalam ajaran agama Islam terdapat hukum atau aturan perundangundangan yang harus dipatuhi oleh setiap umat, adapun hukum atau aturanaturan yang dimaksud dalam pemabahasan ini yaitu yang bersumber dari AlQur’an, Hadits, dan Ijma’ Ulama. Indonesia yang dianggap sebagai salah satu negara Muslim telah mengaktualisasikan beberapa konsep perkawinan dalam literatur fiqh kedalam legislasi nasional yang disebut juga hukum positif yang berupa UndangUndang dan peraturan lainnya. 28 Adapun peraturan yang dimaksud dalam pemabahasan ini yaitu Undang-Undang tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). 1. Pandangan Islam Terhadap Kawin Paksa
Telah banyak dalil-dalil baik dalam al-Qur’an maupun hadits dan fakta-fakta yang menunjukkan pengharamannya dalam islam yang mana telah 27
Hasil wawancara dengan Ibu Ai Jamilah (Hakim Pengadilan Agama Tangerang), Tangerang, 21 Juni 2010. 28
Miftahul Huda, Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, (Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009), h.38
46
dijelaskan oleh Rasulullah SAW baik secara Qawli maupun Fi’ly sebagai bantahan terhadap aturan-aturan yang ada pada zaman jahiliah berupa diskriminasi terhadap wanita dalam masalah pernikahan, sehingga Rasulullah menetapkan suatu ketetapan hukum tentang keberadaan hak seorang wanita dalam menentukan pasangan hidupnya, serta membatalkan hukum suatu perkawinan yang dilandasi oleh pemaksaan dan keterpaksaan meskipun yang memaksa dalam hal ini adalah seorang ayah. 29 a. Al-Qur’an Secara umum dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara jelas tentang persoalan ijbar (kawin paksa), akan tetapi hanya menyebutkan beberapa ayat yang menjelaskan tentang problem pemecahan dalam keluarga pada masa Nabi dan itupun merupakan respon pada masa itu. Di dalam Al-Qur’an, secara eksplisit digamabarkan bahwa seorang wali (ayah, kakek dan seterusnya), tidak boleh melakukan paksaan nikah terhadap perempuannya, yang perempuan tersebut tidak menyutujui atau perempuan tersebut mau menikah dengan laki-laki yang dicintainya sementara seorang wali enggan atau tidak mau menikahkannya. 30 Dalam al-Qur’an dijelaskan:
29
Fikar, “Kawin Paksa” artikel diakses 18 April 2010 dari http://luluvikar.wordpress.com.
30
Miftahul Huda, Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, (Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009), h.22.
47
⌧
(٢٣٢: )اﻟﺒﻘﺮة. Artinya: “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf”.(Q.S. Al-Baqorah: 232) Asbabun nuzul ayat ini adalah berkenaan sikap Ma’qal ibnu Yasr yang enggan atau tidak mau menikahkan saudara perempuannya dengan laki-laki yang tidak diinginkannya. Dengan alasan dulu laki-laki yang menikah saudara perempuan itu telah menceraikannya, sekarang ingin kembali menikahinya. Namun setelah mendengar adanya perintah Nabi untuk tidak menolaknya, Ma’qol ibn Yasar kemudian membuat akad baru. 31 Dalam riwayat Abu Muslim al-Khaji dari jalan Mubarak ibn at-Tudalah dari hasan, “kemudian Ma’qal mendengar perintah itu lalu menjawab, saya mendengar dan taat kepada
perintah
tuhan
kemudian
mengundang
calon
suami
lalu
menikahkannya”. Karena itu penafsiran ayat diatas, diantaranya: 1) Khitab dipruntukkan kepada para wali ( ayah, kakek, saudara lakilaki) untuk tidak menolak untuk menikahkan perempuan yang dibawah perwaliannya. Dari hal ini, jelas bahwa keberadaan wali 31
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bahri, cet. IX, ( Mathba’ah as-Salafiyyah, t.t.),h. 93-94
48
nikah pada maa Nabi adalah memang ada dan eksis. Sehingga perkawinan tanpa wali tidak dibenarkan. 2) Khitab tersebut diperuntukkan kepada masyarakat umum. 3) Enggan menikahkan atau sebaliknya memaksakan kehendak dengan paksaan adalah tidak diperbolehkan. 4) Membolehkan perempuan untuk menikah sendiri dan seorangpun tidak boleh menolaknya asal ada kebaikan di masa depannya. 32 b. Hadits Diantara tujuan perkawinan ialah untuk membina keluarga yang bahagia, diliputi rasa cinta dan kasih sayang, dan diridhoi Allah. Tujuan ini akan tercapai apabila calon-calon mempelai telah saling suka-menyukai untuk mengadakan ikatan perkawinan. Saling suka menyukai ini dalam bentuk yang lahir berupa izin dan persetujuan diantara pihak-pihak yang akan kawin. Karena pihak wanita tidak langsung melaksanakan “ijab”, maka agama mensyaratkan adanya izin dan persetujuan dari seorang wanita sebelum dilaksanakan perkawinannya. 33 Rasulullah SAW bersabda
ﻻاْﻟﺒﻜْ ُﺮ َ ﺣ ﱠﺘﻰ َﺗﺴْ َﺘﺎْ َﻣ َﺮ َو َ ﻻﻳﻢﱡ َ ْﺢ ا ُ ﻻ َﺗﻨْ ِﻜ َ ﻋﻦ اﺑﻰ ﺳﻠﻤﺔ أ ن اﺑﺎهﺮﻳﺮة ان اﻧﺒﻰ ﺻﻠﻌﻢ ﻗﺎ ل
32
Abdurrahman Al-jaziri, Fiqh ala Madzhab Arba’ah, Dalam Miftahul Huda, Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, (Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009), h.23 33
Muchtar kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 93
49
Artinya: “tidak boleh dinikahkan orang yang tidak mempunyai jodoh hingga dimintakan perintahnya dan tidak pula gadis hingga dimintakan izin (nya). Mereka berkata: ya Rasulullah, bagaimana tanda izinnya? Jawab Rasulullah SAW “diam”. (HR. Bukhari dan Muslim). Apabila suatu perkawinan dilaksanakan tanpa izin dari wanita yang akan kawin, maka kepada wanita itu diberi hak memilih: apakah ia akan melanjutkan perkawinannya atau menolak perkawinannya itu. Berdasarkan Hadits:
ﺟﻬ َﺎ َ ن اَْ َﺑﺎ َهﺎ َز ﱠو َﻓﺬ َ َآ َﺮتْ َﻟ ُﻪ َا ﱠ.ْﺻﻠْ َﻌﻢ َ ﷲ ِ لا َ ْﺳﻮ ُ ﺟﺎ ِر َﻳ ًﺔ ِﺑﻜْ ًﺮاْ َا َﺗﺖْ َر َ ن اَْ َﱠ.س رض ٍ ﻋﺒﱠﺎ َ ﻦ ِ ْﻋﻦْ اﺑ َ ( )رواﻩ اﺣﻤﺪ واﺑﻮ داود واﺑﻦ ﻣﺎ ﺟﺔ ودرﻗﻄﻨﻲ.ﻲ ِﺨ ﱠﻴ َﺮ َهﺎ اﻟ ّﻨﺒ ﱡ َ ﻲ َآﺎ ِر َهﺔٌ َﻓ َ َو ِه Artinya:“Dari Ibnu Abbas bahwasaannya Jariya, seorang gadis telah mengahadap Rasulullah SAW, lalu menyampaikan bahwa bapaknya telah mengawinkannya (dengan seorang laki-laki yang ia tidak menyukainya). Maka Rasulullah saw menyuruhnya untuk memilih”, (HR. Ahmad, Ibnu Daud, Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni). 35 c. Ulama 1). Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Hambali berpendapat jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia janda maka hak itu ada pada keduanya, wali tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa 34 Muhammad Bin ismail abu Abdullah bukhory, al-Jami’ Shahih Bukhari ,(Dar- Ibn Katsir) ,juz 5, h. 1974
35
Sunan Daruqutni, Kitab Nikah, Juz 3 hal 284
50
persetujuannya. Sebaliknya wanita itu pun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu wali. 36 Madzhab syafi’i mengatakan bahwa kekuasaan sang wali hendaknya bukan untuk menjadi sebuah tindakan memaksakan kehendaknya sendiri dalam memilihkan jodoh atas pasangan, tanpa memperhatikan asas kerelaan sang anak. 37 2). Abu Hanifah dan para pengikutnya mempunyai pendapat lain, mereka menetapkan: ayah tidak boleh memaksa anak putri yang sudah dewasa untuk menikah dengan seseorang, ayah atau wali wajib merundingkan mas’alah perkawinan itu dengan anak putrinya, kalau putrinya itu mau maka akad nikanya sah, tetapai kalau putrinya tidak mau maka tidak sah akad nikah itu. 38 Abu Hanifah menerangkan, bahwa ayah atau wali berhak membantah kemauan anak putrinya untuk menikah dengan seeorang yang disenganinya, kalau ada salah satu dari dua faktor penghalang, yaitu: 1. Calon suami itu tidak sekufu, dalam madzhab abu hanifah masalah sekufu luas cakupannya, meliputi: kebangsawananan, pekerjaan, dan kedudukan ayah dan nenek moyang, dan factor-faktor yang lain.
36
345
M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama), Cet. IV, h.
37
Muhiyiddin Abdush-Shomad dkk, Umat Bertanya Ulama Menjawab Seputar Karir, Pernikahan dan Keluarga, (jakrta: Rahima, 2008), h. 115 38
Musthafa As-siba’y, Wanita Dintara Hukum Islam dan Perundang-Undangan , (Jakarta: Bintang Bulan, 1977), h. 90
51
2. Calon suami tidak mampu untk membayar mahar yang sama dengan mahar kaum keluarga putri itu. Kalua seorang akan menikah dengan seseorang yang akan membayar mahar kurang dari mahar ibunya dan kakaknya, maka ayah atau wal berhak membatalkan perkawinan itu dengan alsan bahwa mereka merasa dihina. 39 3). Ulama Imamiyah Mayoritas Ulama Imamiyah berpendapat bahwa seorang wanita baligh dan berakal sehat, disebabkan kebalighan dan kematangannya itu, berhak bertindak melakukan segala bentuk trnsaksi dan bentuk sebagianya, termasuk juga perkawinan, baik dia masih perawan maupun janda, baik punya ayah, kakek dan anggota keluarga lainnya,maupun tidak, drestuin atau tidak, baik dari kalangan bangsawan maupun rakyat jelata, kawin dengan orang yang memiliki kelas tinggi maupun rendah, tanpa ada seorangpun betapapun ktinggi kedudukannya yang berhak melarangnya. Ia mempunyai hak yang sama persis kaum lelaki. 40 Mereka berargumen dengan firman Allah surat AlBaqoroh ayat 232 dan hadits Nabi Saw yang artinya “orang lajang (ayim) lebih berhak atas diri mereka ketimbang walinya”.
39
Ibid, h.91.
40
M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: PT. Lentera Basritama), Cet.IV,
h.346.
52
Selain berpegang pada teks Al-Qur’an dan Hadits di atas, para pengikut Imamiyah juga berpegang pada argumen rasional. Rasio menetapakan bahwa setiap orang mempunyai kebebasan penuh dalam bertindak. Tidak ada seorangpun baik yang memiliki hubungan kekerabatan dekat maupun jauh dengannya yang punya kekuasaan untuk memaksanya. Ibn al-Qoyim
mengatakan
“bagaimana
mungkin
seorang
ayah
dapat
mengawinkan anak perempuannya dengan orang yang ia kehendaki sendiri, padahal anaknya itu sangat tidak menyukai pilihan ayahnya, dan amat membencinya pula. Akan tetapi ia masih memaksanya juga dengan menjadikannya sebagai tawanan suaminya”. 41 Menurut Wahbah Dzuhaili mengutip pendapat ulama madzhab fiqih beliau mengatakan “adalah tidak sah perkawinan dua orang calon mempelai tanpa kerelaan keduanya, jika salah satunya dipaksa secara ikrah dengan suatu ancaman membunuh, memukul atau menjarahkan misalnya, maka perkawinan tersebut menjadi fasad”. 42 2. Kawin Paksa Dalam Hukum Positif Persoalan wali dan persetujuan mempelai perempuan merupakan unsur penting dalam sebuah keabsahan pernikahan. Untuk menghubungkan dengan
41
Ibid h. 436
42Wahbah
Dzuhaili, Al-fiqh Al-islami Wa-adilatuhu, 1997, juz IX, h. 6685-6686
53
konteks dan zaman dewasa ini, akan dipaparkan persoalan ijbar dengan wali dan kebebasan perempuan dalam perkawinan di dalam perundang-undangan. Dalam hubungannya dengan ijbar dan keabsahan dalam perkawinan telah dijelaskan dalam pasal 19 KHI bahwa “wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”, serta pasal 6 ayat 1 undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan junto pasal 16 ayat 1 Kompilasai Hukum Islam disebutakan bahwa “perkawinan harus didasarkan atas persertujuan kedua calon mempelai”, Pasal 17 ayat (2) KHI disebutakan “ bilacr ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seoarang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan, dan dalam pasal 71 point f KHI disebutkan bahwa “suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan”. Namun aturan dan pasal yang cukup baik ini seringkali tidak diimplementasikan dengan baik, seperti keharusan tugas KUA menanyakan kedua calon mempelai, sesuai yang tercantum pada pasal 17 KHI bahwa “sebelum berlangsungnya perkawinan, pegawai pencatat nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi”, yang kadangkala kurang diperhatikan begitu juga kepekaan petugas untuk menangkap apakah kedua calon mempelai memang benar-benar setuju atau karena desakan yang tersistematisasi baik dari oarng tua, keadaan, dan situasi yang memaksa atau lain sebagainya. 54
55
55
BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TANGERANG PERKARA NOMOR 940/Pdt.G/2009/ PA.Tng A. Duduk Perkara Perkara cerai yang masuk ke Pengadilan Agama Tangerang sangatlah banyak salah satunya cerai talak yang diajukan oleh suami tertanggal 15 oktober 2009 yang terdaftar dalam register perkara Nomor 940/Pdt.G/2009/ PA.Tng. oleh sebab itu penulis akan membahas salinan putusan yang telah diputus oleh Hakim Pengadilan Agama Tangerang. Adapun isi permohonan yang diajukan ke Pengadilan Agama sebagai berikut: a. Fundamentum Petendi ( Dasar Gugatan) Dalam
surat
gugatan
duduk
perkara/posita
sangat
penting
eksistensinya, setiap surat gugatan memuat posita. Pada hakikatnya posita atau fundamentum petendi yaitu menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa. 1 Adapun pokok permasalahan yang diajukan pemohon ke Pengadilan Agama adalah sebagai berikut: 1) Pada
tanggal
06
Juni
2009,
pemohon
dengan
termohon
melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor
1
Faizal Kamil, Asas Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Badan Penerbit Iblam,2005), h.60.
56
Urusan Agama Kecamatan Karang Tengah, dengan nomor akta nikah 277/77/VI/2009. 2) Setelah menikah pemohon dan termohon bertempat tinggal di Rt.02 Rw.10 Pondok Rajek, Tangerang. 3) Puncak keretakan hubungan rumah tangga antara pemohon dengan Termohon terjadi kurang lebih awal pernikahan, yang akibatnya antara Pemohon dengan Termohon telah pisah rumah, yang meninggalkan tempat kediaman bersama adalah Pemohon. 4) Termohon pernah mengatakan tidak ada rasa cinta kepada Pemohon dan Perkawinannya hanya dipaksa oleh Orang tuanya. 5) Orang tua Termohon terlalu ikut campur dan mengatur urusan keluarga Pemohon. 6) Termohon terlalu banyak tuntutan materi sehingga Pemohon tidak bisa menyanggupinya. 7) Termohon tidak bersedia digauli dan dari pernikahan sampai saat ini belum pernah berhubungan intim. 8) Termohon mengaku kepada Pemohon bahwa dia punya yang lain. 2
2
Salinan Putusan Perkara Nomor 940/pdt.G/2009/PA.Tng, h.2.
57
Dengan sebab-sebab tersebut hubungan rumah tangga Pemohon dangan termohon sudah tidak dapat lagi dibina dengan baik sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sudah sulit dipertahankan lagi, dan karenanya agar masing-masing pihak tidak lebih jauh melanggar norma hukum dan norma agama, sehingga pemohon menghendaki perceraian yang merupakan jalan terakhir untuk menyelesaiakan permasalahan antara Pemohon dengan Termohon. b. Petitum Mengenai isi dari tuntutan Pemohon, pemohon memohon kepada pengadilan Agama Tangerang kiranya dapat menjatuhkan putusan sebagai berikut: 1) Mengabulkan permohonan Pemohon 2) Menetapkan mengijinkan Pemohon (Hendro Prabowo bin H. Hadi Suparno) unuk mengucapkan ikrar thalak terhadap Termohon (Mariam binti Mardjuli) di depan sidang Pengadilan Agama Tangerang setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap; 3) Membebankan biaya perkara kepada Pemohon; 4) Atau menjatuhkan putusan lain seadil-adilnya. B. Profil Pihak-Pihak Yang Terkait
58
1. Pemohon adalah Hendro Prabowo bin H. Hadi suparno,umur 28 tahun, pekerjaan Wiraswasta, tempat tinggal di Jalan H. Mean V no. 23 Kp. Pondok Rajek RT. 003 RW. 010, Kelurahan Karang Timur, Kecamatan Karang
Tengah, Kota Tangerang 2. Termohon adalah Mariam binti Mardjuli, umur28 tahun sebagai termohon, agama Islam, pekerjaan Karyawati Swasta, tempat tinggal di Jalan H. Mean V Kp. Pondok Rajek RT.002 RW.10, Kelurahan Karang Tengah, Kota Tangerang. 3. Krismiati binti Kasmo Suroto, umur 51 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di jalan H. Mean V Kp. Pondok Rajek RT.002 RW.10, Kelurahan Karang Tengah, Kota Tangerang. Yaitu
ibu kandung dari pemohon sebagai saksi, yang telah memberikan
keterangan di muka sidang pengadilan. 4. Mardjuli bin H. Suparno, umur 55 tahun, agama Islam, tempat tinggal di Jalan H. Mean V no. 23 Kp. Pondok Rajek RT. 003 RW. 010, Kelurahan
Karang Timur, Kecamatan Karang Tengah, Kota Tangerang. sebagai saksi dari pihak termohon, yang merupakan ayah kandung dari termohon. 5. Dra. Hj. Suhaimi, M.H. golongan IV/a, pendidikan terakhir S2 Hukum, yaitu sebagai Hakim Ketua Majelis. 6. Dra. Ai Jamilah, MH, golongan IV/a, pendidikan terakhir S2 Hukum, yaitu sebagai Hakim Anggota.
59
7. Drs. Saifudin, SH, MH, golongan IV/a, pendidikan terakhir S2 Hukum, yaitu sebagai Hakim Anggota. 8. Drs. H. Shonhaji, M.H, golongan IV/a, pendidikan terakhir S2 Hukum, yaitu sebagai Hakim Mediator 9. Fathiyah Sadim, S.Ag, golongan III/c, pendidikan terakhir S1 Hukum, yaitu sebagai Panitra Pengganti.
C. Pemeriksaan Perkara Dalam Persidangan Proses pemeriksaan perkara di muka sidang Pengadilan Agama Tangerang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu dimulai tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Majelis hakim mendamaikan kedua belah pihak, dan telah dilakukan perdamaian melalui mediasi dengan dibantu oleh seorang mediator Drs. H. Shonhaji, M.H, akan tetapi tidak berhasil. 2. Pembacaan surat permohonan pemohon tertanggal 15 oktober 2010 yang yang isinya tetap dipertahankan oleh pemohon, dan atas permohonan pemohon, termohon memberikan jawaban secara lisan di persidangan yang pada dasarnya membenarkan semua dalil-dalil permohonan pemohon. 3. Pembuktian,
untuk
memperkuat
pemohon mengajukan alat bukti sebagai berikut:
dalil-dalil
permohonannya,
60
a. Alat bukti surat, baik yang berupa akta otentik, akta dibawah tangan maupun surat yang bukan akta. Alat bukti yang diajukan pemohon meliputi surat-surat sebagai berikut: 1) Fotocopy buku kutipan akta nikah dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Karang Tengah, kota Tangerang Nomor 277/77/VI/2009 ( Bukti P-1) 2) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) ( P-2) b. Pemeriksaan saksi-saksi, dimulai dari pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan oleh pemohon, yakni Krismiati binti Kasmo Suroto, umur 51 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Jalan H. Mean V Kp. Pondok Rejek RT. 002 RW.10, Kelurahan Karang Timur, Kecamatan Karang Tengah, Kota Tangerang, hubungan dengan pemohon sebagai ibu kandung. Yang telah memberikan keterangan dibawah sumpah sebgai berikut: - Selama hidup berumah tangga Pemohon dan Termohon belum di karunia anak. - Setelah menikah Pemohon dan Termohon hidup bersama di rumah orangtua termohon selama 2 hari, kemudian Pemohon pulang ke rumah orangtua pemohon. - Sejak dua hari dari pernikahan kehidupan rumah tangga pemohon dan termohon terjadi perselisihan dan pertengkaran karena termohon pernah
61
mengatakan tidak ada rasa cinta, tidak bersedia digauli, terlalu banyak tuntutan materi sehingga pemohon tidak bisa memenuhinya. - Saksi mengetahui sejak 2 (dua) hari dari penikahan antara pemohon dan termohon telah pisah ranjang dan yang meniggalkan rumah dan pisah ranjang dan yang meninggalkan rumah adalah pemohon. - saksi sudah berusaha menasehati pemohon agar tetap rukun dengan termohon bahkan sudah pernah bermusyawarah dengan keuarga termohon, akan tetapi tidak berhasil dan sekarang saksi menyerahkan keputusan kepada pemohon yang menjalankannya. Saksi dari termohon, dengan nama marjuli bin H.Suparno, umur 55 tahun, agama Islam, pekerjaan buruh, bertempat tinggal di jalan H. Mean V No. 23 Kp. Pondok Rajek RT.003 RW.10, Kelurahan Karang Timur, Kecamatan Karang Tengah, Kota Tangerang. hubungan dengan termohon sebagai bapak kandung. Yang telah memberikan keterangan dibawah sumpah sebgai berikut: - selama hidup serumah tangga pemohon dan termohon belum dikaruniai anak. - Saksi mengetahui setelah menikah pemohon dan termohon hidup bersama di rumah orang tua termohon selama 2 hari kemudian pemohon pulang kerumah orangtua pemohon.
62
- Sejak dua hari pernikahan kehidupan rumah tangga pemohon dan termohon terjadi perselisihan dan pertengkaran dikarenakan perkawinan mereka dijodohkan oleh orangtua masing-masing sehingga mereka tidak ada saling rasa cinta. - Saksi mengetahui sejak 2 hari dari pernikahan antara pemohon dan termohon telah pisah rumah dan pisah ranjang, dan yang meninggalkan rumah adalah pemohon. - Saksi sudah berusaha menasehati termohon agar tetap rukun dengan pemohon bahkan sudah pernah bermusyawarah dengan keluarga pemohon, akan tetapi tidak berhasil dan saksi menyerahkan keputusan kepada termohon yang menjalankannya. Atas keterangan kedua saksi tersebut, pemohon menyatakan bahwa saksi sudah menasehati keduanya tapi tidak berhasil, bahwa pemohon tetap pada permohonannya yakni ingin menjatuhkan talak terhadap termohon, sedangkan termohon menyatakan tidak keberatan terhadap permohonan talak. D. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pelaksanaan tugas peradilan seorang hakim tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan siapapun, bahkan ketua pengadilan sendiri tidak berhak ikut campur dalam soal peradilan yang dilaksanakannya. Hakim bertanggung
63
jawab kepada diri sendiri dan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas putusan yang telah ditetapkan. 3 Maksud dan tujuan dari permohonan Pemohon adalah sebagaimana tersebut diatas. Bahwa majelis Hakim telah menasehati Pemohon agar berdamai dengan Termohon, namun tidak berhasil. Dalam meneguhkan dalildalilnya, pemohon telah mengajukan alat-alat bukti yang terdiri dari bukti surat bertanda P1 yang berupa fotokopi kutipan akta nikah nomor 277/77/VI/2009 tanggal 08 Juni 2009 yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Karang Tengah Tangerang. Dengan demikian majelis hakim menilai bukti P1 adalah bukti otentik yang telah memenuhi syarat formil dan syarat materil sehingga mempunyai kekuatan hukum dengan didukung keterangan dua orang saksi yang saling bersesuaian, oleh karenanya majelis hakim menilai bahwa pemohon dan termohon adalah suami istri yang sah dan belum bercerai. Apabila dalil-dalil permohonan pemohon, tanggapan termohon dihubungkan dengan alat-alat bukti yang ada dapatlah majelis hakim mengemukakan fakta-fakta sebagi berikut: - Bahwa antara pemohon dan termohon telah terjadi perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangganya.
3
1, h. 32
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Cipuatat Press), cet.
64
- Bahwa pemohon dengan termohon telah berpisah ranjang dan berpisah rumah sejak dua hari dari pernikahan. Setelah majelis hakim menemukan fakta-fakta, dan selama dalam persidangan baik pemohon dan termohon telah menujukkan sikap dan tekadnya untuk bercerai, hal mana berarti pemohon dan termohon tidak mau mempertahankan keutuhan dan kelangsungan rumah tangganya. Sedangkan hakim telah memberi solusi pada awal sidang yaitu menempuh jalan perdamaian dengan dibantu oleh hakim mediator namun tidak berhasil. Selanjutnya
majelis
hakim
akan
mempertimbangkan
petitum
permohonan pemohon. Adapun hal-hal yang meliputi dan menjadi pertimbangan hukum oleh majelis hakim Pengadilan Agama Tangerang dalam menjatuhkan putusan perkara cerai talak karena adanya kawin paksa yang merupakan penyebab terjadinya perceraian yaitu: 1. Pasal 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang isinya “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Bahwa salah satu unsur utama dan terpenting sebuah pernikahan adalah adanya ikatan batin dan apabila unsur tersebut sudah tidak adalagi, maka hakikat perkawinan tersebut telah terurai dan terlepas dari sendi-sendinya.
65
2. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan keterangan mengenai dasar dan tujuan perkawinan bahwa “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. 3. Serta Sebagaima yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat ArRum ayat 21:
☯ ☺ (٢١ :)اﻟﺮوم
⌧
Artinya:“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(Q.S. Ar-Rum:21). Dari fakta-fakta yang telah dikemukakan terbukti kedua belah pihak baik Pemohon maupun termohon telah kehilangan hakikat dan makna dari tujuan perkawinan tersebut, dimana ikatan perkawinan sedemikian rapuh, tidak terdapat lagi rasa ketenengan serta luput dari rasa cinta dan kasih sayang, mempertahankan perkawinan seperti itu tidak akan membawa maslahat, bahkan mungkin melahirkan mudharat yang lebih besar bagi pemohon dan termohon.
66
4. Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 junto Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam yaitu “antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. Terhadap alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut, permohonan pemohon untuk bercerai dengan termohon cukup beralasan dan tidak melawan hukum, dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut majelis
hakim
berpendapat
permohonan
pemohon
dapat
diterima.
Selanjutnya dibacakanlah amar putusan dari majelis hakim yang berisi sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon 2. Menetapkan memberi izin kepada pemohon Hendro Prabowo bin H. Hadi Suparno untuk menetapakan ikrar termohon Mariam binti Mardjuli
thalak terhadap
di depan sidang Pengadilan
Agama Tangerang, 3.
Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 391.000.
E. Analisa Penulis
67
Dalam Islam perkawinan tidak diikat dalam ikatan mati dan tidak pula mempermudah terjadinya perceraian. Perceraian boleh dilakuakan jika benarbenar dalam keadaan darurat dan terpaksa. Perceraian dibenarkan dan dibolehkan apabila hal tersebut lebih baik dari pada tetap berada dalam ikatan perkawinan. Agama Islam membolehkan perceraian dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu sangat dibenci oleh Allah SWT. 4 Perceraian menurut agam Islam diakui sebagai solusi terakhir dalam menghadapi kemelut rumah tangga. Walaupun perceraian dibolehkan, tetapi melanggar prinsip-prinsip serta tujuan dalam pernikahan itu sendiri seolah prinsip dan tujuan pernikahan menjadi bias serta gagal dalam membina rumah tangga dengan konsukuensi logis, bila perceraian tidak dilakukan, maka sebuah rumah tangga menjadi seolah-olah neraka bagi kedua belah pihak atau bagi salah satunya. 5 Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan ikatan suci (mistaqon gholidzon) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Perkawinan bagi umat islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah. 6 4
Ahmad Shidiq, Hukum Talaq Dalam Ajaran Islam ( Surabaya: Pustaka Pelajar, 2001), cet. Ke 1, h. 55 5
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 1995), cet. Ke
1, h. 148 6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakaht dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2007), cet ke 2, h. 49
68
Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan. Untuk itu perkawinan seharusnya dipelihara baik sehingga bisa abadi dan tujuan perkawinan dapat terwujud yakni terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Namun sering kali tujuan perkawinan tersebut kandas ditengah-tengah jalannya perkawinan yang disebabkan berbagai macam alasan. Salah satu alsannya adalah adanya paksaan orang tua terhadap perkawinan anaknya. Dalam menjalani kehidupan rumah tangga suami dan istri hendaknya saling menyanyangi dan mancintai satu sama lainnya, namun hal tersebut akan sulit tercapai jika perkawinan ada unsur paksaan dari orangtuanya. Seperti dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Tangerang dengan nomor perkara 940/Pdt.G/2009/PA.Tng perkawinan yang disebabkan adanya paksaan dari orangtua. Dalam konteks kawin paksa, tak jarang anak menjadi pihak yang dirugikan. Hal ini juga dipicu oleh anggapan bahwa anak tidak memiliki hak kebebasan menentukan pilihannya sendiri. Anak dilihat sebagai individu yang tidak memiliki pengertian yang memadai untuk kepentingannya sendiri. Hal ini menyebabkan sebagian pihak merasa absah untuk memaksakan seseorang sebagai pasangan hidup si anak. 7
7
http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=502:suplement7&catid=49:suplemen&Itemid=319, diakses 10 Juni 2010.
69
Kawin paksa dapat menimbulkan efek negatife pada anak, hal ini dapat dilihat dari beberapa segi, dari segi psikologis kawin paksa dapat menganggu kesehatan fisik dan psikis, anak merasa tertekan dan takut, dari segi sosiologis kawin paksa menyebabkan sulitnya untuk untuk beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar karena persoalan intern dalam keluarga yang diakibatkan oleh perkawinan paksa, dari segi uhsul fiqh Maqosid Syariah akan sulit dicapai yakni untuk menjaga agama, menjaga akal, menjaga diri, menjaga keturunan,dan menjaga harta, karena perkawinan tidak di landasi rasi cinta, kasih dan saying, hanya berdasarkan keterpaksaan semata. Islam menganjurkan adanya perkawinan dan sangat memperhatikan pemilihan pasangan hidup. Sebab benar dan salah dalam memilih pasangan akan mempunyai pengaruh dalam kehidupannya kelak. Islam menetapkan dasar dan sifat yang mencakup moral, kesahatan badan, jalan hidup terpuji, prinsip suka sama suka suami istri. Islam menghimbau agar menjauhi sifatsifat tercela dan menjijikan tidak memilih pasangan yang salah. 8 Jika perkawinan sudah bisa tegak di atas dasar perasaan cinta kasih, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an, maka perkawinan perlu dilepaskan dari segala bentuk campur tangan pihak luar. Sebab cinta kasih
8
Miftahul Huda, Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, (Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009), h.20
70
adalah perasaan yang fitri, dia tidak bisa dipaksa-paksa dan bahkan menghilangkannya. 9 Tak jarang orang tua memkasakan kehendaknya utuk menikahkan anaknya terhadap orang yang tidak dicintai anaknya dengan alasan ekonomi. Hidup berumah tangga tidak sekedar memerlukan kemapanan ekonomi, tapi juga mensyaratkan kemantapan mental serta kedewasaan berpikir dalam menyelesaikan persoalan. 10 Oleh sebab itu, pernikahan yang dipaksakan berpotensi melahirkan ketidakstabilan emosional maupun pikiran. Apalagi nikah paksa yang dialami seorang anak. Hal ini rentan menimbulkan tekanan kejiwaan padanya. Jika kondisi ini yang terjadi, bisa saja si anak mengalami gangguan psikis yang begitu berat, yang berakibat pada munculnya ketidakharmonisan dalam rumah tangga. 11 Seharusnya sebuah perkawinan secara psikologis memenuhi kriteria, baik yang
bersifat mental maupun spiritual. Secara mental, perkawinan
hendaknya saling mengetahui kepribadian masing-masing, sehingga pasangan mampu
saling
menyesuaikan
diri.
Kematangan
kepribadian
sangat
dibutuhkan, ketika seseoarang memang pada dasarnya tidak ada yang 9
Al-Thahir Al-hadad, Wanita Dalam Syariat dan Masyarakat, (Jakrta: Pustaka Firdaus, 1993), cet. Ke 4, h 61 10
http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=502:suplement7&catid=49:suplemen&Itemid=319, diakses 10 juni 2010. 11
Ibid
71
sempurna, maka bila pasangan sudah saling mengetahui minimal gejolak dan perbedaan bisa diatasi. Kemudian taraf kecerdasan dan pendidikan khususnya pendidikan agama serta penghayatan dan pengalaman agama itu sendiri, yang pada dasarnya perkawinan adalah merupakan perwujudan dari kehidupan agama. 12 Perkawinan yang baik seharusnya didasari oleh sikap mau sama mau, suka sama suka dan saling pengertian diantara laki-laki dan perempuan. Walaupun tidak menjadi satu-satunya faktor yang mutlak menjadi dasar hidup berumah tangga, perasaan cinta kasih setiap pasangan dapat menjadi pemersatu dan sekaligus alat penekan konflik, seandainya terjadi perselisihan. Hal ini berguna untuk memperkecil resiko disintegrasi keluarga. Akan tetapi perkawinan yang terjadi di berbagai kalangan masyarakat tidak selalu mengikuti pola ideal seperti ini.13 Dalam kasus ini pemohon Hendro Prabowo bin H. Hadi suparno menggugat istrinya Mariam binti Mardjuli pada tanggal 15 oktober 2009. Pemohon menyatakan dalam surat permohonannya yang menjadi alasan utama pemohon memohon cerai istrinya adalah perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan oleh orang tua termohon yang terlalu ikut campur dan 12
Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Dalam Miftahul Huda, Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, (Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009), h.81. 13
Sri handayani, Perkawinan Usia Belia, Dalam Miftahul Huda, Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, (Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009), h.77.
72
mengatur urusan keluarga pemohon, termohon tidak ada rasa cinta kepada pemohon dan hanya dipaksa oleh orangtuanya, termohon terlalu banyak tuntutan materi sehingga pemohon tidak bisa menyaggupinya, termohon tidak bersedia digauli dan dari pernikhan sampai saat ini belum pernah berhubungan intim. 14 Hemat penulis inti dari alasan perceraian dalam perkara ini adalah adanya kawin paksa yang dilakukan orangtua terhadap anaknya yang dapat menyebabkan terjadinya perselisihan dan pertengkaran terus menerus di dalam rumah tangga, karena perkawinan yang dilakukan hanya dengan terpaksa dan tidak ada rasa cinta satu sama lain karena
termohon telah
memiliki lelaki lain, sedangkan alasan perceraian lainnya orangtua terlalu ikut campur dan mengatur urusan keluarga. 15 Allah SWT memberikan solusi yang bijak untuk mengatasi masalah pertengkaran yang terjadi terus-menerus (syiqaq) akibat masalah tersebut seperti yang tertera didalam surat An-Nisa ayat 35 yang menyatakan:
☺
☺ ☯ ☺
⌧ ( ٣٥:) ا ﻟﻨﺴﺎء 14
15
☺
Diambil dari Salinan Putusan Perkara Nomor 940/pdt.G/2009/PA.Tng, h.2. Diambil dari Salinan Putusan Perkara Nomor 940/pdt.G/2009/PA.Tng, h.2.
73
Artinya:“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.(Q.S. AnNisa:35) Melihat keadaan seperti ini hakim tidak serta merta langsung mengabulkan permohonan pemohon dengan sebab adanya kawin paksa ini , akan tetapi majelis hakim menawarkan solusi untuk menempuh jalan perdamaian dengan memberi nasehat kepada pemohon dan termohon agar dapat rukun kembali, namun tidak berhasil. Hal ini sudah sesuai dengan PERMA Nomor 1 tahun 2008 jo. Pasal 39 ayat (1) undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 31 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal 82 ayat (1) undang-undag Nomor 50 tahun 2009 tentang Mediasi. Dalam pembacaan surat permohonan oleh pemohon yang pada intinya tetap mempertahankan isi dari surat permohonan tersebut. Dalam jawaban termohon terhadap permohonan pemohon yang disampaikan lisan oleh termohon,
termohon
membenarkan
semua
dalil-dalil
pemohon
dan
menyatakan tidak keberatan bercerai dengan pemohon. Hemat penulis, termohon dalam jawabannya terhadap permohonan pemohon yang membenarkan semua dalil-dalil pemohon, berarti termohon mengakui bahwa memang perkawinannya dengan pemohon adanya paksaan dari orangtua yang akhirnya menimbulkan perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga, bukan adanya unsur kerelaan atau persetujuan dari
74
kedua belah pihak, sesuai yang tertera pada pasal 6 ayat 1 undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan junto pasal 16 ayat 1 Kompilasai Hukum Islam disebutakan bahwa “perkawinan harus didasarkan atas persertujuan kedua calon mempelai. Seharusnya ayat ini juga dijadikan landasan hakim dalam memutuskan perkara ini akan tetapi dari jawaban hakim yang penulis wawancara, hakim tersebut menyatakan bahwa pasal 19 huruf (f ) Pereturan Pemerintah Nomor 9 ahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam cukup sebagai landasan hukum dalam perkara ini. Menegenai pernyataan termohon bahwa termohon tidak keberatan bercerai dengan termohon, berarti pengakuan termohon tersebut menjadi bukti yang kuat sesuai dengan Pasal 174 HIR dan berarti termohon menyetujui isi petitum permohonan pemohon. Mengenai pembuktian pemohon menajukan bukti surat dala bentuk fotokopi Kutipan Akta Nikah Nomor 277/77/IV/2009 dan dua orang saksi. Saksi-saksi adalah keluarga dari pemohon dan termohon, dan keterangan dari saksi-saksi tersebut saling berhubungan dan bersesuaian satu sama lain yang antara lain menjelaskan: bahwa Selama hidup berumah tangga Pemohon dan Termohon belum di karunia anak, Sejak dua hari dari pernikahan kehidupan rumah tangga pemohon dan termohon terjadi perselisihan dan pertengkaran kemudian Pemohon pulang ke rumah orangtua pemohon karena termohon pernah mengatakan tidak ada rasa cinta, tidak bersedia digauli, terlalu banyak tuntutan materi sehingga pemohon tidak bisa memenuhinya, perkawinan
75
mereka dijodohkan oleh orangtua masing-masing sehingga mereka tidak ada saling rasa cinta, serta kedua saksi sudah berusaha mendamaikan mereka berdua namun tidak berhasil, dan Pemohon dan termohon membenarkan persaksian mereka yang pada intinya menerangkan bahwa telah terjadi perselisihan dan pertengkaran antara pemohon dan termohon. Hemat penulis mengenai alat bukti surat sudah sesuai dengan pasal 165 HIR yang mana bukti surat adalah bukti otentik yang telah memenuhi syarat formil dan syarat materil sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sedangkan alat bukti saksi juga sesuai dengan Pasal 22 ayat 2 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam hukum acara Peradilan Agama, aturan mengenai keteranagan saksi yang boleh didengar mempunyai peraturan tersendiri. Peraturan yang berbading terbalik dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam hukum acara perdata. Hukum acara perdilan agama menegaskan bahwa, dalam tahap pemeriksaan saksi-saksi, keterangan yang didengar adalah keteranagan dari keluarga terdekat suami-istri. Hal ini sesuai dengan pasal 76 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang menyebutkan “Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri”. 16
16
III, h. 373.
Hasan Cik Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), Cet.
76
Dari pasal tersebut dapat di pahami bahwa alasan mendengarkan keterangan yang berasal dari keluarga suami-istri ialah karena orang yang paling memahami karakter kedua belah pihak yang berpekara, dan orang yang paling mengetahui seluk-beluk perjalanan kehidupan berumah tangga dari suami istri yang sedang berpekara adalah keluarga dekat suami-istri, dalam hal ini bisa ayah, ibu, atau saudara kandung. Yang menjadi landasan hakim dalam putusan ini adalah pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam bahwa “anatara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. Dalam pasal ini tidak ditentukan berapa lama waktu terjadinya perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga, hanya dilihat dari berapa lama pasangan suami istri dalam membina rumah tangga. Hemat penulis putusan ini terlalu sedikit mengambil landasan hukum dalam mengambil putusan ini, karena menurut penulis dari perkara ini dapat mengambil pendapat Imam Hanafi dan Ulama Imamiyah yang menyatakan bahwa orang tua atau wali tidak boleh memaksa anak perempuannya yang sudah dewasa untuk menikah denagan laki-laki pilihan orang tuanya, dan apabila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh anak perempuannya maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, pendapat tersebut juga tertuang dalam peraturan perundang-undangan, yakni pada pasal 6 ayat 1 undang-undang
77
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan junto pasal 16 ayat 1 Kompilasai Hukum Islam disebutakan bahwa “perkawinan harus didasarkan atas persertujuan kedua calon mempelai”, Pasal 17 ayat (2) KHI disebutakan “ bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seoarang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan, dan dalam pasal 71 point f KHI
disebutkan bahwa “suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila
perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan”. Pada pasal 149 KHI disebutkan, bilamana perkawinan putus karena talak, maka suami wajib: a. Memberikan mut’ah yang layak kepadabekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul. b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selam dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila qobla al dukhul. d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Dalam putusan ini tidak ada konsekuensi hukum akibat putusnya perkawinan, karena dilihat dari beberapa hal, yakni pihak suami tidak menuntut, pernikahan baru berjalan selama dua hari, dan istri tidak
78
melaksankan
kewajibannya yakni istri tidak mau menggauli sang suami
(Nusyusz) . Mengenai alasan adanya kawin paksa yang dilakukan orang tua terhadap anaknya yang merupakan pemicu terjadinya perceraian, dapat di jadikan sebuah alasan dalam mengajukan perceraian, karena mengajukan permohonan adalah hak pemohon dan pengadilan bersifat pasif atau menunggu perkara yang masuk. Akan tetapi yang menjadi alasan perceraian bukanlah dari adanya kawin paksa tersebut, tetapi akibat dari kawin paksa yang menyebabkan adanya perselisihan dan pertengkaran terus-menerus dalam rumah tangga. Hal ini sesuai dengan pernyataan hakim dari wawancara yang dilkukan penulis bahwa kawin paksa yang dilakukan orang tua terhadap anaknya dijadikan sebab atau indikasi terjadinya perselisihan sehingga menyebabkan terjadinya perceraian. Jika ditinjau dari sosiologi hukum, menurut Roscoe Pound seoarang ahli hukum Amerika ia mengatakan bahwa hukum bukanlah suatu keadaan yang
statis,
melainkan
suatu
proses.
Suatu
pembentukan
hukum,
interpretasinya maupun penerapannya, hendaknya dihubungkan dengan faktafakta sosial. 17 Artinya dalam kasus ini antara sebab dan putusan yang diambil oleh hakim itu sudah sesuai dengan kenyataan atau realita yang ada walaupun tidak secara khusus disebutkan dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam
17
Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung:Alumni, 1989), h. 35
79
huruf f, tetapi adanya kawin paksa menjadi salah satu faktor pemicu adanya perselisihan tersebut yang menyebabkan terjadinya perceraian. Dalam memutus sebuah perkera para hakim tidak hanya sebatas pemikiran meraka saja akan tetapi mereka memiliki teori-teori yang mereka gunakan seperti halnya Metode Konstruksi hukum
yang digunakan oleh
hakim dalam upaya membentuk hukum yang digunakan oleh hakim dalam uapaya membentuk hukum pada saat ia dihadapkan pada situasi adanya kekosongan hukum (rechts vacuum) atau Undang-undang tidak mengaturnya. Sebab pada prinsipnya hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak ada atau hukumnya tidak jelas. Penggunaan metode konstruksi hukum ini bertujuan agar putusan hakim dalam peristiwa konkret memenuhi rasa keadilan (gerechtsiheid), kepastian (rechtsecherheid), dan kemanfaatan (zawecmatigheid). 18 Menurut Sudikno, Hakim juga dapat menggunakan metode lain dalam menemukan hukum yaitu denagn menggunakan metode argumentum a contrario, yaitu metode penafsiran yang berdasar pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkret yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Karena didalam kehidupan sehari-hari tidak jarang
18
Samsul Bahri, Membumikan Syari’at Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), h. 105
80
ditemukan suatu peristiwa yang tidak diatur secara khusus dalam undangundang, melainkan justru kebalikannya dari peristiwa yang diatur. 19 Dari hasil pemeriksaan perkara dan pertimbangan hukum majelis hakim dalam amar putusan terhadap perkara ini adalah mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya, menetapkan memberi izin kepada pemohon (Hendro Prabowo bin H. Hadi Suparno) untuk mengucapkan ikrar thalak terhadap termohon (Mariam Binti Mardjuli) di depan sidang Pengadilan Agama Tangerang.
19
Ibid h. 108.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan
Dari pembahasan dan uraian yang penulis kemukakan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kawin paksa dapat dijadikan sebuah alasan dalam mengajukan perceraian di Pengadilan Agama. Karena dengan adanya kawin paksa dapat menyebabkan terjadinya perselisihan dan pertenkaran di dalam rumah tangga, sehingga perceraian dapat terjadi dengan adanya kawin paksa. 2. Kawin paksa dalam hukum islam tidak dibenarkan hal ini dapat di lihat dari dalil nash baik dalam al-Qur’an maupun hadits, dan ijma’ ulama. Rasulullah menetapkan suatu ketetapan hukum tentang keberadaan hak seorang wanita dalam menentukan pasangan hidupnya, serta membatalkan hukum suatu perkawinan yang dilandasi oleh pemaksaan dan keterpaksaan meskipun yang memaksa dalam hal ini adalah seorang ayah. Dan Kawin paksa yang merupakan pemicu terjadinya perceraian juga diatur dalam hukum positif seperti yang tercantum dalam pasal 6 ayat 1 undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Jo.pasal 16 ayat 1 Kompilasai Hukum Islam disebutakan bahwa “perkawinan harus didasarkan atas persertujuan kedua calon mempelai”, Pasal 17 ayat (2) KHI 80
disebutakan “ bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seoarang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan”, dan dalam pasal 71 point f Komplasi Hukum Islam. 3. Pertimbangan hukum majelis hakim dalam menjatuhkan putusan perkara cerai talak karena adanya kawin paksa yaitu mengacu pada Pasal 1 undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 21, dan pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 junto Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam. B. Saran Berdasarkan kenyataan yang sudah di uraikan diatas, maka saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut: 1. Orangtua hendaknya memahami dan menyadari ketika anaknya telah dewasa dan mampu memilih pasangan hidupnya, dan sebaiknya orangtua memberi pengarahan kepada anaknya terhadap pilihan calon pendamping hidupnya. 2. Kepada lembaga pengurus perkawinan yakni Kantor Urusan Agama (KUA), hendaknya lebih memperhatikan lagi terhadap berlangsungnya suatu perkawinan, apakah perkawinan tersebut disetujui oleh calon mempelai atau hanya karena desakan semata, demi terwujudnya kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
81
3. Hendaknya para ulama berperan aktif di kehidupan masyarakat dalam membina atau membimbing dalam segi hal agama agar menghindari adanya kawin paksa dalam suatu pernikahan melalui dakwah dan siraman rohani, tanpa mengenyampingkan pertimbangan orang tua. 4. Hasil penelitian perlu kiranya dimasukkan kedalam kurikulum Fiqih Tsanawiyah dan Aliyah sebagai pembelajaran.
82
DAFTAR PUSTAKA Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Syaikh, Khalid bin Ali Al-Anbari, Perkawinan dan Masalahnya, Jakarta: Pustaka Al-Kautasar, 1993
Abdush Shomad, Muhiyiddin dkk, Umat Bertanya Ulama Menjawab Seputar Karir, Pernikahan dan Keluarga, Jakrta: Rahima, 2008.
Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2005, Edisi Ke 2.
Ahmad Jaiz, Hartono, Wanita Antara Jodoh, Poligami, dan Perselingkuhan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Ali, M, hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: prenada kencana, t.t.
Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian. Jakarta : PT.Rinika Cipta, 1996. Asmawi, Mohamad, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta: Darussalam, 2004.
al-Asqalani, Ibn Hajar, Fath al-Bahri, Mathba’ah as-Salafiyyah, Cet. IX ,t.t.
al-Bukhori, Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, Sahih Al-Bukhari, Beirut: Dar Al-Fikr, t.t Bahri, Samsul, Membumikan Syari’at Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007. Bakri Sidi, Nazar, Kunci Keutuhan Rumah Tangga; Keluarga Yang Sakinah. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 2001.
83
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Agama”Ilmu Fiqh”. Jakarta : Departemen Agama, 1985.
Departemen
Djailani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995. Djalil, Basiq Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, Jakarta: Qolbun Salim, 2007
al-Hadad, Al-Thahir, Wanita Dalam Syariat dan Masyarakat, Jakrta:Pustaka Firdaus, 1993, Cet. Ke 4
Haikal, Abduttawab. Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
Hakim, Rahmat. HukumPerkawinan Islam. Bandung : Pustaka Setia, 2000.
Hasan, Cik Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ke 3.
Huda, Miftahul, Kawin Paksa, Ijbar Nikah dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan, Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press, 2009. http://luluvikar.wordpress.com/2005/02/16/kawin-paksa/. http://www.fahmina.or.id/penerbitan/warkah-al-basyar/554-pernikahan-paksapersepektif-fiqh-dan-kekerasan-terhadap-anak.html. Ibrahim, Jhony, Teory dan Metodolgi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2007, cet. Ke 3
Jawad M, Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: PT. Lentera Basritama, Cet ke 4, t.t.
84
Kuzari, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafido Persada, 1995, Cet. Ke 1.
Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Muhammad Bin ismail abu Abdullah bukhory, al-Jami’ Shahih Bukhari ,Dar- Ibn Katsir ,juz V, t.t.
Mujib, Abdul dkk, Dalam Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009. Qadir djailani, Abdul, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995. al-Shabbagh, Mahmud, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991.
as-Siba’y, Musthafa, Wanita Dintara Hukum Islam dan Perundang-Undangan, Jakrata: Bintang bulan, 1977.
Sidi Nazar, Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah), Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
Sahrani, Sohari dan Tihami, Fikih munakahat, kajian fikih nikah lengkap, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Shidiq, Ahmad, Hukum Talaq Dalam Ajaran Islam, Surabaya: Pustaka Pelajar, 2001, Cet. Ke 1. Salman, Otje, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Bandung:Alumni, 1989
85
Selamat, Kasmuri, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan Perkawinan), Jakarta: Kalam Mulia, 1998.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : CV Rajawali, 1985
Sudirman Ahmad, Abbas Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar Madzhab, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, cet. Ke 7.
Sunan Nasa’i, Kitab Nikah, Juz III, t.t.
Sunan Darutqutni , Kitab Nikah, juz III, t.t.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakaht dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2007,Cet Ke 2.
Taat nasution, Amir, Rahasia Perkawinan Dalam Islam, Tuntutan Keluarga Bahagia, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994, cet. Ke 3
Tim Penulis fakultas Syariah dan Hukum, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007.
Usman, Suparman. Hukum Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001 Warson Munawwir, Ahmad Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, 1984. 86
al-Zuhaily, Wahbah, Al Fiqh al-Islami wa Adillatuhu juz IX, Damsyiq : Dar El Fikr, 1989.
87
HASIL WAWANCARA 1.
Apakah Ibu yang memeriksa perkara nomor 940/Pdt.G/2009/PA. Tng? Jawab: Iya, saya yang memriksa perkara ini.
2.
Apa saja yang menjadi alasan perceraian di Pengadilan Agama Tangerang? Jawab: Yang menjadi alasan perceraian di Pengadilan Agama Tangerang yaitu sesuai yang tercantum pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 juncto pasal 116 KHI diantaranya adalah: salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, pejudi dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan, salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain, salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun, salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban suami atau istri, antara suami istri terus menarus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga,
peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga 3.
Apakah kawin paksa dapat dijadikan sebagai alasan perceraian?
Jawab: Ya, Kawin paksa yang dilakukan orang tua terhadap anaknya dapat menyebabkan terjadinya perselisahan dan pertengkaran di dalam rumah tangga, sehingga perceraian dapat terjadi dengan adanya kawin paksa tersebut.
4. Apakah kawin paksa menjadi faktor pemicu terjadinya perceraian? Jawab: Bisa saja, karena perkawinan yang tidak dilandasi rasa saling cinta dan hanya demi menghormati kedua orangtuanya, akan sulit untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sehingga perceraian merupakan jalan terakhir untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi dalam rumah tangga. 5.
Menurut
Ibu
faktor
apa
saja
yang
menyebabkan adanya kawin paksa oleh orang tua terhadap anaknya, sehingga berujung pada perceraian? Jawab: faktor-faktor terjadinya kawin paksa diantaranya adalah: adanya keinginan orang tua untuk menyambung silaturahmi dengan kerabatnya, agar hartanya tidak jatuh di tangan orang lain, adanya hutang budi kepada orang lain, dll. 6.
Berapa banyak jumlah perceraian yang diakibatkan adanya kawin paksa oleh oarng tua?
Jawab: Tidak banyak, yang banyak mengenai masalah ekonomi dan ketidakharmonisan dalam membina rumah tangga. 7.
Bagaimana pandangan Ibu terhadap kawin paksa yang dilakukan orang tua terhadap anaknya? Jawab:
Salaku orangtua hendaknya memberi keluasan kepada anak
dalam memilih pasangan hidupnya, namun tidak terlepas memberi arahan kepada anak dalam memilih pasangan hidupnya. Tidak memaksakan kehendak orang tua terhadap perkawinan anak dengan pasangan yang tidak disukai oleh anaknya. 8.
Apa pertimbangan hukum majelis hakim dalam memutus perkara perceraian akibat kawin paksa yang dilakukan orang tua terhadap anaknya? Jawab: Setelah mendengar alasan-alasan dari kedua belah pihak dan alat bukti yang kuat diajukan, kemudian majelis hakim mendamaikan kedua belah pihak melalui mediasi dengan dibantu oleh hakim mediator, namun tidak berhasil. Majelis hakim berkesimpulan bahwa antara pemohon dan termohon telah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus dalam rumah tangganya dan sulit untuk rukun kembali. Sehingga majelis hakim mengambil dasar hukum yang merujuk pada Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 juncto Pasal 116 huruf Kompilasi Hukum Islam dalam memutus perkara tersebut.
Tangerang, 22 juni 2010
Pewawancara
Nuraida
Narasumber
Dra. Ai Jamilah, M.H.
74
90
105
75
91
76
92
77
78
93
106 107 108
79 80 81 82 83
94
95
109
110
96
111
85
86
98
99
100 101 102 103 104
97
84
112
113
114
87
88
115
89
116
117
PEDOMAM WAWANCARA 1. Apakah bapak yang memeriksa perkara nomor 940/Pdt.G/2009/PA. Tng? 2. Apa saja yang menjadi alasan perceraian di Pengadilan Agama Tangerang? 3. Apakah kawin paksa dapat dijadikan sebagai alas an perceraian? 4. Apakah kawin paksa menjadi faktor pemicu terjadinya perceraian? 5. Menurut ibu faktor apa saja yang menyebabkan adanya kawin paksa oleh orang tua terhadap anak, sehingga berujung pada perceraian? 6. Berapa banyak jumlah perceraian yang diakibatkan adanya kawin paksa oleh oarng tua? 7. Bagaimana pandangan ibu terhadap kawin paksa yang dilakukan orang tua terhadap anaknya? 8. Apa pertimbangan hukum majelis hakim dalam memutuskan perkara perceraian akibat kawin paksa yang dilakukan orang tua terhadap anaknya?